Temu Ilmiah Nasional II – Jakarta, 5-6 Agustus 2010
POSTPARTUM DEPRESSION Roswiyani, M.Psi ABSTRACT Postpartum depression (PPD) is a form of postpartum depression that begins soon after until 2 years after the delivery process. One of 10 mothers of the first born child may experience PPD, and the condition threatens the mother-child relationship which may trigger child psychopathology and inhibit the developmental process of the child. PPD mothers tend to feel sad and less sensitive to give positive affect to their children. The high intensity of sadness of DPM occasionally influences the tendency to commit suicide or to kill the baby. This condition carries negative impact to the entire family; the mother tends to self withdraw and reject to nurse the baby. The baby may have lack of love and care. This qualitative research on PPD is aimed at finding the causes of PPD and used in-depth interview on 4 volunteers who experienced depression after the delivery process. The interview items are based on interview for PPD (National Mental Health Association, 2003; Rosenberg, et al, 2003). The result indicates that 3 of 4 participants experienced PPD, 1 subject experienced baby blues syndrome with similar condition to PPD but lasted for only a week. PPD indicators consists of (a) hyperventilation with nausea to vomit, (b) feel guilty to the baby, (c) unable to take good care of self, (d) irritable, (e) over anxiety toward or neglecting the baby, with (f) low motivation, (g) not eager to socialize, and (h) having difficulties to make decision. Causes of PPD includes (a) unhappy marital relationships, (b) feel incapable to breastfeed the baby, (c) stress due to weight increase, (d) unpleasant childhood, (e) lack of emotional support from husband, (f) stress of nursing the baby, (g) social economic stress, (h) stress during pregnancy. Social and emotional support during pregnancy and delivery may reduce the potential of PPD. Sources of social support are from (a) husband, (b) family members, and (c) close friends. Social support includes (a) providing information during pregnancy and delivery, and (b) helping to nurse the baby. Emotional support is mostly expected from the husband in the form of (a) affection and (b) communication during pregnancy and delivery. Keyword: Postpartum depression
Temu Ilmiah Nasional II – Jakarta, 5-6 Agustus 2010
POSTPARTUM DEPRESSION Latar Belakang Periode kehamilan dan melahirkan merupakan periode kehidupan yang penuh dengan potensi stres. Seorang wanita dalam periode kehamilan dan periode melahirkan cenderung mengalami stres yang cukup besar karena keterbatasan kondisi fisik yang membuatnya harus membatasi aktivitas. Di samping ia juga harus waspada dalam menjaga janinnya. Adanya berbagai potensi stres dalam rentang waktu kehamilan hingga proses melahirkan memungkinkan munculnya masalah psikologis pada diri seorang wanita pada periode tersebut. Sebagai contoh, kelahiran bayi dapat menimbulkan gejala depresi pada ibu, dan salah satu bentuk depresi tersebut adalah Depresi Pasca Melahirkan (DPM) (Simpson, Rholes, Campbell, Tran & Wilson, 2003). Crockenberg dan Leekers (2003) mengemukakan bahwa sekitar 10-30% ibu setelah melahirkan mengalami kondisi depresi hingga derajat tertentu dan kondisi depresi tersebut dapat mempengaruhi munculnya disfungsi interaksi antara ibu dan bayi di kemudian hari. DPM yang merupakan salah satu bentuk depresi mayor ini dialami oleh satu di antara sepuluh ibu yang melahirkan bayi pertama dan berlangsung pada tahun pertama setelah kelahiran bayi (adakalanya berlangsung segera setelah bayi lahir). Depresi mayor pada periode melahirkan diperkirakan dialami oleh 8-15% dari ibu yang baru melahirkan. Tujuh puluh persen diantara para ibu yang baru melahirkan mengalami gangguan psikologis selama lebih kurang 12 bulan (National Mental Health Association, 2003) atau 1 tahun dengan rentang episode antara 4 minggu hingga 6 bulan (Clark, Tluczek, & Wenzel, 2003). DPM merupakan salah satu masalah kesehatan mental khususnya bagi para ibu yang baru saja melahirkan. Kondisi ini dapat menimbulkan masalah dalam hubungan ibu dan bayi, gangguan psikopatologis pada bayi dan keterlambatan perkembangan bayi (Clark et al, 2003; National Mental Health Association, 2003). Ragam gangguan tersebut terjadi karena perempuan yang mengalami DPM cenderung diliputi perasaan sedih sehingga kurang peka untuk memberikan afek positif pada bayinya. Akibatnya, bayi juga tidak belajar mengembangkan afek positif dan menimbulkan rasa kurang aman pada diri bayi dalam proses perkembangan mereka kelak (Clark, et al, 2003). Bayi-bayi dari ibu yang mengalami DPM cenderung mengalami gangguan orientasi, afek depresi, gangguan tidur (irregular sleep), dan beberapa jenis gangguan fisik lain di samping hambatan perkembangan verbal, gangguan perilaku dan keterlambatan perkembangan skolastik (Clark, et al 2003). DPM dikeluhkan 10-20% ibu di Amerika maupun Afrika. Depresi tersebut biasanya berlangsung sejak 24 jam, atau 4-5 hari setelah melahirkan hingga beberapa bulan kemudian (Kompas Cyber Media, 2004). Di Indonesia, DPM terjadi 11-30% wanita dibandingkan dengan wanita dari negara lain di Asia. Prevalensi DPM berdasarkan penelitian bagian kebidanan RSUP DR.Sardjito Yogyakarta diperoleh 11,3% ibu mengalami depresi ringan; 1,9% mengalami depresi sedang dan 0,5% mengalami depresi berat setelah melahirkan. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Lelly Resna yang meneliti mengenai karakteristik para ibu penderita DPM di RS Hasan Sadikin Bandung pada tahun 1995-1996 menyimpulkan bahwa
Temu Ilmiah Nasional II – Jakarta, 5-6 Agustus 2010
DPM banyak dialami oleh ibu yang tidak bekerja dengan latar pendidikan SD, namun terjadinya DPM kurang dipengaruhi oleh faktor usia (Papayungan, 2005). DPM berbeda dengan simtom “baby blues” yang biasanya dialami oleh ibu setelah 34 hari melahirkan namun memudar setelah beberapa minggu (National Mental Health Association, 2003). Baby Blues Syndrome (BBS) adalah depresi ringan yang dialami ibu setelah melahirkan. BBS juga disebut maternity blues, atau postpartum blues. Gejalanya berupa gangguan emosi sering menangis, murung, panik, mudah marah (Atmadibrata, 2005), dan disertai gejala depresi, mood swings, gangguan tidur dan selera makan, serta gangguan konsentrasi yang kesemuanya merupakan akibat perubahan hormonal (National Mental Health Association, 2003). Menurut Stanton dan Danoff-Burg, 1995 dalam Stoppard (2000) mengatakan bahwa mood wanita yang terjadi selama periode kehamilan merupakan prediktor utama terjadinya mood wanita pada periode setelah melahirkan. Catatan medis tentang BBS telah ada sejak jaman Hippocrates, sekitar abad ke 5 SM, namun dianggap kurang penting karena dipandang sekedar sebagai efek kelelahan setelah melahirkan. Dr. dr. Irawati Ismail SpKj, MEpid dari bagian psikiatri UI melaporkan bahwa 