PRAKTIK JURNALISME BERPERSPEKTIF GENDER DI RADIO BERSEGMENTASI PEREMPUAN (STUDI KASUS SHE RADIO FM SURABAYA)
Oleh: Nadia Safira (071211533028)-AB
[email protected]
ABSTRAK Penelitian yang berjudul Praktik Jurnalisme Berperspektif Gender di Radio Bersegmentasi Perempuan (Studi Kasus She Radio FM Surabaya) ini membahas mengenai praktik jurnalisme yang dilakukan di radio bersegmentasi perempuan. Topik ini dianggap menarik karena dunia jurnalisme seringkali diasosiasikan dengan dunia laki-laki, sedangkan She Radio muncul dengan segmen pendengar perempuan sehingga asumsinya She Radio sudah tidak memunculkan ketidakseimbangan mengenai gender dalam praktik jurnalismenya dan memposisikan perempuan dan laki-laki secara setara dan tidak mengidentikkan peran gender sebagai peran jenis kelamin. Peneliti menggunkaan tinjauan pustaka Peran Jurnalisme Berperspektif Gender dalam Media; Nilai-Nilai Personal Jurnalis dan Institusi Media Tempatnya Bekerja; dan Radio Bersegmentasi Perempuan sebagai Industri. Peneliti dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tipe penelitian eksploratif untuk dapat menjelaskan secara mendalam mengenai praktik jurnalisme berperspektif gender di radio bersegmentasi perempuan. Dari analisis yang telah dilakukan oleh peneliti, ditemukan bahwa pada praktik jurnalisme radio di She Radio masih belum sepenuhnya berperspektif gender karena masih ada bias-bias yang didasarkan pada stereotip yang berkembang di masyarakat sehingga memunculkan pemilihan sudut pandang dalam pembahasan topik menjadi kurang berperspektif gender.
Kata Kunci: Perspektif Gender, Praktik Jurnalisme, She Radio, Peran Gender. PENDAHULUAN Penelitian ini mengenai praktik jurnalisme berperspektif gender di She Radio FM . Asumsi dasar dari penelitian ini adalah She Radio sebgai media bersegmentasi perempuan yang memiliki visi memberdayakan perempuan mungkin saja telah melakukan praktik jurnalisme berperspektif gender karena jurnalis laki-laki dengan jumlah seimbang dengan jurnalis perempuan, yakni 4 jurnalis laki-laki dan 3 jurnalis perempuan, dengan beban kerja yang sama. Hal ini bertolak belakang dengan pendapat Mosse (dalam Fakih, 2002 : 5) yang menyatakan bahwa semua masyarakat memiliki pembagian kerja berdasarkan gender, karena di She Radio FM struktur organisasinya tidak menunjukkan adanya bias gender atau dominasi gender tertentu. Penelitian ini menunjukkan apakah She Radio FM telah melakukan praktik jurnalisme berperspektif gender. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
dengan tipe penelitian eksploratif agar dapat menjelaskan secara mendalam dan mengungkap informasi-informasi tentang penelitian ini. Ignatius Haryanto (2013) menyatakan bahwa perspektif gender merupakan perspektif dalam melihat permasalahan ekonomi, sosial, politik dan budaya dengan tidak membedakan antara lelaki dan perempuan. Aneka permasalahan di atas dapat dilihat sebagai suatu konstruksi sosial masyarakat, sehingga pembedaan antara lelaki dan perempuan dalam melihat aneka persoalan itu menjadi tidak relevan (Haryanto, 2013 : 1). Tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dapat diartikan sebagai tidak menjatuhkan salah satu pihak dan tidak mengidentikkan jenis kelamin tertentu terhadap peran gender tertentu. Praktik jurnalisme sendiri dipahami sebagai keseluruhan proses yang terjadi pada industri media mulai dari rapat untuk menentukan tema informasi sampai dengan penayangan agar bisa disaksikan oleh khalayak luas (Hartono, 2012 : 3). Sehingga berdasakan definisi diatas, praktik jurnalisme berperspektif gender ialah seluruh proses yang terjadi di industri media yang di lakukan dengan melihat segala permasalahan dari sudut pandang yang tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, maupun mengidentikkan suatu permasalahan kepada gender tertentu. Awal ketertarikan peneliti untuk meneliti permasalahan ini berangkat dari kunjungan peneliti sebelum penelitian untuk mewawancara manajer siaran She Radio. Pada saat itu manajer siaran mengklaim bahwa She Radio bukan radio untuk wanita, tetapi radio tentang wanita yang dapat memenuhi kebutuhan wanita baik secara informasi, hiburan maupun lifestyle sekaligus mengedukasi. Selain itu She Radio juga memiliki visi untuk menjadi sumber pemberdayaan bagi masyarakat, yakni perempuan, melalui media telekomunikasi. Namun, walaupun memiliki klaim-klaim seperti yang sudah dijelaskan di atas, She Radio justru mempekerjakan jurnalis laki-laki di radionya dengan jumlah yang seimbang. Data di atas merupakan temuan menarik, karena berdasarkan survei UNDP pada tahun 2011, ditemukan bahwa dalam sisi kesetaraan gender, Indeks Pembangunan Gender Indonesia masih berada di posisi ke 87 dari 154 negara dengan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan yang hanya 37.03% sedangkan laki-laki mencapai 62.07%. Berdasarkan survei, diatas dominasi laki-laki di bidang kerja memang cukup tinggi, begitu pula di bidang kerja yang menyangkut tentang media. Secara kuantitatif, jumlah jurnalis perempuan di Indonesia memang bertambah, namun masih kalah jumlah dengan jurnalis laki-laki. Berdasarkan survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) (dalam Luviana, 2012) pada tahun 2012 ditemukan data bahwa dari 10 jurnalis, hanya ada 2 atau 3 jurnalis perempuan atau secara persentase masih 91.4% berbanding dengan 8.6%. Jumlah yang berbeda jauh itu
