1
Potret-diri Agus Suwage, yang terlihat Being in love is dangerous because you talk yourself into thinking you’ve never had it so good. -David Salle, ArtRite, Winter 1976-1977. The human being as an animal possesing intellegence, is, of all this world’s creatures, the one with the greatest potential as a predator. -Agus Suwage, This Room of Mine, 1996.
Potret-diri karya Agus Suwage, kini Kini saya teringat. Suatu saat, ditahun 1996, berlangsung percakapan dengan Agus Suwage tentang penggambaran potret-diri pada karyanya. Saat itu, karya-karya Suwage juga telah dipenuhi penggambaran manusia –terutama laki-laki, meski kadang perempuan–, tapi toh Suwage mengganti itu dengan gambar dirinya sendiri. “Untuk apa, juga siapa, gambaran potret-diri itu ditunjukkan?”, saya bertanya. Bagaimana membedakannya dengan tradisi lukisan potret yang telah berlangsung selama ini?. Kita tahu, tradisi lukisan potret seperti itu tak asing bagi para pelukis; di Barat, maupun di Timur yang sudah modern, dari studio seniman mapan hingga pelukis yang mesti bekerja di pinggir jalan. Lukisan potret adalah soal menunjukkan gambaran, citra, image seseorang, entah itu untuk dikenang, dipuja, bahkan diabadikan. Lalu, apakah karya dengan tema potret-diri itu melulu soal gambaran tentang diri-sendiri, tentang sang seniman? Siapa dia? Kenapa dia?. Bagaimana cara potret-diri seniman itu ditunjukkan, juga jadi perbincangan. Soal cara ini bukan melulu hanya teknik, tapi masalah bagaimana seseorang seharusnya ditunjukkan, nampak, bahkan seharusnya terlihat. Persoalan umum dalam tradisi lukisan potret –biasanya menyangkut citra kebesaran dan kemuliaan seseorang, si patron–, memang telah mengalami pergeseran sejak si juru lukis/gambar itu berubah statusnya jadi ‘seniman’ (the artist) yang rupanya juga hendak menggambarkan dirinya sendiri. Dalam pergeseran tadi, bukan lagi soal kemuliaan yang kerap kemudian muncul, tapi soal gambaran yang lebih menyiratkan masalah kesaksian atas keadaan zaman –tentunya, lewat raut wajah sang seniman. Seniman, sejak abad ke delapan belas, sudah dihayati sebagai antena kesadaran masyarakat; dianggap figur yang mampu menangkap isyarat kemajuan juga kekejaman zaman dengan cara yang paling halus serta subtil. Demikian. Potret-diri sang seniman, lalu dimaklumi membawa isyarat bagaimana suatu zaman menghidupi manusianya. Potret seniman dianggap jujur menuturkan zamannya. Namun apa yang berubah dari anggapan atas seniman Romantik itu, saat di tahun 90’an abad ke-dua puluh seniman berbeda generasi juga menggambarkan dirinya sendiri?– termasuk, Agus Suwage. Khususnya bagi seni rupa Indonesia, tema penggambaran diri seniman telah jadi catatan kecenderungan dominan di paruh kedua tahun 90’an. Itu bukan berarti seniman sebelumnya, misalnya Sudjojono, Hariadi
2
atau Affandi tak pernah membuat potret-diri mereka ditahun 30’an atau setelahnya, namun di tahun 90’an tema itu dipraktekkan dalam kaitan dimensi masalah yang sekaligus mengubah wacana seni rupa itu sendiri. Sedikitnya, ada tiga kaitan perkara yang bisa kita catat. Pertama, tema potret-diri itu berlangsung dalam gairah pembicaraan soal (wacana) tubuh. Maka, potret-diri bukan hanya soal raut wajah, tapi juga gambaran sosok, pose, gestur, dan isyarat tubuh. Kedua, penggambaran potret-diri juga dibayangi suasana diskusi yang dipercayai membenarkan kisah ‘kematian subyek seniman’ (the death of the author). Dalam hal ini, seniman tak dianggap sebagai saksi yang seolah mampu menunjukkan kisah zaman sesungguh dan sebenar-benarnya. Seorang seniman, lewat kepercayaan ini, hanyalah bagian dari kisah besar itu. Ketiga. Lewat kepercayaan baru cara pembahasan bahasa, persoalan makna akibat bahasa (termasuk bagi karya seni rupa) terus