ISSN 24078530
IDEAL MATHEDU INDONESIAN DIGITAL JOURNAL OF MATHEMATICS AND EDUCATION
PPPPTK MATEMATIKA - KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015
Pemahaman Konsep Jarak pada Topik Dimensi Tiga Kelas X Menggunakan Model Pembelajaran Langsung Berbantuan Google Sketchup Syaiful Hamzah Nasution, Cholis Sa'dijah Pemanfaatan Geogebra Untuk Meningkatkan Pemahaman Karakteristik Grafik Fungsi Kuadrat Pada Siswa Kelas X Mia7 SMA Negeri 1 Singaraja Gede Alit Narohita Penerapan Metode Restu Melalui Pembelajaran Kooperatif Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas XI.6 SMK Negeri 1 Kubu I Wayan Laba Pemanfaatan Kap Es Krim Untuk Luas Selimut Kerucut Terpancung Lailatul Masfufah, Supriyatno Widodo Kajian Materi Aljabar dan Komunikasi Matematis Agus Prianto Penggunaan Alpen (Alat Permainan Pecahan) Dalam Pembelajaran Matematika Materi Bilangan Pecahan Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas IV Semester Genap Tahun Pelajaran 2014/2015 di SDN 28 Tibawa Kab. Gorontalo Suparman Pilomonu, S.Pd.
mo No r KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN MATEMATIKA YOGYAKARTA
2 20
15
SUSUNAN REDAKSI JURNAL IDEAL MATHEDU VOLUME 2 NOMOR 2 TAHUN 2015 PPPPTK MATEMATIKA
Penanggung jawab
: Kepala Subag TU dan RT Yasri Aznam, S.Sos.
Redaktur Penyunting/Editor
: Marfuah, S,Si.,M.T. : 1. Muh. Tamimuddin H, M.T. 2. Nurul Muda Khikmawati, S.Kom,. M.Cs. 3. Sumardyono, M.Pd. 4. Wiworo, S.Si., M.M. 5. Dra. Th. Widyantini, M.Si. 6. Untung Trisna Suwaji, S.Pd., M.Si. 7. Adi Wijaya, S.Pd.,M.A. 8. Fadjar Noer Hidayat, M.Ed. 9. Hanan Windro Sasongko, S.Si. 10. Sigit Tri Guntoro, S.Si., M.Si. 11. Drs. Agus Suharjana, M.Pd. 12. Choirul Listiani, M.Si. 13. Joko Purnomo, M.T. 14. Drs. Marsudi Raharjo, MSc.Ed. 15. Dra. Puji Iryanti, Msc.Ed. 16. Ratna Herawati, M.Si. 17. Sumaryanta, M.Pd. 18. Titik Sutanti, M.Ed. 19. Sri Wulandari Danoebroto, S.Si.,M.Pd. 20. Jakim Wiyoto, S.Si.
Desain Grafis dan Layout
: 1. Cahyo Sasongko, S.Sn. 2. Muhammad Fauzy 3. Samsul Bahri
Sekretariat
: 1. Harwasono, S.Kom. 2. Sri Pujiastuti, A.Md. 3. Nur Amini Mustajab, S.Pd.Si. 4. Aditya Kristiawan, S.H. 3. Anggrahini Suharto, S.I.P.
Alamat redaksi
: PPPPTK Matematika Jl. Kaliurang km.6, Sambisari, Depok, Sleman Kotak Pos 31 Yk-Bs Yogyakarta Telp. (0274) 885725, 881717 Fax. (0274) 885752 Website. idealmathedu.p4tkmatematika.org
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
PEMAHAMAN KONSEP JARAK PADA TOPIK DIMENSI TIGA KELAS X MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN LANGSUNG BERBANTUAN GOOGLE SKETCHUP Syaiful Hamzah Nasution1), Cholis Sa’dijah2) 1) 2)
Universitas Negeri Malang, Jl Semarang no 5 Malang, email:
[email protected] Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang no 5 Malang, email:
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan model pembelajaran langsung menggunakan Google SkecthUp untuk memahamkan konsep jarak pada topik dimensi 3 kelas X dan mengkaji apakah dengan pembelajaran tersebut, ketuntasan belajar klasikal dapat ditingkatkan. Sumber data dalam penelitian ini 39 siswa kelas X di SMA Negeri 1 Turen pada tahun 2012. Penelitian ini adalah penelitian tindakan partisipan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan, tes, angket, catatan lapangan dan wawancara. Data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan model pembelajaran langsung menggunakan Google SketchUp dapat meningkatkan pemahaman siswa dan ketuntasan klasikal tentang konsep jarak pada topik dimensi 3 kelas X Kata Kunci: pembelajaran langsung, Google SketchUp, jarak, dimensi tiga.
1. Pendahuluan Banyak siswa di SMA Negeri 1 Turen belum memahami konsep jarak pada topik dimensi tiga kelas X. Hal ini terungkap dari hasil diskusi peneliti dengan salah satu guru matematika yang mengajar kelas X SMA Negeri 1 Turen. Dari diskusi diperoleh informasi bahwa kesulitan siswa dalam belajar dimensi tiga meliputi; (1) kesulitan dalam menentukan kedudukan titik, garis, dan bidang dalam bangun ruang, (2) kesulitan untuk menentukan jarak dan besar sudut dalam bangun ruang, (3) kesulitan untuk membayangkan objek geometri dimensi tiga yang disajikan dalam gambar dua dimensi. Kesulitan tersebut terlihat pada proses pembelajaran dan pada hasil ulangan harian siswa yang sering mengalami ketidaktuntasan. Guru matematika tersebut juga mengatakan bahwa metode yang digunakan dalam pembelajaran dimensi tiga adalah ceramah, guru menjelaskan konsep dimensi tiga dengan menggambar di papan tulis, memberikan contoh dan soal. Berdasarkan hasil diskusi dengan salah satu guru matematika, peneliti ingin melihat sejauh mana kemampuan keruangan siswa. Peneliti membuat tes tentang kemampuan keruangan siswa yang terdiri dari 4 soal dan diberikan pada observasi awal. Tujuan dari tes kemampuan keruangan ini adalah untuk mengetahui sejauhmana pemahaman siswa tentang keruangan. Tes diikuiti oleh 39 siswa kelas X SMA Negeri 1 Turen. Gambar 1 berikut menyajikan dua hasil scan jawaban siswa pada observasi awal penelitian.
81
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Gambar 1. Jawaban hasil tes kemampuan keruangan Hasil tes kemampuan keruangan pada observasi awal disajikan pada Tabel 1 berikut.
No 1 2 3 4
Tabel 1. Hasil tes kemampuan keruangan pada observasi awal Jumlah Jumlah Persentase Persentase Butir Soal jawaban jawaban jawaban jawaban benar salah benar salah a 27 12 69% 31% b 24 15 62% 38% c 15 24 38% 62% d 13 26 33% 67% Rerata 51% 49%
Dari hasil tes kemampuan keruangan pada observasi awal disimpulkan bahwa penguasaan keruangan siswa masih lemah. Siswa masih sulit membayangkan model tiga dimensi yang disajikan pada bidang dua dimensi. Siswa membutuhkan media untuk membantu memodelkan objek tiga dimensi. Apabila dikaitkan dengan teori belajar Piaget, Resnick (1981:168) menyimpulkan sebagai berikut. According to Piaget, there is a stage of intellectual development beyond concrete operations, in which people able to reason hypothetically and to take into account all logical possibilities. Called the period of formal operations, this stage typically develops with the onset of adolescence, and it involves the kind of thinking characteristic of the most advanced forms of mathematical and scientific reasoning.
82
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Anak berusia 12 tahun ke atas berada pada tahap operasi formal. Dalam tahap ini intelektual berkembang melebihi tahap operasi konkret, dimana anak mampu memberi alasan secara hipotesis dan telah melihat semua kemungkinan logis. Pada tahap operasi formal, anak mampu mengembangkan suatu pernyataan untuk menegaskan atau menyangkal suatu hipotesis kemudian membuktikan hipotesis itu melalui perbandingan antara akibat-akibat deduktifnya dengan fakta-fakta dalam cara berpikirnya. Berdasarkan uraian di atas seharusnya siswa sekolah menengah atas sudah mampu melakukan penalaran dengan hal-hal yang bersifat abstrak. Namun pada kenyataannya siswa membutuhkan bantuan benda konkret (media) terlebih dahulu. Hal ini berarti siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari dimensi tiga. Untuk mengatasi masalah tersebut dalam penelitian ini digunakan Google SketchUp sebagai media dalam mempelajari dimensi tiga. Google SketchUp dikembangkan oleh Startup Company, Colorado pada tahun 1999 oleh Brad Schell. Pada awalnya Google SketchUp digunakan sebagai alat untuk menciptakan konten tiga dimensi yang memungkinkan para professional desain untuk membuat objek tiga dimensi dengan mudah (Wikipedia.org). Adapun alasan pemilihan Google SketchUp sebagai media dalam mempelajari dimensi tiga adalah: (1) Google SketchUp mudah digunakan, (2) Google SketchUp memberi visualisasi yang baik tentang objek dimensi tiga, (3) Objek dimensi tiga yang dibuat dengan Google SketchUp dapat diputar, sehingga memudahkan untuk mengamati objek dimensi tiga, (4) Google SketchUp mempunyai beragam tool yang dapat digunakan untuk menciptakan objek dimensi tiga. Penggunaan media dalam pembelajaran mempunyai arti yang cukup penting. Menurut Djamarah (2010: 120) dalam pembelajaran, ketidakjelasan bahan yang disampaikan dapat dibantu dengan menghadirkan media sebagai perantara. Kerumitan bahan yang akan disampaikan kepada siswa dapat disederhanakan dengan bantuan media. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian Petrus Harjanto (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual Berbantu Program Wingeom untuk Membangun pemahaman Konsep Jarak Siswa Kelas X SMAK Kolese Santo Yusup Malang” yang menyatakan bahwa penggunaan media dapat membantu pemahaman siswa tentang jarak pada dimensi tiga. Untuk menggunakan Google SketchUp dalam pembelajaran, tentunya siswa perlu mendapatkan keterampilan menggunakan software tersebut. Melalui demonstrasi yang dilakukan oleh guru, siswa diberi keterampilan untuk menggunakan Google SkecthUp 8 sehingga diharapkan siswa dengan mudah memahami konsep jarak pada dimensi tiga. Kemudian guru memberi latihan dan memberi kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan latihan dengan menggunakan Google SketchUp. Dengan alasan tersebut, peneliti memilih model pembelajaran langsung dalam penelitian ini. Arends (2009) menyatakan “direct instruction was designed to promote mastery of skills (procedural knowledge) and factual knowledge that can be taught in a step-by-step fashion”. Model pembelajaran langsung dirancang secara khusus untuk mengembangkan belajar siswa tentang pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik dan dapat dipelajari selangkah demi selangkah. Menurut Arends, sintaks dalam pembelajaran langsung ada lima, yaitu: (1) menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa, (2)
83
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan, (3) membimbing latihan, (4) mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik, dan (5) memberikan latihan tambahan. Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah: (1) Bagaimana model pembelajaran langsung menggunakan Google SketchUp untuk memahamkan konsep jarak pada topik dimensi tiga kelas X? (2) Apakah model pembelajaran langsung dengan menggunakan Google SketchUp dapat meningkatkan ketuntasan belajar klasikal pada materi menentukan jarak dalam dimensi tiga?
2. Metode Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan partisipan karena peneliti terlibat langsung mulai dari awal penelitian sampai akhir penelitian. Peneliti membuat perencanaan, menerapkan pembelajaran langsung menggunakan Google SketchUp, mengobservasi, mengumpulkan data, dan menganalisis data serta melaporkan hasil penelitian. Sebagai perencana, peneliti merancang desain dan perangkat pembelajaran langsung, membuat media dengan Google SketchUp, membuat lembar kerja dan instrumen penelitian. Langkahlangkah penelitian ini mengikuti model yang dikembangkan oleh Kemmis dan Taggart, yang terdiri dari empat tahap, yaitu: (1) perencanaan, (2) tindakan, (3) pengamatan, (4) refleksi. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data yang berhubungan dengan model pembelajaran langsung menggunakan Google SketchUp. Data tersebut berupa data hasil pengamatan dalam proses pembelajaran langsung menggunakan Google SketchUp. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah pengamatan, tes, angket, catatan lapangan dan wawancara. Pengamatan (observasi) dilakukan untuk mengamati aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Peneliti mengamati segala aktivitas siswa dengan lembar observasi yang telah dirancang berdasarkan aspek-aspek yang mengacu pada aktivitas siswa dalam pembelajaran langsung menggunakan Google SketchUp. Indikatornya adalah menggali pengetahuan awal siswa, membimbing dan mendorong siswa mengenal konsep jarak berbantuan Google SketchUp, mendorong siswa untuk aktif dalam pembelajaran dan melakukan penilaian kepada siswa terkait dengan pemahaman jarak pada dimensi tiga. Data hasil kuis dan tes siswa digunakan untuk melihat apakah pembelajaran langsung menggunakan Google SketchUp dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang jarak pada dimensi 3. Indikator siswa paham berdasarkan tes dalam penelitian ini adalah: (1) Siswa mampu mengidentifikasi data-data yang terkait dengan jarak pada dimensi tiga, (2) Siswa mampu menentukan apa yang ditanyakan dalam soal, (3) Siswa mampu membuat strategi yang tepat untuk menentukan jarak pada dimensi tiga, dan (4) Siswa mampu mengaplikasikan konsep jarak dalam memecahkan masalah. Kuis diberikan pada akhir tindakan, sedangkan tes dilaksanakan pada akhir siklus. Sumber data pada penelitian ini 39 siswa kelas X di SMA Negeri 1 Turen pada tahun 2012. Agar data yang diperoleh tidak bias, peneliti menekankan kepada siswa untuk mengerjakan tes secara mandiri dan tidak boleh bekerjasama.
84
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Data hasil wawancara digunakan untuk menelusuri dan mengetahui sejauh mana pemahaman siswa dalam menentukan jarak pada pembelajaran langsung menggunakan Google SketchUp. Selain itu data hasil wawancara digunakan untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran langsung menggunakan Google SketchUp. Catatan lapangan disediakan untuk melengkapi data yang mungkin tidak terekam dalam lembar observasi dan bersifat penting sehubungan dengan kegiatan selama proses pembelajaran berlangsung. Selain itu catatan langsung digunakan untuk mencatat refleksi memuat pendapat peneliti yang mengarah pada tujuan penelitian ini. Berdasarkan jenis data yang dikumpulkan, data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Data dianalisis dengan langkah-langkah: mendeskripsikan data, menganalisis secara kuantitatif untuk data berupa skor, dan menyimpulkan data. Data hasil pengamatan, wawancara dan catatan lapangan dilakukan analisis kualitatif. Sedangkan data hasil kuis dan tes dilakukan analisis kuantitatif. Pada akhir tindakan untuk setiap siklus diberi tes akhir tindakan. Hasil tes akhir tindakan ini dikaji untuk melihat pemahaman siswa dan ketuntasan klasikalnya. Ketuntasan klasikal dalam penelitian ini dirumuskan St Kk 100% Sb Dengan Kk : Persentase Ketuntasan klasikal St : Jumlah siswa yang memperoleh nilai 75 (minimal KKM) Sb : Jumlah siswa yang memperoleh nilai 75 (di bawah KKM) Dalam penelitian ini, tindakan dihentikan apabila rerata persentase indikator pemahaman minimal 85% dan persentase ketuntasan klasikal minimal 85%. Namun apabila dalam suatu siklus rerata persentase indikator pemahaman dan ketuntasan klasikal sudah tercapai, siklus selanjutnya tetap dilaksanakan. Hal ini dilakukan untuk mengkaji peningkatan pemahaman dan ketuntasan klasikal.
3. Hasil dan Pembahasan Berikut ini dibahas tentang pelaksanaan tindakan, serta analisis pembelajaran langsung menggunakan Google SketchUp.
3.1 Sebelum Tindakan Sebelum melaksanakan tindakan, peneliti melakukan tes kemampuan prasyarat. Tes kemampuan prasyarat ini meliputi pemahaman siswa tentang konsep teorema Pythagoras dan menentukan jarak pada segitiga siku-siku. Tes kemampuan prasyarat ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana pemahaman siswa tentang konsep yang melandasi menentukan jarak pada dimensi tiga. Berikut scan hasil tes kemampuan prasyarat salah satu siswa
85
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Gambar 2. Hasil scan lembar jawaban tes prasyarat siswa Berdasarkan hasil pekerjaan siswa pada tes kemampuan prasyarat, peneliti menyimpulkan bahwa siswa kurang menguasai kemampuan prasyarat. Setelah melakukan diskusi dengan Bapak Ahmadi selaku guru matematika, peneliti memutuskan untuk menyampaikan kembali materi prasyarat ke dalam remedial teaching. Setelah remedial teaching dilaksanakan, peneliti memberikan file installer Google SketchUp untuk diinstal ke laptop siswa. Peneliti memandu siswa untuk menginstal Google SkethUp.
