PREDIKTOR PENYESUAIAN DIRI DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA PADA REMAJA SEBAGAI SISWA BARU Zusy Aryanti
Abstract This study aims to determine empirically the role of emotion regulation, social competence and sexto predict self-adjustment at adolescent as the new student andwhat are difference between boy and girl. The subject was taken from 120 students of junior High School at Metro city by using cluster random sampling tecnique. The instrument of this research are emotion regulation scale ,social competence scaleand adjustment scale based on Likert models. Analysis technique used is the Regression and ANOVA. The results showed 1), emotion regulation, social competence and sex can predictsself adjustment is 18.6 % .2) There are differences in elf adjustment and emotion regulation among boys and girls. 3) There is a positive relationship between emotion regulation with self adjustment, 4) There is a negative relationship between social competence with self adjustment. Keywords: Predictor, adaptation, teenager. A. PENDAHULUAN Dalam tahapan
perkembangan
seseorang, terdapat satu tahap
perjalanan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang ditandai oleh masa transisional panjang. Masa yang penuh perubahan dan tuntutan beradaptasi dengan perubahan tersebut menimbulkan kekacauan identitas sehingga menimbulkan tekanan-tekanan tertentu. Hal ini dikarenakan remaja tidak mudah untuk dapat beradaptasi dengan kondisi barunya tersebut. Banyak perubahan
psikologis yang
disertai
dengan
perubahan
sosial
lainnya.
Masyarakat yang mulai menilai remaja sebagai pribadi yang dewasa bukan lagi sebagai anak kecil yang belum mampu menentukan arah hidupnya. Selain itu perubahan terhadap bentuk tubuh tidak luput dari perhatian remaja. Hal ini sedikit banyak menambah beban psikologis pada diri remaja. Disamping mengalami transisi dalam perkembangan psikologisnya, remaja juga mengalami masa transisi pada perkembangan akademiknya. Semula remaja duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) dimana lingkungan psikososialnya
Dosen tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Jurai Siwo Metro, E-mail:
[email protected]
kecil berpindah ke masa masa sekolah pertengahan yang lingkupnya lebih besar. Lingkungan psikososial inilah yang meluas meskipun belum seluas saat nanti duduk di bangku SMA. Perpindahan dari SD menuju SMP bermanfaat bagi remaja untuk mengembangkan kemampuannya dalam melayani diri sendiri. Remaja mulai belajar mandiri dalam berbagai hal. Remaja merasa lebih dewasa, mendapat banyak pelajaran, dapat memilih teman sebaya, dan merasa tertantang secara intelektual terhadap tugas akademik yang sulit dan menantang. Dalam
masa
transisional,
remaja
seringkali
mengalami
ketidakseimbangan. Terdapat beberapa tugas yang harus dilaksanakan dalam satu waktu sekaligus. Tuntutan terhadap tugas akademik bersamaan dengan tuntutan remaja sebagai individu yang beranjak dewasa di tengah keluarga dan masyarakat. Ketidakmampuan dalam menyeimbangkan tugas yang harus ditunaikan secara bersamaan dapat dihindari jika remaja mampu meregulasi emosi dan kompeten terhadap lingkungan sosial. Emosi yang dapat dikuasai serta kemampuan dalam menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial akan mengantarkan siswa lebih bijak dalam menyikapi tuntutan yang dihadapi. Secara empirik, remaja kota Metro yang mulai memasuki sekolah baru cenderung sulit beradaptasi dengan lingkungan sosial yang baru. Perasaan takut, tidak diterima, stres akademik membuat remaja memilih bersikap baik dan patuh terhadap kondisi yang ada. Namun demikian, tidak membuat remaja mudah diterima di kelompok teman sebayanya. Hal inilah yang membuat remaja bingung dalam menentukan sikap. Atas dasar kenyataan ini, peneliti tertarik untuk melihat apakah penyesuaian diri remaja dapat diprediksi dari faktor regulasi emosi dan kompetensi sosial dan apakah terdapat perbedaan penyesuaian diri antara remaja laki-laki dengan remaja perempuan. B.