menerus diuji. Setiap pernyataan tentang makna tertentu, misalnya, soal ’benar’, dimaklumi masih punya kemungkinan pembahasan yang lain selain apa yang sudah ditetapkan sebagai keyakinan kita. Dalam kepercayaan seperti ini, setiap atau sebuah arti (kata) dianggap berhutang pada relasi arti (kata) yang lain, misalnya: arti (kata) ‘baik’ dan ‘jahat’ berfungsi karena keduanya saling menjelaskan. Penghayatan seperti itu juga berlaku bagi makna karya seni rupa. Tak ada karya seni rupa bisa dianggap original (yang asli dan otentik) yang bisa diciptakan seorang seniman, selain karena juga berbagai warisan dan kebiasaan milik karya lainnya yang pernah ada. Dalam keyakinan ini, seorang seniman dianggap lumrah jika ia juga mengerjakan apa yang sebelumnya pernah dikerjakan seniman lain, bahkan juga –kalau dianggap perlu– memakai image ‘milik’ seniman lainnya. Dalam konteks itu, sesungguhnya, memang tak pernah jadi rahasia, saat Agus Suwage juga mengikuti proyek karya potretdiri yang terlebih dulu dikerjakan oleh Chatchai Puipia, seniman Thailand yang juga dikenalnya secara pribadi itu.
Representasi tubuh juga potret-diri Jelasnya, di tahun 90’an itu karya seni rupa telah dimaklumi sebagai suatu representasi, berada dalam kajian model representasional –seperti halnya suatu bahasa (tulisan) yang telah kita kenal –. Representasi adalah bentuk pernyataan-kembali realitas melalui cara yang khas. Tak ada yang alamiah, di situ. Dalam setiap representasi selalu terkandung maksud dan kepentingan. Sesungguhnya, memang tak pernah ada relasi langsung serta alamiah antara suatu tanda bahasa dengan realitas yang diwakilinya. Dalam bahasa, kita hanya menemukan kelangsungan hubungan satu tanda dengan tanda yang lainnya serta penggunaannya dalam suatu sistem berbahasa. Pengertian seperti ini, juga bisa kita rujuk bagi pembicaraan seni rupa, misalnya tentang bentuk penggambaran yang dianggap berhasil meniru alam serta realitas hidup secara persis, kita kenal sebagai gambar realis. Gambar realis, apalagi Realisme, sesungguhnya juga tak se-alamiah dan se-universal yang kita duga. Bagaimanapun, ia adalah bagian dari kebiasaan sistem tanda bahasa yang diajarkan. Sebelum ditemukannya fotografi, tak akan pernah terbayangkan jika realitas itu bisa digambarkan secara sama diseluruh dunia. Juga kini, diyakini –dalam perbicaraan tentang fotografi–, bahwa makna gambaran pada selembar foto tak hanya menyangkut apa
3
yang tercetak, tapi juga apa yang diketahui seseorang saat melihatnya. Makna selembar foto, dalam hal ini, mengikat perihal ingatan (memory) orang yang melihatnya1), termasuk juga tentunya pengetahuan tentangnya. Melihat karya potret-diri Agus Suwage, gambaran realis serta aspek fotografi adalah soal yang paling mengikat. Sering Suwage mengerjakan karya-karyanya berdasar gambaran dari foto dirinya sendiri. Dengan demikian ia mengamati realitas melalui medium fotografi. Karya Suwage menggabungkan dua –bahkan kadang lebih– cara representasi, yaitu melalui foto lalu lukisan, misalnya. Lukisan Suwage bisa jadi contoh, bagaimana kajian model representasional menunjukkan secara jelas beroperasinya logika fotografi dalam tradisi seni lukis kini. Sesungguhnya, dalam representasi tubuh tak hadir sebagai diri-nya sendiri namun sebagai tanda. Maka makna gambaran tubuh yang nampak sebagai diri-nya itu adalah juga soal ingatan tentangnya, termasuk berbagai makna metaforik yang menyertainya. Dalam penggambaran tubuh, seorang seniman tak sepenuhnya bisa mengontrolnya, selain mencari dan menetapkan batasbatasnya lewat penggunaan konteks tertentu, menentukan pembatasan ujud tampaknya, serta cara penampakannya secara estetik (yang sering disebut sebagai, style )2). Meski representasi adalah