Charles J. Adams Antara Reduksionisme dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama
POTRET KEPEMIMPINAN SANTRI PUTRI ANNUQAYAH Muthmainnah Peneliti Pada Social Research Community (SRC) Pondok Pesantren An-Nuqayah Sumenep Madura Abstract: Leader is someone who is mandated to carry out the task of leadership. Being a leader is the right of every individual, regardless of the sex. History and tafsir (Qur’anic exegesis) that are shaped and formed by people in the past have raised paradigm on who women are too weak to be leaders. It is quite often that history is dishonest against women. Consequently, the position of women is seen as limited in the name of her biological aspect. Neverthelles, women’s potentials are gaining slowly the attention and the acknowledgement. The receive public acknowledging their potentials even to become leader in the public sphere. Interestingly, Pesantren where gender is still considered as taboo turn out to have given the acknowledgement on women’s potentials. Eventhough Pesantren applies male-female segregation, it optimalizes the potentials of both male dan female santri’s. In this segregated system, female students (santriwati) are allowed room and opportunity to practice skills as leaders, assisting the Pesantren leader to teach and to assist the students and Pesantren affairs. So, despite the fact that it still applies some traditional systems, Pesantren indeed has allowed rooms for women to be leaders. Key word : Pemimpin, Perempuan, Santri, dan Pesantren
Pendahuluan Dalam konteks sejarah, banyak digambarkan kehidupan perempuan yang lebih dominan pada lingkungan rumah. Segala kegiatan yang dilakukan bernuansa domestik. Kebebasan untuk mengeksplorasi potensi terbatas di ranah rumah tangga. Bahkan, untuk menjadi pemimpinpun, porsi perempuan terlemahkan akibat jenis kelaminnya. Tafsiran-tafsiran yang dilakukan ulama terdahulu menjadi penguat akan kelemahannya. Berbeda dengan sekarang, posisi perempuan kian mendapat porsi hampir setara dengan laki-laki. Kenapa dikatakan “hampir setara”? Karena, hal ini masih mengandung ambiguitas. Diberbagai kalangan nyatanya masih terjadi kontroversi tentang kepemimpinan perempuan. Pesantren sebagai institusi tua, namun masih tetap lestari dengan tradisi-tradisinya merupakan kebanggaan tersendiri. Di tengah-tengah arus globalisasi, pesantren tetap ‘gagah’ dengan baju tradisionalnya; dalam dikotomi laki-laki dan perempuan (santri putra dan santri putri). Dikotomi ini hakikatnya, untuk pelestarian nilai-nilai Islam. Di mana, keberlangsungan rutinitas pesantren bukan untuk mendiskriminasi satu sama lain, melainkan untuk mengintegrasikan bangunan desain peradaban (membangun watak sosial secara teratur dan terorganisir) di dalamnya. Dalam hal ini, desain peradaban yang dibangun di ruang putri berbeda
74
JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830
Abdul Muthmainnah Kadir Riyadi
dengan desain di santri putra, namun dalam satu kebijakan pengasuh. Dalam hal ini, pesantren bukan hanya sebuah sistem pendidikan, dan pembangunan karakter (character building), maupun pembinaan moral, lebih dari itu, pesantren berupaya mencetak generasi yang tangguh, mandiri, dan disiplin. Tentu, dengan tata dikotomi yang dilaksanakan di pesantren. Annuqayah merupakan salah satu pesantren besar di Madura yang masih konsisten dengan dikotomi antara santri putra dan putri. Terlepas dari hal apapun, sisi tersirat dari dikotomi ini tidak lain bertujuan untuk mencetak generasi tangguh dan mandiri, yaitu, mampu memimpin dan mengatur diri sendiri dan kelompok. Dari hal ini kemudian, terjadi desain peradaban yang dibangun sendiri oleh santri putra dan santri putri. Santri putri yang masih pula dikenal sebagai sosok perempuan ‘kalem’, tidak lepas dari perdebatan tentang perempuan pada umumnya: dilemahkan dengan alasan biologis. Walau memang diakui, adanya dikotomi di pesantren tidak lepas –salah satunya- sebab alasan biologis antara berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Santri putra lebih leluasa dan bebas, sedangkan santri putri lebih ketat dengan hidup di dalam pesantren. Akan tetapi, kenyataan demikian hanyalah simbolik. Karena realitasnya, santri putri mampu membangun peradaban walau lingkupnya tidak seleluasa santri putra. Selanjutnya, tulisan ini akan membahas tentang kepemimpinan santri Putri di Annuqayah dan peradaban (pencapaian) yang dibangun oleh kepemimpinan santri putri Annuqayah Konsep Kepemimpinan dalam Islam Secara harfiah kepemimpinan berasal dari kata pimpin, yang berarti dibimbing, dituntun (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Pimpin kemudian menjadi kata ‘pemimpin’ yang mengandung makna orang yang memimpin. Dalam islam, pemimpin dikenal dengan istilah khalifah1. Khalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya (Quraish Shihab, 2000). Pemimpin (pxÿ‹Îyz) merupakan figur