Policy Paper Peraturan Desa Tentang Ekowisata Damar Hitam: Apakah Telah Menjadi Solusi Bagi Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Lestari? (Analisa kebijakan tingkat lokal dari aspek problem structuring)
Ni Putu Sarilani Wirawan NPM: 1006742522
MAGISTER PSIKOLOGI TERAPAN – INTERVENSI SOSIAL FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2011
Ringkasan Eksekutif Peraturan Desa (Perdes) Nomor 01 Tahun 2010 tentang Kawasan Ekowisata Damar Hitam disusun sebagai kontribusi tingkat desa untuk
mengatasi ancaman
meluasnya
perambahan hutan dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara. Secara mendasar, peraturan desa ini disusun untuk menyelamatkan hutan yang masih alami dengan strategi pendekatan ekowisata untuk menjamin kegiatan perlindungan dan pengawasan hutan TNGL dari ancaman perambahan. Materi dalam perdes ini berisikan perlindungan hutan dan rencana pembentukan ekowisata di masa yang akan datang terhadap wilayah hutan yang masih dalam kondisi baik (belum mengalami kerusakan). Namun demikian terdapat beberapa tantangan dalam efektifitas perdes ini. Oleh karena itu, permasalahan yang dikaji di dalam policy paper ini berkaitan dengan proses penyusunan peraturan desa. Policy paper ini memberikan argumentasi bahwa agar suatu peraturan di tingkat lokal dapat efektif, para pemangku kepentingan yang terlibat dalam pembuatan (serta penegakan) peraturan tingkat lokal ini perlu memiliki pengetahuan yang cukup mengenai faktor psikologis yang mempengaruhi internalisasi norma oleh suatu komunitas, pengetahuan mengenai permasalahan, perilaku manusia yang terkait dengan permasalahan tersebut, serta solusi yang ditawarkan melalui suatu peraturan desa. Pada akhirnya, beberapa rekomendasi akan diberikan untuk dapat meningkatkan kualitas dari pembuatan peraturan desa (sehingga mampu efektif di dalam penegakannya), terutama terkait pengelolaan sumberdaya alam di tingkat masyarakat lokal, dari aspek problem structuring di dalam proses pembuatan peraturan. Kajian kebijakan ini disusun untuk menjangkau para aktivis konservasi di tingkat lapang yang secara aktif memfasilitasi proses-proses penyusunan kebijakan di tingkat desa yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam. Harapan dari penyusunan policy paper ini adalah dengan membaiknya proses penyusunan kebijakan di tingkat lokal, maka penerapan
1
nya juga akan menjadi semakin efektif yang akan berkontribusi pada semakin efektifnya penyelesaian tantangan-tantangan pengelolaan sumberdaya alam oleh komunitas lokal. Rekomendasi yang diberikan untuk kajian terhadap Peraturan Desa tentang Ekowisata Damar Hitam, adalah opsi: Tidak me rubah perdes yang telah ada namun melakukan seperangkat intervensi terpadu untuk me mberikan kekuatan non-formal terhadap perdes ini. Sementara itu, bagi para aktivis konservasi di tingkat lapang yang secara aktif memfasilitasi proses penyusunan kebijakan di tingkat desa yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam maka direkomendasikan opsi: menyusun perdes baru melalui problem structuring yang tepat dan proses yang memperhatikan prinsip pengelolaan komunitas dalam mengembangkan internalisasi terhadap norma baru.
2
Daftar Isi
Ringkasan Eksekutif .................................................................................................................. 1 Daftar Isi .................................................................................................................................... 3 1.
Pendahuluan........................................................................................................................ 4 1.1. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL): Ilustrasi Tantangan Pengelolaan Wilayah Konservasi di Indonesia ......................................................................................................... 4
2.
1.2.
Peraturan Desa Tentang Kawasan Ekowisata Damar Hitam: Suatu Proses Panjang.. 6
1.3.
Peraturan Desa Tentang Kawasan Ekowisata Damar Hitam: Suatu Kenyataan ......... 9
1.4.
Permasalahan Utama ................................................................................................. 10
Evaluasi dan Argumentasi ................................................................................................ 12 2.1.
Pendekatan Psikologis dalam Proses Penetapan Peraturan bagi Komunitas ............ 12
2.2.
Argumentasi : Efektifitas Proses Penyusunan Perdes ............................................... 16
2.3.
Argumentasi: Efektifitas Penerapan Perdes .............................................................. 18
3.
Policy Options .................................................................................................................. 20
4.
Rekomendasi Kebijakan ................................................................................................... 24
Daftar Pustaka .......................................................................................................................... 26 Lampiran A: Peraturan Desa Tentang Ekowisata Damar Hitam ............................................. 28 Lampiran B: PP RI No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa............................................................ 36 Lampiran C: Peraturan Mendagri No. 29 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa ................................................................................. 74
3
1.
Pendahuluan 1.1. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL): Ilustrasi Tantangan Pengelolaan Wilayah Konservasi di Indonesia Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) seluas 1.094.692 hektar
merupakan suatu
kawasan konservasi yang terletak di dua propinsi Indonesia yaitu Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam (Center, 2009).
TNGL juga merupakan salah satu dari 2
kawasan konservasi lainnya (Taman Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan) yang telah ditetapkan oleh badan dunia United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai “Tropical Rainforest Heritage of Sumatra” atau Warisan Dunia Hutan Tropis Sumatra (Tropical Rainforest of Sumatra, 2004). Pengertian kawasan konservasi adalah
kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya (UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Konservasi Suaka Alam dan Konservasi Pelestarian Alam). Salah satu contoh bentuk kawasan konservasi adalah Taman Nasional. Penetapan kawasan konservasi merupakan implementasi strategi konservasi ekosistem dan strategi konservasi in-situ yang diarahkan sebagai fungsi pokok perlindungan/suaka dan pelestarian alam. TNGL merupakan suatu kawasan konservasi yang memiliki nilai penting dari kekayaan flora dan faunanya, juga dari sisi layanan ekologis. Dari sisi keanekaragaman hayati, kawasan ekosistem Leuser merupakan habitat (tempat tinggal) terbesar bagi Orangutan Sumatera (Pongo abelii). Orangutan Sumatra merupakan jenis satwa endemik (jenis satwa yang hanya dapat ditemui di tempat tertentu) Sumatra. Dari sisi nilai layanan ekologis, tutupan dan struktur ekosistemnya memiliki fungsi penting dalam memelihara ketersediaan air, iklim, serta system penyangga kehidupan lainnya (Tentang TNGL).