KAJIAN TEORI 1. Penyesuaian diri a. Pengertian
Menurut Lazarus, menyesuaikan diri berasal dari kata to adjust yang berarti membuat sesuai atau cocok, beradaptasi, atau mengakomodasi. Penyesuaian diri terdiri dari proses bagaimana individu mengatur berbagai “demands’ atau permintaan.1 Permintaan ini berupa permintaan internal maupun eksternal. Terkadang kedua permintaan tersebut sering menimbulkan pola perilaku yang tidak adaptif atau maladjustment karena tidak mampu menyesuaikan diri terhadap permintaan tersebut. Dalam masa reamaj, penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial menjadi hal yang cukup menakutkan. Menurut Hurlock, penyesuaian yang paling sulit dirasakan oleh remaja adalah penyesuaian terhadap lingkungan sosialnya. Begitu juga saat remaja memasuki sekolah baru, yang sangat mungkin berbeda kondisinya seperti sekolah sebelumnya.2 Harold juga mengatakan bahwa stadium perkembangan tertentu seperti awal masuk sekolah, sering disertai dengan terjadinya gangguan penyesuaian pada siswa yang dapat dilihat pada gejala emosional ataupun perilaku sebagai respon stressor. Kemampuan siswa menyesuaikan diri mempunyai pengaruh yang cukup besar pada keadaan siswa untuk memberikan respon pada setiap keadaan yang dihadapi. Dengan demikian, penyesuaian diri di sekolah dapat diartikan sebagai kemampuan remaja atau siswa dalam memenuhi tuntutan dari lingkungan maupun dirinya sendiri secara tepat. Pemenuhan ini dipengaruhi oleh kondisi mental, fisik dan emosionalnya, dengan tujuan memperoleh kesadaran antara kebutuhan dirinya dengan kebutuhan luar dirinya. b. Macam-macam penyesuaian diri di sekolah Bernard Mengatakan terdapat tiga masalah dalam penyesuain diri di sekolah.
Pertama,
penyesuaian
diri
dengan
kelompok
teman
sebaya.
Permasalahan sering muncul saat remaja memiliki keinginan bergaul dan bergabung dengan teman sebayanya. Seringkali remaja tidak mendapatkan tempat yang baik di mata teman sebayanya. Kedua, penyesuaian diri dengan pengajar atau guru. Kebutuhan remaja untuk menjadi individu yang lebih Lazarus, Richard S, Personality and Adjustment, (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1969), h. 7. 2 Hurlock, E. 1999, Perkembangan Anak, Jilid 2, (Jakarta: Erlangga, 1999). 1
dewasa semakin terlihat. Remaja sudah mulai melepaskan dirinya sebagai anak kecil di mata orang tua dan masyarakat. Kebutuhan untuk dihargai oleh guru sebagai orang dewasa lain menjadikannya sahabat atau pembimbing. Ketiga, penyesuaian diri dalam hubungan dengan orang tua, guru dan murid. Remaja ingin menunjukkan ketidaktergantungannya pada orang tua, ingin diakui sebagai pribadi yang dewasa, mampu bergaul dengan baik, mampu menyelesaikan persoalan pribadinya sendiri dan keinginan untuk diakui akan hak-haknya.3 c. Aspek-Aspek Penyesuaian Diri Menurut Scheneider terdapat tujuh aspek penyesuaian diri: a) Tidak terdapat emosionalitas yang berlebihan b) Tidak terdapat mekanisme psikologis yang berlebihan c) Tidak terdapat perasaan frustasi pribadi d) Terdapat pertimbangan rasional dalam mengarahkan diri e) Kemampuan untuk belajar f) Pemanfaatan pengalaman g) Terdapat sikap-sikap yang realistis
2. Regulasi Emosi Emosi merupaan perasaan yang mendalam, lebih luas dan lebih terarah dan sudah mencapai tingkat mental, tidak lagi hanya pada tingkat fisiologis saja.4 Regulasi emosi sendiri, oleh Hobbard dan Coie diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengubah respon emosi menjadi positif saat berada dalam situasi yang provokatif.5 Pendapat ini didukung oleh Bonano, yang mengartikan regulasi emosi sebagai proses pengontrolan, pengaturan dan penjelajahan emosi. Regulasi emosi berguna agar individu dapat mencapai
