Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
ii
KATA PENGANTAR Al-hamdulillah segala puji bagi Allah Tuhan yang memiliki kekuasan yang tidak terbatas, tempat mengabdi dan memohon perlindungan.
Berkat
izin dan
pertolong-Nya
penulisan buku yang semulala hasil dari penelitian ini bisa penulis selesaikan tepat pada waktunya. Penulis menyadari dengan tulus hati, bahwa penuliisan ini tidak akan tercapai tanpa bantuan dari semua pihak, untuk itu sepantasnya pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada : Rektor IAIN Raden Intan Lampung, Ketua Lembaga Penelitian IAIN Raden Intan Lampung dan jajarannya yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dalam penulisan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Lampung Selatan, khususnya pihak Kesbangpol dan jajarannya, atas pemberian izin untuk melakukan penelitian ini. Penulis ucapkan terima kasih kepada kawan-kawan di Lembaga Penelitian diantaranya : Bpk. Dr. Syamsuri Ali M. Ag, Bpk. Dr. Shonhaji, M. Ag, Bpak. Dr. Sidi Ritauddin, M. Ag, Mas Budiman Syah, serta semua pihak atas kerja sama dan jasa baik mereka sehingga penelitian ini bisa dilaksanakan. Semoga kebaikan yang diberikan akan bernilai ibadah dan dicatat di sisi Allah.
iii
Tidak kalah penting, penulis ucakan terima kasih kepada istriku tersayang Hj. Siti Sarmiati yang selalu memberi dorongan dan sport kepada penulis untuk selalu maju dan berprestasi. Juga kepada anak-anakku : Farah Fadhilah, Harun Maulana, dan Ahmad Sahal Afia, Karena mereka penulis punya semangat, disipin untuk terus berkarya. Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kekurangan, masih banyak data yang belum tergali, masih banyak fakta yang terlewatkan oleh karena keterbatasan pada penulis. Meskipun penulis sudah berusaha untuk menampilkan laporan terbaik. Akhirnya penulis berharap semoga karya tulis yang sederhana ini bermanfaat, amin.
Bandar lampung, November 2013 Penulis
vii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...................................................................i KATA PENGANTAR TIM PENULIS.......................................ii KATA PENGANTAR KETUA LEMBAGA PENELITIAN............................................................................iv DAFTAR ISI..............................................................................vi BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..................................................1 B. Rumusan Masalah..........................................................18 C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian..................................19 BAB II. LANDASAN TEORI A. Pengertian Dakwah Multikultural..................................21 B. Sejarah dakwah Multikultural........................................34 C. Sumber-Sumber Konflik Sosial.....................................48 D. Hak-Hak Multikultural Dan Kesadaran Beragama dan Sosial Politik..................................................................60 E. Etika Dakwah Pada masyarakat Multikultural.................................................................70 F. Pendekatan Dakwah Multikultural................................92 BAB III. METODOLOGI A. Jenis dan Sifat Penelitian.............................................105
viii
1. Jenis Penelitian................................................105 2. Sifat Penelitian.................................................105 B. Populasi Dan Sampel...................................................106 C. Metode Pengumpulan Data 1. Sumber Data...................................................109 2. Teknik Pengumpulan Data.............................109 3. Teknik Analisa Data.......................................110 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sekilas Tentang Kec. Way Panji.................................112 B. Potret Kehidupan Sosial Keagamaan..........................114 C. Akar Konflik Sosial Di Way Panji..............................120 D. Pandangan Para Da’i Tentang Upaya..........................138 E. Upaya Da’i Dalam Merawat Perdamaian....................148 F. Hubungan Sosial Pasca Konflik Sosial........................157 G. Beberapa Kendala dalam Dakwah Multikultural................................................................160 BAB. V. PENUTUP A. Kesimpulan..................................................................165 B. Saran-Saran..................................................................168 C. Penutup........................................................................169 DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al-Nah : 125).1
Ayat ini menjadi petunjuk dan pedoman (guiden) bagi para da,i dan mereka yang menyiapkan diri
untuk
melakukan tranformasi nilai-nilai ajaran Islam kepada masyarakat. Siapapun dia, setiap mereka yang muslim berkewajiban untuk melakukan dakwah, sesuai dengan kapasitas keilmuan yang dimiliki. Minimal untuk diri sendiri. Hal ini dikarnakan Islam tidak mengenal hirarki kerahiban yang berlaku seperti agama-agama lain. Dakwah sebagai upaya untuk tranformasi nilai-nilai Ilahiyah, merupakan tugas mulia bagi seorang muslim, sekaligus sebagai pelanjut risalah Muhamad Saw. untuk menciptakan dunia yang damai, ramah, dan melindungi 1
. Kementrian Urusan Keislaman, Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Islam Kerajaan Arab Saudi, Al-Qur’an dan Terjemahnnya, (Komplek Percetakan Al-Qur’an Raja Fahad, Madinah, 1430 H/2009 M), hlm.421.
2
hak-hak asasi manusia (human right) .Hal ini sesuai dengan misi dan tugas kerasulan beliau. “ Tidak aku utus engkau (Muhammad) kecuali menjadi rakhmat bagi alam semesta (rakhmatan lil a’lamin) (QS. Al-Anbiya: 107).2 Ayat ini menjelaskan bahwa Nabi Muhammad diutus bukan untuk satu komunitas, satu golongan (etnik) tertentu, untuk bangsa tertentu, generasi tertentu, tetapi untuk semua bangsa, dan semua generasi. Bahkan untuk seluruh isi alam jagad raya. Dengan demikian ajaran yang dibawapun (Islam) juga membawa kebaikan bagi sistem kehidupan bersama di tengah tengah masyarakat yang majemuk dan plural ini. Berdasarkan ayat di atas, menurut Muhammad Tholkhah Hasan, Islam melalui perangkat hukumnya bertujuan menegakkan tatanan masyarakat yang adil, rukun dan penuh kemaslakhatan.3 Selanjutnya Tholkhah Hasan mengatakan, ada tiga hal utama yang menjadi tujuan hukum Islam: Pertama, menegakkan keadilan dalam komunitas muslim, mencakup keadilan sesama muslim, dan terhadap orang bukan muslim. Malah kebencian terhadap suatu kelompok tidak diperbolehkan sampai
2
. Ibid, hlm. 508. . Muhammad Tholkhan Hasan, Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural, (lantabora Press, Jakarta,2005), hlm. 151. 3
3
merusak sikap adil, seperti keadilan hukum, keadilan sosial dan keadilan politik. Kedua, mendidik individu muslim agar menjadi dasar kebaikan yang fundamental bagi masyarakatnya, dengan sikap religius yang tinggi dan sikap etik yang membudaya, seperti takut kepada Allah dimanapun berada dan menjauhi sifat hasud, dengki, sentimen, rakus, sombong dll. Ketiga, mewujudkan kemaslakhatan umum dan mencegah timbulnya kerusakan (mafsadah). Dalam hal ini bisa dikaji bahwa hukum Islam selalu memandang nilai kemaslakhatan dan memacu mewujudkan kemaslakhatan sosial. Dalam hal ini kemaslakhatan yang diinginkan adalah kemaslakhatan hakiki dan mendasar, yang mengutamakan kepentingan umum bukan perorangan atau golongan tertentu.4
Dakwah Multikultural dan Konflik Sosial Konflik sosial seakan menjadi pemandangan rutin di Indonesia yang dahulu dikenal sebagai bangsa yang santun, ramah, riligius, dan memiliki toleransi yang tinggi. Betapa tidak, dalam beberapa tahun terakhir, berbagai peristiwa kekerasan berbau SARA terus menerus terjadi secara beruntun di berbagai tempat. Mulai dari penyerangan dan pengrusakan masjid Ahmadiyah di Bogor, pembakaran Pondok pesantren Syiah di Madura, pelarangan jamaah Gereja Kristen Indonesia Yasmin Bogor untuk membangun gereja dan melakukan kebaktian, pelemparan bom di gereja 4
. Ibid, hlm 152.
4
di Solo. Dan baru-baru ini seperti dilaporkan oleh berbagai media massa juga terjadi pelemparan gereja oleh orang yang tidak dikenal dengan bom molotof
di Makasar Sulawesi
Selatan. Dalam tahun 2011 saja menurut hasil penelitian The Wahid Institut, sebagaimana yang dikutip oleh Achmad Fauzi, ditemukan 62 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan pada tahun 2010 terjadi 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dari 92 kasus yang terjadi, jamaah Ahmadiyah yang paling banyak menjadi korban, disusul jamaah GKI Yasmin Bogor.5 Beberapa peristiwa tersebut mengindikasikan bahwa persoalan kerukunan, toleransi, dan kebebasan berkeyakinan yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan juga merupakan hak setiap warga negara masih menjadi persoalan yang belum sepenuhnya dinikmati bangsa ini. Artinya bangsa Indonesia yang sudah sepakat dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, masih belum sepenuhnya menerima secara ikhlas keragaman, perbedaan yang terjadi diantara mereka. Pertanyaannya adalah, sampai kapan perbedaan itu menjadi sebuah keindahan yang saling melengkapi di negeri ini ? Tentu sang wangtu yang akan menjawabnya.
5
. Ahmad Fauzy, jalan Terjal Kebebasan Beragama, (Lampung Post, Jum’at 20 Januari), hlm. 12
5
Di lampung beberapa peristiwa kekerasan juga terjadi secara beruntun. Mulai dari kasus perebutan lahan di Mesuji antara ratusan
petani penggarap lahan
dengan pihak
perusahaan PT. Silva yang mendapatkan izin hak guna usaha dari pemerintah.Bentrok massa tersebut menelan korban jiwa dan harta benda, dan kasusnya sampai sekarang belum tuntas. Tidak berselang lama dari peristiwa itu, menyusul pecah peristiwa Sidomulyo Kabupaten Lampung Selatan . Peristiwa kekerasan yang berbau SARA ini melibatkan dua warga desa, yaitu Desa Kota Dalam yang yang merupakan warga asli Lampung, dengan Desa Napal yang mayoritas etnis Bali. Penyebabnya dipicu oleh perselisihan antar preman soal uang parkir yang terjadi di pasar Sidomulyo. Kejadian itu sudah dimediasi dan didamaikan oleh petugas dari Polres dan Pemerintah Daerah Lampung Selatan. “Kedua belah pihak sama-sama ikhlas berdamai. Tapi, keesokan harinya, ratusan warga Napal menyerbu desa Kota Dalam,”6 Dalam aksi itu warga Dusun Napal, yang mayoritas pendatang asal Bali, melukai dua warga yang tengah bekerja di ladang. Isu itu membuat warga Desa Kota Dalam membalas. Seluruh rumah warga Desa Napal dibakar, bahkan ada rumah yang di luar Desa Napalpun ada yang ikut dibakar oleh massa yang sudah emosi. Akibat tawuran antar warga itu, 48 rumah terbakar, 6
. Tempo, 25 Januari, 2012
6
dan 27 rumah rusak.7 Peristiwa itu menimbulkan trauma mendalam bagi kedua belah pihak, khususnya bagi warga Desa Napal yang rumahnya habis terbakar. Betapa tidak rumah yang dibangun dengan susah payah dalam waktu lama dan menghabiskan puluhan bahkan ratusan juta, tiba-tiba habis dalam sekejab. Kekerasan ini menimbulkan luka hati dan kesedihan yang dalam . Menurut Fitriyanti, Memang peristiwa kerusuhan itu bukan masalah agama dan suku. Kekerasan Sodomulyo itu murni dipicu oleh persoalan sepele, namun dikait-kaitkan dengan golongan dan suku tertentu” 8. Belum selesai dan tuntas penyelesaian kasus tersebut secara hukum,, menyusul konflik baru yang lebih besar. Kali ini antara warga Desa Balinuraga dan Desa Sidoreno Kecamatan Waypanji dengan warga Desa Agom dan beberapa desa lain di Kecamatan Kalianda Lampung Selatan. Peristiwa memilukan itu terjadi pada 28-29 Oktober 2012 lalu. Akibat perbuatan beberapa pemudanya yang iseng, Desa Balinuraga
7
menjadi ‘luluh lantak’ menjadi sasaran amuk
. Fitriyanti, Membangun Spiritualitas Keagamaan kasus Sidomulyo Lampung Selatan Membara, (Kementrian Agama Indonesia Direktorat Jendral Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Jakarta, 2012), hlm. 4. 8 . Ibid
7
massa dan luapan kemarahan puluhan ribu massa yang datang dari berbagai daerah.9 Kisah tragis dan pilu yang mengakibatkan sedikitnya 14 orang tewas (data resmi kepolisian), versi lain, jumlah korban lebih banyak lagi, yakni 10 orang warga Balinuraga dan 4 orang warga Desa Agom Kecamatan Kalianda.10 Seperti dikatakan oleh Bupati Lampung Selatan Rycho Menoza, sekitar 450 rusak ringan dan berat. Total kerugian mencapai 23 miliar.11 Berbagai aksi solidaritas muncul dimana mana untuk membantu meringankan beban penderitaan korban Waypanji. Pemerintah pusat menurunkan 4 orang mentri untuk meninjau lokasi korban konflik. Dari Kapolri, Menteri Pertahanan, Menteri Sosial, dan Menteri Perumahan Rakyat. Presiden Susilo Bambang Yodoyono meminta, agar kasus Waypanji segera ditangani secara cepat dan tepat, dengan melakukan kordinasi dengan pemerintah daerah. SBY juga meminta kepada kepala daerah,untuk cepat tanggap dengan mendengarkan
suara
masyarakat
agar
semua
potensi
destruktif bisa dicegah.
9
. Budi Santoso Budiman dan Oyos Saroso HN (pen), Merajut Jurnalisme Damai Di Lampung, ( Aliansi Jurnalis Independen, Bandar lampung, 2012), hlm. 4 10 . Ibid. 11 . Tribun Lampung, Minggu 4 November 2012, hlm.1
8
Duka
kerusuhan di Lampung Selatan belum kering,
menyusul bentrokan antar warga di Lampung Tengah. Sedikitnya 13 rumah warga Desa Kusumadadi Kecamatan Bekri dibakar massa dari warga kampung Buyutudik Kecamatan Gunung Sugih Lampung Tengah.12. Peristiwa ini dilatar belakangi meninggalnya salah seorang warga Desa Buyutudik bernama Hairul Anwar (29) yang diisukan dianiaya oleh warga Kusumadadi, karena dianggap mencuri. Melihat tetangganya meninggal, membuat sejumlah pemuda Desa Buyutudik marah dan melakukan pembakaran rumahrumah penduduk Desa Kusumadadi. Peristiwa ini tidak menimbulkan korban jiwa, tetapi banyak masyarakat trauma dan takut, bahkan banyak diantara mereka yang mengungsi di tempat desa lain yang aman. Dan sebagian mengungsi di rumah famili mereka. Peristiwa bentrok antar kampung di Waypanji Lampung Selatan, di Kusumadadi Kecamatan Bekri Lampung tengah, dan beberapa peristiwa kekerasan sebelumnya menjadi potret kelam kerukunan antar etnis, agama, yang pernah terjadi di bumi Lampung yang dahulu dikenal sebagai daerah yang sukses mengelola tranmigrasi. Hubungan sosial diantara warga Lampung baik yang pendatang, maupun etnis asli relatif harmonis dan nyaris tidak bermasalah. Namun 12
. Lampung Post, Jum,at 9 November 2012, hlm. 1
9
belakangan, setelah meletusnya peristiwa kekerasan yang bernuasa SARA tersebut juga meneguhkan pendapat bahwa persoalan integrasi antar etnis di lampung belum selesai. Untuk mendamaikan masyarakat yang terlibat konflik sosial sudah dilakukan oleh semua pihak. Pemerintah daerah sebagai
aparat
pemangku
kekuasaan
didaerah
telah
melakukan langkah kongkrit dengan mengajak semua pihak utamanya tokoh agama, tokoh adat, aparat desa, dan kecamatan untuk bersama sama melakukan rekonsiliasi perdamaian. Kesepakatan damaipun telah ditandatangani. Upacara adat angkat saudara sebagai tanda telah diakhirinya perseteruan digelar, baik di Waypanji maupun di Buyutudik Gunung Sugih Lampung Tengah.13 Pertanyaanya adalah, benarkah setelah damai ditandatangani, mereka benar-benar berdamai untuk selamanya ? ataukah ini hanya perdamaian semu yang sesungguhnya diantara mereka masih menyimpan ‘bara api’ yang satu saat bisa membara lagi. Bukankan kasus Sidomulyo juga telah dilakukan perdamain, mengapa terulang kembali di desa Balinuraga yang berdekatan dengan Waypanji ? Dakwah Multikultural Tawaran Sulusi
13
. Lampung Post, 23 November 2012.
10
Untuk mencapai perdamaian hakiki diantara masyarakat yang bertikai para ahli menawarkan berbagai konsep dan teori yang semua bisa dicoba dan diadopsi. Salah satu upaya untuk merajut kembali nilai-nilai persaudaraan yang rusak oleh emosi yang tidak terkendali adalah melalui gerakan dakwah yang menghargai, menerima perbedaan yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai mahluk Tuhan yang harus dihormati. Atau dengan kata lain dakwah multikultur. Yakni suatu gerakan dakwah yang bukan saja menerima secara ikhlas perbedaan yang ada sebagai sunnatullah yang mesti disyukuri.
Tetapi dalam prakteknya,
para
da’i
juga
memberikan hak-hak orang lain kebebasan untuk beragama, beribadah, berekpresi, sesuai dengan keyakinan, budaya yang dimiliki. Termasuk kepada golongan minoritas, dan orang orang yang termarjinalkan secara ekonomi, politik dan budaya. Karena bagaimanapun juga mereka adalah manusia mahluk
yang
dimuliakan
Tuhan.
Kalau
Tuhan
saja
memulaiakan mereka, mengapa manusia justru sebaliknya?. Dalam kaitannya dengan masalah multikulturalism, Masdar Helmy berpendapat, bahwa bagi bangsa Indonesia, adanya keragaman budaya merupakan kenyataan sosial yang sudah niscaya. Meski demikian, hal itu tidak secara otomatis diiringi
dengan
menunjukkan
positip
sebaliknya.
pula.
Bahkan
Keragaman
banyak
fakta
budaya
telah
11
memberikan sumbangan besar bagi munculnya ketegangan dan konflik.14
Indonesia sebagai negara yang multikultur,
yang hidup beragam agama dan kepercayaan, maka tidak ada pilihan lain kecuali dalam mendakwahkan agama atau kepercayaan
mengikuti
prinsip-prinsip
agama
yang
menghargai perbedaan dan keragaman sebagaimana yang dicontohkan
Nabi
Muhammad
dalam
membangun
masyarakat Madinah. Masyarakat Madinah yang awalnya bernama Yatsrib, adalah sebuah kota dengan penduduk yang beragam suku, dan agama. Ada pemeluk Yahudi, Nasrani, Koptik. Penduduknya juga ada yang asli (Anshor)15 dan para pendatang (Muhajirin)16. Mereka disatukan oleh Nabi dengan berdasarkan konstitusi “Piagam Madinah” atau “Madinah Charter” yang ditandatangani bersama tokoh-tokoh
di
Madinah; yahudi, Nasrani, Musrikin, Islam (Muhajirin dan Anshor)17 . Dalam Piagam Madinah yang berisi 47 pasal isu14
. Masdar Hilmi, dalam. M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural Cross Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan (Pilar Medica, Yogyakarta, 2005), hlm. 79. 15 . Anshor, artinya adalah penolong. Kaum Anshor adalah para penduduk asli Kota Madinah yang dengan sukarela menolong para pendatang yang hijrah bersama Nabi Muhammad Saw. Mereka memberika tempat tinggal, makanan, pakaian, sebagian ladang, dan harta benda mereka untuk kehidupan para pendatang. 16 .Muhajirin, adalah para imigran, atau orang yang hijrah bersama Nabi Muhammad dari Makkah. Mereka tinggalkan harta benda, bahkan keluarga untuk menyelamatkan diri dari kedzaliman kafir Quraish. 17 . Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan Fikih Demokratik Kaum Santri, (Pustaka Ciganjur, Jakarta, 1999), hlm. 210.
12
isu pokok yang diangkat diantaranya masalah monotiisme, persatuan kesatuan, persamaan hak, keadilan, kebebasan beragama, bela negara, pelestarian adat, perdamaian dan proteksi hak-hak warga negara. Dengan Piagam Madinah, Nabi membangun masyarakat Madinah yang multikultur, menjadi masyarakat yang damai, rukun, saling menghargai dan menghormati satu dengan yang lain. Sebuah masyarakat yang dahulu sering bertikai, berseteru, dan membanggakan suku dan kelompok (qabilah) hampir sepanjang waktu. Nabi datang dengan membawa keadilan, keteladanan, dan kerukunan, maka jadilah Madinah kota yang berbudaya tinggi sesuai dengan namanya. Dalam kontek Indonesia yang plural, lebih khusus Provinsi Lampung yang dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk Lampung sebanyak 7.596.115 Jiwa. Jumlah itu hanya sekitar 3 persen dari total penduduk Indonesia. Komposisi etnis Jawa 61,02 %, Banten 3,68 %, Palembang 2,89 %, Bali 1,62 %, Minangkabau 0,84 %, Ogan 0,82 %, Sumendo 0,46 %,, dan etnis-etnis lainnya 3-48 %.18 Sedangkan etnis lampung sendiri sekitar 12 %. Dari angka ini menunjukkan bahwa Lampung adalah tanah harapan bagi semua pendatang. Bahkan Lampung bisa disebut dengan 18
. Djadjat Sudrajat, Catatan Penutup, Merajut Jurnalisme Damai Di lampung (AJI Bandar lampung, 2012), hlm. 185
13
Indonesia mini, karena hampir semua suku di Indonesia ada di sini. Menurut banyak akademisi, Konflik Sidomulyo, yang berlanjut Waypanji menjadi contoh yang kian menguatkan rapuhnya ikatan sosial sesama anak negeri, tidak dihayatinya kebhenikaan, longgarnya tenunan Keindonesiaan.
Dari
sisi dakwah Islam, kasus kekerasan Waypanji, semakin
rapuhnya
nilai-nilai
iman
dan
cermin lemahnya
penghayatan terhadap nilai-nilai agama yang mengajarkan cinta
kasih
dan
persaudaraan,
musyawarah
dalam
menyelesaikan semua permasalahan. Pertanyaannya, lalu dimana fungsi agama yang selalu dikhutbahkan para khatib, setiap hari Jum’at yang dinasehatkan para kyai, ustad, di setiap ada kesempatan ? , diajarkan para guru di sekolah. Pertanyaan juga dimana iman Hindu yang diajarkan para pedanda mereka ? Jika dalam menghadapi isu-isu yang berbau SARA bisa diselesaikan dengan musyawarah dan kepala dingin, justru disambut dengan kemarahan dan tindakan anarkisme ? Menurut
mendiang
Abdurrahman
Wahid,
adanya
berbagai peristiwa kekerasan yang dilakukan dengan kesadaran dan secara kolektif menandakan “ada yang salah”
14
dalam keimanan dan keberagamaan kita.19 Dalam kontek ini, agama seharusnya bisa menjaga dan memanusiakan manusia. Karena maksud diturunkannya agama adalah untuk itu. Sangat disayangkan kalau masih ada pandangan bahwa orang yang berbeda agama, keyakinan, suku, tradisi disikapi sebagai “musuh” atau bukan “kita” atau kafir, yang boleh dimusuhi dan dirampas hak-haknya sebagai manusia. Faktanya memang masih banyak orang yang beragama cara berfikirnya ekskusif, merasa paling benar, dan menganggap orang di luar kelompoknya sebagai “musuh”. Cara beragama yang seperti itu yang mudah menyulut konflik dan keresahan di masyarakat. Padahal agama seharusnya menjadi motivator agar manusia bisa berfikir secara jernih, demi terwujudnya satu sikap masyarakat yang moderat, inklusif dan adil (QS. Albaqarah : 143).20
19
. Maman Imanul Fakih, Fatwa dan Canda Gus Dur, (Kompas, Jakarta, 2010), hlm. 13.
20
.
