POLA PENGEMBANGAN PELABUHAN PERIKANAN DENGAN KONSEP TRIPTYQUE PORTUAIRE : KASUS PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU
BUSTAMI MAHYUDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Ku persembahkan untuk
Anak-anakku tercinta Ade Wiguna Nur Yasin, S.Pi, Adli Ardianto dan Anita Amanda Dewi yang telah mendoakan papanya menyelesaikan kuliah
Isteriku tercinta Yartini, B.Sc yang selalu mendampingi dan memberi semangat
Almarhum ayahku Haji Mahyuddin Majid yang telah berpesan agar selalu menuntut ilmu kapan dan dimanapun dan ibuku tercinta Hajjah Syamsinar yang selalu mendoakanku.
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan dengan Konsep Triptyque Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor , Mei 2007
Bustami Mahyuddin C 526010164
ABSTRAK
BUSTAMI MAHYUDDIN. Pola Konsep Triptyque Portuaire: Palabuhanratu. Dibimbing oleh BAMBANG MURDIYANTO, MARTASUGANDA.
Pengembangan Pelabuhan Perikanan dengan Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara ERNANI LUBIS, DANIEL R MONINTJA, ERNAN RUSTIADI dan SULAEMAN
Pola pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPN Palabuhanratu) harus disesuaikan dengan perkembangan aktivitas perikanan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan arah pengembangan fasilitas dan operasional PPN Palabuhanratu, memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dan menentukan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu. Analisis data yang digunakan untuk penentuan arah pengembangan PPN Palabuhanratu yaitu lokasi sektor basis menggunakan location quotient (LQ), indeks relatif nilai produksi (I), kepadatan kolam, persaingan pelabuhan perikanan dengan metode skalogram. Memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dengan analisis kebutuhan guna menentukan target jumlah produksi, target jumlah kapal, kapasitas fasilitas, dan jumlah konsumen. Prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu dengan menggunakan PHA. Berdasarkan hasil penelitian untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu diperlukan lahan seluas 30 ha dari kondisi yang ada sekarang 7,2 ha, kolam seluas 8,6 ha dari semula 5 ha, dermaga sepanjang 1452 m’ dari kondisi yang ada sekarang 910 m’, gedung pelelangan ikan dari 900 m2 menjadi 2.600 m2, penambahan kapasitas BBM solar sebesar 37.695 kl/tahun dari kondisi sekarang 10.381 kl/tahun, kapasitas pabrik es 38.000 ton/tahun dari kondisi sekarang 18.250 ton/tahun, kapasitas air bersih 86.272 kl/tahun dari kondisi sekarang 38.370 kl/tahun. Dengan pengembangan fasilitas tersebut, maka dapat meningkatkan jumlah kapal yang mendarat sebanyak 922 unit dari kondisi yang ada sekarang 676 unit, jumlah produksi ikan yang didaratkan meningkat sebesar 19.000 ton dari kondisi sekarang 6.601 ton, jumlah konsumen dalam negeri terhadap ikan dari PPN Palabuhanratu meningkat dari 281.049 orang tahun 2005 menjadi 542.619 orang. Urutan alternatif prioritas pengembangan terpilih adalah peningkatan jumlah kapal, peningkatan jumlah produksi ikan, peningkatan pendapatan pelabuhan perikanan, peningkatan jumlah tenaga kerja dan peningkatan PAD. Kata kunci: pelabuhan perikanan, pola pengembangan, triptyque portuaire, analisis kebutuhan, PHA dan PPN Palabuhanratu.
ABSTRACT
BUSTAMI MAHYUDDIN. The Development Pattern of Fishing Port Using the Fishing Port System Concept (Triptyque Portuaire): The case of Palabuhanratu Archipelago Fishing Port. Under the direction of ERNANI LUBIS, DANIEL R MONINTJA, BAMBANG MURDIYANTO, ERNAN RUSTIADI and SULAEMAN MARTASUGANDA The development pattern of Palabuhanratu Archipelago Fishing Port (PAFP) needs to be adjusted to the development of fishery activities. This research is intended to determine the course of the development of PAFP, formulate the development pattern and determine the priority of the development of PAFP. Data analysis used to determine the course of the development of PAFP is determining the need of developing PAFP by considering base-sector location using location quotient (LQ), production value relative index (I), the condition of pond density, competition of fishing port using skalogram method. Formulating the development pattern of PAFP using analysis of necessity, determining the priority of the development of PAFP using AHP. The research outputs are; to optimize the function of PAFP, the size of the pond need to be extended by 8.6 hectares of present pond 5 hectares, wharf extension by 1452 meters of the present wharf 910 m, addition of fuel capacity by 37,695 kl/years of the present condition 10,381 kl/years, ice factory by 38,000 tons/years of the presents conditions 18,250 tons/years, water capacity by 86,272 kl/years of the present condition 38,370 kl/years and the extension of the area by 30 hectares of the present size 7.2 ha. By using the above mentioned development pattern, the number of the fishing vessels can be increased by 922 vessels of the present condition 676 vessels, the number of fish production increases by 19,000 tons of the present production 6,601 tons, the number of domestic fish consumers increase significantly from 281,049 in 2005 to 542,619. The chosen alternative priority of the development of PAFP sequence is the increase of the number of vessels, increase of the fish production, increase of the port’s revenue, increase of the number of the labor and increase of the state revenue (PAD). Key words : fishing port, development pattern, triptyque portuaire, analysis of necessity, AHP and Palabuhanratu Archipelago Fishing Port (PAFP).
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
POLA PENGEMBANGAN PELABUHAN PERIKANAN DENGAN KONSEP TRIPTYQUE PORTUAIRE : KASUS PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU
BUSTAMI MAHYUDDIN
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
LEMBAR PENGESAHAN Judul disertasi
Nama NRP Program Studi
: Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan dengan Konsep Triptyque Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu : Bustami Mahyuddin : C 526010164 : Teknologi Kelautan
Disetujui, Komisi Pembimbing,
Dr. Ir. Ernani Lubis, DEA Ketua
Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja, M.Sc Anggota
Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Anggota
Dr. Sulaeman Martasuganda, M.Sc Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal ujian : 7 Mei 2007
Tanggal lulus...........................................
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kerinci, Jambi pada tanggal 29 Oktober 1959, sebagai anak keempat dari pasangan H. Mahyuddin Majid (alm) dan Hj. Syamsinar. Pada bulan Desember tahun 1977 penulis lulus dari SMA Negeri Sungai Penuh (Kerinci) dan pada tahun 1978 lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Teknologi dan Manajemen Penangkapan Ikan pada Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor dan selesai pada tahun 1982. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten muda tidak tetap pada mata kuliah Ekologi Umum pada tahun 1980-1981. Tahun 1995 menempuh pendidikan Magister Manajemen di IPWIJA Jakarta dan diselesaikan pada tahun 1997. Penulis berkarya sebagai Kepala Seksi Identifikasi Pelabuhan Perikanan pada Direktorat Jenderal Perikanan sejak tahun 1983-1997. Kemudian pada tahun 1998 sampai dengan sekarang penulis berkarya sebagai Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, Sukabumi Jawa Barat. Selama memimpin PPN Palabuhanratu telah tiga kali memperoleh penghargaan dari Menteri yakni penerimaan Piagam Penghargaan Adhi Bakti Tani dari Menteri Pertanian sebagai unit kerja pelayanan berprestasi pratama atas upaya meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat dengan baik yang diterima pada tanggal 17 Agustus 1998, Piala Adhi Bakti Tani penghargaan Menteri Pertanian untuk unit kerja pelayanan terbaik tahun 1999 yang diterima pada tanggal 17 Agustus 1999, dan Piala Adhi Bakti Mina Bahari dari Menteri Kelautan dan Perikanan untuk unit kerja pelayanan yang berprestasi di lingkungan DKP tahun 2005 yang diterima bulan Januari 2006. Penulis memperoleh penghargaan atas prestasi akademik gemilang tahun akademik 2001/2002 dari Direktur Program Pascasarjana IPB, tertuang dalam piagam penghargaan No.287/K13.8/KM/2002 tanggal 5 Agustus 2002. Penulis dinyatakan lulus pada sidang ujian terbuka Doktor IPB, Program Studi Teknologi Kelautan pada hari Senin tanggal 7 Mei 2007 di IPB Darmaga Bogor.
PRAKATA Alhamdulillah, atas karunia Allah SWT disertasi ini dapat diselesaikan. Dengan telah selesainya disertasi ini, maka merupakan langkah penting selanjutnya
untuk
memanfaatkan ilmu yang diperoleh guna diterapkan di tengah-tengah masyarakat terutama pada masyarakat perikanan. Terima kasih yang tulus saya sampaikan kepada: 1. Dr.Ir. Made L. Nurdjana selaku Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan izin belajar (surat izin belajar No. 5698/DPT.O/Kp.510.S3/X/2001
tertanggal
5
Oktober
2001)
pada
Program
Pascasarjana (S-3) IPB. 2. Ir. Ibrahim Ismail selaku Direktur Pelabuhan Perikanan DKP yang telah memberikan dorongan dan semangat dalam penyelesaian studi penulis. 3. Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS selaku Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah membantu penulis dalam penyelesaian studi. 4. Dr.Ir. Kadarwan Suwardi, M.Sc selaku Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB yang telah membantu penulis dalam penyelesaian studi. 5. Prof.Dr.Ir. John Haluan, M.Sc selaku Ketua Program Studi Teknologi Kelautan IPB yang telah membantu penulis dalam penyelesaian studi. 6. Dr.Ir. Ernani Lubis, DEA selaku ketua komisi pembimbing dan Prof.Dr.Ir. Daniel R. Monintja, M.Sc, Prof.Dr.Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc, Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr dan Dr. Sulaeman Martasuganda, M.Sc, selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan. 7. Komisi pendidikan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang telah memberikan saran perbaikan disertasi. 8. Penguji luar komisi pada sidang ujian tertutup yakni Dr.Ir. Anwar Bey Pane, DEA (Staf Pengajar pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan), pada sidang ujian terbuka yakni Dr.Ir. Ali Supardan, M.Sc (Direktur Jenderal Perikanan Tangkap DKP) dan Dr.Ir. Budhi H. Iskandar, M.Si (Staf Pengajar pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan) yang telah memberikan saran-saran perbaikan.
9. Penyelesaian disertasi ini banyak mendapat bantuan dan kerjasama pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan bekerja sama dalam penyelesaian disertasi ini. Secara khusus saya mengucapkan terima kasih kepada isteri tercinta Yartini, B.Sc dan anakanak saya Ade Wiguna Nur Yasin, S.Pi, Adli Ardianto, dan Anita Amanda Dewi serta semua staf PPN Palabuhanratu dan terutama kepada Sdr Lukman Nur Hakim, S.Pi yang telah banyak memberikan sumbangan pemikirannya. Semoga disertasi ini bermanfaat. Terima kasih.
Bogor,
Mei 2007
Bustami Mahyuddin
ii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………...
iv
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………..
vii
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................
ix
1 PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………
1
1.2 Perumusan Masalah Penelitian ……………………………….. ...
16
1.3 Tujuan Penelitian.....…………………………………………….
17
1.4 Manfaat Penelitian……....……………………………………….
18
1.5 Ruang Lingkup Penelitian.............................................................
18
1.6 Novelty ...........................................................................................
18
2 KERANGKA PEMIKIRAN………………………………………. .....
20
3 TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………..
26
3.1 Tujuan Pengelolaan Perikanan.......................................................
26
3.2 Definisi Pelabuhan Perikanan……………………………………
26
3.3 Pengertian Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan ……. ........
28
3.4 Landasan Hukum Pengelolaan Pelabuhan Perikanan ....................
29
3.5 Fungsi dan Peranan Pelabuhan Perikanan…….………………. ...
35
3.6 Pelabuhan Perikanan di Negara Lain .............................................
37
3.7 Persaingan Antar Pelabuhan Perikanan di WPP 9 Samudera Hindia dan Penentuan Sektor Basis ..............................
42
3.8 Hubungan Pelabuhan Perikanan dengan Wilayah .........................
42
3.9 Konsep Triptyque Portuaire ..........................................................
46
3.10 Penentuan Kualitas Pemasaran Ikan .............................................
49
3.11 Proses Hierarki Analitik (PHA)……………………………… ..
50
3.12 Kajian Penelitian Terdahulu.........................................................
51
i
4 METODOLOGI PENELITIAN ……………………………………....
53
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………… .....
53
4.2 Tahap Penelitian……………………………………………….....
53
4.3 Metode Penelitian …………………………………………… .....
54
4.4 Jenis dan Sumber Data………………………………………… ...
54
4.5 Metode Pengambilan dan Analisis Data………………………….. 4.5.1 Penentuan arah pengembangan PPN Palabuhanratu ............ 4.5.2 Memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu .............................................................. 4.5.3 Menentukan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu .
56 57 62 70
5 HASIL PENELITIAN ……………………………………… ...............
74
5.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian……………………………… ...
74
5.2 Kondisi PPN Palabuhanratu............................................................ 5.2.1 Fasilitas PPN Palabuhanratu…… ......................................... 5.2.2 Kondisi operasional PPN Palabuhanratu.............................. 5.2.3 Manajemen Pelabuhan Perikanan .........................................
81 81 91 106
5.3 Arah Pengembangan PPN Palabuhanratu ....................................... 5.3.1 Potensi sumberdaya ikan dan daerah penangkapan kapal-kapal dari Palabuhanratu ............................................. 5.3.2 Faktor-faktor pendukung pengembangan PPN Palabuhanratu................................................................ 5.3.3 Daerah distribusi hasil tangkapan PPN Palabuhanratu ..........
109
114 133
5.4 Pola Pengembangan PPN Palabuhanratu ....................................... 5.4.1 Target jumlah produksi PPN Palabuhanratu ........................ 5.4.2 Target jumlah kapal ............................................................... 5.4.3 Target kapasitas fasilitas........................................................ 5.4.4 Pengembangan daerah distribusi (hinterland) .......................
148 148 150 151 155
5.5 Prioritas Pengembangan PPN Palabuhanratu................................. 5.5.1 Penentuan alternatif prioritas pengembangan...................... 5.5.2 Sensitivitas prioritas pengembangan ..................................
157 158 171
6 PEMBAHASAN .....................................................................................
175
6.1 Antisipasi Pengembangan PPN Palabuhanratu ................................ 6.1.1 Pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah produksi (foreland) ................................................................ 6.1.2 Fasilitas dan operasional PPS Palabuhanratu......................... 6.1.3 Potensi pengembangan wilayah distribusi (hinterland) .........
175
109
175 184 190
ii
6.2 Hubungan Alternatif Prioritas Terhadap Fungsi Pelabuhan dan Solusinya ..................................................................................
197
6.3 Dukungan Kelembagaan Terhadap Pengembangan PPN Palabuhanratu .........................................................................
202
6.4 Peluang Penerapan Peraturan Internasional....................................
205
7 KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................
211
7.1. Kesimpulan.....................................................................................
211
7.2. Saran................................................................................................
213
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
iii
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
1. Penyebaran pelabuhan perikanan di Indonesia tahun 2006 .......................
2
2. Produksi perikanan dan kondisi kapal berdasarkan ukuran di PPN Palabuhanratu saat sebelum dibangun, estimasi studi kelayakan kondisi pada tahun 2002 dan tahun 2005 ..................................................
8
3. Evaluasi PPN Palabuhanratu kelas B sampai dengan tahun 2005 ……. ...
13
4. Potensi lestari dan peluang pengembangan masing-masing kelompok sumberdaya ikan laut pada WPP 9 tahun 2000 ..........................................
15
5. Jumlah ikan tuna dan layur yang diekspor dari PPN Palabuhanratu bulan Januari – Oktober 2006.....................................................................
22
6. Kriteria teknis klasifikasi pelabuhan perikanan (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan)……………………..
31
7. Evaluasi kondisi fasilitas vital pelabuhan perikanan/ PPI di Pulau Jawa tahun 2005 ...........................................................................
33
8. Evaluasi kondisi fasilitas penting pelabuhan perikanan/ PPI di Pulau Jawa tahun 2005 ...........................................................................
33
9. Evaluasi kondisi fasilitas pelengkap pelabuhan perikanan/ PPI di Pulau Jawa tahun 2005 ...........................................................................
34
10. Tipe dan jumlah pelabuhan perikanan di Jepang tahun 1995 ....................
38
11. Karakteristik pelabuhan perikanan di Perancis ..........................................
40
12. Musim ikan di PPN Palabuhanratu ............................................................
80
13. Kondisi kelompok usaha bersama (KUB) binaan PPN Palabuhanratu tahun 2005..................................................................
95
14. Jumlah kapal/perahu perikanan yang mendarat di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005 ...........................................................................
97
15. Jumlah kapal perikanan yang mendarat di PPN Palabuhanratu berdasarkan daerah asal tahun 2005 ...........................................................
98 iv
16. Produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005............ ............................................................................
99
17. Produksi ikan segar dari PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005............ ............................................................................
99
18. Produksi ikan pindang dari PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005 ........................................................................................
100
19. Produksi ikan asin dari PPN Palabuhanratu tahun 2004............................
101
20. Pemakaian BBM solar untuk kapal di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005 ........................................................................................
103
21. Kebutuhan air bersih di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005........... .............................................................................
104
22. Kebutuhan logistik es di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005....... .................................................................................
106
23. Komposisi pegawai PPN Palabuhanratu berdasarkan pendidikan..............
109
24. Produksi, frekuensi kapal dan CPUE unit penangkapan tuna longline di PPN Palabuhanratu periode tahun 2003-2006........................................
111
25. Daerah penangkapan kapal ikan yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Palabuhanratu tahun 2004 ......................................
113
26. Jumlah perahu/kapal perikanan laut menurut daerah perairan pantai dan provinsi di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2004....................
115
27. Nilai Indeks Relatif Nilai Produksi Perikanan (I) PPN palabuhanratu periode tahun 2000-2004 ...........................................
128
28. Kondisi kolam PPN Palabuhanratu bulan Maret 2007 ..............................
129
29. Kondisi jumlah kapal di kolam PPN Palabuhanratu tahun 2005 ...............
129
30. Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan Perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan fasilitas tahun 2005..................................................................................................
129
31. Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan Perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan pendidikan (strata) sumberdaya manusia pengelola pelabuhan tahun 2005.................
130 v
32. Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis ikan ekonomis penting tahun 2005............................................................
131
33. Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan Perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis alat penangkapan ikan tahun 2005 ....................................................
132
34. Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan Perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis kapal tahun 2005 ...............................................................................
132
35. Hasil perhitungan persaingan 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2005.....................................................
133
36. Perhitungan target alokasi pemanfaatan SDI PPN Palabuhanratu.............
149
37. Hasil perhitungan target jumlah kapal untuk pengembangan PPN Palabuhanratu ....................................................................................
151
38. Hasil perhitungan luas kolam PPN Palabuhanratu ....................................
152
39. Hasil perhitungan panjang dermaga PPN Palabuhanratu...........................
154
40. Hasil perhitungan kebutuhan air bersih PPN Palabuhanratu .....................
155
41. Pola hinterland hubungannya dengan PPN Palabuhanratu posisi tahun 2005 dan pengembangan PPN Palabuhanratu............................................
157
42. Pendapatan PPN Palabuhanratu berdasarkan PP 62 tahun 2000 tentang PNBP periode tahun 2001-2006 ................................................................
165
43. Jumlah tenaga kerja di PPN Palabuhanratu tahun 2005.............................
166
44. Hasil uji sensitivitas terhadap prioritas pengembangan pelabuhan perikanan terpilih .......................................................................................
172
45. Perhitungan target alokasi pemanfaatan SDI PPS Palabuhanratu..............
178
46. Hasil studi kelayakan, kondisi tahun 2005 dan pola pengembangan PPN Palabuhanratu ....................................................................................
200
47. Perubahan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dari aspek operasional ................................................................................................
201
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Fish bone analysis rumusan masalah PPN Palabuhanratu.........................
12
2. Kerangka penelitian pola pengembangan PPN Palabuhanratu ..................
25
3. Mekanisme perhitungan target jumlah produksi PPN Palabuhanratu........
64
4. Mekanisme perhitungan target jumlah kapal PPN Palabuhanratu.............
67
5. Bentuk proses hierarki analitik yang akan ditentukan untuk pengembangan PPN Palabuhanratu............................................................
73
6. Peta penyebaran lokasi pelabuhan perikanan di Kabupaten Sukabumi ...................................................................................................
76
7. Batimetri perairan dekat site PPN Palabuhanratu ......................................
78
8. Pasang surut air laut di PPN Palabuhanratu................................................
79
9. Kebutuhan logistik solar (BBM) di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2004......................................................................................... 102 10. Perkembangan kebutuhan air di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005......................................................................................... 104 11. Perkembangan kebutuhan es di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005......................................................................................... 105 12. CPUE unit tuna longline di PPN Palabuhanratu periode tahun 2003-2005......................................................................................... 111 13. Jumlah kapal/perahu perikanan menurut daerah perairan pantai dan propinsi di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2004............................... 117 14. Jumlah pelabuhan perikanan dan PPI yang berada di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2004.................................................................... 118 15. Pergerakan kapal perikanan dari PPN Palabuhanratu dan fishing ground...................................................................................
119
16. Pola pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2004.........................
137
vii
17. Distribusi ikan segar di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005.....................................................................................
141
18. Distribusi ikan pindang di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005....................................................................................
142
19. Distribusi ikan dari PPN Palabuhanratu tahun 2004.............................
144
20. Hasil proses hierarki analitik untuk alternatif prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu.......................................................
159
21. Produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005............
163
22. Produksi dan nilai ikan-ikan ekonomis penting di PPN Palabuhanratu tahun 2004.............................................................
163
23. Posisi masing-masing bentuk solusi permasalahan pada aplikasi program PHA...........................................................................
167
24. Perbandingan peningkatan jumlah kapal dengan peningkatan produksi untuk semua solusi pengembangan.......................................
168
25. Perbandingan peningkatan jumlah kapal dan peningkatan pendapatan untuk semua solusi pengembangan...................................
169
26. Posisi lembaga yang berperan dalam pengembangan PPN Palabuhanratu berdasarkan olahan PHA......................................
170
27. Hasil uji sensitivitas peningkatan jumlah kapal sebagai prioritas pertama prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu..........
173
28. Rencana kegiatan operasional di darat dan di laut PPS Palabuhanratu..............................................................................
179
29. Cold chain system di PPS Palabuhanratu.............................................
188
30. Diagram alir rencana distribusi ikan dan hasil tangkapan lainnya di PPS Palabuhanratu...............................................................
194
31. Hubungan alternatif strategi, fungsi dan solusi permasalahan dalam pola pengembangan PPN Palabuhanratu...................................
197
32. Lokasi (25 buah) pelabuhan perikanan yang akan dikembangkan dalam outering fishing port program............................
204
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Daftar nama responden...............................................................................
223
2. Hasil penilaian 29 responden terhadap prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu ....................................................................................
224
3. Hasil penilaian 29 responden terhadap solusi pengembangan PPN Palabuhanratu ....................................................................................
225
4. Bagan struktur organisasi PPN Palabuhanratu (SK Menteri Kelautan dan Perikanan No : KEP.26.I/ MEN/ 2001) .........
226
5. Frekuensi masuk kapal/perahu perikanan di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2004...........................................................................
227
6. Frekuensi keluar kapal/perahu perikanan di PPN Palabuhanratu periode tahun 2004.....................................................................................
228
7. PDRB sub sektor perikanan Kabupaten Sukabumi periode tahun 2000-2004............................ ...............................................
229
8. PDRB Kabupaten Sukabumi atas dasar harga berlaku menurut sektor periode tahun 2000-2004 ..................................................
230
9. PDRB sub sektor perikanan atas dasar harga yang berlaku Provinsi Jawa Barat periode tahun 2000-2004...................................... ....
231
10. PDRB atas dasar harga berlaku Provinsi Jawa Barat periode tahun 2000-2004...........................................................................
232
11. Produksi dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun 2000-2004...........................................................................
233
12. Produksi perikanan laut Kabupaten Sukabumi periode tahun 2000-2004 ...........................................................................
233
13. Produksi dan nilai ikan yang dilelang di PPN Palabuhanratu bulan Januari-Oktober 2005 ................................................................................
234
14. Produksi ikan bulan Januari-Oktober 2005 di PPN Palabuhanratu ...........
235
ix
15. Jumlah ikan yang didaratkan di dermaga PPN Palabuhanratu periode tahun 2001-2005 ...........................................................................
236
16. Hasil perhitungan indeks fasilitas 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia ......................................................................
237
17. Perhitungan persaingan jenis pendidikan SDM pada 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia ......................................................
243
18. Perhitungan indeks jenis ikan ekonomis penting 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia ......................................................
245
19. Perhitungan indeks jenis alat tangkap 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia...........................................................................
249
20. Perhitungan indeks jenis kapal 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia.......................................................................................
252
21. Glosari........................................................................................................
254
x
1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pelabuhan perikanan saat ini semakin menarik bagi investor untuk dijadikan
basis dalam pengembangan industri perikanan karena berbagai alasan yakni pertama, investor semakin sulit memperoleh tanah yang bebas masalah di luar kawasan pelabuhan sehingga areal industri perikanan di kawasan pelabuhan semakin diminati, kedua sesuai dengan ayat 3 pasal 41 UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan yang mengharuskan setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan untuk mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan, ketiga adanya kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan bahwa kapal-kapal asing dilarang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia kecuali kapalkapal asing harus berpangkalan, mendaratkan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan Indonesia dan membuka industri perikanan di Indonesia dan keempat semakin banyak kemudahan yang diberikan kepada investor di pelabuhan mulai dari pelayanan prima sampai kepada murahnya tarif dalam memanfaatkan fasilitas pelabuhan. Keberadaan pelabuhan perikanan sangat diperlukan guna menunjang aktivitas perikanan dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan, kegiatan praproduksi, produksi, pengolahan, pemasaran ikan dan pengawasan sumberdaya ikan. Keberhasilan pengelolaan pelabuhan perikanan dalam menjalankan fungsinya merupakan salah satu tujuan dari pembangunan perikanan. Pelabuhan perikanan dapat dijadikan barometer keberhasilan pembangunan perikanan laut pada suatu daerah karena aktivitas perikanan terkonsentrasi dalam kawasan pelabuhan dan sangat mudah dilihat dan dievaluasi kemajuannya. Pelabuhan perikanan dalam operasionalnya sangat berdampak luas terhadap tumbuh dan berkembangnya usaha perikanan dan usaha-usaha kecil lainnya yang mendukung kegiatan perikanan seperti toko logistik, BAP, bengkel dan lain-lain. Sejak era reformasi hingga saat ini, pelabuhan perikanan dijadikan ujung tombak dalam menjalankan kebijakan pemerintah dalam pembangunan perikanan dan kelautan, hal ini dimungkinkan karena fungsi pelabuhan perikanan sebagai
pusat pengembangan ekonomi masyarakat perikanan. Mengingat pentingnya keberadaan pelabuhan perikanan, maka pemerintah telah membangun dan mengembangkan pelabuhan perikanan di Indonesia dan menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2006), bahwa pemerintah telah membangun pelabuhan perikanan sebanyak 784 unit yang terdiri dari 5 unit (0,64%) Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), 12 unit (1,53%) Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), 18 unit (2,17%) Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan 750 unit (95,66%) Pusat Pendaratan Ikan (PPI). Tabel 1 menunjukkan penyebaran pelabuhan perikanan. Tabel 1. Penyebaran pelabuhan perikanan di Indonesia tahun 2006 Satuan: unit No 1 2 3 4
Kelas PPS PPN PPP PPI Jumlah
WIB WITA WIT 4 1 7 1 4 8 6 3 483 138 129 502 (64,04%) 145 (18,49%) 137 (17,47%)
Jumlah 5 (0,64%) 12 (1,53%) 17 (2,17%) 750 (95,66%) 784 (100%)
Sumber : Ditjen. Perikanan Tangkap, 2006.
Berdasarkan Tabel 1, tentang penyebaran pelabuhan perikanan, ternyata 502 unit atau sebesar 64,04% pelabuhan perikanan berada di wilayah Indonesia bagian barat (WIB) dan hanya sebagian kecil saja berada di wilayah Indonesia bagian tengah (WITA) yakni sebanyak 145 unit atau sebesar 18,49% dan di wilayah Indonesia bagian timur (WIT) sebanyak 137 unit atau sebesar 17,47%, yang mengakibatkan adanya kesenjangan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah Indonesia bagian barat dan wilayah Indonesia bagian timur. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah Indonesia bagian barat sudah ada yang mengalami over fishing seperti di perairan Selat Malaka dan Laut Jawa, namun pada WIB jumlah pelabuhan perikanan justru lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pelabuhan perikanan yang ada di WITA dan WIT. Potensi sumberdaya ikan di WITA dan WIT justru banyak perairan yang masih besar potensi pemanfaatannya dan jumlah pelabuhan perikanan lebih sedikit.
