ISSN 24078530
IDEAL MATHEDU INDONESIAN DIGITAL JOURNAL OF MATHEMATICS AND EDUCATION
PPPPTK MATEMATIKA - KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 STUDI KUALITATIF TENTANG PERAN GURU MATEMATIKA DI SMP SEKITAR CANDI BOROBUDUR DALAM MELAKSANAKAN PEMBELAJARAN YANG RESPONSIF BUDAYA Sri Wulandari Danoebroto PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS SISWA SMA MELALUI PEMBELAJARAN MATH-TALK LEARNING COMMUNITY Erma Suriany UPAYA PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA DI KELAS 1 SD NEGERI TELAJUNG 03 KECAMATAN CIKARANG BARAT Desy Anggraini, Arrahim PENGEMBANGAN PERANGKAT ASESMEN AUTENTIK PADA PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN SCIENTIFIC MATERI EKSPONEN DAN LOGARITMA Putriyani S
UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) (PTK Pada Siswa Kelas XI SMAN 1 Pagelaran Kab.Pringsewu - Lampung) Herdian, S.Pd., M.Pd. IDENTIFIKASI KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SMP DITINJAU DARI TEORI TINGKAT PERKEMBANGAN BERPIKIR GEOMETRI VAN HIELE Rachmaniah M. Hariastuti1), Sri Wahyuni UPAYA MENINGKATKAN KECERDASAN INTRAPERSONAL SISWA KELAS XI IPS.1 SMAN 1 GEDONGTATAAN LAMPUNG MELALUI PEMBELAJARAN METACOGNITIVE-INNER SPEECH (MIS) Dina Ladysa
mo No r KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN MATEMATIKA YOGYAKARTA
5 20
16
SUSUNAN REDAKSI JURNAL IDEAL MATHEDU VOLUME 3 NOMOR 5 TAHUN 2016 PPPPTK MATEMATIKA
Penanggung jawab
: Kepala Subag TU dan RT Harwasono, S.Kom., MM
Redaktur Penyunting/Editor
: Cahyo Sasongko, S.Sn. : 1. Marfuah, S,Si.,M.T. 2. Muh. Tamimuddin H, M.T. 3. Muda Nurul Khikmawati, S.Kom,. M.Cs. 4. Dr. Sumardyono, M.Pd. 5. Wiworo, S.Si., M.M. 6. Dra. Th. Widyantini, M.Si. 7. Drs. Rachmadi Widdiharto, M.A. 8. Untung Trisna Suwaji, S.Pd., M.Si. 9. Adi Wijaya, S.Pd.,M.A. 10. Fadjar Noer Hidayat, M.Ed. 11. Hanan Windro Sasongko, S.Si. 12. Sigit Tri Guntoro, S.Si., M.Si. 13. Drs. Agus Suharjana, M.Pd. 14. Joko Purnomo, M.T. 15. Drs. Marsudi Raharjo, MSc.Ed. 16. Dra. Puji Iryanti, Msc.Ed. 17. Ratna Herawati, M.Si. 18. Sumaryanta, M.Pd. 19. Sri Wulandari Danoebroto, S.Si.,M.Pd. 20. Jakim Wiyoto, S.Si.
Desain Grafis dan Layout
: 1. Cahyo Sasongko, S.Sn. 2. Victor Deddy K, S.Si. 3. Muhammad Fauzy
Sekretariat
: 1. Nur Hamid, S.Kom. 2. M. Pujiastuti 3. Lestari Budi Atik, A.Md. 4. Sri Kurniasih 3. Dewi Katmolowati
Alamat redaksi
: PPPPTK Matematika Jl. Kaliurang km.6, Sambisari, Depok, Sleman, D.I.Y. Telp. (0274) 885725, 881717 Fax. (0274) 885752 Website. idealmathedu.p4tkmatematika.org
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
STUDI KUALITATIF TENTANG PERAN GURU MATEMATIKA DI SMP SEKITAR CANDI BOROBUDUR DALAM MELAKSANAKAN PEMBELAJARAN YANG RESPONSIF BUDAYA Sri Wulandari Danoebroto PPPPTK Matematika, Jl Kaliurang Km 6 Depok, Kab Sleman;
[email protected] Abstrak. Penelitian ini merupakan studi pendahuluan untuk mengungkap peran guru dalam melaksanakan pembelajaran matematika yang responsif pada budaya lokal (culturally responsive teaching). Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian adalah guru matematika di SMP Negeri 1 Borobudur dan SMP Muhammadiyah Borobudur sebanyak 8 orang dengan pengalaman mengajar antara 7 hingga 32 tahun. Pengambilan data dilakukan melalui angket kemudian wawancara pada responden terpilih. Data dianalisis dengan logical analysis. Hasil penelitian adalah sebagai berikut: 1) Peran guru adalah menciptakan situasi pembelajaran dengan memperhatikan pengetahuan yang telah dimiliki siswa tentang matematika dari kehidupan sehari-hari meliputi persepsi, intuisi dan pengetahuan faktual dan menggunakannya sebagai contoh aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari, 2) Relasi sosial dalam pembelajaran lebih ditekankan antara siswa dengan guru, 3) Pembelajaran diarahkan kepada penguasaan materi, penanaman nilai karakter dan sikap positif terhadap kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari, 4) Meskipun guru menyadari manfaat budaya lokal untuk pembelajaran matematika, namun belum optimal pemanfaatannya. Faktor penyebab internal adalah guru merasa kurang kreatif, kurang memahami kearifan lokal, belum mempunyai gambaran topik matematika yang cocok dengan suatu konteks budaya, dan berpandangan bahwa pembelajaran akan kurang efisien. Faktor penyebab eksternal adalah adanya tuntutan mencapai prestasi UN sehingga guru kelas IX cenderung memprioritaskannya. Kata Kunci. Budaya, Candi Borobudur, guru matematika, pembelajaran
Abstract. This study is a preliminary study to uncover the role of teachers in implementing the learning of mathematics that is responsive to local cultures (culturally responsive teaching). The study was conducted with a qualitative approach. The informants were 8 mathematics teacher of SMP Negeri 1 Borobudur and SMP Muhammadiyah Borobudur with their experience of teaching are 7 to 32 years. Data were collected through questionnaires and then interview to selected respondents. Data were analyzed by logical analysis. The results of the study are as follows: 1) The teacher's role is to create learning situations by taking into account the knowledge that has been owned by the students on the mathematics of everyday life in the sense of perception, intuition and factual knowledge and use it as an example of the application of mathematics in everyday life, 2) social relations in learning more accentuated between students and teachers, 3) learning is directed at the mastery of subject matter, character values and positive attitudes towards the usefulness of mathematics in everyday life, 4) although teachers are aware of the benefits of local culture for learning mathematics, but not optimal utilization. Internal factors causes are the teachers feel less creative, less understanding of local wisdom, yet know mathematical topics that fit into a cultural context, and perception that learning will be less efficient. External factors causes is demands of national exam achievement so teachers of grade IX tend to prioritize. Keywords. Culture, Borobudur Temple, mathematics teacher, learning
285
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
1. Pendahuluan Pembelajaran matematika di sekolah pada umumnya mewujudkan matematika sebagai ilmu pengetahuan yang bebas budaya (cultural free) melalui pengajaran tentang fakta, konsep, prinsip dan prosedur matematika. Matematika yang ditampilkan di sekolah melalui sisi abstrak semata tanpa konteks akan membuat siswa merasa bahwa matematika tidak terkait dengan kehidupannya sehari-hari. Padahal ketika siswa melakukan kegiatan sehari-hari di lingkungan keluarga dan masyarakat, terdapat situasi yang memungkinkan siswa untuk berpikir matematis dan memahami matematika secara intuitif. Hal ini menjadi salah satu potensi yang dibawa siswa ke dalam kelas yaitu modal budaya (cultural capital). Pembelajaran matematika di sekolah seharusnya relevan dengan latarbelakang budaya siswa. Perspektif etnomatematika akan membantu siswa untuk menganalisis budayanya dan menemukan koneksi antara budayanya (dirinya) dengan matematika. Konteks masalah dari kehidupan nyata dalam situasi sosial budaya masyarakat memungkinkan siswa melatih keterampilan pemecahan masalah dengan matematika sekaligus mengasah sikap positif terhadap matematika dan terhadap budayanya sendiri. Pembelajaran matematika melalui relevansi budaya dan perspektif etnomatematika akan membantu siswa untuk tahu lebih banyak tentang realitas, budaya, masyarakat, isu-isu lingkungan, dan diri mereka sendiri dengan menyediakan konten matematika dan pendekatan yang memungkinkan mereka untuk berhasil menguasai matematika secara akademik (Rosa & Orey,, 2013:91). Pembelajaran matematika yang responsif budaya merujuk pada ilmu mendidik anak-anak yang disesuaikan dengan budaya mereka. Tujuan dari pedagogi yang relevan budaya adalah untuk memberdayakan siswa melalui kegiatan pembelajaran yang membantu mereka untuk mengembangkan kemampuan literasi, berhitung, keterampilan teknologi, sosial dan politik agar dapat berperan aktif dalam suatu masyarakat yang demokratis (Ladson-Billings, 1995:75). Kesadaran akan pentingnya relevansi ilmu pengetahuan dengan kehidupan (kebudayaan) mendorong untuk terus dikembangkannya pedagogi yang relevan dengan budaya atau culturally relevant pedagogy. Perkembangan pedagogi ini berimplikasi juga kepada guru matematika. Sudah seharusnya bila guru matematika turut berperan dalam melaksanakan pembelajaran yang responsif budaya. Secara teoretis, guru dapat menggunakan modal budaya siswa untuk menstimulasi pembelajaran matematika atau malah mengabaikannya. Guru dapat secara aktif memotivasi siswa agar mau belajar atau malah justru menambah beban mereka untuk berprestasi.
2. Peran Guru dalam Pembelajaran Matematika yang Responsif Budaya 2.1. Pedagogi yang Relevan dengan Budaya Pembelajaran matematika yang responsif budaya merupakan pendekatan budaya dalam pembelajaran matematika. Pendekatan difokuskan pada bagaimana guru dapat menyatukan nilai budaya dan perspektif budaya untuk memotivasi siswa mencapai pemahaman dan
286
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
prestasi matematika. Konsep matematika tidak hanya diajarkan dalam konteks matematika tetapi juga dalam konteks dunia nyata yaitu kehidupan sehari-hari siswa yang sangat dipengaruhi budaya lokal. Pembelajaran yang responsif budaya merujuk pada ilmu mendidik siswa yang responsif budaya (culturally relevant pedagogy). Pedagogi yang relevan dengan budaya dapat diartikan sebagai menggunakan pengetahuan budaya, pengalaman sebelumnya, glosarium pengetahuan, dan kemampuan prestasi dari beragam budaya siswa untuk membuat situasi pembelajaran menjadi lebih relevan dan efektif untuk mereka (Gay, 2000:29). Dengan demikian, pedagogi yang relevan dengan budaya memungkinkan siswa untuk tetap memiliki identitas budaya sekaligus mencapai prestasi akademiknya (Ogbu & Simmons, 1998). Landasan teoretis dari pedagogi yang relevan dengan budaya meliputi: konsepsi guru tentang diri dan orang lain (conception of self and others), cara guru mengelola relasi sosial dalam pembelajaran, dan konsepsi guru tentang ilmu pengetahuan (Ladson-Billings, 1995: 478). Konsepsi guru tentang diri dan orang lain dalam hal ini mencakup pemikiran, keyakinan, pemahaman dan pengetahuan guru tentang profesi guru di masyarakat, makna mendidik dan mengajar, serta bagaimana kemampuan siswanya untuk belajar. Bagaimana guru memandang siswanya, apakah siswa dipandang memiliki bekal pengetahuan matematika dan kemampuan untuk belajar hal baru terkait matematika, dan apakah guru perlu menggunakan contoh aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari untuk menumbuhkan minat belajar siswa. Relasi sosial dalam pembelajaran memandang pembelajaran sebagai bentuk interaksi antar individu dalam kelompok atau interaksi antar guru dan siswa di kelas. Hal ini antara lain diwujudkan dengan membangun komunitas belajar, memberi kesempatan siswa untuk saling berkolaborasi dan bertanggungjawab, serta membangun hubungan yang erat dengan para siswa. Guru yang responsif budaya mendorong berkembangnya komunitas pembelajar daripada kompetisi atau prestasi individu (Ladson-Billings, G., 1995: 480). Dalam pendekatan komunitas pembelajar di kelas, guru berperan dalam menfasilitasi diskusi antar siswa sehingga semua siswa dapat terlibat secara aktif. Hal ini dilakukan antara lain dengan mengajukan pertanyaan secara matang, memberikan penjelasan untuk memastikan proses dan landasan konseptual strategi siswa sehingga ide-ide matematika dapat dipahami dengan jelas oleh semua siswa (Bray, 2011:4). Konsepsi guru tentang ilmu pengetahuan merupakan pemikiran guru tentang kurikulum atau konten matematika yang diajarkan. Beberapa diantaranya adalah keyakinan bahwa matematika merupakan ilmu pengetahuan yang tidak statis melainkan masih dapat dikritisi. Peran guru adalah sebagai fasilitator bagi siswa ketika belajar. Guru dapat mengajukan probing question untuk membantu siswa yang keliru memahami agar mencapai pemahaman yang benar. Guru membimbing siswa secara bertahap atau menjembatani antara konten matematika yang dipelajari menggunakan konteks yang telah dikenal siswa. Salah satu tahap penting dalam pengajaran yang responsif terhadap budaya adalah memastikan bahwa pemahaman tentang konsep pokok telah terefleksikan dalam proses pembelajaran. Pedagogik yang relevan dengan budaya harus memenuhi tiga kriteria yaitu: adanya kemampuan guru untuk mengembangkan siswa secara akademis, adanya kesediaan untuk
287
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
memelihara dan mendukung kompetensi budaya, dan adanya upaya pengembangan sosial politik atau kesadaran kritis (Ladson-Billings, G., 1995:483). Kesadaran kritis yang dimaksud antara lain ditunjukkan dengan kepedulian terhadap permasalahan sosial budaya di lingkungan masyarakat. Dengan demikian, ciri pembelajaran matematika yang reponsif budaya ditunjukkan dengan: 1) peran guru adalah sebagai agen budaya yang membangun pengetahuan matematika dan sikap positif menggunakan kearifan lokal, 2) adanya interaksi dinamis antara guru dan siswa serta antar siswa sendiri,3) orientasi pembelajaran untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan matematika termasuk didalamnya pendidikan karakter yang diangkat dari kearifan lokal.
2.2. Kompetensi Guru Matematika Guru matematika perlu melaksanakan pembelajaran yang tidak hanya berorientasi pada penguasaan ilmu pengetahuan tetapi juga sebagai sarana pengembangan karakter positif. Untuk itu, guru harus menguasai konten matematika dan pedagogis yang memadai minimal sesuai dengan Standar Kompetensi Guru yaitu memiliki kompetensi profesional dan kompetensi pedagogik. Pengetahuan konten matematika meliputi pengetahuan tentang matematika sekolah sesuai jenjang yang diampunya yaitu jenjang Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama atau Sekolah Menengah Atas. Bahkan menurut Campbell, P.F et all (2014:428), penguasaan tersebut bukan hanya sesuai jenjang kelas dimana guru tersebut mengajar. Contohnya, guru matematika SMP idealnya juga menguasai konten matematika SMP kelas VIII dan kelas IX meski ia mengajar di kelas VII. Pengetahuan substansi pedagogis merupakan pengetahuan bagaimana mengajarkan substansi matematika bagi siswa, meliputi pengetahuan tentang belajar dan mengajar matematika yang digunakan dalam kegiatan guru praktik mengajar di kelas. Terdapat 4 domain terkait pedagogis ini yaitu pengetahuan tentang: 1) jenis kesalahan dan miskonsepsi yang sering dialami siswa, 2) representasi matematis dan konteks, 3) kepekaan tentang urutan materi matematika, 4) menilai dan memahami interpretasi siswa tentang matematika. Domain kesatu hingga ketiga lebih terkait dengan konten matematika, adapun domain keempat bila dijabarkan lebih luas juga meliputi pemahaman guru tentang bagaimana siswa memperoleh interpretasi terhadap matematika dari lingkungan di luar sekolah. Akinsola, M.K & Mapolelo, D.C. (2015:8) berpendapat bahwa keseimbangan antara pengetahuan profesional dan pengetahuan pedagogis dalam pendidikan guru matematika adalah sangat penting. Oleh karena keduanya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan pada saat guru tersebut berperan dalam pembelajaran. Namun demikian, perlu disadari bahwa pengetahuan guru yang berkualitas belum tentu berdampak pada kualitas pengajaran. Kualitas guru jika hanya diukur melalui tes kemampuan matematika saja, maka dapat mengabaikan elemen kunci yang menghasilkan pengajaran berkualitas. Efektivitas dalam mengajar tidak hanya tergantung pada pengetahuan yang dimiliki guru, tetapi yang sangat penting adalah bagaimana pengetahuan tersebut digunakan di dalam kelas. Guru yang sangat menguasai matematika hanya akan dapat membantu siswa belajar matematika jika mampu menggunakan pengetahuan tersebut untuk melakukan tugasnya sebagai guru (Akinsola & Mapolelo, 2015:3).
288
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Ketika mengajar, guru matematika mengakses pengetahuan terkait konten matematika yang diperlukan untuk mengajarkan topik tertentu serta pengetahuan tentang pengajaran matematika dan pembelajaran (Campbell, P.F et all, 2014:421). Dalam pembelajaran yang responsif budaya, guru matematika diharapkan mampu mewujudkan matematika sebagai ilmu pengetahuan yang melekat dengan budaya (cultural bounded) dalam pembelajaran. Untuk itu, guru juga perlu memahami latarbelakang sosial budaya siswanya. Pemahaman tersebut akan membantu guru dalam menentukan langkah pedagogik dan didaktik yang sesuai untuk membimbing siswa. Guru perlu memiliki pengetahuan tentang potensi budaya lokal yang terkait dengan matematika, memahami pengetahuan matematika yang diperoleh siswa dari kegiatannya sehari-hari, dan memiliki keterampilan untuk merancang dan mengembangkan pembelajaran matematika menggunakan budaya. Hal ini berarti, guru perlu memiliki kompetensi dan komitmen dalam mewujudkan pembelajaran yang responsif budaya. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan peran guru matematika dalam melaksanakan pembelajaran yang responsif terhadap budaya lokal, 2) mengidentifikasi pola relasi sosial yang dipraktikkan dalam pembelajaran matematika, 3) mengidentifikasi orientasi pembelajaran matematika menurut pandangan guru, 4) mengidentifikasi faktor penyebab yang menjadi kendala atau hambatan dalam melaksanakan pembelajaran matematika yang responsif budaya.
3. Metode Penelitian 3.1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan bagaimana terjadinya suatu proses, apa dan bagaimana hal tersebut dilakukan. Proses yang dimaksud adalah pembelajaran matematika yang responsif terhadap budaya lokal. Fokus studi ditujukan kepada bagaimana seseorang memerankan dirinya sebagai guru matematika dalam mengelola sebuah pembelajaran sebagai bentuk interaksi antara dirinya dengan peserta didiknya.
3.2. Sumber Data Sumber data penelitian adalah guru, dalam hal ini adalah pemikiran, keyakinan (beliefs), pemahaman dan pengalaman guru. Subjek penelitian adalah guru-guru matematika di SMP sekitar Candi Borobudur dengan pertimbangan bahwa Candi Borobudur merupakan ikon budaya yang sangat fenomenal. Keberadaaan Candi Borobudur mendorong tumbuhnya beberapa desa di sekitar Candi untuk berkembang menjadi desa wisata dimana pelestarian budaya terus diupayakan oleh masyarakat sekitar. Guru matematika yang menjadi informan sebanyak 8 orang. Mereka bertugas di dua sekolah yang letaknya berdekatan dengan Candi Borobudur yaitu SMP Negeri 1 Borobudur dan SMP Muhammadiyah Borobudur. Profil delapan guru tersebut adalah sebagai berikut.
289
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Tabel 1. Profil Subjek Penelitian Kode A1 A2 A3 A4 A5 B1 B2 B3
Jenis Kelamin Wanita Pria Pria Wanita Pria Wanita Pria Wanita
Pendidikan S1 S2 S1 S1 S1 S1 S1 S1
Lama Mengajar Matematika (saat penelitian) 7 tahun 31 tahun 9 bulan 30 tahun 1 bulan 20 tahun 1 bulan 30 tahun 2 bulan 9 tahun 10 bulan 32 tahun 1 bulan 9 tahun 8 bulan
3.3. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data Data dikumpulkan melalui dua tahap, yaitu tahap pertama menggunakan angket dan tahap kedua menggunakan wawancara kepada informan terpilih. Angket menggunakan skala Likert 1 sampai 4 untuk mewakili respon netral (N), tidak setuju (TS), setuju (S) dan sangat setuju (SS). Angket berisi 15 item tentang tiga hal pokok yang ingin diketahui, yaitu respon guru tentang: 1) strategi pembelajaran matematika (4 item), 2) peran guru dalam pembelajaran matematika (5 item), 3) pemanfaatan budaya lokal dalam pembelajaran matematika (6 item). Tujuan pengumpulan data dengan angket adalah untuk memperoleh item pernyataan yang perlu diperdalam dengan wawancara dan calon interviewee. Hasil angket dipandang sebagai jajak pendapat untuk kemudian direkapitulasi dengan pencacahan banyaknya responden yang memilih netral, tidak setuju, setuju atau sangat setuju atas pernyataan yang diajukan. Dengan demikian, dapat diketahui item pernyataan mana yang mendapat beragam respon sehingga perlu digali lebih lanjut melalui wawancara. Calon interviewee ditentukan dari hasil pencermatan responsnya terhadap item pernyataan untuk materi wawancara yaitu melihat kecenderungan positif atau negatifnya (netral/tidak setuju atau setuju/sangat setuju). Selain itu, juga dengan mempertimbangkan lamanya pengalaman mengajar matematika yang bersangkutan. Wawancara terhadap responden terpilih bertujuan untuk memperoleh informasi secara lebih mendalam tentang pemikiran, keyakinan (beliefs), pemahaman dan pengalaman guru tentang: 1) peran guru, 2) relasi sosial di kelas, 3) orientasi pembelajaran, 4) pemanfaatan budaya lokal, dan 5) kelemahan atau kendala pembelajaran matematika yang responsif budaya. Wawancara dipandu secara terstruktur menggunakan panduan wawancara yang pertanyaannya dapat berkembang sesuai kebutuhan. Hasil wawancara kemudian dianalisis menggunakan logical analysis (Patton, 1982) dimana setelah data direduksi atau dipilah yang relevan dengan empat masalah penelitian kemudian disajikan dalam matriks. Analisis dilakukan dengan mencermati hubungan logis atau pola yang terbentuk antar data dalam satu baris atau dalam satu kolom.