membuat posisi perempuan juga tertinggal karena hanya 6% jurnalis perempuan yang bisa duduk di kursi redaksi, atau sekitar 94% hanya menjadi reporter yang tidak memiliki hak untuk mengambil keputusan. Berdasarkan data di atas, kemunculan media yang segmen audiensnya mengkhususkan untuk perempuan menjadi sesuatu yang unik, karena dari jumlah pelaku medianya saja sudah kalah banyak dari laki-laki. Walaupun sudah ada penjelasan bahwa sebenarnya perspektif gender bisa diukur dan dipertukarkan, tetapi berbagai hasil penelitian tetap menunjukkan bahwa menempatkan laki-laki di media yang bersegmentasi perempuan masih menunjukkan resiko terjadinya bias. Seperti hasil penelitian Susanti & Suryandaru (2008) ditemukan hasil bahwa sebagian besar pengelola media masih memiliki kepercayaan dan nilai gender yang bias. Hasil penelitian diatas didukung dengan pendapat Irigaray dalam artikel ‘Jurnalisme Gender’ oleh Yayan Sakti Suryandaru (2013) yang menyatakan bahwa perempuan seringkali dideskripsikan sebagai sosok yang tidak mengerti keinginannya sendiri. Berdasarkan tulisan Iwan Awaludin Yusuf (2004) dalam jurnal ‘Kepekaan Gender dalam Jurnalisme’, media yang membidik perempuan sebagai segmen audiensnya seringkali terjebak di pemberdayaan perempuan pada sektor domestik seperti bagaimana perempuan harus bisa memasak dan menjadi istri yang baik, jarang sekali bahkan media perempuan yang membahas tentang bagaimana perempuan harus dapat menyuarakan pendapat politiknya dan lain-lain. Kalaupun ada, biasanya keberhasilan perempuan di ruang publik digambarkan sebagai suatu pencapaian luar biasa, tanpa menyadari hal tersebut seharusnya menjadi hal yang lumrah karena perempuan memang memiliki hak yang setara dengan laki-laki. Salah satu media yang paling fokus segmentasinya adalah radio, dimana di Indonesia sendiri, radio di kota-kota besar tidak lagi membidik semua lapisan pasar dan telah membidik segmen secara terbatas (Morissan, 2009 : 177-178). Radio telah mengkhususkan ke peminatan-peminatan tertentu, termasuk ke segmen audiens perempuan. Selain itu, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai radio karena pada tahun 2015, hasil survei KPI menyatakan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh media penyiaran mencapai 215 teguran dan meningkat dari tahun 2014 yang hanya berkisar 100 teguran. Namun dari 215 teguran tersebut hanya 4 teguran yang dilayangkan pada media radio dan keempatnya bermasalah akibat melecehkan perempuan dalam siarannya. Hal ini menunjukkan walaupun KPI pernah menyatakan memiliki upaya untuk mengentaskan bias gender di media penyiaran, namun nyatanya KPI kurang member perhatian pada kasus-kasus yang terjadi di media radio.
Dengan demikian, akan menjadi menarik untuk mencari tahu apakah radio perempuan telah terbebas dari bias gender. Berdasarkan data jumlah radio di Surabaya dari InfoSby.com, jumlah radio bersegmentasi perempuan terbilang masih minoritas di Surabaya, sebab dari sekitar 42 radio FM yang mengudara di Surabaya hanya ada dua radio yang mengkhususkan diri untuk perempuan yakni She Radio FM dan Metro Female. Peneliti tertarik untuk meneliti She Radio karena tidak seperti Metro Female yang terang-terangan menyatakan bahwa hanya perempuan yang mengerti kebutuhan perempuan dan menyabet penghargaan rekor Muri All Female Crew pada tahun 2003, She Radio FM justru memiliki jurnalis laki-laki dengan komposisi ruang redaksi yang berimbang antara jurnalis laki-laki maupun perempuan. Peneliti tertarik untuk meneliti praktik jurnalisme di She Radio FM karena merupakan radio bersegmentasi perempuan tetapi juga mempekerjakan laki-laki. Format She Radio yang hanya memiliki satu program besar, yakni She and Friends on the Air yang berupa diskusi dan pembahasan mengenai isu-isu yang berkembang di masyarakat dilihat dari sudut pandang perempuan dan ditayangkan dari pukul 05.00-24.00, dan diluar itu berformat rekaman (taping) membuat She Radio mempekerjakan jurnalisnya secara full time sehingga mereka bertanggung jawab untuk memproduksi sendiri isi siarannya sekaligus menyiarkannya. Dengan format tersebut, She Radio mengaku tidak membedakan beban kerja antara jurnalisnya yang berjenis kelamin perempuan maupun laki-laki. Berdasarkan data diatas, peneliti memiliki asumsi bahwa She Radio FM merupakan media bersegmentasi perempuan yang menerapkan praktik jurnalisme berperspektif gender dalam memproduksi konten dan dapat membedakan peran gender dengan jenis kelamin dengan pendekatan yang berbeda. Berbeda disini diartikan sebagai tidak melulu membicarakan peran perempuan di sektor domestik, namun juga tidak menonjolkan eksklusivitas perempuan.
