Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
DR. M. SIDI RITAUDIN, M. Ag
MARWAH POLITIK Agar Pemimpin Umat Tak Terjerumus
2014 Penerbit
Harakindo Publishing Bandar lampung
MARWAH POLITIK Agar Pemimpin Umat Tak Terjerumus ISBN 978-602-1689-38-7 Penulis
: DR. M. SIDI RITAUDIN, M. Ag
Disain Cover : Samsuri Editor
: Darmanto
Cetakan Pertama 2014
Penerbit
Harakindo Publishing Jl. Sentot Alibasya No. 1 Kel. Korpri Jaya Sukarame Bandar Lampung, 0721-772539 Email :
[email protected]
Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-Undang All Rights Reserve Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis penerbit
ii
KATA PENGANTAR
Khazanah pemikiran politik Islam cukup tersedia, penggalian di sana sini terus dilakukan guna pengembangan keilmuan politik Islam pada Prodi Pemikiran Politik Islam. Dari berbagai topik tulisan yang berserakan di berbagai Jurnal, penulis coba himpun kembali, kemudian disusun sebagai wujud buku ini. Di samping itu pula, buku ini diperkaya dengan teks-teks perkuliahan yang penulis asuh sejak tahun 2005. Mengingat referensi cukup banyak dalam perkuliahan, sebahagian dari para mahasiswa peserta perkuliahan dalam mata kuliah etika politik Islam meminta agar resume perkuliahan tersebut diedit dan disempurnakan, kemudian dicetak sebagai buku referensi dalam perkuliahan. Diskursus dan paradigma mengenai politik Islam telah menarik perhatian seluruh generasi umat manusia. Posisi politik Islam sangat strategis karena (paling tidak) secara historis Islam pernah menjadi adikuasa dunia selama tujuh abad, tentu banyak sekali hal-hal yang dapat dipetik sebagai pelajaran politik secara praksis, mulai dari masa Rasulullah di Madinah hingga zaman kontemporer. Jika ditemukan praktek politik yang tidak sejalan dengan perintah al-Qur’an dan as-Sunnah, hal inilah yang menjadi fokus kajian yang meniscayakan praktik politik tidak bermartabat dengan segala perangkatnya, seperti transaksional politik, politik uang, politik dagang sapi, politik kepentingan dan lain sebagainya. Harapan penulis kiranya para pembaca budiman dapat menyampaikan koreksi dan masukannya jika iii
mendapati kealpaan dan kesalahan, baik dari segi teknis penulisan maupun materi atau isi kandungan buku ini, guna perbaikan di masa-masa mendatang. Akhirnya penulis sampaikan selamat membaca, semoga ada manfaatnya.
Bandar Lampung, 05 Januari 2014 Penulis,
Dr. M . Sidi Ritaudin, M. Ag
iv
DAFTAR ISI Halaman Bagian 1 DISKURSUS INTEGRASI KEILMUAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM A. Pendahuluan ...................................................................... 1 B. Wacana Pemikiran Politik Islam ..................................... 6 C. PPI Wahana Transformasi Profetika .............................. 8 D. Model Pembangunan Politik Berwawasan Etik ............ 10 E. Pemikiran Politik Islam Bukan Sekedar Ilmu ............... 16 F. Epistemologi Ilmu Politik Islam ..................................... 24 G. Penutup ............................................................................... 28 Bagian 2 SPIRIT ISLAM POLITIK PERIODE AL-KHULAFÂ’ AL-RÂSYIDÛN BAGI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA A. Pendahuluan ...................................................................... 29 B. Islam di Bawah Kepemimpinan pada Masa al-Khulafâ’ al-Râsyidûn ......................................................................... 30 C. Perbedaan Struktur Pemerintahan dan Gaya Kepemimpinan pada Masa ke-Khalifahan tersebut ..... 36 D. Gaya Kepemimpinan dan Pemerintahan yang Ideal dalam Kontek ke-Indonesiaan ......................................... 39 E. Wacana Pamungkas .......................................................... 45 Bagian 3 REKONSTRUKSI POLITIK EGALITARIANISME BANGSA PERSPEKTIF MODEL NEGARA MADINAH A. Pendahuluan ...................................................................... 47 v
B. Keunggulan Negara Madinah dalam Pertimbangan ... 53 C. Refleksi Pemikiran Politik Egalitarian ............................ 58 D. Membangun Prinsip Egalitarianisme ............................. 63 E. Prinsip-Prinsip Egalitarianisme Islam ........................... 68 F. Penutup ............................................................................... 72
Bagian 4 KONTROVERSI TEORI PEMERINTAHAN ISLAM DALAM KONTEKS KESEJARAHAN MENURUT IBNU TAIMIYYAH A. Pendahuluan ...................................................................... 73 B. Ibnu Taimiyyah Menggugat Teori Pemerintahan Islam Klasik ........................................................................ 75 C. Visi Intelektual Ibnu Taimiyyah tentang Teori Pemerintahan Islam .......................................................... 76 D. Refleksi Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah .................... 80 E. Penutup ............................................................................... 82
Bagian 5 HAK POLITIK PEREMPUAN MEMANGKU JABATAN PUBLIK : A. Pendahuluan ...................................................................... 83 B. Dekonstruksi Inferioritas Perempuan ............................ 85 C. Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an ................................ 88 1. Istikhlaf ........................................................................... 89 2. Isti’mar ........................................................................... 94 3. Imam dan Imamah ....................................................... 95 D. Hak Kepemimpinan Publik Perempuan ....................... 96 E. Hak Relasi Gender di Bidang Politik .............................. 99 F. Kesimpulan ........................................................................ 101 vi
Bagian 7 KUNGKUNGAN PATOLOGI POLITIK HANCURKAN BUDAYA LUHUR BANGSA A. Pendahuluan ...................................................................... 103 B. Bentuk-bentuk Patologi Politik dan Gejala-gejala yang Mendukungnya ........................................................ 105 1. Transactional Politics ....................................................... 106 2. Abuse Of Power ............................................................. 107 3. Conflict Of Interest ........................................................ 107 C. Munculnya patologi politik di Indonesia ...................... 108 D. Dampak patologi politik bagi kehidupan Negara, masyarakat dan individu ................................................. 110 E. Peran politik dalam penaggulangan kejahatan politik, terutama korupsi .................................................. 111 F. Rupa-rupa patologi politik dari perspektif ajaran Islam .................................................................................... 113 G. Analisis solutif untuk mengeliminir patologi politik ... 115 H. Penutup .............................................................................. 119 Bagian 8 RAPUHNYA KOALISI POLITIK DAGANG SAPI A. Pendahuluan ...................................................................... 121 B. Munafik di atas munafik .................................................. 122 C. Jadilah Suri Tauladan ........................................................ 125 Daftar Pustaka ......................................................................... 127 Jati Diri Penulis ....................................................................... 143
vii
viii
Bagian 1 DISKURSUS INTEGRASI KEILMUAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM A. Pendahuluan Program Studi Pemikiran Politik Islam (PPI),1 memiliki akar sejarah yang sedikit rumit, karena pembahasan yang sangat alot di Departemen Agama, (sekarang Kementerian Agama RI). Waktu itu Direktur Perguruan Tinggi Islam dijabat oleh Prof. Dr. H. Arief Furqan, MA dan selaku Direktur Jenderalnya adalah Prof. Dr. H. Qadri Azizi (alm), sejak diajukan proposal pengembangan prodi Fakultas Ushuluddin hingga ditandatanganinya izin operasional memakan waktu enam tahun. Selalu diurus ke Jakarta, tetapi pembahasannya sangat alot, karena ada tarik menarik wacana, menurut Bapak Prof. Dr. H. Qadry Azizi, MA proposal yang menginginkan dibukanya Prodi Sosiologi dan Politik pada Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung itu tidak benar, yang benar menurut dia, Sosiologi ada di Fakultas Dakwah dan Politik ada di Fakultas Syari‘ah. Jadi proposal ditolak. Karena sudah sangat terdesak, sebab walau belum mendapat izin resmi, tetapi ada lampu hijau yang diberikan oleh Direktur Pendidikan Tinggi Islam yang kala itu dijabat oleh Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, MA, sehingga Prodi SPI tetap menerima mahasiswa baru. Sekarang, mahasiswa angkatan pertama sudah mau ujian munaqasyah, sementara payung hukumnya secara legal formal belum ada, yaitu izin operasional, maka sang Dirjen mau tanda tangan kalau Prodinya diubah yaitu, Filsafat Politik Islam. 1Saat
ini IAIN maupun UIN yang sudah memiliki Prodi PPI sudah banyak, dari cikal bakal PPI seperti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berkembang menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Di IAIN Sumatera Utara masih PPI, Bandung sudah menjadi Fisipol.
1
Demi kelangsungan hidup prodi dan nasib mahasiswa, maka diterimalah ultimatum dari Bapak Prof. Dr.H. Qadry Azizi, MA, kemudian pimpinan IAIN waktu itu dijabat oleh Bapak Drs. H. Mahmud Yusuf, MA sebagai Rektor sementara waktu karena posisinya waktu itu sebagai PR I yang menggantikan sementara Rektor Prof. Dr. H. Nurchozin Sufri, yang meninggal dunia, dan Bapak. Prof. Dr. H. Musa Sueb, MA sebagai Dekan, dan Bapak Prof. Dr. H. MA. Achlami, HS, MA, selaku PD. I dan Dr. M. Sidi Ritaudin, M.Ag, selaku Kaprodi dan beberapa teman yang lain melakukan rapat untuk menyikapi keputusan yang sudah diambil oleh Bapak Prof. Dr. H. Qodry Azizi,. Hasilnya, rapat memutuskan bahwa Prodi Filsafat Politik Islam diterima secara dejure, tetapi defakto diadakan modifikasi menjadi Prodi Pemikiran Politik Islam dengan mengacu kepada kasus PPI yang ada di UIN Syarif Hidayatullah, rombongan dari Lampung kemudian melakukan kunjungan muhibah / anjang sana ke Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk mendapatkan beberapa keterangan dari pengelola PPI di sana Prodi PPI ini memang tergolong unik, Fakultas Syari‘ah IAIN Raden Intan Lampung memaklumi dan tidak mempersoalkan bahwa prodi politik di buka di Fakultas Ushuluddin, begitu pula dengan Fakultas Dakwah, juga tidak mempersoalkan Prodi Sosiologi dibuka di Fakultas Ushuluddin. Alasannya adalah, di samping sama-sama kekurangan input mahasiswa Fakultas Dakwah adalah anak kandung Fakultas Ushuluddin. Begitu pula Fakultas Syari‘ah, mereka setuju saja jika Ushuluddin memilki kreatifitas membuka Prodi baru, yaitu Sosiologi dan Politik Islam, karena faktanya Fakultas Ushuluddin waktu itu mengalami degradasi yang sangat akut, input mahasiswanya hanya mendapat 17 orang untuk tiga prodi. Alhamdulillah, setelah SPI dibuka ada peningkatan yang signifikan terhadap jumlah input mahasiswa masuk Fakultas Ushuluddin, yaitu Prodi SPI mendapat 36 mahasiswa baru. Para pimpinan Institut maupun pimpinan Fakultas IAIN 2
Raden Intan dapat bernafas lega, karena IAIN masih eksis, jika tidak, tentu mengalami degradasi menjadi STAIN, meski Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Syari‘ah setiap tahun mengalami peningkatan input mahasiswa yang cukup spektakuler. Beberapa kali ketua jurusan/prodi dipanggil ke Jakarta, dalam rangka proses permohonan izin, Bapak Prof. Dr. H. Arief Furqan, MA (waktu itu, Direktur Perguruan Tinggi Islam) mengajukan pertanyaan. ―Apa bedanya jurusan Sosiologi dan Politik yang mau kamu buka di IAIN dengan yang sudah ada di Fakultas-Fakultas Umum ? Menurut Pak Furqan, ekonomi Islam, Sosiologi Islam termasuk Politik Islam, rasa-rasanya memang ada, tetapi epistemologinya bagaimana ?‖. Kemudian sang Ka Prodinya mencoba menjawab demikian ―.Di Prodi SPI sosiologi dan politik Isalm dipelajari, sesuai dengan kurikulum dan silabinya, sosiologi dan politik Barat juga akan dipelajari dengan mengadop kurikulum dan silabi pada Perguruan Tinggi Umum. Jadi, upaya kita adalah mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu agama, yang sudah kadung didichotomikan oleh masyarakat‖. Dari uraian singkat ini terlihat betapa kajian Islam klasik, abad tengah dan kontemporer masih banyak yang harus diharmonikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang sudah berkembang di Barat. Jadi adanya pretensi untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu agama, sehingga ilmu yang ada memilki makna dan muatan spiritual, karena pemilik ilmu yang sebenarnya adalah Yang Maha ‗Alim yang diteteskan-Nya melalui wahyu dan mengutus seorang Rasul bernama Muhammad bin Abdullah. Dasar pemikiran disusunnya proposal pembukaan prodi baru di Fakultas Ushuluddin oleh dekannya waktu itu dijabat oleh Drs. H. Mahmud Yusuf, MA adalah untuk mempertahankan eksistensi Fakultas Ushuluddin di IAIN Raden Intan Lampung, sebab ketika itu input mahasiswa sedang mengalami masa digradasi, di mana setiap tahunnya 3
mengalami penurunan. Jika dinilai dari persyaratan akreditasi BAN PT di mana setiap prodi minimal mengelola mahasiswa minimal 160 orang, pada kenyataannya input yang ada setiap tahun di bawah 50 orang untuk satu Fakultas. Pada sisi lain, ada peluang Fakultas untuk berbuat sesuatu, yaitu jika dilihat dari Keputusan Menteri Agama yang diturunkan dari LIPI tentang pembidangan keilmuan, maka derevasi dari Perkembangan Modern di Dunia Islam yang dapat diturunkan menjadi Prodi Sosiologi Politik Islam2. Sebagai Dekan, Drs. H. Mahmud Yusuf, MA kala itu memandang bahwa kajian sosiologi dan politik sebagai bagian dari ilmu Perkembangan Modern di Dunia Islam tersebut lebih tepat dikembangkan dan dibuka Prodinya di Fakultas Ushuluddin, mengingat kajian sosial dan politik itu merupakan inti kehidupan manusia yang sangat bersinggungan dengan dasar-dasar keagamaan, yaitu alQur‘an dan as-Sunnah, karena Rasulullah Saw di Madinah, selain pemimpin agama sekaligus kepala negara (pimpinan politik). Selain itu pula, persoalan utama muncul sebelum soal-soal teologis dan aqidah adalah masalah politik. Oleh karena itulah Sosiologi dan Politik Islam lebih tepat dibuka di Fakultas Ushuluddin. Pada sisi lainnya, tahun 1998 munculnya situasi dan suasana politik terbarukan dengan datangnya orde reformasi. Pada saat euporia politik, terjadilah demoralisasi politik, sumber politik tidak jelas, tanpa bekal pengetahuan politik yang memadai secara akademis, orang asal masuk partai yang menjamur kala itu, dapat saja menjadi anggota legislatif, menjadi kepala daerah, 2Kedelapan
bidang ilmu tersebut adalah : (1) Al-Qur‘an dan Hadisttt, (2) Pemikiran dalam Islam (Ilmu Kalam/Teologi, Falsafah, dan Tasawuf), (3) Hukum Islam (Fiqh, Ushul Fiqh, Qawaid al-Fiqh, dan sebagainya dan Pranata Sosial Islam (ilmu Tata Negara/ al-Fiqh al-Siyasah, Ilmu Ekonomi Islam, Peradilan Islam dan sebagainya), (4) Sejarah dan Kebudayaan Islam, (5) Perkembangan Modern di Dunia Islam. (6), Bahasa dan Sastra Arab, (7) Pendidikan Islam (al-Tarbiyah al-Islamiyah), dan (8) Dakwah Islam. Lihat, Keputusan Menteri Agama RI No. 1 Tahun 1982 tentang Pembidangan Ilmu Agama Islam.
4
sehingga sampai saat ini tujuan reformasi jauh panggang dari api, lihat saja transaksional politik menjadi iklim baru, abuse of power sering berujung pada tindakan korupsi dan pengkhianatan terhadap publik yang tidak berkesudahan hingga kini. Secara pragmatis, ada tawaran baru pembukaan prodi SPI, yaitu tidak saja dibekali ilmu-ilmu teoritis, tetapi juga ilmu-ilmu praktis, yaitu menjadi sumber politik mengisi peluang-peluang yang ada di lembaga eksekutif, legislatif, atau pun yudikatif, atau paling tidak dapat bekerja di partai politik, NGO. LSM dan lain sebagainya. Obsesi ini diwujudkan dengan eksisnya Pemikiran Politik Islam di Fakultas Ushuluddin. Persoalan yang muncul kemudian, sesaat setelah dibukanya Prodi SPI, karena mendapat angin segar dari Direktur Perguruan Tinggi Islam kala itu Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, adalah persoalan tenaga pengajar dan kurikulum yang dipakai. Pada sisi lain PR besar adalah masalah perizinan dan prasarana fisik. Keduanya masih sementara, izin sambil jalan, prasarana fisik memakai (numpang) fasilitas prodi aqidah filsafat di lantai dua gedung Ushuluddin. Soal merekrut dosen dari berbagai latar belakang keilmuan yang memadukan ilmu-ilmu umum (politik/ sosiologi) tanpa embel-embel dengan tenaga pengajar yang berwawasan ilmu-ilmu keislaman (politik/ sosiologi yang berembel Islam). Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, maka dilakukan dengan meminta bantuan dari Universitas Lampung (UNILA), sehingga banyak tenaga pengajar yang berlatar belakang ilmu politik dan sosiologi yang didatangkan dari sana. Sementara ilmu-ilmu keislaman direkrut dari dalam IAIN sendiri, sambil mencetak dosendosen Fakultas Ushuluddin melanjutkan studi S-2 atau S-3 dengan memilih konsentrasi politik Islam, seperti Dr. M. Sidi Ritaudin, M. Ag (Pemikiran Politik Islam UIN Jakarta) Dr. H. Arsyad Sobby Kesuma, M. Ag, (Pemikiran Politik Islam UIN Jakarta), Dr. H. Buchori Abdus Shomad, MA, (Pemikiran Politik Islam UIN Jakarta), Drs. Nur Salim Malay, M.Si, 5
(masih menyelesaikan studi doktoralnya bidang politik Islam di UIN Jakarta), Dr. H. Nadirsah Hawary, MA (Pemikiran Politik Islam Universitas Kebangsaan Malaysia), Abdul Qohar, S. Ag, M. Si, Ali Abdul Wahid, M. Si, (keduanya masih menyelesaikan studi doktoralnya di Fisip UNPAD) Dra. Nurhasanah Leni, M. Hum, (masih menyelesaikan studi doktoralnya bidang Antropologi di UGM), Drs. Effendi, M. Hum, Drs. Agustamsah (masih menyelesaikan studi S-2 di Fisip Unila) B. Wacana Pemikiran Politik Islam Pemikiran politik Islam merupakan integrasi keilmuan politik yang konon merupakan turunan dari filsafat dan berkembang secara metodologis di Barat dengan ilmu agama Islam. Agaknya hal ini sudah menjadi tuntutan zaman, jika kita tidak setuju perkembangan, yaitu mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu keislaman, berarti kita setuju dengan adanya dikhotomi keilmuan. Dalam Islam, sebenarnya tidak ada dikhotomi antara ilmu pengetahuan agama Islam dengan ilmu umum. Oleh karena itu, adanya lembaga yang mengintegrasikan ilmu agama dan umum itu merupakan suatu kebutuhan.3 Pemikiran politik Islam merupakan wacana akademik dalam memosiskan politik sebagai wahana penegakan nilai-nilai Islam dalam negara, pemerintahan atau kekuasaan. Sebagai diketahui, bahw persoalan utama yang muncul dalam Islam, setelah Nabi menerima wahyu dari Allah Swt adalah persoalan politik. Tanpa politik sulit bagi Nabi untuk mensosialisasikan wahyu yang telah diterimanya, sebab masyarakat Mekkah yang borjuis, feodalis dan memilki rasa kesukuan yang tinggi, sulit menerima kebenaran yang diwartakan kepada mereka, 3 Pendapat Din Syamsuddin ini, lihat, Proses Perubahan IAIN Menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Rekaman Media Massa, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2002), h. 23.
6
maka langkah pertama yang ditempuh Nabi adalah langkah politik, yaitu dengan melakukan hijrah ke Madinah. Di sana ia menyusun kekuatan politik dengan mendirikan negara Madinah, setelah kuat ia kembali membebaskan kota Mekkah yang disebut dengan ―Futûhu Makkah‖. Setelah beliau wafat, yang mucul juga adalah masalah politik, yaitu suksesi kepemimpinan Muhammad Saw sebagai kepala negara. Oleh karena itu, membahas masalah politik merupakan keniscayaan bagi umat Islam. Kajian ilmu-ilmu sosial, seperti pemikiran politik Islam terlibat sangat dinamis dan konstruktif, terutama di sebuah negara seperti Indonesia yang memilki mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia. Oleh karenanya kajian ini dikatakan sangat dinamis karena tidak pernah sepi dari ketegangan kreatif para pemikirnya dan juga ditopang oleh kondisi sosial yang selalu berubah. Ilmu politik Islam dikatakan konstruktif karena mampu menawarkan berbagai penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat secara kolektif pada arus publik, sebut saja misalnya masalah kasus korupsi. Islam memberi fatwa politik yang bersumber dari praktik politik oleh Rasulullah Saw, Khlafâ‘urrâsyidîn, dan Khlaifah ‗Umar bin ‗Abdul ‗Aziz, yaitu kesederhanaan, menegakkan keadilan dan menyejahterakan rakyat, karena bagi mereka kekuasaan adalah amanat istikhlâf.4 Azyumardi Azra menengarai bahwa dalam perkembangan pemikiran politik Islam, para pemikir dan penulis politik Islam, kebanyakan dari mereka sama sekali tidak membuat sistem politik atau garis-garis besar aturan pemerintahan yang komprehensif, melainkan sekedar 4Tidak diragukan lagi bahwa model politik zaman Khulafâ‘urrâsyidîn diyakini sebagai bentuk yang menjadikan al-Qur‘ân dan Sunnah Rasulullah saw sebagai landasannya. Rasulullah saw bersabda : ‗Alaikum bisunnatî wa sunnatal- Khulafâ‘urrâsyidîn.‖Berpegang teguhlah kamu dengan sunnah-ku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk (H.R. Abu Dawud). Mereka semua memilki manifesto politik, yaitu :Jika kamu melihat aku menyimpang maka luruskanlah aku. Lihat, Muchotob Hamzah, Menjadi Politisi Islami (Fikih Politik), (Yogyakarta : Gama Media, 2004), h. 23.
7
membuat gambaran ideal moral bagi penguasa dan kekuasaannya.5 Sebut saja misalnya, Ibnu Rabi‘, Al-Farabi, al-mawardi, Al-Ghazali, Ibnu Taiomiyah, Ibnu Khaldun, Jamaluddin al-Afghani, M. Rasyid Ridha, Sayyid Quthb, Abul A‘la al‘Maududi, Muhammad Assad, Ayatullah KhumainiAli Abdurrazik, Thaha Husein, Khalid Muhammad Khalid, Muhamad AbduhHusain Haikal, alKawakibi dan lain sebaginya, masih banyak lagi. Namun demikian, kajian politik Islam selalu menarik perhatian para teoritisi, aktivis politik dan pemikir Islam sepanjang zaman. C. PPI Wahana Transformasi Profetika Program Studi Pemikiran Politik Islam (PPI) merupakan wahana transformasi nilai-nilai profetika. Hal ini merupakan jawaban bahwa persoalan pertama muncul dalam Islam adalah persoalan politik. Urgensi diutusnya Rasulullah saw itu adalah posisinya sebagai penegakkan moral publik. Misi ini tidak mungkin dapat berjalan tanpa adanya komunitas muslim yang pertama kali dibangun di Madinah, dan di sana Nabi Muhammad saw di samping sebagai Rasulullah pemimpin agama dia juga sebagai kepala negara. Bagaimana sepakterjangnya tersebut perlu dikaji dan digali secara mendalam, teoritis, metodologi, epistemologis, maka keberadaan PPI menemukan urgensinya di sini. Bagaimana model transformasi profetika dalam politik, agaknya perlu mengakses pemikiran beberapa tokoh yang kredibel yang mensinyalir bahwa dari narasi al-Qur‘an dapat disajikan berbagai olahan para ahli tentang hubungan al-Qur‘an dengan politik, --negara ---kekuasaan. dalam konteks ini, menarik dikemukakan pendapat Abdul Aziz Thaba yang mengutip penelitian Dr. Tair Azhary,
5Azyumardi
h. 5.
8
Azra, Pergolakan Politik Islam, (Jakarta : Paramadina, 1996),
menyebutkan ada sembilan prinsip negara hukum (nomokrasi) menurut al-Qur‘an dan Sunnah Rasulullah :6. 1. Prinsip kekuasaan sebagai amanah (an-Nisa/4: 58 alQashash/28 : 26) 2. Prinsip musyawarah (asy-Syura/42:38; Ali Imran/3/159); 3. Prinsip Keadilan (an-Nisa/4: 135; al-Maidah/5:8; anNahl/16:90‘ al-An‘am/6:160); 4. Prinsip Persamaan (at-taubah/9:13); 5. Prinsip pengakuan adan perlindungan terhadap hakhak asasi manusia (al-Isra‘/17:33, 70; al-Maidah/5:32; al-Ghasyiyah/88:21, 22; Qaf/50:45; an-Nisa‘/4 :32); 6. Prinsip pengadilan bebas (dialog Mu‘adz dengan Rasulullah Saw ketika akan dingkat menjadi hakim di Yaman; 7. Prinsip perdamaian (al-Baqarah/2: 194, 190; alAnfal/8 :61,62); 8. Prinsip kesejahteraan, (Saba‘/34:15; 9. Prinsip ketaatan rakyat (an-Nisa‘/4:59). Transformasi profetika yang lebih nyata adalah mengambil prinsip-prinsip yang telah ditegakkan oleh Rasulullah Saw; sebagaimana telah dinukil oleh Muchatob Hamzah berikut ini 7: 1. Piagam Madinah;8 2. Prinsip pengadilan bebas 3. Prinsip larangan politik uang (money politik) 4. Prinsip pemerintahan yang bersih dan berwibawa 6Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), h. 43-44. 7Penjelasan dan uraian berikut bunyi Hadistnya dapat dilihat pada, Muchotob Hamzah, Menjadi Politisi Islami (Fikih Politik), (Yogyakarta : Gama Media, 2004), h. 9-19. 8Bagaimana aplikasi Piagam Madinah sebagai konstitusi Negara Islam pertama dibandingkan dengan Undang-Undang dasar 1945, terutama dalam konteks masyarakat pluralistik seperti Indonesaia, lihat kajian Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang dasar 1945 Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta : UI Press1996).