25% dari 580 pasiennya (ibu melahirkan) mengalami BBS. Dr. Irawati mengemukakan gejala BBS dialami oleh sekitar 50-75% ibu melahirkan, atau 2/3 dari jumlah ibu melahirkan di seluruh dunia (Atmadibrata, 2005). Sedangkan The National Mental health Association (2003) mengemukakan bahwa sekitar 80% ibu yang melahirkan bayi untuk pertama kalinya mengalami gejala tersebut. Menurut Dr ArjuAnita Sp.OG (R.S. Hermina) produksi hormon estrogen dan progesterone selama kehamilan akan menurun tajam dalam waktu 72 jam setelah melahirkan, dan perubahan tersebut dapat menimbulkan BBS. Di samping itu, BBS juga dipengaruhi oleh ketidaksiapan ibu untuk melahirkan, termasuk kesulitan menyusui, ketidakmampuan memandikan bayi, dan kekurangan pengetahuan tentang cara-cara menangani bayi (Atmadibrata, 2005). DPM merupakan gangguan yang lebih serius daripada simtom baby blues (National Mental Health Association, 2003). Jika setelah masa 2 minggu BBS tidak hilang, maka kemungkinan ibu mengalami DPM, dan DPM bisa berlangsung selama 2 tahun (Atmadibrata, 2005). Atmosfer kesedihan penderita DPM lebih intens dari pada penderita BBS, dan gejala yang muncul sering disertai keinginan untuk bunuh diri atau membunuh bayinya sendiri. Hal ini menimbulkan dampak buruk bagi seluruh anggota kelurga karena ibu cenderung menarik diri dan menolak merawat bayi, sehingga bayi mengalami kekurangan kasih sayang (Atmadibrata, 2005). DPM sesungguhnya tidak mengancam kesejahteraan ibu namun mengancam perkembangan bayi, baik yang menyangkut aspek emosional, kognitif maupun perilakunya di kemudian hari (National Mental Health Association, 2003). Sebagai contoh, penelitian longitudinal atas 122 keluarga di daerah perkotaan Inggris mendapati kenyataan bahwa DPM berpengaruh terhadap munculnya perilaku menyimpang (tindak kekerasan) anak ketika mereka berusia sekitar 11 tahun (Hay, Pawlby, Angold, Harold & Sharp, 2003). Penelitian yang menggunakan metode wawancara pada ibu selama periode 3 bulan masa bersalin, dan
Temu Ilmiah Nasional II – Jakarta, 5-6 Agustus 2010
observasi perilaku anak pada usia 1, 4 dan 11 tahun tersebut juga menyimpulkan bahwa perilaku menyimpang pada anak terkait dengan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) dan masalah manajemen amarah pada bayi (Hay et al, 2003). Penelitian yang dilakukan Hay et al (2003) di wilayah perkotaan Inggris melibatkan 53% anak perempuan dan 47% anak laki-laki menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih cenderung bertindak kekerasan dibandingkan anak perempuan, dan tindakan kekerasan yang mereka lakukan mencakup keterlibatan dalam perkelahian di sekolah dan penggunaan senjata dalam berkelahi. Hay et al menjelaskan bahwa ketidakmampuan mengendalikan emosi pada anak mungkin juga dipengaruhi oleh faktor biologis dan faktor perkembangan hormonal; akan tetapi kemungkinan ketidakseimbangan hormonal dan gangguan biologis pada anak juga besar kemungkinan dipengaruhi oleh gangguan pola pengasuhan anak akibat ibu mengalami DPM. Pada umumnya ibu yang mengalami DPM enggan menjalani penanganan (treatment) karena merasa malu (National Mental Health Association, 2003). Keengganan para ibu yang mengalami DPM untuk menjalani penanganan dipengaruhi oleh rasa tidak aman karena para ibu tersebut memiliki persepsi negatif terhadap diri mereka sendiri. Para ibu yang mengalami DPM merasa mereka tidak dicintai sehingga mereka merasa cemas tidak memperoleh dukungan dari lingkungannya dalam membesarkan dan mengasuh bayi mereka (Simpson et al, 2003). Berbagai kondisi dapat mempengaruhi munculnya DPM, dan ragam kondisi tersebut mencakup perubahan pola hidup, masalah kesehatan ibu dan bayi, dan kurangnya rasa percaya diri ibu yang banyak dipengaruhi oleh keterbatasan dukungan dari lingkungan (National Health Association (2003). KAJIAN TEORETIS Batasan Depresi Pasca Melahirkan Depresi Pasca Melahirkan (DPM) adalah salah satu bentuk depresi mayor yang dialami ibu yang melahirkan bayi pertama dan berlangsung pada tahun pertama setelah kelahiran bayi. Hal ini dikarenakan periode pasca melahirkan bayi pertama merupakan periode transisi kehidupan baru yang cukup membuat stres, dan tidak hanya pada ibu baru melainkan juga dengan ayah baru. Kondisi transisi ini dapat menurunkan kepuasan pernikahan dan meningkatkan masalah depresi pada beberapa ibu pada beberapa bulan pertama masa kelahiran bayi hingga 1 tahun (Simpson et al, 2003; The Cleveland Clinic, 2004). Adapun DPM merupakan perubahan fisikal, emosional, tingkah laku yang kompleks yang terjadi setelah melahirkan dan dilengkapi dengan perubahan kimia dalam tubuh, sosial dan psikologis yang diasosiasikan dengan kehadiran bayi (The Cleveland Clinic, 2004). Terdapat 3 bentuk depresi yang berkaitan dengan stres pasca melahirkan, yaitu postpartum blues, postpartum depression, dan postpartum psychosis. a. Postpartum blues
Temu Ilmiah Nasional II – Jakarta, 5-6 Agustus 2010
Postpartum blues sering dikenal sebagai babyblues. Kondisi ini mempengaruhi 50%75% ibu setelah proses melahirkan. Ibu yang mengalami babyblues ini seringkali menangis secara terus menerus tanpa sebab yang pasti dan mengalami kecemasan. Keadaan ini berlangsung pada minggu pertama setelah melahirkan. Meskipun pengalaman ini tidak menyenangkan, namun biasanya kondisi ini akan kembali normal setelah 2 minggu tanpa penanganan khusus. Jadi yang dibutuhkan adalah menentramkan dan membantu ibu baru ini mengasuh bayi dan melakukan pekerjaan rumah. b. Postpartum depression DPM merupakan kondisi yang lebih serius dari babyblues dan mempengaruhi 1 dari 10 ibu baru. Individu yang sebelumnya telah memiliki depresi akan meningkatkan resiko DPM sebesar 30%. Ibu dengan DPM akan mengalami perasaan sedih dan emosi yang meningkat atau merasa tertekan, menjadi sensitif, lelah, perasaan bersalah, cemas dan ketidakmampuan untuk merawat diri dan merawat bayi. Simtom DPM meliputi rentang gejala ringan hingga parah yang muncul secara mendadak atau bertahap, sejak beberapa hari setelah melahirkan bahkan hingga setahun setelah melahirkan. Penanganan melalui psikoterapi dan pemberian antidepresan biasanya efektif baik bagi simtom yang berlangsung hanya beberapa hari maupun simtom yang sudah berlangsung setahun. c. Postpartum psychosis Kondisi ini merupakan bentuk DPM yang parah dan membutuhkan penanganan medis segera. Kondisi ini jarang terjadi, dan mempengaruhi 1 dari 1000 perempuan yang melahirkan. Gejalanya muncul secara cepat setelah melahirkan dan berlangsung antara beberapa minggu hingga beberapa bulan. Gejalanya meliputi agitasi yang amat kuat, perilaku yang menunjukkan kebingungan, perasaan hilang harapan dan malu, insomnia, paranoia, delusi, halusinasi, hiperaktif, bicara cepat dan mania. Penanganan medis harus dilakukan sesegera mungkin dengan memasukkan penderita ke rumah sakit, karena kondisi ini juga biasanya disertai risiko bunuh diri atau menyakiti bayi.
