Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
HUBUNGAN A N T A R
A G A M A Dr. Idrus Ruslan, M.Ag
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
i
Hak cipta pada penulis Hak penerbitan pada penerbit Tidak boleh diproduksi sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun Tanpa izin tertulis dari pengarang dan/atau penerbit Kutipan Pasal 72 : Sanksi pelanggaran Undang-undang Hak Cipta (UU No. 10 Tahun 2012) 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal (49) ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masingmasing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1. 000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 5. 000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau hasil barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
ii
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Dr. Idrus Ruslan, M.Ag
HUBUNGAN ANTAR
Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Penulis : Dr. Idrus Ruslan, M.Ag Desain Cover & Layout Team Aura Creative xiv+ 230 hal : 15,5 cm x 23 cm Cetakan Pertama : Oktober 2014
ISBN :978-602-1297-58-2 Penerbit Aura Printing & Publishing Anggota IKAPI No.003/LPU/2013 Alamat Jl. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro, Komplek Unila Gedongmeneng - Bandar Lampung Telp. 0721-758 3211 - HP. 0812 8143 0268 E-mail :
[email protected] Website : www.aura-publishing.com Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Segala puji bagi Allah swt yang menguasi alam semesta beserta isinya, shalawat beriring salam senantias tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw beserta para keluarga, sahabat juga para pengikut beliau. Mata kuliah hubungan antar agama, merupakan salah Mata Kuliah Keahlian (MKK) yang terdapat pada jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung. Bahasan-bahasannya antara lain meliputi sejarah asal usul agama, abrahamic religions, pluralisme dan titik temu agama-agama, dialog antar agama, juga aneka sikap teologi keberagamaan, ditambahkan pula refleksi hubungan antar agama di Indonesia. Selayaknya setiap umat beragama hendaknya berpikir bahwa interaksi atau hubungan antar agama merupakan suatu kebutuhan yang tidak mungkin sempurna kehidupan ini tanpa melakukan hubungan terhadap umat lain. Disamping interaksi, komunikasi, dan relasi antar agama memang berlandaskan atas anjuran doktrin agama, selain itu hubungan antar agama yang positif tentu saja memberikan implikasi bagi perdamaian dan pembangunan masyarakat yang beradab. Doktrin atau nash yang berasal dari kitab suci, terutama yang menjelaskan tentang hubungan antar agama, haruslah direspon secara aktif, positif, dan kreatif oleh semua umat beragama, sehingga tidak akan ditemukan lagi kesalahpahaman yang seringkali berakibat konflik bahkan HUBUNGAN ANTAR AGAMA
v
peperangan sehingga menyisakan penderitaan bagi umat itu sendiri. Dalam pembahasan tema-tema tersebut, secara general dapat dikemukakan bahwa pelaksanaan hubungan antar agama merupakan suatu keharusan, sebab adalah sangat tidak mungkin bagi umat beragama untuk tidak melakukan semua ini. Hal tersebut dapat dilihat secara jelas pada doktrin-doktrin yang terdapat pada setiap agama, yang pada intinya menganjurkan pelaksanaan hubungan antar agama secara baik. Untuk mencapai maksud dan target dari pembelajaran mata kuliah ini, maka dipandang perlu untuk membuat buku daras yang mengacu pada silabi, agar supaya pembahasan dalam setiap pertemuan tatap muka dengan mahasiswa dapat lebih terarah dengan kajian-kajian dimaksud, sehingga memberikan kemudahan bagi mahasiswa agar dapat lebih siap dan fokus terhadap setiap bahasan-bahasan, juga tanggap terhadap perkembangan isu-isu hubungan antar agama kontemporer. Selain itu, akan memberikan kemudahan kepada dosen yang bersangkutan agar dapat memenuhi target proses belajar mengajar. Dalam konteks inilah, proses belajar mengajar masih merupakan media yang penting bagi penyadaran umat beragama yang perlu untuk mengembangkan teologi inklusif dan pluralis, demi harmonisasi hubungan umat antar agama itu sendiri, sebab itu menjadi kebutuhan masyarakat sekarang. Tentu saja dalam proses kegiatan belajar mengajar tidak hanya mengandaikan adanya suatu mekanisme berpikir terhadap agama yang tidak monointer pretable, atau menanamkan kesadaran bahwa keragaman dalam hidup sebagai suatu kenyataan, tetapi juga memerlukan kesadaran bahwa moralitas dan kebijakan bisa saja lahir (dan memang ada) dalam konstruk agama-agama lain. Penanaman konsep seperti ini, tentu saja dengan tidak akan mempengaruhi vi
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
kemurnian masing-masing agama, melainkan hanya sebatas mempelajari dan memahami “sumber-sumber nilai” dari pluralitas agama tersebut. Disamping itu kajian ini dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengembangkan moralitas universal yang ada dalam agama-agama, kemudian direkonstruksi secara komprehensif dan dinamis dalam upaya membangun suatu masyarakat yang bermoral dan beradab. Bukan sebaliknya, menjadikan masyarakat yang eksklusif, kaku, dan dogmatis, sehingga sedikit banyak telah menyumbangkan bahkan mengabadikan konflik intern maupun ekstern umat beragama. Dengan alasan tersebut, maka penyajian materi dalam buku ini diawali pada bab satu yang menjelaskan signifikansi, tujuan, referensi pokok dan penunjang, strategi pembelajaran, evaluasi proses dan prosuk studi, deskripsi tugas belajar, rencana perkuliahan, kriteria penilaian makalah, kriteria presentasi hasil studi di kelas serta saran-saran yang harus dipahami oleh mahasiswa khususnya. Bab dua lebih memfokuskan pada materi yang sesungguhnya pada mata kuliah hubungan antar yakni menguraikan tentang asal usul agama, teori asal usul agama, lalu kemudian aliaran-aliran yang terkait dengan teori asal usul agama yaitu aliran evolusionisme dan aliran revelasi. Sedangkan bab tiga menguraikan dan menjelaskan abrahamic religions baik dari aspek terminologi maupun pola hubungan-pola hubungan yang ada pada agama keturunan nabi Ibrahim tersebut, seperti pola hubungan genetik, historis dan teologis. Selanjutnya bab empat mengekplorasi tentang hubungan antar agama dalam berbagai aspek yaitu aspek historis, politis, sosiologis dan teologis. HUBUNGAN ANTAR AGAMA
vii
Kemudian bab lima mendiskusikan tema pluralisme dan titik temu agama-agama yang diawali dengan kajian wacana dan hakikat pluralisme, dilanjutkan dengan konsep al-Qur’an tentang pluralisme agama, pluralisme dan toleransi keberagamaan serta aspek eksoterik dan esoterik agama. Pada bab enam menguraikan dialog antar agama dan pembangunan bangsa, meliputi pengertian dan macam-macam dialog antar agama, term pembangunan, dialog agama; kekuatan yang membisu, serta urgensi dialog agama bagi pembangunan bangsa. Bab tujuh menyoroti tentang sikap teologis terhadap pluralitas agama. Bab ini membahas bahwa sesungguhnya terdapat aneka macam sikap atau pandangan masyarakat terhadap pluralitas agama antara lain sikap teologi eksklusif, inklusif, pluralis dan transformatif. Sebagai pamungkas dalam bab terakhir yakni bab delapan menguraikan tentang refleksi hubungan antar agama di Indonesia. Hal ini dipandang penting karena pembahasan secara general dan teoritis telah disajikan pada bab sebelumnya, sehingga pada akhirnya akan dikaitkan dengan situasi dan kondisi keagamaan di Indonesia. Uraian bab ini diawali dengan wacana ahl al-Kitab, kebijakan pemerintah tentang agama di Indonesia, signifikansi dan prinsip-prinsip hubungan antar agama, juga peran umat beragama dalam pembangunan Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada berbagai pihak, utamanya adalah “belahan jiwa” Tunak, S.Ag yang dengan penuh kesabaran menemani penulis disaat-saat pengetikan naskah buku daras ini. Juga kepada kepada “penyejuk hati” ananda tersayang; Rijal Ulil Abshar, Fata
viii
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Nabilurrahman, dan Dinda Azkiya Roudotunnur yang dengan caranya masing-masing menumbuhkan motivasi bagi penulis untuk terus berkarya. Semoga karya ini dapat diterima oleh kalangan akademisi juga mahasiswa dan menorehkan secercah manfaat.
Bandar Lampung, Oktober 2014 Idrus Ruslan
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
ix
x
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Kata pengantar ..................................................................
v
Daftar Isi ........................................................................... xi Bab I. PENDAHULUAN .................................................
1
A. Signifikansi Mata Kuliah ......................................................
1
B. Tujuan Pembelajaran ............................................................
2
C. Referensi Pokok dan Penunjang ........................................
3
D. Strategi Pembelajaran ...........................................................
5
E. Evaluasi Proses dan Produk Studi ....................................
6
F. Deskripsi Tugas Belajar .......................................................
6
G. Rencana Perkuliahan ............................................................
7
H. Kriteria Penilaian Makalah ..................................................
8
I. Kriteria Presentasi Hasil Studi dan Presentasi ................. 10 J. Saran-Saran ............................................................................ 10 Bab II. ASAL USUL AGAMA ........................................... 11 A. Kompetensi Utama .............................................................. 11 B. Teori Asal Mula Agama ....................................................... 11 C. Aliran Evolusionisme ........................................................... 25 D. Aliran Revelasi ....................................................................... 28
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
xi
E. Latihan .................................................................................... 33 F. Daftar Bacaan ........................................................................ 33 Bab III. ABRAHAMIC RELIGIONS............................. 35 A. Kompetensi Utama .............................................................. 35 B. Pengertian Abrahamic Religions ........................................ 35 C. Pola Hubungan Abrahamic Religions............................... 39 1. Pola Hubungan Genetik ..................................... 39 2. Pola Hubungan Historis ..................................... 43 3. Pola Hubungan Teologis ................................... 47 D. Latihan .................................................................................... 52 E. Bahan Bacaan ........................................................................ 52 Bab IV. HUBUNGAN ANTAR AGAMA DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF ............................... 55 A. Kompetensi Utama .............................................................. 55 B. Perspektif Historis............................................................... 55 C. Perspektif Sosial Budaya .................................................... 62 D. Perspektif Teologis.............................................................. 68 E. Perspektif Politis .................................................................. 75 F. Latihan .................................................................................... 80 G. Bahan Bacaan ........................................................................ 81 Bab V. PLURALISME DAN TITIK TEMU AGAMA ... 85 A. Kompetensi Utama .............................................................. 85 B. Wacana dan Hakikat Pluralisme......................................... 85 C. Konsep al-Qur’an tentang Pluralisme ............................... 94 xii
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
1. Tidak Ada Paksaan Dalam Beragama ............... 94 2. Pengakuan Eksistensi Agama-Agama............... 98 3. Kesatuan Kenabian .............................................. 100 4. Kesatuan Pesan Ketuhanan ................................ 106 D. Pluralisme dan Toleransi Keberagamaan ......................... 108 E. Aspek Eksoterik dan Esoterik Agama .............................. 113 F. Latihan .................................................................................... 122 G. Bahan Bacaan ........................................................................ 122 Bab VI. DIALOG ANTAR AGAMA DAN PEMBANGUNANBANGSA ............................. 125 A. Kompetensi Utama .............................................................. 125 B. Pengertian dan Macam-Macam Dialog Agama ............... 125 C. Term Pembangunan ............................................................. 139 D. Dialog Agama: Kekuatan yang Membisu ......................... 142 E. Urgensi Dialog Agama Bagi Pembangunan Bangsa ....... 143 F. Perlunya Keterbukaan.......................................................... 148 G. Latihan .................................................................................... 155 H. Bahan Bacaan ........................................................................ 156 Bab VII. SIKAP TEOLOGIS TERHADAP PLURALITASAGAMA....................................... 159 A. Kompetensi Utama .............................................................. 159 B. Teologi Eksklusif .................................................................. 159 C. Teologi Inklusif ..................................................................... 163 D. Teologi Pluralis ..................................................................... 168
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
xiii
E. Teologi Transformatif ......................................................... 171 F. Latihan .................................................................................... 173 G. Bahan Bacaan ........................................................................ 173 Bab VIII. REFLEKSI HUBUNGAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA .............................................. 175 A. Kompetensi Utama .............................................................. 175 B. Ahl al-Kitab ........................................................................... 175 C. Kebijakan Pemerintah Tentang Agama di Indonesia .... 191 D. Signifikansi dan Prinsip-Prinsip Hubungan Antar Agama ......................................................................... 205 E. Peran Umat Beragama dalam Pembangunan .................. 212 F. Menuju Persaudaraan Sejati ................................................ 216 G. Latihan .................................................................................... 227 H. Bahan Bacaan ........................................................................ 228
xiv
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
A. Signifikansi Mata Kuliah Mata kuliah Hubungan Antar Agama merupakan salah satu Mata Kuliah Keahlian (MKK) pada jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung. Mata kuliah ini membahas proses hubungan antar berbagai macam agama secara abstrak terhadap agama-agama yang ada di dunia baik secara historis maupun teologis, terlebih lagi tiga agama besar yakni Yahudi, Kristen dan Islam yang disebut dengan Abrahamic Religions. Disamping itu pembahasannya juga akan melihat potret hubungan antar agama di Indonesia. Kajian mata kuliah Hubungan Antar Agama meliputi tematema pokok khusus yang berkaitan dengan hubungan antar agama yang berasal dari berbagai macam doktrin teologis umat beragama yang berasal dari kitab suci masing-masing, yakni berusaha untuk memahami bagaimana respon yang muncul dari kitab suci-kitab suci tersebut terhadap penganut agama lain, utamanya di Indonesia. Mata kuliah ini mengembangkan dan membangun sikap inklusif umat beragama dalam menghadapi pluralitas dengan berbagai dimensinya, khususnya pluralitas agama, hal ini dipandang sangat perlu sebab umat beragama akan selalu berhadapan dengan pluralitas dan sangat tidak mungkin lagi untuk HUBUNGAN ANTAR AGAMA
1
menghindar dari himpitan dan hingar-bingar dari implikasi pluralitas tersebut. Oleh karena itu, diharapkan nantinya mahasiswa yang telah mengikuti mata kuliah ini memiliki sikap yang apresitatif terhadap eksistensi penganut agama lain, sehingga tidak akan ada lagi klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan (salvation claim) dari suatu penganut umat beragama terhadap penganut agama lain. Dengan kata lain, sikap inklusiflah yang harus dikembangkan, bukan sikap eksklusif. Untuk membangun sikap inklusif tersebut, maka diperlukan pemahaman yang mampu membedakan aspek esoterik dan aspek eksoterik yang ada pada setiap agama. Pemahaman yang tepat dan memadai terhadap kedua aspek agama tersebut dapat di pahami hanya dengan melalui dialog antara agama. Hal ini pulalah yang akan menjadi salah satu kajian dari mata kuliah ini. Dalam proses pembelajaran, mahasiswa aka melakukan studi dengan menggunakan berbagai pendekatan dan metode, yang tepat dalam melakukan kajian dan menyusun kerangka berpikir ilmiah dengan ciri khas antara lain; Pertama, harus mendalam dan rasional. Kedua, diuraikan dengan bahasa yang lugas, jelas, komunikatif dan lancar. Ketiga, menggunakan bahasa yang bersahabat dan sopan serta tidak mengandung unsur SARA. B. Tujuan Pembelajaran Agar mahasiswa mengetahui dan memahami kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip hubungan antar agama, baik dari segi historis maupun teologis, perkembangan hubungan tersebut yang terwujud melalui berbagai dialog dan kerjasama antar pemeluk agama-agama, pemikiran teologis yang berkembang pada masingmasing pemeluk agama, terutama dalam Islam dan Kristen dalam menyikapi posisi dan eksistensi agama-agama lain. 2
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
C. Refrensi Pokok dan Penunjang a. Pokok Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung : Mizan, 1997. C.J. Bleeker, Pertemuan Agama-agama Dunia, terj. Barus Siregar, Bandung : Sumur Bandung, 1985. Frithjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama, terj. Saafroedin Bahar, Jakarta : Pustaka Firdaus dan Yayasan Obor, 1994. ----------, Islam dan Filsafat Perennial, terj. Rahmani Astuti, Bandung : Mizan, 1998. F.X. Armada Riyato, Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik, Yogyakarta : Kanisius, 1995. Harold Coward, Pluralisme ; Tantangan Bagi Agama-agama, terj. Bosco Carvallo, Yogyakarta : Kanisius, 1992. Jean Jacques Rousseau, Kontrak Sosial, alih bahasa Sumardjo, Jakarta : Erlangga, 1992. J. Philip Wogaman, Christian Perspectives on Politics, Westminster : John Knox Press, 2000. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over; Melintasi Batas Agama, Jakarta : Paramadina, 1998. ---------- dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan; Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta : Paramadina, 1995. Maurice Borrmans, Guidellines for Dialogue Between Christian and Muslims, trans. R. Morston Speight, New York : Paulist Press, 1990. Paul F. Knitter, No Other Name? a Critical Survey of Christian Attitudes Towards the World Religions, New York : Orbis Book, 1985.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
3
Raimundo Pannikar, Dialog Intra Religius, terj. J. Dwi Helly Purnomo dan P. Puspobinatmo, Yogyakarta : Kanisius, 1994. Robert N. Bellah dan Philip E. Hammond, Varietes of Civil Religion, Sanfransisco : Harper and Row, 1980. Said Agil Husin al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, Jakarta : Ciputat Press, 2005. Victor I. Tanja, Pluralisme Agama dan Problema Sosial; Diskursus Teologi Tentang Isu-isu Kontemporer, Jakarta : Pustaka Cidesindo, 1998. b. Penunjang Ali Noer Zaman (ed.), Agama Untuk Manusia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000. Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945; Kajian Perbandingan Tetang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, Jakarta : UI Press, 1995. A.Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama; Sebuah Pembahasan Tentang Methodos dan Sistema, Yogyakarta : Yayasan Nida, 1975. Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam, Jakarta : Paramadina, 1999. Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis; Wacana Keseteraan Kaum Beriman, Jakarta : Paramadina, 2001. M. Amin Abdullah dkk., Antologi Studi Islam; Teori dan Metodologi, Yogyakarta : Sunan Kalijaga Press, 2000. Departemen Agama RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia, Jakarta : Balitbang, 1997. M. Natsir, Mencari Modus Vivendi Antar Umat Beragama di Indonesia, Jakarta : Media Dakwah, 1983.
4
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan, Bandung : Mizan, 1997 Selain itu, dapat pula buku-buku atau literatur lain yang berkaitan dengan materi yang terdapat pada time line, dan juga jurnal atau majalah serta sumber bacaan yang berasal dari internet yang berguna bagi pengayaan wawasan mahasiswa. D. Strategi Pembelajaran Guna mencapai tujuan pembelajaran, pada mata kuliah ini menggunakan berbagai strategi pembelajaran dalam proses belajar mengajar antara mahasiswa dengan dosen. Pertama, tugas-tugas yang menekankan aspek produk studi, yaitu pembuatan makalah yang berkaitan dengan kajian hubungan antar agama. Kedua, tugas-tugas yang menekankan aspek proses studi, yaitu keaktifan dalam diskusi kelompok kecil (small group) maupun besar dengan berbagai strategi seperti giving question and getting answer, jigsaw learning, active debate, lerning start with questions, planted question, everyone is a teacher here, dan lain sebagainya yang relevan, serta tugas-tugas formatif (weekly) dengan menggunakan teknik-teknik seperti pro and con grid, analytic memo, one sentence summary, word jurnal, concept maps, power of two, dan saling berinergis untuk memperkuat cara pencapaian tujuan pembelajaran diaksud, sesuai dengan pokok bahasan dan kondisi yang ada.1
1
Untuk bacaan lebih lanjut mengenai strategi pembelajaran ini, lihat Hisyam Zaini dkk., Strategi Pembelajaran di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Center for Teaching Staff Development CTSD, 2002).
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
5
E. Evaluasi Proses dan Produk Studi 1. Keaktifan dalam kelas termasuk kehadiran
: 15 %
2. Presentasi hasil studi
: 10 %
3. Ujian Tengah Semester
: 25 %
4. Makalah
: 20 %
5. Ujian Akhir Semester
: 30 % ----------- +
Jumlah
:100 %
F. Deskripsi Tugas-tugas 1. Kehadiran dan keaktifan di dalam kelas. Mahasiswa dituntut agar proaktif memberikan kontribusi pemikiran, baik berupa pertanyaan maupun komentar, atau menanggapi dalam suasana bebas resiko (free risk environtment). 2. Presentasi hasil studi. Mahasiswa secara bergiliran menyajikan pokok-pokok pikiran atau konsep-konsep sebagai hasil bacaan terhadap buku-buku anjuran atau buku-buku wajib, atau refrensi pilihan sebagaimana terjadwal dalam time line. 3. Ujian Tengah Semester. Mahasiswa dituntut untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian tengah semester yang dilakukan pada pertengahan pertemuan untuk materi yang hanya didigunakan dari perkuliahan awal sampai akhir pertengahan semester. 4. Makalah. Mahasiswa membuat satu tulisan ilmiah yang berkaitan dengan mata kuliah hubungan antar agama. 5. Ujian Akhir Semester. Mahasiswa harus mengikuti evaluasi akhir ini sebagai evaluasi belajar tahap kedua. 6
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
G. Rencana Perkuliahan Tatap Muka
Pokok Bahasan
I
Pengantar: pengenalan terhadap subjek, pengertian, dan arti penting mata kuliah hubungan antar agama, serta kontrak belajar.
II
Asal-usul agama : a. Teori asal mula agama
III
Asal usul agama : b. Teori evolusi
IV
Asal usul agama : c. Teori revalasi
V
Abrahamic Religions : a. Pengertian b. Pola hubungan Abrahamic Religions : hubungan genetik hubungan historis hubungan teologis
VI
Pluralisme dan titik temu agama-agama : a. Wacana dan hakikat pluralisme
VII
Pluralisme dantitik temu agama-agama : b. Aspek esoterik agama c. Aspek eksoterik agama
VIII
Ujian Tengah Semester
XI
Dialog dan kerjasama antar umat beragama : a. Pengertian b. Partner dialog c. Jalan menuju dialog HUBUNGAN ANTAR AGAMA
7
H.
X
Dialog dan kerjasama antar umat beragama : d. Rintangan dan penghalang dialog e. Lingkup dan kerjasama antar umat beragama
XI
Dialog dan kerjasama antar umat beragama dalam perspektif teologis
XII
Sikap teologis terhadap pluralitas agama : a. Teologi eksklusif b. Teologi inklusif
XIII
Sikap teologis terhadap pluralitas agama : c. Teologi pluralis d. Teologi transformatif
XIV
Refleksi etis hubungan antar agama di Indonesia a. Kebijakan pemerintah tentang agama di Indonesia b. Signifikansi dan prinsip-prinsip hubungan antar agama
XV
Peran umat beragama di Indonesia dalam pembangunan
XVI
Ujian Akhir Semester
Kriteria penilaian makalah a. Sebelum pembuatan
Judul makalah dan out line dikonsultasikan terlebih dahulu kepada dosen pengajar, sehingga tidak menyimpang dari tujuan pembelajaran mata kuliah ini.
8
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
b. Pembuatan makalah format makalah jumlah halaman berkisar 10-15 halaman jarak satu setengah spasi dengan ukuran kertas A4 menggunakan sistem catatan kaki (foot note) istilah asing yang belumbaku ditulis miring konsistensi dalam transeliterasi dan sistem penulisan c. Sistematika makalah : 1. Pendahuluan berisi; latar permasalahan dan metode.
belakang
pemikiran,
2. Isi berupa : uraian bersifat analitis, sintesis atau evaluasi, membahas tentang persoalan yang telah dikemukakan dalam pendahuluan, merupakan penjabaran terhadap statemen dalam uraian pendahuluan, pendekatan dan metode masalah yang dikaji,
tergantung
pada
argumentasi dibangun berdasarkan bukti dan fakta, baik yang bersifat teoritis yang berasal dari literatur ataupun empiris yang berasal dari fakta dilapangan, dan dibuktikan dengan kutipan atau catatan. 3. Kesimpulan : merupakan summary dari uraian yang telah disajikan dengan menggunakan bahasa yang tegas dan padat tanpa harus bertele-tele, HUBUNGAN ANTAR AGAMA
9
sedapat mungkin menghindari kutipan, sebab kutipan hanya tepat digunakan pada pendahuluan dan isi. 4. Bibliograpi : menggunakan sumber langsung, baik dalam bahasa Indonesia, Arab, maupun Inggris. paling tidak ada literatur asing dan lima berbahasa Indonesia I. Kriteria presentasi hasil studi di kelas dan presensi 1. Mahasiswa harus aktif mengikuti perkuliahan sesuai dengan jadwal dan kontrak belajar yang telah disepakati yang telah ditetapkan bersama. 2. Mahasiswa harus aktif mengikuti dan memberikan saran, sanggahan ataupun argument pada saat pelaksanaan diskusi mahasiswa guna membahas makalah. J. Saran-saran 1. Diskusikanlah bersama teman-teman tentang bagaimana menyusun jadwal perkuliahan baik, apa saja yang akan dibahas dalam kuliah nanti. 2. Persiapkanlah diri anda untuk mengikuti kuliah ini, baik dari segi waktu agar tidak berbarengan dengan mata kuliah lain, ataupun melakukan persiapan dengan cara memiliki literatur-literatur baik yang pokok maupun penunjang sebagaimana yang telah disajikan pada bagian terdahulu.
