Apakah Penantang Lebih Disukai daripada Petahana? Pengaruh Ketidakpastian dan Dorongan untuk Mendapatkan Jawaban terhadap Preferensi Pemilih dalam Pemilihan Gubernur Pravitasari, Rizka Halida, Erita Narhetali Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dorongan untuk mendapatkan jawaban dan ketidakpastian terhadap preferensi pemilih dalam pemilihan kandidat gubernur. Dorongan untuk mendapatkan jawaban diukur dengan menggunakan kuesioner Need for Closure Scale, sedangkan ketidakpastian dioperasionalisasikan dengan keberadaan informasi mengenai potensi kandidat penantang dan prestasi kandidat petahana. Preferensi partisipan terhadap kedua kandidat diukur dengan skala yang digunakan oleh Tormala, Jia, dan Norton (2012), yaitu terdiri dari item penilaian positif dan negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara ketidakpastian terhadap preferensi pemilih F(1, 36) = 4.46, p < .05. Akan tetapi, tidak ditemukan pengaruh dorongan untuk mendapatkan jawaban terhadap preferensi pemilih (β = .0773, t(36) = .45, ns). Meskipun begitu, skor rata-rata preferensi individu dengan dorongan untuk mendapatkan jawaban yang rendah menunjukan bahwa mereka menilai penantang lebih positif daripada petahana. Pada akhirnya disimpulkan bahwa dalam penelitian ini partisipan mempertimbangkan kandidat dengan prestasi sebagai kandidat yang lebih mengesankan dibandingkan kandidat yang digambarkan memiliki potensi. Partisipan juga menunjukan adanya preferensi umum untuk memilih kandidat petahana sebagai kandidat gubernur. Kata Kunci: Need for closure, Ketidakpastian, Petahana, Penantang ABSTRACT This study examined the impact of need for closure and uncertainty towards candidate preference. Need for closure (NFC) was measured using Need for Closure Scale, while uncertain information was operasionalized by the presence of information about challenger’s potential and incumbent’s achievement. Participant’s preference towards incumbent and challenger was measured by preference scale which was used before in Tormala, Jia, and Norton (2012). In that scale, preference was divided into two kind of evaluation: possitive assessment and negative outcome. Result show that uncertainty is a significant influence on candidate preference F(1, 36) = 4.46, p < .05, yet there is no significant effect between NFC level towards candidate preference (β = .0773, t(36) = .45, ns). In spite, the mean of preference score from participant with low NFC shows that they value challenger better than incumbent. In the end, it can concluded that participants recognized that candidate with achievement was more objectively impressive and showed a general preference for achievement rather than potential in their voting decision. Keywords: Need for closure, uncertainty, incumbent, challenger.
Apakah penantang…, Pravitasari, FPsi UI, 2013
Latar Belakang Siapa yang lebih mengesankan dalam konteks pemilihan: kandidat penantang yang dideskripsikan memiliki potensi akan meraih penghargaan di tahun kelima masa jabatannya atau kandidat petahana yang telah meraih penghargaan? Nampaknya masuk akal jika kita menganggap bahwa kandidat kedua dalam perumpaan di atas terlihat lebih mengesankan karena ia telah meraih apa yang belum pasti diraih oleh individu lain. Selain itu, potensi identik dengan ketidakpastian yang tinggi dibandingkan prestasi: individu dengan potensi yang tinggimungkin mampu meraih kesuksesan, namun mungkin juga tidak. Menurut Tormala, Jia, dan Norton (2012) kita seringkali diliputi keraguan dalam upaya memahami potensi. Baik keraguan terhadap performa seseorang yang dapat ditampilkan saat ini, maupun performa yang dapat ia tampilkan di masa depan. Sejalan dengan pemaparan di atas, beberapa penelitian dalam
ranah
pengambilan keputusan telah membuktikan bahwa ketidakpastian
cenderung dihindari, dianggap sebagai suatu hal yang tidak menyenangkan dan harus direduksi, serta secara subjektif individu cenderung lebih menyukai pilihan yang pasti (Ellsberg, 1961; Gerard & Greenbaum, 1962; Kahneman & Tversky, 1979; Kruglanski, 1989; Bar-Anan, Wilson, & Gilbert, 2009). Penelitian mengenai ‘uncertainty effect’ ini menunjukan bahwa individu
menganggap
kandidat
yang tidak pasti lebih buruk dibandingkan
kemungkinan terburuk dari pilihan yang mereka anggap pasti (Gneezy, List, & Wu, 2006), dan adanya kepastian mengenai sesuatu dipersepsi dapat meningkatkan nilai dari hal tersebut (Eidelman, Crandall, & Pattershal, 2009). Dalam banyak literatur, kepastian (psychological certainty) memang dianggap sebagai pengalaman positif yang dapat mendorong tindakan seseorang. Pada tahun 1972, Jerome Kagan mengungkapkan pembentukan
bahwa
