ASPEK DIAGNOSIS DAN PATOGENESIS ISOLAT LOKAL CANINE PARVOVIRUS (RIVS 57)
KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
ABSTRAK KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH. Aspek Diagnosis dan Patogenesis Isolat Lokal Canine Parvovirus (RNS 57). Dibimbing oleh SETYO WIDODO, BAMBANG JOENIMAN dan MDRAWATI SENDOW. Canine Parvovirus (CPV) merupakan virus DNA (deoksiribo nucleic acid) terkecil yang berselubung dengan rantai tunggal sebagai penyebab enteritis dan miokarditis pada anjing. Virus ini masuk dalam famili Parvoviridae genus parvovirus. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati gejala klinis, kemunculan titer antibodi dan mempelajari kejadian ekskresi virus dalam feses setelah dilakukan inokulasi isolat lokal CPV (RIVS 57). Enarn (6) ekor anjing lokal sehat klinis berumur 2 bulan dan nihil titer antibodi terhadap CPV dipergunakan dalam penelitian ini. Dosis CPV (RIVS 57) sebesar 1 0 ' ~TCIDso ~ Iml diinokulasikan per oral pada 2 ekor anak anjing dan per infravena pada 4 ekor sisanya. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan suhu tubuh dan penurunan jumlah leukosit (21,26%) disertai p e n m a n jumlah absolut sel lirnfosit (34,89%) dan neutrofil (14,35%) lebih nyata pada aplikasi oral dibandingkan dengan aplikasi intravena dan telah memunculkan titer antibodi pada 24 jam pertama. Kemunculan antibodi pada aplikasi oral lebih responsif namun dengan titer rendah sebelurn hari ke-3 dan mulai protektif pada hari ke-4 dengan puncaknya pada hari ke-10 (GMT = 8192 HIU) dibanding aplikasi intravena dengan titer tinggi pada hari ke-3 dan protektif hari ke-5. Puncak titer antibodi pada aplikasi oral lebih tinggi dibanding pada aplikasi intravena. . Virus parvo anjing baik pada aplikasi oral maupun infravena tidak berhasil diisolasi dari feses dengan menggunakan jaringan FK dan uji HA selama penelitian berlangsung. Secara patogenesis infeksi CPV diawali oral, reaksi pertahanan nonspesifik berlangsung dalam 24 jam pertama dan dalam waktu yang relatif sama menimbulkan kekebalan dengan puncak hari ke-10 pasca infeksi.
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:
ASPEK DIAGNOSIS DAN PATOGENESIS ISOLAT LOKAL CANINE PARVOVIRUS (RIVS 57) merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Pebruari 2005
Ketut Karuni Nvanakumari Natih Nrp 99752
ASPEK DIAGNOSIS DAN PATOGENESIS ISOLAT LOKAL CANINE PARVOVIRUS (RIVS 57)
KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sains Veteriner s
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANLAN BOGOR 2005
Judul Tesis Nama N~P Program Studi
: Aspek Diagnosis dan Patogenesis Isolat Lokal Canine
Parvovirus (RIVS 57) : Ketut Karuni Nyanakumari Natih : 99752 : Sains Veteriner
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr Drh. Se o Widodo
7bEDrh. Bambann Joeniman, MS Anggota
~rhhndrawatiSendow, MSc. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Sains Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
!-
Prof. Dr. Ir. Sjafiida Manuwoto, MSc.
Tanggal Ujian : 6 Januari 2005
Tanggal Lulus : 0 7 ~ € 0
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Singaraja, Bali pada tanggal 21 Desember 1967 dari ayah Drs. I Ketut N. Natih, M. Hum. dan ibu Ketut Geniki. Penulis merupakan putri ke-empat dari enam bersaudara. Tahun 1981 penulis lulus dari SD St. Fransiskus 111 Jakarta. Tahun 1984 penulis lulus dari SMP St. Fransiskus I1 Jakarta. Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri 21 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK). Pada tahun 1988 penulis memilih masuk Fakultas Kedokteran Hewan, tahun 1992 penulis lulus Sarjana Kedokteran Hewan dan pada tahun 1993 penulis lulus sebagai Dokter Hewan. Penulis bekerja sebagai penguji vaksin virus di Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat, Direktorat Jenderal Bina Produksi Petemakan, Departemen Pertanian dari tahun 1994 sampai sekarang.
PRAKATA
Dengan selesainya karya ilmiah ini, penulis mengucapkan angayubhagia (bersyukur) kepada Ida Sang Hyang Widi Wasat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkahNya yang termulia, yang dilimpahkan kepada penulis. Penelitian ini penulis laksanakan sejak Mei 2004 sampai Oktober 2004, dengan tema isolat lokal Canine Parvovirus. Judul karya ilmiah ini adalah Aspek Diagnosis dan Patogenesis Isolat Lokal Canine Parvovirus. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Drh. Setyo Widodo, Drh. Bambang Joeniman MS, Drh. Indrawati Sendow; MSc selaku komisi pembirnbing atas segala bimbingannya; Dr. Drh. Danninto dan Dr. Drh R. M. Abdul Adjid selaku Kepala Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor serta Drh. Dewa Made Ngurah Dhanna, MSc., Ph.D. selaku Kepala Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan karya ilmiah ini. Terimakasih penulis sampaikan kepada Kepala Bagian, Staf dan teknisi di bagian virologi Balitvet dan Drh. Ida Lestari Soedijar, MSc. beserta staf unit uji virologi BBPMSOH atas dukungan dan surnbang sarannya. Disarnping itu ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Drh. A. Maizir, Drh. Gatot Mudiarto, Heri Hoerudin dan Ipat Hikrnatul Isro atas bantuannya selama pengambilan sampel dan pengurnpulan data. Yang tercinta suami (AKP I Nengah Ganti, SH) dan anak (Putu Gayatridevi GK Natih) yang memberi semangat dan motivasi, orangtua dan seluruh keluarga atas segala dukungan, hoa dan kasih sayangnya. Tak lupa kepada ternan-teman yang tidak dapat disebutkan narnanya satu persatu yang telah mendukung selama penelitian sampai selesainya tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Pebruari 2005
Ketut Karuni Nyanakumari Natih
DAFTAR IS1 Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ DAFTAR BAGAN .....................................................................
vii viii
DAFTAR GAMBAR ...........................................................
ix
DAFTAR GRAFIK ..........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xi
PENDAI-IITLUAN ........................................................................................... Latar Belakang ........................................................................................... Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. Hipotesa Penelitian ....................................................................................
1 1 2 3
TMJAUAN PUSTAKA................................................................................... Canine Parvovirus (CPV)........................................................................... 1.Etiologi ................................................................................................. 2. Sifat Fisika dan Kimia .......................................................................... 3. Sifat Biologis ......................................................................................... 4 . Induk Semang ........................................................................................ 5. Sifat Antigen .......................................................................................... 6. Strain Canine Parvovirus ....................................................................... 7. Penularan Canine Parvovirus................................................................. Patogenesa Canine Parvovirus................................................................... Diagnosis Canine Parvovirus ..................................................................... .. 1. Gejala Klims....................................................................................... a. Tipe Miokarditis..................................................................... b. Tipe Enteritis.......................................................................... 2. Pemeriksaan Serologis ....................................................................... a. Uji Serum Netralisasi (SN) ..................................................... b. Uji Hambatan Hemaglutinasi (HI).............................. c. Uji Antibodi Floresen.............................................. d. Enzirn Linked Immunosorbent Assay (Elisa) .................. 3. Pemeriksaan Virologis ....................................................................... a. Mikroskop Elektron (ME) ...................................................... b. Uji Hemaglutinasi (HA) ........................................... c. Enzim Linked Irnmunosorbent Assay (Elisa) .................. d. Polymerase Chain Reaction (PCR) .............................. 4. Pemeriksaan Histopatologi................................................................. a. Patologi dan Histopatologi Tipe Miokarditis ......................... b. Patologi dan Histopatologi Tipe Enteritis ..............................
MATERI DAN METODA PENELITIAN ........................................ Tempat Penelitian ..................................................................................... Materi Penelitian ....................................................................................... 1. Hewan Percobaan ............................................................................... 2. Isolat lokal CPV ................................................................................. 3. Sel Darah Merah Babi ........................................................................ Metode Penelitian....................................................................................... 1. Isolat Lokal (RIVS 57) ..................................................................... a . Propagasi Biakan Jaringan Ginjal Kucing (Feline Kidney=FK) .. b. Propagasi Isolat Lokal CPV (RIVS 57) ....................................... .. c . Uji Kandungan Virus.................................................................... 2 . Inokulasi Isolat Lokal CPV (RIVS 57) ............................................. 3. Pengambilan Sampel .......................................................................... a . Darah (dengan EDTA) .................................................................. b . Serum ............................................................................................ c. Feses .............................................................................................. 4. Uji Laboratoris ................................................................................... a . Penghitungan Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) Total ............. b . Preparat Ulas Darah Untuk Diferensiasi Leukosit ....................... c . Uji Hambatan Aglutinasi (HI) ...................................................... d . Isolasi CPV dari Feses pada Biakan Jaringan FK ........................ e . Identifikasi Isolat virus dengan Uji Hemaglutinasi (HA) ............ Peubah yang Diamati ................................................................................. 1. Gejala Klinis....................................................................................... 2. Gambaran Hematologi ....................................................................... 3. Serologi .............................................................................................. 4. Isolasi CPV dari Feses ....................................................................... a . Pengamatan fisik .......................................................................... b . Pemeriksaan Laboratoris .............................................................. Analisis Data Penelitian ............................................................................ HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ Hasil ........................................................................................................... 1. Pengamatan Gejala klinis .................................................................. 2 . Hematologi ........................................................................................ 3. Serologis............................................................................................ 4. Isolasi Virus Lokal CPV .................................................................. Pembahasan................................................................................................ SIMPULAN .....................................................................................................
..................................................................................... ....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman 1 . Contoh Penghitungan Titrasi Kandungan Virus Metoda Reed & Munch
22
2. Dosis Inokulasi Isolat Lokal CPV (IUVS 57) ........................................
23
3 . Hasil Pengamatan Gejala Klinis..............................................................
39
4 . Hasil Hematologi ....................................................................................
40
5 . Hasil Serologis ........................................................................................
44
6. Hasil Pengamatan Feses ..........................................................................
46
DAFTAR BAGAN Halaman 1 . Patogenesa Infeksi Canine Parvovirus (Hoskins 1 995) ......................... 2. Prosedur Propagasi Biakan Jaringan FK .................................................
3. Prosedur Propagasi Isolat CPV (RIVS 57) ............................................
..
4. Prosedur Uji Kandungan .........................................................................
5 . Prosedur Perlakuan Serum ...................................................................... 6. Prosedur Preparat Ulas Darah .................................................................
7. Prosedur Uji HI
......................................................................................
8. Prosedur Isolasi CPV dalam Biakan Jaringan FK ................................. 9. Prosedur Uji HA
....................................................................................
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 . Hewan Percobaan Yang Digunakan .......................................................
29
2. Inokulasi Isolat b k a l CPV (RIVS 57) Aplikasi Oral ............................
29
3 . Inokulasi Isolat Lokal CPV (RIVS 57) Aplikasi Intravena ...................
29
4 . Pengambilan Sampel Darah Pada Anjing
29
..............................................
5. Biakan Jaringan FK Normal...................................................................
29
6. CPE Canine Parvovirus pada Biakan Jaringan FK
29
.................... . . .......
............................................................................................
45
8. HasilUji HA ..........................................................................................
45
7. Hasil Uji HI
1. Hasil Rerata Perbedaan Suhu Tubuh..................................................
39
2. Rerata Jumlah Leukosit ...........................................................................
42
3. Rerata Jumlah Eosinofil ..........................................................................
42
4. Rerata Jumlah Neutrofil ..........................................................................
43
5. Rerata Jumlah Limfosit ...........................................................................
43
6. Rerata Jumlah Monosit ...........................................................................
44
7. Hasil Serologis
45
.......................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
.......................................................................................
56
2. Pembuatan Medium ................................................................................
57
1 . Bahan dan Alat
. . .
3. Prosedur Stenhsasl...............................................................
60
PENDAHULUAN Latar Belakang
Anjing merupakan salah satu hewan kesayangan, yang dipelihara untuk berbagai tujuan, diantaranya sebagai penjaga rumah, teman atau hiburan untuk menghilangkan stress maupun sebagai simbol status. Penyakit yang membahayakan anjing dan dapat membawa kematian adalah infeksi muntaber yang disebabkan oleh Canine Parvovirus, ditandai dengan gejala muntah dan mencret berdarah yang berakhir dengan kematian dalam waktu kurang dari 3 hari. Dari temuan nekropsi anjing yang mati menderita muntaber diperoleh dehidrasi berat, usus mengalami dilatasi dan berisi cairan berwama merah hingga kehitaman. Secara histopatologis ditemukan degenerasi sampai nekrosis dan hiperplasia dari epitel kripta usus bagian duodenum dan jejunum, juga ditemukan badan inklusi intranukleus bersifat basofilik pada epitel kripta duodenum (Nelson et al. 1979; Macartney et al. 1984). Canine Parvovirus diidentifikasi sejak tahun 1978 setelah berhasil diisolasi dari anjing dengan gejala berak darah (haemorrhagic diarrhea) (Appel et al. 1979). Canine Parvovirus merupakan virus DNA (deoksiribo nucleic acid) terkecil yang berselubung dengan rantai tunggal. Virus ini masuk dalam famili Parvoviridae genus parvovirus (Russel dan Edington 1985). Canine Parvovirus dapat menginfeksi berbagai ras anjing, umur ataupun jenis kelamin. Resiko paling tinggi terjadi pada anak anjing umur 6 minggu sampai 6 bulan (Glickrnan et al. 1985). Replikasi CPV terjadi dalam sel-sel yang membelah dengan cepat yaitu sel jantung dan sel epitel usus halus sehingga CPV berkembang dengan cepat dalam tubuh anjing muda (umur kurang dari 6 bulan) yang masih banyak terjadi proliferasi sel-sel (Hoskins 1997). Saat ini penyakit enteritis karena infeksi CPV pada anjing telah menyebar ke seluruh dunia. Penyakit ini bersifat sangat menular dan fatal. Penularan sangat mudah terjadi secara oral melalui feses yang tercemar CPV (Meunier et al. 1985; Hoskins 1997). Ekskresi CPV dalam feses dimulai pada hari ke-4 diikuti dengan terbentuknya antibodi (Carman dan Povey 1985; Hoskins, 1997).
Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui gejala klinis, isolasi virus dan epidemiologi CPV (Miura et al. 1986). Tetapi sampai saat ini Canine Parvovirus tipe enteritis masih merupakan masalah di tempat-tempat praktek dan petemakan karena menyebabkan angka kematian yang tinggi pada anak anjing dengan tanda-tanda klinik adanya diare darah (Schultz 1995; Hoskins 1997). Kejadian infeksi Canine Parvovirus pertarnakali di Indonesia pada tahun 1981. Wabah pada anjing ini ditandai dengan gejala depresi, anoreksia, muntah dan diare dan menyerang pada hampir semua umur hewan, kemudian dilakukan isolasi CPV dari feses yang ditumbuhkan pada biakan jaringan
ginjal kucing (Crandell Feline Kidney
=
CRFK). Identifikasi terhadap CPV dilakukan dengan menggunakan uji hemaglutinasi (Hemaglutination Test
=
HAT). Typing terhadap CPV dilakukan dengan monoklonal
antibodi (Jusa et al. 1991). Sampai saat ini infeksi CPV pada anjing-anjing di Indonesia masih merupakan masalah besar.
Tingkat kematian yang terjadi hampir 100%. Tempi atas infeksi
parvovirus hanya dapat dilakukan berdasarkan gejala yang memperburuk keadaan hewan (Tilley et al. 1997). Menurut Glickrnan et al. (1985) faktor-faktor yang mempengaruhi keganasan infeksi CPV adalah ada tidaknya kekebalan anjing, virulensi virus, dosis infeksi, infeksi campuran yang mengikutinya dan kondisi lingkungan. CPV pada anak anjing akan menjadi lebih buruk jika disertai dengan adanya infeksi parasit, stress di tempat baru, keadaan di dalam kandang yang terlalu padat, sanitasi yang buruk, titer antibodi induk rendah dan kegagalan tubuh membentuk respon kekebalan (Sajuthi 200 1). Kualitas isolat lokal CPV sampai saat ini juga belum banyak dilakukan dan dipublikasikan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aspek diagnosis dan patogenesis isolat lokal CPV yang diinokulasikan pada anjing lokal. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengamati gejala klinis setelah inokulasi isolat lokal CPV (RIVS 57) 2. Mengukur titer antibodi yang terbentuk setelah inokulasi isolat lokal CPV (RIVS 57) 3. Mempelajari kejadian shedding out dalam feses.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: Mendapatkan informasi pendukung diagnosis dan patogenesis
infeksi isolat
lokal CPV (RIVS 57) yang diinokulasikan pada anjing lokal. Hi potesa
Terdapat hubungan antara gejala klinis serta kekebalan yang terbentuk setelah di lakukan inokulasi CPV dengan kejadian shedding out dalam feses.
TINJAUAN PUSTAKA Canine Parnovirus (CPV) 1. Etiologi Infeksi Canine Parvovirus dengan strain tipe 2 (CPV-2) merupakan salah satu penyakit virus pada anjing yang bersifat sangat kontagius dan fatal (Hoskins 1995; Kerr 2000). Canine Parvovirus merupakan virus DNA (deoksiribo nucleic acid) rantai tunggal yang berukuran 15-28 nm. Virus ini berbentuk ikosahedral simetris dan tidak berselubung.
CPV memiliki 32 kapsomir dan 3 struktur polipeptida (Russel dan
Edington 1985; Kerr 2000).
2. Sifat Fisika dan Kimia Canine Parvovirus sangat stabil pada pH 3-9, suhu 56-60°C selarna 1 jam, pada pelarut lemak dan pada konsentrasi garam yang tinggi (Afshar 1981; Russel dan Edington 1985; Kerr 2000). Canine Parvovirus dapat hidup bertahun-tahun dalarn fomitus (Russel dan Edington 1985). Canine Parvovirus akan mati melalui kontak dengan sodium hipokhlorida dan gluteraldehyda (Kerr 2000). Menurut Afshar (1981) CPV dapat diinaktifkan dengan formalin, O-propiolaktan, hydroxylamine dan radiasi ultra violet. 3. Sifat Biologis Canine Parvovirus mudah bereplikasi dalam sel-sel yang sedang membelah dengan cepat (Afshar 1981;Russel dan Edington 1985). Secara in vivo terjadi pada sel epitel usus (kripta ileum), sumsum tulang dan fetus (Russel dan Edington 1985). Secara in vitro CPV dapat tumbuh pada biakan jaringan primer organ anjing seperti ginjal, usus, limpa, timus dan paru-paru, dan pada biakan jaringan organ kucing seperti ginjal dan paru-paru (Afshar 1981). Canine Parvovirus selain dapat tumbuh pada biakan jaringan primer, juga dapat tumbuh dengan baik pada biakan jaringan lestari seperti biakan jaringan CRFK (Crandell Feline Kidney), canine foetal kidney, canine melanoma, canine Jbroblastic cells, A72 canine Jbroma dan MDCK (Madin Darby Canine Kidney) (Eugster 1980; Mochizuki dan Hashimoto 1986; Finlaison 1995). Canine Parvovirus juga dapat dapat tumbuh pada biakan jaringan vero yang berasal dari ginjal
African green monkey, raccoon saliva?y gland dan bovine foetal spleen pada kondisi biakan jaringan tidak membentuk sel selapis (Appel et al. 1979). Biakan jaringan ginjal kucing merupakan biakan jaringan lestari yang paling sensitif untuk mengidentifikasi CPV karena dapat menimbulkan efek sitopatik (Cythopathic Efect = CPE). Efek sitopatik pada biakan jaringan FK atau CRFK terjadi pada 2-3 hari setelah inokulasi. Perkembangan virus ditandai dengan sel yang berbentuk bulat dan pelepasan sel-sel serta adanya badan inklusi intranuklear (Joshi et al. 1998).
4. Induk Semang Canine Parvovirus dapat menginfeksi anjing berbagai ms, umur ataupun jenis kelamin. Resiko umur paling tinggi terjadi pada anak anjing yang berumur 6 minggu sampai 6 bulan. Predisposisi ras yang dilaporkan beresiko tinggi pada ms Rottweiler, Dobermann pinscher, American pitbull terriers, German sheperd (Glickman et al. 1985; Houston et al. 1996; Hoskins 1997; Sajuthi 2001), English springer spaniels (Glickman et al. 1985), Labrador retriever, Staford.vhire dan Alaskan sled (Hoskins 1997). Predisposisi ras dengan resiko rendah terjadi pada ras Toy poodle, Cocker spaniel dan ras carnpuran (Houston et al. 1996; Sajuthi 2001). Bhut et al. (1998), berhasil mendeteksi CPV pada wild canines, yaitu pada wild dogs (Cuan alpinus),jackals (Canis auxus) dan wolves (Canis lupusj. Kejadian penyakit akibat infeksi CPV di Indonesia banyak menyemng anjing muda berumur 2 bulan dan lebih sering terjadi pada ras Dobermann dan Rottweiler. Pengamatan Sendow dan Syafiiati (2004) menunjukkan bahwa anjing lokal dapat terinfeksi CPV, namun kasus klinis jarang terjadi.
5. Sifat antigen Canine Parvovirus mempunyai hemaglutinin yang dapat mengaglutinasi beberapa sel darah merah hewan seperti babi, Afican green monkey, anjing, shrew mouse, kuda, kucing, golden hamster dan domba (Senda et al. 1988). Penelitian mereka membuktikan bahwa CPV dapat mengaglutinasi sel darah memh hewan-hewan tersebut tetapi titernya tidak setinggi sel damh memh babi atau African Green Monkey. Mereka juga membuktikan bahwa CPV tidak dapat mengaglutinasi sel damh merah sapi, kambing, kelinci, marmot, tikus, mice, angsa, ayam dan golongan darah 0 pada manusia. Menurut Sajuthi (2001), sel damh merah yang biasa digunakan untuk uji hemaglutinasi
terhadap CPV adalah sel darah merah babi dan sel darah merah monyel ekor panjang (Macaca fmicularis).
Dengan adanya sifat aglutinasi sel darah merah maka uji
hemaglutinasi dapat diterapkan untuk mendeteksi awal adanya antigen CPV (Mochizuki et al. 1984; Deepa dan Saseendranath 2002). 6. Strain Canine Parvovirus Pamsh et al. (1991), mengatakan bahwa tipe CPV hanya satu, tetapi varian strain virus ini ada beberapa yang secara antigenik berbeda tetapi secara serologis sama. Canine Parvovirus serotype-1 (CPV-1) atau Minute Virus of Canine (MVC) pertama kali diisolasi dari feses anjing militer di Amerika Serikat pada tahun 1967 (Hoskins 1995).
MVC tidak bersifat pathogen. Pada anjing umur 5-21 hari
menimbulkan gejala pneumoni miokarditis dan enteritis sedangkan pada anjing bunting menyebabkan
kematian fetus dan mumifikasi (Truyen 2000).
Pada tahun 1978
ditemukan serotipe lain dari CPV yang dihubungkan dengan gejala diare pada anak anjing di Amerika Serikat dan disebut sebagai Canine Parvovirus tipe-2 (CPV-2) atau Canine Parvovirus Enteritis (Appel et al. 1979; Parrish et al. 1991). CPV-2 sarna sekali tidak berhubungan dengan MVC (Truyen et al. 2000). Feline Panleukopenia (FPL) adalah penyakit virus yang menginfeksi kelwga Felidae dan hewan yang dekat kekerabatannya seperti ~ustelidae,-Procyonidae dan Viverridae. Sifat penyakit akut, ganas dan sistemik ditandai dengan kejadian yang tibatiba, demam, muntah, diare dan leukopenia. Penyakit ini pertama kali terjadi pada tahun 1925. Beberapa peneliti menduga ada hubungan FPL dengan Mink Enteritis Virus (MEV) karena mempunyai sifat kimia dan fisika yang sama. Tahun 1966 berhasil mengidentifikasi FPL yang termasuk dalam kelwga Parvoviridae (Bittle 1981;Truyen 2000). Canine Parvovirus tipe-2 merupakan hasil mutasi dari Feline Panleukopenia virus (FPV) (Erbeck 1981); Evermann 1981; Hoskins 1997; Nakamura et al. 2001). Feline Panleukopenia mempunyai kesamaan urutan basa nukleotida dengan CPV-2 lebih dari 98% (Parrish et al. 1991). Hubungan antara CPV dengan FPV secara serologis sangat erat dan dapat dibuktikan dengan adanya reaksi silang pada uji HI, uji antibodi floresen, uji netralisasi dan immunoelektron mikroskopi (Hoskins 1997). Selama tahun 1978 dengan pemeriksaan serologis pada anjing terbukti bahwa terdapat antibodi terhadap CPV-2 di Jepang, Australia, New Zealand dm Amerika
Serikat. Canine Parvovirus serotype-2 ini hanya menginfeksi anjing dan canidae lainnya seperti wolves, coyotes, south American dogs dan Asiatic raccoon dogs. Pada tahun 1980 strain CPV-2 bermutasi menjadi tipe 2a (CPV-2a) dan pada tahun 1984 muncul varian lain yaitu tipe 2b (CPV-2b). Strain-strain ini disebut tipe antigen yang baru yang dapat menginfeksi anjing dan kucing dengan gejala klinis CPV (Truyen 2000) juga pada domestic cats (Gamoh et al. 2003). Penelitian Pereira et al. (2000) menunjukkan bahwa tipe strain CPV di Brazil menunjukkan bahwa selama tahun 1980an tipe strain yang dominan adalah CPV-2a dan pada tahun 1990-an adalah CPV-2b. Pada tahun 2000 ditemukan lagi varian baru yaitu tipe 2c yang menginfeksi kucing dan
wild felidae (Nakamura et al. 2001). Hasil penelitian Truyen (2000) menunjukkan bahwa ke-3 strain tersebut tidak dapat dibedakan secara serologis. Adanya perubahan CPV-2 ini karena kemampuan parvovirus untuk bereplikasi dan menyebar lebih efektif dalam adaptasi genetik (Parrish et al. 1988). Dengan analisa phylogenetik memperlihatkan evolusi yang pmgresif dari tipe asli CPV. Kejadian tersebut mirip seperti yang terjadi pada virus influenza A (Parrish et al. 1991). 7. Penularan Canine Parvovirus Penyakit yang disebabkan oleh Canine Parvoviws sangat kontagious. Sampai saat ini penularan CPV secara alami melalui kontak langsung dekan sekreta anjing yang terinfeksi CPV atau makanan yang telah terkontarninasi oleh CPV. CPV dapat diekskresikan melalui feses, air seni,air liur dan muntah (Appel et al. 1980). Alat-alat yang telah tercemar CPV seperti alat-alat kedokteran, grooming dan alat-alat kandang yang tercemar feses juga merupakan sarana penularan (Gordon dan Angrick 1986; Hoskins 1997).
Patogenesis Canine Parvovirus Patogenesis CPV berhubungan erat dengan orgadtipe sel. Pada anak anjing umur kurang dari 8 minggu terjadi gangguan pada myocardium. Pada anak anjing yang lebih tua terjadi gangguan pada epitel usus halus. Umumnya pada semua anjing terjadi gangguan pada sumsum tulang, limfoid dan sel-sel darah (Hoskins 1995). Patogenesis CPV bersifat kompleks. Bila lingkungan dan pemeliharaan anjing baik maka infeksi yang terjadi sifatnya subklinis (Studdert et al. 1983). CPV menyebar
secara cepat dari anjing satu ke anjing yang laimya melalui oronasal yang ditularkan lewat feses yang tercemar CPV (Hoskins 1995). Setelah virus masuk melalui oronasal maka replikasi virus dimulai 1-2 hari setelah infeksi di jaringan limfoid oropharing, limfonodus mesenterika dan timus. Infeksi virus sistemik pada jaringan limfoid usus halus tejadi 3 hari setelah pasca infeksi melalui viremia.
Adanya plasma viremia terjadi 1-5 hari setelah infeksi
(Hoskins 1995). Pada kondisi normal, sel-sel bermigrasi dari
epitel germinaVpangkal
limfonodus intestinal ke ujung vili usus halus. Selama migrasi sel-sel matang dan mempunyai kemarnpuan menyerap. Pada anjing yang terinfeksi CPV, virus bereplikasi di epitel germinal kripta usus sehingga sel-sel epitel rusak dan kolaps. Karena tejadi kerusakan pada epitel germinal mengkibatkan pergantian sel normal (biasanya antara 13 hari pada usus halus) terganggu dan vili menjadi pendek (Bolton dan Pass 1988; Hoskins 1995). Akibat patologis yang tejadi pada infeksi virus pada epitel usus adalah keharusan sel-sel epitel tersebut dalam jumlah banyak dalam waktu singkat lalu diganti dengan sel-sel yang muda tidak bisa mengabsorbsi cairan dan tidak menghasilkan enzim sehingga tejadi pengeluaran cairan terus menerus. Hewan mati karena terlalu banyak cairan keluar (Bolton dan Pass 1988). CPV juga merusak mitoticcaly active precursor sirkulasi sel leukosit dan limfoid. Pada infeksi yang parah sering tejadi neutropenia dan limfopenia (Meunier et al. 1985; Hoskins 1995). Infeksi sekunder dari bakteri Gram negatif dan mikroflora anaerob menyebabkan tejadinya komplikasi sehingga menyebabkan kerusakan hebat pada usus, bakterimia clan endotoksemia serta Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) (Hoskins 1995). Titer antibodi dalam serum dapat dideteksi sedini mungkin pada 3-4 hari setelah infeksi dan akan konstan selarna kurang dari setahun (Carman dan Povey 1985; Hoskins 1997). Pada anjing-anjing yang sembuh dari infeksi CPV, kekebalan bertahan selama 20 bulan lebih (Hoskins 1995).