3.2 Siklus I Siklus I terdiri dari dua kali pertemuan dengan alokasi waktu 2 45 menit untuk setiap pertemuan. Pertemuan pertama adalah menerapkan model pembelajaran langsung menggunakan Google SketchUp pada materi menentukan jarak titik ke titik dan titik ke garis. Pertemuan kedua adalah menerapkan model pembelajaran langsung menggunakan Google SketchUp pada materi menentukan jarak titik ke bidang dan memberikan tes akhir tindakan I. Perencanaan siklus I meliputi : (1) menyiapkan rencana pelaksanaan (RPP) dan lembar kerja siswa (LKS) yang telah disusun, (2) menyiapkan materi untuk presentasi kelas, (3) menyiapkan media Google SketchUp, (4) menyiapkan lembar pengamatan, catatan lapangan lembar penilaian skor kelompok, (5) menyiapkan tes akhir tindakan 1 dan (6) melakukan koordinasi antara peneliti dengan guru. Siklus I Pertemuan ke-1 Pada saat pembelajaran, disampaikan tujuan pembelajaran, yaitu menentukan jarak titik ke titik dan titik ke garis. Setelah menyampaikan tujuan pembelajaran siswa diminta untuk membuka file Google SketchUp yang telah diberikan. Kemudian guru mendemonstrasikan penggunaan file Google SketchUp tersebut. Setelah mendemonstrasikan, siswa diberi LKS. Siswa menggunakan Google SketchUp untuk memvisualisasikan masalah pada LKS.
86
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Gambar 3. Visualisasi jarak titik dengan Google SketchUp Pada saat siswa mengerjakan LKS, guru memantau siswa, berkeliling untuk mengecek jawaban siswa dan memberikan umpan balik. Siswa diberi kesempatan untuk memaparkan hasil pekerjaannya. Di akhir pembelajaran guru memberikan kuis dan memberikan soal latihan tambahan. Siklus I Pertemuan Ke-2 Pada pertemuan ke-2, siswa dijelaskan tujuan pembelajaran, yaitu menentukan jarak dari titik ke bidang. Guru mengajak siswa mereview materi menentukan jarak titik ke titik sebelum melanjutkan ke materi menentukan jarak titik ke bidang. Guru memberikan file Google SketchUp kepada siswa dan mendemonstrasikan penggunaannya. Kemudian guru memberi siswa LKS. Pada pertemuan ke-2 siswa terlihat lebih mahir menggunakan Google SketchUp. Pemahaman siswa tentang jarak titik ke bidang rata-rata baik. Hal ini terlihat dari jawaban pada LKS yang dikerjakan oleh siswa. Setelah mengerjakan LKS, siswa diberi kesempatan untuk menyampaikan hasil pekerjaannya. Di akhir pembelajaran, siswa diberi tes akhir tindakan. Analisis dan Refleksi Siklus I Berdasarkan hasil analisis pekerjaan 39 siswa yang mengikuti tes akhir tindakan siklus I diperoleh data: (1) sebanyak 34 siswa mendapat nilai 75, (2) rata-rata tes akhir tindakan 90,64, dan (3) ketuntasan klasikal 87%. Adapun data hasil analisis indikator pemahaman tes tindakan siklus I disajikan dalam Tabel 2 berikut.
No 1
2
Tabel 2. Data hasil analisis tes tindakan siklus I Indikator Pemahaman Frekuensi Siswa Siswa mampu mengidentifikasi data 35 data yang terkait dengan jarak pada dimensi tiga Siswa mampu menentukan apa yang 35 ditanyakan dalam soal
Persentase 90
90
87
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
3
4
Siswa mampu membuat strategi yang 34 tepat untuk menentukan jarak pada dimensi tiga Siswa mampu mengaplikasikan konsep 34 jarak dalam memecahkan masalah Rerata persentase indikator pemahaman
87
87 88
Berdasarkan data hasil analisis tes tindakan siklus I diperoleh bahwa rerata persentase indikator pemahaman 88% dan ketuntasan klasikalnya 87%. Hal ini berarti bahwa tindakan pada siklus I berhasil karena persentase indikator pemahaman diatas 85% dan ketuntasan klasikal di atas 85%. Meski demikian tindakan tetap dilanjutkan pada siklus selanjutnya. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji, apakah ketuntasan klasikalnya dapat ditingkatkan.
3.3 Siklus II Siklus II terdiri dari tiga kali pertemuan, yakni pertemuan ketiga, keempat dan kelima dengan alokasi waktu 2 45 menit untuk setiap pertemuan. Tindakan yang dilakukan pada pertemuan ketiga adalah menerapkan model pembelajaran langsung dengan Google SketchUp untuk menentukan jarak garis ke garis dan garis ke bidang. Pada pertemuan keempat, menerapkan model pembelajaran langsung dengan Google Sketchup untuk menentukan jarak bidang ke bidang. Tes akhir tindakan II diberikan pada pertemuan kelima. Siklus II Pertemuan ke-3 Pada saat pembelajaran, disampaikan tujuan pembelajaran, yaitu menentukan jarak garis ke garis dan garis ke bidang. Setelah menyampaikan tujuan pembelajaran siswa diminta untuk membuka file Google SketchUp yang telah diberikan. Kemudian guru mendemonstrasikan penggunaan file Google SketchUp tersebut. Setelah mendemonstrasikan, siswa diberi LKS. Berdasarkan refleksi pada siklus I, siswa diberi sejumlah file Google SketchUp terkait dengan soal pada LKS dan tidak membuat sendiri visualisasi dengan Google SketchUp. Pemberian file ini untuk mengefisiensikan waktu dan mengoptimalkan eksplorasi siswa. Saat pembelajaran berlangsung, siswa diperkenankan diskusi dengan siswa lain. Guru berkeliling memeriksa pekerjaan siswa dan memberikan bantuan jika ada siswa yang kesulitan. Setelah siswa mengerjakan LKS, beberapa siswa diberi kesempatan untuk menyampaikan hasil pekerjaannya. Di akhir pembelajaran, guru memberikan latihan tambahan. Siklus II Pertemuan Ke-4 Pada pertemuan ke-4, siswa dijelaskan tujuan pembelajaran, yaitu menentukan jarak bidang ke bidang. Guru mengajak siswa mereview materi menentukan jarak garis ke garis dan jarak garis ke bidang kemudian memberikan file Google SketchUp kepada siswa dan mendemonstrasikan penggunaannya. Pada pertemuaan ke-4, terlihat siswa sudah terbiasa dengan Google SketchUp. Secara umum, pelaksanaan pembelajaran pada pertemuan ke-4 sama dengan pertemuan ke-3. Siklus II Pertemuan Ke-5
88
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Pada pertemuan kelima, diberikan tes akhir tindakan siklus II. Tes diikuti oleh 39 siswa dan dikerjakan secara individu. Analisis dan Refleksi Siklus II Berdasarkan hasil analisis pekerjaan 39 siswa yang mengikuti tes akhir tindakan siklus II diperoleh data: (1) sebanyak 36 siswa mendapat nilai 75, (2) rata-rata tes akhir tindakan 93,3, dan (3) ketuntasan klasikal 92%. Adapun data hasil analisis indikator pemahaman tes tindakan siklus II disajikan dalam Tabel 3 berikut.
No 1
2 3
4
Tabel 3. Data hasil analisis tes tindakan siklus II Indikator Pemahaman Frekuensi Siswa Siswa mampu mengidentifikasi data 39 data yang terkait dengan jarak pada dimensi tiga Siswa mampu menentukan apa yang 39 ditanyakan dalam soal Siswa mampu membuat strategi yang 37 tepat untuk menentukan jarak pada dimensi tiga Siswa mampu mengaplikasikan konsep 36 jarak dalam memecahkan masalah Rerata persentase indikator pemahaman
Persentase 100
100 95
92 97
Berdasarkan data hasil analisis tes tindakan siklus II diperoleh bahwa rerata persentase indikator pemahaman 97% dan ketuntasan klasikalnya 92%. Hal ini berarti bahwa tindakan pada siklus II berhasil karena persentase indikator pemahaman di atas 85% dan ketuntasan klasikal di atas 85%. Ketuntasan klasikal mengalami kenaikan sebesar 5% dari 87% pada siklus I menjadi 92% pada siklus II. Hal ini berarti ketuntasan klasikal dapat ditingkatkan. Berdasarkan hal tersebut tindakan dihentikan. Dari hasil wawancara diperoleh informasi: (1) siswa lebih memahami jarak pada dimensi tiga dengan menggunakan Google SketchUp, (2) demonstrasi yang dilakukan guru dalam pembelajaran langsung sangat membantu siswa untuk menggunakan Google SketchUp, (3) visualisasi objek tiga dimensi pada Google SketchUp sangat membantu siswa, (4) siswa merasa terpacu untuk mengungkapkan ide atau gagasan.
4. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Model pembelajaran langsung menggunakan Google SketchUp memiliki sintaks: (a) menyiapkan bahan belajar siswa berupa LKS dan file pendukung dengan Google SketchUp, (b) menyampaikan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan siswa, (c) mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan, (d) memberikan dan membimbing latihan, (e) mengecek dan memberikan umpan balik, (f) memberi kesempatan siswa untuk menyampaikan pendapat, dan (g) memberikan latihan tambahan. (2) Model pembelajaran langsung menggunakan Google
89
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
SketchUp 8 dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang jarak pada dimensi tiga dan dapat meningkatkan ketuntasan klasikal.
Daftar Pustaka Arends, Richard. 2009. Learning to Teach. New York: McGraw-Hill. Djamarah, S dan Zain, A. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Harjanto, Petrus. 2012. Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual Berbantu Program Wingeom untuk Membangun pemahaman Konsep Jarak Siswa kelas X SMAK Kolese Santo Yusup Malang. Tesis: tidak diterbitkan. Krismanto, A. 2004. Dimensi Tiga Pembelajaran Jarak. Yogyakarta: PPPPTK Matematika. Resnick, Lauren dan Ford, Wendy W. 1981. The Psychology of Mathematics for Instruction. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Smaldino, L dan Deborah, L. 2008. Instructional Technology & Media for Learning. Jakarta: Kencana Prenada Media
90
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
PEMANFAATAN GEOGEBRA UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KARAKTERISTIK GRAFIK FUNGSI KUADRAT PADA SISWA KELAS X MIA7 SMA NEGERI 1 SINGARAJA Gede Alit Narohita SMA Negeri 1 Singaraja, Jalan PramukaNo 4 Singaraja, Bali;
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Singaraja pada siswa kelas XMIA7 tahun pelajaran 2013/2014 dengan memanfaatkan aplikasi GeoGebra. Tujuan penelitian untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat ditinjau dari bentuk aljabarnya. Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui metode tes dan observasi dengan instrumen yang dipergunakan adalah tes dan lembar observasi. Data yang terkumpul dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis dengan statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan pemahaman siswa terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat. Pada siklus I, rata-rata kemampuan pemahaman siswa terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat adalah sebesar 83,9 dan berdasarkan kriteria penggolongan termasuk kategori sangat baik, sedangkan pada siklus II meningkat menjadi 88,8 dengan kategori sangat baik. Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa aplikasi GeoGebradapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat siswa kelas XMIA7 tahun pelajaran 2013/2014. Kata Kunci.GeoGebra, pemahamansiswa, grafikfungsikuadrat Abstract. This study was conducted in SMA Negeri 1 Singaraja in class XMIA7 2013/2014 school year by utilizing GeoGebra applications. This research purposed to improve students' understanding of the characteristics of the graph a quadratic function in terms of its algebraic form. The data in this study were collected through a method of testing and observation with the instruments used were a test and an observation sheet. The data collected in this study was analyzed with descriptive statistics. The results showed that there was an increase in the ability of students' understanding of the characteristics of graphs of quadratic functions. In the first cycle, the average ability of students'understanding of the characteristics of the graph of a quadratic function was 83.9 and based on the classification criteria included invery good category, while the second cycle increased to 88.8 with very good category. Based on these results, it was concluded that the application GeoGebracould increase the students' understanding of the characteristics of graphs of quadratic functions of students in class XMIA7 2013/2014 school year. Key words.GeoGebra, students' understanding,graphsof quadratic functions
91
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
1. Pendahuluan Salah satu upaya dalam mengoptimalkan proses pembelajaran adalah penggunaan media pembelajaran secara tepat. Dalam upaya untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, diperlukan adanya media pembelajaran yang representatif dalam proses pembelajaran sesuai dengan karakteristik materi dan tujuan pembelajaran. Penggunaan media yang memadai dalam proses pembelajaran didasarkan atas asumsi bahwa guru berhadapan dengan siswa yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut bisa dilihat dari segi minat, bakat, tingkat kecerdasan, termasuk kemampuan dalam mengonstruksi atau membangun pengetahuan sendiri melalui pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa dalam kegiatan pembelajaran, khususnya bidang matematika, penggunaan media pembelajaran masih sangat terbatas. Penggunaan media pembelajaran yang sangat terbatas berdampak pada rendahnya motivasi belajar dan kreativitas siswa dan pada akhirnya sangat berpengaruh pada hasil belajar siswa. Menyikapi hal tersebut, pembelajaran matematika di sekolah perlu adanya media yang representatif. Perkembangan pesat teknologi informasi kini telah menjadi tantangan bagi dunia pendidikan dan para pendidik padakhususnya agar dapat bekerja maksimal. Teknologi informasi dapat digunakan sebagai salah satu bagian dari teknologi pendidikan yang mendukung proses pembelajaran. Penggunaan teknologi informasi ini akan bermanfaat bagi anak didik karena dengan teknologi informasi, karakteristik, minat, dan bakat peserta didik dapat dikembangkan. Keuntungan lain yang mencolok adalah bahwa dengan penggunaan teknologi informasi dapat mengatasi permasalahan ruang, waktu, dan jarak dalam proses belajar. Pada abad 21 ini, penguasaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) merupakan sebuah keharusan baik menjadi sumber belajar, sebagai media belajar, maupun menjadi media komunikasi dan kolaborasi. Bahkan pada Kurikulum 2013, TIK tidak lagi menjadi mata pelajaran terpisah melainkan terintegrasi dalam setiap mata pelajaran, sehingga setiap pendidik mau tidak mau harus menguasai TIK terutama dalam rangka mendukung pembelajaran. Dengan kata lain, kompetensi pemanfaatan TIK menjadi salah satu kompetensi wajib yang harus dikuasai setiap pendidik. Kurikulum 2013 bertujuan memberikan bekal kepada siswa agar mempunyai kompetensi yang dibutuhkan untuk bersaing di era global abad 21. Untuk itu, pembelajaran diarahkan berpusat ke siswa dengan menggunakan pendekatan sains dan guru sebagai fasilitator bisa mendorong peserta didiknya agar lebih aktif dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran matematika, pemanfaatan teknologi dapat membantu meningkatkan kualitas pembelajaran. GeoGebra sebagai salah satu perangkat lunak matematika dapat dimanfaatkan untuk membantu guru dalam membuat lembar kerja interaktif yang akan mempermudah siswa memahami beberapa konsep, relasi, dan prinsip tertentu di matematika. GeoGebra dapat digunakan dalam pembelajaran matematika untuk demonstrasi, abstraksi, dan visualisasi. Selain itu juga dapat berfungsi sebagai alat bantu konstruksi, eksplorasi, dan penemuan matematika, sebagai perangkat lunak pembangun bahan ajar (authoring tools),
92
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
dan sebagai alat untuk mengecek jawaban soal. Dengan demikian, penggunaan GeoGebra dalam pembelajaran matematika akan sangat membantu pembelajaran di kelas. Sehubungan dengan penggunaan media dalam pembelajaran, ada beberapa hasil penelitian yang membahas tentang penggunaan berbagai jenis media. Badung (2000) mengatakan bahwa peningkatan motivasi belajar terjadi disebabkan guru lebih memvariasikan media dalam pembelajaran. Senada dengan itu adalah hasil penelitian Yusufhadi Miarso (dalam Aryati, 2000) yang menyatakan bahwa pemanfaatan media secara tepat berguna untuk menumbuhkan sikap positif anak didik dalam belajar, menimbulkan kegairahan belajar, memungkinkan interaksi langsung antara siswa dengan lingkungan, serta memungkinkan belajar sendiri menurut kemampuan dan minat anak didik. Aryati (2000) menemukan bahwa dengan penerapan multimedia dalam pembelajaran, siswa akan lebih mudah memahami apa yang diajarkan oleh guru. Hasil tersebut sejalan dengan temuan Suroso (2008) bahwa penggunaan teknologi informasi dan multimedia dalam pembelajaran memiliki beberapa kelebihan, yaitu: (1) sistem pembelajaran dengan multimedia lebih inovatif dan interaktif; (2) multimedia mampu menggabungkan antara teks, gambar, audio, musik, animasi gambar, atau video dalam satu kesatuan yang saling mendukung guna tercapainya tujuan pembelajaran; (3) mampu menimbulkan rasa senang selama proses belajar-mengajar berlangsung. Hal ini akan menambah motivasi siswa selama proses belajar-mengajar sehingga didapatkan tujuan pembelajaran yang optimal; (4) mampu memvisualisasikan materi yang selama ini sulit untuk diterangkan hanya sekedar dengan penjelasan atau alat peraga yang konvensional; dan (5) media penyimpanan yang relatif gampang dan fleksibel. Pada materi grafik fungsi kuadrat, siswa kelas X MIA7 SMA Negeri 1 Singaraja mengalami kesulitan. Apalagi jika grafik fungsi tersebut dibuat atau disajikan secara manual. Akibatnya, pemahaman siswa pada kompetensi tersebut kurang maksimal. Dari hasil kajian beberapa referensi, penggunaan GeoGebra dalam pembelajaran di samping dapat mengefektifkan waktu yang tersedia, juga dapat memberikan kesempatan siswa untuk bereksplorasi sesuai dengan kreativitas mereka masing-masing. Hal ini menyebabkan pemahaman konsep akan tertanam lebih baik karena siswa mencoba dan mengalami langsung. Di samping itu, penggunaan GeoGebra akan meningkatkan minat dan konsentrasi siswa dalam belajar dan menjauhkan rasa jenuh karena tayangan yang disajikan cukup menarik dalam bentuk visual yang dinamis. Untuk itu dalam membelajarkan materi grafik fungsi kuadrat khususnya dalam mengidentifikasi karakteristik fungsi kuadrat yang terdiri dari beberapa komponen pada siswa kelas X MIA7 SMA Negeri 1 Singaraja tahun pelajaran 2013/2014, digunakan GeoGebra sebagai alat bantu pembelajaran. Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat diidentifikasi permasalahan yang muncul yaitu siswa kelas X MIA7 kesulitandalammempelajarigrafikfungsisehinggapemahaman yang diperolehkurangmaksimal. Dengan demikian, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: apakah pemanfaatan aplikasi GeoGebradapat meningkatkan pemahaman terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat pada siswa kelas X MIA7 SMA Negeri 1 Singaraja tahun pelajaran 2013/2014?.Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penerapan aplikasi GeoGebradalam meningkatkan pemahaman karakteristik grafik fungsi kuadrat pada siswa kelas X MIA7 SMA Negeri 1 Singaraja tahun pelajaran 2013/2014. Adapun manfaat yang
93
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dengan pemanfaatan GeoGebra dalam pembelajaran diharapkan dapat membantu: 1) siswa, dalam bereksplorasi lebih mendalam dan meningkatkan pemahaman terhadap materi karakteristik grafik fungsi kuadrat ditinjau dari bentuk aljabarnya; 2) guru, dalam menjelaskan materi karakteristik grafik fungsi kuadrat ditinjau dari bentuk aljabarnya, dan dalam menumbuhkan minat dan motivasi belajar siswa dalam belajar matematika.