9
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Prinsip pertanggung jawaban Prinsip larangan nepotisme Prinsip larangan kolusi dan kronisme Prinsip kebolehan oposisi Prinsip meritokrasi (mengutamakan keahlian) Prinsip ketaatanPrinsip amanah dan takwa Prinsip pemberian dan pembatasan fasilitas pejabat Prinsip persatuan dan kesatuan Nilai-nilai ideal yang diusung oleh prinsip politik profetik tentu saja tidak segampang membalikkan telapak tangan untuk ditransformasikan ke publik, agaknya memerlukan waktu yang cukup lama untuk penyesuaianpenyesuaian sampai titik budya politik tertentu. Karena masyarakat Indonesia yang memilki latar belakang yang berbeda-beda yang dipadu dalam prinsip bhenneka tunggal eka. Namun demikian, sisitem politik yang dipengaruhi atau dilandasi kebudayaan (politik) baru dapat dimengerti dan dipahami dengan baik setelah memakan waktu yang cukup lama, beberapa dekade dan bersifat dinamis, berinteraksi satu sama lain. Oleh karena itu pemikiran politik Islam selalu terbuka memberikan kontribusi budaya politik guna mewujudkan good governance. Pembangunan politik Indonesia dapat diukur berdasarkan keseimbangan atau harmoni yang dicapai antara lain oleh budaya politik dengan perkembangan politik yang ada atau akan ada.9 Dengan demikian, harus ada ghirah, perjuangan dan kegigihan untuk dapat mentrasformasikan politik Islam ideal ke tengah-tengah panggung politik Indonesia. D. Model Pembangunan Politik Berwawasan Etik
9A.A. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Sosiologi Politik Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian, (Bandung : Penerbit Pustaka Setia, 2007), h. 246.
10
Sejak Aristoteles, hingga diutusnya seorang Rasul bernama Muhammad bin Abdullah, sampai pada abad kontemporer dewasa ini, para penggiat politik, aktivis politik, ideolog-ideolog politik, semua memandang bahwa kedudukan Etika menempati posisi ideal. Politik tanpa etika, maka yang terjadi adalah dekadensi politik. Karena pentingnya kedudukan etika/ akhlak dalam kehidupan manusia, maka misi (risâlah) Rasulullah SAW, itu sendiri keseluruhannya adalah untuk memperbaiki akhlak yang mulia. Sebagaimana sabdanya:
انما بعثت التمم مكارم االخالق "Sesungguhnya
saya ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia ". (HR. Ahmad Ibn Haubab). Hadist ini cukup kuat untuk argumen terhadap pendapat bahwa substansi ajaran Rasulullah Saw itu adalah al-Akhlaq (etika). Karena Islam dan politik merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, ada hubungan simbiosis utualistik, dengan meminjam ungkapan Albert Einsten : Agama tanpa politik lumpuh dan politik tanpa agama buta. Dengan demikian di sini etika menemukan signifikansinya untuk menuntun politik agar tidak terjebak pada turbulensi politik, yang dipagari oleh etika politik yang bersumber dari al-Qur‘ân dan Sunnah Rasulullah Saw. Bagaimana sesungguhnya etika politik yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah Saw, tâbi‘în dan tâbi‘ut tâbi‘în, paling tidak adalah sebagai berikut : 1. Taat asas, konsisten dan konsekuen dengan kontrak politik Komitmen politik para politisi, para pemimpin, para pejabat dituntut oleh publik, agar ada keterpaduan antara ucapan dengan tindakan. Maksudnya adalah ketika ‗kampanye‘, janji-janji yang disampaikan ke publik, harus dipenuhi setelah menduduki jabatan. Tidak boleh memimpin negara seperti autopilot; lupa
11
2.
3.
4.
5.
12
akan para kunstituen yang memilki ekspektasi yang cukup tinggi akan adanya perubahan ke arah perbaikan hidup. Memosisikan diri sebagai ―teladan‖ yang baik, dalam semua aspek kehidupan Sebagai pemimpin bangsa, harus ingat bahwa kita disorot dan diturut oleh rakyat, oleh karenanya di setiap tindak tanduk politik harus berhati-hati, tetapi bukan pula tidak mengekskusi. Harus tegas, berwibawa dan menegakkan keadilan. Terjadinya krisis keteladanan karena sulitnya menjadi pemimpin yang negarawan, idealis dan visibel, tidak hanya mementingkan individu dan kelompoknya saja. Harus sanggup hidup sederhana, dan satunya antara ucapan dan tindakan. Menjauhi semua sifat-sifat buruk dan berlaku adil. Amanah, istilah sekarang accountable Jabatan, sekecil apapun itu, merupakan amanah, harus dilaksanakan sebaik-baiknya dan seadiladilnya, maka dengan demikian tidak ada Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, semua harus berjalan secara profesional. Hidup sederhana, Seorang pemimpin yang menjadi panutan, harus hidup sederhana. Memakai fasilitias negara boleh, tetapi tidak boleh berlebihan, apalagi serakah dan tamak menumpuk harta kekayaan, serta hidup mewah dan hidonistik. Harus berani memangkas dana-dana taktis yang bersifat pemborosan uang negara. Jujur (siddiq), istilah sekarang acceptable, bisa dipercaya Prinsip kejujuran merupakan faktor pokok dalam menjaga kepercayaan publik, harus melaksanakan open management, dapat diaudit oleh akuntan publik bahwa setiap pengeluaran uang negara dijamin tidak dimark up atau dikorup. Public Trust merupakan
modal dasar kepemimpinan. Jika pemerintah sudah kehilangan kepercayaan, maka dapat terjadi kegaduhan, huru-hara dan kekacauan berupa kasiaksi anarkis, pemberontakan dan sparatisme yang bisa saja menjurus pada disintegrasi bangsa. 6. Tabligh, istilah sekarang menegakkan transparansi Prinsip keterbukaan dibuktikan dengan hadirnya media massa, tidak ada program atau kasus yang ditutup-tutupi, semua dapat dilihat secaara transparan. Keterbukaan bidang anggaran negara, harus bisa diaudit oleh akuntan publik dan dipublikasikan secara terbuka. 7. Fatonah, cerdas Termasuk di sini kepedulian, kepatutan dan visi bernegara yang bebas aktif. Seorang pemimpin yang brilian dia dapat membaca apa yang harus dilakukan dan yang akan dihadapi beberapa dekade ke depan. Harus dapat memprediksi semua sumber kekayaan negara; seprti pendidikan, teknologi, pertambangan, pertanian, perikanan dan lain sebagainya. Uraian-uraian tersebut, meskipun tidak terlalu luas, namun secara prinsip dapat dipahami sebagai rambu-rambu etika politik yang harus ditegakkan. Islam boleh jadi merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik. Antony Black dalam buku : Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini 10 menjabarkan bahwa pemikiran politik Islam terentang mulai masalah etika politik, filsafat politik, agama, hukum, hingga tata negara. Black juga mengungkapkan bahwa pemikiran politik Islam dipengaruhi oleh pemikiran politik Plato, Aristoteles, dan Iran kuno. Tapi keragaman khazanah pemikiran politik 10Lihat
Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, diterjemahkan dari The History of Islamic Political Thought From The Prophet to the Present, terbitan Edinburgh University Press, 2001. Terj. Oleh Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 1427 H/ 2006 M.
13
Islam itu bisa dikatakan bermuara pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Boleh dikata bahwa pemikiran para pemikir muslim yang menginginkan pemisahan Islam dan politik sebagai pemikiran politik Islam dan pemikiran yang menghendaki penyatuan Islam dan politik sebagai pemikiran Islam politik. Ketika sejak Revolusi Prancis agama Kristen relatif telah selesai membahas hubungan gereja dan negara–bahwa gereja harus terpisah dari negara—Islam masih berkutat pada persoalan yang satu ini, sejak zaman Nabi hingga zaman kini. Nabi Muhammad saw, pada zamannya, membentuk sebuah komunitas, yang diyakini bukan cuma komunitas agama, tapi juga komunitas politik. Nabi berhasil menyatukan berbagai komunitas kesukuan dalam Islam. Di Madinah, tempat hijrah Nabi, beliau berhasil menyatukan komunitas sosial, yakni kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Lebih dari itu, di Madinah, Nabi juga berhasil mengatur kehidupan kaum muslim, Nasrani, serta Yahudi dalam komunitas ―Negara Madinah‖ atau ―masyarakat Madinah‖. Komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah inilah yang belakangan acap dirujuk oleh para pemikir muslim, baik yang liberal maupun yang fundamentalis, sebagai masyarakat Islam ideal. Pemikir liberal lebih suka menyebut komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah sebagai ―masyarakat madani‖, sedangkan mereka yang fundamentalis lebih nyaman menyebut ―Negara Madinah‖. Komunitas di Madinah, menurut Marshal G.S. Hodgson,11 memberikan tiga ciri yang berbeda yang disyaratkan oleh semua prinsip hukum yang dapat ditelusuri kembali ke Madinah. Pertama, ia memberikan sebuah orientasi yang ideal; seluruh tujuan Muhammad adalah membangun suatu kehidupan yang salih (a godly life), dan komunitas menjawabnya sesuai dengan tujuan ini. 11Lihat, Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, buku kedua ―Peradaban Khalifah Agung‖ terj. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta : Paramadina, 2002), h. 119.
14
Kedua, ia menyodorkan suatu hubungan pribadi di dalam kelompok itu, setiap orang mengenal orang-orang yang lainnya, sebagai hamba Tuhan yang bertanggung jawab, tidak memperlakukan dan tidak diperlakukan dengan cara impersonal dari para fungsionaris resmi. Ketiga, ia menyajikan suatu homoginitas kultural di dalam kelompok dan homoginitas12 inilah yang memungkinkan dua ciri yang lainnya itu : kesiapan terhadap orientasi ideal tersebut, dan kesiapan terhadap pelaksanaan hubungan-hubungan pribadi di antara orang-orang yang beriman. Di masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah (661-850 Masehi), pemikiran politik Islam didominasi oleh perdebatan tentang sistem pemerintah atau lebih tepatnya hubungan khalifah dan negara. Kedua dinasti Islam ini cenderung menganut sistem pemerintah atau sistem politik yang tidak memisahkan agama dan negara. Bahkan agama yang direpresentasikan oleh khalifah cenderung mensubordinasi negara atau kehidupan politik di kedua dinasti. Tapi, sejak kira-kira 850 M, pemikiran dan praktek politik yang dominan di dunia muslim adalah yang memisahkan agama dan negara. Kekuasaan dibagi antara sultan yang mengatur urusan militer serta menegakkan hukum dan ketertiban dan ulama yang mengatur urusan sosial dan keluarga. Sejak 1000-1200 M, para pemikir muslim, seperti AlMawardi , Nizam al-Mulk, Al- Gazali , Ibn Rusyd , serta AlRazi, menawarkan pemikiran politik jalan tengah atau 12Homoginitas merupakan salah satu adat Arab yang umum yang dimodifikasi oleh kesetiaan kelompok tersebut kepada Muhammad saw. Karena, Nabi Muhammad saw telah berhasil menyatukan berbagai komunitas kesukuan dalam Islam, sehingga, menurut penulis, homoginitas di sini diartikan sebagai hpmpginitas masyarakat Islam dalam konteks ―Darul Islam‖ (negeri-negeri di bawah kekuasaan Muslim; kemudian negeri mana saja di mana lembaga-lembaga Muslim dipertahankan, apakah di bawah kekuasaan Muslim atau tidak. Ini kebalikan dari Darul Harb yaitu, negerinegeri di bawah kekuasaan non-Muslim). Lihat, Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, buku kedua ―Peradaban Khalifah Agung‖ terj. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta : Paramadina, 2002), h. 119 dan 362.
15
pemikiran politik keseimbangan. Di masa-masa tersebut, sultan dan ulama saling bekerja sama dan saling tergantung. Namun, pada 1220-1500 M, ide penyatuan agama dan politik kembali mendominasi pemikiran para pemikir muslim . Pemikir muslim yang paling menonjol pada masa itu, yang menganjurkan pemerintahan berdasarkan syariat, adalah Ibn Taimiyah. Puncak pemerintahan berdasarkan syariat berlangsung pada masa kerajaan-kerajaan modern yang meliputi Dinasti Utsmani, Dinasti Safawi, dan Dinasti Mogul. Tentu saja Dinasti Utsmani, yang berpusat di Turki, menjadi dinasti paling terkemuka. Dinasti ini disebut Khilafah Islamiyah. Namun, dinasti ini mengalami kemunduran dan dibubarkan pada 1924. Kemunduran ini menandai mulai berpengaruhnya pemikiran politik Barat. Para pemikir yang diidentifikasi sebagai pemikir liberal bermunculan. Mereka antara lain Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, yang menganut paham pemisahan agama dan politik. Berpijak pada kemajuan Barat, para pemikir muslim ini menawarkan pemikiran modernisme. Tapi kemajuan Barat dewasa ini memunculkan reaksi di kalangan pemikir Islam fundamentalis. Pemikir Islam fundamentalis paling terkemuka adalah tokoh Ikhwanul Muslim, Al- Maududi, serta Sayyid Qutb . Mereka menginginkan kehidupan masyarakat muslim dewasa ini mencontoh kehidupan di masa Nabi atau setidaknya masa kejayaan dinasti-dinasti di masa awal Islam. Itu berarti mereka menginginkan tidak adanya pemisahan agama dan politik. E. Pemikiran Politik Islam Bukan Sekedar Ilmu Paradigma pemisahan Islam dan politik sebagai pemikiran politik Islam dan penyatuan Islam dan politik sebagai pemikiran Islam politik telah menimbulkan kerancuan, sebab penggunaan terminologi Islam yang merujuk pada globalitas dan universalitas teks al-Qur‘ân 16
mencerminkan salah satu karakteristik struktur utama, baik politik Islam ataupun Islam politik. Apabila karakteristik itu diletakkan dalam konteks kondisi teksnya sebagai ―buku petunjuk dan pemberi kabar gembira‖ dan bukannya ―buku ilmu pengetahuan‖, maka dapat diketahui bahwa al-Qur‘ân tidak melakukan fungsi-fungsi spesifik dari ilmu pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan memiliki obyek, metodologi, serta strategi penelitiannya sendiri-sendiri. Di samping itu, ia memiliki target dan tujuan yang selarasas dengan kemungkinan yang ada untuk jangka pendek maupun jangka panjang.13 Terdapat suatu pandangan umum bahwa kebenaran segala hal harus bisa dibuktikan secara ilmiah, pendapat ini sering disebut sebagai saintisme atau naturalisme. Lebih radikal lagi disebutkan bahwa segala hal yang ada itu bersifat material, tetap dan mekanis. Namun demikian, keyainan ini dibantah dengan argumen bahwa bagaimana pun pengetahuan obyektif ilmuan itu entah bagaimana bebas dari segala subyektivitas, tetapi, pengetahuan sejati selalu mempunyai unsur subyektif di samping unsur obyektif. Bahkan, gagasan bahwa kemampuan manusia memiliki pengetahuan obyektif murni itu amat menyesatkan, karena keadaan semacam itu pada aktualnya menetapkan kebebalan, bukan pengetahuan ! Kebebalan yang menyertai segala pandangan yang memutlakkan pengetahuan obyektif bisa dipandang sebagai minimal, kebebalan akan sifat mitologis keyakinan subyektif yang membentuk pondasi pokok pandangan-pandangan semacam itu. Saintisme adalah teori epistemologi dan naturalisme adalah teori metafisis. Oleh karena itu, kata Palmquis, saintisme dan naturalisme bukanlah bagian dari ilmu, bukan pula diwajibkan oleh hakikat ilmu; alih-alih, keduanya 13Lihat, Muhammad Sa‘id Ramadan Al-Buti dan Tayyib Tizini, Finding Islam Dialog Tradisionalisme-Liberalisme Islam, (Jakarta : Penerbit Erlangga, 2002), h. 94.
17
adalah filsafat ilmu. Sebab, dunia terdiri lebih dari sekedar materi yang ditentukan secara mekanis, bahwa ilmu adalah salah satu cara penemuan kebenaran yang sah, dan bahwa pandangan-pandangan tentang ilmu ini menyediakan pondasi yang baik untuk penelitian ilmiah di samping alternatif-alternatif yang lebih cenderung sempit. Harus diingat, bahwa kebenaran mutlak itu tidak ada hubungannya dengan ilmu itu sendiri, ada banyak kekuatan yang tersingkir dari filsafat, seperti saintisme dan naturalisme.14 Karl Popper menegaskan bahwa ilmuan tidak berawal dengan observasi telanjang, tetapi dengan hepotesis yang berfungsi seperti premis deduksi. Ilmuan mengasumsikan hepotesis ini kemudian mengujinya melalui berbagai eksperimen untuk pembuktian. Induksi saja takkan memungkinkan ilmuan untuk mencapai simpulan faktual; namun deduksi dan induksi bersama-sama mampu melakukannya. Dalam upaya mencari kepastian, patut dicatat pandangan Paul Fayerbend yang mengatakan bahwa daripada mencari sebuah teori ilmiah yang sempurna lebih baik mengembangkan teori; semakin berbeda teori-teori ilmiah, semakin baik teori-teori itu kendati tampaknya berlawanan satu sama lain.15 Oleh karena itu ekplorasi tentang epistemologi ilmu politik Islam diniscayakan akan memberi manfaat dalam mengembangkan teori-teori baru. Selanjutnya kata politique berasal dari bahasa Yunani, politique, politics atau politi cus berasal dari kata police yang berarti kota. Kata politique dalam bahasa Yunani tersbut identik dengan kata ―siyasah” dalam bahasa Arab yang bisa diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur dan lain 14Lihat penjelasan lebih komprehensip pada tulisan Stephen Palmquis, Pohon Filsafat Teks Kuliah Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), h. 265-267. 15Lihat umpamanya, Stephen Palmquis, Pohon Filsafat Teks Kuliah Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), h. 277. Bandingkan, A. Qodri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, (Jakarta : Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, 2001), h. 5.
18
sebagainya.16 Di samping itu, politik bisa juga diartikan sebagai segala urusan dan tindakan meliputi kebijakan, siasat dan semisalnya, mengenai pemerintahan negara terhadap negara lain; dan bisa diartikan sebagai kebijakan atau cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah.17 Ada juga yang menganggap ilmu politik sinonim dengan ilmu pemerintahan (government) di mana ilmu ini mencakup dua unsur utama, yaitu ―teori politik‖ dan ―administrasi pemerintahan‖, hanya saja keduanya tidak membicarakan tingkah laku politik secara luas.18 Politik, dalam terminologi syar‘i, adalah mengurusi kepentingan orang banyak dalam lingkup Daulah Islamiyah dengan cara-cara yang dapat merealisasikan kemaslahatan umum, menghilangkan kemudharatan, tidak melanggar batas-batas syaria‘h dan kaidah-kaidah asasinya. Oleh karena itu maka tidak diragukan lagi bahwa politik adalah wajib baik ditinjau dari segi syar‘i maupun akal. Cukup banyak dalil-dalil al-Qur‘ân yang mendukung kewajiban politik. Sedangkan secara akli, dikarenakan urusan manusia tidak mungkin tertangani melainkan dengan adanya pemimpin yang bertanggung jawab. Begitu urgennya keberadaan pemimpin, yang dapat memaksimalkan ajaran amar ma‘ruf nahi munkar, maka membentuk sebuah pemerintahan merupakan kewajiban agama dan bentuk pendekatan diri kepada Allah. Dalam menjalankan roda pemerintahan itu termasuk pendekatan yang paling utama. Pemerintahan akan rusak bila manusia hanya mengejar jabatan dan harta. Maka dari itu, melaksanakan pemerintahan yang adil merupakan suatu keniscayaan
16Ali Syari‘ati, Ummah dan Imamah, Suatu Tinjauan Sosiologis, terj. Afif Muhammad, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1995), h. 55. 17Lihat, M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1997), h. 416. 18Abi Kusno, Parameter Ilmu Sosial dalam Islam, Makalah Seminar, (Bandar Lampung : IAIN Raden Intan Lampung, 1995), h. 3.
19
dalam Islam, dengan kata lain, politik yang adil merupakan bagian yang tak terpisahkan dari syari‘ah.19 Pasca meninggalnya Rasulullah saw, persoalan yang mula-mula muncul ke permukaan dalam sejarah Islam klasik adalah persoalan politik. Hal ini merupakan sesuatu yang agak ganjil. Bahkan Harun Nasution memandangnya sebagai hal yang aneh, karena ternyata persoalan politik mendahului persoalan teologis,20 yaitu perbedaan pendapat masalah suksesi kepemimpinan, siapa yang akan menggantikan kedudukan Rasululullah saw sebagai kepala negara. Sebagaimana telah diketahui, bahwa setelah wafatnya Rasulullah saw, kaum Muslimin di Madinah terbentuk kelompok-kelompok politik yang berbedas-beda, seperti kelompok kaum Anshar, Muhajirin dan kelompok Bani Hasyim yang memiliki pemimpin sendiri-sendiri, Sa‘ad bin Ubaidah untuk kelompok Anshar, sementara Muhajirin mendukung Abu Bakar dan Umar bin Khattab, sedangkan Bani Hasyim memberikan dukungan mereka kepada Ali bin Abi Thalib. Adanya friksi-friksi politik tersebut dengan sendirinya menimbulkan pemikiran di bidang politik. Kelompok Anshar dan Muhajirin berkumpul di balairung Bani Sa’idah dan mengadakan perdebatan politik, sementara Bani Hasyim masih berkabung atas kepergian Nabi. Akhirnya, dalam perdebatan kedua kelompok tersebut menyetujui terpilihnya Abu Bakar atas usul dari Umar bin Khattab, sebagai kepala negara.21 Atas fenomena historis ini, di kalangan para pemerhati dan pengkaji sejarah Islam klasik, khususnya masalah pemikiran politik Islam, mereka
1426.
19Lihat,
―Kerancuan Politik‖ dalam Al Furqon, Edisi 7 Tahun IV, Shofar
20Berpangkal dari persoalan politik, pada akhirnya memunculkan persoalan teologis yang melahirkan aliran Khawarij, Syi‘ah, Mu‘tazilah, Asy‘ariyah dan lain-lainnya. Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta : UI Press, 1986), h. 1-11. Bandingkan, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : UI-Press, 1978), Jilid I, h. 92. Lihat juga , Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London : Macmillan Press Ltd, 1970), h. 139. 21Lihat, Mumtaz Ahmad (ed.), State, Politics, and Islam, (Indianapolis : American Trusst Publications, 1986), h. 42.
20
membangun argumentasi dan rasionalisasi sebab-sebab kenapa Rasulullah saw tidak menunjuk penggantinya.22 Al- Qur‘ân dan al-Sunnah sebagai realitas ideal sumber hukum Islam, termasuk masalah politik pemerintahan, tidak menyebutkan secara eksplisit sistem dan bentuk pemerintahan, melainkan hanya ide dasar dan prinsip-prinsip pemerintahan dan kepala negara yang memimpin. Adapun bentuk dan sistem pemerintahan yang konkrit tergantung ijtihad umat Islam, karena prinsipprinsip politik yang ada dalam kedua sumber pokok Islam itu pun sedikit sekali mengungkap persoalan poltik pemerintahan.23 Bahkan menurut Abu Zahrah, tidak ada satupun nash yang qath’y atau isyarat yang jelas tentang siapa yang akan menggantikan posisinya sebagai kepala negara setelah ia wafat. Beberapa sahabat meminta Nabi untuk menunjuk dan mengangkat penggantinya. Namun Nabi menolak untuk berbuat demikian, seraya bersabda bahwa apabila mereka (umat Islam) memberontak terhadap pengganti yang diangkat oleh Nabi, maka mereka akan dihukum. Seandainya Nabi mengangkat seorang pengganti dan merinci suatu cara tertentu dalam pemilihan, maka cara itulah yang menjadi satu-satunya cara pengangkatan seorang kepala negara, dan ketentuan yang bersifat
22Persoalan kenapa Rasulullah saw tidak menunjuk penggantinya semasa ia masih hidup, beberapa argumentasi dan rasionalisasi telah dibangun. Untuk lebih jelasnya, lihat, Thomas Arnold, The Caliphate and Holy Roman Empire, h. 19. 23Lihat, Nasih N. Ayubi, Political Islam : Religion and Politics in The Arab World, (London : Reutledge, 1991), h. 1-2. Mengapa al-Qur‘an tidak menjelaskan dasar-dasr kekhalifahan serta syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang akan menjadi khalifa ?, jawabannya, bahwa al-Qur‘an telah menetapkantiga dasar pemerintahan dalam Islam, yaitu : keadilan, musyawarah dan kepatuhan ulil amri, baik dalam hal-hal yang disukai atau tidak disukai oleh umat Islam, kecuali ulil amri itu memerintahkan kedurhakaan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dalam keadaan demikian seorang ulil amri tidak boleh dipatuhi, bahkan harus dimakzulkan. Lihat, Sayyid Quth, al-‘Adalah al-Ijtima’iyyahfi al-Islam, (Beirut, Kairo : Dar al-Syuruq, 1981), Cet ke-7, h. 101-108.
21
membatasi itu akan menyebabkan kesulitan besar dalam perkembangan pemerintahan dalam Islam.24 Pada saat Nabi menderita sakit menjelang wafatnya, perintah Nabi kepada Abu Bakar untuk menggantikan dirinya menjadi imam shalat. Tentu saja perintah ini tidak serta merta ditafsirkan sebagai isyarat penunjukan Abu Bakar sebagai pengganti kepala negara dan kepala pemerintahan. Karena di samping tidak proporsional, juga tidak etis. Para pengkaji pemikiran politik Islam melihat bahwa tidak ada relevansi antara menjadi imam shalat dan menjadi khalifah.25 Seiring dengan ini, kalaupun ada Hadist Nabi (baca : Hadist Khadir Khom) yang menyatakan pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti Rasulullah kelak, itu pun dipertanyakan keabsahannya. Karena di kalangan Arab kala itu, tidak ada tradisi pengangkatan pemimpin yang masih berusia muda. 26 Bermula dari kedudukan Nabi yang tidak saja sebagai Rasul (pemimpin agama, sebagai Nabi tentu Muhammad tak tergantikan), tetapi sekaligus sebagai kepala negara. Maka dalam pemikiran politik Islam muncul pendapat bahwa Islam adalah din wa siyasah, yang menegaskan bahwa tidak ada pemisahan antara agama dan politik.27 Dalam konteks ini, al-Ghazali menandaskan, ―al-din wa al-mulk tau’aman fala yastaghni ahadu-huma min alk-akhar (agama dan pemerintahan adalah saudara kembar, yang satu
24Jadi, dengan tidak menunjuk pengganti dan menetapkan suatu cara tertentu, maka Nabi telah bertindak sesuai dengan jiwa al-Qur‘an mengenai masalah tersebut. Lihat, Mumtaz Ahmad (ed.), State, Politics, and Islam, (Indianapolis : American Trusst Publications, 1986), h. 41. 25Apabila hal itu merupakan isyarat, kata Abu Zahrah, untuk mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah, tentu saat itu kasus ini menjadi argumen perdebatan, tetapi ternyata tidak. Lihat, Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta : Logos Publishing House, 1996), h. 23. 26Lihat, M.A. Shaban, Sejarah Islam : Penafsiran Baru 600-750, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), h. 21. 27Lihat, Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, (Jakarta : Paramadina, 1996), h. 229.