psychological
certainty
merupakan
landasan
dalam
belief individu. Selain itu, respon terhadap ketidakpastian merupakan salah
satu hal penting yang menentukan tingkah laku individu. Dalam penelitian mengenai sikap, kepastian dianggap sebagai faktor yang mempercepat perubahan sikap ke dalam tingkah laku seseorang, misalnya dalam penelitian Tormala dan Rucker (2007) ditemukan bahwa adanya informasi mengenai kepastian membuat sikap positif terhadap politisi tertentu menjadi tindakan memilih politisi tersebut (Tormala & Rucker, 2007). Meskipun penelitian-penelitian sebelumnya menunjukan adanya kecenderungan individu untuk menyukai hal yang bersifat pasti, Tormala, Jia, dan Norton (2012) berpendapat bahwa pada dasarnya individu juga memiliki ketertarikan terhadap potensi ketika mengevaluasi orang lain. Hal ini kemudian dibuktikan dalam 8 studi yang diakukan oleh ketiganya dalam artikel penelitian berjudul Preference for Potential. Pada penelitian yang menggunakan
Apakah penantang…, Pravitasari, FPsi UI, 2013
framing informasi postif mengenai individu dalam istilah potensi (Misal: individu A dapat menjadi pemimpin di bidang X) dan prestasi (Misal: Individu B telah menjadi pemimpin di bidang X) didapatkan hasil bahwa individu dengan potensi juga dapat membuatnya dianggap lebih menarik, berbakat, dan bernilai dibandingkan orang dengan prestasi. Asumsi yang digunakan oleh Tormala, Jia, dan Norton dalam penelitiannya adalah bahwa ketidakpastian yang terkandung dalam potensi juga dapat membuat individu terlihat menarik. Memang, sejumlah penelitian menemukan bahwa kecenderungan individu untuk mereduksi ketidakpastian
justru
mendorongnya
untuk
melakukan
pemrosesan
informasi
secara
mendalam terhadap informasi yang ada (Petty & Cacciopo, 1986). Selain itu, menurut Gal dan Rucker (2010), adanya ketidakpastian dan keraguan mengenai potensi seseorang membuat kita termotivasi untuk lebih mencari tahu dengan melakukan pemrosesan informasi yang tersedia mengenai orang tersebut secara lebih mendalam. Dengan demikian, ketidakpastian tentang potensi yang dimiliki orang lain dapat membuat orang tersebut tampak menarik dan mendorong kita untuk mengintensifkan pemrosesan informasi. Selain kesamaan paradigma penelitian-penelitian eksperimen yang telah dilakukan terkait topik pemilihan dalam situasi tak pasti, saat ini terdapat ketertarikan yang meningkat dalam penelusuran tentang peran faktor perbedaan individu dalam efek kepastian (certainty effect) dan ketidakpastian (uncertainty effect). Dalam literatur psikologi sosial, salah satu disposisi personal
yang
banyak
dibicarakan
terkait
sikap
individu
terhadap
kepastian
dan
ketidakpastian adalah need for closure yang dikembangkan oleh Kruglanski dan kolega (Webster & Kruglanski, 1994; Kruglanski & Webster, 1996) Need for closure (NFC) didefinisikan sebagai dorongan untuk bersungguh-sungguh dalam menjawab berbagai pertanyaan (Webster & Kruglanski, 1996). Dorongan tersebut muncul karena adanya dorongan epistemik atau dorongan dalam mengkonstruksi pengetahuan baru pada setiap individu. Beberapa penelitian membuktikan bahwa NFC mempengaruhi pemrosesan informasi, dan mempengaruhi fenomena sosial-kognitif pada level intrapersonal, interpersonal, dan kelompok (Webster & Kruglanski, 1996; Webster, Kruglanski, &Pattison, 1997).Kruglanski (2004) menyatakan bahwa terdapat dua konsekuensi yang munculketika NFC meningkat. Pertama, individu akan merasakan munculnya urgensi untuk mencari jawaban (closure). Kedua, setelah jawaban tersebut ditemukan, individu akan berpegang pada jawaban itu dan menggunakannya sebagai jawaban yang permanen. Perasaan akan urgensi tersebut akan membentuk kecenderungan untuk mengambil (seize) dengan cepat apapun yang bisa dijadikan jawaban. Seseorang yang memiliki atau berada dalam keadaan NFC tinggi akan menginginkan jawaban sesegera mungkin. Individu yang berada dalam keadaan NFC
Apakah penantang…, Pravitasari, FPsi UI, 2013
tinggi akan berusaha untuk mencari jawaban yang stabil dan ketiadaan jawaban menjadi satu keadaan yang dihindari. Berdasarkan hal tersebut, dalam penelitian selanjutnya, penulis ingin mengetahui aspek lain yang mempengaruhi preferensi seseorang terhadap potensi. Penulis hendak melibatkan variabel need for closure (NFC) untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh NFC terhadap preferensi pada potensi. Dalam penelitian selanjutnya, penulis akan menggunakan konteks voting kandidat kepala daerah yang melibatkan penggunaan
framing
kandidat petahana (masih menjabat) sebagai
