Pratiwi Mayasari
REBOUND
Fairy Dust Publisher
1
Rebound Oleh: Pratiwi Mayasari Copyright © 2016 by Pratiwi Mayasari
Penerbit Fairy Dust Publisher by Pratiwi Mayasari happiness-project.blogspot.com www.storial.com/profile/pratiwimayasari
[email protected]
Desain Sampul: Pratiwi Mayasari (Some design elements were taken from Freepik)
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com (untuk pemesanan: bit.ly/reboundnovel atau email ke:
[email protected]) 2
Special for you, who have made me believe that I can write. Without you, I would’ve stopped writing 13 years ago.
3
PROLOG
Devon melangkah keluar ruang ganti tanpa ada yang berani menyapanya. Semua orang pasti bisa melihat betapa jengkelnya dia hari itu. Rahangnya yang kotak itu berulang kali berkedut, seakanakan ingin mengatakan sesuatu tapi tak ada suara yang keluar. Teman-temannya menjaga sebisa mungkin agar tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut itu karena mereka tak mau membayangkan setajam apa kata-kata yang akan meluncur kalau sampai mulut itu terbuka. Sebenarnya kejengkelannya hari itu hanya tertuju untuk satu orang: Diana. Kalau saja Diana bukan temannya sejak kecil, Devon tidak akan mau menginjakkan kakinya di lapangan basket sore itu. Ada banyak hal yang bisa dia lakukan selain membuang waktunya untuk bertanding melawan tim pecundang seperti SMA Allegia— duduk membaca buku di kedai kopi miliknya, mengerjakan tugas sekolah, bahkan mengajak anjingnya jalan-jalan. Semuanya karena Diana sudah terlanjur menantang tim basket Allegia tanpa persetujuan Devon. 4
Skill pemain payah. Pertahanan lemah. Koordinasi membingungkan. Playmaker tolol. Shooting meleset terus. Kalau Devon harus mencatat semua poin-poin kepayahan tim basket Allegia sepanjang pertandingan tadi, daftarnya akan panjang sekali. Benar-benar pertandingan yang buang-buang waktu. Saking kesalnya, Devon sampai membanting bola basket di tangannya hingga memantul tinggi. Hal itu membuat semua anggota timnya yang ada di sana menatapnya dengan ketakutan— alih-alih senang dengan kemenangan mereka. “Mengaku sajalah. Tim kalian payah.” Kejengkelan Devon meningkat dua kali lipat setelah mendengar Diana masih sempat-sempatnya mencela tim lawan mereka dan bukannya pulang. “Tim kami memang payah, tapi menyenangkan. Lagipula bukan aku yang memaksakan pertandingan ini. Kamu kan yang mau pamer?” Devon melihat cewek Allegia yang ada di hadapan Diana membalas ucapan Diana dengan santai. Cewek itu bahkan memainkan bola basket di tangannya. Devon lupa namanya, tapi cewek itu pasti yang pernah Diana ceritakan sebagai saingannya dari SD dulu. Devon memperhatikan cewek itu dari sudut matanya sambil ia mengeringkan keringat di tubuhnya dengan handuk kecil yang ia bawa. Cewek itu tak nampak ambisius dengan pertandingan ini. “Kalau memang ini taruhan di antara kalian, kenapa nggak kalian aja yang main sih?” sergah Tom sambil melempar sepatu basketnya ke tas dengan kesalnya. Ia sudah gerah kena getah kejengkelan Devon karena ulah mereka berdua. Di mobil sepanjang 5