4
TNGL sebagai suatu kawasan Taman Nasional (TN) merupakan kawasan pelestarian alam, yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Namun demikian di dalam pengelolaannya, kawasan ini menghadapi berbagai tantangan yang mengancam kelangsungan kelestarian dan keberadaan ekosistem dan kekayaan alam di dalamnya. Berdasarkan nomenklatur ancaman konservasi yang ditetapkan oleh International Union of Nature Conservation (IUCN), beberapa ancaman terhadap kelangsungan kelestarian TNGL adalah: Kategori ancaman IUCN : 7 (perubahan (modifikasi) sistem alami) : 7.3. modifikasi ekosistem lainnya Perambahan kawasan hutan: aktivitas membuka kawasan hutan TNGL menjadi perkebunan skala besar dan kecil telah mengakibatkan kerusakan habitat dan ekosistem. Kategori ancaman IUCN : 5 (penggunaan sumber daya biologi) : 5.3. penebangan kayu & pemanenan kayu Illegal loging (penebangan hutan): sampai dengan
tahun 2006 perusakan hutan
dengan penebangan liar menjadi kegiatan yang sangat mengancam kawasan TNGL wilayah Besitang. Kategori ancaman IUCN : 1 (pembangunan hunian & komersil : 1.1. wilayah perumahan Pendudukan kawasan TNGL oleh eks pengungsi asal Aceh, sebagai akibat konflik militer Aceh (disusul dengan bencana tsunami): Menurut data Balai Besar TNGL tahun 2007 pengungsi yang membuka hutan menjadi pemukiman dan perladangan mencapai ± 500 kepala keluarga.
5
Kategori ancaman IUCN: 5 (Penggunaan Sumber Daya Alam Hayati): 5.1 Perburuan dan pengambilan hewan daratan. Perburuan (Perburuan & Pengambilan Hewan Daratan): Kebiasaan atau kegemaran memasang jerat, serta masuknya satwa termasuk orangutan dan gajah ke area ladang masyarakat memicu perburuan yang berakibat pada ancaman berkurangnya populasi satwa liar Yayasan Orangutan Sumatra Lestari – Orangutan Information Center (YOSL-OIC) adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal yang berkantor pusat di Medan yang memiliki perhatian terhadap kelestarian orangutan Sumatra.
Lembaga ini didirikan
pada tahun 2002. Sejak tahun 2007, lembaga ini memfokuskan kegiatan di Kawasan TNGL Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang (Kecamatan Besitang, Sei Lepan, dan Batang Serangan di Kabupaten Langkat) melalui program penyadaran dan peningkatan partisipasi masyarakat setempat terhadap usaha-usaha konservasi di area ini. Wilayah VI Besitang ini memiliki luas ± 126.000 ha dengan tantangan pengelolaan kawasan yang cukup kompleks. Data luas kerusakan kawasan TNGL di wilayah Kabupaten Langkat sendiri menurut hasil penafsiran Citra Landsat tahun 2002 menunjukkan kerusakan seluas 43.623 Ha termasuk kawasan bukan berupa hutan seluas 20.688 Ha (Ismail, 2010). Penyelesaian secara menyeluruh terhadap permasalahan kerusakan kawasan TNGL menjadi agenda utama dari pengelolaan kawasan oleh Balai TNGL bekerja sama dengan semua pihak terkait dan pelibatan masyarakat. 1.2. Peraturan Desa Tentang Kawasan Ekowisata Damar Hitam: Suatu Proses Panjang Terkait dengan usaha mengatasi tantangan dalam pengelolaan kawasan TNGL, kelompok masyarakat Desa Mekar Makmur dengan fasilitasi dari beberapa lembaga telah mengembangkan dan menyusun sebuah peraturan desa (perdes). Peraturan di tingkat lokal
6
ini disebut Peraturan Desa (Perdes) Nomor 01 Tahun 2010 tentang Kawasan Ekowisata Damar Hitam. Lokakarya penetapan Perdes ini dilaksanakan bekerjasama dengan Conservation Response Unit- Flora Fauna International (CRU-FFI), Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser dan UNESCO pada bulan Februari 2010. Peserta lokakarya ini terdari dari para kepala dusun (dari 6 dusun yang ada di Desa Mekar Makmur), anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LKMD), perwakilan perempuan dari kelompok PKK, pemuda, Balai Besar TNGL, dan LSM. Lokakarya berlangsung selama satu hari dari pukul 8 pagi hingga 6 sore. Lokakarya dilakukan untuk menyusun dan menyepakati sebuah kebijakan di tingkat lokal yaitu di Desa Mekar Makmur untuk melindungi hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) khususnya di wilayah kecamatan Sei Lepan. Secara substantif, peraturan desa ini disusun untuk menyelamatkan hutan yang masih alami dengan strategi pendekatan ekowisata untuk menjamin kegiatan perlindungan dan pengawasan hutan TNGL dari ancaman perambahan. Oleh karena itulah, perdes ini kemudian berisikan perlindungan hutan dan rencana pembentukan ekowisata di masa yang akan datang terhadap wilayah hutan yang masih dalam kondisi baik (belum mengalami kerusakan). Luas kawasan hutan yang dilindungi di dalam Perdes ini seluas 8325 hektar (terletak pada koordinat 030 10‟12.3‟‟ LU, 980 06‟10.5‟ BT s/d 030 50‟44.1‟‟ LU, 980 10‟15.9‟ BT). Namun sesungguhnya, lokakarya ini merupakan suatu bagian dari sebuah proses panjang dalam penyusunan perdes ini. Inisiatif dan proses penyusunan perdes ini telah dimulai sejak tahun 2007 oleh CRU-FFI melalui beberapa pendekatan informal kepada tokoh-tokoh masyarakat Desa Mekar Makmur. Kehadiran dua kelompok pengungsi (pasca konflik militer di Aceh) di wilayah kecamatan Sei Lepan pada saat itu dikhawatirkan akan mempengaruhi meluasnya area kawasan konservasi yang dirambah. Kebijakan di tingkat desa, diharapkan dapat membantu memperkuat perundang- undangan tingkat nasional terkait pengelolaan
7