Penelitian Sendow dan Syafiiati (2004)
menunjukkan bahwa antibodi terhadap CPV masih dapat terdeteksi hingga 3 tahun. Ekskresi aktif CPV dimulai pada hari ke-3 atau ke-4 setelah infeksi umumnya sebelum gejala klinis muncul (Hoskins 1995). Menurut Carman dan Povey (1985) ekskresi CPV dalam feses dimulai pada hari ke-4 dan diikuti dengan terbentuknya titer
antibodi. Antibodi lokal intestinal penting dalam terminal ekskresi virus dalam feses (Hoskins 1995). Viremia selalu didahului shedding virus melalui feses (Meunier et al. 1985; Hoskins 1997). CPV berada dalam feses selama 7-10 hari (Schunck er al. 1995; Hoskins 1997). Pada penelitian Gamoh et al. 2003, shedding virus terjadi pada hari ke-5.
Virus ini akan berada dalam feses dengan titer yang tinggi dan akan disebarkan
ke induk semang yang cocok melalui oral (Schunck et al. 1995; Hoskins 1997). CPV menimbulkan respon imunologik dimana terjadi ikatan antara antigen CPV yang masuk ke dalam tubuh dengan antibodi yang terbentuk. Imunoglobulin (Ig) yang berperan adalah IgM, IgG dan IgA. Pada peristiwa terjadinya infeksi CPV, Imunoglobulin M biasanya dibentuk terlebih dahulu sebagai respon terhadap virus yang masuk kedalam tubuh. Pada uji serologi di laboratorium IgM bersama-sama dengan IgG menyebabkan reaksi antigen-antibodi seperti terjadinya aglutinasi sel darah merah. Imunoglobulin A terdapat didalam serum dan ada juga IgA sekretori (SIgA) sebagai imunoglobulin utama dalam organ sekresi dan eksokrin. Immunoglobulin A sekretori terdapat dalam mukosa saluran pencemaan yang berfbngsi melindungi tubuh terhadap masuknya antigen ke dalam tubuh dengan cam membalut antigen sehingga antigen tidak dapat melekat pada mukosa (Tizard 1992). Target organ utama pada infeksi CPV enteritis adalah usus halus. Menurut Nara et al. (1983), antibodi yang terbentuk pada usus adalah IgA, yang dapat memberikan proteksi memadai terhadap infeksi CPV. Antibodi IgA ini dapat menyebabkan temetralisasinya virus yang diekskresikan pada feses sehingga apabila waktu yang tidak tepat dan lama pada saat pengambilan feses kemungkinan kegagalan mendapatkan isolat menjadi lebih besar.
Regional lymphmodus chopharing Tonsil
Umur 6 minggu-6 bulan
4 6-10
Jaringan lymphoid Sumsum tulang
*Peningkatan titer Ab .Timbul gejala klinis .She&v i m sampai hari ke- 14
P-W Hati Gijal (patologi)
Intesfiml gland
Sel epithel
1
4 Leucopenia-limphopenia
Intestinal gland
1mmunodef;ciency:
Nekrosa epitel
Lymphoid depletion pada
Peningkatan permeabilitas Penunman absorpsi
Atropi timus
4
Limpa dan limphonodus Infeksi skunder Gram negavf sepsis
7
4
Parah
Enteropthy Diare
Bagan 1. Patogenesa Infeksi Canine Parvovirus (Hoskiis 1925).
Diagnosis Canine Parvovirus Diagnosis Canine Parvovirus dilakukan berdasarkan pengamatan gejala klinis, pemeriksaan serologis,
pemeriksaan virologis seperti isolasi dan identifikasi CPV
dalam feses dan pemeriksaan histopatologi (Stann et al. 1984; Russel dan Edington 1985). 1. Gejala Klinis Respon anjing yang terinfeksi Canine Pawovirus bewariasi dari tidak ada gejala atau subklinis hingga akut yang dapat berakibat fatal. Kasus subklinis lebih banyak ditemukan, terutama pada anjing lokal (Sendow dan Syafiiati 2004). Keparahan infeksi CPV tergantung pada umur hewan, tingkat stress, jenis hewan dan status kekebalannya. Infeksi yang paling parah biasanya terjadi pada anak anjing umur kurang dari 12 minggu karena sel yang sedang membelah umumnya terjadi pada hewan muda
(Hoskins 1995). klinisnya.
Makin muda umur anjing yang terinfeksi CPV makin parah gejala
Pada anjing umur 3-4 minggu, sel miosit pada jantung sedang aktif
berkembang sehingga apabila pada umur tersebut terinfeksi CPV maka yang terserang adalah jantung yang mengakibatkan kematian mendadak. Infeksi CPV pada anjing yang berumur lebih dari 6 minggu, derajat pembelahan sel miosit mulai menurun tetapi derajat pembelahan sel mitotik pada kripta usus meningkat, sehingga menyebabkan muntah dan diare (McCandlish et al. 1979). Gejala klinis yang ditimbulkan oleh infeksi CPV, yaitu: a. Tipe Miokarditis Canine Parvovirus dapat menyerang otot jantung sehingga disebut sebagai CPV miokarditis. Infeksi CPV tipe miokarditis dapat terjadi saat masih dalam uterus atau pada anak anjing umur kurang dari 4 minggu. Umumnya seluruh anak anjing dalarn satu induk terinfeksi. Anak anjing sering ditemukan mati dalarn waktu 24 jam setelah timbulnya gejala klinis seperti sesak napas, menangis, lemas, kadang-kadang muntah dan selaput lendir pucat (McCandlish et al. 1981; Hoskins 1997). Mortalitas tipe miokarditis berkisar atara 20% hingga 100%.
Pada tipe miokarditis yang akut
umumnya anak anjing tersebut tidak mempunyai kekebalan bawaan dari induk, sehingga vaksinasi induk yang akan dikawinkan sangat dianjurkan (sendow 2003). Pada anak anjing berumur lebih dari 5 bulan gejala klinis yang tampak tidak nyata, tetapi pada infeksi akut, ritme puls femoral irregular, jantung terdengar murmur dan aribnia (Robinson et al. 1980). Di Indonesia, tipe miokarditis jarang ditemukan. Hal ini dapat disebabkan karena umumnya induk anjing telah divaksinasi, sehingga anak yang dilahirkan mempunyai maternal antibodi yang bertahan hingga 6 minggu (Sendow 2003). b. Tipe Enteritis Canine Parvovirus dapat menyerang gastrointestinal sehingga dikenal sebagai CPV enteritis.
Infeksi CPV pada saluran pencemaan ini lebih sering terjadi
dibandingkan dengan tipe miokarditis (Hoskins 1997).
Masa inkubasi tipe enteritis
adalah 7-14 hari setelah infeksi dengan gejala awal muntah, demam yaitu dengan suhu tubuh > 39.4"C, tidak napsu makan atau anoreksia, lesu dan diare mulai dari mencret berwama kekuningan, abu-abu dengan bau yang khas hingga berwama kehitaman
seperti wama aspal (Meunier et al. 1985; Hoskins 1995). Umumnya neutropenia, leucopenia dan limfopenia terjadi setelah gejala diare muncul (Macartney et al. 1984). Leukopenia tejadi pada hari ke4-5 setelah infeksi dimana jumlah sel darah putih menurun hingga 30001pl (Afshar 1981; Stann et al. 1984). Morbiditas CPV tipe enteritis berkisar antara 20% hingga 100% dan mortalitasnya mencapai 50%, sedangkan pada anjing yang masih muda dan belum divaksinasi mortalitasnya dapat mencapai 100% (Eugster et al. 1978). Canine Parvovirus enteritis akut dapat tejadi pada semua jenis anjing, umur ataupun jenis kelamin. Tetapi anjing berumur antara 6 minggu sarnpai 6 bulan, ras Rottewilers, Doberman pinscher dan Labrador retriever beresiko lebih tingg i (Hoskins 1995; Tilley et al. 1997). Pada kasus CPV enteritis, Leib (1995) menyarankan untuk melakukan pemeriksaan feses, rectal cytology, complete blood count (CBC), profil biokimia, pemeriksaan urin dan radiograph abdomen untuk konfirmasi adanya virus parvo. Biasanya pada pemeriksaan laboratorium akan terlihat penurunan total protein, anemia, neutropenia, limphopenia dan hipoglicemia (Leib 1995; Tams 1995). 2. Pemeriksaan Serologis Adanya infeksi CPV, ditandai dengan pembentukkan antibbdi terhadap CPV pada tubuh anjing tersebut. Untuk menentukan adanya antibodi terhadap CPV, dapat dilakukan uji serologis dengan menggunakan beberapa perangkat diagnosis, diantaranya adalah uji serum netralisasi (SN), uji hambatan hemaglutinasi (HI), uji antibodi floresen dan Enzim-link Iimmunosorbent Assay (ELISA) (Pamsh et al. 1982; Dubovi 1997). Antibodi dengan konsentrasi tertinggi dan termudah diperoleh, berasal dari serum darah. Serum diperoleh dengan membiarkan darah contoh membeku dan bekuan beretraksi. Serum dapat disimpan beku pada suhu -20" C dan digunakan bila diperlukan. Jika serum diperlukan tanpa aktivitas komplemen maka serum diinaktivasi dalam penangas air dengan suhu 56°C selama 30 menit (Tizard 1992). Titer antibodi dalam serum dapat dideteksi sedini mungkin pada 3 4 hari setelah infeksi dan akan konstan selama kurang dari setahun (Hoskins 1997).
a. Uji Serum Netralisasi (SN) Prinsip dasar uji serum netralisasi CPV adalah terjadinya proses netralisasi antigen CPV oleh antibodi. konsentrasi
Uji serum netralisasi menggunakan virus dengan
konstan (100 TC1Dso) yang ditambahkan pada
serum yang telah
diencerkan, kemudian ditambahkan larutan biakan jaringan ginjal kucing.
Biakan
jaringan ginjal kucing tersebut diinkubasikan pada suhu 37'C sampai terlihat perubahan yaitu terbentuknya efek sitopatik (CPE) pada biakan jaringan sebagai tanda adanya pertumbuhan virus. Ada atau tidak adanya antibodi yang terbentuk dibedakan dengan ada atau tidaknya CPE (Dubovi 1997). b. Uji Hambatan Hemaglutinasi (HI) Prinsip dasar uji hambatan hemaglutinasi adalah CPV mempunyai kemampuan untuk mengikat sel darah merah yang menyebabkan terjadi aglutinasi sel darah merah tersebut. Spesifik antibodi CPV mengikat permukaan partikel virus sehingga mencegah kemampuan virus untuk menempel pada sel darah merah yang menyebabkan aglutinasi terhambat.
Reaksi ini disebut penghambatan hemaglutinasi. Uji ini menggunakan
jumlah virus standar sebanyak 4-8 hemaglutination units (HAU) (Dubovi 1997). Uji hemaglutinasi merupakan uji yang pertarnakali dan sering digunakan untuk mengukur titer antibodi CPV. Menurut kegunaannya dalam mendeieksi antibodi, uji ini ada dua, yaitu uji prosedur alfa dengan cara konsentrasi sera tetap dengan virus yang diencerkan dan prosedur beta dengan cara virus standar dengan konsentrasi tetap dan serum yang diencerkan (Dubovi 1997).
Hoskins (1997) mengatakan bahwa diagnosa
CPV dapat dipastikan apabila dalam waktu 3 hari atau lebih setelah anjing menunjukkan gejala klinis dengan diperolehnya titer HI yang tinggi dalam serumnya. Uji hemaglutinasi secara rutin dilakukan untuk menentukan diagnosa terhadap infeksi CPV karena sensitif, mudah dikerjakan, cepat dan biayanya tidak mahal (Mathys et al. 1983; Dubovi 1997). Sampai saat ini uji HA dan HI masih merupakan uji yang
paling sering digunakan untuk diagnosa CPV (Deepa dan Saseendranath 2002; Heerden et al. 2002).
Beberapa kendala dalam uji hemaglutinasi diantaranya membutuhkan darah babi atau monyet ekor panjang yang ditidak mudah diperoleh, sel darah merah tersebut hanya dapat disimpan selama 2-3 minggu, memerlukan waktu untuk menyiapkan sel darah merah yang akan digunakan untuk HA, adanya hemaglutinin nonspesifik pada
"
bedloresen bila disinari dengan sinar ultraviolet.
Misalnya zat warna fluorescein
isothiocynate (FITC) yang berwarna hijau atau tetramethylrhodamine isothiayanate yang berwarna merah. Dengan demikian letak antigen virus dalam jaringan dapat diketahui karena terbentuknya kompleks antigen antibodi yang memancarkan warna pada pengamtan di bawah mikroskop ultraviolet. Uji antibodi floresen banyak digunakan oleh laboratorium diagnostik komersil Kendala penggunaan uji sntibodi floresen adalah membutuhkan waktu lebih lama karena menggunakan teknik biakan jaringan dan konsentrasi titer antibodi hams tinggi, serta fasilitas rnikroskop floresen yang sangat mahal (Dubovi, 1997; Joshi et al. 1998). d. Enzim Linked immunosorbent Assay (ELISA) Prinsip dasar uji Elisa hampir sama dengan uji antibodi floresen, perbedaannya adalah antibodi tidak diwarnai tetapi disenyawakan dengan enzim. -Penerapan metode ini dimulai sejak diketahui bahwa protein termasuk antigen virus dapat melekat pada permukaan plastik polystyrene, dengan demikian antigen atau antibodi dapat diabsorbsi pada permukaan lempeng plastic untuk tujuan identifikasi. Menurut Ok et al. (2000) pemeriksaan serologis terhadap CPV dengan Elisa sama sensitifnya dengan uji HI dan penelitian Deepa dan Saseendranath (2000) menunjukkan bahwa Elisa lebih sensitif daripada AGID (Agar Gel Immunod~jision test ) dan CIEP (Counter Immunoelectrophoresis). Elisa dapat digunakan sebagai uji penyaringan terhadap sampel dalarn jumlah banyak dan relatif cepat, pembacaan hasil dapat dilakukan secara visual sehingga tidak membutuhkan peralatan khusus (Deepa dan Saseendranath 2000). Akhir-akhir ini, telah dikembangkan Elisa kit terhadap CPV secara komersial yang dapat diterapkan di klinikklinik dokter hewan praktek meskipun kit yang tersedia masih relatif mahal.
pengenceran rendah sehingga hams dikonfirmasi dengan uji HI dengan menggunakan spesifik antiserum dan prosedur HA sulit untuk diterapkan pada pemakaian mesin semiotomatis (Mathys et al. 1983). c. Uji Antibodi Floresen Prinsip dasar uji antibodi floresen adalah antibodi diwarnai oleh zat warna bedoresen bila disinari dengan sinar ultraviolet.