kandidat dengan prestasi dan calon baru sebagai kandidat dengan potensi. Dalam penelitian ini, penulis berfokus pada pilihan tidak pasti dalam konteks pemilihan gubernur berdasarkan pertimbangan bahwa dalam pemilihan pejabat publik, individu sering dihadapkan pada ketidaktahuan mengenai probabilita keterpilihan kandidat yang ada juga probabilita mengenai seberapa mungkin kandidat yang ada mampu memimpin daerah pilihan dengan baik. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam konteks pemilihan, kandidat yang memiliki prestasi tetap diliputi ketidakpastian, namun lebih rendah jika dibandingkan dengan kandidat yang digambarkan memiliki potensi. Temuan Lembaga Survei Indonesia (2013) menunjukkan bahwa tingkat keterpilihan kandidat penantang semakin meningkat dalam empat pemilihan kepala daerah terakhir. Pada PILKADA tahun 2008 tingkat keterpilihan penantang sebesar 22,3% dan terus meningkat hingga mencapai 52,9% pada tahun 2012. Adanya temuan yang mengindikasikan adanya preferensi yang meningkat terhadap penantang yang dianggap lebih tidak pasti dan berisiko dibandingkan petahana (Tversky & Quattrone, 2004) kemudian membuat penulis terdorong untuk membuat studi
untuk mengetahui
apakah terdapat
pengaruh ketidakpastian dan dorongan untuk mendapatkan jawaban (need for closure) terhadap preferensi pemilih dalam pemilihan kandidat gubernur. Tinjauan Teoritis Ketidakpastian Dalam setiap pilihan yang dihadapi oleh individu hampir selalu melibatkan ketidakpastian. Misalnya, haruskah saya membeli garansi tambahan ketika membeli mobil baru?Haruskan saya memilih operasi atau terapi radiasi untuk menyembuhkan kanker?. Dari pilihan yang mudah hingga dilematis, kita biasanya dipaksa untuk memilih tanpa mengetahui lebih dahulu mengenai apa konsekuensi yang mungkin muncul. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika terdapat sejumlah penelitian yang mencoba memahami bagaimana individu mengelola ketidakpastian ketika diminta untuk menentukan pilihan. Ketidakpastian menurut Lindley (2006) adalah situasi saat individu tidak mengetahui tentang kebenaran
Apakah penantang…, Pravitasari, FPsi UI, 2013
sesuatu, sedangkan pilihan tidak pasti adalah situasi saat individu diminta untuk memilih ketika salah satu atau lebih pilihan yang dilibatkan tidak diketahui kebenarannya. Ellsberg (1961) menjelaskan bahwa dalam kehidupan sehari-hari individu melakukan pemilihan antara opsi-opsi yang tidak diketahui probabilitanya dan menggunakan istilah ambiguity (ketaksaan) untuk menjelaskan pengambilan keputusan yang terjadi sehari-hari yang mana setidaknya salah satu dari pilihan yang ada memiliki karakteristik ‘uncertainty’ (tidak pasti). Seorang ekonom , Knight (1971) membedakan antara risiko dan ketidakpastian. Pilihan berisiko merupakan pilihan yang diketahui probabilitanya, seperti pilihan dalam pengundian dua sisi koin logam atau lotere yang nomor tiketnya yang telah diketahui. Sedangkan pilihan tak pasti merupakan pilihan yang tak diketahui probabilitanya dan bergantung pada kejadian alami, seperti kemenangan tim sepak bola dalam sebuah pertandingan. Sejak tahun 1970an beberapa peneliti ilmu psikologi mulai menaruh perhatian pada hubungan antara ketidakpastian dan tingkah laku individu. Amos Tversky dan Daniel Kahneman merupakan peneliti berlatar belakang disiplin ilmu psikologi yang secara konsisten melakukan penelusuran mengenai topik ini. Kahneman dan Tversky (1979) memperkenalkan istilah certainty effect untuk menjelaskan kecenderungan individu yang menganggap sepele perolehan (outcome) yang tidak pasti dibandingkan dengan perolehan yang dianggap pasti. Selain itu, keduanya juga berpendapat bahwa ketidakpastian sering dihindari dan individu lebih menyukai pilihan yang bersifat pasti. Menginjak tahun 2000an, penelitian yang bertujuan
menguji
adanya
kecenderungan
individu
yang
stabil
untuk
mereduksi
ketidakpastian selanjutnya dikembangkan oleh Lauriola, Levin, Hart, (2007). Lauriola dkk membuktikan bahwa terdapat kecenderungan individu yang stabil dan mendasar baik dalam pengambilan keputusan berisiko (risky decision making) maupun dalam pengambilan keputusan dalam situasi ambigu (decision making under ambiguity). Perkembangan mencolok dari penelitian yang dilakukan pada tahun 2000an adalah adanya usaha untuk membuat model preferensi individu dalam situasi ambigu yang kemudian memberikan penjelasan mengenai faktor intrinsik individu yang menyebabkan adanya preferensi
ambiguity-avoiding atau
ambiguity-seeking. Dalam literatur psikologi, ketidakpastian biasanya dilibatkan dalam penelitian mengenai pengambilan keputusan berisiko (risky decision making) dan pengambilan keputusan dalam situasi ambigu (decision making under ambiguity). Hal ini disebabkan pengambilan
keputusan berisiko dan situasi ambigu sama-sama
ketidakpastian.