15
Untuk mendukung terwujudnya perdamaian hakiki di bumi Lampung pasca konflik sosial, para ulama, kyai, ustad, mubalig dan para khatib harus mampu menjadi lem perekat bagi semua pihak masyarakat Lampung, agar kesepakatan damai yang telah dicapai benar-benar mengembalikan kerukunan mereka yang berseteru kepada sikap saling membuka
diri,
memaafkan,
menyayangi,
mengasihi,
persaudaraan sejati. Dan bagi yang menjadi korban, menerimanya sebagai takdir yang mesti diterima secara ikhlas. Untuk itu para da’i (ulama, kyai, ustad, mubalig, tokoh agama), harus memiliki wawasan berfikir dan pendekatan dakwah multikultural, yang menghargai keragaman dan perbedaan sebagaimana yang diajarkan dalam al-Qur’an. Lihat Surat al-Khahfi : 29: “ Dan katakanlah kebenaran itu datang dari tuhanmu, maka barang sipa hendak beriman, hendaklah beriman, dan barang siapa yang ingin kafir, biarlah kafir”.(QS. Al-Kahfi : 29). Islam sangat melarang pemaksaan, menghargai setiap perbedaan, bahkan pemaksaan untuk mentaati Tuhan sendiri adalah hal yang dilarang. Karena keyakinan yang dimiliki seseorang dalam beragama adalah hak asasi yang dijamin
16
oleh Allah21. Dan Allah sendiri tidak menghendaki agar seluruh manusia itu beriman. Lihat firman Allah: “Dan jika tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya, maka apakah kamu hendak memaksa manusia untuk beriman semuanya” (Q.S. Yunus : 99).. Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang anti kekerasan, pemaksaan dalam persoalan keyakinan Akankah kita melakukan pemaksaan agar umat beriman atau mengikuti agama Islam?. Dalam upaya merajut kembali perdamain dan integritas kolektif di Lampung menurut Syarif Mahya, dibutuhkan lem perekat yang bukan secara simbolis , tetapi secara kultural harus dibangun semangat multikulturalisme yang mampu membangun integritas masyarakat Lampung. Disinilah peran tokoh agama, ulama, kyai, ustad, mubalig, dipertanyakan. B. Rumusan Masalah Mengacu pada latar belangan Masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang bisa dikemukakan disini adalah sebagai berikut :
21
. Nurcholish Madjid, Islam Agama dan Kemanusiaan, ( Paramadina, Jakarta, 1996),h. 44
17
1. Apa saja usaha tokoh-tokoh agama Islam dalam menciptakan kerukunan hakiki pasca Konflik sosial di Waypanji Lampung Selatan ? 2. Bagaimana upaya para dai dalam mendakwahkan Islam berwawasan multikultural kepada masyarakat Way Panji lampung Selatan yang hitrogen ? 3. Bagaimana Pola Hubungan Sosial Mayarakat Pasca Konflik Sosial Di Way Panji Lampung Selatan ? 4. Apa kendala yang dihadapi para da’i dalam mendakwahkan Islam yang multikultur tersebut, dalam menciptakan kerukunan masyarakat Kec. Waypani Lampung Selatan yang multi etnis ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian
ini
secara
akademis
bertujuan
untuk
menjawab rumusan masalah : 1. Apa upaya tokoh-tokoh agama Islam (para da’i) dalam upaya menciptakan kerukunan hakiki pasca Konflik sosial di Way Panji Lampung Selatan ? 2. Bagaimana upaya mendakwahkan Islam berwawasan multikultural kepada masyarakat Lampung yang hitrogen ? 3. Bagaimana Pola hubungan Masyarakat pasca Konflik Sosial Di Waypanji Lampung Selatan ?
18
4. Apa kendala yang dihadapi para da’i dalam mendakwahkan Islam yang multikultur tersebut, dalam menciptakan kerukunan masyarakat Lampung yang multi etnis ? Adapun manfaat atau kegunaan penelitian secara akademis,
akan
mengembangkan
teori-teori
pengembangan dan metodologi dakwah bagi masyarakat yang dikaji di IAIN, UIN, STAIN, khususnya di Fakultas Dakwah jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, dan Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam. Bagi para da’i dan aktivis dakwah, penelitian ini diharapkan membuka wacana dalam memahami kondisi masyarakat yang majemuk, multi etnis, multi religi,
sekaligus mampu
memilih pendekatan dakwah yang sesuai dengan kondisi masyarakat, agar dakwah mereka bisa menjadi perekat terciptanya kerukunan secara menyeluruh dan sebenarnya. Bukan kerukunan yang semu dan sesaat. Karena inti dari dakwah,
sesungguhnya
adalah,
terciptanya
kondisi
masyarakat yang tenang, damai, rukun, taat hukum, dan taat beribadah, yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan sebaik-baik ummat (khairul ummah) dan sebaikbaik anggota masyaarakat (khairul bariyyah) di tengah perbedaan yang ada.
19
19
BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Dakwah Multikultural Dakwah multikultural terdiri dari dua kata: Yakni “da’wah” dan “multikultural”. Dakwah secara etimologi berasal dari bahasa arab : “da’a- yad’u- da’watan”, Artinya ajakan, seruan, panggilan.1 Secara istilah, menurut Asmuni Sukir dakwah meliputi dua kegiatan pembinaan, dan pengembangan. Pembinaan, maksudnya usaha mempertahankan, melestarikan dan menyempurnakan umat Islam agar mereka tetap dalam iman kepada
Allah,
dengan
jalan
mengerjakan
syariatnya.
Pengembangan adalah usaha untuk mengajak orang yang belum beriman agar masuk dalam keyakinan Islam, agar mereka hidup bahagia dunia akhirat.2 Secara subtansial filosofis, dakwah bisa segala rekayasa dan rekadaya untuk mengubah penyembahan selain Allah menuju kepada tauhid, mengubah kehidupan yang tidak adil kepada yang lebih adil, yang penuh dengan ketenangan batin dan kesejahteraan lahir berdasarkan nilai-nilai
1
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, (Al-Ihlas, Surabaya, 1983), hlm.17. 2
Ibid, hlm. 20.
20
Islam. 3 Dari pendapat di atas, penulis pahami bahwa, dakwah segala usaha muslim dewasa untuk mengajak orang lain, dan merubah situasi, dari yang tidak baik kepada yang lebih baik berdasarkan pandangan agama Islam, susila dan budaya masyarakat. Caranya bisa melalui lisan seperti : Memberi nasehat, ceramah, khutbah dll. Dengan tulisan seperti : Menulis surat, membuat opini di media, menulis di buku dll. Dengan perbuatan, seperti: Memberi bantuan korban bencana, memberi beasiswa, memberi lapangan pekerjaan, menjadi teladan bagi keluarga dan masyarakat, dan tindakan lain yang bisa membuat suasana lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan
kata
multikultural, secara etimologi dibentuk dari kata multi, yang berarti banyak, kultur, yang berati budaya.4
Secara hakiki
makna dari kata multikultural itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dengan komunitasnya masingmasing yang unik. Dengan demikian masing-masing individu merasa
dihargai
komunitasnya. 5
dan
bertanggung
jawab
terhadap
Makna kultur menurut Conrald P. Kottak
(1989) sebagaimana yang dikutip Choirul Machfud, pertama, kultur adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus. 3
. Asep Muhyidin dan Agus Ahmad Syafii (ed), Metode Pengembangan Dakwah, (Pustaka Setia, Bandung, 2002),hlm.28 4
Choirul Machfud, Pendidikan Multikultural, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007), hlm.75 5
Ibid,hlm. 75.
21
General artinya setiap manusia di dunia ini mempunyai kultur, dan spesifik , berarti setiap kultur pada kelompok masyarakat adalah variasi antara satu dan lainnya, tergantung dengan kelompok masyarakat mana kultur itu berada. Setiap manusia mempunyai kultur dan mereka hidup dalam kultur mereka sendiri-sendiri. Orang Jawa Tengah dengan Jawa Timur meskipun sama-sama Suku Jawa, mereka mempunyai kultur yang berbeda. Ini bisa dilihat dari gaya bahasa dan budaya lokal yang berbeda-beda.6 Kedua, kultur adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama yang menjadi aktribut bagi individu sebagai dari anggota masyarakat. Kultur secara alamiah, ditranformasikan melalui masyarakat. Ketiga, kultur adalah sesuatu yang bersifat adaptif. Artinya, kultur merupakan sebuah proses bagi sebuah populasi untuk membangun hubungan yang lebih baik dengan lingkungan di sekitarnya, sehingga semua anggotanya berusaha mempertahankan hidup dan keturunnanya.7 Berdasarkan kreteria sebagaimana dijelaskan di atas, dapat dijelaskan secara umum bahwa kultur adalah
ciri-ciri
sikap dan tingkah laku manusia yang terdapat pada suatu wilayah tertentu yang membedakan satu dengan lainnya. Kultur 6
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural Cross Cultural , Ibid.hlm.6. 7
Ibid.hlm.9
22
juga bisa diartikan tata cara dan tingkah laku manusia dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Dengan demikian makna multi kultur, berarti banyak ciri-ciri, sikap dan tingkah laku manusia yang berbeda-beda dari sebuah bangsa (nation) dalam suatu negara (state). Ciri-ciri disini bisa luas, bisa bahasa; suku; agama; keyakinan, adat istiadat; warna kulit; dll. Dengan kata lain
masyarakat multikultural, berarti
sekelompok manusia yang tinggal dan hidup di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu dengan lainnya. Setiap masyarakat akan memiliki kebudayaan masing-masing yang akan menjadi ciri masyarakat tersebut.8 Kalau dihubungkan dengan sebuah paham atau idiologi atau
cara
pandang,
maka
multikultural
akan
menjadi
multikulturalisme, yang berarti cara pandang, sebuah faham, atau gagasan yang terkait dengan cara pandang tersebut, kebijakan, penyikapan dan tindakan oleh masyarakat suatu negara yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan lainnya, namun punya semangat kebangsaan yang sama untuk
8
. Wikipedia.org/wiki/multikulturalisme # sejarah_multikulturalis,diunduhRabu 12 September 2012.
23
mempertahankan kemajemukan tersebut (M. Atho’ Mudhar, 2002: 45).9 Dari pengertian tentang dakwah dan multikultural sebagaimana dijelaskan di atas, maka bisa diambil suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan dakwah multikultural adalah: Pertama, Usaha-usaha yang dilakukan oleh umat Islam (da’i)
mengajak orang lain
untuk mengikuti ajaran Islam
dengan cara bijak10 dan menghormati perbedaan atau ciri-ciri atau karakter karakter suatu komunitas, faham, keyakinan, agama, budaya, etnis, bahasa, dan lainnya milik
orang lain
(mad’u) dengan semangat kebangsaan dan kemajemukan. Kedua, dakwah multikultural adalah dakwah yang dilakukan dengan menghormati, dan memberikan hak-hak kultural warga negara tanpa memperhitungkan apakah ia 9
. M. Atho Mudhar, Sejarah Multikulturalism, Wikipedia.org/Wiki/Multikulturalism # sejarah_multikulturalism, diunduh Tanggal 12 September 2012. 10
. Dakwah secara bijak diperintahkan oleh al-Qur’an, “serulah manusia kepada jalan tuhanmu dengan jalan hikmah dan pelajaran yang baik, dan berbantah-bantahlah dengan cara yang baik pula...(al-Nahl : 125). Menurut said Ali Bin Qathani, jika para da’i bisa melaksanakan dakwah dengan strategi dakwah yang bijak, maka ia akan lebih mudah dalam mencapai tujuan da’wahnya. Baca Said Ali Bin Wahif Al-Qathani,” al-hikmah fi al-da’watu ila Allah”, (terj) Maskur Hakim dkk, Dakwah Islam dakwah Bijak, (Gema Insani Press, Jakarta, 1994), hlm. 84
24
mayoritas atau minoritas, apakah kulit putih atau kulit hitam, apakah warga negara asli atau pendatang, apakah dia pribumi atau nonpribumi. Selama dia manusia, maka hak-hak sebagai manuasia perlu dihormati dan dijaga. Itulah semangat dakwah yang dibangun oleh Rasulullah yang tidak membeda-bedakan antara umat manusia, berdasarkan suku, warna kulit , bahasa, adat istiadat. Karena Islam datang untuk dunia, bukan hanya untuk suku- suku di Arab saja, tetapi rahmat untuk alam dunia. Dakwah dengan pendekatan multikultural ini sangat penting, mengingat Indonesia adalah negara multinasional, polietnis, sebagaimana yang digambarkan
Will Kymlicka
sebagai ethnic nation,(kumpulan dari berbagai suku)11 dimana kerusuhan SARA sering terjadi dan banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok etnis yang memiliki kekuatan untuk memerintah sendiri. Beberapa contoh misalnya, sentimen anti China, konfkik Etnis Madura dan Dayak, konflik agama di Maluku, gerakan Aceh merdeka, Gerakan etnis Papua, tuntutan merdeka masyarakat Riau dll adalah gerakan-gerakan vertikal yang dilakukan oleh “minoritas-minoritas nasioanal” berbagai gejolak itu kalau tidak dikelola dengan tepat akan menjadi
11
.Will Kymlicha, Multikulcural Citizenship, a liberal Theory of Minority right, Oxford University, 1995.
25
kekuatan sentrivugal yang bisa mengancam keutuhan NKRI.12 Disisi lain pada masa Orde Baru hegemoni kekuasaan yang fasis tidak memberikan kesempatan kepada kelompok minoritas untuk berekpresi mengembangkan diri. Semua kelompok minoritas harus mengikuti mayoritas
dengan cara
asimilasi dan pemaksaan.13 Dalam pandangan multikulturalisme semua kelompok sosial dan budaya, harus diberi tempat yang sama, akses yang sama untuk pengembangan dan eksistensi diri, agar tidak ada lagi kelompok yang merasa dianaktirikan dan dibiarkan, apalagi sampai dikekang dan dikurangi hak-hak sosial, politik dan ekonominya.
Pengekangan
akan
melahirkan
kekecewaan
komunal yang pada titik tertentu menjadi pemicu ketegangan sosial, sebagaimana berbagai kasus kekerasan yang terjadi di tanah air belakangan ini, seperti kekerasan Sidomulyo, dan Waypanji Lampung Selatan, yang menurut Syarif Makhya juga dipicu
oleh
ketidak
adilan
kebijakan
pemerintah
yang
menyebabkan etnis Lampung asli terabaikan, dibanding etnis pendatang seperti Jawa dll. Yang daerahnya lebih cepat maju,
12
. F. Budi Hardiman, Belajar dari Politik Multikulturalisme, dalam pengantar buku Will Kymlicka, (LP3ES, Jakarta, 2002), hlm. xvi 13
. Ahmad Suaedy, Legacy Gus Dur, Ibid, hal.8
26
karena didukung sarana dan fasilitas yang lebih baik, sementara desa-desa atau wilayah Etnis lampung cenderung diabaikan14. Adapun
karakteristik
dakwah
multikultural
yang
membedakan dengan dakwah pada umumnya adalah : Pertama, adanya pengakuan dari subyek atau pelaku dakwah akan adanya keragaman budaya, adat istiadat, (culture) yang ada di masyarakat dan menerimanya sebagai sebuah kekayaan yang perlu dipelihara dan dilestarikan, selama adat dan budaya itu tidak bertentangan dengan spirit ajaran agama Islam. Sebagai contoh orang Jawa yang biasa dengan tradisi selametan sebelum memulai sebuah pesta atau hajat seperti perkawinan, sunatan, kelahiran, kematian, ulang tahun, peresmian kantor
dll.15
14
.Syarief Makhya, “Kerusuhan Antar Etnis Dan Problem Integrasi Di Lampung”, dalam Budisantoso Budiman, Oyos Suroso (Peny), Merajut Jurnalisme Damai Di Lampung, (Aliansi Jurnalistik Bandar lampung, 2012), hlm. 55 15
Selametan, diambil dari kata selamat artinya, ritual yang dilakukan untuk mohon keselamatan dari Tuhan, dengan mengumpulkan sejumlah orang dan membaca do’a-doa tertentu yang diyakini bisa mendatangkan keselamatan. Selametan adalah sebuah tradisi yang sudah ada dan hidup di tengah masyarakat Jawa secara turun-temurun. Pada masa Hindu dan Budha, do’a atau mantra yang dibaca adalah mantra yang diajarkan oleh agama Hindu dan Budha, dan permohonan do’a juga dialamatkan kepada para Dewa-Dewa menurut keyakinan mereka. Ketika Islam datang di Jawa, acara selamatan masih ada dan dipelihara oleh para kyai dan ulama, d mantra atau do’a yang berbau ajaran Hindu dan Budha digantinya dengan membaca kalimat-kalimat yang baik sesuai ajaran Islam, kemudian ditutup do’a mohon keselamatan. Selesai do,a biasanya dihidangkan makanan dan minuman sesuai kemampuan yang punya hajat
27
Kedua, menghargai keragaman dan perbedaan pendapat sebagai sunantullah yang tidak bisa dihindarkan, dan menyikapinya sebagai rakhmat.
Manfaat
dari kemampuan
menghargai
perbedaan pendapat ini akan lahirlah sikap saling menghormati, menghargai, toleran, dan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain yang berbeda pandangan dan keyakinan.
Ketiga,
menjaga hak-hak kultural warga masyarakat, baik yang mayoritas maupun yang minoritas agar tidak dirampas oleh orang lain, maupun oleh kekuatan negara atau kekuatan mayoritas. Hal ini perlu dijaga agar tidak terjadi tirani mayoritas atas minoritas, sebagaimana
yang sering terjadi dan selalu
kelompok minoritas menjadi korban. Menjaga hak-hak kultural warga negara juga dimaksudkan agar hubungan baik diantara warga masyarakat terus terpelihara dengan baik. Adapun hakhak kultural tersebut meliputi : a. Hak untuk memilih dan menentukan keyakinan atau beribadah sesuai dengan kepercayaa dan keyakinan; b. Hak untuk berusaha dan mendapatkan kekayaan ; c. Hak untuk berpendapat menyampaikan gagasan, pikiran dan berekpresi; d. Hak untuk hidup dan meneruskan keturunan; e. Hak mendapatkan ketenangan dan keselamatan jiwa.
(shokhib al- hajat). Sebelum pulang jamaah yang diundang diberi bawaan makanan (berkat) untuk dibawa pulang dimakan bersama keluarga.
28
Keempat, sebagai penghargaan atas budaya yang ada di masyarakat, menjadikan budaya itu sebagai aset yang berharga dan memanfaatkan untuk kepentingan dakwah, misalnya dijadikan media untuk berdakwah. Contoh para ulama dan kyai menggunakan seni budaya yang hidup di lingkungannya sebagai media dakwah. Misalnya, para Wali Sembilan (Walisongo) di Jawa menggunakan wayang dan gamelan sebagai media untuk mengumpulkan masyarakat kemudian dinasehati dan diberi informasi tentang ajaran agama Islam. Demikian halnya dengan seni budaya yang lain seperti Ludruk, Gambus, Nasid, Rebana, Sandiwara, dan lainnya,
bisa
dimanfaatkan
sebagai
media
dalam
menyampaikan pesan dakwah kepada masyarakat. Masingmasing daerah memiliki budaya, adat dan kesenian yang berbeda yang dihormati, disenangi dan dijunjung tinggi oleh masyarakatnya, semua bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dakwah. B. Sejarah Dakwah Multikultural Di Indonesia Untuk
memperoleh
gambaran
sejarah
dakwah
multikultural di Nusantara tidak bisa lepas dari sejarah masuknya Islam di Indonesia yang merupakan pengantar pembicaraan mengenai kedatangan Islam di negeri ini. Menurut Alwi Syihab, meskipun terdapat banyak versi mengenai awal kedatangan Islam, namun secara umum bisa
29
dikelompokkan menjadi dua perspektif atau dua pandangan yang masing-masing punya argumen pendukung. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa Islam datang di Nusantara pada ke-7 H/13 M. Kedua, Islam datang abad pertama Hijriyah.16. Beberapa tesis berikut menggambarkan perbedaan pandangan tersebut : 1. Islam masuk ke wilayah Nusantara setelah jatuhnya kota Bagdad 656 H/1258 M, ketika itu banyak ulama hijrah ke Timur Jauh untuk menghindari kejaran pasukan Mongol. Penduduk wilayah Pantai Utara mengenal Islam berkat kedatangan mereka dan para pedagang muslim yang datang mencari suaka politik atau keamanan. Tesis ini mendapat dukungan dari orientalis Snouck Hurgronje.17 2. Masyarakat Islam sudah ada di wilayah ini setelah kedatangan tasawuf pada abad ke-7. Pendapat ini diperkuat oleh orientalis Johns yang beranggapan bahwa keberadaan tulisantulisan dan karya sufi dapat mempersatukan umat Islam setelah jatuhnya bagdad untuk bangkit melakukan dakwah Islam. Mereka berhijrah melewati batas-batas negeri sendiri ke berbagai negeri lainnya membawa ajaran dan misi Islam.18 16
Alwi Syihab, Islam Sufistik, Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini Di Indonesia, (Mizan, Bandung, 2001), hlm. 5 17
. Snouck Hurgronje, De Islam in Nederlandische Indie, (Leipziq; 1993), hlm. 361 18
. AH. Johns, Muslim Mystic and Historical Writing, Penj, Taufik Abdullah,( Jakarta, 1997), hlm. 119
30
Perspektif kedua, mengasumsikan datangnya Islam ke Nusantara pada abad pertama Hijriyah, didasarkan pada argumen berikut : Pertama, catatan resmi dari jurnal China pada periode Dinasti Tang 618 M, yang secara ekplisit menegaskan bahwa Islam sudah masuk Timur Jauh, yakni China dan sekitarnya pada abad pertama Hijriyah, melalui lalu lintas Laut dari bagian barat Islam.19 China yang dimaksud pada saat itu adalah gugusan pulau-pulau di Timur Jauh termasuk Indonesia. Jurnal China juga mengisyaratkan adanya pemukiman Arab di China yang penduduknya diizinkan Kaisar untuk sepenuhnya menikmati kebebasan beragama, sedangkan orang Islam lebih memilih sendiri pemimpin mereka yang disebut Imam. Dan sejak itu perdagangan Indonesia mulai maju dan lancar.20 Jadi pengenalan orang Arab terhadap Kepulauan Indonesia, seumur dengan pengetahuan mereka terhadap China. Dengan demikian tidak ada halangan untuk menetapkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah. Yaitu, pada masa pedagang-pedagang muslim memasuki China karena
19
. Sartono Kartodirdjo, Sejarah Nasional Indonesi, (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1997), hlm. 73. 20
. Ibid.
Vol.II
31
kedatangan orang-orang Arab membawa Islam ke China melalui jalaur laut lama.21 Proses penyebaran dakwah di Nusantara tidak bisa dipisahkan
dengan
para
da’i
sufi
yang
telah
berjasa
memperkenalkan Islam ke Indonesia. Menurut Simuh22, proses dakwah atau Islamisasi bisa dilacak melalui perkembangan tasawuf atau mistik Islam.23 Perkembangan tasawuf di Jawa dan Nusantara banyak dipengaruhi oleh mistikus Islam, seperti: Abu Yazid Al-Bustomi (875 M), Husain bin Mansur Al-Hallaj (922M) Ibnu ‘Arabi (1240M), Muhammad Ibnu Fadhillah yang mengarang kitab Al-Mursalah Ila Rῠh al-Nabi.24 Penyebaran Islam yang berkembang secara pesat di kawasan Asia Tenggara berkat peranan dan kontribusi tokohtokoh tasawuf adalah sebuah kenyataan yang diakui oleh mayoritas sejarawan dan peneliti. Hal ini dipengaruhi oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dalam menyiarkan agama. Tasawuf memang memiliki kecenderungan 21
. Alwi Syihab, Islam Sufistik, Ibid, hlm. 7.
22
. Dr. Simuh adalah seorang ahli tentang sufisme dan mistisisme Jawa, dosen senior Pascasarjana Uin Sunankalijaga Yogyakarta. 23
. Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, (PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta, 1998), hlm. 5 24
Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga Penyebaran Islam Di Jawa Berbasis Kultural, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004), hlm. 1
32
lebih terbuka dalam menerima perbedaan dan berorentasi kosmopolitan25. Menurut Abu Al-A’la Al-‘Afifi, kehidupan spiritual pada dasarnya bukan hal baru bagi Islam, melainkan sudah terlebih dahulu hidup dan berkembang di setiap negeri yang dimasuki Islam. 26 Jika Islam hakekatnya adalah agama terbuka yang menghargai perbedaan dan tidak mempersoalkan perbedaan etnis, ras, bahasa, dan letak geografis, maka tasawuf Islam telah membuka wawasan lebih luas lagi bagi keterbukaan meliputi agama-agama. Oleh karena itu para sufi dimanapun mereka singgah dan tinggal untuk menyiarkan Islam mereka lakukan tanpa kekerasan, oleh karena jasa baik dan sifat-sifat mereka yang terpuji seperti suka memberi tanpa mengharapkan imbalan. Mereka itu seperti yang digambarkan oleh Allah sebagai orangorang yang tidak terhalang oleh perdagangan dan jual beli untuk tetap menjalin hubungan dengan Allah (QS. Al-Nur : 37). Keberhasilan mereka dalam berdakwah banyak dipengaruhi oleh kemampuan berkomunikasi dengan kalangan masyarakat kecil dengan memberikan keteladanan serta pelayanan kepada mereka dengan penuh 25
26
keihlasan dan kesantunan sebagai buah dari
Alwi Syihab, Islam Sufistik,Ibid, hlm. 13
Abu Al-A’la Al-Afifi, Al-Thashawwuf, Al-Tsaurah Al-Ruhiyyah fi AlIslam, (Kairo Dar Al-Ma’arif, 1963), hlm. 15.
