POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT Ir. Mewa Ariani, MS
Pendahuluan 1. Upaya pencapaian swasembada pangan sudah menjadi salah satu program prioritas Pemerintah Indonesia sejak Presiden RI pertama. Sasaran pencapaian swasembada berkelanjutan untuk padi serta jagung, dan swasembada kedele, gula pasir, serta daging sapi di tahun 2014 ditetapkan oleh Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu sejak 2004. Khusus untuk beras, sejak 2010 ditetapkan sasaran baru, yaitu pencapaian surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014. Selanjutnya, Presiden Joko Widodo dengan Kabinet Kerjanya menetapkan pencapaian sasaran swasembada padi, jagung dan kedelai pada tahun 2017. 2. Untuk mencapai sasaran swasembada beras berkelanjutan mulai tahun 2008 Kementerian Pertanian melaksanakan program Peningkatan Produksi Beras Nasional atau disebut program (P2BN). Salah satu komponen penting program P2BN adalah kegiatan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Pada intinya SL-PTT bukan suatu teknologi baru usaha tani, tetapi suatu metoda atau pendekatan dalam diseminasi, pengembangan dan penerapan rekayasa inovasi teknologi disertai pendampingan intensif oleh penyuluh atau pendamping. Penerapan PTT didasarkan pada empat prinsip yaitu: (i) PTT merupakan cara mengelola tanaman dan sumber daya (lahan, air, unsur hara, organisme pengganggu tanaman) secara holistik dan berkelanjutan, (ii) memanfaatkan teknologi pertanian dengan memperhatikan unsur keterkaitan sinergis antar teknologi, (iii) memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi petani, dan (iv) penerapannya bersifat partisipatif, yang berarti petani turut serta menguji dan memilih teknologi sesuai dengan keadaan setempat dan kemampuan petani melalui proses pembelajaran. 3. Satu unit SL-PTT mencakup 25 hektar dengan 1 hektar diantaranya dijadikan Laboratorium Lapang (LL) yaitu sebagai tempat percontohan penerapan paket teknologi usaha tani rekomendasi, sekaligus tempat pembelajaran kelompok tani. Karena sebagai tempat percontohan, seluruh komponen teknologi yang direkomendasikan (seperti benih dan pupuk) disediakan Pemerintah dengan dosis secara penuh. Melalui kegiatan SL-PTT diharapkan produktivitas padi dapat
1
ditingkatkan: untuk padi inbrida sawah 0,75 ton/ha; padi hibrida 2,0 ton/ha; padi pasang surut 0,3 ton/ha; padi rawa lebak 0,3 ton/ha dan padi lahan kering/gogo 0,5 ton/ha. 4. Sampai tahun 2014, kegiatan SL-PTT padi telah diimplementasikan selama tujuh tahun dengan jumlah anggaran dan sumberdaya yang cukup besar serta melibatkan banyak kelompok tani dan petani. Namun demikian, belum pernah dilakukan evaluasi yang komprehensif dan transparan atas kenerjanya mulai dari perencanaan, implementasi, dan dampak atau pencapaian sasaran kegiatannya.
Hasil Kajian 5. Laju pertumbuhan luas panen, produktivitas, dan produksi padi nasional selama 2009-2013 berfluktuasi dengan tren kenaikan per tahun masing-masing sebesar 1,84%, 0,76%, dan 2,59%. Sementara itu, dalam kurun waktu 2009-2014, rencana luas areal SL-PTT terus ditingkatkan dengan laju yang sangat tinggi yaitu 18,3% per tahun. Proporsi luas areal SL-PTT terhadap luas panen padi nasional meningkat cukup pesat dari 15,9% pada tahun 2009 menjadi 34,1% pada tahun 2014. Dari fakta tersebut dapat disimpulkan: (i) perencanaan luas areal SL-PTT tidak didasarkan hasil evaluasi pelaksanaan SL-PTT, namun lebih didasarkan pada ketersediaan anggaran, dan (ii) peningkatan produktivitas padi dari kegiatan SL-PTT tidak signifikan, tercermin dari laju pertumbuhan produktivitas yang tetap lamban walaupun proporsi luas SL-PTT terhadap luas panen nasional meningkat pesat. 6. Pulau Jawa dan Sumatera merupakan wilayah terluas dalam perencanaan areal program SLPTT masing-masing sebesar 33,1% dan 28,4% per tahun. Perencanaan ini tidak sesuai dengan konsep MP3EI, dimana Pulau Jawa dan Sumatera dirancang menjadi pusat pertumbuhan industri pengolahan, jasa, dan pertambangan. 7. Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat merupakan dua provinsi terluas yang mendapat alokasi rencana luas areal kegiatan SLPTT, masing-masing sebesar 9,65% dan 8,95%. Tingkat penerapan teknologi di kedua propinsi ini sudah jauh lebih baik dengan produktivitas per hektar lebih tinggi dari rata-rata nasional, sehingga harapan untuk mendapatkan tambahan hasil per hektar yang besar akan sulit diwujudkan (terbatas). Seharusnya kegiatan SL-PTT dilaksanakan di daerah yang produtivitasnya masih rendah (belum leveling off), yang pada umumnya berada di luar Jawa, terutama di Pulau Sulawesi yang menjadi koridor pangan (konsep MP3EI). Namun proporsi areal kegiatan SL-PTT di lokasi tersebut berkisar 0,99-2,49%, hanya Propinsi Sulawesi Selatan yang paling tinggi (8,37%).