pernyataan (sistem) tanda, bukan berarti ia tak memiliki efek terhadap realitas yang hendak ditunjukkannya. Representasi tubuh, misalnya, bisa juga berhubungan apa yang akan terjadi dan mungkin terjadi pada tubuh secara fisik dan kongkrit. Hubungan itu khususnya beroperasi dalam rangka pernyataan apa yang seharusnya dilihat dan dimaklumi sebagai ‘tubuh yang normal’, bahkan ‘ideal’3). Akibatnya, masalah gambar tubuh yang realis tak hanya soal bagaimana ia seharusnya nampak sebagai gambar yang sama persis dengan bentuk alamiah yang ditirunya tapi juga masalah bagaimana hubungannya dengan standar tubuh yang normal, atau bahkan ideal itu. Sebagai representasi, gambaran tentang tubuh itu bukan soal melihat dan menirunya, tapi juga soal memahaminya. Apakah tubuh?. Elizabeth Grosz, yang menaruh perhatian pada berbagai pertanyaan tentang kehadiran tubuh secara kongkrit, pernah menjelaskan : By body I understand a concrete, material, animate organization of flesh, organs, nerves, muscles, and skeletal structure which are given a unity, coherensiveness, and organization only through their physical and social inscription .. The body is, so to speak, organically/ biologically/naturally ‘incomplete’; it is indeterminate, amorphous, a series of un-coordinated potentialities which require social triggering, ordering and long term ‘administration’ 4). Tubuh –dibedakan dengan jiwa dan rohnya– yang menjelaskan seseorang, manusia, atau suatu pribadi, adalah kehadiran yang semestinya terpahami secara fisik juga sosial. Situasi fisik tubuh bagaimanapun adalah bagian dari proses pembentukan sosial. Manusia, dengan tubuhnya, berubah dan berkembang dalam situasi dan kondisi sosial yang melingkunginya, lalu juga menetapkannya. Tubuh milik seseorang –bentuknya, kehadirannya– jadi hal yang dipahami orang tersebut akibat apa yang ditetapkan, diterima dan diyakini tentang tubuh secara umum. Dalam situasi kini, tubuh telah jadi proyek tujuan berbagai hasrat, juga mimpi (menjadi seksi, cantik, sehat, macho, dll). Memang, tubuh bisa jadi media bagi sifat
4
pemujaan. Tapi tubuh juga kerap dinyatakan bagai benteng perlawanan manusia yang paling akhir serta ampuh, baik terhadap kekuasaan yang menindas hingga bagi godaan kemewahan (misalnya, mutih, berpuasa, gerakan Ahimsa yang dicontohkan Mahatma Gandhi, hingga cara protes mogok makan atau membakar diri). Maka, bagaimanapun, tubuh adalah medan kepentingan. Lokasi yang diperebutkan bagi segenap kemewahan atau perlawanan. Secara kongkrit, tubuh adalah ketidaklengkapan. Bukan saja karena secara fisik memiliki keterbatasan, tapi juga karena jadi bagian yang terus menerus ditawar dan diperebutkan berbagai kepentingan. Maka sebentuk representasi tubuh itu adalah cara seseorang mencari dan melengkapi ketidaklengkapan itu, serta juga jaminan bagi rasa aman atas situasi tubuh yang terus berubah. Sejarah seni rupa telah menunjukkan bagaimana tubuh manusia dihasratkan, terus-menerus, nampak bagai gambaran yang ideal. Juga, kita tahu, gambaran itu bahkan sering dinyatakan secara terbalik dari soal yang ideal, sebagai bentuk sikap kritis dan penilaian seniman. Potret-diri menunjukkan citra, image, seseorang adalah soal gambaran tubuh bagi rasa lengkap dan aman manusia itu. Rupanya, raut wajah saja dianggap tak cukup untuk menampilkan masalah manusia, bahkan menyangkut bagi soal identitasnya. Raut wajah itu punya tubuh yang jadi bagian proses pembentukan sosial, di saat bersamaan berurusan dengan image ideal tentang tubuh. Dengan demikian, saat seorang seniman menunjukkan potret-dirinya, kini, kita tak hanya akan diganggu pertanyaan: “siapa seniman ini?”, tapi juga “bagaimana situasi seniman itu, kini?”, “bagaimana ia berhubungan dengan masyarakat?”.
