ISSN 24078530
IDEAL MATHEDU INDONESIAN DIGITAL JOURNAL OF MATHEMATICS AND EDUCATION
PPPPTK MATEMATIKA - KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 PENINGKATAN HASIL BELAJAR MEMBANDINGKAN PECAHAN MENGGUNAKAN MEDIA GARIS BILANGAN LIMBAH TRIPLEK PADA SISWA KELAS 3 SDN BATOK 01 KECAMATAN GEMARANG KABUPATEN MADIUN Mohamad Ridwan PENINGKATAN HASIL BELAJAR PROGRAM LINEAR MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN INKUIRI DAN APLIKASI GEOGEBRA SISWA KELAS XII IPA1 SMA N 1 TOMPOBULU Sulfiaty Idris PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA Suprapto, M.Pd. CASYOPEE DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Nelly Yuliana
PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARANTEAMS GAMES TOURNAMENT DENGAN PENDEKATANSAINTIFIK PADA MATERI OPERASIALJABAR Via Yustitia PEDOMAN PENSKORAN Sumaryanta TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVIS PIAGET DAN VYGOTSKY Sri Wulandari Danoebroto
mo No r KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN MATEMATIKA YOGYAKARTA
3 20
15
SUSUNAN REDAKSI JURNAL IDEAL MATHEDU VOLUME 2 NOMOR 3 TAHUN 2015 PPPPTK MATEMATIKA
Penanggung jawab
: Kepala Subag TU dan RT Yasri Aznam, S.Sos.
Redaktur Penyunting/Editor
: Marfuah, S,Si.,M.T. : 1. Muh. Tamimuddin H, M.T. 2. Muda Nurul Khikmawati, S.Kom,. M.Cs. 3. Dr. Sumardyono, M.Pd. 4. Wiworo, S.Si., M.M. 5. Dra. Th. Widyantini, M.Si. 6. Untung Trisna Suwaji, S.Pd., M.Si. 7. Adi Wijaya, S.Pd.,M.A. 8. Fadjar Noer Hidayat, M.Ed. 9. Hanan Windro Sasongko, S.Si. 10. Sigit Tri Guntoro, S.Si., M.Si. 11. Drs. Agus Suharjana, M.Pd. 12. Choirul Listiani, M.Si. 13. Joko Purnomo, M.T. 14. Drs. Marsudi Raharjo, MSc.Ed. 15. Dra. Puji Iryanti, Msc.Ed. 16. Ratna Herawati, M.Si. 17. Sumaryanta, M.Pd. 18. Titik Sutanti, M.Ed. 19. Sri Wulandari Danoebroto, S.Si.,M.Pd. 20. Jakim Wiyoto, S.Si.
Desain Grafis dan Layout
: 1. Cahyo Sasongko, S.Sn. 2. Muhammad Fauzy 3. Samsul Bahri
Sekretariat
: 1. Harwasono, S.Kom. 2. Sri Pujiastuti, A.Md. 3. Nur Amini Mustajab, S.Pd.Si. 4. Aditya Kristiawan, S.H. 3. Anggrahini Suharto, S.I.P.
Alamat redaksi
: PPPPTK Matematika Jl. Kaliurang km.6, Sambisari, Depok, Sleman Kotak Pos 31 Yk-Bs Yogyakarta Telp. (0274) 885725, 881717 Fax. (0274) 885752 Website. idealmathedu.p4tkmatematika.org
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
PENINGKATAN HASIL BELAJAR MEMBANDINGKAN PECAHAN MENGGUNAKAN MEDIA GARIS BILANGAN LIMBAH TRIPLEK PADA SISWA KELAS 3 SDN BATOK 01 KECAMATAN GEMARANG KABUPATEN MADIUN Mohamad Ridwan SDN Batok 01, Kec. Gemarang Kab. Madiun, Email :
[email protected]
Abstrak, Hasil belajar matematika pada siswa kelas III SDN Batok 01 Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun, materi membandingkan pecahan semester II tahun pelajaran 2013/2014, pada kondisi awal masih banyak dibawah KKM. Hasil belajar siswa yang dilihat dari nilai rata-rata kelas tes individu menunjukan bahwa dari siswa 15 anak, sebanyak 11 anak tidak tuntas, dan hanya 4 anak tuntas. Hal ini disebabkan karena kurangngya pemahaman siswa terhadap materi pelajaran, tidak adanya media belajar yang tepat, siswa masih pada tahap operasional konkret, aktifitas siswa dan guru yang kurang optimal dalam proses pembelajaran dan penggunaan model pembelajaran yang masih konvensional. Dengan menggunakan media belajar berupa media garis bilangan yang terbuat dari limbah triplek, maka dilakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) sebagai upaya peningkatan hasil belajar terhadap materi pelajaran tersebut. Setelah dilakukan perbaikan pembelajaran melalui PTK selama 2 siklus, maka hasil belajar siswa dari instrumen tes individu mengalami peningkatan. Pada siklus I nilai rata-rata kelas dari tesindividu sebesar dengan rincian 7 siswa tuntas, dan 8 Siswa tidak tuntas. Meningkat lagi pada siklus II dengan nilai rata-rata kelas sebesar 88,67 sebanyak 13 siswa tuntas dan 2 siswa tidak tuntas. Dengan demikian media garis bilangan dari limbah triplek dapat meningkatkan hasil belajar membandingkan pecahan Kata Kunci: PTK, Media Pembelajaran, Hasil Belajar.
1. Pendahuluan Lahirnya Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengubah paradigma baru dalam proses pembelajaran di sekolah, khususnya bagi guru atau pendidik yang mengajar di dalam kelas. Jika sebagian besar proses pembelajaran masih menggunakan model pembelajaran konvensional, yaitu pembelajaran terpusat pada guru, siswa hanya diam mendengarkan, mencatat dan mengerjakan tugas yang diberikan, maka dengan lahirnya UU dan perkembangan zaman, paradigma baru telah muncul yaitu dengan model pembelajaran modern yang berorintasikan sebuah proses pembelajaran yang terpusat pada siswa. Dalam model pembelajaran modern ini, guru atau pendidik hanya bersifat sebagai fasilitator saja dalam proses pembelajaran. Kegiatan atau proses belajar mengajar di dalam kelas, tidak lepas dari berbagai masalah yang ada. Dimuai dari keadaan kelas, psikis siswa, hingga pada hasil bekajar siswa terhadap suatu materi pelajaran yang dismpaikan oleh guru kepada siswa. Perubahan paradigma baru
134
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
tersebut, tentunya tidak semudah membalikan telapak tangan. Perlu adanya pendekatan atau model pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran yang disampaikan kepada diswa. Pemilihan sebuah model, metode, atau media belajar yang menarik dan mudah dipahami oleh siswa, tentunya akan membawa dampak yang baik pula terhadap hasil belajar siswa di dalam kelas dalam memahami dan mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru. Beberapa mata pelajaran yang disampaikan kepada siswa tentunya mempunyai struktur dan karakteristik yang berbeda antara pelajaran satu dan lainnya. begitu juga dengan karakteristik siswa yang berbeda jika dilihat dari segi tingkat satuan pendidikan. Anak susia SD tentu berbeda dengan abak seusia SMP atau SMA. Pada anak usia SD yang masih diselimuti usia anak-anak khususnya pada kelas rendah ( kelas 1 -3 ) masih pada tahap operasional konret. Yang artinya, proses pembelajaran masih perlu bantuan atau bimbingan dengan memberikan contoh-contoh konkret yang mudah dipahami. Berbeda dengan anak usia SMP dan SMA yang telah masuk pada tahap operasional abstrak. Salah satu mata pelajaran yang mempunyai karakteristik dan ciri khusus yang memerlukan contoh – contoh konkret adalah matematika. Mata pelajaran matematika, baik yang diberikan pada tingkat dasar mauun menengah, memerlukan pemahaman dan logika berpikir yang lebih optimal. Sesuai dengan salah sau cirinya, bahwa matematika terdiri dari angka, simbol abstrak dan sebagainya, maka tidak heran jika mata pelajaran matematika untuk sebagian besar siswa merupakan mata pelajaran yang dianggap sulit dan menakutkan. Kondisi demikian berujung pada hasil belajar siswa yang masih rendah dan tidak sedikit terjadi angka mengulang kelas, terutama pada siswa tingkat sekolah dasar. Sesuai dengan kenyataan di lapangan, bahwa matematika dirasa sulit dan menakutkan bagi siswa terutama untuk siswa SD, maka guru sebagai pendidik hendaknya mempunyai suatu strategi pembelajaran, baik berupa model, metode atau media pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran matematika yang akan disampaikan kepada siswa. Hasil belajar siswa kelas III SDN Batok 01 Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun semester II tahun pelajaran 2013/2014 pada mata pelajaran matematika materi membandingkan pecahan yang dinilai dari tes individu, sebagian besar masih dibawah KKM yang ditentukan yaitu nilai 70, baik secara individu maupun nilai rata-rata kelas. Setelah dilakukan rekapitulasi terhadap nilai tes individu, maka didapatkan nilai rata-rata kelas sebesar 62,67, dengan perincian bahwa dari 15 siswa kelas III, sejumlah 4 siswa telah memenuhi standart KKM yang ditetapkan. Namun, sebanyak 11 siswa masih mendapatkan nilai dibawah KKM. Berdasarkan kondisi awal nilai hasil belajar siswa tersebut, maka peneliti melakukan perbaikan pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas (PTK) pada mata pelajaran matematika materi membandingkan pecahan dengan alternatif pemecahan masalah menggunakan media garis bilangan dari limbah triplek. Materi membandingkan pecahan yang terdapat pada mata pelajaran matematika kelas III SD yang akan diteliti adalah membandingkan pecahan sederhana mulai dari pecahan sampai dengan pecahan . Pada materi ini, siswa masih merasa kesulitan dalam membandingkan pecahan antara lebih besar, sama dengan atau lebih kecil. Hal ini karena pada penyampaian materi guru tidak menggunakan metode dan media belajar yang tepat dalam menjelaskan dan menanamkan
135
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
pemahaman konsep materi pelajaran kepada siswa, guru masih menggunakan model pembelajaran konvensional dalam mengajar. Lebih lanjut, materi membandingkan pecahan ini, perlu diberikan media belajar yang konkret agar siswa dapat memahami materi sehingga hasil belajar siswa akan meningkat. Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah dalam penelitian ini, yaitu , (1) pembelajaran yang bersifat konvensional atau tradisional. Pembelajaran terpusat pada guru, (2) tidak digunakannya media belajar yang konkret dalam penyampaian materi pelajaran, (3) kinerja guru yang kurang maksimal dalam proses pembelaaran, (3) aktifitas siswa yang kurang terlibat pada proses pembelajaran di dalam kelas, (4) rendahnya minat belajar siswa terhadap pelajaran matematika khususnya materi membandingkan pecahan, dan (5) rendahnya nilai belajar siswa pada materi pelajaran membandingkan pecahan tesebut. Dari beberapa identifikasi masalah diatas, dapat ditarik beberapa analisis masalah yang dijadikan acuan dalam penelitian tindakan kelas ini, yaitu (1) model pembelajaran yang konvensional dalam proses pembelajaran, (2) media belajar yang belum ada dalam proses pembelajaran, (3) aktifitas siswa yang kurang maksimal, dan (4) hasil belajar siswa pada materi membandingkan pecahan. Dengan adanya berbagai permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini, maka dapat dirumuskan masalah yaitu, apakah menggunakan media garis bilangan dapat meningkatkan hasil belajar membandingkan pecahan pada siswa kelas III SDN Batok 01 Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun Semester II Tahun Pelajaran 2013/2014?. Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki kinerja dan aktfitas guru dalam proses pembelajaran dikelas, menumbuhkembangkan minat belajar siswa melalui model, metode dan media belajar yang interaktif dan menarik. Selain itu, tujuan pokok dari penelitian ini adalah meningkatkan hasil belajar membandingkan pecahan pada siswa kelas III SDN Batok 01 Kecamaan Gemarang Kabupaten Madiun pada semester II tahun pelajaran 2013/2014 sesuai atau lebih besar dari KKM yang ditetapkan. Lebih lanjut, penelitian tindakan kelas ini pada akhirnya dapat bermanfaat bagi siswa khususnya siswa kelas 3 SD antara lain, memberikan sajian proses pembelajaran yang menarik, melatih siswa untuk aktif terlibat serta melatih siswa untuk lebih kreatif dan inovatif dalam proses pembelajaran. Bagi guru penelittian ini dapat meningkatkan profesionalitasnya sebagai seorang pendidik, meningkatkan kinerjanya dalam mengajar siswa, mengenbangkan ide dan gagasan serta kreativitasnya dalam mengajar, khususnya di SDN Batok 01 kecamaan Gemarang kabupaten Madiun. Sedangkan bagi sekolah, sebagai tolok ukur dalam meningkatkan kemajuan pendidikan di sekolah, sebagai sarana dalam meningkatkan kemampuan dan kreatifitas para gurunya, serta dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk penelitian lainnya. Indikator keberhasilan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah, (1) jika nilai tes individu setiap siswa lebih besar atau sama dengan KKM (70) maka dinaytakan tuntas, (2) nilai rata – rata kelas lebih besar atau sama dengan KKM 70, maka pembelajaran dinyatakan tuntas, dan (3) tingkat ketuntasan seluruh kelas > 75 %.
136
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
2. Kajian Teori 2.1. Media belajar Media belajar dapat digunakan berbagai alat peraga sesuai dengan materi dan mata pelajaran yang ingin disampaikan. Media belajar dapat berupa buku teks pelajaran, alat peraga, atau audio visual. Tergantung bagaima guru memilih dan menerapkan media tersebut untuk pembelajaran di dalam kelas. Alat peraga merupakan bagian dari media pembelajaran yang diartikan sebagai semua benda (dapat berupa manusia, objek atau benda mati) sebagai perantara di mana digunakan dalam proses pembelajaran (Sitanggang, 2013:4). Lebih lanjut Sukayati dan Suharjana (2009) menyatakan bahwa media pembelajaran diartikan sebagai semua benda yang menjadi perantara dalam terjadinya pembelajaran. Berdasar fungsinya media dapat berbentuk alat peraga dan sarana. Dalam penyampaian suatu mata pelajaran di kelas, masih banyak guru yang tidak menggunakan alat perga sebagai media pembelajaran. Masih banyak juga guru yang menggunakan pengelolaan kelas secara klasikal. Artinya, semua siswa diperlakukan sama untuk menerima materi pembelajaran. Dari uraian dan pendapat beberapa ahli diatas, maka media pembelajaran atau media belajar adalah suatu alat bantu yang digunakan oleh guru dalam memyampaikan sebuah materi pelajaran agar siswa mampu menerima materi pelajaran dengan baik sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
2.2. Hasil Belajar Oemar Hamalik dalam Isriyanto (2010) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti. Belajar dan mengajar merupakan konsep yang tidak bisa dipisahkan. Belajar merujuk pada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai subyek dalam belajar. Sedangkan mengajar merujuk pada apa yang seharusnya dilakukan seseorang guru sebagai pengajar. Dua konsep belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru terpadu dalam satu kegiatan. Diantara keduannya itu terjadi interaksi dengan guru. Kemampuan yang dimiliki siswa dari proses belajar mengajar saja harus bisa mendapatkan hasil dan bisa juga melalui kreatifitas seseorang itu tanpa adanya intervensi orang lain sebagai pengajar. Oleh karena itu hasil belajar yang dimaksud disini adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki seorang siswa setelah ia menerima perlakukan dari guru, Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil penilaian guru terhadap siswa setelah siswa menjalani berbagai uji kompetensi terkait hasil pembelajaran yang telah disampaikan oleh guru, sedangkan hasil belajar siswa bisa berupa instrumen tes tulis baik kelompok maupun individu, tes lisan, observasi dan sebagainya. Dalam penelitian ini, maka hasil belajar siswa didasarkan pada perolehan penilaian atau skor akhir dari tes tertulis yang diberikan oleh peneliti atau guru setelah menyampaikan materi pembelajaran matematika materi membandingkan pecahan sederhana. Dalam hasil belajar ini akan dilihat berapa siswa yang tuntas maupun tidak tuntas dalam mengikuti proses pembelajaran matematika dengan acuan KKM yang ditetapkan yaitu 70.
137
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
2.3. Matematika Musetyo (2013) menyatakan bahwa matematika mempunyai ciri – ciri yaitu a) abstrak, b) dedukif, c) konsisten, d) hierarkis dan d) logis. Lebih jauh Sumardyono (2004) menyebutkan bahwa matemtika mempunyai karakteristik sebagai a) memiliki kajian objek yang abstrak, b) bertumpu pada kesepakatan, c) berpola pikir deduktif, d) konsisten dalam sistemnya, e) memiliki simbol yang kosong dari arti, f) memperhatikan semesta pembicaraan. Dengan demikian maka matemtika dapat disimpulkan sebagai mata pelajaran yang bersifat abstrak, konsisten, deduktif, konsiten dan memiliki simbol–sombol dari arti. Sehingga pada pembelajaran matemtika khususnya di jenjang sekolah dasar memerlukan sebuah strategi dan model pembelajaran yang mudah diserap dan dipahami oleh peserta didik. Dalam penelitian ini, fokus penelitian pada materi membandingkan bilangan pecahan sederhana pada mata pelajaran matematika kelas III sekolah dasar.
2.4. Media Garis Bilangan Limbah Triplek Media belajar ini merupakan modifikasi dan pengembangan dari cara membandingkan pecahan menggunakan garis bilangan. Jika menggunakan garis bilangan yang terdapat pada buku ataupun siswa membuat, menggambar garis bilangan masih banyak kelemahan, maka media ini membantu siswa untuk memahami konsep sekaligus meningkatkan hasil belajarnya pada materi membandingkan pecahan sederhana. Media Garis Bilangan pecahan ini terbuat dari limbah triplek dengan ukuran 20 cm x 2,5 cm. Dengan disertai gambar geometri, maka media ini merupakan bentuk konkret dari garis bilangan untuk membandingkan pecahan. Penggunaan media garis bilangan limbah triplek ini dengan menysuun dua atau lebih garis bilangan sesuai dengan pecahan yang akan dibandingkan. Kemudian menbandingkan pecahan dengan ketentuan jika pecahan berada di sebelah kiri pecahan lain, maka pecahan bernilai lebih kecil dengan simbol ” < “, sedangkan bila berada si belah kanan pecahan lainnya maka pecahan tersebut bernilai lebih besar “> “, dan apabila pecahan tersebut sejajar lurus ke bawah dengan pecahan lain, maka bernilai sama besar dengan simbol “=”.
Gambar 1. Contoh penggunaan media garis bilangan triplek pada pecahan
138
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
3. Metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini dilaksanakan di SDN Batok 01 Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun, dengan populasi seluruh siswa kelas III sejumlah 15 anak terdiri dari 10 siswa laki-laki dan 5 siswa perempuan. Waktu pelaksanaan penelitian yaitu selama 3 bulan dimulai pada bulan Januari sampai dengan bulan Maret tahun 2014, pada kurun waktu semester II tahun pelajaran 2013/2014. Penelitian ini terdiri dari 2 siklus, setiap siklus terdiri dari 1 x pertemuan masing-masing pertemuan menggunakan alokasi waktu 3 x 35 menit ( 3 jam pelajaran ). Agar tidak mengganggu kegiatan proses belajar mengajar di sekolah, maka pelaksanaan setiap siklus disesuaikan dengan jadwal yang sudah ada. Siklus I dilaksanakan pada tanggal 17 Februari 2014 dan siklus II pada tanggal 06 Maret 2014. PTK yang dilakukan adalah PTK Kolaboratif yakni peneliti bekerjasama dengan teman sejawat yang bertindak sebagai observer. Observer membantu peneliti dalam melaksanakan penelitian termasuk didalamnya memantau, mengamati dan memberikan masukan serta kesimpulan di setiap siklus penelitian. PTK yang dilaksanakan ini mengacu pada jenis PTK Kemmis & Mc Taggart (1998), yang terdiri dari empat tahapan untuk setiap siklusnya yaitu perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi dari hasil penelitian setiap siklus untuk dijadikan tolok ukur dan tindak lanjut serta mengambil kesimpulan dari hasil penelitian. Instrumen dalam pengumpulan data yang digunakan dalam peneneitian ini berupa lembar observasi dan lembar tes individu. Lembar observasi digunakan oleh observer untuk mengamati, memantau dan mencatat serta memberikan masukan terkait proses pembelajaran yang telah dilaksanakan.terdiri dari beberapa indikator yang telah disesuaikan dan disepakati bersama dengan observer. Lembar tes individu digunakan untuk mengukur dan melihat hasil belajar siswa setiap siklusnya. Hasil nilai dari tes ini, akan dibandingkan dengan indikator kberhasilan sebelumnya, untuk selanjutnya diambil kesimpulan terhadap proses pembelaaran berlangsung. Tes individu berisi 20 soal isian dimana jawaban yang akan digunakan hanya berupa tanda > (lebih besar), = (sama dengan) atau < (lebih kecil) diantara dua pecahan yang disajikan dalam soal. Analisis data terhadap instrumen yang ada, menggunakan teknik analisis data kalitatif dan kuantitatif. Tehnik analissi data kualitatif digunakan pada lembar observasi yang ada dengan memberikan tanda ceklist (√ ) pada kolom yang sudah disediakan. Selanjutnya, observer akan memberikan kesimpulan terhadap PTK yang dilakukan dengan memberikan catatan atau komentar deskriptif. Sedangkan teknik analisisi tes ini, berupa teknik analisis data kuantitif dimana pengolahan dan penyajian data menggunakan perhitungan dan kriteria penilaian berupa tes indiviu didasarkan pada skor yang diperoleh terhadap beberapa soal pertanyaan tersebut. Setiap nomor atau jawaban benar maka mendapatkan nilai 1, sedangkan jawaban salah mendapatkan nilai nol ( 0 ). Nilai akhir (NA) yang digunakan sebagai tolok ukur ketuntasan siswa menggunakan rumus :
139
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Selanjutnya untuk menghitung nilai rata – rata kelas digunakan rumus :
Dimana adalah rata-rata kelas, adalah jumlah nilai akhir seluruh siswa, adalah jumlah seluruh siswa kelas 3. Sesuai dengan indikator keberhasilan yang telah ditentukan sebelumnya, maka jika NA≥70 maka siswa dinyatakan tuntas, jika > 70 maka proses pembelajaran dinyatakan tuntas dengan prosenstasi siswa tuntas minimal sebanyak 75 % dari seluruh siswa kelas III.