33
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Dengan keteladanan ini , penduduk menjadi simpati kemudian memeluk Islam serta menyebabkan tersebarnya Islam di seluruh penjuru Indonesia, sehingga negeri ini secara berlahan terbebas dari penyembahan terhadap animisme27 dan syirik. Suatu cara berdakwah yang masih relevan untuk dicontoh sampai saat ini.28 Menurut Azra, kedatangan pedagang muslim dari Arab, Persia dan anak Benua India yang mendatangi Kepulauan Nusantara tidak hanya berdagang, tetapi dalam batas tertentu juga menyebarkan Islam kepada penduduk setempat. Proses penyiaran Islam lebih banyak dilakukan oleh guru sufi yang sejak akhir abd ke-12 datang dalam jumlah yang lebih besar.29 Sejalan
dengan
pendapat
Azra,
Alwi
berpendapat, pada umumnya mereka para guru sufi
Syihab tidak
membawa bendera tertentu kecuali Islam dan Ahl al-Sunnah wa Al-Jama’ah. Metode dakwah yang digunakan oleh para guru tasawuf Sunni30 dalam menanamkan nilai-nilai ajaran Islam
27
. Animisme, adalah faham yang meyakini bahwa setiap benda memiliki roh yang bisa mendatangkan keselamatan da balak. 28
Alwi Syihab, Islam Sufistik,ibid ,hlm. 14.
29
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Nusantara Abad XVII dan VVIII (Mizan, Bandung, 1994), hlm. 17 30
Tasawuf Sunni adalah ajaran tasawuf yang mengintegrasikan antara tasawuf falsafi dengan tasawuf akhlaki sebagaimana yang diajarkan
34
melalui keteladanan yang baik sebelum berkata31. Lebih jauh Alwi
Syihab mengatakan bahwa Islam datang di Nusantara
dengan cara damai tanpa kampanye militer, atau tanpa dukungan pemerintah. Para da’i yang melakukan dakwah juga tidak memiliki matif apapun selain untuk menunaikan tugas agama tanpa pamrih.32 Meskipun terdapat kesepakatan dikalangan sejarahwan dan para orentalis serta peneliti Indonesia, bahwa tasawuf adalah faktor terpenting dalam proses penyebaran Islam di Indonesia, namun menurut Azrra ada sebagian dari mereka yang tidak menyukai tasawuf, diantara mereka adalah Muhammad Bin ‘Abd Wahab di semenanjung Arabia dan Utsman bin Fuadi di Afrika Barat yang lebih menyenangi dengan pendekatan fikih dan cara-cara radikal, yang pada gilirannya juga ditiru sebagian
oleh Al-Ghazali (1111 M), yang kemudian banyak diikuti oleh kalangan pesantren di Indonesia. Pemikiran Al-Ghazali dalam hal tasawuf ini tertuang dalam kitab Ihya’ Ulum Al-Din (kebangkitan ilmu-ilmu agama), Minhaj AlA’bidin (Metodologi orang yang ahli ibadah), dan Bidayah Al-Hidayah (Bermulanya petunjuk). Buku-buku tasawuf karya AlGhazali ini menjadi bacaan wajib bagi para santri di pesantren-pesantren.Bahkan beberapa pesantren tewrtentu mensyaratkan kepada para santrinya untuk mendalami kitab-kitab tersebut sebagai bekal menjadi kiai atau ulama yang memiliki kedalaman ilmu dan sekaligus akhlakul karimah, sebagaimana yang dimiliki Al-Ghazali. 31
Alwi Syihab, Islam Sufistik,Ibid, hlm. 38.
32
Alwi Syihab, ibid.
35
da’i yang melakukan dakwah di Nusantara, semacam gerakan Perang Padri di Minangkabau.33 Dari keterangan ini, menurut Abdurrahman Wahid bahwa Islam disebarkan tidak semata-mata melalui tasawuf, tetapi juga melalui metode non tasawuf atau dengan pendekatan fikih yang diyakini oleh pengikutnya. Dengan demikian ada keragaman metode penyiaran Islam di Nusantara, namun metode tasawuf yang digunakan para da’i utamanya para wali sembilan (Walisongo) di tanah Jawa yang dikenal toleran dan akomodatif terhadap budaya dan keyakinan setempat lebih dominan dibanding dengan metode fikih yang cenderung kaku dan intoleran dengan perbedaan yang ada. Karena pendekatan fikih akan melihat sesuatu masalah berdasarkan pendekatan hukum : Halal haram, wajib, sunah, makruh, mubah . Dakwah dengan pendekatan fikih menurut Jalaluddin Rakhmat sering menimbulkan konflik dan perpecahan di kalangan masyarakat.34 33
Perang Padri adalah perang antara kaum tua yang menerima tasawuf dengan kaum muda yang menolaknya yang berlangsung selama enam belas tahun (1822-1838), yang kemudian dihentikan oleh kekuasaan Belanda (Jendral De Cock). Kaum tua menerima kedudukan ninik mamak yang berarti adanya masyarakat matriakal di Minangkabau, suatu hal yang tidak terdapat dalah hukum Islam. Baca Abdurrahman Wahid dalam pengantar bukunya Alwi Syihab” Islam Sufistik” hlm. xxvi. Juga baca dalam Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Nusantara, ibid. Hlm.18. 34
hlm. 12
. Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal (Paramadina Jakarta, 2003),
36
Sedangkan metode dakwah dengan pendekatan tasawuf atau akhlak, akan lebih toleran dan bisa menerima terhadap perbedaan budaya, keyakinan, suku, ras sebagaimana yang digunakan oleh da’i sufi Sunni itulah yang menurut Purwadi disebutnya sebagai dakwah agama Islam berbasis kultural.35 Bukti keberhasilan dakwah dengan pendekatan kultural bisa dibuktikan
mulai dari ujung timur sampai ujung barat
Pulau Jawa hampir semuanya bisa diislamkan oleh para wali. Meskipun ada kantong-kantong yang tetap menjalankan ajaran Hindu dan Budha, tetapi boleh dibilang kegiatan penyebaran Islam sangat berhasil. Bisa dikatakan bahwa Islam menjadi agama mayoritas yang dipeluk orang Jawa pada umumnya. Keberhasilan tersebut tidak bisa lepas dari peran para wali Songo
dalam meramu sikap hidup Islami dan sikap hidup
Jawa.36
Kemampuan
untuk
mempertemukan
dua
kebudayaan dan keyakinan yang berbeda untuk menjadi sebuah keyakinan baru yang harmoni dengan tidak mengorbankan salah satunya adalah sebuah terobosan luar biasa, yang hanya bisa dilakukan oleh ulama atau da’i yang memiliki pandangan dan wawasan yang luas.
Faktor
lain
yang
menentukan
keberhasilan dakwah para wali adalah kemapuan menggunakan seni, adat istiadat dan kebudayaan setempat. Para da’i pandai 35
36
. Purwadi, Dakwah Sunan kalijaga, ibid, hlm. Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga , Ibid, hlm. 86.
37
membaca kecenderungan dan keinginan audien. Mereka melakukan modifikasi adat istiadat dan tradisi setempat sedemikian rupa agar tidak bertentangan dengan dasar-dasar Islam. Orang-orang Indonesia sejak dulu memiliki kebiasaan “begadang” semalam seuntuk, yang terkadang diisi dengan membaca mantra-mantra tertentu yang diyakini. Oleh para da’i hal tersebut dipahami sebagai fenomena religiusitas yang tinggi. Dengan kearifan dan cara pendekatan yang baik para da’i meyakinkan kepada masyarakat bahwa Islam menawarkan hubungan yang lebih baik dengan Tuhan. Dengan penjelasan yang persuasif mereka bisa mengalihkan kebiasaan” begadang” yang tidak Islami dan mengisinya dengan sebuah pengajian atau dzikir bersama, yang dalam bahasa Alwi Syihab disebut “halaqah dzikir”.37 Demikian halnya pada malam menjelang acara-acara pernikahan, tasyakuran kelahiran bayi, khitanan para da’i memperbolehkan pertunjukan musik diiringi dengan pujian kepada Nabi Muhammad Saw, disamping musik tradisional seperti
gamelan
yang
menjadi
kebanggaan
kebudayaan
tradisional Indonesia, dan paling digemari orang Jawa. Para da’i
mengunakan
gamelan
dan
seni
tradisional
untuk
memperkenalkan ajaran Islam yang fleksibel. Lebih dari itu menurut Prof. A.H. John (Australia National University), sebagaimana yang dikutip Abdurrahman 37
Alwi Sihab, Islam Sufistik, ibid.40
38
Mas’ud, mereka para da’i memiliki keampuhan spiritual healing atau penyembuhan berbagai macam penyakit rakyat dengan dukungan ekonomi mereka yang cukup kuat.38 Posisi mereka dalam sosiokultural dan religius yang menawan menjadi daya tarik bagi masyarakat. Sehingga bisa dikatakan bahwa Islam tidak akan pernah menjadi the riligion of Java jika para da’i tidak mengakar di masyarakat.39 Dari penjelasan di atas bisa dipahami bahwa, dakwah Islam di Nusantara berhasil karena para da’i mampu memilih dan menggunakan pendekatan kultural yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat Nusantara, atau pendekatan kearifan lokal (local wisdom). Jika saja para da’i waktu itu memilih pendekatan militer atau kekuasaan, hampir bisa dipastikan mereka (para da’i) akan menghadapi kesulitan-kesulitan dan ditolak oleh masyarakat, lantaran masyarakat belum siap meninggalkan tradisi yang mereka yakini dan kebiasaan yang mereka kerjakan secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Karena mereka menganggap apa yang mereka kejakan sebagai kebaikan. C. Sumber-Sumber Konflik Sosia. 38
.Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, (Kencana Prenada group, Jakarta, 2006), hlm. 56 39
. Ibid.
39
Konflik dan harmoni seakan menjadi pasangan yang tak terpisahkan, dan sudah menjadi sunnatullah atau hukum alam, layaknya ada siang ada malam, ada lelaki ada perempuan, ada muda ada tua dan seterusnya. Bahkan konflik seakan menjadi bagian dari dinamika kehidupan suatu masyarakat itu sendiri. Menurut Ichsan Malik dkk, konflik-konflik sosial baik yang realistik maupun yang non realistik dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu : (1) hubungan subyektif, (2) Kepentingan, (3) datadata, (4) nilai-nilai, dan (5) Struktur.40. Konflik dapat bersumber dari faktor obyektif, seperti kesenjangan sosial, yang ditunjukkan dengan prilaku deskruktif, pengangguran, kemiskinan, penindasan, tindak kejahatan dan sebagainya.41 Selain itu menurur Gertz dalam Roberston, 1988, faktor-faktor idiologis juga dapat menjadi sumber konflik, karena dapat menyuburkan sentimen , segregasi sosial, dan kebutuhan mencari kambing hitam. Selain
faktor
subyektif,
seperti prasangka
sosial
(prejudice), yaitu sikap kelompok tertentu yang reaksinya terhadap kelompok lain cenderung ke arah negatif, tidak 40
. Ichsan malik dkk, Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik Atas Sumber Daya Alam, (Yayasan Kemala, Jakarta, 2003), hlm 149-150. 41
. Fisher, Simon dkk, Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi Untuk Bertindak, (SMK Grafika Desa Putra, Jakarta, 2001), hlm.4.
40
menyenangkan, dan sebagai prediposisi bertindak dengan caracara yang “berjarak”. Prasangka sosial berhubungan dengan stereotip
yang
berpengaruh
terhadap
tindakan-tindakan
kontraproduktif. Ini didasari karena ego kelompok dan terlalu mudah mengeneralisir penilaian negatif terhadap kelompok lain, sehingga jarak hubungan semakin lebar, kurang akrab, tertutup dan merugikan. Konflik laten seperti ini menurut Hocker dan Wilmot, bisa berkembang menjadi konflik terbuka dengan kekerasan apabila para pihak yang berkonflik tidak puas dengan hasil yang dicapai dan berpikir bahwa mereka akan kalah dalam memperoleh hasil dari konflik.42. Konflik sosial juga dapat
dilihat
dari intensitas
potensialnya berdasarkan dua katagori perbedaan akses vertikal dan horisontal. Menurut Usman Pelly sebagaimana dikutip Hartoyo, katagori perbedaan akses vertikal karena faktor usaha, seperti
penghasilan
(ekonomi,
pendidikan,
pemukiman,
pekerjaan, dan kedudukan sosial politik). Sedangkan katagori perbedaan akses horisontal lebih karena faktor warisan, seperti : etnis, dan ras atau asal usul keturunan, bahasa daerah, adat istiadat , agama dan keyakinan, termasuk faham keaagamaan, tata cara berpakaian atau dikusumsi, 42
jenis dan macam makanan yang
budaya material lainnya. Apabila faktor akses
. L. Joice Hocker and William Wilmot, Interpersonal Conflict, Secon edition, (Wm.C. Brown Publishers, USA, 1985), hlm. 29-30.
41
vertikal berhimpitan dan diperkuat dengan faktor horisontal, maka intensitas potensi konflik akan tinggi.43 Sementara menurut Fitriyanti faktor-faktor konflik sosial itu beraneka ragam, diantaranya: 1. Komunikasi : Pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit dimengerti atau informasi yang mendua dan tidak lengkap serta gaya individu manajer yang tidak konsisten. 2. Struktur : Pertarungan kekuasaan antar departemen dengan kepentingan-kepentingan atau sistem penilaian yang bertentangan, persaingan untuk merebutkan sumber daya yang terbatas, atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok kegiatan kerja untuk mencapai tujuan mereka. 3. Pribadi : Ketidak sesuaian tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi karyawan dengan prilaku yang diperankan pada jabatan mereka dan perbedaan dalam nilai-nilai atau persepsi mereka. 4. Kelangkaan sumber daya dan dana yang langka. Hal ini karena suatu individu atau organisasi yang memiliki sumber daya dana yang terbatas. 5. Saling ketergantungan pekerjaan. Maksudnya, jika salah satu kelompok atau komunitas tidak mendapatkan pekerjaan dari kelompok lain akan menimbulkan keresahan, begitu sebaliknya. Misalnya antara kaum buruh dengan pemilik lahan perkebunan, antau antara pemilik kapal
43
. Hartoyo, “Dimensi dan Sumber Konflik Sosial”,dalam Budisantoso Budiman dan Oyos Saroso (Penyunting), Merajut Jurnalisme Damai Di Lampung, (Aji Bandar lampung, 2012), hlm. 38.
42
dengan nelayan, mereka saling ketergantungan satu dengan yang lain. 6. Ketergantungan pekerjaan satu arah. Hal ini berbeda dengan di atas, ketergantungan pekerjaan membuat posisi kelompok yang lebih tinggi hanya sedikit memiliki kepentingan untuk bekerjasama dengan kelompok di bawahnya. 7. Ketidak jelasan tanggung jawab atau yuridiksi. Dalam hal tertentu, pada dasarnya orang tidak mau tanggung jawab, terlebih pada hal-hal yang kurang menyenangkan atau menguntungkan. Kalau hal ini melibatkan banyak pihak, dan masing-masing tidak ada yang mau bertanggung jawab, maka kejadian itu akan menimbulkan konflik. 8. Ketidak terbukaan satu sama yang lain. Atau dalam istilah lain tidak akuntable, khususnya menyangkut keuangan dan kesejahteraan orang banyak. Banyak konflik kecil yang kemudian menjadi besar karena ketidak jelasan atau tidak mau terbuka kepada pihak lain. 9. Ketidak percayaan antara satu dengan yang lain dalam organisasi. 10. Ketidak jelasan dalam pengambilan keputusan, pembagian kerja, dan pendelegasian wewenang. 11. Kelompok manajemen atau pemimpin tidak responsip terhadap kebutuhan dan aspirasi bawahannya. 12. Ada asumsi bahwa dalam organisasi terdapat berbagai kepentingan yang diperkirakan tidak dapat atau terealisaikan.44
44
. Fitriyanti, Membangun Spiritualitas Keagamaan (Kasus Sidomulyo lampung Selatan Membara), (Kementrian Agama RI Direktorat Jendral Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Jakarta, 2012), hlm.13-14.
43
Dari pemaparan di atas bisa dipahami bahwa sumber konflik sosial sangat beragam luas dan variatif. Hal ini menandakan bahwa hampir tidak ada dalam kehidupan yang terlepas dari konflik. Selama masih ada kehidupan, selama masih ada kepentingan, kehendak dan cita-cita manusia, konflik akan senantiasa “mengikuti manusia”. Konflik seakan menjadi pelengkap, ‘penyedap rasa’
dalam kehidupan manusia agar
dalam menggapai cita-cita dan tujuan hidupnya ada seni, ada rintangan, ada hambatan, ada ujian. Tentu segala hambatan harus
disingkirkan,
dihadapi
dan
dipecahkan.
Disinilah
benturan, gesekan kepentingan sulit dihindari, maka konflik niscaya terjadi. Namun demikian ketika masalah bisa diatasi manusia
akan
merasakan
nikmatnya
perjuangan
dan
mendapatkan kepuasan batin karena keberhasilan yang dicapai. Untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat, tentu
harus
diketahui
akar
penyebab
konflik.
Dengan
mengetahui akar penyebanya diharapkan akan segera bisa diselesaikan. Dalam pandangan teori konflik, bahwa masyarakat selalu dalam kondisi perubahan, dan setiap elemen dalam masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya konflik di masyarakat.45 Dalam pandangan teori ini bahwa masyarakat
45
. Dalam paham teori konflik ini, kekuasaan dianggap sebagai faktor dominan yang menjadi penyebab terjadinya konflik. Karena di dalam masyarakat selalu ada kelompok penguasa yang memiliki kekuasaan, sementara kelompok lain tidak. Kedua kelompok ini memiliki kepentingan
44
disatukan oleh “Ketidak bebasan yang dipaksakan”. Dengan demikian satu kelompok tertentu memberikan kekuasaan kepada kelompok yang lain. Dalam kenyataanya bahwa pembagian kekuasaan dan kewenagan yang tidak merata, selalu menjadi faktor yang memicu pecahnya konflik. Dengan adanya perbedaan distribusi kekuasaan inilah yang kemudian memunculkan dua kelompok yang saling berhadapan.
Yakni
subbordinat.
kelompok
Kelompok
dominan
dominan
dan akan
kelompok berusaha
mempertahankan statusquo, dan kelompok subbordinat akan melakukan perubahan terus menerus. Konflik kepentingan dalam suatu masyarakat akan selalu ada sepanjang waktu. Berbeda dengan pandangan di atas, Collins seorang sosiolog,
sebagaimana
yang
menekankan bahwa konflik bisa
dikutip
Fitriyanti,
lebih
terjadi karena masalah
individu (adanya kepentingan pribadi ), karena akar teoritisnya lebih pada fenomenologis dan etnometodologi.46 Collins lebih memilih konflik sebagai fokus berdasarkan landasan yang
yang berbeda. Kelompok penguasa ingin mempertahankan dan mengukuhkan kekuasaannya, sedangkan kelompok kedua ingin mengubah pola-pola hubungan kekuasaan itu. Baca Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (PT. Rajawali, Jakarta, 1992), hlm. 11. 46
. Fitriyanti, Membangun Spiritualitas Keagamaan (Kasus Sidomulyo lampung Selatan Membara) ibid, hlm. 16.
45
realistis. Konflik adalah proses sentral dalam kehidupan masyarakat.
Tampaknya
penyebab
konflik
sebagaimana
penjelasan di atas sangat luas dan rumit. Namun demikian bisa disederhanakan menjadi berikut : 1. Kurangnya komunikasi. Kita tidak bisa menganggap ringan komunikasi antar manusia, karena konflik bisa terjadi karena kedua belah pihak kurang berkomunikasi. Kegagalan komunikasi karena kedua belah pihak tidak bisa menyampaikan pikiran, perasaan, dan tindakan sehingga
membuka
pahaman
sehingga
jurang
perbedaan
membuka
celah
dan
kesah
terjadinya
ketersinggungan, perselisihan, dan konflik antara orang yang terlibat dalam suatu kegiatan. 2. Kepemimpinan yang kurang efektif.47 Secara politik kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang 47
. Menurut Mangku Pande I Wayan Gambar tokoh masyarakat Bali Desa Balinuraga, Tragedi kemanusian yang terjadi di Waypanji tidak akan terjadi, kalau saja pemimpin formalnya (kepala desa) waktu itu cepat melakukan tindakan dengan melakukan musyawarah dengan kepala Desa Agom atau tokoh adat desa tersebut dan menyelesaikan peristiwa kenakalan dari beberapa anak muda asal desa Bali Nuraga yang mengganggu gadis dari Desa Agom Kecamatan Kalianda secara adat atau kekeluargaan. Namun karena kepala desa Balinuraga menyerahkan masalah tersebut kepada pihak-pihak yang terlibat, dan menyuruh mereka yang berbuat menyelesaikan sendiri dengan keluarga gadis asal Desa Agom , dan ternyata tidak ada upaya secara kekeluargaan, maka yang apa terjadi kemudian, bukan penyelesaian, tetapi kemarahan dan saling serang yang mengakibatkan banyak korban harta benda juga jiwa, dan sampai sekarang
46
kuat, adil, dan demokratis. Namun demikian untuk mendapatkan
pemimpin
yang
idial
itu
tidak
mudah.Konflik sosial karena kepemimpinan yang kurang efektif ini banyak terjadi dan melanda berbagai organisasi sosial maupun partai palitik, bahkan tak jarang melanda organisasi keagamaan. Karena kurang efektifnya kepemimpinan ini sering kali masyarakat “bergerak sendiri” menyelesaikan sendiri menurut cara mereka sendiri. 3. Ketidakcocokan. Peristiwa konflik yang diakibatkan ketidakcocokan antara dua belah pihak yang memiliki pandangan yang berbeda atas suatu masalah tertentu lazim terjadi di masyarakat. 4. Kesenjangan ekonomi. Kesenjangan pendapatan (in come) yang terjadi antara sekelompok masyarakat juga bisa memicu lahirnya konflik. 5. Perubahan keseimbangan. Konflik ini terjadi karena ada perubahan keseimbangan perubahan dalam masyarakat. Penyebanya bisa karena faktor alam, maupun faktor sosial. 6. Adanya masalah yang belum terselesaikan dengan tuntas. Banyak konflik terjadi diakibatkan karena konflik masih menyisakan trauma, bahkan ketika bercerita tentang peristiwa ini kepada penulis, Ki Wayan Gambar terlihat sedih dan meneteskan air mata. Wawancara Kamis 8 September 2013.
47
terdahulu belum tuntas baik secara hukum maupun secara konflik
kekeluargaan. secara
Tidak
hukum
dan
memaafkan diantara pihak
jelasnya tidak yang
penyelesaian
adanya
saling
berkonflik akan
menyisakan masalah di kemudian hari, yang menurut Alo Liliweri, bagaikan api dalam sekam, yang sewaktuwaktu bisa membara.48 Dari beberapa penyebab konflik di atas bisa dijadikan sandaran untuk melihat berbagai konflik sosial yang terjadi di tanah air, yang bisa jadi disebabkan oleh salah satu atau lebih faktor yang ada. Dengan memahami latar belakang atau sumber konflik yang ada, maka akan lebih
mudah
dalam
mencari
solusi
dan
jalan
penyelesaiaannya.
D.
Masyarakat
Multikultural
Beragama dan Sosial
Hak-Hak
Kesetaraan
Politik
Dalam masyarakat yang multikultural seperti Indonesia semua warga masyarakat memiliki hak-hak kultural (cultural rights), yaitu hak-hak mendasar yang dimiliki individu atau 48
. Kasus Waypanji 27 Oktober 2012 , sesungguhnya adalah lanjutan dari peristiwa sebelumnya yang terjadi di Desa Napal Kecamatan Sidomulyo pada Januari 2012 sebelumnya. Baca Fitriyanti, Membangun Spiritualitas Keagamaan (Kasus Sidomulyo Lampung Selatan Membara), (Kementrian Agama, Direkturat Pendidikan Tinggi Islam, Jakarta, tahun 2012), hlm. 12.
