Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
Peluang dan Strategi Implementasi di Indonesia
2015
COMMUNITY BASED CORRECTIONS Peluang dan Strategi Implementasi di Indonesia Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN: 978-0-00-000978-4 14,8 cm x 21 cm, vi +300 hal Cetakan Ke-1, Desember 2015 Tim Penulis: Lilis Lisnawati Putu Pande S. A. Muhammad Mustofa M. Ali Aranoval Penyunting: Nadia Utami Larasati Marwansyah Desain Sampul & Tata Letak: Lia Kristiani Marwansyah Penerbit: Center for Detention Studies Jln. Menteng Raya No. 31 Jakarta Pusat Telp/fax: 021-31922030 Website: www.cds.or.id Didukung oleh: The Asia Foundation
ii
KATA PENGANTAR Upaya memahami pidana penjara sebagai suatu bentuk penghukuman semestinya juga merupakan upaya membuka mata dari dampak buruk pemenjaraan. Pembatasan kebebasan dan stigma hanya merupakan sebagian kecil akibat yang dapat ditimbulkan dari pemenjaraan. Kenyataannya, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia lah yang lebih dipertaruhkan. Pemahaman akan dampak buruk pemenjaraan kemudian melahirkan konsep community-based corrections. Community-based corrections merupakan sebuah konsep penghukuman yang diupayakan untuk mengatasi permasalahanpermasalahan akibat pidana penjara dengan menekankan pada pembinaan berbasis masyarakat. Konsep ini telah diwujudkan dalam berbagai jenis model yang diimplementasikan baik dalam tahap pra-ajudikasi, ajudikasi, maupun post-ajudikasi. Di Indonesia sendiri, secara tidak langsung, konsep Community-Based Corrections telah hidup dalam 9 (sembilan) model pemidanaan dan 4 (empat) program pembinaan. Buku ini disusun untuk memberikan pemaparan mengenai community-based corrections yang telah berkembang dan/atau juga berpeluang untuk diimplementasikan lebih jauh dalam sistem pemidanaan di Indonesia, serta untuk merumuskan strategi yang dapat diupayakan dalam rangka pengimplementasian tersebut. Untuk sampai pada titik dimana buku ini akhirnya selesai disusun, kami tentunya tidak bekerja sendirian. Bantuan dan dukungan yang diberikan melalui saran dan kritik sangat membantu para penulis dalam proses penyusunan buku ini. Untuk itu, penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang turut berperan membantu selama proses penulisan. Tidak lupa pula, iii
kami juga mengucapkan terima kasih kepada The Asia Foundation atas dukungan yang diberikan sehingga program penyusunan kajian community-based corrections dapat berjalan dan menghasilkan buku ini. Tentunya kajian ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kami menerima segala kritik dan saran dengan tangan terbuka. Dengan demikian, buku ini tidak saja memberikan wawasan pengetahuan, namun juga dapat membangun nalar pembaca untuk menjadi kritis. Semoga bermanfaat! Jakarta, Desember 2015 Ali Aranoval Direktur Eksekutif Center for Detention Studies
iv
DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Bab I Pendahuluan I. 1 Latar Belakang I. 2 Metode Penelitian
iii v 1 1 5
Bab II Community-Based Corrections II. 1 Perkembangan Community-Based Corrections II. 2 Definisi Community-Based Corrections II. 3 Model-Model Community-Based Corrections II. 4 Prinsip Community-Based Corrections II. 5 Hambatan dan Peluang Pelaksanaan Community Based Corrections
11 11 16 23 50 58
Bab III Praktik Penerapan Community-Based Corrections di Negara - Negara Lain III. 1 Cina III. 2 Amerika Serikat III. 3 Selandia Baru III. 4 Australia III. 5 Filipina
65
Bab IV Model-Model Pemidanaan dan Pelaksanaannya di Indonesia IV. 1 Model-Model Pemidanaan IV. 2 Pemasyarakatan sebagai Institusi Pelaksana Pemidanaan IV. 3 Pidana Alternatif dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana IV. 4 Kondisi Empiris Pelaksanaan Model Pemidanaan di Indonesia
123
65 80 97 106 110
124 145 158 160
v
Bab V Analisis Peluang Penerapan Program CommunityBased Corrections dalam Praktik Pemidanaan di Indonesia V. 1 Program Community-Based Corrections di Indonesia V. 2 Analisis Peluang Penerapan program Community Based Corrections
217
217 265
Bab VI Strategi Penerapan Program Community-Based Corrections dalam Pelaksanaan Model Pemidanaan VI. 1 Strategi Umum VI. 2 Strategi Khusus
278 283
Daftar Pustaka
293
vi
277
BAB I PENDAHULUAN
I. 1 Latar Belakang Perspektif pembalasan masih terus hidup dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang menyebutkan pidana penjara sebagai pidana pokok setelah pidana mati mendorong pidana penjara menjadi pidana utama yang dirujuk hakim dalam mengambil keputusan. Putusan hakim sebagai titik klimaks penentuan suatu kasus yang berakhir pada putusan pidana penjara menunjukkan bagaimana ide penghukuman sebagai pembalasan masih menjadi perspektif utama hakim dalam pengambilan keputusan. Hal ini dibuktikan dengan fakta mengenai jumlah narapidana yang terus meningkat. Misalnya dalam dua tahun terakhir, pada akhir tahun 2014, jumlah narapidana di Indonesia mencapai 107.325. Kemudian, data per 21 September 2015 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah narapidana, yakni mencapai 115.912 dari total seluruh narapidana yang tersebar di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan (Lapas dan Rutan) di Indonesia (http://smslap.ditjenpas.go.id/, 21 September 2015). Hukum yang masih mengutamakan hukuman yang bersifat institusional dimana seseorang yang terbukti bersalah dihukum pidana penjara mendorong mayoritas Lapas dan Rutan di Indonesia mengalami kondisi overcrowded. Kondisi Lapas dan Rutan yang overcrowded membawa narapidana, tahanan, dan anak pada situasi yang lebih buruk. Berbeda dengan tujuan pemasyarakatan dalam pasal 2 UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yakni membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
2|
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab, realitasnya, pemenjaraan memiliki efek negatif yang lebih besar terhadap narapidana dan anak itu sendiri. Dampak ini dialami, baik saat menjalani proses hukuman maupun saat selesai menjalani masa hukuman tersebut. Masalah yang dialami narapidana dan anak selama menjalani masa hukumannya adalah kurang terpenuhinya hak-hak mereka selama berada di dalam Lapas/Rutan. Survei Kualitas Layanan Pemasyarakatan yang dilakukan oleh Center for Detention Studies bekerjasama dengan Direktorat Bina Keamanan dan Ketertiban Direktorat Jenderal Pemasyarakatan terhadap 2.299 narapidana dan tahanan (termasuk anak dan perempuan) di Lapas dan Rutan di 16 wilayah di Indonesia pada tahun 2013-2015 menunjukkan bahwa rata-rata hak narapidana dan tahanan, terutama hak terkait makanan, air, akomodasi, sanitasi, kebersihan personal, kesehatan, pendidikan, dan pemisahan, tidak terpenuhi dengan baik (Center for Detention Studies, 2013-2015). Padahal, hak-hak tersebut merupakan bagian dari hak-hak dasar yang telah diatur dalam Standard Minimun Rules for The Treatment of Prisoner (The Mandela Rules) yang juga telah ikut diratifikasi oleh Indonesia. Sebagai hak dasar, pemenuhan kebutuhan akan hak-hak tersebut pun merupakan hal yang wajib untuk dipenuhi. Dampak lain yang juga dialami oleh narapidana dan anak adalah stigma dan perlakuan diskriminatif yang kerap timbul ketika mereka telah selesai menjalani masa hukumannya dan kembali ke masyarakat. Stigma “mantan narapidana” yang terlanjur melekat pada mereka menjadi momok bagi masyarakat yang akhirnya menghambat mereka untuk dapat sintas dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Kegagalan demi kegagalan yang dialami oleh mantan narapidana membawa peluang yang
|3
lebih besar bagi mereka untuk kembali melakukan tindakan pelanggaran hukum dan kembali menjalani hukuman di dalam Lapas. Pada akhirnya, hal demikian menjadi siklus permasalahan yang tidak pernah terputus. Melihat dampak negatif pidana penjara sebagaimana telah digambarkan di atas, dibutuhkan alternatif model pemidanaan sebagai upaya mereduksi permasalahan yang timbul akibat pidana penjara. Terkait hal ini, hukum pidana di Indonesia1 sebenarnya telah mengenal setidaknya 10 (sepuluh) model pemidanaan selain pidana penjara sebagai sanksi legal, yakni pidana denda, pidana bersyarat, pidana pelayanan masyarakat/kerja sosial, pidana pengawasan, diversi, pidana pelatihan kerja, pidana dalam lembaga, pidana luar lembaga, pidana peringatan, dan pemenuhan kewajiban adat. Keberadaan model-model pemidanaan tersebut juga kemudian diperkuat dengan munculnya gagasan pidana alternatif di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pidana alternatif ini kemudian dimanifestasikan dalam Pasal 66 ayat (1) RKUHP yang di dalamnya menyebutkan bahwa “selain penjara, pidana pokok juga dapat dijatuhkan dalam bentuk pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial” dan pasal (2) yang menyebutkan bahwa ”urutan pidana menentukan berat ringannya pidana, kecuali pidana bagi anak”.2 Dari model-model sanksi legal yang telah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 31, Nomor 32, dan Nomor 57 Tahun 1999, serta UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 2 Berkas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum pidana sesuai dengan surat Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat pada 5 Juni 2015. Dalam bagian penjelasan disebutkan bahwa ketentuan tersebut memuat jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Ancaman pidana terhadap tindak pidana yang dirumuskan dalam Buku Kedua hanya meliputi jenis pidana penjara, pidana denda, dan/atau pidana mati. Pidana tutupan dan pidana pengawasan pada dasarnya merupakan suatu cara pelaksanaan pidana sebagai alternatif dari pidana penjara. Sedangkan pidana kerja sosial merupakan jenis pidana baru yang
1
4|
disebutkan di atas, beberapa diantaranya merupakan bagian dari community-based correction. Konsep community-based corrections merupakan satu contoh konsep yang ide utamanya adalah pembinaan berbasis pada masyarakat. Secara umum, community-based corrections diartikan sebagai variasi sanksi dan program pemidanaan noninstitusional kepada pelaku tindak pidana, termasuk di dalamnya: 1) upaya perancangan bentuk pidana dengan mengalihkan terdakwa dari sistem peradilan pidana atau tuntutan penjara; 2) hukuman dan program berupa pembatasan terhadap terpidana selama menjalani hukuman di tengah masyarakat, dan; 3) perancangan upaya transisi terpidana ke dalam masyarakat dengan cara-cara yang halus (McCarthy, McCarthy, & Leone, 2001). Poin-poin tersebut diwujudkan dalam berbagai model pemidanaan yang pada intinya diupayakan untuk melindungi masyarakat dan merehabilitasi para pelaku, serta mengintegrasikan mereka kembali ke dalam masyarakat. Tujuan tersebut memiliki prinsip bahwa penghukuman seharusnya bersifat proporsional dalam mengatasi bahaya yang timbul dari suatu tindak kejahatan dan juga memungkinkan adanya rangkaian sanksi dan program yang sesuai antara hukuman dan kejahatan yang dilakukan, serta dengan pelaku kejahatan itu sendiri (Ibid). Meskipun sistem peradilan pidana Indonesia telah mengenal model-model sanksi legal yang juga termasuk dalam kategori community-based correction, namun praktik penerapannya belum dilaksanakan secara efektif. Selain itu, di pelbagai negara sudah dilaksanakan secara luas. Pencantuman jenis pidana ini merupakan konsekuensi diterimanya hukum pidana yang bersifat “daad daderstrafrecht” yang sejauh mungkin berusaha untuk mengembangkan alternatif pidana kemerdekaan. Melalui jenis penjatuhan pidana ini, terpidana dapat dibebaskan dari rasa bersalah, dan masyarakat dapat berperan serta secara aktif untuk memasyarakatkan terpidana dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat.
|5
pelaksanaannya juga banyak memperoleh kritikan dari publik dan kebijakannya, khususnya terkait peraturan pelaksanaannya, tidak kondusif untuk diwujudkan. Misalnya, salah satu syarat pembebasan bersyarat adalah apabila narapidana dan anak mempunyai alamat yang jelas. Untuk kasus-kasus yang melibatkan anak jalanan menjadi tidak mungkin memperoleh pembebasan bersyarat karena tidak mempunyai alamat tetap. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini disusun sebagai upaya awal dalam memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai konsep community-based corrections. Tulisan ini juga disusun sebagai dasar menganalisis peluang dan strategi implementasi program community-based corrections dalam pelaksanaan model-model pemidanaan yang sesuai dengan kondisi riil hukum dan sosial di Indonesia karena, dalam praktiknya, implementasi community-based corrections tidak hanya melibatkan pelaku dan aparat penegak hukum, namun juga melibatkan masyarakat sebagai sasaran dalam pelaksanaan konsep tersebut. Dengan demikian, konsep community-based corrections juga dapat berkembang sebagai solusi dari permasalahan dampak negatif akibat pidana penjara. I. 2 Metode Penelitian Given (2008) mendefinisikan metode penelitian sebagai alat atau teknik yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data dalam membangun argumen mereka. Studi mengenai community-based corrections yang diusung dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Oleh Silverman (2000), metode kualitatif dikatakan sebagai jenis metode yang dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam mengenai fenomena sosial tertentu. Terkait studi ini, maka kondisi empirik, peluang, dan strategi implementasi program community-based corrections di Indonesia menjadi beberapa poin penekanan yang akan digali secara lebih dalam, sehingga informasi yang akan diperoleh dapat
6|
dipahami secara lebih komprehensif. Untuk mendapatkan informasi yang komprehensif tersebut, peneliti menggunakan metode kualitatif eksploratif. Menurut Sue dan Ritter (2012), teknik eksplorasi digunakan untuk memformulasikan masalah, mengklarifikasi konsep, dan membentuk hipotesis. Model ini umumnya mengacu pada konsep mapping, yakni sebuah proses yang mengidentifikasi domain-domain tertentu dan hubungan di dalamnya. Tujuan yang ingin dicapai model ini adalah membentuk pemahaman atau hipotesis, bukan untuk mengujinya. Sue dan Ritter (2012) mengemukakan bahwa model penelitian eksploratif dapat diawali dengan penelusuran literatur, Focus Group Discussion (FGD), atau studi kasus. Dalam studi ini sendiri, pengumpulan data diawali dengan penelusuran literatur berupa jurnal, buku, instrumen hukum, dan literatur lain yang terkait dengan program community-based corrections, lalu dilanjutkan dengan FGD dengan para praktisi dan FGD dengan teknik Delphi dengan beberapa expert. A. Tinjauan kepustakaan Tinjauan kepustakaan dilakukan guna memperoleh pemahaman mengenai konsep-konsep maupun gambaran terkait community-based corrections. Selain itu, beberapa data juga diperoleh melalui penelusuran literatur atau referensi yang digunakan guna melengkapi dan memperkuat analisis. Adapun pemahaman dan data yang dimaksud diperoleh melalui sumbersumber seperti buku, artikel jurnal ilmiah, koran, internet, tinjauan instrumen hukum mengenai pemasyarakatan dan instrumen hukum lain yang terkait. B. Focus Group Discussion (FGD) Morgan (1997) menjabarkan beberapa kekuatan atau kelebihan yang dimiliki oleh diskusi jenis ini dalam dua fiturnya yakni, kepercayaan sepenuhnya pada fokus peneliti dan interaksi
|7
kelompok di dalam grup yang sudah ditentukan. Kelebihan dari fitur pertama adalah kemampuannya untuk memproduksi data dalam jumlah tertentu yang terkonsentrasi pada topik yang diangkat. Morgan menambahkan bahwa FGD tidak hanya memberikan akses pada laporan dengan jangkauan yang luas yang kemungkinan tidak dapat diobservasi melalui teknik seperti observasi partisipatif, tetapi juga memastikan bahwa data akan langsung ditargetkan kepada kepentingan dari topik yang diangkat peneliti. Teknik FGD dipilih dalam pengumpulan data penelitian ini karena alasan yang juga sesuai dengan “reputasi” yang dimiliki oleh FGD, yakni “cepat dan mudah” (Morgan, 1997, hal. 13). Selain itu, “reputasi” lainnya adalah soal efisiensi, dalam membandingkan hasil wawancara antar individu, setidaknya dalam artian pengumpulan data yang sama. Kelebihan lain yang disampaikan oleh Morgan adalah bahwa interaksi kelompok yang terjadi di dalam FGD dapat memberikan wawasan bagi opini dan pengalaman partisipan. Dalam studi ini, FGD dilakukan sebanyak dua kali, yakni FGD awal pengumpulan data empiris mengenai pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan dan FGD Expert untuk menyusun strategi implementasi program community-based corrections. Pada tahap awal, FGD dilakukan untuk melihat bagaimana kondisi empiris pelaksanaan model pembinaan dan pembimbingan yang sudah dan telah berlangsung saat ini. Oleh karenanya, partisipan yang dilibatkan di sini merupakan subyek-subyek yang memiliki peran sentral dalam pembinaan dan pembimbingan di lingkup Pemasyarakatan, khususnya di Lapas, Rutan3, dan Bapas. Dalam hal ini, partisipan yang dilibatkan adalah pejabat struktural pada Pengikutsertaan petugas Rutan dalam FGD ini didasarkan atas pertimbangan bahwa, pada faktanya, Rutan tidak hanya berfungsi sebagai lembaga penahanan, namun didalamnya juga terdapat narapidana. 3
8|
Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak dan Direktorat Bina Narapidana dan Pelayanan Tahanan di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, serta pelaksana tugas pembinaan dan pembimbingan di beberapa Unit Pelaksana Teknis (UPT) berikut: 1. Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang 2. Lapas Klas IIA Jakarta Pusat 3. Rutan Klas IIA Jakarta Timur 4. Bapas Klas I Jakarta Pusat 5. Bapas Klas I Jakarta Timur - Utara 6. Bapas Klas I Jakarta Selatan 7. Bapas Klas I Jakarta Barat Pemilihan partisipan tersebut didasarkan atas pertimbangan peran yang dimiliki masing-masing partisipan dalam pelaksanaan proses pembinaan dan pembimbingan bagi narapidana dan anak. Sedangkan pemilihan lingkup wilayah Jakarta didasari oleh beberapa pertimbangan. Pertama, DKI Jakarta merupakan pusat pemerintahan yang kemudian diasumsikan bahwa akses serta fasilitas lainnya lebih tersedia dibanding daerah lain. Dengan begitu, kesiapan UPT dalam pelaksanaan program community-based corrections dapat diukur melalui 7 (tujuh) sampel UPT di atas. Alasan lainnya adalah terkait dengan efisiensi dan efektivitas. Seperti yang diungkapkan oleh Morgan (1997) bahwa salah satu kendala yang dialami dalam pengumpulan data melalui FGD adalah ketika menemui partisipan yang tidak dapat pergi atau datang ke lokasi yang sudah ditentukan. Maka dari itu, pembatasan wilayah hanya di lingkup wilayah DKI Jakarta menjadi langkah yang dirasa tepat. Selain itu, keterbatasan waktu yang dihadapi juga menjadi alasan lain untuk memilih pengumpulan data dengan
|9
teknik FGD ini, yaitu memiliki kelebihan dalam hal efisiensi waktu (Freitas, 1998). Dalam proses pelaksanaannya, FGD dilakukan dengan membagi peserta ke dalam dua kelompok di ruangan yang berbeda dengan dipandu oleh seorang moderator di setiap kelompoknya. Kemudian, masing-masing kelompok akan diberikan pertanyaan yang sama dan berdiskusi bersama untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang disampaikan oleh moderator. Pembagian kelompok ini dilakukan selain untuk mendapatkan jawaban yang bervariasi, juga untuk melihat kesamaan jawaban antara satu kelompok dengan kelompok lainnya dengan membandingkan hasil jawaban yang disampaikan. Kemudian, FGD kedua adalah FGD expert yang dilakukan dengan teknik Delphi. Menurut Dalkey dan Helmer (1963), teknik Delphi merupakan metode yang digunakan untuk memperoleh konsensus yang reliable diantara para ahli yang masing-masing diwawancara secara mendalam berdasarkan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diselingi dan dikendalikan melalui umpan balik para ahli itu sendiri. Konsensus tersebut dibutuhkan untuk memperkirakan kebijakan yang terbaik (Mustofa, 2013). Sebagaimana tujuan utama dari disusunnya tulisan ini, yakni, melihat peluang dan strategi implementasi communitybased corrections di Indonesia sebagai solusi untuk memecahkan masalah dampak negatif pemenjaraan, FGD dengan teknik Delphi menjadi salah satu kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk merumuskan strategi pengimplementasian community-based corrections. Oleh karena itu, kegiatan ini didalamnya melibatkan stakeholder dari lembaga-lembaga yang memiliki peranan dalam pengambilan kebijakan dan pelaksanaan pembinaan, seperti Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Bappenas, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
BAB II COMMUNITY-BASED CORRECTIONS
II. 1 Perkembangan Community-Based Corrections McCarthy et al., (2001) menjelaskan, selama beberapa tahun masyarakat hanya dilihat sebagai sumber dari penyebab terjadinya kejahatan. Pengaruh buruk dari minuman keras dan teman sepermainan dilihat sebagai alasan dasar seseorang berbuat jahat. Sebagai respon atas fenomena ini, institusi pemasyarakatan hadir sebagai lembaga yang menawarkan pilihan sebagai tempat yang terhindar dari pengaruh buruk tersebut. Dengan dihindarkan dari lingkungan yang merusak dan ditempatkan di kurungan yang sunyi (penjara), seorang pelaku diasumsikan dapat menyesali perbuatannya dan mengubah perilaku jahatnya. Penjara merupakan jenis penghukuman yang diadopsi di semua negara di dunia. Para pembuat kebijakan dan para administrator cenderung melihat hukuman ini sebagai hukuman terberi atau satu-satunya hukuman dan tidak berupaya untuk mencari alternatif hukuman lainnya. Sebaliknya, hukuman penjara seharusnya tidak diberlakukan begitu saja kepada setiap tindak pidana kejahatan. Namun praktiknya, penjara menjadi satusatunya bentuk pidana yang secara masif diberlakukan pada sebagian besar pelaku kejahatan. Dikatakan bahwa pemenjaraan terbukti tidak sejalan atau tidak memberikan manfaat terkait dengan aspek rehabilitasi dan reintegrasi bagi pelaku kejahatan dengan tindak pidana yang tergolong ringan, juga bagi kelompokkelompok masyarakat yang rentan (UNODC, 2007). Penggunaan pidana penjara sebagai bentuk hukuman cenderung terus meningkat di seluruh dunia, sementara hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa peningkatan tersebut
12 |
berhasil menciptakan kondisi yang aman di masyarakat. Walmsley (2005) menyatakan setidaknya terdapat lebih dari sembilan (9) juta orang yang dipenjara di seluruh dunia, dan angka ini terus bertambah (UNODC, 2007, hal.3). Padahal peningkatan angka ini justru seringkali menimbulkan kondisi overcrowding di dalam penjara. Pemenjaraan sendiri terbukti lebih banyak memberikan dampak buruk dibandingkan dampak positifnya, baik terhadap pelaku maupun masyrakat. Pemenjaraan secara mutlak membatasi hak atas kebebasan individu, yang merupakan hak asasi paling fundamental seseorang – diakui oleh instrumen internasional hak asasi manusia dan konstitusi nasional. Dalam kaitannya dengan pidana penjara sebagai bentuk hukuman yang paling banyak digunakan oleh negara-negara di dunia, maka negara yang bersangkutan bertanggung jawab untuk menyeimbangkan penggunaan pidana ini dengan tujuan kemasyarakatan yang sepadan. Dengan kata lain, negara harus memiliki tujuan dan capaian yang sepadan sebagai ganti atas pembatasan hak paling fundamental seseorang melalui pemenjaraan. Pembatasan hak atas kebebasan ini memang tak terelakkan. Namun demikian, dalam praktiknya, terdapat hak-hak lainnya yang juga terbatasi selama pemenjaraan dilakukan. Di banyak negara, ditemukan fakta bahwa fasilitas yang mendukung kebutuhan dasar orang-orang yang dipenjara cenderung terampas. Adapun kondisi-kondisi buruk yang menyertai mereka diantaranya adalah; overcrowded dan kotor, pakaian yang tidak layak, dan penyediaan makanan yang juga tidak layak. Selain itu, mereka juga rentan terhadap berbagai penyakit dan pengobatan yang diberikan juga kurang layak. Komunikasi dengan anak dan anggota keluarga lainnya juga cenderung sulit. Kondisi-kondisi ini selanjutnya akan menempatkan para narapidana dan tahanan dalam kehidupan yang berisiko.
| 13
Sebagai respon atas permasalahan-permasalahan ini, pengadilan hak asasi manusia dalam lingkup internasional telah mengakui bahwa kondisi tersebut sama artinya dengan menolak martabat individu sebagai manusia. Kondisi ini, lebih lanjut lagi, didefinisikan sebagai tidak berperikemanusiaan dan merendahkan. Bahkan, seringkali sebagian besar dari terpidana yang dipenjara adalah mereka yang terlibat dalam tindak pidana kategori ringan dan mereka yang sedang menunggu putusan, yang sebetulnya dapat digantikan hukumannya dengan hukuman alternatif yang tepat. Penerapan hukuman alternatif secara efektif terhadap pelaku-pelaku kejahatan tertentu dapat mengurangi kondisi overcrowded di dalam penjara dan membuat negara lebih mudah untuk bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan narapidana lainnya. Selain itu, operasional dari hukuman penjara cenderung sangat mahal. UNODC (2007) memberikan gambaran bahwa Amerika Serikat sendiri menghabiskan biaya sebanyak 62.5 juta dolar AS per tahun untuk pidana pemenjaraan per tahun 1997. Terdapat pula konsekuensi tak langsung lain yang dihasilkan dari pemenjaraan, yakni bahwa penjara merupakan inkubator penyakit seperti tuberkulosis dan AIDS, khususnya bila overcrowded. Selanjutnya, ketika narapidana atau tahanan ini dibebaskan, mereka berpeluang untuk berkontribusi dalam menyebarkan penyakit ini di luar penjara. UNODC (2007) menegaskan bahwa pada realitanya, sebagian besar tujuan dari pemenjaraan dapat secara efektif dicapai melalui hukuman-hukuman alternatif lainnya. Dengan kata lain, pemenjaraan merupakan hukuman yang tidak efektif bila dilihat dari tujuan-tujuannya. Pertama, terkait dengan tujuannya untuk mencegah pelaku melakukan tindak kejahatan lebih jauh lagi, maka tidak ada bukti bahwa pemenjaraan dapat secara efektif mencapai tujuan tersebut, bila dibandingkan dengan hukuman
14 |
yang berbasis pada masyarakat atau community-based. Tujuan ini hanya dapat dicapai selama pelaku dipenjara, namun tidak ketika sudah bebas. Terdapat kecenderungan bahwa mereka yang menjalani pemenjaraan sebagai bagian dari hukuman, lebih besar perbandingannya yang terlibat dalam tindak kejahatan lebih jauh, dibandingkan dengan mereka yang dihukum bukan dengan pemenjaraan (UNODC, 2007, hal. 7). Kedua, pemenjaraan memaksa pelaku berada dalam kondisi dimana ia cenderung mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri kembali ke dalam masyarakat setelah bebas. Selain itu, pemenjaraan juga kemungkinan berkontribusi dalam mendorong pelaku menjadi residivis. Pasalnya, sebagian besar mereka yang dipenjara akan kembali ke masyarakat, namun tidak terbekali dengan kemampuan untuk berintergrasi ke dalam masyarakat yang taat hukum. Sementara itu, Barton-Bellesa dan Hanser (2012) menjelaskan, seiring dengan kebutuhan akan pidana alternatif dan praktik terbaik dalam hal tersebut, Community-Based Correction menjadi satu bentuk program yang paling efektif dalam mengurangi angka residivis sekaligus memenuhi kebutuhan hidup pelaku. Berbeda dengan jenis pemasyarakatan lainnya, Community Correction didesain untuk meminimalisir penetrasi pelaku ke dalam sistem pemasyarakatan. Namun demikian, Barton-Bellesa dan Hanser (2012) menyatakan bahwa sebelum konsep community-based corrections muncul, pidana alternatif yang dicetuskan lebih berlandaskan pada intensi terapi atau yang sifatnya integratif, dibandingkan pada efisiensi ruang dan sumber daya program koreksional – mengingat belum adanya regulasi mengenai standar minimum kualitas hidup para narapidana/tahanan, serta masih adanya asumsi yang melihat bahwa gaya hidup yang tidak sehat dan tidak aman merupakan bagian dari kehidupan di dalam penjara, maka isu mengenai
| 15
efisiensi ruang dan kualitas hidup para pelaku tidak menjadi perhatian yang diutamakan. Ia menambahkan bahwa perkembangan sanksi community-based corrections dapat ditelusuri melalui model-model penghukuman Eropa, khususnya di Inggris, yakni pada model sanksi sanctuary, benefit of clergy, judicial reprive dan recognizance. Sanksi community-based corrections sendiri berpijak pada empat filosofi penghukuman, yakni retribusi, deterrence, inkapasitasi dan rehabilitasi. Rehabilitasi dan bentuk deterrence tertentu ditujukan sebagi intervensi terhadap pelaku, sementara bentuk deterrence yang umum, retribusi dan inkapasitasi ditujukan terhadap kejahatannya. Rothman (1980) dikutip oleh Barton-Bellesa dan Hanser (2012) mengatakan bahwa terminologi community correction sendiri dapat mengacu pada beberapa pemikiran dan persepsi, tergantung pada pengalaman, latar belakang, tradisi dan konteks sosial dari keseharian seorang individu. Sebagai contoh, beberapa orang melihat community correction hanya terbatas pada masa percobaan (probation) dan pembebasan bersyarat (parole), sementara yang lain mengaitkannya dengan pelayanan masyarakat atau program sejenisnya. Ada pula yang menyamakan konsep community correction dengan bersikap “lunak” terhadap kejahatan. Dua persepsi awal menjadi alat aktual yang digunakan di dalam bidang community correction. Sementara persepsi ketiga memperlihatkan bahwa pemikiran yang berbasis pada perspektif yang berbeda dapat berpengaruh secara negatif terhadap gagasan community correction. Dengan kata lain, persepsi seseorang mengenai community correction, nyatanya akan memiliki pengaruh langsung pada seberapa efektifnya program ini. Tonry (1999) menyimpulkan bahwa alternatif community-based seperti day fines, prosecutorial fines, pelayanan masyarakat, dan sentencing guidelines lebih memberikan lebih banyak opsi baik kepada
16 |
pengadilan, pelaku, korban, dan masyarakat yang sesuai dengan tujuan retribusi sekaligus mengembangkan strategi rehabilitasi. Dengan mempertimbangkan bahwa persepsi masyarakat merupakan hal yang penting terkait dengan efektivitas community corrections, maka pertanyaan seputar bagaimana masyarakat “memimpikan” program community correction, dan bagaimana kita mendefinisikan program tersebut, menjadi isu yang juga penting. Barton-Bellesa dan Hanser (2012) juga menambahkan, community-based corrections harus memasukkan elemen social casework, yakni menyangkut kegiatan penilaian (assessment), evaluasi (evaluation) dan intervensi (intervention). Ia menambahkan, sanksi ini bekerja dengan asumsi bahwa rangkaian sanksi yamg ditujukan pada para pelaku akan didasarkan pada tindakan mereka sendiri, yang selanjutnya berpengaruh pada dinaikannya atau diturunkannya tingkat pengawasan atau campur tangan dari pihak yang diberi wewenang – dalam hal ini petugas terkait. II.2. Definisi Community-Based Corrections II.2.1. Definisi Konseptual Barton-Bellesa dan Hanser (2012) mendefinisikan community corrections sebagai sanksi non-pemenjaraan yang diberikan kepada pelaku kejahatan dengan tujuan untuk mereintegrasi pelaku tersebut ke dalam masyarakat. Penggunaan definisi ini menjadi penting karena beberapa alasan. Pertama, definisi ini memberikan pemahaman bahwa community corrections terdiri dari program-program yang tidak melibatkan upaya pemenjaraan atau penahanan. Namun demikian, definisi tersebut tidak digunakan hanya karena kebutuhan akan sanksi alternatif dari pemenjaraan. Memang benar bahwa ada kebutuhan akan bentuk alternatif dari penjara, mengingat fasilitas
| 17
yang disediakan oleh lembaga tersebut cenderung menemui masalah overcrowded. Bahkan dikatakan dalam buku ini bahwa kebutuhan akan adanya pilihan lain untuk menghindari pembangunan penjara lebih lajut, menjadi pendorong utama dari lahirnya program community corrections, yang terjadi sekitar tahun 1990-an di Amerika Serikat dan terus berkembang di abad 21. Kebutuhan tersebut selanjutnya semakin meningkatkan upaya untuk terus mencari alternatif lain, yang sekaligus memenuhi tujuan dari penghukuman dan rehabilitasi, yang kemudian menemui kesesuaian pula dengan diterapkannya strategi reintegrasi, termasuk di dalamnya beberapa program kerja dan program transisi untuk mempersiapkan mereka kembali ke masyarakat. Dengan begitu, community corrections, menyediakan alternatif baik di ‘awal’ maupun ‘akhir’ proses dalam sistem pemasyarakatan. Masa percobaan menjadi cara untuk ‘menghormati’ proses awal sistem pemasayarakatan untuk menghindari masalah overcrowding berkelanjutan di penjara. Sementara di bagian akhir proses, sistem pembebasan bersyarat terus dilakukan sebagai bentuk mekanisme pelepasan dini, dimana para narapidana berada di bawah pengawasan sampai masa berakhirnya penghukuman mereka. Selain itu, beberapa negara bagian di AS juga mulai menggunakan alternatif split sentencing, yang memungkinkan para narapidana untuk menjalani hukuman di penjara selama beberapa waktu dan diberikan program masa percobaan di batas akhir dari periode kurungan mereka, ketimbang dibebebaskan secara bersyarat. Upaya ini dilakukan guna mengurangi kebutuhan akan pengawasan yang terpisah dari agensi, sekaligus menanamkan persepsi di masyarakat soal “getting tough” on crime atau “bertindak tegas” terhadap kejahatan. Community corrections memegang nilai sebagai sanksi primer, tanpa memerhatikan apakah penjara masih lowong atau
18 |
tidak. Di masa lalu, kasusnya tidak demikian, dimana sanksi-sanksi semacam itu dibatasi hanya pada pilihan yang digunakan sebagai pengganti sanksi di dalam penjara. Namun demikian, harus diperhatikan bahwa pada kasus di masa lampau tersebut, program community correction terkadang hadir sebagai pilihan pertama di antara beberapa sanksi dan bahwa saat ini, program tersebut terus digunakan karena sudah terbukti efektivitasnya dibandingkan dengan skema penghukuman yang cenderung terlalu percaya bersandar pada pemenjaraan. Selain itu, sistem peradilan pidana juga telah menemukan bahwa program community-based cenderung lebih berhasil dibanding pemenjaraan dan dengan begitu menjadi pilihan yang digunakan sebagai cara penghukuman di banyak kasus. Kedua, community corrections memiliki komponen reintegrasi yang lebih baik. Prinsip dasar reintegratif dari community corrections menjadi penting baik dari perspektif masyarakat maupun perspektif pelaku. Dilihat dari perspektif masyarakat, maka terdapat tiga komponen manfaat yang diperoleh melalui sanksi community-based corrections. Pertama, bila para narapidana direintegrasi dengan baik, maka mereka akan memproduksi nilai material (melalui pelatihan-pelatihan kerja) untuk masyarakat. Sebagai gambarannya, para narapidana yang dipekerjakan akan mampu membayar denda pengadilan, program treatment, dan kompensasi kepada korban – tidak satu pun manfaat ini yang disadari atau dicapai ketika pelaku menjalani hukuman di dalam lingkungan penjara. Kedua, narapidana yang benar-benar ter-reintegrasi akan mampu memberikan kontribusi melalui upaya parenting yang efektif kepada anaknya. Biasa dikenal dengan konsekuensi kolateral dari pemenjaraan, biaya sosial terkait dengan pola pengasuhan menjadi hal yang mengejutkan, belum lagi fakta bahwa anak-anak yang orang tuanya dipenjara cenderung memiliki masalah emosional yang
| 19
muncul dari masa kecil mereka yang kacau. Dengan kata lain, ketika pelaku menjalani sanksi community-based corrections dan melaluinya diberikan kesempatan untuk tetap menjalin relasi dan komunikasi dengan keluarganya, maka ia akan mampu menjalankan peran parenting-nya dan dengan demikian mampu mengurangi tingkat traumatis dan dampak negatif lain yang dialami anak-anak yang orang tuanya dipenjara. Terakhir, pelaku yang menjalani sanksi melalui program community-based corrections ini akan diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan seperti kegiatan religius, sukarelawan atau kegiatan anti-kejahatan lainnya. Pada akhirnya, kohesi sosial akan tercapai melalui relasi-relasi yang dibangun antara pelaku dengan masyarakat yang dilibatkan tersebut. Dengan begitu, manfaat yang dapat diperoleh jika dilihat melalui perspektif masyarakat antara lain dari segi finansial, familial dan komunitas. Kemudian, dari segi pelakunya sendiri, jelas dapat terlihat bahwa manfaat yang ia peroleh pertama-tama berkaitan dengan kebebasannya, dimana dalam sanksi community-based corrections pelaku diizinkan menjalin kontak dengan keluarga mereka (khususnya anak-anak mereka) dan menjalin relasi yang berarti dengan masyarakat. Dampak traumatis serta dampak-dampak negatif lain dari penjara juga akan dapat dihindari oleh pelaku, selain juga ia memperoleh pembekalan pendidikan atau vokasional. Sementara itu, McCarthy et al., (2001) mendefinisikan community-based corrections sebagai terminologi umum yang mengacu pada jenis-jenis sanksi dan program pemasyarakatan non institusional bagi para narapidana, yang diantaranya terdiri dari: 1. Upaya-upaya yang didesain untuk mengalihkan terdakwa pelaku kejahatan dari sistem peradilan pidana atau dari awal penjara sampai penuntutan,
20 |
2. Hukuman dan program yang memberlakukan pembatasan pada terdakwa sekaligus memelihara mereka di dalam masyarakat, dan 3. Upaya yang didesain untuk melancarkan proses transisi narapidana dari penjara ke lingkungan bebas. Beberapa bentuk program community-based correction diantaranya adalah; diversi, pembebasan dini, denda, pelayanan masyarakat dan restitusi, masa percobaan, pengawasan intensif, tahanan rumah, pemantauan elektronik, pelaporan harian, boot camps, pusat residental (residental centers), pembebasan sementara, pembebasan bersyarat dan bentuk pembebasan lainnya. Bentuk-bentuk ini menciptakan pilihan yang terangkai dalam satu keberlanjutan dalam menangani terdakwa di dalam masyarakat. II.2.2. Variasi Community-Based Corrections II.2.2.1. Community-based corrections sebagai bagian dari sub sistem koreksional Clear dan Dammer (2000) menyebutkan terdapat tiga komponen dari program koreksional, yaitu kurungan (jail), penjara (prison) dan layanan community-based corrections. Kurungan merupakan fasilitas yang diwenangkan untuk menjalankan proses praperadilan bagi tahanan dan hukuman bagi terpidana ringan yang menjalani hukuman lebih dari 48 jam. Penjara digunakan untuk pemenjaraan bagi terpidana kejahatan serius. Sementara community-based corrections merupakan metode yang digunakan dalam mengatur upaya untuk mengurangi masa kurungan para pelaku pidana dalam bentuk pengawasan terhadap mereka di masyarakat. II.2.2.2. Strategi Organisatoris Community-Based Corrections Di Amerika Serikat, terdapat ribuan lembaga yang bertugas dalam operasional community corrections, dan lusinan jenis
| 21
lembaga dan program-program yang mereka jalankan. Sebagai gambaran, lembaga tunggal seperti lembaga pelayanan masa percobaan dapat menjalankan lusinan atau lebih program spesifik. Salah satu alasan mengapa community corrections tergolong rumit dijalankan di Amerika Serikat adalah karena operasionalnya yang bersifat lokal, yakni berada di bawah yurisdiksi masing-masing negara bagian. Dengan kata lain, masingmasing wilayah akan menyesuaikan program mereka agar sesuai dengan kebutuhan khusus masing-masing dan struktur pemerintahan yang ada. Maka dari itu, community-based corrections dapat dijalankan oleh berbagai lembaga. Namun setidaknya terdapat empat strategi organisatoris berikut, yang dapat menggambarkan bagaimana layanan program community-based corrections tertentu dapat dilakukan. a. Program diversi dapat diadministrasi oleh kepolisian daerah yang membawahi institusi kurungan lokal. b. Layanan masa percobaan (probation) tradisional dan program masa percobaan khusus dapat dijalankan oleh sistem pengadilan. c. Organisasi mandiri (stand-alone) dapat menyediakan layanan program kepada pelaku berdasarkan kontrak yang sudah dilakukan dengan negara. d. Layanan community corrections dapat pula disediakan dalam lingkup negara sebagai fungsi yang berlaku di seluruh wilayah, seperti program pembebasan bersyarat (parole). Di Amerika sendiri, empat pendekatan ini ada di semua negara bagian, dan melakukan koordinasi terhadap semuanya merupakan tugas yang rumit.
22 |
II.2.2.3. Pelaksana Community-Based Corrections Nelson (1967) dan O’Leary (1969) dikutip oleh Larasati (2009), memberikan identifikasi mengenai empat peran masyarakat dalam proses pengukuman dan pembinaan, yaitu: 1. Sebagai the correctional volunteer, yakni masyarakat yang secara langsung bekerja bagi para narapidana, 2. Sebagai the social persuader, yakni masyarakat sebagai pihak yang memiliki pengaruh di dalam sistem sosial yang dominan, dan berkeinginan untuk mengajak orang lain untuk memberi dukungan pada penjara, 3. Sebagai the gate-keepers of opportunities, yakni masyarakat sebagai para petugas penjara yang memiliki akses untuk memasuki institusi-institusi sosial penting, yang kemudian disebut sebagai the gate-keeper, dan 4.
Sebagai the intimates, yakni masyarakat sebagai pihak yang berasal dari narapidana maupun lingkungan yang mengetahui benar kondisi narapidana.
Terminologi masyarakat dalam poin-poin di atas tidak terbatas pada masyarakat yang dikenal sebagai komunitas dimana pelaku tinggal atau komunitas di sekitar lembaga pemasyarakatan, melainkan pihak-pihak yang juga memiliki wewenang dan fungsi untuk menjalankan peran-peran seperti yang dijelaskan di atas, termasuk di dalamnya petugas Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pemerintah, dll. Dengan kata lain, masyarakat, seperti yang dimaksud dalam hal ini, merupakan pihak-pihak yang dapat menjadi pelaksana dari program community-based corrections.
| 23
II.3. Model-Model Community-Based Corrections II.3.1. Boot camps Adapun tujuan dari program ini adalah untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan mempersiapkan diri untuk menjalani rehabilitasi. McCarthy et al., (2001) menjelaskan bahwa strategi di dalam pelaksanaannya mencakup kondisi hidup dan struktur program, dan menekankan pada disiplin dan kemampuan fisik yang merupakan dasar dari aktivitas militer. Dengan kata lain, boot camps merupakan program yang menekankan pada pembentukkan fisik dan mental pelaku, serta meningkatkan disiplin para pelaku sheingga diharapkan mampu mencapai tujuan-tujuan mereka. Lebih lanjut lagi dijelaskan, boot camps lahir di Georgia pada tahun 1983 sebagai salah satu pilihan hukuman guna mengatasi overcrowded di penjara Georgia. Program ini berjalan selama 90 hari, dengan target subjek adalah pelaku remaja dan dewasa, laki-laki dan perempuan, baik dalam skala negara maupun kekuasaan lokal. Adapun kegiatan-kegiatan yang menjadi penekanan dalam boot camps adalah melatih ketahanan fisik, selain itu juga terdapat program rehabilitasi narkoba dan program pendidikan. Program ini sendiri sudah berjalan di Illnois, New York, Texas, Florida, dan Carolina Selatan. McCarthy et al., (2001) menjabarkan beberapa karakterisitk dalam pelaksanaan program boot camp yang sekaligus menjadi basis pelaksanaannya, yaitu: 1. Pelaku yang terpilih untuk mengikuti program boot camp harus muda, atau terlibat dalam kejahatan yang berkaitan dengan gaya hidup (criminal lifestyle), dan berkomitmen mau berubah. 2. Pelaku masuk ke program boot camp dengan tanpa kemampuan, kondisi fisik yang buruk, dan tidak pernah
24 |
mengalami kesuksesan atau pencapaian hidup yang mapan dalam standar kondisi konvensional, seperti pendidikan atau kerja. Pelaku semacam ini kemungkinan memiliki kepercayaan diri yang rendah, atau bahwa kepercayaan diri mereka diperoleh melalui peer group yang memiliki budaya kriminal. 3. Pelaku cenderung tidak disiplin, tidak menghormati otoritas, dan tidak memiliki kemampuan atau motivasi untuk bertanggung jawab atas perbutannya. 4. Terdiri dari kegiatan yang relatif singkat dan intensif, dengan struktur militer dan disiplin. Layaknya rekrutmen anggota baru militer, pelaku dapat belajar mengenai kedisiplinan diri, tanggung jawab, kepercayaan diri, dan kerjasama tim. Basis serta karakterisitik di atas, selanjutnya diharapkan mampu membantu pelaku untuk memilih jalan gaya hidup yang baru dan lebih sehat dari segala aspek. II.3.2. Day fines Denda harian merupakan salah satu intermediate sanctions (pidana pengganti) yang banyak dipakai oleh negara-negara di Eropa dan Amerika Selatan, dan beberapa kasus di Amerika Serikat. Denda harian sendiri merupakan pembaharuan atas denda tradisional yang diterapkan. Jenis pidana ini menuntut pelaku untuk membayar denda harian, yang didasarkan pada pendapatan harian pelaku. Denda harian ini dikembangkan sebagai respon atas denda tradisional yang hanya berbasis pada tingkat seriusitas kejahatan, tanpa mempertimbangkan kemampuan pelaku untuk membayar denda yang dimaksud. Dengan begitu, efek yang dirasakan oleh mereka yang kaya dan dijatuhi pidana denda (yang tidak fleksibel
| 25
nilai dendanya) akan sama dengan efek yang dirasakan mereka yang miskin dan dijatuhi pidana denda harian (yang nilainya fleksibel, didasarkan pada pendapatan harian pelaku). Penekanan dalam hukuman ini adalah adanya penyesuaian jumlah denda dengan proporsi pendapatan dan masukkan yang seimbang. Penyesuaian jumlah denda dengan jumlah pendapatan memungkinkan pidana ini dapat diturunkan atau dinaikkan jumlahnya. Karena fleksibiltasnya ini, maka denda harian dapat diaplikasikan pada kondisi dimana denda tradisional seringkali menetapkan jumlah denda yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Selain itu, denda yang dibayarkan tergantung pada berat ringannya (severity) kejahatan. Dengan kata lain, Snarr (2001) mengatakan bahwa semakin berat kejahatan dan semakin besar kemampuan pelaku untuk membayar, maka denda yang dijatuhkan akan semakin besar pula (Larasati, 2009). II.3.3. Day Reporting Centers DRC menekankan pada program pengawasan, pembinaan dan pelayanan lain pada pelaku pidana yang baru bebas ke dalam masyarakat. Adapun program-program tersebut diantaranya seperti program therapeutic, pendidikan, vokasional dan pengembangan kemampuan. UNODC (2007) menjelaskan bahwa day reporting centre merupakan jenis hukuman yang menyediakan fasilitas dimana pelaku dapat menjalani kesehariannya, dan kembali lagi ke pusat treatment (rumah) di sore hari. Fasilitas yang dimaksud adalah penyediaan lokasi yang tersentral sebagai “rumah” bagi program intervensi yang sifatnya therapeutic. Menurut sebagian besar yurisdiksi, banyak dari pelaku kejahatan yang dikategorikan membutuhkan terapi atau treatment – dengan didominasi oleh pecandu narkotika yang membutuhkan treatment khusus –
26 |
sehingga hukuman ini dirasa dapat mengakomodir kebutuhan tersebut. Program lainnya yang dapat ditawarkan oleh pusat treatment ini adalah mulai dari program manajemen kemarahan (anger management) sampai dengan pelatihan kemampuan tertentu. Ditemukan fakta bahwa pelaku memberikan respon lebih positif terhadap program-program sejenis yang dilakukan di bawah setting lingkungan yang relatif bebas di masyarakat seperti halnya pusat treatment yang ditawarkan ini, dibandingkan dengan lingkungan penjara. Tekait dengan putusan hukuman jenis ini oleh pengadilan, maka wilayah yurisdiksi harus memastikan bahwa dukungan infrastruktur yang menyediakan program-program yang dimaksud harus memadai. Hakim harus diberikan informasi terkini secara rutin terkait dengan program apa yang ditawarkan oleh pusatpusat yang dilibatkan, apakah program yang dimaksud memiliki waktu rehat atau vakansi, apakah kapasitas mencukupi, atau harus masuk dalam daftar tunggu (waiting lists), serta apa kiranya yang tersedia dalam masyarakat khusus tertentu. Terakhir, adanya tuntutan bagi pelaku khusus tertentu untuk menghadiri pusat treatment, maka hakim harus dilengkapi dengan informasi khusus pula terkait dengan kebutuhan pelaku, yang kemungkinan membutuhkan asesmen medis dan psikologis, selain juga informasi terkait histori kehidupan sosial pelaku. II.3.4. Detention Merupakan sanksi atau program yang ditujukkan bagi para remaja. Snarr (2001) menjelaskan bahwa anak-anak remaja yang dikenai sanksi ini diharuskan untuk tinggal bersama pelaku remaja lainnya selama 60-120 hari. Lokasi tempat dilakukannya detensi harus berada di lingkungan masyarakat. Selain itu, Allen dan
| 27
Simonsen (1989) menambahkan bahwa pelaku yang menjalani sanksi ini biasanya diberikan program-program seperti konseling, pendidikan, perpustakaan, rekreasi, seni, musik, drama, menulis dan hiburan. Bentuk lain dari hukuman detention ini yaitu, home detention atau detention yang dilakukan di rumah. Jadi, pelaku remaja yang diberi sanksi ini diharuskan berada di rumah dan diawasi oleh petugas dari peradilan anak. Selain itu, kerja sama dari pihak orang tua, guru, dan remaja itu sendiri juga dibutuhkan guna menjalankan program ini. Secara teknis, pelaku remaja yang dimaksud hanya diperbolehkan keluar rumah untuk bekerja atau bersekolah. Adapun hal-hal yang harus dipatuhi oleh para pelaku remaja yaitu; mematuhi jam malam, menginformasikan keberadaan mereka pada orang tua dan pengawas, tidak menggunakan obat-obatan terlarang dan orang atau tempat yang membahayakan mereka, serta peraturan lain yang tertera dalam kontrak. Selain itu, pelaku remaja diharuskan mengikuti program konseling dan bimbingan lainnya. Adapun negara-negara yang sudah memberlakukan hukuman ini adalah Amerika Serikat (St. Louis, Missouri, Louisville, Kentucky, Cleveland, Ohio) dan Portugal (dalam bentuk weekend detention, dimana para pelaku remaja hanya berada di penjara selama akhir pekan saja) (McCarthy et al., 2001). II.3.5. Fees dan Surcharges Merupakan jenis penghukuman yang mengharuskan pelaku untuk membayar biaya administrasi yang dikeluarkan selama menjalani proses di sistem peradilan. Pidana ini menjadi pidana tambaan sekaligus salah satu cara mengatasi beban sistem peradilan pidan yang tergolong berlebih. Sebuah studi di Amerika Serikat menemukan bahwa sebanyak 28 negara bagian
28 |
memberlakukan pembayaran fee terhadap pengawasan selama menjalani masa percobaan dan sebanyak 21 negara bagian menuntut pembayaran terhadap pengawasan selama menjalani pembebasan bersyarat. Biaya yang dibebankan kepada pelaku sebagai bentuk pidana tambahan ini bervariasi bentuknya, dari mulai awal proses peradilan sampai akhir. Adapun proses-proses yang dimaksud di antaranya seperti: penggantian dalam tahap defense counsel, biaya treatment, asesmen lab bagi pelaku pelanggaran lalu lintas yang mabuk, biaya kurungan, tes narkotika, biaya pra peradilan, biaya pelayanan pra peradilan, biaya yang dikeluarkan untuk mendukung proses kompensasi terhadap korban, edukasi narkotika, dan penuntut, dll. Pada tingkatan tertentu, pembayaran yang berlapis di setiap proses ini akan menjadi memnuhi unsur penghukuman tersendiri bagi pelaku. Namun demikian, ditemukan beberapa permasalahan di negara-negara yang sudah mengimplementasikan hukuman ini. Dikatakan bahwa pengumpulan biaya yang dibebankan kepada pelaku menjadi permasalahan tersendiri karena sebagian besar waktu petugas dihabiskan dalam proses tersebut. Intinya, efektivitas dari hukuman ini masih menjadi hal yang perlu dievaluasi (McCarthy et al., 2001). II.3.6. Denda Pidana denda telah dijalankan sebagai salah satu bentuk hukuman terhadap pelaku kejahatan dan pelanggaran. McCarthy et al., (2001) memaparkan bahwa di beberapa negara termasuk, denda sudah diberlakukan bagi jenis-jenis pelanggaran maupun kejahatan tertentu. Di Amerika Serikat, denda diberlakukan bagi pelaku pelanggaran lalu lintas dan jenis-jenis kejahatan yang baru pertama kali dilakukan dan tergolong ringan. Tanpa disadari,
| 29
pidana denda sendiri sudah digunakan secara luas di Amerika, terutama pada pelaku kejahatan yang baru pertama kali (first offender) dan mampu untuk membayar. Namun pada jenis kasus yang tidak dilakukan oleh first offender, penjatuhan pidana denda sangat jarang dilakukan. Dikatakan bahwa setidaknya 1/3 hakim memvonis pelaku kejahatan dengan pidana denda dalam hampir setengah kasus kejahatan yang dilakukan oleh first offender. Kasus kejahatan yang dimaksud diantaranya seperti: a. b. c. d. e.
Penjualan kokain, Penipuan dalam kasus penjualan tanah, Penggelapan sejumlah uang, Penyerangan dengan luka ringan, Pelecehan, dll.
Upaya penjatuhan pidana denda oleh negara-negara bagian di Amerika Serikat ini dipandang sebagai salah satu cara untuk mengatasi peningkatan kasus kejahatan. Denda atau restitusi atau keduanya, diterapkan pada jenis-jenis kejahatan tertentu. Sementara itu, di Jerman Barat, sebanyak 81% kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa dan 73% kejahatan kekerasan dihukum dengan menggunakan pidana denda sebagai pidana tunggal. Di Inggris, lebih dari 1/3 dari semua jenis tindak pidana dan 39% kejahatan kekerasan, juga dihukum dengan menggunakan pidana denda. Namun demikian, patut menjadi catatan bahwa yang menjadi tantangan dari pidana berbasis ekonomi ini adalah untuk menentukan jumlah yang tepat yang akan diterapkan bagi pelaku, serta mengembangkan metode untuk memastikan pengumpulannya dan implementasinya. Karena apabila denda diberlakukan dengan nilai yang tinggi maka hanya akan menciptakan inflasi pada proyeksinya namun gagal dalam implementasi. Sementara apabila denda diterapkan dengan nilai
30 |
yang terlalu rendah, akan menimbulkan pemahaman di antara pelaku bahwa kejahatan dapat dibayar. II.3.7. Furlough Merupakan bentuk hukuman yang membebaskan pelaku untuk sementara dari pemenjaraan untuk tujuan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu, selama 24-72 jam. Hukuman ini diberikan setiap satu atau dua minggu sekali dan sekurangkurangnya satu atau dua kali setahun. McCarthy et al., (2001) memaparkan beberapa tujuan dari diberikannya furlough, yakni: 1. Untuk menjaga atau membangun kembali ikatan dengan keluarga, 2. Untuk memecahkan masalah keluarga, 3. Untuk mempersiapkan kebebasan nanti ketika masa hukuman berakhir, seperti menghadiri wawancara kerja, mencari tempat tinggal, dsb, 4. Untuk mengikuti program keterampilan atau pendidikan jangka pendek, dan 5. Untuk mengikuti acara khusus di masyarakat, seperti seminar dll. Adapun Henningsen (1981) dikutip oleh menyebutkan bahwa tujuan “pembebasan sementara” yang diusung melalui hukuman furlough ini, dilakukan guna membantu narapidana untuk masuk kembali ke masyarakat dan mencapai awal yang baik di luar nantinya. Waktu tersebut diantaranya dapat dimanfaatkan oleh pelaku pidana untuk mencari pekerjaan yang dapat dimulai setelah mereka bebas (Larasati, 2009). II.3.8. Halfway houses McCarthy et al., (2001) menjelaskan bahwa halfway houses merupakan program community-based corrections yang mengakomodasi mantan narapidana untuk menjalaani masa
| 31
transisi dari penjara ke dalam masyarakat. Selain itu, program ini juga digunakan untuk memfasilitasi para pelaku yang sedang menjalani pengawasan di dalam masyarakat dan membutuhkan lingkungan yang lebih terstruktur. Lingkungan yang dimaksud seperti, lingkungan yang mendukung, dukungan bantuan makanan dan tempat tinggal, bantuan untuk mematangkan kemampuan kerja, pendidikan, dan layanan konseling. Program halfway houses sendiri saat ini juga digunakan untuk memfasilitasi program-program pembebasan dini, seperti pembebasan bersyarat, diversi, pretrial release, atau masa percobaan, dalam konteks pengawasan. Terkhusus pada mereka yang sedang menjalani masa percobaan atau pembebasan bersyarat di halfway houses, penempatan ini dilakukan sebagai bentuk penyesuaian mereka dan antisipasi atas kemungkinan kegagalan di dalam masyarakat. Terdapat setidaknya dua tujuan yang ingin dicapai dari program ini. Pertama, perlindungan masyarakat. Halfway houses memungkinkan proses screening para penghuninya, yang dapat menjadi upaya penyaringan siapa saja yang berisiko dan tidak. Selain itu, perlindungan juga dapat diupayakan melalui setting semi-lembaga koreksional, melalui pengawasan yang dilakukan. Kedua, halfway houses tentu memiliki fungsi dalam memfasilitasi upaya reintegrasi mantan narapidana, melalui kemampuannya dalam meningkatkan kemampuan perilaku para mantan narapidana sehingga dapat diterima masyarakat. Upaya peningkatan ini diantaranya dilakukan melalui penyediaan kebutuhan dasar bagi mantan narapidana seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Hal ini diasumsikan jauh lebih manusiawi dibandingkan dengan mengembalikan mereka ke masyarakat tanpa memberikan bekal kemampuan dalam memilih pekerjaan atau mencari tempat tinggal. McCarthy et al., (2001) menambahkan bahwa program halfway houses ini umumnya dikelola oleh lembaga non
32 |
pemerintah. Ia pun memaparkan bahwa program ini memberikan keuntungan pada beberapa pihak, yakni: 1. Masyarakat Masyarakat terlindungi mengingat pelaku pidana ditempatkan di tengah masyarakat, sembari diawasi keberadaannya. 2. Pelaku Program ini berupaya untuk meningkatkan kemampuan para pelaku pidana dalam berkelakuan sehingga dapa kembali terintegrasi ke dalam masyarakat dan mengurangi ketergantungan mereka terhadap tindak kejahatan. Selain itu, para mantan narapidana juga diuntungkan dengan tersedianya berbagai kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Program ini tentu menjadi sejalan dengan prinsip reintegrasi dengan adanya upaya untuk memberikan bekal keterampilan pada para pelaku, ketimbang membiarkan mereka bebas begitu saja tanpa ada keterampilan apa pun. 3. Sistem peradilan pidana Pidana alternatif ini sama halnya dengan bentuk pidana lain yang diberlakukan bagi pelaku kejahatan ringan. Terakit dengan sistem peradilan pidana, maka pidana ini juga mampu membantu mengatasi masalah overcrowded di dalam penjara. Selain itu, biaya yang dibutuhkan dalam menjalankan program ini cenderung lebih kecil dibanding pemenjaraan. II.3.9. Home Confinement and Electronic Monitoring Home confinement merupakan jenis sanksi yang menuntut pelaku untuk tetap berada di dalam tempat tinggalnya dalam
| 33
jangka waktu tertentu setiap harinya. Pelaku diperbolehkan untuk keluar dengan tujuan tertentu seperti sekolah, kerja, atau konseling. Sanski ini dapat dilaksanakan baik sebagai sanksi tunggal maupun sebagai bentuk pengawasan pembebasan dini. Namun lebih sering digunakan sebagai bentuk intensif pengawasan selama menjalani masa percobaan atau pembebasan bersyarat. Home confinement diberlakukan baik kepada pelaku dewasa maupun remaja (McCarthy et al., 2001). Sementara itu, United Nations Officer on Drugs and Crime (2007) menyatakan bahwa pidana ini memberikan kesempatan kepada pelaku pidana untuk bekerja di siang hari dan menjadi tahanan rumah kembali di malam harinya. Home confinement dapat diimplementasikan baik secara manual, yakni melalui panggilan telepon maupaun kunjungan langsung, dan dilakukan secara elektronik, yakni dengan enggunakan alat electronic monitoring. Secara khsusus, electronic monitoring atau pengawasan secara elektronik ini dapat dilakukan dengan dua cara. Petama, kontak berkala (continuous contact) yang mengharuskan pelaku pidana untuk menggunakan alat yang dapat mentransmisikan sinyal kepada penerima yang terhubung melalui telepon rumah. Kedua, kontrak program (programmed contact), yakni panggilan telepon acak pada pelaku yang bertujuan untuk memastikan keberadaan pelaku di rumahnya. Namun demikian, dalam pelaksanaanya, jenis pidana ini seringkali mengalami hambatan dalam hal teknis, serta adanya kemungkinan pelaku dan keluarga mengalami kesulitan dalam menggunakan perlatan pengawasan elektronik (monitoring electronic) yang dimaksud (McCarthy et al., 2001). Henningsen (1981) mengatakan bahwa pelaku yang dikenai jenis pidana ini adalah pelaku kejatan dengan kategori kejahatan serius namun tergolong tidak cukup serius untuk dijatuhi pidana penjara Larasati (2009).