perjalanan ke lapangan, Devon memang sempat beberapa kali memarahinya. “Oh nggak, makasih.” Si cewek Allegia hendak berbalik pergi bersamaan dengan Devon yang bangkit dari duduknya. “Kenapa? Takut ya?” Diana kembali cari masalah. Oke, cukup! Mau apa lagi mereka? Berkelahi seperti kucing? Devon merasa sekarang adalah saatnya ia menarik Diana sebelum waktunya terbuang lebih banyak lagi. Tapi baru saja Devon hendak melangkah masuk ke lapangan, langkahnya terhenti saat melihat si cewek Allegia melakukan hal yang tak terduga: tibatiba saja cewek itu berbalik sambil melemparkan bola basket di tangan kanannya ke belakang, melalui bahunya. Dan bola itu masuk ke dalam ring! Mata Devon seketika membelalak menyaksikannya. Ia sampai menjatuhkan botol minumnya hingga botol minum kesayangannya itu pecah dan menumpahkan sisa air di dalamnya. Semua orang menoleh menatap Devon tapi dia sendiri masih tak bisa melepaskan tatapannya dari punggung cewek itu hingga cewek itu menghilang di pintu lapangan. Beribu tanda tanya muncul di kepala Devon. Siapa dia? Bagaimana dia bisa melakukannya? Kalau dia memang sejago itu, bersembunyi di mana saja dia selama itu? Karena Devon berani sumpah belum pernah melihat wajahnya di pertandingan manapun. “Diana,” panggil Devon. Diana menghampiri Devon dengan langkah gemetar dan wajah pucat pasi. “Kita harus bicara.” Pandangan semua anggota tim mereka mengikuti Diana yang berusaha mengejar langkah Devon keluar dari lapangan itu. Diana 6
tak kunjung bercerita apa yang terjadi antaranya dan Devon hari itu—bahkan setelah beberapa hari peristiwa itu berlalu.
***
7
1
Ivy membuka laci kecil di dashboard mobil itu untuk mencari koin-koin yang bisa ia tumpuk lagi, tapi tak bisa menemukan satu pun. Ia sampai merogoh dompetnya sendiri, tak juga bisa menemukannya. Ia pun mengerang kesal dan menumbangkan menara koin yang telah ia susun. Koin-koin berserakan ke seluruh penjuru mobil, tapi ia tak peduli. Toh dari tadi ia membangun menara-menara itu memang untuk ditumbangkannya sendiri agar bisa dibangun lagi. Ivy kelewat bosan. Bosan yang ia rasakan telah terakumulasi menjadi rasa kesal. sebentar lagi rasa kesal itu akan menjadi kemarahan apabila ia dibiarkan menunggu 10 menit lagi saja. Ia telah berulang kali menengok ke arah gedung sekolah itu menunggu kemunculan sosok yang dicarinya, tapi kali ini ia berhenti. Ia memperhatikan sekolah itu dengan lebih seksama. Lapangan parkir itu menghadap ke arah gedung utama—sebuah gedung berdimensi horizontal yang membosankan. Siapapun yang membangun gedung itu pastilah terlalu malas untuk berpikir. Tinggal buat banyak kotak-kotak bangunan, lalu tempel lambang sekolah di tengahnya dan jendela-jendela di sisinya. 8
SMA Auguste. Ivy tak pernah menyukai sekolah ini. Bukan. Bukan karena kekalahan tim putra sekolah Ivy saat pertandingan yang dibuat sesuka hati oleh Diana waktu itu. Kalau itu sih Ivy tahu, tim putra sekolahnya memang tidak bisa diharapkan. Tapi pada dasarnya Ivy memang membenci karakter sekolah Auguste. Dari lapangan parkir saja Ivy bisa merasakan dinginnya dinding sekolah itu. Bagi Ivy, sekolah ini hanyalah sebuah sekolah elit yang dipenuhi siswa-siswi congkak. Tidak lebih. Ia tidak peduli dengan reputasi lainnya selain sekolah ini memiliki tim basket yang sangat kuat. Sayangnya reputasi itulah yang membuatnya