48
komunitas yang bebas dalam menentukan sendiri agama, tradisi, adat,
kepercayaannya
tanpa
gangguan,
intervensi,dan
pengekangan dari pihak manapun.49 Hak-hak Asasi Manusia (HAM) kultural, juga bisa berupa pengakuan terhadap hak-hak komunitas tertentu tanpa melihat apakah mereka mayoritas ataukah minoritas, dalam menjalankan agama dan kepercayaan dengan bebas, dan juga pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik (SIPOL) dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (EKOSOB).50 Menurut Parekh, karena manusia adalah mahluk kodrati dan sekaligus kultural, semua memiliki identitas kemanusiaan umum tetapi berada dalam tingkah yang dimediasikan secara kultural. Dasar ini menuntut kita untuk memberlakukan manusia secara setara dalam penghormatan dimana mereka serupa dengan kita, dan bukan dalam hal-hal dimana mereka berbeda dengan kita.51 Kesetaraan yang dimaksud Farekh mulai dari level
yang
paling
dasar,
kesetaraan
mendapatkan
penghargaan,dan hak, pada level lebih tinggi melibatkan kesempatan, kepercayaan melibatkan kekuasaan, kesejahteraan
49
. Ahmad Baso, NU Studies Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam Dan Fundamentalisme Neo Liberal, (Erlangga, Jakarta, 2006), hlm.452. 50
. Ibid.
51
. Bhikhu Parekh, Retingking Multiculturalism, ibid, hlm. 318
49
yang kemampuan dasar yang diperlukan untuk pengembangan manusia.52 Dalam masyarakat yang homogen secara kultural, individu-individu sama-sama memiliki kebutuhan-kebutuhan, norma-norma, motivasi adat istiadat, dan tingkah laku yang mirip secara luas. Kesetaraan, berarti hak-hak yang kurang lebih identik. Dengan demikian, prinsip kesetaraan lebih mudah difinisikan dan diterapkan, dan tindakan diskriminatif akan mudah diidentifikasi tanpa banyak mendapatkan penolakan. Dalam penerapannya di Indonesia yang belum familiar dengan faham multikulturalism, masih banyak ditemukan praktek-praktek kebijakan negara dan sikap masyarakat yang belum menerima kesetaraan secara ihlas. Meskipun UndangUndang Dasar memberi jaminan hak-hak kemerdekaan bagi semua warga negara untuk mendapatkan kemerdekaan beragama dan hak-hak sosial lainnya. Dalam persoalan agama misalnya, masih ditemukan kebijakan pemerintah pada era Orde Baru adanya Ketetapan presiden RI NO I tahun 1965 tentang Pencegahan dan atau Penodaan agama. Dalam pasal 1 disebutkan, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan
52
. Ibid
50
kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan dari agama itu.53 Sepintas aturan hukum ini ingin memperingatkan kepada masyarakat agar hati-hati dalam melontarkan tuduhan yang menodai kemurnian agama, seperti memberi cap kafir, sesat, bid’ah dll. Artinya aturan hukum ini berlaku untuk semua agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia.Tetapi Keputusan presiden
yang dikeluarkan awal Januari 1965 ini, justru
bertujuan mengamankan agama-agama resmi yang diakui oleh negara (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha) dari penistaan kelompok agama atau kepercayaan lain.Ini adalah salah satu bentuk upaya untuk mengamankan stabilitas kekuasaan negara. Alasan mendasar dikelurkan kebijakan ini, sebenarnya untuk membuat suasana kehidupan masyarakat lebih tenang pasca peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia tahun 1965. Namun kebijakan justru ini menjadikan posisi agama dan negara saling
memperalat
satu
sama
lainnya,
yang
kemudian
dilanjutkan pada rezim Orde Baru. Dengan alasan stabilitas keamanan, urusan agama menjadi urusan kejaksaan dan kepolisian. Kalau pada masa Era Soekarno dengan Tapres No 1 tahun 1965, maka rezim Soeharto memperbesar kekuatan kejaksaan untuk mengontrol ajaran praktek-praktek
keagamaan
melalui
lembaga
PAKEM
(Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) yang dibentuk
53
. Ahmad Baso, NU Studies, ibid, hlm. 460
51
mulai dari pusat sampai ke tingkat kejaksaan tingkat wilayah/provinsi. Bahkan polisi dan tentarapun dilibatkan untuk mengawasi praktek kehidupan keagamaan di masyarakat, seakan praktek-praktek keagamaan sama dengan praktek kriminalitas karena dianggap mengganggu ketentraman masyarakat. Hal ini tampak pada sikap pemerintah berkaitan dengan munculnya komunitas penganut Haur Koneng pada tahun 1993.54 Juga pada pada komunitas lain seperti Adat Karuhun Sunda Cigugur, yang merasa terpojok dan termajinalkan karena tidak diberi hak untuk menyatakan identitas dirinya terkait dengan kepercayaan yang dianutnya. Mereka harus mangaku pemeluk salah satu dari lima agama yang ada, baru bisa membuat KTP maupun identitas lainnya. Pelarangan kepada kepada komunitas Haur Koneng, dan menganggap sesat pada Ahmadiyah, Darul Arqam, Adad Karuhun
Sunda,
dan
beberapa
komunitas
penghayat
kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, secara yuridis adalah salah dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 khususnya pasal 2, dimana negara menjamin 54
.Haur Koneng adalah korban kebijakan “pemurnian” agama yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Ada Darul Arqam, Ahmadiah dan ratusan penghayat Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Yang dalam catatan Kejaksaan Agung sejak tahun 1949 sampai 1992 telah tercatat 517 aliran kepercayaan yang “mati” di seluruh Indonesia. Mati adalah bahasa lain dari bubar, membubarkan diri, dibubarkan, disesatkan , dilarang, dikriminalkan. Baca Ahmad Baso, NU Studies, Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam Dan Fundamentalisme Neo Liberal, (Erlangga, Jakarta, 2006), hlm.463
52
kebebasan kepada masyarakat untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaan itu. Pengertian “kepercayaan” yang pada awalnya
dimaksudkan
untuk
melindungi
para
penganut
kebatinan/kerohanian, dipolitisir menjadi “agama” yang diakui oleh negara. Undang-Undang RI No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang pada mukaddimahnya disebutkan berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia (tanpa kecuali), dianulir oleh peraturan hukum yang kedudukannya lebih rendah dari Undang-Undang (seperti SKB menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri) dan tinyatakan tidak berlaku bagi masyarakat Penghayat Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Disini kelompok penghayat kepada Tuhan yang Maha Esa merasa didiskriminasi dan diperlakukan tidak adil. Di beberapa tempat banyak yang takut untuk mengemukakan keyakinannya secara terbuka dan terpaksa mengakui salah satu agama yang tidak diyakini. Dan bahkan di beberapa tempat juga ada yang dipaksa untuk melakukan syariat dari agama tertentu yang tidak diimani.55 Pasca reformasi, munculnya berbagai gerakan sempalan agama dan politik identitas, masing-masing mereka ini anti Pancasila, anti demokrasi, anti pluralisme, dan sampai ada yang anti nasionalisme, adalah masalah yang paling banyak menyita perhatian negara, akademisi dan agamawan.
55
.Ibid.
53
Munculnya berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok radikal menurut Moh Shafan peneliti dari Yayasan Paramadina, bukan saja mengganggu kebebasan umat beragama dalam menunaikan ajaran agamnya, tetapi juga mencederai dan menodai sendi-sendi ajaran agama itu sendiri. Pada gilirannya, akan menghancurkan hak-hak heterogenitas (keragaman) dan mengoyak kesatuan bangsa.56 Uraian di atas menunjukkan betapa hak-hak beragama dan berkeyakinan pada masa lalu masih menjadi persoalan yang belum terurai. Dan nampaknya persoalan kebebasan dalam beragama dan beribadah sampai saat ini juga masih belum selesai, lihat saja kasus pengrusakan dan pembakaran masjid Ahmadiyah di Bogor, pembakaran pesantren Syiah di Madura, dan pelarangan Jamaah Gereja Yasmin di Bogor untuk mendirikan gereja adalah bukti nyata bahwa masih banyak kasus pengekangan kebebasan beragama yang dilakukan kelompok radikal, dan anehnya negara melakukan pembiaran atas berbagai pelanggaran itu. Dengan berbagai peristiwa tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa hak-hak beragama dan berkeyakinan yang merupakan hak-hak kultural masyarakat di Indonesia sampai saat ini belum sepenuhnya bisa dinikmati oleh semua warga 56
. Moh Shafan, Tantangan Pasca Cak Nur-Gus Dur, dalam A. Effendi Choiri Dkk, (ed), Sejuta gelar Untuk Gus Dur, (PT. Nawa Mulia Nusantara, Jakarta, 2010), hlm. 308.
54
negara. Kondisi seperti ini bukan hanya dirasakan oleh pengikut penghayat kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemeluk Kristen dan Katolik, tetapi juga dialami oleh pengikut Islam yang berada di daerah mayoritas Kristen seperti di Papua, NTT dan Indonesia bagian Timur dan lainnya. Islam sebagai agama yang mengajarkan kesetaraan dan menghargai perbedaan bisa tampil untuk meluruskan kekeliruan tersebut, agar terbangun masyarakat yang egaliter, saling menghargai (tasamuh), serasi dan berkeadilan. Atas dasar itulah, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berusaha mendakwahkan Islam dengan wajah ramah, dan berwawasan kultural yang berusaha melindungi
dan
mengayomi
semua
masyarakat
tanpa
membedakan suku, adat, agama yang dimiliki oleh masyarakat. Gus Dur juga mengembalikan hak-hak kultural yang “dirampas” oleh komunitas
mayoritas atau kekuatan negara, untuk
diberikan kepada mereka yang teraniaya, agar tidak ada lagi dominasi mayoritas atas minoritas di negeri yang multikultu ini.
E. Etika Dakwah Pada masyarakat Multikultural Mengingat Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan hidup di dalamnya berbagai macam agama dan keyakinan, suku, budaya dan disebut sebagai bangsa yang multikultur,
maka
setiap
usaha
untuk
menyebarkan
(mendakwahkan) agama harus dibuat aturan yang menjadi rambu-rambu dan pedoman yang harus dipatuhi oleh setiap
55
pemeluk agama agar tidak menimbulkan konflik, gesekan di masyarakat. Dalam
hal penyiaran
dan
pengembangan
agama
pemerintah memandang perlu untuk memberikan pedoman penyiaran agama, agar pengembangan dan penyiaran agama tersebut
tidak
menimbulkan
ekses
negatif
yang
mengakibatkan retaknya kerukunan umat beragama.57 Secara umum pembinaan kehidupan beragama di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan tiga prioritas pembangunan nasional, yaitu : 1. Pemantapan Pancasila sebagai idiologi dan falsafah negara; 2. Pemantapan stabilitas dan ketahanan nasional; 3. Kesinambungan
pembangunan
nasional
dan
mantapnya persatuan dan kesatuan bangsa.58 Penyiaran agama kepada orang yang sudah memeluk suatu agama/ atau keyakinan tertentu tidak dibenarkan, karena bisa menyinggung perasaan umat beragama lain. Sementara banyak keluhan di masyarakat akar rumput banyak kegiatan penyiaran agama kepada orang yang sudah 57
. Jasmadi, Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang Keagamaan Pada era Orde Baru, (Sekolah Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2009), hlm. 81. 58
. Alamsjah Ratu Prawiranegara, Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama, (Departemen Agama, Jakarta, 1982), hlm. 39.
56
memiliki agama tertentu .Hal semacam ini tidak dapat dibiarakan karena akan mengakibatkan gangguan stabilitas dan ketenangan masyarakat. Untuk itu dibutuhkan pengaturan dan penertiban yang mengatur cara-cara penyiaran/dakwah agama. Atas dasar itulah maka lahir Keputusan Menteri Agama No. 70 Tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama yang berisi : a. Untuk menjaga stabilitas nasional dan demi tegaknya
kerukunan
umat
beragama,
pengembangan dan penyiaran agama supaya dilaksanakan dengan semangat kerukunan, tenggang
rasa,
tepo
seliro,
saling
menghargai, hormat menghormati
antar
umat beragama sesuai jiwa Pancasila. b. Penyiarana agama tidak dibenarkan : a) Ditujukan kepada orang yang yang telah memeluk suatu agama lain (beragama); b) Dilakukan
dengan
cara-cara
menggunakan bujukan atau rayuan, pemberian materiil, seperti : uang pakaian, makanan, obat-obatan dan lain-lain agar supaya orang tertarik untuk memeluk suatu agama;
57
c) Dilakukan
dengan
cara-cara
penyebaran pamflet, bulletin, majalah buku-buku dan sebagainya di daerahdaerah, di rumah-rumah kediaman umat/orang beragama lain; d) Dilakukan dengan cara-cara masuk keluar dari rumah ke kerumah orang yang telah memeluk agama lain dengan dalih apapun.59 Surat Keputusan itu ditetapkan dan diberlakukan sejak tanggal 1 Agustus 1978. Bila dilihat dari isi keputusan tersebut
setidaknya
dikeluarkannya Surat
ada
dua
dasar
pertimbangan
keputusan ini. Pertama, bahwa
kerukunan hidup antar umat beragama merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa nasional. Demi menjaga stabilitas nasional dan demi terwujudnya
kerukunan
umat
beragama
itu,
maka
pengembangan dan penyiaran agama harus dilaksanakan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, tepo seliro, saling menghargai dan menghormati antar umat beragama. Kedua, bahwa dalam usaha memantapkan kehidupan umat 59
. Azyumardi Azra dan Saiful Umam, (ed), Menteri-Menteri Agama: Biografi Sosial Politik (INIS, Jakarta, 1998), hlm. 338. Lihat juga Hasanuddin, Hukum Dakwah, Tinjauan Aspek Hukum Dalam Berdakwah Di Indonesia, (Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1996), hlm. 58.
58
beragama, pemerintah berkewajiban untuk melindungi setiap usaha
pengembangan dan penyiaran agama sebagaimana
ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29,yang berisi “Maka Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan Undang-Undang tersebut dikatakan bahwa kerukunan hidup yang semakin mantap diantara sesama umat beragama, pada gilirannya akan tercapai pula stabilitas keamanan nasional yang sehat dan dinamis. Oleh karena itu penyiaran agama kepada orang yang telah beragama
berbeda ,
merupakan
cara penyiaran dan
pengembangan agama yang dapat menyinggung perasaan umat beragama lain. Ditegaskan bahwa pemerintah tidak mencampuri orang yang dengan kesadaran sendiri pindah dari suatu agama ke agama lain. Pemerintah tidak melarang orang yang dengan suka rela atas kemauan dan kesadaran sendiri mengunjungi atau mendengarkan ceramah atau khutbah/pengajian dan lainlain dengan maksud untuk memilih dan menetapkan keyakinnya kepada agama yang dipercayainya. Kemerdekaan
59
individu dalam melaksanakan keyakinannya dilindungi oleh Undang-Undang Dasar.60 Implementasi dari Keputusan Menteri Agama NO.70 Tahun
1978
tersebut
tidak
secara
tegas
menunjuk
Departemen Agama atau aparat penegak hukum lainnya untuk melaksanakan Undang-Undang tersebut. Namun dalam pelaksanaan Undang-Undang ini seluruh jajaran Departemen Agama dari pusat sampai ke daerah-daerah untuk melakukan pengawasan terhadap keputusan ini, dan selalu melakukan konsultasi dan koordinasi dengan para tokoh agama, aparat pemerintah yang lain, dan aparat penegak hukum jika terjadi pelanggaran terhadap peraturan ini. Surat Keputusan Menteri Agama ini sebagai upaya untuk ‘mengamankan’ pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dan pokok pikiran yang terkandung dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, yang mengatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam realisasinya untuk melaksanakan Undang-Undang dan pokok pikiran telah dirumuskan Ketetapan MPR RI NO II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang menegaskan bahwa dengan sila Kemanusiaan yang 60
. Jasmadi, Kebijakan Pemerintah Dalam bidang Keagamaan Pada era Orde Baru, Ibid, hlm. 83.
60
adil dan beradab manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang Maha
Esa
yang
sama
derajatnya,
sama
hak
dan
kewajibannya, tanpa membedakan suku, keturunan, agama, dan kepercayaanya, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.61 Karena itu dikembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, tenggang rasa dan tidak semena-mena terhadap orang lain. Dalam kehidupan bermasyarakat dikembangkan sikap hormat menghormati, kerja sama antar pemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda, sehingga terjalin kerukunan hidup beragama di Indonesia secara kondusif. Dan kondisi begini harus tetap dijaga oleh para pengikut dan pemeluk agama tanpa membedakan apakah dia mayioritas atau minoritas, selama mereka hidup di Indonesia maka harus mematuhi Undang-Undang tersebut. Erat dengan persoalan penyiaran agama adalah persoalan bantuan luar negeri kepada lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia. Menurut Jasmadi, persoalan bantuan luar negeri sering menjadi salah satu pemicu ketegangan antar umat beragama, karena dengan bantuan ini suatu agama dapat
61
. Alamsjah Ratuperwiranegara, Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama, hlm. 50.
61
melakukan aktivitas penyiaran dengan intensif, utamanya terhadap pemeluk agama lain, yang secara ekonomi lemah62. Bantuan luar negeri pada awalnya tidak pernah dikontrol oleh
pemerintah,
tidak
bisa
diketahui
bagaimana
pemanfaatannya. Melihat kondisi tersebut Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 77 tahun 1978, tanggal 15 Agustus 1978, tentang bantuan Luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia.63 Isi Surat Keputusan ini adalah : 1. Yang dimaksud bantuan luar negeri adalah bentuk bantuan dari luar negeri yang berwujud bantuan tenaga, material dan atau finansial yang diberikan oleh pemerintah negara asing, organisasi dan atau perseorangan kepada lembaga dan atau perorangan kepada lembaga keagamaan dan atau perorangan di Indonesia dengan cara apapun yang bertujuan atau patut diduga bertujuan untuk membantu pembinaan, pengembangan dan penyiaran agama di Indonesia.
62
. Jasmadi, Kebijakan Pemerintah Dalam bidang Keagamaan Pada era Orde Baru, Ibid, hlm. 87. 63
. Departemen Agama RI, Kompilasi Peraturan Perundang Undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama, (Jakarta, 1978), hlm. 105.
62
2. Bantuan
luar
negeri
tersebut
hanya
dapat
dilaksanakan setelah mendaapat persetujuan atau rekomundasi dan melalui Menteri Agama. 3. Dalam pasal 3 dijelaskan tiga ketentuan yang berisi : a. Dalam rangka pembinaan, pengembangan, penyiaran dan bimbingan terhadap umat beragama di Indonesia, maka penggunaan tenaga asing untuk pengembangan dan penyiaran agama dibatasi. b. Warga
negara
asing
yang
berada
di
Indonesia yang tugas pokoknya di luar bidang
aagama,
hanya
dibenarkan
melakukan kegiatan di bidang agama secara isidentil, setelah mendapat izin dari Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk. c. Lembaga keagamaan dapat menggunakan warga
negara
asing
untuk
melakukan
kegiatan bidang agama, setelah mendapat izin dari Menteri Agama. d. Lembaga
keagamaan wajib mengadakan
pendidikan dan pelatihan dengan tujuan agar dalam waktu yang telah ditentukan, tenaga – tenaga
warga
negara
Indonesia
dapat
menggantikan tenaga warga negara asing
63
yang melakukan kegiatan di bidang agama tersebut. e. Program pendidikan dan pelatihan harus dilaksanakan
selambat-lambatnya
enam
bulan setelah ditetapkannya Surat Keputusan ini (ditetapkan 15 Agustus 1978), dan dilaksanakan selambat-lambatnya dua tahun setelah pelaksanaan program pendidikan dan pelatihan tersebut. f. Lembaga
keagamaan
yang
menerima
bantuan luar negeri yang ternyata tidak memenuhi ketentuan tersebut dapat diambil tindakan sesuai dengan peraturan yang berlaku.64 Surat Keputusan Menteri Agama ini dibuat dalam rangka memberikan bimbingan, pengarahan, dan pengawasan terhadap bantuan luar negeri, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan nasional. Namun
disayangkan
meskipun peturan dan undang-undang sudah dibuat, masih saja terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keagamaan. Dan dalam pelaksanaan Surat Keputusan Menteri Agama No. 77 Tahun 1978, tersebut masih sulit direalisasikan. 64
. Hasanuddin, Hukum Dakwah, Tinjauan Aspek Hukum dalam Berdakwah di Indonesia (Pedoman Ilmu Jaya, jakarta, 1996), hlm. 58-59.
64
Banyak lembaga keagamaan yang menerima bantuan dari luar negeri tetapi tidak melaporkan kepada pemerintah, bahkan banyak diantaranya yang melakukan manipulasi bantuan dengan berbagai cara supaya selamat dari jerat hukum di Indonesia. Dan kenyataannya hampir tidak terdengar ada lembaga keagamaan tertentu yang mendapat sangsi hukum dari pemerintah, baik dari kepolisian, kejaksaan, maupun dari pengadilan ,
karena
menerima bantuan dari luar negeri. Di sisi lain pelaksanan Surat Keputusan Menteri Agama No 70 Tahun 1978 Tentang Pedoman Penyiaran Agama, yang diperkuat dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 1 tahun 1979 Tentang tata cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar negeri kepada lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia, namun dalam praktiknya di tengah masyarakat masih banyak pelanggaran. Dalam banyak kasus pengingkaran terhadap kemerdekaan beragama misalnya,
sering terjadi berbagai
konflik sosial yang bermotif agama. Beberapa kasus pelanggaran yang bermotif agama masih sering terjadi seperti di Ambon. Poso, Solo, Bogor, dan pembakaran pesantren Syiah di Madura dan yang paling baru terjadi pengrusakan pesantren dan masjid di Jember Jawa Timur yang juga mengakibatkan korban jiwa pada awal bulan September 2013 yang baru lalu. Pertanyaannya, ? Bagaimana komitmen
65
pemerintah dalam menjalankan peraturan tersebut, jika di sana sini pelanggaran atas nama agama terus terjadi ?. Dari sisi tuntunan Islam, dakwah telah memiliki tuntunan normatif yang dibuat oleh Allah SWT. Hal ini dimaksudkan agar dakwah Islam bisa mencapai tujuan dengan baik. Menurut Asep Muhyidin dan Agus Ahmad Syafe’i, agar kegiatan dakwah tidak menyimpang dari rel khitthah yang universal tentang ajaran Islam, para da’i perlu mengetahui dan memperhatikan kaidah umum tentang dakwah dan prinsip mendasar tentang dakwah. Karena kegiatan dakwah adalah kegiatan yang terkait antara hubungan manusia dengan manusia lainnya.65 Maka metode dakwah harus mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan tata cara atau etika komunikasi yang berlaku di tengah masyarakat, dan menyesuaikan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam yang bersifat umum. Kaidah mendasar ajaran Islam dalam mengatur hubungan antara manusia itu adalah: (1) Toleransi (tasammuh), (2) keadilan (al-adl), (3) musyawarah (syura) dan (4) egalitariannisme.66
65
Asep Muhyiddin dan Agus Ahmad Syafe’i, Metode Pengembangan Dakwah (CV. Pustaka Setia bandung, 2002), hlm: 96. 66
Asep Muhyiddin dan Agus Ahmad Syafe’i, Metode Pengembangan Dakwah, ibid. Hlm. 97.
66
1. Kiadah toleransi (tasammuh) sebagai bukti bahwa Islam mengakui hak-hak asasi setiap manusia. Dari konsep ini diharapkan lahir sikap dan prilaku positif seperti : Persaudaraan, saling menghargai, tenggang rasa, tolong menolong, kesejukan dan kedamaian. Sehingga terhindar dari sikap dan perilaku negatif seperti : Permusuhan, penghinaan, kedengkian, saling fitnah, dendam dll.
Dibalik ajaran tasammuh ini
sesungguhnya tersimpan maksud agar dakwah Islam lebih mengutamakan terwujudnya kedamaian dan keselamatan bagi masyarakat, sekaligus menghindari kerusakan atau kemadharatan, yang dalam bahasa ushul fikih disebut dengan “daf’u al- mafasid muqaddamun
ala
jalhi
al-mushalih”,
yakni
mendahulukan menghindari kemadharatan dari pada mencari kemaslakhatan. 2. Kaidah keadilan juga merupakan bukti bahwa Islam konsisten untuk menciptakan sistem kehidupan yang lebih
bermartabat.