34 |
II.3.10. Kerja sosial (Community Service Order) Hukuman ini mengharuskan pelaku untuk melakukan kerja tanpa bayaran selama waktu tertentu atau tugas spesifik tertentu. Sesuai dengan namanya, hukuman ini harus menyediakan layanan bagi masyarakat. Pengadilan, sebagai pihak yang memberikan putusan hukuman, harus dilengkapi dengan informasi terpercaya bahwa jenis kerja tertentu tersedia di bawah pengawasan yang layak. Hukuman ini sendiri menuntut adanya pengawasan dari dekat guna memverifikasi atau memastikan bahwa pelaku yang bersangkutan benar-benar mengerjakan tugas yang sudah ditentukan berdasarkan putusan pengadilan, dan bahwa dirinya tidak dieksploitasi atau dipaksa untuk bekerja di luar apa yang sudah ditentukan. Di banyak sistem yurisdiksi, petugas yang sama dengan yang menangani masa percobaan – the probation services – atau petugas lainnya yang telah ditentukan, bertanggung jawab penuh dalam memastikan ketentuan-ketentuan tersebut dijalankan (UNODC, 2007). Pentingnya partisipasi masyarakat dalam implementasi hukuman non-kustodi – seperti yang disampaikan dalam The Tokyo Rules – dapat terakomodir melalui hukuman kerja sosial ini. Anggota masyarakat dapat menyediakan kesempatan kerja bagi pelaku; namun mereka tidak diperkenankan untuk melakukan paksaan atau fungsi disiplin lainnya yang memaksa. Sebagai contoh, mereka tidak diperkenankan untuk menentukan keputusan akhir apakah seorang pelaku telah gagal dalam menjalankan kerja sosialnya sesuai dengan yang sudah diperintahkan oleh pengadilan, mengingat keputusan ini akan menentukan apakah langkah lanjutan hukuman akan diberikan kepada pelaku atau tidak (UNODC, 2007). Tongat (2002) menyebutkan pidana kerja sosial sebagai bentuk pidana dimana pelaku menjalankan pekerjaan sosial yang
| 35
telah ditentukan dalam pengadilan. Tongat secara khusus menjabarkan dimensi pidana kerja sosial, yakni terdiri dari: a. Pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek Sesuai dengan sejarah perkembangannya, pidana kerja sosial muncul sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Praktik di Eropa juga demikian, dengan diantaranya diimplementasikan sebagai pidana mandiri atau sebagai syarat penjatuhan pidana bersyarat. Intinya, pidana ini hanya berlaku bagi mereka yang diancam dengan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. b. Pidana kerja sosial sebagai alternatif sanksi apabila denda tidak dibayar Praktik yang berkembang di beberapa negara di Eropa seperti Italia, Jerman, dan Swiss, menempatkan pidana kerja sosial sebagai pidana penjara pengganti, apabila terpidana denda gagal membayarkan dendanya. Artinya, apabila seorang terdakwa yang dijatuhi pidana denda, namun tidak dapat membayar denda tersebut, maka sebagai ganti denda yang tidak mampu dibayar, terpidana harus menjalani pidana penjara pengganti. Pidana penjara pengganti (denda) ini lah yang dapat diganti dengan pidana kerja sosial. c. Pidana kerja sosial dalam kerangka grasi Di beberapa negara di Eropa seperti Belanda dan Jerman, pidana kerja sosial menjadi salah satu syarat diterapkannya grasi. Selain itu, pidana kerja sosial di Jerman juga menjadi salah satu syarat bagi pelepasan bersyarat narapidana. Snarr (2001) menyebutkan bahwa kerja sosial mengharuskan para pelaku pidananya untuk melakukan pelayanan publik, yang dimaksudkan agar pelaku pidana
36 |
dibebaskan dari rasa bersalah melalui kerja pelayanan publiknya tersebut. Adapun keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari pemidanaan jenis ini, antara lain: 1. Ekonomi. Biaya yang digunakan dalam penyelenggaran pidana penjara dapat ditekan melalui pidana alternatif ini. 2. Reintegrasi. Kerja sosial ini melibatkan dan mengharuskan pelaku pidana untuk berpartisipasi dalam menyediakan layanan untuk masyarakat. Selain itu, pelaku sendiri pun dapat mengembangkan kemampuan mereka yang nantinya akan berguna setelah mereka bebas. 3. Pelayanan publik. Masyarakat sebagai pihak yang diberikan pelayanan tentu akan memperoleh keuntungan melalui program ini. 4. Perlindungan masyarakat. Melalui kerja sosial ini maka pelaku akan dapat diawasi oleh masyarakat sendiri (Larasati, 2009). Lamanya pidana kerja sosial bervariasi di setiap negara. Di Portugal, pidana kerja sosial minimal dilakukan dalam kurun waktu 9 jam dan maksimal 180 jam. Di Denmark, Perancis, dan Inggris, pidana kerja sosial dilakukan minimal 40 jam. Sementara di Norwegia, dilakukan minimal selama 50 jam. Batas maksimal pidana ini di Denmark dan Norwegia adalah selama 200 jam, sementara di Perancis, Belanda, dan Inggris selama 240 jam (Tongat, 2002). Di negara-negara Eropa ini, pidana kerja sosial dijatuhkan pada para pelaku kejahatan ringan, serta biasanya terkait dengan tindak pidana terhadap harta benda. Selain itu, syarat lain dijatuhkannya pidana jenis ini adalah usia dan criminal record. Penerapan sanksi kerja sosial pada anak-anak harus dieperhatikan mengingat anak dilarang untuk bekerja. Sementara pada aspek criminal record, mereka yang memiliki catatan kriminal buruk
| 37
tidak diperbolehkan dijatuhi hukuman ini (di Perancis, kerja sosial tidak diperuntukkan bagi residivis). II.3.11. Pembebasan bersyarat (Parole) Clear dan Dammer (2000) menjelaskan bahwa pembebasan bersyarat pada dasarnya mengandung dua konsep. Pertama adalah konsep pembebasan, dimana dewan pembebasan bersyarat memilih beberapa pelaku tertentu untuk dibebaskan ke masyarakat sebelum masa hukuman mereka berakhir. Konsep kedua adalah terkait dengan konsep fungsi pengawasan, dimana pertugas pembebasan bersyarat memberikan pengawasan dan layanan bagi mereka yang baru saja bebas. Allen dan Simonsen (1989) menjelaskan bahwa parole merupakan sebuah sanksi dan program yang memberikan kebebasan pada pelaku pidana sebelum masa hukumannya berakhir. Adapun penerapan pidana ini bertujuan untuk; melindungi masyarakat, mencapai keadilan dan kepantasan, menjatuhkan sanksi yang tepat yang mencerminkan masyarakat banyak, dan memberikan manfaat bagi sistem peradilan pidana termasuk di dalamnya efisiensi biaya dan mengurangi masalah overkapasitas di dalam penjara (Larasati, 2009). Pembebasan sendiri menjadi bentuk pidana yang banyak dikenal di dalam sistem peradilan pidana. Di Indonesia sendiri, pembebasan bersyarat diterapkan dengan beberapa syarat kepada pelaku pidana yang telah menjalani dua per tiga masa pidananya, atau sekurang-kurang sembilan bulan. Suhardi (2003) mengatakan bahwa setelah bebas dari Lapas, selain beberapa syarat yang harus dipenuhi, para pelaku pidana juga diberikan tambahan masa percobaan selama setahun dan langsung ditambahkan pada sisa pidananya (Larasati, 2009).
38 |
McCarthy et al., (2001) mengidentifikasi syarat penting bagi tercapainya penerapan pembebasan bersyarat yang efektif dan efisien, yaitu: 1. Fleksibilitas dalam undang-undang dan penjatuhan putusan 2. Balai Pemasyarakatan (parole board) yang berkualitas 3. Staf Balai Pemasyarakatan yang berkualitas 4. Kebebasan dari pengaruh politik 5. Pembebasan bersyarat ditugaskan ke posisi yang dapat diisi di dalam struktur administrasi pemerintah 6. Aturan pembebasan bersyarat yang sesuai 7. Persiapan sebelum mendapat bebas bersyarat di dalam lembaga 8. Penelitian mengenai pembebasan bersyarat 9. Sikap yang tepat dari publik terhadap pelaku pidana Terlepas dari prinsip-prinsip ini, program pembebasan bersyarat sendiri menurut Clear dan Dammer (2000) juga masih menjadi kontroversi hingga sekarang. Para kritikus berpendapat bahwa pelaku yang dibebaskan menggambarkan terlalu banyak resiko di dalam masyarakat, dan mereka sebaiknya tetap dipenjarakan. Sementara yang lain mempertanyakan apakah petugas pembebasan bersyarat akan mampu menjalankan tugas pengawasannya dengan efektif. II.3.12. Pretrial release McCarthy et al., (2001) menjelaskan bahwa program ini memiliki tujuan yang sama dengan diversi, yakni diterapkan selama persidangan dan pembebasan beberapa jenis pelaku dari commercial bond. Dengan kata lain, meskipun pelaku berada dalam kekuasaan sistem peradilan pidana, namun pelaku diizinkan untuk
| 39
berada di luar tahanan selama menunggu putusan. Terdapat dua bentuk alternatif dari pidana ini yang ditawarkan, yakni: 1. Recognized release Dalam bentuk ini, satu-satunya syarat yang diberikan adalah keharusan untuk hadir di semua jadwal proses persidangan. 2. Conditional and supervised pretrial release Pada dua bentuk ini, terdapat batasan-batasan yang harus dipenuhi serta adanya pengawasan dari petugas sebagai syarat kebebasannya. Selain itu, para pelaku diharuskan untuk melapor secara rutin ke pengadilan, yang berfungsi dalam memberikan batasan kepada pelaku atau memberikan bimbingan konseling atau latihan kejuruan. II.3.13. Hukuman percobaan (Probation) Probation atau masa percobaan dikatakan memiliki definisi yang variatif. Salah satunya dapat didefinisikan sebagai sebuah agensi atau lembaga yang bertanggung jawab dalam memastikan seorang pelaku mengikuti perintang pengadilan tentang apa yang harus dan tidak boleh dilakukan untuk tetap ditempatkan di masyarakat, ketimbang dipenjara. Selain itu, masa percobaan dalam bentuk yang lebih intens, disebut “intensive probation”, dapat juga mengupayakan perlindungan terhadap korban kejahatan dari pelaku (UNODC, 2007). Sementara itu, Clear dan Dammer (2000) memaparkan bahwa probation memiliki dua makna, yakni sebagai hukuman dan status. Sebagai sebuah hukuman, masa percobaan berarti bahwa seseorang yang bersalah atas sebuah kejahatan diperbolehkan untuk melanjutkan masa hukumannya di dalam masyarakat, dengan peringatan untuk tidak mengulangi atau terlibat dalam
40 |
kejahatan lebih jauh lagi. Selain itu, masa percobaan sebagai sebuah hukuman juga kemungkinan mengambil bentuk pada pembayaran restitusi kepada korban atau melakukan layanan kepada masyarakat sebagai bentuk kompensasi atas kejahatannya. Selain itu, tidak jarang pula mereka yang sedang dalam masa percobaan diperintahkan untuk menghadiri program perawatan tertentu yang bertujuan untuk membantu mengatasi sumber masalah atau alasan ia berbuat jahat. Sementara itu, masa percobaan sebagai sebuah status sama artinya seperti sebuah limbo koreksional. Hal ini terjadi ketika sebuah hukuman penjara ditangguhkan saat pelaku pidana diperbolehkan untuk membuktikan bahwa dirinya mampu hidup dengan jalan hidup bebas-kejahatan (crime-free) di dalam masyarakat. Status yang ia peroleh ini tentu saja berada di bawah pengawasa dari pihak yang berwenang, dimana ia diharuskan memperoleh persetujuan (tinjauan dan izin) dari pihak berwenang mengenai kemana dan dengan siapa dia tinggal, dan semua keputusan hidupnya, dari mulai memutuskan untuk kerja sampai rekreasi. Karena hal ini lah, program masa percobaan yang intensif dapat sangat invasif sehingga beberapa lebih memilih untuk tetap di dalam penjara ketimbang menerima pengawasan pada level ini. Terlepas dari pengembangan definisi mengenai msa percobaan, pengadilan tidak dapat memberikan putusan sanksi masa percobaan kepada seorang pelaku apabila dukungan infrastruktur belum layak. Pihak atau lembaga yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan masa percobaan – the probation service – harus memberikan laporan informasi kepada pengadilan terkait dengan pelaku. Laporan yang dimaksud diantaranya menyangkut latar belakang pelaku, detail mengenai dinamika kehidupan pelaku yang relevan dengan tindak kejahatan yang dilakukannya, dan rekomentasi atas hukuman alternatif, seperti misalnya treatment
| 41
terhadap pecandu narkotika, yang dapat menciptakan perubahan perilaku yang mendorong tindak kejahatan (UNODC, 2007). Pidana ini memungkinkan pelaku untuk tetap berada di dalam masyarakat hingga bebas dari pengawasan. Namun jika pelaku melanggar batasan yang dibuat, maka baru lah pidana kurungan diberikan. McCarthy et al., (2001) menambahkan, saat ini hukuman percobaan tidak hanya diberikan pada pelaku dengan tindak pidana ringan, tetapi juga pelaku dengan tindak pidana agak berat. Adapun McCarthy menyebutkan beberapa jenis tindak pidana yang tidak dianjurkan untuk diberikan hukuman bersyarat, yakni: pembunuhan, penggunaan senjata, pemerkosaan, pelaku kejahatan berat, penculikan, kejahatan narkotika, perampokan dan minum alkohol ketika mengemudi. Sementara tujuan dari diterapkannya sanksi ini – yang juga sekaligus menjadi pilihan hukuman, proses, struktur organisasi dan status khusus – adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
Melindungi masyarakat Melaksanakan sanksi yang dijatuhkan pengadilan Membantu pelaku kejahatan untuk berubah Memberikan dukungan bagi korban kejahatan Mengkoordinasikan dan menggunakan sumber daya manusia dengan cara efektif dan efisien
II.3.14. Rehabilitasi Program atau sanksi ini khusus diperuntukkan bagi pelaku penyalahgunaan narkotika. McCarthy et al., (2001) menjelaskan, yang dibutuhkan oleh para pelaku ini adalah perawatan dan pengobatan intensif guna melepaskan diri dari ketergantungan zat-zat tersebut. Salah satu caranya adalah dengan memasukkan mereka ke pusat-pusat rehabilitasi. Upaya tersebut sudah dilakukan di Amerika, dimana para penyalahguna narkotika tidak
42 |
dijatuhi hukuman penjara melainkan dimasukkan ke pusat-pusat rehabilitasi. II.3.15. Program residental (Residential program) Secara teknis, program residental hampir sama dengan halfway houses. Namun, McCarthy et al., (2001) mengidentifikasi 2 hal yang membedakan keduanya, yaitu: 1. Program residental dibuat khusus untuk pelaku khusus yang memiliki masalah “unik” dan umumnya pelaku yang menjalani program ini memiliki pandangan yang sama mengenai masalah mereka. 2. Program residental dibuat sebagai respon atas kompleksnya kehidupan pelaku sehingga dibutuhkan langkah yang tepat dalam mengatasi masalah-masalah tersebut. Program ini dijalankan dalam sebuah rumah atau lembaga dengan jumlah residen sekitar 5-20 orang. Lokasi dari program ini sendiri umumnya dilakukan di luar kota. Selain itu, program ini sebaiknya berada dekat dengan akses transportasi sehingga akan memudahkan para pelaku pidana untuk pergi bekerja, bimbingan konseling, mengikuti latihan keterampilan, dll. Sementara itu, syarat mutlak dari keberhasilan program ini adalah adanya strukturisasi yang baik, mengingat residennya sedang berada dalam masa transisi antara lingkungan penjara ke lingkungan masyarakat. II.3.16. Victim Compensation and Restitution McCarthy et al., (2001) menjelaskan bahwa kompensasi dan restitusi merupakan dua jenis hukuman yang berfokus pada upaya penggantian kerugian kepada korban. Restitusi membebankan biaya penggantian kepada pelaku sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas tindak pidana yang membuat
| 43
korban mengalami kerugian. Sementara kompensasi membebankan tanggung jawab tersebut kepada negara. Kompensasi sendiri melihat bahwa negara telah gagal dalam memenuhi tanggung jawabnya untuk melindungi warga negaranya dari kejahatan, dan dengan begitu berkewajiban mengganti perlukaan atau kerugian yang dialaminya. Terkhusus pada program kompensasi, kepentingan korban akan diutamakan di atas faktor-faktor lainnya. Penggantian finansial untuk korban akan didasarkan pada kebutuhan korban. Artinya, apabila yang menjadi fokus adalah pemberian bantuan kepada korban, maka kompensasi lebih tepat diberlakukan dibandingkan restitusi. Sebaliknya, restitusi memberikan fokus terhadap upaya mendorong pertanggungjawaban pelaku terhadap korban. Berbeda dengan kompensasi yang biaya penggantian kerugiannya diperoleh melalui pajak, maka restitusi tidak bergantung pada pajak karena penggantian dibebankan langsung kepada pelaku kejahatan. Sementara itu, pihak yang bertanggung jawab dalam mengawasi jalannya restitusi adalah petugas yang sama dengan yang bertugas dalam program pembebasan bersyarat dan masa percobaan. Restitusi memiliki dua bentuk, yakni bentuk simbolik dan bentuk finansial. Dalam bentuk simbolik, restitusi dapat dilakukan melalui community service (umumnya dijatuhkan pada pelaku kejahatan terhadap benda), sementara dalam bentuk finansial, restitusi dilakukan sebagai pergantian kerugian oleh pelaku terhadap korban. Sementara itu, kategori pelaku yang seringkali diberikan hukuman ini, yakni pelaku kenakalan anak, remaja, first offender dan pelaku kejahatan ringan. Adapun tujuan dari program ini, antara lain; dapat ditujukkan pada setiap derita yang disebabkan oleh tindak kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan pelaku,
44 |
pelaku dapat mempertanggungjawabkan kejahatan yang telah dilakukan, serta tercapainya rekonsiliasi antar korban dan pelaku dan menekankan pentingnya peran korban dalam sistem peradilan pidana. II.3.17. Pengawasan (supervision) McCarthy et al., (2001) menjelaskan, tujuan dari dilakukannya program ini adalah untuk melindungi masyarakat dan menghindarkan pelaku dari pelanggaran peraturan selama masa bebas mereka. Selain itu, program ini juga dilakukan untuk meningkatkan akuntabilitas pelaku dan mendorong segala bentuk kegiatan yang mengarah pada perilaku taat hukum, seperti bekerja, mencari pekerjaan dan sekolah, dan terkadang melibatkan kegiatan pelayanan publik dan restitusi pula. McCarthy melanjutkan, terdapat 2 tipe dari program ini yakni, treatment-oriented program, yang mengharuskan pelaku untuk meningkatkan kualitas hidup mereka dan terlibat dalam berbagai kegiatan, dan surveillance-oriented programs, yang mengutamakan pada pengawasan perilaku yang bersangkutan guna tidak melanggar peraturan setelah kebebasannya. Saat ini, program pengawasan telah dilakukan di beberapa tempat, seperti Florida, New Jersey, Massachusetts, Ohio dan Maryland. Henningsen (1981) menjabarkan penerapan program ini (hal. 88), yaitu:
persyaratan
dari
1. Pelaku harus melakukan 5 kali tatap muka dengan petugas dalam satu minggu, 2. Pelaku harus melakukan 132 jam kerja sosial, 3. Pelaku harus menjalankan jam malam (curfew), 4. Pelaku harus bekerja, 5. Pelaku merupakan subjek untuk pemeriksaan rutin bagi laporan tahanan setempat,
| 45
6. Pelaku merupakan subjek dari pencatatan otomatis yang dilakukan oleh lembaga negara, dan 7. Pelaku harus melakukan tes narkotika dan alkohol secara rutin (Larasati, 2009). II.3.18. Study release Program ini merupakan salah satu bentuk pembebasan sementara, dimana para pelaku pidana ditempatkan sebagai pelajar. Dengan begitu, mereka memiliki dua peran, yakni sebagai pelajar di siang hari dan sebagai narapidana di malam hari. Program ini dikenal juga dengan educational release, yang menurut Henningsen (1981) dikutip oleh Larasati (2009), para narapidana sebagai peserta program diperbolehkan untuk menghadiri kelas di institusi akademis maupun kejuruan di masyarakat. II.3.19. Work release Program ini juga merupakan bentuk pembebasan sementara, yang memperbolehkan para narapidana untuk bekerja dan mendapatkan uang di luar institusi penjara di siang hari, dan kembali lagi sebagai narapidana di malam hari. Adapun yang membedakan study release dan work release yakni, study release membuat pengeluaran bagi institusi penjara karena setiap studi atau kursus yang dilaksanakan harus dibayar sementara work release justru dapat mengurangi biaya penjara dan memberikan penghasilan bagi para narapidana sendiri. McCarthy et al., (2001) dikutip oleh Larsaati (2009) menjelaskan bahwa program ini memperlakukan para narapidana sebagai orang bebas ketika ia sedang berada di luar penjara untuk bekerja, dan diperlakukan layaknya narapidana ketika sudah kembali ke penjara. Program ini juga memungkinkan mereka untuk menggali kemampuan dan skill, yang kelak akan berguna ketika mereka sudah bebas.
46 |
II.3.20. Community Courts Merupakan model pidana berbasis masyarakat (community corrections) yang mendorong adanya pengembangan kolaborasi antara masyarakat dengan komponen sistem peradilan pidana. McCarthy et al., (2001) menyatakan bahwa pengadilan narkotika menjadi contoh jelas dari pengadilan jenis ini. Ia menambahkan bahwa saat ini, pengadilan serupa akan dikembangkan untuk menangani pelaku kejahatan dan pelanggaran lain. II.3.21. Dispute Resolution Programs Program ini berupaya untuk menyelesaikan masalah melalui jalur informal, atau tanpa melalui jalur pengadilan. McCarthy et al., (2001) menjelaskan, asumsi dasar dari program ini adalah bahwa penyelesaian konflik tertentu dapat diselesaikan secara informal dan bahwa cara ini lebih efektif dan efisien dibandingkan penyelesaian konflik melalui jalur pengadilan. Selain itu, program ini juga ditujukan untuk menghindari masalahmasalah yang umumya ditemui dalam penyelesaian konflik lewat pengadilan, seperti ketidakpuasan, biaya dan penundaanpenundaan. Secara khusus, program ini berfokus untuk menyelesaikan masalah yang terjadi antar individu yang saling mengenal dan pada kasus-kasus kejahatan ringan. Berikut adalah beberapa program dispute resolution programs yang sudah berjalan di beberapa negara: II.3.21.1. Arbitrase Emirzon (2000) mendefinisikan arbitrase sebagai penyelesaian sengketa oleh seseorang atau beberapa orang arbitrator yang sama-sama ditunjuk oleh pihak yang berkonflik dengan tidak diselesaikan melalui pengadilan, tetapi secara musyawarah dengan menunjuk pihak ketiga, yang dituangkan dalam salah satu bagian dari kontrak (Larasati, 2009, hal. 99).
| 47
Sementara dalam UU No. 30 Tahun 1999 pasal 1 angka 1, arbitrase didefinisikan sebagai penyelesaian suatu perkara perdata di luar pengadilan umum yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Lebih lanjut, Emirzon mengidentifikasi dua jenis lembaga arbitrase, yaitu: a. Arbitrase institusional, yakni lembaga arbitrase yang sifatnya permanen atau melembaga. Di dalamnya, tersedia jasa administrasi yang mencakup pengawasan terhadap proses arbitrase, aturan-aturan sebagai pedoman bagi pihak-pihak yang bersangkutan dan pengangkatan para arbiter. b. Arbitrase ad hoc, yakni arbitrase tidak permanen atau sementara, yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan perkara tertentu sesuai kebutuhan saat itu dan setelah selesai akan dibubarkan. II.3.21.2. Mediasi Emirzon (2000) dikutip oleh mendefinisikan mediasi sebagai upaya penyelesaian perkara antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan kesepakatan bersama yang difasilitasi oleh seorang mediator yang bersikap netral dan tidak membuat keputusan bagi para pihak, dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan memungkinkan tukar pendapat untuk mencapai mufakat (Larasati, 2009). Adapun elemen dari mediasi adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
Penyelesaian sengketa sukarela Intervensi/ bantuan Pihak ketiga yang tidak berpihak Pengambilan keputusan oleh para pihak secara konsensus Partisipasi aktif
48 |
Bila dibandingkan dengan penyelesaian perkara melalui pengadilan, yang menentukan pihak mana yang menang atau kalah berdasarkan alat bukti serta bersifat tegas, maka penyelesaian perkara melalui mediasi lebih bertujuan untuk: 1. Menghasilkan suatu kesepakatan ke depan yang dapat diterima dan dijalankan oleh para pihak yang bersengketa 2. Mempersiapkan para pihak yang bersengketa untuk menerima konsekuensi dari keputusan-keputusan yang dibuat 3. Mengurangi kekhawatiran dan dampak negatif lain dari suatu konflik dengan cara membantu pihak yang berperkara untuk mencapai penyelesaian secara konsensus II.3.21.3. Negosiasi Emirzon (2000) dikutip oleh mendefinisikan negosiasi sebagai suatu upaya penyelesaian perkara para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif (Larasati, 2009, hal. 95). Dalam kesempatan tersebut, para pihak berhadapan secara langsung dan menyelesaikan perkara mereka dengan cara kooperatif dan saling terbuka. Berikut adalah elemen dasar dari penyelesain perkara ini: 1. Seorang negosiator harus mendamaikan pihak-pihak yang berperkara. Jadi, yang diserang adalah masalahnya, bukan pihak-pihak yang bersangkutan, 2. Fokus pada kepentingan, bukan pada posisi, 3. Menciptakan pilihan untuk keuntungan bersama, 4. Menuntut dengan menggunakan kriteria yang objektif, dan 5. Mengetahui alternatif terbaik bagi kesepakatan negosiasi.
| 49
Adapun negosiasi dapat berbentuk informal sampai formal. Dalam bentuk formal, negosiasi dilakukan dalam kerangka struktur dan prosedur dengan pembagian peran yang jelas, sementara dalam bentuk informal, negosiasi terkadang dilakukan secara tidak sadar dan dalam negosiasi ini tidak ada aturan diskusi atau pembahasan. II.3.21.4. Diversi Clear dan Dammer (2000) menjelaskan diversi sebagai strategi community corrections yang berupaya untuk menghindarkan pelaku dari proses formal sistem peradilan pidana. Diversi dijalankan ketika seorang pelaku sudah dituduh atas sebuah kejahatan, namun pihak yang berwenang memutuskan untuk membebaskannya baik dari penuntutan atau penghukuman yang akan ia terima. Diversi sendiri dilakukan karena beberapa alasan, namun umumnya terjadi ketika kedua belah pihak, yakni pelaku dan masyarakat dipercaya akan lebih baik kondisinya apabila kasus yang dimaksud tidak dibawa ke sistem formal. Diversi yang umum dilakukan adalah pada kasus-kasus spesifik tertentu. Sebagai contoh, kasus pecandu narkoba yang didiversi ke program pengobatan/ rehabilitasi narkoba, atau kasus penyerangan di dalam keluarga, yang pelakunya didiversi ke program konseling dan perawatan guna mengontrol perilaku kasarnya. Namun demikian, program ini sendiri masih menjadi kontroversi. Beberapa pertanyaan seperti, “Kenapa dalam kasus tertentu diversi dapat dilakukan sementara pada kasus lain tidak?”; “Apa yang akan terjadi – siapa yang akan bertanggung jawab – apabila pelaku yang menerima diversi terbukti tidak seharusnya menerima?”; dan “Apa yang akan dilakukan terhadap pelaku (yang menerima diversi) yang terlibat lagi dalam kasus kejahatan berulang?” masih menjadi catatan yang jawabannya menimbulkan pro dan kontra.
50 |
II.4. Prinsip Community-Based Correction White dan Tomkins (2003) juga menjabarkan filosofi sekaligus prinsip dari community-based corrections yang terdiri dari tiga hal. Pertama, community incapacitation, yakni program community-based corrections yang menuntut adanya pengawasan secara intensif dan pengawasan yang dilakukan dalam lingkungan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan tujuan dari program community-based corrections yakni, menjaga pelaku untuk tetap berada di bawah pengawasan dan dengan begitu menghalangi mereka untuk mengulangi tindak pidananya. Penekannya berada pada kontrol dan manajemen terhadap pelaku secara optimal. Kedua, rehabilitasi, yakni melibatkan upaya untuk melakukan perubahan dan memodifikasi perilaku pelaku melalui mengikutsertakan mereka di dalam program-program terapi maupun pengembangan kemampuan. Hal ini terkait dengan tujuannya, yakni dalam hal pencegahan pelaku menjadi residivis melalui modifikasi perilaku. Penekanannya berada pada pengembangan personal dan kapabilitas pelaku. Ketiga, restorative justice, ykani melibatkan upaya untuk mengikutsertakan pelaku di dalam aktivitas yang berintensi untuk memperbaiki atau memulihkan perlukaan dan kerugian korban dan masyarakat dalam lingkup yang lebih luas. Hal ini terkait dengan tujuan dalam hal merestorasi keselarasan terkait tindak kejahatan yang dilakukan pelaku dengan upaya memperbaiki kondisi dirinya dan komunitasnya. Penekannya berada pada upaya perbaikan diri pelaku, korban, dan masyarakat. Sementara itu, McCarthy et al., (2001) juga memaparkan prinsip dari implementasi community-based corrections, yang adalah sebagai berikut. 1. Perlindungan terhadap masyarakat Semua program community-based corrections harus dihubungkan dengan isu perlindungan terhadap masyarakat,
| 51
dengan menentukan kelayakan terdakwa. Adapun kelayakan tersebut ditentukan melalui beberapa proses seleksi; yang dilakukan melalui peninjauan kasus per kasus dari masing-masing individu yang memenuhi syarat kelayakan. Sebagai tambahan dari proses seleksi yang dilakukan secara hati-hati tersebut, program community-based corrections juga membuat penilaian mengenai jenis pembatasan atau tingkat kontrol (level of control) yang diberlakukan terhadap masingmasing terdakwa, ketika pembabasan ke dalam masyarakat nanti berlangsung. Aturan-aturan dan penegakkan aturan digunakan untuk mencegah para terdakwa terlibat dalam bentuk perilaku yang tidak seharusnya dan untuk mengidentifikasi, sebelum kejahatan terjadi, orang-orang tertentu yang tidak dapat diatur atau dipelihara di dalam masyarakat. Meskipun program-program community-based corrections tidak dapat mencapai tingkat kontrol seperti di dalam penjara, namun program-program ini mampu menyediakan kepada para terdakwa, peninjauan yang cukup bagi tingkat resiko yang dihadapi masing-masing program. Risk assessment (proses mengidentifikasi dan menglasifikan resiko terdakwa) dan risk management (perkembangan tingkat struktur dan pengawasan yang cukup bagi masing-masing tingkat resiko) menajdi tantangan terbesar yan dihadapi oleh community-based corrections. 2. Proporsionalitas Prinsip proporsionalitas menjadi pokok dari sistem peradilan pidana, terutama di Amerika Serikat. Masyarakat Amerika sepakat bahwa hukuman harus sesuai dengan kejahatannya. Sementera itu, jenis-jenis perilaku yang masuk dalam kategori pelanggaran dan kejahatan sangat luas dan beragam
52 |
jenisnya; perilaku yang dilarang, dari yang tidak merusak sampai merusak dan membahayakan, serta jenis pelanggaran terhadap orang, pelanggaran properti, sampai pelanggaran terhadap hukum. Begitu pula dengan pelakunya, dari mulai pelaku naif yang baru pertama kali melanggar hukum sampai dengan predator kronis, serta jenis lain diantara keduanya. Dengan demikian, menjadi upaya yang tidak mudah untuk menemukan jenis penghukuman yang tepat bagi beragamnya jenis-jenis perilaku tersebut, dimana sanksi yang bersifat rangkaian kesatuan (continuum) menjadi sebuah kebutuhan tersendiri. Pemenjaraan, di satu sisi, menjadi jenis penghukuman yang kurang tepat bagi seluruh jenis pelanggaran maupun kejahatan yang ada. Pemenjaraan hanya berfungsi semata-mata untuk membatasi, dan jenis-jenis tingkat keamanan serta program treatment yang diberlakukan kurang dapat memberikan dampak yang variatif. Community-based corrections menyediakan sanksi dan program yang berangkai, yang kemungkinan tepat bagi tidak hanya kejahatannya, tapi juga pelaku kejahatan. Meskipun fokus semula yang diusung melalui program-program community-based corrections adalah isu mengenai reintegrasi dan efektivitas biaya, namun perhatian yang lebih besar saat ini adalah mengenai bagaimana membuat sanksi seperti program masa percobaan, dibuat tepat untuk pelaku dengan tindak kejahatan yang lebih serius. Tujuan dari perhatian tersebut adalah untuk ‘memperhalus’ alternatif berbasis masyarakat ini untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan lebih baik lagi, yakni untuk melindungi dan untuk mengurangi biaya pengurungan. Banyak program-program community-based correctional yang berperan sebagai intermediate punishment, yakni alternatif terhadap masa percobaan atau pemenjaraan tradisional. Di satu sisi, para terdakwa membutuhkan program-program reintegratif untuk memfasilitasi kehidupan yang taat hukum, serta banyak dari
| 53
mereka yang tidak dapat dilepas begitu saja ke masyarakat. Namun di sisi lain, banyak pula para terdakwa yang berhak atas penghukuman yang tidak lebih kejam dari penjara namun lebih berat dari sekedar denda atau masa percobaan dengan minim pengawasan. 3. Rehabilitasi dan Reintegrasi Meskipun semua program dan kebijakan pemasyarakatan mengacu pada isu rehabilitasi, program-program community correctional disusun dan dioperasikan untuk memberikan dampak yang penuh manfaat. Namun demikian, manfaat rehabilitatif yang ditawarkan oleh community-based corrections lebih dari dampak kebetulan dari strategi kontrol. Strategi tersebut memperbolehkan para terdakwa untuk memelihara ikatan dengan masyarakat dan membantu pengembangan hubungan baru dan yang lebih positif. Tujuan lanjutan ini kemudian disebut sebagai reintegrasi. Reintegrasi muncul berdasarkan premis bahwa kejahatan dan kenakalan anak adalah gejala dari disorganisasi atau kekacauan masyarakat di satu sisi, dan bukti atas adanya permasalahan psikologis dan perilaku. Kegagalan komunitas atau masyarakat dilihat sebagai “perampasan hubungan antara pelaku dengan institusi-institusi yang pada dasarnya bertanggung jawab dalam memberikan jaminan atas perkembangan hubungan atau perilaku yang taat hukum: yang adalah kehidupan keluarga, sekolah yang baik, perekrutan kerja, kesempatan rekreasi dan rekan yang diinginkan. Strategi reintegrasi sendiri mencoba untuk memperbaiki hubungan positif antara pekau dengan masyarakat dalam konteks kerja, keluarga dan hubungan sosial. Adapun yang menjadi target dari strategi tersebut adalah mereka yang memang dihukum untuk menjalani program community-based corrections, atau mereka yang telah selesai menjalani masa pemenjaraan dan sedang
54 |
mempersiapkan kebebasannya atau pengawasan paska-kurungan di dalam masyarakat (pembebasan bersyarat). Program pembebasan semacam ini (graduated release) didesain untuk mengurangi dampak kejam atas transisi mendadak antara penjara dan kebebasan. Dalam rangka mencapai tujuan dari reintegrasi, program community-based corrections harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Lokasi serta komunitas yang berarti (meaningful community, yakni lingkungan yang menawarkan kesempatan yang sesuai seperti apa yang dibutuhkan oleh pelaku. Umumnya adalah komunitas yang menjadi rumah bagi pelaku atau lingkungan yang mirip dengan tempat dimana pelaku akan dapat tinggal secara nyaman). b. Lingkungan non-aman, yakni lingkungan yang diatur dengan pembatasan fisik minimum; sebagai contoh rumah pelaku, rumah pengganti, atau jenis tempat tinggal komunal dimana pelaku tinggal sebagai orang yang bertanggung jawab dengan pengawasan minim. c. Pendidikan community-based, pelatihan, konseling dan layanan dukungan. Program-program ini disediakan oleh lembaga non pemasyarakatan dan swasta, serta para staf pemasyarakatan yang diorganisir ke dalam jenis layanan service-delivery network. d. Kesempatan untuk mengambil peran sosial sebagai warga kota pada umumnya, anggota keluarga, siswa atau pegawai. e. Kesempatan untuk tumbuh dan berubah. Kesempatan semacam ini dapat dimungkinkan melalui keterlibatan pelaku di dalam kegiatan yang mengedukasi dan memberdayakan, serta menguji para pelaku untuk dapat hidup secara mandiri. Perlu diperhatikan bahwa ujian yang
| 55
dimaksud harus dilakukan di dalam lingkungan yang dapat menyikapi kegagalan dengan toleransi, dukungan dan bimbingan, serta pemberian penghargaan atas kesuksesan dengan meningkatkan tanggung jawab. Terdapat penelitian yang membuktikan bahwa banyak elemen dari program community-based corrections telah berhasil mengurangi angka residivis pada beberapa kelompok pelaku. Kebanyakan dari program rehabilitasi dan reintegrasi yang saat ini digalakkan memiliki fokus dalam menentukan elemen mana dari program mana, yang mampu berhasil pada jenis pelaku yang mana. 4. Restorasi dan Keadilan Masyarakat Restorative justice dalam beberapa hal bertujuan sebagai upaya reintegratif, namun dengan pengembangan peran bagi korban kejahatan di dalam proses reparasinya. Konsep mengenai restorative justice sendiri merupakan konsep yang sudah lama diusung oleh sistem penyelesaian konflik kuno. Kemudian di tahun 1970-an dan 1980-an melaui gerakan yang memperjuangkan hakhak korban kejahatan, muncul program seperti mediasi dan resolusi perselisihan. Restorative justice sendiri merupakan sebuah konsep yang menekankan pada perlindungan komunitas dan pertanggung jawaban pelaku. Sementara itu, ketika penekanan pada perlindungan komunitas atau masyarakat menggantikan peran korban di dalam proses restorasi, maka digunakanlah terminologi keadilan komunitas atau masyarakat. Pada banyak kasus, restorative justice sendiri berfokus pada kasus pidana oleh remaja, mengingat umumnya korban bersedia untuk berpartisipasi di dalam proses dan perhatian masyarakat terbilang tinggi bila melibatkan anak/ remaja.
56 |
Salah satu contoh dari program restorative justice melibatkan adanya pernyataan dari korban mengenai dampak yang ia terima. Dalam hal tersebut, korban mengeskpresikan perhatian mereka di hadapan pengadilan dan jaksa; dimana korban diberikan kesempatan untuk berhadapan dengan kelompok pelaku dan mengutarakan kemarahan serta kegusaran yang mereka alami sebagai dampak dari kejahatan yang dilakukan pelaku; dewan reparasi kota (citizen reparation boards), yang adalah vounteer terlatih, untuk memberikan pemahaman kepada para pelaku mengenai dampak yang timbul karena kejahatan yang dilakukan serta pekerjaan yang harus dilakukan guna mengganti rugi kerusakan atau dampak tersebut. 5. Efektivitas Biaya Biaya yang dibutuhkan dalam memelihara dan mengembangkan sistem penghukuman tergolong besar. Dalam rangka menjamin fungsi perlindungan terhadap masyarakat, sekaligus menyediakan tingkat hukuman dan rehabilitasi yang tepat, program dan sanksi community-based corrections berupaya untuk memberikan penghukuman dengan biaya rendah. Namun demikian, berbicara mengenai efektivitas biaya yang ditawarkan oleh program dan sanksi community-based corrections ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus dibandingkan dengan jenis penghukuman lain, yang dalam hal ini sering dibandingan dengan biaya pemenjaraan atau kurungan. Hasil yang diperoleh pun menunjukkan bahwa biaya pemenjaraan lebih mahal dibanding program dan sanksi community-based corrections. Beberapa jenis hukuman menghabiskan biaya yang lebih besar bila dibandingkan dengan jenis lainnya, dan jenis-jenis hukuman yang tidak menggunakan kurungan cenderung memiliki biaya operasional yang lebih kecil. Namun demikian, memang menjadi hal yang sulit untuk melihat jumlah biaya yang dapat
| 57
tersimpan, mengingat biaya operaisonal di penjara atau kurungan sendiri masih dilakukan selama ada penghuni. Dengan kata lain, pindahnya beberapa kelompok pelaku dari penjara atau kurungan ke program community-based corrections hanya memberikan ruang lebih di dalam penjara kepada pelaku lainnya – sesuai harapan sosial namun sulit melihat hasil penekanan biayanya. Sementara itu, Snarr (2001) dikutip oleh Larasati (2009) juga menjabarkan beberapa alasan yang mendasari pemikiran mengenai community-based corrections, yakni: 1. Ketidakpuasan akan lembaga (Dissatisfaction with institution) Meskipun pada awalnya penjara berhasil menjadi sebuah reformasi atas model penghukuman badan (capital punishment), namun dewasa lebih banyak pembahasan yang justru membuktikan bahwa hukuman penjara memiliki lebih banyak kerugian dan dampak negatif. Adapun kerugian dan dampak negatif tersebut diantaranya adalah, overcrowded (yang berimplikasi pada tidak terpenuhinya hak-hak pelaku pidana), anggaran yang minim, sering terjadi kerusuhan, tidak aman bagi narapidana dan petugas, serta kurangnya program-program yang bermanfaat. Dari sini lah, konsep mengenai penghukuman berbasis masyarakat terus dikembangkan, yang biasa pula disebut dengan deinstitusionalisasi, mengingat institusionalisasi oleh penjara dipandang tidak lagi efektif. 2. Kemanusiaan (Humanitarian) Isu mengenai kemanusiaan muncul seiring dengan terjadinya deprivasi di dalam penjara. Oleh karenanya, penghukuman berbasis masyarakat dirasa lebih tepat dalam memenuhi hak-hak pelaku pidana serta memenuhi rasa kemanusiaan dibanding penghukuman di dalam penjara.
58 |
3. Efektivitas biaya (Cost effectiveness) Berbicara mengenai biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan penghukuman, maka sanksi dan program communitybased corrections memiliki tingkat biaya yang lebih minim bila dibandingkan dengan penghukuman oleh institusi (penjara). Terlebih, pelaku pidana yang menjalani community-based corrections memiliki kesempatan untuk memperoleh penghasilan dan membayar pajak - yang merupakan bagian dari program community-based corrections – maka biaya akan dapat diminimalisir. 4. Administrasi peradilan yang lebih memadai (More adequate justice administration) Melalui program community-based corrections, peran dan kerjasama antara polisi, pengadilan dan lembaga koreksional akan lebih mampu dikedepankan. Community-based corrections akan meningkatkan kegiatan koreksional dan membuka peluang akan adanya manajemen peradilan yang terkoordinasi. 5. Sanksi pengganti (Intermediate sanctions) Community-based corrections dilihat sebagai sanksi pengganti yang dapat menjadi model pidana pengganti dalam menanggulangi biaya operasional pemenjaraan. II.5.
Hambatan dan Peluang Pelaksanaan Community-Based Corrections II.5.1. Penolakan oleh Publik di Awal Perkembangan Community-Based Corrections
Trotter (1993) menjelaska bahwa sebuah tinjauan mengenai masa percobaan di Viktoria oleh Probation Review Committee pada tahun 1985 menemukan bahwa tidak ada program koreksional berbasis masyarakat yang bekerja lebih baik
| 59
(dalam mengurangi angka residivis) dibandingkan programprogram lainnya. Temuan tersebut didukung oleh studi yang dilakukan Robert Martinson di Amerika Serikat, mengenai efektivitas dari program koreksional, termasuk di dalamnya program-program community-based. Ditemukan bahwa program rehabilitasi yang digalakkan selama kurun waktu tersebut tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap residivisme. Selain itu, Whitehead and Lab di tahun 1989, juga menyimpullkan – dalam studinya mengenai efektivitas program treatment koreksional terhadap remaja, termasuk di dalamnya program community-based – bahwa intervensi yang dilakukan hanya memiliki sedikit dampak positif terhadap residivisme dan justru lebih banyak mempertajam masalah yang telah ada. Banyak upaya-upaya communiy-based corrections yang semula dikritisi karena program dan sanksi-nya bertolak belakang dengan pendekatan “perbaikan-melalui-isolasi” (“reform-throughisolation”). Barulah di tahun 1950-an dan 1960-an, konsep umum mengenai community-based corrections mulai mendapat pengakuan dan dukungan (McCarthy et al., 2001). Pengakuan dan dukungan tersebut sejalan dengan temuantemuan yang muncul terkait dengan ketidakefektikan pidana penjara. Penelitian oleh Agustina (1996) menemukan bahwa pidana penjara atau perampasan kemerdekaan terbukti kurang efektif karena adanya proses prisonisasi di dalam lembaga pemasyarakatan yang kemudian justru meningkatkan angka residivis para pelaku pidana (Larasati, 2009). Selain itu, Usman (1995) menyatakan bahwa pidana penjara kurang menguntungkan dan justru cenderung merugikan, bila dilihat berdasarkan penelitian-penelitian mengenai
60 |
permasalahan yang muncul di dalam penjara (Larasati, 2009). Lebih lanjut lagi, dikatakan bahwa banyaknya tinjauan dan kritik mengenai efektivitas penjara serta akibat negatif yang justru diakibatkan oleh penjara, semakin membangun kecenderungan (dalam skala internasional) untuk menghindari atau membatasi penggunaan pidana penjara dan memperbaiki pelaksanaan penjara itu sendiri. Penghindaran atau pembatasan ini sama artinya dengan melakukan upaya untuk menggantikan pidana penjara dengan pidana alternatif lainnya, yang bersifat institusional. Upaya tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Nelson (1967), bahwa perkembangan konsep pidana alternatif sebagai ganti atas pidana penjara sebetulnya merupakan upaya yang menggambarkan bagaimana seharusnya sistem pemasyarakatan memberikan tempat lebih kepada pembinaan pelaku yang berbasis masyarakat. Selama ini kesulitan yang dihadapi dalam mengintegrasikan kembali pelaku kejahatan ke masyarakat terletak pada stigma atau label yang melekat pada diri mereka terkait perbuatan jahatnya tersebut (Larasati, 2009, hal. 19). II.5.2. Langkah Awal di Indonesia Terkait dengan tuntutan dunia internasional, isu mengenai pidana alternatif juga sudah mulai dituangkan di dalam instrumen hukum Indonesia, yakni khususnya Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Pidana. Dalam RKHUP tersebut, disebutkan salah satu jenis alternatif pidana pokok baru, yakni pidana pengawasan yang adalah bentuk penyempurnaan dari pidana bersyarat yang sudah ada ketentuannya dalam KUHP namun jarang dipraktikan. Pidana bersyarat sendiri, menurut penelitian Fitriasih (1997), pada umumnya dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku tertentu dengan alasan tindak pidana cenderung ringan, telah
| 61
terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, telah dilakukan ganti rugi, tindak pidananya tidak menarik perhatian masyarakat. Sementara dari segi pertimbangan pelaku yakni; umur masih muda atau berusia lanjut, karena keadaan tertentu keluarga, belum pernah dihukum, memiliki harapan untuk memperbaiki diri, sikap terdakwa selama persidangan, disiplin dan taat agama, status sosial ekonomi dan kedudukan yang baik di masyarakat. Namun demikian, pelaksanaan pidana bersyarat di Indonesia sendiri masih banyak mengalami kendala dan kekurangan, seperti dalam hal pengawasan dann pembinaan, peraturan perundangundangan, dalam bidang sarana dan prasarana dan dalam proses penjatuhan (Larasati, 2009). Selain pidana bersyarat, pidana alternatif yang sudah dilakukan di Indonesia dan berbasis pada community-based corrections adalah penyelenggaran Lembaga Pemasyarakatan Terbuka (Lapas Terbuka). Menurut penelitian Kholisa (2006), Lapas Terbuka menggunakan konsep community-based corrections, dimana masyarakat diharapkan ikut terlibat dalam proses reintegrasi narapidana. Kegiatan di Lapas Terbuka ini sendiri melingkupi kegiatan di luar dan di dalam lembaga, namun lebih ditekankan pada program non institusionalnya. Sejak tahun 2003, community-based corrections sendiri sudah dijalankan bagi para pelaku pidana di Indonesia, yang diawali dengan didirikannya 6 Lapas Terbuka di 6 wilayah berbeda oleh Departemen Hukum dan HAM (Larasati, 2009). Adapun Johari (2006) dikutip oleh Larasati (2009), mendeskripsikan perwujudan Lapas Terbuka sebagai model dari community-based corrections yang dijalankan di Indonesia, yakni; kondisi fisik bangunan Lapas yang terbuka, tanpa sekat dan tembok tebal yang memungkinkan para narapidana untuk berinteraksi lebih lanjut dengan masyarakat, yang pada akhirnya
62 |
juga bertujuan untuk memberikan kebebasan lebih kepada mereka (hal. 27). Tujuan dari Terbuka ini secara spesifik, yakni: 1. Mereduksi jumlah narapidana di sejumlah lembaga pemasyarakatan, 2. Menjadi tahap asimilaasi yang riil di dalam masyarakat, dimana para narapidana diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat, 3. Melibatkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses mendidik warga binaan (hal. 28). Lapas Terbuka menjadi bagian dari model communitybased corrections dikarenakan ada pengikutsertaan dan partisipasi peran masyarakat di dalamnya guna mereintegrasi para narapidana. Meskipun demikian, Johari (2006) menemukan bahwa di Lapas Terbuka Gandul-Cinere, peran masyatakat masih sangat minim. Model pidana alternatif lainnya adalah mediasi. Model ini disampaikan penelitian Priyadi (2003) yang menyebutkan bahwa mediasi merupakan alternatif penyelesaian konflik sosial, terutama konflik lingkungan. Dalam penelitiannya tersebut, ia berfokus pada penyelesaian sengketa menggunakan model mediasi guna menyelesaikan sengketa lingkungan. Sementara itu, model penghukuman alternatif lainnya lebih menekankan pada beberapa kelompok pelaku tertentu, seperti anak-anak. Diversi menjadi model penghukuman alternatif yang tepat bagi anak. Pohan (2004) menyebutkan bahwa sistem peradilan pidana merupakan sistem yang kurang tepat untuk diberlakukan bagi pelaku anak karena terlalu keras dan kasar. Ia menyarankan untuk menyediakan ruang lebih banyak bagi dilakukannya diversi, sebagai upaya hukum ekstra legal (Larasati, 2009).
| 63
Maka dari itu, Larasati (2009) menyimpulkan bahwa, berdasarkan tinjauan-tinjauan yang telah dilakukan, pidana penjara mulai menuai kritik akan efektivitas penyelenggarannya, dan bahkan justru menimbulkan masalah dan dampak negatif terhadap para pelaku pidana di dalamnya. Berdasarkan tinjauan ini, sekaligus dengan adanya transformasi dan tuntutan dari dunia internasional, sistem pidana di Indonesia juga perlahan mengalami transformasi. Hal ini terwujud melalui RKUHP - yang memuat jenis pidana alternatif yakni, kerja sosial, pengawasan, pidana verbal dan pembinaan di luar lembaga – dan Rancangan UU Peradilan Anak – yang memuat program alternatif seperti diversi dan restorative justice. II.5.3. Faktor Pendukung Implementasi Community-Based Corrections Burdman (1969) mengidentifikasi beberapa hal yang dapat dilakukan guna menghasilkan praktik community-based corrections yang baik, yaitu: 1. Ada persetujuan dari pihak organisasi, profesional, politisi dan publik, 2. Pemahaman dan koordinasi yang baik antara hakim di pengadilan dengan staf balai pemasyarakatan sebagai pihak yang berperan dalam putusan hukuman pelaku kejahatan, 3. Pendefinisian yang jelas tentang peran staf dan meningkatkan mutu dalam seleksi dan latihan staf, 4. Memperhatikan dan mengevaluasi setiap implikasi yang muncul, 5. Melakukan evaluasi dan umpan balik terhadap para staf berdasarkan hasil penelitian (Larasati, 2009, hal. 21).
64 |
Terkait dengan pengembangan dan tuntutan dunia internasional mengenai penggunaan pidana alternatif dan community-based corrections, sudah ada beberapa negara yang mempraktikannya.
BAB III PRAKTIK PENERAPAN COMMUNITY-BASED CORRECTIONS DI NEGARA-NEGARA LAIN
Community-based corrections sebagai alternatif pemenjaraan telah diterapkan di negara-negara di dunia. Bagian ini akan menggambarkan bagaimana praktik penerapan community-based corrections di negara lain, yakni Cina, Amerika Serikat, Selandia Baru, Australia, dan Filipina. Gambaran mengenai praktik-praktik tersebut diharapkan dapat memberikan contoh mengenai strategi implementasi yang dapat diterapkan juga di Indonesia. III. 1 Cina Dalam jurnal yang berjudul Community Correction in China: Development and Challenges yang dipublikasikan tahun 2013 lalu, dijelaskan bagaimana praktik pelaksanaan community-based corrections di Cina. Studi ini menggunakan metode penelusuran literatur sebagai metode utama dalam pengumpulan data. Selain itu, wawancara juga dilakukan dengan pimpinan dan petugas community corrections lokal di Hubei untuk mengonfirmasi hasil temuan data dari studi literature yang dilakukan. Wawancara dilakukan di 6 komunitas kota, 5 desa di rural area, dan satu komunitas di kota kecil selama Juni-Oktober 2012. Pada dasarnya, sebelum tahun 2003 dimana hukum formal dan community corrections diimplementasikan dalam skala besar, Cina sudah memiliki mekanisme pencegahan kejahatan yang berbasis pada tradisi moral. Sejak 1949 hingga saat penelitian ini dilakukan, Cina memiliki 5 (lima) tipe sanksi legal yang sama dengan community corrections, yakni pengawasan publik (public surveillance), hukuman percobaan (probation), pembebasan
66 |
bersyarat (parole), pelaksanaan hukuman sementara di luar penjara, dan perampasan hak-hak politis. Secara umum, sebelum tahun 2003, pengamanan publik bertanggungjawab atas sanksisanksi tersebut di dalam masyarakat. Untuk lebih detilnya, pada daerah rural, polisi memiliki tanggungjawab resmi dalam memberikan sanksi-sanksi tersebut dengan bantuan masyarakat daerah setempat dimana pelaku tinggal sebelum dijatuhi hukuman. Di urban area, polisi lokal bertanggungjawab untuk melakukan eksekusi sanksi dengan bantuan dari unit kerja dimana pelaku sebelumnya bekerja atau lingkungan dimana pelaku tinggal sebelum menjalani masa hukuman. Karena polisi memiliki tanggung jawab lainnya, pelaksanaan community-based corrections bergantung lebih banyak pada komite masyarakat lokal setempat (di pedesaan maupun perkotaan). Lebih jauh lagi, community-based correction juga tidak memiliki aturan yang jelas dan detil. Hasilnya, pelaku sering luput dari pengawasan. Walaupun sebelum tahun 2003 pelaksanaan community correction belum mapan dan tidak diberlakukan secara tegas, angka residivis pada saat itu tetap rendah. Residivisme juga tidak menarik perhatian publik ataupun Sistem Peradilan Pidana. Terdapat dua faktor yang mendorong terjadinya kondisi ini. Pertama, rendahnya angka residivis berkaitan dengan rendahnya mobilitas tempat tinggal dan tingginya tingkat kontrol sosial dan pencegahan kejahatan secara informal. Oleh karenanya, ketika narapidana dikirimkan kembali pada komunitasnya, masyarakat lokal mengetahui narapidana tersebut dengan baik dan melakukan pengawasan terhadapnya. Kedua, rendahnya tingkat residivisme juga berkaitan dengan kebijakan kewajiban kerja di dalam penjara. Dari tahun 1951 hingga 1953, narapidana dengan hukuman penjara singkat kembali ke masyarakat dan banyak diantaranya yang mengulangi kesalahan tersebut. Untuk mengurangi angka residivisme, pemerintah Cina mengadopsi kebijakan yang
| 67
menyebutkan bahwa para narapidana yang hasil evaluasinya menunjukkan kecenderungan untuk melakukan tindak pidana kembali dan narapidana yang tidak memiliki tempat untuk tinggal setelah selesai menjalankan masa hukumannya tetap berada di penjara untuk bekerja setelah mereka selesai menjalani masa hukumannya. Di tahun 1978, Cina kemudian beralih pada pencegahan kejahatan yang berbasis pada hukum formal. community correction merupakan salah satu dari sekian banyak praktik tren pencegahan kejahatan berbasis hukum formal tersebut. Pemerintah Pusat Cina secara resmi mengadopsi konsep community correction dan memulai program uji cobanya di enam propinsi dan kota pada tahun 2003 dan kemudian berkembang di 31 propinsi pada tahun 2009. Terdapat beberapa perubahan di Cina yang membawa dampak pada penggunaan hukum formal dan community correction dalam skala besar di tahun 2003. Pertama, sejak reformasi ekonomi terjadi di tahun 1978, angka kejahatan di Cina meningkat drastis dan menyebabkan terjadinya kondisi overcrowded yang akhirnya menuntut agar dibangun sistem dengan anggaran yang efektif. Kedua, kebijakan yang mewajibkan narapidana untuk bekerja di dalam penjara setelah selesai menjalani masa hukumannya dihentikan setelah tahun 1980-an dan mereka wajib kembali ke masyarakat. Ketiga, reformasi ekonomi yang semakin menguat membuat migrasi internal semakin meningkat. Dikarenakan narapidana secara umum menghadapi masalah dalam mencari pekerjaan daripada orangorang pada umumnya, mereka memilih untuk pindah ke tempat yang lebih terpencil untuk bekerja. Selain itu, dikarenakan kurangnya sumber daya manusia untuk mengimplementasikan community correction, narapidana yang diharuskan menjalani masa hukumannya di dalam lingkungan masyarakat lokal
68 |
seringkali dengan bebas berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Keempat, efektivitas biaya merupakan faktor lain yang membawa community correction pada bentuk yang lebih formal dan professional. Kebutuhan akan efektivitas biaya dalam penghukuman ini, bersamaan dengan maslah overcrowded dan residivisme, membuat pengambil kebijakan menilai community correction sebagai alternatif penghukuman di saat ini maupun di masa depan. Community correction kemudian berkembang dengan cepat hingga saat ini. Pada 10 Juli 2003 hingga 2009, tercatat tiga kali pertemuan yang diikuti oleh bagian-bagian yang memiliki peranan krusial dalam Sistem Peradilan Pidana di Cina. Pertemuan tersebut membahas program uji coba terkait community correction dan perkembangannya. Hingga tahun 2009, program community correction telah berkembang di 94% daerah dan 89% kota di seluruh wilayah Cina. III. 1. 1 Model Sanksi Community Corrections di Cina Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat 5 (lima) tipe sanksi legal yang diberlakukan dalam Community Correction di Cina, yakni pengawasan publik (public surveillance), hukuman percobaan (probation), pembebasan bersyarat (parole), pelaksanaan hukuman sementara di luar penjara, dan perampasan hak-hak politis. III. 1. 1. 1 Pengawasan Publik (Public Surveillance) Pengawasan publik mulai diterapkan oleh Partai Komunis Cina sebelum berdirinya Republik Rakyat Cina untuk menghukum para pelaku kontra-evolusioner. Sebelum 1956, pengawasan publik digunakan oleh pengadilan atau bagian pengamanan publik dengan menerapkan sanksi kriminal maupun sanksi administratif.
| 69
Sejak 1956-1979, pengawasan publik digunakan hanya oleh pengadilan dan dijatuhkan kepada pelaku kontra-evolusioner dan kejahatan terhadap properti. Pada tahun 1979, Republik Rakyat Cina untuk pertama kalinya mengesahkan aturan hukum pidana dimana pengawasan publik disebutkan sebagai salah satu dari lima hukuman pokok. Kelima hukuman pokok tersebut diberlakukan hingga tahun 2011. Sejak 1997, terminologi kontraevolusioner diubah menjadi “membahayakan keamanan negara”. Pengawasan publik merupakan sanksi kriminal yang diaplikasikan terhadap pelaku pidana yang membahayakan keamanan negara dan keamanan publik, atau pelaku kejahatan terkait properti dan kejahatan lainnya. Sanksinya tidak mengharuskan pelaku menjalani hukuman di dalam penjara untuk periode waktu tertentu, melainkan hanya menjalani community correction. Hukuman pengawasan publik berlangsung antara 3 bulan hingga 2 tahun. Berdasarkan pasal 39 aturan pidana edisi revisi tahun 2011, mereka yang dihukum pidana pengawasan publik diharuskan: a) Mematuhi aturan hukum dan administrative dan tunduk kepada pengawasan b) Tanpa adanya persetujuan otoritas penegak hukum, narapidana tidak berhak atas kebebasan bersuara, pers, berkumpul, berasosiasi, berprosesi, dan berdemonstrasi c) Melaporkan aktivitas mereka kepada otoritas eksekutif d) Mengajukan izin persetujuan otoritas penegak hukum jika meninggalkan kota, daerah, atau lokasi tinggal saat ini. III. 1. 1. 2 Hukuman Percobaan (Probation) Hukuman percobaan pertama kali muncul dalam Hukum Kriminal Qing pada 1991, walaupun hukum ini tidak diimplementasikan hingga akhir dinasti Qing. Pada era
70 |
Kuomingtang, hukuman percobaan didefinisikan dan dipraktikan dalam hukum kriminal. Pada Republik Rakyat Cina (RRC), hukuman percobaan muncul pada aturan mengenai suap pada tahun 1952. Ketika aturan hukum pertama RRC dibuat tahun 1079, hukuman percobaan menjadi bagian didalamnya. Revisi naskah terakhir aturan pidana menyebutkan kriteria pelaku pelanggaran hukum yang pantas atau tidak pantas dijatuhi hukuman percobaan. Berdasarkan pasal 72 aturan pidana edisi revisi tahun 2011, terpidana yang dijatuhi hukuman penahanan atau tiga tahun penjara dapat menjalani hukuman mereka di masyarakat asalkan: 1) mereka berusia dibawah 18 tahun, 2) perempuan hamil, dan berusia diatas 75 tahun, atau memiliki kondisi-kondisi sebagai berikut: a) b) c) d)
Pelanggaran yang dilakukan adalah pelanggaran minor Menunjukkan sikap bertobat Tidak memiliki risiko melakukan pelanggaran hukum Pengurangan hukuman tidak boleh memiliki efek merugikan yang signifikan di dalam komunitas lokal
Pasal 74 aturan pidana edisi revisi tahun 2011 menyatakan bahwa pelaku pengulangan pidana dan pimpinan kelompok kriminal tidak dapat dipidana dengan hukuman percobaan. Narapidana yang dipidana dengan hukuman percobaan memiliki kewajiban yang sama dengan mereka yang dipidana pengawasan publik. Jika terjadi tindak pidana apapun, pengadilan yang memutus perkara akan memodifikasi kondisi atau menghukum kembali pelakunya. III. 1. 1. 3 Pembebasan Bersyarat (Parole) Sebagaimana praktik pembebasan bersyarat di Amerika, pembebasan bersyarat di Cina juga merujuk pada kondisi narapidana yang dengan syarat tertentu bebas dari fasilitas penjara untuk kembali ke masyarakat dan menyelesaikan masa
| 71
hukumannya bukan di dalam penjara, melainkan di dalam masyarakat tempat ia kembali. Tidak seperti di Amerika, pembebasan bersyarat di Cina diputuskan oleh pengadilan, bukan badan yang khusus menangani pembebasan bersyarat. Dalam pasal 81 aturan pidana edisi revisi tahun 2011, disebutkan bahwa pembebasan bersyarat dapat diberikan kepada narapidana yang telah dihukum selama periode waktu tertentu dan minimal telah melaksanakan setengah dari keseluruhan masa hukumannya, narapidana yang dihukum seumur hidup, telah menjalani masa hukuman selama 13 tahun di dalam penjara, taat pada atura-aturan yang berlaku di dalam penjara, telah melaksanakan pendidikan dan perubahan, telah menunjukkan sikap bertobat, dan hasil evaluasinya tidak menunjukkan adanya risiko menjadi residivis selama melaksanakan pembebasan bersyarat. Sebagai tambahan, aturan tersebut juga menyebutkan bahwa terdapat subyek-subyek yang tidak berhak mendapatkan pembebasan bersyarat, yakni: pelaku pengulangan pelanggaran, narapidana hukuman mati, pelaku pembunuhan berencana, pelaku pemerkosaan, pelaku penyuapan, pelaku penculikan, pelaku pembakaran, pelaku penyebaran zat berbahaya, atau pelaku kejahatan kekerasan yang terorganisasi dengan hukuman penjara selama 10 tahun atau lebih, dan hukuman seumur hidup. Pada akhirnya, narapidana yang dihukum di pusat penahanan tidak termasuk dalam kriteria yang berhak mendapatkan pembebasan bersyarat karena durasi hukumannya yang singkat. Semua keputusan yang dibuat petugas pelaksana pembebasan bersyarat harus mempertimbangkan risiko kandidat penerima pembebasan bersyarat di dalam masyarakat dimana ia akan tinggal selama menjalankan masa pembebasan bersyarat tersebut. Kandidat penerima pembebasan bersyarat dengan masa pemejaraan yang tetap harus menjalankan sisa masa hukumannya di fasilitas penjara yang berada di dalam masyarakat lokal.