2
Menurut Ditjen. Perikanan Tangkap (2005) bahwa untuk wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 9 Samudera Hindia terdapat 216 unit pelabuhan perikanan, namun hanya ada sebanyak 11 unit pelabuhan perikanan yang dapat didarati oleh kapal berukuran >30 GT. Kemudian belum ada satu pun pelabuhan perikanan yang secara khusus dipersiapkan sebagai pangkalan langsung untuk melakukan kegiatan ekspor, seperti belum dilengkapinya fasilitas crane di pelabuhan guna memindahkan kontainer, akibatnya selama ini kegiatan ekspor ikan masih memanfaatkan pelabuhan umum. Menurut Ditjen. Perikanan Tangkap (2006), komposisi kelas pelabuhan perikanan menunjukkan bahwa kelas PPS hanya ada 0,64% saja, kelas PPN sebanyak 1,53% dan PPP sebanyak 2,17% serta PPI memiliki jumlah yang terbanyak yakni sebanyak 95,66%. Dengan komposisi kelas pelabuhan perikanan tersebut di atas, maka lebih dari 80% atau sebanyak 627 unit pelabuhan perikanan mengakomodasikan kapal-kapal berukuran kecil (<10 GT), yang jangkauan operasional penangkapan ikan dilakukan di sekitar pantai saja dan sedikit kapalkapal perikanan memanfaatkan sumberdaya ikan di perairan ZEEI dan laut lepas. Selain itu terdapat kapal-kapal perikanan berukuran >30 GT memanfaatkan fasilitas pelabuhan umum seperti di Pelabuhan Umum Benoa Bali, Pelabuhan Umum Bitung yang pelayanannya belum sesuai dengan tata tertib pelayanan kapal perikanan, sehingga layanan aktivitas perikanan menjadi tidak optimal. Berdasarkan UU No.31/2004 tentang Perikanan telah ditetapkan bahwa selain pemerintah, maka swasta pun diberi hak untuk ikut membangun pelabuhan perikanan. Selama ini sudah ada pelabuhan perikanan yang telah dibangun oleh pihak swasta seperti pelabuhan perikanan swasta yang ada di Batam dan Tual yang secara resmi telah ditetapkan sebagai pelabuhan perikanan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan pada tahun 2006. Namun ada juga tempat pendaratan ikan seperti Tangkahan di Sumatera Utara yang merupakan dermaga pendaratan ikan milik swasta serta dermaga-dermaga milik perusahaan perikanan. Menurut Lubis (2002), bahwa tingkat operasional pelabuhan perikanan bila dilihat dari aspek jumlah ikan laut yang didaratkan di pelabuhan perikanan adalah sebesar 793.718 ton (tahun 1997) atau sekitar 22% dari total produksi perikanan laut sebesar 3.612.961 ton, artinya bahwa ada 80% ikan mendarat di luar
3
pelabuhan perikanan. Kemudian disebutkan bahwa dari 595 unit pelabuhan perikanan pada tahun 1997 yang tidak berfungsi sebanyak 357 unit atau 60%. Selanjutnya menurut Lubis et al. (2005) bahwa dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap kondisi fasilitas vital pada 234 unit pelabuhan perikanan yang ada di pulau Jawa, ternyata 3 unit atau 10% dari jumlah pelabuhan perikanan sebanyak 30 unit berkategori buruk dan 121 unit atau 59% dari jumlah pangkalan pendaratan ikan sebanyak 204 unit memiliki kondisi fasilitas vital berkategori buruk. Berdasarkan indikasi-indikasi tersebut di atas, maka permasalahan yang dihadapi pelabuhan perikanan adalah belum sempurnanya pola pengembangan pelabuhan perikanan baik secara nasional ataupun lokal (regional). Akibat dari permasalahan tersebut menyebabkan tidak berfungsinya pelabuhan perikanan secara optimal. Direktorat Prasarana Perikanan Tangkap (2004), melaporkan bahwa belum berfungsinya pelabuhan perikanan secara optimal tersebut disebabkan oleh: (1) Kelembagaan atau struktur organisasi yang ada di pelabuhan perikanan belum dapat berfungsi secara optimal, seperti halnya kesyahbandaran. (2) Sebagian pangkalan pendaratan ikan belum dibentuk status kelembagaannya oleh pemerintah daerah sehingga belum ada kejelasan operasionalnya. (3) Sumberdaya manusia pelabuhan perikanan yang ada sangat kurang dari segi kuantitas dan kualitas, sehingga pelabuhan perikanan dijalankan kurang profesional. (4) Terbatasnya biaya operasional. (5) Fasilitas pelabuhan perikanan sebagian kurang memenuhi persyaratan teknis, kualitas dan kuantitas sehingga pelayanan yang diberikan belum optimal. (6) Belum efektifnya koordinasi antara pengelola pelabuhan perikanan dengan instansi terkait. (7) Rendahnya kepedulian dan partisipasi masyarakat mendukung pengelolaan pelabuhan perikanan. (8) Belum jelasnya kebijakan dalam pengelolaan pelabuhan perikanan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
4
(9) Belum adanya standard operational procedure (SOP) pengelolaan pelabuhan perikanan. (10) Masih sedikitnya jumlah pelabuhan perikanan yang ada. Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPN Palabuhanratu) adalah salah satu pelabuhan perikanan yang dibangun pemerintah pusat guna menunjang aktivitas perikanan yang memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 9 Samudera Hindia, melayani kapal-kapal yang sedang melakukan operasi penangkapan ikan di daerah penangkapan ikan (fishing ground) dengan menyampaikan informasi yang diperlukan oleh nelayan, seperti informasi mengenai prakiraan potensi daerah penangkapan ikan, harga ikan, kondisi cuaca melalui radio komunikasi atau alat elektronik lainnya, melakukan pelayanan terhadap kapal-kapal perikanan baik untuk keberangkatan maupun pada saat kedatangan dan saat berada di pelabuhan, memfasilitasi kegiatan pengolahan ikan guna mempertahankan mutu ikan yang didaratkan sehingga layak dikonsumsi, memfasilitasi kegiatan pemasaran ikan sehingga ikan yang dipasarkan memperoleh harga yang wajar, seperti melalui kegiatan pelelangan ikan. Selain itu fungsi PPN Palabuhanratu guna memperlancar kegiatan distribusi ikan ke daerah konsumen, melakukan pembinaan terhadap masyarakat perikanan antara lain melakukan pelatihan-pelatihan dan pembinaan usaha nelayan. Semua tugas yang dilakukan oleh PPN Palabuhanratu tersebut bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi dan pertumbuhan usaha perikanan guna meningkatkan pendapatan nelayan dan sekaligus kesejahteraannya. Selain itu juga bertujuan untuk meningkatkan penerimaan dan devisa negara, mendorong perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan ketersediaan, mutu, nilai tambah, daya saing dan konsumsi sumber protein ikan, mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan dan meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan serta melakukan pengendalian pemanfaatan sumberdaya ikan seperti kegiatan statistik perikanan dan pemeriksaan dokumen kapal perikanan. PPN Palabuhanratu mulai dioperasionalkan pada tahun 1993. Sejak pengembangannya pada periode tahun 1993-2005, PPN Palabuhanratu telah mengalami dua tahap pembangunan, yaitu pembangunan tahap pertama pada tahun 1993 dan beroperasi sampai dengan 2002, kemudian pembangunan tahap
5
kedua selama periode tahun 2003-2005, yang merupakan pengembangan pembangunan tahap pertama. Pembangunan pelabuhan perikanan tahap pertama ditujukan untuk menunjang aktivitas perikanan terutama unit penangkapan ikan dengan ukuran kapal sampai 30 GT dan pembangunan pelabuhan perikanan tahap kedua untuk menunjang aktivitas kapal berukuran 30 GT sampai dengan 150 GT. Pengembangan suatu pelabuhan perikanan harus direncanakan sesuai dengan pola pengembangan yang telah ditentukan. Menurut Lubis (2002), pola pengembangan suatu pelabuhan perikanan adalah acuan awal mengembangkan suatu pelabuhan perikanan. Pola pengembangan pelabuhan perikanan diperlukan agar pembangunan dan operasionalnya sesuai dengan fungsi dan tujuan pengembangannya. Penyusunan pola pengembangan pelabuhan perikanan harus ada di dalam triptyque portuaire untuk pelabuhan perikanan, yakni keterkaitan antara aspek wilayah produksi (foreland), wilayah distribusi (hinterland) dan aspek pelabuhan perikanan (fishing port) agar fungsi dan tujuannya bisa dicapai. Dalam pembangunan dan operasional pelabuhan perikanan seharusnya dilakukan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan pola pengembangannya guna meningkatkan fungsi pelabuhan perikanan. Di Indonesia, yang menjadi acuan pola pengembangan pelabuhan perikanan adalah hasil studi kelayakan, rencana induk pembangunan dan berdasarkan pada kriteria klasifikasi pelabuhan perikanan yang ditetapkan oleh pemerintah. Menurut UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan, bahwa rencana induk pelabuhan perikanan ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Pola pengembangan PPN Palabuhanratu tahap pertama sejak awal pembangunannya telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan pada tahun 1987 seperti yang tertera di dalam hasil studi kelayakan dan rencana induk pembangunan Pelabuhan Perikanan Palabuhanratu yang dibuat oleh Rogge Marine Gmbh (Jerman) dan PT. Inconeb tahun 1987 dan kriteria klasifikasi sebagai Pelabuhan Perikanan Nusantara (kelas B). Dalam hasil studi kelayakan dan rencana induk tersebut telah ditentukan, bahwa pemilihan lokasi Palabuhanratu didasarkan karena Palabuhanratu merupakan pusat perikanan sejak zaman penjajahan Belanda, dekat dengan daerah penangkapan ikan, berada di Teluk Palabuhanratu dan mudah diakses ke daerah pemasaran seperti Jakarta dan
6
Bandung. Pembangunan PPN Palabuhanratu sudah disesuaikan dengan rencana pembangunan perikanan secara nasional dan lokal Jawa Barat bahwa dengan adanya PPN Palabuhanratu yang berada di Pantai Selatan Jawa Barat akan dapat meningkatkan pembangunan perikanan di wilayah tersebut terutama untuk daerah perikanan di Pantai Selatan Jawa Barat. Namun pada kenyataannya melalui evaluasi tahun 2002, hasil pengoperasian PPN Palabuhanratu tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Pelabuhan ini pada pembangunan tahap pertama, telah menetapkan pola pembangunan, yakni dibangun di atas tanah seluas 10,2 ha. Direncanakan bahwa dengan adanya pembangunan kolam pelabuhan seluas 3 ha dengan kedalaman kolam bervariasi, yakni 3,5 m, 2 m dan 1 m dan dermaga sepanjang 500 m, maka akan dapat mengakomodir sebanyak 125 unit kapal, yakni terdiri dari kapal perikanan berukuran 5-10 GT sebanyak 25 unit, kapal berukuran 10-20 GT sebanyak 30 unit, kapal berukuran 20-30 GT sebanyak 56 unit, kapal berukuran 30-50 GT sebanyak 10 unit dan kapal berukuran >50 GT sebanyak 4 unit. Wilayah produksi yang merupakan daerah penangkapan ikan oleh kapal-kapal perikanan tersebut berada di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 9 Samudera Hindia dan daerah pemasaran ikan yang meliputi Kabupeten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kota Bandung, Kabupaten Bogor, dan DKI Jakarta serta sebagian untuk diekspor. Diestimasikan sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2010 jumlah ikan yang didaratkan sebanyak 16.000 ton per tahun atau 43,84 ton per hari. Kapal-kapal kecil berukuran sampai dengan 5 GT tidak diakomodir oleh PPN Palabuhanratu, melainkan diatur dan diarahkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk mendarat di tempat pendaratan lain seperti di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cisolok yang berjarak 11 km dari Palabuhanratu dan pendaratan pantai (beach landing) untuk kapal-kapal kincang (congkreng) ukuran <5 GT yang akan dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi di sebelah Selatan PPN Palabuhanratu. PPN Palabuhanratu mulai dioperasionalkan tahun 1993 dan menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.16/Men/2006 tentang Pelabuhan Perikanan, bahwa PPN Palabuhanratu adalah pelabuhan perikanan kelas B, yang skala layanannya sekurang-kurangnya mencakup kegiatan usaha
7
perikanan di wilayah laut teritorial dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. PPN Palabuhanratu merupakan unit pelaksana teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap yang manajemen pelaksananya diatur oleh Menteri Kelautan
dan
Perikanan
dan
eseloneringnya
ditetapkan
oleh
Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara. Pengaturan tentang kepegawaian, biaya pembangunan dan operasional berasal dari pemerintah pusat, begitu pula segala bentuk penerimaan yang merupakan pendapatan pelabuhan yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 62 tahun 2002 dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) harus dimasukkan ke kas negara. Sejak operasional PPN Palabuhanratu tahap pertama periode tahun 1993 hingga tahun 2002 telah mengalami banyak perubahan. Tabel 2 menunjukkan evaluasi kondisi operasional PPN Palabuhanratu sampai akhir tahun 2002 dan tahun 2005. Tabel 2 Produksi perikanan dan kondisi kapal berdasarkan ukuran di PPN Palabuhanratu saat sebelum dibangun, estimasi studi kelayakan, kondisi pada tahun 2002 dan 2005
Kriteria Kapal ukuran (unit) <5 GT 5 – 10 GT 10 – 20 GT 20 – 30 GT 30 - 50 GT 30 – 150 GT Total Produksi ikan (ton)
Sebelum ada PPN Palabuhanratu tahun 1986 50 195 15 260 3.119
Estimasi Kondisi studi operasional Kondisi kelayakan operasional tahun 2005 periode tahun 1993- tahun 2002 2010 317 428 25 106 95 30 3 4 56 13 13 4 13 68 115 452 676 16.000 2.890 6.601
Sumber: Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2005.
Evaluasi terhadap pola pembangunan tahap pertama PPN Palabuhanratu yang disesuaikan dengan studi kelayakan tahun 1987, yakni kapal berukuran <5 GT tidak diakomodir di PPN Palabuhanratu, ternyata pada tahun 2002 jumlah kapal berukuran <5 GT yang menggunakan PPN Palabuhanratu justru meningkat
8
menjadi 317 buah. Kondisi ini terjadi karena Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Sukabumi belum dapat mempersiapkan pembangunan PPI Cisolok dan pendaratan pantai (beach landing) di daerah Patuguran, sehingga manajemen pelabuhan mengalami kesulitan membendung masuknya kapal berukuran <5 GT. Selanjutnya kapal berukuran 5–10 GT akan berkurang jumlahnya dari 195 unit menjadi 25 unit, kenyataan jumlahnya turun sedikit atau menjadi 106 unit pada tahun 2002. Sebaliknya, kapal berukuran 10-20 GT diestimasikan jumlahnya meningkat dari 15 unit pada saat sebelum adanya pelabuhan menjadi 30 unit, yang ada hanya 3 unit pada tahun 2002, kapal berukuran 20–30 GT diestimasikan 56 unit, kenyataannya 13 unit, dan kapal berukuran 30-50 GT diestimasikan 4 unit, kenyataannya kapal berukuran 30–50 GT sebanyak 13 unit pada tahun 2002. Produksi ikan diestimasikan 16.000 ton, namun kenyataannya produksi ikan hanya sebesar 2.890 ton atau 7,9 ton/hari (tahun 2002) atau hanya 18% dari estimasi produksi ikan sebesar 16.000 ton/ tahun. Pola pembangunan tahap I tidak sesuai dengan pola pembangunan yang telah ditentukan dalam studi kelayakan disebabkan oleh: (1)
Kapal: 1) Struktur armada didominasi oleh kapal-kapal berukuran kecil berukuran <10 GT yakni sebanyak 423 unit atau 94% dari jumlah kapal yang ada pada tahun 2002 sebanyak 452 unit. 2) Kapal-kapal berukuran <5 GT direncanakan berpangkalan di PPI Cisolok namun sampai saat ini pembangunan konstruksinya belum selesai. 3) Jangkauan kapal ke daerah penangkapan ikan masih berada di sepanjang pantai (dibawah 12 mil), sehingga jumlah ikan yang didaratkan pada tahun 2002 adalah 2.890 ton atau hanya 18% dari perkiraan produksi ikan yang didaratkan menurut hasil studi kelayakan (16.000 ton).
(2)
Kolam I: 1) Kolam I sering mengalami pendangkalan karena kedua pintu sungai sering dibuka sehingga air sungai Cipalabuhan bebas masuk ke kolam dan sering terjadi banjir.
9
2) Kolam I sudah over capacity, yakni kolam I berkapasitas 125 unit kapal, namun diisi oleh 452 unit kapal. (3)
Fasilitas pemeliharaan kapal: 1) Fasilitas docking hanya ada 1 unit, namun kondisinya rusak parah dan kapasitasnya sangat rendah dan hanya dapat mereparasi kapal <30 GT. 2) Fasilitas bengkel milik pelabuhan tidak sempurna karena tidak dilengkapi peralatan yang lengkap.
(4)
Sumberdaya manusia (SDM): kualitas pegawai pelabuhan kurang, 67% (jumlah pegawai 69 orang) terdiri dari tamatan SLTA yang tidak punya pengetahuan tentang pelabuhan perikanan. Sisanya 23% tamatan D3, S1 dan S2 yang belum banyak memiliki pengetahuan teknis kepelabuhanan perikanan, dan pendidikan nelayan rendah, didominasi tamatan SD.
(5)
Jalan sempit: jalan yang menghubungkan antara Palabuhanratu dengan daerah lain seperti ke kota Cibadak-Sukabumi sangat sempit (lebar 6 m) dan berbelok-belok, sehingga mobil tronton ukuran besar sulit ke Palabuhanratu. Pemda Sukabumi berkeinginan untuk memperlebar jalan, namun masih kekurangan biaya.
(6)
Pelelangan ikan belum berjalan optimal : 1) Pengelola pelelangan (KUD Mina) belum mampu dari segi manajemen, dan permodalan, hal ini diindikasikan oleh lemahnya kondisi sumberdaya
manusia
yang
ada,
terutama
keterampilan
untuk
menjalankan kegiatan koperasi. Kemajuan koperasi sangat tergantung kepada partisipasi anggota dan kepemimpinan koperasi. Secara administrasi sangat sedikit anggota memiliki kartu tanda anggota (KTA), yakni dari 7.400 orang nelayan hanya 740 orang atau 10% yang memiliki KTA. Koperasi belum memiliki modal khusus untuk penjaminan kegiatan pelelangan ikan, sehingga proses transaksi pelelangan ikan berlangsung secara tidak tunai, kondisi inilah yang menyebabkan pelelangan ikan belum berfungsi optimal. 2) Kemampuan bakul untuk membeli hasil lelang sangat kurang. Pada tahun 2005 tercatat sebanyak 125 bakul, diantaranya 120 bakul tidak mempunyai modal yang cukup sehingga bakul dalam membeli hasil
10
lelang selalu bertransaksi tidak tunai. Kondisi tersebut merugikan pihak nelayan sebagai penjual dan mengganggu operasional pelelangan ikan. 3) Kondisi keamanan, ketertiban dan kenyamanan di TPI belum kondusif. Pada saat ikan dalam trays diletakkan di lantai TPI, sering kali orang yang berlalu lalang di dalam ruang TPI yang sangat mengganggu aktivitas pelelangan ikan 4) Pembongkaran ikan masih belum tertib. Setiap kali kapal melakukan pembongkaran ikan ke TPI, terlihat bahwa orang-orang yang tidak berkepentingan turun dan masuk ke kapal, sehingga mengganggu ketertiban dan keamanan sewaktu pembongkaran ikan. (7)
Lahan sangat sempit, yakni 12,2 ha termasuk untuk kolam 5 ha, sehingga industri perikanan sulit untuk diakomodasikan didalam lokasi pelabuhan.
(8)
Ketersediaan es belum memenuhi kebutuhan. Saat ini hanya ada satu pabrik es dengan kapasitas maksimum 1000 balok per hari. Kebutuhan es pada tahun 2004 rata-rata per hari sebanyak 782 balok pada saat kondisi normal dan 1500 balok/hari pada kondisi musim ikan, sehingga kapal harus antri sekitar 3-4 hari untuk memperoleh es.
(9)
SPBU BBM khusus untuk kapal berukuran >30 GT pada pembangunan tahap I belum ada, sehingga kapal mengisi BBM dari SPBU umum.
(10) Industri pengolahan hasil perikanan belum berkembang, karena bahan baku ikan sangat kurang. Jenis pengolahan ikan yang ada yakni pengeringan dan pemindangan ikan. (11) Standard operational procedure (SOP) yang ada belum dijalankan optimal, karena lemahnya pengawasan, misalnya ada sebagian kapal keluar masuk pelabuhan tidak melapor ke petugas. (12) Fungsi kesyahbandaran perikanan masih dijalankan oleh syahbandar umum. Kondisi tersebut menyebabkan kurangnya kesadaran nelayan terhadap ketentuan operasional pelabuhan, yakni banyak kapal-kapal ukuran <10 GT tidak melapor pada saat keluar masuk pelabuhan. (13) Masalah-masalah yang memerlukan pendanaan cepat tidak dapat diatasi karena terikat aturan pemerintah, seperti ada kerusakan fasilitas tidak dapat diperbaiki seketika karena menunggu proses pencairan dana tahun depan.
11
Gambar 1 memperlihatkan rumusan masalah PPN Palabuhanratu secara fish bone analysis.
SOP BELUM DIJALAN SECARA OPTIMAL PERMEN PEL SESUAI UU 31 BLM ADA
SDM KURANG
SDM BIDANG LUAR PERIKANAN KURANG
PENGAWASAN KURANG
KOLAM SEMPIT
FASILITAS PEMELIHARAAN KAPAL PRODUKSI IKAN KURANG FASILITAS BENGKEL & DOK KURANG SEMPURNA
BANYAK KAPAL KECIL
DIDOMINASI KAPAL <10 GT ( 94 %)
PENETAPAN RENCANA INDUK, DLKP
PPN PALABUHANRATU SUDAH BERFUNGSI NAMUN BELUM OPTIMAL
DANA KURANG PABRIK ES KAP 1000 BALOK/HR
TANAH BLM DIBEBASKAN AKSES JALAN KELUAR PEL RATU SEMPIT
BAHAN BAKU KURANG
KUD KURANG PROFESIONAL
SPDN SULIT DPT DO DARI PERTAMINA
LAHAN SEMPIT INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN BLM BERKEMBANG
ES KURANG
PELELANGAN IKAN BLM JALAN BBM KURANG & MAHAL
Gambar 1 Fish bone analysis rumusan masalah PPN Palabuhanratu. Berdasarkan permasalahan di atas yang menyebabkan pola pengembangan pelabuhan yang telah direncanakan tidak tercapai, maka pada pembangunan tahap kedua telah ditetapkan pola pengembangannya yakni pada tahun 2002 telah dibangun dermaga II seluas 2 ha dengan kedalaman kolam 4 m dan dermaga sepanjang 410 m2. Pembangunan tahap II ini bertujuan untuk mengatasi masalah terbatasnya luas kolam dan dermaga yang telah ada pada pembangunan tahap I guna meningkatkan produksi sampai dengan 16.000 ton/tahun. Kolam dengan kedalaman 4 m, dapat mengakomodir kapal sampai ukuran 150 GT, dan dengan
12
luas kolam 2 ha dapat menampung kapal berukuran 30 – 150 GT sekitar 40 unit sekaligus. Kondisi operasional PPN Palabuhanratu sejak pembangunan tahap kedua, yakni jumlah kapal berukuran <5 GT meningkat jumlahnya menjadi 457 unit, kapal berukuran 5-10 GT berjumlah 95 unit, kapal berukuran 10-20 unit berjumlah 4 unit, kapal berukuran 20-30 GT berjumlah 13 unit dan kapal 30-150 GT berjumlah 68 unit dan produksi ikan sebesar 6.601 ton atau 18,1 ton/hari (Tabel 2). Tabel 3 memperlihatkan evaluasi PPN Palabuhanratu. Tabel 3 Evaluasi PPN Palabuhanratu (kelas B) sampai dengan tahun 2005 Kriteria teknis Fasilitas tambat labuh Panjang dermaga Kedalaman kolam Industri perikanan Jangkauan operasional Daya dukung fasilitas
Ukuran standar Kondisi tahap I berdasarkan tahun 2002 Permen KP No 16/2006 ≥ 30 GT ≥30 GT 150 m 3m ada laut teritorial, ZEEI ≥75 kapal = 2.250 GT
500 m 3,5 m ada laut teritorial, ZEEI 125 kapal = 3.230 GT
Kondisi tahap II tahun 2005
Ukuran standar
≥30 GT
sesuai
410 m melebihi 4m sesuai ada sesuai laut teritorial, sesuai ZEEI 40 kapal sesuai = 2.600 GT
Sumber: Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
Semua kriteria sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.16/2006 sebagai Pelabuhan Perikanan Nusantara telah dipenuhi oleh pelabuhan ini, mulai dari fasilitas tambat labuh, panjang dermaga, kedalaman kolam, industri perikanan, jangkauan operasional sampai dengan daya dukung fasilitas. Jumlah produksi ikan yang didaratkan masih sangat rendah, yakni sebesar 18 ton/hari yang tidak sesuai dengan jumlah produksi ikan yang ditetapkan didalam studi kelayakan sebesar 43,8 ton/hari atau menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.KEP.10/MEN/2004 tanggal 24 Pebruari 2004 tentang Pelabuhan Perikanan yang menyatakan bahwa jumlah ikan yang didaratkan rata-rata 30 ton/hari. Kemudian karena terbatasnya areal industri perikanan maka hanya beberapa perusahaan swasta saja yang memanfaatkannya. Permasalahan pada operasional tahap kedua adalah belum berfungsi optimalnya PPN Palabuhanratu yang disebabkan oleh:
13
(1) Kurangnya kapasitas dermaga dan kolam yang tersedia. Kolam I dan kolam II seluas 5 ha dan kedalaman sampai 4 m, panjang dermaga seluruhnya 910 m belum mampu menampung perkembangan jumlah dan struktur kapal yang ada, yakni pada tahun 2005 jumlah kapal 676 unit, terdiri dari kapal berukuran <10 GT sebanyak 571 unit atau 84,46% dari jumlah kapal yang ada dan kapal berukuran 10-150 GT sebanyak 105 unit atau 15,54% dari jumlah kapal yang ada. Kapal yang mendarat mengalami kesulitan melakukan olah gerak di kolam I dan kolam II. (2) Daerah penangkapan ikan semakin jauh dari pantai, seperti daerah penangkapan untuk ikan cucut sudah sampai ke perairan Kepulauan Siberut dan perairan sebelum Pulau Christmas. (3) Harga BBM solar untuk kapal berukuran >30 GT tidak disubsidi, sehingga harganya digolongkan kepada harga solar untuk industri sebesar Rp 5.400/liter. Dengan harga solar tidak bersubsidi tersebut menurunkan daya beli solar, sehingga lebih dari 85% kapal tidak melakukan operasi ke laut. (4) Tidak tersedianya es yang cukup. Pasokan es selama ini berasal dari satu pabrik es yang ada di Palabuhanratu berkapasitas 1000 balok/hari. Kebutuhan es untuk kapal >30 GT sebesar 1500 balok/hari. Kekurangan es dipasok dari luar Palabuhanratu dan kapal-kapal harus antri hingga 4-5 hari. Pola pengembangan PPN Palabuhanratu diperlukan dengan alasan: pertama menurut BRKP dan LIPI (2005), bahwa potensi sumberdaya ikan di WPP 9, khususnya untuk kelompok jenis ikan pelagis besar seperti ikan tuna dan cakalang yang merupakan komoditi ekspor masih besar untuk dapat dieksploitasi yakni baru dimanfaatkan sebesar 188.280 ton per tahun atau sebesar 51,41% dari potensi yang ada sebanyak 366.260 ton per tahun (Tabel 4), kedua untuk memanfaatkan sumberdaya ikan di WPP 9 tersebut diperlukan kapal-kapal perikanan yang berukuran lebih besar (>30 GT) dan kapal angkut untuk tujuan ekspor berukuran <1.000 GT, ketiga sejak PPN Palabuhanratu dioperasikan pada tahun 1993 sampai dengan tahun 2002 (pembangunan tahap pertama), kurang berfungsi optimal terutama target pencapaian produksi sekelas nusantara belum tercapai karena pendaratan ikan hanya sebesar 2.890 ton atau 18% dari target sebesar
14
16.000 ton, keempat kebutuhan akan ikan berkualitas ekspor semakin meningkat sehingga diperlukan pelabuhan perikanan berkualitas internasional yang mampu menyediakan ikan berkualitas ekspor. Tabel 4 Potensi lestari dan peluang pengembangan masing-masing kelompok sumberdaya ikan laut pada WPP 9 tahun 2000
No
Kelompok SDI
1 2 3 4 5 6 7
Pelagis besar Pelagis kecil Demersal Ikan karang konsumsi Udang penaeid Lobster Cumi-cumi Jumlah
Potensi (1000 ton/ tahun) 366,26 526,57 135,13 12,88 10,7 1,6 3,75 1076,89
Produksi (1000 ton/ tahun) 188,28 265,6 134,83 19,42 10,24 0,16 6,29 623,78
Pemanfaatan (%) 51,41 50,44 99,78 150,78 95,70 10,00 167,73 57,92
Sumber: Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 2005.
Dengan alasan tersebut di atas, maka PPN Palabuhanratu perlu dioptimalkan fungsinya, sehingga harus memiliki pola pengembangan yang lebih jelas dan terarah. Pola pengembangan pelabuhan perikanan diperlukan untuk menjadi standar
dalam
pembangunan
dan
operasional
guna
pencapaian
tujuan
pembangunan pelabuhan perikanan. Pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan kasus di PPN Palabuhanratu dapat digunakan sebagai acuan untuk menyusun
pola
pengembangan
pelabuhan
perikanan
lainnya
dengan
menyesuaikan parameter yang ada di komponen triptyque portuaire dari pelabuhan lain tersebut. Menurut Chaussade (1986) dalam Lubis (1989) bahwa, pelabuhan perikanan adalah bagian dari sistem perikanan, dalam operasionalnya sangat terpengaruh terhadap kondisi yang ada di luar pelabuhan perikanan yaitu kondisi yang ada di wilayah produksi (foreland) dan wilayah distribusi (hinterland).
Selanjutnya
dikatakan bahwa, ketiga komponen tersebut disebut triptyque portuaire untuk pelabuhan perikanan. Ketiga hubungan antara wilayah produksi, wilayah distribusi dan pelabuhan perikanan
tidak dapat dipisahkan satu sama lain,
melainkan saling terkait dan di dalam pengembangan pelabuhan perikanan harus
15
mengkaitkan ketiganya, seperti pengembangan pelabuhan perikanan harus tergantung kepada kondisi daerah penangkapan ikan sampai sejauhmana ketersediaan potensi ikan, kemudian pengembangan pelabuhan perikanan juga sangat tergantung kepada sampai sejauhmana konsumen membutuhkan ikan dari pelabuhan perikanan tersebut. Setelah PPN Palabuhanratu dapat dioptimalkan fungsinya sesuai kriteria kelas B, maka selanjutnya perlu diantisipasi tentang rencana pengembangan PPN Palabuhanratu menjadi Pelabuhan Perikanan Samudera Palabuhanratu (PPS Palabuhanratu). Hal itu berkaitan dengan masih besarnya peluang pemanfaatan sumberdaya ikan di WPP 9 Samudera Hindia yang merupakan daerah penangkapan ikan. Selain itu, menurut Pemerintah Provinsi Jawa Barat (2004), bahwa prioritas pembangunan perikanan dan kelautan tahun 2005 menitikberatkan pengelolaan perikanan di wilayah Jawa Barat Bagian Selatan dengan pusat pengembangannya di Palabuhanratu. PPN Palabuhanratu direncanakan akan ditingkatkan menjadi PPS Palabuhanratu. Pada tahun 2006 ini, Pemerintah Provinsi Jawa Barat bekerjasama
dengan Pemerintah
Kabupaten Sukabumi akan melakukan
pembebasan areal di bagian selatan PPN Palabuhanratu seluas 30 ha untuk tahap pertama, kemudian sampai dengan 100 ha pada tahap berikutnya. Dengan demikian keberadaan pelabuhan perikanan di wilayah ini sangat penting dalam menunjang pembangunan perikanan dan kelautan. Pemerintah
Kabupaten
Sukabumi
telah
memasukkan
rencana
pengembangan PPN Palabuhanratu menjadi PPS Palabuhanratu ke dalam rencana umum tata ruang daerah (RUTRD) yang meliputi areal seluas 500 ha. Selanjutnya Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2005) telah memprioritaskan PPN Palabuhanratu masuk ke dalam program pembangunan pelabuhan perikanan yang berada di lingkar luar wilayah Indonesia (outer ring fishing port program) dan merupakan lokasi yang diprioritaskan untuk dikembangkan menjadi PPS Palabuhanratu. Kriteria pemilihannya terkait dengan pelayanan, bahwa pelabuhan perikanan tersebut harus dapat melayani kegiatan ekspor dan impor serta terkait dengan pengembangan wilayah.