Caranya
keadilan
harus
ditegakkan tanpa pandang bulu dalam praktek penyelenggaraan
hukum,
dalam
bidang
sosial
ekonomi dll. Tanpa adanya keadilan, maka akan lahir ketimpangan-ketimpangan
yang
tajam
antar
kelompok masyarakat yang bisa memicu konflik antar masyarakat. Beberapa kasus kekerasan terjadi
67
seperti di Sambas, tanah papua, tanah Rencong, Mesuji Lampung, ditengarai akibat ketidak adilan yang
dialami oleh
masyarakat
dan
lemahnya
supermasi hukum. Tegaknya keadilan harus diperjuangkan dan terus didorong oleh para da’i dalam aksi dakwah mereka. Karena keimanan tidak bisa dipisahkan dengan keadilan. Tuhan sendiri adalah Maha adil, dan bagi manusia perbuatan adil adalah bagian darin ekpresi keiman kepada Tuhan. Dan menegakkan keadilan adalah perbuatan yang paling mendekati perilaku takwa. 3. Kaidah musyawarah (syura) Musyawarah ditekankan dalam ajaran Islam karena bisa menjadi metode dalam memecahkan persoalan untuk mencari jalan terbaik
dalam mengurai
berbagai persoalan. Musyawarah juga mencegah dari otoritarianisme mayoritas dan perilaku diktator dari seorang
pemimpin
atau
kelompok
penguasa.
Musyawarah juga melindungi hak-hak masyarakat sipil (civil society) dari tirani dan diskriminasi kekuasaan yang seriong terjadi. Sementara Islam tidak membeda-bedakan manusia atas dasar jenis kelamin, asal usul etnis, warna kulit, latar belakang sejarah sosial, ekonomi dan sebagainya. Masyarakat
68
yang dibangun berdasarkan nilai-nilai Islam harus didasarkan pada persamaan dan persaudaraan antara sesama umat manusia.
Itulah beberapa kaidah Islam yang harus dipegang oleh para da’i dalam mengerjakan tugas sebagai penyampai risalah dan pelanjut dakwah dari Rasulullah. Yakni mengajak manusia ke dalam sistem agama Islam, dengan menjunjung dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Alqur’an dalam Surah al-Nahl : 125, Allah menyatakan “ Ajaklah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah
67
, dan nasehat yang baik,
dan berbantah-bantahlah dengan cara yang baik....”68 . Dalam Surat al-Baqarah Allah juga katakan ,“ Tidak ada paksaan (memasuki) agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang salah. (QS. Al-Baqarah: 256).69 Kemudian dalam Surat al-Kahfi dikatakan bahwa “ 67
Hikmah, menurut Muhammad Abduh berarti : Memahami rahasia dan faedah dari tiap-tiap sesuatu. Kalau dihubungkan dengan dakwah, berarti memahami rahasia atau faedah yang berhubungan dengan unsur-unsur dakwah seperti : Unsur isi dakwah, unsur manusia yang dihadapi, unsur keadaan, ruang dan waktu, unsur bentuk dan cara, atau metode yang sesuai. Baca M. Natsir dalam Fiqhu Da’wah, (Media da,wah, Jakarta, 1989), hlm. 158-160. 68
Kementrian Urusan Agama Islam,Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Islam Kerajaan Arab Saudi, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Ibid. Hlm. 421. 69
Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf Dakwah Dan Bimbingan Islam Kerajaan Arab Saudi, Alqur,an dan Terjemahannya, Ibid. Hlm. 63
69
Dan katakanlah bahwa kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin beriman silahkan beriman, dan barang siapa yang ingkar silahkan ingkar..(al-Kahfi : 29).70
Dari ayat-ayat di atas bisa dipahami bahwa pelaksanaan dakwah tidak boleh dilakukan dengan cara-cara kekerasan, seperti melakukan sweping,
memaksa,
menakut-nakuti
apalagi sampai merusak dan menghancurkan tempat ibadah dan melanggar hak asasi manusia. Dalam kontek Indonesia yang majemuk dan plural, agar tidak terjadi pelanggaran dalam melakukan dakwah agama, maka Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 2 menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan keyaikan
serta beribadah sesuai dengan agama dan
keyakinannya itu. Ini artinya bahwa beragama merupakan hak kultural warga negara yang tidak boleh diganggu oleh siapapun. F. Pendekatan Dakwah Multikultural Sebagaimana
dijelaskan
di
atas,
bahwa
dakwah
multikultural adalah, usaha-usaha yang dilakukan oleh umat Islam (da’i) dalam mengajak orang lain untuk mengikuti 70
, Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf Dakwah Dan Bimbingan Islam Kerajaan Arab Saudi, Alqur,an dan Terjemahannya, Ibid. Hlm. 448.
70
ajaran Islam dengan cara menghormati perbedaan faham, keyakinan, agama, budaya, etnis, bahasa, dan lainnya milik orang lain (mad’u) dengan semangat kebangsaan dan kemajemukan. Atau dengan kata lain dakwah multikultural adalah dakwah yang dilakukan dengan menghormati, menghargai
hak-hak
kultural
warga
negara
tanpa
memperhitungkan apakah ia mayoritas atau minoritas, apakah kulit putih atau kulit hitam, apakah warga negara asli atau pendatang, apakah dia pribumi atau nonpribumi. Selama dia manusia, maka hak-hak sebagai manuasia perlu dihormati dan dijaga. Itulah semangat dakwah yang dibangun oleh Rasulullah yang tidak membeda-bedakan antara umat manusia, berdasarkan suku, warna kulit , bahasa, adat istiadat. Karena Islam datang untuk dunia, bukan hanya untuk suku- suku di Arab saja, tetapi rakhmat untuk alam semesta (rakhmatan lil alamin). Adapun
karakteristik
dakwah
multikultural
yang
membedakan dengan dakwah pada umumnya adalah : Pertama, adanya pengakuan dari subyek atau pelaku dakwah akan adanya keragaman budaya, adat istiadat, (culture) yang ada di masyarakat dan menerimanya sebagai sebuah kekayaan yang perlu dipelihara dan dilestarikan, selama adat dan budaya itu tidak bertentangan dengan spirit ajaran agama Islam. Sebagai contoh orang Jawa yang biasa dengan tradisi selametan sebelum memulai sebuah pesta atau hajat
71
seperti perkawinan, sunatan, kelahiran, kematian, ulang tahun, peresmian kantor
dll. 71
Kedua, menghargai
keragaman dan perbedaan pendapat sebagai sunantullah yang tidak bisa dihindarkan, dan menyikapinya sebagai rakhmat. Manfaat dari kemampuan menghargai perbedaan pendapat ini akan lahirlah sikap saling menghormati, menghargai, toleran, dan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain yang berbeda pandangan dan keyakinan. Ketiga, menjaga hak-hak kultural warga masyarakat, baik yang mayoritas maupun yang minoritas agar tidak dirampas oleh orang lain, maupun oleh kekuatan negara atau kekuatan mayoritas. Hal ini perlu dijaga agar tidak terjadi tirani mayoritas atas minoritas, baik minoritas agama, maupun suku sebagaimana yang sering terjadi di beberapa temapt di 71
Selametan, diambil dari kata selamat artinya, ritual yang dilakukan untuk mohon keselamatan dari Tuhan, dengan mengumpulkan sejumlah orang dan membaca do’a-doa tertentu yang diyakini bisa mendatangkan keselamatan. Selametan adalah sebuah tradisi yang sudah ada dan hidup di tengah masyarakat Jawa secara turun-temurun. Pada masa Hindu dan Budha, do’a atau mantra yang dibaca adalah mantra yang diajarkan oleh agama Hindu dan Budha, dan permohonan do’a juga dialamatkan kepada para Dewa-Dewa menurut keyakinan mereka. Ketika Islam datang di Jawa, acara selamatan masih ada dan dipelihara oleh para kyai dan ulama, d mantra atau do’a yang berbau ajaran Hindu dan Budha digantinya dengan membaca kalimat-kalimat yang baik sesuai ajaran Islam, kemudian ditutup do’a mohon keselamatan. Selesai do,a biasanya dihidangkan makanan dan minuman sesuai kemampuan yang punya hajat (shokhib al- hajat). Sebelum pulang jamaah yang diundang diberi bawaan makanan (berkat) untuk dibawa pulang dimakan bersama keluarga.
72
luar negei maupun di Indonesia, dan selalu kelompok minoritas menjadi korban. Menjaga hak-hak kultural warga negara juga dimaksudkan agar
hubungan
baik diantara
warga masyarakat terus terpelihara dengan baik. Adapun hak-hak kultural tersebut meliputi : a. Hak untuk memilih dan menentukan keyakinan atau beribadah sesuai dengan kepercayaa dan keyakinan; b. Hak untuk berusaha dan mendapatkan kekayaan ; c. Hak untuk berpendapat menyampaikan gagasan, pikiran dan berekpresi; d. Hak untuk hidup dan meneruskan keturunan; e. Hak mendapatkan ketenangan dan keselamatan jiwa. Keempat, sebagai penghargaan atas budaya yang ada di masyarakat, menjadikan budaya itu sebagai aset yang berharga dan memanfaatkan untuk kepentingan dakwah, misalnya dijadikan media untuk berdakwah. Contoh para ulama dan kyai menggunakan seni budaya yang hidup di lingkungannya sebagai media dakwah. Misalnya, para Wali Sembilan (Walisongo) di Jawa menggunakan wayang dan gamelan sebagai media untuk mengumpulkan masyarakat kemudian dinasehati dan diberi informasi tentang ajaran agama Islam. Demikian halnya dengan seni budaya yang lain seperti Ludruk, Gambus, Nasid, Rebana, khadrah,
73
Sandiwara, dan lainnya, bisa dimanfaatkan sebagai media dalam menyampaikan pesan dakwah kepada masyarakat. Masing-masing daerah memiliki budaya, adat dan kesenian yang berbeda yang dihormati, disenangi dan dijunjung tinggi oleh masyarakatnya, semua bisa dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kepentingan dakwah. Pendekatan dakwah adalah titik tolak atau sudut pandang kita terhadap dakwah72. Pendekatan atau approach menurut Muhammad Amin Abdullah, adalah bagaimana kita melihat suatu masalah (How to Think). Kalau dikaitkan dengan isu dakwah, adalah bagaimana kita melihat pelaksanaan dakwah yang terjadi di dunia Islam, khususnya di Indonesia. Apakah sudah berjalan sesuai tuntunan yang dijelaskan oleh Al-Qur’an dan Rasulullah ?, apakah sudah sesuai dengan kaidah-kaidah bagaimana
hukum
kendalanya,
yang dan
berlaku
di
sebagainya.
Indonenesia Sedangkan
Mulyanto Sumardi sebagaimana yang dikutip Dzikron Abdullah berpendapat bahwa, pendekatan, metode dan teknik memiliki hubungan hirarkis.73 Teknik merupakan penjabaran dari metode, dan metode penjabaran dari pendekatan (approach). Pendekatan (approach) bersifat
72
73
Muhammad Ali Aziz, Ilmu Dakwah, ibid, hlm. 347.
Dzikron Abdullah, Metodologi Da’wah, (Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, 1998 ), hlm. 6.
74
aksiomatik, menyatakan pendirian, filosofi, keyakinan akan sesuatu yang diyakini, tetapi tidak mesti bisa dibuktikan. Sedangkan metode besifat proseduril bagaimana cara mencapai tujuan. Jadi dalam satu pendekatan ada beberapa metode.74 Teknik dan strategi itu bersifat operasional untuk mencapai tujuan atau sasaran. Pada didasarkan
umumnya, pada
penentuan
mitra
dakwah
pendekatan dan
dakwah
suasana
yang
melingupinya. Sjahudi Siradj (1989:29-30) sebagaimana yang dikutip Ali Aziz mengemukakan tiga pendekatan dakwah. Yaitu pendekatan budaya dan bahasa, pendekatan pendidikan, dan pendekatan psikologis.75 Yang dimaksud dengan pendekatan budaya dan bahasa adalah penggunaan budaya dan bahasa sebagai alat atau media untuk menyampaikan pesan dakwah. Misalnya penggunaan wayang kulit dan bahasa Jawa untuk dakwah pada komunitas Suku Jawa, penggunaan Bahasa Betawi dan Lenong untuk komunitas Suku Betawi, penggunaan bahasa Lampung dan pantun berbalas bagi kumunitas Lampung, dll. Pendekatan pendidikan adalah penggunaan pendidikan (ta’lim) sebagai sarana untuk mencerdaskan, mencerahkan masyarakat dari kebodohan dalam bidang ilmu agama dan 74
Dzikron Abdullah, Metodologi Da’wah, ibid, hlm. 7
75
Muhammad Ali Aziz, Ilmu Dakwah, ibid
75
pengetahuan lainnya. Sarananya bisa melalui mimbar jum’at, majelis ta’lim, penataran, pelatihan, pendidikan formal dan non formal. Sedangkan pendekatan psikologis, adalah pendekatan dakwah dengan sentuhan psikologis kepada mad’u melalui bimbingan konseling, kunsultasi dalam urusan keluarga, agama, kesehatan dll. Banyak problem kehidupan
dihadapi
oleh
masyarakat
yang
membutuhkan bantuan orang lain, tetapi masyarakat tidak tahu harus berkonsultasi kepada siapa, dan dimana. Disini da’i bisa membuka pelayanan kepada jamaah dalam berkonsultasi untuk membantu memecahkan masalah yang dihadapi. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Toto Tasmara seorang praktisi dakwah dan sekaligus pengamat dakwah yang tinggal di Ibu Kota Jakarta, menurut dia, pendekatan dakwah adalah cara-cara yang dilakukan oleh seorang mubaligh (da’i) untuk mencapai tujuan tertentu atas dasar hikmah dan kasih sayang. Dengan kata lain pendekatan dakwah harus tertumpu pada pandangan human oriented, dengan menempatkan pandangan yang mulia atas diri manusia sebagai mitra dakwah.76 Menurut Tasmara lebih lanjut, karena Islam sebagai agama salam, yang menebarkan rasa damai menempatkan manusia itu tidaklah 76
Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah,(Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997), hlm.43-44.
76
dibeda-bedakan berdasarkan ras, maupun agamanya. Sebab firman Allah dalam al-Qur’an berbunyi,:
“Kami telah memuliakan Bani Adam (manusia), dan kami letakkan mereka itu di daratan dan di lautan. Kami juga memberikan rizki kepada mereka dari segala rizki yang baik-baik. Mereka juga kami lebihkan kedudukannya dari seluruh makhluk yang lain” (Q.S. al-Isra’ :70). Pendekatan terhadap mitra dakwah lainnya yang bisa digunakan adalah pendekatan sosial kemasyarakatan . Pendekatan
ini
meliputi
:Pendekatan
sosial
politik,
pendekatan sosial budaya, dan pendekatan sosial ekonomi. Pendekatan dakwah di atas bisa disederhanakan menjadi dua pendekatan, yakni pendekatan stuktural dan pendekatan kultural. 77
Pendekatan struktur adalah pendekatan dengan
mengunakan
kekuasaan
memperjuangkan
atau
tegaknya
politik.
Artinya
keadilan,
pemerataan, dan sistem kehidupan yang
untuk
kemakmuran, lebih
baik,
dibutuhkan orang-orang yang duduk di lembaga legislatif untuk
membuat
undang-undang.
Selanjutnya
untuk
melanksanakan undang-undang diperlukan orang-orang yang
77
Muhammad Ali Aziz, Ilmu Dakwah, ibid, hlm.348.
77
duduk di lembaga pemerintahan (eksekutif) seperti menjadi presiden, menteri, gubernur, walikota, bupati, camat dan seterusnya. Kalau jajaran pelaksana pemerintahan ini dipegang orang yang jujur, amanah, adil, pasti kesejahteraan akan dirasakan oleh masyarakat. Tatapi kalau kekuasaan dipegang orang yang tidak amanah, dan tidak jujur, maka yang terjadi adalah kerusakan dan kehancuran. Sedangkan pendekatan kultural adalah pendekatan non politis, dalam hal ini bisa melalui pendidikan untuk meningkatkan sumber daya manusia berkualitas, mengembangkan kebudayaan yang bernilai tinggi, pemberdayaan ekonomi, melatih ketrampilan dan keahlian (life skill), penegakan HAM dan demokrasi, dll. Itulah beberapa pendekatan dakwah yang multikultural yang bisa digunakan dalam kerja dakwah untuk menuntun dan membimbing umat ke jalan yang lebih baik (aslah), baik dalam
masalah
keyakinan
(akidah),
masalah
ibadah
(ubudiyah), maupun dalam kehidupan kemasyarakatan (muamalah).
Memang semua pendekatan tidak ada
yang sempurna, tetapi melihat permasalahan yang dihadapi masyarakat (mad’u) yang beragam, maka salah satu pendekatan multikultur tadi, mungkin cocok dan bisa digunakan untuk mencari jalan keluar atas persoalan yang dihadapi masyarakat. Bila tidak berhasil atau kurang berhasil setelah dievaluasi, maka kerja dakwah
berikutnya bisa
digunakan pendekatan lain yang lebih sesuai dengan
78
kebutuhan. Prinsipnya kerja dakwah harus tetap berjalan sembari
memperbaiki
kekurangan
yang
ada,
baik
menyangkut pendekatan, metode, maupun materi dakwah yang diberikan. Apalagi menyangkut pemahaman masyarakat yang masih awam tentang Islam yang damai, yang menghargai perbedaan, maka dibutuhkan pemahaman yang baik dan metode yang tepat dalam memberikan wawasan kepada mereka.
79
BAB III METODOLOGI A. Jenis dan sifat Penelitian 1. Jenis Penelitian Dilihat dari mana sumber data yang diperoleh, maka penelitian ini masuk dalam jenis penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan adalah penelitian yang dilakukan dengan sebenarnya.1 Atau penelitian akan kehidupan masyarakat, bertujuan menghimpun informasi tentang masalah tertentu mengenai kehidupan masyarakat yang menjadi obyek penelitian.2 2. Sifat Penelitian Dilihat dari sifat data yang dihasilkan, maka penelitian ini masuk dalam penelitian kualitatif. Karena menghasilkan data diskriftif3 berupa-kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang dapat diamati.4
B. Populasi Dan Sampel 1
. Kartini kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Mandar Maju, Bandung, 1996),h. 32 2 . Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Logos, Ciputat, 1997),h. 14. 3 . Data diskriftif bisa dijadikan bahan untuk memecahkan masalahmasalah aktual yang muncul dan dihadapi sekarang. Lihat Asep Syaiful Muhtadi dan Agus Ahmad Syafii, Metode Penelitian Dakwah, (CV.Pustaka setia, Bandung, 2003), h. 126. 4 .Lexy Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Rosda, Bandung, 1997), h. 4
79
80
Populasi adalah keseluruhan dari obyek yang mau diteliti. Sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi yang terpilih karena ciri-ciri dan sifatnya bisa mewakili dari populasi. Jalaluddin Rakhmat menyebut bagian dari populasi yang diamati sebagai sampel.5 obyek
penelitian
bisa
Dalam penelitian dakwah
berupa
da’i
,organisasi
(Muhammadiyah, NU, GP. Ansor dll), individu, masyarakat, pesan dakwah, media, dll. Populasi dalam penelitian ini adalah para da’i yang ada di daerah konflik yang berada di Kecamatan Way Panji Kabupaten Lampung Selatan. Oleh karena berbagai hal, maka sampel dalam penelitian ini akan difokuskan kepada da’i-da’i yang mewakili lembaga-lembaga dakwah yang terdiri dari : MUI Provinsi Lampung 1 orang, FKUB Kabupaten Lampung Selatan 1 orang, MWCNU Kecamatan Way Panji 1 orang, Dewan
Pimpinan
Daerah
Muhammadiyah
Kabupaten
Lampung Selatan 1 orang. Ditambah Tokoh agama Hindu 2 Balinuraga orang, tokoh masyarakat 3 orang. Masyarakat 2 orang Selengkapnya jumlah sampel atau responden bisa di lihat dibawah ini : NO
NAMA
ALAMAT
1
H. Mawardi
2
KH.
Bandar Lampung Soleh Palas
5
KETERANGAN
Ketua MUI Lampung Da’i, Pimpinan
. Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, Cetakan Ke enam, (Rosda, Bandung, 1998), hlm. 78
80
81
Bajuri
3
Mangku Gambar
Desa Balinuraga
4
Marwan Abdullah
Kalianda
5
Kalianda
6
KH.Nafis Gufran Kiai Ma’ruf
7
Kiai. Tarmuji
Desa. Sidoharjo Desa.Sidoharjo
Pondok Pesantren Raudatul Shalikhin Tokoh agama Hindu Balinuraga Kec. Waypanji Sekretaris Kesbangpol Lampung Selatan. Sekretaris Majelis Penyeimbang Adat Lampung Selatan Ketua FKUB Lampung Selatan Ketua MWC. NU Kec. Waypanji Tokoh agama Ds. Sidoharjo
8
Kiai.
Desa. Sidoreno
Nuruddin
Tokoh agama Ds. Sodoreno
9
H. Suyoko
Desa Sidoharjo
10 11
Komang katini Badaruddin
Desa Balinuraga Candipuro
12
Rohani
Desa patok
13
Widi Pambayun
Sidomulyo
81
Tokoh Muhammadiyah Lampung Selatan. Tokoh Adat Desa balinuraga Tokoh Pemuda Anshor Lampung Selatan Pedagang Pasar Patok Tokoh pemuda
82
. C. Metode Pengumpulan Data 1 . Sumber Data Sesuai dengan masalah penelitian, data utama
dalam
penelitian ini akan diperoleh dari keterangan, penjelasan dan pandangan-pandangan para da’i yang mewakili organisasi keagamaan yang ada di Kabupaten Lampung Seseperti
:
MUI,
FKUB,
NU,
Muhammadiyah.
Sedangkan data tambahan diperoleh dari tokoh adat, tokoh pemuda, sekretaris Kesbangpol
serta kajian
literatur baik berupa buku, majalah, koran, maupun dari internet. 2. Teknik Pengumpulan data Teknik pengumpulan data
dalam penelitian ini
digugunakan tiga metode: (1) Wawancara/interviw, (2) Observasi, dan (3). Dukumentasi. Wawancara dilakukan terhadap tokoh-tokoh agama Islam guna mencari data yang berkaitan dengan pendapat, pandangan, tentang upaya damai yang dilakukan Pemda
dan usaha para
tokoh agama dalam melakukan dakwah untuk menjaga perdamaian pasca konflik di Way Panji Lampung Selatan. Sedangkan observasi dilakukan untuk melihat kondisi bangunan rumah, tempat ibadah pacsa konflik. Juga untuk melihat kehidupan masyarakat Balinuraga dan masyarakat Desa Agom Pasca perdamaian. Pasca 82
83
konflik sosial. Observasi juga dilakukan untuk melihat perubahan perilaku masyarakat pasca bentrok sosial. Sedangkan dukumentasi dilakukan untuk mencari data bukti-bukti tertulis perjanjian damai dari kedua belah pihak, Pernyataan sikap Jaringan Masyarakat lampung Selatan dalam menyikapi perdamaian.
3. Teknik Analisa Data Analisis data, dalam penelitian ini, jenis analisa data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Proses analisis data
dimulai dengan menelaah data yang sudah
dikumpulkan dari wawancara dan dukumen, serta observasi . Data-data dibaca, dipelajari, dan ditelaah, dan langkah berikutnya adalah melakukan reduksi data.6 Tahap reduksi dilakukan dengan: Membuat satuan, membuat katagorisasi, diakhiri dengan penafsiran data dan kesimpulan dengan menggunakan proses berfikir deduktif induktif.
6
Ibid, h. 190.
83
84
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sekilas tentang Kecamatan Way Panji Lampung Selatan Kecamatan Waypanji merupakan salah satu bagian dari kecamatan di wilayah Lampung Selatan, yang membawahi empat desa dengan jumlah penduduk sekitar 16. 547 jiwa, dengan total luas wilayah 3480 KM persegi. Way Panji termasuk kecamatan yang multi etnis karena dihuni oleh beberapa suku atau etnis seperti : Bali, Jawa, Sunda, Lampung dll. Secara topografis Kecamatan waypanji sebagai besar berbentuk
permukaan
tanah
dataran
sedang
dengan
ketinggian dari permukaan laut kurang dari 100 m. Dan sebagian besar penduduknya berpencaharian sebagai petani tanaman padi dan palawija. Secara administrasi Kecamatan Waypanji terbentuk berdasarkan Peraturan daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 03 Tahun 2006 Tanggal 15 Juni 2006 , yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Sidomulyo, dan mendapat pemilihan
empat desa, yaitu : Desa Sidoharjo,
Desa Sido Makmur, Desa Sidoreno, Desa Balinuraga1, 1
. Desa Balinuraga awalnya adalah lahan milik pemerintah yang kemudian dijadikan sebagai daerah tujuan tranmigrasi pada tahun 1963.