Gambar setelah lukisan Ada hal yang menonjol dari lukisan potret-diri Agus Suwage. Lukisan itu lebih sering nampak bagai gambar. Untuk sebagian pihak, gambar dianggap sebagai pendahulu sebuah lukisan; sketsa gagasan dari lukisan. Ini belum tentu benar, tapi juga tak seluruhnya salah. Sebuah lukisan kadang, memang, dimulai oleh gambar, sebagai sketsa. Gambar itu dianggap sebagai pra-image dari kelahiran karya (lukisan). Memperhatikan lukisan Suwage, penampakannya bagai gambar itu seperti hendak kembali meraih potensi kekuatan image, mendahului kelahiran legitimasi sejarah bagi ‘karya seni lukis’ (cat minyak/akrilik di atas kanvas). Bisa jadi, memang, latar belakang pendidikan formal Suwage, yaitu desain grafis, menjadikannya lancar dan akrab dalam berbagai cara komunikasi lewat gambar, ketimbang sibuk dengan hirarki tradisi dan sejarah seni rupa. Toh, pengerjaan gambar di atas kanvas yang dilakukan Suwage secara menerus selama ini bisa dianggap sebagai cara penyimpangan dalam tradisi seni lukis. Suwage tak lebih tertarik pada persoalan gaya dalam tradisi seni lukis, selain memasalahkan image, persoalan citra. Saat ini, ketertarikan kita pada dunia image jadi keniscayaan. Setiap orang, terutama di kota besar dan
5
modern, dikurung ledakan image lewat interaksi berbagai media: iklan, koran, majalah, teve, film, dll. Persoalan image jadi tanda zaman kini: The problem of the Twentieth Century is the problem of the color line 5). As we move into an era in which “color” and “line” (and the identities they designate) have become potentially manipulable elements in pervasive technologies of simulation and mass mediation, we may find that the problem of the twenty-first century is the problem of the image 6). Ledakan gambar dewasa ini, bagaimanapun, adalah berkah sekaligus masalah. Keberhasilan abad kini ditandai oleh tingkat kecenderungan yang semakin tinggi untuk menjadikan dunia (realitas dan persoalan hidup) ke dalam bentuk visual, suatu ilustrasi, atau dunia image –apakah dalam bentuk tabel, ilustrasi hingga animasi–. Sebuah gambar adalah sebentuk imaji-kongkrit
(concrete images) mendahului
kelahiran imaji-abstrak (abstract images), yaitu bahasa yang kita kenal dan gunakan sehari-hari. Potensi sebuah gambar hadir mendahului ditetapkannya kesadaran kita sebagai ‘mengerti bahasa’, atau berbahasa (dalam hal ini, bahasa atau berbahasa adalah situasi dimana kita sadar menggunakan serangkaian tandatanda tertentu sebagai konvensi bersama agar kita bisa berkomunikasi, saling memahami). Dengan demikian, penggunaan gambar (image) dalam strategi komunikasi dan promosi (iklan) barang tak hanya menggugah kesadaran kita untuk membeli sebuah produk, lebih ampuh lagi justru akan menghantam kondisi pra-sadar, yaitu imajinasi, khayalan serta juga hasrat kita. Pesan iklan dalam bentuk gambar memancing hasrat, semacam sifat liar kita, tanpa kendali. Itulah masalahnya. Dunia gambar. Takutkah kita terkurung di dalamnya?. Bukankah dunia itu adalah juga berkah bagi kita, sebuah keleluasaan cara bagi kita untuk memahami, agar semakin dalam?. Tidakkah sebuah gambar bisa berarti rangkaian beribu kata-kata?. Dalam perbincangan soal image dewasa kini, kita jadi tahu, potensi gambar itu justru bisa menggali kesadaran kita menjadi manusia. Dunia