POPULASI DAN KERAGAMAN FAUNA TANAH PADA AREAL PERTANAMAN PADI GOGO DENGAN TEKNOLOGI PERESAPAN BIOPORI DI KEBUN PERCOBAAN CIKABAYAN IPB
NAILAH SA’ADAH A14063053
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
POPULASI DAN KERAGAMAN FAUNA TANAH PADA AREAL PERTANAMAN PADI GOGO DENGAN TEKNOLOGI PERESAPAN BIOPORI DI KEBUN PERCOBAAN CIKABAYAN IPB
NAILAH SA’ADAH
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA PERTANIAN pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
SUMMARY NAILAH SA’ADAH. (Under Supervision of RAHAYU WIDYASTUTI and KAMIR R. BRATA). Population and Diversity of Soil Fauna in Gogo Rice Cultivation with Biopore-Technology Application in Cikabayan-Research Farm, IPB. Population and diversity of soil organisms can negatively affected by intesive tillage in dry land agriculture because they are very susceptible to land management activities. The most susceptible organisms to soil tillage are organisms with larger body size, such as soil animals. Minimum tillage is therefore needed to reduce the negative impacts of intensive-land preparation. Minimum tillage is the efforts to minimize the change of soil physical, chemical and biological characteristics due to intensively soil tillage which is suited to principles of soil and water conservation. The minimum soil tillage is expected to be able to provide a space for soil fauna to live and grow. The research was aimed to study the population and diversity of soil fauna on five different land treatments based on soil and water conservation systems, namely: 1). Control (T0), 2). “Gulud” Terrace with Conventional Ditch (T1), 3). “Gulud” Terrace with Conventional Ditch Combined by Biopore-Infiltration Hole (T2), 4). “Gulud” Terrace with Biopore-Infiltration Ditch (T3), 5). Biopore-Infiltration Ditch Combined by Biopore-Infiltration Hole (T4), in Cikabayan-Research Farm, IPB with two different slopes (5% and 15%). Soil fauna was extracted from soil samples using Berlese Funnel Extractor, meanwhile for larger animals were used Hand Sorting Method. The research results indicated that land with 5% slope had a highest soil fauna abundance in the T4-treatment, and followed by the treatment of T3, T2, T1 and T0, respectively (first period). In the second period, the highest soil fauna abundance was indicated by the treatment of T2, and followed by T4, T3, T1 and T0, respectively, meanwhile in the third period the highest soil fauna abundance was shown by the treatment of T2, and followed by T4, T1, T3 and T0, respectively. Land with 15% slope showed that the highest soil fauna abundance was the T4-treatment, and followed by the treatment of T3, T0, T2 and T1, respectively (first period). In the second period, the highest soil fauna abundance was indicated by the treatment of T3, and followed by T4, T2, T0 and T1, respectively, meanwhile in the third period the highest soil fauna abundance was shown by the treatment of T3, and followed by T2, T4, T1 and T0, respectively. The results indicated that treatments which were able to increase soil fauna abundance were T2 and T4, i.e. treatment with vertical mulch, bioporeinfiltration ditch combined by biopore-infiltration hole. Treatments of T2 and T4 had a higher amount of organic material as a sources of food for soil fauna compared to the other treatments, thus it could be able to atrract soil fauna. The diversity of soil fauna which describes number of taxa (group) in a habitat was calculated based on Shannon’s Diversity Index. The treatment that showed highest soil fauna diversity was treatment of T3 and T4. In the land with 5% slope, soil fauna was dominated by Centipede, meanwhile land with 15% slope was dominated by Hymenoptera.
RINGKASAN NAILAH SA’ADAH. Populasi dan Keragaman Fauna Tanah Pada Areal Pertanaman Padi Gogo dengan Teknologi Peresapan Biopori di Kebun Percobaan Cikabayan IPB ( Dibimbing oleh RAHAYU WIDYASTUTI dan KAMIR R. BRATA ). Pengolahan tanah pada pertanian lahan kering secara intensif mengakibatkan menurunnya populasi dan keragaman organisme tanah karena organisme tanah sangat rentan terhadap aktifitas pengolahan tanah intensif. Organisme tanah yang mudah terpengaruh adalah fauna tanah. Pengolahan tanah minimum diperlukan untuk menanggulangi dampak negatif dari pengolahan tanah intensif, yaitu upaya untuk mengurangi usaha yang dapat merubah sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang disesuaikan dengan prinsip konservasi tanah dan air. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari populasi dan keragaman fauna tanah pada lima jenis perlakuan lahan yang mengacu pada sistem konservasi tanah dan air, yaitu: Perlakuan kontrol (T0), perlakuan teras gulud dengan saluran konvensional (T1), perlakuan teras gulud dengan saluran konvensional dikombinasikan dengan lubang resapan biopori (T2), perlakuan teras gulud dengan saluran peresapan biopori (T3), perlakuan saluran peresapan biopori yang dikombinasikan dengan lubang resapan biopori (T4) di kebun percobaan Cikabayan IPB dengan kemiringan lahan yang berbeda (5% dan 15%). Fauna tanah diekstrak dari contoh tanah menggunakan metode Berlese Funnel Extraction dan metode Hand Sorting untuk makro fauna di lapang. Hasil penelitian menunjukkan pada lahan dengan kemiringan 5%, urutan kepadatan populasi fauna tanah dari yang paling tinggi hingga rendah pada periode pengambilan sampel pertama (periode I) adalah perlakuan T4, T3, T2, T1 dan T0, pada periode II adalah T2, T4, T3, T1 dan T0 dan pada periode III adalah perlakuan T2, T4, T1, T3 dan T0. Lahan dengan kemiringan 15 % menunjukkan urutan kepadatan populasi fauna tanah dari yang paling tinggi hingga rendah pada periode I adalah perlakuan T4, T3, T0, T2, dan T1, pada periode II adalah T3, T4, T2, T0 dan T1, sedangkan pada periode III adalah perlakuan T3, T2, T4, T1 dan T0. Perlakuan yang mampu meningkatkan jumlah populasi dan keragaman fauna tanah adalah perlakuan T2 dan T4 yang merupakan perlakuan dengan mulsa vertikal, saluran peresapan biopori dan lubang resapan biopori. Perlakuan T2 dan T4 memiliki jumlah bahan organik lebih tinggi sebagai sumber makanan yang berasal dari dekomposisi sisa tanaman pada lubang resapan biopori dibandingkan perlakuan yang lain sehingga mampu menarik fauna tanah. Keragaman fauna tanah menggambarkan banyaknya taksa (kelompok) dalam suatu habitat yang dihitung berdasarkan rumus Shannon’s Diversity Index. Perlakuan yang menunjukkan keragaman fauna tanah yang tinggi adalah perlakuan T3 dan T4. Fauna tanah yang paling dominan pada lahan dengan kemiringan 5% adalah Centipede sedangkan pada lahan dengan kemiringan 15% adalah Hymenoptera.
LEMBAR PENGESAHAN
Judul
: Populasi dan Keragaman Fauna Tanah Pada Areal Pertanaman Padi Gogo Dengan Teknologi Peresapan Biopori di Kebun Percobaan Cikabayan IPB
Nama Mahasiswa
: Nailah Sa’adah
Nrp
: A14063053
Disetujui :
Dosen Pembimbing 1
Dosen Pembimbing 2
Dr. Rahayu Widyastuti M. Sc.
Ir. Kamir. R. Brata M. Sc.
NIP. 19610607 199002 2 001
NIP. 19481212 197603 1 002
Mengetahui : Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Dr. Ir. Syaiful Anwar M. Sc. NIP. 19621113 198703 1 003
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Subang, 23 Maret 1989. Penulis merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara pasangan Bapak Drs. Tata Nurwita dan Ibu Siti Solha. Pendidikan formal yang ditempuh penulis berawal dari Taman Kanak-Kanak AlUkhuwah Pagaden pada tahun 1992 sampai tahun 1994, kemudian dilanjutkan ke SD Negeri 4 Sukasari Pagaden pada tahun 1994 sampai tahun 2000. Selepas SD, penulis meneruskan ke SLTPIT Nurul Fikri Serang pada tahun 2000 sampai 2003 dan SMA Negeri 3 Subang pada tahun 2003 sampai tahun 2006. Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI, yang kemudian pada semester 3 masuk ke Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Biologi Tanah, Bioteknologi Tanah dan Pendidikan Agama Islam. Penulis juga aktif dalam organisasi LDK Al-Huriyyah pada tahun 2006 sampai tahun 2008 sebagai staff Divisi Keputrian. Kemudian, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Pertanian pada tahun 2007 sebagai anggota komisi internal dan pada tahun 2009 sebagai ketua komisi internal. Selain itu, penulis juga aktif di Forum Komunikasi Rohis Departemen (FKRD) sebagai staff Infokom dan terakhir di Dewan Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (DPM KM) IPB pada tahun 2009 hingga 2010 sebagai bendahara. Penulis menyelesaikan tugas akhir dengan judul Populasi dan Keragaman Fauna Tanah pada Areal Pertanaman Padi Gogo Dengan Teknologi Peresapan Biopori di Kebun Percobaan Cikabayan IPB sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur dihaturkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul “ Populasi dan Keragaman Fauna Tanah pada Areal Pertanaman Padi Gogo dengan Teknologi Peresapan Biopori di Kebun Percobaan Cikabayan IPB ” ini merupakan hasil penelitian sebagai salah satu syarat kelulusan menjadi Sarjana Pertanian di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Ummi, Abi, Aa dan Adik-adik tercinta yang tidak pernah berhenti mendoakan, memberikan perhatian dan dorongan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, 2. Dr. Rahayu Widyastuti M. Sc. sebagai dosen pembimbing I dan Ir. Kamir R. Brata M. Sc sebagai dosen pembimbing II yang senantiasa memberikan arahan, bimbingan dan motivasi selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini, 3. Dr. Khursatul Munibah sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan perhatian dan saran masukan kepada penulis selama menjalani studi, 4. Ir. Fahrizal Hazra M. Sc. sebagai dosen penguji sidang skripsi yang telah memberikan saran dalam perbaikan skripsi ini, 5. Keluarga Laboratorium Bioteknologi Tanah: Ibu Asih, Ibu Juleha, Bapak Sardjito, Teh Yeti, Dita, Nesya, Yuly, Sindy, Enjel, Chaca, Ichad. Mawar dan teman seperjuangan MSL atas kebersamaan dalam penelitian ini, 6. Keluarga besar Andaleb 2: Rima, Susi, Mesil, Sisi, Suci, Mila, Memi dkk yang telah menemani dalam suka dan duka hingga masa akhir studi di IPB.
7. Keluarga DPM KM: Rahmat, Imam, Pekik, Dhita, Ati, Ria, Erna, Nurina dan semuanya atas perhatian dan pengertiannya selama penulis menyelesaikan skripsi dalam waktu berorganisasi. 8. Seluruh pihak yang telah membantu selama kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini, walaupun demikian penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Bogor, Nopember 2010
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... i DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... iii I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2. Tujuan .................................................................................................. 2 1.3. Hipotesis .............................................................................................. 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3 2.1. Fauna Tanah ......................................................................................... 3 2.1.1. Lingkungan Fauna Tanah ................................................................ 3 2.1.2. Klasifikasi Fauna Tanah .................................................................. 4 2.1.3. Peranan Fauna Tanah ...................................................................... 5 2.1.4. Karakteristik Fauna Tanah............................................................... 7 2.2. Konservasi Tanah dan Air ....................................................................10 III. BAHAN DAN METODE....................................................................... 13 3.1. Waktu dan Tempat ...............................................................................13 3.2. Bahan dan Alat .....................................................................................13 3.3. Metode Penelitian.................................................................................13 3.3.1. Pengambilan Contoh Tanah .............................................................13 3.3.2. Analisis Tanah ................................................................................15 3.3.3. Ekstraksi .........................................................................................15 3.3.4. Identifikasi Fauna Tanah .................................................................16 3.3.5. Perhitungan Data .............................................................................16 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................18 4.1. Kepadatan Populasi Fauna Tanah .........................................................18 4.1.1. Lahan dengan Kemiringan 5% ........................................................18 4.1.2. Lahan dengan Kemiringan 15%.......................................................22 4.2. Keragaman Fauna Tanah ......................................................................26 4.2.1. Lahan dengan Kemiringan 5% ........................................................26 4.2.2. Lahan dengan Kemiringan 15%.......................................................33 V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................39 5.1. Kesimpulan ..........................................................................................39 5.2. Saran ....................................................................................................39 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................40 LAMPIRAN .....................................................................................................43
i
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Kepadatan Populasi Fauna Tanah pada Lahan dengan Kemiringan 5% (0-15 cm) .......................................................................................... 20
2.
Kepadatan Populasi Fauna Tanah pada Lahan dengan Kemiringan 15% (0-15 cm) ........................................................................................ 24
3.