2. Metodologi Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research). Subjek dari penelitian ini adalah siswa kelas XMIA7 semester 2SMA Negeri 1 Singaraja tahun pelajaran 2013/2014 sebanyak 34 orang, yang terdiri dari 18 siswa perempuan dan 16 siswa laki-laki. Objek dari penelitian ini adalah pemahaman siswa terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat ditinjau dari bentuk-bentuk aljabarnya. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian model Kemmis dan Taggart (dalam Arikunto, 2006) yang dilaksanakan dalam dua siklus yang setiap siklusnya terdiri dari empat tahapan yaitu: (1) tahap perencanaan, (2) tahap pelaksanaan tindakan, (3) tahap observasi dan evaluasi, serta (4) tahap refleksi. Metode dan instrumen pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini ditunjukkan oleh tabel 1 di bawah ini.
No. 1.
2.
Tabel 1. Metode dan instrumen pengumpulan data Jenis Data Metode Instrumen Waktu Pemahaman siswa Tes Tes Di akhirsetiapsiklus terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat. Aktivitas siswa Observasi Lembar Padasaatpembelajaranberlangsung observasi
Data pemahaman siswa terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat diperoleh dengan memberikan tes kemampuan pemahaman terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat pada setiap akhir siklus dan kemudian dianalisis secara deskriptif untuk menentukan skor masingmasing siswa, rata-rata kelas ( x ), mean ideal (Mi), dan standar deviasi ideal (Sdi). Rata-rata kelas ( x ) dari skor kemampuan pemahaman siswa terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat kemudian dikategorikan dengan pedoman sebagai berikut.
Tabel 2. Kriteria Penggolongan Pemahaman Siswa No. RentangSkor Kriteria 1 SangatBaik x ≥ Mi+ 1,5 Sdi 2
94
Mi+ 0,5 Sdi ≤ x <Mi+ 1,5 Sdi
Baik
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
3
Mi- 0,5 Sdi ≤ x <Mi+ 1,5 Sdi
CukupBaik
4
Mi- 1,5 Sdi ≤ x <Mi- 0,5 Sdi
KurangBaik
5
x <Mi– 1,5 Sdi
SangatKurangBaik
Indikator untuk menentukan keberhasilan penelitian ini adalah apabila rata-rata pemahaman siswa terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat tergolong sangat baik.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan Penelitian tindakan kelas ini terlaksana sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah disusun sebagaipemanfaatan aplikasi GeoGebradalam memahamani karakteristik grafik fungsi kuadrat. Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus, tiap siklus dilaksanakan dalam 2 kali pertemuan, yaitu 1 kali pertemuan untuk pembelajaran dan 1 kali pertemuan untuk tes. Dari tes kemampuan pemahaman siswa terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat yang dilakukan pada akhir siklus I diketahui skor yang diperoleh siswa bervariasi dengan skor tertinggi sebesar 98 dan skor terendah 71. Rata-rata skor kemampuan pemahaman siswa terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat pada siklus ini sebesar 83,9 dan secara kualitatif rata-rata skor yang diperoleh siswa pada siklus ini tergolong dalam kriteria sangatbaik. Dengan melihat skor kemampuan pemahaman siswa terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat pada siklus I, peneliti menggolongkan siswa berdasarkan kriteria penggolongan kemampuan pemahaman siswa terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat, menentukan banyaknya siswa pada masing-masing kriteria, dan persentase mengenai kemampuan pemahaman siswa terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat pada siklus I.Persentase kemampuan siswa pada akhir siklus I disajikan pada tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Persentase kemampuan pemahaman siswa pada siklus I SangatKurangBaik KurangBaik CukupBaik Baik SangatBaik BanyakSiswa 0 0 0 6 28 Persentase 0% 0% 0% 17,65% 82,35%
Berdasarkan analisis data pada siklus I, kemampuan pemahaman siswa terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat sudah tercapai.Namun, masih terdapat beberapa kekurangan pada pelaksanaan tindakan siklus I. Kekurangan-kekurangan yang teridentifikasi pada pelaksanaan tindakan siklus I adalah sebagai berikut: 1)program aplikasi ini banyak tidak jalan pada laptop masing-masing kelompok karena sebelumnya tidak pernah dicoba di rumah; 2)masalah teknis di kelas, yaitu kurangnya sarana untuk tempat colokan setrum ke laptop siswa sehingga sangat menggangu dalam proses penggunaan laptop pada masingmasing kelompok; 3)Lamanya waktu yang digunakan setiap kelompok untuk melakukan latihan menggunakan program aplikasi GeoGebraini sehingga berpengaruh terhadap waktu tersisa yang digunakan untuk mengerjakan LKS; 4)kerjasama antarkelompok belum dilakukan dengan optimal; beberapa anggota kelompok masih bekerja secara sendiri-sendiri
95
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
tanpa berdiskusi dengan teman sekelompoknya; dan 5) terdapat beberapa siswa membuka aplikasi lain pada sisa waktu pelajaran.. Bertolak dari kekurangan-kekurangan yang dihadapi pada siklus I, peneliti merencanakan perbaikan tindakan untuk selanjutnya diterapkan pada siklus II. Perbaikan tindakan yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1)mempersiapkan dengan matang segala sarana dan prasarana yang diperlukan di kelas sehingga pada saat tindakan semuanya sudah siap; 2)mempersilakan kepada siswa untuk berlatih menggunakan aplikasi tersebut di rumah sehingga untuk pertemuan selanjutnya mereka lebih siap;dan 3)mengawasi dengan cara mendatangi setiap kelompok sesering mungkin untuk mengawasi diskusi kelompok yang sedang berlangsung. Siklus II ini dilaksanakan berdasarkan penyempurnaan tindakan pada siklus I. Dari tes kemampuan pemahaman grafik fungsi kuadrat yang dilakukan pada akhir siklus II diketahui skor yang diperoleh siswa bervariasi dengan skor tertinggi sebesar 100 dan skor terendah adalah 76. Rata-rata skor kemampuan pemahaman siswa terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat pada siklus II sebesar 88,8. Secara kuantitatif, rata-rata skor kemampuan pemahaman grafik fungsi kuadrat pada siklus II mengalami peningkatan dari siklus I yaitu dari 83,9 menjadi 88,8. Secara kualitatif, kemampuan pemahaman siswa terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat pada siklus II tergolong sangat baik. Jika dibandingkan dengan kriteria yang ditetapkan pada penelitian ini, secara klasikal kemampuan pemahaman siswa terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat siswa pada siklus II sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan. Dengan melihat skor kemampuan pemahaman siswa terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat pada siklus II, peneliti menggolongkan siswa berdasarkan kriteria penggolongan pemahaman terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat, menentukan banyaknya siswa pada masing-masing kriteria, dan persentase mengenai pemahaman siswa terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat pada siklus II. Persentase pemahaman siswa pada siklus II disajikan pada tabel4 berikut ini.
BanyakSiswa Persentase
Tabel 4. Persentase pemahaman siswa pada siklus II SangatKurangBaik KurangBaik CukupBaik Baik 0 0 0 0 0% 0% 0% 0%
SangatBaik 34 100%
4. Penutup Berdasarkan hasil analisis data, kesimpulan dalam penelitian ini adalah penerapan aplikasi GeoGebramampu meningkatkan kemampuan pemahaman terhadap karakteristik grafik fungsi kuadrat pada siswa kelas X MIA7SMA Negeri 1 Singarajatahun pelajaran 2013/2014 baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Adapun saran-saran yang ingin diajukan peneliti sesuai dengan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. 1)Guru-guru mata pelajaran matematika, khususnya di SMA,dapat memanfaatkan aplikasi GeoGebrauntuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap
96
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
karakteristik grafik fungsi kuadrat. 2)Pemerintah, khususnya Dinas Pendidikan,diharapkan membantu sekolah dalam melengkapi sarana dan prasarana TIK.
Daftar Pustaka Arikunto, S. 2006. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revisi). Jakarta: Bumi Aksara. Aryati. 2000. Pemanfaatan Multimedia untuk Meningkatan Moivasi dan Hasil Belajar Siswa. Tesis Singaraja: Undiksha Singaraja Badung. 2000. Kontribusi Media untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa. Skripsi. Singaraja: Undiksha Singaraja. Suroso. 2008. Kontribusi Multimedia dalam Meningkatkan Kreativitas dan Hasil Belajar Siswa. Skripsi. Singaraja: Undiksha Singaraja.
97
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
PENERAPAN METODE RESTU MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS XI.6 SMK NEGERI 1 KUBU
I Wayan Laba SMK Negeri 1 Kubu, Karangasem, Bali;
[email protected] Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) untuk meningkatkan hasil belajar siswa, (2) meningkatkan aktivitas siswa, (3) mengetahui hambatan yang dialami selama pembelajaran,dan (4) mendeskripsikan fenomena belajar.Penelitian ini dilaksanakan di SMK Negeri 1 Kubu dengan melibatkan siswa kelas XI.6 tahun pelajaran 2011/2012 sebanyak 26 orang sebagai subyek penelitian. Tindakan yang dilakukan berupa penerapan metode restu melalui pembelajaran kooperatif. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam 3 siklus. Data tentang hasil belajar dikumpulkan dengan tes hasil belajar, sedangkan data tentang aktivitas belajar siswa dikumpulkan dengan observasi. Adapun hambatan dan fenomena belajar siswa dikumpulkan dengan catatan harian dan tes prestasi belajar siswa. Selanjutnya, data-data yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif.Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar dan aktivitas belajar siswa kelas XI.6 SMK Negeri 1 Kubu. Penerapan metode restu melalui pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan aktivitas belajar kelas XI.6 SMK Negeri 1 Kubusampai pada tingkat kategori sangat aktif. Hambatan-hambatan yang terjadi pada tiap siklus secara umum yaitu pemanfaatan waktu yang kurang efisien oleh guru, kurang lugasnya siswa dalam mengemukakan gagasan/pendapat, diskusi kelompok kurang optimal, dan persiapan diri siswa kurang optimal. Hal ini diatasi pada masing-masing siklus. Fenomena belajar siswa yang ditemui adalah: pertama, pada saat awal pembelajaran siswa selalu berisik; kedua,materi prasyarat masih belum dikuasai dengan baik. Kata Kunci: metode restu, pembelajaran kooperatif
1. Pendahuluan Hingga saat ini matematika masih dicitrakan sebagai mata pelajaran sukar dan terkesan ditakuti para siswayang menyebabkan hasil belajar matematika belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Salah satu preseden menunjukkan bahwa para siswa umumnya kurang tertarik dan termotivasi untuk mempelajari matematika. Hal ini terjadi di kelas XI.6SMK Negeri 1 Kubu. Para siswa mempelajari matematika karena kewajiban kurikulum saja. Kenyataannya, hasil belajar matematika dari hasil ulangan umum masih rendah. Hasil observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan: (1) sebagian besar siswa tidak belajar (tidak menyiapkan diri) sebelum mengikuti pelajaran disekolah,misalnya apabila siswa diberikan tugas mengerjakan soal, siswa yang hanya menyontek pekerjaantemannya tidak bisa mempertanggung jawabkan tugas yang dikerjakan tersebut;(2) motivasi dan aktivitas belajar siswa yang rendah berakibat pada hasil belajar matematika siswa yang rendah pula dan siswa kurang termotivasi untuk bertanya walaupun
98
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
ada materi pelajaran yang kurang dimengerti;(3) siswa cenderung belajar secara individu dan kurang memanfaatkan siswa lain yang mempunyai kemampuan lebihyang berakibat interaksi antarsiswa kurang baik;(4) kurangnya respon dari siswa terhadap jawaban yang diberikan oleh siswa lainnya. Siswa merasa belajar matematika di kelas hanya memperhatikan penjelasan guru tanpa berusaha untuk memberi respon terhadap materi tersebutyang menyebabkan kurang bergairahnya siswa dalam mengikuti proses pembelajaran yang akhirnya berakibatpada rendahnya hasil belajar siswa. Hal senada juga dikemukakan oleh Nuratin (Mardini, 2002), bahwa kegiatan belajar- mengajarsiswa dimana siswa hanya duduk, mendengar, mencatat, dan menghafal tidak akan mengantarkan kita menuju peningkatan mutu pendidikan. Proses pembelajaran merupakan komponen yang perlu perhatiansebab perilaku belajar siswa yang terbentuk sangat memengaruhi hasil belajar siswa. Keberhasilan dan kegagalan dalam belajar sangat tergantung pada bagaimana proses pembelajaran itu dilaksanakan. Kompetisi yang kurang sehat telah mengakibatkan siswa pada umumnya tidak mausalingmembantu dalam belajarkarena banyak siswa yang ingin memperlihatkan kemampuan dan kehebatannya serta ingin menang dalam kompetisi. Untuk mengurangi kompetisi yang kurang sehat tersebut diperlukan adanya komunikasi yang baik antarsiswa. Penggunaan kelompok kooperatifdapat menciptakan komunikasi aktif dalam pemecahanmasalah secara optimalsehingga siswa lebih aktif dan produktif dalam bekerja, lebih percaya diri, serta tertarik terhadap matematika. Pembelajaran kooperatif merupakan suatu strategi untuk mengomunikasikan secara aktif suatupemecahan masalahdimana siswa belajar dalam kelompok yang heterogen, siswa dapat memberikan dan memperoleh pertolongan serta setiap siswa mempunyai tanggungjawab terhadap apa yang dibahas atau didiskusikan untuk meningkatkan pencapaian yang lebih tinggi dalam matematika dan mengurangi kecemasan serta meningkatkan harga diri sehubungan dengan matematika. Pembelajaran kooperatif melalui metode restu dirancang untuk meningkatkan kebersamaan dalam belajar daripada pengalaman-pengalaman individu atau kompetitifdalam mengerjakan danmempertanggungjawabkantugas, diharapkan sumbangan pikirannya untuk menyelesaikan dan memecahkan tugas tersebutsehingga menimbulkan sikap positif dari siswaseperti meningkatkan keberanian mengungkapkan pendapat, meningkatkan kerjasama dan rasa kebersamaan antarteman, dan dapat meningkatkan aktivitas serta hasil belajar siswa. Pembelajaran dengan metode restu terkait dengan guru memberikan tugas, siswa mengerjakan tugas, dan siswa mempertanggungjawabkan tugas yang diberikanyang dilaksanakan dalamkelompok kooperatifsehingga ada suatucurah pendapat yang dilakukan dalam kelompoknya dengan guru sebagai fasilitator serta menimbulkan sikap positif dan motivasi untuk siswa berprestasiyang bermuara pada peningkatan hasil belajar. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) meningkatkan hasil belajar matematika siswa, (2) meningkatkan aktivitas belajar matematika siswa, (3) mengetahui hambatan yang dialami selama pembelajaran, dan(4) mendeskripsikan fenomena belajar siswa. Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu: (1) bagi siswa, dapat membantu siswa dalam memahami konsep matematika dengan lebih baik dan menumbuhkan kerjasama dalam belajar, demokrasi, dan sikap tanggungjawab terhadap tugas individu maupun kelompok yang diperlukan dalam belajar matematika; (2) bagi guru, sebagai umpan
99
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
balik bagi perbaikan kualitas proses pembelajaransehingga dapat diharapkan terjadinya peningkatan kualitas hasil belajar siswa; (3) bagi sekolah, hasil penelitian ini merupakan kontribusi positif terhadap pengembangan metode pembelajaran di sekolah bersangkutan.
