Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
FATWA KEADILAN SOSIAL SEBUAH RESOLUSI MENGELIMINIR KONFLIK HORIZONTAL DALAM NEGARA M. Sidi Ritaudin Institut Agama Islam Negeri ( IAIN) Raden Intan, Lampung
[email protected]
Abstract Based State entity, pluralistic society made up of various races, religions, race, ethnicity, color, language, culture, and so forth as the Unity State of Indonesian Republic (NKRI), of course, frequent frictions partly due to dissatisfaction of the people in the government vertical, but not least horizontally social conflict, and the state was often absent in solving cases of disputes that occur between residents. The conflict devastated while, but the potential for a more powerful explosion. The main cause of the horizontal currents allegedly caused no justice in the country. The poor, underdeveloped and easily ignited fire stupid provocation, what else if gaping social inequalities and the absence settle the case. Social conflicts ethnic backgrounds, religions, races, and intergroup (SARA) is often the case, the dominant factor is the economy. For the national stability of the Republic and established an important conflict resolution, which is necessary to formulate akdemis resolutions (fatwa) social justice that comes from al-Quran and as-Sunnah and the opinions of the scholars are credible and aceptable.
Abstrak Negara yang berasaskan kesatuan, yang masyarakatnya bersifat majemuk terdiri dari berbagai suku, agama, ras, etnis, warna kulit, bahasa, budaya dan lain sebagainya seperti NKRI, sudah barang tentu sering terjadi gesekangesekan akibat ketidakpuasan sebahagian dari masyarakat terhadap pemerintah secara vertikal, namun juga tidak sedikit terjadi konflik sosial secara horizontal, dan negara pun sering kali absen dalam menyelesaikan kasus-kasus pertikaian yang terjadi antarwarga. Konflik redam sementara, akan tetapi menjadi potensi untuk terjadinya ledakan yang lebih dahsyat. Arus utama penyebab konflik horizontal diduga kuat akibat tidak tegaknya keadilan dalam 1
negara. Rakyat miskin, tertinggal dan bodoh dengan mudah tersulut api provokasi, apa lagi jika kesenjangan sosial menganga dan negara absen menyelesaikan perkara tersebut. Berbagai konflik sosial yang berlatar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sering kali terjadi, faktor dominannya adalah masalah ekonomi. Untuk terciptanya stabilitas nasional NKRI, resolusi konflik penting ditegakkan, yang secara akdemis perlu dirumuskan fatwafatwa keadilan sosial yang bersumber dari al-Qur’an dan asSunnah serta pendapat para ulama yang kredibel dan akseptebel.
Kata Kunci : Keadilan Sosial, Konflik Horizontal, Emansipasi Sosial, Resolusi, Fatwa A. Pendahuluan Negara yang adil dan makmur, kesejahteraan merata bagi rakyat merupakan cita-cita bersama (kontrak politik) seluruh rakyat Indonesia 1 dalam mewujudkan kemerdekaan negeri ini. Menurut Fadjroel Rachman, negeri ini bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terambil dari “res publica Indonesia karena bertujuan mengurus publik, bukan bernama res privata Indonesia yang bertujuan mengurus kepentingan pribadi penguasanya.” 2 Terasa sekali betapa statemen Fadjroel ini secara implisit bermuatan kritik pedas terhadap penguasa yang acuh dengan kondisi rakyat yang 1 Lihat pembukaan UUD 1945, bahwa tujuan negara RI adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 2 M. Fadjroel Rachman, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat Tentang Kebebasan, Demokrasi dan Negara Kesejahteraan, (Depok : Penerbit Koekoesan, 2007), h. 144. Aristoteles, seperti dikutip Stephen Palmquis, menengarai bahwa; tirani adalah monarki dengan pandangan untuk kepentingan kepala negara, oligarki dengan pandangan untuk kepentingan orang-orang kaya, demokrasi dengan pandangan untuk kepentingan mereka yang miskin (baca rakyat). Lihat, Stephen Palmquis, Pohon Filsafat Teks Kuliah Pengantar Filsafat, terj. Muhammad Shodiq, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), h. 341. Agaknya, sistem kenegaraan NKRI yang dianut sekarang ini masih rancu, karena tidak sesuainya antara teori dengan praktik. Karena jika menganut paham demokrasi, ternyata rakyat sejak merdeka dari penjajah 66 tahun yang lalu, rakyat tidak pernah menjadi perhatian serius dari pemerintah, yang muncul adalah sikap tiran, arogan dan merasa bahwa negara ini seperti hanya milik penguasa, rakyat hanya pengabdi kepada mereka.
2
miskin, bodoh dan tertinggal, sementara di sisi lain, elite politik bergelimang harta dan kekayaan yang tidak akan habis dimakan tujuh turunan. Rakyat diakui KTP-nya hanya pada ceremonial lima tahunan ketika PEMILU sebagai pemilik republik, secara ideal bergema keberpihakan pemerintah kepada rakyat dalam kampanye-kampanye mereka. Setelah duduk di kursi pemerintahan, semua menjadi pikun dan pelupa, rakyat miskin hanya jadi beban dan memalukan, tidak dipandang sebagai aset yang harus dipedulikan dari berbagai aspek kehidupan sosial. 3 Jika terdapat gejolak sosial yang berujung pada konflik sosial ini merupakan sebuah indikasi bahwa dalam negara tersebut belum tegaknya keadilan. Sebagaimana dituju oleh sistem kenegaraan. Berbagai dimensi keadilan nampaknya sangat terasa oleh masyarakat belum menyentuh rasa keadilan melainkan baru sebatas normatif. Keadilan di bidang hukum, masih tajam ke bawah dan tumpul ke bawah. Keadilan di bidang ekonomi, masih berpihak pada pemilik modal dan konglomerat, keadilan sosial, masih masih belum berpihak secara optimal kepada rakyat miskin. Perlakuan terhadap “wong cilik” oleh pemerintah masih sangat terasa di masyarakat, contoh pelayanan kesehatan, pendidikan, pedagang pasar tradisional dan lain-lain, betapa perbedaan sangat jauh di bidang-bidang tersebut, antara elite penguasa, si kaya dengan mereka (wong cilik). Konflik sosial, jika terlalu sering terjadi dan tidak ditangani secara cepat dan tuntas, dapat merong-rong stabilitas nasional dan merugikan keamanan negara, baik secara nasional maupun politik luar negeri NKRI, bahkan bisa saja ditunggangi oleh kelompok-kelompok asing atau NGO, LSM yang tidak bertanggung jawab mengacau keamanan dan menyuburkan pemikiran saparatisme yang dapat merusak sendi-sendi ketahanan nasional. Oleh karena itu, akar persoalan berupa ketidakadilan sosial perlu diberi solusi, baik berupa pemikiran maupun teknis tindakan nyata. 3
Padahal, tugas pokok pemerintah, sebagai elitepenguasa, harus memahami dan peduli terhadap seluk beluk kehidupan sosial memasyarakatn dalam alam nyata dan dikaitkan dengan Islam sebagai tutunan Ilahi yang menyeluruh atau kaffah. Lihat, Fuad Amsyari, “Islam dan Kesejahteraan Sosial yang Adil-Merata, dalam, Masa Depan Umat Islam Indonesia, Bandung : Penerbit Al-Bayan, 1993), h. 125. Karena para kunstituen yang telah memberi amanat itu memilki ewspektasi kuat untuk dapat mewujudkan kesejahteraan sosial bersama antara publik dan pemerintah.
3
B. Paradigma Fatwa Keadilan Sosial Antara Islam (baca : nilai-nilai spiritual/ atau hubungan vertikal manusia dengan Tuhan) dengan sosial kemasyarakatan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, karena Islam itu bagi umat manusia merupakan way of life, di mana di dalamnya terkandung seluruh aspek kehidupan manusia yang menyangkut kegiatan ritual (membangun sinergisitas antara makhluk dengan Sang Khaliq) seperti shalat, puasa, dan berdo’a, dan juga aktivitas non-ritual (merajut hubungan antarsesama makhluk, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya) seperti berdagang, berladang, berbudaya, berpolitik, berperang, berkompetisi, menuntut ilmu dan sebaginya. 4 Dari hubungan vertikal dan horizontal inilah terbangunnya sistem nilai dalam Islam. Sistem nilai merupakan salah satu kemungkinan mengatasi masalah konflik sosial, di anataran nilai keadilan sosial yang sejatinya menjadi tujuan bersama dalam bernegara agaknya sulit diwujudkan, selama para penyelenggara negara tidak menjiwai sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini adalah dasar bernegara dan berpolitik, bagi sebahagian besar aktivis politik Islam Indonesia, bagaimanapun ia didefinisikan, merupakan bagian essensial Islam 5 . Pemahaman ini didukung oleh Hamid Enayat yang mengatakan : Secara tradisional, kaum Muslimin jarang mengkaji politik yang dipisahkan dari disiplin-disiplin terkait. Masalah-masalah semisal hakekat negara, keragaman pemerintahan, kualifikasi-kualifikasi penguasa, batasan kekuasaan mereka dan hak-hak orang-orang yang dipimpin dibahas sebagai bagian risalah yang komprehensif tentang fiqih dan ideologi – semuanya berada dalam koridor syari’ah yang tak terbantah.6
Dari pernyataan Enayat tersebut terlihat jelas bahwa integrasi sitem pemerintahan dengan syari’ah Islam merupakan 4
Lihat, Fuad Amsyari,”Islam dan Kesejahteraan Sosial yang Adil dan Merata” dalam, Masa Depan Umat Islam Indonesia, (Bandung : Penerbit Al-Bayan, 1993), h. 125. 5 Sayyid Quthb, al-‘Adâlah al-Ijtimâ’iyyah fî al-Islâm, Cet, ke-7 Beirut, Kairo : Dâr al- Surûq,1981. h. 101-108. 6 Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought (London : MacMillan, 1982), h. 3.