72 |
Kandidat penerima pembebasan bersyarat dengan hukuman seumur hidup harus menjalankan masa pidana 10 tahun dibawah community correction. Seorang kandidat penerima pembebasan bersyarat harus memenuhi aturan yang sama sebagaimana hukuman masa percobaan. III. 1. 1. 4 Pelaksanaan Hukuman Sementara di Luar Penjara Di Cina, pelaksanaan hukuman sementara di luar fasilitas penjara adalah status bebas sementara dari penjara bagi narapidana yang kemudian melanjutkan masa hukumannya tersebut di dalam masyarakat. Berbeda dengan pidana pengawasan publik, hukuman percobaan, dan pembebasan bersyarat, pidana ini hanya diberikan kepada narapidana yang dihukum penjara atau hukuman penjara dengan masa hukuman tetap dengan kriteria/kondisi sebagai berikut: a) Memiliki penyakit serius, secara medis membutuhkan pembebasan bersyarat b) Perempuan yang sedang hamil atau menyusui, dan c) Tidak dapat mengurus dirinya sendiri dan pelaksanaan hukuman sementara di luar penjara tidak membahayakan masyarakat tempat ia akan kembali. Narapidana yang dihukum seumur hidup tidak termasuk dalam kategori narapidana yang berhak menjalankan pidana jenis ini, kecuali bagi perempuan yang sedang hamil atau menyusui. Selain itu, kategori narapidana lainnya yang juga tidak termasuk didalamnya adalah: narapidana dengan hukuman mati dan narapidana dengan kriteria yang sesuai, namun dianggap membahayakan masyarakat ataupun yang dapat membahayakan dirinya sendiri atau yang membuat dirinya sendiri tidak layak mendapatkan alternatif pemenjaraan ini.
| 73
Dalam Pasal 257 hukum acara pidana Cina edisi revisi tahun 2012 juga disebutkan bahwa mereka yang menjalani pelaksanaan hukuman sementara di luar penjara harus segera dikembalikan ke penjara jika berada pada situasi berikut: a) Tidak memenuhi syarat untuk melaksanakan hukuman sementara di luar penjara b) Mencederai kondisi pelaksanaan hukuman sementara di luar penjara c) Masa pelaksanaan hukuman sementara di luar penjara telah habis, namun masa hukumannya belum selesai. Tidak seperti ketiga jenis sanksi legal community correction lainnya yang putusannya dilakukan oleh pengadilan, pidana ini diputuskan oleh otoritas legal yang berbeda pada setiap tahapan. Misalnya, pada tahapan pra-pemenjaraan, keputusannya dilakukan oleh pengadilan; selama masa pemenjaraan, keputusannya direkomendasikan oleh otoritas penjara dan persetujuannya dilakukan oleh otoritas penjara wilayah (provinsi); pada narapidana yang dihukum di pusat penahanan, keputusannya direkomendasikan oleh otoritas pengamanan publik lokal dengan persetujuan otoritas pengamanan publik di tingkat daerah atau yang lebih tinggi. III. 1. 1. 5 Perampasan Hak-Hak Politis Dalam hukum pidana Cina, pelaku yang dihukum pidana dalam bentuk perampasan hak-hak politis dirampas hak-hak politisnya dalam bentuk sebagai berikut: a) Hak untuk memilih dan memihak dalam pemilihan umum b) Hak untuk bebas berpendapat, pers, berkumpul, berasosiasi, berprosesi, dan berdemonstrasi c) Hak untuk menduduki jabatan pada organisasi negara
74 |
d) Hak untuk menjabat sebagai pimpinan pada badan usaha milik negara, perusahaan, institusi maupun organisasi masyarakat Durasi pidana ini berlangsung antara 1-5 tahun dengan beberapa pengecualian. Pertama, untuk hukuman pokok pengawasan publik, masa perampasan hak-hak politis dilaksanakan secara beriringan. Kedua, untuk narapidana hukuman mati atau hukuman seumur hidup, perampasan hak-hak politis dilakukan seumur hidup. Ketiga, narapidana hukuman mati dengan penangguhan penahanan selama 2 tahun atau narapidana dengan hukuman seumur hidup yang kemudian beralih menjadi narapidana dengan dengan masa pidana yang tetap dirampas hakhak politisnya dalam kerangka waktu yang bervariasi antara 2-10 tahun. Pengamanan publik bertanggungjawab penuh pada pelaksanaan hukuman ini dengan didampingi oleh sistem peradilan dan komunitas lokal. III. 1. 2 Pelaksana Community Corrections di Cina Di tahun 2012, penegakan hukum community correction berada di bawah pimpinan Kementerian Peradilan (Ministry of Justice) di tingkat pemerintah pusat. Di dalam komunitas, kantor peradilan lokal dengan didampingi oleh komunitas lokal dan relawan dari penduduk setempat, secara legal bertanggungjawab terhadap sanksi legal community correction dalam bentuk pengawasan publik, hukuman percobaan, pembebasan bersyarat, dan pelaksanaan hukuman sementara di luar penjara. Hanya sanksi legal berupa perampasan hak-hak politis yang perlaksanaannya masih dilakukan oleh pengamanan publik yang dibantu oleh komunitas lokal. Berdasarkan aturan yang berlaku di Cina, departemen community correction di level daerah harus membantu kantor peradilan setempat untuk mengatur tim community correction di dalam komunitas lokal dengan staf resmi
| 75
dari kantor peradilan sebagai pimpinan timnya dan pekerja sosial dan relawan sebagai anggota timnya. Organisasi relevan lainnya, seperti pemilik usaha, sekolah, komite warga, dan anggota keluarga pelaku atau penjaga harus terlibat dalam community correction. III. 1. 3 Implementasi Community Correction di Cina Sejak tahun 2003 hingga penelitian ini dilakukan, Cina telah melakukan uji coba pada beberapa program community correction yang berbeda. Rumah singgah (halfway house) adalah salah satu diantaranya. Rumah singgah yang paling terkenal di Cina adalah The Caoyang Sunshine di Beijing, yakni rumah singgah pertama yang dibangun di Cina daratan. Rumah singgah yang mulai beroperasi sejak Juli 2008 ini secara umum berada dibawah pengawasan Pemerintah Distrik, dan secara khusus berada dibawah Biro Peradilan. Pusat rumah singgah ini terdiri dari 4 unit, yakni unit pendidikan dan koreksi, termasuk didalamnya pendidikan hukum; unit konseling dan pelatihan keterampilan; unit hunian; dan kantor pusat. Fungsi rumah singgah ini termasuk didalamnya adalah pendidikan, konseling psikologi, pelatihan keterampilan kerja dan asistensi dalam pencarian kerja, hunian sementara (3 bulan), dan dukungan financial sementara. Layanan ini khususnya membantu narapidana yang tidak memiliki rumah, keluarga atau relasi, dan pendapatan. Program uji coba community correction lainnya adalah monitoring elektronik. Berdasarkan informasi yang didapat dari laman Kementerian Peradilannya, Cina menggunakan teknologi GPS (Global Positioning System) untuk melacak dan memonitor narapidana yang berada dibawah pengawasan community correction. Studi yang dilakukan oleh tim peneliti menunjukkan bahwa monitoring elektronik menghadapi hambatan besar dalam pengaplikasiannya. Narapidana sering melaporkan kerusakan
76 |
pada GPS-nya dan kantor peradilan lokal tidak memiliki sumber dana untuk menggantinya. Ketika GPS tidak dapat dioperasikan, pengawasan terhadap narapidana tidak dapat dilakukan. Community correction yang dinilai cukup berhasil dijalankan adalah model Shanghai. Sejak 2005 hingga 2015, Shanghai telah membentuk kerangka kerja community corrections yang terstruktur dengan baik dan beragam yang kemudian diapresiasi sebagai praktik terbaik. Program community correction Shanghai memiliki tiga tingkatan struktur, yakni gabungan antara biro peradilan distrik/polisi, institusi yudisial dan administrative, dan staf pelayanan komunitas (petugas, profesional, dan pekerja sosial). Capaian utama dari tingkatan struktur tersebut adalah merehabilitasi dan menghukum pelaku. Alur community correction pada model ini terdiri dari tahap penerimaan, proses koreksi/penghukuman, dan penyelesaian hukuman. Tahap penerimaan merupakan tahapan dimana petugas melakukan investigasi terhadap narapidana. Di tahap koreksi, terpidana menjalankan masa hukumannya dengan melakukan pelayanan di dalam lingkungan tinggalnya. Bentuk pelayanan yang dilakukan didesain bervariasi tergantung hasil penilaian yang telah dibuat pada tahap awal, misalnya membantu mengurus manula-manula yang ada di lingkungan tinggalnya dengan memasak, mencuci, membersihkan ruangan untuk mereka. Pada tahapan akhir, kesiapan narapidana untuk kembali ke dalam masyarakat dinilai kembali satu bulan sebelum ia bebas ( (Li, 2015). Community correction di Cina juga memiliki tingkatan pengawasan yang berbeda sesuai dengan klasifikasi narapidananya, yakni: pengawasan intensif, pengawasan regular, dan pengawasan minimum. Pengawasan intensif diaplikasikan kepada narapidana yang dinilai tidak stabil dan tidak secara aktif berpartisipasi pada program pendidikan dan kerja. Pengawasan regular diaplikasikan kepada narapidana yang memiliki performa
| 77
yang bagus serta perilaku dan kondisi mental yang stabil. Pengawasan minimum diaplikasikan kepada narapidana yang secara aktif berpartisipasi di berbagai program dan memiliki riwayat yang sangat baik dalam proses perubahan dirinya. Narapidana dalam pengawasan intensif dikontrol secara maksimum dalam program kunjungan rumah, wajib berpartisipasi dalam program, kontak personal, dan aktivitas lainnya dalam pengawasan reguler. Sedangkan, narapidana dalam pengawasan minimum dikontrol dalam level sedang dan minim pada aspekaspek diatas. Dengan melakukan uji coba program community correction dengan tipe yang berbeda-beda, Cina telah mengalami kemajuan dalam hal-hal berikut: a) mendapatkan gambaran secara jelas mengenai tugas community correction; b) formalisasi atau perkembangan aturan tertulis (formal) community correction; c) profesionalisasi melalui seleksi dan pelatihan bagi staf; d) dukungan financial; e) kerjasama dan tanggungjawab dari komponen yang berbeda dalam sistem peradilan pidana. Walaupun demikian, dalam implementasi tersebut, masih terdapat pekerjaan besar yang harus diselesaikan dalam community correction Cina, yakni terkait dengan pengawasan, pendidikan, dan dukungan. Pengawasan berfokus pada upaya mengontrol perilaku narapidana. Pendidikan terkait pendidikan politik, hukum, budaya, moral, dan komponen keterampilan. Dukungan yang didalamnya termasuk dukungan pelatihan kerja, dukungan kemampuan narapidana untuk mendaftarkan diri dalam program kesejahteraan atau pensiun, lokasi tinggal dan kerja, dan akuisisi kontrak tanah untuk narapidana dari daerah rural. III. 1. 4 Formalisasi dalam Community Correction di Cina Formalisasi terkait community correction di Cina tidak direfleksikan dengan adanya formalisasi aturan, namun juga pada
78 |
profesionalisasi dalam proses rekrutmen dan pelatihan bagi petugas, staf, maupun relawan community correction. Sejak 2003, Cina telah berupaya untuk paling tidak memiliki satu petugas yang telah mengikuti pelatihan secara penuh terkait community correction di setiap kantor peradilan lokal. Di samping itu, pekerja sosial juga telah disertifikasi dan relawan juga telah direkrut. Secara umum, terdapat dua model profesionalisasi subyeksubyek yang dilbatkan dalam community correction. Petama adalah model 3+ N. Tiga merujuk pada tim profesional yang terdiri dari: a) asisten hukum, b) petugas penjara, c) pekerja sosial. Di dalam komunitas, terdapat satu asisten hukum yang terdapat pada kantor peradilan lokal, satu petugas penjara, dan dua sampai tiga pekerja sosial yang telah memiliki gelar sarjana dan bersetifikasi di lapangan. Sedangkan, N merujuk pada relawan yang mungkin saja berasal dari pemangku jabatan pada komunitas setempat, penduduk setempat seperti pensiunan polisi, guru, pegawai pemerintah, veteran, dan keluarga dari narapidana. Model yang kedua adalah model Sanghai. Pada model ini, pemerintah Cina bekerjasama dengan pihak lain—dengan kontrak tertentu— sebagai pengelola community correction. Untuk itu, terdapat biaya yang harus dikeluarkan pemerintah Cina untuk membayar jasa tersebut. Model ini dapat dilihat pada Shanghai Xinghang Community Correction. III. 1. 5 Community Correction dan Karakteristik Masyarakat Cina Sebagaimana strategi pencegahan kejahatan Cina yang berbasis kontrol sosial masyarakat, hal ini juga direfleksikan dalam pengimplementasian community correction-nya. Pada level komunitas, kantor peradilan lokal secara legal berubah dalam community correction. Di sisi lain, kantor peradilan lokal bertanggungjawab pada kantor administrasi peradilan yang
| 79
memiliki tingkatan lebih tinggi. Kantor peradilan lokal ini dapat bekerja secara efektif dengan organisasi lainnya juga dengan para relawan. Karakteristik lain yang dapat dilihat dalam community correction di Cina adalah “pendekatan personal secara total” dimana nilai, tingkah laku, dan perilaku narapidana dikontrol. Dalam masyarakat Cina dipercaya bahwa perilaku ditentukan oleh pikiran. Oleh karena itu, untuk mengontrol perilaku orang secara efektif, nilai dan tingkah laku mereka harus pula dikontrol. Untuk membangun ulang pemikiran dan perilaku manusia, masyarakat Cina kerap menggunakan metode patriarki, penggunaan secara intergatif alasan yang bersifat sentimental, sebagaimana hasil wawancara dengan petugas yang mengakui bahwa metode utama yang kerap digunakan petugas adalah pendekatan sentimental atau hubungan interpersonal karena mereka (petugas dan narapidana) dibesarkan di desa yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa kontrol sosial semi-formal merupakan karakteristik lain dari community correction yang hidup dalam masyarakat Cina. Kontrol ini dilakukan oleh organisasi yang berbasis komunitas yang diorganisasikan dan dikonfirmasi oleh pemerintah. III. 1. 6 Hambatan dan Tantangan dalam Community Correction di Cina Kemajuan Cina dalam memformalisasikan community correction merupakan bukti bahwa Cina serius pada isu community correction. Hasilnya dapat dilihat pada penerapan community correction di hampir seluruh wilayah di Cina dan petugas-petugas yang semakin profesional. Namun demikian, terdapat beberapa hambatan dan tantangan yang harus masih harus dihadapi oleh Cina, yakni: pertama, evaluasi atau penilaian yang bersifat imliah dan komprehensif terhadap implementasi community correction
80 |
masih kurang; kedua, tidak ada pendanaan pemerintah yang bersifat jangka panjang untuk program community correction; ketiga, sistem community correction yang telah dibangun menghadapi tantangan lain dari tradisi dan hal-hal yang bersifat informal; keempat, profesionalitas community correction menghadapi tantangan dari strategi pencegahan kejahatan kontrol sosial yang menjadi basis pencegahan kejahatan di dalam masyarakat Cina. Kantor peradilan lokal memiliki tugas yang banyak di dalam komunitas; kelima adalah masalah keterlibatan masyarakat. Dalam hal ini, di satu sisi, pemerintah ingin masyarakat terlibat dalam community correction. Namun di sisi lain, narapidana yang dihukum tidak ingin masyarakat dimana mereka tinggal tahu bahwa dirinya sedang menjalani hukuman community correction; terakhir, community correction tidak secara setara diterapkan kepada para migran. Para migran lebih memilih untuk dihukum di dalam penjara. Selain itu, organisasi yang bertanggungjawab atas pelaksanaan community correction juga mengalami kesulitan untuk mengirimkan narapidana ke tempat asalnya untuk menjalani hukuman. III. 2 Amerika Serikat III. 2. 1 Program Community-Based Corrections di Amerika Serikat Program atau model community-based corrections (CBC) tersebar di seluruh negara bagian Amerika Serikat, di masingmasing pusat pemberi fasilitas (Community Correctional Center). Adapun pertimbangan atau kriteria siapa saja yang berhak menerima sistem koreksional ini secara umum, yaitu; (1) memenuhi kriteria kelayakan dan persyaratan masuk yang diatur oleh Dewan Pelaksana Fasilitas (Facility Governing Board) masingmasing, dan (2) kriteria jenis pelaku yang ditentukan oleh masingmasing center, namun mengacu pada hasil pengadilan (Court of Common Pleas) (Handwek dan Galli, 2008). Handwek dan Galli
| 81
(2008) lebih lanjut mendeskripsikan program atau model-model tersebut di dalam masing-masing CBC center, yang kemudian dikelompokkan berdasarkan jenis program/kelas/model sebagai berikut: III. 2. 1. 1 Intake and Screening 1. Intake and Orientation – pada program tahap awal ini, pelaku didorong untuk berpikir mengenai alasan mereka memilih program-program treatment di dalam CBC center yang bersangkutan dan apa yang harus mereka lakukan untuk dapat merubah hidup mereka. 2. Orientation – Umumnya terdiri dari kelas-kelas, kelompok kecil, dan tugas-tugas yang dijalani selama 3 minggu guna menyesuaikan diri dengan situasi yang terstruktur, positif, dan bersifat “mengobati” (therapeutic community). 3. Offender Needs Assessments – setiap pelaku akan dinilai menggunakan sistem penilaian yang telah ditetapkan (menyangkut pemeriksaan bio-psychosocial). Asesmen tambahan seperti Client Assessment Inventory, Client Assessment Summary, dan Staff Assessment Summary harus diselesaikan dalam kurun waktu 14 hari semenjak kedatangan pelaku dan survey mengenai Client Motivational Readiness diselesaikan dalam kurun waktu 30 hari. 4. Medical Services – Pada program ini, pelaku akan dinilai kesehatannya sebagai awalan, penilaian kesehatan lanjutan, dan pemberian layanan kesehatan selama proses intake. Staf medis memberikan pemahaman satu per satu terkait dengan pencegahan penularan penyakit seksual, hepatitis, dan penyakit menular lainnya, serta pentingnya asupan nutrisi selama masa pemulihan. Sasaran yang ingin dicapai oleh staf medis yang berwenang adalah untuk menjadi bagian integral dalam membantu pelaku membentuk gaya hidup sehat dengan penyediaan kualitas medis dan konsultasi medis atau
82 |
dengan melalui layanan yang bekerja sama dengan klinik dan pusat kesehatan gigi di lingkungan masyarakat. III. 2. 1. 2 Alcohol and Drug Programming 1. Assessment – Merupakan program screening awal dan penilaian klinis yang dilakukan terhadap semua pelaku yang menjalani program CBC selama masa penerimaan dalam kurun waktu 14 hari, guna mengidentifikasi area kebutuhan masing-masing peserta. Selanjutnya, informasi ini akan digunakan untuk mengembangkan program-program yang tepat berdasarkan fungsi serta status alkohol dan obat pelaku. 2. Chemical Abuse/ Dependency – Program ini menyediakan kegiatan pendidikan pada seluruh pelaku yang tergolong baru, konseling individual atau kelompok bagi mereka yang dikategorikan “butuh”, dan/ atau berdasarkan permintaan. Tujuan jangka pendeknya termasuk memfasilitasi pengakuan mereka yang adalah pecandu alkohol dan narkotika, dan inisiasi mereka akan perubahan gaya hidup ke arah positif, yang selanjutnya dapat berlanjut ke tujuan jangka panjang, yakni pantang akan zat-zat kimia dan berkurangnya angka residivis. Bagi mereka yang dinilai sebagai pecandu zat-zat kimia, maka konseling individu akan disediakan, bersamaan dengan recovery group dan relapse prevention group. Dalam program ini, para pelaku diharuskan bertemu dua kali seminggu, dengan perkiraan waktu selama 12 minggu. Selama masa penyelesaian program ini, pelaku ditempatkan di dalam kelompok perilaku kognitif dan kurikulum relapse prevention (pencegahan dari kambuh) yang bersifat terbuka. 3. Substance Abuses/ Chemical Dependency Counseling – Selama pelaku berada dalam pusat CBC, akan ditentukan apakah ia membutuhkan konseling tatap muka atau tidak selama berada di dalam maupun setelah keluar. Keputusan ini diserahkan
| 83
pada masing-masing komunitas pelaku guna menghubungkan beberapa lembaga publik yang menyediakan layanan bantuan yang dibutuhkan. 4. Narcotic Anonymous, Alcoholic Anonymous (NA/AA) – Merupakan program pertemuan para pecandu narkotika dan alkohol, yang difasilitahsi oleh relawan dari luar pusat CBC. III. 2. 1. 3 Cognitive/ Behavioral Groups/ Classes 1. Counseling Program – program konseling disediakan pada masing-masing pelaku oleh seorang konselor utama. Pada sesi, baik individual maupun kelompok, konselor dan pelaku berkoordinasi untuk membuat perencanaan treatment, yang di dalamnya terdiri dari; pendefinisian kebutuhan, nilai, dan tujuan; fokus pada tekanan-tekanan psikologis; dan memfasilitasi proses penyerahan lembaga pelayanan masyarakat. 2. Moral Reconation Therapy (MRT) – merupakan program intervensi perilaku kognitif yang sifatnya terbuka (openended), yang sekaligus dijadikan persyaratan bagi setiap pelaku. Kurikulum yang digunakan berupaya untuk menantang para pelaku untuk mencapai tingkat penalaran moral yang lebih tinggi. Elemen yang digunakan dalam pendekatan ini adalah elemen-elemen psikologis yang secara progresif disusun untuk mengatasi perkembangan ego, soisal, moral, dan perilaku positif. Bentuk dari pendekatan ini sendiri dapat berupa konseling kelompok atau sendiri, dengan menggunakan latihan kelompok terstruktur dan tugas-tugas tertentu. Kurikulum ini sendiri terdiri dari beberapa langkah atau unit yang memusatkan perawatan pada isu: konfrontasi kepercayaan, sikap, dan perilaku; penilaian terhadap hubungan atau relasi saat ini; penguatan perilaku positif dan kebiasaan; formasi identitas positif; peningkatan konsep-diri;
84 |
menurunkan hedonisme dan meningkatkan toleransi frustasi; dan pengembangan tingkat penaralan moral (Moral, n.d.). Para partisipan dijadwalkan untuk bertemu secara kelompok sekali atau dua kali seminggu dan memenuhi semua tahapan program MRT ini dalam kurun waktu minimum 3 sampai 6 bulan. 3. Thinking for a Change (TFAC) – merupakan program yang berfokus pada upaya intervensi perilaku kognitif, yang terdiri dari 22 sesi. Kurikulum pada program ini meliputi diantaranya restrukturisasi, kemampuan sosial, dan kemampuan penyelesaian masalah. Para pelaku akan diarahkan dan diajarkan pada perspektif bahwa pemikiran mereka akan mempengaruhi perilaku mereka, dan bahwa terdapat cara guna mengurangi situasi mereka yang berisiko. 4. Rational Emotive Therapy – merupakan program yang terdiri dari 16 jam pertemuan (4 jam per minggu, selama 4 minggu), bertujuan untuk mendorong para pelaku untuk mengevaluasi kembali interpretasi dan respon mereka atas kejadiankejadian destruktif yang terjadi di dalam hidup, serta bagaimana kemungkinan mereka akan memilih untuk hidup ke arah yang lebih sehat dan lebih konstruktif dengan orangorang di sekitar mereka. 5. Anger Management (MRT) – merupakan program intervensi yang mengikutsertakan para pelaku setiap satu minggu sekali, terutama mereka yang memiliki masalah dengan temperamen. Workbook digunakan sebagai pelengkap dalam program ini. Selain itu, metode pembelajaran yang digunakan dilengkapi dengan penampilan video dan diskusi kelompok. Yang menjadi fokus dalam kelas ini adalah penekanan pada pemahaman para pelaku bahwa kemarahan bukan lah pilihan yang dimiliki seorang individu dan tidak muncul karena dorongan dari luar. Atau dengan kata lain, masing-masing
| 85
6.
7.
8.
9.
10.
individu dapat mengontrol kemarahannya. Program ini menyediakan forum dan alat guna mengidentifikasi dan mengekspresikan kemarahan para pelaku melalui cara yang konstruktif dan jujur. Men’s Issues – merupakan program yang terdiri dari 6 jam kegiatan, ditujukan untuk mengatasi ekspektasi para pelaku laki-laki mengenai “ke-lelakian-an” mereka dan bagaimana ekspektasi tersebut dapat mempengaruhi hubungan interpersonal mereka. Fit 2 Be Fathers – Merupakan program yang ditujukan untuk memberikan pembelajaran bagi para pelaku untuk memperbaiki kemampuan mereka sebagai seorang ayah, suami, teman, dan provider. Kelas diadakan setiap satu minggu sekali selama kurang lebih 1-1,5 jam dalam kurun waktu 2 bulan. Seorang fasilitator diberdayakan untuk memberikan pelajaran terkait dengan topik menjadikan laki-laki “sehat” secara fisik, praktik, dan sosial. Selain itu, topik-topk yang dibahas di dalam diskusi juga menyangkut hal-hal terkait strategi bimbingan, disiplin, komunikasi, nutrisi, dan konsep perkembangan anak. Domestic violence – program ini memiliki kurikulum untuk menciptakan kedamaian hubungan yang dimanfaatkan sekaligus menjadi bagian proses intervensi perilaku kognitif. Pelaku bertemu dengan kelompok program sebanyak dua kali seminggu. Victim’s Issues – Merupakan program dalam bentuk kelas selama 2 jam per sesi dengan tota 6 sesi. Kelas ini ditujukan untuk menggali depersonalisasi korban oleh pelaku kejahatan, dampak jangka panjang atas viktimisasi diri korban, dan akuntabilitas terhadap kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. Victim’s Impact Panel – Progam yang didesain bagi para korban dan pelaku, dimana korban mengungkapkan atau
86 |
11.
12.
13.
14.
menyampaikan ketakutan/ perasaan mereka sebagai hasil dari tindak kejahatan yang dialaminya, sementara para pelaku dibiarkan menyaksikan secara langsung dampak dari tindakan mereka. Victims of Abuse/ Survivors – Program ini juga terdiri dari 6 sesi, dengan masing-masing sesi terdiri dari 2 jam, ditujukan untuk menggali dampak yang dialami oleh perempuan yang pernah menjadi korban/ survivor atas tindak kekerasan seksual, kriminal, atau penyalahgunaan obat. Parenting classess – Program ini dijalankan dengan asumsi dasar bahwa sebagian besar dari pelaku adalah orang tua atau akan menjadi orang tua, dan sebagian kecil lainnya adalah kakek-nenek. Yang menjadi fokus adalah upaya untuk menangani permasalahan yang di dalam hubungan pelaku dengan pasangannya dan pentingnya membangun kembali hubungan baik antara orang tua dan anak. Kelas yang diadakan biasanya spesifik pada gender laki-laki dan perempuan, yang masing-masing memiliki peran berbeda dalam parenting dan berdampak pada isu yang berbeda pula. Family Day – Program ini melibatkan Family Specialist, yang memberikan kesempatan pada pelaku dan anggota keluarganya (yang berumur 12 tahun dan lebih) untuk mendiskusikan informasi/ isu terkait dengan ketergantungan zat-zat kimia dan komunikasi yang sehat. Kegiatan ini diimbangi pula dengan kegiatan rekreasional bersama sebagai penyeimbangnya. Family Services – program ini dibuat untuk membantu pelaku dan pasangannya dalam rangka menciptkan lingkungan rumah yang suportif setelah pelaku dibebaskan nanti. Layanan yang dimaksud akan disediakan baik secara individual bagi pelaku atau secara kelompok bagi keluarganya, termasuk di dalamnya program orientasi yang
| 87
15.
16.
17.
18.
mengutamakan pada hal-hal terkait kunjungan, pendidikan parenting, intervensi, dan penyerahan pelaku kepada lembaga masyarakat yang dianggap layak. Sex Offender Treatment Program – program mingguan yang difasilitasi oleh lembaga-lembaga konseling yang bekerja sama dengan CBC center, berfokus pada upaya penanganan isu akuntabilitas pelaku, empati korban, pencegahan dari “kambuh”, dan treatment pendidikan. Codependency – merupakan program yang terdiri dari 16 jam pertemuan dalam bentuk kelompok, yang menyediakan informasi akurat mengenai putusnya relasi sosial akibat pola pikir dan perilaku adiktif. Lingkungan masyarakat yang tergolong therapeutic dapat menyediakan kesempatan kepada pelaku untuk meningkatkan kesadaran akan perilaku kodependen dan berbagi pengalaman tersebut di dalam kelas. Cinematherapy – Setiap satu minggu sekali, sebuah film terkenal atau tertentu dipilih untuk ditonton oleh para pelaku. Setelahnya, mereka diberi tugas untuk mengisi sebuah lembar kerja sebagai bentuk refleksi pembelajaran yang dapat diambil dari film tersebut, baik berupa pelajaran atau wawasan akan perilaku dan sikap mereka. Lembar kerja ini mengacu pada pertanyaan-pertanyaan proses. School Awareness – program ini ditujukan untuk memberikan kesempatan pada pelaku yang menunjukkan kemajuan selama menjalani program untuk menjadi pembicara di dalam kelas di sekolah-sekolah lokal mengenai pengalaman mereka. Diskusi ini diantaranya terdiri dari isu terkait pilihan negatif yang telah dibuat oleh yang bersangkutan dan dampak pemenjaraan yang diterimanya. Beberapa CBC center juga mengundang sekelompok sekolah untuk mengunjungi lembaga dan berinteraksi dengan para pelaku.
88 |
19. A Woman’s Journey – program spesifik gender yang didesain untuk mengatasi kebutuhan multi-aspek dalam pemulihan perempuan pelaku. Program yang diusung berfokus pada upaya pengembangan konsep-diri, relati, kehidupan masa lalu, masa kini, dan masa depan, seksualitas, spiritualitas, dan sumber daya yang tersedia untuk mereka ketika kembali ke masyarakat. III. 2. 1. 4 Employment/ Adkins Life Skills 1. Kelas skill – terdiri dari 50 kemampuan tambahan yang ditujukkan secara bersamaan dengan program TFAC, didesain untuk menindaklanjuti pengembangan kebutuhan akan peran masing-masing pelaku di masyarakat, seiring dengan kegiatan kerja mereka yang membutuhkan kemampuan baru, serta belajar bagaimana membuat aplikasi kerja, dan sebagainya. Umumnya, program ini melibatkan komunitas lokal, contohnya sebagai pembicara dengan topik-topik yang masuk dalam kategori kepentingan lokal. 2. Adult Basic Education – Merupakan program yang terdiri dari kelas, pembelajaran komputer, dan tutoring selama 8 jam setiap hari, 5 hari dalam seminggu dan 4 jam setiap akhir pekan. Persiapaan dan ujian General Education Development (GED) juga disediakan bersamaan dengan persiapan pendaftaraan perguruan tinggi. Sebagai bagian dari fase kemajuan pelaku, masing-masing dituntut untuk menyelesaikan setidaknya 3 seminar; dimana Departemen Pendidikan akan mengawasi dan membantu dalam pentahapan “tingkat kemajuan” tersebut dan berwenang memverifikasi semua seminar yang mereka ikuti. Departemen Pendidikan juga berkoordinasi dengan program lokal guna mneyediakan link atau pihak ketiga bagi mereka yang telah berhasil lulus dan membutuhkan pekerjaan di sekitar lingkungan mereka.
| 89
3. Classroom Instruction/ GED Program – program ini sifatnya wajib bagi mereka yang belum memperoleh gelar setara pendidikan menengah atas. Para peserta akan dibagi ke dalam beberapa kelar berdasarkan pada skor TABE (Test of Adult Basic Education): skor keaksaraan, pra-GED, dan GED. GED atau General Education Development merupakan program yang ditawarkan kepada para narapidana atau siswa yang hendak memperoleh gelar atau sertifikat pendidikan setara menengah atas. Para siswa ini diharuskan mengikuti program pendidikan dalam bidang kesenian, matematika, pengetahuan alam, dan sosial. Dalam rangka memperoleh sertifikat GED ini, siswa harus mencapai skor minimum yakni 150 per bagian tes dan total skor 600 (General, n.d.). 4. Positive Solutions – merupakan program yang terdiri dari 7 sesi, ditujukan untuk membantu pelaku fokus terhadap pikiran dan kebiasan pengambilan keputusan melalui aktivitas interaktif yang berupaya untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi. 5. Communication Counseling – program yang terdiri dari 8 jam pertemuan kelompok, yang melibatkan pelaku dan keluarga dan/ atau pasangan mereka. Kemampuan berkomunikasi yang jujur tidak hanya diajarkan oleh para pelatih, namun juga dipraktikan dalam format kelompok kecil. Terselesaikannya program ini akan menjadi prasyarat diberikannya kesempatan berkontak dengan keluarga. 6. Education Program – Program pendidikan yang umum diterapkan, diantaranya termasuk pelayanan pendidikan untuk dewasa (Adult Basic Education/ ABE), Educational Resource Center, persiapan GED, keaksaraan dasar, life skills/ positive solutions, persiapan perguruan tinggi, bookmobile, perpustakaan, dan laporan berkala pelaku. Bagi para pelaku yang sudah lulus pada jenjang sekolah menengah atas,
90 |
memiliki GED atau sedang berkuliah, akan dilatih sebagai tutor sukarela bagi kelompok atau asisten guru. 7. Education Resource Center – merupakan program lab berbasis komputer, yang diperuntukkan bagi pelaku yang ingin memperbaiki atau me-refresh kemampuan akademis mereka, terutama melalui perbaikan cover letters, resumes, atau sejenisnya sebagai pelengkap persiapan sertifikat pendidikan yang diperoleh melalui GED. Newsletter pelaku menjadi keluaran bulanan dari program ini. 8. Educational Opportunity Days – Merupakan program pendidikan dengan konsep “trip” yang memberikan pelaku kesempatan untuk memanfaatkan sumber atau fasilitas di masyrakat, dimana mereka diperbolehkan untuk melibatkan keluarga atau mengunjungi tempat-tempat tertentu sebagai upaya menambah pengetahuan. Sebagai contoh, kunjungan ke pengadilan wilayah tertentu, Markas Pangkalan Udara, museum, gua, dll. 9. Educational Services – Pusat W.O.R.T.H memiliki 3 instruktur pendidikan yang bersertifikat. Para instruktur dalam menjalankan program ini, menawarkan intervensi satu-lawansatu, sama halnya dengan kelas pendidikan. Sebuah perangkat lunak dimanfaatkan untuk tujuan peningkatan kemampuan membaca dan menulis melalui kegiatan paska sekolah dan perangkat lunak Aztec. Fasilitas ini tentu saja dapat dimanfaatkan oleh para pelaku. Pusat CBC ini juga telah melakukan beberapa kerjasama diantaranya dengan Bluffton College dan melalui upaya keadilan restorasinya, mampu menawarkan tenaga pengajar kepada para murid di luar pusat CBC selama masa sekolah – para murid ini datang ke pusat CBC W.O.R.T.H dan menghabiskan satu atau dua jam per minggu bersama para pelaku untuk kegiatan belajar mengajar.
| 91
10. Job Readiness – Seorang atau lebih profesional koordinator perekrutan (Employment Cordinator) dilibatkan dalam program ini, yang bekerja pada area kesiapan kerja, bersama dengan semua pelaku laki-laki maupun perempuan setiap satu minggu sekali. Kelas yang ditawarkan adalah “Job Readiness” dan “Money Management”. Intervensi ini dilakukan dalam format kelompok, dengan instruksi individual sesuai dengan yang dibutuhkan. 11. Money Management – Kurikulum mingguan ini menawarkan kesempatan kepada para pelaku mengenai praktik manajemen keuangan sebagai persiapan penempatan kerja dan permasalahan keuangan setelah bebas nanti. 12. Job Placement – Koordinator perekrutan menawarkan penempatan kerja di masa akhri kelas persiapan kerja (job readiness) dan manajemen keuangan (money management). Pelaku yang masuk dalam kriteria tertentu akan direkrut di lingkungan komunitasnya, atau ditempatkan secara sementara guna membangun resume kerja. 13. Public service – Banyak program pelayanan masyarakat yang dikoordinir di bawah CBC center. Pusat ini selanjutnya memanfaatkan komunitas lokal sebagai pihak ketiga untuk kerjasama. Salah satu upaya yang dilakukan diantaranya upaya mengumpulkan donasi untuk komunitas perempuan setempat melalui pembuatan syal, topi, dll. 14. Bible study – Kelompok kependetaan biasanya datang ke pusat CBC, pada hari-hari tertentu dalam seminggu, dan menawarkan studi Alkitab, baik untuk laki-laki maupun perempuan. 15. Diversity – Merupakan program yang terdiri dari 8 jam kegiatan selama 4 minggu dalam bentuk kelompok. Diskusi dan berbagi pengalaman menjadi salah satu cara yang
92 |
16.
17.
18.
19.
20.
digunakan untuk mendalami isu seputar keberagaman di lingkungan sekitar pelaku. Recreation – Pusat CBC menyediakant program aktivitas baik di dalam maupun luar ruangan. Aktivitas di dalam ruangan diantaranya dilengkapi dengan peralatan fitness, peralatan olahraga indoor, permainan tertentu, radio dan televisi. Sementara aktivitas luar ruangan diantaranya dilengkapi dengan lapangan basket, voli, frisbee, dll. Aktivitas rekreasi ini ditawarkan sebanyak 3 kali sehari. Community meetings – program ini dilakukan untuk mengetahui capaian pelaku, pengumuman-pengumuman tertentu, dan pembicaraan-pembicaraan tertentu. Rapat ini diadakan setiap 2 kali per bulan. Community Justice – program ini memberikan kesempatan dan layanan yang bertujuan mendorong pelaku untuk bertanggung jawab atas tindak kejahatan mereka. Kesempatan yang dimaksud, didasarkan pada masukan dari korban dan komunitas, serta didesain dalam cara tertentu sehingga dapat memfasilitasi upaya memperbaiki kerusakan dan perlukaan yang ditimbulkan pelaku. Restitution Program – merupakan upaya pembayaran finansial kepada korban yang diterapkan dengan tujuan untuk meningkatkan tanggung jawab dan pemahaman pelaku terhadap kehilangan riil yang dialami oleh korban. Community Service Program – sebagai bagian tambahan dari terekrutnya pelaku, maka pelaku juga harus menyelesaikan program pelayanan masyarakat sebanyak 20 jam. Pelayanan ini ditujukan untuk menciptakan “kondisi” kerja terstruktur serta perbaikan skill kerja pelaku, yang sekaligus bermanfaat bagi lembaga pemerintahan, kota, sekolah, organisasi sukarelawan, dan lembaga swadaya lainnya.
| 93
21. Community Skills – merupakan jenis program yang menyediakan pelaku kesempatan untuk belajar mengenai kemampuan bersosialisasi dan tanggung jawab sosial melalui keterlibatan mereka di dalam aktivitas rekreasional dan sejenisnya, seperti pergi berbelanja, memotong rambut, atau mengunjungi perpustakaan. 22. Work Release Program – program ini menawarkan kesempatan kerja kepada pelaku melalui upaya penilaian (assessment), layanan penempatan kerja, dan konseling pengaturan kerja. Klinik kerja sebagai bagian dari program, melingkupi persiapan resume kerja, aplikasi kerja, bagaimana berpenampilan, serta teknik dalam menghadapi wawancara kerja. Uang yang diperoleh atau disimpan dapat digunakan untuk membayar tagihan medis, belanja harian, restitusi, biaya pengadilan, pajak, kebutuhan anak/ keluarga, atau hutang tertentu. 23. Medical Services – pada program ini, pelaku dilibatkan sebagai relawa dalam layanan kesehatan. Selama masa penjalanan program, pelaku diberikan layanan pemerikasaan kesehatan awal oleh petugas yang berwenang. Pada masa minggu pertamanya, staf medis akan melakukan uji kesehatan mendalam, guna memastikan bahwa seluruh kebutuhan medis pelaku dapat dipenuhi sebagai bagian dari tugas perbantuan staf medis yang akan dilakukan olehnya pada area-area tertentu. Staf medis juga berperan sebagai partisipan integral dalam mendidik atau mengajarkan pelaku soal isu kesehatan dan hal lainnya yang terkait. 24. Recreation – para pelaku didorong untuk berpartisipasi dalam program yang bertujuan untuk menyediakan aktivitas rekreasional ini. Adapun aktivitas-aktivitas yang dilakukan terdiri dari aktivitas yang menyehatkan dan produktif, yang fasilitasnya antara lain seperti lapangan basket, softball, voli,
94 |
pacuan kuda, kolam renang, board games, buku, musik, dan televisi. 25. Vocational – para pelaku yang telah berhasil menyelesaikan program, harus memperoleh rekrutmen kerja yang diamankan di lingkungan rumah mereka sebelum dibebaskan dari CBC center; dengan begitu, mereka akan mengalami kemajuan pada fase re-entry pada minggu terakhir program mereka. Employment Specialist akan menyediakan pelatihan kerja dan hal-hal lain terkait untuk para pelaku. CBC center ini juga mengoperasikan pelatihan dapur dan perawatan dan pelatihan toko fotokopi, yang didesain untuk mempersiapkan pelaku sebelum kebebasan mereka. 26. Aftercare – Program ini dijalankan selama periode 4 sampai 8 minggu, tergantung pada kebutuhan pelaku, dalam rangka menciptakan kondisi transisi yang baik dari residential treatment ke lingkungan masyarakat. Selama masa program ini, pelaku yang telah dibebaskan akan diawasi melalui telepon setiap minggu dan pertemuan tatap muka guna memastikan bahwa mereka menjalankan treatment yang telah disyaratkan (seperti perekrutan kerja, janji temu dengan ahli kesehatan dan mental, menghadiri pertemuan support group, serta mampu menahan diri untuk tidak terlibat kembali dalam tindak kejahatan). 27. Graduation Ceremony – Program ini diterapkan pada mereka yang telah berhasil menyelesaikan dan memenuhi semua sasaran treatment serta rekomendasi dari pengadilan, Adult Parole Authority dan Community Correction Association. Setiap peserta yang dinyatakan lulus akan menggenakan semacam “toga” dan menerima “rumbai” layaknya seorang mahasiswa menjalani seremoni kelulusan. Setiap upcara ini dirayakan dengan pembicara khusus dan dihadiri oleh para keluarga.
| 95
III. 2. 2 Hambatan Pelaksanaan Community-Based Corrections di Amerika Serikat The PEW Centers on the States (2009) menjabarkan beberapa permasalahan yang dihadapi dalam penerapan community-based corrections (CBC). Dikatakan bahwa konsep CBC yang menekankan pada proses memanajemen pelaku kejahatan di dalam masyarakat, ketika dilakukan dengan baik maka akan menghasilkan dampak yang sangat baik pula, terutama dalam hal penghematan anggaran dan keamanan masyarakat. Namun demikian, di Amerika sendiri kendala dalam hal uang menjadi permasalahan awal yang pada akhirnya menimbulkan permasalahan-permasalahan lain. Pertama, keterbatasan anggaran telah menipiskan jumlah staf yang diberdayakaan, yang bersamaan dengan hal tersebut, meningkatkan beban kasus (caseload) yang harus ditangani oleh masing-masing staf. Rata-rata, satu orang petugas probation bertanggung jawab atas 100 pelaku dalam masing-masing caseload mereka, sementara petugas parole bertanggung jawab atas 60 pelaku per petugas. Dengan begitu, lembaga akan memprioritaskan kasus yang tergolong memiliki risiko tinggi. Masalah ini akan berdampak pada pengabaian banyak pelaku, atau dengan kata lain dibiarkan tanpa pengawasan dan tidak diberikan pelayanan yang layak, yang seharusnya menjadi langkah pencegahan terhadap perilaku yang destruktif, termasuk kembali terlibat dalam tindak kejahatan baru. Kedua, rendahnya prioritas terhadap probation dan parole telah memaksa petugas di beberapa wilayah di Amerika untuk bekerja tanpa didukung dengan sarana dan prasarana yang dibutuhkan, seperti teknologi dan sumber dasar lainnya. Sebagai contoh, Chicago, Illnois, petugas probation tidak memiliki
96 |
komputer untuk mendukung kinerjanya, bertukar informasi dengan lembaga lain, atau menginvestigasi sejarah kriminal seseorang. Sebaliknya, petugas parole di California telah dilengkapi dengan PDA, yakni sebuah alat yang mampu menyediakan akses terhadap arsip-arsip dan fasilitas yang membantu petugas dalam menyelesaikan pekerjaan lain di lapangan. Ketiga, seringkali lembaga Community Corrections dibebankan dengan tanggung jawab yang lebih banyak namun tanpa diberikan tambahan dana. Sebagai contoh, selama beberapa dekade terakhir, peraturan mengenai penghukuman pelaku kejahatan seksual, yakni supervisi atau pengawasan, telah menghasilkan tanggung jawab baru bagi departemen probation dan parole. Adapun tanggung jawab baru yang dimaksud, seperti melakukan uji DNA, screening kesehatan mental, dan asesmen risiko serta status kerja para pelaku kejahatan seksual. Tugastugas pengamanan masyarakat ini tergolong penting, namun jarang didukung dengan sumber-sumber yang layak dan tepat, dan lebih jauh lagi supervisi yang dimaksud cenderung terlonggarkan. Keempat, lebih parahnya lagi, situasi ekonomi nasional telah memaksa negara-negara bagian untuk mengurangi sumber daya yang dari awal sudah terbatas. Sebagai contoh, di wilayah Sacramento, California, sebanyak 76 posisi petugas probation – 9% dari total petugas – dipangkas. Di negara bagian Washington, setengah dari petugas pembayar pajak juga diberhentikan. Sementara di Florida, 2 pembuat kebijakan memutuskan untuk memotong anggaran sebanyak US$ 3 juta untuk treatment pengguna narkoba dan 66 posisi petugas probation. Dengan kata lain, anggaran yang tipis telah membahayakan kinerja dasar dari supervisi oleh masyarakat ini; beban tugas (caseload), pelayanan, dan sumber daya manusia maupun sumber sarana dan prasarana keseharian.
| 97
III. 3 Selandia Baru III. 3. 1 Model Community-Based Corrections di Selandia Baru Menurut data yang disajikan di dalam situs web Departemen Koreksional Selandia Baru (http://www.corrections. govt.nz/) ditemukan bahwa sebagian besar pelaku kejahatan di Selandia Baru diberikan sanksi pidana bersyarat, yang artinya mereka menjalankan hukuman di masyarakat, bukan di penjara. Diperkirakan lebih dari 30.000 pelaku menjalani hukuman community-based mereka dalam kurun waktu tertentu, bila dibandingkan dengan 8.500 pelaku yang diberikan sanksi pidana penjara. Mereka yang sedang menjalani masa percobaan (probation) dapat menjalankan hukuman atau melaksanakan perintah (orders) tertentu yang dikenakan kepada masing-masing pelaku selama berada di masyarakat. Terdapat beberapa hukuman atau perintah yang dapat dijalani, dengan masing-masing aturan dan/ atau kondisi spesifik yang harus diepenuhi para pelaku, diantaranya: III. 3. 1. 1 Community work Pada hukuman jenis ini, pelaku dituntut untuk melakukan pekerjaan tanpa dibayar, dengan tujuan untuk membayar kembali tindakan kejahatan yang telah ia lakukan. Hal ini juga sekaligus menjadi kesempatan bagi pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya dan belajar kemampuan serta jenis pekerjaan baru. Pelaku umumnya dituntut untuk melakukan kerja sosial sebanyak 40 sampai 400 jam, yang ditentukan oleh hakim di pengadilan. Dalam sehari, ia hanya diperkenankan bekerja selama 10 jam, atau hingga 40 jam dalam seminggu. Pelaku yang diberi sanksi ini harus menyelesaikan setidaknya 100 jam setiap enam bulan, atau disesuaikan dengan hukuman mereka. Selama menyelesaikan ketentuan jam tersebut, pelaku akan dapat
98 |
melanjutkan kerja atau kegiatan normal mereka. Adapun kerja sosial ini dapat berbentuk: a. Membersihkan pantai, taman dan semak-semak b. Membantu bank makanan, sekolah dan orang-orang Maori c. Membantu dewan lokal mereka dan terlibat di dalam proyek beautifiction seperti pembersihan grafiti Jika pelaku dipidana selama 80 atau lebih jam kerja sosial, maka pengadilan dapat memberikan konversi 20% waktunya tersebut untuk diganti dengan pembelajaran kerja dasar dan kemampuan hidup. Sementara itu, dalam menentukan kerja jenis apa yang akan dilayangkan kepada pelaku-pelaku yang dipidana sanksi jenis ini, petugas probation akan memperhitungkan: a. Tindak kejahatan yang dilakukan b. Keadaan personal mereka c. Kebutuhan dan kemampuan mereka Kerja sosial ini dapat dilakukan, baik melalui pengawasan oleh staf probation (yang disebut pusat penempatan/ centre placement) atau, berdasarkan pada individu yang penempatannya melalui sebuah lembaga atau agensi tertentu. Di dalam sanksi kerja sosial yang dibawahi oleh centre placement, maka petugas atau staf community probation berkewajiban untuk mencarikan pekerjaan yang layak bagi para pelaku. Setidaknya, lembaga ini mampu menampung sampai 10 pelaku pidana dan membawahi cakupan proyek yang luas, termasuk juga proyek yang disponsori oleh lembaga kerja masyarakat tertentu. Sementara itu, jenis kerja sosial yang penempatannya dibawahi oleh agensi tertentu, akan diawasi oleh seseorang yang berasal dari agensi yang bersangkutan. Petugas probation akan memeriksa apakah pelaku telah memenuhi jam kerja sejumlah yang dipidanakan padanya dan apakah ia telah menyelesaikan kerja sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
| 99
Apabila terdapat pelaku pidana yang melanggar aturan, maka ia akan diberikan: a. Sanksi internal, seperti peringatan. b. Pelanggaran formal tertentu yang dapat mengakibatkan hukuman berkelanjutan, hukuman jenis lain, atau pemenjaraan. c. Aplikasi yang ditujukan ke pengadilan untuk membatalkan hukuman kerja sosialnya dan menggantinya dengan jenis hukuman lain yang lebih membatasi. III. 3. 1. 2 Community detention Community detention merupakan jenis sanksi yang sifatnya menghukum, yang membatasi pergerakan pelaku selama berada dalam curfew – atau lokasi dan waktu-waktu tertentu dimana pelaku pidana dapat pergi dan kapan, yang ditentukan oleh pengadilan. Peralatan electronic monitoring digunakan sebagai pemantau, yang dipasang di tempat tinggal pelaku dan masa curfew mereka juga dipantau secara elektronik. Pelaku yang dipidana dengan hukuman ini biasanya diharuskan menjalani hukuman selama 14 hari sampai 6 bulan. Sementara curfew mereka yakni dapat mencapai hingga 84 jam per minggu, dan waktu minimumnya selama 2 jam. Hukuman ini dikenakan pada pelaku dengan tingkat risiko yang rendah dan pola tindak pidana yang dilakukan pada waktu spesifik tertentu. Hanya hakim yang dapat menjatuhkan sanksi community detention, berdasarkan pertimbangan dari petugas probation yang menilai para pelaku, penghuni, dan alamat yang diusulkan. Selama menjalani sanksi ini, pelaku pidana diharuskan mengenakan gelang kaki selama 24 jam sehari, 7 hari dalam
100 |
seminggu selama masa hukuman berlangsung. Gelang tersebut dilengkapi dengan pendeteksi electronic monitoring dan/ atau GPS (Global Positioning System). Dalam beberapa kasus, petugas probation diberikan wewenang untuk memperbolehkan pelaku pidana untuk melepas gelang kaki tersebut dalam kurun waktu sementara, seperti selama bepergian menggunakan pesawat atau ketika yang bersangkutan masuk rumah sakit. Hanya mereka yang didakwa untuk menjalani hukuman rehabilitasi – baik pengawasan normal atau pengawasan intensif yang dilakukan bersamaan dengan community detention, dapat absen atau tidak hadir dari community detention-nya. Petugas probation yang menangani pelaku yang bersangkutan akan menentukan apakah pengajuan ketidakhadiran tersebut disetujui atau tidak, dengan beberapa pertimbangan berikut: -
Standar dan/ atau kondisi khusus tertentu yang berlaku Risiko terhadap publik Kebutuhan untuk menjunjung tujuan dan maksud dari hukuman Jenis aktivitas
Sebagai contoh, petugas probation kemungkinan memberi persetujuan bagi pengajuan ketidakhadiran pelaku pidana dari detensi mereka sehingga mereka dapat menghadiri program rehabilitasi. Seluruh ketidakhadiran tersebut akan dipantau dan diverifikasi oleh, baik pihak sponsor maupun pemeriksaan janji. Apabila pelaku pidana melanggar peraturan yang telah ditentukan, maka ia akan mendapatkan: a. Sanksi internal, seperti peringatan b. Pelanggaran formal tertentu yang dapat mengakibatkan hukuman berkelanjutan, hukuman jenis lain, atau pemenjaraan.
| 101
c. Aplikasi yang ditujukan ke pengadilan untuk membatalkan hukuman kerja sosialnya dan menggantinya dengan jenis hukuman lain yang lebih membatasi. III. 3. 1. 3 Supervision Sanksi jenis ini lebih merupakan sebuah order atau perintah, yang bertujuan untuk menyediakan para pelaku kesempatan rehabilitasi dalam mengatasi penyebab mereka terlibat dalam kejahatan dan memotivasi mereka untuk melalukan perubahan yang positif. Dengan kata lain, sanksi ini sifatnya tidak punitive. Yang menjadi target dari sanksi ini adalah mereka yang dipidana dengan kejahatan tidak serius, dengan kebutuhan rehabilitasi yang jelas dan risiko yang rendah untuk mengulangi kejahatannya. Hukuman ini dikenakan ketika pengadilan sudah merasa puas bahwa supervision atau pengawasan akan mampu mengurangi kecenderungan terhadap tindak kejahaan lebih jauh. Pelaku yang dijatuhi hukuman ini akan menjalani masa pengawasan selama enam sampai satu tahun. Terkait dengan bagaimana hukuman ini bekerja, petugas probation akan memastikan bahwa para pelaku pidana menghadiri program rehabilitasi yang sesuai guna mengatasi kebutuhan tindak kejahatan mereka. Pelaku pidana akan diberikan standar dan kondisi khusus tertentu selama pengawasan dan diharuskan melapor kepada petugas probation yang akan menjelaskan mengenai persyaratan dan kondisi hukuman, termasuk seberapa sering mereka harus melapor. Mereka yang menjalani sanksi ini juga diharuskan untuk: a. Membayar denda b. Membayar biaya reparasi kepada korban
102 |
c. Melakukan kerja sosial d. Berada di bawah pengawasan electronic-monitor selama masa curfew ketika menjalani hukuman communitydetention Apabila pelaku pidana melanggar aturan yang berlaku, maka ia akan memperoleh: a. Sanksi internal, sebagai contoh peringatan atau peningkatan syarat pelaporan b. Pelanggaran formal tertentu yang dapat mengakibatkan hukuman berkelanjutan, hukuman jenis lain, atau pemenjaraan. c. Aplikasi yang ditujukan ke pengadilan untuk membatalkan hukuman kerja sosialnya dan menggantinya dengan jenis hukuman lain yang lebih membatasi. III. 3. 1. 4 Home detention and post detention conditions Home detention merupakan sanksi yang sifatnya punitive dan rehabilitatif. Sanksi ini menempatkan para pelaku pidana di sebuah tempat tinggal yang layak dan disetujui dalam kurun waktu setiap saat dan diawasi selama 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu. Pelaku pidana yang dijatuhi hukuman ini juga diharuskan untuk mengikuti program-program yang didesain untuk mengatasi masalah perilakunya. Sanksi yang dimaksud dapat berfokus pada kebutuhan rehabilitatif dan reintegratif pelaku, sekaligus menerapkan pembatasan-pembatasan tertentu seperti dibatasi hanya diperbolehkan berada di lokasi tertentu, dan kondisi khusus lain seperti pengawasan elektronik (electronic monitoring).
| 103
Hukuman atau sanksi home detention juga memperbolehkan pelaku untuk mencari atau mempertahankan pekerjaan mereka, menyelesaikan sanksi kerja sosial jika dijatuhi, mengakses program-program yang ditujukan untuk mereka dan mempertahankan hubungan mereka dengan keluarga. Masa hukuman home detention adalah antara 14 hari sampai 1 tahun. Home detention sendiri merupakan pidana alternatif bagi pemenjaraan dan dimaksudkan bagi pelaku pidana yang seharusnya menerima hukuman penjara pendek (yakni satu atau dua tahun) atas perbuatannya. Hanya sentencing judges yang dapat menjatuhi hukuman ini, yang sebelumnya harus mempertimbangkan masukan-masukan dari petugas probation yang sudah melakukan penilaian terhadap pelaku, alamat domisi dan orang-orang yang tinggal disana. Terdapat aturan dan standar yang mengatur pelaku di dalam hukuman ini. Sementara itu, peralatan electronic monitoring juga dipasang di tempat tinggal pelaku guna memantau perilaku dan kepatuhannya, dalam kurun waktu penghukuman. Mereka yang dijatuhi hukuman ini juga biasanya diharuskan untuk: -
Membayar denda Membayar reparasi terhadap korban Melakukan kerja sosial
Terkait dengan kehadiran, para pelaku pidana harus mengajukan diri terlebih dahulu kepada petugas probation apabila ingin absen atau tidak hadir. Selanjutnya, petugas akan menentukan apakah yang bersangkutan dapat tidak hadir. Adapun kondisi-kondisi dimana petugas mengizinkan mereka tidak hadir untuk: bekerja, belajar, program rehabilitasi, dokter, dan janji dengan lembaga lain. Seluruh ketidakhadiran dari lokasi akan
104 |
dipantau melalui cara alternatif – seperti verifikasi dari sponsor pelaku mauapun melalui pemeriksaan janji. Setelah masa hukuman home detention selesai, pelaku pidana yang bersangkutan akan dikenakan hukuman postdetention yang menyediakan pengawasan tambahan dan dukungan bagi kebutuhan rehabilitatif dan proses transisi mereka kembali ke masyarakat. Kondisi ini dapat melibatkan dikenakannya curfew atau kerja sosial. Terakir, sama halnya dengan jenis sanksi atau order lain, maka mereka yang melanggar aturan dan kondisi tertentu akan mendapatkan: a. Sanksi internal, sebagai contoh peringatan atau peningkatan syarat pelaporan b. Pelanggaran formal tertentu yang dapat mengakibatkan hukuman berkelanjutan, hukuman jenis lain, atau pemenjaraan. c. Aplikasi yang ditujukan ke pengadilan untuk membatalkan hukuman kerja sosialnya dan menggantinya dengan jenis hukuman lain yang lebih membatasi. III. 3. 1. 5 Intensive supervision Merupakan hukuman rehabilitatif yang berbasis pada masyarakat. Hukuman ini dijatuhi apabila pengadilan menganggap pengawasan intensif akan dapat mengurangi kecenderungan pelaku pidana untuk mengulangi tindak pidananya, melalui pemberian dukungan terhadap kebutuhan rehabilitatif dan reintegratif. Adapun target pelaku dari hukuman jenis ini, yang melibatkan program intensif dan intervensi serta diatur oleh petugas probation, adalah: a. Mereka yang dinilai memiliki risiko menjadi residivis dengan kategori sedang sampai tinggi b. Didakwa atas tindak pidana yang lebih serius
| 105
c. Memiliki kebutuhan rehabilitatif yang kompleks atau beragam. Hukuman ini dapat dijatuhi hanya oleh hakim dan dikenakan kepada pelaku yang bersangkutan dalam kurun waktu antara enam sampai dua tahun. Hakim akan mempertimbangkan laporan pra-hukuman dan rekomendasi dari petugas probation, yang sebelumnya telah menilai kebutuhan, risiko, dan rekomendasi akan hukuman dan program yang tepat bagi si pelaku. Hukuman jenis ini melibatka program-program khusus bagi pelaku yang dapat diakses hingga dua tahun masa hukumannya. Terkait dengan aturan dan kondisi tertentu yang harus dipatuhi, maka hukuman pengawasan intensif ini memiliki tipe kondisi yang lebih khusus dan persyaratan lebih, yakni lapor terhadap petugas secara rutin dan sering. Sama juga halnya dengan bentuk sanksi atau order lain, apabila pelaku pidana yang dijatuhi hukuman ini melanggar, maka ia akan memperoleh: a. Sanksi internal, sebagai contoh peringatan atau peningkatan syarat pelaporan b. Pelanggaran formal tertentu yang dapat mengakibatkan hukuman berkelanjutan, hukuman jenis lain, atau pemenjaraan. c. Aplikasi yang ditujukan ke pengadilan untuk membatalkan hukuman kerja sosialnya dan menggantinya dengan jenis hukuman lain yang lebih membatasi. III. 3. 2 Penerapan Community-Based Corrections di Selandia Baru Petugas probation yang bekerja menangani para pelaku dituntut untuk dapat bekerja dengan mereka dan memotivasi mereka untuk membuat perubahan di dalam kehidupan. Upaya-
106 |
upaya tersebut diantaranya melalui keikutsertaan pelaku dalam program yang ditujukan untuk mengatasi kekerasan, alkohol dan ketergatungan narkotika atau program untuk menangani mereka dengan jenis pelanggaran lalu lintas. Dan bila memungkinkan, pelaku dapat pula menghadiri program yang mengajarkan mereka soal kebudayaan Maori dan memberi mereka kesempatan untuk kembali terhubung dengan iwi (suku) mereka. Yang menjadi fokus utama dalam penerapan program ini adalah untuk mengurangi kecenderungan terjadinya terulangnya kejahatan atau residivis, dan menciptakan lingkungan publik yang aman. Selama menjalani masa pidananya ini, para pelaku biasanya diharuskan mengikuti standar dan kondisi-kondisi khusus tertentu selama berada di dalam masyarkat. Kondisi yang dimaksud diantaranya adalah terdapat tempat-tempat spesifik dimana mereka dapat tinggal dan tidak, seberapa sering mereka harus melapor kepada petugas probation dan pada kasus pidana serius, diatur pula mengenai lokasi dan aktivitas yang harus mereka hindari. Jika peraturan-peraturan ini dilanggar, maka para pelaku akan menerima denda, mendapatkan pidana lain, atau dipenjara. III. 4 Australia III. 4. 1 Model Community-Based Corrections di Australia Penjabaran model-model community-based corrections ini mengacu pada laporan yang ditulis oleh Walker dan Biles (1986). Keduanya membagi model community-based corrections (CBC) ke dalam dua bentuk umum, yakni hukuman non pemenjaraan dan hukuman paska-penjara, seperti parole dan pembebasan dini. Namun perlu menjadi catatan bahwa di Australia, penerapan model CBC cenderung beragam. Hanya terdapat tiga tipe atau model yang berlaku atau diterapkan di semua wilayah hukum,
| 107
yakni probation atau supervised recognisance, pelayanan masyarakat, dan parole (dalam kasus mereka yang dibebaskan dari hukuman penjara seumur hidup (life imprisonment) digunakan terminologi “release on License”). III. 4. 1. 1 Pre-sentence Supervision Orders Merupakan jenis perintah pra pidana yang diberlakukan di New South Wales, termasuk di dalamnya pre-sentence, long remand dan bail assessment orders. Hukuman ini diberlakukan pada mereka yang sedang menunggu putusa pidana. Namun, banyak yang keliru memahami jenis hukuman ini sebagai bagian dari model probation/ supervised recognisance. Tujuan dari jenis perintah ini adalah untuk menilai performa pelaku sebelum pidana dijatuhkan, dengan pengawasan atau supervisi community-based. Periode hukuman ini cenderung pendek, yakni kurang dari 12 bulan. III. 4. 1. 2 Probation/ Supervised Recognisance Ketika seorang pelaku kejahatan dijatuhi hukuman oleh pengadilan dalam bentuk pemenjaraan, pengadilan dalam hal ini dapat pula memberikan perintah hukuman dalam bentuk probation. Pelaku dewasa yang memperoleh probation ini akan diawasi dan diberikan arahan oleh staf yang bertugas, serta diberikan dukungan dan layanan yang dibutuhkan. Periode sasa hukuman ini diberlakukan antara 1 sampai 5 tahun. Sementara di Australia Barat, periode hukuman dilaksanakan antara 6 bulan sampai 5 tahun. III. 4. 1. 3 Attendance Centre Order Hukuman ini memberikan pilihan bagi pengadilan untuk mengganti masa pidana penjara pelaku kejahaan dengan pidana non-custodial, yang dilakukan di dalam masyarakat. The
108 |
Attendance Centre Order menggabungkan restitusi dalam bentuk kerja sosial dengan persyaratan kehadiran rutin di Attendance Centre untuk menghadiri aktivitas pengembangan diri. Minimum waktu kehadiran di Attendance Centre adalah satu bulan, dan maksimumnya adalah 12 bulan. III. 4. 1. 4 Community Service/ Work Order Hukuman pelayanan masyarakat atau kerja sosial merupakan alternatif hukuman penjara dimana pengadilan mengharuskan pelaku untuk membayar restitusi secara umum melalui kerja sosial dalam kurun waktu tertentu. Hukuman ini dilakukan selama 20-360 jam, dan dapat berlaku bagi semua kecuali pelaku kejahatan pengkhianatan (treason) dan pembunuhan, bahkan ketika masa pidana penjara dimandatkan atau tidak dapat membayar denda. III. 4. 1. 5 Fine Option Order Pengadilan dapat memberikan hukuman alternatif kerja sosial terhadap bentuk hukuman denda. Periode kerja sosial ini harus diselesaikan dalam kurun waktu 12 bulan setelah peritah atau hukuman dijatuhkan. III. 4. 1. 6 Supervised suspended (prison) sentence Hukuman penangguhan diterapkan berdasarkan kode masing-masing wilayah hukum (Australia Selatan, Tasmania, dan Australia bagian Utara) yang dapat diberlakukan secara menyeluruh (wholly) atau sebagian (partially). III. 4. 1. 7 Parole/ License Hukuman jenis ini memberikan kesempatan kepada pelaku untuk dibebaskan dari penjara atas pertimbangan Dewan Parole, untuk menjalani masa pembebasan bersyarat di dalam
| 109
masyarakat. “Masa pembebasan bersyarat” ini menjadi pembeda antara hukuman minimum dan maksimum, berdasarkan ketentuan pengadilan. Sementara itu, mereka yang diputus pidana penjara dalam waktu yang tak dapat ditentukan (seperti penjara seumur hidup dan governor’s pleasure) dapat dibebaskan dengan syarat tertentu (‘on License’) di beberapa wilayah hukum. Pembebasan dapat dijlakuakn setelah pelaku menjalani 6 bulan atau 1/3 masa hukumannya. III. 4. 1. 8 After-care Probation/ Partially suspended sentence Merupakan jenis hukuman atau perintah pengadilan yang dipisahkan dari bentuk hukuman penjara, dengan spesifik terminologi yang digunakan adalah ‘non probation’. Dengan kata lain, hukuman ini diberlakukan setelah pelaku dibebaskan ke masa probation. III. 4. 1. 9 Pre-release Order Perintah atau hukuman pre-release dilakukan di antara waktu pemenjaraan dan saat pelaku dibebaskan secara bersyarat (parole), bagi mereka yang menjalani pidana maksimum/ minimum, dan di antara waktu pemenjaraan dan pembebasan akhir bagi mereka yang menjalani pidana straight. Mereka yang menjalani perintah atau hukuman ini adalah mereka yang masa pidananya tidak kurang dari 12 bulan dan telah menjalani program sekurang-kurangnya 3 buhlan dan tidak lebih dari 12 bulan. Selain itu, masa pre-release tidak lebih dari 1/3 dari total masa hukuman. III. 4. 2 Hambatan Pelaksanaan Community-Based Corrections di Australia Trotter (1993), dalam sebuah laporan mengenai penerapan model supervisi sebagai bagian community-based
110 |
corrections di Viktoria, Australia, memaparkan setidaknya dua permasalahan yang ditemui. Pertama, staf supervisi atau manjaemen di daerah tidak terbiasa dengan model CBC yang diterapkan, yang selanjutnya berimplikasi pada ketidakmampuan mereka dalam mendukung proyek yang dimaksud. Kedua, adanya fakta bahwa tidak ada manfaat atau keuntungan dari penerapan model supervisi, selain meningkatnya kemajuan klien, semakin menyulitkan pencapaian implementasi yang tajam dari model yang dimaksud. Dikatakan lebih lanjut bahwa praktik dan program supervisi yang tepat dapat mengurangi angka residivisme sampai 50%. Namun demikian, sebagai implikasinya, isu finansial dan sumber daya manusia harus benar-benar ditingkatkan dan diperbaiki pula, yang dalam banyak kasus masih menjadi tantangan tersendiri. III. 5 Filipina Sistem peradilan pidana Filipina terdiri dari aparat penegak hukum, kejaksanaan, pengadilan, lembaga koreksional, dan masyarakat. Sistem koreksionalnya sendiri terdiri dari beberapa pilar, yakni Bureau of Correction (National Bureau of Prisons), The Probation and Parole Administration, dan the Board of Pardons and Parole yang berada dibawah payung Departement of Justice; Provincial Jails dibawah The Provincial Government; dan the Office of Jail Management and Penology yang merupakan unit dari The Integrated National Police. Sistem koreksional tersebut memiliki tanggung jawab untuk mereformasi dan merehabilitasi pelaku-pelaku yang perilakunya dianggap menyimpang dengan memasukannya ke dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas) maupun melalui fasilitas noninstitusional di dalam masyarakat.