Nilai Indeks Keragaman Fauna Tanah pada Lereng 5%Error! Bookmark not defined.
4.
Dominansi Fauna Tanah pada Lahan dengan Kemiringan 5% ................. 29
5.
Nilai Indeks Keragaman Fauna Tanah pada Lereng 15% ......................... 34
6.
Dominansi Fauna Tanah pada Lahan dengan Kemiringan 15%Error! Bookmark not defined.
ii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Ilustrasi perlakuan dalam petakan ............................................................ 15
2.
Kepadatan Populasi Fauna Tanah pada Lahan Padi Gogo dengan Kemiringan 5% dari periode I - III (kedalaman 0-15 cm) ........................ 19
3.
Kepadatan Populasi Fauna Tanah pada Lahan Padi Gogo dengan Kemiringan 15% dari periode I - III (kedalaman 0-15 cm) ...................... 23
4.
Kepadatan Populasi Fauna Tanah pada Lahan dengan Kemiringan 5% dan 15% dari periode I - III (kedalaman 0-15 cm) ............................ 26
5.
Kondisi Tanaman Saat Pengambilan SampelError! Bookmark not defined.
6.
Fauna Tanah yang Sering Ditemukan ...................................................... 37
iii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Populasi Fauna Tanah pada Lereng 5% (Periode I).................................. 44
2.
Populasi Fauna Tanah pada Lereng 5% (Periode II) ................................ 45
3.
Populasi Fauna Tanah pada Lereng 5% (Periode III) ............................... 46
4.
Populasi Fauna Tanah pada Lereng 15% (Periode I) ................................ 47
5.
Populasi Fauna Tanah pada Lereng 15% (Periode II) .............................. 48
6.
Populasi Fauna Tanah pada Lereng 15% (Periode III) ............................. 49
7.
Hasil Pengukuran Curah Hujan, Aliran Permukaan dan Erosi .................. 50
8.
Hasil Analisis Kandungan Hara dalam Tanah .......................................... 50
9.
Hasil Pengukuran Sifat Fisik Tanah ........................................................ 50
1
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pengolahan
tanah
pada pertanian
lahan kering
secara
intensif
mengakibatkan menurunnya populasi dan keragaman organisme tanah karena organisme tanah sangat rentan terhadap aktifitas pengolahan tanah. Organisme tanah yang mudah terpengaruh adalah fauna tanah yang berukuran meso dan makro. Hal ini disebabkan oleh gangguan fisik pada fauna tanah karena interaksi langsung dengan alat pengolah yang menyebabkan fauna tanah terluka dan berkurang populasinya. Pengaruh dari pengolahan tanah intensif
juga dapat
merusak habitat fauna tanah dan memperkecil ruang bagi aktivitas fauna tanah. Tanah yang sering diolah akan mengalami penurunan bahan organik sehingga sumber makanan fauna tanah berkurang. Keberadaan fauna tanah dipengaruhi oleh struktur tanah, kelembaban tanah, suhu, udara, bahan organik sebagai sumber makanannya dan pengolahan tanah intensif membuat faktor pendukung hidup fauna tanah menurun. Pengolahan tanah minimum diperlukan untuk menanggulangi dampak negatif dari pengolahan tanah intensif, yaitu upaya untuk mengurangi usaha yang dapat merubah sifat fisik tanah dan disesuaikan dengan prinsip konservasi tanah dan air. Upaya ini diharapkan mampu menyediakan tempat yang nyaman bagi kehidupan fauna tanah. Peranan fauna tanah dalam perbaikan struktur tanah, selain memantapkan agregat, juga membuat pori dalam tanah (biopori). Biopori merupakan ruangan seperti pori dalam tanah yang terbentuk karena adanya pertumbuhan akar dan aktifitas fauna tanah. Ruang pori dalam tanah menjadi tempat hidup bagi fauna tanah, selain itu ruang pori dapat menyalurkan air, oksigen dan makanan yang cukup bagi fauna tanah. Ruang pori juga akan memperbaiki infiltrasi tanah. Untuk itu perlu dikembangkan alternatif teknologi peresapan air yang mudah diaplikasikan yaitu saluran dan lubang resapan biopori. Lubang resapan biopori merupakan lubang berbentuk silindris berdiameter 10 cm yang digali dengan kedalaman tidak melebihi muka air tanah yaitu 100 cm
2
dari permukaan tanah. Bahan pengisi dalam lubang adalah sisa tanaman ataupun sampah organik. Lubang resapan biopori mampu memperbanyak ruang pori dalam tanah sehingga dapat meningkatkan jumlah populasi dan keragaman fauna tanah. Salah satu tindakan konservasi adalah pemberian mulsa vertikal, yaitu penggunaan sisa tanaman sebagai bahan pengisi dalam rorak atau saluran. Saluran adalah parit yang dibuat untuk aliran permukaan dan sedimen yang terangkut akibat aliran permukaan. Aplikasi mulsa vertikal ini dapat menyediakan habitat untuk fauna tanah. Mulsa vertikal dapat menyuplai bahan organik hasil dari dekomposisi sisa tanaman yang akan menjadi sumber makanan bagi fauna tanah. Mulsa juga dapat menghindari fluktuasi suhu dan menjaga kelembaban tanah yang disukai fauna tanah. Saluran dan lubang resapan biopori akan menyediakan makanan, air dan udara yang mampu memperbaiki ekosistem tanah sehingga aplikasi teknologi peresapan biopori perlu diterapkan pada lahan pertanian.
1.2.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari populasi dan keragaman fauna
tanah pada lima jenis perlakuan lahan yang mengacu pada sistem konservasi tanah dan air, yaitu : tanpa saluran dan lubang resapan biopori, dengan teras gulud dan saluran konvensional, dengan teras gulud dan dasar saluran konvensional juga lubang resapan biopori, teras gulud dan saluran peresapan biopori, saluran peresapan biopori dikombinasikan lubang resapan biopori di kebun percobaan, Cikabayan IPB.
1.3.
Hipotesis 1. Jenis perlakuan lahan yang berbeda memiliki populasi dan keragaman fauna tanah yang berbeda. 2. Perlakuan dengan teknologi peresapan biopori akan memiliki sumber makanan, jumlah populasi dan keragaman fauna tanah yang paling tinggi.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fauna Tanah Fauna tanah adalah organisme yang seluruh atau sebagian besar daur atau kegiatan untuk kelangsungan hidupnya dilakukan di dalam tubuh tanah (Poerwowidodo, 1992) juga permukaan tanah (Suin, 1997).
2.1.1. Lingkungan Hidup Fauna Tanah Tanah merupakan tubuh alam tempat hidup tumbuhan dan organisme baik fauna tanah maupun mikroba (Soepardi, 1983). Fauna tanah merupakan bagian ekosistem tanah yang kehidupannya tidak sendiri, melainkan berinteraksi dengan faktor lain dari suatu lingkungan dimana mereka hidup. Adanya interaksi tersebut dapat mempengaruhi keberadaan, penyebaran, kepadatan fauna tanah (Suin, 1997), serta aktivitasnya (Wild, 1993). Ilmu yang mempelajari hubungan antara fauna tanah dan lingkungannya disebut ekologi tanah. Siswati (2001) mengemukakan bahwa tipe penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap populasi dan biodiversitas makrofauna tanah. Populasi cacing tanah dan kumbang sangat dipengaruhi oleh pengelolaan tanah baik berupa pengolahan tanah, pengapuran, pemupukan maupun penggunaan pestisida. Menurut Soepardi (1983), dibandingkan dengan area perawan, lahan yang diusahakan umumnya mempunyai jumlah dan biomassa fauna tanah lebih sedikit, sedangkan penggunaan lahan dengan praktek pengelolaan lahan, meliputi: pengolahan konservasi, penggunaan jerami, tanaman penutup, penggunaan pupuk organik dapat meningkatkan keragaman fauna tanah. Szujecki (1987) menyatakan bahwa keberadaan serangga dipengaruhi oleh struktur tanah, kelembaban tanah, suhu, cahaya, udara dan kandungan humus. Jumlah serangga tergantung pada tipe tanah yang termasuk faktor abiotik seperti faktor fisik dan kimia tanah serta kegiatan usaha tani yang dilakukan.
4
2.1.2. Klasifikasi Fauna Tanah Sistem klasifikasi fauna tanah dapat didasarkan pada ukuran tubuh, yaitu: mikrofauna yang berukuran < 0,2 mm, mesofauna yang berukuran 0,2-2,0 mm dan makrofauna yang berukuran 2,0-20 mm (Van der Drift, 1951; Lavelle dan Spain, 2001). Sedangkan Wild (1993), mengklasifikasikan fauna tanah menjadi 3 kelompok, yaitu mikrofauna (<0,1 mm), mesofauna (0,1-10 mm) dan makrofauna (>10 mm). Menurut Wallwork (1970), fauna tanah terbagi menjadi mikrofauna (0,2-2 mm), mesofauna (2 mm- 10 mm) dan makrofauna (>10 mm). Van der Drift (1951) membedakan fauna tanah menjadi tiga kelompok berdasarkan habitatnya, yaitu fauna yang hidup pada lapisan tanah yang lebih dalam yaitu Endogeic. Fauna yang hidup pada serasah dan lapisan tanah yang lebih dangkal yaitu Epigeic dan fauna yang hidup pada permukaan tanah. Anecic yaitu fauna tanah yang terkadang juga terdapat pada tanah yang lebih dangkal. Wallwork (1970) membagi fauna tanah berdasarkan pola makan. Carnivore yaitu predator dan binatang parasit, contohnya (beberapa anggota Coleoptera, tungau mesostigmatid. Opiliones, Chelonitida, Scorpion, Centipede, Diptera, dan beberapa Nematoda. Phytophagus, terdiri dari pemakan tumbuhan dan pemakan akar Contohnya Hymenoptera. Saprophagus, yaitu fauna pemakan tumbuhan mati atau bahan organik yang busuk. Pemakan jamur dan spora, algae, lichen dan bakteri adalah Microphytic-feeders. Terakhir adalah pemakan tumbuhan dan hewan segar atau busuk, kayu atau herba yaitu Miscellaneus-feeders. Berdasarkan kehadirannya, Coleman et al. (2004) membagi fauna menjadi empat kelompok. Transient, yaitu fauna yang saat fase tidur (istirahat) berada di dalam tanah, pada saat musim dingin sebaliknya hidup dan beraktifitas pada lapisan tanaman, contohnya Hippodamea sp. Temporary, yaitu fauna yang saat fase telur hingga “juvenile” berada di dalam tanah sedangkan pada fase dewasa hidup di atas permukaan tanah, contohnya Tipula spp (Diptera). Periodic, yaitu fauna yang menghabiskan hidupnya di dalam tanah. Fase dewasa terkadang hidup di atas permukaan tanah, contohnya Forticula spp (Dermaptera). Permanent, yaitu
5
fauna yang secara permanen menetap di dalam tanah dan mampu beradaptasi pada berbagai kedalaman tanah, contohnya Batrisodes spp.
2.1.3. Peranan Fauna Tanah Keberadaan fauna tanah dapat menjadi indikator kualitas tanah melalui peranannya terhadap sifat-sifat tanah, yaitu :
a.
Sifat Fisik Tanah Fauna tanah khususnya cacing tanah berpengaruh nyata terhadap struktur
tanah melalui aktivitasnya dalam menggali tanah (Van Vliet dan Hendrix, 2003 dalam Coleman et al., 2004) mengangkut dan mencampurkan bahan mineral dengan bahan organik yang ada serta pergerakannya dalam memasukkan bahan organik ke horizon yang lebih dalam (Woomer dan Swift, 1994 dalam Reddy 1999) dan menghasilkan casting (Richards, 1974). Sudarmo (1996) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa aktivitas 10 ekor cacing tanah selama 3,5 bulan mampu mempengaruhi bobot isi, pori total, penetrabilitas, indeks stabilitas agregat dan permeabilitas tanah. Terpeliharanya biopori oleh fauna tanah akan membentuk agregat tanah yang mantap dan menunjukkan terpeliharanya struktur tanah yang baik. Pada akhirnya kondisi ini mendukung terpeliharanya fungsi hidrologis kawasan pemukiman sebagai bagian dari tangkapan air (catchment) dan memudahkan peresapan air (Brata, 2008).
b.