Apakah penantang…, Pravitasari, FPsi UI, 2013
melibatkan
elemen
Dorongan untuk Mendapatkan Jawaban (Need for Closure) Dorongan untuk mendapatkan jawaban (NFC) didefinisikan sebagai dorongan individu untuk mencari jawaban pasti atas suatu pertanyaan, sebagai langkah untuk menghindari ketaksaan (Kruglanski & Webster, 1996), ketidakpastian dan 1989, 1990, 2004).
kebingungan (Kruglanski,
Need for closure muncul dalam situasi-situasi tertentu seperti adanya
tekanan waktu (Kruglanski & Freund, 1983; Kruglanski & Webster, 1994), suara bising (Kruglanski, Webster, & Klem, 1993), atau kelelahan mental (Webster, Richter, & Kruglanski, 1996). Meskipun begitu, need for closure juga dapat dipahami sebagai disposisi individu yang cenderung stabil (Kruglanski, De Grada, Mannetti, Atash, & Webster, 1997; Kruglansi & Webster, 1994), yaitu bahwa terdapat individu-individu yang secara konsisten menunjukkan kecenderungan untuk menilai jawaban pasti (closure) sebagai hal yang positif, namun ada pula individu yang menghindari jawaban pasti dan memilih untuk lebih terbuka terhadap banyak pilihan jawaban (Webster & Kruglanski, 1994). Individu-individu dengan tingkat NFC yang tinggi lebih menyukai adanya aturan baku (order) dan kemampuan untuk memprediksi (predictability). Mereka juga biasanya memiliki pikiran yang tertutup (closedminded), dan merasa tidak nyaman dengan ketaksaan (Kruglanski, De Grada, Mannetti, Atash, dan Webster, 1997). Kruglanski dan Webster (1996) merumuskan dua kecenderungan umum yang dimiliki individu sebagai penjelasan mengapa need for closure terdapat dalam diri seseorang. Dua kecenderungan itu adalah kecenderungan mendesak (urgency tendency) dan kecenderungan menetap (permanence tendency). Kecenderungan mendesak mengacu pada kecenderungan untuk memperoleh (seize) jawaban pasti secepat mungkin dan membuat seseorang menarik kesimpulan-kesimpulan yang tidak didasari oleh bukti yang kuat, membuat keputusan berdasarkan pemikiran sesaat, menggambarkan stereotip dan prasangka sosial yang umum, dan tidak memerhatikan konteks maupun situasi saat ia harus mengambil keputusan (Kruglanski, 2004). Adapun kecenderungan menetap mengacu pada kecenderungan untuk menetapkan jawaban dengan cara mempertahankan
(freeze) informasi yang dimiliki
sebelumnya. Individu yang berada dalam keadaan NFC tinggi akan berusaha untuk mencari jawaban berdasarkan informasi-informasi yang sudah lama ia ketahui dan tidak menyukai keadaan
saat ia merasa
kesulitan
menggambarkan bahwa ketika
menemukan
jawaban.
Dua kecenderungan
NFC yang dimiliki oleh seseorang meningkat,
ini
ketiadaan
jawaban merupakan hal yang dihindari oleh individu. Ketika mengalami keadaan tersebut, individu berusaha untuk menunjukkan urgency tendency dengan segera mengakhiri perasaan
Apakah penantang…, Pravitasari, FPsi UI, 2013
tidak menyenangkan tersebut dan menunjukkan permanence tendency dengan mencegah terjadinya kembali keadaan saat ia kesulitan menemukan jawaban. Kruglanski dan kolega (Kruglanski, Peri, & Zakai, 1991; Kruglanski, Webster, & Klem, 1993) menyimpulkan bahwa NFC menentukan proses mendapatkan informasi di fase awal proses pembentukan pengetahuan.
