1
POTENSI DAN KONSEP DAYA SAING UMKM ACEH (DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN) The Potential and Competitiveness Concept of SME’s in Aceh Province ( in Context of Sustainable Development)
Nurlina Dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah
[email protected] ABSTRAK Dalam artikel ini, penulis ingin memaparkan tentang potensi pertumbuhan UMKM di Provinsi Aceh. yang menempati kedudukan strategis dalam perekonomian Aceh, karena dapat menciptakan lapangan kerja dan memberdayakan ekonomi rakyat. Jumlah UMKM Aceh mencapai 55.783 unit, yang terdiri dari usaha mikro 39.571 unit (71%), usaha kecil 13.728 unit (25%), dan usaha menengah 2.484 unit (4%) (Disperindagkop dan UKM Aceh, 2012). Sampai saat ini UMKM di Provinsi Aceh belum melaksanakan Triple Helix Concept, yaitu kerjasama antara pemerintah, dunia usaha, dan akademisi secara optimal. Berbagai potensi belum terungkap dengan baik dan belum mampu memberikan kontribusi untuk pendapatan ekonomi lokal secara signifikan, padahal Aceh memiliki banyak potensi budaya dan pariwisata yang dapat dimanfaatkan. Hal ini diperlukan kajian lebih lanjut tentang potensi pertumbuhan UMKM di Provinsi Aceh dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan teori Cho (2003) pada model yang mempengaruhi pertumbuhan suatu industri untuk regional, nasional, dan global.
Kata Kunci: UMKM, daya saing, model daya saing, inovasi, MEA, pembangunan berkelanjutan.
ABSTRACT In this research, the authors would like to explain about the growth potential of SMEs in the Province of Aceh. Growth of SME occupies a strategic position in the economy of Aceh by creating jobs and economic empowerment of the people. The number of SMEs in Aceh reached 55.783 units, consisting of 39.571 units of micro businesses ( 71 % ), small businesses 13.728 units ( 25 %), and 2.484 units of medium-sized businesses (4 %). (Disperindagkop dan UKM Aceh,2012). Until now, SMEs in the Province of Aceh have not implemented the Triple Helix Concept, cooperation between government, business, and academa optimally. Various potential well has not been revealed and has not been able to contribute to local economic revenue significantly, whereas Aceh has a lot of culture and tourism potential that can be exploited. It is necessary to do further research on the potential growth of SMEs in the province of Aceh in the context of sustainable development. This study uses the theory of Cho (2003) to the model that affect the growth of an industry to the regional, national, and global. Keywords: SMEs, competitiveness, competitiveness model, innovation, AEC, sustanable development.
__________________________________________
2
PENDAHULUAN Provinsi Aceh memiliki luas wilayah 57.956,00 km2, terletak di ujung Barat Laut Pulau Sumatra. Sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara dan Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. Sesuai dengan perkembangannya, Provinsi Aceh dengan ibukota Banda Aceh semakin diperluas dari segi pemerintahannya, dari 10 kabupaten/kota pada tahun 2000, berkembang menjadi 23 kabupaten/kota pada tahun 2007. Jumlah penduduk di Provinsi Aceh tahun 2010 sebanyak 4.486.570 (Aceh dalam Angka, 2010). Pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh PDRB tahun 2009, menunjukkan peningkatan 3,92% lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2008 yang hanya 1,88% tanpa memasukkan unsur migas. Peningkatan pertumbuhan ekonomi ini diiringi dengan peningkatan jumlah industri mikro, kecil dan menengah. Jumlah UMKM Aceh mencapai 55.783 unit, yang terdiri dari usaha mikro 39.571 unit (71%), usaha kecil 13.728 unit (25%), dan usaha menengah 2.484 unit (4%) (Disperindagkop dan UKM Aceh, 2012). Aceh merupakan tempat pertama masuknya agama Islam di Indonesia. Suku Aceh merupakan salah satu suku yang tergolong ke dalam etnik melayu atau ras melayu, dan sering diakronimkan dengan Arab, Cina, Eropa, dan Hindustan (ACEH). Aceh selain kaya akan hasil tambang juga memiliki aneka industri kecil dan menengah khususnya aneka industri kerajinan yang menjadi salah satu industri yang berkembang di Provinsi Aceh saat ini. Wisata alam yang sangat menarik seperti Taman Nasional Gunung Lauser, Danau Aneuk Laot, Danau laut Tawar, Tugu Titik Nol Kilometer, Pantai Pasir Putih, Taman Potroe Phang, Mesjid Raya Baiturrahman, Kerkhof Peutjoet (Kuburan Belanda), Museum Tsunami, dan wisata bahari di Iboih, Gapang dan Taman Laut Pulau Rubiah dengan pemandangan bawah lautnya yang sangat indah. Ada juga atraksi budaya olahraga tradisional pacuan kuda, dan tarian Saman yang sudah mendunia, adalah merupakan alasan wisatawan dari dalam maupun luar negeri untuk datang mengunjungi Provinsi Aceh.