Sifat Kimia Tanah Peranan fauna tanah terhadap sifat kimia tanah terutama disebabkan oleh
aktifitasnya dalam mempercepat proses dekomposisi bahan organik yang berkaitan dengan penyediaan unsur hara yang penting untuk pertumbuhan (Rahmawaty, 2000). Hasil penelitian Sudarmo (1996) menunjukkan bahwa aktivitas cacing tanah dapat meningkatkan pH tanah dari kondisi awal 5,9 meningkat menjadi 6,8. Secara umum fauna tanah dipandang sebagai pengatur terjadinya proses biogeokimia dalam tanah . Dengan perkataan lain fauna tanah berperan dalam menentukan kesuburan tanah bahkan beberapa jenis fauna tanah
6
dapat digunakan sebagai indikator tingkat kesehatan tanah di suatu daerah pertanian (Adianto 1983). Burges dan Raw (1967) menyatakan bahwa cacing tanah dapat memindahkan insektisida dari permukaan tanah ke dalam tanah dan mencampur adukannya sampai kedalaman 7,5 cm sehingga memperkecil toksisitas zat kimia tersebut terhadap hewan permukaan tanah. Arief (2001) menyebutkan, terdapat suatu peningkatan nyata pada siklus hara, terutama nitrogen pada lahan-lahan yang ditambahkan mesofauna tanah sebesar 20%-50%. Sampah organik yang dibuang ke dalam tanah akan digunakan oleh fauna tanah sebagai sumber bahan makanan. Jika jumlah sampah organik berlimpah, fauna tanah akan terus beraktivitas membuat biopori dan berkembang biak, mengunyah dan memperkecil ukuran sampah organik, serta
mencampurkannya
dengan mikroba yang dapat mempercepat proses pelapukan sampah organik menjadi kompos dan senyawa humus yang dapat memperbaiki kondisi tanah. Selain itu, fauna tanah juga dapat mengurangi emisi CO 2 dan gas metan yang merupakan gas rumah kaca penyebab pemanasan global, disamping juga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air, pupuk, serta bahan amelioran lain yang diperlukan dalam upaya perbaikan tingkat kesuburan tanah (Brata, 2008). Diversitas makrofauna yang aktif dalam tanah, di musim hujan maupun kemarau, berhubungan erat dengan pH, C-organik, rasio C/N dan kadar air tanah gambut. Keanekaragaman makrofauna meningkat dengan meningkatnya pH tanah. pH tanah menentukan komposisi dan jenis fauna (Suin, 1997). Diversitas fauna yang aktif dalam tanah juga berhubungan erat dengan C-organik. Semakin meningkatnya kandungan C-organik pada tanah gambut justru menurunkan diversitas makrofauna yang aktif dalam tanah. Ini menunjukkan bahwa semakin matang dekomposisi gambut semakin meningkat diversitas makrofauna yang aktif dalam tanah (Maftu’ah, dkk 2005). c.
Sifat Biologi Tanah Aktivitas fauna tanah khususnya cacing dalam proses dekomposisi bahan
organik dapat merangsang aktivitas mikroorganisme (Richards, 1974; Sudarmo,
7
1996). Penghancuran bahan organik menjadi ukuran yang lebih halus serta proses enzimatik dalam pencernaan cacing membuat bahan organik menjadi lebih mudah untuk dicerna mikroorganisme. Organisme-organisme yang hidup di dalam tanah sanggup mengadakan perubahan-perubahan besar di dalam tanah, terutama dalam lapisan atas (top soil), di mana terdapat akar-akar tanaman dan perolehan bahan makanan yang mudah. Akar-akar tanaman yang mati dengan cepat dapat dilapukkan oleh fungi, bakteria dan golongan-golongan organisme lainnya (Sutedjo et al., 1996). Serangga pemakan bahan organik yang melapuk, membantu merubah zatzat yang melapuk menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Banyak jenis serangga yang meluangkan sebagian atau seluruh hidup mereka di dalam tanah. Tanah tersebut memberikan serangga suatu pemukiman atau sarang, pertahanan dan seringkali makanan. Tanah tersebut diterobos sedemikian rupa sehingga tanah menjadi lebih mengandung udara, tanah juga dapat diperkaya oleh hasil ekskresi dan tubuh-tubuh serangga yang mati. Serangga tanah memperbaiki sifat fisik tanah dan menambah kandungan bahan organiknya (Borror et al., 1989). Wallwork (1976) dalam Uhfresti (2010), menegaskan bahwa serangga tanah juga berfungsi sebagai perombak material tanaman dan penghancur kayu. Makrofauna tanah sangat besar peranannya dalam proses dekomposisi, aliran karbon, redistribusi unsur hara, siklus unsur hara, bioturbasi dan pembentukan struktur tanah (Anderson, 1994). Biomasa cacing tanah telah diketahui merupakan bioindikator yang baik untuk mendeteksi perubahan pH, keberadaan horison organik, kelembaban tanah dan kualitas humus. Rayap berperan dalam pembentukan struktur tanah dan dekomposisi bahan organik. 2.1.4. Karakteristik Fauna Tanah. Berikut ini adalah contoh dari beberapa fauna tanah yang sering dijumpai pada hasil penelitian ini.
a.
Acari Acari merupakan salah satu dari sejumlah besar kelompok arthropoda yang
dapat ditemukan di mana-mana. Kebanyakan dari organisme ini sangat kecil,
8
hidup bebas dan merupakan spesies penghuni tanah sampah. Menurut Wallwork (1976), distribusi Acari melimpah di seluruh dunia, bahkan melebihi Collembola. Kelompok Acari yang sering dijumpai di tanah yaitu Oribatida, Prostigmata, Mesostigmata dan Astigmata. Oribatida merupakan kelompok saprophagus. Sedangkan mesostigmata merupakan kelompok Acari yang hampir seluruh anggotanya merupakan predator bagi fauna lain yang berukuran kecil (Coleman et al., 2004). Acari memiliki panjang tubuh antara 0,1 mm sampai 2 mm. Bentuk tubuh bervariasi dengan warna tubuh dari coklat muda sampai hitam. Ukuran tubuh Acari akan mengecil seiring dengan kedalaman tanah tempat tinggalnya (Gobat et al., 2004). Kelompok hewan ini secara langsung berperan dalam proses dekomposisi bahan organik dan dapat mempercepat proses penghancuran bahan organik (Adianto, 1983). Wallwork (1970) menyatakan bahwa lahan yang mempunyai pH tanah yang bersifat masam, diperkirakan populasi fauna tanah yang paling menonjol adalah kelompok Acari dan Collembola.
b.
Collembola Collembola termasuk ke dalam kelas Insecta, jumlahnya cukup banyak dan
penyebarannya cukup luas. Kebanyakan kelompok hewan ini merupakan penghuni tanah, tetapi sebagian besar menghabiskan hidupnya di atas permukaan tanah. Makanannya cukup bervariasi misalnya materi tumbuhan yang telah hancur, jamur, sisa-sisa hewan, feses dari hewan lain dan humus (Allison, 1973; Brown, 1978 dalam Adianto, 1983). Collembola dikenal dengan nama Springtails atau ekor pegas karena adanya pelenting tubuh pada bagian ekor yang disebut furkula. Ukuran tubuh Collembola berkisar antara 0.25 mm sampai 8 mm dengan warna tubuh bervariasi dari pucat hingga mencolok (Coleman et al., 2004). Peranan Collembola menurut Gobat et al. (2004) adalah menghancurkan bahan organik ke dalam ukuran yang lebih kecil kemudian mencampurnya. Collembola juga berpengaruh pada dinamika populasi fungi karena kebiasaannya memakan hifa fungi dan spora fungi. Wallwork (1970) menyatakan bahwa lahan yang mempunyai pH tanah yang bersifat masam,
9
diperkirakan populasi fauna tanah yang paling menonjol adalah kelompok Acari dan Collembola.
c.
Coleoptera Coleoptera atau kumbang merupakan sebagian dari Insecta yang tinggal di
dalam atau di atas tanah dalam bentuk larva dan dewasa (Kevan, 1962; Raw, 1967 dalam Adianto,1983). Kebanyakan merupakan predator pada hewan kecil tetapi juga dapat memakan bahan bahan tumbuhan, jamur, algae, kayu, kotoran, bangkai dan sebagainya. Jumlah kumbang sangat besar dan habitatnya sangat bervariasi, beberapa spesies menghabiskan hidupnya di dalam sampah sedangkan yang lainnya menggali tanah dengan kedalaman beberapa centimeter serta membawa kotoran atau bentuk bahan organik lainnya ke dalam tanah tersebut (Adianto, 1983).
d.
Centipede Centipede (Chilopoda) adalah kelompok predator yang biasa terdapat dalam
tanah, sampah dan habitat cryptozoa. Memiliki ciri berupa tubuh yang panjang, datar dan gerak yang aktif. Biomassa Centipede terdapat dari hutan hingga gurun pasir. Centipede gurun (Scolopendromorpha) panjangnya 15 cm, Centipede areal tropis dapat mencapai 30 cm dan berwarna kecoklatan, Centipede yang datar biasanya terdapat pada sampah kayu keras dalam habitat hutan. Centipede geophilomorph bertubuh panjang, ramping seperti yang terdapat pada habitat hutan edafik dimana mereka biasa memangsa cacing tanah, enchytraeids dan larva Diptera. Seperti Millipede, Centipede kehilangan air melalui kulit luarnya pada kelembaban yang relatif rendah. Mereka menghindari kekeringan dalam mencari habitat yang basah, dan menyesuaikan aktivitas harian dengan waktu yang lengas di habitat gurun dan bukit pasir. Semua jenis Centipede adalah predator. Mereka merupakan pelari yang cepat dan aktif dalam memangsa hewan yang kecil seperti Collembola (Coleman, 2004).
e.
Hymenoptera
10
Hymenoptera merupakan salah satu order serangga yang terbesar dan memiliki peranan sebagai ecosystem engineer bersama cacing tanah dan rayap. Kelompok fauna ini termasuk serangga sosial atau serangga yang hidupnya berkoloni (Coleman et al., 2004). Hymenoptera umumnya merupakan phytophagus dan dalam habitatnya kelompok ini akan berperan sebagai predator utama fauna yang berukuran kecil seperti Acari (Gobat et al., 2004). Hymenoptera, terutama yang berasal dari kelompok formicidae memiliki pengaruh yang besar terhadap struktur tanah, terutama di lingkungan gurun dimana cacing tanah memiliki kepadatan yang rendah. Tingginya kepadatan Hymenoptera pada suatu habitat akan mengurangi kepadatan predator lainnya pada habitat tersebut, seperti Aranae dan Coleoptera (Coleman et al., 2004).
2.2. Konservasi Tanah dan Air Konservasi tanah dapat diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah dengan penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlakukan agar tidak terjadi kerusakan tanah, sedangkan konservasi air pada prinsipnya penggunaan air yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau (Arsyad, 2000). Metoda konservasi tanah dapat dibagi dalam tiga golongan utama, yaitu metoda vegetatif, metoda mekanik, dan metoda kimia. Metoda vegetatif adalah metoda pengawetan tanah dengan vegetasi alami misalnya dengan tanaman penutup tanah, selain dapat mencegah erosi, dapat juga memperbaiki struktur tanah, menambah bahan organik, mencegah proses pencucian hara, dan mengurangi fluktuasi temperatur tanah. Beberapa cara usaha konservasi tanah dan air secara vegetasi antara lain: sisa tumbuhan sebagai penutup tanah, penanaman tumbuhan penutup tanah, rotasi tanaman, strip cropping, penanaman tumbuhan penguat teras. Metoda mekanik adalah usahausaha pengawetan tanah untuk mengurangi banyaknya tanah yang hilang di daerah lahan pertanian dengan cara-cara mekanik yang meliputi pembuatan
11
sengkedan atau terasering pada lahan miring, pembuatan jalur aliran air (waterways), pembuatan rorak, menanam searah kontur atau memotong arah kemiringan lereng. Sedangkan metoda kimia adalah cara yang menggunakan bahan kimia sebagai untuk memantapkan tanah (soil conditioner) yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan sifat-sifat fisik tanah (Sarief, 1985).
a.
Teknologi Lubang Resapan Biopori Biopori (biopore) merupakan ruangan atau pori dalam tanah yang dibentuk
oleh makhluk hidup, seperti fauna tanah dan akar tanaman. Bentuk biopori menyerupai liang (terowongan kecil) dan bercabang-cabang yang sangat efektif untuk menyalurkan air dan udara ke dan di dalam tanah. Liang pada biopori terbentuk oleh adanya pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman di dalam tanah serta meningkatnya aktifitas fauna tanah, seperti cacing tanah, rayap dan semut yang menggali liang di dalam tanah. Lubang resapan biopori (LRB) merupakan lubang berbentuk silindris berdiameter sekitar 10 cm yang digali di dalam tanah. Kedalamannya tidak melebihi muka air tanah, yaitu sekitar 100 cm dari permukaan tanah. LRB dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam meresapkan air sehingga akan menambah cadangan air dalam tanah serta menghindari terjadinya aliran air di permukaan tanah. Biopori diperkuat oleh senyawa organik yang berasal dari organisme tanah pembentuknya sehingga cukup mantap dan tidak mudah rusak atau menutup. Di dalam biopori tersedia cukup bahan organik, air, oksigen, dan unsur hara sehingga cocok bagi perkembangan akar tanaman dan organisme tanah, termasuk mikroorganisme yang membantu pelapukan sampah (Brata, 2004).
b.