gambar menguji saat manusia berkuasa sekaligus juga tak berdaya. Images, like histories and technologies, are our creation, yet also commonly thought to be “out of our control” –or at least out of “someone’s” control–, the question of legacy and power being central to the way images work 7). Dalam pengalaman keseharian, kita pun tahu, memang tak murah apalagi jadi mudah untuk menegakkan suatu image: menjadi kaya, berkuasa, adil, pandai, moralist atau bijak, misalnya. Dan pertanyaan penting untuk hal itu adalah ‘untuk apa?’, ‘kenapa?’. Sebuah gambar bagaimanapun memang berhubungan dengan dunia image itu, ia tak hanya menggambarkan tapi juga sekaligus mewakilinya. Gambar potretdiri pada lukisan Agus Suwage, misalnya, adalah juga tentang image. Dunia image sebagai medan pergulatan. Untuk apa?
6
Potret-diri Agus Suwage, yang terlihat Berbeda dengan pakem pada tradisi seni lukis potret-diri, karya Suwage –seperti halnya kecenderungan di tahun 90’an itu– tak acuh pada legitimasi seni lukis sebagai representasi realitas sesungguh-sungguhnya. Gambaran potret-diri itu ditunjukkan justru bukan dalam optimisme untuk menjadi penjelasan (explanation), tapi jadi semacam cara peragaan (demonstration); ia tak bermaksud menjelaskan (explaining), namun menunjukkan (showing). Tapi. Bagaimana mungkin Suwage tak beritikad menjelaskan sesuatu, saat ia menerus menunjukan potret-dirinya?. Bisa jadi, memang, Suwage punya maksud tertentu dalam hal ini. Namun, Suwage juga paham atas situasi yang dihadapi seniman saat ini. Situasi yang tengah menguji posisi tawar seorang seniman, sebagaimana pertanyaan tentang hubungan dia dengan masyarakat, dengan publiknya. Suwage tahu, seniman bukan lagi otoritas pencipta makna, satusatunya, yang menetapkan kepantasan makna bagi dan tentang setiap karya yang dikerjakannya. Belajar dari otonomi image yang tak mudah ditaklukkan apalagi dikuasai, maka perihal maksud seorang seniman toh akan jadi bagian dalam rangkaian proses menemukan dan memberi makna sebuah karya seni. …..a picture is but a space in which a variety of images, none of them original, blend and clash. A picture is a tissue of quotations drawn from the innumerable centers of culture. . . A painting’s meaning lies not in its origin, but in its destination. The birth of the viewer must be at the cost of the painter8). Kini, sebuah karya seni memang susah ditemukan sebagai soal yang mandiri, dianggap tak berurusan apalagi berhutang dari karya yang lainnya. Setiap karya seni akan hadir dalam warisan tanda, image, juga nilai-nilai yang pernah ada sebelumnya. Ia tak lebih dari pada tempat dimana berbagai kutipan dari berbagai budaya dan adat bertemu. Dan di tempat pertemuan itu, pada sebuah karya seni, makna (karya) juga tidak dengan sendirinya nampak, seolah-olah ada secara alamiah (karena seniman bermaksud menunjukkannya). Makna karya, dari image karya itu, sesungguhnya tak lahir dari asalnya (sang seniman) sebaliknya justru muncul dari bagian yang ditujunya, orang yang melihatnya. Dengan demikian, potret-diri Agus Suwage bukan (hanya) soal apa yang dimaksud oleh Suwage, tapi apa yang diterima pihak yang melihatnya, anda. Pada kasus seperti ini, bisa jadi, soal ‘Agus Suwage’ tak lebih penting ketimbang masalah ‘potret-diri’, potret tentang diri kita sendiri. Bagaimanapun rasa ingin tahu saya tak pernah henti, tidak untuk menyerah bertanya ‘Untuk apa semua ini?’, ‘Kenapa?’