sentral dalam perubahan dan kegiatannya (Raihani, 2011). Menjadi pemimpin sangat berkenaan dengan karakteristik dan kepribadian. Fungsi pemimpin selain mampu mengatur kelompok, ia juga memiliki kecakapan seni, tehnik untuk memengaruhi kelompok agar mencapai tujuan. Pemimpin berarti memimpin, mengorganisir sekaligus memobilisir kelompok agar menjadi lebih baik. Karena, memimpin hakikatnya adalah bentuk hubungan antara seseorang dengan lingkungannya. Dalam konteks kenabian, pemimpin diartikan sebagai penyampai risalah ketuhanan kepada manusia. Nabi juga merupakan sosok teladan. Sosok Rasulullah saw. cara kepemimpinan terhadap ummatnya adalah dengan mendidik, mengasuh, membimbing, sekaligus menjadi figur. Penggunaan kata khalifah kian pula menjadi perdebatan: antara khalifah, dan mulk. Peranan khalifah bagi Ibnu Khaldun merupakan pemerintahan dengan ilham ilahi. Segala peranannya diikat oleh hukum Tuhan dan tidak boleh mengubah kebijakan Tuhan, hak untuk membuat undang-undang ada di tangan Tuhan. Ini lah yang dikatakan Ibnu Khaldun sebagai suatu khas dalam sistem politik Islam. Dan khalifah hanya terbatas pada kaum maskulin sebagai pengganti Nabi. Sedangkan mulk, menurut Ibnu Khaldun, diartikan yang secara mendasar dan hakiki bersifat manusiawi. Walau pula, antara keduanya hanya permainan linguistik, yang mungkin masing-masing kata memiliki persamaan dengan sama-sama memiliki makna signifikan. 1
JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830
75
CharlesKepemimpinan Potret J. Adams AntaraSantri Reduksionisme Putri Annuqayah dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama
Persoalan kepemimpinan, merupakan tugas setiap individu, menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 30, yang berbunyi; Zpxÿ‹Î=y ÇÚö‘F{#’Îû×@Ïã ’ÎoT) Artinya: “sesungguhnya aku akan menjadikan khalifah di muka bumi” (QS: al-Baqarah: 30). Ayat tersebut mengandung pemahaman bahwa, setiap manusia memiliki beban tugas kekhalifahan (kepemimpinan) di muka bumi, terlepas manusia berbiologis laki-laki atau pun perempuan. Bentuk kekhalifahan ini dalam Tafsir Mishbah terdiri dari wewenang yang dianugerahkan Allah Swt. Dengan demikian, kekhalifahan mengharuskan manusia untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan petunjuk dan kebijakan Allah Swt. yang tertuang dalam al-Qur’an. Dalam hal ini, secara ekplisit dijelaskan, tidak ada kalimat khusus tentang kriteria “pemimpin” berdasarkan jenis kelamin. Walaupun, dibeberapa tafsiran ulama terdahulu, kedudukan untuk menjadi pemimpin hanya bagi mereka yang berjenis kelamin laki-laki. Padahal, potensi kepemimpinan dimiliki oleh setiap diri manusia, dan tidak memandang pada faktor biologisnya. Akibat tafsiran yang melemahkan perempuan, kemudian perempuan dikonstruk oleh kecacatan sejara-budaya. Sehingga, posisi perempuan sering menjadi termarginalkan. Teori-Teori Kepemimpinan Menjadi seorang pemimpin, tidak cukup hanya memiliki bekal kemampuan intelektual. Kemampuan yang dimiliki oleh seorang pemiimpin harus ‘ideal’. Ideal, bukan berarti sosok yang harus sempurna, melainkan pemimpin memiliki pokok skil berjiwa the laeder, dan memiliki keluasan jiwa. Karena yang akan dihadapi pemimpin adalah beragam kerakteristik rakyat. Berikut beragam teori-teori kepempinan berdasarkan pendekatan yang dilakukan terhadap kepemimpinan: 1. Pendekatan Pembawaan (Ttait Approach) Teori ini menegaskan bahwa, kepemimpinan dilihat dari pembawaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Kepemimpinan dengan pendekatan pembawaan memfokuskan pada sifatsifat yang mencakup karakter fisik dan kepribadian. Sehingga, pola kepemimpinan dengan pendekatan pembawaan ini, menkombinasikan karakteristik personal pemimpinan dengan kegiatan-kegiatan dan tujuan yang akan dicapai bersama. 2. Pendekatan Behavorial (Behavorial Approach) Pendekatan behavorial terhadap kepemimpinan melihat pada perilaku kepemimpinan yang terbagi dalam dua bagian, yaitu konsiderasi dan inisiasi struktur. Konsiderasi merupakan sikap pemimpin dalam memerhatikan dan menghargai gagasan bawahannya. Sedangkan inisiasi struktur adalah mendifinisikan serangkaian tugas pemimpin-bawahan, dengan melaksanakan tugas sesuai job description masing-masing. 3. Pendekatan Kontingental (Contingency Approach) Teori dengan pendekatan kontingental merupakan teori kepemimpinan dengan melihat gaya
76
JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830
Abdul Muthmainnah Kadir Riyadi