Bernard, H. W, Psychology of Learning and Teaching (2nd ed), (New York: McGraw Hill Book Company, 1965), h. 205. 4 Sarlito W. Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 123. 5 Yuniarrahmah, Faktor-Faktor Penentu Kesiapan Anak masuk Sekolahh Dasar, Tesis, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2009). 3
keadaan yang homeostatis, yaitu konseptualisasi masalah dari respon emosional terhadap tujuan.6 Emosi memiliki beberapa pengaruh, yaitu: a. Memperkuat semangat b. Memperlemah semangat c. Menghambat atau mengganggu konsentrasi belajar d. Terganggunya penyesuaian diri e. Dampak yang panjang
3. Kompetensi sosial Kompetensi sosial adalah kemampuan atau kecakapan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan terlibat dalam situasi sosial yang memuaskan. Menurut Ruegg, individu dikatakan kompeten jika dapat dengan benar menentukan perilaku mana yang pantas dilakukan dalam situasi yang ada.7 Remaja yang kompeten diharapkan dapat menggunakan pengetahuan dan keterampilannya dalam menjalin dan meningkatkan aspek positif sehingga terbentuk hubungan sosial yang efektif. Melalui kompetensi sosial remaja diharapkan dapat menyesuaikan diri untuk melakukan tindakan-tindakan yang lebih banyak positif daripada tindakan yang negatif.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Alat ukur berupa skala yang sudah tersusun rapi diujicobakan terlebih dahulu sebelum dilakukan penelitian. Hasil ujicoba dari ketiga skala tersebut memiliki nilai koefisien reliabilitas cukup tinggi. Skala penyesuain diri memiliki nilai koefisien reliabilitas 0.818, skala regulasi emosi memiliki nilai koefisien reliabilitas 1.782 dan skala kompetensi sosial memiliki nilai koefisien reliabilitas 0.735. dengan demikian ketiga skala ini memiliki daya keterandalam yang tinggi untuk digunakan sebagai alat ukur penelitian.
Strongman, K. T., The Psychology of Emotion: From Everyday Life to Theory, 5thed, (England: John Wiley & Son, Ltd, 2003). 7 Ruegg, E. Social Competence, Transition Plan and Children with learning disabilities. (www.usca.edu, 2003). 6
Berdasarkan perhitungan statistik ditemukan bahwa faktor regulasi emosi, kompetensi sosial serta jenis kelamin secara bersama-sama mampu memprediksi penyesuaian diri remaja sebesar 18.6%, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak menjadi fokus dalam penelitian ini. Selanjutnya pada pengujian perbedaan jenis kelamin, ditemukan bahwa terdapat perbedaan penyesuaian diri antara remaja laki-laki dan remaja perempuan. Begitu juga untuk faktor regulasi emosi, terdapat perbedaan antara remaja laki dan remaja perempuan. Sementara tidak terjadi perbedaan pada faktor kompetensi sosial. Artinya baik remaja laki-laki dan remaja perempuan memiliki kadar kompetensi yang sama. Meskipun ketiga faktor tersebut memberikan pengaruh secara bersamaan dan tidak terlalu menunjukkan angka yang tinggi, remaja tidak dapat menganggap enteng faktor pendukung penyesuaian dirinya di sekolah yang baru. Dalam memasuki dan menjalani masa perkembangan akademik yang baru, remaja harus mampu bertahan dengan segala kondisi yang menyertainya. Usaha
yang
dilakukan
untuk
bertahan
adalah
dengan
cara
