Power and Empowerment as Development Paradigm in the Era of Globalization (Power dan Empowerment Sebagai Paradigma Pembangunan Era Globalisasi) Asmuni College of Teacher Training and education PGRI Jombang, Eas Java, Indonesia Abstract The concept of national development in globalization era that is not contradicting economy development and generalization as a foothold is needed. It is the development concept that stands on public empowerment and participation. Because people who able to face the globalization movement is the one who have power, they are civil society. Establishing civil society need the concerning of power to empower the society. Therefore the existence of Good Governance is needed. Thereby, power and empowerment as the paradigm in the national development era is appropirate to be promoted in the national and social life. Key words: power; empowerment, empowering, development, globalization Abstrak Dalam era globalisasi konsep pembangunan nasional yang dibutuhkan adalah konsep pembangunan yang tidak lagi mempertentangkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasilnya sebagai tumpuannya, melainkan konsep pembangunan yang bertumpu pada pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Karena pada dasarnya yang mampu menghadapi arus globalisasi hanyalah masyarakat yang berdaya yaitu masyarakat madani (civil society). Dan untuk mewujudkan masyarakat madani (civil society) tersebut dibutuhkan kepedulian dan keberpihakan kekuasaan (power) untuk memberdayakan (empowering) masyarakatnya. Oleh karena itu Good Governance sangat diperlukan eksistensinya. Dengan demikian dapatlah dikatakan power dan empowerment sebagai paradigma pembangunan nasional era globalisasi sangat tepat untuk dikembangkan dan diterapkan dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Kata kunci: pemberdayaan, pembangunan, globalisasi
Pendahuluan Pergerakan waktu telah memasuki abad XXI dan tahapan millenium ke-3. Di abad ini dunia akan mengalami transformasi dalam segala aspek kehidupan manusia atau yang disebutnya dengan era globalisasi, meski sebenarnya globalisasi itu bukanlah fenomena baru dalam sejarah peradaban dunia. Sebab, sebelum ada nation-state, perdagangan dan migrasi lintas benua sejak lama telah berlangsung. Hanya saja, menurut Basri (1998:1), gelombang globalisasi yang melanda seantero dunia sejak dekade 1980-an jauh berbeda dari segi intensitas dan cakupannya. Proses konvergensi yang kita saksikan akibat dari globlisasi dewasa ini praktis telah menyentuh hampir seluruh sendi kehidupan, yang tak saja di segala bidang (ekonomi, bisnis, budaya, politik, ideologi), melainkan juga telah menjamah ke tataran systems, processes, actors, dan events. Banyak kalangan memandang bahwa globalisasi merupakan keniscayaan sejarah, dan karenanya tak dapat dihentikan. Pandangan ini muncul sebagai reaksi dari pendapat sementara kalangan yang sangat prihatin terhadap kecenderungan perkembangan ekonomi dunia yang kian tak menentu dan rentan gejolak, terutama sebagai akibat dari arus finansial global yang semakin liar. Padahal tak semua negara memiliki daya tahan yang tangguh untuk terlibat dalam kancah lalu lintas finansial global yang tak lagi mengenal batas-batas negara dan semakin sulit dikontrol oleh pemerintah negara yang berdaulat.
Sitasi: Asmuni. (2008). Power dan Empowerment sebagai Paradigma Pembangunan Era Globalisasi. Forum Pendidikan & Ilmu Pengetahuan, Jurnal Pendidikan, 3(6), 26-48.
Oleh karena itu negara-negara yang merasa belum siap mengkhawatirkan terjadinya suatu bentuk eksploitasi baru, yaitu oleh financial-driven economies terhadap goodproducing economies. Karena kelompok yang pertama itu memiliki keleluasaan yang sangat besar dalam merekayasa bentuk-bentuk transaksi keuangan yang sifatnya semu, dalam arti tidak memberikan kontribusi produktif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini terjadi karena uang dan aset-aset finansial lainnya diperdagangkan sebagaimana komoditi. Pada kenyataannya memang telah terjadi, banyak negara tersungkur dan terseret arus permainan kapitalisme finansial tersebut. Contoh nyata adalah Indonesia, meski telah berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga mendapat gelar ‘Asia’s Miracle’, ternyata dengan mudah jatuh tersungkur hanya tersandung oleh kerakusan seorang kapitalis, George Soros, hingga mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan. Di pihak lain, globalisasi seakan-akan dipandang sebagai penghapusan identitas dan batas-batas negara bangsa sehingga dengan suka cita menyerahkan diri ke dalam pelukan ideologi baru yang sekaligus dianggap sebagai jimat menuju masyarakat adil dan makmur. Padahal selama ini globalisasi hanya berkembang karena dorongan kekuatan institusi pasar. Sedangkan institusi pasar sendiri tidak dapat mengakomodasi moral, sebab pelakupelakunya hanya bermotifkan profit ekonomi belaka. Oleh karena itu dalam era globalisasi diperlukan adanya perubahan-perubahan paradigma pada konsep pembangunan nasional, termasuk institusi-institusi yang berada di dalamnya, terutama yang mengarah terciptanya kemandirian dan kerjasama, baik pada level individu, masyarakat lokal dan nasional.
Kajian Kepustakaan Hakikat Globalisasi Sejak memasuki abad ke-21 istilah globalisasi semakin populer dan menjadi sebuah kata yang selalu dibicarakan orang di mana-mana, baik oleh pejabat maupun rakyat, baik kalangan akademisi maupun di warung-warung kopi. Sebetulnya apakah globalisasi itu? Situmorang (Bali Pos, 21 Januari 2001) menjelaskan, bahwa globalisasi berasal dari kata dasar globe yaitu bola bumi, mempunyai makna "proses pembumian sesuatu". "Sesuatu" di sini biasanya berkaitan dengan ekonomi, kapitalisme. Globalisasi merupakan sebuah istilah ekonomi yang menjadi sangat populer di seluruh dunia pada masa kapitalisme akhir. "Globalisasi ekonomi" sebenarnya hanyalah sebuah eufemisme "made in Wall St USA" untuk menggantikan vulgarisme dari istilah "konsumerisme internasional" yang sangat tidak sesuai dengan etika public relations para kapitalis Amerika dan Eropa Barat. Istilah lain yang juga sama seringnya dipakai dengan makna asli, yang tidak berbeda, adalah free market alias pasar bebas. Toffler dan Heidi (1993: 318-319) pernah menyatakan tentang globalisasi sebagai few words are more loosely thrown about today than the term ‘global’. Ecology is said to be a ‘global’ problem. The media are said to be creating a ‘global’ village. Companies proudly announce that they are ‘globalizing’. Economists speak of ‘global’ growth or recession. And the politician, UN official, or media pundit doesn’t exist who isn’t prepared to lecture us about the ‘global system’. Dilihat dari sisi ekonomi nantinya setiap bangsa akan masuk dalam jaringan pasar bebas sebagai tahapan globalisasi. Tanda-tanda ke arah sistem perekonomian yang mondial sudah semakin jelas. Negara-negara di ASEAN pada tahun 1992 telah sepakat bahwa pada tahun 2003 dipakai sebagai momen berlakunya ASEAN Free Trade Area (AFTA), dan lebih luas lagi untuk kawasan Asia Pacific mulai tahun 2020 diberlakukan APEC (Asia Pasicific Economic Cooperation). Bahkan dalam kesepakatan APEC dan KTT Bogor tahun 1994, negara-negara maju akan melaksanakan perdagangan bebas tersebut mulai tahun 2010, dan bagi negara-negara berkembang pada tahun 2020. 2
Sitasi: Asmuni. (2008). Power dan Empowerment sebagai Paradigma Pembangunan Era Globalisasi. Forum Pendidikan & Ilmu Pengetahuan, Jurnal Pendidikan, 3(6), 26-48.