4
suatu aksioma yang solid, dan tidak terbantah dalam pandangan ulama tradisionalis, 7 Pemerintahan Islam dapat menganut sistem apa pun asalkan tetap melaksanakan syari’ah Islam. Karena itu, semua pemerintahan yang melaksanakan syari’ah Islam dapat disebut sebagai pemerintahan Islam, apa pun bentuk dan corak pemerintahannya. Sebaliknya, pemerintahan yang tidak mengakui dan menjalankan syari’ah Islam, meskipun dilaksanakan oleh organisasi yang menamakan dirinya Islam atau mempergunakan label Islam, tetap tidak dapat dikatakan sebagai pemerintahan Islam. 8 Dengan demikian berarti, Penerapan syari’ah Islam dalam negara, bagi sebahagian aktivis politik Islam, merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar, sebagai asas identitas umat, guna pemecahan berbagai persoalan sosial dan konflik dalam negara. Jargon modern, menurut Nurcholish Madjid, mengatakan bahwa dalam konteks kesejahteraan sosial, maka suatu cita-cita di bidang ekonomi adalah salah satu yang amat jeals dalam Kitab Suci yang disebut sebagai suatu cita-cita tentang Keadilan Sosial. 9 Maka dalam al-Qur’ân ada larangan memaling timbangan/ sukatan, tidak boleh memakan riba, tidak boleh menimbun harta/ spekulasi oleh pedagang guna mendapatkan keuntungan, dilarang jual beli hasil pertanian/perkebunan yang belum jelas buahnya (sistem borongan) yang dianggap ijon. Melihat berbagai contoh kasus di atas, secara teoritis, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada dua konsep penting untuk memahami persepsi masyarakat mengenai masalah sosial, yaitu : fatalisme dan aktivisme. Yang pertama, merupakan 7
Aksioma ini berlaku bagi NKRI, meskipun bentuk negara adalah negara kesatuan sudah final dan tidak bisa ditawar-tawar lagi, namun demikian harus diakui bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah Umat Islam. Apa yang akan terjadi bila Indonesia tanpa Islam ? pertanyaan ini diajukan oleh Seen Brink, sarjana Belanda, ahli sejarah Islam, yang mengatakan bahwa kesatuan nusantara adalah hasil dari perjuangan ulama, guru-guru agama, dan para santri, tapi kolonial Belandalah yang memecah belah persatuan Nusantara, dengan mengadu doma kalangan priyayi dan ulama. Lihat, “Fokus Utama” dalam Risalah Mujahidin, Edisi 11 Th. 1 Sya’ban 1428 H/ Agustus 2007 M. h. 13. 8 Sayyid Quthb, al-‘Adâlah al-Ijtimâ’iyyah fî al-Islâm, Cet, ke-7 Beirut, Kairo : Dâr al- Surûq,1981. h. 101-108. 9 Nurcholis Madjid, “Cita-Cita Keadilan Sosial dalam Islam”, dalam, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1994), h. 101.
5
sistem nilai yang percaya bahwa segala sesuatu sudah ditentukan nasibnya, tak dapat dihindarkan atau diubah dengan usaha manusia. Masyarakat yang menganut sistem nilai ini sangat terpaut dengan kepercayaan itu, di samping memang pengetahuan mereka tentang masalah sosial sangat terbatas, seperti penyimpangan, angka kematian dan penyebaran kemiskinan. Semua gejala itu dianggap semata-mata sebagai sesuatu yang wajar yang tidak perlu dipersoalkan. 10 Adapun yang kedua, persepsi masyarakat yang aktivisme justru sebliknya memandang bahwa masyarakat yang menganut sistem nilai yang berpandangan bahwa segala sesuatu dapat dikendalikan oleh manusia, mereka selalu berusaha mengubah keadaan menurunkan angka kematian, mengurangi kemiskinan, menaikkan angka harapan hidup dan sebagainya. Untuk yang terakhir ini, banyak masalah yang manifes, karena masyarakat itu mampu mengungkapnya, karena terlalu banyak masalah yang dihadapi. Sedangkan yang berfaham fatalis banyak masalah yang laten, karena permasalahan yang ada tidak pernah menjadi persoalan bagi mereka. 11 C. Keadilan Sosial Sebagai Landasan Resolusi Konflik 1. Nilai-Nilai yang disepakati Keadilan sosial merupakan cita-cita atau ekspektasi umat Islam untuk menjamin kesejahteraan bersama yang menjadi tujuan bersama membangun masyarakat Islam, dimana komunitas ini akhirnya menjelma menjadi sistem negara. Di Amereka pun, prilaku kenegaraan yang benar yang merupakan pengejawantahan kesalehan pribadi didasarkan pada budaya keagamaan yang merangsang pertumbuhan kesalehan sosial. Maka nilai spiritual dapat disepakati sebagai landasan etik resolusi konflik, mana kala kesalehan pribadi diimplementasikan dalam negara. 12 Penerapan prisnsip keadilan sosial (baca: 10 Paulus Tangdilintin, Masalah-Masalah Sosial Suatu Pendekatan Analisis Sosiologis, (Jakarta : Universitas Terbuka, 2000), h. 126-127. 11 Paulus Tangdilintin, Masalah-Masalah Sosial Suatu Pendekatan Analisis Sosiologis, (Jakarta : Universitas Terbuka, 2000), h. 126-127. 12 Lihat, David. C. Leege, Kenneth D. Wald dan Lymn A. Kellstedt, “ Dimensi Publik dari Kesalehan Pribadi” dalam, Agama dalam Politik Amereka, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, Kedutaan Besar Amereka Serikat dan Freedom Institute, 2006), h. 223.
6
syari’ah Islam) dalam negara dilatari oleh berbagai faktor, di antaranya adalah pertama, justifikasi keagamaan untuk kewajiban penerapan syari’ah, 13 Sayyid Quthb khususnya, dan kelompok Muslim tertentu (yang bermazhab integrasi agama dan negara, sperti Abu al-A’la Al-Maududi dan laian-lain), memandang bahwa penegakan syari’at Islam dipandang mereka sebagai kewajiban yang dibebankan Islam kepada pemeluknya.dalam konteks ini, adanya kesatupaduan visi antara pemerintah dengan rakyat. 14 Akan tetapi, mazhab yang berkembang di Indonesia tidak hanya yang radikal, masih banyak mazhab-mazhab yang moderat, yang menjadi panutan umat, seperti NU, Mathla’ul Anwar, Persis, Muhammadiyah, dan sebagainya, yang memilki kesepakatan akademis (baik implisit maupun eksplisit) bahwa apa pun sistem pemerintahan yang dianut negara, nilai-nilai ajaran Islam sejatinya dapat diimplementasikan dalam negara. Kedua, pembaharuan sistem hukum pada era poskolonial, sebab tatanan hukum pasca-kolonial wajib direformasi, 13
NKRI masih kelihatan malu-malu untuk secara tegas mendasarkan negara pada Islam, sebab demi terwujudnya negara kesatuan yang masyarakatnya majemuk, maka disusunlah Pancasila, yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai sila pertama. Oleh Buya Hamka, yang dikutip oleh Nurcholish Madjid, bahwa analogi Panca sila itu seperti pecahan rupiah 10.000, di mana angka satu adalah sila pertama, sedangkan sila kedua sampai sila kelima adalah nol yang ada di belakang angka satu. Jika angka satunya dihilangkan maka tidak memilki arti apa-apa. Lihat, Madjid, 13 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung : Penerbit Mizan, 1994), h. 178. Oleh karena itu nilai keadilan sosialuntuk mewujudkan kesejahteraan sosial sebagai di amanatkan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa tujuan bernegara adalah untuk kesejahteraan rakyat, tidak mungkin akan terwujud, jika nilai ritual vertikal tidak dibumikan dalam negara. 14 Di kalangan kelompok ini, (kelompok Islam yang lebih radikal), sejumlah bagian al-Qur’an telah dijadikan sumber justifikasi untuk penegakan syari’ah Islam dalam negara. Mereka lebih menginginkan aplikasi hukum Islam yang lebih bersifat literal dan dalam kebanyakan kasus, lebih berorientasi kepada warisan fikih kelasik. MMI dari Indonesia, Ikhwan alMuslimin dari Mesir, Jama’at-I-Islami dari Pakistan, dan Taliban dari Afganistan, merupakan sebagaian dari yang berpandangan demikian. Lihat penjelasan lebih lengkap, Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Politik Syarit Islam dari Indonesia hingga Nigeria, (Jakarta : Pustaka Alvabet, 2004), h. 169-170.
7
karena ketika Barat melakukan kolonialisasi di hampir seluruh dunia Islam, suatu kebijakan dilakukan untuk membatasi penerapan syari’ah Islam yang ketika itu dipraktekkan sebagai hukum yang hidup di koloni-koloninya. Sistem-sistem hukum non-syari’ah atau Barat diundangkan untuk menggantikan aspek-aspek tertentu praktek hukum Islam, 15 tentu saja termasuk di Indonesia. Jadi, para aktivis politik, alim ulama dan pemerintah sepakat bahwa sistem hukum yang tidak lagi kondusif bagi pertumbuhan demokrasi harus diperbaharui, tentu saja dalam konteks ini, nilai-nilai ajaran Islam memilki peluang besar untuk diakses. Ketiga, globalisasi, salah satu aspek globalisasi adalah dampak negatif yang dianggap timbul dari proses tersebut terhadap budaya masyarakat Muslim. Dalam hal ini, nilai-nilai syari’ah Islam, atau ajaran Islam dari berbagai aspeknaya, baik aspek tauhid, moral dan hukum, serta lembaga-lembaga, juga praktek masyarakat Muslim telah tercemari bahkan telah tergeser oleh budaya Barat yang diakibatkan oleh proses globalisasi tersebut. Ironisnya, isu-isu global dalam bidang politik; seperti demokrasi liberal, ideologi modern kapitalisme dan sosialisme, bahkan sekularisme telah merasuk ke negerinegeri Muslim, termasuk Indonesia, namun demikian mereka yang menerapkan ideologi “impor” ini telah gagal menuntaskan masalah-masalah mendasar di negeri Muslim. 16 Nilai-nilai 15
Kebanyakan penguasa Barat tidak langsung mengganti sistem hukum Islam secara menyeluruh, tetapi secara bertahap memperkenalkan hukum-hukum baru, diawali dengan hukum pidana, yang merupakan posisi terlemah dalam fluktuasi penerapan syari’ah, disusul hukum-hukum lainnya, serta membiarkan hukum kekeluargaan dan waris Islam sebagaimana adanya. Selepas dari cengkraman penjajah, di samping faktor-faktor lainnya, muncul tuntutan untuk mereformasi tatanan hukum peninggalan penjajah. Secara radikal, Sayyid Quthb menginginkan semua tatanan hukum dirombak total dengan hukum syari’ah Islam. Lihat, Sayyid Quthb, al-‘Adâlah al-Ijtimâ’iyyah fî al-Islâm, Cet, ke-7 Beirut, Kairo : Dâr al- Surûq,1981. h. 101-108.. 16 Eksperimen dengan kapitalisme dan sosialisme, yang pernah dilakukan di beberapa negeri Muslim, telah mempertegas ajakan kembali kepada syari’ah Islam. Probahan-perobahan sosial yang terjadi, kecenderungan pola hidup yang konsumtif, dan perubahan-perubahan gaya hidup masyarakat, penganagguran, kesenjangan sosial, telah menyebabkan masyarakat beralih kepada Islam sebagai jalan keluar. Dalam konteks inilah, Islam dan syari’ah Islam ditampilkan sebagai altrernatif dan jalan keluar, seperti tampak dari slogan gerakan-gerakan Islam serupa “kembali ke Islam”, atau “Islam adalah solusi”. Lihat, Fauzi M. Najjar, “The Application of Syaria Laws in Egypt”, Middle East Policy, vol. 1, no. 3, 1992, h. 63-64.