| 111
Upaya mereformasi dan merehabilitasi pelaku melalui Lapas dapat dilakukan pada 3 (tiga) tiga jenis Lapas yang berbeda. Pembedaan ini didasarkan pada lama masa hukuman yang dijatuhkan pada masing-masing pelaku. City Municipal Jails merupakan Lapas yang diperuntukan bagi pelaku yang dijatuhi hukuman penjara dengan masa hukuman maksimal 6 (enam) bulan. Provincial Jails diperuntukan bagi pelaku yang dijatuhi hukuman penjara antara 1 (satu) hari sampai dengan 3 (tiga) tahun. Kemudian, The Bureau of Correction diperuntukan bagi pelaku yang dijatuhi hukuman penjara lebih dari 3 (tiga) tahun. Sedangkan, pelaku yang dihukum non-institusional melaksanakan hukumannya di luar Lapas atau di dalam masyarakat dengan berbasiskan masyarakat atau disebut sebagai community-based corrections. III. 5. 1 Pelaksanaan Community-Based Corrections di Filipina Filipina memberlakukan penerpan community-based corrections pada terpidana anak maupun orang dewasa. Meskipun demikian, Filipina membedakan treatment bagi anak dan orang dewasa. Penerapannya pun dilakukan pada 4 (empat) tahapan berbeda, yakni pre ajudikasi, ajudikasi, post ajudikasi, dan pos institusionalisasi. III. 5. 1. 1 Pre Ajudikasi 1. The “Katarungang Pambarangay” (Village Justice System) Filipina memiliki cara yang unik dan khas terkait dengan bagaimana menangani pelaku, yakni dengan memanfaatkan unit terkecil dari masyarakatnya, yaitu desa atau dikenal dengan “barangay”. Sistem yang digunakan di dalamnya dinamakan “Katarungang Pambarangay”, yang merupakan sistem penyelesaian konflik dengan cara damai. Sistem ini sendiri mulai berkembang pada tahun 1978, yang tujuannya adalah untuk
112 |
mempromosikan bentuk peradilan yang cepat, damai, dan tidak mahal, serta untuk membantu pihak kepolisian, jaksa, dan pengadilan dalam menyelesaikan kasus. Selain itu, kasus non-kejahatan yang tidak berada di bawah naungan Katarungang Pambarangay, demi penyelesaian konflik dengan cara damai, maka dapat diarahkan ke “Lupong Tagapamayapa” atau dewan peacekeeping kapan pun sebelum sidang dilakukan oleh polisi, jaksa, atau pengadilan. Dewan yang dimaksud ini menjalankan fungsi dari sistem Katarungang Pambarangay dan dibentuk di setiap barangay atau desa, yakni di lebih dari 42.000 desa di Filipina. Dikepalai oleh seorang ketua barangay, anggota dewan terdiri dari paling sedikit 10 dan paling banyak 20 orang, yang dipilih setiap 3 tahun sekali dari penduduk sekitar barangay atau mereka yang bekerja di barangay, selama sesuai dengan kualifikasi yang telah diatur. Tiga (3) anggota “pangkat na tagapagkasundo” atau tim mediasi dibentuk dari Lupong Tagapamayapa, guna melanjutkan upaya perdamaian ketika ketua barangay gagal menyelesaikan konflik secara damai sebelum Lupon. Bentuk peradilan yang demikian memberikan kesempatan kepada baik korban maupun pelaku untuk menyelesaikan konflik dengan damai di hadapan orangorang yang telah memiliki pengetahuan banyak mengenai mereka, dan dengan begitu memahami alasan terjadinya konflik. Mengingat kedekatan antara anggota Lupon dengan lokus kejahatan yang dimaksud, maka mereka dapat memiliki pemahaman lebih dilihat melalui dimensi sosio-ekonomi dan budaya yang menyertainya. Mengingat ketua barangay adalah petugas eksekutif di tingkat desa, yang juga sekaligus ketua dari Lupon, maka sebagai konsekuensinya, ia dapat melibatkan pihak-pihak terkait dalam menentukan akar penyebab masalah dan faktor-faktor lain yang berkontribusi dalam mendorong munculnya masalah tersebut,
| 113
yang kemungkinan berada di dalam masyarakat yang dipimpin olehnya. Faktor-faktor tersebut dapat berupa di antaranya kurangnya lapangan kerja, pengaruh negatif dari kelompok peer, dan sebagainya. Dengan demikian, melalui Katarungang Pambarangay, upaya deteksi dini dari kemungkinan-kemungkinan tindak kejahatan oleh pelaku serta upaya koreksi terhadap perilaku negatif mereka diharapkan akan menjadi lebih responsif dan relevan. 2. Release on Recognizance and Other Diversion Services Anak atau remaja yang berkonflik dengan hukum baik yang ditangani di dalam sistem barangay atau oleh kepolisian akan dengan segera diarahkan ke Departemen Kesejahteraan Sosial dan Pengembangan (Department of Social Welfare and Development/ DSWD) untuk ditangani. Melalui layanan diversi berbasis masyarakat, petugas kesejahteraan sosial diberikan tanggung jawab untuk membantu remaja yang berkonflik dengan hukum secepat mungkin, bahkan ketika ia sudah mulai ditangani oleh Lupon Tagapamayapa di barangay-nya. Petugas-petugas ini juga secara reguler ditugaskan untuk mengunjungi pusat-pusat penahanan dan penjara, setidaknya satu minggu sekali, untuk memeriksa apakah ada anak atau perempuan di dalamnya. Selain itu, kerjasama dan koordinasi dengan unit yang secara khusus menangani perempuan dan anak di tingkat kepolisian juga menjadi tugas dan kewajiban lain dari petugas-petugas ini. Dengan begitu, anak dan remaja pelaku akan sesegara mungkin didiversi dari sistem peradilan pidana, dan dibebaskan dengan recognizance serta berada di bawah pengawasan orang dewasa yang diberikan tanggung jawa atau dikembalikan kepada keluarganya. Ketika remaja-remaja yang dimaksud sudah didiversi atau bebas dari penahanan, maka mereka secara otomatis akan dibantu
114 |
untuk menyelesaikan masalahnya, dalam konteks kondisi dan situasi keluarganya, melalui formulasi upaya perencanaan treatment dan rehabilitasi. Sebagian besar dari mereka akan disekolahkan kembali, diberikan pelatihan kemampuan tertentu, atau bila mereka sudah mampu bekerja, maka dibantu dalam hal dibukakan peluang kerja. Permasalahan yang ada di dalam keluarga mereka juga menjadi perhatian tersendiri dan akan pula diarahkan ke sumber-sumber daya yang dapat membantu mereka. Skema ini memungkinkan para remaja pelaku untuk dilindungi, direhabilitasi, dan dilatih untuk bertanggung jawab secara sosio-ekonomi dan sebagai bagian dari warga negara. Upaya-upaya tersebut dilakukan demi kebaikan diri mereka sendiri, keluarga, dan komunitasnya, tanpa perlu memasukkan mereka pada sistem penahanan dan bentuk alienasi sejenis. III. 5. 1. 2 Ajudikasi 1. Suspended Sentence for Youth Offenders Di bawah ketentuan Child and Youth Welfare Code Filipina, eksekusi hukuman terhadap remaja pelaku akan ditangguhkan dan selanjutnya akan dibina dan ditahan di bawah pusat rehabilitasi DSWD, atau ditempatkan di bawah pengawasan tahanan atau petugas probation. Tugas layanan probation bagi remaja pelaku akan dimulai ketika, proses ajudikasi formal telah selesai dilaksanakan, dan mereka dinyatakan untuk dikembalikan ke keluarga, guardian atau pihak lain yang bertanggung jawab di dalam masyarakat, dengan berada di bawah pengawasan langsung dari DSWD. Penempatan ini berlanjut hingga waktu tertentu ketika pengadilan mengakhiri kasus dengan berdasarkan pada rekomendasi pekerja sosial DSWD. Pusat rehabilitasi DSWD sendiri merupakan institusi terbuka dan disituasikan seperti tempat darimana pelaku berasal,
| 115
dimana pelaku berhak atas kesempatan untuk bertatap muka dengan masyarakat atau menjalani kondisi layaknya rumah yang kondusif untuk proses reintegrasi dan rehabilitasinya. Kesempatan tersebut di antaranya terintegrasi di dalam beberapa program dan layanan sebagai berikut: a. Social Services Pekerja sosial DSWD di pusat rehabilitasi tidak hanya memiliki tugas dan fungsi dalam membuat perencanaan treatment untuk pelaku, tetapi juga mengintegrasikan program dan layanan yang tepat bagi pelaku dan keluarganya. Petugas-petugas ini juga bertugas untuk memastikan bahwa masing-masing pelaku menerima treatment individual oleh tim rehabilitasi yang ditugaskan. Selain itu, sejenis konferensi secara reguler juga dilakukan guna memonitor perkembangan treatment. Sebagai tambahan, pusat rehabilitasi juga memberikan kesempatan kepada remaja pelaku untuk tetap berkomunikasi dan berkontak dengan keluarga mereka, tidak hanya melalui surat menyurat, tetapi juga kunjungan rutin dari keluarga langsung. Pusat rehabilitasi juga merayakan “Hari Keluarga” setiap satu bulan sekali, dimana para keluarga pelaku diundang untuk berinteraksi tidak hanya dengan anak-anak mereka tetapi juga para pihak yang terlibat di dalam treatment, seperti pekerja sosial, orang tua pengganti, dan lain-lain. Para remaja pelaku ini juga diberikan hak istimewa untuk menghadiri acara keluarga yang penting, seperti ketika orang tua sakit atau ada kerabat yang meninggal, perayaan Natal dan Tahun Baru, serta acara-acara khusus lainnya. Dalam memastikan kesuksesan proses integrasi pelaku ke dalam masyarakat, staf di dalam pusat rehabilitasi melibatkan pekerja sosial community-based dalam merencanakan dan mengimplementasikan programnya, yang nantinya juga akan
116 |
memperhatikan kebutuhan keluarga dari pelaku. Artinya, ketika permasalahan pelaku berasal dari permasalahan keluarganya, seperti persoalan pendapatan yang rendah, saudara kandung pelaku tidak bersekolah, atau orang tua yang kurang memiliki kemampuan dalam mendidik anak, maka pekerja sosial akan memperhatikan permasalahan sekaligus kebutuhan untuk mengatasi permasalahan yang dimaksud. Selanjutnya, laporan mengenai hal tersebut akan diserahkan kepada staf di pusat rehabilitasi. Proses ini masuk dalam proses perencanaan. Selanjutnya, pusat rehabilitasi dan pekerja sosial community-based juga bekerja sama dalam mengimplementasikan perencanaan yang telah dibuat. Dalam hal ini, pekerja sosial yang dimaksud akan melakukan pengawasan dan memberikan layanan after care, guna memastikan bahwa perencanaan yang telah dibuat benar dilakukan. b. Homelife Services Program ini memberikan kesempatan kepada pelaku untuk belajar mengenai tugas-tugas rumah, seperti pergi berbelanja, memasak, bersih-bersih, merapihkan tempat tidur, dll. Selain itu, mereka juga diajarkan mengenai nilai-nilai positif dalam kaitannya dengan peran mereka, baik sebagai anak laki-laki/perempuan, kakak laki-laki/perempuan, dll, serta peran lainnya yang kemungkinan akan mereka emban ketika sudah berkeluarga nantinya. c. Educational Services Pusat rehabilitasi dalam program ini akan memanfaatkan atau bekerja sama dengan sekolah yang berada di sekitar lokasi, atau apabila sekolah diadakan di dalam pusat rehabilitasi, maka remaja di lingkungan sekitar dapat bersekolah juga di sana. Hal ini memberikan kesempatan kepada para remaja pelaku untuk dapat berinteraksi dan bertatap langsung dengan remaja lainnya yang
| 117
tidak berkonflik dengan hukum, sehingga akan mencegah alienasi lebih lanjut yang dialami remaja pelaku. Dalam beberapa contoh, remaja pelaku juga diizinkan untuk melanjutkan sekolah di perguruan tinggi yang telah bekerja sama dengan pusat rehabilitasi. d. Psychological Services Program ini menyediakan kesempatan kepada remaja pelaku untuk dapat memahami diri mereka lebih baik lagi, memahami bagaimana berperilaku di dalam sebuah kelompok, serta bagaimana menjalin relasi dengan orang lain. Pada tahapan penerimaan awal, mereka juga menjalani tes psikologi sebagai acuan untuk merencanakan program treatment dan reintegrasi yang sesuai, serta membantu mereka dalam memodifikasi perilaku mereka sesuai dengan norma budaya yang berlaku di masyarakat. e. Health Services Layanan kesehatan ini disediakan bagi remaja pelaku guna mendukung perkebangan fisik mereka. Layanan yang dimaksud di antaranya terdiri dari layanan medis dan kesehatan gigi. Dengan adanya layanan ini, remaja pelaku dapat memiliki fisik yang sehat yang dapat berkontribusi dalam perkembangan kepribadiannya serta kebutuhan akan rasa aman selama proses persiapan reintegrasi dirinya. f.
Economic Program and Services in Rehabilitation Centers Melalui program ini, remaja pelaku diberikan kesempatan untuk menjalani pelatihan kemampuan kerja, wirausaha atau manajemen bisnis, serta diberikan pengalaman langsung dalam hal produktifitas kerja atau proyek mata pencaharian tertentu. Kemampuan yang diajarkan akan didasarkan pada situasi asal mereka. Sebagai contoh, mereka yang berasal dari wilayah agrikultur maka akan diberikan pelatihan yang sama di bidang tersebut. Selain itu, etika dan nilai-nilai yang berkaitan dengan
118 |
bidang kerja yang ditekuni juga menjadi materi lain yang diajarkan. g. Recreational Services Layanan ini diberikan dengan berdasarkan pada minat dan kondisi fisik remaja pelaku. Bentuk rekreasi yang umum diberikan, di antaranya seperti permainan dan olahraga indoor dan outdoor, menonton televisi, menggambar, membaca, dan sebagainya. Kegiatan olahraga sendiri dapat mengajarkan nilai disiplin, sportivitas. h. Developmental Services Program ini menempatkan remaja pelaku pada pengalaman kelompok seperti pertemuan secara berkelompok, konsultasi kelopok, dan jenis lainnya. Para pelaku diarahkan ke perkumpulan kepemudaan, yakni Pag-asa (Hope) Youth Association (PYA), yang menjadi sarana bagi para pelaku untuk berpartisipasi di dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan di dalam pusat rehabilitasi. Mengingat PYA tersedia di dalam hampir setiap komunitas, terutama di lingkungan pelaku, maka proses reintegrasi menjadi lebih mudah karena dapat langsung bekerja sama dengan PYA setempat. Keterlibatan para remaja pelaku di dalam kelompok kepemudaan memungkinkan mereka untuk mengasah kemampuan perencanaan dan manajemen kemampuan, yang dapat berguna ketika mereka menjadi anggota aktif di barangay atau mengambil peran kepemimpinan dalam bentuk lainnyaa di dalam masyarakat. i.
Socio-cultural Programs Program ini tersedia di dalam pusat rehabilitasi DSWD, yang di antaranya terdiri dari pengembangan bakat dan kemampuan lain seperti dalam pentas drama, bermain peran, menari, menyanyi, dan lain sebagainya. Selain itu, program ini juga
| 119
memberikan sarana bagi remaja pelaku untuk menghargai praktik budaya mereka sendiri, guna memunculkan rasa cinta tanah air. Sementara itu, bentuk kegiatan lain dari program ini terdiri dari kegiatan spiritual. Dengan membangun hubungan yang lebih dalam dengan Sang Pencipta, maka remaja pelaku diharapkan memiliki keyakinan akan kapasitas diri mereka sendiri untuk berubah, serta terhadap Tuhan, dan rencana Tuhan untuk mereka. Poin yang ingin disampaikan melalui program ini adalah untuk membuat mereka sadar bahwa mereka unik dan masing-masing memiliki peran yang berbeda untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Implikasi yang diharapan adalah mereka mampu menjalankan peran keseharian mereka dengan basis rasa kepedulian dan kebahagiaan. 2. Probation for Adult Offenders Percobaan (probation) merupakan suatu kondisi dimana pengadilan memutuskan untuk melepaskan terdakwa dari hukuman penjara, namun memberikan kewajiban kepadanya untuk melaksanakan hukuman dibawah pengawasan petugas probation. Dalam aturan yang berlaku di Filipina, hukuman percobaan pada terpidana dewasa hanya dapat diberikan satu kali, dijatuhkan kepada pelaku yang baru pertama kali melakukan tindak kejahatan (first time offenders), dan dengan ancaman hukumannya tidak lebih dari 6 (enam) tahun penjara. Untuk sampai pada putusan ini, pelaku harus melakukan pengajuan permohonan hukuman percobaan sebelum hakim menjatuhkan sanksi. Selama pelaksanaan hukuman percobaan ini, petugas pengawas memiliki dua tugas utama, yakni melakukan rehabililtasi dan reintegrasi terhadap pelaku. Kedua upaya ini ditempuh melalui beberapa jenis kegiatan, seperti edukasi formal maupun informal, kerja nyata di tempat-tempat yang memberikan penghasilan, dan kegiatan positif lainnya.
120 |
III. 5. 1. 3 Post Ajudikasi 1. Open Prison Programs Program Lapas terbuka merupakan salah satu program yang pelaksanaannya berada di bawah pengawasan The Bureau of Corrections. Dalam program ini, The Bureau of Correction memberikan kesempatan kepada terpidana untuk menjalankan hukuman di luar penjara dan bekerja di lahan-lahan pertanian dan peternakan yang disediakan dimana terpidana dapat membawa serta keluarganya selama menjalankan program. Selain itu, mereka juga dizinkan untuk terikat dengan satu pekerjaan, seperti menjadi petani kontrak, menggarap lahan, berternak, dan kegiatankegiatan lainnya yang dapat mendukung terpidana secara ekonomi maupun sosio-kultural. Aktivitas-aktivitas tersebut juga dapat menjadi dorongan bagi pelaku untuk bereintegrasi ke dalam masyarakat. 2. Pardon Pardon merupakan suatu tindakan pemaafan terhadap perbuatan pelaku atas tindak pidana yang dilakukannya. Program ini juga diberikan ketika situasi dianggap kondusif bagi pelaku untuk mendapatkan program reintegrasi lebih awal. Dibawah aturan hukum Filipina, pemberian pemaafan ini dilakukan oleh presiden dengan wewenang grasi yang dimilikinya. Namun demikian, pemberian grasi ini harus melewati proses yang diawali dengan rekomendasi dari The Board of Pardon and Parole. 3. Parole Parole merujuk pada pembebasan bersyarat yang diberikan kepada narapidana yang dihukum di dalam Lapas setelah menjalani hukuman selama periode tertentu didalamnya. Pelaksanaan hal ini berada dibawah pengawasan The Parole and Probation Adnibistration. Sedangkan, tugas The Board of Pardon
| 121
and Parole adalah memberikan rekomendasi kepada presiden terkait orang-orang yang berhak mendapatkan parole III. 5. 1. 4 Post Institusionalisasi 1. Halfway House for Adult Prisoners Halfway house merupakan suatu bangunan tempat tinggal yang diatur sedemikian rupa untuk menampung para mantan narapidana yang telah bebas dari hukuman penjara. Mereka yang berada di halfway house adalah para narapidana yang dijatuhkan hukuman cukup lama, sehingga cukup sulit untuk menghadapi perubahan yang telah terjadi di luar penjara. Keberadaan haflway house merupakan bentuk dukungan dalam proses reintegrasi secara bertahap bagi para mantan narapidana tersebut. Dengan demikian, reintegrasi secara penuh dan berhasil ke dalam masyarakat menjadi capaian akhirnya. Halfway house menyediakan kehidupan selayaknya rumah dan pengalaman hidup bersama di dalam kelompok. Program ini juga menawarkan kesempatan untuk mendapatkan pelatihan keterampilan maupun kemampuan untuk mendapatkan penghasilan dan kemudian menempatkan dalam suatu posisi pekerjaan. Para pelaku juga diberikan kesempatan untuk mengembangkan diri secara emosional, mental, fisik, dan spiritual sebagai bekal untuk kembali ke dalam keluarga dan masyarakat. Seluruh kegiatan yang diselenggarakan dalam halfway house ini diatur dan didukung oleh tim yang terdiri dari berbagai latar belakang ilmu, seperti pekerja sosial, psikolog, pendidik, dan pelaku-pelaku peran rehabilitasi lainnya. 2. After Care Services After care services merupakan pelayanan yang diberikan sebagai dukungan kepada para mantan penghuni halfway house. Mereka yang telah selesai menjalankan program di halfway house mendapatkan pendampingan berupa after care. Program ini pada
122 |
intinya merupakan program asistensi dan monitoring terhadap kehidupan mantan narapidana selama kembali hidup di tengah masyarakat. Program dilakukan dengan koordinasi antara Department of Social Walfare and Development, Department of Justice di tingkat regional dan lapangan, unit pemerintah lokal, dan entitas lainnya. III. 5. 2 Hambatan Pelaksanaan Community-Based Corrections di Filipina Sebagaimana praktik pelaksanaan community-based corrections di negara-negara lainnya, praktik pelaksanaan di Filipina juga tidak lepas dari hambatan. Setidaknya, terdapat 5 (lima) hal yang menjadi hambatan menurut Celia (1999). Pertama, stigma terhadap pelaku kejahatan mempengaruhi pandangan para perancang anggaran, sehingga alokasi anggaran pada program community-based correction dipandang bukan sebagai prioritas. Kedua, stigma pelaku kejahatan yang sudah melekat secara umum pada masyarakat juga mengakibatkan mereka semakin terpinggirkan, sehingga rehabilitasi tidak dianggap sebagai hak bagi para pelaku tersebut. Ketiga, ketika penanganan masalah di level desa, ikatan personal dan keluarga terkadang mempengaruhi keputusan penanganan masalah pada level desa ini. Penilaian terhadap pelaku menjadi subyektif dan merugikan pihak korban atau pelaku sendiri. Keempat, masyarakat lebih sulit menerima kembali dan merehabilitasi pelaku yang sudah dewasa dibandingkan pelaku anak. Terakhir dan yang paling penting adalah belum adanya kesadaran penuh pada para pengambil kebijakan bahwa upaya pencegahan kejahatan jauh lebih baik daripada upaya penanggulangan kejahatan.
BAB IV MODEL-MODEL PEMIDANAAN DAN PELAKSANAANNYA DI INDONESIA Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, secara garis besar, community-based corrections merupakan konsep yang didalamnya membahas tentang bentuk-bentuk pemidanaan di luar penjara. Bentuk-bentuk pemidanaan ini prosesnya bermacam-macam. Di Filipina, Cina, Selandia Baru, dan Australia, bentuk-bentuk community-based correction sendiri lebih cenderung dilihat sebagai bentuk-bentuk alternatif pidana penjara. Sedangkan, di Amerika, community-based correction lebih dilihat sebagai program-program yang dijalankan terpidana selama masa penghukuman di luar pidana penjara. Dalam studi ini, walaupun model-model pemidanaan yang dibahas juga termasuk sebagai bentuk community-based correction, namun community-based correction di sini lebih dilihat sebagai program yang diberikan dalam pelaksanaan model-model pemidanaan tersebut. Pandangan demikian dilakukan untuk mendorong pengimplementasian model pemidanaan secara lebih riil dan praktis. Selain itu, poin lain yang juga harus diperhatikan adalah community-based corrections bukan merupakan bentuk pengurangan masa hukuman, namun hanya merupakan bentuk pengurangan masa pemenjaraan. Dengan demikian, walaupun proses penghukuman tidak dilakukan dengan menempatkan terpidana di dalam institusi penjara, bukan berarti ia tidak dihukum. community-based corrections tetap merupakan bentuk penghukuman bagi orang-orang yang telah terbukti secara sah melanggar hukum tertentu.
124 |
Hukum pidana Indonesia telah mengenal setidaknya 10 (sepuluh) model pemidanaan selain pidana penjara yang sama dengan community-based correction. Selain itu, dalam proses pelaksanaan pidana penjara sendiri, didalamnya juga sudah terdapat bentuk-bentuk program community-based corrections, antara lain cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan asimilasi. Bab ini secara keseluruhan akan membahas mengenai kesepuluh model pemidanaan sebagai sanksi legal yang hidup di Indonesia. Pembahasan ini dilakukan melalui dua sisi, yakni dari sisi normatif dan dari sisi praktik empiris. Dari sisi normatif, pembahasan meliputi model-model pemidanaan, institusi penyelenggara, peran masyarakat, dan wacana pidana alternatif dalam RKUHP. Sedangkan, dari sisi praktik empiris, pembahasannya meliputi kondisi umum pelaksanaan modelmodel pemidanaan dan model-model pemidanaan itu sendiri. Pembahasan terkait pelaksanaan setiap modelnya dilakukan berdasarkan analisis SWOT. IV. 1 Model-Model Pemidanaan IV. 1. 1 Pidana Denda Kitab Undang-Undang Hukum pidana memasukan pidana denda sebagai salah satu dari lima bentuk pidana pokok. Dalam aturan tersebut, mayoritas pidana denda disebutkan sebagai alternatif pilihan pidana kedua atau ketiga setelah pidana penjara atau pidana kurungan. Dalam Buku II KUHP, pidana denda disebutkan sebanyak 135 pasal dengan komposisi sebagai alternatif pidana penjara sebanyak 133 pasal dan pidana denda tunggal hanya sebanyak 2 pasal. Kemudian, buku III KUHP menyebutkan pidana denda sebanyak 74 pasal dengan komposisi pidana denda sebagai alternatif pidana kurungan sebanyak 34 pasal dan pidana denda tunggal sebanyak 40 pasal (Ar, 2009).
| 125
Pelaksanaan pidana denda dilakukan dengan cara membayarkan sejumlah uang oleh terpidana kepada negara. Besaran jumlah denda yang harus dibayarkan oleh narapidana tersebut diputuskan berdasarkan putusan hakim yang disesuaikan dengan besaran jumlah yang diatur dalam KUHP. Terkait dengan besaran jumlah denda ini, Peraturan Pemerintah Pengganti Nomor 18 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Hukum Pidana dan Dalam Ketentuan-Ketentuan Pidana Lainnya yang Dikeluarkan sebelum Tanggal 17 Agustus 1945 telah menyatakan bahwa besaran jumlah denda yang dirumuskan dalam KUHP tidak setimpal lagi dengan sifat tindak pidana yang dilakukan, sehingga perlu ada penyesuaian dengan mempertinggi besaran denda tersebut. Penyesuaian dilakukan dengan melipatgandakan sebanyak 15 kali lipat, sesuai dengan peningkatan harga barang saat itu yang diperkirakan mencapai kenaikan sebanyak 15 kali lipat. Pembayaran pidana denda ini kemudian menjadi pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Aturan terkait pidana denda masih minim. Sejauh ini, belum ada aturan terkait pidana denda yang berdiri sendiri dan mengatur tentang mekanisme penjatuhan pidana denda dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Pidana denda hanya diatur dalam KUHP dan Peraturan Pemerintah Pengganti Nomor 18 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Hukum Pidana dan Dalam Ketentuan-Ketentuan Pidana Lainnya yang Dikeluarkan sebelum Tanggal 17 Agustus 1945. Dalam KUHP, sebagaimana yang telah disebutkan dalam paragraf awal, pidana denda lebih banyak diatur sebagai pidana alternatif atas bentuk pidana lainnya, seperti pidana penjara. Dalam Pasal 30 aturan tersebut, disebutkan batasan terendah dari pidana denda, yakni tiga rupiah tujuh puluh lima sen. Pidana denda ini juga dapat diganti menjadi pidana kurungan apabila terpidana tidak sanggup membayar besaran denda yang telah
126 |
diputuskan oleh hakim. Dalam bagian lainnya, disebutkan bahwa besaran batas terendah denda dapat dikonversi menjadi 1 (satu) hari pidana kurungan. Kemudian, dalam kaitannya dengan pembebasan narapidana daripidana denda, hal tersebut hanya dapat dilakukan apabila narapidana sudah membayar lunas hukuman denda yang dijatuhkan kepadanya. Mengenai hal ini, pasal 34A Peraturan Pemerintah RI Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan juga mengatur pelunasan denda sebagai salah satu syarat yang wajib dipenuhi oleh narapidana4 untuk mendapatkan remisi. Penjelasan lebih banyak mengenai pidana denda sebagai pidana alternatif baru terdapat dalam RKUHP.Penjelasan dalam RKUHP terkait denda ini dapat dilihat sebagai perkembangan pemidanaan Indonesia yang melihat pidana denda sebagai pidana alternatif yang memiliki hubungan setara dengan pidana pokok lainnya. Dalam RKUHP, pidana denda didefinisikan sebagai pidana berupa sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan.Pidana denda dapat dikenakan kepada seseorang yang berdasarkan pertimbangan tujuan pemidanaan, ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian hakim memutuskan tidak perlu dijatuhi pidana penjara. Namun demikian, usia dan pengulangan tindakan juga perlu diperhatikan sebagai pertimbangan lanjutan oleh hakim.
Khusus untuk narapidana tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya. 4
| 127
Pertimbangan tersebut tidak berlaku bagi pelaku yang sebelumnya pernah dijatuhi pidana ketika usianya sudah dewasa. Jika syarat-syarat diatas terpenuhi, maka hakim dapat menjatuhkan pidana denda dengan besaran tertentu.Besaran denda pidana diatur dalam 6 (enam) kategori, yakni: a. kategori I Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); b. kategori II Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); c. kategori III Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah); d. kategori IV Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); e. kategori V Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); dan f. kategori VI Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Dalam menentukan keputusan besaran pidana denda, hakim diwajibkan untuk mempertimbangkan kemampuan terpidana dalam kaitannya dengan keadaan pribadi dan masyarakatnya.Besaran jumlah pidana denda dalam kategorikategori tersebut juga tidak ditetapkan secara permanen, melainkan dapat berubah ketika terjadi perubahan nilai uang. Berbeda dengan aturan dalam KUHP, RKUHP juga mengatur tentang subyek pidana denda. Subyek pidana denda tidak saja meliputi perorangan, melainkan juga korporasi. Penetapan kategori pidana denda untuk korporasi sangat tergantung pada ancaman pidananya itu sendiri. Apabila ancaman pidananya adalah 7-15 tahun, maka pidana denda ditetapkan dalam kategori V, yakni maksimal dua miliar rupiah. Kemudian, apabila ancaman pidananya adalah pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun, maka pidana denda ditetapkan dalam kategori VI, yakni maksimal sebesar lima belas miliar rupiah.
128 |
RKUHP juga mengatur mengenai pelaksanaan pidana denda. Pasal 84 RKUHP menyebutkan bahwa pidana denda dapat dilaksanakan dengan pembayaran secara mencicil dan dibayarkan dalam waktu sesuai keputusan hakim. Namun, apabila keputusan ini tidak dilaksanakan, makakonsekuensinya harta kekayaan atau pendapatan terpidana lah yang akan diambil untuk menutupi kewajiban denda tersebut. Lebih jauh, pidana denda yang tidak dapat dilakukan sesuai dengan putusan hakim maupun perampasan harta benda atau pendapatan dapat digantikan dengan pidana alternatif lainnya. Penggantian pidana denda dengan pidana alternatif lainnya dibedakan menjadi tigajenis, yakni pidana pengganti denda kategori I, pidana pengganti denda yang jumlahnya lebih dari kategori I, dan pidana pengganti denda untuk korporasi. Pada jenis yang pertama, denda digantikan dengan pidana kerja sosial atau pidana penjara. Untuk jenis yang kedua, pidana denda diganti dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun.Perhitungan masa penggantian pidana denda pada kedua jenis pengganti ini dilakukan dengan mengkonversi jumlah besaran pidana denda ke dalam hari. Perhitungannya adalah Rp 15.000 (lima belas ribu) sama dengan satu jam pidana kerja sosial atau satu hari pidana pengawasan atau pidana penjara pengganti. Sedangkan, untuk korporasi, pengganti pidana denda adalah pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi. IV. 1. 2 Pidana Bersyarat Dalam praktik hukum, istilah pidana bersyarat lebih dikenal dengan pidana percobaan. Pidana percobaan merupakan percobaan yang diberikan sebelum terpidana menjalankan putusan hukuman yang sebenarnya. Sebagaimana namanya, putusan pidana ini harus didasarkan pada pemenuhan atas syarat-syarat tertentu. Pasal 14a
| 129
ayat (1) dan ayat (4) KUHP menyebutkan bahwa untuk memutuskan hukuman percobaan, setidaknya ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum hakim membuat keputusan, yakni: 1) hukuman pidana maksimal 1 (satu) tahun atau pidana kurungan; 2) tidak termasuk hukuman pengganti; 3) hakim memiliki keyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum; 4) hakim memiliki keyakinan bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; dan 5) terdapat keadaan atau alasan-alasan yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan pidana bersyarat. Syaratsyarat tersebut tentunya harus ditekankan dengan keyakinan hakim bahwa hukuman memang tidak perlu dijalani. Selain itu, jika hakim merasa perlu, hakim dapat memutuskan syarat khusus berupa penggantian kerugian atas tindak pidana yang dilakukan terpidana dan tidak boleh yang berkaitan dengan hal-hal yang mengurangi kemerdekaan beragama atau berpolitik terpidana. Secara umum, pidana percobaan dapat dijatuhkan maksimal selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang sebanyak satu kali dengan waktu maksimal 1/2 (setengah) dari waktu maksimal tersebut. Pelaksanaan pidana ini dimulai saat telah ada keputusan tetap dan pemberitahuan dari hakim kepada terpidana mengenai keputusan pidana bersyarat dan tata cara pelaksanaannya menurut undang-undang. Selama pelaksanaan pidana bersyarat tersebut, terpidana diawasi oleh jaksa. Terkait dengan pengawasan ini, terpidana diharuskan melakukan wajib lapor kepada jaksa dan pihak kepolisian. Selain pengawasan oleh jaksa, hakim juga dapat memerintahkan lembaga-lembaga yang berbetuk badan hukum untuk membantu proses pelaksanaan pidana bersyarat. Pengawasan ini dilakukan untuk mencegah terpidana melakukan tindak pidana yang tentunya akan melanggar syarat pidana bersyarat. Namun jika ternyata terpidana melakukan tindak
130 |
pidana selama dalam masa percobaan, maka terpidana harus menerima konsekuensinya, yakni pencabutan pidana bersyarat dan terpidana harus menjalankan pidana putusan lainnya sebagaimana yang telah diputuskan oleh hakim. Mengenai hal ini, kasus kecelakaan yang melibatkan Rasyid Rajasa, putra dari Hatta Rajasa, dapat menjadi contohnya. Dalam kasus tersebut, Rasyid divonis 6 (enam) bulan masa percobaan, dan apabila yang bersangkutan melakukan kejahatan yang sama, maka akan dipidana selama 5 (lima) bulan penjara dan denda sebesar Rp 12.000.000. Dalam pengambilan keputusan tersebut, hakim mendasarkan pertimbangannya pada unsur pertanggungjawaban dari pihak terpidana kepada pihak keluarga korban yang terlihat manakala kejadian berlangsung, yakni terpidana turut aktif di tempat kejadian dan keluarga terpidana yang bertanggung jawab memberikan santunan. Hal lain yang juga menjadi pertimbangan adalah sikap keluarga korban yang telah menerima dan terpidana yang masih berstatus sebagai mahasiswa (antaralampung.com, 2013). IV. 1. 3 Pidana Pelayanan Masyarakat/Kerja Sosial Pidana pelayanan masyarakat dan kerja sosial sebenarnya mengacu pada hal yang sama, yakni pelaksanaan hukuman pidana oleh narapidana dengan berbasis pada pelayanan kepada masyarakat. Kesamaan ini dapat dilihat dari definisi keduanya. Kerja sosial dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan Cuti bersyarat disebutkan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh narapidana untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa mendapatkan imbalan jasa atau upah. Kemudian, Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
| 131
menyebutkan bahwa pelayanan masyarakat merupakan kegiatan membantu pekerjaan di lembaga pemerintah atau lembaga kesejahteraan sosial. Bentuk pelayanan masyarakat misalnya membantu lansia, orang cacat, atau anak yatim piatu di panti dan membantu administrasi ringan di kantor kelurahan. Walaupun definisi pelayanan masyarakat dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 menyaratkan keberadaan lembaga pemerintah atau lembaga kesejahteraan sosial, pelaksanaannya tetap berbasiskan pelayanan terhadap masyarakat, khususnya kelompok-kelompok yang rentan membutuhkan perhatian khusus. Kerja sosial maupun pelayanan masyarakat sebenarnya mengacu pada istilah Community Servive Order (CSO). Dalam perkembangannya, CSO dianggap lebih tepat diartikan sebagai pidana pelayanan masyarakat daripada kerja sosial karena kerja sosial merupakan pekerjaan yang sangat mulia sehingga tidak tepat dijadikan sebagai bentuk pidana. Hal ini berbeda dengan pidana pelayanan masyarakat yang lebih bermakna pada bentuk pemberian hukuman/pidana berupa pelayanan sukarela yang dilakukan oleh narapidana kepada masyarakat (Tirtana, 2011). Oleh karenanya, dalam tulisan ini, penggunaan istilah pidana pelayanan masyarakat juga mengacup pada istilah kerja sosial. Dalam konteks anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa pidana pelayanan masyarakat bertujuan untuk mendidik anak dengan meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan kemasyarakatan yang positif. Dengan demikian, anak diajak untuk bertanggung jawab kepada masyarakat sebagai bentuk penebusan kesalahan atas tindakannya yang mencederai aturan hukum yang berlaku di dalam tatanan masyarakat. Walaupun istilah pidana pelayanan masyarakat telah disebutkan dalam beberapa aturan resmi, namun mekanisme
132 |
pengajuan, pemberian, maupun pelaksanaan pidana ini belum diatur sepenuhnya secara jelas. Sejauh ini, hanya aturan tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyebutkan cukup jauh mengenai pidana pelayanan masyarakat, pun hanya mengatur tentang pidana pelayanan masyarakat oleh anak. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dijelaskan tiga hal mengenai pidana pelayanan masyarakat. Pertama, tujuan pidana tersebut. Kedua, masa pelaksanaan pidana pelayanan masyarakat yang tidak lebih dari 120 (seratus dua puluh) hari atau 3 (tiga) bulan. Ketiga, pembatalan putusan pidana pelayanan masyarakat. Selain itu diatur juga bahwa anak yang tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban dalam menjalankan pidana pelayanan masyarakat tanpa alasan yang sah dapat diusulkan kepada hakim pengawas untuk mengulangi seluruh atau sebagian pidana pelayanan masyarakat yang dikenakan terhadapnya. Meskipun belum banyak diatur secara jelas, pengimplementasian pidana pelayanan masyarakat mulai dapat dilihat urgensinya dalam ranah hukum pidana Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) per tanggal 25 Februari 2015 yang didalamnya menyebutkan pidana kerja sosial sebagai salah satu dari 5 (lima) bentuk pidana pokok. Pidana kerja sosial dalam rancangan undang-undang ini diidentifikasi sebagai pidana pokok dengan jenis hukuman paling ringan diantara 4 (empat) pidana pokok lainnya, yakni pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana denda. Hal ini secara jelas disebutkan dalam pasal 66 ayat (2) rancangan undang-undang yang bersangkutan. Dalam RKUHP,disebutkan bahwa pidana kerja sosial dapat dikenakan sebagai pengganti pidana lain, yakni pidana penjara yang masa pidananya tidak lebih dari 6 (enam) bulan dan pidana
| 133
denda yang jumlah dendanya tidak lebih dari Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Selain persyaratan tersebut, terdapat syarat lain yang harus menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana kerja sosial kepada terdakwa, yaitu: a. Ada pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan; b. usia layak kerja terdakwa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial; d. riwayat sosial terdakwa; e. perlindungan keselamatan kerja terdakwa; f. keyakinan agama dan politik terdakwa; dan g. kemampuan terdakwa membayar pidana denda. Pidana kerja sosial dilaksanakan dengan berdasarkan putusan hakim yang didalamnya berisi tentang jumlah jam dalam pidana kerja sosial ini. Durasi pidana kerja sosial dibedakan menjadi dua, yakni untuk terpidana di usia 18 tahun ke atas (dewasa) dan untuk pelaku anak (dibawah 18 tahun). Terpidana dewasa dapat menjalani pidana kerja sosial maksimal sebanyak 240 jam dan anak dapat menjalani pidana kerja sosial maksimal sebanyak 120 jam. Sedangkan, waktu minimal kerja keduanya adalah 7 (tujuh) jam. Apabila narapidana maupun anak melanggar ketentuan tersebut, maka narapidana maupun anak diwajibkan: a) mengurangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial; b) menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti dengan pidana sosial; dan c) membayar seluruh atau sebagian pidana denda yang diganti dengan pidana kerja sosial atau
134 |
menjalani pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dibayar. IV. 1. 4 Pidana Pengawasan Pidana pengawasan merupakan model pemidanaan yang penerapannya baru dilakukan pada Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pidana pengawasan disebutkan sebagai bentuk pidana yang didalamnya melibatkan peran Penuntut Umum dan Pembimbing Kemasyarakatan sekaligus. Dalam hal ini, Penuntut Umum bertugas melakukan pengawasan terhadap perilaku Anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah Anak, sedangkan Pembimbing Kemasyarakatan bertugas memberikan bimbingan terhadap anak. Pidana ini dilakukan dalam rentang waktu 3 (tiga) bulan hingga 2 (dua) tahun. Selain dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana (SPPA) di atas, pengaturan mengenai pidana pengawasan belum dilakukan lebih lanjut.Pengaturan lebih lanjut mengenai pidana ini baru direalisasikan dalam RKUHP.Berbeda dengan pengaturan tentang pidana pengawasan dalam UU SPPA, aturan pidana pengawasan dalam RKUHP tidak saja diperuntukan untuk anak, melainkan diberlakukan secara umum untuk orang dewasa maupun anak. Dalam RKUHP, pidana pengawasan diberikan untuk tindak pidana yang ancaman maksimalnya adalah 7 (tujuh) tahun pidana penjara dengan berdasarkan pertimbangan keadaan pribadi dan perbuatan dari pelaku. Terdapat 3 (tiga) syarat seseorang dapat dijatuhi hukuman pidana pengawasan, yaitu: a. terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; b. terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau
| 135
sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan/ atau c. terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik. Pidana ini dijatuhkan maksimal untuk 3 (tiga) tahun masa pengawasan dan pengawasannya dilaksanakan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Namun demikian, masa pidana pengawasan ini dapat diusulkan untuk berubah tergantung sikap yang ditunjukkan oleh terpidana. Jika selama dalam pengawasan terpidana melanggar hukum, maka Pembimbing Kemasyarakatan Bapas dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pengawasan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pengawasan yang belum dijalani. Sedangkan, jika selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan kelakuan yang baik, maka Pembimbing Kemasyarakatan Bapas dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpendek masa pengawasannya. Tentunya, keputusan hakim pengawas untuk memperpanjang atau mengurangi masa pidana pengawasan harus berdasarkan pada keterangan banyak pihak, tidak hanya berdasarkan saran dari Bapas. Dalam pasal selanjutnya, RKUHP ini juga mengatur mengenai tindak pidana yang dilakukan terpidana selama dalam menjalani pidana pengawasan. Dalam aturan tersebut, dijelaskan bahwa terpidana harus tetap menjalankan pidana pengawasan apabila ia melakukan tindak pidana dan dijatuhi hukuman selain pidana penjara dan pidana mati selama dalam pelaksanaan pidana pengawasannya. Namun, pelaksanaan pidana pengawasan harus dihentikan sementara apabila putusan pidana tersebut adalah pidana penjara untuk kemudian dilanjutkan setelah pidana penjara selesai dilaksanakan oleh terpidana.
136 |
IV. 1. 5 Diversi Diversi di Indonesia diupayakan untuk menyelesaikan masalah pidana yang melibatkan anak sebagai pelakunya. Konsep Diversi sendiri berarti pengalihan penyelesaian perkara dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Dalam pelaksanaanya, Diversi mengedepankan semangat restoratif. Hal ini dilakukan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari dampak buruk proses peradilan, sehingga anak dapat terhindar dari stigmatisasi dan dapat kembali ke lingkungannya secara wajar. Diversi juga mengedepankan upaya pengentasan masalah secara bersama-sama dengan melibatkan pihak-pihak yang berkaitan dengan masalah yang ada, yakni korban, anak, dan masyarakat. Pelibatan pihak-pihak tersebut tidak hanya untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, dan menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, melainkan juga untuk menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam mencari solusi perkara anak. Sehingga, solusi yang dicapai adalah solusi yang memperbaiki, merekonsiliasi, menenteramkan hati, dan tidak berdasarkan pada pembalasan (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun). Di sini lah semangat restoratif dapat terlihat, yakni dimana keadilan yang dicapai adalah keadilan yang memulihkan, baik bagi korban, pelaku, maupun masyarakat. Selain harus merupakan kasus anak, terdapat beberapa syarat pengajuan Diversi. Pertama, Diversi dapat dilakukan hanya bila penyidikan dan penuntutan pidana anak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan persidangan anak
| 137
dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan. Kedua, Diversi hanya dapat dilakukan ketika perkara anak masih di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan negeri. Ketiga, ancaman pidana terhadap anak tidak sampai 7 (tujuh) tahun atau lebih dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Jika perkara anak tidak masuk dalam persyaratanpersyaratan tersebut, maka perkara anak tetap diproses dalam mekanisme sidang pidana pada umumnya. Dalam kaitannya dengan syarat-syarat tersebut di atas, Pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan 4 (empat) hal, yakni: pertama, kategori tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Dalam hal ini, semakin rendah ancaman pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh anak, maka semakin tinggi prioritas anak tersebut untuk mendapatkan Diversi. Tindak pidana seperti pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme tidak dapat dilakukan Diversi karena tindak pidana tersebut dianggap memiliki dampak yang besar terhadap masyarakat dan ancaman pidananya diatas 7 (tujuh) tahun. Kedua, usia anak. Dalam hal ini, semakin muda usia anak, maka semakin tinggi prioritas anak untuk mendapatkan Diversi. Ketiga, hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas. Keempat, dukungan dari lingkungan keluarga dan masyarakat. Secara garis besar, Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya (apabila korbannya merupakan anak), Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional. Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial Profesional di sini tidak saja berperan sebagai petugas, namun juga berperan sebagai orang tua/wali anak dan korban jika orang tua dari kedua pihak yang berkonflik berhalangan hadir. Orang tua/wali anak
138 |
yang berhalangan hadir dalam muyawarah dapat digantikan oleh Pembimbing Kemasyarakatan, sedangkan orang tua/wali korban yang berhalangan hadir dapat digantikan oleh Pekerja Sosial Profesional. Musyawarah juga melibatkan penyidik/penuntut umum/hakim, tergantung di tahapan mana upaya Diversi dilakukan. Selain itu, apabila pihak-pihak dalam musyawarah tersebut menghendaki, maka tokoh agama guru, tokoh masyarakat, Pendamping, dan/atauAdvokat atau Pemberi Bantuan Hukum juga dapat ikut serta dalam musyawarah tersebut. Musyawarah dalam Diversi dilakukan dengan berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. Oleh karenanya, proses ini wajib memperhatikan: a) kepentingan korban; b) kesejahteraan dan tanggung jawab Anak; c) penghindaran stigma negatif; d) penghindaran pembalasan; e) keharmonisan masyarakat; dan f) kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum dalam pengambilan kesepakatan musyawarah. Musyawarah Diversi dapat dilakukan di tiga tahapan berbeda dalam proses peradilan pidana, yakni penyidikan, penuntutan, dan pengadilan. Di masing-masing tahapan tersebut, upaya Diversi diutamakan untuk dilakukan dalam menangani perkara anak. Jika upaya Diversi tidak disepakati di tahap penyidikan, maka Diversi diupayakan kembali pada tahap penuntutan. Begitu pula di tahap pengadilan. Jika di tahap penuntutan Diversi tidak dicapai, maka Diversi diupayakan kembali pada tahap pengadilan. Namun, apabila Diversi tidak disepakati hingga pada tahap pengadilan, maka proses peradilan tetap dilanjutkan hingga hakim memberikan putusan pidana kepada anak sesuai dengan mekanisme pengambilan putusan sebagaimana mestinya. Dikarenakan Diversi dilakukan dalam setiap tahapan proses peradilan, maka pelaksana musyawarah Diversi juga
| 139
dilakukan oleh penegak hukum yang berbebeda. Pada tahap penyidikan di Kepolisian, musyawarah dilakukan oleh Penyidik. Pada tahap penuntutan, musyawarah dilakukan oleh Penuntut Umum. Sedangkan, di tahap pengadilan, pelaksanaan musyawarah dilakukan oleh Hakim. Proses Diversi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal dimulainya Diversi. Proses Diversi diawali dengan penawaran yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum/hakim kepada Anak dan/atau orang tua/Wali, serta korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/Wali untuk menyelesaikan perkaranya melalui Diversi. Ketika semua pihak sepakat untuk melakukan Diversi, penyidik/penuntut umum/hakim menentukan tanggal dimulainya musyawarah Diversi. Musyawarah dilakukan dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Dalam musyawarah ini, penyidik/penuntut umum/hakim bertindak sebagai fasilitator dan Pembimbing Kemasyarakatan bertindak sebagai wakil fasilitator. Dalam proses Musyawarah, pihak-pihak yang terlibat didalamnya didorong untuk mencari solusi dan kemudian menghasilkan kesepakatan sebagai penyelesaian masalah. Kesepakatan Diversi dapat berupa 5 (lima) alternatif pilihan, yaitu: a. pengembalian kerugian dalam hal ada korban; b. rehabilitasi medis dan psikososial; c. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali; d. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau e. pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan. Walaupun musyawarah dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang berbeda-beda, kesepakatan Diversi tersebut harus tetap berdasarkan pada rekomendasi yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan dari Bapas. Selain itu, kesepakatan tersebut juga harus mendapat persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya.
140 |
Namun demikian, dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti tindak pidana hanya berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat, kesepakatan Diversi dapat dilakukan tanpa persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban. Kesepakatan dalam kondisi demikiandapat dilakukan hanya oleh Penyidik bersama Anak dan/atau keluarganya, dan Pembimbing Kemasyarakatan dan dapat melibatkan tokoh masyarakat. Hasil kesepakatan Diversi dituliskan dalam Surat Kesepakatan Diversi. Surat ini didalamnya memuat hak dan kewajiban para pihak yang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Surat ini ditandatangani oleh Anak dan/atau orang tua/Wali, Penyidik, dan Pembimbing Kemasyarakatan sebagai bukti yang sah bahwa telah terjadi kesepakatan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam musyawarah tersebut. Hasil kesepakatan ini kemudian disampaikan ke pengadilan negeri sesuai dengan wilayah hukumnya untuk memperoleh penetapan. Setelah surat penetapan diperoleh, surat ini kemudian disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim. Jika Diversi dilakukan di tahap penyidikan, maka Penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan. Sedangkan, jika Diversi dilakukan di tahap penuntutan, Penuntut Umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan. Ketika surat penetapan ini sudah diberlakukan dan penyidikan/penuntutan sudah dihentikan, maka Diversi dapat mulai dilaksanakan. Proses Diversi maupun pelaksanaan Diversi tidak terlepas dari pengawasan. Pengawasan ini dilakukan oleh atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan. Di
| 141
lain pihak, pengawasan juga dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Pembimbing Kemasyarakatan memiliki peran yang cukup signifikan dalam proses dan pelaksanaan Diversi. Selain melakukan pengawasan, Pembimbing Kemasyarakatan juga bertugas sebagai pendampingan dan pembimbingan anak. Dalam pelaksanaan Diversi, apabila diperlukan, Pembimbing Kemasyarakatan bekerja sama dengan lembaga terkait juga dapat melaksanakan rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap Anak. Di akhir pelaksanaan Diversi, Pembimbing Kemasyarakatan juga bertugas menyusun laporan pelaksanaan kesepakatan Diversi. Laporan tersebut terdiri dari dua bentuk, yakni laporan ringkas dan laporan lengkap. Keduanya disampaikan kepada atasan langsung penyidik/penuntut umum/hakim yang menangani perkara anak yang bersangkutan. Proses dan pelaksanaan Diversi tidak terlepas dari hal-hal yang membatalkan Diversi. Dalam proses Diversi, Diversi dibatalkan apabila proses musyawarah Diversi tidak mencapai kesepakatan. Sedangkan, dalam pelaksanaan Diversi, kesepakatan Diversi dibatalkan apabila Diversi tidak dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. IV. 1. 6 Pidana Pelatihan Kerja Pidana pelatihan kerja sejauh ini hanya disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Oleh karenanya, penjelasan lebih jauh mengenai model ini belum ada. Pidana pelatihan kerja merupakan pidana pengganti dari pidana denda apabila anak dijatuhi hukuman pidana kumulatif berupa pidana penjara dan denda. Pidana ini berlangsung antara 3 (tiga) bulan hingga 1 (satu) tahun. Pelaksanaannya dilakukan oleh
142 |
lembaga yang melaksanakan pelatihan kerja, antara lain: balai latihan kerja, lembaga pendidikan vokasi yang dilaksanakan, misalnya, oleh kementerian ketenagakerjaan, kementerian pendidikan, atau kementerian sosial. Pemilihan jenis latihan kerja dan tempat latihan kerja ini didasarkan pada usia anak. IV. 1. 7 Pembinaan di Luar Lembaga Pidana pembinaan di luar lembaga hanya diberlakukan untuk anak. Pidana pembinaan di luar lembaga dilaksanakan dalam beberapa pilihan, yakni: a. mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina; b. mengikuti terapi di rumah sakit jiwa; atau c. mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Lembaga pelaksanaan pembinaan tersebut dipilih oleh hakim berdasarkan pertimbangan kebutuhan pembinaan anak. Anak yang terlibat dalam kasus penyalahgunaan narkotika diputuskan untuk menjalankan pembinaan berupa terapi rehabilitasi. Kemudian, anak yang dianggap memiliki gangguan mental, maka diputuskan untuk diberikan pembinaan di rumah sakit jiwa. Sedangkan, di luar kebutuhan tersebut, anak dibina dengan program pembimbingan dan penyuluhan di Bapas. Informasi mengenai lembaga pelaksanaan pidana ini diberikan oleh hakim saat menjatuhkan putusan dan dituliskan dan surat putusan. Selain itu, dalam surat putusan tersebut juga disebutkan syarat khusus berupa hal-hal yang dilarang untuk dilakukan oleh anak selama menjalankan masa pidananya. Pelaksanaan pidana ini diawasi oleh pembina di masingmasing lembaga yang berada dibawah koordinasi hakim pengawas. Jika dalam pelaksanaan pidana ini anak melanggar halhal yang dilarang dalam putusan hakim, maka pembina berwenang
| 143
untuk mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pembinaan anak. Masa perpanjangan ini tidak melampaui masa maksimum 2 (dua) kali masa pembinaan yang belum dilaksanakan. IV. 1. 8 Pidana Peringatan Berbeda dengan model pemidanaan lainnya, pidana peringatan merupakan satu-satunya model yang penjelasannya tidak disebutkan. Model ini hanya disebutkan dalam UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam aturan tersebut, model ini disebutkan sebagai pidana ringan untuk anak. Model ini dijalankan dengan tidak membatasi kebebasan anak. IV. 1. 9 Pemenuhan Kewajiban Adat Pemenuhan kewajiban adat sebagai salah satu bentuk pemidanaan pernah diberlakukan di Indonesia sebelum tahun 1951. Namun, pidana ini kemudian dihapuskan melalui UndangUndang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Pada tahun 2012, pemenuhan kewajiban adat sebagai model alternatif penghukuman dibunyikan kembali oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam aturan tersebut, pemenuhan kewajiban adat merupakan bagian dari pidana tambahan. Pemenuhan kewajiban adat sebagai bagian dari pidana tambahan juga dirumuskan dalam RKUHP. Meskipun pidana ini hanya dirumuskan sebagai pidana tambahan, penulis melihat bahwa model ini perlu dimasukan sebagai bagian dari model pemidanaan yang perlu dipertimbangkan karena, sebagaimana inti dari community-based corrections, pidana ini melibatkan unsur masyarakat, nilai dan norma yang ada didalamnya, dan mekanisme penyelesaian
144 |
masalahnya sendiri dalam menyelesaikan masalah pidana di luar pidana penjara. Undang-Undang Peradilan Pidana Anak mendefinisikan kewajiban adat sebagai denda atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma adat setempat yang tetap menghormati harkat dan martabat anak, serta tidak membahayakan kesehatan fisik dan mental anak. Pidana ini dapat dijatuhkan meski tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. Dalam RKUHP, pemenuhan kewajiban dijatuhkan bersamaan dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri, atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain. Pidana ini juga dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. Pemenuhan kewajiban adat dinyatakan dapat berdiri sendiri sebagai pidana pokok apabila peraturan perundang-undangan tidak menyebutkan tindakan tersebut sebagai suatu tindakan yang melanggar hukum. Walaupun demikian, tindakan tersebut tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana, yakni melalui mekanisme penyelesaian masalah secara adat. Pelaksanaan pemenuhan kewajiban adat juga dianggap sebanding dengan pidana denda kategori I. Oleh karenanya, apabila pidana ini tidak dilaksanakan, pelaku dapat menggantinya dengan pidana denda atau pidana ganti rugi sesuai dengan kewajiban adat setempat. Khusus untuk kasus anak, pidana pengganti atas pemenuhan kewajiban adat ini dapat dilakukan dengan pidana pelatihan kerja atau pidana ganti rugi. Contoh terkait pidana pemenuhan kewajiban adat sebagai mekanisme penyelesaian masalah pidana ini dapat dilihat pada adat Bali. Dalam masyarakat adat Bali, terdapat lembaga-lembaga
| 145
adat, seperti Subak, Banjar, Desa Pekraman, Majelis Desa Pekraman, dan sebagainya. Lembaga-lembaga adat ini berperan penting dalam membantu menyelesaikan suatu perkara-perkara adat yang terjadi dalam masyarakatnya. Dalam masyarakat adat Bali, suatu perkara adat diselesaikan secara berjenjang. Penyelesaian perkara ini dimulai dari penyelesaian secara intern kekerluargaan, kemudian penyelesaian diselesaikan di tingkat Banjar. Jika gagal, penyelesaian perkara dilanjutkan dengan bantuan Bandesa Adat (Desa Pekraman). Apabila gagal kembali, penyelesaian perkara dilanjutkan ke Majelis Desa Pekraman yang diselesaikan dengan mediasi (Majelis Alit Desa Pekraman). Jika mediasi di tahap ini tetap gagal, maka dilanjutkan dengan Dabha Kertha (peradilan adat oleh Majelis Madya Desa Pekraman) dan tingkat bandingnya oleh Majelis Utama Desa Pekraman (Iswara, 2013). IV.2 Pemasyarakatan sebagai Institusi Pelaksana Pemidanaan Pelaksanaan model pemidanaan di Indonesia melibatkan seluruh institusi penegak hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, yakni dimulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, hingga Pemasyarakatan. Namun demikian, meskipun Polisi, Jaksa, dan Hakim terlibat, peran utama dalam proses pelaksanaan ini terdapat pada Pemasyarakatan. Oleh karenanya, dalam tulisan ini, pembahasan mengenai pelaksana pemidanaan hanya difokuskan pada Pemasyarakatan. Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Pemasyarakatan sebagai institusi akhir dalam proses peradilan pidana memiliki wewenang dalam menjalankan proses pembinaan dan pembimbingan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan dalam mencapai tujuan reintegrasi narapidana ke dalam masyarakat. Dalam pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
146 |
Pemasyarakatan, disebutkan bahwa pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan oleh petugas Pemasyarakatan yang terdiri dari Pembina Pemasyarakatan, Pengaman Pemasyarakatan, dan Pembimbing Kemasyarakatan. Pembina dan Pengaman Pemasyarakatan merupakan petugas Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), sedangkan Pembimbing Kemasyarakatan merupakan petugas Pemasyarakatan yang melaksanakan pembimbingan di Balai Pemasyarakatan (Bapas)5. Dari sini, dapat dilihat bahwa tugas pembinaan dan pembimbingan dilaksanakan oleh institusi berbeda dalam lingkup institusi Pemasyarakatan. Lapas melaksanakan domain tugas pembinaan, sedangkan Bapas melaksanakan domain tugas pembimbingan. Meskipun memiliki domain tugas yang berbeda, namun pembinaan dan pembimbingan memiliki esensi yang sama. Program yang dijalankan dalam tugas-tugas tersebut mencakup dua besaran, yakni kepribadian dan kemandirian. Dalam kaitannya dengan implementasi model-model pemidanaan di Indonesia, Pemasyarakatan—melalui Lapas dan Bapas—memiliki peranan yang cukup signifikan. Peran ini terutama teletak pada pelaksanaan program community-based correction yang sudah diterapkan, seperti cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan asimilasi. Bagian ini akan membahas lebih lanjut mengenai peran Lapas dan Bapas dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, terutama yang terkait dengan pelaksanaan hukuman pemidanaan dan program community-based correction yang terkait. Sebelum tahun 1997, Balai Pemasyarakatan dikenal dengan nama Bimbingan Sosial dan Pengentasan Anak (Bispa). Nama Bispa kemudian diganti menjadi Bapas melalui Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.01-PR.07.03 tanggal 12 Februari 1997 dan ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor: E. PR. 07. 03-17 Tentang Perubahan Sebutan Nama Instansi/Nomenklatur Bispa. 5
| 147
IV. 2. 1 Lapas Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya dalam pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, tugas utama Lapas adalah pelaksanaan pembinaan dan pengamanan. Tanggung jawab dalam pelaksanaan tugas utama dalam setiap Lapas sepenuhnya ditanggung oleh Kepala Lapas yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan model pemidanaan, peran Lapas yang sangat besar sebenarnya terdapat dalam model pidana penjara. Meskipun pidana penjara tidak dibahas dalam studi ini, namun program-program community-based corrections yang dijalankan didalamnya menjadi bagian yang dibahas dalam studi ini, yakni cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan asimilasi. Oleh karenanya, pembahasan mengenai peran Lapas pada bagian ini didalamnya difokuskan pada tugas dan fungsi, serta peran Lapas terkait pelaksanaan program community-based corrections tersebut. Setidaknya terdapat dua peranan yang paling berpengaruh di dalam Lapas, yakni wali dan Kepala Lapas. Wali memiliki peran yang cukup krusial yang dapat dilihat dalam model cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan asimilasi. Di keempat model tersebut, wali berperan sebagai pihak yang melakukan penilaian kelakuan baik narapidana yang kemudian dibuat dalam laporan perkembangan pembinaan. Peran wali menjadi kunci di sini sebab “berkelakuan baik” menjadi salah satu syarat mutlak bagi narapidana untuk mengajukan Cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, atau asimilasi. Laporan perkembangan pembinaan sebagai bentuk penilaian kelakuan baik disusun dengan melalui beberapa proses pengamatan dan penilaian oleh wali. Pengamatan ini dilakukan
148 |
terhadap pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian yang wajib dijalani oleh narapidana. Pembinaan kepribadian dan kemandirian narapidana terdiri dari tiga tahapan, yakni pembinaan tahap awal, pembinaan tahap lanjutan, dan pembinaan tahap akhir. Dalam prosesnya, setiap narapidana wajib melalui ketiga tahapan tersebut. Namun demikian, peralihan dari satu tahapan pembinaan ke tahapan pembinaan berikutnya tidak dilakukan secara otomatis, melainkan harus ditetapkan melalui Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan yang dilakukan berdasarkan data laporan yang dibuat oleh Pembina Pemasyarakatan, Pengaman Pemasyarakatan, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Wali narapidana. Pembinaan tahap awal dimulai sejak awal pelaku ditetapkan sebagai narapidana hingga 1/3 (sepertiga) dari masa pidana. Setelah melalui pembinaan tahap awal, narapidana kemudian melanjutkan ke pembinaan tahap lanjutan. Berbeda dengan pembinaan tahap awal, pembinaan tahap lanjutan dibagi menjadi dua tahapan, yakni pertama tahapan pertama dan kedua. Pembinaan lanjutan tahapan pertama berlangsung sejak berakhirnya masa pembinaan tahap awal hingga 1/2 (setengah) masa pidana, sedangkan pembinaan lanjutan tahap kedua berlangsung sejak berakhirnya masa pembinaan lanjutan tahap pertama hingga 2/3 (dua per tiga) masa pidana. Terakhir, pembinaan tahap akhir berlangsung sejak berakhirnya pembinaan lanjutan tahap kedua hingga berakhirnya masa pidana. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, tahapan-tahapan tersebut didalamnya mencakup program pembinaan kepribadian dan program pembinaan kemandirian. Dalam proses tahapan pembinaan tersebut, tahapan pembinaan awal hingga pembinaan tahap lanjutan pertama memiliki pengaruh penting dalam proses pembinaan selanjutnya,
| 149
sebab pengajuan beberapa model community-based corrections dapat dilakukan ketika narapidana sudah menjalani 1/2 (setengah) atau 2/3 (dua per tiga) masa pidananya. Misalnya saja, Cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat memberlakukan syarat 2/3 (dua per tiga) masa pidana sebelum narapidana dapat mengajukan diri untuk mendapatkan hak-hak tersebut. Sedangkan, narapidana sudah dapat mengajukan asimilasi apabila ia telah menjalani 1/2 (setengah) dari masa pidananya. Selain Wali, Kepala Lapas sebagai pimpinan Lapas juga memiliki peranan yang besar dalam pelaksanaan community-based corrections. Cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan asimilasi untuk narapidana sangat bergantung pada Kepala Lapas. Hal ini dikarenakan usulan atas hak-hak tersebut diajukan oleh Kepala Lapas kepada Kepala Kantor Wilayah Hukum dan HAM wilayah Lapas setempat. Oleh karenanya, apabila Kepala Lapas tidak mengusulkan hak-hak yang diajukan narapidana, maka hak-hak mendapatkan Cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan asimilasi tidak mungkin didapatkan oleh narapidana yang bersangkutan. Berdasarkan penjelasan di atas, berkaitan dengan konteks implementasi community-based corrections, dapat disimpulkan bahwa wali dan Kepala Lapas merupakan peran penentu bagi narapidana untuk mendapatkan Cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan asimilasi. Penilaian Wali yang tertuang dalam laporan perkembangan pembinaan menjadi dasar pertimbangan dalam memutuskan pemberian alternatif pembinaan bagi narapidana. Kemudian, meskipun laporan perkembangan pembinaan sudah dibuat oleh Wali, alternatif pembinaan tersebut tidak akan dapat diberikan apabila Kepala Lapas tidak melakukan pengusulan kepada Kepala Kantor Wilayah.