Nilai besar budaya Aceh-Melayu sebagai identitas daerah lintas budaya rakyatnya, telah menjadi dasar untuk pembangunan Provinsi Aceh. Secara regional, letak geografis Aceh sangat strategis di jalur pelayaran dari Asia Selatan menuju Asia Timur dan Australia sebagai rute ekonomi dan perdagangan internasional, membuat wilayah Aceh dapat memainkan peran penting di masa yang akan datang. Keinginan untuk mengembangkan warga Aceh menjadi lebih kreatif dan produktif dengan fokus pada seluruh lapisan individu dan kelompok dalam masyarakat adalah dengan menyediakan modal kreatif, investasi pada UMKM dengan membekali keterampilan melalui pendidikan dan pelatihan. Wacana bahwa kota adalah ekonomi terbuka adalah perlu berkolaborasi dalam rangka meningkatkan daya saingnya dalam perekonomian global, serta pengembangan produk secara bertahap yang berbasis budaya local dan ramah lingkungan. Untuk membangun UMKM di Provinsi Aceh, pemangku kepentingan perlu membuka wacana membangun kolaborasi tersebut, dengan berbagi inspirasi visi, berbagi pengetahuan, kepemimpinan mengeksploitasi, dan mengubah sikap dan perilaku konsumen. Hal ini diperlukan untuk mengulas kembali pencitraan Aceh yang memiliki sejarah masa lalu yang menarik dan diharapkan akan terjadi pula dimasa yang akan datang dengan pengembangan yang inovatif, dinamis, dan berkelanjutan. Agar UMKM Aceh dapat maju dan berkembang, maka hendaknya berfokus pada orang-orang dan masyarakat sebagai modal utama, yaitu dengan membekali keterampilan dan memberikan pelatihan dan pendidikan kreatif dan inovatif. Mempersiapkan Infrastruktur daerah secara baik, sehingga membuat Aceh terbuka dan mampu menarik bakat kreatif. Konsep Artepolis sebagai kota seni dan budaya menjadi salah satu jembatan untuk membuka dan membuat kota menjadi menarik. Artepolis adalah sebuah konsep yang memiliki nilai artistik/keindahan, dalam membangun kota; menjadikan publik kreatif, memiliki galeri dan ruang pertunjukan, serta tetap menjaga kualitas lingkungan.