10
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
A. Kompetensi Utama Setelah mengikuti materi kuliah pada bab ini, mahasiswa dapat menguraikan secara tepat pengertian dan macam-macam bentuk dialog, juga hambatan-hambatan apa saja bagi terlaksananya dialog agama. Selain itu mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan pengertian pembangunan baik dalam arti pembangunan pisik maupun mental, dan bagaimana hubungan antara dialog antar agama dengan pembangunan (bangsa). B. Pengertian dan Macam-Macam Dialog Agama Kata dialog berasal dari kata Yunani “dia-logos”, artinya berbicara antara dua pihak, atau “dwiwicara”. Sedangkan lawannya adalah “monolog” yang berarti “berbicara sendiri”. Arti sesungguhnya (definisi) dialog ialah percakapan antara dua orang (atau lebih) dalam mana diadakan pertukaran nilai yang dimiliki masing-masing pihak. Lebih lanjut dialog berarti pula pergaulan antar pribadi-pribadi yang saling memberikan diri dan berusaha HUBUNGAN ANTAR AGAMA
125
mengenal pihak lain apa adanya. Berdialog merupakan kebutuhan hakiki dari manusia sebagai makhluk sosial. Dari studi psikologipatologi disimpulkan bahwa manusia yang normal membutuhkan dialog, membuka diri kepada orang lain. Prinsip psikologis itu memang harus mendasari dialog yang sejati; keterbukaan terhadap pihak lain, kerelaan berbicara dan memberikan tanggapan kepada pihak lain, saling percaya bahwa kedua belah pihak memberikan informasi yang benar dengan caranya sendiri. Oleh karena itu, tujuan dialog bukan suatu yang negatif, bukan hanya komunikasi, bukan memberikan jawaban atas apa yang dihadapi pihak lain; bukan mencari permufakatan dari pihak lain; bukan mencari kompromi. Boleh jadi ada mufakat, namun itu bukan tujuan utamanya. Tujuan dialog adalah sesuatu yang positif yaitu, member informasi dan nilai-nilai yang dimiliki, lalu membantu pihak lai mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Tak peduli apakah keputusan itu ya atau tidak, karena keduanya sama pentingnya. Jadi dalam dialog sikap yang berbeda-beda dari peserta dihargai. Disini tidak ada soal “kalah” atau “menang”, yang terpenting adalah tumbuhnya saling pengertian yang obyektif dari kritis; menumbuhkan kembali alam kejiwaan yang semula tertutup oleh tirai pemisah karena tiadanya saling pengertian kepada alam dan bentuk kejiwaan yang otentik dan segar, yang memungkinkan dua belah pihak mengembangkan diri sendiri sebagai pribadi yang sejati. Disadari atau tidak, manusia hanya dapat menjadi diri sendiri dalam alam perjumpaan personal di mana ada penyapaan dan tanggapan. Dialog yang baik akan mengarah kepada terciptanya pertemuan pribadi-pribadi yang bentuk konkritnya berupa kerja sama demi kepentingan bersama.1
1
Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta : Ciputat Press, 2005), h. 42.
126
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Pada bagian lain, A. Mukti Ali menjelaskan, dialog antar agama bukan merupakan suatu usaha agar orang yang berbicara menjadi yakin akan kepercayaannya, dan menjadikan orang lain mengubah agamanya kepada agama yang ia peluk. Dialog agama tidak dimaksudnya untuk konversi, yaitu untuk memasung orang lain supaya menerima kepercayaan yang ia yakini, sekalipun konversi semacam itu menggembirakan orang yang agamanya diikuti. 2 Pada bagian lain Mukti Ali juga menjelaskan bahwa dialog antar agama bukanlah suatu studi akademis terhadap agama lain, juga bukan merupakan usaha untuk menyatukan semua ajaran agama menjadi satu. Dialog antar agama bukan suatu usaha untuk membentuk agama baru yang dapat diterima oleh semua pihak. Dialog juga bukanlah berdebat adu argumentasi antar berbagai kelompok pemeluk agama, hingga dengan demikian ada orang yang menang dan ada yang kalah.3 Akan tetapi dialog antar agama adalah pertemuan hati dan pikiran antara pemeluk pelbagai agama. Dialog adalah jalan bersama untuk mencapai kebenaran dan kerjasama dalam proyek-proyek yang menyangkut kepentingan bersama. Ia merupakan perjumpaan antar pemeluk agama, tanpa merasa rendah dan tanpa merasan tinggi, dan tanpa agenda atau tujuan yang dirahasiakan. Oleh karena itu, dialog antar agama membiarkan utuh hak setiap orang untuk mengamalkan keyakinan dan menyam-paikan kepada orang lain, serta tidak menuntut para peserta supaya pada waktu berdialog meninggalkan kepercayaan agaanya walaupun sebagian. Dialog antar agama adalah suatu perjumpaan yang 2 A. Mukti Ali, “Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi”, dalam Burhanuddin Daya dan Herman Leonard Bec (red.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda (Jakarta INIS, 1992), h. 208. 3 Lihat juga hasil dialog yang diadakan di Beirut pada tahun 1970 dalam A. Mukti Ali, Dialog Antar Agama (Yogyakarta : Yayasan Nida, 1970), h. 49. Bandingkan dengan Raimundo Pannikar, Dialog Intra Religius, terj. J. Dwi Helly Purnomo dan P. Puspobinatmo (Yogyakarta : Kanisius, 1994), h. 33.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
127
sungguh-sungguh, bersahabat dan berdasar-kan hormat dan cinta dalam tingkatan agama antara berbagai pemeluk agama. Dialog antar agama merupakan salah satu bentuk hubungan antar berbagai agama yang memperoleh perhatian serius menjelang abad ke-20. Walaupun tidak diketahui secara pasti kalangan agama mana yang memiliki inisiatif dari kegiatan ini, akan tetapi semua agama dapat dikatakan menyambut secara positif sebagai upaya menghilangkan, atau sekurang-kurangnya mengurangi beban trauma historis hubungan antar agama yang syarat konflik dimasa lampau dan untuk membangun saling pengertian serta kerja sama antar agama dalam rangka ikut memecahkan berbagai masalah yang di hadapi masyarakat. Menurut Djam’annuri, semangat dialog adalah kebersamaan, semangat sharing, semangat saling andil dan berbagi, baik dalam keprihatinan menghadapi berbagai masalah yang telah melecehkan dan memerosotkan nilai-nilai agama serta kemanusiaan ataupun dalam memberikan kontribusi untuk mengatasi masalah-masalah tersebut secara bersama-sama.4 Dialog antar umat beragama, khususnya di Indonesia adalah untuk menumbuhkan saling pengertian, toleransi dan kedamaian diantara agama-agama yang berbeda, merupakan babak baru dalam hubungan antara kaum muslim dan kristiani umumnya. Agenda ini juga merupakan usaha untuk menciptakan kerukunan hidup beragama secara aktual. Dengan dialog, umat beragama mempersiapkan diri untuk melakukan diskusi dengan umat agama lain yang berbeda pandangan tentang kenyataan hidup, sehingga dimaksudkan untuk saling mengenal dan menimba pengetahuan baru tentang agama mitra dialog, juga dengan sendirinya akan memperkaya wawasan kedua belah pihak dalam rangka mencari 4
Djam’annuri, “Dialog Antar Agama: Kontribusinya Bagi Pembangunan Moral dan Etika Bangsa”, dalam Jurnal ESENSIA, Vol. 2, No. 1, Januari 2001, h. 23.
128
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu masyarakat. Harus disadari bahwa dialog bukanlah wilayah komunikasi tanpa syarat-syarat pertimbangan, sebab dialog mesti dilakukan dengan persiapan-persiapan pandangan yang seimbang. Dalam pandangan Alwi Shihab, setidaknya terdapat dua komitmen penting yang harus dipegang teguh sebagai suatu prinsip oleh pelaku dialog; pertama, adalah toleransi dan kedua adalah pluralisme. Akan sulit bagi pelaku-pelaku dialog antar agama untuk mencapai saling pengertian dan respek apabila salah satu pihak tidak bersikap toleran. Karena toleransi pada dasarnya adalah upaya untuk menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan. Namun dialog yang disusul oleh toleransi tanpa sikap pluralistik tidak akan menjamin tercapainya kerukunan antar umat beragama secara langgeng.5 Disamping itu, untuk menghasilkan hubungan inklusif antar agama melalui media dialog, Leonard Swidler menyarankan agar dialog dilakukan dengan berpegang teguh kepada sepuluh prinsip dasar dialog yaitu : 1. Tujuan utama dialog adalah untuk belajar mengubah dan mengembangkan persepsi dan pengertian tentang realitasdan kemudian berbuat menurut apa yang sesungguhnya diyakini. 2. Dialog antar agama harus merupakan suatu proyek dua pihak intern masyarakat suatu agama atau antar masyarakat penganut agama yang berbeda. 3. Setiap peserta dialog harus mengikuti dialog dengan kejujuran dan ketulusan yang sungguh-sungguh, dan 5
Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung : Mizan, 1999), h. 41.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
129
sebaliknya dia juga harus yakin dan percaya, bahwa mitramitra dialognya mempunyai ketulusan dan kesungguhsungguhan seperti yang dia miliki. 4. Setiap peserta dialog harus mendefinisikan dirinya sendiri. Misalnya, hanya orang Yahudilah yang dapat dan tepat menjelaskan apa artinya menjadi seorang Yahudi, orang lain hanya dapat mendeskripsikan apa yang dapat dilihat dari luar, begitu juga dengan agama-agama lain. 5. Setiap peserta dialog harus mengakui dialog tanpa asumsiasumsi yang kukuh dan tergesa-gesa mengenai umpamanya apa-apa saja yang tidak bisa disetujui. 6. Dialog hanya bisa dilakukan antar pihak-pihak secara CumPari. Kalau Hinduisme dianggap atau dinilai inferioritas oleh Kristen misalnya, maka tidak akan terjadi dialog. 7. Dialog harus dilaksanakan atas dasar saling percaya. 8. Orang-orang yang memasuki arena dialog antar agama, paling kurang harus bersifat kritis, baik kepada diri mereka sendiri maupun terhadap agama yang ia anut. Mereka yang tidak kritis pada umumnya mempunyai pendirian, bahwa agama yang mereka anut bisa menjawab dan menyelesaikan seluruh masalah dan persoalan yang dihadapi manusia. 9. Setiap peserta dialog, akhirnya harus mencoba memahami agama mitra dialognya dari dalam, sebuah agama bukan hanya terbatas apa yang terpikir dikepala, tetapi juga apa yang terasa dilubuk hati, semangat dan bahkan keseluruhan, baik perseorang-an maupun bersama. 10. Dalam dialog antara agama, orang tidak boleh membandingkan idealisna dengan praktik mitra dialog, yang mungkin adalah membandingkan yang ideal dengan yang ideal lainnya atau praktik dengan praktik lainnya. 130
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Pada sisi lain, Agil Husin menjelaskan bahwa untuk mencapai suatu hasil yang wajar suatu dialog perlu diketahui dan ditaati beberapa syarat oleh pihak-pihak peserta dialog, yang perlu dimiliki dan yang perlu dihindari. Pertama, yang perlu dimiliki para peserta dialog sekurangkurangnya hal berikut; pribadi dialogal, menurut istilah Reuel L. Howe. Pada hematnya – dan pendapat itu dapat kita ikuti pula – pribadi-pribadi dialogal harus menyandang sifat-sifat sebagai berikut : 1) Pribadi yang utuh dan otentik. Utuh, kalau ia memberikan tanggapan kepada orang lain dengan seluruh pribadi, bukan dengan hati yang setengah-setengah. Ia sungguh-sungguh hadir, karena ia berperhatian penuh terhadap orang yang berbicara kepadanya. Pribadi otentik, karena ia menghargai orang lain sebagai pribadi, dan mau mempercayainya serta tidak berusaha untuk memperalatnya untuk kepentingan sendiri. 2) Pribadi dialogal ialah seorang yang terbuka. Artinya, ia bersedia dan sanggup mengungkapkan diri kepada orang lain; bersedia dan sanggup mendengar dan menerima ungkapan diri orang lain, bahkan apabila ungkapanitu berupa kritik. Pribadi yang demikian itu juga terbuka terhadap nilai dan pengaruh dialogi itu sendiri. Karena dalam percakapan bersama itu orang menyediakan diri dengan sadar untuk menerima nilai-nilai yang diungkapkan oleh pihak masing-masing. 3) Pribadi dialog ialah seorang yang berdisiplin. Artinya, ia mematuhi secara konsekuen tata tertib dialog. Ia mau angkat bicara kalau ada sesuatu yang harus diungkapkan, atau berbuat jika ada sesuatu yang harus diselesaikan. Dalam ungkapan buah pikirannya pun dia harus berpegang HUBUNGAN ANTAR AGAMA
131
pada disiplin, tidak keluar dari konteks pembicaraan. Karena melalui disiplinlah dilahirkan daya cipta. Kedua, rintangan-rintangan yang harus diatas. Paling tidak seorang peserta dialog perlu memperhatikan hal-hal yang sering menyebabkan suatu dialog tidak berhasil sebagai berikut; 1) Rintangan bahasa. Sebuah kata yang persis sama ucapannya dapat menimbulkan pengertian yang berbeda bagi orang lain. Dengan demikian pembicaraan tidak sambung, karena terjadi salah faham. Hampir setiap perkataan mempunyai latar belakang kultural dalam pembentukannya dan hamper selalu diwarnai dengan setumpuk emosi dan asosiasi yang hidup dalam satuan budaya tertentu. Misalnya akta “bapa” yang sudah mempunyai arti standar. Akan tetapi setiap orang dari satuan budaya lain dapat memberikan arti khusus kepada kata “bapa” itu mungkin berbeda besar dengan arti yang diberikan pihak pembicara. Apalagi kalau kata “bapa” itu yang mungkin berada besar dengan arti yang diberikan pihak pembicara. Apalgi kalau kata “bapa” itu dikenakan pada masalah keagamaan orang harus lebih berhati-hati. Demikian pula penggunaan kata pencipta, dosa, surga, negara, penebusan, dan lain-lain. 2) Gambaran tentang orang lain yang keliaru. Kesalahan besar yang dibuat para peserta dialog ialah bahwa pihak masingmasing mempunyai gambaran keliaru tentang diri kawan bicara. Biasanya gambaran itu didominasi oleh sifat kurang baik yang diperoleh dari kelompoknya atau dari sumber informasi lain yang tidak lengkap, tetapi terutama dari prasangka yang ada pada seseorang terhada pihak lain. Misalnya, seorang Muslim mempunyai gambaran yang lain tentang seorang Kristen dan sebaliknya. Gambaran tentang pihak masing-masing merupakan warisan dari 132
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
zaman ke zaman dan ditambah dengan pengalaman kawan bicara masing-masing yang biasanya kurang menyenangkan. Singkat kata, gambara-gambaran itu semuanya berbobot karikatur. Dalam keadaan yang demikian itu tidak mungkin diadakan dialog yang menghasilkan hasil yang bermutu. 3) Nafsu membela diri. Peserta dialog adalah manusia-manusia yang lemah, jelasnya manusia-manusia yang tidak bebas dari nafsu ingin menang, tidak senang dikalahkan, dan secara spontan mau membela diri sendiri dan kedudukannya sendiri atau kedudukan golongannya. Justru dalam dialog nafsu bela diri tidak boleh mendapatkan tempat. Adalah lebih sulit untuk menahan nafsu itu dalam dialog antara umat beragama, karena setiap peserta berpegang teguh pada keyakinan bahwa agamanya adalah paling benar. Dan apabila tujuan dialog dibelokkan kepada mencari kemenangan dengan membela diri sekuat tenaga lebih baik dialog itu dibatalkan saja6 Disamping segala macam persiapan sebagaimana yang telah diuraikan diatas, perlu juga diungkapkan mengenai model-model atau bentuk-bentuk yang disarankan para ahli. Mukti Ali juga menawarkan bentuk-bentuk atau model dialog, diantaranya: 1. Dialog Kehidupan. Pada tingkatan ini orang dari berbagai macam agama dan keyakinan hidup bersama, dan kerjasama untuk saling memperkaya kepercayaan dan keyakinan masing-masing, dengan perantaraan melakukan nilai-nilai dari agama masing-masing tanpa diskusi formal. Hal ini terjadi pada keluarga, sekolah, angkatan bersenjata, rumah sakit, industri, kantor dan negara. Juga dialog 6
Al Munawar, Fikih Hubungan….., h. 42-44.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
133
antar kebudayaan, karena kebudayaan itu juga dipengaruhi oleh agama. 2. Dialog dalam Kegiatan Sosial Pada tingkatan ini berbagai macam pemeluk agama dapat mengadakan kerjasama, dalam melaksanakan proyek-proyek pembangunan, dalam meningkatkan kehidupan keluarga, dalam proyek bersama untuk membantuk rakyat yang menderita dari kekeringan, kemiskinan, kekurangan makan, membantu para pengungsi dan terutama meningkatkan keadilan dan perdamaian. 3. Dialog Komunikasi Pengalaman Agama Dialog dalam bentuk ini mengambil bentuk, umpamanya pertapapertapa Katolik dan Budha, mereka untuk beberapa minggu lamanya menginap dipertapaan lainnya, supaya mereka dapat memperoleh pengalaman keyakinan dan untuk mempelajari bagaimana kehidupan pendeta-pendeta lain sehari-hari, seperti bagaimana mereka berpuasa, berdoa’a, membaca kitab suci, meditasi dan kerja lainnya. 4. Dialog untuk Doa Bersama Dalam bentuk ini, berbagai orang dengan agama dan kepercayaan yang beranekaragam datang berdoa untuk perdamaian. Sudah barang tentu mereka tidak bisa melakukan doa bersama, karena doa didasarkan pada keyakinan, sedangkan keyakinan mereka berbeda-beda. Akan tetapi mereka bisa datang bersama untuk berdoa dengan maksud yang sama, yaitu perdamaian dunia. SetiapJamaah berdoa dengan caranya sendiri-sendiri dan tidak mengikuti doa agama lain, akan tetapi setiap kelompok juga hadir pada waktu orang-orang dari agama lain berdoa.
134
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
5. Dialog Diskusti Teologis Dialog ini berupa dimana ahli-ahli agama tukar menukar informasi tentang keyakinan, kepercayaan dan amalan-amalan agama mereka, dan berusaha untukk mencari saling pengertian dengan perantaraan diskusi tersebut.7 Berbagai macam model dialog yang ditawarkan oleh para ahli agama baik dari Islam, Kristen ataupun Hindu, merupakan suatu bentuk tawaran atau opsi sehingga peminat dualog mempunyai wawasan, bekal dan persiapan untuk berdialog. Akan tetapi menurut penulis, semua model yang ditawarkan tersebut berpulang kepada para pelaku dialog itu sendiri atau dengan kata lain tergantung kepada para pelaku dialog, sebab dialog antar agama merupakan sesuatu yang sangat kontekstual sehingga tidak dapat dibatasi oleh model-model atau tipe-tipe tertentu. Artinya dialog harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang fleksibelistis. Menurut Azyumardi Azra, dialog Islam-Kristen di Indonesia, baru mulai menemukan momentumnya pada masa Orde Baru. Momentum itu selain disebabkan munculnya perkembangan-perkembangan hubungan yang kurang kondusif 7
Ali, “Ilmu Perbandingan ......”, h. 209. Sementara itu Kimball, menawarkan bentuk-bentuk dialog yaitu dialog parlementer, dialog kelembagaan, dialog teologi, dialog dalam masyarakat dan dialog kerohanian. Lihat A. Charles Kimball, “Muslim-Christian Dialogue”, dalam Johan L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopeida of the Modern Islamic Word, vol. 3, (New York : Oxford University Press, 1995), h. 204. Sedangkan Armada Riyanto mengusulkan bentuk-bentuk dialog yakni; dialog kehidupan (bagi semua orang), dialog karya (untuk bekerjasama), dialog pandangan teologis (untuk para ahli), dan dialog pengalaman keagamaan (dialog pengalaman iman). Lihat Armada Riyanto, Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik (Yogyakarta : Kanisius, 1995), h. 111. Juga Th. Sumartana mengusulkan diintensifkannya dialog antar umat beragama dalam berbagai bentuk, yaitu dialog hidup, dialog aksi, dialog teologis, dan dialog pengalaman keagamaan. Lihat Th. Sumartana, “Pengantar Menuju Dialog Antar Iman”, dalam Th. Sumartana dkk (ed.), Dialog; Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta : DIAN Interfidei, 1994), h. xvi. Bandingkan dengan K.R. Sundrarajan, “Model-model Dialog Antar Agama Menurut Agama Hindu”, dalam Ali Noer Zaman (ed), Agama Untuk Manusia (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), h. 95.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
135
pada masa pasca Soekarno, tetapi juga merupakan pilihan kebijakan politik pembangunan “seutuhnya” yang ditempuh Pemerintah Suharto.8 Sebagaimana kita lihat, dialog-dialog antar agama itu bukan diprakarsai oleh fungsionaris agama atau kalangan inteleqtual masing-masing, tetapi justru oleh pemerintah khususnya melalui Departemen Agama.9 Sebelumnya, sejak kedatangan kolonial Belanda, hubungan Islam dan Kristen yang sering tidak harmonis dan diwarnai ketegangan, berhasil diredam penguasa kolonial sehingga tidak menjadi konflik terbuka. Hubungan yang tidak harmonis itu sering ditandai dengan polemik dan protes terbuka, khususnya setelah kebangkitan organisasi-organisasi Islam sejak dasawarsa kedua abad ke-20. Muhammadiyah dan Jong Islamited Bond (JIB) misalnya, merupakan organisasi-organisasi Islam yang pada pertengahan dasawarsa 1920-an cukup sering terlibat dalam polemik dan kontroversi dengan pihak Kristen dan Belanda, khususnya dalam soal misionaris, atau ekspansi umumnya. Hubungan yang tidak harmonis itu kembali mencuat dalam proses-proses penetapan dasar negara Indonesia pada tanggal 17 dan 18 Agustus 1945.10 Pada masa Soekarno, hubungan Islam-Kristen dapat dikatakan merupakan salah satu dari masa puncak ketegangan. Ketegangan ini terutama dipicu oleh terjadinya gelombang 8 Azyumardi Azra, “Kerukunan dan Dialog Islam-Kristen di Indonesia; Kajian Historis-Sosiologis”, dalam Mursyid Ali (ed.), Dinamika Kerukunan Hidup Beragama Menurut Perspektif Agama-agama; Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Beragama (Jakarta : Balitbang Agama, 1999-2000), h. 17. Lihat juga Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam (Jakarta : Paramadina, 1999), h. 58. 9 Model dialog yang diprakarsai pemerintah dalam hal ini Departemen Agama menerapkan bentuk Top-Down, sehingga kesadaran belum sepenuhnya berasal dari masyarakat agama, tetapi paling tidak usaha ini merupakan bentuk perhatian pemerintah dalam merespon kenyataan di lapangan. Pemerintah dalam hal ini telah menyadari, dimana Indonesia yang sedang membangun membutuhka situasi umat beragama yang kondusif 10 Tarmizi Taher, Ummatan Wasathan; Kerukunan Beragama di Indonesia (Jakarta : PPIM, 1998), h. 39-45.
136
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
konversi bekas-bekas (mantan) anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kalangan muslim abangan ke dalam Kristen. Dalam periode 1965-1971 terdapat setidaknya 2.000.000 muslim Jawa telah di Baptis menjadi Kristen. Kalangan Islam yang gusar melihat konversi seperti memandang bahwa misionaris Kristen telah melakukan cara-cara yang mereka pandang tidak fair.11 Setelah G30S/PKI ditumpas, cina yang minoritas terutama di Jawa dan tergabung dalam BAPERKI, berafiliasi dengan PKI, maka untuk mencari selamat dari tindakan-tindakan pembersihan terhadap unsur-unsur PKI yang dilakukan oleh golongan Islam, mereka berbondong-bondong memasuki gereja dan anak-anak umur sekolah, mereka masukkan ke sekolah-sekolah asuhan Gereja, karena sekolah-sekolah mereka tutup. Begitu juga segala unsur budaya asli mereka dilarang untuk dihidupkan, dan bahkan mereka harus berganti nama. Akibatnya adalah bahwa semenjak tahun 1966 hampir semua masyarakat Cina berpindah agama menjadi penganut Kristen ataupun Katolik.12 Berbarengan dengan itu menurut B.J. Boland, polemik keagamaan yang keras antara Islam dan Kristen meningkat pula. Berbagai ceramah, brosur dan pamflet, baik yang diterbitkan oleh lembaga/organisasi resmi atau tidak, beredar. Isinya sebagaimana bisa diduga, sebagian besar merupakan celaan dan kecamaan satu sama lain. Kalangan Islam pada umumnya membantah kebenaran 11 Azra, Konteks Bertologi...., h. 60. Masa setelah pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965, terjadi “pertobatan masal”. Pada waktu itu semua orang diharuskan memilih salah satu agama yang sah yang diakui oleh pemerintah. pada waktu itu, isu-isu Kristenisasi demikian santer di masyarakat. Isu-isu itu biarpun telah dibantah habis-habisan oleh orang-orang Kristen, sedikit banyak masih terdengar, dan seringkali menjadi hambatan cukup serius, terutama karena membangkitkan kecurigaan-kecurigaan yang sangat merugikan dalam menggalang hubungan antar umat beragama. Lihat Riyanto, Dialog Agama...., h. 119-120. Bandingkan dengan A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Bandung : Mizan, 1997), h. 20. 12 Lihat Burhanuddin Daya, Hubungan Dialog Islam-Kristen di Indonesia, Paper di presentasikan dalam forum kursus penataran bagi dosen studi agama mengenai hubungan Islam dan Kristen, Yogyakarta, 22-25 Juli 1998.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
137
keimanan Kristen dan menganggapnya sebagai ajaran yang tidak logis dan bahkan bersifat takhayul. Sedangkan kalangan Pastur Katolik dan Pendeta Kristen memandang keimanan Islam sebagai terbelakangan dan fanatis.13 Ketegangan terus saja meningkat dan mendorong terjadinya konflik terbuka dibeberapa tempat. Pada akhirnya tahun 1967 kelompok-kelompok pemuda Muslim membakar Gereja di Ujung Pandang, Jawa Tengah, dan Aceh. Sebaliknya, di Sulawesi Utara dan Ambon terjadi pembakaran Masjid oleh para penganut agama Kristen. Pemerintah menyadari bahwa ketegangan dan konflik yang terjadi dapat menciptakan situasi yang tidak menguntungkan bagi pembangunan. Lalu, muncullah inisiatif untuk menyelenggarakan musyawarah antar agama pada tanggal 30 Nopember 1967. Akan tetapi, lahirnya wadah musyawarah antar agama tersebut belum mampu untuk memecahkan konflik antar agama. Belajar dari pengalaman kegagalan tersebut, pemerintah kemudian lebih banyak bertindak sebagai fasilitator. Penyelenggaraan dialog-dialog agama yang diadakan pada tahun-tahun berikutnya, lebih banyak melibatkan para sarjana agama dari kalangan Perguruan Tinggi. Berdasarkan kebijakan semacam ini, dialog antar agama di Indonesia semakin banyak dilakukan dan berkembang, sekalipun umumnya lebih banyak diadakan pada level kelas menengah keatas, dan masalah-masalah yang dibicarakanpun lebih sering pada tataran konseptual, belum mengarah pada “dialog aksi”. Walaupun demikian, harus diakui dialogdialog antar umat beragama tadi telah berjalan dengan cukup baik. Dialog antar agama baru menemukan momentumnya pada masa A. Mukti Ali menjabat sebagai Menteri Agama. Sebagai seorang ahli Perbandingan Agama, ia menyadari sepenuhnya 13
B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia (The Hague : Martinus Nijhoff, 1971), h. 43.