Semua bangsa dengan dalih apapun, tidak mungkin lepas dari segala kondisi dan konsekuensi yang menyertai iklim global tersebut. Pada saat itu nanti akan terjadi gelombang perubahan secara cepat, dan dinamika persaingan terjadi lebih intens. Karenanya semua bangsa yang akan terlibat di dalamnya telah mulai pasang kuda-kuda untuk menghadapinya. Malaysia misalnya, telah menelurkan “Malaysia’s Vision 2020”, dan Singapura telah mencanangkan “The Next Lap” (Tilaar, 1997-1). Itu artinya, Malaysia dan Singapura telah menyadari bahwa berlakunya pasar bebas menuntut adanya perubahan yang sangat mendasar dari tingkah laku manusia dan masyarakat, karena dalam perdagangan bebas nanti menuntut suatu masyarakat dan manusia yang berbeda dibandingkan dengan sebelumnya sebagai masyarakat yang tertutup. Melihat dahsyatnya globalisasi tersebut, maka bagi masyarakat dan bangsa Indonesia yang telah commited dengan liberalisasi perdagangan, khususnya AFTA dan APEC, tentunya haruslah menyadari dan sejauh mungkin mempersiapkan diri bukan hanya sebagai “penonton” tetapi harus berperanserta secara aktif di dalamnya, yakni sebagai “pemain”. Sebab, jika bangsa Indonesia hanya mau berperan sebagai penonton dan hanyut dalam arus globalisasi, maka bangsa ini akan menjadi bangsa kéré yang akan menjadi obyek eksploitasi dari bangsa-bangsa lain. Selanjutnya dapat dipastikan bangsa ini akan kehilangan identitas sebagai bangsa yang merdeka. Selain dari sudut tinjauan ekonomi, Malcolm Waters (Sosiolog Australia) meninjau globalisasi dari sudut tinjauan Sosiologi. Ia mendefinisikan globalisasi sebagai proses sosial yang berakibat bahwa pembatasan geografis pada keadaan sosial-budaya menjadi kurang penting, yang terjelma di dalam kesadaran orang (Feith, 1998). Bahkan menurut Tilaar (1997:16-17), proses globalisasi bergerak sejalan dengan tiga arena kehidupan manusia, yaitu arena ekonomi, politik, dan budaya. Dalam arena ekonomi, proses globalisasi mempengaruhi peraturan-peraturan sosial dalam produksi, pertukaran barang, distribusi dan konsumsi, baik barang maupun pelayanan (sevice). Dalam arena politik, proses globalisasi menyatakan diri di dalam pengaturan sosial dalam kaitannya dengan konsentrasi serta aplikasi kekuasaan. Dalam arena budaya, proses globalisasi menyatakan diri di dalam pengaturan sosial dalam kaitannya dengan pertukaran dan ekspresi simbol mengenai fakta, pengertian, kepercayaan, selera, dan nilai-nilai. Lebih lanjut Tilaar (1997:18) mengemukakan bahwa menurut para pakar, proses globalisasi di dalam ketiga arena tersebut berjalan secara independen. Hal ini berbeda, misalnya dengan pandangan Marxisme yang menyatakan bahwa yang menentukan ialah arena ekonomi. Politik dan budaya mengikuti proses perubahan perkembangan dan perubahan di dalam arena ekonomi. Demikian pula para pengikut Parsonian menyatakan bahwa yang menentukan adalah arena budaya, sedangkan arena politik dan ekonomi mengikutinya. Pada dasarnya berbagai teori globalisasi sebenarnya berpusat pada hubungan antara organisasi sosial dalam berbagai bentuk pertukaran-pertukaran (exchange) dengan ruang. Berbagai macam pertukaran (exchange) terjadi di dalam ketiga arena tersebut. Pertukaran dalam materi, misalnya terjadi di dalam bidang perdagangan, pengupahan, tenaga kerja, dan akumulasi modal. Pertukaran dalam arena politik menampakkan diri di dalam keamanan, perselisihan, dan otoritas. Pertukaran dalam arena simbol-simbol menampakkan diri dalam komunikasi oral, publikasi, pendidikan, ritus-ritus, advertensi, dan eksibisi. Tiap-tiap jenis pertukaran (exchange) mempunyai hubungan tertentu dengan “ruang”. Pertukaran materi sifatnya lokal (material exchange localized), pertukaran politik sifatnya internasional (political exchange internationalized), dan pertukaran simbolik sifatnya global (symbolic exchange globalized). Teori globalisasi yang lain diungkapkan oleh Rosenau (Tilaar, 1997:19). Ia telah mengidentifikan lima sumber proses globalisasi, yaitu: (1) Globalisasi yang diakibatkan 3
Sitasi: Asmuni. (2008). Power dan Empowerment sebagai Paradigma Pembangunan Era Globalisasi. Forum Pendidikan & Ilmu Pengetahuan, Jurnal Pendidikan, 3(6), 26-48.
oleh dinamika teknologi yang mengurangi jarak global serta gerakan manusia yang serba cepat. Demikian pula ide-ide dan sumber-sumber yang ada di bumi ini. (2) Globalisasi yang muncul dari masalah-masalah bumi ini, misalnya masalah lingkungan dan masalah kependudukan. (3) Proses globalisasi sebagai akibat mundurnya kemampuan negara dalam memecahkan masalahnya atas dasar nasional, misalnya masalah global tentang efek rumah kaca, menipisnya lapisan ozon, penyakit-penyakit seperti AIDS, dan berbagai jenis kejahatan yang sifatnya bukan saja terbatas pada batas-batas negara, tetapi antar negara. (4) Munculnya sub-sub kelompok yang semakin kuat dalam masyarakat bangsa, misalnya lahirnya berbagai jenis dan bentuk LSM/Ornop (Non-Govermental Organization). (5) Globalisasi sebagai akibat meningkatnya keahlian, pendidikan, dan keberdayaan reflektif warga negara dewasa sehingga mampu melihat masalah-masalah di luar batas negaranya, misalnya rasa solidaritas dalam bencana alam yang terjadi di luar daerahnya dan rasa senasib dengan penderitaan yang dialami oleh bangsa-bangsa lain. Konsep Dasar Empowerment Modernisasi yang muncul di Eropa Barat merupakan gejala yang melanda hampir seluruh bangsa di muka bumi ini. Terkesan semacam suatu keharusan yang memaksa setiap bangsa berkembang, untuk berusaha mencapai tingkat yang sudah diraih oleh apa yang dinamakan masyarakat yang sudah moderen “empowerment”, yaitu sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan di era modernisasi tersebut. Konsep empowerment mulai nampak di sekitar dekade 70-an, dan kemudian berkembang terus sepanjang dekade 80-an hingga kini memasuki melinium ketiga. Menurut Pranarka Moeljarto (1996:44-45), konsep empowerment mungkin dapat dipandang sebagai bagian atau sejiwa dengan aliran-aliran pada paruh kedua abad ke-20, yang dewasa ini banyak dikenal sebagai aliran post modernisme, dengan titik berat sikap dan pendapat yang orientasinya kepada antisistem, antistruktur, dan antideterminisme, yang diaplikasikan kepada dunia kekuasaan. Kata “empowerment” yang sering diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan “pemberdayaan” atau “penguatan”, berasal kata dasar “power” yang berarti “kekuasaan”, “kekuatan”, “kemampuan” dan terkadang diartikan dengan “daya”. Hubungan antara dua kata tersebut (power dan empowerment) tidak sekedar hubungan kata dasar dan kata jadian, melainkan laksana aksi dan reaksi atau sebab dan akibat. Proses modernisasi (utamanya Eropa Barat) yang dituding sebagai ‘biang kerok’ munculnya konsep empowerment, pada hakikatnya dapat dipandang sebagai “deporwement” dari sistem keagamaan yang mutlak absolut digantikan dengan sistem kekuasaan alternatif non keagamaan. Perubahan sistem kekuasaan itu diperlukan terjadinya proses “empowerment” terhadap nonreligious system. Proses modernisasi Eropa tersebut merupakan aksi emansipasi dan liberalisasi manusia dari totaliterisme keagamaan. Emansipasi dan liberalisasi serta penataan terhadap segala kekuasaan dan penguasaan itulah yang kemudian menjadi substansi dari konsep empowerment. Menurut Pranarka & Moeljarto (1996: 50-51), kehancuran dan kebiadaban kekuatan dan kekuasaan manusia yang dialami di dalam Perang Dunia Pertama maupun Kedua itu nampaknya telah menaburkan kesadaran baru, yang ingin segera menemukan sistem alternatif terhadap sistem moderen sampai waktu itu. Sistem moderen lama (sebagai sistem alternatif terhadap determinisme keagamaan) dirasa telah menyebabkan manusia terperangkap ke dalam sistem yang juga tetap bersifat deterministik dan absolut, bahkan juga menjadi sistem kekuasaan (intelektual, politik-ekonomi ataupun militer) yang samasama dengan sistem keagamaan kuno tidak “memerdekakan manusia”. Maka menggelombanglah pemikiran-pemikiran baru yang cenderung bersifat “antisistem”, 4
Sitasi: Asmuni. (2008). Power dan Empowerment sebagai Paradigma Pembangunan Era Globalisasi. Forum Pendidikan & Ilmu Pengetahuan, Jurnal Pendidikan, 3(6), 26-48.