150 |
Sinergisitas peran keduanya dibutuhkan dalam proses pelaksanaan community-based corrections bagi narapidana. IV. 2. 2 Bapas Berbeda dengan tugas Lapas yang lebih fokus pada domain pembinaan dan pengamanan terhadap narapidana, tugas Bapas berada pada domain pembimbingan terhadap klien 6 Pemasyarakatan . Tugas pembimbingan tersebut dijalankan oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK). Keseluruhan pelaksanaan tugas PK Bapas berada dibawah tanggung jawab Kepala Bapas. Sebagaimana Lapas, Bapas juga menangani klien dewasa dan klien anak. Penanganan keduanya dilakukan oleh PK Bapas yang berbeda. Klien dewasa dibawah tanggung jawab PK pada Seksi/Subseksi Bimbingan Klien Dewasa, sedangkan klien anak berada dibawah tanggung jawab Seksi/Subseksi Bimbingan Klien Anak. Dalam pelaksanaan pemidanaan, keterlibatan PK Bapas dapat dilihat dalam pelaksanaan di hampir semua model, termasuk model pidana penjara, khususnya terkait pelaksanaan program community-based correction. Keterlibatan PK Bapas dalam pelaksanaan community-based corrections tersebut meliputi pendampingan, pembimbingan, pengawasan, hingga pelaporan, Dalam kaitannya dengan pelaksanaan pembimbingan, secara umum Pasal 3 Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.02-PR.07.03 Tahun 1987 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak menyebutkan bahwa Bapas memiliki fungsi antara lain: a. Melaksanakan penelitian kemasyarakatan untuk bahan peradilan 6 Klien Pemasyarakatan adalah seseorang yang berada dalam bimbingan Bapas, yakni terpidana/narapidana yang berada dibawah pelayanan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan Pembimbing Kemasyarakatan.
| 151
b. Melakukan registrasi klien Pemasyarakatan c. Melakukan bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak d. Mengikuti sidang peradilan di Pengadilan Negeri dan sidang Dewan Pembina Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan peraturan perundangundangan e. Member bantuan bimbingan kepada bekas narapidana, anak negara, dan klien pemasyarakatan yang memerlukan f. Melakukan urusan tata usaha Balai. Dalam kajian yang dilaksanakan oleh Aranoval, dkk (2011), secara detil dalam menjalankan perannya, Balai Pemasyarakatan memiliki tugas-tugas sebagai berikut: a. Menyelenggarakan mediasi dan diversi b. Menyelenggarakan pemantauan, evaluasi, rekomendasi terhadap pelaksanaan hasil mediasi dan diversi c. Menyelenggarakan koordinasi dan kerjasama dengan instansi penegak hukum dan instansi terkait lainnya d. Menyelenggarakan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan pra-ajudikasi, ajudikasi, post-ajudikasi, dan after care e. Menyelenggarakan pemantauan, evaluasi, dan rekomendasi terhadap pelaksanaan hasil litmas di tahap pra-ajudikasi, ajudikasi, post-ajudikasi, dan after care f. Beracara di pengadilan untuk kepentingan Hukum dan Hak Asasi Manusia g. Mengikuti sidang Tim Pembina Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara h. Menyelenggarakan registrasi klien Pemasyarakatan i. Menyelenggarakan konseling kepada klien Pemasyarakatan
152 |
j.
Menyelenggarakan pengawasan terhadap klien Pemasyarakatan yang dijatuhi pidana percobaan, pidana pengawasan, pidana kerja sosial, pidana bersyarat, pelayanan masyarakat, latihan kerja pengganti pidana denda, dan/atau yang memperoleh asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat k. Pengawasan terhadap pelaksanaan yang diberikan kepada pekerja sosial profesional yang menjalankan tugas berdasarkan putusan pengadilan Untuk mendukung PK Bapas menjalankan tugas-tugas tersebut, Balai Pemasyarakatan juga memiliki wewenang, yakni (Aranoval, dkk, 2011): a. Memanggil dan meminta hadir instansi terkait maupun kepada perorangan atau kepada masyarakat klien dan keluarga klien untuk kepentingan penyelenggaraan Litmas, Diversi Mediasi, Pembimbingan, dan Pendampingan, Pengawasan. b. Meminta keterangan dan meminta data termasuk mengambil gambar, baik kepada instansi terkait maupun kepada perorangan atau kepada masyarakat, klien dan keluarga klien di setiap tahapan pra-ajudikasi, ajudikasi, dan post-ajudikasi serta tahapan after care c. Mengeluarkan surat izin dan surat keterangan lainnya yang diperlukan termasuk mengajukan usulan dan rekomendasi demi kelancaran tugas Bapas d. Menyampaikan laporan, menjelaskan, meminta respon dan tanggapan atas hasil penelitian kemasyarakatan kepada aparat penegak hukum serta institusi terkait lainnya di tahapan pra-ajudikasi, ajudikasi, dan post-ajudikasi, serta after care e. Melakukan koordinasi serta supervisi terhadap keterlibatan masyarakat serta pihak ketiga lainnya dalam
| 153
upaya merencanakan dan melaksanakan kesinambungan bimbingan lanjutan pada saat klien berada di tengah masyarakat. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, fungsi Bapas meliputi pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan di tahan praajudikasi, ajudikasi, post-ajudikasi, dan after care (Ibid, 2011). a. Pendampingan 1) Pra-Ajudikasi a. Mendampingi klien di tahap penyelidikan dan penyidikan dan pra-penuntutan (pemeriksaan Kepolisian dan Kejaksaan) b. Membuat dan menyerahkan Litmas c. Melakukan koordinasi dengan Kepolisian, pakar/ahli terkait Litmas d. Pro aktif untuk mengusahakan mediasi dan diversi berdasarkan hasil dan rekomendasi Litmas kepada penegak hukum, korban, masyarakat dan juga klien Pemasyarakatan 2) Ajudikasi a. Memberikan pendampingan klien di tahap penahanan dan persidangan b. Membuat dan menyerahkan hasil Litmas kepada Hakim c. Melakukan koordinasi dengan Hakim terkait hasil Litmas d. Mengikuti persidangan e. Membacakan hasil Litmas di depan persidangan f. Pro aktif untuk mengusahakan mediasi dan diversi berdasarkan hasil dan rekomendasi Litmas 3) Post-Ajudikasi a. Membuat dan menyerahkan hasil Litmas kepada Kalapas
154 |
b. Mendampingi klien dalam mengikuti proses pembinaan pada tahap: admisi orientasi dan pembinaan awal (0 – 1/3 masa hukuman); pembinaan lanjutan pertama (1/3 – 1/2 masa hukuman); asimilasi (1/2 – 2/3 masa hukuman); dan integrasi (2/3 – bebas) c. Melakukan konseling d. Mendampingi klien untuk mempersiapkan diri menjelang pembebasan yang bersangkutan 4) After care Mendampingi klien dalam berhubungan kembali dengan keluarga dan masyarakat melalui upaya koordinasi dengan masyarakat, dinasi sosial, dan menginisiasi kerjasama dengan pihak ketiga b. Pembimbingan 1) Pra-Ajudikasi a. Memberikan konseling pada tahap penyelidikan, penyidikan, dan pra penuntutan yang mengacu pada hasil Litmas b. Memberikan pemahaman kepada para pihak tentang syarat dan kesepakatan untuk menjalani proses diversi c. Melakukan koordinasi dengan petugas penegak hukum lainnya (Polisi, Jaksa, dan Hakim) terkait proses, syarat, dan kesepakatan tentang diversi yang berhubungan dengan klien Pemasyarakatan d. Pro aktif melakukan koordinasi dengan korban, keluarga, dan masyarakat terkait proses, syarat, dan kesepakatan tentang diversi yang berhubungan dengan klien Pemasyarakatan
| 155
2) Ajudikasi a. Membantu klien agar mampu beradaptasi pada saar persidangan melalui pelayanan bimbingan konseling yang mengacu pada hasil Litmas b. Pro aktif untuk mengusahakan mediasi dan diversi berdasarkan hasil dan rekomendasi Litmas 3) Post-Ajudikasi a. Memberikan rekomendasi kepada Kalapas untuk mengikuti proses pembinaan pada tahap: admisi orientasi dan pembinaan awal (0 – 1/3 masa hukuman); pembinaan lanjutan pertama (1/3 – 1/2 masa hukuman); asimilasi (1/2 – 2/3 masa hukuman); dan integrasi (2/3 – bebas) dalam rangka perubahan sikap dan perilaku klien Pemasyarakatan b. Membimbing klien untuk mempersiapkan diri menjelang pembebasan yang bersangkutan c. Membimbing klien Pemasyarakatan yang dijatuhi pidana dengan syarat (pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat atau pengawasan); latihan kerja; dan pidana kerja sosial d. Membimbing klien Pemasyarakatan yang mendapat pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas, baik dilakukan secara perseorangan maupun kelompok dengan berkala dan berkesinambungan e. Klien Pemasyarakatan yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial f. Klien Pemasyarakatan yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk,
156 |
bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial g. Klien anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya 4) After care Membimbing klien agar mampu kembali ke tengah keluarga dan masyarakat dengan melibatkan unsur masyarakat, dinas sosial, dan menginisiasi kerjasama dengan pihak ketiga c. Pengawasan 1) Pra-Ajudikasi Melakukan pemantauan, evaluasi, rekomendasi terhadap pelaksanaan hasil mediasi dan diversi 2) Ajudikasi a. Melakukan pemantauan, evaluasi, rekomendasi terhadap hasil dan rekomendasi Litmas di Pengadilan b. Melakukan pemantauan, evaluasi, rekomendasi tentang keseluruhan kegiatan pengawasan terhadap hasil mediasi dan diversi 3) Post-Ajudikasi Melakukan pemantauan, evaluasi, rekomendasi terhadap: a. Rekomendasi Litmas untuk pelaksanaan proses pembinaan pada setiap tahapan b. Klien Pemasyarakatan yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana dengan syarat (pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakatt, atau pengawasan); latihan kerja, dan pidana kerja sosial c. Pelaksanaan program integrasi
| 157
d. Klien anak yang berdasarkan penetapan pengadilan bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya 4) After Care Melakukan pemantauan, evaluasi, dan rekomendasi terhadap pelaksanaan program pengembalian ke tengah keluarga dan masyarakat dengan melibatkan unsur masyarakat, dinas sosial, dan hasil inisiasi kerjasama dengan pihak ketiga. Kemudian, dalam kaitannya dengan klien Pemasyarakatan, pasal 35 PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan menyebutkan bahwa terdapat kategori-kategori subyek penerima pembimbingan oleh Bapas, yakni: a) terpidana bersyarat; b) narapidana dan anak pidana yang mendapat pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas; c) anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya; d) anak yang berdasarkan putusan pengadilan, dijatuhi pidana pengawasan; dan e) anak yang berdasarkan putusan pengadilan wajib menjalani latihan kerja sebagai pengganti pidana denda. Berdasarkan pasal tersebut, dapat dilihat bahwa secara umum subyek penerima pembimbingan oleh Bapas adalah anak dan narapidana dewasa yang terbukti secara sah melakukan tidak pidana. Namun, tidak semua model pemidanaan yang juga termasuk dalam kategori community-based corrections dapat ditujukan untuk anak maupun orang dewasa sekaligus. Penjelasan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 35 huruf c, d, dan e. Dalam poin-poin tersebut, hanya anak yang menjadi obyek pengawasan oleh Bapas, terutama anak yang dikembalikan kepada orang tua, dijatuhi pidana pengawasan, dan diputuskan untuk menjalani latihan kerja sebagai pengganti denda.
158 |
Informasi mengenai subyek penerima bimbingan Bapas juga dapat dilhat dari model-model pemidanaannya sendiri. Berdasarkan penggambaran yang telah dilakukan pada sub bab IV. 1, dapat dilihat bahwa terdapat model-model pemidanaan yang hanya bisa ditujukan untuk anak, yakni diversi, pidana peringatan, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, dan pembinaan di luar lembaga. Sedangkan, sisanya dapat diberlakukan untuk anak maupun untuk terpidana dewasa. IV. 3 Pidana Alternatif dalam Rancangan Kitab undangUndang Hukum Pidana (RKUHP) Ide penghukuman berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Perkembangan ini dapat dilihat dari bagaimana masyarakat positivis di masa lampau yang memegang teguh penghukuman yang bersifat retributif kemudian semakin berubah menjadi masyarakat modern yang lebih mengutamakan penghukuman yang bersifat restoratif. Perkembangan penghukuman yang bermula dari keadilan yang bersifat pembalasan beranjak menjadi keadilan yang bersifat memulihkan. Hal yang sama juga mewarnai perkembangan hukum pidana di Indonesia. Perkembangan masyarakat Indonesia yang semakin modern semakin mendesak para pengambil kebijakan untuk melakukan pembaharuan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Langkah penyusunan konsep-konsep dalam upaya pembaharuan hukum pidana nasional sudah dimulai sejak tahun 1960-an yang ditandai dengan dikeluarkannya draft Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) oleh Lembaga Pembenahan Hukum Nasional (LPHN) pada tahun 1963. Pada tahun-tahun selanjutnya, langkah-langkah penyusunan pembaharuan konsep RKUHP semakin kongkrit (Komnas HAM & Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2007). Pada awal tahun 2013,
| 159
Pemerintah, melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM), kembali menyerahkan Rancangan KUHP (RKUHP) dan KUHAP (RKUHAP) ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hingga di tahun 2015, Pemerintahan Presiden Joko Widodo kembali menyatakan bahwa RKUHP merupakan rancangan prioritas dalam pembahasan Pemerintah dan DPR pada Prolegnas 2015. Walaupun melalui jalan yang panjang, adanya Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ini merupakan suatu pertanda positif bagi pembaharuan hukum pidana di Indonesia, sebab didalamnya memuat perubahan-perubahan yang sangat berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat Indonesia (Eddyono, dkk., 2015). Dalam kaitannya dengan penghukuman, perubahan cukup menonjol dapat dilihat pada aturan mengenai pidana pokok. Dalam KUHP yang berlaku saat ini, pidana pokok masih kental dengan tindakan-tindakan yang bersifat pembalasan secara fisik, yakni pidana mati, pidana penjara, pidana, kurungan, pidana tutupan. Dalam RKUHP, walaupun pidana penjara masih dipertahankan eksistensinya sebagai pidana pokok, pidana pokok yang bersifat pembalasan mulai diminimalisasi dan digantikan dengan bentuk pidana yang lebih bersifat membangun, seperti pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial. Sedangkan, pidana mati sebagai pidana paling berat tidak lagi dimasukan dalam RKUHP. Keberadaan pidana selain penjara sebagai pidana pokok dapat dilihat sebagai perkembangan yang positif dalam ranah hukum pidana Indonesia. Bentuk-bentuk pidana tersebut dapat diupayakan sebagai community-based corrections dalam penghukuman pidana. Lebih jauh, Hakim sebagai pengambil keputusan diharapkan dapat lebih mengupayakan putusan alternatif dari pidana penjara.
160 |
Dalam kaitannya dengan implementasi pidana alternatif ini, syarat, mekanisme pemberian, pelaksanaan, dan pengawasan atas pelaksanaan putusan juga menjadi hal yang sangat perlu diperhatikan. Hal ini penting karena akan mendorong pengimplementasian pidana alternatif itu sendiri. Terkait dengan hal ini, bagian selanjutnya akan membahas mengenai analisis pelaksanaan model-modell pemidanaan di Indonesia. IV. 4 Kondisi Empiris Pelaksanaan Model Pemidanaan di Indonesia Setelah di Bab II dibahas mengenai model-model community-based corrections yang berkembang secara umum di dunia dan di bagian awal bab ini dibahas mengenai model-model pembinaan yang juga masuk dalam kategori community-based correction yang telah ada dalam instrumen hukum Indonesia, pembahasan di bagian ini akan masuk pada analisis SWOT terkait penerapan model-model pemidanaan tersebut. Analisis ini didalamnya meliputi analisis tentang kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan hambatan (threats) dari setiap modelnya. Teknik analisis SWOT ini digunakan dengan berdasarkan pada kondisi empiris terkait wujud pelaksanaan model-model pemidanaan di Indonesia, khususnya yang berada dalam lingkup Pemasyarakatan. Upaya analisis demikian diharapkan dapat memberikan gambaran terkait kekuatan dan kelemahan serta peluang dan hambatan dari masing-masing model. Sehingga, kedepannya dapat ditentukan program community-based corrections apa yang sesuai untuk diterapkan dalam pelaksanaan masing-masing model pemidanaan. Penulisan bagian ini diawali dengan kondisi umum terkait pelaksanaan model-model pemidanaan di Indonesia, khususnya
| 161
yang berkaitan dengan fungsi Bapas, dan kemudian dilanjutkan dengan bahasan analisis SWOT dari 10 (sepuluh) model pemidanaan yang juga termasuk dalam kategori community-based correction yang telah ada dalam aturan-aturan pidana di Indonesia. IV. 4. 1 Kondisi Umum Pelaksanaan model-model pemidanaan di Indonesia Berdasarkan pertimbangan pentingnya peran Bapas dalam pelaksanaan model-model pemidanaan, pembahasan mengenai kondisi umum pelaksanaan pada bagian ini akan fokus pada praktik pelaksanaan model-model pemidanaan oleh Bapas, khususnya pembahasan mengenai kondisi umum terkait permasalahan eksternal maupun internal yang dihadapi oleh Bapas dalam menjalankan perannya. Permasalahan eksternal yang dihadapi Bapas umumnya melibatkan aparat penegak hukum, masyarakat, dan regulasi. Permasalahan yang melibatkan aparat penegak hukum dapat dilihat dalam proses peradilan pidana dimana Bapas terlibat dalam tugas pendampingan. Sedangkan, permasalahan yang melibatkan masyarakat terjadi sebelum klien masuk dalam proses pembimbingan maupun ketika klien sudah dalam proses pembimbingan. Dalam proses peradilan pidana, Bapas dituntut untuk lebih banyak berhubungan dengan polisi dan hakim. Oleh karenanya, permasalahan yang dihadapi oleh Bapas pun melibatkan keduanya. Eksistensi Bapas kemudian direpresentasikan dengan hasil Litmas, rekomendasi, dan kehadiran PK Bapas itu sendiri. Terkait dengan pihak kepolisian, pemahaman menjadi hambatan utama. Dalam hal ini, pemahaman pihak kepolisian akan fungsi Litmas dari Bapas merupakan kunci yang penting dalam menangani perkara pidana. Di sini, hasil Litmas dijadikan dasar
162 |
oleh pihak kepolisian untuk menentukan kelanjutan proses peradilan pidana, terutama yang menyangkut anak sebagai pelaku. Permasalahannya, pemahaman mengeni fungsi Litmas ini tidak secara merata dipahami oleh semua aparat kepolisian. Akibatnya, seringkali keputusan diambil tanpa mempertimbangkan hasil Litmas atau keberadaan Litmas itu sendiri sebagaimana diakui dalam diskusi dengan pernyataan berikut: “…tapi pemahaman pengetahuan belum merata. Seperti di tingkat kepolisian, tidak memperhatikan Litmas PK, langsung mengambil tindakan.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Kemudian terkait dengan hakim, permasalahan koordinasi dan komunikasi antara hakim dan Bapas menjadi dasar permasalahan yang muncul diantara keduanya yang kemudian menjadi penyebab munculnya permasalahan-permasalahan lain. Permasalahan pertama adalah hakim memutus perkara tanpa kehadiran PK dan hanya berdasarkan Litmas yang dibuat oleh PK Bapas. Dalam hal ini, keberadaan PK Bapas dalam persidangan tidak lagi dianggap penting karena sudah direpresentasikan oleh Litmas yang dibuat oleh PK Bapas. Kemudian, permasalaham berikutnya adalah meskipun rekomendasi telah dibuat, tidak semua rekomendasi yang disampaikan PK Bapas disetujui oleh hakim. Pernyataan ini disampaikan dalam FGD sebagai berikut: “Moderator:
Bagaimana respon hakim terhadap hasil Litmas yang diserahkan ke pengadilan?
Peserta FGD: dari Bapas Pusat responnya positif, suka dipertimbangkan hasil Litmas. Sebelum sidang, hakim setelah membaca Litmas memanggil PK untuk meminta pendapat PK.
| 163
Peserta FGD: ...Saat rapat koordinasi, responnya positif, tapi biasanya hakim masih belum mengikuti rekomendasi dari Litmas.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Tidak disetujuinya rekomendasi yang diberikan oleh PK Bapas kepada hakim secara tidak langsung menunjukkan bahwa hakim belum sepenuhnya memiliki pertimbangan yang sama dengan PK Bapas dalam menentukan pembinaan model untuk terpidana. Kondisi ini diakui sebagai keterbatasan hakim terkait pemahaman model pembinaan. Ketiga, permasalahan yang ada diantara hakim dan PK Bapas terjadi dalam pelaksanaan pidana bersyarat. Dalam kasus hakim memutuskan adanya pidana bersyarat, permasalahan yang muncul adalah seringkali pihak pengadilan atau hakim tidak menyampaikan keputusan tersebut kepada Bapas. Dengan adanya kondisi demikian, proses pembinaan dan pembimbingan tidak dapat dilakukan oleh PK Bapas karena terpidana juga tidak diwajibkan untuk mengikuti pembimbingan oleh Bapas. Pada akhirnya, pembimbingan sebagai bentuk pembinaan atau hukuman tidak tertanam di hati terpidana. Berbeda dengan permasalahan yang melibatkan aparat penegak hukum, permasalahan eskternal yang melibatkan masyarakat mencakup dua hal, yakni pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan pembimbingan dan penerimaan masyarakat terhadap mantan narapidana. Tingginya jumlah klien Bapas dan keterbatasan Bapas untuk menyelenggarakan pelatihan kerja menyebabkan Bapas harus berupaya mencari tempat untuk melaksanakan pembimbingan terhadap kliennya. Balai Latihan Kerja milik pemerintah atau tempat pelatihan kerja swasta kemudian menjadi pilihan untuk dilakukan kerja sama. Permasalahannya, pihak swasta yang mau melakukan kerja sama untuk menyelenggarakan pelatihan kerja dengan klien
164 |
Pemasyarakatan masih minim. Selain karena birokrasi yang harus dilalui, stigma terhadap klien Pemasyarakatan juga kerap menjadi hambatan pelaksanaan latihan kerja di luar instansi Pemasyarakatan. Misalnya saja, rata-rata klien narkotik ditolak beberapa yayasan karena takut mengganggu/mempengaruhi klien umum. Oleh karenanya, selama ini, keluarga dan klien lebih aktif dalam mencari relasi/pihak ketiga sendiri untuk melaksanakan pelatihan kerja walaupun sebenarnya tugas tersebut merupakan tanggung jawab penuh Bapas. Di sisi lain, manakala tempat pelatihan kerja di luar institusi Pemasyarakatan bersedia memberikan pelatihan, permasalahan yang kemudian muncul adalah mereka tidak bersedia menerima mantan narapidana untuk bekerja secara resmi setelah program pembimbingan atau masa hukumannya selesai dijalankan, sebagaimana hasil FGD sebagai berikut: “Kerjasama dengan Dinas Tenaga Kerja Pasar Rebo, namun menjadi masalah ketika perusahaan yang menjadi mitra dinas tersebut tidak mau menerima mantan napi. Penempatan di tempat kerja bermasalah karena stigma.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Ketiadaan penyaluran keterampilan kerja pada mantan narapidana menimbulkan kesan program pelatihan kerja yang telah dijalankan menjadi sia-sia sebab dengan demikian masalah akan tetap muncul. Dengan kondisi demikian, tugas Bapas menjadi lebih berat karena Bapas tidak sekedar mencari pihak ketiga sebagai bagian dari upaya pelibatan peran masyarakat dalam melakukan pembimbingan, namun Bapas juga harus memberikan keyakinan kepada masyarakat untuk mereduksi stigma yang melekat pada mantan narapidana.
| 165
Sebagaimana telah disinggung dalam bab pendahuluan, stigma merupakan halangan yang cukup berat dalam proses reintegrasi narapidana ke dalam masyarakat. Dari hasil FGD, diakui bahwa di tahun 2015 ini, perspektif masyarakat semakin parah dalam memandang penghukuman. Masyarakat mulai kembali menganut prinsip pembalasan. Masyarakat tidak memahami bahwa stigma mereka tentang mantan narapidana justru membuat masalah semakin kompleks. Akibatnya pun cukup besar bagi keberlangsungan hidup mantan narapidana. Kemudian dari sisi regulasi, permasalahan yang paling menarik perhatian adalah terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Sebenarnya, keberadaan aturan ini merupakan jawaban yang tepat dalam menangani kasus peradilan yang melibatkan anak didalamnya. Permasalahannya, aturan ini belum dapat diimplementasikan karena peraturan khusus mengenai hal ini belum disahkan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah. Berbeda dengan permasalahan eksternal, permasalahan internal Bapas terkait pelaksanaan pemidanaan dapat dilihat pada proses pembinaan narapidana dalam Lapas hingga pembimbingan klien Bapas. Pada Lapas, permasalahan berkutat dalam pelaksanaan program pembinaan dan pengaruhnya dalam proses pengajuan program reintegrasi. Sedangkan, pada Bapas, permasalahan terletak pada Sumber Daya Manusia PK Bapas, anggaran, dan sarana dan prasarana terkait pelaksanaan program pembimbingan. Penerapan program community-based corrections yang didalamnya melibatkan peran Lapas sebenarnya hanya terjadi pada cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan program asimilasi. Hal ini disebabkan karena salah satu syarat pengajuan program tersebut adalah narapidana yang
166 |
bersangkutan telah berkelakuan baik dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan syarat yang diajukan. Berkelakuan baik di sini dibuktikan dengan hasil penilaian yang dibuat oleh wali Pemasyarakatan dalam laporan perkembangan pembinaan yang kemudian dijadikan dasar oleh PK Bapas dalam membuat Litmas. Oleh karenanya, wali Pemasyarakatan memegang peran kunci dalam pemberian program reintegrasi bagi narapidana ini. Untuk memberikan suatu penilaian, tentunya pemberi nilai memiliki indikator-indikator tertentu yang sudah dibakukan. Pentingnya syarat tersebut sayangnya tidak diimbangi dengan sistem penilaian dan kualitas dan kuantitas SDM wali Pemasyarakatan yang memadai. Praktik penilaian kelakuan baik oleh wali Pemasyarakatan yang selama ini dilakukan akhirnya hanya dibuat sebagai pemenuhan syarat formalitas belaka. Laporan ini tidak benar-benar menunjukkan perkembangan pembinaan narapidana yang sebenarnya karena penilaian perkembangan proses pembinaan narapidana di dalam Lapas dari tahap awal, tahap lanjutan, hingga tahap akhir tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Hal ini tentu berpengaruh terhadap Litmas yang dibuat oleh PK Bapas. Penilaian dan rekomendasi Bapas pada akhirnya menjadi tidak tepat sasaran.
Permasalahan ini terjadi karena dua hal. Pertama, tidak ada indikator jelas yang dijadikan dasar dalam melakukan penilaian apakah narapidana yang bersangkutan benar-benar menunjukan perkembangan sehingga dapat disebut ‘berkelakuan baik’ atau tidak. Kedua, akibat minimnya jumlah SDM Pemasyarakatan di Lapas, setiap petugas di Lapas juga merangkap peran sebagai wali narapidana. Di sini, satu wali dapat menangani hingga 10 (sepuluh) narapidana yang artinya wali tersebut juga harus melakukan pengamatan terhadap semua narapidana yang
| 167
berada dibawah pengawasannya dan kemudian membuat laporan hasil pengamatan tersebut untuk dijadikan bahan pertimbangan pemberian program reintegrasi. Kemudian, terkait pembimbingan oleh Bapas, permasalahan yang paling utama untuk diketahui adalah tidak semua wilayah kota/kabupaten memiliki perwakilan kantor Bapas. Berdasarkan data yang tersedia dalam Sistem Database Pemasyarakatan per 27 Desember 2015, terdapat 71 Bapas dibawah lingkup 33 Kantor Wilayah Hukum dan HAM di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut berbanding jauh dengan total jumlah kabupaten dan kota yang keseluruhannya mencapai 514 dengan jumlah kabupaten sebanyak 416 dan kota sebanyak 98 di 34 propinsi di seluruh Indonesia (www.kemendagri.go.id, 2015). Padahal, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 tentang Pemasyarakatan telah mengamanatkan bahwa Lapas dan Bapas didirikan di setiap Ibukota kabupaten atau kotamadya. Kemudian, Cabang Lapas dan Cabang Bapas juga dapat didirikan di tingkat kecamatan atau kota administratif. Selain masalah keberadaan kantor perwakilan Bapas, masalah lain yang juga memiliki pengaruh erat dalam pelaksanaan tugas Bapas adalah masalah Sumber Daya Manusia (SDM) Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas, anggaran, dan sarana dan prasarana. Dari sisi SDM, PK Bapas bermasalah baik secara kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas, perbandingan jumlah SDM tidak sebanding dengan beban tugas yang diemban oleh PK Bapas yang melingkupi pendampingan sejak dalam proses peradilan, tahapan dalam proses pembinaan di Lapas, hingga tahapan dalam proses pembimbingan di Bapas.
168 |
Rentang perbandingan ini misalnya dapat dilihat dalam data sebagai berikut: Tabel Perbandingan Jumlah SDM PK Bapas dan Klien Pemasyarakatan Di Tiga Bapas Wilayah DKI Jakarta Jumlah UPT
Jumlah
PK Dewasa
PK Anak
Pembantu PK
Klien Dewasa
Klien Anak
Bapas Klas I Jakarta Barat
10
9
2
1928
31
Bapas Klas I Jakarta Pusat
12
13
1
1432
10
Bapas Klas I Jakarta Timur/Utara
12
9
3
3041
31
Sumber: hasil FGD dan Data Klien Bapas per Oktober 2015, diunduh dari http://smslap.ditjenpas.go.id
Berdasarkan data pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa terdapat rentang perbandingan yang sangat jauh antara jumlah PK Bapas dan klien yang berada di bahwa bimbingannya, kondisi ini terutama dapat dilihat pada penanganan klien dewasa. Kemudian, dari segi kualitas, permasalahan utama yang dihadapi adalah minimnya jumlah pelatihan untuk PK Bapas. Saat ini, pelatihan untuk PK Bapas hanya dilakukan di awal saja sebagaimana dinyatakan dalam FGD sebagai berikut: “Teman – teman mendapatkan diklat PK hanya di awal selama dua minggu. Idealnya sudah masuk jabatan fungsional khusus, harus ada diklat yang continue untuk menambah wawasan/me-refresh kembali pengetahuan karena banyak hal-hal yang
| 169
baru, sehingga perlu diklat lanjutan.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Selain itu, saat ini ada juga diklat berbasis online. Pelaksanaan diklat dengan metode ini dilakukan dengan didasarkan atas pertimbangan efisiensi waktu dan kemudahan. Dengan diklat ini, setiap peserta hanya membutuhkan waktu 15 (lima belas) menit untuk mendapatkan sertifikat. Permasalahannya, Diklat ini tidak berjalan dengan baik karena tidak semua daerah memiliki sarana dan prasarana yang baik untuk mendukung kegiatan Diklat online ini. Diklat seperti ini diakui hanya dapat dilakukan di kota-kota besar saja. Kemudian, dari sisi anggaran, anggaran memiliki peranan yang sangat krusial dalam pelaksanaan program pembimbingan Bapas. Permasalahan yang kerap dihadapi oleh Bapas adalah anggaran yang diberikan untuk Bapas tidak sebanding dengan jumlah klien yang ditangani. Misalnya saja, kegiatan pembimbingan di Bapas Jakarta Timur/Utara hanya dianggarkan untuk 385 klien, sedangkan jumlah total kliennya adalah 3045. Selain itu, mengenai permasalahan anggaran ini, Kepala Bapas Klas I Jakarta Timur/Utara memberikan contoh penggambaran dampak ketiadaan anggaran ini. Menurutnya, contoh ini dapat dilihat pada tahun 2014 dimana Bapas Timur/Utara tidak dapat melakukan kegiatan pembimbingan karena terkendala anggaran. Selain itu, pengawasan langsung ke rumah klien secara rutin setiap dua bulan juga tidak dapat dilakukan lagi karena ketidaktersediaannya anggaran. Selanjutnya, dalam kaitannya dengan sarana prasarana, selain tidak semua kota/kabupaten Bapas, masalah lain yang dihadapi adalah keterbatasan sarana dan prasana terkait pelaksanaan program pembimbingan dalam Bapas. Keterbatasan sarana dan prasarana ini dapat dilihat dari program bimbingan yang diselenggarakan Bapas. Sebagaimana pembinaan yang
170 |
diselenggarakan Lapas, pembimbingan juga melingkupi dua program besar, yakni pembimbingan kepribadian dan kemandirian. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Permasalahan pelaksanaan program pembimbingan ini dapat dilihat pada beberapa kasus. Pertama, seringkali program yang diselenggarakan Bapas berbeda dengan program pembinaan yang dilaksanakan oleh Lapas. Keberlanjutan program pembinaan sebagaimana yang dilakukan di dalam Lapas sangat tergantung pada kondisi Bapas. Hal ini diakui dalam FGD sebagai berikut: “Balik lagi ke kondisi Bapas dan Lapasnya. Belum tentu semua berlanjut. Sebagai contoh, bila Lapas ada program pembinaan dalam bidang peternakan, sementara di Bapas tidak tersedia, maka tidak dapat dilanjutkan. Jadi tergantung kondisi Bapasnya.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Kondisi yang dimaksud tersebut merujuk pada kondisi geografis dimana Bapas itu berada. Di sini, kondisi geografis menentukan program pembimbingan apa yang bisa dilaksanakan oleh Bapas. Kedua, keterbatasan sarana dan prasarana juga dapat dilihat dari jumlah program bimbingan dan kuota masingmasingnya. Semakin minim sarana dan prasarana yang tersedia, maka semakin minim juga program yang dapat dijalankan. Misalnya saja, pelaksanaan program bimbingan membuat kue tidak hanya membutuhkan alat-alat membuat kue, melainkan juga ruangan yang cukup untuk melangsungkan kegiatan tersebut. Program bimbingan kepribadian seperti pendidikan keagamaan dan penyuluhan tidak saja membutuhkan instruktur, melainkan juga ruangan aula besar untuk menampung klien yang mengikuti program pembimbingan. Kemudian, pada kasus lainnya,
| 171
keterbatasan sarana dan prasarana ini juga dapat dilihat dari ketidaksesuaian program bimbingan dengan kebutuhan klien. Dampak dari permasalahan ketidaksesuaian kuantitas dan rendahnya kualitas SDM PK Bapas, minimnya anggaran, dan keterbatasan sarana dan prasarana tersebut dapat dilihat pada performa kinerja PK Bapas. Performa ini dapat dilihat dalam pelaksanaan tugas pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan. Dalam pelaksanaan tugas pendampingan, dampak permasalahan-permasalahan diatas dapat dilihat dari hasil Litmas dan eksistensi Bapas sendiri dalam melakukan pendampingan. Terkait hasil Litmas, minimnnya jumlah dan rendahnya kualitas SDM Bapas berakibat pada dua hal. Pertama, rendahnya kualitas hasil Litmas yang disusun oleh PK Bapas. Terkait hal ini, salah satu perserta FGD memberikan pernyataan sebagai berikut: “Di tempat saya awalnya Litmas yang dibuat oleh PK penggunaan bahasa kurang baik, tidak tepat sasaran, sehingga mengundang ahli dari dosen UI bahasa untuk membuat Litmas yang baik, tapi karena beberapa jam jadi hasilnya tidak efektif.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Rendahnya kualitas Litmas yang dihasilkan oleh PK Bapas sebenarnya amat disayangkan karena Litmas sendiri merupakan dasar dalam penetapan keputusan, baik pada tingkat peradilan maupun dalam tahap pembinaan dalam Lapas. Kemudian, akibat yang lebih fatal adalah tidak dilakukannya Litmas oleh PK Bapas. Sebagaimana disebutkan pada bagian awal bab ini, tugas pembuatan Litmas oleh Bapas seharusnya dimulai dari tahap penyidikan dalam proses peradilan hingga tahap akhir pembinaan di dalam Lapas. Namun, kondisi PK
172 |
Bapas yang terbatas secara jumlah maupun kualitas menyebabkan Litmas tidak dapat dilakukan pada untuk setiap orang yang berkonflik dengan hukum. Pelaksanaan Litmas sejak awal baru hanya diberlakukan untuk anak. Hal ini juga didorong oleh adanya mekanisme diversi yang menjadi amanat utama dalam UU SPPA. Sedangkan, untuk orang dewasa, rata-rata Litmas baru dibuat ketika narapidana akan mengajukan cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, ataupun asimilasi saja, sehingga hasilnya pun tidak maksimal sebagaimana yang diungkapkan dalam FGD, yakni: “Yang menjadi kendala sering kali saat baru akan asimilasi baru dimintakan Litmas, namun tahap awal tidak dilakukan sehingga Bapas kurang dalam mengeksplorasi sehingga ragu apakah klien ini patut mendapat asimilasi.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Selanjutnya, keterbatasan jumlah PK Bapas juga berpengaruh pada keterlibatan PK Bapas dalam proses pengambilan keputusan di tingkat kepolisian hingga pengadilan juga proses pengambilan keputusan terkait kelanjutan tahap pembinaan narapidana di Lapas. Sebagaimana telah disebutkan pada awal bagian bab ini, hakim kerap memutuskan perkara pidana, khususnya perkara pidana anak, tanpa keberadaan PK Bapas dalam pengadilan tersebut. Walaupun hal ini melanggar ketentuan, namun pada faktanya hal ini tetap terjadi. Dalam kasus lainnya, keberadaan PK Bapas juga tidak dilihat sebagai suatu keharusan dalam sidang TPP untuk memutuskan kelanjutan tahap pembinaan narapidana sebagaimana disampaikan dalam hasil FGD sebagai berikut: “Tidak semua UPT mengundang PK Bapas saat sidang TPP. Kadang mereka sidang sendiri tanpa
| 173
menggundang Bapas. Ketika tidak diundang, tidak ada sanksi kepada Lapas.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Di sisi lain, minimnya jumlah Bapas akhirnya juga menciptakan sikap permisif dari Bapas kepada Lapas jika mereka tidak mengundang Bapas dalam sidang TPP, sebagaimana disebutkan dalam kutipan berikut: “...tapi memang dalam sebulan permintaan sekitar 150 Litmas untuk dewasa, belum lagi Litmas Anak. Sementara PK terbatas. Kendalanya, begitu berat tugas PK. Kalau diundang juga, belum tentu semua PK dapat hadir, sehingga hanya diwakili.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Kemudian, dalam pelaksanaan tugas pembimbingan dan pengawasan, dampak permasalahan-permasalahan yang terjadi pada Bapas dapat dilihat dari bagaimana hasil pelaksanaan program yang dijalankan oleh Bapas. Hal ini dapat dibuktikan dengan pelaksanaan program pembimbingan itu sendiri dan kaitannya dengan keterlibatan klien didalamnya. Dalam hal ini, ketika program pembimbingan terbatas dari segi pilihan, maka antusiasme klien pun dapat terpengaruh. Berdasarkan hasil diskusi dalam FGD, selama ini pelaksanaan program pembimbingan oleh Bapas menemui kesulitan cukup besar terkait antusiasme klien mereka dalam pelaksanaan program pembimbingan. Mereka mengakui bahwa untuk menghadirkan klien, tidak jarang pihak Bapas harus menggunakan ancaman terlebih dahulu. Akhirnya, untuk mengantisipasi kondisi ini, pihak Bapas juga melakukan upayaupaya tertentu agar program pembimbingan tetap memiliki peserta. Misalnya saja, mengutamakan klien yang baru saja bebas sebaimana diutarakan sebagai berikut:
174 |
“Diutamakan yang baru bebas untuk hadir mengikuti program karena susah kalau klien yang sudah mendapatkan pekerjaan. Jadi untuk menutupi klien yang tidak dapat hadir karena sudah bekerja.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Upaya lain yang juga dilakukan adalah dengan memberikan biaya transport kepada klien atau membuat jadwal dan menentukan pesertanya dari jauh-jauh hari. Dengan demikian, klien diharapkan dapat dengan patuh menjalankan kewajibannya mengikuti program bimbingan yang diselenggarakan oleh Bapas selama menjalankan sisa 1/3 masa hukumannya. Kondisi demikian sebenarnya bukan kondisi yang diharapkan sebagai dampak pembimbingan. Pembimbingan yang dipaksakan atau didasari dengan ancaman menunjukan bahwa klien yang sebenarnya masih berstatus sebagai narapidana tidak menyadari bahwa program pembimbingan merupakan suatu kewajiban baginya untuk diikuti karena dirinya masih dalam masa hukuman. Kondisi demikian justru menunjukkan bahwa pembinaan yang telah dilakukan selama di Lapas maupun pembimbingan di Bapas tidak tercapai karena ternyata kesadaran klien untuk bertanggung jawab tidak terbentuk dalam karakter dan kepribadiannya. IV. 4.2 Analisis SWOT Praktik Implementasi Model Pemidanaan IV. 4. 2. 1 Pidana Denda Wujud pidana denda pada intinya adalah pembayaran sejumlah uang denda dari terpidana kepada negara sesuai dengan putusan pengadilan. Dalam pelaksanaannya, pidana denda juga tidak lepas dari masalah-
| 175
lain, pidana ini juga memiliki kekuatan-kekuatan positif sebagai pendorong keberhasilan proses pelaksanaan pidana. Untuk memahami lebih lanjut mengenai peluang implementasi pidana denda sebagai alternatif pidana penjara, berikut merupakan gambaran analisis SWOT pidana denda. Pidana denda merupakan hukuman pidana ringan yang pelaksanaannya mudah dilakukan. Dalam hal ini, terpidana tidak dituntut untuk berada dalam satu bangunan atau wilayah tertentu sebagaimana pidana pemenjaraan atau dengan kata lain, terpidana yang hanya dijatuhi pidana denda tidak dibatasi kebebasannya. Terpidana bebas untuk menjalankan hidupnya secara normal di tengah masyarakat. Dengan tidak adanya pembatasan kebebasan terhadap terpidana, terpidana dapat terhindar dari dampak buruk pemenjaraan. Aspek kemanusiaan terpidana menjadi hal yang tidak ternodai dan martabat terpidana sebagai seorang manusia tetap terjaga. Hal ini dikarenakan hukuman denda tidak mengakibatkan tercelanya nama baik dan kehormatan terpidana akibat stigma buruk sebagaimana halnya yang dialami oleh mereka yang dipindana penjara. Dengan demikian, terpidana dapat hidup normal selayaknya orang-orang pada umumnya. Kondisi yang demikian berdampak baik pada beberapa hal, baik terhadap terpidana maupun negara sebagai pelaksana. Pidana denda minim kerugian apabila terjadi kesalahan dalam penjatuhan hukuman. Misalnya, apabila terjadi kesalahan dalam penjatuhan penghukuman, terpidana tidak dirugikan dengan pengalaman buruk sebagaimana pengalaman yang dirasakan selama pemenjaraan. Kerugian yang harus dirasakan terpidana dalam kondisi demikian adalah kerugian-kerugian imateriil yang dirasakan selama menjalani proses peradilan pidana dan kerugian materi terkait pembayaran denda yang dalam hal semestinya ini
176 |
dapat dikembalikan negara apabila terjadi kesalahan penghukuman. Sedangkan, dari sisi negara, pelaksanaan pidana ini tidak mengeluarkan biaya karena terpidana tidak ditahan dan negara tidak dituntut untuk bertanggung jawab mengeluarkan biaya untuk menghidupi terpidana selama melaksanakan hukumannya. Denda yang dibayarkan terpidana kepada negara juga menjadi bagian dari sumber penghasilan negara. Tindak pidana sebagai bentuk pelanggaran hukum negara dianggap telah merugikan negara. Oleh karenanya, pihak-pihak yang melakukan pelanggaran hukum diharuskan menggantikan kerugian yang ditanggung oleh negara. Dalam hal ini, denda dianggap sebagai bentuk pertanggung jawaban terpidana karena telah merugikan negara dan denda diterima negara sebagai penghasilan bukan kena pajak. Kondisi demikian tentu menguntungkan bagi negara. Dalam perkembangannya, pidana denda juga dipercaya sebagai alternatif penghukuman untuk mengatasi masalahmasalah kejahatan baru. Kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam hal ini adalah kejahatan-kejahatan baru yang muncul seiring dengan kemajuan teknologi dan perkembangan ekonomi, seperti misalnya kejahatan korporasi dan kejahatan korupsi. Dalam hal ini, RKUHP juga telah menyebutkan korporasi sebagai subyek pidana denda selain subyek perorangan. Selain kelebihan-kelebihan tersebut, pidana denda juga memiliki peluang cukup baik untuk diimplementasikan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Peluang utama dapat dilihat dari sisi regulasi dimana pidana denda setidaknya telah menjadi salah satu pidana pokok yang dirumuskan secara sah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
| 177
Di sisi lain, pidana ini juga telah diimplementasikan kepada anak maupun terpidana dewasa jauh sebelum UU SPPA disahkan perubahannya pada tahun 2012. Dalam kondisi demikian, aparat penegak hukum pun diasumsikan telah familiar dan mampu menyelenggarakan pidana alternatif ini. Peluang ini kemudian diperkuat dengan disebutkannya pidana denda sebagai salah satu pidana pokok dalam RKUHP. Dalam RKUHP, rumusan mengenai syarat-syarat penjatuhan, kategori besaran denda, dan subyek pidana denda telah disebutkan secara jelas. Selain itu, mekanisme pelaksanaan pidana ini pun telah diatur. Dengan adanya rumusan tentang hal-hal tersebut, peluang pengimplementasian pidana denda semakin terbuka lebar. Selain sisi-sisi positif dan peluang pengimplementasian tersebut, hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah mengenai kelemahan dan hambatan dalam pengimplementasian pidana denda. Terdapat beberapa kelemahan yang perlu diperhitungkan. Pertama, nominal denda tidak sesuai dengan kondisi perkembangan ekonomi masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan terkait pidana denda yang ada dalam KUHP yang berlaku saat ini. Dalam ketentuan yang ada, nilai denda dinilai terlalu kecil dan tidak sebanding dengan kerugian yang timbul akibat tindak pidana yang dilakukan terpidana. Misalnya saja, denda sebesar RP 7,52 (tujuh rupiah lima puluh dua sen) disebandingkan dengan satu hari masa kurungan pengganti pidana denda. Jika dilihat dari jumlah tersebut, tentu lah terpidana tidak akan merasakan kerugian yang setara sebagaimana kerugian yang ditimbulkannya. Terpidana tidak merasakan pengaruh yang penjeraan yang cukup atas hukuman yang diberikan kepadanya. Selain itu, dari sisi regulasi, nominal denda yang tertera dalam KUHP terlalu kecil juga mengakibatkan aturan-aturan lain
178 |
yang juga menyebutkan ancaman pidana denda cenderung untuk meningkatkan ancaman pidana denda. Hal ini berakibat pada tumpang tindihnya ancaman pidana denda, sehingga kepastian mengenai jumlah itu sendiri menjadi lemah. Padahal, jika merujuk pada sejarah, tujuan dari adanya hukum tertulis itu sendiri adalah untuk melahirkan kepastian. Dengan situasi demikian, kepastian menjadi dipertanyakan. Dari sisi korban, terpidana juga tidak dituntut untuk melakukan pertanggung jawaban secara langsung terhadap korban. Denda yang dibayarkan oleh terpidana hanya diterima oleh negara, sedangkan negara tidak memberikan penggantian kerugian kepada korban. Kondisi demikian mencederai keadilan bagi korban. Korban tidak hanya menanggung kerugian akibat menjadi korban tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana itu sendiri, melainkan juga merasakan kerugian lain yang timbul akibat pengabaian oleh negara. Dari sisi pelaku, denda itu sendiri tidak mesti dibayarkan oleh terpidana. Denda yang dijatuhkan oleh hakim dapat dibayarkan oleh pihak-pihak tertentu selain terpidana, misalnya oleh keluarga terpidana. Ketika tanggung jawab justru dibebankan kepada keluarga terpidana, esensi hukuman sendiri menjadi kabur. Terpidana menjadi terhindar dari rasa bersalah dan rasa bertanggung jawab sebagaimana mestinya. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan penjeraan dari hukuman itu sendiri. Dalam kaitannya dengan hambatan, terdapat beberapa situasi yang perlu disadari sebagai hambatan dari pelaksanaan pidana denda. Pertama, terkait dengan regulasi, belum ada aturan terkait pidana denda yang berdiri sendiri dan mengatur mekanisme penjatuhan dan pelaksanaan pidana denda. Sejauh ini, penjelasan KUHP dan UU SPPA terkait pidana denda cukup terbatas. Pidana denda pun lebih banyak diatur sebagai alternatif
| 179
atas bentuk pidana lainnya atau dengan kata lain, pidana denda belum menjadi prioritas sebagai pidana tunggal. Pidana denda juga menuntut profesionalitas hakim dalam menjatuhkan nilai nominal pidana denda terhadap pelaku. Jumlah rumusan nominal yang terlalu kecil menyebabkan hakim lebih memilih untuk tidak menjatuhkan pidana denda. Di sini, hakim cenderung melihat pidana penjara sebagai pidana utama, sehingga ancaman pidana denda hanya digunakan terhadap tindak pidana ringan. IV. 4. 2. 2 Pidana Bersyarat Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, inti dari pelaksanaan pidana bersyarat adalah percobaan yang diberikan sebelum terpidana menjalankan putusan hukuman yang sebenarnya. Di sini, terpidana wajib menjalankan pidana percobaan dan selama menjalani masa percobaan, terpidana tidak boleh melakukan pelanggaran hukum. Apabila kewajiban tersebut dilanggar, maka terpidana harus menjalankan putusan hukuman yang sebenarnya. Dalam praktiknya, hakim memiliki peran sentral dalam mempertimbangkan penjatuhan pidana bersyarat atau pidana percobaan. Sedangkan Jaksa, Polisi, dan PK Bapas berperan dalam pelaksanaannya, yakni Jaksa dan Polisi berperan dalam melakukan pengawasan dan PK Bapas berperan dalam melaksanakan pembimbingan selama terpidana dalam masa percobaan. Untuk memahami lebih jauh bagaimana praktik empiris pelaksanaan pidana bersyarat, berikut analisis SWOT pidana bersyarat. Terkait dengan strengths, hal positif yang paling menonjol dalam model pidana ini adalah terpidana didorong untuk taat pada aturan hukum. Sebagaimana dijelaskan di awal, pidana bersyarat ini hanya merupakan masa percobaan yang dijalankan oleh
180 |
terpidana. Ancaman akan penjatuhan hukuman sebenarnya yang melekat selama terpidana menjalankan pidana bersyarat memacu terpidana untuk tidak melanggar hukum. Hal ini dikarenakan akibat yang dapat ditimbulkan akan lebih buruk bagi terpidana. Pada poin ini, dapat dilihat bahwa terpidana memiliki pertimbangan rasional untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat memperburuk kondisi hidupnya. Kesadaran akan hal tersebut, secara tidak langsung, mendidik terpidana untuk tetap taat pada aturan hukum, baik selama menjalani pidana bersyarat maupun setelahnya. Hal positif lainnya dari pidana bersyarat adalah praktik pidana ini tidak berakibat pada pembatasan kebebasan terpidana. Meskipun terpidana tetap ada dibawah pengawasan dan wajib melaporkan dirinya kepada Jaksa dan Polisi pada waktu-waktu tertentu, pelaksanaan pidana bersyarat tidak dilakukan di dalam penjara, melainkan di tengah lingkungan masyarakat. Hal ini merupakan keuntungan bagi terpidana karena terpidana dapat terbebas dari dampak-dampak buruk pemenjaraan. Dengan demikian, terpidana dapat kembali ke dalam masyarakat secara wajar dan menjalankan kehidupannya secara normal. Kemudian dari sisi eksternal terkait opportunity, pidana bersyarat telah diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini. Meskipun pengaturannya tidak dilakukan secara jelas dan rinci, namun keberadaannya telah cukup menjadi dasar bagi hakim dalam menjatuhkan keputusan. Dalam praktiknya, pidana bersyarat telah menjadi salah satu bentuk hukuman yang berlaku dan dilaksanakan dalam peradilan pidana Indonesia. Dengan keberlakuannya tersebut, aparat penegak hukum juga sudah tidak lagi merasa asing mengenai praktik penjatuhan dan pelaksanaannya. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran aparat penegak hukum akan pilihan model pidana ini telah ada dan
| 181
memiliki peluang besar untuk dipraktikan sebagai salah satu program community-based corrections. Di sisi lain, terkait dengan weaknesses, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, adanya perbedaan terminologi pidana bersyarat dan pidana percobaan berdampak pada ketidakjelasan pemahaman mengenai pidana percobaan. Dalam KUHP, terminologi yang digunakan adalah pidana percobaan. Sedangkan, jika merujuk pada literatur umum, terminologi yang digunakan adalah pidana bersyarat.7 Meskipun merujuk pada arti yang sama, namun hal ini dapat menimbulkan ketidakjelasan pemahaman pada masyarakat. Kedua, efek penggentarjeraan kurang dirasakan oleh terpidana. Hal ini disebabkan pidana pengawasan hanya mewajibkan terpidana melaporkan diri, sedangkan program bimbingan tidak wajib dilaksanakan. Tidak adanya upaya pembinaan dalam model pidana ini mengakibatkan minimnya peluang terjadinya perubahan perilaku pada terpidana. Sehingga, dampak dari pelaksanaan pidana bersyarat pada diri terpidana tidak terlihat, tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana yang dilakukannya. Ketiga, dari sisi korban, terpidana juga tidak diharuskan untuk bertanggung jawab secara langung kepada korbannya dan memperbaiki hubungan yang telah retak diantara keduanya. Pada akhirnya, rasa tanggung
Dalam istilah asing, terminologi pidana bersyarat merujuk pada istilah voorwaardelijke veroordeling dalam bahasa Belanda dan probation pada bahasa Inggris. Jika diartikan secara harafiah, istilah tersebut merujuk pada arti pidana percobaan sebagaimana yang disebutkan dalam KUHP. Namun demikian, pidana bersyarat juga banyak digunakan karena istilah ini merujuk pada pasal 14a ayat (1) yang menyebutkan bahwa untuk memutuskan hukuman percobaan, setidaknya ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum hakim membuat keputusan. Oleh karena adanya syarat-syarat tersebut, maka umumnya literaturliteratur hukum merujuk pada istilah pidana bersyarat. Menurut Asmarawati (2015), istilah tersebut juga lebih baik jika diterjemahkan menjadi pidana bersyarat. 7
182 |
jawab dalam diri terpidana tidak terbentuk dan korban tetap menanggung derita akibat tindak pidana yang menimpanya. Kemudian dari sisi eksternal, juga terdapat hambatanhambatan yang perlu dihadapi dalam pengimplementasian pidana bersyarat. Hambatan-hambatan tersebut dapat dilihat dari sisi regulasi, pelaksana, dan pelaksanaan. Dari sisi regulasi, walaupun KUHP telah menyebutkan pidana percobaan di dalamnya, namun pidana percobaan maupun pidana bersyarat tidak termasuk dalam kategori pidana pokok maupun pidana tambahan sebagaimana yang tertera dalam pasal 10 Buku II KUHP. Pidana ini murni hanya disebutkan sebagai pidana percobaan. Hal ini dapat dilihat dengan putusan-putusan hakim terkait pidana percobaan. Misal, dalam Surat Putusan atas kasus Rasyid Rajasa: "Menjatuhkan pidana kepada ia Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama: 5 (lima) bulan dan denda sebesar Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama : 6 (enam) bulan; Menetapkan pidana tersebut tidak akan dijalankan kecuali apabila dalam tenggang waktu percobaan selama 6 (enam) bulan belum berakhir berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, terpidana kembali dijatuhi hukuman karena dinyatakan terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Dengan surat putusan tersebut, kita dapat melihat bahwa pidana bersyarat atau pidana percobaan bukan disebut sebagai pidana pokok, pidana tambahan, ataupun pidana pengganti, melainkan
| 183
hanya disebut sebagai masa percobaan sebagimana disebutkan dalam KUHP. Dalam kaitannya dengan pelaksana, hambatan muncul dari sisi Hakim maupun Bapas. Dari sisi hakim, pasal 14a ayat (1) syarat 3 dan 4 menyatakan bahwa pidana bersyarat dapat dijatuhkan apabila hakim memiliki keyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum dan terpidana tidak akan melakukan tindak pidana. Selain itu, syarat-syarat tersebut juga harus ditekankan dengan keyakinan hakim bahwa hukuman memang tidak perlu dijalani. Syarat-syarat ini menunjukkan adanya tuntutan kepada hakim untuk memiliki keyakinan yang kuat dalam beberapa hal, yakni terpenuhinya syarat umum, pengawasan, dan keyakinan terhadap terpidana itu sendiri. Oleh karena pemberian keputusan sepenuhnya dibebankan kepada hakim, hal yang kemudian menjadi masalah adalah profesionalisme hakim sendiri karena dalam kondisi demikian hakim berisiko tinggi untuk menyalahgunakan wewenang. Sedangkan dari sisi Bapas, tidak ada pelibatan Bapas sejak di tingkat penyidikan. Dengan tidak adanya keterlibatan ini, maka tidak ada Litmas juga yang dibuat oleh Bapas sebagai bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan keputusan maupun dalam memutuskan program bimbingan apa yang cocok untuk diberikan kepada terpidana selama menjalani pidana bersyarat. Hal ini berakibat pada tidak adanya keterlibatan Bapas dalam pelaksanaan pidana bersyarat dan tentu saja pada jalannya program bimbingan terpidana. Kemudian, terkait dengan pelaksanaan pidana bersyarat, masalah koordinasi dan komunikasi antara pengadilan dan Bapas menjadi hambatan yang utama. Dalam hal ini, putusan hakim kerap tidak disampaikan kepada Bapas dan karenanya Bapas tidak dapat melakukan bimbingan kepada terpidana. Selain masalah tersebut, masalah lain terkait pelaksanaan pidana bersyarat adalah
184 |
belum adanya mekanisme pengawasan yang jelas terhadap terpidana selama menjalani masa percobaan. Selama ini, pengawasan yang terjadi adalah terpidana hanya diberi kewajiban untuk melaporkan diri pada Jaksa dan Polisi sesuai dengan rumusan yang tertera dalam KUHP. IV. 4. 2. 3 Pidana Pelayanan Masyarakat/Kerja Sosial Pidana kerja sosial sebagai model pemidanaan sekaligus community-based corrections memiliki beberapa kelebihan, seperti: (1) melibatkan pihak ketiga, yakni lembaga pemerintah atau lembaga kesejahteraan sosial; (2) bentuk pidana pelayanan masyarakat mendorong rasa tanggung jawab dan empati terpidana; (3) bentuk pidana pelayanan masyarakat membangkitkan sisi kemanusiaan terpidana serta memunculkan budaya malu dan rasa bersalah; (4) stigma sebagaimana yang dirasakan mantan narapidana tidak melekat pada terpidana kerja sosial; (5) mendorong terpidana untuk lebih mudah kembali ke dalam masyarakat secara wajar. Sementara itu, kelebihankelebihan ini terkait dengan peluang yang dimiliki oleh pidana kerja sosial terkait dengan implementasinya. Adanya keterlibatan pihak ketiga, seperti lembaga pemerintah atau lembaga kesejahteraan sosial, membuat pidana ini sejalan dengan semangat community-based correctionss. Masyarakat yang sifatnya restoratif merupakan unsur penting dalam community-based correctionss, yang berperan secara aktif dalam memperbaiki pelaku. Dengan begitu, keterlibatan pihak ketiga sebagai representasi masyarakat dalam hal ini dilihat sebagai upaya aktif untuk merestorasi pelaku. Melalui pidana ini, rasa tanggung jawab dan empati terpidana juga menjadi aspek yang hendak diperhitngkan. Pasalnya, bentuk-bentuk kerjas sosial yang dimaksud dalam instrumen hukum nasional diantaranya terkait dengan membantu
| 185
lansia, orang cacat, atau Anak yatim piatu di panti, serta membantu administrasi ringan di kantor kelurahan. Adanya tugas yang dibebankan kepada mereka diharapkan mampu mendorong terpidana untuk merasa bertanggung jawab atas tugas tersebut. Selain itu, kelompok-kelompok rentan yang menjadi pihak dimana terpidana menjalankan pelayanannya, juga diharapkan mampu memunculkan rasa empati terpidana. Di sisi lain, pidana kerja sosial yang dilaksanakan oleh terpidana, secara gamblang melibatkan unsur masyarakat sebagai target pelayanan dan pihakpihak lain yang terkait. Dengan adanya unsur masyarakat ini maka budaya malu dan rasa bersalah terpidana juga diharapkan muncul, mengingat secara terbuka pihak lain dapat mengetahui kesalahan dan aktivitas penghukuman yang sedang dijalani oleh terpidana. Pidana kerja sosial ini juga menghindarkan terpidana dari hukuman pemenjaraan atau pembatasan kebebasan, serta dampak-dampak buruk pemenjaraan lain. Dampak buruk tersebut salah satunya adalah stigmatisasi, yang diperoleh narapidana setelah ia bebas. Namun mengingat pidana ini menghindarkan terpidana dari pemenjaraan, maka ia pun terhindar dari stigmatisasi, yang akan memperlakukannya secara diskriminatif. Dengan terhindar dari stigma ini, maka terpidana dapat kembali ke masyarakat secara wajar tanpa perlakuan yang mendeskreditkannya. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Tongat (2002), bahwa hukuman kerja sosial memperlakukan terpidana sebagai manusia utuh, dengan tidak membatasi kemerdekaanya. Hal ini berkaitan dengan upaya reintegrasi dimana terpidana tidak dilihat sebagai objek, melainkan subjek di dalam proses pembinaan, yakni melalui bentuk hukumannya yang memungkinkan terpidana untuk tetap bersoisialisasi dengan masyarakat dan terhindar dari dehumanisasi akibat pemenjaraan. Implementasi dari pidana ini sendiri dapat direalisasikan setidaknya karena dua hal. Pertama, pidana pelayanan masyarakat
186 |
atau kerja sosial sudah didefinisikan di dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan Cuti bersyarat serta UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sitem Peradilan Pidana Anak. Permenkumham No. 21 Tahun 2013 mendefinisikan pidana kerja sosial sebagai kegiatan yang dilakukan oleh narapidana untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa mendapatkan imbalan jasa atau upah. Sementara UU No. 11 Tahun 2012 memberikan definisi tambahan yakni mengenai bentuk pelayanannya seperti membantu lansia, orang cacat, atau Anak yatim piatu di panti dan membantu administrasi ringan di kantor kelurahan. Terdapat penekanan pada jenis pelayanan yang dilakukan, yakni membantu kelompok-kelompok rentan yang membutuhkan perhatian khusus. Hal ini sejalan dengan bagian kelebihan pada poin mendorong empati terpidana, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Kedua, RUU KUHP sendiri juga sudah mengatur pidana kerja sosial sebagai salah satu pidana pokok, yakni sebagai alternatif penjara jangka pendek. Peluang ini tentu menjadi awalan yang baik bagi implementasi pidana kerja sosial. Terpidana yang diputus pidana penjara dengan periode waktu yang relatif pendek memang sebaiknya dihindarkan dari hukuman pemenjaraan. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa penjara adalah sekolah tinggi kejahatan. Mereka yang adalah first offender akan berpeluang “mempelajari” tindak kejahatan yang lebih buruk lagi ketika masuk ke dalam penjara. Oleh sebab itu, sudah diaturnya pidana kerja sosial sebagai pengganti pidana penjara jangka pendek merupakan langkah yang baik. Pidana kerja sosial, sama seperti pidana jenis lain, juga memiliki kekurangan, yakni: (1) kurang memberikan efek penggetarjeraan kepada terpidana; (2) tidak ada upaya pemulihan dari pelaku terhadap korban. Pidana ini kerap dianggap tidak
| 187
sebanding dengan tindak pidana yang telah dilakukan oleh terpidana. Efek penggetarjeraan yang kurang dari pidana kerja sosial muncul karena bobot dari jenis pidana ini kemungkinan tidak sebanding dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana. Pasalnya, berbeda dengan pemenjaraan, kebebasan terpidana tidak dibatasi. Artinya, hak-hak narapidana yang lain pun tidak ikut terbatasi. Sementara itu, terkait dengan poin kedua, yakni tidak ada upaya pemulihan dari pelaku terhadap korban, maka dapat diasumsikan bahwa subjek yang menjadi fokus dari pidana ini hanya lah pelaku pidana. Dengan kata lain, hak-hak korban belum menjadi prioritas dalam pidana ini. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Doak (2008), bahwa apa yang ia sebut sebagai “the risk of injustice” antara korban dan terdakwa adalah berbeda, dan dengan demikian pemutusan bersalah terhadap terdakwa harus selalu menjadi pusat dari proses sistem peradilan pidana. Hal ini lah yang kemungkinan berimplikasi pada kurang diperhatikannya kepentingan korban, karena subjek sentral dari sistem peradilan pidana adalah terdakwa atau pelaku. Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa korban sebagai pihak yang justru dirugikan tidak memperoleh penggantian dan pemulihan atas hal-hal yang hilang dari dirinya. Sementara itu, pidana kerja sosial juga tidak terlepas dari ancaman-ancaman yang menyertai implementasinya. Ancamanancaman ini diantaranya adalah: (1) belum ada aturan mengenai mekanisme pelibatan pihak ketiga, yakni lembaga pemerintahan atau lembaga kesejahteraan sosial; (2) belum ada aturan mengenai mekanisme pengajuan, pemberian, maupun pelaksanaan pidana pelayanan masyarakat; (3) masyarakat cenderung menganggap pidana pelayanan masyarakat kurang memberikan efek jera terhadap terpidana; (4) membutuhkan kepercayaan penuh dari masyarakat, khususnya pihak-pihak pada lembaga kesejahteraan
188 |
sosial, kepada terpidana dalam melakukan pelayanan; (5) RKHUP baru hanya mengatur mengenai syarat-syarat dan hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan pidana pelayanan masyarakat. Poin kesatu, kedua, dan kelima dalam penjabaran di atas terkait dengan regulasi atau peraturan-peraturan mengenai pidana kerja sosial. Regulasi yang belum detail dan jelas tentu akan berimplikasi pada terhambatnya praktik, mengingat regulasi merupakan landasaran dari praktik yang akan dijalankan. Terkhusus pada poin kelima, maka aturan-aturan yang jelas bertujuan untuk menghindarkan pengadilan dalam memberlakukan apa yang oleh The Tokyo Rules disebut sebagai “bespoke sentence”, yakni hukuman non-kustodial yang tidak berdasarkan pada kerangka hukum pidana (UNODC, 2007). Maka dari itu, pengaturan yang jelas dan detail menjadi dasar implementasi yang sangat penting. Sementara itu, poin ketiga dan keempat terkait dengan masyarakat. Pada poin ketiga, masyarakat cenderung beranggapan bahwa pidana kerja sosial kurang memberikan efek jera terhadap terpidana. Hal ini berkaitan erat dengan perspektif yang masih mengacu pada prinsip penghukuman yang retributif. Dengan kata lain, perspektif atau pola pikir masyarakat masih beranggapan bahwa mereka yang mengalami kejahatan harus dibalas sesuai dengan tindak kejahatan yang dilakukannya. “Peran masyarakat tidak secara maksimal dilibatkan. Bahkan sosialisasi yang dahulu sempat digalakkan oleh Bapas guna “mencerdasakan” masyarakat, kini tidak lagi dilakukan, sehingga pemahaman masyarakat mengenai pentingnya peran mereka dalam proses reintegrasi pun sangat minim. Sebagai dampaknya, masyarakat kembali
| 189
menganut prinsip pembalasan dalam penghukuman.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Padahal, prinsip penghukuman jenis ini sudah lama ditinggalkan oleh Sistem Peradilan Pidana Indonesia, dan tentu saja sudah tidak lagi sesuai. Maka dari itu, perspektif yang tidak sejalan antara para pemangku kebijakan serta sebagian aparatur penegak hukum dengan masyarakat terkait hal ini harus menjadi catatan tersendiri. Salah satu dampak dari poin ketiga ini adalah poin keempat, yakni masyarakat membutuhkan kepercayaan penuh terhadap terpidana yang menjalankan pidana kerja sosial di lembaga atau instansinya. Aspek kepercayaan ini berkaitan erat dengan prasangka-prasangka yang dibuat oleh masyarakat terhadap seorang terpidana, misalnya kecurigaan bahwa mereka rentan menjadi korban selanjutnya dan sebagainya. IV. 4. 2. 4 Pidana Pengawasan Inti dari pidana pengawasan adalah terpidana menjalani hukuman dengan melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu sesuai dengan putusan hakim yang dijatuhkan kepadanya dan terpidana diawasi selama menjalani masa hukumannya tersebut. Pidana pengawasan ini didalamnya melibatkan peran Penuntut Umum dan Pembimbing Kemasyarakatan (PK Bapas). Penuntut Umum bertugas melakukan pengawasan, sedangkan PK Bapas bertugas melakukan pembimbingan kepada terpidana. Keduanya saling bersinergi dalam melaksanakan tugasnya masingmasing dan bertanggung jawab untuk melakukan pelaporan kepada hakim. Pengimplementasian pidana pengawasan di Indonesia tidak terlepas dari kekuatan dan kelemahan dari pidana pengawasan itu sendiri, serta peluang dan hambatan yang menyertainya. Pengimplementasian pidana pengawasan memiliki
190 |
tiga poin positif yan dapat diperhitungkan sebagai kekuatan. Pertama, pidana pengawasan mendorong terpidana untuk taat pada hukum. Sebagaimana telah disebutkan dalam Bab III, RKUHP menyebutkan jaminan terpidana untuk tidak mengulangi tindak pidana menjadi salah satu syarat dijatuhkannya pidana ini. Adanya aturan tersebut dapat dilihat sebagai bentuk pembinaan terhadap terpidana karena dari sini terpidana didorong untuk paham dan mau mengikuti aturan yang berlaku. Dengan adanya pemahaman tersebut, terpidana dapat secara sadar untuk tidak melakukan halhal yang melanggar hukum sehingga mengakibatkan hukuman pengawasan yang lebih ketat atau hukuman pemenjaraan kepadanya. Kedua, pidana ini juga menghindarkan terpidana dari dampak buruk pemenjaraan. Hukuman pidana pengawasan dilaksanakan di tengah masyarakat. Dalam hal ini, walaupun berada dalam pengawasan, terpidana tetap terhindar dari bentukbentuk pembatasan kebebasan sebagaimana pada pidana penjara. Lebih jauh lagi, terpidana juga terhindar dari dampak-dampak buruk pemenjaraan. Ketiga, keberadaan terpidana selama menjalankan hukumannya di dalam masyarakat membuka peluang bagi terpidana untuk dapat memperbaiki hubungannya dengan masyarakat sekitar dimana ia berada. Dalam situasi ini, terpidana didorong untuk belajar bersosialisasi kembali dengan masyarakat dan memperbaiki kesalahannya. Hal ini membuka peluang lebih besar bagi terpidana untuk dapat kembali hidup normal di dalam masyarakat. Tiga poin kekuatan tersebut juga didukung dengan peluang yang datang dari sisi regulasi dan aparat penegak hukum. Dari sisi regulasi, pidana pengawasan telah disebutkan sebagai salah satu pidana pokok dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
| 191
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Di tahun-tahun mendatang, keberadaan aturan ini juga diperkuat dengan RKUHP yang saat ini masih dalam pembahasan untuk dilegalisasi. Dalam RKUHP, pidana pengawasan tidak hanya diberlakukan untuk anak sebagaimana yang saat ini berlaku, melainkan juga diberlakukan untuk orang dewasa. Terlebih, pidana pengawasan disebutkan sebagai pidana pokok ketiga. Keberadaan aturan-aturan ini membangun pemahaman pada sisi aparat penegak hukum (terutama hakim) bahwa penjatuhan hukuman pidana dapat dilakukan dengan pidana pengawasan, bukan hanya pidana penjara. Pada akhirnya, kekuatan dan peluang-peluang tersebut diharapkan dapat mendukung keberhasilan pengimplementasian model pidana pengawasan di dalam masyarakat. Upaya pengimplementasian pidana pengawasan sebagai community-based corrections juga tidak terlepas dari kelemahan dan hambatan yang harus diperhatikan. Kelemahan pidana ini muncul dari pandangan masyarakat yang melihat bahwa pidana pengawasan kurang memberikan efek penggentarjeraan terhadap terpidana. Selain itu, dari sisi korban, terpidana juga tidak dituntut untuk secara langsung bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami korbannya. Dengan demikian, rasa tanggung jawab dalam diri terpidana kurang tertanam di dalam diri terpidana. Selain kelemahan, terdapat pula hambatan yang harus dihadapi dalam pengimplementasian pidana pengawasan. Hambatan pertama datang dari sisi regulasi. Meskipun keberadaan pidana pengawasan ini telah didukung dalam UU SPPA dan RKUHP, namun aturan yang sah hingga saat ini baru UU SPPA saja. Dalam UU SPPA tersebut, pidana pengawasan baru diprioritaskan untuk anak saja. Lebih lanjut, UU SPPA juga belum mengatur mekanisme lebih lanjut mengenai pelaksanaan pidana pengawasan untuk anak. Sejauh ini, UU SPPA baru hanya mengatur
192 |
peran utama Penuntut Umum dan PK Bapas dalam pelaksanaan pidana pengawasan. Di sisi lain, hambatan juga muncul dalam kaitannya dengan keterlibatan Penuntut Umum dan PK Bapas. Pelibatan keduanya dalam melaksanakan tugas pengawasan dan pembimbingan menuntut adanya koordinasi yang baik. Hal ini penting guna mendukung kinerja keduanya. Koordinasi menjadi poin yang perlu mendapat perhatian penuh karena selama ini koordinasi yang minim kerap menjadi hambatan dalam pelaksanaan pidana, sebagaimana halnya yang terjadi pada pidana percobaan. Selain itu, dalam kaitannya dengan peran pengawasan dan pembimbingan, sejauh ini belum ada regulasi yang mengatur mengenai mekanisme pelaksanaannya. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maupun RKUHP sejauh ini belum mengatur bagaimana mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh Penuntut Umum dan mekanisme pembimbingan yang dilakukan oleh PK Bapas. Kemudian, hambatan juga muncul dari sisi SDM PK Bapas. Meskipun peran PK Bapas cukup krusial dalam pelaksanaan pidana pengawasan, jumlah SDM PK Bapas masih cukup terbatas. Hal ini tidak saja dikhawatirkan berdampak negatif pada kualitas kerja PK Bapas, namun juga berdampak pada keberhasilan pembimbingan pada terpidana. Pembimbingan yang tidak dilakukan dengan maksimal dikhawatirkan dapat berpengaruh buruk pada Klien Bapas. Klien dapat gagal dalam menjalani bimbingan dan tidak menerima manfaat yang signifikan dari program bimbingan tersebut. Kondisi demikian akan pada memberikan dampak negatif lebih besar pada klien itu sendiri maupun kepada masyarakat luas. Hambatan pelaksanaan pidana pengawasan juga perlu dilihat dari sisi korban dan masyarakat. Dalam kaitannya dengan
| 193
korban, UU SPPA maupun RKUHP tidak memuat mekanisme yang jelas terkait penggantian kerugian terhadap korban. Tidak adanya aturan mengenai hal ini dan tidak adanya kewajiban pertanggung jawaban secara langsung dari terpidana kepada korban mengakibatkan korban tetap mengalami kerugian. Pada kondisi demikian, korban tentu menjadi pihak yang paling dirugikan. Kemudian, dalam kaitannya dengan masyarakat, pelaksanaan pidana pengawasan juga tidak didukung dengan keterlibatan masyarakat. Meskipun pidana ini dilaksanakan di tengah masyarakat, masyarakat tidak diberikan kesempatan untuk ikut serta berkontribusi dalam melakukan pidana pengawasan kepada terpidana. Hal ini dibuktikan dalam UU SPPA yang hanya menyebutkan bahwa pengawasan dilaksanakan oleh Penuntut Umum. Kondisi demikian pada akhirnya tidak memberikan manfaat bagi masyarakat itu sendiri. Selain masyarakat tetap menganggap bahwa pidana ini tidak memberikan efek penggentarjeraan, rasa tanggung jawab masyarakat untuk ikut berperan dalam pelaksanaan pidana ini juga tidak terbentuk. Pada akhirnya, hal ini akan melemahkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam model pidana ini sendiri. IV. 4. 2. 5 Diversi Sebagai model penghukuman alternatif non institusional yang berfokus pada pemidanaan Anak, maka penjelasan mengenai kelebihan, kesempatan, kekurangan, dan ancaman dalam pelaksanaan diversi yang akan dijabarkan sebagai berikut akan berfokus pula soal Anak. Diversi memiliki beberapa kelebihan, diantaranya: (1) Anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) terhindar dari proses peradilan; (2) Anak terhindar dari dampak buruk proses peradilan pidana, seperti stigmatisasi; (3) Anak dapat kembali ke lingkungannya secara wajar; (4) mampu menanamkan rasa
194 |
tanggung jawab kepada Anak; (5) mampu mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam mencari solusi perkara Anak; (6) hukuman ini mengutamakan musyawarah yang melibatkan pihakpihak yang berkonflik, termasuk aparat penegak hukum dan tokoh masyarakat; (7) hasil musyawarah meruapakn kesepakatan yang adil dan memulihkan bagi korban; (8) menjadi upaya sekaligus kesempatan untuk menangani ABH dengan mengutamakan kepentingan terbaik Anak. Kondisi psikis Anak berbeda dengan orang dewasa. Sistem peradilan pidana orang dewasa yang diberlakukan kepada Anak akan berpengaruh buruk terhadap kondisi psikisnya. Melalui model penghukuman diversi, maka Anak akan terhindar dari dampak buruk tersebut. Pada jangka panjang, tentu hal ini akan berpengaruh terhadap perkembangan kehidupannya secara menyeluruh. Anak yang terstigmatisasi akan terdiskriminasi pula kehidupannya. Terhindarnya Anak dari sistem peradilan pidana serta kemungkinan akan hukuman perampasan kemerdekaan berarti Anak dapat kembali menjalankan kehidupannya secara wajar di masyarakat. Kembali, hal ini akan memberikan kesempatan kepada Anak untuk memperoleh proses perkembangan dan pertumbuhan yang normal layaknya anak-anak lain. Sementara itu, mekanisme model penghukuman diversi yang melibatkan pihakpihak yang berkonflik, yakni Anak pelaku, korban, dan masyarakat, memberikan sarana bagi Anak pelaku untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab. Anak akan disadarkan mengenai kerugian yang diderita korban yang ia hasilkan karena perilakunya. Anak, secara langsung melalui penuturan korban atau yang mewakili, akan dapat mendengar apa kesalahannya, dan diminta untuk mengganti kerugian tersebut melalui pertanggungjawaban tertentu. Selain itu, mekanisme hukuman diversi ini juga memberikan sekaligus memaksa masyarakat untuk terlibat secara langsung dalam
| 195
menyelesaikan konflik. Hal ini sesuai dengan pemahaman yang melihat bahwa masyarakat juga memiliki andil dalam mendorong seorang pelaku kejahatan melakukan kejahatannya. Dengan begitu, masyakat pun secara aktif diminta untuk mengambil bagian dalam penyelesaian konflik atau perkara Anak. Teknik yang digunakan dalam penyelesaian perkara Anak melalui model hukuman ini adalah musyawarah, dengan melibatkan pihak-pihak yang berkonflik, aparat penegak hukum, dan tokoh masyarakat. “.... penetapan pengadilan dari hasil kesepakatan dari 3 unsur: Penyidik, Pekerja Sosial, dan PK Bapas. Berdasarkan hasil Litmas, tiga unsur tersebut melakukan musyawarah untuk menentukan kesepakatan yang berbentuk kembali ke orang tua, atau pembinaan kepada lembaga maksimal 6 bulan kemudian diperpanjang 6 bulan. Ini juga dapat dalam bimbingan bapas. Keadaan ini harus diselesaikan pada tahap penyidik (tidak boleh gagal diversi, harus berhasil), kemudian dilakukan penetapan oleh pengadilan. Dalam musyawarah itu yang wajib ada hanya 3 unsur tadi. Dalam mekanismenya dapat melibatkan tokoh masyarakat, korban, sebagai semangat restorative justice, tapi tidak wajib karena bukan upaya diversi.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Musyawarah sendiri berarti bahwa kepentingan dan suara pihakpihak yang berkonflik sama-sama diperhitungkan. Dengan kata lain, teknik ini memberikan kesempatan untuk mencari solusi yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan poin selanjutnya, yakni hasil musyawarah merupakan kesepakatan yang adil dan memulihkan bagi korban.