8
kesederhanaan, keadilan sosial, tawadhu, ketakwaan, agaknya disepakati dapat membendung dampak negatif arus globalisasi. Keempat, krisis ekonomi dan persoalan politik. Fenomena kemerosotan ekonomi dan melebarnya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Hal ini terlihat jelas Kehidupan yang sulit karena pengangguran, terjadinya inflasi, krisis moneter, dan sukarnya mendapatkan layanan kesehatan, semua menjadi faktor pendorong bergojolaknya konflik sosial, sehingga pertumbuhan gerakan Islam akan secara langsung berhubungan dengan kemerosotan kondisi ekonomi dan sosial. Nilai-nilai kejujuran ddalam berbisnis harus ditegakkan, dan pelanggar prinsip ekonomi, seperti perampokan uang negara (Korupsi), riba, ijon, spekulasi dan lain-lain harus diberantas melalui sistem ekonomi syari’ah dan hisbah. Prinsip; Islam adalah al-Dîn wa al-Dawlah dapat dipahami bahwa fungsionalisasi agama dalam negara merupakan suatu keniscayaan. Penerapan syari’ah Islam merupakan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pemimpin dan rakyat (kaum muslimin). Umat Islam mencakup kaidah kebangsaan dengan segenap keluasannya, yang meliputi semua umat Islam, kemudian umat menyerahkan kekuasaan kepada pemimpin. Dengan begitu dia menjadi wakil dari umat dalam segala aspek perbuatannya. Dengan peranan kepemimpinan wakil dari umat17 tersebut, rakyat menyerahkan pekerjaan dan tugas kepada para menteri, gubernur, pejabat, hakim dan lain-lainnya, sehingga terbentuk suatu kepemimpinan yang menggambarkan secara riil tentang kehidupan politis dan syari’ah Islam. Masing-masing mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan di bawah aturan 17
Umat di-Indonesiakan dari kata Ummah, lazim diartikan sebagai rakyat, masyarakat atau bangsa, komunitas. Lihat, Antony Black, The History of Islamic Political Thought : From the Prophet to the Present, (Edinburg : Edinburg University Press, 2001), h. 36, 44, 52. Abdul Rashid Moten melihat term Ummat ini sebagai konsep unik yang tidak mempunyai padanan istilah dalam bahasa Barat, karena pengertian ummat itu memiliki ciri komunitas tersendiri dan memiliki zauq makna yang khas dengan pengertian yang khas pula dalam Islam. Term yang mengacu pada ummat sebagai tatanan sosial Islam tersebar dalam berbagai ayat, sesuai konteksnya, dalam al-Qur’an, seperti ayat 2 : 143; 40: 5; 49: 13; 7: 159; 28: 23; 10:19; 10: 47; 3:110; 7:168; 7:158. dan masih banyak lagi, lihat misalnya, Abdul Rashid Moten, Political Science ; An Islamic Perspective, (London : Macmillan Publishing, 1996), h. 77-99.
9
tertentu bagi umat Islam, sesuai dengan kaidah-kaidah yang dibuat, yang puncak tujuannya ialah berbakti kepada syari’ah Islam. Para penguasa, merupakan simbol negara/ dawlah dan tampuk kekuasaan. Mereka dapat meletakkan kekuatan dan kekuasaan di belakang tuntutan penerapan syaria’t Islam, mereka dapat berbuat lebih banyak dan lebih cepat dari yang diperkirakan orang. Sementara setiap anggota masyarakat harus meyakini tujuan yang tinggi ini dan mengerahkan potensi dirinya untuk tujuan itu. Karena itu harus diketahui kewajiban dan tanggung jawab pemimpin terhadap umat, baik secara individu maupun sosial, dan apa pun hak yang harus diterima pemimpin atas umat, apa kewajiban dan tanggung jawab rakyat, apa hak-hak yang diterimanya di bawah lindungan syari’ah Islam yang adil. Argumentasi ini agaknya dikembangkan dari sabda Rasulullah Saw., dalam hadits shaheh dari Abdullah bin Umar, dari Nabi Saw., beliau bersabda : “Ketahuilah, setiap orang di antara kalian menjadi pemimpin dan setiap orang di antara kalian bertanggung jawab tentang apa yang dipimpinnya. Seorang amir menjadi pemimpin atas manusia dan dia bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang lelaki menjadi pemimpin ats keluarganya dan dia bertanggung jawab atas mereka. Seorang wanita menjadi pemimpin atas rumah suaminya dan anaknya, dan dia bertanggung jawab terhadapmereka. Seorang budak menjadi pemimpin atas harta tuannya dan dia bertanggung jawab atas harta itu. Ketahuilah, setiap orang di antara kalian menjadi pemimpin dan setiap orang di antara kalian bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya.” (H.R. Al-Bukhari).18
Berangkat dari berbagai nash syari’ah, memperhatikan apa yang ditetapkan oleh para fuqaha’ dalam masalah ini, menyimak gambaran praktis dan aplikatif tentang dawlah Islam yang pertama kali pada zaman Rasulullah Saw, dan Khulafâ’ alRâsyidîn yang menjadi rujukan utama praktik syari’ah Islam dalam negara, maka dapat ditegaskan bahwa seorang pemimpin muslim merupakan urgensi yang diwajibkan Islam dan umat 18 Lihat, Shahih Al-Bukhari, Kitâb al-‘Atq, Bâb Karahiyah alTathâwul ‘Alâ al-Raqîq.
10
harus menegakkannya, agar dapat membela umat dari serangan musuh, menjaga keamanan dan kesuciannya, menutup celah yang muncul karena kerancuan urusannya, yang mengakkan hudud, hukuman dan peringatan untuk mencegah orang-orang yang hendak merusak kehidupan umat dan lain sebagainya dari berbagai kewajiban dan tanggung jawab yang harus diembannya. 19 2. Aksi yang menjadi konsensus bersama Keadilan sosial sebagai landasan resolusi konflik hendaklah dimulai dari prinsip tauhidiyyah berupa keyakinan bahwa yang Maha Adil itu adalah Allah swt, oleh karena itu mustahil elit politik akan berlaku adil jika kepemimpinannya tidak dijiwai oleh akidah tauhidiyyah. Akidah ini terangkum dalam dua bentuk; Pertama, kewajiban mentauhidkan Allah Swt dengan beribadah dan taat kepada-Nya. Kedua, kewajiban menyerah secara totalitas kepada Allah Swt dalam seluruh detail kehidupan. Akidah Islam berpengaruh kuat dalam membebaskan manusia dari hukum para thâghût (kekuatan selain Allah), dan menjadikan mereka sebagai hamba Allah Tuhan alam semesta. Dengan penanaman akidah seperti itu, manusia amat mudah dikondisikan menerima Pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara dalam konsensus menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia dengan menegakkan keadilan sosial, dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, kendati hal itu bertentangan dengan hawa nafsu mereka, keinginan-keinginan mereka, dan tradisi mereka. Problem inilah yang diniscayakan menjadi konsensus bersama rakyat Indonesia untuk kembali kepada dasar NKRI yaitu Pancasila. D. Emansipasi Sosial yang Terabaikan Gegap gempita perpolitikan akhir-akhir ini yang berlumuran lumpur kotor KKN yang tidak berkesudahan yang diawali oleh tidakadanya iradah politik dari para pemimpin 19
Bandingkan dengan pendapat Shalih bin Ghanim al-Sadlan, Wujûb Tathbîq al-Syarî’ah al-Islâmiyyah fi Kulli ‘Ashr, (Riyâdh : Dâr Balnasiyah, 1997), h. 5.