85
dengan pusat pemerintahan di Desa Sidoharjo. Melihat namanama desa di Kecamatan Way Panji, maka sebagian besar penduduknya beretnis Jawa (orang Lampung asal jawa), terutama yang mendiami Desa Sidoharjo, desa Sidoreno, Desa Sido Makmur, dan etnis Bali (orang Lampung dari etnis Bali) terutama Desa Balinuraga yang hampir 90 persen etnis Bali, dan sebagian Desa Sidoreno yang secara geografis bersebelahan dengan Desa Balinuraga. Kecamatan Way Panji berbatasan dengan : 1. Sebelah utara dengan Kecamatan Candipuro; 2. Sebelah barat dengan Kecamatan Sidomulyo; 3. Sebelah selatan dengan Kecamatan Kalianda’ 4. Sebelah timur dengan Kecamatan Palas.
B. Potret Kehidun Sosial Keagamaan Masyarakat Untuk melihat gambaran atau ‘potret’ keberagamaan suatu masyarakat atau lebih kecil lagi seseorang, bisa dugunakan pendapat dari Glock dan Stark sebagaimana yang Desa ini awalnya adalah masuk wilayah Kecamatan Kalianda. Karena pemekaran wilayah, kemudian masuk wilayah Kecamatan Way Panji. Desa Balinuraga sebagian besar didiami masyarakat Lampung asal Pulau Bali yang datang secara gelombang. Pada tanggal 27 September Dinas Tranmigrasi menempatkan 4 (empat) rombongan tranmigrasi di Balinuraga. Rombongan itu adalah: 1. Sidorahayu dipimpin oleh PAN SUDIARTANA yang berjumlah 250 KK; 2. Sukanadi diketuai oleh PAN KEDAS yang berjumlah 75 KK; 3. Pandearge diketuai MADE GEDAH, yang berjumlah 175 KK; dan 4, Rengas diketuai oleh Oyok berjumlah 40 KK. Dukumentasi, RPJM Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji Lampung Selatan Tahun 2011-215.
86
dikutip oleh Khairuddin Nasution, bahwa keberagamaan bisa dilihat berdasarkan lima hal : 1. Idiologi (keimanan) atau kepercayaan akan adanya Tuhan atau kekuatan supra natural di luar diri manusia; 2. Intelektual (tingkat pengetahuan ) akan ajaran agama yang dimiliki. Kalau dalam Islam pengetahuan mulai dari memahami rukun iman (arkanu al-iman), rukun Islam (arkanu al-Islam), dan akhlak (al-Ikhsan). 3. Eksperiansial, keterlibatan emosional dan sentimental berupa perasaan keagamaan (religion felling) yang muncul dalam bentuk : (1) konfirmatif, (2) responsif, (3) eskatik, dan (4) partisipatif dalam berbagai kegiatan keagamaan. 4. Ritualistik, melakukan upacara-upacara keagamaan, seperti : Berdoa, sembahyang, shalat, puasa, haji, menyembelih korban dll. 5. Konsekuensional, implikasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama yang dianut.2 Kalau
diperhatikan dari
unsur-unsur
sebagaimana
dijelaskan di atas, untuk melihat kondisi sosial keagamaan masyarakat Kecamatan Way Panji, maka dapat dikatakan bahwa: Pertama, dilihat dari sisi kepercayaan, mayoritas
2
. Khairuddin Nasution, Pohon Ilmu, makalah Seminar, Pascasarjana UIN Sunankalijaga, Yogyakarta, 2012, hlm. 6.
87
mereka telah beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan keyakinan dan agama masing-masing. Kedua,dilihat dari pengetahuan agamanya, masyarakat Way Panji bisa dikatakan sebagian besar masih awam, dan hanya sebagian kecil yang memahami pengetahuan agama secara mendalam.3 Dilihat dari sarana
keagamaan atau tempat peribadatan,
masyarakat Kecamatan Way Panji bisa dikatakan sebagai masyarakat yang cukup memiliki kepedulian terhadap sarana peribadatan dan keagamaan. Bahkan di Desa Sidoharjo yang merupakan pusat pusat pemerintahan Way Panji terdapat gereja dan masjid yang cukup megah.4 Di beberapa desa juga tersedia tempat-tempat ibadah seperti masjid, mushalla, dan pura. Bagi yang muslim rata-rata lebih dari dua masjid, dan relatif bagus di masing-masing desa. Kegiatan keagamaan seperti pengajian, rutin dan peringatan hari-hari besar keagamaan
juga
berjalan.
Demikian
halnya
kegiatan
peribadatan seperti shalat lima waktu dan shalat jum’at juga berjalan. Meskipun demikian masih saja ada masyarakat yang tidak taat, dan itu ada dalam semua agama, Misalnya yang muslim tidak pergi ke masjid, tidak puasa, hanya shalat hari raya saja.5
3
. Badaruddin, tokoh pemuda NU Lampung selatan, wawancara 23 September 2013. 4 . Obsernasi, Senin 6 Oktober 2013. 5 . Ibid.
88
Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat Desa Balinuraga yang penganut Hindu, pura sebagai tempat bersembahyang tersedia banyak dan bagus-bagus. Tercatat ada 18 Pure besar6, bahkan hampir di setiap rumah mereka terdapat pura keluarga.7 Namun demikian kalau dilihat dari sisi pengetahuan, pemahaman, dan penghayatan terhadap agama, nampaknya masih perlu penerangan, pembinaan dan pemantapan terus menerus. Terutama keteladanan dari perilaku tokoh agama masing-masing. Menurut tokoh adat Bali Mangku Wayan Pande Gambar8, pada awal-awal orang Bali datang ke Way Panji mereka masih mau mengikuti dan menurut dengan nasehat para pendeta seperti Sri Empu Suci9, Made Gedah dan tokoh adat yang lain, tetapi belakangan ini banyak anak muda yang 6
. Dukumentasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji, Tahun 2011-2015, hlm.21. 7 . Hasil observasi di Desa Bali Nuraga, kamis 8 September 2013 8 . Wayan Pande Gambar, adalah putra ketiga dari Sri Empu Suci tokoh agama Hindu Desa Balinuraga yang menjadi pelanjut dari ayahnya menjadi tokoh adat dan tokoh agama, setelah kakaknya Made Gedah meniggal dunia. 9 . Sri Empu Suci, adalah tokoh Balinuraga yang datang pertama ke Lampung dan menetap di Desa Balinuraga. Ia adalah seorang Pendeta yang berasal dari Nusa Penida Bali Selatan. Ia datang ke Lampung pada tahun 1963 dengan membawa 150 Kepala Keluarga. Sebelum sampai di Desa yang sekarang Balinuraga rombongan numpang beberapa saat di Desa Sidowaluyo Kecamatan Sidomulyo, karena daerah di sekitar Lampung Selatan masih banyak hutan belantara, masih banyak gajah. Para tranmigran banyak yang meninggal dunia karena sakit, akhirnya di ruwat oleh Sri Empu Suci, dan secara bertahap dibangunlah daerah ini kemudian menjadi ramai, dan secara bertahap berdatangan rombongan warga Bali dari berbagai marga. Wawancara dengan wayan Pande Gambar, Kamis 8 September 2013.
89
sudah tidak mau belajar dengan tokoh agama, mereka lebih banyak belajar ke luar, seperti telivisi, dan lainnya. Maka mereka banyak yang berubah dan tidak taat lagi dengan tokoh-tokoh agama. Maka gaya hidup, dan tingkah laku mereka sudah banyak yang keluar dari nilai-nilai agama. Untuk itulah sekarang kita galakkan kembali kepada anak-anak muda untuk mulai mencintai , belajar agama dan tata krama kehidupan yang sesuai dengan keyakinan kami. Juga menanamkan kecintaan kepada tanah air dimana kita tinggal sebagai warga Lampung, dengan falsafah “Dimana bumi dipijak, disitu langait dijunjung”, maksudnya sebagai warga Lampung, kita juga harus menghormati dan mencintai budaya Lampung, jelas Mangku Gambar10. Untuk kegiatan tersebut mereka dikumpulkan dalam wadah “Pasrama” semacam pesantren dalam Islam, di sini anak-anak muda dibina mentalnya, diberi pelatihan kerajinan tangan, menari bahkan membuat ukiran khas Lampung. Pembinaan keagamaan terhadap masyarakat terutama para pemuda juga menjadi perhatian dari H. Mawardi, ketua Majelis Ulama (MUI) Provinsi Lampung. Menurutnya, pemahaman agama yang yang tipis, menjadi salah satu penyulut
kemarahan
sebagaimana
kasus
Way
Panji.
Kurangnya pemahaman dan penghayatan agama, akan mudah menyulut emosi manusia yang pada akhirnya melakukan 10
. Ibid
90
tindakan diluar akal sehat.11 Untuk itu Mawardi mengajak kepada tokoh-tokoh agama, tokoh adat, para ulama dan kiai untuk tidak bosan-bosan memperhatikan dan melakukan pembinaan
agama
masyarakat,
agar
pemahaman,
pengetahuan, dan pengamalan terhadap nilai-nilai agama menjadi lebih baik. Dengan demikian agama akan menjadi perekat dan pemersatu masyarakat yang beragam, seperti di Lampung ini.12
C. Akar Konflik Sosial Di Way Panji Sebagaimana diketahui pada tanggal 27 sampai 29 Oktober 2012 telah pecah konflik sosial di Kecamatan Way Panji Kabupaten Lampung Selatan yang melibatkan dua kampung yakni Desa Agom Kecamatan Kalianda dengan masyarakat Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji. Oleh karena kejadiannya di wilayah Desa Sidoreno Kecamatan Way Panji, maka peristiwa berdarah tersebut dikenal dengan tragedi Way Panji Lampung Selatan. Akibat dari amuk massa itu lebih dari 14 orang13 dinyatakan menjadi korban 11
. H. Mawardi AS, Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Lampung, wawancara pribadi, Rabu 18 September 2013. 12 . Ibid. 13 . Data resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah lampung Selatan 14 korban jiwa, namun jumlah korban sesungguhnya lebih banyak dari itu. Pendapat ini dikemukakan oleh Kiai Ma’ruf Ketua MWC (Majelis Wakil Cabang) Nahdlatul Ulama Kecamatan Waypanji Lampung Selatan, dan juga diperkuat oleh Tarmuzi sesepuh dan tokoh masyarakat Desa Sidoharjo, dan Kiai Nurudin tokoh masyarakat Desa Sidoreno Kecamatan Waypanji.
91
meninggal dunia baik dari Warga Agom maupun Bali Nuraga, 350 rumah warga etnis Bali di Desa Balinuraga dan di Desa Sidoreno. Untuk menyelamatkan warga Lampung etnis Bali, waktu itu banyak yang perempuannya dikasih kerudung dan yang pria dikasih kopiah agar tidak menjadi sasaran massa yang mengamuk, dan rumah-rumah mereka dikasih sajadah.14 Pertanyaannya, lalu apa sesungguhnya yang menjadi penyebab terjadinya konflik sosial yang menimbulkan banyak korban itu? Sampai-sampai Presiden mengirim lima pembantunya (menteri), 15 dan memerintahkan agar kasus kemanusiaan itu segera ditangani secara cepat dan tepat. Berdasarkan keterangan dari berbagai sumber yang ditemui penulis, peristiwa Way Panji berduka, dipicu oleh aksi anakanak muda etnis Bali yang menggoda gadis asal Desa Agom yang hendak belanja untuk keperluan mereka di minimarket yang tidak jauh dari pasar di desa patok. Dalam Peristiwa itu
14
. Kiai Nuruddin Pimpinan Majelis Ta’lim Al-Barokah Desa Sidoreno Kecamatan waypanji, yang merupakan desa perbatasan dengan Desa Balinuraga. Desa Sidoreno terdapat beberapa rumah warga Etnis Bali yang juga menjadi sasaran amuk massa pada peristiwa bentrok massa di Way Panji. Bahkan Desa Sidoreno adalah tempat bertemunya dua belah pihak yang berseteru pada tanggal 27 Oktober itu. Wawancara pribadi, Senin 9 Oktober 2013. 15 . Lima mentri itu adalah : (1) Menteri Dalam Negeri Gumawan Fauzi, (2) Menteri Kordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono (3) Menteri Sosial, Salim Segaf Al-Jufri, (4) Menteri Perumahan Rakyat, Djan Fariz dan (5) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Serta sejumlah pejabat yang meninjau lokasi kerusuhan .
92
dua gadis yang diganggu dijalan di jalan itu terjatuh, dan ditolong oleh pemuda yang mengangu tersebut. Tetapi, sambil menolong mereka juga melakukan pelecehan terhadap gadis tersebut, yang mengakibatkan gadis itu semakin marah. Setelah pulang ke rumah peristiwa itu dilaporkan kepada keluarga gadis tersebut. Upaya damaipun sudah dilakukan oleh pihak orang tua gadis dengan meminta kepada kepala Desa Agom untuk bertemu kepada kepala Desa Balinuraga atau tokoh adatnya. Namun niat baik tersebut tidak diterima baik oleh Kepala Desa Balinuraga, bahkan ia minta agar diselesaikan sendiri kepada keluarga atau kepada yang bersangkutan.16 Karena tidak ada niat baik, maka pada hari berikutnya Minggu 28 2012, masyarakat Desa Agom mendatangi Desa Balinuraga untuk minta pertanggung jawaban ulah pemuda tersebut. Rupanya kedatangan mereka sudah didengar
dan
diketahui
oleh
penduduk
Desa
Balinuraga, mereka menyambut rombongan dari Desa Agom di desa Sidoreno17 dengan membawa senjata tajam seperti : Pedang, kelewang, golok bambu runcing, keris dll, layaknya mau perang. Tak ada lagi kata perdamaian yang terucap diantara 16
mereka.
Perkelahian
antar
dua
desa
yang
. Baca pernyataan Sikap Warga masyarakat Lampung Selatan yang tergabung dalam jaringan Masyarakat Lampung Selatan,Dukumentasi Kantor Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, hlm. 1. 17 . Lokasi pertemuan kedua belah yang bertikai pas di lahan kosong tanah persawahan di Desa Sidoreno . Kiai Nurudin, tokoh masyarakat Desa Sidoreno, wawancara, 9 Oktober 2013.
93
bertetanggapun pecah tidak bisa dihindari lagi. Karena jumlah yang datang tidak seimbang, maka pada saat itu jatuh korban tiga orang dari Desa Agom. Kematian tiga orang Agom ini menyulut kemarahan warga masyarakat etnis Lampung. Sentimen etnis anti Lampung disebar melalui pesan singkat, blackbary, dan twitter entah siapa yang memulai. Kontan saja melalui jejaring sosial itu memicu semangat dan kemarahan etnis Lampung. “Hutang nyawa harus dibayar nyawa” begitu diantara bunyi pesan tersebut. Intinya mereka sepakat
bersiap-siap menuntut balas dan
memberi pelajaran kepada pemuda etnis Bali yang diannggap sudah keterlaluan, pada esuk harinya. Dan akhirnya pada senin 29 Oktober 2012 sekitar jam 14.00 WIB warga Desa Agom yang beretnis Lampung dan puluhan ribu massa dari lampung Selatan, Lampung Timur, Pesawaran, melakukan serangan balik kepada
warga Balinuraga. Ribuan aparat
keamanan diterjunkan untuk melerai konflik, tetapi tidak sebanding dengan jumlah warga. Merekapun tidak bisa berbuat banyak. Massa menerobos lewat perkampungan dan persawahan untuk menuju ke desa Balinuraga dari berbagai penjuru. Menurut Nuruddin, massa yang sudah emosi sudah tidak bisa dikendalikan lagi, mereka membakar rumah-rumah penduduk, merusak barang barang warga, merusak salah satu pure di Desa Sidoreno, menyerang orang-orang yang melawan dan siapa saja yang ditemui. Demi keamanan warga
94
Desa Sidoreno diungsikan ke desa terdekat dan suasana sangat mencekam.18 Dalam peristiwa itu ada seorang tokoh masyarakat Balinuraga yang baik hati, dermawan suka membantu pembangunan masjid dan mushalla dibeberapa desa, bernama Malini ikut menjadi korban karena bertahan di rumah.19 Kedermawanan Malini juga diakui oleh H. Suyoko (67
Tahun)
tokoh
agama
dan
pengurus
Daerah
Muhammadiyah Kabupaten Lampung Selatan yang tinggal di Desa Sidoharjo. Menurutnya bapak Malini meski beragama Hindu tetapi ranjin menyumbang untuk masjid. Hal ini imbuh Suyoko, karena bapak Malini sering mendengarkan ceramah KH. Zainuddin MZ.20 Iapun merasa sedih mengenang Malini orang baik, seperti teman sendiri menjadi korban kekerasan yang tidak perlu itu. Namun itulah mungkin sudah menjadi takdir yang Maha Kuasa, maka apa yang terjadi terjadilah. Suyoko
berharap
semua
masyarakat
bisa
mengambil
pelajaran (i’tibar) dari peristiwa ini.21 Kalau dikaji secara mendalam sesungguhnya akar masalah dari peristiwa berdarah di Way Panji itu ada beberapa faktor yang melatar belakanginya, diantaranya :
18
. Kiai Nuruddin, wawancara, Senin 9 Oktober 2013. . Tarmuzi (65 tahun), sesepuh masyarakat Desa Sidoharjo, wawancara Senin 9 Oktober 2013. 20 . H. Suyoko, ketua takmir masjid Mariyam Desa Sidoharjo juga pengurus Daerah Muhamadiyah Kabupaten Lampung Selatan, Wawancara pribadi, Senin 9 Oktober 2013. 21 . Ibid. 19
95
1. Arogansi dari sebagian anak-anak muda etnis Bali yang merasa hebat, merasa jago merasa dilindungi oleh tokoh-tokoh mereka. Sikap demikian membuat sebagian mereka “menguasai” wilayah disekitar Way Panji, Sidomulyo dan sekitarnya. Dan menjadikan pasar Desa Patok sebagai pusat kenakalan mereka. Sifat arogansi yang lain menurut Ma’ruf, banyak anak-anak
etnis
Bali
sering
menganggu
hajat
penduduk yang sedang pesta untuk merayakan sunatan ataupun nikahan. Bentuknya mereka mabukmabuikan di tempat pesta, bikin ribut, dan makan semaunya tanpa ada etika dan sopan santun.Kalau ditegur tuan rumah atau panitia, mereka marah-marah dan mengancam akan merusak acara pesta.22 2. Moral, banyak anak-anak gadis di sekitar desa di Kecamatan Way Panji yang dirayu, dikencani, dihamili,
oleh
pemuda
etnis
Bali
dan
tidak
bertanggung jawab. Sebagai contoh ada gadis cucu dari bapak Hasan warga Desa Sidoharjo, yang menjadi korban kenakalan mereka.23 Pernyataan yang sama juga dikatakan oleh Suyoko, bahwa anak-anak
22 . Kiai Ma’ruf, tokoh agama Desa Sukoharjo, wawancara, Senin 9 Oktober, 2013. 23 . Ibid.
96
muda Bali ada yang “membuntingi” gadis-gadis desa dan tidak bertanggung jawab24. 3. Mengganggu kebebasan beragama. Menurut Tarmuzi, sebelum kejadian peristiwa Waypanji, tahun 2012 itu, ketika orang Islam sedang melakukan takbiran menyambut hari Raya Idul Fitri 1433 H Tahun 2012 M. Ketika rombongan takbir keliling sampai di pasar Patok, banyak anak-anak Bali yang mengganngu jalannya takbiran dengan menggember-gemberkan (mengeraskan) knalpot motor. Hal yang sama juga diulangi dengan menggangu dua gadis
Agom
menjelang Idhul Adha.25 Pendapat ini dibenarkan oleh H. Suyoko, dan Kiai Ma’ruf. Meskipun mengganggu kebebasan
beragama,
tetapi
menurut
Marwan
Abdullah, kasus Way Panji murni karena ulah dan kenakalan
anak-anak
muda,
yang
tidak
bisa
mengontrol diri. Tidak ada kaitannya dengan agama dan keyakinan, karena mereka saling menghargai dalam masalah agama dan keyakinan.26 4. Ekonomi. Naiknya kemampuan ekonomi masyarakat etnis Bali dibanding etnis Jawa, Sunda, dan etnis Lampung, karena keuletan dan kesederhanaan mereka 24
. Suyoko, tokoh agama, wawancara, senin 9 Oktober 2013. 25 . Tarmuzi, wawancara Senin 09 Oktober 2013. 26 . Marwan Abdullah, sekretaris kantor Kesatuan Bangsa dan Pembinaan politik, Kabupaten Lampung Selatan,wawancara, Kamis 8 September, 2013.
97
, menjadikan gaya hidup sebagian masyarakat berubah. Mereka merasa lebih dibanding dengan etnis lain. Pernyataan ini juga diakui oleh Ki Wayan Gambar, kini banyak anak-anak orang Balinuraga yang berubah dan tidak mau lagi mendengarkan nasehat orang tua dan tokoh-tokoh agama. Mereka lebih banyak belajar ke luar daripada mendengarkan kami
27
. Kami orang Bali memiliki ajaran Tri Hita
karana, sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan, yakni membangun hubungan yang baik antara manusia dengan manusia, manusia dengan Sang Pencipta, dan manusia dengan lingkungan. Falsafah ini menjadi acuan dan pegangan bagi orang Bali dalam menjalani kehidupan sehari-hari, dengan menempatkan tiga aspek spiritual (parahyangan), manusia
(pawongan),
dan
fisik
(palemahan).
Masyarakat Bali juga diajarkan oleh para leluhurnya untuk mengedepankan sifat rendah hati dan tidak sombong. Namun , mengapa ajaran dan nilai-nilai luhur itu tidak lagi menjadi pegangan anak-anak Bali ? Itu karena mereka lebih suka belajar dan mengikuti contoh yang tidak baik dari luar. Dan itu pula yang menjadi
27
. Wayan pande Gambar, tokoh adat Balinuraga, wawancara, 19 September 2013.
98
keprihatinan para sesepuh Bali seperti Ki Wayan Gambar. 5. Disisi lain, banyak orang-orang Bali yang menjadi rentenir
yang menghutangkan uangnya kepada
masyarakat sekitar. Keadaan ini menjadikan sebagian etnis lain menjadi tergantung dengan para rentenir etnis Bali dan etnis Batak.28 Pendapat ini menguatkan statemen yang dikatakan oleh Hartoyo, bahwa sumber konflik di lampung masih didominasi oleh faktor sosial ekonomi. Hal ini bukan berarti faktor lainnya tidak penting. Faktor etnis, agama dan lokalitas dapat dipandang sebagai komplementer yang menambah semakin kerasnya konflik.29 6. Konflik politik. Menurut Badaruddin, tokoh Gerakan pemuda Anshor30 Lampung Selatan, dan juga mantan anggota DPRD Lampung Selatan, peristiwa Waypanji tidak bisa dipisahkan dengan konflik politik antara pemangku kekuasaan dengan tokoh adat di Lampung 28
. H. Suyoko, tokoh Muhammadiyah, wawancara, 9 Oktober 2013. . Hartoyo, “Memutus Mata Rantai Konflik Di Bumi Lampung”, dalam, Budi Santoso Budiman dan Oyos Suroso (peny), Merajut Jurnalisme Damai Di Lampung, (AJI Bandar Lampung, 2012), hlm. 39. 30 . Gerakan Pemuda Ansor atau sering di singkat GP. Ansor, adalah organisasi kepemudaan yang lahir dari keluarga besar Nahdlatul Ulama, sebagai bagian dari organisasi Laznah (otonom) yang berdiri sendiri. GP Ansor memiliki kepengurusan dari tingkat Pusat, wilayah hingga ke kabupaten Kota (cabang) seluruh Indonesia. Sebagai organisasi kepemudaan GP. Ansor memiliki tiga misi perjuangan: Misi Kepemudaan, misi keislaman dan misi Kebangsaan. 29
99
Selatan. Kasus Waypanji terjadi karena Bupati lampung Selatan Rico Mendoza, kurang menghargai tokoh-tokoh adat lokal yang dianggap berjasa bagi Lampung Selatan. Apalagi Nama jalan Abdul Muis yang merupakan tokoh Lampung Selatan diganti dengan
nama
menimbulkan
Zainal protes
Abidin warga
Pagar
Alam,
masyarakat
yang
berbuntut pada penghancuran patung perunggu Zainal Abidin Pagar Alam yang juga nenek dari bupati Lampung Selatan saat ini, oleh sejumlah eleman masyarakat yang tidak setuju dengan pendirian patung tersebut.31 7. Ketimpangan pembangunan. Menurut Syarief Mahya dosen Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung,
Konflik
sosial
bisa
terjadi
karena
ketimpangan pembangunan yang disebabkan adanya diskriminasi
kebijakan
menguntungkan
bagi
pemerintah penduduk
yang
asli,
tidak
sehingga
berakibat terjadinya ketimpangan antara penduduk pendatang dan penduduk asli.32 Kebijakan pemerintah untuk
memajukan
daerah
tranmigrasi
telah
menimbulkan kesenjangan yang mencolok antara 31
. Badaruddin, tokoh Pemuda Anshor Lampung Selatan, wawancara, 15 September 2013. 32 . Syarief Mahya, “Kerusuhan Antar Etnis dan Problem Integrasi di Lampung”, dalam Budi Santoso Budiman dan Oyos Suroso (peny), Merajut Jurnalisme Damai Di Lampung, (AJI Bandar Lampung, 2012), hlm. 55.