138
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
tentang prinsip-prinsip dialog antar agama. Karena itu, ia berusaha menumbuhkan dialog yang berpijak pada sikap saling percaya dan i’tikad baik masing-masing komunitas agama. Dan karena itu juga, ia menghidupkan kembali Wadah Musyawarah Antar Agama dengan melibatkan lebih banyak tokoh dan pemimpin agama.14 Terlepas dari penilaian apakah kerukunan dan dialog antar agama selama ini riil atau semua, yang pasti agama-agama selalu berwajah ganda, mengandung potensi penyatuan sekaligus potensi konflik, potensi integrasi sekaligus potensi dis-integrasi, potensi kelembutan sekaligus potensi kekerasan, dan kutub-kutub ekstrim lainnya. Oleh karena itu, dalam sebuah masyarakat dan bangsa yang terbuka dan pluralistik, pengaturan kehidupan beragama sepanjang tidak mencampuri urusan intern suatu agama merupakan suatu kebijakan yang layak untuk dilakukan. C. Term Pembangunan Berbicara tentang pembangunan di Indonesia, pada dasarnya adalah pembangunan manusia seutuhnya bagi seluruh masyarakat Indonesia. Maka menurut Musa Asy’aripembangunan pada dasarnya bukan terletak pada perwujudan fisik tekhnologi dan ekonomi semata dan bukan pula perwujudan segi rohani dan mental spiritual saja, melainkan dalam pengembangan seluruh dimensi serta segi yang dibutuhkan dalam keserasian dan
14 Ali Munhanif, “Prof. Dr. A. Mukti Ali : Modernisasi Politik-Keagamaan Orde Baru”, dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.), Menteri-menteri Agama R.I.:Biografi Sosial-Politik (Jakarta : PPIM, 1998), h. 304. Untuk perkembangan hubungan Islam dan Kristen di Indonesia dari masa Kolonial, Orde Lama, Orde Baru, sampai Orde Reformasi secara detail, lihat selengkapnya Burhanuddin Daya, “Hubungan Antar Agama (Refleksi atas Beberapa Pengalaman Empiris)”, dalam M. Amin Abdullah dkk, Antologi Studi Islam (Yogyakarta : Sunan Kalijaga Press, 2000), h. 14-149.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
139
keselarasan, demi terwujudnya manusia yang dewasa dan berkepribadian.15 Secara umum pembangunan dapat pula diartikan sebagai upaya fungsionalisasi misi kekhalifahan manusia, dalam mengupayakan kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia di dunia. Atau dalam terminologi bangsa kita, berarti upaya pencapaian masyarakat adil dan makmur, material maupun spiritual. Secara dialektik pembangunan berarti pula upaya pemilihan jawaban terhadap berbagai masalah atau tantangan kehidupan masyarakat untuk menghasilkan perubahan menuju suatu keadaan yang lebih baik.16 Oleh karena itu, dalam konteks ini harulah dipahami bahwa yang dimaksud dengan pembangunan adalah bukan sekedar pembangunan fisik material semata, akan tetapi juga yang tak kalah pentingnya adalah pembangunan mental spiritual. Kedua agenda pembangunan ini harus menjadi fokus dari sebagian tugas kekhalifahan manusia di dalam menjaga dan memelihara keutuhan suatu bangsa. Indonesia yang saat ini sedang membangun, tidak hanya membutuhkan para designer atau orang yang ahli dalam bidang pembangunan gedung bertingkat pencakar langit, jalan tol atau jembatan layang, bendungan kokoh, ahli pertambangan dan sumber daya alam lainnya. Tetapi juga membutuhkan faktor nonstruktural yaitu agama, berupa motivasi dan dorongan dari masyarakat agama. Sehingga segala macam bentuk hasil pembangunan dapat dinikmati dan tidak dirusak oleh berbagai kerusuhan antar umat beragama. Hal ini sering terjadi di Indonesia, bahwa ketika terjadi kerusuhan yang bernuansa SARA 15
Musa Asy’ari dkk, Agama, Kebudayaan dan Pembangunan (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998), h. 17. 16 M. Amin Rais (ed.), Islam di Indonesia; Suatu Ikhtiar Mengaca Diri (Jakarta : Rajawali Press, 1986), h. 19.
140
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
(Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) – terlebih lagi kerusuhan atas nama agama – maka segala macam fasilitas umum yang dibangun untuk kepentingan masyarakat turut pula menjadi “korban”. Marshall yang dikutip oleh Syamsul Arifin, memperluas cakupan penggunaan konsep modal yang melampaui batas-batas ekonomi. Selain modal dalam pengertian material, manusia juga membutuhkan modal lainnya yaitu modal sosial dan modal spiritual. Modal sosial adalah kekayaan yang membuat komunitas dan organisasi berfungsi secara efektif demi kepentingan bersama. Adapun modal spiritual merupakan dimensi hakiki yang memberikan sentuhan maknawi dalam kehidupan manusia agar lebih bermakna secara substansial. Meskipun modal sosial dan spiritual tidak berbentuk barang dalam arti ekonomi, lanjut Marshall, tetapi tidak boleh dipandang tidak memiliki manfaat ekonomi. Modal sosial memberikan manfaat yang lebih luas daripada bidang ekonomi. Dengan demikian, modal-modal lainnya yang ada dalam suatu komunitas perlu disinergikan dengan modal sosial.17 Oleh karenanya dapat dipahami bahwa dalam pembangunan suatu bangsa yang dibutuhkan bukan hanya modal ekonomi, tetapi juga modal modal sosial dan spiritual yaitu support atau dukungan secara moral dari masyarakat yang notabene adalah masyarakat yang beragama. Dukungan ini hanya mungkin diperoleh jika masyarakat itu sendiri merasa aman, tentram, damai dan hidup dalam suasana rukun.
17
Syamsul Arifin, Studi Agama; Perspektif Sosiologis dan Isu-Isu Kontemporer (Malang : UMM Press, 2009), h. 77.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
141
D. Dialog Agama; Kekuatan yang Membisu Fakta sosial menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural baik dari segi etnis, budaya, bahasa dan juga agama. Disatu sisi keanekaragaman yang dimiliki Indonesia merupakan suatu kekayaan yang tidak dimiliki oleh Bangsa atau negara lain, dan jika itu semua dapat berjalan secara sinergi maka perkembangan pembangunan bangsa ini akan dapat berjalan dengan cepat dan maksimal. Namun disisi lain, dengan segala macam bentuk pluralitasnya, jika tidak hati-hati, maka Indonesia akan sangat rentan sekali dengan konflik, terutama konflik yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan). 18 Agama sebagai suatu keyakinan yang cukup sensitif dan apabila emosi ataupun sentimen keagamaan telah muncul kepermukaan, maka akan sulit untuk dibendung sehingga pada gilirannya akan meledak yang mengambil bentuk-bentuk tindakan agresif dan destruktif. 19 Tindakan-tindakan semacam itu pada umumnya dilakukan oleh oknum-oknum (agama apa saja) yang memiliki sikap ekstrim dan fanatis.20
18
Dalam konteks ini Harold Coward menegaskan ; kenyataan memang berbicara bahwa setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural, bersanding dengan agamaagama lain, membentuk dirinya dan eksis. Ketegangan kreatif yang ditimbulkan pluralisme sering menjadi katalisator bagi wawasan baru dari perkembangan agama. Jadi tantangan ini merupakan suatu krisis sekaligus peluang untuk pelembagaan rohani. Lihat Harold Coward, Pluralisme; Tantangan Bagi Agama-Agama, terj. Bosco Carvallo (Yogyakarta : Kanisius, 1992), h. 167-168. 19 Para ahli sosiologi agama mengatakan bahwa agama disamping memiliki fungsi integratif, juga memiliki fungsi dis-integratif. Baca diantaranya Hendro Puspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta : Kanisius, 2000), h. 151. Juga Elizabeth K. Nothingham, Agama dan Masyarakat, terj. Abdul Muis Naharong (Jakarta : Rajawali Press, 1994), h. 71. Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama, terj. Yasogama (Jakarta : Rajawali Press, 1995), h. 139. Serta Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin (Jakarta : Pustaka Jaya, 1989), h. 56. 20 Tanda-tanda sikap ekstrim antara lain; (1) fanatik pada suatu pendapat dan menolak pendapat-pendapat lain, (2) memperberat yang tidak pada tempatnya, (3) sikap keras dan kasar, (4) buruk sangka terhadap seseorang atau kelompok lain, dan (5) mudah mengkafirkan sesama muslim yang tidak sepaham. Lihat Munawir Sjadzali, Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa ini (Jakarta : UI Press, 1994), h. 10.
142
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Untuk mencari jalan keluar, agar konflik antar umat beragama tidak semakin meluas dan berkembang, maka perlu diadakan dialog antar umat beragama sebagai suatu wahana untuk menelusuri permasalahan-permasalahan yang ber-kembanga ditengah-tengah masyarakat, sehingga tercapai konsensuskonsensus yang tidak memberatkan –win-win solution – antara kedua belah pihak yang bertikai. Oleh karena itulah dialog agama memiliki kekuatan untuk “mendamaikan” masyarakat agama yang sedang bertikai, meskipun kekuatan itu dalam kebisuan. E. Urgensi Dialog Agama bagi Pembangunan Bangsa Meskipun dialog antar agama telah banyak dilakukan serta disosialisasikan kepada seluruh masyarakat dari berbagai level (tingkatan), paling tidak sedikit banyak manfaatnya suadah terasa, misalnya sebagian masyarakat sudah menyadari akan pluralitas sebagai hukum alam yang tidak bisa dirubah. Akan tetapi ada juga masyarakat yang cenderung menghindari, bahkan pesimis terhadap hasil dialog. Mereka yang pesimis terhadap dialog antar agama dapat dibagi ke dalam dua golongan : Pertama, mengutip Nurcholish Madjid, adalah mereka yang berpandangan bahwa agama-agama sejak awal sudah berbedabeda, bahkan cenderung bertentangan satu sama lain. Akhirnya dialog agama hanya dipandang sebagai basa-basi dan tata krama sosial yang jika dihadapkan pada persoalanmenyangkut ketegangan antar pemeluk agama, melarikannya pada masalah kurangnya toleransi, menispis-nya budaya kerukunan, dan sebagainya yang cenderung tidak menyentuh akar permasalahan. 21
21 Nurcholish Madjid, “Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over; Melintasi Batas Agama (Jakarta : Paramadina, 1998), h. 113.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
143
Kedua, adalah mereka yang memang sejak semula tidak menganggap agama sebagai faktor dalam berbagai kerusuhan sosial. Agama hanyalah faktor yang diselipkan sehingga kerusuhan muncul dengan nuansa agama, dan karenanya kambing hitam dari kerusuhan itu mudah diidentifikasi, misalnya pada oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, dan bukan pada akar masalahnya sendiri. Itu sebabnya mereka tidak menganggap dialog agama sebagai suatu langkah yang strategis, bahkan dalam banyak hal “terapi” dialog agama dianggap sebagai ikut menutup kenyataan yang sebenarnya.22 Pemahaman-pemahaman seperti diatas menurut hemat penulis adalah dilakukan oleh oknum-oknum agama yang bersikap eksklusif dan tanpa mau memahami realitas sosial secara universal. Sikap eksklusif tersebut jika terus dipertahankan, maka akan terjadi suasana dis-harmonisasi sehingga mengakibatkan disintegrasi antar umat beragama, disamping itu sikap ini adalah tidak sesuai dengan motto bangsa Indonesia yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa Indonesia yang sedang membangun bukan hanya membutuhkan seorang ahli dalam bidang pembangunan semata, tetapi juga membutuhkan faktor non-struktural. Faktor non-struktural tersebut adalah agama. Oleh karena di Indonesia terdapat banyak agama, maka semuanya harus diarahkan sebagai kekuatan sosial-politik dan budaya. 23 Sehingga tidak menjadi kendala bagi pembangunan 22
Ahmad Gaus AF, “Dialog Agama : Kekuatan yang Membisu?”, dalam Nur Achmad (ed.), Pluralitas Agama; Kerukunan dalam Keragaman (Jakarta : Kompas, 2001), h. 156. 23 Akan tetapi Onghokham berpendapat lain, ia mensinyalir; jika agama-agama tetap dianggap atau menganggap dirinya sebagai kekuatan sosial politik dan budaya, maka kemungkinan besar cenderung menjadi kekuatan dis-integratif. Lihat Onghokham, “Pluralitas Agama dalam Perspektif Sejarah”, dalam Th. Sumartana dkk (ed.), Dialog : Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta : DIAN/Interfidei, 1994), h. 170.
144
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
bangsa, baik pembangunan fisik material maupun pem-bangunan mental spiritual. Harus diakui bahwa dialog dalam arti komunikasi dalam tingkat manusia saja (sebagai sarana tukar menukar informasi) tidak mudah, apalagi dialog agama. Artinya dialog antar agama juga mempunyai hambatan. Hambatan-hambatan tersebut antara lain : 1. Tidak cukup memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang agama-agama lain secara benar dan seimbang, sehingga menyebabkan kurangnya peng-hargaan serta munculnya rasa curiga terhadap orang lain. 2. Perbedaan kebudayaan karena tingkat pendidikan yang tidak sama; juga masalah bahasa yang sangat peka dalam kelompok-kelompok tertentu. 3. Faktor-faktor sosial politik dan beban ingatan traumatis akan konflik-konflik dalamsejarah. 4. Merasa dirinya cukup dan paling sempurna. 5. Sikap tidak toleran yang kerap kali diperparah oleh faktorfaktor politik, ekonomi (kesejahteraan), dan aneka kesenjangan lainnya. 6. Kurang yakin terhadap nilai-nilai dialog antar agama, dan menganggapnya sebagai perbuatan pengkhianat-an Iman. Bagi bangsa Indonesia yang pluralitas, pengalaman hubungan antar agama yang pernah terjadi kiranya patut menjadi sebuah acuan. Apalagi menurut penegasan Clifford Geertz, agama memiliki potensi integratif sekaligus potensi dis-integratif, maka perlu diwaspadai. 24 Dalam kenyataannya di Indonesia, 24
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin (Jakarta : Pustaka Jaya, 1989), h. 89.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
145
perpisahan dan konflik yang berlatar belakang keagamaan sangat mudah terjadi dan kadangkala hanya karena persoalan yang sangat sepele.25 Bahkan hampir setiap tahun terjadi ketegangan, kadang kerusuhan akibat dari sentimen antar umat beragama seperti peristiwa kelabu yang terjadi di Pekalongan, Nusa Tenggara Timur, Situbondo, Tasik Malaya juga tragedi kasus “Idul Fitri Berdarah” di Ambon yang sampai saat ini belum menemukan titik terang. Kerusuhan-kerusuhan tersebut tidak hanya mengakibatkan korban benda (materi) dan nyawa yang sia-sia, tetapi juga pembinaan integrasi nasional (moral) yang telah dilakukan sejak lama melalui berbagai program dan dana yang besar, seakan-akan hilang tanpa bekas. Untuk mencairkan kebekuan dan ketegangan (konflik) yang bernuansa agama, perlu kiranya diadakan dialog antar umat beragama dengan semangat agree in dis-agreement, setuju dalam ketidak setujuan 26 – atau meminjam istilah yang digunakan oleh Prof. Burhanuddin Daya, bahwa pelaku dialog harus memiliki prinsip “absolut dalam kenisbian dan nisbi dalam keabsolutan”. Dengan diadakan pertemuan atau dialog antar umat beragama, maka segala macam permasalahan yang dihadapi oleh umat beragama akan dapat segera diatas. Lebih jauh lagi, pembangunan nasional baik secara fisik material maupun mental spiritual akan dapat berjalan secara maksimal tanpa ada kendala yang mengatas-namakan agama. Pada level nasional, usaha pembangunan bangsa melalui pendekatan agama sesungguhnya telah banyak dilakukan. Berbagai pertemuan (dialog) antar agama tingkat lokal maupun 25
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan: Dialog, Pluralitas Agama (Yogyakarta : LkiS, 2002), h. 65. 26 Istilah ini berasal dari A. Mukti Ali dalam Ilmu Perbandingan Agama: Sebuah Pembahasan Tentang Methodos dan Sistima (Yogyakarta : Yayasan Nida, 1975). Ia menegaskan bahsa konsep “agree in dis-agreement” ini berlaku sebagai pedoman dalam semua segi pergaulan hidup manusia.
146
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
nasional, baik yang dilakukan atas inisiatif pemerintah ataupun swadaya masyarakat telah seringkali diselenggarakan. Tujuan pertemuan tersebut sekurang-kurangnya adalah untuk mengurangi maksimalnya ekslusifis-me keagamaan yang telah menutup rapatrapat pintu hubungan dan “silaturahmi” antara umat beragama dengan berbagai akibat negatifnya. Pertemuan-pertemuan tersebut juga dimaksudkan untuk membangun persepsi yang sama mengenai posisi dan peran kebersamaan serta kesiapan agamaagama dalam menghadapi persoalan pembangunan bangsa berupa fisik material ataupun mental spiritual, yang diakhiri dengan kesepakatan-kesepakatan yang harus dipatuhi oleh masing-masing pihak umat beragama. Lalu seberapa jauh efektifitas pertemuan-pertemuan antar agama yang telah diselenggarakan selama ini telah berhasil mencapai tujuan dan targetnya, paling tidak memerlukan penelitian dan kajian secara mendalam. Tetapi paling tidak, pada lapisan tertentu pertemuan-pertemuan tersebut telah berhasil menanamkan kesadaran terhadap pluralitas keagamaan di satu sisi, dan disisi lain telah muncul-nya kesadaran dan tanggung jawab tokoh-tokoh agama secara bersama-sama untuk mengatasi berbagai persoalan yang telah memerosotkan nilai-nilai kemanusiaan dan juga telah melecehkan nilai-nilai agama itu sendiri. Sebagai akhir dari pembahasan ini, dapat dikemuka-kan bahwa Indonesia dengan segala keanekaragamannya baik itu etnis, budaya, bahasa, juga agama apabila dapat berjalan secara sinergi, maka untuk menjadi suatu kekuatan sosial dan merupakan faktor non struktural yang juga turut andil dalam pembangunan bangsa. Namun jika faktor-faktor tadi, terlebih lagi agama tidak di manage sedemikian rupa, maka tentu saja akan menjadi penghalang atau
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
147
ganjalan bagi terciptanya pembangunan bangsa dan manusia secara utuh. Konflik antar umat beragama di Indonesia sudah seringkali terjadi sehingga bukan hanya mengakibatkan korban benda dan nyawa yang sia-sia, tetapi pembinaan integrasi nasional yang selama ini telah dilakukan sejak lama melalui berbagai program, seakan-akan hilang tanpa bekas. Untuk meredam berbagai macam konflik tersebut, maka perlu untuk diadakan dialog antar agama. Dalam agenda ini pelaku dialog harus menyadari dan menghormati akan eksistensi agama lain. Paling tidak kata kunci yang harus dipahami oleh umat beragama di Indonesia adalah “Pluralisme” sebagai hukum alam atau sunnatullah yang tidak bisa ditentang, dihalang-halangi apalagi dihilangkan. Jika umat beragama telah menyadari akan ada-nya pluralisme agama, maka segala macam bentuk dialog akan berhasil secara maksimal, dan lebih jauh dari itu pembangunan nasional akan dapat berjalan dengan baik tanpa ada kendala yang mengatasnamakan agama. Ini berarti dialog antar agama sebagai “kekuatan yang membisu”, disamping sangat perlu sebagai usaha untuk mencairkan kebekuan dan ketegangan umat beragama, juga turut pula memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa Indonesia seutuhnya. F. Perlunya Keterbukaan Nash al-Qur’an yang seringkali dijadikan alasan bagi sebagian kaum muslim yang bersikap eksklusif antara lain pada surat Ali Imran ayat 19, yang artinya “Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah hanyalah Islam”, juga pada surat yang sama ayat 85, artinya “Barang siapayang mencari agama selain Islam, maka sekalikali tidak akan diterima, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi”. 148
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Kedua ayat diatas menunjukkan dengan jelas bahwa satusatunya agama yang paling diridhoi oleh Allah adalah Islam. Akan tetapi, seharusnya perlu juga dikaji secara mendalam mengenai makna Islam itu sendiri. Islam bermakna kedamaian atau keselamatan dan kepasrahan, oleh karenanya bagi agama-agama yang dapat memberikan keselamatan serta bersikap pasrah dalam beragama dalam arti yang sesungguhnya dapat juga disebut Islam. “Tak ada agama tanpasikap pasrah”, tegas Nurcholish Madjid. Agama tanpa kepasrahan adalah tidak sejati, seperti ditegaskan al-Qur’an surat Ali Imran ayat 85 diatas. Mengomentari ayat tersebut, mufasir Muhammad Asad mengatakan Behold, the only (true) religion in the sight of God is (man’s) self surrender in to Him (satu-satunya agama yangbenar dalam penglihatan Tuhan adalah sikap berserah diri kepadanya). 27 Hal ini tentu saja berlaku bagi orang yang menganut agamanya secara sungguh-sungguh dengan berbuat baik dan tidak melakukan pengrusakan dan pembunuhan sebagai perbuatan kezaliman. Dalam al-Qur’an sendiri buktinya terdapat isarat-isarat yang mengakui pluralitas doktrin teologis. Misalnya, pengakuan alQur’an terhadap kelompok-kelompok agama yang dikenal sebagai ahli kitab, meskipun kategori dan pengertian ahli kitab itu sendiri ternyata mengalami pergeseran dan perkembangan dalam sejarah pemikiran Islam. Dalam banyak kesempatan, Nurcholish selalu menekan-kan kembali dan meneliti arti perkataan “islam” (al-islam), dari segi kata itu dipergunakan. Ia membuat perbedaan antara “Islam” (dengan inisial huruf besar) dan “islam” (dengan inisial huruf kecil). Nurcholish memberikan kesan “islam” sesungguhnya lebih penting dari “Islam”. Sebab, menurut dia, “islam” lebih banyak mengandung konotasi sosial, dari arti bahwa perkataan “Islam” 27
Lihat Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta : Kompas, 2001), h. xxxvi.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
149
terutama sekarang – lebih menunjuk kepada perwujudan sosial orang-orang yang memeluk, atau mengaku memeluk agama Islam. Maka “menjadi orang Islam”, dari sudut tinjauan ini, lebih banyak berati menjadi anggot masyarakat itu betapapun nominalnya artinya ini adalah segi formal keislaman. Sedangkan “islam” (dengan i kecil) mengandung pengertian yang lebih dinamis, yaitu sikap penyerahan diri kepada Tuhan justru karena menerima tantangan moral-Nya. Maka jika digabung antara pengertian yang generic (islam dengan i kecil) dan yang par excellance (Islam dengan i besar), maka “menjadi seorang Islam” atau seorang Muslim, adalah berarti “menjadi orang yang seluruh hidupnya diliputi tantangan untuk senantiasa meningkatkan diri menuju kepada moralitas yang setinggi-tingginya, dengan jalan selalu mengusahakan pendekatan diri kepada Tuhan, yang dalam agama disebut taqwa. Kedua ayat ini juga seringkali dijadikan dasar bagi para da’i, muballigh yang cenderung bersikap eksklusifuntuk menyerang kaum non-muslim. Dalam urutan yang panjang, hal ini merupakan akibat dari proses pendidikan dan dakwah Islam selama ini yang bersifat memusuhi, mencurigai, dan tidak mau mengerti akan adanya agama lain. Menurut Abdurrahman Wahid, penyebabnya adalah, pertama, mereka sedang mengalami masa transisi dari kehidupan tradisional ke kehidupan modern, yang kemudian berdampak pada hilangnya akar-akar psikologis dan kultural. Kita melihat banyak anak-anak bahkan juga sampai orang-orang dewasa, walaupun sudah hidup dikota-kota besar, tapi mentalnya masih mental kampung. Mereka belum modernisasi secara total, selalu ada rasa khawatir teralihkan dari agama. Kedua, Islam dijadikan ajang kepentingan politik dan bendera politik yang dipakai untuk menghadapi orang lain.