Studi selanjutnya yang dilakukan van Hiel dan
Mervielde (2002) menelusuri lebih lanjut mengenai peran ketidakpastian dan NFC dalam mengarahkan individu untuk melakukan pencarian informasi yang lebih mendalam. Van Hiel dan Mervielde menemukan
bahwa ketidakpastian
menggiring
individu pada proses
pemrosesan informasi yang lambat, terlebih lagi keduanya menemukan bahwa NFC menghalangi individu untuk mencari informasi tambahan. Webster dan Kruglanski (1994) menemukan bahwa mereka yang memiliki NFC tinggi cenderung tidak menyukai tugas kognitif yang kompleks, sedangkan mereka yang memiliki NFC rendah cenderung lebih tertarik dan menikmati proses berpikir yang kompleks dan memproses informasi secara lebih elaboratif. Berkaitan dengan hal ini, individu dengan NFC tinggi biasanya hanya menggunakan informasi pendahuluan dalam membuat sebuah penilaian, dibandingkan dengan mereka dengan NFC rendah yang berusaha untuk melibatkan lebih banyak informasi dalam membuat penilaian sekalipun informasi yang diterimanya saling bertentangan. Selain itu, kecenderungan untuk segera menemukan jawaban berdasarkan informasi pendahuluan dan dengan segera mempertahankan jawaban tersebut membuat individu dengan tingkat NFC yang tinggi memproses sedikit informasi dan melakukan generalisasi dari sedikit data yang tersedia sebelum kemudian melakukan penilaian. Paradoksnya, mereka justru merasa
lebih yakin terhadap
penilaian-penilaian
tersebut
meskipun
mereka
kurang
mendasarkan penilaian tersebut melalui penelusuran yang menyeluruh. Hal ini dikarenakan semakin sedikit alternatif hipotesis yang dilibatkan dalam penilaian, penilaian yang dilakukan semakin terlihat masuk akal dan ini yang membuat individu merasa percaya diri. Dalam membentuk penilaian-penilaian mengenai orang lain atau sejumlah peristiwa, individu dalam keadaan NFC tinggi cenderung mencari informasi yang lebih sedikit sebelum membentuk
sebuah pendapat. Webster, Richter, dan Kruglanski
(1996) melakukan
eksperimen dengan meminta mahasiswa untuk bermain peran sebagai petugas administrasi yang sedang bertugas untuk menyeleksi pelamar kerja. Mereka menemukan bahwa partisipan dalam kondisi NFC tinggi (dibandingkan dengan NFC rendah) meminta informasi relevan yang lebih sedikit sebelum mereka membentuk impresi terhadap pelamar kerja.
Apakah penantang…, Pravitasari, FPsi UI, 2013
NFC juga memiliki pengaruh terhadap pembentukan hipotesis. Dalam membentuk sebuah penilaian atau opini, individu sering memunculkan sejumlah dugaan (hipotesis) berdasarkan fakta yang ia ketahui, dan kemudian memilih satu di antaranya berdasarkan informasi
selanjutnya
yang relevan.
Eksperiman
Mayseless
dan Kruglanski
(1987)
menemukan bahwa partisipan yang berada dalam kondisi need to avoid closure menghasilkan dugaan (hipotesis) yang lebih banyak daripada partisipan yang berada dalam kondisi kontrol. Sedangkan, partisipan yang berada dalam kondisi NFC menuliskan hipotesis yang lebih sedikit daripada partisipan pada kelompok kontrol (Kruglanski & Chun, 2008).
Metode Penelitian Sebanyak 37 partisipan yang datanya dapat dilibatkan dalam penelitian ini merupakan mahasiswa program sarjana di Universitas Indonesia. Instruksi awal yang diberikan pada partisipan adalah bahwa mereka akan diberikan informasi mengenai dua kandidat gubernur. Partisipan kemudian diminta untuk membaca riwayat kedua kandidat yang disajikan secara sekuensial dalam satu halaman. Informasi mengenai latar belakang kedua kandidat meliputi track record yang terdiri pengalaman bekerja di instansi pemerintahan dan riwayat organisasi, partai pengusung, dan usia. Pemilihan informasi di atas didasarkan pada hasil elistiasi mengenao hal apa saja yang dianggap penting untuk dipertimbangkan ketika mengevaluasi kandidat gubernur dan melibatkan 112 mahasiswa UI untuk mengetahui. Penulis menyajikan keempat hal tersebut dengan setara pada kedua profil kandidat agar tidak menjadi variabel sekunder yang mempengaruhi individu. Penulis memvariasikan profil kedua kandidat dalam hal prestasi dan potensi. Kandidat petahana digambarkan sebagai kandidat yang telah memiliki
prestasi sebagai penerima
penghargaan
pemerintahan,
sedangkan
kandidat
penantang digambarkan sebagai kandidat yang memiliki potensi untuk meraih hal yang telah dicapai oleh kandidat petahana. Peneliti juga melakukan counterbalance dalam
hal
penyajian urutan informasi mengenai kandidat kepada partisipan yang diacak berdasarkan hasil random assignment. Setelah selesai membaca informasi, partisipan diminta untuk menyelesaikan beberapa pertanyaan yang mengukur variabel terikat, yaitu preferensi. Alat ukur preferensi terdiri dari dua bagian, yaitu, penilaian positif dan negatif. Respon terhadap item-item pertanyaan mengenai preferensi disediakan dalam bentuk skala dari 1 (sama sekali tidak tertarik / sukses, sangat rendah) hingga 9 (sangat tertarik / sukses, sangat tinggi). Total item penilaian positif terhadap masing-masing kandidat sebanyak 4 buah, sedangkan penilaian negatif sebanyak 2 buah.