“antideterminisme”, dan “antikekuasaan”. Yang sangat penting untuk dicatat adalah setelah Perang Dunia Kedua manusia juga merasa bahwa acuan yang harus menjadi “landasan idiil” dari sistem baru adalah manusia dan kemanusiaan. Ia menolak segala bentuk power yang bermuara hanya pada proses dehumanisasi eksistensi manusia. Faktor lain yang mendorong lebih lanjut munculnya konsep empowerment adalah terjadinya perubahan struktur ekonomi. Pranarka & Moeljarto (1996:53) menjelaskan bahwa terjadinya proses industrialisasi yang makin manunggal dengan ilmu dan teknologi (industrialisasi gelombang kedua), yang makin membuktikan bahwa de facto manusia harus menerima terjadinya ekonomi sebagai sebuah sistem yang semesta sifatnya, Eropa memang mengalami proses kemajuan ekonomi yang amat cepat. Ini diperkuat pula oleh memudarnya falsafah Idealisme (yang ingin membangun sistem semesta nonkeagamaan), falsafah Thomisme dan Neoskolastik (yang sebelumnya mempunyai predikat sebagai sistem falsafah Perenial), serta makin menguatnya positivisme yang terbukti oleh terjadinya perkembangan ekonomi, ilmu, dan teknologi. Dan memang ekonomi serta teknologi telah menjadi sebuah sistem yang sebetulnya bersifat amat deterministik, menjadi sebuah power yang memang makin kuat tancapan dan makin luas jangkauannya. Munculnya konsep empowerment tersebut menyebabkan timbulnya Neomarxisme ataupun Freudianisme. Orang di Eropa Barat waktu itu merasa bahwa komunisme merupakan sistem kekuasaan semesta yang mengancam umat manusia. Untuk melawannya maka orang mulai mengadakan telaah terhadap sumber doktrin Komunisme, yaitu Marxisme. Komunisme sesungguhnya merupakan penyimpangan dari ajaran Karl Marx. Apabila Marx ingin membuang terjadinya proses alienasi eksistensi manusia, maka Komunisme justru telah menjadi sistem yang menggilas eksistensi manusia itu sendiri. Ajaran Marx yang lain adalah mengenai kekuasaan. Menurut Marx, kekuasaan adalah alat atau metode yang tepat untuk meneruskan cita-cita Eksistensialisme, Phenomenologi ataupun Personalisme dalam bidang politik, ekonomi dan kemasyarakatan. Ekonomi diterima sebagai basis dasar kekuasaan. Kekuasaan itu kemudian membuat bangunan-bangunan atas manipulatif, sehingga yang tinggal hanyalah manusia yang berkuasa menghadapi manusia yang dikuasai. Oleh karenanya pembebasan harus terjadi melalui proses liberalisasi ataupun emansipasi yang memerlukan proses empowerment of the powerless. Terhadap sistem dan kekuasaan sebagai manifestasi dari determinisme sendiri, terdapat variasi dalam sikap dan pandangan. Ada yang radikal, yakni menihilkan apa yang dinamakan system dan apa yang dinamakan power. Pada waktu itu yang dikenal adalah istilah “power to nobody”. Ada pula yang mempunyai pendekatan lain, yaitu bahwa kekuasaan dan sistem itu harus dipegang oleh semua orang secara sama (power to everybody), yang pada akhirnya akan bermuara pada situasi anarkhi atau power tanpa norma dan etika bersama. Di samping itu berkembang pula gagasan bahwa yang penting adalah “memberikan power kepada yang powerless”, karena hanya apabila memiliki power maka mereka akan dapat melaksanakan proses aktualisasi eksistensi. Demikian itulah mungkin pada garis besarnya yang kemudian menjadi pola dasar dari gerakan pemberdayaan atau empowerment. Gerakan ini tetap mengamanatkan kepada perlunya power dan menekankan keberpihakan kepada “the powerless”. Gerakan ini pada dasarnya ingin agar semua dapat memiliki “kekuatan” yang menjadi modal dasar dari proses aktualisasi eksistensi itu. Pranarka & Moeljarto (1996:56-57) mengemukakan bahwa berdasarkan penelitian kepustakaan proses pemberdayaan itu mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi dengan upaya membangun asset material guna 5
Sitasi: Asmuni. (2008). Power dan Empowerment sebagai Paradigma Pembangunan Era Globalisasi. Forum Pendidikan & Ilmu Pengetahuan, Jurnal Pendidikan, 3(6), 26-48.
mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi (Oakley & Marsden, 1984). Kecenderungan atau proses yang pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Perlu dipahami bahwa pengklasifikasian makna pemberdayaan ke dalam kecenderungan primer ataupun sekunder sebagaimana kutipan di atas, bukan merupakan klasifikasi yang kaku. Pada prakteknya antara keduanya bisa saling terkait. Misalnya, untuk mewujudkan kesenderungan primer, seringkali harus melalui sarana berupa terwujudnya kecenderungan sekunder terlebih dahulu. Adapun sumber utama pemberdayaan adalah rumah tangga. Menurut Friedmann (Pranarka & Moeljarto, 1996:61), rumah tangga menempatkan tiga macam kekuatan, yaitu sosial, politik, dan psikologis. Kekuatan sosial menyangkut akses terhadap dasar-dasar produksi tertentu suatu rumah tangga, misalnya informasi, pengetahuan dan ketrampilan, partisipasi dalam organisasi sosial dan sumber-sumber keuangan. Bila ekonomi rumah tangga tersebut meningkatkan aksesnya pada dasar-dasar produksi di atas, maka kemampuannya dalam menentukan dan mencapai tujuannya juga meningkat. Peningkatan kekuatan sosial dapat dimengerti sebagai suatu peningkatan akses rumah tangga terhadap dasar-dasar kekayaan produktif mereka. Kekuatan politik meliputi akses setiap anggota keluarga terhadap proses pembuatan keputusan terutama keputusan yang mempengaruhi masa depan mereka sendiri. Sedangkan kekuatan politik bukan hanya kekuatan untuk memberikan suara, tetapi juga merupakan kekuatan untuk menjadi vokal dan bertindak secara kolektif. Pengaruh politik yang efektif akan tampak tidak hanya pada waktu suara ‘lantang’ sebagai pengaruh dari partisipasi individu terhadap basis lokal maupun personal, melainkan juga pada saat suara tersebut didengungkan bersama-sama dengan suara organisasi politik yang lebih luas, misalnya partai politik, gerakan sosial atau kelompok yang berkepentingan seperti kelompok tani atau buruh. Kekuatan psikologis digambarkan sebagai rasa potensi individu (individual sense of potency) yang menunjukkan perilaku percaya diri. Pemberdayaan psikologis seringkali tampak sebagai suatu keberhasilan dalam domain sosial politik. Rasa potensi pribadi yang semakin tinggi akan memberikan pengaruh positif dan kursif terhadap perjuangan rumah tangga yang secara terus menerus berusaha untuk meningkatkan kekuatan sosial politiknya. Sementara itu, Hulme dan Turner (Pranarka & Moeljarto, 1996:62-63 ) berpendapat bahwa pemberdayaan mendorong terjadinya suatu proses perubahan sosial yang memungkinkan orang-orang pinggiran yang tidak berdaya untuk memberikan pengaruh yang lebih besar di arena politik secara lokal maupun nasional. Oleh karena itu pemberdayaan sifatnya individual sekaligus kolektif. Pemberdayaan juga merupakan suatu proses yang yang menyangkut hubungan-hubungan kekuasaan (kekuatan) yang berubah antara individu, kelompok, dan lembaga-lembaga sosial. Di samping itu pemberdayaan juga merupakan proses perubahan pribadi karena masing-masing individu mengambil tindakan atas nama dirinya sendiri dan mempertegas kembali pemahamannya terhadap dunia tempat tinggalnya. Sedangkan unsur-unsur yang harus ada dalam proses pemberdayaan, menurut Wijaya (2000), ada tiga komponen yaitu: (1) Enabling local Setting, yaitu memperkuat situasi dan kondisi di tingkat lokal menjadi lebih baik, sehingga masyarakat lokal bebas berkreativitas. Ibarat membuat 'panggung' yang baik, sehingga masyarakat lokal dapat leluasa 'menari' di atas panggung tersebut. (2) Empowering local community. Setelah ada 'panggung' yang baik untuk menari maka masyarakat setempat harus ditingkatkan kemampuannya 'menari'. Artinya, setelah local setting tersebut berjalan, masyarakat lokal juga harus ditingkatkan 6
Sitasi: Asmuni. (2008). Power dan Empowerment sebagai Paradigma Pembangunan Era Globalisasi. Forum Pendidikan & Ilmu Pengetahuan, Jurnal Pendidikan, 3(6), 26-48.
pengetahuan dan ketrampilannya, sehingga mampu memanfaatkan setting dengan baik. Hal itu antara lain dilakukan melalui pendidikan, pelatihan dan berbagai bentuk pengembangan SDM lainnya. (3) Socio-political support. Kalau di panggung sudah baik, masyarakat lokal sudah terbiasa 'menari', maka diperlukan adanya perangkat pendukung lain, seperti perlengkapan, penonton dan seterusnya, yang tidak lain berupa dukungan sosial-politik, networking dan sebagainya. Tanpa dukungan sosial politik yang memadai, masyarakat lokal tidak akan bisa 'menari' dengan baik di 'panggung', meskipun masyarakat tersebut sesungguhnya pintar 'menari'. Berdasarkan uraian di atas, maka pemberdayaan (empowerment) harus dipahami sebagai upaya memberikan kekuatan/daya (power) kepada seseorang (individu) atau kelompok, membiarkan mereka untuk menguasai dan menggunakan kekuatan/daya (power) tersebut di tangan mereka sendiri. Pemberdayaan (empowerment) juga harus dipahami sebagai upaya redistribusi kekuatan/daya (power) dari pihak yang memilikinya kepada pihak yang tidak atau kurang memilikinya. Oleh karena itu pula, pemberdayaan (empowerment) selalu mengandung upaya pengurangan daya (power) atau upaya melakukan disempowerment pihak-pihak yang memiliki kekuatan/daya (power). Hal ini tentu saja tidak selalu disukai oleh berbagai pihak, termasuk pihak-pihak yang mengaku dirinya sebagai pemberdaya. Dengan demikian definisi kerja pemberdayaan (empowerment) adalah segala upaya yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan/daya (power) pihak-pihak yang tidak beruntung, tidak berdaya atau kurang berdaya. Membangun Sikap dan Wawasan tentang Power Sebagaimana uraian di atas, bahwa hubungan power (kekuasaan/kekuatan/daya) dengan empowerment (pemberdayaan/penguatan) ibarat aksi dan reaksi atau sebab dan akibat. Hal ini mengandung pengertian bahwa munculnya empowerment karena adanya proses depowerment yang dilakukan pihak power. Sebaliknya, tumbuh berkembangnya konsep empowerment memerlukan terjadinya refleksi mendasar secara jernih dan kritis terhadap konsep power itu sendiri. Apabila sikap dan konsep mengenai power adalah bagaikan bangunan dasar, maka konsep empowerment adalah bagaikan bangunan atasnya. Dengan demikian empowerment tanpa dilandasi oleh sikap dan konsep secara mendasar tentang power, berarti membangun sebuah bangunan atas tanpa landasan/fondasi yang menopangnya. Ada dua wawasan yang mewarnai sikap dan pandangan seseorang tentang dan terhadap kekuasaan (power), yaitu ada yang menolak dan ada pula yang menerima, ada yang ‘gandrung’ dan ada pula yang membencinya, karena kekuasaan (power) merupakan bagian yang inherent dalam eksistensi manusia, baik secara individual maupun secara kolektif. Siapapun tidak akan dapat lari dari kekuasaan, karena kekuasaan itu akan selalu ada bersamanya. Kekuasaan pada hakikatnya adalah tidak hanya sebagai bagian dari eksistensi manusia melainkan juga sebagai perangkat bagi aktualisasi kolektif eksistensi manusia. Oleh karena itulah sikap dan pandangan tentang pemberdayaan sangat dipengaruhi oleh pandangan seseorang tentang kekuatan/kekuasaan/daya (power) tersebut. Simanjuntak (2001a:3-4) berpendapat, bahwa pandangan tentang pemberdayaan juga berhubungan dengan pemahaman tentang demokrasi. Di dalam suatu sistem yang demokratis idealnya setiap orang boleh mempunyai pandangan dan pernyataan berbeda tentang sesuatu, setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk berpartisipasi, dan setiap orang idealnya mempunyai kekuatan yang sama karena demokrasi mempersyaratkan distribusi kekuatan secara merata kepada semua orang.