22
tidak bisa jalan tanpa yang lain).28 Oleh karena itu, integrasi politik ke dalam agama terlihat jelas dalam ekspresi keagamaan dan politik Nabi Muhammad saw, dan selanjutnya dalam banyak hal dilanjutkan dan diikuti oleh al-Khulafa‘ al-Rasyidun dan khalifah Umar bin Abdul Aziz. Merujuk pada konsep dan praktek politik zamn Nabi dan Khulafâ‘ al-Râsyidîn di atas, maka tidak salah Ian Adams mengatakan bahwa pemikiran politik Islam, tidak hanya berkutat di sekitar gagasan tentang negara, tetapi juga membahas ide-ide tentang komunitas Muslim yang dipimpin oleh khalifah (penerus Nabi). Khalifah ini memiliki status sebagai pemimpin politik dan agama yang mesti ditaati oleh seluruh anggota komunitas Muslim. Khalifah menjalankan kekuasaannya dibimbing oleh saran-saran dari ulama yang terdiri dari para sarjana agama yang ahli di bidang syari‘ah, atau hukum Tuhan yang tertuang dalam alQur‘ân dan hadits Nabi.29 Pernyataan ini mengindikasikan bahwa pemikiran politik Islam itu mutlak berlandaskan alQur‘ân dan Hadist Nabi, melaksanakan hukum-hukum syari‘ah dalam masyarakat dan negara melalui kepemimpinan seorang khalifah. Pada tataran historis, pengkaji pemikiran politik Islam akan menemukan dalam sejarah Islam selama enam atau tujuh abad peertamanya suatu mozaik yang mencengangkan dari aliran-aliran politik praktis yang saling bersaing.30 Seperti aliran politik Sunni dan Syi‘ah yang dapat dilacak dari balairung Bani Sa’idah, sesaat setelah Nabi wafat yang memperdebatkan tentang suksesi kekhalifahan. Namun sesungguhnya yang lebih dapat dipercaya adalah dengan terjadinya tragedi ―karbala‖ yang menjadi ―turning 28Lihat, Gustave E. Von Grunebaum, Isalam Kesatuan dalam Keragaman, (Jakarta : Yayasan Perhidmatan, 1983), h. 217. 29Lihat, Ian Adams, Political Ideology Today, terj. Ali Noerzaman, Ideologi Politik Mutakhir, Konsep, Ragam, Kritik dan Masa Depannya, (Yogyakarta : Penerbit Qalam, 2004), h. 427. 30Lihat, Hamid Enayat, Modern Islamic Poliotical Thought, (Austim : University of Texas, t.t), h.4.
23
point‖ disaat terbunuhnya cucu Nabi, Husein secara mengenaskan, perselisihan ini tidak hanya terjadi pada abad ke-6 dan 7 pertama dalam sejarah Islam saja, tetapi secara tajam berlanjut hingga kini.31 Di samping itu, di sepanjang bentangan sejarah Islam, lahir pula tokoh-tokoh penting pemikir politik dengan konsepsi dan persepsi mereka masing-masing mengenai landsan-landasan kewenangn penguasa dan batas-batas ketaatan rakyat terhadap penguasa. Di antaranya adalah : Ibnu Arabi, Al-Farabi, AlMawardi, Asl-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, Sayyid Quthb, Al-Maududi, Muhammad Asad, Khumaini, Ali Abdurraziq, Thaha Husein, Muhammad Abduh, Husain Haikal dan lain-lain. F. Epistemologi Ilmu Politik Islam Arif Furqon, mungkin berpijak atau setuju pada pendapat Richard A. Posner,32 yang mempersoalkan apakah politik Islam itu sebuah ilmu. Menurut dia, politik Islam itu ia rasakan keberadaannya, sebagaimana ia merasakan adanya ekonomi Islam, tetapi secara empiris ilmiah dia masih mempersoalkannya.33 Persoalan pokok epitemologis ilmu politik Islam karena label ―Islam‖ pada dasarnya lebih dekat kepada teologi dan kepada metafisika daripada kepada science. Sebab bagaimanapun, warna berbagai dimensi horizontal tidak bisa lepas dari dimensi vertikal, yaitu keyakinan akan keesaan Tuhan (tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid hakimiyyah bahkan tauhid sifatiyah) 31Lihat, Sayyid Husain m. Jufri, Islam Syi’ah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1991), h. 14. 32Richard A. Posner mengatakan ―scientific method plays little role in legal reasoning” ….‖the trial is not modeled on scientific inquiry, kata ―scientific inquiry yang ia maksudkan tentu yang berdasarkan empiris, sebagaimana ciri science, sehingga metode yang dipakai dalam mengembangkan ilmu politik Islam tidak akan tepat. Lihat, Richard A. Posner, The Problems of Jurisprudence (Cambridge : Harvard University Press, 1990), h. 62. 33Dialog penulis dengan Arif Furqon, selaku Direktur Pendidikan Tinggi Islam terjadi pada tahun 2004 pada saat penulis dipanggil menghadap ke Jakarta dalam rangka pembukaan program studi Pemikiran Politiok Islam.
24
menjadi dasar interaksi sosial dan politik. Jika Posner dan Arif Furqon mengtakan bahwa politik Islam tidaklah scientific, lalu apakah politik Islam harus dikubur---termasuk menurut paham positivisme--- tentu saja jawabnya tidak., karena politik Islam sudah berlangsung sejak turunnya Islam sehingga harus tetap jalan---meskipun tanpa ilmiah--oleh karena mempunyai kedudukan seperti halnya teologi dan filsafat. Harold I. Brown menanggapi kemelut di atas dengan mengatakan bahwa :‖No these becomes a part of the body of scientific knowledge unless it has been put before and accepted by community of scientists34 dari pernyataan ini agaknya, penerimaan dari masyarakat ilmuan merupakan kunci yang menentukan dalam kajian epistemologi. Oleh karena itu, Brown secara singkat membuat batasan science dengan ungkapan bahwa scientific knowledge is the consensus of the scientific community, artinya pengetahuan ilmiah adalah hasil konsensus masyarakat ilmuan. Selanjutnya Brown menegaskan scientific theories develop and are accepted and overthrown,35 artinya teori-teori ilmiah itu berkembang lalu diterima dan dalam kesempatan lain dibuang dan diganti dengan yang lain hasil penemuan baru. Konsep yang baru itu biasanya dibangun atas dasar konsep yang sudah ada. Artinya adanya kontnuitas antara konsep dan teori yang sudah ada dengan terori yang sedang berkembang dan nantinya dengan teori yang bakal muncul. Paparan singkat di atas, paling tidak, dengan merujuk pada pendapat Brown tersebut, akan sangat membantu ketika membahas mengenai politgik Islam, yaitu dengan menggunakan ukuran dan standar epistemologi sebagaimana diuraikan oleh Brown tadi. Dengan demikian, tidaklah perlu dirisaukan akan keabsahan dari disiplim ilmu 34Lihat pemaparan Harold I. Brown, Perception, Theory and Commitment : The New Philoshopy of Science (Chicago : University of Chicago Press, 1979), h. 150 35 Harold I. Brown, Perception, Theory and Commitment : The New Philoshopy of Science (Chicago : University of Chicago Press, 1979), h. 154.
25
politik Islam ditinjau dari aspek epistemologinya. Karena menurut Carl Joachim Friedrich, pengertian ilmiah itu mesti diberi interpretasi secra longgar, yakni esensi kerja ilmiah, sehingga terjadi kesepakatan di kalangan ilmuan.36 Oleh karena itu, jika ada kesepakatan dengan pendapat Brown dan Friedrich tadi, bahwa the only permanent aspect of science is research, maka riset merupakan tantangan untuk mengembangkan ilmu politik Islam.37 Berkaitan dengan riset ini tentu saja tidak bisa bebas dari konsep dan teori yang sudah ada. Maka dari itu, filsafat ilmu atau epistemologi seharusnya ditempatkan pada alat untuk kajian lebih mendalam dan benar, bukan ditempatkan sebagai ―ilmu‖ tersendiri yang harus dihafal definisi-definisinya. Para mujtahid pemikiran politik Islam, terutama yang cenderung pada paham sekuler, menengarai bahwa masalah politik secara etimologi, apa lagi secara terminologi, tidak ditemukan secara jelas di dalam al-Qur‘ân. Namun bukan berarti bahwa al-Qur‘ân tidak membahas masalah politik tersebut. Sungguh relatif banyak para ulama yang menyusun karya ilmiah di bidang politik yang merujuk alQur‘ân dan al-Sunnah sebagai sumber pijakan mereka. Tentu saja tidak secara eksplisit melainkan nilai-nilai substantif yang bersifat implisit mengandung makna politik pemerintahan dan kenegaraan. Pada dasarnya, memang al-Qur‘ân adalah merupakan kitab suci keagamaan, sebagaimana telah disinggung dahulu, akan tetapi pembicaraan-pembicaraan di 36Lihat, Carl Joachim Friedrich, The Philosophy of Law in Historical Perspective (Chicago : University of Chicago Press, 1963), h. 4. 37Fenomena empiris berlangsung dengan telah terjadinya desacralization pada ilmu-ilmu sekuler, yang berarti telah tercerabut dari akar semulanya yang selama ini selalu berorientasi pada empiris atau bahkan materialistis, tanpa mermpertimbangkan atau mendasarkan pada hal-hal yang metafisis. Jika anggapan ini mutlak maka akan terjadi konflik dengan beberapa disiplin ilmu yang mendasarkan diri pada metafisika seperti filsfat, pada intuisi seperti psikologi. Maka epistemologi politik Islam yang bersandar pada metafisika dan teologi bahkan wahyu ilahi merupakan sebuah kebenaran. Lihat umpamanya kajian, Sayyed Husein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany : State University of New York,1989), h. 1.
26
dalamnya tidak terbatas pada masalah keagamaan saja. Ia berbicara menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Al-Qur‘ân juga bukan buku filsafat, bukan pula buku ilmu pengetahuan dan ilmu politik, sebagaimana juga telah disinggung di atas, namun demikian, di dalamnya terkandung pembicaraan-pembicaraan yang bersifat filosofis dan isyarat-isyarat ilmu pengetahuan serta isyarat-isyarat tentang politik pemerintahan. Dalam konteks ini agaknya tepat dikemukakan pendapat Seyyed Hossein Nasr, yang mengatakan bahwa al-Qur‘ân adalah prototype dari segala buku yang melambangkan pengetahuan38, seperti umpamanya pengetahuan etika, politik, filsafat, teologi, fiqh, tasauf, ekonomi, kemasyara-katan dan lain sebagainya. Meskipun al-Qur‘ân mengandung isyarat dan pembicaraan mengenai berbagai persoalan manusia, akan tetapi pembicaraannya tentang suatu masalah tidak tersusun secara sistematis seperti halnya buku-buku ilmiah sekarang ini yang ditulis oleh manusia. Pembicaraan dalam al-Qur‘ân pada umumnya bersifat global, parsial, dan sering kali menyampaikan suatu masalah dalam prinsip-prinsipnya saja. Akan tetapi, sifat pembicaraan yang bersifat global itulah yang merangsang kajian tidak habis-habisnya oleh para cendikiawan, mulai dari generasi al-Sâbiqûn al-Awwalûn hingga sekarang. Menurut Fazlur Rahman, ada 8 tema pokok yang menjadi pembicaraan dalam al-Qur‘ân, yaitu tentang tuhan, tentang manusia sebagai individu, tentang manusia sebagai masyarakat, tentang alam semesta, tentang kenabian dan wahyu, tentang eskatologi, tentang setan dan kejahatan, dan tentang lahirnya masyarakat Muslim.39 Menurut Rasyid Ridha, jika al-Qur‘ân disusun dengan sistematika ―ilmiah‖, seperti buku-buku karangan manusia, 38Lihat umpamanya Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam (London : George Allen & Unwin Ltd., 1972), h. 37. 39 Lihat, misalnya Fazlur Rahman, Major Themes of The Quran (Cichago : Bibliotika Islamica, 1980). Agaknya pembicaran tentang lahirnya masyarakat Muslim itulah yang banyak menyoroti persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hubungan syari‘ah Islam dengan Negara, karena ia berbicara mengenai sistem pemerintahan dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
27
niscaya al-Qur‘ân sudah ketinggalan zaman.40
lama
menjadi
usang
dan
G. Penutup Diskursus integrasi keilmuan pemikiran politik Islam dapat dikembangkan lebih intensif jika eksistensi program studi (Prodi) Pemikiran Politik Islam (PPI) mengalami akselerasi secara simultan. Kehadiran PPI dapat memperluas wacana keilmuan dengan membahas lebih mendalam tentang ―doktrin Islam‖ yang sesungguhnya yang meliputi ruang lingkup ajaran Islam serta keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lain. Juga persoalan aspek ide-ide Islam yang agung, menyangkut masalah etika (kedudukan akhlak dalam Islam), budaya dan politik (Islam sebagai agama dan politik spiritual), masayrakat Islam, pembangunan syari‘ah berdasarkan dalil-dalil, proses pembanguan Islamic Thought, Islamic Mthod, dan Islam sebagai Manhâj serta agenda pembaharuan umat. Pengembangan ilmu pemikiran politik bersandar pada wahyu Ilahi dan Sunnah Rasulullah Saw dan parktik politik para sahabat Nabi, para tabi‘in dan tabiut tabi‘in, para pemikir dan aktivis politik Islam, kemudian dipadukan dengan ilmu-ilmu yang berkembang di Barat.
40Muhammad Rasyîd Ridhâ, al-Wahy al-Muhammadî (Kairo : Maktabah al-Qâhirah, 1960), h. 107-108.
28
Bagian 2 SPIRIT ISLAM POLITIK PERIODE AL-KHULAFÂ’ AL-RÂSYIDÛN BAGI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA A. Pendahuluan Sewaktu Nabi Muhammad wafat, agama Islam sudah menyebar ke seluruh Jazirah Arab, dan Madinah merupakan pusat kegiatan keagamaan dan politik umat Islam. Muhammad sebagai Rasul sebelum wafatnya telah menyelesaikan tugas kenabiannya. Untuk itu tidak mengherankan permasalahan yang pertama-tama timbul pasca Nabi adalah masalah khilafah (politik). Oleh karena itu, selain periode Rasulullah SAW, periode al-Khulafâ‟ alRâsyidûn adalah referensi politik Islam yang paling otentik dan kredibel, diakui oleh kalangan teoritikus politik, baik dari kalangan Muslim maupun dari kalangan non Muslim. Inilah periode ideal yang eksistensi maupun essensinya diakui sepanjang zaman. Persoalan khilafah (politik) muncul dan berkembang pasca wafatnya Rasulullah SAW, ditengarai karena Nabi Saw tidak pernah secara eksplesit menentukan siapa yang akan menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan. Sedangkan para sahabat menyadari betul, bahwa kelangsungan hidup negara Islam yang baru terwujud itu sangat memerlukan pemimpin yang akan melanjutkan perjuangan Rasulullah untuk menyebarkan Islam dan mempersatukan sekaligus untuk melindungi komunitas Muslim yang telah menyebar ke seluruh pelosok Jazirah Arab. Persoalan krusial yang muncul setelah wafatnya Nabi yang menjadi pertanyaan masyarakat Madinah waktu itu adalah siapa pengganti beliau untuk mengepalai negara
29
yang baru lahir itu, sehingga penguburan Nabi merupakan soal kedua bagi mereka. Timbullah soal khilafah, soal pengganti Nabi sebagai kepala negara. Sebagai Nabi dan Rasul, Muhammad SAW tentu tidak dapat digantikasn.1 Torehan sejarah Islam menunjukkan bahwa secara bergantian para khalifah yang menggantikan Nabi S dalam kepemimpinan negara Abu Bakarlah yang disetujui oleh masyarakat Muslim di waktu itu menjadi pengganti/ khalifah pertama, kemudian disusul oleh Umar Bin Khattab, lalu diteruskan oleh Usman Ibn Affan dan dilanjutkan oleh Ali Ibn Abi Thalib.2 Mereka inilah yang dikategorikan sebagai al-Khulafâ‟ al-Râsyidûn (para khalifah yang bijaksana). Menurut Robert N. Bellah, sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid, bahwa masyarakat Muslim klasik itu ”modern” (terbuka, demokratis, dan partisipatif). Mengapa hanya pada masa Rasul dan al-Khulafâ‟ alRâsyidûn plus masa Umar bin Abdul Aziz yang menjadi referensi negara Islam ideal. Karena Bani Umayyah telah menghidupkan kembali sistem sosial Arab pra-Islam yang bersifat kesukuan (tribal), sedikit digabung dengan sistem Yunani-Romawi (Byzantium). Karena itu Ibn Khaldun mengatakan bahwa dengan munculnya dinasti Bani Umayyah sistem kekhalifahan (al-Khilafah) yang terbuka dan demokratis telah diganti dengan sistem kerajaan (al-mulk) yang tertutup dan otoriter.3 Uraian berikut akan memaparkan sisi politik pada masa al-Khulafâ‟ al-Râsyidûn tersebut. B. Islam di Bawah Kepemimpinan pada Masa al-Khulafâ’ al-Râsyidûn
1Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Pembanding, (Jakarta : UI Press, 1986), h. 3. 2Ibnu Hisyam, As-Shiratun Nabawiyyah, Jilid 1, (Kairo : Mathba‟at AlMadani, t.th), h. 249. 3Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1994), h. 63.
30
Khulafâ‟ adalah bentuk jamak dari kata khalifah. Artinya adalah orang yang mengikuti atau pengganti. Secara terminologis diartikan orang yang mengambil alih kedudukan orang lain setelah dia meninggal dunia dalam beberapa hal.4 Dari definisi ini dapat ditegaskan bahwa khalifah dalam Islam sangat diperlukan, karena ia berfungsi sebagai pengganti kedudukan Nabi untuk menjaga umat sekaligus mengatur kehidupan keduniaan yang meliputi antara lain, politik, sosial, keamanan dan ekonomi berdasarkan nilai-nilai ajaran agama Islam. Dalam konteks peraliahan kekuasaan (suksesi) ada pembelajaran politik yang dapat dipetik, yaitu kronologi pemilihan khalifah pertama. Tampilnya Abu Bakar sebagai peletak pembentukan khilafah tidak terlepas dari peranan kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang memunculkan dialektika politik demi kekuasaan. Akar persoalan timbul dari adanya rapat gelap kelompok Anshar yang merespon wafatnya Nabi5. Mereka berkumpul di Saqifah bani Sa‟idah untuk mengangkat Sa‟ad bin „Ubadah pemimpin Khajraj.6 Kemudian, setelah mendengar ada pertemuan tersebut, Umar Bin Khattab memberitahukan Abu Bakar dan ditemani Abu „Ubaidah mereka pergi mendatangi pertemuan tersebut. Terjadilah adu argumentasi dan perdebatan sengit. Endingnya adalah Tampilnya Abu Bakar dengan bijak menyodorkan dua nama, yaitu Umar dan Abu „Ubaidah untuk dipilih. Namun
4M.A. Shaban, Sejarah Islam (Penafsiran Baru) 600-700, Pen- Machnun Husein, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1993), h. 25. 5Hari Senin 12 rabiul awwal 11 Hijrah/ 9 Juni 632 M. di kota Madinah, Lihat Muhammad Rida, Abu Baker As-Shiddiq, (Kairo : DaAhya- al-Kutub alArabiyah, Cet. 2, 1369/1950), h. 20. 6Ibnu Al-Atsir, Al-Kamil fi at-Tarikh, Jilid 2, Beirut : Dar baeirut, 1385/1965), h. 328.
31
sepontan keduanya membaiat Abu Bakar dan diikuti oleh para hadirin dari kedua belah pihak.7 Beberapa butir penting dapat dikemukan dalam proses suksesi tersebut, yaitu pemilihan bersifat demokratis dan roda pemerintahan berjalan secara demokratis, melibatkan semua unsur yang ada dalam masyarakat untuk berperanserta dalam mensukseskan pemerintahannya. Pemerintahan (khalifah) sesudah nabi tidak mempunyai bentuk kerajaan, tetapi lebih dekat merupakan republik dalam arti kepala negara dipilih dan tidak mempunyai sifat turun temurun. Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah bukan atas tunjukan nabi Muhammad, melainkan atas dasar kemufakatan antara pemuka Anshar dan Muhajirin dalam rapat Saqqifah.8 Masa kepemimpinan Abu Bakar, sejak awal ia telah menyampaikan manifesto politiknya bahwa ia siap dikritik dan siap dikoreksi, dalam hal ini telah melakukan kontrak politik dengan rakyat, dengan demikian telah menciptakan sistem kontrol masyarakat terhadap setiap kebijakannya.9 Hasil yang diraih pada masa kepemimpinan Abu bakar di anataranya adalah meneruskan ekspedisi ke Siria; Memerangi orang-orang murtad dan nabi-nabi palsu; dan Mengumpulkan al-Qur‟an. Sebagai catatan, Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada masa Khalifah kedua, Umar Bin Khattab perkembangan Islam sebagai kekuatan politik. Terkait dengan masalah suksesi, Abu Bakar telah menunjuk Umar Bin Khattab sebagai pengganti dirinya sebelum ia wafat. Alasan sederhana yang ia ajukan adalah ia tidak ingin terjadi 7Baiat ini disebut dengan baiat Khas (baiat terbatas). Lihat, Hasan Ibrahim Hasan, At-Tarikh al-Islamiyy, (Kairo : An-Nahdah al-Misriyyah Cet.7, 1964), h. h. 205. 8Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1, (Jakarta,: UI Press, 1985), h. 95. 9Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum Suatu Studi tentang PrinsiPrinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), h. 130.
32
kevakuman kepemimpinan dan ia khawatir terjadi kekisruhan sebagaimana terjadi di Bani Sa‟idah. Namun demikian, suka atau tidak suka, kebijakan Abu Bakar ini telah memunculkan kritik di kemudian hari (masa modern) terutama dari kalangan orientalis, yang menilai proses suksesi demikian tidak demokratis, apapun alasannya. Terlepas dari itu semua, masa Umar telah menunjukkan prestasi yang luar biasa dalam mengembangkan Islam. Ekspansi yang dilakukan pada masa kepemimpinan Khalifah Umar menyebabkan berkembangnya Islam secara pesat, baik dari segi perluasan wilayah maupun pemeluknya. Dalam hal ini sosok Umar melebihi Yulius Caesar, Iskandar Yang Agung, Jengis Khan dan Napolion.10 Pada masa ini, Islam membentang samapai batas Cina di Timur, Afrika di Barat, Laut Qazwain di Utara dan Sudan di Selatan. Hal ini melahirkan negara Adi Kuasa Islam menggantikan Bizantium (Romawi) dan Sasani (Persia) yang bertekuk lutut di tangan Umar.11 Hal terpenting pada masa kepemimpinan Umar adalah diterapkannya sistem pemerintahan desentralisasi, yang sekarang disebut sebagai otonomi daerah. Di daerah para gubernur diberikan wewenang mengangkat qadhi dan pegawai keuangan negara,12 Untuk mengefektifkan pemerintahan dengan wilayah yang begitu luas, Umar membentuk spionase-spionase sebagai alat kontrol, yang sekarang disebut sebagai Badan Intelijen Negara (BIN). Kemudian dia sendiri yang turun ke daerah tertentu dan biasanya akan tinggal di sana selama satu atau dua bulan. Setiap gubernur wajib memberikan laporan pertanggungjawaban setiap musim haji.
10Lihat
penuturan Muhammad Husein Haikal, Al-Faruq Umar, Juz 1 & II, Cet. VI, (Kairo : Dar Ma‟arif, t.th), h. 9. 11Lihat penuturan Muhammad Husein Haikal, Al-Faruq Umar, Juz 1 & II, Cet. VI, (Kairo : Dar Ma‟arif, t.th), h. 9. 12G.E. Von Grunebaum, Classical Islam, (London, 1970), h. 54.
33
Konsep terpenting yang dikembangkan Umar adalah konsep ummah, penyatuan suku-suku bangsa Arab dan non-Arab, sehingga prinsip-prinsip politik kesukuan hilang sama sekali. Penaklukan-penaklukan telah mengalihkan perhatian bangsa Arab dari loyalitas kesukuannya. Musyawarah atas dasar maslahat bagi sistem ummah selalu didahulukan daripada kepentingan-kepentingan lainnya. Dengan konsep ini Umar telah mendirikan Daulah Islamiyah yang menjadi Adi Kuasa, menggantikan kedudukan Romawi dan Persia. Umar memerintah selama sepuluh tahun, masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang budak dari Persia bernama Abu Lu‟lu‟ah.13 Khalifah ketiga adalah Usman Ibn Affan. Pemerintahannya berlangsung selama 12 tahun. Dalam konteks suksesi, sebelum wafat, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya menjadi khalifah. Mereka adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa‟ad ibn Abi Waqqas, dan Abdurrahman ibn „Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman sebagai khalifah, melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib. Proses suksesi ini telah memulihkan keyakinan bahwa Islam dibangun berdasarkan prinsip-prinsip demokratis, yang pada waktu itu istilah demokrasi ini belum muncul. Pada paroh terakhir masa kekhalifahan Usman, muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Usman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini muingkin karena umurnya yang lanjut (diangkat dalam usia 70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut. Akhirnya ia mengakhiri 13A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 1, (Jakarta : Pustaka Alhusna, 1987, cet. v), h. 267.
34
kekhalifahannya dan terbunuh di tangan kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa itu. Salah satu faktor yang menonjol pada periode Usman ini adalah konsep KKN-nya, yang telah menyebabkan banyak rakyat kecewa. Karena kondisinya yang sudah tua, maka orang yang disebut sebagai the real khalifah adalah Marwan bin Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Usman hanya menyandang gelar Khalifah.14 Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagibagikan tanpa kontrol oleh Usman sendiri.15 Ali Ibn Abi Thalib tampil sebagai khalifah melalui baiat secara beramai-ramai oleh masyarakat setelah meninggalnya Usman. Dia memegang tampuk kekuasaan hanya empat tahun sembilan bulan. Pada masa Ali ini terjadi pergolakan dalam negeri, hampir selama pemerintahannya tidak terwujud stabilitas keamanan. Setelah menjabat, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Usman, yang diyakini karena keteledoran merekalah terjadi huru hara dan pemberontakan. Dia juga menarik harta kekayaan negara yang telah dikorup pada masa Usman, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan sebagaimana pernah diterapkan oleh Umar. Ali Ibn Abi Thalib menghadapi pemberontakan yang dilakukan oleh rivalnya seperti Thalhah, Zubair dan Aisyah. Mereka menuntut Ali yang tidak menindak para pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang telah ditumpahkan secara zalim, pada akhirnya 14Ahmad
Amin, Islam dari Masa ke Masa, (Bandung : CV Rusyda, 1987),
h. 87. 15Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1995), h. 39.
35
terjadilah peperangan yang terkenal dengan sebutan Perang Jamal, karena Aisyah waktu itu menaiki unta. pihak Ali menang. Namun bersamaan dengan itu, muncul pula perlawanan dari gubernur Damaskus yaitu Mu‟awiyah yang didukung oleh barisan sakit hati yang telah dipecat sebelumnya dari jabatan mereka pada masa Usman. Sehingga terjadilah peristiwa Tahkim (arbitrase) yang menyebabkan Islam terpecah menjadi tiga kelompok: Mu‟awiyah, Syi‟ah dan al-Khawarij. Penyelesaian konflik melalui kompromi dengan Muawiyah adalah sebenarnya penyebab kegagalan bagi Ali dalam melaksanakan kepemimpinannya16. Ali menghembuskan nafas terakhirnya dibunuh oleh seorang anggota Khawarij. C. Perbedaan Struktur Pemerintahan dan Gaya Kepemimpinan pada Masa ke-Khalifahan tersebut Hampir tidak terlihat distingsi yang tegas bagaimana para al-Khulafâ‟ al-Râsyidûn menata konsolidasi dan menertibkan suatu daerah yang baru diperoleh begitu luas dan mengutuhkan masyarakatnya yang beraneka ragam dan kelompok yang beraneka istiadat, maka banyak kesukaran yang dihadapi oleh para pendatang baru dari Arabia yang kurang pengalaman itu. Menurut Philip K. Hitti, pemecahan terletak pada bagaimana mengikuti cara yang kurang banyak menimbulkan perlawanan : pemerintahan propinsi meneruskan susunan kerja bentuk Bizantin di Siria dan Mesir, dan tata kerja Sasanid di Persia dan Irak. Malahan para pejabat lama dan pegawai negeri tidak disingkirkan, dan bahasa lembaran-lembaran daftar isian Pemerintah tidak diganti. Para jenderal penakluk diangkat menjadi Gubernur dan menerima wilayah yang luas sebagai amanat. Para Muslim Arab menempatkan diri sebagai suatu masyarakat 16Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993), 200.
