Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
Volume 12 Nomor 01 Maret 2016
ISSN 0216-6607
M-POWER
Jurnal Ilmiah Program Studi Penyuluhan Pembangunan / Manajemen Pengembangan Masyarakat
Diterbitkan oleh: Program Studi Penyuluhan Pembangunan/ Manajemen Pengembangan Masyarakat Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
M-POWER diterbitkan oleh Program Studi Penyuluhan Pembangunan, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret , Direktur Pascasarjana : M. Furqon Hidayatullah, Kepala Program Studi : Eny Lestari
M-POWER
Jurnal Ilmiah Program Studi Penyuluhan Pembangunan / Manajemen Pengembangan Masyarakat
Volume 12 Nomor 01 Maret 2016
ISSN 0216-6607
HUBUNGAN KARAKTERISTIK DEMOGRAFI DAN PSIKOGRAFI PARABELA DENGAN PERAN KEPEMIMPINAN DALAM MELESTARIKAN HUTAN KAOMBO.......................................................................................................... M. Najib Husain , Trisakti Haryadi , Sri Peni Wastutiningsih
01 - 21
PARTISIPASI JAMAAH DALAM AKTIVITAS PENGAJIAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERILAKU SALEH (Studi Kasus di Masjid Jami' Assagaf Solo).................................................................................................... Wahyu Tri Tejo Kusumo GPU , Ravik Karsidi , Mahendra Wijaya3)
22 - 40
HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN DUKUNGAN SUAMI DENGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI WILAYAH PUSKESMAS GAMBIRSARI KOTA SURAKARTA..................................................................................................... Intan Muninggar , Heru Subaris Kasjono , Anisa Catur Wijayanti3)
41 - 52
ANALISIS KINERJA PENYULUH DALAM MENDAMPINGI GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) PADA PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN (PUAP) DI KABUPATEN BANGKA.................................. Mukmin Hafiz , Sapja Anantanyu , Eny Lestari
53 - 71
MOTIVASI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI INTENSIFIKASI PADI AEROB TERKENDALI BERBASIS ORGANIK (IPAT-BO) DI KABUPATEN PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR...................................................................................... Ugik Romadi , Budi Sawitri , Alimunur
72 - 86
STRATEGI PENGEMBANGAN KESIAPSIAGAAN BENCANA DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MALANG JAWA TIMUR (Studi Kasus Tim Siaga Bencana Berbasis Masyarakat dalam Sosialisasi Manajemen Bencana)........................................................................................................... Budi Sawitri , Zaini Rohmad , Ismulhadi
87 - 103
HUBUNGAN KARAKTERISTIK DEMOGRAFI DAN PSIKOGRAFI PARABELA DENGAN PERAN KEPEMIMPINAN DALAM MELESTARIKAN HUTAN KAOMBO M. Najib Husain1), Trisakti Haryadi2), Sri Peni Wastutiningsih3) (Mahasiswa UGM 1), Promotor2), Co Promotor3)
[email protected] Abstract The purpose of this study was to analyze the relationship between demographic and psychographic characteristics of Parabela and leadership role in preserving Kaomboforest. The study used a combination of quantitative and qualitative methods (mixed method) by using survey approach (quantitative method) and an ethnographic approach (qualitative method). The results of Spearman's rho value of Parabela’s demographic characteristics such as age, occupation, land area, and number of dependant family showed no significant relationship. Only the education variable of parabela had a significant relationship with the leadership role in preserving KaomboForests. The correlation coefficient of education and leadership role, when referring to the interpretation guidelines, indicated that relationsip between the levels of education with leadership role in preserving Kaombo forests are in a very strong category. The psychographic relationship of Parabela and the leadership role suggested that economic motives, time motives and devotion motives had no significant relationship. There was a significant relationship between motif status and leadership role. The correlation coefficient of the relationship between motive status and leadership role, when referring to the guidelines for the interpretation of correlation,suggested that the motive of status and the leadership role in preserving the Kaombo forest is in a strong category. The result value of Spearman's rho of the relationship between demographic and psychographic characteristics of parabela with leadership role in conserving kaombo forests were in line with the real conditions, it is appeared as the parabela was formerly known as someone who is proactive in carrying out important roles as the sole ruler in Kadie prior to the present of any formal government. Parabela were now born as tge passive figure of traditional leaders and only present at situation when people are not able to ask for help from the village administration. Parabela still got the mandated role in society and also keep doing it, but the judgement from the society about the role were more because the society asked the parabela to carry out the role they have in preserving the Kaombo forest. Keywords: Demographic and psychographic characteristics of Parabela, Leadership role, Kaomboforest preservation Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan karakteristik demografi dan psikografi parabela dengan Peran kepemimpinan dalam melestarikan hutan kaomboPenelitian ini menggunakan metode gabungan kuantitatif dan kualitatif (mixed method), Penelitian ini menggunakan pendekatan survey (metode kuantitatif) dan pendekatan etnografi (metode kualitatif).Hasil penelitiaanNilai Spearman’s rho dari karakteristik demografi parabela yaitu : umur, jabatan, luas lahan, dan Tanggungan
1
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Keluarga menunjukkanhubungan yang tidak signifikan. Hanya pendidikan parabela dengan Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo memiliki hubungan yang signifikan. Angka koefisien korelasitingkat pendidikan dengan Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo, bila merujuk pada pedoman interpretasi korelasi menunjukkan bahwa tingkat tingkat pendidikan dengan Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo berada dalam kategori sangat kuat.Adapun Hubungan Psikografi Parabela Dengan Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo, menunjukkan motif ekonomi, motif waktu dan pengabdianmemiliki hubungan yang tidak signifikan.Motif status dengan peran kepemimpinan dalam melestarikan hutan Kaombo menunjukkan hubungan yang signifikan.Angka koefisien korelasi Motif status dengan Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo, bila merujuk pada pedoman interpretasi korelasi menunjukkan bahwa Motif status denganperan kepemimpinan dalam melestarikan hutan Kaombo berada dalam kategori kuat. Hasil nilai Spearman’s rho tentang hubungan karakteristik demografi dan psikografi parabela dengan peran kepemimpinan dalam melestarikan hutan kaombo sejalan dengan kondisi di lapangan, tampak pada diri parabela yang dulunya dikenal sebagai sosok yang proaktif dalam menjalankan peran-peran yang dimiliki sebagai penguasa tunggal dikadie sebelum adanya pemerintah formal. Parabela yang sekarang lahir sebagai sosok pemimpin adat yang pasif dan hanya hadir saat situasi di mana masyarakat sudah tidak bisa meminta bantuan pada kepala desa atau lurah. Parabela tetap mendapatkan peran yang di amanahkan masyarakat dan juga tetap menjalankan, namun dari penilaian masyarakat peran tersebut lebih banyak karena masyarakat yang meminta parabela untuk menjalankan peran yang dimiliki.dalam menjaga kawasan Kaombo. Kata Kunci: Karakteristik Demografi Dan Psikografi Parabela, Peran Kepemimpinan, Melestarikan Hutan Kaombo
PENDAHULUAN
Masyarakat Buton dalam kehidupan kesehariannya selalu memegang teguh atau berpedoman pada nilai-nilai dan norma yang secara tradisional telah diturunkan sejak dari nenek moyang mereka. Nilai utama tersebut adalah ‘Po bincibinciki kuli’ yang secara harfiah diartikan sebagai dua orang yang saling mencubit diri sendiri, yang apabila sakit saat mencubit diri sendiri berarti sakit pula kalau kita mencubit orang lain. Nilai inilah yang menjadi sosial kontrol dalam 2
interaksi komunikasi sosial kemasyarakatan di masyarakat Buton. Falsafah ‘po binci-binci kuli’ ini jika dilihat sepintas mungkin sangat sederhana namun bagi masyarakat Buton dianggap sebagai nilai universal dan mendalam. Mereka berkeyakinan bila semua orang menganut falsafah ini maka tak akan terjadi perselisihan diantara warga masyarakat. Falsafah ’po bincibinciki kuli’ ini kemudian dikembangkan menjadi empat tuntunan perilaku yang lebih kongkrit yakni : po mae-maeka (saling takut atau
Husain, Haryadi, Wastutiningsih, Karakteristik Demografi,,, saling segan antar sesama anggota masyarakat), po ma masiaka (saling sayang menyanyangi), po pia piara (saling memelihara) dan po angkaangkataka (saling mengangkat derajat). Nilai-nilai inilah yang kemudian mengatur interaksi sosial yang terjadi di masyarakat antara pimpinan dan masyarakat. Sehubungan dengan kepemimpinan, maka seorang pemimpin dalam pemahaman masyarakat Buton haruslah memiliki perilaku khusus yang belum tentu dimiliki oleh orang lain seperti : amembali (sakti), atomaeka (wibawa), aumane (berani), akoadati (beradat), atomasiaka (disegani), atobungkale (terbuka / transparan), dan akosabara (memiliki kesabaran). Parabela sebagai pemimpin masyarakat ditingkat kadie haruslah memiliki perilaku tersebut diatas. Hal ini didukung oleh pernyataan Thomson (2002) bahwa orang yang bertanggung jawab untuk memimpin kelompok adalah mereka yang memberikan kontribusi signifikan bagi keberhasilan atau kegagalan kelompok. Di beberapa kelompok, pemimpin kelompok mempunyai otoritas karena posisinya dalam hirarki di kelompok tersebut. Namun pada kelompok yang kurang terstruktur, pemimpin pada kelompok yang kurang
terstruktur memimpin kelompok karena memiliki keahlian atau pengetahuan yang lebih dari anggota kelompok yang lain. Masyarakat sangat patuh pada perintah parabelanya karena diyakini bahwa perintah seorang parabela adalah juga merupakan perintah dari leluhur mereka dan selalu diikuti dengan “bala”. Mereka berpendapat bahwa kesejahteraan dan keselamatan serta rezeki yang mereka peroleh banyak tergantung dari kemampuan dan karisma yang dimiliki oleh parabela tersebut dalam memimpin negerinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Max Weber (Sparks,2008) bahwa istilah karisma akan diterapkan pada kualitas tertentu dari kepribadian seseorang berdasarkan atas kebaikan yang dimiliki, dan membedakan dari orang biasa karena telah dikaruniai kekuatan supranatural, manusia super, atau paling tidak dengan kekuatan atau kulitas yang luar biasa. Hal-hal seperti itu tidak dapat diakses oleh orang-orang biasa, tetapi dianggap sebagai karunia ilahi atau sebagai teladan, dan atas dasar itu individu yang bersangkutan diperlakukan sebagai pemimpin. Sehingga Jalinan hubungan yang dilakukan Parabela bukan hanya pada hubungan horizontal 3
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 tetapi juga dengan hubungan vertikal, sehingga parabela dalam memimpin baik saat menanam maupun saat panen hasil usahatani, masyarakat selalu mengucapkan "Batata" atau ucapan-ucapan yang mengandung Tuah. Misalkan ucapan Parabela saat mulai menanam "saya pindahkan hewan-hewan ini ke dalam hutan lindung (Kaombo)". Kebun belum akan dibersihkan, Padi/jagung belum akan di tanam atau di panen sebelum adanya perintah dari Parabela. Sehingga apabila hasil panen mereka yang pada umumnya jagung dan ubi kayu dapat berhasil dengan baik, keamanan juga terpelihara dengan baik, orang yang meninggal dalam tahun tersebut juga sedikit yang berarti kesehatan warga juga baik maka ia menunjukkan bahwa pemimpin mereka benarbenar memiliki “Kabarakati” (kesaktian) dan mampu menjaga mereka dari berbagai kesengsaraan dan malapetaka. Masyarakat patuh dan percaya bahwa keamanan dan kesejahteraan kemampuannya sangat tetergantung dengan “kabarakati” atau kesaktian yang dimiliki parabelanya. Jadi pada dasarnya masyarakat buton berpersepsi bahwa seorang parabela adalah merupakan figur 4
yang suci dan memiliki kesaktian yang setiap kata-kata dan nasehatnya harus diikuti. Kelebihan inilah yang oleh Weber (Sparks,2008) disebut sebagai Model kepemimpinan karismatik bahwa yang pertama di antara pengikut ada kebutuhan, tujuan atau aspirasi yang tidak terpenuhi oleh tatanan yang ada. Kedua, sikap patuh mereka kepada pemimpin adalah atas dasar bahwa karisma yang ia miliki akan mengarah pada realisasi tujuan atau aspirasi mereka. Sebaliknya bila terjadi musim kemarau yang berkepanjangan, panen yang gagal baik oleh iklim maupun hama, banyak kekacauan, banyak warga yang sakit dan meninggal itu berarti parabelanya tidak becus memimpin dan harus segera diturunkan.Gaya ini oleh Weber (Sparks,2008) di sebut tipe kepemimpinan kharismatik yang merupakan salah satu tipe ideal otoritas. Semua ini dilakukan parabela sebagai bentuk kepedulian terhadap masa depan generasi selanjutnya agar lingkungan terhindar dari banjir dan erosi, serta tetap dapat menyaksikan berbagai jenis hewan di kawasan tanah Kaombo. Ini membuktikan bahwa konservasi hutan tidak dapat dilepaskan dari keberadaan aktor, hal ini tampak dari
Husain, Haryadi, Wastutiningsih, Karakteristik Demografi,,, konservasi berbasis masyarakat di India tidak bisa dilepaskan dari keberadaan aktor lokal dengan berbagai kepentingan yang membentuk masyarakat pro konservasi, melalui mana para aktor saling berhubungan dan berkomunikasi, terutama, pengaturan kelembagaan struktur interaksi masyarakat lokal. Komunitas masyarakat adat di Buton di bawah kepemimpinan Parabela, sejak masa Kesultanan Buton sampai saat ini telah menjaga kawasan tanah Kaombo (hutan tutupan) yang merupakan bentuk penyelamatan lingkungan dengan pendekatan budaya sebagai bentuk kearifan lokal. Di mana parabela menjalankan peran menjaga kawasan Kaombo sebagai salah satu bentuk tindakan penyelamatan hutan.Untuk menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran masyarakatberpartisipasi dalam menjaga kelestarian kawasan Kaombo sebagai warisan sejarah yang sudah hampir punah. Namun keberhasilan pemimpin dalam mengerakkan masyarakat dalam mencapai tujuan yang diinginkan, termasuk peran parabela dalam mengajak masyarakat melestarikan kawasan kaombo berhubungan dengan karakteristik yang dimiliki pemimpin, ytang menurut Weber (Sparks,2008) harus
di dukung oleh sembilan elemen kualitas pemimpin karismatik : 1). Kemampuan wajib atau kemampuan luar biasa, 2). Karakteristik kepribadian, 3. Perilaku yang ekspresif baik verbal maupun non verbal, 4). Kepercayaan diri, 5. Keteguhan diri, 6. Wawasan, 7. Bebas dari konflik internal, 8. Kepandaian berbicara, 9. Tingkat aktivitas dan energi yang tinggi.Bruce and Michael (2000) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa, seorang pemimpin dalam menyampaikan pesan agar mendapat respon dari pengikut harus mengandung unsur informalitas, dukungan, dialogis, empati, kasih sayang, keterbukaan diri, dengan pembentukan ekspresif dan pembentukan atribusi instrumental agar nantinya terjadi pertukaran informasi. Hal ini dipertegas oleh penelitian Zander(2005) bahwa Komunikasi adalahkomponen penting dari kepemimpinan dan merupakan bagian penting dalam kompetensi seorang pemimpin (Bass1981,1990; Griffith2002). Menurut Penley and Hawkins, (1985) dari penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa lebih responsif dalam mengkomunikasikan pesan kepada pengikut apabila pemimpin meluangkan waktu untuk mendengarkan pengikut, dan men5
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 jawab pertanyaan. Karena selama ini kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari keberadaan hutan sebagai penghasil kayu dan non-kayu sehingga perlu ada keterbukaan dalam pemanfaatan hasil hutan. Hasil hutan begitu lekat dengan kebutuhan hidup manusia dari lahir sampai mati sehingga sistem pengambilannya harus dilakukan secara bijak. Untuk pengambilan secara bijak perlu mendapat arahan dari pemimpin dengan pesan – pesan yang jelas dan tepat bagaimana memanfaatkan dan menjaga kelestarian hutan Kaombo. Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis hubungan karakteristik demografi dan psikografi Parabeladengan Peran kepemimpinandalam melestarikan hutan kaombo. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode gabungan kuantitatif dan kualitatif(mixed method), Penelitian ini menggunakan pendekatan survey (metode kuantitatif) dan pendekatan etnografi (metode kualitatif).Empat kecamatan dijadikan lokasi penelitian dengan penetapan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan memiliki parabela dan perangkatnya, 6
pesta adat masih berlangsung, masih memiliki atau pernah memiliki hutan Kaombo, dan masyarakat adalah dominan petani. Kecamatan Pasar Wajo 48 Km dari Kota Bau-Bau, Kecamatan Lapandewa 78 Km, Kecamatan Sampolawa 32 Km, dan Kecamatan Walowa 65 Km. Dari empat kecamatan ditetapkan sampel desa/kelurahan sebanyak delapan desa/kelurahan yaitu Desa Lapan dewa, Desa Burangasi, Desa Rongi, Desa Galanti, Desa Kaumbu, Desa Lapodi, Kelurahan Takimpo Lipougena, dan Kelurahan Pasar Wajo Kambulabulana. Informan dalam penelitian ini adalah Parabela, perangkat adat, Kepala desa/lurah, Sultan dan perangkatnya, dan Pemerintah Kabupaten Buton (Bupati/Kepala Dinas Kehutanan/Kepala Dinas Pariwisata). Anggota Masyarakat dibawah kepemimpinan parabela dijadikan sebagai respoden dalam penelitian, berdasarkan jumlah populasi 3528 KK penarikan sampel dalam penelitian ini mengunakan propositional random sampling. Besarnya anggota sampel ditentukan dengan mengunakan tabel morgan, sehingga besarnya anggota sampel diperoleh sebesar 346 KK. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : metode
Husain, Haryadi, Wastutiningsih, Karakteristik Demografi,,, observasi partisipan (participation observation method), metode wawancara (interview method), kuesioner (angket), FGD (focus group discussion), dan studi kepustakaan (library research). Metode Analisis Data, dalam penelitian campuran, metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif-kuantitatif. Analisis data kualitatif digunakan untuk menganalisis pertanyaan penelitian pertama dan kedua, dilakukan melalui tahap reduksi data, display data dan menarik kesimpulan. Analisis data kuantitatif digunakan untuk pengujian hipotesis dengan cara menggunakan analisis korelasi Spearman’s rho. PEMBAHASAN Uji Kualitas Data Uji validitas yang dilakukan dengan korelasi Product moment pearsonmenunjukkan hasil yang tercantum pada tabel 1. Hasil uji tersebut menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antar variabel penelitian namun nilai tersebut lebih kecil dari nilai 0,80 sehingga menunjukkan tidak akan memberikan efek mengganggu pada uji statistic yang akan dilakukan selanjutnya (Cooper dan Schindler, 2006). Lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Hasil uji validitas variabel penelitian Variabel
Ekono mi
Statu s
Wakt u
Pengabdia n
Ekonomi Status Waktu Pengabdia n
1,000 0,074 0,391 0,206
0,074 1,000 0,177 0,517
0,391 0,177 1,000 0,156
0,206 0,517 0,156 1,000
Sumber: Data primer terolah (2012). Uji reliabilitas dengan metode Cronbach alpha dilakukan untuk jenis data interval. Dalam aplikasinya reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas yang angkanya berada dalam rentang dari 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitas. Hasil uji reliabilitas menunjukkan bahwa dari 40 pertanyaan dihasilkan nilai Cronbach alpha menunjukkan angka di atas 0,6 dan mendekati angka 1,0 sehingga keandalan konsistensi internal dapat diterima. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Reliabilitas variabel penelitian No
Variabel
1. 2. 3. 4.
Ekonomi Status Waktu Pengabdian
Jumlah Item pertanyaan
Alpha Crobach
10 10 10 10
0,866 0,650 0,849 0,901
Sumber: Data primer terolah (2012). 7
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Hubungan Karakteristik Demografi Dan Psikografi Parabela Dengan Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo Proses pemilihan Parabela berbeda dengan kepala desa, pemilihan atau penunjukkan parabela sampai saat ini sama dengan pemilihan Sultan Buton pada masa Kesultanan yaitu melewati suatu upacara yang disebut "Fali"yang berarti diramal oleh "Bisa"dengan menggunakan Al Quran maka pemilihan Parabela juga melaui suatu upacara ritual yang disebut dengan “Kilala”. Makna “Kilala”ini juga berarti ramalan namun tidak menggunakan media Al- Quran. Pada umumnya cara pemilihan seorang Parabela di berbagai tempat di Buton selalu melalui suatu upacara yang disebut "Kilala".atau diramal. Pelaksanaan upacara dimulai ketika semua tokoh masyarakat telah berkumpul di baruga (tempat musyawarah), maka kedua dukun wanita ini akan meletakkan Kaoko dan Kauwaini di atas Toba. Pada saat itu mereka akan mengayunkan tempurung kepala tadi ke atas dan ke bawah. Sementara itu pemuka adat yang lain akan menyebut nama-nama orang yang dicalonkan satu persatu. Jika “Kilala”ini terus memainkan tempurungnya walaupun nama 8
seseorang itu disebut berarti orang itu tidak disetujui, tetapi bila “Kilala” itu tiba-tiba mengarah ke atas atau ke arah orang yang disebut namanya tadi maka itu berarti orang tersebut yang terpilih. Setelah itu para tokoh masyarakat yang terdiri dari imam, Moji, para mantan Parabela dan Wati akan berunding untuk menentukan waktu kapan mereka datang ke rumah orang yang terpilih tadi untuk dijabat tangannya.Sebelum jabat tangan tersebut orang yang dituakan dari para tokoh masyarakat ini akan berkata pada calon Parabela sebagai berikut : "Osii tamaimo tabawa kamondona manga mia bari, samiamo ruamiamo sapulu rua pulu kapakamo padamo amondo kabolosina Parabela o ingkitamo ta sodhapea uka samalopo sakonowiapo ingkitamo kabolosina Parabela to molape lapena Lipu to mokamatana mia bari". (Pasar wajo, 12 Januari 2012) Artinya : Kami datang ini membawa kesepakatan orang banyak (masyarakat), telah menjadi kesepakatan bapaklah yang disetujui untuk menjadi Parabela, hendaknya jabatan ini dapat diterima (dipikul) sehari atau semalam bapak pikul dulu untuk mem-
Husain, Haryadi, Wastutiningsih, Karakteristik Demografi,,, perbaiki dan mengatur/melihat orang banyak (masyarakat)". Dari apa yang di ucapkan di atas nampak pula konsep jabatan dalam masyarakat Buton bukan merupakan kedudukan seperti pemahaman kita sekarang ini, menurut mereka jabatan adalah "suatu amanah yang dipikul" (sodha) ia dipikul karena berat. Sehingga terkadang ada pula yang menolak suatu jabatan mengingat beban yang harus dipikulnya juga berat.Jika diterima maka setelah itu dibicarakan kapan waktu pelantikan Parabela. Proses penetapan parabela dengan cara kilala(ramalan) tanpa memperhatikan karakteristik demografi dan psikografi parabela, sejalan dengan penelitian Weber (Hayibor et al., 2011), yang mengungkapkan karisma seorang pemimpin lebih pada Penekanan pada karakteristik pribadi yang dimiliki, yaitu memiliki kualitas manusia super atau luar biasa. Keadaan demikian banyak terjadi di negara-negara berkembang, terlebih di pedesaan karena pengetahuan mereka belum terspesialisasikan, maka orang-orang yang mampu menjelaskan suatu masalah dianggap mampu menjelaskan masalah lainnya. Sebaliknya di negara maju, opinion leader hanya menjadi
sumber untuk satu jenis informasi saja, opinion leader dipercaya karena pengetahuan, pendidikan dan pengalamanya. Sementara di negara berkembang, factor kekayaan dan umur (usia dianggap sebagai tanda memiliki pengetahuan yang banyak) masih menjadi syarat untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemberi informasi. Lokasi penelitian ini memiliki dua pemimpin, yaitu pemimpin formal (Lurah/Kepala desa) dan pemimpin formal (Parabela).Kondisi ini dalam konteks pedesaan di Indonesia, oleh Antlov (2002) disebut sebagai bentuk praktek politik pedesaan, yang mengenal dua macam otoritas. Pertama, otoritas informal yang terkait dengan kemampuan individu tertentu untuk mendapatkan pendukung setia dan hormat (respect) dari masyarakat desa dengan berbagai alasan (karena status keluarga, pengetahuan agama, intelaktualitas, dan sebagainya). Otoritas semacam ini biasanya dimiliki oleh orang-orang yang “ditokohkan” di desa seperti pemuka agama, pemuda aktivis, guru, dan lain-lain.Kedua, otoritas formaladministratif yang menyangkut kekuasaan yang dilindungi oleh mandat-mandat resmi didukung dengan akses terhadap sumber 9
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 keuangan negara dan dijalankan melalui kebijakan-kebijakan resmi pemerintah.Otoritas semacam ini dimiliki oleh para pejabat desa (kepala desa, kepala urusan pemerintahan, kepala dusun, dan lainlain). Lokus penelitian sebagai daerah transisi, antara daerah yang tradisional menuju daerah yang modern (maju), tetapi prosesi pemilihan pemimpin informal tetap menggunakan mekanisme tradisional. Namun dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap Sembilan orang parabela terungkap bahwa factor demografi yaitu Umur, Pendidikan, Masa Jabatan, Luas Lahan, dan Jumlah Tanggungan Keluarga mempunyai hubungan terhadap peran seorang parabela dalam menjalankan kepemimpinannya dalam mengajak masyarakat menjaga kelestarian hutan Kaombo. Hal ini diungkapkan oleh La Aisi (78 tahun)sebagaiParabela Takimpo : Dalam setiap pertemuan dan diskusi di Galampa tentang adat dan pelestarian hutan Kaombo, saya selaku parabela lebih banyak diam dan mendengar pendapat dari masyarakat peserta pertemuan yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi, walaupun keputusan akhir 10
dalam setiap pertemuan ditetapkan oleh parabela atas pertimbangan pengalaman dan usia yang kami miliki (wawancara, 02 April 2012). Di sisi lain dari wawancara yang dilakukan pada sembilan orang Parabela juga terungkap bahwa factor psikografi yaitu motif yang menyebabkan seseorang menerima jabatan sebagai parabela, baik itu motif ekonomi, motif status, motif waktu, dan motif pengabdian mempunyai hubungan dengan peran seorang parabela dalam menjalankan kepemimpinannya dalam mengajak masyarakat menjaga kelestarian hutan Kaombo. Hal ini diungkapkan oleh La Baidi(72 tahun) sebagaiParabela Pasar Wajo. Sebelum saya menjadi parabela saya menjabat sebagai kepala sekolah selama 37 tahun, dan saat saya masih kepala sekolah ada beberapa perangkat adat yang bertemu dengan saya dan meminta kesediaan saya sebagai parabela. Setelah tugas sebagai kepala sekolah selesai saya menerima tawaran sebagai parabela, karena orang tua saya juga dulunya perangkat adat yaitu Wati. Selama saya mengabdi sebagai parabela ada penghar-
Husain, Haryadi, Wastutiningsih, Karakteristik Demografi,,, gaan yang lebih yang saya dapatkan dari masyarakat dibandingkan saya menjadi kepala sekolah (wawancara, 22 Maret 2012). Hal ini diperkuat oleh pendapat La Parabela Aisi(78 tahun)sebagai Takimpo Motif saya sebagai parabela untuk meneruskan kepemimpinan parabela yang pernah dijabat oleh orang tua saya jadi kami memang adalah keturunan parabela, karena di Takimpo jika yang jadi parabela bukan keturunan Parabela tidak akan bertahan lama menjabat sebagai parabela bisa disebabkan mundurnya karena sakit, meninggal atau dimundurkan oleh masyarakat (wawancara, 06 April 2012). Hal sejalan dengan teori neokarismatik, yang mengungkapkan bahwa karakteristik dan perilaku pribadi berkaitan dengan hadirnya sosok pemimpin karismatik (Jacobsen dan House, dalam Hayibor et al., 2011) teori ini merupakan upaya untuk menunjukkan bahwa kepemimpinan kharismatiktidak hanya
menekanan pada karakteristik pribadi yang cenderung irasional dimiliki oleh seorang calon pemimpin, yaitu memiliki kualitas manusia super atau luar biasa.Teori ini didukung oleh (Bass, 1985; Berlew, 1974; Burns, 1978, Conger, 1985; Conger dan Kanungo, 1987, Groves, 2005; Howell dan Hall-Merenda, 1999, Howell dan Shamir, 2005, Katz dan Kahn, 1978; Shamir, 1995, Yukl, 1999) yang telah menyepakati bahwa kepemimpinan karismatik adalah merupakan sebuah fenomena relasional. Jermier (1993) menggambarkan karisma sebagai suatu proses yang tidak dapat terjadi tanpa adanya hubungan sosial, dan Mullin (1987), menyoroti pentingnya komponen relasional dari kepemimpinan karismatik, menekankan kurangnya dukungan empiris untuk modelmodel teori yang menempatkan lokus karisma hanya pada karakteristik pribadi seorang pemimpin. Untuk melihat bagaimana hubungan karakteristik demografi dan psikografi parabela dengan peran kepemimpinan dalam melestarikan hutan kaombo dapat dilihat pada tabel berikut ini 3 berikut ini :
11
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Tabel 3. Kisaran nilai sr karakteristik demografi dan psikografi parabela No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Uraian Umur Pendidikan Jabatan Lahan Lahan Tanggungan Keluarga Ekonomi Status Waktu Pengabdian
Sr 0,469 0,802** -0,224 -0,312 0,146 0,583 0,798** 0,567 0,600
Signifikansi Probability 0,203 0,009 0,562 0,413 0,708 0,99 0,010 0,112 0,088
**P ≤ 0,01 Sumber: Data primer Adapun untuk Hasil nilai Spearman’s rhopada tabel 3 dari karakteristik demografi parabela yaitu : umur menunjukkanhubungan yang tidak signifikan. Hubungan ini menunjukkan adanya korelasi yang artinya makin produktif umur seorang parabela maka makin menurun Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo, sebaliknya semakin kurang produktif umur seorang parabela maka semakin tinggi Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo. Parabela dalam penelitian ini masuk dalam kategori umur yang tidak produktif (60 -94 tahun). Hasil nilai Spearman’s rho (Rank Spearman)pendidikan parabela Diperoleh nilai sebagai berikut : Sr = 0,802**, r-hitung (0,802**) ≥ r-tabel (0,600) pada taraf signifikan 0.1%. Hasil nilai Spearman’s rho menunjukkan bahwa faktor tingkat pen12
didikan parabela dengan Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo memiliki hubungan yang signifikan. Angka koefisien korelasi tingkat pendidikan dengan Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo, bila merujuk pada pedoman interpretasi korelasi oleh Sugiono (2008) menunjukkan bahwa tingkat tingkat pendidikan dengan Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo berada dalam kategori sangat kuat. Hubungan ini dinyatakan dalam bentuk korelasi yang positif artinya jika tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seorang parabela rendah maka tingkat Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo yang dimiliki juga akan rendah dan sebaliknya jika tingkat pendidikan yang dimiliki oleh parabela tinggi maka Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan
