Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 21 / 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Habib Adjie Notaris/PPAT di kota Surabaya
A. PENDAHULUAN Ketika sebuah undang-undang selesai dibuat, tidak berarti segala yang diatur dalam undang-undang tersebut selesai. Persoalan akan timbul bukan ketika dalam implementasinya saja, tapi persoalan akan timbul dari sisi yang lain, yaitu ketika ditelaah ternyata ada kaidahkaidah
hukurn
yang
disimpangi
oleh
Undang-undang
yang
bersangkutan. Salah satu kaidah hukum yang disimpangi yaitu mengenai terjadinya perolehan hak atas tanah clan bangunan. Bahwa menurut hukum seseorang akan memperoleh hak atas tanah dan bangunan setelah terlebih dahulu diawali dengan suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum, seperti jual bell, hibah. Jika menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atas perbuatan hukum tersebut, kepada para pihak yang wajib membayar pajak, maka pajak harus dibayar setelah ada tanda bukti terjadinya perbuatan hukum tersebut berupa akta yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT. Di bawah ini saya akan mencoba untuk menelaah perundangundangan perpajakan yang tidak selaras dengan kaidah-kaidah hukum secara umum dan Hukum Pajak. Hal ini perlu dilakukan agar undangundang
atau
pasal-pasal
tertentu
bersangkutan cacat secara substansi.
dalam
Undang-undang
yang
B. KAPANKAH WAJIB PAJAK (WP) DAPAT MEMBAYAR BPHTB ? Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. menyebutkan bahwa "Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan." Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayar (1) tersebut telah menentukan bahwa Notaris/PPAT hanya dapat menandatangani akta peratihan atas tanah dan atau bangunan setelah terlebih dahulu Wajib Pajak (WP) menyerahkan Surat Setoran Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan atau telah membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dengan kata lain sebelum WP menyerahkan tanda bukti sudah membayar BPHTB, maka Notaris/PPAT tidak dapat menandatangani akta peralihan atas Tanah atau bangunan atau: WP bayar BPHTB dahulu kemudian Notaris/PPAT menandatangani akta peralihan atas tanah dan atau bangunan. Saya dapat menegaskan dan menyimpulkan bahwa isi pasal tersebut bertentangan dengan isi : 1. Pasal I angka 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan menyebutkan bahwa "Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan". 2. Pasal I angka 9 Undang-undang Republik Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa "Pajak yang terutang adalah pajak yang harus
dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak atau dalam Bagian Tahun Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan." 3. Pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Tanah Undang-undang Nornor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan menyebutkan bahwa : * Pasal 9 ayat (1): Saar terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk : a. jual bell adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; b. tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat din ditandatanganinya akta; c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; d. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan pelatihan haknya ke Kantor Pertahanan; e. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanginya akta; f. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; g. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang; h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap; i. hibah
wasiat
adalah
sejak
tanggal
yang
bersangkutan
mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan; j. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dan pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; k. pemberian hak baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
l. penggabungan
usaha
adalah
sejak
tanggal
dibuat
dan
ditandatanganinya akta; m. peleburan
usaha
adalah
sejak
tanggal
dibuat
dan
sejak
tanggal
dibuat
dan
ditandatanganinya akta; n. pemekaran
usaha
adalah
ditandatanganinya akta; o. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; * Pasal 9 ayar (2): Pajak yang dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud di atas. Berdasarkan Pasal I angka 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, ditegaskan bahwa seseorang/badan hukum/ WP akan memperoleh hak atas tanah dan bangunan setelah terlebih dahulu atau didahului terjadi/adanya Perbuatan atau Peristiwa Hukum. Bahwa perbuatan atau peristiwa hukum adalah suatu peristiwa yang diberi akibat oleh hukum (Soedirnan Kartohadiprudjo, 1982:4041). Salah satu contoh dari Perbuatan/Peristiwa Hukum adalah sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 9 ayat I Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tenting bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan di atas. Sehingga jika dari suatu Perbuatan/ Peristiwa Hukum yang telah dilakukan oleh para pihak tersebut ternyata berdasarkan peraturan perundang-undangan (perpajakan) para pihak berkewajiban untuk membayar pajak, maka sejak saat itulah timbul Pajak Terutang. Hal ini sesuai dengan Pasal I angka 9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Urnum dan Tata Cara Perpajakan.