Temu Ilmiah Nasional II – Jakarta, 5-6 Agustus 2010
Tabel 1. Symptoms of Postpartum Illness from Cleveland Clinic (2004) and National Mental Health Associassion (2003)
Baby Blues Simtom Fisik
Kurang tidur Hilang tenaga Hilang nafsu makan atau sangat bernafsu untuk makan Merasa lelah setelah bangun tidur
Postpartum Depression
Cepat lelah Gangguan tidur Selera makan menurun Sakit kepala Sakit dada Jantung berdebar-debar Sesak nafas Mual dan muntah Simtom Cemas dan khawatir Mudah tersinggung Emosional berlebihan Perasaan sedih Bingung Hilang harapan Mencemaskan kondisi Merasa tidak berdaya fisik secara berlebihan Mood swings Perasaan tidak adekuat Tidak percaya diri sebagai ibu Sedih Hilang minat Perasaan diabaikan Pemikiran bunuh diri Ingin menyakiti orang lain (termasuk bayi, diri sendiri, dan suami) Perasaan bersalah Simtom Sering menangis Panik Perilaku Hiperaktif atau Kurang mampu merawat diri sendiri senang berlebihan Enggan melakukan aktivitas Terlalu sensitif menyenangkan Perasaan mudah Motivasi menurun tersinggung Enggan bersosialisasi Tidak perduli terhadap bayi Tidak perduli pada bayi Terlalu perduli terhadap perkembangan bayi Sulit mengendalikan perasaan Sulit mengambil keputusan
Postpartum Psychosis Menolak makan Tidak mampu menghentikan aktivitas Kebingungan akan kelebihan energi
Sangat bingung Hilang ingatan Tidak koheren Halusinasi
Curiga Tidak rasional Preokupasi terhadap hal-hal kecil
Temu Ilmiah Nasional II – Jakarta, 5-6 Agustus 2010
Gejala DPM Gejala DPM meliputi gangguan emosional, perilaku dan simtom fisik. Gangguan emosional meliputi (a) sikap mudah tersinggung, (b) perasaan sedih, (c) hilang harapan, (d) tidak berdaya, (e) mood swings, (f) ingin menyakiti orang lain (termasuk bayinya, diri sendiri ataupun suami), (g) merasa bersalah dan (h) takut kesendirian. Gangguan perilaku meliputi sikap (a) kurang peduli terhadap bayinya sendiri atau sebaliknya (b) terlalu perduli terhadap perkembangan bayi, (c) kurang mampu merawat diri sendiri, (d) enggan melakukan aktivitas yang menyenangkan, (e) motivasi menurun, (f) enggan bersosialisasi, dan (g) sulit mengambil keputusan. Sedangkan simtom fisik yang biasanya muncul antara lain (a) cepat merasa lelah, (b) mengalami gangguan tidur dan selera makan, (c) sakit kepala atau dada, (d) sesak napas, (e) mual dan muntah, dan (e) jantung berdebar cepat (National Mental Health Association, 2003) Penyebab DPM Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya DPM, diantaranya adalah faktor biologis, psikologis dan faktor sosial. Perubahan fisik yang terjadi selama kehamilan dan peningkatan hormon yang diikuti dengan penambahan berat badan yang sangat cepat dapat menyebabkan DPM. Kemudian perasaan ibu baru mengenai keadaan dirinya setelah melahirkan; kemampuan coping terhadap masalah; dan stres sosial dapat menimbulkan DPM pada ibu yang baru melahirkan (Rosenberg, Greening & Windell, 2003). Menurut Rosenberg et al (2003), faktor biologis yang menjadi penyebab DPM meliputi depresi dan kecemasan selama kehamilan; memiliki sejarah keluarga yang depresi; mengalami baby blues yang tidak teratasi selama 2 minggu; mengalami premenstrual syndrome yang cukup parah; disfungsi kelenjar tiroid; masalah kesuburan; dan pernah mengalami keguguran/aborsi. Kemudian pada faktor psikologis meliputi (1) Distres psikologis, seperti kritik terhadap diri sendiri dan pemikiran tentang bunuh diri; (2) Stres yang berhubungan dengan peran sebagai ibu, seperti memikirkan kesehatan bayi, stres pengasuhan bayi, perasaan tidak adekuat menjadi orang tua; (3) Sejarah masa kecil ibu, seperti kekerasan fisik, emosi/seksual pada masa kecil; kehidupan keluarga yang tidak harmonis/tidak memuaskan; kehamilan yang tidak diharapkan, dan stres selama kehamilan dan kelahiran bayi; (4) Kebahagiaan/ketidakbahagiaan pernikahan juga merupakan faktor psikologis yang dapat menyebabkan DPM. Jika pernikahan tidak bahagia atau hubungan dengan pasangan kurang bahagia seperti gangguan hubungan dengan suami selama periode kehamilan, komunikasi terhambat, kurangnya afeksi, perbedaan nilai atau ketidaksesuaian keinginan, maka terdapat kecenderungan ibu mengalami DPM. Kemudian faktor sosial yang menjadi penyebab DPM meliputi kurangnya dukungan sosial dan emosional terutama dari pasangan. Karena ibu baru yang sedang mengalami masa transisi menjadi seorang ibu, membutuhkan bantuan dan dukungan sebelum dan selama kehamilan, serta setelah kelahiran bayi; selanjutnya, status sosial ekonomi yang rendah/tidak bekerja; menjadi orang tua tunggal/bercerai; tingkat pendidikan yang rendah; dan tekanan pada saat tidak dapat menyusui bayi. Ibu baru akan mengalami tekanan sosial
Temu Ilmiah Nasional II – Jakarta, 5-6 Agustus 2010
untuk mengasuh bayinya. Sehingga ketika ibu mengalami kesulitan menyusui/tidak mau menyusui/merasa tidak mampu menyusui, maka ibu akan merasa bersalah dan depresi (Rosenberg et al, 2003). Kemudian dalam rentang waktu kehamilan hingga melahirkan, seorang ibu juga berpeluang menghadapi permasalahan menganai perawatan intensif selama kehamilan dan setelah melahirkan, serta perubahan karir (Simpson et al, 2003). Kondisi kehamilan dan proses melahirkan membutuhkan perhatian tersendiri. Jika individu yang bersangkutan atau anggota keluarga kurang mempersiapkan diri dengan baik, mungkin saja muncul gangguan kesehatan pada wanita yang sedang hamil, atau ia mengalami hambatan dalam proses melahirkan. Periode pasca kehamilan juga membutuhkan perhatian tersendiri; setelah melahirkan, seorang ibu harus berusaha untuk memulihkan dirinya ke kondisi normal dan bayi membutuhkan perawatan serta perhatian yang baik dari orang tua. Dalam rangka merawat dan mengasuh bayi mungkin saja seorang ibu harus meninggalkan pekerjaannya atau mengubah aktivitas kerjanya, dan kondisi ini membutuhkan proses penyesuaian diri. Berdasarkan penelitian dalam jurnal Canadian Medical Association (1996) juga dikatakan bahwa penyesuaian diri yang buruk dalam pernikahan, depresi selama kehamilan, dan buruknya kemampuan coping terhadap masalah yang terjadi dalam pernikahan merupakan faktor yang dapat menyebabkan DPM (Rosenberg et al, 2003; Simpson et al, 2003). Berbagai kondisi yang juga mempengaruhi munculnya DPM selama periode kehamilan mencakup: kehamilan di usia yang terlalu muda atau kehamilan ibu tanpa suami, kesulitan keuangan atau perkawinan, adanya gangguan mental atau ketergantungan obat, dan pernah mengalami kegagalan pada kehamilan terdahulu. Berbagai kondisi setelah melahirkan yang mempengaruhi munculnya DPM antara lain: komplikasi dalam proses melahirkan, rasa percaya diri yang rendah pada ibu, adanya gangguan kesehatan pada bayi, adanya perubahan besar pada kehidupan, kurangnya dukungan sosial bagi ibu dalam menangani bayinya. Namun demikian, secara lebih spesifik sejumlah laporan mengemukakan bahwa DPM dipicu oleh (a) dampak masa transisi (Curran, Hazen, Jacobvitz, & Feldman, 2005), (b) ambivalensi dan rasa tidak aman (Simpson et al, 2003), dan (c) masalah dengan suami (Clark et al, 2003). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: a. Periode Transisi Akibat Kelahiran bayi Kelahiran bayi pertama di dalam keluarga merupakan periode transisi bagi pasangan suami istri. Sebagai pasangan rumah tangga yang tadinya hanya hidup berdampingan berdua kini harus mempersiapkan diri menyambut kedatangan anggota baru dalam keluarga. Perhatian khusus yang diberikan kepada bayi yang baru lahir dapat menyita waktu kebersamaan suami dan istri. Berkurangnya waktu bersama antara suami dan istri dapat menimbulkan kesenjangan hubungan suami-istri. Kesenjangan tersebut mempengaruhi hubungan komunikasi serta afeksi antara suami dan istri, dan hal ini berpotensi menimbulkan DPM (Curran et al, 2005)
Temu Ilmiah Nasional II – Jakarta, 5-6 Agustus 2010
Oleh karena itu, pasangan suami istri harus mewaspadai kesenjangan yang mungkin terjadi antara mereka akibat kelahiran bayi mereka, dan pasangan suami istri harus berupaya untuk mempertahankan hubungan mereka dalam periode transisi ini. b. Ambivalensi dan Perasaan Tidak Aman Para wanita yang bersikap ambivalen merupakan wanita yang merasa tidak aman, dan individu yang merasa tidak aman cenderung rentan terhadap depresi (Simpson et al, 2003). Individu yang merasa tidak aman cenderung bersikap negatif dalam menilai dirinya sendiri (seperti merasa tidak berharga untuk dicintai atau diberikan dukungan) dan beranggapan bahwa sosok individu yang dekat dengan mereka (attachment figure) cenderung bersikap tidak mencintai dan tidak mendukung (Bowlby, 1980). Mereka yang ambivalen di satu pihak sangat mengharapkan keberadaan sosok lain yang amat dekat dengan mereka untuk memberikan dukungan bila dibutuhkan. Namun di lain pihak mereka diselimuti kecemasan bahwa sosok yang dekat dengan diri mereka itu justru tidak akan ada bersama mereka atau tidak akan mampu menolong mereka di saat yang amat dibutuhkan (Simpson et al, 2003). Simpson et al (2003) menjelaskan bahwa kondisi pra dan pasca melahirkan merupakan salah satu rentang kondisi yang menimbulkan stres yang cukup besar bagi wanita, khususnya mereka yang ambivalen. Kondisi pra dan pasca melahirkan ini menimbulkan persepsi pada ibu yang melahirkan bahwa dukungan suami mereka jauh berkurang daripada biasanya, walaupun sesungguhnya bantuan suami pada dirinya sama sekali tidak berkurang. Artinya, kondisi pra dan pasca melahirkan cenderung menimbulkan persepsi negatif wanita terhadap kualitas hubungannya dengan suami, dan keadaan ini menurunkan kualitas hubungan emosional dirinya dengan suami dan dengan bayi mereka. c. Masalah dengan Suami Kurangnya dukungan emosional dari suami dan ketidakpuasan perkawinan berperan penting dalam mempengaruhi munculnya DPM (Simpson et al, 2003). Kurangnya keselarasan antar suami-istri besar kemungkinan akan menimbulkan kesenjangan afeksi di antara mereka berdua (Curran et al, 2005); kesenjangan afeksi akan menurunkan kepuasan perkawinan sehingga kualitas hubungan rumah tangga akan semakin menurun dan dukungan suami juga menjadi semakin menurun. Akibatnya, istri semakin merasa dirinya kurang diperhatikan atau bahkan merasa ditelantarkan oleh suaminya, dan istri menjadi lebih rentan terhadap gejala DPM. Dampak dan Pengaruh DPM Perempuan yang mengalami DPM cenderung mudah tersinggung, merasa kurang adekuat, cepat merasa bersalah, dan cemas akan ancaman psikologis dan fisik terhadap diri bayinya. Mereka diliputi perasaan sedih sehingga menjadi kurang peka untuk memberikan afek positif pada bayinya. Akibatnya, bayi juga tidak belajar mengembangkan afek positif (Clark et al, 2003). Kondisi DPM dapat menimbulkan masalah dalam hubungan ibu dan bayi,
Temu Ilmiah Nasional II – Jakarta, 5-6 Agustus 2010
gangguan psikopatologis pada bayi dan keterlambatan perkembangan bayi (Clark et al, 2003; National Mental Health Association, 2003). Bayi-bayi dari ibu yang mengalami DPM cenderung mengalami gangguan orientasi, afek depressi, gangguan tidur (irregular sleep), dan beberapa jenis gangguan fisik lain di samping hambatan perkembangan verbal, gangguan perilaku dan keterlambatan perkembangan skolastik (Clark, et al 2003). Laporan hasil-hasil penelitian tentang DPM juga menyimpulkan bahwa DPM menimbulkan ancaman keretakan rumah tangga. Gangguan emosional dan perilaku istri menimbulkan keresahan pada diri suami, dan memberi pengaruh negatif pada suami penderita. Oleh karena itu para suami merasa cemas dan frustrasi dalam menyikapi interaksi istri dengan bayi mereka. Akibatnya, upaya pengasuhan bayi yang mereka lakukan juga mengalami pengaruh negatif (Clark et al, 2003). Curran et al (2005) mengemukakan bahwa keselarasan atau kekurang-selarasan hubungan suami istri, misalnya dalam pola pengasuhan bayi, mempengaruhi hubungan antar suami-istri dan kesenjangan afeksi tersebut mempengaruhi munculnya kesenjangan afeksi pada diri bayi mereka. Padahal, perilaku bayi cenderung merepresentasikan hasil interaksi mereka dengan pengasuh mereka. Jadi, jika pengasuh mengalami gangguan afeksi dalam pengasuhan bayi, maka perkembangan afek pada diri bayi juga akan mengalami gangguan di kemudian hari (Curran et al, 2005). Upaya Mengatasi DPM Interpersonal Psychotherapy (IPT), Cognitive Behavior Therapy (CBT), dan terapi medikasi memiliki efektivitas setara. Bukti-bukti penelitian juga menunjukkan bahwa konseling non-direktif, CBT, terapi psikodinamik memiliki hasil yang sama dengan medikasi untuk mereduksi gangguan depresi. Akan tetapi berbagai terapi tersebut hanya efektif untuk mereduksi gangguan depresi ibu dan bukan memperbaiki hubungan antara ibu dan bayi (Clark et al, 2003). Sementara itu terapi kelompok mampu memperbaiki sikap ibu dalam memberi perhatian pada bayi, namun ternyata tidak mampu mereduksi kondisi depresi ibu. Efektivitas terapi kelompok untuk memperbaiki