Husain, Haryadi, Wastutiningsih, Karakteristik Demografi,,, Kaombo yang dimilikinya juga akan semakin tinggi dimana parabela yang berpendidikan tinggi akan lebih berperan terhadap parabela yang berpendidikan rendah karena parabela yang berpendidikan tinggi lebih banyak menggunakan pertimbanganpertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menolak atau menerima informasi baru dan biasanya menjadi panutan bagi parabela lainnya.Hal ini sejalan dengan penelitian Pipinos dan Fokiali ( 2007) bahwa sikap masyarakat dalam konservasi lingkungan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan pemuka pendapat yang memberikan pengaruh positif dalam menerima berbagai informasi keselamatan lingkungan wisata dari pemerintah untuk berpartisipasi pada pelaksanaan konservasi lingkungan dan pemberdayaan masyarakat lokal di komunitas Olympos Karpathos Utara. Kondisi ini dipertegas oleh pendapat Dahlan (1984) bahwa pemuka pendapat di Indonesia dianggap bersifat Polimorfik, yaitu serba tahu atau tempat menanyakan segala rupa hal baik politik, pertanian, keluarga berencana, wabah, dsb. Masa Jabatan sebagai karakteristik demografi Parabela menunjukkan hubungan dalam bentuk korelasi negatif artinya semakin lama
masa jabatan parabela dijalankan maka makin menurun Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo, sebaliknya semakin cepat parabela dalam menjalankan jabatannya maka semakin tinggi Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo. Hal ini dimungkinkan karena masa jabatan parabela yang terlama 20 tahun dan yang terbaru 2 tahun. Kondisi ini berbeda dengan pendapat John French dan Bertram raven dalam laporan studi klasik yang berjudul “The Bases of Social Power” (Purbaningrum,2011) keahlian dalam pengalaman kerja merupakan dasar kekuasaan yang penting. Luas Lahan menunjukkan hubungan yang tidak signifikan, hal ini dimungkinkan karena pembagian tanah tidak lagi menjadi tanggung jawab Parabela seperti dulu sehingga ada parabela yang memiliki luas lahan 3 hektar namun ada parabela yang hanya memiliki tanah kurang dari ½ hektar.ini terjadi karena sudah banyak tanah yang berubah fungsi menjadi tempat tinggal, dan luas tanah yang dulunya dapat menjadi ukuran kelas dan kemampuan masyarakat kini mulai berubah. Kondisi ini berbeda dengan pendapat Dube (1988) bahwa di dalam masyarakat tradisional yang bercirikan sektor pertanian, kepemimpinan 13
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 informal berada di tangan penguasa tanah.Parabelasebagai pemimpin lokal hingga kini tidak pernah berubah perannya sebagai pengambil keputusan.Setiap ada persoalan di desa harus dimusyawarahkan terlebih dahulu namun penentu keputusan tetap dikembalikan ke Parabela, baik itu prosesi adat, masalah tanah dan lainnya. Hasil FGD (Focus Group Discussion) pada tanggal 23 Februari 2012 di Desa Lapodi terungkap bahwa Parabela masih mempunyai legitimasi di masyarakat dalam memutuskan satu permasalah. Salah satunya permasalahan di Desa Lapodi saat datangnya eksodus dari Ambon tahun 1999 yang ingin menjadikan kawasan Hutan kaombo sebagai daerah pemukiman dan ditolak oleh masyarakat dengan pertimbangan bahwa tanah tersebut adalah tanah adat. Gangguan yang datang dari pihak – pihak yang tetap memaksakan diri untuk menggunakan tanah adat sebagai pemukiman tidak berhenti, maka masyarakat menghadap kepada parabela dan meminta diadakan pertemuan adat di baruga yang dihadiri oleh seluruh perangkat adat untuk memutuskan membagi – bagi kawasan kaombo untuk dimiliki oleh masyarakat. Hal ini dilakukan agar 14
tanah adat (hutan Kaombo) tidak diambil oleh orang luar yaitu eksodus Ambon, maka parabela dan perangkat adat bertemu dan mengambil keputusan untuk membagi kawasan tanah kaombo kepada masyarakat secara adil untuk dijadikan sebagai tanah garapan untuk berkebun. Tanggungan Keluarga tidak berhubungan signifikan dengan peran kepemimpinan dalam melestarikan Hutan Kaombo, hal ini dikarenakan jumlah anggota keluarga 2 – 4 orang dan sebahagian besar sudah berkeluarga dan sudah berumah tangga sehingga tidak menjadi factor yang berpengaruh pada parabela dalam menjalankan peran dalam melestarikan Hutan Kaombo. Adapun Hubungan Antara motif Dengan Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo. Tampak dari Hasil nilai Spearman’s rhosebesar Sr = 0,583, r-hitung (0,583) ≤ r-tabel (0,600) pada taraf signifikan 0,1% menunjukkan bahwa hubungan motif ekonomi dengan Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo memiliki hubungan yang tidak signifikan. Hubungan ini menunjukkan adanya korelasi yang artinya makin tinggi motif ekonomi seorang parabela maka makin menurun Peran Ke-
Husain, Haryadi, Wastutiningsih, Karakteristik Demografi,,, pemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo, sebaliknya semakin kurang motif ekonomi seorang parabela maka semakin tinggi Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo. Kondisi ini berbeda dengan pendapat Rogers (1983) bahwa Beberapa studi seringkali menunjukkan bahwa opinion leader adalah orang yang memiliki kelas ekonomi lebih tinggi dari rata-rata orang yang berada di sekitar para pengikutnya. Motif status dengan peran kepemimpinan dalam melestarikan hutan Kaombo, tampak dari Hasil nilai Spearman’s rhosebesar Sr = 0,798, r-hitung (0,798) ≥ r-tabel (0,600) pada taraf signifikan 0,1% menunjukkan bahwa hubungan motif Status dengan Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo memiliki hubungan yang signifikan. Angka koefisien korelasi tingkat pendidikan dengan Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo, bila merujuk pada pedoman interpretasi korelasi oleh Sugiono (2008) menunjukkan bahwa Motif status dengan peran kepemimpinan dalam melestarikan hutan Kaombo berada dalam kategori kuat. Hubungan ini dinyatakan dalam bentuk korelasi yang positif artinya makin tinggi motif Status
seorang parabela maka makin tinggi Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo, sebaliknya semakin rendah motif Status seorang parabela maka semakin rendah Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo.kondisi ini sejalan dengan hasil wawancara Mantan Kepala desa Lapodi La Hasili (61 tahun) bahwa, Antara adat dan Parabela keduanya tidak bisa dipisahkan.Keberadaan Parabela sampai saat ini tidak terlepas dari adanya adat istiadat yang masih dipegang atau dijalankan oleh masyarakat. Demikian pula sebaliknya masih adanya pesta adat karena adanya Parabela yang mempunyai status sebagai pemegang adat.la yang memelihara adat yang memiliki nilainilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya, termasuk di dalamnya hutan kaombo mata air yang merupakan hutan adat yang didalamnya ada mata air sebagai sumber air di kampong ini yang dijaga parabela dan selalu diingatkan saat pesta adat agar masyarakat tidak merusak hutan sebagai pelindung bagi mata air kampung. (29 Februari 2012). 15
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Masyarakat di Takimpo , Rongi, Pasarwajo, Walowa, Lapandewa, dan Lapodi masih tetap melaksanakan pesta adat sampai saat ini. Dalam pelaksanaan upacara-upacara adat, Parabela nampak sebagai tokoh utama pada saat pesta, pada saat pesta adat berlangsung parabela dan perangkat adat yang lain akan mengucapkan kata – kata untuk mengutuk dan mengucapkan sumpah bagi para perusak hutan adat (kaombo) dan mendoakan agar diberikan hukuman oleh maha pencipta atas perbuatan yang telah merusak alam pada saaat acara adat "Sampua Galampa" di Rongi dan acara "Pikoela liwu" di Pasarwajo. Olehnya itu keberadaan adat dan Parabela saling membutuhkan. Sebagai pemangku adat, parabela memiliki posisi yang sangat sentral dalam kehidupan masyarakat yang masih mempertahankan adat istiadat, setiap pesta adat di desa harus mendapatkan restu dan dihadiri oleh parabela. Hubungan Antara waktu Dengan Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo. Tampak dari Hasil nilai Spearman’s rhosebesar Sr = 0,567, r-hitung 16
(0,567) ≤ r-tabel (0,600) pada taraf signifikan 0,1% menunjukkan bahwa hubungan motif Waktu dengan Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo memiliki hubungan yang tidak signifikan. Hubungan ini menunjukkan adanya korelasi yang artinya makin tinggi motif waktu seorang parabela maka makin menurun Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo, sebaliknya semakin kurang motif Waktu seorang parabela maka semakin tinggi Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo. Hal ini didukung dengan hasil wawancara dengan perangkat adat di desa Rongi La Buana (75 tahun) yang mengungkapkan, Bahwa parabela lebih banyak waktunya dihabiskan untuk menjaga kebun dibandingkan menjaga kampung, yang jarak kebun ke kampung cukup jauh dari kampung sehingga menyulitkan warga jika sewaktu-waktu akan berhubungan dengan parabela. Ketidakhadiran parabela dikampung menyebabkan peran yang dimiliki tidak dapat dilaksanakan dalam menjaga dan melindungi hutan kaombo. Namun masyarakat tetap ingin mempertahankan keberadaan hutan kaombo dari
Husain, Haryadi, Wastutiningsih, Karakteristik Demografi,,, berbagai upaya yang akan merusak kelestariannya.(27 Februari 2012). Motif Pengabdian dengan peran kepemimpinan dalam melestarikan hutan Kaombo, tampak dari Hasil nilai Spearman’s rhosebesar Sr = 0,600, pada taraf tidak signifikan 0.1% menunjukkan bahwa hubungan motif Pengabdian dengan Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo memiliki hubungan yang tidaksignifikan.Hubungan ini menunjukkan adanya korelasi yang artinya makin tinggi motif Pengabdian seorang parabela maka makin rendah Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo, sebaliknya semakin rendah motif Pengabdian seorang parabela maka semakin tinggi Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo. Kondisi di lapangan Parabela dalam menjalankan peran sebagai pemberi informasi telah dilakukan, hal ini diungkapkan oleh La Ridwan (25 tahun) ia mengatakan sebagai berikut : “Saya pernah berecana untuk membuka kebun. Namun khawatir jangan sampai kebun tersebut masuk dalam kawasan tanah hutan Koambo. Akhirnya saya memutuskan untuk bertemu
parabela dan menceritkan masalah yang saya hadapi, dan hari itu juga saya mendapatkan informasi dari parabela bahwa tanah yang akan saya jadikan kebun berada diluar kawasan tanah hutan kaombo, sehingga dengan informasi parabela yang jelas dan lengkap saya tidak ragu lagi membuka kebun dan bisa dengan tenang dalam mengerjakan kebun baru tersebut”. (Takimpo, 24 Desember 2011) Hasil wawancara menunjukkan bahwa kehadiran Parabela, menjadi sumber informasi tentang sejarah, lokasi dan letak hutan Kaombo bagi warga yang banyak tidak mengetahui keberadaan dari hutan Kaombo sehingga dibutuhkan intensitas dari Parabela dalam mengsosialisasikan keberadaan hutan Kaombo bukan hanya memberikan informasi saat diminta tapi sebagai bentuk pengabdian wajib untuk menyampaikan pada masyarakatnya. Jika melihat peran – peran yang masih dimiliki parabela di desa dan kelurahan pasca kebijakan otonomi daerah, lalu berpandangan romantis dan bernostalgia, akan mengatakan bahwa tatanan kehidupan sosial desa masih diwarnai dengan komunalisme dan kebersamaan yang 17
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 kuat, relasi sosial yang lebih setara, kerukunan dan ketenteraman, masih kuatnya penghormatan terhadap norma-norma sosial, dan kepatuhan pada pemimpin adat yaitu parabela. Tetapi kalau kita membaca secara kritis sebenarnya di desa dan kelurahan yang masih memiliki pemimpin adat secara berangsur-angsur telah terjadi krisis kepemimpinan parabela yang hanya hanya menjadi pemimpin yang pasif. Hasil nilai Spearman’s rho tentang hubungan karakteristik demografi dan psikografi parabela dengan peran kepemimpinan dalam melestarikan hutan kaombo sejalan dengan kondisi di lapangan, tampak pada diri parabela yang dulunya dikenal sebagai sosok yang proaktif dalam menjalankan peran-peran yang dimiliki sebagai penguasa tunggal dikadie sebelum adanya pemerintah formal. Parabela yang sekarang lahir sebagai sosok pemimpin adat yang pasif dan hanya hadir saat situasi di mana masyarakat sudah tidak bisa meminta bantuan pada kepala desa atau lurah. Parabela tetap mendapatkan peran yang di amanahkan masyarakat dan juga tetap menjalankan, namun dari penilaian masyarakat peran tersebut lebih banyak karena masyarakat yang
18
meminta parabela untuk menjalankan peran yang dimiliki. Simpulan Hasil penelitiaan Nilai Spearman’s rho dari karakteristik demografi parabela yaitu : umur, jabatan, luas lahan, dan Tanggungan Keluarga menunjukkanhubungan yang tidak signifikan. Hanya pendidikan parabela dengan Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo memiliki hubungan yang signifikan. Angka koefisien korelasitingkat pendidikan dengan Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo, bila merujuk pada pedoman interpretasi korelasi menunjukkan bahwa tingkat tingkat pendidikan dengan Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo berada dalam kategori sangat kuat. Adapun Hubungan Psikografi Parabela Dengan Peran Kepemimpinan Dalam Melestarikan Hutan Kaombo, menunjukkan motif ekonomi, motif waktu, dan pengabdianmemiliki hubungan yang tidak signifikan. Motif status dengan peran kepemimpinan Parabela dalam melestarikan hutan Kaombo menunjukkan hubungan yang signifikan. Angka koefisien korelasi Motif status dengan Peran Kepemimpinan Parabela dalam melestarikan
Husain, Haryadi, Wastutiningsih, Karakteristik Demografi,,, Hutan Kaombo, bila merujuk pada pedoman interpretasi korelasi menunjukkan bahwa Motif status denganperan kepemimpinan dalam melestarikan hutan Kaombo berada dalam kategori kuat. Hasil nilai Spearman’s rho tentang hubungan karakteristik demografi dan psikografi parabela dengan peran kepemimpinan dalam melestarikan hutan kaombo sejalan dengan kondisi di lapangan, tampak pada diri parabela yang dulunya dikenal sebagai sosok yang proaktif dalam menjalankan peran-peran yang dimiliki sebagai penguasa tunggal dikadie sebelum adanya pemerintah formal. Parabela yang sekarang lahir sebagai sosok pemimpin adat yang pasif dan hanya hadir saat situasi di mana masyarakat sudah tidak bisa meminta bantuan pada kepala desa atau lurah. Parabela tetap mendapatkan peran yang di amanahkan masyarakat dan juga tetap menjalankan, namun dari penilaian masyarakat peran tersebut lebih banyak karena masyarakat yang meminta parabela untuk menjalankan peran yang dimiliki. Rekomendasi Kenyataan di lapangan bahwa Parabela sebagai pemimpin informal masih tetap memperoleh dukungan
dan adanya kepatuhan dari warganya maka sudah selayaknya pemerintah formal dapat melibatkan parabela serta memberi peran dalam program pemerintah baik yang berkaitan dengan upaya menjaga kelestarian hutan maupun program lainnya, sehingga nantinya dapat kembali memberdayakan parabela menjadi parabela yang proaktif di masyarakat. Pemerintah kabupaten Buton harus mengakui tanah adat (hak ulayat) yang melekat pada hutan kaombo. Sehingga masyarakat Buton tidak harus diusir karena dianggap menggarap hutan milik negara. Selama ini negara hanya bersembunyi bahwa hutan adat telah dimasukkan sebagai bagian dari hutan negara, namun hal tersebut tetap tidak mencapai makna eksistensi dan keberlangsungan hutan adat dalam hal ini hutan Kaombo. Aspek lain yang perlu mendapatkan perhatian dari Perangkat Adat di Buton adalah pada saat proses seleksi seorang pemimpin lokal dalam hal ini Parabela untuk memperhatikan aspek karakteristik demografi dan psikografi dari seorang calon, utamnya dari pertimbangan pendidikan formal dan pengalaman serta keahlian dalam menjaga kelestarian hutan adat (Kaombo). 19
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Daftar Pustaka Antlov, Hans. 2002. Negara dalam Desa : Patronase Kepemimpinan Lokal. Lappera Pusataka Utama. Yogyakarta. Berger, Charles R. 1991. Chautauqua: Why Are There So Few Communication Theories? Communication Theories And Other Curios. Communication Monographs, Volume 58, March, PP 101112 Bruce, Barry and Michael, Crant J. 2000. Dyadic Communication Relationships in Organizations: An Attribution/Expectancy Approach Organization Science, Vol. 11, No. 6 Nov. - Dec, pp. 648-664 Craig, Robert T. 2005. Communication Theory in the Public Interest. Departement of Communication University of Colorado.Journal of Communication. Desember, PP 659-667. Dahlan, Alwi. 1984. Jaringan Komunikasi Sosial di Pedesaan Sebagai Pemerataan Informasi. Dalam Selo Soemardjan, Alfian, Mely G. Tan (editor). Kemiskinan Struk20
tural Suatu Bunga Rampai. PT. Sangkala Pulsar. Jakarta. Dube, S.C. 1988. Modernization and Development : The Search for Alternative Paradigms. Zed Books Ltd. London Griffin, EM. 2006. A First Look At CommunicationTheory. Sixth Edition. McGraw Hill Companies. New York. Amerika. Hayibor, S., Agle, B.R. Sears, G.J. Sonnenfeld, J.A. & Ward,A. 2011. Value Congruence and Charismatic Leadership in CEO–Top Manager Relationships: An Empirical Investigation. Journal of Bussiness Ethics, 102 : 237-254. Penley, L.E., and Hawkins, B. 1985. Studying Interpersonal Communication In Organizations : A Leadership Application. The Academy of Management Journal, 28, 309-326. Pipinos, George and Fokiali, Persa (2007).An assessment of the attitudes of the inhabitants of Northern Karpathos, Greece: towards a framework for ecotourism development in environmentally sensitive areas : An ecotourism framework in environmentally sensitive areas.Springer Science Business Media B.V. 6
Husain, Haryadi, Wastutiningsih, Karakteristik Demografi,,, December, PP 1-75. Purbaningrum, Dwi. 2011. Komunikasi dan Identitas Kepemimpinan : Studi Tentang Kepemimpinan BJ Habibie. Lokus. Yogyakarta. Rogers. Everett M. 1983.Diffusion of Innovation.Third Edition. New York : The Free Press A Division of Macmillan inc. New York. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Administrasi : dilengkapi dengan Metode R and D. Penerbit Alfabeta. Bandung Sparks, A. George. 2008. Charismatic Leadership : An Explatory In-
vestigation of The Techniques of Influence. Disertasi.Capella University. USA. Spradley, James. P, 2007, Metode Etnografi, terjemah Misbah Zulfa E, Yogyakarta, Tiara Wacana. Thomson, Rosemary. 2002. Managing People. Butterworth-Heinemann. London. Zander, Lena. 2005. Communication and Country Clusters : Study of Language and Leadership Preferences. International Studies of Management and Organization.Vol 35.No. 1. PP 83-103.
21
PARTISIPASI JAMAAH DALAM AKTIVITAS PENGAJIAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERILAKU SALEH (Studi Kasus di Masjid Jami’ Assagaf Solo) Wahyu Tri Tejo Kusumo GPU1), Ravik Karsidi 2) Mahendra Wijaya3) 1) Mahasiswa Penyuluhan Pembangunan/Pengembangan Masyarakat Pascasarjana UNS, 2,3) Dosen Penyuluhan Pembangunan Pascasarjana UNS
[email protected] Abstrak Sense ofsacrednessandrespectspiritual valuesare partofthe re-establishmentof humanandgivemeaningandpurposeof human lifethatthe spiritualdimensionis essentialtothe development ofsociety. Islamic learn activitiesinthe mosque is alearningprocessthatis important forevery Moslem. The objective of the research are to describe the forms, factors and effect of muta’allimin participation in the Islamic learn activities to act of piety. Type of research is qualitative. The method applied is a case study in the Jami 'Assagaf, at Surakarta, Central Java. The subject of the research is a congregation adults (muta'allimin). Data obtained through surveys, observation, in-depth interviews and documents. The validity of the data obtained by extending the observation, discussion, and triangulation.Analysis using an interactive model. The participation of muta'allimin in Islamic learn activities include the concrete form that money, property, workforce, and attend, and in the abstract form that sosial participation and ideas. Consists of the beginning stages of participation: preparation, participation and sustainability. The factor of muta'allimin participation in Islamic learn activities are internal factors, external factors, learning approach factors, and sosial network factors. Muta’allimin participation in Islamic learn activities affect the act of piety of both individual andsocial. Act of piety is formed through a process of learning and thinking at the time and the results after participating in study activities. Individual pious looksin speech, worshiprituals, dress, andappearance. Social piouslooksin collectively oriented behavior (cooperation) like charity andencouragemembers ofthe publicinvolvedin the process oflearningasreligious activitiesatthe mosque/prayer room, Islamic learn groups, Islamic percussion (hadrah), and Qur'an Lesson for Children. Keywords: Islamic learn activities, mosque, participation, piety Abstrak Rasa kesakralan dan penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual merupakan bagian penting dari pembentukan kembali manusia dan memberikan makna dan tujuan kehidupan manusia dan dimensi spiritual sangat penting untuk pengembangan masyarakat. Aktivitas pengajian di masjid adalah proses belajar yang sangat penting bagi setiap muslim. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bentuk-bentuk, faktor-faktor dan pengaruh partisipasi jamaah (muta’allimin) dalam aktivitas pengajian terhadap perilaku saleh.Jenis penelitian kualitatif dengan metode studi kasus di Masjid Jami’ Assagaf Solo, Jawa Tengah. Subyek penelitian berupa
22
Tejo Kusumo, Karsidi, Wijaya, Aktivitas pengajian, masjid,,, jamaah dewasa (muta’allimin).Data yang diperoleh melalui survei, observasi, wawancara mendalam dan dokumen. Validitas data diperoleh dengan cara memperpanjang pengamatan, diskusi, dan triangulasi. Analisis data dengan model interaktif.Bentuk partisipasi muta’allimin berwujud konkret meliputi uang, harta benda, tenaga, dan kehadiran sedangkan dalam bentuk abstrak berupa partisipasi sosial dan pemikiran.Tahapan partisipasi dari permulaan, persiapan, partisipasi dan keberlangsungan.Faktor partisipasi muta’allimin berupa faktor internal, eksternal, pendekatan belajar, dan jaringan sosial.Partisipasi muta’allimin dalam aktivitas pengajian berpengaruh terhadap perilaku saleh baik individu maupun sosial. Perilaku saleh terbentuk melalui proses belajar dan hasil berpikir pada saat dan setelah berpartisipasi dalam aktivitas pengajian. Saleh individu tampak dalam berbicara, menjalankan ritual ibadah, berpakaian, dan berpenampilan. Saleh sosial terlihat dari mendahlulkan kepentingan orang lain/kolektif berupa bersedekah dan mendorong anggota masyarakat terlibat dalam proses belajar seperti aktivitas keagamaan di masjid/musholla, kelompok pengajian, hadrah, dan Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA). Kata kunci : aktivitas pengajian, masjid, partisipasi, kesalehan
PENDAHULUAN Islam diturunkan ke muka bumi sebagai rahmatan lil ’alamin (rahmat bagi seluruh alam). Muhammad SAW sebagai pembawa ajaran Islam bertugas menyempurnakan akhlaq manusia (li utammima makaarimal akhlaaq). Akhlaq yang sempurna mengajarkan kasih sayang, menolong yang lemah, menghormati perbedaan dan anti penindasan. Perilaku tersebut memiliki ujung yang sama dari prinsip pemberdayaan masyarakat. Indonesia masih tercatat sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Dari sekitar 1.6 miliar penduduk muslim dunia, 12.7 persennya ada di Indonesia (PewR esearch.org, 2013). Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 menyebut
penduduk Indonesia yang beragama Islam sebanyak 207,1 juta jiwa.Lebih dari 200 ribu penduduk muslim Indonesia menjalankan ibadah haji setiap tahunnya. Sebanyak 800 ribu masjid tersebar di seluruh Indonesia.Pada tahun 2008-2011 terdapat sekitar 28.000 pondok pesantren di Indonesia. Pesantren yang memiliki santri (murid) lebih dari 5000 orang mencapai 22 buah (Dhofier, 2011). Di sisi lain, tahun 2010, Indonesia menurut lembaga survey internasional Political and Economic Risk Consultancy merupakan negeri terkorup di antara 16 negara di Asia.Berbagai aksi kejahatan dari penipuan, pemerkosaan, hingga pembunuhan, dan peredaran narkoba. Perbedaan tak sering menimbulkan perselisihan dan 23
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 tindakan anarkis, tawuran pelajar, bentrok antar kampung, antar kelompok, dan aksi terorisme. Bencana alam yang terjadi salah satu tanda rusaknya ekosistem. Berbagai masalah umat tersebut bisa jadi akibat kehampaan spiritual anggota masyarakat. Sebagian orang tidak memiliki hubungan dengan agama, dan bagi mereka yang memiliki hubungan sering menjadi pengalaman yang terpisah, terkadang terpisah dari kehidupan sehari-hari meskipun terdapat upaya dari orangorang di kalangan agama tersebut untuk menunjukkan dan memperkuat relevansi dan manfaatnya secara langsung. Masyarakat moderen memiliki sifat dasar yang sangat sekular, dan memberikan sedikit ruang untuk gagasan-gagasan tentang kesakralan atau untuk nilai-nilai spiritual (Ife, 2002). Masjid sebagai komponen fasilitas sosial merupakan bangunan tempat berkumpul bagi sebagian besar umat Islam untuk melakukan ibadah sebagai sebuah kebutuhan spiritual yang diperlukan oleh umat manusia (Shihab, 1996).Konsep ibadah meliputi segenap aspek sebagai bentuk penghambaan diri kepada Allah yang meliputi aspek ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah (Al Muhdor, 2008). 24
Aktivitas pengajian sebagai pengembangan spiritual masyarakat (spiritual development)untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan tentang ajaran Islam, sehingga jamaah ke masjid tidak hanya melaksanakan ibadah rutin, tetapi juga menambah ilmu pengetahuan agama, mempererat tali ukhuwahIslamiah dan meningkatkan ghirah dalam pengamalan ajaran agama di masyarakat (Jasmadi, 2008).Sifatnya non formal sangat berarti bagi golongan masyarakat dengan akses terbatas terhadap ilmu agama. Melalui aktivitas pengajian di masjid, jamaah diharapkan memiliki kesalehan baik individu maupun kesalehan sosial. Muta’allimin berpartisipasi dalam berbagai bentuk dan dipengaruhi banyak faktor. Keterlibatan muta’allimin memberikan perubahan dalam peningkatan ibadahnya. Dari peningkatan tersebut secara istiqamah, bermanfaat bagi dirinya, keluarga maupun orang lain menunjukkan muta’allimin memiliki perilaku saleh baik individu maupun sosial. Rumusan masalah penelitian ini adalah : bagaimana bentuk-bentuk partisipasi jamaah dalam aktivitas pengajian di Masjid Jami’ Assagaf Solo, faktorfaktor apa yang mempengaruhi partisipasi jamaah dalam aktivitas
Tejo Kusumo, Karsidi, Wijaya, Aktivitas pengajian, masjid,,, pengajian di Masjid Jami’ Assagaf Solo, bagaimana pengaruh partisipasi jamaah dalam aktivitas pengajian di Masjid Jami’ Assagaf Solo terhadap perilaku saleh? Penelian ini bertujuan untuk: menganalisis bentuk-bentuk partisipasi jamaah dalam aktivitas pengajian di Masjid Jami’ Assagaf Solo, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi jamaah dalam aktivitas pengajian di Masjid Jami’ Assagaf Solo, menganalisispengaruh partisipasi jamaah dalam aktivitas pengajian di Masjid Jami’ Assagaf Solo terhadap perilaku saleh TINJAUAN PUSTAKA Partisipasi Ach. Wazir Ws., et al. (1999) mengartikan partisipasi sebagai keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Bickman, et al. dalam Ife & Tesoriero (2008) mengatakan partisipasi diukur melalui pengelolaan, organisasi, kepemimpinan, identifikasi kebutuhan, dan menggerakkan sumber daya. Partisipasi dipengaruhi oleh faktor usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan, dan lama tinggal (Ross & Lappin, 1967). Tiga derajat partisipasi masyarakat secara umum, menurut
Arnstein (1969), yaitu : 1) Tidak partisipatif (No Participation); 2) Derajat semu (Degrees of Tokenism); dan 3) Kekuatan masyarakat (Degrees of Citizen Powers). Pengembangan Masyarakat MenurutUS International Cooperation Administration pengembangan masyarakat sebagai proses sosial masyarakat mengorganisir diri dalam merencanakan; merumuskan masalah dan kebutuhan individu maupun bersama; membuat rencana didasarkan kepercayaan terhadap sumber yang dimiliki, dan bila perlu melengkapi bantuan teknis dan material dari pemerintah dan badan nonpemerintah (Fauzan, 2009). Menurut Ife & Tesoriero (2008), untuk semua aspek pengembangan masyarakat berprinsip holistik. Dimensi spiritual menjadi bagian dari prinsip pengembangan masyarakat.Komponen utama pengembangan masyarakat,salah satunya adalah partisipasi (Kurniawan, 2006). Masjid Menurut istilah, masjid adalah bangunan dengan batas tertentu yang didirikan untuk beribadah kepada Allah SWT seperti shalat, dzikir, membaca Al-Qur’an dan lainnya (Shihab, 1996). 25
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Aspek manajemen masjid meliputi: Idarah yaitu mengatur dan mengembangkan kerjasama guna mencapai suatu tujuan.Imarah artinya usaha memakmurkan masjid sebagai tempat ibadah, pembinaan dan peningkatan kesejahteraan jamaah.Riayah ialah memelihara dari segi bangunan, (Dewantoro, 2005). Aktivitas Pengajian Pengajian diartikan sebagai sekelompok orang atau jamaah yang belajar tentang ilmu agama dibawah bimbingan seorang guru atau ustadz yang memiliki kemampuan melebihi anggota jamaah lain, lembaga dakwah yang strategis dalam pengembangan masyarakat (Almi, 2010). Peran strategisnya terletak sebagai learning society, tanpa dibatasi oleh JAMAAH Usia Jenis Kelamin Time-Budget Pengalaman Belajar Status Sosial
usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan. Perilaku Saleh Saleh berarti ketaatan menjalankan ibadah; kesungguhan menunaikan ajaran agama yang tercermin pada sikap hidupnya. Nafi’ et.al (2007) menyebut shalih berarti baik, layak, patut, sesuai, lurus, berguna dan cocok, berdasarkan ilmu dan ajaran agama. Kesalehan tercermin pada aspek ibadah dan muamalah (Kaelany,2000). Agama paling baik dipahami dari segi tindakan agama dan subyektifitas daripada keyakinan agama (Turner & Thong, 2008). Jamaah Dewasa Hurlock (1980) menyebutkan usia dewasa berada pada 18-40 tahun (Early Adulthood). BENTUK PARTISIPASI Niat & Proses Derajat Partisipasi Macam Partisipasi Ta’awwun
Jaringan Kepercayaan Norma Resiprositas
FAKTOR PARTISIPASI
MASJID Imam Ustadz Pengurus Donatur
Manajemen Ajaran Kepemimpinan
Jenis Pengajian Media Pengajian Metode Pengajian Materi Pengajian
Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian
26
PERILAKU SALEH JAMAAH
Tejo Kusumo, Karsidi, Wijaya, Aktivitas pengajian, masjid,,, METODE PENELITIAN Lokasi penelitian di Masjid Jami’ Assagaf Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Solo, Jawa Tengah. Waktu penelitian sejak bulan Agustus 2012 - Maret 2013. Aktivitas pengajian di bulan Ramadhan tidak termasuk dalam kajian ini. Jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Cresswell (Kusmarni, 2012) menyebut fokus studi kasus adalahspesifikasi kasus dalam suatu kejadian baik itu yang mencakup individu,kelompok budaya ataupun suatu potret kehidupan. Subyek penelitian adalah jamaah dewasa (muta’allimin)dalam aktivitas pengajian di Masjid Jami’ Assagaf Solo. Kriteria muta’allimin adalah orang mukallaf, yaitu orang-orang Islam (muslim) yang telah dewasa (baligh) dan berakal sehat (Rifa’i, 1973). Lofland (1984) dalam Moleong (2004) menjelaskan bahwa sumber data utama penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. Data primer berasal dari muta’allimin dan data sekunder berasal dari imam, pengurus, dan ustadz. Penelitan ini menggunakan sampel bertujuan (purposive sample) dilanjutkan teknik sampling bola salju (snowball sampling).