290
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.1. Hasil Angket Hasil angket disajikan dalam tabel berikut ini yang menampilkan pencacahan banyaknya responden yang memilih netral, tidak setuju, setuju atau sangat setuju. Pernyataan yang ditampilkan pada tabel hanya pernyataan yang perlu diperdalam melalui wawancara, sebagai berikut. Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Angket Fokus 1. Strategi pembelajaran Matematika 2. Peran guru 3. Budaya Lokal
Pernyataan Ceramah adalah cara yang paling efektif dalam menyampaikan materi matematika Konsep-konsep matematika dapat dipahami siswa jika guru menjelaskannya dengan benar Guru di sekolah seharusnya hanya mengajarkan matematika sesuai yang ada pada silabus dan buku teks Guru seharusnya juga menunjukkan bagaimana aplikasi matematika dalam kebudayaan masyarakat di lingkungan siswa Contoh matematika dalam kebudayaan akan memunculkan kebanggaan siswa sebagai pewaris budaya Beberapa topik matematika yang teridentifikasi ada dalam situs budaya seharusnya dimasukkan dalam kurikulum matematika SMP Objek matematika juga dapat ditemukan pada situs budaya Matematika adalah tentang mempelajari model geometri, pengukuran, dan membuat pola menurut budaya kita sendiri
N TS S 2 4 2
SS 0
1
0
4
3
2
4
1
1
1
0
6
1
2
0
4
2
3
0
5
0
2
0
3
3
4
0
3
1
Berdasarkan pencacahan hasil angket diketahui bahwa untuk pernyataan tentang strategi pembelajaran dengan kegiatan kelompok, kegiatan penelusuran pola, pemecahan masalah, investigasi dan komunikasi kedelapan responden cenderung setuju/sangat setuju. Untuk pernyataan terkait peran guru yaitu menciptakan situasi, menggunakan contoh aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari, memperhatikan pengetahuan yang telah dimiliki siswa dari kehidupan sehari-hari, kedelapan responden juga cenderung setuju/sangat setuju. Beragam respon diperoleh untuk strategi ceramah (ekspositori) dalam pembelajaran matematika yaitu 2 orang netral, 4 orang tidak setuju dan 2 orang setuju. Untuk pernyataan “Konsep-konsep matematika dapat dipahami siswa jika guru menjelaskannya dengan benar” ada 1 orang memilih netral, sementara 7 orang lain cenderung setuju/sangat setuju. Jika dikaitkan dengan respon tentang strategi ceramah, perlu digali lebih lanjut apakah hal ini berarti ceramah akan menjadi strategi pembelajaran yang efektif apabila guru dapat menjelaskannya dengan benar.
291
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Respon beragam juga diperoleh untuk pernyataan terkait pengajaran matematika seharusnya sesuai silabus dan buku teks saja yaitu 2 orang netral, 4 orang tidak setuju, 1 orang setuju dan 1 orang sangat setuju. Hal yang menarik adalah untuk semua pernyataan terkait pemanfaatan budaya lokal dalam pembelajaran matematika, delapan responden memberikan respon yang beragam. Untuk itu, beberapa pernyataan tersebut perlu digali lebih lanjut melalui wawancara. 4.2.
Hasil Wawancara
Responden terpilih untuk diwawancarai adalah sebagai berikut: untuk guru dengan pengalaman mengajar kurang dari 10 tahun adalah A1 dan B1; untuk guru dengan pengalaman mengajar lebih dari 10 tahun adalah A5 dan B2. Hasil wawancara disajikan dalam matriks berikut ini. Tabel 3. Matriks Hasil Wawancara Kode
Peran guru
Relasi Sosial
A1
Mengkondisikan kelas Menjelaskan Mengaktifkan Tempat bertanya Memberi contoh konkrit
Kejujuran Disiplin Berpikir logis Memahami materi Sadar manfaat matematika dalam kehidupan
A5
Menjelaskan konsep dahulu Membangun berdasarkan pengetahuan sebelumnya Menginstruksikan utk mengerjakan soal Memberi contoh Melakukan evaluasi pembelajaran Memberi contoh Kontekstual Menggunakan alat peraga Membangun pengetahuan dari persepsi siswa
Siswa berdiskusi dgn teman sebangku jika diperlukan Kegiatan kelompok disesuaikan dengan karakter materi Siswa berdiskusi kelompok jika diperlukan, ketua kelompok dipilih oleh guru
Berpikir kreatif cukup Disiplin efektif tapi Bertanggungjawab kurang Mandiri efisien Menguasai materi Sulit pelajaran mencocokka n dengan materi matematika Saya kurang kreatif
Guru berdialog dengan siswa Siswa berdiskusi kelompok sesuai
Jujur tanggungjawab Mampu memecahkan masalah Mencapai nilai tinggi
B1
292
Orientasi
Kendala Kesulitan menentukan materi yang pas Malas mengurus perijinan
Siswa akan sulit memahami karena budaya lebih condong
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Mengarahkan siswa Menjelaskan
B2
Memberi contoh Memperagakan dengan media
keperluan (jigsaw,siswa bebas memilih kelompok) Siswa praktik
Memahami materi
ke seni Saya tidak begitu paham dengan kearifan lokal Masalah biaya Kesulitan dalam mengampu anak jika pembelajar an di luar kelas
Berdasarkan penjabaran pada matriks dan memperhatikan hubungan logis dalam satu kolom, diperoleh adanya pola peran guru adalah sebagai creator. Dalam hal ini yang diciptakan adalah situasi pembelajaran melalui pemberian informasi, contoh, demonstrasi, dan instruksi. Guru memberikan contoh-contoh kontekstual dari lingkungan siswa dalam pembelajaran matematika misalnya saat anak membantu orangtua di dapur disinggung aktivitas
matematika yang mungkin dilakukan atau disebutkan objek-objek yang merupakan bangun ruang geometri. Dengan demikian, guru berusaha menghubungkan matematika dengan persepsi, intuisi dan pengetahuan faktual siswa dari kehidupannya sehari-hari. Hal ini sejalan dengan konsepsi guru tentang diri dan siswanya dalam pedagogi yang relevan budaya (Ladson-Billings, 1995: 478). Relasi sosial yang dibangun di kelas masih didominasi oleh interaksi guru dengan siswa, sementara kolaborasi antar siswa dilaksanakan jika diperlukan berdasar pertimbangan kebutuhan penguasaan materi. Jika secara individu siswa sudah memahami materi maka kegiatan kelompok tidak perlu dilakukan. Orientasi pembelajaran diarahkan kepada pencapaian prestasi akademik yaitu pemahaman/penguasaan materi atau skor hasil ulangan tinggi, dan tertanamnya nilai-nilai karakter yang merupakan ciri khas matematika seperti berpikir logis dan kreatif serta nilai pendidikan umum seperti jujur, disiplin, bertanggungjawab. Adapun karakter yang terkait dengan budaya seperti mencintai budaya sendiri belum menjadi fokus dalam pembelajaran matematika. Orientasi pembelajaran yang mungkin untuk menuju kepada matematika itu cultural bounded adalah menumbuhkan sikap positif terhadap kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Dalam wawancara, guru menyampaikan harapan agar siswa memahami bahwa matematika bukan cuma sekedar teori, bukan sekedar ilmu yang ada
diawang-awang tapi bisa dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Matematika yang cultural bounded dapat ditunjukkan melalui penggunaan konteks kehidupan seharihari dalam pembelajaran matematika. Dengan demikian, siswa diharapkan dapat melihat bahwa pengetahuan matematika tersebut bukan sebagai ilmu pengetahuan
293
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
yang teoretis tetapi aplikatif sehingga pada gilirannya dapat memunculkan rasa menghargai kegunaan matematika. Dalam wawancara terungkap bahwa konteks budaya lokal dan pengalaman sehari-hari siswa digunakan sekilas sebagai contoh aplikasi matematika. Untuk kasus Candi Borobudur, siswa belum pernah diberi pengalaman mempelajari matematika melalui interaksi langsung dengan mengunjungi Candi melainkan sebatas informasi verbal atau ditunjukkan gambarnya. Hal ini karena pertimbangan efisiensi dari sisi waktu dan biaya. Dari diri pribadi guru terungkap adanya hambatan bahwa guru merasa kurang kreatif untuk mengembangkan pembelajaran yang responsif budaya, kurang memahami kearifan lokal, memandang bahwa pembelajaran tersebut akan kurang efektif dan efisien. Bagi guru kelas IX, melatih siswa agar sukses Ujian Nasional menjadi target utama dibandingkan dengan melaksanakan pembelajaran yang responsif budaya. Hal ini karena nilai ujian nasional yang terpuruk akan berdampak
pada nama baik sekolah. Beberapa hambatan dalam diri guru terkait dengan kompetensi yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan terhadap matematika dan budaya. Dengan demikian, salah satu kunci pengembangan keprofesian guru adalah dengan meningkatkan kompetensi guru melaksanakan pengajaran matematika yang berbasis pada latarbelakang budaya siswa, penggunaan konteks di lingkungan luar sekolah dan aktivitas berbasis budaya (Madusise, S & Mwakapenda, 2014:148). Meskipun demikian, tiga interviewee berpendapat ada kelebihan dari pembelajaran matematika yang responsif budaya yaitu siswa menjadi lebih termotivasi untuk belajar matematika; siswa lebih mengenal dan sadar akan kekayaan budayanya sehingga lebih mencintai; bisa melihat hubungan antara sejarah dan matematika; kelak mereka akan memanfaatkan ilmunya untuk mengembangkan budayanya.
5. Kesimpulan dan Saran 5.1 1.
2. 3. 4.
294
Kesimpulan Peran guru matematika di SMP sekitar Candi Borobudur dalam pembelajaran yang responsif budaya adalah menciptakan situasi pembelajaran dengan memperhatikan pengetahuan yang telah dimiliki siswa tentang matematika dari kehidupan sehari-hari yang meliputi persepsi, intuisi dan pengetahuan faktual siswa dan menggunakannya sebagai contoh aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari. Relasi sosial dalam pembelajaran matematika di dua SMP sekitar Candi Borobudur tersebut lebih menekankan interaksi antara siswa dengan guru. Pembelajaran diarahkan kepada penguasaan materi, penanaman nilai karakter dan sikap positif terhadap kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun guru menyadari manfaat budaya lokal untuk pembelajaran matematika, namun belum optimal pemanfaatannya. Faktor penyebab internal adalah guru merasa kurang kreatif, kurang memahami kearifan lokal, belum mempunyai gambaran topik matematika yang cocok dengan suatu konteks budaya, dan berpandangan bahwa pembelajaran akan kurang efisien. Faktor penyebab eksternal adalah adanya tuntutan mencapai prestasi UN sehingga guru kelas IX cenderung memprioritaskannya.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
5.2
Saran
Lembaga pelatihan guru seperti PPPPTK Matematika memiliki peran aktif untuk meningkatkan kualitas guru dengan memperkuat program in-service diantaranya melalui Program Guru Pembelajar untuk membantu guru berlatih menguasai konten dan pengetahuan pedagogis secara lebih memadai. Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah pemberdayaan modal budaya dalam pembelajaran matematika.
Daftar Pustaka Akinsola, M.K & Mapolelo, D.C. 2015. Preparation of Mathematics Teachers: Lessons from Review of Literature on Teachers’ Knowledge, Beliefs, and Teacher Education. International Journal of Educational Studies. Vol 2 No 01, 2015 pp 1-12 diunduh dari http://www.escijournals.net/IJES pada tanggal 21 Agustus 2015. Bray, W.S. (2011). A Collective Case Study of the Influence of Teachers’Beliefs and Knowledge on ErrorHandling Practices During Class Discussion of Mathematics. Journal for research in mathematics education. Vol 42, No.1 hal 2-38. Campbell, P.F et all. (2014). The Relationship Between Teachers’Mathematical Content and Pedagogical Knowledge, Teacher’s Perceptions, and Student Achievment. Journal for research in mathematics education. Vol 45, No.4 hal 419-459. Gay, G. (2000). Culturally responsive teaching: Theory, research, and practice. New York, NY: Teachers College Press. Ladson-Billings, G. (1995). Toward a Theory of Culturally Relevant Pedagogy. American educational research journal, Fall, 1995 Vol 32No 3 pp 465-491. Madusise, S & Mwakapenda, W. (2014). Using School Mathematics to Understand Cultural Activities: How Far Can We Go?. Mediterranean Journal of Social Sciences Vol 5 No 3 March 2014. Rome-Italy: MCSER Publishing. Pp 146-157. Ogbu, J. U., & Simons, H. D. (1998). Voluntary and involuntary minorities: A cultural ecological theory of school performance with some implications for education. Anthropology and Education Quarterly, 29(2), 155-188. Patton, M.Q. (1990). Qualitative evaluation and research methods 2nd Edition. Newbury Park, California: Sage Publications, Inc. Rosa, M & Orey, D.C. (2013). Culturally Relevant Pedagogy a an Ethnomathematical Approach. Journal of Mathematics & Culture. September 2013 7(1). p 74-97.
295
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS SISWA SMA MELALUI PEMBELAJARAN MATH-TALK LEARNING COMMUNITY Erma Suriany1) 1)
SMA Negeri 1 Puding Besar, Kabupaten Bangka
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini mengkaji pencapaian dan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis antara siswa yang mendapat pembelajaran Math-Talk Learning Community (MTLC) dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Penelitian kuasi eksperimen dengan desain kelompok kontrol non ekivalen. Populasi siswa SMAN Puding Besar Tahun Pembelajaran 2014/2015 dan sampel penelitian secara purposive adalah kelas XI. Instrumen penelitian berupa tes kemampuan berpikir kreatif matematis, skala sikap dan lembar observasi. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dengan uji t. Hasil penelitian menunjukkan pencapaian dan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran MTLC lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. This study examines the achievement and improvement of mathematical creative thinking abilities among the students who received learning Math-Talk Learning Community (MTLC) compared with students who received conventional learning. Quasi-experimental research design with nonequivalent control group. The population was students of SMAN Puding Besar on 2014/2015 and the purposive sample is class XI. The research instrument is the ability to think creatively mathematical tests, attitude scales and observation sheets. Quantitative data were analyzed by t-test. The results showed that the achievement and mathematical creative thinking abilities of students who get the learning MTLC are increase better than students who received conventional learning. Kata Kunci. Math-Talk Learning Community (MTLC), berpikir kreatif matematis
1. Pendahuluan National Education Association (NEA) dalam An Educator’s Guide for Four Cs (2012) mengemukakan bahwa “... to determine which of the 21st century skills were the most important for K-12 education. There was near unamitiy that four specific skills were the most important. They become known as the “Four Cs”, critical thinking, communication, collaboration, and creativity.” Hal ini menunjukkan empat kemampuan abad ke-21 yang paling penting dalam pendidikan yaitu kemampuan berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi dan kreatif. Seseorang yang berpikir kreatif dapat melakukan pendekatan secara bervariasi dan memiliki bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu persoalan. Siswono (2004:6) mengatakan berpikir kreatif perpaduan antara berpikir logis dan divergen yang didasarkan pada intuisi, pemikiran divergen menghasilkan ide-ide untuk menemukan penyelesaian. Berpikir kreatif memberi makna bagaimana sebuah ide dikembangkan dan ditumbuhkan menjadi ide-ide baru yang menjadi alternatif dalam penyelesaian suatu masalah. Pentingnya
296
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
berpikir kreatif juga diusulkan oleh The National Curriculum’Handbook for Teachers’, ke dalam kurikulum di Inggris seperti yang dikutip oleh Worthington dan Carruthers (2003:4) mengatakan “Creativity is a skill that needs to be promoted across the curriculum. Creative thinking should enable pupils to generate and extend ideas, to suggest hypotheses, to apply imagination and to look for alternative outcomes”. Rendahnya kualitas pembelajaran, menunjukkan kurang efektifnya pembelajaran matematika di kelas salah satunya karena keterbatasan guru dalam memberikan peluang kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, seharusnya guru memberikan kesempatan lebih banyak kepada siswa untuk menjalani proses pembelajaran itu sendiri. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000) mengatakan suksesnya pembelajaran matematika di kelas, membutuhkan inovasi cara mengajar guru yaitu mengembangkan pembelajaran konvensional secara signifikan dan komunitas wacana di kelas yang mereka bimbing. Walaupun menurut Hufferd, et.al (2004:1) dalam kenyataannya guru masih kebingungan untuk menerapkan komunitas wacana dalam kelas mereka sesuai dengan keinginan NCTM. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membantu guru menemukan solusi dan mengubah cara mengajar mereka agar bisa menciptakan kelas yang lebih baik, antara lain penelitian tentang pembelajaran yang sesuai untuk meningkatkan pengetahuan pedagogik (kemampuan siswa terutama dalam proses berpikir), dan penelitian lainnya tentang kesulitan-kesulitan guru untuk melakukan perubahan di kelas, terutama membangun komunitas wacana . Kemampuan-kemampuan siswa tidak akan berkembang dengan sendirinya. Guru harus mampu merancang pembelajaran dengan memberikan ruang waktu lebih banyak kepada siswa. Intervensi sederhana dan penggunaan framework yang terencana dapat dilakukan guru untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa sehingga terjadi perubahan yang lebih baik dalam pembelajaran di kelas (Connecting Practice and Research in Mathematics Education, 2008:1)
“A Math-Talk Learning Community is a community where individuals assist one another’s learning of mathematics by engaging in meaningful mathematical discourse”(Hufferd et al, 2004:82). Math-Talk Learning Community (MTLC) adalah sebuah pembelajaran yang melibatkan setiap individu secara aktif saling membantu atau berinteraksi mempelajari matematika dengan komunitas wacana matematis yang bermakna. Interaksi ini tidak hanya terjadi pada guru ke siswa tetapi juga antara siswa ke siswa lainnya. Hal ini menjelaskan MTLC yang menggunakan pembelajaran dengan komunitas wacana berdampak positif terhadap suasana belajar yang terbentuk. Seperti yang kita ketahui, suasana belajar sangat mempengaruhi pembelajaran, komunitas wacana dan interaksi sosial di kelas yang bisa mendukung siswa dalam mengoneksikan ide-ide dan mengulang materi yang diperoleh dalam pembelajaran.
297
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Berdasarkan masalah dan pendapat-pendapat yang telah diungkapkan di atas penulis mengajukan suatu penelitian tentang kemampuan berpikir kreatif matematis siswa melalui pembelajaran MTLC, maka dirumuskan masalah dalam penelitian ini apakah kemampuan berpikir kreatif siswa matematis yang pembelajarannya melalui pembelajaran Math-Talk Learning Community lebih baik dari pada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?
2. Kajian Pustaka, Kerangka Pemikiran Dan Hipotesis Penelitian 2.1.
Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis
Berpikir kreatif merupakan suatu proses yang digunakan ketika kita mendatangkan/memunculkan suatu ide baru. Hal itu menggabungkan ide-ide yang belum pernah dilakukan. Kriteria berpikir kreatif terdiri dari sintesis ide-ide, membangun ide-ide dan menerapkan ide-ide. Beberapa pendapat tentang berpikir kreatif antara lain Haylock (1997:69) mengatakan “creative thinking is almost always seen as involving flexibility” yang diartikan bahwa berpikir kreatif selalu menunjukkan fleksibilitas; Pehkonen (1997:63) juga mengatakan tentang berpikir kreatif, yang diartikannya sebagai suatu kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tetapi masih dalam kesadaran. Dengan demikian kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan untuk menghasilkan ide baru yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah.
Pentingnya berpikir kreatif juga dikemukakan oleh Ervynk (2002:42) “creativity plays a vital role in the full cycle of advanced mathematical thinking. It contributes in the first stage of development of a mathematical theory “, dikatakan bahwa kreativitas memainkan peranan penting dalam berpikir tingkat tinggi. Kreativitas memberikan konstribusi awal dalam membangun teori matematis. Untuk itu perlu dikembangkan pembelajaran yang meningkatkan kemampuan berpikir kreatif. Pengembangan kemampuan berpikir kreatif yang melibatkan siswa secara aktif, terdiri dari empat komponen yaitu : (1) pengkajian (hasilnya familiar dengan siswa);(2) menyentuh kedalaman intuisi siswa;(3) menggunakan daya imajinasi dan inspirasi;(4) menghasilkan struktur deduktif pada siswa. (Ervynk, 2002:47). Menurut Munandar (2002) kreativitas adalah hasil dari proses interaksi antara individu dengan lingkungannya, selanjutnya Munandar menjelaskan kemampuan berpikir kreatif ditandai dengan beberapa kemampuan yaitu kemampuan berpikir lancar (fluency), kemampuan berpikir luwes (flexibility), kemampuan berpikir orisinil (originality), kemampuan berpikir terperinci (elaboration) dan kemampuan berpikir evaluatif (evaluation). Kemampuan kreatif merujuk langsung ke kemampuan divergent-productive yang diidentifikasi oleh Guilford (1967), dalam faktor khusus yaitu fluency, flexibility, elaboration and originality.
2.2.