terjebak di parkiran SMA Auguste sekarang. Bahkan sebelum berangkat, ia harus adu mulut dengan Rafael— ketua klub basketnya—dan membuat mereka menjadi tontonan di kantin. “Cuma mengantar surat undangan?! Kirim pos saja kenapa sih!” teriak Ivy tadi pagi sambil menghambur masuk ke kantin dan menyerbu meja Rafael. Tak lupa Ivy menarik piring makan Rafael yang berisi fish ‘n chips dan menahannya. Dengan muka frustasi, Rafael akhirnya menjawab, “Mereka akan tersinggung kalau kita cuma kirim via pos. Jangan bikin Allegia malu lagi dong. Kalah dari mereka 75-10 dari pertandingan waktu ini aja sudah cukup malumaluin.” “Trus, coba bilang kenapa harus aku yang antar?” tanya Ivy. Nada bicaranya melunak karena rasa bersalah yang menyelimutinya setelah kekalahan mutlak yang tim putra sekolahnya alami dari SMA Auguste beberapa minggu lalu. Setelah kekalahan itu, tak satu pun dari mereka bisa tersenyum. Terlebih lagi saking payahnya mereka sebagai lawan, kapten SMA Allegia sampai naik pitam dan membanting bola basketnya. Ya. Saking payahnya mereka. “Semua anak kelas dua belas ada ujian serentak.” Ivy memutar mata. Sengaja. Rafael pasti sengaja menyamakan jadwal pengantaran undangan dengan jadwal ujian mereka. 9
“Cecil? Eva? Keira? Dean?” “Cecil ada ujian susulan. Dean sakit, nggak masuk hari ini. Keira kuminta menemui sponsor. Eva…kurasa dia bilang dia ada percobaan Biologi yang nggak mau dia lewatkan.” Ivy rasanya mau muntah mendengar alasan Eva. Pelajaran Biologi mereka nanti adalah bedah katak dan nggak ada makhluk yang Eva paling takuti di dunia ini selain katak. Anak itu jelas-jelas merajuk untuk mengajaknya membolos di telepon semalam. “Aku nggak mau sendirian ke sana. Maksudku, ayolah! Siapa yang mau sendirian ke sana?!” Ivy menarik satu kentang goreng dari piring Rafael dan menggigitnya. Kentang itu sudah layu sampai membuat Ivy melempar potongan sisanya ke tempat sampah. “Begini saja. Kau ajak Rico, oke?” Setelah menyodorkan satu nama anak kelas sepuluh, Rafael nyengir memperlihatkan senyum kemenangannya. Senyum itu seakan-akan berkata kalau Ivy tidak mungkin menang melawan argumen Rafael siang itu. Rafael pasti sudah menyusun seribu alasan agar Ivy tetap ke Auguste. “Kita mau kemana?” Sepanjang perjalanan, Rico sudah bertanya lima kali tapi Ivy tetap tak menjawab sampai mereka tiba di depan gerbang SMA Auguste. Cowok itu langsung menatap ngeri pada lambang sekolah keemasan di gerbang raksasa itu, tapi tahu dirinya sudah terjebak dan tak ada yang bisa ia lakukan. Saat gerbang itu dibuka dan mereka masuk, rasanya seperti terhisap ke dalam lubang hitam. Suram dan sepi. “Kamu nggak ikut?” tanya Rico saat ia keluar mobil membawa surat undangan dan melihat Ivy masih duduk di bangku pengemudi. Bukannya menjawab, Ivy malah menutup pintu dan menguncinya dari dalam, lalu duduk diam sambil mengunyah permen karet. Dengan panik, Rico menepuk-nepuk kaca mobil, mencoba memaksa Ivy turun, tapi Ivy tak bergeming. 10