Teknik pengumpulan data adalah cara atau strategi untuk mendapatkan data yang diperlukan untuk menjawab permasalahan (Sutopo, 2002). Pengumpulan data penelitian kualitatif banyak berupa observasi, wawancara dan dokumentasi (Sugiyono, 2009). Pengumpulan data studi kasus berpeluang menggunakan berbagai sumber bukti, meliputi survei, observasi, wawancara, dan dokumentasi (Yin 2012). Data survei dari 160 muta’allimin, wawancara dengan 1 imam, 5 pengurus, dan 2 ustadz. Observasi dan deep interview untuk perilaku saleh dengan 4 muta’allimin (2 lakilaki,2 perempuan). Validitas data diperoleh melalui : Perpanjangan pengamatan; Meningkatkan ketekunan; Diskusi dengan teman; Menggunakan bahan referensi; Triangulasi Data (Sumber) dan Metode. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis data model interaktif (Sutopo, 2002). Proses analisis, yaitu: (1) reduksi data, (2) sajian data, serta (3) penarikan simpulan dan verifikasinya. HASIL DAN PEMBAHASAN Masjid Jami’ Assagaf (MJA) Solo Islam diperkirakan telah masuk ke Nusantara langsung dari 27
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Arab pada abad pertama Hijri atau abad ke-7 Masehi (Sudar, 2009). Van den Berg (1989) menyatakan bahwa masyarakat keturunan Arab yang ada di Indonesia berasal dari Hadhramaut, Yaman. Keturunan Arab Hadramaut di Indonesia, terdiri 2 kelompok besar yaitu kelompok Alawi (Sayyidi) keturunan Rasul SAW dan kelompok Qabili, yaitu kelompok diluar kaum Sayyid. Para Sayid tersebut mendapat gelar Habib (jamaknya :Habaib) dan anak perempuan mereka bergelar Hababah. Mulanya mereka tinggal di perkampungan Arab yang tersebar di Indonesia, misalnya di Surakarta (Pasar Kliwon). Perkampungan Arab di Surakarta menempati tiga wilayah kelurahan, yaitu Pasar Kliwon, Semanggi dan Kedung Lumbu. Masyarakat Pasar Kliwon heterogen, selain golongan keturunan Arab dan penduduk Jawa juga bermukim warga keturunan Cina. Pada Oktober 2012 jumlah penduduknya 7159 jiwa (1463 kepala keluarga). Sebagian besar menjadi buruh industri (1328 orang) dan buruh bangunan (1756 orang) dan tingkat pendidikan yang banyak ditempuh adalah SLTA (2588 orang). Jumlah penduduk yang terbanyak usia 40-49 tahun yaitu 1417 orang. Agama yang dipeluk meliputi Islam (6861 orang), Kristen (251 orang), 28
Katolik (28 orang) dan Budha (19 orang). Tempat ibadah terdiri dari masjid sebanyak 8 buah dan mushola sebanyak 3 buah (Monografi Kelurahan Pasar Kliwon, 2012). Tahun 1344 Hijriah, Masjid Assagaf didirikan oleh ulama dari Gresik Jawa Timur bernama Habib Abu Bakar bin Muhammad Assagaf diatas tanah pemberian Paku Buwono X. Dinamai Assagaf sebagai penghormatan terhadap Habib Abdurrahman bin Muhammad Assagaf, ulama besar dari Yaman. Masyarakat juga menyebut Masjid Wiropaten. Perluasan bangunan pertama kali dilakukan tahun 1975. Tahun 1974 Masjid Assagaf disebut Masjid Jami’ Assagaf (MJA) setelah mulai digunakan untuk menjalankan shalat jumat. Aspek Ri’ayah MJA memiliki fasilitas yang memadai dari yang bersifat utama hingga fasilitas pendukung.Dalam menjalankan aspek ’idarah, Masjid Jami’ Assegaf membentuk organisasi formal untuk mengelola bernama Yayasan Masjid Jami’ Assegaf. Segala aspek imarah seperti ibadah maupun dakwah yang dilakukan mengikuti dan mengembangkan ajaran Ahlussunnah Waljama’ah. Pelaksanaan shalat rawatib, shalat jum’at dan shalat ied. Peringatan hari besar Islam, dan
Tejo Kusumo, Karsidi, Wijaya, Aktivitas pengajian, masjid,,, acara khusus selama bulan Ramadhan. Partisipasi dalam Aktivitas Pengajian di MJA Aktivitas pengajian termasuk dalam Pendidikan Islam, sedangkan pendidikan pada umumnya menganut aliran emprisme, nativisme atau konvergensi (Mastuhu, 1994). Pendidikan Islam mendasari pengembangan ke arah teocentris, yaitu ma’rifatullah, bertaqwa, seluruh gerak hidupnya dalam rangka mencari ridho Tuhan. MJA selalu berupaya menjaga netralitassejak pendirian masjid hingga saat ini.Tokoh pendiri adalah seorang ulama, tanah berasal dari wakaf, masyarakat dibangun bersama masyarakat.Tidak dimiliki oleh pemerintah, individu atau kelompok tertentu. Keberadaan aktivitas pengajian di masjid memberikan keuntungan ganda.Pengetahuan dan keilmuan Islam diperoleh muta’allimin dan dapat mengaplikasikan pengetahuan dan keilmuan yang telah diperoleh dengan mengamati, menilai dan mencontoh secara langsung figur yang banyak terdapat di masjid. Bentuk partisipasi muta’allimin dalam aktivitas pengajian di MJA terbagi dalam dua kelompok besar,
yaitu dalam bentuk nyata (konkret), dan tidak nyata (abstrak).Kehadiran muta’allimin merupakan bentuk partisipasi konkret yang paling mudah dilihat.Dalam kehadiran tersebut terjadi proses utama dari aktvitas pengajian yaitu pembelajaran. Di awal aktivitas pengajian, pembacaan niat belajar dan mengajarkan ilmu dibaca terlebih dahulu (niyat al-'amal). Partisipasi dalam bentuk kehadiran, sumbangan dana, atau monitoring aktivitas pengajian menggunakan niyat al-ma’mul lahu. Proses partisipasi muta’allimin melalui 4 tahapan yaitu permulaan, persiapan, partisipasi dan keberlang-sungan. Pada tahap permulaan, lebih banyak berperan faktor eksternal berupa ajakan teman, anggota keluarga, pengurus atau ustadz MJA. Tahap persiapan, faktor internal lebih dominan berupa menilai manfaat yang diperoleh, kesempatan yang dimiliki, dan pengaruhnya dalam jangka panjang. Faktor internal dan ekternal bersama-sama mendorong muta’allimin maka terjadilah proses partisipasi dalam bentuk kehadiran, material, atau partisipasi sosial. Partisipasi dapat terhenti atau stagnan saat interaksi antara muta’allimin dengan MJA berkurang.
29
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Derajat partisipasi muta’allimin perencanaan aktivitas berada pada Degree of Tokenism (derajat semu). Implementasi dari rencana aktivitas pengajian melibatkan muta’allimin sehingga terjadi kemitraan, pendelegasian wewenang, dan control masyarakat yang termasuk dalam derajat Degrees of Citizen Powers.Dalam monitoring aktivitas pengajian, partisipasi muta’allimin berada pada tingkat no participation.Belum ada upaya nyata dari stake holder untuk menggiring muta’allimin agar mengambil peran dalam memonitoring aktivitas pengajian. Imam, pengurus, dan ustadz di Masjid Jami’ Assegaf (MJA) banyak yang berasal dari golongan Ba ‘Alawi yang mendapat gelar habib.Dalam ajaran Ahlussunnah Waljamah, mereka diyakini lebih tinggi derajatnya dalam kedekatan dengan Tuhan daripada orang biasa.Ragam anggota kelompok ini cenderung homogen, berasal dari suku bangsa yang sama yaitu Arab. Memiliki kedekatan dalam bentuk hubungan kekerabatan (kinship) dan atau yang berasal dari garis keturunan (lineage).Mereka fokus dalam menjaga nilai-nilai yang turun temurun telah diakui dan dijalankan sebagai bagian dari tata
30
perilaku (code conduct) dan perilaku moral (code of ethics). Tipologi kepemimpinan di MJA identik dengan kepemimpinan karismatik yang berartikarunia diinspirasi ilahi(divenely inspired gift) (Yukl, 1994). Imam berperan sebagai pengendali shalat jamaah, ketertiban ibadah, pemimpin (qudwah) dan contoh untuk kedisiplinan beribadah serta menjalankan fungsi konsultatif. Ustadz berarti guru atau pengajar pada aktivitas pengajian di MJA. Kedudukan sebagai ustadz tumbuh dengan sendirinya.Umat atau muta’allimin yang menilainya, bukan karena orang itu yang menyebut dirinya ustadz.Sikap hormat, takdzim, dan kepatuhan kepada ustadz salah satu nilai yang ditanamkan, dan mencakup penghormatan kepada para guru-guru, salafus shalih, dan ulama pengarang kitab yang dipelajari. Penguasaan ilmu diukur dari lama dan tempatnya berguru.Mereka memiliki mata rantai yang tersambung hingga kepada Nabi dalam isnad hadist dan juga isnad kitab-kitab yang dipelajari.Mata rantai tersebut merupakan jaminan keotentikan dari ilmu. Strategi pengurus dalam menyelenggarakan aktivitas pengajian secara normative-edukatif berasumsi
Tejo Kusumo, Karsidi, Wijaya, Aktivitas pengajian, masjid,,, bahwa muta’allimin adalah rasional dan dapat bertindak berdasarkan norma-norma social, pengetahuan dan kepentingannya sendiri (Chin dan Benne dalam Lauer, 2003).Strategi tersebut, antara lain : a. Branding. Banyak terjadi peristiwa menarik, penuh dengan kegiatan ibadah dan pembagian shadaqah, netralitas dalam hal ajaran yang dianut, memiliki media penyiaran dan menjadi tempat berkumpul figur yang dikenal umat. b. Figur.Para habaib menjadi figur bagi pengikut Ahlussunnah Waljamaah. Figure personal antara lain Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf, Habib Muhammad Jamal bin Abdul Qadir Assegaf (imam MJA), dan Habib Alwi bin Ali Al Habsy, Habib Muhsin Al Jufri, dan Habib Umar bin Husein Assagaf. c. Membangkitkan kebutuhanmelalui :pendirian media penyiaran MJA TV, Rihlah Dakwah, Pesantren Madrasah, dan Tazawur. d. Nirbiaya.Muta’allimin dibebaskan dari biaya atau iuran wajib, kecuali halaqah khusus dengan nominal yang tidak besar. Pendanaan bagi sebagian besar kegiatan MJA berasal dari sumber yang tetap seperti kotak infaq dan pemanfaatan asset, dan donatur.Donatur memiliki kedekatan
dengan komponen MJA seperti imam, pengurus dan ustadz. Lebih banyak dari mereka tidak ingin dikenal oleh masyarakat luas. Kedekatan hubungan dan interaksi karena nilai-nilai agama menjadi bentuk kerjasama (ta’awwun) yang terjalin di kalangan stake holder masjid. Para stake holder di MJA heterogen dari beragam latar belakang budaya dan suku. Tidak hanya keturunan Arab golongan habaib saja, melainkan juga dari suku Jawa, Sunda, Betawi, Madura, Banjar, Arab-Pakistan. Nuansa Ahlussunnah Waljamaah di MJA sangat terasa karena jalinan historis maupun genealogis para tokoh yang terhubung hingga sumbernya di Hadramaut. Pengetahuan dan ilmu yang disampaikan sebagai pedoman mencapai tujuan, bukan memperbanyak pengikut atau menentang golongan lain. Aktivitas pengajian di MJA berupaya tidak terjebak dalam pusaran konflik antara ajaran yang dianutnya dengan ajaran lain yang berbeda. Muta’alliminadalah orang mukallaf. Mereka mengidentifikasi mengenai apa yang perlu pelajari, menyukai keuntungan potensial dan kekurangan atas pengalaman kehidupan yang silam (Basleman & Mappa, 2011).Aktivitas pengajian 31
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 bersifat non formal, tidak mengikat, dan terbuka, dirasa cocok bagi orang dewasa. Menurut Dhofier (2011), dahulu aktivitas pengajian di langgar, surau atau masjid banyak diikuti anak-anak untuk menguasai pengetahuan dasar, dilanjutkan ke pesantren. Saat ini, aktivitas pengajian seperti yang ada di MJA lebih banyak diikuti oleh orang-orang dewasa atau yang lebih tepat disebut orang yang sudah tua untuk memanfaatkan sisa usianya atau menambah pengetahuan Islam. Menuntut ilmu itu sebuah keharusan bagi orang Islam laki-laki (muslimin) maupun orang Islam perempuan (muslimat). Karena berada di masjid, terdapat beberapa keadaan yang mencegah diperbolehkannya perempuan hadir di masjid. Hal tersebut dimaknai sebagai suatu nikmat yang diberikan kepada Allah SWT terhadap perempuan berupa keringanan dalam beribadah. Menurut Avenzora (2008), individu atau populasi dalam memanfaatkan waktu (time-budget) terpola menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu: (1) existence time, (2) subsistence time dan (3) leisure time. Adanya kecenderungan orang paruh baya banyak menghadiri perkum32
pulan keagamaan karena terjadi pergeseran aktivitas setiap harinya. Subsistence time-nya sekaligus leasure time yang digunakan untuk berpartisipasi dalam aktivitas pengajian. Kebutuhan yang mendorong perilaku seseorang, salah satunya adalah need for affiliation (n Aff). Kesesuaian antara ajaran yang disampaikan dalam aktivitas pengajian dengan nilai-nilai atau kepercayaan yang telah dipahami atau pengalaman belajar muta’allimin menjadi alasan untuk berpartispasi. Diantara para muta’allimin terdapat para pengurus masjid yang merupakan pemuka agama di wilayah tempat tinggalnya.Mereka berpartisipasi untuk menambah dan meningkatkan pengetahuan dan keilmuan seputar ajaran Islam. Jenis pengajian yang ada di MJA meliputi : kajian pagi, halaqah maghrib, pengajian umum, tausyiah, dialog malam, pengajian via MJA TV, dan halaqah khusus. Jenis pengajian menunjukkan ragam pengajian berdasarkan waktu pelaksanaan. Dalam aktivitas pengajian, muta’allimin dikelompokkan menurut garis horizontal dimana terbentuk satuan kelas yang berbeda menurut intensivitas pengajaran dan besarnya
Tejo Kusumo, Karsidi, Wijaya, Aktivitas pengajian, masjid,,, jumlah muta’allimin, meliputi kelas umum dan halaqah khusus. Jenjang pendidikan yang ada dalam aktivitas pengajian MJA masih termasuk ke dalam tingkat awal (wasail).Secara garis besar terdiri dari bidang Tafsir, Hadist, Tasawuf, Aqidah, Fiqih, Akhlaq dan Tarikh / Shirah. Terdapat dua macam proses didaktik yang dilakukan sendiri maupun kombinasi. Selain halaqah khusus, proses didaktik menggunakan pola narasi (pengisahan), sedangkan kelas khusus dikombinasi dengan pola perundingan bersama (Winkel, 1991). Penggunaan media pembelajaran membangkitkan motivasi, memperdalam dan memperkaya proses belajar, dan memberikan ilustrasi. Media yang digunakan berupa kitab, papan tulis dan media visual seperti slide presentasi, gambar dan video, serta siaran MJA TV. Muta’allimin dan unsur-unsur MJA bersama-sama menghasilkan keadaan yang dapat mendorong dan memperkuat interaksi sehingga terbentuk jaringan social.Norma sebagian besar bersumber dari ajaran Islam.Tata nilai yang paling mudah disaksikan adalah dalam hal berperilaku dan berpakaian.
Rasa saling percaya (trust) yang tumbuh dalam berbagai interaksi di MJA didasari oleh ajaran agama. Interaksi-interaksi yang didasari perasaan yakin (sense of confidence), bahwa orang lain akan memberi respon sebagaimana diharapkan, dan akan saling mendukung. Jaringan terbentuk cukup luas di kalangan ’penggemar’ MJA. Antar muta’allimin memiliki hubungan yang erat. Para asatidz memiliki jejaring dengan jamaah di MJA maupun di majelisnya sendiri. Masjid bersifat inklusifSelain itu, masiid sebagai sentral kegiatan Setiap muslim dalam membantu yang lain tanpa mengharapkan imbalan seketika diartikan sebagai resiprositas, bahwa interaksi bukan suatu accounted exchange tapi kombinasi antara sifat altruis jangka pendek dengan harapan keuntungan dalam jangka panjang. Perilaku Saleh Jamaah (Muta’allimin) Seseorang yang berperilaku saleh berarti mampu menempatkan segala sesuatu pada tempat yang benar dan memiliki legitimasi yang kuat ter-hadap tatanan dunia sosial. Perilaku saleh muta’allimin dihasilkan dari partisipasinya dalam aktivitas pengajian, dimana didalamnya ter33
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 dapat proses belajar dan berpikir (kognitif), dipengaruhi berbagai faktor hingga menghasilkan perilaku yang disebut saleh. Perilaku yang ditampilkan oleh muta’allimin dipelajari atau dimodifikasi dengan memperhatikan dan meniru model yang melakukan tindakan-tindakan tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari muta’allimin, model tersebut dapat mencakup imam, asatidz, habaib, teman, atau umat Muslim yang lain. Tahapan dari proses modelling tersebut terdiri dari Attentional Processes, Retention Processes, Motoric Reproduction Processes, dan Reinforcement and Motivational Processes. Motivasi intrinsik dapat berupa kepemilikan waktu status sosial sebagai seorang pengurus masjid atau musholla,usia, jarak yang dekat dengan domisili, dan jenis kelamin laki-laki.Motivasi ekstrinsik berupa kesamaan ajaran dengan pemahaman yang diikuti, para asatidz sebagai model yang memiliki kompetensi yang tinggi, para pengurus menampilakan keragaman acara dari aktivitas pengajian,dan imam yang menjadi acuan dalam beribadah, dengan kharisma dan kearifannya memberikan solusi. Perilaku saleh muta’allimin juga dihasilkan dari proses berpi34
kir.Dalam diri seorang pemeluk agama terdapat kesadaran beragama yang hadir dalam pikiran dan berupa aspek mental.Kesadaran dalam hal ini dimaknai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh dzat Yang Maha Sempurna. Wujud kesadarannya adalah bahwa untuk mendekatkan diri kepada Tuhan diperlukan syarat dan proses yang harus dilakukan, dan wujud pengalaman adalah aspek moral yang diperoleh dari berbagai peristiwa reliji. Aktivitas pengajian merupakan wahana pembelajaran sekaligus aktivitas ibadah. Keberadaan aktivitas pengajian membuat proses belajar muta’allimin memiliki tujuan dan target yang jelas, dan dapat diukur manfaat serta efeknya. Kesadaran dan pengalaman beragama saling mempengaruhi dan bersama-sama memunculkan perilaku beragama. Perilaku tersebut merupakan kondisi diri seseorang yang dapat mendorong untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama (Arifin, 2008). Perilaku tersebut merupakan hasil belajar dan proses kognitif berupa pengalaman ke-Tuhanan, rasa keagamaan dan kerinduan kepada Tuhan pada aspek afektif. Keimanan dan kepercayaan pada aspek kognitif dan perbuatan
Tejo Kusumo, Karsidi, Wijaya, Aktivitas pengajian, masjid,,, serta gerakan tingkah laku keagamaan pada aspek motorik. Kesalehan Individu Proses belajar dan berpikir bersama-sama menghasilkan perilaku saleh pada muta’allimin. Kesalehan yang berwujud perilaku berkaitan dengan diri pribadi setiap muta’allimin disebut dengan kesalehan individu. Gambaran dari kesalehan individu muta’allimin tampak dalam beberapa hal. Dalam berbicara, menggunakan tutur kata yang sopan dan ungkapan-ungkapan yang bersifat relijius, mengagungkan Tuhan, dan menyertakan Tuhan dalam setiap keadaannya.Ritual ibadah sematamata karena Tuhan sehingga tidak adanya perbedaan sikap menjalankan ibadah saat sendiri dengan bersamasama atau di tempat umum (rumah ibadah) yang disaksikan oleh orang banyak.Dalam berpakaian, menyesuaikan keadaan dan situasi yang sedang dialami, erdapat pakaian khusus yang digunakan saat beribadah.Menunjukkan penampilan sebagai Muslim dengan penampilan tertentu, menjaga kebersihan badan dan pakaian, terutama saat beribadah.
Kesalehan Sosial Kesalehan sosial terbentuk karena tatanan sosial berlandaskan agama.Tatanan sosial hanya mungkin jika individu membuat pilihan yang berorientasi kolektif dibandingkan berorientasi individu saat berada dalam suatu konflik (Hechter dan Horne, 2003).Karena itu, tatanan sosial pada dasarnya mengajarkan tentang kerjasama yang menghasilkan perilaku menguntungkan bagi kelompok atau kolektif. Perkembangan dan kemajuan aktivitas pengajian di Masjid Jami’ Assagaf merupakan bentuk perilaku individu para stake holder seperti pembina, pengawas, pengurus, imam, ustadz, donatur hingga jamaah (muta’allimin). Kesemua individu tersebut berperilaku dengan kemampuan dan perannya masing-masing untuk kepentingan kolektif. Muta’allimin yang berpartisipasi dalam aktivitas pengajian mengalami proses belajar dan berpikir sehingga menghasilkan perilaku saleh. Hasil belajar dan berpikir tersebut diantaranya adalah tentang bagaimana mendahulukan kepentingan kolektif dan menghindari keuntungan pribadi dari setiap perilaku yang dilakukan.
35
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Kesalehan sosial dari stake holder tergambar dari penyediaan fasilitas dan sarana untuk kepentingan kolektif guna kemudahan bagi setiap individu dalam menjalankan ketaatan. Kesalehan sosial muta’allimin berupa memperluas jangkauan penyebaran sinyal pengetahuan dan keilmuan Islam yang diajarkan di MJA pada masjid/mushola di lingkungan tinggalnya, membawakan pertanyaan atau masalah yang dihadapi oleh jamaah atau masyarakatnya untuk dibahas, dan dicari jalan keluarnya, mendidik anak-anak di lingkungannya melalui Taman Pendidikan Al Qur’an, engeluarkan shadaqah, dan mendorong anggota keluarga serta masyarakat terlibat/berpartisipasi dalam aktivitas pengajian. Berperilaku saleh dengan menjalankan tatanan sosial yang bersumber dari agama memberi kebaikan secara kolektif berupa pemahaman tentang beragama bagi masyarakat, berperilaku sesuai dengan ajaran agama, dan mengurangi ketimpangan antar pemeluk agama.Muta’allimin yang juga memperoleh keuntungan individu.Berupa kepuasan dan ketentraman pribadi, interaksi yang kuat dengan anggota masyarakat, dan jauh dari ketim-
36
pangan sosial yang berarti jauh dari konflik. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Bentuk-bentuk partisipasi muta’allimin dalam aktivitas pengajian di Masjid Jami’ Assagaf Solo: a. Berwujud nyata (konkret) dan tidak nyata (abstrak). Bentuk konkret meliputi : uang, harta benda, tenaga dan kehadiran. Bentuk abstrak meliputi : partisipasi sosial dan partisipasi buah pemikiran b. Partisipasi muta’llimin secara vertikal, ambil bagian dalam program pihak lain di luar lingkungan tinggalnya; dan horizontal, dilakukan oleh muta’allimin sekitar lingkungan c. Tahapan partisipasi: permulaan, persiapan, partisipasi dan keberlangsungan, disertai niat yang memperkuat proses tersebut. d. Derajat partisipasi muta’allimin dalam perencanaan, berada pada Degree of Tokenism (derajat semu), tahap implementasi pada Degrees of Citizen Powers (kekuatan masyarakat) danno participation (tidak partisipatif) pada pemberian kritik serta saran e. Ta’awwun sebagai bentuk partisipasi dari stake holder masjid.