36
Kesatriagama, warga negara kelas wahid, dengan suku Quraisy tampil sebagai Aristokrat baru. Sesudah mereka menyusul para muallaf, dalam teori, tetapi tidak dalam implementasi.17 Sesuai dengan skop kekuasaan yang diperoleh, maka dapat disebutkan bahwa masa Umarlah yang lebih gencar melakukan ekspansi dan dia menggunakan gaya kepemimpinan yang tegas, transparan serta menjaga akuntabilitas kepemimpinannya. Pada masa Usman terlihat adanya kemuduran dalam bidang leadership. Masa Ali, karena banyak terjadi pemberontakan maka kepemimpinan dirongrong dari dalam sehingga kelihatan lemah, bahkan Ali pun mati dibunuh. Sebagai negara Adi Kuasa yang multi etnis, ras dan suku, dengan bermodalkan prinsip-prinsip kontrak politik Piagam Madinah, Ummat Kristen, Yahudi dan Dzimmi lainnya diperkenankan tetap berada pada macam-macam keahlian mereka, termasuk mengolah tanah dan didudukkan sebagai warga kelas dua. Selama mereka tetap membayar jizyah, mereka aman. Para budak berada pada urutan terbawah susunan sosio-politik, termasuk tawanan perang. Pada puncaknya adalah para Khalifah, para pengganti rasul sebagai Kepala Negara dan bukannya sebagai pengganti kerasulannya. Gaya kepemimpinan para al-Khulafâ‟ al-Râsyidûn ini adalah bergaya Sunnah, karena keemat-empatnya adalah berhubungan erat dan sinambung langsung dengan Nabi. Umar Ibn Khattab adalah yang terbesar di antara mereka.18 Dalam menata urusan kenegaraan para Khalifah ahli Sunnah 17Philip K. Hitti, Islam and The West, Edisi Indonesia oleh M.J.Irawan (Bandung : Penerbit Sinar Baru, 1984.), h. 31-32. 18Bahkan Umar dianggap sebagai pendiri yang sebenarnya dari pemerintahan Islam, karena kebijakannya memperoleh cirinya terutama dari Umar, baik selama masa hidupnya maupun setelah wafatnya. Lihat, Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993), 182.
37
diperkirakan masih sama seperti di bawah pengaruh kehebatan Nabi. Ibu kotanya ialah Madinah; zamannya adalah Arab murni, partiarkhal, dengan Kepala Negara, bersikap agak seperti seorang syeikh suku dibandingkan dengan suatu kerajaan. Kekhalifahan itu berakhir dengan pergolakan sipil yang memecat Ali dari kekuasaan yang tertinggi dan menumpangkannya pada Mu‟awiyah Ibn Abi Sufyan, pendiri dinasti Amawiyah19 Meskipun hanya berlangsung 30 tahun, masa ”Republik Islam” itu merupakan masa yang paling penting di dalam sejarah. Ia menyelamatkan Islam, mengonsolidasikannya dan meletakkan dasar bagi keagungan umat Islam. Khalifah pertama, Abu Bakar, menyelamatkan umat Islam dari perpecahan karena soal penggantian kepemimpinan setelah wafatnya Nabi. Dia juga menyelamatkan Islam dari bahaya besar orang-orang murtad dan nabi-nabi palsu dan mempertahankan keyakinan akan agama yang benar di Arabia. Khalifah kedua, Umar Bin Khattab, mengonsolidasikan Islam di Arabia, mengubah anak-anak padang pasir yang liar menjadi bangsa pejuang yang berdisiplin dan menghancurkan Kekaisaran Persia dan Bizantium, membangun suatu imperium yang sangat kuat yang meliputi Irak, Persia, Kaldea, Siria, Palestina, dan Mesir. Khalifah ketiga, Usman Bin Affan, menyaksikan ekspansi imperium Arab yang lebih jauh di Asia Tengah dan Tripoli. Pemerintahannya juga patut dikenang karena terbentuknya Angkatan Laut Arab. Khalifah keempat, Ali Ibn Abi Thalib, mengatasi kekacauan-kekacauan di dalam negeri. Dengan wafatnya Ali ini tahun 661 M., berakhir pulalah republik Islam Yang Agung.
19Philip K. Hitti, Islam and The West, Edisi Indonesia oleh M.J.Irawan (Bandung : Penerbit Sinar Baru, 1984.), h. 32-33.
38
D. Gaya Kepemimpinan dan Pemerintahan yang Ideal dalam Kontek ke-Indonesiaan Sebagai negara yang memiliki penduduk mayoritas Muslim, termasuk founding fathernya adalah orang-orang Muslim, maka Indonesia lebih cenderung pada Islam moderat demi mengakomodir ideologi-ideologi di luar Islam sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan (NKRI) yang sudah final itu. Politik dalam nuansa ke-Indonesiaan bentuk pemerintahan disesuaikan dengan posisinya sebagai alat untuk menegakkan keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, keamanan dan ketentraman masyarakat.20 Oleh karena itu, falsafah dan dasar negara Indonesia tidak Al-Qur‟ân, melainkan Pancasila dan UUD-1945. namun demikan keduanya bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam.21 Pandangn di atas sejalan dengan argumentasi Ibnu Taimiyyah yang megatakan bahwa “di dalam al-Qur‟ân tidak disebut-sebut tentang suksesi (politik), mungkinkah Allah telah lalai untuk menyinggung masalah yang teramat penting jika pembentukan negara Islam itu wajib. Bagi Ibn Taimiyyah menegakkan negara bukanlah asas atau tujuan agama dan bukan pula sebagai sebuah pelengkap yang diperlukan oleh agama.22 Berdasarkan pemahaman terhadap statemen ini, maka dalam konteks Islam politik dan praktik politik yang ideal dalam bingkai NKRI pemerintahan dan
20Lihat
Munawir Sjadzali, Islam dan Ketatanegaraan, (Jakarta : Mutiara,
1992) 21Dapat dilihat umpamanya Pancasila, sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa itu menjiwa semua sila yang lain, rujukannya adalah alQur‟an surat al-Nisa ayat 156 tentang ketaatan mentaati pemimpin termasuk penguasa di bidang politik pemerintahan dan negara yang bersyarat, yaitu pemimpin yang taat kepada Allah dan rasul-Nya. Dalam hadis rasulullah SAW, kita jumpai petunjuknya, bahwa mentaati pemimpin bagi setiap Muslim merupakan kewajiban, tetapi apabila pemimpin tersebut memerintahkan perbuatan dosa, maka boleh ditentang. (H. R. Bukhari Muslim). 22Pendapat Ibnu Taimiyyah ini diungkap oleh Qomaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimyyah, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1983), h. 69.
39
gaya pemimpinan yang ideal adalah gaya politik Islam moderat. Konsep Islam tentang Islam moderat begitu penting dan mulia dan merujuk pada praktik politik Nabi dan alKhulafâ‟ al-Râsyidûn yang berdasarkan pada Piagam Madinah. Moderat dalam pengertian Islam mencerminkan karakter dan jatidiri yang khusus dimiliki oleh manhaj Islam dalam pemikiran dan kehidupan; dalam pandangan, pelaksanaan dan penerapan. Dengan moderat ini pula terbentuk warna peradaban Islam pada setiap nilai, idealisme, kriteria, dasar-dasar, serta simbol-simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa sikap moderat Islam bagi manhaj Islam dan peradabannya merupakan sudut pandangnya. Sifat moderat Islam telah mencapai dan menduduki posisi ini dalam peradaban Muslim karena penolakannya terhadap ekstrimitas dan eksageritas kezaliman dan kebatilan.23 Dari sudut pandang al-Qur‟ân, setiap orang yang tidak adil kepada dirinya sendiri atau kepada orang lain adalah zalim. Dalam bahasa sehari-hari, orang yang zalim hanyalah orang yang menyimpangkan hak-hak orang lain. Tetapi menurut terminologi Qur‟âni, orang yang zalim adalah orang yang tidak adil terhadap diri sendiri.24 Sebagai negara religius yang bertumpu pada Pancasila dan UUD1945, maka gaya kepemimpinan tidak boleh bersikap zalim dan tidak adil dalam melaksanakan kepemimpinan. Maka pancasila dijadikan sebagai moral bangsa. Uraian mengenai kelima Sila dari Pancasila secara ringkas adalah sebagai berikut25: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa : orang harus percaya dan takwa kepada Tuhan YME, dan menghargai orang lain 23Lihat penjelasan, Muhammad Imarah, Perang Terminologi Islam Versus Barat, (Jakarta : Robbani Press, 1998), h. 265. 24Murtadha Mutahhari, Imamah dan Khilafah, (Jakarta : penerbit Firdaus, 1991), h. 141. 25Lihat Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003), h. 275.
40
2.
3.
4.
5.
yang berbeda agama atau kepercayaan, Jadi ada sikap hormat-menghormati dan kerukunan hidup beragama; dan ada kebebasan beribadah tanpa paksaan. Kemanusiaan yang adil dan beradab: tidak sewenangwenang, dan bisa tepa selira, mencintai sesama manusia. Tanpa ada diskriminasi; dan sama hak serta kewajiban asasi selaku manusia. Toleran terhadap sesama, saling menghormati; mampu melakukan kegiatan-kegiatan manusiawi dan kerjasama dengan bangsa-bangsa lain. Persatuan Indonesia: cinta tanah air, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, menempa patriotisme dan nasionalisme. Menempatkan persatuan dan kesatuan bangsa di atas kepentingan golongan, atas dasar bhineka tunggal ika. Kerakyatan yang dipimpin olehhikmat kebijaksanaan dalam musyawarah/ perwakilan: bersifat demokratis, bersemangat gotong royong (kooperatif, kolektif) dan kekeluargaan; juga patuh pada putusan rakyat yang sah atas pertimbangan akal sehat dan hati nurani luhur. Keadilan Sosial: hidup sederhana, tidak boros, mengamalkan kelebihan untuk menolong orang lain, menghargai kerja yang bermanfaat; dan ada keadilan yang lebih merata di segala bidang kehidupan.
Norma-norma yang tercakup dalam Pancasila itu sekaligus juga merupakan sistem nilai yang perlu dihayati dan diamalkan oleh setiap warga negara, khususnya oleh para pemimpin. Nilai-nilai dan norma kepemimpinan yang diwariskan oleh para pujangga di masa lalu itu merupakan investasi spiritual, dalam mana diutamakan unsur keikhlasan
41
berkorban dan mengabdi demi kepentingan orang banyak, sekaligus memberikan ketauladanan yang baik.26 Merujuk praktek politik pada masa Nabi dan alKhulafâ‟ al-Râsyidûn, konteks kepemimpinan ideal keIndonesiaan, paling tidak butir-butir kesepakatan antar berbagai golongan dapat doijadikan referensi guna mewujudkan kesatuan politik bersama mengingat Indonesia terdiri dari kesatuan pluralitas politik. Namun demikian, lebih jauh yang harus dicermati, kesepakatan-kesepakatan yang dibangun sering kali dikhianati. Bahkan secara kasat mata para pemimpin politik kita di parlemen tidak lagi memperjuangkan aspirasi rakyat, melainkan lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok. Baik perspek tata nilai Islam maupun Pancasila dan UUD-1945 jelas-jelas menentang sikap yang demikian itu.27 Mencermati banyaknya para pemimpin dari berbagai livel pemerintahan, baik ekskutif maupun legislatif bahkan yudikatif yang mengkhianati kontrak politik (Pancasila dan UUD-1945), maka diperlukan gaya kepemimpinan yang tegas, pemberani, konsisten, integrated, akuntabel, namun bijaksana dan beretika. Gaya kepemimpinan demikian ini terlihat sekali pada sosok Khalifah Umar Bin Khattab yang telah sukses membawa Negara Islam menjadi berkembang dan tampil sebagai Adi Kuasa dunia. Jika Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang memiliki gaya kepemimpinan yang demikian, maka komunitas Muslim Indonesia
26Lihat Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003), h. 276. 27Bandingkan dengan analisis Masykuri Abdillah, “Cak Nur, Politik Islam dan Cita-Cita Reformasi” dalam, Jalaluddin Rakhmat, et al, Tharikat Nurcholishy Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), h. 365.
42
dapat optimis akan menjadi bangsa yang besar seperti yang dicita-citakan oleh Bungkarno. Tipe dan gaya kepemimpinan seperti yang ditampilkan oleh sosok para al-Khulafâ‟ al-Râsyidûn adalah tipe pemimpin kharismatis yang memiliki kekuatan energi, daya tarik dan perbawa yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang handal serta bisa dipercaya. Pemimpin demikian itu banyak memiliki inspirasi, keberanian, dan berkeyakinan teguh pada pendirian sendiri. Totalitas kepribadian pemimpin itu memancarkan pengaruh dan daya tarik yang teramat besar. Tokoh tokoh besar semacam ini, menurut sosiolog Muslim Ibn Khaldun akan muncul setiap abad. Sekedar contoh dapat disebut Nabi Muhammad SAW, al-Khulafâ‟ al-Râsyidûn, Iskandar Zulkarnaen, Jengis Khan, Ghandi, Jhon F. Kennedy, Sukarno, Margaret Tatcher, Gorbachev dan lain-lain.28 Teoritikus politik Muslim pada umumnya setuju jika Islam tidak bisa dipisahkan dengan persoalan kenegaraan, tentu saja termasuk persoalan sikap dan tingkahlaku pemimpin. Hanya saja yang patut diwaspadai adalah sikap restriksi dan represi dari pemerintah yang mengabaikan nilai-nilai humanisme. Untuk itu perspektif ke-Indonesiaan harus diperjuangkan Islam komprehensif (kaffah), yang dimanifestasikan dalam bentuk ideologi Pancasila, yang jelas-jelas merupakan landasan konstitusional kehidupan bernegara. Hal ini tidak perlu diragukan, karena pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam 28Kartini
Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003), h. 69. Kalupun tidak tepat contoh-contoh tersebut dalam konteks Islam, penulis hanya melihat aspek strong kepemimpinannya saja. Tidak pada aspek moral dan lainnya.
43
substantif, dan nilai-nilai Pancasila didasari oleh nilai Islam substantif tersebut, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai roh atau jiwa dari sila-sila yang lain.29 Masykuri Abdullah secara lebih komprehensif namun sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Ritaudin di atas, membahas tentang hubungan antara Islam dan negara dalam pemikiran politik Islam kontemporer ini, yakni30 ; 1. Pendapat bahwa Islam adalah agama lengkap dan mencakup semua aspek kehidupan, termasuk kehidupan kenegaraan. Pendapat ini diikuti oleh kelompok tradisionalis dan kelompok Islamis (“fundamentalis”). 2. Pendapat bahwa Islam, seperti halnya agama-agama lain, memisahkan persoalan-persoalan agama dan negara. Pendapat ini diikuti oleh kelompok sekularis. 3. Pendapat bahwa Islam hanya memuat prinsip-prinsip umum tentang kehidupan kenegaraan, sedangkan aturan operasionalnya bisa merupakan hasil pemikiran umat Islam sendiri atau mengadopsi dari umat lain (Barat). Pendapat ini diikuti oleh kelompok modernis, yang dalam prakteknya terdiri atas tiga sub kelompok, yakni : a. Kelompok yang tetap memperjuangkan implementasi syari‟ah, dan dengan sendirinya etika Islam,
29Tentang
hubungan Islam dan Negara yang terbagi pada tiga mazhab, fundamentalisme, sekularisme dan moderatisme, lihat lihat, M. Sidi Ritaudin, ”Negara dan Sistem Pemerintahan dalam Islam”, dalam Posisi Syari’ah Islam dalam Negara Menurut Sayyid Quthb, (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), disertasi belum diterbitkan, h. 100-124. 30Masykuri Abdillah, “Cak Nur, Politik Islam dan Cita-Cita Reformasi” dalam, Jalaluddin Rakhmat, et al, Tharikat Nurcholishy Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), h. 368369.
44
sehingga dalam praktiknya tidak jauh beda dengan kelompok pertama b. Kelompok yang memperjuangkan implementasi hanya nilai-nilai dan etika Islam, sehingga dalam praktiknya tidak jauh beda dengan kelompok kedua c. Kelompok yang tetap memperjuangkan sedapat mungkin implementasi syari‟ah, dan otomatis etika Islam, atau minimal prinsip-prinsipnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kelompok ini adalah kelompok moderat. Idealisasi gaya kepemimpinan dan praktek politik keIndonesiaan yang dikaitkan dengan praktek politik alKhulafâ‟ al-Râsyidûn, adalah pemikiran politik “Tamaddun” dalam arti membawa Indonesia pada permainan politik yang berperadaban tinggi, dalam istilah Amin Rais adalah hight politic, dan hal ini merupakan cita-cita reformasi yang ingin ditegakkan, terutama oleh kalangan mahasiswa. Konsep memberdayakan masyarakat menuju negeri yang adil, terbuka dan demokratis merupakan praktek politik alKhulafâ‟ al-Râsyidûn sebagaimana telah diungkapkan terdahulu. E. Wacana Pamungkas Kaum muda (pemuda dan mahasiswa) merupakan modal dasar bagi pembangunan bangsa, karena mereka memiliki potensi akademik dan wawasan serta semangat juang yang meluap-luap. Menurut Bung Karno modal dasar ini jika dioptimalkan penggamblengannya akan dapat menghantarkan suatu bangsa pada puncak kejayaannya. Liahat saja setiap pergerakan dan perjuan, terutama
45
menentang penyelewengan pemerintahan, pemudalah yang tampil pada garda terdepan. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang besar, Indonesia harus memiliki jiwa dan pemikiran yang besar. Untuk mencapai jiwa dan pemikiran yang besar itu perlu suri tauladan dan konsepsi yang benar. Paling tidak, sejarah telah menorehkan bahwa al-Khulafâ‟ alRâsyidûn telah membuktikan dan tidak terbantahkan telah menghantarkan Islam sebagai Adi Kuasa dunia. Nampaknya modal dasarnya adalah keteguhan iman, integritas keperibadian, keberanian, intelektualitas, komitmen, jiwa keikhlasan dan tujuan mulia li i’la’i kalimatillah. Semoga dapat ditauladani.
46
Bagian 3 REKONSTRUKSI POLITIK EGALITARIANISME BANGSA PERSPEKTIF MODEL NEGARA MADINAH
A. Pendahuluan Paham persamaan manusia (egalitarianisme) menjamin peran politik Islam dalam panggung politik nasional, termasuk di dalamnya peluang dan kesempatan para aktivis politik Islam untuk berpartisipasi penuh menegakkan syari’at Islam yang berbasis demokrasi dan keadilan dalam proses-proses politik Indonesia, sehingga tidak ada kooptasi pemerintah demi stabilitas politik dengan kontrol kuat atas partisipasi rakyat, seperti terjadi pada rezim Orde Baru, oleh karena itu perlu adanya reorientasi terhadap tujuan-tujuan sosial politik Islam, terutama keharusan mengembangkan tatanan politik yang egalitarianistis, yaitu dengan melakukan pencerahan melalui telaah terhadap model pemerintahan Negara Madinah yang dipimpin oleh Nabi Saw, sebagai amunisi untuk memasuki pentas politik demokratis dan egaliter yang dikembangkan di Indonesia. Suatu hal yang sangat fenomenal dewasa ini adalah, semakin banyak pakar (keilmuan) di bidang hukum, realitas hukum semakin semraut, semakin banyak pakar (keilmuan) di bidang politik, kondisi perpolitikan semakin runyam, semakin banyak pakar ekonomi, kondisi keuangan bertambah kacau. 1 Apa yang salah dengan hal demikian? tentu saja jawabannya tidak sesederhana memalikkan 1
Berkembang dalam diskusi nasional Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Senin 10 Mei 2010 dengan narasumber Prof. Dr. H. Lasio, MA, MM, Dr. Mustafa Anshori, MA dan Dr. Joko Siswanto, M. Hum, ketiganya dari Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
47
telapak tangan, jawaban atas pertanyaan tersebut pasti akan beragam, tergantug dalam perspektif apa ia menjawab, yang jelas pertanyaan tersebut meniscayakan untuk mencari pola baru tentang berbagai segi kehidupan yang semakin rasional, demokratis dan egaliter. Upaya melakukan reorientasi wawasan dan sikap sosial politik merupakan tuntutan kebutuhan, yang dihadapi bangsa-bangsa dewasa ini. Nampaknya konsep reformasi belum selesai, bahkan dapat dinilai gagal, terutama jika dikaitkan dengan pertanyaan atas fenomena politik dan pemerintahan seperti yang telah dikemukakan. Islam adalah agama yang sangat menjunjung nilai demokrasi. Nilai-nilai egalitarian, pluralistik, hak dan kewajiban individu, keadilan, kasih sayang, dan nilai musyawarah, serta nilai-nilai kemanusiaan lainnya yang merupakan substansi ajaran Islam itu sendiri, adalah muatan-muatan nilai demokrasi dalam Islam. 2 Perspektif politis, demokrasi memiliki posisi strategis, karena dinilai dapat menjaga iman dan mempertahankan pedoman etik di tengah-tengah perubahan yang modern. Islam selalu mengalami kegagalan dalam mengintegrasikan Negara dan agama. Bagi orang mukmin, bahaya sebenarnya penyatuan Islam dan Negara dikarenakan Islam akan berakhir karena tersubordinasikan pada Negara. 3 Prilaku politik yang bersifat ekspresif, reaksioner terhadap fenomena sosial yang berkembang dengan cara menggunakan kekuatan massa arus bawah, nampaknya sudah “tidak in” lagi pada era demokrasi sekarang ini, apalgi prilaku politik pemerintah
2
Lihat, Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, Refleksi Teologi Untuk Aksi dalam Keberagamaan dan Pendidikan, (Yogyakarta : SI Press, 1994), h.77. 3 Robert W. Hefner, Civil Islam : Islam dan Demokrasi di Indonesia, Edisi Bahasa Indonesia, (Yogyakarta : Institut Studi Arus Informasi ISAI bekerjasama dengan Asia Foundation, 2001), h. 363.
48
yang tiranik (thâghût), sebab nilai kemanusiaan merupakan pertimbangan asasi.4 Kata egalitar 5 ada yang mensinonimkannya dengan demokratis, sedangkan Nurcholish Madjid menyamakan kata egalitarianisme dengan persamaan, 6 yang secara substantif memiliki kesamaan dengan demokrasi. Egalitarianisme dapat juga dipahami sebagai doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia itu ditakdirkan sama derajat; atau bias pula dikatakan sebagai asas pendirian yang menganggap bahwa kelas-kelas social yang berbeda mempunyai bermacam-macam anggota, dari yang pandai sampai ke yang sangat bodoh di proporsi yang relative sama.7 Pemikiran modern dalam Islam, seperti paham republik di mana kepala Negara dipilih untuk jangka waktu tertentu, harus tunduk pada Undang-Undang Dasar dan bisa dijatuhkan oleh parlemen; ide persamaan (egalite) di mana rakyat memiliki kedudukan yang sama dalam soal 4
Visi kemanusiaan ini cukup jelas terlihat dalam al-Qur‟an surat al-Ra‟d ayat 17 : Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, Maka arus itu membawa buih yang mengambang. dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, Maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaanperumpamaan [Allah mengumpamakan yang benar dan yang bathil dengan air dan buih atau dengan logam yang mencair dan buihnya. yang benar sama dengan air atau logam murni yang bathil sama dengan buih air atau tahi logam yang akan lenyap dan tidak ada gunanya bagi manusia.]. 5 Kata sifat, yaitu seseorang yang percaya bahwa semua orang sederajat. Lihat, John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 208. 6 Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta : Paramadina dan Dian Rakyat, 2008), h. 72, 102, 254, 463, 466, 445. Persamaan di sini yaitu keadaan equality (esp. social and political), lihat, A. S. Hornby et. al, The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (London : Oxford University Press), 1973), h. 318. 7 Lihat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta : Balai Pustaka, 1995), h. 250.
49
pemerintahan dan ide nasionalisme. Menurut Grunebaum, pertama kali muncul melalui ekspedisi Napoleon Bonaparte ke Mesir.8Dalam konteks sosio-politik, egalitarianisme yang mengandung makna persamaan, menunjukkan arti berlaku moderat dan berimbang pada wilayah politik, ekonomi, sipil dan social, yang berlaku dalam hubungan intern antar warga, antar bangsa-bangsa dan Negara; antar etnis dan masyarakat luas. Muhammad Imarah secara rinci menegaskan tentang konsep persamaan yang realistis adalah persamaan manusia di depan hukum, dengan menghilangkan perbedaan tempat kelahiran, warna kulit, keturunan, etnis dan keyakinan agama. Selanjutnya adalah persamaan dalam memberi kesempatan bagi semua warga, semua bangsa dan Negara dalam kerangka sosial dan Negara sekaligus. 9 Setelah adanya kesempatan, maka konsep persamaan tidak mungkin diejawantahkan, karena perbedaan penghasilan, pekerjaan, status sosial, agama, warna kulit, etnis dan lain sebagainya sudah merupakan kodrat hukum alam. Imam Ali bin Abu Thalib (600-661 M) mensinyalir bahwa kondisi sosial masyarakat itu bertingkat-tingkat (dalam sosiologi disebut dengan pelapisan masyarakat) yang memiliki ketergantungan satu sama lainnya. 10 Varma dengan mengutip pendapat Pareto (1848-1923), menegaskan bahwa masyarakat terdiri dari dua kelas; lapisan atas, yaitu pertama : elit, yang terbagi ke dalam elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing elite), kedua : lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elit.11 Seperti
8
Lihat, G. E. Von Grunebaum, Islam : Essay in The Nature and Growt5h of a Cultural Tradition, ( London : Routledge and Kegan Paul Ltd, 1969), h. 29. 9 Lihat lebih jauh pemaparan Muhammad Imarah, Perang Terminologi Islam Versus Barat, (Jakarta : Rabbani Press, 1998), h. 162. 10 Lihat lebih jauh pemaparan Muhammad Imarah, Perang Terminologi Islam Versus Barat, (Jakarta : Rabbani Press, 1998), h. 164. 11 SP. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 200.
50
kaum buruh, petani, pedagang retil, pengusaha kecil, karyawan dan lain sebagainya. Perihal egalitarianisme memiliki kesamaan dengan demokrasi, David Beetham mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah cara pengambilan keputusan menyangkut aturan dan kebijakan yang mengikat secara kolektif, yang dikenai kontrol oleh rakyat.12 Elemen kunci dari definisi ini, yang terkait dengan prinsip egalitarianisme, adalah kontrol masyarakat dan kesetaraan politis. Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa demokrasi bisa diterapkan pada setiap kolektivitas, dan tidak membatasi demokrasi pada wilayah politik yang didefinisikan secara sempit. Kolektivitas di sini bisa berupa sebuah Negara, sebuah komunitas lokal, sebuah organisasi, sebuah keluarga, dan sebagainya.13 Dengan demikian, demokrasi dapat diterapkan pada semua aspek kehidupan kolektif, Negara, sosial, ekonomi dan lain-lain. Dari sini dapat ditegaskan bahwa politik egalitarianisme adalah membangun komitmen kebersamaan dalam kehidupan politik dengan keharusan mengesampingkan unsur-unsur primordialisme yang menyelimuti manusia. Membangun politik egalitarianisme secara nalar dapat dipahami sebagai meneladani kepemimpinan politik Nabi yang berpredikat uswatun hasanah, yaitu kepemimpinan moral yang sarat akan nilai-nilai kemanusiaan universal seperti persamaan (equality), keadilan 12
David Beetham, “Liberal Democracy and the Limits of Democratization”, dalam suntingan David Held, Prospects for Democracy North, South. East, West, (Cambridge : Polity Press, 1993), h. 55. 13 Kolektivitas dalam Islam disebut juga sebagai umat. Bahtiar Effendimenyebutnya sebagai komunitas Islam yang tidak mengenal batas-batas politik atau kedaerahan. Lihat, Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta : Paramadina, 1998), h.12. dalam konteks sosiologis, Ali Syariati, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab bahwa ummat didefinisikan sebagai himpunan manusiawi yang seluruh anggotanya bersama-sama menuju satu arah, bahu membahu, dan bergerak secara dinamis di bawah kepemimpinan bersama (kepemimpinan secara kolektif kolegial). Lihat, M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung : Penerbit Mizan, 1997), h. 328-329.