PEMBAHASAN Praktik jurnalisme berperspektif gender merupakan sebuah kegiatan jurnalisme yang menginformasikan, mempermasalahkan dan menggugat secara terus menerus mengenai adanya hubungan yang tidak setara atau ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan. Subono (dalam Yusuf, 2004) menyatakan bahwa pengembangan praktik jurnalisme berperspektif gender dapat dilihat melalui tiga tingkatan yakni tataran kognitif meliputi kesadaran gender seorang jurnalis dan permasalahan gender di sekitarnya, institusi media meliputi bagaimana sebuah institusi media membentuk pola kerja yang berperspektif gender
dan teknik jurnalistik meliputi kesensitifan akan persoalan gender, pilihan fakta sosial, teknik penulisan maupun teknik reportase yang mana dapat mempengaruhi orientasi media. Orientasi media dapat dipengaruhi oleh bagaimana komposisi laki-laki dan perempuan dalam institusi media, media yang komposisi pengelolanya dominan laki-laki akan mempengaruhi bagaimana tampilan perempuan dalam wacana kontennya, walaupun komposisi yang didominasi perempuan juga tidak menjamin keberadaan wacana konten yang sensitif gender (Siregar, 1999 : 10-11). Faktor komposisi antara laki-laki dan perempuan ini kemudian dapat melahirkan struktur organisasi dan pembagian kerja yang maskulin dimana laki-laki dapat mendominasi posisi strategis dalam organisasi kerja jurnalisme dan perempuan bisa menjadi muted group dalam struktur organisasi kerja jurnalisme (Littlejohn dalam Siregar, 1999 : 11). Di She Radio sendiri komposisi jurnalis laki-laki dan perempuannya cenderung seimbang. Hanya ada 7 orang jurnalis di She Radio untuk tim produksi dengan komposisi 4 perempuan dan 3 laki-laki. Keputusan She Radio untuk merekrut jurnalis laki-laki didasari oleh pendapat bahwa perempuan juga suka mendengarkan suara laki-laki (supervisor, personal interview, 1 April 2016). Hal serupa juga diungkapkan oleh announcer staff (personal interview, 13 April 2016) yang menyatakan bahwa keberadaan penyiar laki-laki justru menambah warna karena memperbanyak keberadaan vocal color di She Radio. Perekrutan jurnalis laki-laki, selain karena bisa memberikan warna baru, juga karena ada kecenderungan perempuan suka mendengarkan suara laki-laki. Selain itu, dengan merekrut jurnalis laki-laki, She Radio bisa mendapatkan sudut pandang lain dalam menilai sebuah topik (supervisor, personal interview, 1 April 2016). Manajer marketing, sebagai seseorang yang bertanggung jawab dalam proses rekruitmen justru mempertanyakan apakah radio perempuan harus diisi oleh hanya perempuan. “Saya menduga pertanyaannya apakah radio perempuan harus bersiaran perempuan? Laki-laki kan diciptakan untuk perempuan. Sekarang ini kalau menurut kita ngga ada pembatasan perempuan maupun laki selain fungsi perempuan harus melahirkan, itu.”(personal interview, 1 April 2016)
Berdasarkan hasil wawancara diatas yang menyatakan bahwa tidak masalah ada laki-laki di radio perempuan, menunjukkan bahwa pekerja media di She Radio cukup memahami bahwa peran gender, setidaknya dalam urusan pekerjaan, dapat dipertukarkan. Pernyataanpernyataan informan diatas selaras dengan definisi gender yang perannya ditetapkan oleh budaya sehingga bisa saja saling bertukar peran antara laki-laki dan perempuan, hal ini tentu berbeda dengan seks atau jenis kelamin yang fungsinya tidak bisa dipertukarkan karena sifatnya kodrati (Susanti dalam Putraningsih, 2006).
Hal tersebut pun tercermin di struktur keredaksiannya, dimana CEO She Radio memang laki-laki, namun posisi-posisi strategis di bagian produksi justru diduduki oleh perempuan. Kualifikasi jurnalis yang berada di posisi tersebut didasarkan aspek senioritas dan kemampuan teknik jurnalistik dalam memproduksi konten, serta dapat melakukan fungsifungsi manajerial. dalam struktur organisasi She Radio yang tidak dominan laki-laki dimana jurnalis yang menempati posisi supervisor, Endang Erniati, sudah bekerja di radio selama 20 tahun dan 12 tahun terakhir di She Radio (personal interview, 13 April 2016). Selain itu posisi music director juga di isi oleh Lia Lusiana yang telah bekerja di She Radio selama 13 tahun (personal interview, 13 April 2016). Bukan berarti karena She Radio merupakan radio dengan segmen perempuan maka laki-laki tidak bisa menduduki posisi strategis di jajaran redaksi, karena sebelumnya manajer siaran di She Radio justru seorang laki-laki. Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa jurnalis perempuan dan laki-laki dalam struktur organisasi dan peluang mendapatkan posisi berada di posisi setara, karena kenaikan pangkat dilihat dari kemampuan dan pengalaman seorang jurnalis. Perempuan seringkali ditampilkan sebagai sosok subaltern yang tidak berdaya sehingga dalam berbuat banyak pun harus dibantu dan stereotip inilah yang seringkali menghambat potensi emansipatoris perempuan untuk menolak dan melawan posisi mereka sebagai korban (Sulistyani, 2011 : 23). Namun hal tersebut tidak terjadi di She Radio, karena dengan memposisikan perempuan setara dengan laki-laki, menunjukkan bahwa di She Radio siapapun dapat menjadi pengambil keputusan jika berada di posisi tertentu dan posisi pengambil keputusan tidak didasarkan pada jenis kelamin pada jenis kelamin tertentu namun didasarkan pada kemampuan dan jabatan. Sehingga dengan kebijakan tersebut maka She Radio dalam pengambilan keputusan untuk menentukan konten tidak lagi menempatkan perempuan dalam stereotip subaltern. Namun dalam penempatan bagian kerjanya, jurnalis laki-laki jarang ditempatkan di jamjam prime time She Radio yakni pukul 07.00-09.00, namun justru siaran malam dan talkshow. Hal tersebut karena terdapat peraturan bahwa jurnalis perempuan dilarang bersiaran di atas pukul 21.00. She Radio memberikan keringanan bagi jurnalis perempuan untuk tidak bekerja di malam hari setelah pukul 21.00. Menurut manajer marketing, pemberian keringanan bagi jurnalis perempuan bukanlah bentuk diskriminasi, justru merupakan penghormatan bagi perempuan agar bisa pulang lebih cepat dan dapat bertemu keluarga. Selain itu menurut manajer marketing, pemberian keringanan bagi perempuan ini sematamata karena urusan keamanan (manajer marketing, 1 April 2016, personal interview). Sebelum kebijakan tersebut diberlakukan, semua jurnalis harus menerima diletakkan di slot siaran pukul berapapun.