150
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Sebenarnya disisi lain, al-Qur’an juga mengeksplorasi tentang keterbukaan dan penghargaan terhadap penganut agama lain, hal ini dapat dilihat pada surat al-Maidah ; 69 : “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (Q.S. al-Maidah : 69). Dalam memahami ayat diatas terdepat perbedaan pandangan atau pendapat dikalangan mufasir, yakni antara mufasir klasik dan mufasir modern. Mufasir klasik, seperti al-Thabari, Fakhr al-Din al-Razi, al-Zamakhsyari, juga Ibnu Katsir berpendapat bahwa jaminan (keselamtan) yang dijanjikan Allah adalah harus paling tidak bersyarat tiga hal; beriman, percaya pada hari kemudian, dan berbuat baik. Syarat beriman itu termasuk beriaman kepada Allah dan nabi Muhammad saw atau dengan kata lain, yang dimaksud dalam ayat itu adalah mereka yang telah memeluk Islam. Jadi dengan demikian keselamatan dalam ayat tersebut adalah validitas kelompok-kelompok selain Islam hanya terbatas pada masa pra Muhammad saw.28 Lain halnya dengan mufasir modern. Muhammad Abduh berpendapat bahwa syarat pertama, yakni beriman kepada Allah tidak harus dibatasi dengan keimanan menurut cara Islam. Selanjutnya Rasyid Ridha murid Abduh yang memperkuat 28
Alwi Shihab, Islam Inklusif…., h. 79.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
151
pendapat gurunya mengakui bahwa keimanan sejati kepada Allah dapat juga ditemukan diluar Islam yang dibawa nabi Muhammad saw, mungkin yang ia maksud adalah orang-orang terdahulu yang beriman kepada Allah sebelum diutusnya nabi Muhammad saw. Sementara al-Thabari berpendapat, Allah tidak memandang pada agama tertentu tapi yang penting adalah substansi dan esensi yang terkandung dalam agama itu. Selama tiga syarat dalam ayat tersebut terpenuhi, janji Tuhan itu akan terlaksana.29 Mufasir modern memegang pandangan kaum Mu’tazilah tentang kebebasan berkehendak manusia. Mereka percaya bahwa manusia dikaruniai kesadaran dan kemampuan yang cukup untuk mencari nasib spiritual mereka melalui risalah yang diturunkan oleh Allah. Muhammad Rasyid Ridha yang mencerminkan sikap Mu’tazilah dari gurunya, seorang tokoh modernis yang terkemuka Muhammad Abduh, berpendapat bahwa pertanggungjawaban manusia kepada Tuhan disesuaikan dengan tingkat pengetahuan manusia tentang kehendak Tuhan dimana manusia diberitahu melalui akal ataupun wahyu. Tujuan wahyu adalah untuk menjelaskan dan menguraikan hal-hal yang dapat diketahui dengan inteleq manusia. Keyakinan-keyakinan dasar seperti keberadaan Tuhan dan hari akhir pasti dapat diketahui dengan inteleq manusia. Para Nabi datang untuk menetapkan apa yang telah diinspirasi-kan melalui inteleq manusia. Dengan demikian terjadi kesatuan inti dalam keyakinan penganut agama-agama Tuhan yang telah menerima bimbingan Tuhan dan juga sifat bawaan. Terlebih lagi, janji Allah berlaku pada mereka yang menganut agama Allah ini, tanpa memandang afiliasi agama formal mereka, karena keadilan Allah tidak akan mengagung-kan satu kelompok dan mencelakakan kelompok lain. Semua umat yang percaya pada seorang Nabi dan wahyu yang khusus untuk 29
Ibid.
152
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
mereka, sebagaimana yang dijanjikan Allah di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 62 : “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin30, siapa saja diantara mereka yang benarbenar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Q.S. al-Baqarah : 62). Rasyid Ridha tidak mensyaratkan untuk mengakui kenabian/ kerasulan Muhammad bagi orang-orang Yahudi dan Nasrani agar bisa diselamatkan, sehingga secara implisit mengakui validitas keselamatan wahyu agama Yahudi dan Nasrani.31 Diantara mufasir Syi’ah, Muhammad Husain al-Thabataba’i, yang mengikuti pandangan kaum Syi’ah yang telah mapan semenjak zaman klasik, menolak gagasan penghapusan janji Allah dalam ayat tersebut diatas. Pada dasarnya, dia tidak mendukung pergantian terhadap wahyu-wahyu sebelum al-Qur’an meskipun ia melihat wahyu-wahyu tersebut dirubah dan dirusak oleh para pengikutnya. Namun ia mengakui peraturan dalam al-Qur’an yang
30 Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari'at nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa. 31 Abdul Aziz Sachedina, “Apakah Islam Membatalkan Agama Yahudi dan Kristen”, dalam Ali Noer Zaman (ed.), Agama Untuk Manusia, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), h. 1.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
153
menghapus hukum-hukum sebelumnya.32
yang
diambil
dari
dua
kitab
Nampaknya ia membatasi penghapusan pada pengertian hukumnya dimana hal itu menandakan “pencabutan” peraturanperaturan sebelumnya dengan ketentuan yang baru karena tidak bisa diterapkan pada situasi-situasi yang telah berubah. Berkaitan dengan ayat-ayat yang mendukung semangat ekumenisme alQur’an, ia menolak pandangan yang dipegang beberapa orang Islam bahwa Allah menjanjikan keselamatan pada kelompokkelompok tertentu karena mereka memiliki nama-nama khusus; sebaliknya siapa saja yang mempertahan-kan keyakinan yang benar-benar dan beramal shaleh, maka berhak mendapat pahala dari Allah dan terlindung dari hukuman, sebagaimana yang diekspose di dalam al-Qur’an. Pendapat senanda juga dikemukakan oleh Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa mayoritas komentator-komentator musli dengan sia-sia telah berusaha untuk tidak menerima maksud yang jelas sekali dinyatakan dari ayat tersebut; bahwa orang-orang dari kaum manapun juga yang mempercayai Allah dan hari kiamat serta melakukan amal kebajikan akan memperoleh keselamatan. Komentator-komentator tersebut mengatakan bahwa yang dimaksudkan orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Sabi’in yang telah masuk Islam. Interpretasi ini jelas menyalahi karena seperti yang telah tersebut didalam ayat tersebut; orang-orang muslim adalah yang pertama diantara empat kelompok.33 Terlepas dari perdebatan para mufasir baik klasik maupun modern yang barangkali tidak akan menemui kesepakatan, karena itu juga akan sangat tergantung kepada pemahaman keilmuan 32
Ibid., h. 12. Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin (Bandung : Pustaka, 1996), h. 239. 33
154
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
masing-masing tentang agama. Tetapi disini penulis hanya ingin melakukan suatu penelaahan dalam bidang toleransi dan hubungan sosial antar umat beragama dengan semangat kemanusiaan (habl min al nash), dan sama sekali tidak berbicara tentang toleransi aqidah sebagai suatu yang harus dipegang teguh dengan semangat ke-Tuhanan (habl min Allah). Dalam konteks semangat kemanusiaan, maka yang sangat diperlukan adalah keterbukaan dalam berinteraksi, sikap ini pada gilirannya akan melahirkan perilaku yang dapat menghargai dan menghormati adanya berbagai macam perbedaan sebagai suatu yang memang di”sengaja” oleh Allah. G. Latihan 1. Terangkan pengertian dan macam-macam bentuk dialog agama. 2. Apa saja yang menjadi hambatan bagi terlaksananya dialog agama 3. Bagaimana relevansi dan hubungan antara dialog agama dengan pembangunan bangsa. 4. Mengapa dialog agama disebut sebagai “kekuatan yang membisu”. 5. Mengapa perlunya bermasyarakat.
keterbukaan
dalam
hidup
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
155
H.
Bahan Bacaan
A.Mukti Ali, Dialog Antar Agama, Yogyakarta : Yayasan Nida, 1970. ---------, “Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi”, dalam Burhanuddin Daya dan Herman Leonard Bec (red.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda, Jakarta INIS, 1992. Djam’annuri, “Dialog Antar Agama: Kontribusinya Bagi Pembangunan Moral dan Etika Bangsa”, dalam Jurnal ESENSIA, Vol. 2, No. 1, Januari 2001. Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung : Mizan, 1999. A.Charles Kimball, “Muslim-Christian Dialogue”, dalam Johan L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopeida of the Modern Islamic Word, vol. 3, New York : Oxford University Press, 1995. Armada Riyanto, Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik, Yogyakarta : Kanisius, 1995. Th. Sumartana, “Pengantar Menuju Dialog Antar Iman”, dalam Th. Sumartana dkk (ed.), Dialog; Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta : DIAN Interfidei, 1994. K.R. Sundrarajan, “Model-model Dialog Antar Agama Menurut Agama Hindu”, dalam Ali Noer Zaman (ed), Agama Untuk Manusia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000. Azyumardi Azra, “Kerukunan dan Dialog Islam-Kristen di Indonesia; Kajian Historis-Sosiologis”, dalam Mursyid Ali (ed.), Dinamika Kerukunan Hidup Beragama Menurut Perspektif Agama-agama; Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Beragama, Jakarta : Balitbang Agama, 1999-2000.
156
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam, Jakarta : Paramadina, 1999. Tarmizi Taher, Ummatan Wasathan; Kerukunan Beragama di Indonesia, Jakarta : PPIM, 1998. A.Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Bandung : Mizan, 1997. Burhanuddin Daya, Hubungan Dialog Islam-Kristen di Indonesia, Paper di presentasikan dalam forum kursus penataran bagi dosen studi agama mengenai hubungan Islam dan Kristen, Yogyakarta, 22-25 Juli 1998. B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, The Hague : Martinus Nijhoff, 1971. Ali Munhanif, “Prof. Dr. A. Mukti Ali : Modernisasi PolitikKeagamaan Orde Baru”, dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.), Menteri-menteri Agama R.I.:Biografi Sosial-Politik, Jakarta : PPIM, 1998. Burhanuddin Daya, “Hubungan Antar Agama (Refleksi atas Beberapa Pengalaman Empiris)”, dalam M. Amin Abdullah dkk, Antologi Studi Islam, Yogyakarta : Sunan Kalijaga Press, 2000. Musa Asy’ari dkk, Agama, Kebudayaan dan Pembangunan, Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998. M. Amin Rais (ed.), Islam di Indonesia; Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, Jakarta : Rajawali Press, 1986. Syamsul Arifin, Studi Agama; Perspektif Sosiologis dan Isu-Isu Kontemporer, Malang : UMM Press, 2009. Harold Coward, Pluralisme; Tantangan Bagi Agama-Agama, terj. Bosco Carvallo, Yogyakarta : Kanisius, 1992.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
157
Hendro Puspito, Sosiologi Agama, Yogyakarta : Kanisius, 2000. Elizabeth K. Nothingham, Agama dan Masyarakat, terj. Abdul Muis Naharong, Jakarta : Rajawali Press, 1994. Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama, terj. Yasogama, Jakarta : Rajawali Press, 1995. Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, Jakarta : Pustaka Jaya, 1989. Munawir Sjadzali, Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa ini, Jakarta : UI Press, 1994. Nurcholish Madjid, “Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over; Melintasi Batas Agama, Jakarta : Paramadina, 1998. Ahmad Gaus AF, “Dialog Agama : Kekuatan yang Membisu?”, dalam Nur Achmad (ed.), Pluralitas Agama; Kerukunan dalam Keragaman, Jakarta : Kompas, 2001. Onghokham, “Pluralitas Agama dalam Perspektif Sejarah”, dalam Th. Sumartana dkk (ed.), Dialog : Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta : DIAN/Interfidei, 1994. Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan: Dialog, Pluralitas Agama, Yogyakarta : LkiS, 2002. A.Mukti Ali dalam Ilmu Perbandingan Agama: Sebuah Pembahasan Tentang Methodos dan Sistima, Yogyakarta : Yayasan Nida, 1975. Raimundo Pannikar, Dialog Intra Religius, terj. J. Dwi Helly Purnomo dan P. Puspobinatmo, Yogyakarta : Kanisius, 1994.
158
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
A. Kompetensi Utama Setelah mengikuti materi kuliah pada bab ini, mahasiswa dapat memahami berbagai macam sikap teologis terhadap pluralitas agama yang saat ini masih ada berkembang dalam pemikiran masyarakat. Dengan pemahaman yang tepat terhadap aneka macam sikap terhadap pluralitas agama tersebut, diharapkan mahasiswa dapat memilih sikap yang toleran terhadap perbedaan, serta menjadi agen dari pemikiran-pemikiran yang toleran tersebut. B. Teologi Eksklusif Terdapat berbagai model pandangan teologis terutama pada konteks hubungan antar agama dan pluralitas agama yang kesemuanya ada dan berkembang pada masyarakat agama di dunia ini, akan tetapi yang agak mengherankan adalah masih adanya keyakinan untuk mengklaim kebenaran dari masing-masing umat beragama. Tentang klaim kebenaran (truth claim) ini menurut Komaruddin Hidayat, bahwa pelaku agama dari agama apapun, ia HUBUNGAN ANTAR AGAMA
159
selalu menyatakan dan meyakini bahwa satu-satunya agama yang benar, yang mampu menjamin keselamatan (salvation claim) hanyalah agama yang ia anut, sementara ajaran agama yang lainnya membawa kesesatan.1 Padahal, hal tersebut tidaklah mesti terjadi, apalagi kadang-kadang yang bersikap eksklusif tersebut berasal dari kalangan inteleqtual dan terpelajar. Seorang teolog kenamaan; Prof. John Cobb 2 menyatakan bahwa hampir pada semua agama terdapat tiga pandangan teologis dalam berinteraksi dengan lain yakni ekslusif, inklusif dan pluralis. Sikap eksklusif merupakan pandangan yang dominan dari zaman ke zaman, dan terus dianut hingga dewasa ini. Bagi agama Kristen, inti pandangan ini adalah bahwa Yesus merupakan satusatunya jalan yang sah untuk keselamatan. “Aku jalan dan kebenaran hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14 : 6). Ayat ini dalam perspektif orang yang bersikap eksklusif sering dibaca secara literal. Selain itu juga terdapat ungkapan yang menjadi kutipan“Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun selain di dalam Dia, sebab dibawah kolong langit ini tidak ada nama lain – maka terkenallah istilah no other name! – yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kisah Para Rasul 4 : 12). Sehingga istilah tersebut selalu menjadi simbol tentang tidak adanya keselamatan di luar Yesus Kristus. Dalam dunia Kirsten, eksklusif berarti kebahagiaan abadi, hanya dapat dicapai melalui Yesus Kristus dan hanya mereka yang percaya pada-Nya yang akan selamat. Dalam pandangan ini, adalah tugas suci penganut Kristen mengajak penduduk bumi 1 Komaruddin Hidayat, “Agama-agama Besar Dunia : Masalah Perkembangan dan Internalisasi”, dalam Komaruddin Hidayat – Ahmad Gaus Af (ed.), Passing Over; Melintasi Batas Agama (Jakarta : Gramedia Pustaka dan Yayasan Wakaf Paramadina, 1997), h. 202. 2 Dikutip dari Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung : Mizan, 1997.
160
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
untuk mengikuti ajaran Injil. Jargon yang sangat terkenal dalam dunia Kristen adalah extra ecclesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar Gereja) dan extra ecclesiam nullus propheta (tidak ada Nabi di luar Gereja). Hal tersebut memperlihatkan betapa eksklusifnya jargon tersebut, sehingga bagi orang yang menganut paham ini berpendirian bahwa setiap orang yang berada diluar agama Kristen, pastilah tidak akan selamat. Pada konteks ini William Montgomery Watt mengemukakan bahwa sebagian pengikut agama, khususnya pengikut agama Kristen dan Islam, berpikir bahwa agamanya sendirilah yang dianggap sebagai agama dalam arti yang sebenarnya, sementara semua agama lain itu tidak ada sama sekali. Kepercayaan demikian diberikan sebagai landasan bagi penegasan pernyataan, misalnya “hanya agama saya sendirilah satu-satunya yang berasal dari Tuhan” atau “agama saya sendirilah satu-satunya agama yang mempunyai kebenaran Ilahiah yang asli, sementara semua agamaagama lain tidak asli lagi.3 Sedangkan dalam dunia Islam, terdapat beberapa nash alQur’an yang kelihatannya agak mirip dengan jargon tersebut yang mengesankan eksklusifisme, antara lain : “Sesungguhnya, agama yang (diridhoi) di sisi Allah hanyalah Islam” (Ali Imran : 19).
3
William Montgomery Watt, Titik Temu Islam dan Kristen; Persepsi dan Kesalahan Persepsi, terj. Zaimudin (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996), h. 191.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
161
“Barang siapa yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi” (Ali Imran : 85). Kedua ayat diatas menunjukkan dengan jelas bahwa satusatunya agama yang paling diridhoi oleh Allah adalah Islam. Kedua ayat ini juga seringkali dijadikan dasar bagi para da’I, muballigh (ekstrim) 4 yang cenderung bersikap eksklusif untuk menyerang kaum non-muslim.5 Secara umum dapat dikemukakan bahwa tipologi sikap keberagamaan eksklusif mewakili pandangan bahwa kebenaran dan keselamatan hanya ada pada agamanya sendiri, sedangkan agama orang lain semuanya salah dan penganutnya tidak akan mendapatkan keselamatan. Agama orang lain sama sekali berbeda dengan agamanya dan tidak mempunyai kesamaan sedikitpun. Kelompok ini hanya bergaul dengan kelompoknya sendiri dan mengisolasi diri dari yang lain, menolak untuk berdialog dan bekerjasama dalam memecahkan permasalahan-permasalahan, dan terkadang suka menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan pandangan terhadap kelompok diluar agamanya. Pandangan-pandangan eksklusif seperti ini jelas tidak dapat dipertahankan ke dalam kultur dunia saat ini, sebab ilmu pengetahuan sosial yang merupakan bagian dari pandangan 4
Tanda-tanda sikap ekstrim antara lain (1) fanatik pada suatu pendapat dan menolak pendapat-pendapat lain, (2) memperberat sesuatu yang tidak pada tempatnya, (3) sikap keras dan kasar, (4) buruk sangka terhadap seseorang atau kelompok lain, dan (5) mudah mengkafirkan sesame muslim yang tidak sefaham. Lihat Munawir Sjadzali, Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini (Jakarta : UI Press, 1994), h. 10. 5 Sebagaimana agama-agama lainnya, Islam jelas mengandung klaim-klaim eksklusif. Bahkan mengingat kenyataan bahwa Islam adalah agama wahyu, eksklusifisme Islam itu, dalam segi-segi tertentu bisa sangat ketat. Hal ini terlihat jelas misalnya dalam dua kalimah syahadat yang merupakan kesaksian dan pengakuan terhadap kemaha mutlakkan Tuhan dan sekaligus keabsahan kerasulan Muhammad. Pengakuan tenttang kemaha mutlakkan Tuhan, yang disebut doktrin Tauhid, merupakan salah satu konsep sentral Islam; begitu pula kesaksian tentang Muhammad sebagai rasul terakhir yang diutus Allah kemuka bumi ini. Lihat Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam (Jakarta : Paramadina, 1999), h. 30.
162
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
intelektual, dan observasi sosial ilmiah agama-agama menunjukkan bahwa agama-agama tersebut semuanya melakukan dan mempunyai tujuan yang sama yakni beribadah kepada Tuhannya masing-masing. Jika mengutip istilah yang digunakan oleh Alwi Shihab, maka teologi eksklusif “bagaikan tanaman asing yang tidak senyawa dengan bumi Indonesia”. Pandangan yang menolak eksklusifisme tersebut cukup berlasan, karena jika sikap eksklusif pada setiap agama terus dipertahankan, maka akan menimbulkan konflik dan peperangan antara umat beragama. Bahkan menurut F. Knitter, “Anda tidak dapat mengatakan bahwa (agama) yang satu lebih baik daripada yang lain….. Sikap seperti itu dirasakan sebagai hal yang agak salah, ofensif, dan menunjukkan pandangan yang sempit. Karena tuntutan kebenaran terhadap agama sendiri seperti itu hanya akan menjadikan seseorang eksklusif – partikularis dan akibatnya akan menimbulkan hubungan yang tidak serasi antar umat beragama dengan yang lain. 6 Apalagi jika keyakinan itu ditindak lanjuti dengan kegiatan “penyelamatan” atau “pengagamaan” ulang lewat pintu agama masing-masing, sehingga seringkali terasa pahit dalam pergaulan umat beragama di era pluralis agama saat ini. Kegiatan semacam itu, dengan berbagai macam modus operandinya, tentu sungguh amat merisaukan.7 C. Teologi Inklusif Menurut Budhy Munawar-Rachman, pandangan yang paling ekspresif dari paradigm inklusif dalam dunia Kristen tampak dalam Konsili Vatikan II yang berpengaruh kepada seluruh 6
Paul F. Knitter, No Other Name? a Critical Survey of Christian Attitudes; Toward the World Religions (New York : Orbis Book, 1985), h. 23. 7 M. Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), h. 37.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
163
komunitas Katholik sejak tahun 1965. 8 Hal ini secara gambling dikemukakan, karena sebelumnya gereja belum pernah mengakui keselamatan diluar gereja sebagaimana jargon yang pernah dikemukakan diatas. Baru setelah Pauh Johan XXIII memprakarsai pembaharuan (aggiornamento) revolusioner yang membawa kepada Konsili Vatikan II (1962-1966), 9 bahwa gereja mulai menyesuaikan diri dengan dunia modern secara teologis. 10 Seumur-umur-umur Gereja Katolik belum pernah mengakui “keselamatan” yang ada diluar Gereja Katolik. Keselamatan hanya ada dalam agama Katolik. Termasuk juga kritik dan protes oleh gereakan keagamaan Protestan belum mampu mengubah “hegemoni” kebenaran tunggal yang dimiliki oleh agama ini. Gereja Katolik belum mau mengakui adanya keselamatan diluar Gereja Katolik. Akan tetapi, setelah Konsili Vatikan II, Gereja Katolik mulai mengubah cara pandang keagamaannya. Mereka mulai mengakui adanya pluralitas “keselamatan” diluar Gereja Katolik. 11 Donald Eugene Smith secara garis besar membagi 4 tema besar yang dihasilkan dari Konsili Vatikan II :
Pertama, terdapat doktrin etik mengenai kebebasan keagamaan
sebagai hak-hak asai manusia yang jelas – mesti tak diakui – bertentangan dengan ajaran Katolik sebelumnya. 8
Lihat Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis : Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta : Paramadina, 2001), h. 46. 9 Dalam Konsili Vatikan II itu dinyatakan : “kami para Uskup yang berkumpul di Vatikan ini menyatakan rasa hormat yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang setinggitingginya kepada pencarian kebenaran abadi menurut cara masing-masing. Tetapi kami tetap meyakini bahwa kebenaran abadi terletak di lingkungan Gereja Roma”. Lihat Abdurrahman Wahid, “Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Aqidah”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Passing Over…., h. 53. 10 Donald Eugene Smith, Agama Ditengah Sekulerisasi Politik, terj. Azyumardi Azra (Jakarta : Panjimas, 1985), h. 60. Lihat juga T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium Mengenai Gereja (Yogyakarta : Kanisius, 1970), h. 66. 11 J. Riberu, Tonggak Sejarah Pedoman Arah; Dokumen Konsili Vatikan II, khususnya bagian “Sikap Terhadap Agama Lain” (Jakarta : Dokpen MAWI, 1983), h. 287.
164
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Kedua, terdapat suatu konsep baru mengenai hubunganhubungan antara negara-gereja ; peranan dan kompetensi gereja dalam keadaan apapun, mesti tidak dicampur adukkan dengan komunitas politik, juga tidak terkait kepada suatu system politik.
Ketiga, terdapat penerimaan gagasan-gagasan dasar mengenai
negara sejahtera (walfare-state) dan keharusan perluasan campur tangan pemerintah dalam masalah-masalah sosial ekonomi.
Keempat, terdapat penerimaan terhadap pluralisme keagamaan
dan ideologi dunia modern; pernyataan-pernyataan yang rendah hati mengemukakan, bahwa gereja dapat memberikan sumbangan kepada dunia diatas dasar dialog dengan dunia.12
Pada agama Protestan pun yang menurut sejarah kelahirannya merupakan gerakan protes dan pembaharuan terhadap gereja-gereja Katolik, mulai merasa kepayahan untuk menyatukan langkah gereja-gereja kecil dalam sekte-sekte independen dilingkungan internal agama Protestan. Penganut sekte-sekte dalam agama Protestan tidak selamanya dapat akur antara yang satu dengan lainnya, jamaah Gereja Protestan lainnya yang ada ditempat itu juga. Untuk itu, mereka mendirikan forum dan organisasi WCC (World Council of Churches) yang antara lain juga untuk menyamakan cara pandang dalam menghadapi pluralitas internal dalam lingkungan agama Protestan dan sekaligus pluralitas eksternal diluar Gereja Protestan. 13 Dengan demikian nampak bahwa setelah diadakan Konsili Vatikan II juga World Council of Churches, sikap Gereja yang sebelumnya eksklusif yakni dengan jargonnya extra ecclessiam nulla 12 Donald Eugene Smith, Agama Ditengah….., h. 61. Dalam Konsili Vatikan II ini juga Gereja Katolik Roma mengizinkan penggunaan bahasa lokal untuk kebaktian sebagai ganti bahasa latin. Hugh Goddard, Menepis Standar Ganda, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta : Qalam, 2000), h. 222. 13 M. Amin Abdullah, “Al-Qur’an dan Pluralisme dalam Wacana Posmodernisme”, dalam Jurnal Studi Islam “Profetika”, vol.1 No.1 (Surakarta : Universitas Muhammadiyah, 1999), h. 4.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
165
salus, secara bertahap menuju sikap inklusif atau keterbukaan. Gereja juga mengakui jalan kebenaran atau keselamatan di luar gereja, disamping itu gereja juga menerima adanya pluralisme agama. Selain itu, sikap keberagamaan yang inklusif dalam tradisi Kristen dikaitkan dengan pandangan Karl Rahner, seorang teolog Katolik yang intinya menolak asumsi bahwa Tuhan mengutuk mereka yang tidak berkesempatan meyakini Injil. Sebab menurut Rahner, mereka yang mendapat anugerah cahaya Ilahi walaupun tidak melalui Yesus, tetap akan mendapat keselamatan. Mereka inilah disebut dengan the anonymous Christian (Orang Kristen tanpa nama atau anonym). 14 Walaupun pemikiran Rahner ini mendapatkan kritik dan John Hick, karena menurut Hick pemikiran tersebut masih mengandalkan dogma lama yang lebih berpusat pada Kristus dari pada Allah. Selain itu, pemikiran yang cukup inklusif datang dari Wilfred Cantwell Smith, seorang tokoh dan sejarawan agama. Inti pemikirannya; dia menolak Kristologi yang eksklusif karena melanggar cita-cita kasih Kristen.15 Dalam dunia Islam, hal ini sering dikemukakan, misalnya istilah dari seorang filosuf Muslim abad XIV, Ibn Taymiyah yang – seperti Karl Rahner diatas – membedakan antara orang-orang agama Islam umum (yang non-Muslim par excellance), dan orangorang dan agama Islam khusus (Muslim par excellance). Kata Islam sendiri disini diartikan sebagai “sikap pasrah kepada Tuhan”. Mengutip Ibn Taymiyah : “Pangkal al-Islam ialah persaksian bahwa “tidak ada suatu tuhan apa pun selain Allah, Tuhan yang sebenarnya”, dan persaksian itu mengandung makna penyembahan hanya kepada Allah semata 14
Lihat Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung : Mizan, 1997), h. 84. 15 Lihat Harold Coward, Pluralisme ; Tantangan Bagi Agama-agama, terj. Bosco Carvallo (Yogyakarta : Kanisius, 2001), h. 63.