7
Sitasi: Asmuni. (2008). Power dan Empowerment sebagai Paradigma Pembangunan Era Globalisasi. Forum Pendidikan & Ilmu Pengetahuan, Jurnal Pendidikan, 3(6), 26-48.
Pandangan sederhana tentang upaya pemberdayaan yang hanya berusaha untuk mengajari orang agar mampu bermain di dalam sistem (aturan main) yang ada, sama saja dengan menerima begitu saja seluruh sistem yang ada. Padahal kenyataannya banyak sistem (aturan main) yang memang dirancang ‘berat sebelah’, yang mengakibatkan berbagai pihak tidak dapat menampilkan kemampuan terbaiknya dengan ‘aturan main’ itu. Karena itu mereka tetap menjadi pihak yang tidak beruntung, yang lemah atau yang tidak berdaya. ‘Aturan main’ umumnya menyangkut struktur; dan struktur yang menekan (oppresive structure) adalah bagian dari penyebab ketidakberuntungan (ketidakberdayaan). Dalam kondisi demikian inilah pemberdayaan tidak dapat dilakukan dengan tetap menerima struktur dan ‘aturan main’ yang ada, tetapi harus merubahnya. Pandangan lain tentang kekuatan (power) menitikberatkan pada pentingnya pemahaman tentang ketidakadilan struktural. Dalam pandangan ini para elite dianggap sebagai perwakilan dari orang banyak. Struktur yang tidak adil tidak saja dapat terjadi antara para elite (di hirarki teratas) dengan orang kebanyakan (di dasar hirarki), tetapi dapat juga dalam bentuk struktur diskriminatif berbasis jender, ras dan warna kulit dan antara mayoritas dan minoritas. Dalam pandangan ini pemberdayaan hanya dapat dilakukan dengan menghapus semua struktur yang tidak adil. Pandangan terakhir tentang kekuatan/daya (power) justru menitikberatkan pada pemahaman tentang kekuatan/daya (power) itu sendiri, penggunaan bahasa dalam mendefinisikan dan memberlakukan kekuatan dan pengaruh, definisi dan akumulasi pengetahuan dan bagaimana pengetahuan itu dibangun. Dalam konstelasi seperti itulah maka sikap dan wawasan yang paling dasar tentang kekuasaan/kekuatan/daya (power) tersebut tentulah menempatkan hal tersebut dalam konteksnya, yakni eksistensi manusia. Sebab ada kekuasaan/kekuatan/daya (power) yang sungguh-sungguh tidak diperlukan, bahkan tidak boleh ada, terutama dalam kaitannya dengan keadilan sosial, misalnya kekuatan untuk memeras (mengeksploitasi) orang lain, kekuatan untuk membiayai provokasi dan pertikaian, kekuatan untuk merusak lingkungan dan sebagainya. Kalau demikian, untuk apa kekuatan/daya (power) tersebut dibutuhkan? Atau dengan kata lain, untuk apa seseorang atau masyarakat perlu memilki kekuatan/daya (power). Pertanyaan ini penting, karena tidak semua kekuatan/daya (power) benar-benar diperlukan, di samping jawabannya menunjukkan output dari proses pemberdayaan. Simanjuntak (2001a:5-7), menjelaskan tentang kekuatan (power) yang benar-benar dibutuhkan, antara lain, (1) kekuatan untuk menentukan pilihan pribadi dan kesempatan untuk hidup. (2) Kekuatan untuk menentukan kebutuhan. (3) Kekuatan untuk mengeluarkan atau menyampaikan gagasan. (4) Kekuatan untuk memanfaatkan institusi yang ada, seperti sistem pendidikan, sistem demokrasi, sistem dan struktur pemerintahan, sistem kesejahteraan sosial dan sebagainya. (5) Kekuatan untuk menjangkau dan memanfaatkan sumber daya, seperti teknologi dan ilmu pengetahuan, pendidikan, rekreasi, budaya, finansial, bahkan sumber daya alam. (6) Kekuatan untuk melakukan kegiatan ekonomi. (7) Kekuatan untuk mereproduksi, yang meliputi tidak hanya terbatas masalah kelahiran anak, melainkan juga mencakup masalah pengasuhan anak, pendidikan dan sosialisasi. Pertanyaan kritis berikutnya, adalah apakah yang membuat seseorang, kelompok atau institusi menjadi lebih berdaya daripada yang lain? Mereka lebih berdaya daripada yang lain karena mereka memiliki beberapa atau semua sumberdaya kekuatan (sources of power), yaitu: (1) Kewenangan formal. (2) Adanya sanksi yang dapat diberikan kepada salah satu pihak. (3) Lebih menguasai informasi yang terkait dengan hubungan antar pihak. (4) Pengetahuan, dalam arti orang pintar selalu lebih berdaya daripada orang bodoh. (5) Ketrampilan (skills). Contoh, seseorang yang memiliki ketrampilan khusus dan tinggi lebih berdaya menentukan proses produksi suatu perusahaan dari pada pemilik perusahaan itu 8
Sitasi: Asmuni. (2008). Power dan Empowerment sebagai Paradigma Pembangunan Era Globalisasi. Forum Pendidikan & Ilmu Pengetahuan, Jurnal Pendidikan, 3(6), 26-48.
sendiri. (6) Asosiasi (kolektivitas/kebersamaan). Contoh, para buruh menggunakan kebersamaan mereka dalam serikat buruh untuk mengimbangi kekuatan yang dimiliki pihak Manajemen perusahaan karena kewenangannya. (7) Gangguan (nuisance). Contoh, pemogokan adalah pengkombinasian kekuatan buruh karena ketrampilan yang mereka miliki dengan kekuatan yang bersumber dari adanya asosiasi yang mereka miliki untuk melawan kekuatan pihak Manajemen dan Pemilik Perusahaan. Dengan pemogokan tersebut, para buruh membuat ’gangguan’ pada proses produksi sehingga pihak Manajemen dan Pemilik Perusahaan menjadi tidak berdaya untuk menolak tuntutan kenaikan upah, meskipun merekalah yang punya kewenangan untuk itu. (8) Moralitas yang baik telah membuat seseorang lebih berdaya bukan karena ditakuti tetapi karena disegani. (9) Kharisma (wibawa) seseorang mampu menempatkan orang lain di bawah kepemimpinnnya dan menggerakkan mereka untuk melakukan sesuatu. (10) Status ekonomi akan menentukan kekuatan/kemampuan untuk menguasai dan mengendalikan sumber daya ekonomi (finansial, bahan baku, proses dan peralatan produksi serta distribusi barang dan jasa), karena mereka memiliki sejumlah pilihan yang lebih besar atas berbagai alternatif yang mungkin. (11) Persistensi, dalam arti telah lama secara terus menerus memiliki daya/kekuatan (power) itu sendiri. Sudah jadi rumus umum bahwa semakin lama seseorang berkuasa semakin sulit dia untuk melepaskan atau menyerahkan kekuasaan itu kepada orang lain. Gejala ini yang umumnya disebut sindrom kekuasaan (power syndrome). Itulah sebabnya mengapa suatu keadaan yang sudah persisten (sudah berlangsung lama) umumnya lebih berdaya daripada arus perubahan yang ingin menggantikannya (Simanjuntak, 2001b:1-4).
Pembahasan Masalah Globalisasi dan Implikasinya Ditinjau dari pendekatan struktur ekonomi internasional, proses globalisasi itu tak ubahnya “triadisasi”. Dan apabila ditinjau dari peristiwa-peristiwa perdagangan internasional, seperti adanya WTO (World Trade Organization), APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), AFTA (ASEAN Free Trade Area) dan sebagainya, proses globalisasi itu tak ubahnya “liberalisasi perdagangan internasional”. Pernyataan tersebut bukanlah mengada-ada. Karena kenyataan yang terjadi adalah ketidakseimbangan spatial sebagaimana ditunjukkan oleh konsentrasi kegiatan ekonomi di dalam triad regions (Amerika Utara, Eropa Barat, dan Asia Timur), sedangkan kawasan lainnya tetap saja terbelakang dan bahkan cenderung semakin termarginalisasikan dari proses penciptaan kemakmuran. Konfigurasi tripolar telah berkembang sejak 1960-an, dan secara substansial mengalami penguatan selama dekade 1980-an. Dewasa ini produksi, perdagangan, dan investasi global terpusat di dalam dan di antara tiga kawasan besar tersebut, sehingga sementara kalangan menjulukinya sebagai "global triad". Betapa tidak, global triad ini pada tahun 1993 menguasai tiga per empat perdagangan dunia dan memberikan kontribusi sebesar 90 persen bagi arus investasi asing langsung dunia. Sudah barang tentu global triad ini pulalah yang mendominasi arus keuangan global. Oleh karena itu, ditinjau dari sisi struktur ekonomi politik internasional, yang terjadi bukanlah “globalisasi” melainkan "triadisasi". Karena globalisasi identik dengan triadisasi dalam bentuk sebuah integrasi ekonomi dunia, maka dalam tataran konsep prosesnya tidak memerlukan alasan yang serba negatif. Hal ini menjadikan peletakan dasar bagi perencanaan ekonomi internasional dalam sebuah jalan yang harmonis sebagai sebuah kemungkinan yang besar. Di bawah sebuah sistem perekonomian yang berdasarkan keadilan sosial, integrasi ekonomi dunia akan meletakkan langkah lebih maju bagi kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
9
Sitasi: Asmuni. (2008). Power dan Empowerment sebagai Paradigma Pembangunan Era Globalisasi. Forum Pendidikan & Ilmu Pengetahuan, Jurnal Pendidikan, 3(6), 26-48.