Tejo Kusumo, Karsidi, Wijaya, Aktivitas pengajian, masjid,,, f. Ta’awwun sebagai wujud partisipasi dari stake holder masjid. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi muta’allimin dalam aktivitas pengajian di Masjid Jami’ Assagaf Solo: a. Faktor kondisi sosial muta’allimin berupa asal usul, domisili, usia, jenis kelamin, kepemilikan waktu, pengalaman belajar dan status sosial b. Faktor stakeholder, berasal dari komponen Masjid Jami’ Assegaf yang berkaitan dengan aktivitas pengajian, meliputi : kepemimpinan imam, kualitas ustadz, kreativitas pengurus dengan branding, figur, membangkitkan kebutuhan, dan nir biaya serta dukungan donatur c. Faktor pendekatan belajar, meliputi : jenis pengajian beragam, metode pengajian yang variatif, media pengajian yang modern, dan materi pengajian yang lengkap d. Faktor social network yang timbulk dari hubungan antara muta’allimin dengan komponen masjid, meliputi : norma sosial karena berbasi masjid, kepercayaan sosial terhadap kapasitas pengelola, jaringan antar mu-
3.
a.
b.
c.
d.
ta’allimin dan dengan komponen masjid, serta adanya resiprositas (imbal balik) antar setiap komponen Pengaruh aktivitas pengajian tersebut terhadap kesalehan muta’allimin Masjid Jami’ Assagaf Solo Partisipasi dalam aktivitas pengajian berpengaruh terhadap perilaku saleh jamaah (muta’allimin) baik saleh individu maupun saleh sosial Perilaku saleh terbentuk melalui proses belajar dan hasil berpikir (kognitif) saat dan setelah berpartisipasi dalam aktivitas pengajian, berupa saleh individu dan saleh sosial Saleh individu hasil proses modelling tampak dalam berbicara, menjalankan ritual ibadah, berpakaian dan berpenampilan Saleh sosial berupa mendahulukan kepentingan orang lain / kolektif daripada individu seperti bersedekah dan mendorong anggota masyarakat terlibat dalam proses belajar seperti aktivitas keagamaan di masjid / musholla, kelompok pengajian, hadrah, dan Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA)
37
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Saran 1. Yayasan Masjid Jami’ Assegaf perlu mempersiapkan regenerasi bagi kepengurusan MJA selanjutnya 2. Pemerintah perlu berperan sebagai mediator atau fasilitator untuk mengintegrasikan masjid besar (jami’) atau yang memiliki sumberdaya yang potensial dengan masjid/musholla untuk keselarasan dan kemajuan bersama dalam membangun masyarakat Muslim 3. Akademisi sebaiknya tidak ragu dan lebih banyak terlibat untuk menjadikan masjid sebagai bahan kajian atau media mengembangkan strategi untuk membangun masyarakat Implikasi 1. Partisipasi dalam aktivitas pengajian menghasilkan perubahan perilaku karena erdapat proses belajar dan berpikir (kognitif) 2. Muta’allimin memiliki saleh individu juga saleh sosial karena proses belajar yang diikuti merupakan proses belajar sosial DAFTAR PUSTAKA Almi, Amri. 2010. Pengembangan Masyarakat Melalui Majelis Ta’lim. Tesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 38
Almuhdor, Salim Sholeh. 2008. Fungsi dan Peran Masjid dalam Dakwah. Jurnal El Hikmah, Volume 1/No.1/Desember2008/Dzulhijj ah 1429 H. Arnstein, Sherry R. 1969. A Ladder of Citizen Participation.Journal of the American Planning Association, July 1969. Arifin, Bambang Syamsul. 2008. Psikologi Agama. Bandung : Pustaka Setia. Avenzora R. 2008. Penilaian Potensi & Obyek Wisata : Aspek dan Indikator Penilaian.,dalam : Avenzora R, editor. Ekoturisme Teori dan Praktek. NAD-Nias : BRR. Basleman, Anisah dan Syamsu Mappa. 2011. Teori Belajar Orang Dewasa.Bandung : Re-maja Rosdakarya. Berg, Van Den. 1989. Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara. Jakarta : INIS BPS. 2010. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama. bps.go.id Daradjat, Zakiah. 1970. Peran Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta : Gunung Agung Dewantoro, M. Hajar. 2005. Profil Penerapan Manajemen Masjid di Kecamatan Ngemplak Sleman.Jurnal Fenomena: Vol. 3 No. 1 Maret 2005.
Tejo Kusumo, Karsidi, Wijaya, Aktivitas pengajian, masjid,,, Dhofier, Zamakhsyari. 2011. Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES. Fauzan, Muhammad Anshory. 2009. Pengertian Pengembangan Masyarakat (Community Development) http://anshorfazafau zan. blogspot.com/ Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah – Kemenag RI, Kuota Haji (http://haji.kemenag.go.id) diakses 10 Januari 2013, 12:34 PM Fauzan. 2009. Pengertian Pengembangan Masyarakat (Community Development). http:// anshorfazafauzan.blogspot.com /. Sabtu, 13 Juni 2009 Hechter, Michael and Christine Hom ,2003. Theories of Social Order. A Reader.Stanford University Press. Hurlock, Elizabeth. 1980. A Life Span Approach. McGraw-Hill, Inc. 5thed. Ife, Jim. 2002. Community Development. Community-Based Alternative in an Age of Globalization. Pearson Education Australia Pty Limited. Ife, Jim. Frank Tesoriero. 2008. Community Development. Alter-
natif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Jasmadi. 2008. Revitalisasi Fungsi Masjid sebagai Basis Pengembangan Masyarakat Islam. Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam. Volume 4, Nomor 1, Juni 2008. Kaelany. 2000. Islam, Iman dan Amal Saleh. Jakarta.PT. Rineka Cipta. Kelurahan Pasar Kliwon. 2012. Laporan Monografi Dinamis Kelurahan Pasar Kliwon Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta Bulan Oktober 2012. Kurniawan, Fadli. 2006. Upaya Peningkatan Kesejahteraan melalui Penguatan Kelembagaan Musholla. (Studi Kasus Musholla Khoirus Subban Desa Banjaran Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Kusmarni, Yani. 2012. Studi Kasus (John. W Creswell).Universitas Pendidikan Indonesia. file.upi. edu/Direktori/FPIPS/JUR.../Lapo ran_Studi_Kasus.pdf Lauer, Robert. H. 2003. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta : Rineka Cipta
39
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren.Jakarta : INIS. Moleong, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mujib, Abdul. 2006. Kepribadian dalam Psikologi Islam.Jakarta: RajaGrafindo Persada. Nafi’, M. Dian, et.al. 2007. Praksis Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta : Forum Pesantren Yayasan Selasih. Pew Research Center’s Forum on Religion & Public Life. 2012. Muslim Population of Indonesia (PewResearch.org) diakses 14 Januari 2013, 5:32 PM Rifa’I, Moh. 1973. Ushul Fiqih. Bandung : Al Ma’arif. Ross, Murray G and B.W. Lappin. Community Organization: Theory, Principles and Practice.. NewYork: Second Edition, Harper & Row Publishers, 1967 Shihab, Quraish. M., 1996.Wawasan Al-Qur’an , Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, Soetopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Sudar, 2009. Pesantren dan Tafaqquh Fi Al Ddin. dalam Khazanah 40
Intelektual Pesantren. Jakarta: Maloho Jaya Abadi Sugiyono, 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Turner, Bryan. 2008 (a), Introduction, The Price of Piety, A Special Issue on Contemporary Islam on Piety, Politics and Islam.Cont. Islam 2:1-6. Turner, Bryan.JoyKooi-Chin Thong. 2008 (b), Women, Piety and Practice: A Study on Women and Religious Practices in Malaysia, Cont. Islam 2:41-59. Wazir. Ach. Ws., et al., ed. (1999). Panduan Penguatan Menejemen Lembaga Swadaya Masyarakat. Jakarta: Sekretariat Bina Desa dengan dukungan AusAID melalui Indonesia HIV/AIDS and STD Prevention and Care Project. Winkel, W.S. 1991. Psikologi Pengajaran. Jakarta : Grasindo. Yin, Robert K. 2012.Studi Kasus, Desain & Metode.Jakarta : RajaGrafindo Perkasa. Yukl, Garry terj Jusuf Udaya, 1994. Kepemimpinan dalam Organisasi.Jakarta : Prehalindo.
HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN DUKUNGAN SUAMI DENGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI WILAYAH PUSKESMAS GAMBIRSARI KOTA SURAKARTA Intan Muninggar1), Heru Subaris Kasjono2), Anisa Catur Wijayanti3) 1 Mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2 3) Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta
[email protected] Abstract The exclusive breastfeeding program is a promotion program to feed baby with only breast milk without any other food and drink for 6 months. Exclusive breastfeeding program coverage is still under target 80% in national level, Jawa Tengah Province or in Surakarta. One factor that influence breasfeeding is husband support. This sudy aims to know the most influential variable toward exclusive breastfeeding in Puskesmas Gambirsari Surakarta. The method of this research is observation analytic using case control design. There were 94 samples that considered as 47 as cases and 47 as control. They were taken using cluster random sampling technique. Chi-Square used as bivariate analysis and Logistic Regression used as multivariate analysis. The results of bivariate analysis show that there are relationship between husband knowledge (p=0,0001), husband attitude (p=0,022), and husband support (p=0,039) with exclusive breastfeeding. Multivariate result shows that only husband knowledge that influencing exclusive breasfeeding (p=0,002; OR=4,055; 95%CI=1,636-9,987). That means possibility of non exclusive breasfeeding in husband with low knowledge was greater 4,055 times than husband with high knowledge. Keywords : exclusive breastfeeding, husband knowledge, husband attitude, husband support. Abstrak Program ASI eksklusif merupakan program promosi pemberian ASI saja pada bayi tanpa memberikan makanan atau minuman lain selama 6 bulan. Cakupan ASI eksklusif masih berada di bawah target 80%, baik pada tingkat nasional, Propinsi Jawa Tengah, maupun di Kota Surakarta. Salah satu faktor yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif adalah dukungan suami. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variabel yang paling berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif di wilayah Puskesmas Gambirsari Kota Surakarta. Metode penelitian ini menggunakan observasi analitik dengan rancangan case control. Jumlah sampel sebanyak 94 orang yang terdiri dari 47 kasus dan 47 orang sebagai kontrol. Teknik pengambilan sampel menggunakan cluster random sampling. Analisis bivariat menggunakan Chi-Square dan analisis multivariat menggunakan Regresi Logistik. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat
41
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 hubungan antara pengetahuan suami (p=0,0001), sikap suami (p=0,022), dan dukungan suami (p=0,039) dengan pemberian ASI eksklusif. Sedangkan hasil analisis multivariat menunjukkan hanya pengetahuan suami yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif (p=0,002; OR=4,055; 95%CI=1,636-9,987). Berarti bahwa kemungkinan pemberian ASI secara tidak eksklusif pada suami yang memiliki pengetahuan rendah adalah 4,055 kali dibandingkan pada suami yang berpengetahuan tinggi. Kata Kunci : ASI eksklusif, dukungan suami, pengetahuan suami, sikap suami.
PENDAHULUAN World Heath Organization (WHO) tahun 2014 menyatakan bahwa jumlah angka kematian bayi (AKB) di Indonesia masih belum memenuhi target Milenium Development Goals (MDG) yang menargetkan AKB sebesar 24 kematian per 1000 kelahiran hidup.1 Salah satu upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk menurunkan AKB dengan pemberian Air Susu Ibu (ASI).2 Program ASI eksklusif merupakan program promosi pemberian ASI saja pada bayi tanpa memberikan makanan atau minuman lain. Pada tahun 2002, United Nation Children Fund (UNICEF) dan World Health Organization (WHO) merekomendasikan agar bayi sebaiknya disusui hanya ASI selama paling sedikit 6 bulan.3 Sejalan dengan hasil kajian WHO tersebut, Menteri Kesehatan melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI No.450 / Menkes / IV/2004 menetapkan perpanjangan pemberian ASI secara eksklusif dari yang semula 4 bulan menjadi 6 42
bulan.4 Pelaksanaan program ASI eksklusif dipertegas kembali dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif.5 Menurut ajaran agama Islam, memberi ASI merupakan suatu keutamaan6, seperti dalam firman Allah: ُض ْعهَ َو ْال َوا ِلدَات ِ ۖك ِ َاملَي ِْه َح ْولَي ِْه أ َ ْو ََلدَ ُه َّه ي ُْر ضا َعةَ يُتِ َّم أ َ ْن أ َ َراد َ ِل َم ْه َّ َ الر “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” (QS. al-Baqarah [2] ayat 233). Persentase pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 54,3%, sedikit meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2012 yang hanya sebesar 48,6%. Jawa Tengah menempati urutan ke 7 dengan cakupan pemberian ASI eksklusif sebesar 67,95%. Jumlah ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan cakupan tingkat nasional, tapi masih berada dibawah standar yang ditetapkan
Muninggar, Kasjono, Wijayanti, ASI eksklusif, dukungan,,, Menteri Kesehatan.5,7 Terdapat beberapa kendala yang menghalangi pencapaian target ASI eksklusif antara lain pemasaran susu formula masih gencar dilakukan, kurangnya dukungan dari perusahaan yang mempekerjakan wanita menyusui untuk menyediakan ruang laktasi, dan kurangnya tenaga konselor ASI.2 Pemberian ASI eksklusif juga dapat dipengaruhi banyak faktor antara lain pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pengetahuan ibu, sikap ibu, peran petugas, keterpaparan media, peran orang tua, peran suami atau dukungan suami.8,9 Suami dapat memberikan dukungan berupa dukungan emosional, informasional, dan instrumental.10,11 Pada tahun 2013, cakupan ASI eksklusif di Kota Surakarta sebesar 51,5 %. Jumlah ini mengalami kenaikan jika dibandingkan tahun 2012 yang hanya sebesar 46,1%. Jika dilihat dari tahun ke tahun, jumlah cakupan pemberian ASI ekskusif cenderung meningkat, akan tetapi masih jauh dibawah target yakni 80%.5,12,13 Menurut Dinas Kesehatan Kota Surakarta, capaian terendah adalah di Puskesmas Gambirsari yaitu sebesar 41,7%. Hampir semua ibu sudah terpapar penyuluhan ASI oleh petugas kesehatan atau media promosi yang lain. Kurangnya du-
kungan dari lingkungan dan keluarga turut mempengaruhi cakupan ASI eksklusif.14 Akan tetapi, beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara dukungan suami dengan pemberian ASI.8,15 Dukungan suami merupakan salah satu faktor pemberian ASI eksklusif yang masih menunjukkan inkonsistensi. Untuk itu, penelitian ini ingin mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap dan dukungan suami terhadap pemberian ASI eksklusif, serta menganalisis faktor yang paling berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif di Puskesmas Gambirsari Kota Surakarta. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perbaikan program promosi kesehatan khusunya tentang ASI eksklusif dengan menjadikan suami sebagai sasaran program. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan case control. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengetahuan suami, sikap suami, dan dukungan suami. Populasi dalam penelitian ini adalah suami yang memiliki anak usia 0-6 bulan di wilayah kerja Puskesmas Gambirsari Kota Surakarta. Kriteria inklusi dalam 43
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 penelitian ini membagi responden menjadi kelompok kasus dan kelompok kontrol. Kelompok kasus adalah yang tercatat mendapatkan ASI tidak ekskusif, sedangkan kelompok kontrol adalah yang tercatat mendapatkan ASI secara eksklusif. Besar sampel dalam penelitian ini adalah 94 orang dengan 47 orang sebagai kasus dan 47 orang sebagai kontrol. Teknik sampling yang digunakan adalah Cluster Random Sampling. Unit pencuplikan dalam penelitian adalah posyandu yang ada di wilayah kerja Puskesmas Gambirsari. Pemilihan cluster sampling dilakukan dengan cara random, sehingga dari 42 posyandu didapatkan 18 posyandu yang dijadikan cluster sampling. Pemilihan responden di tingkat posyandu dilakukan dengan cara random. Data dianalisis secara univariat dengan distribusi frekuensi. Analisis bivariat menggunakan chi square. Untuk mengetahui odds dari variabel bebas terhadap variabel terikat menggunakan nilai odds rasio (OR). Ukuran asosiasi yang digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antar variabel bebas dan terikat menggunakan koefisien phi. Analisis multivariat yang dilakukan untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif menggunakan regresi logisik 44
dengan confidence interval (CI) 95% dan tingkat kemaknaan p<0,05. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Distribusi responden paling banyak terdapat pada kelompok umur 27-32 tahun, pada kelompok kasus sebanyak 17 orang (36,2 %) dan pada kelompok kontrol 16 orang (34%). Distribusi menurut tingkat pendidikan paling banyak adalah SMA pada kasus sebanyak 23 orang (48,9%) dan kontrol 20 orang (42,6%). Berdasarkan pekerjaan responden, pada kelompok kasus paling banyak sebagai karyawan swasta sebanyak 18 orang (38,3%) dan pada kelompok kontrol sebagai buruh yaitu 16 orang (34,4%). Untuk usia anak, pada kelompok kasus responden paling banyak memiliki anak berusia 4 bulan (25,5%) dan pada kelompok kontrol berusia 5 bulan yaitu 11 orang (23,4%). Sedangkan untuk jumlah anak, responden pada kelompok kasus mayoritas memiliki 2 anak yaitu 21 orang (44,7%) dan pada kelompok kontrol memiliki 1 anak yaitu sebanyak 21 orang (44,7%). Analisis Univariat Ditribusi frekuensi subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Muninggar, Kasjono, Wijayanti, ASI eksklusif, dukungan,,, Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pengetahuan, Sikap dan Dukungan Suami Pemberian ASI Eksklusif Kasus
Variabel
Kontrol
n
(%)
n
(%)
Rendah
34
72,3
17
36,2
Tinggi
13
27,7
30
63,8
Negatif
26
55,3
15
31,9
Positif
21
44,7
32
68,1
Tidak Mendukung
29
61,7
19
40,4
Mendukung
18
38,3
28
59,6
Pengetahuan suami
Sikap Suami
Dukungan Suami
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa suami yang berpengetahuan rendah lebih banyak terdapat dalam kelompok kasus, yaitu sebanyak 34 orang (72,3%) jika dibandingkan dalam kelompok kontrol yang hanya 17 orang (36,2%). Berdasarkan penelitian, masih terdapat beberapa materi yang menunjukkan rendahnya pengetahuan suami, antara lain tentang manfaat menyusui pada ibu agar dapat menunda kehamilan, pemberian madu pada bayi, serta tentang mitos menyusui yang dapat membuat payudara kendur. Sedangkan untuk variabel sikap, suami yang bersikap negatif lebih banyak pada kelompok kasus yaitu 26 orang (55,3%) dibandingkan
pada kelompok kontrol yang hanya 15 orang (31,9%). Materi yang menunjukkan rendahnya sikap suami antara lain adalah tentang pemberian madu sebagai nutrisi tambahan bagi bayi dan pemberian air putih yang dianggap tidak merusak keksklusifan ASI. Pada dukungan suami, jumlah suami yang tidak mendukung pemberian ASI lebih banyak pada kelompok kasus yaitu 29 orang (61,7%) jika dibanding pada kelompok kontrol yaitu 19 orang (40,4%). Rendahnya dukungan suami terdapat pada beberapa aspek, antara lain pada penyediaan alat untuk memerah ASI, kegiatan membantu memandikan bayi, mencari info tentang ASI dan menyendawakan bayi.
45
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Analisis Bivariat Tabel 2. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Dukungan Suami dengan Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Gambirsari Kota Surakarta Pemberian ASI Eksklusif Variabel
Kasus
Kontrol
P value
OR (CI 95%)
Koefisien Phi
N
(%)
n
(%)
Pengetahuan Rendah Tinggi
34 13
72,4 27,6
17 30
36,2 63,8
<0,001
4,615 (1,927-11,052)
0,363
Sikap Negatif Positif
26 21
55,3 44,7
15 32
31,9 68,1
0,022
2,641 (1,139-6,123)
0,236
Dukungan Tidak Mendukung Mendukung
29 18
61,7 38,3
19 28
40,4 59,6
0,039
2,374 (1,038-5,433)
0,213
Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan suami dengan pemberian ASI eksklusif dengan p <0,001; OR=4,615; CI95%=1,927-11,052. Suami yang memiliki pengetahuan rendah tentang ASI memiliki kemungkinan 4,615 kali lebih besar dalam pemberian ASI tidak eksklusif dibandingkan dengan suami yang memiliki pengetahuan tinggi. Nilai koefisien phi menunjukkan bahwa variabel pengetahuan suami dan pemberian ASI eksklusif memiliki keeratan hubungan yang lemah. Hasil ini sesuai dengan penelitian di Bukittinggi, Sumatera Barat bahwa terhadap hubungan bermakna antara pengetahuan ayah dengan praktik pemberian ASI eksklusif dengan nilai OR 1,84; 95%CI=1,26-2,68.9 Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan 46
seseorang.16 Pengetahuan yang baik dapat membentuk tindakan suami untuk memberikan dukungan informasional sehingga berdampak pada keberhasilan pemberian ASI eksklusif.11,17 Analisis bivariat pada variabel sikap juga menunjukkan ada hubungan antara sikap suami dengan pemberian ASI eksklusif dengan p=0,022; OR=2,641; CI95%=1,1396,123. Suami yang memiliki sikap negatif memiliki peluang 2,641 kali lebih besar dalam pemberian ASI tidak eksklusif, sedangkan nilai koefisien phi menunjukkan keeratan hubungan yang lemah. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Evareny dkk, bahwa ada hubungan yang signifikan antara sikap suami dengan pemberian ASI eksklusif. Suami yang bersikap positif 3,09 kali lebih berpotensi dalam
Muninggar, Kasjono, Wijayanti, ASI eksklusif, dukungan,,, keberhasilan ASI eksklusif. Sikap suami berpengaruh terhadap kepercayaan diri ibu dalam menyusui, sehingga durasi menyusui menjadi lebih lama9,10,11 Analisis pada variabel dukungan bahwa ada hubungan signifikan antara dukungan suami dengan pemberian ASI eksklusif dengan p=0,039; OR=2,374; CI95%=1,0385,433. Hasil ini menunjukkan bahwa suami yang tidak mendukung pemberian ASI eksklusif memiliki peluang 2,374 kali lebih besar dalam pemberian ASI tidak eksklusif, sedangkan nilai koefisien phi menunjukkan keeratan hubungan yang lemah. Hasil ini sama dengan penelitian di Puskesmas Ngesrep Semarang yang memaparkan bahwa ada hubungan antara peran ayah dengan pemberian ASI eksklusif.11 Hasil ini juga menguatkan penelitian sebelumnya dimana peranan suami positif mempunyai peluang 9,87 kali untuk memberikan
ASI eksklusif dibandingkan suami dengan peranan negatif.8 Salah satu faktor yang penting dalam menunjang keberhasilan ASI eksklusif adalah dari faktor psikologis ibu yaitu kebahagiaan dan sikap rileks.18 Peran suami yang paling utama adalah menciptakan situasi dan suasana yang kondusif yang memungkinkan pemberian ASI berjalan lancar. Peran suami meliputi pencarian informasi tentang ASI eksklusif, terlibat dalam pengambilan keputusan, keterlibatan dalam proses persalinan, bersikap positif terhadap pernikahan, serta terlibat dalam pengasuhan anak.10,19 Analisis Multivariat Analisis multivariat dilakukan dengan memasukkan ketiga variabel pengetahuan, sikap dan dukungan suami karena ketiganya memenuhi persyaratan untuk masuk ke dalam analisis.
Tabel 3. Analisis Multivariat Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Dukungan Suami dengan Pemberian ASI Eksklusif Variabel Bebas Pengetahuan Sikap Dukungan Constant
B
Sig.
OR
95% CI
Keterangan
1,400 0,656 0,670 -1.327
0,002 0,159 0,146
4,055 1,927 1,955
1,636-9,987 0,774-4,798 0,792-4,825
Signifikan Tidak signifikan Tidak signifikan
Berdasarkan tabel diatas, variabel sikap dan dukungan suami tidak signifikan karena memiliki nilai
p>0,05. Sehingga hanya variabel pengetahuan suami yang berpengaruh terhadap pemberian ASI 47
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 eksklusif dengan nilai p=0,002. Hasil ini sama dengan penelitian terdahulu dalam analisis multivariatnya, dimana praktik pemberian ASI eksklusif 1,23 kali lebih tinggi pada ayah berpengetahuan baik dibandingkan pada kelompok ayah yang berpengetahuan buruk.9 Penelitian di Puskesmas Kecamatan Serpong, Banten juga mengemukakan bahwa peran suami tidak berhubungan secara signifikan dengan pemberian ASI eksklusif (p=0,202).8 Hasil penelitian yang lain juga mengemukakan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dan dukungan secara simultan dengan pemberian ASI eksklusif (p=0,08).15 Pengetahuan belum tentu akan terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk mewujudkan sikap diperlukan faktor pendukung lain. Sebagai faktor yang paling dominan dalam penelitian ini, maka upaya peningkatan pengetahuan dapat dilakukan melalui pendidikan kesehatan. Sebelum seseorang mengadopsi perilaku, ia harus tahu terlebih dahulu apa arti dan manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya.16,20 Salah satu upaya yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia adalah mengkampanyekan program “Suami Siaga” dalam rangka meningkatkan peran suami dalam program 48
“Making Pregnancy Safer”. Program ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterlibatan dan partisipasi suami terhadap pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.21 Hasil evaluasi program ini menunjukkan bahwa terjadi perubahan perilaku pada suami, dimana terdapat peningkatan jumlah suami yang menemani istri saat pemeriksaan kehamilan dan saat persalinan.22 Selain mengacu pada pendampingan pada saat kehamilan dan persalinan, dapat pula suami mendampingi istri pada saat pelaksanaan kunjungan nifas dan kunjungan neonatus. Berdasarkan standar pedoman pelayanan kesehatan, pada kunjungan nifas dan neonatus tersebut justru pelayanan kesehatan yang diutamakan adalah pemberian ASI eksklusif.23 Pendidikan kesehatan tentang ASI eksklusif dapat diberikan pada suami pada saat mendampingi istri, sehingga sasaran pendidikan kesehatan tentang ASI tidak hanya dikhususkan pada istri, tapi juga dapat diikuti oleh suami sejak masa kehamilan. Berdasarkan hasil analisis multivariat diatas, didapatkan persamaan regresi: Pemberian ASI eksklusif = -1.327+1,4 pengetahuan suami. Setiap peningkatan pengetahuan suami menyebabkan peningkatan
Muninggar, Kasjono, Wijayanti, ASI eksklusif, dukungan,,, pemberian ASI eksklusif sebesar 1,4 kali. Apabila mengacu pada pendampingan suami dalam pemeriksaan kehamilan, persalinan, kunjungan nifas dan neonatus maka pendidikan kesehatan tentang ASI ekslusif dapat diberikan pada suami sedikitnya sebanyak 4 kali. Edukasi yang diberikan pada suami dapat mengacu pada hasil analisis univariat yaitu menekankan pada pengertian ASI eksklusif secara menyeluruh, bahwa air putih dan madu dapat merusak keeksklusifan ASI, menjelasan lebih jauh mengenai manfaat menyusui bagi ibu, menjelaskan mitos-mitos yang salah tentang menyusui yang dapat menghambat pencapaian ASI eksklusif. Selanjutnya, dalam penelitian ini perhitungan nilai R2 menunjukkan bahwa variabilitas pemberian ASI eksklusif yang dapat dijelaskan oleh pengetahuan suami hasilnya sebesar 22,9% dan sisanya sebesar 77,1% dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Terdapat banyak faktor diluar penelitian yang dapat mempengaruhi keberhasilan ASI eksklusif, antara lain faktor internal ibu, tingkat pendidikan, jumlah anak, faktor sosial dan ekonomi, serta peran petugas kesehatan.24,25
Kesimpulan Pada kelompok kasus, jumlah responden berpengetahuan rendah sebanyak 34 orang (72,3%), bersikap negatif sebanyak 26 orang (55,3%), dan tidak mendukung ASI sebanyak 29 orang (61,7%). Terdapat hubungan antara pengetahuan suami dengan pemberian ASI eksklusif (p<0,001). Terdapat hubungan antara sikap suami dengan pemberian ASI eksklusif (p=0,022). Terdapat hubungan antara dukungan suami dengan pemberian ASI eksklusif (p=0,039). Faktor yang paling berperan terhadap pemberian ASI eksklusif di adalah pengetahuan suami (OR=4,055). Pengetahuan suami dapat mempengaruhi pemberian ASI eksklusif sebesar 22,9%. Sisanya sebesar 77,1% dijelaskan oleh variabel lain. Saran Bagi Puskesmas Gambirsari agar lebih melibatkan suami dalam proses pemberian pendidikan kesehatan mengenai ASI eksklusif dengan mengedukasi suami dlam proses pemeriksaan kehamilan, persalinan, kunjungan nifas dan kunjungan neonates. Materi pendidikan kesehatan terutama mengenai penger-
49
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 tian ASI eksklusif secara menyeluruh, bahwa air putih dan madu dapat merusak keeksklusifan ASI, manfaat menyusui untuk menunda kehamilan, serta meluruskan mitos-mitos yang salah tentang menyusui yang justru menghambat pencapaian ASI eksklusif. Bagi Dinas Kesehatan Kota Surakarta sebagai pemegang kebijakan agar memperbesar ruang lingkup program suami siaga sehingga tidak berhenti pada saat persalinan, tapi juga ikut terlibat dalam kunjungan nifas dan neonatus. Dapat pula suami diberikan kartu edukasi yang berfungsi seperti kartu kunjungan, sehingga dapat dicatat pendidikan kesehatan yang sudah didapatkan oleh suami. Dengan begitu, frekuensi dan materi pendidikan kesehatan yang diberikan dapat tercatat secara sistematis. DAFTAR PUSTAKA World Health Organization. 2014. Levels & Trends in Child Mortality Report 2014. Diakses 05 Oktober 2015 http://www.unicef.org/media /files/ levels_and_Trends_ in_ Child_Mortality_2014.pdf Kementerian Kesehatan RI. 2014a. Situasi dan Anaisis ASI Eksklusif. Pusat Data dan Infor50
masi Kemenerian Kesehatan RI. Diakses 05 Oktober 2015 http://www.pusdatin.kemkes. go.id/resources/download/pu sdatin/infodatin/infodatinasi.pdf World Health Organization. 2011. Exclusive Breastfeeding for Six Months Best for Babies Everywhere. Diakses 06 Oktober 2015 http://www.who.int/ mediacentre/news/statement s/2011/breasfeeding_201101 15/en/ Kepmenkes RI No. 450 / Menkes / SK/IV/2004 tentang Pemberian ASI secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia. Diakses 05 Oktober 2015 http://perpustakaan.depkes.g o.id Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741 tahun 2008 tentang Standart Pelayanan Minimum (SPM) Bidang Kesehatan. Diakses 06 Oktober 2015 http: //perpustakaan.depkes.go.id: 8180/bitstream/123456789/7 79/4/BK2008-A2.pdf Subhan Z. 2015. Al-Qur’an dan Perempuan Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran. Jakarta: Prenadamedia Group.