166
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
dan meninggalkan penyembahan kepada selain Dia. Inilah al-Islam al-„amm (Islam umum, universal) yang Allah tidak menerima ajaran ketundukan selain daripadaNya”. “Maka semua nabi itu dari para pengikut mereka, seluruhnya disebut oleh Allah Ta’ala bahwa mereka adalah orang-orang muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman Allah Ta’ala, “Barang siapa menganut suatu din selain al-Islam maka tidak akan diterima dari padanya al din dan di akhirat dia termasuk yang merugi” – Q.S. 3 : 85 – dan firman-Nya, “Sesungguhnya al-din di sisi Allah ialah al Islam” – Q.S. 3 : 19 – tidaklah khusus tentang orang-orang (masyarakat) yang kepada mereka Nabi Muhammad s.a.w diutus, melainkan hal itu merupakan suatu hokum umum (hukm „amm ketentuan universal) tentang manusia masa lalu dan manusia kemudian hari.16 Dalam tafsiran mereka yang menganut paham yang disebut “Islam inklusif” ini, mereka menegaskan sekalipun para nabi mengajarkan pandangan hidup yang disebut al Islam (ketundukan dan sikap pasrah) itu tidaklah berarti bahwa mereka dan kaumnya menyebut secara harfiah agama mereka al Islam dan mereka sendiri sebagai orang-orang muslim. Itu semua hanyalah peristilah Arab. Para nabi dan rasul, dalam dakwah mereka pada dasarnya menggunakan bahasa kaumnya masing-masing, sesuai dengan firman Allah : “Kami tidak mengutus seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya”. (Ibrahim : 4).
16
Dikutip dari Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis….., h. 47.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
167
Manusia berselisih tentang orang terdahulu dari kalangan umat Nabi Musa dan Nabi Islam, apakah mereka itu orang-orang muslim? Ini adalah perselisihan kebahasaan. Sebab “Islam khusus” (al-Islam al-Khashsh) yang dengan ajaran itu Allah mengutuh Nabi Muhammad s.a.w. yang mencakup syariat alQur’an tidak ada yang termasuk ke dalamnya selain umat Muhammad s.a.w. Dan al-Islam sekarang secara keseluruhan bersangkutan dengan hal ini. Adapun “Islam umum” (al-Islam al „amm) yang bersangkutan dengan setiap syariah itu Allah membangkitkan seorang nabi maka bersangkutan dengan islamnya setiap umat yang mengikuti seorang nabi dari pada nabi itu.” 17 Oleh karena itu, tipologi sikap keberagamaan inklusif baik dalam dunia Kristen maupun Islam adalah mereka yang berpandangan bahwa agama yang dipeluknya adalah benar, namun bukan berarti agama orang lain salah semua dan tidak menampilkan kebaikan dan keselamatan sama sekali. Disamping ada perbedaan dengan agamanya, namun ada juga persamaan-persamaannya. Mereka bisa bergaul dengan pemeluk agama apapun tanpa perasaan rikuh dan kikuk, selalu terbuka untuk berdialog, serta tidak suka menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan suatu perbedaan pandangan. D. Teologi Pluralis Pemikiran kelompok ini percaya bahwa setiap agama (agama-agama lain diluar Kristen) mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dank arena itu klaim bahwa Kristianitas adalah satu-satunya jalan (sikap eksklusif), atau yang melengkapi atau mengisi jalan yang lain (sikap inklusif), haruslah ditolak, demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis. Tokoh utama yang paling impresif mengemukakan paradigm pluralis ini adalah John 17
Ibid.
168
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Harwood Hicks dalam karyanya God and the Universe of Faith. Melalui buku ini ia dianggap sebagai tokoh yang telah melakukan revolusi dalam teologi agama-agama. Sikap keberagamaan pluralis ini beranggapan bahwa segenap agama-agama besar mengajak penganutnya ke pantai keselamatan. Untuk itu penganut agama Kristen tidak berhak memvonis benar tidaknya agama lain, karena pada dasarnya keselamatan dapat dicapai melalui aneka jalan. Dalam tradisi Islam, pengembangan wacana teologi pluralis ini lebih liberal dan inklusif. Banyak upaya dilakukan untuk mengembangkan paham Islam pluralis ini. Misalnya, perbedaan antara Islam dan Kristen (dan antar agama secara umum) diterima sebagai perbedaandalam meletakkan prioritas antara “perumusan iman” dan “pengamalan iman”. Menurut para penganut Islam pluralisme (misalnya Frithjof Schuon dan Seyyed Hossein Nasr), setiap agama pada dasarnya distruktur oleh dua hal tersebut. Hanya saja setiap agama selalu menganggap yang satu mendahului yang kedua. Persis dalam perbedaan ini, sikap pluralis bisa diterima, karena misalnya antara agama Islam mendahulukan “perumusan iman” (dalam hal ini tawhid) dan pengamalan iman mengikuti perumusan iman tersebut. Sebaliknya agama Kristiani, mendahulukan pengalaman iman (dalam hal ini pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan dalam sakramen missal dan ekaristi), dan perumusan iman mengikuti pengalaman ini, dengan rumusan dogamtis mengenai trinitas. Perbedaan dalam struktur perumusan dan pengalaman iman ini hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama.18
18
Pandangan pluralis ini misalnya dikemukakan oleh Seyyed Hossein Nasr dalam “The One an The Many”, dalam Parabola terbitan 22/3/94.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
169
Untuk memahami paham pluralis yang kelihatannya menyamakan semua agama (sikap paralelisme), 19 perlu menggunakan metaphor, seperti metaphor pelangi, metaphor geometris, dan metaphor bahasa. Dengan metapor pelangi, pada dasarnya semua agama itu mempunyai warna dasar yang sama, yang tidak terlihat dari warna luarnya. Warna dasar itu adalah warna putih. Setiap warna muncul dari warna putih lewat “pembelokan” atau dilihat dari sisi lain, setiap warna menyimpan warna putih. Begitulah misalnya agama Islam adalah warna hijau, dan agama Kristen adalah warna biru. Semua warna-warna itu pada dasarnya berasal dari warna putih, dan warna putih itu sering disebut sebagai warna dari “agama primordial”. Adapun dengan metaphor geometris, dapat tergambar bahwa agama-agama muncul karena transformasi topologis. Agama-agama berlainan sampai ditemukan sebuah titik temu; titik (invariant) topologis yang tetap. Tidak perlu semua agama berasal dari satu titik, tetapi ada kumpulan beberapa topologis (agama). Disini orang bisa berbicara mengenai adanya rumpun-rumpun agama, misalnya agama-agama Timur dan agama-agama Barat. Orang juga bisa bicara mengenai kesatuan transenden pengalaman agama. Sedangkan dengan metaphor bahasa; bisa digambarkan secara particular setiap agama analog dengan bahasa. Setiap agama adalah lengkap, sebagaimana setiap bahasa, dan mampu mengungkapkan segala sesuatu yang dirasa perlu untuk diungkapkan. Setiap agama terbuka untuk pertumbuhan dan evolusi sebagaimana bahasa. Keduanya mampu mengungkapkan 19
Raimundo Pannikar misalnya membagi sikap keberagamaan kepada tiga kelompok yaitu eksklusifisme, inklusifisme dan paralelisme. Lihat Raimundo Pannikar, Dialog Intra Religius, terj. J. Dwi Helly Purnomo dan P. Puspobinatmo (Yogyakarta : Kanisius, 1994), h. 18-22.
170
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
atau menyembunyikan lagi sesuatu arti, mengubah istilah-istilah atau penekanan tertentu, memperluas cara pengungkapan ataupun mengubahnya. Ketika dunia agama atau bahasa merasakan lagi sesuatu kebutuhan, maka selalu ada cara untuk menangani kebutuhan tersebut, walaupun pada akhirnya harus dimasukkan dalam konstruksi agama atau bahasa itu sendiri.20 Penjelasan tersebut memang agak menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya sinkretisme, meskipun secara tegas dan berulangkali pengikut aliran ini tidak sampai pada apa yang dikhawatirkan tersebut. Argumen ini berdasarkan pada alasan bahwa dalam konteks internal agama harus menjadi kebanggaan dan hujjah tersendiri bagi pemeluknya, karena agama memiliki aturan-aturan yang mengatur umatnya, dan dilakukan secara taat, patuh dan tunduk. Jika sebuah umat tidak memiliki rasa penghormatan dan kebanggaan – karena menganggap terdapat kebenaran diseberang sana – maka yang terjadi adalah sebuah umat yang memiliki sikap masa bodoh, bahkan cenderung menganggap remeh eksistensi dan ketaatan terhadap agama. E. Teologi Transofrmatif Selain ketiga pembagian sikap keberagamaan tersebut diatas, Cobb juga memperkenalkan teologi (sikap keberagamaan) transformatif yang dinilainya merupakan penyempurnaan dari teologi pluralis. Teologi transformatif seirama dengan teologi pluralis dalam setiap respek dari aspresiatif terhadap kearifan dan kebajikan yang diajarkan agama-agama besar. Namun teologi transformatif tidak berhenti pada sikap “hidup berdampingan secara damai dengan agama-agama lain”, lebih jauh penganut
20
Penjelasan secara lengkap tentang ketiga metaphor tersebut, lihat Ibid., h. 24-29.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
171
agama Kristen harus mampu melakukan transformasi diri dengan sikap terbuka untuk belajar menggali agama dan tradisi lain. 21 Cobb menambahkan teologi transformatif itu bukan hal baru dalam sejarah perkembangan agama Kristen. Transformasi ideologis dalam skala esar telah terjadi pada masa formatif Kristen dengan merasuknya kearifan Helenisme Yunani dalam tubuh ajaran Kristen. Transformasi yang cukup cepat lagi radikal juga terjadi masa kini. Tentu saja, dengan meminjam dan menggunakan kearifan dan pengetahuan Yunani kuno, sains moderns atau belajar dari pengalaman dan ajaran Yahudi, Hindu, Buddha, dan Islam, seorang penganut Kristen tidak berarti kurang beriman pada Yesus. Teologi transformatif yang diusulkan seebagai pengganti teologi pluralis yang selama ini dianut oleh Hartford Seinary, merupakan salah satu rekomendasi Cobb yang tampaknya mendapat tanggapan positif.22 Memperhatikan pendapat John Cobb diatas, paling tidak dapat diambil pemahaman untuk konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia bahwa untuk sampai kepada tingkat teologi transformatif haruslah melalui pada level teologi inklusif terlebih dahulu. Sebab, akan menjadi suatu yang sangat muluk dan sia-sia apabila kita begitu bersemangat untuk mencapai teologi transformatif dengan mengenyampingkan teologi inklusif. Selanjutnya, tanpa bermaksud untuk menyangkal pendapat Cobb diatas, tetapi sekedar mengkritisi, nampaknya bahwa pendapat tersebut terkandung makna yang paradoksal. Sebab disatu sisi Cobb menekankan pada sikap keterbukaan dan kerjasama, namun disisi lain dia selalu menggunakan istilah “agama-agama besar” yang tentu saja makna implisitnya adalah 21
Alwi Shihab, Islam Inklusif….., h. 84. Ibid., h. 85.
22
172
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
terdapat “agama-agama kecil”, sehingga bermakna masih ada sikap diskriminatif dan cenderung eksklusif, karena seakan-akan agamaagama kecil tidak memiliki pandangan-pandangan teologis sebagaimana yang terdapat dalam ide pemikirannya. Oleh karena itu, merupakan tanggung jawab suci pemuka-pemuka agama untuk memformulasikan sikap teologis yang dapat menciptakan kehidupan imani dalam konteks kemajemukan di bumi Nusantara tercinta ini. F. Latihan 1. Bagaimana formulasi yang dikemukakan oleh Prof. John Cobb tentang sikap teologi keberagamaan. 2. Lalu bagaimana tinjauan historis munculnya penghargaan terhadap agama lain dalam dunia Katolik. 3. Menurut saudara, sikap keberagamaan yang manakah yang paling cocok untuk diterapkan dan dijalankan oleh masyarakat agama Indonesia yang nota bene sangat kental akan nuansa pluralitas khsusnya agama. G. Bahan Bacaan Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam beragama, Bandung :Mizan, 1999. Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam, Jakarta : Paramadina, 1999. Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis : Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta : Paramadina, 2001. Donald Eugene Smith, Agama Ditengah Sekulerisasi Politik, terj. Azyumardi Azra, Jakarta : Panjimas, 1985. HUBUNGAN ANTAR AGAMA
173
Harold Coward, Pluralisme; Tantangan Bagi Agama-Agama, terj. Bosco Carvallo, Yogyakarta : Kanisius, 2001. Hugh Goddard, Menepis Standar Ganda, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta : Qalam, 2000. J. Riberu, Tonggak Sejarah Pedoman Arah; Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta : Dokpen MAWI, 1983. Komaruddin Hidayat, “Agama-agama Besar Dunia : Masalah Perkembangan dan Internalisasi”, dalam Komaruddin Hidayat – Ahmad Gaus Af (ed.), Passing Over; Melintasi Batas Agama, Jakarta : Gramedia Pustaka dan Yayasan Wakaf Paramadina, 1997. M. Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996. ------------, “Al-Qur’an dan Pluralisme dalam Wacana Posmodernisme”, dalam Jurnal Studi Islam “Profetika”, vol.1 No.1, Surakarta : Universitas Muhammadiyah, 1999. Munawir Sjadzali, Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini, Jakarta : UI Press, 1994. Paul F. Knitter, No Other Name? a Critical Survey of Christian Attitudes; Toward the World Religions, New York : Orbis Book, 1985. Raimundo Pannikar, Dialog Intra Religius, terj. J. Dwi Helly Purnomo dan P. Puspobinatmo, Yogyakarta : Kanisius, 1994. T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium Mengenai Gereja, Yogyakarta : Kanisius, 1970. William Montgomery Watt, Titik Temu Islam dan Kristen; Persepsi dan Kesalahan Persepsi, terj. Zaimudin, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996. 174
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
A. Kompetensi Utama Setelah mengikuti materi kuliah pada bab ini, mahasiswa dapat memahami pengertian ahl al-Kitab serta berbagai macam kebijakan pemerintah Indonesia terhadap agama-agama yang ada. Selain itu dapat memahami prinsip-prinsip dan batasan-batasan dalam melakukan interaksi sosial terhadap penganut agama lain. Selanjutnya mahasiswa dapat memahami bahwa sesungguhnya umat beragama memiliki peran dalam pembangunan bangsa ini antara lain dengan menciptakan keharmonisan antar umat beragama. B. Ahl al-Kitab Dalam diskursus hubungan umat antar agama baik di Indonesia maupun di dunia, tentunya tidak dapat dihindari pembahasan mengenai komunitas lain selain umat Islam itu sendiri. Komunitas lain itulah yang dalam al-Qur‟an disebut dengan ahl al-Kitab (baca : Ahlul Kitab) di Indonesiakan menjadi
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
175
Ali Kitab.1 Ahl al-Kitab dalam kajian keislaman dianggap sebagai konsep yang bisa dikatakan sumbangsih Islam terhadap pluralisme. Karena setidaknya konsep inilah yang menegaskan bahwa para pemeluk agama lain diakui, aman dan dijamin kepercayaannya oleh Islam atas dasar konsep ahl al-Kitab itu. Sampai saat ini, penggunaan term ahl al-Kitab masih menjadi perdebatan dalam arti apakah yang dimaksud dengan ahl al-Kitab adalah orang Yahudi dan Nasrani saja ataukah termasuk juga umat diluar kedua agama tersebut. Untuk hal yang pertama, para ulama sepakat bahwa term ahl al-Kitab menunjuk kepada dua komunitas penganut agama samawi sebelum Islam, yaitu kaum Yahudi dan Nasrani. Orang-orang Islam, walaupun mempunyai kitab suci yang juga berasal dari Allah dan dinamai juta al-Kitab, disamping nama-nama lainnya, tetapi al-Qur‟an tidak pernah menyebut umat Islam sebagai ahl al-Kitab, sebagaimana halnya orang Yahudi dan Nasrani. Sedangkan hal kedua, inilah yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Pada awal masa perkembangan Islam, khususnya masa Rasulullah saw, dan para sahabatnya, term ahl al-Kitab selalu digunakan untuk menunjuk kepada komunitas agama Yahudi dan Nasrani. Selain kedua komunitas tersebut, mereka tidak menyebutnya sebagai ahl al-Kitab. Kaum Majusi misalnya, meskipun pada masa Nabi Muhammad dan sahabat sudah dikenal, tetapi mereka tidak disebut sebagai ahl al-Kitab. Meskipun demikian, tetapi Rasulullah saw memerintahkan supaya memperlakukan mereka seperti halnya ahl al-Kitab. 1
Kata ahl al-Kitab terdiri atas kata ahli dan kitab. Secara harfiah, kata ahl, jamaknya ahlul dan ahal, artinya famili, keluarga, kerabat, pemeluk, penganut dan pengikut; sedangkan kitab berarti buku, kitab, risalah, surat, kertas tulis (shahifah), halaman kertas, takdir (al-qadr), keputusan (al-hukm) dan kewajiban/keharusan (al-fardh). Adapun yang dimaksud dengan Ahli Kitab dalam perspektif pakar-pakar agama ialah para pemeluk/penganut kitab suci. Lihat Muhammad Amin Suma, Pluralisme Agama Menurut al-Qur’an; Telaah Aqidah dan Syari’ah (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001), h. 48. Lihat juga M. Ghalib M, Ahl al-Kitab; Makna dan Cakupannya (Jakarta : Paramadina, 1998), h. 17-20.
176
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Term ahl al-Kitab mengalami perkembangan pada masa tabi‟in. Abu al-Aliyah (w. 39 H), seorang tabi‟, mengatakan bahwa kaum Shabi‟un adalah kelompok ahl al-Kitab yang membaca kitab Zabur. Disamping itu, terdapat pula ulama salaf yang mengatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci samawi, maka mereka juga tercakup dalam pengertian ahl al-Kitab, seperti halnya orang-orang Majusi.2 Imam Abu Hanifah dan ulama Hanafiyah serta sebagian Hanbaliah berpendapat, siapapun yang mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk ahl al-Kitab, tidak terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi dan Nasrani. Sedang bagi Imam Syafi‟i, istilah ahl al-Kitab dipahami sebagai sebatas orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan Israil. Sedang bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani tidak termasuk didalamnya. Sementara ulama Syafi‟iyah dan mayoritas ulama Hanbaliah menyatakan, bahwa ahl al-Kitab khusus menunjuk kepada komunitas Yahudi dan Nasrani. Muhammad Abduh memasukkan kaum Shabi‟un sebagai golongan ahl al-Kitab, sedangkan Abdul Hamid Hakim memasukkan kaum Majusi sebagai ahl al-Kitab. Saat ini, term ahl al-Kitab tidak hanya mencakupi Yahudi , Nasrani, Majusi, atau Shabi‟un. Akan tetapi lebih luas dari itu, bahkan Hinduisme, Budhisme, Kong Fu Tsu, Shinto juga termasuk ahl al-Kitab. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Maulana Muhammad Ali, dan Rasyid Ridha. Pendapat-pendapat tersebut didasarkan pada kenyataan sejarah dan informasi alQur‟an, bahwa semua umat sebelum diutusnya Rasulullah saw telah diutus seorang rasul sebagai petunjuk kepada kebenaran. Sebagaimana firman Allah : 2
M. Ghalib M, Ahl al-Kitab; Makna dan Cakupannya (Jakarta : Paramadina, 1998), h. 29.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
177
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran 3 sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan”. (Q.S. Fathir : 24). Hanya keberadaan sebagian dari mereka (Nabi sebagai pemberi peringatan) tidak dijelaskan atau tidak diinformasikan oleh al-Qur‟an, sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut ini : “Dan (kami telah mengutus) Rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung[381]. 4 (Q.S. al-Nisa‟ : 164). Menurut Nurcholish Madjid, salah satu segi ajaran Islam yang sangat khas ialah konsep tentang para pengikut kitab suci atau ahl al-Kitab, yaitu konsep yang member pengakuan tertentu kepada para penganut agama lain yang memiliki kitab suci. Ini tidaklah berarti memandang semua agama adalah sama – suatu hal yang mustahil – mengingat kenyataannya agama yang ada adalah berbeda-beda dalam banyak hal yang prinsipil, tapi memberikan 3
Yang dimaksud dengan kebenaran di sini ialah agama tauhid dan hukumhukumnya. 4 Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa a.s. merupakan keistimewaan Nabi Musa a.s., dan karena Nabi Musa a.s. disebut: Kalimullah sedang Rasul-rasul yang lain mendapat wahyu dari Allah dengan perantaraan Jibril. dalam pada itu Nabi Muhammad s.a.w. pernah berbicara secara langsung dengan Allah pada malam hari di waktu mi'raj.
178
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
pengakuan sebatas hak masing-masing untuk berada (bereksistensi) dengan kebebasan menjalankan agama mereka masing-masing.5 Lebih lanjut Nurcholis mengemukakan bahwa ide ahl al-Kitab ini memiliki dampak keagamaan yang luar biasa, sehingga Islam merupakan benar-benar ajaran yang pertama kali memperkenalkan pandangan tentang toleransi dan kebebasan beragama kepada umat manusia.6 Dalam pandangan Nurcholish, tidak semua kaum berkitab disebut dengan ahl al-Kitab, walaupun memang term ahl al-Kitab itu sendiri ditujukan kepada kaum yang berkitab atau kaum yang menganut kitab, tetapi sesungguhnya yang dimaksudkan adalah kaum berkitab di luar komunitas Muslim, sedangkan kaum muslim sendiri tidak termasuk kedalamnya, meskipun mereka juga memiliki kitab suci. Jadi sebutan ahl al-Kitab itu sesungguhnya ditujukan kepada kaum berkitab yang tidak mengakui atau bahkan menentang kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad saw dan ajaran beliau, sehingga mereka disebut kafir atau kaum penentang atau penolak. Nurcholish menyatakan sebutan “Ahli Kitab” dengan sendirinya tertuju kepada golongan bukan muslim, dan tidak ditujukan kepada kaum muslim sendiri, meskipun mereka juga menganut kitab suci, yaitu al-Qur‟an. Ahli Kitab tidak tergolong kaum muslim, karena mereka tidak mengakui, atau bahkan menentang kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad dan ajaran yang beliau sampaikan. Oleh karena itu dalam terminologi 5
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban : Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta : Paramadina, 2000), h. 59. 6 Ibid. Para ahli mengakui keunikan konsep ini di dalam Islam. Sebelum Islam, praktis konsep itu tidak ada, sebagaimana dikatakan oleh Cyrill Glasse, “… the fact that one Revelation should name others as authentic is an extraordinary event in the history of religions” (…kenyataan bahwa sebuah wahyu (Islam) menyebut wahyu-wahyu yang lain sebagai absah adalah kejadian luar biasa dalam sejarah agama-agama). Cyrill Glasse, The Encyclopedia of Islam (San Fransisco : Harper, 1991), sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid dalam Ibid.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
179
al-Qur‟an mereka disebut “kafir”, yakni “yang menentang” atau “yang menolak”, dalam hal ini menentang atau menolak Nabi Muhammad saw dan ajaran beliau, yaitu ajaran agama Islam. 7 Abd al-Hamid Hakim, membagi kelompok non-Muslim atau orang yang menolak kenabian dan ajaran Nabi Muhammad kepada tiga kelompok; Pertama, mereka yang sama sekali tidak memiliki kitab suci, Kedua, mereka yang memiliki semacam kitab suci, dan Ketiga, mereka yang memiliki kitab suci yang jelas.8 Tergolong kelompok yang memiliki kitab suci yang jelas ini ialah kaum Yahudi dan Nasrani. Mereka inilah yang dalam alQur‟an dengan tegas dan langsung disebut kaum ahl al-Kitab.9 Sedangkan respon al-Qur‟an terhadap kedua golongan ini (Yahudi dan Nasrani) berbeda-beda, sebandinga dengan sikap mereka terhadap Nabi Muhammad saw dan kaum muslimin. Terhadap sikap ahl al-Kitab yang simpatik dan baik terhadap Nabi Muhammad saw dan kaum muslimin, maka al-Qur‟an pun merespon secara positif dan simpatik, seperti respon al-Qur‟an terhadap sikap simpatik umat Nasrani. Sebaliknya, terhadap sikap bermusuhan ahl al-Kitab, maka al-Qur‟an merespon secara negatif, sebagaimana yang terdapat di dalam al-Qur‟an :
7
Ibid., h. 51. Ibid., h. 61. 9 Dalam konteks ini Arkoun mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan ahl alKitab adalah orang-orang Yahudi dan Kristen yang juga masuk dalam lingkup pergaulan Nabi Muhammad selama di Mekah dan Madinah. Dalam al-Qur’an, orang-orang itu disebut sebagai pemilik wahyu awal, orang-orang beriman yang juga dicintai oleh Tuhan sebagaiamana kaum Muslim yang menerima wahyu. Lihat Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer; Menuju Dialog Antar Agama, terj. Ruslani (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), h. 133. 8
180
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
82. Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. dan Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orangorang yang berkata: "Sesungguhnya Kami ini orang Nasrani". yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena Sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri. 83. dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu Lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari Kitab-Kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah beriman, Maka catatlah Kami HUBUNGAN ANTAR AGAMA
181
bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad s.a.w.). 84. mengapa Kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada Kami, Padahal Kami sangat ingin agar Tuhan Kami memasukkan Kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh ?". 85. Maka Allah memberi mereka pahala terhadap Perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. dan Itulah Balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya). (al-Ma‟idah : 82-85). Secara umum pandangan Islam terhadap ahl al-Kitab sangat positif dan konstruktif (tetapi juga tetap kritis). Hal ini dapat dilihat dari nilai dan ajarannya yang memberikan peluang kepada umat Islam untuk melakukan interaksi sosial, kerjasama dengan. Dalam hal ini, al-Qur‟an menegaskan : “Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum 182
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.”(Q.S. al-Ma‟idah : 5). Halalnya makanan ahl al-Kitab bagi umat Islam dan halalnya perempuan ahl al-Kitab dinikahi umat Islam merupakan simbol perwujudan dari persahabatan dan kekerabatan yang paling konkret antar komunitas yang berlainan agama.10 Memang, dalam al-Qur‟an terdapat ayat-ayat yang mengecam kelompok ahl al-Kitab. Namun perlu disadari bahwa kecaman itu ditujukan terhadap perilaku mereka yang menunjukkan permusuhan dan kedengkian kepada orang Islam yang muncul akibat persoalan politik dan ekonomi, bukan masalah agama murni.11 Sikap dan perilaku ahl al-Kitab tidaklah dapat digeneralisisr dengan berasumsi bahwa mereka semua adalah orang yang menentang ajaran agama Nabi Muhammad saw. Penolakan mereka kepada Nabi digambarkan bahwa mereka tidak akan merasa senang sebelum Nabi mengikuti agama mereka. 12 Ini adalah suatu yang cukup logis, karena Nabi membawa agama (baru) yang bagi mereka merupakan tantangan kepada agama yang sudah mapan, yaitu agama Yahudi dan Nasrani, sementara itu masing-masing mengaku agama mereka tidak saja yang paling benar atau satu-satunya yang benar, tapi juga merupakan agama terakhir dari Tuhan. Maka datangnya Nabi Muhammad dengan agama yang baru itu sungguh merupakan gangguan bagi mereka. 10
Abd. A’la, “Rekonsiliasi dan Kerja Sama”, dalam Nur Achmad (ed.), Pluralitas Agama; Kerukunan dalam Keragaman (Jakarta : Kompas, 2001), h. 24. 11 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1996), h. 360. 12 Hal ini sebagaimana dijelaskan di dalam surat al-Baqarah : 120.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
183
Walaupun begitu, al-Qur‟an juga menyebutkan bahwa dari kalangan kaum ahl al-Kitab ada kelompok-kelompok yang sikapnya terhadap Nabi dan kaum muslim adalah cukup baik, bahkan ada yang secara diam-diam mengakui kebenaran yang datang dari Nabi Muhammad. Hal ini sebagaimana dijelaskan al-Qur‟an : “Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang Berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). (Q.S. Ali Imran : 113). Terhadap mereka yang berbuat tidak baik, memperkosa hakhak asasi manusia, melakukan kezaliman, bahkan mengusir kaum muslim dari tempat tertentu dan sebagainya, maka tentu saja disarankan untuk tidak bergaul dengan mereka. Sedangkan bagi mereka yang tunduk dan patuh terhadap ajaran mereka serta melakukan perbuatan baik dan tidak berbuat zalim, kepada mereka ini Allah memberikan izin untuk bergaul dengan mereka secara baik pula. Dalam hal ini, al-Qur‟an menjelaskan :
184
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
“8. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang Berlaku adil. 9. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”. (Q.S. al-Mumtahanah : 8-9). Dalam semangat ajaran Islam, seluruh umat manusia apapun agama yang dianutnya harus dihormati dan dihargai. Sedangkan adanya izin memerangi orang kafir, bukan semata-mata karena kekufuran mereka, melainkan lebih karena kezaliman yang mereka lakukan dan pemerkosaan mereka terhadap hak asasi manusia. Ini pun cara terakhir yang ditempuh, ketika cara-cara damai tidak membuahkan hasil sedikitpun. Di atas semua itu, karena tujuannya untuk menghilangkan kezaliman dan yang seumpamanya, maka alQur‟an mengecam dan melarang dalam kondisi apapun perbuatan yang justru akan menimbulkan kezaliman yang baru. Jadi dalam konteks ini, bolehnya untuk memerangi kaum yang berbuat zalim dikarenakan kekufuran mereka, dalam Islam lebih bersifat emergency dan cara yang paling akhir dengan arah lebih ditujukan kepada pemberantasan kebiadaban, tidak bersifat pemusnahan kelompok umat manusia tertentu, apalagi mereka itu dari ahl al-Kitab, serta tetap mempertahankan nilai-nilai humanistik yang beradab. HUBUNGAN ANTAR AGAMA
185
Selanjutnya dalam pergaulan dengan ahl al-Kitab, al-Qur‟an memberikan rambu-rambu bagi kaum muslim. Rambu-rambu yang dimaksud adalah berusaha untuk mencari titik temu (kalimatun sawa‟un) dengan mereka, seperti yang diintrodusir al-Qur‟an : “Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (Q.S. Ali Imran : 64). Menurut Nurcholish, bahwa atas dasar penjelasan ayat Ali Imran ayat 64 diatas, Nabi Muhammad dan umatnya diperintahkan untuk mengajak kaum ahl al-Kitab menuju kepada “kalimat kesamaan” (kalimat-un sawa‟) antara beliau dan mereka, yaitu yang secara prinsipnya menuju kepada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa atau tauhid. Tetapi juga dipesankan bahwa, jika mereka menolak ajakan menuju kepada “kalimat kesamaan” itu, Nabi dan para pengikut beliau, yaitu kaum beriman harus bertahan dengan identitas selaku orang-orang yang berserah diri kepada Allah (muslimun).13 Dengan kata lain, firman Ilahi ini dapat dijelaskan : 13
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban….., h. 63. Bandingkan dengan M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an…., h. 357.