Namun sayangnya, integrasi ekonomi dunia tersebut berada di bawah sistem kapitalisme, sehingga perekonomian dunia didominasi oleh segelintir kekuatan multinasional yang mengalir secara alamiah seiring dengan perkembangan kapitalisme yang berbasiskan pada upaya mencari keuntungan pribadi sebesar-besarnya. Mereka juga tak segan-segan mempergunakan lembaga-lembaga politik dan militer negara-negara asal mereka (pejabat-pejabat pemerintahan, orang-orang parlemen, perangkat hukum dan tentara-tentara dari negara-negara kuat, seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang) supaya tujuan mereka tercapai. Bahkan sering kali mereka mencoba menutup-nutupi kepentingan mereka tersebut dengan ikut melakukan campur tangan yang disamarkan dengan baju pembela kepentingan kemanusiaan. Yang pada beberapa tahun yang lalu mereka tunjukan dengan menghujani Yugoslavia, Irak, Afganistan dan lainnya dengan suatu pemboman demi kemanusiaan. Hal tersebut mereka lakukan supaya mereka dapat mempergunakan lembaga-lembaga Internasional yang dibentuk dan dikuasai oleh kekuatan-kekuatan besar mereka sendiri (seperti IMF, Bank Dunia, NATO, PBB, dll.). Globalisasi tidak lebih dari suatu tabir asap dari upaya penyamaran dari bentuk sebenarnya sistem kapitalisme. Penggambaran yang paling tepat bagi kapitalisme sekarang, digolongkan atas eksploitasi dunia Internasional kelas pekerja dan masyarakat di seluruh dunia oleh segelintir negara-negara super power dan perusahaan-perusahan multinasional, tidak lebih dari imperialisme. Hal inilah yang menjadikan perkembangan yang diharapkan menjadi tidak mungkin dan hanya membuat sebuah situasi dimana minoritas kecil menjadi sangat kaya raya sementara mayoritas penduduk memandang diri mereka hidup jauh di bawah standar. Oleh karena itu banyak kalangan memandang bahwa globalisasi itu merupakan keniscayaan sejarah dan oleh karena itu tak dapat dihentikan. Pandangan ini muncul sebagai reaksi dari pendapat sementara kalangan yang sangat prihatin terhadap kecenderungan perkembangan ekonomi dunia yang kian tak menentu dan rentan gejolak, terutama sebagai akibat dari arus finansial global yang semakin liar. Padahal tak semua negara memiliki daya tahan yang tangguh untuk terlibat di dalam kancah lalu lintas finansial global yang tak lagi mengenal batas-batas negara dan semakin sulit dikontrol oleh pemerintah negara yang berdaulat. Hal ini tentu saja mengkhawatirkan munculnya suatu bentuk eksploitasi baru, yaitu oleh financial-driven economies terhadap good-producing economies. Karena kelompok financial-driven economies ini memiliki keleluasaan yang sangat besar dalam merekayasa bentuk-bentuk transaksi keuangan yang sifatnya semu, dalam artian tidak memberikan kontribusi produktif bagi peningkatan kesejahteraan riil masyarakat. Malahan dalam pakteknya telah membuat banyak negara tersungkur dan terseret arus permainan dari sosok kapitalisme finansial yang berperilaku kian buas dan rakus yang siap menerkam mangsanya yang sedang terkantuk-kantuk. Suatu perekonomian yang menapaki tahap demi tahap perkembangan, yang ditumbuhkan oleh berjuta-juta rakyatnya selama puluhan tahun, tiba-tiba bisa diterkam begitu saja dalam sekejap sehingga tersungkur ke dalam jurang kemunduran yang tak terperikan. Contohnya adalah krisis saat ini yang sedang melanda beberapa negara Asia, termasuk Indonesia, yang tadinya dipuja sebagai Asia's Miracle, karena pertumbuhan ekonominya rata-rata 6%-7%. Tetapi karena krisis ekonomi melanda, pertumbuhan ekonominya berbalik menjadi minus. Belum lagi ditambah hutang yang luar biasa besarnya yang nyaris tak mampu berdaya apa-apa terhadap ‘tekanan’ lembaga-lembaga moneter internasional. Seharusnya kesadaran akan bahaya kapitalisme dalam sosoknya seperti sekarang ini perlu ditumbuhkan. Ironinya justru kesadaran seperti itu kurang muncul di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sehingga mereka secara "sukarela" menerjunkan diri ke dalam ajang permainan yang sedang berlangsung. Hal ini mungkin karena sistem yang ada 10
Sitasi: Asmuni. (2008). Power dan Empowerment sebagai Paradigma Pembangunan Era Globalisasi. Forum Pendidikan & Ilmu Pengetahuan, Jurnal Pendidikan, 3(6), 26-48.
sekarang ini nyata-nyata mendorong perilaku konsumtif dan bermewahan yang ujungnya menyeret perekonomian untuk tumbuh secara instant. Tentunya, hanya negara-negara yang cerdik dengan perangkat kelembagaan ekonomi dan politik yang mantap yang bisa mengeliminasikan dampak-dampak negatif dari gelombang pergerakan finansial global tersebut. Hirst & Thompson (1996:3-4) mempertanyakan apakah globalisasi bukan sekedar mitos (yang akhirnya menjadi judul sebuah buku karyanya: Globalization in Question atau Globalisasi adalah Mitos). Menurut pengakuannya: Semakin dalam kami menelaah, semakin dalam pula keraguan kami. Kami akhirnya yakin bahwa konsep globalisasi seperti yang dikemukakan oleh para penganut ekstrim teori globalisasi tidak lain dan tidak bukan adalah mitos belaka. Menurut pendapat kami (1) tatanan ekonomi yang sangat mendunia sekarang ini bukannya tanpa preseden: itu tidak lain hanyalah bagian dari gelombang turun-naik (konjungtur) pertumbuhan ekonomi, atau keadaan ekonomi internasional yang mulai ada sejak ekonomi yang berlandaskan pada teknologi industri mulai menyebar ke seluruh dunia sejak tahun 1860-an. Dalam beberapa hal, ekonomi internasional sekarang ini justru lebih tidak terbuka dibandingkan dengan ekonomi dunia pada tahun 1870 hingga tahun 1914. (2) Perusahaan transnasional (TNC, transnational company) yang murni jarang ditemukan. (3) Lalu lintas modal tidak mengakibatkan berpindahnya penanaman modal dan kesempatan kerja secara besar-besaran dari negara maju ke negara berkembang. Sebaliknya, penanaman modal asing (FDI: Foreign Direct Investment) justru banyak terpusat di negara-negara industri maju, sedangkan Dunia Ketiga, kecuali segelintir negara industri maju, tetap menempati posisi di pinggiran, baik dari sisi investasi maupun perdagangan. (4) Ekonomi dunia jauh dari bersifat murni “global”. Sebaliknya, perdagangan, investasi dan arus dana dewasa ini terpusat di wilayah Tritunggal (Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat) dan pemusatan ini tampaknya akan terus berlanjut. (5) Kekuatan ekonomi Tritunggal (G-3) dengan demikian memiliki kemampuan, apalagi jika ada koordinasi di antara ketiganya dalam kebijakan ekonomi, untuk mengatur pasar modal dan aspek-aspek ekonomi lainnya. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka globalisasi dengan cara atau pola yang tidak berbentuk dan tidak terarah seperti sekarang ini akan menyulitkan negara-negara sedang berkembang untuk berdiri sama tinggi dengan partnernya, negara maju. Bahkan Hirst & Thompson (1996:2) mengatakan bahwa: Salah satu akibat penting dari konsep globalisasi adalah dilumpuhkannya strategi reformasi radikal di tingkat nasional, karena strategi ekonomi nasional dianggap tidak mungkin dapat dijalankan, karena akan harus berhadapan dengan penilaian dan sanksi pasar internasional. Namun demikian … peluang masih tetap ada bagi strategi dan langkah-langkah politik di tingkat nasional dan di tingkat internasional, untuk mengendalikan ekonomi pasar guna mencapai tujuan-tujuan sosial. Dengan demikian, sesungguhnya arus globalisasi seperti sekarang ini menurut logika deduktif nyata-nyata identik dengan pandangan marxisme yang menyatakan bahwa proses globalisasi ditentukan oleh arena ekonomi, sedangkan politik dan budaya hanya mengikuti proses perubahan ekonomi. Krisis yang dialami Indonesia barang kali dapat mendukung analisis tersebut, di mana Indonesia telah mencapai “puncak” ketergantungannya dengan IMF dalam hal pendanaannya. Namun realitanya justru “resep-resep” IMF yang telah memasuki arena politik dalam negeri Indonesia bukanlah berisi obat melainkan morfin yang menambah kecanduan Indonesia untuk semakin bergantung kepadanya. Pemberdayaan: Sumber Kekuatan Dalam tataran konseptual konsep pemberdayaan itu nampaknya tidak ada persoalan untuk dapat dicerna. Ia dapat dikaitkan dengan proses transformasi sosial, ekonomi dan bahkan politik (kekuasaan). Pemberdayaan (empowerment) dalam hal ini didefinisikan 11
Sitasi: Asmuni. (2008). Power dan Empowerment sebagai Paradigma Pembangunan Era Globalisasi. Forum Pendidikan & Ilmu Pengetahuan, Jurnal Pendidikan, 3(6), 26-48.