Mulsa Vertikal Penggunaan sisa sisa tanaman sebagai mulsa tanaman sebagai mulsa
penutup tanah akan menghambat kecepatan aliran permukaan (run off), oleh karena dapat mengurangi tekanan gesekan dan kapasitas pengaliran air di permukaan tanah. Mulsa
dapat menghindari fluktuasi suhu dan kadar air
permukaan tanah. Dengan mulsa bahan organik lebih dapat dipelihara, bahkan
12
dalam jangka panjang dapat ditingkatkan dan penguapan air tanah dapat diperkecil sehingga kelembaban tanah terjaga (Sarief, 1985). Miskinnya tanaman penutup mengurangi populasi fauna tanah pada lahan padi yang belum ditanami. Sedangkan pada vegetasi yang ditemukan di pekarangan rumah dan hutan jati melindungi permukaan tanah dari sinar matahari langsung dan memelihara kelembaban tanah. kondisi ini kiranya menyediakan habitat yang nyaman bagi fauna tanah. jadi tanaman penutup lahan berpengaruh penting untuk memelihara kelembaban tanah dan tempat tinggal organisme tanah (Widyastuti, 2004). Mulsa vertikal adalah rorak yang di dalam lubangnya diberi mulsa sisa tanaman. Pemberian mulsa vertikal direkomendasikan selain untuk memelihara kelembaban tanah, juga untuk menciptakan kehidupan biologi tanah yang sangat berkontribusi terhadap perbaikan sifat fisik tanah yang selanjutnya berpengaruh terhadap neraca dan pergerakan air dalam tanah. Mulsa vertikal dapat dibuat di sekeliling piringan tanaman atau mengikuti jarak tanam yang sudah ada (Sarief, 1985).
13
III.
BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dimulai dari bulan Januari sampai April 2010 di Laboratorium Bioteknologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada pertanaman padi gogo dengan kemiringan lereng 5% dan 15% di kebun percobaan Cikabayan, IPB.
3.2 Bahan dan Alat Contoh tanah yang digunakan berasal dari areal pertanaman padi gogo di kebun percobaan Cikabayan IPB. Bahan kimia utama yang digunakan adalah etilen glikol, alkohol 70% dan aquadest. Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian antara lain pipa paralon, Berlese Funnel Extractor, stereomikroskop, termometer, cangkul, karung goni, kantung plastik, rafia, label, cawan petri, kamera dan alat-alat lain yang mendukung penelitian. Berlese Funnel Extractor merupakan alat untuk mengekstrak dan mengumpulkan fauna tanah, terdiri dari pipa paralon berdiameter 20 cm dan tinggi 15 cm, corong plastik besar, lampu, botol kecil untuk menampung fauna tanah, saringan ukuran 2 mm, kain penutup berukuran 35 x 35 cm.
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Pengambilan Contoh Tanah Pengambilan contoh tanah dilakukan pada 1 saluran setiap petak perlakuan. Pengambilan contoh tanah menggunakan paralon berdiameter 20 cm dan tinggi 15 cm dilakukan dengan cara menekan bor tanah sampai kedalaman 0-15 cm. Contoh tanah dimasukkan ke dalam plastik dan segera ditutup agar fauna tanah tidak keluar.
14
Pengambilan contoh tanah dilakukan pada hari 2 MST, 7 MST, 16 MST untuk mengetahui perubahan populasi fauna tanah. Tanah yang diambil adalah tanah di sekitar perlakuan. Terdapat 5 perlakuan dengan 3 ulangan dalam satu areal tanam, yaitu : T0
: Kontrol (tanpa perlakuan)
T1
: Teras gulud (TG) dengan saluran konvensional (SK) : teras gulud dibuat dengan dimensi saluran 15x15 cm (dalam x lebar saluran) dan tinggi guludan 15 cm. SK dibangun dengan interval horizontal 2 m pada lereng yang seragam.
T2
: Teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan lubang resapan biopori (LRB). LRB dengan diameter lubang 10 cm dan kedalaman 100 cm diisi dengan serasah tanaman dan bahan organik lainnya dan interval 1 m.
T3
: Teras gulud dengan saluran peresapan biopori (SPB) : SPB adalah perlakuan SK yang salurannya diisi dengan serasah tanaman dan bahan organik lainnya.
T4
: Saluran peresapan biopori (SPB) yang dikombinasikan dengan lubang resapan biopori (LRB). Areal pertanaman berada dalam dua lokasi, yaitu lahan dengan kemiringan
5% dan lahan dengan kemiringan 15%. Sehingga contoh tanah berjumlah 30 contoh per periode pengambilan contoh tanah.
15
TG SK a. T0 b. T1
TG SK
TG SPB LRB d. T3 c. T2 TG SPB
LRB e. T4
Gambar 1. Ilustrasi perlakuan dalam petakan (a. T0 ; b. T1 ; c. T2; d. T3; e. T4)
3.3.2 Analisis Tanah Analisis tanah meliputi sifat kimia meliputi analisis C-Organik dengan metode Walkey-Black, pH tanah diukur oleh pH meter, analisis nitrogen dengan metode Kjeldahl, analisis fosfor dengan metode Bray-1, unsur kalium diukur oleh AAS dan pengukuran kadar air tanah.
3.3.3 Ekstraksi (Berlese Funnel Extractor) Contoh tanah dari lapang yang berada dalam pipa paralon, segera ditutup dengan kain berukuran 35 x 35 cm untuk menghindari keluarnya fauna tanah dari dalam pipa. Pipa paralon diletakkan di atas sebuah corong besar yang di bagian
16
bawahnya terdapat saringan kasa 2 mm untuk menyaring fauna tanah dan menahan tanah agar tidak jatuh. Sekitar 10 cm di atas rangkaian paralon terdapat lampu (40 – 100 Watt) sebagai sumber panas yang akan mendorong fauna tanah turun ke bawah karena menghindari panas. Sementara itu di bagian bawah corong, terdapat botol berisi etilen glikol (25-30 ml) yang berguna untuk menangkap fauna tanah yang jatuh dan mengawetkannya. Ekstraksi ini dilakukan selama 7-10 hari sampai fauna tanah dalam pipa paralon kira-kira sudah turun semua. Selama inkubasi, suhu dalam alat harus diperhatikan agar tidak sampai 60 0 C karena fauna tanah akan mati jika suhu > 600 C. Setelah diinkubasi selama 7-10 hari, botol yang berisi fauna dalam etilen diekstrak dan disimpan dalam botol berisi alkohol 70%. Hewan lain yang tergolong makrofauna ditangkap dengan metode handsorting saat di lapangan. Metode ini dilakukan secara manual oleh tangan saat mengambil sampel dititik tertentu kemudian fauna tanah dimasukkan pada botol berisi alkohol 70% sebanyak 20-25 ml.
3.3.4 Identifikasi Fauna Tanah Fauna tanah yang diekstrak melalui Berlese Funnel Extractor dan melalui handsorting kemudian diamati bentuknya, diukur panjang tubuhnya dan dihitung jumlahnya dan diidentifikasi menggunakan stereomikroskop. Identifikasi fauna tanah mengacu pada Borror et al. (1989).
3.3.5 Perhitungan Data Jumlah fauna tanah ditetapkan dengan rumus (Meyer, 1996) :
IS : rata-rata jumlah individu per sampel A : luas area bor tanah (cm2)*) I
: jumlah individu
*) area bor tanah = π r2= misal 3,14 x (10 cm)2 = 314 cm2 = 0.0314 m2
17
Keragaman fauna tanah yang menggambarkan banyaknya taksa (kelompok) dalam suatu habitat dihitung berdasarkan rumus Shannon’s Diversity Index (Ludwig dan Reynolds, 1988), yaitu :
Dimana : ni: jumlah individu fauna tertentu n : jumlah total individu fauna tanah dalam sampel Nilai H’ menurut Magurran (1987) berkisar antara : < 1.5
: Keragaman rendah
1.5-3.5 : Keragaman sedang > 3.5
: Keragaman tinggi
Kelompok fauna tanah dengan jumlah individu dominan dan sangat dominan dihitung dengan menggunakan rumus Hill’s Diversity Number (Ludwig dan Reynoldz, 1988), yaitu : NI = e H’ Dimana : NI : kelompok dengan jumlah individu dominan dalam sampel H’ : Shannon’s Diversity Index N2 = 1/λ
N2
: kelompok dengan jumlah individu yang sangat dominan dalam sampel
λ
: Simpson’s Diversity Index
18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kepadatan Populasi Fauna Tanah Populasi fauna tanah diamati pada 2 lokasi, yaitu pada lahan yang ditanami padi gogo dengan kemiringan 5% dan lahan dengan kemiringan 15%. Lokasi ini terletak di kebun penelitian Cikabayan IPB. Dari setiap lahan yang ditanami padi gogo, terdapat 5 perlakuan yang mengacu pada konsep pertanian konservasi. Perlakuan T0 adalah lahan yang digunakan sebagai kontrol atau tanpa perlakuan. Perlakuan T1 adalah lahan yang dibuat teras gulud dengan saluran konvensional (SK). Perlakuan T2 adalah lahan yang dibuatkan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan lubang resapan biopori (LRB). Perlakuan T3 adalah lahan yang dibuat teras gulud dengan saluran peresapan biopori (SPB). Perlakuan T4 adalah lahan yang dibuat SPB yang dikombinasikan dengan LRB. Lubang resapan Biopori dibuat dengan membor lubang vertikal ke dalam tanah. Diameter LRB yang dianjurkan sekitar 10 cm dengan kedalaman sekitar 100 cm atau tidak melebihi kedalaman permukaan air tanah.
4.1.1 Lahan Dengan Kemiringan 5% Lahan dengan kemiringan 5% menunjukan kepadatan populasi fauna tanah tertinggi pada perlakuan SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4) sebesar 2069 individu/m2 dan populasi terendah pada perlakuan kontrol (T0) sebesar 690 individu/m2 pada periode pengambilan sampel pertama (periode I), sedangkan urutan kepadatan populasi fauna tanah dari yang paling tinggi hingga rendah pada periode I adalah perlakuan SPB yang dikombinasikan dengan SPB (T4), teras gulud dengan SPB (T3), teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2), teras gulud dengan SK (T1), dan perlakuan kontrol (T0). Pada perlakuan T4, sumber makanan di petakan ini tergolong lebih berlimpah daripada petakan lainnya. Hal ini dikarenakan pada perlakuan T4 terdapat bahan organik hasil dekomposisi fauna tanah pada liang biopori yang terdapat pada lubang resapan.
19
Keterangan: T0 : Kontrol T1: teras gulud dengan saluran konvensional (SK) T2 : teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan lubang resapan biopori T3: teras gulud dengan saluran peresapan biopori T4: saluran peresapan biopori yang dikombinasikan dengan lubang resapan biopori
Gambar 2. Kepadatan populasi fauna tanah pada lahan padi gogo dengan kemiringan 5% dari periode I - III (kedalaman 0-15 cm) Pada periode II, kepadatan populasi fauna tanah tertinggi pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2) dengan jumlah 2931 individu/m2 dan populasi terendah pada perlakuan kontrol (T0) dengan jumlah 1552 individu/m2 dan urutan kepadatan populasi tertinggi sampai terendah pada periode ke II ini adalah perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2), SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4), teras gulud dengan SPB (T3), teras gulud dengan SK (T1), dan perlakuan kontrol (T0). Pada periode III, kepadatan populasi fauna tanah tertinggi adalah pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2) dengan jumlah 3621 individu/m2 dan populasi terendah pada perlakuan teras gulud dengan SK (T1) dengan jumlah 1078 individu/m2, sedangkan urutan kepadatan populasi fauna tanah dari tertinggi hingga terendah adalah perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2), SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4), teras gulud dengan SK (T1), teras gulud dengan SPB (T3), dan perlakuan kontrol (T0).