186
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Pertama, adanya perintah mencari titik temu antara para penganut berbagai agama berkitab suci;
Kedua, titik temu itu ialah Tawhid atau paham Ketuahan Yang Maha Esa (Monoteisme);
Ketiga, Tawhid itu menuntut konsekwensi tidak adanya pemitosan sesama manusia atau sesama makhluk;
Keempat, jika usaha menemukan titik temu itu gagal atau ditolak, maka masing-masing harus diberi hak untuk secara bebas mempertahankan sistem keimanan yang dianutnya.14
Pengembangan kalimatun sawa‟ dalam aspek-aspek tertentu yang berkaitan dengan teologi, doktrin dan, tentu saja ritual, tampaknya sulit dicapai; dan mungkin tidak perlu, karena dapat menjurus kepada “penyatuan” agama-agama, yang tentu saja sulit diterima oleh pihak agama mana pun. Karena itu, menurut Azyumardi Azra, common platform tersebut dapat dan seyogyanya bertitik tolak dari aspek etis agama-agama, tanpa harus menjadikan agama sebagai ajaran etis dan moral belaka, sehingga agama menjadi semacam humanism universal saja. Jelas bahwa seluruh agama hamper sepenuhnya sepakat tentang yang baik dan yang buruk pada berbagai tingkat kehidupan manusia. 15 Islam mengajarkan manusia sebagai makhluk sosial yang diciptakan berpasang-pasangan untuk mengadakan interaksi dengan sesamanya tanpamelihat jenis kelaimani, suku, bangsa dan agama. Sebagaimana yang tersurat di dalam firman Allah :
14 Nurcholish Madjid, “Islam di Indonesia dan Potensinya Sebagai Sumber Substansial Ideologi dan Etos Nasional”, dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta : Paramadina, 1995), h. 577. Bandingkan dengan Syahrin Harahap, Islam Dinamis; Menegakkan Nilai-nilai Ajaran alQur’an dalam Kehidupan Modern di Indonesia (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997), h. 269. 15 Azyumardi Azra, Konteks Bergologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta : Paramadina, 1999), h. 36.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
187
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. al-Hujurat : 13). Ayat diatas menjelaskan bahwa perbedaan jenis kelamin, bangsa dan suku sebagai suatu realitas sosial. Perbedaanperbedaan tersebut tidak boleh dijadikan alat untuk membedabedakan manusia, sebab kualitas seseorang disisi Allah hanya ditentukan oleh taqwa seseorang. Dalam interaksi sosial, Islam tidak mendiskriminasikan seorang lantaran agamanya. Hal ini dapat dilihat di dalam alQur‟an surat al-Mumtahanah ayat 8-9 sebagaimana yang telah dikutip sebelumnya. Di dalam ayat ini dapat dipahami bahwa alQur‟an tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan kerjasama, apalagi mengambil sikap tidak bersahabat. Al-Qur‟an sama sekali tidak melarang seorang muslim untuk berbuat baik dan memberikan sebagian hartanya kepada siapa pun, selama mereka tidak memerangi kaum Muslimin dengan motivasi keagamaan atau mengusir kaum Muslimin dari negeri mereka. 16 Ini berarti, Islam tidak menjadikan perbedaan
16
Tentang pengusiran kaum non-muslim terhadap kaum muslim dari tempat tinggal mereka, hal ini disinyalir di dalam al-Qur’an surat al-Hajj : 38-40.
188
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
agama sebagai alasan untuk tidak menjalin interaksi sosial terhadap agama apapun. Pengakuan kaum muslim terhadap konsep ahl al-Kitab ini, membawa implikasi teologis maupun sosiologis yang signifikan dalam kehidupan keberagamaan. Dengan konsep ahl al-Kitab, secara teologis keyakinan penganut agama lain baik dalam konteks ahl al-Kitab dengan pengertian teknis atau dalam konteks ahl alKitab yang telah diperluas diletakkan secara parallel dengan keyakinan umat Islam itu sendiri, karena agama Islam dalam keyakinan seorang muslim merupakan kelanjutan dari agama ahl al-Kitab dengan pesan dasar yang sama. Apa yang diajarkan nabi kaum ahl al-Kitab sama dengan apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada kaum muslim, yaitu pasrah dan tunduk patuh hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, atau dengan kata lain tugas para rasul Allah tidak lain ialah menyampaikan ajaran tentang Tuhan Yang Maha Esa atau tauhid, serta ajaran tentang keharusan manusia tunduk dan patuh hanya kepada-Nya saja yang disebut dengan al-Islam. Sebagaimana firman Allah : “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku". (Q.S. alAnbiya‟ : 25). Karena prinsip ajaran nabi dan rasul itu sama, maka para pengikut semua nabi dan rasul adalah umat yang satu atau tunggal. Dengan kata lain, konsep kesatuan dasar ajaran membawa kepada HUBUNGAN ANTAR AGAMA
189
konsep kesatuan kenabian dan kerasulan yang kemudian dalam urutannya sendiri membawa kepada konsep kesatuan umat yang beriman. Oleh karena itu, umat Islam tidak dilarang, jika bukannya diperintahkan untuk berbuat baik dan adil kepada siapa pun dari kalangan bukan muslim yang tidak menunjukkan sikap permusuhan, baik atas nama agama atau lainnya, seperti penjajahan, pengusiran dari tempat tinggal dan bentuk penindasan lainnya. Sekali lagi, yang menjadi kata kunci dalam konteks ini adalah Islam tidak melarang untuk bergaul dengan sesama manusia dari agama apa pun sebatas hubungan sosial kehidupan sehari-hari atau yang biasa disebut dengan toleransi dan kerukunan umat beragama. Pada konteks Indonesia, dimana agama yang hidup bukan hanya agama Islam, tetapi juga ada agama-agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Maka terhadap mereka yang berbuat baik serta tidak mengganggu kehidupan umat Islam Indonesia, tentu saja umat Islam diperkenankan untuk bergaul bahkan untuk saling bantu membantu dalam aspek kehidupan sosial. Memang di Indoneia pun terdapat aliran-aliran sempalan atau juga Islam aliran garis keras, akan tetapi sesungguhnya itu semua merupakan tantangan bagi umat Islam untuk lebih terbuka dan inklusif. Pemahaman seperti itu haruslah melekat dalam setiap pemikiran umat beragama lain, sebab kerukunan dan toleransi hanya dapat diwujudkan apabila umat antar agama mencoba untuk terbuka. Sebab kerukunan dan toleransi bukan sesuatu yang taken for granted, melainkan sesuatu yang perlu secara giat diusahakan agar kehidupan harmonis umat antar agama dapat dirasakan bersama-sama.
190
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
C. Kebijakan Pemerintah Tentang Agama di Indonesia Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk baik dari sebi budaya, suku, bahasa dan agama yang merupakan kenyataaan dan sekaligus karunia dari Allah swt yang patut kita syukuri bersama. Bahwa para pendahulu dan pendiri Bangsa ini telah merumuskan Pancasila sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disamping itu, bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat religious. Toleransi dan kerukunan umat beragama di Indonesia baik kerukunan intern umat beragama, antar umat beragama maupun antar umat beragama dengan pemerintah merupakan keberhasilan yang harus secara terus menerus dipelihara dan dijaga. Walaupun masih ditemukan kasus-kasus beragama yang muncul, namun oleh para ahli dikatakan bahwa kasus-kasus yang sering memakai kedok keagamaan pada hakikatnya dipicu oleh ketimpangan sosial serta kesenjangan sosial ekonomi yang ada di masyarakat.17 Sebagaimana dimaklumi bahwa bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku, bahasa, adat istiada dan agama, sehingga bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang plural. Mereka hidup tersebar pada ribuan pulau. Penyebaran penduduk di pulau-pulau tersebut tidaklah merata, ada pulau yang relative kecil dengan penduduk yang sangat padat seperti pulau Jawa, dan sebaliknya pulau Irian Jaya (sekarang Papua) yang cukup luas tetapi hanya memiliki penduduk yang relatif sedikit. Penyebaran penganut agama di Nusantara juga tidak merata. Penganut agama Islam mayoritas di pulau Sumatera, Jawa, Madura, Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Sumbawa dan pulau-pulau Maluku Utara. Agama 17 Departemen Agama RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia (Jakarta : Balitbang Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1997), h. 15.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
191
Kristen mayoritas di pulau Papua, Katolik di pulau Flores, dan Hindu di pulau Bali.18 Keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia tersebut merupakan suatu kekayaan yang tidak dimiliki oleh bangsa atau negara lain, dan jika itu semua dapat berjalan secara sinergi, maka perkembangan pembangunan bangsa ini akan dapat berjalan dengan cepat dan maksimal, sehingga tidak aka nada kendala pembangunan yang berasal dari konflik antar agama. Menurut penulis, umat beragama di Indonesia sangatlah beruntung, karena ditengah pluralistiknya, Indonesia masih relatif aman dan damai. Keberuntungan umat beragama Indonesia karena Indonesia memiliki sebuah pandangan hidup (way of life) yang cukup representative dan aspiratif yaitu Pancasila sebagai landasan Idiil dengan slogan “Bhinneka Tunggal Ika”. Juga landasan konstitusionil yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945. Dalam pasal 29 ayat 2 dijelaskan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Meskipun begitu, kita tidak boleh menutup mata bahwa masih terdapat konflik-konflik yang mengatasnama-kan agama, sehingga terkadang mengarah kepada disintegritas (perpecahan) antar umat beragama yang menjadikan suasana tidak harmonis. Untuk itu, perlu dilakukan pengaturan dan penataan terhadap masing-masing agama agar tercipta masyarakat yang rukun dan damai. Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 sampai saat ini, di Indonesia telah ditetapkan tiga 18 Sudjangi (Peny.), Profil Kerukunan Hidup Umat Beragama; Bingkai Sosio Kultural Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia (Jakarta : Balitbang Agama, 1996), h. 2.
192
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
buah konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi Republik Indonesia Sertikat, dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) berlaku di Indonesia dari tanggal 27 Desember 1949 sampai tanggal 18 Agustus 1950. Undang-Undang Dasar 1950 (UUDS 1950) belaku daritanggal 18 Agustus 1950 sampai tanggal 5 Juli 1959. Sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) berlaku di seluruh wilayah Indonesia dalam dua kurun waktu, yaitu pertama antara tahun 1945 sampai 27 Desember 1949, sedangkan yang kedua sejak 5 Juli 1959 sampai sekarang.19 Peralihan dari UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 ke Konstitusi RIS pada tanggal 27 Desember 1949 disebabkan oleh tekanan atau pengaruh dari pihak luar. Setelah Indonesia dinyatakan merdeka oleh Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta, pasukan serikat datang ke Indonesia guna menegakkan kembali kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. 20 Pertempuranpertempuran terjadi antara pasukan serikat dengan pihak Indonesia. Disamping itu dilakukan langkah-langkah diplomatik melalui perundingan-perundingan guna mencari penyelesaian pertikaian. Pada tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949 dilaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. KMB itu menghasilkan berdirinya Republik Indonesia Serika dan Konstitusi RIS.21 Terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat menimbulkan rasa tidak puas bangsa Indonesia. Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1950 RIS dibubarkan. Sejak tanggal tersebut,
19
Lihat selengkapnya Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945; Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk (Jakarta : UI Press, 1995), h. 144. 20 Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1990),edisi ke-4, jilid VI, h. 122. 21 Ibid, h. 171.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
193
berlaku Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. 22 Konstituante hasil Pemilihan Umum tahun 1955 yang bertugas menetapkan Undang-Undang Dasar yang definitif gagal menjalankan tugasnya. Hal ini mengakibatkan dilakukannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang antara lain menetapkan UUD 1945 berlaku kembali di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana telah dimaklumi bersama, bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik (sesuai dengan pasal 1 ayat 1 UUD 1945). Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepepnuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (Pasal 1 ayat 2). Pancasila adalah dasar Idiil negara, dan UUD 1945 adalah dasar struktural negara. Ketentuan-ketentuan UUD 1945 tersebut berten-tangan arah dengan sekularisme, karena UUD 1945 menetapkan negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan Ketuhanan adalah sendi pokok dari agama. Oleh karenanya, secara konstitusional beragama dan beriman dijamin oleh negara. Dalam hubungan antara agama dan negara pada umumnya orang hanya melihat dua alternatif, yaitu Negara agama yang berdasarkan suatu agama tertetu, dan Negara sekuler yang memisahkan agama dari negara.23 Bangsa Indonesia mempunyai alternatif lain, yaitu “Negara Pancasila”. 24 Negara Pancasila bukan negara yang berdasarkan satu agama tertentu atau teokrasi, tetapi juga bukan negara sekular, dalam arti memisahkan agama dari negara. 22
Ibid., h. 210 Departemen Agama RI, Amal Bakti Departemen Agama RI; 3 Januari 1946-3 Januari 1987; Eksistensi dan Derap Langkahnya (Jakarta : Departemen Agama RI, 1987), h. 15. Bandingkah dengan J. Philip Wogaman, Christian Perspectives on Politics (Westminster : John Knox Press, 2000), h. 251. Juga Robert N. Bellah and Philip E. Hammond, Varietes of Civil Religion (Sanfransisco : Harper and Row, 1980), h. 3. 24 Ibid. 23
194
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
James H. Smyle sebagaimana dikutip oleh Ahmad Sukardja merumuskan teokrasi sebagai “suatu bentuk pemerintahan dimana otoritas dan kekuasaan dianggap berasal dari Tuhan”. Penguasa dipandang secara langsung bertanggung jawab kepada Tuhan dan akan diadili oleh Tuhan. Kehendak raja biasanya dipandang sebagai kehendak Tuhan. Raja dianggap mempunyai divine right of the King. Pemerintah negara teokrasi ditandai dengan (1) dominannya aturan Tuhan, (2) susunan pemerintahan ditujukan untuk melaksanakan aturan Tuhan, (3) pengukur bagi kebijakan dan putusan-putusan politik adalah norma aturah Tuhan itu. 25 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata teokrasi diberi arti yang sejalan dengan rumusan James H. Smyle tersebut. Dijelaskan bahwa teokrasi adalah “cara memerintah negara yang berdasarkan kepercayaan bahwa Tuhan langsung memerintah negara, hukum negara yang berlaku adalah hukum Tuhan, pemerintah dipegang oleh ulama atau organisasi keagamaan 26 Jadi dengan demikian negara teokrasi adalah : Pertama, Tuhan dianggap memerintah negara melalui wakil-Nya, hukum negara adalah hukum Tuhan, dan negara hanya sebagai penyelenggara hukum Tuhan. Kedua, pemimpin negara adalah ulama atau organisasi keagamaan. Dengan kata lain, hukum negara hukum agama, dan negara dipimpin oleh orang yang ahli agama sebagai wakil Tuhan. Adapun pengertian sekular atau sekulerisasi adalah pelaksanaan dari sekulerisme. Sekulerisme adalah faham, pandangan dan gerakan yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan kepada ajaran agama. Prinsip esensial dari sekulerisme adalah menemukan perbaikan atau memperoleh kemajuan dengan kemampuan manusia itu sendiri. Dalam 25
Lihat Ahmad Sukardja, Piagam Madinah….., h. 90. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), h. 932.
26
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
195
kaitannya dengan agama, sekulerisme memandang keduniaan dan agama masing-masing berdiri sendiri. Dalam implementasinya, kehidupan dan tingkah laku manusia dalam masyarakat perlu dilepaskan dari agama. Agama hanya dipandang sebagai urusan dan hubunga pribadi seseorang dengan Tuhannya. Sekulerisme membawa sekulerisasi di lapangan politik. Secara umum sekulerisasi dalam bidang politik ditandai ciri-ciri : 1. pemisahan pemerintahan dari ideologi keagamaan dan struktur eklesialistik, 2. ekspansi pemerintah untuk mengambil fungsi peranan dalam bidang sosial ekonomi yang semula ditangani struktur keagamaan, dan 3. penilaian atas kultur politik ditekankan pada alasan dan tujuan keduniaan yang tidak transenden.27 Di Indonesia negara tidak identik dengan agama tertentu, tetapi negara tidak melepaskan agama dari urusan negara. Negara bertanggungjawab atas eksistensi agama, kehidupan beragama, dan kerukunan hidup beragama. Keterkaitan antara agama dan negara di Indonesia dapat dilihat dari lembaga-lembaga keagamaan, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agama atau kehidupan keagamaan, dan kebijakan-kebijakan lain yang bertalian dengan kehidupan keagamaan. Keterkaitan antara agama dan negara dalam praktek, tampaknya tergantung kepada semangat penyelenggara negara. Karena negara Indonesia mengklaim sebagai negara berKetuhanan Yang Maha Esa, 28 maka tentu saja pemerintah 27 Lihat Donald Eugene Smith, Agama Ditengah Sekulerisasi Politik, terj. Azyumardi Azra (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1985), h. 13. Bandingkan dengan Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam (Jakarta : Paramadina, 1999), h. 4. 28 Pada awalnya penulisan Maha Esa ingin dirubah menjadi mahaesa (disambung), tetapi K.H. Yusuf Hasjim tidak setuju, karena itu akan mudah sekali menjadi Mahesa yang
196
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
mengharuskan kepada semua masyarakat Indonesia untuk memeluk agama. Sehingga dengan demikian bangsa ini tidak memperkenankan bagi warganya untuk tidak beragama (ateis). Pada masa Orde Baru, pemerintah Indonesia hanya mengakui ada 5 (lima) agama resmi, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha. Sesungguhnya ini pun menjadi perdebatan karena berdasarkan penjelasan dan penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1 tahun 1965, seperti termaktub dalam Lembaran Negara No. 2736 tahun 1965 tertulis “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu (Confucius).29 Menurut Eka Dharmaputra sebagaimana dikutip oleh Chandra Setiawan bahwa pemilihan keenam agama diatas didasarkan pada definisi agama seperti yang diusulkan oleh Menteri Agama pada waktu itu. 30 Hal ini menjadi perdebatan karena dikaitkan dengan isu Hak Asasi Manusia (HAM), terutama apabila dihubungkan dengan kebebasan berkeyakinan (beragama).31 Khusus mengenai agama Kong Hu Cu, yang selama pemerintahan Orde Baru termasuk agama yang tidak diakui, karena dibatasi dengan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomo 1 tahun 1966, kemudian dikukuhkan menjadi Undang-
berarti kerbau. Lihat Nurcholish Madjid, Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi (Jakarta : paramadina, 2002), h. 118. 29 Lihat tulisan Djohan Effendi, “Jaminan Konstitusional bagi Kebebasan Beragama di Indonesia”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over; Melintasi Batas Agama (Jakarta : Paramadina, 1998), h. 112. 30 Dinyatakan dalam definisi tersebut minimal 4 persyaratan : (1) memiliki kitab suci, (2) memiliki nabi, (3) percaya akan satu Tuhan (Ketuahanan Yang Maha Esa), (4) memiliki tata agama dan ibadah bagi pemeluknya. Lihat Chandra Setiawan, “Agama Kong Hu Cu di Indonesia”, dalam Ibid., h. 411. 31 Baca selengkapnya CHRF-INSIST, Kumpulan Perangkat HAM Internasional (Kalimantan : Jaringan Edukator HAM, 2000), h. 5. Juga Deklarasi Hak-hak Orang-orang yang Termasuk Bangsa atau Suku Bangsa, agama dan bahasa minoritas (pasal 1 dan 2) dan Deklarasi Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan (pasal 1 sampai 6).
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
197
Undang nomor 5 tahun 1989. 32 Meskipun peraturan itu sendiri kadangkala terkesan tidak konsisten dan tumpang tindih, karena disatu sisi Pemerintah Orde Baru tidak mencantumkan agama Kong Hu Cu sebagai agama resmi (official religion), namun disisi lain terdapat pula Instruksi Presiden yang mengatur tentang Agama, Kepercayaan dan adat istiadat Cina. Hal ini dapat dilihat dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan adat istiadat Cina, tertulis bahwa agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psycologis, mental dan moril yang kurang wajar terhadap warga Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi, perlu diatur serta ditempat fungsinya pada proporsi yang wajar.33 Selanjutnya, dalam Instruksi tersebut dijelaskan : Pertama, tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan menunaikan ibadatnya, tata cara ibadat Cina yang memiliki aspek affinitas culturil yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan. Kedua, perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak mencolok didepan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga. Ketiga, penentuan kategori agama dan kepercayaan maupun pelaksanaan cara-cara ibadat agama, kepercayaan dan adat istiada Cina diatur oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung (PAKEM).34 32 Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan; Dialog dan Pluralisme Agama (Yogyakarta : Lkis, 2002), h. 86. 33 Lihat Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Hidup Beragama, edisi keenam (Jakarta : Balitbang Pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1997/1998), h. 99. Juga M. Natsir, Mencari Modus Vivendi Antar Umat Beragama di Indonesia (Jakarta : Media Da’wah, 1983), h. 53. 34 Ibid.