sikap ibu dalam memberi perhatian pada bayi diduga karena adanya dukungan dari anggota kelompok terhadap ibu dalam memperbaiki hubungan dengan bayinya (Clark et al, 2003). Oleh karena itu perlu dilakukan Mother-infant therapy group (M-ITG) yang merupakan hasil integrasi 3 pendekatan yaitu (a) terapi kelompok bagi ibu agar memperoleh dukungan sebaya, (b) terapi bagi bayi untuk merangsang proses perkembangan sosial serta sensitivitasnya, dan (c) pendekatan diadik ibu-bayi untuk meningkatkan interaksi ibu-bayi. National Mental Health Association (2003) mengemukakan bahwa upaya mengatasi DPM dapat dilakukan dengan (a) menghindari ibu dari perubahan besar dalam kehidupannya, (b) menyarakan ibu untuk mengikuti aktivitas kebugaran jasmani, (c) membantu ibu dalam mempersiapkan makanan bergizi dan seimbang, (d) membantu ibu membuat janji pertemuan dengan tenaga medis. Penanggulangan yang dapat diberikan untuk ibu dan memperbaiki hubungan ibubayi, serta kepada bayinya adalah: a) Relaksasi sederhana, seperti rekreasi, olah raga,
Temu Ilmiah Nasional II – Jakarta, 5-6 Agustus 2010
renang, senam dan sebagainya. b). Terapi kognitif, yaitu merubah pikiran-pikiran negatif yang mempengaruhi kondisi ibu dan menghilangkannya. Membantu pemecahan masalah dengan mengarahkan atau memberi alternatif pemecahan terhadap permasalahan yang tengah dialami. c) Komunikasi, yaitu melatih penderita untuk memperbaiki komunikasinya dengan suami dan anggota keluarga yang lain. d) Melakukan humor agar membuat penderita lebih nyaman. e) Bila gangguan yang diderita cukup berat dan ibu tidak menyusui, dapat diberi obat antidepresan (Hikmah, 2004). Untuk memperbaiki hubungan ibu-bayi dapat dilakukan berbagai upaya, misalnya a) menganjurkan ibu untuk sesering mungkin merawat bayinya (selama dua atau tiga jam hanya berdua dengan bayi di tempat yang nyaman dan sunyi disertai iringan alunan musik). Diusahakan sesering mungkin terjadi kontak mata antara ibu dengan bayinya sambil menyusui atau pun memberi susu dari botol. b) Menyediakan tempat istirahat yang nyaman bagi bayi dan dirinya sendiri, ketika bayi istirahat ibu juga ikut istirahat. Peluk bayi dan bicaralah dengannya dengan lembut. c) Kontak antara kulit bayi dan ibu dapat menurunkan tingkat depresi baik pada ibu maupun pada bayi. Demikian pula elusan dan pemijatan ringan oleh ibu akan membantu memperbaiki mental emosional ibu, agar gangguan ini tidak terjadi. d) Melibatkan anggota keluarga yang lain dalam merawat bayi, misal nenek atau mertua bila ada. Ajak bayi ke luar rumah untuk menghirup udara bersih dan segar. Udara yang bersih dan segar akan memperbaiki kondisi moodnya. e) Bila timbul perasaan negatif seperti kesepian, marah, frustrasi atau lelah, tinggalkan bayi untuk sementara, minta orang lain yang dipercaya untuk menjaga sementara waktu (Hikmah, 2004). METODE PENELITIAN Metode Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskrpisikan fenomena sosial yang ada di lapangan, khususnya yang berkaitan langsung dengan depresi pasca melahirkan pada ibu yang baru pertama kali melahirkan. Partisipan tidak diberikan perlakuan tertentu sehingga akan diperoleh hasil dalam bentuk data deskriptif (Umar, 1999). Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode deskriptif melalui pendekatan kualitatif. Cara ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa pendekatan ini sesuai dengan fokus masalah yang mengharuskan peneliti untuk melakukan eksplorasi untuk memahami dan menjelaskan permasalahan. Selain itu pengolahan data dapat menjadi lebih kaya akan deskripsi (penggambaran akan suatu hal dengan lebih jelas), lebih detail, yang tidak mungkin didapatkan dari data statistik yang bersifat normal dan lebih berarti bila dibandingkan dengan pengolahan data kuantitatif (Neuman, 2000; Sarantakos, 1993). Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah mereka yang memiliki karakteristik yang telah ditentukan oleh peneliti sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Subjek penelitian ini memiliki kriteria sebagai berikut: a) Para ibu yang baru pertama kali melahirkan; b) Mengalami simtom DPM. Penentuan simtom DPM pada ibu yang baru
Temu Ilmiah Nasional II – Jakarta, 5-6 Agustus 2010
melahirkan dengan menggunakan daftar pertanyaan dari Edinburg Postnatal Depression Scale (EPDS) sebagai skrinning awal dengan skor 10 ke atas mengindikasikan ibu yang baru melahirkan bayi pertama mengalami DPM. Selain itu peneliti juga menggunakan wawancara awal dengan para ibu yang baru melahirkan. Bila terdapat kesenjangan penilaian antara hasil EPDS dan hasil wawancara, maka peneliti akan menggunakan hasil dari wawancara awal sebegai penentuan bahwa partisipan mengalami simtom DPM; c). Berstatus menikah. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa suami berperan cukup besar dalam penyesuaian diri subjek terhadap DPM; d). Usia dewasa muda dengan rentang 21 hingga 30 tahun. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa usia dewasa muda merupakan tahapan usia produktif di mana individu pada umumnya menjalani pernikahan, kehamilan dan memiliki anak pertama. Sehingga kecenderungan seorang wanita mengalami DPM lebih besar pada usia dewasa muda ini; e). Pendidikan minimal SMA atau sederajatnya, dengan dasar pertimbangan bahwa partisipan akan mampu memahami pertanyaan yang diajukan peneliti dan menjelaskan maksud dan pemikiran secara komprehensif, sesuai dengan topik pertanyaan atau pembicaraan; f). Berdomisili di Jakarta. Pemilihan lokasi adalah untuk kemudahan peneliti memperoleh data informasi yang dibutuhkan dalam penelitian; g). Bersedia berpartisipasi dalam penelitian. Tabel 2. Gambaran Umum Subjek Penelitian Kategori Subjek 1 Subjek 2 Nama Bella Adinda Usia 28 tahun 30 tahun Pendidikan S1 Tehnik Sipil D3 Ekonomi Suku Bangsa Padang Jawa Agama Islam Islam Pegawai Pegawai Pekerjaan Swasta Swasta Urutan dalam 3 dari 3 3 dari 3 keluarga Usia 2 tahun 3 tahun pernikahan Jumlah anak Satu Satu TTL/Usia bayi 10 bulan 12 bulan Jenis kelamin Laki-laki Perempuan bayi Skor EPDS 7 11 DPM DPM
Subjek 3 Cindy 24 tahun S1 Psikologi Betawi Islam Ibu rumah tangga
Subjek 4 Diana 27 tahun D3 ABA Jawa Islam Ibu rumah tangga
4 dari 4
6 dari 8
1 tahun
1 tahun
Satu 3 Bulan
Satu 4 bulan
Laki-laki
Laki-laki
12 DPM
5 Baby blues
Temu Ilmiah Nasional II – Jakarta, 5-6 Agustus 2010