Misalnya zat warna fluorescein
isothiocynate (FITC) yang berwarna hijau atau tetrarnethylrhodamine isothiocyanate yang berwarna merah. Dengan demikian letak antigen virus dalam jaringan dapat diketahui karena terbentuknya kompleks antigen antibodi yang memancarkan warna pada pengamtan di bawah mikroskop ultraviolet. Uji antibodi floresen banyak digunakan oleh laboratorium diagnostik komersil Kendala penggunaan uji sntibodi floresen adalah membutuhkan waktu lebih lama karena menggunakan teknik biakan jaringan dan konsentrasi titer antibodi harus tinggi, serta fasilitas mikroskop floresen yang sangat mahal (Dubovi, 1997; Joshi et al. 1998). d. Enzim Linked immunosorbent Assay (ELISA) Prinsip dasar uji Elisa hampir sama dengan uji antibodi floresen, perbedaannya adalah antibodi tidak diwarnai tetapi disenyawakan dengan enzim. -Penerapan metode ini dimulai sejak diketahui bahwa protein termasuk antigen virus dapat melekat pada permukaan plastik polystyrene, dengan demikian antigen atau antibodi dapat diabsorbsi pada permukaan lempeng plastic untuk tujuan identifikasi. Menurut Ok et al. (2000) pemeriksaan serologis terhadap CPV dengan Elisa sama sensitifhya dengan uji HI dan penelitian Deepa dan Saseendranath (2000) menunjukkan bahwa Elisa lebih sensitif daripada AGlD (Agar Gel Immunodrffirsion test ) dan CIEP (Counter Immunoelectrophoresis). Elisa dapat digunakan sebagai uji penyaringan terhadap sampel dalam jumlah banyak dan relatif cepat, pembacaan hasil dapat dilakukan secara visual sehingga tidak membutuhkan peralatan khusus (Deepa dan Saseendranath 2000). Akhir-akhir ini, telah dikembangkan Elisa kit terhadap CPV secara komersial yang dapat diterapkan di klinikklinik dokter hewan praktek meskipun kit yang tersedia masih relatif mahal.
3. Pemeriksaan Virologis
Infeksi CPV tipe enteritis stadium akut, lebih dari lo9 partikel virus berada dalam feses dan dapat bertahan selama 4 bulan dilingkunga~ya. Dengan demikian selain sebagai sumber utama penularan infeksi CPV, feses juga berperan sebagai substrat untuk diagnosa CPV (Mathys et al. 1983; Mildbrand et al. 1984; Hirasawa et al. 1994). Pengambilan feses untuk isolasi virus lebih baik langsung dari rektum untuk
menghindari kontaminasi (Carman dan Povey 1985; Hoskins 1997). CPV dalam feses dapat dideteksi dengan beberapa metoda seperti isolasi virus dalam biakan jaringan, HA, Mikroskop Elektron (ME), Elisa dan DNA hybridization (Mochizuki et al. 1984; Hirasawa et al. 1994; Savic-Jevdenic et al. 200 1). Canine Parvovirus juga dapat diisolasi dari epitel lidah, rongga mulut dan esophagus, usus halus, sumsum tulang, jaringan limfoid, organ paru-pa, limpa, hati, ginjal dan otot jantung karena merupakan lokasi perkembangan CPV (Macartney et al. 1984; Hoskins 1997). Dari jaringan tersebut dengan mudah dapat diisolasi CPV dengan menggunakan sistem biakan jaringan selarna virion belurn dibalut oleh antibodi. Bila anjing masih hidup, feses merupakan sampel terbaik untuk isolasi CPV (Hoskins 1997). Isolasi dari feses dengan menggunakan biakan jaringan tidak - dilakukan oleh praktisi dokter hewan karena memerlukan fasilitas laboratorium, keahlian khusus serta memerlukan waktu dan biaya yang besar. Menurut Cavalli et al. (2001), isolasi CPV pada biakan jaringan sangat sulit dan membutuhkan beberapa pasase dalam biakan jaringan ginjal kucing. Identifikasi dan deteksi CPV dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: a. Mikroskop Elektron Identifikasi CPV dapat dilakukan dengan mengunakan mikroskop elektron. Mikroskop elektron dapat mendeteksi beberapa partikel dalam feses dengan melihat morfologinya (William 1980). Menurut Mathys et al. (1983) identifikasi CPV dengan menggunakan mikroskop elektron sulit dilakukan dilaboratorium ataupun di klinik hewan karena membutuhkan peralatan khusus dan waktu banyak serta biaya yang mahal. b. Uji Hemaglutinasi Infeksi Canine Parvovirus merupakan penyakit virus yang menular dan fatal oleh sebab itu diperlukan diagnosis yang cepat (Mildbrand et al. 1984). Penelitian
Savic-Jevdenic et al. (2001) menunjukkan bahwa dengan uji hemaglutinasi (HA), dapat mendeteksi CPV dalam feses sehari setelah munculnya gejala klinis, sehingga cepat melakukan pengobatan terhadap infeksi CPV.
Uji HA merupakan uji yang biasa
dilakukan di klinik dengan menggunakan sel darah merah babi atau monyet ekor panjang. Uji ini dianggap cukup sensitif dan cukup tinggi korelasinya dengan keberhasilan pengobatan (Sajuthi 2001). Adanya hemaglutinasi yang dibentuk oleh CPV merupakan ha1 penting karena sebagai karakteristik sempurna dari virus parvo (Carmichael et al. 1980). Namun perlu dilanjutkan dengan uji HI dengan menggunakan antibodi yang spesifik terhadap CPV untuk mengetahui apakah isolat virus yang diperoleh tersebut adalah CPV (Cavalli et al. 2001), karena menurut Hoskins (1997), ada beberapa macam virus yang dapat diisolasi dari feses yang berasal dari anjing yang mengalami enteritis. Virus tersebut antara lain coronavirus, rotavirus, astrovirus, herpesvirus, enterovirus, calicivirus dan parainfluenza. Sebagian virus tersebut juga
dapat mengaglutinasi sel darah merah. c. Enzim Linked immunosorbent Assay (ELISA) Elisa merupakan uji yang cepat dan sensitif untuk mendeteksi antigen CPV pada sampel feses anjing. Akhir-akhir ini telah dikembangkan antibodi monoclonal yang sangat spesifik terhadap CPV. Penggunaan antibodi monoklond menyebabkan uji ini sangat spesifik dan dapat dilihat secara visual. Banja et al. (2002), menggunakan Elisa untuk mendeteksi CPV saat terjadi wabah di Bhubaneswar pada 171 ekor anjing dengan gejala muntah dan diare. Korelasi dengan uji HA sebesar 2 95 % (Mildbrand et al. 1984). Elisa dapat membedakan konsentrasi Ig G dan Ig M.
Peningkatan
konsentrasi Ig M pada minggu pertarna infeksi CPV setelah itu diikuti peningkatan konsentrasi Ig G (Hoskins 1997). Sampai saat ini Elisa merupakan alat diagnostik yang penting untuk mendiagnosa CPV (Ok et al. 2000). d. Polymerase Chain Reaction (PCR) Teknik baru telah dikembangkan dalam mengamplifikasi DNA secara invitro yang dikenal dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) telah digunakan untuk diagnosa CPV, meskipun PCR sangat mahal, serta memerlukan ketrarnpilan khusus dalam pengoperasiannya, namun PCR terbukti sensitif, spesifik dan cepat untuk
Lebih lanjut teknik PCR mampu mendeteksi antigen yang telah dibalut antibodi maupun virus yang telah mati.
PCR dapat digunakan sebagai altematif dari uji
konvensional seperti isolasi virus pada biakan jaringan yang membutuhkan waktu lama. Deteksi antigen yang cepat dan spesifik pada sampel feses dapat dilakukan dalam sehari sehingga terjadinya infeksi CPV dapat dideteksi lebih awal. Penelitian Meerarani et al. (1996) menunjukkan bahwa PCR 72,9% antigen CPV dari 270 sampel feses sedangkan dengan uji HA, hanya 61,1% antigen CPV terdeteksi. Data tersebut menunjukkan bahwa PCR lebih sensitif dibandingkan dengan uji HA. 4. Pemeriksaan Patologi dan Histopatologi
Pemeriksaan patologi dan histopatologi merupakan penunjang bagi diagnosa CPV. Iierusakan yang ditimbulkan oleh CPV tergantung dari stadium dan daya tahan tubuh anjing tersebut. a. Patologi dan Histopatologi Tipe Miokarditis Perubahan makroskopik pada anak anjing yang mati mendadak tidak menunjukkan adanya kelainan jantung, tetapi ada oedema pada paru-pam (Robinson et
al. 1980). Perubahan mikroskopik, terlihat adanya miokarditis difusa non supuratif dengan infiltrasi limfosit, makrofag, sel plasma dan neutrofil. Pada sel miokardium terlihat badan inklusi yang bersifat basofilik (Robinson et al. 1980). b. Patologi dan Histopatologi Tipe Enteritis
Secara patologi dan histopatologi CPV enteritis memperlihatkan adanya lesi terutarna pada jaringan duodenum, jejunum, ileum dan limfonodus mesenterika (Miura et al. 1986).
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Virologi Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) di Bogor, Laboratorium Virologi Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) di Gunungsindur Bogor dan Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor selama 6 bulan mulai bulan Mei 2004 sarnpai dengan Oktober 2004. Materi Penelitian 1. Hewan Percobaan: Penelitian ini menggunakan enam ekor anak anjing lokal berumur 1 bulan berasal dari Desa Karya Mekar, Kecamatan Cariy Kabupaten Daerah Tingkat I1 Bogor dari ppulasi anjing yang bebas infeksi Canine Parvovirus (CPV) dengan riwayat belum pemah divaksinasi. Terlebih dahulu anak anjing tersebut diambil darahnya untuk mengetahui ada tidaknya antibodi terhadap CPV dengan menggunakan uji hambatan hemaglutinasi (HI). Anak anjing yang digunakan pada penelitian ini harus negatif antibodi CPV atau mempunyai titer antibodi <8 HI Unit (HIU), dalam kondisi sehat, dan bebas terhadap infeksi parasit cacing maupun penyakit kulit. Dua minggu sebelum perlakuan, anak anjing diberikan obat anti cacing yaitu drontal plus (Bayer) dengan dosis 1 tablet per 10 kg berat badan. Selama perlakuan anak anjing ditempatkan pada kandang yang terpisah (Gambar 1). 2. Isolat lokal CPV: Bahan yang akan diinokulasikan adalah isolat lokal yang telah diidentifikasi sebagai virus CPV dengan kode RIVS 57 yang diperoleh dari bagian Virologi, Balai Penelitian Veteriner (Balitvet), Bogor (Sendow dan Hamid 2004).
Isolat tersebut
berasal dari kerokan mukosa usus anjing yang terinfeksi CPV dengan gejala diare berdarah yang ditumbuhkan ke dalam biakan jaringan ginjal kucing (Feline Kidney FK) (Sendow dan Hamid 2004).
=
3. Sel Darah Merah Babi: Sel darah merah babi digunakan dalam uji HA dan HI. Sel darah merah babi diperoleh dari Rumah Potong Hewan (RPH) Kotamadya Bogor. Sel Darah merah babi dicampur dengan larutan Alsever's (Lampiran Pembuatan Media Nomor 1) dengan perbandingan 1 bagian sel darah merah babi dan
1 bagian larutan Alsewer's dan
disimpan dalam keadaan dingin. Sampai dilaboratorium sel darah merah babi tersebut di sentrifus (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 30) pada kecepatan 750xg selama 10 menit, kemudian cairan bagian atas sel darah merah dibuang selanjutnya ditambahkan larutan Alsever's dengan perbandingan 1 bagian sel darah merah babi dan 4 bagian larutan Alsever's. Cairan tersebut disimpan pada suhu 4OC sampai akan digunakan. Larutan stock sel darah merah dapat disimpan paling lama 3 minggu. Metoda Penelitian 1. Isolat Lokal CPV (RIVS 57) Isolat lokal CPV (RIVS 57) telah dipasase sebanyak 8 kali pada biakan jaringan ginjal kucing (Feline Kidney
=
FK) sebelum digunakan pada penelitian ini. Isolat
tersebut disimpan pada suhu -70' C, kemudian ditumbuhkan kembali pada biakan jaringan FK.
-
a. Propagasi Biakan Jaringan Ginjal Kucing (Feline Kidney = FK) Biakan jaringan FK yang telah membentuk sel selapis (monolayer) pada tissue culturefrask besar (75 cm2)(Lampiran Bahan dan Alat Nomor 42) dipropagasi dengan cara membuang media pada biakan jaringan FK. Umumnya biakan jaringan FK sudah membentuk sel selapis berumur 3 sampai 4 hari, kemudian di cuci dengan PBS steril (Lampiran Pembuatan Medium Nomor 16) sebanyak 2 kali sebelum ditambahkan 1'5 ml Tripsin Versen EDTA (ATV) (Lampiran Pembuatan Medium Nomor 21). Biakan jaringan FK diinkubasikan pada suhu 37°C (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 13) selama 3-5 menit sambil sesekali digoyang dan dilanjutkan dengan pipeting yaitu dengan menghisap dan menyemburkan secara hati-hati suspensi tersebut menggunakan pipet 5 ml steril (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 29) sehingga sel-selnya lepas. Sel-
sel yang lepas akan terlihat jelas dibawah mikroskop (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 23)' selanjutnya ditambahkan media penumbuh (GM) (Lampiran Pembuatan Media Nomor 1 1) sebanyak 10 ml dan dimasukkan kedalam tabung sentrihs 50 ml (Lampiran
Bahan dan Alat Nomor 36), disentrifis (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 31) dengan kecepatan 750xg selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pelet ditambahkan 40 ml media penumbuh (GM) ((Lampiran Pembuatan Media Nomor 11) dan dimasukkan kedalam 2 tissue culture flask besar (75 cm2) (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 42) masing-masing 20 ml, kemudian diinkubasikan pada suhu 37°C (Lampiran Bahan dan Alat No 13). Skema prosedur propagasi biakan jaringan FK dapat dilihat pada Bagan 2. b. Propagasi Isolat Lokal CPV (RIVS 57) Isolat lokal CPV (RIVS 57) diperbanyak dalam biakan jaringan FK yang ditumbuhkan pada tissue cultureflask kecil(25 cm2) (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 41). Media biakan jaringan FK yang telah membentuk 40% jaringan selapis, dibuang secara aseptis menggunakan pipet 5 ml steril (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 29), kemudian dengan menggunakan pipet single channel 1000 pl (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 33) ditambahkan 300 pl isolat yang telah mengalami bekucair sebanyak 3 kali dan diinkubasikan dalam inkubator pada suhu 37" C (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 13) selama 1 jam sebelum ditambahkan media pemelihara (MM) (Lampiran Pembuatan Media Nomor 10). Sel tersebut diamati selama 5 sampai 7 hari untuk melihat ada tidaknya CPE, apabila CPE mencapai 80-90%, maka sel dan cairan dipanen untuk kemudian dilakukan uji kandungan virus. Skema prosedur pr&pagasi isolat lokal CPV (RIVS 57) dapat dilihat pada Bagan 3. c. Uji Kandungan Virus Inokulum yang akan dititrasi dibekucairkan terlebih dahulu sebanyak 3 kali, kemudian disentrifus (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 30) dengan kecepatan 750xg selama 10 menit. Supernatan dikoleksi untuk selanjutnya diuji kandungan virusnya. Uji kandungan virus memgunakan lempeng mikrotiter 96 lubang steril dengan dasar datar ((Lampiran Bahan dan Alat Nomor 17). Supernatan diencerkan sepuluh kali secara serial dengan pengencer media pemelihara (MM) (Lampiran Pembuatan Media Nomor 10) dari
lo-' sampai lo-*pada botol MacCartney 5 ml steril (Lampiran Bahan
dan Alat Nomor 8) atau tabung 10 ml steril (Lampiran Bahan dan Alat Nomor . Dengan menggunakan pipet single channel 100 pl ((Lampiran Bahan dan Alat Nomor 32) sebanyak 50 pl per lubang dimasukkan dari masing-masing pengenceran sebanyak 4 lubang. Kontrol positif (virus 109 dan kontrol negatif (sel yang tidak diinokulasi)
dibuat sebagai pembanding dan disertakan pada lempeng mikrotiter yang sarna. Sebanyak 100 pl biakan jaringan FK dalam media penumbuh dengan konsentrasi sel 2x10' per ml dimasukkan pada masing-masing lubang dengan meggunakan pipet multichannel 50pl-300 pl (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 26), selanjutnya diinkubasikan pada inkubator 37OC yang mengandung 5% COz (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 14). Pengamatan akan terjadinya CPE dilakukan setiap hari selama 5 sampai 7 hari. Skema prosedur uji kandungan virus dapat dilihat pada Bagan 4. Hasil yang diperoleh dihitung dengan metoda Reed&Munch (1938) (Tabel 1). Tabel 1. Contoh Penghitungan Titrasi Kandungan Virus Metoda Reed & Munch Pengenceran Virus
CPE (positit)
Kumulatif yg terinfeksi (CPE +)
Kumulatif yg tdk terinfeksi (CPE -)
lo-] 10" 1u3 1o4 10"
515 415 2/5 1I5 0/5
12 7 3
0
1
8 13
perbandingany Presentasi Kumulatif Kumulatif
12/12 7/8 317 1I9 0113
1 4
0
Rumus TCIDso(Tissue Culture Infective Dose):
=
(Diatas 50% - Dibawah 50%)
00%
.