Muninggar, Kasjono, Wijayanti, ASI eksklusif, dukungan,,, Kementerian Kesehatan RI. 2014b. Profil Kesehatan Indonesia 2013. Diakses 05 Oktober 2014. http://www. depkes. go.id/resources/download/pu sdatin/profil-kesehatanindonesia/profil-kesehatanindonesia-2013.pdf Astuti I. 2013. Determinan Pemberian ASI Eksklusif Pada Ibu Menyusui. Jurnal Health Quality. Vol.4. No.1 Nopember 2013: 1-76. Diakses 05 Oktober 2015. Evareny L, Hakimi M dan Padmawati, RS. 2010. Peran Ayah dalam Praktik Menyusui. Berita Kedokteran Masyarakat. Vol. 26. No. 4. Desember 2010: 187-195. Sherriff N, Hall V dan Panton C. 2014. Engaging and Supporting Fathers to Promote Breast Feeding: a Concept Analysis. Midwifery. Vol. 30. July 2014: 667-677. Arifah I, Rahayuning D dan Rahfiludin MZ. 2014. Father’s Role on The Exclusive Breastfeeding Practice. Jurnal KESMAS. Vol.8. No.2. September 2014: 83-92. Dinkes Jateng. 2014. Buku Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013. Diakses
22 Mei 2015. http://www. dinkesjatengprov.go.id/v2014 /Document/profil2013/mobil e/index.html Dinkes Jateng. 2013. Buku Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012. Diakses 05 Oktober 2015. http:// www.depkes.go.id/resources/ download/profil/PROFIL_KES_ PROVINSI_2012/13_Profil_Ke s.Prov.JawaTengah_2012.pdf Dinkes Kota Surakarta. 2014. Profil Kesehatan Kota Surakarta 2013. Sartono A dan Utaminingrum H. 2012. Hubungan Pengetahuan Ibu, Pendidikan Ibu, dan Dukungan Suami dengan Praktek Pemberian ASI Eksklusif di Kelurahan Muktiharjo Kidul Kecamatan Telogosari Kota Semarang. Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah Semarang. Vol. 1. No 1. November 2012. Notoatmodjo S. 2007a. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Februhartanty J. 2008. Strategic Roles Of Fayhers In Optimizing Breastfeeding Practices: A Study In An Urban Setting Of Jakarta. [Desertasi]. Jakarta:
51
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Faculty of Medicine University of Indonesia. Bobak, Lowdermilk dan Jensen.. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Edisi 4. Jakarta: EGC. Riksani R. 2012. Keajaiban ASI (Air Susu Ibu). Cipayung: Dunia Sehat. Notoatmodjo S. 2007b. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta. Departemen Kesehatan 2001. Rencana Strategis Nasional Making Pregnancy Safer (MPS) di Indonesia Tahun 2001-2010. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Sood S, Chandra U, Palmer A dan Molyneux I. 2004. Measuring
52
The Effects of The SIAGA Behavior Change Campaign in Indonesia With PopulationBased Survey Results. JHPIEGO. Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA). Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Roesli U. 2000. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Trubus Agriwidya. IDAI. 2010. Indonesia Menyusui. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
ANALISIS KINERJA PENYULUH DALAM MENDAMPINGI GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) PADA PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN (PUAP) DI KABUPATEN BANGKA Mukmin Hafiz1), Sapja Anantanyu2), Eny Lestari3) 1) Mahasiswa Penyuluhan Pembangunan Program Pascasarjana UNS, 23) Dosen Penyuluhan Pembangunan Program Pascasarjana UNS
[email protected] Abstract This research aimed to describe the performance of extension workers accompanying the farmers group association (Gapoktan) on the rural agribusiness development program (PUAP) in Bangka Regency and the factors that influence it. The type of research is a survey. The populations are the companion extension workers accompanying the farmers group association (Gapoktan)PUAP and the amount of them are 51. They were selected by census.Data analysis techniques included descriptive statistics analysis to describe the research data, and path analysis to predict the exogenous variables which consist of characteristics of the extension workers (X1), environmental factors (X2), motivation of the extension workers (X3), and the competencies of the extension workers (X4) towards the endogenous variable that is the performance of extension workers accompanying the farmers group association (Gapoktan) on the rural agribusiness development program (PUAP) (Y1), to determine direct and indirect effects among variables. The results of the research showed that characteristics of the extension workers (X1), environmental factors (X2), and motivation of the extension workers (X3) as together influenced the competencies of the extension workers (X4) by 30,3%. Characteristic of the extension workers (X1), environmental factors (X2), motivation of the extension workers (X3), and the competencies of extension workers (X4) as together influenced the performance extension workers accompanying the farmers group association (Gapoktan) on the rural agribusiness development program (PUAP) (Y1) by 57%. The factor with dominant influence is competencies of the extension workers. Key words: companion extension workers, Gapoktan, PUAP, and performance Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tingkat kinerja penyuluh dalam mendampingi gabungan kelompok tani (gapoktan) pada program pengembangan usaha agribisnis pedesaaan (PUAP) di kabupaten Bangka dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jenis penelitian yaitu penelitian survey. Unit populasi pada penelitian ini adalah penyuluh yang telah menjadi penyuluh pendamping yang mendampingi gapoktan penerima PUAP sejumlah 51 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan sensus. Teknik analisis data meliputi analisis statistic deskriptif untuk mendeskripsi pengaruh variabeleksogen meliputi karakteristik penyuluh (X1), faktor lingkungan penyuluh (X2), motivasi penyuluh (X3) dan tingkat kompetensi penyuluh (X4) terhadap variabel endogen yaitu kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan pada program PUAP (Y1), serta untuk
53
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung antar variabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik penyuluh (X1), faktor lingkungan penyuluh (X2), dan motivasi penyuluh (X3) berpengaruh secara bersama-sama (gabungan) terhadap tingkatkompetensi penyuluh (X4) sebesar 30,3 %. Sedangkan karakteristik penyuluh (X1), faktor lingkungan penyuluh (X2), motivasi penyuluh (X3) dan tingkat kompetensi penyuluh (X4) berpengaruh secara bersama-sama (gabungan) terhadap kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan pada program PUAP (Y1) sebesar 57%.Faktor yang paling berpengaruh terhadap kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan pada program PUAP adalah kompetensi penyuluh. Kata kunci: penyuluh pendamping, gapoktan, PUAP, dan kinerja
PENDAHULUAN Pembangunan pertanian yang berkelanjutan merupakan suatu kegiatan yang mutlak dilakukan dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan, memperluas lapangan kerja, pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Kementerian Pertanian sejak tahun 2008 telah melaksanakan Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) yang secara terintegrasi dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan berada di dalam kelompok program pemberdayaan masyarakat. Percepatan pembangunan pertanian memerlukan peran penyuluh pertanian sebagai pen-damping dan pembimbing pelaku utama dan pelaku usaha (Kementrian Pertanian, 2010). Berdasarkan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, maka dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan 54
dalam program PUAP di Kabupaten Bangka? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan dalam program PUAP di Kabupaten Bangka? 3. Bagaimana pengaruh karakteristik penyuluh, faktor lingkungan penyuluh, motivasi penyuluh, dan kompetensi penyuluh terhadap kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan dalam program PUAP di kabupaten Bangka? 4. Faktor utama apa yang paling berpengaruh terhadap kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan dalam program PUAP di Kabupaten Bangka? Penelitian ini bertujuan untuk: mengkaji tingkat kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan dalam program PUAP di Kabupaten Bangka, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan
Hafiz, Anantanyu, Lestari, Penyuluh pendamping, gapoktan,,, dalam program PUAP di Kabupaten Bangka, menganalisis pengaruh karakteristik penyuluh, faktor lingkungan penyuluh, motivasi penyuluh, dan kompetensi penyuluh terhadap kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan dalam program PUAP di Kabupaten Bangka, mengidentifikasi faktor utama yang paling berpengaruh terhadap kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan dalam program PUAP di Kabupaten Bangka. KAJIAN PUSTAKA Penyuluhan Pertanian Menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K), penyuluhan adalah “proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumber daya lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup”. Menurut Asngari (2003), penyuluhan adalah kegiatan mendidik orang (kegiatan pendidikan) dengan tujuan mengubah perilaku klien sesuai denganyang direnca-
nakan atau dikehendaki yakni orang semakin modern. Kinerja Penyuluh Menurut Rivai dan Basri (2005) kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu atau disepakati bersama. Menurut Leilani dan Jahi (2006) kinerja seorang penyuluh dapat dilihat dari dua sudut pandang; pertama bahwa kinerja merupakan fungsi dari karakteristik individu, karakteristik tersebut merupakan variabel penting yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang termasuk penyuluh pertanian, dengan demikian karakter penyuluh dapat juga mempengaruhi motivasi, produktivitas kerja yang pada gilirannya tercermin dalam performance atau kinerja; kedua bahwa kinerja merupakan pengaruh-pengaruh dari situasional diantaranya terjadi perbedaan pengelolaan dan penyelenggaraan penyuluhan pertanian di setiap kabupaten yang menyangkut beragamnya aspek kelembagaan, ketenagaan, program penyelenggaraan dan pembiayaan
55
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Pada program PUAP kinerja penyuluh pendamping dapat dilihat dalam melaksanakan bimbingan, pendampingan dan memfasilitasi kepada gapoktan antara lain:(1) melakukan identifikasi potensi wilayah; (2) mencari alternatif pemecahan masalah; (3) Menyusun RUB dan RUK; (4) melaksanakan kegiatan PUAP; (5) menyusun laporan. Penyuluh pendamping bersama Kepala Desa/Lurah melakukan identifikasi, verifikasi gapoktan calon pelaksana PUAP serta melakukan pengawasan dalam penyaluran dan pemanfaatan dana BLM-PUAP untuk pengembangan usaha produktif. Penyuluh pendamping bersama PMT (Penyelia Mitra Tani) melaksanakan: (1) supervisi dan advokasi proses pengembangan fungsi gapoktan; (2) pertemuan reguler dengan gapoktan; (3) penyusunan laporan perkembangan kegiatan PUAP. Kinerja penyuluh dalam melakukan pemberdayaan gapoktan tercermin dalam kegiatan pengembangan usaha/ kewirausahaan kelompok, penguatan kelembagaan gapoktan, dan fasilitasi kemitraan usaha antara lain: (1) mengembangkan jiwa kewirausahaan; (2) mengembangkan kemampuan manajerial; (3) menjembatani kemitraan usaha antara gapoktan
56
dengan perusahaan mitra usaha (Kementrian Pertanian, 2010). Kompetensi Penyuluh Kompetensimerupakan persyaratan utama dalam kinerja. Kompetensi merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menjalankan pekerjaan yang diberikan kepadanya dengan baik.Kompetensi memungkinkanseseorang mewujudkan tugas yang berkaitan dengan pekerjaan yang diperlukan untuk mencapai tujuan (Wibowo, 2012). Menurut Boyatzis dalam Sudarmanto (2009) kompetensi adalah karakteristik-karakteristik yang berhubungan dengan kinerja unggul dan atau efektif dalam pekerjaan.Sumardjo(2006) mengemukakan bahwa ada delapan kompetensi yang diperlukan oleh penyuluh sarjana untuk dapat mendukung pelaksanaan pekerjaannya, yaitu: (1) kemampuan berkomunikasi secara konvergen dan efektif, (2) kemampuan bersinergi, bekerja sama dalam tim, (3) kemampuan akses informasi dan penguasaan inovasi, (4) sikap kritis terhadap kebutuhan atau keterampilan analisis masalah, (5) keinovatifan atau penguasaan teknologi informasi dan desain komunikasi multimedia, (6) berwawasan luas dan membangun
Hafiz, Anantanyu, Lestari, Penyuluh pendamping, gapoktan,,, jejaring kerja, (7) pemahaman potensi wilayah dan kebutuhan petani, (8) keterampilan berpikir logis (berpikir sistem). Motivasi dalam Penyuluhan Menurut Robins (2002) motivasi adalah keinginan untuk melakukan sesuatu dan menentukan kemampuan bertindak untuk memuaskan kebutuhan individu.Tiga dari kebutuhan yang dipelajariMc Clelland adalah kebutuhan berprestasi (n Ach), kebutuhan berafiliasi (n Aff), dan kebutuhan berprestasi (nPow) (Gibson et al., 1997). Kebutuhan akan prestasi adalah dorongan untuk unggul, untuk mencapai sederetan standar guna meraih kesuksesan. Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dengan cara yang diinginkan, sedangkan kebutuhan akan afiliasi adalah hasrat akan hubungan persahabatan dan kedekatan antarpersonal (Robbins, 2002). Karakteristik Penyuluh Rogers dan Shoemaker (1971) mengemukakan bahwa karakteristik pribadi merupakan bagian dari individu dan melekat pada diri seseorang yang mendasari tingkah laku seseorang dalam situasi kerja maupun
situasi lainnya. Menurut Mardikanto (1993), karakteristik pribadi adalah sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang dan berhubungan dengan aspek kehidupan, antara lain; umur, jenis kelamin, posisi, jabatan, motivasi, status sosial, dan agama. Faktor Lingkungan Penyuluh Karakteristiklingkunganmerup akan faktor-faktor di luar diri atau individu yang mempengaruhi dalam kehidupannya. Menurut Mardikanto (2010), beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kinerja seseorang diantaranya adalah lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) Pengembangan Usaha Agribisnis perdesaan (PUAP) merupakan bentuk fasilitasi bantuan modal usaha bagi petani anggota, baik petani pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani yang dikoordinasikan oleh Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Menurut Permentan Nomor: 273/Kpts/OT.160/ 4/2007, kelompok tani adalah kumpulan petani/ peternak/ pekebun yang dibentuk atas 57
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota, sedangkan gabungan kelompoktani (gapoktan) adalah kumpulan beberapa kelompok tani yang bergabung dan bekerja sama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha. Kerangka Berpikir Kinerja penyuluh dapat dilihat dari tiga aspek yang terkait langsung dalam mendampingi gapoktan pada program PUAP, yaitu: persiapan penyuluhan, pelaksanaan penyuluhan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan penyuluhan. Agar lebih mudah dipahami secara sistematis kerangka berpikir dapat dilihat pada Gambar 1. Hipotesis Diduga terdapat pengaruh langsung maupun tidak langsung yang signifikan antara faktor karakteristik penyuluh,faktor lingkungan penyuluh, motivasi penyuluh, dan kompetensi penyuluh terhadap kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bangka Provinsi Bangka 58
Belitung. Lokasi dipilih dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Bangka merupakan daerah yang paling banyak menerima program PUAP di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei.Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang memusatkan pada pengumpulan data kuantitatif yang berupa angka-angka untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis statistika (Mardikanto, 2010). Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan cara sensus. Populasi pada penelitian ini adalah penyuluh pertanian yang mendampingi gapoktan pada program PUAP. Jumlah penyuluh pertanian yang mendampingi gapoktan pada program PUAP dari tahun 20082011 yaitu sebanyak 51 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara terstruktur, observasi non partisipan, dan pengumpulan pencatatan yang ada kaitannya dengan program tersebut. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder.Data yang diperoleh dilakukan terlebih dahulu uji validitas dan uji reliabilitas, setelah itu dilakukan analisis data dengan teknik analisis statistik deskriptif dan analisis jalur.
Hafiz, Anantanyu, Lestari, Penyuluh pendamping, gapoktan,,, Karakteristik Penyuluh (X1) 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8
Umur Pendidikan formal Pelatihan Pengalaman kerja Jarak lokasi tugas Luas wilayah kerja Kekosmopolitan Status Penyuluh
Faktor Lingkungan (X2) 2.1 Lingkungan Fisik 2.2 Lingkungan sosial
4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6
Motivasi Penyuluh (X3) 3.1 Kebutuhan untuk berprestasi 3.2 Kebutuhan untuk berafiliasi 3.3 Kebutuhan untuk kekuasaan
Kompetensi Penyuluh (X4) Akses informasi Kemampuan komunikasi Analisis masalah Membangun jejaring kerja Penguasan inovasi & teknologi Kemampuan kognisi
Kinerja Penyuluh dalam Mendampingi Gapoktan (Y1) 1. Persiapan penyuluhan program puap 2. Pelaksanaan penyuluhan program puap 3. Evaluasi dan pelaporan pelaksanaan penyuluhan program puap
Gambar 1. Diagram Kerangka Berpikir
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bangka adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan ibukota adalah Sungailiat. Batas wilayah Kabupaten Bangka adalah (a) Sebelah utara: berbatasan dengan Laut Natuna; (b) Sebelah timur: berbatasan dengan Laut Natuna; (c) Sebelah selatan: berbatasan dengan Kabupaten Bangka Tengah dan Kota Pangkalpinang; dan (d) Sebelah barat: berbatasan dengan Kabupaten Bangka Barat.
Jumlah penyuluh pertanian yang mendampingi gapoktan PUAP di Kabupaten Bangka dari tahun 2008 sampai dengan 2011 adalah berjumlah 51 orang yang terdiri dari penyuluh PNS 24 orang, penyuluh THL-TB 25 orang dan penyuluh honorer pemerintah daerah 2 orang. Karakteristik Responden Penelitian Responden dalam penelitian ini adalah 51 orang penyuluh pertanian di Kabupaten Bangka yang telah mendampingi Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) pada Pro59
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 gram Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). Gambaran karakteristik responden ditunjukkan
dengan nilai median yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Median Skor dan Kriteria Variabel Penelitian No.
Variabel Penelitian
Median Skor
Kriteria
1.
Karakteristik Penyuluh (X1)
3
Tinggi
2.
Faktor Lingkungan Penyuluh (X2)
3
Mendukung
3.
Motivasi Penyuluh (X3)
3
Tinggi
4.
Tingkat Kompetensi Penyuluh (X4)
3
Tinggi
5.
Kinerja Penyuluh dalam Mendampingi Gapoktan (Y1)
2
Rendah
Sumber: Analisis data Tabel 1 menunjukkan bahwa untuk variabel karakteristik penyuluh, proses, faktor lingkungan penyuluh, motivasi penyuluh dan tingkat kompetensi penyuluh berada dalam median skor 3 (kategori tinggi). Untuk variabel tingkat kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan berada dalam median skor 2 yang berarti termasuk dalam kategori rendah. Rendahnya tingkat kinerja penyuluh disebabkan karena tingkat kompetensi penyuluh terkait kemampuan penyuluh dalam kompetensi berkomunikasi, membangun jejaring
60
kerja, dan penguasaan inovasi dan teknologi masih dalam kategori rendah. Variabel Karakteristik Penyuluh (X1) Berdasarkan data penelitian yang telah dikumpulkan, diperoleh data penilaian responden terhadap karakteristik penyuluh (X1). Karakteristik penyuluh meliputi: umur, tingkat pendidikan formal penyuluh, pelatih-an, pengalaman kerja, jarak lokasi tugas, luas wilayah kerja, kekosmopolitan, dan status penyuluh yang tersaji pada Tabel 2.
Hafiz, Anantanyu, Lestari, Penyuluh pendamping, gapoktan,,, Tabel 2 . Distribusi Responden Berdasarkan Skor Sub Variabel Karakteristik Penyuluh (X1). Karakteristik Penyuluh
Umur (X1.1)
Kriteria
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Usia sangat muda < 25 tahun Usia muda 25-35 tahun Usia tua 35 > tahun Usia sangat tua > 51 tahun
0
0
26 16 9
50,98 31,37 17,65
51
100,00
16 5 3 27
31,37 9,81 5,88 52,94
51
100,00
1 4
1,96 7,84
39
76,47
7
13,73
51
100,00
10 20 3 18
19,61 39,22 5,88 35,29
51
100,00
4 28 6 13
7,84 54,90 11,77 25,49
Jumlah Pendidikan Formal (X1.2)
Tamat SLTA D3 D4 S1
Jumlah
Pelatihan (X1.3)
Tidak pernah Pernah, 1 x dalam tahun terakhir Pernah, 2 x dalam tahun terakhir Pernah, lebih dari 2 x dalam tahun terakhir
Jumlah Sangat rendah (< 5 tahun) Pengalaman Kerja (X1.4)
Rendah (5-10 tahun) Tinggi (11-15 tahun) Sangat tinggi ≥ 16 tahun
Jumlah
Jarak Lokasi Tugas (X1.5)
Sangat jauh ( > 16 km) Jauh (11-15 km) Cukup dekat (6-10 km) Dekat (0-5 km)
Jumlah
Luas Wilayah kerja (X1.6)
51
100,00
Sangat luas
0
0
Luas
0
0
Cukup luas
21
41,18
Tidak luas
30
58,82
51
100,00
19 20 5 7
37,25 39,22 9,80 13,73
51
100,00
0 2 25 24
0 3,92 49,02 47,06
51
100,00
Jumlah
Kekosmopolitan (X1.7)
Tidak pernah 1 x perbulan 2 x perbulan >2x perbulan
Jumlah
Status Penyuluh (X1.8)
Jumlah
Swadaya Honor Daerah THL- TB PNS
Median Skor
2 (usia muda 25 -35 tahun)
4 ( S1)
3 (pernah, 2 x dalam tahun terakhir)
2 (Rendah, 5-10 tahun))
2 (Jauh, 11-15 km)
4 (Tidak luas)
2 (1 x perbulan)
3 (THL-TB)
Sumber:Analisisdata 61
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Tabel 2 dapat diketahui bahwa sub variabel karakteristik penyuluh menyebar pada hampir semua kategori. Pada sub variabel umur terlihat bahwa responden diketahui 50,98 % berada pada kategori rendah yaitu penyuluh masih berusia muda 25 – 35 tahun dengan jumlah 26 orang dari 51 penyuluh. Dari aspek pendidikan formal, diketahui bahwa 52,94 % responden sudah berpendidikan sarjana (S1). Dari aspek pelatihan, diketahui bahwa 76,47 % responden memiliki kesempatan mengikuti pelatihan sekitar 2 kali dalam tahun terakhir. Pada sub variabel pengalaman kerja terlihat bahwa 39,22 % responden memiliki pengalaman kerja yang relatif rendah yaitu pada kisaran 5-10 tahun.Dari aspek lokasi
tugas, diketahui bahwa 54,90 % responden mempunyai jarak lokasi tugas yang cukup jauh yaitu 11-15 km dari rumah. Dari aspek luas wilayah kerja, diketahui bahwa 58,82 % responden mempunyai luas wilayah kerja yang tidak luas. Dari aspek kekosmopolitan diketahui bahwa 39,22 % responden memiliki tingkat kekosmopolitan rendah yaitu 1 kali perbulan. Dari aspek status penyuluh, diketahui bahwa 49,02 % responden berstatus penyuluh THL-TB. Variabel Lingkungan Penyuluh (X2) Berdasarkan data penelitian yang telah dikumpulkan, diperoleh data faktor lingkungan penyuluh (X2) yang meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial yang tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Skor Sub Variabel Faktor Lingkungan (X2) Faktor Lingkungan
Lingkungan Fisik (X2.1)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Sangat Tidak Mendukung
7
13,72
Tidak Mendukung
11
21,57
Mendukung
21
41,18
Sangat Mendukung
12
23,53
51
100,00
3
5,88
Tidak Mendukung
9
17,65
Mendukung
19
37,25
Sangat Mendukung
20
39,22
51
100,00
Kriteria
Jumlah Sangat Tidak Mendukung Lingkungan Sosial (X2.2)
Jumlah
Sumber : Analisis data 62
Median Skor
3 (Mendukung)
3 ( Mendukung)
Hafiz, Anantanyu, Lestari, Penyuluh pendamping, gapoktan,,, Pada Tabel3dapat diketahui bahwalingkungan fisik berada dalam kategori mendukung. 41,18 % responden menilai bahwa kondisi iklim dan keadaan usaha tani mendukung kelancaran kegiatan penyuluhan. Dari aspek lingkungan sosial, diketahui bahwa 37,25 % responden menyatakan bahwa lingkungan sosial seperti status sosial ekonomi, dukungan latar belakang penyuluh dengan penerima manfaat, dan
dukungan stakeholders yang ada memberikan dukungan bagi kelancaran kegiatan penyuluhan. Variabel Motivasi Penyuluh (X3) Berdasarkan data penelitian yang telah dikumpulkan, diperoleh data motivasi penyuluh (X3) yang meliputi kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk berafiliasi, dan kebutuhan untuk kekuasaan yang tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Skor Sub Variabel Motivasi Penyuluh (X3) Motivasi Penyuluh Kebutuhan Untuk Berprestasi (X3.1)
Kriteria Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
Jumlah Kebutuhan Untuk Berafiliasi (X3.2)
Persentase (%)
Median Skor
0 2 39 10
0 3,92 76,47 19,61
3 (Tinggi)
51
100,00
Sangat Rendah
3
5,88
Rendah
8
15,69
Tinggi
17
33,33
Sangat Tinggi
23
45,10
51
100,00
Sangat Rendah
15
29,41
Rendah
19
37,26
Tinggi
16
31,37
Jumlah Kebutuhan Untuk Kekuasaan (X3.3)
Jumlah (orang)
Sangat Tinggi
Jumlah
1
1,96
51
100,00
3 (Tinggi)
2 (Rendah)
Sumber: Analisis data Dari Tabel 4 diketahui bahwa kecende-rungan penilaian responden pada sub variabel kebutuhan untuk berprestasi berada kategori tinggi, yaitu sebesar 76,47 %. Pada sub variabel kebutuhan untuk berafiliasi
berada pada kategori tinggi, yaitu sebesar 33,33 %. Pada sub variabel kebutuhan untuk kekuasaan berada pada kategori rendah, yaitu sebesar 37,26 %.
63
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Variabel Tingkat Kompetensi Penyuluh (X4) Berdasarkan data penelitian yang telah dikumpulkan, diperoleh data tingkat kompetensi penyuluh (X4) yang meliputi akses informasi,
kompetensi komunikasi, membangun jejaring kerja, penguasaan inovasi dan teknologi, analisis masalah, dan kemampuan kognisi penyuluh yang tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Skor Sub VariabelTingkatKompetensi Kompetensi
Akses Informasi (X4.1)
Kriteria Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
Jumlah Kompetensi berkomunikasi (X4.2)
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
Jumlah Membangun Jejaring Kerja (X4.3)
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
Jumlah Penguasaan Inovasi dan Teknologi (X4.4)
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
Jumlah Analisis Masalah (X4.5)
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
Jumlah Kemampuan Kognisi Penyuluh (X4.6)
Sangat Rendah Rendah Tinggi Sangat Tinggi
Jumlah
Jumlah (orang)
(%)
Median Skor
6 19 21 5
11,77 37,25 41,18 9,80
3 (Tinggi)
51
100,00
2 34 13 2
3,92 66,67 25,49 3,92
51
100,00
14 26 5 6
27,45 50,98 9,80 11,77
51
100,00
21 17 10 3
41,18 33,33 19,61 5,88
51
100,00
4 5 36 6
7,84 9,80 70,60 11,76
51
100,00
8 13 24 6
15,69 25,49 47,06 11,76
51
100,00
2 (Rendah)
2 (Rendah)
2 (Rendah)
3 (Tinggi)
3 (Tinggi)
Sumber: Analisis data Tabel 5 menunjukkan bahwa 41,18 % responden dari aspek akses informasi cenderung berada dalam kategori tinggi. Dari aspek kemampuan berkomunikasi, menunjukkan 64
bahwa 66,67 % responden berada pada kategori rendah. Dari aspek membangun jejaring kerja, 50,98 % responden berada pada kategori rendah. Dari aspek penguasaan ino-
Hafiz, Anantanyu, Lestari, Penyuluh pendamping, gapoktan,,, vasi dan teknologi dapat diketahui bahwa 33,33 % responden berada pada kategori rendah. Dari aspek analisis masalah diketahui bahwa 70,60 % responden berada pada kategori tinggi. Dari aspek kemampuan kognisi penyuluh diketahui bahwa 47,06 % responden berada pada kategori tinggi.