51
(al-‘adâlah), kemerdekaan (al-hurriyyah), yang semua praktik politiknya merupakan derivasi dari Tauhid, dijadikan acuan dan orientasi secara konsisten Nabi dalam kehidupan politik.14 Oleh karena itu, dalam konteks membangun politik egalitarian nampaknya memiliki korelasi signifikan dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh Rasulullah Saw dalam memimpin Negara Madinah, yang berpangkal dari ajaran tauhid. Paham tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa) ini memiliki konsekuensi logis pembebasan sosial, yaitu egalitarianisme, sehingga dari prinsip tauhid ini yang dikehendaki adalah sisitem kemasyarakatn yang demokratis berdasarkan musyawarah, transparan dan akuntabel. Masyarakat egaliter dalam Islam adalah masyarakat yang berfondasikan konsep teologi yang menjadi landasan utama agama Islam, yaitu tauhid, yang menyatakan bahwa Allah itu transenden, unik dan tanpa sekutu. Masyarakat Islam merupakan cerminan dari keesaan Tuhan, tawhîd. Bila “kesatuan” merupakan kenyataan mendasar esensi ketuhanan, maka ia mesti mewujudkan pula dalam konstruksi masyarakat manusia. Masyarakat tawhîd tidak bisa mentolerir pengkotakan, baik yang bersifat sosial, etnis, kesukuan, atau nasional maupun wewenang politik yang otonom dalam kaitan dengan tatanan keilahian. Kedaulatan mutlak Tuhan (hakîmiyah), dengan demikian, akan tetap berlaku, menguasai segala bentuk kehidupan individu maupun sosial. 15 Oleh karena itu, kekuasaan politik yang berasas egalitarianisme akan lebih menjamin terwujudnya Negara idaman yang berpredikat baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr, yaitu sebuah Negara dengan komunitas yang berkemakmuran dan berkeadilan, seperti halnya Negara Madinah. 14
Lihat, Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, Refleksi Teologi Untuk Aksi dalam Keberagamaan dan Pendidikan, (Yogyakarta : SI Press, 1994), h. 44. 15 Di antara tokoh Sunni, Sayyid Quthb-lah yang mengembangkan konsep hakîmiyyah; Lihat, Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 1996), h. 50.
52
B. Keunggulan Negara Madinah dalam Pertimbangan Mengaitkan pembicaraan tentang egalitarianisme dengan nilai-nilai yang dibangun dan diimplementasikan Nabi Muhammad Saw di Negara Madinah16 bukan sematamata melakukan romantisasi terhadap kejayaan Islam awal. Akan tetapi perlu diingat bahwa sejarah mewujudkan sunnatullah yang umat-Nya diperintahkan untuk 17 mempelajarinya. Pada saat wahyu diturunkan kepada Nabi, acuan sejarah itu tentunya kepada umat-umat sebelum Islam. Maka sekarang acuan itu sudah pasti kepada sejarah Islam sendiri, di mana kaum Muslim harus mengaksesnya, sehingga dapat berperan serta melestarikan apa saja yang baik dan benar dari warisan masa lampau dan bisa dipertahankan dalam ujian ajaran universal Islam. Sejarah Islam yang ideal dan unik yang dapat menjadi dasar pembentukan akidah dan akhlak dalam kerangka pembangunan politik egalitarian adalah Negara Islam Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Saw, dengan konstitusi Piagam Madinahnya.
16
Ada sebagian ulama yang mengkritik bahwa sebutan Negara Madinah itu tidak tepat, sebab ideology politiknya universal. Jika disebut Negara Muhajirin, agaknya kurang tepat, karena tidak ada maksud pendirian Negara tersebut untuk menyingkirkan kaum Anshar. Begitu pula jika disebut sebagai Negara Islam juga kurang tepat, karena dianggap kabur karena merupakan kata sifat. Apa lagi jika dinamakan Negara Hijrah, karena dibentuk setelah hijrah, karena terlalu simplistis. Oleh karena itu Abdul Aziz Thaba mengabaikan perbedaan pendapat tentang penamaan Negara Madinah, baginya, apa pun namanya, merupakan suatu fakta bahwa system yang dibangun oleh Rasulullah Saw di Madinah itu memenuhi syarat-syarat nominal untuk disebut sebagai Negara. Lihat Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), h. 95-96. Negara sebagai asosiasi memiliki tiga unsur pokok, yaitu pemerintah, komunitas atau rakyat, dan wilayah tertentu (population, territory, a government). Lihat, R.M. Mac. Iver, The Modern State, (London : Oxford University Press, 1947), h. 22. Encyclopaedia Britannica, (London : Encylopaedia Britannica Inc., 1970), vol 21, h. 148. 17 Lihat Q.S al-Ahzâb/33 : 62, al-Fâthir/35:43 dan Âli „Imrân/3 : 137 dan lain-lain.
53
Praktik politik pemerintahan di bawah 18 kepemimpinan Rasulullah Saw di Madinah , dalam Islam memunculkan tiga perspektif yang memiliki perbedaan menonjol dalam wacana pemikiran politik modern. Direvasi praktik politik profetis tersebut memunculkan berbagai perbedaan sudut pandang. Bahtiar Effendy menyederhanakan sebagai pendekatan trikotomi, yaitu fundamentalis, reformis, dan akomodasionis. Dengan mengutip pendapat Samson, ia menjelaskan bahwa kaum fundamentalis lebih mengedepankan keutamaan agama atas politik dan menentang habis-habisan pandangan sekular, pengaruh Barat dan sinkritisme kepercayaan tradisional. Sedangkan kelompok reformis, di samping menekankan keutamaan agama atas politik, tetapi mereka bisa bekerja sama dengan kelompok sekular. Kelompok akomodasionis jauh lebih moderat dari kaum reformis, karena mengusung nilai-nilai demokrasi, toleransi dan humanis.19 Para pemikir Islam kontemporer agaknya lebih cenderung kepada paham moderat dan akomodatif, dan tidak cenderung kepada sekularisme ataupun fundamentalisme dalam arti sempit. Negara Madinah memiliki keunggulan, yang selalu digelorakan oleh para mujahid politik, yaitu Piagam Madinah (Mîtsâq al-Madînah) 20 yang dicetuskan oleh 18
Negara Madinah bisa disebut sebagai sebuah Negara karena telah memenuhi keriteria sebagai Negara, yakni adanya wilayah, rakyat dan pemerintahan. Lihat, Muhammad Salîm al-Awwâ, Fî al-Nizhâm al-Siyâsî lî al-Dawlah alIslâmiyyah, (Kairo : Dâr al-Syurûq, 1989), h. 21. 19 Lihat, Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta : Paramadina, 1998), h. 42. Lihat juga, Allan Samson, “Conceptions of Politics, Power, and Ideology in Contemporary Indonesian Islam”, dalam Karl D. Jackson and Lucian W. Pye (eds.), Political Power and Communication in Indonesia, (Berkelay, Los Angeles, London : University of California Press, 1978), h. 199-200. 20 Pembahasan yang paling representative tentang Piagam Madinah ini, baca lebih lanjut; Ibn Hishâm, The Life of Muhammad, a translation of Ishaq‟s Sirât alRasûl Allah, with introduction and notes by A. Guillaume, (Lahore, Karachi, Dacca : Oxford University Press, 1970), h. 231-233; W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina, (Oxford : The Clarendon Press, 1956), h. 221-228. Muhammad Husyn Haykal, The Life of Muhammad, translated by Isma‟il Ragi al-Faruqi, (North American Publication, 1976), h. 180-183.
54
Rasululah Saw di Madinah bersama kalangan agamawan yang lain, seperti Yahudi dan Nasrani. Piagam Madinah adalah konstitusi sangat modern pada zamannya, sebagaimana dilontarkan Robert N. Bellah. 21 Dikatakan sangat modern, karena adanya prinsip kemodernan dalam Negara, yang merupakan salah satu bagian terpenting dalam konsep kewarganegaraan, yaitu pluralisme. Dalam Piagam Madinah, pluralisme dijunjung tinggi. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang pembangunan politik yang menjunjung tinggi kesetaraan, keadilan dan kedamaian. Dengan Piagam Madinah masyarakat egaliter dapat terbangun dengan baik. Menurut Philip K. Hitti, Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah itu lebih bersifat politis daripada agamis.22 Karena hal-hal yang diatur di dalamnya menyangkut tata kelola masyarakat dan Negara serta pemerintahan. Masyarakat yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw adalah masyarakat yang berbudi luhur, bermoral tinggi dan itulah masyarakat madani yang tertib, dan oleh karena itu wajib ditiru. Masyarakat yang diwariskan Nabi tersebut bercirikan egalitarianisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan secara demokratis, bukan berdasarkan keturunan.23 Meskipun prototipe masyarakat yang dibangun 21
Negara kota di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Saw di Madinah dilihatnya sebagai model nasionalisme yang sangat egalitarian dan partisipatif, sehingga konstitusi Piagam Madinah dinilai sebagai konstitusi yang sangat modern di zamannya. Lihat, Robert N. Bellah, “Islamic Tradition and the Problems of Modernization,” dalam kumpulan karangannya, Beyond Belief : Essays on Religion in a Post-Traditionalist World, (Berkeley and Los Angeles : California University Press, 1991). 22 Philip K. Hitti, Capital Cities of Arab Islam, (Minneapolis : University of Minnesota Press, 1966), h. 34. 23 Lihat Nurcholish Madjid, “Menuju Masyarakat Madani” dalam Tim Maula, Jika Rakyat Berkuasa :Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1999), h. 324.
55
Nabi tidak berlangsung lama, hanya samapai masa Khulafâ’ al-Râsyidûn, dan masa Umar bin Abdul Aziz, tetapi nilainiali yang telah ditanamkan dapat diterapkan hingga akhir zaman. Piagam Madinah merupakan ekspresi terbaik dari penerapan nilai-nilai etika politik; seperti keadilan, musyawarah dan egalitarianisme. Ia merupakan rumusan pemerintahan yang mengatur hubungan sosial-politik di kalangan anggota masyarakat Madinah, yang terdiri dari beberapa kelompok keagamaan yang berbeda seperti Muslim, Yahudi dan suku-suku pagan. Oleh karena itulah konstitusi Piagam Madinah dapat menjadi dasar konvergensi sosial-politik di antara sebuah komunitas politik dengan latar belakang yang berbeda, seperti Indonesia. Arti penting Piagam Madinah dalam konteks membangun egalitarianisme politik adalah pada penekanannya pada prinsip keadilan, partisipasi, musyawarah, dan persamaan hak di hadapan hukum. 24 Konsep-konsep semisal Syûrâ (konsultasi), musyâwarah (perundingan), dan musâwâ (kesetaraan) tidak hanya cocok dengan demokrasi, tetapi jika diinterpretasikan secara benar, secara implisit dalam konsep-konsep tersebut telah terkandung makna demokrasi. Prinsip-prinsip ini, menurut Anders Uhlin, dapat diterapkan di seluruh wilayah publik, tetapi kebanyakan ilmuan Muslim membatasinya pada apa yang disebut sebagai wilayah politik.25 Paradigma Negara modern yang berbasis konsep kontrak sosial dan kontrak politik, jika dilakukan penelaahan yang komprehensif agaknya memperlihatkan koneksitas dengan Piagam Madinah. Praktik-praktik politik dan sosial dalam Islam memperlihatkan hal demikian. 24
Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta : Paramadina, 1998), h. 185-187. 25 Lihat, Anders Uhlin, Oposisi Berserak Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, terj. Rofik Suhud, (Bandung : Mizan, 1998), h. 73.
56
Kontrak Nabi Muhammad dengan penduduk Madinah dalam “Bait Aqabah” sesungguhnya merupakan salah satu model kontrak politik. Sedangkan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar merupakan salah satu bentuk kontrak sosial. Praktik politik yang berdimensi teologis dan humanistis ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad Saw membawa reformasi sosial yang monumental. Al-Qur’ân sendiri mengaitkan keimanan serta penerimaan seruan Nabi dengan usaha reformasi dunia (ishlâh al-ardl), nampaknya diakui, baik oleh kalangan Muslim maupun non-Muslim, telah dilaksanakannya dengan sukses luar biasa.26 Ekspresi persatuan dan kesatuan serta kedamaian antar umat beragama diikat dalam konstitusi Madinah. Di samping membina intern umat Islam, Nabi Muhammad Saw, menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat non-Muslim, yang ditetapkan ketentuan-ketentuan yang sangat toleran, yang jauh berbeda dari kebiasaan yang berlaku sebelumnya dengan fanatisme kesukuan dan ras. Sehingga yang disatupadukan oleh Nabi adalah golongan Muslim Muhajirin (Mekah) dan golongan Muslim Anshar (Madinah) dengan kelompok-kelompok, suku-suku, atau kabilah-kabilah musyrikin yang paganis, juga kaum Yahudi dan Nasrani, sehingga terbentuklah sebuah komunitas baru yang lebih kompleks dengan elemen-elemen yang heterogen, dengan struktur masyarakat yang sekarang dikenal sebagai Negara.27 Paparan wacana di atas agaknya meniscayakan bahwa menyikapi keterkaitan masyarakat madani dengan demokrasi, paling tidak, sebagai kontribusi masyarakat madani terhadap proses demokrasi adanya penyediaan 26
Gambaran tentang kesuksesan Nabi Muhammad Saw melakukan reformasi dengan luar biasa, dapat dilihat pada Michael H. Hart, The 100 , a Ranking of the Most Influential Persons in History, terj. Mahbub Djunaidi, “Teratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah”, (Jakarta : Pustaka Jaya, 1986), h. 27. 27 Marshall G.S. Hodgson, The Ventur of Islam, Chicago, London : The University of Chicago University Press, 1974), Vol I, h. 193.
57
wahana sumberdaya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan pejabat Negara. 28 Hal ini dapat dipertegas dengan konstruksi masyarakat madani yang tercipta bermula dari kesederhanaan seorang pemimpin Negara sebagai sikap hidup yang menjadi pilar utama uswah hasanah terhadap seluruh rakyat yang dipimpinnya. C. Refleksi Pemikiran Politik Egalitarian Sejarah Nabi dan para sahabat, di samping al-Qur’ân dan sunnah, merupakan parameter dan inspirasi rumusan pemikiran politik Islam, oleh karena itu, gagasan egalitarianisme politik tidak terlepas dari substansi pemikiran tersebut 29 Jika konsep masyarakat egalitarian sinonim dengan masyarakat demokratis, maka administrasi pemerintahan berada di tangan banyak pihak, sehingga musyawarah dan kehidupan pluralistik menjadi keniscayaan, dengan pola ini pemerintahan Athena dikonotasikan sebagai “pemerintahan tanpa pemerintah”, karena rakyat adalah pemerintah. 30 Mengambil ibrah dari ilustrasi bahwa Negara kota Yunani sebagai kota pendidikan (madrasatun kubra) untuk semua warga Yunani, di mana setiap individu mereka merupakan contoh dari kemerdekaan berpikir. 31 Maka Negara kota Madinah yang dibangun oleh Nabi, merupakan prototipe kota pendidikan politik bagi semua orang yang mengaku Muslim, karena 28
Abdul Razak et al (ed.,), Pendidikan Kewargaan (Civil Education); Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan The Asia Foundation serta Prenada Media, 2003), h. 253. 29 Bahtiar Effendi dalam “Disartikulasi Pemikiran Politik Islam ?”, dalam Pengantar buku Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik, terj. (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 1996), h. vii. 30 Kesimpulan dramator Aeschylus, lihat Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), h. 37. 31 Lihat Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), h. 31.
58
dengan jelas-jelas bahwa diutusnya beliau sebagai suri tauladan bagi umatnya, termasuk meneladani praktik politik egalitarian yang telah didirikannya. Salah satu ekspresi Islam berwatak moderat adalah konsep egalitarianisme dalam Islam yang mengejawantah dalam konsep sikap berada di tengah-tengah (at-tawassuth), sikap adil (al-i’tidal), dan seimbang (at-tawâzun). Ketiga konsep moderasi Islam dalam bersikap dalam kehidupan sosial dan politik ini didukung oleh ayat-ayat al-Qur’ân berikut ini : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[Umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena mereka akan menjadi saksi atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di akhirat.] (Q.S. alBaqarah : 143). M. Quraish Shihab mensinyalir bahwa wasath adalah posisi di antara dua ekstrem. Keberanian adalah posisi pertengahan antara ceroboh dan takut, kedermawanan merupakan pertengahan antara sikap boros dan kikir, kesucian merupakan pertengahan antara nafsu libido seksual dengan impotensi. Dari kata wasath menjadi penengah di anatar dua pihak yang sedang berseteru disebut wasit, dan berada pada posisi tengah agar berlaku adil, sehingga lahirlah makna ketiga dari wasath yaitu adil. Lebih lanjut, Shihab menegaskan bahwa ummatan wasatha adalah umat moderat, yang posisinya di tengah. Posisi tengah menjadikan perpaduan berimbang antara aspek ruhani dan jasmani, material dan spiritual dalam segala sikap dan aktivitas.32 Sikap moderat yang paling patut diteladani dari sikap Rasulullah adalah toleransi (tasâmuh) terhadap 32
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung : Penerbit Mizan, 1997), h. 328-329.
59
perbedaan pendapat baik dalam masalah keagamaan maupun dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan, bahkan dalam masalah politik. Dengan kata lain dapat ditegaskan bahwa Islam tidak membenarkan sikap ekstrem/ menghujung (tatharruf), yaitu melihat sesuatu hanya dari satu ujung saja dan sikap berlebih-lebihan, yang pada akhirnya memunculkan aliran-aliran sempalan yang memiliki konotasi politis yang “merugikan” Islam itu sendiri. 33 Moderasi atau posisi tengah mengundang umat Islam untuk berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua pihak (agama, budaya, dan peradaban). Sikap dan jalan hidup inilah yang ditegaskan al-Qur’an bahwa komunitas Muslim itu sebagai khaira ummah.34 Sikap politik yang ahistoris adalah politik violent, seperti dikemukakan oleh al-Farrâ’ yang mengatakan bahwa khilafah Islam adalah benteng pertahanan, yang akan memerangi siapa saja yang enggan masuk Islam setelah mendapat dakwah Islam sampai kepadanya. 35 Kemudian Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa khilafah Islam tetap diperlukan oleh ummat, meski korup sekalipun, sebab dengan adanya institusi tersebut, jihad bisa ditegakkan sampai kapan pun.36 Pendapat Ibn Taimiyyah tersebut jika ditarik sudut spektrum hadis yang mengatakan : 33
Zuhairi Misrawi mensinyalir bahwa sikap toleran yang berwawasan pluralistis ditandaskan pada dokumen politik Piagam Madinah, lihat Zuhairi Misrawi “Fikih Civil Society Versus Fikih Kekuasaan : Sebuah Tawaran Pembaruan Politik Islam”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam Negara Civil Society Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta : Paramadina, 2005), h. 286. 34 Pada Q.S Ali Imran ayat 110 disebutkan bahwa :”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. 35 Abû Ya‟la Muhammad bin al-Hussein Al-Farrâ‟, al-Ahkâm asSulthâniyah, (Beirut : Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1983), h. 27. 36 Syaiekh al-Islâm Taqiyuddîn Abû Abbas Ahmad bin Abdu al-Halîm bin Abdussalâm bin Taimiyyah, as-Siyâsah as-Syar’iyyah, (Beirut : Dâr al-Fikr alLubnani, 1992), h. 55.
60
الجهاد واجب عليكم مع كل امير برا كان او فاجرا “Jihad ini wajib atas kalian, bersama dengan setiap pemimpin, baik yang ta’at maupun yang korup”. (H.R. Abû Dâwûd dan Abû Ya’la dari Abû Hurairah)37 Sejauh ini, terdapat tiga teori mengenai dasar-dasar pembentukan khilafah. Pertama, Abu Hasan al-Asy’ari mengatakan bahwa pembentukan khilafah wajib hukumnya berdasarkan syari’ah, baik wahyu maupun ijma’ sahabat. Kedua, Mawardi mengatakan hukumnya fardu kifayah berdasarkan ijma’ atau konsensus, dan ketiga, kaum Mu’tazilah mengatakan wajib tetapi berdasarkan 38 pertimbangan akal. Gagasan mengenai kepemimpinan ummat (khilafah Islamiyyah), terlepas dari hukumnya wajib, atau fardlu kifayah, atau usaha pelegalformalan syari’at dalam Negara, patut diapresiasi setinggi-tingginya, alias acungan dua jempol. Perjuangan politik yang bertujuan mendirikan khilâfah Islâmiyyah adalah perjuangan politik yang patut dihargai, tetapi perjuangan tersebut menjadi tidak realistis dan juga tidak berlandaskan pada kenyataan objektif situasi politik, padahal suatu perjuangan tidak hanya sekedar semangat, tetapi juga dibutuhkan taktik dan strategi yang tepat untuk konteks dan waktu yang tepat, sesuai dengan zamannya. Oleh karena itu, yang lebih faktual, objektif, realistis dan baik untuk konteks Islam saat ini adalah 36 Syaiekh al-Islâm Taqiyuddîn Abû Abbas Ahmad bin Abdu al-Halîm bin Abdussalâm bin Taimiyyah, as-Siyâsah as-Syar’iyyah, (Beirut : Dâr al-Fikr alLubnani, 1992), h. 55. 37 Al-Imâm al-Hâfidz Abdurrahmân Jalâluddîn As-Suyuthi, al-Jâmi’ AsShaghîr Fî Ahadîts Al-Basyîr An-Nazir, (Beirut : Dâr al-Fikr, tt. Juz I), h. 564, hadis nomor 3653. 38 Lihat, M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’ân : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta : Paramadina, 1996), h. 362. Abî Hasan Alî bin Muhammad bin Habîb al-Bashrî Al-Mâwardî, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah fî al-Wilâyât al-Dîniyyah, (Baeirut : Dâr al-Kitâb al-„Arabî, t.t), h. 5. Abû Ya‟la Muhammad bin al-Hussein Al-Farrâ‟, al-Ahkâm as-Sulthâniyah, (Beirut : Dâr alKutub al-Ilmiyah, 1994), h. 23
61
mewujudkan masyarakat yang berdimensi ketuhanan, seperti yang digagas oleh Al-Farabi, yang ia paparkan sebagai Negara kota yang beradab, yaitu sebuah masyarakat atau Negara yang mewujudkan segala keutamaan di atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.39 Terlepas dari kualitas hadis itu shahîh atau tidak, secara substantif bersifat indoktrinasi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan ajaran Islam. Bagaimana mungkin pada satu sisi Islam mengajarkan perilaku politik yang etis dan menentang apa pun bentuk korupsi dan kekerasan, namun di sisi lain di suruh menaati pemimpin yang korup dan otoriter. Ajaran ini mengandung kekerasan politik yang luar biasa. Seorang Rajiv Gandhi saja, yang non-Muslim, dengan tegas mengatakan : “Tak ada yang lebih tercela selain kekerasan atas nama agama. Kekerasan atas nama agama berarti menegasikan agama”.40 Artinya, apalagi Islam jelas-jelas menentang apa pun bentuk kekerasan. Oleh karena itu hadis di atas hanya dilihat oleh Ibn Taimiyyah dalam perspektif politik. Tidak dalam perspektif agama, karena justru pandangan tersebut dapat menegasikan agama. Pandangan yang keras dan bersifat kekerasan, sebagimana telah diilustrasikan di atas, diberi istilah oleh kaum orientalis sebagai pandangan kelompok fundamentalis, yang pada akhirnya menciptakan konflikkonflik yang mengganggu hubungan antar manusia. Selanjutnya, metode-metode yang dipakai gerakan fundamentalis yang eksklusif : indoktrinasi, fanatisme, pada hakekatnya tidak memanusiakan manusia, sebab tidak membantu menciptakan keserasian hubungan antar manusia 39
Lihat Muhsin Mahdi, “al-Farabi”, dalam Leo Stratuss Joseph Grospey (ed.), History of Political Philosophy, (Chicago : 1963), seperti yang dikutip oleh Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani dan Demokrasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), h.516- 518 40 Lihat D.H.W. Gensichen, “Perang dan Damai dalam Agama”, dalam Alii Noer Zaman, (ed.), Agama untuk Manusia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), h. 145.
62
dalam masyarakat dan dunia yang semakin pluralistis.41 Jika dihubungkan dengan praktik politik Nabi dalam Negara Madinah, jelas bahwa pandangan kaum fundamentalis adalah ahistoris dan bertentangan dengan nilai-nilai egalitarianisme yang dikembangkan Islam, sekaligus menegasikan keunikan Islam sebagai satu-satunya penjamin keselamatan, baik di muka bumi sekarang maupun keselamatan di akhirat kelak. Dengan demikian Islam menempati posisi starategis membangun egalitarianisme spiritual, dalam konteks pembangunan perdamaian dunia.42 D. Membangun Prinsip Egalitarianisme Usaha yang dapat dilakukan dalam karakter building adalah membangun dan meningkatkan kualitas kepribadian Islam, yaitu dengan cara meminimalisir kemungkinannya untuk melakukan maksiat dan meningkatkan ketaatannya kepada Allah Swt. Dalam hal ini posisi manusia berada di tengah-tengah, yaitu ia sebagai makhluk bukan setan dan bukan pula malaikat. Maka dari itu sifat manusia adalah membangun prinsip check and balance, prinsip keseimbangan. Dalam konteks politik, prinsip egalitarianisme menopang penguatan masyarakat sipil dalam Negara untuk lebih berperan, yaitu suatu masyarakat sipil yang sehat mensyaratkan Negara yang beradab (civilized). Dengan demikian, Negara akan bekerja dengan kebesaran warganya dan humanistisisme Islam sipil.43
41
Lihat penjelasan Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara Perspektif Modernis dan Fundamentalis, (Magelang : Indonesia Tera, 2001), h. 21. 42 Lihat ulasan Abdulaziz Sachedina “Theologi Islam Mengenai Hubungan Muslim-Kristen, dalam Ali Noer Zaman, (ed.), Agama untuk Manusia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), h. 145. 43 Robert W. Hefner, Civil Islam : Islam dan Demokrasi di Indonesia, Edisi Bahasa Indonesia, (Yogyakarta : Institut Studi Arus Informasi ISAI bekerjasama dengan Asia Foundation, 2001), h. 46.