11
bangsa untuk mengikis tindakan transaksional politik, abuse of power dan politik kepentingan. Yang terjadi adalah kesenjangan sosial, secara kasat mata terlihat di publik adanya stratifikasi sosial. Banyangkan ada rakyat Indonesia yang memilki kekayaan hingga 14 trilyun, sementara di satu pihak masih banyak rakyat Indonesia yang untuk makan besok saja tidak tahu apa yang akan dimakan, karena persediaan beras pun tidak ada. Hal ini cukup jelas menunjukkan bahwa sistem keadilan yang tertuang dalam Pancasila belum berjalan sejajar dan konsisten dengan semangat keadilan berdasarkan persamaan manusia (egalitarianisme).20 Negara abai terhadap emansipasi sosial, hal ini terlihat nyata bahwa jurang pemisah antara rakyat dengan pemerintah atau elite penguasa masih sangat lebar, lihat saja umpamanya, jumlah rakyat miskin melampaui separoh penduduk, akan tetapi berdasarkan indeks komulatif pendapatan perkapita ternyata Indonesia mengalami peningkatan secara ekonomi, adanya penurunan angka kemiskinan. Ini di atas kertas, tetapi di lapangan faktanya penduduk miskin semakin meningkat jumlahnya. Secara manusiawi, penguasa dan rakyat sama-sama makhluk ciptaan Allah yang kedudukannya di mata Allah hanya dibedakan oleh taqwanya. Oleh karena itu, harus ada emansipasi sosial, yaitu dengan mengimplementasikan kehidupan sederhana dan keprihatinan oleh kelompok elite konglomerat, pengusaha dan elite penguasa sebagai suatu jalan menuju keadilan sosial yang sesungguhnya.21 20
Dalam agama-agama monoteis, egalitarianisme itu, dibanding dengan agama-agama lain, bersifat radikal. Lihat, Nurcholis Madjid, “CitaCita Keadilan Sosial dalam Islam”, dalam, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1994), h. 102. 21 Belajar dari praktik pemerintahan yang menerapkan “keprihatinan dan Kebersahajaan” elite politik pemerintahan Zaman Rasulullah di Madinah dan Khulafâurrâsyidûn, serta Khalifah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, mereka semua rela mendermakan seluruh aset dan kekayaan mereka ke Baitul Mâl, sedang mereka meninggal dunia tidak meninggalkan harta warisan bagi anak cucu mereka. Situasi berbanding terbalik dengan kondisi sekarang, dimana para penguasa memanfaatkan “aji mumpung” untuk dapat menumpuk harta kekayaan yang tidak habis dimakan tujuh turunan, padahal itu semua adalah amanat Allah untuk dikelola demi kesejahteraan sosial, sebab secara eskatologis, penumpukan itu adalah mubazir dan tidak memberi manfaat apa lagi jika diperoleh dengan cara haram, karena akan ditinggal semua setelah mati nanti, dan mati itu adalah keniscayaan bagi makhluk hidup.
12
E. Penanganan Konflik Horizontal dalam Negara Masih seringnya muncul konflik sosial yang emiliki modus operandi kurang lebih sama dengan peristiwa yang lalulalu, ini menandakan bahwa pemerintah tidak mau belajar dari pengalaman yang sudah ada. Supremasi hukum konstitusional adalah arena untuk menegakkan keadilan dalam transisi demokrasi. 22 Penanganan konflik, baik konflik vertikal maupun konflik horizontal dalam negara, jelas merupakan tugas pemerintah, oleh karena itu, meski NKRI bukan negara agama, tetapi menerapkan nilai-nilai substansial merupakan keniscayaan, maka harus dilakukan beberapa hal di beberapa lapangan kehidupan, sebagaimana akan dipaparkan sebagai berikut :
1. Lapangan Rohani dan Akhlak Konflik horizontal dalam negara akan selalu ada, dan harus ditangani sesegera mungkin, tidak boleh ada pembiaran, karena dapat merugikan bagi kelangsungan hidup NKRI, oleh karena itu, Pertama, harus kembali ke sumber yang suci dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya., 23 dengan konsep kekuasaan daulah al-hakîmiyah. Tugas sistem ilahiyah atau sistem keTuhanan24 adalah untuk memberikan suatu sistem khusus dalam 22
M. Fadjroel Rachman, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat Tentang Kebebasan, Demokrasi dan Negara Kesejahteraan, (Depok : Penerbit Koekoesan, 2007), h. 19. 23 Isi pokok ajaran Kitab Suci itu, yaitu ajaran tentang “me-Maha Esa-kan Tuhan”, bahkan kata “tauhid” juga secara tepat menggambarkan inti kandungan Kitab Suci al-Qur’ân, inti ajaran Islam dan inti ajaran para Nabi dan Rasul Tuhan, yang mereka itu telah diutus untuk setiap kelompok manusia di bumi, sampai tampilnya Nabi Muhammad Saw., yaitu ajaran “Ketuhanan Yang Maha Esa” Lihat, Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta : Paramadina, 2000), Cet. Ke-empat, h.72-73. Dalam hal ini, “Setiap umat mempunyai rasul” (Q.S. Yunus/10:47). “Dan tidaklah Kami (Tuhan) mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah olehmu semua akan Daku”. (Q.S. al-Anbiya’/21:25). 24 Kata “Tauhid” dimaksudkan sebagai paham me-Maha Esa-kan Tuhan, atau paham “Monotheisme”. Kata “Tauhid” merupakan kata benda kerja (verbal noun), infinitif, sebuah derivasi atau tashrif dari kata “wahhadaYuwahhidu : menjadi tawhid”, yang dibakukan dalam bahasa Indonesia menjadi tauhid, bermakna mempersatukan, misalnya tauhid al-ummah, yang berarti mempersatukan umat, menurut sayyid Quthb, meliputi kekuasaan atas hati nurani, kekuasaan atas perasaan, kekuasaan atas kenyataan hidup, kekuasaan atas harta, kekuasaan atas hukum dan kekuasaan atas jiwa dan raga. Lihat, Muhammad Taqi al-Mishbah, Ma’ârîf al-Qur’ân (Bairut : Dâr al-Islâmiyah, 1990), h. 59.
13
berpikir, untuk menghindari cara berpikir “jahiliyah” . Sistem berpikir dan bergerak dalam bangunan Islam itu, tidak kurang nilai dan kepentingannya dari sistem konsepsi kepercayaan dan sistem kehidupannya, dan juga tidak dapat dipisahkan daripadanya. Sistem ini disebut juga dengan sistem tauhid. Ilustrasi tentang pentingnya aqidah tauhid tersebut, agaknya tidak diragukan lagi mempunyai implikasi terhadap, semangat juang dan pola hidup seseorang. Oelh karena itu, estimasinya adalah jika aqidah lâ ilâha illa-Allâh telah tertanam di kedalamnnya yang menghunjam jauh, maka bersamaan dengan itu tertanam pula sistem di mana terlambang lâ ilâha illa-Allâh. Sehingga menjadi jelas bahwa ia itu adalah satusatunya keyakinan yang disenangi oleh jiwa, yang memang sejak “azalî”nya menyerahkan diri kepada keyakinan itu. Berserah diri semenjak dari semula adalah tuntutan iman. Dengan penyerahan diri seperti inilah nanti jiwa-jiwa menerima aturan-aturan Islam dan peraturan-peraturannya, dengan kerelaan dan penerimaan, tidak merasa keberatan atas sedikitpun serta tidak menunda-nunda pelaksanaannya. Hakekat keimanan kepada Allah adalah menegakkan prinsip-prinsip tauhid dan meniadakan seluruh antitesisnya, yakni syirik. Keesaan Allah secara komprehensif diekspresikan dalam tiga aspek, yaitu : Pertama; Tauhîd Rubûbiyyah (Keesaan Ketuhanan) yakni keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Sang Pencipta sekaligus Pengatur langit, bumi dan seisinya. 25 Kedua; Tauhîd Asmâ’ wa Shifât (Keesaan Nama-Nama Allah dan Sifat-Sifat-Nya), merupakan keyakinan bahwa Allah memiliki nama dan sifat, yang dengan nama dan sifat-Nya itu, Ia atau Nabi Saw melukiskan keadaan diri-Nya. Ibn Taimiyah mengatakan, “Allah Swt menyifati Diri-Nya dengan sifat yang telah disifatkan oleh Diri-Nya sendiri, atau disifatkan oleh Rasulullah Saw, serta para generasi awal Islam yang tidak melebihi batas al-Qur’ân dan al-Sunnah”. 26 Ketiga; Tauhîd Ulûhiyah (Keesaan Ibadah) yaitu penyembahan hanya kepada 25
Lihat Q.S. al-Zumar : 3 dan 62; al-Shaffât : 96; al-Tghâbun : 11; al-An’âm: 1; Luqmân : 25; al-Mukminûn : 84-85; al-Shâd : 5. 26 Imam Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, III/16, Dâr al-Kutub al‘Ilmiyyah. Tentang ayat-ayat al-Qur’ân yang membahas masalah ini, lihat, Q.S. Thâha: 5; al-Zukhrûf: 82, 84-85; al-Syûrâ :11.
14
Allah Swt. Ketika menjelaskan Tauhîd Ulûhiyah, Ibn Taimiyah menyatakan : “Tidak ada kebahagiaan dan keselamatan bagi seorang hamba kecuali selalu mengikuti Rasulullah Saw. Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, ia akan dimasukkan ke dalam syurga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Yang demikian itu adalah kemenangan yang sangat agung. Akan tetapi, siapa saja yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya serta melanggar ketetapan-ketetapan Allah, maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka; ia akan mendapatkan siksa yang sangat pedih. Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk agar mereka menyembah (beribadah kepada)-Nya. Allah Swt berfirman (yang artinya):”Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”(Q.S.alDzâriyât : 56). Bentuk ibadah mereka kepada Allah adalah dengan cara menaati Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada ibadah kecuali apa yang telah diwajibkan dan diridhai oleh agama Allah”.27
Menurut al-Mawdûdî, pengakuan terhadap tauhid itu mempengaruhi kehidupan manusia, secara rinci ia paparkan demikian : a) Tidak mungkin bagi seseorang yang beriman kepada Allah akan menjadi seorang yang mempunyai pandangan sempit, karena ia percaya kepada yang menciptakan langit dan bumi, memiliki seantero jagat. Pemberi rezki dan pendidik mereka. b) Iman kepada Allah melahirkan rasa bangga dan harga diri pada manusia. Ia mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Pemilik yang hakiki, tidak ada yang dapat memberi manfaat dan mudharat kecuali Dia. c) Iman kepada Allah akan menumbuhkan rasa rendah hati, bukan rendah diri, maka ia tidak akan pernah congkak dan sombong. Maka kalau ia menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan, ia sadar bahwa jabatan itu adalah amanah. d) Iman kepada Allah akan meyakini bahwa tidak ada jalan untuk mencapai keselamatan dan keberuntungan kecuali dengan kesucian jiwa dan amal saleh. 27 Imam Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, I/42, pada bab Tauhîd Ulûhiyah Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyya. Lihat Q.S. al-Dzâriyât : 56; al-‘Ankabût : 61, 63; al-An’âm : 57; al-Mâidah : 3, 44, 48, 50; al-Taubah :31; al-Nisâ’ : 60-61, 65; al-A’râf : 40.