16
1.2
Perumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah penelitian adalah:
(1) Masalah pokok PPN Palabuhanratu adalah belum berjalannya fungsi secara optimal sebagai akibat dari pola pengembangannya yang kurang jelas. Fasilitas pelabuhan yang tersedia relatif lengkap, namun terdapat beberapa fasilitas yang telah mengalami daya tampung berlebihan (over capacity) seperti kolam pelabuhan I dan II, kolam pelabuhan I tidak dapat menampung kapal ukuran >30 GT serta areal industri perikanan yang sangat kurang memadai, sehingga memerlukan pengembangan. (2) Sejak awal pembangunan tahap pertama dan pembangunan tahap kedua sudah memiliki pola pengembangan pelabuhan, yakni dengan adanya hasil studi kelayakan dan rencana induk serta kriterianya sebagai kelas B. Pola pengembangan yang telah disusun tersebut dalam implementasinya sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi perikanan sebagai akibat dari perubahan yang terjadi pada wilayah produksi (foreland) dan wilayah distribusi (hinterland). Pada wilayah produksi terjadi perubahan, yakni semakin menjauhnya potensi sumberdaya ikan dari pantai yang mengakibatkan ukuran kapal perikanan yang digunakan untuk menangkap bertambah besar. Perubahan yang terjadi di wilayah distribusi adalah semakin meningkatnya jumlah dan kualitas ikan yang diminta oleh konsumen sebagai akibat dari laju pertumbuhan penduduk dan perubahan selera konsumen. Distribusi ikan semakin meluas, baik untuk konsumen domestik maupun untuk konsumen manca
negara.
Dengan
demikian
untuk
mengatasi
permasalahan
implementasi pola pengembangan PPN Palabuhanratu diperlukan penetapan strategi pengembangan PPN Palabuhanratu. (3) PPN
Palabuhanratu
berpeluang
untuk
dikembangkan
menjadi
PPS
Palabuhanratu. Permasalahannya adalah kelemahan dalam perencanaan, sehingga perlu diantisipasi agar fungsinya dapat dioptimalkan. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: (1) Menentukan arah pengembangan fasilitas dan operasional PPN Palabuhanratu. (2) Memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu.
17
(3) Menentukan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa: (1) Tersedianya suatu pola pengembangan PPN Palabuhanratu. (2) Memberi
masukan
dalam
pembuatan
kebijakan
pembangunan
dan
pengelolaan PPN Palabuhanratu serta PPS Palabuhanratu. (3) Dapat dijadikan acuan untuk menyusun pola pengembangan pelabuhan perikanan lainnya. (4) Memberikan sumbangan dalam upaya pengembangan konsep atau teori pelabuhan perikanan. (5) Membuka wawasan tentang pelabuhan perikanan sehingga berpeluang untuk penelitian lebih lanjut tentang pelabuhan perikanan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian dibatasi pada: (1) Menganalisis arah pengembangan PPN Palabuhanratu. (2) Memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu. (3) Merekomendasikan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu.
1.6 Novelty Berdasarkan hasil penelitian, maka kebaruan (novelty) yang ada dalam penelitian ini adalah : (1) Penerapan penggunaan konsep triptyque portuaire dalam menganalisis suatu pelabuhan perikanan baru pertama kali digunakan dalam penelitian ini. Selama ini untuk membangun pelabuhan perikanan hanya memperhatikan keberadaan sumberdaya ikan dan kapasitas fisik pelabuhan perikanan tanpa mengkaitkan tiga komponen secara terpadu dalam suatu konsep triptyque portuaire, sehingga tidak jarang pelabuhan perikanan yang telah dibangun tidak berfungsi optimal. Konsep triptyque portuaire adalah suatu kerangka analisis geografi yang terdiri dari tiga komponen yang tidak dapat dipisahkan didalam menganalisis pembangunan suatu pelabuhan perikanan yakni
18
komponen wilayah produksi (foreland), pelabuhan perikanan (fishing port) dan wilayah distribusi (hinterland). Menurut Chaussade (1986) yang diacu Lubis (1989), konsep triptyque portuaire pertama kali digunakan untuk menganalisis pembangunan dan pengembangan pelabuhan perikanan di negara Perancis. Penerapan konsep triptyque portuaire untuk pengembangan PPN Palabuhanratu dapat berbeda apabila dibandingkan dengan konsep triptyque portuaire yang diterapkan pertama kali di Perancis karena adanya perbedaan penggunaan teknologi baik untuk kegiatan penangkapan ikan, operasional pelabuhan maupun aktivitas pembinaan mutu dan pemasaran ikan bahkan dalam kebijakan perikanan yang berlaku. (2) Pola pengembangan PPN Palabuhanratu dengan konsep triptyque portuaire dapat dijadikan acuan didalam membangun dan mengembangkan pelabuhan perikanan lain dengan melakukan penyesuaian terhadap parameter yang digunakan.
19
2 KERANGKA PEMIKIRAN Pelabuhan perikanan merupakan prasarana yang sangat diperlukan guna mendukung pembangunan perikanan, yang merupakan salah satu sub sistem dalam sistem pembangunan perikanan. Fungsi pelabuhan perikanan adalah untuk mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran. Dalam pembangunannya pelabuhan perikanan harus direncanakan secara terintegrasi dengan wilayah produksi (foreland) dan wilayah distribusi (hinterland). Pembangunan
suatu
pelabuhan
perikanan
harus
didasarkan
suatu
perencanaan yang matang, baik perencanaan secara nasional, perencanaan regional maupun untuk perencanaan setiap lokasi pelabuhan perikanan. Perencanaan perikanan secara nasional yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap dan ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan harus mencakup rencana induk pembangunan pelabuhan perikanan nasional. Rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional berdasarkan UU No. 31 tahun 2004 ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.16/MEN/2006 tentang Pelabuhan Perikanan, bahwa rencana induk pelabuhan perikanan disusun dengan mempertimbangkan daya dukung sumberdaya ikan yang tersedia, daya dukung sumberdaya manusia, wilayah pengelolaan perikanan (WPP), rencana umum tata ruang wilayah provinsi/kabupaten/kota, dukungan prasarana wilayah, geografis daerah dan kondisi perairan. Berdasarkan rencana induk pelabuhan perikanan nasional, maka masingmasing daerah secara regional membuat rencana induk pelabuhan perikanan regional. Kemudian setiap lokasi pelabuhan perikanan menyusun rencana induknya sendiri-sendiri yang merupakan pedoman atau pola pembangunan suatu pelabuhan. Ketiga rencana induk tersebut harus saling mendukung dan sinkron, sehingga tujuan pembangunan suatu pelabuhan perikanan dapat tercapai. PPN Palabuhanratu dalam tahap pembangunannya sudah ditetapkan pola pengembangan melalui proses perencanaan, yakni dari hasil studi kelayakan dan
rencana induk pembangunannya. Pola pengembangan tersebut kemudian diimplementasikan pada saat pembangunan, operasional dan pemeliharaan pelabuhan. Setelah pola pengembangan PPN Palabuhanratu tersebut dilaksanakan sejak tahun 1993 hingga tahun 2005, pelabuhan perikanan ini ternyata masih belum optimal menjalankan fungsinya, seperti contoh jumlah produksi ikan yang didaratkan pada tahun akhir pembangunan tahap pertama PPN Palabuhanratu tahun 2002 sebesar 7.900 kg/hari atau 18,02% dari tagetnya, sedangkan target yang harus dicapai menurut hasil studi kelayakan sebesar 43.840 kg/hari, sehingga tujuan
pembangunan
pelabuhan
perikanan
yakni
antara
lain
untuk
mensejahterakan nelayan belum tercapai. Pada tahun 2002 yang merupakan awal pembangunan tahap kedua, telah tersedia kolam baru seluas 2 ha dengan kedalaman kolam 4 m dan dermaga sepanjang 410 m’. Sejak operasionalnya kolam dan dermaga tahap kedua tersebut, maka terjadi perubahan struktur armada yang dilayani, yakni semula hanya melayani kapal sampai ukuran 30 GT berkembang menjadi kapal berukuran 30–150 GT dengan alat tangkap longline. Perkembangan operasional tersebut terlihat bahwa ada sebanyak 68 unit kapal berukuran 30–150 GT yang menjadikan basisnya di PPN Palabuhanratu pada tahun 2005, kemudian meningkat menjadi 139 unit kapal pada tahun 2006. Sementara itu pada tahun 2006, sejak bulan Januari sampai dengan Oktober tercatat jumlah ikan tuna segar dan ikan layur berkualitas ekspor yang telah didaratkan sebanyak 1.013.438 kg. Ikan tuna kualitas ekspor yang didaratkan terdiri dari 2 bentuk, yakni ikan tuna segar dan ikan tuna beku. Ikan tuna kualitas ekspor dalam bentuk segar setelah pendaratan di dermaga dibongkar untuk dimasukkan ke dalam mobil berinsulasi yang berisi es curai kemudian langsung dibawa ke Jakarta. Ikan tuna beku dibongkar dari kapal untuk dipindahkan ke mobil ber freezer kemudian diangkut ke Jakarta. Perjalanan dari Palabuhanratu ke Jakarta memerlukan waktu sekitar 4-5 jam. Tabel 5 menunjukkan secara rinci data ekspor ikan tuna dan ikan layur dari PPN Palabuhanratu. Ikan layur kualitas ekspor, setelah dibeli dari nelayan oleh pedagang pengumpul kemudian dijual ke pemilik cold storage yang ada di PPN Palabuhanratu dan sekitarnya. Ikan layur yang telah dipacking oleh perusahaan cold storage kemudian diangkut ke Jakarta menggunakan mobil truk kontainer.
21
Tabel 5 Jumlah ikan tuna dan ikan layur yang diekspor dari PPN Palabuhanratu bulan Januari sampai dengan Oktober 2006 Satuan: kg Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Jumlah Rata-rata
Tuna 194.360 112.700 120.700 65.300 171.899 179.619 57.435 46.250 52.000 13.175 1.013.438 101.343,8
Layur 7.200 8.500 5.000 4.327 5.000 5.400 25.000 25.600 5.000 91.027 9.102,7
Jumlah 201.560 121.200 125.700 69.627 176.899 179.619 62.835 71.250 77.600 18.175 1.104.465 110.446,5
Sumber: Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
Ikan tuna kualitas ekspor banyak didaratkan pada bulan Januari sampai dengan bulan Juni. Menurut Baskoro et al. (2004), pada bulan April-September merupakan musim ikan dengan tangkapan yang bagus di WPP 9. Ikan layur banyak didaratkan pada bulan Agustus dan September karena pada saat itu kondisi perairan di Teluk Palabuhanratu sedang musim ikan layur. Rata-rata per bulan jumlah ikan tuna yang diekspor sebesar 101.343,8 kg dengan tujuan ke negara Jepang. Ikan layur yang diekspor ke negara Korea rata-rata per bulan sebanyak 9.102,7 kg. Kondisi kolam II saat ini sudah dipenuhi oleh kapal-kapal longline, yakni lebih dari 30 unit kapal (kapasitas kolam II sebanyak 40 unit kapal). Sehingga perlu dilakukan upaya pengembangan. Untuk itu perlu pengkajian terhadap operasional pelabuhan melalui monitoring dan evaluasi guna menentukan sampai sejauhmana operasional berdasarkan fungsi yang ada dan permasalahannya sehingga sesuai dengan pola pengembangan yang ditentukan. Menurut Lubis (2002), dalam melakukan monitoring dan evaluasinya akan dikaitkan dengan seberapa jauh pelabuhan ini telah memanfaatkan wilayah produksinya (foreland) dan wilayah distribusinya (hinterland) yang merupakan komponen-komponen dari konsep triptyque portuaire. Pada wilayah produksi, beberapa faktor yang perlu diperhitungkan adalah kondisi potensi sumberdaya ikan yang masih besar peluang untuk dimanfaatkan, jumlah dan struktur kapal yang memanfaatkan WPP
22
9, serta pergerakan kapal dari PPN Palabuhanratu ke daerah fishing ground kemudian kembali ke PPN Palabuhanratu serta berbagai kemungkinan rute kapal perikanan dari PPN Palabuhanratu ke fishing ground. Pada wilayah distribusi, faktor-faktor yang perlu diperhitungkan adalah kondisi permintaan ikan oleh konsumen, kondisi jalan yang menghubungkan PPN Palabuhanratu ke daerah konsumen terutama ke Jakarta dan Bandung. Dari hasil monitoring dan evaluasi, kemudian dilakukan identifikasi untuk setiap permasalahan dan akan ditemukan permasalahannya. Berdasarkan kondisi dan permasalahannya, maka perlu diupayakan untuk menentukan apakah PPN Palabuhanratu perlu dikembangkan baik untuk optimalisasi PPN Palabuhanratu maupun antisipasi menjadi PPS Palabuhanratu. PPS Palabuhanratu yang akan dibangun harus diarahkan kepada pemanfaatan potensi ikan di WPP 9. Ikan tuna dan cakalang adalah sumberdaya ikan yang masih potensial untuk dimanfaatkan yang merupakan komoditi high migration, sehingga kapal-kapal yang memiliki tonase >30 GT dapat menangkap ikan-ikan tersebut di perairan ZEEI (12-200 mil) dan samudera lepas (>200 mil). Untuk mengembangkan PPS Palabuhanratu, maka perlu kajian antara lain tentang penentuan apakah Kabupaten Sukabumi merupakan lokasi sektor basis, yakni lokasi yang mencerminkan: (1) Kondisi sumberdaya ikan nya dapat dijadikan komoditi ekspor. (2) Bagaimana kualitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu dibandingkan dengan daerah lain. (3) Kondisi tingkat operasional kolam dan dermaga saat ini. Selanjutnya parameter-parameter tersebut dipakai untuk menyusun pola pengembangan pelabuhan perikanan yang telah mempertimbangkan konsep triptyque portuaire. Pola pengembangan pelabuhan perikanan yang dikaitkan dengan konsep triprtyque portuaire dirancang dengan tujuan mengoptimalkan fungsi pelabuhan perikanan berdasarkan permasalahan yang ada guna menentukan target produksi, target jumlah kapal, luas kolam, kedalaman kolam, panjang dermaga, kapasitas pabrik es, kebutuhan solar dan kebutuhan air bersih serta manajemen pelabuhan perikanan.
23
Penentuan prioritas pengembangannya dilakukan dengan mengidentifikasi dan menentukan prioritas pengembangan melalui proses hierarki analitik (PHA). Untuk menentukan stabil atau tidaknya prioritas pengembangan maka diperlukan analisis sensitivitas terhadap prioritas pengembangan yang terpilih. Dalam pelaksanaan pengembangan berdasarkan pada pola yang didapat, maka perlu dilakukan antisipasi apabila PPN Palabuhanratu menjadi PPS Palabuhanratu baik terhadap aktivitas, fasilitas maupun pengelolaannya dengan konsep triptyque portuaire. Antisipasi pelaksanaan pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan menganalisis perkembangan kondisi foreland dengan kesiapan PPS Palabuhanratu, yaitu kaitannya dengan berbagai kemungkinan bertambah nya jumlah kapal yang memanfaatkan PPS Palabuhanratu, sehingga jangkauan dan bertambah luasnya fishing ground ke arah perairan wilayah pengelolaan perikanan 9 (WPP 9) Samudera Hindia dan kemungkinan kapal-kapal tersebut melakukan pendaratan di tempat lain. Kaitan hinterland dengan rencana pembangunan PPS Palabuhanratu, perlu dianalisis banyaknya jumlah ikan yang didaratkan, diolah dan dipasarkan serta berkembangnya berbagai bentuk transportasi untuk menjangkau konsumen. Gambar 2 menunjukkan diagram alir pemikiran pelaksanaan penelitian pada penyusunan pola pengembangan PPN Palabuhanratu.
24
RENCANA INDUK PPN PALABUHANRATU
OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU
KONDISI: SDI, SDM, WPP, RUTR,PRASARANA WILAYAH, GEOGRAFIS DAERAH DAN KONDISI PERAIRAN
EVALUASI DAN IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PELABUHAN PERIKANAN
PENENTUAN PERLUNYA PENGEMBANGAN PELABUHAN PERIKANAN
Analisis kebutuhan pengembangan
KONSEP TRIPTYQUE PORTUAIRE : FORELAND FISHING PORT HINTERLAND
Pola pengembangan PPN Palabuhanratu PRIORITAS PENGEMBANGAN
Gambar 2 Kerangka penelitian pola pengembangan PPN Palabuhanratu.
25
3 TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Tujuan Pengelolaan Perikanan Tujuan pengelolaan perikanan menurut pasal 3 UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan adalah meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, meningkatkan penerimaan dan devisa negara, mendorong perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan, mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan, meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing, meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan, mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal serta menjamin kelestarian sumberdaya ikan, dan tata ruang. Tujuan pembangunan pelabuhan perikanan diarahkan untuk mencapai tujuan pengelolaan perikanan tersebut di atas. Kondisi pengelolaan perikanan di Indonesia saat ini belum sesuai dengan harapan karena tidak dikelola secara baik.
Pemanfaatan sumberdaya ikan di
perairan banyak dilakukan secara tidak bertanggung jawab yang menggunakan alat-alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bagan dengan mata jaring berukuran sangat kecil, banyak aktivitas perikanan tidak dilaporkan secara benar dan akurat sehingga kebijaksanaan yang diambil selalu ada penyimpangan dan banyak aturan-aturan yang telah dibuat tidak aplikatif di lapangan, sebagai contoh masih adanya sebagian dari masyarakat nelayan menggunakan trawl. 3.2 Definisi Pelabuhan Perikanan Ditinjau dari sub sistem angkutan (transpor), menurut Kramadibrata (1985) bahwa pelabuhan adalah salah satu simpul dari mata rantai bagi kelancaran angkutan muatan laut dan darat. Jadi secara umum pelabuhan adalah suatu daerah perairan yang terlindung terhadap badai/ombak/arus, sehingga kapal dapat berputar (turning basin), bersandar/membuang sauh, sedemikian rupa hingga bongkar muat atas barang dan perpindahan penumpang dapat dilaksanakan; guna mendukung fungsi-fungsi tersebut dibangun dermaga, jalan, gudang, fasilitas penerangan, telekomunikasi dan sebagainya, sehingga fungsi pemindahan muatan
dari/ke kapal yang bersandar di pelabuhan menuju tujuan selanjutnya dapat dilakukan. Menurut Ayodhyoa (1975) pelabuhan perikanan adalah: (1) Pelabuhan khusus merupakan pusat pengembangan ekonomi perikanan, baik dilihat dari aspek produksi maupun aspek pemasarannya. (2) Gabungan area perairan dan daratan dengan dilengkapi berbagai fasilitas yang dapat digunakan oleh kapal perikanan. (3) Wilayah perairan terbuka dan terlindung dari angin topan, badai sehingga menjadikannya tempat yang aman dan menyenangkan bagi kapal yang mencari tempat perlindungan, pengisian bahan bakar, pengisian keperluan melaut, perbaikan atau aktivitas bongkar. (4) Pusat berbagai aktivitas industri perikanan, kegiatannya mulai dari kapal berangkat ke laut dan kembali ke pangkalan. Selanjutnya menurut Lubis (2002), pelabuhan perikanan adalah suatu wilayah perpaduan antara wilayah daratan dan lautan yang dipergunakan sebagai pangkalan kegiatan penangkapan ikan dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas sejak ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan. Pelabuhan perikanan adalah merupakan pusat pengembangan ekonomi perikanan ditinjau dari aspek produksi, pengolahan dan pemasaran, baik berskala lokal, nasional maupun internasional. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1994) yang diacu Lubis (2002), bahwa aspek-aspek tersebut secara terperinci adalah: (1) Produksi: bahwa pelabuhan perikanan sebagai tempat para nelayan untuk melakukan kegiatan-kegiatan produksinya, mulai dari memenuhi kebutuhan perbekalan untuk menangkap ikan di laut sampai membongkar hasil tangkapannya. (2) Pengolahan: bahwa pelabuhan perikanan menyediakan sarana-sarana yang dibutuhkan untuk mengolah hasil tangkapannya. (3) Pemasaran: bahwa pelabuhan perikanan merupakan pusat pengumpulan dan tempat awal pemasaran hasil tangkapannya. Pengembangan ekonomi perikanan tersebut juga ditunjang oleh industri perikanan baik hulu maupun hilir dan pengembangan sumberdaya manusia khususnya masyarakat nelayan.
27
Menurut Murdiyanto (2004), Jepang sebagai negara terkemuka dalam bidang perikanan mendefinisikan pelabuhan perikanan atau ’Fishing Port’ sebagai berikut: ..........is a composition of water area, land area and facilities to be used as a natural or artificial fishing base, which is designated by the Minister of Agriculture and Forestry……… Definisi pelabuhan perikanan menurut UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.
3.3 Pengertian Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan Menurut Al Barry (1994), yang dimaksud dengan ”pola” adalah model; contoh; pedoman (rancangan); dasar kerja. Sedangkan pengertian”pola”menurut Wojowasito (1972) adalah contoh; suri; model. Berdasarkan pengertian ”pola” di atas, maka yang dimaksud ”pola” dalam penelitian ini adalah suatu contoh atau pedoman atau ukuran-ukuran dalam mengembangkan suatu pelabuhan perikanan berdasarkan konsep triptyque portuaire. Ukuran-ukuran yang akan ditentukan yang merupakan pola pengembangan pelabuhan perikanan terdiri dari ukuranukuran pada komponen wilayah produksi (foreland), komponen pelabuhan perikanan dan komponen wilayah distribusi (hinterland). Pengembangan adalah merupakan suatu usaha ke arah perubahan dari kondisi yang dinilai kurang kepada suatu kondisi baik atau suatu proses untuk mencapai kemajuan. Pengembangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu proses untuk mencapai kemajuan pembangunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu sesuai dengan pola pengembangannya guna mengoptimalkan fungsinya. Pola pengembangan pelabuhan perikanan adalah acuan awal yang sangat diperlukan didalam mengembangkan pelabuhan perikanan. Selama ini didalam perencanaan pelabuhan perikanan di Indonesia banyak dilakukan belum sempurna, yakni dalam penyusunan pola pengembangan tidak mengkaitkan sinergitas antara wilayah produksi (foreland), pelabuhan perikanan dan wilayah
28
distribusi (hinterland), sehingga mengakibatkan banyak pelabuhan perikanan yang tidak berkembang dan berfungsi secara optimal. Hal tersebut diindikasikan bahwa pada tahun 1997 produksi perikanan laut yang didaratkan dipelabuhan perikanan hanya sebesar 793.710 ton atau sekitar 22% dari total produksi perikanan laut sebesar 3.612.961 ton. Sebanyak 357 buah atau sekitar 60% dari total pelabuhan perikanan sebanyak 595 buah belum berfungsi secara optimal (Lubis, 2002). 3.4 Landasan Hukum Pengelolaan Pelabuhan Perikanan Undang-undang yang baru tentang perikanan yaitu UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan pada pasal 41, menyatakan bahwa: (1) Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan. (2) Menteri menetapkan: 1) Rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional. 2) Klasifikasi pelabuhan perikanan dan suatu tempat yang merupakan bagian perairan dan daratan tertentu yang menjadi wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan. 3) Persyaratan dan/atau standar teknis dan akreditasi kompetensi dalam perencanaan, pembangunan, operasional, pembinaan, dan pengawasan pelabuhan perikanan. 4) Wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan. 5) Pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh pemerintah. Penjabaran UU No 31/2004 tentang Perikanan, maka telah diterbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan antara lain mengatur bahwa: (1) Rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional disusun dengan mempertimbangkan: daya dukung sumberdaya ikan yang tersedia, daya dukung sumberdaya manusia, wilayah pengelolaan perikanan (WPP), rencana umum tata ruang wilayah propinsi/kabupaten/kota, dukungan prasarana wilayah, dan geografis daerah dan kondisi perairan. (2) Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan rencana induk secara nasional. (3) Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan yang
29
dibangun oleh pemerintah, BUMN maupun perusahaan swasta. (4) Pemerintah, BUMN maupun perusahaan swasta yang akan membangun pelabuhan perikanan wajib mengikuti rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional dan peraturan pelaksanaannya. (5) Pembangunan pelabuhan perikanan dilaksanakan melalui pentahapan study, investigation, detail design, construction, operation dan maintenance (SIDCOM). (6) Selain pemerintah, pihak swasta dapat membangun dan mengoperasionalkan pelabuhan perikanan. (7) Klasifikasi pelabuhan perikanan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan membagi ke dalam 4 kelas Pelabuhan Perikanan, yakni Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Tabel 6 memuat secara rinci kriteria teknis klasifikasi pelabuhan perikanan menurut Menteri Kelautan dan dan Perikanan (8) Setiap pembangunan pelabuhan perikanan wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Menteri Kelautan dan Perikanan. Lokasi pembangunan pelabuhan perikanan ditetapkan oleh Bupati/Walikota setempat. (9) Pengelolaan pelabuhan perikanan dipimpin oleh seorang Kepala Pelabuhan. Kepala Pelabuhan Perikanan bertindak sebagai koordinator tunggal dalam penyelenggaraan pelabuhan perikanan. (10) Dalam menata dan menertibkan penyelenggaraan pelabuhan perikanan, kepala pelabuhan perikanan dapat menerbitkan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelabuhan perikanan. (11) Fasilitas-fasilitas yang ada di pelabuhan perikanan: 1) Fasilitas pokok, yaitu fasilitas dasar yang diperlukan dalam kegiatan di suatu pelabuhan. Fasilitas ini berfungsi untuk menjamin keamanan dan kelancaran kapal baik sewaktu berlayar keluar masuk pelabuhan maupun sewaktu berlabuh di pelabuhan. Fasilitas pokok antara lain: (a) pelindung seperti breakwater, revetment, dan groin dalam hal secara
30
teknis diperlukan, (b) tambat seperti dermaga dan jetty, (c) perairan seperti kolam, dan alur pelayaran, (d) penghubung seperti jalan, drainase, gorong-gorong, jembatan, (e) lahan pelabuhan perikanan. Tabel 6 Kriteria teknis klasifikasi pelabuhan perikanan Kelas Daerah penangkapan ikan
Pelabuhan Perikanan Samudera Laut teritorial, ZEEI, laut lepas
Pelabuhan Perikanan Nusantara Laut territorial, ZEEI
Pelabuhan Perikanan Pantai Perairan pedalaman, Perairan kepulauan, laut teritorial
Pangkalan Pendaratan Ikan Perairan pedalaman dan perairan kepulauan
Fasilitas tambat labuh ukuran kapal (GT)
≥60
≥30
≥10
≥3
Panjang dermaga (m)
≥300
≥150
≥100
≥50
≥3
≥3
≥2
2
Kedalaman kolam (m) Kapasitas tampung kolam sekaligus Pemasaran Keberadaan industri perikanan
≥75 unit kapal atau ≥2250 GT
≥100 unit kapal atau ≥6000 GT Sebagian untuk ekspor ada
≥30 unit kapal atau ≥ 300 GT
≥20 unit kapal atau ≥ 60 GT
-
-
-
ada
-
-
Sumber: Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan.
2) Fasilitas fungsional, yakni fasilitas yang berfungsi untuk meninggikan nilai guna dari fasitas pokok sehingga dapat menunjang aktivitas di pelabuhan, (a) pemasaran hasil perikanan seperti tempat pelelangan ikan, (b) navigasi pelayaran dan komunikasi seperti telepon, internet, SSB, rambu-rambu, lampu suar, dan menara pengawas, (c) suplai air bersih, es dan listrik, (d) pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan seperti
dock/slipway,
bengkel
dan
tempat
perbaikan
jaring,
(e) penanganan dan pengolahan hasil perikanan seperti transit sheed dan laboratorium
pembinaan
mutu,
(f)
perkantoran
seperti
kantor
administrasi pelabuhan, (g) transportasi seperti alat-alat angkut ikan dan
31
es dan (h) pengolahan limbah seperti instalasi pengolah air limbah (IPAL). 3) Fasilitas penunjang adalah fasilitas yang secara tidak langsung meningkatkan
peranan pelabuhan,
yakni fasilitas
(a) pembinaan
nelayan seperti balai pertemuan nelayan, (b) pengelolaan pelabuhan seperti mess operator, pos jaga, dan pos pelayanan terpadu, (c) sosial dan umum seperti tempat peribadatan dan MCK, (d) kios IPTEK, (e) penyelenggaraan tugas pemerintahan seperti keselamatan
pelayaran,
K3, bea dan cukai, keiimigrasian, pengawas perikanan, kesehatan masyarakat, dan karantina ikan. Selanjutnya Lubis et al. (2005) mengatakan bahwa selain fasilitas yang vital juga terdapat fasilitas penting dan fasilitas pelengkap. Fasilitas vital atau fasilitas yang mutlak diperlukan di pelabuhan perikanan ada 9 jenis yakni dermaga pendaratan ikan dan muat, kolam pelabuhan, sistem rambu-rambu navigasi yang mengatur keluar masuknya kapal, tempat pelelangan ikan, dimana dilakukan transaksi lelang, pabrik es, tangki dan instalasi air, penyediaan bahan bakar, bengkel reparasi dan kantor administrasi. Jenis fasilitas lainnya yakni fasilitas penting, adalah fasilitas yang jelas diperlukan agar pelabuhan perikanan dapat berfungsi dengan baik, namun realisasinya dapat ditunda. Fasilitas penting tersebut adalah generator listrik, kantor kepala pelabuhan, tempat parkir, pos penghubung radio (SSB), ruang pengepakan. Fasilitas pelengkap adalah jenis fasilitas yang diperlukan agar pelabuhan perikanan dapat berfungsi dengan baik, tetapi pengadaannya baru pada pengembangan pelabuhan tahap ketiga. Fasilitas pelengkap ini meliputi dermaga muat terpisah, slipway, ruang pertemuan, kamar kecil, pos penjagaan, balai pertemuan nelayan, rumah dinas, mushola, mobil dinas dan motor dinas. Selanjutnya Lubis et al. (2005) menyatakan bahwa, setelah dilakukan penelitian terhadap fasilitas pelabuhan perikanan di Laut Jawa, ternyata bahwa jumlah pelabuhan yang termasuk kategori baik sangat sedikit, yakni 5 unit pelabuhan perikanan. Sebagian besar pelabuhan perikanan termasuk kategori
32
cukup (73%), tetapi mayoritas PPI termasuk buruk (59%). Tabel 7 menunjukkan evaluasi kondisi fasilitas vital pelabuhan perikanan/PPI di Pulau Jawa tahun 2005. Tabel 7 Evaluasi kondisi fasilitas vital pelabuhan perikanan/PPI di Pulau Jawa tahun 2005 No
Hasil penelitian
1
Kategori baik
2 3
% PP
% PPI
5 dari 30 (17%)
0 dari 204 (0%)
Kategori cukup
22 dari 30 (73%)
83 dari 204 (41%)
Kategori buruk
3 dari 30 (10%)
121 dari 204 (59%)
Sumber : Lubis et al. 2005.