TNGL serta memberi ruang pada kelompok masyarakat desa untuk berperan aktif mencegah perluasan area hutan yang dirusak. Di dalam rangkaian proses tersebut, dibentuklah Lembaga Permata Rimba Damar Hitam (pada 27 Maret 2007) atau disebut juga LPRD, dengan harapan lembaga di tingkat desa ini mampu mengawal, mengimplementasikan, dan mengawasi pelaksanaan perdes yang disusun, serta sebagai langkah awal dalam menjawab keinginan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata di desa ini. Namun demikian, proses penyusunan perdes ini mengalami tantangan dengan adanya keterbatasan sumberdaya yang kemudian memperlambat proses penyusunan peraturan di tingkat desa ini maupun pengembangan kelembagaan LPRD. Sebuah kampanye perubahan perilaku dengan pendekatan sosial- marketing yang dilakukan oleh YOSL-OIC
(2008 - 2010) kemudian mengingatkan para pemangku
kepentingan mengenai rancangan perdes yang pernah didiskusikan ini. Bagi YOSL-OIC, inisiatif perdes ini dianggap akan menjadi faktor penguat dalam usaha menangani meluaskan perambahan kawasan TNGL, terutama terkait dengan fokus kampanye yang bertujuan untuk memperkenalkan pertanian tumpangsari di antara tanaman karet dan sawit untuk mengurangi keinginan terhadap kebutuhan perluasan lahan yang mengancam kela ngsungan hutan di kawasan TNGL. Berkaitan dengan hal inilah maka YOSL-OIC bersama dengan CRU-FFI, Balai Besar TNGL, dan perwakilan dari UNESCO memutuskan untuk melakukan lokakarya penyusunan perdes dengan harapan perdes dapat didiskusikan bersama dengan pemangku kepentingan dan ditandatangani sehingga dapat disosialisasikan dan segera dapat diterapkan. Sebagai persiapan dari lokakarya ini, rancangan awal yang pernah didiskusikan dikumpulkan kembali dan disusun menjadi panduan dan materi diskusi. Ismail (personal communication, 1 Juni 2011) dari YOSL-OIC menjelaskan bahwa di dalam proses lokakarya, rancangan pasal-pasal yang telah ada didiskusikan melalui pembagian komisi kemudian dipresentasikan kepada seluruh peserta untuk mendapatkan umpan balik dan kesepakatan terhadap muatan isi
8
dari pasal tersebut. Pada akhir lokakarya, rancangan perdes disahkan melalui tandatangan BPD dan Kepala Desa, disertai mengirimkan tembusan kepada Kepala Daerah Kabupaten Langkat. Pengesahan perdes ini kemudian diikuti dengan langkah sosialisasi kepada seluruh masyarakat desa. Perdes dibuatkan salinannya lalu disebarluaskan kepada anggota masyarakat melalui Kepala Dusun.
Perdes juga disosialisasikan oleh LPRD kepada
kelompok pengungsi yang menempati area hutan Leuser blok Damar Hitam Desa Mekar Makmur. 1.3. Peraturan Desa Tentang Kawasan Ekowisata Damar Hitam: Suatu Kenyataan Pasca penandatangan perdes dan sosialisasi di seluruh dusun yang ada di Desa Mekar Makmur terdapat beberapa kenyataan dari implementasi perdes ini. Pengesahan perdes pada beberapa dusun telah membangkitkan semangat konservasi sumberdaya alam. Salah satu contohnya adalah dengan adanya Pasal 13 mengenai Lubuk Larangan, dusun merasa penting untuk mengelola sumberdaya air/sungai dan mengatur penangkapan ikan menggunakan alat tangkap yang tidak merusak untuk menjamin tetap tersedianya sumberdaya alam secara jangka panjang (Ismail, personal communication, 1 Juni 2011). Pada sisi lain, penegakan perdes ini juga menghadapi tantangan. Pada kenyataannya, ketika kegiatan perambahan dilakukan oleh orang-orang di luar Desa Mekar Makmur, perdes menjadi tidak efektif karena keengganan menerapkan sanksi kepada pelaku. Walaupun perdes juga dirancang untuk mengikat kepada orang-orang di luar desa yang melanggar ketentuan, namun karena pengelolaan TNGL secara umum juga berada di dalam kebijakan di tingkat yang lebih tinggi daripada perdes, pihak Desa merasa bahwa ketika yang melakukan pelanggaran adalah orang di luar desa maka selayaknya pihak TNGL perlu mengambil tindakan (Ismail, personal communication, 1 Juni 2011). Ketika kegiatan melanggar
9
perundangan kawasan konservasi tidak mendapatkan sanksi dari pihak pengelola kawasan konservasi, pihak desa akhirnya juga merasa tidak perlu mengambil tindakan karena kekuatiran terhadap implikasi yang mungkin terjadi. Tantangan lainnya adalah, LPRD yang diharapkan menjadi penggerak dan pengawas dari pemberlakukan perdes hingga saat ini kapasitasnya belum berkembang sebagaimana diharapkan karena masih terdapat sifat ketergantungan terhadap bantuan dari luar lembaga/luar desa dan belum dapat bergerak secara mandiri. 1.4. Permasalahan Utama Masalah dari policy paper ini berkaitan dengan proses penyusunan peraturan desa, termasuk di dalamnya kejelasan pengertian/definisi dari beberapa terminologi yang digunakan serta hubungan antara tantangan konservasi dan isi peraturan desa itu sendiri. Policy paper ini memberikan argumentasi bahwa agar suatu peraturan di tingkat lokal dapat efektif, para pemangku kepentingan yang terlibat dalam pembuatan (serta penegakan) peraturan tingkat lokal ini perlu memiliki pengetahuan yang cukup faktor psikologis yang mempengaruhi internalisasi
norma
oleh suatu komunitas,
pengetahuan
mengenai
permasalahan, perilaku manusia yang terkait dengan permasalahan tersebut, serta solusi (dalam bentuk manfaat atau pun sanksi) yang ditawarkan melalui suatu peraturan di tingkat lokal. Pada akhirnya, beberapa rekomendasi akan diberikan untuk dapat meningkatkan kualitas dari pembuatan peraturan desa (sehingga mampu efektif di dalam penegakannya), terutama terkait pengelolaan sumberdaya alam di tingkat masyarakat lokal, dari aspek problem structuring di dalam proses pembuatan peraturan. Sistematika penyusunan policy paper ini adalah sebagai berikut: -