menyesuaikan diri, tidak hanya terhadap lingkungan tetapi juga penyesuaian terhadap hubungan sesama manusia. Terdapat tiga elemen yang harus dikuasai individu untuk menyesuaikan diri, yaitu diri sendiri, orang lain dan perubahan. Ketiga elemen ini selalu ada dalam setiap adaptasi. Begitu pula yang terjadi pada remaja kota Metro. Remaja telah melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekolah yang baru. Ragam input masing-masing remaja memberikan warna interaksi yang beragam pula pada setiap penyesuaian diri mereka. Atas kesadaran diri sendiri remaja ini melakukan penyesaian dirk terhadap lingkungan yang baru sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan akan penerimaan diri di tengah kelompok teman sebaya, sehingga akan mudah mencapai tujuan bersamadalam tugas sekolah. Dorongan kebutuhan untuk menyesuaikan diri timbul jika terdapat kebutuhan dan keinginan yang harus dipenuhi oleh seseorang termasuk juga saat seseorang menghadapi suatu masalah atau konflik yang harus diselesaikan. Dalam berinteraksi sosial, individu akan mengalami proses belajar memahami,
mengerti, dan berusaha untuk melakukan apa yang diinginkan dirinya maupun lingkungannya. Artinya, individu perlu mempertimbangkan adanya normanorma yang berlaku di lingkungan dalam memenuhi kebutuhannya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menyelaraskan pemuasan kebutuhan diri dengan situasi lingkungan sehingga tercapai suatu integrasi dan keseimbangan. Kontribusi regulasi emosi, kompetensi sosial dan jenis kelamin sebesar 18.6% saja dalam memprediksi penyesuaian diri remaja di kota Metro. Terdapat lebih banyak faktor lain yang juga dapat mempengaruhi penyesuaian diri remaja. Seperti pola asuh, pola asuh yang authoritative cenderung membentuk anak menjadi lebih mandiri dan dapat menyesuaikan diri dengan baik.8 Faktor kepercayaan diri juga menjadi faktor yang dapat memprediksi penyesuaian diri remaja. Remaja yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi akan semakin baik pula dalam menyesuaikan diri.9 Faktor lain yang dapat menjadi prediktor penyesuaian diri adalah body image. Penelitian yang dilakukan oleh Nanin, menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan positif antara body image dengan penyesuaian diri.10 Remaja yang memiliki body image atau bayangan tentang tubuhnya baik akan baik pula dalam menyesuaikan diri. Remaja akan merasa percaya diri dengan bayangan tubuh yang baik, sehingga akan percaya diri pula saat memasuki lingkungan baru. Masih banyak lagi faktor lain yang dapat menjadi prediktor penyesuaian diri remaja, seperti konsep diri, motivasi, prestasi, self esteem, penerimaan teman sebaya dan sebagainya. Penyesuaian diri merupakan salah satu tugas perkembangan sosial yang harus dilalui dan dituntaskan. Penyesuaian diri ini merupakan salah satu komponen dalam melakukan kontak sosial dengan lingkungan yang lebih luas. Remaja dapat mengembangkan dirinya di tengah lingkungan sosial yang
Sulisworo Kusdiyati & Lilim Halimah, Faisaluddin, (Humanitas) Vol VIII No 2 Agustus 2011. 9 Florentina R, S, Hubungan Antara Kepercayaan Diri dengan Penyesuaian Sosial Siswa Kelas VIII SMP Santa Maria Fatima, (Jurnal Psikoedukasi), Vol 6 Mei 2008, h. 21-33. 10 Nanin, R, A, Hubungan Body Image dengan Penyesuaian Sosial Remaja, (Skripsi), (Jogjakarta: UII, 2008). 8
