Potensi dan Peran Serta Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dalam Pembangunan Budaya Bangsa: Fakta dan Harapan 1 Oleh:
Nurcahyo Tri Arianto
2
Pengantar Masalah potensi dan peran serta penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME dalam pembangunan budaya bangsa memang perlu dibahas dalam rangka Dialog Aktualisasi Budaya Spiritual Jawa Timur ini. Aktualisasi berarti usaha merealisasikan suatu kegiatan secara aktual, masa kini, memasyarakat, maupun mendesak. Oleh karena itu, “potensi” dan “peran” merupakan dua kata yang sangat penting berkaitan dengan kegiatan aktualisasi itu. Potensi adalah kemampuan (kekuatan, daya, kesanggupan) yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan; sedangkan peran adalah perangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang/kelompok yang mempunyai kedudukan dalam masyarakat. Antara potensi dan peran mempunyai hubungan yang sangat erat. Ada dua alasan mengapa potensi dan peran serta penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME dalam pembangunan budaya bangsa itu perlu dibahas dalam kesempatan ini. Pertama, era globalisasi dan reformasi sekarang ini telah menjelmakan suatu keadaan yang ditandai oleh membaurnya nilai-nilai yang bersumber dari keragaman budaya dan meningkatnya pergaulan antar bangsa. Globalisasi dan reformasi merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari, yang bila dipolakan berdasarkan dominasi dan ketergantungan dalam hubungan antar bangsa, akan memunculkan tirani-tirani baru. Oleh karena itu, yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapi dan memanfaatkannya sesuai dengan jati diri dan identitas bangsa kita sendiri. Dalam era globalisasi dan reformasi ini bangsa Indonesia sedang mengalami krisis multidimensional (politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan pertahanan keamanan) yang merongrong kukuhnya jati diri serta persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini disebabkan masyarakat telah meninggalkan nilai-nilai budayanya sendiri dengan tiadanya atau tipisnya akhlak moralitas serta kurangnya rasa ikut handarbeni apa yang telah diwariskan oleh para leluhur dan pendiri bangsa ini. Kedua, potensi penghayat hingga saat ini masih “belum jelas”, sehingga perannya dalam pembangunan budaya bangsa juga kurang 1 2
Makalah disampaikan dalam “Dialog Aktualisasi Budaya Spiritual Jawa Timur” di Hotel Pelangi, Malang, pada tanggal 13-15 Mei 2009. Staf Pengajar FISIP-UNAIR dan Pengamat masalah Penghayat.
1
maksimal. Banyak faktor yang mempengaruhi kurangnya potensi dan peran penghayat dalam pembangunan budaya bangsa itu, antara lain: keadaan organisasi/paguyuban, sumber daya manusia, dana, maupun hubungan dengan pemerintah. Untuk meninjau bagaimana potensi penghayat itu, akan disajikan analisa SWOT, yang selanjutnya akan dianalisa dalam hubungannya dengan peran penghayat. Fakta: Keadaan Penghayat Fakta mengenai keadaan penghayat Jawa Timur, dan penghayat di Indonesia pada umumnya, dapat diulas dari adanya: (1) data jumlah organisasi dan jumlah penghayat, dan (2) kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman pada penghayat. Data dari Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, jumlah organisasi dan penghayat di Indonesia adalah: organisasi pusat 244, organisasi cabang 954, penghayat 9.981.315; sedangkan jumlah organisasi dan penghayat di Provinsi Jawa Timur adalah: organisasi pusat 64, organisasi cabang 307, penghayat 8.782.946. Dari data ini nampak bahwa jumlah penghayat Jawa Timur yang besar ini merupakan potensi yang besar dalam pembangunan budaya bangsa. Berikut ini dikemukakan data mengenai SWOT penghayat berasal dari dua sumber, yaitu: (1) tahun 2005, dari Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, mengenai faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam pemberdayaan penghayat, dan (2) tahun 2006, dari kegiatan “Pembinaan Pelaku Budaya Spiritual Bagi Generasi Muda”, di Hotel Utami, Surabaya, Jum’at, 22 September, yang diselenggarakan oleh Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Keadaan SWOT Penghayat SWOT
S (strength) = Kekuatan/ Potensi
MASALAH Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (2005) 1. Para penghayat berhimpun dalam wadah (HPK, BKOK, dan Forum Komunikasi) 2. Ajaran sbg. pegangan hidup/budi luhur (budaya spiritual) 3. Kemauan dan tekat penghayat yang tinggi dalam melestarikan dan mengembangkan budaya spiritual (pembinaan warga,
“Pembinaan Pelaku Budaya Spiritual Bagi Generasi Muda” (2006) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Eksistensi yg kuat Jumlah murid yg besar Persaudaraan Pembinaan warga Kemampuan memecahkan masalah secara batiniah Nilai lebih: budi pekerti luhur Kekeluargaan, solidaritas Ajaran sbg warisan leluhur Sarasehan nasional/daerah
2
W (weakness)
= Kelemahan
upacara, dan kegiatan sosial)
10. 11. 12. 13.