Apakah penantang…, Pravitasari, FPsi UI, 2013
Pengukuran dorongan untuk mendapatkan jawaban dilakukan dengan menggunakan need for closure scale (NFCS) dalam bahasa Indonesia yang telah diadaptasi oleh Bagaskara (2009) dari NFCS yang dikembangkan oleh Webster & Kruglanski (1994). 35item NFCS yang diadaptasi oleh Bagaskara memiliki nilai reliabilitas Cronbach’s α sebesar 0,898. NFCS teridiri dari lima subfaktor: dorongan untuk dapat memprediksi (desire for predictability), ketertarikan terhadap keteraturan dan ketidaknyamanan dalam
struktur (preference for order and structure),
menghadapi ketaksaan(discomfort with ambiguity), ketegasan
(decisiveness), dan berpikiran tertutup (close-mindedness).
Hasil Penelitian Penulis memulai analisis dengan melakukan kalkulasi skor preferensi setiap partisipan. Skor yang dilibatkan dalam pengujian statistik mixed-design ANOVA 2 (petahana atau penantang) x 2 (kondisi counterbalance) merupakan skor hasil pengurangan jumlah skor item penilaian positif terhadap penilaian negatif. Didapatkan hasil bahwa pengaruh utama (main effect) dari ketidakpastian terhadap preferensi adalah F(1, 36) = 4.46, p < .05. Hal ini menunjukkan bahwa adanya ketidakpastian yang menyertai informasi kandidat berpengaruh terhadap preferensi partisipan, yaitu kandidat petahana (M = 16.22, SD = 6.32) lebih disukai dibandingkan penantang
(M = 14.19, SD = 4). Tidak ditemukan pengaruh utama yang
signifikan dari kondisi counterbalancing terhadap preferensi F(1, 36) = 1,98, p > .05 dan tidak ditemukan pengaruh interaksi (F < 1). Hasil ini mengindikasikan bahwa pada berbagai tingkat ketidakpastian, tidak terdapat pengaruh dari urutan pemberian infromasi terhadap preferensi kandidat. Perhitungan simple / linear regression dilakukan untuk mengetahui apakah dorongan untuk mendapatkan jawaban atau need for closure berpengaruh terhadap preferensi pemilih dalam pemilihan kandidat. Dari perhitungan yang dilakukan, didapatkan hasil bahwa dorongan untuk mendapatkan jawaban tidak secara signifikan menjelaskan varians preferensi pemilih (F(1,36) = 0.208, p >.05, R2 = .006, R2Adjusted = -.022). Begitu pula hasil perhitungan terhadap koefisien Beta menunjukan bahwa dorongan untuk mendapatkan jawaban yang dimiliki oleh partisipan tidak signifikan mempengaruhi preferensinya (β = .0773, t(36) = .45, ns) Pembahasan Penelitian ini merupakan studi replikasi terhadap studi yang dilakukan Tormala, Jia, dan Norton (2012) mengenai pengaruh informasi tak pasti terhadap preferensi individu.
Apakah penantang…, Pravitasari, FPsi UI, 2013
Dibandingkan dengan studi yang dilakukan oleh Tormala, Jia, dan Norton (2012) penelitian ini memiliki beberapa perbedaan. Pertama, konteks yang digunakan dalam penelitian adalah konteks perekrutan pekerja. Tormala, Jia, dan Norton membandingkan dua kandidat untuk mengetahui kandidat mana yang lebih disukai untuk direkrut oleh partisipan. Sedangkan dalam penelitian
ini, konteks
yang digunakan
adalah
pemilihan
gubernur
untuk
membandingkan apakah kandidat petahana yang memiliki prestasi atau kandidat penantang yang memiliki potensi positif, yang lebih disukai untuk dipilih sebagai gubernur. Perbedaan konteks ini menurut penulis mungkin menjadi penyebab ditemukannya hasil yang berbeda dengan temuan Tormala, Jia, dan Norton. Secara umum, tidak ditemukan gejala preference for potential
dalam penelitian ini.
