Policy Brief
Globalisasi, Pertumbuhan, dan Disadvantaged Labours di Indonesia: Analisa dan Implikasi Kebijakan Oleh: Deni Friawan & Carlos Mangunsong
LATAR BELAKANG Globalisasi telah menciptakan tidak hanya kesempatan tapi juga resiko dan dampak yang tidak sama terhadap berbagai kelompok masyarakat yang berbeda. Di Indonesia, kebijakan deregulasi dan libaralisasi perdagangan dan investasi yang dilakukan sejak pertengahan 1980an telah berhasil menciptakan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, terutama di sektor manufaktur-padat tenaga kerja. Petumbuhan tinggi dari sektor manufaktur ini telah menyediakan kesempatan kerja dan meningkatkan upah para pekerja Indonesia. Namun, di sektor ini juga timbul peningkatan ketidakpuasan dikalangan para pekerja yang berkaitan dengan beberapa isu, seperti pekerja anak, lingkungan kerja yang tidak baik, pelanggaran peraturan tentang upah dan kejehteraan pekerja dan kesewenangan terhadap pekerja muda dan perempuan Study ini bertujuan untuk menganalisa dampak dari globalisasi terhadap pekerja, terutama yang bekaitan dengan pekerja yang tidak/kurang beruntung (disadvantaged worker). Secara khusus, study ini bertujuan untuk meneliti tentang status dan karaktersistik dari disadvantaged workers, menganalisa faktor-faktor penentu tingkat penghasilan, dan mengajukan beberapa rekomendasi kebijakan yang potensial. Pada studi ini, globalisasi direpresentasikan dalam pengertianya yang sempit sebagai kebijakan libaralisasi perdaganan dan investasi dan krisis keuangan Asia 1997/98. sementara disadvantaged workers didefiniskan sebagai kelompok pekerja yang termarginalkan atau mendapatkan dampak positif yang paling rendah, atau bahkan menerima dampak negative, dari globalisasi dan kelompok pekerja yang kemungkinan lebih rentan dalam pasar tenaga kerja di Indonesia. Status dan karakteristik disadvantaged worker ini diperoleh dari data pengangguran (unemployment), setengah menganggur (underemployment), pekerja berpenghasilan rendah (low income worker). Untuk itu studi ini akan menggunakan metode deskripsi statistik (tabulasi silang) dari karakteristik penganggur, setengah menganggur, dan status upah. Selain itu, studi ini juga akan menggunakan model regresi pendapatan Mincer (1958;1974) dan Oaxaca Decomposition (1973).
1
STATUS DAN KARAKTERISTIK DISADVANTAGED LABOUR Dalam tiga dekade terakhir Indonesia telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang disertai dengan perubahan struktural yang signifikan dalam perekonomian dan pasar kerja di Indonesia. Perubahan struktural ini telah berpengaruh dan membentuk keseluruhan kondisi permintaan dan penawaran tenaga kerja di Indonesia. Di sisi permintaan, kebijakan liberalisasi perdagangan yang dimulai sejak pertengahan 1980an tidak hanya telah membuat perekonomian Indonesia lebih terintegrasi dengan pasar global, tapi juga telah menciptakan pertumbuhan yang tinggi, khususnya pada sektor industri manufaktur yang padat tentaga kerja. Pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan pada sektor ini telah mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja. Sementara itu, di sisi penawaran, kebijakan program keluarga berencana yang dilaksanakan sejak awal 1970an telah berhasil menurunkan tingkat fertilitas secara signifikan dan program pembangunan gedung sekolah dan kampanye pendidikan dasar telah secara substantial meningkatkan investasi dibidang sumber daya manusia. Kedua kebijakan penting ini pada akhirnya berdampak pada peningkatan yang dramatis pada jumlah dan kualitas tenaga kerja indonesia Kondisi permintaaan dan penawaran tenaga kerja tersebut beserta interaksinya telah menentukan hasil akhir dari pasar tenaga kerja di Indonesia. peningkatan integrasi ekonomi yang berhubungan dengan pertumbuhan yang tinggi pada sektor manufaktur padat tenaga kerja telah meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemingkatkan permintaan tenaga kerja yang