15
e) Iman kepada Allah tidak mudah dihinggapi oleh rasa putus asa dan hilang harapan dalam keadaan bagaimanapun juga, karena ia bertawakkal kepada-Nya. f) Iman kepada allah mendidik manusia di atas suatu kekuatan yang besar dalam kebulatan tekad, keberanian, kesabaran, ketabahan dan tawakkal, dikala ia menghadapi perkaraperkara besar di dunia demi untuk mengharapkan kerelaan Allah Swt. g) Iman kepada Allah mengangkat derajat manusia dengan menjauhkan diri dari sifat-sifat buruk dan tercela serta perbuatan-perbuatan yang rendah, seperti melakukan tindakan KKN. h) Iman kepada Allah menjadikan manusia terikat kepada syari’ah Allah dan patuh kepadanya. Dan ini merupakan rukun asasi yang terpenting dari ajaran Nabi Saw. 28 Pemaparan Abû al-A’lâ al-Mawdûdî di atas, agaknya memberikan penguatan konsepsional terhadap posisi syari’ah dalam negara. Spektrum pemikiran yang demikian itulah agaknya yang menjadi dasar pemikiran Sayyid Quthb bersikukuh menginginkan kembalinya institusi kekhilafahan karena menurut dia, khilafat adalah bentuk pemerintahan yang “dipesankan” wahyu, dan oleh sebab itu pula mesti diikuti. Agaknya pandangannya ini berseberangan dengan pernyataannya sendiri yang tidak mempersoalkan bentuk negara, yang penting baginya adalah penegakan syari’ah Islam dalam negara. Ia lebih cenderung pada bentuk khilafah agar terjamin keinginannya untuk mengintegrasikan syari’ah Islam dengan sistem pemerintahan dan negara. Bagi Quthb, negara Islam adalah sebuah negara yang merepresentasikan hâkimîyyatullâh. Identitas politik (jinsiyyah) bagi negara Islam didasarkan kepada kesamaan aqidah, bukan berdasarkan teritorial, kebangsaan atau etnisitas. Artinya, Quthb 28 Abû al-A’lâ al-Mawdûdî, Prinsip-Prinsip Islam, Terj. Abdullah Suhaili (Bandung : Alma’arif, 1983), Cet Kedua, h. 77-83. Sejalan dengan penjelasan di atas, konsep hakimiyah merupakan poros pemikiran politik Mawdûdî,, semua doktrin Islam mendasari sistem khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam yang merupakan representasi hakimiyah Tuhan di muka bumi. Lihat, Abû al-A’lâ al-Mawdûdî, Nazhariyyât al-Islâm al-Siyâsîyyah (Beirut : Dâr al-Fikr, 1388 H), h. 32-33.
16
menolak konsep nation state dengan semua variabel modernitasnya yang berarti juga menolak sekularisasi dan weternisasi. 29 Terlepas dari kebenaran pendapat Quthb tersebut, yang jelas NKRI sebagai negara bangsa, tidak menganut sekularisme, meskipun tidak juga dapat disebut sebagai negara agama. NKRI adalah model nation state yang unik yang lebih mengakomodir nilai-nilai religius dapat dijalankan dalam negara ketimbang formalisasi agama dalam negara. Oleh karenanya, tidak hanya nilai-nilai geligius, tetapi juga nilai-nilai budaya bangsa yang baik dan sesuai dengan visi dan misi NKRI dapat dirumuskan dalam Undang-Undang negara Republik Indonesia, ataupun peraturan-peraturan yang berlaku bagi seluruh warga negara. Kedua, penanganan konflik dalam negara yang lain adalah mengukuhkan nilai-nilai moral yang mendasar pada petunjuk dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, untuk mensucikan masyarakat dari kehinaan karena pengaruh materialisme, egoisme, hawa nafsu dan lain-lainnya dari akhlak yang buruk.30 Salah satu tugas pemerintah yang sangat mendasar untuk melindungi rakyatnya dan mengeliminir konflik horizontal adalah menghapus segala bentuk kebatilan, baik yang berkaitan dengan akidah, ibadah, taqlid maupun lainnya yang berhubungan dengan pemikiran atau perilaku secara umum. 31 2. Lapangan Politik
29 Lihat, Sayyid Quthb, Ma’alim fi al-Thariq (Kairo : Dar al-Syuruq, 1982), h. 118, 136-140. 30 Nilai-nilai moral akan memberikan dampak positif terhadap karakter kepemimpinan. Hal itu amat bersesuaian dengan kriteria-kriteria pemimpin yang dikehendaki dalam persepsi Islam. Sifat-sifat pemimpin menurut wahyu Ilahi adalah : Amânah, yaitu selalu bersikap tanggung awab dan tidak pernah mengingkari janji dan jauh dari sikap j munafik dengan berkata bohong, tidak menepati janji dan suka berkhianat (Q.S. 26 :107. 28 : 26). Fathônah, yaitu
harus memiliki kecerdasan, memiliki wawasan keilmuan, ketram ilan memimpin, bijak sana (Q.S. 6:80). Shiddîq
p
-
yaitu selalu bersikap benar, jujur dan dapat dipercaya) (Q.S :19:41,50,56). Tablîgh, yaitu memiliki kecenderungan untuk selalu mengajak, menyebarkan dan menyampaikan ajaran Islam Q.S 42: 48).
( Dalam konteks pemikiran politik, Abu Hanifah menganggap sebagai persoalan sosial (istilahnya bid’ah) terhadap pola hidup kumuh, berpaling dari kehidupan duniawi, dan menyerahkan seluruh urusan kepada partai berkuasa yang memeras, menindas dan sewenang-wenang. Lihat, Abdurrahman al-Syarqawi, A’immah al-Fiqh al-Tis’ah, (Kairo : Kitab alYawm, 1403/1983), h. 6. 31
17
Penanganan konflik dalam negara pada lapangan politik yang pertama kali harus dibenahi adalah undang-undang32 yang tertulis, ditaati, dipatuhi dan menjadi penentu bagi semua hukum dan aturan yang berlaku di NKRI. Sistem perundang-undangan (konstitusi) dan penerapannya, merupakan suatu keniscayaan, karena sistem pendidikan dan pengajaran saja tidak bisa mewujudkan kerukunan sosial, tetapi harus ada peraturan yang mengatur pelaksanaannya, yaitu guna menjamin : 1).Keamanan dan keselamatan segenap individu, dengan undangundang pidana qishash untuk melindungi hidup manusia. Hukuman bagi pencuri untuk melindungi harta. Hukuman bagi pezina untuk melindungi kehormatan. Pengharaman tajassus (memata-matai) untuk melindungi privasi pribadi. Penetapan hukuman untuk perusuh guna menjamin keamanan masyarakat. Untuk melaksanakan semua itu, harus diupayakan pelaksanaan yang baik dan penggunaan bukti-bukti yang valid dalam pendakwaan. 2).Tercukupinya kebutuhan hidup setiap individu umat, baik yang mampu bekerja maupun yang tidak mampu. 3).Realisasi keseimbangan sosial melalui pelaksanaan prinsipprinsip keadilan sosial dan prinsip-prinsip pengelolaan harta, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Islam. Undang-Undang tertulis itu haruslah bersumber dari al-Qur’ân dan hadits. Karena itu semua penunjang Islam harus dikerahkan, baik pemahaman maupun politik, untuk menangani penetapan undang-undang yang Islami, membatasi tatanan yang bersifat umum, supaya 32
Undang-undang dalam istilah Arabnya adalah al-Qânûn, yang terdiri dari dua macam, yaitu al-Qânûn ‘âm dan al-Qânûn al-Dustûrî. Adapun yang dimaksud dengan al-Qânûn al-‘âm adalah undang-undang umum berupa himpunan kaidah qanûnîyah (peraturan perundang-undangan) yang diberlakukan oleh negara. al-Qânûn al-‘âm ini terbagi dua; al-Qânûn al-‘âm al-Khârijî al-duwalî; peraturan umum eksternal yang mengatur hubungan suatu negara dengan negara-negara lain., dan al-Qânûn al-‘âm alDâkhilî; peraturan umum internal, yang meliputi : Undang-Undang Dasar, Hukum Administrasi Negara, Hukum Keuangan/ Moneter, Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Sedangkan al-Qânûn al-Dustûrî yang dimaksud di sini adalah Undang-Undang Dasar Negara. Kesemua undang-undang tersebut merupakan bagian dari al-Nizhâm al-Siyâsî; yaitu peraturan politik, keberadaan al-Nizhâm al-Siyâsî ini bagi suatu negara ialah peraturan hukum yang ada di negara tersebut. Peraturan inilah yang secara garis besar dimuat dalam al-Qânûn al-Dustûrî (Undang-Undang Dasar). Lihat, ‘Alî Abd. alHalîm Mahmûd, Ma’a al-Aqîdah wa al-Harakah wa al-Manhaj fî Khairi Ummatin Ukhrijat lî al-Nâs, (Kairo : Dâr al-Wafâ’ Manshûrah, Cet. I, 1412 H/ 1992 M), h. 152-154.