PD (Proportionate Distance) = Diatas 50% - 50%)
1ow
87,5% 43.0% 11.1%
87.5
- 50
87,5
- 43
=
37.5
=
0,86
433
2. Inokulasi Isolat Lokal CPV (RIVS 57): Enam ekor anak anjing lokal yang telah diuji tidak mengandung antibodi terhadap CPV, dan dinyatakan sehat diinokulasikan isolat lokal CPV
(RIVS 57) dengan dosis 1 0 TCIDsdml ~ ~ ~ (Tabel 2). Anak anjing tersebut telah berumur 2 bulan saat digunakan pada penelitian ini.
Tabel 2. Dosis Inokulasi Isolat Lokal CPV (RIVS 57)
4 5
Kode C D E F G
6
H
No. 1 2
3
Aplikasi Oral Oral Intra Vena Intra Vena Intra Vena Intra Vena
Titer 10'.VcID5d ml lo5,' TCID5dml lo5.' TCID5dml lo5.' TCID5dml lo5,' TCID5dml 1 05.' TCID5d ml
Keterangan: TCID: Tissue Culture It#ectious Dose
Dua ekor anak anjing diinokulasikan isolat lokal CPV (RIVS 57) secara oral sebanyak 50 ml per ekor (Gambar 2) dan empat ekor anak anjing diinokulasikan secara intrmena sebanyak 5 ml per ekor (Gambar 3). Pengamatan gejala klinis dilakukan
setiap hari selama 21 hari. Suhu dicatat setiap pagi hari sehari sebelum inokulasi sampai 21 hari setelah inokulasi. Selain gejala klinis, peubah lainnya seperti gambaran hematologi, hasil serologi dan ekskresi virus melalui feses juga diamati. 3. Pengarnbilan Sampel
a. Darah (dengan EDTA) Darah dianbil dari anak anjing melalui vena cephalica antibrachii atau vena saphena magna (Gambar 4). Sampel darah dimasukkan dalam tabung yang
mengandung ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA) (Lampirh Bahan dan Alat Nomor 44) diambil pada hari ke 0, 1, 3 dan 7. Pemeriksaan jumlah sel darah putih (leukosit) total dilakukan di laboratorium Sekar Mandapa Bogor dan diferensiasi sel leukosit diperiksa dengan preparat ulas darah yang difiksasi dengan methanol dan diwarnai dengan Giemsa-May Grumvald b. Serum Darah diambil pada hari ke-0 sampai hari ke-7, hari ke-10, hari ke-14, hari ke17 dan hari ke-2 1 pasca inokulasi dengan menggunakan syringe 3 ml (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 34). Darah disimpan pada suhu karnar sampai terbentuk serum, kemudian serum diperlakukan dengan kaolin 25% dan diabsorbsi dengan sel darah merah babi pekat untuk selanjutnya dilakukan uji HI. Metoda Perlakuan Serum adalah sebagai berikut: Serum diinaktivasi dalam penangas air (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 28) pada suhu 56°C selama 30 menit. Sebanyak 100 pl serum tersebut dimasukkan ke dalam tabung (Lampiran Bahan dan
Alat Nomor 37) dengan menggunakan pipet single channel lOOpl (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 32), kemudian dengan menggunakan pipet single channel lOOOpl (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 33), ditambahkan 300 pl kaolin 25% (Lampiran Pembuatan Media Nomor 8). Beberapa saat campuran tersebut dikocok dengan vortex mixer (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 45), kemudian didiamkan pada suhu kamar
selama 20 menit dan selanjutnya disentrifus (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 30) pada kecepatan 750xg selama 5 menit. Supernatan dikoleksi dan ditempatkan pada tabung (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 37) kemudian dengan pipet single channel 100 pl (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 32) ditambahkan 50 pl sel darah merah babi pekat (Lampiran Pembuatan Media Nomor 18). Campuran tersebut digoyang-goyang dengan tangan secara hati-hati agar sel darah merah babi tidak pecah dan disimpan pada suhu 4°C selama 1 jam, setelah itu disentrifus (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 30) pada kecepatan 750xg selama 5 menit. Supernatan diambil dan dimasukkan pada lubang lempeng mikrotiter 96 lubang dengan dasar V (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 18), selanjutnya disirnpan pada suhu -20°C sampai dilakukan uji HI. Skema proses perlakuan serum dapat dilihat pada Bagan 5. c. Feses Feses diambil dari rektum pada hari ke 0 sampai hari ke 10 dan dimasukkan ke dalam media transpor (Lampiran Pembuatan Media Nomor 12). Feses dalam media transpor disimpan pada suhu 4" C, kemudian ditumbuhkan ke dalam biakan jaringan ginjal kucing selama 5 sampai 7 hari dan dilanjutkan dengan uji hemaglutinasi (HA). 4. Uji Laboratoris a. Penghitungan Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit)Total Penghitungan jurnlah sel darah putih (leukosit) total dilakukan di Laboratorium Sekar Mandapa Bogor dengan menggunakan alat automatic hemutology (mesin CELLDYN 1400). Sampel darah dengan EDTA dibawa dalam keadaan dingin. b. Preparat Ulas Darah Untuk Diferensiasi Leukosit Pemeriksaan diferensiasi leukosit dengan menggunakan preparat ulas darah mengacu pada metoda Pratt 1985.
Preparat ulas darah dibuat pada gelas objek yang bersih dan kering dengan cam meneteskan setetes darah pada gelas objek pertama, kemudian dengan gelas objek kedua darah digesek dengan arah 45" C sehingga terbentuk ulasan darah yang tipis, dan selanjutnya dikeringkan dengan cara didiamkan beberapa saat pada suhu ruang. Preparat ulasan darah yang sudah kering difiksasi dengan cam merendam dalam methanol selama 10 menit yang dilanjutkan dengan larutan Giemsa 10 % (Lampiran Pembuatan Media Nomor 6) selama 30 menit. Preparat dicuci dengan mengalirkan air kran, kemudian dikeringkan kembali. Pengamatan dilakukan dengan melihat di bawah mikroskop (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 22) dengan terlebih dahulu meneteskan minyak emersi pada gelas objek. Pengamatan pada pembesaran 1000x. Setiap 100 sel leukosit yang ditemukan, dihitung dan dikelompokkan kedalam kelompok neutrofil, eosinofil, limfosit, monosit dan basofil. Hasil yang diperoleh merupakan presentase dari masing-masing jenis leukosit.
Jumlah sel leukosit absolut diperoleh dengan cam
presentase masing-masing jenis sel leukosit dikalikan dengan jumlah sel leukosit total. Mikroskop dibersihkan dengan xylol setelah selesai pengamatan. Skema prosedur preparat ulas darah dapat dilihat pada Bagan 6. c. Uji Hambatan Hemaglutinasi (HI) Penelitian ini menggunakan uji HI yang mengacu pada metoda Senda et al. (1986) dengan modifikasi. Prosedur uji HI adalah sebagai berikut : Sampel serum yang telah diabsorbsi dengan kaolin 25% dan sel darah merah babi pekat, diencerkan 2 kali pada lempeng mikrotiter dengan 96 lubang dasar V (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 18). Pada lubang pertama dengan menggunakan pipet single channel 100 pl (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 32) dimasukkan 25 pl serum. Pada semua lubang dimasukkan pengencer
Borate Buflered Saline Solution (BBSS) yang mengandung 0,5% Bovine Serum Albumin (BSA) (Lampiran Pembuatan Media Nomor 3) kemudian dilakukan pengenceran secara seri kelipatan dua, pada lubang terakhir dibuang 25 pl.
Antigen
CPV yang telah diencerkan hingga konsentrasi 4 HA Unit sebanyak 25 pl dirnasukkan pada semua lubang dengan menggunakan pipet multichannel 5 pl-50 pl (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 25). Campuran tersebut diinkubasikan pada suhu 37" C (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 13) selama 60 menit, kemudian dengan menggunakan pipet multichannel 5 p1-50 pl (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 25)
ditambahkan sel darah merah babi 0,5% (Lampiran Pembuatan Media Nomor 19) sebanyak 50 pl pada semua lubang dan selanjutnya diinkubasikan pada suhu 4' C semalam. Pembacaan hasil dilakukan keesokkan harinya.
Terbentuknya ag lut inasi
menunjukkan bahwa serum tersebut tidak mengandung antibodi terhadap CPV, sedangkan apabila tidak terjadi aglutinasi tetapi yang terjadi adalah pengendapan sel darah merah babi, maka serum tersebut mengandung antibodi terhadap CPV. Banyaknya antibodi dalam serum dinyatakan dalam titer yang dihitung sampai pengenceran keberapa terjadi pengendapan sel darah merah babi. Satuannya adalah HI unit
. Skema prosedur uji HI dapat dilihat pada Bagan 7.
d. Isolasi CPV dari feses pada biakan jaringan FK Isolasi dilakukan dengan membuat 10% suspensi feses dalam PBS steril dan kemudian dibeku-cairkan sebanyak 3 kali, lalu disentrihs (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 30) dengan kecepatan 1500xg selama 10 menit. Supernatan disaring dengan menggunakan milipore filter ukuran 45 pm (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 11) sebelum diinokulasikan pada biakan jaringan FK yang telah membentuk 40% jaringan selapis pada tissue cultureflask kecil (25 cm2) (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 41). Media yang digunakan adalah media pemelihara (MM) (Lampiran Pembuatan Media Nomor 10). Biakan jaringan tersebut diinkubasikan pada suhu 37'
(Lampiran Bahan
dan Alat Nomor 13) selarna 5 sampai 7 hari. Pengamatan dilakukan setiap hari dengan melihat ada tidaknya CPE dibawah mikroskop. Apabila CPE terbentuk maka suspensi tersebut mengandung isolat virus. Apabila CPE tidak terlihat maka perlu dilakukan pasase buta sebanyak 3 kali sebelum inokulum tersebut dinyatakan negatif virus. Skema prosedur isolasi CPV dapat dilihat pada Bagan 8. Biakan jaringan FK normal dan CPE dapat dilihat pada gambar 5 dan 6. e. Identifikasi lsolat Virus dengan Uji Hemaglutinasi (HA) Isolat yang diperoleh diperbanyak dalam biakan jaringan FK dibekucairkan sebanyak 3 kali, lalu disentrihs dengan kecepatan 1500xg (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 30) selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh digunakan dalam uji HA untuk mengetahui terbentuknya aglutinasi atau tidak. Uji HA yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada metoda Senda et al. (1986).
Prosedur uji HA adalah sebagai berikut : Isolat (antigen) diencerkan secara seri dengan kelipatan dua. Pada pengujian ini menggunakan lempeng mikrotiter 96 lubang dengan dasar V (Lampiran Bahan dan alat Nomor 18). Pada lubang pertama dengan menggunakan pipet single channel 100 pl (Lampiran Bahan dan Alat Nomor 32) dimasukkan 25 pl antigen. Pada semua lubang dimasukkan larutan Buffered Saline Solution (BBSS) yang mengandung 0,5% Bovine Serum Albumin (BSA) (Lampiran Pembuatan Media Nomor 3), kemudian dilakukan pengenceran dengan menggunakan pipet multichanel 5 pI- 50 pl (Lampiran Bahan dan alat Nomor 25), pada lubang terakhir dibuang 25 p1.
Sebanyak
50 pl sel darah merah babi 0,5% (Lampiran
Pembuatan Media Nomor 19) dengan menggunakan pipet multichanel 5 p1- 50 pl (Lampiran Bahan dan alat Nomor 25) dimasukkan ke dalam semua lubang kemudian diinkubasikan pada suhu 4' C semalam. Pembacaan hasil dilakukan keesokkan harinya. Terbentuknya aglutinasi menunjukkan bahwa isolat tersebut kemungkinan adalah CPV, sedangkan apabila tidak terjadi aglutinasi tetapi yang terjadi adalah pengendapan sel darah merah babi, maka isolat tersebut bukan CPV. Banyaknya virus dinyatakan dalam titer yang dihitung sampai pengenceran keberapa terjadi aglutinasi sel darah merah babi. Satuannya adalah HA unit. Konfirmasi CPV dilakukan dengan melakukan uji HI terhadap standar antisera CPV. Skema prosedur uji HA dapat dilihat -pada Bagan 9.