pada akhirnya mempercepat proses industrialisasi, formalisasi dan urbanisasi. Bagaimana tren permintaan ini berdampak pada pasar tenaga kerja sangat tergantung dari kapasitas sektor industri-formal-urban dalam menyerap penawaran tenaga kerja yang tersedia. Kapasitas pernyerapan ini yang pada akhirnya menentukan hasil akhir dari pasar tenaga kerja. Dalam konteks itu maka disadvantaged labour diartikan sebagai kelompok tenaga kerja yang termarginalkan atau mendapatkan dampak postif yang terendah--atau bahkan menerima dampak negative--dari integrasi ekonomi, peningkatan permintaan tenaga kerja dan kemampuan penyerapan tersebut. Dampak tersebut dapat diterusuri dengan menganalisa pola dari status tenaga kerja, seprti pengangguran, setengah menganggur dan pendapatan pekerja berdasarkan berbagai karakteristik pekerja. Berikut ini adalah beberapa temuan dari perubahan pola status tenaga kerja berdasarkan berbagai karakateristiknya. Unemployment Pengangguran di Indonesia memiliki beberapa karakteristik. Pertama, tingkat pengangguran terbuka di wilayah perkotaan lebih tinggi dibanding daerah pedesaan. Selama 1986-2000 tingkat pengangguran terbuka di perkotaan berkisar antara 5.7% hingga 9.7%, sedangkan tingkat pengangguran terbuka tertinggi yang pernah dialami di daerah pedesaan hanya sekitar 3.7%. Meskipun demikian, gap tingkat pengangguran di kota dan desa mengalami penurunan dari 5 kali menjadi hanya berkisar 2.5 kali antara 2
1986 dan 2000. Tingginya tingkat pengangguran terbuka di daerah perkotaan karena tingginya proporsi tenaga kerja muda di kota yang secara aktif mencari kerja dan tingginya migrasi pekerja muda dari desa yang mencari pekerjaan di kota. Kedua, tingkat pengangguran terbuka pada kelompok pekerja perempuan terus meningkat dari 2.7% pada priode 1986-1989 menjadi 6.6% pada priode 1998-2000 dan melebihi tingkat pengangguran terbuka untuk kelompok pekerja laki-laki sejak priode 1990-1993, baik di daerah pedesaan dan perkotaan. Tingginya tingkat pengangguran pada kelompok pekerja wanita dibandingkan pada kelompok pekerja laki-laki disebabkan oleh semakin tingginya kesempatan kerja yang tersedia untuk perempuan dan hal ini telah menarik minat lebih banyak pekerja perempuan yang lebih aktif untuk mencari pekerjaan. Ketiga, tingkat pengangguran terbuka pada pekerja usia muda lebih tinggi dibanding perkerja dewasa atau yang lebih tua. Tingkat pengangguran terbuka untuk pekerja kelompok umur 15-29 tahun mencapai 85% hingga 90% dari seluruh pekerja yang menggangur pada periode 1986-2000, dan tingkat pengangguran terbuka pekerja kelompok umur 15-19 tahun dan 20-24 tahun adalah yang tertinggi diantara kelompok pekerja lainnya. Hal ini bukan karena mereka kurang employable tapi karena keberlanjutan aliran masuk pekerja yang baru saja menamatkan sekolah kedalam pasar tenaga kerja yang tengah mengalami trasisi dari bersekolah secara penuh ke bekerja secara penuh. Selain itu, relative tingginya persentase pekerja muda yang berusia 15-29 terhadap total populasi pada periode yang saja. Keempat, porsi pengangguran yang lebih terdidik meningkat secara dramatis, karena kebanyakan pencari kerja di tahun 1980an akhir dan 1990an adalah pekerja yang memiliki tingkat pendidikan akhir SMA dan Perguruan Tinggi (PT) sebagai akibat keberhasilan perluasan akses pendidikan dan peningkatan tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh generasi yang lebih muda secara umum. Persentase tingkat penganguran untuk pekerja tamatan pendidikan SMA dan PT meningkat hamper 2 kali lipat dari 7% menjadi 12% antara tahun 1986 dan 2000, sedangkan proporsi tingkat pengangguran untuk pekerja dengan pendidikan SMA mencapai 57% pada periode yang sama. Terakhir, hipotesa penganggur mewah hanya benar sebagian saja dalam menjelaskan pengangguran di Indonesia. Hal ini dikarenakan hanya terdapat perbedaan yang kecil dalam tingkat pengangguran terbuka pada setiap kuintail pengeluaran.