pemimpin terkait situasi yang terjadi dalam suatu organisasi. Menurut teori ini, efektifitas kepemimpinan dipengaruhi oleh variabel-variabel suatu situasi yang kompleks. Di mana, situasi dalam organisasi yang memberi kekuasaan dan penguatan pemimpin untuk mengorganisir dan mengontrol bawahannya. 4. Pendekatan-Pendekatan Transformasional (Transformational Approaches) Fokus kepemimpinan dengan pendekatan transformasional adalah komitmen kapasitas anggota organisasi. Dengan komitmen dan kapasitas yang semakin bertambah, akan menghasilkan produktivitas yang lebih baik. Lintas Sejarah Kepemimpinan Perempuan Membicarakan sejarah perempuan, terlalu naif untuk disubordinasikan. Dalam al-Qur’an, Tuhan mengisahkan Ratu Balqis sebagai contoh perempuan hebat. Penggalan ayat, Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur, merupakan pujian Tuhan terhadap kepemimpina Ratu Balqis yang mampu memimpin negeri Saba’. Bukan hanya Ratu Balqis, peran-peran perempuan yang signifikan pula dikisahkan dalam beberapa literatur sejarah. Di masa Nabi, Aisyah menjadi salah satu contoh pemimpin perempuan. Aisyah, istri Rasulullah pernah memimpin pasukan perang dalam perang Unta (656 M) melawan khalifah Ali bin Abi Thalib (Said Aqil al- Munawar: 19 t.th). Namun demikian, peran perempuan seringkali mendapat peran nomor dua setelah laki-laki. Entah, hal ini dilakukan secara tidak sengaja atau dipolitisasi demi peran ‘jantan’ laki-laki. Padahal, banyak contoh perempuan hebat yang mampu menjadi pemimpin baik bagi masanya. Ratu Shima termasyhur sebagai ratu yang bijak di Kerajaan Keling atau Kalinga yang pusat pemerintahannya berada di pesisir utara Pulau Jawa. Ratu Shima dikenal dengan ratu adil, hukum yang diberlakukan tidak pandang bulu, (Murtadho Hadi, 2010). Ada pula ratu Syajarat al-Durr, ratu Mesir yang dapat meraih kekuasaan pada 648/1250 dengan keunggulan strateginya. Penggunaan kata “ratu” (sulthanah) merupakan pembeda dalam tata bahasa antara pemimpin laki-laki dan pemimpin perempuan. Namun bukan maksud memberi makna diferensiasi peran maupun fungsi dalam kepemimipinan. Karena dulu, menurut Lisan al-Arab, kata khalifah hanya ada dalam bentuk maskulin, dan tidak dapat digunakan dalam bentuk feminim; sultan dan malik (Fatima Mernissi, 1993). Tafsiran Lemah Terhadap Perempuan Penafsiran-penafsiaran terhadap ayat al-Qur’an yang dilakukan oleh ulama terdahulu (mohon maaf) sering kali melemahkan peran perempuan. Dalam surat an-Nisa’, Ïä!$|¡Ïi9$#’n?tãcqãBº§q%ãA%y‘Ìh9$# JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830
77
CharlesKepemimpinan Potret J. Adams AntaraSantri Reduksionisme Putri Annuqayah dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama
Artinya: “laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan” (Q.S: an-Nisa’ [4]: 34). Ayat ampuh, yang mampu menjadi dalil kuat bagi guugrnya kepemimpinan perempuan. Namun, alasan ini kemudian dipatahkan oleh tafsiran ulama kontemporer, bahwa tafsiran ayat 34 dari surat an-Nisa’ merupakan kepemimpinan dalam keluarga. Kepemimpinan orang lakilaki terhadap keluarga berarti ia menjadi pemimpin keluarganya (Ibrahim Ahmad, 1999). Namun, Muhammad ‘Abduh dalam al-manar-nya tidak memutlakkan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan (Nasaruddin Umar, 2001). Wacana perempuan pada ranah publik, masih terdapat kontroversial dalam memosisikan peran perempuan. Perempuan sering kali dilemahkan. Perempuan dijadikan alasan kebejatan laki-laki. Perempuan dijadikan pihak kedua setelah laki-laki, dengan alasan faktor biologis. Hal ini, merupakan salah satu konsekuensi dari konstruk budaya yang terlalu membekas dan memberi pemahaman mendalam bagi generasi untuk terus menggerus peran perempuan. Padahal, hal ini sesuatu yang tidak adil bagi kehidupan perempuan. Islam, tidak pernah membicarakan perbedaan laki-laki dan perempuan dalam hal peran, kecuali yang bersifat kodrati, seperti menstruasi, menyusui, dan hamil. Sedangkan laki-laki tidak bisa sama seperti perempuan dalam tiga hal tersebut. Perbedaan mendasar ini, kemudian menjadi alasan bagi kelemahan perempuan. Ketubuhannya sekaligus merupakan keterbatasan dalam pengembangan dirinya (Saparina Sadli, 2010). Alasan tersebut menjadikan perempuan sebagai makhluk domestik. Kemampuan perempuan hanya terbatas pada masalah melayani suami, mendidik, dan mengasuh anak. Kehidupan luar dengan segala perangkatnya ditutup untuk kebutuhan perempuan. Sehingga, konsekuensinya, perempuan yang memiliki skill kepemimpinan tidak mendapat peranan signifikan di luar domestik. Kenyataan ini didasari pada tafsiran ulama terdahulu yang bias gender. Di dalam suatu hadits disebutkan “lan yufliha qaumun wallau amrahum imra’atan”, artinya “tidak akan berjaya suatu qaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan” (H.R. Akhmad, Bukhari, al-Nasa’i dan al-Tirmidzi). Kenyataan hadits ini, membenarkan terdahap kegagalan perempuan untuk menjadi pemimpin. Kemampuan perempuan diputus dengan redaksi ambigu, dengan beragam pandangan atau tafsiran lemah ulama terdahulu dalam melihat potensi perempuan. Tafsiran tersebut kemudian membentuk suatu tatanan budaya. Menjadi pemahaman yang cukup kontroversial di perbagai kalangan. Bahkan, menjadi perdebatan (khilafiyah) yang tiada batas. Beragam wacana pro-kontra terhadap kepemimpinan perempuan saling menuding satu sama lain, tanpa tahu dan tanpa memihak mana yang benar dan mana yang salah. Perdebatan berjalan sesuai teks dan situasi konteks. Salah satu teori gender, fungsionalis struktural menggambarkan tentang peranan manusia dilihat dari struktur fungsinya. Dalam hal ini, peranan laki-laki dan perempuan diibaratkan pada masa pra-industri; laki-laki sebagai pemburu (hunter) dan perempuan sebagai peramu (gatherer) (Nazaruddin Umar, 2010). Teori ini, jika melihat sisi potensial perempuan di dunia