100
daerah tranmigran yang penduduknya sebagian besar berasal dari Jawa, dengan daerah penduduk asli. Secara kasat mata kehidupan dan infrastruktur daerah pendatang lebih maju ketimbang daerah penduduk asli. 8. Lemahnya penegakan Hukum. Kasus Waypanji juga lanjutan dari kasus sebelumnya yang terjadi di Sidomulyo pada Bulan Januari 2012 yang belum selesai
secara
hukum,
dan
masih
menyisakan
persoalan, dan kekecewaan,dan diantara mereka belum saling melupakan dan memaafkan. Pendapat ini sejalan dengan analisa M. Yamin Panca Setia, yang menyatakan bahwa konflik tanggal 27-29 Oktober 2012 di waypanji adalah akumulasi dari konflik sebelumnya.Di tempat lain, bentrok antar warga juga pernah terjadi di Jabung pada September 2012 yang dipicu karena pelanggaran norma sosial. Sayangnya pemerintah dan aparat terkesan melakukan pembiaran.33 Menurut Gubernur Lampung Sjahroedin Z.P. saat menghadiri deklarasi damai di Lapangan bola Desa Agom Kecamatan kalianda, pertikaian antar warga beberapa waktu lalu di Desa Balinuraga Way Panji, seharusnya tidak perlu terjadi bila 33 . M. Yamin Panca Setia, “Mengobati Luka Balinuraga” dalam “ Budi Santoso Budiman dan Oyos Saroso HN, Merajut Jurnalisme Damai Di Lampung, (AJI, Bandar Lampung, 2012), hlm. 80.
101
masyarakat taat hukum. Ia juga menambahkan semua warga yang berdomisili di Lampung adalah warga Lampung.34
Dari penjelasan di atas bisa dipahami, bahwa banyak faktor yang menjadi penyebab atau akar masalah terjadinya konflik sosial di Kecamatan Way Panji Lampung Selatan. Ada faktor arogansi kelompok, ada pelanggaran moral, ada faktor kebencian yang disebabkan oleh prilaku yang tidak menyenangkan yang dilakukan sebagian dari anak-anak muda etnis Bali, ada faktor kecemburuan sosial ekonomi, ada faktor sentimen agama meskipun tidak terlalu besar, ada juga faktor politik yang ikut bermain, lemahnya kesadaran dan penegakan hukum, dan
faktor
perbedaan
etnis.
Faktor-faktor
tersebut
mengumpal, berakumulasi menjadi satu dan mudah pecah menjadi prahara ketika ada pemicu yang tidak segera diselesaikan dengan cara adat dan hukum sebagaimana diuraikan di atas. Melengkapi
dari
data-data
temuan
di
atas,
berdasarkan dukumen Pernyataan Sikap warga masyarakat Lampung
Selatan
yang
tergabung
dalam
jaringan
masyarakat Lampung Selatan yang ditanda tangani sejumlah tokohnya, menyebutkan bahwa terjadinya tragedi 34
. Lampung Post, Senin 26 November 2012, hlm. 24.
102
Balinuraga permasalahan
adalah yang
berangkat sudah
dari
permasalahan-
terjadi
bertahun-tahun
sebelumnya, diantaranya : 1. Pada tahun 1982 akibat perselisihan pemuda Desa Sandaran dan Desa Balinuraga, warga Bali Nuraga menyerang dan membakar 2 rumah di Desa Sandaran; 2. Pada tahun 2005 masyarakat Bali Agung Kecamatan palas membakar beberapa rumah penduduk di Desa Palas Pasmah; 3. Tahun 2009 masyarakat Bali di Kecamatan Ketapang melempari masjid di Desa Ruguk Kecamatan Ketapang; 4. Pada tahun 2010 masyarakat Bali Agung menyerang Desa Palas Pasmah dengan melakukan pembakaran beberapa rumah penduduk, dan mengakibatkan 1 (satu) orang meninggal dunia dari warga palas Pasemah; 5. Tahun 2010 masyarakat Bali dari Kecamatan Ketapang menyerang Desa tetaan Kecamatan Penengahan dan menghancurkan Gardu Ronda dan pangkalan ojek di perempatan Desa Gayam Kecamatan Penengahan; 6. Akhir Tahun 2011 masyarakat Bali menyerang Desa Marga catur dengan melakukan pembakaran belasan rumah Suku Lampung dan saat melakukan penyerangan masyarakat Bali menggunakan simbul-simbul khusus adat istiadat Bali; 7. Bulan Januari 2012 masyarakat Bali melakukan tindakan premanisme terhadap pemuda dari Desa Kotadalom Kecamatan Sidomulyo. Lalu masyarakat Napal melakukan penyerangan terhadap Desa Kotadalom Kecamatan Sidomulyo yang menyebabkan beberapa orang warga Kotadalom mengalami luka-luka, dan beberapa rumah warga Lampung rusak, yang mengakibatkan
103
dibakarnya Dusun Napal Desa Sidowaluyo Kecamatan Sidomulyo oleh Suku Lampung. 8. Pada malam takbiran Idul Fitri tahun 2012, para pemuda Desa Bali Nuraga melakukan kerusuhan/keonaran di depan Masjid Sidoharjo Waypanji disaat umat muslim melakukan takbiran keliling. 9. Ini belum termasuk isiden-isiden kecil lainnya dalam setiap hajatan Suku Jawa, Palembang, maupun Suku Lampung, para pemuda Suku Bali selalu melakukan kerusuhan dengan cara bergerombolan.35 Atas berbagai kejadian seperti tersebut di atas, maka kemarahan masyarakat Lampung sudah tidak bisa dibendung lagi. Berdasarkan pernyataan jaringan masyarakat lampung Selatan ini diketahui bahwa tragedi Bali Nuraga adalah murni permasalahan emosional (PHI’IL) yang sudah bertumpuk pada masyarakat Suku Lampung, dan bukan menyangkut permasalahan kesenjangan sosial. Hal ini sekaligus menampik pendapat yang mengatakan bahwa peristiwa ini dilatar belakangi oleh kesenjangan sosial. Namun demikian berdasarkan pendapat dari tokoh masyarakat seperti H. Suyoko ada juga faktor kesenjangan, dimana warga Bali secara ekonomi lebih pesat perkembangan ekonominya dibanding warga lainnya, ditambah ada yang menjadi rentenir menyengsarakan masyarakat 35
. Dukumen Surat Pernyataan Sikap Jaringan Masyarakat Lampung Selatan, hlm. 1-3.
104
sekitar, diyakini ikut menyumbang terjadinya peristiwa ini. D. Pandangan Para Da’i Tentang Upaya Damai
Pasca
Konflik Sosial. Upaya damai untuk mengakhiri konflik sosial di Way Panji telah ditandatangani oleh beberapa tokoh masyarakat, tokoh adat yang menjadi perwakilan warga yang bertikai pada Minggu 4 November 2012 bertempat di Bali Keratun Ruang Abung Provinsi Lampung di Bandar Lampung. Dalam perjanjian damai itu masing-masing suku diwakili oleh 10 orang, dan beberapa orang saksi. Oleh karena berbagai tuntutan dari jaringan masyarakat Lampung Selatan agar masyarakat Balinuraga meminta maaf secara terbuka di tengah masyarakat Lampung Selatan, bukan hanya di depan pejabat dan di luar Lampung Selatan, maka deklarasi damai secara terbuka dilakukan di lapangan bola Desa Agom Kecamatan Lampung Selatan pada hari Rabu 21 November 2012. Deklarasi damai ini dihadiri ribuan warga dari kedua suku yang bertikai, dihadiri Gubernur Lampung Sjahroedin Z.P. Kapolda Lampung Brigjen Heru Winarko, ketua DPRD Lampung Marwan Cik Hasan, Bupati Lampung Selatan Rycko Mendoza, dan Wakil Bupati Eky Setyanto dan sejumlah pejabat yang terkait.36
36
. Lampung Post, Senin 26 November 2012, hlm. 24.
105
Adapun nama-nama perwakilan Suku Bali dalam penandatanganan perdamaian yang dimediasi Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Lampung Selatan : (1) Sudarsana (32 tahun) ahli waris Muriwan, (2) Desi, ahli waris Wayan Paing, (3), Jro Gede Andyana (64 tahun) ahli warisPan Kare dan wayan Kare, (4) Pan Setia (75 tahun) ahli waris Ketut Buda, (5) Made Sarno (22 tahun) ahli waris pak Rus, (6) Made karme (45 tahun) ahli waris Made Semare Jaya, (7) Made Ladre (27 tahun) ahli waris Pan Ladri, (8) Kadek Subagiarta (45 tahun) ahli waris dari Malini, (9) Ketut Wardane (41 tahun) Kepala Desa Balinuraga, (10) Kadek Sirye (39 tahun) Kepala Dusun Pande Arga.37. Sedangkan perwakilan dari Suku Lampung diwakili oleh : (1) Suryati (50 tahun) ahli waris dari Alwin Nazar alamat Tajimalea, (2) Basaruddin (29 tahun) ahli waris Marhadan, alamat Jembatan Besi Gunung Terang, (3) A. Roni (33 tahun) ahli waris Yahya, alamat Jati Permai kalianda, (4) Muksin Syukur (35 tahun) Kepala desa Agom , (5)Aliksan Iskapi (32 tahun) Lurah Wayurang Kalianda, (6) H. Syahrul Effendi (46 tahun) Kades Tajimalela, (7) H. M. Amin (50 tahun) Kades Gunung Terang, (8) H. Herman Yusuf (53 tahun) alamat Sidomulyo, (9) Temenggung Niti Zaman (65 tahun), alamat Kesugihan Kalianda, (10)Aripin
37
. Dukumen Perjanjian Perdamaian, Kantor Kesbangpol Kabupaten lampung Selatan Tahun 2013, hlm. 1.
106
(49 tahun) alamat Desa Tajimalela. Masing masing nama tersebut di atas bertindak atas bertindak untuk dan atas nama sendiri, juga mewakili warga masyarakat lampung Selatan Suku Bali, dan Warga Lampung Selatan Suku Lampung. Dalam perjanjian itu kedua belah pihak sepakat untuk melakukan perdamaian terhadap permasalahan yang telah terjadi dengan ketentuan seperti berikut : 1. Kedua belah pihak sepakat untuk menjaga keamanan, ketertiban, kerukunan, keharmonisan, kebersamaan dan perdamaian antar suku yang ada di bumi Khagom Mufakat Kabupaten Lampung Selatan yang kita cintai serta mendukung kelancaran program pembangunan yang sedang berjalan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Kedua belah pihak sepakat tidak akan mengulangi tindakan-tindakan anarkis yang mengatasnamakan SUKU, Agama, dan Ras (SARA), sehingga menyebabkan keresahan, ketakutan, kebencian, kecemasan dan kerugian secara material khususnya bagi kedua belah pihak dan umumnya bagi masyarakat luas. 3. Kedua belah pihak sepakat apabila terjadi pertikaian, dan perselisihan yang disebabkan oleh permasalahan pribadi, kelompok dan/golongan agar segera diselesaikan langsung oleh orang tua, ketua kelompok dan/ atau pimpinan golongan. 4. Kedua belah pihak sepakat apabila orang tua, ketua kelompok, dan/atau pimpinan golongan tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang tercantum sebaagaimana pada angka 3 (tiga) dan angka 4 (empat), maka akan diselesaikan secara musyawarah, mufakat dan kekeluargaan oleh tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda serta aparat pemerintah desa setempat.
107
5. Kedua belah pihak sepakat apabila penyeleesaiaan permasalahan seperti yang tercantum pada angka 3 (tiga) dan angka 4 (empat) tidak tercapai, maka tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda dan aparat pemerintahan desa setempat menghantarkan dan menyerahkan permasalahan permasalahan tersebut kepada pihk yang berwajib untuk diproses sesuai dengan undang-undang yang berlaku. 6. Apabila ditemukan warganya terbukti melakukan perbuatan, tindakan ucapan serta serta upaya-upaya yang berpotensi menimbulkan dampak permusuhan dan kerusuhan, pihak pertama dan pihak kedua bersedia melakukan pembinaan kepada yang bersangkutan, dan jika pembinaan tidak berhasil, maka diberikan sangsi adat berupa pengusiran terhadap oknum tersebut dari wilayah kabupaten Lampung Selatan. 7. Kewajiban memberikan sangsi sebagaimana yang dimaksud pada angka 6 (enam) berlaku juga bagi warga Lampung Selatan dari suku-suku lainnya yang ada di wilayah Kabupaten Selatan. 8. Terhadap permasalahan yang terjadi antara para pihak pada tanggal 27 sampai 29 Oktober 2012 yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa (meninggal dunia) maupun terhadap korban luka-luka, kedua belah pihak sepakat untuk tidak melakukan tuntutan hukum apapun dibuktikan dengan surat pernyataan dari keluarga yang menjadi korban, dan hal ini juga berlaku bagi aparat penegak hukum (kepolisian). 9. Kepada masyarakat Suku Bali khususnya yang berada di wilayah Desa Bali Nuraga harus mampu bersosialisasi dan hidup berdampingan secara damai dengan seluruh lapisan masyarakat yang ada di wilayah Kabupaten Lampung Selatan, terutama dengan masyarakat yang berbatasan dan/atau berdekatan dengan wilayah Desa Bali Nuraga Kecamatan Way Panji.
108
10. Kedua belah pihak bersepakat berkewajiban untuk mensosialisasikan isi perjanjian perdamaian ini ke lingkungan masyarakatnya.38 Piagam perdamaian itupun ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan bermetrai 6000 (enam ribu rupiah) yang memiliki kekuatan hukum yang sama, dan disaksikan beberapa tokoh dari kedua suku, aparat pemerintah provinsi, dan Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, serta aparat keamanan. Adapun saksi yang ikut tanda tangan adalah Sekretaris Provinsi Lampung, Berlihan Tihang, dan Sekretaris Daerah Kabupaten Lampung Selatan, Ishak. Menyikapi upaya damai pasca konflik sosial di Waypanji, para da’i khususnya yang berada di wilayah konflik memiliki pendapat dan pandangan yang beragam. Namun secara umum mereka menganggap bahwa upaya damai yang dilakukan oleh Pemda Lampung Selatan itu adalah suatu upaya yang baik dan mulia .Menurut Kiai Ma’ruf, yang juga ketua Majelis Wakil Cabang NU Kecamatan Waypanji, menyambut positif apa yang dilakukan Pemda
untuk
mendamaikan
warga
yang
berkonflik.
Menurutnya “berkonflik tidak ada gunanya, merepotkan dan memalukan pemerintah”.39 Ia juga berharap agar semua pihak 38
. Ibid, hlm. 2-4. . Yang dimaksud merepotkan, semua masyarakat yang berada disekitar wilayah konflik menjadi sibuk, panik, menjadi tempat pengungsian , menyediakan tempat, menyiapkan makan dan minum dll. Memalukan pemerintah, dengan adanya konflik di masyarakat menandakan 39
109
bisa mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. Karena pertikaian tidak akan membawa keuntungan bagi siapapun. Kiai muda yang sedang merintis pesantren ini juga mengingatkan, bahwa agama tidak pernah mengajarkan permusuhan apalagi sampai pertumpahan darah. Bahkan kalau dikaji lebih dalam Islam , semangat yang diajarkan Islam adalah menjaga keselamatan jiwa, akal, harta benda, keturunan, kebebasan beragama itu sendiri. Jadi “tidak ada gunanya hidup bermusuhan, tidak menyenangkan “40 Sementara itu KH. Nafis Mustofa Gufran, mubalig yang juga ketua Cabang Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia Kabupaten Lampung Selatan, mengatakan sekecil apapun persoalan menyangkut isu Suku, Agama, dan Ras (SARA) harus diselesaikan secara arif dan bijak. Kalau tidak maka akan mengancam ketenangan, kerukunan yang sudah ada.41 Apalagi untuk Lampung Selatan yang multi etnis ini, sangat rawan dengan persoalan SARA. Sebagai mubalig dan ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Lampung Selatan ia sudah sering bertemu dengan tokohpemerintahnya tidak bisa momong warganya, tidak cakap sebagai pemimpin yang bisa ngayomi semua pihak. Dan hal seperti itu menjadi penilaian negatif, apalagi kasus ini didengar dan dilihat masyarakat luar melalui pemberitaan berbagai media. Sebagai masyarakat Lampung Selatan kita juga merasa malu, karena peristiwa ini. Kiai Ma’ruf, Ketua MWC NU Kecamatan waypanji Lampung Selatan, wawancara, 9 Oktober 2013. 40 . Ibid. 41 . KH. Nafis Mustafa Gufran, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Lampung Selatan, wawancara, Kamis 8 September, 2013.
110
tokoh agama di Kabupaten Lampung Selatan baik secara formal, maupun non formal untuk menjalin komunikasi dan saling
memberikan
pendapat
dan
pandangan
tentang
pentingnya menjaga kerukunan (ukhuwah), kebersamaan sesama warga Lampung Selatan, maupun sesama muslim. Namun diakui oleh kiai yang pernah belajar di Arab Saudi itu, masih banyak juga tokoh agama yang belum bisa menerima
perbedaan
secara
tulus,
karena
sempitnya
pandangan dan dangkalnya pemahaman agama.42 Terkait dengan upaya damai yang dilakukan oleh Pemda, tokohtokoh masyarakat, dan tokoh adat pada peristiwa kekerasan di Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji beberapa waktu yang lalu, kiai Nafis
menyambut
positif keinginan untuk
mendamaikan anak manusia yang bertikai itu Iapun mengutip sebuah hadis Nabi , “Apakah kalian suka jika aku tunjukkan sesuatu yang lebih utama dari pada shalat, puasa, sodakoh ? para sahabat berkata , baik ya Rasul ? ialah mendamaikan orang yang bermusuhan (bertengkar, bentrokan) (HR. Abu Daud). Dari hadis ini menyatakan bahwa mendamaikan orang yang bermusuhan adalah perbuatan yang mulia. Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan bahwa ketika kita melihat saudara kita sedang berselisih, bertengkar, maka kita disuruh untuk mendamaikannya. “Sesungguhnya mukmin itu bersaudara maka damaikanlah diantara saudaramu (ketika 42
. Ibid
111
bertikai), dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat” (Q.S. Al-Hujurat : 10). Ayat ini secara spesifik menyebut sesama muslim adalah bersaudara, tetapi pertikaian antara muslim dengan non muslim juga harus didamaikan, karena meskipun berbeda agama atau keyakinan kita adalah saudara sesama manusia, saudara sebagai satu bangsa yakni Bangsa Indonesia, yang harus hidup rukun damai dan saling menghargai, yang dalam istlah agama menjaga ukhuwah basyariah, dan ukhuwan wathaniah. Senada dengan pendapat Kiai Nafis, Kiai Nuruddin pemimpin Majelis Ta’lim al-Barokah Desa Sidoretno yang rumahnya berbatasan dengan Desa Balinuraga, menyambut positip upaya damai dari kedua belah pihak. Menurut Kiai yang berasal dari Magelang Jawa Tengah ini, upaya damai harus dipeihara terus menerus.43 Kuncinya semua pihak harus punya kesadaran bahwa ketenangan adalah kebutuhan semua orang, yang harus diusahakan oleh semua masyarakat.Tanpa adanya kesadaran semua masyarakat untuk menciptakan kedamaian, maka selamanya kedamaian tidak akan terujud. E. Upaya Para Da’i Dalam Merawat Perdamaian Pasca Konflik Sosial . Upaya perdamaian diantara dua desa yang berbeda suku (Suku Bali dan Lampung) sudah ditandatangani, dan mereka
43
. Kiai Nuruddin, Tokoh Agama Desa Sidoreno, wawancara Senin 09 Oktober 2013.
112
sepakat untuk melaksanakan hidup damai seperti sebelum ada kasus. Kesepakatan itupun dideklarasikan secara luas di Lapangan Bola Desa Agom Kecamatan Kalianda pada hari Rabu 21 November 2012 yang silam, yang dihadiri sejumlah pejabat di kabupaten Lampung selatan dan pejabat Provinsi Lampung, serta diliput oleh media lokal maupun nasional. Kini usia perdamaian itu sudah jalan satu tahun. Harapan semua pihak agar perdamaian tetap berjalan abadi. Namun demikian ibarat pepatah “Menciptakan itu lebih mudah daripada merawatnya”. Banyak contoh dimana masyarakat kita banyak menciptakan atau membuat sesuatu yang mahal dan fenomenal, namun tidak pandai merawatnya sehingga banyak yang terbengkalai, tidak terawat. Sekedar contoh, banyak masjid Islamic centre di buat di beberapa daerah dengan megah dan menelan dana miliaran rupiah, tetapi sayang, kondisinya banyak yang tidak terawat, tidak maksimal pemanfaatannya sebagai pusat kegiatan umat Islam, bahkan terkesan mubadzir tidak seimbang antara dana yang
dikeluarkan
dengan
aspek
pemanfaatan
dan
perawatannya. Dalam perdamaian juga, sebelum kasus Way Panji terjadi sudah ada kasus yang mendahuluinya yakni kasus Sidomulyo pada Januari 2012, yang diawali oleh premanisme sejumlah orang Bali terhadap pemuda Desa Kotadalam yang mengakibatkan beberapa orang warga luka, yang kemudian
113
dibalas dengan dibakarnya puluhan rumah di Dusun Napal Desa Sidowaluyo Kecamatan Sidomulyo, yang sudah didamaikan oleh Pemerintah Daerah Lampung Selatan. Namun apa yang terjadi, ternyata belum sampai 1 tahun dari peristiwa itu sudah terjadi lagi kasus yang lebih hebat di Waypanji dengan jumlah kerugian harta benda dan korban manusia yang lebih besar. Pertanyaannya, lalu dimana bukti perjanjian damai itu ? Kalau kemudian kasus yang sama terulang kembali ?. Memang banyak faktor yang bisa merusak perjanjian damai tersebut.