“Dulu vio siaran sampe jam 12, 2 tahun. Aku biasanya sampe jam 11 malem pulang ke sidoarjo naik motor. Malah dulu kita itu sama ga liat cewek cowok pokoknya ya kalo dapet slot itu ya diisi. Malah dulu itu cowok masuk jam 5 pagi pas kita masuk jam 2. Gak kebalik ta?.” (music director, personal interview, 13 April 2016).
Kebijakan yang diterapkan oleh She Radio sesungguhnya sudah sesuai dengan anjuran Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang melakukan formulasi standar layak kerja bagi perempuan yang diharapkan menjadi acuan bagi perusahaan media untuk menerapkan dan melindungi hak-hak perempuan. Salah satunya adalah mewajibkan perusahaan media memberikan fasilitas antar-jemput bagi jurnalis perempuan yang bekerja pada pukul 20.0007.00, dimana kebijakan ini memiliki rentang waktu lebih panjang dari yang disebutkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang perempuan dan ketenagakerjaan pasal 76 yang menyatakan bahwa kewajiban pemberian fasilitas antar jemput dimulai pada pukul 23.00-05.00. Padahal menurut jurnalis perempuan kebanyakan yang menyatakan pernah bekerja malam hari, mereka tidak pernah mengalami hal-hal yang dikhawatirkan seperti keselamatan terancam atau persoalan mengenai ketahanan fisik (Siregar, 1999 : 233). Terdapat stereotype bahwa perempuan tidak pantas bekerja di malam hari yang membuahkan konsekuensi berupa pembatasan maupun pertimbangan panjang sebelum memberikan tugas malam bagi perempuan yang sesungguhnya hal ini membatasi karir professional seorang jurnalis sehingga adanya kebijakan seperti di atas dapat menjadi indikator adanya bias gender (Siregar, 1999 : 143). Kebijakan baru di She Radio justru menunjukkan bahwa ada pembatasan bagi perempuan. Hal ini karena perempuan seakanakan dianggap sebagai seseorang yang lemah dan mengganggu penyelesaian tugas, seperti yang diungkapkan oleh Widyastuti (2014) bahwa perempuan di media seringkali mengeluh karena sistem kerja yang penuh tekanan dan diharuskan bekerja hingga larut malam sehingga menimbulkan anggapan bahwa tidak mungkin seorang perempuan bisa bekerja di sektor tersebut karena perempuan masih memiliki tanggung jawab lain di rumah dan perempuan memiliki kondisi fisik khusus yang berbeda dari laki-laki seperti haid, melahirkan dan menyusui. Walaupun terdapat pembedaan dalam sektor jam kerja, tidak ada pembedaan dalam sektor penggajian, seperti yang diungkapkan oleh manajer marketing, “Di penggajian ngga ada pembedaan laki-laki dan perempuan. Tapi kalau hak cuti hamil jelas ada. Itu artinya sebagi bentuk menempatkan pada porsinya.”(personal interview, 1 April 2016)
Hal yang sama juga diutarakan oleh announcer staff, Vio, “Ada sih kalau tunjangan yang udah nikah. Cuma kalau cowok cewek tunjangannya sama sih. Maksudnya aku cewek dia cowok aku single dia single pasti dapetnya sama.” (personal interview, 13 April 2016)
She Radio tidak memiliki staff khusus untuk programmer, operator dan editor sehingga semua jurnalis di She Radio harus bisa melakukan semuanya sendiri (supervisor, 13 April 2016, personal interview). Jurnalis di She Radio paling tidak diharapkan untuk bisa mengoperasikan mixer karena tidak ada posisi operator di She Radio, juga mereka harus mengedit sendiri hasil rekaman mereka karena tidak ada posisi editor juga tidak ada posisi programmer. Semua jurnalis di She Radio, terlepas dari jenis kelamin mereka, dipaksa untuk bisa melakukan semua hal terkait penyiaran kecuali pada bagian pemancar, seperti yang diungkapkan oleh supervisor, “Pokoknya disini engga kayak gitu ya. Ya pokoknya gatekeeper itu ya terima telpon, tapi ya siaran, ya bikin insert, ya bikin rekaman. Sampai nyari narasumber, janjian, sampai bikin taping.” (Endang Erniati, 1 April 2016, personal interview)
Pembagian kerja di She Radio biasanya didasarkan pada program apa jurnalis di poskan, sehingga dia harus bertanggung jawab pada program tersebut baik untuk taping, insert, menyiapkan narasumber bahkan kalua dibutuhkan reportase. Namun ada beberapa jurnalis yang diberikan porsi lebih dalam hal-hal yang menurut supervisor, mereka memiliki kemampuan lebih untuk itu, seperti Agil Saradjie yang diberikan peran untuk mengelola insert lebih banyak atau Windy Goestiana yang diberikan peran untuk mengelola website She Radio (supervisor, personal interview, 1 April 2016). Pembagian kerja seperti yang telah dijelaskan diatas justru menumbuhkan aroma kompetitif diantara jurnalis seperti yang diutarakan announcer staff, “Ngga sih. Malah disini aku makin tertantang. Kayak kalo dulu kan aku cuma ongkangongkang, sedangkan disini kalau ngeliat temen-temenku udah ready insert-insertnya dan aku belum ready itu aku stress langsung kayak ditampar hahaha. Disitu saya merasa ngga ada batasan pekerjaan bagi wanita entah itu penyiar, gatekeeper segalama macem karena semua pekerjaan itu pasti ada impactnya.” (announcer staff, personal interview, 13 April 2016)
Temuan ini bertolak belakang dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa di dunia media, laki-laki seringkali diprioritaskan karena dianggap lebih memiliki stamina tinggi dan dinilai dapat mengoperasikan hal-hal yang identik dengan teknik (Widyastuti, 2014 : 91). Hal seperti ini juga tidak terjadi di She Radio, dibuktikan dengan pernyataan Supervisor Endang Erniati (1 April 2016, personal interview) sebagai berikut, “Disini kita ngga dipecuti lagi, tapi langsung jalan sendiri. Wes laki perempuan yo lari sendiri. Makanya kan banyak orang yang dulu kerja disini mikirnya enak ya radio cuma ngopi, siaran gini gitu terus pulang. Disini ngga ada yang kayak gitu.”