Underemployment Sementara itu, pekerja setengah mengangur (underemployment) memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut. Pertama, tingkat pekerja paruh waktu terus mengalami penurunan pada tahun-tahun sebelum krisis 1998 karena adanya urbanisasi yang tinggi dan akibat dari perpindahan pekerja keluar dari sektor pertanian, dimana tingkat jam kerja yang lebih pendek lebih sering ditemui. Total pekerja yang bekerja kurang dari 25 jam per minggu turun dari 24% pada periode 1986-1989 menjadi 23% pada periode
3
1994-1997, sedangkan pekerja yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu turun dari 42% menjadi 38% pada periode yang sama. Kedua, selama krisis ekonomi 1998 tingkat pekerja paruh waktu kembali meningkat, baik itu di daerah pedesaan ataupun di perkotaan dan tingkat pekerja paruh waktu untuk kelompok pekerja wanita meningkat lebih tinggi dibanding untuk kelompok pekerja lakilaki. Pada tahun 1998, tingkat persentase setengah menganggur di daerah perkotaan dan pedesaan meningkat masing-masing sebesar 3 dan 1 poin dibandingkan yang terjadi pada periode 1994 dan 1997. Sementara itu, tingkat persentase pekerja yang bekerja paruh waktu bagi kelompok pekerja perempuan juga meningkat lebih tinggi sebesar 3 poin, dibandingkan kelompok pekerja laki-laki yang meningkat hanya 1 poin. Peningkatan tingkat setengah menganggur di perkotaan dan pedesaan selam krisis dikarenakan penurunan pertumbuhan industry di perkotaan dan peningkatan pertumbuhan disektor pertanian komoditas . Sementara itu, peningkatan pekerja paruh waktu yang lebih tinggi untuk kelompok pekerja perempuan dibandingkan dengan kelompok pekerja laki-laki dikarenakan peningkatan jumlah pekerja perempuan yang masuk ke pasar kerja untuk membantu pendapatan keluarganya dan banyaknya jumlah pekerja perempuan yang mengalami pemotongan jam kerja selama krisis ekonomi. Ketiga, sebelum krisis tingkat pekerja bekerja paruh waktu di daerah pedesaan lebih tinggi dibanding di daerah perkotaan. Hamper 90% dari pekerja paruh waktu ditahun 1986 berarda di pedesaan dan kebanyakan dari mereka bekerja disektor pertanian dan proporsi pekerja paruh waktu di pedesaan mencapai 46%, bandingkan dengan di perkotaan yang hanya 21.6%. Keempat, sebagian besar pekerja yang bekerja paruh waktu adalah pekerja perempuan, dimana pekerja perempuan menyumbang lebih dari 55% dari pekerja paruh waktu, dan mereka hanya menyumbang kurang dari 29% dari keseluruhan pekerja yang bekerja penuh waktu. Lebih lanjut, proporsi pekerja paruh waktu di kelompok pekerja perempuan mencapai 57.3%, lebih tinggi dibandingkan pada kelompok pekerja laki-laki yang hanya mencapai 30.6%. Tingginya tingkat setengah menganggur pada kelompok pekerja perempuan disebabkan oleh peningkatan jumlah tenaga kerja perempuan dan jumlah jam kerja perempuan yang secara umum lebih pendek karena masih banyaknya pekerja perempuan yang harus membagi waktu mereka untuk aktifitas produktif dan domestik. Kelima, sebagian pekerja paruh waktu berasal dari kelompok pekerja yang memiliki tingkat pendidikan rendah dan proporsi pekerja paruh waktu di kelompok ini lebih tinggi dibandingkan kelompok pekerja dari tingkat pendidikan lainnya. Pekerja dengan tingkat pendidikan tidak tamat SD, tamat SD dan SMP menyumbang 94% dari total pekerja paruh waktu. Proporsi pekerja paruh waktu untuk kelompok pekerja dengan tingkat pendidikan rendah, yaitu: 47.4% untuk tidak tamat SD, 38% untuk tamat SD, dan 33% untuk tamat SMP, lebih tinggi dibandingkan proporsi pekerja paruh waktu untuk kelompok pekerja tamat SMA (25%) dan tamat PT (20%).