semakin beragam. Dalam situasi sekolah yang baru akan terasa menyenangkan jika sekolah tersebut memberikan kenyamanan bagi remaja. Sekolah menjadi tempat dan tujuan untuk menghabiskan waktu dengan penuh kegiatan positif dan menyenangkan. Sebaliknya sekolah yang baru akan terasa menegangkan jika sekolah tidak memberikan kenyamanan bagi diri remaja sendiri. Sering kali siswa siswi yang membolos atau jarang mengikuti pelajaran dikarenakan tidak menyukai sekolah sebagai tempat untuk belajar. Selain belajar ilmu pengetahuan, di sekolah ini jugalah kemampuan soft skill remaja terasah. Teman sebaya yang dimiliki akan memberikan keluasan pandangan cara bersikap terhadap sesama teman. Remaja yang mampu meregulasi emosi secara positif dapat dikatakan memiliki daya penyesuaian diri yang positif pula. Hal ini dapat difahami saat remaja akan menempatkan diri di tengah lingkungan baru, harus mampu menahan dan mengendalikan emosi agar sesuai dengan norma kelompoknya. Emosi negatif yang berlebihan pada diri remaja cenderung menyebabkan remaja di tolak dalam kelompok teman sebaya, sehingga penyesuaian diri menjadi terganggu. Perbedaan regulasi emosi yang terjadi antara remaja laki-laki dan remaja perempuan tidak membuat terpisah dalam kelompok pertemanan. Mereka membaur satu sama lain terutama dalam mencapai tujuan penyelesaian tugas-tugas sekolah. Mengerti tentang emosi yang harus dikendalikan menjadikan remaja lebih arif dan bijak dalam menanggapi permasalahan emosional di sekolah, misalnya remaja yang tersinggung dengan temannya, tidak lantas marah tetapi meredam sehingga tidak menimbulkan kegoncangan emosi. Remaja juga sudah terbiasa dengan sikap yang ekspresif secara emosional. Remaja
kota
Metro
cenderung
lebih
asertif,
mereka
berani
mengungkapkan apa yang difikirkan secara apa adanya. Kebiasaan ini secara tidak langsung mempengaruhi cara berfikir dan bertindak pada diri remaja itu sendiri. Lama kelamaan keberanian berbicara tidak lagi menjadi pertimbangan
dalam berinteraksi sosial terutama saat bergaul dengan teman sebaya. Keberanian berbicara apa adanya, baik, buruk, positif ataupun negatif dan tegas lebih dipilih diungkapkan daripada hanya dipendam dalam hati oleh remaja. Ketegasan berbicara inilah menjadikan remaja kota Metro berani berbicara dengan tegas akan sesuatu yang disuka ataupun yang tidak disuka. Remaja sudah terpola cara berfikir dan bertindaknya secara berani. Saling cemooh atau meledek yang dilakukan dengan tujuan bergurau menjadi pola interaksi yang sangat biasa. Pola bergaul seperti ini menjadi pola yang harus diterima bagi kalangan remaja tertentu. Akibat terbiasa maka hal yang awalnya menjadi sangat peka dan sensitif untuk dibahas, menjadi hal yang biasa dan tidak perlu direspon secara emosional. Pembelajaran sosial akan kesan yang didapat dari teman di sekolah membuat remaja memiliki penilaian sendiri akan penyesuaian diri yang akan dilakukan. Remaja tidak lagi tersinggung dan dapat menyesuaikan diri dengan gaya bergaul yang ekstrim. Tidak demikian dengan temuan kompetensi sosial yang berbanding terbalik dengan penyesuaian diri. Kompetensi sosial yang dimiliki remaja menunjukkan arah yang sebaliknya jika terjadi peningkatan dalam penyesuaian diri di sekolah baru. Diketahui dari hasil analisis menunjukkan bahwa jika kompetensi sosial meningkat, maka penyesuaian diri remaja menurun sebesar 1.7%. meskipun tidak signifikan, penurunan penyesuaian diri ini kemungkinan besar disebabkan oleh pola pergaulan dalam penyesuaian diri yang dianggap biasa dan tidak memerlukan usaha atau perhatian yang lebih. Secara umum, penyesuaian diri yang dimiliki remaja baik remaja lakilaki dan remaja perempuan di kota Metro menunjukkan perbedaan saat berada di sekolah baru. Remaja perempuan secara statistik terbukti menunjukkan penyesuaian diri yang lebih baik daripada remaja laki-laki. Hal ini dapat difahami karena remaja perempuan lebih intensif saat bergaul dengan teman sebaya. Kedekatan yang dibangun oleh remaja perempuan terhadap temannya tidak hanya sebatas kedekatan karena hobi atau berada di satu kelompok belajar