sebagai proses penumbuhan kekuasaan, kekuatan atau kemampuan diri. Dengan melalui proses pemberdayaan maka diasumsikan seseorang dari strata sosial terendah sekali pun bisa saja terangkat dan muncul menjadi bagian dari lapisan masyarakat menengah atas. Kelompok miskin di pedesaan misalnya, niscaya tidak akan mampu melakukan proses pemberdayaan sendiri tanpa bantuan orang lain. Harus ada seseorang atau suatu institusi yang bertindak sebagai pemicu kema-juan (enabler) bagi mereka. Analoginya ialah seperti orang yang terjerumus ke sebuah lubang berlumpur yang hanya bisa diselamatkan dengan bantuan orang kuat yang mengulurkan tali untuknya. Dan, "orang kuat" yang sering menjadi andalan tidak lain adalah pemerintah sebagai pihak yang memiliki kekuasaan (power). Ada beberapa masalah yang belum banyak direfleksikan oleh gerakan pemberdayaan ini. Pertama, sikap dan pandangan mendasar terhadap power, serta apakah menerima adanya kekuasaan atau tidak. Kedua, untuk apa proses pemberdayaan tersebut: untuk menggulingkan the powerfull, untuk berkonfrontasi, untuk membuat dirinya sendiri menjadi the powerfull, atau untuk membangun koaktualisasi eksistensi? dan permasalahan ketiga yang paling penting, adalah apabila menerima adanya kekuatan dan kekuasaan sebagai faktor eksistensi, maka kreteria apa yang akan dipakai untuk menilai apakah power itu baik ataukah tidak baik. Permasalahan yang juga tidak kalah pentingnya adalah dalam membahas dan kemudian memprogramkan konsep pemberdayaan. Langkah yang pasti adalah menentukan sikap bersama terlebih dahulu terhadap maksud dan arti kekuasaan (konsep dasar tentang kekuasaan) dan bagaimana membuat kekuasaan tersebut menjadi bagian serta fungsi dari aktualisasi eksistensi dan koeksistensi manusia. Hal ini berarti bahwa konsep pemberdayaan yang pas terlebih dahulu harus mengakulturasikan konsep pemberdayaan dari Barat itu secara kritis dan selektif, serta harus me-nempatkan konsep pemberdayaan itu tidak hanya secara individual akan tetapi juga secara kolektif, dan semua itu harus menjadi bagian dari aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia dan kemanusiaan. Dengan kata lain, manusia dan kemanusiaanlah yang menjadi tolok ukur normatif, struktural dan substansial. Ini tidak lain adalah menempatkan konsep pemberdayaan atau empowerment sebagai bagian dari upaya membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, pemerintahan, negara dan tata dunia dalam kerangka proses aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab, yang terwujud di bebagai medan kehidupan: politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan lain sebagainya. Dengan proses pembemberdayaan itulah masyarkat diharapkan memiliki sumber kekuatan/daya (sources of power) yang antara lain dapat berupa kewenangan formal, sanksi yang dapat diberlakukan, menguasai informasi, pengetahuan dan ketrampilan, kebersamaan dengan orang lain, moralitas yang baik, memiliki kewibawaan, serta memiliki, menguasai dan mengendalikan sumberdaya ekonomi (finansial, bahan baku, proses dan peralatan produksi, dan distribusi barang danjasa), dan sebagainya. Tanpa sumberdaya tersebut, niscaya masyarakat tak akan mampu berpartisipasi dalam pembangunan, dan tak akan mampu menghadapi pihak-pihak yang akan “memperdayai”. Konsep Pembangunan Nasional dalam Era Globalisasi Konsep guidance development atau planned economy adalah konsep pembangunan yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi di hampir semua negara sedang berkembang. Hal ini diterapkan, karena memang dekade awal pasca perang dunia kedua, negara-negara tersebut sedang menghadapi beberapa masalah terutama mandegnya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya pengangguran yang diikuti dengan tingkat kemiskinan yang meningkat serta turunnya indikator makro ekonomi lainnya.
12
Sitasi: Asmuni. (2008). Power dan Empowerment sebagai Paradigma Pembangunan Era Globalisasi. Forum Pendidikan & Ilmu Pengetahuan, Jurnal Pendidikan, 3(6), 26-48.
Indonesia sebagai negara berkembang juga menerapkan model guidance development dalam pengelolaan ekonominya sejak tahun 1950-an, dengan pola dasar “Growth with Distribution of Wealth” di mana peran pemerintah pusat sangat dominan dalam mengatur pertumbuhan ekonomi. Pola dasar ini berakhir dengan terjadinya spiral inflation pada akhir tahun 1965. Namun apakah pola ini tidak cocok dengan kondisi di Indonesia, masih perlu kajian lebih lanjut. Kemudian sejak awal tahun 1970, Indonesia menerapkan planned economy dengan pola “Growth First then Distribution of Wealth”. Planned economy ini menunjukkan keberhasilan, terutama dilihat dari indikator makro ekonomi, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pertumbuhan pendapatan yang tinggi, tingkat inflasi yang rendah, kestabilan nilai tukar rupiah, rendahnya tingkat pengangguran dan perbaikan sarana perekonomian. Planned economy ini terbagi dalam lima Pelita (pembangunan jangka panjang atau PJP), di mana tahap pertama (PJP I) dimulai tahun 1969 dan berakhir pada tahun 1997, yang kemudian diikuti dengan tahap kedua (PJP II). Indonesia mengikuti model pembangunan Rostow, tahapan model pembangunan Rostow ini jelas terlihat dalam tahapan-tahapan pelita di Indonesia, yaitu: Tahap pertama adalah mengubah pola traditional economy yang berbasis pertanian tradisional (pangan, low added value crops) menuju pola indsustrial economy, di mana kegiatan ekonomi bertumpu pada industri. Ciri utamanya adalah, pertama self sustaining dalam bidang pangan. Yang kedua, sektor industri menjadi sektor utama untuk penyerapan tambahan tenaga kerja. Ketiga, pertumbuhan ekonomi bertumpu pada industri. Tahap kedua adalah precondition untuk take-off. Indikator utamanya adalah perbaikan infrastruktur, terutama jalan raya, pelabuhan, rel kerat api, dan lapangan terbang. Pada tahapan ini, tingkat pendapatan dan pertumbuhan ekonomi meningkat tajam, capital-labor ratio semakin meningkat, share industri dalam pertumbuhan ekonomi semakin besar (bahkan mulai menggeser peranan sektor pertanian), serta diikuti dengan menurunnya tingkat pertumbuhan penduduk. Tahap ketiga adalah initiating take-off, di mana dalam tahap ini peran pemerintah mulai berkurang. Porsi pembangunan mulai diserahkan kepada swasta. Pemerintah lebih bersifat pendorong, melalui peraturan dan kestabilan politik. Beberapa indikator utama dalam tahap ini adalah pertama, terjadinya perubahan tek-nologi dalam pengelolaan baik sektor industri maupun pertanian. Ratio capital to labor semakin meningkat. Kedua, peran penanaman modal asing dalam pembangunan ekonomi semakin tinggi, bahkan jauh lebih tinggi dari peran swasta domestik maupun negara. Selanjutnya, growth model bertumpu pada akumulasi kapital melalui pasar modal. Ini berarti peran rakyat dalam pembangunan mulai diaktifkan, terutama dalam akumulasi modal melalui transaksi di pasar modal. Tahap keempat adalah take-off. Pada tahap ini peran pemerintah pada pembangunan ekonomi hanyalah sebagai fasilitator, bukan lagi inisiator. Peran swasta sangat tinggi dalam pembangunan. Market mechanism mulai diperkenalkan. Local currency memasuki international trading. Dengan berakhirnya tahapan I pelita (tahun 1997), mestinya Indonesia sudah mulai tahap take-off atau tahap tinggal landas. Dan tahap kedua Pelita memang secara implisit diarahkan untuk memulai tahap take-off. Namun karena dilanda krisis ekonomi yang berkepanjangan, maka Indonesia tidak berhasil take-off, bahkan ibarat “panas setahun hancur hanya oleh hujan sehari”, sehingga terpaksa harus kembali pada kondisi tahapan kedua bahkan mungkin pada tahapan pertama. Sebenarnya model/strategi pembangunan Rostow banyak diterapkan dan berhasil di negara-negara yang sekarang sudah maju, seperti Turki, India, Argentina dan sebagainya (Rostow dalam Suryana, 2000:61). Namun, mengapa di Indonesia tidak berhasil? Menurut analisis penulis, karena dalam merancang dan mengiplementasikan program-program pembangunan, pemerintah Orde Baru menerapkan pola top down dan sangat mengabaikan 13
Sitasi: Asmuni. (2008). Power dan Empowerment sebagai Paradigma Pembangunan Era Globalisasi. Forum Pendidikan & Ilmu Pengetahuan, Jurnal Pendidikan, 3(6), 26-48.