2
8. Berbagai hal yang menyebabkan kegiatan SL-PTT belum mencapai sasarannya adalah: a. Dari aspek perencanaan seperti penentuan CPCL, penentuan kebutuhan tenologi PTT, dan kebutuhan sarana produksi tidak sepenuhnya mengikuti Pedoman Pelaksanaan PTT; b. LL tidak difungsikan secara optimal sebagai tempat percontohan keunggulan teknologi rekomendasi, serta tempat petani melihat dan membuktikan secara langsung praktek-praktek dan keunggulan teknologi tersebut; c.
Terkait butir b, hal ini disebabkan terbatasnya jumlah peneliti dan penyuluh untuk mengawal dan mendampingi petani dalam mempraktekkan komponen teknologi PTT di lahannya sendiri;
d. Kegiatan SL-PTT didisain sebagai “proyek satu tahun” yang dilakukan berulang setiap tahun, bukan dirancang sebagai kegiatan pemberdayaan petani secara berkelanjutan. Akibatnya, antara lain kegiatan di LL yang seharusnya dilaksanakan mendahului satu musim sebelumnya, dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan di lahan petani sendiri (SL) dalam satu unit SL-PTT. 9. Dalam implementasi kegiatan Sl-PTT, aparat pembina dan pendamping disibukkan dengan kegiatan pemberian “bantuan fisik” berupa benih dan pupuk untuk petani peserta LL dan peserta SL. Pemberian kepada petani SL tidak sesuai dengan dosis rekomendasi yang diujicobakan di lahan LL. Akibatnya, di beberapa tempat diperoleh kesan kegiatan SL-PTT adalah kegiatan pemberian bantuan benih dan pupuk, bukan pendampingan dan pemberdayaan petani. Ditinjau dari aspek perilaku sosial petani, hal ini dapat mengakibatkan: (a) Timbulnya ketergantungan petani akan pemberian bantuan dari Pemerintah untuk kegiatan usaha taninya, padahal pada dasarnya petani adalah entreuperneur atau pebisnis. Kegiatan bertani adalah (bagian) pekerjaannya sehari-hari untuk mendapatkan pendapatan dan kehidupan yang layak. Peran pemerintah yang diharapkan adalah memberikan kondisi berusaha yang kondusif, misalnya mendorong ketersediaan sarana produksi (benih, pupuk) tersedia secara enam tepat, membangun dan merehabilitasi jaringan irigasi agar air tersedia sepanjang waktu, dan bantuan untuk menanggulangi keadaan darurat akibat bencana (kekeringan, kebanjiran, serangan hama), dan (b) Timbulnya kekecewaan petani karena bantuan untuk petani SL hanya sebagian dari rekomendasi yang diterapkan di lahan sawah LL. 10. Sebagai contoh, Petani di Kecamatan Way Jepara, Lampung Timur memahami manfaat pemupukan setelah belajar di LL. Menurut mereka pemupukan berimbang
3
yang optimun adalah komposisi 5:3:2, yaitu untuk satu hektar dosis pemupukannya adalah 5 kuintal pupuk organik, 3 kuintal pupuk NPK dan 2 kuintal pupouk Urea. Namun petani SL mendapat bantuan tidak sesuai dengan dosis tersebut. Apabila dari awal pada kepada petani SL sudah diinformasikan tidak akan diberi bantuan, maka melalui proses RDKK kebutuhan pupuk dengan dosis tersebut akan dapat dipenuhi, karena petani berhak mendapatkan pupuk bersubsidi melalui proses penyusunan RDKK tersebut. 11. Keberhasilan kegiatan SL-PTT lebih banyak ditentukan oleh partisipasi petani dalam menerapkan teknologi usaha tani PTT di LL;pendampingan oleh penyuluh atau pendamping kepda petani dalam proses penerapan dan pembelajaran di LL dan SL; dan sikap petani untuk memahami, mau, dan mampu menerapkan inovasi teknologi seperti yang dikenalkan di LL. Dengan demikian, sebenarnya tanpa bantuan dari Pemerintah sekalipun, bila petani sudah menyakini dan tergerak untuk menerapkan teknologi introduksi hasil dari pembelajaran di LL serta petani meyakini teknologi tersebut memberikan manfaat dan keuntungan yang lebih tinggi dari teknologi yang mereka terapkan sebelumnya, maka petani akan menerapkan teknologi unggul tersebut secara penuh. 