Pembelajaran Math-Talk Learning Community
Standar NCTM menekankan pentingnya mengembangkan bahasa matematis matematis dalam memahami konsep-konsep daripada hanya mengikuti urutan prosedur, dan
298
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan proses berpikir matematis melalui math-talk sehingga ide-ide matematis mereka berkembang. Math-Talk memberikan kesempatan siswa untuk memecahkan masalah, menjelaskan solusi mereka, menjawab pertanyaan dan mempertahankan jawaban mereka. Mereka bisa menggunakan gambar sebagai bukti referensi dari penjelasan mereka. Sebuah komunitas wacana matematis membantu setiap siswa untuk memahami konsep matematika yang mereka pelajari lebih mendalam, dan meningkatkan kompetensi dalam menggunakan bahasa matematis dari kehidupan sehari-hari. Ketika siswa terlibat dalam komunitas wacana, guru bertindak sebagai fasilitator yang memandu mempertahankan fokus wacana dan mengklarifikasikannya jika diperlukan. Hufferd-Ackles, Fuson dan Sherin (2004:82) mengemukakan ”Math-Talk Learning Communitiy as a community in which individual assist one another’s learning of mathematics by engaging in meaningful mathematical discourse”. Hal ini mendefinisikan MTLC sebagai framework proses pembelajaran khususnya matematika, guru, siswa dan siswa lainnya membantu satu sama lain dalam pembelajaran, yang membuat proses pembelajaran matematika (wacana matematis) mereka mencapai tujuan pembelajaran. MTLC merupakan pengembangan wacana dalam proses pembelajaran dan langkah penting dari implementasi pemikiran reformasi serta membantu guru memecahkan kesulitan yang selama ini mereka hadapi khususnya instruksi matematis. Empat komponen utama yang berbeda tapi saling terkait yang merupakan proses dari perkembangan pembelajaran math-talk dari waktu ke waktu yang diklasifikasikan oleh Hufferd-Ackles et al (2004) yaitu: (a) questioning (mempertanyakan), (b) explain mathematical thinking (menjelaskan pemikiran matematika), (c) source mathematical ideas (menggali ide-ide matematika) dan (d) responsibility for learning (tanggung jawab belajar). Connecting Practice and Research in Mathematics Education (2008:1) disinopsis penelitian mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pembelajaran MTLC, yaitu: a.
b. c. d. e.
Siswa harus sudah memahami materi matematika sedang dipelajari dalam math-talk (misalnya, untuk menggambarkan pemikiran sendiri, mempertanyakan, atau untuk memperluas pekerjaan orang lain) Materi harus sesuai dengan kognitif siswa, sumber-sumber materi mudah dicari oleh siswa untuk dapat berpatisipasi dalam wacana matematis bermakna. Dilakukan secara variatif, pembelajaran diselingi dengan pembelajaran yang melibatkan kerja individu atau pasangan atau kelompok. Meyediakan waktu yang lebih banyak agar pembelajaran MTLC dapat terlaksana secara ideal. Menyiapkan rubrik untuk mengevaluasi kemampuan guru dan siswa;
Proses pembelajaran matematis sangat penting dalam komunitas belajar karena mendorong siswa untuk mengomunikasikan gagasan matematis dan membantu siswa untuk membangun pemahaman matematis. Mengembangkan MTLC secara ideal merupakan sebuah proses yang membutuhkan waktu dan dukungan yang cukup. Komunitas wacana ide-ide matematis
299
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
menyediakan kesempatan bagi siswa untuk berpikir, mempertahankan dan membuktikan konsepsi mereka satu sama lain. Siswa dibentuk untuk mengembangkan proses berpikir kreatif matematis secara bertahap. Ringkasan konsep pembelajaran MTLC dengan komponen dan tahapan jika disajikan dalam tabel (Halimun, 2011: 97), dapat dilihat dalam Tabel. 1 berikut:
Tabel 1. Komponen dan Tahapan Math-Talk Learning Community Komponen
Deskripsi Pergeseran dari guru sebagai penanya menjadi siswa a. Questioning sebagai penanya, awal berpikir kreatif. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis b. Explaining siswa, menjelaskan dan mengartikulasikan ide-ide Mathematical Thinking matematis. Pergeseran dari guru sebagai sumber ide-ide c. Source of Mathematical matematis menjadi siswa sebagai sumber ide-ide Ideas matematis, dan mengarahkan jalan pembelajaran. Siswa bertanggung jawab atas pembelajaran dan d. Responsibility for mengevaluasi diri dan yang lainnya. Learning Tahap 0 : guru sebagai pusat pembelajaran konvensional Tahap 1 : guru memainkan peran sebagai pusat pembelajaran MTLC Tahap 2 : guru sebagai model dan fasilitator Tahap 3 : guru sebagai pengamat Catatan : framework diadaptasi dari Hufferd-Ackles et al (2004) Penelitian yang berhubungan dengan berpikir kreatif matematis melalui pembelajaran dengan pendekatan open-ended dengan strategi group-to-group, Agusfinal (2011) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan memberikan peningkatan dalam kemampuan berpikir kreatif. Tetapi terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis antara siswa kategori kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Tanggapan siswa terhadap pembelajaran matematika berbantuan WinGeom yang dilaksanakan positif. Penelitian ini berkaitan dengan pembelajaran framework Math-Talk Learning Community (MTLC) oleh Otten et.al (2011) mengungkapkan keefektifan framework untuk memunculkan siswa secara aktif memainkan perannya di kelas. Peralihan peran guru sebagai pusat pembelajaran menjadi siswa sebagai pusat pembelajaran. Senada dengan NicMhuiri (2011) yang melakukan penelitian kualitatif untuk mengetahui apa yang bisa membantu dalam memfasilitasi wacana kelas dan ternyata untuk memfasilitasi wacana kelas dengan MTLC sangat membantu, yang perlu diperhatikan adalah tahap pertama yaitu questioning, diberikan catatan pertanyaan pada komponen ini karena menentukan tahap selanjutnya.Salah satu bentuk fasilitasi dari MTLC adalah pertanyaan ataupun tugas yang diberikan mampu mendorong kemampuan berpikir siswa, tingkat pertanyaan dan tugas disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa sehingga meningkatkan kepercayaan diri siswa dan guru.
300
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
3. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilaksanakan adalah kuasi eksperimen dengan desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kelompok kontrol non-ekuivalen (Ruseffendi, 2005:52). Penelitian ini dilakukan pada 2 (dua) kelas yang dipilih secara acak yaitu kelas pertama dijadikan kelas kontrol atau kelompok kontrol, kelas kedua dijadikan kelas eksperimen yang diberikan perlakuan yaitu menggunakan pembelajaran Math-Talk Learning Community dalam kegiatan belajar di kelas, sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan.
Populasi penelitian ini adalah siswa salah satu SMA Negeri Puding Besar Kabupaten Bangka Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penentuan populasi dilakukan secara purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel penelitian berdasarkan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2012). Penelitian dilaksanakan pada kelas XI, semester genap Tahun Pembelajaran 2014/2015 dengan materi Statistika, Sampel untuk ujicoba instrumen sebanyak 30 siswa kelas XI IPA 1, dan sampel penelitian sebanyak dua kelas, satu kelas kontrol sebanyak 34 orang siswa (Kelas XI IPS 2) dan satu kelas eksperimen sebanyak 34 orang siswa (Kelas XI IPS 1). Pemilihan siswa untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak berdasarkan keacakan yang sesungguhnya (kuasi eksperimen), yaitu penetapan yang dilakukan oleh guru berdasarkan kelas yang ada. Untuk menghindari terjadinya perbedaan pemahaman terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka beberapa istilah didefinisikan sebagai berikut : 3.1. Pembelajaran Math-Talk Learning Community (MTLC) adalah pembelajaran dengan komunitas wacana matematis yang menggunakan framework, memiliki empat komponen utama yaitu questioning (mempertanyakan), explaining mathematical thingking (menjelaskan dengan berfikir matematis), source of mathematical ideas (menggali sumber ide-ide matematis), dan responsibility for learning (tanggung jawab untuk belajar) dengan tahapan masing-masing komponen dari nol sampai tiga. 3.2. Kemampuan berpikir kreatif matematis adalah kemampuan siswa menyelesaikan suatu permasalahan matematika secara fleksibel dan terbuka terhadap cara-cara yang bersifat baru. Untuk memperoleh data penelitian ini, digunakan empat macam instrumen yang terdiri dari tes kemampuan berpikir kreatif matematis. Tes diberikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol sebagai tes awal (pretest) maupun tes akhir (postest), dengan soal yang sama. Tes awal untuk mengetahui kemampuan awal siswa dan tes akhir untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan belajar setelah mendapatkan pembelajaran Math-Talk Learning Community yang diterapkan.
Pemberian skor kemampuan berpikir kreatif penelitian ini mengacu pada skor rubrik yang dimodifikasi oleh Bosch dalam Hasanah (2011:63). Kemampuan berpikir kreatif meliputi empat aspek, yaitu: kelancaran, keluwesan, keaslian dan elaborasi. Pemberian skor pada masing-masing aspek tersebut diadaptasi antar 0 sampai 4. Analisis data dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan bantuan Software Microsoft Excell 2007 dan Predictive Analytics Software (PASW Statistics 17) atau IBM SPSS versi17.0. Analisis data bertujuan untuk menjawab rumusan masalah penelitian yaitu untuk mengetahui pencapaian kemampuan berpikir kreatif matematis. Untuk melihat apakah
301
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
pencapaian kemampuan berpikir kreatif matematis kelompok eksperimen lebih baik dari kelompok kontrol analisis dilakukan terhadap data postes kedua kelompok.
4. Hasil dan Pembahasan Data kuantitatif diperoleh melalui pretes kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi matematis, postes kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi matematis yang diperoleh dari 30 siswa kelompok eksperimen dan 30 siswa kelompok kontrol. Analisis data skor postes kemampuan berpikir kreatif matematis dilakukan dengan uji perbedaan rata-rata. Uji ini bertujuan untuk membuktikan terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis kedua kelompok eksperimen maupun kontrol. Uji dilakukan setelah memenuhi uji asumsi statistik normalitas dan homogenitas Uji normalitas. menunjukkan bahwa skor postes kemampuan berpikir kreatif kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memiliki . Hal ini menunjukkan diterima, artinya data postes kemampuan berpikir kreatif matematis kelompok eksperimen dan kontrol berdistribusi normal sedangkan hasil rangkuman uji homogenitas pada menunjukkan bahwa data skor postes kemampuan berpikir kreatif matematis memiliki nilai yaitu 0,337. Hal ini menunjukkan diterima, artinya varians data skor postes kemampuan berpikir kreatif matematis kedua kelompok homogen. Berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas yang telah dilakukan sebelumnya data postes kemampuan berpikir kreatif matematis kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berdistribusi normal serta berasal dari varians yang homogen, maka bisa dilanjutkan pada uji perbedaan rata-rata postes dengan menggunakan independent sample t-test. Tabel 2. berikut ini menyajikan rangkuman hasil uji perbedaan rata-rata postes.
Tabel 2. Hasil Uji Perbedaan Rata-rata Data Skor Postes Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis t-test for Equality of Means 10,027
58
0,000
Kesimpulan ditolak
Hasil independent sample test pada Tabel 4.3, didapat berarti . Hal ini menunjukkan bahwa ditolak, artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara skor postes kemampuan berpikir kreatif matematis siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Jadi terbukti hipotesis yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan Math-Talk Learning Community lebih baik dari pada siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional.Berdasarkan hasil analisis data skor pretes dan postes kemampuan berpikir kreatif matematis kelompok eksperimen dan konvensional terlihat ada perbedaan yang cukup signifikan.
302
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Hasil uji independent sample test dilakukan terhadap data pretes kemampuan berpikir kreatif dan didapat berarti . Hal ini menunjukkan bahwa diterima, artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor pretes kemampuan berpikir kreatif matematis siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, ini menunjukkan kemampuan awal siswa kelompok eksperimen dan kontrol secara signifikan sama. Berdasarkan hasil penelitian, rangkuman hasil pengujian hipotesis terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis adalah sebagai berikut: Kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan Math-Talk Learning Community lebih baik dari pada siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional. Hasil uji independent sample test dilakukan terhadap data postes kemampuan berpikir kreatif matematis didapat berarti . Hal ini menunjukkan bahwa ditolak, artinya rata-rata postes kemampuan berpikir kreatif matematis siswa kelompok eksperimen lebih baik daripada kelompok kontrol, dengan tingkat pencapaian kelompok eksperimen 80% sementara kelompok kontrol hanya 0,33% pada interval yang sama lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Frekuensi Pencapaian Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Kelompok Eksperimen dan Kontrol Interval
Kelompok Eksperimen
Kelompok Kontrol
Frekuensi
Persentase
Frekuensi
Persentase
0−4
0
0
3
1%
5−9
6
20%
26
86,67%
10 − 16
24
80%
1
0,33%
Hal ini menunjukkan pembelajaran MTLC yang memuat komponen questioning dan source of mathematical ideas dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Questioning yang digunakan dalam penelitian ini mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan yang memahami pikiran matematis mereka sesuai dengan Hufferd-Ackles et.al. (2004) dalam jurnalnya questioning bersifat “probing” dan “korektif” yang memunculkan jawaban bersifat divergen. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Pehkonen (1997) jawaban yang bersifat divergen memunculkan kriteria berpikir kreatif matematis yaitu fluency, flexibility, originality dan elaboration. Source of mathematical ideas, komponen ketiga dalam MTLC menggali ide-ide matematis siswa dari pemahaman yang mereka dapatkan untuk mendapatkan kesimpulan. Hal ini sejalan dengan penelitian Mubarok (2012) yang mengungkapkan kemampuan berpikir kreatif matematis muncul pada tahap keempat PMR yaitu menyimpulkan.
303
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
5. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan analisis data dan pembahasan hasil penelitian yang telah diuraikan, diperoleh kesimpulan bah pencapaian kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang mendapat pembelajaran MathTalk Learning Community lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Oleh karena itu disarankan kepada para guru agar menerapkan pembelajaran tersebut di sekolah sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan matematis. Juga perlu dikembangkan oleh pihak sekolah melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Matematika, soal-soal yang berkaitan dengan kemampuan berpikir kreatif matematis agar siswa terbiasa mengerjakan soal-soal tersebut sehingga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis. Serta dalam melaksanakan pembelajaran, hendaknya guru membiasakan diri menggunakan frame work sebagai acuan refleksi pembelajaran sehingga bisa merencanakan langkah pembelajaran selanjutnya.
Daftar Pustaka Agusfinal. (2011). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Komunikasi Matematis Siswa SMA melalui Pendekatan Open-Ended dengan Strategi Group-to-Group (Studi eksperimen di SMA Negeri Plus Provinsi Riau). Tesis Magister pada Program Studi Pendidikan Matematika Sekolah Pasca Sarjana UPI Bandung: tidak diterbitkan. Connecting Practice and Reasearch in Mathematics Education. (2008). Profesional Learning Guide, Math-Talk Learning Community.Ontario: EduGains. [online]. Tersedia: http://www.edugains.ca [2 November 2012]. Ervynk, G. (2002). “Mathematical Creativity”. Advance Mathematical Thinking. Volume 11. Guilford, J. P. (1967). The Nature of Human Intelligence. New York: McGraw-Hill Book Company. Halimun, J. M. (2011). A Qualitative Study of The Use of Content-Realated Comics to Promote Student Participation in Mathematical Discourse in A Math I Support Class. Dissertation for Doctor of Education In Leadership for Learning Teacher Leadership Bagwell College of Education Kennesaw State University. Kennesaw, G.A. [online]. Tersedia: http://digitalcommons.kennesaw.edu/etd/471 Haylock, D. (1997). “Recognising Mathematical Creativity in Schoolchildren”. ZDM. [online] 29, (3).. Tersedia: http://www.fiz.karsruhe.de/fiz/publication/zdm. [4 Desember 2012]. Hasanah, A. (2011). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis da Kreatif Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas melalui Pendekatan Kontekstual Berbasis Intuisi. Disertasi Doktor pada SPS. UPI: Tidak diterbitkan. Hufferd-Ackles, K., Fuson, K. C. & Sherin, M. G. (2004). “Describing Levels and Components of A Math-Talk Learning Community”. Journal for Research in Mathematics Education .35, (2), 81-116. Munandar, U. (2002). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta Mubarok, Dziki. (2012). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematika Siswa Melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR) di SMP PGRI 6 Malang. Tesis Magister pada Program Studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. [online]. Tersedia: http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view. National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: Author. National Education Association. (2012). An Educators Guide to The “Fours Cs”. United State. [online]. Tersedia: http://www.nea.org. [5 Desember 2012]. NicMhuiri, S. (2011). “Teacher, do you know the answer? Initial attempts at the facilitation of discourse community”. Proceedings of The British Soceity for Research into Learning Mathematics (BSRLM). 31, (3), 119-124. Otten, S., Herbel-Eisenmann, B. A., Cirillo, M., Steele, M. & Bosman, H.M. (2011). Students Actively Listening: A Foundation for Productive Discourse in Mathematics Classroom. Paper Presented at The Annual Metting of The American Educational Research Association, New Orleans, L. A.
304
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Pehkonen, E. (1997). “The State-of-Art in Mathematical Creativity”. ZDM. 29, (3), 615-679. [online]. Tersedia: hhtp://www.fiz.karsruhe.de/fiz/publication. [6 Agustus 2012]. Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan & Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito Siswono, T. Y.E (2004). “Mendorong Berpikir Kreatif Siswa melalui Pengajuan Masalah (Problem Posing)”. Makalah dalam Konferensi Nasional Matematika XII, Universitas Udayana Denpasar Bali. Worthington, M. & Carruthers, E. (2003). “Research Uncovers Children’s”. Primary Mathematics (Mathematics Association). 7, (11), 3.
305
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
UPAYA PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA DI KELAS 1 SD NEGERI TELAJUNG 03 KECAMATAN CIKARANG BARAT Desy Anggraini1), Arrahim2) 1) 2)
YPI Al-‘Imaroh, Jl. Kampung Bojong Koneng, Bekasi;
[email protected] Universitas Islam “45”, Jl. Cut Mutia No. 83, Bekasi;
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data mengenai perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran serta pemahaman konsep matematika dengan menggunakan media realia di kelas 1 SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan media realia dapat meningkatkan pemahaman konsep matematika di kelas 1 SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat. Kata Kunci. Pemahaman konsep matematika, penggunaan media realia
1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Berdasarkan hasil observasi yang telah peneliti lakukan di kelas 1 SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat, diketahui bahwa pemahaman konsep matematika siswa masih rendah. Hal tersebut disebabkan karena media yang digunakan belum membantu memperjelas pemahaman konsep matematika siswa serta kurang bermaknanya pembelajaran matematika yang diterapkan. Menurut Ibrahim dalam Purnamasari (2014: 3) pemahaman konsep matematika menunjuk kepada kemampuan siswa untuk menghubungkan gagasan dalam matematika dengan gagasan yang mereka ketahui, untuk menggambarkan situasi matematika dalam cara-cara yang berbeda, dan untuk menentukan perbedaan antara penggambaran ini. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk meningkatkan pemahaman konsep matematika pada materi operasi hitung penjumlahan dan pengurangan diperlukan sarana penunjang bagi siswa dalam menuju konsep matematika yang abstrak. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Heruman (2013: 1) yang menyatakan bahwa siswa sekolah dasar masih berada pada fase operasional konkrit sehingga diperlukan media atau alat peraga untuk membantu memperjelas konsep yang abstrak. Media pembelajaran tersebut selain harus menarik perhatian siswa, juga harus dapat menunjang tujuan pembelajaran matematika secara maksimal. Salah satu media yang dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman konsep matematika adalah media realia. Menurut Martiningsih dalam Puspita (2010: 5), media realia merupakan benda sebenarnya yang dapat diamati secara langsung oleh pancaindera dengan cara melihat, mengamati, dan memegangnya secara langsung tanpa melalui alat bantu. Media realia merupakan bentuk media nyata seperti apa adanya atau aslinya tanpa perubahan. Dengan memanfaatkan realita dalam proses belajar, siswa akan lebih paham. Pemahaman konsep
306
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
matematika akan lebih meningkat apabila dalam pembelajaran digunakan media realia ”Alat Tulis”, karena objek dan kejadian yang menjadi bahan pengajaran secara realistik yang dikaitkan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan paparan di atas agar siswa kelas 1 SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat tahun pelajaran 2015 – 2016 dapat memahami konsep operasi hitung penjumlahan dan pengurangan dengan baik, maka dalam proses pembelajaran digunakan media realia. Hal inilah yang mendorong penulis untuk melaksanakan penelitian tindakan kelas dengan judul “Upaya Peningkatan Pemahaman Konsep Matematika dengan Menggunakan Media Realia di Kelas 1 SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat”.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu “bagaimana perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran matematika dengan penggunaan media realia dan apakah media realia dapat meningkatkan pemahaman konsep matematika pada siswa kelas 1 SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat”.
2. Tinjauan Pustaka 2.1. Pemahaman Konsep Matematika Paham berarti pengertian, pengetahuan pendapat, pikiran, mengerti benar akan, tahu benar akan, pandai dan mengerti benar, sepaham, sependapat, sekeyakinan, memahami, mengerti benar, aliran, haluan (Suharso dalam Sulistyowati, 2007: 19). Adapun pemahaman adalah proses, perbuatan, cara memahami atau menanamkan. Pemahaman adalah kemampuan untuk memahami suatu objek dan subjek pembelajaran, dimana kemampuan untuk memahami akan terjadi manakala didahului oleh sejumlah pengetahuan (Susetyo, 2015: 19). Menurut Rosser dalam Dahar (2011: 63), konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek, kejadian kegiatan, atau hubungan yang memunyai atribut yang sama. Lebih lanjut lagi, Boediono dalam Purnamasari (2014: 2) menyatakan bahwa konsep adalah semua hal yang berwujud pengertian-pengertian baru yang bisa timbul sebagai hasil pemikiran, meliputi definisi, pengertian, ciri khusus, hakikat, dan isi materi. Berdasarkan uraian di atas, konsep yaitu suatu gagasan abstrak seseorang yang didapat berdasarkan objek, peristiwa serta simbol yang memiliki karakteristik sama, sehingga orang tersebut dapat mengenal serta mengklasifikasikan objek-objek tersebut menjadi pengertian baru. Menurut Ibrahim dalam Purnamasari (2014: 3), pemahaman konsep matematika menunjuk pada kemampuan siswa untuk menghubungkan gagasan dalam matematika dengan gagasan yang mereka ketahui, untuk menggambarkan situasi matematika dalam cara-cara yang berbeda dan untuk menentukan perbedaan antargambaran.