20
Dari gambar di atas dapat terlihat dinamika kepadatan populasi fauna tanah disetiap periode. Jumlah total individu/m2 cenderung meningkat hingga periode II dan menurun sedikit pada periode III. Hal ini disebabkan karena kondisi lingkungan dan jumlah makanan yang berbeda dari setiap periode. Secara umum kondisi lingkungan lahan pertanaman pada periode I adalah kondisi awal tanam (2 MST), dimana tanaman masih kecil sehingga jarak tanam masih renggang dan sinar matahari dapat langsung mengenai permukaan tanah. Selain itu, kondisi dedaunan dalam saluran dan lubang resapan belum sempurna melapuk sehingga sumber makanan untuk fauna tanah belum melimpah. Pada periode II (7 MST), kondisi tanaman berada dalam fase generatif (bunting) dan sudah berbunga dan anakan padi sekitar 20 anakan, sehingga permukaan tanah tertutupi oleh rimbunnya anakan dan jarak antar tanam semakin tipis. Pada periode ini tanaman diproteksi dengan jaring untuk menghindari serangan burung. Kondisi sisa tanaman berupa dedaunan dalam saluran dan lubang resapan sudah terdekomposisi dengan baik. Menurut Brata (2008), sampah organik dalam lubang resapan dalam selang waktu 56-84 hari akan terdekomposisi menjadi kompos. Sedangkan pada periode III adalah pasca pemanenan namun yang dipanen hanya beberapa sampel yang dijadikan titik percontohan dan tidak semua tanaman dipangkas sehingga sisa-sisa tanaman dibiarkan jatuh dan melapuk. Tabel 1. Kepadatan Populasi Fauna Tanah pada Lahan dengan Kemiringan 5% (0-15 cm) Periode Perlakuan T0 T1 T2 T3 T4
I 690 b 733 b 733 b 905 b 2069 a
II 1552 a 2112 a 2931 a 2241 a 2414 a
III 2155 b 1078 b 3621 a 1983 b 2284 b
Pada periode I, kepadatan fauna tertinggi adalah perlakuan SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4) dan perlakuan teras gulud dengan SPB (T3). Tingginya populasi fauna tanah pada perlakuan ini kemungkinan disebabkan
21
karena pada perlakuan tersebut terdapat saluran dan lubang resapan biopori yang diisi oleh mulsa vertikal berupa sisa-sisa tanaman. Sisa tanaman inilah yang menjadi sumber makanan bagi biota tanah yang terdiri dari mikroba tanah dan fauna tanah. Sedangkan LRB yang sejalan dengan pertumbuhan akar tanaman membentuk biopori yang menjadi habitat yang cocok bagi peningkatan populasi dan aktivitas fauna tanah. Biopori menjadi habitat yang baik bagi perkembangan akar dan fauna tanah karena tersedianya cukup bahan organik, air, oksigen, dan unsur hara. Menurut Erniwati (2008), kecuali pada lapisan serasah, maka lapisanlapisan tanah semakin ke bawah akan memiliki keragaman taksa dan kelimpahan individu semakin menurun. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa semakin ke dalam suatu lapisan tanah maka semakin berkurang daya dukung lingkungannya untuk kehidupan fauna tanah. Namun, LRB memperbaiki daya dukung lingkungan fauna tanah di lapisan bawah. Keterkaitan ini menjadi sebuah ekosistem tanah yang mempengaruhi biodiversitas tanah. Fauna tanah akan berkembang biak dan beraktifitas membuat biopori,
mengunyah
dan
memperkecil
ukuran
sampah
organik,
serta
mencampurkannya dengan mikroba yang dapat mempercepat proses pelapukan sampah organik menjadi kompos dan senyawa humus yang dapat memperbaiki kondisi tanah. Peresapan air ke dalam tanah juga akan diperlancar dengan adanya biopori yang dibentuk oleh akar tanaman dan aktifitas fauna tanah. Lubang resapan biopori akan membantu mempermudah pemasukan bahan organik ke dalam tanah. Kumpulan sampah organik yang tidak terlalu besar dalam lubang silindris akan menjadi habitat yang baik bagi fauna tanah yang memerlukan perlindungan dari panas matahari dan kejaran pemangsa, sehingga pada perlakuan T3 dan T4 yang terdapat SPB dan LRB menunjukkan kepadatan populasi fauna tanah yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain tanpa LRB. Sedangkan pada periode II, jumlah kepadatan fauna tanah tertinggi adalah pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2) dan SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4). Pada periode III jumlah kepadatan fauna tertinggi sama dengan periode II, yaitu T2 dan T4. Perlakuan T2 terdapat
22
mulsa vertikal dalam LRB yang menjadi sumber makanan bagi fauna tanah memberikan asupan bahan organik yang cukup banyak dari dekomposisi sisa tanaman. Pada Tabel.1 dapat dilihat bahwa perlakuan SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4) pada periode pertama dengan perlakuan lainnya terdapat perbedaan yang nyata. Sedangkan untuk perlakuan T1, T2 dan T3 tidak terlihat adanya perbedaan namun setiap perlakuan dengan LRB dan mulsa vertikal cenderung meningkatkan populasi fauna tanah yang ada dibandingkan dengan perlakuan kontrol (T0). Pada periode II semua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata namun cenderung meningkatkan populasi fauna tanah dari perlakuan kontrol (T0). Pada periode III perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2) menunjukkan perbedaan yang nyata dengan semua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan populasi setiap perlakuan pada periode I belum begitu dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti pada periode II dan periode III.
4.1.2 Lahan Dengan Kemiringan 15% Pada lahan ini, populasi kepadatan fauna tertinggi terdapat pada perlakuan SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4) dengan jumlah 1422 individu/m2 dan kepadatan terendah pada perlakuan teras gulud dengan SK (T1) dengan jumlah 388 individu/m2 pada periode I. Urutan kepadatan populasi dari yang tertinggi hingga terendah adalah perlakuan SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4), teras gulud dan SPB (T3), perlakuan kontrol (T0), teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2), teras gulud dengan SK (T1) pada periode I. Pada periode II, kepadatan populasi tertinggi pada perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) dengan jumlah 4483 individu/m2 dan kepadatan populasi terendah pada perlakuan saluran konvensional (T1) dengan jumlah 1595 individu/m2. Urutan kepadatan fauna tertinggi hingga terendah adalah perlakuan teras gulud dengan SPB (T3), SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4), teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2), perlakuan kontrol (T0), teras gulud dengan SK (T1).
23
Pada periode III, kepadatan populasi fauna tanah tertinggi adalah perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) dengan jumlah 3017 individu/m2 dan kepadatan populasi fauna tanah terendah adalah perlakuan kontrol (T0) dengan jumlah 1207 individu/m2, urutan kepadatan populasi pada periode III ini adalah perlakuan teras gulud dengan SPB (T3), teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2), SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4), teras gulud dengan SK (T1), perlakuan kontrol (T0). Berdasarkan gambar di bawah ini, dapat dilihat bahwa dinamika populasi fauna tanah dari periode I meningkat sampai periode II lalu sedikit menurun pada periode III, hal ini disebabkan kondisi tanaman saat periode I masih kecil dan renggang jaraknya sehingga kondisi permukaan tanah langsung mendapat sinar matahari sehingga suhu permukaan tanah akan lebih tinggi, jika dibandingkan dengan kondisi tanaman saat periode II yang menutupi permukaan tanah membuat kondisi ini disukai oleh fauna tanah.
Keterangan: T0 : Kontrol T1: teras gulud dengan saluran konvensional (SK) T2 : teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan lubang resapan biopori T3: teras gulud dengan saluran peresapan biopori T4: saluran peresapan biopori yang dikombinasikan dengan lubang resapan biopori
Gambar 3. Kepadatan populasi fauna tanah pada lahan padi gogo dengan kemiringan 15% dari periode I - III (kedalaman 0-15 cm)
24
Semakin rindang permukaan tanah, maka sumber makanan semakin tinggi, menjaga fluktuasi suhu dan kelembaban tanah permukaan tanah yang lembab serta melindungi fauna tanah secara langsung dari sengatan sinar matahari sehingga mampu menciptakan habitat yang nyaman bagi tempat tinggal fauna tanah. Namun, pada periode III, kondisi tanaman setelah panen mengalami sedikit pemangkasan yang berdampak pada menurunnya kepadatan populasi fauna tanah. Berdasarkan gambar di atas terlihat, bahwa populasi yang terus meningkat dari setiap periode adalah perlakuan T2 dan T4, pada lahan ini terdapat mulsa vertikal pada lubang resapan biopori, sehingga pada lahan ini terdapat bahan organik yang tinggi sebagai sumber makanan bagi fauna tanah yang ada di dalamnya. Mulsa dapat menghindari fluktuasi suhu dan kadar air permukaan tanah. Dengan mulsa bahan organik lebih dapat dipelihara, bahkan dalam jangka panjang dapat ditingkatkan dan penguapan air tanah dapat diperkecil sehingga kelembaban tanah terjaga (Sarief, 1985) sehingga dengan adanya mulsa maka tercipta lingkungan yang disukai oleh fauna tanah. Lubang resapan biopori yang diisi oleh sisa tanaman yang dapat melindungi permukaan lubang dari penyumbatan sedimen halus dan lumut. Selain itu akan membuat fauna tanah tertarik masuk ke dalam tanah untuk berlindung, memakan sampah organik dan membentuk biopori. Lubang biopori juga membuat pergerakan fauna tanah menjadi lebih mudah karena terbentuknya liang-liang yang menjadi jalur transportasi bagi fauna tanah sehingga meningkatkan biodiversitas hayati pada lapisan bawah permukaan tanah.
Tabel 2. Kepadatan Populasi Fauna Tanah pada Lahan dengan kemiringan 15% (0-15 cm) Periode Perlakuan T0 T1 T2 T3 T4
I 560 a 388 a 517 a 776 a 1422 a
II 2069 b 1595 b 2414 b 4483 a 2931 b
III 1207 a 1810 a 2414 a 3017 a 1810 a
25
Pada Tabel. 2 dapat dilihat bahwa semua perlakuan pada periode I tidak menunjukkan perbedaan yang nyata namun cenderung meningkatkan populasi fauna tanah dibandingkan dengan kontrol (T0). Pada periode II, perlakuan T3 menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan yang lainnya dan pada periode III semua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata namun cenderung meningkatkan jumlah populasi fauna tanah jika dibandingkan dengan kontrol (T0) pada lahan pertanaman padi gogo ini. Menurut Brata (2008), lubang resapan biopori dikembangkan atas dasar prinsip ekohidrologis, yaitu dengan memperbaiki kondisi ekosistem tanah untuk perbaikan fungsi hidrologis ekosistem tersebut. Pemanfaatan sampah organik ke dalam lubang kecil dan dalam ternyata dapat menciptakan habitat yang baik bagi beraneka ragam organisme tanah. Organisme tanah dapat mempercepat pelapukan bahan
organik
serta
meningkatkan
pembentukan
biopori
yang
dapat
memperlancar peresapan air dan pertukaran O2 dan CO2. Kelebihan biopori dibandingkan dengan pori makro diantara agregat tanah antara lain (1) lebih mantap karena dilapisi oleh senyawa organik yang dikeluarkan oleh tubuh cacing (Brata, 1990), (2) berbentuk lubang silindris yang bersinambung dan tidak mudah mudah tertutup oleh pengembangan yang bersifat vertik, (3) dapat menyediakan liang yang mudah ditembus akar tanaman (Wang, Hesketh, dan Wooley, 1986 dalam Brata, 2008) dan (4) menyediakan saluran bagi peresapan air (Infiltrasi yang lancar ke dalam tanah (Smettem, 1992; Brata, 2004 dalam Brata, 2008). Aneka bahan mineral dan organik yang dimakan oleh cacing, kemudian dikeluarkan menjadi casting yang mempunyai bobot isi lebih rendah(1,15 g/cm3) dibandingkan dengan tanah sekitarnya (1,5-1,6 g/cm3). Secara umum jumlah kepadatan populasi fauna tanah pada lahan kemiringan 5% lebih banyak dibandingkan lahan dengan kemiringan 15%. Hal ini disebabkan oleh beda kemiringan yang cukup mempengaruhi besarnya pengangkutan bahan organik oleh aliran permukaan. Semakin curam kemiringan lereng, maka semakin besar pengangkutan yang terjadi sehingga bahan organik dan unsur hara yang hanyut oleh aliran permukaan semakin banyak dan membuat habitat yang kurang disukai fauna tanah karena sumber makanannya terbatas.
26
Gambar 4. Kepadatan populasi fauna tanah pada lahan dengan kemiringan 5% dan 15% dari periode I - III (kedalaman 0-15 cm) Secara umum berdasarkan hasil pengukuran, aliran permukaan dan erosi pada lahan dengan kemiringan 15% lebih besar dibandingkan lahan dengan kemiringan 5% (Tabel Lampiran 7). Perlakuan yang diterapkan berdasarkan metode konservasi tanah dan air untuk lahan miring seperti pembuatan saluran dalam petakan untuk mengurangi erosi oleh aliran permukaan saat terjadi hujan. Namun, ada pula perlakuan yang jumlah populasi fauna tanahnya lebih besar pada lahan dengan kemiringan 15% di bandingkan lahan 5%. Hal ini diduga karena adanya pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan pada lahan dengan kemiringan 15% lebih rimbun dan teduh jika dibandingkan dengan lahan 5% sehingga pada beberapa perlakuan terdapat jumlah populasi fauna tanah yang lebih tinggi pada lahan dengan kemiringan 15% meskipun aliran permukaannya lebih besar.
4.2 Keragaman Fauna Tanah 4.2.1 Lahan Dengan Kemiringan 5% Keragaman fauna tanah dalam penelitian ini dihitung berdasarkan metode Shannon Diversity Index (H’) yang menggambarkan keragaman fauna tanah
27
ditinjau berdasarkan taksa (kelompok) dalam suatu habitat. Nilai keragaman ini tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah populasi fauna tanah.