Selanjutnya dikatakan bahwa, dari 30 unit pelabuhan perikanan, 14 unit atau 46% diantaranya berkategori buruk, sedangkan 184 unit PPI atau 90% dari 204 unit PPI berkategori buruk. Adanya 90% dari PPI di Pulau Jawa yang masih termasuk kategori buruk, merupakan suatu jumlah yang besar sekali, dan hal ini berarti adanya kesulitan yang begitu besar bagi para nelayan dalam melakukan kegiatan-kegiatannya. Tabel 8 memperlihatkan evaluasi kondisi fasilitas penting di pelabuhan perikanan/PPI. Tabel 8 Evaluasi kondisi fasilitas penting pelabuhan perikanan/PPI di Pulau Jawa tahun 2005 No
Hasil penelitian
1
Kategori baik
2 3
% PP
% PPI
5 dari 30 (17%)
2 dari 204 (1%)
Kategori cukup
11 dari 30 (37%)
18 dari 204 (9%)
Kategori buruk
14 dari 30 (46%)
184 dari 204 (90%)
Sumber : Lubis et al, 2005.
Demikian juga keberadaan fasilitas pelengkap, yakni sebanyak 12 unit atau 40% dari 30 unit pelabuhan perikanan memiliki fasilitas pelengkap berkategori buruk dan ada 183 unit atau 90% dari 204 unit PPI berkategori buruk seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9. Kondisi ini sangat memperlemah kinerja pelabuhan perikanan/PPI sehingga pelayanan yang diberikan tidak optimal.
33
Tabel 9 Evaluasi kondisi fasilitas pelengkap pelabuhan perikanan/PPI di Pulau Jawa tahun 2005 No
Hasil penelitian
1
Kategori baik
2 3
% PP
% PPI
2 dari 30 (7%)
0 dari 204 (0%)
Kategori cukup
16 dari 30 (53%)
19 dari 204 (9%)
Kategori buruk
12 dari 30 (40%)
183 dari 204 (90%)
Sumber : Lubis et al. 2005.
Menurut pasal 42 UU No. 31/2004 tentang Perikanan bahwa: (1) Dalam rangka keselamatan pelayaran, ditunjuk syahbandar di pelabuhan perikanan. (2) Setiap kapal perikanan yang akan berlayar dari pelabuhan perikanan wajib memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar. (3) Selain menerbitkan surat izin berlayar, syahbandar di pelabuhan perikanan mempunyai kewenangan lain yakni: memeriksa ulang kelengkapan dokumen kapal perikanan dan memeriksa ulang alat penangkapan ikan yang ada di kapal perikanan. Syahbandar di pelabuhan perikanan diangkat oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Selain itu, landasan hukum yang mendasari pengelolaan pelabuhan perikanan adalah: (1) Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No.62 tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). (2) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.46/MEN/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan. (3) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.17/MEN/2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Peraturan mengenai pelabuhan perikanan sangat tertinggal dibandingkan dengan peraturan pelabuhan umum, sehingga didalam pelaksanaan pembangunan dan operasionalnya sejak tahun 1972 (mulai adanya istilah dan pembangunan pelabuhan perikanan)
mengalami banyak hambatan karena setiap kali
34
pembangunan dan operasional pelabuhan perikanan selalu didahului melalui proses
perijinan
dari
Menteri
Perhubungan.
Akibatnya
perkembangan
pembangunan dan operasional pelabuhan perikanan terganggu. Namun dengan adanya UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan dan Peraturan Menteri No.16 tahun 2006, maka kedudukan, hak dan kewajiban, tugas dan aturan lainnya mengenai pelabuhan perikanan semakin jelas dan petugas di lapangan tidak raguragu lagi untuk mengupayakan agar fungsi pelabuhan perikanan dapat berjalan secara optimal. 3.5 Fungsi dan Peranan Pelabuhan Perikanan Menurut Lubis (2002), terdapat dua jenis pengelompokan fungsi pelabuhan perikanan yakni ditinjau dari pendekatan kepentingan dan pendekatan aktivitas. Fungsi pelabuhan perikanan berdasarkan pendekatan kepentingan adalah: (1) Fungsi maritime, dimana pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat kontak bagi nelayan atau pemilik kapal, antara laut dan daratan melalui penyediaan kolam pelabuhan dan dermaga. (2)
Fungsi pemasaran, dimana pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat awal untuk mempersiapkan pemasaran produksi perikanan dengan melakukan transaksi pelelangan ikan.
(3)
Fungsi jasa, dimana pelabuhan perikanan memberikan jasa-jasa pelabuhan mulai dari ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan. Fungsi pelabuhan perikanan ditinjau dari segi aktivitas khususnya adalah:
(1)
Fungsi pendaratan dan pembongkaran, dalam hal ini pelabuhan perikanan lebih ditekankan sebagai pemusatan sarana dan kegiatan pendaratan dan pembongkaran hasil tangkapan di laut.
(2)
Fungsi pengolahan, dimana pelabuhan perikanan sebagai tempat membina peningkatan mutu serta pengendalian mutu ikan dalam menghindari kerugian dari pasca tangkap.
(3)
Fungsi pemasaran, dimana pelabuhan perikanan berfungsi sebagai tempat untuk menciptakan mekanisme pasar yang menguntungkan atau mendapat harga yang layak baik bagi nelayan maupun bagi pedagang.
35
(4)
Fungsi pembinaan terhadap masyarakat nelayan, dimana
pelabuhan
perikanan dapat dijadikan sebagai lapangan kerja bagi penduduk di sekitarnya dan sebagai tempat pembinaan masyarakat nelayan. Menurut Murdiyanto (2004), pelabuhan perikanan merupakan basis utama kegiatan industri perikanan tangkap yang harus dapat menjamin suksesnya aktivitas usaha perikanan tangkap di laut. Pelabuhan perikanan berperan sebagai terminal yang menghubungkan kegiatan usaha di laut dan di darat ke dalam suatu sistem usaha yang berdaya guna tinggi. Aktivitas unit penangkapan ikan di laut keberangkatannya dari pelabuhan harus dilengkapi dengan bahan bakar, perbekalan makanan, es dan lain-lain secukupnya. Informasi tentang data harga dan kebutuhan ikan di pelabuhan perlu dikomunikasikan dengan cepat dari pelabuhan ke kapal di laut. Setelah selesai melakukan pekerjaan di laut, kapal akan kembali dan masuk ke pelabuhan untuk membongkar dan menjual ikan hasil tangkapan. Selain memberikan pelayanan terhadap kapal, yaitu melayani segala kebutuhan keberangkatan, kedatangan, berlabuh, perbaikan dan docking, pelabuhan juga melayani aktivitas pemasaran dan distribusi ikan dan pedagang atau pihak lainnya untuk berusaha dalam bidang perikanan. Selain itu pelabuhan juga mengumpulkan data statistik perikanan. Selanjutnya dinyatakan bahwa fungsi khusus pelabuhan perikanan yang membedakan dengan pelabuhan lain adalah terutama yang dicirikan dari karakteristik komoditas perikanan yang sifatnya mudah busuk (highly perishable). Hal ini menghendaki pelayanan khusus berupa perlakukan penanganan, pendistribusian hasil ikan secara cepat ataupun pengolahan (fish processing) yang tepat. Untuk komoditas hasil perikanan ini perlu bongkar muatan ikan dilakukan berkali-kali dalam sehari. Ciri khusus lain adalah ukuran kapal yang relatif kecil dan berjumlah banyak. Hal ini menyebabkan perlunya bangunan pelabuhan yang dapat memberikan perlindungan dengan derajat yang lebih tinggi untuk kapalkapal ukuran besar. Selain itu sifat usaha perikanan tangkap yang tergantung dari kondisi alam yang tidak menentu, ada musim ikan, ada musim paceklik menyebabkan perhitungan arus lalu lintas kedatangan dan keberangkatan kapal (traffic flow) menjadi tidak teratur sehingga diperlukan alokasi waktu lama dan area yang cukup lapang untuk kapal bertambat pada musim paceklik.
36
Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per. 16/Men/2006, pelabuhan perikanan mempunyai fungsi mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran. Fungsi pelabuhan perikanan dalam mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya dapat berupa pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas perikanan, pelayanan bongkar muat, pelaksanaan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan, pemasaran dan distribusi ikan, pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan, pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan, pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan, pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumberdaya ikan, pelaksanaan kesyahbandaran, pelaksanaan fungsi karantina ikan, publikasi hasil riset kelautan dan perikanan, pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari dan pengendalian lingkungan. Dalam penjelasan pasal 41 ayat 1 UU No.31/2004 tentang Perikanan, dinyatakan bahwa pelabuhan perikanan berfungsi antara lain sebagai tempat tambat-labuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan, tempat pemasaran dan distribusi ikan, tempat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan, tempat pengumpulan
data
tangkapan,
tempat
pelaksanaan
penyuluhan
serta
pengembangan masyarakat nelayan, dan tempat untuk memperlancar kegiatan operasional kapal perikanan. 3.6 Pelabuhan Perikanan di Negara Lain Terdapat beberapa pengalaman pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan di negara Jepang, Philipina, Jerman dan Perancis yang dapat dijadikan contoh keberhasilannya, sehingga perlu meneladani pelabuhan-pelabuhan yang sudah ada di negara lain. (1) Pelabuhan perikanan di Jepang Negara Jepang membagi pelabuhan perikanan menjadi 4 tipe. Tabel 10 menunjukkan tipe dan jumlah pelabuhan perikanan di Jepang tahun 1995. Dengan jumlah 2.944 unit pelabuhan perikanan tahun 2001 dan panjang pantai negara Jepang 34000 km berarti setiap pelabuhan perikanan memiliki jarak
37
12 km. Selain itu ada 7000 desa nelayan, 5000 desa nelayan diantaranya berada dekat dengan pelabuhan perikanan. Bandingkan dengan negara Indonesia yang memiliki 17.508 buah pulau dan panjang pantai 81000 km, wilayah lautannya meliputi 5,8 juta km2 atau 70% dari luas total territorial Indonesia hanya memiliki pelabuhan perikanan sebanyak 784 unit, dengan demikian setiap pelabuhan perikanan berjarak 103 km. Tabel 10 Tipe dan jumlah pelabuhan perikanan di Jepang tahun 1995 Tipe Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3 Tipe 4
Jumlah
Jumlah Karakteristik 2.218 Pelabuhan-pelabuhan yang digunakan untuk perikanan lokal 512 Pelabuhan-pelabuhan yang kisaran kebutuhannya lebih luas dari tipe 1 dan dibawah tipe 3 113 Pelabuhan-pelabuhan yang digunakan oleh seluruh kapal Jepang 101 Pelabuhan-pelabuhan di dalam isolasi (tertutup) oleh pulau-pulau atau tempat terpencil yang dibutuhkan untuk pengembangan daerah penangkapan dan tempat berlindung kapal-kapal penangkapan. 2.944
Sumber: National Fishing Port Association, 1995.
Selanjutnya dikatakan bahwa, jumlah kapal perikanan tahun 1993 di pelabuhan perikanan terbanyak pada pelabuhan perikanan tipe I yakni sebesar 150.581 unit, pada tipe II sebanyak 91.140 unit, tipe III sebanyak 22.878 unit dan tipe IV sebanyak 14.331 unit. Jumlah pendaratan ikan pada tahun 1993 terbanyak pada tipe III yakni sebesar 2.384.000. ton, pada tipe II sebanyak 1.382.000 ton, pada tipe I sebanyak 1.343.000 ton. Jepang adalah negara kepulauan yang sering dilanda gempa dan sering terjadi tsunami. Sebagai contoh tsunami yang terjadi pada tahun 1986 telah menimbulkan naiknya gelombang air laut setinggi 24,4 m dan telah menewaskan sebanyak 27.122 orang. Untuk mengatasi masalah tsunami tersebut, maka selain memperbaiki struktur pantai, pembangunan rumah, gedung tahan gempa, maka pelabuhan perikanan yang dibangun di sepanjang pantai dirancang sekokoh mungkin sehingga berfungsi untuk mempertahankan pantai dari serangan gelombang tsunami. Akibatnya dana pembangunan pelabuhan perikanan menjadi lebih besar (National Fishing Port Association, 1995).
38
Pelabuhan perikanan dipimpin oleh seorang administrator yang diangkat oleh walikota. Peraturan pelabuhan perikanan di Jepang mengatur bagaimana Pemerintah merencanakan, membangun, mengelola dan memelihara pelabuhan perikanan. Jika pelabuhan perikanan secara legal diakui, maka pertama rancangannya harus disetujui oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri Pertanian, Kehutanan dan Perikanan setelah mendengar pendapat dari lembaga umum lokal. Pemerintah Pusat menetapkan rencana induk pelabuhan perikanan 5 sampai 6 tahun ke depan. Administrasi pelabuhan perikanan di Jepang semuanya dikelola oleh Dinas Perikanan di Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan. Dana pembangunan breakwater, dermaga, alur pelayaran, kolam pelabuhan, jalan dan fasilitas transportasi dibiayai 50% dari Pemerintah Pusat dan 50% dari Pemerintah Daerah. Pembangunan fasilitas yang bersifat komersial seperti unit pembekuan ikan, pabrik es diserahkan kepada pihak swasta atau koperasi perikanan. Biaya pemeliharaan dan manajemen ditanggung oleh Pemerintah Daerah. (2) Pelabuhan perikanan di Perancis Menurut Lubis (2002), di Perancis sebelum tahun 1965, pelabuhan mempunyai dua pembagian wewenang yaitu kementerian perhubungan adalah penanggung jawab infrastruktur dan kamar dagang dan industri adalah penanggung jawab suprastruktur.
Namun sejak tahun 1983, pengelolaan
sepenuhnya dipegang oleh kamar dagang dan industri dan pemerintah pusat tetap sebagai pemiliknya. Sejak tahun 1992, di beberapa daerah, pengelolaaannya diserahkan oleh perusahaan swasta yang mempunyai kontrak mengelola pelabuhan perikanan selama 15 tahun. Perancis pada umumnya mengelompokkan pelabuhan perikanan menjadi pelabuhan perikanan besar dan kecil, masingmasing mempunyai karakteristik. Tabel 11 menunjukkan karakteristik pelabuhan perikanan di Perancis. Tabel 11 Karakteristik pelabuhan perikanan di Perancis Jenis Pelabuhan
Tipe pelabuhan
Pelabuhan besar Pelabuhan kecil
Industri & semi industri Tradisional atau pantai
Ukuran kapal >50 GT <50 GT
Distribusi Nasional & ekspor Lokal & nasional
Sumber : Lubis, 2002.
39
Menurut Le Ry JM (2005), bahwa di Cornouaille terdapat 7 pelabuhan perikanan pada 100 km garis pantai, yakni Douarnenez, Audierne, Saint Guenole, Guilvinec, Lesconil, Loctudy dan Concarneau. Pada tahun 2004 telah didaratkan sebanyak 59.000 ton ikan pada 7 pelabuhan perikanan tersebut. Ada sebanyak 500 buah kapal perikanan memanfaatkan pelabuhan perikanan tersebut, mulai dari handliner berukuran panjang 6 m sampai kepada
kapal high sea trawlers
memiliki panjang 30 m dan tuna seiner memiliki panjang lebih dari 75 m. Fasilitas pokok telah dibangun oleh negara Perancis. Pengelolaan pelabuhan dilakukan oleh
Regional
Administration.
Kontrak
telah
dibuat
antara
Regional
Administration dengan chambers of commerce and industry (CCI) untuk memelihara pelabuhan perikanan, membangun baru pelabuhan perikanan. CCI mewakili perusahaan swasta lokal. Pelelangan ikan dilaksanakan satu sampai dua kali sehari. Beberapa kegiatan di pelabuhan perikanan antara lain penanganan ikan di kapal oleh koperasi dan perusahaan swasta, penyaluran BBM oleh koperasi, penyediaan es oleh CCI atau perusahaan swasta, pembangunan kapal oleh perusahaan swasta, perbaikan kapal oleh perusahaan swasta, slipway atau boat lift oleh CCI, kredit oleh professional bank Marine Credit, pembongkaran ikan oleh CCI, penjualan ikan oleh perusahaan swasta, cold storage oleh perusahaan swasta, pengalengan ikan oleh perusahaan swasta dan transportasi refrigerasi oleh perusahaan swasta. (3) Pelabuhan perikanan di Jerman Menurut Lubis (2002), di Jerman, pengklasifikasian pelabuhan perikanan lebih ditekankan pada jenis ikan dan atau skala perikanan yang beroperasi, yaitu: 1) Pelabuhan perikanan skala besar/perikanan laut dalam (port of large-scale deep sea fisheries); pelabuhan ini mempunyai karakteristik sama dengan pelabuhan besar di Perancis. Seperti contoh: Bremerhaven, Cuxhaven, Hamburg dan Kiel. 2) Pelabuhan untuk perikanan hering (port of lugger hering fisheries); di pelabuhan ini terdapat banyak perusahaan-perusahaan penangkapan khusus untuk ikan hering. Seperti contoh: Bremen-Vegesack, Emden, Gluckstad dan Laer.
40
3) Pelabuhan perikanan pantai (port of inshore fisheries); pelabuhan ini adalah tempat mendaratnya kapal-kapal kecil yang beroperasi di perairan pantai. Hasil tangkapan umumnya dijual pada koperasi dan perusahaan-perusahaan industri perikanan. Contoh: Dorum, Biisum, Maasholan, dan Nieustad. (4) Pelabuhan perikanan General Santos-Philipina Menurut Mahyuddin (2004) bahwa Pelabuhan Perikanan General SantosPhilipina Selatan adalah salah satu pelabuhan perikanan yang ada di Philipina. Perencanaan
pelabuhan
dilaksanakan
oleh
Pemerintah
Pusat
Philipina.
Perencanaan pelabuhan dilakukan dengan pendekatan keterpaduan, yakni perencanaan yang mensinergikan antara pemanfaatan potensi perikanan di wilayah foreland dan pelabuhan perikanan sebagai pusat kegiatan dikaitkan dengan penyerapan hasil produksi ikan dari pelabuhan perikanan ke daerah hinterland. Pembangunan pelabuhan perikanan dilakukan oleh Pemerintah Pusat, pengoperasionalannya dilakukan oleh administrator pelabuhan yang diangkat oleh pemerintah. Pasokan listrik dari Pemerintah sangat murah guna merangsang pengusaha untuk meningkatkan investasinya di pelabuhan perikanan, seperti pabrik es, cold storage, industri pengalengan ikan. Pelabuhan tidak memungut biaya tambat labuh guna mengurangi biaya operasional setiap kapal penangkap. Berjarak 3 km dari pelabuhan, terdapat lapangan pesawat terbang yang sehari-harinya dapat digunakan untuk mengekspor ikan ke luar negaranya. Jalan yang menghubungkan pelabuhan ke daerah hinterland sangat bagus dan cukup lebar. Di sepanjang pantai kiri-kanan pelabuhan telah banyak tumbuh pabrik-pabrik yang mendukung kegiatan perikanan, seperti pabrik es, cold storage, pengalengan ikan. Kegiatan-kegiatan yang ada di pelabuhan perikanan adalah aktivitas bongkar muat ikan/barang, aktivitas pelelangan ikan, tambat labuh kapal, aktivitas pengisian perbekalan kapal melaut, aktivitas distribusi ikan, penyortiran ikan kualitas ekspor, aktivitas perbaikan kapal dan alat tangkap dan administrasi pelabuhan. 3.7
Persaingan Antar Pelabuhan Perikanan di WPP 9 Samudera Hindia dan Penentuan Sektor Basis Pelabuhan
perikanan
dalam
operasionalnya
diharuskan
untuk
mengoptimalkan fungsinya, sehingga masing-masing pelabuhan harus memiliki
41
kesiapan misalnya fasilitas, sumberdaya manusia dan layanan yang semakin membaik. Semakin besar peranannya, maka semakin lengkap pula fasilitas, sumberdaya manusia dan layanan yang diberikan. Untuk melihat tingkat persaingan antar pelabuhan perikanan, maka menurut Rustiadi et al. (2005), dapat menggunakan metode hierarki perkembangan wilayah (metode skalogram). Metode skalogram adalah metode untuk menentukan hirarki wilayah termasuk hierarki pelabuhan perikanan. Rumus dan cara untuk menentukan indeks hierarki skalogram dapat dilihat pada metodologi. Menurut Budiharsono (2001), bahwa inti dari model ekonomi basis (economic base model) adalah arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah tersebut. Ekspor tersebut berupa barang-barang dan jasa, termasuk tenaga kerja. Sektor (industri) yang bersifat seperti ini disebut sektor basis. Selain sektor basis, ada kegiatan-kegiatan sektor pendukung yang dibutuhkan untuk melayani pekerja pada sektor basis dan kegiatan sektor basis itu sendiri. Kegiatan sektor pendukung, seperti perdagangan dan pelayanan perseorangan, disebut sektor non basis. Kedua sektor tersebut mempunyai hubungan dengan permintaan dari luar wilayah. Sektor basis berhubungan langsung, sedangkan sektor non basis berhubungan secara tidak langsung, yaitu melalui sektor basis dulu. Apabila permintaan dari luar meningkat, maka sektor basis akan berkembang. Hal ini pada gilirannya nanti akan mengembangkan sektor non basis. Salah satu metode apakah suatu sektor merupakan sektor basis atau non basis adalah menggunakan metode pengukuran tidak langsung melalui metode location quotient (LQ). Alasan penggunaan metode ini karena tidak memerlukan biaya, waktu dan tenaga yang banyak seperti metode pengukuran langsung dengan survei lapangan. 3.8 Hubungan Pelabuhan Perikanan dengan Wilayah Pelabuhan perikanan adalah bagian penting dari wilayah pesisir. Pelabuhan perikanan adalah pusat aktivitas perikanan dan titik temu antara aktivitas ekonomi masyarakat berbasis daratan dan lautan. Pelabuhan perikanan adalah tempat yang strategis di dalam kawasan strategis di wilayah pesisir. Menurut Rustiadi (2001), bahwa wilayah pesisir adalah kawasan strategis. Kawasan strategis adalah suatu kawasan ekonomi yang secara potensial memiliki
42
efek ganda (multiplier effect) yang signifikan secara lintas sektoral, lintas spasial (wilayah) dan lintas pelaku. Dengan demikian, perkembangan wilayah strategis memiliki
efek
sentrifugal
karena
dapat
menggerakkan
secara
efektif
perkembangan ekonomi sektor-sektor lainnya, perkembangan wilayah di sekitarnya serta kemampuan menggerakan ekonomi masyarakat secara luas, dalam arti tidak terbatas ekonomi masyarakat kelas-kelas tertentu saja. Peranan strategis wilayah pesisir hanya tercapai jika memenuhi persyaratan-persyaratan berikut: (1) Basis ekonomi (economic base) wilayah yang bertumbuh atas sumberdayasumberdaya domestik yang terbarui (domestic renewable resources). (2) Memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) terhadap berbagai sektor ekonomi lainnya di daerah yang bersangkutan secara signifikan, sehingga perkembangan sektor basis dapat menimbulkan efek ganda terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya di daerah yang bersangkutan. (3) Efek ganda (multiplier effect) yang signifikan dari sektor basis dan sektorsektor turunan dan penunjangnya dengan penciptaan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat (sektor rumah tangga), sektor pemerintah dan PDRB wilayah. (4) Keterkaitan lintas regional di dalam maupun antar wilayah yang tinggi (intra and inter-regional interactions) akan lebih menjamin aliran alokasi dan distribusi sumberdaya yang efisien dan stabil sehingga menurunkan ketidakpastian (uncertainty). (5) Terjadinya learning process secara berkelanjutan yang mendorong terjadinya koreksi dan peningkatan secara terus menerus secara berkelanjutan. Menurut Hagget et al. (1977), yang diacu Rustiadi (2001), bahwa konsep wilayah terdiri dari 3 kategori, yaitu wilayah homogen, wilayah nodal dan wilayah perencanaan. Konsep wilayah homogen yang lebih menekankan prinsip pewilayahan yang menekankan homogenitas (kesamaan) di dalam kelompok dan memaksimumkan perbedaan antar kelompok tanpa memperhatikan bentuk hubungan fungsional antar wilayah-wilayahnya. Berbeda dengan konsep homogen, konsep wilayah
43
nodal adalah konsep yang menekankan adanya pemisahan bagian-bagian di dalam wilayah berdasarkan fungsinya. Konsep wilayah nodal didasarkan atas asumsi bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai sel hidup yang mempunyai plasma dan inti. Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah baik akibat sifat alamiah maupun non alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral. Menurut Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB (2000), proses pengembangan pelabuhan perikanan dipengaruhi oleh 8 faktor kewilayahan pelabuhan perikanan yang masing-masing bersifat saling berpengaruh terhadap pengembangan pelabuhan perikanan. Kedelapan faktor kewilayahan pelabuhan perikanan adalah sebagai berikut: (1) Kondisi wilayah perairan laut, meliputi kondisi sumberdaya ikan dan daerah penangkapan ikan. Besarnya potensi sumberdaya ikan yang tersedia dan lestari dan adanya daerah-daerah penangkapan ikan yang dapat dijangkau armada
perikanan
suatu
pelabuhan
perikanan
akan
menentukan
pengembangan pelabuhan perikanan dan sebaliknya. (2) Aktivitas perikanan wilayah, terutama yang terkait dengan berapa besar permintaan pasar terhadap komoditi perikanan (lokal, regional dan atau global) akan mempengaruhi pengembangan pelabuhan perikanan dan sebaliknya. (3) Pertumbuhan ekonomi wilayah, seperti yang tergambar dalam PDRB dan inflasi, dapat memacu pengembangan suatu pelabuhan perikanan baik berupa kesiapan ekonomi pemerintah, maupun kesiapan ekonomi masyarakat dan sebaliknya. (4) Kondisi prasarana dan sarana umum wilayah, merupakan unsur pendukung penting bagi pengembangan suatu pelabuhan perikanan. Kondisi prasarana sarana umum yang tersedia (prasarana dan sarana transportasi, air, listrik dan telekomunikasi) aktivitas-aktivitas didalam dan keluar pelabuhan perikanan seperti distribusi pemasaran ikan, dan lain sebagainya. Sebaliknya, aktivitas yang tinggi dari suatu pelabuhan perikanan, akan memberikan tekanan kepada perlunya dikembangkan prasarana dan sarana umum yang telah ada disuatu wilayah.
44
(5) Kondisi penduduk suatu wilayah, terutama didalam bentuk pendapatan perkapita, konsumsi ikan perkapita (yang juga dapat diartikan sebagai potensi pasar), pertumbuhan penduduk suatu wilayah, dan kondisi aspek sosial penduduk adalah jelas mempengaruhi pengembangan pelabuhan perikanan. Pendapatan perkapita yang tinggi, konsumsi ikan yang tinggi, pertumbuhan penduduk yang tinggi dan kondisi sosial penduduk yang positif akan memberikan pengaruh positif terhadap pengembangan suatu pelabuhan perikanan disuatu wilayah. Sebaliknya walau tidak terjadi secara otomatis, ketersediaan jumlah komoditi ikan yang tinggi akibat pengembangan suatu pelabuhan
perikanan
misalnya,
akan
memberikan
tekanan
kepada
peningkatan pendapatan, sekurang-kurangnya pada sebagian penduduk suatu wilayah seperti nelayan dimana suatu pelabuhan perikanan berada. Demikian pula berdampak sosial positif bagi penduduk tersebut. (6) Kondisi lahan lokasi pelabuhan perikanan yang meliputi lahan daratan dan perairan suatu pelabuhan perikanan menentukan pula pengembangan pelabuhan perikanan tersebut. Keterbatasan lahan daratan suatu pelabuhan perikanan akan dapat membatasi pengembangannya. (7) Aktivitas-aktivitas non perikanan wilayah yang terdapat disekitar pelabuhan perikanan dapat mempengaruhi pengembangan pelabuhan perikanan tersebut. Aktivitas-aktivitas di sekeliling pelabuhan perikanan yang sudah tertata rapi, tidak akan mudah untuk diubah peruntukkannya bagi kepentingan pelabuhan perikanan. Aktivitas-aktivitas pelabuhan perikanan yang mungkin dapat menghasilkan limbah ke perairan laut misalnya mempengaruhi usaha tambak masyarakat sekitar pelabuhan perikanan, dapat menimbulkan tekanan yang negatif bagi pengembangan pelabuhan perikanan tersebut. (8) Kebijakan pemerintah daerah ataupun pusat, secara jelas akan mempengaruhi pengembangan suatu pelabuhan perikanan karena pemerintah merupakan pihak yang melakukan pengarahan bagi pengembangan perikanan; melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Terhadap kedelapan faktor tersebut diatas maka PPN Palabuhanratu sudah memenuhi kebutuhan kedelapan faktor tersebut walaupun masih ada masalahmasalah yang perlu ditindaklanjuti untuk diselesaikan.