Saat ditanya mengenai kemampuan laki-laki yang memiliki stereotip untuk bekerja di bagian yang memerlukan keahlian khusus seperti teknik, Endang Erniati menjawab, “Nope. Sama semua. Kalau ngga bisa ya belajar. Yang ngga bisa ngedit jadi bisa ngedit, yang dulunya ngga bisa recording jadi bisa recording.” (personal interview, 1 April 2016)
Hal tersebut dikarenakan jumlah jurnalis yang sedikit dan harus melakukan semua pekerjaan dari menulis konten hingga mencari narasumber, taping, editing dan bersiaran. Selain itu beban kerja seseorang juga didasarkan pada kemampuannya. Supervisor juga menyatakan untuk bagian produksi insert, iklan dan bumper biasanya dilakukan oleh jurnalis laki-laki, bukan karena ada kecenderungan laki-laki lebih ahli dalam hal teknik namun kebetulan karena laki-laki yang bekerja di radio mereka lebih ahli daripada jurnalis perempuan, walaupun jurnalis perempuan juga diwajibkan untuk bisa melakukan editing (personal interview, 13 April 2016). Pendapat supervisor di atas membuktikan bahwa She Radio tidak lagi membedakan beban kerja jurnalis berdasarkan jenis kelamin karena jurnalis dengan jenis kelamin apapun dipaksa untuk melakukan semua hal yang terkait dengan penyiaran. Irwan Abdullah (2003) menjelaskan bahwa perlakuan yang sama terhadap laki-laki dan perempuan mengandung makna pengakuan eksistensi perempuan sesuai dengan kapasitasnya, dan fakta-fakta diatas menunjukkan She Radio telah mengakui eksistensi perempuan di ruang redaksi. Hal ini mematahkan pendapat Mosse (dalam Fakih, 2002) yang menyatakan bahwa semua masyarakat mendapatkan pembagian kerja berdasarkan gender. Kesadaran bahwa tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan selain dari fungsi biologisnya menunjukkan bahwa She Radio telah mengakui adanya posisi yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam bidang pekerjaan. Namun di sisi lain, walaupun sudah menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan berada di posisi setara, supervisor She Radio masih menganggap bahwa perempuan walaupun bekerja, harus tetap bertanggung jawab dengan perannya sebagai ibu dan istri. Tidak masalah seorang perempuan bekerja, tetapi tidak bisa melupakan kegiatan domestik karena sudah merupakan kodrat, “Yang bisa menyelesaikan ketimpangan ya dirimu sendiri. Malah malu kadang sesama perempuan yang berkoar-koar itu karena kodrat itu tetep. Kita ngga bisa pungkiri. Kerja apa ya tetep. Kalau kembali ke rumah ya sudah jadi ibu. Bukan lagi jadi bos. Ya ngosek kamar mandi.” (supervisor, personal interview, 1 April 2016)
Hal serupa juga diutarakan oleh announcer staff Agil Sarajie, “Iya begitu. But, setinggi apapun seorang perempuan karirnya tapi kan kodratnya tetep seorang istri ibu gitu dan memang itu yang kita suarakan di She gitu. Itu juga yang selalu kita tanyakan ke narasumber kita kalau hari kartini.” (personal interview, 17 Mei 2016)
Dari pernyataan informan di atas juga menunjukkan bahwa jurnalis She Radio menganggap bahwa perempuan yang bergerak di ruang publik harus menerapkan peran ganda sebagai pekerja dan ibu. Bahkan announcer staff Agil Sarajie secara terbuka menyatakan bahwa perempuan memiliki kodrat sebagai istri dan ibu sehingga harus tunduk pada suami walaupun memiliki karir (personal interview, 17 Mei 2016). Anggapan-
anggapan tersebut menimbulkan pembatasan kesempatan bagi perempuan (Susanti, 2005 : 25). Ironisnya anggapan-anggapan tersebut justru muncul dari media yang berusaha untuk memberdayakan perempuan. Peran ganda tentu tidak terjadi dengan jurnalis laki-laki, karena tidak ada anggapan bahwa laki-laki yang bekerja juga memiliki tanggung jawab pada masalah-masalah domestik seperti mengurus anak, memasak, mencuci dan lain-lain (Siregar, 1999 : 104). Walaupun begitu, di She Radio terdapat segmen mengenai pencapaian-pencapaian perempuan dimana She Radio menampilkan profil perempuan yang berhasil dan apa pencapaiannya tanpa mendorong perempuan untuk ikut berada di dunia kerja. Profil ini pun seringkali menunjukkan pencapaian dan susahnya meraih posisi dalam pekerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa She Radio justru hanya membuat profil untuk menunjukkan kekaguman atas pencapaian perempuan tersebut. Bentuk kekaguman yang ‘wow’ itu sendiri sebenarnya malah mempersepsikan perempuan bekerja sebagai sosok yang luar biasa (Yusuf, 2004 : 360). Dengan memberikan kriteria khusus bagi perempuan yang diliput Yes! She Can! sebagai perempuan yang ‘wow’ dan minimal sudah menempati posisi tertentu dalam sebuah perusahaan maupun instansi, justru She Radio telah mengakui bahwa perempuan yang berhasil di dunia kerja merupakan sesuatu yang aneh dan jarang ditemui. Dari pendapat announcer staff Agil Sarajie di atas, juga ditemukan bahwa dalam membuat program siaran bagi perempuan, She Radio berusaha mencari kedekatannya dengan perempuan dan membuatnya menarik bagi perempuan. Menurut She Radio, berdasarkan pendapat Agil Sarajie, perempuan akan lebih tertarik dengan program yang menginspirasi dan menyentuh karena akan lebih mudah bagi perempuan untuk mencerna konten yang menyentuh. “Touching Inspiring itu lebih mudah ditangkap sama perempuan. Kita kan radio, susah menggambarkan beda sama TV. Kalau ngga touching inspiring gitu biasanya perempuan males dengernya dan malah bias nanti interpretasinya.” (personal