Bergabung dg forum agama Webside Ilmu jiwa Perbuatan bener-becik
1. Kemampuan manajerial pengurus belum memadai. 2. Sikap hidup sederhana.
1. 2. 3. 4.
Bapakisme: sesepuh (meninggal) Ekonomi Pendidikan Anggaran terbatas: tidak ada paksaan bayar iuran Kesederhanaan Pertemuan: sarasehan Salah paham Dominasi orang tua: pola pikir tradisional Generasi muda kurang minat (perlu share) Hambatan kreativitas dr sesepuh Tidak semua bisa menghayati/meresapi
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
O (oportunity)
= Peluang/ Kesempatan
T
(threat)
= Ancaman
1. Eksistensi penghayat yang dijamin Undang-undang. 2. Era reformasi membuka peluang membangun bangsa. 3. Meningkatnya kehidupan spiritual dalam masyarakat. 4. Peran pemerintah sbg. fasilitator.
1. Kondisi Indonesia: pejabat, bencana alam 2. Seni-budaya 3. Travel budaya 4. Pelatihan manajemen organisasi 5. Mengemas nilai-nilai luhur
1. Persepsi masyarakat yang berbeda mengenai kepercayaan terhadap Tuhan YME. 2. Penerapan dan penegakan hukum yang belum adil dan merata.
1. 2. 3. 4.
Pernyataan Menteri Agama Tidak takut Diskriminasi Kemajuan teknologi (budaya barat/asing/luar) 5. Imajinasi masyarakat: penghayat=klenik 6. Kepercayaan setempat 7. Banyak organisasi lain yg banyak menyerap anggota 8. Politik 9. Tidak ada pelestarian budaya/ generasi 10. Sesepuh monoton 11. Dukungan pemerintah kurang
Dari data SWOT ini dapat dipahami mengenai keadaan penghayat yang berkaitan dengan empat aspek. Pertama, aspek kekuatan atau potensi; nampak bahwa ajaran yang telah diyakini dan diamalkan para penghayat merupakan kekuatan atau potensi yang mendasar, yang menjadi modal utama dalam peran sertanya penghayat bagi pembangunan budaya bangsa. Kedua, aspek kelemahan; umumnya berkaitan dengan keberadaan wadah/organisasi penghayat, yang masih tidak berdaya/lemah. Untuk itu perlu adanya keinginan yang luhur, kemauan, dan tekad yang kuat dari para penghayat untuk memikirkan kelangsungan hidup wadah/organisasi penghayat ke depan. Hal ini merupakan suatu tantangan dan tanggung jawab yang harus dijadikan pijakan agar wadah/organisasi penghayat itu dapat semakin berkiprah, baik sebagai pemandu, penyalur, serta pembawa aspirasi untuk para penghayat, khususnya di Jawa Timur. Ketiga, aspek peluang atau 3
kesempatan; ideologi Pancasila, UUD 45 (pasal 28, 29, dan 32), UU 23/2006, dan PP 37/2007 telah memberi landasan bagi eksistensi formal bagi kehidupan penghayat dan perannya dalam pembangunan budaya bangsa. Khusus di Jawa Timur, dalam rangka Pelestarian dan Pengembangan Budaya Spiritual, Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur telah mengirimkan surat (nomor 431/2840/032/2008 tanggal 3 Juli 2008) kepada seluruh Bupati dan Walikota se Jawa Timur. Isi surat itu adalah meminta Bupati dan Walikota se Jawa Timur untuk membantu organisasi penghayat dalam hal: (1) mengakomodasi kegiatan, (2) memberdayakan, dan (3) memfasilitasi (sesuai PP 37/2007 dan PPUU 23/2006). Surat ini nampaknya merupakan salah satu bentuk bentuk perhatian pemerintah daerah kepada para penghayat. Keempat, aspek ancaman; perhatian pemerintah terhadap penghayat dirasa masih kurang, maupun ketidakadilan yang dirasa dan dialami penghayat berkaitan dengan posisinya sebagai penghjayat maupun sebagai warga negara Indonesia. Peran Serta Penghayat Peran serta atau Sumbangan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: (1) eksistensi formal, antara lain dalam Pancasila, UUD 45 (pasal 28, 29, dan 32), UU 23/2006, dan PP 37/2007, dan (2) eksistensi penghayat