45
3.9 Konsep Triptyque Portuaire Menurut Vigarié (1979) yang diacu oleh Lubis (1989) bahwa ada tiga komponen yang harus diperhatikan dalam menganalisis suatu pelabuhan niaga yakni avant pays marin (foreland), port de pêche (fishing port) dan arrière-pays terrestre (hinterland) yang disebut triptyque portuaire. Dalam bukunya, Vigarié (1979) menjelaskan pengertian dari triptyque sebagai berikut : "La notion de triptyque; elle évoque l’image de trois volets qui sont ici : l’arrière-pays, l’avantpays océanique, et au milieu, l’étendue correspondant au périmètre portuaire". Triptyque ini digunakan dalam suatu metode analisis pelabuhan niaga. Selanjutnya dijelaskan lebih detil tentang pengertian l’arrière-pays dan l’avantpays adalah sebagai berikut : "L’arrière-pays réel d’un port est la partie de l’espace terrèstre dans laquelle il vend ses services et, par concéquent, recrute sa clientèle; de façon générale, l’on peut concidérer que celle-ci se trouve en arrière du rivage où se trouvent les installations portuaires concidérer; mais il peut y avoir à cette interprétation des exceptions, par exemple dans le cas de trasshipment. D’autre part, cette notion est souvent obscurcie par celle d’un hinterland théorique" . "La définition de l’avant-pays repose sur l’existence des routes maritimes. Ces dernières sont des faisceaux de cheminements permanents que suivent les navires; elles sont marquées par certains caractères : leur tracé sur le globe dépend des secteurs côtiers séparés par l’Océan, et que l’on veut relier; elles ont une certaine largeur : 20-30 milles généralement sauf lorsqu’elles se ressertent dans un détroit ou dans un canal transisthmique. La notion d’avant-pays peut être approchée soit en terme de relation maritimes exprimées par le nombre de lignes de navigation, le nombre de départs ou le tonnage our une certaine direction, soit un termes d’origine et de distination des marchandises traversant le port ". Pengertian l’avant-pays dapat didekati melalui hubungan kemaritiman yang dinyatakan pada jumlah jalur pelayaran, jumlah unit atau GT kapal yang berangkat dari suatu pelabuhan untuk tujuan tertentu, baik ditinjau dari asal maupun tujuan barang. Pengertian l’arrière-pays dan l’avant-pays masing-masing ekivalen dengan hinterland dan foreland. Hal ini diperjelas lagi oleh Charlier (1983) bahwa : "Les
46
termes arrière-pays et avant-pays ont pour équivalents respectifs hinterland et foreland en anglais, hinterlandslage et meerslage en allemand, retroterra et proiezone marittima en italien. La plupart des auteurs donnent des définitions très voisines de l’arrière-pays, alors que le contenu conféré à l’avant-pays varie davantage ". Selanjutnya menurut Chaussade (1986) yang diacu Lubis (1989), konsep triptyque portuaire tersebut diterapkan untuk pelabuhan perikanan yang terdiri dari sub sistem wilayah produksi/foreland, sub sistem wilayah distribusi/ hinterland dan sub sistem pelabuhan perikanan/fishing port sendiri. Hinterland dan foreland adalah dua wilayah yang saling bergantung sama lain yang tidak dapat dipisahkan. Pelabuhan perikanan adalah sebagai penghubung diantara keduanya. Dalam merencanakan pelabuhan perikanan perlu dilakukan analisis secara geografis terhadap tiga elemen tersebut di atas yaitu foreland, pelabuhan perikanan dan hinterland-nya. Analisis foreland berkaitan dengan daerah penangkapan ikan, potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan. Secara khusus foreland dapat dikatakan sebagai fishing ground atau daerah penangkapan ikan dan jalur maritim yang dilalui oleh kapal-kapal dalam rangka pendistribusian baik secara nasional maupun ekspor. Selanjutnya dikatakan oleh Lubis (2003), bahwa foreland selain disebut juga daerah penangkapan, secara umum juga berarti : (1) Tempat beroperasinya nelayan-nelayan penangkapan ikan di fishing ground. (2) Jalur distribusi hasil tangkapan dari fishing ground ke fishing base atau menuju pasar yang melalui laut. (3) Wilayah perairan di jalur transportasi maritim nasional atau internasional. (4) Beberapa wilayah perairan merupakan perairan yang ramai dan dapat meningkatkan resiko terjadinya tabrakan antar kapal-kapal ikan. (5) Jalur-jalur maritim yang dilalui oleh kapal penangkapan tersebut untuk menuju fishing ground dan untuk mendaratkan hasil tangkapan ke pelabuhan perikanan. Fishing ground sangat berkaitan dengan pelabuhan perikanan karena: (1) Fishing ground ini sangat menentukan dalam memperoleh informasi
47
penyebaran
ikan yang menjadi tujuan penangkapan, wilayah yang over
fishing, jalur-jalur yang ramai. (2) Fishing ground dapat berkaitan dengan pembagian wilayah perairan dimana terdapat wilayah perairan dengan jenis tertentu agar nantinya dapat diketahui jenis alat tangkap apa saja yang harus dikembangkan di masing-masing wilayah perairan tersebut. (3) Fishing ground di daerah tropis mempunyai jenis dan ragam ikan yang lebih banyak dari pada fishing ground di daerah sub tropis. Hinterland pelabuhan perikanan secara khusus dapat dikatakan sebagai daerah konsumen atau hilir dari pelabuhan perikanan (Lubis, 2003). Parameter ini penting dalam analisis perencanaan pelabuhan perikanan karena berkaitan dengan pasar atau sampai sejauh mana konsumen menyerap ikan-ikan yang didaratkan di pelabuhan perikanan. Parameter ini berkaitan dengan jumlah dan daerah konsumen. Selanjutnya dikatakan oleh Lubis (2003), bahwa terdapat 3 jenis hinterland: (1) Hinterland primer adalah hinterland yang merupakan daerah distribusi dari ikan-ikan hasil pendaratan langsung. (2) Hinterland sekunder atau tidak langsung adalah hinterland yang merupakan daerah distribusi ikan hasil pengolahan, hasil pembekuan. (3) Hinterland perpaduan atau overlap hinterland adalah suatu hinterland yang didistribusikan oleh beberapa pelabuhan perikanan yaitu dari pelabuhan perikanan besar dan kecil atau dari beberapa pelabuhan perikanan yang sama besar atau sama kecil. Ketiga jenis hinterland tersebut dapat bersifat lokal, interinsuler dan ekspor. Dengan mengetahui jenis hinterland, maka kita dapat merencanakan bagaimana pola pendistribusian yang akan dilakukan serta sarana transportasi, lembaga-lembaga dan organisasi yang diperlukan serta peraturan yang menyertainya. Luasnya hinterland dari suatu pelabuhan dipengaruhi oleh sampai sejauh mana proses penanganan, pengolahan dan jenis sarana transportasi yang digunakan. Semakin baik penanganan ikan yang dilakukan akan semakin jauh hinterland, berarti jenis pengolahan ikan juga akan mempengaruhi luas
48
hinterland. Demikian halnya jenis transportasi apabila ikan didistribusikan dengan menggunakan pesawat terbang akan lebih dapat menjangkau hinterland yang jauh. Selanjutnya dikatakan oleh Lubis (2003), bahwa keterkaitan hinterland dan pelabuhan perikanan ini perlu dianalisis agar : (1) Produksi hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan perikanan dapat terserap habis sesegera mungkin tanpa menunggu terlalu lama. (2) Dapat diketahui kemungkinan dalam memperluas hinterland. (3) Dapat diketahui berapa produksi ikan yang harus dieksploitasi oleh para nelayan untuk dapat didaratkan pelabuhan perikanan tersebut. (4) Dapat diketahui jenis dan kapasitas fasilitas di pelabuhan perikanan untuk menampung sejumlah ikan tersebut. (5) Dapat diketahui hubungan antara hinterland yang satu dengan hinterland yang lain dalam menerima produksi perikanan dari pelabuhan itu dan atau dari pelabuhan perikanan lain. (6) Dapat diketahui distribusi jenis olahan di hinterland sehubungan dengan rencana pengembangan terhadap tipe olahan ikan yang dikembangkan di pelabuhan. 3.10 Penentuan Kualitas Pemasaran Ikan Kegiatan pemasaran ikan yang merupakan komponen dari hinterland sangat berpengaruh terhadap penyerapan produksi ikan di PPN Palabuhanratu. Bagaimanapun banyaknya produksi ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu, jika tidak didukung oleh kegiatan pemasaran yang optimal, maka fungsi PPN Palabuhanratu tidak akan optimal. Nelayan akan tertarik mendaratkan kapalnya di suatu pelabuhan, apabila pemasaran ikan di pelabuhan tersebut lebih menarik dibandingkan dengan tempat lain. Untuk melihat perbandingan kualitas pemasaran di suatu pelabuhan perikanan dibandingkan dengan di kabupaten/ provinsi, maka menurut Lubis (2003) perlu dihitung indeks relatif nilai produksinya (I).
49
3.11 Proses Hierarki Analitik (PHA) Proses Hierarki Analitik (PHA) adalah salah satu metode analisis dalam mengambil keputusan yang baik dan fleksibel. Salah satu alat analisis yang dapat menentukan prioritas kegiatan pembangunan adalah PHA. PHA pada dasarnya didesain untuk mendapatkan persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai kepada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Menurut Saaty (1988), dalam memecahkan persoalan dengan PHA terdapat tiga prinsip: (1) Menyusun hierarki Menentukan tujuan, kriteria dan aktivitas yang terdapat dalam suatu hirarki bahkan dalam sistem yang lebih umum. Masalah yang harus dipecahkan dalam bagian ini adalah menentukan atau memilih tujuan dalam rangka mengkomposisikan kompleksitas sistem. Perlu pendefinisian tujuan secara rinci sesuai dengan persoalan yang akan ditangani. (2) Struktur hierarki Struktur hirarki merupakan bagian dari suatu sistem yang mempelajari fungsi intereaksi komponen secara menyeluruh. Struktur ini mempunyai bentuk yang saling terkait, tersusun dari suatu sasaran utama turun ke sub-sub tujuan, lalu ke pelaku (aktor) yang memberi dorongan, turun ke tujuan-tujuan aktor dan kemudian alternatif strategi. Penyusunan hirarki atau struktur keputusan dilakukan untuk menggambarkan elemen sistem atau alternatif keputusan yang teridentifikasi. (3) Penyusunan bobot Tingkat kepentingan (bobot) dari elemen-elemen keputusan yang ada pada setiap tingkat hirarki keputusan, ditentukan melalui penilaian pendapat dengan cara komparasi berpasangan. Komparasi tersebut adalah membandingkan setiap elemen dengan elemen lainnya pada setiap tingkat hirarki secara berpasangan,
sehingga
terdapat
nilai
tingkat
kepentingan.
Untuk
menstransformasikan dari data kualitatif menjadi data kuantitatif digunakan skala penilaian, sehingga diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka yang
50
menggambarkan variabel mana yang mempunyai prioritas tinggi. 3.12 Kajian Penelitian Terdahulu Menurut Ibrahim (2001), bahwa strategi yang perlu dilakukan dalam meningkatkan upaya peningkatan kinerja PPN Palabuhanratu adalah peningkatan sarana dan prasarana. Dalam penelitian tersebut belum terungkap jenis sarana dan prasarana yang akan dikembangkan, kuantitas setiap sarana dan prasarana yang akan dikembangkan sehingga perlu penelitian lebih lanjut. Dalam penelitian Lubis (1998) tentang pola pengembangan pelabuhan perikanan di wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang efisien dan efektif, menyimpulkan bahwa PP dan PPI yang berada di kedua wilayah perairan tersebut hampir semuanya (90%) tidak berfungsi optimal. Penyebabnya adalah keterbatasan kondisi dan ketersediaan fasilitas, jarak antara fishing ground/foreland dan lokasi PP/PPI yang tidak menguntungkan, rendahnya harga ikan di PP/PPI, jauhnya jarak PP/PPI terhadap pemukiman nelayan dan problem hasil distribusi hasil tangkapan ikan ke daerah hinterland. Berdasarkan analisis triptyque portuaire terdapat dua pola dasar, yakni pola dasar I lebih diperuntukkan bagi pengembangan PP/PPI untuk melayani ekspor hasil tangkapannya. Pola dasar II lebih ditujukan untuk pengembangan PP/PPI untuk melayani pasar lokal atau pemerintah kabupaten di masing-masing provinsi. Pemanfaatan daerah penangkapan ikan oleh nelayan longline dengan perahu congkreng dan kapal gillnet sering menimbulkan konflik. Menurut Herwening (2003), bahwa modernisasi perikanan di Palabuhanratu menyebabkan persaingan pemanfaatan wilayah penangkapan sehingga menimbulkan potensi konflik antar armada yang meliputi potensi konflik pemanfaatan wilayah penangkapan antara armada bagan apung dengan perahu congkreng dan antara armada longline dengan perahu congkreng dan kapal motor gillnet. Dalam kaitan ini, maka potensi konflik yang melibatkan armada penangkapan di PPN Palabuhanratu dan merupakan suatu hambatan didalam pengembangan PPN Palabuhanratu. PPN Palabuhanratu berkewajiban menjaga kualitas ikan sesuai dengan standar mutu ikan. Menurut Nurani et al. (2004), bahwa kualitas produksi ikan layur yang dihasilkan nelayan Palabuhanratu berada diluar batas proses produksi untuk tujuan kualitas ekspor. Secara umum faktor penyebab ikan layur tidak
51
memenuhi kualitas ekspor yaitu pelaku utamanya belum menyadari akan pentingnya ikan yang berkualitas, kesalahan proses penangkapan, sarana penanganan tidak mencukupi dan proses transportasi dan alat transportasi belum memadai. Dalam kaitan ini, karena kualitas beberapa ikan layur tidak memenuhi standar ekspor, maka akan melemahkan kondisi di hinterland.
52
4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di PPN Palabuhanratu, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat dan di Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan April tahun 2002 sampai dengan bulan Maret tahun 2006. 4.2 Tahap Penelitian Jadwal kegiatan penelitian dibagi ke dalam 5 tahap, yakni tahap persiapan, tahap pengumpulan data, tahap pengolahan dan analisis data, tahap pembuatan laporan dan tahap seminar dan ujian. (1) Tahap persiapan penelitian. 1) Melakukan studi literatur di perpustakaan dan instansi terkait. 2) Menyusun rencana pelaksanaan penelitian secara menyeluruh. Dalam penyusunan rencana ini, yang perlu dipersiapkan adalah bahan-bahan, alat-alat, kuesioner. Selanjutnya direncanakan juga bagaimana teknik pelaksanaan, persiapan penelitian, bilamana dilaksanakan, sasarannya, dan seterusnya sampai memperoleh data dan informasi yang diperlukan. (2) Tahap pengumpulan data. Merencanakan pengumpulan data, yakni pada saat desk study dan pada saat di lapangan. Ditentukan pula jumlah responden yang akan mengisi kuesioner dan untuk diwawancara. (3) Tahap mengolah dan analisis data. Tahap ini dilakukan pengolahan dan penganalisisan data. Hal ini dilakukan apabila data dan informasi sudah tersedia. Data dan informasi yang diperoleh perlu segera dicek kesahihannya. (4) Tahap pembuatan laporan. Setelah laporan dibuat, dilakukan konsultasi ke dosen pembimbing dan perbaikan laporan.
(5) Tahap seminar dan ujian. Laporan yang sudah selesai dikonsep dilakukan sidang komisi pembimbing, siap untuk diseminarkan dan ujian tertutup. Setelah perbaikan, maka dilakukan ujian terbuka. 4.3 Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam bentuk studi kasus, yakni di PPN Palabuhanratu. Dikatakan kasus karena hanya satu aspek yang diteliti yakni terbatas pada pengembangan pelabuhan perikanan. Penelitian hanya dilakukan di Palabuhanratu yang sangat berbeda kondisinya dengan daerah lain, baik dari segi ekonomi, sosial, budaya maupun karakteristik perairan dengan satu aspek penelitian dan juga merupakan hal yang sangat baru, yakni pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep triptyque portuaire. 4.4 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data kuantitatif dan kualitatif baik sifatnya primer maupun sekunder. Pengambilan data primer dilakukan langsung melalui observasi lapangan, pengisian kuesioner, wawancara, dokumentasi dan pengamatan langsung di lapangan. Parameter-parameter yang terdapat dalam kuesioner adalah berdasarkan elemen-elemen dalam pendekatan triptyque portuaire yang meliputi foreland, fishing port dan hinterland. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait, studi pustaka dan sumber lainnya. Khusus untuk data operasional PPN Palabuhanratu didata sejak mulai operasionalnya PPN Palabuhanratu yakni tahun 1993 sampai dengan tahun 2005. Jenis dan sumber data adalah: (1) Data yang berkaitan dengan pelabuhan perikanan (fishing port): 1) Kondisi lahan darat dan perairan wilayah PPN Palabuhanratu, luas lahan yang tersedia di areal PPN Palabuhanratu yang digunakan untuk pengembangan. 2) Kondisi fasilitas, yakni kondisi fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang: jenis, ukuran, tahun pembuatan, kondisi fisik, aktivitas pemeliharaan, penempatan fasilitas yang terdapat di PPN Palabuhanratu serta lay out pelabuhan.
54
3) Tata letak fasilitas: alir aktivitas (flow of activities), alir barang atau ikan (flow of goods) dan alir manusia (flow of human). 4) Data teknis: topografi, hidrometri, kondisi alam, sumber air bersih, fasilitas penunjang di wilayah PPN Palabuhanratu. 5) Kondisi aktivitas perikanan: aktivitas pendaratan dan pembongkaran, aktivitas pengolahan, aktivitas pemasaran, aktivitas pembinaan terhadap masyarakat nelayan di wilayah PPN Palabuhanratu. 6) Kondisi organisasi dan pengelolaan: kondisi SDM, layanan prima, pengelolaan. 7) Sistem peraturan dan kelembagaan: jenis aturan, bentuk kelembagaan. (2) Data dari wilayah hulu atau wilayah produksi (foreland): 1) Alur pendaratan ikan. 2) Ketersediaan sumberdaya ikan dan daerah-daerah penangkapan yang dapat dijangkau oleh kapal-kapal ikan. 3) Kondisi pemanfaatan SDI. 4) Kondisi sarana produksi seperti kapal, alat tangkap, nelayan, dan bahan melaut. 5) Kegiatan pemasaran ikan dari suatu pelabuhan perikanan ke daerah pemasaran melalui laut. 6) Aktivitas pengendalian dan pengawasan SDI, termasuk penjualan ikan di tengah laut (ship to ship). (3) Data dari hilir atau wilayah
distribusi (hinterland): kondisi ikan yang
didaratkan (mutu), pasar dari komoditi perikanan yang didaratkan, kondisi prasarana-sarana pendukung dan tingkat konsumsi. (4) Data aspek lingkungan, yakni sanitasi, kondisi keamanan, kondisi sosial politik dan budaya. (5) Data informasi dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan otonomi daerah dan globalisasi dalam rangka pengembangan pelabuhan perikanan. misalnya tentang peraturan-peraturan daerah, kebijakan-kebijakan daerah, RUTR daerah, rencana pengembangan akses jalan dan sarana perhubungan, permintaan ikan tingkat internasional, pemanfaatan sumberdaya ikan di laut di atas 12 mil (ZEEI) dan laut internasional.
55
Langkah berikutnya adalah pengisian kuesioner oleh responden. Pemilihan dan jumlah responden serta nara sumber dilakukan dengan sengaja (purposive) yaitu dengan mempertimbangkan bahwa nara sumber dan responden itu memahami arti dan maksud serta arah pengembangan PPN Palabuhanratu. Pemilihan jumlah dan jenis responden telah mempertimbangkan keragaman responden
dan
pengetahuan
responden
tentang
pengembangan
PPN
Palabuhanratu. Responden yang digunakan berjumlah 29 orang yang berasal dari staf Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, staf PPN Palabuhanratu, Kepala PPN Tanjung Pandan (Belitung) (mantan staf PPN Palabuhanratu), staf Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi, pengurus KUD Mina, HNSI Kabupaten Sukabumi, investor, dan nelayan. Lampiran 1 memuat nama-nama dan jabatan responden. Data sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka dan studi literatur, meliputi perpustakaan di lingkungan IPB Bogor, lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan, PPN Palabuhanratu, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi dan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat dan dari berbagai sumber data yang diperoleh secara perorangan. 4.5 Metode Pengambilan dan Analisis Data Analisis data dikelompokkan menjadi 4 bagian, yakni: (1) Menentukan arah pengembangan PPN Palabuhanratu yakni dengan : 1) Mengetahui kondisi PPN Palabuhanratu berdasarkan analisis deskriptif. 2) Penentuan faktor-faktor pendukung perlunya pengembangan PPN Palabuhanratu antara lain menentukan apakah pelabuhan perikanan merupakan lokasi sektor basis, yakni dengan menggunakan location quotient (LQ), indeks relatif nilai produksi (I) dan kondisi kepadatan kolam pelabuhan, manajemen pelabuhan serta persaingan jenis fasilitas, sumberdaya manusia, jenis ikan, jenis alat tangkap dan jenis kapal antar pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia dengan menggunakan metode skalogram.
56
3) Penentuan faktor-faktor pendukung perlunya pengembangan menjadi PPS Palabuhanratu secara deskriptif terhadap komponen foreland, pelabuhan perikanan dan hinterland. (2) Memformulasikan
pola
pengembangan
PPN
Palabuhanratu
dengan
mengoptimalkan fungsi pelabuhan melalui analisis kebutuhan terhadap pengembangan beberapa fasilitas, operasional dan manajemen pelabuhan perikanan. (3) Menentukan
strategi
pengembangan
PPN
Palabuhanratu
dengan
menggunakan proses hierarki analitik (PHA) (Saaty, 1988). (4) Antisipasi pengembangan menjadi PPS Palabuhanratu dianalisis secara kualitatif berdasarkan estimasi kebutuhan fasilitas, hasil tangkapan ikan dan pendistribusiannya. 4.5.1
Penentuan arah pengembangan PPN Palabuhanratu
(1) Kondisi PPN Palabuhanratu Analisis terhadap kondisi PPN Palabuhanratu dilakukan secara deskriptif dengan konsep triptyque portuaire. 1) Kondisi PPN Palabuhanratu: Kondisi PPN Palabuhanratu yang dianalisis adalah : (a) Hasil studi kelayakan pembangunan PPN Palabuhanratu yang dilakukan Rogge et al. (tahun 1987), terutama mengenai pola pembangunan yang ditentukannya. (b) Kondisi fasilitas pembangunan tahap pertama dan operasionalnya (periode tahun 1993-2002) yang meliputi fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang. Kondisi operasional pelabuhan berdasarkan fungsinya. (c) Kondisi pembangunan dan operasional PPN Palabuhanratu tahap kedua (periode tahun 2003-2005). Kondisi pembangunan adalah fisik bangunan dan kondisi operasional adalah tentang pelaksanaan fungsinya. 2) Hubungan pelabuhan perikanan dengan wilayah produksi (foreland), yang dianalisis adalah kondisi daerah penangkapan ikan di WPP 9 Samudera Hindia, daerah penangkapan ikan kapal yang mendaratkan hasil tangkapannya
57
di PPN Palabuhanratu, pergerakan kapal perikanan dari PPN Palabuhanratu dan daerah penangkapan ikan. 3) Hubungan pelabuhan perikanan dengan wilayah distribusi (hinterland), yang dianalisis adalah pola pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu, produksi ikan segar, daerah distribusi ikan segar (hinterland primer), distribusi ikan pindang dan distribusi ikan asin (hinterland sekunder), hinterland perpaduan serta kondisi sarana angkutan dan prasarana jalan. Analisisi dilakukan terhadap data primer dan sekunder melalui penyajian tabel, grafik, gambar, peta dan foto. (2) Faktor-faktor pendukung perlunya pengembangan PPN Palabuhanratu Indikasi perlunya PPN Palabuhanratu dapat dikembangkan antara lain: 1) Penentuan lokasi pelabuhan perikanan sangat terkait dengan adanya potensi sumberdaya ikan yang akan dieksploitasi atau sejauh mana kondisi di wilayah produksinya (foreland). Menurut Rustiadi et al. (2005) bahwa lokasi keberadaan pelabuhan perikanan di Kabupaten Sukabumi merupakan sektor basis bagi Kabupaten Sukabumi, dapat ditentukan dengan menggunakan location quotient (LQ): vi v LQ = t , Vi Vt
Dengan:
LQ = Location Quotient. vi = PDRB sub sektor perikanan Kabupaten Sukabumi (Rp) atas dasar
harga berlaku tahun 2000-2004. vt = PDRB seluruh sektor Kabupaten Sukabumi (Rp) atas dasar harga
berlaku tahun 2000-2004. Vi = PDRB sub sektor perikanan Provinsi Jawa Barat (Rp) atas dasar
harga berlaku tahun 2000-2004. Vt = PDRB seluruh sektor Provinsi Jawa Barat (Rp) atas dasar harga
berlaku tahun 2000-2004.
58
Apabila nilai:
LQ > 1; maka sektor perikanan tersebut merupakan sektor basis.
LQ < 1; maka sektor perikanan tersebut merupakan sektor non basis. 2) Pengembangan pelabuhan perikanan sangat tergantung kepada sejauh mana produk ikan yang didaratkan dapat dipasarkan atau didistribusikan ke daerah
hinterland-nya. Kualitas pemasaran ikan di lokasi tersebut dibandingkan misalnya dengan kualitas pemasaran ikan di kabupaten dimana pelabuhan perikanan itu berada, yakni dengan menentukan indeks relatif nilai produksi (I) (Lubis, 2003):
Np I=
Nt Qp Qt
Dengan,
N p = Nilai produksi perikanan di PPN Palabuhanratu (Rp). N t = Nilai produksi perikanan di Kab. Sukabumi (Rp). Q p = Jumlah produksi perikanan di PPN Palabuhanratu (kg). Qt = Jumlah produksi perikanan di Kabupaten Sukabumi (kg).
I = 1; nilai relatif produksi perikanan dari PPN Palabuhanratu sama dengan nilai relatif produksi perikanan Kabupaten Sukabumi, yang berarti pula bahwa kualitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu sama bagusnya dengan kualitas pemasaran ikan di Kabupaten Sukabumi.
I > 1; nilai relatif produksi perikanan dari PPN Palabuhanratu lebih baik apabila dibandingkan dengan nilai relatif produksi perikanan dari Kabupaten Sukabumi yang berarti pula bahwa kualitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu lebih tinggi dengan kualitas pemasaran ikan di Kabupaten Sukabumi.
I < 1; nilai relatif produksi perikanan dari PPN Palabuhanratu lebih rendah apabila dibandingkan dengan nilai relatif produksi perikanan
59
Kabupaten Sukabumi yang berarti pula bahwa kualitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu lebih rendah dengan kualitas pemasaran ikan Kabupaten Sukabumi. 3) Kepadatan kolam pelabuhan yang ada sekarang. Kepadatan kolam yang ada saat ini perlu dievaluasi tentang kapasitas pemanfaatannya, apakah kepadatan kolam saat ini sudah sesuai kapasitasnya. 4) Manajemen pelabuhan perikanan (a) Legalitas
pelabuhan
perikanan,
dianalisis
tentang
dasar
hukum
pembangunan pelabuhan perikanan. (b) Organisasi pelabuhan perikanan, dianalisis tentang organisasi pelabuhan termasuk tugas pokok dan fungsinya serta sampai seberapa jauh organisasi pelabuhan dapat mendukung berfungsinya pelabuhan. (c) Tata hubungan kerja, dianalisis tentang instansi terkait yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan. (d) Sumberdaya manusia, dianalisis tentang kondisi SDM pengelola pelabuhan. (e) Standard operational procedure (SOP), dianalisis tentang SOP masingmasing kegiatan pelabuhan. (f) Pelayanan operasional pelabuhan, dianalisis tentang layanan operasional pelabuhan kaitannya dengan fungsi pelabuhan perikanan. (3) Persaingan antar pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia. Pada WPP 9 terdapat 216 unit pelabuhan perikanan, diantaranya terdapat 11 pelabuhan perikanan yang dapat didarati oleh kapal berukuran >30 GT sehingga dianggap pelabuhan perikanan tersebut dapat saling bersaing yakni PPN Palabuhanratu, PP Sabang, PPS Bungus, PPN Sibolga, PPI Pulau Baai, PP Pulau Tello, PPS Jakarta, PPS Cilacap, PPI Muncar, PPN Prigi dan Pelabuhan Umum Benoa. Namun dalam penelitian ini yang memiliki data lengkap adalah PPN Palabuhanratu, PPS Jakarta, PPN Sibolga, PPS Bungus, PPN Prigi dan PPS Cilacap, sehingga hanya ada 6 pelabuhan perikanan yang dianalisis persaingannya.
60
Rustiadi et al. (2005) menyebutkan bahwa berdasarkan konsep wilayah nodal, pusat atau hinterland suatu wilayah dapat ditentukan berdasarkan jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah penduduknya.