Anak itu akan baik-baik saja, Ivy mencoba meyakinkan dirinya sendiri saat melihat Rico tadi berjalan menuju lobi Auguste. Tapi kini Ivy berniat menarik ucapannya. Anak itu tidak mungkin baikbaik saja. Hampir tiga puluh menit Rico tidak muncul. Itu tidak mungkin ‘baik-baik saja’. “Rico?” Ivy menjawab panggilan masuk Rico di ponselnya dengan penuh kekhawatiran. “Ivy...” suara Riko terdengar bergetar. Ah sial! Ada apa lagi ini? “Rico, ada apa?” Ivy sudah menarik kunci mobilnya dan bersiap untuk turun. Tadinya ia berniat untuk menginjak gas dan menabrakkan mobilnya ke pintu lobi sekolah itu. “Ivy… Kau harus kemari…” “Oke, oke. Diam di tempatmu. Aku akan ke sana sekarang.” Setengah iba dan setengah geram, Ivy mengantongi ponselnya lalu membanting pintu mobilnya. Walaupun Ivy tahu tak ada urusan yang mudah dengan anak-anak Auguste, tapi ia tak menyangka suara Rico bisa gemetar seperti itu. Tidak ada yang mau berurusan dengan anak-anak Auguste. 3 tahun yang lalu, nama sekolah Ivy, Allegia, dan kaptennya, Zach, masih dielu-elukan di lapangan. Tak ada yang bisa merebut gelar MVP dari Zach. Setengah remaja putri di kota itu bermimpi menjadi pacarnya—termasuk Ivy. Tidak hanya Zach, tim SMA Allegia juga diperkuat oleh banyak pemain bagus. Sepeninggalan angkatan Zach, prestasi tim basket sekolahnya merosot tajam. Kebalikannya, tim basket SMA Auguste melesat dan menjadi yang terkuat hingga saat ini. Nama Devon Echlas langsung mencuat menggantikan Zach sebagai idola lapangan. Resikonya terlalu besar jika tidak mengundang tim basket SMA Auguste dalam turnamen yang akan mereka adakan. Auguste menjadi daya tarik tidak hanya untuk penonton, tapi juga bagi timtim sekolah lain untuk ikut serta. Keikutsertaan Auguste seperti tolak ukur layak-tidaknya turnamen tersebut. Maka, Ivy pun sangat 11
mengerti mengapa mereka harus bersikap sebaik mungkin kepada SMA Auguste. Ini juga menyangkut masalah pendapatan dari tiket pertandingan yang akan berbeda jauh akibat hadir atau absennya SMA Auguste. Ini benar-benar membuat Ivy kesal. Menurutnya, sekolahnya harus berhenti merendahkan diri di depan Auguste atau untuk selamanya mereka akan diinjak-injak. Ivy berjalan cepat menyusuri lorong sekolah itu. Ia harus mencari sendiri ruangan klub basket di sekolah sebesar itu karena tak satu pun terlihat manusia di sepanjang lorong sekolah. Butuh lebih dari lima belas menit untuk tiba di ruangan yang dituju. Itu pun karena ia memaksa seorang siswi Auguste yang sedang berjalan kembali dari toilet untuk mengantarnya. Wajah cewek itu terlihat sekusut kertas koran yang habis diremas—membuat Ivy bertanya-tanya apa sekolah ini menerapkan sistem hukum gantung bagi mereka yang tidak lulus sampai murid-muridnya tampak stres seperti itu. Ketika Ivy masuk, ia bisa melihat Rico duduk dikelilingi beberapa anak-anak klub basket Auguste yang berwajah tidak ramah. Tubuh Rico yang jauh lebih kecil terlihat mengerut di antara mereka. Jadi begini cara mereka memperlakukan tamu? gerutu Ivy dalam hati. “Ada apa?” Mereka tidak menjawab pertanyaan Ivy, melainkan menatap sosok yang muncul di pintu. Devon Echlas, sang kapten, berjalan menuju loker. Ia menyimpan buku-bukunya ke dalamnya tanpa bicara sepatah katapun. Jangankan bicara, menatap Ivy pun tidak. Cowok itu asyik melepas dasi dan blazernya lalu menggulung lengan kemejanya, seakan Ivy dan Rico tak pernah ada di sana. Baru saja Ivy berniat untuk menarik Rico pergi, Devon akhirnya keluar suara juga, walaupun tatapannya masih berfokus pada lengan kemejanya, “Mengirim kurir untuk mengirimkan surat undangan pertandingan. Di mana sopan-santun kalian?” 12