Untuk memelihara
perdamaian yang sudah dideklarasikan dan ditandatangani bersama, perlu konsistensi dari para pihak yang terlibat untuk mematuhi isi perjanjian tersebut. Namun demikian upaya dari berbagai pihak untuk membuat suasana agar tetap kondusif juga tidak kalah pentingnya. Disini peran ulama, tokoh agama, tokoh masyarakat, pemuda sangat penting untuk menjaga masyarakat agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang memprofokasi/memancing situasi ke arah percecokan kembali lagi. Untuk ini harus ada upaya, gerakan, dari semua unsur masyarakat terutama para elitenya untuk menjaga warga agar tidak mengulangi tindakan yang mengarah kepada prilaku premanisme atau pelanggaran sosila yang bisa menyulut konflik terjadi kembali. Dari sisi dakwah, para da’i yang ada di wilayah konflik sudah melakukan upaya untuk merawat dan menjaga agar
114
tidak terulang kembali tragedi kemanusian seperti di Way Panji. Diantara usaha atau upaya da’i tersebut diantaranya: Pertama, melalui pembinaan jamaah lewat pengajianpengajian seperti yang dilakukan oleh Kiai Nuruddin di Desa Sidoreno, dengan mengumpulkan semua semua warga yang muslim pada setiap Sabtu Kliwon. Disamping pengajian rutin untuk
menambah
pengetahuan
tentang
agama,
pada
kesempatan ini juga sering disampaikan materi (message) tentang pentingnya hidup rukun, walaupun berbeda-beda agama dan keyakinan.44 Pembinaan masyarakat yang bersifat internal ini, menurut Nuruddin sudah berjalan 8 tahun, yakni sejak tahun 2005. Pembinaan ini penting, mengingat Desa Sidoreno sebagian warganya adalah beragama Hindu dan beretnis Bali dan posisi perbatasan dengan Desa Balinuraga. Dan “al-hamdulillah, meskipun kita berbeda lanjut Nuruddin, kita bisa hidup bersama secara damai. Sebagai bukti ketika terjadi tragedi penyerangan terhadap warga Balinuraga, banyak orang Islam yang
ikut
menyelamatkan, dan
melindungi mereka. Banyak perempuan warga Bali yang “dikerudungi”
dan
yang
pria
“dipakai
peci”
untuk
menyelamatkan mereka agar terhindar dari massa yang marah. Itu semua bukti kerukunan yang terjalin diantara warga masyarakat muslim dan Hindu, yang tentu saja tidak
44
. Kiai Nuruddin, Tokoh Agama Desa Sidoreno, wawancara Senin 09 Oktober 2013
115
lepas dari himbauan dan upaya yang terus menerus kita lakukan.” 45. Kedua, setelah deklarasi damai, diantara tokoh agama dan adat dari Desa Bali Nuraga dan masyarakat Desa Agom Kecamatan Kalianda saling melakukan silaturrahmi, untuk membuktikan bahwa mereka ingin hidup menjadi saudara.46 Bentuk silaturrahmi itu biasanya pada saat ada hajat keluarga, acara sukuran atau peringatan hari besar keagamaan. Pada saat
itu tokoh-tokoh adat
dan tokoh agama saling
mengundang untuk ikut menghadiri suatu acara seperti sunanatan, menikahkan. Dll.47 Terkait dengan silaturrahmi untuk menjaga kerukunan pasca konflik,i menurut KH. Nafis Gufron yang juga ketua FKUB Kabupaten Lampung
Selatan,
pihaknya
sudah
sering
melakukan pertemuan dengan tokoh agama, baik internal Islam, seperti NU, Muhammadiyah, LDII untuk menyamakan persepsi, menyikapi berbagai peristiwa yang terjadi seperti kasus Way Panji, maupun kasus internal umat Islam. Menurut Kiai Nafis Gufran, ketenangan dan ketertiban warga masyarakat bukan hanya tanggung jawab pihak keamanan
45
. I bid . Marwan Abdullah, Sekretaris MPAL (Majelis Penyeimbang Adat Lampung) Kabupaten Lampung Selatan, wawancara, Kamis 8 September 2013. 47 . Komang Katini tokoh agama, wawancara, Kamis 8 September 2013. 46
116
saja, tetapi juga kewajiban para tokoh agama, ulama, dan juga masyarakat.48 Ketiga, untuk menyambung persaudaraan yang retak akibat konflik perlu ada program aksi bersama, semisal lomba volly ball, bulu tangkis atau yang lainya. Dalam program ini dimaksudkan agar ada pertemuan dari pihak pemuda yang menjadi penyebab konflik, untuk bisa bermain bersama, saling sapa dan saling berbagi. Tentu harus ada pra kondisi melalui tokoh-tokoh remajanya, dan tetap dalam pantauan para tokoh masyarakat, tokoh adat agar arena itu tidak berubah menjadi arena adu jotos kembali. Namun sayang, gagasan ini tidak
49
didukung dana dari Pemerintah
Daerah. Kami baru diberi dana kalau baru ada masalah. Jadi program bersama untuk anak-anak muda ini terpaksa belum berjalan.
Keempat, menurut KH. Soleh Bajuri salah satu
pengasuh Pondok Pesantren di Kecamatan Palas Lampung Selatan ini, “perlu efektivitas forum rembuk kampung /rembuk desa yang sudah digagas oleh Kapolda Lampung untuk mendeteksi segala indikasi ancaman keamanan yang terjadi”50. Artinya, program ini benar-benar dihidupkan sebagai wahana untuk saling bertemu, curah pendapat dan 48
. KH. Nafis Gufron, wawancara, 9 November 2013. . Ibid 50 . KH. Soleh Bajuri, tokoh masyarakat Kecamatan Palas Lampung Selatan, pimpinan Pondok Pesantren, dan juga Ketua Pengurus Wilayah Tanfidziyah Nahdlatul Ulama Provinsi Lapung, wawancara, Senin 20 Oktober 2013. 49
117
silaturrahmi antar tokoh masyarakat, tokoh adat, dengan elemen pemerintah di tingkat desa guna membicarakan berbagai kasus, serta mencari jalan keluar atas berbagai masalah yang muncul sebelum kasus tersebut menjadi besar.51 Kelima, harus ada Good Well dari Pemerintah daerah. Maksudnya ada upaya tindak lanjut untuk tetap memelihara perdamaian dengan mengajak semua tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan juga masyarakat yang bertikai untuk duduk bersama, bekerja sama, dengan membuat kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat, dengan dibiayai oleh APBD secara multiyears (terus menerus) untuk beberapa tahun. Jangan ada kepedulian elite kalau menjelang Pemilu saja , atau Pemilihan kepala daerah sehabis itu rakyat dilupakan. Menurut Badaruddin, sebaiknya para pemimpin sering turun ke masyarakat untuk melihat kondisi riil keadaan yang
dialami
masyarakat
dari dekat.
Jangan
hanya
mendengar laporan dari bawahan saja, yang biasanya akan melaporkan yang baik-baik saja. Dengan mendengar, melihat keadaan rakyat, maka akan semakin mendekatkan rakyat dengan pemimpinnya. Hal ini akan menekan terjadinya konflik di masyarakat.52
51
. Ibid. . Badaruddin, tokoh Gerakan Pemuda Anshor lampung Selatan, Wawancara, 8 September 2013. 52
118
Dari beberapa penjelasan di atas bisa dipahami bahwa para da’i di Wilayah Kecamatan Way Panji sudah melakukan upaya untuk memelihara perdamaian pasca konflik sosial. Namun demikian mereka secara kelembagaan seperti : NU, Muhamadiyah, FKUB tidak memiliki program yang dibuat secara khusus untuk pembinaan masyarakat pasca konflik ini. Hal ini disebabkan tidak adanya anggaran atau dana yang dimiliki. Pada umumnya para da’i melakukan pembinaan secara umum, rutin seperti biasa pada hari-hari sebelum konflik sosial. Hanya bedanya, ada sedikit penguatan materi dakwah tentang perlunya menjaga persatuan, kesatuan, dan menghindari pertikaian, dan menghormati orang lain sesama warga Lampung. Secara umum mereka juga berpendapat sama, bahwa pertikaian, permusuhan tidak ada manfaatnya, kecuali kerugian dan kesengsaraan, ketakutan dst.
F. Hubungan Sosial Pasca Konflik Way Panji Setahun pasca konflik sosial berdarah pada Bulan oktober 2012 di Desa Bali Nuraga Way Panji, kini kehidupan sudah berjalan normal seperti biasa. Namun demikian kata Komang Katini, ia dan beberapa warga Desa Balinuraga masih merasa trauma, takut kalau-kalau peristiwa itu terulang kembali. Ia dan warga disini, juga masih was-was kalau
119
melewati Desa Agom,53 untuk menuju ke Kota Kabupaten. Namun berdasarkan beberapa keterangan yang berhasil dihimpun penulis, pasca konflik kondisi kehidupan di sekitar Kecamatan Way Panji terlihat aman, kondusif. Bahkan kalau dilihat secara mata hampir tidak ada tanda-tanda bekas ada pembakaran rumah, pengrusakan tempat tinggal, dan juga tempat ibadah. Semua terlihat rapi dan sudah pulih kembali. Terlihat ketika mau masuk ke Desa Balinuraga, ada Gapura dengan ornamen Bali yang di atasnya terdapat Siger yang merupakan ciri khas bangunan Lampung.54 Ketika ditanyakan kepada Made gambar, ia menjawab, bahwa sebagai orang Lampung, hidup dan berusaha di Lampung sudah sewajarnya menjujung tinggi adat budaya Lampung, dengan prinsip “ Dimana bumi di pijak disitu langit dijunjung”, Kami ingin menunjukkan bahwa kami juga warga Lampung yang kebetulan berasal dari Bali.55 Menurut Rohani (40 tahun) salah seorang pedagang yang membuka warung nasi dan es di Pasar Patok Desa Sidoharjo, sekarang keadaan di sini aman,
53
. Desa Agom Kecamatan Kalianda, adalah Desa yang masyarakatnya jadi lawan dalam konflik soasial dengan Desa Balinuraga. Sebenarnya Desa ini memiliki aset jalan lebih dekat untuk menuju ke Kota Kabupaten Lampung Selatan, lewat Pasar Patok, lurus ke selatan sampai Desa Agom, Desa Wayharong. Namun karena pernah ada konflik, orang Balinuraga lebih memilih lewat jalan lain, lewat Sidomulyo untuk menuju Kalianda. Komang katini, wawancara 8 September 2013. 54 . Observasi tanggal 9 Oktober 2013. 55 . Made gambar, wawancara, 8 September 2013.
120
tidak ada preman seperi dulu yang sering bikir keributan56. Hal senada juga dikatakan oleh Eko Pambayun (20 tahun), bahwa pasca konflik, kini kehidupan masyarakat di Way Panji, Sidomulyo, Palas dan sekitarnya relatif tenang, damai tidak ada lagi orang hajatan didatangi anak-anak nakal yang makan
minum seenaknya, pokoknya
lebih konduksif
dibanding sebelumnya.57 Dari penjelasan di atas bisa difahami, bahwa pasca konflik sosial, kehidupan sosial kembali masyarakat kembali kepada harmonis, aman, tidak ada gangguan keamanan. Hal ini sejalan dengan teori konflik (Conflict Theory) yang dikatakan oleh Ralf Dahrendort, dalam Jasmadi (2009: 19) , yang mengemukakan, bahwa konflik dapat menghantarkan pada sebuah konsensus.58. Ini artinya, bahwa pasca perjanjian damai, para pemuda yang tadinya suka bikin ulah dan keributan sudah sadar, karena ulah mereka berakibat buruk bagi satu kampung Desa Balinuraga, dan Dusun Napal lain, dll. Mereka dipaksa oleh keadaan, oleh tekanan dari luar untuk bersikap lebih bijak, santun kepada komunitas lain. Mereka disadarkan oleh situasi, bahwa arogansi akan berakibat berdampak pada ketenangan semua orang. Kini pasca konflik silaturrahmi antar tokoh masyarakat dua desa 56
. Rohani pedagang Pasar Patok, wawancara 9 Oktober 2013. . Widi Pambayun, wawancara Selasa 10 September 2013. 58 . Jasmadi, (seri Disertasi) Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Keagamaan Pada Era Orde Baru, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2009, hlm. 19. 57
121
terjalin dengan baik. Pada acara-acara hajatan sering mereka saling
mengundang,
mereka
ingin
merajut
kembali
keharmanisan yang terjalin pada masa lalu, dan ingin melupakan perselisihan yang terjadi.
G. Beberapa Kendala Dalam Mendakwahkan Islam Multi Kultural. Usaha mentranformasikan Islam rakhmatan lila’lamin, yang menghargai perbedaan Suku, keyakinan, faham, adat dan budaya yang dimiliki oleh setiap masyarakat di Kecamatan Way Panji Lampung Selatan secara umum bisa dikatakan berjalan cukup baik. Namun demikiamn masih ditemukan beberapa persoalan, terkait dengan masih banyaknya
pandangan
yang
berbeda-beda
mengenai
keberagaman oleh tokoh tokoh agama. Menurut Ketua FKUB Kabupaten Lampung Selatan KH. Nafis Gufron, sampai saat ini masih ada kiai atau ustad yang berpendapat orang diluar Islam itu kafir, dan boleh diperangi. Di sisi lain masih ada masjid yang memilih khatib
mendahulukan
sukuisme, kelompok.59 Sikap seperti ini kan tidak baik, tidak sesuai dengan spirit Islam yang mengajarkan persamaan dan penghargaan terhadap semua manusia. Bukankah yang membedakan manusia di hadapan Allah
59
. KH. Nafis Gufron, Ketua FKUB Kabupaten Lampung Selatan, wawancara, 8 September 2013.
122
hanyalah ketakwaannya ? mengapa kita membeda-bedakan orang atas dasar suku, agama, dan keyakinan ? Sikap-sikap dan pandangan seperti itu menurut Kiai yang pernah nyantri di Arab Saudi ini, karena mereka hanya membaca dari kitab-kitab yang disenangi saja, yang biasanya berasal dari gurunya. Kalau saja mereka mau membaca dan belajar dari sumber lain, maka pandangan dan sikap orang-orang yang keras itu akan berubah. Itu sebabnya ia berharap agar kawan-kawan kiai dan ustad yang melakukan dakwah kepada masyarakat, mau belajar dari beberapa sumber, sehingga pandangan mereka menjadi luas, tidak kuper, ibarat katak dalam tempurung ujarnya. Ia juga menghimbau para ustad untuk melakukan “Hizrah qalbi wa hizrah jasadȋ” ( rekontruksi pemikiran dan memahami keadaan lingkungan).60 Sementara menurut H. Suyoko, sesepuh dan tokoh Muhammadiyah di Desa Sidoharjo, perbedaan itu memang tidak mungkin dihilangkan, karena setiap orang memiliki pengetahuan, pengalaman yang berbeda. Yang penting perbedaan itu jangan dibesar-besarkan, sehingga merugikan umat sendiri. Dia mencontohkan, meskipun dirinya orang Muhamadiyah, tetapi bisa dekat dengan semua orang, baik Islam maupun non Islam seperti Hindu dan lainnya. Artinya, jangan perbedaan jangan membuat kita menjadi 60
. Ibid
123
kerdil dan “cupet” (sempit) dalam pergaulan. 61 Namun ia juga mengakui, masih banyak kalangan kita yang merasa paling benar dan sulit menerima pendapat orang lain. Inilah yang terkadang menjadi sumber perpecahan diantara kita, yang mengakibatkan kita mudah terkotak-kotak. Ia berharap di tengah masyarakat yang semakin multikultur ini semua orang bisa membuka diri, belajar dari kenyataan, bahwa kita hidup di alam yang sedemikian terbuka, komplek dan bersama orang banyak. Kalau tetap “kekeh” dengan pendapat sendiri, maka akan ditinggalkan umat.62 Dari penjelasan di atas bisa dipahami, bahwa upaya mendakwahkan agama yang ramah di masyarakat yang majemuk seperti Kecamatan Way Panji masih menghadapi kendala secara internal. Hal mana yang menjadi faktor penyebab adalah masih ada sebagian tokoh agama (kiai dan ustad) yang masih belum menerima keragaman sebagai sebuah kenyataan yang harus dihormati dan dilindungi. Masih ada pendapat, bahwa orang yang beragama selain Islam, adalah kafir dan boleh diperangi. Pandangan seperti ini dalam kontek masyarakat di Way Panji Lampung Selatan, dan juga masyarakat Indonesia yang majemuk dianggap tidak sesuai dengan 4 (empat) pilar kebangsaan, yakni : Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 terutama 61 . H. Suyoko, tokoh Muhammadiyah Lampung Selatan, Wawancara, Senin 9 November 2013. 62 . Ibid.
124
pasal 29 ayat 2 yang berbunyi “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu”.63, Bhinika Tunggal Ika Dan NKRI, yang mesti terus difahami dan dihayati oleh semua warga negara. Kalau masih banyak tokoh
yang menentang
pluralisme, keragaman, itu petanda bibit perpecahan masih masih ada di tengah-tengah kita.
63
. Undang-Undang Dasar 1945 yang Sudah diamandemen Serta penjelasannya, (PT. Arkola, Surabaya, tt), hlm.25.
125
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Penelitian dengan judul : Dakwah Multikultural Dalam Merajut Kembali Perdamaian Hakiki Pasca Konnflik Sosial Berbau SARA (Studi Kasus
Way Panji Berduka Lampung
Selatan), Berdasarkan data temuan sebagaimana yang diuraian pada bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Kasus Way panji bukan karena perbedaan agama, tetapi lebih disebabkan oleh kenakalan beberapa uknum anakanak muda Desa Balinuraga yang melakukan pelecehan kepada
gadis
Desa
Agom
Kecamatan
Kalianda.
Peristiwa ini juga dilatar belakangi oleh beberapa kenakalan anak muda etnis Bali sebelumnya. Meskipun bukan kasus agama, tetapi ada juga aroma kebencian karena faktor pertbedaan agama. 2. Para da’i (tokoh agama Islam) telah melakukan upaya untuk menjaga kerukunan pasca konflik sosial dengan berbagai cara, diantaranya : Pertama, mengadakan pembinaan melalui majelis ta’lim kepada masyarakat (jamaah) dengan memberikan sosialisasi pentingnya menjaga kerukunan, persatuan antar manusia meskipun
126
berbeda agama dan keyakinan. Kedua, mengadakan silaturrahmi
antar
tokoh
agama
untuk
menjalin
pemahaman dan kesamaan persepsi tentang pentingnya perdamaian dan saling menjaga untuk memelihara suasana damai, kondusif di Lampung Selatan . Ketiga, secara kelembagaan seperti NU, Muhammadiyah, GP. Anshor dan yang lain, tidak memiliki program khusus yang dibuat untuk melakukan pembinaan kerukunan, kecuali Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang
memiliki
anggaran dari pemerintah
daerah
Lampung Selatan, dan itupun tidak efektif. Namun demikian mereka tetap melakukan pembinaan kepada jamaahnya masing-masing, tanpa tergantung dengan dana dan anggaran dari pemerintah. 3. Para da’i yang ada di wilayah Kecamatan Way Panji sebagian sudah melakukan dakwah dengan pendekatan multikutural, dengan saling menghargai kebudayaan, adat istiadat masyarakat, dan agama yang hidup di antara mereka, terbukti selama puluhan tahun mereka hidup rukun, hanya oleh faktor kenakalan remaja mereka menjadi berseteru. 4. Meskipun demikian
masih kendala kecil dalam
mendakwahkan Islam yang damai, anti kekerasan dan menghormati perbedaan dan kebudayaan orang lain, yakni
masih adanya tokoh-tokoh yang berpandangan
127
“keras” menolak perbedaan, keragaman yang disebabkan oleh keterbatasan wawasan dan pengetahuan karena tidak mau membaca sumber-sumber/referen lain selain dari apa yang yang diperoleh dari guru/ustad/kiai mereka. B. SARAN-SARAN Untuk memelihara perdamaian di Way Panji Lampung Selatan dibutuhkan keterlibatan dan keseriusan semua pihak, mulai Pemerintah daerah , tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan seluruh elemen masyarakat di Kecamatan Way Panji Lampung Selatan, dengan cara terus menerus melakukan pembinaan, silaturahmi dan pemantauan terhadap segala perilaku yang menyebabkan terulangnya kembali peristiwa kekerasan . Pemerintah
Daerah,
harus
melakukan
pembinaan
sunggug- sungguh
dengan
membuat rencana tindak lanjut
pasca perdamaian, dengan membuat program-program kerja nyata yang diabiayai dengan APBD, yang dimaksudkan untuk meningkatkan kerja sama dan mempererat kembali hubungan sosial dari kedua kelompok yang pernah bermusuhan itu. Para da’i yang notabenenya adalah penerang dan anutan masyarakat hendaknya bisa memberikan pencerahan tentang pentingnya menghargai perbedaan (Suku, budaya, adat, agama)
128
yang sering menjadi akar masalah dalam kehidupan di masyarakat yang majemuk. Para da’i hendaknya banyak belajar, memahami orang lain, dan terbuka menerima pendapat dari luar untuk memperkaya wawasan, pikiran, dan pemahaman terhadap ajaran agama, sehingga menjadi da’i / mubaligh yang berwawasan luas, bijak dan mendatangkan keteduhan bagi masyarakat yang dibimbing. C. PENUTUP Demikianlah laporan hasil penelitian ini semoga bermanfaat bagi para pembaca, pemangku kekuasaan, di Lampung Selatan, para da’i dan tokoh agama, khususnya bagi penulis.
Tentu
saja
laporan
penelitian
ini
jauh
dari
kesempurnaan, oleh karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan penulis. Untuk itu penulis mohon dimaklumi.
Bandar Lampung, November 2013 Tim Peneliti
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Fauzy, jalan Terjal Kebebasan Beragama, Lampung Post, Jum’at 20 Januari 2011 . Ahmad
Suaedy,Legacy
Gus
Indonesia, Taswirul
Dur
Dan
Agenda
bangsa
Afkar, Edisi NO. 30 Tahun 2010,
Asep Syaiful Muhtadi dan Agus Ahmad Syafii,
Metode
Penelitian Dakwah, CV.Pustaka setia, Bandung, 2003. Asep
Muhyiddin
dan
Agus
Ahmad
Syafei,
Metode
Pengembangan Dakwah, CV.Pustaka Setia, Bandung, 2002. Azyumardi Azra, dan Saiful Umam (ed) Menteri-Menteri Agama: Biografi Sosial Politik, INIS Jakarta, 1998. Alamsyah Ratuprawiranegara, Pedoman Dasar
Kerukunan
Hidup Beragama, Departemen Agama RI, Jakarta, 1982. Budi Santoso Budiman dan Oyos Saroso HN (pen), Merajut Jurnalisme Damai Di Lampung,
Aliansi
Jurnalis
Independen, Bandar lampung, 2012. Djadjat Sudrajat, Catatan Penutup, Merajut Jurnalisme
Damai
Di lampung ,AJI Bandar lampung, 2012. Departemen
Agama
RI,
Kompilasi
Perundang-Undangan
Kerukunan Hidup Umat Beragama, Jakarta, 1978. Dzikron
Abdullah,
Metodologi
Semarang, 1998.
Dakwah,
IAIN
Walisongo
Fitriyanti,
Membangun
Spiritualitas
Sidomulyo Lampung Selatan
Keagamaan
Membara,
kasus
Kementrian
Agama Indonesia Direktorat Jendral Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Hasanuddin,
Hukum
Islam, Jakarta, 2012. Dakwah,
Tinjauan
Hukum
Dalam
Berdakwah, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1996. Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, Cet. Keenam , Rosda, Bandung, 1998. Jasmadi, Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang Keagamaan Pada Era Orde Baru, Studi Kebijakan Tentang Penyiaran Beragama,
Agama dan
Sekolah
Menteri
Agama
Kerukunan
Pascasarjana,
Umat
UIN
Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2009. M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross Cultural Understanding Untuk Demokrasi
dan
Keadilan,
Yogyakarta, 2007. Muhammad Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Cet. Ke II,
CV.
Kencana, Jakarta, 2009. M. Natsir, Fiqhu Da’wah, Media Da’wah, Jakarta, 1989. Kementrian
Urusan
Agama
Islam,
Wakaf,
Dakwah
Dan
Bimbingan Islam, Kerajaan Arab Saudi, Al-Qur,an Dan Terjemahannya, Percetakan RajaFahad, Madinah, 1430 H. Muhammad Tholkhan Hasan, Islam Dalam Perspektif Kultural, lantabora
Press, Jakarta,2005.
Sosio
Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan Fikih Demokratik Kaum Santri, Pustaka Ciganjur, Jakarta, 1999.. Maman Imanul Fakih, Fatwa dan Canda Gus Dur, Kompas, Jakarta, 2010, Nurcholish
Madjid,
Islam
Agama
dan
Kemanusiaan,
Paramadina Jakarta, 1996. Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga Berbasis Kultural, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004 Rosidi, Dakwah Multikultural Dalam Perspektif
Abdurrahman
Wahid , Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan Lampung, 2010. Kartini kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Mandar Maju, Bandung, 1996. Kesbangpol
Kabupaten
Lampung
Selatan,
Dukumen
Perjanjian Damai, 2012 Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, Pernyataan
Permohonan maaf
Dukumen
Surat
Masyarakat Lampung
Suku Bali, 2012. Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, Pernyataan
Sikap
jaringan Masyarakat Lampung Selatan. Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah,
Logos,
Ciputat, 1997. Will Kymlicha, Multicultural Citizenship, a liberal Theory of Minority Right, Oxford Universiy, 1995.
Lexy Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosda, Bandung, 1997. Lampung Post, Jum,at 9 November, 2012. Lampung Post, 23 November, 2012 Tribun Lampung, Minggu 4 November, 2012
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)