198
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Jika diperhatikan dari uraian diatas, sebenarnya agama Cina tidak dilarang di Indonesia, namun kenyataannya selama pemerintah rezim Orde Baru, segala macam yang berkaitan dengan adat istiadat dan tradisi dan kesenian Cina adalah sangat sulit untuk berkembang. 35 Baru setelah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden RI, pembatasan agama resmi akhirnya dicairkan dengan membuka kran kebebasan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia dan pluralitas. Misalnya dengan dikeluarkan Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 telah membebaskan warga etnis Tionghoa untuk mengembangkan ritual agama, kepercayaan dan adat istiadatnya yang semula dilarang oleh Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967. Hal tersebut dikarenakan Gus Dur disamping dikenal sebagai seorang Humanis, juga pada saat ia belum menjadi Presiden dan masih menjabat sebagai Ketua Umum PB NU pernah bertemu dengan Mr. Choi Gun Duk seorang pemuka/rohaniawan Agama Kong Hu Cu Korea yang berkunjung ke Indonesia pada tanggal 1 Desember 1996. Dalam perbincangan Mr. Choi Gun Duk dengan Gus Dur mengutarakan bahwa dialog antar umat beragama di Korea berjalan secara periodic dalam suasana harmonis, tidak ada diskriminasi antar agama. Pemeluk Islam di Korea Selatan adalah minoritas, tetapi mendapat perlakuan yang baik. Mr. Choi juga mengharapkan umat beragama Kong Hu Cu di Indonesia mendapat perlakuan yang baik.36 Dari uraian tersebut, dapatlah dipahami bahwa dalam perjalanannya kebijakan pemerintah Indonesia (terutama pada masa Orde Baru) tentang agama di Indonesia, nampaknya dalam 35
Pihak-pihak berwajib tidak membatasi penyebaran ajaran Kong Hu Cu, tetapi tidak mengakuinya sebagai agama. Lihat Liang Wen Fung, “Nabi Orang yang Di Agungkan?”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Passing Over….., h. 432. 36 Lihat Chandra Setiawan dalam Ibid., h. 420.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
199
menetapkan peraturan atau undang-undang yang berkaitan dengan agama masih penuh dengan crisis of self confidence atau krisis kurang percaya diri dan terkesan coba-coba. Sehingga seringkali berbenturan dengan isu kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia (HAM). Meskipun dari peraturan-peraturan lain yang berkenaan dengan Hubungan Umat Antar Agama, nampaknya masih tetap diperlukan dan di dukung, seperti peraturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang isinya dapat menganggu ketertiban umum, tata cara pelaksanaan penyiaran agama dan bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, musyawarah antar umat beragama, penggunaan rumah tempat tinggal sebagai Gereja, penyelenggaraan hari-hari besar keagamaan, tuntunan penggunaan pengeras suara di masjid dan mushalla dan lain-lain. Sebagaimana telah diuraikan ditas bahwa bangsa Indonesia bukan negara teokrasi dan juga bukan negara sekular. Diantara ciri negara yang tidak sekular adalah adanya institusi-institusi keagamaan, yang resmi dibentuk oleh pemerintah dan atas izin pemerintah. Diantara lembaga keagamaan yang resmi diadakan oleh pemerintah di Indonesia ialah Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama), lembaga pendidikan keagamaan negeri (mulai dari pendidikan dasar hingga Perguruan Tinggi), dan Peradilan Agama.37 Departemen Agama dibentuk pada tanggal 3 Januari Departemen Agama dikemukakan oleh para pemimpin Islam yang tunduk dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Setelah kemerdekaan dicapai, gagasan itu mereka perjuangkan melalui Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) agar di Negara Republik 37
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah….., h. 151.
200
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Indonesia yang sudah merdeka itu, urusan agama ditangani oleh suatu Departemen. Usaha itu berhasil dengan dikeluarkannya Penetapan Pemerintah tahun 1946 Nomor 1/sd tanggal 3 Januari 1946, tentang pendirian Departemen Agama, setelah KNIP secara aklamasi menerima usul pendirian Departemen Agama tersebut.38 Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia mengalami perjalanan yang cukup panjang, pembangunan (fisik material dan mental spiritual) terus digalakkan. Akan tetapi disisi lain aspirasi dan inspirasi umat beragama yang plural harus tetap diakomodir. Maka untuk memudahkah pengaturan agama baik itu berupa distribusi bantuan dari pemerintah, ataupun sosialisasi kebijakan pemerintah terhadap umat beragama, maka pemerintah membentuk lembaga keagamaan baik ditingkat pusat maupun daerah. Organisasi sosial keagamaan dan Lembaga Keagamaan adalah satu organisasi kemasyarakat yang dibentuk atas dasar kesamaan baik kegiatan maupun profesi, fungsi dan agama; yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985.39 Sesuai dengan pengakuan pemerintah terhadap lima dan sekrang menjadi enam agama resmi, maka dibentuklah Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama. Keberadaan Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama didasarkan atas surat Keputusan Mentari Agama Nomo 35 tahun 1980 yang menyatakan terbentuknya “Wadah Musyawarah Antar Umat 38 Departemen Agama RI, Amal Bakti…., h. 1. Dalam kaitannya dengan pembinaan kerukunan antar umat beragama, Departemen Agama telah meletakkan sebuah strategi dasar, yaitu trilogy kerukunan; Kerukunan antar umat beragama, Kerukunan intern umat beragama, dan Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Hal ini dicetuskan ketika H. Alamsjah Ratu Perwiranegara menjabat sebagai Menteri Agama. 39 Departemen Agama RI, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama (Jakarta : Balitbang, 1997/1998), h. 15. Dalam kompilasi tersebut juga dijelaskan tentang keberadaan organisasi kemasyarakatan, jenis dan pembentukan organisasi kemasyarakatan, asas dan tujuan, fungsi, hak dan kewajiban sanksi dan hukuman termasuk juga pembubaran.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
201
Beragama” yang telah disepakati oleh wakil-wakil Majelis Agama dan pertemuan tingkat puncak pada tanggal 30 Juni 1980 di Jakarta. Adapun lembaga-lembaga keagamaan yang saat ini ada di Indonesia adalah : 1. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berdiri pada tanggal 17 Rajab 1359 H bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta. Adapun fungsi Majelis Ulama Indonesia adalah : a) member fatwa dan nasehat mengenai masalah keagamaan kepada Pemerintah dan umat Islam umumnya sebagai amar am‟ruf nahi munkar dalam usaha meningkatkan Ketahanan Nasional. b) memperkuat ukhuwah Islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antar umat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. c) mewakili umat Islam dalam konsultasi antar umat beragama. d) penghubung antara ulama dan umara (Pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik antara Pemerintah dan umat guna menyukseskan pembangunan nasional. Adapun tujuan dibentuknya MUI ialah ikut serta mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil dan makmur rohaniah dan jasmaniah sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang diridhai oleh Allah SWT. 2. Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) yang didirikan di Jakarta pada tanggal 25 Mei 1950 oleh 29 gereja-gereja di Indonesia. Fungsi PGI ialah : a) membicarakan, menggumuli, dan mewujudkan kehadiran bersama gerejagereja di wilayah. b) menggalang kebersamaan gereja-gereja di wilayah melalui kegiatan-kegiatan bersama, dan membantu gereja-gereja untuk memikirkan/mengusahakan 202
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
kebutuhan-kebutuhannya. c) melaksanakan keputusankeputusan siding raya/MPL PGI denan menjabarkan kedalam bentuk-bentuk kegiatan bersama, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan wilayah yang bersangkutan. Tujuan PGI di Indonesia adalah perwujudan gereja Kristen yang Esa di Indonesia. 3. Konperensi Waligereja Indonesia (KWI). Tujuan KWI adalah memadukan kebijakan-kebijakan dalam pelaksanaan berbagai tugas pastoral bersama untuk kaum beriman Kristiani, untuk meningkatkan kesejahteraan yang diberikan gereja kepada manusia, terutama lewat entukbentuk dan cara-cara kerasulan yang disesuaikan dengan keadaan waktu dan tempat, menurut norma hukum, agar sedapat mungkin berjalan seirama dan berkesinambungan di seluruh Indonesia. 4. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), didirikan di Denpasar hari senin Wage Julung Wangi, Purnama Palguna Masa, Isaka Warsa 1880, bertepatan dengan tanggal 23 Pebruari 1959 yang bertujuan mengantarkan umat Hindu dalam mewujudkan Jagadhita dan moksa. 5. Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI), didirikan di Jakarta tanggal 12 Agustus 1978. Tujuan WALUBI adalah : a) mempertahankan dan mengamankan agama Budha, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945. b) mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagai dimaksud oleh pembukaan UUD 1945. c) membina dan meningkatkan kehidupan beragama di kalangan umat Budha Indonesia.40 Sedangkan WALUBI sebagai kekuatan 40 Ibid. Lihat juga Oka Diputhera, “Kebutuhan dan Tantangan Organisasi-Lembaga Keagamaan Budha dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara”, dalam Mursyid Ali (ed.), Dinamika Kerukunan Hidup Berbangsa Menurut Perspektif Agama-
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
203
sosial keagamaan, berfungsi menampung dan menyalurkan aspirasi serta mengikutsertakan seluruh potensi umat Budha untuk berperan secara aktif dalam pembangunan nasional. 6. Majelis Tinggii Agama Kong Hu Cu Indonesia (MATAKIN), didirikan pada tanggal 27 Agustus 1967 di Solo yang merupakan perubahan dari nama Gabungan Perhimpunan Agama Kong Hu Cu di Indonesia (GAPAKSI). MATAKIN pada tanggal 17 April 1979 mengeluarkan 10 pedoman pelaksanaan tentang peningkatan partisipasi dan integrasi umat Kong Hu Cu dalam pembangunan bangsa. Kesepuluh pedoman itu ialah : 1) menjadi umat yang shaleh dan betakwa ke Hadirat Tuhan, serta melaksanakan firman-Nya. 2) menjadi warga negara Indonesia yang sadar dan bertanggung jawab kepada nusa dan bangsa Indonesia. 3) melaksanakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila secara murni dan konsekuen. 4) melaksanakan, mensukseskan peraturan-peraturan dan program pemerintah demi kesejahteraan, kebahagiaan serta kesentosaan hidup bagi seluruh rakyat Indonesia. 5) hidup pola sederhana. 6) berpartipasi kepada pemerintah, berintegrasi dan berasimilasi dalam pembangunan bangsa di segala bidang dengan wajar. 7) bertoleransi antar umat beragama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga kerukunan dapat tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat serta dapat menciptakan ketahanan nasional. 8) membina generasi muda dengan penuh kasih saying dan penuh tanggung jawab. 9) mensukseskan Pelita. 10)
agama; Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Beragama (Jakarta : Balitbang, 1999-2000), h. 133.
204
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
memperjuangkan kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran masyarakat dengan penuh iman.41 Semua lembaga keagamaan tersebut diatas memiliki peraturan masing-masing dalam membina intern umat beragama masing-masing termasuk juga dalam pergaulan dengan umat yang lain. Selain itu lembaga keagamaan tersebut diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sampai saat ini. Jika kita perhatikan perkembangan dan perjalanan lembaga-lembaga keagamaan diatas, memang dapat memberikan suatu pembinaan terhadap intern umat beragama, oleh karenanya lembaga-lembaga keagamaan tersebut eksistensinya masih tetap diperlukan dalam rangka menciptakan masyarakat yang “agamis” dalam arti yang sesungguhnya. Secara sosial politik, tentu saja yang diharapkan melalui lembaga keagamaan adalah hubungan, interaksi, komunikasi umat beragama atau istilah apapun namanya berjalan secara positif. Ketika interaksi positif telah sama-sama menjadi kebutuhan, maka pembangunan akan dapat dilanjutkan, tanpa harus di “interupsi” oleh pertikaian yang mengatasnamakan agama. D. Signifikansi dan Prinsip-Prinsip Hubungan Antar Agama Agama merupakan sumber motivasi sosial yang menempati posisi penting dalam proses pembangunan. Ini berarti bahwa agama tidak hanya memahami tentang sesuatudari segi baik dan buruk saja, namun lebih jauh dari itu agama merupakan sebuah system total yang melingkupi seluruh dimensi kehidupan. Bagi bangsa Indonesia, totalis agama sebagai suatu system bisa menjadi faktor pendorong proses pembangunan dan integrasi 41
Chandra Setiawan, “Agama Kong Hu Cu di Indonesia”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over….., h. 410, 415 dan 416.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
205
bangsa. Akan tetapi disisi lain agama berpotensi menciptakan konflik sosial. Menurut Elizabeth K. Nothingham, agama mempunyai kekuatan untuk mempersatukan, mengikat dan melestarikan, namuna ia pun mempunyai fungsi lain yang dapat mengarah pada sesuatu yang bersifat destruktif. Agama bisa berfungsi mempersatukan kelompok penganutnya begitu kuat, sehingga apabila tidak dianut oleh seluruh atau sebagian anggota masyarakat, agama dapat menjadi sesuatu kekuatan yang menceraiberaikan, memecah belah dan bahkan menghancurkan.42 Sebagaimana diungkapkan pada bagian sebelumnya, bahwa hubungan umat antar agama akan menjadi tidak harmonis bahkan sering terjadi konflik fisik apabila terjadi kesalahan dalam memahami dan mengimplementasikan atau memahami secara parsial pesan-pesan Tuhan yang terdapat dalam Kitab Suci agama masing-masing. Kesalahan dalam memahami pesan-pesan Tuhan ini, akan berakibat fatal lagi ketika umat beragama yang mengalami konflik (dalam hal ini konflik yang berlatarbelakang agama) sering berorientasi untuk menjadi seorang “martir” atau “syuhada”. Walaupun secara doktrin, adanya seorang martir atau syuhada memang dilegitimisai oleh kitab suci, akan tetapi kadangkala penempatan hakikat kedua term tersebut sama sekali tidak proporsional. Menurut M. Amin Abdullah, lantaran pengaruh pemahaman ajaran kegamaan (Islam) yang parsial, yang kemudian, bentuk pemahaman keagamaan yang parsial tersebut menggumpal dalam lapisan geologi pemikiran keagamaan, maka moral kenabian Islam yang aturannya bersifat universal, inklusif, hanif, tereduksi sedemikian rupa sehingga seoalh-olah menjadi semata-mata eksklusif, partikularistik, legalistik-formalistik, dan a-historis. 42
Elizabeth K. Nothingham, Agama dan Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi Agama, terj. Abdul Muis Naharong (Jakarta : Rajawali Pers, 1993), h. 42.
206
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Sehingga untuk wilayah dan era tertentu dalam sejarah peradaban Islam dan menjadikannya begitu sempit menjerat. Bukan lagi proses internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai yang fundamental yang berjalan secara gradual yang dipentingkan, tetapi yang terjadi adalah proses pemilahan yang bersifat dikhotomis-antagonistik. Kategori dan klasifikasi identitas-sosiologis yang lebih bersifat dikhotomis-antagonistik lebih dipentingkan daripada mencari titik temu berbagai fundamental values yang menganyam berbagai kelompok agama yang pluralistik.43 Apa yang dikemukakan oleh M. Amin Abdullah tersebut, sesungguhnya bukan hanya berlaku dikalangan umat Islam saja, akan tetapi berlaku juga bagi semua kalangan penganut agama. Dalam hal ini, agama yang seharusnya menjadikan umatnya untuk bersikap ramah, sopan, lemah lembut dan sama sekali tidak menganjurkan dan mentolerir untuk bertindak arogansi dan eksklusif terhadap penganut agama lain, akan tetapi seakan-akan telah berwajah ganda sehingga menjadikan penganutnya “beringas”. Dalam menjawab fenomena pemahaman kitab suci (alQur‟an) yang seringkali secara parsial, Fazlur Rahman menyarankan jalan keluar melalui dua gerakan dalam penafsiran alQur‟an yaitu : Pertama, pahami arti atau makna suatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan al-Qur‟an tersebut merupakan jawabannya. Menurut Rahman, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasi-situasi spesifik, suatu kajian mengenai situasi makro, mengenai konteks sosial masyarakat saat itu – maksudnya suatu al-Qur‟an diturunkan – harus dilakukan. Kedua, menggeneralisir jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan43
M. Amin Abdullah, “Etika dan Dialog Antar Agama”, dalam Th. Sumartana dkk (ed.), Dialog : Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta : Dian/Interfidei, 1994), h. 94.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
207
pernyataan yang memiliki tujuan moral-sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio historis dan ratio legis yang sering dinyatakan.44 Selanjutnya dalam proses pelaksanaan interaksi atau hubungan antar agama yang baik, tentu saja tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Karena hal tersebut sangat sensitif dan apabila umat beragama itu sendiri tidak atau belum memahami pilar-pilar dari suatu proses hubungan dalam masyarakat. Hubungan umat antar agama hendaknya tidak disalah artikan dengan berasumsi bahwan akan menjadikan seseorang yang tadinya taat dalam beragama, menjadi tidak lagi taat terhadap ajaran agamanya, atau akan pula menjadikan seseorang terjebak dan mengakibatkan sinkretisme agama. Menurut Syahrin Harahap, bahwa dalam menciptakan hubungan antar umat agama secara harmonis baik dalam skalam internasional, regional, maupun dalam skala nasional selalu terjadi dua bentuk sikap: Pertama, saling menghargai dan menghormati yang berjalan secara „tidak sadar‟. Artinya seseorang menghormati orang yang beragama lain itu hanya karena kepentingan politik. Misalnya karena sama-sama mendiami dunia yang satu manusia tidak pantas jika saling membunuh, saling menindas, saling mengusir atau karena sama-sama satu bangsa dan negara sepantasnyalah umat beagama saling rukun demi cita-cita bersama. Kedua, penghormatan terhadap orang yang menganut agama lain itu muncul bukan hanya karena kepentingan politik, tetapi lebih dari itu adanya kesadaran bahwa agama-agama yang dianut manusia di bumi ini memiliki titik temu yang sangat mendasar.45
44
Lihat Nurcholish Madjid, Islam; Kemodernan dan Keindonesiaan (Jakarta : Mizan, 1987), h. 174-175. 45 Syahrin Harahap, Islam Dinamis; Menegakkan Nilai-nilai Ajaran al-Qur’an dalam Kehidupan Modern di Indonesia (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997), h. 266.
208
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Bentuk sikap pertama di atas seringkali dibina secara dialog dan mengusahakan saling tenggang rasa serta menabukan masalah sara. Akan tetapi perlu disadari bahwa sikap seperti ini seringkali lebih dangkal dan rapuh, mudah terpancing jika terusik emosi keagamaannya, bahkan seringkali mengorbankan cita-cita bersama hanya karena ketersinggungan emosi keagamaan. Pada sisi lain, sikap semacam ini lebih memungkinkan untuk tidak jujur dalam kesepakatan keragaman. Misalnya umat yang lebih kuat dalam bidang politik dan ekonomi melakukan penindasan terhadap yang lebih lemah meskipun dengan kedok kemanusiaan, perdamaian dunia dan lain-lain. Sedangkan bentuk sikap kedua yang dilatarbelakangi oleh kesadaran akan adanya titik temu yang mendasar di antara agamaagama dikembangkan dengan penggalian titik temu tersebut dengan mempelajari secara mendalam agama dan mengenal agama lain secara objektif. Sikap seperti itu biasanya tidak munafik, selalu jujur dan tidak mengorbankan kerukunan hanya karena riakriak kecil yang mengganggu hubungan umat antar agama. Agaknya sikap kedua ini lebih prospektif bagi masa depan umat manusia di dunia ini. Dalam konteks negara Indonesia yang pluralitas agamanya tidak dapat dipungkiri lagi, maka prinsip sikap yang paling baik adalah sikap toleran, terbuka dan lapanga dalam mencari dan menghadapi kebenaran. Sikap ini yang oleh Nurcholish Madjid disebut dengan al-hanifiyat al-samhah yaitu semangat mencaria kebenaran yang akan membawa pada sikap toleran, tidak sempit, tanpa kafanatikan, dan tidak membelenggu jiwa. Pengertian al-hanifiyat al-samhah sendiri dapat dilihat dari penjelas Hadits Nabi Muhammad saw, yang artinya: “Dari Abu Umamah, dia bercerita, „Kami keluar bersama Rasulullah saw, dalam salah satu ekspedisi belaiau, kemudian seorang HUBUNGAN ANTAR AGAMA
209
melewati sebuah gua yang disitu ada air. Orang itu berkata kepada dirinya sendiri untuk tinggal dalam gua itu dengan jaminan hidup dari air yang ada dan memakan tetumbuhan disekitarnya kemudian melepaskan diri dari dunia. Lalu orang itu berkata, kalau nanti aku bertemu Nabi Allah saw akan aku ceritakan perkataan itu kepada beliau. Kalau beliau izinkan, aku akan lakukan, kalau tidak, tidak. Makan datanglah ia menemui beliau (Nabi), lalu berkata wahai Nabi Allah, akau melewati sebuah gua yang disitu ada air dan tetumbuhan yang menjamin hidupku. Maka akupun berkata kepada diriku sendiri untuk tinggal di gua itu dan melepaskan diri dari dunia. Orang itu menuturkan bahwa Nabi saw menjawab, Aku tidak diutus dengan ke-Yahudian juga tidak dengan keNasranian. Akan tetapi aku diutus dengan kehanifan yang lapangan (alhanifiyat al-samhah). Demi Dia yang jiw Muhammad ada di tangan-Nya, pergi padi dan pulang petang di jalan Allah adalah lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya. Pastilah berdiri tegaknya seseorang di antara kamu (dalam barisan perjuangan) adalah lebih baik dari pada sembahyangnya selama enam puluh tahun. (Hadits riwayat Imam Ahmad). Selain itu, Hadits yang menjelaskan tentan alhanifiyat alsamhah misalnya : (1) Ibn „Abbas menuturkan bahwa Nabi saw ditanya, “Agama mana yang paling dicintai Allah?” Nabi menjawab, “Semangat kebenaran yang toleran (al-hanifiyat alsamhah). (Hadits riwayat Imam Ahmad). (2) „Aisyah menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Hari ini pastilah kaum Yahudi tahu bahwa dalam agama kita ada kelapangan. Sesungguhnya aku diutus dengan semangat kebenaran yang toleran (al-hanifiyat alsamhah)”. (Hadits Riwayat Imam Ahmad). Al-Hanifiyat al-samhah juga merupakan pangkal menumbuhkan keberagamaan yang terbuka, yang secara diametral bertentangan dengan semangat komunal dan sektarian. 46 46
Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat: Kolom-kolom di Tabloid Tekad (Jakarta : Paramadina, 1999), h. 44.
210
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Keterbukaan itu, adalah kerendahan hati untuk tidak selalu merasa benar, kemudian bersedia untuk mendengarkan pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Sebab, ketika umat beragama berinteraksi dengan yang lain adalah dalam konteks interaksi pemahaman yang membutuhkan kreativitas, inovasi dan sumbangsaran. Keterbukaan ini juga sebagai bagian dari bukti adanya hidayah Allah, dan membuat yang bersangkutan tergolong dari kelompok orang-orang yang berpikiran mendalam (ulul albab) yang sangat beruntung. Selanjutnya secara tegas Nurcholish mengemukakan keharusan untuk bersikap keberagamaan yang terbuka dan lapang. Adalah pencarian akan kebenarn secara tulus dan murni ini yang dimaksud al-Qur‟an sebagai sikap alami manusia yang memihak kepada yang benar dan yang baik, sebagai pencaran dari fitrahnya yang suci bersih. Itu sebabnya pada dasarnya kelapangan dalam beragama akan member makna hidup, karena kita tidak lagi terbelenggu oleh kepentingan tertanam (vested interested, Arab : hafa‟ al-nafs) yang bisa termuat dalam keberagamaan kita yang menjadikan kita tertutup, dan hanya mau mencari jalan pintas yang mudah.47 Dengan semangat terbuka, semoga kita bisa mengakhiri mentalitas isolative, dan membuka diri untuk bekerjasama dengan semua pihak manapun dari kalangan umat manusia, dalam semangat perlombaan penuh persaudaraan, guna meruntuhkan system-sistem totaliter. Sikap al-hanifiyat al-samhah inilah yang menjadi prinsip dan pegangan bagi umat beragama di Indonesia, sebab hanya dengan sikap terbuka dan toleran maka hubungan umat antar agama di negara ini akan berjalan dengan baik tanpa harus mengklaim kebenaran dan keselamatan dimiliki oleh kelompok tertentu. 47
Ibid.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
211
Dengan prinsip ini pula interaksi umat beragama akan lebih bermakna dan tanpa ada yang harus disembunyikan, sehingga pembangunan ataupun berbagai macam krisis yang dihadapi oleh bangsa ini, akan dapat diatasi secara bersama-sama oleh berbagai macam kelompok agama yang ada. E. Peran Umat Beragama dalam Pembangunan Elizabeth K. Nothingham menjelaskan terdapat tige tipe masyarakat yaitu : Pertama, masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakralnya. Mereka beranggapan bahwa agama memasukkan pengaruhnya yang sacral ke dalam sistem nilai masyarakat secara mutlak. Nilai-nilai keagamaan sering meningkatkan konservatisme dan menghalang-halangi perubahan, ini merupakan sebab yang penting sehingga kekuasaan tradisi sangat kuat dalam masyarakat. Kedua, masyarakat pra-industri yang sedang berkembang. Pada masyarakat ini memungkinkan akan timbulnya ketegangan antara sistem nilai-nilai keagamaan dengan masyarakat secara keseluruhan, meskipun kecenderungan bagi agama untuk tenggelam dalam tradisi tetap ada. Dalam masyarakat ini agama bisa merupakan fokus potensial bagi munculnya pembaharuan yang kreatif dan juga chaos sosial. Ketiga, masyarakat industri sekuler. Pada masyarakat jenis ini pengaruh iptek terhadap agama mempunyai konsekwensi signifikan bagi agama, yaitu timbulnya sekularisme yang mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dalam pengalaman-pengalaman keagamaan terbatas pada aspek-aspek yang lebih kecil dan bersifat khusus dalam kehidupan masyarakat dan anggota-anggotanya. Dengan aspek ini fungsi agama menjadi lemah sebagai pemersatu dan bahkan kekuatannya sebagai faktor 212
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
disintegrasi agak berkurang. Toleransi terhadap differensiasi agama antara lain merupakan akibat dari ketidakacuhan dalam menghadapi pengaruh sistem nilai sekuler yang semakin berkembang.48 Jika merujuk pendapat Nothingham tersebut, maka Indonesia setidaknya masuk kategori kelompok kedua, yaitu masyarakat para industri yang sedang berkembang. Pada jenis ini jika tidak hati-hati memang agak menimbulkan kerawanan, dimana ditengah kesibukan masyarakat yang berkembang dan menuju industrialisasi, maka urgensitas agama seringkali terlupakan. Berbicara tentang pembangunan di Indonesia, pada dasarnya adalah pembangunan manusia seutuhnya bagi seluruh masyarakat Indonesia. Menurut Musa Asy‟ari pembangunan pada dasarnya bukan terletak pada perwujudan fisik tekhnologi dan ekonomi semata dan bukan pula perwujudan segi rohani dan mental spiritual saja, melainkan dalam pengembangan seluruh dimensi serta segi yang dibutuhkan dalam keserasian dan keselarasan, demi terwujudnya manusia yang dewasa dan berkepribadian. 49 Secara umum, pembangunan dapat pula diartikan sebagai upaya fungsionalisasi misi kekhalifahan manusia, dalam mengupayakan kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia di dunia. Atau dalam terminologi bangsa kita, berarti upaya pencapaian masyarakat yang adil dan makmur, material maupun spiritual. Secara dialektik pembangunan berarti pula upaya pemilihan jawaban terhadap berbagai masalah atau tantangan kehidupan masyarakat untuk menghasilkan perubahan menuju suatu keadaan yang lebih baik.50 48
Elizabeth K. Nothingham, Agama dan Masyarakat….., h. 51-59. Musa Asy’ari, Agama, Kebudayaan dan Pembangunan (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press, 1997), h. 17. 50 M. Amin Rais, Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri (Jakarta : Rajawali Pers, 1986), h. 19. 49
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
213
Dalam pembangunan, terminologi perubahan merupakan sesuatu yang esensial. Kata perubahan disini, hendaknya ditafsirkan lebih mendalam seraya mengaitkannya dengan tujuan perubahan itu sendiri. Dalam hal ini, jelas bahwa yang dimaksud bukanlah sekedar perubahan fisik dan struktural semata, melainkan lebih pada perubahan kultural yang menyangkut “tata nilai” sebagai sentralnya. Pembangunan memang menyangkut perubahan dan pengembangan tata nilai, apakah nilai keadilan, pemerataan, kemakmuran, kesejahteraan, kebahagiaan dan sebagainya. Hal ini dapat dipahami mengingat tujuah akhir dari pembangunan adalah faktor manusianya sendiri.51 Oleh karena itu, haruslah dipahami bahwa yang dimaksud dengan pembangunan adalah bukan sekedar pembangunan yang bersifat fisik material semata, akan tetapi juga yang tak kalah pentingya adalah pembangunan mental spiritual. Kedua agenda pembangunan ini harus menjadi fokus dari sebagian tugas kekhalifahan umat manusia di dalam menjaga dan memelihara keutuhan suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia yang termasuk negara berkembang dan kini berhadapan dengan era modernisasi dan globalisasi, maka pembangunan manusia Indonesia secara utuh (mental-spiritual dan fisik material) haruslah mendapat dukungan dari manusiamanusia Indonesia yang notabene adalah manusia yang beragama. Tanpa dukungan dari berbagai kalangan umat beragama, maka tentu saja pembangunan di Indonesia tidak akan berjalan secara maksimal. Dukungan konkret umat beragama di Indonesia dalam proses pembangunan adalah dengan cara – paling tidak – menciptakan kerukunan umat beragama yang harmonis dalam arti yang sesungguhnya. Artinya, penciptaan kerukunan umat 51
Ibid., h. 20.