Peubah yang Diamati 1. Gejala klinis:
Gejala klinis yang diamati setelah inokulasi adalah suhu tubuh, lesu, muntah, anoreksia dan diare. Suhu tubuh yang diamati adalah perbedaan suhu yang terjadi setiap hari (A0 C = selisih " C). 2. Gambaran Hematologi
Gambaran hematologi yang diamati adalah gambaran jurnlah sel darah putih (leukosit) total dan hitung jenis leukosit atau diferensiasi leukosit (jumlah neutrofil, eosinofil, limfosit, monosit dan basofil). 3. Serologi: Serum anak anjing diperoleh diuji untuk mengetahui ada tidaknya antibodi terhadap CPV dengan menggunakan uji hambatan hemaglutinasi (HI).
4. Isolasi CPV dari feses:
a. Pengamatan fisik: Feses diarnati konsistensi dan wamanya. b. Pemeriksaan laboratoris: Isolasi CPV dari feses yang ditumbuhkan dalam biakan jaringan FK, kemudian diamati terbentuknya efek sitopatik (Cythopathic eflecr-CPE). Uji identifikasi dengan uji HA diamati terjadinya aglutinasi dengan sel darah merah babi, bila positif dilanjutkan dengan uji HI dengan menggunakan antiserum spesifik CPV. Analisis Data Penelitian Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa diskriptif kuantitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penggunaan anjing lokal dalam penelitian ini karena mudah didapat, murah dan relatif tenangoinak. Selain itu anjing lokal belum pernah diteliti dalam kaitannya dengan infeksi CPV. Umur anjing saat diinokulasikan isolat lokal CPV (RIVS 57) adalah 2 bulan karena predisposisi infeksi CPV adalah anjing-anjing yang berumur kurang dari 6 bulan (Houston et al. 1996; Hoskins 1997; Sajuthi 2001). Isolat lokal CPV (RIVS 57) dipakai dalam penelitian ini ditujukan untuk mengamati patogenesitas virus lokal pada dosis inokulasi lo5**TCIDSo/ml sesuai dengan dosis dalam penelitian Meunier et al. (1985). Jaringan ginjal kucing (Feline Kidney tissue = FK tissue) merupakan jaringan lestari yang paling sensitif untuk mengidentifikasi CPV karena dapat menimbulkan efek sitopatik (Cythopathic Eflect
=
CPE) (Joshi et al. 1998), yang tejadi pada 2-3 hari
setelah inokulasi. Perkembangan virus pada biakan jaringan tersebut ditandai dengan terbentuknya sel yang berbentuk bulat, pelepasan sel-sel dan adanya badan inklusi intrarluklear (Joshi et al. 1998).
Sendow dan Syafriati (2003) menegaskan bahwa
jaringan ginjal kucing merupakan jaringan yang paling sensitif untuk menjaring isolat yang berasal dari lapang .
s
Di Indonesia, sel darah merah babi dan monyet ekor panjang lazim digunakan untuk penelitian CPV (Sajuthi 2001).
Pada penelitian ini sel darah merah babi
digunakan untuk uji hemaglutinasi karena sel darah merah babi paling sensitif dalam menghasilkan titer yang tinggi.
Hasil 1. Pengamatan Gejala Kl inis
Pengamatan gejala klinis menunjukkan bahwa selaput lendir mata, hidung dan mulut berwarna merah muda. Lesu tejadi pada hari pertama pasca inokulasi dengan ditandai kurangnya nafsu makan dan kurang aktif bermain, selanjutnya pada hari kedua pasca inokulasi anjing terlihat aktif kembali. Pengamatan selanjutnya anjing tidak mengalami anoreksia, muntah dan diare (Tabel 3)
Tabel 3. Hasil Pengamatan Gejala Klinis No. 1 2 3 4 5 6
Kode C
D E F G
H
Mata N N N
N N N
Selaput Lendir Hidung Mulut N N N N N N
N N N
N N N
Lesu'
Anoreksia
Vomit
Diare
+ + + + + +
Keterangan: N :Normal; (+) :positf ;(-) : negatif ;* 24 jam pertama
Grafik I menunjukkan perbedaan suhu tubuh yang terjadi setelah dilakukan inokulasi. Sebelum inokulasi suhu tubuh hewan rata-rata 38,06" C. Pada aplikasi oral, peningkatan suhu dapat mencapai rata-rata 1,335 "C pada hari pertama pasca inokulasi, kemudian pada hari ke-2 terjadi penurunan sebesar 0,36 "C dan suhu terendah terjadi pada hari ke-3 menurun sebesar 1,705"C dari hari pertama. Peningkatan suhu tertinggi terjadi pada anjing kode C sebesar 1,42" C pada hari pertarna pasca inokulasi.
Grafik 1. Hasil Rerata Perbedaan Suhu Tubuh Pada aplikasi intravena, peningkatan suhu terjadi sebesar 0,8425 pada hari pertama pasca inokulasi, kemudian suhu terendah terjadi pada hari ke-2 menurun sebesar 1,735"C. Selanjutnya suhu tubuh berfluktuasi sampai hari ke 21. Peningkatan suhu tertinggi hari pertama pasca inokulasi terjadi pada anjing kode E sebesar 1,31" C.
2. Hematologi
Tabel 4 menggambarkan nilai hematologi terhadap total leukosit clan jumlah absolut diferensiasi leukosit pada hari ke-0 (kontrol) dan hari ke-I, 3 dan 7 pasca inokulasi. Tabel 4. Hasil Hematologi HARl
KODE
3
1
0 Lcukosit
7
(/PI)
C
D
T:
Rata-rata E F G
H
x Rata-mta
15500 14600 30100 15050 14700 10100 13600 7200 45600 11400
11000 12700 23700 1 1850 13600 10900 6700 12800 44000 11000
775 438 1213 606,s 588 404 272 144 1408 352
220 254 474 237 680 327 201 384 1592 398 (IN) 7700 9144 16844 8422 8024 6976 4623 9728 29351 7337,75 (/PI) 2420 2794 5214 2607 4080 3270 1675 2304 11329 2832,25
Eosinofil
14500 13500 28000 14000 12900 13500 9500 11000 46900 1 1725
11500 17500 29000 14500 11500 14100 loo00 13500 49100 12275
290 540 830 415 258 540 285 220 1303 325,75
230 700 930 465 575 282 400 270 1527 381,75
(/PI) C
D
x
Rata-rata E F G H
T: Rata-rata
Neu trofil C
D
x
Rata-rata E F G
H
T:
Rata-rata
9300 10366 1 %66 9833 91 14 6363 9520 5400 30397 7599,25
Limfosit
C
D
x
Rata-rata E F G
H
x Rata-rata
4650 3358 8008 4004 4263 2828 3536 1440 12067 3016,75
-
10295 9585 19880 9940 9030 7%5 5890 7700 30585 7646,25
7475 10500 17975 8987,5 6900 9165 6300 8775 31140 7785
3625 2700 6325 3162,s 3225 4455 2850 2750 13280 3320
3450 5250 8700 4350 3450 4230 2800 4050 14530 3632,5
Monosit
(/PI)
C D
7, Rata-rata E F G H
7
Rata-rata
775 438 1213 606,s 735 505 272 216 1728 432
660 508 1168 584 816 327 20 1 384 1728 432
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Basofil
290 675 %5 482,5 387 540 475 330 1732 433
345 1050 1395 697,s 575 423 500 405 1903 475,75
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
(/PI)
C D
Y, Rata-rata E F G H
x
Rata-rata
Keterangan:C-D=aplikasi oral; E-H=aplikasi i n b a w e ~
Penjelasan tabel 4 diberikan ke dalam bentuk grafik 2 sampai dengan grafik 6. Grafik 2 menunjukkan jumlah sel leukosit . Pada aplikasi oral terjadi penurunan jumlah sel leukosit total pada hari pertama pasca inokulasi sebesar 21,26% (15050 menjadi 11850), kemudian jumlah sel leukosit total meningkat pada hari ke-3 (14000) sampai hari ke-7 (14500).
Pada aplikasi intravena terjadi penurunan jumlah sel
leukosit total pada hari pertama pasca inokulasi sebesar 3,s 1% (1 1400 menjadi 11000), kemudian jumlah sel leukosit meningkat pada hari ke-3 (1 1725) sampai hari ke-7 (12275).
Grafik 2. Rerata Jumlah Leukosit Grafik 3 menunjukkan
Grafik 3. Rerata Jumlah Eosinofil
jumlah sel eosinofil. Pada aplikasi oral tejadi
penurunan jumlah sel eosinofil pada hari pertama pasca inokulasi sebesar 60,92% (606,5 menjadi 237), kemudian jumlah sel eosinofil meningkat kembali pada hari ke-3 (415) sampai hari ke-7 (465). Pada aplikasi intravena jumlah sel eosinofil cenderung meningkat pada hari pertama pasca inokulasi sebesar 13,07% (352 menjadi 398), kemudian jurnlah sel eosinofil menurun pada hari ke-3 (325,75) dan meningkat kembali pada hari ke-7 (381,75). Pada aplikasi intravena tidak terdapat perubahan signifikan terhadapjumlah sel eosinofil. Grafik 4 menunjukkan jumlah neutrofil. Pada aplikasi oral tejadi penurunan jumlah sel neutrofil pada hari pertama pasca inokulasi sebesar 14,35% (9833 menjadi 8422), kemudian jumlah sel neutrofil meningkat pada hari ke-3 (9940) dan menurun pada
hari ke-7 (8987,5). Pada aplikasi intravena tejadi peningkatan jumlah sel
neutrofil pada hari pertama pasca inokulasi sebesar 3,44% (7599,25 menjadi 7337,75) kemudian menurun pada hari ke-3 (7646,25) sampai hari ke-7 (7785). Jumlah sel neutrofil hanya berubah dinamis pada aplikasi oral selama pengamatan.
1000 -1
5000
0
3
1
7
1
0
l
Grafik 4. Rerata Jumlah Neutrofil
3
7
Hari ke --*--&A-
&rike
- -*- - aid w
1
Grafik 5. Rerata Jumlah Limfosit
Grafik 5 menunjukkan jumlah sel limfosit. Pada aplikasi oral terjadi penurunan jumlah sel limfosit pada hari pertama pasca inokulasi sebesar 34,89% (4004 menjadi 2607), kemudian jumlah sel limfosit meningkat kembali pada hari ke-3 (3162,s) sampai hari ke-7 (4350). Pada aplikasi infravena terjadi penurunan jumlah sel limfosit pada hari pertama pasca inokulasi sebesar 6,12% (30 16,75 menjadi 2832,25) kemudian meningkat pada hari ke-3 (3320) sampai hari ke-7 (3632,s). Pada aplikasi oral terlihat jumlah sel limfosit menurun drastis pada hari pertama clan kembali pada posisi semula pada hari ke-7 sedangkan pada aplikasi infruvena relatif stabil. Grafik 6 menunjukkan jumlah sel monosit. Pada aplikasi oral terjadi penurunan jumlah sel monosit pada hari pertama pasca inokulasi sebesar 3,71% (606,s menjadi 584), kemudian jumlah sel monosit terus menurun sampai hari ke-3 (482,s) dan meningkat kembali pada hari ke-7 (697,s). Pada aplikasi infruvena jumlah sel monosit tetap pada hari pertama pasca inokulasi (432) kemudian sedikit meningkat pada hari ke-3 (433) sarnpai hari ke-7 (475,75).
7
0 GMT
E F G
Tabel 6. Hasil Pengamatan Feses No.
Kode
Laboratonurn
Fisik Konsistensi Warna
CPE (1)
1 2 3 4 5 6
C D E F G H
Berbentuk Berbentuk Berbentuk Berbentuk Berbentuk Berbentuk
Coklat tua Coklat tua Coklat tua Coklat tua Coklat tua Coklat tua
-
(2)
(3)
(1)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
HA (2)
-
(3)
-
-
-
-
-
Keterangan: CPE: Cythopufhic Eflecf; HA: Hemaglutinasi; (-): negatif
Pembahasan Uji hemaglutinasi dan uji hambatan hemaglutinasi bersifat sensitif, mudah dikerjakan, cepat dan biayanya tidak mahal (Mathys et al. 1983; Dubovi 1997). Untuk CPV sensitifitasnya telah teruji (Studdert et al. 1983; Deepa dan Saseendranath 2002; Heerden et al. 2002). Isolasi CPV dari feses dilakukan dengan menumbuhkan pada jaringan FK dan untuk mengidentifikasi adanya CPV murni kemudian diuji hemaglutinasi. Untuk perbanyakan virus isolat dilakukan dengan menginokulasikan kembali isolat tersebut pada biakan FK (Sendow dan Syafiiati 2003), sehingga titer isolat yang diperoleh ~' Dalam studi pendahuluan telah dilakukan inokulasi isolat menjadi 1 0 ~ TCIDdml. lokal CPV (RIVS 57) dengan dosis lo3,' TCID5dmlpada dua ekor anjing lokal berumur 2 bulan tanpa membuahkan hasillperubahan parameter yang diamati seperti dalam penelitian ini. Fiscus et al. (1985) menyatakan titer protektif terhadap CPV adalah 2 80. Dengan demikian dosis lo5.' TCIDdml dipergunakan dalam penelitian hi. Pengamatan gejala klinis hari pertama pasca inokulasi pada aplikasi oral terlihat adanya gejala klinis berupa lesu dan peningkatan suhu tubuh sebesar 1,335OC. Pada aplikasi intravena menunjukkan bahwa pada hari pertama pengamatan gejala klinis menunjukkan pola yang serupa dengan aplikasi oral. Perubahan ini dapat sebagai indikator adanya respon tubuh awal dari masuknya antigen ke dalam tubuh. Dari perubahan jumlah leukosit (penurunan sebesar 21,26%) dan jumlah absolut sel-sel diferensiasinya (penunman neutrofil sebesar 14,35% dan limfosit sebesar 34,89% serta eosinofil sebesar 60,92%) seperti ditampilkan dalam grafik 2 sampai dengan 6 tampak jelas bahwa pada 24 jam pertama pasca inokulasi aplikasi oral CPV
SIMPULAN
Isolat lokal Canine Parvovirus (RIVS 57) pada dosis lo5*' TCID5o Iml yang diaplikasikan secara oral rnenunjukkan peningkatan suhu tubuh dan penurunan jurnlah leukosit disertai penurunan jumlah absolut sel limfosit clan neutrofil lebih nyata dibandingkan dengan intravena dan telah rnemunculkan titer antibodi pada 24 jam pertama. Kemunculan antibodi pada aplikasi oral lebih responsif namun dengan titer rendah sebelum hari ke-3 dan rnulai protektif pada hari ke-4 dengan puncaknya pada hari ke-10 (GMT
=
8192 HIU) dibanding aplikasi intravena dengan titer tinggi pada
hari ke-3 dan protektif hari ke-5. Puncak titer antibodi pada aplikasi oral lebih tinggi dibanding pada aplikasi intravena. Virus parvo anjing baik pada aplikasi oral maupun intravena tidak berhasil diisolasi dari feses dengan menggunakan jaringan FK dan uji HA selama penelitian berlangsung. Secara patogenesis infeksi CPV diawali oral, reaksi pertahanan nonspesifik berlangsung dalam 24 jam pertama dan dalam waktu yang relatif sama menimbulkan kekebalan dengan puncak hari ke-10 pasca infeksi.