78
JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830
Abdul Muthmainnah Kadir Riyadi
‘hunter’ (pemimpin) akan gugur dengan bantahan kemampuan perempuan di luar peran domestik. Hal tersebut di atas tentu berbeda dengan era sekarang, di mana menjadi contoh penting bagi era pemberdayaan perempuan. Klaim kelemahan perempuan hanya terbatas pada sektor domestik, dibantah secara tegas oleh –terlepas dari teori apapun, dengan melihat kenyataan skill perempuan. Dengan melibatkan peran perempuan di luar domestik. Organisasi keagamaan, salah satu kegiatan perempuan, seperti Fatayat, yang berfungsi memberdayakan perempuan, menjadi bukti terhadap sisi potensial perempuan serta masih banyak organisasi-oraganisasi perempuan lainnya. Walaupun, peranan perempuan sering kali dipatahkan dengan argumen agama. Hal ini kemudian menjadi perdebatan panjang, yang akhirnya posisi perempuan hari ini masih sanksi di berbagai kalangan. Namun demikian, perkembangan zaman menuntut berbagai kalangan untuk ‘merestui’ perjalanan gender, (dalam hal ini peran perempuan) hingga ke kalangan pesantren pun gender bukan sesuatu yang tabu lagi. Gender Pesantren Pesantren merupakan institusi lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Keberadaan pesantren telah menjadi prioner peradaban bangsa. Pesantren mendidik peserta didiknya berdasarkan peranan agama. Berbeda dengan lembaga pendidikan umum, pesantren sangat lekat dengan nilai-nilai keislaman. Kegiatan-kegiatan di dalam pesantren sangat bernuansa islam. Mulai dari kurikulum pembelajaran, materi hingga pada dikotomi tempat santriwan dan santriwati. Pesantren sangat menjaga nilai-nilai keagamaan, tradisi, dan syari’at agama untuk menempatkan santri putra dan santri putri di tempat yang berbeda. Walaupun, secara tekstualis tidak ditemukan aturan jelas tentang dikotomi thalib dan thalibat dalam pendidikan. Namun demikian, hal ini merupakan salah satu cara pesantren mendidik dan mengasuh santri yang lebih disiplin dan mandiri. Meskipun, tidak menutup kemungkinan, adanya perbedaan antara santri putra dan putri memberi kesan diskriminasi. Santri putri lebih terbatas dan tertutup, sedangkan santri putra lebih leluasa dalam bergerak. Karena dalam hal ini, pondok pesantren selain dikatakan sebagai lembaga keagamaan yang tidak hanya identik dengan tradisi keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai indigenous-nya Indonesia, keberadaan pesantren di Indonesia mampu membedakan bangsa Indonesia dengan negaranegara islam lainnya. Pondok Pesantren Annuqayah, salah satu pesantren besar dan tua di Madura didirikan pada tahun 1887 dan masih tetap melestarikan dikotomi (pemisahan) antara santri putra dan santri putri, dengan menerapkan sigle sex education. Sehinga institusi pendidikan yang berada di bawah naungan PP. Annuqayah mulai dari tingkat MI sampai perguruan tinggi pun antara thalib dan thalibat dipisah. Dikotomi ini sudah menjadi tradisi dan bagian untuk dilestarikan. Perbedaan ini sebenarnya bukan hal yang bias gender. Walau pula diakui, ada sisi kecemburuan sosial yang dialami santri putri terhadap santri putra yang lebih memiliki keleluasaan dalam bergerak dan aturan yang diberlakukan. Akan tetapi, lebih jauh, ada pesan tersirat yang mampu JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830
79
CharlesKepemimpinan Potret J. Adams AntaraSantri Reduksionisme Putri Annuqayah dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama
menjadi jurus ampuh santri putri, bahwa dikotomi ini tidak lain sebagai tujuan untuk menjaga, mendisiplinkan dan memandirikan santri putri. Dikotomi, menurut salah satu Anggota komunitas peneliti Social Reaseach Community (SRC), yang menekuni di bidang gender, Fauziyah, S.Pd.I “dikotomi menurut saya, jika melihat pada aspek agama, memang adanya larangan berinteraksi dengan lawan jenis. Sehingga hal ini menjadi kewajiban pesantren untuk melestarikan tradisi islam, tanpa maksud mendiskriminasi satu sama lain”.2 Menurut H. Muhammad Hosnan A. Nafi’, M.Pd, salah satu pengasuh Annuqayah dikotomi ini memiliki tujuan, “Pertama, memetakan posisi dan fungsi jenis kelamin. kedua, Untuk meminimalisir potensi kemaksiatan yang disebabkan oleh hubungan antar jenis. Ketiga, untuk mengoptimalkan potensi kaum perempuan dalam peran sosialnya. keempat. Untuk memudahkan pengawasan dalam tindaktanduk keseharian. Kelima, untuk menjaga nilai-nilai Islam