307
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Selain itu, Duffin dan Simpson dalam Kesumawati (2008: 230), pemahaman konsep matematika adalah sebagai kemampuan siswa untuk: 1) mengungkapkan kembali apa yang telah dikomunikasikan kepadanya; 2) menggunakan konsep pada berbagai situasi yang berbeda; dan 3) mengembangkan beberapa akibat dari adanya suatu konsep. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep matematika adalah kemampuan siswa untuk mengetahui, mengenal, dan menjelaskan kembali serta menghubungkan gagasan dalam matematika dengan gagasan yang mereka ketahui dalam kehidupan sehari-hari sehingga mampu memecahkan masalah matematika dengan benar. Adapun indikator pemahaman konsep matematika dalam penelitian ini yaitu 1) mengungkapkan kembali apa yang telah dikomunikasikan kepadanya; 2) menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis; 3) mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah.
2.2. Media Realia Menurut Sadiman dalam Sarini (2012: 4), media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Salah satu media yang dapat digunakan dalam meningkatkan pemahaman konsep matematika dalam penelitian ini adalah media realia. Wibawa dalam Jannah, dkk (2012: 3) mengatakan bahwa media realia merupakan bentuk dari media nyata seperti apa adanya atau aslinya tanpa ada perubahan. Media realia dinilai merupakan suatu media yang sesuai untuk mengatasi permasalahan tersebut karena siswa usia anak SD tahap berpikirnya masih konkrit dan senang berinteraksi dengan benda-benda nyata sehingga dapat mempermudah siswa memahami pembelajaran matematika. Lebih lanjut lagi, Ibrahim dan Syaodih dalam Maryati (2015: 8) mengemukakan bahwa media realia adalah objek nyata atau benda sesungguhnya yang akan memberikan rangsangan yang amat penting bagi siswa dalam mempelajari berbagai hal dalam proses pelajarannya, terutama yang menyangkut pengembangan keterampilan pada diri siswa. Ciri-ciri media realia yaitu benda asli yang masih ada dalam keadaan utuh, dapat dioperasikan, hidup, dalam ukuran yang sebenarnya, dan dapat dikenali sebagaimana wujud aslinya (Endriani dalam Sarini, 2012: 4). Benda nyata yang digunakan seperti alat tulis, tumbuhan, buah, bunga, dan sebagainya sehingga peserta didik dengan mudah mengingat apa yang mereka pelajari karena telah mengalami langsung dan berinteraksi dengan media. Endriani mengatakan kembali, pemanfaatan media realia dalam proses pembelajaran merupakan cara yang cukup efektif, karena dapat memberikan informasi yang lebih akurat. Akan tetapi tidak semua benda nyata dapat digunakan sebagai media realia karena keterbatasan penyediannya, misalnya karena ukuran ataupun biayanya. Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa media realia merupakan benda-benda nyata seperti apa adanya atau aslinya, tanpa perubahan. Dengan memanfaatkan realita dalam
308
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
proses belajar, diharapkan siswa akan lebih paham. Media realia yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah media realia berupa alat tulis.
3. Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan di SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat. Yang beralamat di Jl. Metro IP, Desa Telajung, Kecamatan Cikarang Barat, Bekasi. Penulis melakukan penelitian mulai dari bulan Maret sampai April 2016. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research). Penelitian tindakan kelas merupakan suatu upaya untuk mencermati kegiatan belajar sekelompok siswa dengan memberikan sebuah tindakan (treatment) yang sengaja dimunculkan (Arikunto 2014: 16). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya peningkatan pemahaman konsep matematika pada materi operasi hitung penjumlahan dan pengurangan dengan menggunakan media realia “Alat Tulis” di Kelas 1 SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas 1B SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat yang berjumlah 30 siswa, terdiri dari 20 siswa laki-laki dan 10 siswa perempuan. Penelitian ini dilaksanakan dalam 3 siklus. Setiap siklus terdiri dari 4 tahapan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi.
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.1. Hasil Penelitian Hasil penelitian dan perolehan nilai tes pada siklus I, II, dan III menunjukan bahwa terdapat peningkatan pemahaman konsep matematika melalui penggunaan media realia dibandingkan sebelum penelitian dilaksanakan. Secara keseluruhan siswa telah dapat memahami konsep pada semua indikator pemahaman konsep yang menggunakan media realia, dimana sebanyak 28 siswa sudah dapat mencapai nilai ≥ 65 atau dengan persentase ketuntasan belajar sebesar 93,33%. Adapun nilai rata-rata kelas dan ketuntasan belajar dalam setiap siklus dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 1. Nilai Hasil Pembelajaran Setiap Siklus Siswa yang Siswa yang Ratamemperoleh memperoleh Jumlah rata Kriteria nilai ≥ 65 nilai < 65 F P F P Pre Test 5 16,67% 25 83,33% 1380 46,00 Siklus I Post Test 15 50% 15 50% 1820 60,67 Pre Test 15 50% 15 50% 1900 63,33 Siklus II Post Test 22 73,33% 8 26,67% 2120 70,67 Pre Test 23 76,67% 7 23,33% 2280 76,00 Siklus III Post Test 28 93,33% 2 6,67% 2700 90,00
Ketuntasan Belajar Klasikal Siswa 16,67% 50% 50% 73,33% 76,67% 93,33%
309
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Agar lebih jelasnya, berikut penyajian grafik persentase ketuntasan belajar klasikal siswa dari siklus I, siklus II, dan siklus III.
Gambar 1. Persentase Ketuntasan Belajar Siswa Setiap Siklus Dari grafik yang telah disajikan di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan di setiap siklusnya. Ketuntasan belajar klasikal siswa pada siklus I sebesar 50% dengan jumlah siswa sebanyak 15 siswa. Pada siklus II pun ketuntasan belajar klasikal siswa sebesar 73,33% dengan jumlah siswa sebanyak 22 siswa. Adapun pada siklus III, ketuntasan belajar klasikal siswa sebesar 93,33% dengan jumlah siswa sebanyak 28 siswa dan telah tuntas sesuai dengan KKM yang telah ditetapkan.
4.2. Pembahasan Proses pembelajaran pada materi operasi hitung penjumlahan dan pengurangan dengan menggunakan media realia dapat meningkatkan pemahaman konsep matematika jika dilihat dari hasil perolehan nilai rata-rata kelas dan ketuntasan belajar siswa yang mengalami peningkatan dalam setiap siklusnya. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Duffin dan Simpson dalam Kesumawati (2008: 230) yang menyatakan bahwa pemahaman konsep matematika adalah sebagai kemampuan siswa untuk: 1) mengungkapkan kembali apa yang telah dikomunikasikan kepadanya; 2) menggunakan konsep pada berbagai situasi yang berbeda; dan 3) mengembangkan beberapa akibat dari adanya suatu konsep. Sejalan dengan hal di atas, dalam Depdiknas (2003: 2) disebutkan bahwa pemahaman konsep matematika merupakan salah satu kecakapan atau kemahiran matematika yang diharapkan dapat tercapai dalam belajar matematika yaitu dengan menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dipelajarinya, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. Pemahaman konsep matematika yang diperoleh siswa tidak seluruhnya mencapai nilai yang diharapkan karena masih terdapat 2 siswa yang mendapatkan nilai di bawah KKM. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti siswa kurang fokus dalam pembelajaran serta kemampuan siswa dalam menyerap serta memahami konsep yang tidak sama satu dengan lainnya. Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalahnya tercapainya aspek kognitif siswa pada indikator mengungkapkan kembali apa yang telah dikomunikasikan
310
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
kepadanya, menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis, dan mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah. Dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini terdapat “peningkatan pemahaman konsep matematika dengan menggunakan media realia di kelas 1 SDN Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat”. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya ketuntasan belajar siswa pada setiap siklusnya dan tercapainya indikator yang telah peneliti tentukan pada awal penelitian. Berdasarkan hasil penelitian dan didukung teori dari beberapa para ahli, maka penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara empiris dan teoretis.
5. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilaksanakan peneliti di kelas 1 SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat, dapat dijabarkan kesimpulan bahwa siswa dapat lebih memahami materi yang telah dipelajari dengan cara ketika guru bertanya mengenai hal yang telah dipelajari, siswa menjelaskan kembali materi dengan menggunakan bahasa yang mereka pahami. Selain itu, juga dengan cara siswa menyimpulkan suatu materi di akhir pembelajaran baik bersama-sama maupun secara individu dengan benar. Pemahaman konsep matematika siswa khususnya siswa kelas 1 pada mata pelajaran Matematika dengan materi operasi hitung penjumlahan dan pengurangan di SDN Telajung 03 tahun pelajaran 2015 – 2016 setelah menggunakan media realia mengalami peningkatan.
Daftar Pustaka Arikunto, S, dkk. 2014. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara. Dahar, R.W. 2011. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga. Depdiknas. 2006. Pemahaman Konsep dalam Pembelajaran Matematika. Heruman. 2013. Model Pembelajaran Matematika. Bandung: Remaja Rosdakarya. Jannah, Fatchul, Dkk. 2012. Meningkatkan Aktivitas Belajar Operasi Pengurangan Bilangan Menggunakan Media Realia Siswa Kelas II SDN 01 Mentebah. Kesumawati, N. 2008. Pemahaman Konsep Matematik dalam Pembelajaran Matematika. Maryati, Y. 2015. Peningkatan Hasil Belajar Matematika Kelas V Dengan Media Realia di SDN Pengasinan VII Kota Bekasi Tahun Ajaran 2014/2015. Universitas Islam “45” Bekasi: Tidak dipublikasikan. Purnamasari, E. F. 2014. Peningkatan Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika melalui Pendekatan Open-ended bagi Siswa Kelas VIII Semester Genap SMP Muhammadiyah 10 Surakarta. Puspita, D. 2010. Penggunaan Media Benda Asli Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Pecahan dalam Pembelajaran Matematika Kelas III SD Negeri Baran I Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo. Sarini, W. 2012. Penggunaan Media Realia Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Kelas 1 SDN 11 Segarau Kabupaten Sambas. Sulistyowati. 2007. Meningkatkan Pemahaman Konsep tentang Pokok Bahasan Penjumlahan dan Pengurangan Pecahan melalui Pemanfaatan Alat Peraga dan Lembar Kerja pada Siswa Kelas IV SD Wonosari 02 Semarang Tahun Ajaran 2006/2007. Susetyo,B. 2015. Prosedur Penyusunan dan Analisis Tes. Bandung: Refika Aditama.
311
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
PENGEMBANGAN PERANGKAT ASESMEN AUTENTIK PADA PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN SCIENTIFIC MATERI EKSPONEN DAN LOGARITMA Putriyani S STKIP Muhammadiyah Enrekang, Jalan Jend. Sudirman No. 17 Enrekang, Kab. Enrekang;
[email protected]
Abstrak. Penelitian pengembangan (Research and Development) ini bertujuan untuk mengembangkan Perangkat Asesmen Autentik pada Pembelajaran dengan Pendekatan Scientific pada materi pokok Eksponen dan Logaritma. Subjek penelitian adalah peserta didik kelas X IA 2 SMA Negeri 1 Pangsid sebanyak 42 orang terdiri dari 4 orang laki-laki dan 38 orang perempuan. Prosedur pengembangan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah proses pengembangan instrumen asesmen autentik menurut Djaali & Muljono (2008: 60) dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) mengembangkan dimensi dan indikator dari variabel penelitian, 2) membuat kisi-kisi instrumen, 3) menetapkan besaran atau parameter, 4) menjabarkan butir-butir instrumen ke dalam bentuk pertanyaan dan pernyataan, 5) tahap validasi pakar, 6) revisi atau perbaikan berdasarkan saran dari pakar, 7) penggandaan instrumen secara terbatas untuk keperluan uji coba, 8) uji coba instrumen di lapangan, 9) menentukan validitas dan reliabilitas instrumen, dan 10) perakitan butir-butir instrumen yang valid unjuk dijadikan instrumen final. Perangkat asesmen autentik pada pembelajaran dengan pendekatan scientific yang telah dikembangkan, telah divalidasi oleh pakar dan praktisi serta telah diujicobakan sehingga didapatkan hasil yang layak digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perangkat asesmen autentik pada pembelajaran dengan pendekatan scientific bersifat valid dan reliabel. Perangkat asesmen autentik yang telah memenuhi kriteria valid dan reliabel secara rasional maupun empirik meliputi instrumen penilaian sikap: Lembar Observasi Sikap Spiritual, Rubrik dan Lembar Observasi Sikap Sosial. Instrumen penilaian pengetahuan: 1) Kisi-Kisi Tes, 2) Tes Kompetensi, 3) Rubrik dan Lembar Penilaian Tes Kompetensi. Instrumen penilaian keterampilan: 1) Tes Kinerja, dan 2) Rubrik dan Lembar Penilaian Tes Kinerja. Kata Kunci: Pengembangan Perangkat, Asesmen Autentik, Pendekatan Scientific.
1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Ketercapaian tujuan pembelajaran khususnya pada Kurikulum 2013 tidak hanya menuntut kompetensi peserta didik pada aspek pengetahuan saja, tetapi juga meliputi kompetensi sikap dan keterampilan. Ketiga kompetensi tersebut yang berupaya dibentuk dalam pembelajaran scientific melalui tahapan mengamati, menanya, menalar, mencoba, menyimpulkan dan membuat jejaring membutuhkan penilaian untuk mengukur ketiga kompetensi tersebut. Salah satu penekanan dalam Kurikulum 2013 adalah penilaian autentik. Penilaian autentik adalah kegiatan menilai peserta didik yang menekankan pada apa yang seharusnya dinilai, baik proses maupun hasil dengan berbagai instrumen penilaian yang disesuaikan de ngan tuntutan kompetensi yang ada di Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD).
312
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Penilaian autentik memperhatikan keseimbangan antara penilaian kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan yang disesuaikan dengan perkembangan karakteristik peserta didik. Prinsip asesmen ini sejalan dengan tujuan pembelajaran scientific yang menekankan kompetensi peserta didik ketika terlibat aktif dalam aktivitas mengamati (untuk mengidentifikasi masalah yang ingin diketahui), merumuskan pertanyaan (dan merumuskan hipotesis), mengumpulkan data/informasi dengan berbagai teknik, mengolah/menganalisis data/informasi dan menarik kesimpulan dan mengomunikasikan kesimpulan hingga mencipta. Dengan penilaian hasil belajar yang baik akan memberikan informasi yang bermanfaat dalam mengambil keputusan demi perbaikan kualitas proses belajar mengajar. Sebaliknya, kalau terjadi kesalahan dalam penilaian hasil belajar, maka akan terjadi salah informasi tentang kualitas proses belajar mengajar dan pada akhirnya tujuan pendidikan yang sesungguhnya tidak akan tercapai. Pengambilan keputusan secara tepat harus ditunjang oleh informasi yang tepat dan benar. Informasi yang tepat dan benar harus ditunjang oleh proses pengumpulan informasi yang benar dan tepat pula. Proses pengumpulan informasi membutuhkan alat yang membantu mengumpulkan informasi yang diperlukan. Agar diperoleh informasi yang sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, maka alat/ instrumen yang digunakan harus syarat dan dipertanggungjawabkan dari segi validitasnya dan reliabilitasnya. Oleh karena itu penilaian hasil belajar harus dilakukan dengan baik mulai dari penentuan instrumen, penyusunan instrumen, telaan instrumen, pelaksanaan penilaian, analisis hasil penilaian dan program tindak lanjut hasil penilaian. Terkait dengan masalah tersebut, maka peneliti terdorong untuk melakukan penelitian mengenai pelaksanaan asesmen autentik. Teknik-teknik penilaian yang akan digunakan disesuaikan dengan tuntutan kompetensi dasar yang mengacu pada Kurikulum 2013 dengan memperhatikan aspek-aspek yang diukur pada setiap langkah pendekatan scientific. Pelaksanaan penilaian pada setiap kompetensi akan dibantu dengan sejumlah perangkat penilaian yang disesuaikan dengan teknik penilaian yang digunakan. Oleh karena itu, peneliti terdorong untuk mengembangkan perangkat asesmen autentik pada pembelajaran dengan pendekatan scientific materi Eksponen dan Logaritma di Kelas X SMA Negeri 1 Pangsid.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana mengembangkan perangkat asesmen autentik pada pembelajaran dengan pendekatan scientific materi Eksponen dan Logaritma di Kelas X SMA Negeri 1 Pangsid yang valid dan reliabel? 2. Bagaimana hasil pengembangan perangkat asesmen autentik yang valid dan reliabel pada pembelajaran dengan pendekatan scientific materi Eksponen dan Logaritma di Kelas X SMA Negeri 1 Pangsid?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan dan menghasilkan perangkat asesmen autentik yang valid dan reliabel pada pembelajaran dengan pendekatan scientific materi Eksponen dan Logaritma di Kelas X
313
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
2. Metode Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian pengembangan yaitu mengembangkan perangkat asesmen autentik untuk mata pelajaran matematika khususnya pada materi Eksponen dan Logaritma. Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 1 Pangsid dengan subjek uji coba adalah peserta didik Kelas X IA 2 semester ganjil tahun ajaran 2015/2016. Langkah-langkah pengembangan instrumen yang digunakan menurut Djaali dan Muljono (2008: 60) antara lain: 1) Mengembangkan dimensi dan indikator dari variabel penelitian, 2) Membuat kisi-kisi instrumen, 3) Menetapkan besaran atau parameter, 4) Menulis butir-butir instrumen yang dapat berbentuk pertanyaan atau pernyataan, 5) Tahap validasi pakar, 6) Revisi atau perbaikan berdasarkan saran dari pakar, 7) Penggandaan instrumen secara terbatas untuk keperluan uji coba, 8) Uji coba instrumen di lapangan, 9) Menentukan validitas dan reliabilitas instrumen, dan 10) Perakitan butir-butir instrumen yang valid unjuk dijadikan instrumen final. Teknik pengumpulan data pada aspek pengetahuan dilakukan dengan tes adalah setelah peserta didik menyelesaikan rangkaian tahap-tahap pembelajaran dari guru. Teknik pengumpulan data pada aspek sikap dan aspek keterampilan dengan melakukan observasi perilaku dan kemampuan unjuk kerja peserta didik. Observasi yang dilakukan adalah observasi langsung terhadap subjek uji coba secara menyeluruh. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif untuk mendeskripsikan data kuantitatif dan memberikan makna terhadap deskripsi data tentang isi. Data yang dianalisis adalah data hasil validasi instrumen penilaian autentik (aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan). Analisis data yang diperoleh dikelompokkan menjadi empat yaitu: (1) analisis validitas dan (2) analisis reliabilitas. Validitas Untuk memutuskan apakah instrumen asesmen telah memiliki derajat validitas yang memadai, maka digunakan Model Kesepakatan Antar Dua Pakar berikut. Tabel 1. Model Kesepakatan Antar Dua Pakar (Ruslan, 2009) Validator 2 Validator 1 Tidak Relevan Skor (1 – 2) Relevan Skor (3 – 4)
Tidak Relevan Skor (1 – 2)
Relevan Skor (3 – 4)
A
B
C
D
Jika hasil dari koefisien validitas isi tinggi (V75%), maka dapat dinyatakan bahwa butirbutir asesmen memiliki relevansi kuat (sahih). Namun apabila tidak demikian maka perlu dilakukan revisi berdasarkan saran yang diberikan tim validator dengan melihat kembali aspek-aspek yang nilainya kurang. Selanjutnya dilakukan proses validasi ulang terhadap perangkat yang telah direvisi. Demikian seterusnya sehingga diperoleh hasil yang sahih.
314
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Selain melakukan validitas isi oleh pakar, akan dilakukan pula analisis validitas empirik dengan menggunakan rumus korelasi product moment yang dikemukakan oleh Pearson. Tujuan dari validasi ini adalah untuk keberfungsian hasil uji coba perangkat. Untuk menguji validitas perangkat, perangkat diujicobakan pada subjek penelitian pada tahap uji coba perangkat. Validitas dicapai apabila terdapat kesesuaian antara item-item dengan skor secara keseluruhan sehingga skor-skor pada item tertentu (X) dikorelasikan dengan skor total (Y). Skor diolah dengan menggunakan korelasi product moment pada software SPSS. Adapun rumus dari korelasi product moment yang dikutip dari Arikunto (2005: 72) yaitu:
Keterangan: rxy = koefisien korelasi antara variabel X dan Y, dua variabel yang dikorelasikan. ∑XY = jumlah perkalian X dan Y X = skor item Y = skor total N = cacah subjek Untuk mengetahui kriteria dari korelasi antara butir soal dengan tes secara keseluruhan, maka dapat digunakan pedoman penafsiran sebagaimana yang dikemukakan oleh Widoyoko (2009: 143) bahwa penafsiran harga koefisien korelasi dilakukan dengan membandingkan harga dengan harga rxy kritik. Adapun harga kritik untuk validitas butir instrumen adalah 0,3. Artinya apabila rxy lebih besar atau sama dengan 0,3,nomor butir tersebut dapat dikatakan valid. Sebaliknya apabila rxy lebih kecil dari 0,3 maka nomor butir tersebut dikatakan tidak valid. Reliabilitas
Menurut Borich (dalam Nurdin, 2007: 47), instrumen penilaian dikatakan reliabel jika nilai reliabilitasnya R 0,75 atau R 75%. Namun apabila tidak demikian, maka perlu dilakukan revisi berdasarkan saran yang dilakukan oleh validator atau dengan melihat kembali aspek-aspek yang nilainya kurang untuk kemudian dilakukan validasi dan analisis ulang. Selain keandalan secara teoritik, juga akan dilakukan analisis keandalan secara empirik dengan menggunakan uji keandalan koefisien Alpha Cronbach terhadap data yang diperoleh dari proses uji coba dengan menggunakan software SPSS. Semakin besar koefisien korelasi yang diperoleh maka akan semakin tinggi kereliabelan instrumen tersebut. Adapun rumus Cronbach-Alpha yang dikemukakan di dalam Arikunto (2005: 109-110).
Keterangan: r11 = reliabilitas tes secara keseluruhan
315
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
n
= banyaknya item = variansi total = jumlah varians skor tiap-tiap item.