2. Landasan Teori Hatfield (Harun, 2000) mengemukakan bahwa komunikasi merupakan unsur yangterpadu dalam belajar, komunikasi membantu siswa untuk berpikir keras, berinteraksi dengan siswa lain, dan memikirkan ide, pertanyaan, dan jawaban. Dalam pembelajaran matematika yang didasarkan atas pemecahan masalah, komunikasi sangat diperlukan guna menyelesaikan permasalahan tersebut. Dengan penggunaan kelompok kooperatifdapat menciptakan komunikasi aktif dalam pemecahan masalah secara optimalsehingga siswa lebih aktif dan produktif dalam bekerja dan lebih percaya diri serta tertarik dalam belajar terhadap matematika.Morton Deutrech (Widiarsa, 1997) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu pembelajaran yang dibentuk dalam suatu kelompok kecil dimana siswa bekerjasama dan mengoptimalkan keterlibatan diri dan anggota kelompoknya dalam belajar. Terdapat beberapa kontribusi positif dalam pembelajaran kooperatif yaitu: (1) meningkatkan hubungan antarindividu yakni pembelajaran ini memberi peluang kepada siswa untuk terlibat lebih aktif, meningkatkan interaksi untuk mencapai tujuan belajar, berbagi tanggungjawab, saling mengisi dalam memecahkan masalah, dan meningkatkan hubungan yang positif antarsiswa; (2) memberikan dukungan pada interaksi sosial yakni mendorong siswa untuk menghargai sesama siswa, menambah ketekunan dalam usaha mencapai tujuan belajar, serta menjadi tabah dan ulet khususnya dalam menghadapi tugas-tugas dan situasi yang menimbulkan ketidaksenangan atau kekecewaan;(3) meningkatkan rasa harga diri, rasa percaya diri terhadap kemampuan, dan kesanggupan untuk meningkatkan pencapaian akademik akan terbentuk pada diri siswa;(4) meningkatkan produktivitas akademik dengan adanya keterkaitan antaranggota dalam kelompok, peningkatan pola-pola interaksi, rasa tanggungjawab, dan dorongan untuk kreatif, maka semua ini akan meningkatkan produktivitas belajar (Mardini, 2002). Metode restu,yang berasal dari singkatan Resitasi Tugas,adalah cara penyampaian bahan pembelajaran dengan memberikan tugas kepada siswa untuk dikerjakan diluar jadwal sekolah dalam rentangan waktu tertentu dan hasilnya harus dipertanggungjawabkan kepada guru (Slameto, 1990). Alipandie (1984) mengemukakan bahwa metode resitasi adalah cara untuk mengajar yang dilakukan dengan jalan memberi tugas khusus kepada siswa untuk mengerjakan sesuatu di luar jam pelajaran. Pelaksanaannya bisa di rumah, di perpustakaan,atau di laboratorium dan hasilnya dipertanggungjawabkan.Sudjana (1989) menjabarkan metode resitasi tugas menjadi tiga fase, yaitu: (1) fase pemberian tugas; (2) fase pelaksanaan tugas,(3) fase mempertanggungjawabkan tugas. Adapuntujuan penggunaan metode resitasi yaitu: (1) memperdalam pengertian siswa terhadap pelajaran yang telah diterima; (2) melatih siswa ke arah belajar mandiri; (3) siswa dapat membagi waktu secara teratur;(4) siswa dapat memanfaatkan waktu luang untuk menyelesaikan tugas;(5) melatih siswa untuk menemukan sendiri cara-cara yang tepat untuk menyelesaikan;(6) memperkaya pengalaman-pengalaman di sekolah melalui kegiatankegiatan diluar kelas.
100
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Pembelajaran kooperatif melalui metode restu dirancang untuk meningkatkan kebersamaan dalam belajar daripada pengalaman-pengalaman individu atau kompetitif.Dalam mengerjakan dan mempertanggungjawabkan tugas, diharapkan sumbangan pikirannya untuk menyelesaikan dan memecahkan tugas tersebut sehingga menimbulkan sikap positif dari siswa seperti meningkatkan keberanian mengungkapkan pendapat, meningkatkan kerjasama dan rasa kebersamaan antarteman,sertadapat meningkatkan aktivitas serta hasil belajar siswa.Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh: (1) Rahayu (2007) yang menyatakan bahwa penggunaan metode resitasi menggunakan LKS berpengaruh terhadap hasil belajar matematika pada pokok bahasan himpunan dibanding menggunakan metode ekspositori ditinjau dari kemampuan awal siswa kelas VII semester 2 SMP Negeri 13 Semarang tahun pelajaran 2006/2007 dan (2) Masruroh (2006) yang menyatakan bahwa ada pengaruh dan hubungan yang berarti antara penggunaan metode tugas dan resitasi dengan hasil belajar matematika.
3. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) yang dibagi dalam 3 siklus yang terdiri dari 4 tahapan, yaitu: perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi, evaluasi, dan refleksi (Kemmis & Taggart, 1998). Penelitian ini dilaksanakan dengan 6 kali pertemuan. Siklus I meliputi subpokok bahasan keliling bangun datar, siklus II dengan subpokok bahasan luas daerah bangun datar, dan siklus III dengan subpokok bahasan transformasi. Jenis data yang dikumpulkan adalah: (1) data hasil belajar siswa;(2) data aktivitas siswa;(3) hambatan-hambatan yang ditemukan dalam pembelajaran; dan(4) fenomena belajar siswa. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas XI.6 SMK Negeri 1 Kubu Karangasem semester genap tahun pelajaran 2011/2012 yang berjumlah 26 orang. Penelitiandilaksanakan antara bulan Maret-Mei 2012. Obyek penelitian adalahhasil belajar matematika khususnya pada materi Dimensi Dua. Adapun perencanaan tindakan siklus I, sebagai berikut: (1) merekap jumlah siswa di kelas XI.6 sebagai partisipan penelitian;(2) menjajagi materi dimensi dua dari silabus dan program semester, mengidentifikasi pokok bahasan yang akan diajarkan, lalu dilanjutkan dengan membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP);(3) menyiapkan tugastugasyang akan dikerjakan oleh kelompok siswa;(4) menyusun instrumen penelitian dan tes hasil belajar;(5) membentuk kelompok kecil berdasarkan urutan absen yang terdiri dari 4 sampai dengan 6 orang. Selanjutnya, pelaksanaan tindakansiklus I, sebagai berikut: (1) kegiatan pembelajaran di kelas, meliputi: (a) kegiatan awal: (i) guru menjelaskan tujuan pembelajaran, memotivasi siswa supaya terlibat aktif dalam aktivitas pembelajaran, (ii) siswa menyiapkan buku-buku pegangan atau buku penunjang, (iii) guru menginformasikan pendekatan pembelajaran menggunakan kooperatif dengan restu, (iv) guru mengingatkan kembali materi prasyarat dengan tanya jawab; (5) guru membentuk kelompok yang sudah ditentukan;(b) kegiatan inti: (i) guru mengondisikan siswa belajar melalui tanya jawab sebagai orientasi awal menyangkut materi yang sudah dipelajari di rumah, dilanjutkan memberikan tugas kelompok minimal 2 (dua) permasalahan yang berkaitan dengan dimensi dua(pemberian tugas),
101
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
(ii) siswa berdiskusi dengan kelompoknya dan membahas permasalahan yang diberikan (mengerjakan tugas)dengan cara saling memeriksa, mengoreksi, dan memberikan masukan,setiap siswa menyelesaikan tugas dalam kelompoknya,guru mengamati kerja setiap siswa dan memberikan bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan, (iii) setelah diskusi kelompok, guru menunjuk secara acakseorang siswa untuk mempresentasikan dan mengerjakan hasil diskusinya di depan kelas,sedangkan siswa kelompok lainnya mencermati pemecahan masalahnya dan memberikan evaluasi terhadap hasil presentasi kelompok presenter (mempertanggungjawabkan tugas); c) kegiatan akhir: pada akhir diskusi,guru mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan dan menjelang akhir pertemuan, guru memberikan pemantapan konsep;(2) kegiatan penilaian, penilaian hasil belajar siswa mencakup nilai proses dan nilai akhir hasil belajar. Tahap observasi dan evaluasi siklus I, meliputi: (1) observasi terhadap aktivitas kegiatan belajar siswa di kelas;(2) observasi terhadap hambatan-hambatan yang dialami;dan (3) observasi terhadap fenomena belajar siswa.Tahap evaluasi dilaksanakan pada setiap akhir siklus yaitu: (1) evaluasi terhadap tugas yang dikerjakan siswa dan(2) evaluasi terhadap hasil belajar. Tahap refleksi siklus I, bertujuan untuk mengetahui hasil belajar siswa dan melihat kelemahan-kelemahan pada siklus I. Jadi, hasil pembahasan pada siklus I digunakan sebagai refleksi untuk tindakan pada siklus II. Siklus IIpada dasarnya sama dengan siklus I. Metode pembelajaran yang dilakukan masih dengan metode restu, namun corak pelaksanaannya berpedoman pada hasil refleksi pada siklus I dan dilakukan tindakan yang serupa dengan tindakan pada siklus I berdasarkan perbaikan-perbaikan yang diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.Siklus IIImerupakan penyempurnaan dari langkah-langkah yang ditempuh pada siklus II dengan materi transformasi. Data yang dikumpulkan meliputi data aktivitas siswa selama pembelajaran, data tentang hasil belajar siswa, dan data tentang kesulitan/hambatan dalam melaksanakan metode pembelajaran sertafenomena belajar siswa yang terjadi.Data tentang hasil belajar siswa, yang meliputi nilai rata-rata hasil belajar siswa ( X ), daya serap (DS), ketuntasan belajar (KB), dikumpulkan dengan menggunakan tes hasil belajar, sedangkan data aktivitas belajar siswa dengan teknik observasi (checklist). Instrumen yang digunakan berupa lembar observasi yang berisikan indikator-indikator perilaku siswa yang akan diamati selama berlangsungnya pembelajaran. Analisis data hasil belajar siswa diawali dengan terlebih dahulu dihitung nilai rata-rata hasil belajar siswa (
dengan rumus:
; X=nilai hasil belajar siswa,N= banyaknya siswa.
Untuk mengetahui berhasil atau tidaknya siswa menguasai materi, data hasil belajar siswa yang diperoleh dihitung ketuntasan belajarnya(KB) dengan rumus:
dan
daya serap (DS) siswa dengan rumus: DS X x 1%;N1= banyaknya siswa yang memperoleh skor 70. Adapun perilaku aktivitas siswa diamati dan dicatat dengan menggunakan lembar observasi selama proses pembelajaran di kelas. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Kriteria penggolongan aktivitas disusun berdasarkan Mean Ideal (MI) dan Standar Deviasi Ideal (SDI). Perhitungan skor rata-rata aktivitas siswa
102
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
dihitung dengan rumus ( A ) = X , dengan X = skor aktivitas siswa. Skor rata-rata N
aktivitas siswa dari hasil perhitungan dibandingkan dengan kriteria penggolongan yang ditetapkan. Selanjutnya, data aktivitas siswa yang diperoleh dari masing-masing siklus dibandingkan antara satu dengan yang lainnya guna mengetahui peningkatan atau penurunan aktivitasnya. Ukuran keberhasilan dalam penelitian ini yaitu penerapan metode restu melalui pembelajaran kooperatif dianggap berhasil jika: (1) hasil belajar siswa mencapai rata-rata 70 dan ketuntasan klasikal 85% dan(2) nilai afektif/aktivitas siswa dalam kegiatan belajar mengalami peningkatan dibanding saat siklus sebelumnya dan minimal masuk dalam kategori cukup aktif.