. Karena sering dalam karya potret-diri Suwage kita toh melihat gambaran manusia (dia) dalam keadaan kesakitan dan penderitaan, tak jarang juga kita lihat image manusia (dia) sebagai orang lain, yang nampak bagai pahlawan padahal penjahat, berjasa tapi khianat, intelek sambil juga hipokrit, bersahabat padahal dengki, pemurah padahal licik, atau nampak orang suci meski munafik. Beberapa karya potret-diri Suwage kadang juga nampak berusaha jujur menyatakan rasa cinta yang tak terkatakan, rasa bersalah yang terus bisu, atau kebahagiaan yang sejatinya dihayati dari pada dipamer-pamerkan. Ada juga soal kesombongan manusia (dia) yang ditunjukkannya tanpa rasa malu, seolah jadi isyarat peringatan. Karya-karya itu tak hanya menunjukkan manusia sebagai korban (tentunya dari dirinya
7
sendiri), tapi juga manusia sebagai penguasa yang merasa tak harus tunduk pada kesadaran-diri sebagai manusia: ‘binatangkah, ia?’. Terhadap Agus Suwage, tak jarang saya terus bertanya –dengan berbagai cara, tentunya–: ‘Untuk apa?’, ‘Kenapa?’. Ah, Agus Suwage memang tak pernah setuju jika harus menerangkan, ia paling mengerti bagaimana cara menunjukkan. Agus Suwage hanya tersenyum, saat saya dengan bersemangat dan agak berlebihan mengungkapkan apa yang pernah dikatakan Francesco Clemente –seniman yang sering kami bincangkan karyanya, selain juga Anselm Kiefer dan Christian Boltanski–, pada suatu kesempatan: “ I believe that art is an embodiment of the anti-war. The body doesn’t want to die, so the voice of the body is anti-war. So I think it’s urgent to listen to the body’s voice. I like this image that you don’t have enemies, that you grow something not against something else, but just because it’s there; it has to be done “9).
Bandung, Juli 2003 Rizki A. Zaelani Kurator
CATATAN: 1.
Lht. John Berger, Use of Photography, dlm About Looking, 1991, Vintage Book, New York, hlm.54.
2.
In representation the body appears not as itself, but as a sign. It cannot but represented both itself and a range of metaphorical meanings, which the artist cannot fully control, but only seeks to limit by the use of context, framing and style. Nicholas Mirzoeff, BODYSCAPE : Art, modernity and the ideal figure, 1995, Routledge. hlm.3
3.
Ibid.
4.
Lht. Elizabeth Grosz, ‘Bodies-Cities’ dalam Beatriz Colomina, ed. Sexuality and Space, 1992, Princeton Architectural Press, New York, hlm. 243.
5.
W.E.B Du Bois, The Souls of Black Folk, 1989 (diterbitkan pertama tahun 1903), Bantam Books, New York, hlm. xxxi.
6.
W.J.T Mitchell, PICTURE THEORY: Essays on Verbal and Visual Representation, 1994, The University of Chicago Press, Chicago, hlm.2.
7.
Ibid. hlm.6.
8.
Sherrie Levine, “Five Comments” (1980-82), dalam Brian Wallis, ed. Blasted Allegories: An Anthology of Writing by Contemporary Artists, 1987, Museum of Contemporary Art & MIT Press, New York & Cambridge, Mass, hlm.92-93.
9.
FRANCESCO CLEMENTE: Interview with Robin White (1981), dalam Kristine Stiles & Peter Selz, ed. Theories and Documents of Contemporary Art : A sourcebook of artists’ writings, 1996, The University of California Press, Berkeley and Los Angeles, California, hlm. 263.