4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Deskripsi per Siklus Kondisi awal sebelum penelitian atau pra siklus, nilai rata-rata kelas hasil belajar yang diperoleh dari tes individu pada materi membandingkan pecahan sebesar 62,67 dengan perincian bahwa dari 15 siswa, sebanyak 4 siswa (27%) sudah tuntas dan sebanyak 11 siswa (73%) tidak tuntas. Dengan melihat hasil tersebut, maka perlu diadakan perbaikan pembelajaran menggunakan media garis bilangan dari limbah triplek. Berdasarkan hasil pembelajaran pada kondisi awal tersebut (pra siklus), maka dilaksanakan perbaikan pembelajaran sesuai dengan perencanaan yang telah disusun. Penggunaan media garis bilangan limbah triplek diterapkan pada proses pembelajaran siklus I. Hasil belajar siklus I setelah menggunakan media garis bilangan limbah triplek, menunjukkan bahwa dari 15 siswa, sebanyak 7 siswa (47%) sudah tuntas dan sebanyak 8 siswa (53%) tidak tuntas. Nilai rata-rata kelas yang diperoleh sebesar 68,33. Hasil perbaikan pembelajaran pada siklus II dengan menggunakan media garis bilangan limbah triplek, nilai rata-rata kelas 88,67 dengan rincian sebanyak 13 siswa (87%) tuntas sesuai dengan indikator keberhasilan yang ditetapkan yaitu > KKM. Sedangkan 2 siswa (23%) tidak tuntas karena memperoleh nilai dibawah KKM dan memang mempunyai prestasi rendah dan faktor lain yang tidak diteliti dalam PTK.
4.2. Pembahasan Hasil nilai belajar yang dilihat dari nilai rata-rata seluruh kelas mengalami peningkatan pada setiap siklusnya dibandingkan dengan nilai rata-rata pada kondisi awal atau pra siklus. Pada kondisi awal (pra siklus) nilai rata-rata kelas sebesar 62,67 dengan tingkat ketuntasan sebesar 27 % ( 4 siswa ). Tidak adanya media belajar sebagai alat bantu dalam memperjelas materi yang disampaikan merupakan faktor utama nilai hasil belajar siswa masih dibawah KKM selain kinerja guru yang kurang maksimal dan model pembelajaran yang masih konvensional tersebut. Setelah dilakukan kajian bersama dengan teman sejawat, maka akan dilakukan perbaikan pembelajaran selama dua siklus. Melalui empat tahapan dalam PTK yaitu perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi, maka hasil pembelajaran matematika materi membandingkan pecahan mengalami peningkatan. Pada siklus I, siswa diberikan media garis bilangan limbah triplek, guru menjelaskan tentang cara mempergunakan, dan berdiskusi mengerjakan soal kelompok, terlihat siswa semakin antusias dan berminat mengikuti proses pebelajaran matematika. Dengan bantuan media ajar
140
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
berupa garis bilangan limbah triplek tersebut, siswa semakin kreatif dan paham bagaimana membandingkan pecahan dengan memasangkan 2 buah garis bilangan pecahan yang akan dibandingkan. Namun demikian masih ada beberapa siswa yang kesulitan dalam menggunakan alat peraga, masih ada beberapa siswa yang ramai dan gaduh saat guru berkeliling membantu siswa atau kelompk lain, kinerja gurupun dalam membimbing siswa kurang maksimal, guru belum banyak melibatkan siswa dalam pemecahan masalah, pembelajaran masih dominan menggunakan ceramah dan guru banyak memberikan jawaban alternatif dibandingkan siswa yang menjawab pertanyaan. Peningkatan hasil belajar siswa dilihat dari nilai rata-rata kelas sebesar 9 % atau menjadi 68,33 dengan tingkat ketuntasan sebesar 47%. ( 7 siswa ). Sesuai dengan indikator keberhasilan, maka pembelajaran siklus I dinyatakan belum tuntas dan perlu perbaikan dan peningkatan pada siklus selanjutnya. Hasil refleksi yang telah dilakukan setelah pelaksanaan siklus I, maka proses perbaikan pembelajaran dilanjutkan pada siklus II. Pada siklus II ini tahapan proses pembelajaran mengacu pada RPP yang telah disusun sebelumnya, dan tidak berbeda dengan siklus I. Proses pembelajaran di dalam kelas, berdasarkan pengamatan observer sudah mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan pada kondisi awal (pra siklus) dan siklus I. Aktifitas siswa sudah terlihat meningkat dalam mengikuti semua proses pembelajaran di dalam kelas. Siswa semakin aktif dan antusias dalam menjawab pertanyaan atau soal yang diberikan. Hal ini dikarenakan siswa sudah mulai terbiasa dan mengerti bagaimana cara mempergunakan media belajar berupa media garis bilangan limbah triplek yang dibagikan oleh guru untuk setiap kelompoknya. Kinerja guru pada siklus II ini juga sudah mengalami peningkatan. Guru menjelaskan kepada siswa secara runtut, sesuai dengan tujuan pembelajaran. Guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator saja. Guru sudah banyak melibatkan siswa dalam proses pembelajaran. Siswa lebih banyak diminta mempraktekan ke depan kelas dengan menggunakan alat peraga media garis bilangan limbah triplek. Lebih lanjut, guru menyampaikan kepada siswa jika dalam proses pembelajaran tidak ada alat peraga yang sejenis, siswa dapat menggunakan kertas berpetak karena pembagian dan garis bilangan yang dibuat akan lebih mudah dibagi atau dipecah. Hasil belajar siswa siklus II dilihat dari nilai rata-rata kelas tes individu, maka hasil yang didapat mengalami kenaikan sebesar 30% menjadi 88,67 dengan tingkat ketuntasan naik sebesar 86 % dari siklus I menjadi 86 % ( 13 siswa ). Berdasarkan hasil pembelajaran siklus II tersebut, maka sesuai dengan indikator keberhasilan yang telah ditentukan, pembelajaran siklus II dinyatakan sebagai siklus pemantapan dan penelitian berhenti pada siklus II. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat perbandingan ketuntasan pada tabel dan grafik dibawah ini. Tabel 1. Jumlah Ketuntasan per Siklus No
Ketuntasan
1 2 3
Tidak Tuntas Tuntas Jumlah
Siklus Pra I 11 8 4 7 15 15
II 2 13 15
141
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
15
13 11
12
8
9
7 Tidak Tuntas
6
4 2
3
Tuntas
0 1 2 3 (1) Pra Siklus, (2) Siklus I, (3) Siklus II Gmbar 2. Grafik Jumlah Ketuntasan per Siklus Sedangkan nilai rata-rata kelas per siklus dapat dilihat pada tabel berikut Tabel 2. Nilai Rata-rata Kelas per Siklus Nilai Rata-rata Kelas Pra Siklus Siklus I Siklus II 62,67 68,33 88,67 100.00
88.67
80.00 62.67
68.33
60.00 40.00 20.00 0.00
Pra Siklus
Siklus I
Siklus II
Gambar 3. Perbandingan Nilai Rata-rata Kelas per Siklus
5. Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas (PTK) yang dilaksanakan selama dua siklus, maka dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan model , media dan metode pembelajaran yang menarik dapat membuat aktifitas belajar siswa tumbuh dan meningkat sehingga hasil belajar siswa sesuai dengan yang diharapkan. Lebih lanjut sesuai dengan tujuan penelitian maka media garis bilangan limbah triplek dapat meningkatkan hasil belajar
142
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
membandingkan pecahan pada siswa kelas 3 SDN Batok 01 Kec. Gemarang Kab. Madiun semester II tahun pelajaran 2013/2014.
5.2. Saran Untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran matematika khusunya untuk tingkat SD, para guru atau pendidik dapat mempergunakan alat perga atau media belajar sebagai alat bantu dalam menyampaikan materi pelajaran, salah satunya dengan menggunaan media garis bilangan limbah triplek pada materi membandingkan pecahan kelas III Sekolah Dasar.
Daftar Pustaka Dirjendikdas.(2009). Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan di SD. Jakarta. Depdiknas. Mujiyani Yustina, (2012). Peningkatan Prestasi Belajar Pecahan Menggunakan Media Garis Bilangan Pecah pada Siswa Kelas III SD Tampirwetan Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang Tahun 2011–2012. Yogyakarta. Jurnal UNY Vol. I No. 1 Tahun 2012 Sitanggang, A. (2013). Alat Peraga Matematika Sederhana Untuk Sekolah Dasar. Sumatera Utara. Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan. Sukayati. (2003). Pecahan. Yogyakarta. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPG) Matematika.. Supinah, dkk (2009). Strategi Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Sleman. PPPTK Matemtika. Taufik, Agus. (2012). Pendidikan Anak di SD. Jakarta. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Untung. (2010). Upaya Meningkatkan Pemahaman Konsep Dasar Bilangan Pecahan Menggunakan Model Pembelajaran Kontekstual Pada Siswa Kelas III SD Negeri Guci 01, Kecamatan Bumijawa,Kabupaten Tegal Tahun Ajaran 2009/2010. Penelitian Tindakan Kelas. Surakarta. FIKIP UNS. Wardhani.dkk (2011). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
143
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
PENINGKATAN HASIL BELAJAR PROGRAM LINEAR MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN INKUIRI DAN GEOGEBRA SISWA KELAS XII IPA1 SMA N 1 TOMPOBULU Sulfiaty Idris SMA Negeri 1 Tompobulu, Perm.Saumata Indah Blok I no 19 Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa;
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar Program Linear melalui Strategi Pembelajaran Inkuiri dan aplikasi GeoGebra Siswa Kelas XII IPA1 SMA Negeri 1 Tompobulu pada semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014, dengan jumlah siswa sebanyak 28 orang. Siklus I dilaksanakan selama 5 kali pertemuan dan Siklus II juga dilaksanakan selama 5 kali pertemuan termasuk pemberian akhir tes Siklus I dan tes Siklus II. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan tes hasil belajar dan lembar observasi. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1). Nilai rata-rata hasil belajar Siswa Kelas XII IPA1 SMA Negeri 1 Tompobulutes akhir siklus I adalah 59,14 dengan kategori sedang sedangkan nilai rata-rata hasil belajar siswa pada siklus II adalah 73,64 dengan kategori tinggi dan (2). Hasil belajar siswa Kelas XII IPA1 SMA Negeri 1 Tompobulu pada siklus I ke siklus II mengalami peningkatan melalui strategi pembelajaran inkuiri dan aplikasi GeoGebra. Kata Kunci. Hasil Belajar, Program Linear, Inkuiri, GeoGebra
1. Pendahuluan Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan formal memegang peranan penting, karena matematika merupakan sarana berpikir ilmiah yang sangat mendukung untuk mengkaji IPTEK. Realisasi pentingnya pelajaran matematika diajarkan pada peserta didik, tercermin pada ditempatkannya matematika sebagai salah satu ilmu dasar untuk semua jenis dan jenjang pendidikan. Dalam pembelajaran matematika banyak guru yang mengeluhkan rendahnya kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal matematika. Hal ini terlihat dari banyaknya kesalahan siswa dalam mengerjakan soal dan rendahya prestasi belajar siswa (nilai) baik dalam ulangan harian, ulangan semester, maupun UN. Padahal dalam pelaksanaan proses pembelajaran di kelas biasanya guru memberikan tugas secara kontinyu berupa latihan soal. Tetapi ternyata latihan tidak sepenuhnya dapat meningkatkan kemampuan siswa memecahkan masalah matematika. Berdasarkan pengalaman mengajar, program linear merupakan salah satu materi matematika yang sulit dipahami siswa. Ini terkait materi prasyarat yang harus dikuasai siswa untuk mempelajari program linear. Misalnya sistem persamaan dan pertidaksamaan linear. Siswa kadang berdalih mengatakan bahwa materi prasyarat belum dipahami padahal materi itu
144
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
sebenarnya telah ada di jenjang sebelumnya (SMP). Namun yang paling dominan muncul adalah kesulitan siswa dalam memahami soal cerita sehingga berakibat pada rendahnya nilai hasil tes mereka. Hal ini dibuktikan dengan hasil tes materi program linear pada siswa kelas XII IPA SMA Negeri 1 Tompobulu tahun pelajaran 2012/2013 dengan nilai rata-rata 53. Strategi pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Strategi pembelajaran ini dimaksudkan untuk lebih memberikan kesempatan yang luas kepada siswa agar merasa ikut ambil bagian dan berperan aktif dalam proses belajar mengajar untuk mengatasi masalah atau menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh guru. Selain itu, model pembelajaran yang dapat meningkatkan motifasi belajar siswa adalah pembelajaran berbasis komputer. Karena dengan komputer, penyajian materi pelajaran dapat ditampilkan lebih menarik dengan berbagai modifikasi program yang ada. Misalnya saja tampilan power point dengan animasi yang beragam akan membawa pembelajaran lebih menyenangkan bagi siswa. Hal ini tentu saja akan meningkatkan perhatian dan konsentrasi belajar mereka. GeoGebra adalah salah satu software komputer untuk pendidikan matematika. Software ini dapat digunakan untuk belajar (visualisasi, komputasi, ekplorasi dan eksperimen) dan mengajar materi geometri, aljabar, dan kalkulus. Hal paling sederhana yang dapat dilakukan dengan GeoGebra adalah menggambar titik, ruas garis, vektor, garis, poligon, irisan kerucut, dan kurva dua dimensi. Program linear merupakan salah satu materi matematika yang dapat diselesaikan dengan pemanfaatan GeoGebra. Mulai dari persamaan linear dua variabel, pertidaksamaan linear sampai kepada penyelesaian optimalisasi dengan metode uji titik pojok atau dengan garis selidik. Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dalam penelitian ini diterapkan Strategi Pembelajaran Inkuiri dan aplikasi GeoGebra dalam pembelajaran program linear untuk meningkatkan hasil belajar Siswa Kelas XII IPA1 SMA Negeri 1 Tompobulu. Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah: 1)Bagi siswa. diharapkan dengan penggunaan Strategi Pembelajaran Inkuiri dan aplikasi GeoGebra khususnya pada materi program linear dapat memperoleh hasil yang lebih baik. 2)Bagi guru, hasil penelitian ini dapat menjadi masukan atau bahan pertimbangan alternatif pembelajaran untuk mata pelajaran matematika sebagai upaya meningkatkan hasil belajar siswa. 3)Bagi sekolah, hasil penelitian ini memberikan sumbangan yang baik kepada sekolah dalam rangka perbaikan pembelajaran guna meningkatkanhasil belajar siswa sehingga dapat menopang pencapaian target yang diharapkan.
2. Kajian Teori 2.1.
Hasil Belajar
Hasil belajar siswa dapat diukur dengan menggunakan alat evaluasi yang biasanya disebut tes hasil belajar sedangkan hasil belajar matematika yang dikemukakan oleh Hudoyo (1990) adalah tingkat keberhasilan atau penguasaan seorang siswa terhadap bidang studi
145
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
matematika setelah menempuh proses belajar mengajar yang terlihat pada nilai yang diperoleh dari tes hasil belajarnya. Adapun Soedijarto (Masnaini, 2003) menyatakan bahwaHasil belajar adalah tingkat penguasaan yang dicapai oleh pelajar dalam mengikuti program belajar mengajar sesuai dengan tujuan pendidikan. Hasil belajar dalam kerangka studi ini meliputi kawasan kognitif, afektif, dan kemampuan/kecepatan belajar seorang pelajar. Sedangkan Keller (Abdurrahman, 1999), mengemukakan hasil belajar adalah prestasi aktual yang ditampilkanoleh anak, hasil belajar dipengaruhi oleh besarnya usaha (perbuatan yang terarah pada penyelesaian tugastugas belajar) yang dilakukan oleh anak. Hasil belajar siswa dapat diukur dengan menggunakan alat evaluasi yang biasanya disebut tes hasil belajar sedangkan hasil belajar matematika yang dikemukakan oleh Hudoyo (1990) adalah tingkat keberhasilan atau penguasaan seorang siswa terhadap bidang studi matematika setelah menempuh proses belajar mengajar yang terlihat pada nilai yang diperoleh dari tes hasil belajarnya. Dapat disimpulkan bahwa hasil belajar matematika adalah tingkat keberhasilan dalam menguasai bidang studimatematika setelah memperoleh pengalaman atau proses belajar mengajar dalam kurun waktu tertentu yang akan diperlihatkan melalui skor yang diperoleh dalam tes hasil belajar. Hasil belajar matematika dalam penelitian ini merupakan kecakapan nyata yang dapat diukur langsung dengan menggunakan tes hasil belajar matematika. Kecakapan tersebut menyatakan seberapa jauh atau seberapa besar tujuan pembelajaran atau instruksional yang telah dicapai oleh siswa dalam belajar matematika.
2.2. Program Linear Pemecahan masalah dengan rumusan program linear ditemukan oleh seorang matematikawan Rusia L.V. Kantorovich pada 1939 (Khairuddin, 2012). Ketika itu Kantorovich bekerja untuk Kantor Pemerintah Uni Soviet. Ia diberi tugas untuk mengoptimalkan produksi pada industri plywood. Ia kemudian muncul dengan teknik matematis yang dikenal sebagai pemrograman linear. Seorang matematikawan Amerika George Bernard Dantzig secara independen juga mengembangkan pemecahan masalah tersebut, di mana hasil karyanya pada masalah tersebut pertama kali dipublikasikan pada tahun 1947. Ketika itu tahap-tahap yang dilakukan dalam modelisasi dan optimasi solusi suatu masalah meliputi (1) pendefinisian masalah, (2) merumuskan model, (3) memecahkan model, (4) pengujian keabsahan model dan (5) implementasi hasil akhir.Program linear (linear programming) merupakan model optimasi persamaan linear yang berkenaan dengan masalah-masalah pertidaksamaan linear, Masalah program linear berarti masalah nilai optimum (maksium atau minimum) sebuah fungsi linear pada suatu sistem pertidaksamaan linear yang harus memenuhi optimasi fungsi objektif.
2.3. Strategi Pembelajaran Inkuiri Strategi Pembelajaran inkuiri (SPI) adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berfikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa. Strategi pembelajaran
146
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
ini sering juga dinamakan strategi heuristic, yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu heuriskein yang berarti saya menemukan (Sanjaya, 2008). Menurut Gulo (2002) dalam Trianto (2010), menyatakan strategi inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Strategi pembelajaran ini menekankan pada proses mencari dan menemukan. Jerome S.Bruner seorang ahli psikologi (1915) dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, mengemukakan bahwa belajar dengan menggunakan metode penemuan memberikan hasil yang baik sebab anak dituntut untuk berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya. Materi pelajaran tidak diberikan secara langsung, peran siswa dalam strategi ini adalah mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing untuk belajar (Sanjaya, 2010). Secara umum proses pembelajaran dengan menggunakan Strategi Pembelajaran Inkuiri (SPI) dapat mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: 1) orientasi, 2) merumuskan masalah, 3) merumuskan hipotesis, 4) mengumpulkan data, 5) menguji hipotesis, dan 6) merumuskan kesimpulan. 2.4.
GeoGebra
GeoGebra = Geometri + Aljabar. Oleh pengembangnya, GeoGebra diberi sebutan Dynamic Mathematics for Schools (Sahid dalam Idris, 2013), maksudnya sebagai software untuk mengerjakan matematika secara dinamis di sekolah. Semula GeoGebra ditulis oleh Markus Hohenwarter(sejak 2001) dari Universitas Atlantik di Florida (FAU), kemudian secara bersama-sama oleh Yves Kreis (Universitas Luxembourg, sejak 2005), Loic Le Coq (Perancis, 2006), Joan Carles Naranjo, Victor Franco, Eloi Puertas (Universitas Barcelona, 2007), dan Philipp Weissenbacher (Austria, 2007). Antarmuka GeoGebra sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia. Pengembangan software GeoGebra didukung oleh bergai pihak, baik individu maupun lembaga serta menggunakan software-software pendukung gratis lain. Dalam pembelajaran (TIM, 2013), GeoGebra dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, misalnya:1)Membuat dokumen terkait pembelajaran matematika, misalnya untuk penyiapan bahan ajar, modul belajar, makalah, bahan presentasi dll. Sebagai contoh GeoGebra digunakan untuk melukis bangun geometri. Gambar yang dihasilkan ini dapat disalin ke aplikasi lain semisal ke aplikasi pengolah kata (misalnya MS Word), aplikasi presentasi (misalnya MS Powerpoint), atau aplikasi lain untuk diolah lebih lanjut. 2)Membuat media pembelajaran atau alat bantu pengajaran matematika. Media ini dapat digunakan untuk menjelaskan konsep matematika atau dapat juga digunakan untuk eksplorasi, baik untuk ditayangkan di depan kelas oleh guru atau siswa bereksplorasi menggunakan komputer sendiri. 3)Membuat lembar kerja digital dan interaktif. 4)Menyelesaikan atau mem-verifikasi permasalahan matematika. Dalam hal ini dapat dimanfaatkan untuk mengecek jawaban soal. Namun, perlu diperhatikan bahwa siswa jangan diarahkan untuk mencari jawaban dengan
147
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
GeoGebra tapi lebih kepada mengecek jawaban, penekanannya adalah kepada proses yang benar.
3. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research) yang terdiri dari beberapa tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi.Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XII IPA1 SMAN 1 Tompobulu sebanyak 28 orang, pada semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014. Penelitian tindakan kelas (PTK) dilaksanakan sebanyak dua siklus yaitu dengan siklus I sebanyak 5 kali pertemuan dan siklus II sebanyak 5 pertemuan dengan masing-masing 4 kali pertemuan pembelajaran menggunakan strategi pembelajaran inkuiri dan aplikasi GeoGebra dan 1 kali pertemuan untuk tes di akhir siklus. Gambaran umum prosedur penelitian untuk tiap siklus adalah sebagai berikut: Tahap Perencanaan Hal-hal yang dilakukan pada tahap perencanaan adalah: (1) menelaah kurikulum matematika SMA kelas XII IPA, (2) menyusun alokasi waktu penelitian dan menyiapkan bahan ajar, (3) membimbing siswa untuk menginstal GeoGebra pada laptop mereka, (4) membuat RPP, lembar observasi dan tes akhir siklus. Tahap Tindakan Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah: (1) melaksanakan pembelajaran sesuai dengan RPP yang menerapkan Strategi Pembelajran Inkuiri dan aplikasi GeoGebra dengan model pembelajaran kooperatif (2) melakukan evaluasi terhadap proses pembelajaran di kelas serta respon yang diberikan siswa serta menganalisis hasil belajar yang diperoleh. Tahap Observasi Pada tahap ini observasi dilakukan terhadap pelaksanaan tindakan dengan menggunakan lembar observasi yang telah dipersiapkan dengan mencatat semua kejadian yang terjadi dalam pelaksanaan tindakan serta pada saat mengadakan evaluasi. Tahap Refleksi Hasil yang diperoleh dari tahap obervasi dan evaluasi kemudian dianalisis pada tahap ini, untuk melihat apakah kegiatan yang dilakukan telah dapat meningkatkan hasil belajar matematika dengan menggunakan strategi pembelajaran inkuiri dan aplikasi GeoGebra. Pada tahap ini dilihat sampai dimana faktor-faktor yang diselidiki telah dicapai. Hal-hal yang dipandang masih kurang akan ditindak lanjuti pada siklus II dengan menggunakan keempat tahap seperti pada siklus I dan memberikan model tindakan yang lebih memperbaiki dengan tetap mempertahankan apa yang sudah baik. Jenis data yang didapatkan adalah data kuantitatif yang diperoleh dari hasil tes hasil belajar dan data kualitatif yang diperoleh dari hasil observasi tentang kondisi pelaksanaan pembelajaran.
148
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Data mengenai hasil belajar siswa dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan analisis deskriptif yang terdiri atas rataan (mean), rentang, median, standar deviasi, nilai maksimum dan nilai minimum yang diperoleh.Adapun teknik analisis data kualitatif adalah dengan menggunakan hasil observasi. Kriteria yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah teknik kategorisasi standar yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Nuramar, 2006) sebagai berikut: Tabel.1.Kriteria Analisis Kuantitatif Skor 0 – 34 35 – 54 55 – 64 65 – 84 85 – 100
Kategori Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada siklus I hasil belajar siswa diukur dari hasil tes hasil belajar program linear yang diberikan di akhir siklus. Hasil analisis deskriptif skor siswa yang diperoleh setelah dilaksanakan pembelajaran dengan strategi pembelajaran inkuiri dan aplikasi geogebra adalah sebagai berikut: Tabel 2. Statistik Skor Tes Hasil Belajar Program LinearSiklus I Statistik
Nilai
Subjek
28
Skor Ideal
100
Skor Tertinggi
97
Skor Terendah
26
Rentang Skor
71
Skor Rata-rata
59,14
Median
58,50
Standar Deviasi
24,31
Jika skor hasil belajar matematika siswa dikelompokkan ke dalam skala lima, maka distribusi skor siswa seperti adalah sebagai berikut: Tabel 3.Distribusi Frekuensi Kriteria Tes Hasil Belajar Program Linear Siswa Siklus I. No.
Skor
Kategori
Frekuensi
Persentase (%)
1.
0 - 34
Sangat Rendah
7
25,00
2.
35 – 54
Rendah
21,43
55 – 64
Sedang
6 7 2
3.
7,14
149
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
4.
65 – 84
Tinggi
8
28,57
5
85 – 100
Sangat Tinggi
5
17,86
28
100
Jumlah
Dari catatan hasil observasi selama siklus I diperoleh bahwa: a. Umumnya siswa belum mampu mengkonstruksi sendiri ide-ide atau pengetahuan yang dimiliki untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari masalah yang diberikan. b. Meskipun pada awalnya guru telah memberikan arahan cara-cara menyelesaikan LKS dan menjelaskan intisari materi yang ingin dipelajari, namun siswa tetap bingung menyelesaikan pertanyaan dari LKS yang diberikan. c. Hampir semua kelompok selalu bertanya dan meminta bimbingan yang penuh dalam mengaplikasikan Geogebra dan menyelesaikan LKS, sehingga untuk membimbing semua kelompok memerlukan waktu yang banyak, sementara waktu yang tersedia terbatas. d. Pada saat berlangsungnya belajar kelompok terdapat beberapa siswa dari kelompok tertentu yang hanya berbincang-bincang di luar masalah diskusi, ada pula yang melakukan pekerjaan lain di laptop mereka semisal main game, facebookan dan melihatlihat foto.Yang paling antusias menyelesaikan tugas dalam setiap kelompok rata-rata hanya 2-3 siswa. Mereka adalah siswa-siswi yang memang kemampuan awalnya tergolong tinggi, yang lain hanya berpartisipasi saja, tetapi masih ada juga siswa yang pura-pura ikut aktif apabila diawasi oleh peneliti atau observer. e. Dalam hal merangkum atau menyimpulkan materi, siswa masih takut mengeluarkan pendapat serta cara penyampaian dan isi rangkuman belum terlalu tepat. Sedangkan hasil analisis deskriptif tes hasil belajar program linear setelah dilaksanakan pembelajaran dengan strategi pembelajaran inkuiri dan aplikasi GeoGebra pada siklus II adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Statistik Skor Tes Hasil Belajar Program Linear Siswa Siklus II Statistik Nilai Statistik Subjek 28 Skor Ideal 100 Skor Tertinggi 100 Skor Terendah 35 Rentang Skor 65 Skor Rata-rata 73,64 Median 69,00 Standar Deviasi 18,24 Apabila skor tes hasil belajar matematika siswa pada Siklus II dikelompokkan ke dalam skala lima maka distribusi skor hasil belajar matematika siswa dapat dilihat pada Tabel berikut:
150
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kriteria Tes Hasil Belajar Program Linear Siswa Siklus II No. 1. 2. 3. 4. 5
Kategori 0 - 34 Sangat Rendah 35 – 54 Rendah 55 – 64 Sedang 65 – 84 Tinggi 85 – 100 Sangat Tinggi Jumlah Skor
Frekuensi
Persentase
0 14
0,00 14,29 7,14 42,86 35,71 100.00
2 12 10 28
Dalam siklus II ini, lembar observasi yang digunakan sama dengan di siklus I menyangkut aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Beberapa perubahan tidakan yang dilakukan adalah upaya perbaikan berdasarkan refleksi dari siklus I diantaranya: (1) dilakukan pergantian anggota kelompok tanpa mengubah struktur kelompok, (2) lebih memperketat pengawasan pada siswa yang melakukan perbuatan kurang positif, (3) lebih memotivasi dan memberikan penghargaan kepada siswa yang aktif dalam pembelajaran. Berdasarkan hasil pengamatan observer selama siklus II, tercatat bahwa: a. Perhatian siswa mendengarkan arahan guru menjelaskan langkah kerja dalam melakukan kegiatan penemuan juga semakin meningkat. b. Siswa sudah mulai aktif dalam mengaplikasikan Geogebra dan mengerjakan LKS secara berkelompok, kekompakan siswa dalam bekerja secara kelompok sudah mulai terlihat. c. Sebagian siswa sudah mampu mencari sendiri jawaban dari pertanyaan yang diberikan, ini terlihat dari kurangnya siswa yang memerlukan bimbingan dalam menyelesaikan LKS. d. Kemampuan siswa dalam merangkum materi pelajaran sudah mengalami kemajuan. Tercatat disetiap pertemuan dalam siklus II, sudah ada beberapa siswa yang bisa merangkum materi, meskipun hasil kesimpulannya belum terlalu sempurna. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa rata-rata hasil belajar program linear siswa kelas XII IPA1 SMANegeri 1 Tompobulu yang diajar dengan Strategi Pembelajaran Inkuiri dan aplikasi GeoGebra mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II. Hal ini terlihat disebabkan karena dengan pendekatan inkuiri dan aplikasi GeoGebra yang dipadu dengan model pembelajaran kooperatif, siswa mengembangkan kemampuan berfikir kreatifnya dalam memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pemikirannya. Sehingga siswa dapat membangun kemampuan diri mencari dan menemukan sendiri jawaban dari masalah yang diberikan. Siswa juga lebih termotivasi dengan GeoGebra karena selain tampilannya yang menarik, GeoGebra juga membantu siswa untuk menemukan jawaban dari masalah yang diberikan. Siswa merasa senang karena dalam belajar program linear mereka juga dapat menambah pengetahuan mereka tentang IT. Berdasarkan hasil refleksi dan evaluasi dari siklus I sampai II ternyata strategi pembelajaran inkuiri dan aplikasi GeoGebra yang diterapkan pada pokok bahasan program linear menjadikan siswa memperoleh pengalaman belajar yang menyenangkan dan keaktifan siswa dapat ditumbuhkembangkan. Dengan menggunakan strategi pembelajaran inkuiri dan aplikasi GeoGebra pada proses belajar mengajar maka siswa lebih termotivasi karena materi
151
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
yang disajikan tidak langsung disampaikan oleh guru dan mereka merasa tertarik dengan hasil tampilan GeoGebra. Siswa yang mengkonstruksi sendiri materi yang akan dipelajari. Guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan membimbing siswa seperlunya, sehingga pembelajaran lebih menyenangkan dan lebih bermakna. Pada pendekatan ini pula siswa dituntut lebih aktif dimana pengetahuan yang mereka peroleh merupakan hasil dari mereka sendiri dengan bimbingan dari guru dan bantuan GeoGebra sehingga pengetahuan tersebut akan membekas lebih lama dipikiran mereka. Tetapi tidak semua topik atau pokok bahasan bisa disajikan dengan menggunakan strategi inkuiri dan juga dalam menyajikan materi dengan strategi ini membutuhkan waktu yang agak lama. Siswa merasa tertarik dengan masalah yang harus diselesaikan dalam evaluasi sehingga mereka termotivasi untuk belajar. Selain itu, materi yang didapatkan menjadi pengetahuan yang melekat dalam jangka waktu yang tidak singkat karena di diperoleh dari hasil penemuan siswa sendiri dengan sedikit bimbingan dari guru.Dengan demikian hipotesis tindakan dan indikator kinerja dapat dicapai sehingga tidak perlu dilakukan pelaksanaan siklus selanjutnya.
5. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan data-data hasil penelitian tindakan kelas yang berlangsung selama dua siklus maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: a.
b.
Nilai rata-rata hasil belajar Siswa Kelas XII IPA1 SMA Negeri 1 Tompobulu tes akhir siklus I adalah 59,14 dengan kategori sedang sedangkan nilai rata-rata hasil belajar siswa pada siklus II adalah 73,64 dengan kategori tinggi Hasil belajar siswa Kelas XII IPA1 SMA Negeri 1 Tompobulu pada siklus I ke siklus II mengalami peningkatan melalui strategi pembelajaran inkuiri dan aplikasi GeoGebra.
Dari hasil penelitian ini disarankan: a.
b. c.
Dalam kegiatan pembelajaran dengan strategi pembelajaran inkuiri, peneliti harus lebih memotivasi siswa dan siswa dituntut untuk aktif sehingga terjalin komunikasi yang baik antar siswa, maupun guru dengan siswa. Mengaplikasikan GeoGebra dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan motivasi belajar siswa Sebagai tindak lanjut penerapan, pada saat proses belajar mengajar berlangsung, diharapkan guru lebih kreatif menyajikan permasalahan yang bervariasi agar siswa lebih termotivasi, lebih aktif dan lebih terlatih untuk menemukan penyelesaian.
Daftar Pustaka Abdurrahman, M. 1999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta:Penerbit Rineka Cipta. Hudojo, Herman. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang:IKIP Malang. Khairuddin, http://media.p4tkmatematika.org/wpcontent/uploads/2013/01/Prolin_Geogebra2.pdf,diakses 22 Oktober 2013 Masnaini. 2003. Meningkatkan Hasil Belajar Matematika melalui Pemberian Kuis Dengan Mencongak di Awal Setiap Pertemuan Pada Siswa Kelas V SDN 353 Patalabunga. Skripsi. Makassar:Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Makassar.
152
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Nuramar. 2006. Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII 4 SMP Negeri 3 Makassar Melalui Pembelajatan Koperatif dengan Mengintensifkan Scaffolding. Skripsi. Makassar:Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Makassar. Sahid, Aktivitas Belajar Persamaan Lingkaran dan Garis Singgungnya dengan Software GeoGebra,http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/10_GeoGebra4Lingkaran.pdf, diakses 20 Oktober 2013. Sanjaya, Wina. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta:Prenada Media Grup. TIM PPPPTK Matematika. 2013. Matematika.
Pengenalan Aplikasi GeoGebra, Diklat Online-PPPPTK
Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta:Kencana.
153
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA Suprapto, M.Pd. SMPN 3 Pringsewu, Kab.Pringsewu Lampung,
[email protected] Abstrak. Penelitian dilatarbelakangi pada kenyataan bahwa sebagian besar siswa merasa kesulitan menyelesaikan soal pemecahan masalah. Sementara itu, kemampuan representasi matematis mempunyai peranan penting dalam pemecahan masalah matematis. Siswa yang memiliki kemampuan representasi baik akan dapat memecahkan masalah matematis dengan baik pula. Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan desain pretest – posttest control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IX SMP Negeri 3 Pringsewu Tahun Pelajaran 2013/2014. Penelitian ini melibatkan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Instrumen yang dipergunakan adalah soal kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis yang berbentuk uraian. Hasil analisis terhadap data skor pretest ditemukan bahwa sebelum diberi perlakuan kedua kelompok memiliki kemampuan awal yang sama, dan hasil analisis terhadap data skor posttest ditemukan bahwa kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Sebagai kesimpulan, penelitian ini membuktikan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa. Kata Kunci. Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD, Representasi Matematis, Pemecahan Masalah Matematis.
1. Pendahuluan Matematika termasuk mata pelajaran yang wajib dipelajari pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah. Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi mata pelajaran matematika SMP/MTs menyebutkan tujuan diberikannya mata pelajaran matematika pada jenjang SMP/MTs antara lain agar peserta didik memiliki kemampuan memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh serta dapat mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Namun kenyataannya sebagian besar siswa merasa kesulitan menyelesaikan soal pemecahan masalah yang disebabkan rendahnya kemampuan representasi matematis siswa. Populasi dalam penelitian ini memiliki karakteristik terbiasa belajar secara individu, sebagian siswa bersikap tertutup terhadap teman dan bergaul hanya kepada orang tertentu
154
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
saja. Para siswa umumnya enggan untuk bertanya atau bekerja sama dalam menyelesaikan tugas-tugas matematis yang diberikan guru, sehingga siswa yang memiliki kemampuan yang rendah akan semakin tertinggal prestasi belajarnya. Bila kondisi seperti ini dibiarkan, maka akan berdampak kurang baik terhadap prestasi belajar matematika, khususnya pada aspek kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis. Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) menganalisis kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, 2) menganalisis kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
2. Kerangka Dasar Teori 2.1 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Teori belajar telah banyak dikemukakan oleh para ahli pendidikan, salah satunya adalah teori belajar kostruktivisme. Dalam pandangan konstruktivisme, pengetahuan seseorang dibangun (dikonstruksi) dari hasil pengalaman belajarnya. Para konstruktivis menekankan pentingnya interaksi dengan teman sebaya melalui pembentukan kelompok belajar. Slavin (1995) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial, menumbuhkan sikap toleransi dan menghargai pendapat orang lain. Pembelajaran kooperatif juga dapat memenuhi kebutuhan siswa dalam berpikir kritis, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan pengalaman. Dengan alasan tersebut, penggunaan model pembelajaran kooperatif mampu meningkatkan kualitas pembelajaran karena siswa dapat berpartisipasi aktif dalam satu kelompok kecil dalam kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Johnson & Johnson (Khan & Inamullah,2011) yang mengemukakan, “Cooperative learning is a method used by educators can help students develop necessary social skills. Healthy interaction skills, success of the individual student and group members, and formation of personal and professional relationships are the results of cooperative learning”. STAD (Student Teams Achievement Division) merupakan model pembelajaran kooperatif yang berlandaskan pada pendekatan konstruktivisme dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4 hingga 6 orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Dalam STAD guru menyampaikan pokok materi pelajaran dan setiap siswa dalam kelompok harus memastikan bahwa semua anggota kelompok dapat menguasai materi pelajaran tersebut. Akhirnya semua siswa mengikuti kuis yang bersifat individu dan pada saat kuis mereka tidak diperkenankan saling membantu. Selanjutnya, nilai-nilai hasil kuis siswa diperbandingkan dengan nilai rata-rata mereka sendiri yang diperoleh sebelumnya. Berdasarkan nilai-nilai tersebut, siswa diberi penghargaan atau reward menurut peningkatan nilai yang mereka capai. Nilai-nilai yang
155
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
diperoleh anggota kelompok kemudian dijumlahkan untuk mendapat nilai kelompok. Kelompok yang mencapai kriteria tertentu akan mendapatkan sertifikat atau reward lainnya.
2.2 Kemampuan Representasi Matematis Kemampuan representasi matematis adalah kemampuan seseorang untuk melakukan translasi suatu masalah atau ide matematis dalam bentuk baru berupa diagram, gambar, tabel dan ekspresi matematis termasuk didalamnya dari gambar atau model fisik ke dalam bentuk simbol, kata-kata atau kalimat. Kemampuan representasi mempunyai peranan yang amat penting dalam pembelajaran matematika sehingga perlu dimiliki oleh setiap siswa. Arti penting kemampuan representasi matematis dinyatakan dalam NCTM (National Council of Teacher of Mathematics) bahwa representasi merupakan salah satu dari lima kemampuan berpikir matematis yang harus dimiliki siswa. Kelima kemampuan tersebut adalah problem solving, reasoning, communication, connection, dan representation. Siswa yang memiliki kemampuan representasi yang baik akan dapat menyelesaikan masalah matematis dengan baik pula. Kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis ini akan berimplikasi terhadap kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Nakahara (2008) mengklasifikasikan representasi ke dalam lima kategori, yaitu : (1) symbolic representation, yaitu representasi yang menggunakan notasi matematika seperti angka, huruf, dan simbol; (2) linguistic representation, yaitu representasi yang menggunakan bahasa sehari-hari; (3) illustrative representation, yaitu representasi yang menggunakan ilustrasi, angka, grafik, dan sebagainya; (4) manipulative representation, yaitu representasi yang menggunakan alat peraga yang dibuat secara artifisial atau model; (5) realistic representation, yaitu representasi yang menggunakan benda-benda aktual.
2.3 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan dalam menyelesaikan suatu masalah matematis, yang menuntut untuk diselesaikan tetapi belum diketahui dengan segera prosedur ataupun cara penyelesaiannya. Reys, Suydams, Lindquist dan Smith (Afgani,2011) menyatakan bahwa masalah (problem) adalah suatu keadaan di mana seseorang menginginkan sesuatu, akan tetapi tidak mengetahui dengan segera apa yang harus dikerjakan untuk mendapatkannya. Kusumah (2011) menyatakan “matematika benar-benar penting dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari karena terdapat masalah nyata yang dapat disederhanakan dan diselesaikan dengan menggunakan ide dan konsep matematis“. Oleh karena itu, seorang guru matematika perlu mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa secara optimal, karena para siswa akan menghadapi berbagai permasalahan sehari-hari yang kompleks dan rumit. Baroody (Afgani,2011) membedakan tiga jenis masalah, yakni exercises, problems, dan enigmas. Exercises adalah equates a problems with an assigment, maksudnya adalah, guru biasanya memberikan sesuatu prosedur atau rumus/formula, kemudian memberikan latihan,
156
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
tugas ”problem” perhitungan. Dengan demikian, anak telah siap dengan strategi untuk memperoleh penyelesaiannya karena cara menentukan jawaban dari masalah yang diberikan telah diketahuinya. Problems dapat didefinisikan sebagai suatu situasi puzzling, dimana seseorang tertarik untuk mengetahui penyelesaiannya, akan tetapi strategi penyelesaiannya belum diketahui. Lebih jelasnya suatu problems memuat (1) keinginan untuk mengetahui; (2) tidak adanya cara yang jelas untuk mendapatkan penyelesaiannya; dan (3) memerlukan suatu usaha dalam menyelesaikannya. Enigmas adalah suatu tugas yang diterima oleh seseorang sebagai suatu masalah yang tidak terselesaikan (unsolvable) karena orang yang mendapatkan masalah tersebut tidak tertarik untuk mendapatkan jawabannya. Reys, Suydams, Lindquist dan Smith (Afgani,2011) menyebutkan bahwa masalah dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu masalah rutin dan masalah tidak rutin. Masalah rutin adalah masalah yang telah diketahui prosedur penyelesaiannya, siswa tinggal mengikuti langkah-langkah penyelesaian yang telah diajarkan gurunya. Sedangkan masalah tidak rutin adalah masalah yang memuat banyak konsep serta belum dapat diketahui prosedur penyelesaiannya. Sementara itu Polya (Muzdalipah,2009) menyatakan bahwa terdapat empat langkah dalam pemecahan masalah, yaitu memahami masalah, membuat rencana penyelesaian, melakukan perhitungan, mengecek kembali jawaban yang diperoleh.
3. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan desain pretest - posttest control group design. Dalam penelitian kuasi eksperimen subyek penelitian tidak dikelompokkan secara acak akan tetapi subyek diterima apa adanya. Hal ini karena kelas sudah terbentuk sebelumnya. Rancangan eksperimen dalam penelitian ini disajikan pada tabel berikut : Tabel 1. Rancangan Eksperimen Kelompok
Pretest
Treatment
Posttest
Eksperimen
T1
X1
T2
Kontrol
T1
X2
T2
(dalam Sudjana dan Ibrahim,2009) Keterangan : T1 : Pretest T2 : Posttest
X1 : Perlakuan pembelajaran STAD X2 : Perlakuan pembelajaran konvensional
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas IX SMP Negeri 3 Pringsewu Tahun Pelajaran 2013/2014. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pada kelompok eksperimen diberikan pembelajaran kooperatif tipe STAD, sedangkan pada kelompok kontrol diberikan pembelajaran konvensional. Instrumen dalam penelitian ini adalah soal tes kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis.
157
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
4. Hasil Penelitian Pada kedua kelompok diberikan pretest untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum diberi perlakuan. Kemampuan awal siswa tercermin dari hasil pretest kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis. Rata-rata skor pretest kemampuan representasi matematis siswa pada kelompok eksperimen adalah 8,086 sedangkan pada kelompok kontrol diperoleh rata-rata 8,063. Hasil pretest kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelompok eksperimen diperoleh rata-rata 9,143 sedangkan pada kelompok kontrol diperoleh rata-rata 8,000. Setelah diberikan perlakuan, rata-rata skor posttest kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD adalah 13,343 dan rata-rata skor posttest kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional adalah 12,630. Rata-rata skor posttest kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD lebih tinggi daripada rata-rata skor posttest kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Skor kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang diberi perlakuan dengan pembelajaran STAD diperoleh rata-rata 12,743 sedangkan rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang diberi perlakuan pembelajaran konvensional adalah 11,719. Rata-rata skor posttest kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang diberi perlakuan dengan pembelajaran STAD lebih tinggi daripada siswa yang diberi perlakuan pembelajaran konvensional.
4.1 Uji Normalitas Uji normalitas menggunakan software SPSS 17 dengan Uji Kolmogorov-Smirnov pada taraf signifikansi α = 0,05 dengan kaidah pengambilan keputusan bila nilai p-value (sig) < α maka tolak H0. H0 : Data berdistribusi normal H1 : Data berdistribusi tidak normal Hasil uji normalitas skor kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa sebelum diberi perlakuan sebagai berikut :
Kemampuan Representasi Pemecahan Masalah
Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Skor Pretest KolmogorovSmirnov Kelompok Kesimpulan statistic sig. Eksperimen 0,125 0,184 H0 diterima Kontrol 0,150 0,065 H0 diterima Eksperimen 0,133 0,123 H0 diterima Kontrol 0,143 0,096 H0 diterima
Keterangan Normal Normal Normal Normal
Pada Tabel 2 nampak bahwa pada kolom Kolmogorov-Smirnov nilai sig. kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa pada kedua kelompok lebih besar dari α = 0,05 dengan demikian H0 diterima, sehingga penyebaran data skor kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa sebelum diberi perlakuan berdistribusi
158
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
normal. Adapun hasil uji normalitas skor kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa setelah diberi perlakuan adalah sebagai berikut
Kemampuan Representasi Pemecahan Masalah
Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Skor Posttest. KolmogorovSmirnov Pembelajaran Kesimpulan statistic sig. STAD 0,137 0,093 H0 diterima Konvensional 0,152 0,059 H0 diterima STAD 0,217 0,000 H0 ditolak Konvensional 0,332 0,000 H0 ditolak
Keterangan Normal Normal Tidak Normal Tidak Normal
Pada Tabel 3 nampak bahwa pada kolom Kolmogorov-Smirnov nilai sig. untuk kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional lebih besar dari α = 0,05 dengan demikian H 0 diterima, sehingga penyebaran data skor posttest kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD maupun konvensional berdistribusi normal. Selanjutnya, nilai sig. kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional lebih kecil dari α = 0,05 sehingga H0 ditolak. Jadi penyebaran data skor posttest kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD maupun konvensional berdistribusi tidak normal.
4.2 Uji Homogenitas Uji homogenitas menggunakan software SPSS 17 dengan Uji Homogeneity of Variance (Uji Levene) pada taraf signifikansi α = 0,05 dengan kaidah pengambilan keputusan bila nilai pvalue (sig) < α maka tolak H0. H0 : = H1 : ≠ Hasil uji homogenitas terhadap data skor kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa sebelum diberi perlakuan disajikan pada tabel berikut : Tabel 4. Hasil Uji Homogenitas Varians Skor Pretest Homogeneity of Variance Kemampuan Kesimpulan Keterangan Levene df1 df2 sig. Statistic Representasi
0,096
1
65
0,758
H0 diterima
Homogen
Pemecahan Masalah
0,078
1
65
0,781
H0 diterima
Homogen
Pada Tabel 4 nampak bahwa pada kolom Homogeneity of Variance, nilai sig. kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis lebih besar dari α = 0,05 maka H0 diterima, yang berarti bahwa variansi skor pretest kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis kelompok eksperimen dan kelompok kontrol homogen.
159
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Adapun hasil uji homogenitas terhadap data skor kemampuan representasi matematis siswa setelah diberi perlakuan disajikan pada tabel berikut : Tabel 5. Hasil Uji Homogenitas Varians Skor Posttest Kemampuan Representasi Matematis Homogeneity of Variance Kemampuan Representasi Matematis
Levene Statistic
df1
df2
sig.
0,216
1
65
0,644
Kesimpulan
Keterangan
H0 diterima
Homogen
Pada Tabel 5 nampak bahwa pada kolom Homogeneity of Variance, nilai sig. lebih besar dari α = 0,05 maka H0 diterima, yang berarti bahwa variansi skor posttest kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional homogen, sedangkan data skor posttest kemampuan pemecahan masalah matematis tidak perlu dilakukan uji homogenitas, karena data skor posttest kemampuan pemecahan masalah matematis berdistribusi tidak normal.
4.3 Uji Kesamaan Rata-rata Data skor kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa sebelum diberi perlakuan berdistribusi normal dan homogen, maka untuk mengetahui sama atau tidaknya rata-rata kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa sebelum diberikan perlakuan dilakukan uji kesamaan rata-rata dengan uji t. Pengujian hipotesis menggunakan software SPSS 17 dengan uji t (compare means independent samples t test) pada taraf signifikansi α = 0,05 dengan kaidah pengambilan keputusan bila nilai p-value (sig) < α maka tolak H0. H0 : = H1 : > Hasil uji t terhadap skor kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa sebelum diberi perlakuan disajikan pada tabel berikut ini : Tabel 6. Hasil Uji Kesamaan Rata-Rata Skor Pretest Kemampuan Representasi Matematis Pemecahan Masalah Matematis
T
Df
sig.
Kesimpulan
0,033
65
0,974
Terima H0
1,733
65
0,088
Terima H0
Keterangan Tidak ada perbedaan Tidak ada perbedaan
Dari hasil uji t diperoleh nilai sig. kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis lebih besar dari α = 0,05 sehingga H 0 diterima. Hal ini berarti sebelum dilakukan eksperimen kedua kelompok memiliki kemampuan awal yang sama pada aspek kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis. Berdasarkan hasil uji normalitas dan uji homogenitas terhadap skor kemampuan representasi matematis siswa setelah diberi perlakuan ditemukan bahwa data skor posttest kemampuan
160
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
representasi matematis berdistribusi normal dan homogen. Oleh karena itu, untuk mengetahui sama atau tidaknya kemampuan representasi matematis, maka dilakukan uji kesamaan rata-rata dengan uji t. Hasil uji t terhadap skor posttest kemampuan representasi matematis disajikan pada tabel berikut ini : Tabel 7. Hasil Uji Kesamaan Rata-rata Skor Posttest Kemampuan Representasi Matematis Kemampuan
T
Df
sig.
Kesimpulan
Keterangan
Reperesentasi Matematis
2,130
65
0,037
Tolak H0
Ada Perbedaan
Pada Tabel 7 nampak bahwa nilai sig. lebih kecil dari α = 0,05 maka H 0 ditolak. Hal ini berarti kemampuan representasi matematis siswa yang diberikan perlakuan dengan pembelajaran STAD lebih baik daripada kemampuan representasi matematis siswa yang diberi perlakuan dengan pembelajaran konvensional.
4.4 Uji Mann-Whitney Berdasarkan hasil uji normalitas terhadap skor posttest kemampuan pemecahan masalah diperoleh kesimpulan bahwa skor kemampuan pemecahan masalah matematis berdistribusi tidak normal, sehingga untuk mengetahui sama atau tidaknya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang diberikan pembelajaran STAD dengan siswa yang diberikan pembelajaran konvensional dilakukan dengan uji non parametrik menggunakan Uji MannWhitney 2 Independent Sampel pada taraf signifikansi α = 0,05. Adapun kaidah pengambilan keputusan adalah sebagai berikut bila nilai p-value (sig).< α maka tolak H0. Hasil analisis uji mann-whitney terhadap skor posttest kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, disajikan pada tabel berikut ini : Tabel 8. Hasil Uji Mann-Whitney Skor Posttest Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Pemecahan Masalah Matematis Mann-Whitney U 399,500 Wilcoxon W 927,500 Z -2,101 Asymp.sig 0,036 Dari hasil uji mann-whitney diperoleh nilai sig. lebih kecil dari α = 0,05 maka H0 ditolak. Hal ini berarti kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD lebih baik dari kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional
5. Pembahasan Sebelum diberikan perlakuan, kedua kelompok diberikan pretest untuk mengetahui kemampuan awal siswa pada aspek kemampuan representasi dan pemecahan masalah
161
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
matematis. Setelah perlakuan, kedua kelompok diberikan posttest untuk mengetahui peningkatan kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis. Hasil uji normalitas dan uji homogenitas terhadap data skor kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa sebelum diberi perlakuan diperoleh hasil bahwa populasi berdistribusi normal dan homogen. Selanjutmya, dari hasil uji t pada taraf signifikansi α = 0,05 terhadap skor kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa sebelum diberi perlakuan diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan awal representasi dan pemecahan masalah matematis siswa, atau dengan kata lain, sebelum diberi perlakuan, kedua kelompok memiliki kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis yang setara. Setelah diberikan perlakuan, rata-rata skor kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD lebih tinggi daripada rata-rata skor kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Skor kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang diberi perlakuan dengan pembelajaran STAD diperoleh rata-rata 12,743 sedangkan rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang diberi perlakuan pembelajaran konvensional adalah 11,719. Rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang diberi perlakuan dengan pembelajaran STAD lebih tinggi daripada siswa yang diberi perlakuan pembelajaran konvensional.
15 10
13,343
12,625
8.086 8.063
5
Eksperimen Kontrol
0 Pre Test
Post Test
Gambar 1. Rata-rata skor pretest dan posttest kemampuan representasi matematis Pada Gambar 1 nampak bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan awal siswa pada aspek kemampuan representasi matematis sebelum diberi perlakuan. Setelah siswa diberikan perlakuan, terjadi peningkatan kemampuan representasi matematis baik pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD ternyata dapat meningkatkan kemampuan representasi matematis siswa.
162
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
15 10
12,743 11,719 9.143 8.063
Eksperimen Kontrol
5 0 Pre Test
Post Test
Gambar 2. Rata-rata skor pretest dan posttest kemampuan pemecahan masalah matematis Pada Gambar 2 nampak bahwa sebelum diberi perlakuan rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelompok eksperimen lebih tinggi dari rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelompok kontrol. Namun demikian, dari hasil uji kesamaan rata-rata dengan uji t dengan taraf signifikansi α = 0,05 diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Setelah siswa diberikan perlakuan, terjadi peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis baik pada kelompok eksperimen maupun pada kelompok kontrol. Hal ini tercermin dari rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematis yang meningkat pada kedua kelompok. Rata-rata skor posttest kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran STAD lebih tinggi daripada rata-rata skor siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
6. Kesimpulan dan Saran Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Sebagai kesimpulan, penelitian ini membuktikan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa. Saran yang dapat dikemukakan adalah perlu adanya penelitian lanjutan untuk mengkaji korelasi kemampuan representasi matematis terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis.
163
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Daftar Pustaka Afgani, J. 2011. Analisis Kurikulum Matematika. Jakarta : Universitas Terbuka. Khan, G. N. & Inamullah, M. H. 2011. Effect of Student’s Team Achievement Division (STAD) on Academic Achievement of Students. Diambil 28 Desember 2012, dari situs http://ccsenet.org/journal/index.php/ass/article/download/13435/9341 Kusumah, Y. S. 2011. Literasi Matematis. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan MIPA tanggal 26 November 2011. Bandar Lampung : FKIP - Universitas Lampung Muzdalipah, I. 2009. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Melalui Pendekatan Problem Posing. Jurnal Matematika volume 1, nomor 1, 2010. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Nakahara, T. 2008. Cultivating Mathematical Thinking through Representation. Diambil 1 Desember 2012, dari situs http://www.criced.tsukuba.ac.jp/math/apec2008/papers/PDF/1.Keynote(Dec.9)_Tadao Nakahara_Japan.pdf. NCTM. 2000. Principles and Standarts for School Mathematics.Reaston,VA: NCTM. Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Slavin, R. E. 1995. Cooperative Learning,Theory,Research,and Practice (2th). Boston : Allyn and Bacon.
164
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
CASYOPEE DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Nelly Yuliana SMAN 1 Koba, Bangka Tengah;
[email protected] Abstrak. Artikel ini merupakan kajian pustaka mengenai software matematika yaitu Casyopee. Casyopee adalah singkatan dari Cacul Symbolique des Possibillites a l”Eseignant et aux Eleves (peluang penawaran komputasi simbolik untuk guru dan siswa). Casyopee bagian dari CAS (Computer Algebra System) yang lahir dari inisiatif guru dan peneliti pendidikan lebih dari 10 tahun yang lalu yang tergabung ke dalam wadah yang bernama Remath Eropa. Casyopee diperuntukkan penggunaannya pada jenjang SMP ke atas ini merujuk kepada fitur-fitur yang disediakan. Casyopee dapat bekerja lebih baik pada materi fungsi mengingat fitur khas Casyopee yang dapat membuat parameter secara interaktif. Dengan penggunaan Casyopee dalam jangka waktu yang lama dan terusmenerus telah berhasil meningkatkan kemampuan matematis siswa khususnya di negara asal software Casyopee yaitu Perancis. Kata Kunci. Casyopee, CAS, kemampuan matematis
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau Information and Communication Technologies (ICT) secara bahasa diartikan seluruh peralatan teknis untuk memproses dan menyampaikan informasi. Dari kata Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sendiri dapat dipahami bahwa TIK mencakup dua aspek yaitu teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Aspek teknologi informasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses, penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan informasi. Sedangkan teknologi komunikasi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat yang satu ke lainnya. Oleh karena itu, teknologi informasi dan teknologi komunikasi tidak dapat dipisahkan. Jadi Teknologi Informasi dan Komunikasi mengandung pengertian luas yaitu segala kegiatan yang terkait dengan pemprosesan, manipulasi, pengelolaan, pemindahan informasi antar media. Pengertian TIK tersebut juga menimbulkan pengertian bahwa TIK juga berhubungan dengan pemrosesan, manipulasi, dan pemindahan informasi termasuk ke dalam media TIK. Media TIK meliputi diantaranya adalah telepon, handphone, komputer, internet, radio, televise, dan lain-lain. Ditinjau dari media bagian TIK tersebut maka segala segi kehidupan manusia tidak akan luput dari penggunaan TIK itu sendiri. Penggunaan media TIK juga berimplikasi kepada berkembangannya model dan media pembelajaran. Pembelajaran yang biasanya guru dan siswa yang selalu berada di satu tempat maka dengan adanya penggunaan TIK dapat dilakukan dengan menggunakan media yang sudah dirancang dengan baik. Contohnya, adanya distance learning, yang merupakan pembelajaran jarak jauh dimana guru dan siswa tidak berada disatu lokasi yang sama dan proses pembelajaran dilakukan dengan memanfaatkan media TIK. Dan dewasa ini semakin
165
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
banyak diterapkannya model dan media pembelajaran yang memanfaatkan TIK diantaranya seperti e-learning, mobile learning, video pembelajaran online, online learning, televisi edukasi serta program atau software khusus yang dirancang untuk mata pelajaran tertentu. Khusus pada pembelajaran matematika yang merupakan pelajaran wajib dilalui oleh semua siswa pada tiap jenjangnya telah dikembangkan software yang dirancang untuk mempermudah proses pengajaran matematika yang sulit dilakukan secara manual atau konvensional. Software-sofware yang ada dan berkembang saat ini sebagian besar sudah banyak digunakan khususnya di Indonesia, seperti Maple, Macromedia Flash, Cabri, Corel, GSP, Geogebra, Autograph dan lain sebagainya. Khusus dalam makalah ini penulis akan mengkaji salah satu software matematika yang bernama Casyopee. Sengaja dipilih software ini karena selama ini belum ada atau bisa jadi Casyopee belum banyak digunakan di Indonesia. Ini terlihat dari jurnal-jurnal referensi yang dapat dijadikan rujukan penulisan belum ada yang berasal dari Indonesia. Semuanya berasal dari negara dikembangkannya software Casyopee itu sendiri yaitu Perancis. Untuk itu penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang apa dan bagaimana software ini digunakan dalam pelajaran matematika, sekaligus memperkenalkan software ini kepada rekan-rekan guru serta akademisi matematika lainnya.
1.2. Rumusan Masalah Secara umum masalah dalam makalah yang ingin dikaji adalah, bagaimana penggunaan Casyopee dalam pembelajaran matematika?. Masalah tersebut dapat dirinci sebagai berikut: 1) Apakah yang dimaksud dengan Casyopee? 2) Bagaimana menggunakan Casyopee dalam pembelajaran matematika? 3) Apa saja kelebihan dan kekurangan penggunaan Casyopee dalam pembelajaran matematika?
1.3. Tujuan Penulisan Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui penggunaan Software Casyopee dalam pembelajaran matematika, dengan rincian sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Casyopee. 2) Untuk mengetahui bagaimana menggunakan Casyopee dalam pembelajaran matematika. 3) Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan penggunaan Casyopee dalam pembelajaran matematika.
2.
Pembahasan
2.1. Software Casyopee Casyopee adalah singkatan dari Cacul Symbolique des Possibillites a l”Eseignant et aux Eleves (peluang penawaran komputasi simbolik untuk guru dan siswa). Casyopee bagian dari CAS (Computer Algebra System) yang lahir dari inisiatif guru dan peneliti pendidikan lebih dari 10 tahun yang lalu yang tergabung ke dalam wadah yang bernama Remath Eropa (software lain dari Remath adalah Anulset, Aplusix, Machine Lab, Cruislet, dan Mopix). Proyek penggunaan casyopee ini telah sukses dilakukan di Perancis.
166
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Casyopée cukup mudah diakses siswa, software ini dapat didownload secara gratis melalui situs http://www.casyopee.eu/?lng=en. Setelah didownload dan terinstal pada PC/notebook software ini dapat dipelajari siswa sendiri ataupun dengan bantuan guru. Casyopée memiliki dua jendela utama, yaitu jendela simbolis dan jendela geometris.
Gambar 1. Tampilan Jendela Casyopee
Gambar 2. Penggunaan Jendela Geometris dan Jendela Simbolis/Aljabar Fitur Casyopée kompatibel untuk Windows XP, Vista, Seven, Macintosh dan sistem operasi lainnya. Jendela aljabar dan simbolis memberikan fasilitas yang berbeda namun saling berkaitan satu sama lain. Fasilitas yang tersedia dalam jendela aljabar:1) perhitungan fungsi, misalnya: faktorisasi; 2) representasi grafik fungsi; 3) penggunaan parameter fungsi; 4) perhitungan numerik atau simbolik perhitungan dengan fungsi; 4) sebagai bantuan untuk membuktikan membuktikan sifat dari suatu fungsi; 5) membantu untuk menulis laporan penelitian dalam bentuk file html, formula matematika (yang dibuat oleh Casyopée atau dengan Latex), grafik dan angka geometris. Fasilitas di jendela geometri dinamis: 1) geometris konstruksi dari objek (titik , segmen, garis, lingkaran); 2) penciptaan perhitungan geometris dari formula simbolik yang prosedural; 3) eksplorasi numerik; 4) penciptaan fungsi geometris menggunakan perhitungan; 5) pemodelan fungsi-fungsi geometris menjadi fungsi aljabar di tab aljabar. Casyopee lebih menekankan penggunaannya kepada siswa SMP ke atas mengingat fitur-fitur
167
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
khas dalam software ini sesuai dengan materi matematika di jenjang pendidikan menengah. Penggunaan software Casyopee dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi matematika dengan cara penggunaan software dilakukan dalam waktu yang cukup lama dan terus menerus (Lagrange: 2010). Peran guru disini sebagai fasilitator siswa yang mengalami kesulitan dalam penggunaan Casyopee. Intinya adalah bagaimana guru dapat membuat bahan ajar atau instrumen Casyopee yang tepat sehingga dapat dieksplorasi oleh siswa untuk dapat menyelesaikan masalah matematika dengan ide-ide yang didapat mereka selama belajar matematika dengan menggunakan Casyopee.