18
roda pemerintahan berjalan di atasnya. 33Undang-undang itu juga harus membatasi hubungan antara pemimpin dengan rakyat, membatasi hak dan kewajiban bagi setiap anggota masyarakat dalam naungan negara. 34 Bertolak dari uraian di atas, nampaknya gerakan kelompok separatis yang berjuang melalui kekerasan 35 untuk memisahkan rakyat dari NKRI yang memang benar-benar ada hingga saat ini telah memunculkan konflik horizontal secara politis ada di NKRI seperti GAM (Gerakan Aceh Merdeka), RMS (Republik Maluku Selatan, OPM (Organisasi Papua Merdeka), belum lagi yang masih berupa gerakan bawah tanah. Yang mungkin dapat digolongkan pada sparatisme seperti NII (Negara Islam Indonesia), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) dan lain sebagainya. Negara harus menjamin bahwa pemimpin negara adalah figur teladan bagi rakyatnya, karena jabatan yang diberikan untuk mengangkat panji-panji perjuangan dalam sumpah jabatannya berdasar komitmen agama serta praktek syari’ah Islam, juga dalam penghargaan dan penghormatan kepada para ulama, yang merupakan para pewaris Nabi. 36Solusi penanganan konflik di sisni yaitu adanya harmonisasi antara ulama dan umara pada tataran elite, sehingga akar rumput dapat dijinakkan dan terkendali. Oleh karenanya, para pemimpin (umara) dan ulama (pewaris para Nabi) ini harus benar-benar memenuhi 33 Dalam perspektif syari’ah, terdapat empat prinsip yang harus tercermin dalam suatu pemerintahan, yang akan menjamin tereliminasinya konflik sosial : pertama, mengakui kedaulatan Tuhan, kedua, mengakui otoritas Nabi, ketiga, menempatkan diri dalam status perwakilan Tuhan dan keempat, menggunakan musyawarah bersama (mutual consultation). Lihat, Abû A’lâ alMawdûdî, The Islamc Law and Constitution (Lahore : Islamic Publication, 1960), h. 225. 34 Bandingkan dengan pendapat Yusuf Qardhawi, al-Hillu al-Islâmî, Faridhah wa Dharûrah, Nomor 40611, (Saudi Arabiyah : Markâz al-Mâlik Faishal lî al-Buhûts wa al-Dirâsah al-Islâmâyah, t.th), h. 37. 35 Bentuk-bentuk aksi sparatisme yang dilakukan dapat berupa penculikan, penyenderaan, pembantaian, kerusuhan-kerusuhan, pengusiran terhadap pendatang (sperti di Aceh terhadap orang Jawa, Kalimantan Barat terhadap orang Madura, Papua terhadap orang Jawa). Lihat, Moh Soleh Isre (ed), Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, (Jakarta : Balitbang Agama dan Diklat Keagamaan, Puslitbang Kehidupan Beragama Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, 2003), h. 191. 36 Bandingkan dengan Antony Black, The History of Islamic Political Thought : From the Prophet to Present, (Edinburgh : Edinburgh University Press, 2001), h. 213.
19
syarat, yakni mempunyai kualitas moral dan intelektual tertentu yang sangat diperlukan berdasarkan alasan agama, yakni pemimpin (ulil amri) yang betul-betul taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dalam arti ia adalah seorang pemimpin yang konsisten dan konsekuen melaksanakan syari’ah Islam. 37 3. Lapangan Hukum Penanganan konflik dalam negara pada lapangan hukum yang pertama kali harus dibenahi adalah menghidupkan tiga lembaga kenegaraan : legislatif, eksekutif dan yudikatif; yang semuanya harus menerapkan hukum-hukum konstitusi secara konsekuen dan konsisten dan tidak keluar darinya.38 Karena itu, seorang pemimpin dalam negara haruslah bersifat intelligent, yaitu sifat cerdas, arif dan bijaksana; dinamis, serius, luas ilmunya dan tanggap terhadap segala potensi sumber daya alam serta lingkungan untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat, sebagai upaya agar semua itu tidak dipergunakan orang-orang jahat dan komplotan preman dan mafia yang hendak melampiaskan nafsunya dengan berbuat kejahatan di muka bumi. Suatu hal yang tidak boleh dilupakan oleh para elite pemimpin atau para pejabat negara ddalam kerangka mewujudkan keadilan sosial dalam negara adalah mendudukkan hukum sebagai supremasi. Hukum harus tegas, tidak boleh tebang pilih atau pandang bulu. Semua warga negara, baik pemerintah maupun rakyat, semua memilki kedudukan yang 37 Lihat, Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought, (London : Macmillan, 1982), h. 136. 38 Kekuasaan legislatif harus diisi para fuqaha’ yang benar-benar menguasai hukum secara komprehesif, dalil-dalilnya dan tujuan-tujuannya. Mereka bertugas mengawasi penerapan hukum di seluruh sektor kehidupan dan mencarikan solusi permasalahan yang dihadapi. Kekuasaan eksekutif yang dijalankan para pemimpin, penguasa, pejabat negara, menteri, polisi dan lain-lainnya, yang harus melepaskan diri dari yudikatif. Jika tidak, timbangan keadilan akan sirna, sehingga akan mengganggu kesempurnaan penerapan hukum. Kekuasaan eksekutif harus mempersiapkan semua piranti untuk penegakan keadilan sosial. Kekuasaan yudikatif yang diperankan para hakim, jaksa dan semua perangkatnya, yang tugasnya menjaga keadilan, obyektifitas dan persamaan hak secara mutlak di antara semua manusia, membantu orang yang dizhalimi, menghukum orang yang berbuat zhalim, menyelesaikan persengketaan, mengembalikan hak kepada orang yang berhak,
20
sama di depan hukum. Artinya siapa pun yang melanggar hukum harus dihukum. NKRI menjunjung tinggi supremasi hukum. Islam periode awal berkembang pesat hingga dapat melakukan ekspansi ke berbagai jazirah, karena sejak awal Islam menegakkan hukum. Sebut saja misalnya, sabda Rasulullah saw, “seandainya Fatimah mencuri, maka saya sendiri yang akan memotongnya”, ini menunjukkan bahw hukum itu tidak pandang bulu, harus dilaksanakan oleh penguasa seadil-adilnya, sehingga keadilan sosial dapat diwujudkan dalam NKRI. 4. Lapangan Ekonomi Penanganan konflik dalam negara pada lapangan ekonomi yang pertama kali harus dibenahi adalah melakukan kegiatan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya rakyat. Dengan kegiatan itu ia memperoleh rezki, dan dengan rezki ia dapat melangsungkan kehidupannya. Al-Qur’ân adalah petunjuk untuk melakukan kegiatan ekonomi yang berkebenaran absolut. Adapun al-Sunnah berfungsi menjelaskan kandungannya. 39 Terdapat banyak ayat al-Qur’ân dan al-Hadits yang menjadi etos kegiatan ekonomi. Namun demikian, tidak semua kegiatan ekonomi itu dibenarkan oleh syari’ah, khususnya yang merugikan banyak orang dan menguntungkan bagi segelintir orang, seperti monopoli perdagangan, perjudian dan riba, percaloan dan sebaginya. Untuk menyempurnakan bangunan ekonomi yang dapat menjamin keadilan sosial dalam negara, yang ditegakkan pada asas yang baik dan konsep-konsep yang sudah terkaji, 40 di antaranya adalah :
39 Lihat, Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits ‘Ulûmuh wa Musthalahuh (Beirut : Dâr al-Fikr, 1989), h. 46-50. 40 Sayyid Quthb menulis pertama kali yang ia katakan dalam bukunya al-‘Adâlah al-Ijtimâ’îyyah fî al-Islâm, adalah kata-kata berikut :”Dalam bidang ekonomi, seseorang tidak boleh memaksakan diri berhutang sebelum ia meninjau terlebih dahulu kekayaan yang dimilikinya, masih cukupkah atau memang tidak tercukupi”. Dari sini dapat dimengerti jika perhatian Sayyid Quthb terhadap masalah ekonomi cukup besar, dan amat berperan dalam menciptakan suasana kondusip bagi masyarakat Islam yang dicita-citakan, yang menerapkan syari’ah Islam secara total. Lihat, Sayyid Quthb, al-‘Adâlah al-Ijtimâ’îyyah fî al-Islâm, Cet, Ke-7, (Beirut, Kairo : Dâr al-Syurûq, 1981), h. 1.
21
a. Menciptakan mata rantai jaringan ekonomi Islam yang bersih dari riba’, 41 sehingga terjadi iklim yang kondusif untuk menunjang pergantian sistem riba’ menuju sistem non-riba berdasarkan syari’ah Islam. Sayyid Quthb menentang riba 42 41 Kata riba dalam bahasa Arab sesekali disebut pula dengan istila alRimâ, makna asalnya ialah tambah, tumbuh dan subur seperti dalam firman Allah surat al-hajj:5 dan fussilat:39. Adapun yang dimaksud dengan pengertian tambah dalam konteks riba yang umum dikenal oleh masyarakat luas ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit ataupun berjumlah banyak seperti diisyaratkan al-Qur’ân surat al-baqarah : 279. Semua agama samawi, khususnya Islam dan bahkan konon para filosof, semuanya mengharamkan praktek riba. AlQur’ân, sumber utama dan pertama hukum Islam, mengharamkan riba dan mengecam serta mengancam para pemakan riba. Orang-orang yang memakan riba, oleh al-Qur’ân (al-baqarah : 275-279) dilukiskan laksana orang-orang yang tidak sadarkan diri karena kesurupan setan; dan diakhirat kelak mereka akan mendapatkan siksaan yang sangat pedih. Dalam pada itu, para ulama Islam membedakan jenis riba ke dalam dua macam: riba nasi’ah dan riba fadhal. Riba nasi’ah ialah tambahan (bunga) uang yang harus dibayar oleh si peminjam (kreditor) kepada yang memberi pinjaman (debitur) , yang disyaratkan ketika transaksi hutang piutang berlangsung sebagai imbalan dari tenggang waktu pembayaran uang. Sedangkan riba fadhl, adalah kelebihan yang terdapat dalam tukar menukar mata uang atau benda-benda yang sejenis seperti menukar satu geram emas dengan satu setengah geram emas. Berbeda dengan riba nasi’ah, yang hukum keharamannya telah disepakati oleh seluruh ulama Islam, riba fadhl atau riba yang tidak berlipat ganda hukumnya diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang mengatakan tidak haram tetapi kebanyakan (jumhur) ulama mengharamkannya. Lihat misalnya, Harun Nasution (Ketua) Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1992), h. 812-813. 42 yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya Haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. riba yang dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah. Senada dengan al-Qur’ân, al-Hadits juga mengutuk (melaknat) para pemakan riba dan mencela semua pihak yang terlibat dalam kegiatan riba seperti juru tulis, para saksi dan lain sebagainya. Selain itu, al-Hadits juga menggolongkan riba ke dalam kelompok perbuatan dosa besar seperti zina, membunuh tanpa hak, lari dari medean tempur tanpa alasan yang dibenarkan, dan lain-lain. Lihat misalnya, Harun Nasution (Ketua) Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1992), h. 812-813. Lihat juga, Wahbah alZuhaili, al-Fiqh al-islam wa Adillatuh, (Baeirut : Dar al-Fikr, 1985), IV, h. 671674. Bandingkan dengan Fuad Mohd Fachruddin, Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan & Assuransi, (Bandung : Alma’arif, 1983), Cet. III, h. 24-34. Tilik pula, Muh Zuhri, Riba dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan (Sebuah Tilikan Antisipatif), (Jakarta : Badan Penerbitan Walisongo Press dan Radja Grafindo Persada, 1996), h. 1-3.Dalam fiqh dikenal riba fadl dan riba nasi’ah. Lihat misalnya uraian Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-islam wa Adillatuh, (Baeirut : Dar al-Fikr, 1985), IV, h. 671-674.