63
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. at-Tahrîm : 6). Selanjutnya disebutkan pula pada ayat lain : Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Q.S. as-Syams : 8). Prinsip egaliter di antaranya adalah tidak emosional dalam merespon perbedaan pendapat. Menghargai orang yang berbeda pandangan, bersikap lemah lembut ketika berdiskusi dengan orang lain, namun tidak mengurangi sikap tegas dan berani meluruskan kesalahan orang atau pemimpin yang zhalim, sebagaimana ditegaskan dalam alQur’ân berikut ini : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lainlainnya.]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya. (Q.S. Âli ‘Imrân : 159). Membangun masyarakat egaliter menjadi agenda transformasi sosial kaum aktivis reformis, yang sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh etos emansipasi sosial. Perjuangan mengusung pembelaan terhadap kaum tertindas (mustadl’afîn), egalitarianisme, keadilan sosial, demokratisasi
64
ekonomi dan politik.44 Oleh karena itu, Islam sangat concern dengan prinsip kemanusiaan. Islam mengajarkan bahwa masing-masing jiwa manusia mempunyai harakat dan martabat yang senilai dengan manusia sejagad. Masingmasing pribadi manusia memiliki nilai kemanusiaan universal. Dokumen pendukung pandangan ini adalah penegasan al-Qur’ân bahwa kejahatan kepada seorang pribadi adalah sama dengan kejahatan kepada manusia sejagad, dan kebaikan kepada seorang pribadi adalah sama dengan kebaikan kepada manusia sejagad. 45 Inilah dasar yang amat tegas dan tandas bagi pandangan kewajiban manusia untuk menghormati sesamanya dengan hak-hak asasinya yang sah. Konstruksi pembangunan politik yang berkarakter egalitarian adalah rekruitmen pemimpin politik, pemerintahan, penyelenggara Negara dan lain sebagainya secara proporsional, profesional, dan berkeadilan. Kepemimpinan yang distruktif, justru menghancurkan kepercayaan rakyat dan sekaligus menghancurkan Negara yaitu, salah satu indikatornya, kepemimpinan yang hepokrit, yaitu tidak adanya kesatupaduan antara perkataan dan 44
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta : Paramadina, 1998), h. 172-173. 45 Lihat Q.S. al-Maidah/5 : 32. yang mengatakan :” Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain [Yakni: membunuh orang bukan karena qishaash], atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya[Hukum ini bukanlah mengenai Bani Israil saja, tetapi juga mengenai manusia seluruhnya. Allah memandang bahwa membunuh seseorang itu adalah sebagai membunuh manusia seluruhnya, karena orang seorang itu adalah anggota masyarakat dan karena membunuh seseorang berarti juga membunuh keturunannya]. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasulrasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu[Ialah: sesudah kedatangan Rasul membawa keterangan yang nyata] sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi”. Ulasan mengenai hal Islam sebagai agama kemanusiaan, lihat Nurcholish Madjid, Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat, (Jakarta : Tabloid Tekad dan Paramadina, 1999), h. 148.
65
perbuatan. Sumpah dan janji ketika kampanye tidak menjadi kenyataan setelah ia berkuasa. 46 Maka dari itu, salah satu faktor utama keberhasilan pemerintahan Negara Madinah adalah konsep keteladanan yang dipraktikkan Nabi Muhammad Saw, menjadi keniscayaan yang harus dilaksanakan oleh para pemimpin. Paling tidak, keriteria pemimpin yang bermartabat adalah; 1). jujur (shidiq/ adanya watak kenegarawanan, mementingkan bangsa dan Negara ), 2), amanah (kepemimpinan yang akuntebel, kredibel dan akseptibel), kekuasaan meruapak suatu amanah yang harus dijalankan dengan baik sesuai dengan perintah Allah, oleh sebab itu apa pun bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan tidak dapat ditolerir, 3), fathanah (adanya respek dan keperihatinan terhadap situasi dan kondisi rakyat, cerdas mencari solusi terhadap permasalahan), dan 4), tabligh (adanya komunikasi politik yang baik antara pemerintah denga sesame pemerintah, penyelenggara Negara dan dengan rakyat). Prinsip egalitarianiseme dapat berdiri kokoh jika dibangun di atas pondasi keadilan. Pentingnya penegakan keadilan ini menjadi aikon perjuangan para aktivis, karena keadilan merupakan sesuatu yang harus senantiasa diperjuangkan dan ditegakkan dalam masyarakat. Keadilan merupakan prinsip keseimbangan dalam kehidupan manusia. Prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip persamaan (egalitarian) antara sesame manusia. Islam tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan warna kulit, suku bangsa, bahasa dan ras, tetapi berdasarkan ketakwaannya kepada Allah. 47 Karena itu, tidak ada seorang pun yang berhak memperoleh perlakuan khusus di depan hukum. Sikap pemerintah yang diskriminatif dalam menegakkan hukum, di mana rakyat jelata diberi hukuman yang seberatberatnya, lalu membiarkan para konglomerat dan elit 46
Liohat Q. S. al-Shaf/ 61 ayat 3 yang menandasakan bahwa :” Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. 47 Lihat Q.S. al-Hujurât/49 : 13.
66
penguasa yang melakukan pelanggaran hukum. Hal ini merupakan awal dari kehancuran suatu bangsa.48 Negara ideal yang dituju oleh politik Islam tetap mempertahankan eksistensi agama dalam Negara secara menyatu (integrated) atau minimal terdapat titik temu (intersection) antara agama dan Negara, bukan hubungan yang terpisah antara keduanya (secularistic). Masykuri Abdillah mensinyalir, bahwa integrasi agama dengan Negara berbentuk integrasi dalam sistem, di mana ajaranajaran Islam menjadi aturan hukum atau sistem Negara, dan integrasi dalam bentuk kelembagaan atau figur, di mana pimpinan agama adalah juga pemimpin Negara. Kedua bentuk ini terjadi pada masa Nabi dan Khulafâ’ al-Rasyidîn. Menurut Masykuri, yang lebih pas dalam konteks Indonesia adalah integrasi agama dan Negara dalam bentuk sistem.49 Namun demikian, konsep kerukunan hidup beragama yang meliputi : kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan antar umat beragama dan pemerintah, dalam konteks politik dan persamaan hak tetap menjadi skala prioritas yang harus dijaga. E. Prinsip-Prinsip Egalitarianisme Islam Islam menjunjung tinggi secara konsisten dan konsekuen prinsip persamaan antara sesama manusia. Unsur pembeda antara manusia yang satu dengan yang lainnya hanya satu yaitu ketakwaan kepada Allah Swt. Dengan demikian, persamaan di sini berdimensi teologis, 48
Sekedar member contoh, rakyat jelata yang mencuri 2 kg kapuk atau 3 biji kakau dihukum 6 bulan penjara, karena terkena pasal pencurian. Sedangkan pembobol BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dan kasus Century, mereka bebas berkeliaran, bahkan kasusnya cenderung “dipetieskan”, sehingga akuntabilitas penguasa dipertanyakan. 49
Lihat Masykuri Abdillah, “ Negara Ideal Menurut Islam dan Implementasinya Pada Masa Kini” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Islam Negara dan Civil Society Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta : Paramadina, 2005), h. 82.
67
yang takwa (mentaati segala perintah Allah Swt dan menjauhi segala larangan-Nya) itu lah yang dapat dijadikan pemimpin. Hal inilah yang telah menginspirasi para elit politik Indonesia yang merumuskan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila berdimensi teologis. Yaitu “dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa” dalam UUD-1945, dan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pancasila. Prinsip persaudaraan dan persatuan 50 serta perdamaian merupakan prinsip-prinsip umum yang dapat memperkuat wawasan egalitarianisme. Dengan prinsipprinsip ini maka dapat dikembangkan pada prinsip profesionalisme dan akuntabilitas publik dalam pengisian jabatan pemerintahan. Penegakan hak asasi manusia merupakan hal yang sangat diperhatikan, oleh karena itu, apa pun bentuknya, pelanggaran HAM tidak dibenarkan dalam Islam. Dalam perspektif egalitarian, penegakan HAM ditujukan kepada semua orang. Penegakan HAM yang tanpa pilih bulu, merupakan ekspresi dari prinsip persamaan dan keadilan. Sebagai dimensi kunci, prinsip keadilan ditujukan untuk membangun masyarakat yang sejahtera. Oleh karena itu, prinsip keadilan sosial menemukan signifikansinya dalam kehidupan sosial. Fazlurrahman mensinyalir bahwa prinsip egalitarianisme Islam bermuara kepada perintah-perintah keadilan sosial dalam sektor sosial. 51 Salah satu prinsip keadilan sosial dan ekonomi yang diletakkan al-Qur’ân adalah :
50
Prinsip Islam tentang persatuan ini ditegaskan dalam al-Qur‟an beberapa kali sebagai ummatan wahidah; lihat pada al-Baqarah ayat 213; al-Maidah ayat 48; Yunus ayat 19; Hud ayat 18; An-Nahl ayat 93; al-anbiya‟ ayat 92; al-Mukminun ayat 52; Az-Zukhruf ayat 23; Lihat, Muhammad Fuad Abdul Baqy, Al-Mu’jam AlMufahras Lialfazh al-Qur’an al-Karim, (Indonesia : An-Nasyir Maktabah Dahlan, t.t), h. 102. 51
Fazlurrahman, “interpreting the Qur‟an” Inquiry, Mei 1986, h. 49.
68
Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. (Q.S al-Hasyr : 7). Dari ayat ini jelas kiranya bahwa kekayaan tidak boleh beredar hanya di kalangan orang kaya. Sebagai pengejawantahan prinsip ini, al-Qur’an menetapkan zakat : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orangorang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. at-Taubah : 60). Paparan ayat tersebut cukup jelas menegaskan bahwa yang berhak menerima zakat ialah: 1. orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan. 3. pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabîlillâh): yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufassirîn ada yang berpendapat bahwa fî sabîlillâh itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lainlain. 8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
69
Wawasan egalitarianisme tentang badan-badan sosial dan politik, al-Qur’ân meletakkan prinsip bahwa kaum muslimin harus memutuskan masalah-masalah mereka berdasarkan syûrâ.52 Prinsip syûrâ ini berlaku untuk semua bidang; politik, religious, sosial, ekonomi, dan sebagainya.53 al-Qur’ân mendasari prinsip egalitarianisme ini dengan ayat: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (Q.S. as-Syûrâ : 38). Prinsip egalitarianisme dalam Islam, pada ayat di atas, memperlihatkan konsistensi landasan teologis yang menjiwai aktivitas sosial dalam bentuk kepedulian sosial. Ayat ini merefleksikan iman, Islâm, ihsân dan taqwâ seorang muslim, yang menjadi etika al-Qur’ân. Refleksi dan internalisasi terhadap ayat ini secara langsung akan mengarahkan ke dalam “bawah sadar” makna paling hakiki yang terdalam atau elan-dasarnya, yang ditujukan untuk melindungi dan mengembangkan integritas individu serta kolektif. Di dalam al-Qur’ân terdapat prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang dijadikan oleh Rasulullah Saw dalam praktik politik kepemimpinannya di Madinah, yang ternyata di abad modern ini diapresisai oleh Negara-negara beradab pada 52
Selain dalam Q.S 42 : 38 di atas, tentang syûrâ ini terdapat juga pada surat al-Baqarah ayat 233, yang membicarakan tentang kesepakatan (musyawarah) yang harus ditempuh suami istri kalau mereka ingin menyapih anak sebelum dua tahun. Juga pada surat Âli Imrân ayat 159, yang berlaku lebih umum dalam konteks yang lebih luas. Di mana seorang pemimpin harus bermusyawarah dengan para bawahannya sebelum mengambil keputusan, seperti konteks ayat ini dalam peristiwa Perang Uhud yang membawa kekalahan umat Islam, karena mengambil keputusan tanpa musyawarah. 53
Fazlurrahman, Major Themes of the Qur’an, (Minneapolis. Chicago : Bibliotheca Islamica, 1980). Khususnya dalam BAB II, dikupas secara luas bagaimana visi al-Qur‟ân tentang keadilan sosio-ekonomik dan egalitarianism.
70
umumnya, 54 walaupun tidak persis sama dengan konsep Islam, sebagaimana dipaparkan oleh Masykuri Abdillah di antaranya adalah : Al- Amânah (Kejujuran dan tanggung jawab), Al-‘Adâlah (Keadilan), Al-Ukhûwah (Persaudaraan), Al- Ta’aduddîyyah (Menghargai kemajemukan atau pluralisme), Al-Musâwah (Persamaan), Al-Syûrâ (Permusyawaratan), Al-Silm (Perdamaian), Amr bi al-Ma’rûf nahy ‘an al- Munkar (Kontrol). 55 Mengintegrasikan nilai-nilai Islam tersebut ke dalam ranah politik merupakan penegakan etika. Meski etika dan politik merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi salaing membutuhkan. Dalam paradigm ini politik dapat diwarnai oleh nilai-nilai agama, terutama nilai-nilai moral, pada sisi lain, etika dan moral agama dapat ditegakkan melalui power politik. Pandangan ini dipertegas oleh Ibnu Taymiah yang mengatakan bahwa antara agama dan Negara saling membutuhkan (simbiosis).56 E. Penutup Praktik politik di Negara Madinah, yang dijalankan oleh Nabi Muhammad saw, merupakan model pembangunan politik egalitarianisme yang sangat kondusif bagi program pemanusiaan manusia dalam negara dan pemerintahan. Prinsip kesetaraan atau persamaan sesama 54
Prinsip-prinsip dan nilai-nilai ajaran Islam yang telah dipraktikkan dalam Negara Madinah, diakui atau tidak, ternyata sangat universal dan diakui serta dilaksanakan oleh Negara-negara modern, menurut pengakuan Ernest Gellner, Islam memang agama yang paling cocok untuk modernitas. Lihat, Ernest Gellner, Muslim Society, (Cambridge : Cambridge University Press, 1981), h. 7. 55 Masykuri Abdillah, “Negara Ideal Menurut Islam dan Implementasinya pada Masa Kini” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam Negara Civil Society Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta : Paramadina, 2005), h. 74-75. 56 Syaiekh al-Islâm Taqiyuddîn Abû Abbas Ahmad bin Abdu al-Halîm bin Abdussalâm bin Taimiyyah , as-Siyâsah as-Syar’iyyah, (Beirut : Dâr al-Fikr alLubnani, 1992), h. 162.
71
manusia di depan hukum dan peradilan mempunyai dampak sosial-politik yang signifikan, terutama dalam cara melihat segmen-segmen lain masyarakat politik Indonesia dengan latar belakang pluralistik. Dalam konteks pembangunan politik egalitarianisme, konsep-konsep berbangsa dan bernegara dalam Piagam Madinah dapat memperkuat paham persaudaraan Islam (ukhuwwah Islâmiyyah), yang di dalamnya konsep umat Islam tidak lagi didefinisikan dari segi orientasi dan asosiasi sosial-politik, dan memandang bahwa komunitas umat Islam harus semata-mata didasarkan kepada kenyataan bahwa seseorang itu memeluk Islam sebagai agamanya. Sehingga dengan konsep egalitarianisme dapat memperkokoh paham persaudaraan nasional (ukhuwwah wathaniyyah). Bahkan pada level yang lebih makro, yaitu persaudaraan sesama manusia secara global (ukhuwwah basyariyyah). Agenda pembangunan politik yang diusung dalam upaya-upaya pengejawantahan aspirasi-aspirasi sosialpoliotik Islam adalah pengembangan tatanan-tatanan politik yang egalitarian dan demokratis, serta pengembangan proses-proses ke arah pemerataan ekonomi, melalui optimalisasi pmberdayaan zakat. Dengan demikian, perspektif yang berorientasi nilai, gagasan tentang tatanan politik yang egalitarian atau demokratis mencerminkan prinsip-prinsip dasar politik Islam yang harus diterapkan, yaitu : al-‘adl, al-musâwâh dan syûrâ, yang mewakili idealisme politik Islam dan tidak akan pernah mengancam kesatuan nasional Indonesia. Bahkan sebaliknya, memberikan nilai positif dan kondusif bagi tercapainya cita-cita politik nasional.
72
Bagian 6 KUNGKUNGAN PATOLOGI POLITIK HANCURKAN BUDAYA LUHUR BANGSA A. Pendahuluan Bangsa Indonesia dikenal dunia sebagai bangsa yang mewarisi budaya luhur warisan nenek moyang, sehingga memiliki predikat sebagai bangsa yang beradab. Namun demikian, carut marutnya bangsa ini yang tidak lagi menyisakan keluhuran budi pekerti dan politik pun berjalan tanpa etika, yang terjadi adalah segala bentuk kecurangan, penipuan, korupsi, kolusi dan nepotisme serta kehidupan individualistis, kapitalis dan konsumeristis, sehingga jurang pemisah antara sikaya dan simiskin semakin menganga, rakyat menderita, elit penguasa semakin berfoya-foya dan bermegah-megah. Term “patologi”, dalam bahasa Inggris pathology, yang berarti ilmu tentang penyakit, 1 oleh karena itu istilah ini cukup familiar dalam dunia medis. Namun demikian, istilah ini muncul juga dalam ilmu sosial, yaitu patologi sosial, yang berarti ilmu tentang penyakit masyarakat. Analog dengan ini, maka patologi politik dapat disebut sebagai ilmu tentang penyakit politik dengan berbagai dimensinya, yang ingin disembuhkan dengan reformasi. Akan tetapi, semangat reformasi harus menyentuh posisi-posisi kunci, jika ingin berhasil. Kata “kungkungan” yang dimaksud dalam tulisan ini adalah situasi lingkaran setan yang membelenggu para elite 1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta : Balai Pustaka, 1995), h. 736. Gilbert Vreeland, Kamus Inggris Indonesia, Indonesia-Inggris, (Yogyakarta : Absolut, 2006), h. 256.
103
pemimpin, elite politik, elite pemerintah, yang tidak berdaya di hadapan mafia korupsi, mafia kasus, mafia politik dan lain-lain berbagai penyimpangan dari komitmen bernegara dan berbangsa yang ditengarai sebagai penyakit politik (patologi politik). Penyakit politik ini ternyata berkembangnya cukup pesat dan beranak-pianak. Paling tidak di sana ada penyakit politik dagang sapi yang cukup dikenal dengan istilah transactional politics (politik transaksi/ janjijanji atau kesepakatan-kesepakatan antarpolitikus atau konstituen dan lain-lain), hingga para pengusaha yang berdiri di belakang sebagai penyandang dana yang juga mempunyai tujuan terselubung. Pada sisi lain, ada juga abuse of power, (penyalahgunaan kekuasaan), hal ini kerap kali terjadi, terlebih lagi jika kontrolnya lembek. Celakanya lagi, saat ini anggota DPR yang terhormat ditengarai meminta anggaran pada menteri untuk menyalurkan sendiri dana bantuan social kepada rakyat di DAPIL mereka masing-masing.2 Kalau tidak ada kontrol dari rakyat dan Media Massa dan LSM, maka anggaran dapat kebobolan hingga triliunan rupiah. Posisi DPR sebagai wasit yang ingin ikut bermain ini merupakan penyakit kronis dalam politik, kecurangannya cukup jelas bahwa ia ingin memosisikan diri sebagai Sinterklas (tokoh suci di agama Kristen) yang konon sangat sayang dan selalu membagi-bagikan hadiah kepada anak-anak pada hari-hari penting, terutama pada 6 Desember hari ulang tahun Sinterklas. Penyakit politik yang lain adalah conflict of interest, yaitu pertentangan kepentingan. Pada awalnya, waktu masih sebagai rakyat biasa, berkoar-koar ingin membela rakyat. Ironisnya, setelah berkuasa “niat”nya pun berubah. Sifat aji mumpung berlaku, dan kemudian muncul keinginan untuk melanggengkan kekuasaan, ingin menimbun harta, 2 Bedah Editorial hari Kamis tanggal 26 Januari 2012, Abdul Qohar menegaskan bahwa ada dana 4 triliun dari Kementrian Pertanian yang mau diminta oleh DPR komisi 4 untuk dibagikan langsung oleh mereka, yaitu 50 % dari anggaran yang ada sebesar 8 triliun.
104
ingin mengajak kroni-kroni dan keluarga dan sebagainya, sehingga timbullah Korupsi, Kolusi Nepotisme di tubuh birokrasi pemerintahan.
lain dan
Patologi politik ternyata memiliki kohesivitas yang cukup signifikan dengan persoalan ekonomi, birokrasi, sosial-kultural dan sistem politik. Orang bijak bilang, jika manusia semua berhati malaikat maka hukum sudah tidak diperlukan lagi. Oleh karena itu, kebejatan politik alias politik yang tergerus oleh bisikan-bisikan setan tentu tidak lepas dari situasi “adanya kesempatan”, yaitu isitem birokrasi, sistem hukum yang tidak jelas. Misalkan saja, ketua umum sebuah partai politik, yang sudah kasat mata melakukan tindak pidana korupsi tidak tersentuh oleh hukum, karena supremasi hukum hanya kamuflase belaka, senyatanya politik yang berkuasa.3 Masih banyak rakyat Indonesia yang berpegang pada kekuatan budi luhur, sehingga sangat prihatin menyaksikan negeri yang diperjuangkan dengan tetes darah dan nyawa para pahlawan diinjak-injak oleh nafsu “mentang-mentang berkuasa”. Sebut saja misalnya filsafat Aja Dumeh (jangan mentang-mentang “senjata”/kekuasaan/ kesewenangan), atau ajaran Ngono ya ngono ning aja ngono.4 Filsafat ini masih menjadi pandangan hidup rakyat Indonesia sebagai warisan dari leluhur nenek moyang bangsa Indonesia. B. Bentuk-bentuk Patologi Politik dan Gejala-gejala yang Mendukungnya Kesalahan mendasar bagi para politisi dalam kiprahnya adalah menempatkan politik sebagai tujuan, kemudian demi mencapai tujuan menghalalkan segala cara. 3 Fenomena ini sudah menjadi rahasia umum, seperti kasus Wisma Atelit di Palembang, kasus Pusat Oleh Raga di Ambalang Jawa Barat yang melibatkan Anas Urbaningrum Ketum Partai Demokrat. Kasus Muhaimin Iskandar Ketum PKB, dan masih banyak kasus-kasus yang lain yang semuanya menguap, senyap kemudian menghilang. 4 Damardjati Supadjar, Mawas Diri, (Yogyakarta : Philoshophy Press, 2001), h. 46.
105
Lebih dari itu, mengartikulasikan politik sebagai kekuasaan dan kekuasaan berarti uang, maka politik menjadi jalan hidup yang harus dilewati. Oleh karena itu dapat diidentifikasi, paling tidak, ada tiga bentuk patologi politik yang sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, dan ini menjadi tema besar sasaran reformasi, antara lain adalah : 1. Transactional Politics Romo Benny Susetyo menengarai bahwa tumbuh dan berkem-bangnya politik transaksional disebabkan karena tersumbatnya komunikasi politik para pemimpin, kepentingan rakyat tidak diakomodir, para pemimpin asyik maksyuk dengan jabatan mereka masing-masing, sehingga menimbul-kan pola pikir individualistis. Sementara itu, TB Hasanuddin mengatakan bahwa orientasi kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi politis. Dalam pemilu (pil pres, pilkada, pilleg, dan lain-lain hingga pemilihan Kepala Desa dan pemilihan RT) pun cenderung bermain politik uang (money politic). Tidak lagi berlaku memilih pemimpin berdasarkan keriteria-keriteria akademik 5 , tetapi keriteria politik, yaitu : ”Saya pilih Anda, saya mendapatkan apa dari Anda?”.6 Gejala politik transaksional ini sudah muncul dan berkembang di setiap daerah. Ada yang berdalih bahwa biaya-biaya pemilu yang dikeluarkan secara pribadi, bukan money politic, melainkan cost politic. Hal ini terjadi karena tust terhadap pemimpin sudah tidak ada lagi, alasan para konstituen; “siapa pun yang menjadi pemimpin, kami tetap 5
Calon pemimpin berdasarka keriteria akademik, misalnya seperti dikemukakan oleh al-Mawardi; yaitu adil, memiliki ilmu pengetahuan yang memadai, panca inderanya lengkap dan sehat jasmani rohani, utuh organ tubuhnya, memiliki visi yang baik sehingga dapat membuat kebijakan bagi kepentingan rakyat dan mewujudkan kemaslahatan mereka, memiliki keberanian dalam menegakkan keadilan dan memberantas korupsi. Lihat dan bandingkan dengan Imam al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2000), Terjemahan dari Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta : UI Press, 1993), h. 63. 6 Dialog Pagi Metro TV dengan TB. Hasanuddin dengan Romo Benny Susetyo, Jum’at 27 Januari 2012 Pukul 06.30.
106
begini-begini saja”, oleh karena itu, sekarang yang penting adalah siapa memberikan apa pada saya itu yang saya pilih. Agaknya semakin jelas bahwa situasi di Republik ini berada di bawah pengaruh kapitalisme. 2. Abuse Of Power Penyalahgunaan kekuasaan sering sekali muncul ke permukaan pada para pemimpin yang arogan, sombong dan mentang-mentang. Hal ini berawal dari perasaan super yang mengiringi kekuasaan yang dijabatnya. Padahal, sebelum menjabat suatu jabatan tertentu, dirinya adalah manusia biasa, rakyat biasa, bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, dia berwibawa karena jabatannya, dan jabatan (kekuasaan) itu adalah amanah yang harus dilaksanakan sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai seorang pejabat. Akhir-akhir ini muncul di publik perbincangan hangat tentang “Negara Autopilot”, di mana-mana rakyat dilanda musibah, konflik, kelaparan, bencana alam dan lain sebagainya, tetapi”Negara” absen, tidak memberikan solusi. Sebut saja misalnya kasus Mesuji, kasus Bima, dan lain-lain, rakyat dari pelosok desa datang mendirikan kemah-kemah di depan gedung DPR, di depan Kementerian dalam Negeri, demo di depan Istana Presiden. Mereka tidak mendapatkan ayoman dan solusi, Negara benar-benar absen membiarkan rakyatnya terlantar begitu saja. Abuse of Power-nya adalah sikap mentang-mentang, you mau nangis air mata darah, mau jahit mulut silakan ! jawaban yang benar-benar menyakiti hati rakyat. Hancur luluh lantaklah budaya luhur bangsa yang santun, saling hormat menghormati, pemimpin adil rakyat patuh, semua sirna karena abuse of power para pemimpin bangsa. 3. Conflict Of Interest Penyakit politik yang tidak kalah kronisnya adalah konlik kepentingan, sehingga di dalam tubuh satu partai pun terjadi “tarik-ulur” dalam mengambil sebuah
107
keputusan. Kpentingan individu dan kelompok lebih mewarnai keputusan-keputusan politik daripada kepentingan publik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa antara mulut dan hati bertolak belakang, tidak ada keterpaduan antara ucapan dengan tindakan, ini menjadi problem para pemimpin sekarang ini.7 C. Munculnya patologi politik di Indonesia Para pemerhati politik pada umumnya berpendapat bahwa munculnya patologi politik sebagai gejala nasional disebabkan oleh kepemimpinan yang lemah atau pemerintahan yang lembek 8 Sehingga nampaklah sebuah kenyataan Dumeh, dumeh kuasa, mentang-mentang berkuasa, dumeh wenang, sewenang-wenang. Kenyataan demikian itu agaknya sudah menggejala secara global sehingga tidak salah kalau orang membingkainya dengan pola kearifan yakni Zaman Edan, zaman gila. Karena itu, siapa yang tidak ngedan lalu tidak kebagian.9 Maka saat ini patologi politik telah menggurita ke semua sendi kehidupan politik, tidak saja eksekutif, melainkan juga legislative dan yudikatif, dari ibu kota Negara hingga pelosok-pelosok desa, rame-rame gila-gilaan tidak mengindahkan hukum dan aturan, “halal haram hantam”. Kegalauan seorang Prof. Dr. T. Jacob telah diukirkannya dalam sebuah catatan di senjakala, yang tidak kurang dari 100 judul, kemudian dirangkumnya menjadi sebuah buku yang berjudul Tragedi Negara Kesatuan 7 Sering kali disampaikan oleh Ahamad Syafi’I Ma’arif dalam forum-forum terbuka, terutama pada forum para pemimpin linatas agama dalam mengkritik pemerintah. 8 Islam member respon bahwa kepemimpinan yang lembek itu disebabkan tidak professional dan tidak proporsional, baik yang memilih/menempatkan maupun yang dipilih/ditempatkan dalam suatu jabatan, yang semestinya seperti kata pepatah “The right man on the right place, tidak malah “right or wrong is my country”. Lihat, M. Sidi Ritaudin, “Karakteristik Ulil Amri dalam Format Etika Politik Islam Perspektif Al-Qur’an” dalam Jurnal Tapis, Vo. 1/ No. 1 Januari-Juni 2005, h. 24. 9 Damardjati Supadjar, Mawas Diri, (Yogyakarta : Philoshophy Press, 2001), h. 46-47.