196 |
Maka, bukan hanya Anak pelaku yang memperoleh keuntungan dari model hukuman ini, tetapi juga kerugian yang dialami korban diharapkan dapat dipulihkan. Artinya, kepentingan terbaik Anak, yakni untuk berkesempatan menjalani proses perkembangan dan pertumbuhannya secara normal, menjadi satu hal yang diprioritaskan oleh model hukuman ini. Adapun dilihat dari aspek peluangnya, maka terdapat beberapa hal yang menjadi sebuah capaian tersendiri sejauh ini, yakni: (1) sudah dijamin dengan instrumen hukum, baik internasional maupun nasional; (2) sudah ada dukungan dari UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang semangat utamanya adalah diversi; (3) diversi sudah menjadi prioritas dalam setiap tingkatan dalam proses peradilan pidana; (4) diversi dapat diupayakan di tiap tingkat peradilan pidana; (5) tingkat kesadaran aparat penegak hukum tinggi; (6) proses diversi dilaksAnakan dalam jangka waktu paling lama 30 hari; (7) aparat penegak hukum, baik dari penyidik, penuntut umum, hakim, hingga petugas pemasyarakatan (Lapas dan Bapas) sudah memiliki pengetahuan dasar mengenai diversi; (8) diversi sudah mulai diimplementasikan pada masing-masing level sistem peradilan pidana. Penyelesaian konflik Anak dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik Anak sudah menjadi perhatian, baik dalam tataran nasional maupun dunia internasional. Diversi, sebagai salah satu upaya tersebut, juga telah dijamin pelaksanaannya oleh beberapa instrumen-instrumen nasional maupun internasional, seperti Convention on the Rights of The Child; The United Nations Standard Minimum Rules for Administration of Juvenile Justice – the Beijing Rules; The United Nations Rules for the Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty; The United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency – the Riyadh Guidelines; UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; UU No. 23 Tahun 2002
| 197
tentang Perlindungan Anak, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polisi Republik Indonesia;Telegram Rahasia (TR) Kabareskrim No. 1124/XI/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Bagi Kepolisian; Kesepakatan Bersama Departemen Sosial RI, Departemen Hukum dan HAM RI, Departemen Pendidikan Nasional RI, Departemen Kesehatan RI, Departemen Agama RI, dan Kepolisian Negara RI, tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum; Keputusan Bersama Ketua MA, Jaksa Agung, Kapolri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Surat Edaran Jaksa Agung RI No. SE-002/j.a/1989 tentang Penuntutan terhadap Anak (Gea, 2011). Selain itu, secara khusus semangat diversi sudah menjadi ruh dari UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Efek dari sudah terjaminnya pelaksanaan diversi ini, yakni diversi dapat diupayakan di tiap tingkat peradilan pidana. Dengan kata lain, apabila di tingkat penyidik diversi belum bisa diupayakan karena alasan-alasan tertentu, maka di tingkat penuntutan maupun pengadilan, diversi dapat tetap diupayakan kembali. Dengan kata lain, upaya diversi sendiri sudah menjadi prioritas di masing-masing tingkat peradilan. Asumsinya, para penegak hukum di masing-masing tingkatan ini sudah memiliki pemahaman dasar mengenai pentingnya mengupayakan diversi. Sementara itu, diversi dilaksAnakan paling lama dalam jangka waktu 30 hari. Jangka waktu yang tergolong cepat ini sejalan dengan kesempatan yang juga lebih cepat bagi Anak untuk kembali ke masyarakat. Kabar baiknya, diversi di Indonesia sudah mulai diimplementasikan, terlepas dari kekurangan-kekurangannya. Sementara itu, kekurangan yang dimiliki oleh model hukuman ini adalah tidak dapat diberlakukan untuk kaksus pidana
198 |
Anak yang ancaman pidananya di atas 7 tahun dan berupa pengulangan tindak pidana. Artinya, tidak semua Anak pelaku memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh hukuman yang sifatnya restoratif ini. Peluang-peluang yang sudah disebutkan di atas, dapat terhambat oleh beberapa ancaman berikut. Berdasakan hasil FGD kajian ini, ditemukan bahwa Litmas yang seharusnya dilakukan dalam setiap tahapan tidak dapat dilakukan. Selain itu, rekomendasi PK Bapas oleh hakim dalam putusan perkara Anak juga kerap tidak dijadikan pertimbangan. Padahal Litmas yang dilakukan oleh PK Bapas ini merupakan hasil penelitian dan peninjauan khusus terkait kasus terkait, mengenai Anak pelaku serta tindak pidananya. “.... tidak semua rekomendasi Bapas disetujui hakim ....” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) “Pengadilan sendiri belum memahami model seperti apa yang harus digunakan dalam pemutusan. Ada hakim yang mengakomodir saran PK, ada yang punya pertimbangan sendiri.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Selain itu, PK Bapas juga kerap tidak dihadirkan dalam pemutusan perkara Anak oleh hakim. Hal ini mengindikasikan bahwa koordinasi dan komunikasi antar pejabat yang diberikan tugas dan wewenang untuk terlibat dalam model hukuman ini belum dilakukan secara optimal. Padahal, hukuman model ini menuntut kerjasama dan koordinasi yang baik antar lembaga pemerintah yang terlibat (penyidik, penuntut umum, hakim, PK Bapas, dan pekerja sosial profesional). Namun bila di lapangan tidak demikian maka akan menjadi sebuah ancaman yang menghambat pelaksanaan diversi.
| 199
Terkait dengan regulasi, maka terdapat setidaknya dua bentuk ancaman. Pertama, belum ada regulasi mengenai mekanisme pengawasan, pendampingan, dan pembimbingan dari PK Bapas kepada Anak pelaku dalam pelaksanaan hasil kesepakatan diversi. Hasil kesepakatan yang dilakukan berdasarkan musyawarah akan mengambil setidaknya lima bentuk, yakni pengembalian kerugian dalam hal ada korban, rehabilitasi medis dan psikososial, penyerahan kembali kepada orang tua/ Wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS, atau pelayanan masyarakat (Pasal 10 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). PK Bapas sebagai pejabat yang diberikan tugas dan fungsi dalam mengawasi, mendampingi, dan membimbing Anak pelaku belum dapat melaksanakan tugasnya secara maksimal bila regulasi sebagai dasar pelaksanaan belum ada. Selain itu, terkait dengan UU SPPA yang ruh utamanya adalah diversi, juga belum dapat dijalankan karena masih menunggu peraturan pemerintah untuk dijalankan. “Anak masih mengikuti aturan untuk WBP dewasa, karena SPPA belum berjalan (masih menunggu PP).” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Dengan begitu, pelaksanaan peradilan Anak dengan berbasis pada kepentingan terbaik Anak pun belum sepenuhnya dapat dilakukan. Hal ini selanjutnya berimplikasi pada perspektif perlindungan Anak yang belum secara optimal dipahami dan diimplementasikan di setiap tingkatan peradilan pidana oleh petugas yang berwenang. Tidak jarang aparat penegak hukum di tingkat kepolisian dan kejaksaan masih memegang paradigma legalistik, sehingga banyak kasus ringan yang pada akhirnya diproses berdasarkan hukum formal dengan alasan melaksAnakan tugas sesuai aturan yang berlaku (Gea, 2011).
200 |
Bapas sebagai lembaga yang memiliki andil besar dalam model hukuman diversi juga terancam pelaksanaannya karena dua hal – setidaknya berdasarkan hasil FGD. Pertama, pelatihan PK Bapas terkait dengan UU SPPA berdampak pada kurang maksimalnya PK Bapas dalam melaksanakan perannya dalam diversi. Padahal PK Bapas memiliki peran penting dalam mengawasi, mendampingi, dan membimbing Anak klien. Kedua, luas wilayah kerja BAPAS tidak sebanding dengan jumlah petugasnya, serta tidak sebanding pula dengan biaya penelitian yang dianggarkan. SDM dan anggaran lagi-lagi menjadi permasalahan yang dapat menghambat terlaksananya hukuman alternatif pengganti penjara, tidak terkecuali diversi. Terakhir, bentuk ancaman lain yang dapat menghambat pelaksanaan diversi adalah terkait dengan perspektif dan pandangan masyarakat, baik mengenai konsep penghukuman maupun terhadap aparat penegak hukum. Masyarakat dan kerap keluarga Anak pelaku, seringkali masih melihat bahwa tindak kejahatan harus dihukum dan memenuhi unsur pembalasan. “.... penting untuk diperhatikan bahwa perspektif penghukuman yang dianut masyarakat saat ini adalah prinsip pembalasan ....” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Hal ini tentu tidak lagi sesuai dengan semangat yang diusung oleh model hukuman diversi, yang mengedepankan upaya restorasi. Sebagai implikasinya, masyarakat pun tidak puas dengan upaya diversi yang diberlakukan pada Anak. Selain itu, pandangan negatif masyarakat terhadap aparat penegak hukum juga berimplikasi pada penerapan diversi. Masyarakat cenderung berpendapat bahwa penyidik membela Anak pelaku atau dibayar oleh keluarga pelaku sehingga kasusnya tidak diproses secara hukum formal (Gea, 2011).
| 201
IV. 4. 2. 6 Pelatihan Kerja Pidana pelatihan kerja, sebagaimana telah dijelaskan pada Bab III, hanya dijatuhkan untuk kasus anak dan pelaksanaannya melibatkan pihak ketiga, yakni lembaga tempat pelatihan kerja dilaksanakan. Dalam kaitannya dengan S.W.O.T, terdapat beberapa hal yang harus perlu diperhatikan terkait pengimplementasian model pidana pelatihan kerja. Terkait dengan hambatan, terdapat tiga hambatan dari sisi internal yang perlu diperhatikan, yakni: pertama, pada dasarnya, pidana pelatihan kerja membawa kesan dilematis tersendiri. Hal ini dikarenakan subyek-subyek yang masuk dalam kategori anak8 belum diwajibkan bekerja. Bahkan, dalam undang-undang ketenagakerjaan, disebutkan bahwa batasan usia anak diperbolehkan bekerja adalah 13-15 tahun. Pekerjaan yang dapat diberikan pun merupan pekerjaan ringan yang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial anak (Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Batasan usia ini sejalan dengan batasan usia anak bekerja yang diatur dalam ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 20 tahun 1999. Kedua, pidana pelatihan kerja belum menjadi pidana tunggal untuk anak. Sejauh ini, dalam aturan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, pidana pelatihan kerja baru diatur untuk diterapkan hanya kepada anak-anak yang tidak sanggup membayar denda. Fungsinya adalah sebagai pengganti pidana denda. Permasalahan yang kemudian muncul adalah, sebagaimana Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa batasan usia anak adalah 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan
8
202 |
telah dijelaskan dalam penjelasan tentang pidana denda, nominal denda yang dijatuhkan belum sesuai dengan kondisi perkembangan ekonomi masyarakat dan belum ada aturan yang jelas mengenai mekanisme penggantian pidana denda ke pidana pelatihan kerja. Ketiga, pidana ini lebih fokus pada hukuman terhadap anak pelaku sendiri. Sedangkan, pertanggung jawaban anak terhadap korban tindak pidananya tidak ada. Pertanggung jawaban terhadap anak korban dan anak saksi hanya diberikan oleh instansi-instansi terkait dengan perlindungan, rehabilitasi sosial, maupun rehabilitasi medis yang kejelasannya pun masih belum ada. Hal ini menyebabkan anak kurang memiliki rasa tanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya dan korban tetap harus menderita kerugian akibat tindak pidana yang menimpanya. Hambatan terkait pidana pelatihan kerja juga muncul dari sisi eksternal. Sebagaimana model community-based corrections lainnya yang berkaitan dengan anak, pengimplementasian pidana pelatihan kerja juga mengalami hambatan dari segi regulasi. Sejauh ini, telah ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Namun, aturan tersebut belum dapat dilaksanakan terkait masalah belum adanya Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana yang melegitimasi pelaksanaan undang-undang tersebut. Masalah lain yang juga muncul adalah terkait pihak ketiga dimana pelatihan kerja dilaksanakan. Ketentuan telah menyebutkan bahwa pelatihan kerja dilaksanakan di balai latihan kerja, lembaga pendidikan vokasi yang dilaksanakan, misalnya, oleh kementerian ketenagakerjaan, kementerian pendidikan, atau kementerian sosial (Penjelasan Pasal 78 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Pelibatan pihak ketiga ini menuntut adanya koordinasi yang baik antar lembaga yang bersangkutan dalam pelaksanaannya.
| 203
Walaupun penerapan pidana pelatihan kerja memiliki hambatan-hambatan di atas, pidana pelatihan kerja sebagai community-based corrections dalam peradilan pidana tetap layak dipertimbangkan untuk diterapkan mengingat pidana ini memiliki sisi positif serta peluang yang baik untuk diterapkan. Hal positif yang paling menonjol yang dapat dilihat adalah anak dapat memiliki keterampilan kerja. Meskipun bekerja belum menjadi kewajiban anak, pelatihan kerja setidaknya dapat memberi bekal keterampilan kerja pada anak yang dapat dipergunakan ketika selesai menjalani hukuman pidananya. Sisi positif lainnya adalah tidak ada pembatasan terhadap kebebasan anak. Ketiadaan pembatasan terhadap kebebasan anak ini berdampak positif yang lebih besar terhadap kehidupan anak di masa mendatang. Sebagaimana anak yang tidak dipidana penjara, anak yang dipidana menjalani pelatihan kerja terhindar dari dampak buruk pemenjaraan, termasuk didalamnya stigma masyarakat sebagaimana yang umumnya dirasakan oleh anak-anak yang dipidana penjara. Dengan terhindarnya anak dari pemenjaraan, aspek kemanusiaan anak juga terjamin. Hal ini, selain dapat tetap menjaga anak dari rasa rendah diri, juga dapat mendorong anak untuk dapat dengan lebih mudah kembali ke dalam masyarakat secara wajar dan menjalani kehidupannya kembali secara normal. Dengan demikian, anak terhindar pula dari ancaman lingkaran buruk akibat pemenjaraan. Dari sisi eksternal, pidana pelatihan kerja juga memiliki peluang untuk diterapkan. Peluang-peluang tersebut dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, dari sisi regulasi, model pidana ini telah disebutkan sebagai salah satu model pidana alternatif di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Adanya aturan tersebut setidaknya telah membangun kesadaran awal bagi para aparat penegak hukum terkait keberadaan model pidana pelatihan kerja sebagai pidana alternatif bagi anak. Dengan demikian, peluang hakim
204 |
untuk menjatuhkan pidana pelatihan kerja sebagai pidana alternatif untuk tindak pidana ringan pun semakin besar. Selain itu, terkait dengan kerjasama dengan pihak ketiga, hal tersebut membuka peluang lebih besar kepada anak untuk dapat bekerja ketika telah selesai menjalani masa hukumannya dan telah mencapai usia kerja. Dengan keterampilan kerja dan kemampuan anak untuk bekerja, peluang anak untuk dapat sintas di dalam masyarakat pun lebih besar. Anak setidaknya dapat memiliki kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih baik. IV. 4. 2. 7 Pembinaan di Luar Lembaga Pidana pembinaan di luar lembaga merupakan pidana yang hanya diberlakukan pada Anak. Terkait dengan implementasinya, model pidana ini memiliki kelebihan dalam hal adanya upaya pemulihan terhadap Anak korban dan Anak saksi. Upaya pemulihan yang dimaksud sesuai dengan yang disampaikan dalam pasal 5 (lima), yakni yang menyatakan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif. Secara khusus dalam pasal 1 (satu) nomor 6 (enam), keadilan restoratif didefinisikan sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Artinya, sebagai salah satu jenis pidana yang diatur dalam SPPA, maka pembinaan di luar lembaga juga mengutamakan upaya pemulihan tersebut. Hal ini tentu berbeda dengan pidana pemenjaraan yang tidak memberi perhatian pada upaya pemulihan kepada korban dan saksi. Adapun peluang yang dapat mendukung pelaksanaan pidana pembinaan di luar lembaga, yakni: (1) pidana pembinaan di luar lembaga sudah terdapat dalam UU SPPA; (2) aparat penegak hukum sudah mengetahui adanya bentuk pidana pembinaan di luar lembaga. Terkait dengan peluang pada poin pertama, UU No.
| 205
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pasal 71 ayat (1) menyebutkan bahwa pidana pembinaan di luar lembaga merupakan salah satu bentuk pidana pokok bagi Anak. Hal ini mengindikasikan bahwa peradilan Anak di Indonesia sudah memiliki dasar pelaksanaan pidana ini. Adapun dalam pasal 73 dan 75 disebutkan bentuk-bentuk pembinaan yang dimaksud dalam pidana pembinaan di luar lembaga. Pasal 73 ayat (8) menyebutkan, “Selama Anak menjalani pidana dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Anak harus mengikuti wajib belajar 9 (sembilan) tahun”. Pembinaan di luar lembaga sendiri masuk dalam salah satu bentuk pidana dengan syarat, bersama dua bentuk pidana lainnya, yaitu pelayanan masyarakat dan pengawasaan (Pasal 71 ayat (1)). Sementara pada pasal 75 ayat (1), disebutkan bahwa pidana pembinaan di luar lembaga dapat berupa 3 bentuk pembinaan, yaitu: a. Mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh penjabat pembina; b. Megikuti terapi di rumah sakit jiwa; atau c. Mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Sementara itu, terkait dengan sudah adanya peraturan yang menjadi dasar implementasi pidana pembinaan di luar lembaga, maka dapat diasumsikan bahwa aparat penegak hukum dianggap sudah mengetahui adanya bentuk pidana ini. Pengetahuan awal para penegak hukum ini tentu dapat menjadi awal yang cukup baik bagi penerapan pidana pembinaan di luar lembaga. Pidana ini sendiri memiliki kekurangan dalam hal pembiayaan pendidikan Anak yang dibebankan kepada orang tua atau keluarga Anak. Padahal, belum tentu Anak berasal dari latar belakang keluarga yang mampu membiayai pendidikan yang dimaksud. Sebagai konsekuensinya, bila pun lembaga yang diberikan tugas untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut
206 |
dapat mengakomodir biaya yang dimaksud, pendidikan yang diperoleh Anak cenderung akan berbeda dan menimbulkan gap tersendiri. Dengan kata lain, kesempatan yang dimiliki Anak pelaku akan berbeda satu dengan yang lainnya dalam hal sekolah. “Pembiayaan: kalau keluarga mampu, tidak masalah. Tapi bila anak kurang mampu, maka Bapas sebisa mungkin mencari pihak ke-tiga yang memang gratis.” (catatan hasil FDG, 26 Oktober 2015) Sementara itu, implementasi dari pidana pembinaan di luar lembaga dapat terancam karena beberapa hal. Pertama, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyebutkan pidana pembinaan di luar lembaga di dalam ketentuannya, belum dapat diterapkan karena masih menunggu peraturan pemerintah (PP). Padahal, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan peraturan dasar yang menyebutkan sekaligus mengatur pidana ini. Dengan kata lain, pidana pembinaan di luar lembaga belum dapat diimplementasikan. Kedua, peraturan mengenai syarat, mekanisme pelaksanaan, dan pengawasan atas pelaksanaan putusan juga belum ada. Padahal peraturan merupakan landasan dari implementasi pidana ini. Belum jelasnya ketentuan mengenai hal-hal tersebut, terutama mengenai siapa saja yang dapat memperoleh pidana ini, bagaimana mekanismenya, dan bagaimana putusannya tentu akan menghambat pelaksanaan pidana pembinaan di luar lembaga. Kedua, bentuk pembimbingan yang akan diterapkan pada Anak belum jelas. Pembimbingan sendiri merupakan salah satu bentuk keharusan dari pidana pembinaan di luar lembaga. Namun model atau bentuknya belum secara jelas dan detail diatur dalam peraturan. Kembali, hal ini dapat menghambat implementasi dari pidana pembinaan di luar lembaga. Selain itu, pelaksana pembinaan di masing-masing
| 207
lembaga juga belum jelas diwenangkan kepada siapa. Hal ini selanjutnya akan dapat berimplikasi pada munculnya tumpang tindih tugas dan fungsi antar pejabat, koordinasi antar lembaga dan pejabat yang dilibatkan menjadi buruk, dan lain sebagainya. Terakhir, masih terkait dengan peraturan, asesmen untuk menentukan jenis pembinaan juga belum ada dan belum diatur. Padahal asesmen menjadi aspek penting dalam memberikan pertimbangan kasuistik mengenai pembinaan yang akan diterapkan pada Anak. Selanjutnya, yang dapat menjadi ancaman dalam pelaksanaan pidana pembinaan di luar lembaga adalah persoalan koordinasi dan komunikasi antar pejabat yang terlibat di dalamnya. Jenis pidana ini menuntut adanya koordinasi dan komunikasi yang jelas dan baik antara hakim dan lembagalembaga pembina Anak, serta Bapas. Dalam hal ini, lembaga pelaksanaan pembinaan dipilih oleh hakim secara langsung, dengan berdasarkan pada pertimbangan kebutuhan pembinaan Anak. Yang kemudian harus dikritisi adalah apakah pertimbangan kebutuhan pembinaan tersebut merupakan hasil dari asesmen secara komprehensif terhadap Anak, baik dilihat dari kebutuhan, risiko, dan hal lainnya. Terakhir, hal yang dapat mengancam implementasi pidana pembinaan di luar lembaga adalah tidak adanya pembiayaan sekolah untuk Anak dari Bapas atau lembaga lain yang terkait. Padahal, di dalam pasal 73 ayat (8) disebutkan bahwa Anak yang menjalani pidana dengan syarat harus mengikuti wajib belajar 9 (sembilan) tahun. IV. 4. 2. 8 Pidana Peringatan Terdapat beberapa kelebihan yang ditawarkan oleh pidana peringatan, seperti: (1) tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan Anak; (2) stigma sebagaimana yang dirasakan mantan narapidana tidak melekat pada Anak; (3) mendorong Anak untuk
208 |
lebih mudah kembali ke dalam masyarakat secara wajar; (4) Anak dapat kembali menjalani kehidupannya secara normal. Sama halnya seperti diversi, pidana peringatan tidak membatasi kebebasan Anak. Artinya, Anak dihindarkan dari pidana penjara dan dampak buruk di dalamnya. Dalam jangka waktu yang lebih panjang, Anak pun terhindar dari stigma masyarakat mengenai mantan narapidana atau Anak yang pernah dipenjara. Gea (2011) dalam skripsinya menyebutkan bahwa pemenjaraan terhadap Anak adalah pembunuhan masa depan Anak karena dengan label dan stigma narapidana yang melekat di dirinya, Anak akan terhukum sepanjang hidup dan menjadi catatan pada setiap meja birokrasi (hlm. 48). Stigma, pada konsekuensinya, dapat menyebabkan Anak diperlakukan secara diskriminatif di dalam kehidupannya. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap proses pertumbuhan dan perkembangnya, dan bukan tidak mungkin bila ia kembali terlibat dalam tindak kejahatan. Anak yang terhindar dari pemenjaraan artinya dapat kembali ke masyarakat tanpa perlu hilang kemerdekaan. Ia dapat kembali ke masyarakat, tempat ia menjalani kehidupannya secara wajar dan kembali menjalani kehidupannya secara normal seperti Anak-Anak lainnya. Adapun peluang yang dimiliki oleh pidana peringatan dalam implementasinya, yakni pidana peringatan sudah disebutkan dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam pasal 71 ayat (1) disebutkan bahwa pidana peringatan merupakan salah satu pidana pokok yang diberlakukan kepada Anak, bersama empat pidana lainnya, yaitu pidana dengan syarat, pidana pelatihan kerja, pidana pembinaan dalam lembaga, dan pidana penjara. Sementara pada pasal 72, disebutkan bahwa pidana peringatan merupakan pidana ringan yang tidak
| 209
mengakibatkan pembatasan kebebasan Anak. Selain itu, terkait dengan sudah disebutkannya pidana peringatan di dalam Undangundang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka diasumsikan bahwa aparat penegak hukum sudah mengetahui adanya bentuk pidana peringatan. Pengetahuan dasar para penegak hukum ini menjadi penting dalam mendukung implementasi pidana peringatan. Sementara itu, pidana peringatan juga memiliki beberapa kekurangan, yaitu: (1) pidana peringatan kurang mendorong rasa tanggung jawab terpidana terhadap tindak pidananya; (2) tidak ada upaya pemulihan terhadap korban (bila tindak pidana mengakibatkan adanya korban) (3) pidana peringatan kurang memberikan efek jera; (4) pidana peringatan terlalu ringan sehingga kerap dianggap tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan dari tindak pidananya; (5) masyarakat tidak dilibatkan dalam pelaksanaan pidana. Pidana peringatan tidak mendorong pelaku untuk bertanggung jawab terhadap korban. Atau dengan kata lain, pemulihan terhadap korban tidak menjadi bagian dari pidana ini. Padahal upaya tersebut penting, seperti yang disampaikan Suryono (2000), bahwa masalah kejahatan merupakan masalah kemanusiaan, demikian pula masalah korban (Mansur dan Gultom, 2006, hal.32). Pidana ini hanya berfokus pada bagaimana memberikan respon atas tindak pidana yang dilakukan Anak pelaku. Selain itu, pidana peringatan dianggap kurang memberikan efek penggetarjeraan dikarenakan bentuknya yang hanya dalam bentuk peringatan saja. Sebagai konsekuensinya, pidana ini kerap dianggap tidak sebanding dengan akibat atau dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana yang dilakukan Anak. Pelibatan masyarakat yang menjadi salah satu semangat community-based correctionss pun tidak diusung dalam bentuk
210 |
pidana peringatan ini. Hal ini pada tingkatan tertentu, tidak dapat mengakomodir upaya untuk mendorong rasa tanggung jawab masyarakat terhadap Anak. Padahal, bila dilihat dengan menggunakan pemahaman yang melihat masyarakat memiliki andil dalam melahirkan seorang pelaku pidana, maka Anak sebetulnya bukan lah pelaku, melainkan korban. Hal ini setidaknya tergambarkan melalui penjelasan yang diberikan oleh Gea (2011) mengenai faktor yang mendorong seorang Anak untuk melakukan tindak kenakalan atau kejahatan. Pertama, karena adanya faktor keluarga: ada anggota lain dalam keluarga yang juga menjadi pejahat; ketidakadaan salah satu orang tua karena kematian, perceraian atau pelarian diri; kurangnya pengawasan orag tua karena sikap masa bodoh, cacat inderanya, atau sakit jasmani atau rohaninya; dan ketidak serasian karena adanya penguasaan terhadap anak, iri hati, cemburu, terlalu banyak anggota keluarga dan ada campur tangan pihak lain, akan berpengaruh besar terhadap perkembangan psikologi anak. Kedua, karena adanya faktor ekonomi dan sosial: adanya kesenjangan ekonomi antara anak-anak atau remaja-remaja yang berasal dari kelas menengah ke atas dan kelas bawah. Kesenjangan ini selanjutnya mendorong munculnya kecemburuan sosial dari remaja kelas bawah terhadap remaja kelas atas. Cohen menyatakan bahwa tidak jarang sikap reaktif dari remaja kelas bawah ini muncul dalam wujud perilaku menyimpang dan bahkan meresahkan masyarakat (Gea, 2011, hal. 40). Ketiga, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi: masyarakat modern yang terpapar dengan kemajuan teknologi dan industrial memiliki lebih banyak masalah yang lebih kompleks (hiperkompleks). Adaptasi dan penyesuaian terhadap tuntutantuntutan terhadap perkembangan dan kemajuan tersebut menyebabkan munculnya kondisi kebingungan, kecemasan, ketegangan dan konflik, yang kemudian mendorong banyak orang untuk mengembangkan pola tingkah laku yang menyimpang dari
| 211
norma umum, terutama bila mereka belum siap akan perkembangan global tersebut. Keempat, karena faktor labeling atau stigmatisasi: seseorang, dalam hal ini anak, yang dicap nakal oleh masyarakat akan merasa dirinya tidak diterima oleh lingkungannya, dan mencari komunitas lain yang dapat menerima dirinya dan beranggapan bahwa tindakan yang dilakukannya bukanlah hal yang salah. Faktor-faktor ini “diciptakan” oleh anggota-anggota masyarakat, baik masyarakat dalam konteks keluarga, masyarakat secara umum maupun pemerintah yang tidak berupaya untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan sosial anak, maupun masyarakat secara global yang mendorong munculnya kemajuan-kemajuan dalam kehidupan tanpa diimbangi dengan persiapan diri anak. Selanjutnya, implementasi dari pidana peringatan sendiri juga terancam karena beberapa hal, yaitu: (1) belum ada aturan yang jelas mengenai syarat, mekanisme pelaksanaan, dan pengawasan atas pelaksanaan putusan; (2) pidana peringatan baru diberlakukan untuk Anak; (3) belum ada kejelasan mengenai bentuk peringatan yang dimaksud; (4) belum ada kejelasan mengenai pihak yang bertanggung jawab sebagai pelaksana pidana peringatan. Seperti yang sudah disebutkan dalam salah satu poin peluang implementasi pidana peringatan di atas, Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menjadi aturan dasar atas bentuk pidana peringatan (disebutkan dalam paksal 71 sebagai salah satu pidana pokok), juga sekaligus menjadi sebuah ancaman tersendiri. Pasalnya, hanya terdapat penjelasan sangat singkat di dalamnya, yakni hanya menyebutkan bahwa bentuk pidana ini tidak membatasi kebebasan Anak. Selain itu, teknis pelaksanaan UU tersebut juga masih menunggu peraturan pemerintah. Sebagai konsekuensinya, belum ada aturan yang jelas mengenai syarat, mekanisme pelaksanaan, dan
212 |
pengawasan atas pelaksanaan putusan. Hal ini tentu akan menjadi faktor utama yang menghambat implementasi pidana peringatan. Mengingat masih sedikitnya peraturan yang menjelaskan atau mengatur pidana peringatan ini, maka aspek-aspek lainnya seperti bentuk dari peringatan yang dimaksud serta pihak yang diberikan tanggung jawab dan wewenang sebagai pelaksana pidana peringatan juga belum jelas. Kembali, hal ini dapat menjadi hambatan dari pelaksanaan atau implementasi pidana peringatan. Masih terkait dengan peraturan, maka pidana peringatan sendiri baru diberlakukan untuk Anak pelaku, melalui UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA. Artinya, pelaku pidana yang masuk dalam kategori dewasa tidak memperoleh kesempatan untuk menjalani pidana jenis ini. IV. 4. 2. 9 Pidana Pemenuhan Kewajiban Adat Pidana pemenuhan kewajiban adat memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan pidana-pidana lainnya, yakni: (1) mengembalikan upaya penyelesaian masalah pidana melalui kearifan lokal; (2) melibatkan masyarakat untuk ikut bertanggung jawab menyelesaikan masalah pidana secara adat; (3) kesepakatan yang dicapai adalah hasil musyawarah adat; (4) memberikan keadilan bagi masyarakat, khususnya masyarakat adat; (5) menghormati harkat dan martabat Anak; (6) Anak tidak dibatasi kebebasannya; (6) Anak terhindar dari dampak buruk pemenjaraan; (7) Anak terhindar dari stigma masyarakat; (8) Anak dapat menjalankan kehidupannya secara normal; (9) Anak dapat kembali ke masyarakat secara wajar. Pemenuhan kewajiban adat merupakan jenis pidana yang mekanisme penyelesaian konfliknya diserahkan kepada adat atau perangkat desa setempat. Unsur masyarakat menjadi aspek penting dalam penyelesaian konflik melalui jenis pidana ini.
| 213
Artinya, masyarakat dilibatkan secara aktif dalam mencari solusi atas konflik yang terjadi di masing-masing daerahnya. Pada poin pertama, pengembalian penyelesaian konflik pada ranah daerah atau adat setempat dapat menjadi kelebihan tersendiri karena masyarakat cenderung lebih terikat dengan hukum di daerahnya masing-masing. Pasalnya, hukum di masing-masing daerah merupakan hasil kebudayaan lokal yang berasal dari nilai dan norma setempat pula, dengan mempertimbangkan pada kondisi dan perkembangan demografis masyarakatnya. Keterlibatan masyarakat seperti yang dimaksud di dalam poin kedua di atas tentu sejalan dengan semangat inti dari community-based correctionss, yakni adanya unsur masyarakat dalam upaya koreksional pelaku kejahatan. Secara khusus, pidana ini juga menuntut adanya upaya pertanggungjawaban masyarakat dalam menyelesaikan masalah pidana. Hal ini kembali sejalan dengan pemahaman yang melihat bahwa masyarakat memiliki andil dalam menyebabkan seorang individu terlibat dalam tindak kejahatan. Dengan begitu, pelibatan secara aktif unsur masyarakat di dalam upaya penyelesaian konflik menjadi poin tambahan bagi jenis pidana ini, sebagai bentuk tanggung jawab masyarakat terhadap penyelesaian konflik. Poin ketiga dan keempat menekankan pada aspek keadilan masyarakat. Metode penyelesaian konflik, yakni musyawarah secara adat, menjadi poin tambahan lainnya karena metode ini memungkinkan semua pihak yang berkonflik dan unsur-unsur masyarakat tertentu untuk dapat menyampaikan suaranya terkait dengan tindak pidana yang diperkarakan. Suara-suara ini merupakan representasi atas kepentingan masing-masing pihak. Selanjutnya, kepentingan masing-masing pihak ini dapat dicarikan jalan tengahnya melalui metode musyawarah tersebut. Sebagai efeknya, maka keadilan masyarakat pun akan dapat terakomodir. Hal ini sejalan dengan poin keempat, yakni memberikan keadilan
214 |
kepada masyarakat khususnya masyarakat adat. Masyarakat, selain memiliki andil dalam menyebabkan seorang individu menjadi pelaku kejahatan, juga di sisi lain menjadi pihak yang dirugikan. Melalui mekanisme penyelesaian konflik secara adat, maka masyarakat yang tercederai pun dapat diupayakan keadilannya. Poin ke lima sampai dengan ke sembilan terkait dengan hal-hal yang diperoleh Anak karena terhindar dari pemenjaraan. Pertama, dengan terhindarnya Anak dari penjara berarti bahwa harkat dan martabat Anak telah dihormati. Artinya, entitas Anak sebagai seorang individu telah dihargai, beserta dengan hak-hak asasinya. Salah satu hak yang dimaksud yakni, hak akan kebebasan. Dengan terhindar dari pemenjaraan, maka Anak juga tidak terbatasi kebebasannya. Demikian pula, Anak terhindar dari dampak buruk pemenjaraan seperti pengaruh buruk dari narapidana lain. Selanjutnya, mereka pun terhindar dari stigma layaknya narapidana lain setelah mereka keluar dari penjara. Sebagai konsekuensinya, Anak dapat kembali menjalani kehidupannya secara normal dan kembali ke masyarakat secara wajar. Sementara itu, masih terkait dengan pelaksanaannya, pemenuhan kewajiban adat juga memiliki beberapa kekurangn, yakni: (1) pertanggungjawaban terhadap korban sangat bergantung terhadap norma adat yang digunakan dalam menyelesaikan masalah; (2) tidak ada jaminan terkait dengan pemulihan bagi korban; (3) nilai-nilai yang dianut dalam setiap masyarakat adat berbeda-beda. Poin pertama dan kedua tersebut mengindikasikan bahwa terlepas dari kelebihan-kelebihan terkait dengan lebih terikatnya masyarakat Indonesia dengan nilai dan norma adat atau daerahnya masing-masing, aspek nilai dan norma yang bersifat lokal ini juga menjadi kekurangan tersendiri terkait dengan upaya pertanggungjawaban serta pemulihan bagi korban.
| 215
Artinya, bila dilihat dari segi pelaku, tentu terdapat perlakuan atau tindakan secara adat yang akan diberikan, namun dari segi korban, adanya treatment sebagai bentuk upaya pertanggungjawaban maupun pemulihan belum tentu ada. Sementara itu, instrumen hak asasi manusia di dunia internasioal menegaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab dalam menyediakan perlindungan terhadap korban, (Gideon & Sung, 2005). Dengan demikian, maka negara pun berwenang dan bertanggung jawab dalam mendorong adanya upaya pemulihan bagi korban, termasuk melalui bentuk hukuman pemenuhan kewajiban adat. Sementara itu, poin ketiga terkait dengan karakterisitik mastyarakat Indonesia yang plural dimana masing-masing norma adat atau daerah berbeda. Akan menjadi permasalahan tersendiri ketika yang berkonflik adalah dua orang atau lebih yang berasal dari adat yang juga berbeda-beda. Perbedaan nilai dan norma adat di masing-masing daerah juga berimplikasi pada bagaimana keadilan untuk masing-masing pihak yang berkonflik dapat diupayakan. Artinya, bisa jadi indikator keadilan di masyarakat satu belum tentu dapat dijadikan indikator keadilan di dalam masyarakat lainnya. Terakhir, implementasi pidana pemenuhan kewajiban adat dapat terancam karena beberapa hal: (1) UU SPPA hanya mengatur pemenuhan kewajiban adat sebagai pidana tambahan, bukan pidana pokok; (2) belum ada aturan yang jelas dan sah mengenai syarat, pelaksanaan putusan pidana pemenuhan kewajiban adat, dan pengawasan pelaksanaan; (3) belum ada kejelasan mengenai pihak yang bertanggung jawab sebagai pelaksana; (4) belum ada mekanisme penyelesaian antar adat yang berbeda; (5) peradilan adat dihapuskan pada tahun 1951. Dalam poin pertama disebutkan bahwa UU Sistem Peradilan Pidana Anak hanya mengatur pemenuhan kewajiban
216 |
adat sebagai pidana tambahan. Padahal, bila mengacu pada kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh pidana ini sendiri, maka seharusnya pidana pemenuhan kewajiban adat dapat menjadi pidana pokok, dimana Anak dikembalikan ke adat untuk dicarikan solusi penyelesaian konfliknya. Pasalnya, adat dan daerah tempat ia tinggal merupakan lingkungan yang paling mengenalnya. Dapat diasumsikan kemudian bahwa terkait dengan kepentingan terbaik Anak maka Anak sebaiknya “diurus” oleh mereka yang paling mengenal seluk beluk kehidupannya, yang memahami latar belakang serta karakterisitk psikologis dan sosialnya. Sementara itu, poin kedua sampai keempat terkait dengan mekanisme atau aturan-aturan teknis maupun substantif pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat. Hal ini tentu menjadi permasalahan serta penghambat dasar karena aturan dibutuhkan sebagai landasan pelaksanaan. Terakhir, pada poin kelima, peradilan adat yang sebelumnya sempat diterapkan di Indonesia sebelum tahun 1951, dihapuskan karena alasan tertentu dan digantikan dengan sistem peradilan pidana yang merupakan warisan dari Belanda. Hal ini mengindikasikan bahwa hukum di Indonesia belum sepenuhnya mengacu pada karakteristik masyarakatnya, yang adalah plural. Dengan kata lain, belum ada prioritas terhadap pertimbanganpertimbangan lokal (nilai dan norma adat atau daerah setempat) yang merupakan warisan asli masyarakat Indonesia. Artinya, kepentingan masing-masing pihak yang berkonflik belum menjadi hal yang diutamakan, mengingat sistem hukum formal yang selama ini berlaku lebih menekankan pada bagaimana memberikan efek penjeraan dan menghukum pelaku, ketimbang bagaimana “mengobati” pelaku dan memberikan treatmenttreatment tertentu untuk mengembalikan dirinya pada perilaku yang taat aturan.
BAB V ANALISIS PELUANG PENERAPAN PROGRAM COMMUNITYBASED CORRECTIONS DALAM PRAKTIK PEMIDANAAN DI INDONESIA
Jika di Bab IV telah dibahas mengenai model-model pembinaan, maka bab ini akan dibahas mengenai programprogram community-based corrections yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan model pemidanaan. Seperti yang telah disinggung dalam bab sebelumnya, model pidana penjara yang dilaksanakan di Indonesia didalamnya juga telah terdapat program community-based corrections, seperti cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan asimilasi. Oleh karena itu, dalam bab ini, pembahasan terkait analisis peluang penerapan program community-based corrections diawali dengan pembahasan mengenai program community-based corrections yang telah dilaksananan di Indonesia. V. 1 Program Community-Based Corrections di Indonesia V. 1. 1 Cuti Bersyarat Dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat, Cuti Bersyarat diidentifikasi sebagai program pembinaan yang dilakukan dengan tujuan untuk mengintegrasikan narapidana maupun anak ke dalam kehidupan masyarakat. Cuti bersyarat diberikan kepada narapidana maupun anak yang masa pidananya maksimal 1,3 tahun atau satu tahun tiga bulan dan diberikan untuk jangka waktu cuti maksimal 4 sebanyak (empat) bulan.