Metode Pengambilan Subjek dan Jumlah Subjek Metode pengambilan subjek sebagai sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan purposive sampling dan penentuan sampelnya menggunakan model snowball sampling. Hal ini dilakukan agar partisipan benar-benar mewakili fenomena yang diteliti dan sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 1998). Jumlah subjek dalam penelitian ini dibatasi berjumlah 4 orang. Hal ini sesuai dengan Sarantakos (1993) yang mengatakan bahwa penelitian kualitatif: (1) tidak diarahkan pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai dengan kekhususan masalah penelitian; (2) tidak ditentukan secara kaku sejak awal tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah, maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian; (3) tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah peristiwa/acak) melainkan pada kecocokan konteks. Metode Pengumpulan Data Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luwes, metode dan tipe pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian, serta sifat objek yang diteliti, diantaranya: wawancara, observasi, analisis dokumen, analisis terhadap karya (Poerwandari, 1998). Penelitian ini akan menggunakan metode wawancara dan observasi yang dilengkapi dengan panduan wawancara, perangkat alat tulis serta perekam, angket dan studi kepustakaan. Metode Analisis Analisis data dilakukan melalui pencatatan data secara verbatim. Kemudian peneliti melakukan koding pada verbatim berdasarkan tema-tema yang muncul dari respon atau jawaban yang diberikan partisipan. Dengan melakukan koding, data yang diperoleh diorganisasikan secara lengkap dan mendetail serta sistematis, sehingga dapat memunculkan gambaran tentang topik yang diteliti dan peneliti akan mendapatkan makna dari data tersebut. Data kemudian dianalisis berdasarkan tema-tema yang muncul untuk diinterpretasikan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengolahan data dari 4 orang subjek, maka diperoleh hasil bahwa secara psikologis, stress selama periode kehamilan dan melahirkan berpotensi membangkitkan munculnya gangguan DPM. Potensi ini dapat menjadi lebih besar apabila disertai oleh adanya ketidakbahagiaan pernikahan, karena ketidakbahagiaan pernikahan berpeluang menimbulkan (a) kesenjangan komunikasi dengan suami dan (b) kurangnya afeksi suami terhadap istri, khususnya pada periode tersebut. Padahal, dukungan emosional suami pada istri selama periode kehamilan dan melahirkan merupakan aspek yang amat penting. Dari data 4 orang subjek, 3 orang mengalami DPM dan 1 orang mengalami babyblues. Ragam gejala yang mereka tampilkan memiliki kemiripan satu sama lain, akan tetapi pada
Temu Ilmiah Nasional II – Jakarta, 5-6 Agustus 2010
Diana, kondisi tersebut hanya berlangsung dalam waktu 1 minggu setelah melahirkan, sedangkan pada ketiga orang lainnya gejala tersebut berlangsung dalam rentang waktu yang relatif lama, yaitu 5, 2, dan 3 bulan. Keempat orang subjek menunjukkan gejala mudah tersinggung dan perasaan sedih, merasa cepat lelah, serta adanya gangguan tidur. Subjek Bella dan Adinda mengalami gejala mudah tersinggung, sesak nafas, serta perasaan mual hingga muntah. Bella juga merasa cemas berlebihan terhadap kondisi bayinya, motivasinya menurun, enggan bersosialisasi dan merasa sulit mengambil keputusan. Sebaliknya Adinda cenderung kurang peduli terhadap bayinya. Di samping itu subjek Adinda dan Cindy mengalami perasaan bersalah terhadap bayi mereka dan kurang mampu merawat diri. Adapun faktor-faktor yang mungkin berperan terhadap munculnya kondisi DPM adalah stress selama periode kehamilan dan melahirkan. Keempat subjek mengalami stress selama periode kehamilan dan melahirkan. Stres terhadap perubahan fisik akibat peningkatan berat badan dialami oleh Bella dan Adinda. Stress pengasuhan bayi dan tekanan sosial ekonomi dialami oleh subjek Adinda dan Cindy. Diana juga mengalami stres, namun kondisinya dapat teratasi dalam waktu seminggu, sedangkan pada ketiga subjek lainnya kondisi stress tersebut dirasakan berkepanjangan. Secara lebih spesifik, gejala baby blues, ketidakbahagiaan pernikahan dan perasaan tidak mampu menyusui dialami oleh Bella, Adinda dan Cindy. Stress terhadap perubahan fisik akibat peningkatan berat badan dialami oleh Bella dan Adinda. Kurangnya dukungan emosional pasangan dialami oleh Bella dan Cindy. Stress pengasuhan bayi dan tekanan sosial ekonomi dialami oleh Adinda dan Cindy. Hambatan komunikasi dengan suami dialami oleh Bella, dan depresi serta kecemasan selama kehamilan dan kurangnya afeksi dari pasangan dialami oleh Cindy. Adanya ketidakbahagiaan pernikahan yang dialami oleh Bella, Adinda dan Cindy mencakup (a) gangguan hubungan dengan pasangan selama periode kehamilan dan kelahiran, (b) hambatan komunikasi dengan suami, (c) kurangnya afeksi serta (d) perbedaan nilai atau ketidaksesuaian keinginan dengan pasangan. Diskusi Beragamnya simtom DPM yang muncul pada setiap individu disebabkan karena stres yang dialami ibu setelah melahirkan anak pertama (Simpson, Rholes, Campbell, Tran & Wilson, 2003), seperti halnya stres dalam pemberian asi yang dialami oleh Bella, Adinda dan Cindy. Mereka mengalami kesulitan dalam pemberian asi karena ketersediaan asi yang masih sedikit sehingga mereka harus lebih berusaha agar dapat memenuhi kebutuhan asi bagi bayi mereka. Kemudian, adanya target pemberian asi penuh selama 6 bulan menjadi pertimbangan munculnya stres dalam pemberian asi terutama bagi ibu yang bekerja. Peran suami sangat penting dalam usaha mengatasi atau menghindari munculnya kondisi DPM pada ibu yang baru melahirkan. Hal ini dikarenakan setelah melahirkan, ibu mengalami stres akibat masa transisi menjadi ibu baru; dan ibu yang baru melahirkan membutuhkan bantuan untuk melewati masa transisinya tersebut. Salah satu bantuan yang penting adalah bantuan dari pasangan atau suami (Rosenberg et al, 2003). Seperti halnya
Temu Ilmiah Nasional II – Jakarta, 5-6 Agustus 2010