2.2. Penggunaan Casyopee dalam Pembelajaran Matematika Casyopee sebagai salah satu software matematika yang dapat membantu guru dalam mengajar dikelas, sehingga proses pembelajaran dapat berjalan efektif. Berikut akan disajikan penggunaan casyopee dalam proses pembelajaran matematika khususnya materi yang diajarkan di jenjag Sekolah Menengah Atas (SMA).
2.2.1. Materi dimensi dua Casyopee dapat digunakan untuk menetukan luas daerah bangun datar, contoh luas bidang segitiga. Untuk membuat bidang datar segitiga, pada jendela geometri, klik menu polygon lalu gambarkan tiga titik pada kertas kerja lalu klik sehingga muncul luas daerah yang dimaksud.
Gambar 4. Contoh gambar tampilan luas daerah segitiga
2.2.2. Lingkaran Casyopee dapat digunakan untuk menjelaskan konsep lingkaran. Lingkaran adalah kurva tertutup sederhana yang khusus, yang tiap titik pada lingkaran itu berjarak sama dari suatu titik yang disebut pusat lingkaran. Membuat lingkaran pada jendela geometri, hampir sama caranya dengan membuat bidang datar yang dicontohkan segitiga diatas. Pada jendela geometri, dibuat dua buah titik yaitu titik pertama sebagai pusat lingkaran dan titik kedua yang jaraknya tertentu terhadap titik pertama sebagai jari-jari lingkaran. Klik
168
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
circle lalu circle by center and radius by 2 points. Untuk menggambar lingkaran klik pada titik pertama (titik pusat) dilanjutkan titik kedua kemudian klik sebarang titik ketiga dan kembali ke titik pusat. Persamaan lingkaran dapat diketahui dengan mengklik kanan lingkaran maka akan muncul persamaan lingkaran tersebut.
Gambar 5. Contoh gambar lingkaran dengan pusat O (0,0) Dapat pula digunakan untuk menggambar lingkaran dengan pusat lingkaran lainnya.
dan konsep
2.2.3. Materi fungsi Materi fungsi adalah materi yang khas dengan fitur Casyopee, jadi siswa dapat mengeksplorasi kemampuan matematis dengan menggunakan software ini. Cara untuk menggambar fungsi pada Casyopee dengan langkah-langkah sebagai berikut: Mengaktifkan jendela simbolis atau aljabar lalupilih menu create function. Masukkan parameter yang diinginkan, kemudian masukkan fungsi yang akan digambar grafiknya.
Gambar 6. Tampilan Jendela Casyopee untuk menggambar fungsi
169
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Lalu klik evaluate, selanjutnya klik create, terakhir tutup jendela create function, lalu klik f pada jendela simbolis untuk menampilkan grafik. Langkah-langkah diatas sama penggunaannya untuk fungsi linier, fungsi kuadrat, fungsi kuadrat dan fungsi linear, fungsi berpangkat tiga atau polinom, yaitu dengan memasukkan fungsi yang ingin digambar lalu tentukan parameternya.Untuk menentukan titik-titik pada fungsi dapat diketahui dengan mengklik menu Tabulate Function pada jendela simbolis.
Gambar 7. Contoh gambar fungsi linear
2.2.4. Faktorisasi fungsi Menentukan faktor dari suatu fungsi dapat dilakukan dengan cara mengklik menu evaluate formula lalu pilih menu factorisation kemudian masukkan fungsi yang akan difaktorkan.
2.2.5. Perhitungan atau komputasi Casyopee juga memberikan fitur layaknya kalkulator untuk melakukan perhitungan yang sulit dilakukan secara manual, misalnya untuk menghitung nilai sinus dan cosinus untuk sudut yang tidak istimewa.Namun biasanya perhitungan secara manual dapat dilakukan dengan rumus jumlah atau selisih dua sudut. Perhitungan dapat dilakukan dengan menggunakan menu create calculation lalu masukkan nilai yang akan dihitung.
2.3. Kelebihan dan Kekurangan Casyopee Banyaknya jenis software yang secara khusus diperuntukan untuk matematika, membuat guru ataupun akademisi matematika dapat memilah dan membandingkan keunggulan dan kelemahan masing-masing program. Sesuai dengan dasar pemilihan media banyak faktor yang dapat dipertimbangkan, misalnya kesesuaian atau kekhasan dengan materi yang akan diajarkan sehingga dapat mempermudah memanipulasi dan mengeksplor materi sesuai
170
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
dengan tujuan kompetensi matematika yang hendak dicapai. Untuk itu berikut akan disajikan kelebihan dari Casyopee: 1. Casyopee dapat diakses secara mudah di internet dan gratis di http://www.casyopee.eu. Jadi membuka peluang bagi siapa saja yang ingin memanfaatkan software ini dalam pembelajaran matematika. 2. Casyopee terdiri dari dua jendela yaitu jendela simbolis/aljabar dan jendela geometri sehingga suatu ekspresi pada jendela aljabar bersesuaian dengan suatu objek pada jendela geometri dan sebaliknya. 3. Fitur Casyopee yang khas yaitu dapat membuat perintah set angka dan parameter untuk menentukan domain interaktif sangat bersesuaian dengan materi fungsi. Fungsi didefinisikan dengan formula yang melibatkan fungsi variabel, dan domain yang memadai. Jadi Casyopee dapat menjadi media pembelajaran yang efektif dalam mengajarkan materi fungsi 4. Casyopee tidak menggunakan bahasa perintah, jadi mempermudah siswa untuk menggunakan setiap menu dan fiturnya 5. Hasil pekerjaan pada jendela Casyopee dapat disalin ke Word, Excel, ataupun ke dalam Microsoft Office lainnya. 6. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan di negara asal software ini, Casyopee dapat meningkatkan pemahaman siswa dalam belajar matematika 7. Casyopee dapat meningkatkan komunikasi matematis siswa dalam belajar matematika karena siswa dituntut dapat mengubah bahasa verbal pada materi pelajaran menjadi bahasa matematika untuk dituangkan pada menu software ini 8. Guru dapat menggunakan bahan ajar matematika dengan menggunakan Casyopee yang bersifat eksploratif bukan informatif, sehingga siswa dapat menuangkan ide dan gagasan dalam menyelesaikan masalah matematika 9. Software Casyopee dapat menggeser porsi peran guru menjadi lebih kecil yang bersifat fasilitator, sehingga siswa lebih aktif dalam pembelajaran. Selain kelebihan-kelebihan yang telah disebutkan, ada beberapa kekurangan Casyopee ini dalam pembelajaran matematika, diantaranya adalah: 1. Pada awal penggunaan software casyopee, siswa akan mendapat sedikit kesulitan karena baru menyesuaikan dengan software baik itu menu ataupun fitur-fiturnya. Dibutuhkan peran guru dan waktu penggunaan yang cukup lama serta terus-menerus sehingga Casyopee dapat digunakan oleh siswa dalam pembelajaran secara optimal. 2. Belum adanya buku petunjuk penggunaan versi yang terbaru yaitu Casyopee versi 2.6.8. baru ada manual book versi 01, sehingga menuntut seseorang yang ingin memperdalam mempelajari secara otodidak. 3. Casyopee diperuntukkan pada jenjang menengah ke atas, sehingga untuk pembelajaran jenjang dasar kurang tepat.
3.
Kesimpulan
Salah satu pilihan software yang dapat diaplikasikan penggunaannya dalam pelajaran matematika adalah Casyopee. Casyopee dapat melakukan kerja pada dua jendela sekaligus yang saling berhubungan, yaitu jendela geometris dan jendela aljabar. Casyopee diperuntukkan penggunaannya pada jenjang menengah ke atas ini merujuk kepad fitur-fitur
171
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
yang disediakan. Casyopee dapat bekerja lebih baik pada materi fungsi mengingat fitur khas casyopee yang dapat membuat parameter secara interaktif. Terlepas dari beberapa kelemahan yang lazim dimiliki suatu software, penggunaan casyopee dalam jangka waktu yang lama dan terus-menerus telah berhasil meningkatkan kemampuan matematis siswa khususnya di negara asal software Casyopee yaitu Perancis. Selain itu siswa menjadi lebih tertarik mempelajari sendiri materi matematika karena mereka merasakan dapat menerapkan ide serta memperoleh banyak pengalaman belajar dalam proses penyelesaian masalah matematika dengan menggunakan Casyopee.
4.
Saran
Casyopee pada awalnya akan mengakibatkan sedikit kesulitan dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk beradaptasi, maka peran guru menjadi penting sebagai fasilitator. Maka diharapkan guru lebih dahulu harus melek TIK khusunya komputer serta Casyopee itu sendiri. Dikarenakan belum banyaknya penelitian-penelitian tentang penggunaan Casyopee dalam pembelajaan matematika, maka diharapkan dilakukan penelitian lebih lanjut sehingga dapat menjadi bahan rujukan dalam pelaksanaan pembelajaran matematika berbasis TIK.
Daftar Pustaka Lagrange, JB & Le Feuvre, B. (2007).User Manual V.01. http://remath.cti.gr Lagrange, JB & Kiem Minh Tran. (2010). Learning about Function with a Geometrical and Symbolic Software Environment: a Study of Students’ Instrumental Genesis along Two Years. http://atcm.mathandtech.org/ep2010/regular/3052010_18465.pdf Lagrange, JB. (2009). Casyopee, a symbolic environment for secondary student and teachers. http://rfdz.phnoe.ac.at/fileadmin/Mathematik_Uploads/ACDCA/VISITME2002/contribs/Lagrange/Lagra nge.pdf Lagrange, Jean Baptise & Chiappini, Giampaolo. (2007) Integrating The Learning of Algebra with Technology at The European Level: Two Examples in The Remath Project.http://jb.lagrange.free.fr/site/papers/CERME_Lagrange_Chiappini_def1.pdf Team of MKPBM. (2001). Contemporary Mathematics Learning Strategies. Bandung: Indonesia University of Education. Casyopee (n.d.). http://www.casyopee.eu/index.php?lng=en
172
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN TEAMS GAMES TOURNAMENT DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK PADA MATERI OPERASI ALJABAR Via Yustitia Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, Jl. Dukuh Menanggal XII, Surabaya;
[email protected] Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan pengembangan perangkat pembelajaran matematika dengan model TGT dengan pendekatan saintifik pada materi operasi aljabar yang valid dan praktis; (2) mengetahui keefektifan pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran yang dikembangkan tersebut. Pengembangan perangkat pembelajaran dilakukan dengan menggunakan model 4-D Thiagarajan, dkk, namun peneliti hanya menempuh 3D (define, design, dan develop). Perangkat pembelajaran yang dikembangkan adalah RPP, LKS, dan tes kemampuan pemecahan masalah. Subjek ujicoba adalah siswa kelas VIII SMPN 2 Pemalang. Hasil validasi perangkat pembelajaran dinyatakan valid menurut ahli dengan diperoleh rata-rata validasi dalam rentang skor antara 1–4 dan telah memenuhi validitas isi, taraf kesukaran baik, daya pembeda baik, dan reliabel. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan praktis, dengan hasil ujicoba: (1) adanya respons positif dari siswa; (2) adanya respons yang baik dari guru; (3) keterlaksanaan RPP dalam pembelajaran pada kategori baik. Pembelajaran efektif pada kelas eksperimen karena setelah diujicobakan diperoleh hasil: (1) aktivitas siswa kelas uji coba berkategori baik; (2) rata-rata kemampuan pemecahan masalah siswa kelas uji coba perangkat lebih baik dari kelas kontrol; (3) kemampuan pemecahan masalah siswa telah mencapai ketuntasan klasikal. Dapat disimpulkan bahwa pengembangan perangkat TGT dengan pendekatan saintifik memenuhi kriteria valid, praktis, dan pembelajarannya efektif. Kata Kunci: pengembangan perangkat pembelajaran, pendekatan saintifik, TGT
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Salah satu upaya pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan adalah melakukan perubahan terhadap Kurikulum 2006 menjadi Kurikulum 2013. Permendikbud Nomor 58 Tahun 2014 menjelaskan salah satu tujuan pembelajaran Matematika di SMP adalah mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Inti pembelajaran Matematika terletak pada problem solving, namun problem solving yang dilakukan secara otomatis juga menyentuh persoalan penalaran untuk membangun pola berpikir kritis siswa. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru Matematika SMPN 2 Pemalang, siswa masih kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal yang mengacu pada aspek pemecahan masalah, salah satunya pada materi operasi aljabar kelas VIII. Hal itu ditunjukkan dengan nilai rata-rata ulangan harian kelas VIII pada materi operasi aljabar belum mencapai ketuntasan belajar. Berdasarkan observasi yang dilakukan di kelas, diperoleh beberapa kondisi yang menunjukkan bahwa: (1) siswa belum mampu untuk menyatakan situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam model Matematika; (2) siswa belum terbiasa
173
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
untuk berdiskusi secara berkelompok; (3) siswa sering mengalami kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan pada buku siswa apabila soal yang diberikan sedikit berbeda dengan permasalahan sebelumnya; (4) aktivitas belajar siswa yang belum maksimal dapat diamati dengan hanya 15% siswa yang bertanya selama proses pembelajaran berlangsung, siswa belum berani mengemukakan pendapatnya saat berdiskusi. Oleh karena itu, guru perlu memperhatikan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik pendekatan saintifik dan tujuan pengembangan kemampuan pemecahan masalah. Pemecahan masalah Matematika tidak semata-mata bertujuan untuk mencari sebuah jawaban yang benar, tetapi menghubungkan antara apa yang mereka pelajari, kemampuan yang mereka miliki, dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dimanfaatkan sesuai dengan situasi (Freitas: 2008). Menurut Polya, dalam pemecahan masalah terdapat empat langkah yang harus dilakukan yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan masalah sesuai rencana dan menafsirkan, dan melihat kembali. Kim (2012) menjelaskan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa dapat ditingkatkan melalui pembelajaran yang berpusat pada siswa. Salah satu model pembelajaran tersebut adalah model pembelajaran kooperatif. Hasil penelitian Winarni (2014) menyatakan bahwa guru Matematika sebaiknya menggunakan model pembelajaran kooperatif dalam menerapkan pendekatan saintifik. Salah satu tipe dari model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT). Hasil penelitian Tampubolon (2013) menyatakan bahwa model pembelajaran TGT dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan pemahaman Matematika. Sejalan dengan itu, hasil penelitian Rohendi (2010) menyatakan bahwa aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks, menumbuhkan tanggung jawab, kejujuran, kerja sama, persaingan sehat, dan siswa aktif dalam belajar bersama kelompoknya. Oleh karena itu, model pembelajaran kooperatif TGT sangat relevan digunakan sesuai dengan karakteristik dari pembelajaran Matematika di SMP. Pembelajaran Matematika di kelas tidak cukup hanya dilakukan dengan mengintegrasikan model dan pendekatan, tapi juga diperlukan perangkat pembelajaran Matematika yang sesuai dengan karakteristik Kurikulum 2013. Beberapa perangkat pembelajaran yang perlu dipersiapkan diantaranya Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kegiatan Siswa (LKS), dan soal tes. Berdasarkan hasil observasi peneliti bahwa perangkat pembelajaran yang digunakan oleh guru Matematika SMPN 2 Pemalang, belum cukup mampu memfasilitasi guru untuk mempersiapkan antisipasi terhadap kemungkinan beragamnya respons siswa dalam pembelajaran. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan dan kondisi lapangan yang memerlukan adanya upaya pemecahan masalah, salah satu cara pemecahannya adalah peneliti melakukan pengembangan perangkat pembelajaran model kooperatif TGT dengan pendekatan saintifik sehingga diperoleh perangkat pembelajaran yang valid, praktis, dan efektif untuk pembelajaran Matematika pada materi operasi aljabar kelas VIII SMP.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
174
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
1.
2.
Bagaimana pengembangan dan hasil pengembangan perangkat pembelajaran Matematika model TGT dengan pendekatan saintifik pada materi operasi aljabar yang valid dan praktis? Bagaimana keefektifan pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran Matematika model TGT dengan pendekatan saintifik pada materi operasi aljabar?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan proses dan hasil pengembangan perangkat pembelajaran Matematika dengan model TGT dengan pendekatan saintifik pada materi operasi aljabar yang valid dan praktis; (2) mengetahui keefektifan pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran Matematika dengan model TGT dengan pendekatan saintifik pada materi operasi aljabar.
2. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk dalam penelitian pengembangan. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMPN 2 Pemalang Tahun Pelajaran 2014/2015. Uji coba penelitian ini dilakukan di kelas VIII SMPN 2 Pemalang. Sampel penelitian sebanyak 70 responsden yang terdiri atas 35 siswa sebagai kelas eksperimen dan 35 siswa sebagai kelas kontrol. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan meliputi: (1) RPP; (2) LKS; (3) Tes Kemampuan Pemecahan Masalah pada materi operasi aljabar. Pengembangan perangkat pembelajaran dalam penelitian ini mengacu pada model pengembangan 4-D Thiagarajan dkk (dalam Rochmad, 2012), namun dalam penelitian ini peneliti hanya menempuh 3D, yaitu define, design, dan develop. Tujuan tahap define adalah menetapkan dan mendefinisikan syarat-syarat pembelajaran. Dalam menentukan dan menetapkan syarat-syarat pembelajaran diawali dengan analisis tujuan dan batasan materi yang dikembangkan perangkatnya. Ada 5 langkah pokok dalam tahap pendefinisian yaitu analisis awal akhir, analisis siswa, analisis materi, analisis tugas, dan perumusan tujuan pembelajaran. Tahap design adalah tahap untuk menyiapkan prototipe perangkat pembelajaran. Perancangan awal ini merupakan perancangan perangkat pembelajaran beserta instrumen yang akan dikembangkan. Tahap develop adalah tahapan untuk memodifikasi prototipe perangkat pembelajaran sehingga menghasilkan perangkat pembelajaran. Tahap develop ini terdiri atas validasi perangkat pembelajaran, uji keterbacaan, dan uji coba. Uji efektivitas bertujuan untuk mengetahui keefektifan perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan. Uji efektivitas menggunakan penelitian eksperimental semu. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah hasil belajar Matematika aspek pemecahan masalah, sedangkan variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran. Metode pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi, observasi, angket, dan tes. Instrumen yang digunakan yaitu lembar validasi, lembar observasi keterlaksanaan RPP, lembar observasi aktivitas siswa, angket respons siswa, dan angket respons guru. Kualitas produk yang dikembangkan sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nieveen (dalam Rochmad, 2012), yaitu jika memenuhi aspek kualitas yang dilihat dari validitas, kepraktisan,
175
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
dan keefektifan. Analisis data kevalidan perangkat pembelajaran. Perangkat pembelajaran dikatakan valid jika rata-rata skor masing-masing perangkat berada pada kategori baik atau sangat baik. Analisis data kepraktisan perangkat pembelajaran, meliputi: (1) analisis data respons siswa terhadap pembelajaran. Respons siswa dikatakan mempunyai respons positif jika rata-rata persentase respons siswa lebih dari75%; (2) Analisis respons guru terhadap perangkat pembelajaran dikategorikan praktis jika respons guru terhadap perangkat pembelajaran minimal baik; (3) analisis data keterlaksanaan RPP dalam pembelajaran dikatakan praktis jika termasuk dalam kategori baik atau sangat baik. Analisis data keefektifan perangkat pembelajaran, meliputi: (1) Analisis data aktivitas siswa termasuk dalam kategori baik atau sangat baik; (2) kemampuan pemecahan masalah siswa yang dikenai pembelajaran TGT dengan pendekatan saintifik lebih baik daripada yang dikenai pembelajaran klasikal dengan pendekatan saintifik, yang diuji menggunakan uji perbedaan rata-rata; (3) kemampuan pemecahan masalah siswa kelas pembelajaran TGT dengan pendekatan saintifik pada materi operasi aljabar mencapai ketuntasan belajar klasikal. Ketuntasan klasikal dihitung menggunakan uji proporsi pihak kanan dengan proporsi ketuntasan klasikal sebesar 75%.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil validasi perangkat pembelajaran oleh ahli, diperoleh bahwa masing perangkat pembelajaran valid dengan kategori baik, artinya perangkat pembelajaran dapat digunakan dengan sedikit revisi. Secara umum, hasil validasi oleh para ahli ditunjukkan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Hasil Validasi Perangkat Pembelajaran Skor dari Validator Perangkat Skor Kriteria Pembelajaran Rata-rata I II III IV V RPP 3,25 3,46 3,25 3,32 3,32 3,32 Baik LKS 3,11 3,44 3,67 3,44 3,44 3,42 Baik TKPM 3,44 3,33 3,56 3,33 3,56 3,44 Baik Berdasarkan komentar dan saran dari validator dilakukan evaluasi dan ditindaklanjuti dengan melakukan revisi pada bagian yang perlu diperbaiki. RPP yang dikembangkan memiliki karakteristik antara lain: (1) RPP mencantumkan kompetensi inti, kompetensi dasar, dan indikator pencapaian kompetensi yang jelas; (2) penyusunan RPP mengacu pada tuntutan Kurikulum 2013 yang diterapkan di SMP; (3) memuat fase-fase model pembelajaran Teams Games Tournament; (4) memuat komponen 5M yang merupakan prinsip dari pendekatan saintifik; (5) memberikan siswa pengalaman belajar mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui model pembelajaran TGT dengan pendekatan saintifik; (6) penyajian materi diawali dengan fenomena dan masalah nyata di sekitar siswa; (7) mengarahkan siswa untuk memecahkan masalah melalui tahapan kegiatan pembelajaran dan media LKS yang digunakan. LKS yang dikembangkan memiliki karakteristik antara lain: (1) LKS mencantumkan kompetensi inti, kompetensi dasar dan indikator pencapaian kompetensi yang jelas; (2) LKS berisi latihan soal dan kegiatan siswa yang diharapkan mampu melatih kemampuan pemecahan masalah siswa; (3) LKS memfasilitasi siswa dalam belajar kelompok sehingga
176
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
LKS diharapkan dapat memfasilitasi siswa secara aktif bereksplorasi dengan cara berdiskusi kelompok untuk menyelesaikan soal pemecahan masalah; (4) LKS memberikan siswa kesempatan untuk memikirkan berbagai alternatif solusi dalam menyelesaikan permasalahan karena format yang dipilih juga disesuaikan dengan 5M pendekatan saintifik dan langkahlangkah penyelesaian masalah menurut Polya. Contoh tampilan LKS yang telah dikembangkan ditunjukkan pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Tampilan LKS yang telah dikembangkan Soal tes kemampuan pemecahan masalah yang dikembangkan memiliki karakteristik antara lain: (1) soal tes disesuaikan dengan indikator pencapaian kompetensi pada materi operasi aljabar; (2) soal tes disesuaikan dengan kriteria soal pemecahan masalah dan jawabannya harus melalui proses 4 tahap pemecahan masalah menurut Polya. Produk akhir tes kemampuan pemecahan masalah adalah seperangkat soal yang memenuhi kriteria validitas isi, tingkat kesukaran baik, daya pembeda baik, dan reliabel. Setelah soal dinyatakan valid secara kualitatif berdasarkan konten, konstruk, dan bahasa kemudian soal tes kemampuan pemecahan masalah diujicobakan. Uji coba perangkat tes kemampuan pemecahan masalah dilakukan di kelas VIII C. Soal uji coba terdiri dari 8 soal uraian yang harus dikerjakan siswa dalam waktu 80 menit. Berdasarkan hasil uji coba tes tersebut, diperoleh 5 soal yang memenuhi kriteria tingkat kesukaran, daya beda, dan reliabilitas baik. Berdasarkan hasil validasi yang dilakukan oleh lima orang ahli, diperoleh bahwa perangkat pembelajaran matematika yang dikembangkan berada dalam kategori valid.Tercapainya kriteria valid tersebut disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) komponen-komponen perangkat pembelajaran matematika model TGT dengan pendekatan saintifiktelah sesuai landasan teori dan indikator yang terdapat pada instrumen validitas perangkat pembelajaran; (2) penyusunan perangkat pembelajaran matematika mengacu pada tuntutan standar proses SMP Kurikulum 2013; (3) RPP, LKS, dan tes kemampuan pemecahan masalah
177
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
dikembangkan dengan mengakomodasi pelaksanaan Kurikulum 2013 dalam pembelajaran. Hasil revisi draft I perangkat pembelajaran selanjutnya dijadikan draft II perangkat pembelajaran. Tahap berikutnya adalah melakukan uji coba draft II perangkat pembelajaran dalam proses pembelajaran di kelas. Uji coba perangkat pembelajaran di lapangan bertujuan untuk mencari kepraktisan dan keefektifan perangkat pembelajaran. Uji coba perangkat pembelajaran dilakukan pada kelas eksperimen, yaitu kelas VIII H SMPN 2 Pemalang, sedangkan kelas kontrol adalah kelas VIII E SMPN 2 Pemalang. Sebelum uji coba perangkat pembelajaran dilaksanakan, perlu dilakukan uji prasyarat dengan uji normalitas dan uji homogenitas serta uji keseimbangan.Berdasarkan nilai UAS Matematika kelas VII semester genap pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, diperoleh bahwa kedua sampel berasal dari populasi berdistribusi normal, homogen, serta tidak ada perbedaan rerata antara dua populasi tersebut. Hasil uji coba perangkat pembelajaran menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan praktis, dengan indikator: (1) pengamat berpendapat bahwa keterlaksanaan RPP dalam pembelajaran baik; (2) respons siswa terhadap perangkat pembelajaran positif; (3) respons guru terhadap perangkat pembelajaran baik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Rochmad (2012) bahwa kepraktisan mengacu pada tingkat bahwa pengguna (atau pakarpakar lainnya) mempertimbangkan intervensi dapat digunakan dan disukai dalam kondisi normal. Perangkat pembelajaran praktis karena keterlaksanaan pembelajaran baik dan respons siswa guru baik. Hasil uji coba pembelajaran model TGT dengan pendekatan saintifik telah menunjukkan hasil: (1) aktivitas siswa di kelas eksperimen baik; (2) kemampuan pemecahan masalah siswa kelas uji coba perangkat lebih baik daripada kelas pembelajaran klasikal dengan pendekatan saintifik; (3) proporsi siswa yang dikenai model pembelajaran TGT dengan pendekatan saintifik di SMPN 2 Pemalang. Berdasarkan ketiga hal tersebut berarti uji coba pembelajaran model TGT dengan pendekatan saintifik telah menghasilkan proses pembelajaran yang efektif. Keberhasilan pembelajaran dengan model TGT dengan pendekatan saintifik disebabkan karena model tersebut dan perangkat pembelajarannya berhasil meningkatkan kerjasama siswa ke arah positif terutama kemampuan membantu teman memecahkan masalah secara individu maupun berdiskusi sampai dengan ditemukan solusinya dan memperhatikan kesulitan siswa lain. Siswa lebih terlatih menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah sehingga kemampuan pemecahan masalahnya menjadi lebih baik. Pengembangan perangkat pembelajaran matematika model TGT dengan pendekatan saintifik untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa SMP pada kelas eksperimen menciptakan proses pembelajaran dan transfer ilmu pengetahuan yang lebih optimal dibanding pada kelas kontrol sehingga wajar jika kemampuan pemecahan masalah siswa di kelas uji coba lebih baik daripada di kelas kontrol. Keberhasilan tersebut disebabkan karena pembelajaran dengan model kooperatif TGT berbasis konstruktivisme dan perangkat pembelajaran berhasil meningkatkan kemampuan dan kecakapan yang dimiliki siswa ke arah positif. Hasil ini telah sesuai dengan pendapat Bahbahani (2006) yang menyatakan bahwa penggunaan variasi pembelajaran konstruktivisme dalam pembelajaran mempengaruhi prestasi, motivasi, dan aktualisasi diri siswa. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Tran
178
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
(2013), Tarim dan Akdeniz (2008), Özsoy dan Yildiz (2004) menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar matematika serta lebih baik dari model pembelajaran langsung. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Putrawan (2014) dan Dewi dkk (2014) yang menyimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan saintifik efektif.
4. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pengembangan dan uji coba yang dilakukan, maka dapat dikemukakan simpulan bahwa:(1) perangkat pembelajaran matematika dengan model TGT dengan pendekatan saintifik pada materi operasi aljabar adalah valid berdasarkan penilaian ahli; (2) perangkat pembelajaran yang dikembangkan praktis, karena setelah diujicobakan menunjukkan adanya respons positif dari siswa, adanya respons yang baik dari guru, dan keterlaksanaan RPP dalam pembelajaran pada kategori baik; (3) pembelajaran efektif pada kelas eksperimen karena setelah diujicobakan menunjukkan aktivitas siswa kelas uji coba berkategori baik, rata-rata kemampuan pemecahan masalah siswa kelas uji coba perangkat lebih baik dari kelas kontrol, dan kemampuan pemecahan masalah siswa telah mencapai ketuntasan klasikal. Berdasarkan simpulan hasil penelitian di atas, penulis dapat memberikan beberapa saran yang dirangkum sebagai berikut.(1) Mengacu pada hasil penelitian ini, model pembelajaran TGT dengan pendekatan saintifik memberikan kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik daripada model pembelajaran klasikal. Melihat hal ini, guru mata pelajaran matematika disarankan untuk menggunakan model pembelajaran tersebut dalam pembelajaran matematika. Selain itu, guru hendaknya lebih kreatif dalam membuat soal pemecahan masalah. (2) Mengacu pada hasil penelitian ini, diharapkan kepala sekolah memberi motivasi kepada para guru untuk selalu berinovasi dalam melakukan pembelajaran di kelas. (3) Pada penelitian ini dikembangkan perangkat pembelajaran TGT dengan pendekatan saintifik sehingga bagi para calon peneliti diharapkan dapat meneruskan atau mengembangkan perangkat pembelajaran lainnya. (4) Hasil penelitian ini terbatas pada materi operasi aljabar kelas VIII SMP, untuk itu dapat dikembangkan pada materi lain dan jenjang yang lain pula.
5. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada: kepala SMPN 2 Pemalang yang telah memberikan ijin penelitian kepada penulis, guru matematika kelas VIII SMPN 2 Pemalang yang telah membantu dan membimbing penulis pada saat pelaksanaan penelitian, siswa kelas VIII SMPN 2 Pemalang tahun pelajaran 2014/2015 yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Bahbahani, K. 2006. Inside Look: An Interior Potrait of Contructivist Teachers. International Journal Contructivist. vol.17, no. 1, hlm.1-16. Dewi, P.D., Suharta, P.G., dan Ardana, M.I. 2014. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Scientific Berorientasi Teknologi Informasi dan komunikasi untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Penalaran Siswa.
179
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. vol. 3, no. 1, hlm. 112. Freitas, D.E. 2008. Critical Mathematics Education: Recognizing the Ethical Dimension of Problem Solving. International Electronic Journal of Mathematics Education, vol. 3, no. 2. hlm. 79-95. Kim, D. H. 2012. Improving Problem Solving and Critical Thinking among Korean Nursing Student over an Academic Year. Educational Research Journal, vol. 2, no. 8, hlm: 257-265. Özsoy, N dan Yildiz, N. 2004. The Effect of Learning Together Technique of Cooperative Learning Method on Student Achievement in Mathematics Teaching 7th Class of Primary School “Işbirlikli Öğrenme” Yönteminin Ilköğretim 7.Sinif Matematik Öğretiminde Öğrenci Başarisi Üzerine Etkisi. The Turkish Online Journal of Educational Technology. vol.3, no. 7, hlm. 49-54. Putrawan, A.A. 2014. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Scientific Berbantuan Geogebra dalam Upaya Meningkatkan Keterampilan Komunikasi dan Aktivitas Belajar Matematika Siswa Kelas VIII SMP. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. vol. 3, no. 1, hlm. 13-26. Rochmad. 2012. Desain Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika. Journal Kreano FMIPA UNNES. vol. 3, no.1, hlm. 59-72. Rohendi, D. 2010. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament Berbasis Multimedia dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jurnal Pendidikan Teknologi Informasi dan Komunikasi (PTIK). vol. 3, no. 1, hlm. 15-25. Slavin, R.E. 2008. Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik. Translated by Narulita Yusron. 2008. Bandung: Penerbit Nusa Media. Suherman, E., Turmudi, Suryadi, Herman, T., dan Suhendra. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA. Tampubolon, P. 2013. Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Pemahaman Matematika Siswa Melalui Strategi Kooperatif Tipe TGT. Prosiding Seminar Nasional Fakultas Sains dan Matematika. Salatiga: UKSW. Tarim, K dan Akdeniz, F. 2008. The Effects of Cooperative Learning on Turkish Elementary Students’ Mathematics Achievement and Attitude Towards Mathematics Using TAI and STAD Methods, Educaton Study Math. vol.67, no. 3, hlm. 77-91. Tran, V.D. 2013. Effects of Student Teams Achievement Division (STAD) on Academic Achievement, and Attitudes of Grade 9th Secondary School Students towards Mathematics. International Journal of Sciences. vol.2, no. 1, hlm 5-15. Winarni, S. 2014. Peranan Cooperative Learning dalam Pembelajaran Matematika pada Kurikulum 2013. Jurnal Edumatica. vol 4, no. 1, hlm. 16-22.
180
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
PEDOMAN PENSKORAN Sumaryanta PPPPTK Matematika, Yogyakarta,
[email protected] Abstrak. Salah satu aspek yang mempengaruhi keakuratan dan keadilan hasil penilaian adalah ketepatan guru dalam mengoreksi hasil jawaban siswa. Koreksi yang dilakukan tanpa hati-hati dan cermat berpotensi menghasilkan skor penilaian yang tidak tepat. Hal ini akan menyebabkan kurang tepatnya penilaian yang diberikan guru pada siswa. Dalam konteks inilah pedoman penskoran penting dan mutlak harus disiapkan sebaik-baiknya oleh guru. Pedoman penskoran merupakan pedoman menentukan skor terhadap hasil pekerjaan siswa. Dengan pedoman penskoran yang baik, guru memiliki pijakan yang jelas dalam memberikan skor terhadap jawaban siswa. Artikel ini merupakan hasil kajian pustaka disertai contoh pengembangan pedoman penskoran. Melalui artikel ini diharapkan guru memiliki pemahaman yang lebih jelas dan komprehensif tentang pedoman penskoran sehingga dapat melaksanakan penilaian objektif dan akuntabel. Kata Kunci: Penilaian, Pedoman, Penskoran
1. Pendahuluan Dalam Permendiknas No 16 Tahun 2007 tentang Kualifikasi Akademik dan Standar Kompetensi Guru dinyatakan bahwa salah satu kompetensi inti guru adalah menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar. Kompetensi inti tersebut dijabarkan dalam tujuh kompetensi, yaitu: 1) memahami prinsip-prinsip penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diampu, 2) menentukan aspek-aspek proses dan hasil belajar yang penting untuk dinilai dan dievaluasi sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diampu, 3) menentukan prosedur penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, 4) mengembangkan instrumen penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, 5) mengadministrasikan penilaian proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan mengunakan berbagai instrumen, 6) menganalisis hasil penilaian proses dan hasil belajar untuk berbagai tujuan, dan 7) melakukan evaluasi proses dan hasil belajar. Memperhatikan tuntutan kompetensi guru pada Permendiknas di atas, dapat diketahui bahwa salah satu kompetensi yang harus dimiliki guru adalah mengembangkan instrumen penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar. Kompetensi ini tidak terpisah dengan kompetensi lainnya. Kompetensi ini sangat penting untuk mendapatkan keakuratan dan keadilan penilaian pada siswa. Hanya dengan instrumen penilaian yang baik, guru dapat memperoleh hasil penilaian yang baik. Instrumen penilaian yang baik harus dilengkapi ketentuanketentuan yang diperlukan untuk menentukan skor perolehan siswa. Ketentuan-ketentuan inilah yang dikenal dengan pedoman penskoran. Pedoman penskoran diperlukan sebagai pedoman menentukan skor hasil kerja siswa sehingga diperoleh skor seobjektif mungkin. Oleh karena itu, penting bagi guru mempelajari dengan baik pedoman penskoran serta langkah mengembangkannya sehingga hasil penilaian yang diperoleh lebih akurat dan berkeadilan.
181
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
2. Pengertian dan Jenis Pedoman Penskoran Dalam evaluasi pembelajaran diperlukan pedoman penskoran yang dapat digunakan sebagai petunjuk menilai pekerjaan siswa (Charlotte Danielson, 1997). Pedoman penskoran adalah pedoman yang digunakan untuk menentukan skor hasil penyelesaian pekerjaan siswa. Skor ini kemudian ditafsirkan menjadi nilai. Kesulitan yang dihadapi adalah menetapkan skor dengan tepat terhadap penyelesaian pekerjaan siswa, baik tugas, ulangan, atau yang lain. Konsistensi penskoran sangat penting untuk pemerolehan hasil penilaian antar siswa yang tidak bias dikarenakan penilaian guru yang tidak konsisten. Proses pengembangan pedoman penskoran perlu memperhatikan aspek dan kriteria yang digunakan sebagai kerangka untuk menentukan skor terhadap hasil kerja siswa (Charlotte Danielson, 1997). Aspek dan kriteria ini harus didefinisikan dengan jelas dan benar sebagai pijakan dalam perumusan pedoman penskoran lebih lanjut. Aspek belajar yang dinilai harus diselaraskan dengan kompetensi yang dipelajari siswa sehingga dapat membimbing guru memberikan penilaian yang akurat. Kriteria penilaian juga penting ditentukan dengan baik sebagai pijakan menentukan standar penskoran yang akan ditetapkan dalam pedoman. Kriteria yang jelas akan membantu pengembang untuk menghasilan pedoman penskoran yang tepat sehingga penilaian yang dihasilkan akan berkeadilan. Akurasi dan keadilan penilaian merupakan prasyarat mutlak untuk dapat dihasilkannya penilaian yang objektif dan akuntabel, selaras dengan tuntutan penilaian menurut Permendikbud No. 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian. Dalam Permendikbud tersebut dijelaskan bahwa penilaian harus dilakukan dengan objektif dan akuntabel, yaitu berbasis pada standar dan tidak dipengaruhi oleh faktor subjektivitas penilai serta harus dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak internal maupun eksternal sekolah. Pedoman penskoran yang baik akan membantu guru menjawab kebutuhan terpenuhinya kedua prinsip penilaian tersebut. Pedoman penskoran diperlukan baik untuk tes bentuk pilihan maupun uraian. Kedua bentuk tes tersebut memerlukan pedoman yang jelas apa dan bagaimana penilaian dilakukan.
2.1 Penskoran Tes Bentuk Pilihan Cara penskoran tes bentuk pilihan ada dua, yaitu tanpa koreksi terhadap jawaban tebakan dan dengan koreksi terhadap jawaban tebakan (Djemari Mardapi. 2008). 1) Penskoran tanpa koreksi terhadap jawaban tebakan Untuk memperoleh skor dengan teknik penskoran ini digunakan rumus sebagai berikut: Skor =
100
Keterangan: B : banyaknya butir yang dijawab benar N : banyaknya butir soal Penskoran tanpa koreksi saat ini banyak digunakan dalam penilaian pembelajaran. Namun teknik penskoran ini sesungguhnya mengandung kelemahan karena kurang
182
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
mampu mencegah peserta tes berspekulasi dalam menjawab tes. Hal ini disebabkan tidak adanya resiko bagi siswa ketika memberikan tebakan apapun dalam memilih jawaban sehingga jika mereka tidak mengetahui jawaban mana yang paling tepat maka mereka leluasa memilih salah satu pilihan secara sembarang. Benar atau salahnya jawaban sembarang tidak menunjukkan kemampuan siswa. Semakin banyak jawaban tebakan semakin besar penyimpangan skor dengan penguasaan kompetensi siswa yang sesungguhnya. 2) Penskoran dengan koreksi terhadap jawaban tebakan Untuk memperoleh skor siswa dengan teknik penskoran ini digunakan rumus sebagai berikut: Skor = Keterangan B : banyaknya butir soal yang dijawab benar S : banyaknya butir yang dijawab salah P : banyaknya pilihan jawaban tiap butir. N : banyaknya butir soal Butir soal yang tidak dijawab diberi skor 0. Keunggulan teknik penskoran ini dibanding penskoran tanpa koreksi adalah teknik ini lebih mampu meminimalisir spekulasi jawaban siswa. Jika siswa mengetahui jawaban salah akan berdampak berkurangnya skor yang akan mereka dapatkan maka siswa akan lebih hati-hati memilih jawaban. Jika siswa tidak memiliki keyakinan yang cukup tentang kebenaran jawabannya, maka siswa akan memilih mengosongkan jawaban untuk menghindari pengurangan. Contoh 1. Andaikan Rizki mengerjakan soal pilihan ganda sebanyak 30 butir dengan 4 alternatif jawaban. Pekerjaan yang benar sebanyak 16 butir. Skor yang diperoleh Rizki dihitung sebagai berikut
Skor
= = = 37,777778 38
2.2 Penskoran bentuk uraian Pedoman penskoran tes bentuk urian ada dua macam, yaitu pedoman penskoran analitik dan penskoran holistic (Djemari Mardapi. 2008).