Unit
wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas yang secara relatif paling lengkap dibandingkan dengan unit wilayah yang lain, akan menjadi pusat atau mempunyai hierarki lebih tinggi. Sebaliknya jika suatu wilayah mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, industri serta jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas paling rendah merupakan wilayah hinterland dari unit wilayah yang lain. Dalam kaitan penelitian ini, maka yang dijadikan elemen persaingan adalah fasilitas dan sumberdaya manusia pengelola pelabuhan berdasarkan strata tingkat pendidikan pegawai untuk masing-masing pelabuhan perikanan, jenis ikan ekonomis penting dan nilai harga ikan, alat penangkapan ikan, jenis kapal. Metode yang dipakai dalam analisis persaingan antar pelabuhan didalam WPP 9 Samudera Hindia adalah metode hierarki perkembangan wilayah (metode skalogram). Menurut Rustiadi et al. (2005) bahwa metode skalogram adalah metode untuk menentukan hierarki wilayah. Dalam metode skalogram, seluruh fasilitas pelabuhan perikanan (6 unit PP), tingkat pendidikan pegawai, jenis ikan, jenis alat tangkap dan jenis kapal masing-masing pelabuhan didata dan disusun dalam suatu tabel. Penyusunan tabel ini menggunakan asumsi bahwa masing-masing fasilitas yang dimiliki oleh setiap pelabuhan mempunyai bobot dan kualitas yang bersifat indifferent termasuk juga tingkat pendidikan pegawai, jenis ikan, alat penangkapan ikan dan kapal. Kemudian langkah selanjutnya adalah menyusun hierarki yang paling tinggi berdasarkan jumlah total fasilitas, tingkat pendidikan pegawai, jenis ikan, jenis alat tangkap dan jenis kapal yang dimiliki masing-masing pelabuhan perikanan. Selanjutnya menyusun hierarki berdasarkan indeks masing-masing pelabuhan dengan urutan dari indeks paling tinggi. Terakhir ditentukan urutan indeks yang di perbandingkan untuk masing-masing pelabuhan. Adapun rumus untuk menentukan indeks hierarki adalah:
61
n
Indeks hierarki (Ii) =
∑ (F
ik
k
Dengan:
.
n ) ak
n adalah bobot fasilitas atau jenis pendidikan SDM atau jenis ikan ak
yang didaratkan atau jenis alat penangkapan ikan atau jenis kapal /faktor penentu hierarki, n = Jumlah pelabuhan, k = Jumlah fasilitas atau jenis pendidikan SDM atau jenis ikan atau jenis alat penangkapan ikan atau jenis kapal, ak = Jumlah pelabuhan yang memiliki fasilitas atau jenis pendidikan SDM, jenis ikan yang didaratkan, jenis alat penangkapan ikan dan jenis kapal dan Fik = Fasilitas atau jenis pendidikan SDM atau jenis ikan yang didaratkan atau jenis alat penangkapan ikan atau jenis kapal yang dimiliki pelabuhan. Akan ditentukan 6 komponen yang diperbandingkan melalui 6 skalogram yakni: skalogram berdasarkan jenis fasilitas, sumberdaya manusia pengelola, jenis ikan, alat penangkapan ikan dan jenis kapal. Masing-masing skalogram akan ditentukan jumlah jenis variabel yang dibandingkan, bobot kelangkaan dan bobot jenis. Jumlah jenis variabel adalah semua jenis komponen yang ada di masing-masing pelabuhan. Bobot kelangkaan adalah seberapa besar setiap pelabuhan memiliki komponen atau beberapa komponen sehingga dianggap langka dan diberi nilai besar. Bobot jenis adalah cara pandang lain untuk menilai persaingan yang memiliki jenis komponen. Khusus untuk PPN Palabuhanratu digunakan data sesuai dengan kelasnya yakni kelas nusantara. 4.5.2 Memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu Pola pengembangan didalam penelitian ini adalah suatu contoh atau pedoman atau ukuran-ukuran dalam mengembangkan suatu pelabuhan. Sebagai contoh atau pedoman atau ukuran, maka diperlukan ukuran-ukuran baik secara kuantitatif maupun kualitatif terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi pengembangan suatu pelabuhan perikanan berdasarkan konsep triptyque portuaire yakni ukuran-ukuran komponen wilayah produksi (foreland) terbatas pada variabel target jumlah produksi ikan yang berasal dari WPP 9 Samudera Hindia, dan target jumlah kapal yang akan diakomodir oleh PPN Palabuhanratu yang akan
62
dikembangkan. Ukuran-ukuran komponen pelabuhan perikanan (fishing port) terbatas pada fasilitas pokok seperti lahan, kolam, dermaga, gedung pelelangan ikan, air bersih, BBM dan es. Komponen wilayah distribusi (hinterland) dibatasi pada variabel jumlah konsumen, daerah konsumen dan jumlah produksi ikan yang didistribusikan di daerah hinterland. (1) Perhitungan target jumlah produksi (ton) Langkah-langkah pada perhitungan penentuan target jumlah produksi dan target jumlah kapal: 1) MSY WPP 9 Samudera Hindia di kalikan dengan persentase jumlah tangkapan yang diperbolehkan (80%) yang disebut jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) (SK Mentan No.995/kpts/ik.210/9/99 tentang Potensi Sumberdaya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) di Wilayah Perikanan Republik Indonesia). 2) Jumlah pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan di WPP 9 Samudera Hindia sebanyak 216 unit yang terdiri dari 3 unit PPS, 3 unit PPN, 3 unit PPP dan 207 unit PPI. 3) Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No: KEP.10/MEN/2004 tanggal 24 Pebruari 2004 tentang pelabuhan perikanan bahwa bahwa kapasitas minimum produksi ikan untuk masing-masing kelas pelabuhan perikanan adalah 60 ton/hari atau 21.900 ton/tahun untuk PPS, 30 ton/hari atau 19.950 ton/tahun untuk PPN.
Diperkirakan kapasitas minimum
PPP sebesar 10
ton/hari atau 3.650 ton/tahun dan 5 ton/hari atau 1.825 ton/tahun untuk PPI. 4) Kapasitas produksi minimum seluruh kelas pelabuhan perikanan adalah jumlah hasil tangkapan minimum yang didaratkan di masing-masing kelas pelabuhan perikanan. 6) Alokasi pemanfaatan SDI bagi masing-masing kelas pelabuhan perikanan (Pelabuhan Perikanan Samudera, Pelabuhan Perikanan Nusantara, Pelabuhan Perikanan Pantai dan Pangkalan Pendaratan Ikan) didapatkan dari kapasitas produksi minimum masing-masing kelas pelabuhan perikanan di WPP 9 per tahun dibagi dengan kapasitas produksi minimum seluruh kelas pelabuhan perikanan di WPP 9 kemudian dikalikan dengan JTB WPP 9.
63
7) Alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN Palabuhanratu didapatkan dari alokasi pemanfaatan SDI untuk kelas PPN dibagi jumlah PPN yang ada di WPP 9. Mekanisme perhitungan target jumlah produksi PPN Palabuhanratu seperti pada Gambar 3.
MSY WPP 9 Samudera Hindia
JTB = 80% X MSY WPP 9
Jml PP di WPP 9 = A
Jml PPS = 3 unit, Kapasitas minimum 60 ton/hari
Jml PPN = 3 unit, Kapasitas minimum 30 ton/hari
Jml PPP = 3 unit, Kapasitas minimum 10 ton/hari
Kapasitas minimum PPS/tahun = 3x60 ton x365= a1
Kapasitas minimum PPN/tahun = 3x30ton x365= a2
Kapasitas minimum PPP/tahun = 3x10 ton x365= a3
Jml PPI = 207 unit, Kapasitas minimum 5 ton/hari Kapasitas minimum PPI/tahun = 207x5 ton x365= a4
Kap. Produksi minimum seluruh PP di WPP 9= a1+a2+a3+a4 = B
Alokasi pemanfaatan SDI PPS = (a1/B)xJTB = b1
Alokasi pemanfaatan SDI PPN =(a2/B)xJTB = b2
Alokasi pemanfaatan SDI PPP =(a3/B)xJTB = b3
Alokasi pemanfaatan SDI PPI =(a4/B)xJTB = b4
Alokasi pemanfaatan SDI PPN Palabuhanratu = b2/3
Gambar 3 Mekanisme perhitungan target jumlah produksi PPN Palabuhanratu.
64
(2) Perhitungan target jumlah kapal (unit) Langkah-langkah pada perhitungan penentuan target jumlah kapal 1) Alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN Palabuhanratu adalah sebesar 19.000 ton/tahun. 2) Kondisi jumlah unit kapal PPN Palabuhanratu pada tahun 2005 untuk masingmasing kelompok ukuran kapal <5 GT (A1), 5-30 GT (A2), dan 30-150 GT (A3) dikalikan dengan rata-rata GT untuk masing-masing kelompok ukuran kapal <5 GT (B1), 5-30 GT (B2), dan 30-150 GT (B3) maka akan diperoleh jumlah GT untuk masing-masing kelompok ukuran kapal <5 GT (C1), 5-30 GT (C2), dan 30-150 GT (C3). Penjumlahan dari semua jumlah GT untuk masingmasing kelompok ukuran kapal akan menghasilkan jumlah total GT untuk semua kapal yang ada di PPN Palabuhanratu (D). 3) Posisi awal produktivitas kapal untuk setiap GT adalah jumlah produksi ikan tahun 2005 dibagi jumlah GT untuk semua kapal yang ada di PPN Palabuhanratu tahun 2005. 4) Perhitungan target produktivitas unit penangkapan (E) diperoleh dari hasil perhitungan CPUE untuk masing-masing unit penangkapan yang ada saat ini di PPN Palabuhanratu.
Berdasarkan jenis unit penangkapan yang lebih
prospek ke depan, menurut hasil kajian pemantauan dan evaluasi CPUE PPN Palabuhanratu tahun 2005 diperoleh hasil bahwa untuk unit penangkapan
longline berukuran 30 GT memiliki nilai produktivitas paling tinggi yakni 1 ton/GT per tahun.
Sehingga dalam perhitungan target kapal untuk PPN
Palabuhanratu digunakan produktivitas 1 ton/GT per tahun.
Selain itu
longline menangkap ikan tuna. Tuna merupakan ikan yang bernilai ekonomi tinggi dan berpeluang besar sebagai komoditi ekspor (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003). 5) Komposisi persentase kapal berdasarkan ukuran <5 GT (E1), 5-30 GT (E2), dan 30-150 GT (E3) diperoleh dari jumlah GT untuk masing-masing kelompok ukuran kapal <5 GT (C1), 5-30 GT (C2), dan 30-150 GT (C3) dibagi jumlah total GT untuk semua kapal (D). Kemudian persentase masingmasing tersebut dikalikan dengan jumlah alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN Palabuhanratu sehingga diperoleh alokasi pemanfaatan SDI oleh masing-
65
masing kelompok ukuran kapal <5 GT (F1), 5-30 GT (F2), dan 30-150 GT (F3). 6) Alokasi pemanfaatan SDI masing-masing ukuran kapal dibagi dengan target produktivitas unit penangkapan, maka diperoleh jumlah GT kapal masingmasing ukuran <5 GT (G1), 5-30 GT (G2), dan 30-150 GT (G3). 7) Jumlah kapal untuk masing-masing ukuran <5 GT (H1), 5-30 GT (H2), dan 30-150 GT (H3) diperoleh dari jumlah GT kapal untuk masing-masing ukuran <5 GT (G1), 5-30 GT (G2), dan 30-150 GT (G3) dibagi dengan rata-rata GT untuk masing-masing kelompok ukuran kapal <5 GT (C1), 5-30 GT (C2), dan 30-150 GT (C3). 8) Jumlah seluruh unut kapal yang akan dikembangkan didapatkan dari penjumlahan semua kapal untuk masing-masing ukuran. Mekanisme perhitungan target jumlah kapal PPN Palabuhanratu lebih jelasnya seperti pada Gambar 4. (3) Perhitungan kapasitas fasilitas Jenis fasilitas yang diperhitungkan adalah beberapa fasilitas pokok seperti lahan, kolam dan dermaga. Fasilitas fungsional seperti gedung pelelangan ikan, pabrik es, kebutuhan solar dan kebutuhan air bersih. Fasilitas-fasilitas tersebut menurut Lubis et al. (2005) termasuk fasilitas yang mutlak diperlukan. Pemilihan jenis fasilitas pokok seperti lahan karena lahan yang ada saat ini seluas 7,2 ha sudah terpakai untuk berbagai fasilitas pelabuhan sehingga areal untuk pengembangan dan areal industri perikanan tidak tersedia. Kapasitas kolam dan dermaga perlu untuk dikembangkan karena saat ini kondisi pemanfaatannya sudah tidak mampu menampung aktivitas kapal tambahan. Gedung pelelangan perlu untuk dikembangkan karena adanya tambahan produksi ikan akibat adanya pengembangan PPN Palabuhanratu.
Penyediaan tambahan pabrik es sangat
diperlukan karena hanya tersedia satu pabrik es dengan kapaitas 1000 balok/hari dan tidak mampu memenuhi kebutuhan es untuk operasional kapal sebanyak 1500 balok/hari. Kebutuhan solar saat ini dipasok oleh SPDN dengan kapasitas 160 kl/bulan dan SPBB dengan kapasitas 250 kl/bulan. Kebutuhan pemakaian solar rata-rata per hari pada tahun 2004 sebanyak 28 kl (tersedia pasokan 14 kl/hari),
66
sehingga pasokan dari SPDN dan SPBB tidak mencukupi. Selama ini sebagian kapal memperoleh BBM dari SPBU yang berada diluar pelabuhan. Kebutuhan air bersih untuk keperluan aktivitas kapal pada tahun 2005 tercatat rata-rata 16,5 ton/hari yang dipasok dari PDAM. Pasokan ini belum memperhitungkan kebutuhan air untuk pembuatan es, kebutuhan ikan dan untuk aktivitas penghuni. Alokasi pemanfaatan SDI PPN Palabuhanratu (SDI)
KM <5 GT A1
KM 5-30 GT A2
KM 30-150 GT A3
Rata-rata GT KM <5 GT = B1
Rata-rata GT KM 5-30 GT = B2
Rata-rata GT KM 30-150 GT = B3
Jml GT KM <5 GT = A1xB1=C1
Jml GT KM 5-30 GT = A2xB2=C2
Jml GT KM 30-150 GT = A3xB3=C3
Total GT untuk semua kapal = C1+C2+C3 =D
Target produktivitas unit penangkapan = 1 ton/GT per tahun = E
% KM <5 GT = C1/D=E1
% KM 5-30 GT = C2/D=E2
% KM 30-150 GT = C3/D=E3
Alokasi pemanfaatan SDI KM <5 GT = E1 x SDI = F1
Alokasi pemanfaatan SDI KM 5-30 GT = E2 x SDI = F2
Alokasi pemanfaatan SDI KM 30-150 GT = E3 x SDI = F3
Jml GT KM <5 GT = F1/ E = G1
Jml GT KM 5-30 GT = F2/ E = G2
Jml GT KM 30-150 GT = F3/ E = G3
Jml KM <5 GT = G1/ B1 = H1
Jml KM 5-30 GT = G2/ B2 = H2
Jml KM 30-150 GT = G3/ B3 = H3
Target jumlah total unit kapal yang akan dikembangkan = H1+H2+H3
Gambar 4 Mekanisme perhitungan target jumlah kapal PPN Palabuhanratu.
67
1) Perhitungan luas kolam (m2) Menurut Direktorat Jenderal Perikanan dan PT Inconeb (1981), perhitungan luas kolam adalah sebagai berikut: L = Lt + 3 [(n x l x b)] Dengan : L = Luas kolam pelabuhan (m2) Lt = Luas untuk memutar kapal (turbin basin) (π r 2) n = Jumlah kapal maksimal berlabuh setiap hari (unit) l = Panjang kapal (m) b = Lebar kapal (m) 2) Perhitungan panjang dermaga (m) Menurut Direktorat Jenderal Perikanan dan PT Inconeb (1981), dermaga dengan bentuk yang memanjang sejajar garis pantai dan diperuntukkan bagi kapal yang berlabuh dengan posisi badan kapal sejajar dengan sisi dermaga, maka panjang dermaga tersebut dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: D = Jumlah frekuensi kapal maksimum x l x (0,1) x l Dengan ; D = Panjang dermaga (m) l = Ukuran panjang kapal (m) 0,1 = Jarak aman antara dua kapal (m) 3) Luas gedung pelelangan (m2) Luas gedung pelelangan ikan dihitung berdasarkan perbandingan antara luas gedung pelelangan yang ada sekarang dan produksi rata-rata per hari dengan ratarata target produksi ikan pengembangan dan luas gedung pelelangan yang akan dikembangkan. Luas gedung pelelangan pengembangan adalah (rata-rata target produksi ikan pengembangan x luas gedung pelelangan yang ada sekarang) dibagi (produksi ikan rata-rata sekarang).
68
4) Kapasitas pabrik es (ton/tahun) Menurut Direktorat Jenderal Perikanan dan PT Inconeb (1981), perhitungan kapasitas pabrik es adalah sebagai berikut: K = a x Produksi rata-rata per hari Dengan : K = Kapasitas pabrik es a=2 5) Kebutuhan solar (kl/tahun) Menurut Direktorat Jenderal Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999), perhitungan kebutuhan solar adalah sebagai berikut: S = 0,2 liter / DK / jam Dengan : S = Kebutuhan solar ( kl/ tahun) Kapal ukuran <5 GT = bermesin 15 DK, kapal ukuran 5-30 GT = bermesin 60 DK, kapal berukuran 30-100 GT = bermesin 180 DK, kapal berukuran 100-150 GT = bermesin 225 DK). 6) Kebutuhan air bersih (kl/tahun) Menurut Direktorat Jenderal Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999), kebutuhan ABK adalah 20 liter/orang/hari. Kebutuhan bahan baku es adalah 1 kg air untuk 1 kg es, kebutuhan ikan adalah 1 liter/kg ikan, kebutuhan TPI adalah 1,5 liter/ m2 luas TPI, kebutuhan penghuni adalah 10% dari kebutuhan total. 7) Luas lahan (ha) Luas lahan yang diperlukan menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.10/Men/2004 tanggal 24 Februari 2004 tentang pelabuhan perikanan diperlukan seluas minimal 15 ha belum termasuk kolam pelabuhan. Sehingga paling tidak maksimum luas lahan yang diperlukan untuk PPN Palabuhanratu adalah 30 ha (sesuai dengan batas minimum lahan PPS).
69
(4) Perhitungan jumlah konsumen untuk ikan dari PPN Palabuhanratu Jumlah konsumen diperoleh dari jumlah target produksi untuk dalam negeri dibagi dengan rata-rata tingkat konsumsi ikan untuk penduduk dalam negeri. Menurut Barani (2006) bahwa tingkat konsumsi ikan /kapita penduduk secara nasional pada tahun 2005 sebesar 22,76 kg/kapita/tahun (angka perkiraan). Distribusi ke daerah hinterland primer untuk produk ikan segar komoditas ekspor kondisi saat ini sebesar 3% dan untuk pengembangan PPN Palabuhanratu jumlah ekspor ikan diperkirakan sebesar 35% dari target produksi PPN Palabuhanratu yang didasarkan kepada jumlah potensi ikan pelagis besar yang ada di WPP 9 Samudera Hindia untuk target jumlah produksi PPN Palabuhanratu. 4.5.3 Menentukan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu Prioritas pengembangan diperoleh dengan menggunakan proses hierarki analitik (PHA). Langkah-langkah yang dilakukan: (1) Penentuan hierarki Penentuan hierarki dilakukan penulis bersama-sama dengan responden berdasarkan kuesioner dan wawancara. Ada 4 tingkatan hierarki yakni: hierarki
pertama
adalah
goal
(tujuan):
optimalisasi
fungsi
PPN
Palabuhanratu, hierarki kedua adalah: pelaku/lembaga yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan: Ditjen.Perikanan Tangkap, PPN Palabuhanratu, Pemerintah Daerah (Dinas Perikanan dan Kelautan), KUD Mina Sinar Laut dan Nelayan. Hierarki ketiga adalah: solusi pengembangan terhadap alternatif prioritas pengembangan: perluasan kolam dan dermaga, perluasan lahan, operasional pelelangan ikan, pengadaan BBM dan pelayanan prima. Hierarki keempat adalah alternatif prioritas pengembangan, adalah peningkatan pendapatan pelabuhan, peningkatan jumlah kapal, peningkatan produksi ikan, peningkatan PAD dan peningkatan lapangan kerja. Hierarki ketiga dan keempat ditentukan dengan menggunakan metode skoring. Solusi pengembangan dan alternatif prioritas pengembangan untuk pengembangan PPN Palabuhanratu dipilih berdasarkan tahapan. Tahap pertama adalah penentuan jenis prioritas pengembangan yakni
70
dengan cara mencari informasi tentang pengembangan PPN Palabuhanratu kepada beberapa nelayan, tokoh nelayan, ketua HNSI dan ketua KUD Mina, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat maupun Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Selanjutnya dari informasi yang diperoleh tersebut untuk selanjutnya dibicarakan dengan pihak manajemen pelabuhan. Manajemen pelabuhan memfasilitasi pertemuan guna membicarakan jenis prioritas pengembangan dan jenis solusi pengembangan PPN Palabuhanratu antara
stakeholder manajemen pelabuhan dan peneliti. Setelah ditetapkan bersama jenis alternatif prioritas pengembangan dan jenis solusi pengembangan, kemudian dicari data pendukungnya melalui laporan statistik perikanan, laporan tahunan pelabuhan, laporan studi pembangunan. Adapun jenis alternatif prioritas pengembangan yang akan dipilih berdasarkan kesepakatan dengan stakeholder (Lampiran 2) adalah peningkatan jumlah kapal, peningkatan produksi ikan, peningkatan pendapatan pelabuhan, peningkatan PAD, peningkatan lapangan kerja, peningkatan pelelangan ikan, peningkatan
investasi,
penyempurnaan
docking,
peningkatan
SDM,
aksesibilitas, peningkatan kapasitas pabrik es, pengadaan SPBB untuk kapal berukuran >30 GT, peningkatan industri pengolahan, aplikasi SOP dan operasional syahbandar. Solusi pengembangan dalam pengembangan PPN Palabuhanratu yang telah ditetapkan secara bersama (Lampiran 3) adalah pembangunan perluasan kolam dan dermaga, perluasan lahan, operasional tempat pelelangan ikan (TPI), pengadaan BBM, pelayanan prima, pengadaan pabrik es, pengerukan alur pelayaran, pemeliharaan lampu navigasi, rehabilitasi pasar ikan, balai pertemuan nelayan, indtalasi air, pengadaan bak sampah dan pembuatan jalan kompleks pelabuhan. Tahap kedua, setelah jenis alternatif prioritas pengembangan tersebut dimasukkan ke dalam kuesioner, maka selanjutnya responden mengisi kuesioner tentang penilaiannya mengenai alternatif prioritas pengembangan. Setelah kuesioner diisi maka dilakukan penilaian responden yakni, penilaian alternatif prioritas pengembangan apakah alternatif prioritas pengembangan tersebut sangat tinggi prioritasnya untuk dilaksanakan, prioritas sedang untuk dilaksanakan dan prioritas kurang untuk dilaksanakan.
71
Kemudian ditentukan nilai masing-masing alternatif prioritas pengembangan dan ranking setiap alternatif prioritas pengembangan. Penilaian oleh responden untuk jenis alternatif prioritas pengembangan yang dianggap paling tinggi bernilai 10, sedang bernilai 5 dan kurang bernilai 3. Setiap jenis alternatif prioritas pengembangan dijumlahkan nilainya kemudian baru ditentukan ranking untuk masing-masing alternatif prioritas pengembangan berdasarkan nilai paling tinggi. Adapun variabel solusi pengembangan yang terpilih adalah peningkatan pendapatan pelabuhan, peningkatan jumlah kapal, peningkatan produksi ikan, peningkatan PAD, peningkatan lapangan kerja. Dalam penentuan jenis solusi pengembangan yang perlu dikembangkan, mekanismenya hampir sama dengan penentuan jenis alternatif prioritas pengembangan, yakni pertama mendiskusikan dengan pihak manajemen PPN Palabuhanratu dan stakeholder lainnya tentang jenis-jenis variabel solusi pengembangan yang diperlukan. Adapun jenis variabel solusi pengembangan yang perlu dikembangkan adalah perluasan kolam dan dermaga, penambahan kapasitas pabrik es dan SPBU, perluasan lahan, operasional lampu navigasi, operasional TPI, operasional pasar ikan, operasional balai pertemuan nelayan (BPN), peningkatan kapasitas instalasi air, penambahan bak sampah, operasional radio SSB dan perbaikan jalan kompleks pelabuhan. Kedua, setelah variabel solusi pengembangan tersebut dimasukkan ke dalam kuesioner, selanjutnya 29 responden mengisi kuesioner tentang penilaiannya mengenai variabel solusi pengembangan. Adapun 29 responden yang dipilih secara purposive adalah Ditjen. Perikanan Tangkap, PPN Palabuhanratu, Pemda Kabupaten Sukabumi /Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi, Kepala PPN Tanjung Pandan, HNSI, KUD Mina Sinar Laut, nelayan penangkap, nelayan pengolah, nelayan pemasar, investor perikanan. Setelah kuesioner diisi, dilakukan penilaian responden, yakni penilaian variabel solusi pengembangan apakah sangat tinggi prioritasnya untuk dikembangkan, prioritas sedang untuk dikembangkan, dan prioritas kurang untuk dikembangkan. Setelah
itu,
kemudian
ditentukan
nilai
masing-masing
solusi
pengembangan dan ranking setiap variabel solusi pengembangan. Penilaian
72
oleh responden untuk jenis variabel solusi pengembangan yang dianggap paling tinggi bernilai 10, sedang bernilai 5 dan kurang bernilai 3. Tahap ketiga selanjutnya setiap jenis variabel solusi pengembangan dijumlahkan nilainya kemudian ditentukan ranking untuk masing-masing jenis solusi pengembangan berdasarkan nilai paling tinggi. Adapun variabel solusi pengembangan yang terpilih adalah perluasan kolam dan dermaga, perluasan lahan, operasional pelelangan ikan, pengadaan BBM untuk kapal, pelayanan prima. (2) Membuat skala perbandingan, untuk membandingkan setiap sub kriteria yang ada pada masing-masing hierarki (3) Penentuan prioritas: untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif . Bentuk hierarki pengembangan PPN Palabuhanratu seperti pada Gambar 5.
GOAL
OPTIMALISASI FUNGSI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU
LEMBAGA/ PELAKU
Ditjen Perikanan Tangkap
PPN Palabuhanratu
Perluasan kolam dan dermaga
Perluasan lahan
SOLUSI PENGEMBANGAN
ALTERNATIF PRIORITAS PENGEMBANGAN
Peningkatan penda patan pelabuhan
Peningkatan Jlh kapal
Pemda/ Dinas
Operas ional pelelangan ikan
Peningkatan produksi ikan
KUD
Pengadaan BBM
Peningkatan PAD
Nelayan
Pelayanan prima
Peningkatan lapangan kerja
Gambar 5 Bentuk proses hierarki analitik yang akan ditentukan untuk pengembangan PPN Palabuhanratu. 73
5 HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menyajikan data dan informasi yang meliputi kondisi umum lokasi penelitian, fasilitas, operasional dan manajemen PPN Palabuhanratu guna mendukung tujuan penelitian, hasil perhitungan yang berkaitan dengan tujuan penelitian yakni arah pengembangan, memformulasikan pola pengembangan dan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu. 5.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian PPN Palabuhanratu terletak di kota Palabuhanratu yang merupakan ibu kota Kabupaten Sukabumi. Menurut Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Sukabumi (1999) bahwa Palabuhanratu dijadikan ibu kota Kabupaten Sukabumi yang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi, pusat perdagangan dan jasa, pusat pengembangan perikanan laut dan pusat pengembangan pariwisata. Dengan adanya perubahan fungsi kota, maka banyak hal yang belum dapat ditangani dan ditata oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi misalnya tata ruang wilayah pesisir dan laut belum dapat dibuat karena Pemerintah Daerah masih mengupayakan agar ada bantuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Provinsi. Selain itu dengan perubahan fungsi kota, maka kondisi ini membawa dampak terhadap kemajuan pembangunan kota Palabuhanratu terutama untuk mendukung pembangunan sektor perikanan dan kelautan. Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu daerah dataran tinggi di Jawa Barat yang memiliki ketinggian berkisar 0 – 2960 m. Luas wilayah Kabupaten Sukabumi sekitar 412.799 ha dan merupakan daerah terluas di Jawa Barat. Secara geografis Kabupaten Sukabumi terletak antara 6o57’-7o25’ LS dan 106o49’107o00’ BT, dengan curah hujan rata-rata pada tahun 2000 sebanyak 130 hari hujan setiap tahun, sehingga bulan basah lebih banyak dibandingkan bulan kering dengan kelembaban 70-90%. Pada tahun 2000 tercatat jumlah penduduknya sebanyak 2.038.961 jiwa. Kota Palabuhanratu berada di ketinggian 0 – 50 meter dari permukaan laut. Di belakang kota ini terbentang bukit-bukit sehingga sedikit sekali areal persawahan. Penduduk banyak bekerja di kebun-kebun dan sebagai nelayan. Pada saat musim ikan, mereka beralih pekerjaannya menangkap ikan di laut. Luas
Kecamatan Palabuhanratu adalah 10.288 ha. Jumlah penduduk Kecamatan Palabuhanratu sebanyak 88.995 orang atau 4% dari jumlah penduduk Kabupaten Sukabumi. Kabupaten Sukabumi memiliki 35 desa pesisir dan 9 kecamatan pesisir, yakni Kecamatan Tegalbuleud, Cibitung, Surade, Ciracap, Ciomas, Simpenan, Palabuhanratu, Cikakak dan Cisolok. Luas seluruh kecamatan pesisir 141.133 ha (34,19% dari luas Kabupaten Sukabumi 412.799 ha). Bila dilihat dari luas wilayah pesisir, maka prioritas pembangunan sebaiknya di arahkan pada daerah pesisir dan laut. Batas administratif Kabupaten Sukabumi adalah sebelah: Utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor, Selatan dengan Samudera Hindia, Timur dengan Kabupaten Cianjur, dan Barat dengan Kabupaten Lebak. Panjang pantainya 117 km membentang dari Mina Jaya (Kecamatan Surade) sampai Cibangban (Kecamatan Cisolok) dan di sepanjang pantai tersebut terdapat 7 tempat pendaratan ikan dengan jumlah nelayan 11.736 orang atau 0,58% dari jumlah penduduk Kabupaten Sukabumi pada tahun 2000, dengan rincian Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Mina Jaya-Kecamatan Surade sebanyak 118 orang, PPI Ujung Genteng-Kecamatan Ciracap 399 orang, PPI Ciwaru-Kecamatan Ciomas jumlah nelayan 146 orang, PPI Loji-Kecamatan Simpenan 515 orang, PPN Palabuhanratu-Kecamatan Palabuhanratu 7.400 orang, PPI CisolokKecamatan Cisolok 2.748 orang dan PPI Cibangban-Kecamatan Cisolok 409 orang. Berdasarkan penyebaran nelayan di masing-masing kecamatan sepanjang pesisir, maka Palabuhanratu paling banyak jumlahnya, yakni sebanyak 7.400 orang atau 63% dari jumlah nelayan Kabupaten Sukabumi. Diantara ketujuh tempat pendaratan ikan, PPN Palabuhanratu memiliki fasilitas operasional yang paling baik. Hasil tangkapan ikan dari kapal yang berasal dari 6 PPI lain tersebut sebagian diangkut ke Palabuhanratu. Keenam PPI dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Semua PPI yang ada belum dibentuk unit pelaksana teknis (UPT)-nya dan belum ada petugas khusus yang menangani PPI tersebut. Gambar 6 memperlihatkan peta penyebaran lokasi pelabuhan perikanan di Kabupaten Sukabumi. Semua urusan pembangunan dan operasional PPI ditangani langsung oleh kepala cabang Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi, sehingga
75
operasional PPI tersebut belum optimal. Pengumpulan data statistik dilaksanakan tidak sempurna dan tidak ada petugas khusus untuk pengumpulan data statistik. Data statistik dikumpulkan langsung oleh Kepala Cabang Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi. 106 0 49’ I
1070 00’ I
- 70 25’
U - 60 57’
Sumber: Lubis et al. 2005.