interview, 17 Mei 2016) Dari pernyataan di atas justru menunjukkan bahwa She Radio masih memposisikan perempuan seperti apa yang distereotipkan selama ini. Perempuan seringkali dilekatkan dengan stereotip yang bersifat negatif seperti sangat emosional, tidak mandiri, sangat mudah dipengaruhi, berbelit-belit, tidak ambisius dan sebagainya (Susiana, 2008 : 16). Konsekuensi dari konstruksi di atas membuat munculnya batasan-batasan yang menempatkan perempuan pada ruang penuh aturan baku yang perlu dijalankan (Zaduqisti, 2009 :
75). Dengan
mengasosiasikan perempuan dengan konten-konten menyentuh dan menginspirasi, justru
She Radio menempatkan perempuan seperti apa yang disebutkan dalam stereotip mengenai perempuan. Announcer staff Agil Sarajie justru menambahkan bahwa insert program Yes! She Can! dan Women’s Start Up bahwa insert programnya akan semakin efektif dan menarik saat mencapai perayaan hari mengenai perempuan. “Biasanya tema kita yang oke-oke itu di hari kartini sama hari ibu. Paling hits. Itu banyak misalkan suaminya udah gaada tapi dia survive dengan 3 anak tapi dia hanya guru ngaji.” (Announcer Staff Agiel Sarajie, personal interview, 17 Mei 2016)
Hal ini menunjukkan bahwa She Radio masih mengakui berita perempuan sebagai berita ringan dan sebuah perayaan seremonial. Hal ini menurut Yusuf (2004) merupakan bentuk perayaan fenomenal monumental bagi perempuan. Justru dengan menempatkan perempuan seperti apa yang seringkali di stereotipkan pada perempuan dan meletakkan perayaan perempuan sebagai bentuk perayaan seremonial, maka She Radio justru telah melegitimasi adanya bias gender di media. Dua insert program di atas merupakan program yang dimaksudkan untuk menginspirasi perempuan, namun She Radio terjebak dalam mengemasnya dengan ‘angle wanita’ yang malah memposisikan perempuan sesuai stereotip yang beredar di masyarakat. She Radio memiliki klaim yang menyatakan bahwa radionya membahas semua hal tidak terbatas pada topik-topik tertentu yang sering diasosiasikan dengan perempuan, seperti yang diungkapkan supervisor sebagai berikut, “Semua isu, karena gini biasanya ini kan ini ga sesuai sama perempuan atau perempuan cocoknya yang ini padahal kan engga. Dari ekonomi, sosial, budaya, politik, perempuan butuh informasi itu. Cuma pendekatanannya. approach nya seperti apa. Kan kita ngga langsung ngomong eh perempuan kamu harus berpolitik ini itu ngga perlu. Pendekatannya seperti itu.”(personal interview, 1 April 2016)
Menurut supervisor, perempuan membutuhkan semua isu dan informasi karena menurutnya tidak ada pembatasan bagi perempuan, hanya saja harus ada pendekatan khusus karena isu-isu tersebut terbilang berat. Pendapat yang sama juga diungkapkan announcer staff, Vio, yang menyatakan bahwa She Radio kebanyakan memberikan informasi berupa hard news yang dikemas ulang. “Kita ngga dari sosial media. Kita lebih ke hard news kayak antara, kompas, SS media gitu gitu. Soalnya menurut kita sih ga penting yang di bahas di sosial media itu. Banyak yang lebih penting. Biasanya kita juga ambil berita dari CNN kalo tentang wanita nya.” (personal interview, 13 April 2016)
Namun pendapat berbeda ditunjukkan oleh manajer marketing, yang walaupun samasama menjelaskan bahwa She Radio berusaha menampilkan konten yang menginspirasi perempuan, menurutnya konten yang selama ini diturunkan oleh She Radio belum pernah dan tidak akan terlalu berat.
“Pokoknya konten konten yang mudah-mudahan inspiring. Mudah-mudahan. Tapi kita belum sampe membahas sesuatu yang membahas seperti kebijakan pemerintah yang lebih berat. Kalaupun ada ya ngga berat seperti undang-undang pendidikan gitu kita bahas karena dekat sama ibu-ibu.” (personal interview, 1 April 2016)
Hal yang sama juga diutarakan oleh announcer staff, Agil Sarajie, yang menyatakan bahwa tidak mungkin baginya untuk menyajikan murni berita kepada pendengarnya karena menurutnya perempuan tidak suka topik yang berat. Terbukti dari turunnya jumlah pendengar setiap mereka membahas topik yang cukup berat (personal interview, 17 Mei 2016). “Kita tuh radio perempuan, perempuan itu pengen sesuatu yang ringan yang lembut yang apa ya? Yang mudah. Gimana ya? Kayak ibu-ibu muda gitu kan suka guyonan gitu. Itu sih yang mau aku tuju.” (Announcer Staff, Agiel Sarajie, personal interview, 17 Mei 2016)
Jurnalis perempuan dan laki-laki di She Radio memberikan jawaban berbeda mengenai apa yang mereka siarkan. Hal tersebut dikarenakan pemahaman mereka atas hard news yang berbeda. Bagi jurnalis perempuan, apa yang mereka siarkan selama ini sudah termasuk hard news. Sedangkan bagi jurnalis laki-laki, yang mereka siarkan merupakan feature. Setelah dicari tahu, maksud dari hard news yang disebutkan di atas ialah, mengemas ulang hard news dari sekedar berita menjadi informasi yang dilihat dari sudut pandang perempuan, sehingga pada akhirnya informasi tersebut dilihat dari kedekatannya dengan perempuan menurut She Radio. “Radio lain kan sudah banyak gitu yang pengen eksistensi dengan musiknya, bicaranya anggeplah gen, kita memang ingin. Tapi bukan mengajak mereka untuk mengajak pendengar dengan topik-topik yang alakadarnya gitu engga. Tapi orang bisa berpikir gitu. Kalau misalnya, suka ngga pria berkumis? Kan biasa. Tapi coba kalau kita ngomongin suka ngga pria berjenggot? Suka. Tapi yang kita bahas di balik itu, alasan di balik itu. Seperti ternyata banyak sekali manfaat dari jenggot, misalnya. Kita ngoreknya kesana. Jadi ada nilainya. Baru itu yang bisa diangkat.”