4. Hasil dan Pembahasan Pada siklus I, nilai rata-rata hasil belajar siswa adalah 63,2;daya serap siswa (DS) = 63,2% 63%;ketuntasan belajar (KB) siswa secara klasikal adalah 50%; sertajumlah skor aktivitas belajar siswa pada pembelajaran-1 dan pembelajaran-2 berturutturut adalah sebesar 61 dan 68. Skor rata-rata aktivitas belajar siswa ( A ) adalah 2,48sehingga termasuk dalam kategori cukup aktif. Hambatan pada siklus Iadalah: (1) guru masih terlihat kaku dalam melaksanakan metode restu melalui pembelajaran kooperatif, disebabkan karena guru belum terbiasa dalam metode restusehingga guru perlu memantapkan diri;(2) guru kurang menguasai indikator aktivitas belajar siswa sehingga pengamatan terhadap aktivitas kurang optimal; solusinya,guru mempelajari kembali lembar observasi tersebut;(3) diskusi internal kelompok kurang berjalan secara optimal karena masih banyak siswa yang malu-malu mengemukakan pendapat dan gagasannya; dalam hal ini perlu dipertimbangkan untuk pembentukan kelompok sekerabat;(4) siswa belum biasa menyiapkan diri mengikuti pelajaran yang terlihat dari kurang lugasnya siswa mengemukakan gagasannya, siswa tidak mempelajari tugas belajar yang diberikan baik materi atau contoh soal sehingga siswa kelihatan bingung walaupun pekerjaan mereka benar, dan sebagian besar siswa tidak yakin dalam mempertanggungjawabkan tugas yang mereka kerjakan;(5) dalam diskusi kelompok, terlihat hanya yang berkemampuan lebih yang mengerjakan tugas tersebut yang berakibat hasil yang diperoleh (tes evaluasi I) tidak mencapai hasil yang memuaskan; untuk itu, guru perlu mengoptimalkan pendekatan kepada siswa untuk memotivasi mereka lebih baik lagi. Beberapa fenomena belajar siswa pada siklus I yaitu: (1) diawal pembelajaran, siswa cenderung berisik sehingga membuat guru harus dapat menenangkan siswa agar dapat memfokuskan diri pada pembelajaran yang akan diajarkan; suasana kelas seperti itu membuat daya serap siswa terhadap materi kurang baik yang berakibat pada hasil belajar yang kurang maksimal, terlihat dari hasil belajar siswa pada tes ke-1;(2) ada dua kelompok yang sebagian besar anggotanya tidak serius dan cenderung tidak memperhatikan pelajaran yang terlihat dari keterlibatan anggotanya rendah dan dari catatan peneliti dan guru, nilai tes ke-1 mereka jauh dari nilai siswa lainnya;(3) kelompok lainnya cukup aktif, serius, interaksi dalam kelompok bagus, dan rasa ingin tahunya besar yangterlihat dari kemauan
103
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
siswa bertanya untuk baik kepada teman maupun guru; anggota kelompok ini cenderung ingin mengerjakan tugasnya kedepan saat guru meminta agar siswa menyelesaikan tugas. Pada siklus II, skor rata-rata hasil belajar adalah 67,6dan daya serap siswa (DS) = 67,6% 68%.Adapun ketuntasan belajar (KB) siswa secara klasikal adalah 61,5% dengan jumlah skor aktivitas belajar siswa pada pembelajaran-1 dan pembelajaran-2 berturut-turut adalah sebesar 76 dan 81 serta skor rata-rata aktivitas belajar siswa ( A ) adalah 3,02sehingga termasuk dalam kategori aktif.Padasiklus II,guru terlihat semakin mantap dalam melaksanakan model pembelajaran disebabkan guru telah lebih mencermati dan memahami kembali tindakan-tindakan yang telah ditetapkan yang disesuaikan dengan karakteristik dari pembelajaran kooperatif dengan restu.Guru semakin menguasai indikator aktivitas belajar siswa sehingga mampu mengaktifkan belajar siswa di kelas dan pengamatan terhadap aktivitas belajar siswa semakin lancar.Diskusi internal kelompok sudah berjalan secara optimal.Siswa semakin lugas mengungkapkan gagasan-gagasannya.Dari pembahasan tugastugas, siswa terlihat semakin yakin dalam mempertanggungjawabkan tugas yang mereka kerjakan.Pada akhir pembelajaran, siswa sudah mampu menyimpulkan tugas diskusi.Dalam diskusi kelompok, terlihat tidak hanya yang berkemampuan lebih yang mengerjakan tugas tersebut tetapi hampir semua anggota kelompok yang mampu mengerjakan sehingga hasilbelajarnya (tes ke-2) mencapai hasil yang memuaskan walaupun belum sesuai dengan kriteria keberhasilan yang ditetapkan.Siswa yang berkemampuan rendah belum bisa berperan aktif secara maksimal. Beberapa fenomena belajar siswa pada siklus II yaitu: (1) diawal pembelajaran, kecenderungan siswa ribut (berisik) semakin jarang terjadi sehingga siswa dapat memfokuskan diri pada materi pembelajaran yang diajarkan yang terlihat dari semakin meningkatnya daya serap siswa terhadap materidan meningkatnya ketuntasan belajar siswa;(2) pada siklus II,banyak kelompok yang sebagian besar anggotanya tidak serius dan cenderung tidak memperhatikan pelajaran semakin berkurang dan keterlibatan anggotanya semakin meningkat;Hal itu terlihat dari nilai tes evaluasi II dimana nilai mereka tidak berbeda jauh dari siswa lainnya;(3) kelompok lainnya semakin aktif, serius, interaksi dalam kelompok semakin bagus, rasa ingin tahunya semakin besar yang terlihat dari kemauan siswa untuk bertanya baik kepada teman maupun kepada guru semakin tinggi; anggota kelompok ini semakin berani mengerjakan tugasnya kedepan saat guru meminta agar siswa menyelesaikan permasalahan atau tugas. Pada siklus III, skor rata-rata hasil belajar adalah 72,3dan daya serap siswa (DS) = 72,3% 72%.Adapun ketuntasan belajar (KB) siswa secara klasikal adalah 88,5% denganjumlah skor aktivitas belajar siswa pada pembelajaran-1 dan pembelajaran-2 berturut-turut adalah sebesar 91 dan 97 serta skor rata-rata aktivitas belajar siswa ( A ) adalah 3,79 sehingga termasuk dalam kategori sangat aktif.Pada siklus III,guru semakin mantap dalam melaksanakan model pembelajaran dengan menerapkan metode restu melalui pembelajaran kooperatif karena guru sudah menguasai dan memahami arah dan tujuan model pembelajaran.Guru semakin menguasai indikator aktivitas belajar siswa dan menyadari bahwa lembar observasi sangat bermanfaat dalam melaksanakan proses belajar-mengajar di kelas sehingga guru mampu mengaktifkan belajar siswa di kelas, baik yang menyangkut kemampuan dalam bertanya, memotivasi siswa dalam mengajukan pendapat atau gagasan-gagasan, dan memotivasi siswa
104
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
dalam mengerjakan tugas dalam kelompok.Guru semakin efektif dan efesien dalam memanfaatkan waktu yang tersedia selama proses pembelajaran.Siswa sudah mampu menindaklanjuti tugas yang diberikan guru.Diskusi internal kelompok sudah berjalan semakin optimal yang disebabkan kelompok sekerabat memberikan mereka peluang untuk dapat berkomunikasi aktif dengan temannya walaupun mereka berlainan jenis kelamin.Penyiapan diri siswa untuk mengikuti pelajaran semakin optimal sehingga siswa tidak lagi canggung mengemukakan gagasannya.Keyakinan diri siswa dalam mempertanggungjawabkan tugas semakin mantap yang terlihat dari pembahasan tugas-tugas yang dilakukan sehingga tanpa petunjuk dari guru mereka sudah mampu menyimpulkan tugas diskusi mereka sendiri.Dalam diskusi kelompok, semua anggota kelompok mau mengerjakan tugas diskusi dengan baik yang berakibat hasil tes yang diperoleh memuaskan dan memenuhi kriteria keberhasilan yang ditetapkan. Beberapa fenomena belajar siswa pada siklus III yaitu: (1) ketidakseriusan dan kecenderungan tidak memperhatikan pelajaran yang dimiliki sebagian besar anggota pada dua kelompok merupakan karakter mereka dalam menyerap suatu materi yang diberikan dan hal itu tidak perlu terlalu dipermasalahkan karena pada hakekatnya otak akan bekerja jika ada aktivitas dari tubuh (tubuh dan otak adalah satu kesatuan);(2) tidak jauh berbeda dari siklus II, kelompok lainnya semakin aktif, serius, interaksi dalam kelompok semakin bagus, dan rasa ingin tahunya semakin besar.Hal ini teramati dari kemauan siswa untuk bertanya baik kepada teman maupun kepada guru semakin tinggi.Anggota kelompok ini semakin berani mengerjakan tugasnya kedepan saat guru meminta agar siswa menyelesaikan permasalahan atau tugas. Dari hasil analisis diperoleh data hasil belajar dan data aktivitas belajar siswa seperti berikut. Tabel 1. Hasil Analisis Data Hasil Belajar dan Aktivitas Belajar Siswa Jenis data Siklus I Siklus II Siklus III Data Hasil Rata-rata Kelas 63,2 67,6 72,3 Belajar 63 68 72 Daya Serap (%) Siswa 50,0 61,5 88,5 Ketuntasan Belajar (%) Rata-rata Jumlah Skor Aktivitas Siswa 2,48 3,02 3,79 Berdasarkan hasil refleksi pada siklus I, peneliti melakukan perbaikan sebagai berikut: (1) sesuaikarakteristik dari pembelajaran kooperatif dengan restu yaitu proses pembelajaran yang berfokus pada siswa, guru bertindak sebagai fasilitator dan pemotivator yang baik yang mampu memotivasi belajar siswa sehingga memahami topik pelajaran dengan baik; penekanan kembali pada indikator aktivitas belajar siswa dapat membantu guru dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas;(2) menekankan kembali tugas belajar yang diberikan berupa membaca materi dan mencoba beberapa soal yang berhubungan dengan materi yang akan diajarkan;(3) diskusi internal kelompok diupayakan perbaikannya dengan membiarkan mereka mencari kelompok sekerabat. Berdasarkan hasil refleksi pada siklus II, peneliti melakukan perbaikansebagai berikut: (1) guru, sebagai praktisi, lebih mendekatkan diri kepada siswa yang belum menguasai materi prasyarat terutama siswa yang berkemampuan rendah,menjelaskan materi secara khusus, dan menyuruh siswa dengan kemampuan lebih dalam anggota kelompoknya untuk membimbing
105
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
sehingga mereka termotivasi untuk belajar lebih giatagar dapat berperan lebih aktif dan optimal dalam proses pembelajaran;(2) masih canggungnya siswa dalam mengungkapkan atau menjelaskan pemecahan masalah yang diperoleh dari hasil diskusi ditindaklanjuti dengan cara memberikan tugas kepada masing-masing kelompok untuk menjelaskan pemecahan masalah/simpulan yang diperoleh.Di samping perbaikan di atas, diskusi dengan guru masih tetap dilakukan untuk memantapkan pelaksanaan pembelajaran pada siklus III sehingga implementasi rancangan tindakan pada siklus III menjadi lebih baik. Berdasarkan hasil refleksi terhadap tindakan pada siklus III, kendala atau kekurangan yang masih muncul pada siklus III antara lain: (a) siswa dengan kemampuan rendah belum sepenuhnya bisa dibangkitkan motivasinya untuk belajar sehingga kurang bisa berperan secara optimal dalam proses pembelajaran dan (b) siswa terkadang kurang lugas dalam mengungkapkan gagasan-gagasan atau pertanyaan-pertanyaan. Kendala ini sudah terlihatsejak siklus I dan siklus II, namun ternyata masih juga terjadi pada siklus III. Walaupun demikian, proses yang terjadi pada siklus III sudah lebih baik dari dua siklus sebelumnya.
5. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan: (1) penerapan metode restu melalui pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan hasil belajar siswa;(2) penerapan metode restu melalui pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan aktivitas belajar kelas XI.6 SMK Negeri 1 Kubu tahun pelajaran 2011/2012;(3) hambatan-hambatan yang terjadi pada tiap siklus secara umum yaitu pemanfaatan waktu yang kurang efisien oleh guru, kurang lugasnya siswa dalam mengemukakan gagasan/pendapat, diskusi kelompok kurang optimal, dan persiapan diri siswa kurang optimal;namun hal ini dapat diatasi sedikit demi sedikit pada masing-masing siklus;(4) fenomena belajar siswa yang ditemui, walaupun fenomena sederhana tapi akan berakibat tidak baik bagi pengetahuan siswa tersebut dikemudian hari dimana hal-hal seperti itu pasti akan terbawa ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi; secara umum, fenomena belajar siswa yang teramati adalah: pertama, di awal pembelajaran siswa selalu berisik;kedua,materi prasyarat masih belum dikuasai dengan baik. Saran-saran yang disampaikan: (1) dianjurkan kepada guru matematika agar menerapkan pembelajaran dengan metode restu melalui pembelajaran kooperatif sebagai metode alternatif untuk meningkatkan hasil belajar matematika dan aktivitas belajar siswa seperti yang terjadi pada siswa kelas XI SMK Negeri 1 Kubu Karangasem semester genap tahun pelajaran 2011/2012 khususnya pada pembelajaran dengan materi Dimensi Dua;(2) guru matematika hendaknya melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada siswa, dimana guru sebagai fasilitator dan dinamisator. Daftar Pustaka Alipandie, I. 1984. Ditaktik Metodik Pendidikan. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional. Kemmis, S & Taggart, R. Mc. 1998. The Action Research Planner. Victoria: Deakin University Press. Harun, M. 2000. Belajar Kooperatif untuk Meningkatkan Respon Siswa dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar (Action Research di SD PT. Semen Padang). Forum Pendidikan UNP, No. 02 Tahun XXV-2000.
106
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Mardini, K. 2002. Intensifikasi Tes Formatif dan Umpan Balik Terstruktur melalui Pembelajaran Kooperatif dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran dan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IB SLTP Negeri 2 Singaraja. Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan Pendidikan Matematika, IKIP N Singaraja. Sudjana, N.1989. Dasar Proses Belajar Mengajar.Bandung: Sinar Baru Algesindo. Masruroh, S. 2006. Pengaruh Penggunaan Tugas dan Resitasi terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 2 Semester 2 Pokok Bahasan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel SMP Islam Sultan Agung 1 Semarang tahun Pelajaran 2005/2006. Skripsi(tidak diterbitkan). Universitas Negeri Semarang. Slameto. 1990. Proses Belajar-Mengajar dalam Sistem Kredit (SKS). Jakarta: Bumi Aksara. Widiarsa. 1997. Peningkatan Interaksi Belajar Mengajar Melalui Pembelajaran Kooperatif. Makalah. STKIP Singaraja. Rahayu, Y. K. 2007. Pengaruh Metode Resitasi dengan Menggunakan Lembar Kerja Siswa terhadap Hasil Belajar Matematika ditinjau dari Kemampuan Awal Siswa pada Pokok Bahasan Himpunan Siswa Kelas VII Semester 2 SMP Negeri 13 Semarang Tahun Ajaran 2006/2007. Skripsi(tidak diterbitkan). Universitas Negeri Semarang.
107
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
PEMANFAATAN KAP ES KRIM UNTUK LUAS SELIMUT KERUCUT TERPANCUNG Lailatul Masfufah1), Supriyatno Widodo2) 1) 2)
MTs N Grabag, Jl KH Syiroj, Magelang;
[email protected] MTs N Ngablak, Jl Ngablak-mangli km 0;
[email protected]
Abstrak. Kesebangunan dalam segitiga dengan garis sejajar adalah pendekatan yang paling sering digunakan sebagailangkah dasar dalam menyelesaikan masalah bangun ruang sisi lengkung khususnya luas selimut kerucutterpancung. Pendekatan lain yang dapat digunakan adalahsecara geometris. Dalam aplikasinya, pendekatan ini menggunakan media kap es krim sebagai visualisasi pengantar penemuan rumus luas selimut terpancung. Pendekatan ini menyarankan memodifikasi bentuk selimut kerucut terpancung dari hasil pemotongan kap es krimkedalam bangun datar dengan bentuk persegi panjang sebagai dasar menyelesaikan luas selimut terpotong. Rumus yang dihasilkan dari pendekatan ini lebih sederhana dan praktis. Cukup menggunakan jarijari alas dan atas kerucut terpancung serta panjang garis pelukis kerucut luas selimut kerucut terpancung dapat langsung diselesaikan. Kata Kunci. luas selimut, kerucut terpancung, dan persegi panjang
1. Pendahuluan Kerucut terpancungadalah salah satu penerapan materi bangun ruang sisi lengkung yang terkait dengan kehidupan sehari-hari. Banyak benda disekitar kita yang memiliki bentuk menyerupai kerucut terpancung, beberapa diantaranya adalah gelas, ember, pot bunga,kap lampu,tempat sampah, kap es krim, dll. Kerucut terpancung merupakan bagian dari materi matematika kelas sembilan pokok bahasan bangun ruang sisi lengkung,terkait dengan penerapan bangun ruang sisi lengkung dalam kehidupan sehari–hari. Salah satu penerapankerucut terpancung yang dibahas adalah menentukan luas selimut kerucut terpancung. Kesebangunan dalam segitiga merupakanpendekatan yang sering digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pendekatan ini merupakan langkah dasar dalam menyelesaikan luaskerucut terpancung. Melalui perbandingan sisi–sisi yang bersesuaian pada segitiga dengan garis sejajar, panjang sisi dari unsur kerucut terpancung yang belum diketahuidapat dicari. Pendekatan lain yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk menyelesaikan luas selimut kerucut terpancung adalah secara geometris. Pendekatan ini memodifikasibentuk selimut kerucut terpancungyang berbentuk sisi lengkung kedalam bangun datar dengan bentuk persegi panjang. Pada prakteknya, penulis menggunakan media kap es krim sebagai visualisasi bentuk kerucut terpancung.
108
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Gambar 1. Kap es krimsebagai media kerucut terpancung Bagian sisi lengkung dari kap es krim digunting kecil kecil secara melintang kemudian ditempel–tempelkan sehingga terbentuk bidang persegi panjang. Melalui pendekatan ini, diharapkan siswa dapat menemukan rumus luas selimut kerucut terpancung yang telah dimodifikasi kedalam bentuk persegi panjang yang terbentuk dari hasil pemotongan selimut kap es krim tersebut. Rumus yang dihasilkan dari pendekatan ini pun lebih sederhana dan praktis karena hanya membutuhkan jari-jari lingkaran atas dan alas serta panjang garis pelukis kerucut terpancung.Jika ketiga hal tersebut telah diketahui maka luas selimut kerucut dapat langsung diselesaikan. Selain itu jika selisih jari-jari atas dan alas kerucut terpancung, tinggi kerucut terpancung serta garis pelukis selimut kerucut terpancung bukan merupakan triple pythagoras, pendekatan rumus yang dihasilkan akan lebih mempermudah siswa dalam menghitung luas selimut kerucut terpancung tersebut. Pendekatan kesebangunan pada segitiga dengan garis sejajar merupakan aplikasi dasar penyelesaian luas selimut kerucut terpancung yang paling umum digunakan. Namun secara geometris ditemukan tampilan rumus berkaitan luas selimut kerucut terpancung yang lebih sederhana. Dalam pendekatan ini, penentuan luas selimut kerucut terpancung tidak lagi tergantung pada panjang garis pelukis kerucut yang diasumsi sebagai bentuk awal dari kerucut terpancung yang dipotong secara sejajar pada bagian puncaknya,tetapi hanya bergantung pada garis pelukis selimut kerucut terpancung tersebut serta jari-jari kedua lingkaran atas dan alas kerucut terpancung. Pendekatan yang dimaksud adalah menghubungkan antara model selimut kerucut yang berupa bidang lengkung dengan model persegi panjang yang lebih dikenal siswa. Kami percaya bahwa pendekatan ini, khususnya dalam menentukan luas selimut kerucut terpancung dengan pendekatan luas persegi panjang yang dibahas dibawah ini telah banyak dikenal oleh para guru maupun matematikawan bahkan siswa,namun kami berharap tulisanini dapat digunakan sebagai terapan dalam kehidupan dan pada prakteknya bermanfaat.