kepercayaan, khususnya yang berkaitan dengan sejarah dan kesadaran individu masing-masing penghayat. Pada hemat saya. faktor yang kedua, yaitu eksistensi penghayat kepercayaanlah yang lebih menentukan bentuk dan cara peran yang akan dilakukan penghayat dalam pembangunan bangsa. Tanpa faktor pertamapun, peran para penghayat tetap harus dilakukan, karena merupakan wajib yang asasi (sebagai warga negara maupun pribadi) dan konsekuensi yang logis dari peribadatannya ke hadapan Tuhan YME. Sila pertama dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan dasar dari sistem religi (agama dan kepercayaan) di Indonesia, yang diharapkan makin berkembang (dalam penghayatan dan pengamalannya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab) guna menciptakan landasan spiritual, mental, dan moral-etika yang makin kuat. Makin kuatnya ketiga landasan itu diharapkan mampu mengatasi akibat negatif dari program pemerintah dalam melaksanakan pembangunan bangsa. Eksistensi yang berkaitan dengan kesadaran individual para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kiranva perlu diperhatikan, mengingat kesadaran individual semacam itu akan dapat menumbuhkan daya dan kuasa untuk: (1) berpikir, berperasaan, dan berperikemanusiaan. (2) cinta kasih, (3) pengorbanan din sendiri demi pengabdiannya ke hadapan Tuhan, clan (4) idealisme yang luhur dalam mengembangkan cita, rasa, karsa dan karyanya. Dengan demikian nyata bahwa fungsi hidup di dunia ini bukan semata-mata untuk mendapatkan dan menerima sesuatu, melainkan memberikan pengorbanan dan cinta kasih dengan amalan atau karya pengabdian ke hadapan Tuhan, sesama hidup, kemanusiaan, dan alarn semesta. Kesadaran inilah yang sebenarnya merupakan kunci teka teki hidup dan kehidupan manusia, dan tergantung pada manusia sebagai individu sendirilah proses tersebut dapat clan harus diamalkan menurut kemampuan, pengertian, ilmu, dan akalnya demi ketenteraman dan kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat. Peran serta penghayat dalam pembangunan budaya bangsa dapat kita hubungkan dengan masalah kewajiban. Kewajiban manusia lahir ke dunia adalah 4
melaksanakan kesusilaan dan keutamaan. Melaksanakan keutamaan berarti melakukan pekerjaan (karya) untuk keselamatan dan kebahagiaan masyarakat, untuk kerahayuan batiniah (memayu hayuning bawana). Untuk keselamatan jagad, harus berdasar "sepi ing pamrih, rame ing gawe". "Sepi ing pamrih” berarti tidak ada nafsu keinginan untuk mendapat keuntungan bagi diri sendiri, sedangkan "rame ing gawe" berarti giat bekerja, rajin, maju, dan melakukan pekerjaan atau kewajiban dengan sebaik mungkin. Adapun yang dinamakan melaksanakan kesusilaan adalah: (1) watak welas asih (belas kasihan atau kemanusiaan) kepada sesama hidup, (2) watak suka memberi pertolongan kepada sesama hidup, dan (3) rasa terima kasih, yaitu mengerti akan kebaikan serta membalas kebaikan kepada yang berbuat baik. Kelanjutan dari itu adalah manembah (berbakti ) kepada Tuhan YME. Membangun berarti memperbaiki dan meningkatkan keadaan sekarang untuk mendapatkan keadaan yang lebih balk, yang meliputi bidang materiil dan spiritual. Perbaikan itu mengakibatkan adanya perubahan-perubahan sosial, perubahan nilai-nilai kebudayaan dalam masyarakat. Pembangunan itu diharapkan didukung atau dilaksanakan oleh lapisan masyarakat yang meluas dan merata. Dalam hal ini, pokok persoatannya adalah pada manusia pembangun itu sendiri. Untuk itu diperlukan landasan yang kuat, bahwa semangat dan perilaku rnanusia pembangun itu harus berlandaskan