3
Selain konsep Artepolis, konsep lain yang mendukung tujuan Aceh menjadi sebuah kota yang dapat bersaing dan memfasilitasi warga serta menciptakan kota kreatif adalah konsep Innopolis. Innopolis adalah konsep pembangunan daerah cerdas dan berkelanjutan melalui penguatan system inovasi yang dapat mendorong daya saing melalui aspek teknologi, sosial, dan budaya. Innopolis bertujuan untuk: 1. Bertindak sebagai katalis dalam mendorong kolaborasi antara pemerintah dan organisasi sehingga inovasi perusahaan dapat sinergi di seluruh wilayah. 2. Mendorong inisiatif penelitian dan pengembangan teknologi berbasis budaya lokal. 3. Mengembangkan ruang untuk dialog tentang daya saing, inovasi, dan nilainilai sosial di antara pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, industri, pendidikan, dan orang-orang kreatif. 4. Mendorong partisipasi dalam kegiatan inovasi perusahaan untuk mempertahankan identitas budaya, keragaman, dan kualitas lingkungan. 5. Mengembangkan dan menyebarluaskan metode dan teknik di bidang inovasi kreatif, dengan penekanan pada pembangunan berkelanjutan dan wisata budaya. 6. Mendorong difusi dan adopsi inovasi dalam rangka membangun masyarakat dengan pengetahuan yang sama. 7. Mendorong partisipasi non-pemerintah dan non-profit dalam keputusan tentang kebijakan inovasi mengenai bidang atau daerah mereka. 8. Mengembangkan, mengimplementasikan inisiatif untuk berinovasi dan meningkatkan kesadaran pendidikan dan pelatihan yang mendukung inovasi.
Daya Saing Globalisasi membawa konsekwensi logis setiap negara di dunia dihadapkan pada situasi
persaingan yang ketat. Indeks daya saing senantiasa diukur sejumlah lembaga internasional setiap tahunnya. Peringkat itu membawa implikasi datang atau hengkangnya investor besar pada sebuah Negara. Teori daya saing lahir pada masyarakat industri. Jejaknya mulai tampak dari pendekatan Industrial Organization (IO-Porterian Model) yang kemudian berkembang menjadi pendekatan competitive dynamics (Smith and Ferier), dynamic governance(Neo and Lee), hingga pendekatan regional cluster (Krugman and Porter) serta pendekatan lain yang dikenal dalam teori-teori Resourced Based View (Barney, Hameld and Prahalad), serta Market Based View. Konsep daya saing di tingkat nasional adalah produktivitas. Tujuan utama negara adalah untuk menghasilkan standar hidup yang tinggi bagi warganya. Kemampuan untuk melakukannya tergantung pada produktivitas tenaga kerja dan modal dari suatu negara yang digunakan. Produktivitas adalah penentu utama standar hidup, dan pendapatan nasional per kapita suatu negara (Cho et al, 2005). The World Economic Forum (WEF) mendefinisikan daya saing sebagai "seperangkat kebijakan institusi dan faktor-faktor yang menentukan tingkat produktivitas suatu negara. Tingkat produktivitas, pada gilirannya menentukan tingkat berkelanjutan kemakmuran ekonomi yang dapat diterima "(Schwab 2009a: 4). Dengan kata lain, perekonomian yang lebih kompetitif cenderung mampu menghasilkan tingkat pendapatan yang lebih tinggi bagi warganya. Tingkat produktivitas juga menentukan tingkat pengembalian yang diperoleh dari investasi dalam perekonomian suatu negara. Menurut Cho, daya saing suatu negara tergantung pada kapasitas industri untuk berinovasi dan reformasi. Inovasi dapat diwujudkan dalam desain produk baru, proses produksi baru atau melakukan pelatihan dengan cara baru. Beberapa inovasi menciptakan keunggulan kompetitif dengan peluang pasar baru atau dengan melayani segmen pasar yang telah diabaikan oleh orang lain.
4
suatu
Berikut diagram penentu daya saing negara menurut Porter.
Sebuah industri yang kompetitif membuat proses industri saling memperkuat. Jika sebuah kelompok terbentuk, seluruh kelompok industri menjadi saling mendukung. Manfaat mengalir ke depan, belakang, dan horizontal. Persaingan agresif dalam industri menyebar ke industri lainnya melalui produk yang datang dari perusahaan yang tidak relevan, melalui daya tawar, dan melalui diversifikasi perusahaan yang telah ditetapkan (Cho, 2005). Penjelasan mengenai sumber daya saing internasional yang dimiliki oleh negara maju diajukan oleh Prof Michael Porter dari Harvard Business School, yang menyebabkan paradigma bahwa keuntungan kompetitif industri di pasar internasional dipengaruhi oleh interaksi faktorfaktor penentu keunggulan kompetitif suatu negara (Saeed, 2003). Ada empat faktor penentu spesifik untuk negara, sumber daya yang tersedia, permintaan domestik, industri terkait dan industri pendukung, dan strategi perusahaan, struktur dan persaingan. Di sisi lain, dua variabel lain yang memainkan peran penting dalam membangun keunggulan kompetitif adalah kesempatan dan peran pemerintah. Interaksi di antara empat faktor penentu spesifik dalam dua variabel eksternal ditunjukkan dalam model yang dikenal sebagai Porter’s Diamond Model.