Dengan rumus varians dapat dicari yaitu:
Keterangan: X = skor pada belah awal dikurangi skor pada belah akhir. N = jumlah peserta tes Selanjutnya menurut Sudijono (2009: 209) di dalam pemberian interpretasi terhadap koefisien keandalan tes uraian (r11) pada umumnya digunakan klasifikasi sebagai berikut: 1) Apabila r11 ≥ 0,70 berarti tes hasil belajar yang sedang diuji keandalannya dinyatakan telah memiliki tingkat keandalan yang tinggi. 2) Apabila r11 ≤ 0,70 berarti tes hasil belajar yang sedang diuji keandalannya belum memiliki tingkat keandalan yang tinggi.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Hasil Penelitian Hasil Analisis Validitas Perangkat asesmen autentik yang dihasilkan selanjutnya diuji tingkat validitasnya. Validitas perangkat asesmen autentik pada penelitian ini dilakukan dengan dua cara, pertama yaitu validitas rasional yang dilakukan oleh para ahli dengan memperhatikan validitas isi. Kedua yaitu validitas empirik dengan menggunakan korelasi product moment pada software SPSS. Perangkat penilaian dikatakan valid secara rasional apabila nilai validitas ≥75% dan valid secara empirik apabila koefisien korelasi mencapai standar minimal yaitu 0,30. Adapun hasil analisis validitas rasional untuk masing-masing perangkat yang dihasilkan ditunjukkan pada tabel berikut: Tabel 2. Hasil Validitas Rasional Perangkat Asesmen Autentik Perangkat Validitas Isi (%) Lembar Observasi Sikap Spiritual 100 Rubrik Observasi Sikap Sosial 100 Lembar Observasi Sikap Sosial 100 Kisi-Kisi Tes 100 Tes Kompetensi (TK) dan Tes Kinerja 83,33 Rubrik Penilaian TK 1 76,19 Rubrik Penilaian TK 2 79,16 Rubrik Penilaian TK 3 81,81 Rubrik Penilaian Tes Kinerja 78,12
316
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Perangkat Lembar Penilaian Tes Kompetensi dan Tes Kinerja RPP Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) Lember Observasi Keterlaksanaan Asesmen Autentik Lembar Observasi Keterlaksanaan Scientific
Validitas Isi (%) 100 100 100 100 100
Selanjutnya hasil analisis validitas empirik pada masing-masing perangkat yang dihasilkan ditunjukkan pada tabel-tabel berikut. Tabel 3. Hasil Uji Validitas Item Aspek Pengamatan Sikap Spiritual Aspek Pengamatan Validitas Isi Kriteria Bersikap sopan ketika berinteraksi dengan guru 0,753 Valid Memberi salam pada saat awal dan akhir presentasi 0,623 Valid sesuai agama yang dianut Mengucapkan syukur ketika berhasil mengerjakan 0,704 Valid sesuatu Mengucapkan istighfar ketika melakukan kesalahan 0,569 Valid Membantu teman saat mengalami kesulitan 0,612 Valid Menjaga kebersihan kelas dan lingkungan sekolah 0,799 Valid Tabel 4. Hasil Uji Validitas Item Aspek Penilaian Sikap Sosial Aspek Penilaian Nilai Korelasi Kriteria Keterbukaan 0,397 Valid Kedisiplinan waktu 0,359 Valid Ketepatan menyelesaikan tugas 0,415 Valid Persiapan belajar 0,626 Valid Kesiapan belajar 0,763 Valid Pembagian tugas dalam kelompok 0,745 Valid Keterlibatan anggota kelompok dalam 0,759 Valid menyelesaikan tugas Keaktifan bekerjasama 0,761 Valid Menghargai kelompok lain 0,749 Valid Tenggang rasa terhadap kelompok lain 0,640 Valid Komunikasi antaranggota 0,756 Valid Keberanian mengemukakan pendapat 0,065 Tidak Valid Motivasi menyelesaikan tugas 0,519 Valid Tabel 5. Hasil Uji Validitas Item Aspek Penilaian Tes Kompetensi 1 Item perangkat Nilai Korelasi Kriteria Butir 1 0,925 Valid Butir 2 0,913 Valid
Tabel 6. Hasil Uji Validitas Item Aspek Penilaian Tes Kompetensi 2
317
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Item perangkat Butir 1 Butir 2 Butir 3
Nilai Korelasi 0,845 0,920 0,878
Kriteria Valid Valid Valid
Tabel 7. Hasil Uji Validitas Item Aspek Penilaian Tes Kompetensi 3 Item perangkat Nilai Korelasi Kriteria Butir 1a 0,880 Valid Butir 1b 0,872 Valid Butir 1c 0,836 Valid Butir 2a 0,907 Valid Butir 2b 0,911 Valid Tabel 8. Hasil Uji Validitas Item Aspek Penilaian Tes Kinerja Aspek Penilaian Nilai Korelasi Kriteria Pemilihan masalah 0,555 Valid Pemahaman terhadap masalah 0,612 Valid Perencanaan penyelesaian 0,687 Valid Penerapan rencana 0,676 Valid Penyajian masalah dan penyelesaiannya 0,635 Valid Hasil Analisis Reliabilitas Perangkat penilaian memiliki sifat reliabel apabila hasil pengukuran dengan menggunakan perangkat penilaian tersebut secara berulang kali menunjukkan hasil yang sama untuk subjek yang sama. Pengujian kekonsistenan internal perangkat asesmen autentik pada penelitian ini dilakukan dengan dua cara, pertama yaitu uji reliabilitas secara rasional yang dilakukan melalui penilaian para ahli. Kedua, uji reliabilitas secara empirik menggunakan uji keandalan koefisien Alpha-Cronbach dengan bantuan software SPSS setelah uji coba. Perangkat penilaian dikatakan reliabel apabila r hitung (r11) dengan r ≥ 0,70. Adapun hasil analisis reliabilitas rasional untuk masing-masing perangkat yang dihasilkan ditunjukkan pada tabel berikut: Tabel 9. Hasil Reliabilitas Rasional Perangkat Asesmen Autentik Perangkat A B C Lembar Observasi Sikap Spiritual 0 0 0 Rubrik Observasi Sikap Sosial 0 0 0 Lembar Observasi Sikap Sosial 0 0 0 Kisi-Kisi Tes 0 0 0 Tes Kompetensi (TK) dan Tes Kinerja 0 1 0 Rubrik Penilaian TK 1 0 0 5 Rubrik Penilaian TK 2 0 0 5 Rubrik Penilaian TK 3 0 0 4 Rubrik Penilaian Tes Kinerja 0 0 7 Lembar Penilaian Tes Kompetensi dan Tes Kinerja 0 0 0 RPP 0 0 0
318
D 10 14 10 13 5 16 19 18 25 12 16
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Perangkat LKPD Lember Observasi Keterlaksanaan Asesmen Autentik Lembar Observasi Keterlaksanaan Scientific Keterangan: A B dan C D
A 0 0 0
B 0 0 0
C 0 0 0
D 7 9 13
= sel yang menunjukkan kedua penilai/ pakar menyatakan tidak relevan. = sel yang menunjukkan perbedaan pandangan antar penilai/ pakar. = sel yang menunjukkan kedua pakar/ penilai untuk validitas isi.
Selanjutnya hasil analisis reliabilitas secara empirik pada masing-masing perangkat yang dihasilkan ditunjukkan pada tabel berikut. Tabel 10. Hasil Uji Koefisien Keandalan Alpha Cronbach Setelah Uji Coba Perangkat r hitung r tabel Kriteria Instrumen Sikap Spiritual 0,730 0,304 Andal Instrumen Sikap Sosial 0,830 0,304 Andal Tes Kompetensi 1 0,814 0,304 Andal Tes Kompetensi 2 0,854 0,304 Andal Tes Kompetensi 3 0,924 0,304 Andal Tes Kinerja 0,613 0,304 Andal
3.2. Pembahasan Berdasarkan hasil uji validitas yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa prototype penilaian pengetahuan dan keterampilan secara keseluruhan telah memenuhi kriteria valid dengan revisi sesuai dengan saran yang diberikan oleh validator. Sedangkan prototype penilaian sikap sosial tidak memenuhi kriteria valid secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena salah satu aspek penilaian sikap sosial tidak memenuhi kriteria valid secara empirik dengan nilai korelasi kurang dari 0,30 dan sig. > 0,05. Sehingga aspek penilaian tersebut akan dieliminasi dari butir-butir aspek penilaian sikap sosial atau masih perlu dilakukan revisi untuk aspek tersebut. Untuk prototype penilaian sikap spiritual telah memenuhi kriteria valid secara keseluruhan. Berdasarkan hasil uji reliabilitas, secara rasional terlihat bahwa instrumen perangkat asesmen autentik secara keseluruhan memenuhi kriteria reliabel. Meskipun ada beberapa butir aspek penilaian pada instrumen Rubrik Penilaian Tes memiliki konsistensi internal yang lemah/ rendah. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pendapat di antara tim validasi dalam memberikan skor pada instrumen yaitu instrumen berada pada kategori B dan C. Namun secara keseluruhan instrumen perangkat asesmen autentik masih berada pada kategori relevan untuk digunakan. Sedangkan hasil uji reliabilitas secara empirik dapat disimpulkan bahwa instrumen perangkat asesmen autentik secara keseluruhan telah memenuhi kriteria reliabel. Selain mengetahui sikap dalam hubungan sosial dan spiritual peserta didik, sikap dan keterampilan khusus dalam pelajaran matematika juga dapat diketahui melalui penggunaan perangkat asesmen autentik yang dikembangkan. Sikap dan keterampilan yang terbentuk dari pembelajaran materi Eksponen dan Logaritma peserta didik dapat diketahui dengan menelaah
319
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
hasil tes peserta didik. Rubrik penilaian untuk tes tertulis dan tes kinerja yang tidak hanya mengukur kompetensi pengetahuan dan keterampilan tetapi juga mengukur ketiga kompetensi dengan menelaah aspek-aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang terbentuk melalui pembelajaran materi Eksponen dan Logaritma. Kendala-kendala yang dihadapi pada penggunaan perangkat asesmen autentik diantaranya: 1) Jumlah peserta didik yang terlalu banyak menyebabkan observer mengalami kesulitan untuk melakukan pengamatan sikap sosial dan spiritual, 2) Membutuhkan kecermatan dalam melakukan pengamatan terhadap kinerja peserta didik, dan 3) Terlalu banyak aspek pengamatan menyulitkan observer melakukan pengamatan pada aktivitas peserta didik. Kendala-kendala tersebut dipecahkan dengan solusi antara lain: 1) Melakukan konfirmasi sikap pada guru mata pelajaran lain, membuat catatan khusus (jurnal), mengamati peserta didik dengan skor pengamatan tertinggi dan terendah, 2) Hasil pengamatan kinerja peserta didik dikonfirmasi melalui hasil kinerja peserta didik, dan 3) Menentukan aspek pengamatan yang relevan dengan kompetensi yang diukur dan merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran pada RPP.
4. Kesimpulan Beberapa kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah: 1) Perangkat asesmen autentik pada pembelajaran dengan pendekatan scientific materi Eksponen dan Logaritma yang valid dan reliabel melalui proses pengembangan dengan langkah-langkah: a) Mengembangkan dimensi dan indikator dari variabel penelitian, b) Membuat kisi-kisi instrumen, c) Menetapkan besaran atau parameter, d) Menulis butir-butir instrumen yang dapat berbentuk pertanyaan atau pernyataan, e) Tahap validasi pakar, f) Revisi atau perbaikan berdasarkan saran dari pakar, g) Penggandaan instrumen secara terbatas untuk keperluan uji coba, h) Uji coba instrumen di lapangan, i) Menentukan validitas dan reliabilitas instrumen, dan j) Perakitan butir-butir instrumen yang valid unjuk dijadikan instrumen final; 2) Perangkat asesmen autentik yang dikembangkan pada penelitian ini yang telah memenuhi kriteria valid dan reliabel baik secara rasional maupun empirik, meliputi: a) Lembar Observasi Sikap Spiritual, b) Rubrik dan Lembar Observasi Sikap Sosial, c) Kisi-Kisi Tes Kompetensi dan Tes Kinerja, d) Tes Kompetensi dan Tes Kinerja, dan e) Rubrik serta Lembar Penilaian Tes Kompetensi dan Tes Kinerja.
5. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat dikemukakan beberapa saran sabagai berikut: 1) Perangkat asesmen autentik yang dikembangkan sesuai dengan materi pelajaran, 2) Aspek penilaian disesuaikan dengan kompetensi yang diukur pada silabus dan merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran peserta didik, 3) Kegiatan penilaian tidak hanya menggunakan teknik tertentu, tetapi juga menggunakan teknik penilaian lain yang sesuai dengan Permendikbud No. 66 tentang Standar Penilaian Pendidikan, 4) Kesulitan melakukan pengamatan pada kelas dengan jumlah peserta didik yang banyak dapat disiasati dengan mengamati peserta didik dengan skor pengamatan tertinggi dan skor pengamatan terendah. Selain itu dengan membuat catatan khusus (jurnal) dan melakukan konfirmasi tentang perilaku peserta didik pada guru mata pelajaran lain, 5) Pengembangan perangkat asesmen
320
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
autentik hendaknya dikembangkan tidak hanya pada materi tertentu tetapi pada keseluruhan materi pada mata pelajaran matematika sesuai dengan kebutuhan penilaian autentik pada Kurikulum 2013, dan 6) Perangkat penilaian yang dihasilkan hanya diujicobakan pada satu kelas. Hasil uji coba menjadi dasar pertimbangan dalam melakukan revisi perangkat asesmen autentik yang telah dikembangkan. Oleh karena itu untuk memperoleh hasil yang lebih baik disarankan untuk melakukan uji coba pada skala yang lebih luas.
Daftar Pustaka Arikunto, S. 2005. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara: Jakarta. Djaali & Mulyono. 2008. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Grasindo (Gramedia Widiasarana). Nurdin. 2007. Model Pembelajaran Matematika yang Menumbuhkan Kemampuan Metakognitif. Disertasi tidak diterbitkan. Surabaya: UNESA Ruslan. 2009. Penilaian Kinerja Dosen Berdasarkan Kepuasan Mahapeserta didik dan Pengaruhnya terhadap Perilaku Pasca Kuliah (Studi di FMIPA Universitas Negeri Makassar). Jakarta: Pustaka Yaspindo. Sudijono, Anas. 2009. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. Widoyoko, S. Eko Putro. 2009a. Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Graha Ilmu.
321
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) (PTK Pada Siswa Kelas XI SMAN 1 Pagelaran Kab.Pringsewu - Lampung) Herdian, S.Pd., M.Pd. SMAN 1 Pagelaran Kab. Pringsewu,
[email protected] Abstrak. Penelitian ini merupakan penelitian tindak kelas (classrom action research), yang bertujuan untuk mendeskripsikan peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) yang dilakukan selama tiga siklus. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada siswa kelas XI SMAN 1 Pagelaran Kab. Pringsewu yang berjumlah 40 siswa. Hasil penelitian ini menemukan bahwa: (1) penerapan model pembelajaran tipe TGT dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa. Nilai rerata aktivitas belajar siswa mengalami kenaikan dari siklus I sampai siklus III. Peningkatan aktivitas belajar yang ditampakkan sebesar 0,43% dari siklus I ke siklus II dan 4,36% dari siklus II ke siklus III. (2) penerapan model pembelajaran tipe TGT dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Nilai rerata hasil belajar siswa mengalami kenaikan dari siklus I sampai siklus III. Peningkatan hasil belajar yang ditampakkan sebesar 1,09% dari siklus I ke siklus II dan 6,1%.dari siklus II ke siklus III. Kata kunci: model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT), aktivitas siswa, hasil belajar siswa.
1. PENDAHULUAN Pada awal tahun pelajaran 2013/2014 telah diterapkan Kurikulum 2013 yang merupakan pengembangan dan penyempurnaan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum 2013 adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masingmasing satuan pendidikan yang terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Penerapan Kurikulum 2013 menjadi tantangan bagi guru untuk meningkatkan kapasitasnya sebagai tenaga pendidik. Guru dituntut mengoptimalkan seluruh peran yang harus dilaksanakannya dalam proses pembelajaran. Guru diharapkan mampu mengelola proses pembelajaran (manager), menentukan tujuan pembelajaran (director), mengorganisasikan kegiatan pembelajaran (coordinator), mengomunikasikan murid dengan berbagai sumber belajar (comunicator), menyediakan dan memberi kemudahan-kemudahan belajar (facilitator), dan memberikan dorongan belajar (stimulator). Sesuai dengan karakteristik kurikulum 2013, dalam mengelola kegiatan belajar mengajar aktivitas siswa menjadi titik tekan dalam proses pembelajaran yang diciptakan di dalam kelas karena keaktifan siswa selama proses pembelajaran merupakan hakikat belajar yang
322
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
menempatkan siswa sebagai pelaku belajar. Walaupun kurikulum 2013 sudah diterapkan, sampai sekarang pendidikan kita masih diselimuti oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi belajar, sehingga proses pembelajaran yang menuntut siswa sebagai pelaku belajar yang aktif belum dapat berjalan dengan optimal. Oleh sebab itu diperlukan model pembelajaran yang lebih memberdayakan siswa, berfokus pada siswa, menyenangkan bagi siswa, meningkatkan kepekaan sosial dan mendorong siswa mengontruksikan di benak mereka sendiri berdasarkan pengalaman belajar yang mereka alami. Melalui proses belajar yang demikian itu diharapkan siswa dapat lebih aktif dalam proses pembelajaran sehingga lambat laun prestasi belajar siswa dapat meningkat. Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh penulis dapat dikemukakan bahwa dari sisi siswa sebagai peserta didik, diketahui bahwa aktivitas belajar siswa belum optimal. Keaktifan siswa masih bergantung pada guru sebagai motor penggerak aktivitas belajar mereka. Keaktifan siswa yang ditampakkan masih terdapat hal-hal yang mengganggu dalam proses pembelajaran, seperti mengobrol dalam kelas yang tidak ada hubungannya dengan pembelajaran, mengganggu teman, dan melakukan aktivitas lain yang tidak perlu. Rendahnya aktivitas siswa dalam proses pembelajaran salah satunya dipengaruhi oleh model pembelajaran yang digunakan oleh guru. Dalam proses pembelajaran guru masih menggunakan model pembelajaran yang belum bervariatif dan masih berpaku pada model pembelajaran yang sama. Metode ceramah merupakan pilihanan utama dalam metode pembelajaran. Pada model pembelajaran ini peran guru akan menjadi sangat dominan, sedangkan siswa ditempatkan sebagai pendengar dan penonton. Sementara itu untuk hasil belajar siswa tergolong kurang memuaskan hal ini terlihat dari rerata nilai akhir semester ganjil yang hanya mencapai nilai 60,30. Upaya-upaya yang telah dilakukan guru untuk mengatasi permasalahan rendahnya aktivitas siswa antara lain dengan cara memberikan reward kepada siswa yang aktif dalam proses pembelajaran. Reward tersebut diberikan dalam bentuk penambahan nilai bagi siswa yang aktif dalam proses pembelajaran. Namun pada realisasinya guru belum dapat meningkatkan aktivitas siswa. Siswa yang aktif hanya terbatas pada siswa-siswa tertentu saja. Selain itu guru juga melakukan upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan rendahnya hasil belajar siswa antara lain dengan cara memberikan tugas di sekolah maupun memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada siswa, akan tetapi masih banyak di antara siswa yang tidak mengerjakannya. Mereka menunggu pekerjaan temannya selesai, setelah itu mereka menyalin pekerjaan temannya. Rendahnya aktivitas siswa itu diduga berdampak pada rendahnya hasil belajar siswa. Siswa menjadi malas karena kurang termotivasi dalam proses pembelajaran sehingga mengakibatkan rendahnya hasil belajar siswa. Oleh karena itu, perlu adanya upaya yang dilakukan guru sebagai tenaga pendidik untuk menciptakan suasana pembelajaran di dalam kelas yang mampu membuat peserta didik lebih aktif sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar mereka.
323
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah tersebut adalah model pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning). Model pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang mengelompokkan siswa dalam kelompok kecil yang heterogen untuk menyelesaikan suatu tugas untuk mencapai tujuan bersama. Dalam pembelajaran kooperatif setiap siswa harus saling membantu temannya dalam memahami pelajaran, saling berdiskusi menyelesaikan tugas, saling bertanya antar teman jika belum memahami pelajaran. Pembelajaran kooperatif memiliki berbagai macam tipe, salah satunya adalah pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT). Pembelajaran dengan model TGT adalah pembelajaran yang dapat merangsang keaktifan siswa, sebab dalam TGT semua siswa tidak ada yang tidak aktif menyuarakan pendapatnya. Siswa dituntut untuk berani mengungkapkan pendapatnya, penanggapi pendapat temannya, dan mempertahankan pendapatnya dalam diskusi kelompok. Disamping itu, siswa akan terlatih untuk berkompetisi dalam turnamen yang dilaksanakan setiap berakhirnya pembelajaran. Siswa akan terpacu untuk menunjukkan kemampuannya selama proses pembelajaran. Dengan demikian, siswa akan menampakkan keaktifannya selama proses pembelajaran di kelas. Saat siswa melakukan diskusi dalam kelompok yang heterogen sebagaimana diterapkan pada model TGT, dapat memberi keuntungan baik pada siswa dengan kemampuan akademik pada kelompok bawah, maupun kelompok atas yang bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas akademik. Dalam hal tersebut, siswa kelompok atas akan menjadi tutor bagi siswa kelompok bawah. Mereka menjadi pembimbing, memberi penjelasan dan pengarahan bagi kelompok bawah. Sementara itu bagi kelompok bawah dapat menanyakan konsep yang belum dipahami kepada kelompok atas, sehingga mereka mendapatkan bantuan khusus dari teman sebaya yang memiliki orientasi dan bahasa yang sama. Dengan pola pembelajaran tersebut diharapkan mampu memeratakan kemampuan siswa. Pemerataan kemampuan yang dimiliki siswa diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dengan demikian, diduga dengan menggunakan model pembelajaran tipe Teams Games Tournament (TGT) dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa. Dengan meningkatnya aktivitas belajara siswa dalam belajar diduga pula dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan model pembelajaran tipe Teams Games Tournament (TGT).
2. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classrom action research) yang menggambarkan langkah-langkah yang membentuk spiral. Setiap langkah memiliki empat tahap, yaitu perencanaan (planing), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). Prosedur penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan kelas yang langkahlangkahnya diadaptasi dari rancangan penelitian tindakan kelas model Kemmis dan Mc. Taggart (Depdiknas, 2007:7). Secara garis besar, langkah-langkah penelitian ditunjukkan dalam gambar.1 berikut.