Tingkat Kinerja Penyuluh dalam Mendampingi Gapoktan PUAP (Y1) Penilaian responden terhadap tingkat kinerja penyuluh terbentuk dari sub variabel tingkat kinerja yang meliputi: persiapan penyuluhan, pelaksanaan penyuluhan, evaluasi dan pelaporan yang tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6Distribusi Responden Berdasarkan Skor Sub Variabel Tingkat Kinerja Penyuluh dalam Mendampingi Gapoktan(Y1) Kinerja
Kriteria
Persiapan Penyuluhan Program PUAP (Y1.1)
Jumlah (orang)
Sangat rendah Rendah Tinggi Sangat tinggi
Jumlah Pelaksanaan Penyuluhan Program PUAP (Y1.2)
Sangat rendah Rendah Tinggi Sangat tinggi
Jumlah Evaluasi dan Pelaporan Program PUAP (Y1.3)
Tidak baik Kurang baik Cukup baik Baik
Jumlah
Persentase (%)
25 14 9 3
49,02 27,45 17,65 5,88
51
100,00
18 25 5 3
35,29 49,02 9,81 5,88
51
100,00
16 29 3 3
31,37 56,87 5,88 5,88
51
100,00
Median Skor
2 (Rendah)
2 (Rendah)
2 (Rendah)
Sumber:Analisisdata Dari Tabel 6 diketahui bahwa 27,45 % responden berada pada kategori rendah terkait aspek Persiapan penyuluhan program PUAP. Aspek pelaksanaan penyuluhan berada pada kategori rendah yaitu sebesar 49,02 % responden rendah. Aspek evaluasi dan pelaporan pelak-
sanaan penyuluhan program PUAP berada pada kategori kurang baik yang ditunjukkan dengan presentase sebesar 56,87 % responden. Berdasarkan hasil analisis data penelitian yang telah dilakukan, maka analisis jalur diperoleh sebagai berikut:
65
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016
Gambar 2. Diagram Jalur Pengaruh Signifikan dan Tidak Signifikan Pengaruh Karakteristik Penyuluh, Faktor Lingkungan, dan Motivasi Penyuluh Terhadap Tingkat Kompetensi Penyuluh Karakteristik penyuluh, faktor lingkungan penyuluh, dan motivasi
penyuluh secara bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat kompetensi penyuluh yang ditunjukkan dengan nilai koefisien deter-minasi (R2) sebesar 0,303 pada signifikansi 0,001 yang disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7.Hasil Koefisien Jalur Model 1. Pengaruh antar variabel
Koefisien Jalur (Beta)
Nilai t
X1 terhadap X4
0,133
0,940
X2 terhadap X4
0,356
2,227
X3 terhadap X4
0,161
1,023
Nilai F
Hasil Pengujian
Koefisien Determinan 2 R atau RX4X1X2X3
Koefisien variabel lain (sisa) ρX4.ε1
0,303
(0,835) atau 0,697 = 69,7%
H0 diterima 6,881
H1 diterima H0 diterima
2
Sumber: Analisis data primer, 2013
Besarnya angka R square adalah 0,303. Nilai koefisien determinan yang diperoleh sebesar 30,3 % mempunyai arti bahwa pengaruh Karakteristik Penyuluh (X1), Faktor Lingkungan (X2), dan Motivasi Penyuluh (X3), secara gabungan terhadap 66
Tingkat Kompetensi Penyuluh (X4), sebesar 30,3 %, Untuk itu besarnya pengaruh variabel X4 yang tidak dapat dijelaskan adalah (0,835)2 = 0,697 = 69,7 % dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dapat dijelaskan dalam penelitian ini. Dari hasil
Hafiz, Anantanyu, Lestari, Penyuluh pendamping, gapoktan,,, analisis diperoleh nilai koefisien jalur karakteristik penyuluh terhadap kompetensi penyuluh (ρX4X1) sebesar 0,133. Hasil analisis secara parsial / individu diperoleh hasil bahwa variabel X1 tidak berpengaruh langsung secara signifikan terhadap X4. Besarnya pengaruh tersebut adalah (0,1332 x 100%) = 1,77%. Nilai koefisien jalur faktor lingkungan penyuluh terhadap kompetensi penyuluh (ρX4X2) sebesar 0,356.Hasil analisis secara parsial/individu diperoleh hasil bahwa variabel X2 berpengaruh langsung secara signifikan terhadap X4. Besarnya pengaruh X2 terhadap X4 adalah (0,3562 x 100%) = 12,67%. Hasil analisisjalur diperoleh nilai koefisien jalur motivasi penyuluh terhadap kompetensi penyuluh (ρX4X3) sebesar 0,161. Hasil analisis secara parsial/individu diperoleh hasil bahwa variabel X3 tidak berpengaruh langsung secara signifikan terhadap
X4.Hal ini dikarenakan pengaruh X3 terhadap X4 kecil. Besarnya pengaruh tersebut adalah (0,1612 x 100%) = 2,59%. Pengaruh Karakteristik Penyuluh, Faktor Lingkungan, Motivasi Penyuluh, dan Tingkat Kompetensi Penyuluh terhadap Tingkat Kinerja Penyuluh dalam Mendampingi Gapoktan Berdasarkan hasil analisis data penelitian melalui teknis analisis, diketahui bahwa karakteristik penyuluh (X1), faktor lingkungan penyuluh (X2), motivasi penyuluh (X3) dan tingkat kompetensi penyuluh (X4) secara bersama-sama terhadap tingkat kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan pada program PUAP (Y1) ditunjukkan dengan nilai koefisien deter-minasi (R2) sebesar 0,570 pada signifikansi 0,000 yang disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8.Hasil Koefisien Jalur Model 2. Pengaruh antar variabel
Koefisien Jalur (Beta)
Nilai t
X1 terhadap Y1
0,249
2,199
X2 terhadap Y1
0,131
0,977
X3 terhadap Y1
0,174
1,379
X4 terhadap Y1
0,413
3,566
Nilai F
Hasil Pengujian
Koefisien Determinan 2 R atau RY1X1X2X3X4
Koefisien variabel lain (sisa) ρY1.ε2
H1 diterima H0 diterima 15,234
H0 diterima
2
0,570
(0,656) atau 0,430 = 43%
H1 diterima
Sumber: Analisis data primer, 2013
67
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Besarnya angka R square adalah 0,570. Nilai koefisien determinan yang diperoleh sebesar 57 % mempunyai arti bahwa pengaruh Karakteristik Penyuluh (X1), Faktor Lingkungan (X2), dan Motivasi Penyuluh (X3), dan Tingkat Kompetensi Penyuluh (X4) secara gabungan terhadap tingkat kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan sebesar 57%. Untuk itu besarnya pengaruh variabel Y1 yang tidak dapat dijelaskan adalah (0,656)2 = 0,430 = 43% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dapat dijelaskan dalam penelitian ini. Hasil analisis diperoleh nilai koefisien jalur karakteristik penyuluh terhadap kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan (ρY1X1) sebesar 0,249. Hasil analisis secara parsial/individu diperoleh hasil bahwa variabel X1 berpengaruh langsung secara signifikan terhadap Y1. Besarnya pengaruh tersebut adalah (0,2492 x 100%) = 6,20%. Nilai koefisien jalur faktor lingkungan penyuluh terhadap kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan penyuluh (ρY1X2) sebesar
68
0,131. Hasil analisis secara parsial / individu diperoleh hasil bahwa variabel X2 tidak berpengaruh langsung secara signifikan terhadap Y1.Hal ini dikarenakan pengaruh X2 terhadap Y1 kecil. Besarnya pengaruh tersebut adalah (0,1312 x 100%) = 1,72%. hasil analisis diperoleh nilai koefisien jalur motivasi penyuluh terhadap kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan penyuluh (ρY1X3) sebesar 0,174. Hasil analisis secara parsial/individu diperoleh hasil bahwa variabel X3 tidak berpengaruh langsung secara signifikan terhadap Y1.Hal ini dikarenakan pengaruh X3 terhadap Y1 kecil. Besarnya pengaruh tersebut adalah (0,1742 x 100%) = 3,03%. Hasil analisis jalur diperoleh nilai koefisien jalur kompetensi penyuluh terhadap kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan (ρY1X4) sebesar 0,413. Hasil analisis secara parsial/individu diperoleh hasil bahwa variabel X1 berpengaruh langsung secara signifikan terhadap Y1. Besarnya pengaruh tersebut adalah (0,4132 x 100%) = 17,06%.
Hafiz, Anantanyu, Lestari, Penyuluh pendamping, gapoktan,,, Tabel 9. Pengaruh Langsung, Tidak Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Bersama dari Variabel Karakteristik Penyuluh (X1), Faktor Lingkungan (X2), Motivasi Penyuluh (X3), dan Kompetensi Penyuluh (X4) Terhadap Tingkat Kinerja Penyuluh dalam Mendampingi Gapoktan (Y1) Pengaruh Uraian
Koefisien jalur
Langsung
Tidak langsung melalui X4
0,133 0,249 0,356 0,131 0,161 0,174 0,431 0,835 0,656
0,133 0,249 0,356 0,131 0,161 0,174 0,431 0,697 0,430
0,057 0,153 0,069 -
X1 dengan X4 X1 dengan Y1 X2 dengan X4 X2 dengan Y1 X3 dengan X4 X3 dengan Y1 X4 dengan Y1 ε1 ε2 X1X2X3 terhadap X4 X1X2X3 X4 terhadap Y1
Total
Pengaruh Bersama 2 (R )
0,133 0,306 0,356 0,284 0,161 0,243 0,431
0,303 0,570
Sumber: Analisis data KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasannya, dapat disimpulkan bahwa: 1. Tingkat kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan pada program pengembangan usaha agribisnis perdesaaan (PUAP) (Y1) di Kabupaten Bangka berada dalam kategori rendah. Kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan pada program pengembangan usaha agribisnis perdesaan (PUAP) yang ditunjukkan oleh rendahnya dalam ketiga aspek yaitu: evaluasi dan pelaporan (Y1.3) (56,87%), pelaksanaan penyuluhan (Y1.2) (49,02%), dan persiapan penyuluhan (Y1.1) (27,45%).
2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan pada program pengembangan usaha agribisnis perdesaan (PUAP) berada dalam kategori tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh variabel motivasi penyuluh (X3) berada dalam kategori tinggi (52,94%),tingkat kompetensi penyuluh (X4) berada dalam kategori tinggi (49,02%), karakteristik penyuluh (X1) berada dalam kategori tinggi (47,06%), dan faktor lingkungan penyuluh (X2) berada dalam kategori tinggi /mendukung (41,18%). 3. a. Faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap tingkat kinerja penyuluh dalam men69
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 dampingi gapoktan pada program pengembangan usaha agribisnis perdesaan (PUAP) yaitu: karakteristik penyuluh dan tingkat kompetensi penyuluh, sedangkan faktor lingkungan tidakberpengaruh secara langsung terhadap kinerja penyuluh tetapi melalui variabel tingkat kompetensi penyuluh . Motivasi penyuluh tidak berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan pada program pengembangan usaha agribisnis perdesaan (PUAP). Pengaruh sub variabel paling dominan adalah kekosmopolitan, lingkungan sosial, dan kemampuan berkomunikasi. b. Faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap tingkat kompetensi penyuluh yaitu: faktor lingkungan penyuluh. Karakteristik penyuluh dan motivasi penyuluh tidak berpengaruh secara langsung terhadap tingkat kompetensi penyuluh.Pengaruh sub variabel paling dominan adalah kekosmopolitan dan kebutuhan untuk berafiliasi. 4. Faktor utama yang paling berpengaruh terhadap kinerja pen70
yuluh dalam mendampingi gapoktan dalam program PUAP di Kabupaten Bangka adalah kompetensi penyuluh Berdasarkan hasil penelitian, maka disarankan: 1. Bagi Pemerintah Daerah a. Perlu melakukan upaya peningkatan kapasitas penyuluh dengan penyediaan sarana dan prasarana penunjang penyuluhan serta dukungan biaya operasional yang memadai. b. Perlu upaya peningkatan kinerja penyuluh dalam mendampingi gapoktan melalui meningkatkan faktor yang berpengaruh langsung terhadap kinerja penyuluhdalam mendampingi gapoktan yaitu karakteristik penyuluh melalui peningkatan kekosmopolitan penyuluh dan kompetensi penyuluh melalui peningkatan kemampuan berkomunikasi penyuluh dengan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. 2. Bagi Penyuluh Pendamping perlu melakukan upaya peningkatan kompetensi melalui pemahaman lingkungan sosial dari penerima manfaat/petani dengan cara peningkatan interaksi sosial
Hafiz, Anantanyu, Lestari, Penyuluh pendamping, gapoktan,,, dengan penerima manfaat/petani melakukan upaya peningkatan kappasitas penyuluh terutama hubungan penyuluh dengan sumber-sumber informasi dan teknologi dengan cara mengakses sumber informasi seperti berlangganan leaflet, brosur, majalah dan koran pertanian serta pemanfaatan media internet/cyber extension. DAFTAR PUSTAKA Asngari, P.S. 2003.“Pentingnya Memahami Falsafah Penyuluhan Pembangunan dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat, dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan”. Diedit Oleh Adjat Sudrajat dan Ida Yusnita.Bogor : IPB. Gibson, Ivancevich dan Donnelly. 1997. Organisasi. Bina Rupa Aksara. Jakarta. Kementerian Pertanian RI. 2010. Petunjuk Teknis Penyuluh Pendamping PUAP. Kementan RI. Jakarta. Leilani, A. dan A. Jahi.2006. Kinerja Penyuluh Pertanian di Beberapa Kabupaten Propinsi Jawa Barat.Jurnal penyuluhan.Vol. 2 No. 2.Hal.99-106. Mardikanto, T. 1993.Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Se-
belas Maret University Press. Surakarta. _________. 2010. Metode Penelitian dan EvaluasiPemberdayaan Masyarakat.Sebelas Maret University Press. Surakarta. Rivai, V. dan Basri A. Fawzi Mohd. 2005. Performance Appraisal: Sistem Yang Tepat untuk Menilai kinerja Karyawan dan Meningkatkan Daya Saing Karyawan. Rajagrafindo Persada. Jakarta. Robbins, S.P. 2002. Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi.Edisi 5.Erlangga. Jakarta. Rogers, E.M. dan Shoemaker. 1971. Communication of Innovation : A Cross Cultural Approach. The Free Press; A Division of Macmillan Publishing Co, Inc. New York. Sudarmanto. 2009. Kinerja dan Pengembangan Kompetensi SDM: Teori, Dimensi Pengukuran, dan Implementasi dalam Organisasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Sumardjo. 2006. Kompetensi Penyuluh. Makalah disampaikan pada Pertemuan KPPN dengan Departemen Pertanian di Batam pada April 2006. Wibowo. 2012. Manajemen Kinerja. Rajawali Pers. Jakarta 71
MOTIVASI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI INTENSIFIKASI PADI AEROB TERKENDALI BERBASIS ORGANIK (IPAT-BO) DI KABUPATEN PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR Ugik Romadi1), Budi Sawitri 1), Alimunur 2) 1) Dosen STPP Malang, 2) Penyuluh Pertanian Kabupaten Bima Email:
[email protected] Abstract Paddy intensification of Aerob In control base on Organicly (IPAC-BO) represent technology approach of holistik to increase paddy crop productivity with combine compatiblely strength of ground biologis and crop integrated and in planning. Target of this study is: Knowing difference of Motivation of Tirtoharjo farmer group with Trunomulyo farmer group. Approach of study use interview method, kusioner (scale quesionaire) of likert. Analyzer the used is statistical and descriptive analysis is non parametrik (kolmogorov-smirnov). Result of descriptive analysis for the Tirtoharjo Farmer Group have total score 1.510. Modus value ( Mo) 75,5, Median ( Md) 76, Mean ( Me) 75,6 and Span ( R) 83-67 = 16. For the Group of Trunomulyo Farmer Group score total 1.590, Modus value ( Mo) 72, 79, 81, 85, 86, and 92. Median ( Md) 79,5, Mean ( Me) 79,5 and Span ( S) 24. Pursuant to analysis of Kolmogorov-Smirnov assess KD calculate smallerly (2/10 = 0,1) from value Tables of KD for the level mistake 5 = 0,4. Because value of KD count unable to pass value of KD the Tables of hence do not there are difference motivation of Tirtoharjo Farmer Group and Trunomulyo farmer group to Intensification Paddy technology of Aerob In Control Base on Organicly (IPAC-BO). Key Work: Motivation farmers, Paddy intensification of Aerob In control base on Organicly. Abstrak Intensifikasi padi Aerob Terkendali berbasis Organik (IPAT-BO) merupakan teknologi pendekatan holistik untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi dengan memadu serasikan kekuatan biologis tanah dan tanaman secara terintegrasi dan terencana. Tujuan kajian ini adalah 1) Mengetahui perbedaan Motivasi POKTAN Tirtoharjo dengan POKTAN Trunomulyo. Pendekatan kajian menggunakan metode wawancara (interview), kusioner (quesionaire) skala likert. Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan statistik non parametrik (kolmogorovsmirnov). Hasil analisis deskriptif POKTAN Tirtoharjo memiliki skor total 1.510. nilai Modus (Mo) 75,5, Median (Md) 76, Mean (Me) 75,6 dan Rentang (R) 83-67 = 16. Untuk POKTAN Trunomulyo skor total 1.590, nilai Modus (Mo) 72, 79, 81, 85, 86, dan 92. Median (Md) 79,5, Mean (Me) 79,5 dan Rentang (R) 24. Berdasarkan analisis Kolmogorov-Smirnov nilai KD hitung lebih kecil (2/10 = 0,1) dari nilai Tabel KD untuk taraf kesalahan 5 % = 0,4. Karena nilai KD hitung tidak mampu melewati nilai KD Tabel maka tidak terdapat perbedaan motivasi POKTAN Tirtoharjo dan POKTAN
72
Romadi, Sawitri, Alimunur, Motivasi Petani, Intensifikasi,,, Trunomulyo terhadap teknologi Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO). Kata Kunci: Motivasi Petani, Intensifikasi padi Aerob Terkendali berbasis Organik
PENDAHULUAN Departemen Pertanian (2006) , menyatakan tingkat konsumsi beras di Indonesia 139,15 kilogram per kapita per tahun atau setara dengan kebutuhan beras 47,57 juta ton gabah kering giling (GKG). Lahan yang tersedia hanya 11-12 juta (ha) dengan rata-rata produksi 4-6 ton per ha. Jumlah ini diperkirakan tidak mencukupi untuk kebutuhan pangan pada tahun 2030. Karena asumsi laju pertumbuhan penduduk 0,92 persen per tahun, membutuhkan beras 61,23 juta ton GKG, sementara konversi lahan pertanian berlangsung terus-menerus. Untuk membangun kemandirian dan ketahanan pangan atau swasembada beras maka dari produksi 4-6 ton per hektar (luas panen total saat ini 5,5 juta hektar) harus mampu ditingkatkan produktivitasnya menjadi 6-8 ton/ha Untuk meningkatkan produksi padi telah dilakukan berbagai upaya melalui program-program dan inovasi teknologi pertanian sejak era orde baru, baik secara ekstensifikasi maupun intensifikasi, upaya peningkatan produksi padi melalui pendekatan ekstensifikasi tidak memungkinkan
lagi karena pertumbuhan penduduk akan diikuti oleh perkembang infrastruktur dan penggunaan lahan yang terus meningkat. Akibatnya terjadi marginalisasi yang cukup tinggi terhadap lahan-lahan plertanian. Oleh sebab demikian Salah satu upaya meningkatakan produksi padi diarahkan pada pendekatan intensifikasi melalui penerapan teknologi pangan yang mempunyai daya hasil tinggi. Intensifikasi padi Aerob Terkendali berbasis Organik (IPATBO) merupakan teknologi pendekatan holistik untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi dengan memadu serasikan kekuatan biologis tanah dan tanaman secara terintegrasi dan terencana. Teknologi ini mengutamakan ketersediaan oksigen bagi perkembangan perakaran tanaman dengan input pasokan bahan organik yang berfungsi sebagai kekuatan biologis tanah sehingga menciptakan biodiversitas (keragaman hayati). Tanaman padi yang direndam secara terus-menerus tanpa menyediakan kecukupan oksigen hanya memberikan hasil maksimal 25 % (6-7 ton/ha) hal ini 73
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 masih dapat ditingkatkan lagi menjadi 3 kali lipat 12-20 ton/ha. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan Motivasi Kelompoktani Tirtoharjo di Desa Sidowayah dan Kelompoktani Trunomulyo di Desa Ngadimulyo terhadap Teknologi Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO) METODOLOGI Lokasi dan Waktu Kegiatan kajian akan dilaksanakan di dua lokasi yaitu kelompok tani Tirtoharjo Desa Sidowayah Kecamatan Beji dan kelompoktani Trunomulyo Desa Ngadimulyo Kecamatan Sukorejo Kabupatan Pasuruan Provinsi JATIM. Waktu pelaksanaan kajian dimulai tanggal 25 April sampai dengan 10 Juni tahun 2016. Metode Kajian Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode Deskriptif Analisis dan Metode Survei. Metode deskriptif yaitu melukiskan sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala obyek kajian dikemukakan melalui penyajian data hasil analisis berupa Modus (Mo), Median (Md), Mean (Me), dan Rentang Data yang disusun dalam bentuk distribusi 74
frekuensi serta menampilkan tabel, grafik, diagram,. Sedangkan metode survei adalah mengambil data menggunakan kuesioner sebagai alat untuk mengumpulkan informasi selanjutnya di uji dengan uji statistik Test Kolmogorov-Smirnov Populasi dan Sampel Populasi dalam kajian ini adalah 102 orang terdiri dari 50 orang dari kelompoktani Tirtoharjo di Desa Sidowayah dan 52 orang kelompoktani Trunomulyo Desa Ngadimulyo. Sedangkan jumlah sampel yang diambil dalam kajian ini terdiri dari 20 orang kelompoktani Tirtoharjo dan 20 orang kelompok tani Trunomulyo. Jumlah keseluruhan sampel 40 orang dari 102 anggota pupulasi. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara memilih petani yang mengetahui informasi IPAT-BO (Purpossive Sampling) Teknik pengambilan sampel dalam kajian ini dilakukan dengan cara Porposive Sampling, yaitu pengambilan sampel secara sengaja berdasarkan tujuan kajian yaitu memilih orang-orang tertentu. Atinya sampel yang diambil hanya individu yang terlibat dan mengetahui kegiatan Demonstrasi Farmer (DEMFARM) Teknologi Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis
Romadi, Sawitri, Alimunur, Motivasi Petani, Intensifikasi,,, Organik (IPAT-BO). Responden (anggota populasi) yang tidak terlibat dan tidak mengetahui informasi tidak dijadikan sebagai sampel.
motivasi yang diperoleh dari kuesioner dengan penerapan teknologi IPAT-BO dalam usahatani padi yang dilakukan petani
Metode Pengumpulan Data 1) Angket (Quisionnare) Pertanyaan terstruktur yang dituangkan dalam lembaran yang telah disusun dan di uji validitas dan realibilitasnya dan memberikan skor atau penilaian terhadap pertanyaan tersebut. 2) Wawancara (Interview) Menggali informasi untuk menghimpun bahan-bahan dengan komunikasi dua arah atau lebih dengan berkunjung kerumah, kelokasi lahan pertanian atau anjang sana, obrolan sore dan kegiatan sejenisnya. Wawancara dilkaukan dengan anggota POKTAN Tirtoharjo di Desa Sidowayah dan POKTAN Trunomulyo di Desa Ngadimulyo dilakukan dengan teknik wawancara tidak terstruktur atau berjalan apa adanya, informasi dicatat dan dikumpulkan menjadi sumber data kajian. 1) Observasi Observasi dilakukan dengan cara mengamati atau merefleksi yaitu mencatat tingkah-laku individu dalam kegiatan usahatani, sesuai situasi yang sebenarnya untuk mendapatkan data, sejauh mana keselarasan antara
Skala Pengukuran Skala yang digunakan adalah prosedur likert sejumlah soal disusun yang dijawab oleh responden dari gradasi nilai yang bergerak sangat positif sampai sangat negatif, atau sebaliknya bergerak dari sangat negatif ke sangat positif dapat berupa kata-kata antara lain: Sangat setuju (SS), Setuju (S), Netral (N), Kurang Setuju (KS), Sangat Kurang Setuju (SKS). Untuk analisis dapat diberi skor: 5 , 4 , 3, 2 , 1. Jawaban yang diperoleh tersusun sesuai angka-angka total individu dalam kelompok menjadi kategori data ordinal. Teknik Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah test kolmogorov-smirnov dua sample, tes ini digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel independen, bila datanya berbentuk ordinal yang tersusun pada tabel distribusi frekuensi kumulatif dengan menggunakan kelas-kelas interval dihitung menggunakan rumus sebagai berikut. D = Maksimum [ Sn₁ (X) - Sn₂ (X) ] 75
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Keterangan : D = Selisih Sn1 (X) = Nilai Sampel A Sn2 (X) = Nilai Sampel B HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Deskriptif Hasil kajian yang diperoleh melalui kuesioner sejumlah 20 butir pertanyaan, masing-masing 20 orang
responden di dua lokasi kajian, nilai motivasi yang diperoleh pada kedua kelompok responden bervasiasi menurut angka-angka modus, median, mean dan rentang data. Untuk dapat memberi interpretasi tentang motivasi maka nilai motivasi menurut indikator butir pertanyaan akan diulas pada Tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 1. Rekapitulasi Nilai Motivasi Menurut Butir Soal Nilai Butir Soal POKTAN
∑ 1
2
3
4
5
6
7
8
Rara²
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Tirtoharjo
90 80 75 80 71 79 69 70 80 82 74 78 69 80 80 78 85 51 73 66 1.510
75,5
Trunomulyo
81 82 83 83 80 79 83 83 81 80 79 77 80 85 79 84 77 56 84 74 1.590
79,5
Nilai motivasi yang ada pada Tabel 1 merupakan nilai rata-rata tiap butir soal untuk setiap responden yang bergradasi sesuai dengan interpretasi setiap indikator jawaban yang telah ditabulasi sehingga memperoleh jawaban total untuk responden Tirtoharjo 1.510 dengan rata-rata 75,5 dan responden Trunomulyo total 1.590 dengan ratarata 79,5. Dari 20 butir soal motivasi terbagi menjadi 10 soal untuk dimensi motivasi intrinsik dan 10 butir soal untuk dimensi ekstrinsik, akan dibahas masing-masing 10 butir soal menurut dimensi tersebut. 76
1) Motivasi Intrinsik Dimensi motivasi intrinsik terdiri dari tujuh indikator yakni. 1) Tanggung Jawab 2) Mempunyai Target dalam usaha 3) Tujuan yang jelas. 4) Adanya umpan balik 5) Rasa senang 6) Ungguli orang lain 7) Prestasi. Kemudian indikator tersebut dikembangkan menjadi 10 butir pertanyaan yang dapat diamati dari aspek dimensi motivasi intrinsik. Jawaban 20 orang responden digambarkan pada Tabel 2 sebagai berikut:
Romadi, Sawitri, Alimunur, Motivasi Petani, Intensifikasi,,, Tabel 2. Nilai Motivasi Intrinsik Dua Kelompok Responden Nilai Jawaban
POKTAN
∑
Rata ²
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tirtoharjo
90
80
75
80
71
79
69
70
80
82
776
77,6
Trunomulyo
81
82
83
83
80
79
83
83
81
80
815
81,5
Untuk mengetahui modus (Me) Median (Md) Mean (Me) dan Rentang (R) data kedua kelompok responden yang ada pada Tabel 2 POKTAN Tirtoharjo
maka perlu disusun dari angka yang terkecil hingga angka yang terbesar sebagai beriku:
=
69
70
71
75
79
80
80
80
82
90
POKTAN Trunomulyo =
79
80
80
81
81
82
83
83
83
83
Angka tertinggi yang dapat diperoleh dari 10 pertanyaan dengan 5 pilihan akan mendapat nilai 100 sedangkan angka terendah adalah 20. Dengan demikian POKTAN Tirtoharjo memiliki nilai modus (MO) 80 Median (Md) 75, mean (Me) 77,6 dan rentang 90 - 67 = 21. Disisi lain responden POKTAN Trunomulyo memiliki nilai Modus (Mo) = 83. Median (Md) 81,5 Mean (Me) 81,5 dan Rentang (R) 83 79 = 4 . dari rentang data antara kedua kelompok maka kelompok Tirtoharjo untuk dimensi variabel motivasi intrinsik memiliki jawaban yang lebih bervariasi dari pada kelompok Trunomulyo dengan angka Rentang (R) 21 berbanding 4. Untuk melihat gradasi menurut diagram garis dapat disajikan pada Gambar 1 berikut:
Gambar 1. Garis Kurva Motivasi Intrinsik Dua Responden Gradasi garis yang bergerak maju dari soal nomor 1 sampai dengan soal nomor 10 pada Gambar 1, untuk POKTAN Tirtoharjo (garis warna biru) diawali nilai sangat tinggi yaitu 90 pada soal pertama dengan idikator tanggung jawab, selanjutnya membentuk kurva turun ke angka 3 dan 5 dengan indikator “Bekerja dengan target yang jelas dan tujuan yang jelas” sampai pada angka 7 dan 8. Hal ini menunjukkan dinamika 77
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 garis nilai motivasi intrinsik pada kelompok Tirtoharjo bergerak lebih rendah dibawah kelompok Trunomulyo (garis warna biru). Kedua garis tersebut menujukan kelompok Tirtoharjo (garis warna biru) memiliki variasi nilai motivasi intrinsik terhadap IPAT-BO cenderung lebih rendah pada angka 7 dan 8 dengan indikator “Rasa senang” dan “Ungguli orang lain”.
Dimensi motivasi ekstrinsik ini dikembangkan menjadi 5 indikator yaitu 1) kebutuhan hidup dan kerja 2) Pujian 3) intensif 4) Perhatian 5) sarana. Selanjutnya indikator tersebut dikembangkan menjadi 10 butir pertanyaan, hasil yang diperoleh untuk 20 orang responden dua kelompok masing-masing sasaran kajian dengan nilai dimensi motivasi ektrinsiknya dapat di gambarkan pada Tabel 3 berikut ini:
2) Motivasi Ekstrinsik
Tabel 3. Nilai Motivasi Ekstrinsik Dua Kelompok Responden Nilai Jawaban
POKTAN
∑
Rata ²
66
734
73,4
74
775
77,5
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tirtoharjo
74
78
69
80
80
78
85
51
73
Trunomulyo
79
77
80
85
79
84
77
56
84
disusun dari angka yang terkecil hingga angka yang terbesar sebagai beriku.