Pada dasarnya, model Porter menunjukkan bagaimana sebuah industri dapat mempertahankan daya saing internasional ketika empat faktor penentu itu ada. Model Porter harus dimodifikasi agar berlaku untuk Negara berkembang atau terbelakang, karena negara harus menciptakan daya saing internasional tanpa selalu harus ada salah satu dari empat faktor penentu yang disebutkan oleh Porter. Model sembilan faktor diperkenalkan oleh Dong-Sung Cho (2005) menjelaskan bahwa kita membutuhkan model yang bisa menjelaskan kepada kita, bukannya seberapa banyak tingkat sumber daya yang sekarang dimiliki oleh suatu negara, tetapi siapa yang menciptakan sumberdaya dan kapan seharusnya setiap sumber daya itu diciptakan. Model sembilan faktor yang diciptakan oleh Dong-Sung Cho merupakan pengembangan dari model Porter. Yang bertujuan untuk mengakses dan menganalisis daya saing suatu industri. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan daya saing UMKM di Aceh adalah sumber daya manusia yang berlimpah dan beragam dalam hal tingkat pendidikan, motivasi, dan dedikasi untuk bekerja. Populasi masyarakat Aceh dapat dikelompokkan menjadi empat kategori, di antara mereka terdiri dari pekerja, politisi dan birokrat yang merumuskan dan melaksanakan rencana ekonomi, pengusaha yang membuat keputusan investasi terlepas dari berisiko tinggi, dan manajer profesional yang bertanggung jawab atas operasi lapangan dan insinyur yang melaksanakan teknologi baru. Ada
5
empat faktor yang menentukan daya saing industri dalam suatu provinsi, yaitu: sumber daya, lingkungan bisnis, industri terkait dan mendukung, permintaan dalam negeri; ada juga empat faktor manusia yaitu politisi dan birokrat, tenaga kerja, pengusaha, manajer dan profesional, dan kesempatan untuk masuk sebagai faktor sembilan, seperti terlihat dalam gambar:
Paradigma atau model dari sembilan faktor dalam pengembangan kebijakan industri di provinsi, dapat dikelompokkan menjadi tiga factor, yaitu faktor fisik, faktor manusia dan faktor eksternal (Cho, 2005). Daya saing kota di bidang industri, seperti yang diusulkan oleh Florida (2004), dipengaruhi oleh daya tarik wilayah serta pengaruh campur tangan pemerintah daerah. Sementara itu, menurut Porter, daya saing suatu daerah seperti kota atau provinsi tergantung pada kapasitas orang untuk berinovasi dan memperbarui terus-menerus, dan sumber daya manusia ini merupakan salah satu faktor penting. Suatu kawasan mencapai keunggulan kompetitif melalui tindakan inovasi yang bisa
dilakukan dengan menciptakan desain produk baru dan berusaha untuk meningkatkan sumber daya manusia yang ada. Keunggulan Bersaing Berkelanjutan Siapkah kita menghadapi persaingan di tahun 2015? Sudah seharusnya kita bersiap menghadapi ketatnya persaingan di tahun 2015 mendatang Indonesia dan Negara-negara di wilayah Asia Tenggara akan membentuk sebuah kawasan yang terintegrasi yang dikenal sebagai Asean Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Terdapat empat hal yang menjadi fokus MEA, yang dapat dijadikan suatu momentum yang baik untuk Indonesia umumnya dan Aceh pada khususnya. Pertama, Negara-negara di kawasan Asia Tenggara akan dijadikan sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis produksi. Kedua, MEA akan dibentuk sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi yang tinggi, yang memerlukan kebijakan yang meliputi competition policy, consumer protection, Intellectual Property Rights, taxation, and ECommerce. Ketiga, MEA akan dijadikan sebagai kawasan yang memiliki perkembangan ekonomi yang