Bab Pendahuluan: menjelaskan konteks pengelolaan kawasan konservasi di TNGL sebagai salah satu pendorong pembentukan peraturan tingkat lokal, proses pembuatan
10
peraturan desa, serta efektifitas peraturan desa ini terkait dengan proses dan aspek strukturisasi permasalahan di dalam peraturan desa ini. -
Bab Analisa Kebijakan: memaparkan kajian teoritis dari sudut pandang psikologis, serta evaluasi terhadap efektifitas proses pembuatan dan penerapan peraturan terkait
-
Bab Pilihan Kebijakan: memaparkan beberapa solusi alternatif terhadap proses maupun solusi lainnya
-
Bab Rekomendasi: menjelaskan rekomendasi yang dapat diterapkan pada proses penyusunan peraturan desa lainnya dengan mempertimbangkan aspek perilaku manusia dan masalah lingkungan yang coba diatasi. Kajian kebijakan ini disusun untuk menjangkau para aktivis konservasi di tingkat lapang
yang secara aktif memfasilitasi proses-proses penyusunan kebijakan di tingkat desa yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam. Harapan dari penyusunan policy paper ini adalah dengan membaiknya proses penyusunan kebijakan di tingkat lokal, maka penerapan nya juga akan menjadi semakin efektif yang akan berkontribusi pada semakin efektifnya penyelesaian tantangan-tantangan pengelolaan sumberdaya alam oleh komunitas lokal.
11
2.
Evaluasi dan Argumentasi 2.1. Pendekatan Psikologis dalam Proses Penetapan Peraturan bagi Komunitas Di era otonomi daerah, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 72 tahun 2005
menyediakan ruang legal kepada pemerintah desa untuk mengatur dan mengelola desa melalui pembentukan peraturan desa (Pasal 5 ayat 2). Selanjutnya, arahan yang lebih detail dalam pembentukan dan mekanisme penyusunan Peraturan Desa diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2006. Sayangnya, pedoman ini lebih banyak memuat hal- hal teknis terkait penulisan dan format, serta tidak menyediakan panduan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan permasalahan secara tepat maupun penjelasan mengenai proses yang idealnya dilakukan (selain bahwa masyarakat dapat memberikan masukan secara lisan/tertulis). Di dalam konteks psikologi sosial, aturan yang di dalam kelompok yang mengindikasikan bagaimana anggota kelompok harus atau tidak harus bertindak disebut dengan norma (Baron et al, 2008 dalam Halida, 2009). Norma dibedakan menjadi dua jenis yaitu injunctive norm dan descriptive norm (Hafiyah, 2009). Injunctive norm adalah perilaku yang seharusnya dilakukan dan umumnya dinyatakan secara eksplisit atau pun tertulis; sedangkan descriptive norm adalah perilaku yang umumnya ditampilkan oleh kebanyakan orang.
Peraturan desa
merupakan suatu bentuk injunctive norm sebagai cara untuk mengelola komponen-komponen yang ada di dalam pemerintah desa. Namun demikian, secara teoritis, injunctive norm cenderung diabaikan dibandingkan dengan descriptive norm (Hafiyah, 2009). Pentingnya partisipasi para pengguna sumberdaya alam (resource users) serta peranan norma deskriptif dalam hal ini menunjukkan bahwa teori psikologi sosial mengenai pengaruh sosial (sosial influence) terutama terkait norma sosial dan konformitas me miliki relevansi yang mendasar bagi efektifitas penerapan suatu aturan pengelolaan sumberdaya alam di tingkat lokal.
12
Pengaruh sosial (social influence) didefinisikan sebagai usaha untuk mengubah sikap, kepercayaan (belief), persepsi, atau pun tingkah laku satu atau beberapa orang lainnya (Cialdini, 1994 dalam Hafiyah, 2009). Terdapat tiga tipe pengaruh sosial yang penting yaitu: konformitas (conformity), ketaatan (compliance), dan kepatuhan terhadap otoritas (obedience).
Norma sosial diikuti oleh manusia jika terdapat tekanan-tekanan untuk
bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan sosial. Hollander (1981) menyebutkan bahwa konformitas dan non konformitas merupakan hasil dari kebebasan individual (individual freedom) dalam menentukan pilihan. Lebih detil disebutkan bahwa konformitas dan non-konformitas merupakan bagian dari suatu proses yang sama dalam membuat keputusan diantara alternatif yang tersedia. Selanjutnya, adanya aturan/norma deskriptif serta sanksi dan reward yang berasosiasi dengan perilaku konformis dapat terbentuk jika anggota masyarakat desa memiliki intensi untuk membangun kesepakatan dalam mengelola sumberdaya alamnya (Ajzen, 1991). Budaya kolektif (Triandis, 1990 dalam Bond & Smith, 1996)
yang ditandai dengan
terbangunnya tujuan bersama (shared goal) yang dipengaruhi dari adanya anggapan bahwa permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya hutan merupakan masalah bersama, serta adanya sikap positif, norma subyektif, dan mudahnya melakukan kendali perilaku (Ajzen, 1991) akan memberikan kontribusi terhadap munculnya intensi ini. Pengelolaan sumberdaya hutan dan tantangannya memberikan ilustrasi terhadap konsep “Tragedy of the Common” yang dikemukakan oleh Garett Hardin pada tahun 1968. Konsep „Tragedy of the Common” menjelaskan terjadinya degradasi lingkungan yang terjadi ketika terdapat banyak pengguna sumberdaya terhadap sumberdaya yang tersedia secara terbatas. Hardin menyebutkan bahwa pengguna sumberdaya bersama (common resource) – yang dimungkinkan karena adanya akses terbuka - seringkali terlibat dalam proses yang pada akhirnya merusak sumberdaya dimana para pengguna tersebut tergantung.