Untuk mengetahui nilai Modus (Me) Median (Md) Mean (Me) dan Rentang (R) nilai kedua kelompok responden pada Tabel 3 perlu POKTAN Tirtoharjo
=
51
66
69
73
74
78
78
80
80
85
POKTAN Trunomulyo =
56
74
77
77
79
79
80
84
84
85
Angka tertinggi yang dapat diperoleh dari 10 pertanyaan dengan 5 pilihan akan mendapat nilai 100 sedangkan angka terendah adalah 20, untuk POKTAN Tirtoharjo memiliki nilai yang sering muncul atau Modus (MO) 78 dan 80. nilai tengah atau Median (Md) 74+78=76, nilai rerata atau Mean (Me) 73,4 dan Rentang (R) 78
85 - 51 = 34. Disisi lain responden POKTAN Trunomulyo memiliki nilai Modus (Mo) = 77, 79, 84, nilai tengah atau Median (Md) 79, Mean (Me) 77,5 dan Rentang (R) 85 - 56 = 29. Dalam hal ini kelompok Tirtoharjo untuk dimensi variabel motivasi ekstrinsik memiliki jawaban yang lebih bervariasi dari pada kelompok
Romadi, Sawitri, Alimunur, Motivasi Petani, Intensifikasi,,, pertanyaan 9 dan 10 yaitu “ketersediaan bahan baku ternak dan ketersedaian sarana/fasilitas belajar” naik, terhadap teknologi Intesifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO)
Trunomulyo dengan angka Rentang (R) 34 berbanding 29. gradasi diagram garis dapat disajikan pada Gambar 2:
3) Deskriptif Motivasi Secara Komprehensif Perbandingan motivasi secara komprehensif yang dimaksud adalah setelah dilakukan analisis secara terpilah dari dua dimensi yaitu dimensi intrinsik dan dimensi ekstrinsik maka untuk Deskriptif Motivasi Secara Komprehensif ini dapat memberi ilustrasi secara garis besar tentang gambaran motivsi antara kedua kelompok respoden. Hal ini akan dianalisis berdasarkan nilai ratarata individu yang ditotal untuk memperoleh nilai rerata masingmasing responden. Nilai variabel motivasi secara menyeluruh berdasarkan 20 jumlah butir pertanyan dua kelompok sasaran kajian dapat dideskriptifkan seperti tercantum dalam Tabel 4 sebagai berikut:
Gambar 2. Garis Kurva Motivasi Ekstrinsik Dua Responden Garis kurva untuk POKTAN Tirtoharjo (garis warna biru) pada soal nomor 3 sedikit menurun sedangkan untuk POKTAN Trunomulyo sedikit naik, dengan indikator pertanyaan “rasa senang adanya pujian”. Garis kurva nomor 4 sampai dengan soal nomor 7 tidak menunjukan variasi yang berbeda, namun pada garis kurva nomor 8 untuk motivasi ekstrinsik ini kedua kelompok responden memberikan jawaban angka yang sama-sama menurun dengan indikator pertanyaan “bekerja karena adanya perhatian”, dan pada indikator butir
Tabel. 4. Distribusi Komparasi Nilai Motivasi No
Kelompok
Nilai Jawaban Respoden 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11 12
13
14
15 16 17 18 19 20
rata²
1
Tirtoharjo
73 75 78 79 77 76 75 82 79 81
76 67
76
67
69 74 76 83 75 72
75,5
2
Trunomulyo
72 83 72 71 92 77 76 79 74 69
86 86
81
79
81 82 85 92 68 85
79,5
79
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Menginterpretasikan distribusi nilai variabel motivasi kelompok Tirtoharjo dan kelompok Trunomulyo POKTAN Tirtoharjo
pada Tabel 4. selanjutnya dapat diurutkan dari yang terkecil sampai yang terbesar sebagai berikut.
=
67 67 69 72 73 74 75 75 75 76 76 76 76 77 78 79 79 81 82 83
POKTAN Trunomulyo =
68 69 71 72 72 74 76 77 79 79 81 81 82 83 85 85 86 86 92 92
Berdasarkan keterangan nilai yang telah diurutkan ini dimensi maka variabel motivasi yang diamati, dengan jumlah pertanyaan 20 butir soal menggunakan pilihan jawaban skala likert lima (5 opsion), mempunyai skor teoretik antara 20 sampai 100. maka skor empirik untuk POKTAN Tirtoharjo menyebar dari skor terendah 67 sampai skor tertinggi 83 dengan skor total yaitu 1.510 memilik Modus (Mo) 75,5, Median (Me) 76, Mean (Me) 75,6 dan Rentang (R) 83-67 = 16. Sedangkan untuk POKTAN Trunomulyo skor terendah 68 skor tertinggi 92 dengan skor total 1.590 memiliki nilai Modus (Mo) 72, 79, 81, 85, 86, dan 92. Median (Me) 79+81/2 = 79,5, ratarata (Me) 79,5 dan Rentang (R) 92-68 = 24. Interpretasi nilai kedua kelompok responden, variabel motivasi terhadap teknologi Inten-sifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO) POKTAN Trunomulyo lebih bervariasi dari pada POKTAN Tirtoharjo dengan Rentang (R) 24
80
berbanding 16. Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada gambar 3:
Gambar 3. Perbandingan Motivasi dua kelompok Responden Variasi garis pada Gambar 9 bahwa POKTAN Trunomulyo (garis warna merah) lebih berdinamika kurvanya dibandingkan dengan POKTAN Tirtoharjo (warna biru). Hal ini dapat diperhatikan mulai responden nomor 5 memiliki nilai sekitar 92 menunjukkan nilai tertinggi, kemudian bergerak menurun sejajar dengan garis biru kemudian naik mulai responden 11 sampai responden no 18. Secara keseluruhan masing-masing 20 orang responden kelompoktani Trunomulyo memiliki
Romadi, Sawitri, Alimunur, Motivasi Petani, Intensifikasi,,, jawaban lebih tinggi dan bervariasi dari kelompoktani Tirtoharjo, selisih nilai rerata motivasi kedua responden 79,5-75,5 = 4 dari hasil jawaban kuesioner dari 20 soal yang dijawab untuk kedua kelompotani rata-rata berada pada nilai 77,5. Artinya motivasi kelompoktani di dua lokasi sangant tinggi. Sedangakan dikaji dari hasil observasi dan wawancara pada kenyataannya motivasi dapat dikatakan masih rendah dalam penerapan teknologi IPAT-BO dengan alasan berbagai faktor penyebab antara lain adalah kendala ekonomi, faktor sosial, faktor budaya, pengetahuan, faktor karakteristik lahan dan sebagainya. Analisis Kolmogorov-Smirnov 1) Komparasi (Perbedaan) Motivasi Petani Terhadap Teknologi IPATBO Sesuai metode analisis yang telah ditetapkan dalam kajian ini yaitu menggunakan uji KolmogorovSmirnov dengan maksud mencari perbedaan motivasi antara dua sampel independen (sampel tidak berpasangan). Untuk menganalisis perbedaan motivasi petani terhadap teknologi IPAT-BO. Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner kepada 40 responden kajian yang berada di dua
lokasi masing-masing POKTAN Tirtoharjo 20 orang dan POKTAN Trunomulyo 20 orang. Hasil jawaban kuesioner sejumlah 20 nomor pertanyaan, nilai yang telah diperoleh ditabulasi selanjutnya disusun dalam tabel distribusi. Prosedur analisis komparatif nilai motivasi dua kelompok dibahas berdasarkan nilai pada tabel 5 berikut ini: Tabel 5. Distribusi Nilai Motivasi Dua Kelompok Responden Nilai Variabel Motivasi Nomor Responden
Jumlah
Poktan Tirtoharjo
Poktan Trunomulyo
∑
∑
Rerata
Rerata
1
73
3,7
72
3,6
2
75
3,8
83
4,2
3
78
3,9
72
3,6
4
79
4,0
71
3,6
5
77
3,9
92
4,6
6
76
3,8
77
3,9
7
75
3,8
76
3,8
8
82
4,1
79
4,0
9
79
4,0
74
3,7
10
81
4,1
69
3,5
11
76
3,8
86
4,3
12
67
3,4
86
4,3
13
76
3,8
81
4,1
14
67
3,4
79
4,0
15
69
3,5
81
4,1
16
74
3,7
82
4,1
17
76
3,8
85
4,3
18
83
4,2
92
4,6
19
75
3,8
68
3,4
20
72
3,6
85
4,3
1510
75,5
1590
79,50
81
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Data yang ada pada Tabel 5 selanjutnya di masukkan kedalam tabel distribusi frekuensi komulatif masing-masing nilai motivasi POKTAN Tirtoharjo dan nilai motivasi POKTAN Trunomulyo. Karena disini nilai terendah dari jawaban soal adalah 20 dan nilai tertinggi 80 maka disusun berdasarkan panjang kelas interval, frekuensi komulatif sesuai dengan batas atas nilai dan batas bawah nilai seperti tertera pada Tabel 6 berikut: Tabel 6. Distribusi Frekuensi Komulatif Motivasi POKTAN Tirtoharjo No
Interval
Frekuensi
Komulatif
1
20 - 31
0
0
2
32 - 43
0
0
3
44 - 55
0
0
4
56 - 67
2
2
5
68 - 80
18
20
ada pada Tabel 6 dan Tabel 7, nilai kumulatifnya dinyatakan dalam bentuk proporsional, jadi semuanya dibagi dengan n. Dalam hal ini n₁ dan n₂ sama yaitu 20 sesuai dengan jumlah masing-masing responden yang dikomparasikan. Selanjutnya angka kedua responden disusun dalam tebel interval dengan lajur berlambang S 20 A dan lajur S 20 B, untuk mencari selisih kedua angka responden dengan lambang Sn₁A Sn₂ B. Langkah-langkah pengujian dengan Kolmogorov - smirnov untuk pengujian yang dimaksud adalah ditampilkan pada Tabel 8 sebagai berikut: Tabel 8. Komparatif Motivasi Penyajian Kolmogorov – Smirnov Interval Nilai Pengetahuan Kelompok
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Komulatif Motivasi POKTAN Trunomulyo
S 20 (A) S 20 (B)
No
Interval
Frekuensi
Komulatif
1
20 - 31
0
0
2
32 - 43
0
0
3
44 - 55
0
0
4
56 - 67
0
0
5
68 - 80
20
20
Langkah selanjutnya untuk pengujian dengan kolmogorovsmirnov maka distribusi frekwensi komulatif motivasi POKTAN Tirtoharjo dan POKTAN Trunomulyo yang 82
Sn₁A - Sn₂B
2031 0 0
0/20
3243
4455
5667
6880
0 0
0 0
2 0
18 20
0/20
0/20
2/20
2/20
Berdasarkan perhitungan Tabel 8 tersebut terlihat selisih yang terbesar adalah Sn₁A - Sn₂B = 2/20 hal ini pembilang (KD) = 2. Harga ini selanjutnya dibandingkan dengan harga KD tabel. Pada kesempatan ini pengujian hipotesis taraf kesalahan α = 5 % dan n = 20 maka harga KD
Romadi, Sawitri, Alimunur, Motivasi Petani, Intensifikasi,,, hitung = 2 sedangkan harga KD tabel = 8 Karena harga KD hitung lebih kecil dari harga KD tabel maka Ho diterima dan Ha ditolak. Kesimpulannya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara Motivasi POKTAN Tirtoharjo dan POKTAN Trunomulyo terhadap teknologi Intesifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPATBO). Hasil Wawancara dan Observasi Hasil wawancara dan observasi menunjukan motivasi rendah, karena pada kenyataanya pendekatan sisitem IPAT-BO hasil DEMFARM Tahun 2015 belum bisa diadopsi, karena untuk mengadopsi sebuah teknologi bagi petani memerlukan proses yang lama, salah satu penyebabnya adalah akibat kebiasaan cara bertani yan dianut sudah mengakar dan membudaya, dari hasil wawancara dan pengamatan dalam kajian dapat digambarkan, mengapa petani tidak serta merta mengadopsi teknologi yang ditawarkan. Ada beberapa keterangan yang diberikan oleh petani di dua lokasi. Menerapkan suatu teknologi baru tentunya banyak resiko yang perlu dipertimbangkan antara lain :
1) Faktor Ekonomi : Teknologi IPAT-BO ini dapat meningkatkan hasil produksi dan produktifitas tapi akan berimbas pada peningkatan biaya produksi, berpetani hanya sebagai usaha sampingan saja sehingga kurang memperhatikannya, karena banyak penghasilan diperoleh dari usaha lain dari pada hasil yang diperoleh dari berusahatani karena lahan kami sempit. 2) Faktor sosial : Teknologi IPAT-BO mengembalikan jerami sebagai input lokal, sementara jerami padi dibutuhkan petani ternak, “Jika kami mengembalikan jerami kelahan maka petani ternak akan kesulitan pakan ternaknya”. Petani yang memliki lahan luas hanya sedikit, kebanyakan petani di dua lokasi adalah petani gurem dan petani penggarap sehingga hal ini menyebabkan mereka tidak berani menggambil resiko jika menerapkan teknologi baru 3) Faktor budaya : Kebiasaan pola bertani sulit untuk berubah bahkan cara bertani yang mereka lakukan dianggap sudah benar dan paling tepat menurut
83
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 mereka, adanya juga yang berpendapat karena sifat malas untuk berubah. Kebiasaan lain dalam usahatani mereka adalah jerami biasanya dibakar karena menghalangi saat singkal atau pembajakan lahan. 4) Faktor Pengetahuan, mereka tidak tau mengolah jerami menjadi pupuk dan bagaimana cara pengomposan yang cepat agar bisa langsung digunakan dan diserap oleh tanaman sementara jerami baru bisa hancur tahun depan, hal ini menghambat mereka mengembalikan jerami pada lahan sawah sehingga jerami dibakar atau dibiarkan saja dipinggir pematang. 5) Faktor Keterbukaan terhadap teknologi: Masih kurangnya jumlah inovator dikedua wilayah, keolompok tani tersebut baru tahap sadar dan minat, mengingat teknologi IPAT-BO baru masuk tahun 2015. 6) Faktor Kesesuaian Lahan : Membuat parit yang banyak dan tidak digenangi air akan menyebabkan banyaknya gulma yang tumbuh dan banyak biaya penyiangan dan sulit buat parit karena kondisi tanah sangat becek.
84
KESIMPULAN Hasil analisis deskriptif untuk POKTAN Tirtoharjo memiliki skor total 1.510. nilai Modus (Mo) 75,5, Median (Md) 76, Mean (Me) 75,6 dan Rentang (R) 83-67 = 16. Untuk POKTAN Trunomulyo skor total 1.590, nilai Modus (Mo) 72, 79, 81, 85, 86, dan 92. Median (Md) 79,5, Mean (Me) 79,5 dan Rentang (R) 24. Berdasarkan analisis KolmogorovSmirnov nilai KD hitung lebih kecil (2/10 = 0,1) dari nilai Tabel KD untuk taraf kesalahan 5 % = 0,4. Karena nilai KD hitung tidak mampu melewati nilai KD Tabel maka tidak terdapat perbedaan motivasi POKTAN Tirtoharjo dan POKTAN Trunomulyo terhadap teknologi Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO) DAFTAR PUSTAKA Abdulrachman S. DKK, 2008. Modul Pemupukan Padi Sawah Spesifik Lokasi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian IRRI. Anonymous, 2013. Kiat Tingkatkan Produksi Padi PT Trubus Swadaya Wisma Hijau Jakarta. Anonymous, 2016. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Karya Ilmiah Penugasan Akhir (KIPA) Sekolah Tinggi Penyuluhan Perta-
Romadi, Sawitri, Alimunur, Motivasi Petani, Intensifikasi,,, nian (STPP) Malang Tahun Akademik 2015/2016 Arikuntu S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek PT. Rineka Cipta. Jakarta. _________,2006. Undang-Undang Nomor : 16 tahun 2006 tentang Sistim Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. (SP3K). _________,2009. Permentan, No. 25, Tahun 2009. Tentang Pedoman Penyusunan Programa Penyuluhan Pertanian. _________,2009. Permentan, No. 52, Tahun 2009. Tentang Metode Penyuluhan Pertanian. Ban, VD., A.W., dan Hawkins HS., 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius. Yogyakarta. Dermiyati, 2015. Sistem Pertanian Organik Berkelanjutan Plantaxia Ruko Jambusari 7A Yokyakarta. Harsuko Riniwati, 2011. Mendongkrak Motivasi Dan Kinerja Pendekatan Pemberdayaan SDM Universitas Brawijaya Press Malang. Hamzah Uno B., 2011. Teori Motivasi & Pengukuranya Analisis Di Bidang Pendidikan PT. Bumi Aksara Jakarta
Herawati. W.D, 2012. Budidaya Padi JAVALITERA Depok Sleman Jogjakarta 55282 Herny E.I, 2011. jurnal Swasembada Berbasis Organik Melalui Metode Intensifikasi Padi Aerob Terkendali (Ipad-Bo) Seminar Nasional Inovasi Teknologi Universitas Samratulangi Sulawesi Utara Herrhyanto N dan Gantini T, 2015. Analisis Data Kuantitatif Dengan Statistika Deskriptif Grama widya Jakarta. Kartasapoetra. A.G, 1993. Teknologi Penyuluhan Pertanian Bumi Aksara Jakarta Anggota IKAPI. Ningtias EM, 2012. Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAD-BO) Universitas Widiagama Malang. Padmowihardjo S., 2002. Evaluasi Penyuluhan Pertanian Universitas Terbuka Departemen Pendidikan Nasional RI Jakarta Padmowihardjo S., 2001. Metode Penyuluhan Pertanian Pusat Penerbitan Universitas Terbuka Departemen Pendidikan Nasional Jakarta. Padmowihardjo S., 2001. Media Penyuluhan Pertanian Pusat Penerbitan Universitas Terbuka Depdiknas Jakarta.
85
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Purwanto N., 1991. Psikologi Pendidikan. – rev, ed Remaja Rosda Karya Offset, Bandung. Rachman S, 2012. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif Dan Berkelanjutan Percetakan Kanisius Yogyakarta. Samsudi U., 1987. Dasar-Dasar Penyuluhan Dan Modernisasi Pertanian Bina Cipta Jakarta Siagian, P.S., 1995. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Rineka Cipta. Jakarta. Simarmata T DKK, 2012. Teknik Pengaturan Air Pada Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAD-BO) Universitas Padjadjaran Bandung. Singarimbun M. dan Sofian E, 1989. Metode Penelitian Survai – rev, ed. Jakarta : LP3ES Siagian P., 2012. Teori Motivasi Dan Aplikasinya Rineka Cipta Jakarta.
86
Sjechnadarfuddin., 2012. Kriteria Kesesuian Tanah dan Iklim Tanaman Pertanian. Suplemen Praktek Kerja Lapangan (PKL) Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Malang. Sugyono, 2013. Metode Penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif kualitatif dan R & D. ALFABETA, Bandung Sumanto, 2014. Statistika Terapan CAPS (center of academic publishing service) Jakarta Supriyanto S.S. dan Maharani V, 2013. Metodologi penelitian Manajemen Sumber Daya Manusia UIN-MALIKI Malang. Winardi J., 2004. Motivasi & Pemotivasian Dalam Manajemen Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Persada JAKARTA.
STRATEGI PENGEMBANGAN KESIAPSIAGAAN BENCANA DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MALANG JAWA TIMUR (Studi Kasus Tim Siaga Bencana Berbasis Masyarakat dalam Sosialisasi Manajemen Bencana) 1)
Budi Sawitri1), Zaini Rohmad 2), Ismulhadi3) Dosen STTP Malang, 2) Dosen Penyuluhan Pembangunan Pascasarjana UNS, 3) Dosen STTP Malang
[email protected] Abstract
Goal of this research were :(1) describe the situation and conditions SIBAT Teamin the disaster management socialization and (2) analyze alternative development strategy formulation SIBAT teamin disaster preparedness and emergency response. The research was conducted in PMI of Malang Regency, using the mixing method witha case study approach. Determination samples selected intentionally and certain considerations. The technique used non probability sampling with purposive sampling method. Techniques of data analysis refers to the Miles and Huberman and analysis with management strategy approach using IFE and EFE matrixat the input stage, I-Ematrix and SWOT phase matching, and QSPM matrix at the decision phase. The research results showed that(1) the physical resources condition of sufficient to support the task SIBAT teamand the diversity background levels influence the level of human resources SIBAT Team in disseminating disaster management, (2) culture in society describe the mitigation measures that do tend to be shaped rituals "Javanese", but community was also able to take advantage of local knowledge in emergency respon. (3) the management aspects ofthe SIBAT team condition has not implemented the basic functions of management which resulted in Team SIBAT conditions experienced uncertainty, (4) cooperation established with relevant agencies in order to research and development organization, (5) economic background conditions (low levels of income) affect performance SIBAT team, (6) the area characteristics based onsocial conditions cultural are so complex that the region has led toavariety of potential disasters, (7) political conditions did not affect the SIBAT team condition but in the execution of his duty, SIBAT Team got good support from local and central government, (8) the use of technology in disaster detection is simple, (9) the presence of other organizations working inthe humanitarian fiel disrelations in the context of disaster management. Based onthe results ofthe strategy preparation draft beto createan alternative strategy of increased expertise (skills) and refreshment SIBAT teamin the form of practical theory is continuous. Recommended program saresequences and integrative activities and referring to the overall achievement of the visionand mission including organizational goalsset by the organization. Keywords: community development, development strategy, disaster management, socialization, SIBATteam.
87
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan situasi dan kondisi Tim SIBAT dalam sosialisasi manajemen bencana dan (2) menganalisis penyusunan alternatif strategi pengembangan Tim SIBAT dalam kesiapsiagaan dan tanggap darurat bencana. Penelitian dilakukan di PMI Kabupaten Malang, menggunakan mixing methode dengan pendekatan studi kasus. Penentuan sampel dipilih secara sengaja dan pertimbangan tertentu. Teknik yang digunakan nonprobability sampling dengan metode purposive sampling. Teknik analisis data mengacu pada Miles dan Huberman dan analisis dengan pendekatan manajemen strategi menggunakan matriks IFE dan EFE pada tahap input, matriks I-E dan SWOT pada tahap pencocokan, dan matriks QSPM pada tahap keputusan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kondisi sumberdaya fisik cukup memadai dalam menunjang tugas Tim SIBAT dan keberagaman tingkat latar belakang berpengaruh pada tingkat sumberdaya manusia Tim SIBAT dalam mensosialisasikan manajemen bencana, (2) budaya di masyarakat menggambarkan langkah mitigasi yang dilakukan cenderung bersifat “kejawen” berbentuk ritual-ritual, tetapi masyarakat juga mampu memanfaatkan kearifan lokal dalam tanggap darurat bencana, (3) pada aspek manajemen kondisi Tim SIBAT belum menerapkan fungsi-fungsi dasar manajemen yang mengakibatkan kondisi Tim SIBAT mengalami ketidakpastian, (4) kerjasama dibangun dengan instansi terkait dalam rangka penelitian dan pengembangan organisasi, (5) kondisi latar belakang ekonomi (rendahnya tingkat pendapatan) mempengaruhi kinerja Tim SIBAT, (6) karakteristik wilayah berdasarkan kondisi sosial budaya yang begitu kompleks menyebabkan wilayah ini memiliki potensi bencana yang beragam, (7) kondisi politik tidak berpengaruh terhadap kondisi Tim SIBAT tetapi dalam pelaksanaan tugasnya, Tim SIBAT mendapatkan dukungan baik dari pemerintah daerah maupun pusat, (8) penggunaan teknologi dalam mendeteksi bencana masih sederhana, (9) keberadaan organisasi lain yang bergerak di bidang kemanusiaan merupakan relasi dalam rangka penanggulangan bencana. Berdasarkan hasil rancangan penyusunan strategi tercipta strategi alternatif berupa peningkatan keahlian (skill) dan penyegaran Tim SIBAT dalam bentuk teori praktis yang bersifat kontinyu. Rekomendasi program kegiatan bersifat sekuensi dan integratif dan secara keseluruhan mengacu pada pencapaian visi dan misi serta tujuan organisasi yang telah ditentukan oleh organisasi tersebut. Kata kunci : manajemen bencana, pemberdayaan masyarakat, sosialisasi, strategi pengembangan, Tim SIBAT
ENDAHULUAN Kabupaten Malang adalah kabupaten terluas kedua di Pulau Jawa setelah Kabupaten Banyuwangi yang terletak di wilayah Jawa Timur.Sebagian besar wilayahnya berupa pegunungan. Melihat kondisi di atas, Kabupaten Malang memiliki potensi terjadi bencana. Potensi 88
bencana yang ada di Kabupaten Malang adalah erupsi Gunung Kelut dan Semeru, lahar dingin ataupun panas akibat kedua Gunung tersebut, banjir, longsor, angin puting beliung, gempa bumi dan tsunami. Selain bencana alam, kita dihadapkan pada persoalan krusial lainnya seperti kesehatan dan kemiskinan masya-
Sawitri, Rohmad , Ismulhadi, manajemen bencana,,,, rakat: pencegahan dan pemberantasan penyakit, masalah air dan sanitasi, kesejahteraan masyarakat rentan di daerah tertinggal, dan sebagainya. Fakta menunjukkan bahwa ketika terjadi bencana masyarakat seperti tidak siap untuk melakukan tindakan penanganan bencana. Hampir tidak ada sistem deteksi dini terhadap bencana yang bisa diakses langsung oleh masyarakat. Masyarakat hanya bergantung pada respon pemerintah yang seringkali tidak siap mengambil langkah yang taktis dan strategis. Perubahan paradigma penanggulangan bencana internasional dari fatalistic responsive yang terorientasi pada penanggulangan bencana kedaruratan sebagai respon akibat terjadi bencana, menuju kepada proactive preparadiness dimana penanggulangan bencana dilakukan sejak dini melalui kesiapsiagaan sampai dengan tahap pemulihan sosial. Perubahan ini membawa dampak terhadap perkembangan penanggulangan bencana di Indonesia. Program KBBM merupakan inisiatif PMI dengan memanfaatkan struktur organisasi yang ada. Pengembangan kapasitas terhadap para staf dan relawan PMI di segala tingkatan sangat penting guna
mencapai tujuan program serta kesinambungan jangka panjang. Merujuk dari program KBBM melalui Palang Merah Indonesia dibentuklah Tim Siaga Bencana Berbasis Masyarakat (Tim SIBAT).Tim SIBAT Di Kabupaten Malang ada sejak tahun 2004 dan merupakan Tim SIBAT pertama yang dibentuk di Indonesia dan berada dibawah naungan Palang Merah Indonesia Kabupaten Malang. Orientasi pembentukan Tim SIBAT berdasarkan wilayah rawan bencana di tiap kecamatan. Upaya penyadaran masyarakat akan dampak dan resiko bencana yang dilakukan Tim SIBAT juga tidak serta merta dapat diterima oleh masyarakat, hal ini dikarenakan masih kentalnya budaya masyarakat yang bersifat “kejawen” yang masih mengutamakan melakukan ritual untuk mengindari terjadinya bencana daripada melakukan tindakan nyata. Minimnya keanggotaan juga menjadi permasalahan utama dalam pengembangan Tim SIBAT. Rumusan Masalah Dalam penelitian ini dirumuskan masalah penelitian bagaimana situasi dan kondisi Tim SIBAT dalam mensosialisasi-kan manajemen bencana, bagaimana strategi pengembangan Tim SIBAT dalam kesiap89
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 siagaan dan tanggap darurat bencana. Penelitian ini bertujuan untuk: mendeskripsikan situasi dan kondisi Tim SIBAT dalam mensosialisasikan manajemen bencana, dan menganalisis penyusunan alternatif strategi Tim SIBAT dalam kesiap siagaan dan tanggap darurat bencana. TINJAUAN PUSTAKA Manajemen Strategi Manajemen strategis dapat didefinisikan sebagai seni dan pengetahuan dalam merumuskan, mengimplementasikan, serta mengevaluasi keputusan-keputusan lintas fungsional yang memampukan sebuah organisasi mencapai tujuannya. Manajemen strategis berfokus pada usaha untuk mengintegrasikan manajemen, pemasar an, keuangan / akuntasi, produksi/ operasi, penelitian dan pengembangan, serta sistem informasi computer untuk mencapai keberhasilan organisasional (David, 2009). Pemberdayaan Masyarakat Pendekataan pemberdayaan masyarakat yang berpusat pada manusia (people centered development) melandasi wawasan pengelolaan sumber daya lokal, yang merupakan mekanisme perencanaan 90
yang menekankan pada teknologi pembelajaran sosial dan strategi perumusan program.Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengaktualisasikan dirinya (Mardikanto, 2010).
KBBM-PERTAMA untuk SIBAT KBBM atau Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat adalah suatu kegiatan yang mengupayakan pemberdayaan kapasitas masyarakat agar dapat mengambil inisiatif dan melakukan tindakan dalam meminimalkan dampak bencana yang terjadi di lingkungannya. PERTAMA atau Pengurangan Risiko Terpadu Berbasis Masyarakat adalah upayaupaya pengurangan risiko yang dilakukan bersama-sama masyarakat yang mencakup seluruh sektor (lingkungan, ekonomi, psiko-sosial, dll). Kegiatan KBBM-PERTAMA bersifat partisipatif dan merupakan pendekatan lintas-sektoral untuk memobilisasi masyarakat agar mereka dapat mengupayakan sendiri meminimalkan dampak bencana di saat sebelum terjadinya bencana melalui langkah-langkah mitigasi dan pengurangan risiko yang ditujukan pada pengurangan kerentanan fisik,
Sawitri, Rohmad , Ismulhadi, manajemen bencana,,,, kerentanan sosio-ekonomi dan sebab-sebab yang tidak terduga. Sasaran KBBM-PERTAMA adalah seluruh warga masyarakat, khusus-
nya masyarakat yang rentan dan miskin di wilayah rawan bencana (Djaelani, 2008).