dalam hubungan laki-laki dan perempuan. keenam, Untuk menjelaskan identitas pesantren sebagai lembaga Islam.”3 Hakikatnya, pen-dikotomi-an ini merupakan salah satu cara memulyakan perempuan (santri putri) dan menghargai martabat perempuan. Mengenai tentang aturan, memang diakui, gerak satri putra lebih bebas dibangding santri putri. Namun bukan berarti, hal ini bukan untuk mengkerdilkan perempuan. Malah, untuk mengoptimalkan potensi perempuan. Karena, dari hal ini, santri putri didik untuk belajar sederhana, disiplin, dan bisa belajar menerima. Organisator; Santri Putri Di pesantren, terjadinya dikotomi santri putra dan putri merupakan hal vital untuk dilestarikan. Karena dengan ini, selain melihat dari aspek agama saja, dengan melihat potensi santri putri dalam kegiatan organisasi merupakan hal yang memberdayakan santri perempuan. Dalam kegiatan organisasi, tanpa melibatkan peranan signifikan laki-laki (santri putra) hal ini menjadi media belajar disiplin bagi santri putri sendiri. Santri putri dididik dalam kegiatankegiatan organisasi, dalam artian mereka tidak dibatasi untuk bergerak dan mengoptimalkan potensi yang ada. Pondok Pesantren Annuqayah (PPA) yang masuk pada deretan pondok pesantren tua di Madura yang masih tetap melestarikan single sex education. Segala kegiatan pembelajaran maupun kegiatan keorganisasian antara santri putra dan putri diberlakukan secara terpisah. Annuqayah memiliki 12 komplek putri (dhalem) dengan beragam cirri khas yang berbeda. Beberapa komplek tersebut yaitu; PPA. Lubangsa Putri, PPA. Lubangsa Selatan, PPA . Kusuma Bangsa, PPA. Lubangsa Tengah, PPA. Latee II, PPA. Latee I, PPA. Latee Selatan, PPA. Latee Utara, PPA. Hasil wawancara dengan Fauziyah Salim, S.Pd.I pengamat muda (sntri) sekaligus anggota komunitas peneliti Social Reaseach Community (SRC) di bidang gender, pada Rabu 15 Mei 2013 3 Hasil wawancara dengan H. Mohammad Hosnan A. Nafi’, M.Pd pengasuh PP. Annuqayah Kusuma Bangsa pada Rabu, 29 Mei 2013 2
80
JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830
Abdul Muthmainnah Kadir Riyadi
Latee Timur, PPA. Al-Furqan, PPA. Al-Hikmah, PPA. Karang Jati. Dari setiap komplek tersebut, peranan ‘kepengasuhan’; mendidik, dan mengajar secara struktural kelembagaan diamanahkan kepada pengurus dengan sistem periodik. Dalam hal ini, peran pengasuh dalam mengasuh, mendidik dan menagajari santri ‘dibantu’ oleh penguruspengurus di setiap komplek, yang terdiri dari santri. Dari kelembagaan dengan sistem organisasi, santri putri (pengurus) diajari untuk memimpin, mengorganisir, dan mendidik santri, selain dalam rangka membantu pengasuh, pula untuk –yang sebenarnya- mendidik santri agar menjadi organisator baik, sehingga nantinya tidak kaku ketika telah berinteraksi dengan masyarakat. PPA. Lubangsa Putri PPA. Lubangsa Putri merupakan salah satu komplek di PP. Annuqayah dengan kuantitas santri terbanyak, yaitu memiliki santri 937, dengan jumlah pengurus 55 santri. Secara struktural, di PPA. Lubangsa Putri, struktur kepengurusannya terdiri dari Pelindung yaitu pengasuh, Penasehat yang terdiri dari para senior, kemudian pengurus harian, (Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Wakil Sekretaris, bendahara dan wakil Bendahara), selanjutnya seksi-seksi, yaitu seksi Bimbingan Peribadatan dan Keilmuan (BPK), Pendidikan dan Penalaran Wawasan Keilmuan (P2WK), Kesenian, Pengembangan Pers (PP), Pengembangan dan Pembinaan Organisasi (P2O), Pengurus Sarana dan Prasarana (PSP), Kebersihan, Keamanan dan Ketertiban (KAMTIB), dan ketua Blok. Pola kepemimpinan yang digunakan adalah pola koordinasi. Dalam hal ini, pemimpin atau ketua pengurus mengorganisir kepengurusan secara garis koordinasi. Jadi, pemimpin tidak serta merta memberi wewenang kepada setiap individu pengurus atau pun santri, melainkan melalui koordinator seksi, ketua blok maupun ketua kamar. Gaya kepemimpinan tentu berbeda dari berbagai periode sebelum-sebelumnya. Karena, kepemimpinan juga berkaitan dengan karakteristik yang dimiliki oleh pemimpin. Di masa kepemimipinan Rasyifatul Ma’rifah, S.Ud, masa bhakti 2012-2013 kepemimpinan yang sedikit bersifat otoriter. Dalam artian, sikap otoriter yang digunakan bukan bertujuan menekan, melainkan untuk mendisiplinkan dengan tujuan untuk mencapai dinamika organisasi yang baik. Sebab, dalam realitasnya, kadangkala pengurus dalam menjalankan amanah kepengurusan, kurang disiplin dan serius. Sehingga, dari hal ini dibutuhkan sikap pemimpin yang cenderung otoriter, untuk mendisiplinkan bawahan, agar kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan berjalan sesuai harapan. Meskipun bersikap otoriter, dalam menentukan kebijakan atau keputusan tidak sewenang-wenang dalam mengambil keputusan. Cara penentuan keputusan melalui musyawarah, dengan melibatkan perwakilan santri, yaitu ketua kamar atau ketua blok. Namun, segala keputusan dan kegiatan yang akan dilaksanakan harus mendapat rekomendasi dari pengasuh. Dan dengan pula berkonsultasi kepada pengasuh muda (putri pengasuh) dalam menentukan kebijakan. Mengenai pola kaderisasi yang dibentuk, selama ini di PPA. Lubangsa Putri tidak menerapkan pola kaderisasi yang terorganisir. Akan tetapi, pengurus selain mengatur dan JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830