Sebaliknya, justru ditemukan gejala preference for
achievement. Hal ini didukung oleh pendapat Warren, McGraw, dan van Boven (2010) yang mengatakan bahwa proses pembentukan preferensi berlainan pada konteks yang berbeda. Preferensi yang dibentuk individu pada konteks tertentu tidak dapat dipastikan akan sama dengan preferensi yang dibentuk pada konteks lain. Dalam hal ini, mungkin saja memang dalam konteks pemilihan gubernur, gejala preference for achievement yang lebih mungkin terbentuk dibandingkan dengan kemunculan gejala preference for potential. Perbedaan kedua, pada penelitian Tormala, Jia, dan Norton (2012) variabel bebas yang terlibat adalah ketidakpastian Pada penelitian terdapat penambahan variabel bebas yang terlibat yaitu tingkat need for closure (NFC). Meskipun pengujian menggunakan simple / linear regression menunjukkan bahwa need for closure tidak berpengaruh secara signifikan terhadap preferensi kandidat, namun perbandingan meanmenunjukkan bahwa nilai rata-rata penilaian positif partisipan dengan skor NFC rendah terhadap petahana (M = 23.93, SD = 5.5) lebih rendah dibandingkan penantang (M = 24.47, SD = 3.8). Sedangkan nilai rata-rata penilaian positif partisipan dengan skor NFC tinggi terhadap petahana lebih tinggi dibandingkan penantang. bahwa nilai rata-rata penilaian positif partisipan dengan skor NFC rendah terhadap petahana lebih rendah dibandingkan penantang. Temuan ini sejalan dengan temuan studi-studi sebelumnya bahwa individu dengan NFC yang rendah biasanya lebih toleran terhadap adanya perasaan tidak nyaman yang ditimbulkan oleh ketidakpastian. Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh ketidakpastian dan dorongan untuk mendapatkan jawaban terhadap preferensi kandidat. Dari hasil pengujian statistik yang telah dilakukan, berikut ini beberapa temuan yang didapatkan: 1. Terdapat pengaruh ketidakpastianterhadap preferensi kandidat
Apakah penantang…, Pravitasari, FPsi UI, 2013
2. Tidak terdapat pengaruh dari tingkat NFC terhadap preferensi kandidat. Dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini partisipan mempertimbangkan kandidat dengan prestasi sebagai kandidat yang lebih mengesankan dibandingkan kandidat
yang
digambarkan memiliki potensi. Partisipan juga menunjukan adanya preferensi umum untuk memilih kandidat petahana sebagai kandidat gubernur. Saran Saran yang peneliti coba berikan untuk penelitian selanjutnya, antara lain: 1.
Memperbesar jumlah sampel penelitian
2.
Menggunakan skala likert dalam jumlah genap untuk menghindari respon indifferent dari partisipan. Selain itu juga mempertimbangkan pilihan respon verbal untuk mendapatkan sensitivitas pengukuran yang lebih baik.
3.
Melakukan manipulasi situasional terhadap variabel NFC.
4.
Melakukan replikasi penelitian langsung (direct replication) atau konseptual
(conceptual
replication).
Misalnya,
melibatkan
replikasi
penggunaan
framing risiko untuk mengetahui lebih lanjut mengenai dinamika preferensi terhadap petahana dan penantang atau dengan menguji gejala preference for potential dalam konteks lain untuk mengetahui kekokohan / robustness gejala ini. Kepustakaan Bagaskara, S. (2009). Fundamentalisme
dan Closed-Mindedness:
Peran religiusitas,
intolerance of uncertainty, dan need for closure terhadap fundamentalisme agama (Tesis Pascasarjana Fakultas Psikologi UI) Bar-Anan, Y., Wilson, T. D. & Gilbert, D. T. (2009). The feeling of uncertainty intensifies affective reactions. Emotion, 9(1), 123–127. doi: 10.1037/a0014607 Chirumbolo, A., Areni, A., & Sensales, G. (2004). Need for cognitive closure and politics: Voting, political attitudes and attributional style. International Journal of Psychology 39, 245. Chirumbolo, A., & Leone, L. (2008). Individual differences in needfor closure and voting behaviour. Personality and Individual Differences, 44, 1279–1288. Dijksterhuis, A., van Knippenberg, A., Kruglanski, A.W. & Schaper, C. (1996). Motivated social cognition: Need for closure effects on memory and judgments. Journal of Experimental Social Psychology, 32, 254-270.
Apakah penantang…, Pravitasari, FPsi UI, 2013
Eidelman, S., Crandall, C. S.,& Pattershall, J. (2009). The existence bias. Journal of Personality and Social Psychology, Vol 97(5), p 765-775. doi: 10.1037/a0017058 Ellsberg, D. (1961). Risk, ambiguity, and the savage axioms. Quarterly Journal of Economics 75 (4), p 643–669.doi:10.2307/1884324 Ford, T. E., & Kruglanski, A. W. (1995). Effects of epistemic motivations on the use of accessible constructs in social judgments. Personality and Social Psychology Bulletin, 21, 950-962. Gal, D., & Rucker, D. D. (2010). When in doubt, shout! Paradoxicalinfluences of doubt on proselytizing. Psychological Science, 21, 1701–1707. Gerard, H. B., & Greenbaum, C. W. (1962). Attitudes toward an agent of uncertainty reduction. Journal of Personality, 30, 485–495. Giacomantonio, M., Pierro, A., &Kruglanski, A. W. (2011). Leaders’ Fairness and Followers’ Conflict Handling Style: The Moderating Role of Need For Cognitive Closure. International Journal of Conflict Management,22, 358-372. Gneezy, U., List, J. A., & Wu, G. (2006). The uncertainty effect: When arisky prospect is valued less than its worst possible outcome. The Quarterly Journal of Economics, 121, 1283–1309. Golec, A. & Federico, C. M., (2008). Need for closure and conflict-strategy preferences: Experimental evidence for the moderating role of salient conflict schemas. European Journal of Social Psychology, 38, 84-105 Kagan, J. (2009). Categories of novelty and states of uncertainty. Review of general psychology, 13 (4) p.290-301 Kahneman, D., & Tversky, A. (1979). Prospect theory: An analysis ofdecision making under risk. Econometrica, 6, 621–630. Knight, F. H. (1921). Risk, uncertainty, and profit. Boston: Houghton Mifflin. Kruglanski, A. W. (1989). Lay epistemics and human knowledge: cognitive and motivational bases. New York: Plenum Kruglanski, A. W. (1990). Lay epistemics theory in social cognitive psychology. Psychological Inquiry, I, 181-197 Kruglanski, A. W. & Freund, T. (1983). The freezing and unfreezing of lay-inferences: effects on impresional primacy, ethnic stereotyping, and numerical anchoring. Journal of Experimental Psychology, 19, 448-468 Kruglanski, A. W. &Webster, D. M. (1996). Motivated clsing of the mind: “seizing” and “freezing”. Psychological Review, 103(2), 263-283.