218 |
Untuk mendapatkan cuti bersyarat, narapidana maupun anak harus memenuhi beberapa syarat terlebih dahulu. dalam pasal 68 undang-undang yang sama, syarat-syarat untuk mengajukan cuti bersyarat diantaranya adalah: telah menjalani paling sedikit 2/3 masa pidana dan berkelajuan baik dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir (sebelum pengajuan cuti bersyarat dilakukan). syarat pengajuan cuti bersyarat ini dibuktikan dengan melampirkan kelengkapan dokumen administrasi, termasuk diantaranya adalah: a) fotokopi kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan; b) laporan perkembangan pembinaan yang dibuat oleh wali pemasyarakatan atau hasil assessment risiko dan assesment kebutuhan yang dilakukan oleh asesor; c) surat pemberitahuan ke kejaksaan negeri tentang rencana pemberian cuti bersyarat terhadap narapidana dan anak yang bersangkutan; d) salinan register f dari kepala lapas; e) salinan daftar perubahan dari kepala lapas; f) surat pernyataan dari narapidana atau anak bahwa tidak akan melakukan perbuatan melanggar hukum; dan g) surat jaminan kesanggupan dari pihak keluarga yang diketahui oleh lurah atau kepala desa atau nama lain yang menyatakan bahwa narapidana atau anak tidak akan melarikan diri dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum serta membantu dalam membimbing dan mengawasi narapidana atau anak didik pemasyarakatan selama mengikuti program cuti bersyarat.
| 219
Sebelum Kepala Kantor Wilayah memberikan keputusan cuti bersyarat, pengajuan cuti bersyarat harus melalui proses terlebih dahulu. proses pemberian cuti bersyarat melibatkan koordinasi yang terintegrasi antara Unit Pelaksana Teknis (UPT), Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM dimana UPT yang bersangkutan berada, dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Masing-masingnya memiliki peranan serta tanggung jawab dalam proses pemberian cuti bersyarat. Di lingkup UPT, petugas Pemasyarakatan bertanggung jawab untuk mendata narapidana dan anak yang telah memenuhi syarat pemberian cuti bersyarat. pendataan ini didalamnya termasuk kegiatan memeriksa syarat pemberian cuti bersyarat dan kelengkapan dokumen pengajuan cuti bersyarat dari narapidana dan anak. Setelah pendataan dilakukan, maka selanjutnya Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas membuat rekomendasi usulan pemberian cuti bersyarat kepada Kepala Lapas. Di sini, Kepala Lapas kemudian mempertimbangkan apakah rekomendasiusulan tersebut dapat diterima atau tidak diterima. Apabila usulan diterima, Kepala Lapas kemudian harus menyampaikan usulan pemberian Cuti Bersyarat kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM setempat. Di lingkup Kantor Wilayah, usulan ini kemudian diterima oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan Kantor Wilayah. Tim ini kemudian merekomendasikan kepada Kepala Kantor Wilayah untuk memutuskan apakah memberikan atau tidak memberikan cuti bersyarat yang diajukan. Setelah melalui proses pertimbangan, Kepala Kantor Wilayah kemudian mengeluarkan keputusan cuti bersyarat. Keputusan Kepala Kantor Wilayah ini kemudian ditembuskan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
220 |
Alur pengusulan cuti bersyarat dapat dilihat dalam gambar berikut: Gambar Alur Prosedur Pengusulan Cuti Bersyarat
Sumber: Dokumentasi Kementerian Hukum dan HAM Wilayah DKI Jakarta
Dalam proses pengajuan cuti bersyarat, perilaku narapidana maupun anak sangat berpengaruh terhadap pemberian keputusan cuti bersyarat. Dalam pasal 80 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013, disebutkan bahwa narapidana dan anak yang melakukan tindak pidana, pelanggaran tata tertib di dalam Lapas, dan/atau memiliki perkara pidana lain yang sedang dalam proses peradilan selama proses pengajuan cuti bersyarat berlangsung dapat dibatalkan usulan pemberian cuti bersyaratnya oleh Kepala Lapas dengan berdasarkan rekomendasi Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas. Apabila hal ini terjadi, maka Kepala Lapas harus segera melaporkan kepada Kepala Kantor Wilayah dan menyampaikan
| 221
tembusannya kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Narapidana dan anak yang usulan pemberian cuti bersyaratnya dicabut sudah tentu tidak akan mendapatkan cuti bersyarat. Sebagaimana yang telah disebutkan di awal, cuti bersyarat dilaksanakan maksimal selama 4 (empat) bulan. Selama masamasa ini, narapidana dan anak tidak lagi menjalankan masa hukumannya di dalam Lapas/Rutan, namun mereka kembali ke tengah masyarakat dimana mereka berasal. Meskipun demikian, pada masa-masa tersebut, narapidana tetap menjalankan sisa masa hukumannya dengan menjadi klien dibawah pengawasan Balai Pemasyarakatan (Bapas). Selama menjalani sisa masa hukumannya dibawah bimbingan Bapas, narapidana dan anak tidak terlepas dari ancaman pencabutan keputusan cuti bersyarat yang dimilikinya. Pasal 85 ayat (3) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 menyebutkan bahwa terdapat 6 (enam) hal yang dapat menggugurkan keputusan Cuti Bersama, yakni: 1) narapidana dan anak melakukan pelanggaran hukum; 2) narapidana dan anak terindikasi melakukan pengulangan tindak pidana; 3) narapidana dan anak menimbulkan keresahan dalam masyarakat; 4) narapidana dan anak tidak melaksanakan kewajiban melapor kepada Bapas yang membimbing paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut; 5) narapidana dan anak tidak melaporkan perubahan alamat atau tempat tinggal kepada Bapas yang membimbing; dan/atau 6) tidak mengikuti atau mematuhi program pembimbingan yang ditetapkan oleh Bapas. Jika narapidana dan anak melakukan pelanggaran-pelanggaran tersebut, makaKepala Kantor Wilayah dapat mencabut keputusan pemberian cuti bersyarat yang telah diberikannya.Selain itu, khusus klien dewasa yang dicabut cuti bersyaratnya, ia harus menjalani/mengulang kembali sisa masa hukumannyadi dalam Lapas sebanyak masa yang telah ia jalani selama cuti bersyarat
222 |
atau dengan kata lain masa hukuman yang dijalankan di luar Lapas tidak dihitung sebagai menjalani masa pidana. Jika melihat penjelasan di atas, maka dapat dilihat bahwa cuti bersyarat sebagai salah satu model Community-Based Corrections memiliki beberapa kelebihan, yakni: (1) mampu mengakomodasi fungsi reintegrasi narapidana ke dalam masyarakat; (2) narapidana berkesempatan untuk menjalani proses reintegrasi lebih lama, sehingga narapidana dapat mempersiapkan diri lebih matang untuk kembali ke masyarakat; (3) memberikan kesempatan kepada narapidana dan Anak untuk menjalani proses pembinaan di luar Lapas; (4) masa pidana penjara yang tidak terlalu lama, mendorong narapidana untuk lebih mudah kembali ke masyarakat. Poin pertama sampai ketiga terkait dengan terakomodirnya fungsi reintegrasi terpidana melalui pemberian cuti bersyarat ini, serta keuntungan-keuntungan lain yang diperoleh. Cuti bersyarat memungkinkan terpidana untuk kembali membangun relasi dan komunikasi dengan keluarga dan masyarakat dalam jangka waktu maksimal 4 bulan selama ia menjalani masa pidana penjaranya. Adanya komunikasi dan interaksi secara langsung yang diberikan kepada terpidana ini memungkinkan ia untuk membangun kembali relasi-relasi yang sempat terhenti selama ia dipenjara. Proses membangun kembali relasi ini tentu menjadi hal yang penting karena terpidana akan kembali menjalani kehidupannya di lingkungan masyarakat. Selain itu, pemberian cuti bersyarat kepada terpidana juga memungkinkan dirinya untuk memperoleh kesempatan yang lebih lama untuk mempersiapkan diri lebih matang sebelum kembali ke masyarakat. Persiapan ini diantaranya dapat berupa mencari lowongan pekerjaan, atau bahkan mulai bekerja sedikit-sedikit. Di samping itu, pemberian cuti bersyarat memungkinkan terpidana untuk menjalani proses pembinaan di luar Lapas. Lapas dengan
| 223
karakteristik bangunan yang identik dengan tembok-tembok tinggi, rutinitas yang berulang, serta lingkungan dan fasilitas yang serba terbatasi, tentu memberikan dampak psikologis dan sosial tersendiri bagi terpidana. Ketika ia memperoleh kesempatan untuk menjalai proses pembinaan di luar Lapas, tentu hal ini dapat menjadi “hiburan” dan penyegaran tersendiri karena setidaknya tidak ada lagi tembok-tembok tinggi yang mengelilinginya – meskipun dari segi aktivitas dan rutinitas masih dibatasi. Sementara itu, pada poin keempat disebutkan bahwa masa pidana penjara yang tidak terlalu lama memudahkan terpidana untuk kembali ke masyarakat. Hal ini terkait dengan kategori terpidana yang dapat memperoleh cuti bersyarat, yakni narapidana maupun Anak yang masa pidananya maksimal 1,3 tahun atau satu tahun tiga bulan dan diberikan untuk jangka waktu cuti maksimal sebanyak 4 (empat) bulan – berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat, Cuti Bersyarat. Masa pemenjaraan yang tidak lama ini berarti penetrasi budaya-budaya penjara kepada terpidana pun semakin sebentar. Tentu ini menjadi hal yang baik, mengingat ada lebih banyak dampak buruk pemenjaraan dan budaya di dalamnya, dibandingkan dampak positifnya. Sementara itu, pelaksanaan cuti bersyarat sendiri didukung dengan setidaknya dua peluang, yakni: (1) wewenang pemberian cuti bersyarat ada pada Kepala Kantor Wilayah Hukum dan HAM, dan Direktur Jenderal Pemasyarakatan hanya diberikan tembusan; dan (2) proses pengajuan cuti bersyarat lebih mudah dan hanya memakan waktu yang singkat. Dua poin ini terkait dengan proses pengajuan dan pemberian cuti bersyarat yang relatif lebih mudah dan lebih singkat. Pada poin pertama, berbeda dengan pembebasan bersyarat yang alur pemberiannya relatif
224 |
panjang karena melibatkan keputusan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan, pemberian cuti bersyarat hanya diwenangkan pada tingkat Kepala Kantor Wilayah Hukum dan HAM. Lebih singkatnya birokrasi ini tentu berimplikasi pada semakin mudah dan semakin singkatnya waktu yang dibutuhkan untuk mengajukan cuti bersyarat. Terkait dengan kekurangan yang dimiliki oleh model cuti bersyarat (CB), sebetulnya tidak berbeda dengan kekurangan pada model pembebasan bersyarat (PB), yakni: (1) narapidana harus memenuhi syarat menjalani 2/3 masa pidana; (2) selama menjalani 2/3 masa pidananya, kebebasan narapidana dibatasi; (3) tidak ada jaminan pemenuhan hak-hak narapidana; (4) narapidana mengalami dampak buruk pemenjaraan; (5) narapidana memperoleh stigma dari masyarakat; (6) narapidana cenderung mengalami keterbatasan dalam proses reintegrasi; (7) bentuk bimbingan yang diberikan terhadap klien yang sedang menjalani pembebasan bersyarat cenderung tidak dibedakan berdasarkan jenis kasus narapidana yang terlibat. Sama dengan PB, CB juga mengharuskan narapidana dan Anak untuk menjalani paling sedikit 2/3 masa pemenjaraannya sebelum dapat mengajukan pembebasan bersyarat. Pemenjaraan ini merupakan bentuk pidana yang diberikan kepada narapidana dan Anak sebagai hukuman atas tindak pidananya. Seperti yang sudah dipaparkan pula sebelumnya dalam model PB, pemenjaraan memberikan dampak negatif terhadap narapidana dan Anak. Kondisi penjara yang sebagian besar overcrowded, memaksa kondisi dimana hak-hak narapidana dan Anak kurang terpenuhi. Hal ini sejalan dengan poin ketiga, yakni tidak ada jaminan bahwa hak-hak narapidana dan Anak akan dapat terpenuhi. Sementara itu, pada poin keempat, pemenjaraan lebih banyak memberikan dampak negatif atau kerugian dibandingkan manfaatnya. UNODC (2007) menyebutkan beberapa kondisi negatif yang menyertai
| 225
para penghuni penjara, diantaranya adalah overcrowded dan lingkungan yang kotor, pakaian yang tidak layak, dan penyediaan makanan yang juga tidak layak. Selain itu, mereka juga rentan terhadap berbagai penyakit dan pengobatan yang diberikan juga kurang layak. Komunikasi dengan anak dan anggota keluarga lainnya juga cenderung sulit. Kondisi-kondisi ini selanjutnya akan menempatkan para narapidana dan tahanan dalam kehidupan yang berisiko. Bahkan setelah narapidana dan Anak bebas, dampak buruk pemenjaraan masih menyertai mereka, yakni adanya stigmatisasi dari masyarakat. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, stigma dari masyarakat terhadap mantan narapidana dan Anak akan mengawali perlakuan-perlakuan diskriminatif yang selanjutnya berdampak besar pada kehidupan mereka. Perlakuan yang diskriminatif tersebut berkaitan dengan poin keenam, dimana proses reintegrasi narapidana dan Anak ke dalam masyarakat akan terhambat karena masyarakat cenderung kurang menerima. Sementara itu, terkait dengan program pembimbingan yang diberikan Bapas, tidak ada pembedaan program berdasarkan kasus pidana. Hal ini selanjutnya akan berimplikasi pada tidak adanya treatment yang bersifat kausistik atau berbasis pada kebutuhan khusus dan risiko narapidana dan Anak. Terakhir, dilihat dari segi eksternalnya, maka terdapat ancaman-ancaman – tidak jauh berbeda dengan ancamanancaman yang menyertai model pembebasan bersyarat – yang dapat menghambat pelaksanaan model Community-Based Corrections ini, yaitu: (1) laporan perkembangan pembinaan yang dibuat oleh Wali Pemasyarakatan dibuat hanya sebagai laporan formalitas; (2) asesmen yang dibuat oleh wali tidak dibuat dengan sungguh-sungguh, karena perbandingan jumlah wali dan narapidana binaannya tidak imbang (misal, 1 wali menangani 10 narapidana); (3) belum ada assessment risiko dan kebutuhan; (4)
226 |
jabatan assessor belum ada; (5) Litmas tidak dilakukan dalam setiap tahapan; (6) keterbatasan pegawai dan sarpras membuat pelaksanaan Litmas terbatas; (7) keterlibatan perangkat lingkungan masyarakat dalam menjamin keamanan dan keselamatan narapidana selama mengikuti program CB masih minim. Poin satu sampai lima, pada dasarnya terkait dengan keterbatasan sumber daya manusia (pegawai) baik secara kuantitas maupun kualitas. Pegawai yang sedikit menyebabkan fungsi wali pemasyarakatan kurang berjalan. Hal ini selanjutnya berimplikasi pada pembuatan laporan perkembangan maupun asesmen yang terkesan dibuat tidak sungguh-sungguh atau hanya sekedar formalitas. “.... asesmen yang dilakukan oleh wali dibuat secara asal atau tidak sungguh-sungguh, ketika perbandingan jumlah penghuni dan wali jauh berimbang (seperti 1 asesmen untuk 10 WBP).” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) “.... Sekarang diklat cuma 2-3 minggu, jadi pengetahuannya hanya umum (tidak mendalami ilmu pekerja sosial). Padahal kebutuhan PK banyak .... karena permintaan begitu banyak, SDM kurang.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Kualitas dari pegawai menjadi aspek penting yang juga harus menjadi catatan. Laporan dan asesmen yang dibuat asal mengindikasikan bahwa pegawai kurang berdedikasi pada tugas dan tanggung jawabnya. Namun tentu harus diperhatikan bahwa hal ini tidak dapat hanya dilihat dari sisi ini saja. Bahwa kekurangan dari segi kuantitas pegawai juga lah yang pada akhirnya menempatkan mereka untuk memegang tanggung jawab lebih.
| 227
“Ada pelatihan mengenai Litmas, setidaknya selama 6 bulan. Namun (diduga, kata peserta), karena adanya tuntutan kebutuhan akan SDM, maka pelatihan online juga diterapkan, dengan masa pelatihan yang relatif sangat singkat.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) “Pelatihan PK Bapas sebagai pembimbing yang tidak maksimal (bahkan ada yang memperoleh sertifikat secara online dalam waktu 15 menit saja).” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Selain itu, jabatan sebagai asesor juga belum ada sehingga asesmen risiko dan kebutuhan bagi narapidana belum dapat dilakukan. Litmas yang seharusnya dilakukan pada setiap tahapan pun tidak dapat terealisasi. “Data base perkembangan klien tidak ada/minim. Karena apabila penilaian awal terhadap WBP sudah ada, resiko tingkat rendah, sedang, tinggi sudah jelas, maka ini akan memudahkan, ini tidak bisa dadakan, harus berproses ....” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) “.... Idealnya setiap pindah tahapan ada Litmasnya, tapi tidak berjalan karena keterbatasan sarpras dan SDM ....” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Sementara itu, terkait dengan hambatan lainnya, poin enam menyatakan bahwa selain keterbatasan pegawai, keterbatasan sarpras juga menjadi bentuk ancaman lainnya. Sarana dan prasarana yang seharusnya dapat mendukung program-program pembinaan narapidana selama berada di dalam Lapas, yang sekaligus menjadi salah satu syarat pengajuan CB dalam hal keikutsertaan program pembinaan, pun kurang terakomodir. Hal
228 |
ini tentu menjadi bentuk ancaman lain yang menghambat tujuan cuti bersyarat yakni terkait persiapan diri sebelum narapidana dibebaskan. V. 1. 2 Cuti Menjelang Bebas Cuti menjelang bebas merupakan salah satu program yang dijalankan untuk mengintegrasikan narapidana dan anak ke dalam kehidupan masyarakat. Cuti menjelang bebas diberikan kepada narapidana maupun anak yang telah menjalani minimal 2/3 masa pidana yang tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Cuti menjelang bebas ini diberikan untuk masa pidana sebesar remisi terakhir yang didapatkan narapidana maupun anak dan tidak lebih dari 6 (enam) bulan. Untuk mendapatkan cuti menjelang bebas, narapidana maupun anak harus memenuhi persyaratan. Selain telah menjalani 2/3 masa pidana, syarat lain yang harus dipenuhi adalah berkelakuan baik selama menjalani masa pidana minimal 9 (sembilan) bulan terakhir yang dihitung sebelum 2/3 masa pidana. Syarat pengajuan cuti menjelang bebas ini dibuktikan dengan melampirkan kelengkapan dokumen administrasi, termasuk diantaranya adalah: a) fotokopi kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan; b) laporan perkembangan pembinaan yang dibuat oleh Wali Pemasyarakatan atau hasil assessment risiko dan assessment kebutuhan yang dilakukan oleh asesor; c) laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang diketahui oleh Kepala Bapas; d) surat pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri tentang rencana pemberian cuti menjelang bebas terhadap narapidana dan anak yang bersangkutan; e) salinan register F dari kepala Lapas; f) surat Pernyataan dari narapidana atau anak tidak akan melakukan perbuatan melanggar hukum; dan g) surat jaminan kesanggupan dari pihak keluarga yang diketahui oleh
| 229
lurah atau kepala desa atau nama lain yang menyatakan bahwa narapidana atau anak didik Pemasyarakatan tidak akan melarikan diri dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum dan membantu dalam membimbing dan mengawasi narapidana atau anak didik pemasyarakatan selama mengikuti program cuti menjelang bebas. Sebagaimana cuti bersyarat, keputusan cuti menjelang bebas juga diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Hukum dan HAM. Tentunya, keputusan ini harus melalui proses pertimbangan terlebih dahulu yang didalamnya melibatkan koordinasi terintegrasi antara UPT, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM dimana UPT yang bersangkutan berada, dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Di lingkup UPT, petugas Pemasyarakatan bertanggung jawab untuk mendata narapidana dan anak yang telah memenuhi syarat pemberian cuti menjelang bebas dengan memeriksa syarat pemberian cuti menjelang bebas dan kelengkapan dokumen pengajuan Cuti menjelang bebas dari narapidana dan anak. Setelah pendataan dilakukan, Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas merekomendasikan usulan pemberian cuti menjelang bebas kepada Kepala Lapas berdasarkan data yang telah memenuhi syarat. Kepala Lapas kemudian mempertimbangkan apakah rekomendasi tersebut dapat diterima atau tidak. Apabila Kepala Lapas menyetujui rekomendasi yang diberikan oleh Tim Pengamat Pemasyarakatannya, maka Kepala Lapas menyampaikan usulan pemberian cuti menjelang bebas kepada Kepala Kantor Wilayah. Usulan ini kemudian diterima dan dipertimbangkan lebih lanjut oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan di tingkat Kantor Wilayah. Hasil pertimbangan tersebut dituangkan dalam bentuk rekomendasi yang kemudian diberikan kepada Kepala Kantor Wilayah. Berdasarkan rekomendasi ini, kemudian Kepala Kantor
230 |
Wilayah atas nama Menteri menetapkan pemberian cuti menjelang bebas kepada narapidana maupun anak. Alur pengusulan cuti menjelang bebas lebih jelasnya dapat dilihat dalam gambar berikut: Gambar Alur Prosedur Pengusulan Cuti Menjelang Bebas
Sumber: Dokumentasi Kementerian Hukum dan HAM Wilayah DKI Jakarta
Selama proses pengajuan cuti menjelang bebas, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh narapidana maupun anak terkait tindakan-tindakan yang dapat membatalkan usulan cuti menjelang bebas. Tindakan-tindakan tersebut adalah tindak pidana, pelanggaran tata tertin di dalam Lapas, dan/atau, memiliki perkara lain yang sedang dalam proses pengadilan.Pembatalan usulan tersebut dilakukan berdasarkan rekomendasi Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas.Apabila narapidana atau anak
| 231
melanggar aturan ini dan pembatalan dilakukan, maka Kepala Lapas harus segera melaporkan kepada Kepala Kantor Wilayah dengan tembusan kepada Direktur Jenderal. Selama menjalani masa cuti menjelang bebas, narapidana maupun anak diberikan kesempatan untuk menjalani sisa masa hukumannya dengan kembali ke masyarakat. Di sini, narapidana maupun anak didorong untuk berinteraksi di dalam lingkungan masyarakat sebagai bentuk proses reintegrasi. Selain itu, narapidana dan anak juga harus menjaga diri dari tindakantindakan yang dapat membatalkan keputusan pemberian cuti menjelang bebasnya. Tindakan-tindakan tersebut adalah: 1) narapidana dan anak melakukan pelanggaran hukum; 2) narapidana dan anak terindikasi melakukan pengulangan tindak pidana; 3) narapidana dan anak menimbulkan keresahan dalam masyarakat; 4) narapidana dan anak tidak melaksanakan kewajiban melapor kepada Bapas yang membimbing paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut; 5) narapidana dan anak tidak melaporkan perubahan alamat atau tempat tinggal kepada Bapas yang membimbing; dan/atau 6) tidak mengikuti atau mematuhi program pembimbingan yang ditetapkan oleh Bapas. Jika narapidana dan anak melakukan pelanggaranpelanggaran tersebut, maka Kepala Kantor Wilayah dapat mencabut keputusan pemberian cuti menjelang bebas yang telah diberikannya.Lebih jauh lagi, berbeda dengan anak, klien dewasa yang melanggar aturan tersebut dan dicabut cuti menjelang bebasnya, ia diwajibkan menjalani/mengulang kembali sisa masa hukumannya di dalam Lapas karena masa hukuman yang dijalankan di luar Lapas selama cuti menjelang bebas tidak dihitung sebagai menjalani masa pidana. Terkait pelaksanaannya, cuti menjelang bebas (CMB) merupakan model lain dari Community-Based Corrections dimana
232 |
terpidana diharuskan menjalani pidana penjara terlebih dahulu. Terkait dengan aspek internal (kelebihan dan kekurangan) dan eksternal (peluang dan ancaman), maka hal-hal tersebut di dalam model ini serupa dengan model cuti bersyarat, baik dalam aspek kelebihan, kekurangan, peluang, maupun ancaman. Poin yang membedakan hanya satu, yakni dalam aspek ancaman. Ancaman yang dimaksud adalah narapidana yang tidak mendapatkan remisi juga secara otomatis tidak mendapatkan CMB. Artinya, tidak semua narapidana berkesempatan untuk memperoleh cuti menjelang bebas. Hal ini tentu menjadi ancaman tersendiri karena artinya pemberian CMB akan bergantung pada pemberian remisi, tidak secara tunggal dapat diberikan. Selain itu, pada dasarnya reintegrasi merupakan hak setiap narapidana, yang salah satunya dapat diakomodir melalui pemberian CMB. Bila nyatanya tidak semua narapidana dapat memperoleh CMB, berarti tidak semua hak narapidana akan reintegrasi dapat terpenuhi. V. 1. 3 Pembebasan Bersyarat Dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat, Pembebasan Bersyarat disebutkan sebagai salah satu program pembinaan yang dilakukan untuk mengintegrasikan narapidana ke dalam kehidupan masyarakat. Pembebasan bersyarat diberikan kepada narapidana maupun anak yang telah menjalani minimal 2/3 masa pidananya yang tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Berbeda dengan cuti bersyarat yang hanya diberikan untuk jangka waktu maksimal 4 (empat) bulan atau cuti menjelang bebas yang hanya diberikan untuk jangka waktu maksimal 6 (enam) bulan, pembebasan bersyarat tidak memberikan waktu maksimal. Jangka waktu yang diberikan merupakan sisa 1/3 dari 2/3 masa pidana
| 233
yang telah dijalankan oleh narapidana maupun anak di dalam Lapas. Untuk mengajukan pembebasan bersyarat, narapidana maupun anak harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang diajukan. Pasal 49 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 menyebutkan bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh narapidana maupun anak dalam mengajukan pembebasan bersyarat adalah: a) Telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga), dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan; b) Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana; c) Telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat; dan d) Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana. Syarat-syarat tersebut tentunya harus didukung oleh dokumen-dokumen tertentu sebagai bukti resmi yang dapat dipertanggung jawabkan oleh narapidana dan anak maupun pihak Lapas yang bertanggung jawab membina narapidana dan anak yang bersangkutan. Dokumen-dokumen administrasi tersebut adalah: a) Fotokopi kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan; b) Laporan perkembangan pembinaan yang dibuat oleh wali Pemasyarakatan atau hasil assessment risiko dan assessment kebutuhan yang dilakukan oleh asesor; c) Laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang diketahui oleh Kepala Bapas; d) Surat pemberiathuan ke Kejaksaan Negeri tentang rencana pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana dan anak yang bersangkutan; e) Salinan register F dari Kepala Lapas; f) Salinan daftar perubahan dari Kepala Lapas; g) Surat Pernyataan dari narapidana atau anak tidak akan melakukan perbuatan
234 |
melanggar hukum; h) Surat jaminan kesanggupan dari pihak keluarga yang diketahui oleh lurah atau kepala desa atau nama lain yang menyatakan bahwa: 1) Narapidana atau anak didik Pemasyarakatan tidak akan melarikan diri dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum; dan 2) Membantu dalam membimbing dan mengawasi narapidana atau anak didik pemasyarakatan selama mengikuti program pembebasan bersyarat Berbeda dengan cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas yang keputusannya diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah, keputusan pemberian pembebasan bersyarat dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Untuk sampai pada keputusan tersebut, terdapat beberapa tahapan dalam proses pengajuan pembebasan bersyarat. Proses pemberian pembebasan bersyarat melibatkan koordinasi terintegrasi antara Unit Pelaksana Teknis (UPT), Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM dimana UPT yang bersangkutan berada, dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang masing-masingnya menjalankan peran serta tanggung jawab tertentu. Pada lingkup UPT, Petugas Pemasyarakatan mendata narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang telah memenuhi syarat pemberian pembebasan bersyaratdengan memeriksa syarat pemberian pembebasan bersyarat dan kelengkapan dokumen yang diajukan narapidana atau anak. Selanjutnya, Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas merekomendasikan usulan pemberian pembebasan bersyarat kepada Kepala Lapas berdasarkan data narapidana dan anak yang telah memenuhi syarat. Jika rekomendasi ini disetujui oleh Kepala Lapas, maka Kepala Lapas menyampaikan usulan pemberian pembebasan bersyarat kepada Kepala Kantor Wilayah setempat. Di lingkup Kantor Wilayah, usulan pemberian pembebasan bersyarat harus melewati proses pertimbangan terlebih dahulu oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan Kantor
| 235
Wilayah. Apabila Tim Pengamat Pemasyarakatan Kantor Wilayah menyetujui rekomendasi tersebut, Kepala Kantor Wilayah menyampaikan usulan pemberian pembebasan bersyarat kepada Direktur Jenderal Pemasyakatan dengan melampirkan hasil sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan Kantor Wilayah dan dokumen administrasi narapidana dan anak. Di lingkup Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan di tingkat Direktorat Jenderal dilakukan. Rekomendasi yang dihasilkan dari sidang tersebut menjadi bahan pertimbangan bagi Direktur Jenderal Pemasyarakatan untuk memberikan pembebasan bersyarat atau tidak memberikan pembebasan bersyarat narapidana dan anak. Alur lebih jelas mengenai pengusulan Pembebasan Bersyarat dapat dilihat dalam gambar berikut: Gambar Alur Prosedur Pengusulan Pembebasan Bersyarat
Sumber: Dokumentasi Kementerian Hukum dan HAM Wilayah DKI Jakarta
236 |
Dalam rentang waktu proses pengajuan pembebasan bersyarat seperti yang telah dijelaskan di atas, meskipun usulan telah diproses, ancaman pencabutan usulan tetap berlaku. Terkait hal ini, terdapat tiga hal yang dapat menyebabkan pencabutan usulan pembebasan bersyarat, yakni melakukan tindak pidana, melanggar tata tertib di dalam Lapas, dan/atau memiliki perkara pidana lain yang sedang dalam proses peradilan. Apabila narapidana maupun anak melakukan hal-hal tersebut, maka Kepala Lapas harus segera melaporkan kepada Kepala Kantor Wilayah dan menyampaikan tembusannya kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Narapidana dan anak yang usulannya dicabut sudah tentu tidak akan mendapatkan pembebasan bersyarat. Selain pencabutan usulan, juga terdapat ancaman pencabutan pembebasan bersyarat saat narapidana maupun anak sedang menjalankan 1/3 masa pembebasan bersyaratnya di luar Lapas.Berbeda dengan cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas yang pencabutan putusannya dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah, pencabutan putusan pembebasan bersyarat dilakukan oleh Direktur Jenderal. Pencabutan putusan ini dapat dilakukan apabila narapidana dan anak: a. b. c. d.
Melakukan pelanggaran hukum Terindikasi melakukan pengulangan tindak kriminal Menimbulkan keresahan dalam masyarakat Tidak melaksanakan kewajiban melapor kepada Bapas yang membimbing paling banyak 3 (tiga) kali berturutturut e. Tidak melaporkan perubahan alamat atau tempat tinggal kepada Bapas yang membimbing, dan/atau f. Tidak mengikuti atau mematuhi program pembimbingan yang ditetapkan oleh Bapas
| 237
Selain itu, klien dewasa yang dicabut putusan pembebasan bersyaratnya, selama di luar Lapas, tidak dihitung sebagai menjalani masa pidana. Oleh karena itu, ia harus mengulang masa hukuman yang telah ia jalankan selama pembebasan bersyarat di dalam Lapas kembali. Pembebasan bersyarat, terkait dengan semangat yang dipromosikan melalui CBC memiliki beberapa kelebihan tersendiri sebagai model CBC. Kelebihan-kelebihan yang dimaksud di antaranya adalah: (1) mampu mengakomodasi proses reintegrasi narapidana dan Anak ke dalam masyarakat; (2) tidak memberikan batasan maksimal dari 1/3 sisa masa pidana; (3) narapidana dan Anak berkesempatan untuk menjalani proses reintegrasi lebih lama, sehingga narapidana dan Anak dapat mempersiapkan diri lebih matang untuk kembali ke masyarakat; (4) memberikan kesempatan kepada narapidana dan Anak untuk menjalani proses pembinaan di luar Lapas. Pada poin pertama, pembebasan bersyarat erat kaitannya dengan fungsinya sebagai salah satu model CBC yang memberikan kesempatan kepada narapidana dan Anak untuk menjalani proses transisi dari institusi tertutup (Lembaga Pemasyarakatan) ke masyarakat. Proses ini tentu menjadi kesempatan yang sangat baik untuk menjalin kontak dan relasi kembali dengan keluarga dan masyarakat (Barton-Bellesa dan Hanser, 2012). Selain itu, kesempatan ini juga diharapkan mampu dimanfaatkan oleh narapidana untuk mencari pekerjaan yang nantinya dapat dimulai setelah mereka bebas (Henningsen dikutip oleh Larasati, 2009). Proses transisi tersebut menjadi penting pula terkait dengan poin ketiga, yakni mempersiapkan diri lebih matang untuk kembali ke masyarakat. Selama narapidana dan Anak menjalani masa pidananya di dalam Lapas, maka kehidupan normalnya di masyarakat akan secara penuh dibatasi. Dengan kata lain,
238 |
kehidupan normal narapidana dan Anak akan berhenti secara sementara. Oleh karena itu, pembebasan bersyarat menjadi upaya untuk mengakomodir perubahan untuk kembali ke kehidupan yang sempat terhenti tersebut. Adapun upaya yang dimaksud dapat dilakukan dalam bentuk pelatihan pendidikan atau vokasional sebagai bekal untuk menjalani hidup paska pembebasan nantinya. Poin kedua menjadi satu kelebihan pembebasan bersyarat dibandingkan dengan jenis pembebasan lain seperti cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas, yakni dalam hal tidak adanya batasan maksimal dari masa bebas (yang adalah sisa 1/3 dari 2/3 masa pidana yang telah djalankan). Hal ini berbeda dengan cuti bersyarat yang memiliki jangka waktu maksimal, yakni selama 4 bulan atau cuti menjelang bebas yang adalah 6 bulan. Sementara itu, pada poin keempat, pembinaan di luar Lapas juga berkaitan erat dengan upaya reintegrasi. Melalui model pembebasan bersyarat, narapidana dan Anak akan memperoleh kesempatan untuk menjalani sisa masa pidananya di luar lembaga. Hal ini menjadi sebuah mekanisme tersendiri, yang oleh Barton-Bellesa dan Hanser (2012) disebut sebagai mekanisme pembebasan dini, yakni sistem pembebasan dimana para narapidana berada di bawah pengawasan sampai masa berakhirnya penghukuman mereka. Sementara itu, dilihat dari bagian opportunity atau peluangnya, maka pembebasan bersyarat sendiri sudah diatur dalam instrumen nasional, yakni Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Pada pasal 49 diatur mengenai kategori narapidana dan Anak yang dapat memperoleh pembebasan bersyarat, pada pasal 50 diatur mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi narapidana dan Anak dalam mengajukan pembebasan bersyarat, sementara pasal 55-57
| 239
diatur mengenai tata cara pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana dan Anak. Selain itu, Balai Pemasyarakatan (Bapas) juga sudah menjadi lembaga yang diberikan tugas dan fungsi untuk menjalankan fungsi ini sejak lama. Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi, pengajuan pembebasan bersyarat juga sudah mulai diberlakukan secara online. Hal ini tentu menjadi sebuah kemajuan dan kelebihan tersendiri, mengingat mekanisme pengajuan secara online ini juga menjadi upaya untuk mempermudah sekaligus mempersingkat alur pengajuan pembebasan bersyarat yang tergolong panjang, yakni melibatkan Lembaga Pemasyarakatan dan Balai Pemasyarakatan (UPT), Kantor Wilayah setempat, dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Pembebasan bersyarat sebagai model hukuman yang diberikan di akhir masa pidana seorang narapidana atau Anak, terlepas dari sifatnya yang reintegratif ini, juga memiliki beberapa kekurangan, diantaranya: (1) narapidana dan Anak diharuskan untuk memenuhi syarat telah menjalani 2/3 masa pidananya; (2) selama menjalani 2/3 masa pidananya tersebut, narapidana dan Anak terbatasi kebebasannya; (3) tidak ada jaminan bahwa hakhak narapidana dan Anak dapat terpenuhi; (4) narapidana dan Anak juga mengalami dampak buruk dari pemenjaraan; (5) narapidana dan Anak memperoleh stigma dari masyarakat; (6) narapidana dan Anak cenderung mengalami keterbatasan dalam proses reintegrasi; (7) bentuk bimbingan yang diberikan terhadap klien (narapidana dan Anak selama menjalani pembebasan bersyarat) cenderung tidak dibedakan berdasarkan jenis kasus pidananya. Sebelum memperoleh pembebasan bersyarat, narapidana dan Anak diharuskan untuk menjalani masa hukumannya di dalam penjara. Pemenjaraan ini terkait dengan poin pertama dan kedua
240 |
di atas. Salah satu persyaratan yang mengharuskan narapidana dan Anak untuk menjalani 2/3 masa pemenjaraannya sebelum dapat mengajukan pembebasan bersyarat menjadi cara penghukuman melalui perampasan kemerdekaan. Pada konsekuensinya, pemenjaraan ini tentu akan memberikan dampak negatif terhadap narapidana dan Anak. Dampak negatif ini di antaranya muncul dalam bentuk tidak terpenuhinya hak-hak narapidana dan Anak. Penelitian yang dilakukan oleh Center for Detention Studies bekerja sama dengan Direktorat Bina Keamanan dan Ketertiban Direktorat Jenderal Pemasyarakatan di Lapas dan Rutan di 16 wilayah di Indonesia pada tahun 2013-2015 mengenai Survei Kualitas Layanan Pemasyarakatan, menunjukkan bahwa hak-hak narapidana dan Anak serta tahanan akan makanan, air, akomodasi, sanitasi, kebersihan personal, kesehatan, pendidikan, dan pemisahan, tidak terpenuhi dengan baik (Center for Detention Studies, 2013-2015). Temuan ini menegaskan kelemahan pembebasan bersyarat pada poin ketiga, yakni tidak ada jaminan bahwa hak-hak narapidana dan Anak akan dapat terpenuhi. Sementara itu, terkait dengan poin keempat, hukuman pemenjaraan yang diterapkan kepada narapidana dan Anak sebelum memperoleh pembebasan bersyarat, terbukti memiliki lebih banyak kerugian dibandingkan manfaatnya. Hal ini ditegaskan oleh Snarr (2001), yang menyebutkan beberapa dampak negatif atau kerugian tersebut, di antaranya overcrowded (yang berimplikasi pada tidak terpenuhinya hak-hak pelaku pidana), anggaran yang minim, sering terjadi kerusuhan, tidak aman bagi narapidana dan petugas, serta kurangnya programprogram yang bermanfaat. Banyaknya kasus dimana pemisahan tidak dilakukan terhadap narapidana-narapidana maupun tahanan, menyebabkan penjara menjadi “sekolah kejahatan”. Tongat (2002) menegaskan bahwa ide pemasyarakatan menuntut perlakuan yang lebih manusiawai terhadap penghuni penjara,
| 241
salah satunya melalui dilakukannya pemisahan sesuai dengan “beratnya” tindak pidana yang dilakukan. Hal tersebut dilakukan untuk mengindarkan narapidana dari pengaruh dan nilai-nilai negatif yang hidup di dalam penjara atau prisonisasi. Untuk itu, apabila pemisahan tidak dilakukan, maka prisonisasi tidak terhindarkan. Stigmatisasi pada poin kelima, menjadi dampak buruk selanjutnya yang dihasilkan dari hukuman pemenjaraan. Hal ini diperoleh setelah narapidana atau Anak telah diputus bebas dan kembali ke masyarakat. Stigmatisasi ini menjadi awal dari perlakuan masyarakat yang cenderung diskiminatif terhadap mereka yang “berstatus mantan napi”. Sebagai contoh, ada perusahaan atau lembaga-lembaga yang tidak bersedia menerima calon pegawai dari mantan narapidana atau karena atribut-atribut yang identik dengan narapidana (seperti tato). “Terkait dengan program bimbingan yang dilakukan oleh Bapas Jakarta Selatan, yakni pelatihan dan pembuatan SIM A, ada perusahaan Taksi yang hanya mau menerima klien yang tidak pakai tato.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) “.... perusahan-perusahaan atau pihak-pihak tertentu yang membuka rekrutmen kerja tidak mau menerima mantan napi karena statusnya tersebut.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Hal ini selanjutnya, berkaitan dengan poin keenam, dimana proses reintegrasi narapidana dan Anak ke dalam masyarakat akan cenderung mengalami hambatan. Dengan kata lain, bagaimana mungkin proses reintegrasi dapat berjalan lancar apabila masyarakat sebagai pihak yang memegang peran kunci dalam proses ini tidak memiliki perspektif yang sejalan dengan semangat CBC, yakni reintegratif. Sementara itu, masih berkaitan
242 |
dengan pelaksanaan program bimbingan selama narapidana dan Anak menjalani pembebasan bersyarat, program-program yang diberikan cenderung tidak dibedakan berdasarkan kasus pidananya. Hal ini tentu akan berpengaruh pada tidak adanya treatment yang diberlakukan dengan berdasarkan pada risiko dan kebutuhan klien. “Sebenarnya kita sedang membangun asesmen. Kita ke depan ada asesmen. Dan memang baru beberapa teman-teman yang sudah mendapat. Tapi pada saat sosialisasi ke kanwil-kanwil, kami telah selalu menyampaikan kepada teman-teman di Bapas tolong punya data yang kuat, seperti yang bekerja dan tidak bekerja, mana yang butuh bimbingan secara intensif dan mana yang tidak atau hanya butuh pengawasan saja), kalau yang butuh bimbingan, maka apa kebutuhannya dikasifikasikan sesuai kebutuhan. Teman-teman tolong untuk mulai mengkasifikasikan kliennya masing- masing. Maka pada saat memberikan bimbingan sesuai dengan kebutuhannya. Ini assesment sederhana.” (hasil catatan FGD 26 Oktober 2015) Ancaman (threats) menjadi aspek lain yang dilihat dalam analisa ini. Pembebasan bersyarat sendiri “terancam” penerapannya oleh beberapa hal, di antaranya: (1) belum ada indikator yang jelas yang digunakan untuk menilai kelakuan baik narapidana, terkait dengan salah satu persyaratan pengajuan pembebasan bersyarat; (2) belum ada indikator yang jelas terkait salah satu persyaratan “telah mengikuti program dengan baik, tekun, dan bersemangat”; (3) tidak ada batasan yang jelas terkait dengan jumlah minimal kehadiran narapidana dalam program pembinaan; (4) UU No. 16 Tahun 2014 tentang Kejaksaan RI
| 243
belum mengatur secara lebih jelas dan detail mengenai sistem pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa Fungsional terhadap narapidana dan Anak yang mendapatkan PB; (4) terkait dengan mekanisme pengajuan pembebasan bersyarat secara online, SDP (Sistem Database Pemasyarakatan) masih terkendala dalam hal sarana dan prasarana, koneksi dengan server pusat, serta alokasi anggaran yang belum jelas; (5) program pembinaan narapidana dan Anak tidak berjalan secara ideal di setiap Lapas karena keterbatasan sarana dan prasarana, anggaran, dan SDM; (6) pelibatan masyarakat masih minim dalam kegiatan pembinaan narapidana; (7) Fungsi wali tidak dilakukan secara maksimal, terkait dengan kurangnya SDM; (8) penilaian kelakuan baik narapidana dan Anak tidak dilakukan oleh wali, melainkan oleh koordinator program pembinaan; (9) laporan perkembangan pembinaan yang dibuat oleh wali pemasyarakatan dibuat hanya sebagai laporan formalitas; (10) asesmen yang diuat oleh wali tidak dibuat dengan sungguh-sungguh, karena perbandingan jumlah wali dan narapidana binaannya tidak imbang; (11) belum ada asesmen risiko dan asesmen kebutuhan; (12) jabatan sebagai asesor belum ada; (13) Litmas tidak dilakukan dalam setiap tahapan; (14) keterbatasan pegawai dan sarana dan prasarana membuat pelaksanaan Litmas terbatas; (15) keterlibatan perangkat lingkungan masyarakat dalam menjamin keamanan dan keselamatan narapidana selama mengikuti program pembebasan bersyarat masih minim; (16) proses pengajuan usulan pembebasan bersyarat membutuhkan waktu yang lama dan koordinasi yang panjang karena melibatkan Lapas, Bapas, Kanwil, dan Ditjenpas; (17) Bapas kerap tidak dilibatkan dalam sidang TPP di Lapas; (18) pengawasan yang dilakukan Bapas kepada klien belum dapat dilakukan secara maksimal; (19) program pembimbingan di Bapas terbatas dan tidak dapat diimplementasikan kepada semua klien, terkait dengan minimnya
244 |
sarana dan prasarana, anggaran, dan SDM; (20) kegiatan-kegiatan dalam program pembimbingan tidak disesuaikan dengan minat klien Bapas; (21) jarak antara tempat tinggal klien dan Bapas berdampak pada minimnya keikutsertaan klien pada program pembimbingan Bapas; (22) sistem pengawasan pembebasan bersyarat oleh Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri terhadap narapidana dan Anak, hanya dilakukan sebatas wajib lapor sebulan sekali guna memenuhi absen dari buku register PB; (22) Bapas dan Kejaksaan Negeri sebagai pejabat yang memiliki fungsi pengawasan dalam pelaksanaan PB seringkali tidak melakukan koordinasi dengan baik terkait tugas dan wewenangnya masingmasing; (24) penjamin pihak keluarga narapidana dan Anak tidak bersedia menjadi penjamin atau pihak keluarga yang tidak diketahui keberadaannya; (25) pemberitahuan dan permohonan Litmas oleh Lapas tidak terkoordinasi dengan baik sehingga proses pengurusan terlambat; (26) UPT Bapas terbatas. Ancaman paling mendasar berdasarkan penjabaran di atas adalah terkait dengan peraturan-peraturan atau ketentuanketentuan yang belum jelas. Padahal, peraturan atau ketentuan merupakan landasan dasar untuk melaksanakan model Community Based Corrections ini secara maksimal. Belum adanya aturan yang jelas dan detail akan berimplikasi pada penerapan yang juga tidak jelas. Adapun aturan atau ketentuan yang dimaksud di antaranya terkait dengan indikator penilaian kelakuan baik narapidana, indikator persyaratan pada bagian “telah mengikuti program dengan baik, tekun, dan bersemangat”, dan batasan yang jelas mengenai jumlah minimal kehadiran sebagai beberapa persyaratan pengajuan PB. Ketiganya menjadi penting mengingat merupakan syarat yang harus dipenuhi narapidana dan Anak untuk mengajukan PB. Selain itu, peraturan mengenai pelaksanaan sistem pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa Fungsional terhadap
| 245
narapidana dan Anak juga belum ada secara rinci dan jelas, sehingga penerapannya pun cenderung tidak maksimal. Sementara itu, ancaman lainnya adalah terkait dengan keterbatasan sarana dan prasarana, anggaran, dan sumber daya manusia pegawai UPT. “Apa saja kendala yang dihadapi dalam melaksanakan program-program bimbingan kemasyarakatan bagi klien? SDM, anggaran, koordinansi dengan pihak pengadilan maupun kejaksaan, regulasi.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Hal-hal ini menjadi persoalan mendasar lain yang berdampak secara signifikan di beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut di antaranya terkait dengan pelaksanaan program pembinaan di Lapas, program pembimbingan di Bapas, pelaksanaan fungsi wali pemasyarakatan, pelaksanaan Litmas, dan penerapan SDP (Sistem Database Pemasyarakatan) online. Terkait dengan program pembinaan oleh Lapas dan pembimbingan oleh Bapas, penerapannya menjadi tidak maksimal. “UPT-UPT yang overcrowded pasti program pembinaannya tidak berjalan secara ideal. Pun yang tidak overcrowded, sarpras dan SDM masih menjadi masalah tersendiri.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Program-program yang ditawarkan terbatas dan tidak sesuai dengan minat dan kebutuhan narapidana dan Anak. Sebagai konsekuensinya, narapidana dan Anak menjadi enggan untuk mengikuti program. “Malas kalau hanya ceramah-ceramah saja, klien ingin program kegiatan yang benar-benar
246 |
bermanfaat untuk menunjang pekerjaan atau mencari kerja.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) “.... saat klien tahu jenis pelatihannya, klien kurang berminat.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) “.... kegiatan keterampilan Bapas tidak sesuai dengan kebutuhan klien.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Padahal, upaya ini menjadi penting sebagai bekal kehidupan mereka setelah bebas nantinya. Selain itu, tidak semua narapidana dan Anak dapat diakomodir pembinaan dan pembimbingannya. Dengan kata lain, keterbatasan petugas dan sarpras menyebabkan kuota yang dimiliki program tertentu menjadi terbatas. Program yang terbatas akan menyebabkan pembinaan yang dilakukan juga terbatas. Pengawasan oleh Bapas juga cenderung minim seiring dengan SDM pembimbing kemasyarakatan yang juga minim. Selain itu, mekanisme pengawasan pada kondisi-kondisi tertentu juga belum ada. “Data berdasarkan pengalaman PK Bapas: calon klien yang diwawancara sebanyak hampir 50% hanya mengikuti kegiatan kepribadian, seperti pengajian dan olahraga, sementara kegiatan keterampilan jarang diikuti. Hal ini kemungkinan dikarenakan keterbatasan fasilitas dan kesempatan.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) “.... kalo telah bekerja harus bagaimana mekanismenya, apakah Bapas yang datang ke rumah.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Selain dua hal di atas, keterbatasan dalam hal sarpras, anggaran, dan SDM juga berdampak pada fungsi Wali
| 247
Pemasyarakatan. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD), ditemukan bahwa wali di Lembaga Pemasyarakatan tidak berfungsi karena keterbatasan SDM. Dengan begitu, penilaian terhadap perilaku narapidana dan Anak yang seharusnya dilakukan oleh wali, tidak berjalan, melainkan digantikan oleh koordinator program pembinaan. Wali adalah mereka yang juga memiliki jabatan fungsional tertentu, sehingga fungsi wali menjadi tidak maksimal karena yang ditugaskan juga memiliki tugas dan fungsi lainnya. “Jadi mereka yang akan mengajukan PB, CMB, dll, harus mengikuti program terlebih dahulu, dilegitimasi oleh petugas yang berwenang (koordinator program pembinaan).” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Selain itu, perbandingan jumlah SDM petugas dengan narapidana dan Anak yang tidak berimbang, menyebabkan penilaian kelakuan baik mereka tidak dilakukan dengan sunggungsungguh. Kasus yang banyak ditemukan diantaranya, seorang wali melakukan penilaian secara umum, dimana satu penilaian disamakan untuk beberapa narapidana dan Anak yang berada di bawah pembinaannya. Hal ini tentu menjadi masalah yang harus diperhatikan mengingat penilaian kelakuan baik narapidana dan Anak merupakan salah satu syarat pengajuan pembebasan bersyarat. “.... pada asesmen risiko ini, penilaian seringkali digeneralisir (copy-paste), terkait dengan SDM wali yang tidak seimbang dengan WBP yang dibina olehnya.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Sementara itu, masih terkait dengan keterbatasan SDM dan anggaran, penelitian kemasyarakatan (Litmas) – yang seharusnya dilakukan pada setiap tahapan narapidana dan Anak selama
248 |
menjalani masa hukuman – juga terbatas pelaksanaannya. Padahal, Litmas sendiri memiliki fungsi yang cukup signifikan sebagai bahan pertimbangan saat sidang TPP maupun penentuan program pembimbingan oleh Bapas. Fungsi ini dipertegas oleh Center for Detention Studies (2011), yang menyatakan bahwa penting untuk melakukan penelitan kemasyarakataan (Litmas) terhadap tersangka/ terdakwa untuk memahami keadaan tersangka/terdakwa. Ketiadaan Litmas, terutama terkait dengan penyelenggaraan program baik pembinaan maupun pembimbingan narapidana dan Anak, menyebabkan penanganan masalah yang bersifat kasuistik pun tidak dapat diupayakan. Hal ini semakin diperparah dengan tidak adanya asesmen kebutuhan dan risiko. Jabatan sebagai asesor juga belum ada sehingga asesmen tidak jelas akan diwenangkan kepada siapa. Padahal asesmen kebutuhan dan risiko ini merupakan asesmen yang penting dilakukan terkait dengan pendekatan penanganan yang akan dilakukan kepada narapidana dan Anak selama menjalani program baik pembinaan di Lapas maupun pembimbingan di Bapas. Hal ini sesuai dengan pertimbangan pada poin (a) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor 12 Tahun 2013 tentang Assessment Risiko dan Assessment Kebutuhan bagi Narapidana dan Klien Pemasyarakatan, “bahwa pelaksanaan pembinaan narapidana dan pembimbingan klien pemasyarakatan harus didasarkan pada tingkat risiko dan kebutuhan untuk mengetahui tingkat pengulangan tindak pidana yang dilakukan”. Sementara itu, terkait dengan SDP online, keterbatasan sarpras dan alokasi anggaran yang belum jelas juga memengaruhi pelaksanaannya. Selain itu, koneksi dengan server pusat juga menjadi masalah lainnya yang menghambat pelaksanaan. Konsekuensi dari terhambatnya penerapan SDP online ini adalah kemudahan untuk mengajukan pembebasan bersyarat oleh
| 249
narapidana dan Anak, belum dapat dimanfaatkan. Kembali, narapidana dan Anak harus melakukan pengajuan yang cenderung lama dan rumit untuk memperoleh pembebasan bersyarat. “.... sistem SDP terkendala di sarpras, koneksi dengan server pusat, dan anggaran yang belum jelas dialokasikan oleh siapa (UPT atau Ditjenpas).” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Ancaman lain yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pembebasan bersyarat adalah terkait dengan koordinasi dan komunikasi antar lembaga yang bersangkutan. Adapun kasus yang umum ditemui antara lain, Bapas kerap tidak dilibatkan dalam sidang TPP yang dilakukan di Lapas, pemberitahuan dan permohonan Litmas oleh Lapas tidak terkoordinasi dengan baik sehingga proses pengurusan terlambat. Padahal, untuk merealisasikan restorative justice, peranan Bapas diperlukan sejak awal proses penentuan proses penyelesaian terhadap terjadinya kejahatan (Center for Detention Studies, 2011), tidak hanya dalam tahapan sidang TPP saja. Selain itu, Bapas dan Jaksa yang memiliki tugas dan fungsi untuk menjalankan pengawasan terhadap narapidana dan Anak yang sedang menjalani pembebasan bersyarat, seringkali tidak berkoordinasi satu sama lain. Mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa hanya sebatas wajib lapor guna memenuhi absen dari buku register PB. Sementara pengawasan yang dilakukan Bapas juga tidak jauh berbeda, dimana petugas Bapas hanya mengandalkan laporan rutin klien. Contoh-contoh ini tentu menjadi refleksi tersendiri bagi pelaksanaan pembebasan bersyarat, terutama dalam hal pengawasan. Bahwa mekanisme pengawasan yang dilakukan selama klien menjalani pembebasan bersyarat terkesan hanya menjadi formalitas belaka.
250 |
“Bapas hanya mengandalkan laporan dari mereka yang inisiatif datang. Pada kasus dimana klien tidak melapor selama 3 bulan, maka PK Bapas akan mendatangi domisili klien ....” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Prosedur pengajuan pembebasan bersyarat relatif panjang karena melibatkan lebih banyak instansi dibandingkan dengan model-model pembebasan lain. Adapun instansi tersebut diantaranya adalah Lapas, Bapas, Kanwil, dan Ditjenpas. Panjang dan lamanya proses ini menjadi ancaman tersendiri karena akan menghambat dan menunda pelaksanaan pembebasan bersyarat. Sebagai gambaran misalnya, narapidana dan Anak yang seharusnya sudah dapat menjalankan pembebasan bersyarat dalam kurun waktu dua minggu sejak pengajuan dilakukan, namun karena panjang dan lamanya proses harus menunggu hingga satu bulan sebelum bisa memperoleh PB. Hal in akan mempersingkat proses reintegrasi yang mungkin dapat diperoleh oleh klien. Hal lain yang dapat menjadi ancaman adalah terkait dengan perspektif yang dimiliki masyarakat, yang masih melihat mantan narapidana sebagai pendosa dan tidak berhak memperoleh kesempatan untuk memperbaiki diri. Hal ini berimplikasi pada minimnya keterlibatan perangkat lingkungan masyarakat maupun anggota-anggota masyarakat dalam proses reintegrasi narapidana dan Anak, terutama dalam menjamin keamanan dan keselamatan. Bahkan, pihak keluarga juga kerap tidak bersedia menjadi penjamin karena merasa malu. Sementara pada kasus lain, pihak keluarga/ wali tidak diketahui keberadaannya. Hal ini juga dapat menghambat pelaksanaan pembebasan bersyarat karena menjadi salah satu persyaratan pengajuan PB. Pada tingkat tertentu, mereka yang memperoleh
| 251
perlakuan diskriminatif ini, besar kemungkinannya akan kembali melakukan kejahatan sebagai jalan atau cara bertahan hidup. “.... label dan stigma terhadap mantan narapidana menjadi masalah yang mengakar. Narapidana yang sudah bebas sulit mencari pekerjaan, sehingga besar kemungkinan akan kembali terlibat dalam tindak kejahatan (sebagai bentuk bertahan hidup).” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) “Tingkat keterlibatan unsur-unsur masyarakat masih rendah. Dikarenakan klien sendiri maupun dari lembaga.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Jarak antara kantor Bapas dan tempat tinggal klien yang cenderung jauh juga menjadi penghambat lain, dimana klien enggan untuk ikut serta dalam program pembimbingan yang diberikan oleh Bapas. “.... untuk menghadirkan klien oleh Bapas dalam program-program kegiatan itu sulit, alasannya tidak ada biaya transport ....” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) “.... memanggil WBP lebih mudah karena WBP di dalam lapas (ada di tempat). Sedangkan di Bapas sulit. Apalagi ketika dilakukan bimbingan pada hari-hari kerja.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Terakhir, jumlah UPT Bapas yang terbatas menjadi bentuk ancaman lain yang menghambat pelaksanaan pembebasan bersyarat. Padahal Bapas merupakan lembaga yang ditugaskan dan diberikan tanggung jawab untuk menjalankan pembimbingan dan pengawasan klien.
252 |
V. 1. 4 Asimilasi selain cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat, terdapat program pembinaan lain yang juga bertujuan untuk mengintegrasikan narapidana dan anak ke dalam kehidupan masyarakat, yakni asimilasi. Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dalam kehidupan masyarakat. Program ini dapat diberikan kepada narapidana dan anak yang telah menjalani ½ (satu per dua) masa pidananya. Selain itu, narapidana dan anak yang mengajukan asimilasi juga harus memenuhi syarat berkelakuan baik yang pembuktiannya dapat dilakukan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir yang dihitung sebelum tanggal pemberian asimilasi, aktif mengikuti program pembinaan dengan baik, dan telah melunasi denda dan/atau uang pengganti yang dijatuhkan sesuai putusan pengadilan. Untuk mengajukan asimilasi, narapidana maupun anak juga diwajibkan untuk melengkapi dokumen administrasi sebagai bagian dari syarat pengajuannya. Syarat-syarat administratif tersebut adalah: a) fotokopi putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan; b) bukti telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan; c) laporan perkembangan pembinaan yang dibuat oleh wali Pemasyarakatan atau hasil assessment risiko dan assessment kebutuhan yang dilakukan oleh asesor; d) laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang diketahui oleh Kepala Bapas; e) salinan register F dari Kepala Lapas; g) salinan daftar perubahan dari Kepala Lapas; h) surat pernyataan dari narapidana atau anak bahwa tidak akan melarikan diri dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum; i) surat jaminan kesanggupan dari pihak keluarga yang diketahui oleh lurah atau kepala desa atau nama lain yang menyatakan
| 253
bahwa narapidana atau anak tidak akan melarikan diri dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum; serta membantu dalam membimbing dan mengawasi narapidana atau anak selama mengikuti program asimilasi; dan i) surat jaminan dari sekolah, instansi pemerintah, atau swasta, dan badan/lembaga sosial atau keagamaan yang menjamin untuk membantu dalam membimbing dan mengawasi narapidana atau anak selama mengikuti program asimilasi. Pengajuan asimilasi juga melalui proses yang dibagi menjadi beberapa tahapan yang kemudian pemberiannya dilaksanakan melalui sistem informasi Pemasyarakatan yang terintegrasi antara Unit Pelaksana Teknis (UPT), Kantor Wilayah, dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Pada lingkup UPT, Petugas Pemasyarakatan bertugas mendata narapidana dan anak yang telah memenuhi syarat pemberian asimilasi dengan memeriksa syarat dan kelengkapan dokumen. Data yang telah diperiksa tersebut kemudian menjadi dasar bagi Tim Pengamat Pemasyarakatan untuk membuat rekomendasi yang akan diajukan kepada Kepala Lapas. Berbeda dengan cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas yang penetapan keputusannya dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah dan Pembebasan Bersyarat yang penetapan keputusannya dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan, penetapan asimilasi dilakukan oleh Kepala Lapas atau Kepala Kantor Wilayah. Penetapan ini sangat tergantung lokasi dimana narapidana dan anak menjalankan asimilasi. Apabila narapidana dan anak hanya menjalankan asimilasi secara mandiri dan/atau dengan pihak ketiga, maka penetapan pemberian asimilasi ini dilakukan oleh Kepala Lapas dengan persetujuan Kepala Kantor Wilayah terlebih dahulu. Namun, apabila narapidana dan anak
254 |
menjalankan asimilasi di Lapas Terbuka, penetapan keputusannya dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah dengan berdasarkan rekomendasi Tim Pengamat Pemasyarakatan Kantor Wilayah. Sebagaimana yang telah sedikit disinggung dalam penjelasan tentang penetapan asimilasi di atas, asimilasi dilaksanakan dalam beberapa pilihan bentuk, yakni: kegiatan pendidikan, latihan keterampilan, kegiatan kerja sosial, dan bentuk pembinaan lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilaksanakan secara mandiri/dan atau dengan pihak ketiga di lingkungan masyarakat atau di dalam Lapas Terbuka. Pelaksanaan yang dilakukan secara terbuka di dalam masyarakat atau di Lapas Terbuka ini tidak lain dilakukan untuk mendorong percepatan proses reintegrasi narapidana ke dalam lingkungan masyarakat. Gambar Alur Prosedur Pengusulan Penempatan Asimilasi pada Lapas Terbuka
Sumber: Dokumentasi Kementerian Hukum dan HAM Wilayah DKI Jakarta
| 255
Asimilasi yang dilakukan di Luar Lapas tidak dapat dilakukan secara bebas, namun harus memenuhi prosedur tertentu. Salah satu prosedur tersebut adalah adanya perjanjian kerja sama dengan pihak ketiga apabila asimilasi melibatkan kerja sama dengan pihak ketiga. Perjanjian tersebut didalamnya harus memuat hak dan kewajiban, baik untuk narapidana maupun pihak yang mempekerjakan narapidana tersebut. Selain itu, asimilasi dalam bentuk kegiatan kerja juga hanya dapat dilakukan maksimal 9 (Sembilan) jam sehari dan waktu tersebut sudah termasuk waktu tempat narapidana ke tempat kerja. Kegiatan asimilasi juga tidak boleh dilaksanakan pada hari minggu atau libur nasional. Pelaksanaan kegiatan asimilasi ini sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Kepala Lapas, terutama hal-hal yang terkait dengan keamanan pelaksanaan asimilasi. Oleh karenanya, narapidana atau anak yang terancam jiwanya atau yang sedang menjalani hukuman seumur hidup tidak diperkenankan untuk diberikan asimilasi karena risiko keamanannya yang tinggi. Pelaksanaan asimilasi juga melibatkan pengawasan penuh. Pengawasan ini dilakukan untuk mencegah narapidana dan anak melanggar larangan-larangan selama menjalankann masa asimilasi. Apabila narapidana maupun anak melakukan pelanggaran, pemberian asimilasi pun dapat dicabut. Tindakantindakan yang dapat mengakibatkan dicabutnya asimilasi antara lain: a. Melakukan pelanggaran tata tertib di dalam Lapas b. Tidak melaksanakan program asimilasi sebagaimana mestinya c. Melakukan pelanggaran hukum d. Terindikasi melakukan pengulangan tindak pidana e. Menimbulkan keresahan dalam masyarakat
256 |
f.
Pulang ke rumah atau tempat lain yang merupakan tempat tinggal keluarga atau saudara g. Bepergian ke tempat lain yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan asimilasi dan/atau h. Menerima kunjungan keluarga di tempat menjalankan asimilasi Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 83 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat, pencabutan Asimilasi ini dapat dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan dan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM. Berbeda dengan anak yang jika dicabut asimilasinya tetap dihitung sebagai menjalani masa pendidikan di Bapas, narapidana dewasa yang dicabut asimilasinya juga mengalami akibat lainnya. Dalam Pasal 84 aturan yang sama, disebutkan bahwa jika pencabutan dilakukan untuk pertama kali, maka narapidana tidak berhak mendapatkan remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti mengunjungi keluarga di tahun pertama. sedangkan, narapidana yang dicabut asimilasnya untuk kedua kalinya, narapidana tersebut tidak berhak mendapatkan program reintegrasi kembali. Tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat, asimilasi merupakan proses pembinaan narapidana yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dalam kehidupan masyarakat. Perbedaan asimilasi dengan program reintegrasi lainnya adalah asimilasi tetap mengharuskan narapidana kembali ke Lapas ketika pekerjaan mereka telah dilaksanakan, sebagaimana layaknya orang bekerja pada umumnya di masyarakat yang kembali ke rumah setelah bekerja. Secara umum, jumlah narapidana yang diberikan asimilasi masih jauh lebih
| 257
rendah jika dibandingkan dengan jumlah narapidana yang diberikan pembebasan bersyarat. Selama kurun waktu 2010-2014 saja, jumlah rekapitulasi keduanya memiliki rentang yang sangat jauh. Fakta mengenai hal ini dapat dilihat dalam gambar grafik berikut: Grafik Perbandingan Rekapitulasi Pemberian Asimilasi dan Pembebasan Bersyarat di IndonesiaTahun 2010 - 2014
Sumber: Sub Direktorat Integrasi dan TPP Direktorat Bina Narapidana dan Pelayanan Tahanan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2015.