pola Bottom up, sehingga hampir tak ada ruang publik untuk berpartisipasi, termasuk turut mempengaruhi kebijakan-kebijakan pembangunan. Pelaksanaan pembangunan demikian itu, selain bersenyawa dengan sosok negara otoritarianisme Orde Baru, tetapi juga secara teoritik sangat dipengaruhi oleh pemikiran modernisasi. Hal ini dijelaskan oleh Azis S.R dan Tim CPPS (2001:28), bahwa Teori Modernisasi yang dikembangkan di Amerika Serikat pada dasawarsa 1950-1960-an telah dianggit dengan cukup sempurna oleh kaum teknokrat perancang konsep dan model pembangunan Orde Baru. Mereka umumnya adalah ahli ekonomi dari Universitas Indonesia dan beberapa ilmuwan sosial Indonesia yang pada dasawarsa 1950-1960-an meneruskan sekolahnya di Amerika Serikat. Model pembangunan yang dilaksanakan Indonesia, khususnya di masa rezim Orde Baru, dalam hal tertentu harus diakui memberikan hasil yang nyata. Misalnya mampu mencapai perkembangan ekonomi yang meyakinkan dengan pertumbuhan yang tinggi. Namun persoalan baru ternyata menghadangnya, di mana pertumbuhan ekonomi tinggi tidak berjalan seiring dengan pemerataan dan keadilan sosial ekonomi dalam masyarakat. Akhirnya terbukti ketika dilanda krisis ekonomi kelihatan “belang”-nya yaitu fondasi ekonomi yang keropos. Oleh sebab itulah maka dalam era globalisasi paradigma pembangunan nasional haruslah berubah mengikuti perubahan arus globalisasi, sehingga tidak “ketinggalan kereta” atau “tertindas” oleh arus globalisasi. Pemberdayaan masyarakat sebagai suatu strategi pembangunan dalam era globalisasi dewasa ini telah banyak diterima banyak pihak. Namun upaya mewujudkannya dalam praktek pembangunan tidaklah selalu berjalan mulus. Hal tersebut karena adanya berbagai bias terhadap konsep pemberdayaan masyarakat sebagai paradigma pembangunan, yaitu : Bias pertama adalah kecenderungan berpikir bahwa dimensi rasional pembangunan lebih penting dari pada dimensi moralnya, dimensi material lebih penting daripada dimensi moralnya, dimensi material lebih penting dari pada dimensi kelembagaannya, dan dimensi ekonomi lebih penting dari pada dimensi sosialnya. Akibatnya alokasi sumberdaya pembangunan diprioritaskan menurut jalan pikiran yang demikian itu. Bias kedua adalah anggapan bahwa pembangunan yang berasal dari atas lebih sempurna dari pada pengalaman dan aspirasi pembangunan di tingkat bawah (grassroot). Akibatnya kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan menjadi kurang efektif karena kurang mempertimbangkan kondisi yang nyata dan hidup di masyarakat. Bias ketiga adalah bahwa pembangunan masyarakat di tingkat bawah lebih memerlukan bantuan material dari pada keterampilam teknik dan manajerial. Anggapan ini sering mengakibatkan pemborosan sumber daya dan dana, karena kurang mempersiapkan keterampilan teknik dan manajerial dalam pengembangan sumber daya manusia dan mengakibatkan makin tertinggalnya masyarakat di lapisan bawah. Bias keempat adalah anggapan bahwa teknologi yang diperkenalkan dari atas selalu jauh lebih ampuh daripada teknologi yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Anggapan demikian dapat menyebabkan di satu pihak, terlalu memaksa dan menyamaratakan teknologi tertentu untuk seluruh kawasan pembangunan di tanah air yang sangat luas dan beragam tahap perkembangannya ini. Di lain pihak, kita terlalu mengabaikan potensi teknologi tradisional yang dengan sedikit penyempurnaan dan pembaharuan mungkin lebih efisien dan lebih efektif untuk dimanfaatkan dibandingkan dengan teknologi impor. Bias kelima adalah anggapan bahwa lembaga-lembaga yang telah berkembang di kalangan rakyat cenderung tidak efisien dan kurang efektif bahkan menghambat proses pembangunan. Akibatnya lembaga-lembaga masyarakat di lapisan bawah kurang dimanfaatkan dan tidak berikhtiar untuk memperbaharui, memperkuat serta memberdayakannya, tetapi anehnya justru cenderung memperkenalkan lembaga-lembaga baru yang asing dan tidak selalu sejalan dengan nilai dan norma masyarakat.
14
Sitasi: Asmuni. (2008). Power dan Empowerment sebagai Paradigma Pembangunan Era Globalisasi. Forum Pendidikan & Ilmu Pengetahuan, Jurnal Pendidikan, 3(6), 26-48.
Bias keenam adalah bahwa masyarakat di lapisan bawah tidak tahu apa yang diperlukan atau bagaimana memperbaiki nasibnya. Oleh karena itu, mereka harus dituntun, diberi petunjuk, dan tidak perlu dilibatkan dalam perencanaan, meskipun yang menyangkut dirinya sendiri. Akibat dari anggapan ini banyak proyek-proyek pembangunan yang ditujukan untuk rakyat, tetapi salah alamat, tidak memecahkan masalah, dan bahkan merugikan rakyat. Bias ini melihat masyarakat sebagai obyek dan bukan sebagai subyek pembangunan. Bias ketujuh, adalah bahwa orang miskin adalah miskin karena bodoh dan malas. Dengan demikian cara menanganinya haruslah bersifat paternalistik seperti memperlakukan orang bodoh dan malas, dan bukan dengan memberi kepercayaan. Dengan anggapan demikian masalah kemiskinan dipandang lebih sebagai usaha sosial (charity) dan bukan usaha penguatan ekonomi. Bias kedelapan, adalah ukuran efisiensi pembangunan yang salah diterapkan, misalnya lCOR (Incremental Capital to Output Ratio). diartikan bahwa investasi harus diarahkan pada hal-hal yang segera menghasilkan bagi pertumbuhan. Padahal upaya pemberdayaan masyarakat, akan menghasilkan pertumbuhan, bahkan merupakan sumber pertumbuhan yang lebih lestari (sustainable), tetapi umumnya dalam kerangka waktu (time frame) lebih panjang. Anggapan yang demikian beranjak dari konsep pembangunan yang sangat bersifat teknik serta tidak memahami sisi-sisi sosial budaya dari pembangunan dan potensi yang ada pada rakyat sebagai kekuatan pembangunan. Bias kesembilan, adalah anggapan bahwa sektor pertanian dan pedesaan adalah sektor tradisional, kurang produktif dan memiliki masa investasi yang panjang, karena itu kurang menarik untuk melakukan investasi modal besar-besaran di sektor itu. Berkait dengan itu, bermitra dengan petani dan usaha-usaha kecil di sektor pertanian dan pedesaan dipandang tidak menguntungkan dan memiliki resiko tinggi. Anggapan ini juga telah mengakibatkan prasangka dan menghambat upaya untuk secara sungguh-sungguh membangun usaha pertanian dan usaha kecil di pedesaan. Bias kesepuluh, adalah ketidakseimbangan dalam akses pada sumber dana. Kecenderungan menabung pada rakyat seperti tercermin pada perbandingan tabungan masyarakat dengan GDP (Gross Domestic Product), yang cukup tinggi acapkali terasa tidak terimbangi dengan kebijaksanaan investasi melalui sektor perbankan yang lebih terpusat pada investasi besar dan sebagian cukup besar diantaranya dialokasikan untuk investasi di sektor properti yang bersifat sangat spekulatif. Kegiatan investasi makin cenderung terpusat di perkotaan, di sektor industri yang justru banyak disubsidi dan diproteksi, yang akibatnya juga mendorong urbanisasi. Pengalaman Taiwan (dan Jepang sebelumnya) dapatlah dijadikan contoh bahwa investasi di wilayah pedesaan dapat meningkatkan pertumbuhan dan sekaligus pemerataan yang menyebabkan ekonomi kedua negara semakin kukuh. Dengan adanya bias-bias tersebut, maka tugas pemerintah adalah menyelenggarakan keadilan dan mendorong masyarakat untuk mandiri dan berpartisipasi secara maksimal untuk pembangunan yang berkelanjutan demi kepentingan sendiri dan masyarakat. Pemerintah yang baik seyogyanya mengembangkan kapasitas yang dibutuhkan untuk merealisasikan pembangunan yang memberikan prioritas pada mereka yang miskin dengan memberdayakannya, memajukan wanita, memelihara lingkungan serta menciptakan kerja dan kesempatan mencari nafkah yang lain. Pemerintah yang baik mempunyai ciri partisipasi, transparan dan dapat dipertanggung jawabkan. Dia juga efisien, efektif dan adil serta mengutamakan penegakan hukum. Di era globalisasi ini di mana negeri ini semakin tak berdaya untuk “mentas” dari kungkungan krisis yang berkepanjangan, maka politik pembangunan di masa lalu yakni “politik ketergantungan” tak patut kiranya dipertahankan, baik ketergantungan terhadap 15
Sitasi: Asmuni. (2008). Power dan Empowerment sebagai Paradigma Pembangunan Era Globalisasi. Forum Pendidikan & Ilmu Pengetahuan, Jurnal Pendidikan, 3(6), 26-48.