12. Pemerintah Daerah pada umumnya mendukung pelaksanaan kegiatan SL-PTT, antara lain ditunjukkan dengan alokasi dana dari APBD. Untuk Jawa Barat alokasi APBD tersebut relatif besar. Namun demikian, implementasi program SL-PTT di propinsi ini masih ditemukan beberapa permasalahan, diantaranya adalah: a. banyaknya komponen teknologi dan kurang efektifnya pelaksanaan LL, b. jumlah dan kualitas PPL terbatas serta kurang harmonisnya koordinasi antara Dinas Pertanian dengan Bakorluh, c.
kinerja penyediaan benih tidak optimal (benih yang didistribusikan sering kali kurang tepat dalam hal: waktu, jumlah, varietas, maupun kualitasnya,
d. status petani sebagai petani penggarap dan umur petani yang relatif tua, serta e. adopsi komponen teknologi yang diintroduksi di LL, pada kegiatan SL-PTT rendah.
Saran Tindak Lanjut 13. Dalam rangka memperbaiki kinerja SL-PTT untuk mendukung tercapainya swasembada beras berkelanjutan ke depan, ada beberapa hal yang perlu segera untuk diperbaiki:
4
a. Sosialisasi pedoman pelaksanaan/teknis SLPTT sesegera mungkin dilaksanakan sebelum musim tanam tiba untuk mengurangi bias antara perencanaan dan pelaksanaan, b. memfungsikan LL sebagai lahan pembelajaran petani SL secara baik sesuai dengan konsep awal PTT, c.
mendorong mobilisasi penyuluh swadaya, swasta, dan dari Perguruan Tinggi untuk mengawal dan mendampingi petani dalam menerapkan komponen teknologi PTT spesifik lokasi;
d. menumbuhkan penangkar-penangkar lokal dalam dalam kawasan SL-PTT dalam penyediaan benih sesuai dengan keinginan petani, dan ini sejalan dengan program desa mandiri benih, dan e. membangun komunikasi, koordinasi, dan sinergi yang lebih baik lagi antara pemerintah pusat, daerah, dan pelaksana di lapangan. f.
Sosialisasi program SL-PTT tidak cukup hanya kepada petani saja, akan tetapi juga kepada pemilik sawah yang lahannya digarapkan dan buruh tani (yang menangani jasa pengolahan lahan, tanam, menyiang dan panen) untuk membantu mengimplementasikan inovasi teknologi SL-PTT.
14. Sejalan dengan peningkatan produksi, maka aspek pengolahan, pemasaran, kelembagaan kelompok tani juga perlu dibangun dan diperbaiki agar petani dapat memperoleh manfaat yang lebih banyak dengan hadirnya program SL-PTT ini. Selain itu, untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi anggaran, perlu dikaji secara mendalam manfaat dan mudarat dari pemberian bantuan Pemerintah kepada petani non LL berupa pemberian sarana produksi yang volumenya tidak sesuai dosis. 15. Kelebihan dan kelemahan dalam implementasi porgram SL-PTT sejak tahun 2008 dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran yang berharga dalam upaya mensukseskan rencana Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GPPTT) pada tahun 2015. Kawasan GP-PTT sebaiknya tidak ditetapkan berdasarkan luasan areal, namun pada wilayah administrasi (kecamatan atau desa), sehingga akan lebih jelas dan memudahkan dalam koordinasi dan tanggung jawab operasionalnya. Perlu dipahami, peran Kepala Desa/Lurah atau Camat dalam melakukan koordinasi antar lembaga dan pembinaan terhadap masyarakat masih cukup signifikan.
5