214
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
beragama atau hubungan umat antar agama yang baik bukan hanya menjadi tugas dan tanggungjawab kalangan akademisi dan cendekiawan agama yang sering melaksanakan seminar dan dialog, akan tetapi semua lapisan masyarakat agama harus terlibat dan atau melibatkan diri secara aktif, positif dan kreatif dalam usaha menciptakan harmonisasi hubungan umat antar agama. Semua ini adalah dalam rangka upaya pembangunan bangsa Indonesia yang sedang dan akan dilakukan dapat berjalan dengan baik. Karena tentu saja, sebagai bangsa yang bermartabat, Indonesia tidak mau selalu ketinggalan dari negara lain, sebab kadangkala akibat ketertinggalan dan keterbelakangan apalagi ketergantungan yang dimiliki bangsa ini dengan negara lain mengakibatkan negara lain bertindak semau-mau terhadap bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya hutang bangsa Indonesia, akibat semua ini, bangsa lain tidak segan-segan untuk melakukan intervensi terhadap kebijakan politik kita. Dengan demikian, jika negara ini tidak mau di pecundangi oleh negara lain, sebaiknya kita melepaskan diri dari ketergantungan terhadap negara lain, yang hal itu dapat dilakukan apabila bangsa Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dan keterpurukan dengan jalan pembangunan disegala bidang. Pembangunan ini – lagi-lagi diungkapkan – memerlukan dukungan dari komunitas umat beragama. Tanpa dukungan dari umat beragama dalam arti menciptakan hubungan umat beragama yang baik dan toleran, maka tentu saja mustahil bangsa ini dapat menata ulang segala macam bentuk ketertinggalan. Jadi, hubungan umat antar beragama yang harmonis tentu saja memiliki peran bagi pembangunan dan keutuhan bangsa.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
215
F. Menuju Persaudaraan Sejati Barangkali timbul pertanyaan diantara para pembaca, mungkinkah persaudaraan sejati dapat dipenuhi, terlebih lagi dalam tubuh umat antar agama yang secara kasat mata terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat terang benderang. Untuk menjawab itu semua, ada baiknya memahami eksplorasi beberapa tokoh yang cukup concern terhadap “nasib” dan masa depan hubungan umat antar agama baik secara lokal maupun global. Secara teologis-normatif dalam kerangka apa yang seharusnya – tataran ideal – Nurcholish memberikan beberapa nuktah ajaran agama Islam yang merupakan landasan bagi terciptanya kerukunan antar beragama52 secara baik : Pertama, Islam mengajarkan bahwa agama Tuhan adalah universal, karena Tuhan telah mengutus Rasul-Nya kepada setiap umat manusia; “Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut 53 itu". (Q.S. An-Nahl : 36). Kedua, Islam mengajarkan pandangan tentang kesatuan nubuwwah (kenabian) dan umat yang percaya kepada Tuhan. 52
Nurcholish Madjid, “Hubungan Antar Beragama : Antara Ajaran dan Kenyataan”, dalam W.A.L. Stokhof (red.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan) (Jakarta : INIS, 1990), h. 108. 53 Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.
216
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah aku”. (Al-Anbiya‟ : 92). Ketiga, agama yang dibawa Nabi Muhammad adalah kelanjutan langsung agama-agama sebelumnya, khususnya yang secara “genealogis”paling dekat ialah agama Semitik-Abrahamik. “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. tetapi jika kamu kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.” (Q.S. Al-Nisa‟ : 131).
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
217
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (Q.S. al-Syura :13). Keempat, karena itu umat Islam diperintahkan untuk menjaga hubungan yang baik dengan orang-orang beragama lain, khususnya para penganut kitab suci (ahl al-Kitab). Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri". (al-Ankabut : 46).
218
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Kelima, prinsip-prinsip di atas itu semua membawa akibat yang sangat logis, yaitu tidak boleh ada paksaan dalam agama. “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”. (Q.S. al-Baqarah : 256) “Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?”. (Q.S. Yunus : 99). Mengomentari ayat tersebut, Abdullah Yusuf Ali, seorang mufasir modern mengatakan bahwa orang yang beriman tidak boleh marah jika berhadapan dengan orang yang tak beriman, dan terutama sekali ia harus dapat menahan diri dari godaan melaksanakan kekerasan, misalnya memaksakan iman kepada orang lain dengan paksaan fisik atau dengan paksaan orang lain semisal tekanan sosial (politik dan ekonomi), membujuk dengan harta atau kedudukan, atau mengambil manfaat cara lain yang dibuat-buat. Iman yang dipaksakan adalah bukan iman, mereka harus berusaha dengan jalan rohani dan biarlah Tuhan yang member hidayah-Nya.54 54
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an (New York : Amana Corporation, 1989), h. 505.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
219
Dari kelima nuktah yang dikemukakan oleh Nurcholish tersebut, kiranya dapat dijadikan sebagai landasan bahwa secara teologis-normatif sesungguhnya kerukunan antar umat beragama yang baik sangatlah didukung dan dilegitimasi oleh nash-nash alQur‟an. Meskipun landasan ini berdasarkan idiom-idiom Islam, akan tetap tetapi hakikat dari semua itu adalah untuk semua kalangan dan komunitas umat beragama secara keseluruhan. Sedangkan dalam konteks ke-Indonesiaan, Nurcholish melihat bahwa Pancasila merupakan satu-satunya perekat bangsa yang multi etnis, agama dan lain-lain. Ia menyebut Pancasila sebagai common platform atau kalimah sawa‟ sehingga menjadi titik temu bagi umat beragama di Indonesia. Dalam pandangan Nurcholish, Pancasila sebagai dasar negara yang telah dirumuskan oleh founding fathers Indonesia merupakan bagian dari kalimah sawa‟ atau titik temu antar kelompok sebagai implementasi dari ayat alQur‟an surat Ali Imran : 36. Berdasarkan ayat tersebut, Nurcholish memperluas kalaimah sawa‟ atau titik temu dalam konteks pluralitas masyarakat Indonesia. Titik temu tidak hanya bagaimana “Hanya menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa”, tetapi juga bagaimana mencari jalan keluar dan kompromi dalam konteks pluralitas yang bisa menjadi acuan bersama untuk bersikap. Untuk itulah, Nurcholish melihat Pancasila sebagai bagian dari titik temu antar kelompok di Indonesia yang masing-masing kelompok tersebut berhak mengisinya. Secara jelas Nurcholish, mengatakan eksistensi titik temu antar kelompok dalam Pancasila seperti : “Perkara “kalimat persamaan” atau common platform bangsa ini, yaitu Pancasila dengan kelengkapan konstitusionalnya, kiranya sekarang sudah tidak ada masalah, antara lain berkat sikap-sikap yang tepat dari berbagai organisasi keislaman semisal NU dan 220
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Muhammadiyah. Hanya perlu kiga ingat kembali bahwa masalahmasalah sekarang adalah bagaimana mengisi dan menjalankan Pancasila dan UUD 45 secara lebih baik dan konsisten. Mengingat bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka, maka berarti terbuka lebar kesempatan semua kelompok sosial guna mengambil bagian secara positif dalam pengisian dan pelaksanaannya”. 55 Hal ini haruslah disadari oleh semua umat beragama bahwa nilai-nilai Pancasila adalah “titik temu” semua pandangan hidup yang ada di negeri ini, termasuk pandangan hidup yang dirangkum oleh agama-agama. Dan nilai-nilai Pancasila, baik potensial maupun aktual, telah terkandung dalam ajaran semua agama yang ada. Oleh karena itu menurut Nurcholish, Pancasila dapat dipandang sepenuhnya sebagai titik temu agama-agama di Indonesia. 56 Dan karena mencari, menemukan dan mengajak kepada titik temu antara umat yang berbeda itu sendiri adalah perintah agama, maka menemukan dan mengajak bersatu dalam Pancasila adalah juga perintah agama.57 Dalam konteks Pancasila sebagai titik temu antar umat beragama di Indonesia, Nurcholish membedakan dua hal : Pertama, Pancasila sebagai dasar negara yang tersusun kalimatkalimatnya seperti yang dikenal sekarang ini legal-konstitusional. Kedua, Pancasila sebagai nilai-nilai yang harus dijabarkan secara terbuka. Keduanya dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan. Satu berkaitan dengan eksistensinya sebagai payung pluralisme konstitusional masyarakat Indonesia, dan satunya lagi adalah isi yang harus dikembangkan tetap dalam bingkai pluralisme Indonesia. Oleh karena itu menurut Nurcholish Pancasila sebagai landasan ideologi negara Indonesia adalah merupakan bentuk 55
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan….., h. 76. Dalam istilah Jean Jacques Rousseau Pancasila sebagai titik temu ini disebut sebagai kontrak sosial. Lihat J.J. Rousseau, Kontrak Sosial, Alih Bahasa Sumardjo (Jakarta : Erlangga, 1986). 57 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan….., h. 98. 56
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
221
konvergensi nasional dalam peringkat formal konstitusional, yang telah menunjukkan keefektifannya sebagai penopang republik. 58 Tentu saja yang dimaksud dengan penopang republik dalam kalimat diatas adalah ikut serta dalam mensukseskan pembangunan dengan cara mewadahi aspirasi yang berasal dari berbagai umat beragama. Jika diperhatikan ide Nurcholish tentang Pancasila sebagai common platform bagi berbagai umat beragama, nampaknya ada kesamaan dengan pelaksannaan Etik Global yang ditawarkan oleh Hans Kung.59 Etik global tidak berarti ideologi global, tidak pula penyatuan agama secara global yang mengatasi semua agama yang ada, apalagi pencampuran semua agama. Etik global juga tidak mengganti etik luhur agama-agama yang ada dengan minimalisme etik. Taurat Yahudi, Khotbah diatas bukit Kristen. Al-Qur‟an Muslim, Bhagavadgita Hindu, ajaran Budha maupun Confusius, bagi manusia masih tetap menjadi dasar keyakinan dalam kehidupan pemikiran dan tindakan. Etik global bermaksud untuk memberdayakan apa yang sudah lazim bagi agama-agama dunia saat ini, lepas dari segala perbedaan tingkah laku, nilai-nilai moral dan keyakinan dasar yang ada pada masing-masing tradisi. Dengan kata lain, etik global tidak mereduksi agama-agama kedalam minimalisme etis, melain-kan menghadirkan batas minimal eik yang dimiliki bersama oleh semua agama.60 Adapun perbedaannya adalah, jika Pancasila ditujukan untuk semua umat yang beragama, sedangkan etik global tujuannya 58
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung : Mizan, 1997), h. 44. 59 Gagasan etik global atau a global ethic sebenarnya muncul pada acara pertemuan Dewan Parlemen Agama-Agama se-Dunia. Pertemuan ini dilaksana-kan pada tanggal 28 Agustus sampai dengan 8 September 1993 di Chicago, Amerika Serikat. Pertemuan tersebut untuk memperingati seratus tahun konferensi yang sama, dengan nama yang sama, serta dikota yang sama pada tahun 1983. 60 Lihat selengkapnya Hans Kung dan Karl-Josef Kuschel, Etik Global, terj. Ahmad Murtajib (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999).
222
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
bukan hanya umat yang beragama, akan tetapi juga bagi yang tidak beragama secara formal. Selanjutnya, menurut Nurcholish mendiskusikan masalah hubungan umat antar agama atau kerukunan umat beragama, berarti langsung atau tidak langsung telah meng-asumsikan adanya kemungkinan berbagai penganut agama bertemu dalam suatu landasan bersama (common platform). Maka sekarang pertanyaannya ialah, adakah titik temu agama-agama itu. Karena bangsa Indonesia sering membanggakan atau dibanggakan sebagai bangsa yang bertoleransi dan ber-kerukunan agama yang tinggi, maka barangkali cukup logis jika jawaban atas pertanyaan diatas dimulai dengan suatu sikap afirmatif. Sebab logika toleransi, apalagi kerukunan ialah saling pengertian dan penghargaan, yang pada urutannya mengandung logika titik temu, meskipun tentu saja terbatas hanya kepada hal-hal prinsipil. Halhal rinci, seperti ekspresi-ekspresi simbolik formalistik, tentu sulit dipertemukan. Masing-masing agama, bahkan sesungguhnya masing-masing kelompok intern suatu agama tertentu sendiri mempunyai idiomnya yang khas dan bersifat eksoterik yakni hanya berlaku secara intern. Dalam pandangan Nurcholish ajaran tentang hubungan dan pergaulan antar umat beragama – suatu hubungan dan pergaulan berdasarkan pandangan bahwa setiap agama dengan idiom atau syir‟ah dan minhaj masing-masing mencoba berjalan menuju kebenaran – maka para penganut agama diharapkan dengan sungguh-sungguh menjalankan agamanya itu dengan baik. Agaknya sikap yang penuh inklusif inilah yang harus dipahami betul untuk kebaikan semua. Pada konteks ini Allah berfirman :
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
223
“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (Q.S. al-Ma‟idah : 48). Pandangan ini mendasarkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa telah menetapkan idiom, metode, cara dan jalan untuk masingmasing kelompok manusia sehingga antara sesama mereka tidak dibenarkan terjasi saling menyalahkan dan memaksa satu atas lainnya untuk mengikuti idiom, cara, metode dan jalannya sendiri, melainkan mereka hendaknya, berangkat dari posisi masingmasing, berlomba-lomba meraih dan mewujudkan berbagai kebaikan. Sudut pandang Nurcholish tentang hubungan dan pergaulan umat antar agama dengan menggunakan idiom syir‟ah dan minhaj yang bersumber pada al-Qur‟an surat al-Ma‟idah ayat 48 tersebut diatas juga memiliki kesamaan visi dengan ide yang dilontarkan oleh Frithjof Schuon. 61 Satu hal yang genuine telah dilakukan 61
Dalam kata pengantar buku The Transcendent Unity of Religions yang kini sudah diterjemahkan dengan judul Mencari Titik Temu Agama-agama, Huston Smith mengatakan bahwa “bagi Schuon hidup ini ada tingkatan-tingkatannya. Dari segi metafisik, hanya pada Tuhanlah – yang berada ditingkat tertinggi – terdapat titik temu berbagai agama (“upaya mereka semua menjadi satu…. di dalam kita [Yoh. 17:21])…. sedang di tingkat bawahnya, agama-agama itu saling berbeda. Sehubungan dengan kenyataan metafisik ini, dari segi epistemologi dapat pula dikatakan, perbedaan antara agama yang satu dengan agama yang lain juga mengecil dan bersatu ditingkat tertinggi, sedangkan di tingkat bawahnya berbagai
224
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Nurcholish dalam tulisan-tulisannya adalah dibuatnya penekanan distingsi antara “esoterisme” (al-bawathin) di satu segi dan “eksoterisme” (al-dzawahir) di segi lain. Adanya berbagai eksoterisme agama yang bisa disebut sebagai ajaran, pada hakikatnya mengajar-kan esoterisme yang sama, yakni monoteisme (tawhid) dan sikap pasrah (al-Islam). Bagi Schuon, agama sesungguhnya memiliki aspek esoteric dan aspek eksoteris. Ia menggambarkan sebuah piramida yang dibatasi oleh sebuah garis horizontal. Bagian atas adalah aspek esoterisme, sedangkan bagian bawah adalah aspek eksoterisme. Secara sederhana gambar tersebut dapat dipahami bahwa pada tataran esoterisme semua agama bertemu dan bersatu, atau semua agama memiliki suatu Yang Maha Kuasa dan Adi Kodrati yang berkuasa penuh terhadap alam semesta berikut isinya dengan berbagai macam manifestasi dan sebutan, seperti Allah, Alah, Yehovah, Sang Hyang Widi Wase, Konfusius, Sidharta Budha Gautama dan lain-lain. Sedangkan pada tataran eksoterisme, agama ber-beda atau berpisah, dimana masing-masing memiliki cara dan metode dalam hal tata peribadatan atau praktek pengamalan ibadahnya. Lebih dari Schuon, salah seorang tokoh Islam terkemuka di zamannya, Ibn Taymiyah (661-728) sebagaimana dikutip oleh Amin Suma, malahan secara tegas menyatakan bahwa asal-usul agama itu pada dasarnya adalah satu yaitu al-Islam, walaupun syari‟atnya kemudian berbeda-beda. Ibn Taymiyah mendasarkan kesimpulannya ini kepada hadits Nabi Muhammad saw yang mengatakan “Sesungguhnya kami adalah keluarga besar para nabi agama
agama itu terpecah belah”. Lihat Frtihjof Schuon, Mencari Titi Temu Agama-Agama, terj. Saafroedin Bahar (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1987), h. xi.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
225
kami satu, dan para nabi adalah bersaudara seayah (walaupun ibunya berbeda-beda).62 Lebih jauh Ibn Taymiyah menjelaskan, agama mereka adalah satu, yakni menyembah Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya, yaitu Dzat yang selalu disembah pada setiap waktu menurut aturan yang diperintahkan waktu itu. Dan yang demikian itu adalah din al-Islam. Kemudian secara berangsur-angsur melalui al-nasikh wa al mansukh, ajaran itu mengalami perubahan dan pembaruan menuju kearah penyempurnaan seperti layaknya satu syari‟at. Dengan demikian, maka agama Islam yang dengannya Allah mengutus Muhammad saw adalah agama yang satu. Jadi, agama Allah (al-Islam) itu ada sub sistem ajarannya diturunkan sekaligus dan persis sama (abadi) sejak zaman Adam as hingga Muhammad saw, yakni dalam bidang aqidah dan ibadah; dan ada juga sub sistem ajaran yang penurunannya dilakukan secara berangsur-angsur menuju kesempurnaan sesuai dengan kebutuhan dan konsisi obyektif manusia dari generasi Adam hingga generasi Muhammad. Sub sistem ajaran yang dimaksudkan ialah dalam bidang syari‟at. Oleh karena itu, titik temu agama dalam perspektif ini adalah sangat mungkin terjadi jika dilihat dari segi esoteris, sebab semua ajaran agama bermuara pada sesuatu yang berkuasa penuh terhadap segenap alam beserta isinya. Tetapi yang patut digaris bawahi adalah bahwa titik temu yang dimaksud dapat dirasakan apabila umat beragama telah dengan sungguh-sungguh menjalankan agamanya itu dengan baik secara konsisten dalam arti yang sesungguhnya. Dalam konteks ini Nurcholish memberikan sebuah ilustrasi sebuah roda sepeda. “Jari-jari sepeda itu semakin jauh dari as-nya semakin renggang, dan semakin dekat ke as-nya 62
Muhammad Amin Suma, Pluralisme Agama Menurut al-Qur’an; Telaah Aqidah dan Syari’ah (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001), h. 98.
226
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
semakin rapat, untuk kemudian menyatu (di as itu). Barang siapa memahami the heart of religion and the religion of heart, maka semua agama akan menjadi sama (kendati tetap berbeda dalam keunikannya masing-masing), tetapi barang siapa masih melihat perbedaan-perbedaan sebagai sesuatu yang sangat penting, maka ibarat orang di lingkaran itu berdiri di pinggiran”. 63 Dengan demikian, maka istilah persaudaraan sejati bukanlah suatu yang mustahil untuk sama-sama dapat dijalani asalkan semua umat beragama – baik secara lokal maupun secara global – saling memahami dan meyakini bahwa sesungguhnya dalam setiap agama terdapat aspek eksoteris dan aspek esoteris. Selain itu, semua umat beragama hendaknya berprinsip “banyak jalan menuju Tuhan” sesuai dengan doktrin ajaran agama masingmasing, dengan begitu maka tentu saja kehidupan umat beragama akan terasa indah dan bermakna. Untuk kasus umat beragama Indonesia, hendaknya tetap menjadikan Pancasila sebagai titik temu disamping – tentu saja – doktrin ajaran agama masingmasing, atau meminjam istilah Olaf Schuman bahwa Pancasila adalah civil religion bagi masyarakat Indonesia. G. Latihan 1. Bagaimana konsep ahl al-Kitab dalam Islam, serta bagaimana pergeseran makna tersebut. 2. Dalam perspektif saudara, apakah kebijakan peraturan pemerintah Indonesia tentang agama sudah cukup efektif untuk mengurangi konflik antar agama, ataukah masih perlu peraturan-peraturan baru.
63
Nurcholish Madjid, “Kata Pengantar” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over; Melintasi Batas Agama (Jakarta : Gramedia, 2001), h. xxxix.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
227
3. Apakah harmonisasi hubungan antar agama memiliki signifikansi bagi pembangunan bangsa, jika ia lalu apa saja prinsip-prinsip dan batasa-batasan yang harus dipahami oleh umat beragama dalam berinteraksi dengan umat agama lain. 4. Coba uraikan secara singkat, bagaimana bentuk dukungan konkret umat beragama dalam proses pembangunan bangsa seutuhnya. 5. Menurut saudara, apakah istilah “persaudaraan sejati” dapat diwujudkan di Indonesia. H.
Bahan Bacaan
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945; Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, Jakarta : UI Press, 1995. Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam, Jakarta : Paramadina, 1999. Chandra Setiawan, “Agama Kong Hu Cu di Indonesia”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over; Melintasi Batas Agama, Jakarta : Paramadina, 1998. CHRF-INSIST, Kumpulan Perangkat HAM Kalimantan : Jaringan Edukator HAM, 2000.
Internasional,
Departemen Agama RI, Amal Bakti Departemen Agama RI; 3 Januari 1946-3 Januari 1987; Eksistensi dan Derap Langkahnya, Jakarta : Departemen Agama RI, 1987. ------------, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia, Jakarta : Balitbang Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1997.
228
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
------------, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama, Jakarta : Balitbang, 1997/1998. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1989. Djohan Effendi, “Jaminan Konstitusional bagi Kebebasan Beragama di Indonesia”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over; Melintasi Batas Agama, Jakarta : Paramadina, 1998. Donald Eugene Smith, Agama Ditengah Sekulerisasi Politik, terj. Azyumardi Azra, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1985. Elizabeth K. Nothingham, Agama dan Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi Agama, terj. Abdul Muis Naharong, Jakarta : Rajawali Pers, 1993. Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan; Dialog dan Pluralisme Agama, Yogyakarta : Lkis, 2002. J. Philip Wogaman, Christian Perspectives on Politics, Westminster : John Knox Press, 2000. Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1990),edisi ke-4, jilid VI. M. Amin Abdullah, “Etika dan Dialog Antar Agama”, dalam Th. Sumartana dkk (ed.), Dialog : Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta : Dian/Interfidei, 1994. M. Natsir, Mencari Modus Vivendi Antar Umat Beragama di Indonesia, Jakarta : Media Da‟wah, 1983. Nurcholish Madjid, Islam; Kemodernan dan Keindonesiaan, Jakarta : Mizan, 1987.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
229
------------, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat: Kolom-kolom di Tabloid Tekad, Jakarta : Paramadina, 1999. ------------, Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi, Jakarta : paramadina, 2002. Oka Diputhera, “Kebutuhan dan Tantangan Organisasi-Lembaga Keagamaan Budha dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara”, dalam Mursyid Ali (ed.), Dinamika Kerukunan Hidup Berbangsa Menurut Perspektif Agama-agama; Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Beragama, Jakarta : Balitbang, 1999-2000. Robert N. Bellah and Philip E. Hammond, Varietes of Civil Religion, Sanfransisco : Harper and Row, 1980. Sudjangi (Peny.), Profil Kerukunan Hidup Umat Beragama; Bingkai Sosio Kultural Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, Jakarta : Balitbang Agama, 1996. Syahrin Harahap, Islam Dinamis; Menegakkan Nilai-nilai Ajaran alQur‟an dalam Kehidupan Modern di Indonesia, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997.
230
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)