Diana yang hanya mengalami baby blues selama 1 minggu setelah kelahiran bayi pertamanya. Suami Diana banyak membantu dalam pengasuhan bayi dan banyak menemani Diana dalam mengasuh bayi mereka. Keadaan ini membuat Diana dapat segera menyadari kondisi barunya dan mempercepat proses adaptasi menjadi ibu baru, sehingga kondisi DPM dapat dihindari. Peran suami dalam membantu pengasuhan bayi membuat Diana memperoleh dukungan yang diharapkan. Perbedaan latar belakang dari individu yang bersangkutan perlu dijadikan pertimbangan lebih lanjut, seperti faktor ekonomi yang menurut Rosenberg et al (2003), cukup berperan dalam memunculkan DPM pada ibu yang baru melahirkan bayi pertama. Karena status ekonomi yang rendah membuat ibu tidak mampu membayar gaji pembantu atau baby sitter untuk membantu dalam perawatan bayi. Seperti Diana yang tidak bekerja dan keadaan ekonomi suaminya yang terbatas. Ia hanya melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengurus bayinya sendiri. Kondisi ini dapat membuat ibu yang baru melahirkan rentan mengalami DPM. Apalagi jika ibu tidak segera beradaptasi dengan aktifitasnya yang cukup beragam; dan tidak memperoleh bantuan yang diharapkan. Oleh karena itu, kajian yang lebih dalam mengenai status sosial ekomoni menjadi masukan untuk memperkaya data mengenai penyebab munculnya DPM pada ibu yang baru melahirkan bayi pertama. Kemudian, kajian mengenai kondisi kesehatan ibu yang mengalami DPM dapat dijadikan pertimbangan lain terhadap kerentanan ibu sehingga mengalami DPM. Adanya stres selama periode kehamilan dan melahirkan dapat membuat ibu yang baru melahirkan rentan terhadap terjadinya DPM. Seperti yang dialami Bella, saat periode kehamilan ia mengalami kondisi fisik yang menurun. Ia mual dan muntah setiap kali ia makan, hingga tubuhnya lemas. Ia juga harus diopname beberapa hari di rumah sakit untuk memulihkan kondisinya. Kejadian ini terulang kembali setelah ia melahirkan anak pertamanya. Selama 5 bulan ia mengalami kondisi mual dan muntah hingga ia tidak bernafsu untuk makan. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Stanton dan Danoff-Burg (1995) (dalam Stoppard, 2000) yang mengatakan bahwa kondisi yang terjadi selama periode kehamilan merupakan prediktor utama terjadinya kondisi pada periode setelah melahirkan. Selanjutnya, jika seorang ibu yang mengalami masa kecil yang tidak menyenangkan seperti yang diungkapkan National Mental Health Association (2003) dan ditambah dengan kondisi pernikahannya yang kurang membahagiakan, maka dampak stres selama periode kehamilan dan melahirkan akan memperbesar potensi untuk munculnya gangguan DPM. Masa kecil yang tidak menyenangkan disertai dengan kondisi pernikahan yang kurang membahagiakan cenderung menimbulkan rasa ketidakberdayaan individu; sehingga ia menjadi rentan terhadap stres, hal ini seperti yang dialami Bella dan Cindy. Kriteria wanita bekerja dan tidak bekerja tidak dengan sengaja dipilih oleh peneliti. Akan tetapi hasil yang diperoleh dari 4 subjek yang ada, 2 orang ibu bekerja dan 1 orang ibu yang tidak bekerja mengalami DPM. Menurut Simpson et al (2003), ibu yang bekerja lebih rentan terhadap munculnya DPM karena mereka harus menyesuaikan diri dengan mengubah aktivitas kerjanya setelah memiliki anak. Oleh karena itu, kajian yang lebih dalam
Temu Ilmiah Nasional II – Jakarta, 5-6 Agustus 2010
terhadap perbedaan status bekerja atau tidak bekerja pada ibu yang baru melahirkan setidaknya masih bisa dilakukan. Peran keluarga besar seperti peran ibu atau ibu mertua dalam perawatan bayi juga penting terutama pada ibu yang bekerja. Kondisi ini dapat memberikan rasa aman pada ibu yang baru memiliki bayi dan juga ia bekerja, sehingga kondisi DPM dapat dihindari atau diatasi. Akan tetapi, perlu dipertimbangkan juga bahwa terlalu berlebihan atau terlalu sedikitnya bantuan perawatan bayi yang didapatkan oleh ibu yang baru melahirkan dari lingkungannya dapat membuat ibu menjadi tidak nyaman (Rosenberg et al, 2003). Seperti Bella dan Adinda yang memperoleh bantuan perawatan bayi dari ibu dan mertuanya yang dipersepsikan terlalu berlebihan, membuat mereka merasa tidak nyaman dan tidak kompeten menjalani peran sebagai ibu baru. Sehingga perlu adanya perolehan data yang lebih mendalam mengenai seberapa jauh peran ibu atau mertua dalam perawatan bayi hingga membuat ibu merasa nyaman dan merasa dirinya tidak sendiri mengatasi transisi menjadi ibu baru. Berdasarkan National Mental Health Association (2003), tidak semua ibu yang baru melahirkan yang mengalami DPM disebabkan karena ketiga faktor biologis, psikologis dan sosial. Akan tetapi, kondisi DPM yang dialami dapat saja karena satu atau dua penyebab yang paling menonjol yang dialami ibu selama kehamilan dan melahirkan. Hal tersebut misalnya kesulitan dalam keuangan atau ketidakbahagiaan pernikahan, dan kurangnya dukungan dalam pengasuhan anak. Tiga orang subjek telah mengalami satu atau dua kondisi tersebut, sehingga mereka mengalami DPM. Namun, selain itu coping terhadap masalah juga merupakan faktor penyebab DPM menurut Simpson et al (2003). Akan tetapi dalam penelitian ini, tidak dijelaskan coping terhadap masalah yang digunakan pada keempat subjek. Sehingga masih perlu dikembangkan lagi kajian teori terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan DPM. Data yang diperoleh, Bella, Adinda dan Cindy merupakan anak bungsu dan mereka mengalami DPM. Sedangkan Diana adalah anak tengah dan tidak mengalami DPM. Berdasarkan hal tersebut, aspek urutan kelahiran dapat saja menjadi salah satu faktor penyebab DPM. Selain itu, jenis kelamin anak juga memungkinkan membuat ibu yang baru melahirkan rentan mengalami DPM. Tetapi dari hasil yang diperoleh, subjek 4 yang tidak mengalami DPM dan ia memiliki anak berjenis kelamin sama dengan subjek 1 dan 3 yang memilik anak laki-laki. Walapun begitu, aspek urutan kelahiran ibu dan jenis kelamin anak dalam penelitian ini memang tidak dibahas, mengingat bahwa penelitian ini lebih menekankan pada depresi ibu pasca melahirkan secara umum saja. Kajian urutan kelahiran ibu dan jenis kelamin anak membutuhkan pertimbangan lebih lanjut, dan kajian ini dapat dijadikan salah satu sasaran penelitian lebih lanjut yang mungkin dapat memperkaya penelitian yang sudah ada. Selain melalui wawancara awal, penyeleksian ibu yang mengalami depresi pasca melahirkan dalam penelitian ini menggunakan Edinburg Postnatal Depression Scale (EPDS) dari Rosenberg et al (2003). Akan tetapi karena penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan sampel terbatas, maka alat yang digunakan menjadi terbatas sehingga perlu
Temu Ilmiah Nasional II – Jakarta, 5-6 Agustus 2010