merata, dengan memprioritaskan pada Usaha Kecil dan Menengah. Kemampuan daya saing dan dinamisme akan ditingkatkan dengan menfasilitasi akses mereka terhadap informasi terkini, kondisi pasar, dan pengembangan sumber daya manusia. Keempat, MEA akan diintegrasikan secara penuh terhadap perekonomian global. Competition risk akan muncul dengan banyaknya barang impor yang akan mengalir dalam jumlah banyak ke Indonesia yang akan mengancam industri local yang akan bersaing dengan produk-produk luar negeri yang jauh lebih berkualitas. Dalam menghadapi persaingan yang demikian ketat, esensi strategi adalah meningkatkan dan mempertahankan keunggulan bersaing (sustainability competitive advantage) melampaui pesaing perusahaan. Keunggulan bersaing yang berkelanjutan adalah tujuan strategis dan focus utama yang ingin dicapai perusahaan. Untuk itu seyogyanya setiap UMKM di Provinsi Aceh khususnya dan di Indonesia pada umumnya dapat menciptakan
6
keunggulan bersaing berkelanjutan dengan menciptakan keunikan sumberdaya, baik pada keunikan sumberdaya berwujud (tangible asset) atau maupun sumberdaya yang tidak berwujud (intangible asset). Sumberdaya manusia yang memiliki komitmen pada organisasi yang tercermin pada pencapaian superior value, seperti superior skill, superior resources, and superior control. Pencapaian nilai-nilai keunggulan akan menciptakan keunggulan bersaing yang berkelanjutan (sustainable competitive advantage) yang akan mewujudkan profit, market, customer, and survival, Longenecker, Moore and Petty (2003) untuk pencapaian kinerja perusahaan yang berkelanjutan (sustainability business performance). Untuk UMKM di Provinsi Aceh, menciptakan keunggulan bersaing harus dapat menciptakan nilai produk yang berbeda dengan yang ditawarkan oleh pesaingnya. Perbedaan tersebut bisa dalam bentuk produk dengan kemasan yang lebih menarik disertai dengan adanya informasi tentang produk, sistem delivery produk maupun pada proses pelayanan yang lebih baik kepada konsumen. Keunggulan bersaing akan menciptakan kinerja perusahaan yang baik, hal ini sesuai dengan Yang Wang and Lo, 2003; Wiklund and Shepherd, 2003; Bowen and Ostroff, 2004; Morgan et al, 2004, yang menemukan hubungan antara keunggulan bersaing dengan kinerja usaha.
SIMPULAN Sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif merupakan faktor penting dalam pengembangan UMKM di Aceh, selain itu dukungan dari pemerintah, sektor usaha dan pemangku kepentingan lainnya sangat diperlukan untuk membangun kapasitas dan kemampuan dari orang Aceh. Pembentukan pola dalam sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif juga harus memperhatikan budaya yang berlaku di Wilayah Aceh. Kita tidak bisa memaksakan pola Innapolis dan ArtePolis seperti ke dalam formasi manusia kreatif di Aceh. Budaya Aceh-Melayu yang kental akan
nilai Ke-Islamannya adalah kekerabatan yang sangat kuat yang harus dipertahankan dalam pola manusia menjadi kreatif. Adat dan budaya yang telah berlaku selama berabad-abad di Aceh memerlukan perawatan khusus dan metode untuk mengarahkan menjadi inovatif namun tetap Islami. Cho (2005) berpendapat bahwa ada beberapa prinsip dasar yang sederhana bahwa pemerintah memainkan perannya dalam mendukung terciptanya daya saing nasional, yaitu dengan mendorong perubahan, mempromosikan kompetisi domestik, dan merangsang inovasi. Beberapa pendekatan kebijakan yang spesifik untuk memandu negara mencapai keunggulan kompetitif meliputi: fokus pada penciptaan faktor khusus, menghindari campur tangan dalam faktor nilai