yang sama. Lebih dari itu remaja perempuan cenderung lebih asertif menceritakan pengalaman pribadinya dibanding remaja laki-laki. Dalam masa remaja juga berkembang kognisi sosial, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami individu di luar dirinya sebagai sosok yang unik, baik menyangkut pribadi, minat, nilai maupun perasaannya. Berbeda saat usia kanak-kanak yang menilai dan menganggap orang lain secara deskriptif dan konkret serta belum mampu menggambarkan dari sisi psikologis seperti kepribadian. Adanya kemampuan penyesuaian diri yang baik di sekolah baru diharapkan remaja akan senang berada di sekolah yang baru. Mereka dapat menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan untuk mencari pengetahuan, keterampilan dan cara bersosialisasi. Remaja yang dapat melakukan pemyesuaian diri dengan baik akan meningkatkan prestasi belajarnya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Safura dan Supriyantini.
Temuan
yang
didapat
adalah
bahwa
penyesuaian
diri
berhubungan positif dengan prestasi belajar. Semakin baik penysuaian diri anak di sekolah maka prestasi belajar akan semakin baik pula.
D. SIMPULAN Berdasarkan temuan di lapangan, penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, Baik regulasi emosi, kompetensi sosial dan jenis kelamij secara bersamaan mampu memprediksi penyesuaian diri remaja saat memasuki sekolah yang baru sebesar 18.6%. Sisanya hingga mencapai 100% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak menjadi fokus dalam penelitian ini. Faktor lain tersebut adalah kepercayaan diri remaja, body image, pola asuh orang tua, konsep diri, motivasi remaja dalam belajar, prestasi, self esteem, penerimaan teman sebaya dan lain sebagainya. Kedua, Terdapat perbedaan penyesuaian diri, regulasi emosi dan kompetensi sosial antara remaja laki laki dan remaja perempuan. Ketiga, terdapat hubungan positif antara regulasi emosi dengan penyesuaian diri
remaja. Artinya semakin baik regulasi emosi yang dilakukan remaja maka penyesuaian dirinya juga akan semakin baik, dan keempat terdapat hubungan negatif antara kompetensi sosial dengan penyesuaian diri remaja. Semakin baik kompetensi sosial remaja, maka penyesuaian diri remaja semakin menurun. DAFTAR PUSTAKA Florentina R, S, Hubungan Antara Kepercayaan Diri dengan Penyesuaian Sosial Siswa Kelas VIII SMP Santa Maria Fatima, (Jurnal Psikoedukasi), Vol 6 Mei 2008. H. W. Bernard, Psychology of Learning and Teaching (2nd ed), (New York: McGraw Hill Book Company), 1965. Hurlock, 1999, Perkembangan Anak, Jilid 2, (Jakarta: Erlangga), 1999. K. T. Strongman, The Psychology of Emotion: From Everyday Life to Theory, 5th ed, (England: John Wiley & Son, Ltd), 2003. R, A. Nanin, Hubungan Body Image dengan Penyesuaian Sosial Remaja, (Skripsi), Jogjakarta: UII, 2008. Richard S Lazarus, Personality and Adjustment, (Englewood Cliffs: Prentice Hall), 1969. E. Ruegg, Social Competence, Transition Plan and Children with learning disabilities. (www.usca.edu), 2003. Sarlito W. Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Rajawali Pers), 2010. Sulisworo Kusdiyati & Lilim Halimah, Faisaluddin, (Humanitas) Vol VIII No 2 Agustus 2011 Yuniarrahmah, Faktor-Faktor Penentu Kesiapan Anak masuk Sekolahh Dasar, Tesis, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada), 2009.