4
Keenam, sebagaimana yang diindikasikan pada data tahun 2004, pekerja paruh waktu terus terkonsentarasi pada kelompok pekerja di daerah pedesaan, pekerja perempuan, dan pekerja muda dan pekerja berpendidikan rendah, walaupun proporsinya terus menurun secara signifikan dari tahun ke tahun. Tingkat Upah Berkaitan dengan struktur upah dan karakteristiknya, berikut adalah beberapa temuan penting dari perubahan struktur upah dan karakteristiknya. Pertama, sebelum krisis pendapatan nominal meningkat lebih tinggi dibandingkan peningkatan inflasi. Tingkat pendapatan nominal meningkat rata-rata sebesar 11.7% pertahun, sementara tingkat inflasi meningkat rata-rata sebesar 8.3% pertahun, sehinga mengakibatkan peningatan sebesar 3.3% pertahun pada pendapatan riil dalam kurun waktu 1982-1997. Lebih lanjut, tingkat kemiskian nasional sebelum krisis juga menurun dari 27% menjadi 11% pada peirode 1982 dan 1997, walaupun tingkat kemiskinan kembali meningkat pada masa setelah krisis, seperti yang terjadi pada tahun 2000, yaitu sebesar 24%. Kedua, kelompok pekerja perempuan dan kelompok pekerja di pedesaan secara terus menerus mendapatakan pendapatan yang lebih kecil dibanding pendapatan kelompok pekerja laki-laki dan pekerja di perkotaan. Perkerja perempuan dan pekerja di pedesaan menerima pendapatan 70% lebih rendah dibanding pekerja laki-laki dan pekerja di perkotaan, dan pekerja perempuan terus-menerus mendapatkan tingkat pendapatan yang paling rendah pada periode 1982-2000. Meskipun demikian, ketiga, tingkat pendapatan riil pekerja perempuan meningkat lebih besar dibandingkan pekerja laki-laki dan pekerja dipedesaan menerima peningkatan pendapatan yang lebih tinggi dibanding pekerja diperkotaan, sehingga menurunkan gappendapatan pekerja laki-laki dan perempuan dan gap pendapatan pekerja di perkotaan dan di pedesaan. Selama periode 1990 dan 2000, tingkat pendapatan pekerja perempuan relative terhadap pekerja laki-laki meningkat dari 51% menjadi 56% pada sektor pertanian dan dari 47% menjadi 63% pada sektor manufaktur Keempat, ketika pekerja di sektor pertanian terus menerima pendapatan yang paling rendah, liberalisasi ekonomi yang dilaksanakan sejak pertangahan 1980an telah meningkatkan pertumbuhan pendapatan, baik itu disektor manufaktur dan juga di sektor pertanian, yang pada akhirnya menurunkan perbadaan upah antar sektor. Selama periode 1982-2000, tingkat upah di sektor pertanian meningkat dari 48% menjadi 55% dari ratarata pendapatan nasional. Sementara itu tingakt pendapatan di sektor manufaktur meningkat dari 95% menjadi 100% dari rata-rata nasional, sebelum kembali turun menjadi 93% dari rata-rata nasional pada tahun 1998. Kelima, sejalan dengan peningkatan tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh sebagian besar penduduk, perbedaan tingkat upah antar kelompok pendidikan mengecil secara signifikan. Lebih lanjut, perbedaan tingkat pendapatan tertinggi terjadi pada kelompok pendidikan rendah dan secara progresif mengecil dengan meningkatnya tingkat pendidikan yang ditamatkan. Perbedaan tingkat pendapatan berkisar dari 50% dari rata-
5