324
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Gambar.1. Penelitian Model Mc Taggart (2004)
2.1. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA SMAN 1 Pagelaran, dengan jumlah siswa 40 orang yang terdiri dari 13 orang siswa laki-laki dan 27 orang siswa perempuan.
2.2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara obervasi dan tes.
2.2.1. Observasi Observasi merupakan kegiatan melihat sesuatu secara cermat untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang sesuatu itu. Observasi ini digunakan untuk mengamati aktivitas belajar siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Aspek dan indikator penilaian aktivitas belajar siswa yang diamati dalam penelitian ini adalah: a. interaksi siswa dengan guru selama proses pembelajaran dengan indikator (1) melaksanakan instruksi/perintah guru; (2) mendengarkan penjelasan guru dengan seksama; dan (3) menghormati dan menghargai guru, b. interaksi antarsesama siswa selama proses pembelajaran dengan indikator (1) menghargai pendapat teman; (2) berinteraksi dengan teman secara baik; dan (3) tidak mengganggu teman, c. aktivitas siswa dalam kelompok dengan indikator (1) berdiskusi memecahkan masalah dalam kelompok; (2) bekerja sama dalam mengerjakan lembar kerja kelompok, dan (3) saling mendukung teman dalam satu kelompok,
325
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
d. partisipasi siswa dalam dalam proses pembelajaran dengan indikator (1) mengajukan pertanyaan; (2) mengemukakan pendapat atau menjawab pertanyaan; dan (3) mengikuti semua tahapan-tahapan pembelajaran, e. motivasi dan kegairahan siswa dalam belajar dengan indikator (1) antusias/ semangat dalam mengikuti kegiatan pembelajaran; (2) tertib dan bersegera terhadap instruksi yang diberikan guru, (3) menampakkan keceriaan dalam belajar.
2.2.2. Tes Tes dalam penelitian ini merupakan alat ukur untuk mengetahui hasil belajar dan tingkat keberhasilan siswa pada setiap kompetensi dasar yang harus tertuntaskan. Tes yang digunakan dalam penelitian ini berupa Lembar Kerja Kelompok (LKK) dan soal turnamen yang berupa soal-soal yang harus dijawab secara tertulis.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan 3.1. Aktivitas Belajar Siswa Pada siklus I dilakukan empat kali pertemuan, pada siklus II dilakukan tiga kali pertemuan dan pada siklus III dilakukan tiga kali pertemuan, dengan demikian pengamatan terhadap aktivitas siswa dalam setiap siklus dilakukan sesuai dengan banyaknya pertemuan. Oleh karena itu, untuk menentukan aktivitas belajar siswa setiap siklus dilakukan dengan cara mencari rerata dari setiap pertemuan pada siklus. Data aktivitas belajar yang ditampakkan siswa untuk setiap siklus, baik masing-masing aspek maupun hasil belajar secara keseluruhan dapat dilihat dari Tabel 1 berikut. Tabel 1. Data Rincian Nilai Aktivitas Belajar Siswa setiap Siklus NO 1 2 3 4 5
Aktivitas Siswa Interaksi siswa dengan guru selama proses pembelajaran Interaksi antar sesama siswa selama proses pembelajaran Aktivitas siswa dalam kelompok Partisipasi siswa dalam dalam proses pembelajaran Motivasi dan kegairahan siswa dalam belajar Nilai rerata aktivitas belajar siswa
Siklus I
Siklus II
Siklus III
86,35
84,16
86,81
76,95
77,92
84,63
73,49
73,34
77,45
79,8
80,83
84,08
73,00
75,00
75,33
77,92
78,25
81,66
Berdasarkan rerata nilai aktivitas belajar siswa dari masing-masing siklus dapat disimpulkan dalam gambar berikut ini.
326
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Gambar 2. Grafik Data Aktivitas Belajar Siswa Setiap Siklus Berdasarkan data tersebut di atas dapat diketahui rerata nilai aktivitas belajar siswa dari siklus I hingga siklus III, secara keseluruhan dapat diketahui adanya peningkatan aktivitas belajar siswa dari setiap siklus. Nilai aktivitas belajar siswa yaitu 77,92 pada siklus I, 78,25 pada siklus II, dan 81,66 pada siklus III. Dengan demikian, dapat diketuhi peningkatan yang terjadi dari siklus I ke siklus II sebesar 0,43% dan dari siklus II ke siklus III sebesar 4,36%. Peningkatan yang terjadi dari setiap siklus karena adanya variasi teknik pembelajaran yang dilakukan peneliti sesuai dengan refleksi dan rekomendasi yang telah ditetapkan pada setiap akhir siklus. Sebagai contoh pada penyajian materi, pengelolaan belajar kelompok, dan presentasi kelas yang dilakukan peneliti pada pertemuan pertama siklus I dilakukan secara biasa ternyata nilai aktivitas belajar siswa belum memuaskan. Kemudian pada siklus II dilakukan variasi teknik dengan cara menyajikan contoh pada LKK. Di samping itu peneliti melakukan pendekatan kepada siswa dalam kelompok dan merangsang siswa untuk bertanya serta mengubah teknik presentasi dari lintas kelompok menjadi satu persatu ke depan kelas. Pada siklus II terjadi peningkatan nilai aktivitas belajar siswa. Walaupun demikian peningkatan yang terjadi masih belum signifikan. Hal ini dikarenakan masih terdapat beberapa siswa yang belum siap melakukan presentasi kelas. Saat presentasi mereka kurang memperhatikan sikap yang baik dan masih terdapat beberapa siswa yang tampak grogi. Sedangkan pada siklus III peningkatan aktivitas belajar siswa cukup signifikan. Peningkatan ini diduga karena variasi pembelajaran yang diciptakan peneliti pada siklus III berjalan dengan baik. Variasi yang dilakukan berupa penyampaian materi yang diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan singkat dan siswa diminta menjawab secara cepat dan guru senantiasa memotivasi siswa agar menciptakan iklim kompetisi dalam belajar. Di samping itu guru memotivasi siswa dengan memberikan penghargaan bagi siswa yang teraktif dan nilai hasil belajar yang tertinggi.
3.2. Hasil Belajar Siswa Dalam pengelolaan pembelajaran dengan menggunakan model Teams Games Tournament (TGT) setiap akhir pertemuannya senantiasa diadakan evaluasi pembelajaran. Evaluasi pembelajaran yang diberikan berupa Lembar Kerja Kelompok (LKK), penilaian presentasi hasil belajar, dan turnamen. Penilaian tersebut merupakan sarana untuk mengetahui sejauh
327
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
mana hasil belajar yang ditampakkan oleh siswa. Di samping itu, hasil belajar yang ditampakkan siswa sebagai evaluasi terhadapa kinerja guru dalam mengelola pembelajaran. Berdasarkan hasil belajar yang ditampakkan siswa untuk setiap siklus, baik masing-masing aspek maupun hasil belajar secara keseluruhan dapat dilihat dari Tabel berikut. Tabel 2. Data Rincian Nilai Hasil Belajar Siswa setiap Siklus Aspek Penilaian Siklus I Siklus II Siklus III Lembar Kerja Kelompok (LKK) 66,00 72,50 74,00 Presentasi Kelas 68,20 67,80 72,40 Turnamen 72,00 68,13 74,75 Nilai Hasil Belajar 68,73 69,48 73,72 Secara keseluruhan nilai hasil belajar siswa dapat dilihat dari gambar berikut
Gambar 3. Grafik Data Hasil Belajar Siswa Setiap Siklus Berdasarkan grafik tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai hasil belajar siswa senantiasa mengalami peningkatan setiap siklusnya, yaitu 68,73 pada siklus I, naik menjadi 69,48 pada siklus II, dan kembali naik pada siklus III menjadi 73,72. Kenaikan yang terjadi dari siklus I ke siklus II sebesar 1,09% dan dari siklus II ke siklus III sebesar 6,1%. Nilai hasil belajar pada siklus III yang merupakan siklus terakhir telah mencapai standar ketuntasan belajar minimal yaitu 65,00. Berdasarkan hasil belajar untuk aspek Lembar Kerja Kelompok (LKK) menunjukkan adanya peningkatan nilai yang diperoleh setiap siklusnya, yaitu 66,00 pada siklus I, 72,50 pada siklus II, dan 74,00 pada siklus III. Peningkatan terjadi dari siklus I ke siklus II, yaitu sebesar 9,85%, dan dari siklus II ke siklus III yaitu sebesar 2,07%. Secara keseluruhan tampak peningkatan nilai LKK pada setiap kelompok, namun ada beberapa kelompok yang mengalami kenaikan dan penurunan nilai LKK. Berdasarkan pengamatan dan analisis terhadap lembar jawaban siswa, penurunan yang terjadi pada nilai LKK dikarenakan dalam menjawab pertanyaan siswa terpaku pada ringkasan materi yang disajikan dalam LKK. Di samping itu, siswa kurang cermat dalam memperhatikan penjelasan guru sehingga berpengaruh pada jawaban yang diberikan dan
328
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
terdapat beberapa kelompok yang terlena terhadap kesuksesan kelompok pada siklus sebelumnya. Hasil belajar siswa yang ditampakkan dari aspek presentasi kelas pada siklus I, siklus II, dan siklus III berturut-turut 68,20, 67,80 dan 72,40. Nilai presentasi siswa dari siklus I ke siklus II mengalami penurunan sebesar 0,6%. Hal ini disebabkan karena perubahan metode presentasi yang dilakukan oleh peneliti untuk mengendalikan aktivitas belajar siswa. Saat presentasi hasil diskusi terdapat beberapa kelompok yang kurang siap, grogi saat presentasi, tidak memperhatikan sikap saat presentasi, dan kurang memberikan alasan yang logis saat menyatakan persetujuan atau penolakan. Penurunan tersebut dirasa wajar karena pengaruh faktor kesiapan siswa saat presentasi di depan kelas. Sementara itu, untuk nilai presentasi dari siklus II ke siklus III mengalami peningkatan sebesar 6,78%. Berdasarkan penurunan nilai presentasi siswa pada siklus II, guru memberikan pengarahan cara dan teknik presentasi di kelas dan mengarahkan siswa dalam memberikan alasan yang logis saat menyatakan persetujuan ataupun penolakan. Upaya yang dilakukan guru tersebut ternyata memberikan pengaruh positif pada nilai presentasi siswa. Dengan demikian terjadi peningkatan nilai dari siklus II ke siklus III. Hasil belajar siswa pada aspek turnamen merupakan aspek penilaian hasil belajar yang mengalami penurunan, kemudian meningkat kembali. Hasil turnamen pada siklus I, siklus II dan siklus III berturut-turut 72,00, 68,13, dan 74,75. Penurunan hasil belajar pada aspek turnamen terjadi pada siklus I ke siklus II sebesar 5,68%. Hal ini dikarenakan sub pokok bahasan pada siklus II ini relatif lebih sulit, dan terlihat saat dilaksanakan turnamen siswa belum sepenuhnya siap untuk melak-sanakan turnamen. Dilihat dari lembar jawaban hasil turnamen, terlihat banyak siswa yang masih salah dalam menggunakan konsep. Soal pun menjadi salah satu aspek yang menyebabkan turunnya hasil belajar siswa pada aspek turnamen, soal yang dibuat guru dipandang siswa relatif lebih sulit dibanding soal turnamen siklus I. Sementara itu untuk nilai turnamen dari siklus II ke siklus III mengalami pening-katan sebesar 9,72%. Walaupun peningkatan nilai yang ditampakkan oleh masing-masing siswa sedikit, namun secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan nilai hasil belajar siswa dari siklus ke siklus. Peningkatan ini terjadi karena siswa sudah memahami situasi turnamen dan bentuk soal yang akan diturnamenkan. Mereka berupaya meningkatkan kemampuannya dalam menjawab soal dengan cepat dan tepat. Di samping itu juga guru memotivasi siswa dengan memberikan penghargaan bagi masing-masing siswa dan kelompok yang memperoleh nilai turnamen tertinggi setiap siklusnya.
4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa. 1. penerapan model pembelajaran tipe Teams Games Tournament (TGT) dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa. Nilai rerata aktivitas belajar siswa mengalami kenaikan dari siklus I sampai siklus III. Pada siklus I nilai rerata aktivitas belajar siswa sebesar 77,92 tergolong aktif, pada siklus II nilai rerata aktivitas belajar siswa mencapai 78,25 tergolong aktif, dan pada siklus III nilai rerata aktivitas belajar siswa meningkat
329
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
sebesar 81,66 dengan kategori aktif. Dengan demikian peningkatan aktivitas belajar yang ditampakkan sebesar 0,43% dari siklus I ke siklus II dan 4,36% dari siklus II ke siklus III, 2. penerapan model pembelajaran tipe Teams Games Tournament (TGT) dapat meningkatkan hasil belajar siswa . Nilai rerata hasil belajar siswa mengalami kenaikan dari siklus I sampai siklus III. Pada siklus I nilai rerata hasil belajar siswa sebesar 68,73 tergolong baik. Pada siklus II nilai rerata hasil belajar siswa mencapai 69,48 tergolong baik. Dan pada siklus III nilai rerata hasil belajar siswa meningkat sebesar 73,72 dengan kategori baik. Peningkatan hasil belajar yang ditampakkan sebesar 1,09% dari siklus I ke siklus II dan 6,1%.dari siklus II ke siklus III.
5. Saran Berdasarkan hasil penelitan dan simpulan, bahwa penggunaan model pembelajaran tipe Teams Games Tournament (TGT) dapat meningkatkan aktivitas belajar yang berdampak pada meningkatnya hasil belajar siswa, maka penulis menyarankan. 1. 2.
hendaknya guru mata pelajaran Matematika dapat menerapkan model pembelajaran tipe Teams Games Tournament (TGT) sebagai alternatif model pembelajaran di kelas, kepada guru yang tertarik menerapkan model pembelajaran tipe Teams Games Tournament (TGT) hendaknya memperhatikan efektifitas waktu yang digunakan, perencanaan dan penyediaan media pembelajaran yang memadai, dan pengelolaan kelas secara baik.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Mulyono. 1999. Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta. Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi. 2001. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta. Bumi Aksara. Depdiknas. 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Diknas. _________. 2007. Materi Sosialisasi dan Pelatihan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta Dimyati, Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta. Rineka Cipta. Hamalik, Oemar. 2004. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta. Bumi Aksara. Jakarta Ibrahim, R dan Nana S. Syaodih. 1996. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. PT Grasindo. Jakarta Sardiman. 1994. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Slavin, E. Robert. 1995. Cooperative Learning Theory Research and Practice Secobd Edition. Boston. Allyn and bacon. Tirtarahardja, Umar dan La Sula. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta. Rineka Cipta. Jakarta
330
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
IDENTIFIKASI KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SMP DITINJAU DARI TEORI TINGKAT PERKEMBANGAN BERPIKIR GEOMETRI VAN HIELE Rachmaniah M. Hariastuti1), Sri Wahyuni2) 1)
Universitas PGRI Banyuwangi, jl. Ikan Tongkol 22 Banyuwangi;
[email protected] 2) Universitas PGRI Banyuwangi, jl. Ikan Tongkol Banyuwangi;
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan koneksi matematik siswa pada materi sifat-sifat segiempat ditinjau dari teori tingkat perkembangan berpikir geometri van Hiele. Penelitian dilakukan di MTs. AT-TAUFIQ, Banyuwangi dengan mengambil subyek 8 siswa kelas VII. Subyek ditentukan dengan metode purposive dan snowball sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan metode tes, wawancara, dan dokumentasi. Sedangkan analisa data dilakukan langkah-langkah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil analisa data menunjukkan bahwa subyek pada tingkat 0 dan tanpa tingkatan kurang memiliki kemampuan koneksi matematis, subyek tingkat 0 lebih cenderung memahami koneksi antara topik segiempat dengan topik lain dalam matematika, subyek tanpa tingkat cenderung memahami koneksi antara topik segiempat dengan kehidupan sehari-hari, dan subyek pada tingkat 1 sudah memiliki kemampuan koneksi matematika yang baik dengan kecenderungan lebih memahami koneksi antara topik segiempat dengan topik matematika lain. Kata Kunci. Koneksi matematika, Tingkat perkembangan berpikir geometri van Hiele, Sifat-sifat segiempat Abstract. This research represent qualitative research as a mean to know the ability of mathematical connection which evaluated from van Hiele’s theory. Research done in MTs AT-TAUFIQ, Banyuwangi by taking 8 subject from student grade 7. Subject determined with purposive and snowball sampling method. Data collecting done with test, interview and documentations method. While data analysis done with steps: reduce data, presentation of data, and make conclusion. Result of data analysis indicate that subject at level 0 and non level is have less ability of mathematical connection, subject at level 0 more tend to comprehend connection this topic with other in mathematics, subject non level tend to comprehend connection this topic with daily problems, and level 1 have owned good ability of mathematical connection with tendency more tend to comprehend connection this topic with other in mathematics. Keyword: Mathematical connection, van Hiele’s theory of geometry level thinking, nature of parallelogram
1. Pendahuluan Pembelajaran matematika secara umum masih dianggap sebagai pembelajaran yang kurang menyenangkan karena lebih sering menyajikan rumus-rumus yang membingungkan. Dengan kondisi tersebut, hasil pembelajaran matematika masih belum maksimal. Menurut Sumarmo (dalam Herlambang, 2013:6), agar pembelajaran dapat memaksimalkan proses dan hasil belajar matematika, guru perlu mendorong siswa terlibat aktif dalam diskusi, bertanya serta
331
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
menjawab pertanyaan, berpikir secara kritis, menjelaskan setiap jawaban yang diberikan dan memberikan alasan untuk setiap jawaban yang diajukan. Dalam tujuan pembelajaran matematika sekolah dapat diketahui bahwa pemahaman konsep matematika, melakukan manipulasi matematika, dan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol matematika sangat diutamakan. Melalui kemampuan tersebut dapat ditingkatkan daya berpikir sehingga siswa lebih mudah mengingat materi. Untuk itu guru hendaknya perlu memperhatikan sejauh mana siswa dapat memahami materi yang telah disampaikan. Hal ini dilakukan agar siswa tidak lagi mengalami kesulitan dalam memahami materi berikutnya. Keterhubungan materi satu dengan yang lain serta keterhubungan suatu materi dengan kehidupan sehari-hari dikenal dengan koneksi matematis. Menurut Ruspiani (dalam Permana & Sumarmo, 2007:117), kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan mengaitkan konsep-konsep matematika baik antar konsep dalam matematika itu sendiri maupun mengaitkan konsep matematika dengan konsep dalam bidang lainnya. Sedangkan menurut Kusuma (dalam Fauzi, 2011: 42), koneksi matematis merupakan bagian dari kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi, dapat diartikan sebagai keterkaitan antara konsep-konsep matematika secara internal yaitu berhubungan dengan matematika itu sendiri ataupun keterkaitan secara eksternal yaitu matematika dengan bidang lain, baik bidang studi lain maupun dengan kehidupan sehari-hari. Baik atau kurangnya kemampuan seseorang dalam mengkoneksikan masalah-masalah dalam matematika menjadi salah satu indikator penting dalam pembelajaran matematika. NCTM (dalam Linto, Elniati, & Rizal, 2012:83-84) menyatakan bahwa tujuan koneksi matematika diberikan pada siswa di sekolah menengah adalah agar siswa dapat: (1) mengenali representasi yang ekuivalen dari suatu konsep yang sama; (2) mengenali hubungan prosedur satu representasi ke prosedur representasi yang ekuivalen; (3) menggunakan dan menilai koneksi beberapa topik matematika; (4) menggunakan dan menilai koneksi antara matematika dan disiplin ilmu lain. Penelitian Permana & Sumarmo (2007:120) menyimpulkan bahwa kemampuan koneksi matematik siswa yang belajar dengan pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang belajar dengan pembelajaran biasa. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah akan membuat kemampuan koneksi matematika lebih terasah. Kesulitan siswa untuk memahami koneksi matematis akan berimbas pada proses penyelesaian soal/masalah yang diberikan. Penyelesaian soal yang berhubungan dengan koneksi matematis terdapat pada setiap materi dalam matematika, salah satunya adalah geometri. Geometri merupakan salah satu materi matematika dimana banyak siswa masih mengalami kesulitan untuk memahami materi tersebut. Hasil penelitian Sarjiman (2006:75) menunjukkan bahwa geometri termasuk materi yang sulit untuk dikuasai setelah pecahan dan soal matematika bentuk cerita. Untuk itu dalam penyampaian suatu materi pembelajaran, guru harus memperhatikan tingkat perkembangan pemahaman siswa. Salah satu tingkat perkembangan pemahaman yang secara khusus diteliti adalah tingkat perkembangan geometri. Menurut Burger & Shaughnessy (dalam Safrina, Ikhsan, Ahmad, 2014: 10), penelitian yang dilakukan oleh van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri. Tahapan
332
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
tersebut dibagi menjadi 5 tingkatan yang disebut tingkat berpikir geometri van Hiele. Tingkatan tersebut meliputi: visualisasi/pengenalan (tingkat 0), analisis (tingkat 1), order/deduktif informal (tingkat 2), deduktif (tingkat 3), dan rigor/akurasi (tingkat 4). Pada tingkat visualisasi (0), siswa baru mengenal bangun-bangun geometri dan memandang suatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan. Pada tingkat analisis (1), siswa sudah mengenal sifat-sifat dari bangun-bangun geometri. Pada tingkat order (2), siswa sudah memahami pengurutan bangun-bangun geometri. Pada tingkat deduksi (3), siswa sudah dapat mengambil kesimpulan dari hal-hal khusus secara deduktif. Siswa pada tahap ini telah mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, disamping unsur-unsur yang didefinisikan, aksioma, dan teorema. Pada tingkat rigor (4), siswa sudah mulai memahami pentingnya ketepatan dari prinsip dasar dalam suatu pembuktian. Tingkat berpikir ini sudah terkategori kepada tingkat berpikir yang tinggi, rumit, dan kompleks. Tingkatan perkembangan berpikir geometri menurut van Hiele memfokuskan pembahasan pada materi geometri. Tingkatan ini mengkaji tingkatan-tingkatan pemahaman dalam belajar geometri, menjelaskan deskripsi umum pada setiap tingkatan yang dijabarkan dalam deskripsi yang lebih operasional, serta memiliki keakuratan untuk mendeskripsikan tingkatan berpikir siswa dalam geometri. Hasil penelitian Sunardi (2009) menunjukkan bahwa tingkat berpikir siswa SLTP di Jember secara umum hanya memenuhi tingkat visualisasi, analisis dan deduksi informal. Hal ini dapat dijadikan dasar bahwa tidak semua tingkatan akan muncul dalam setiap penelusuran tingkat kemampuan berpikir geometri. Geometri merupakan materi yang kompleks, karena didalamnya memuat konsep-konsep lain seperti aljabar, aritmetika, kalkulus, dan sebagainya. Selain itu terdapat juga keterkaitan antar materi dalam geometri sendiri seperti geometri dimensi dua dan dimensi tiga, geometri analitik dengan geometri transformasi, dan sebagainya. Geometri juga merupakan materi yang banyak diterapkan dalam kehidupan nyata seperti bentuk-bentuk bangunan, bentukbentuk benda, pergeseran benda-benda langit, dan sebagainya. Karena kompleksnya materi geometri tentulah terdapat koneksi matematis didalamnya. Rumusan masalah penelitian ini adalah: (1) Bagaimana tingkat perkembangan berpikir geometri van Hiele siswa di kelas VII MTs AT-TAUFIQ Banyuwangi semester genap tahun pelajaran 2015/2016?, (2) Bagaimana kemampuan koneksi matematis tentang sifat-sifat segiempat berdasarkan tingkat perkembangan berpikir geometri van Hiele dari siswa di kelas VII MTs AT-TAUFIQ Banyuwangi semester genap tahun pelajaran 2015/2016?.
2. Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif, dimana peneliti bertindak selaku instrumen utama. Penelitian dilakukan di MTs AT-TAUFIQ Banyuwangi dengan responden 30 siswa kelas VII. Penentuan subyek dilakukan dengan tes penentuan tingkat perkembangan geometri van Hiele. Dari tes tingkat perkembangan geometri van Hiele yang diberikan kepada 30 responden diperoleh hasil 13 responden tidak memenuhi semua tingkat perkembangan geometri, 15 responden memenuhi tingkat 0 dan 2 responden memenuhi tingkat 1. Dari masing-masing
333
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
tingkatan dan yang tidak memenuhi tingkatan ditentukan masing-masing 3 responden (kecuali tingkat 2) yang komunikatif dengan teknik snowball sampling sebagai subyek penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan metode tes, wawancara, dan dokumentasi. Setelah diberikan pembelajaran tentang sifat-sifat segiempat, subyek diberikan tes kemampuan koneksi matematika. Wawancara dilakukan pada hari yang berbeda dengan sistem terstruktur untuk menggali dan mencari kecocokan data (triangulasi). Hasil dari tes dan wawancara dianalisa berdasarkan indikator yang telah ditetapkan. Proses analisa data dilakukan dengan langkah-langkah: (1) reduksi data; (2) penyajian data; dan (3) penarikan kesimpulan. Ketentuan koneksi matematis yang digunakan adalah: memahami koneksi antar topik dalam materi segiempat (K1), menerapkan materi segiempat dalam kehidupan sehari-hari (K2), dan menerapkan hubungan antara topik segiempat dengan topik matematika yang lain (K3).
3. Hasil Penelitian Hasil dalam penelitian ini merupakan hasil tes yang telah ditriangulasikan dengan hasil wawancara. Subyek penelitian terdiri dari 8 orang dengan 3 subyek tingkat 0 (visual, disimbolkan “V”), 2 subyek tingkat 1 (analisis, disimbolkan “A”), dan 3 subyek tanpa tingkatan (non level, disimbolkan “N”). Tes diberikan sebanyak 3 soal uraian dengan penyelesaian soal nomor 1 memuat koneksi 1,2, dan 3; penyelesaian soal nomor 2 memuat koneksi 2 dan 3; dan penyelesaian soal nomor 3 memuat koneksi 1 dan 3. Hasil penelitian dianalisis sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan. Sesuai dengan ketentuan koneksi matematis yang telah disebut pada metodologi penelitian, dapat ditentukan kriteria bahwa: (1) Subyek dikatakan tidak (T) mempunyai koneksi matematika pada tiap soal jika tidak dapat menentukan apa yang diminta, baik dalam tes maupun wawancara; (2) Subyek dikatakan kurang (K) mempunyai koneksi matematika pada tiap soal jika dapat menentukan apa yang diminta namun masih kurang tepat; dan (3) Subyek dikatakan mempuyai koneksi matematika yang baik (B) pada tiap soal jika dapat menentukan apa yang diminta dengan tepat. Setelah pengumpulan data dan dilakukan analisis terhadap data yang ditemukan diperoleh rincian hasil dan analisis data sebagai berikut: Hasil yang diperoleh dari subyek V1 - Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek dapat menyelesaikannya dengan baik. Proses wawancara menunjukkan subyek dapat memberikan alasan dari bangun geometri yang dibuat tetapi pada saat perhitungan aljabar subyek kesulitan dalam menentukan rumus phytagoras dan hasil perhitungannya kurang tepat sehingga kesimpulan yang dibuat dianggap kurang tepat. Jadi pada soal nomor 1 subyek tidak memiliki kemampuan pada koneksi 1, serta kurang memiliki kemampuan pada koneksi 2 dan koneksi 3.
334
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat menyelesaikannya dengan baik. Proses wawancara juga menunjukkan hal yang sama. Subyek hanya menuliskan panjang sisi dan diagonal yang diketahui dari soal tetapi pada tahap berikutnya subyek tidak dapat menuliskan rumus yang digunakan. Jadi pada soal nomor 2 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3. - Dari hasil penyelesaian soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat menyelesaikannya dengan baik. Pada proses wawancara subyek juga menunjukkan hasil yang sama. Subyek hanya dapat menentukan bangun geometri yang diketahui dan sudut yang dicari dari soal yang diberikan. Jadi pada soal nomor 3 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 1 dan koneksi 3. Karena subyek tidak dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum dapat dikatakan bahwa subyek V1 kurang memiliki koneksi matematis. Hasil yang diperoleh dari subyek V2 - Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek dapat menyelesaikan tetapi kurang tepat. Pada proses wawancara subyek hanya dapat menggambarkan bentuk dari soal dan menuliskan apa yang diketahui pada gambar tetapi pada saat perhitungan aljabar subyek kesulitan dalam menentukan rumus phytagoras dan hasil perhitungannya tidak tepat. Setelah ditanya peneliti tentang jawaban pada saat tes subyek mengatakan bahwa jawaban tersebut dikerjakan secara asal-asalan. Jadi pada soal nomor 1 subyek kurang memiliki kemampuan koneksi 2, serta tidak memiliki kemampuan koneksi 1 dan 3. - Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat menyelesaikan dengan tepat. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek dapat menggambarkan bentuk soal dan menuliskan apa yang diketahui pada gambar setelah diminta oleh peneliti. Tetapi pada saat perhitungan aljabar, subyek kesulitan dalam menentukan rumus phytagoras. Setelah ditanya peneliti tentang jawaban pada saat tes, subyek mengatakan bahwa jawaban tersebut dikerjakan secara asal-asalan. Jadi pada soal nomor 2 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3. - Dari hasil penyelesaian soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek tidak menuliskan jawaban. Sedangkan dari hasil wawancara subyek mengalami kesulitan dalam menentukan besar sudut yang diketahui pada soal sehingga kesimpulan yang dibuat tidak tepat. Jadi pada soal nomor 3 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 1 dan koneksi 3. Karena subyek tidak dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum dapat dikatakan bahwa subyek V2 kurang memiliki koneksi matematis. Hasil yang diperoleh dari subyek V3 - Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat menyelesaikan tes dengan baik. Pada saat proses wawancara subyek dapat memberikan alasan mengenai gambar yang dibuat dan memahami bentuk geometri yang diinginkan tetapi subyek tidak dapat melakukan proses perhitungan aljabar dengan baik. Jadi pada
335
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
soal nomor 1 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 1, serta kurang memiliki kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3. - Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat menyelesaikannya melalui tes. Pada saat proses wawancara subyek mengatakan tidak dapat menyelesaikan karena sulit. Jadi pada soal nomor 2 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3. - Dari hasil penyelesaian soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat menyelesaikannya melalui tes. Pada saat proses wawancara subyek mengatakan tidak dapat menyelesaikan karena sulit. Jadi pada soal nomor 3 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 1 dan koneksi 3. Karena subyek tidak dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum dapat dikatakan bahwa subyek V3 kurang memiliki koneksi matematis. Hasil yang diperoleh dari subyek A1 - Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek dapat menyelesaikan dengan benar. Pada proses wawancara subyek dapat menggambarkan bentuk dari soal dan menuliskan pada gambar apa yang diketahui. Selain itu subyek juga dapat menggunakan rumus phytagoras dengan benar dan dapat membuat kesimpulan yang tepat. Jadi pada soal nomor 1 subyek memiliki kemampuan koneksi 1, 2, dan 3. - Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek dapat menyelesaikan dengan benar. Pada proses wawancara subyek memberikan jawaban yang sesuai dengan hasil tes. Jadi pada soal nomor 2 subyek memiliki kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3. - Dari hasil penyelesaian pada soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek dapat menyelesaikan dengan benar. Pada proses wawancara subyek dapat menentukan sudut yang diketahui dan sudut yang besarnya sama karena merupakan trapesium sama kaki. Selain itu subyek juga dapat menggambarkan bentuk geometri yang akan dicari sudutnya dan dapat membuat kesimpulan yang tepat. Jadi pada soal nomor 3 subyek memiliki kemampuan koneksi 1 dan koneksi 3. Karena subyek dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum dapat dikatakan bahwa subyek A1 memiliki koneksi matematis yang baik. Hasil yang diperoleh dari subyek A2 - Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek dapat menyelesaikan dengan benar. Pada proses wawancara subyek dapat menggambarkan bentuk dari soal dan menuliskan pada gambar apa yang diketahui. Selain itu subyek juga dapat menggunakan rumus phytagoras dengan benar dan dapat membuat kesimpulan yang tepat. Jadi pada soal nomor 1 subyek memiliki kemampuan koneksi 1, koneksi 2, dan koneksi 3.
336
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek dapat menyelesaikan dengan benar. Pada proses wawancara diperoleh hasil yang sama beserta alasan-alasannya. Jadi pada soal nomor 2 subyek memiliki kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3. - Dari hasil penyelesaian soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek dapat menyelesaikan dengan benar. Pada proses wawancara subyek dapat menentukan sudut yang diketahui dan sudut yang besarnya sama karena merupakan trapesium sama kaki, subyek juga dapat menggambarkan perpotongan dari bentuk geometri yang akan dicari sudutnya dan membuat kesimpulan yang tepat. Jadi pada soal nomor 3 subyek memiliki kemampuan koneksi 1 dan koneksi 3. Karena subyek dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum dapat dikatakan bahwa subyek A2 memiliki koneksi matematis yang baik. Hasil yang diperoleh dari subyek N1 - Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat menyelesaikan dengan tepat. Sedangkan dari hasil wawancara subyek dapat menggambar bentuk dari soal dan menuliskan apa yang diketahui pada gambar yang dibuat setelah diminta oleh peneliti. Tetapi pada tahap selanjutnya subyek menggunakan rumus yang salah dalam proses perhitungan. Setelah ditanya alasan dari jawaban yang ditulis pada saat tes subyek tidak dapat memberikan alasan yang tepat. Jadi pada soal nomor 1 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 1 dan 3, serta kurang memiliki kemampuan koneksi 2. - Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat menyelesaikan dengan tepat. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek dapat menggambarkan bentuk yang diminta pada soal dan menuliskan apa yang diketahui pada gambar yang dibuat. Tetapi pada tahap selanjutnya subyek menggunakan rumus yang salah dalam proses perhitungan dan tidak memberikan alasan yang tepat pada jawaban yang ditulis sehingga kesimpulan yang dibuat tidak tepat. Jadi pada soal nomor 2 subyek kurang memiliki kemampuan koneksi 3. - Dari hasil penyelesaian soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat menyelesaikan dengan baik. Pada proses wawancara subyek dapat menggambarkan perpotongan dari bangun geometri yang akan dicari sudutnya, tetapi dalam proses perhitungan subyek menggunakan rumus yang salah sehingga kesimpulan yang dibuat tidak tepat. Jadi pada soal nomor 3 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 1 dan koneksi 3. Karena subyek tidak dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum dapat dikatakan bahwa subyek N1 kurang memiliki koneksi matematis. Hasil yang diperoleh dari subyek N2 - Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat menyelesaikan dengan tepat. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek hanya dapat menggambarkan bentuk dari soal dan menuliskan pada gambar apa yang diketahui.
337
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Sedangkan pada proses perhitungan, subyek menggunakan rumus yang salah. Setelah ditanya tentang jawaban pada saat tes, subyek mengatakan bahwa jawaban tersebut dikerjakan secara bekerja sama dengan teman. Jadi pada soal nomor 1 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 1 dan 3, serta kurang memiliki kemampuan koneksi 2. - Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat menyelesaikan dengan tepat. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek dapat menggambarkan bentuk dari soal dan menuliskan pada gambar apa yang diketahui tetapi tidak tepat. Begitu juga pada proses perhitungan, subyek menggunakan rumus yang salah. Jadi pada soal nomor 2 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3. - Dari hasil penyelesaian soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat menyelesaikan dengan tepat. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek tidak menuliskan adanya sudut yang sama besar. Pada saat proses perhitungan untuk menentukan besar sudut yang diminta subyek menggunakan rumus yang salah. Jadi pada soal nomor 3 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 1 dan koneksi 3. Karena subyek tidak dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum dapat dikatakan bahwa subyek N2 kurang memiliki koneksi matematis. Hasil yang diperoleh dari subyek N3 - Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat menyelesaikan dengan tepat. Pada proses wawancara subyek hanya dapat menggambarkan bentuk dari soal dan menuliskan apa yang diketahui pada gambar sedangkan pada proses perhitungan rumus yang digunakan subyek kurang tepat. Jadi pada soal nomor 1 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 1 dan 3, serta kurang memiliki kemampuan koneksi 2. - Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat menyelesaikan dengan tepat. Sedangkan hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek dapat menggambarkan kembali bentuk dari soal dan menuliskan apa yang diketahui pada gambar setelah diminta oleh peneliti, tetapi yang ditulis subyek tidak tepat. Pada tahap selanjutnya subyek mengatakan tidak dapat menyelesaikan dikarenakan sulit. Jadi pada soal nomor 2 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3. - Dari hasil penyelesaian soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat menyelesaikan dengan baik. Begitu juga pada proses wawancara subyek tidak menuliskan apapun pada lembar jawaban dan mengatakan sulit. Jadi pada soal nomor 3 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 1 dan 3. Karena subyek tidak dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum dapat dikatakan bahwa subyek N3 kurang memiliki koneksi matematis.
338
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Hasil pembahasan di atas dapat dirangkum dalam tabel berikut: Tabel 1. Data Hasil Penelitian
NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
SUBYEK V1 V2 V3 A1 A2 N1 N2 N3
K1 T T T B B T T T
SOAL 1 K2 K K K B B K K K
HASIL TRIANGULASI DATA SOAL 2 SOAL 3 K3 K1 K2 K3 K1 K2 K K K K T T T T K T T T B B B B B B B B T T K T T T T T T T T T -
KET K3 K T T B B T T T
K K K B B K K K
Dari hasil penelitian yang telah dianalisis, dapat diperoleh temuan-temuan sebagai berikut: 1. Adanya subyek yang tidak termasuk dalam level geometri van Hiele dari tingkat 0 sampai 4. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun subyek telah menerima pembelajaran geometri sejak Sekolah Dasar, belum tentu materi yang diberikan itu diterima dengan baik dan dipahami. 2. Adanya subyek yang belum dapat melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan dasar dari subyek dalam melakukan operasi hitung harus diperkuat sebelum mempelajari hal-hal lain yang lebih tinggi yang membutuhkan kemampuan operasi hitung. 3. Adanya subyek yang tidak dapat membedakan antara panjang dengan panjang diagonal pada persegi panjang. Hal ini menunjukkan bahwa materi sifat-sifat segiempat perlu diberikan tidak hanya sebagi konsep abstrak, tapi juga ditunjukkan konsep nyata nya.
4. Kesimpulan dan Saran Dari hasil analisis data dapat diperoleh kesimpulan bahwa secara umum subyek pada tingkat 0 (visual) kurang memiliki kemampuan koneksi matematis. Diantara kemampuan koneksi yang dimiliki, subyek cenderung hanya memiliki kemampuan koneksi 3, yaitu menerapkan hubungan antara topik segiempat dengan topik matematika yang lain, seperti topik aljabar dan aritmetika. Namun subyek juga masih mengalami kesulitan dalam melakukan operasi hitung sehingga hasil yang diperoleh juga belum tepat. Adapun subyek tingkat 1 (analisis) secara umum sudah memiliki kemampuan koneksi matematis yang baik. Kemampuan koneksi 3 terlihat lebih menonjol dibandingkan dengan kemampuan koneksi yang lain. Kemampuan koneksi tersebut lebih kepada proses menerapkan hubungan antara topik segiempat dengan rumus phytagoras dan hubungan antara topik segiempat dengan sudut. Sedangkan kelemahan dari subyek level 1 terletak pada koneksi 1 yaitu subyek tidak dapat memahami sifat sisi pada persegi panjang serta sifat sudut pada trapesium sama kaki. Subyek tanpa tingkatan secara umum tidak memiliki kemampuan koneksi matematis. Kemampuan koneksi 2 terlihat lebih menonjol dibandingkan dengan kemampuan koneksi
339
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
yang lain. Kemampuan koneksi tersebut lebih kepada proses menerapkan sifat sisi persegi panjang dalam kehidupan sehari-hari dan sifat diagonal belah ketupat dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan kelemahan dari subyek non level terletak pada koneksi 1 yaitu tidak dapat memahami sifat sisi pada persegi panjang serta sifat sudut pada trapesium sama kaki. Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, dapat diberikan saran untuk penelitian-penelitian lanjutan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui koneksi matematis subyek pada suatu materi tertentu, hendaknya diperhatikan kemampuan matematis dasar dari subyek, yaitu kemampuan aritmetika dan aljabar dasarnya. Dengan kemampuan matematis dasar yang kurang, secara otomatis subyek akan mengalami kesulitan dalam melakukan koneksi matematis dengan materi yang lain. 2. Penelitian tentang koneksi matematis dapat dilakukan pada topik matematika yang lain sehingga dapat menjadi masukan bagi guru untuk dapat memperbaiki proses pembelajaran berikutnya.
Daftar Pustaka Eka Lestari, Karunia dan Yudhanegara, M. Ridwan. 2015. Penelitian Pendidikan Matematika. Bandung: PT. Refika Aditama. Fauzi, Muhammad Amin. 2011. Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa dengan Pendekatan Pembelajaran Metakognitif di Sekolah Menengah Pertama. Disertasi. Bandung. UPI. Frastica, Zulaicha Ranum. 2013. Peningkatan kemampuan Koneksi matematis Melalui Pendekatan Open-Ended pada Siswa SMP Ditinjau dari Perbedaan Gender. Skripsi. Yogyakarta:UIN Sunan Kalijaga. Herlambang. 2013. Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VII A SMP NEGERI 1 Kepahiang Tentang Bangun Datar Ditinjau Dari Teori Van Hiele. Tesis. Tidak dipublikasikan. Bengkulu. Universitas Bengkulu. Ibrahim dan Suparmi. 2008. Strategi Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Sukses Offset Kusniati. 2011. Analisis Kesalahan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Materi Segi Empat Menurut Tingkat Berpikir van Hiele. Skripsi. Semarang. Universitas Negeri Semarang. Linto, R.L. Elniati, Sri. Rizal, Yusmet. 2012. Kemampuan Koneksi Matematis dan Metode Pembelajaran Quantum Teaching dengan Peta Pikiran. Jurnal Pendidikan matematika Vol. 1 No. 1. Mirza, Rachmaniah. 2011. Kemampuan Siswa Kelas VIII SMPN 1 Giri Banyuwangi dalam Menyelesaikan Soal Cerita Geometri Ditinjau dari Perbedaan Tingkat Pemahaman Geometri van Hiele. Tesis. Surabaya: UNESA. Moleong, Lexy J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi). Bandung: PT. Prestasi Pustaka Karya. Oktorizal, Elniati Sri, dan Suherman. 2012. Peningkatan Level Berpikir Siswa Pada Pembelajaran Geometri dengan Pendekatan Matematika Realistik. Jurnal Pendidikan Matematika Vol.1. No. 1, 2012. Permana, Yanto. & Sumarmo, Utari. 2007. Mengembangkan Kemampuan penalaran dan Koneksi Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal EDUCATIONIST Vol. I. No. 2, Juli 2007. Safrina, Khusnul . Ikhsan, M. dan Ahmad, Anizar. 2014. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Geometri melalui Pembelajaran Kooperatif Berbasis Teori Van Hiele. Jurnal Didaktik Matematika. Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Sunardi. 2009. Strategi Belajar Mengajar Matematika. Jember: FKIP UNEJ. Susanah & Hartono. 2009. Geometri. Surabaya: UNESA University Press
340
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
UPAYA MENINGKATKAN KECERDASAN INTRAPERSONAL SISWA KELAS XI IPS.1 SMAN 1 GEDONGTATAAN LAMPUNG MELALUI PEMBELAJARAN METACOGNITIVEINNER SPEECH (MIS) Dina Ladysa SMAN 1 Gedongtataan, Pesawaran, Lampung;
[email protected]
Abstrak. Aspek afektif yang perlu diperhatikan untuk menunjang keberhasilan belajar siswa adalah kecerdasan intrapersonal. Kecerdasan ini merupakan kemampuan memahami diri sendiri dan bertanggung jawab pada kehidupannya sendiri. Berdasarkan observasi penulis, kecerdasan intrapersonal siswa masih rendah. Hal ini terlihat dari kurangnya pemahaman siswa mengetahui apa yang diketahuinya dan mengetahui apa yang tidak diketahuinya terhadap pelajaran matematika pada saat proses pembelajaran. Pembelajaran Metacognitive-Inner Speech (MIS) diasumsikan mampu menjadi jembatan bagi siswa untuk membangun kecerdasan interpersonal sehingga mampu memberikan dampak positif bagi kualitas pembelajaran di kelas. Desain Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan intrapersonal siswa di kelas XI IPS.1 2016/2017 SMAN 1 Gedongtataan melalui pembelajaran MIS dengan teknik pengumpulan data berupa angket, observasi, dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran MIS terbukti dapat meningkatkan kecerdasan intrapersonal siswa khususnya materi program linier pada siswa kelas XI IPS.1 SMAN 1 Gedongtataan. Hal ini dapat diketahui dari data kualitatif yang menjelaskan tingginya keantusiasan belajar siswa, siswa lebih mengetahui apa yang diketahui dan mengetahui apa yang tidak diketahui dalam memahami materi, serta siswa mampu memotivasi kelemahan dalam memahami materi melalui diskusi. Kata Kunci: MIS, kecerdasan intrapersonal
1. Pendahuluan Matematika merupakan ilmu yang sangat penting bagi perkembangan mental peserta didik. Hal tersebut dikarenakan ilmu matematika yang mengajarkan pola berpikir logis, sistematis, kritis, dan kreatif. Apabila pola tersebut dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari, maka akan menghasilkan peserta didik yang kompeten dalam pola pikir yang berdampak signifikan terhadap kualitas generasi di masa yang akan datang. Dewasa ini, aspek afektif menjadi hot issue sebagai variabel yang berpengaruh secara positif dalam peningkatan hasil belajar siswa dan kualitas pembelajaran di kelas. Ranah afektif menjadi aspek yang esensial tidak hanya dalam peningkatan kompetensi akademik tetapi
341
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
juga peningkatan kualitas emosional peserta didik. Seperti yang telah banyak diteliti oleh para ahli bahwa kesuksesan sebahagian besar seseorang dipengaruhi oleh kepribadian yang baik. Aspek afektif yang perlu diperhatikan untuk menunjang keberhasilan belajar siswa adalah kecerdasan intrapersonal. kecerdasan intrapersonal adalah kecerdasan tentang kemampuan diri sendiri dan bertanggung jawab pada kehidupannya sendiri. Berdasarkan observasi sementara penulis, kecerdasan intrapersonal siswa masih rendah. Hal ini terlihat dari kurangnya pemahaman siswa mengetahui apa yang diketahuinya dan mengetahui apa yang tidak diketahuinya terhadap pelajaran matematika pada saat proses pembelajaran berlangsung. Dengan memiliki tingkat kecerdasan intrapersonal yang baik, siswa akan lebih mudah untuk menguasai kemampuan High Order Mathematical Thinking,sehingga tujuan pembelajaran matematika yang tertuang pada kurikulum 2013 dapat tercapai.