13
Secara lebih spesifik, Ophuls (1973, 1977, dalam Gardner & Stern, 1996)
telah
mengidentifikasi penggunaan peraturan pemerintah, aturan dan insentif sebagai salah satu dari empat tipe solusi dasar atau cara-cara untuk mendukung perilaku individual terhadap sumberdaya kepemilikan bersama. Menurut Hardin ( 1960, dalam Gardner & Stern, 1996) kelemahan terbesar dari tragedy of the common adalah keinginan manusia untuk menguntungkan diri sendiri secara individual, yang dikombinasikan dengan sumberdaya yang bebas tapi tersedia terbatas dan akses yang bebas, berpotens i menghalangi konservasi sumberdaya dan mengakibatkan kerusakan lingkungan. Hardin menyatakan hanya ada dua solusi untuk mengatasi hal ini, yaitu membatasi akses dan membuat sumberdaya menjadi mahal. Kedua solusi ini memiliki pendekatan yang serupa, yaitu merubah insentif yang diterima oleh individu. Insentif dijelaskan sebagai kondisi positif dan negatif yang meliputi perilaku. Insentif negatif sering juga disebut sebagai disinsentif. Sementara itu, teori belajar operan dari Skinner menjelaskan bahwa perilaku dipelajari melalui proses dimana perilaku berulang adalah fungsi dari konsekuensi-konsekuensi yang diterima. Di dalam tragedy of the common, perilaku memanfaatkan sumberdaya bersama dijelaskan melalui dua alasan: adanya reward yang diterima dari orang yang menggunakan sumberdaya , sementara biaya dikeluarkan oleh orang lain; serta rewards diterima lebih dekat dengan perilaku yang ditampilkan daripada biaya. Perlu untuk selalu diingat bahwa insentif juga dapat memberikan dampak yang tidak diharapkan, positif maupun negatif. Selain itu efektifitas insentif seringkali sangat tergantung pada strategi lain yang diterapkan pada saat bersamaan, terutama pemberian informasi. Selanjutnya di dalam konteks pengorganisasian komunitas, terdapat beberapa hal kunci, yaitu: pengambilan keputusan yang partisipatif, monitoring, norma sosial, dan sanksi sosial (Gardner & Stern, 1996). Hardin (1968 dalam Gardner & Stern, 1996) menambahkan bahwa
14
untuk kesuksesan pengorganisasian komunitas dalam mengelola sumberdaya alam maka diperlukan kontrol terhadap perilaku individu. Berkaitan dengan hal ini, pada bagian lain, Gardner dan Stern (1996) menjelaskan jawaban terhadap pertanyaan: bagaimana seperangkat peraturan pengelolaa n komunitas mampu merubah perilaku individual? Bagaimana caranya individu mau mematuhi peraturan ketika manfaat yang diterima lebih besar ketika ia melanggar peraturan? Dalam konteks ini, bagaimana seorang petani atau anggota masyarakat mau mematuhi peraturan untuk melindungi hutan di kawasan TNGL, ketika manfaat dari merambah hutan dirasakan lebih besar? Gardner dan Stern (1996) menyatakan bahwa satu alasan penting mengapa kebanyakan orang mau melakukan yang terbaik bagi kelompok dan sumberdaya adalah karena adanya internalisasi terhadap kepentingan kelompok (dibandingkan karena adanya ketaatan/ compliance terhadap aturan).
Ketaatan hanya bekerja dengan baik ketika orang-orang
berharap akan ada hukuman terhadap pelanggaran peraturan, sedangkan internalisasi dapat bekerja setiap saat. Internalisasi umumnya selalu melibatkan struktur insentif yang terdiri dari suatu bentuk insentif yang terkandung di dalam perilaku yang diharapkan itu sendiri (built-in incentives); monitoring, serta sanksi-sanksi formal dan informal jika insentifnya tidak memadai. Struktur insentif yang diciptakan oleh masyarakat (termasuk pengawasan dan penegakan aturan/sanksi) dan proses yang terlibat (partisipasi dan harapan sosial terhadap ketaatan) menciptakan kondisi psikologis untuk self-control (internalisasi norma). Perasaan menjadi bagian dan bertanggung jawab terhadap komunitas dimana seseorang berada (dengan cara menginternalisasi norma) adalah aspek yang membentuk self-control. Selanjutnya, Triandis (1990, hal. 42 dalam Bond & Smith, 1996) menjelaskan bahwa di dalam budaya kolektif – sebagaimana perilaku masyarakat di pedesaan - perilaku sosial sangat dideterminasi oleh tujuan bersama (shared goal) diantara para sesama anggota
15
kelompok dan jika terdapat suatu konflik antara tujuan pribadi dan tujuan kolektif maka secara sosial sangat diharapkan bahwa tujuan kolektif didahulukan daripada tujuan pribadi. 2.2. Argumentasi : Efektifitas Proses Penyusunan Perdes Berdasarkan tinjauan teoritis dari sudut pandang psikologi sosial, terdapat beberapa hal terkait efektifitas proses penyusunan perdes tentang kawasan ekowisata Damar Hitam ini, yaitu: -
Penyusunan perdes menggunakan pintu masuk diskusi melalui ekowisata dengan harapan dapat mendorong semangat untuk melakukan perlindungan dan pengawasan terhadap kondisi hutan TNGL yang masih dalam keadaan alaminya. Namun demikian, strategi ini tidak dibarengi dengan pemahaman yang memadai mengenai definisi dan prinsip dasar dari ekowisata maupun hubungannya dengan ancaman perambahan hutan yang terjadi di dalam kawasan. Sebagai implikasinya, strategi ini kurang dapat menggagas secara spesifik tujuan bersama (shared goal) yang dipengaruhi dari adanya anggapan bahwa pengelolaan sumberdaya hutan merupakan masalah bersama. Kelemahan ini, misalnya terlihat dari definisi „ekowisata‟serta tidak adanya definisi mengenai “Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser” yang termuat dalam Bab 1 Ketentuan Umum. Pada bab 1 ini, Balai Besar TNGL sebagai pihak pengelola kawasan konservasi sebagai diamanatkan dalam perundang-undangan yang lebih tinggi dari perdes ini tidak disertakan definisinya. Sementara itu, pengertian ekowisata dibatasi sebagai kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan dan pemanfaatan kawaan TNGL secara terbatas. Sementara pada dasarnya, definisi ekowisata mencakup pengertian mengenai partisipasi komunitas lokal, kelestarian alam, serta manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat.