Gambar 6 Peta penyebaran lokasi pelabuhan perikanan di Kabupaten Sukabumi. Berdasarkan data klimatologi stasiun Maranginan Palabuhanratu, bahwa musim hujan di Palabuhanratu berlangsung dari bulan November sampai April, dimana 71% curah hujan tahunan dalam periode tersebut mencapai 1662 mm, dan rata-rata curah hujan bulanan mencapai 192 mm. Curah hujan tahunannya termasuk besar yaitu sebesar 2565 mm dan rata-rata bulanan berkisar 84 – 376 mm. Hampir setiap bulan di Palabuhanratu terjadi hujan. Pada tahun 2006 terjadi kemarau panjang yakni sejak bulan April sampai dengan bulan Oktober 2006.
76
Kondisi kemarau panjang ini justru membawa dampak yang positif bagi nelayan karena hasil tangkapan ikannya lebih banyak dari biasanya. Penyebabnya adalah terjadi pertumbuhan chlorofil di perairan sehingga menumbuh suburkan perairan. Temperatur rata-rata bulanan berkisar antara 25,80C sampai 28,80C. Kawasan Palabuhanratu mempunyai iklim monsoon dan pola angin di sekitar Palabuhanratu dipengaruhi oleh musim tersebut, yaitu musim barat selama bulan November-Maret dan musim timur bulan Mei-September. Kecepatan angin berkisar antara 4,4-23,5 km per jam. Kecepatan angin cukup kencang (>20 km/ jam) bertiup pada bulan-bulan Agustus sampai dengan Desember. Secara keseluruhan angin dominan bertiup dari Tenggara (22,6%) dan Barat (13,6%). Bila dipilah menurut bulannya, angin dominan bertiup dari arah: Januari dari Barat dan Barat Laut, Februari dari Barat Laut, Maret dari Barat Laut, April sampai Oktober dari Tenggara, November dari Tenggara dan Barat, dan Desember dari Barat Laut. Menurut penyelidikan PT. Tripatra Engineering (1989), Palabuhanratu terletak pada zone gempa 2 yaitu zone gempa dengan aktivitas tinggi, dengan koefisien gempanya 0,07 g.
Oleh karena itu, disamping kerusakan langsung
akibat guncangan gempa, bencana dapat pula timbul akibat gelombang tsunami yang melanda daerah pantai. Lahan lokasi PPN Palabuhanratu merupakan daratan yang terbentuk dari endapan yang dibawa Sungai Cipalabuhan dan Cipanyairan. Jenis sedimen terutama adalah lanau, pasir, dan kerikil. Lahan semacam ini sangat cocok untuk penempatan bangunan konstruksi beton pelabuhan. Topografi lahan di lokasi pelabuhan perikanan dan sekitarnya sepanjang pantai dapat dikatakan datar, akan tetapi di belakang kota Palabuhanratu topografinya berbukit-bukit. Ketinggian tanah lahan lokasi pelabuhan perikanan berkisar +1,0 – 3,5 m LWS. Gambaran kondisi batimetri di lokasi PPN Palabuhanratu adalah: (1) Kedalaman -5,0 LWS dicapai dari garis pantai 50 - 80 m ke laut, dengan kemiringan pantai berkisar 6 -10%. (2) Pada jarak 50 – 80 m dari garis pantai ke arah laut kemiringan dasar laut sangat curam yaitu berkisar 25 – 36%.
77
(3) Daerah dengan kemiringan dasar laut yang relatif landai terletak di bagian Selatan dan Barat Daya pelabuhan. Gambar 7 menunjukkan gambaran kondisi batimetri di lokasi PPN Palabuhanratu.
Pelabuhan saat ini
Palung dengan kedalaman 10-200 m
0m 5m
Skala 1 : 1.500
U
Gambar 7 Batimetri perairan dekat site PPN Palabuhanratu (Sumber : Ditjen. Perikanan dan PT. Perentjana Djaja, 1999). Hasil analisis data pasang surut oleh Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999) adalah: 1) Highest Water Spring (HWS) = 165,2 cm. 2) Mean High Water Spring (MHWS) = 149,9 cm. 3) Mean High Water Level (MHWL) = 113,9 cm. 4) Mean Sea Level (MSL) = 75,3 cm.
78
5) Mean Low Water Level (MLWL) = 35,2 cm. 6) Mean Low Water Spring (MLWS) = 10,5 cm, dan 7) Lowest Water Spring (LWS) = 0 cm. Gambar 8 menunjukkan korelasi antara rambu pengamatan pasang surut dan elevasi. Referensi
Palem rambu pasut HWS
257,0 cm
HWS
165,2 cm
MHWS
241,7 cm
MHWS
149,9 cm
MHWL
205,7 cm
MHWL
113,9 cm
MSL
167,1 cm
MSL
75,3 cm
MLWL
127,0 cm
MLWL
35,2 cm
MLWS
102,3 cm
MLWS
10,5 cm
LWS
91,8 cm
LWS
0.0 cm
Chart Datum 0.0 cm
Gambar 8 Pasang surut air laut di PPN Palabuhanratu (Sumber: Ditjen. Perikanan dan PT. Perentjana Djaja, 1999). Secara umum gelombang besar terjadi selama musim barat, yaitu pada bulan November-Maret. Pada musim barat ini banyak nelayan takut melaut karena mengandung resiko tinggi, terutama untuk kapal-kapal ukuran kecil (<10 GT). Sebaliknya selama musim timur kondisi perairan Palabuhanratu relatif tenang. Pada musim ini gelombang didominasi oleh swell dengan arah rambatan menuju selatan dan barat daya. Pada saat musim barat terjadi pengikisan pantai sehingga pada bagian-bagian pantai terjadi penggerusan/abrasi pantai ke arah darat, namun pada saat musim timur, terjadi hal sebaliknya, yakni terjadi penumpukan pasir dan bibir pantai melebar ke arah laut. Menurut Adi (1995), perubahan musim di Palabuhanratu sangat berpengaruh terhadap kegiatan perikanan. Pada umumnya upaya penangkapan ikan terbesar terjadi pada musim Selatan, ditandai dengan angin yang lemah, laut
79
tenang serta curah hujan yang rendah. Musim Selatan merupakan musim terjadinya banyak ikan dan musim tersebut terjadi pada bulan Juni-Oktober. Sebaliknya pada musim Barat merupakan musim kurang ikan ditandai dengan angin yang bertiup kencang, gelombang besar dan sering terjadi hujan lebat. Periode musim barat berlangsung sekitar bulan November – Mei. Tabel 12 menunjukkan periode musim ikan di PPN Palabuhanratu. Tabel 12 Musim ikan di PPN Palabuhanratu Musim Selatan/ banyak ikan Barat/ kurang ikan
Bulan Jan
Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des √
√
√
√
√
Selanjutnya menurut Baskoro et al. (2004), bahwa pengetahuan mengenai pola migrasi ikan bagi usaha pemanfaatan sumberdaya adalah dengan mengetahui pola migrasi ikan yang menjadi tujuan penangkapan, maka efisiensi dan efektivitas penangkapan ikan dapat dilakukan dengan baik. Selanjutnya dengan mengetahui pola migrasi ikan, maka kita dapat mengetahui keberadaan ikan disuatu perairan sekaligus dapat pengetahui swimming layer dari suatu jenis ikan. Ikan pelagis besar yang merupakan high migration (migrasi jauh) seperti ikan tuna disebabkan oleh beberapa hal seperti untuk keperluan memijah karena memang naluri sejak lahirnya memijah disuatu tempat, untuk mencari makan, dan untuk mencari lingkungan yang optimum. Selanjutnya dikatakan bahwa tuna mata besar (big eye tuna) menyebar di Samudera Pasifik melalui perairan diantara pulau-pulau Indonesia ke Samudera Hindia. Pemijahan tuna ini terjadi di bagian Timur dan bagian Barat Samudera Hindia, di Indonesia ikan ini banyak ditangkap di laut-laut dalam antara lain di perairan sebelah Selatan Jawa, sebelah Barat Daya Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara, Laut Banda dan Laut Maluku. Untuk jenis ikan albacore, penangkapannya banyak dilakukan di Samudera Hindia. Pencatatan di Benoa-Bali yang menjadi salah satu pusat pendaratan ikan tuna menunjukkan, jenis albacore hampir tertangkap sepanjang tahun, terutama bulan April-September yang merupakan musim dengan tangkapan yang bagus.
80
Arus di Palabuhanratu sangat lemah, arus umumnya ditimbulkan oleh angin musim yang dipengaruhi oleh pasang surut dan besarnya kedua komponen arus ini sangat lemah. Selama musim timur, arus di sepanjang Pantai Selatan Jawa bergerak menuju barat dan pada musim barat arus berbalik arah. Sedimentasi yang terjadi di sekitar mulut kolam pelabuhan disebabkan masuknya sebagian longshore sedimen terdiri dari pasir dengan diameter rata-rata 200 mm. Pada waktu musim hujan atau banjir, material longshore sedimen terdiri dari campuran sedimen yang berasal dari sungai dan dasar pantai. Sungai Cipalabuhan yang bermuara di samping kolam pelabuhan adalah sungai yang aktif membawa endapan sampah kota, lumpur dan pasir. Dalam merencanakan Pelabuhan Perikanan Samudera Palabuhanratu (PPS Palabuhanratu), faktor adanya pengaruh sungai ini perlu diperhitungkan dengan matang sehingga dapat mengeliminir pengaruh masuknya sedimen ke dalam kolam pelabuhan yang akan dibangun tersebut. Terhindarnya mulut kedua kolam (kolam I dan II) dari masuknya endapan sedimen disebabkan karena posisi mulut berada pada palung dengan kedalaman 10-200 m (Gambar 7). Pengalaman meletakkan posisi mulut kolam ini hendaknya diaplikasikan juga pada kolam III yang akan dibangun pada PPS Palabuhanratu. 5.2 Kondisi PPN Palabuhanratu Operasional PPN Palabuhanratu sangat tergantung kepada kondisi fisik pembangunannya dan sejauh mana hubungan PPN Palabuhanratu dengan wilayah produksi dan wilayah distribusi. 5.2.1 Fasilitas PPN Palabuhanratu Fasilitas yang telah dibangun sejak operasionalnya pada tahun 1993 adalah: 1) Fasilitas pokok: (a) Lahan seluas 12,2 ha. Sebagian lahan digunakan untuk pembangunan kolam seluas 5 ha dan untuk bangunan darat berupa gedung dan perkantoran.
Pada
saat
ini,
lahan
pelabuhan
sudah
semuanya
dimanfaatkan, sehingga tidak tersedia lagi untuk industri perikanan. Dalam upaya untuk mengembangkan PPN Palabuhanratu yang ada sekarang agar lebih optimal fungsinya dan pengembangannya menjadi
81
PPS Palabuhanratu, maka kapasitas beberapa fasilitas pelabuhan perikanan perlu di tingkatkan sehingga memerlukan tambahan perluasan areal terutama untuk mengembangkan fasilitas pokok seperti dermaga dan kolam pelabuhan serta penyediaan areal bagi industri perikanan. Ketersediaan lahan untuk perluasan areal akan disiapkan oleh pemerintah daerah di selatan areal pelabuhan perikanan yang ada sekarang. Lahan yang akan dibebaskan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat tersebut akan digunakan untuk pembangunan fasilitas pokok dan areal industri perikanan. (b) Penahan gelombang pada pengembangan PPN Palabuhanratu dan pengembangan menjadi PPS Palabuhanratu sangat diperlukan karena adanya penambahan kapasitas kolam pelabuhan. Berdasarkan pengalaman pembangunan penahan gelombang dermaga I dan penahan gelombang dermaga II, maka konstruksi yang paling sesuai untuk pembangunan penahan gelombang baru adalah dengan batu buatan yang disebut dengan a-jack. A-jack digunakan pertama kalinya di Indonesia pada pembangunan dermaga PPN Palabuhanratu, namun a-jack juga perlu disempurnakan dalam pembuatannya yakni dengan penambahan pemakaian tulang besi, sehingga lebih kokoh dan tidak mudah patah. A-jack telah digunakan pada pembangunan penahan gelombang dermaga II sejak tahun 2000, sampai saat ini kondisinya masih baik. Penggunaan a-jack telah digunakan pula oleh PPS Cilacap dan PPN Prigi.
Penggunaan a-jack sebagai
pengganti batu alami sangat tepat, hal ini dikarenakan ketersediaan batu alami yang sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan sangat terbatas (misalnya dibutuhkan ukuran batu sampai dengan 7 ton). Keunggulan ajack dibandingkan dengan batu alami adalah, a-jack mempunyai 11 kali daya redam gelombangnya dibandingkan dengan daya redam batu alami (PT. Perentjana Djaja, 1999). (c) Kolam pelabuhan dermaga I seluas 3 ha dengan kedalaman kolam 1,5 – 3,5 m. Pendangkalan kolam tetap akan terjadi karena adanya sampahsampah yang berasal dari limbah padat dan limbah cair yang dibuang dari kapal-kapal, aktivitas docking dan aktivitas tempat pelelangan ikan serta
82
adanya sampah-sampah yang berasal dari adanya arus pasang ke dalam kolam. Pihak pelabuhan harus memiliki petugas khusus untuk mengatasi sedimen ini dengan membersihkan kolam dari sampah-sampah padat dan cair secara rutin setiap minggu. Pihak pelabuhan dapat saja mengadakan kapal pemungut sampah di kolam. Untuk limbah padat yang terendap di dasar kolam, maka pihak pelabuhan harus dapat mengusahakan untuk melakukan pengerukan kolam secara periodik. Sebaiknya pihak pelabuhan memiliki back hoe jenis long arm guna mengeruk kolam. Selain itu untuk pengaturan kapal di kolam, maka zonasi penempatan kapal di kolam dermga I perlu ditingkatkan kepatuhan pemanfaatannya sehingga tidak mengganggu aktivitas di kolam terutama pada saat proses bongkar muat ikan dan tambat kapal.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah
perlunya peningkatkan keamanan dan ketertiban di kolam dermaga I oleh tim keamanan terpadu dan pengurus-pengurus kapal. (d) Kolam dermaga II, seluas 2 ha dioperasionalkan sejak tahun 2002 dengan kedalaman kolam 4 m. Kolam dermaga II perlu dilakukan pemeliharaan, terutama menjaga kebersihan kolam dari buangan sampah, selain itu perlu dijaga ketertiban pemanfaatan kolam. Berdasarkan kondisi kolam dermaga I dan dermaga II yang sudah penuh (melebihi kapasitas tampung), maka untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu saat ini dan pembangunan PPS Palabuhanratu diperlukan penambahan kapasitas kolam baik dari segi perluasannya maupun dari segi kedalaman kolam. (e) Dermaga (wharf) I sepanjang 500 m berkonstruksi beton dibangun tahun 1993 dan telah berfungsi secara baik. Sepanjang dermaga sudah disediakan fender agar kapal tidak bersentuhan langsung dengan badan dermaga yang terbuat dari beton. Kemudian juga tersedia bolard untuk digunakan sebagai tempat pengikat kapal. Kondisi fender dan bolard saat ini dalam keadaan rusak, sehingga pihak pelabuhan diharapkan memperbaiki atau menggantinya dengan yang baru. Dermaga II sepanjang 410 m berkonstruksi beton dibangun tahun 2002 dan telah berfungsi secara baik.
Sebagian fender dan bolard telah rusak sehingga perlu
83
diganti dengan yang baru. Dengan adanya pembangunan kolam baru sehingga memerlukan dermaga yang baru (f) Tempat pendaratan di pantai (beach landing) seluas 6600 m2 berfungsi untuk pendaratan kapal ukuran kecil (jenis kapal kincang) dan untuk tempat perbaikan kapal. Lokasi beach landing berada di pangkal kolam dermaga I. Selain itu juga sudah tersedia fasilitas slipway yang dapat mengakomodir kapal berukuran <30 GT. Kondisi slipway dalam keadaan rusak namun masih dapat digunakan. PT. CKU sebagai pengelola diharapkan untuk memperbaikinya. Dengan adanya slipway di kolam dermaga I , menyebabkan kondisi kolam menjadi kotor karena limbah hasil perbaikan kapal terbawa hanyut oleh arus pasang surut ke dalam kolam. Dalam rencana pengembangan PPS Palabuhanratu, maka perlu dirancang konstruksi dock dan slipway dan secara khusus ditempatkan dalam satu kolam yang terpisah dengan kolam utama, sehingga tidak mengganggu aktivitas-aktivitas kapal di kolam dan kebersihan kolam dapat terjaga. Selain itu perlu dirubah fungsi tempat pendaratan di pantai ini kearah tempat perbaikan kapal dan diharapkan pemerintah daerah mampu menyiapkan tempat pendaratan di pantai ke arah selatan pelabuhan (diluar kolam pelabuhan), yakni di pantai Patuguran sehingga kapal-kapal kecil berukuran <5 GT dapat memanfaatkan tempat pendaratan di pantai tersebut, sedangkan untuk menarik kapal-kapal kecil dalam memanfaatkan tempat pendaratan di pantai patuguran yang akan dibangun oleh pemerintah daerah, maka perlu dilengkapi dengan fasilitas pemasaran dan pengolahan hasil perikanan di sekitar tempat pendaratn tersebut. 2)
Fasilitas fungsional dan operasionalnya berupa: (a) Tempat pelelangan ikan (TPI) seluas 900 m2 dalam keadaan baik dan terpelihara. TPI telah menyediakan fasilitas air bersih, tetapi terbatas penggunaannya untuk keperluan karyawan TPI. Nelayan cenderung menggunakan air laut untuk membersihkan ikannya karena mudah diperoleh di depan dermaga dan ketersediaan air tawar di TPI belum
84
cukup memadai. Pada tahun 2004 telah dilakukan penyediaan pompa air laut guna memperoleh air laut yang bersih, namun dalam operasionalnya mengalami kesulitan dalam pemeliharaan karena alat pemompanya mudah korosi akibat pengaruh air laut. Pada tahun 2005 telah disediakan pompa air laut bertekanan tinggi guna membersihkan lantai TPI. Setiap hari dilakukan pembersihan lantai oleh petugas kebersihan. Sampah cair langsung dibuang ke perairan laut sekitar dermaga. Kondisi ini menyebabkan kotornya air laut. Kegiatan tersebut dilakukan karena PPN Palabuhanratu belum mempunyai unit pengolah limbah cair dan limbah padat. Pembersihan sampah padat dilakukan oleh petugas, kemudian dikumpulkan dalam tempat sampah sementara yang telah disediakan di sekitar TPI. Setiap dua hari sampah-sampah yang ada dalam tempat sampah sementara diangkut oleh mobil sampah, kemudian dibuang ke tempat pembuangan akhir di daerah Cibadak. PPN Palabuhanratu sebaiknya memiliki tempat pembakaran limbah padat (incinerator), sehingga tidak tergantung kepada tempat pembuangan sampah. Pada saatnya nanti PPN Palabuhanratu diharapkan memiliki instalasi pengolah limbah (IPAL). Limbah cair, sebaiknya diolah terlebih dahulu hingga menjadi bersih kemudian dapat dibuang ke laut. Selain itu tersedia pula fasilitas untuk pelelangan ikan seperti timbangan, trays (keranjang ikan), gerobak dorong, sound system, kantor TPI. Semua fasilitas tersebut dikelola oleh KUD dan sebagian alat tersebut disewakan kepada nelayan. Pengoptimalan fungsi TPI, akan diarahkan untuk menciptakan TPI yang benar-benar hygienis sesuai dengan persyaratan tempat pelelangan ikan. Menurut
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
No.
KEP.01/MEN/2007 tanggal 5 Januari 2007 tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi, bahwa persyaratan tempat pelelangan ikan adalah : a) Terlindung dan mempunyai dinding yang mudah untuk dibersihkan. b) Mempunyai lantai yang kedap air yang mudah dibersihkan dan disanitasi, dilengkapi dengan saluran pembuangan air dan mempunyai sistem pembuangan limbah cair yang hygiene.
85
c) Dilengkapi dengan fasilitas sanitasi seperti tempat cuci tangan dan toilet dalam jumlah yang mencukupi.
Tempat cuci tangan harus
dilengkapi dengan bahan pencuci tangan dan pengering sekali pakai. d) Mempunyai penerangan yang cukup untuk memudahkan dalam pengawasan hasil perikanan, e) Kendaraan yang mengeluarkan asap dan binatang yang dapat mempengaruhi mutu hasil perikanan tidak diperbolehkan berada dalam TPI. f) Dibersihkan secara teratur minimal setiap selesai penjualan, wadah harus dibersihkan dan dibilas dengan air bersih atau air laut bersih. g) Dilengkapi dengan tanda peringatan dilarang merokok, meludah, makan dan minum, dan diletakkan ditempat yang mudah dilihat dengan jelas. h) Mempunyai pasokan air bersih dan atau air laut bersih yang cukup. i)
Mempunyai wadah khusus yang tahan karat dan kedap air untuk menampung hasil perikanan yang tidak layak untuk dimakan. Sebagai akibat adanya penambahan produksi ikan,
maka
diperlukan lagi tambahan gedung pelelangan ikan. Dalam operasionalnya berbeda dengan penataan TPI awal, yakni menampung ikan komoditi ekspor sehingga fasilitas TPI dan operasionalnya harus mengikuti standar penanganan ikan untuk ekspor. (b) Pasar ikan 352 m2 digunakan untuk tempat penjualan ikan secara grosir. Biasanya jenis-jenis ikan yang dijual disini adalah jenis-jenis ikan untuk konsumsi lokal dan restoran atau pembeli yang datang dari luar Palabuhanratu. Jenis-jenis ikan segar yang terjual antara lain adalah kakap, udang, tongkol, kuwe, cumi-cumi. Selain gedung pasar ikan, pihak pelabuhan telah membangun lapak-lapak sebanyak 60 lapak yang telah diisi oleh penjual ikan eceran dan ikan olahan kering. Dengan adanya lapak-lapak ini, maka kebersihan, ketertiban dan keindahan di sekitar TPI lebih terjaga. Pihak pelabuhan juga menanam tanaman hias di sekitar TPI dan menyediakan tempat-tempat sampah. Permasalahan yang dihadapi adalah belum semua kios atau lapak pasar ikan digunakan oleh pedagang
86
karena kondisi ikan pada saat paceklik sangat kurang. Selain itu adanya keengganan pemilik lapak menggunakan lapaknya karena lokasi lapak berada jauh kedalam. Untuk pengembangan PPN Palabuhanratu, maka pasar ikan ini perlu ditata kembali terutama mengenai tata ruangnya, sistem drainase, sistem instalasi air bersih, instalasi BBM dan pengaturan pemanfaatannya oleh pedagang-pedagang serta menjaga kebersihan, ketertiban dan keindahan pasar agar tidak terlihat kumuh (c) Kantor pelabuhan 528 m2 digunakan untuk keperluan administrasi pelabuhan. Kantor utama digunakan untuk keperluan kepala pelabuhan dan kepala seksi serta untuk perpustakaan, gudang arsip, pusat informasi pelabuhan perikanan. Kondisi kantor saat ini sudah terisi penuh dan kondisi fisik bangunannya perlu diperbaharui sehingga untuk pengadaan kantor pada PPN Palabuhanratu yang akan dikembangkan secara optimal sebaiknya dibangun gedung baru dengan konstruksi bertingkat empat dan khusus lantai pertama dibuat tidak memakai ruangan (bebas partisi) guna mengantisipasi adanya kejadian tsunami. (d) Pos pelayanan terpadu yang terdiri dari petugas syahbandar, PPN Palabuhanratu, TNI AL, Polisi Air dan petugas pengawas SDI. Kondisi fisik gedung saat ini perlu direhab atau dibangun baru, karena sebagian bangunannya sudah mengalami pelapukan dan belum disiapkan fasilitas pendingin ruangan (AC). Selain itu petugas kurang disiplin menempati pos sehingga memperlemah kinerja pelayanan, untuk itu perlu dibuat kesepakatan bersama tentang operasional pos pelayanan terpadu guna meningkatkan kinerja pelayanan. (e) Kantor syahbandar (petugas dari PPN Palabuhanratu). Saat ini syahbandar di pelabuhan perikanan ada dua yakni syahbandar umum dari Departemen Perhubungan dan syahbandar perikanan dari Departemen Kelautan dan Perikanan. Syahbandar perikanan yang telah ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2006 belum dapat menjalankan tugasnya karena menurut kesepakatan antara Dirjen. Perikanan Tangkap dan Dirjen. Perhubungan Laut bahwa syahbandar umum di PPN Palabuhanratu akan
87
ditarik kemudian syahbandar perikanan sudah mulai berfungsi. Kantor yang digunakan untuk petugas syahbandar sementara berada di pos pelayanan terpadu, namun pada tahun 2007 akan dibangun kantor khusus syahbandar di pelabuhan perikanan. Petugas syahbandar perikanan yang telah dilatih ada dua orang dibantu oleh satu orang staf PPN Palabuhanratu. Tugas syahbandar adalah untuk mengeluarkan surat ijin berlayar (SIB). Sebelum syahbandar beroperasional, maka pihak manajemen PPN Palabuhanratu harus sudah mempersiapkan personil yang bertugas sebagai syahbandar, administrasi yang diperlukan seperti form SIB, standard operational procedure (SOP) syahbandar, koordinasi dengan instansi terkait khususnya mengenai ruang lingkup tugas dan mempersiapkan kantor operasional sementara syahbandar. (f) Kantor pengawasan perikanan dan kelautan digunakan untuk aktivitas pengawasan
perikanan
dan
kelautan.
Kondisi
kantornya
cukup
representatif karena selain baru, setiap ruangan dilengkapi pendingin ruangan (AC). Jumlah personil pengawasan sebanyak lima orang, yang telah memiliki kewenangan untuk menyidik sebanyak empat orang karena telah berstatus sebagai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Dalam pelaksanaan tugasnya untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan pelimpahan berkas perkara kepada Kejaksaan dibantu oleh petugas Angkatan Laut, Polisi Air, Dinas Perikanan dan Kelautan. Selama tahun 2006 telah dilakukan dua kali gelar operasi ke laut dan berhasil menangkap 15 kapal ukuran <30 GT karena tidak memiliki surat ijin penangkapan. Dari hasil penyelidikan ini telah dilimpahkan perkaranya kepada PPNS Kabupaten Sukabumi karena menyangkut kapal-kapal berukuran <30 GT. Menurut petugas pengawasan bahwa lembaga pengawasan ini akan ditingkatkan menjadi unit pelaksana teknis (UPT) Ditjen. Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan sehingga tidak tergantung pada pelabuhan perikanan. Permasalahan yang dihadapi adalah sangat sedikitnya petugas pengawas (lima orang) sehingga banyak tugas-tugas yang tidak tertangani dengan baik, sebagai contoh masih banyaknya kapal-kapal yang tidak berijin yang
88
memerlukan pembinaan lebih lanjut.
Selain gelar operasi, kegiatan-
kegiatan yang sudah terlaksanan adalah pembentukan dan penumbuhan kelompok
masyarakat
pengawas
(POKMASWAS)
perikanan
dan
kelautan. Terhadap permasalahan sedikitnya jumlah petugas dan luasnya wilayah pengawasan, maka disepanjang 117 km pantai Sukabumi ada sebanyak 7 tempat pendaratan ikan, pada masing-masing tempat tersebut telah dibentuk POKMASWAS yang beranggotakan masing-masing 20 orang terdiri dari tokoh nelayan, pengusaha, tokoh masyarakat, petugas desa, nelayan. Mulai pada tahun 2003, secara resmi POKMASWAS di 7 titik tersebut telah dikukuhkan dengan surat keputusan Bupati. Sebanyak 140 orang telah dilakukan pemusatan latihan di PPN Palabuhanratu guna menyerap pengetahuan mengenai perikanan dan kelautan serta peraturanperaturan yang berkaitan dengan pengawasan.
Dalam operasionalnya
POKMASWAS telah dilengkapi radio SSB (single side band) yang dapat dihubungkan dan didengar nelayan dilaut yang sedang melakukan operasi penangkapan ikan. Setiap hari petugas POKMASWAS ini diminta untuk melaporkan
kejadian
perikanan
di
wilayahnya
kepada
pusat
POKMASWAS di PPN Palabuhanratu. Berdasarkan laporan dari POKMASWAS tersebut, maka PPN Palabuhanratu akan melakukan koordinasi dengan stakeholder yang terkait dengan permasalahan tersebut. Jaringan radio SSB ini juga telah dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah, Angkatan Laut dan Polisi Air. POKMASWAS telah membentuk forum POKMASWAS yang bertugas untuk mengkoordinasikan masalahmasalah yang berkaitan dengan tugas pengawasan.
Hasil kerja dari
POKMASWAS telah melaporkan tentang kejadian penggunaan alat, bahan terlarang dalam melakukan penangkapan ikan hias di karang. Terhadap
laporan
ini
pemerintah
daerah
telah
mengupayakan
penyelesaiannya dengan cara musyawarah. Permasalahannya adalah, petugas POKMASWAS menghendaki agar pemerintah dapat memberikan insentif kepada mereka setiap bulan.