Berdasar atas pengamatan sementara peneliti, kecerdasan intrapersonal yang dimiliki siswa kelas XI IPS.1 masih cukup rendah. Hal tersebut penulis amati saat proses pembelajaran berlangsung. Siswa kurang memiliki kesadaran konsep yang dimiliki. Mereka belum mengetahui apa yang diketahui dan belum memahami apa yang mereka ketahui. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang mampu memfasilitasi siswa untuk membangun pengetahuannya dan mengorganisir pengetahuannya sendiri. Menurut observasi semnetara penulis, pembelajaran yang kurang mampu mengakomodir siswa untuk mengontrol pengetahuan dan mengorganisasikan pengetahuannya akan membuat pembelajaran di kelas menjadi kurang bermakna yang berdampak terhadap lemahnya penguasaan konsep siswa terhadap pelajaran matematika yang disebabkan siswa cendrung mengahafal materi dibandingkan memahami dan mengaplikasikan konsep. Berkenaan dengan itu, pembelajaran Metacognitive-Inner Speech diasumsikan mampu menjadi jembatan bagi siswa untuk membangun kecerdasan interpersonal sehingga mampu memberikan dampak positif bagi kualitas pembelajaran di kelas. Karakteristik dari pembelajaran MIS adalah mengaitkan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya untuk membangun pengetahuan baru, mampu menuliskan gumamannya menjadi sesuatu yang berkontribusi bagi konstruktivisme pengetahuan, mampu mengorganisir pengetahuan yang dimiliki menjadi konsep yang terintegritas dengan konsep lainnya. Menurut Ladysa (2012), pembelajaran MIS mampu meningkatkan kemandirian belajar siswa kelas VII SMP. Selain itu dengan penerapan MIS, menurut sebagian besar siswa, pembelajaran di kelas semakin komunikatif dan menyenangkan. Berdasarkan uraian di atas, pembelajaran MIS diduga tepat untuk memfasilitasi kecerdasan intrapersonal siswa. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah: (1) “Bagaimana peningkatan kecerdasan intrapersonal siswa kelas XI IPS.1 SMAN 1 Gedongtataan TP.2016/2017 melalui pembelajaran MIS?; dan (2) Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran MIS?
342
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
2. Landasan Teori Metakognitif merupakan kesadaran seseorang dalam berpikir, atau dapat dikatakan bahwa seseorang mengetahui cara berpikirnya. Metakognitif menggiring siswa pada suatu goal yaitu mengetahui apa yang diketahui dan mengetahui apa yang tidak diketahui. Hal ini sangat diperlukan dalam proses pembelajaran sehingga tercapai tujuan pendidikan dan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat tercapai. Dua konteks dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metakognitif, yaitu siswa dapat memahami dan menggunakan stretegi kognitif selama proses pembelajaran berlangsung. Kegiatan yang akan diterapkan dalam pembelajaran dengan pendekatan metakognitif ini melalui 3 tahap menurut Elawar (dalam Nindiasari 2004), yaitu: tahap pertama diskusi awal (introductory discussion), tahap kedua kerja sendiri/individu (Independent work) dan tahap ketiga penyimpulan. Pemecahan model Mayer’s juga menyarankan empat proses atau pengetahuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan soal matematika yaitu translation (terjemahan), integration (integrasi), planning dan monitoring (perencanaan dan pencatatan), solution execution (kegiatan menjawab soal). Metakognisi yang mengkaji ‘’bagaimana berfikir itu’’ dapat difasilitasi dengan menggunakan inner speech, yaitu semacam self-talk yang memungkinkan siswa untuk mengarahkan dan memantau proses kognitif mereka, memperoleh pemahaman yang lebih dalam dan apresiasi dari proses berpikir mereka sendiri (Moffett dalam Andrea Zakin, 2007). Hal ini terlihat ketika anak-anak kecil terlibat dalam kegiatan di kelas, di mana mereka sering berbicara dengan keras (Flavell et al, dalam Andera Zakin 2007 ). Tetapi ada hal yang kurang dipahami dari seorang guru bahwa anak-anak dan remaja yang lebih tua, dan bahkan orang dewasa sering menggunakan inner speech untuk tujuan yang sama ketika terlibat dalam suatu aktivitas (John-Steiner, dalam Andrea Zakin 2007). Namun, guru sering melihat self-talk sebagai perilaku mengganggu di kelas meski tanpa suara keras sekalipun. Perlu dipahamai bahwa aktivitas self-talk tidak terbatas pada dikeluarkan atau tidak melalui sebuah gumaman, terdengar keras ataupun lirih. Tetapi pertanyaan yang muncul dalam pikiran yang tanpa terucap sekalipun itu dapat dipandang sebagai aktivitas self-talk. Terdapat perbedaan yang mendasar antara egosentric speech dan inner speech. Egosentric speech adalah bentuk awal dari self-talk yang digunakan oleh anak kecil. Meskipun terdengar, itu tidak ditujukan untuk berkomunikasi dengan orang lain, tetapi lebih tepatnya, berfungsi sebagai swa-regulasi untuk membantu anak-anak tetap ingat pada tugas-tugas dan memperoleh kendali atas tindakan mereka dan lingkungan. Pandangan berbeda tentang egosentric dikemukakan oleh Piaget (1974) yang menyatakan bahwa egosentris speech akan hilang seiring berjalanya waktu dan bertambahnya usia. Sementara Vygotsky meyakini bahwa egosentric speech tidak hilang, tetapi hanya bertransformasi saja dan mengarah ke sesuatu pemikiran yang lebih abstrak. Menurut May Lwin, dkk (2003) kecerdasan intrapersonal adalah kecerdasan mengenai diri sendiri, kecerdasan ini merupakan kemampuan memahami diri sendiri dan bertanggung jawab pada kehidupannya sendiri. Inner speech yang secara esensinya adalah berdialog dengan diri sendiri dapat digunakan untuk memfasilitasi swa-regulasi yaitu proses kendali yang memungkinkan kita berpikir dan memantau proses berpikir itu sendiri (Kashima dalam Zakin 2007). Sebaliknya, kognisi menurut Vygotsky (dalam Zakin 2007) terdiri dari berfikir logis, pengembangan daya ingat,
343
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
fokus pada sesuatu, pengambilan keputusan yang bersifat kognitif, dan pemecahan masalah yang diarahkan untuk mencapai tujuan. Inner speech membantu siswa untuk merencanakan dan mengkoordinasikan pikiran dan aksi yang mana ditujukan untuk swa regulasi, pengayaan materi pembelajaran. Tetapi pada kenyataanya akan sangat sulit untuk menggali inner speech dari masing-masing siswa. Oleh karena itu guru perlu memodelkan inner speech kedalam sebuah disain pertanyaan yang sistematis. Ada 3 aktivitas inner speech yang saling terkait satu sama lain yaitu: inner speech thinking steps, inner speech facilitating comments dan evaluation of inner speech. Ketiga ativitas tersebut merupakan tahapan dalam pendekatan ‘’ARE’’ (Act/ Reflect/ Evaluate). Pendekatan ARE selalu dimulai dari guru dengan cara mendemonstrasikan dan memodelkan suatu bentuk inner speech yang kemudian beralih ke seluruh siswa. Kemudian siswa membentuk kelompok-kelompok kecil sebagai wadah untuk berinteraksi dan sharing dengan siswa lain dalam satu kelompok. Awalnya guru memodelkan strategi pemecahan masalah dengan cara sharing mengenai tahapan tahapan berfikir dan bentuk-bentuk inner speech. Langkah selanjutnya guru meminta siswa untuk mengungkapkan inner speech mereka dalam bentuk komentar dan menuliskannya pada kertas berukuran besar yang kemudian didiskusikan dan dievaluasi menggunakan ‘’The Inner Speech Cognitive Problem Solving Assesment Tool’’ di bawah ini. Prosedur ini diulang untuk setiap tahap aktivitas pemecahan masalah. Tabel 2.1 Inner Speech Cognitive Problem Solving Assesment
344
Inner Speech
Inner speech
Thinking Steps
Facilitating Comment
Evaluation of Inner Speech
what is this problem about
I think it's about
That was clear
what is this problem asking for
OK, it seems to want me to….
what made me think that
Have I ever solved this kind fo problem before ?
oh yea, yesterday in class
That's good, I remembered
What did I do then
wait, I think I….
I stopped and thought again
what are the possible solutions?
I guess I could also…
Did I think everything
OK, I have ''x'' solutions, which one should I pick and why
I should probably
I don’t really understand how to choose here
I need to watch what I'm doing
yeah, I always make me the same mistake here, so….
I caught it, good for me
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
what do I think about what I've done
I don’t know if
well, at least I tried to this through
I wonder if this make sense…
Should I know more about this or is this OK
yeah it's always good to start over to check
This shows I'm being careful and not giving up
If I have no solution, what should I do
I feel like such dummy
that's doesn’t help at all, it's just negative thinking
OK,I'll reread the problem and look for clues
Aha, I'm detective now..
I like that
I think I need to ask for help
Jeez, I'm just going around in circles now
At least I know when to ask for help
Does it make sense? Let me review the question again
Sumber: (Andrea Zakin 2007) Sebagai contoh aplikasi inner speech pada pendidikan matematika di kelas tinggi khususnya kelas 4 SD adalah membedakan antara bidang datar beraturan dan tidak beraturan, segi empat dan jajargenjang. Bentuk-bentuk pertanyaan inner speech yang dapat dimodelkan adalah sebagai berikut: ‘’Apa itu bidang datar?’’,’’Apa yang membuat sebuah bidang tidak beraturan?’’,’’Apa definisi dari segi empat dan jajar genjang?”, strategi pembelajaran inner speech oleh guru dibagi ke siswa kemudian didiskusikan, siswa menjawab model-model pertanyaan inner speech tersebut dan membagikan comment mereka yang dicatat oleh guru dalam kertas besar. Tahap berikutnya siswa diminta mengelompokkan bidang-bidang yang masuk ke dalam kategori segi empat dan jajar genjang berdasarkan sifatnya. Menurut Schoenfield (dalam Zakin 2007) konsep mengkategorikan sebuah bidang masuk dalam suatu keompok bidang tertentu bergantung pada kemampuan menganalisis atribut yang tidak sesuai dengan bidang yang dimaksud. Para siswa mencatat setiap komentar yang kemudian didiskusikan dengan seorang partner dalam kelompok . Kemudian masing masing kelompok kecil tersebut melaporkan kembali hasil diskusi mereka ke seluruh kelas dan guru memimpin hasil diskusi menggunakan Inner Speech Cognitive Problem Solving Assesment Tools. Kecerdasan intrapersonal yaitu kemampuan seseorang memahami diri sendiri dan melakukan tindakan berdasarkan pengetahuan yang dipahami. Kecerdasan ini meliputi kemampuan memahami kekuatan dan keterbatasan diri, kesadaran akan suasana hati, kehendak, motivasi, sifat, keinginan, serta kemampuan berdisiplin diri, dan menghargai diri. Menurut Efendi (2015) dan Himmah (2012) terdapat korelasi positif antara kecerdasan intrapersonal terhadap hasil belajar siswa.. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan intrapersonal memiliki pengaruh yang kuat dan positif bagi peningkatan hasil belajar siswa.
345
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
3. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas pada semester satu tahun pelajaran 2016/2017 dengan subjek penelitian yaitu siswa kelas XI IPS.1 SMAN 1 Gedongtataan yang dilakukan dalam dua siklus. Pengumpulan data yaitu dengan teknik angket, wawancara, dan lembar observasi.
4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Deskripsi Siklus I Pelaksanaan PTK dimulai pada hari Senin,17 Oktober 2016, pada jam pelajaran ke-5 dan ke-6 di kelas XI IPS.1 SMAN 1 Gedongtataan (semua siswa hadir). Pembelajaran dimulai dengan pemberian apersepsi oleh guru dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari. Selanjutnya membentuk kelompok yang heterogen terdiri dari 5-6 orang siswa. Pembelajaran MIS ini merupakan pembelajaran yang baru bagi siswa, sehingga pada pembelajaran MIS untuk pertemuan pertama dan kedua siswa masih agak bingung dalam memahami tugas yang harus mereka selesaikan. Siswa belum terbiasa dengan memberikan komentar-komentar sebagai bentuk dari inner speech, mereka terbiasa belajar hanya dengan mendengarkan penjelasan guru, latihan soal, kemudian diikuti dengan PR. Memberikan komentar sebagai bentuk dari inner speech agar membiasakan siswa untuk berpikir sadar dan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri melalui inner speech memang terasa sulit. Namun, dengan pertanyaanpertanyaan yang dapat memacu inner speech mereka, misalnya membuat komentar dengan kalimat mereka sendiri mengenai permasalahan pemodelan matematika pada program linier. Secara keseluruhan pembelajaran pada siklus kesatu ini dapat dikatakan berjalan lancar. Deskripsi data kecerdasan intrapersonal yang didapat, yaitu siswa sudah mulai terlihat mampu mengetahui kelemahan konsep yang dimiliki saat soal tersaji tetapi belum mampu memotivasi dan mengatasi kelemahan yang dimiliki. Selain itu, siswa mulai terlihat antusias dengan pembelajaran yang diberikan karena berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa siswa mereka merasa lebih mudah memahami materi yang disampaikan dengan pembelajaran yang diberikan.
4.2. Deskripsi Siklus II Pelaksanaan siklus II, tanggal 27 dan dilanjutkan pada tanggal 31 Oktober 2016. Beberapa tindakan yang dilakukan pada siklus ini adalah perbaikan-perbaikan terkait dengan ketatabahasaan dalam lembar kerja siswa, karena berdasarkan hasil pada siklus I ada siswa yang agak kesulitan memahami bahasa dalam LKS (karena siswa belum terbiasa). Sehingga diupayakan bahasa itu lebih disederhanakan. Selanjutnya guru melakukan refleksi dengan lebih banyak memberikan kisah-kisah tokoh yang sukses dengan memerdayakan kecerdasan intrapersonal dan memfasilitasi kepada siswa yang pada siklus I masih belum mengeksplorasi kecerdasan intrapersonal dengan maksimal. Pada siklus kedua, siswa mulai terbiasa untuk mengkomunikasikan gumaman mereka. Tabel inner speech sudah mereka isi sendiri tanpa bantuan dari guru. Dan ketika mereka mengalami sedikit kesulitan dalam membuat model matematika dari soal cerita, hal tersebut
346
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
dijadikan sebagai tantangan dan melakukan diskusi dengan teman kelompok untuk mengatasi kelemahan diri dalam memahami konsep. Sementara itu, siswa lebih memahami hakikat dan manfaat pemodelan matematika baik di bidang matematika maupun bidang yang lain. Berdasarkan uraian di atas, terlihat pada siklus kedua siswa lebih mengetahui kekuatan dan kelamahan diri, dan ketika mereka mengalami kesulitan dalam pembelajaran, Hal tersebut dijadikan sebuah tantangan bukan hambatan dalam belajar serta mereka mencari solusi yang solutif terhadap kesulitan belajar yang mereka hadapi. Dalam hal ini, peneliti juga mengaitkan gumaman mereka dengan jejaring sosial yang saat ini cukup intens mereka ikuti. Peneliti menganalogikan hobi mereka yang sering comment status pada jejaring sosial merupakan salah satu bentuk komentar yang apabila diaplikasikan pada pembelajaran matematika akan memudahkan mereka dalam memahami pelajaran matematika. Dari hasil angket, observasi, dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti, peneliti mendapat kesimpulan bahwa pada siklus kedua dengan menggunakan pembelajaran MIS, siswa merasa terbantu untuk memahami kemampuan dan kelemahan diri dalam menguasai materi pembelajaran selain itu siswa lebih termotivasi untuk mengubah kelemahan diri dengan berdiskusi dengan teman dalam kelompok.
5. Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari siklus I dan II disimpulkan melalui pembelajaran MIS kecerdasan intrapersonal siswa lebih meningkat. Hal ini dapat diketahui dari data kualitatif yang menjelaskan tingginya keantusiasan belajar siswa, siswa lebih mengetahui apa yang diketahui dan mengetahui apa yang tidak diketahui dalam memahami materi, serta siswa mampu memotivasi kelemahan dalam memahami materi melalui diskusi.
5.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan, penulis mengemukakan beberapa saran sebagai berikut: 1. Untuk menerapkan pembelajaran MIS sebaiknya guru membuat skenario dan perencanaan yang matang, sehingga pembelajaran dapat terjadi secara sistematis sesuai dengan rencana dan pemanfaatan waktu yang efektif dan tidak banyak waktu yang terbuang oleh hal-hal yang tidak relevan. 2. Pembelajaran MIS pada pelaksanaannya tidak hanya dapat dilakukan dengan cara belajar berkelompok, namun dapat pula diterapkan secara individu, sehingga guru dapat menggunakannya dengan mengkombinasikan antara pembelajaran MIS secara berkelompok ataupun MIS secara individu, untuk melatih kecerdasan intrapersonal siswa
347
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: PT Bumi Aksara Astuti, R. (2009). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika dan Kemandirian Belajar Matematika Siswa Melalui Model Repirocal Teaching dengan Pendekatan Metakognitif. Tesis pada PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Cai, J. & Patricia (2000). Fostering Mathematics Thinking Throught Multiple Solutions. Mathematics Teaching in Middle School. Vol V. USA: NCTM. Curcio, F. dan McNeece, L. (1993) The Case of Video Viewing, Reading, and Writing in Mathematics Class: Solving the Mistery. Journal The Mathematics Teacher VOl.86, No 8. November 1993. Efendi, F.M. 2015. Hubungan antara Kecerdasan Intrapersonal dengan Prestasi Belajar Siswa kelas IV Gugus I Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul. Skripsi pada Fakultas Ilmu Pendidikan UNY. Jakarta: Tidak Diterbitkan Ehrich, E.J. 2006. Vygotskian Inner Speech and Reading Proccess. Australian Journal of Educational & Developmental Psychology Vol. 6, pp 12-25. Queensland University of Technology Fauzi, A. (2011). Peningkatan Koneksi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pendekatan Metakognitif. Disertasi Doktor pada PPS UPI Bandung: Tidak Dipublikasikan. Hall, C.S. and Lindzey, G.. 1978. Theories of Personality. Third Edition. New York: John Willey and Sons, Inc. Himmah, I.F. 2012. Hubungan antara Kecerdasan Intrapersonal dan Interpersonal terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII SMPN. 2 Taman. Skripsi pada Ilmu Tarbiyah UINSBY Surabaya: Tidak Dipublikasikan. Hurlock, E. B. 1978. Developmental Psychology. Edisi 4. New Delhi: Tata Mc Graw Hill. Joyce, B. and Weil, M. (2000) Models of Teaching. New Yersey: Prentice Hall Inc. Nindiasari, H. (2004). Pembelajaran Metakognitif Untuk Meningkatkan Pemahaman dan Koneksi Matematika Siswa SMU Ditinjau dari Perkembangan Kognisi Siswa. Tesis pada PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Nindiasari, H. (2011). Berpikir Reflektif Matematis dan Pendekatan Pembelajaran Metakognitif. Collection of Papers. International Seminar and the fourth National Confrence on Mathematics Education. Universitas Negeri Yogyakarta. Sarwono, S.W. 1974. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang. Suherman, E. dan Kusumah, Y.S. 1990. Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157. Zakin, Andrea. 2007. Metacognition and the Use of Inner Speech in Children’s Thinking: A Tool Teachers Can Use. Journal of Education and Human Development. ISSN 1934-2700.
348
Redaksi Jurnal IDEAL MATHEDU PPPPTK Matematika menerima artikel/naskah jurnal yang terkait dengan pendidikan matematika Ketentuan penulisan dan untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi Redaksi
IDEAL MATHEDU PPPPTK MATEMATIKA