Kerangka Berpikir
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di PMI Kabupaten Malang pada bulan April sampai Juni 2013.Jenis penelitian yang digunakan yaitu kualitatif dan kuantitatif dengan pendekatan studi kasus.Metode kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan situasi dan kondisi Tim SIBAT dalam sosialisasi manajemen bencana.Analisis kemudian dilanjutkan dengan menggunakan metode kuantitatif untuk merumuskan strategi alternatif pengembangan Tim SIBAT. Data yang diperlukan adalah data primer dan data sekunder.Data primer dari hasil wawancara, observasi dan kuisioner. Data sekunder
dari data administratif dan dokumen dari sub bagian penanggulangan bencana. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Purposive sampling yaitu penentuan sampel dengan tujuan dan pertimbangan tertentu. Pada penelitian ini, sampel yang dipilih yaitu Kepala Seksi Pelayanan, Kepala Seksi Administrasi, Kepala Sub Seksi Penanggulangan Bencana, Komandan Tim SIBAT dan anggotanya yang secara keseluruhan berjumlah enam orang. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, observasi,studi dokumen, kuisioner dan diskusi.Uji validitas dengan triangulasi sumber 91
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 dan uji realibitas dengan teknik audit. Data dikumpulkan melalui wawancara dan observasi kemudian dilakukan reduksi data hingga pada penarikan kesimpulan. Penyusunan strategi dianalisis dengan menggunakan Matriks IFE, EFE, I-E, SWOT dan QSPM. HASIL DAN PEMBAHASAN DESKRIPSI SITUASI DAN KONDISI LINGKUNGAN INTERNAL TIM SIBAT Pandangan Berbasis Sumber Daya Sumberdaya manusia merupakan suatu proses pendayagunaan manusia sebagai tenaga kerja secara manusiawi, agar potensi fisik dan psikis yang dimilikinya berfungsi secara maksimal bagi pencapaian tujuan organisasi. Dari hasil analisis sumberdaya manusia yang dimiliki oleh Tim SIBAT, menunjukkan bahwa sumberdaya manusia Tim SIBAT sangat beragam.Hal ini dipengaruhi oleh beragamnya latar belakang pendidikan, pekerjaan, status sosial, dan lingkungan. Pada dasarnya upaya-upaya manusia itu bukan sesuatu yang statis, tetapi terus berkembang dan berubah, seirama dengan dinamika kehidupan manusia yanng berlangsung dalam kebersamaan sebagai suatu masyarakat. Jadi merupakan suatu kewajaran apabila ditemukan perbedaan pan92
dangan terhadap masalah.Seperti halnya pada kondisi Tim SIBAT, beragamnya tingkat sumberdaya manusia tidak dipandang sebagai permasalahan yang pelik, tetapi justru dijadikan sebagai motivasi dalam pengembangan sumberdaya manusia itu sendiri untuk menuju keunggulan bersaing.Senada dengan yang disampaikan Pakaya (2011) bahwa pada hakekatnya peranan sumber daya manusia tidaklah dapat diabaikan dalam mencapai competitive advantage.Hal ini dikarenakan sumberdaya manusia memiliki peran strategis dalam perumusan tujuan, perumusan strategi, dan implementasi strategi organisasi. Penyatuan Budaya dan Strategi Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh, bersifat kompleks, abstrak dan luas.Zamroni (2011), mengatakan bahwa masyarakat Jawa memiliki sejumlah kearifan lokal dalam menanggulangi bencana.Begitu pula dengan filsafat kehidupan masyarakat Jawa yang menekankan aspek harmoni, ketentraman dan kenyamanan, merupakan bagian dari usaha secara sinergis
Sawitri, Rohmad , Ismulhadi, manajemen bencana,,,, untuk pengurangan resiko bencana. Sampai saat ini di kalangan kejawen masih teguh memegang kearifan lokal yang merupakan warisan nenek moyang. Mereka juga melakukan ritual agar tidak terjadi bencana. Bencana bagi komunitas kejawen merupakan cermin ketidak harmonisan hubungan manusia dan alam.Manusia banyak melakukan perbuatan sembrono, sehingga alam “murka”. Senada dengan kondisi di wilayah Kabupaten Malang dimana masyarakat di wilayah rawan bencana rata-rata memiliki sifat kejawen.Unsur kejawennya yang begitu kental membuat semua bentuk tindakan dalam pengurangan resiko bencana dilakukan dengan ritual-ritual. Dalam sistem penanggulangan bencana pun masyarakat juga masih menggunakan kearifan lokal.Merujuk dari kondisi lingkungan yang seperti itu keberadaan Tim SIBAT menjadi sangat penting dalam mensosialisasikan kesiapsiagaan dan tanggap darurat bencana yang dilakukan dalam aksi nyata. Manajemen Manajemen didefinisikan sebagai bekerja dengan orang-orang untuk menentukan, menginterpretasikan dan mencapai tujuan-tujuan
organisasi dengan melaksanakan fungsi-fungsi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengelolaan (actuiting), dan pengawasan (controlling). Asmarani (2006) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi dalam perencanaan strategis diantaranya 1) faktor manajerial yaitu keahlian manajerial, keyakinan manajerial, dan profesionalitas staf, 2) faktor lingkungan yaitu kompleksitas lingkungan, perubahan lingkungan dan dukungan lingkungan, 3) kultur organisasi yaitu keterlibatan, konsistensi dan komitmen organisasi. Pada aspek manajemen Tim SIBAT belum secara keseluruhan melaksanakan fungsi-fungsi manajemen. Tidak terlibatnya Tim SIBAT dalam perencanaan di PMI Kabupaten Malang menyebabkan Tim SIBAT kesulitan ketika akan menjabarkan kegiatan dan dalam langkah sosialisasi dan advokasi tentang kebencanaan. Tidak berfungsinya pengorganisasian dikarenakan pasang surutnya keanggotaan dalam Tim SIBAT.Pelaksanaan kegiatan Tim SIBAT di lapangan juga belum terkondisikan dengan baik, sampai dengan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh PMI Kabupaten Malang juga belum maksimal. Hal ini mengakibatkan kondisi Tim SIBAT 93
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 mengalami ketidakpastian, dikarenakan belum adanya kerjasama dari setiap unsur atau komponen dalam pelaksanaan fungsi dasar manajemen. Seperti yang disampaikan Dalimunthe (2003) bahwa manajemen itu sendiri merupakan suatu sistem, dimana setiap komponen atau elemen yang ada memberikan sesuatu, menampilkan sesuatu menurut kebutuhan dan fungsinya. Hal ini dapat tercapai dengan suatu kerjasama yang baik antara komponen manajemen. Penelitian dan Pengembangan Penelitian dan pengembangan merupakan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan obyektif yang disertai dengan kegiatan mengembangkan suatu program untuk memecahkan suatu persoalan yang dihadapi.Dalam aspek penelitian dan pengembangan PMI Kabupaten Malang telah banyak menerima permohonan dalam rangka penelitian tentang manajemen kebencanaan.Kerjasama yang dibangun ini merupakan langkah awal dalam pengembangan manajemen bencana di Kabupaten Malang dan perlu ditindaklanjuti untuk meningkatkan kapasitas di PMI Kabupaten Malang. Seperti kajian 94
yang dilakukan Taufik (2011) terkait dengan aplikasi manajemen penanggulangan bencana banjir berbasis teknologi SMS (Short Message Servive). Hal ini menunjukkan bahwa penelitian-penelitian dalam rangka pengembangan organisasi perlu dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan institusi terkait. Deskripsi Situasi dan Kondisi Lingkungan Eksternal Tim SIBAT Ekonomi Dalam pelaksanaan tugas Tim SIBAT harus didukung adanya pendanaan untuk operasional. Minimnya bantuan dana operasional yang diberikan, menyebabkan program yang direncanakan menjadi kurang maksimal. Bahkan terkadang menjadikan konflik dalam intern Tim SIBAT. Kondisi latar belakang ekonomi (rendahnya tingkat pendapatan) anggota Tim SIBAT juga kerap menjadi faktor utama timbulnya konflik.Rata-rata mereka enggan untuk mengeluarkan uang pribadi untuk kegiatan sosial. Apalagi dalam keanggotaan Tim SIBAT, mereka hanyalah seorang relawan, sehingga tidak mendapatkan tambahan pendapatan pada setiap kegiatan yang diikuti selain hanya bantuan transport saja.
Sawitri, Rohmad , Ismulhadi, manajemen bencana,,,, Permasalahan tersebut diatas sangat mempengaruhi kinerja Tim SIBAT.Karena semua kegiatan yang dilakukan rata-rata menyita waktu, tenaga dan pikiran, sehingga ketika lingkungan disekitarnya kurang mendukung dalam arti mereka harus memenuhi kebutuhan pribadi ataupun keluarganya, mereka memilih untuk tidak tergabung dalam pelaksanaan kegiatan.Inilah yang menyebabkan faktor ekonomi menjadi sangat penting dalam pengembangan organisasi. Seperti yang disampaikan Motiah (2011) bahwa lingkungan kerja dan tingkat penghasilan mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap produktivitas kerja, artinya ketika lingkungan kerja mendukung dan penghasilan yang didapat sesuai, maka mereka akan terus menambah dan meningkatkan produktivitasnya. Sosial dan Budaya Peningkatan jumlah penduduk merupakan kondisi demografis yang menjadi ancaman dalam pelaksanaan tugas Tim SIBAT. Jumlah penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya secara tidak langsung mempengaruhi budaya dan gaya hidup di masyarakat. Kebutuhan akan sandang, pangan dan papan menuntut mereka untuk selalu
terpenuhi dengan baik. Beralih fungsinya lahan pertanian dan hutan menjadi pemukiman menjadi faktor utama dalam kerusakan lingkungan. Penebangan liar (illegal logging) di hutan-hutan konservasi, ikut berkontribusi dalam bencana yang terjadi. Kondisi tersebut diatas juga terjadi di wilayah Kabupaten Malang, gaya hidup masyarakat yang konsumtif sudah tidak terbendung lagi, dan menyebabkan kerusakan lingkungan. Faktanya masyarakat konsumtif tidak hanya di kota, di desa juga sudah mulai terkontaminasi dengan kehidupan kota. Kebiasaan buruk masyarakat yang sering membuang sampah di sungai juga terjadi di desa. Di sisi lain melihat kondisi geografis Kabupaten Malang yang terdiri dari wilayah perbukitan dan pesisir laut, mengakibatkan setiap wilayah memiliki karakteristik bencana yang berbeda. Banyak wilayah jika terjadi bencana menjadi terisolir. Tim SIBAT yang terbentuk belum tersebar ke seluruh wilayah di Kabupaten Malang, sehingga menyebabkan informasi kebencanaan belum secara keseluruhan sampai kepada masyarakat.Hal ini menyebabkan masyarakat belum ter95
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 berdayakan dalam penanganan bencana sehingga masyarakat ratarata masih menggantungkan bantuan dari instansi terkait.Kondisi wilayah ini yang sudah mengalami kerusakan perlu dilakukan tindakan penanganan untuk mencegah terjadinya bencana. Seperti yang disampaikan Pratama (2006), dari hasil penelitiannya menjelaskan bahwa karakteristik pulau Jawa yang sangat kompleks dan kritis membutuhkan dukungan kualitas lingkungan yang baik, khususnya kualitas sumberdaya hutan, yang secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap kinerja infrastruktur, industri, penyediaan air yang cukup dan berkualitas, pengendalian bencana banjir, kekeringan dan longsor, mikroklimat, penyediaan produkproduk hasil hutan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, memberikan peluang lapangan pekerjaan, serta lapangan usaha bagi masyarakat. Mengingat pentingnya peran hutan di Pulau Jawa dalam menopang kualitas hidup masyarakatnya tersebut, maka pengelolaan hutan menjadi suatu kebutuhan yang harus diwujudkan. Politik dan Pemerintahan PMI Kabupaten Malang merupakan organisasi independen yang 96
memiliki prinsip salah satunya kenetralan. Sejauh ini kondisi politik di Indonesia tidak berpengaruh terhadap perkembangan Tim SIBAT di Kabupaten Malang. Aksi nyata Tim SIBAT dalam penanganan bencana mendapat dukungan baik dari pemerintahan pusat, provinsi maupun daerah dalam penanganan bencana.Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Tim SIBAT sudah diakui oleh pemerintah daerah setempat, walaupun secara hierarki pemerintah daerah telah memiliki Tim penanggulangan bencana sendiri yang disebut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Teknologi Penggunaan teknologi di PMI Kabupaten Malang dalam mendeteksi bencana rata-rata masih menggunakan kearifan lokal. Penggunaan teknologi pada penanganan bencana benar-benar masih manual dan hanya mengandalkan radio komunikasi saja.Walaupun demikian sistem peringatan dini sudah aktif secara otomatis walau hanya berbekal kearifan lokal di masyarakat. Namun demikian minimnya peralatan tidak menjadikan permasalahan yang sangat pelik dikarenakan sejak tergabung menjadi
Sawitri, Rohmad , Ismulhadi, manajemen bencana,,,, relawan, mereka sudah dibekali pengetahuan terkait penggunaan alternatif peralatan dalam langkah kesiapsiagaan dan tanggap darurat bencana. Dalam hal komunikasi, alat komunikasi yang diberikan pada dasarnya juga sangat membantu dalam mengurangi resiko bencana. Di wilayah pesisir selatan Kabupaten Malang masyarakat dan Tim SIBAT bekerjasama juga dengan Dinas Kelautan yang memiliki posko hampir di setiap wilayah pantai.Kerjasama yang dilakukan yaitu dengan saling tukar informasi. Seperti kajian yang dilakukan Taufik (2011) terkait dengan aplikasi manajemen penanggulangan bencana banjir berbasis teknologi SMS (Short Message Servive). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan teknologi sangat penting untuk mempercepat proses penanganan bencana, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa pada sistem peringatan dini dilakukan dengan memanfaatkan kearifan lokal.
tersebut diantaranya Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang merupakan bentukan pemerintah daerah dalam rangka penanggulangan bencana, Search and Rescue (SAR), Malang Selatan Rescue (MSR), Brigade Penolong bentukan Pramuka, Tim Pandu Bencana Pemuda Gereja, dan lain-lain. Keberadaan organisasi yang bergerak di bidang kemanusiaan ini bukan menjadi ancaman dalam perkembangan Tim SIBAT, namun justru menjadi peluang untuk menjalin kerjasama dalam penanganan bencana. Senada dengan hasil penelitian Indra dkk (2011), menunjukkan bahwa strategi pemberdayaan masyarakat survival pasca bencana, model pemberdayaan yang diusulkan adalah melibatkan lembaga/aktor pemberdayaan profesional yang bekerjasama dengan pemerintah, donatur/NGO dan seluruh stakeholder, termasuk masyarakat yang terkena bencana dengan memanfaatkan seluruh potensi yang ada.
Kekuatan Kompetitif Kabupaten Malang yang hampir 75% wilayahnya rawan bencana, menciptakan munculnya organisasi-organisasi yang bergerak di bidang kemanusiaan khususnya pada penanggulangan bencana. Organisasi
ANALISIS PENYUSUNAN ALTERNATIF STRATEGI Berdasarkan deskripsi situasi dan kondisi Tim SIBAT dalam mensosialisaikan manajeman bencana, dilanjutkan dengan analisis
97
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 identifikasi faktor internal dan eksternal. Faktor yang sangat berpengaruh pada internal Tim SIBAT adalah sarana dan prasarana yang dimiliki oleh PMI Kabupaten Malang. Faktor strategis yang menjadi kelemahan Tim SIBAT adalah sulitnya koordinasi dalam menerapkan fungsi dasar manajemen. Menurut Pakaya (2011), menjelaskan bahwa pada hakekatnya peranan sumber daya manusia tidaklah dapat diabaikan dalam mencapai competitive advantage. Hal ini dikarenakan sumberdaya manusia memiliki peran strategis dalam perumusan tujuan, perumusan strategi, dan implementasi strategi organisasi.Didukung oleh Dalimunthe (2003) yang pada hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa manajemen itu sendiri merupakan suatu sistem, dimana setiap komponen atau elemen yang ada memberikan sesuatu, menampilkan sesuatu menurut kebutuhan dan fungsinya.Hal ini dapat tercapai dengan suatu kerjasama yang baik antara komponen manajemen. Keberadaan Tim SIBAT dalam pelaksanaan kegiatan kesiapsiagaan bencana dan tanggap darurat bencana tidak dilaksanakan sendiri. Keterlibatan komponen lain ikut menentukan tingkat keberhasilan 98
pelaksanaan kegiatan kesiapsiagaan dan tanggap darurat bencana. Tim SIBAT sudah memanfaatkan peluang yang ada yaitu melakukan kerjasama lintas sektoral dalam pelaksanaan tugasnya. Mengacu dari faktor eksternal peluang yang kedua yaitu akan dibentuknya Tim SIBAT di kecamatan lain, memperlihatkan bahwa keberadaan Tim SIBAT dalam langkah kesiapsiagaan bencana dan tanggap darurat bencana sangatlah penting. Sehingga keberadaan Tim SIBAT di seluruh wilayah kecamatan perlu dibentuk mengingat wilayah di Kabupaten Malang rawan bencana dan masing-masing wilayah memiliki potensi dan karakteristik bencana yang berbeda. Total skor pengolahan matriks IFE adalah sebesar 2,441. Total ratarata tertimbang Tim SIBAT yang berada dibawah 2,5 mengindikasikan bahwa kondisi internal Tim SIBAT berada dibawah rata-rata. Hal tersebut menggambarkan bahwa Tim SIBAT merupakan organisasi yang lemah secara internal. Total skor pengolahan matriks EFE adalah 2,519 yang menunjukkan keberadaan Tim SIBAT berada diatas rata-rata (2,50). Nilai ini menunjukkan pengertian bahwa Tim SIBAT mampu untuk memanfaatkan peluang dan mengantisipasi ancaman.
Sawitri, Rohmad , Ismulhadi, manajemen bencana,,,, Hasil pemetaan matriks IFE dan matriks EFE Tim SIBAT PMI Kabupaten Malang pada matriks I-E ditunjukkan pada Gambar 1. Berdasarkan analisis matriks IE menunjukkan bahwa Tim SIBAT berada pada posisi menjaga dan mempertahankan (hold and maintain). Menurut David (2009) strategi yang paling banyak digunakan pada kuadran V ini adalah penetrasi pasar dan pengembangan produk. Penetrasi pasar dalam Tim SIBAT diartikan bahwa keberadaan
Tim SIBAT yang sudah ada perlu untuk diperkuat mengingat akan tugas dan tanggungjawab Tim SIBAT. Sementara pengembangan produk diartikan bahwa Tim SIBAT perlu dikembangkan di wilayah lain untuk membantu mensosialisasikan manajemen bencana. Analisis dari hasil pemetaan matriks I-E hanya menggambarkan strategi secara umum dan belum menjelaskan secara rinci mengenai alternatif strategi yang dilakukan oleh Tim SIBAT secara teknis.
Kuat 3,0-4,0 4,0
Total Rata-rata IFE Rata-rata 2,0-2,99 3,0
Lemah 1,0-1,99 2,0 1,0
I
II
III
Menengah 2,0-2,99 2,0
IV
V
VI
Rendah 1,0-1,99 1,0
VII
VIII
IX
Total Rata-rata EFE Tinggi 3,0-4,0 3,0
Gambar 1. Analisis Matriks Internal Eksternal Tim SIBAT Oleh karena itu, penyusunan alternatif strategi dilanjutkan dengan menganalisis semua faktor melalui matriks SWOT dengan tetap mengacu pada matriks I-E.Beberapa alternatif strategi yang dipilih berdasarkan matriks SWOT adalah (1) Mempertahankan, mengembangkan, dan memperluas keberadaan Tim SIBAT di Kabupaten Malang, (2) Peningkatan kapasitas melalui pelibatan Tim
SIBAT dalam pelatihan dan kerjasama lintas sektoral, (3) Meningkatkan keahlian (skill) dan melakukan penyegaran Tim SIBAT dalam bentuk pelatihan teori praktis dan bersifat terus menerus, (4) Meningkatkan pemanfaatan sarana prasarana dalam kesiapsiagaan dan tanggap darurat bencana, (5) Meningkatkan komunikasi aktif antara Tim SIBAT dan PMI Kabupaten Malang dengan masya99
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 rakat dalam upaya kesiapsiagaan dan tanggap darurat bencana, (6) Melakukan regenerasi anggota untuk kesinambungan tugas Tim SIBAT dalam rangka kesiapsiagaan dan tanggap darurat bencana. Alternatif strategi tersebut kemudian ditawarkan kepada responden untuk menilai
daya tarik (Attractiveness Scores) mereka terhadap strategi-strategi alternatif yang diajukan. Hasil total daya tarik (Total Attractiveness Scores) masing-masing responden merupakan total nilai ketertarikan terhadap alternatif strategi seperti pada Tabel 1.
Tabel 1.Peringkat Alternatif Strategi Alternati f Strategi
Responden 1
Responden 2
Responden 3
Responden 4
Responden 5
Responden 6
Ratarata
1
4,083
3,98
3,885
4,014
3,698
3,723
3,897
2
2,904
2,952
3,000
2,928
2,928
2,834
2,924
3
4,599
4,388
3,925
3,736
3,761
3,980
4,065
4
4,106
4,063
3,987
4,072
3,987
3,968
4,031
5
1,972
2,204
2,492
2,561
2,417
2,346
2,332
6
2,346
2,423
2,721
2,699
3,219
3,159
2,761
Sumber : Data primer diolah, 2013 Dari urutan alternatif tersebut diatas, meningkatkan keahlian (skill) dan melakukan penyegaran Tim SIBAT dalam bentuk pelatihan teori praktis dan bersifat terus menerus merupakan prioritas strategi utama yang disarankan dengan nilai TAS 4,065.Dan alternatif strategi terakhir dengan nilai terkecil 2,332 adalah meningkatkan komunikasi aktif antara Tim SIBAT dan PMI Kabupaten Malang dengan masyarakat dalam upaya kesiapsiagaan dan tanggap darurat bencana. Penyusunan strategi pengembangan Tim SIBAT disusun dengan menggunakan input visi dan misi, 100
strategi hasil analisis SWOT, tantangan-tantangan yang dihadapi, rentang waktu yang ditetapkan dan menggunakan pertimbangan prioritas strategi yang diperoleh. Penyusunan strategi ini merupakan peta strategi (blue print strategic) untuk mewujudkan visi dan misi organisasi dengan menjalankan strategi hasil analisis SWOT. Strategi-strategi tersebut dijalankan dalam kurun waktu yang telah ditentukan yaitu selama tiga tahun kedepan untuk menghadapi tantangan organisasi. Bentuk nyata implementasi strategi yang telah disusun menggunakan matriks SWOT dan dipetakan
Sawitri, Rohmad , Ismulhadi, manajemen bencana,,,, ke dalam penyusunan strategi adalah serangkaian program pengembangan organisasi. Program-program yang disusun dapat disesuaikan dengan kondisi lingkungan ketika program akan dilaksanakan. Peran Tim SIBAT dalam pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat maksimal dengan ditingkatkanya kapasitas Tim SIBAT melalui serangkaian program kegiatan. Peran dan tugas Tim SIBAT diantaranya (1) menganl, bekerja dan bermitra dengan masyarakat, (2) melakukan Vulnerability And Capacity Assesment (VCA), (3) melakukan pemetaan bahaya, kerentanan, resiko dan kapasitas bersama masyarakat, (4) pengorganisasian masyarakat dalam upaya-upaya pengurangan resiko bencana, (5) melakukan upaya penyadaran masyarakat terhadap resiko bencana. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Situasi dan kondisi Tim SIBAT menunjukkan (1) kondisi sumberdaya fisik cukup memadai dalam menunjang tugas Tim SIBAT dan keberagaman tingkat latar belakang berpengaruh pada tingkat sumberdaya manusia Tim SIBAT dalam mensosialisasikan manajemen bencana, (2) budaya
di masyarakat menggambarkan langkah mitigasi yang dilakukan cenderung bersifat “kejawen” berbentuk ritual-ritual, tetapi masyarakat juga mampu memanfaatkan kearifan lokal dalam tanggap darurat bencana, (3) pada aspek manajemen kondisi Tim SIBAT belum menerapkan fungsifungsi dasar manajemen yang mengakibatkan kondisi Tim SIBAT mengalami ketidakpastian, (4) kerjasama dibangun dengan instansi terkait dalam rangka penelitian dan pengembangan organisasi, (5) kondisi latar belakang ekonomi (rendahnya tingkat pendapatan) mempengaruhi kinerja Tim SIBAT, (6) karakteristik wilayah berdasarkan kondisi sosial budaya yang begitu kompleks menyebabkan wilayah ini memiliki potensi bencana yang beragam, (7) kondisi politik tidak berpengaruh terhadap kondisi Tim SIBAT tetapi dalam pelaksanaan tugasnya, Tim SIBAT mendapatkan dukungan baik dari pemerintah daerah maupun pusat, (8) penggunaan teknologi dalam mendeteksi bencana masih sederhana, (9) keberadaan organisasi lain yang bergerak di bidang kemanusiaan merupakan relasi
101
M-POWER Volume 12 Nomor 01 Maret 2016 dalam rangka penanggulangan bencana. Berdasarkan hasil rancangan penyusunan strategi tercipta strategi alternatif berupa peningkatan keahlian (skill) dan penyegaran Tim SIBAT dalam bentuk teori praktis yang bersifat kontinyu. Rekomendasi program kegiatan bersifat sekuensi dan integratif dan secara keseluruhan mengacu pada pencapaian visi dan misi serta tujuan organisasi yang telah ditentukan oleh organisasi tersebut. Saran 1. Kepada PMI Kabupaten Malang a. PMI Kabupaten Malang perlu merealisasikan rekomendasi program kegiatan yaitu mengadakan pelatihan spesialisasi untuk meningkatkan keahlian anggota Tim SIBAT, b. Memperbaiki kondisi internal Tim SIBAT dengan turut serta berperan sebagai motivator dan mediator dalam menerapkan fungsi dasar manajemen, c. Mempersiapkan regenerasi pada setiap kelompok Tim SIBAT yang telah terbentuk untuk kesinambungan tugas Tim SIBAT. 102
2. Tim Siaga Bencana Berbasis Masyarakat a. Untuk tetap menjaga semangat, motivasi, dan kerjasama dalam menjalankan tugas sebagai Tim SIBAT, b. Menjalin komunikasi aktif dengan rekan sejawat dalam rangka menerapkan fungsifungsi dasar manajemen dalam organisasi, c. Meningkatkan kapasitas baik secara individu maupun tim dalam rangka mencapai tujuan organisasi. 3. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap Tim SIBAT kaitannya dengan kesiapsiagaan dan tanggap darurat bencana di Kabupaten Malang. DAFTAR PUSTAKA Asmarani, Dinda Estika. 2006. Analisis Pengaruh Perencanaan Strategi Terhadap Kinerja Perusahaan Dalam Upaya Menciptakan Keunggulan Bersaing (Studi Empirik pada Industri Kecil Menengah Tenun Ikat di Troso, Jepara). Universitas Diponegoro Semarang. Semarang. Dalimunthe, RF. 2003. Keterkaitan Antar Penelitian Manajemen Dengan Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Mana-
Sawitri, Rohmad , Ismulhadi, manajemen bencana,,,, jemen. Fakultas Ilmu Ekonomi USU. Sumatera Utara. David, Fred R. 2009. Strategic Management : Manajemen Strategis Konsep. Salemba Empat. Jakarta. Djaelani A, dkk. 2008. Pelatihan KBBM-PERTAMA untuk SIBAT, Panduan Pelatih.Palang Merah Indonesia. Jakarta. Mardikanto, Totok. 2010. Konsepkonsep Pemberdayaan Masyarakat. UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press). Surakarta. Motiah, Siti. 2011. Pengaruh Lingkungan Kerja Dan Tingkat Penghasilan Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan (Studi Kasus Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) “Brosem” Batu).UIN Maulana Malik Ibrahim. Malang. Naryanto, Heru. 2011. Analisis Resiko Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah.Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 2 Nomor 1, Tahun 2011. Jakarta.
Nurubay, Siti. 2008. Pengaruh Pemanfaatan Sarana dan Prasarana Pendidikan Terhadap Motivasi Belajar Siswa di SMP Dua Mei Ciputat.UIN Syarif Hidatullah. Jakarta. Pakaya, AR. 2011. Pengaruh Manajemen Sumberdaya Manusia Strategi dan Manajemen Transformasi terhadap Keunggulan Bersaing. Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo. Pratama, Arry Aditya. 2006. Analisis Manajemen Strategis dengan Pendekatan Balanced Scorecard (BSC) pada Perum Perhutani, Jakarta.IPB. Bogor. Pratama, Putra Ahmad. 2011. Penataan Ruang Berbasis Mitigasi Bencana Kabupaten Kepulauan Mentawai. Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 2 Nomor 1, Tahun 2011. Jakarta. Zamroni, Imam. 2011. Islam dan Kearifan Lokal dalam Penangguangan Bencana di Jawa. Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 2 Nomor 1, Tahun 2011. Jakarta.
103