Untuk memahami pengertian Pajak Terutang, maka ada 2 (dua) pendapat/ajaran. Pertama, ajaran materil bahwa timbulnya utang pajak itu setelah adanya sebab-sebab (tatbestand) yang menyebabkan orang itu dikenakan pajak . Kedua, ajaran formil bahwa utang pajak itu timbul kalau sudah ada Ketetapan Pajak yang dilakukan oleh fiscus ( S. Munawir, 1992: 30.31) Dengan demikian dapat ditegaskan bahwaPajak Terutang timbul setelah
terlebih
adalah
ada
Peristiwa
Hukum
dan
Sebab-
sebab/Tatbestand (menurut ajaran materil) sehingga seseorang/badan hukum harus membayar pajak. Dalam berbagai pasal yang saya tuliskan di atas, ada kalimat yang dapat dijadikan dasar/patokan bahwa Pajak Terutang itu muncul setelah terlebih dahulu terjadinya Peristiwa Hukum dan sebabsebabnya, dengan kata lain harus terlebih dahulu adanya peralihan hak atau perolehan hak yang dituangkan dalam bentuk akta Notaris/PPAT. Kalimat-kalimat yang dapat dijadikan dasar tersebut seperti : 1. Perbuatan atau Peristiwa Hukum, (Pasal 1 angka 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan). 2. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, (Pasal I angka 9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.) 3. Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dan sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; (Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) 4. Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak (Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2000 tentang perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan). Kalimat-kalimat. Perbuatan atau peristiwa hukum, pada saat, sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta, yang berarti utang pajak timbul harus didahului/ diawali dengan perbuatan perolehan hak, bukan berarti pajak (BPHTB) dibayar dulu kemudian hak diperoleh. Untuk mempermudah permasalahan tersebut, saya memberikan ilustrasi jika suatu hari kita makan di restoran atau rumah makan, maka sesudah makan disamping membayar sejumlah makanan yang sudah kita santap, kita juga berkewajiban atau dikenakan pajak. Sehingga dalam perolehan alas tanah dan atau bangunan suatu ha) yang misleading (juga Iucu), jika transaksi atau perolehan hak atau peristiwa hokum dan sebab-sebabnya belum terjadi, tapi seseorang/badan hukum telah mempunyai hutang pajak/pajak tentang. Dengan kata lain makan (perolehan haknya atau peristiwa hukumnya) saja belum, tapi terlebih dahulu harus bayar pajak. Kalimat "pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Perolehan Hak alas Tanah dan Bangunan pada Pasal 24 ayat (1) tersebut, yang berarti Wajib Pajak harus terlebih dahulu bukti pembayaran BPHTB, padahal tanda bukti (berupa akta) perolehan haknya belum ada. Apakah ini yang dikehendaki oleh pasalpasal lainnya yang telah saya sebutkan di atas. Dengan pengkajian dan penafsiran secara sistematis, akhirnya dapat disimpulkan Bahwa Pasal 24 ayat (1) tidak berlaku (nonimplementable), atau dengan kata lain Pasal 24 ayat (1) tersebut menjadi tidak berlaku sama sekali atau tidak dapat ditindaklanjuti, karena: a. syarat adanya perbuatan hukum atau peristiwa hukum belum terjadi sehingga belum timbal pajak yang terutang. b. Bertentangan atas.
dengan pasal-pasal lainnya sebagaimana tersebut di
Berkaitan dengan hal tersebut, maka dengan sendirinya peraturanperaturan lainnya sebagai tindak lanjut dari Pasal 24 ayat (1) juga ridak dapat diterapkan. Sehingga yang benar menurut hukum yang bagaimana? yaitu para pihak (orang atau badan hukum) sebelum membayar BPHTB ataupun pajak-pajak
lainnya.
terlebih
dahulu
harus
datang
menghadap
Notaris/PPAT untuk membuat dan menandatangani akta perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Jika menurut perhitungan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku perolehan hak tersebut ternyata wajib membayar pajak (BPHTB), maka dengan berbekal akta peralihan hak tersebut, orang/badan hukum yang bersangkutan datang ke kantor pajak atau bank yang ditunjuk untuk membayar pajak yang bersangkutan.