81
CharlesKepemimpinan Potret J. Adams AntaraSantri Reduksionisme Putri Annuqayah dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama
mengontrol kegiatan-kegiatan santri, sambil lalu melakukan pembinaan organisasi. Karena, di PPA. Lubangsa Putri memiliki beberapa Badan Semi Otonom (BSO), yang meliputi: Perpustakaan, Madrasah Diniyah, English Club, Syu’bah al-‘Arabiyah, dan Jam’iyah Ta’miqil Kutub (JTK). Dan Organisasi Derah (ORDA) yang meliputi, ORDA Ikatan Keluarga Santri Pamekasan Sampang (IKSAPANSA), Ikatan Keluarga Santri Timur Daya (IKSTIDA), Persatuan Santri Lenteng (PERSAL), Ikatan Keluarga Santri Guluk-Guluk–Ganding (IKSAGG), dan Ikatan Keluarga Santri Pantai Utara (IKSAPUTRA). Melalui organisasi-organisasi kecil ini, sebenarnya telah dibentuk pola kaderisasi kepemimpinan. Akan tetapi, syarat yang paling signifikan untuk memimpin atau menjadi ketua pengurus adalah kesiapan mental, pikiran, dan kemantapan hati. Karena menjadi pemimpin (ketua pengurus) akan berhadapan dengan kompleksitas, dengan beragam santri, wali santri, begitu pula dengan pengasuh. Dalam kepempinann ini, kebijakan vital dan tertinggi ada di pengasuh. Pengurus hanya menjalankan amanah kepengurusan sesuai target yang akan dicapai. Di masa kepemimpinan Rasyifatul Ma’rifah, S.Ud orientasi atau target kepemimpinan diarahkan pada baca al-Qur’an. Target ini didasari atas pembacaan terhadap realitas santri yang kurang memerhatikan tata cara yang baik ketika membaca al-Qr’an. Selain itu, santri dinilai kurang membiasakan membaca al-Qur’an, sehingga mengurangi terhadap kualitas baca al-Qur’an. Dan di periode 2012-2013 sudah ada peningkatan sekitar 65%, yang didapat dari setiap evaluasi dengan seluruh pembimbing mengaji dan melihat catatan buku pembimbing dari setiap santri. PPA. Daerah Latee II Secara struktural di PPA. Latee II yaitu dari pengasuh, Dewan Pertimbangan Pengurus (DPP) yang terdiri dari ketua lama, Harian yang terdiri dari Ketua, wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, bendahara, wakil bendahara. Selanjutnya departemen-departeman, departemen pembinaan akhlak dan busana islami, pendidikan dan pengembangan intelektual, pengembangan bakat dan keterampilan, pengembangan usaha dan bisnis, keamanan dan ketertiban, pelayanan informasi dan komunikasi, peribadatan dan pengembangan spiritual, perpustakaan, pembinaan khusus, kesehatan dan kebugaran, kebersihan dan keindahan, dan sarana dan prasarana. Secara fungsionalnya, kedudukan pengurus menerjemahkan tujuan atau target pengasuh yang akan dicapai. Otoritas ada di tangan pengasuh, namun 80% pengurus diberi wewenanng untuk melaksanakan amanah kepengurusan. Dalam kepemimpinan ini, kebijakan atau keputusan yang diambil dengan melibatkan santri dan tidak serta merta membuat kebijakan. Kebijakan ataupun keputusan yang didapat harus dipertimbangkan kepada Dewan Pertimbangan Pengurus (DPP) yang kemudian kebijakan yang dihasilkan diajukan kepada pengasuh. Dalam hal ini, otoritas pengasuh begitu dipertimbangkan dan signifikan dalam menjalankan amanah kepengurusan. PPA. Latee II dengan jumlah santri putri 611 dan jumlah pengurus 45 orang lebih menekankan pada akhlak santri. Sehingga, departemen pembinaan akhlak menempati
82
JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830
Abdul Muthmainnah Kadir Riyadi
departemen pertama setelah harian. Orientasi atau target kepengurusan adalah akhlak santri. Karena akhlak dinilai paling urgen, selain pula karena merupakan dhauh atau pesan pengasuh. Selain hal tersebut, juga menekankan pada al-Qur’an dan kitab kuning. Dalam pembinaan akhlak, di masa kepemimpinan Imlaul Hasanah, periode 2012-2013, pembinaan akhlak yang dilakukan melalui Forum Pembinaan Akhlak (FPA) dan ada kamar khusus bagi santri yang memiliki kacacatan moral. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki akhlak santri sabagai generasi bangsa. Adapun pencapaian dalam masa kepemimpinan Imlaul Hasanah ini pada pembinaan akhlak dan pembangunan infrastruktur. Dalam sistem reformasi kepemimpinan, syarat utama dalam kepemimpinan di PPA. Latee II menekankan pada moral (akhlak). Karena pemimpin merupakan figur bagi santri. selain itu, harus paham tentang organisasi. Mengenai mekanisme reformasi kepemimpinan di PPA. Latee II, nama-nama calon ketua pengurus (pemimpin) diajukan kepada pengasuh, kemudian setelah direkomendasi dan menanyakan kesiapan kepada calon, baru kemudian diadakan pemilihan. Dalam pemilihan ini baik santri, pengurus dan pengasuh terlibat dalam pemilihan ketua atau pemimpin PPA. Latee II. PPA. Lubangsa Selatan PPA. Lubangsa Selatan merupakan salah satu tempat pondok santri putri yang memiliki santri dengan jumlah 180. Pola kepemimpinan di PPA. Lubangsa Selatan secara periodik berkisar 2 tahun kepengurusan. Berbeda dengan komplek lainnya yang hanya memiliki masa periode satu tahun. Hal ini merupakan tradisi di intern PPA. Lubangsa Selatan, selain pula karena pesan dari K.H. Halimi sebagai pengasuh muda, waktu satu tahun tidak cukup untuk memimpin dan pencapaian yang akan dicapai akan dirasa kurang. Adapun struktur kepengurusan mulai dari pengasuh, dewan konsultan yang terdiri pengasuh muda, harian (ketua, wakil katua, sekretaris, wakil sekretaris, dan bendahara), dengan 6 Divisi, yaitu Divisi Pendidikan, Peribadatan, Keamanan, Puswenwas, Kebersihan Lingkungan Hidup (KLH), dan ketua Blok. Akan tetapi, otoritas tertinggi ada di tangan pengasuh. Dan pengasuh memasrahkan langsung kepada pengurus untuk menjalankan amanah kepengurusan selama satu periode, yaitu dua tahun. Karena salah satu syarat menjadi pengurus harus mampu dikenal dan dipercaya oleh pengasuh. Dalam menentukan kebijakan, santri dilibatkan secara kondisional. Dalam artian, masalah dalam menentukan keputusan melihat kondisi dan situasi, dengan melibatkan delegasi sebagian santri. Di masa kepemimpinan Ulfatul Hasanah, mahasiswa semester VI Tafsir Hadits masa bakti 2011-2014, kepemimpinan bersifat komparasif, otodidak dan demokraktif. Target atau orientasi kepemimpinan ini adalah melakukan pembenahan dan penguatan diintern kepengurusan, dengan meningkatkan kapasitas di intern pengurus. Adapun pola kaderisasi kepemimpinan secara sistemik dan terorganisir masih belum dilaksanakan. Akan tetapi, terjadi peningkatan dalam skill kepemimpinan. Karena diadakan pelatihan leadhership sebagai salah JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830
83
CharlesKepemimpinan Potret J. Adams AntaraSantri Reduksionisme Putri Annuqayah dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama
satu proses penguatan kaderisasi. Selain hal demikian, juga melihat kompetensi dalam keorganisasian dan tingkah laku (moral) yang dimiliki. Dan adapun syarat menjadi memimpin, yang menjadi pilihan utama yaitu menjadi kepercayaan pengasuh dan mampu dalam memimpin. Untuk sistem reformasi kepemimpinan bersifat tertutup pada pengurus saja. Karena cukup untuk menjadi representasi dalam pemilihan pemimpin. PPA. Lubangsa Tengah PPA. Lubangsa Tengah sebagai salah satu pondok putri dengan jumlah santri sebanyak 191 santri. Sedangkan jumlah pengurus dari santri sebanyak 191 tersebut terdapat 25 jumlah pengurus. Secara struktural dewan pengasuh, dewan konsultan (terdiri dari pengasuh muda) ketua, wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, bendahara, wakil bendahar, seksi peribadatan, pendidikan, perpustakaan, kebersihan, dan keamanan. Pola kepemimpinan yang digunakan di PPA. Lubangsa Tengah yang dipimpin oleh Mahfudhah, asal Cangkreng Lenteng, ini menjalani kepemimpinan dengan merakyat dengan sikap terukur terhadap santri. Mengenai kebijakan peraturan yang dibuat misalnya, dalam hal ini 100% melibatkan santri. Sehingga, ketika dikeluarkan kebijakan maka santri tidak mengeluh. Akan tetapi, ada hak kebijakan pengasuh yang tidak bisa diubah oleh santri atau pengurus yaitu tentang karakteristik santri di PPA. Lubangsa Tengah. Peran pengasuh di sini sangat urgen, pengurus sebagai pelaksana . namun, antara pengasuh dan pengurus (santri) terjalin hubungan emosional yang baik. Sehingga seakan tidak sekat ataupun hal yang ditutupi oleh pengasuh kepada santri. Karena sikap yang diterapkan oleh pengasuh adalah keteladanan dan kelembutan. Di samping demikian, peran pengasuh juga sebagai orangtua, dan sahabat. Meski demikian, memiliki hubungan emosional yang kuat, namun tetap beretika sebagai santri. Adapun orientasi atau target dari kepemimpinan Mahfudhah, periode 2012-2013 adalah mencetak santri yang qur’ani dan berakhlakul karimah, serta istiqamah dalam spiritual. Dari target tersebut, terdapat peningkatan dalam tiga aspek di atas walau tidak mencapai 100%. Dalam menjalankan amanah kepemimpinan di pesantren, baik di PPA. Lubangsa Tengah tidak lepas dari peran pengasuh . pola koordinasi dari pengasuh dalam segala hal terlebih dahulu mengkoordinasi terhadap ketua. Seluruh pengurus juga dilibatkan yang sesuai dengan job dan tangungjawabnya. Selama ini, di PPA. Lubangsa Tengah pola kaderisasi yang dibentuk bukan secara sistemik, namun dengan cara memasrahkan kepada setiap santri, bahwa mereka semuanya bisa. Sedangkan kriteria urgen dalam kepemimpinan yaitu memiliki akhlak yang baik. Namun dalam hal ini, kebijakan tentang kriteria sosok pemimpin ada di tangan pengasuh. Santri hanya boleh mengusulkan kepada pengasuh. Kemudian usulan tersebut dimusyawarahkan di intern pengasuh dengan jalan istikharah.