Tabel 3. Nilai indeks keragaman fauna tanah pada lereng 5% Perlakuan T0 T1 T2 T3 T4
I
Periode II
III
1,32 1,45 1,49 1,52 1,51
1,77 1,77 1,29 1,29 1,47
1,56 1,46 1,44 2,06 1,84
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut (Tabel 3), pada lahan dengan kemiringan 5%, keragaman fauna tanah tertinggi pada periode I adalah perlakuan teras gulud dan SPB (T3) dengan nilai 1,52 dan keragaman terendah pada perlakuan kontrol (T0) dengan nilai 1,32. Pada periode II, keragaman fauna tertinggi adalah perlakuan saluran konvensional (T1) dengan nilai 1,77 dan nilai terkecil pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2). Pada periode III, nilai keragaman fauna tanah tertinggi pada perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) dan terendah pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2). Berdasarkan kategori nilai Shannon Diversity Index yang terdapat pada Magurran (1987) maka keragaman tertinggi pada setiap periode tergolong sedang namun jika dilihat dari seluruh periode maka indeks keragaman tergolong rendah.. Keragaman ini yang menggambarkan banyaknya taksa (kelompok) dalam suatu habitat. Kategori rendah pada lahan ini disebabkan karena lahan yang digunakan sebagai areal pertanaman padi gogo bukanlah lahan alami yang baru dibuka melainkan lahan yang sering kali ditanami sehingga jumlah fauna tanah tidak melimpah ruah seperti pada habitat alami seperti hutan.
28
(a)
(b)
(c) Gambar 5. Kondisi tanaman saat pengambilan sampel (a. Kondisi tanaman periode I; b. Kondisi tanaman periode II; c. Kondisi tanaman periode III) Kelompok fauna tanah dengan jumlah individu dominan (NI) dan sangat dominan (N2) dihitung dengan menggunakn rumus Hill’s Diversity Number (Ludwig dan Reynoldz, 1988). Cara menentukan jenis fauna tanah yang dominan (NI) adalah melihat hasil perhitungan berdasarkan rumus lalu melihat kelompok fauna tanah yang memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan fauna tanah yang ditemukan dalam perlakuan. Misal dalam perlakuan T0 nilai NI adalah 3,74 (Tabel Lampiran. 1) sehingga dapat diketahui ada 3 jenis fauna tanah yang jumlahnya lebih banyak dari fauna tanah yang di temukan dalam perlakuan T0. Sedangkan penentuan fauna tanah yang paling dominan (N2) adalah dengan melihat satu jenis fauna tanah dalam perlakuan T0 dengan jumlah terbanyak.
29
Tabel 4. Dominansi Fauna Tanah pada Lahan dengan kemiringan 5% Populasi Fauna Tanah Perlakuan Periode I T0 T1 T2 T3 T4 Periode II T0 T1
Dominan
Paling Dominan
Centipede, Orthoptera, Symphila Acari, Coleoptera, Centipede, Orthoptera Acari, Collembola, Orthoptera, Homoptera Acari, Coleoptera, Centipede, Orthoptera Acari, Coleoptera, Centipede, Orthoptera
Centipede Centipede Orthoptera Coleoptera Centipede
Acari, Collembola, Hymenoptera, Coleoptera, Isopoda Acari, Collembola, Hymenoptera, Coleoptera, Centipede
Hymenoptera Coleoptera
T2 T3
Acari, Collembola, Coleoptera Collembola, Hymenoptera, Coleoptera, Isopoda
Coleoptera Hymenoptera
T4 Periode III T0
Acari, Coleoptera,Isopoda
Isopoda
Acari, Collembola, Coleoptera, Centipede
Collembola
T1 T2 T3
Acari, Collembola, Hymenoptera, Centipede Acari, Collembola, Hymenoptera, Isopoda Acari, Collembola, Coleoptera, Centipede, Orthoptera, Isopoda, Symphila Acari, Collembola, Hymenoptera, Coleoptera, Centipede, Isopoda
Centipede Isoptera
T4
Centipede Collembola
Kondisi lingkungan saat pengambilan sampel juga mempengaruhi keragaman fauna tanah. Keragaman fauna tanah pada kondisi awal pertanaman (Gambar 4. a) akan lebih sedikit karena sinar matahari dapat langsung mengenai permukaan tanah dan membuat suhu permukaan lebih tinggi. Berbeda pada kondisi pengambilan sampel ke-2 dan ke-3, dimana suhu permukaan lebih lembab dan bahan organik tersedia lebih banyak dibandingkan periode pengambilan sampel ke-1. Keberadaan fauna tanah pada lahan yang tidak terganggu akan menjaga proses siklus hara berlangsung secara terus menerus. Lingkungan terganggu atau terdegradasi pada umumnya memiliki fauna tanah yang mengalami penurunan komposisi maupun populasi yang disebabkan oleh penurunan atau hilangnya sejumlah spesies tumbuhan, penurunan kekayaan deposit serasah, perubahan sifat biologis,
fisik dan kimia tanah,
penurunan populasi fauna
lain dan
30
mikroorganisme tanah, dan perubahan iklim mikro ke arah yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan makhluk hidup di dalamnya (Nuril dkk, 1999). Pada lahan ini, kelompok dengan jumlah individu dominan dalam sampel (NI) pada periode I di perlakuan T0 ditemukan 3 taksa (Tabel. 4) dengan kelompok yang paling dominan dalam sampel adalah Centipede. Pada perlakuan teras gulud dengan saluran konvensional (T1) ditemukan 3 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Centipede. Pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2) ditemukan 4 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Orthoptera. Pada perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) ditemukan 4 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Coleoptera. Pada perlakuan saluran peresapan biopori yang dikombinasikan dengan LRB (T4) ditemukan 4 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Centipede. Secara umum, pada periode I ini, kelompok yang dominan dalam setiap perlakuan adalah Centipede. Centipede merupakan predator, dalam periode I ini terlihat dari data dominansi fauna tanah (Tabel. 4) bahwa Acari dan Collembola termasuk fauna tanah yang dominan, kedua hewan ini merupakan mangsa Centipede sehingga populasi Centipede meningkat karena tersedianya makanan yang berlimpah. Selain itu, Centipede adalah fauna tanah yang menyukai kondisi tanah lembab dan kondisi tanah di kebun penelitian ini sesuai dengan karakteristik lingkungan hidup Centipede. Jadi, kondisi lingkungan yang mendukung dan tersedianya makanan yang berlimpah membuat populasi Centipede pada periode ini menjadi fauna tanah paling dominan. Pada periode II, dimana kondisi padi gogo sudah terisi bulirnya dan anakan padi sudah banyak sehingga kondisi tanaman rimbun dan menutupi permukaan tanah (gambar 3. b). Fauna yang ditemukan dari segi jumlah kepadatan fauna lebih banyak dari periode I. Pada perlakuan T0 ditemukan 5 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Hymenoptera. Pada perlakuan teras gulud dengan saluran konvensional (SK) ditemukan 5 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Coleoptera. Pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2) ditemukan 3 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Coleoptera. Pada
31
perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) ditemukan 4 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Hymenoptera. Pada perlakuan SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4) ditemukan 3 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Isopoda. Secara umum, pada periode II ini fauna yang dominan adalah Coleoptera. Coleoptera merupakan sebagian dari insecta yang tinggal di dalam atau di atas tanah dalam bentuk larva dan dewasa (Kevan, 1962; Raw, 1967 dalam Adianto 1993). Dalam penelitian ini yang banyak ditemukan adalah larva Coleoptera. Kebanyakan merupakan predator pada hewan kecil tetapi juga dapat memakan bahan tumbuhan, jamur, algae, kayu, kotoran, bangkai dan sebagainya. Jumlah kumbang sangat besar dan habitatnya sangat bervariasi. Pada saat pengambilan sampel di periode II, curah hujan tinggi yaitu 441 mm sehingga mampu membuat kondisi lingkungan yang nyaman bagi keberlangsungan hidup fauna tanah. Wallwork (1970) menyatakan bahwa kepadatan populasi Collembola meningkat pada curah hujan tinggi dan berkurang pada curah hujan rendah. Pada periode ini, Collembola juga termasuk salah satu taksa yang dominan ditemukan dalam perlakuan, namun menjadi taksa yang tidak paling dominan diduga karena dimangsa oleh Coleoptera. Pada periode III, kondisi tanaman sudah panen, beberapa tanaman dipangkas namun sisanya dibiarkan hingga melapuk (Gambar 3.c). Keragaman fauna tanah di periode ini lebih tinggi daripada periode sebelumnya, karena pada periode setelah panen ini terdapat banyak sisa tanaman yang merupakan sumber bahan organik bagi fauna tanah sehingga keragaman fauna tanah meningkat. Pada perlakuan kontrol (T0) taksa yang ditemukan ada 4 dan taksa yang paling dominan adalah Collembola. Pada perlakuan teras gulud dengan saluran konvensional (SK) ditemukan 4 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Centipede. Pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2) ditemukan 4 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Isoptera. Pada perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) ditemukan 7 taksa. Sedangkan kelompok yang
paling
dominan
adalah
Centipede.
Pada
perlakuan
SPB
yang
dikombinasikan dengan LRB (T4) ditemukan 5 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Collembola.
32
Secara umum, pada periode III ini, kelompok yang dominan dari setiap perlakuan adalah Acari dan Collembola. Hal ini sejalan dengan kondisi tanaman diperiode III yang dibiarkan melapuk. Banyaknya jumlah Acari dan Collembola dikarenakan jumlah makanannya berlimpah. Collembola berperan di dalam siklus makanan sebagai perombak bahan organik atau detritivor. Kebanyakan kelompok hewan ini merupakan penghuni tanah, tetapi sebagian besar menghabiskan hidupnya di atas permukaan tanah. Makanannya cukup bervariasi misalnya materi tumbuhan yang telah hancur, jamur, sisa-sisa hewan, feses dari hewan lain dan humus. Peranan Collembola menurut Gobat et al. (2004) adalah mengahancurkan bahan organik ke dalam ukuran yang lebih kecil kemudian mencampurnya. Collembola juga berpengaruh pada dinamika populasi fungi karena kebiasaannya memakan hifa fungi dan spora fungi. Jumlah Acari dan Collembola yang berlimpah juga didukung oleh kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan dan kondisi yang bersifat masam, begitupun dengan pH pada lahan ini berkisar 5,9 – 6,3. Hal ini sejalan dengan dengan pernyataan Wallwork (1970), bahwa Acari dan Collembola merupakan mesofauna tanah yang populasinya menonjol pada lahan dengan pH tanah yang masam. Dilihat secara umum dari seluruh periode di lahan dengan kemiringan 5%, kelompok fauna tanah yang paling dominan adalah Centipede. Jenis fauna ini sering sekali muncul hampir pada setiap perlakuan dan setiap periode. Hal ini dikarenakan sumber makanannya yang berupa hewan kecil seperti Acari dan Collembola tersedia dengan jumlah yang berlimpah (Tabel. 4). Sejalan dengan pernyataan Coleman (2004) bahwa semua jenis Centipede adalah predator. Mereka merupakan pelari yang cepat dan aktif dalam memangsa hewan yang kecil seperti Collembola. Centipede adalah hewan yang akan kehilangan air melalui kulit luarnya jika kelembaban relatif rendah sehingga Centipede akan bertahan hidup jika kondisi tanah lembab. Dua kondisi ini sangat mendukung bagi kehidupan Centipede sehingga menjadikan Centipede menjadi fauna tanah paling dominan dalam petakan penelitian dengan lahan kemiringan 5%.
33
Berdasarkan hasil analisis unsur hara pada sedimen yang tertinggal, kandungan unsur tertinggi dalam perlakuan T3 dan T4 terutama kandungan COrganik (Tabel Lampiran 8). Hal ini membuktikan bahwa laju dekomposisi T3 dan T4 lebih cepat sehingga transfer bahan organik ke dalam tanah lebih baik dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Bahan organik inilah yang menjadi alasan fauna tanah datang menempati habitat ini kemudian berkoloni dan membentuk populasi. Fauna tanah hidupnya sangat bergantung pada tersedianya bahan organik berupa serasah atau lainnya yang terdapat di permukaan tanah (Suhardjono, 1998). Setiap perlakuan konsep pertanian konservasi ini diharapkan juga dapat menurunkan bobot isi tanah. Dan hal itu dibuktikan dengan nilai bobot isi yang meningkat dari awalnya (Tabel Lampiran 9). Kondisi tanah yang remah ini bisa disebabkan oleh kandungan bahan organik yang tinggi dan juga aktifitas fauna tanah yang meningkat. Kondisi yang remah disukai fauna tanah karena membuatnya mudah bergerak. Dan perlakuan SPB dan LRB (T4) yang menunjukkan peningkatan bobot isi yang paling baik dari semua perlakuan yang lain.