22
karena jelas-jelas diharamkan oleh Syari’ah Islam. Al-Qur’ân menyebutkan masalah riba ini di beberapa tempat secara berkelompok, yaitu surah al-Rûm : 39; al-Nisâ’ : 160-161, Âlî Imrân : 130; dan al-Baqarah : 275-280. Para ulama fiqh membicarakan riba ini pada fiqh mu’âmalât. Untuk menjelaskan pengertian riba dan hukumnya, mereka menjadikan surah Âlî Imrân: 130 dan surah al-Baqarah : 278-279 sebagai dasar pijakan, sebab, di kedua tempat itu ditegaskan hukum riba. Pada kedua ayat tersebut riba disebut dengan riba nasi’ah. b. Menciptakan pola ekonomi Islam, 43 yang sesuai dengan perubahan zaman, sehingga tidak perlu ada perubahan yang menjurus kepada anarkisme dan kelemahan baginegara dan agar tidak menimbulkan keguncangan jaringan ekonomi. c. Menarik zakat dari setiap harta yang tampak dan yang tidak tampak. 44 Hal ini dapat dilaksanakan para petugas yang dapat dipercaya. Hasil pengumpulan zakat ini dapat dimanfaatkan untuk mendanai jaminan sosial, mencipta-kan keadilan sosial, menghindari penumpukan harta, melawan penyimpanan harta dengan sistem riba, di samping manfaat-manfaat lainnya. Menurut Sayyid Quthb, Islam telah mewajibkan zakat bagi orang yang memiliki harta benda (kekayaan). Kewajiban ini adalah kewajiban yang bila tidak dilaksanakan oleh orang yang bersangkutan, maka Kepala Negara wajib memerangi mereka yang tidak mau mematuhi kewajiban tersebut. Lebih jauh Quthb menegaskan bahwa zakat merupakan kewajiban yang ditetapkan kepada masyarakat berdasarkan syari’ah (peraturan hukum) dengan ukuran pasti yang telah ditentukan. Selanjutnya Kepala Negara berhak memerintahkan pengeluaran 43 Dalam masalah harta, di sini dikemukakan pula pendapat alMadkhali, yang mengatakan bahwa dalam hak milik, baik karena warisan, perdagangan, ataupun menghidupkan tanah mati dan dalam hal membantu orang yang mazhlum dari orang-orang yang zhalim serta urusan-urusan lain, yang di dalamnya ada penghormatan dan pemuliaan terhadap orang Islam. Semua itu, kata al-Madkhali, adalah merupakan urusan maknawiyah yang akan mengangkat kejiwaan seorang Muslim dan kehormatannya, sehingga ia akan menghina dunia, mengesampingkan perbedaan antara si kaya dan si miskin. Orang yang berpegang kepada agamanya akan tahu dengan akalnya, urusan-urusan itulah yang disyari’ahkan dan dijelaskan oleh Islam. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, Sayyid Quthb Cela Shahabat Nabi ?, terj. Munirul Abidin (Jakarta : Darul Falah, 1423 H / 2003 M), h. 271-272 44 Harta yang tampak ialah kekayaan berupa hewan ternak, pertanian dan zakat fitrah. Sedangkan harta yang tidak nampak ialah berupa uang kontan, deposito, investasi dan perniagaan.
23
dana yang terkumpul dalam bayt al-mâl (kas negara) untuk mencegah ancaman bahaya bagi negara, untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan, dan untuk melindungi kepentingan kaum Muslimin. Dengan kata lain, zakat yang dipungut dari rakyat yang punya, atau dari orang kaya didistribusikan kepada masyarakat yang lemah dan miskin sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh syari’ah. 45 Penting sebuah penegasan di sini, bahwa Sayyid Quthb melihat sitem kapitalis dan praktik konglomerasi tidak ada dalam konsep masyarakat Islam, sebagaimana ia tuturkan berikut ini : Ali memilih prinsip persamaan dalam pemberian dan dia telah menetapkan dalam khutbah pertamanya seraya berkata : “… Ketahuilah, siapa pun orang yang menerima seruan Allah dan RasulNya, lalu membenarkan agama kita, masuk agama kita dan menghadap kiblat kita, berarti dia menerima hak-hak Islam dan batasbatasnya. Kalian adalah hamba-hamba Allah, dan harta itu adalah harta Allah yang dibagi kepada kalian dengan sama rata. Tidak ada kelebihan seseorang atas orang lain dan di sisi Allah orang-orang bertaqwa mendapatkan sebaik-baik pahala”46.
Pidato khalifah Ali k.w tersebut dikutipnya terdapat dalam buku al-‘Adâlah al-Ijtimâ’iyyah fî al-Islâm, dan ternyata dalam buku tersebut terlihat ia sependapat dengan pernyataan Ali itu, terutama kalimat terakhir yang menyebutkan kata “harta itu adalah harta Allah yang dibagi kepada kalian dengan sama rata” terlihat sebagai aikonnya kaum sosialis komunis, oleh karena itu penulis menegaskan bahwa pandangan Sayyid Quthb 45
Sayyid Quthb, al-‘Adâlah, al-Ijtimâ’îyyah fî al-Islâm, Cet, Ke-7, (Beirut, Kairo : Dâr al-Syurûq, 1981), h. 141. Penting ditambahkan di sini, bahwa sumber kekayaan negara atau kas negara (bayt al-mal) adalah zakat yang diwajibkan bagi harta kekayaan kaum Muslimin sesuai dengan varitas harta kekayaan mereka, jizyah yang dikenakan pada diri warga dzimmi yang dianggap mampu, al-fa’i atau harta pampasan perang, yaitu kekayaan yang diperoleh kaum Muslimin dari kaum musyrikin yang diberi amnisti tanpa melalui pertempuran, ghanimah, yaitu harta kekayaan yang diperoleh kaum Muslimin dari orang-orang musyrik melalui peperangan. Al-Kharaj bentuk pengganti ghanimah yaitu berupa harta property seperti tanah, perkebunan, rumah-rumah dari hasil peperangan. Lihat Sayyid Quthb, al-‘Adâlah al-Ijtimâ’îyyah fî al-Islâm, Cet, Ke-7, (Beirut, Kairo : Dâr al-Syurûq, 1981), h. 295. 46 Sayyid Quthb, al-‘Adâlah al-Ijtimâ’îyyah fî al-Islâm, Cet, Ke-7, (Beirut, Kairo : Dâr al-Syurûq, 1981), h. 193.
24
di atas, menurut penulis, terlihat dalam perspektif pemikiran modern termasuk pemikiran yang beraliran sosialisme 47 , yang didasarkan pada pemikiran Karl Marx, Lenin dan tokoh-tokoh sosialisme lainnya. Karena Quthb berkesimpulan bahwa “persamaan yang mutlak antara sesama anak manusia adalah merupakan risalah Islamiyah” 48 . Pernyataan ini jelas-jelas merupakan tuntutan untuk diterapkannya prinsip-prinsip sosialisme dan komunisme, yang justru berseberangan dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam. Sebab dalam Islam diakui kepemilikan harta pribadi yang didapatkan melalui cara-cara kerja keras dengan bertani, berkebun, berdagang dan lain sebagainya dengan cara yang halal. Hal tersebut pun agaknya kontroversi dengan statemennya sendiri, sebagaimana terungkap berikut ini : … Marxisme yang pada dasarnya memperjuangkan kewujudan sebuah masyarakat tanpa negara, telah menghasilkan negara sebagai satu-satunya yang wujud ! Tidak ada kewujudan “individu”, tidak ada kewujudan “bangsa” dan tidak ada kewujudan “fitrah manusiawi di bawah cengkraman sistem itu…Sebagai satu faham, Marxisme hanyalah merupakan satu kejahilan ilmiah yang tiada taranya…49
` 47 Sosialisme dalam hal ini diartikan sebagai semua gerakan sosial yang menghendaki campur-tangan pemerintah yang seluas mungkin dalam bidang perekonomian, dalam hal inilah buku Sayyid Quthb yang berjudul Sayyid Quthb, al-‘Adâlah al-Ijtimâ’iyyah fî al-Islâm, banyak menyoroti permasalah kesenjangan sosial terutama disebabkan oleh faktor ekonomi dan politik yang luput dari keadilan. Sosialisme menghendaki penguasaan bersama dari semua alat-alat produksi dan perluasan aktivitas negara sampai ke bidang perekonomian yang sekecil-kecilnya. Barangkali istilah Kolektivisme lebih tepat daripa istilah sosialisme yang sudah mempunyai arti yang bermacam ragam. Sebagai doktrin yang menghendaki campur-tangan dalam bidang perekonomian, sosialisme atau kolektivisme merupakan antithese dari anarchisme dan individualisme. Sedangkan komunisme hanyalah salah satu bentuk dari ajaran sosialisme, yakni yang diajarkan oleh peletak dasarnya Karl Marx dengan bantuan dan kerjasama Friedrich Engels dan yang untuk pertama kali dipraktekkan oleh Lenin di Russia dalam tahun 1917. Lihat misalnya penjelasan F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik (Bandung : Binacipta, 1985), cet, ke-8, h. 167-168. 48 Sayyid Quthb, al-‘Adâlah al-Ijtimâ’îyyah fî al-Islâm, Cet, Ke-7, (Beirut, Kairo : Dâr al-Syurûq, 1981), h. 227. 49 Sayyid Quthb, al-Mustaqbâl lihâdzâ al-Dîn, (Beirut : Dâr alSyurûq, 1981), , h. 76.