183
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
a. Menggunakan penskoran analitik Penskoran analitik digunakan untuk permasalahan yang batas jawabannya sudah jelas dan terbatas. Biasanya teknik penskoran ini digunakan pada tes uraian objektif yang mana jawaban siswa diuraikan dengan urutan tertentu. Jika siswa telah menulis rumus yang benar diberi skor, memasukkan angka ke dalam formula dengan benar diberi skor, menghasilkan perhitungan yang benar diberi skor, dan kesimpulan yang benar juga diberi skor. Jadi, skor suatu butir merupakan penjumlahan dari sejumlah skor dari setiap respon pada soal tersebut. b. Menggunakan penskoran dengan skala global (holistik) Teknik ini cocok untuk penilaian tes uraian non objektif. Caranya adalah dengan membaca jawaban secara keseluruhan tiap butir kemudian meletakkan dalam kategorikategori mulai dari yang baik sampai kurang baik, bisa tiga sampai lima. Jadi tiap jawaban siswa dimasukkan dalam salah satu kategori, dan selanjutnya tiap jawaban tiap kategori diberi skor sesuai dengan kualitas jawabannya. Kualitas jawaban ditentukan oleh penilai secara terbuka, misalnya harus ada data atau fakta, ada unsur analisis, dan ada kesimpulan. Penskoran soal uraian kadang menggunakan pembobotan. Pembobotan soal adalah pemberian bobot pada suatu soal dengan membandingkan terhadap soal lain dalam suatu perangkat tes yang sama. Pembobotan soal uraian hanya dilakukan dalam penyusunan perangkat tes. Apabila soal uraian berdiri sendiri tidak dapat ditetapkan bobotnya. Bobot setiap soal mempertimbangkan faktor yang berkaitan materi dan karakteristik soal itu sendiri, seperti luas lingkup materi yang hendak dibuatkan soalnya, esensialitas dan tingkat kedalaman materi yang ditanyakan serta tingkat kesukaran soal. Hal yang juga perlu dipertimbangkan adalah skala penskoran yang hendak digunakan, misalnya skala 10 atau skala 100. Apabila digunakan skala 100, maka semua butir soal dijawab benar, skornya 100; demikian pula bila skala yang digunakan 10. Hal ini untuk memudahkan perhitungan skor. Skor akhir siswa ditetapkan dengan jalan membagi skor mentah yang diperoleh dengan skor mentah maksimumnya kemudian dikalikan dengan bobot soal tersebut. Rumus yang dipakai untuk penghitungan skor butir soal (SBS) adalah :
Keterangan
SBS =
xc
SBS a b c
: : : :
skor butir soal skor mentah yang diperoleh siswa untuk butir soal skor mentah maksimum soal bobot soal
Setelah diperoleh SBS, maka dapat dihitung total skor butir soal berbagai skor total siswa (STP) untuk serangkaian soal dalam tes yang bersangkutan, dengan menggunakan rumus : Keterangan
184
STP : skor total peserta SBS : skor butir soal
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Contoh 2. Bobot soal sama, dengan skala 0 sampai dengan 100
No. Soal 1 2 3 4 Jumlah
Skor Mentah Perolehan (a) 30 20 10 20 80
Skor Mentah Maksimum (b) 60 40 20 20 140
Bobot Soal (c) 20 30 30 20 100
Skor Bobot Soal (SBS) 10,00 15,00 15,00 20,00 60,00 (STP)
Contoh 3. Bila STP tidak sama dengan Total Bobot Soal dan Skala 100
No. Soal 01 02 03 04 Jumlah
Skor Mentah Perolehan (a) 30 40 20 10 100
Skor Mentah Maksimum (b) 60 40 20 20 140
Bobot Soal (c) 20 30 30 20 100
Skor Bobot Soal (SBS) 10.00 30.00 30.00 10.00 10.00 (STP)
Pada dasarnya STP merupakan penjumlahan SBS, bobot tiap soal sama semuanya. Contoh ini berlaku untuk soal uraian objektif dan uraian non-objektif, asalkan bobot semua butir soal sama. Pembobotan juga digunakan dalam soal bentuk campuran, yaitu pilihan dan uraian. Pembobotan soal bagian soal bentuk pilihan ganda dan bentuk uraian ditentukan oleh cakupan materi dan kompleksitas jawaban atau tingkat berpikir yang terlibat dalam mengerjakan soal. Pada umumnya cakupan materi soal bentuk pilihan ganda lebih banyak, sedang tingkat berpikir yang terlibat dalam mengerjakan soal bentuk uraian biasanya lebih banyak dan lebih tinggi. Suatu ulangan terdiri dari N1 soal pilihan ganda dan N2 soal uraian. Bobot untuk soal pilihan ganda adalah w1 dan bobot untuk soal uraian adalah w2. Jika seorang siswa menjawab benar n1 pilihan ganda dan n2 soal uraian, maka siswa itu mendapat skor:
Misalkan, suatu ulangan terdiri dari 20 bentuk pilihan ganda dengan 4 pilihan dan 4 buah soal bentuk uraian. Soal pilihan ganda dijawab benar 16 dan dijawab salah 4, sedang bentuk uraian dijawab benar 20 dari skor maksimum 40. Apabila bobot pilihan ganda adalah 0,40 dan bentuk uraian 0,60, skor dapat dihitung: a)
Skor pilihan ganda tanpa koreksi jawaban dugaan:
b)
Skor bentuk uraian adalah:
× 100 =80
×100 = 50.
185
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
c)
Skor akhir adalah: 0,4 × (80) + 0,6 × (50) = 62.
3. Pengembangan Pedoman Penskoran 3.1 Langkah-langkah pengembangan pedoman penskoran Ada tujuh langkah untuk mengembangkan pedoman penskoran, yaitu: menentukan tujuan, mengidentifikasi atribut, menjabarkan karakteristik atribut, menentukan teknik penskoran, menyusun pedoman penskoran, melakukan piloting/ujicoba terbatas, dan memperbaiki pedoman penskoran menjadi pedoman siap pakai (Charlotte Danielson, 1997). 1) Menentukan tujuan Tujuan akan mengarahkan pada langkah pengembangan selanjutnya. Tes dikembangkan sesuai kebutuhan pengumpulan data aspek-aspek yang memang menjadi tujuan pengukuran. Misalkan, akan dikembangkan pedoman penskoran tes uraian non objektif untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah siswa, akan berbeda dengan pedoman penskoran tes untuk mengukur kreativitas berpikir. Tes untuk pengukuran kemampuan pemecahan masalah harus mampu menggali informasi terkait kompetensi pemecahan masalah, antara memahami masalah, merumuskan penyelesaian masalah, melaksanakan rencana penyelesaian masalah, dan menarik kesimpulan. Begitu juga tes untuk mengukur pemahaman konsep, harus mampu mengukur domain-domain tentang kreativitas berpikir, misal: berpikir lancar, luwes, orisinil, terperinci, dan keterampilan menilai. 2) Identifikasi atribut secara spesifik yang ingin dinilai Pada tahap ini harus diidentifikasi aspek-aspek apa saja yang akan menjadi fokus penilaian. Jika tes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah maka harus ditetapkan indikatorindikator kunci kemampuan pemecahan masalah. Contoh lain, jika tes untuk mengukur kemampuan kreativitas berpikir siswa, maka harus ditetapkan apa saja indikator kunci kreativitas berpikir. 3) Menjabarkan karakteristik yang menggambarkan setiap atribut Setelah atribut yang akan diukur secara jelas telah teridentifikasi, langkah selanjutnya adalah menjabarkan karakteristik atribut tersebut. Karakteristik ini inilah yang selanjutnya akan menjadi poin pencermatan utama dalam penetapan skor. Misalkan pada pedoman penskoran tes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah, karakteristiknya antara lain: kemampuan memahami masalah, kemampuan merumuskan penyelesaian, kemampuan melaksanakan penyelesaian, kemampuan menyimpulkan/menafsirkan penyelesaian 4) Menentukan teknik penskoran Agar skor yang diperoleh dapat menggambarkan atribut yang diukur dengan baik, Anda harus menentukan teknik penskoran yang tepat. Anda dapat memilih salah satu disesuaikan kebutuhan, analitik atau holistik. Untuk penskoran tes uraian objektif menggunakan pedoman penskoran analitik, sedang tes uraian non objektif menggunakan pedoman penskoran holistik. Jika pada tes tersebut terdapat soal uraian objektif sekaligus non objektif, maka dapat digunakan kedua teknik penskoran tersebut sesuai dengan masing-masing soal.
186
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
5) Menyusun pedoman penskoran Penyusunan pedoman penskoran disesuaikan dengan teknik penskoran yang digunakan. Jika teknik penskoran menggunakan teknik penskoran analitik, langkah awalnya adalah membuat kunci jawaban seluruh butir soal. Selanjutnya menentukan skor setiap soal. Skor setiap soal ditetapkan dengan menetapkan skor setiap unit. Skor tiap butir diperoleh dengan menjumlah skor semua unit. Penetapan skor juga perlu memperhatikan bobot masing-masing butir, sehingga skor akhir mewakili secara proporsional keseluruhan dimensi yang diukur. Jika Anda menggunakan teknik penskoran holistik, penyusunan penskoran dapat diawali dengan menyusun atribut dan indikator kunci dari aspek yang diukur. Atribut dan indikator kunci tersebut kemudian dirumuskan menjadi kategori-kategori untuk menentukan skor jawaban. 6) Piloting/ujicoba terbatas penggunaan pedoman penskoran Piloting/ujicoba terbatas penggunaan pedoman penskoran menggunakannya pada beberapa lembar jawaban siswa.
dilakukan
dengan
a. Dilakukan sendiri Cermatilah aplikabilitas penskoran Anda, apakah bisa diterapkan atau tidak, menyulitkan atau tidak, jelas atau tidak, konsisten atau tidak, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan keterbacaannya. Jika masih terdapat yang belum tepat, informasi dari penggunaan terbatas ini digunakan untuk perbaikan. b. Melibatkan orang lain Ujicoba terbatas dapat dilakukan melibatkan teman guru lain. Mintalah teman Anda mengoreksi lembar jawaban siswa yang Anda koreksi tadi dengan penskoran yang Anda buat, sehingga diperoleh dua skor hasil koreksian. Hasil penskoran Anda dan teman Anda kemudian dibandingkan. Jika ternyata terdapat perbedaan yang signifikan antara skor hasil koreksi Anda dan teman Anda, dan perbedaan tersebut karena pedoman penskoran yang kurang tepat, maka langkah perbaikan harus dilakukan berdasarkan data temuan tersebut. 7) Memperbaiki pedoman penskoran Perbaikan dilakukan berdasarkan informasi yang ditemukan pada piloting/ujicoba terbatas. Perbaikan ini dapat meliputi penetapan skornya, redaksi, pembobotan, atau temuan lain yang dipandang perlu untuk kebaikan dan kemudahan penggunaan pedoman penskoran tersebut. 3.2 Mengembangkan Pedoman Penskoran 1) Pedoman penskoran analitik Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pedoman ini digunakan untuk tes bentuk uraian objektif. Berikut salah satu contoh pengembangan pedoman penskoran analitik yang akan digunakan sebagai pedoman penentuan skor tes untuk mengukur penguasaan kompetensi peserta didik dalam menghitung volume benda berbentuk balok dan mengubah satuan ukurannya. Misalkan indikator dan butir soalnya adalah sebagai berikut: Indikator :
Siswa dapat menghitung volum bak mandi berbentuk balok jika diketahui panjang, sisi, dan tingginya serta mengubah satuan ukuran.
187
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Butir Soal :
Sebuah bak mandi berbentuk balok berukuran panjang 150 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 75 cm. Berapa literkah isi volum bak mandi tersebut?
Mencermati atribut dan karakteristiknya, teknik penskoran yang tepat pada pedoman penskoran soal di atas adalah penskoran analitik karena batas jawaban sudah jelas dan terbatas. Setelah ditetapkan tujuannya, Anda harus menentukan atribut yang akan diukur, yaitu penguasaan kompetensi menghitung volum benda berbentuk balok dan mengubah satuan ukurnya. Atribut ini kemudian dijabarkan karakteristiknya menjadi aspek-aspek yang diukur, misal: menentukan rumus yang akan digunakan, menghitung volum berdasar rumus yang ditetapkan, dan mengubah satuan. Langkah selanjutnya Anda membuat kunci jawaban secara lengkap diuraikan dengan menurut urutan tertentu. Bila siswa telah menulis rumus yang benar diberi skor, memasukkan angka ke dalam formula dengan benar diberi skor, menghasilkan perhitungan yang benar diberi skor, dan kesimpulan yang benar juga diberi skor. Skor akhir diperoleh dengan menjumlahkan skor setiap respon pada soal tersebut. Berikut contoh pedoman penskorannya: Langkah 1 2 3
Kunci Jawaban = panjang × lebar × tinggi = 150 cm × 80 cm × 75 cm = 900.000 cm3 Isi bak mandi dalam liter : Isi Balok
liter
1
= 900 liter Skor Maksimum
1 5
= 4 5
Skor 1 1
Sebelum Anda gunakan, ujicobakan pedoman penskoran di atas pada beberapa lembar pekerjaan siswa untuk mengetahui aplikabilitasnya. Jika ada beberapa bagian yang menyulitkan penggunaannya, perbaikilah sebelum digunakan untuk mengoreksi seluruh lembar jawaban siswa. Tetapi jika sudah dapat digunakan dengan baik, Anda dapat langsung menggunakan pedoman penskoran di atas sebagai pedoman mengoreksi seluruh lembar jawaban siswa. 2) Pedoman penskoran holistik Misalkan Anda akan mengembangkan pedoman penskoran tes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah siswa berikut. Contoh 1. Enuk, Endah, dan Sunarto masing-masing membeli sebuah buku di koperasi sekolah. Enuk membeli buku seharga Rp. 750,00, Endah membeli buku seharga Rp. 800,00,
188
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
dan Sunarto membeli buku seharga Rp. 850,00. Jika uang mereka masing-masing Rp. 1.000,00, berapakah keseluruhan sisa uang mereka bertiga? Tujuan pengembangan penskoran ini jelas, yaitu sebagai pedoman penilaian pada pengukuran kecakapan pemecahan masalah siswa. Setelah Anda menetapkan tujuan penggunaan pedoman penskoran Anda, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi atribut kemampuan pemecahan masalah. Lakukan kajian teoritik berbagai literatur sehingga diperoleh gambaran jelas karakteristik kemampuan pemecahan masalah. Dari hasil kajian tersebut, jabarkan karakteristik kemampuan pemecahan masalah sehingga bisa digunakan sebagai poin pencermatan utama dalam penetapan skor. Secara umum ada empat langkah memecahkan masalah, yaitu: memahami masalah, membuat rencana pemecahan masalah, melaksanakan rencana pemecahan masalah, dan membuat kesimpulan. Berikut salah satu alternatif pedoman penskoran yang dapat digunakan: Kriteria Memahami masalah Merumuskan pemecahan masalah Melaksanakan pemecahan masalah Membuat kesimpulan
0 memahami
Tidak masalah Tidak mampu merumuskan pemecahan Tidak mampu melaksanakan pemecahan masalah Tidak mampu membuat kesimpulan
1
2
Kurang memahami masalah Mampu merumuskan pemecahan, tetapi tidak tepat Mampu melaksanakan pemecahan masalah, tetapi tidak tepat Mampu membuat kesimpulan, tetapi tidak tepat
Mampu memahami masalah Mampu merumuskan pemecahanan dengan tepat Mampu melaksanakan pemecahan masalah Mampu kesimpulan
membuat
Contoh 2: Suatu segienam beraturan dan segitiga samasisi memiliki keliling yang sama. Berapa perbandingan luas segienam beraturan dan segitiga samasisi tersebut! Soal di atas dapat diselesaikan dengan beragam cara sehingga diperlukan pedoman penskoran holistik. Berikut salah satu bentuk pedoman penskoran yang dapat digunakan. Pedoman penskoran KRITERIA Menemukan cara menentukan perbandingan luas kedua bangun, tetapi cara penyelesaian tersebut tidak benar Menemukan cara menentukan perbandingan luas kedua bangun, cara penyelesaian tersebut dapat digunakan menentukan perbandingan luas kedua bangun, tetapi tidak berhasil menyelesaikannya sampai ditemukan jawaban yang tepat Menemukan cara menentukan perbandingan luas kedua bangun, cara penyelesaian tersebut dapat digunakan menentukan perbandingan luas kedua bangun, serta berhasil menyelesaikannya sampai ditemukan jawaban yang tepat, tetapi jawaban yang dituliskan kurang jelas dan kurang komunikatif Menemukan cara menentukan perbandingan luas kedua bangun, cara penyelesaian tersebut
SKOR 0,5 1
2,5 3
189
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
dapat digunakan menentukan perbandingan luas kedua bangun, berhasil menyelesaikannya sampai ditemukan jawaban yang tepat, dan jawabannya ditulis dengan jelas dan komunikatif
Untuk mempermudah penskoran hasil penyelesaian siswa, guru perlu memiliki alternatif penyelesaian. Tentu alternatif penyelesaian ini tidak menjadi rujukan satu-satunya guru mengkoreksi jawaban siswa. Alternatif ini hanya digunakan sebagai referensi sehingga variasi cara penyelesaian siswa harus diakomodir dalam penskoran berdasarkan pedoman yang telah disusun. Disinilah pentingnya pedoman holistik. Dengan pedoman penilaian holistic, guru tetap dapat memberikan penghargaan yang lebih akurat dan berkeadilan untuk seluruh siswa dengan masing-masing cara penyelesaiannya yang mungkin satu dengan yang lain berbeda.
4. Kesimpulan Pedoman penskoran merupakan pedoman menentukan skor pekerjaan siswa. Pedoman penskoran bergantung bentuk soal yang digunakan guru. Penskoran tes bentuk pilihan ada dua macam, yaitu: penskoran tanpa koreksi terhadap jawaban tebakan dan penskoran dengan koreksi terhadap jawaban tebakan. Penskoran tes bentuk uraian juga ada dua macamyaitu pedoman penskoran analitik dan pedoman penskoran holistik. Guru harus mampu menentukan dengan tepat jenis penskoran yang akan dibuat sehingga pedoman penskoran tersebut benar-benar dapat memberikan hasil yang akurat dan adil terhadap hasil siswa.
Daftar Pustaka Charlotte Danielson. 1997. A Collection of Performance Task and Rubrics. Larchmont, NY: Eye on Education Djemari Mardapi. 2008. Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Non Tes. Yogyakarta: Mitra Cendikia Offset Permendikbud No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru Permendikbud No. 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian
190
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVIS PIAGET DAN VYGOTSKY Sri Wulandari Danoebroto PPPPTK Matematika, Yogyakarta;
[email protected] Abstrak. Teori perkembangan kognitif Piaget dan teori perkembangan sosiokultural Vygotsky merupakan teori belajar yang banyak dirujuk oleh para guru matematika di Indonesia. Kedua teori tersebut merupakan cikal bakal berkembangnya konstruktivisme. Namun, bagaimana implikasi masing-masing teori dalam pembelajaran matematika dan bagaimana kelemahan masing-masing teori jika diterapkan dalam pembelajaran matematika? Untuk itu, artikel hasil studi literatur ini akan membahasnya dengan meletakkan Indonesia sebagai kasus. Meskipun teori Piaget dan teori Vygotsky dapat diterapkan dalam praktek pembelajaran matematika di Indonesia, namun masih diperlukan kajian kritis dalam memahami dan memaknai teori tersebut. Dalam hal ini, teori Piaget dan teori Vygotsky diaplikasikan melalui proses adaptasi dengan memperhatikan konteks sosial budaya masyarakat Indonesia. Dengan demikian, harapan akan suksesnya pendidikan matematika di Indonesia yang sekaligus memperkuat jati diri bangsa dapat diwujudkan. Kata Kunci. Teori Piaget, Teori Vygotsky, Konstruktivisme, Pembelajaran Matematika
1. Pendahuluan Praktek pembelajaran matematika di Indonesia sangat dipengaruhi oleh teori belajar kognitif dan teori belajar behavioral. Berbagai upaya telah dirintis untuk memperbaiki praktek pembelajaran matematika dengan berpegang pada kedua aliran besar tersebut. Aliran teori belajar kognitif diyakini sebagai suatu pembaharuan atau inovasi belajar yang diharapkan dapat memperbaiki kualitas pendidikan matematika di Indonesia. Meskipun demikian, teori belajar behavioral masih sangat mendominasi praktek pembelajaran matematika di sekolah Indonesia. Teori belajar yang banyak dirujuk dalam pembelajaran matematika di Indonesia adalah teori perkembangan kognitif Piaget dan teori perkembangan sosiokultural Vygotsky. Tall (2013) mengajukan skema teori belajar yang dikelompokkannya menjadi empat aliran yaitu behavioris, kognitif, konstruktivis dan pendekatan sosial. Teori Piaget dan Vygotsky ditempatkannya pada aliran konstruktivis, namun pada skema tersebut digambarkan garis penghubung dengan aliran pendekatan sosial dan aliran kognitif. Aliran konstruktivis dipandangnya memiliki kesamaan dengan pendekatan sosial serta terkait dengan aliran kognitif. Teori Piaget dan Vygotsky memang menjadi cikal bakal berkembangnya konstruktivisme, namun Vygotsky memiliki perhatian lebih dalam hal pengaruh lingkungan sosial terhadap terbangunnya pengetahuan pada diri anak. Intisari kedua teori tersebut hendaknya dipahami dengan baik oleh para guru agar upaya untuk memperbaiki praktek pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan harapan. Untuk itu perlu dikaji lebih lanjut bagaimana implikasi dari masing-masing teori pada pembelajaran matematika serta bagaimana kelemahan dari masing-masing teori jika diterapkan dalam pembelajaran matematika. Artikel ini merupakan studi literatur untuk membahas implikasi masing-masing teori pada pembelajaran matematika dengan meletakkan Indonesia sebagai kasus. Dalam hal ini, diberikan contoh matematika dalam budaya Jawa yang dipengaruhi oleh cara pandang
191
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
masyarakat Jawa yang unik. Selanjutnya, akan dibahas kritik terhadap teori Piaget dan teori Vygotsky untuk memperoleh penjelasan dan pemahaman yang lebih objektif.