84
JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830
Abdul Muthmainnah Kadir Riyadi
PPA. Nirmala PPA. Nirmala, salah satu pondok putri dengan kuantitas santri 178 dengan pengurus 14 orang. Secara struktural, di PPA. Nirmala terdiri dari Dewan Pengasuh, Dewan Konsultan, Harian( ketua, sekretaris, bendahara, wakil bendahara) dan divisi-divisi; pendidikan dan keterampilan, kedisiplinan dan ketertiban, peribadatan dan kesenian, kebersihan dan kesehatan, P3U, perpustakaan, Madina, Litbang, dan Markaz. Pola kepemimpinan di PPA. Nirmala adalah desentralistik. Dalam hal ini, pengurus selalu mengupayakan segala hak santri tercapai, demi kesejahtaeraan mereka. Mengenai pengambilan kebijakan atau keputusan yang diambil, semua tidak lepas dari peran dan keterlibatan pengasuh. Santri hanya dilibatkan secara kondisional. Kiprah pengasuh di sini begittu urgen, karena partisipasi pengasuh cukup baik, dan beliau terjun langsung dan ikut andil dalam setiap kegiatan. Bentuk koordinasi pengasuh terhadap pengurus diformat dalam bentuk evaluasi setiap bulan dalam rangka mengukur target kepengurusan. Dan ketua pengurus dalam setiap minggunya wajib melaporkan hasil kegiatan kepada pengasuh. PPA. Nirmala pada masa bakti 2012-2013 dengan ketua pengurus Nasirah ini memiliki beberapa target, pertama, membina santri untuk tekun dan istiqamah. Kedua, menanamkan nilainilai keteladanan dan membina santri untuk bertutur kata, berpenampilan, dan berprilaku sopan santun. Ketiga, membekali santri dengan ilmu dan keterampilan. Keempat, meningkatkan kesadaran santri untuk memiliki kepekaan sosial dan lingkungan yang sehat dan bersih. Dari target ini, lebih-lebih target pertama dalam membina snatri untuk tekun dan istiqamah dalam beribadah ada peningkatan. Sebagai bukti bahwa ada program piket bangun malam (shalat malam) dan program ini cukup berhasil. Sedangkan dalam proses kaderisasi kepemimpinan yang dibentuk, di PPA. Nirmala lebih diprioritaskan pada santri tingkat Aliyah, dengan mengikutkan mereka pada pelatihan-pelatihan dan penataran. adapun syarat yang signifikan dalam kepemimpinan di PPA. Nirmala adalah memiliki akhlak yang baik dan pengetahuan yang mempuni. Selain pula dilihat dari bentuk pengabdiannya terhadap PPA. Nirmala dan kesiapannya dalam menjalankan amanah kepemimipinan di PPA. Nirmala. Dalam pemilihan ketua pengurus atau pemimpin di PPA. Nirmala pengurus yang bertugas dalam pemilihan ketua mengajukan beberapa calon kepada pengasuh. Setelah mendapat rekomendasi dari pengasuh baru kemudian santri mendapat hak memilih ketua pengurus selanjutnya. Kesimpulan Pesantren merupakan suatu sistem; keagamaan-pendidikan-kebudayaan yang menerapkan pelestarian tradisi. Hingga pada dikotomi yang diberlakukan di pesantren harus senantiasa dipertahankan sebagai elemen kebangsaan yang bernuansa islam. Karena di pesantren, lebihlebih pesantren Annuqayah tradisi dikotomi adalah “keniscayaan”, perlu pertahanan dalam membangun desain peradaban yang dibangun oleh masing-masing santri putra dan putri. Walau JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830
85
CharlesKepemimpinan Potret J. Adams AntaraSantri Reduksionisme Putri Annuqayah dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama
dikotomi ini, tidak lepas dari ‘aturan’ agama. Di samping peranan demikian, dikotomi ini dimaksudkan untuk mendisiplinkan masing-masing santri antara putra dan putri, untuk mengoptimalkan masing-masing potensi dan skill yang dimiliki santri, dan untuk melihat keberhasilan kepemimpinan santri putri Annuqayah. Sehingga, dari hal ini dapat disimpulkan: 1. Pola kepemimpinan santri putri, umumnya PP. Annuqayah dalam hal ini tidak lepas dari kebijakan pengasuh. Dan corak kepemimpinan di setiap komplek PP. Annuqayah berbeda. Terbukti dengan orientasi ataupun target di setiap komplek berbeda-beda. Sehingga, ketetapan dan kebijakan program yang dilaksanakan oleh pemimpin-pemimpin santri putri sangat beragam, walau memiliki kesamaan yaitu tidak lepas dari kebijakan pengasuh. 2. Mengenai sisi peradaban atau penacapaian yang didapat dalam kepemimpinan santri putri ini jelas dengan peningkatan yang didapat dari target kepengurusan masing-masing komplek.
DAFTAR PUSTAKA Baso, Ahmad. Pesantren Studies 2a. Jakarta: Pustaka Afid. 2012 Hadi, Murtadho. Ratu Kalinyamat. Yogyakarta: Pustaka Sastra LKiS, 2010 Mernissi, Fatima. Ratu-Ratu Islam. ter. Rahmani Astuti dan Enna Hadi. Bandung: Mizan. 1994 Muhammad, Ibrahim al-Jamal. Fiqih Muslimah. Jakarta: Pustaka Amani. 1999 Raihani. Kepemimpinan Sekolah transformatif. Yokyakarta:LKiS, 2011 Sadli, Saparinah. Berbeda Tapi Setara. Jakarta: Kompas. 2010 Shihab, Quraisy. Tafsir Misbah: pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an . Jakarta: Lentera Hati. 2000 Shihab, Quraisy. “Membongkar Hadits-Hadits Bias Gender” dalam Shafiq Hasyim (ed). Kepemimpinan Perempuan dalam Islam. Jakarta: JPPR t.th Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an,Jakarta: Paramadina. 2001
86
JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013 ISSN : 2087-9830