25
Dengan demikian dapat diketahui bahwa Sayyid Quthb, sepintas lalu, terlihat inkonsisten dengan pendapat-nya sendiri. Karena di satu pihak ia mengakui kepemilikan pribadi, namun di pihak lain ia menganjurkan sistem sama rata dan sama rasa, yang merupakan jargonnya orang-orang yang menganut faham komunis. Sedangkan ia sendiri sangat anti terhadap komunis dan Barat, atau apa pun di luar ideologi Islam. Namun demikian, satu hal yang brilian yang dapat diakses darinya adalah pandangan bahwa sistem ekonomi Islam dapat : a. Mempersempit jurang pemisah antara orang kaya dengan orang miskin dengan tidak memperlakukan istimewa terhadap sebahagian orang tanpa alasan yang benar.50 b. Merancang rencana yang ilmiah dan terkaji untuk meningkatkan kekayaan umat Islam dan menumbuhkan produktivitas, baik jenis maupun volumenya, menjalin kerjasama dengan negara-negara Islam lainnya. c. Memperluas dan memperbanyak pendirian lembaga-lembaga keuangan yang tidak memberlakukan sistem riba, mendorong lembaga-lembaga keuangan Islam untuk mengembangkan sistem dan jaringannya, yang sesuai dengan hukum syari’ah Islam.
5. Lapangan Sosial Budaya Penanganan konflik dalam negara pada lapangan sosial budaya yang pertama kali harus dibenahi adalah cara pandang terhadap kesatuan bangsa, yang sejatinya tidak boleh ada hegemoni satu golongan, suku, ras, budaya atau agama tertentu terhadap yang lainnya. Meski sudah menjadi trade mark bahwa ada hegemoni Kristen di Papua, Hindu di Bali, dan Islam di wilayah bagian Barat seperti Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Akantetapi tidak boleh ada diskriminasi atau penindasan dalam perlakuan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 50
Menurut pandangan Sayyid Quthb, untuk menutupi jurang yang menganga yang menjadi pemisah antara si kaya dan si miskin, maka zakat disyari’ahkan dan diwajibkan atas harta benda dan hak bagi orang-orang yang berhak menerimanya, yaitu kaum fuqarâ, masâkîn, ‘âmilîn, mu’allafîn, budak-budak, dan ghârimîn, serta pejuang fi sabîlillah dan ibnu sabîl. Selain itu adalagi media sedekah, infak dan wakaf. Kesemuanya itu adalah fasilitasfasilitas yang dapat digunakan untuk pemerataan nikmat Allah yang berupa harta sebagai bekal kehidupan.
26
NKRI yang ditengarai memilki peradaban tinggi yang menghasilkan masyarakat yang berbudaya, merupakan perpaduan dari adat dan tradisi perbendaharaan lama dengan peradaban agama-agama, kemudian dirumuskan dalam satu landasan idiil, yaitu Pancasila sebagai dasar bernegara. Jika ini dipertahankan, maka kemudian tidak akan berlaku tesis Samuel P. Huntington yang mengatakan bahwa sumber konflik di atas dunia ini disebabkan oleh adanya benturan peradaban. 51 Menurut penulis, jika peradaban itu dibangun di atas fondasi vertikal, yaitu bersumber dari Yang Maha Pencipta peradaban, maka tidak akan terjadi benturan kultur sebagaimna disinyalir oleh Huntington itu. Menurut pandangan penulis, agaknya tidak berlebihan, jika dikatakan bahwa konflik paling fondamental adalah split personality yang terjadi pada diri manusia itu sendiri. Oleh karena itu pendekatan spiritual tidak dapat diabaikan dalam kerangka penanggulangan krisis atau konflik sosial, guna mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial secara merata di bumi NKRI. Bagi manusia-manusia yang tamak, jahil dan sombong, cobalah lakukan introspeksi, lalu dudukkan posisi kita di hadapan Sang Maha Pencipta, maka akan timbul rasa empati dan respek terhadap manusia yang lain, sehingga dapat berlaku adil terhadap sesama. F. Penutup Sejatinya, dalam NKRI, negara yang telah bulat menganut paham demokrasi, maka semua warga negara memilki kedudukan yang sama di depan hukum, oleh karenanya negara wajib melindungi seluruh warga negaranya dari diskriminasi sosial. Jika supremasi hukum ditegakkan maka keadilan sosial dapat diwujudkan, selanjutnya kesejahteraan sosial yang merata akan dapat diperoleh dari kehidupan berbangsa dan bernegara. 51
Baca pernyataan Samuel P. Huntington, dalam “The Clash of Civilization”,” Foreign Affairs 72, No. 4 (September-Oktober 1993). Kemudian baca bukunya, The Clash of Civilization and the Remaking of the World Order, (1996). Sebagai pembanding, baca juga Tariq Ali, Clash of Fundamentalisms : Crusades, Jihads, Modernity, (New York : Verso, 2002).
27
Kekuatan NKRI karena ia berakar pada dua fondasi yang kokoh, yaitu pertama, falsafah bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa (Pancasila), sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. dan kedua, religiusitas bangsa. Meskipun NKRI bukan negara agama, tetapi kehidupan agama dijamin oleh undang-undang dan dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata karena dilindungi oleh negara. Nilai-nilai luhur agama (apa pun itu agamanya) semua memilki kontribusi positif bagi tegaknya peradaban yang tinggi bagi suatu bangsa yang terewjantahkan dalam keadilan sosial.
28
DAFTAR PUSTAKA Ali, Tariq, Clash of Fundamentalisms : Crusades, Jihads, Modernity, New York : Verso, 2002. Amal, Taufik Adnan dan Syamsu Rizal Panggabean, Politik Syarit Islam dari Indonesia hingga Nigeria, Jakarta : Pustaka Alvabet, 2004. Amsyari, Fuad, “Islam dan Kesejahteraan Sosial yang AdilMerata, dalam, Masa Depan Umat Islam Indonesia, Bandung : Penerbit Al-Bayan, 1993. Black, Antony, The History of Islamic Political Thought : From the Prophet to the Present, Edinburg : Edinburg University Press, 2001. C. Leege, David., Kenneth D. Wald dan Lymn A. Kellstedt, “ Dimensi Publik dari Kesalehan Pribadi” dalam, Agama dalam Politik Amereka, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, Kedutaan Besar Amereka Serikat dan Freedom Institute, 2006. Enayat, Hamid, Modern Islamic Political Thought, London : Macmillan, 1982. Fachruddin, Fuad Mohd, Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan & Assuransi, Cet. III, Bandung : Alma’arif, 1983. Huntington, Samuel P., dalam “The Clash of Civilization”,” Foreign Affairs 72, No. 4 September-Oktober 1993. Huntington, Samuel P., The Clash of Civilization and the Remaking of the World Order, 1996. Isjwara, F., Pengantar Ilmu Politik, Cet, ke-8, Bandung : Binacipta, 1985 Isre, Moh Soleh (ed), Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, Jakarta : Balitbang Agama dan Diklat Keagamaan, Puslitbang Kehidupan Beragama Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, 2003. Khatib, Muhammad ‘Ajjaj al-, Ushul al-Hadits ‘Ulûmuh wa Musthalahuh,Beirut : Dâr al-Fikr, 1989.
29
Madjid, Nurcholis, “Cita-Cita Keadilan Sosial dalam Islam”, dalam, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1994. Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung : Penerbit Mizan, 1994. Madjid, Nurcholish, Islam, Doktrin dan Peradaban, Cet. Keempat, Jakarta : Paramadina, 2000. Madkhali, Rabi’ bin Hadi al-, Sayyid Quthb Cela Shahabat Nabi ?, terj. Munirul Abidin , Jakarta : Darul Falah, 1423 H / 2003 M. Mahmûd, ‘Alî Abd. al-Halîm, Ma’a al-Aqîdah wa al-Harakah wa al-Manhaj fî Khairi Ummatin Ukhrijat lî al-Nâs, Kairo : Dâr al-Wafâ’ Manshûrah, Cet. I, 1412 H/ 1992 M. Mawdûdî, Abû A’lâ al-, The Islamc Law and Constitution, Lahore : Islamic Publication, 1960. Mawdûdî, Abû al-A’lâ al-, Nazhariyyât al-Islâm al-Siyâsîyyah, Beirut : Dâr al-Fikr, 1388 H. Mawdûdî, Abû al-A’lâ al-, Prinsip-Prinsip Islam, Terj. Abdullah Suhaili Bandung : Alma’arif, 1983 Mishbah, Muhammad Taqi al-, Ma’ârîf al-Qur’ân, Bairut : Dâr al-Islâmiyah, 1990. Moten, Abdul Rashid, Political Science ; An Islamic Perspective, (London : Macmillan Publishing, 1996. Najjar, Fauzi M., “The Application of Syaria Laws in Egypt”, Middle East Policy, vol. 1, no. 3, 1992. Nasution, Harun (Ketua) Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta : Djambatan, 1992. Palmquis, Stephen, Pohon Filsafat Teks Kuliah Pengantar Filsafat, terj. Muhammad Shodiq, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002. Qardhawi, Yusuf, al-Hillu al-Islâmî, Faridhah wa Dharûrah, Nomor 40611, Saudi Arabiyah : Markâz al-Mâlik Faishal lî al-Buhûts wa al-Dirâsah al-Islâmâyah, t.th. 30
Quthb, Sayyid, al-‘Adâlah al-Ijtimâ’iyyah fî al-Islâm, Cet, ke-7 Beirut, Kairo : Dâr al- Surûq,1981. Quthb, Sayyid, Ma’alim fi al-Thariq (Kairo : Dar al-Syuruq, 1982. Rachman, M. Fadjroel, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat Tentang Kebebasan, Demokrasi dan Negara Kesejahteraan, Depok : Penerbit Koekoesan, 2007. Sadlan, Shalih bin Ghanim al-, Wujûb Tathbîq al-Syarî’ah alIslâmiyyah fi Kulli ‘Ashr, (Riyâdh : Dâr Balnasiyah, 1997. Syarqawi, Abdurrahman al-, A’immah al-Fiqh al-Tis’ah, Kairo : Kitab al-Yawm, 1403/1983. Taimiyah, Imam Ibn, Majmû’ al-Fatâwâ, I & III, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah. t.th. Tangdilintin, Paulus, Masalah-Masalah Sosial Suatu Pendekatan Analisis Sosiologis, (Jakarta : Universitas Terbuka, 2000. Zuhaili, Wahbah al-, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Baeirut : Dar al-Fikr, 1985. Zuhri, Muh, Riba dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan (Sebuah Tilikan Antisipatif), Jakarta : Badan Penerbitan Walisongo Press dan Radja Grafindo Persada, 1996.
31