2. Teori Perkembangan Kognitif Piaget 2.1 Implikasi Teori Perkembangan Kognitif dalam Pembelajaran Matematika Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang objek kajiannya bersifat abstrak sehingga memerlukan penalaran deduktif untuk memahaminya. Oleh karena itu, belajar matematika selalu dikaitkan dengan kesiapan kognitif. Dalam hal ini, belajar dipandang sebagai hasil pencapaian dan perkembangan dari struktur kognitif. Kesiapan anak untuk belajar matematika ditinjau dari kesiapan struktur kognitifnya, yaitu kapasitas kemampuan berpikir secara terorganisir dan terkoordinir. Struktur kognitif diperlukan untuk mengembangkan kemampuan penalaran yang dapat distimulasi melalui pengkajian matematis suatu objek. Jadi, ada hubungan timbal balik antara kesiapan struktur kognitif dengan pengembangan kemampuan penalaran dalam konteks belajar matematika. Piaget terkenal dengan teori perkembangan kognitifnya. Ia memaparkan bahwa terkait dengan perkembangan usia, maka kemampuan kognitif anak juga berkembang. Piaget kemudian membagi perkembangan kognitif anak dalam empat tahap: (1) tahap sensori motorik yaitu sejak lahir hingga anak berusia 2 tahun, (2) tahap praoperasional konkrit yaitu sejak usia 2 tahun hingga 7 tahun, (3) tahap operasional konkrit yaitu sejak usia 7 tahun hingga 11 tahun, dan (4) tahap operasional formal yaitu sejak usia 11 tahun dan seterusnya. Perkembangan kognitif yang dipengaruhi oleh usia inilah yang kemudian menjadi acuan guru-guru di Indonesia dalam mengajar matematika. Pemahaman bahwa anak-anak perlu kapasitas struktur kognitif tertentu untuk mempelajari matematika pada tingkat tertentu berimplikasi pada strategi mengajar guru. Misalnya, anak pada taraf berpikir operasional konkrit maka materi matematika hendaknya dihadirkan melalui objek konkrit yang dapat dimanipulasi oleh siswa. Dengan demikian, belajar matematika menurut teori Piaget perlu disesuaikan dengan taraf perkembangan kognitif individu. Dalam kaitannya dengan epistemologi, Piaget berpendapat bahwa anak membentuk pengetahuan melalui eksplorasi lingkungan secara aktif. Problem pembelajaran matematika di Indonesia yang cenderung individual dapat direduksi dengan mengelola pembelajaran yang memungkinkan anak untuk berinteraksi sosial. Namun, guru harus mempertimbangkan jenis dan model interaksi yang sesuai dengan taraf berpikir anak. Meskipun teori Piaget dikenal sebagai teori perkembangan kognitif, ia juga memiliki pandangan menarik tentang afektif. Menurut Piaget (Knud Illeris, 2004), semua skema apapun pada waktu yang sama adalah afektif dan kognitif. Piaget juga mengungkapkan bahwa kehidupan afektif seperti kehidupan kognitif, yaitu adaptasi berkelanjutan dan keduanya tidak hanya paralel tetapi interdependen, karena perasaan mengekspresikan minat dan memberikan nilai kepada tindakan serta kognitif yang menyediakan strukturnya. Suatu contoh kasus yang dinyatakan oleh Piaget adalah tentang dua anak dan pelajaran aritmetika. Salah satu anak tersebut menyukai aritmetika, sedang yang satunya lagi merasa tidak bisa aritmetika dan mempunyai semua ciri-ciri anak yang lemah dalam matematika. Anak yang pertama akan belajar lebih cepat, sedangkan yang kedua lebih lambat. Tapi bagi keduanya, dua tambah dua sama dengan empat. Afektif tidak mempengaruhi struktur sama sekali.
2.2 Kritik Terhadap Teori Piaget Meskipun belajar matematika dipandang sebagai hasil pencapaian dan perkembangan kognitif, terdapat faktor lain yang mempunyai peran sangat signifikan yaitu motivasi dan
192
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
emosi. Aspek emosi ini kurang mendapat perhatian oleh Piaget. Bagi Piaget emosi merupakan interaksi yang positif, namun penelitiannya terkonsentrasi pada perkembangan pengetahuan dan jarang menyentuh isu emosional (Knud Illeris, 2004). Teori Piaget tentang perkembangan kognitif mendapat kritik antara lain dianggap mengabaikan pengaruh interaksi sosial terhadap perkembangan manusia (Laurenco & Machado, 1996:150). Kritik yang muncul dari para pengikut teori Vygotsky ini seiring meningkatnya pandangan bahwa konteks sosial individu berpengaruh terhadap perkembangan kognitifnya. Dalam hal ini, belajar hendaknya juga dipandang sebagai proses perubahan individu dalam interaksinya dengan lingkungan sosial dan budaya. Dengan demikian, belajar bukan sekedar hasil pencapaian dan perkembangan struktur kognitif. Menurut Piaget (Wadsworth, 1984: 29) ada empat fakor yang mempengaruhi perkembangan kognitif seseorang yaitu: pengalaman, kematangan, transmisi sosial dan equilibrasi atau keseimbangan internal. Interaksi keempat faktor ini menjadi landasan bagi perkembangan kognitif atau konstruksi struktur mental seseorang. Dalam pandangan Piaget sebagai ahli biologi, maka kematangan dipengaruhi oleh usia. Namun apakah pengalaman, transmisi sosial dan equilibrasi juga dipengaruhi oleh usia? Ketiga faktor tersebut merupakan faktor eksternal sehingga seharusnya menjadi bersifat relatif karena tergantung bagaimana individu itu berinteraksi. Dengan demikian, lingkungan sosial budaya juga memiliki andil dalam perkembangan kognitif seseorang. Bila lingkungan sosial budaya diperhitungkan maka kecepatan perkembangan kognitif antar individu pada usia yang sama dapat berbeda, hal ini tergantung pada variasi dan intensitas pengalaman belajar anak melalui lingkungan sekitarnya. Teori Piaget sendiri sesungguhnya lebih cenderung pada pendekatan epistemologi yang menggunakan perkembangan anak untuk memahami asal dan logika ilmu pengetahuan ilmiah (Smith, 1995). Hal ini menjelaskan mengapa teori Piaget banyak dianut untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika, yaitu matematika dipandang sebagai ilmu pengetahuan ilmiah yang melibatkan struktur kognitif dalam mempelajarinya. Teori belajar matematika yang mengacu pada teori perkembangan kognitif Piaget cenderung mengabaikan pengetahuan intuitif anak tentang matematika. Hal ini karena teori Piaget kurang memperhitungkan adanya faktor sosial yang berpengaruh terhadap perkembangan kognitif anak. Menurut Piaget (Starkey & Klein, 2014: 255), pengetahuan matematika anak tidak akan muncul hinggga anak memasuki periode berpikir operasional konkrit yaitu usia sekitar 6 atau 7 tahun saat anak memasuki sekolah dasar. Padahal, Starkey & Klein (2014:254) menyatakan bahwa perkembangan matematika hadir sejak titik awal kehidupan dan berkembang pesat saat usia dini. Jika Piaget berpendapat bahwa perkembangan kognitif anak dipengaruhi oleh kematangan usia sehingga ia membagi tahap perkembangan kognitif anak berdasarkan pertumbuhan biologis, maka Vygotsky mengemukakan bahwa perkembangan kognitif anak juga dipengaruhi oleh interaksinya dengan lingkungan sosial budaya di mana anak itu tumbuh. Berbeda dengan pemahaman Piaget tentang perkembangan anak, bahwa perkembangan selalu mendahului pembelajaran sehingga kesiapan struktur mental merupakan hal yang mutlak sebelum anak mampu mempelajari sesuatu, Vygotsky merasa bahwa pembelajaran sosial mendahului perkembangan yang berarti melalui interaksi sosial anak dengan lingkungannya maka hal ini akan mendorong anak untuk mampu mempelajari sesuatu.
193
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
3.
Teori Perkembangan Sosiokultural Vygotsky
3.1 Teori Perkembangan Sosiokultural Vygotsky terkait Berpikir Matematis Perkembangan kognitif dalam pandangan Vygotsky diperoleh melalui dua jalur, yaitu proses dasar secara biologis dan proses psikologi yang bersifat sosiobudaya (Elliot, et.al, 2000: 52). Studi Vygotsky fokus pada hubungan antara manusia dan konteks sosial budaya di mana mereka berperan dan saling berinteraksi dalam berbagi pengalaman atau pengetahuan. Oleh karena itu, teori Vygotsky yang dikenal dengan teori perkembangan sosiokultural menekankan pada interaksi sosial dan budaya dalam kaitannya dengan perkembangan kognitif. Perkembangan pemikiran anak dipengaruhi oleh interaksi sosial dalam konteks budaya di mana ia dibesarkan. Menurut Vygotsky (Salkind, 2004: 278), setiap fungsi dalam perkembangan budaya anak akan muncul dua kali yaitu pada mulanya di tingkat sosial dalam hubungan antarmanusia atau interpsikologi, kemudian muncul di tingkat personal dalam diri anak atau intrapsikologi. Hal ini berarti, perlu mengetahui proses sosial dan budaya yang membentuk anak untuk memahami perkembangan kognitifnya. Kemajuan perkembangan kognitif anak diperoleh sebagai hasil interaksi sosial dengan orang lain. Orang lain di sini tidak selalu orangtua, melainkan bisa orang dewasa lain atau bahkan teman sebaya yang lebih memahami tentang sesuatu hal. Dalam kaitannya dengan pemikiran matematika, maka anak akan berkembang kemampuan berpikir matematisnya melalui interaksinya dengan orang lain yang menguasai matematika dengan lebih baik. Jika masyarakat atau setidaknya orangtua dalam keluarga telah membudayakan pemikiran matematika dalam kegiatan sehari-hari, maka kondisi ini akan menyuburkan perkembangan pemikiran matematika anak. Aplikasi ide-ide matematika melalui berpikir logis, memperhitungkan dengan cermat, mampu menganalisis permasalahan dalam kehidupan sehari-hari merupakan gambaran aktivitas keseharian yang menjadi budaya. Dalam konteks budaya semacam ini maka menurut teori Vygotsky, kemampuan berpikir matematis anak akan berkembang.
3.2 Implikasi Matematika
Teori
Perkembangan
Sosiokultural
pada
Pembelajaran
Teori perkembangan sosiokultural Vygotsky menekankan adanya pengaruh budaya terhadap perkembangan kognitif anak. Anak akan mengembangkan kemampuan berpikirnya ke tingkat yang lebih tinggi bila ia menguasai alat dan bahasa. Salah satu alat dan bahasa tersebut adalah matematika. Pengembangan alat dan bahasa matematika dipengaruhi oleh latar belakang sosial budaya. Hal ini berarti bahwa perkembangan pemikiran matematika anak juga dipengaruhi oleh interaksi sosial dalam konteks budaya di mana ia dibesarkan. Implikasi hal ini pada pendidikan adalah upaya untuk mempelajari matematika dilakukan melalui pembelajaran sosial dengan menggunakan konteks budaya anak. Hal ini akan memungkinkan terjadinya proses belajar bertahap dan bermakna. Anak belajar secara bertahap mulai dari materi matematika yang mudah ke yang sulit, mulai dari materi matematika yang konkrit menuju ke yang abstrak. Anak belajar matematika melalui bimbingan dan bantuan orang lain yang lebih memahami. Anak belajar matematika sesuai dengan lingkungan budayanya akan memberikan pemahaman yang bermakna baginya. Jean Schmittau (Salkind, 2004: 287-288) melakukan penelitian mengenai penerapan pendekatan Vygotsky pada pembelajaran matematika. Pendekatan ini diadaptasinya dari
194
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
penerapan teori Vygotsky di sekolah Rusia pada pembelajaran matematika di mana anak tidak sekedar diajarkan pengetahuan matematika melainkan belajar bagaimana caranya belajar matematika. Hal ini kemudian diterapkan dalam program sekolah di Susquehanna, New York. Hasilnya menunjukkan bahwa anak dapat menguasai matematika dengan baik meskipun sebelumnya ia lemah pada mata pelajaran tersebut. Belajar mengenai bagaimana caranya belajar merupakan kemampuan penting untuk dikuasai anak. Melalui hal ini anak akan memiliki daya untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri. Terkait dengan pemikiran matematika, maka matematika bukanlah diajarkan sebagai produk melainkan sebagai proses berpikir yang dapat direkonstruksi. Terdapat beberapa pendapat Vygotsky yang berimplikasi terhadap pembelajaran matematika, yaitu pandangan Vygotsky tentang perlu adanya sumber belajar lain untuk memudahkan siswa belajar matematika serta materi matematika yang sesuai dengan kapasitas siswa. Vygotsky memberinya istilah More Knowledgable Other (MKO) atau orang lain yang lebih tahu dan Zone of Proximal Development (ZPD) atau zona perkembangan terdekat. MKO mengacu kepada siapa saja yang memiliki pemahaman yang lebih baik atau tingkat kemampuan lebih tinggi dari siswa, pemahaman yang lebih baik ini sehubungan dengan tugas tertentu, proses, atau konsep yang sedang dipelajari oleh siswa. MKO biasanya dianggap sebagai seorang guru, pelatih, atau orang dewasa yang lebih tua, tetapi MKO juga bisa menjadi teman sebaya, orang yang lebih muda, atau bahkan komputer atau media belajar lainnya. Zone of Proximal Development (ZPD) adalah jarak antara kemampuan siswa untuk melakukan tugas di bawah bimbingan orang dewasa dan atau dengan kolaborasi teman sebaya dan pemecahan masalah secara mandiri sesuai kemampuan siswa. Menurut Vygotsky, pembelajaran terjadi di zona ini. Implikasinya dalam pembelajaran matematika adalah ZPD dapat berguna dalam menjembatani antara berpikir konkrit dan berpikir abstrak. Pada umumnya siswa mengalami kesulitan dalam memahami matematika yang abstrak, kemampuan tersebut dapat didorong melalui interaksi sosial melalui ZPD. Teori Vygotsky tidak hanya potensial bagi terbangunnya pengetahuan matematika pada diri anak, tetapi teori ini dipandang potensial dalam membangun kemampuan berpikir matematis dan membentuk sikap positif terhadap matematika (Taylor, 1992:9). Sikap positif terhadap matematika terkait dengan self-esteem siswa dalam mempelajari matematika, hal ini mungkin terbangun melalui interaksi sosial. Selanjutnya Taylor (1992:15) mengajukan model perkembangan sikap (attitude) terhadap matematika yang dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk di dalamnya terkait dengan ZPD dari Vygotsky, teori belajar sosial dari Bandura dan kecerdasan ganda dari Howard Gardner.
195
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
Meta-awareness
Zone of Proximal Development
Thinking
ATTITUDE
Acting
Feeling Environment
Other People Culture
Gambar 1 Model Mathematical Attitude
Pada model Mathematical Attitude (Gambar 1), Taylor menempatkan attitude sebagai pusat yang dipengaruhi oleh pemikiran, tindakan dan perasaan. Dalam hal ini, attitude atau sikap diartikan sebagai wujud dari pemikiran, tindakan dan perasaan individu yang di antara ketiganya juga saling mempengaruhi. Selanjutnya, terkait dengan teori Vygotsky maka attitude dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya di mana hal itu terjadi dalam dua tahap yaitu pada tahap sosial atau antara pribadi dan tahap individual atau saat internalisasi dalam diri. Dalam kaitannya dengan ZPD, interaksi yang signifikan tersebut berfungsi untuk menjembatani pengalaman, selanjutnya terdapat meta-awareness yang melibatkan kesadaran individu dalam merefleksikan apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan. Proses ini berlangsung terus menerus. Oleh karena itu, seorang individu dapat berulang kali menjembatani ZPD-nya ke keadaan meta-awareness dan kemudian memiliki sikap yang dikembangkan lebih lanjut.
3.3 Kritik terhadap teori Vygotsky Teori Vygotsky dikenal dengan teori perkembangan sosiokultural, namun kritik justru datang dari kaum sosiokulturalis saat ini. Meskipun Vygotsky menyatakan bahwa perkembangan kognitif dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya, namun Vygotsky dan Piaget sama-sama gagal dalam mengaitkan perkembangan kognitif dengan konteks sosial. Pandangan kaum sosiokulturalis saat ini adalah perkembangan kognitif tertanam atau menyatu dalam konteks sosial di mana individu itu berada, sehingga pemisahan antara konteks sosial dan perkembangan kognitif merupakan hal yang mustahil, dengan demikian tidak mungkin dapat memberikan pengaruh. Vygotsky sama halnya dengan Piaget yang beranggapan bahwa perkembangan individu bersifat universal, bergerak maju dalam satu arah, melalui mekanisme yang universal tanpa mempertimbangkan konteks di mana keterampilan itu digunakan atau bersifat independen terhadap konteks, etnosentris atau kurang dalam nilai dan praktek yang lain (tatanan masyarakat), serta anak-anak dipandang kurang mampu belajar tanpa bimbingan orang dewasa atau adultocentris (Matusov dan Hayes, 2000). Piaget dan Vygotsky memaknai
196
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
perkembangan sebagai proses menurunkan kesenjangan antara struktur mental/fungsi dengan tindakan individu dan norma-norma, namun Piaget melihat proses itu sebagai saintifik logis dan Vygotsky melihatnya sebagai proses mediasi budaya. Meski Vygotsky dan Piaget samasama berpendapat bahwa interaksi sosial diperlukan dalam perkembangan kognitif namun Piaget fokus pada relasi sosial antar individu dalam suatu aktivitas dan konsekuensinya pada perkembangan anak, sementara Vygotsky lebih tertarik pada mediasi perkembangan anak, di mana kedua fokus ini dihargai oleh kaum sosiokulturalis saat ini. Dengan demikian, Piaget dan Vygotsky sama-sama menekankan peran masyarakat, budaya, dan lembaga dalam perkembangan anak. Namun, mereka menempatkan peran-peran ini secara berbeda yaitu relasional dibandingkan mediasional. Piaget lebih terfokus pada hubungan simetri dan asimetri dalam mempromosikan atau menghambat perkembangan individu. Vygotsky berfokus lebih lanjut tentang meditasi semiotik dan alat sebagai cara budaya dan lembaga membentuk perkembangan anak. Sementara dari perspektif sosiokultural, perkembangan melibatkan transformasi partisipasi individu dalam aktivitas sosial budaya daripada sekedar suatu perubahan dalam struktur tindakan individu (seperti dalam teori Piaget) atau berkembangnya penguasaan individu terhadap alat, simbol (seperti matematika), dan penggunaan bahasa (seperti dalam teori Vygotsky). Partisipasi dalam pandangan kaum sosiokulturalis tidak hanya bersifat individu tetapi juga melibatkan lingkungan sosial, di mana hal ini melibatkan negosiasi dari kontribusi individu dalam aktivitas.
4. Kesimpulan Vygotsky dan Piaget merupakan kaum universalis yang percaya bahwa rasionalitas, logika, dan prinsip-prinsip berpikir ilmiah dapat diterapkan secara universal untuk semua perkembangan individu di semua masyarakat (Smith, 1995). Hal ini ditunjukkan dengan bagaimana Vygotsky tertarik untuk mempelajari masyarakat dengan budaya tradisional, untuk menjadi bagian dari masyarakat yang secara historis dipandang lebih maju, misalnya masyarakat intelektual barat (Matusov, 1998). Dalam hal ini, yang terjadi adalah dekontekstualisasi, di mana konteks sosial budaya individu menjadi diabaikan tatkala sudut pandang yang digunakan untuk memahami mereka menggunakan sudut pandang barat (western). Contoh kasus adalah masyarakat Jawa di Indonesia yang memiliki pola pikir tentang objek pengetahuan dan cara memperoleh pengetahuan secara unik. Masyarakat Jawa menggunakan filsafat othak athik mathuk yang menunjukkan kecenderungan berpikir spekulatif, di mana spekulasi tidak didasarkan pada analisis logis saja tetapi menggunakan intuisi. Pola pikir Jawa merupakan bentuk penalaran yang lebih didasarkan pada penghayatan dan pengamalan daripada sistematisasi rasional logisnya (Endraswara, 2012;45). Pola pikir ini berimplikasi pada cara mereka dalam memperoleh pengetahuan yang lebih cenderung secara intuitif. Reksosusilo (2006:193) berpendapat bahwa filsafat atau cara berpikir orang Jawa tidak mengarah kepada pengetahuan dalam arti menerima dan meneliti dengan indera, akal budi, melalui logika yang ketat dan sistematis, tetapi melalui rasa cocok yang dilatih dalam olah rasa batin yang mendalam, kemudian menjadi pengetahuan intuitif yang dalam. Cara memperoleh pengetahuan sebagaimana pandangan Piaget dan Vygotsky yang diklaimnya universal kurang mengakomodasi pentingnya intuisi anak. Keselarasan antara intuisi, rasional logis dan olah rasa berupa apresiasi pada lingkungan merupakan alat-alat penting yang seharusnya perlu distimulasi agar proses belajar anak dapat optimal. Meskipun teori Piaget dan teori Vygotsky dapat diterapkan dalam praktek pembelajaran matematika di Indonesia, namun masih diperlukan kajian kritis dalam memahami dan
197
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
memaknai teori tersebut. Dalam hal ini, teori Piaget dan teori Vygotsky diaplikasikan melalui proses adaptasi dengan memperhatikan konteks sosial budaya masyarakat Indonesia. Dengan demikian, harapan akan suksesnya pendidikan matematika di Indonesia yang sekaligus memperkuat jati diri bangsa dapat diwujudkan.
Daftar Pustaka Elliot, S.N et al. (2000). Educational psychology: Effective teaching, effective learning 3rd Edition. Boston: McGraw-Hill Higher Education. Knud Illeris. 2004. The three dimensions of learning. Florida: Krieger Publishing. Laurenco, O & Machado, A. (1996). In Defense of Piaget’s Theory: A Reply to 10 Common Criticisms. Psychological review Vol 103 No 1 hal 143-164. Matusov, E & Hayes, R. (2000). Sociocultural critique of Piaget and Vygotsky. New Ideas in Psychology No 18 pp 215-239. Diunduh dari www. Elsevier.com/locate/newideapsych pada tanggal 24 Maret 2014. Salkind, N.J. (2004). An introduction to theories of human development. London: Sage Publications, Inc. Smith, L. (1995). Introduction to Piaget's sociological studies. In J. Piaget, Sociological studies (pp. 122). London, New York: Routledge. Suwardi Endraswara. (2012). Falsafah hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala S. Reksosusilo. (2006). Telaah buku: Falsafah Hidup Jawa dalam Studia philosophica et theologica, Vol 6 No 2 Oktober hal 187-194 Tall, David. (2013). Integrating History, Technology and Education in Mathematics. Paper presented at História e Tecnologia no Ensino da Matemática July 15, Universidade Federal de São Carlos, Brazil. Taylor, L. (1992). Mathematical Attitude Development from a Vygotskian Perspective. Mathematics Education Research Journal, Vol. 4, No.3,hal 8-23. Wadsworth, B. J. (1984). Piaget’s theory of cognitive and affective development (3rd ed). New York: Longman.Publishing.
198
Redaksi Jurnal IDEAL MATHEDU PPPPTK Matematika menerima artikel/naskah jurnal yang terkait dengan pendidikan matematika Ketentuan penulisan dan untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi Redaksi