Walaupun jumlah pemberian asimilasi masih cukup terbatas, namun asimilasi tetap memiliki peluang besar untuk diimplementasikan pada lebih banyak narapidana sebagai bagian dari bentuk Community-Based Corrections. Pemahaman lebih jauh mengenai peluang implementasi asimilasi dapat dilihat melalui analisis SWOT. Dalam kaitannya dengan poin strength, hal terpenting dari asimilasi adalah model ini mampu mengakomodasi fungsi reintegrasi narapidana dan anak ke dalam masyarakat. Dengan adanya asimilasi, narapidana memiliki kesempatan untuk menjalani proses pembinaan di luar Lapas dan berbaur dengan
258 |
kehidupan masyarakat. Kondisi ini memiliki peranan penting dalam mendorong narapidana untuk diterima kembali ke dalam masyarakat sekaligus mendidik masyarakat untuk ikut bertanggung jawab bersama melakukan pembinaan terhadap narapidana. Interaksi yang terjalin antara narpidana dengan masyarakat berdampak positif pada diri narapidana atau anak. Dampak tersebut dapat terlihat dari pengurangan citra buruk penjara. Dalam beberapa penelitian, stigma negatif yang kuat dari masyarakat terhadap narapidana atau anak kerap menjadi hambatan besar bagi mereka untuk sintas di tengah kehidupan masyarakat. Ketika asimilasi dapat mengurangi stigma buruk narapidana, masyarakat pun akan terdorong untuk menerima kembali narapidana atau anak yang sesungguhnya juga merupakan bagian dari anggota masyarakat. Kondisi ini mendorong narapidana untuk dapat hidup bersama kembali di tengah masyarakat dan menjadi bagian didalamnya sebagaimana seharusnya. Selain fungsi reintegrasi, narapidana atau anak juga mendapatkan kesempatan untuk kembali bekerja atau belajar. Pada banyak kasus, narapidana yang harus menjalani masa hukumannya di dalam penjara juga harus mengalami kondisi kehilangan pekerjaan atau putus sekolah. Adanya asimilasi membuka peluang bagi mereka untuk kembali bekerja atau melanjutkan pendidikan yang terputus. Dengan demikian, ketika mereka telah selesai menjalani masa hukumannya, mereka telah memiliki kemampuan bekerja atau capaian pendidikan yang cukup sehingga dapat dijadikan modal bagi mereka untuk dapat bertahan hidup di tengah kehidupan masyarakat. Kemudian, dalam kaitannya dengan syarat administratif, narapidana atau anak yang mendapatkan asimilasi memiliki
| 259
kesempatan untuk menjalani proses reintegrasi lebih lama. Tidak seperti cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat yang baru dapat diberikan ketika narapidana atau anak telah menjalani 2/3 (dua per tiga) masa pidananya, asimilasi sudah dapat diberikan kepada narapidana ketika mereka telah menjalani ½ (setengah) masa pidananya. Masa proses reintegrasi yang lebih lama ini memberikan kesempatan kepada narapidana untuk dapat mempersiapkan diri lebih matang untuk kembali ke masyarakat. Dengan demikian, peluangnya untuk dapat hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat pun akan terbuka lebih lebar. Dari sisi eksternal sebagai bentuk opportunity, selain asimilasi telah secara legal disebutkan sebagai salah satu hak narapidana dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, peluang dapat dilihat dari 2 (dua) hal, yakni proses penetapan asimilasi dan kerja sama dengan pihak ketiga. Terkait dengan penetapannya, proses penetapan asimilasi lebih fleksibel dibandingkan dengan tiga model reintegrasi lainnya, yakni cuti bersama, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat. Hal ini dikarenakan dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat disebutkan bahwa penetapan asimilasi dapat dilakukan oleh Kepala Lapas atau Kepala Kantor Wilayah tergantung dimana program asimilasi akan dilaksanakan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab III, narapidana yang hanya menjalankan asimilasi secara mandiri dan/atau dengan pihak ketiga, maka penetapan pemberian asimilasinya dilakukan oleh Kepala Lapas. Sedangkan, narapidana yang menjalankan asimilasi di Lapas Terbuka, penetapan keputusannya dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah. Dengan demikian, proses yang ditempuh untuk
260 |
mendapatkan asimilasi pun tidak perlu melalui proses yang rumit dan panjang. Peluang lainnya yang juga dapat diperhitungkan adalah asimilasi membuka peluang bagi narapidana atau anak untuk bekerja atau melanjutkan pendidikan pada pihak ketiga. Kerja sama yang terjalin selama narapidana menjalankan program asimilasinya secara tidak langsung juga membuka peluang bagi mereka untuk dapat bekerja menjadi pegawai ketika telah selesai menjalani masa hukumannya. Hal ini merupakan peluang yang baik karena kemampuan yang didapat narapidana selama menjalani proses asimilasi dapat benar-benar tersalurkan dan bermanfaat sebagai bekal mereka melanjutkan kehidupannya. Di sisi lain, dalam kaitannya dengan weakness, asimilasi yang mensyaratkan pelunasan pembayaran denda menyurutkan keinginan narapidana untuk mengajukan asimilasi. Hal ini dikarenakan tidak semua narapidana memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk membayar denda. Adanya syarat keharusan pembayaran denda tersebut menghalangi narapidana yang tidak mampu secara finansial untuk mengikuti program asimilasi. Masalah lain terkait persyaratan asimilasi adalah adanya larangan pemberian asimilasi terhadap narapidana atau anak dengan kategori kasus tertentu. Kategori yang dimaksud tersebut adalah narapidana atau anak dengan kasus penipuan, narkotika, psikotropika, dan terorisme. Pelarangan ini didasarkan adanya anggapan bahwa narapidana dengan kategori kasus-kasus tersebut memiliki risko tinggi, sehingga akan menimbulkan bahaya jika diberikan asimilasi. Adanya pembatasan mengakibatkan hilangnya kesempatan narapidana tersebut untuk mengikuti program asimilasi.
| 261
Kemudian terkait dengan pelaksanaannya, walaupun Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat telah menyebutkan bahwa pelaksanaan asimilasi dilakukan dengan pihak ketiga atau di Lapas terbuka, pada faktanya asimilasi lebih banyak dilakukan di sekitar Lapas. Narapidana yang menjalankan asimilasi pun hanya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan seperti membersihkan rumput, menyapu halaman, dan kegiatan menjaga kebersihan lainnya di sekitar lingkungan Lapas. “Asimilasi itu ada asimlasi yang klien pidana apapun bisa kerja di luar/di pihak ketiga, atau bisa asimilasi berupa olah raga, rekreasi, kerja pertanian di sekitar lapas.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Dengan hanya menjalani pekerjaan tersebut, narapidana tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan manfaat lebih yang dapat menjadi bekal baginya ketika telah selesai menjalani masa hukumannya. Kemudian, narapidana yang menjalankan asimilasinya dengan pihak ketiga juga mengalami masalah lainnya. Masalah yang kerap terjadi adalah tidak sesuainya pekerjaan yang didapat dengan fungsi reintegrasi yang dibutuhkan. Masalah ini dapat kita lihat dalam kasus Antasari Azhar, mantan ketua KPK, yang sejak 14 Agustus 2015 di salah satu kantor notaries di Tangerang. Walaupun Antasari memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman di ranah hukum, penempatan asimilasi Antasari di kantor notaris dinilai kurang tepat karena fungsi reintegrasinya kurang diutamakan. Tempat asimilasi setidaknya harus mendorong interaksi antara narapidana dan masyarakat. Sebagai notaris, Antasari lebih banyak berinterasi dengan kliennya saja,
262 |
bukan dengan masyarakat banyak. Hal ini mengakibatkan fungsi dan tujuan utama dilakukannya reintegrasi tidak tersalurkan dengan baik. Selain masalah-masalah tersebut, masalah lainnya yang juga ditemui sebagai kelemahan dari pengimplementasian model asimilasi adalah masalah jumlah kuantitas SDM Pemasyarakatan. “…misalnya dari 300 yang memenuhi ½, tapi mengapa hanya 10 yang mengikuti asimilasi. Kendalanya petugas terbatas, yang terima/tempat terbatas (yayasan).” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Minimnya jumlah petugas yang dapat melakukan pengawasan menjadi hambatan pada pelaksanaan asimilasi, terutama asimilasi yang dilakukan di tempat pihak ketiga, karena hal ini sangat berkaitan dengan jaminan keamanan bagi narapidana yang melaksanakan asimilasi. Oleh karenanya, pemberian asimilasi dibatasi dan pelaksanaannya juga lebih banyak dilakukan di sekitar lingkungan Lapas saja. Dari sisi eksternal sebagai bentuk threat, terdapat beberapa hal yang menjadi hambatan pelaksanaan asimilasi. Pertama adalah permasalahan minimnya kuantitas SDM. Dalam hal ini, wali dan PK Bapas memiliki peranan penting dalam pemberian asimilas. Pada wali, terbatasnya jumlah wali menyebabkan rendahnya kualitas laporan pembinaan yang dibuat oleh wali. Dalam diskusi dengan para wali pemasyarakatan bahkan diakui bahwa laporan perkembangan pembinaan narapidana oleh wali dibuat hanya sebagai formalitas saja. Sedangkan, terkait dengan asesmen narapidana, minimnya jumlah wali juga mengakibatkan asesmen terhadap narapidana tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Di sisi lain, belum adanya instrumen asesmen kebutuhan dan asesmen risiko yang baku dan belum ada
| 263
jabatan assessor menjadi faktor pendorong lainnya yang mengakibatkan rendahnya kualitas hasil asesmen yang ada saat ini. Kemudian, terkait dengan PK Bapas, Keterbatasan pegawai PK Bapas dan sarana prasarana pendukungnya menyebabkan Litmas tidak dilakukan di setiap tahapan pembinaan. “…yang menjadi kendala sering kali saat baru akan asimilasi baru dimintakan litmas, namun tahap awal tidak dilakukan sehingga Bapas kurang dalam mengeksplorasi sehingga ragu apakah klien ini patut mendapat asimilasi. Padahal itu hak klien. Hal ini mengakibatkan banyak asimilasi ditolak.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) “Selain itu, data base perkembangan klien tidak ada/minim. Karena apabila penilaian awal terhadap WBP sudah ada, resiko tingkat rendah, sedang, tinggi sudah jelas, maka ini akan memudahkan, ini tidak bisa dadakan, harus berproses.” (catatan hasil FGD 26 Oktober 2015) Permasalahan kedua yang juga menjadi hambatan pelaksanaan asimilasi adalah keterlibatan masyarakat. Selama ini, keterlibatan perangkat lingkungan masyarakat dalam menjamin keamanan dan keselamatan narapidana selama mengikuti program asimilasi masih rendah. Keterlibatan masyarakat hanya sebatas pada perbantuan masalah pemenuhan syarat administratif saja. Padahal, masyarakat juga dapat terlibat sebagai pihak ketiga dimana asimilasi dapat dilaksanakan. Dalam kaitannya dengan pelibatan masyarakat sebagai pihak ketiga pelaksanaan asimilasi, terdapat dua permasalahan yang mengakibatkan terbatasnya kegiatan asimilasi dengan pihak ketiga, yakni 1) prosedur kerjasama dengan pihak ketiga kurang tersosialisasi dengan baik; dan 2) terdapat kecenderungan dari
264 |
pihak ketiga untuk menolak bekerja sama dengan pihak Lapas. Kecenderungan penolakan salah satunya didorong oleh kewajiban pihak ketiga untuk memenuhi syarat jaminan untuk membantu dalam membimbing dan mengawasi narapidana selama mengikuti program asimilasi karena membimbing dan mengawasi narapidana bukan merupakan tugas yang ringan. Jika tugas ini harus menjadi syarat yang harus dijamin pihak ketiga, maka syarat ini tentu memberatkan bagi pihak ketiga. Permasalahan ketiga yang juga menjadi hambatan eskternal pelaksanaan asimilasi adalah masalah regulasi. Selama ini, ketentuan umum mengenai pelaksanaan asimilasi masih memiliki kesamaan dengan Lapas tertutup. Selain itu, aturan asimilasi untuk anak juga masih sama dengan aturan asimilasi narapidana dewasa. Hal ini secara mudah dapat dilihat dari syaratsyarat pengajuan asimilasi. Selanjutnya, permasalahan juga muncul dalam kaitannya dengan pelaksanaan asimilasi di Lapas terbuka. Permasalahan yang paling menonjol terkait hal ini adalah minimnya jumlah Lapas terbuka. Sejak Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor: M.03.PR.0703 Tahun 2003 ditetapkan, jumlah Lapas terbuka hanya baru mencapai 6 (enam) UPT. Keenam Lapas terbuka tersebut adalah Lapas Terbuka Klas IIB Pasaman, Jakarta, Kendal, Nusakambangan, Mataram, dan Waikabubak. Selain itu, dikarenakan pembinaan yang dilaksanakan juga tidak berbeda dengan pembinaan yang dilaksanakan di Lapas tertutup, maka permasalahan yang dihadapi pun tidak jauh berbeda. Minimnya instruktur pelatihan kerja dan terbatasnya pilihan latihan kerja menjadi masalah yang juga dihadapi dalam pelaksanaan asimilasi di Lapas terbuka. Karena keterbatasan tersebut, narapidana juga tidak dapat memilih program-program pembinaan yang sesuai dengan minat mereka. Dampaknya, antusiasme narapidana pun kurang tinggi. Terakhir,
| 265
hambatan juga muncul pada koordinasi yang kurang berjalan dengan baik terkait pelaksanaan tugas dan wewenang antara Lapas terbuka dan Bapas. V. 2
Analisis Peluang Penerapan Program CommunityBased Corrections
V. 2. 1 Cognitive/ behavioral groups/ classess Cognitive/behavioral groups/classes merupakan program konseling. Program ini dirancang dalam bentuk grup maupun kelas yang ditujukan tidak saja untuk pelaku, namun juga untuk korban dan masyarakat (khususnya keluarga maupun orang-orang terdekat dari pelaku). Program intervensi perilaku atau kognitif yang terdiri dari kelas-kelas ini diterapkan secara khusus kepada pelaku yang berdasarkan hasil asesmen didefinisikan perlu untuk diberikan intervensi, utamanya yang mengalami atau memiliki kondisi psikologis dan kognitif yang tertekan. Selain pelaku, korban dan masyarakat juga dilibatkan dalam program ini. Korban yang dimaksud adalah mereka yang juga mengalami tekanan secara kognitif dan psikologis, seperti korban kekerasan domestik, kekerasan seksual, dan sejenisnya. Sementara itu, komunitas lokal dilibatkan sebagai wakil dari komunitas tempat tinggal pelaku. Kehadiran pelaku, korban, dan komunitas di dalam kelaskelas menjadi salah satu syarat pelaksanaan dari program ini. Sebagai awalan, masing-masing pelaku akan didefinisikan kebutuhan, nilai, dan tujuannya guna menentukan kelas apa saja yang akan diaplikasikan terhadapnya. Untuk itu, pelaku dan konselor melakukan koordinasi guna memperoleh hasil pendefinisian kebutuhan yang dimaksud. Pelaku kemudian melakukan konseling secara berkelompok atau individu dengan menggunakan metode latihan kelompok secara terstruktur
266 |
(misalnya melalui diskusi), pemberian tugas-tugas tertulis, pengisian workbook, serta penampilan video. Kurikulum yang digunakan berfokus pada perawatan atau intervensi terhadap perilaku pelaku yang terkait dengan isu konfrontasi kepercayaan, sikap, dan perilaku; penilaian terhadap hubungan atau relasi yang dijalin saat ini; penguatan perilaku dan kebiasaan positif; pembentukan identitas positif; peningkatan konsep-diri; menurunkan hedonisme dan meningkatkan toleransi terhadap frustrasi; serta mengembangkan tingkat penalaran moral. Setelah kelas-kelas apa saja yang akan diaplikasikan diketahui, maka lamanya pelaksanaan program oleh masingmasing pelaku akan bervariasi, tergantung dari bentuk kelas yang diterapkan kepadanya. Rata-rata minimum kelas diselenggarakan sebanyak 6 jam pertemuan (1 kali dalam seminggu) dan maksimum selama 6 bulan (dilakuakan setiap 1 sampai 2 kali seminggu). Program-program konseling untuk pelaku dapat berupa: moral recognition therapy, thinking for a change, rational emotive therapy, anger management, men’s issue, fit 2 be fathers, domestic violence, parenting classes, sex offender treatment program, codependency, cinematherapy, school awareness, dan a woman’s journey. Selain itu, korban dan keluarga atau anggota komunitas lokal juga diikutsertakan dalam program ini guna mendukung keberhasilan reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat. Khusus yang terkait kepentingan korban, terdapat kelas yang dikondisikan baik terpisah maupun tidak dengan pelaku dimana korban diberikan kesempatan untuk menceritakan tentang pengalaman depersonalisasinya, dampak yang dialami, serta akuntabilitas akibat tindak kejahatan oleh pelaku. Dalam kelas yang melibatkan pelaku, pelaku diharapkan menyadari akibat yang dihasilkan dari perbuatannya. Program-program yang dapat diperuntukan untuk para korban adalah victims issue, victim’s impact panel, dan victims
| 267
of abuse/survivor, sedangkan program yang diperuntukan bagi keluarga adalah family day dan family services. Pelaksanaan program-program ini berada di bawah naungan Bapas. Bapas memegang tanggung jawab untuk mengadakan kelas-kelas yang masuk dalam kategori ini. Selain itu, peran masyarakat juga ikut dilibatkan, baik sebagai konselor, pembicara, atau dalam bentuk partisipasi lainnya. Hal ini memungkinkan adanya interaksi dan tatap muka secara langsung antara pelaku dengan anggota masyarakat, sehingga proses reintegrasi dapat terfasilitasi. Berdasarkan penjelasan di atas, program ini dapat diterapkan dalam semua model pemidanaan. Selain itu, program ini juga dapat diterapkan dalam program cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan asimilasi. V. 2. 2 Pelatihan Keterampilan Kerja Program keterampilan kerja utamanya diterapkan kepada pelaku yang memiliki keterbatasan keterampilan kerja. Program ini juga ditargetkan kepada mereka yang belum memiliki sertifikasi kerja serta belum memiliki persiapan yang mapan dalam pencarian kerja paska bebas. Program ini mempersiapkan pelaku untuk kembali ke masyarakat dengan berbekal kemampuan kerja yang dapat berguna nantinya. Program ini sendiri terdiri dari beberapa kelas yang syarat utama pelaksanaannya adalah kehadiran para pelaku. Kelas-kelas yang dimaksud terdiri dari kelas persiapan kerja, pelatihan keterampilan kerja, peluang akan penempatan kerja, dan kelaskelas lainnya yang mendukung. Kelas persiapan kerja di antaranya terdiri dari pembelajaran mengenai pembuatan aplikasi kerja, membangun resume kerja, bagaimana berpenampilan, serta kiatkiat menghadapi wawancara. Sementara kelas pelatihan
268 |
keterampilan kerja terdiri dari pelatihan-pelatihan di bidang kerja tertentu, yang diikuti oleh pelaku berdasarkan kebutuhan dari peran masing-masing pelaku di dalam masyarakat. Minat dan bakat peserta juga sangat menentukan jenis pelatihan kerja yang akan diikuti. Pada penempatan kerja, pelaku yang memiliki kualifikasi yang disyaratkan akan diberikan peluang untuk bekerja di salah satu tempat yang telah menjalin kerja sama dengan Bapas atau ditempatkan sementara guna membangun resume kerja. Kemampuan lain seperti pengembangan kemampuan manajemen keuangan, kemampuan berkomunikasi, pengambilan keputusan, dan kemampuan sosial lainnya juga menjadi aspek-aspek yang diajarkan dalam kelas-kelas guna mendukung kemampuan kerja dan kehidupan pelaku. Kelas yang diadakan umumnya dilakukan secara berkelompok dengan instruksi individual sesuai kebutuhan, maupun per individu dan keluarganya. Keterlibatan masyarakat sebagai pembicara atau pelatih di dalam program ini menjadi unsur penting yang tidak dapat dipisahkan. Sementara itu, lamanya program yang diikuti oleh masing-masing pelaku akan bergantung pada kelas apa saja yang diaplikasikan kepadanya. Namun sebagai gambaran, kelas yang diadakan setidaknya berjalan selama 7 (tujuh) sesi. Pelaksanaan program keterampilan kerja berada di bawah tanggung jawab Bapas. Bapas bertanggung jawab menyediakan tempat pelaksanaan program secara kondusif. Selain itu, keterlibatan anggota-anggoata masyarakat juga menjadi penting dalam mendukung suksesnya program ini, mengingat kesempatan kerja bagi para pelaku diperoleh melalui kerja sama dengan instantsi lain. Berdasarkan pemaparan di atas, program ini dapat diterapkan kepada semua pelaku dewasa yang dijatuhi pidana penjara maupun pidana lainnya. Khusus untuk anak, program ini
| 269
hanya dapat diterapkan bagi anak-anak yang usianya sudah menjelang masuk ke usia dewasa. Namun demikian, durasi harus menjadi dasar dalam menentukan kelas yang sesuai untuk pelaku. V. 2. 3 Pendidikan Program pendidikan dalam hal ini diterapkan kepada para pelaku yang tidak atau belum selesai mengemban pendidikan formal selama hidupnya. Selain itu, mereka yang tidak memiliki sertifikat pendidikan juga menjadi sasaran dari program ini mengingat sertifikat tersebut menjadi syarat penting dalam pencarian kerja. Program wajib belajar, baik bagi pelaku dewasa maupun anak, memberikan kesempatan kepada mereka untuk belajar serta memperoleh ijazah atau gelar pendidikan yang dijalani. Di awal program, masing-masing pelaku akan diminta untuk melakukan tes penempatan guna menentukan tingkat kelas yang akan dijalani oleh mereka. Terdapat beberapa kelas yang harus diikuti oleh masing-masing pelaku, yakni kelas kesenian, matematika, pengetahuan alam, dan pengetahuan sosial. Di akhir program wajib belajar ini, pelaku harus mencapai skor minimum yang sudah ditentukan untuk dapat memperoleh ijazah yang dimaksud. Selain program wajib belajar bagi orang dewasa maupun anak, kelas pengetahuan dasar lainnya juga disediakan atau ditawarkan, yakni seperti kelas belajar mengajar, pembelajaran komputer, dan tutoring. Kelas ini dapat diikuti selama 8 jam setiap harinya, selama 5 hari dalam seminggu, dan 4 jam setiap akhir pekan. Guna mengontrol kemajuan pelaku, maka masing-masing dituntut untuk menyelesaikan setidaknya 3 seminar. Sementara kelas-kelas lainnya dilakukan paling tidak setiap satu minggu sekali, dan dilaksanakan dengan menggunakan format intervensi personal maupun secara berkelompok. Sama halnya dengan dua program sebelumnya, program pendidikan juga berada di bawah tanggung
270 |
jawab Bapas. Peran dari masyarakat juga dibutuhkan dalam program ini, baik dari kelompok pemerintahan maupun dari anggota-anggota masyarakat. Dari pihak pemerintah, Departemen Pendidikan menjadi pihak yang krusial untuk diajak bekerja sama dalam mengawasi dan membantu proses pentahapan kemajuan pelaku, serta memverifikasi seminar-seminar yang diikuti oleh masing-masing pelaku – sebagai ujian akhir mereka. Sementara, masyarakat dapat berpartisipasi sebagai pengisi kegiatan-kegiatan kelas yang dilakukan di dalam maupun luar pusat program ini dilaksanakan. Program pendidikan sendiri dapat diterapkan pada pelaku di semua model pemidanaan. Selain itu, program ini juga dapat diterapkan bagi narapidana maupun anak yang mendapatkan program cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, maupun asimilasi. V. 2. 4 Pengawasan Sebagaimana digambarkan dalam Bab II maupun Bab III, program pengawasan utamanya diterapkan kepada pelaku yang berdasarkan hasil asesmen risiko memiliki risiko rendah untuk mengulangi kejahatannya, sedangkan berdasarkan risiko kebutuhan, hasilnya menunjukkan bahwa pelaku memiliki kebutuhan akan bentuk rehabilitasi yang jelas. Kemudian, dari sisi hakim, program ini diberikan ketika hakim telah yakin bahwa pengawasan saja akan mampu mengurangi kecenderungan pelaku untuk melakukan tindak kejahatan lebih jauh. Program pengawasan pada intinya dilakukan dengan mewajibkan pelaku untuk tetap berada di suatu wilayah tertentu dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan putusan pengadilan. Sasaran utamanya adalah pelaku. Dalam hal ini, pengawasan dapat dilaksanakan melalui dua bentuk, yakni aftercare dan monitoring elektronik. Aftercare dilakukan dengan cara pelaku diawasi
| 271
melalui telepon setiap minggu dan pertemuan tatap muka guna memastikan bahwa terpidana menjalankan treatment atau menghadiri program yang telah disyaratkan. Sedangkan, sebagaimana yang diterapkan di Amerika, monitoring elektronik dilakukan dengan mewajibkan terpidana memakai gelang monitoring elektronik. Gelang tersebut harus dikenakan oleh terpidana selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu selama masa hukuman berlangsung. Gelang dilengkapi dengan pendeteksi elektronik atau global positioning system (GPS). Pelaksanaan program pengawasan ini secara resmi berada dibawah tanggung jawab parole atau yang dalam konteks Indonesia ada dibawah wewenang Bapas. Meskipun demikian, keluarga dan masyarakat juga memiliki andil yang besar dalam pelaksanaan program pengawasan ini. Keluarga dan masyarakat menjadi bagian-bagian terdekat dalam interaksi keseharian terpidana. Oleh karenanya, di sini, keluarga dan masyarakat juga berperan penuh dalam pelaksanaan program pengawasan. Jika dilihat dari kriteria dan mekanisme pelaksanaan di atas, maka program ini dapat diterapkan pada model pidana bersyarat dan pidana pengawasan. Selain itu, program ini juga dapat diterapkan pada program lain seperti cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan asimilasi. V. 2. 5 Pelayanan masyarakat Praktik pelaksanaan program pelayanan masyarakat di Indonesia dapat diterapkan sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Dalam RKUHP, disebutkan bahwa pidana kerja sosial dijatuhkan sebagai pengganti pidana lain, yakni pidana penjara yang masa pidananya tidak lebih dari 6 (enam) bulan dan pidana denda yang jumlah dendanya tidak lebih dari Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
272 |
Selain itu, pelaku yang dapat diberikan program pelayanan masyarakat setidaknya memiliki kriteria sebagai berikut: a. Ada pengakuan pelaku terhadap tindak pidana yang dilakukan; b. usia layak kerja pelaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. persetujuan pelaku sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial; d. riwayat sosial pelaku; e. perlindungan keselamatan kerja pelaku; f. keyakinan agama dan politik pelaku; dan g. kemampuan pelaku membayar pidana denda. Mekanisme pelaksanaan program ini didasarkan pada perhitungan jam kerja. Mengenai mekanisme perhitungan jam ini, kita juga dapat merujuk pada rumusan yang telah ada dalam RKUHP. RKUHP merumuskan bahwa durasi program kerja sosial dibedakan menjadi dua, yakni untuk pelaku di usia 18 tahun ke atas (dewasa) dan untuk pelaku anak (dibawah 18 tahun). Pelaku dewasa dapat menjalani pidana kerja sosial maksimal sebanyak 240 jam dan anak dapat menjalani pidana kerja sosial maksimal sebanyak 120 jam. Sedangkan, waktu minimal kerja keduanya adalah 7 (tujuh) jam. Mekanisme pelaksanaan ini tidak jauh berbeda dengan mekanisme pelaksanaan program pelayanan masyarakat yang diterapkan di Selandia Baru. Di Selandia Baru, program pelayanan masyarakat dijatuhkan antara 40-400 jam secara total. Dalam sehari, pelaku melakukan pekerjaan selama 10 jam hingga 40 jam dalam seminggu dan setidaknya 100 jam setiap 6 (enam) bulan. Sebagaimana model pelayanan masyarakat yang telah dirumuskan sebagai model pemidanaan legal dalam hukum pidana Indonesia, program pelayanan masyarakat ini diterapkan dengan
| 273
melibatkan pelaku pada kegiatan-kegiatan sosial tertentu. Di sini, pelaku diwajibkan untuk melakukan pekerjaan tanpa diberikan imbalan jasa atau upah sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatannya. Oleh karenanya, kegiatan yang dilakukan dalam pelaksanaan program ini diantaranya adalah kegiatan membantu pekerjaan di lembaga pemerintah atau lembaga kesejahteraan sosial, misalnya membantu lansia, orang cacat, atau anak yatim piatu di panti atau pesantren dan membantu administrasi ringan di kantor kelurahan. Selain itu, dapat juga melakukan kegiatankegiatan seperti: membersihkan pantai, semak-semak, taman, atau bangunan fasilitas umum; rumah sakit, sekolah, atau komunitas lokal; menjadi relawan di lembaga-lembaga pelayanan masyarakat; atau membantu pihak ketiga yang merupakan komunitas lokal. Walaupun sasaran utama program ini adalah pelaku, namun masyarakat juga terlibat secara penuh dalam pelaksanaan program pelayanan masyarakat. Dalam program ini, pelibatan peran masyarakat memiliki porsi yang juga cukup besar, yakni sebagai relasi dalam program reintegrasi. Unsur masyarakat ini dapat direpresentasikan misalnya oleh panti sosial, komunitas lokal, sekolah, rumah sakit, lembaga pemerintahan lokal, lembaga pelayanan kesehatan, dan lain sebagainya. Program pelayanan masyarakat ini diterapkan pada model pemidanaan pelayanan masyarakat. Namun demikian, jika dilihat dari kriteria dan mekanisme pelaksanaannya, maka program ini juga sebenarnya dapat diterapkan pada model-model pemidanaan lainnya, misalnya: pidana denda, pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana di luar lembaga, dan pemenuhan kewajiban adat, termasuk juga pada mereka yang mendapatkan program cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan asimilasi. V. 2. 6 Rehabilitasi Program rehabilitasi merupakan salah satu program community-based corrections yang khusus diperuntukkan bagi
274 |
para korban penyalahguna narkotika. Mengenai penyalahguna ini, Pasal 103 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa mereka yang diwajibkan menjalani rehabilitasi narkotika adalah para pecandu yang diputuskan terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika oleh hakim yang memeriksa perkara. Program yang dibutuhkan dalam proses rehabilitasi ini adalah perawatan dan pengobatan intensif guna melepaskan diri dari ketergantungan zat-zat tersebut (McCarthy, dkk, 2010). Salah satu caranya adalah dengan memasukkan mereka ke pusat-pusat rehabilitasi. Jika merujuk pada ketentuan tentang narkotika di Indonesia, program rehabilitasi ini selain diupayakan melalui rehabilitasi medis, juga dilakukan melalui rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika. Oleh karenanya, rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika dilakukan untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan. Sedangkan, rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat (UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika). Mengenai pelaksanaannya, jika merujuk pada program rehabilitasi yang dilakukan di Amerika, maka program ini diawali dengan asesmen kebutuhan pelaku. Asesmen kebutuhan pelaku dilakukan untuk mendapatkan informasi program-program apa saja dapat dikembangkan secara tepat kepada pelaku berdasarkan fungsi serta status obat pelaku. Misalnya, bagi mereka yang dinilai sebagai pecandu zat-zat kimia, maka disediakan program konseling individu, recovery group, dan relapse prevention group. Dalam program-program tersebut, para pelaku diharuskan bertemu 2 (dua) kali seminggu selama masa hukuman yang
| 275
dijatuhkan hakim. Namun, pada umumnya, pelaksanaan program ini diperkirakan berjalan selama 12 (dua belas) minggu. Selama kurun waktu tersebut, pelaku ditempatkan di dalam kelompok perilaku kognitif dan kurikulum relapse prevention yang bersifat terbuka. Selain itu, ada juga program pertemuan para pecandu yang fasilitasinya dapat dilakukan oleh Bapas atau lembaga rehabilitasi sendiri. Sebagaimana telah disebutkan pada paragraf di atas, program ini dilakukan di Bapas atau lembaga rehabilitasi. Pasal 56 UU nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa lembaga rehabilitasi ini dapat berupa rumah sakit atau lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta (masyarakat), khususnya yang ditunjuk oleh menteri. Walaupun dengan melalui persetujuan menteri, dapat dilihat bahwa keterlibatan masyarakat memiliki peranan penting dalam pelaksanaan program rehabilitasi ini. Keterlibatan masyarakat di sini juga tidak hanya sebatas pada sebagai penyelenggara pusat rehabilitasi. Dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial, masyarakat luas juga berperan mendukung pelaksanaan pemulihan secara terpadu. Berdasarkan penjelasan di atas, maka peruntukan program rehabilitasi tidak terbatas pada model pemidanaan apa. Pada intinya, program ini diberikan untuk semua korban penyalahgunaan narkotika. Oleh karenanya, model pemidanaan di sini tidak menjadi penentu pemberian program rehabilitasi sebagaimana program-program lainnya dalam pelaksanaan modelmodel pemidanan. Melainkan, kebutuhan rehabilitasi pelaku lah yang menjadi dasar dalam penerapan program ini. V. 2. 7 Victim service Program ini secara khusus menargetkan para pelaku dan korban kejahatan sebagai subjek sasarannya. Utamanya, pelaku yang diharuskan untuk melakukan pertanggungjawaban terhadap
276 |
korbannya adalah anak pelaku yang melakukan kenakalan anak, remaja pelaku, first offender, dan pelaku kejahatan ringan lain. Pertanggungjawaban yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban terdiri dari dua jenis, yakni pertanggungjawaban secara finansial dan non finansial. Pada jenis finansial, penggantian didasarkan kepada kebutuhan korban. Dengan kata lain, penggantian yang dilakukan berbeda-beda setiap kasusnya. Sementara pada jenis non finansial, pertanggungjawaban dapat dilakukan melalui bentuk kegiatan pelayanan terhadap masyarakat (terutama bagi pelaku kejahatan terhadap benda). Lama penyelenggaraan program ini dapat ditentukan oleh lembaga yang membawahi. Program ini berada di bawah tanggung jawab Bapas. Bapas dalam hal ini bertugas dalam mengawasi jalannya pertanggungjawaban atau penggantian kerugian korban oleh pelaku. Selain Bapas, peran serta anggota komunitas yang sesuai juga penting dalam penerapan program ini. Anggota komunitas yang dimaksud berperan terutama dalam memberikan masukan, bersama dengan korban, perihal bentuk pertanggungjawaban yang akan dilakukan pelaku terhadap korban dan masyarakat atas tindakannya. Bentuk ini sedapat mungkin didesain untuk dapat memperbaiki kerusakan dan perlukaan yang ditimbulkan oleh pelaku, baik kepada korban maupun komunitas. Model pemidanaan yang tepat dalam mengaplikasikan program ini adalah diversi, pidana bersyarat, dan pidana denda. Selain itu, program ini juga dapat diterapkan kepada narapidana yang mendapatkan program cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan asimilasi. Selanjutnya, diharapkan rasa tangung jawab pelaku terhadap pihak-pihak yang menderita kerugian karena perbuatannya dapat tercapai.
BAB VI STRATEGI PENERAPAN PROGRAM COMMUNITY-BASED CORRECTIONS DALAM PELAKSANAAN MODEL PEMIDANAAN
Strategi penerapan program community-based corrections dalam model-model sanksi legal sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Bab IV dan Bab V merupakan salah satu bagian dari upaya mewujudkan pelaksanaan community-based corrections sebagai bentuk alternatif pidana penjara di Indonesia. Rothman (1972) dalam Burghardt (1985) menjelaskan bahwa perubahan atau perkembangan strategi selalu selaras dengan kebutuhan dan sumber daya suatu organisasi. Oleh karenanya, strategi penerapan community-based corrections di Indonesia pun sangat bergantung pada kondisi organisasi pelaksananya, yakni Pemasyarakatan. Proses perumusan strategi penerapan community-based correction dalam studi ini dilakukan dengan menggunakan teknik Delphi yang melibatkan para pengambil kebijakan dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai instansi yang memang memiliki peran dalam pelaksanaan communitybased corrections. Analisis SWOT masing-masing model pemidanaan menjadi dasar dalam perumusan strategi implementasi ini. Pembahasan mengenai strategi dalam bab ini merujuk pada strategi umum dan strategi khusus. Strategi umum merupakan strategi-strategi yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan semua model pemidanaan yang dibangun berdasarkan permasalahan umum dalam pelaksanaannya. Sedangkan strategi khusus menjelaskan strategi-strategi yang sesuai dengan karakteristik model pemidanaan serta program community-based corrections yang memiliki peluang untuk
278 |
diterapkan didalamnya. Permasalahan khas yang dimiliki masingmasing model pemidanaan serta kebutuhan dalam pelaksanaan program menjadi dasar dalam membangun strategi. VI. 1 Strategi Umum Masalah regulasi, organisasi Pemasyarakatan, dan keterlibatan publik merupakan 3 (tiga) masalah umum yang dihadapi dalam pelaksanaan model-model pemidanaan. Oleh karenanya, perumusan strategi umumnya juga melingkupi strategi-strategi dalam mengatasi permasalahan tersebut. Dari sisi regulasi, regulasi umum dan regulasi khusus perlu dibuat sebagai dasar dalam pelaksanaan community-based corrections. Regulasi umum mengatur secara keseluruhan mengenai pelaksanaan model maupun program community-based corrections. Sedangkan, regulasi khusus merumuskan lebih detil mengenai mekanisme pelaksanaan untuk tiap-tiap modelnya. Analisis kebutuhan dan risiko serta mekanisme penghukuman atas pelanggaran dalam pelaksanaan program community-based corrections merupakan satu contoh regulasi yang perlu diatur secara umum. Sejauh ini, pelaksanaan program cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan asimilasi belum berdasarkan pada penilaian analisis kebutuhan dan risiko, sehingga program yang diberikan seringkali tidak tepat sasaran. Kedepannya, analisis kebutuhan dan analisis risiko dapat menjadi dasar dalam menentukan model dan program communitybased corrections seperti apa yang cocok untuk diterapkan sebagai bentuk koreksi atau hukuman terhadap setiap terpidana. Kemudian, mekanisme penghukuman atas pelanggaran pelaksanaan program community-based corrections juga perlu dibuat agar pelaku tetap menjalankan program yang diberikan kepadanya sesuai dengan keputusan yang telah dijatuhkan. Dengan demikian, setiap terpidana dapat menjalani program
| 279
pembimbingan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya, sehingga hasil akhir yang didapat pun dapat memberikan dampak yang signifikan pada terpidana yang menjalaninya. Kemudian dalam kaitannya dengan regulasi khusus, umumnya regulasi ini berbentuk peraturan pelaksana. Suatu aturan memerlukan peraturan pelaksana karena beberapa hal, seperti: mendesaknya pemberlakuan suatu aturan, perlunya pengaturan yang detil, memerlukan keahlian khusus, dan pengaturan yang harus sesuai dengan karakter masing-masing daerah. Bentuk peraturan pelaksana ini dapat berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah, peraturan menteri, atau peraturan kepala lembaga. (setkab.go.id, 2015). Urgensi penyusunan regulasi khusus sangat erat kaitannya dengan keberlakuan regulasi umum itu sendiri. Hal ini dikarenakan keberlakukan regulasi umum bergantung pada keberadaan peraturan pelaksanaannya. Terkait hal ini, keberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dapat menjadi contohnya. Pelaksanaan undang-undang ini mengalami kendala karena belum ada peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksananya. Belajar dari permasalahan ini, pembentukan peraturan pelaksana disamping peraturan umum menjadi satu agenda prioritas dalam upaya penerapan community-based corrections kedepannya. Terkait dengan regulasi, aparat penegak hukum juga perlu memiliki pemahaman terkait substansi regulasi, khususnya mekanisme pelaksanaannya. Pemahaman yang baik terkait peran masing-masing dalam pelaksanaan regulasi menjadi penting karena selama ini pelaksanaan model community-based corrections yang sudah ada selalu terkendala pada masalah pelaksanaan masing-masing peran aparat penegak hukum. Misalnya saja, hakim memutus perkara anak tanpa kehadiran Pembimbing
280 |
Kemasyarakatan (PK Bapas) itu sendiri, Polisi tidak mempertimbangkan hasil penelitian masyarakat (Litmas) yang dibuat PK Bapas dalam memutuskan kelanjutan perkara anak, atau pihak pengadilan atau hakim tidak menyampaikan hasil keputusan pidana bersyarat kepada Bapas. Hal-hal demikian tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Oleh karena itu, pemahaman masingmasing peranan aparat penegak hukum sangat menjadi penting dalam pelaksanaan community-based corrections. Dari sisi organisasi Pemasyarakatan, strategi pelaksanaan community-based corrections meliputi anggaran, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia. Cakupan pelaksanaan strategi ini seluruhnya berada pada ranah Bapas. Lapas sendiri hanya berperan pada pelaksanaan beberapa program communitybased corrections saja. Oleh karenanya, Bapas menjadi fokus dalam penerapan strategi ini. Dukungan anggaran pada Bapas merupakan salah satu faktor penentu pelaksanaan program-program community-based corrections. Permasalahan seperti terbatasnya jenis program, terbatasnya kuota klien, ketidaksesuaian program pembinaan di Lapas dan program pembimbingan di Bapas, keterbatasan pelaksanaan Litmas, hingga keterbatasan pelaksanaan tugas pendampingan merupakan masalah-masalah yang salah satunya bersumber pada anggaran. Penganggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan membuat pelaksanaan program-program pembimbingan oleh Bapas tidak berjalan dengan semestinya. Oleh karenanya, perencanaan yang matang terkait anggaran merupakan salah satu strategi yang perlu diperhatikan dalam mendukung pelaksanaan community-based corrections. Perencanaan anggaran yang sesuai juga perlu didukung dengan pemenuhan sarana dan prasarana yang lengkap dan sesuai dengan kebutuhan program. Pembangunan kantor Bapas di setiap
| 281
wilayah kota/kabupaten harus menjadi agenda utama dalam pemenuhan kebutuhan ini. Keberadaan kantor Bapas selain merupakan bentuk pelaksanaan aturan, juga merupakan upaya untuk mempermudah pelaksanaan community-based corrections di seluruh wilayah. Kantor Bapas memegang peranan sebagai pusat pelaksanaan community-based corrections atau community corrections center. Sebagai community correction center, pemenuhan fasilitas dan sarana pendukung lainnya juga merupakan strategi yang perlu didukung dalam upaya pelaksanaan program. Misalnya saja, penyediaan ruangan yang besar yang lengkap dengan alat-alat dan ketersediaan bahanbahan pembuatan roti untuk program pelatihan keterampilan kerja pembuatan roti; lahan untuk menanam untuk program pelatihan menanam; ruang kelas serta sarana dan prasarana mengajar untuk program pendidikan; panti rehabilitasi untuk program rehabilitasi narkotika; ruang konseling untuk kegiatan konseling; dan ruang diskusi yang dilengkapi dengan fasilitas pendukung untuk program cognitive/behavioral groups/classess; serta halfway houses sebagai rumah tinggal sementara bagi pelaku yang tidak dapat pulang ke rumah selama menjalani program community-based corrections. Pelaksanaan community-based corrections juga sangat bergantung pada sumber daya manusia (SDM) Bapas, dalam hal ini khususnya PK Bapas. PK Bapas merupakan pemegang peranan kunci dalam pelaksanaan community-based corrections. PK Bapas berperan tidak saja sebagai pembimbing dan asesor (penentu program bagi narapidana), namun juga sebagai pendamping, mediator, maupun fasilitator dalam pelaksanaan programprogram yang ada. Oleh karena itu, Pemasyarakatan perlu melakukan upaya peningkatan kuantitas dan kualitas PK Bapas sebagai strategi dalam mewujudkan pelaksanaan community-based corrections kedepannya.
282 |
Strategi umum selanjutnya adalah keterlibatan masyarakat. Keterlibatan ini sebenarnya dapat direpresentasikan dengan masyarakat yang ikut berperan aktif melalui wadah lembaga adat, instansi pemerintah maupun swasta, dan lembaga non-profit maupun lembaga profit. Namun demikian, hal ini tidak cukup. Keterlibatan masyarakat perlu diupayakan secara lebih luas, tidak hanya terbatas dalam instansi-instansi tertentu. Pencapaian pada kondisi tersebut membutuhkan proses yang tidak singkat. Oleh karena itu, strategi pelibatan publik dalam upaya pengimplementasian community-based corrections mencakup strategi jangka pendek dan strategi jangka panjang. Strategi jangka pendek menyasar dan memberdayakan sumber daya dan relasi-relasi yang sudah ada. Capaiannya adalah membangun maupun mempererat keterlibatan peran masyarakat dalam program ini. Lembaga adat, keluarga, panti rehabilitasi, panti sosial, mitra kampus, klinik terapi psikologis, dinas sosial, dinas kesehatan, dinas pendidikan, LSM, sekolah, pesantren, dan perusahaan milik swasta merupakan contoh-contoh yang sudah tersedia. Pemberian ruang dan kesempatan bagi mereka untuk lebih banyak terlibat dalam proses pelaksanaan community-based corrections merupakan awalan yang baik. Untuk itu, perlu ada mekanisme legal dalam bentuk standar operasional prosedur (SOP) atau bentuk aturan legal lainnya yang dapat menjadi dasar dalam membangun maupun memperkuat kerja sama dengan pihak-pihak tersebut. Strategi jangka panjang menyasar partisipasi publik yang lebih luas. Dalam hal ini, kesadaran publik untuk ikut berperan aktif melibatkan diri dalam pelaksanaan community-based corrections adalah capaian akhirnya. Untuk itu, upaya yang perlu dilakukan adalah membangun wawasan, pengetahuan, dan pemahaman yang lebih luas kepada publik mengenai konsep community-based corrections. Pemahaman pembalasan sebagai
| 283
hukuman harus direduksi. Sebaliknya, publik harus memahami dan menyadari bahwa mereka juga perlu turut bertanggung jawab dalam proses pelaksanaan hukuman terhadap pelaku. Upaya ini dapat ditempuh melalui berbagai intervensi sosial. Misalnya, melalui edukasi, sosialisasi, maupun interaksi secara langsung. Interaksi secara langsung dalam hal ini dapat pula dalam bentuk masyarakat berperan sebagai fasilitator volunteer dalam pelaksanaan program community-based corrections. VI. 2 Strategi Khusus VI. 2. 1 Cuti Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Pembebasan Bersyarat, dan Asimilasi Strategi khusus terkait program cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan asimilasi lebih tepat menyasar pada penyusunan instrumen penilaian perkembangan narapidana atau lebih umum disebut instumen penilaian kelakuan baik. Strategi ini menerapkan peran Lapas sepenuhnya karena pelaksanaan penilaian ini memang dilakukan selama narapidana menjalani masa hukumannya di dalam penjara. Peranan ini pada intinya bertumpu pada pemenuhan syarat “berkelakuan baik” sebagai salah satu syarat pengajuan program yang memang diperuntukkan khusus bagi orang-orang yang menjalani hukuman pidana penjara. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab V, masalah yang muncul terkait hal ini adalah belum adanya instrumen khusus yang dapat digunakan untuk menilai perkembangan pembinaan narapidana sehingga dapat dikatakan berkelakuan baik atau tidak. Oleh karena itu, untuk mendukung pelaksanaan program community-based corrections bagi narapidana, maka perlu dibuat instrumen khusus yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian terhadap perkembangan pembinaan narapidana.
284 |
Selain instrumen, penilaian ini juga membutuhkan keberadaan peran wali dari sisi SDM Lapas serta dukungan sarana dan prasarana di dalam Lapas itu sendiri. Wali berperan dalam memberikan penilaian atau catatan perkembangan narapidana. Sedangkan, sarana dan prasarana merupakan dukungan bagi pelaksanaan kegiatan pembinaan di dalam Lapas dimana narapidana dapat beraktivitas dan berkembang. Dengan dukungan keduanya, penilaian perkembangan narapidana sebagai syarat dalam pengajuan program cuti bersyararat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan asimilasi dapat dilakukan dengan lebih baik dan obyektif. Dari sisi Bapas, Bapas perlu memiliki mekanisme pengawasan atas kinerja wali dalam melakukan penilaian. Hal ini merupakan dukungan agar penilaian perkembangan narapidana yang dibuat oleh wali dapat lebih obyektif. Selain itu, hasi penilaian yang obyektif juga dapat membantu PK Bapas sebagai dasar dalam penyusunan Litmas dan dalam memberikan rekomendasi program community-based corrections bagi pelaku. Salah satu upaya yang dapat dilakukan terkait penilaian ini adalah dengan mengembangkan sistem penilaian perkembangan narapidana berbasis teknologi informasi. VI. 2. 2 Cognitive/ behavioral groups/ classess Fokus strategi implementasi program Cognitive/behavioral groups/classess mengacu pada pelaksanaan intervensi terhadap kondisi psikologis dan kognisi pelaku, korban, dan keluarga korban. Kebutuhan utama pelaksanaan program ini adalah SDM yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang psikologis. SDM ini akan berfungsi sebagai konselor dan fasilitator. Selain itu, pelaksanaan program ini juga membutuhkan tenaga psikiatris sebagai dukungan bagi pelaku, korban, maupun keluarga korban
| 285
yang mengalami dampak lebih jauh dari peristiwa yang dilakukan oleh pelaku sehingga membutuhkan treatment berbeda. Kebutuhan lain terkait pelaksanaan program ini adalah pembuatan kurikulum bagi masing-masing program/kelas. Tugas ini dapat dilakukan dengan kerja sama antara Bapas dengan pihak lain yang ahli dalam bidang psikologi dan kognisi. Penyusunan kurikulum yang dimaksud berfokus pada upaya perawatan dan intervensi perilaku pelaku, terutama yang berkaitan dengan isu konfrontasi kepercayaan, sikap, dan perilaku; penilaian akan relasi yang sedang dijalani oleh pelaku; penguatan perilaku dan kebiasan-kebiasaan positif; pembentukan identitas positif; peningkatan konsep-diri; menurunkan hedonisme dan meningkatkan toleransi terhadap frustasi; serta mengembangkan tingkat penalaran moral. Sementara itu, workbook juga perlu dibuat untuk masing-masing pelaku sebagai alat kontrol antara pelaku dan konselornya terkait pelaksanaan program. VI. 2. 3 Pelatihan Keterampilan Kerja Strategi penerapan program pelatihan keterampilan kerja bertumpu pada dukungan pelaksanaan aktivitas kelas-kelas yang ada. Misalnya, kelas persiapan kerja, pelatihan keterampilan kerja, peluang akan penempatan kerja, kelas pengembangan kemampuan manajemen keuangan, kemampuan berkomunikasi, pengambilan keputusan, dan kemampuan sosial lainnya juga menjadi aspekaspek yang diajarkan dalam kelas-kelas guna mendukung kemampuan kerja dan kehidupan pelaku. Oleh karenanya, sumber daya manusia (SDM), silabus pelatihan, dan kerja sama dengan lembaga sertifikasi menjadi fokus strategi penerapan program ini. Sumber daya manusian yang dibutuhkan dalam menyukseskan program ini mencakup instruktur bidang-bidang kerja yang diadakan, pengajar kelas persiapan kerja, dan pengajar kemampuan tambahan. Pelatih bidang-bidang kerja yang diadakan
286 |
dapat berasal dari petugas Bapas yang sebelumnya sudah dibekali pelatihan yang memadai atau dapat pula merupakan anggota masyarakat yang memang memiliki keahlian di bidang tersebut. Begitu pula dengan pengajar kelas persiapan kerja dan kemampuan tambahan. Keduanya dapat memanfaatkan SDM Bapas yang sebelumnya telah menjalani pelatihan yang berkaitan dengan bidang tersebut atau memberdayakan seorang pengajar yang telah berpengalaman di bidang tersebut. Dalam hal ini, masyarakat sebagai instruktur atau tutor sebaiknya lebih diutamakan demi mendukung pelibatan yang lebih intensif. Untuk mendukung efektivitas pelaksanaan program pelatihan kerja, penyusunan silabus menjadi prioritas kedua dalam hal ini. Silabus merupakan dasar bagi peserta maupun instruktur program dalam menilai kemajuan skill pelaku selama menjalani program pelatihan keterampilan kerja. Sehingga, penilaian keberhasilan pelaku dalam menjalani program tidak hanya didasarkan pada intensitas pelaku dalam mengikuti kelas, namun benar-benar melihat sejauh mana pelaku dapat mempraktikan secara sempurna apa yang telah ia pelajari dalam kelas-kelas keterampilan kerja tersebut. Di sisi lain, Bapas juga perlu didorong untuk membangun kerja sama dengan lembaga pemberi sertifikasi profesi. Hal ini penting karena dapat menjadi bukti bagi pelaku dalam pencarian kerja di masyarakat, sehingga hambatan-hambatan pelaku dalam mencari kerja dapat tereduksi dengan adanya bukti sertifikasi yang ada. VI. 2. 4 Pendidikan Strategi pelaksanaan program pendidikan utamanya mengacu pada penyediaan pengajar atau tutor, sarana dan prasarana, dan kurikulum dalam kegiatan belajar mengajar. Ketiganya merupakan dukungan utama dalam kegiatan belajar mengajar bagi peserta program pendidikan.
| 287
Untuk mendapatkan capaian yang sesuai dengan target, SDM pengajar harus memiliki kualifikasi yang sesuai dengan kebutuhan pengajaran, baik program pendidikan wajib setara pendidikan menengah atas maupun kelas tambahan. Terkait dengan adanya keharusan bagi para siswa untuk mengikuti beberapa kelas dalam program pendidikan wajib dan tambahan, maka para pengajar tersebut harus terdiri dari guru atau tutor yang sesuai bidang pengajaran, seperti kesenian, matematika, pengetahuan alam, pengetahuan sosial, bidang ilmu komputer, keagaman, keberagaman, dan sebagainya. Penyediaan guru yang sesuai bidang keahlian akan mendukung peserta program untuk mencapai hasil yang maksimal. Dari dimensi sarana dan prasarana, ruangan yang lengkap dengan sarana-sarana yang mendukung kegiatan, seperti bangku, meja, papan tulis, spidol, ruang perpustakaan yang dilengkapi dengan buku-buku, dan perlengkapan lainnya merupakan kebutuhan pokok dalam kegiatan belajar mengajar. Terkait dengan adanya beberapa subjek mata pelajaran yang wajib diikuti oleh mereka yang sedang menjalankan program pendidikan wajib, maka sarana tambahan yang mendukung masing-masing subjek tersebut juga patut diperhitungkan, misalnya peralatan musik untuk subjek kesenian atau alat peraga fisika dan matematika untuk subjek pengetahuan alam dan matematika. Sarana dan prasarana ini harus dibuat dengan kondisi dimana kegiatan belajar secara kelompok maupun “satu-lawansatu” dapat dilakukan, mengingat metode pembelajaran yang digunakan beragam. Selain itu, sarana lain yang mungkin harus pula diperhitungkan adalah transportasi yang dibutuhkan ketika pembelajaran dilakukan melalui metode “field trip”. Trip yang dimaksud dalam hal ini memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang ada di masyarakat dan melibatkan keluarganya dimana para pelaku diperbolehkan untuk
288 |
mengunjungi tempat-tempat tertentu seperti museum, markas pangkalan udara, gua, dll. Terakhir, penyesuaian kurikulum merupakan kebutuhan dari pelaksanaan program pendidikan. Kurikulum di sini menjadi acuan bagi pengajar dalam memberikan pengajaran kepada peserta program. Dengan adanya kurikulum, program pendidikan yang dilaksanakan di Bapas dapat setara dengan pendidikan yang dilaksanakan lembaga pendidikan lainnya. Sehingga, peserta program juga akhirnya dapat mencapai hasil yang maksimal, atau paling tidak mampu melewati proses ujian dengan baik. Oleh karenanya, pelaksanaan program wajib pendidikan membutuhkan sinergisitas kurikulum, ujian, dan sertifikasi dari Departemen Pendidikan. VI. 2. 5 Pengawasan Fokus strategi penerapan program pengawasan bertumpu pada mekanisme dan sarana dan prasarana pengawasan. Pengawasan yang dilakukan dengan bentuk aftercare maupun monitoring elektronik membutuhkan suatu mekanisme yang baku dan rinci terkait bagaimana pengawasan ini dilaksanakan. Salah satu langkah yang dapat ditempuh terkait hal ini adalah dengan penyusunan standar teknis pelaksanaan pengawasannya. Pengawasan dalam bentuk aftercare misalnya dapat dilakukan dengan menggunakan metode wajib lapor dan telepon, sedangkan pengawasan dalam bentuk monitoring elektronik dapat dilakukan dengan memaksimalkan fungsi alat pendeteksi elektronik dan wajib lapor. Dengan demikian, gerak gerik pelaku tetap sepenuhnya berada dibawah pengawasan pihak yang bertanggung jawab menyelenggarakan pengawasan. Terkait penyelenggara pengawasan, Bapas memegang peranan utama dalam hal ini. Namun demikian, Bapas juga perlu melakukan kerja sama dengan keluarga pelaku, masyarakat, dan
| 289
aparat penegak hukum sekitar tempat pelaku berada. Oleh karena itu, mekanisme teknis terkait kerja sama ini juga menjadi kebutuhan dalam pelaksanaan program. Selanjutnya, pelaksanaan pengawasan juga membutuhkan dukungan sarana dan prasarana secara penuh. Pengawasan dalam bentuk aftercare maupun monitoring elektronik dapat berjalan apabila sarana dan prasarananya terpenuhi. Alat komunikasi/telepon, gelang monitoring elektronik yang pendeteksi elektronik atau global positioning system (GPS), dan ruang wajib lapor/konseling merupakan contoh-contoh sarana dan prasarana utama dalam pelaksanaan program ini. VI. 2. 6 Pelayanan Masyarakat Strategi penerapan program pelayanan masyarakat mencakup mekanisme pelibatan peran masyarakat, pelaksanaan, dan pengawasan. Peran masyarakat yang cukup besar dalam program ini perlu didukung dengan merumuskan aturan yang dapat mendorong masyarakat untuk ikut serta membangun kerja sama dalam pelaksanaan program. Aturan ini dapat berupa aturan yang bersifat teknis, seperti tata cara pengajuan kerja sama untuk menerima bantuan pelayanan dari para pelaku terpidana. Dengan demikian, institusi-institusi pemerintah atau swasta yang bergerak di isu-isu sosial atau lembaga adat dapat menjadi partner kerja bagi Bapas dalam penyelenggaraan program ini. Mengenai pelaksanaan, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah mengatur mengenai jumlah maksimal durasi keseluruhan dan jumlah minimal durasi harian yang harus dilaksanakan dalam program ini. Namun demikian, ketentuan tersebut masih berupa rancangan. Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan sebagai bagian dari strategi implementasi program ini adalah mendorong pengesahan RKUHP
290 |
atau menyusun aturan baru lainnya yang berisi aturan teknis mengenai pelaksanaan program pelayanan masyarakat. Selama pelaksanaan program ini, pengawasan juga perlu dilakukan. Pelaksanaan pengawasan dapat memberdayakan pihak ketiga dimana program ini dilaksanakan dan juga oleh volunteer dari masyarakat yang bersedia ikut serta terlibat dalam pelaksanaan pengawasan. Meskipun demikian, pengawasan ini harus dibawah kendali Bapas sebagai pemegang kendali utama. Untuk itu, perlu dibuat mekanisme pengawasan yang didalamnya mengatur hubungan antara peran masyarakat dan Bapas, serta bagaimana pengawasan ini dilakukan. VI. 2. 7 Rehabilitasi Program rehabilitasi mencakup rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pada intinya, rehabilitasi ini mengarah pada pemulihan kemampuan fisik, mental, dan sosial pecandu agar dapat berkembang dan kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut, strategi khusus yang dapat diterapkan pada program ini meliputi mekanisme pelaksanaan, sumber daya manusia, dan ketersediaan sarana dan prasarana. Pelaksanaan rehabilitasi harus didasarkan pada asesmen kebutuhan pelaku. Kebutuhan di sini merujuk pada program apa saja dapat dikembangkan secara tepat berdasarkan fungsi serta status obat pelaku. Bagi pecandu zat-zat kimia misalnya, programprogram seperti konseling individu, recovery group, dan relapse prevention group merupakan program yang dapat diterapkan dalam proses rehabilitasi. Berdasarkan penjelasan tersebut, halhal yang harus dipersiapkan adalah asesmen kebutuhan, kurikulum dari setiap program, termasuk penentuan intensitas pertemuan dari setiap program yang semuanya masuk sebagai bagian dari mekanisme pelaksanaan program.
| 291
Dari sisi sumber daya manusia, keberadaan dokter, psikolog, dan psikiater memiliki peranan penting dalam proses rehabilitasi. Tenaga-tenaga medis tersebut dapat diupayakan melalui kerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintah di bidang kesehatan. Selain itu, keluarga dan masyarakat juga dapat turut berperan sebagai volunteer dalam membantu pelaksanaan pendampingan agar pelaku tetap melaksanakan program yang telah dirancangkan untuknya. Dari sisi sarana dan prasarana, rumah atau fasilitas rehabilitasi merupakan syarat utama dalam pelaksanaan rehabilitasi. Untuk memenuhi kebutuhan ini, kerja sama dengan lembaga-lembaga rehabilitasi merupakan salah satu upaya yang dapat ditempuh sebagai salah satu bagian dari strategi implementasi. Kerja sama ini juga perlu didukung dengan sinergisitas peran dari pihak Pemasyarakatan, pemerintah, Badan negara yang menangani masalah penanggulangan narkotika, aparat penegak hukum, lembaga perlindungan masyarakat, maupun masyarakat sebagai pihak-pihak yang juga harus bertanggung jawab dalam pelaksanaan program rehabilitasi. VI. 2. 8 Victim Servive Seperti yang sudah disebutkan dalam bab sebelumnya, pertanggungjawaban terhadap korban memiliki dua bentuk, yakni pertanggungjawaban secara finansial dan non finansial. Pertanggung jawaban secara financial mengutamakan mekanisme kesepakatan antara pelaku dan korban, sedangkan pertanggung jawaban non financial mengutamakan mekanisme pertanggung jawaban dari sisi pelaku terhadap masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka pengaturan mekanisme pertanggung jawaban menjadi kebutuhan utama dalam pengimplementasian program ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan sebagai strategi
292 |
implementasi program ini adalah penyediaan fasilitator dan pengawas pelaksana program. Fasilitator memegang peran penting dalam mencapai pemufakatan antara pelaku dan pihak korban atau masyarakat. Fasilitator dalam hal ini berperan dalam mefasilitasi kepentingan korban maupun masyarakat dengan kemampuan pertanggung jawabanb pelaku. Untuk mendukung peran ini, fasilitator dapat berasal dari Bapas dan masyarakat yang memang memiliki kemampuan untuk memfasilitasi kepentingan kedua belah pihak. Masyarakat di sini dapat berupa ketua adat, tokoh masyarakat, atau lembaga bantuan hukum. Di samping fasilitator, peran pengawas juga dibutuhkan dalam pelaksanaan program. Pengawasan dibutuhkan agar pelaku dapat tetap berkomitmen dalam melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, peran pengawasan sebaiknya juga diberikan kepada mereka yang telah menjadi fasilitator dalam setiap kasus yang diselesaikan dengan program victim services. Dengan demikian, pelaku pengawasan dapat menjalankan perannya secara maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Alarid, Leanne Fiftal. 2013. Community-Based Correction. Belmont: Wadsworth. Aniceto, L. W. 1990. Community-Based Treatment of Offenders in the Philippines: Implementation of the Adult Probation Law. Resource Material No. 38 (hal. 269-277). Tokyo: UNAFEI. Ar, Suhariyono. 2009. Pembaruan Pidana Denda di Indonesia. Depok: Disertasi Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Australian Government. 2011. Prison-based Correctional Offender Rehabilitation Programs: The 2009 National Picture in Australia. Canberra: Australian Institute of Criminology. Aranoval, dkk. 2011. Naskah Akademik: Rancangan UndangUndang Pemasyarakatan tentang Balai Pemasyarakatan, Dewan Pembina Pemasyarakatan, dan Tim Pembina Pemasyarakatan. Jakarta: Center for Detention Studies. Asmarawati, Tina. 2015. Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitensier). Yogyakarta: Deepublish. Barton-Bellesa, Shannon M dan Robert D. Hanser. 2012. Community-Based Corrections: Section I: History and Development of Community-Based Corrections. California: SAGE Publications, Inc. Center for Detention Studies. 2011. Kajian Akademik tentang Balai Pemasyarakatan sebagai Bahan Usulan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta: Center for Detention Studies.
294 |
Center for Detention Studies. 2014. Realitas Penjara Indonesia. Jakarta: Center for Detention Studies. Center for Detention Studies. 2015. Realitas Penjara Indonesia 2. Jakarta: Center for Detention Studies. Center for Detention Studies. 2015. Realitas Penjara Indonesia 3. Jakarta: Center for Detention Studies. Clear, Todd R. dan Harry R. Dammer. 2000. The Offender in the Community. California: Wadswirth/ Thomson Learning. Cox. Fred M., dkk. 1985. A Book of Readings: Strategies Doak, Jonathan. 2008. Victim’s Rights, Human Rights, and Criminal Justice: Reconceiving the Role of Third Parties. Oxford & Portland: Hart Publishing. Eddyono, dkk. 2015. Catatan Singkat terhadap Rencana Pembahasan RKUHP 2015. Jakarta: Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Freitas, Henrique, dkk. 1998. The Focus Group, A Qualitative Reserach Method (Working Paper). University of Baltimore. Gea, Johanes. 2011. Diversi sebagai Alternatif Penyelesaian Terbaik Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum: Analisis Terhadap Kasus 10 Anak Bandara dan Kasus Deli (Skripsi). Depok: Universitas Indonesia. Given, Lisa M. 2008. The SAGE Encyclopedia of Qualitative Research Methods: Volumes 1 & 2. California: SAGE Publications, Inc. Handwerk, Alicia dan Chritopher Galli. 2008. Community-Based Correctional Facilities: Program Overviews. United States. Iriani, Diana Tri. n.d. Perbandingan Pengaturan Pidana Denda di Dalam KUHP dan Tindak Pidana di Luar KUHP.
| 295
Iswara, I Made Agus Mahendra. 2013. Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali. Jakarta: Program Studi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Komas HAM & Aliansi Nasional Reformasi KUHP. 2007. Konsultasi Publik Melihat Reformasi KUHP: Perkembangan Tindak Pidana yang Terkait dengan Karya Jurnalistik, Pers dan Media dalam RKUHP. Jakarta: Komas HAM & Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Lambie, Ian dan Malcom W. Stewart. 2011. Community Solutions for the Community’s Problem: An Evaluation of Three New Zealand Community-Based Treatment Programs for Child Sexual Offenders. Larasati, Nadia Utami. 2009. Pidana Alternatif dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia (Skripsi). Depok: Skripsi Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom. 2006. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma dan Realita. Bandung. McCarthy, Belinda Rogers., Bernard J. McCarthy Jr., dan Matthew C. Leone. 2001. Community-Based Correction. Belmont: Wadsworth. Morgan, David L. 1997. Focus Groups as Qualitative Research (Volume 16 Second Edition). SAGE Publications. Mustofa, Muhammad. 2013. Metode Penelitian Kriminologi. Jakarta: Prenadamedia Group.
296 |
Rangkuti, Freddy. 2013. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Rethinking Crime and Punishment. 2005. Victims’ and defendants’ rights: can they be reconciled?. London: Esmee Fairbairn Foundation. Silverman, David. 2000. Doing Qualitative Research: A Practical Handbook. London: SAGE Publications Ltd. Septiano, Muhammad Fajar. 2014. Pidana Kerja Sosial sebagai Alternatif Pidana Penjara Jangka Pendek (Jurnal). Malang: Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya. Sue, Valerie M & Lois A. Ritter. 2012. Conducting Online Survey. California: SAGE Publications, Inc. The Pew Center on the States. 2009. One in 31: The Long Reach of American Corrections. Washington DC: The Pew Charitable Trust. Tongat. 2002. Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Djambatan. Trotter, Christopher. 1993. The Supervision of Offenders – What Works? A study undertaken in Community Based Corrections, Victoria. Melbourne: Social Work Department dan Victorian Department of Justice. United Nations Office on Drugs and Crime. 2007. Handbook of Basic Principles and Promising Practices on Alternatives to Imprisonment. New York: United Nations Publication. Walker, John dan David Biles. 1986. Australian Community BasedCorrections 1985-86: Results of the First National Census of Community-Based Corrections. Phillip: Australian Institute of Criminology.
| 297
Workman, Kim. (tidak ada tahun). How Should We Reintegrate Prisoners? Yangco, Celia Copadocia. 1999. Ommunity-Based Treatment for Offenders in the Philippines: Old Concepts, New Approaches, Best Practices. Resource Material No. 54 (hal. 283-300). Tokyo: UNAFEI.
Jurnal : Jiang, Shanhe., dkk. 2014. Community Corrections in China: Development and Challenges. The Prison Journal 2014 94: 75, 28 November 2013. Diakses dari: http://tpj.sagepub.com/content/94/1/75, pada 23 April 2014. Li, Enshen. 2015. China’s Community Corrections: an Actuarial Model of Punishment. Crime Law Soc Change DOI 10.1007/s10611-015-9574-6, 20 Agustus 2015. White, Rob dan Kevin Tomkins. 2003. Issues in Community Corrections. Briefing Paper No. 2. University of Tasmania.
Regulasi: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Pemasyarakatan.
RI
Nomor
12
Tahun
1995
tentang
Undang-Undang RI Ketenagakerjaan.
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
298 |
Undang-undang RI Nomor 20 tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Peraturan Pemerintah RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan Pemerintah RI Nomor 57 Tahun 1999 tentang Kerjasama Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Peraturan Jaksa Agung RI Nomor Per- 006/A/J.A/04/2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntutan.
| 299
Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PR.07.03 Tahun 1985 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan. Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.02-PR.07.03 Tahun 1987 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak. Petunjuk Teknis Menteri Kehakiman RI Nomor E.40-PR.0503 Tahun 1987 tentang Bimbingan Klien Pemasyarakatan.
Dokumen & Berita: Arisman. n.d. Warga Binaan Pemasyarakatan Tahap Asimilasi: Solusi Terhadap Masalah-Masalah Pelaksanaan Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka. Diakses melalui http://jakarta.kemenkumham.go.id/download/karyailmiah/sdm/69-warga-binaan-pemasyarakatan-tahapasimilasi-solusi-terhadap-masalah-masalah-pelaksanaanpembinaan-di-lembaga-pemasyarakatan-terbuka/file, pada tanggal 26 November 2015 pukul 17.10 WIB. General Education Development. Diunduh dari: http://www.cdcr.ca.gov/rehabilitation/general-educationdevelopment.html, pada: 22 Oktober 2015. Jalani Asimilasi, Antasari Azhar Kerja di Kantor Notaris, Gaji Rp 3 Juta untuk Negara. Diunduh dari: http://nasional.kompas.com/read/2015/09/15/16532171/ Jalani.Asimilasi.Antasari.Azhar.Kerja.di.Kantor.Notaris.Gaji.R p.3.Juta.untuk.Negara. pada: 21 Desember 2015. Mengapa Undang-Undang Perlu Peraturan Pelaksanaan? Diunduh dari: http://setkab.go.id/mengapa-undang-undang-perluperaturan-pelaksanaan/, pada: 5 Desember 2015
300 |
Moral
Reconation Therapy. Diunduh https://www.ccimrt.com/mrt, pada 22 Oktober 2015.
dari:
Surat
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 151/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim. Diunduh dari: http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadp df/ebab11bfcd92325f7b48a7d212ed9700/pdf, pada: 20 Desember 2015.
Status Pelaporan Bapas Per Kantor Wilayah. Diunduh dari: http://smslap.ditjenpas.go.id/public/bps/status/monthly, pada 27 Desember 2015.
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)