C. NOTARIS/PPAT
SEBAGAI
PROFESI
YANG
MEMPUNYAI
KEDUDUKAN MANDIRI Bahwa secara kelembagaan, baik Notaris maupun PPAT mempunyai kedudukan yang mandiri, tidak tergantung (depend on) kepada institusi yang
mengangkatnya
ataupun
menjadi subordinasi
institusi
yang
mengangkatnya. Bahwa Notaris dan PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah c.q. Menteri Kehakiman dan Menteri yang bertanggungjawab di bidang agraria/pertanahan selaku pembantu Presiden (Pasal 17 UUD 1945) Berdasarkan
peraturan
perundang-undangan
lainnya
sebagai
tindaklanjutnya, baik secara eksplisit maupun implisit tidak ada ketentuan bahwa Notaris maupun PPAT menjadi institusi (departemen/badan) yang tergantung kepada atas yang mengangkatnya atau menjadi bawahan yang mengangkatnya. Tapi yang ada yaitu dalam bentuk pembinaan dan pengawasan dari institusi yang mengangkatnya (Untuk pengawasan Notaris berdasarkan Pasal 54 Undang-undang Nomorr 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum, sedangkan untuk PPAT berdasarkan Pasal 35 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
4 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT). Oleh karena itu suatu hal yang aneh jika ada institusi lain yang tidak pernah dan tidak mungkin mengangkatnya, tiba-tiba berkewajiban meminta dan menyuruh serta dapat menjatuhkan denda jika permintaan dan suruhannya tidak diikuti. Hal ini terbukti dan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, bahwa "Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 7.500.000,00 ( tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran." Secara substansi isi pasal tersebut juga tidak jelas, yaitu berkaitan dengan sanksi administrasi dan denda. Dalam hal ini siapa yang memiliki legitimasi untuk menerapkan sanksi administrasi dan denda tersebut? Penerapan sanksi administrasi dan denda akan berkaitan dengan legitimasi yaitu persoalan kewenangan, yaitu wewenang pengawasan Jan wewenang menerapkan sanksi. Wewenang pengawasan Jan wewenang untuk menerapkan sanksi adalah mutlak. Wewenang harus ditetapkan, balk melalui atribusi maupun delegasi. Pada atribusi pemberian wewenang (bare) terjadi karena ketentuan suatu peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan
delegasi
merupakan
pelimpahan wewenang yang telah ada pads suatu badan (instansi) yang sebelumnya telah memperoleh wewenang atributif. Pada rumusan Pasal 26 ayat (1) tersebut di atas tidak menyebutkan secara jelas balk secara atribusi maupun delegasi pejabat mana yang diberi kewenangan untuk menjatuhkan denda dan sanksi administrasi, dan sanksi administrasi jenis apa yang akan dijatuhkan kepada
Notaris/PPAT yang melanggar pasal-pasal tersebut ? tidak jelas bukan? Sehingga suatu hal yang tidak logis dari segi hukum, jika tiba-tiba Departemen Keuangan dan instansi bawahannya berwenang untuk melaksanakan isi Pasal 26 ayat (I) tersebut dengan mengeluarkan peraturan pelaksanaannya. Padahal secara atribusi ataupun delegasi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan
Hak
Atas
Tanah
dan
Bangunan
tidak
menyebutkan
kewenangan untuk melaksanakan Pasal 26 ayat (1) ada berada pada Departemen Keuangan dan instansi bawahannya. Oleh karena itu pengenaan sanksi tanpa dasar kewenangan merupakan
tindakan
onbevoegdheid. Dengan demikian Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Tanah dan Bangunan ridak Japat ditinJaklanjuti karena telah salah secara suhstansi hukum (bahkan terlalu Jipaksakan).
D. PENUTUP Kesalahan atau penyimpangan yang berasal dari Pasal 24 ayat (1) tersebut hares segera dihentikan, jangan sampai menjadi kesalahan yang melembaga. Oleh
karena
itu
untuk
segera
menghentikan
kesalahan/
penyimpangan tersebut dan kembali ke jalan yang lurus dan benar menurut hukum. Setidaknya Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan suatu keputusan, bahwa orang/badan hukum ketika akan membayar BPHTB, wajib telah terlebih dahulu membuat dan membawa akta (akta Notaris/PPAT yang sempurna) sebagai bukti telah terjadi perolehan hak. Notaris/PPAT
sebagai
salah
sate
profesi
hukum
sangat
berkepentingan untuk membantu pemerintah dalam hal perpajakan, tapi tidak berdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan tersebut karena tidak tepat pengaturan Jan penerapannya sebagaimana yang telah saya uraikan di aras. Tapi bantuan Notaris/PPAT berdasarkan prinsip saling kesejajaran, dalam arti Departemen Keuangan bukan alasan Notaris/PPAT dan Notaris/PPAT bukan bawahan Departemen Keuangan. Dengan
demikian
yang
harus
dilakukan
yaitu
kerjasama.
Departemen Keuangan c.q Direktorat Jenderal Pajak meminta bantuan para Notaris/PPAT untuk bekerjasama dalam hal pembayaran /penarikan BPHTB dan ditentukan hak dan kewajiban masing-masing dengan jelas dan tegas, yang tercantum dalam Perjanjian Kerjasama tersebut.
Daftar Pustaka Hadjon, Philipus M., Prof. Dr S.H., - et al., 1994. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesia Administrative Law), cetakan kedua, revisi. Yogyakarta:Gajah Mada University Press. Indroharto, S.H., 1993. Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara: Buku 11 Berapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, cetakan keempat, edisi revisi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Kartohadiprodjo, Soediman, Prof., S.H., 1982. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta : PT Pembangunan Ghalia Indonesia. S. Munawir, Drs., Akuntan., 1992. Perpajakan. Yogyakarta: Liberty.