108
Kleptokratis. Buku tersebut benar-benar menguak betapa kronisnya bangsa ini (baca Negara dan bangsa Indonesia), sistem politik Indonesia yang keliru, sehingga umatnya memegang persatuan dan kesatuan untuk berkorupsiria beramai-ramai di negara yang dimerdekakan melalui tetesan keringat dan darah bahkan nyawa para pejuang, sementara generasi penerus hanya berfoya-foya, hidup hidonis tanpa memikirkan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana cita-cita yang telah digariskan. Menurut T, Jacob kemunculan kejahatan politik adalah adanya agresi terhadap adab, negerinya bringas, kejam. Pedang hokum, tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Hang Bejat di mana-mana, yang memilki supremaasi atas Negara adalah oknum, bukan hukum. Sindrom kekuasaan menyelimuti elite penguasa. Bahkan T. Jacob berteriak keras: Wahai pemimpin, bersungguh-sungguhlah sedikit !, kemudian : Wahai pemimpin wariskan kecerdasan ! 10 Agaknya para elite pemimpin dewasa ini sudah tidak sungguh-sungguh mengurus negeri ini. Dalam konteks ini, benar kata mendiang Nurcholis Madjid bahwa negeri ini miskin dan kacau balau karena salah urus, Tuhan telah menganugerahkan segala kebaikan bagi Negara Indonesia, tetapi para elite penguasa tidak cerdas, kufur nikmat. Kemiskinan yang menghimpit manusia dapat saja membawa pada kekufuran atas nikmat-nikmat Allah yang lain. Ekonomi politik kerap kali dijadikan senjata bagi yang kuat memangsa yang lemah dalam berpolitik. Umpamanya dalam berkompetisi, para competitor dalam pemilu sering melakukan money politics, politik beli suara dengan berbagai dalih dan cara, ada serangan fajar, ada bagi-bagi sembako, bagi-bagi mukenah, payung, kaos dan lain sebagainya. Masyarakat yang terbelakang baik dari aspek ekonomi, pendidikan dan pengetahuan agama, sudah pasti 10 Baca T. Jacob, Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis Catatan Di Senjakala, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 9-17, 45258-262).
109
menjadi “makanan empuk” bagi orang-orang yang pintar dan berkuasa. Masyarakat miskin dan tidak memiliki pekerjaan tetap, bodoh dan tidak mengerti agama, posisi mereka senantiasa akan tertindas. Masyarakat Indonesia sudah mendarah daging dengan budaya fiodalismenya, sehingga sangat kagum dan menghormati orang-orang kaya. Oleh karena itu maka munculnya Orang Kaya Baru (OKB) setelah ia mendapat jabatan dengan menempuh berbagai cara, berhutang, mengambil kredit barang-barang berharga, hingga melakukan perbuatan tercela korupsi. Karena berubah pola hidup dari sederhana ke konsumerisme dan hidonisme. Fenomena debat kusir patologi politik versus patologi politik memunculkan pertanyaan siapa yang salah duluan, mana duluan telor atau ayam. Hal ini terjadi karena elite penguasa “tidak becus” mengurus Negara, sehingga terjadi kemelut penyimpangan demi penyimpangan. Ketika para pejabat salah dalam menuangkan kebijakan dalam aturan, maka rakyat bereaksi keras, seperti munculnya demo buruh di Bekasi dan Bandung akhir-akhir ini, di mana lebih dari 4000 perusahaan dengan 15.000 lebih karyawannya berdemo untuk menuntut kenaikan upah minimum, sehingga memblokir jalan tol, menimbulkan kemacetan lebih dari dua jam lamanya. Tindakan ini oleh sementara pihak dianggap melawan hukum, padahal membela hak juga tuntutan hukum, bukankah aksi-aksi sosial merupakan refleksi dari kualitas ketaatan seorang hamba kepada Allah.11 D. Dampak patologi politik bagi kehidupan Negara, masyarakat dan individu Sebagai sebuah kejahatan sudah barang tentu dampak patologi politik sangat buruk bagi kehidupan 11 Lihat Muhammad Kamal Hasan “Perkara Nurcholis Madjid” dalam Jalaluddin Rakhmat, et al., Tharikat Nurcholishy, Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), h. 100.
110
Negara, masyarakat dan individu. Public Trust atau tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah sangat rendah, bahkan indikatornya dapat diukur dari partisi publik dalam pemilu, Golput menjadi pemenangnya. Hal ini terjadi karena masyarakat sudah jenuh dan tidak memiliki kepercayaan sama sekali terhadap pemerintahan yang korup, komunikasi politik sudah tersumbat rapat, sehingga menyebabkan mereka (rakyat) prustasi. Indikator lain dari dampak patologi, rakyat kelas bawah semakin kesulitan dalam bidang ekonomi, untuk makan saja sudah tidak berdaya, pengangguran semakin membengkak. Harga-harga bahan pokok semakin melambung dan sulit dijangkau oleh rakyat kecil. Pajak semakin meninggi tetapi tidak memperbaki infrastruktur, bahkan jalan-jalan semakin rusak, air bersih, lingkungan hidup, pendidikan, bencana alam dan berbagai persoalan lainnya tidak pernah teratasi, ironinya tidak ada seorang pejabat pun yang mau mengaku bertanggung jawab, bahkan saling melempar persoalan antara satu pejabat dengan pejabat lainnya, sementara top leader-nya hanya membungkam seribu bahasa dan tidak ada tindakan konkrit dalam mengatasinya, sehingga Negara semakin terpuruk. E. Peran politik dalam penaggulangan kejahatan politik, terutama korupsi Dinamika politik dan perilaku elite yang berkembang di kalngan pemimpin, (baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif) belakangan ini merupakan fenomena baru dan sekaligus sebagai wujud adanya kebebasan berekspresi dan berkumpul untuk berbuat sesuatu bagi bangsa dan Negara. Sampai di sini, agaknya masih terlihat positif. Namun pada tataran implementasi, muncul perspektif “minna wa minhum”, adanya kelompok-kelompok tertentu yang mendominasi, bahkan mengkooptasi kelompok lain terutama kelompok minoritas, sehingga menjadi alat 111
bargaining power dalam mengambil sebuah putusan di parlemen. 12 Karena tekanan kekuasaan yang cukup kuat, maka para wakil rakyat mencari solusinya sendiri-sendiri, yaitu berupaya menggerogoti APBN melalui berbagai cara, umpamanya melalui Banggar dan BURT meminta-minta proyek,13 melalukan renovasi-renovasi, mulai dari ruangan, gedung hingga WC, yang nominalnya cukup pantastis, tidak masuk akal, seperti WC satu unit mencapai 2 Milyar, kursi satu unit bernilai 40 juta. Guna menyelesaikan persoalan penyakit politik yang sudah sangat kronis, yang sudah menggurita ke semua sektor kehidupan politik, maka penyelesaiannya adalah dengan keputusan politik, tidak di DPR, tetapi pemimpin tertinggi di negeri ini, yaitu presiden. Persoalan mendasar adalah bagaimana kalau presidennya tidak berani, presidennya lembek dan penakut, takut menanggung risiko, mungkin risiko dibenci rakyat, risiko dibunuh dan lain sebagainya, yang jelas jika terus menerus didiamkan dan selalu dibiarkan, maka risiko di akhirat jelas mendapat laknat dan kutukan. Keselamatan dan kesejahteraan rakyat sangat bergantung kepada siapa yang menjadi pemimpin. Begitu pentingnya peran seorang pemimpin, agaknya tidak ada salahnya jika dihayati wasiat seorang pemipin besar Islam yang pernah berjaya mengatasi persoalan patologi politik, yang memerintah dalam jangka waktu dua tahun lima bulan. Di masa pemerintahannya dia telah memenuhi dunia dengan keadilan, mengembalikan semua harta yang diambil
12 Partai pemenag pemilu presiden yang mencapai 60 % lebih, ternyata tidak cukup confident, sehingga masih perlu membentuk koalisi di kabinet, sebut saja misalnya Partai Demokrat merangkul Partai Golkar, PPP, PKB, PAN dan PKS, mungkin saja maksudnya agar dapat memuluskan hajat pemerintah di parlemen, wallahu a’lam bish-shawab. 13 Karni Ilyas mempersoalkan, jika ekskutif dan legislative sama-sama melakukan korupsi, lalu bagaimana solusi penanggulangannya. Menurut Romo Benny Susetyu, harus ada perbaikan system yang revolusioner. Dikemukakan oleh Karni Ilyas dan Benny Susetyo di Media Metro TV.
112
dengan cara yang tidak halal dan kejam. Dia telah melakukan banyak tradisi yang baik. Adapun wasiat berharga tersebut adalah: “Banyaklah mengingat mati agar dapat bersikap bijaksana, jangan berdusta karena dapat mendatangkan bencana. Hendaknya selalu bertaqwa kepada Allah. Perhatikan rakyatmu, perhatikan rakyatmu karena sesungguhnya engkau tidak akan lama di dunia, semua pasti akan mati”. 14 Jika para politisi, elite penguasa, para pemimpin negeri ini betul-betul merespon dan menjadikan wasiat Umar bin Abdul Aziz ini sebagai dasar etika politik mereka, maka dipastikan, Negara adil makmur, rakyat sentosa dan sejahtera akan terwujud. F. Rupa-rupa patologi politik dari perspektif ajaran Islam Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad Saw., tampil pertama kali di atas panggung politik, di bawah naungan iman dan taqwa, ini tidak ahistoris, ini fakta dan realita.15 Ajaran utamanya adalah memperbaiki etika global dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia, termasuk di dalamnya tentunya adalah bidang politik. Oleh karena itu Islam akan tampil dengan fungsi profetiknya, dan akan membebaskan umat dari intrik-intrik patologi politik, hanya jika umatnya memenuhi panggilan wajibnya untuk merealisasikan ajaran moral kanjeng Nabi tersebut. 16 Jika prinsip dasar ini dihayati, maka sikap hidup politik akan “slow” tidak terlalu menggebu-gebu dan melakukan segala cara. Jauh-jauh akan menghindari gaya “mencari barisan”, 14 Kutipan ini tidak persis seperti aslinya melainkan saduran, lihat Imam AsSuyuthi, Tarikh Khulafa’, terj. Samson Rahman, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 273, 275, 292. 15 Setelah pondasi iman dan taqwa terbangun dengan kokoh, kemudian rasulullah Saw berhijrah ke Madinah dengan para pengikutnya, maka ia berkedudukan sebagai Rasul dan sekaligus kepala Negara. Lihat, Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunisa Masa Klasik Islam, Buku Pertama lahirnya Sebuah Tatanan Baru, terj. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta : Paramadina, 1999), h. 267-268. 16 Mohammad Sobary, “Merombak Primordialisme Dalam Agama”, dalam Elga Sarapung, dkk (Tim Editor), Spiritualitas Baru Agama & Aspirasi Rakyat, (Yogyakarta : Institut DIAN/ Interfidei, 2004), h. 52
113
“membentuk kekuatan” (yang cuma berorientasi politis), sebab yang harus dikedepankan adalah moral dan etika politik sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Ajaran Islam mengajarkan politik yang santun, mengedepan-kan etik17 tidak boleh ambisi, pemimpin yang adil, amanah, bijaksana, berani dan cerdas. Berseberangan dengan konsep ini berarti sebuah penyimpangan, sebuah pelanggaran, sebuah penyakit. Karena diyakini seyakinyakinnya oleh umat bahwa Islam adalah sistem yang komprehanship melampaui IPOLEKSOSBUDHANKAM (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan). Maka berbagai macam rupa patologi politik sangat berkaitan dengan tindakan politik berupa penyimpangan terhadap nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri. Secara konstitusional (konstitusi Negara Islam pertama/ Piagam Madinah) cukup jelas atauran-aturan yang telah ditetapkan sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara bagi umat Islam, yang memilki kekuatan syar’i yang harus dijadikan pedoman bagi umat Islam dalam mengatur Negara, sebab konstitusi tersebut dibuat dan disahkan oleh Nabi Muhammad Saw., sendiri, sehingga posisi hukumnya berada pada tingkat Hadits yang mutawatir. Oleh karena itu, keluar dari rel konstitusi berarti penyimpangan dan itu tergolong patologi politik. Konstitusi Madinah yang dibuat oleh Rasulullah tersebut sejalan dan relevan dengan kondisi bangsa Indonesia yang dibangun di atas prinsip-prinsip pluralisme, ketuhanan, kemanusiaan, keadilan dan permufakatan. 18 Di sisi lain penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam dan 17 Ingat ajaran Nabi yang paling krusial adalah bahwa Rasulullah saw itu diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak, termasuk (baca terutama) dalam persoalan politik. Bagaimana beliau membangun konstitusi madinah, dan tidak membangun feodalisme dan system monarchi dalam politik. 18 Baca Piagam Madinah, pasal 25 umpamanya yang mengakomodir pluralism dan kebebasan beragama. Lihat, Zaenal Abidin Ahmad, Piagam Madinah, (Jakarta : Al-faraby, Kinta, 1968), h. 26. Bandingkan dengan dasar Negara Republik Indonesia, Pancasila.
114
mematuhi ajaran-ajarannya. Oleh karena ajaran Islam bersifat universal, terutama sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka jika diakses bagaimana sistem dan penyelenggaraan kehidupan politik Negara Madinah niscaya dapat mewujudkan situasi politik yang kondusif membawa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ditakuti oleh Negara-negara yang memusuhi (termasuk Negara yang berseberangan ideologi politik) dan disegani oleh Negaranegara sahabat. G. Analisis solutif untuk mengeliminir patologi politik Patologi politik seperti KKN memang menjadi naluri manusia, sudah menjadi sifat dasar manusia tamak dan loba dan memanfaatkan kesempatan “aji mumpung”, juga kecenderungan untuk bersikap nepotism merupakan naluri dasar manusia. Oleh karena itu manusia memerlukan tuntunan agama, undang-undang dan aturan-aturan yang bersifat universal. Maka solusi utamanya adalah melakukan pendidikan politik, bagaimana politik yang beretika, politik yang santun dan bermartabat. Jadi bahan dasarnya yang harus dibidik, yaitu sumber politik itu sendiri. Lebih jauh dari itu, pembangunan demokrasi yang digalakkan dan sudah menjadi kontrak politik di negeri ini harus dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen, tidak saja diartikan sebagai sistem bebas menyatakan pendapat, melainkan diartikan juga sebagai doktrin pemerintahan, di mana tidak ada “pengendapan” kekuasaan mutlak di suatu tempat tertentu, harus diartikan sebagai suatu continuos chain of control hingga dapat dihindari atau dibatasi sekecil mungkin adanya mis-used of authority, penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang 19 yang dapat mengakibatkan hancurnya suatu Negara. Oleh karena itu, tidak dapat ditawar-tawar lagi, bahwa partisipasi public harus 19
Liat H.M. Subchan ZE. “Politik Sebagai Sarana dalam Pembangunan Ekonomi” dikutip oleh Ridwan Saidi “Dinamika Kepemimpinan Islam dalam Era Orde Baru” dalam M. Amin Rais (ed), Islam di Indonesia Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1996), h. 130.
115
ditingkatkan sebagai control social terhadap pemerintahan, yang ditindaklanjuti oleh pemerintah, dalam hal ini penegakan hukum sebagai konsekuensi dari “Negara Hukum”. Jadi benar respon publik bahwa awal dari segala macam kehancuran disebabkan oleh tidak jalannya aturanaturan dan hancurnya sistem hukum. Kekacauan politik, terutama pasca-reformasi, disebabkan oleh alpanya kepastian hukum berikut penegakannya yang ditengarai para pencuri, para rampok dan para perompak (koruptor-koruptor) semakin hari semakin merajalela sehingga menyusup ke semua lapisan dan lini kehidupan. Lembeknya keteladanan elite kepemimpinan nasional, gaya hidup kapitalis dan hidonistis merupakan penyebab utamanya. Agar dapat keluar dari kondisi tersebut, nampaknya perlu sosok pemimpin yang padu antara ucapan dan tindakan. Di depan publik bersumpah akan mengunus pedang dan siap berjihad melawan korupsi, dalam tindakan omong kosong, isapan jempol belaka, tidak lebih hanya lolongan pencitraan diri. Secara realistis, melihat kondisi saat ini yang semakin hari semakin mengenaskan, Indonesia membutuhkan seorang pemimpin yang “bisa” memposisikan hukum sebagai panglima, penuh integritas, tegas dalam bertindak, terhindar dari intrik-intrik, memiliki komunikasi politik yang baik. Dan yang lebih penting ia mampu membawa penumpang kapal besar yang bernama Negara ini kepada kesejahteraan lahir batin, inilah inti tujuan bernegara.20 Jika tidak maka “kapal besar” akan karam dan tenggelam, atau hancur berantakan diterpa badai korupsi, karena tidak hanya nakhoda atau sang kapten yang membelakangi 20 Formulasi kesejahteraan rakyat tidak terlepas dari ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan dan persatuan, keadilan dan permufakatan antarsesama warga, antara pemimpin dan rakyatnya, dalam islam disebut sebagai Negara “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur”, sebagai tujuan Negara, diilustrasikan bahwa kebutuhan pokok rakyat terpenuhi bahkan melimpah ruah sebagai anugerah tuhan yang harus disyukuri. Kesuksesan pemimpin ini digambarkan pada Surat Saba/34 : 15, An-Nmal/27 : 22, pada pemerintahan Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis. Lihat, Abdullah Yusuf Ali, The Meaning the Glorious Qur’an, (Kairo : Dar al-Kitab al-Mishr, Beirut : Dar al-Kitab al-Lubnani, 1938), h. 1138.
116
komitmen bernegara, tetapi sudah merasuk ke para ABKnya. Kebejatan politik yang paling mendasar, dikatakan mendasar dapat menjadi penyebab kejahatan-kejahatan berikutnya, seperti korupsi, ketidak adilan memimpin, kecurangan dalam pemilu dan lain sebagainya, adalah “politik membangun kerajaan”. Fenomena elite penguasa, terutama di daerah-daerah mencitrakan diri sebagai orang berdarah biru, politik fiodalime menggejala bangkit kembali. Nepotisme dalam skala besar, yaitu pewarisan kekuasaan pada garis keturunan. Bapaknya Gubernur anaknya jadi Bupati, bapaknya Bupati anaknya ketua partai yang akan diorbitkan menjadi Bupati atau Gubernur di masa-masa mendatang. Tekanan politik seperti ini membuat “muak” rakyat kecil yang kondisinya tidak pernah membaik, meski gonta-ganti pemimpin. Membuat masyarakat apatis dan pasrah terhadap nasib mereka. Bertolak belakang 180 derajat dengan tauladan politik Rasulullah Saw yang tidak menunjuk pengganti yang memimpin Negara sepeninggal beliau, sebab katanya :”Sesungguhnya jika aku menunjuk penggantiku, aku khawatir kalian akan menentang penggantiku itu dan Allah akan menurunkan azab atas kalian”.21 Memperhatiakan dan mencermati teks hadits di atas, agaknya munculnya fenomena bencana demi bencana pasca pelantikan seorang pemimpin dapat dikatakan sebagai indikator dari kemurkaan Allah atas kecurangan politik dalam proses suksesi. Sebagai contoh, bencana alam silih berganti muncul di berbagai tempat, bencana krisis BBM tak kunjung usai, bencana korupsi merajalela, mafia kasus, mafia hukum, mafia jabatan dan lain sebagainya tidak kunjung tuntas, mengapa tidak intospeksi diri wahai elite politik, kegagalan mengatasi peroalan berarti tidak mendapat dukungan positif, baik secara horizontal, dari 21
HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak.
117
rakyat kecil di bumi dan secara vertikal dari Tuhan Yang Maha Esa di langit, sehingga Tuhan pun murka. Rendahnya kesadaran politik publik suatu bangsa sangat jelas mengindikasikan minimnya pendidikan politik. Lebih ironis lagi jika sumber daya politik elite pemimpin yang minim edukasi. Kecelakaan yang paling vatal jika politik dijauhkan dari pendidikan. Pendidikan politik, dengan tujuan untuk membekali pengetahuan, orientasi, dan kemampuan yang memungkinkan manusia menjalani kegiatan politik di tengah masyarakat, merupakan masalah yang sangat krusial, karena politik adalah segala sesuatu yang sifatnya dapat merealisasikan kebaikan di tengah masyarakat, sehingga politik dapat diketegorikan sebagai bagian dari akhlak.22 Semua jenis patologi politik muncul di suatu bangsa, karena rakyat dan pemimpinnya tidak memiliki kesadaran etik dalam berbangsa dan bernegara. Upaya pemisahan antara politik dan pendidikan dan menafikan saling pengaruhnya merupakan pemaksaan yang menyebabkan bahaya bagi keduanya secara bersamaan. Keadaan ini sudah berlangsung lama, politik terlepas dari misinya dan kehilangan unsur edukatifnya yang khas. Pendidikan pun hanya menjadi urusan yang marjinal dan sekedar fungsi klise untuk memelihara nilai dan pemikiran yang ketinggalan zaman, tidak memilki peran pembimbing kea rah masa depan dalam kehidupan masyarakat dan dinamika peradabannya. Hal ini cukup jelas terlihat bagaimana situasi dan kondisi perpolitikan nasional yang amoral dan pendidikan tidak menghasilkan politisi yang memilki integritas yang tinggi.23 22 Lihat, Muhammad Ali Muhammad, Ali Abdul Mu’ti, As-Siyasah baina AnNazhariyah wa Tathbiq, /Politik, antara Teori dan Praktik, (Iskandariyah : Dar alMa’rifah, 1984), h. 7. 23 Sekedar menyebut contoh, bagaimana public menyaksikan para wakil rakyat di parlemen adu jotos. Para koruptor tidak merasa bersalah dan berdosa berpose di depan public. Di dunia pendidikan banyak sekali terjadi penyimpanganpenyimpangan seperti palgiatisme karya ilmiah, jual beli nilai, korupsi pengadaan barang dan jasa dan lain-lain. Kericuhan di dunia pendidikan, selama berpuluh-puluh tahun, sejak prakemerdekaan RI, adanya dualisme pendidikan yang diselenggarakan oleh Kemeterian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama, sehingga muncul
118
H. Penutup Fenomena kejahatan politik atau penyimpangan politik yang dialkukan oleh elite penguasa dari konstitusi dan perundang-undangan semakin nyata dan sangat menyakitkan terasa oleh publik. Di setiap peristiwa yang menyentuh hajat orang banyak (rakyat kecil) sering kali negara absen, tidak memberikan solusi, semuanya dibiarkan menggelinding begitu saja. Prinsipnya biarkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Hal ini tidak boleh terjadi dalam suatu Negara. Semua persoalan harus dituntaskan oleh Negara. Korupsi merajalela, pengangguran semakin hari semakin membengkak, bahan-bahan kebutuhan pokok semakin melambung, BBM sulit didapat, harganya pun tidak terkendali, kerusuhan terjadi di setiap tempat, dan demo-demo setiap hari terjadi, dan bencana alam pun tidak kurang-kurang member peringatan, pokoknya kekacauan terjadi di mana-mana dengan berbagai persoalan, jika tidak segera diambil tindakan dan dituntaskan, maka Negara akan hancur. Penyelamatan bangsa ini dari kehancuran, keterpurukan, ketertinggalan, kemiskinan, dan kebodohan bahkan bukan tidak mungkin terjadi disintegrasi bangsa, harus diupayakan sekuat tenaga dan pikiran melepaskan diri bangsa dari kungkungan patologi politik. Kesewenagwenangan elite penguasa, konflik kepentingan, politik ttransaksional dan abuse of power, merupakan intrik-inrik politik, inilah musuh nyata masyarakat dan Negara. Sebagai upaya penyelesaian persoalan adalah dengan membangun pendidikan politik, rakyat harus diberikan pencerahan dan pencerdasan politik, sehingga politik yang dimainkan adalah politik tingkat tinggi (politik yang beretika), bukan politik rendahan seperti politik dagang sapi atau politik transaksioanl, politik abuse of power dan politik dikhotomi pendidikan umum dan pendidikan agama. Ini secara politis merugikan generasi bangsa, generasi masa depan, melek intelektual tapi buta politik. Melik politik tapi hati nuraninya mati.
119
kepentingan yang biadab. Antara politik dan pendidikan merupakan dua entitas yang bersifat simbiosis mutualistik, yang harus dibangun dan ditegakkan. Hukum diposisikan sebagai panglima tertinggi dalam menegakkan keadilan. Prinsipnya harus dimulai dari top leader, memberikan keteladanan, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah, kalaupun kedapatan Fatimah anak beliau yang mencuri niscaya ia sendiri yang akan memotongnya.