4.2.2 Lahan Dengan Kemiringan 15% Keragaman fauna tanah juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Pada areal pertanaman padi gogo dengan kemiringan lahan 15% jelas lebih curam dibandingkan dengan lahan kemiringan 5%, secara umum kondisinya pun berbeda. Pada lahan kemiringan 15%, kondisi lingkungan sekitar lebih rindang karena ternaungi oleh beberapa pohon besar dan tanaman pagar yang mengelilingi petakan.
34
Tabel 5. Nilai indeks keragaman fauna tanah pada lereng 15% Perlakuan T0 T1 T2 T3 T4
I 1,52 1,46 1,71 1,8 1,72
Periode II 1,94 1,89 2,14 1,46 1,88
III 1,51 1,99 1,86 2,03 1,90
Berdasarkan hasil perhitungan keragaman (Tabel 5), pada lahan dengan kemiringan 15%, keragaman fauna tanah tertinggi pada periode I adalah perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) dengan nilai 1,8 dan keragaman terendah pada perlakuan teras gulud dengan saluran konvensional (SK) dengan nilai 1,46. Pada periode II, keragaman fauna tertinggi adalah perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2) dengan nilai 2,14 dan nilai terkecil pada perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) dengan nilai 1,46. Pada periode III, nilai keragaman fauna tanah tertinggi pada perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) dengan nilai 2.03 dan terendah pada perlakuan kontrol (T0) dengan nilai 1,51. Berdasarkan kategori nilai Shannon Diversity Index yang terdapat pada Magurran (1987) maka keragaman tertinggi pada setiap periode tergolong sedang. Nilai indeks keragaman tidak menentukan besarnya jumlah populasi. Bisa saja terjadi nilai keragamannya kecil tapi jumlah populasinya padat, hal ini dikarenakan adanya dominasi fauna tanah tertentu dalam suatu perlakuan lahan. Nilai indeks keragaman akan maksimal ketika semua individu yang ada dalam habitat terwakili secara merata namun hal ini biasanya akan terjadi jika sumber makanan sangat berlimpah dan lingkungan yang sangat mendukung bagi fauna tanah. Selain itu, ada beberapa fauna tanah yang sumber makanan dan tempat hidupnya sangat spesifik.
35
Tabel 6. Dominansi Fauna Tanah pada Lahan dengan Kemiringan 15% Populasi Fauna Tanah Perlakuan Periode I T0 T1 T2 T3 T4 Periode II T0 T1 T2 T3 T4 Periode III T0 T1 T2 T3 T4
Paling Dominan
Dominan Hymenoptera, Acari, Coleoptera, Diptera Acari, Hymenoptera, Coleoptera, Isopoda, Oligochaeta Acari, Collembola, Coleoptera, Centipede, Oligochaeta Acari, Collembola, Hymenoptera, Coleoptera, Orthoptera, Oligochaeta Acari, Collembola, Hymenoptera, Coleoptera, Centipede
Hymenoptera Hymenoptera Collembola Coleoptera Hymenoptera
Acari, Collembola, Hymenoptera, Centipede, Isoptera, Oligochaeta Acari, Collembola, Hymenoptera, Diptera, Centipede, Oligochaeta Acari, Collembola, Hymenoptera, Centipede, Isopoda, Lepidoptera, Oligochaeta
Isoptera Hymenoptera
Acari, Hymenoptera, Coleoptera, Centipede Acari, Collembola, Hymenoptera, Coleoptera,Pseudoscorpione, Oligochaeta
Hymenoptera Hymenoptera
Acari, Collembola, Coleoptera, Centipede Acari, Collembola, Hymenoptera, Centipede, Coleoptera Acari, Collembola, Hymenoptera, Centipede Acari, Collembola, Hymenoptera, Coleoptera, Centipede, Diplura, Zoraptera Acari, Collembola, Coleoptera, Centipede, Isoptera, Oligochaeta
Collembola Acari Acari Hymenoptera Collembola
Hymenoptera
Pada lahan dengan kemiringan 15 % ini, pada periode I di perlakuan kontrol (T0) ditemukan 4 taksa dengan taksa yang paling dominan dalam sampel adalah Hymenoptera. Pada perlakuan teras gulud dengan saluran konvensional (T1) ditemukan 4 taksa dengan taksa yang paling dominan adalah Hymenoptera. Pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2) ditemukan 5 taksa dengan taksa yang paling dominan adalah Collembola. Pada perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) ditemukan 6 taksa dengan taksa yang paling dominan adalah
Coleoptera.
Pada
perlakuan
saluran
peresapan
biopori
yang
dikombinasikan dengan LRB (T4) ditemukan 5 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Hymenoptera. Secara umum, pada periode I ini, kelompok yang dominan dalam setiap perlakuan adalah Hymenoptera. Makrofauna yang paling berlimpah adalah semut (Hymenoptera) karena secara jumlah hewan ini mendominasi populasi di
36
ekosistem darat dibandingkan hewan lain. Semut merupakan fauna yang hidupnya berkoloni dan membuat sarang di dalam tanah, dan dengan adanya LRB maka semakin banyak sarang yang dibuat karena dekat dengan sumber makanan yang berasal dari dekomposisi sisa tanaman yang menjadi bahan pengisi LRB. Hymenoptera memiliki peranan sebagai ecosystem engineer bersama cacing tanah dan rayap. Semut umumnya phytophagus dan dalam habitatnya akan menjadi predator bagi hewan yang lebih kecil. Tingginya kepadatan semut, akan mengurangi kepadatan predator lainnya seperti Coleoptera dan Aranae. Semut menyukai tempat yang lembab sampai panas (Wallwork, 1970) sehingga di wilayah gurun pun fauna ini masih dapat dijumpai dalam jumlah yang melimpah. Aktifitas makan setiap jenis semut berbeda-beda. Beberapa menjadi predator hewan lain, menjadi herbivor dengan menkonsumsi daun tanaman, jaringan kayu atau biji-bijian dan pemakan hifa atau fungi. Pada periode II, dimana kondisi padi gogo sudah terisi bulirnya dan anakan padi sudah banyak sehingga kondisi tanaman rimbun dan menutupi permukaan tanah. Jumlah fauna yang ditemukan pada periode II lebih banyak dibanding periode I. Pada perlakuan kontrol (T0) ditemukan 6 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Isoptera. Pada perlakuan teras gulud dengan saluran konvensional (T1) ditemukan 6 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Hymenoptera. Pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2) ditemukan 7 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Hymenoptera. Pada perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) ditemukan 4 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Hymenoptera. Pada perlakuan SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4) ditemukan 6 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Hymenoptera. Secara umum, pada periode II ini, kelompok yang dominan dari setiap perlakuan adalah Hymenoptera.
37
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 6. Fauna tanah yang sering ditemukan (a. Collembola, b. Acari, c. Centipede d. Hymenoptera) Pada periode III, kondisi tanaman sudah panen, beberapa tanaman dipangkas namun sisanya dibiarkan hingga melapuk. Keragaman fauna tanah di periode ini lebih tinggi daripada periode sebelumnya, karena pada periode setelah panen ini lebih banyak ditemukan sisa sisa tanaman yang digunakan oleh fauna tanah sebagai sumber makanannya sehingga jumlah dan keragaman fauna tanah meningkat. Pada perlakuan kontrol (T0) ditemukan 4 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Collembola. Pada perlakuan teras gulud dengan saluran konvensional (SK) ditemukan 5 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Acari. Pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2) ditemukan 4 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Acari. Pada perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) ditemukan 7 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Hymenoptera. Pada perlakuan SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4) ditemukan 6 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Collembola. Secara umum, pada periode III ini kelompok yang dominan dari setiap perlakuan adalah Acari dan Collembola.
38
Pada periode III, fauna tanah yang sering muncul adalah Acari dan Collembola. Keduanya adalah kelompok mikroarthtropoda yang memiliki distribusi yang luas di seluruh tanah dunia. Jenis Collembola yang sering muncul adalah Entomobrydae dan Isotomidae. Collembola digolongkan sebagai hewan saprophagus. Bahan organik yang biasa dicerna adalah hifa, spora fungi, sisa tanaman dan dan ganggang uniseluler (Wallwork, 1976). Peranan Collembola dalam tanah yaitu menghancurkan bahan organik menjadi ukuran yang lebih kecil kemudian fauna lain yang berukuran makro seperti cacing akan mencampurnya dari horison atas ke yang lebih bawah. Sedangkan Acari biasanya lebih berlimpah dibandingkan Collembola. Ukuran tubuh Acari akan mengecil seiring dengan kedalaman tanah tempat tinggalnya. Pada lahan ini, jenis Acari yang sering dijumpai adalah Prostigmatid dan Oribatida. Oribatida adalah fauna saprophagus, sedangkan Prostigmata merupakan jenis predator. Peranan Acari tidak jauh berbeda dengan
Collembola, yaitu sebagai penghancur bahan organik dan
dekomposer. Menurut Sugiyarto et al. (2007), keragaman fauna tanah dipengaruhi oleh variasi makanan yang tersedia di lingkungan. Lingkungan dengan vegetasi penutup lahan yang lambat melapuk umumnya memiliki kepadatan populasi makrofauna yang besar. Lavelle (1997) menyatakan keanekaragaman dan kepadatan populasi fauna tanah dipengaruhi oleh organisme tanah lainnya. Hal ini disebabkan semua organisme di dalam tanah saling berinteraksi, baik interaksi mutualisme ataupun saling memangsa membentuk food webs.
39
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Perlakuan yang mampu meningkatkan jumlah populasi dan keragaman fauna tanah adalah perlakuan T2 dimana terdapat lubang resapan biopori dan perlakuan T4 yang merupakan kombinasi lubang resapan biopori dan saluran peresapan biopori yang dinamakan teknologi peresapan biopori. Perlakuan T2 dan T4 memiliki jumlah bahan organik yang lebih tinggi sebagai sumber makanan dibandingkan perlakuan yang lain sehingga mampu menarik fauna tanah. Populasi fauna tanah pada lahan dengan kemiringan 5% lebih besar jika dibandingkan lahan dengan kemiringan 15%. Fauna tanah yang paling dominan pada lahan dengan kemiringan 5% adalah Centipede dan pada lahan dengan kemiringan 15% adalah Hymenoptera.
5.2 Saran Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui teknik pengambilan sampel hingga kedalaman 100 cm untuk mengetahui efektifitas penerapan lubang resapan biopori dalam meningkatkan populasi dan keragaman fauna tanah. hal ini dilakukan untuk mengetahui jenis fauna yang berada di sekitar lubang resapan biopori hingga kedalaman 100 cm.
40
VI.
DAFTAR PUSTAKA
Adianto. 1983. Biologi Pertanian : Pupuk Kandang, Pupuk Organik Nabati dan Insektisida. Alumni. Bandung. Anderson, J. M. 1994. Functional Attributes of Biodiversity in Landuse System: In D. J. Greenland and I. Szabolcs (Eds). Soil Resiliense and Sustainable Land Use. CAB International. Oxon. Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Jakarta. Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Borror, D. J., C. A. Triplehorn and N. F. Johnson. 1989. An Introduction to the Study of Insect. 6th ed. Sounders Colage Publishing. New York. Brata, K. R. dan N. Anne. 2008. Lubang Resapan Biopori. Penebar Swadaya. Jakarta. Burges, A. and F. Raw. 1967. Soil Biology. Academic Press, London. New York. Coleman, D. C., D. A. Cossley Jr., and P. F. Hendrix. 2004. Fundamental of Soil Ecology. 2nd ed. Elsevier Academic Press. London. Erniwati. 2008. Fauna Tanah pada Stratifikasi Lapisan Tanah Bekas Penambangan Emas Jampang, Sukabumi Selatan. Zoo Indonesia 17 (2) : 8595. Gobat, J. M., M. Aragno, and W. Matthey. 2004. The Living Soil : Fundamental of Soil Science and Soil Biology. Science Publishers, Inc. New Hampshire. Lavelle, P., D. Bignell, M. Lepage, V. Wolters, P. Ineson, O. W. Heal, and S. Dhillion. 1997. Soil function in a changing world: the role of invertebrate ecosystem engineers. Eur. J. Soil Biol., 33(4): 159-193. Lavelle, P. and A. V. Spain. 2001. Soil Ecology. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht. Ludwig, A. J. and F. J. Reynolds. 1988. Statistical Ecology : A Primer on Methods Computing. John Wiley. New York. Maftu’ah, E., M. Alwi dan M. Willis. 2005. Potensi Makrofauna Tanah sebagai Bioindikator Kualitas Tanah Gambut. Bioscientiae. Vol. 2, No. 1 : hal 1-14. Magurran, A. E. 1987. Ecological Diversity and Its Measurement. Chapman and Hall. London.