pinjaman luar negeri maupun ketergantungan masyarakat golongan mampu atas subsidi pemerintah. Ada pepatah "easy come, easy go". Uang mudah didapat dari pinjaman tersebut dan mudah pula lenyap. Budaya KKN menghambat inovasi, karena untuk mendapatkan proyek (terutama dari pemerintah) yang penting bukan "lebih efisien", tetapi dapat "lebih memberikan kick back". Prof. Sumitro memperkirakan korupsi sebesar 30 persen dari nilai proyek, karena ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia adalah 30 persen atau lebih dibandingkan nilainya di negara-negara tetangga. Misalnya subsidi harga BBM telah mengakibatkan pengusaha Indonesia manja dan tidak mandiri. Keadaan negeri ini diperparah pula dengan tidak berjalannya demokrasi secara baik, etika berpolitik nyaris tidak dimiliki para politisi. Padahal demokrasi adalah syarat untuk partisipasi dan inovasi, karena dalam demokrasi setiap orang merasa di-"wong"-kan (diperlakukan sama sebagai manusia). Sedangkan desentralisasi lebih fleksibel, efektif, inovatif, bersemangat kerja, berkomitmen, produktif dan partisipatif dari pada sentralisasi, sehingga lebih efisien dan mandiri. Konsep pemberdayaan masyarakat yang bertolak dari konsep power dan empowerment rupaya tepat dijadikan tumpuan pembangunan nasional. Pemerintah selaku penyelenggara pembangunan dan lembaga negara lainnya bau membau bersama rakyat untuk mewujudkan tujuan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata. Hary S. Haryono dalam Pikiran Rakyat (29 Agustus 2001) menyarankan bahwa ikhtiar yang pertama-tama semestinya dilakukan adalah membangun kesadaran serta mengubah mentalitas dan perilaku elit politik, perangkat keamanan, serta secara serempak memberdayakan mayoritas masyarakat yang selama ini tidak terbiasa menyuarakan kepentingannya sendiri. Kebiasaan hidup bermasyarakat dan bernegara yang di dalamnya sarat wacana dominasi (power over) perlu diubah ke wacana sinergistik (power with). Jika tidak, maka kemungkinan untuk mengulangi lagi kegagalan-kegagalan dalam kehidupan berdemokrasi akan selalu terulang. Penguatan legislatif, misalnya, tanpa dibarengi perubahan mentalitas dalam memperlakukan dan menyikapi kekuasaan hanya akan menghasilkan siklus dominasi yang satu kepada yang lainnya seperti yang terjadi selama ini. Hal yang sama juga terjadi pada eksekutif yang terlampau kuat. Dalam konteks itu, konsep power with menyediakan cara pandang baru terhadap realitas kekuasaan. Ia membukakan kemungkinan baru berkenaan dengan pemahaman pengalaman-pengalaman dan pandangan-pandangan kita yang bermanfaat untuk melakukan praksis. Pada prinsipnya, ia merepresentasikan konseptualisasi ulang terhadap hakikat kekuasaan yang dapat dimanfaatkan sebagai piranti untuk melakukan pemberdayaan dan membangun kebersamaan. Kata kunci seperti sinergi, win-win solution, gotong royong, keterbukaan, toleransi, saling memberi dan menerima, kepekaan sosial, dialog, kepedulian sesama, dan sejenisnya merupakan konsep-konsep yang esensial dalam konteks pemberdayaan masyarakat melalui perubahan mentalitas dari power over menuju power with. Sehubungan dengan itu barang kali konsep “Good Governance” sebagai pasangan dari “civil society” kiranya sangat tepat diterapkan dalam pembangunan nasional era globalisasi ini. Terwujudnya “civil society” (masyarakat madani) merupakan arah dan tujuan pembangunan nasional yang diupayakan melalui konsep pemberdayaan masyarakat. Terwujudnya “civil society” membutuhkan prasyarat berupa “Good Governance”, yang biasa diartikan sebagai penyelenggaraan manejemen negara yang berwawasan pertanggung jawaban sosial. Tilaar (1997:231) berpendapat bahwa masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang hidup di dalam suatu masyarakat madani (civil society). Suatu masyarakat madani (civil society) adalah suatu masyarakat yang percaya atas kemampuan para anggotanya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Setiap anggota masyarakat dari masyarakat 16
Sitasi: Asmuni. (2008). Power dan Empowerment sebagai Paradigma Pembangunan Era Globalisasi. Forum Pendidikan & Ilmu Pengetahuan, Jurnal Pendidikan, 3(6), 26-48.
madani (civil society) tersebut adalah masyarakat yang sadar akan hak-haknya dan juga tahu akan kewajibannya. Masyarakat madani (civil society) adalah suatu masyarakat yang teratur, yang terus menerus berubah dan membangun demi untuk kesejahteraan seluruh masyarakat itu. Oleh sebab itu di dalam suatu masyarakat madani (civil society) hak azasi manusia (HAM) merupakan inti dari kehidupan bersama. Sedangkan Good Governance yang berawal dari usulan usulan Badan-badan Pembiayaan Internasional, oleh Bank Dunia dirumuskan sebagai “ the exercise of political powers to manage a nation’s affairs”. Dalam good governance tidak lagi pemerintah, tetapi juga citizen, masyarakat dan terutama sektor usaha/swasta yang berperan dalam governance (Widyahartono, 2001). Good Governance menjadi realita hidup ketika birokrasi mau berperan enabling and empowering dalam masyarakat sipil (civil society) yang demokratis melalui pengaturan yang tepat dari fungsi pasar dengan fungsi organisasi termasuk organisasi publik sehingga dicapai transaksi-transaksi dengan biaya transaksi yang rendah.
Simpulan Dalam era globalisasi konsep pembangunan nasional yang dibutuhkan adalah konsep pembangunan yang tidak lagi mempertentangkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasilnya sebagai tumpuannya, melainkan konsep pembangunan yang bertumpu pada pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Karena pada dasarnya yang mampu menghadapi arus globalisasi hanyalah masyarakat yang berdaya yaitu masyarakat madani (civil society). Dan untuk mewujudkan masyarakat madani (civil society) tersebut dibutuhkan kepedulian dan keberpihakan kekuasaan (power) untuk memberdayakan (empowering) masyarakatnya. Oleh karena itu Good Governance sangat diperlukan eksistensinya. Dengan demikian dapatlah dikatakan power dan empowerment sebagai paradigma pembangunan nasional era globalisasi sangat tepat untuk dikembangkan dan diterapkan dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Daftar Kepustakaan Azis S.R., Abdul & Tim CPPS. 2001. Negara dan ketertindasan Buru, Potret Keterlibatan TNIPolri dalam Masalah Perburuhan di Jawa Timur. Surabaya: CPPS Surabaya bekerjasama dengan USAID Jakarta. Basri, Faisal H. 1998. Krisis Ekonomi Indonesia di Tengah Gelombang Globalisasi. Jakarta: International NGO Forum on Indonesian Development Feith, Herb. 1998. Globalisasi Politik Dunia dan Keharusan Reformasi PBB, (Online), (http://www.dikti.net/unmul/fisip/globalisation.htm1, diakses 3 November 2001) Haryono, Hary S. 2001. Demokrasi dan Pemberdayaan Masyarakat. Pikiran Rakyat, (Online), 29 Agustus 2001, (http://www.pikiran-rakyat.com/prcetak/082001/ 29/0801.htm, diakses 2 Januari 2001). Hirst, Paul & Thompson,Grahame. 1996. Globalisasi Adalah Mitos: Sebuah Kesangsian terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia dan Kemungkinan Aturan Mainnya. Terjemahan P. Sumitro. 200. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Partowidagdo, Widjajono. T.t. Faktor Faktor Sosial, Budaya, Ekonomi dan Lingkungan dalam Analisis Kebijakan Publik. (Online), (http//www.kbw.go.id/publik/pengumuman/ lokakarya5.htm, diakses 2 November 2001) Pranarka, A.M.W. dan Moeljarto, Vidhyandika. 1996. Pemberdayaan (Empowerment). Dalam Prijono, Onny S. dan Pranarka, A,M.W (Eds.), Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi (hlm. 44-70). Jakarta: Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Simanjuntak, Tumpal M.S. 2001a, Pengertian Dasar Pemberdayaan (Empowerment). Surabaya: Action Research and Development Strategy (ARDES).
17
Sitasi: Asmuni. (2008). Power dan Empowerment sebagai Paradigma Pembangunan Era Globalisasi. Forum Pendidikan & Ilmu Pengetahuan, Jurnal Pendidikan, 3(6), 26-48.
Simanjuntak, Tumpal M.S. 2001b, Sumber-sumber Kekuatan dan Berbagai Alternatif Strategi Pemberdayaan (Empowerment). Surabaya: Action Research and Development Strategy (ARDES). Situmorang, Saut. 2001. MTV. Bali Pos (Online), 21 januari 2001, (http://www.balipos.co.id/ baliposcetak/2001/1/21/gl.htm, diakses 2 januari 2002). Suryana, 2000. Ekonomi Pembangunan, Problematika dan Pendekatan. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Tilaar, H.A.R. 1997. Pengembangan Sumber Daya manusia dalam Era Globalisasi, Visi, Misi, dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020. Jakarta: Grasindo. Toffler, Alvin dan Heidi, 1993. War and Anti-War. Survival At The Dawn Of The 21 st Century, New York: Warner-Book. Widyahartono, Storyby Bob. 2001. “Good governance” dan “Empowerment” dalam Era Reformasi. Surat Kabar (Online), 15/01/2001, (http://suratkabar.com/arsip/bob/bob2.shtml, diakses 3 November 2001) Wijaya, I.B Ngurah. 2000. Pemberdayaan Masyarakat Sanur Menuju Masyarakat Yang Mandiri: Bali Pos (Online), 29 November 2000, (http://www.balipost.co.id/balipostcetak/ 2000/11/29/PA1.htm, diakses 2 November 2001).
18