120
Bagian 7 RAPUHNYA KOALISI POLITIK DAGANG SAPI A. Pendahuluan Koalisi politik dagang sapi yang dibangun oleh SBY pasca Pilpres 2009, baru berusia beberapa bulan telah menampakkan kerapuhan yang nyata. Realitas politik di parlemen menampakkan drama yang berdurasi panjang, melelahkan dan menelan cost yang begitu mahal dipertontonkan kepada publik. Dalam percaturan politik, koalisi memang suatu hal yang mungkin dibangun. Namun demikian, menurut berbagai pengamat, harus dibangun di atas pondasi ideologis yang sama. Kalaulah partai Demokrat yang nota bene berideologi nasionalis, adalah mustahil berkoalisi dengan partai-partai yang berbasis religi, bagaikan menyatukan minyak dengan air. Oleh karena itu, dapat diprediksi kalau koalisi yang sangat jumbo itu, memiliki niatan untuk berkuasa dan memerintah secara otoriter. Secara kasat mata dapat dibaca, kalau koalisi yang dibangun adalah koalisi politik dagang sapi, karena yang terbangun adalah semata-mata bagi-bagi kekuasaan guna mencapai tujuan yaitu melanggengkan kekuasaan yang nyaman, tidak diganggu oleh partai-partai oposisi. Puncak dari kerapuhan koalisi politik dagang sapi yang dibangun oleh SBY adalah dalam pertarungan sengit yang disiarkan secara live di Metro TV dan TV One pada khususnya, dan TV-TV lainnya. Betapa PKS dan Golkar yang diamini juga oleh PPP dalam votoing berseberangan dengan partai Demokrat. 325 anggota dewan, secara 121
paripurna, memenangkan voting melawan Demokrat yang hanya didukung oleh PAN dan PKB dengan perolehan suara 246 suara. Salah satu fenomena yang menonjol yang dipicu oleh adanya kasus Century adalah prilaku politik “ancammengancam” di pemerintahan, hal ini sangat merisaukan rakyat kecil, sebab pepatah yang mengatakan; “kalau gajah beradu sama gajah, maka planduk akan mati di tengahtengah” dapat menjadi kenyataan. Dampaknya cukup luas, krisis ekonomi yang berlarut-larut, sejak reformasi yang sampai saat ini malah semakin menghimpit, semakin mengentalnya krisis kepercayaan terhadap pemerintah, demonstrasi terjadi di mana-mana, yang kadang-kadang dilakukan secara anarkis, seperti menginjak-injak dan membakar poto SBY, Budiono dan Sri Mulyani. B. Munafik di atas munafik Terjadinya inkonsistensi dalam menjalankan demokrasi karena komitmen partai-partai yang tidak stabil. Perlu diingat, bahwa sistem negara kita menganut paham trias politika, yaitu adanya tiga kekuasaan yang terpisah; ekskutif, legislatif dan yudikatif. Pretensi koalisi dagang sapi di parlemen dibarengi dengan bagi-bagi kursi menteri di ekskutif. Prilaku demikian sangat mencederai kepercayaan publik. Dengan demikian, jika terjadi “pengkhianatan” oleh partai-partai yang berkoalisi, karena tidak mendukung partai Demokrat dalam voting pada sidang paripurna Pansus Century, itu merupakan konsekuensi dari kemunafikan yang telah dibangun sebelumnya, yaitu kemunafikan terhadap sistem demokrasi yang menjadi pilihan dengan sistem trias politika. Kemudian muncul
122
fenomena “ancam-mengancam” tadi, yaitu kata-kata tajam dilontarkan secara emosional, seperti disampaikan oleh ketua DPP Partai Demokrat Hayono Isman dan Ruhut Sitompul, dan Sekjennya Amir Syamsuddin. Bahkan tudingan terhadap PKS dan Golkar sebagai pengkhianat berkali-kali dicetuskan di hadapan publik. Sungguh suatu akrobat atau dagelan politik yang memuakkan dipertontonkan oleh aktor-aktor politik yang kurang menghayati tanggung jawab dalam pemerintahan. Bahkan upaya ketua DPR Marzuki Ali mengulur-ulur waktu dalam persidangan, dengan memperpanjang waktu lobi-lobi politik telah menimbulkan reaksi keras, sehingga terjadi kericuhan di perlemen. Akuntabilitas dan transparansi dalam menjalankan pemerintahan hanya mungkin dilakukan jika didasari oleh komitmen menegakkan keadilan dan mensejahterakan rakyat. Kalau prilaku politik yang ditampilkan membelakangi tujuan bernegara, yaitu menegakkan keadilan dan mensejahterakan rakyat, maka omong kosong kalau mengatakan bahwa pemerintahan yang berjalan itu akuntibel dan transparan. Ambil saja contoh kasus Century, pemerintah secara arogan telah memperlihatkan pola pikir kelompok. Gejalanya dapat ditangkap bahwa dari jalannya persidangan yang disiarkan secara live di TV partai penguasa menampakkan pemikiran ilusif kelompok, merasa memiliki kekebalan dengan berlindung pada undangundang, aturan ini, aturan itu, sehingga hampir tidak mungkin dapat disentuh, meski suara parlemen mayoritas telah menyatakan bahwa ditemukan fakta-fakta kesalahan pemerintah dalam mengambil kebijakan Century. Dalam konteks kasus Century ini terlihat adanya argumen-argumen yang menjurus pada rasionalisasi secara kolektif, dan 123
munculnya tekanan langsung kepada pengingkar, sensor diri yang kuat terhadap anggota, pandangan atau stereotip tertentu pada orang-orang di luar kelompoknya dan kebulatan suara (persepakatan) yang ilusif mindguards yang ditunjukkan pada diri sendiri (artinya, di sana ada tokohtokoh yang mengontrol pemikiran para anggota untuk kepentingan sendiri). Argumentasi klise berdasar norma kelompok, dalam diri seseorang atau beberapa orang anggota dewan dari partai penguasa, seperti ada ilusi bahwa dia menjadi bagian dari kelompok yang memiliki kekebalan, sensor diri yang sangat kuat, rasionalisasi yang tidak memadai untuk menjawab pertanyaan yang problematik, yaitu soal kolusi dan korupsi yang terjadi dalam kasus Century, sehingga terkesan memaksakan diri, bahkan menentang hati nuraninya sendiri. Tidak padunya antara ucapan yang disampaikan ke publik dengan hati nurani dalam sanubari, inilah yang disebut munafik. Salah satu tokoh penggagas hak angket Century dari PPP begitu sumringah ketika ia berhasil membebaskan diri dari tekanan batinnya sendiri dan dapat menyampaikan suaranya keluar dari tekanan koalisi. Begitu pula yang terlihat pada salah seorang anggota partai dari PKB Lely Wahid, terlebih lagi mereka yang dari PKS, PPP dan Golkar, secara bulat mereka pun bersorak sorai karena mereka berhasil menundukkan syahwat politik berkuasa dengan koalisi politi dagang sapi. Artinya, mereka pun siap menanggung segala resiko yang akan ditimpakan kepada partainya, termasuk ditariknya wakil partai mereka di parlemen.
124
C. Jadilah Suri Tauladan Sebagai himbawan terhadap para pemimpin publik, terutama kalangan ekskutif dan legislatif yang dipilih langsung oleh rakyat, jadilah anggota dewan yang baik, jadilah aparat pemerintahan yang baik. Janganlah demi kekuasaan dan demi harta dan uang sampai mengorbankan iman. Ketahuilah bahwa iman itu adalah hidayah Allah yang menjadi jaminan hidup, yang dapat mengontrol diri dari perbuatan-perbuatan jahat. Untuk itu Allah swt telah menempatkan diri-Nya dalam diri manusia dengan sebutan hati nurani. Dengarkanlah hati nuranimu sebelum bertindak, sebab sura hati itu adalah suara Tuhan, dan suara Tuhan adalah kebenaran. Kata pepatah : lets your conscience be your guide, jadikanlah hati nuranimu sebagai petunjuk jalan hidupmu. Selaraskanlah antara ucapan dengan perbuatan, jujur dan bersahaja adalah pilihan. Lindungilah rakyat kecil yang mayoritas dan tidak berdaya melalui kebijakan dan aturan-aturan yang dituangkan dalam peraturan dan undang-undang, kemudian laksanakan secara konsisten dan konsekuen. Insya Allah Dia akan selalu menjadi pelindungmu. Janganlah tamak terhadap kekuasaan, sebab tamak itu adalah sifat yang berlebihan, dan itu tidak disukai Tuhan. Bila nafsu berkuasa dan nafsu serakah (hak orang lain mau
125
disikat juga), sadarlah kalau maut menyapa, yang dibawa hanya amal kebaikan dan amal kebajikan.
126
DAFTAR PUSTAKA Abdillah, Masykuri “Cak Nur, Politik Islam dan Cita-Cita Reformasi” dalam, Jalaluddin Rakhmat, et al, Tharikat Nurcholishy Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001. Abdillah, Masykuri, “ Negara Ideal Menurut Islam dan Implementasinya Pada Masa Kini” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Islam Negara dan Civil Society Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta : Paramadina, 2005. Abdurrahman, Hafidz, Diskursus Islam Politik Spiritual, Bogor : Al Azhar Press, 2004. Adams, Ian, Political Ideology Today, terj. Ali Noerzaman, Ideologi Politik Mutakhir, Konsep, Ragam, Kritik dan Masa Depannya, Yogyakarta : Penerbit Qalam, 2004. Ahmad, Mumtaz, (ed.), State, Politics, and Islam, Indianapolis : American Trusst Publications, 1986. Ahmad, Zaenal Abidin, Piagam Madinah, Jakarta : Al-faraby, Kinta, 1968. Ali, Abdullah Yusuf, The Meaning the Glorious Qur’an, Kairo : Dar al-Kitab al-Mishr, Beirut : Dar al-Kitab alLubnani, 1938. Amin, Ahmad, Islam dari Masa ke Masa, Bandung : CV Rusyda, 198.), h. 87. Arivia, Gadis, Filsafat Berperspektif Feminis, Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, 2003. 127
Asqalani, Ibnu Hajar al-,„ Huda al-Sari, Muqaddimat Fath alBari, Kairo : al-Matba‟at al-Bahiya al-Mishriya, 1928. Atsir, Ibnu Al-, Al-Kamil fi at-Tarikh, Jilid 2, Beirut : Dar baeirut, 1385/1965. Awwâ, Muhammad Salîm al-, Fî al-Nizhâm al-Siyâsî lî alDawlah al-Islâmiyyah, Kairo : Dâr al-Syurûq, 1989. Ayubi, Nasih N., Political Islam : Religion and Politics in The Arab World, London : Reutledge, 1991. Azhari, Muhammad Tahir, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsi-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta : Bulan Bintang, 1992. Azizy, A. Qodri, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, Jakarta : Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, 2001. Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam, Jakarta : Paramadina, 1996. Baqy, Muhammad Fuad Abdul, Al-Mu’jam Al-Mufahras Lialfazh al-Qur’an al-Karim, Indonesia : An-Nasyir Maktabah Dahlan, t.t. Beetham, David, “Liberal Democracy and the Limits of Democratization”, dalam suntingan David Held, Prospects for Democracy North, South. East, West, Cambridge : Polity Press, 1993. Bellah, Robert N. “Islamic Tradition and the Problems of Modernization,” dalam kumpulan karangannya, Beyond Belief : Essays on Religion in a Post-Traditionalist 128
World, Berkeley and Los Angeles : California University Press, 1991. Binder, Leonard, Religion and Politics in Pakistan, Los Angeles : The University of California Press, 1961. Black, Antony, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, diterjemahkan dari The History of Islamic Political Thought From The Prophet to the Present, terbitan Edinburgh University Press, 2001. Terj. Oleh Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati, Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 1427 H/ 2006 M. Boisard, Marcel A., Humanisme dalam Islam, (terjemahan M. Rasjidi), Jakarta : Bulan Bintang, 1980. Brown, Harold I., Perception, Theory and Commitment : The New Philoshopy of Science, Chicago : University of Chicago Press, 1979. Buti, Muhammad Sa‟id Ramadan Al-, dan Tayyib Tizini, Finding Islam Dialog Tradisionalisme-Liberalisme Islam, Jakarta : Penerbit Erlangga, 2002. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Jakarta : Balai Pustaka, 1995. Dharmaputera, Eka, Pancasila Identitas dan Modernitas, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1992. Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993. Effendi, Bahtiar, dalam “Disartikulasi Pemikiran Politik Islam ?”, dalam Pengantar buku Olivier Roy, Gagalnya 129
Islam Politik, terj. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 1996. Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1998. Enayat, Hamid, Modern Islamic Poliotical Thought, Austim : University of Texas, t.t. Fadjar, Malik, “Kata Pengantar” dalam Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik Refleksi Teologi untuk Aksi dalam Keberagaman Pendidikan, Yogyakarta : SIPRESS, 1994. Farrâ‟, Abû Ya‟la Muhammad bin al-Hussein Al-, al-Ahkâm as-Sulthâniyah, Beirut : Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1994. Fazlurrahman, Major Themes of the Qur’an, Minneapolis. Chicago : Bibliotheca Islamica, 1980. Friedrich, Carl Joachim, The Philosophy of Law in Historical Perspective, Chicago : University of Chicago Press, 1963. Gatara, A.A. Said dan Moh. Dzulkiah Said, Sosiologi Politik Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian, Bandung : Penerbit Pustaka Setia, 2007. Gellner, Ernest, Muslim Society, Cambridge : Cambridge University Press, 1981. Gensichen, D.H.W., “Perang dan Damai dalam Agama”, dalam Ali Noer Zaman, (ed.), Agama untuk Manusia,, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000.
130
Ghunaimi, Mohammad T., The Muslim Conception of International Law and the Western Approach, La Haye : Nijhoff, 1968. Grospey, Leo Stratuss Joseph, (ed.), History of Political Philosophy, Chicago : 1963. Grunebaum, G. E. Von, Islam : Essay in The Nature and Growt5h of a Cultural Tradition, London : Routledge and Kegan Paul Ltd, 1969. Grunebaum, G.E. Von, Classical Islam, London, 1970. Grunebaum, Gustave E. Von, Isalam Kesatuan dalam Keragaman, Jakarta : Yayasan Perhidmatan, 1983. Haikal, Muhammad Husein, Al-Faruq Umar, Juz 1 & II, Cet. VI, Kairo : Dar Ma‟arif, t.th), h. 9. Hamzah, Muchotob, Menjadi Politisi Islami (Fikih Politik), Yogyakarta : Gama Media, 2004. Hanafi, Hasan, al-Dîn wa al-Tsaurât fî Mishr 1952-1986, al-Dîn wa al-Tanmiyyât al-Qaumiyyât, Kairo : Maktabat Madbûlî, 1989. Hart, Michael H., The 100 , a Ranking of the Most Influential Persons in History, terj. Mahbub Djunaidi, “Teratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah”, Jakarta : Pustaka Jaya, 1986. Hasan, Muhammad Kamal, “Perkara Nurcholis Madjid” dalam Jalaluddin Rakhmat, et al., Tharikat Nurcholishy, Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.
131
Hasan, Hasan Ibrahim, At-Tarikh al-Islamiyy, Kairo : AnNahdah al-Misriyyah Cet.7, 1964. Hayati, Sri, dan Ahmad Yani, Geografi Politik, Bandung : Refika Aditama, 2007. Haykal, Muhammad Husyn, The Life of Muhammad, translated by Isma‟il Ragi al-Faruqi, North American Publication, 1976. Hefner, Robert W., Civil Islam : Islam dan Demokrasi di Indonesia, Edisi Bahasa Indonesia, Yogyakarta : Institut Studi Arus Informasi ISAI bekerjasama dengan Asia Foundation, 2001. Hishâm, Ibn, The Life of Muhammad, a translation of Ishaq‟s Sirât al-Rasûl Allah, with introduction and notes by A. Guillaume, Lahore, Karachi, Dacca : Oxford University Press, 1970. Hisyam, Ibnu, As-Shiratun Nabawiyyah, Jilid 1, Kairo : Mathba‟at Al-Madani, Hitti, Philip K., Capital Cities of Arab Islam, Minneapolis : University of Minnesota Press, 1966. Hitti, Philip K., History of the Arabs, London : Macmillan Press Ltd, 1970. Hitti, Philip K., Islam and The West, Edisi Indonesia oleh M.J.Irawan Bandung : Penerbit Sinar Baru, 1984. Hodgson, Marshall G. S. The Venture of Islam, buku kedua “Peradaban Khalifah Agung” terj. Mulyadhi Kartanegara, Jakarta : Paramadina, 2002.
132
Hodgson, Marshall G.S., The Ventur of Islam, Chicago, London : The University of Chicago University Press, 1974. Hornby, A. S. et. al, The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, London : Oxford University Press), 1973. Huijbers, Theo, Manusia Mencari Allah Suatu Filsafat Ketuhanan, Yogyakarta : Kanisius, 1985. Imarah, Muhammad, Perang Terminologi Islam Versus Barat, Jakarta : Rabbani Press, 1998. Iver, R.M. Mac., The Modern State, London : Oxford University Press, 1947. Jaiz, Ahmad, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007. Jindan, Khalid Ibrahim, The Islamic Theory of Government According to Ibnu Taimiyyah, terj. Jakarta : Rineka Cipta, 1994. Jurdi, Syarifuddin, Pemikiran Politik Islam Indonesia Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani dan Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008. Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara Perspektif Modernis dan Fundamentalis, Magelang : Indonesia Tera, 2001. Kartono, Kartini, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003. Khan, Qomaruddin Pemikiran Politik Ibn Taimyyah, Bandung : Penerbit Pustaka, 1983. 133
Kusno, Abi Parameter Ilmu Sosial dalam Islam, Makalah Seminar, Bandar Lampung : IAIN Raden Intan Lampung, 1995. Kusno, Abi, Partisipasi Gender dalam Politik Praktis, Bandar lampung : Pusat Penelitian IAIN Raden Intan Lampung, 2005. Lawrence, Bruce B., Islam Tidak Tunggal Melepaskan Islam dari Kekerasan, Jakarta : Serambi, 2004. M. Jufri, Sayyid Husain, Islam Syi’ah, Jakarta : Bulan Bintang, 1991. Madjid, Nurcholish, (ed.), Khazanah Intelektual Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1985. Madjid, Nurcholish, “Agama dan Negara dalam Islam”, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta : Paramadina, 1994. Madjid, Nurcholish, “Menuju Masyarakat Madani” dalam Tim Maula, Jika Rakyat Berkuasa :Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal, Bandung : Pustaka Hidayah, 1999. Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta : Paramadina dan Dian Rakyat, 2008. Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1994. Mahdi, Muhsin, “al-Farabi”, dalam Leo Stratuss Joseph Grospey (ed.), History of Political Philosophy, Chicago : 1963.
134
Mahmudunnasir, Syed, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993. Mahmudunnasir, Syed, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993. Mâwardî, Imâm ‟Âli ibn Muhammad Al-,, al-Ahkâm AlSulthâniyyah wa al-Walâyât al-Dîniyyah, Kairo : Musthofa al-Bâbî al-Halabi, 1983. Mâwardî, Abî Hasan Alî bin Muhammad bin Habîb alBashrî Al-, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah fî al-Wilâyât alDîniyyah, Baeirut : Dâr al-Kitâb al-„Arabî, t.t. Mernissi, Fatima, Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, Bandung : Mizan, 1994. Mernissi, Fatima, “Penafsiran Feminis Tentang Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, dalam Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, (Jakarta : Paramadina, 2001. Misrawi, Zuhairi, “Fikih Civil Society Versus Fikih Kekuasaan : Sebuah Tawaran Pembaruan Politik Islam”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam Negara Civil Society Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta : Paramadina, 2005. Moussalli, Ahmad, Radical Islamic Fundamentalism : The Ideological and Political Discourse of Sayyid Quthb, Beirut : American University of Beirut, 1992.
135
Mu‟ti, Muhammad Ali Muhammad, Ali Abdul, As-Siyasah baina An-Nazhariyah wa Tathbiq, /Politik, antara Teori dan Praktik, Iskandariyah : Dar al-Ma‟rifah, 1984. Mulkhan, Abdul Munir, dkk, Agama dan Negara Perspektif : Islam, Katolik, Buddha, Hindu, Konghucu, Protestan, Yogyakarta : Institut DIAN/ Interfidei, 2002. Mutahhari, Murtadha Imamah dan Khilafah, Jakarta : penerbit Firdaus, 1991. Nasr, Sayyed Husein, Knowledge and the Sacred, Albany : State University of New York,1989. Nasr, Seyyed Hossein, Ideals and Realities of Islam, London : George Allen & Unwin Ltd., 1972. Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1, Jakarta,: UI Press, 1985. Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Pembanding, Jakarta : UI Press, 1986. Palmquis, Stephen, Pohon Filsafat Teks Kuliah Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002. Pickthall, Mohammed Marmaduke, The Meaning Of The Glorious Koran, New York : Madison Avenue, 1956. Posner, Richard A. The Problems of Jurisprudence, Cambridge : Harvard University Press, 1990. Qaththân, Syaikh Mannâ‟ al-, Iqâmah al-Muslîm fî Balad Ghair Islâmî (Perkampungan Muslim di Negara NonMuslim), Paris : 1993.
136
Quirk, R., Longman Dictionary of Contemporary English, Second Edition, London, England, Longman Group UK Limited, 1987. Quthb, Sayyid al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam,(Beirut, Kairo : Dar al-Syuruq, 1981. Quthb, Sayyid, Ma’alim fith-Thariq, Kairo : Rar Ash-Shuruq, 1964. Quthb, Sayyid, Milestones, Cedar Rapids, Iwoa : Unity Publishing, t.th. Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedia al-Qur’ân : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Jakarta : Paramadina, 1996. Rakhmat, Jalaluddin, “Skisma Dalam Islam; Sebuah Telaah Ulang “, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta : Paramadina, 1994. Ramadan, Tariq, Teologi Dialog Islam-Barat Pergumulan Muslim Eropa, Bandung : Penerbit Mizan, 2002. Rasyîd, Ridhâ, Muhammad, al-Wahy al-Muhammadî, Kairo : Maktabah al-Qâhirah, 1960. Razak Abdul, et al (ed.,), Pendidikan Kewargaan (Civil Education); Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan The Asia Foundation serta Prenada Media, 2003. Rida, Muhammad, Abu Baker As-Shiddiq, Kairo : DaAhya- alKutub al-Arabiyah, Cet. 2, 1369/1950.
137
Ritaudin, M. Sidi, ”Negara dan Sistem Pemerintahan dalam Islam”, dalam Posisi Syari’ah Islam dalam Negara Menurut Sayyid Quthb, Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Ritaudin, M. Sidi, Paradigma Sinektika Politik Bandarlampung : Penerbit Pusikamla, 2009.
Islam,
Roy, Olivier, Gagalnya Islam Politik, Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 1996. Runes, Dagobert D., Dictionary of Philosophy, Totowa, New Jersy : Littlefield Adams & Co, 1979. Sachedina, Abdulaziz, “Theologi Islam Mengenai Hubungan Muslim-Kristen, dalam Ali Noer Zaman, (ed.), Agama untuk Manusia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000. Samson, Allan “Conceptions of Politics, Power, and Ideology in Contemporary Indonesian Islam”, dalam Karl D. Jackson and Lucian W. Pye (eds.), Political Power and Communication in Indonesia, Berkelay, Los Angeles, London : University of California Press, 1978. Schmandt, Henry J., Filsafat Politik Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005. Schuon, Frithjof, Islam dan Filsafat Perenial, Bandung : Mizan, 1993. Shaban, M.A., Sejarah Islam Penafsiran Baru 600-700, PenMachnun Husein, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1993
138
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung : Penerbit Mizan, 1997. Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung : Penerbit Mizan, 1997. Siba‟y, Musthafa As, Wanita di antara Hukum Islam dan Perundang-undangan, Jakarta : Penerbit Bulan Bintang, 1977. Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, 1993. Sobary, Mohammad, “Merombak Primordialisme Dalam Agama”, dalam Elga Sarapung, dkk (Tim Editor), Spiritualitas Baru Agama & Aspirasi Rakyat, Yogyakarta : Institut DIAN/ Interfidei, 2004. Subchan ZE. “Politik Sebagai Sarana dalam Pembangunan Ekonomi” dikutip oleh Ridwan Saidi “Dinamika Kepemimpinan Islam dalam Era Orde Baru” dalam M. Amin Rais (ed), Islam di Indonesia Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1996. Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah dan Undang-Undang dasar 1945 Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, Jakarta : UI Press1996. Supadjar, Damardjati, Mawas Diri, Yogyakarta : Philoshophy Press, 2001.
139
Supadjar, Damardjati, Nawang Sari Butir-Butir Renungan Agama, Spiritualitas, Budaya, Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2002. Suseno SJ, Frans Magnis, Fundamentalisme Agama dan Keagamaan Liberal, Makalah yang disampaikan dalam seminar “Islam Liberal dan Islam Fundamental” FMPS Syarif Hidayatullah, Jakarta, 11 Mei 2002. Suyuthi, Al-Imâm al-Hâfidz Abdurrahmân Jalâluddîn As-, al-Jâmi’ As-Shaghîr Fî Ahadîts Al-Basyîr An-Nazir, Beirut : Dâr al-Fikr, tt. Juz I. Suyuthi, Imam As-, Tarikh Khulafa’, terj. Samson Rahman, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2005. Syalabi, A., Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 1, Jakarta : Pustaka Alhusna, 1987. Syamsuddin, Din, ”Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”, dalam Abu Zahrah (ed.), Politik Demi Tuhan : Nasionalisme Religius di Indonesia, Bandung : Pustaka Hidayah, 1999. Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2000. Syari‟ati, Ali, Ummah dan Imamah, Suatu Tinjauan Sosiologis, terj. Afif Muhammad, Bandung : Pustaka Hidayah, 1995. T Jacob, Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis Catatan Di Senjakala, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2004.
140
Taimiyyah, Ibn, Majmu’ Fatawa Kubro, Beirut, Lebanon : Daral-Fikr, t.th. Taimiyyah, Syaiekh al-Islâm Taqiyuddîn Abû Abbas Ahmad bin Abdu al-Halîm bin Abdussalâm bin, as-Siyâsah asSyar’iyyah, Beirut : Dâr al-Fikr al-Lubnani, 1992. Taju,
Ibrahim, dan Nugroho Dewanto (penyusun), Narasumber/Kata Pengantar, Marwah Daud Ibrahim, Provil dan Visi Perempuan Anggota DPR RI 1992-1997, Jakarta : PT Pustaka Cidesindo, 1997.
Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta : Gema Insani Press, 1996. Tika, I Nyoman, “Agama, Politik dan Negara Perspektif Hindu”, dalam, Abdul Munir Mulkahn, dkk, Agama dan Negara Perspektif : Islam, Katolik, Buddha, Hindu, Konghucu, Protestan, Yogyakarta : Institut DIAN/ Interfidei, 2002. Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, Refleksi Teologi Untuk Aksi dalam Keberagamaan dan Pendidikan, Yogyakarta : SI Press, 1994. Uhlin, Anders, Oposisi Berserak Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, terj. Rofik Suhud, Bandung : Mizan, 1998. Varma, SP., Teori Politik Modern, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2001. Wahid, Abdurrahman, “Agama dan Demokrasi” dalam Elga Sarapung dkk (Tim Ed.), Spiritual Baru Agama
141
dan Aspirasi Rakyat, DIAN/Interfidei, 2004.
Yogyakarta
:
Institut
Wahyudi, Islamologi Terapan, Surabaya : Gitamedia Press, 1997. Watt, W. Montgomery, Muhammad at Medina, Oxford : The Clarendon Press, 1956. Ya‟kub, Hamzah, Filsafat Alma‟arif, 1984.
Ketuhanan,
Bandung
:
PT.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1995. Zahrah, Muhammad Abu, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Jakarta : Logos Publishing House, 1996.
142
JATI DIRI AKADEMIS PENULIS
Nama
: DR. M. SIDI RITAUDIN, M.Ag
TTL
: Baturaja, 10 Mei 1965
Nip
: 196505101992031003 / 150254954
Kelamin
: Laki-laki
Alamat Kantor
: Fak. Ushuluddin IAIN Raden Intan Jl.E.Suratmin, Sukarame 35131Telp. 0721703278. : Jl. P. Seribu Barat, No.117 Lk.I Rt: 01 Waydadi, Sukarame Bandar Lampung Telp. 0721-772576. HP. 081369496791
Alamat Rumah
Beberapa Karya Akademis yang telah dihasilkan di antaranya : Konsep Seni Untuk Seni Ditinjau Dari Etika Islam, (Skripsi). IAIN Raden Intan, Lampung,1990. Konsep Hijab Menurut Qasim Amin dan Abul A’la Al-Maududi: Suatu Kajian Perbandingan, (Tesis) Program Pascasarjana, IAIN AR-Raniry Banda Aceh, 1997. Posisi Syari’ah Islam dalam Negara Menurut Sayyid Quthb, (Disertasi) Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Filsafat Estetika : Studi Filsafat Nilai (Buku Daras), Gunung Pesagi Bandar Lampung,1994. Ilmu Sosial Profetik : Wacana Pemi-kiran tentang Paradigma Baru (Buku Proseding Seminar Fakultas Ushuluddin), 2000. Etika Sosial Islam (Buku Daras) Transmisi Media, Jakarta, 2004. ISBN : 979-98081-5-4. Etika dan Kritik dalam Pemerintahan : Analisis Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Perspektif Islam, Buku Referensi Transmisi Media Jakarta, 2005. ISBN : 97998081-3-8. Profil Pesantren di Lampung : Studi Orientasi Pemikiran Antara Pimpinan Pondok Pesantren Tradisional dan Modern, (Buku Hasil Penelitian Mandiri) dibiayai dari dana DIP 1997. Etika Edukatif, (Buku Hasil Penelitian Mandiri) Dana Dik.S. 2002. Persepsi Remaja tentang Hubungan 143
Antarjenis: Studi Penghayatan Etika Islam dalam Pergaulan (Penelitian Mandiri) dana DIP 2003. Politik Pluralisme Perspektif Gender, Suku, dan Agama tentang Rekruitmen Pejabat Pemerintah Kota Bandar Lampung Era Reformasi. (Buku Penelitian Dana DIPA 2008), Buku Referensi, Penerbit Harakindo Publishing 2012: BENTURAN POLITIK Antara Idealisme dan Pragmatisme, Buku Referensi, Penerbit Harakindo Publishing 2013: KHAZANAH PROFETIKA POLITIK dan lain-lain termasuk Karya Tulis dalam Jurnal dan Surat Kabar tidak disebutkan di sini.
144