2. Landasan Teori 2.1. Luas Selimut Tabung, kerucut, dan kerucut terpancung adalah beberapa contoh dari bangun ruang sisi lengkung. Dinamakan bangun ruang sisi lengkung karena pada bangun tersebut memiliki sisi
109
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
yang lengkung. Sisi lengkung pada bangun ruang sisi lengkung sering dinamakan sebagai selimut. Selimut pada tabung, kerucut dan kerucut terpancung pada dasarnya berupa bidang datar. Selimut tabung apabila dipotong sejajar dengan garis tinggi akan terbentuk pola persegi panjang, selimut kerucut apabila dipotong menurut garis pelukisnya akan terbentuk bangun datar yang berupa juring lingkaran, sedangkan selimut kerucut terpancung apabila dipotong menurut garis pelukisnya berupa bidang lengkung. Luas selimut adalah luas daerah dari selimut atau sisi lengkung yang menyelimuti bangun ruang tersebut. Luas selimut tabung dapat dihitung melalui pendekatan luas persegi panjang, sedang luas selimut kerucut dapat dihitung melalui pendekatan luas juring lingkaran. Namun apabila bagian selimut kerucut terpancungdipotong pada salah sutu garis pelukisnya maka luasan yang didapat dari selimut kerucut terpancung masih berupa bangun datar sisi lengkung. Untuk itulah penulis menggunakan media kapes krim sebagai visualisasi pendekatan yang memodifikasi sisi lengkung tersebut kedalam bentuk persegi panjang.
2.2. Kerucut Terpancung Kerucut terpancung bukan merupakan suatu tabung ataupun kerucut. Hal ini dikarenakan pada tabung memiliki sisi alas yang kongruen dengan sisi atas. Begitu pula kerucut hanya memiliki dua sisi yaitu sisi lengkung yang disebut sebagai selimut dan sisi alas yang berupa lingkaran. Bagian atas kerucut berupa titik yang sering dinamakan sebagai titik puncak kerucut. Sedangkan pada kerucut terpancung memiliki tiga sisi yaitu sisi alas, sisi atas dan sisi lengkung yang disebut sebagai selimut. Perbedaan yang nampak antara tabung dan kerucut terpancung adalah bagian sisi alas dan atas kerucut terpancung tidak kongruen atau tidak sama besar. Apabila dua buah garis pelukis yang saling berhadapan pada bagian sisi lengkung kerucut terpancung diperpanjang maka kedua garis pelukis itu akan berpotongan disebuah titik. Kerucut akan terbentuk dari sisi alas kerucut terpancung dengan titik potong dari perpanjangan kedua garis pelukis kerucut terpancung.Dengan demikian kerucutterpancungadalahkerucut yang dipotongbagianatasnyaolehbidang yang sejajardenganalasnya.
2.3. Persegi Panjang Persegi panjang adalah bangun segi empat yang memiliki dua pasang sisi sejajar dan sama panjang serta sisi–sisi yang berpotongan membentuk sudut siku-siku.Sifat-sifat dari persegi panjang adalah: a. Sisi-sisi yang berhadapan sejajar dan sama panjang. b. Setiap sudut sama besar dan merupakan sudut siku-siku. c. Diagonal-diagonalnya sama panjang. d. Diagonal-diagonalnya berpotongan dan saling membagi dua sama panjang. e. Mempunyai simetri putar tingkat dua. f. Dapat menempati bingkainya dengan empat cara. g. Memiliki dua sumbu simetri.
110
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Misalkan panjang persegi panjang p, lebar persegi panjang l, luas persegi panjang L dan keliling persegi panjang k , maka luas dan keliling persegi panjang dapat dinyatakansebagai berikut:
3. Luas Selimut Kerucut Terpancung 3.1. Luas Selimut Kerucut Terpancung dengan Pendekatan Kesebangunan pada Segitiga dan Garis Sejajar Kerucut terpancung dapat dipandang sebagai pemotongan sisi lengkung suatu kerucut padabagian puncak kerucut secara sejajar dengan sisi alas kerucut.Berdasarkan pandangan tersebut maka luas selimut kerucut dapat dilihat sebagai: (1) dengan luas selimut kerucut terpancung, kerucut yang dipotong.
luas selimut kerucut, dan
luas selimut
r s
t R
r
s
t R
i
ii
iii
Gambar 2. Kerucut terpancung(i) sebagai bagian dari kerucut (ii) yang dipotong bagian puncak secara sejajar dengan sisi alas (iii) Penyelesaian luas selimut terpancung ini dapat dilakukan dengan mengaitkan kesebangunan pada segitiga dengan garis sejajar sebagai langkah dasar menyelesaikan masalah tersebut. Langkah dasar ini sering digunakan untuk mencari panjang dari garis pelukis apabila belum diketahui melalui perbandingan sisi-sisi yang bersesuaian pada gambar 2 (ii) yaitu: (2)
denganr jari jari lingkaran kecil, R jari jari lingkaran besar, tinggi kerucut kecil, tinggi kerucut besar, garis pelukis kerucut kecil dan garis pelukis kerucut besar, dimana:
111
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
dan
dengan t tinggi kerucut terpancung dan s garis pelukis kerucut terpancung. Garis pelukis yang diperoleh dari perhitungan melalui perbandingan sisi-sisi yang bersesuaian itu kemudian digunakan untuk menghitung luas selimut kerucut terpancung. Penyelesaian kerucut terpancung dilakukan dengan cara mencari selisih luas selimut kerucut dengan luas selimut bagian yang dipotong secara sejajar dengan sisi alas. Menggunakan persamaan (1) diperoleh:
(3)
3.2. Luas Selimut Kerucut TerpancungSecara Geometris Pendekatan kesebangunan pada segitiga dengan garis sejajar bukanlah satu-satunya pendekatan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah luas selimut kerucut terpancung. Pendekatan lain yang dapat digunakan yaitu pendekatan secara geometris. Dalam pendekatan ini penemuan rumus dapat dilakukan oleh siswa sendiri melalui pengamatan dan analisa hasil praktek yang dilakukan bersama kelompoknya. Penemuan rumus yang dilakukan oleh siswa ini diharapkan lebih mudah diingat dan dapat diterapkan dalam penyelesaian masalah luas selimut kerucut terpancung. Dalam prakteknya, penemuan luas selimut kerucut terpancung ini menggunakan media kap es krim sebagai visualisasi model kerucut terpancung. Adapun langkah langkah penemuan rumus luas selimut kerucut terpancung menggunakan media kap es krim adalah sebagai berikut: 1. Siswa menggunting bagian sisi lengkung dari kap es krim yang merupakan selimut dari kerucut terpancung.
Gambar 3. Kap es krim yang sudah digunting Terlihat bahwa sisi lengkung atas guntingan kap es krim merupakan keliling lingkaran kap bagian atas dengan jari - jari R dan sisi lengkung bawah adalah keliling lingkaran kap bagian alas dengan jari - jari r, sedangkan lebar guntingan kap es krim adalah garis pelukis kerucut terpancungs. 2. Bagian sisi lengkung kap es krim kemudian digunting secara melintang menyerupai trapesium kecil-kecil, karena keliling lingkaran atas yang merupakan bagian dari selimut lebih panjang dari keliling bagian alas. Guntingan yang telah terpotong
112
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
menyerupai trapesium kecil-kecil itu kemudian disusun secara berseling, maksudnya agar susunan yang tertempel dapat membentuk luasananberupa bidang persegi panjang.
Gambar 4. Guntingan kap es krim berbentuk persegi panjang Persegi panjang diatas memiliki lebar sama dengan garis pelukis s dan panjang sama dengan setengah dari jumlah dua sisi lengkung kap es krim (keliling lingkaran dengan jari jari R dan keliling lingkaran dengan jari jari r). Secara matematis dapat ditulis: (4) dan
(5) 3. Melalui pendekatan luas persegi panjang dan dengan substitusi (4) dan (5), diperoleh luas selimut kerucut terpancung ( sebagai berikut:
(6)
Terlihat bahwa rumus yang dihasilkan ini lebih sederhana dan praktis,karena hanya membutuhkan tiga unsur dari kerucut terpancung yaitu jari-jari lingkaran atas, jari-jari lingkaran alas dan garis pelukis kerucut terpancung.Jika ketiga unsur terpenuhi maka siswa dapat dengan mudah mengerjakan soal terkait luas selimut terpotong,bahkan meskipun panjang garis pelukis belum diketahui, garis pelukis dapat dicari menggunakan teorema pythagoras, yaitu antara selisih jari– jari alas dan atas, tinggi dan garis pelukis kerucut terpancung.
4. Kesimpulan dan Saran Pendekatan kesebangunan pada segitiga dengan garis sejajar merupakan aplikasi dasar penyelesaian luas selimut kerucut terpancung yang paling umum digunakan. Namun secara geometris dapat ditemukan tampilan rumus berkaitan luas selimut kerucut terpancung yang
113
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
lebih sederhana. Dalam pendekatan ini penentuan luas selimut kerucut terpancung tidak lagi tergantung pada panjang garis pelukis kerucut tetapi cukup pada jari–jari alas dan atas serta garis pelukis selimut kerucut terpancung tersebut. Rumus yang dihasilkan ini lebih sederhana dan praktis.
Daftar Pustaka Cholik Adinawan M.,Sugiyono.2007. Matematika 3B untuk SMP Kelas IX Semester1.Jakarta: Erlangga. Untung Trisna Suaji dan Agus Dwi Wibawa.2011.Pemanfaatan Matematika Rekreasi dalam Pembelajaran Matematika di SMP.Yogyakarta: PPPPTK Matematika. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Matematika: buku guru / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan . Edisi Revisi. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
114
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
KAJIAN MATERI ALJABAR DAN KOMUNIKASI MATEMATIS Agus Prianto SMP Negeri 1 Jepara, Jl. Sersan Sumirat No.3 Jepara;
[email protected]
Abstrak. Tulisan ini menyajikan kajian tentang materi aljabar kelas VIII tingkat SMP/MTs dengan standar komunikasi matematis sesuai standar NCTM (National Council of Teachers of Mathenatics). Kajian ini lebih menekankan tentang proses pengenalan konsep aljabar yang memungkinkan siswa mampu memunculkan dan meningkatkan komunikasi matematis secara tertulis maupun secara lisan. Langkahlangkah yang dapat dilakukan untuk memunculkan dan meningkatkan komunikasi matematis siswa dalam pembelajaran materi aljabar yaitu dengan menyajikan masalah secara nyata (contextual problems) yang dapat dikembangkan dalam bentuk Lembar Kerja dan menyusun tahapan-tahapan proses pembelajaran yang melibatkan aktivitas siswa. Kata Kunci: Materi Aljabar, Komunikasi Matematis dan Lembar Kerja
1. Pendahuluan Berdasarkan perkembangan paradigma pembelajaran saat ini, bahwa proses pembelajaran matematika merupakan proses dan aktivitas siswa untuk membangun konsep dan pengetahuan baru dengan pengalaman yang telah dimilikinya, sedangkan tugas guru sebagai fasilitator membantu siswa agar pembelajaran berjalan dengan baik. Hal ini sesuai dengan NCTM (National Council of Teachers of Mathenatics)(2000:19-20) yang menyatakan bahwa “The students must learn mathematics with understanding, actively building new knowledge from experience and prior knowledge. Effective mathematics teaching requires understanding what students know and need to learn and then challenging and supporting them to learn it well“. Salah satu kemampuan yang sangat penting dalam matematika dan pembelajaran matematika adalah komunikasi. Hal ini sesuai dengan rekomendasi NCTM (2000: 60) yang menyatakan bahwa “The
communication is an essential part of mathematics and mathematics education. It is a way of sharing ideas and clarifying understanding. Through communication, ideas become objects of reflection, refinement,discussion and amendment”. kemampuan matematis siswa sejalan dengan pembelajaran matematika pada Kurikulum 2013 yang menuntut siswa untuk lebih aktif ketika proses pembelajaran berlangsung. Melalui pendekatan pembelajaran saintifik dan model pembelajaran (misalnya: Discovery Learning) serta metode (misalnya: tanya jawab, diskusi kelompok, dan penugasan), pembelajaran matematika menekankan pada aktivitas mental siswa untuk mampu berkomunikasi secara tertulis dan lisan dalam memahami materi matematika yang penuh dengan berbagai ide dasar, simbol, konsep, materi abstrak, serta persoalan dan cara penyelesaiannya secara matematis. Pengembangan
aljabar sarat dengan berbagai unsur dan simbol matematis yang mempunyai nama, makna, dan definisi yang berbeda-beda. Menurut Cooney, et al dalam Fajar Hidayati (2010:16-19), kesulitan siswa dalam belajar matematika adalah pada pengetahuan konsep dan pengetahuan prinsip. Konsep dan prinsip merupakan Materi
115
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
pengetahuan dasar matematika yang harus dikuasai siswa agar siswa mampu menyelesaikan persoalan dan permasalahan matematika dengan baik dan benar. Dengan demikian untuk mengetahui kesulitan siswa dalam belajar aljabar dapat ditinjau dari pengetahuannya tentang konsep-konsep dan prinsip-prinsip dalam aljabar.
2. Materi Aljabar Tujuan pembelajaran materi aljabar berdasarkan Kurikulum 2013 pelajaran matematika tingkat SMP/MTs kelas VIII di antaranya: (1) aspek sikap; melalui pengamatan, tanya jawab, diskusi kelompok, siswa mampu menunjukkan rasa ingin tahu, percaya diri, dan ketertarikan dalam memahami materi aljabar; (2) aspek pengetahuan; melalui tes lisan dan tulis uraian singkat siswa dapat menyelesaikan materi aljabar; (3) aspek ketrampilan; melalui penugasan mandiri dan kelompok, siswa mampu menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan materi aljabar. Adapun pengalaman belajar siswa yang diharapkan setelah mempelajari aljabar (Buku Guru Matematika VIII, 2014:29): (1) Siswa mampu menerapkan operasi aljabar yang melibatkan bilangan rasional pada masalah yang berbentuk simbolik; (2) Siswa mampu menerapkan operasi aljabar yang melibatkan bilangan rasional pada masalah verbal. Sedangkan cakupan materi aljabar (Buku Guru Matematika VIII,2014:40) yaitu: (1) Bentuk dan Unsur Aljabar, meliputi: bentuk dan definisi suku aljabar, unsur-unsur aljabar (variabel, koefisien, konstanta, pangkat) dan suku sejenis; (2) Operasi Aljabar, meliputi: penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian dan perpangkatan; (3) Penyederhaan Bentuk aljabar, dan (4) Pemecahan masalah Aljabar merupakan salah satu cabang penting dari matematika yang sering dianggap sulit dan abstrak (Laila Hayati, 2013: 398). Untuk berpikir aljabar, seorang siswa harus mampu memahami pola, hubungan dan fungsi, mewakili dan menganalisis situasi matematika dan struktur menggunakan simbol-simbol aljabar, menggunakan model matematika untuk mewakili dan memahami hubungan kuantitatif, dan menganalisis perubahan dalam berbagai konteks. Salah satu hambatan dalam aljabar adalah menyatakan ekspresi menggunakan simbol-simbol. Standar aljabar menekankan hubungan antara kuantitas, termasuk fungsi, cara untuk mewakili hubungan matematika dan analisis perubahan. Hubungan fungsional dapat dinyatakan dengan menggunakan notasi simbolis. Berpikir aljabar merupakan elemen penting dan mendasar dari kemampuan berpikir matematika dan penalaran. Salah satu cara untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa adalah dengan mengembangkan kemampuan berpikir aljabar siswa, dengan membiasakan siswa menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah. Aspek penting berpikir aljabar adalah kemampuan untuk mempertimbangkan keterkaitan dan generalisasi dari situasi masalah di mana jika generalisasi bisa dipahami maka kemampuan siswa dapat berkembang. Berpikir aljabar didasarkan pada ide-ide dan konsep matematika dasar dan pada gilirannya ide-ide tersebut digunakan untuk memecahkan masalah yang semakin canggih. Unsur-unsur dalam bentuk aljabar adalah suku (term). Suku dapat berupa sebuah konstanta, sebuah variabel atau hasil kali/pangkat, penarikan akar konstanta maupun variabel, tetapi bukan penjumlahannya. Jadi, masing-masing suku merupakan bentuk aljabar yang lebih sederhana dari bentuk aljabar yang lebih kompleks. Misalkan
116
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
bentuk aljabar 2p merupakan satu suku aljabar yang terdiri atas unsur variabel p, koefisien 2 dan pangkat 1. Untuk bentuk aljabar 4x2 + 3, merupakan dua suku aljabar yang terdiri atas unsur variabel x, koefisien 4, pangkat 2 dan konstanta 3. Menurut Al Krismanto (2009: 15-20) konstanta adalah lambang yang mewakili (menunjuk pada) anggota tertentu pada suatu semesta pembicaran. Variabel (peubah) adalah lambang yang mewakili (menunjuk pada) anggota sebarang pada suatu semesta pembicaraan. Pangkat/derajat adalah angka/pangkat pada sebuah variabel. Bagian konstanta dari suku-suku yang memuat (menyatakan banyaknya) variabel disebut koefisien variabel yang bersangkutan. “Banyaknya variabel” di sini bukan bermakna banyaknya objek (yang bermakna penjumlahan), melainkan bermakna “banyaknya bilangan” dari variabel tersebut yang juga lambang bilangan, sehingga koefisien dan variabel yang bersangkutan berada dalam konteks operasi perkalian. Koefisien dapat berupa sebuah atau lebih lambang, yang masing-masing menyatakan konstanta. Jika tidak satupun angka atau konstanta yang muncul dan terkait langsung dengan variabel pada suatu suku, maka koefisiennya adalah 1 atau –1. suku-suku aljabar 5xy, –7xy, dan 15xy adalah contoh dari suku sejenis. Ketiga suku tersebut mempunyai variabel yang sama yaitu xy dan pangkat/derajat dari setiap variabel yaitu 1. Suku sejenis bentuk aljabar yaitu suku aljabar yang lambang variabelnya sama baik bentuk maupun pangkatnya. Adapun bentuk suku aljabar xy dan x2y bukanlah suku sejenis, karena pangkatnya tidak sama, meskipun variabelnya sama xy. Demikian juga suku aljabar pq2 dan xy2, karena variabelnya dan pangkatnya berbeda, sehingga pq2 dengan xy2 bukanlah suku sejenis. Bentuk
contoh sederhana persoalan verbal “ukuran panjang bertambah 5 cm”. Alternatif jawaban dengan bentuk aljabar: tulis x sebagai ukuran panjang semula, jadi ukuran panjang sekarang adalah (x+5) cm. Misalkan permasalahan : “Misal l adalah lebar sebuah persegi panjang yang ukuran panjangnya 8 cm lebih dari dua kali lebarnya”, maka beberapa alternatif model matematika, (1) Tulis l: ukuran lebar persegipanjang dan 2l= dua kali lebar persegi panjang, jadi ukuran panjang persegi panjang, p=(2l+8)cm; (2) Lebar persegi panjang semula l cm. Panjangnya 8cm lebih dari dua kali lebarnya, sehingga ukuran panjang persegi panjang adalah p= 2l+8. Beberapa
Al Krismanto (2009: 30-31) menjelaskan beberapa langkah penyelesaian soal cerita: (1) Langkah awal adalah menentukan/memilih sebuah variabel. Pembelajaran yang memuat kompetensi siswa tentang dasar operasi aljabar, perlu dilakukan adanya kegiatan pendahuluan mengingatkan operasi yang berlaku dalam aritmetika. Guru perlu mencari alternatif untuk mengembangkan keingintahuan itu, misalnya dengan model permainan yang banyak memuat pemecahan masalah dan komunikasi; (2) Alternatif menyusun bentuk aljabar dari masalah verbal, masalah verbal yang banyak dikeluhkan menjadi kesulitan siswa yaitu masalah yang sering muncul pada soal-soal terapan di bagian akhir soal-soal suatu pokok bahasan. Namun jika diperhatikan lebih cermat, kesulitan tersebut disebabkan kurangnya latihan menyelesaikan soal yang memuat kalimat verbal yang cukup sederhana. Karena itu, siswa perlu diberikan pengalaman belajar mengubah kalimat sederhana menjadi model matematika, baik bentuk aljabar maupun kalimat terbuka.