Berkaitan dengan definisi
ekowisata ini, pada dasarnya setidaknya terdapat enam prinsip untuk mendefinisikannya (Wallace & Pierce, 1996 dalam Fennel, 2008) yaitu:
16
a. dampak negatif yang minimal terhadap lingkungan dan masyarakat setempat b. kesadaran dan pemahaman mengenai alam dan sistem budaya di kawasan, serta keterlibatan wisatawan di dalam hal- hal yang mempengaruhi sistem tersebut c. konservasi dan pengelolaan kawasan yang secara legal dilindungi dan kawasan alam lainnya d. pengambilan keputusan di tingkat komunitas yang menentukan jenis dan besaran wisata yang diharapkan terjadi e. memberikan manfaat ekonomi dan manfaat lainnya kepada komunitas setempat yang melengkapi dan bukan membebani atau pun menggantikan praktik kehidupan tradisional f. memberikan kesempatan khusus kepada komunitas lokal dan pekerja wisata alam untuk mengunjungi kawasan alam dan belajar lebih banyak tentang keunikannya yang menjadikannya sebagai daerah kunjungan wisata -
Kelemahan di dalam mendefinisikan dan menjelaskan prinsip-prinsip ekowisata di dalam perdes ini mempengaruhi muatan spesifik pasal yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam maupun sanksi terhadap pelanggaran.
Selain itu,
karenanya perdes tidak secara spesifik memuat keempat uns ur penting dari struktur insentif yang dapat meningkatkan internalisasi terhadap aturan. Perdes ini hanya memuat larangan dan sanksi yang bersifat formal. Contoh dari hal ini adalah Bab VII hanya memuat mengenai larangan terhadap kegiatan-kegiatan yang merusak alam, namun tidak memuat manfaat atau insentif jika seseorang mentaati peraturan atau melaporkan terjadinya pelanggaran. Terkait sanksi pelanggaran (Bab VIII pasal 14), rujukan terhadap perundangundangan yang lebih tinggi tidak dijelaskan secara spesifik. Selain itu, walaupun
17
diberikan penjelasan jenis-jenis sanksi yang dapat diberikan, namun jenis-jenis sanksi ini tidak digunakan untuk menerapkan sanksi secara bertingkat. -
Karena masalah bersama yang ingin diatasi, yaitu perambahan hutan, kurang secara kuat terbangun, hal ini mempengaruhi ketidakjelasan identifikasi aktor maupun penerima manfaat jika perdes diberlakukan.
-
Kapital sosial yang diharapkan menjadi pelaksana dan pengawas belum berkembang dengan baik. Dalam hal ini, LPRD yang diharapka n mengawal dan mengawasi penerapan perdes ini belum memiliki kapasitas pengorganisasian masyarakat yang memadai serta masih tergantung pada fasilitasi yang berasal dari luar kelompok.
-
Proses penyusunan perdes telah dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipasif dalam pengambilan keputusan, dengan dilibatkannya berbagai perwakilan dari pemangku kepentingan yang ada di Desa Mekar Makmur. Kualitas partisipasi pemangku kepentingan dapat ditingkatkan dengan menghadirkan pakar ekowisata dan atau telah memiliki pengalaman dalam mengembangkan ekowisata di dalam kawasan konservasi serta meningkatkan keterwakilan dari kelompok pelaku perusakan hutan, kelompok pengungsi, maupun pengambil keputusan di tingkat Balai Besar TNGL.
2.3. Argumentasi: Efektifitas Penerapan Perdes Selanjutnya, berdasarkan tinjauan teoritis dari sudut pandang psikologi sosial, terdapat beberapa hal terkait efektifitas penerapan perdes tentang kawasan ekowisata Damar Hitam ini yang juga dipengaruhi oleh efektifitas dalam proses penyusunan terutama terkait dengan problem structuring, yaitu: -
Pemilihan strategi dengan entry point ekowisata mampu memberikan semangat konservasi secara positif kepada pemerintah di tingkat dusun. Ha l ini dikarenakan adanya harapan terhadap suatu perubahan lingkungan (dan ekonomi).
18
-
Pasal 13 mengenai pengelolaan Lubuk Larangan menjadi pasal yang diterima dan diterapkan dengan baik, hal ini dikarenakan Lubuk Larangan telah lama menjadi bagian yang kehidupan sehari-hari sehingga memiliki kedekatan dengan masyarakat dalam mengelola sumberdaya sungai, serta pasal ini memuat aturan secara spesifik dan jelas.
-
Namun demikian, ketika penegakan aturan di dalam perdes tidak konsisten (termasuk juga belum optimalnya penegakan aturan pada tingkat yang lebih tinggi), maka masyarakat kemudian menjadi enggan menerapkan sanksi yang ada.
-
Pelibatan atau pun komunikasi yang belum optimal antara Balai Besar TNGL dan pemerintahan Desa Mekar Makmur terkait penerapan perdes ini secara langsung di tingkat desa maupun implikasinya dalam memperkuat peraturan yang lebih tinggi dalam pengelolaan TNGL. Disebabkan oleh hal ini maka penegakan aturan di dalam perdes ini akhirnya cenderung menjadi perilaku yang „wait and see’, saling menunggu siapa yang akan mengambil langkah pertama, namun berakhir dengan tidak diambilnya langkah apa pun.
19
3.