dipertimbangkan untuk lebih memfokuskan pada proses wawancara yang lebih mendalam. Melalui langkah ini diharapkan dapat diperoleh data yang lebih lengkap sekiranya ada perbedaan gejala DPM, penyebab DPM serta solusi DPM yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya individu. Dengan demikian, masih ada sejumlah aspek yang dapat dikaji lebih lanjut dari hasil penelitian ini, guna memperkaya informasi tentang depresi pasca melahirkan. Saran Saran untuk Ibu yang Baru Melahirkan Berdasarkan hasil penelitian ini yang menunjukkan adanya keterkaitan aspek komunikasi dengan DPM, diharapkan ibu yang baru melahirkan perlu meningkatkan kualitas komunikasi dengan pasangan, keluarga atau teman dekat agar ibu yang baru melahirkan mendapatkan perhatian dan kasih sayang. Selain itu, kesulitan ibu yang mengalami komunikasi secara verbal atau langsung, dapat menggunakan tehnologi seperti menggunakan telepon atau telpon selular sehingga ibu dapat tetap memperoleh dukungan emosional yang diharapkan selama kehamilan dan kelahiran. Komunikasi yang baik dengan pasangan, keluarga atau teman terdekat berguna agar ibu lebih mampu mencegah terjadinya DPM. Saran untuk Keluarga dan Pasangan Walaupun sebagian sumber depresi yang dialami ibu pasca melahirkan bersifat hormonal, akan tetapi faktor psikologis dan sosial juga berpengaruh terhadap munculnya gejala DPM. Oleh karena itu bagi para suami atau pasangan dari ibu yang baru melahirkan diharapkan dapat memberikan dukungan sosial dan emosional dengan lebih baik. Dukungan ini dapat berupa (a) peningkatan kualitas komunikasi dengan ibu yang baru melahirkan, (b) memberikan afeksi dan perhatian, (c) memberikan bantuan dalam pengasuhan serta (d) dukungan sosial ekonomi yang lebih memadai. Saran Untuk Peneliti Selanjutnya Saran untuk peneliti selanjutnya adalah agar dapat dilakukan penelitian yang lebih luas dan mendalam pada kajian depresi pasca melahirkan dengan kriteria yang lebih beragam. Disamping itu, perlu dilakukan pengembangan teori tentang DPM sehingga dapat lebih mempertajam pedoman wawancara yang digunakan untuk mengetahui DPM secara lebih mendalam. Kemudian, pengembangan EPDS juga perlu dilakukan untuk mengukur depresi pasca melahirkan secara lebih mendalam. Kemudian perlu juga dilakukan wawancara mendalam kepada para suami dari ibu-ibu yang mengalami DPM, agar diperoleh persepsi suami mengenai kondisi yang dialami istri mereka. Sehingga dapat memperkuat faktor yang menjadi penyebab munculnya DPM berdasarkan persepsi para suami; dan dapat dilakukan penanganan DPM dengan segera. Kondisi ada atau tiada orang tua dalam pengasuhan bayi selama melahirkan serta kondisi tempat tinggal ibu yang baru melahirkan juga perlu dilakukan kajian lebih dalam dengan
Temu Ilmiah Nasional II – Jakarta, 5-6 Agustus 2010
melibatkan wawancara dengan anggota keluarga lain yang merupakan keluarga inti. Sehingga diperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai kondisi ibu yang mengalami DPM. Saran untuk Masyarakat Umum Tidak hanya ibu yang baru melahirkan dan keluarga atau pasangan saja yang perlu mewaspadai depresi pasca melahirkan, namun masyarakat umum dari berbagai kalangan usia dan status ekonomi perlu mencari informasi dan pengetahuan seputar kondisi periode kehamilan dan melahirkan, serta meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka guna lebih mewaspadai kondisi-kondisi DPM. Di samping itu juga diharapkan agar msayarakat dapat mendeteksi lebih dini serta melakukan upaya antisipasi atas DPM selain mungkin juga untuk meminta bantuan penanganan dari tenaga professional. DAFTAR PUSTAKA Atmadibrata, B. P. (2005). Punya bayi kok, malah sedih. Femina, Agustus, 32, 76-77. Bowlby, J. (1980). Attachment and loss: Vol 3. Loss, sadness and depression. New York: Basic Books. Clark, R., Tluczek, A., & Wenzel, A. (2003). Psychotherapy for postpartum depression: A preliminary report. American Journal of Orthopsychiatry, 73, 441-454. Cleveland Clinic. (2004). Depression after the birth of a child or pregnancy loss. Retrieved August 9, 2005 from ww.clevelandclinic.org/health/healthinfo/docs/2200/2271.asp?index=9312. Crockenberg, S. C., & Leekers, E. M. (2003). Parental acceptance, postpartum depression, and maternal sensitivity: Mediating and moderating processes. Journal of Family Psychology, 17, 80-93. Curran, M., Hazen, N., Jacobvitz, D., & Feldman, A. (2005). Representations of early family relationships predict marital maintenance during transition to parenthood. Journal of Family Psychology, 19, 189-197. Hay, D. F., Pawlby, S., Angold, A., Harold, G. T., & Sharp, D. (2003). Pathways to violence in the children of mothers who were depressed postpartum. Developmental Psychology, 39, 1083-1094. HG Experts.com. Postpartum in Indonesia. Retrieved October 17, 2005 from www.hgexperts.com/hg/ex_consultants.asp?action=search&country=Indonesia&getall= true&extra=med. Hikmah. (Minggu 16 Mei, 2004). Selalu murung setelah melahirkan (Asuhan: dr. Teddy Hidayat, SpKJ (Psikiater). Retrieved October 17, 2005 from www.pikiranrakyat.com/cetak/0504/16/hikmah/konsultasi.htm. Koentjaraningrat. (1994). Metode-metode penelitian masyarakat (edisi ke-3). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Temu Ilmiah Nasional II – Jakarta, 5-6 Agustus 2010
Kompas Media Cyber. (Rabu, 10 Nopember 2004). Membebaskan istri dari baby blues. Retrieved: October 17, 2005 from: www.kompas.com/kesehatan/news/0411/10/050143.htm. National Mental Health Association (2003). Recognizing postpartum depression. Retrived August 15, 2005 from www.nmha.org. Neuman, W. L. (2000). Social research methods: Qualitative and quantitative approaches (4th ed.). Boston: Allyn And Bacon. Papayungan, D. (2005). Pendekatan consultation-liaison psychiatry pada penatalaksanaan depresi pasca bersalin. Jiwa-Indonesian Psychiatric Quarterly, 4,79-91. Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Poerwandari, K. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Rosenberg, R., Greening, D., & Windell, J. (2003). Conquering postpartum depression: A proven plan for recovery. Cambridge, MA: Perseus Books Group. Sarantakos, S. (1993). Social research. Melbourne, Australia: McMillan Education Australia. Simpson, J. A., Rholes, W. S., Campbell, L., Tran, S., & Wilson, C. L. (2003). Adult attachment, the transition to parenthood, and depressive symptoms. Journal of Personality and Social Psychology, 84, 1172-1187. Stoppard, J. M. (2000). Undertsanding depression: Feminist social constructionist approaches. New Fetter Lane, London: Routledge. Umar, H. (2000). Metode penelitian untuk skripsi dan thesis bisnis. Jakarta: Raja Grafindo Persada.