spiritual, mental, dan moral-etika. Ajaran (yang memuat nilai-nilai budaya yang luhur) yang selama ini telah dihayati dan diamalkan oleh para penghayat, yang berlandaskan spiritual, mental, dan moral-etika itu, dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, narima ing pandum, yaitu menerima apa yang sudah diberikan sebagai bagiannya; apa yang sudah ditangan hendaknya dikerjakan dan dipelihara dengan baik, dengan senang hati dan gembira. Orang narima tidak ingin memiliki milik orang lain, tidak iri akan keberhasilan orang lain. Orang yang narima dalam berusaha dan mengejar kemajuan tidak ngongso (bernafsu, emosional) dan bisa berterima kasih kepada Tuhan dan sesama. Kedua, hidup sederhana, yaitu tidak menuruti hawa nafsu (serakah) dan tidak mementingkan materi. Ketiga, sabar, yaitu bijaksana, kuat dalam menghadapi cobaan dan godaan hidup, tidak putus asa, tidak terburu nafsu. Sabar akan menuntun orang bekerja dan berpikir dengan seksama dan tidak tergesa-gesa. Orang yang sabar akan momot, yaitu memuat banyak. Sikap dan tindakan sabar akan mengurangi ketegangan-ketegangan yang disebabkan oleh kesimpangsiuran pikiran dan tindakan yang tergesa-gesa. Keempat, sepi ing pamrih, yaitu tujuan utama dalam melakukan tugas dan pekerjaan bukan untuk mencari keuntungan pribadi, melainkan untuk mendarmabaktikan tugas dan pekerjaannya itu untuk kepentingan umum atau masyarakat yang memerlukannya tanpa mengharapkan imbalan. Kelima, rame ing gawe, yaitu bekerja dengan giat, tekun, dan sungguh-sungguh, karena secara moral-etika bekerja adalah wajib bagi kehidupan manusia di dunia. Keenam, jujur, yaitu bersikap, berkata, dan bertindak apa adanya, tidak dusta, dan selalu menepati janji. Ketujuh, rela, yaitu tanpa pamrih, yang berguna untuk memupuk jiwa gotong royong, jiwa sosial, dan rasa kemanusiaan. Ketujuh ajaran inilah yang merupakan modal dasar para penghayat guna berperan serta dalam pembangunan budaya bangsa. Kesimpulan dan Saran Sumbangan atau peran serta segenap penghayat/aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa akan lebih bermakna apabila dilandasi oleh 5
adanya: (1) eksistensi formal yang mengaturnya, (2) eksistensi penghayat/aliran kepercayaan dalam metaksanakan peribadatannya ke hadapan Tuhan, dan (3) bentuk dan cara yang dipakai. Eksistensi formal bagi para pen ghayat/aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa telah dirumuskan dalam UUD 1945 maupun GBHN 1998, walaupun masih terdapat beberapa kekurangan yang mendasar. Kekurangan itu, antara lain, adalah berkaitan dengan belum jelasnya atau belum ditegaskannya hak hidup (eksistensi) dan perlakuan yang sama atau adil antara pemeluk agama dengan penghayat. Hak hidup ini penting untuk dikemukakan dan dipertanyakan mengingat pengaruhnya terhadap kewajiban yang harus dilaksanakannya selaku warga negara. Pasal 29 UUD 1945 sudah jelas jelas mengatur mengenai kemerdekaan (hak) tiap-tiap penduduk dalam memeluk agama atau kepercayaannya serta beribadat menurut agama atau kepercayannya itu. Namun dalam pelaksanaannya, seperti yang terlihat dalam GBHN maupun dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa, bernegara, serta kehidupan seharihari, dirasakan masih jauh dari apa yang telah diamanatkan dalam UUD 1945. Akhirnya, bentuk peran serta penghayat dalam pembangunan budaya bangsa antara lain dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, penghayatan dan pengamalan Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang perwujudannya juga menyangkut sila-sila yang lain. Amalan pengabdian ini