Policy Options Setelah menganalisa dan mengevaluasi
proses penetapan perdes tentang Ekowisata
Damar Hitam, terdapat beberapa usulan opsi proses kebijakan yang dapat meningkatkan kualitas perdes ini serta memungkinkan terjadinya internalisasi dalam penerapannya maupun dapat menjadi opsi bagi proses pembentukan suatu perdes baru mengenai pengelolaan sumberdaya alam. Opsi tersebut adalah: A. Tidak merubah perdes yang telah ada namun melakukan seperangkat intervensi terpadu untuk memberikan kekuatan non- formal terhadap perdes ini. Berkaitan dengan Opsi A di atas, kelompok masyarakat perlu difasilitasi (baik oleh LSM maupun oleh pemerintah) untuk memperkuat internalisasi terhadap perdes ini. Suatu studi perilaku perlu dikembangkan untuk mempelajari halangan dan manfaat yang dirasakan (perceived-benefit) terhadap perdes ini dalam menangani masalah kerusakan hutan Leuser, maupun menemukan tujuan bersama dari dimilikinya hutan Leuser yang lestari. Berdasarkan kajian
empiris
tersebut
kemudian
dikembangkan
seperangkat
kegiatan
untuk
mengembangkan descriptive norm yang memuat struktur insentif (Gardner & Stern, 1996) yang jelas bagi masyarakat yang memperlihatkan perilaku yang diharapkan. Konsekuensi dari Opsi A adalah: -
Tidak memulai proses kebijakan dari awal sehingga efektif dalam penggunaan waktu
-
Memperjelas tujuan bersama (shared-goal) ketika sumberdaya dikelola dan dilindungi dengan baik akan meningkatkan pemahaman terhadap nilai penting dari perdes ini pada tingkat desa
-
Diperlukan sejumlah biaya tertentu (bisa bersumber dari dana desa maupun dana lembaga pendamping) untuk mengembangkan suatu proses intervensi yang layak
20
dan menjamin bahwa tercipta internalisasi norma sosial yang baru. Peningkatan kapasitas lokal (misalnya LPRD) penting untuk dilakukan melalui intervensi ini. B. Merubah perdes yang telah ada dengan menambah/merubah materi perdes yang diperlukan Opsi B untuk merevisi materi perdes dapat dilakukan sesuai dengan pedoman dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2006. Opsi B ini dilakukan dengan cara memperbaiki dan menyempurnakan definisi terminologi „ekowisata‟ yang digunakan agar sesuai dengan kajian ilmiah, serta memasukkan definisi „Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser‟ pada Bab 1 mengenai Ketentuan Umum. Implikasi dari revisi perdes ini akan memungkinkan ditambahkannya beberapa pasal terkait dengan prinsip-prinsip ekowisata yang mendorong perlindungan kawasan hutan; insentif/manfaat langsung atau tidak langsung (termasuk juga insentif ekonomi dan non-ekonomi) dari perilaku yang mendukung perlindungan terhadap hutan TNGL; serta sanksi bertingkat yang lebih jelas dan spesifik sesuai dengan besaran pelanggaran yang terjadi dan pernyataan jelas mengenai rujukan kepada peraturan perundangan yang lebih tinggi bagi pelanggaran-pelanggaran yang tidak dapat diatasi di tingkat desa (misalnya: pelanggaran yang dilakukan oleh orang dari luar desa; luas hutan yang dirusak, dan sebagainya). Konsekuensi dari Opsi B adalah: -
Problem structuring diperbaiki dan mampu mendekati permasalahan nyata yang ingin diatasi, sehingga kebijakan benar-benar berfungsi sebagai alat uMentuk menyelesaikan masalah.
-
Perlu pelibatan dan komunikasi yang konstruktif dan intensif dari pengambil keputusan di Balai Besar TNGL dan pemerintahan desa sehingga perdes secara integratif mendukung peraturan perundangan yang lebih tinggi dalam mengelola kawasan konservasi TNGL.
21
-
Diperlukan waktu dan biaya baik untuk proses mencapai kesepakatan terhadap materi baru maupun untuk sosialisasinya, yang mungkin akan setara dengan proses pembuatan perdes baru.
C. Menyusun perdes baru melalui problem structuring yang tepat dan proses yang memperhatikan prinsip pengelolaan komunitas dalam mengembangkan internalisasi terhadap norma baru Opsi C memberikan saran untuk melakukan suatu proses baru dengan lebih sistematis dan empiris. Di dalam proses penyusunan perdes yang baru ini terdapat beberapa hal yang penting untuk dilakukan: -
Melakukan definisi permasalahan yang jelas dan spesifik, melalui di antaranya: studi literature, studi lapang, maupun pelibatan pakar untuk mendapatkan gambaran permasalahan secara nyata dan komprehensif. Definisi permasalahan yang jelas dan spesifik juga sangat penting dalam diskusi dengan masyarakat di tingkat lokal sehingga diperoleh tujuan bersama yang akan menjadi dasar dari penyusunan suatu kebijakan lokal, maupun internalisasi dari suatu norma sosial baru.
-
Mengembangkan peta dan analisa hubungan pemangku kepentingan terkait dengan permasalahan dan solusi. Analisa semacam ini akan membantu menentukan strategi pendekatan yang dipilih dalam proses penyusunan perdes, menentukan pemangku kepentingan yang tepat dan harus terlibat untuk menjamin partisipasi penuh serta termuatnya semua kepentingan terkait permasalahan dan solusi. Analisa ini juga akan menentukan bentuk dan durasi strategi komunikasi yang perlu dibangun sesuai dengan perbedaan/persamaan kepentingan yang ada di antara para pemangku kepentingan
22
-
Selain
menepati struktur dan
format penulisan peraturan
sebagaimana
diamanatkan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2006 dan peraturan daerah terkait lainnya, peraturan di tingkat lokal juga penting untuk memuat materi- materi terkait struktur insentif bagi perilaku yang diharapkan dan sanksi bertingkat baik berupa sanksi formal maupun sanksi sosial bagi pelanggaran terhadap aturan. -
Karena pada kenyataannya proses kebijakan di tingkat lokal adalah juga suatu perubahan sosial struktural yang memerlukan waktu yang panjang, maka lembaga pendamping di dalam proses penyusunan ini perlu secara strategis membuat perencanaan pendekatan yang akan digunakan termasuk juga memperhitungkan sumberdaya (keahlian, waktu, dana) yang diperlukan untuk mencapai lebih dari sekedar penandatanganan kesepakatan, namun hingga pada menjamin internalisasi suatu norma baru di tingkat lokal.
Pemilihan Opsi C sebagai suatu solusi kebijakan memiliki beberapa konsekuensi sebagai berikut: -
Diperlukan sumberdaya (keahlian, waktu, dana) yang lebih besar dibandingkan Opsi A dan Opsi B.