tukar dan pasar, memperkuat standar produk, keamanan, dan lingkungan yang ketat, membatasi kerja sama langsung antara pesaing industri, mempromosikan tujuan yang mengarah ke investasi jangka panjang, kompetisi deregulasi, menjalankan kebijakan antitrust domestik yang kuat, dan menolak untuk mengatur perdagangan. Dalam menghadapi persaingan yang demikian ketat, esensi strategi adalah meningkatkan dan mempertahankan keunggulan bersaing (sustainability competitive advantage) melampaui pesaing perusahaan. Untuk itu seyogyanya setiap UMKM di Provinsi Aceh khususnya dan di Indonesia pada umumnya dapat menciptakan keunggulan bersaing berkelanjutan dengan menciptakan keunikan sumberdaya, baik pada keunikan sumberdaya berwujud (tangible asset) atau maupun sumberdaya yang tidak berwujud (intangible asset). Dengan hadirnya MEA para risk profesional diharapkan dapat lebih peka terhadap fluktuatif yang akan terjadi agar dapat mengantisipasi resiko-resiko yang muncul. Selain itu kolaborasi yang apik antara otoritas Negara dan para pelaku bisnis diperlukan, infrastruktur baik secara fisik dan social (hukum dan kebijakan perlu dibenahi, serta perlu adanya peningkatan kemampuan serta daya saing tenaga kerja dan perusahaan di Indonesia. Jangan
7
sampai Indonesia menjadi penonton di Negara sendiri di tahun 2015 mendatang. Karena itu, untuk tetap survive di era global, dibutuhkan manusia inovatif yang mampu menemukan jalan atau metode baru sesuai dengan tuntutan zaman. Manusia inovatif memiliki motif dan semangat untuk selalu belajar dan berkreasi secara terusmenerus.
DAFTAR PUSTAKA Aceh Dalam Angka, 2010. Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh. Barney, J.B. (1991). Firm Resources and Sustained Competitive Advantage. Journal of Management, 17(1), 99-120. BPS (2010). Statistical Yearbook of Indonesia 2009. Biro Pusat Statistic Indonesia. Brooking , A.(1996). Intellectual Capital, Core Assets for the Third Millenium Entreprises. International Thomson Business Press, London. Cho, D. S. 1998. From National Competitiveness to Bloc and Global Competitiveness, Competitiveness Review 8(1): 11–23. doi:10.1108/eb046358 Cho, D. S.; Moon, H. C. 2000. From Adam Smith to Michael Porter: Evolution of CompetitivenessTheory. Korea: Asia-Pacific Business Series. 223 p. Cho, D. S.; Moon, H. C. 2005. National Competitiveness: Implications for Different Groups and Strategies, International Journal of Global Business and Competitiveness 1(1): 1–11. Disperindagkop dan UKM Aceh, 2012. Florida, Richard (2004), The Rise of The Creative Class, New York: Basic Books. Morgan A. Neil, Vorhies W. Dougas and Mason H.Charlotte, (2008), Market Orientation,
Marketing Capabilities and Firm Performance, Institution of Higher Learning. Porter, M. E. 1998. The Competitive Advantage of Nations. Republished with a new introduction. New York: Free Press. 855 p. Powell, M. (2003). Information Management for Development Organization, (2nd ed). Oxford: Oxfam. Schwab, K. 2009a. The Global Competitiveness Report 2009–2010 [online]. Geneva: World EconomicForum, 492 p. [cited 17 March 2010]. Available from Internet:
. ISBN-13: 978-92-95044-25–8. Wang , Y & Lo, H. (2003). Customer-Focused Performance and the Dynamic Model for Competence Building and Leveraging: A Resource-Based View. Journal of Management Development, 22(6), 483-526. Wilklund, J & Stepherd, D (2003). Knowledge Based Resource, Entrepreneurial Orientation, and the Performance of Small Medium-Sized Business. Strategic Management Journal, 24, 1307-1314.