3. Standar Komunikasi Matematis
117
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Pengertian yang lebih luas tentang komunikasi matematis sebagaimana yang dikemukakan Romberg dan Chair (Abdul Qohar, 46-47) yaitu: (1) menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika; (2) menjelaskan ide, situasi dan relasi matematis secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik, dan aljabar; (3) menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa dan simbol matematika; (4) mendengarkan, berdiskusi dan menulis tentang matematika; (5) membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis, membuat dugaan, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi; (6) menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari. standar komunikasi pembelajaran matematika yang diharapkan mulai kelas TK sampai kelas 12 berdasarkan NCTM (2000: 60, 268 dan 348) yaitu: (K1) organize and consolidate their mathematical thinking though communication; (K2) communicate their mathematical thinking coherently and clearly to peers, teachers, and others; (K3) analyze and evaluate the mathematical thinking and strategies of others; (K4) use the language of mathematicsto express mathematical ideas precisely. Adapun
Ali Mahmudi (2009:3) menjelaskan bahwa komunikasi matematika mencakup komunikasi secara tertulis maupun lisan. Komunikasi secara tertulis dapat berupa kata-kata, gambar, tabel dan sebagainya yang menggambarkan proses berpikir siswa. Komunikasi tertulis dapat berupa uraian pemecahan masalah atau pembuktian matematika yang menggambarkan kemampuan siswa dalam mengorganisasi berbagai konsep untuk menyelesaikan masalah. Sedangkan komunikasi lisan dapat berupa pengungkapan dan penjelasan verbal suatu gagasan matematika. Komunikasi lisan dapat terjadi melalui interaksi antarsiswa misalnya dalam pembelajaran dengan seting diskusi kelompok. Komunikasi matematika melibatkan tiga aspek, yaitu: (1) menggunakan bahasa matematika secara akurat dan menggunakannya untuk mengkomunikasikan berbagai aspek penyelesaian masalah; (2) menggunakan representasi matematika secara tepat dan akurat untuk mengkomunikasikan penyelesaian masalah; (3) mempresentasikan penyelesaian masalah yang terorganisasi dan terstruktur dengan baik.
4. Pembahasan Materi Aljabar Dan Komunikasi Matematis Upaya pengembangan kemampuan matematis siswa sesuai dengan standar komunikasi pada pembelajaran materi aljabar bukanlah perkara mudah. Menurut Jaworski (Marsigit, ... :3) mengajarkan matematika saja juga tidaklah mudah karena fakta menunjukkan bahwa para siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika. Karakteristik matematika dengan konsep dan ide abstrak dan aktivitas guru dalam proses pembelajaran serta sikap siswa itu sendiri sangat mempengaruhi proses dan hasil belajar matematika. Peran guru sangat penting dalam mendukung komunikasi matematis siswa dalam pembelajaran matematika, khususnya dalam diskusi. Pertama adalah mengenai cara membangun norma diskusi yang mendukung pembelajaran untuk semua siswa. Kedua adalah tentang memilih dan menggunakan bahasa matematika dalam komunikasi untuk penyelesaian tugas. Dan ketiga mengenai cara membimbing diskusi kelas berdasarkan apa yang dipelajari dan dihasilkan (NCTM, 2000: 268).
118
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Langkah-langkah pembelajaran yang dapat dilakukan dan diharapkan mampu memunculkan standar komunikasi matematis dalam pembelajaran materi aljabar: (1) Guru menjelaskan tujuan, metode dan teknik pembelajaran yang akan berlangsung; (2) Guru menyiapkan Lembar Kerja (LK) sesuai dengan materi; (3) Guru membentuk dan membagi siswa menjadi beberapa kelompok kecil heterogen antara (3-4 siswa) untuk berdiskusi menyelesaian LK tersebut dengan alokasi yang cukup; (4) Guru memantau kerja dan diskusi kelompok tanpa harus mengintervensi hasil jawaban; (5) Guru membimbing siswa yang mengalami kesulitan dengan memberi pertanyaan-pertanyaan pancingan dan dapat melempar pertanyaan tersebut antarsiswa dalam kelompok tersebut atau ke kelompok lainnya untuk memperoleh informasi dan ide; (Langkah ini untuk memunculkan K1: Mengorganisasi & mengkonsolidasi pemikiran matematika melalui komunikasi dan K4: Menggunakan bahasa matematika untuk menyatakan ide dasar matematika); (6) Guru menunjuk perwakilan kelompok untuk menyajikan hasil diskusinya secara tertulis maupun menjelaskannya secara lisan kepada semua siswa; (7) Guru meminta kelompok lain menanggapi dan menganalisis hasil diskusi kelompok tersebut secara tertulis dan menjelaskannya secara lisan; (8) Guru memberi kesempatan kelompok untuk menyajikan penyelasaian yang berbeda (jika ada) dan meminta menjelaskan kepada yang lainnya; (9) Guru memberi penjelasan hasil diskusi LK dan memberi kesempatan kepada setiap siswa pada masing-masing kelompok untuk menanyakan hal yang kurang paham; (10) Bersama-sama siswa menyimpulkan hasil pembelajaran. (Langkah ini untuk memunculkan K2: Mengkomunikasikan pemikiran matematika secara koheren dan jelas pada teman dan guru dan K3: Menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematika dan strategi yang lain); (11) Guru memberikan tugas untuk pendalaman materi yang telah dipelajari. awal dalam pembelajaran untuk mengenalkan bentuk aljabar dapat dilakukan dengan menghubungan materi dengan berbagai permasalahan nyata (contextual problems) yang sederhana dan sering dijumpai oleh siswa. Guru dapat memulai dengan menggunakan media/benda konkrit dan mengembangkan dengan soal-soal dan pertanyaan terbuka (open-ended question) dalam bentuk Lembar Kerja. Langkah
“Danu membeli tiga permen Kopiko dengan empat apel. Setelah sampai di rumah satu permen dan dua apel diberikan pada adiknya. Berapa sisa permen dan apel yang dimiliki Danu?” .................................................................................................................................. ..................................................................................................................................
119
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
“Kita semua tentunya pernah sakit? Bila kita memeriksakan diri atau berobat ke dokter biasanya dokter akan memberikan resep. Obat yang dibeli dengan resep dokter pada botol Vitamin C tertulis sehari 3 × 1 dan Pada botol obat tersebut tertulis sehari 3 × 2 sendok teh”. Apa arti “3 ×1” atau “3 × 2” itu? .................................................................................................................................... ....................................................................................................................................
Contoh soal cerita pertama tersebut mengambil konsep operasi pengurangan dengan menggunakan model permen Kopiko dan buah apel, yang sebenarnya dapat diganti dengan suatu bentuk variabel. Contoh soal kedua tersebut digunakan konsep operasi perkalian dengan menggunakan model Vitamin C dan minum obat pada botol obat dalam sehari digunakan untuk model situasi tersebut. Dengan dua contoh soal cerita tersebut siswa diharapkan: (1) Mampu mengomunikasiakan ide-ide dasar matematika yang ada dipikirannya secara tertulis, meskipun dengan cara dan aturan yang belum (tentu) sesuai dengan konsep aljabar dan matematis, misalnya siswa menuliskan jawabannya yaitu dua permen Kopiko dan dua buah apel (2) Mampu menjelaskan secara lisan dengan bahasa sendiri kepada teman-temannya. Hal ini akan semakin menguatkan pemahaman siswa itu sendiri dan mampu mengembangkan kemampuan komunikasi matematisnya. Siswa mungkin belum mampu menulis secara matematis, tetapi bisa jadi siswa mampu menjelaskan dengan penalarannya sendiri dalam menjawab soal tersebut. Ketika ide dijelaskan di depan kelas, siswa dapat keuntungan dari diskusi dan guru dapat memantau pembelajaran siswa (Lampert, 1990) (NCTM. 2000: 61); (3) Adanya solusi dan pandangan yang berbeda antarsiswa dalam penyelesaian permasalahan tersebut, hal ini untuk membedakan tentang konsep aljabar tersebut. Jawaban yang berbeda mungkin terjadi pada soal cerita kedua, (4) Munculnya proses matematisasi horisontal (horizontal mathematication), yang lebih menekankan berdasarkan pengalaman siswa dan proses berpikir siswa dalam menemukan penyelesaiannya (Sri Wardhani, 2004: 7) No
120
Gambar
Bentuk Aljabar
Keterangan
1.
2
2 apel
2.
x
1 kardus
3.
......
..........
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
No 4.
Gambar
Bentuk Aljabar
Keterangan
......
1 kardus 1 kaleng
5.
......
..........
tabel tersebut siswa mulai diperkenalkan konsep aljabar secara nyata tentang bentuk aljabar dan unsur-unsur aljabar seperti variabel, koefisien, pangkat dan konstanta dalam bentuk pemodelan sesuai konteksnya yang disebut proses matematisasi vertikal (Vertical Mathematication) yang lebih menekankan tentang cara penyelesaian masalah sesuai dengan kaidah matematika. (Sri Wardhani, 2004: 7). Pada
Hal yang diharapkan pada tabel dengan model tersebut, yaitu: (1) siswa dapat menyatakan dan mengilustrasikan ide matematika ke dalam bentuk model matematika, dalam hal ini siswa mampu mengilustrasikan dan mengenali bentuk dan suku aljabar; (2) siswa mampu mengilustrasikan ide matematika ke dalam bentuk model matematika, dalam hal ini siswa mengenali, mendefinisikan berbagai unsur aljabar dan mampu membedakan unsur-unsur tersebut. Langkah guru selanjutnya dapat memperdalam pemahaman siswa secara formal tentang unsur-unsur aljabar (koefisien, variabel, pangkat, dan konstanta) dan berbagai operasi bentuk aljabar (penjumlahan, pengurangan, pembagian, perpangkatan) dengan penjelasan bentuk baku dalam bentuk mengembangkan lembar kerja yang lebih komplek dan variatif dengan penekanan kemampuan matematis melalui diskusi dengan tujuan siswa mampu menuliskan idenya, menjelaskan dan memberi argumen secara matematis kepada siswa lain serta mau mendengarkan ide atau pendapat siswa lain. Daftar Pustaka Qohar, A., Jurnal: Pengembangan Instrumen Komunikasi Matematis untuk Siswa SMP. LSM XIX; Lomba dan Seminar Matematika Universitas Negeri Yogyakarta. ISBN: 978-979-17763-3-2 Al Krismanto. 2009. Modul Matematika SMP Program BERMUTU: Kapita Selekta Pembelajaran Aljabar di Kelas VII SMP. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Matematika. Mahmudi, A., 2009. Jurnal: Komunikasi dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal MIP MIPA UNHULU. Volume 8, Nomor 1, Februari 2009, ISSN 1412-2318. Hidayati, F., 2010. Skripsi: Kajian Kesulitan Belajar Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Yogyakarta dalam Mempelajari Aljabar. Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta. Kemdikbud. 2014. Buku Guru: Matematika Kelas VIII, Kurikulum Tahun 2013. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud. Kemdikbud. 2014. Buku Siswa: Matematika Kelas VIII, Kurikulum Tahun 2013. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
121
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Hayati, L., 2013. Makalah: Pembelajaran Pendidikan Matematika Realistik Untuk Mengembangkan Kemampuan Berpikir Aljabar Siswa. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013. ISBN : 978 – 979 – 16353 – 9 – 4 Marsigit. Makalah : Asumsi Dasar Karakteristik Matematika, Subyek Didik dan Belajar Matematika Sebagai Dasar Pengembangan Kurikulum Matematika Berbasis Kompetensi di SMP. FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. NCTM. Wardhani, S., 2004: Permasalahan Kontekstual Mengenalkan Bentuk Aljabar di SMP. Yogyakarta: Departemen Pendidikan, Direktorat jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Kependidikan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) Matematika Yogyakarta. _____________, 2008. Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs untuk Optimalisasi Tujuan Mata Pelajaran Matematika. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) Matematika.
122
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
PENGGUNAAN ALPEN (ALAT PERMAINAN PECAHAN) DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA MATERI BILANGAN PECAHAN UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2014/2015 DI SDN 28 TIBAWA KAB. GORONTALO Suparman Pilomonu, S.Pd. SDN 28 Tibawa, Desa Ilomata, Kec. Tibawa, Kab. Gorontalo;
[email protected] Abstrak. Penelitian ini sebagai upaya meningkatkan hasil belajar siswa terhadap materi bilangan pecahan pada mata pelajaran matematika semester genap tahun pelajaran 2014/2015 di kelas IV SDN 28 Tibawa. Untuk meningkatkan hasil belajar siswa, peneliti menggunakan media ALPEN (Alat Permainan Pecahan) dalam pembelajaran.Dapat dijelaskan bahwa sesuai dengan hasil observasi awal, hasil belajar siswa sangatlah rendah. Hal ini ditunjukkan nilai rata-rata siswa yang hanya mencapai 55 dengan ketuntasan klasikal 0%. Setelah dilaksanakan tindakan pada siklus 1 terjadi peningkatan yang signifikan yaitu nilai rata-rata siswa naik menjadi 86 dengan ketuntasan klasikal mencapai 82%. Meskipun telah berhasil, namun untuk lebih meyakinkan lagi, maka tetap dilaksanakan tindakan siklus 2. Setelah dilaksanakan tindakan siklus 2, maka terjadi peningkatan hasil belajar siswa yakni, nilai rata-rata siswa mencapai 94 dengan ketuntasan klasikal sebesar 100%. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan ALPEN (Alat Permainan Pecahan) dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika khususnya pada materi bilangan pecahan di kelas IV SDN 28 Tibawa semester genap tahun pelajaran 2014/2015. Kata Kunci. ALPEN, Hasil Belajar Siswa
1. Pendahuluan Perkembangan kognitif anak usia sekolah dasar yaitu antara 6 – 11 tahun adalah pada tahap operasional konkret. Pada tahap ini anak belajar melalui pengalaman langsung dan manipulasi bendabenda. Memperhatikan hal itu, tentu pembelajaran di sekolah dasar harus dilaksanakan secara konkret bukan secara verbal dan simbolis. Khususnya pada mata pelajaran matematika, siswa tak dapat memahami angka (simbol) dan sebutan angkanya (verbal) secara langsung, akan tetapi harus dikenalkan melalui benda-benda nyata. Pada materi pecahan sederhana yang diajarkan pada kelas IV semester genap biasanya guru langsung mengenalkan pecahan dan menuliskannya di papan tulis, kemudian membandingkan pecahan dengan menggunakan rumus kali silang, bahkan langsung mengajarkan penjumlahan dan pengurangan pecahan dengan rumus menyamakan penyebut tanpa memperhatikan penggunaan media-media yang konkret. Hal ini akan berakibat siswa tidak memahami dengan benar konsep pecahan, mengapa disebut pecahan, bagaimana perbandingan pecahan, bagasiswaimana mengurutkan pecahan, bagaimana penjumlahan dan pengurangan pecahan dalam bentuk yang nyata. Pemahaman yang kurang baik terhadap konsep pecahan akan menyebabkan siswa tidak memiliki bekal yang memadai dalam pemecahan masalah berkaitan dengan pecahan yang akan mereka dapatkan di kelas yang lebih tinggi.