Apakah penantang…, Pravitasari, FPsi UI, 2013
Kruglanski, A. W., & Chun, W. Y. (2008). Motivated closed-mindedness and its social consequences. Dalam J. Y. Shah, & W. L. Gardner (Ed.), Handbook of motivation science (p. 84-99). New York: The Guilford Press. Kruglanski, A. W., & Freund, T. (1983). The freezing and unfreezing of lay inferences: Effects on impressional primacy, ethnic stereotyping and numerical anchoring. Journal of Experimental Social Psychology, 19, 448—468. Kruglanski, A. W., Webster, D. M., & Klem, A. (1993). Motivated resistance andopenness to persuasion in the presence or absence of prior information. Journalof Personality and Social Psychology, 65, 861-877. Kruglanski, A. W., Atash, M. N., De Grada, E., Mannetti, L., & Pierro, A. (1997). Psychological theory testing versus psychometric nay saying: Need for closure scale and the Neuberg et al. critique. Journal of Personality and Social Psychology, 73, p. 1005-1016 Kruglanski, A.W.(2004) The psychology of closed-mindedness. New York: Psychology Press Lauriola, M., Levin, I. P. & Hart, S. S. (2007). Common and distinct factors in decision making under ambiguity and risk: a psychometric study of individual differences. Organizational Behavior and Human Decision Process, 104, 130-149 Lembaga Survei Indonesia. (2013). Rekapitulasi hasil pilkada. Jakarta: LSI Lindley, D. V. (2006). Understanding uncertainty. Kanada: John Wiley & Sons Mayseless, O., & Kruglanski, A. W. (1987). What makes you so sure?: Effects of epistemic motivations on judgmental confidence. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 39, 162—183. Petty, R. E., & Cacioppo, J. T. (1986). Communication and persuasion: Central and peripheral routes to attitude change. New York: Springer-Verlag. Pierro, A., Cicero, L., Bonaiuto, M., van Knippenberg, D., & Kruglanski, A. W. (2005). Leader group prototypicality and leader effectiveness: The moderating role of need for cognitive closure. The Leadership Quarterly, 16, 503-516. Pierro, A., Mannetti, L., De Grada, E., Livi, S., & Kruglanski, A. W. (2003). Autocracy bias in informal groups under need for closure. Personality and Social Psychology Bulletin,29, 405-417. Tormala, Z., & Rucker, D.D. (2007). Attitude certainty: A review of past findings and emerging perspectives. Social and Personality Psychology Compass, 1, 469-492. Tormala, Z., Jia, J. & Norton, M. (2012). The preference for potential. Journal of Personality and Social Psychology. doi: 10.1037/a0029227
Apakah penantang…, Pravitasari, FPsi UI, 2013
Tversky, A., & Quattrone, G. A. (2004). Contrasting rational and psychological analyses of political choice, dalam Jost, J. T., Sidanius, J (eds). Key Readings in Political Psychology. New York: Taylor & Francis Books Van Hiel, A., & Mervielde, I. (2002). The effect of ambiguity and need for closure on the acquisition of information. Social Cognition, 20, 380-408. Warren, C., McGraw, P., &van Boven, L. (2010). Values and preferences: defining preference construction, Cognitive Science, 2, p. 193-205.doi: 10.1002/wcs.98 Webster, D. M., & Kruglanski, A. W. (1996). Motivated closing of the mind. American Psychological Association, 103, 263-283. Webster, D. M., Kruglanski, A. W., & Pattison, D. A. (1997). Motivated language use in intergroup context. American Psychological Association, 72, 1122-1131. Webster, D. M., Richter, L., & Kruglanski, A. W. (1996). On leaping to conclusionswhen feeling tired: Mental fatigue effects on impressional primacy. Journal of Experimental Social Psychology, 32, 181-195.
Apakah penantang…, Pravitasari, FPsi UI, 2013