s
DAF'TAR PUSTAKA Appel MJG, FW Scott, LE Carmichael. 1979. Isolation and Immunisation Studies of a Canine Parvo-like Virus from Dogs with Haemorrhagic Enteritis. Veterinary Record 105:156-159. Appel MJG, P Meunier, R Pollock, H Greisen, LE Carmichael. 1980. Canine Viral Enteritis. A Report to Practisioners. Canine Practice 7:22-34. Afshar A. 1981. Canine Parvovirus-in Review. Veterinary Bulletin 5 1(8):605-6 12. Banja BK, N saheo, HK Panda, SK Ray, PK Das. 2002. Epuootiological Status of Canine Viral Haemorrhagic Gastro-enteritis in Bhubaneswar City. Indian Veterinary Journal 79(8):850-85 1. Bhut MN,R Manickam, L Gunaseelan, N Paneerselvam. 1998. Detection of Parvoviral Antigen in Wild Canines. Indian VeterinaryJournal 75(2): 104-105. Bittle JL. 1981. Feline Panleukopenia. Di dalam : infectious Disease of Wild Mammals. Seconf Edition. Edited by John W Davis, Larsh H Karstad, Daniel 0 Trainer. The Iowa State University Press. USA. 97- 101. Bolton JR and DA Pass. 1988. The Alimentary Tract. Di dalam : WF Robinson and CRR Hoxable, editor. Clinicopathologic Princi Ples for Veterinary Medicine. Cambridge University Press. USA. 163-193 s
Carman PS and RC Povey. 1985. Pathogenesis of Canine Parvovirus-2 in Dogs: Haematology, Serology and Virus Recovery. Research of Veterinary Science 38: 134-140. Carmichael LE, JC Joubert, RVH Pollock. 1980. Hemagglutination by Canine Parvovirus: Serologic Studies and Diagnostic Applications. American Journal Veterinary Research 4 1(5):784-79 1. Cavalli A, G Bozzo, N Decaro, A Tinelli, A Aliberti, D Buonavoglia. 2001. Characterization of a Canine Parvovirus Strain Isolated from an Adult Dog. Micmbiologica 24(3):239-242. Decaro N, G Elia, V Martella, C Desario, M Campolo, LD Trani, E Tarsita, M Tempests, C Buonavoglia. 2005. A Real-time PCR Assay for Rapid Detection and Quantitation of Canine Parvovirus Type 2 in The Feces of Dogs. Veterinary Microbilogy 105(1):19-28. Deepa PM and MR Saseendranath. 2000. Serological Studies on Canine Parvoviral Infection. Indian VeterinaryJournal 77(11):927-928.
Deepa PM and MR Saseendranath. 2002. Incidence of Canine Parvoviral Infection in Immunized Dogs. Indian VeterinaryJournal 79(7):643-644 Dubovi EJ. 1997. Canine Parvovirus Serology. Companion Animal Health Bulletin. Intervet. I(1). Erbeck DH. 1981. Parvovirus: A Few Observation from Practitioner. Veterinary Medicine. 1755-1758. Eugster AK, RA Bandele, LP Jones. 1978. Parvovirus Infection in Dog. Journal of American Veterinary Medical Association 173:1340-1341. Eugster AK. 1980. Studies on Canine Parvovirus Infections: Development of an Inavtivated Vaccine. American Journal VeterinaryResearch 4 1 :2020-2024. Evermann JF. 1981. Origin of Canine Parvovirus. Veterinary Medical Association 178(4):340.
Journal of The American
Finlaison DS. 1995. Faecal Viruses of Dogs-an Electron Microscope Study. Veterinary Microbilogy 46:295-305. Fiscus SA, MM Mildbrand, JC Gordon, YA Teramoto, S Winston. 1985. Rapid Enzymlinked Immunonosorbent Assay for Detecting Antibodies to Canine Parvovirus. American Journal Veterinary Research 46(4):859-858. Garnoh K, Y Shimazaki, H Makie, 0 Itoh, Y Inoue. 2003. The Pathogenicity of Canine Parvovirus Type-2b, FP 84 Strain Isolated from a Domestie Cat, in Domestic Cats. Journal Veterinary Medical Science 65(9): 1027-1029. Glickman LT, LM Domanski, GJ Patronek, F Visintainer. 1985. Breed-related Risk Factors for Canine Parvovirus Enteritis. J o u d of the American Veterinary Medical Association 187(6):589-594. Gordon JC and ET Angrick. 1986. Canine Parvovirus Environmental Effects on Infectivity. American Journal VeterinaryScience 47(7): 1464-1467. Heerden J van, J Bingham, M van Vuuren, REJ burroughs, E Stylianides. 2002. Clinical and Serological Response of Wild Dogs (Lycaonpictus) to Vaccination Against Canine Distemper, Canine Parvovirus Infection and Rabies. Journal of the South Afiican VeterinaryAssociation 73(1):8- 12. Hirasawa T, T Koneshige, K Mikazuki. 1994. Sensitive Detection of Canine Parvovirus DNA by the Nested Polymerase Chain Reaction. Veterinary Microbiology 41:135-145. Hoskins JD. 1995. Canine Parvovirus: The Evolving Syndrome. Infectious Disease Bulletin. Intervet Inc. 1- 8.
Hoskins JD. 1997. Update on Canine Parvoviral Enteritis. Veterinary Medicine 694-709. Houston DM, CS Ribble, LL Head. 1996. Risk Factors Associated with Parvovirus Enteritis in Dogs: 283 Cases (1982-1991). Journal of The American Veterinary Medical Association 208(4):542-546. Joshi DV, SP Singh, VDP Rao, BJ Patel. 1998. Isolation of Canine Parvovirus from Clinical Cases of Gastroenteritis. Indian VeterinaryJournal 75(6):498-500. Jusa ER, G Mudiarto, MAR Noer, SB Siregar, M Partadiredja. 1991. Isolation and Typing of Canine Parvovirus from Dogs Fecal in some Area in Indonesia. Hemerazoa 7454-59. Kerr JR. 2000. The Parvoviridae: an Emerging Virus Family. Infectious Disease Review 2(3):99-109. Leib MS. 1995. Clinical Approach to Canine Acute Diarrhea. Didalam : Infectious Gastroenteritis Symposium at The North America Veterinary Conference. Orlando Florida. Intervet. 5-10. Macartney L, AP McCandlish, H Thompson, HJC Cornwell. 1984. Canine Parvovirus Enteritis 1: Clinical, Haematological and Pathological Features of Experimental Infection. Veterinary Record 115(3):20 1-2 10. Mathys A, R Mueller, NC Pedersen, GH Theilen. 1983. Comparison of Hemegglutination and Competitive Enzyme-linked Immunosorbent Assay Procedures for Detecting Canine Parvovirus in Feces. American Journal VeterinaryResearch 44(1): 152- 154. McCandlish IAP, H. Thomson, HJC Cornwell, H. Laird, BNG Wright 1979. Isolation of a Parvovirus from Dogs in Britain. Veterinary Record 105: 167-168. McCandlish IAP, H Thompson, EW Fisher, HJC Cornwell, J Macartney, IA Walton. 1981. Canine Parvovirus Infection. In Practice 5-14. Meerarani S, P Ramadass, CR Subhashini, K Nachimuthu. 1996. Polymerase Chain Reaction Assay for Early Detection of Canine Parvovirus. Indian Veterinary Journal 73(10):1013-1016. Meunier PC, BJ Cooper, h4JG Appel, DO Slauson. 1985. Pathogenesis of Canine Parvovirus Enteritis: The Importance of Viremia. Veterinary Pathology 22: 60-7 1.
Mildbrand MM, YA Teramoto, JK Collins, A Mathys, S Winston. 1984. Rapid Detection of Canine Parvovirus in Feces Using Monoclonal Antibodies and Enzyme-linked Immunosorbent Assay. American Journal Veterinary Research 45(11):2281-2284.
Miura K, M Tsuchita, I Narama. 1986. Histopathological Characteristics as Diagnostics Indicators in Canine Parvoviral Enteritis. Japanese Journal of Veterinary Science 48(4):797-800. Mochizuki M, S Hida, S Hsuan, H Sato. 1984. Fecal Examinations for Diagnosis of Canine Parvovirus Infection. Japanese Journal of Veterinary Science 46(4): 587-592. Mochizuki M dan T Hashimoto. 1986. Growth of Feline Panleukopenia Virus and Canine Parvovirus in vitro. Japanese Journal of Veterinary Science 48 (4): 84 1-844. Mochizuki M, MC San Gabriel, H Nakatani, M Yashida. 1993. Comparison of Polymerase Chain Reaction with Virus Isolation and Haemagglutination Assays for the Detection of Canine Parvovirus in Faecal Specimen. Research in Veterinary Science 55:60-63. Nakamura K, M Sakamoto, Y Ikeda, E Sato, K kawakami, T Miyazawa, Y Tahya, E Takahashi, T Mikami, M Machizuki. 2001. Pathogenic Potential of Canine Parvovirus Types 2a and 2c in Domestic Cats. Clinical and Diagnostic Laboratory 8(1):663-668. Nara PL, K Winters, JB Rice, KG Olsen, S Krakowkas. 1983. Systemic and Local Intestinal Antibodi Response in Dogs Given Both Infective and Inactivated Canine Parvovirus. American Journal Veterinary Research 44:1989-1995. Nelson DT, SL Eustis, JP MC Adaragh, I Stotz. 1979. Lesions of Spontaneous Canine Viral Enteritis. Veterinary Pathologi 16:680-686. Ok M, Sen I, FM Birdane, H Guzelbektat, K Turgut. 2000. Diagnostic Importance of Elisa and Haemagglutination Inhibition Tests in Canine Parvoviral Infection of Dogs. Indian Veterinary Journal 77(6):465-467. Parrish CR, LE Connichael, DF Antczack 1982. Antigenic Realtionships Between Canine Parvovirus Type 2, Felline Panleucopenia Virus and Mink Enteritis Using Conventional Antisera and Monoclonal Antibodies. Archives of Virology 72:267-268. Parrish CR, WJ Foreyt, IF Evennann, M Senda, LE Carrnichael. 1988. The Global Spread and Replacement of Canine Parvovirus Strains. Journal of General Virology69:llll-1116. Parrish CR, CF Aquadro, ML Strassheirn, IF Evennam, JY Sgro, HO Mohammed. 1991. Rapid Antigenic Type Replacement and DNA Sequence Evolution of Canine Parvovirus. Journal of Virology 65(12):6544-6552.
Pereira CAD, TA Monezi, DU Mehnert, M D Angelo, EL Durigon. 2000. Molecular Characterization of Canine Parnovirus in Brazil by Polymerase Chain Reaction Assay. Veterinary Microbiology 75(2): 127-133. Publiscations, Inc. Santa Barbara. USA. 132. Pratt 1985. Laboratory Procedures for Animal Health Technicians. Ed. 1. American Vet Publiscations, Inc. Santa Barbara. USA. 14-132. Reed W dan Muench H. 1938. A Simple Method of Estimating Fifty percent Endpoints. American Journal Hyg 27:493 -542. Robinson WF, CR Huxtable, DA Pass. 1980. Canine Parvoviral Myocarditis: A Morphological Description of the natural Disease. Veterinary Pathology 17:282-293.
Russel PH and N Edington. 1985. Veterinary Viruses. The Burlinton Press.London. 213-293.
Sajuthi CK. 2001. Diagnosa dan pengobatan Infeksi Virus Parno pada Anjing. Di dalam : Dunia Veteriner Indonesia. Edisi 4. PDHI. Jakarta. 16- 17. Savic-Jevdenic S, T Petrovic, Z Grgic, S Lazic, D Trailovic. 2001. Comparison of Haemagglutination, Immunoflourescence and Immunochromatographic Tests in Diagnosis of Canine Parnovirus. Veterinarski Glasnik 55(5/6):25 1-257. Schultz RD. 1995. Emerging Issues: Vaccination Strategies for Canine Viral Enteritis. Di dalam : Infectious Gastroenteritis Symposium at T h e North American Veterinary Conference. Orlando Florida. Intervet. 19-24. Schunck B, W Kraft, U Truyen. 1995. A Simple Touch-down Polymerase Chain Reaction for The Detection of Canine Parvovirus and Feline Panlekopenia Virus in Feces. Journal of Virological Methods 55:427-433. Senda M, N Hirayama, H Yamamoto, K Kurata. 1986 An Improved Haemagglutination Test for Study of Canine Parnovirus. VeterinaryMicrobiology 12: 1-6. Senda M, N Hirayarna, 0 Itoh, H Yamamoto. 1988. Canine Parvovirus Strain Difference in Haemagglutination Activity and Antigenicity. Journal of General Virology 69:344-3 54. Senda M, CR Parrish, R Harasawa, K Gamoh, M Muramatsu, N Hirayama, 0 Itoh. 1995. Detection by PCR of Wild-type Canine Parvovirus which Contaminates Dog Vaccines. Journal of Clinical Microbiology 33(1): 110-1 13. Sendow I. 2003. Canine Parnovirus Pada Anjing. Wartazoa 13(2):56-63.
Sendow I dan H Hamid. 2004. Isolasi Virus Penyebab Canine Parvovirus dan Perubahan Patologik Infeksi pada Anjing. Jurnal Ilmu Ternak dun Veteriner 9(1): 46-54. Sendow I dan T Syafriati. 2003. Isolasi Canine Parvovirus Pada Anjing. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 474-476. Sendow I dan T Syafriati. 2004. Seroepidemiologi Infeksi Canine Parvovirus pada Anjing. Jurnal Ilmu Ternak dun Veteriner. Inpress. Studdert MJ, C Oda, CA Riegl, RP Roston. 1983. Aspects of the Diagnosis, Phathogenesis and Epidemiology of Canine Parvovirus. Australian Veterinary Journal 60(7): 197-200. Stann SE, RF DiGiacome, WE Giddens, JF Evermann. 1984. Clinical and Pathologic Features of Parvoviral Diarrhea in Pound-source Dogs. Journal of The American Veterinary Medical Association 185(6): 65 1-655. Tams TR. 1995. Management of The Canine Viral Enteritis Patient. Di dalam : Infectious Gastroenteritis Symposium at The North American Veterinary Conference. Orlando Florida. Intervet. 11-18. Tizard IR. 1992. Veterinary Immunologi An Introduction. Sauders Company. USA.
Fourth Edition. W. B.
Tilley LP, FWK Smith, AC Mac Murray. 1997. The 5 Minutes Veterinary Consult. Canine and Feline. A Lea and Febiger Book. William and Wilkins. USA. 910-911. Truyen U. 2000. Canine Parvovirus. Di dalam: Recent Advances in Canine Infectious Diseases. LE Carmichael (Ed.). International Veterinary Information Service. httr>://www.ivis.org. William FP. 1980. Astrovirus-like, Coronavirus-like, and Parvovirus-like Particles Detected in the Diarrheal Stools of Beagle Pups. Archives of Virology 66:215-226.