123
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Untuk membantu penanaman konsep pecahan penulis membuat satu alat permainan pecahan yang kemudian disingkat menjadi ALPEN sebagai sarana belajar peserta didik. Dengan menggunakan ALPEN ini siswa dapat melihat dengan langsung bagaimana pecahan itu, bagaimana perbandingan pecahan, bagaimana penjumlahan dan pengurangan pecahan dalam bentuk yang nyata. Dengan ALPEN ini pula penanaman konsep pecahan pada mata pelajaran matematika kelas IV semester genap dapat dipenuhi.
Kotak ALPEN Kotak PEN
PEN
Gambar 1. ALPEN Keterangan gambar: 1. Kotak PENadalah kotak tempat meletakkan PEN 2. PEN adalah batangan yang menggambarkan berbagai nilai pecahan Adapun tujuan inovasi pembelajaran ini adalah: 1) Memberikan pengalaman belajar yang menarik dan bermakna bagi siswa, dan 2) Meningkatkan hasil belajar siswa terhadap materi bilangan pecahan pada mata pelajaran matematika semester genap tahun pelajaran 2014/2015 di kelas IV SDN 28 Tibawa.
2. Landasan Teori Pecahan adalah bilangan yang menggambarkan bagian dari suatu keseluruhan, bagian dari suatu daerah, bagian dari suatu benda, atau bagian dari suatu himpunan (ST.Negoro, B.Harahap, 1998: 260). Sejalan dengan pendapat tersebut, Sunardi dan Heryanto (1997:57) ......pada pecahan , a disebut pembilang dan b disebut penyebut pecahan tersebut, yang masing-masing mempunyai nilai yang berbeda. Pada ALPEN, pembilang dan penyebut dapat dijelaskan melalui gambar 2.
2 1
Gambar 2. Pembilang dan Penyebut pada ALPEN Keterangan gambar: 1. Jumlah PEN yang terletak di Kotak PEN menunjukkan pembilang. Contoh: jika terdapat 1 PEN pada Kotak PEN, maka pembilangnya adalah 1.
124
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
2.
Jumlah Kotak PEN seluruhnya menunjukkan penyebut. Contoh: jika Kotak PEN seluruhnya berjumlah 3, maka penyebutnya adalah 3.
Pada gambar 2 di atas, satubuah PEN diletakkan pada Kotak PEN yang keseluruhan berjumlah 3 (PEN yang diletakkan harus sesuai warna dan ukuran Kotak PEN). Satubuah PEN menunjukkan pembilang dan tigaKotak PEN menunjukkan penyebut, maka nilai pecahan yang dibentuk adalah . Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pecahan adalah bilangan yang mewakili suatu bagian tak utuhatau gabungan dari bagian utuh dan tak utuh. Bagian tak utuh adalah bagian yang tidak terpisah dari bagian lainnya secara keseluruhan, sehingga dalam penyebutan pecahan, keseluruhan bagian harus tetap disebutkan. Contoh: adalah sebutan pecahan untuk mewakili 1 bagian dari 2 bagian seluruhnya.
adalah sebutan pecahan untuk menggambarkan 1 bagian dari 3 bagian
seluruhnya. Pecahan juga bisa dalam bentuk gabungan bagian utuh dan tak utuh. Contoh: 1 , adalah pecahan yang mewakili 1 bagian utuh ditambah dengan 1 bagian tak utuh dari 2 bagian seluruhnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa permainan adalah sesuatu yang digunakan untuk bermain; barang atau sesuatu yang dipermainkan. Selaras dengan itu, menurut Bettelheim seperti yang dikutip oleh Tedjasaputra (2001:60) bahwa permainan adalah kegiatan yang ditandai oleh aturan serta persyaratan-persyaratan yang disetujui bersama dan ditentukan dari luar untuk melakukan kegiatan dalam tindakan yang bertujuan. Sementara menurut Zulkifli (1995:38) permainan merupakan kesibukan yang dipilih sendiri tanpa ada unsure paksaan, tanpa didesak rasa tanggungjawab dan tidak mempunyai tujuan tertentu melainkan permainan itu sendiri. Dari beberapa definisi di atas disimpulkan bahwa pengertian permainan adalahsuatu kegiatan yang menyenangkan dan membangkitkan rasa keingintahuan dan motivasi melakukan kegiatan tertentu. Adapun pengertian alat adalah benda yang dipakai sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Jadi alat permainan yang dimaksud adalah alat yang digunakan sebagai sarana untuk bermain dalam pendidikan. Alat permainan yang tersedia dapat dijadikan media pengajaran dan dapat dijadikan sarana untuk menarik perhatian, pemahaman, serta perkembangan dan pertumbuhan siswa.
3. ALPEN (Alat Permainan Pecahan) ALPEN adalah sebuah alat yang terdiri dari Kotak ALPEN (di dalamnya terdapat Kotak PEN) dan PEN. Kotak PEN adalah tempat meletakkan PEN (lihat gambar 1). PEN terdiri dari PEN 1, PEN , PEN , PEN , PEN , PEN , PEN
, dan PEN
.
Gambar 3. PEN Dengan alat ini, siswa dapat melihat secara langsung bahwa pecahan itu berasal dari satu bagian yang utuh, kemudian dipecah menjadi beberapa bagian yang sama besar. Mereka juga dapat melihat dengan jelas konsep pecahan senilai dan membandingkan pecahan. Alat ini juga dapat memberikan gambaran yang konkret tentang penjumlahan dan pengurangan pecahan. Dari penjumlahan atau pengurangan pecahan berpenyebut sama dan berpenyebut beda, sampai dengan penjumlahan atau pengurangan
125
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
pecahan biasa dan campuran. Oleh karenanya alat ini memiliki banyak kelebihan dibanding media ataualat peraga yang sudah ada selama ini seperti blok pecahan, roda pecahan dan sebagainya. Alat ini pun sangat mudah dibuat oleh guru dengan bahan yang sangat murah dan mudah didapat. Aturan penggunaan ALPEN: 1). PEN harus diletakkan pada kotak ALPEN sesuai dengan nilai pecahannya, 2). Banyak PEN yang terdapat pada Kotak ALPEN menunjukkan nilai pecahannya, 3). Untuk menentukan pecahan senilai langsung dapat dilihat pada bagian yang sama besar, 4). Untuk menentukan perbandingan pecahan dapat dilihat langsung pada besar kecilnya bagian pecahan, dan 5). Untuk penjumlahan maka PEN harus disambung, dan pengurangan menimpa bagian PEN yang pertama. Contoh penjumlahan pecahan penyebut sama. Soal :
=
Letakkan 2 PEN Kotak PEN
pada
Letakkan 1 PEN Kotak PEN menyambung sebelumnya
pada untuk 2PEN
Jumlah PEN = 3 (pembilang) yang terletak pada Kotak PEN 4 (penyebut). Nilai pecahan yang dibentuk adalah Gambar 4. Penjumlahan pecahan penyebut sama Contoh penjumlahan pecahan penyebut beda. Soal :
=
1.
Letakkan 1 PEN pada Kotak PEN
2.
Letakkan 1 PEN pada Kotak PEN untuk menyambungPEN sebelumnya
3.
Perhatikan panjang PEN yang terbentuk oleh PEN sama panjang PEN
Gambar 5. Penjumlahan pecahan penyebut beda
126
dengan
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Contoh pengurangan pecahan penyebut sama. Soal :
=
4.
Letakkan 3 PEN
pada
Kotak PEN
5.
Keluarkan 1 PEN pada Kotak PEN
6.
Yang tersisa adalah 2 PEN (pembilang) pada Kotak PEN 4 (penyebut). Nilai pecahan yang dibentuk adalah
Gambar 6. Pengurangan pecahan penyebut sama
Contoh pengurangan pecahan penyebut beda Soal :
=
7.
Letakkan 2 PEN pada Kotak PEN
8.
Timpakan 1 PEN pada
ujung
paling
kanan daerah . 9.
Perhatikan sisa daerah PEN
setelah tertutup
PEN
. Sisa daerah
yang terbentuk adalah sama dengan daerah (senilai).
Gambar 7. Pengurangan pecahan penyebut beda
127
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Untuk tutorial lengkap cara penggunaan ALPEN dapat dilihat pada url: gg.gg/tutorialalpenatau di youtube.com/watch?v=csxoC2C72O8
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.1 Observasi Awal Untuk memperoleh data tentang kemampuan awal siswaterhadap konsep pecahan, dilakukan observasi dengan memberikan soal pretest. Siswa diminta menjawab 7 nomor soal yang berisi pertanyaan tentang konsep pecahan dan perbandingan pecahan (soal terlampir). Setelah jawaban siswa dikumpulkan dan dianalisis, diperoleh hasil seperti tersaji pada tabel 1. Tabel 1. Data Hasil Pretes (Observasi Awal) NO.
NAMA SISWA
JUMLAH BENAR
SKOR
NILAI
KET
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
ABDUL RIZAL MAHMUD ALDI ANTUTA ALHAM A. MOHI APDAL HASAN EPAN DJ. PIYO FEMAS R. TUNTULA MOH. ABDUL RAFI MOODUTO NURAIN S. AHMAD RIKAL RAMADHANI PIYO SULEMAN R. SOMAN TIARA THAMRIN
5 5 4 4 4 4 3 3 4 4 2
10 10 8 8 8 8 6 6 8 8 4
71 71 57 57 57 57 43 43 57 57 29
TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT
RATA-RATA
55
JUMLAH TUNTAS
0
KETUNTASAN KLASIKAL (%)
0
Keterangan: T = Tuntas TT = Tidak Tuntas
4.2 Siklus 1 Padasiklus 1, kegiatan pembelajaran materi pecahan dilakukan berbantukan alat peraga ALPEN, dengan cara penggunaan seperti tertulis sebelumnya. Hasil belajar siswa pada siklus ini tersaji dalam tabel 2.
128
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Tabel 2. Data Hasil Belajar Siklus 1 NO.
NAMA SISWA
JUMLAH BENAR
SKOR
NILAI
KET
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
ABDUL RIZAL MAHMUD ALDI ANTUTA ALHAM A. MOHI APDAL HASAN EPAN DJ. PIYO FEMAS R. TUNTULA MOH. ABDUL RAFI MOODUTO NURAIN S. AHMAD RIKAL RAMADHANI PIYO SULEMAN R. SOMAN TIARA THAMRIN
7 6 6 6 5 6 5 6 7 6 6
14 12 12 12 10 12 10 12 14 12 12
100 86 86 86 71 86 71 86 100 86 86
T T T T TT T TT T T T T
RATA-RATA
86
JUMLAH TUNTAS
9
KETUNTASAN KLASIKAL (%)
82
Keterangan: T = Tuntas, TT = Tidak Tuntas
4.3 Siklus 2 Untuk lebih meyakinkan hasil belajar yang diperoleh pada siklus 1, dilakukan lagi kegiatan yang serupa pada siklus 2. Hasil belajar siswa pada siklus 2 tersaji dalam tabel 3.
NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Tabel 3. Data Hasil Belajar Siklus 2 JUMLAH NAMA SISWA SKOR BENAR ABDUL RIZAL MAHMUD 7 14 ALDI ANTUTA 7 14 ALHAM A. MOHI 7 14 APDAL HASAN 7 14 EPAN DJ. PIYO 6 12 FEMAS R. TUNTULA 7 14 MOH. ABDUL RAFI MOODUTO 6 12 NURAIN S. AHMAD 6 12 RIKAL RAMADHANI PIYO 7 14 SULEMAN R. SOMAN 6 12 TIARA THAMRIN 6 12
RATA-RATA JUMLAH TUNTAS KETUNTASAN KLASIKAL (%)
NILAI
KET
100 100 100 100 86 100 86 86 100 86 86
T T T T T T T T T T T
94 11 100
Keterangan: T = Tuntas, TT = Tidak Tuntas
129
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
5. Analisis Data/Informasi Hasil Penggunaan dalam Pembelajaran Berdasarkan data yang diperoleh pada kegiatan observasi awal, diperoleh hasil belajar yang sangat rendah yaitu; nilai rata-rata siswasebesar 55; jumlah siswa yang tuntas 0 dari 11 orang; dan ketuntasan klasikal sebesar 0%. Kemudian setelah dilakukan pembelajaran pada siklus 1, terjadi peningkatan hasil belajar yaitu; nilai rata-rata siswasebesar 86; jumlah siswayang tuntas 9 dari 11 orang; dan ketuntasan klasikal sebesar 82%. Dari data ini maka diperoleh gambaran bahwa pembelajaran siklus 1 sudah berhasil. Namun, untuk lebih meyakinkan lagi maka dilakukan pembelajaran pada siklus 2 dengan asumsi bahwa apabila hasil belajar yang diperoleh pada siklus 2 tidak mengalami penurunan dan cenderung meningkat, maka penelitian dianggap berhasil. Namun apabila hasilnya menurun, maka perlu dilakukan perbaikan pada hal-hal yang dianggap perlu dan dilaksanakan pada siklus selanjutnya. Setelah dilakukan pembelajaran pada siklus 2, diperoleh hasil belajar siswa cenderung meningkat yaitu; nilai rata-rata siswanaik menjadi 94; jumlah siswa yang tuntas naik menjadi 11 orang; dan ketuntasan klasikal sebesar 100%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian ini dianggap berhasil.
6. Kesimpulan dan Saran Penanaman konsep yang tepat pada mata pelajaran matematika khususnya pada materi pecahan sangatlah penting. Kegagalan memahami konsep pecahan akan membuat anak sulit memahami pengembangan materi pecahan pada kelas yang lebih tinggi. Alat Permainan Pecahan (ALPEN) pada pembelajaran matematika dapat membantu anak dalam memahami konsep pecahan, pecahan senilai, perbandingan pecahan, serta penjumlahan dan pengurangan pecahan. Dengan pemahaman konsep yang baik maka akan meningkatkan hasil belajar siswa dan dapat memudahkan mereka memahami pelajaran-pelajaran selanjutnya. Dengan melihat keberhasilan yang telah dicapai pada penelitian ini, maka penulis dapat menyarankan hal-hal berikut: 1). Guru dapat menggunakan media ALPEN dalam pembelajaran matematika kelas III, IV, V dan VI; 2). ALPEN dapat dibuat oleh guru ataupun siswa; 3). ALPEN adalah alat permainan, dalam pembelajaran penggunaan paling baik dalam suasana lomba atau bermain. 4). Guru harus selalu kreatif dalam membuat media yang memudahkan siswauntuk belajar; dan 5). Sebaiknya pembelajaran matematika senantiasa disajikan dalam suasana yang menyenangkan agar membangkitkan motivasi belajar siswa.
Daftar Pustaka Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Balai Pustaka. Jakarta. Elizabeth Hurlock. 1997. Perkembangan Anak. Erlangga. Jakarta. Negoro, ST dan Harahap, B. 1998. Ensiklopedia Matematika. Galia Indonesia. Jakarta. Ruseffendi, E.T. 1997. Pengajaran Matematika Moderen Untuk Orang Tua dan Anak, Guru dan SPG. Tarsito. Bandung. Syamsuddin M. , Tasyrifin Karim, Mamsudi AR. 1998. Panduan Kurikulum dan Pengajaran TKA dan TPA. LPPTKA BKPRMI Pusat. Jakarta. Soemiarti Patmanodewo. 2000. Pendidikan Anak Prasekolah. Rineka Cipta. Jakarta. Sunardi dan Heriyanto. 1997. Mengenal Siswa Berkesulitan Belajar. UNS. Surakarta. Tedjasaputra, Mayke. S. 2001. Bermain. Mainan, dan Permainan. Grasindo. Jakarta. Zulkifli. 1995. Psikologi Perkembangan. Remaja Rosdakarya. Bandung.
130
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Lampiran 1
131
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Lampiran 2
132
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Lampiran 3
133
Redaksi Jurnal IDEAL MATHEDU PPPPTK Matematika menerima artikel/naskah jurnal yang terkait dengan pendidikan matematika Ketentuan penulisan dan untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi Redaksi