Hal yang sama juga diungkapkan oleh announcer staff, bahwa setiap isu walaupun hard news, akan dibahas melalui kedekatannya dengan perempuan, apa pentingnya bagi perempuan dan apa manfaatnya bagi perempuan. Music director juga mengungkapkan hal yang sama, karena menurutnya selalu ada sudut pandang perempuan di semua isu. “She & Friends yang pagi itu kan 2 jam kita bahas 2 topik. Dan semuanya harus tentang kebutuhan perempuan. Tapi kita ngga membatasi isu sih. Pokoknya harus cari angle. Misal nih kayak kenaikan harga LPG. Yang kita bahas lebih ke gimana sih cara hemat pake LPG itu” (personal interview, 13 April 2016)
Jika dilihat dari contoh-contoh ini, klaim She Radio yang menyatakan sudah tidak menyajikan hal-hal yang berbau domestik menjadi terbantahkan karena walaupun mereka menyajikan hard news, mereka menyajikannya melalui sudut pandang domestik. Seperti dalam isu kenaikan harga LPG di program She and Friends on the Air, yang dibahas adalah bagaimana perempuan bisa lebih hemat menggunakan LPG.
Menurut Rosaldo dan Ortner (dalam Ernawan, 2006 : 94) terdapat anggapan bahwa perempuan merupakan makhluk yang lemah dan harus dilindungi karena itu pula lah keberadaannya paling bagus terletak di sektor domestik sehingga perannya pun disebut sebagai peran domestik. Namun menurut Moser (dalam Ernawan, 2006 : 94) perempuan selain berperan secara reproduktif, juga berperan produktif dalam mengelola realitas sosial sehingga dalam pikiran masyarakat muncul dua sektor yang bertolak belakang mengenai perempuan. Perempuan digambarkan harus memahami urusan domestik jika bergerak di ruang publik. Dalam contoh kasus She Radio di atas, dengan mengasosiasikan perempuan dengan seseorang yang mengurusi bagian keuangan keluarga dalam isu kenaikan LPG, maka secara tidak langsung She Radio sudah menempatkan perempuan dalam posisi domestik walaupun konteksnya merupakan berita mengenai kenaikan LPG yang mempengaruhi masyarakat dengan tidak memandang jenis kelamin. Ide rumah tangga sebagai urusan perempuan yang paling pokok telah menjadi pupuk selama berabad-abad, sehingga ketika zaman berubah dan dapat keluar rumah maka urusan pokok itu pun yang dibawa kemana-mana (Abdullah, 2003 : 124). Temuan di atas menunjukkan bahwa walaupun sebuah media mengangkat tema perempuan ataupun dijalankan oleh mayoritas perempuan, belum tentu media tersebut telah berperspektif gender. Pam Morris (dalam Siregar, 1999 : 312) menyatakan bahwa tidak ada jaminan bahwa teks yang ditulis, diciptakan oleh, dan ditunjukkan oleh kaum perempuan akan memiliki ideologi gender yang berpihak pada pemberdayaan kaum perempuan.
KESIMPULAN Pengembangan praktik jurnalisme berperspektif gender dapat ditinjau dari 3 aspek yakni aspek kognitif pekerja media meliputi kesadaran individu dan kolektif dalam memandang persoalan gender, aspek institusi media meliputi struktur organisasi, rekruitmen dan pendelegasian tugas dalam sebuah isntitusi media, dan teknik jurnalistik meliputi pilihan fakta sosial, teknik penulisan dan angle penulisan. Dilihat dari ketiga aspek tersebut, She Radio masih belum sepenuhnya mempraktikkan jurnalisme berperspektif gender. Dalam aspek kognitif, jurnalis di She Radio masih belum mempraktikkan jurnalisme berperspektif gender karena jurnalis-jurnalisnya semua memandang bahwa sudah tidak ada lagi persoalan berupa ketimpangan gender dan perempuan sudah mencapai kesetaraan. Selain itu, mereka menganggap bahwa perempuan boleh bekerja tetapi tidak boleh melupakan kodratnya sebagai ibu dan istri. Bahkan jurnalis laki-laki di She Radio menganggap bahwa
kesetaraan bagi perempuan hanya berada pada tataran pendidikan dan pengembangan diri sehingga pada saat ini perempuan sudah setara. Menurutnya pula, setinggi-tingginya jabatan perempuan di ruang publik, dia juga harus kembali ke rumah dan melayani suami juga mengurus anak. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesetaraan yang dimaksud bagi She Radio adalah perwujudan peran ganda bagi perempuan sehingga perempuan boleh beraktivitas di ruang publik asal tetap bisa berperan sebagai ibu dan istri. Pada akhirnya memunculkan kebjikankebijakan dalam menentukan siarannya. She Radio pada akhirnya memunculkan figur ideal perempuan adalah perempuan yang berhasil baik di ranah publik maupun domestik. Selain itu She Radio juga melarang adanya topik-topik mengenai feminisme karena menganggapnya tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Berdasarkan hal di atas, maka yang dilakukan oleh She Radio bukanlah pemberdayaan perempuan namun hanya sekedar mempublikkan perempuan. Dalam aspek institusi media, She Radio sudah cukup berperspektif gender karena She Radio tidak memberlakukan pembedaan beban kerja berdasarkan jenis kelamin. Di She Radio, semua jurnalis mendapatkan beban yang sama karena She Radio tidak mengenal posisi operator, gatekeeper maupun editor, sehingga setiap jurnalis harus bisa melakukan semuanya dalam memproduksi programnya. Selain