-
Penerapan Opsi C secara konsisten akan menjamin terpenuhinya lima aspek kunci dalam pengelolaan komunitas terhadap sumberdaya alam yaitu keputusan yang partisipatif, monitoring, norma sosial, dan sanksi sosial, serta kontrol terhadap perilaku individu
-
Karena rancangan strategi untuk proses internalisasi norma menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rancangan proses penyusunan perdes secara formal legal, maka dapat diharapkan bahwa penerapan perdes akan menjadi lebih efektif.
23
4.
Rekomendasi Kebijakan Masalah dari policy paper ini berkaitan dengan proses penyusunan peraturan desa,
termasuk di dalamnya kejelasan pengertian/definisi dari beberapa terminologi yang digunakan serta hubungan antara tantangan konservasi dan isi peraturan desa itu sendiri. Policy paper ini memberikan argumentasi bahwa agar suatu peraturan di tingkat lokal dapat efektif, para pemangku kepentingan yang terlibat dalam pembuatan (serta penegakan) peraturan tingkat lokal ini perlu memiliki pengetahuan yang cukup faktor psikologis yang mempengaruhi internalisasi
norma
oleh suatu komunitas,
pengetahuan
mengenai
permasalahan, perilaku manusia yang terkait dengan permasalahan tersebut, serta solusi (dalam bentuk manfaat atau pun sanksi) yang ditawarkan melalui suatu peraturan di tingkat lokal. Pada akhirnya, beberapa rekomendasi akan diberikan untuk dapat meningkatkan kualitas dari pembuatan peraturan desa (sehingga mampu efektif di dalam penegakannya), terutama terkait pengelolaan sumberdaya alam di tingkat masyarakat lokal, dari aspek problem structuring di dalam proses pembuatan peraturan Peraturan Desa terkait pengelolaan sumberdaya alam merupakan suatu perangkat kebijakan di tingkat lokal yang seringkali digunakan, sebagaimana kajian di dalam policy paper ini terkait Peraturan Desa tentang Ekowisata Damar Hitam. Namun demikian, pada kenyataannya, penegakan aturan dari kebijakan lokal ini seringkali tidak efektif dan akhirnya belum mampu menjadi solusi terhadap ancaman pelestarian alam. Salah satu penyebab dari ketidakefektifan ini adalah karena proses penyusunan perdes yang dilakukan terutama terkait dengan aspek problem structuring masih belum dilakukan secara sistematis dan tepat. Untuk kajian policy paper ini yaitu Peraturan Desa tentang Ekowisata Damar Hitam, maka opsi kebijakan yang dianggap paling tepat adalah Opsi A (opsi pertama). Opsi A yaitu: Tidak me rubah pe rdes yang telah ada namun melakukan seperangkat intervensi terpadu untuk memberikan kekuatan non-formal terhadap perdes ini, dianggap paling
24
tepat karena logis dan realistis untuk dilakukan, serta bersifat progresif karena diarahkan pada membangun mekanisme untuk memperkuat penegakan aturan secara norma deskriptif daripada mengulangi proses penyusunan perdes dari awal. Sementara itu, bagi
para aktivis konservasi di tingkat lapang yang secara aktif
memfasilitasi proses penyusunan kebijakan di tingkat desa yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam maka Opsi C merupakan rekomendasi kebijakan yang tepat untuk dilakukan. Opsi C adalah: me nyusun perdes baru melalui problem structuring yang tepat dan
proses
yang
memperhatikan
prinsip
pengelolaan
komunitas
dalam
menge mbangkan inte rnalisasi terhadap norma baru. Opsi C merupakan proses yang dianggap tepat karena secara terencana memuat rancangan strategi untuk membangun internalisasi terhadap suatu peraturan di tingkat lokal (norma deskriptif) yang akan menjamin penegakan aturan ini dalam jangka panjang karena masyarakat sebagai penerima manfaat mampu merasakan dan memahami kebijakan sebagai perangkat untuk me nyelesaikan masalah komunitas dalam pengelolaan sumberdaya alam.
25
Daftar Pustaka
Ajzen, I. (1991). The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes , 179-211. Center, Y. O.-O. (2009). Buku Saku menuju Taman Nasional Gunung Leuser: Tropical Rainforest Heritage of Sumatra. Medan: YOSL-OIC. Fennel, D. A. (2008). Ecotourism (3rd ed.). New York: Routledge. Gardner, G. T., & Stern, P. C. (1996). Environmental Problems and Human Behavior. Boston: Allyn and Bacon. Hafiyah, N. (2009). Pengaruh Sosial. In T. P. UI, S. W. Sarwono, & E. A. Meinarno (Eds.), Psikologi Sosial (pp. 105-119). Jakarta: Salemba Humanika. Halida, R. (2009). Individu dalam Kelompok. In S. W. Sarwono, & E. A. Meinarno, Psikologi Sosial (pp. 165-183). Jakarta: Salemba Humanika. Hardin, G. (1968). The Tragedy of The Commons. Science (162), 1243-1248. Hollander, E. P. (1981). Principles and Methods of Social Psychology (4th ed.). New York: Oxford Univery Press. Ismail. (2010). Laporan Akhir Program: Pride Campaign Tahun 2008 - 2010 - Taman Nasional Gunung Leuser-Wilayah Besitang, Sumatra Utara, Indonesia. Medan: Yayasan Orangutan Lestari-Orangutan Information Center. Pollis, N. P. (1981). Conformity, Compliance, and Human Rights. Human Rights Quarterly , 3 (1), 93-105.
26
Tentang TNGL. (n.d.). Retrieved Mei 26, 2011, from Taman Nasional Gunung Leuser: The Tropical Heritage of Sumatra: http://gunungleuser.or.id/tentang-kami/tentang-tngl/ Tropical Rainforest of Sumatra. (2004). Retrieved November 23, 2009, from Unesco.org: http://whc.unesco.org/en/list/1167
27
Lampiran A: Peraturan Desa Tentang Ekowisata Damar Hitam
28
Lampiran B: PP RI No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa
36
Lampiran C: Peraturan Mendagri No. 29 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa
74