merupakan konsekuensi logis dari fitrat manusia yang dapat membentuk manusia Indonesia seutuhmya, yaitu manusia yang kebutuhan lahir dan batinnya seimbang. Kedua, melaksanakan pendidikan budi pekerti, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat maupun sekolah. Pendidikan budi pekerti akan memberi landasan spiritual, mental, dan moral-etika/kesusilaan yang kuat dalam membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Pendidikan budi pekerti (terutama di sekolah) dalam beberapa tahun belakangan ini cenderung kurang diperhatikan dan bahkan diabaikan. Ketiga, memperkokoh rasa dan wawasan kebangsaan, seperti rasa kesatuan, persatuan, kerukunan, kesetiakawanan, dan kerjasama antar komponen bangsa. Perlu dikembangkan rasa kepekaan dan kesetiakawanan terhadap masalah kemanusiaan. seperti kekerasan antar suku bangsa (etnik), kekerasan oleh aparat keamanan, maupun perampasan hak milik. Penutup Demikianlah sekedar uraian mengenai potensi dan peran serta penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME dalam pembangunan budaya bangsa. yang telah saya sampaikan dengan segala keterbatasan ilmu, akal, dan pikir saya dalarn menyelami permasalahan tersebut. Semoga uraian ini dapat berguna sebagai bahan renungan maupun evaluasi diri bagi kita semua, khususnya para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME dalam melaksanakan peribadatan ke hadapan Tuhan YME serta tugas yang diberikanNya kepada manusia dalam menjalankan kehidupan di dunia. Pelaksanaan peribadatan maupun tugas tersebut sepenuhnya sangat bergantung pada sikap dan tindakan masing-masing penghayat menurut tingkat pengertian. ilmu. akal, clan pikirnya. Teringatlah saya pada wasiat sabda almarhum Sri Susuhunan Pakubuwana IX, yang mengatakan: "sesa-sesa ana janmane dhewe-dhewe", yang artinva: tergantung kepada manusianya masingmasing. Semoga dijauhkan dari kutukan, dosa, maupun aniayaNya. Amin. 6
Daftar Bacaan
Arianto, Nurcahyo Tri 1981 Karya Kebaktian Wiratama Wedyananta Karya (WIWEKA). Skripsi Sarjana Muda Antropologi. Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada. 1999 “Sumbangan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam Pembangunan Bangsa”. Makalah disampaikan dalam Sarasehan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Hotel Panorama, Batu, Malang, tanggal 12-13 Agustus. 2006 “Pemberdayaan Diri Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Makalah disampaikan dalam Dialog Interaktif Musyawarah Daerah VII HPK Provinsi Jawa Timur, Surabaya, 24-25 November. Bakker, JWM. 1969 Agama Asli Indonesia: Penelaahan Yogyakarta: Pro Manuscripto.
dan
Penilaian
Theologis.
Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film, Depbudpar 2006 “Sambutan”. Disampaikan dalam Musyawarah Daerah VII HPK Provinsi Jawa Timur, Surabaya, 24-25 November. Mulder, Niels 1986 Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Rahnip, M. 1984 Aliran Kepercayaan dan Kebatinan Dalam Sorotan. Surabaya: Pustaka Progresif. Rasiyo 2006
“Aktualisasi Nilai-nilai Budaya Spiritual untuk Pendidikan Budi Pekerti”. Makalah disampaikan dalam Musyawarah Daerah VII HPK Provinsi Jawa Timur, Surabaya, 24-25 November.
Trimurti, SK., 1985 "Kebatinan dan Pembangunan Masyarakat Moderen", dalam Agama dan Tantangan Zaman: Pilihan Artikel Prisma 19751'984. Jakarta: LP3ES, hal. vii-xlii. Widyahadikusuma 2006 “Pemberdayaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Makalah disampaikan dalam Dialog Interaktif Musyawarah Daerah VII HPK Provinsi Jawa Timur, Surabaya, 24-25 November.
--- @ ---
7