rata nasional untuk kelompok pekerja berpendidikan SD dan 20% dari rata-rata nasional untuk pekerja berpendidikan SMA. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa: ketika unemployment merupakah masalah yang lebih sering ditemui di perkotaan dan underemployment dan pekerja berpenghasilan rendah merupakan masalah yang lebih sering ditemui di pedesaan, pekerja muda, perempuan dan kurang berpendidikan/berketerampilan, terutama mereka yang berasal dari keluarga miskin, dapat dikategorikan sebagai disadvantaged workers. Selama pembangunan ekonomi, tingkat unemployment, underemployment, dan pekerja berpenghasilan rendah pada kelompok ini tetap saja tinggi, walaupun petumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan, khususnya pada sektor industri padat tenaga kerja, telah berhasil mendorong peningkatan tambahan permintaan tenaga kerja dan peningkatan penyediaan lapangan kerja serta peningkatan upah untuk kelompok yang kurang/tidak beruntung ini. Lebih dari itu, peningkatan tingkat unemployment, underemployment dan pekerja berpenghasilan rendah selama krisis pada kelompok pekerja muda, perempuan dan berpendidikan rendah telah juga membuat kelompok pekerja ini menjadi relative rentan di pasar tenaga kerja. Dari temuan-temuan di atas, maka ada beberapa saran yang dapat diajukan dari studi ini. Pertama, kebijakan apapun untuk mendukung penciptaan lapangan kerja dan perbaikan pendapatan seharusnya ditargetkan pada kelompok pekerja yang kurang/tidak beruntung ini , yaitu pekerja perempuan, muda dan berpendidikan rendah.
Kedua, berdasarkan pengalaman liberalisasi ekonomi di pertengahan 1980an yang tidak hanya telah berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peningkatan permintaan pekerja, tapi juga berhasil memindahkan pekerja dari sektor pertanian di pedesaan yang berproduktivitas rendah dan berpenghasilan rendah ke sektor formal di perkotaan yang relatif berpenghasilan lebih baik, maka kebijakan apapun untuk memperluas lapangan kerja di sektor formal di luar sektor pertanian menjadi sangat penting dalam mengurangi tingkat unemployment, underemployment dan pekerja berpenghasilan rendah untuk para disadvantaged workers. Dalam konteks ini maka kebijakan untuk menghapuskan hambatan peningkatan investasi swasta dan pertumbuhan output melalui perbaikan tata kelola pemerintahan (governance), kepastian hukum, infrastruktur menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan. Ketiga, pemerintah seharusnya memfokuskan diri untuk membantu para penganggur terdidik (SMA dan PT) dengan cara memberikan informasi tenaga kerja yang lebih baik dan cara mempertemukan yang lebih baik antara para pencari kerja dan penerima kerja. Keempat, walaupun semakin banyak penganggur yang berasal dari kelompok yang berpendidikan, pemerintah sebaiknya terus meningkatkan investasi dibidang sumber daya 6
manusia, seperti melalui program wajib belajar. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa tingkat kemiskinan dan tingkat underemployment untuk pekerja berpendidikan berada dibawah rata-rata nasional dan kebanyakan mereka menerima pendapatan yang lebih tinggi dan stabil dibandingkan pekerja berpendidikan rendah.
7
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, Arminda S. and Chris Manning (2006). “Labour Market Dimensions of Poverty in Indonesia”. Bulletin of Indonesian Economic Studies 42 No. 2. p:23561. Dhanani, Syafiq (2004). “Unemployment and Underemployment in Indonesia, 19762000: Paradoxes and Issues” International Labour Organization (ILO) Working Paper. Dhanani, Syafiq, Iyanatul Islam (2004). “ Indonesian Wage Structure and Trends, 19762000”. ILO Working Paper. Feridhanusetyawan, Tubagus, Haryo Aswicahyono, and Ari A. Perdana (2001). “The Male-Female Wage Differentials in Indonesia” Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Working Paper No. 059. Islam, Iyanatul (2002). “Poverty, Employment and Wages: An Indonesian Perspective”. Paper was presented in ILO-JMHLW-Government of Indonesia Seminar on “Strengthening Employment and Labour Market Policies for Poverty Alleviation and Economic Recovery in East and Southeast Asia.”
8