itu, di She Radio, tidak ada pembedaan jabatan berdasarkan jenis kelamin karena semua didasarkan pada kemampuan dan lama bekerja. Dari sisi penggajian pun sudah tidak ada perbedaan antara jurnalis perempuan maupun laki-laki baik dari sisi gaji pokok maupun tunjangan sehingga menunjukkan She Radio tidak lagi menempatkan pendapatan perempuan sebagai second income. Namun She Radio melarang jurnalis perempuannya untuk bekerja di malam hari karena kasihan dan alasan keamanan. Jurnalis perempuan di She Radio justru menyambut baik hal tersebut karena merasa tak pantas jika harus bekerja di malam hari. Dalam segi teknik jurnalistik ditemukan bahwa belum semua konten baik program maupun topik di She Radio berperspektif gender. Hal ini dikarenakan dalam mengemas suatu program selalu didasarkan pada kedekatannya dengan perempuan dan mengidentikkanya dengan stereotip perempuan yang emosional dan mudah tersentuh. Selain itu dalam menentukan topik siaran harian, She Radio mengklaim selalu menyiarkan topik mengenai segala isu karena perempuan membutuhkan informasi atas segala isu dan mengklaim bahwa yang disiarkannya adalah hard news. Namun ternyata She Radio mengemas ulang isu yang berkembang ditarik dari sudut pandang perempuan. Sudut pandang perempuan menurut She Radio adalah kedekatannya dengan perempuan sebagai ibu dan sebagai pekerja. Sehingga
sebuah isu yang seolah-olah isu publik dikemas dengan sudut pandang domestik. Hal tersebut dikarenakan menurut jurnalis She Radio, perempuan tidak suka sesuatu yang berat dan lebih suka mendengarkan topik yang ringan. Dari ketiga aspek di atas terlihat bahwa sebuah industri media bersegmentasi perempuan, dalam hal ini adalah She Radio Surabaya walaupun sudah mendengungdengungkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan melalui kontennya, masih terdapat praktik-praktik yang mencerminkan ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan yang berimbas pada munculnya bias gender. Hal ini tidak terlepas dari kosntruksi masyarakat sendiri yang melanggengkan praktik bias gender melalui stereotip-stereotip yang dilekatkan baik pada laki-laki maupun perempuan. Penelitian ini pada akhirnya menunjukkan walaupun sebuah media telah memfokuskan segmentasinya pada perempuan, bukan berarti media tersebut akan terbebas dari bias gender.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan. 2003. Penelitian Berwawasan Gender dalam Ilmu Sosial. Jurnal Humaniora volume XV 3/2003 Ernawan, Yusuf. 2006. Bunga Rampai Masalah Anak, Gender & Multikulturalisme. Ar-ruz Media, Sleman. Fakih, Mansour. 1999. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hariyanto, Ignatius. 2013. Menuju Jurnalis dan Media Berperspektif Gender. AJI Jakarta. Hartono, Dudi Iman. 2012. Infotainment: Proses Produksi dan Praktik Jurnalistik. PT Akademia Permata, Jakarta. Luviana. 2012. Jejak Jurnalis Perempuan: Pemetaan Kondisi Kerja Jurnalis Perempuan di Indonesia. Aliansi Jurnalis Independen, Jakarta. Morissan. 2009. Manajemen Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio & Televisi. Kencana, Jakarta. Putraningsih, Titik. 2006. Pertunjukan Tari: Sebuah Kajian Perspektif Gender. Jurnal: Universitas Negeri Yogyakarta. Siregar, Ashadi. 1999. Media dan Gender: Perspektif Gender atas Industri Surat Kabar di Indonesia. Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya (LP3Y), Yogyakarta Sulistyani, Hapsari Dwiningtyas. 2011. Korban dan Kuasa dalam Kajian Kekerasan terhadap Perempuan. EJournal Universitas Diponegoro Vol 39 No. 2, 2011. Susanty, Emy. Suryandaru, Yayan Sakti. 2008. Ideologi Patriarkhi dalam Media Sebagai Ruang Publik: Analisis Terhadap Narasumber Perempuan dalam Peliputan Berita Pilkada Surabaya. J. Penelit. Din. Sos. Vol. 7, No. 2, Agust 2008: 102-108. Suryandaru, Yayan Sakti. 2013. Jurnalisme Gender, diakses melalui http://yayan-sfisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-70606-Gender-Jurnalisme%20gender.html pada 8 september 2015, pukul 15.00 WIB Suryandaru, Yayan Sakti. 2013. Sosiologi Media: Asal Muasal Sebuah Berita Diproduksi, diakses melalui http://yayan-s-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail70807Jurnalisme%20Sosiologi%20Media%20:%20Asal%20Muasal%20Berita%20Dip roduksi.html pada 8 september 2015, pukul 15.00 WIB
Susiana, Atika Sari. 2008. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia: Sebuah Tinjauan Stereotip Gender. Universitas Diponegoro, Semarang. Susanti, Erma. 2005. Berperan dan Dipinggirkan: Wajah Perempuan dalam Ekonomi. Lufthansa, Surabaya. Yusuf, Iwan Awaludin. 2004. Peningkatan Kepekaan Gender dalam Jurnalisme. Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu Politik Vol. 3 No. 7 Maret 2004 (351-374). Widyastuti, Febry. 2014. Bias Gender dalam Praktik Jurnalisme TV (Studi Kasus SBO TV Surabaya). Universitas Airlangga, Surabaya. Zaduqisti, Esti. 2009. Stereotip Peran Gender bagi Pendidikan Anak. Jurnal Muwazah, Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2009