Ivy terhenyak. Ia melangkah mundur, menyandarkan punggungnya pada dinding ruangan sambil melipat tangan dan memandang cowok tengil itu. Sopan-santun? Dia bicara soal sopansantun? Kurang sopan apa mereka sampai menyempatkan diri mengantar langsung surat undangan untuk sekolah sialan ini? Apa menurut cowok itu dia cukup sopan, tidak menyambut tamunya dengan ramah? Mata Ivy kemudian beralih pada Rico. Cowok itu sepertinya tak peduli lagi dia dipanggil kurir atau apa. Rico hanya menunduk memandangi lututnya sendiri. Anak itu hanya ingin pergi dari sana. Ivy pun sama. “Kalian serius soal turnamen ini?” Cowok itu akhirnya berbalik menghadap Ivy. Sebelah alisnya terangkat, senyum sinisnya meledek surat undangan yang sudah ada di tangan kanannya. “Apa kami kelihatan sedang main-main?” Ivy membalas dengan nada yang lebih dingin. Devon menatap Ivy sejenak lalu mengangkat bahunya. “Kelihatannya begitu. Selama tiga tahun kalian nggak pernah menang apapun, tiba-tiba bikin turnamen. Kelihatannya seperti turnamen main-main. Cuma coba-coba untuk menaikkan nama kalian lagi?” Luar biasa. Sekalinya laki-laki ini bicara panjang lebar, lidahnya setajam pisau. “Untungnya buat kita? Nggak—ada. Piagam kalian nggak laku buat daftar kuliah,” sergah cowok itu lagi. Kekesalan di diri Ivy memuncak saat Devon melempar undangan yang mereka antarkan dengan susah payah ke atas meja. Surat itu tak berhenti meluncur dan berakhir terjun ke kolong meja. “Ambil,” desis Ivy.
13
Cowok itu yang tadinya berniat melengos pergi, langsung menghentikan langkahnya. Dagunya terangkat dan pandangannya menancap ke mata Ivy. “Apa kau bilang?” tanya cowok itu dengan nada yang luar biasa mengintimidasi. Tapi kali ini Ivy tidak takut. Ia tidak susah payah kemari hanya untuk dipermalukan. Tanpa pikir panjang, Ivy langsung menarik kerah baju Devon dan menahan tubuhnya di dinding dengan kerasnya sampai kalender dinding di sebelah mereka terjatuh. “Ambil undangannya dan letakkan dengan baik di atas meja. Walaupun kalian nggak berniat ikut serta, tapi paling nggak hargai kerja keras teman-temanku.” Devon terlihat sangat terkejut dengan apa yang dilakukan Ivy. Dengan tubuh yang tertahan di dinding, cowok itu menatap Ivy dengan tatapan nanar. Semua orang yang ada di sana ikut membeku menyaksikan hal itu. “Kalau nggak mau ikut, tinggal bilang. Nggak usah banyak omong.” Ivy menghentakkan kedua tangannya untuk menunjukkan urusannya telah selesai di sana. “Ivy…” Rico mencoba mengejar langkah Ivy yang kini berjalan dengan kecepatan tinggi. “Kita harus bagaimana? Bilang apa nanti ke Rafael?” “LARI, RICO! LARI!” perintah Ivy saat bisa merasakan tatapan Devon masih mengamati dari balik punggung mereka. Mereka berduapun berlari sekencang mungkin, menembus semua orangorang yang mulai bermunculan di lorong itu. Setelah membanting pintu mobil dengan keras, Ivy menancap gas menuju pintu keluar. Ia tak peduli pada sekuriti yang meneriakinya. Yang terpenting sekarang adalah menyelamatkan diri sendiri.
***
14