Sendow I dan H Hamid. 2004. Isolasi Virus Penyebab Canine Parvovirus dan Perubahan Patologik Infeksi pada Anjing. Jumal nmu Ternak dan Veteriner 9(1): 46-54. Sendow I dan T Syafriati. 2003. Isolasi Canine Parvovirus Pada Anjing. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 474-476. Sendow I dan T Syafriati. 2004. Seroepidemiologi Infeksi Canine Parvovirus pada Anjing. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner.Inpress. Studdert MJ, C Oda, CA Riegl, RP Roston. 1983. Aspects of the Diagnosis, Phathogenesis and Epidemiology of Canine Parvovirus. Australian Veterinary Journal 60(7): 197-200. Stann SE, RF DiGiacome, WE Giddens, JF Evermann. 1984. Clinical and Pathologic Features of Parvoviral Diarrhea in Pound-source Dogs. Journal of The American VeterinaryMedical Association 185(6): 651-655. Tams TR. 1995. Management of The Canine Viral Enteritis Patient. Di dalam : Infectious Gastroenteritis Symposium at The North American Veterinary Conference. Orlando Florida. Intervet. 11 - 18. Tizard IR. 1992. Veterinary Immunologi An Introduction. Fourth Edition. W. B. Sauders Company. USA. Tilley LP, FWK Smith, AC Mac Murray. 1997. The 5 Minutes Veterinary Consult. Canine and Feline. A Lea and Febiger Book. William and Wilkins. USA. 910-91 1. Truyen U. 2000. Canine Parvovirus. Di dalam: Recent Advances in Canine Infectious Diseases. LE Carmichael (Ed.). International Veterinary Information Service. http://www.ivis.org. William FP. 1980. Astrovirus-like, Coronavirus-like, and Parvovirus-like Particles Detected in the Diarrheal Stools of Beagle Pups. Archives of Virology 66:2 15-226.
LAMPIRAN 1. Bahan dan Alat 1. Alat perendam giemsa 2. Alat perendam methanol 3. Alat pengukur pH (Methrohrn, 713 pH meter, Swiss) 4. Alat steril kering 300" C (Sakura, Tokyo, Japan). 5. Alkohol70% 6. Autoclave 115" C (Hirayama, Japan, 12,s psi) 7. Autoclave 121" C (Hirayama, Japan, 14,s psi) 8. Botol Maccartney 5 ml 9. Botol media 10. Filter 0, 22 pm (Nunc, USA) 11. Filter O,45pm (Nunc, USA) 12. Gelas Objek 13. Inkubator 370 C 14. Inkubator 370 C dengan 5% C@ (Sanyo Mco-17 aic, Japan) 15. Kapas 16. Laminar Air Flow I reservoir steril (Gelman Science Australia, Model BH143, Serial No 6283 184) 17. Lempeng mikrotiter dengan 96 lubang dengan dasar datar / Microplate 96 well t i p Flat (Nunc, USA) 18. Lempeng mikrotiter dengan 96 lubang dengan dasar V / Microplate 96 well tipeV (Nunc, USA) 19. Magnetic stirrer 20. Mesin deionisasi I Deionized machine (Milli-Q gradient) 2 1. Mesin Pengering (Linder&May) 22. Mikroskop (Olympus Bx 50, Japan) 23. Mikroskop Inverted (Olympus, IM, Japan) 24. Mikroskop Inverted (Olympus, IMT-2, Japan) 25. Multichannelpipette 5 pl-50 pl (Labsystems) 26. Multichannel piperre 50 pl-300 p l (Labsystems) 27. Oven (Memmert) 28. Penangas air I water bath (Memmert) 29. Pipet 5 ml (Iwaki Pyrex, Japan) 30. Sentrihs dingin (Beckman, Model TJ-6 centrihs) 3 1. Sentrih s (IEC) 32. Single channel pipette 100 p1 (Labsystems) 33. Single channel pipette 1000 p1 (labsystems) 34. Syringe 3 ml (Terumo) dengan jarum 24G 1TW (B-D Precision ~ l i d e ~ ~ ) 35. Stirer 36. Tabung sentrihs 50 ml(1waki Pyrex, Japan) 37. Tabung pengenceran kapasitas 10 ml(1waki Pyrex, Japan) 38. Timbangan (Ohaus corporation, SN B2730 11259, USA) 39. Tips 50-250 p1 steril 40. Tips 1000 pl steril s
4 1. Tissue culture flask 25 cm2(Nunc, Denmark) 42. Tissue culturejlask 75 cm2(Nunck, Denmark) 43. Rak tabung 44. Vacutainer K.3 EDTA 3 ml (Becton Dickinson Vacutainer Systems 1124401 Frankin Lakes NJ 074 17-1885) 45. Vortex Mixer (Type: Reax 2000, No54 1-19000.00, A(220V 50Hz 42W, 200-2400 llmin, Serial No 6955 1248 2. Pembuatan Medium:
1. Alsever's Pembuatan Alsever's dengan cam menimbang C6HI2o6 (Merck Art. 8342) 20,5 gr, C6H~Na307.2H20(Merck Art. 6448) 8 gr, C6H8072H20 (Merck Art. 244) 0,55 gr dan NaCl (Merck Art. 6404) 4,20 gr, kemudian ditambahkan dH20 1000 ml. Stirer sampai larut, kemudian cek pH 6,l. Autoclave pada suhu 115°C dengan tekanan 12,5 psi selama 15 menit. Alsever's disimpan pada suhu 4°C. 2. BBSS (Borate Buffered Saline Solution) Pembuatan BBSS dengan cara menimbang NaCl (Merck Art. 6404) 7,O gr, H3B03 (Merck Art. 165) 3,l gr dan NaOH (BDH Prod.10252) 0,96 gr, kemudian ditambahkan dH20 sebanyak 1000 ml. Stirer sampai larut kemudian, cek pH 9,O. BBSS disimpan pada suhu 4" C. 3. BBSS + BSA 0,5% 100 ml Pembuatan BBSS + BSA 0,5% dengan cara mencampur BBSS 100 ml dengan BSA 0,5% 5 ml. Campur hingga merata. BBSS + BSA 0,5% disimpan pada suhu 4" C. 4. Bovine Serum Albumin (BSA) 0,5% Pembuatan BSA (Gibco-Cat. No. 810-1018IL) 0,5% dengan cara menimbang BSA sebanyak 0,5 gr, kemudian ditambahkan PBS A 100 ml. Stirer sampai larut, kemudian cek pH 6,8. BSA 0,5% disimpan pada suhu 4" C. 5. DMEM (Dulbecco's Modified Eagle MediumXGibcdSat. No. 12100-061) Pembuatan DMEM dengan cam menimhang DMEM sebanyak 13,37 gr, kemudian ditambahkan dH20 sebanyak 1000 ml. Stirer sampai larut kemudian diautoclave pada suhu 121°C dengan tekanan 14 psi selama 15 menit. DMEM disimpan pada suhu 4" C. 6. Giemsa 10% Pembuatan Giemsa 10% dengan cara mencampur Giemsa (Merck Art. 9204) sehanyak 10 ml dan aquadest 90 ml. Campur hingga merata. Giemsa 10% disimpan pada suhu ruang.
7. 1 MHepes Pembuatan 1 M Hepes dengan cara menimbang Hepes (Gibco-Cat. ml.Stirer 11344-033) 238,5 gr, kemudian ditambahkan dHzO 1000 sampai larut, kemudian diautoclave pada suhu 121°C dengan tekanan 14 psi selama 15 menit dan disaring dengan filter 0,22 vm. Hepes disimpan pada suhu 4°C. 8. Kaolin 25% Pembuatan Kaolin 25% dengan cam menimbang bubuk kaolin (BDH Prod. 33060) sebanyak 50 gr, kemudian ditambahkan BBSS sebanyak 200 ml. Stirer sampai larut kemudian cek pH 9,O. Kaolin 25% disimpan pada suhu 4" C. 9. Media Biakan Jaringan 5 liter Pembuatan media biakan jaringan 5 liter dengan cam membuat DMEM (Gibco-Cat. No. 12100-061) 5 liter, kemudian ditambahkan Penicillin (100 ribu unit) 10 ml, Streptomycin (100 ribu unit) 10 ml, NaHC03 (Merck) 5(x3,7 gr) dan Hepes (Gibco-Cat. 11344-033) 50 ml. Pembuatan dilakukan seseteril mungkin di dalam Laminar airflow. Media biakan jaringan disimpan pada suhu 4" C. 10. Media Pemelihara (Maintenance Medium = MM) 100 ml Pembuatan MM 100 ml dengan cara mencampur media biakan jaringan sebanyak 98 ml dan fetal bovine serum (FBS) 2% (Gibco) sebanyak 2 ml. Pembuatan dilakukan seseteril mungkin di dalam Laminar air flow. Media pemelihara disimpan pada suhu 4" C.
-
11. Media Penumbuh (Growth Medium = GM)100 ml Pembuatan GM 100 ml dengan cam mencampur media biakan jaringan sebanyak 95 ml danfetal bovine serum (FBS) 5%(Gibco) sebanyak 5 ml. Pembuatan dilakukan seseteril mungkin di dalam Laminar airflow. Media penumbuh disimpan pada suhu 4" C. 12. Media Transpor 100 ml Pembuatan media transpor 100 ml dengan cam mencampur media biakan jaringan sebanyak 99 ml dan PS stock 1000-2000 unitlml sebanyak 1 ml. Pembuatan dilakukan seseteril mungkin di dalam Laminar airflow. Media transpor disimpan pada suhu 4" C. 13. NaHC03 5,6% Pembuatan NaHCO3 5,6% dengan cam menimbangNaHC03 (Merck Art. 6323) 5,6 gr, kemudian ditambahkan dH2O 100 ml. Stirer sampai larut, kemudian diautoclave pada suhu 121°C dengan tekanan 14 psi selama 15 menit. NaHC03 disirnpan pada suhu 4" C.
14. PBS A 5 liter Pembuatan PBS A dengan cara menirnbang NaCl (Merck Art. 6404) 40,9 gr, KC1 (BDH Prod. 29594) 10,06 g, Na2HP04.2H20 (Merck Art. 6580) 7,11 gr dan W2m4(Merck Art. 4873) 0,95 gr, kemudian ditambahkan 5000 ml dHzO. Stirer sampai larut kemudian diautoclave pada suhu 12 1°C dengan tekanan 14 psi selama 15 menit. PBS A disimpan pada suhu 4" C. 15. PBS- (Ca&Mg) Pembuatan PBS -dengan cam menimbang NaCl (Merck Art. 6404 ) 8 gr, KC1 (BDH Prod. 29594) 0,2 gr, Na2HP04 (Merck Art. 6586) 1,15 gr, Na2HP04.2Hz0 (Merck art. 6580) 1,42 gr dan KH2P04 (Merck Art. 4873) 0,2 gr, kemudian ditambahkan 1000 ml dH20. Stirer sampai larut, cek pH 7,2-7,4, kemudian diautoclave pada suhu 121°C dengan tekanan 14 psi selama 15 menit. P B S disimpan pada suhu 4" C. 17. Penicillin 100.000 unit Pembuatan Penicillin100.000 unit dengan cara mengencerkan 1 flakon Penicillin (Wonder)l gr yang mengandung 1 juta unit dengan 10 ml dH20. Kocok hingga larut. Penicillin 100.000 unit disimpan pada suhu 4" C. 18. Sel Darah Merah Babi Pekat (SDM babilporcine RBC packed cel) Pembuatan SDM babi pekat dengan cara mencuci SDM babi dengan VAD sebanyak 3 kali. SDM 5ml dimasukkan ke dalam tabung 10 ml dan ditambahkan VAD, kemudian disentrifus dengan kecepatan 1000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang. 19 . Sel Darah Merah Babi (SDM babi) 0,5% 10 ml Pembuatan SDM babi 0,5% dengan cara SDM babi pekat sebanyak 50 pl dicampur dengan VAD 10 ml. Kocok hingga larut. 20. Streptomycin 100.000 unit Pembuatan Streptomycin100.000 unit dengan cara mengencerkan 1 flakon Streptomycin (Wonder) 1 gr yang mengandung 1 juta unit dengan 10 ml dH20. Kocok hingga larut. Streptomycin 100.000 unit disimpan pada suhu 4" C. 2 1. Tripsin Versene EDTA (ATV) Pembuatan ATV dengan cara membuat larutan A yang terdiri dari NaCl (Merck) 8 gr, KC1 (BDH Prod.29594) 0,4 gr, Glucose(Merk Art. 8432) 1,O gr dan VerseneIEDTA (Sigma E-6758)0,50 gr dan ditambahkan dH2O 500 ml, kemudian distirer sampai larut. Larutan B terdiri dari Trypsin (Merck) 0,5 gr, NaHC03 (Merck Art. 6323) 0,58 gr dan ditambah dH2O 500 ml, kemudian distirer sarnpai larut. Larutan A dicampur dengan larutan B, kemudian distirer sampai larut, kemudian diautoclave pada suhu 121°C dengan tekanan 14 psi selama 15 menit dan disaring dengan filter 0,22 jim. ATV disimpan pada suhu -20" C.
22. VAD (Virus Adjusting Diluent) Pembuatan VAD dengan cara menimbang NaCl (Merck Art. 6404 ) 8,76 gr, Na2HP04 (Merck Art. 6586) 5,7 gr dan NaH2P04.2H2 0 (Merck Art. 6580) 40,56 gr, kemudian ditambahkan dH20 1000 ml. Stirer sampai larut, kemudian cek pH6,O. VAD disimpan pada suhu 4' C.
3.Prosedur Sterilisasi a. Sterilisasi Basah Sterilisasi basah untuk alat alat seperti tips, tutup botol dan tutup tabung. Alat-alat tersebut direndam semalam dalam cairan hipochlorise 3% (3 ml hipoklorise ditambahkan ke dalam 100 ml aquadest), kemudian dicuci dengan detergen. Pembilasan dilakukan dengan menggunakan air panas yang mengalir dari kran, kemudian dibilas dengan aquadest didalam ember sebanyak 3 kali. Pengeringan dilakukan di &lam mesin pengering. Alat-alat tersebut dibungkus dengan kertas coklat, kemudian diautoclave pada suhu 121' C selama 15 menit. a. Sterilisasi Kering Sterilisasi kering untuk alat-alat seperti pipet, tabung dan botol media. Alat-alat tersebut direndam semalam dalarn cairan hipochlorise 3% (3 ml hipoklorise ditambahkan ke dalam 100 ml aquadest), kemudian dicuci dengan detergen. Pembilasan dilakukan dengan menggunakan air panas yang mengalir dari kran, kemudian dibilas dengan aquadest didalam ember sebanyak 3 kali. Pengeringan dilakukan di dalam mesin pengering. Alat-alat tersebut ditutup dengan alumunium foil, kemudian dioven pada suhu 180' selama 2 jam.