41
Meyer, E. 1996. Endogeic Macrofauna. In: Schinner, F, R. Ohlinger, E. Kandeler, R. Margesin (Eds.). 1996. Methods in Soil Biology. Springer-Verlag, Berlin. Nuril, H, B. Paul Naiola, E. Sambas, F. Syarif, M. sudiana, J.S Rahajoe, Suciatmih, T. Juhaeti & Y. Suhardjono. 1999. Perubahan Bioekofisik Lahan Bekas Penambangan Emas di Jampang dan Metoda Pendekatannya untuk upaya reklamasi. Laporan teknik Proyek Penelitian Pengembangan dan Pendayagunaan Potensi Wilayah, tahun 1998/1999. Puslitbang Biologi LIPI. Poerwowidodo. 1992. Metode Selidik Tanah. Usaha Nasional. Surabaya. Rahmawaty. 2000. Keanekaragaman Serangga Tanah dan Perannya pada Komunitas Rhizophora spp. dan Komunitas Ceriops Tagal di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Reddy, M. V. 1999. Management of Tropical Agroecosystem and The Beneficial Soil Biota. Science Publishers Inc. New Hampshire. Richards, B. N. 1974. Introduction to the Soil Ecosystem. Longman Inc. New York. Sarief, S. 1985. Konservasi Tanah dan Air. Pustaka Buana. Bandung. Siswati. 2001. Biodiversitas Makrobiota Tanah di Berbagai Tipe Penggunaan Lahan pada Andisol Pasir Sarongge. Skripsi. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Tanah, Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Sudarmo. 1996. Peranan Cacing Tanah dalam Ekosistem. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sugiyarto. 2007. Preferensi Berbagai Jenis Makrofauna Tanah terhadap Sisa Bahan Organik Tanaman pada Intensitas Cahaya Berbeda. Biodiversitas Vol. 7, No. 4 : hal 96-100. Suhardjono, Y. R. 1998. Serangga Serasah: Keanekaragaman Takson dan perannya di Kebun Raya bogor. Biota Vol.III (1): 16-24 Suin, N. M. 1997. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara. Jakarta. Sutedjo, M. M., A. G. Kartasapoetra dan RD. S. Sastroatmodjo. 1996. Mikrobiologi Tanah. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Szujecki, A. 1987. Ecology of Forest Insect. PWN-Polish Scientific Publisher. Warszawa.
42
Uhfresti, A. 2010. Serangga Tanah Sebagai Bioindikator Kesuburan Tanah. http:// Scientist Girl/.mht. [26 Juli 2010] Van der Drift, J. 1951. Analysis of The Animal Community In a Beech Forest Floor. Tijdschr Ent. 94 : 1-68 Wallwork, J. A. 1970. Ecology of Soil Animal. McGraw-Hill. London. Wallwork, J. A. 1976. The Diversity and Distribution of Soil Fauna. Academic Press. London. Widyastuti, R. 2004. Abundance, Biomass and Diversity of Soil Fauna at Different Ecosystems In Jakenan, Pati, Central Java. Jurnal Tanah dan Lingkungan,Vol. 6 No. I Wild. A. 1993. Soils and The Environment. Cambridge University Press. New York.
43
LAMPIRAN
44
Tabel Lampiran 1. Populasi Fauna Tanah pada Lereng 5% (Periode I) Lereng 5% Taksa Mesofauna Tanah Acari Collembola Jumlah Mesofauna Makrofauna Tanah Hymenoptera Coleoptera Centipede Orthoptera Diptera Isoptera Homoptera Isopoda Symphila Lepidoptera Aranae Pseudoscorpione Palpigradi Diplura Zoraptera Thysanoptera Solifugae Pauropoda Hemiptera Jumlah Mesofauna & Makrofauna Oligochaeta Jumlah Total Fauna SDI NI N2
Periode I Jumlah (Individu/m²) T1 T2 T3
T4
0 0 0
43 43 86
43 86 129
172 43 216
302 129 431
0 86 259 172 0 0 0 0 172 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 690 0 690 1,32 3,74 1
0 172 345 86 0 0 0 0 0 43 0 0 0 0 0 0 0 0 0 733 0 733 1,45 4,26 1
0 43 0 259 0 43 259 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 733 0 733 1,49 4,43 1
0 259 216 86 43 0 0 0 0 43 0 0 0 0 0 0 0 0 0 862 43 905 1,52 4,57 1
0 172 1078 302 43 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2026 43 2069 1,51 4,52 1
To
45
Tabel Lampiran 2. Populasi Fauna Tanah pada Lereng 5% (Periode II) Lereng 5% Taksa Mesofauna Tanah Acari Collembola Jumlah Mesofauna Makrofauna Tanah Hymenoptera Coleoptera Centipede Orthoptera Diptera Isoptera Homoptera Isopoda Symphila Lepidoptera Aranae Pseudoscorpione Palpigradi Diplura Zoraptera Thysanoptera Solifugae Pauropoda Hemiptera Jumlah Mesofauna & Makrofauna Oligochaeta Jumlah Total Fauna SDI NI N2
To
Periode II Jumlah (Individu/m²) T1 T2 T3
T4
172 388 560
129 517 647
345 474 819
172 302 474
302 302 603
517 129 86 43 0 0 0 172 0 0 43 0 0 0 0 0 0 0 0 1552 0 1552 1,77 5,87 1
474 560 216 0 43 0 0 129 0 0 0 0 0 0 43 0 0 0 0 2112 0 2112 1,77 5,87 1
129 690 259 86 43 302 0 172 0 86 129 0 0 0 43 86 0 0 0 2845 86 2931 1,29 3,63 1
603 302 129 129 0 86 0 216 0 43 86 0 0 0 0 43 0 43 86 2241 0 2241 1,29 3,63 1
172 345 302 43 86 129 0 431 0 43 86 0 0 0 0 0 0 86 0 2328 86 2414 1,47 4,34 1
46
Tabel Lampiran 3. Populasi Fauna Tanah pada Lereng 5% (Periode III) Lereng 5% Taksa Mesofauna Tanah Acari Collembola Jumlah Mesofauna Makrofauna Tanah Hymenoptera Coleoptera Centipede Orthoptera Diptera Isoptera Homoptera Isopoda Symphila Lepidoptera Aranae Pseudoscorpione Palpigradi Diplura Zoraptera Thysanoptera Solifugae Pauropoda Hemiptera Jumlah Mesofauna & Makrofauna Oligochaeta Jumlah Total Fauna SDI NI N2
Periode III Jumlah (Individu/m²) T1 T2 T3
T4
345 733 1078
302 302 603
259 690 948
172 474 647
388 603 991
43 259 647 0 86 0 0 0 0 0 0 0 0 43 0 0 0 0 0 2155 0 2155 1,56 4,75 1
43 43 345 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 43 0 0 0 0 0 1078 0 1078 1,46 4,3 1
216 43 172 0 43 2026 0 86 0 0 0 0 0 43 0 0 0 0 0 3578 43 3621 1,44 4,22 1
0 259 474 43 0 43 0 86 259 0 43 0 0 43 43 0 0 0 0 1940 43 1983 2,06 7,84 1
560 345 129 43 0 0 0 86 0 0 0 0 0 43 0 0 0 0 0 2198 86 2284 1,84 6,29 1
To
47
Tabel Lampiran 4. Populasi Fauna Tanah pada Lereng 15% (Periode I) Lereng 15% Taksa Mesofauna Tanah Acari Collembola Jumlah Mesofauna Makrofauna Tanah Hymenoptera Coleoptera Centipede Orthoptera Diptera Isoptera Homoptera Isopoda Symphila Lepidoptera Aranae Pseudoscorpione Palpigradi Diplura Zoraptera Thysanoptera Solifugae Pauropoda Hemiptera Jumlah Mesofauna & Makrofauna Oligochaeta Jumlah Total Fauna SDI NI N2
To
Periode I Jumlah (Individu/m²) T1 T2 T3
T4
129 43 172
43 0 43
86 129 216
129 43 172
172 302 474
172 86 0 0 129 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 560 0 560 1,52 4.57 1
129 43 0 43 0 129 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 388 0 388 1,46 4,3 1
0 129 86 43 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 474 43 517 1,71 5,52 1
172 216 43 86 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 690 86 776 1,8 6,04 1
431 302 86 43 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1336 86 1422 1,72 5,58 1
48
Tabel Lampiran 5. Populasi Fauna Tanah pada Lereng 15% (Periode II) Lereng 15% Taksa Mesofauna Tanah Acari Collembola Jumlah Mesofauna Makrofauna Tanah Hymenoptera Coleoptera Centipede Orthoptera Diptera Isoptera Homoptera Isopoda Symphila Lepidoptera Aranae Pseudoscorpione Palpigradi Diplura Zoraptera Thysanoptera Solifugae Pauropoda Hemiptera Jumlah Mesofauna & Makrofauna Oligochaeta Jumlah Total Fauna SDI NI N2
To
Periode II Jumlah (Individu/m²) T1 T2 T3
T4
302 345 647
302 216 517
302 388 690
1379 0 1379
302 474 776
259 43 129 43 0 690 0 86 0 0 86 0 0 0 0 0 0 0 0 1983 86 2069 1,94 6,95 1
388 0 259 43 129 0 0 43 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1379 216 1595 1,89 6,61 1
560 0 172 0 43 0 0 302 0 129 0 43 86 86 0 0 0 0 0 2112 302 2414 2,14 8,5 1
1466 474 345 86 172 259 0 172 0 43 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4397 86 4483 1,46 4,3 1
1034 560 43 86 43 0 0 86 0 0 43 129 0 0 0 0 0 0 0 2802 129 2931 1,88 6,55 1
49
Tabel Lampiran 6. Populasi Fauna Tanah pada Lereng 15% (Periode III) Lereng 15% Taksa Mesofauna Tanah Acari Collembola Jumlah Mesofauna Makrofauna Tanah Hymenoptera Coleoptera Centipede Orthoptera Diptera Isoptera Homoptera Isopoda Symphila Lepidoptera Aranae Pseudoscorpione Palpigradi Diplura Zoraptera Thysanoptera Solifugae Pauropoda Hemiptera Jumlah Mesofauna & Makrofauna Oligochaeta Jumlah Total Fauna SDI NI N2
To
Periode III Jumlah (Individu/m²) T1 T2 T3
T4
172 474 647
603 216 819
560 474 1034
603 216 819
259 517 776
172 172 216 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1207 0 1207 1,51 4,52 1
129 86 388 0 43 0 0 0 0 0 0 86 0 43 86 0 0 43 0 1724 86 1810 1,99 7,31 1
129 172 733 0 129 0 0 0 0 0 0 43 0 0 43 0 43 0 0 2328 86 2414 1,86 6,42 1
862 172 560 43 0 0 0 43 0 0 86 43 0 172 129 0 0 0 0 2931 86 3017 2,03 7,61 1
43 259 388 0 0 129 0 0 0 0 0 86 0 43 0 0 0 0 0 1724 86 1810 1,90 6,68 1
50
Tabel Lampiran 7. Hasil Pengukuran Curah Hujan, Aliran Permukaan dan Erosi (Andreas, 2010) Aliran permukaan Erosi (ton/ha) Curah hujan (m3/ha) Tanggal hujan (mm) 5% 15% 5% 15% 03/10/2009 343 90,42 64,97 3,12 6,83 20/10/2009 127 87,89 82,67 3,43 10,05 29/10/2009 206 23,33 36,42 0,00 1,77 08/02/2010 441 63,66 93,75 1,92 4,80 11/02/2010 343 67,52 78,80 1,70 2,13 13/02/2010 245 39,19 66,47 0,28 2,65 Tabel Lampiran 8. Hasil Analisis Kandungan Hara dalam Tanah (Andreas, 2010) 5% (kg/ha) 15% (kg/ha) Perlakuan C-organik P-tersedia N-total C-organik P-tersedia N-total T1 74060,07 0,26 50,82 565,19 0,31 48,37 T2 93841,10 0,35 70,82 655,55 0,37 61,09 T3 150336,73 0,45 94,76 1021,03 0,50 82,76 T4 113056,52 0,46 103,97 878,01 0,53 84,75 Tabel Lampiran 9. Hasil Pengukuran Sifat Fisik Tanah (Andreas, 2010) T0 T1 T2 T3 Jenis Analisis Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir BI 0,94 0,92 0,91 0,90 0,99 0,97 0,98 0,94 (g/cm3) Tekstur Lempung liat berdebu Agregat Stabil Kadar 41,27 44,49 41,27 45,08 40,24 42,56 42,24 44,40 Air (%) Porositas 64,62 65,37 65,60 65,98 62,76 63,52 62,98 64,49 (%) pH 5,9 6,1 6,1 6,2 6,2 6,1 6,2 6,4
T4 Awal
Akhir
0,99
0,87
42,24
45,63
62,76
67,28
6,1
6,3