89
(g) Laboratorium Bina Mutu Hasil Perikanan seluas 170 m2 digunakan untuk pemeriksaan hasil tangkapan nelayan, selama ini pengujian yang dilaksanakan antara lain pengujian organoleptik dan pengujian formalin. (h) Balai pertemuan nelayan 150 m2 secara aktif digunakan sebagai tempat pelatihan-pelatihan nelayan, rapat HNSI, pengajian, sunatan. Balai ini perlu dilengkapi dengan sound system, AC dan penambahan kursi serta fasilitas audio visual. (i) Puskesmas nelayan yang beroperasi setiap hari Selasa dan Kamis dengan jumlah pasien 55 orang setiap hari. Pelayanan dilakukan oleh dokter umum dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi. Biaya pengobatan relatif murah sebesar Rp 3.000,- setiap kali berobat. Direncanakan Puskesmas Nelayan ini akan ditingkatkan menjadi RS Pelabuhan Perikanan yang berfungsi memberi pelayanan kesehatan nelayan dan kesehatan lingkungan pelabuhan. (j) Kantor penjualan BBM 96 m2 dilengkapi dengan tangki BBM berkapasitas 320 m3 dan 208 m3. Usaha BBM yang bernama SPDN ini dikelola oleh KUD Mina Sinar Laut bekerjasama dengan Perum Prasarana Samudera Jakarta. KUD Mina memperoleh aliran minyak sebanyak 160 Kl sebulan untuk keperluan BBM solar bagi kapal-kapal ukuran <30 GT. Harga jual BBM Solar untuk nelayan sama dengan harga BBM di SPBU. Kebutuhan solar untuk 628 buah kapal yang ada pada tahun 2005 adalah sebanyak 1.820 kl/bulan, namun yang tersedia di SPDN sebanyak 160 kl/bulan ditambah 500 kl/bulan di SPBB sehingga kekurangannya diperoleh dari SPBU. Menurunnya frekuensi jumlah kapal melaut setiap bulan dari sejumlah 60 kapal per bulan menjadi 5 kapal per bulan sebagai akibat kenaikan biaya operasional melaut terutama harga solar BBM. Dengan adanya pengembangan PPN Palabuhanratu, maka SPDN dan SPBB yang ada perlu ditambah persediaan solarnya sehingga memenuhi kebutuhan kapal untuk operasi ke laut. Hampir semua nelayan menghendaki agar harga BBM untuk nelayan diturunkan menjadi
90
Rp 2.500/liter guna menutupi biaya operasional melaut yang terus membengkak. (k) Tangki air 400 m3 dan rumah pompa 27 m2 dikelola oleh PT. Eko Mulyo Sukabumi. Air bersih dialirkan oleh PDAM ke reservoir kemudian baru dialirkan ke kapal-kapal nelayan yang ada di pinggir dermaga. Apabila PDAM tidak beroperasi, maka pihak pelabuhan telah menyediakan mobil tanki air bersih dimana air bersih diambil di sumber mata air milik perorangan, sehingga penyediaan air bersih untuk kapal-kapal nelayan tidak mengalami masalah. Untuk jangka menengah dan panjang, penambahan kapasitas air bersih ini perlu ditingkatkan dengan cara membuat reservoir baru yang diisi oleh sumber air tanah dan untuk keperluan lainnya maka perlu dilakukan pemanfaatan air Sungai Cimandiri untuk dialirkan ke pelabuhan perikanan. (l) Tempat perbaikan jaring 500 m2 saat ini sudah tidak berfungsi lagi dan dialih fungsikan menjadi areal industri. Saat ini telah ditempati oleh perusahaan cold storage. (m) Gudang box 74 m2 digunakan untuk menyimpan box-box dan trays. (n) Gardu jaga 52 m2 digunakan untuk pos keamanan pelabuhan. (o) Toilet umum 45 m2 sudah berfungsi yang dikelola oleh koperasi karyawan. 3)
Fasilitas penunjang berupa rumah operator seluas 131 m2 dan guest house seluas 150 m2 serta mushola nelayan.
5.2.2 Kondisi operasional PPN Palabuhanratu Operasional pelabuhan dijalankan oleh satu manajemen yang dibentuk oleh pemerintah pusat. Berdasarkan tugas pokok dan fungsinya, maka manajemen pelabuhan saat ini menjalankan fungsi dalam rangka membantu aktivitas perikanan agar lebih efisien dan efektif, dan ikut membina dan mengembangkan perekonomian masyarakat nelayan. Pada umumnya nelayan-nelayan tangkap di Palabuhanratu yang mengoperasikan alat payang, gill net dan pancing kekurangan modal serta mengalami kesulitan dalam memperoleh faktor produksi seperti alat tangkap, mesin, bahan bakar dengan harga yang murah, kebutuhan-kebutuhan
91
tersebut harus dibeli dari pedagang perantara dengan harga yang tinggi. Selain itu biaya operasional melaut diperoleh dari pinjaman uang melalui rentenir/tengkulak dengan cara yang mudah, dan sebagai imbalannya nelayan harus menjual hasil tangkapan ikannya kepada rentenir dengan harga yang tidak wajar, akibatnya pendapatan nelayan semakin berkurang. Menyadari hal tersebut, maka sejak tahun 2003 Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap telah mencoba meluncurkan program revitalisasi pelabuhan perikanan dan menumbuhkan unit-unit bisnis perikanan terpadu (UBPT) di pelabuhan perikanan, dengan tujuan untuk meningkatkan fungsi pelabuhan perikanan, yang semula hanya melayani aktivitas perikanan di pelabuhan, kemudian diperluas untuk ikut membina pengembangan ekonomi perikanan. Dengan demikian tugas dan fungsi pelabuhan perikanan yang dijalankan merupakan ujung tombak pelaksanaan program DKP di daerah, termasuk juga menjalankan program-program lain di luar DKP, seperti fungsi kesehatan pelabuhan, keamanan dan ketertiban pelabuhan, imigrasi dan kesyahbandaran. Pelaksanaan fungsi PPN Palabuhanratu selama program revitalisasi pelabuhan perikanan dijalankan sejak periode tahun 2003-2005 adalah: (1) Sebagai tempat tambat labuh kapal: 1) Menyelenggarakan pemeliharaan vender dan bolard yang ada di dermaga, lampu suar pintu masuk kolam pelabuhan, penerangan dermaga, instalasi air di dermaga. 2) Menyelenggarakan fungsi kesyahbandaran, yakni mempersiapkan tenaga syahbandar. 3) Melakukan fungsi pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan, pemberian ijin kapal keluar masuk pelabuhan. 4) Melakukan pemantauan dan pengaturan terhadap kapal yang berlabuh dan bongkar muat. 5) Menerima dan mengelola jasa tambat. 6) Memberikan kemudahan dalam hal kebutuhan sarana dan jasa komunikasi dan telekomunikasi. (2) Tempat pendaratan ikan: 1) Memberikan pelayanan teknis untuk pendaratan ikan.
92
2) Menyediakan tenaga dan sarana pendaratan. 3) Pelayanan untuk mempertahankan mutu hasil tangkapan. 4) Alat bantu bongkar dan alat angkut ikan hasil tangkapan lainnya. 5) Pelayanan terhadap kebutuhan tenaga dan petugas bongkar muat ikan. (3) Tempat untuk memperlancar kegiatan kapal-kapal perikanan. 1) Memberikan pelayanan teknis untuk memudahkan kapal-kapal melakukan kegiatan di pelabuhan (merapat, berlabuh, bongkar muat, keluar pelabuhan). 2) Melayani kebutuhan kapal (BBM, es, garam dan perbekalan lain). 3) Memberikan dokumen perijinan surat tanda bukti lapor kedatangan /keberangkatan kapal (STBLKK). 4) Membantu pemeriksaan kesehatan kapal. 5) Membantu melaksanakan pemeriksaan dokumen keimigrasian ABK warga negara asing. 6) Membantu
pelaksanaan
pemeriksaan
muatan
sehubungan
dengan
peraturan bea dan cukai. 7) Memberikan pelayanan dalam hal kebutuhan perbekalan ABK, jasa perbengkelan dan perawatan kapal serta jasa lainnya. (4) Tempat pemasaran dan distribusi hasil tangkapan. 1) Menyediakan dan merawat tempat pelelangan ikan. 2) Menyediakan pasar ikan dan lapak pengecer ikan segar. 3) Menyediakan gedung perkantoran dan toko BAP. (5) Tempat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan. 1) Mengadakan dan mengembangkan berbagai sarana yang mendukung penanganan pasca penangkapan ikan (tempat/ruangan penanganan, pengolahan dan pengepakan ikan, ruangan pendingin, pabrik es dll.). 2) Membantu Dinas Perikanan dalam pembinaan kegiatan penanganan, pengolahan, pengepakan dan pengangkutan hasil perikanan serta penyuluhannya sebagai upaya untuk menjamin mutu hasil perikanan. 3) Mengkoordinasikan upaya pembinaan mutu hasil perikanan bersama Dinas Perikanan.
93
4) Membantu kelancaran sertifikasi mutu ikan dari Dinas Perikanan. 5) Melakukan uji tes formalin pada ikan dan bekerja sama dengan Polres setempat dalam pemberantasan penggunaan formalin. (6) Tempat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data. 1) Mengkoordinasikan pengumpulan data statistik perikanan di pelabuhan bersama dengan Dinas Perikanan. 2) Mewajibkan kepada unit usaha yang beroperasi di lingkungan pelabuhan untuk memberikan data yang diperlukan. 3) Melakukan tindakan pemeriksaan teknis kapal perikanan. 4) Melakukan pemantauan tugas dan kegiatan pemeriksaan kapal perikanan oleh petugas pengawasan penangkapan ikan. 5) Penyuluhan dan sosialisasi hasil riset serta mengadakan pelatihan berkaitan dengan peningkatan usaha perikanan. (7) Tempat pelaksanaan pengawasan (MCS) sumberdaya ikan. 1) Penyebaran dan pengumpulan log book. 2) Melakukan pendataan dan evaluasi terhadap log book. 3) Melakukan pendugaan stock. 4) Melakukan perhitungan terhadap CPUE. 5) Memberikan informasi tentang kondisi fishing ground. Hasil dari program revitalisasi pelabuhan perikanan dari Ditjen. Perikanan Tangkap yang dijalankan adalah tumbuhnya pelaku-pelaku unit bisnis di pelabuhan, seperti : (1) KUD Mina Sinar Laut bergerak dibidang pelayanan SPDN (station package dealer nelayan) untuk menyediaan solar kapal perikanan ukuran <30 GT, penyelenggaraan pelelangan ikan. (2) Yayasan Anak Nelayan bergerak dibidang pengolahan ikan dalam bentuk filet ikan dan usaha rumpon serta mengasuransikan sebagian nelayan binaannya. (3) Program pengembangan perikanan tangkap skala kecil dari Ditjen. Perikanan Tangkap yang bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh nelayan skala kecil dalam melakukan aktivitas perikanannnya sehingga pendapatannya semakin meningkat. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan
94
adalah berupa optimalisasi kapal dan alat penangkapan ikan (OPTIKAPI), optimalisasi pelelangan ikan (OPTILANPI), optimalisasi pengolahan ikan (OPTIHANKAN) dan optimalisasi pemasaran ikan (OPTISARKAN) yakni berupa pembentukan kelompok usaha bersama (KUB), pelatihan terhadap nelayan dan memberi bantuan permodalan berupa unit alat tangkap, pengolahan dan tempat pemasaran ikan.Tabel 14 menunjukkan perkembangan KUB binaan PPN Palabuhanratu. Berdasarkan Tabel 13, dari 9 KUB yang ada semuanya telah beroperasional, ditandai oleh jumlah anggota yang terlibat sebanyak 200 orang.
Pada tahun 2005, KUB tersebut telah berhasil
melakukan usaha penangkapan ikan atas bantuan kapal yang diberikan oleh pemerintah sebanyak 278.870 kg senilai Rp 760.879.200 dan dapat disimpan sebanyak Rp 46.896.791 untuk dana bergulir bagi anggotanya. Tabel 13 Kondisi kelompok usaha bersama (KUB) binaan PPN Palabuhanratu tahun 2005 Nama KUB Majelis Nusantara 1 Putra Bahari Nusantara Cempaka Putih Nusantara Gumelar Nusantara Bungsu Nusantara Majelis Nusantara 2 Lembayung Nusantara Sumber Bahari Bina Usaha Nusantara JUMLAH
Jumlah anggota
Jumlah prod (kg)
26 33 33 16 20 22 27 19 14 200
3.814 9.655 22.623 5.382 12.814 213.544 29.558 278.870
Nilai Prod (Rp)
Dana bergulir (Rp)
22.110.200 48.889.250 102.817.000 48.701.600 87.006.800 161.708.750 289.645.600 760.879.200
6.339.000 500.000 14.000 100.000 14.000.000 13.243.791 12.600.000 100.000 46.896.791
Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
(4) PT. Citra Karya Utama bergerak dibidang docking kapal. (5) PT. AGB bergerak dibidang cold storage dengan membeli semua produk hasil tangkapan ikan nelayan. Hasil ikan olahan diekspor ke negara Korea. (6) CV Burhan bergerak penjualan suku cadang alat bahan perikanan. (7) PT. Sari Sagara bergerak di bidang penangkapan ikan dengan alat tangkap longline dan cold storage.
95
(8) PT. Paridi mengelola Stasiun Pengisian Bahan Bakar di Bunker (SPBB) bergerak dibidang penyediaan solar untuk kapal ukuran >30 GT. Menerima pasokan solar dari Pertamina sebanyak 1.500 kl setiap bulan. (9) Bank Danamon dalam penyediaan kredit untuk nelayan. Sampai bulan Agustus 2006 sudah tersalurkan kredit sekitar Rp 4.000.000.000,-. (10) PT. Ratu Prima bergerak dibidang cold storage dan pabrik es. (11) Tumbuh dan berkembangnya 8 kelompok masyarakat pengawas perikanan (POKMASWAS) yang berada di setiap titik pendaratan ikan. Tugasnya adalah mengawasi kegiatan perikanan di daerahnya dan melaporkan kepada PPN Palabuhanratu tentang kejadian tersebut melalui radio SSB. (12) Digunakannya peta prakiraan daerah penangkapan ikan oleh kapal nelayan sebanyak 52 kapal setiap bulannya, sehingga nelayan memiliki alternatif petunjuk tentang daerah penangkapan ikan. (13) Terbangunnya PUSKESMAS nelayan pada tahun 2005 yang melayani ratarata sebanyak 15 orang nelayan setiap bulan. (14) Berfungsinya Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan (PIPP) yang memiliki jaringan langsung internet ke Ditjen. Perikanan Tangkap, sehingga data pelabuhan on line ke DKP. (15) Beroperasionalnya kios IPTEK yang menyampaikan hasil-hasil penelitian dan kegiatan perikanan dan kelautan kepada masyarakat perikanan. (16) Program statistik perikanan yakni pelaksanaan pengumpulan data secara benar dan akurat menurut petunjuk yang telah ditetapkan oleh Ditjen. Perikanan
Tangkap.
Pelaksanaan
program
ini
telah
menghasilkan
tersedianya data statistik perikanan tentang produksi ikan tuna berikut ukuran dan beratnya, statistik ikan lainnya, statistik distribusi ikan dan pengolahan ikan. Walaupun di PPN Palabuhanratu sangat baik pendataan statistiknya, namun sangat disayangkan pendataan kabupaten belum sempurna terutama pengumpulan data karena keterbatasan petugas.
96
Pelayanan PPN Palabuhanratu terhadap aktivitas-aktivitas perikanan antara lain adalah: (1) Kapal perikanan Kapal-kapal perikanan yang mendarat di PPN Palabuhanratu dan melakukan operasi penangkapan ikan di WPP 9 sejak periode tahun 1993–2005 dapat dilihat pada Tabel 14. Berdasarkan Tabel 14, bahwa komposisi kapal-kapal berukuran kecil (<5 GT) jumlahnya semakin meningkat yakni pada tahun 1993 sebanyak 342 unit meningkat menjadi 428 unit pada tahun 2005. Kapal motor berukuran 5-30 GT juga mengalami kenaikan yakni dari 65 unit pada tahun 1993 meningkat menjadi 180 unit pada tahun 2005. Begitu juga untuk kapal motor ukuran 30-150 GT naik dari 13 unit pada tahun 1993 menjadi 68 unit pada tahun 2005. Tabel 15 menunjukkan jumlah kapal yang mendarat di PPN Palabuhanratu berdasarkan daerah asalnya. Tabel 14 Jumlah kapal yang mendarat di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005 satuan: unit PMT Kapal Motor Kapal Motor Tahun Jumlah < 5 GT 5-30 GT >30 – 150 GT 1993 342 65 13 420 1994 344 85 16 445 1995 352 94 15 461 1996 365 111 12 488 1997 290 104 12 406 1998 275 137 9 421 1999 278 170 11 459 2000 235 170 11 416 2001 243 188 13 444 2002 317 132 13 462 2003 253 130 11 394 2004 266 125 139 530 2005 428 180 68 676 Sumber: Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
Berdasarkan Tabel 15, dari 676 unit kapal pada tahun 2005, terdapat sebanyak 465 unit kapal atau 69% berasal dari Palabuhanratu sedangkan sisanya berasal dari daerah lain.
97
Tabel 15 Jumlah kapal perikanan yang mendarat di PPN Palabuhanratu berdasarkan daerah asal tahun 2005 satuan: unit No Daerah asal Perahu Motor Tempel Kapal Motor Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Palabuhanratu Ujung Genteng Ciwaru Loji Cisolok Cibangban Cisaar Binuangeun Cilacap Pekalongan Jakarta Benoa Bali Sibolga NTT NTB Jawa Timur Jumlah
310 10 5 5 87 9 2 428
155 4 8 44 2 16 9 1 1 3 5 248
465 10 5 5 87 9 4 10 44 2 16 9 1 1 3 5 676
Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
(2) Produksi ikan Produksi ikan PPN Palabuhanratu sejak tahun 1993-2005 berfluktuasi setiap tahunnya, Tabel 16 menunjukkan produksi ikan di PPN Palabuhanratu. Berdasarkan Tabel 16, jumlah produksi semakin meningkat yakni dari 3.118.782 kg pada tahun 1993 menjadi 12.473.099 kg pada tahun 2005. Produksi ikan pada tahun 2005 sebesar 6.600.530 kg atau 53% berasal dari pendaratan langsung di dermaga PPN Palabuhanratu, sedangkan sisanya sebesar 5.872.569 kg atau 47% berasal dari ikan yang masuk ke PPN Palabuhanratu melalui jalan darat. Pada tahun 1993, tercatat ikan segar yang didistribusikan sebesar 93.240 kg dan naik menjadi 3.397.443 kg pada tahun 2005, atau rata-rata kenaikan sebesar 30,77%. Jumlah ikan yang didistribusikan tertinggi adalah sebanyak 3.397.443 kg pada tahun 2005 dan terendah sebanyak 52.192 kg pada tahun 1995 Sedangkan distribusi ikan segar dari PPN Palabuhanratu sejak tahun 1993 sampai 2005 ditunjukkan seperti pada Tabel 17.
98
Tabel 16 Produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005 Satuan : kg Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Jumlah Rata-rata
Produksi ikan didaratkan 3.118.782 3.424.725 3.521.745 3.386.376 4.134.871 2.381.967 2.765.495 2.505.091 1.766.963 2.890.118 4.105.260 3.367.517 6.600.530 43.969.440 3.382.265
Produksi ikan masuk pelabuhan lewat darat 806.223 1.036.144 1.010.060 1.737.487 985.350 520.503 3.036.662 5.872.569 15.004.998 1.875.625
Jumlah produksi pelabuhan 3.118.782 3.424.725 3.521.745 3.386.376 4.134.871 3.188.190 3.801.639 3.515.151 3.504.450 3.875.468 4.625.763 6.404.179 12.473.099 58.974.438 5.257.890
Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
Tabel 17 Produksi ikan segar dari PPN Palabuhanratu periode tahun 1993 -2005 Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata
Satuan : kg Produksi ikan segar 93.240 104.565 52.192 101.198 191.444 633.056 1.187633 1.100.360 579.569 1.384.923 1.985.877 1.605.468 3.397.443 955.158
Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
99
Distribusi ikan pindang dari PPN Palabuhanratu pada periode tahun 19932005 ditunjukkan seperti pada Tabel 18. Tabel 18 Produksi ikan pindang dari PPN Palabuhanratu periode tahun 1993 – 2005 Satuan : kg Tahun
Ikan pindang
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata
59.942 205.710 25.783 46.990 270.672 930.251 844.678 870.348 777.062 771.770 1.222.139 1.053.441 1.747.187 678.921
Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
Rata-rata pendistribusian ikan pindang sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2005 adalah 678.921 kg. Volume distribusi ikan pindang mengalami perkembangan, yakni dari 59.942 kg pada tahun 1993, naik menjadi 1.747.187 kg pada tahun 2005 atau rata-rata kenaikan sebesar 89,51%. Distribusi ikan asin dari PPN Palabuhanratu pada periode tahun 19932005 ditunjukkan seperti pada Tabel 19. Ikan-ikan asin dibuat oleh pengolah ikan asin yang berada di sepanjang pantai Sukabumi. Bahan-bahan ikan asin umumnya berasal dari PPN Palabuhanratu yang merupakan hasil tangkapan bagan dan sebagian kecil dari ikan-ikan hasil tangkapan pancingan. Rata-rata distribusi ikan asin dari Palabuhanratu sebesar 326.399 kg/tahun. Kota tujuan distribusi ikan asin adalah ke Palabuhanratu, Sukabumi, Cibadak, Cicurug, Bogor, Cianjur dan Bandung.
100
Tabel 19 Produksi ikan asin dari PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005 Satuan: kg Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata
Ikan asin 15.445 6.285 8.600 5.575 10.256 94.326 175.866 156.064 364.193 352.550 894.054 707.385 1.452.585 326.399
Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
(2) Pelayanan logistik Terdapat tiga kebutuhan kapal yang sangat penting untuk disediakan yaitu BBM solar, air bersih dan es. 1) Solar Volume pemakaian solar sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2005 terus meningkat, peningkatan sangat besar terjadi pada tahun 2002 yakni meningkat dari 1.045.000 liter tahun 2001 menjadi 4.041.110 liter pada tahun 2002 atau naik 286,71%. Pada tahun 2004, solar meningkat dari 4.821.870 liter pada tahun 2003 menjadi 10.380.781 liter, kemudian pada tahun 2005 jumlah solar yang digunakan nelayan menurun menjadi sebesar 5.528.785 atau turun sebesar 46,74%. Pada tahun 2005, nelayan dikejutkan terhadap adanya kenaikan harga BBM untuk kapal ikan berukuran >30 GT dengan harga Rp 5.300 per liter (Oktober 2005), akibatnya walaupun Pertamina telah membangun SPBB untuk melayani BBM solar bagi kapal berukuran >30 GT, namun saat ini tetap saja nelayan mencari harga solar yang lebih murah yakni di SPDN dan SPBU dengan harga Rp 4.300
101
per liter (Oktober 2005). Hal yang salah ini tidak akan berlangsung lama, sehingga pemerintah harus membantu kapal-kapal ikan yang berukuran >30 GT untuk memperoleh solar dengan harga yang sama dengan harga di SPBU.
12.000 10.380 10.000
Ton
8.000 5.528
6.000
4.821 4.041
4.000 2.000
2.669 1.153
1.662
1.745
1.847
1.747
1995
1996
1997
1998
1.619
1.917
1.045
1999
2000
2001
0.000 1993
1994
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 9 Kebutuhan logistik solar (BBM) di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993 – 2004. Pada tahun 2004 permintaan solar naik 115,29%. Kenaikan permintaan solar tersebut sebagai akibat beroperasinya dermaga II (Gambar 9). Permasalahan yang ada dalam menyalurkan solar untuk keperluan operasional kapal ikan sampai dengan tahun 2002 adalah bahwa selama ini kapal-kapal ikan sudah terbiasa membeli solar dari dua SPBU yang ada di Palabuhanratu. Kegiatan penyaluran BBM untuk kapal ikan yang diperoleh dari SPBU melanggar peraturan yang ada karena SPBU hanya diperuntukkan penyediaan solarnya bagi kendaraan bermotor di darat. Kebutuhan BBM solar untuk nelayan yang memiliki kapal berukuran <30 GT dipasok dari SPDN (Station Package Dealer untuk Nelayan). Bahan bakar solar untuk kapal berukuran >30 GT, sebelumnya dipasok dari 2 unit SPBU yang ada di Palabuhanratu ditambah satu buah SPBU lagi yang baru beroperasi pada tahun 2004, namun sejak bulan Oktober 2005, kebutuhan solar untuk kapal berukuran >30 GT juga telah dipasok dari SPBB (stasiun pengisian bahan bakar di bunker) PPN Palabuhanratu yang dikelola oleh PT Paridi. SPBB tersebut berlokasi di dalam pelabuhan dan dikhususkan untuk menyalurkan solar ke kapalkapal yang berukuran <30 GT dengan harga bersubsidi, yakni Rp 4.300/liter (bulan Oktober 2005) atau lebih murah Rp 200,- dibandingkan dengan harga di
102
SPBU. Selama ini SPDN memperoleh DO (delivery order) solar dari Pertamina sebanyak 160 kiloliter/bulan. Solar sebanyak itu cukup untuk kebutuhan kapal berukuran <30 GT yang berjumlah 608 buah dengan rincian ukuran kapal 5-30 GT sebanyak 180 buah dan kapal ukuran <5 GT sebanyak 428 buah. Kebutuhan solar setiap hari untuk kapal berukuran 30–150 GT, selama ini rata-rata 60 ton diperoleh dari tiga buah SPBU yang ada di Palabuhanratu. Tabel 20 Pemakaian BBM solar untuk kapal di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993 - 2005 Satuan : liter Tahun Kebutuhan BBM 1993 1.153.640 1994 2.669.300 1995 1.662.085 1996 1.745.859 1997 1.847.490 1998 1.747.497 1999 1.619.586 2000 1.917.155 2001 1.045.000 2002 4.041.110 2003 4.821.870 2004 10.380.781 2005 5.528.785 Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
2) Air Kebutuhan air bersih untuk nelayan dipasok dari PDAM kemudian dikelola oleh
pihak
PPN
Palabuhanratu.
Gambar
10
menunjukkan
gambaran
perkembangan kebutuhan air bersih sejak tahun 1993-2005 di PPN Palabuhanratu. Berdasarkan Gambar 10, pemakaian air meningkat tajam sampai dengan tahun 2005, yakni sebesar 6.034.700 liter atau rata-rata/hari sebanyak 16.533,42 liter. Peningkatan penggunaan air bersih ini sebagai akibat semakin banyaknya kapal perikanan dari luar masuk ke PPN Palabuhanratu. Permasalahan yang ada dalam menyalurkan air bersih untuk kapal ikan adalah tidak setiap hari PDAM dapat menyalurkan air bersih untuk keperluan kapal ikan.
103
7.00 6.035 6.00 4.749
Ton
5.00 4.00 2.443
3.00 2.00 1.00
2.084
1.63 1.469 0.70
1.212
0.99
1.11
1.48
1.591
2002
2003
0.38
0.00 1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2004
2005
Tahun
Gambar 10 Perkembangan kebutuhan air di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005. Setiap hari Senin dan Kamis, PDAM memutuskan tidak menyalurkan air ke PPN Palabuhanratu dengan alasan belum mampu menyalurkan air bersih untuk kebutuhan maksimal, sehingga pihak manajemen pelabuhan pada tahun 2005 telah mengadakan mobil tangki air guna menyediakan air bersih apabila PDAM tidak menyalurkan air bersih ke PPN Palabuhanratu. Permasalahan penyediaan air bersih sudah dapat diatasi oleh manajemen pelabuhan. Selama ini kebutuhan air bersih di PPN Palabuhanratu digunakan untuk keperluan melaut, aktivitas kantor, kapal, TPI dan WC umum. Tabel 21 Kebutuhan air bersih di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005 Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Satuan : liter Kebutuhan air 697.090 1.211.890 1.629.500 1.469.195 1.110.240 2.084.000 988.000 2.443.000 380.000 1.479.900 1.591.300 4.749.000 6.034.700
Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
104
3) Es Pemerintah seharusnya mendorong penggunaan es sebagai bahan pengawet untuk menciptakan cold chain system dalam mempertahankan mutu ikan yang didaratkan di pelabuhan perikanan dan untuk mencegah penggunaan formalin sebagai bahan pengawet ikan, untuk itu perlu dilakukan sosialisasi terhadap bahaya penggunaan formalin pada ikan dan perlu dilakukan penegakan hukum bagi pengguna formalin. Selain itu pemerintah juga harus mengatur tentang tata perdagangan formalin di pasar. Penggunaan es sebagai pengawet oleh nelayan Palabuhanratu dari tahun ke tahun semakin berkembang karena konsumen juga menghendaki ikan yang lebih segar dan bermutu. Sejak periode tahun 1993-2004 penggunaan es meningkat yakni dari 152.698 balok pada tahun 1993 meningkat menjadi 285.470 balok pada tahun 2004. Peningkatan ini disebabkan penggunaan es balok oleh kapal longline. Es disuplai oleh satu pabrik es di Palabuhanratu yang berkapasitas 1000 balok per hari, padahal kebutuhan es setiap harinya sebasar 1500 balok, sehingga kapal-kapal yang membutuhkan es harus antri selama 3 hari di pelabuhan. Banyak investor ingin membangun pabrik es, namun
mereka
masih
mempertimbangkan keberlangsungan usahanya mengingat kondisi operasional kapal-kapal sedang mengalami penurunan akibat kenaikan harga BBM. Gambar 11 menunjukkan perkembangan pemakaian es di PPN Palabuhanratu.
300.000 250.000 Ju m lah (b alo k)
285.470
277.704 219.595
200.000 152.698
150.000
132.740 143.560
136.807 112.335
122.246
112.450 90.300 74.632
100.000 50.000
11.490
0.000 1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 11 Perkembangan kebutuhan es di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005.
105
Tabel 22 Kebutuhan logistik es di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005 Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Satuan : balok Kebutuhan es 152.698 136.807 112.335 122.246 132.740 143.560 90.300 74.632 11.490 277.704 219.595 285.470 112.450
Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
5.2.3 Manajemen pelabuhan perikanan Pengelolaan pelabuhan perikanan tergantung antara lain kepada aspek legalitas, organisasi, tata hubungan kerja, kondisi sumberdaya manusia, standard operational procedure (SOP) dan pelayanan. (1) Legalitas pelabuhan perikanan Sejak tahun 1974, yakni permulaan adanya pelabuhan perikanan di Indonesia sampai dengan tahun 2004, peraturan yang mengatur mengenai pelabuhan perikanan belum ada, walaupun UU No.9 tahun 1985 tentang Perikanan menyebutkan antara lain bahwa pelabuhan perikanan dibina oleh pemerintah, namun sampai tahun 2004 peraturan pemerintah tentang pelabuhan perikanan belum diterbitkan sehingga pembangunan dan operasional pelabuhan sangat tergantung kepada aturan yang dikeluarkan oleh menteri perhubungan. Sejak tahun 2004 telah ada pengaturan tentang pelabuhan perikanan yakni pada UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan serta telah dikeluarkannya peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006. Selain itu terdapat pula peraturan lain yakni :
106
1) Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No.62 tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). 2) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.46/MEN/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan. 3) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.17/MEN/2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap. (2) Organisasi pelabuhan perikanan Didalam Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI
No.
KEP.26.I/MEN/2001 tanggal 1 Mei 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan, telah ditetapkan bahwa susunan organisasi PPN Palabuhanratu adalah sebagai berikut : 1) Kepala pelabuhan perikanan, yang mempunyai wewenang melaksanakan tugas pokok dan fungsi pelabuhan perikanan dan bertanggung jawab terhadap pembangunan dan operasional pelabuhan. 2) Sub Bagian Tata Usaha, yang mempunyai wewenang melakukan administrasi keuangan, kepegawaian, persuratan, kearsipan, perlengkapan dan rumah tangga, pelaporan dan pengembangan serta pengelolaan informasi dan publikasi perikanan. 3) Seksi Tata Pengusahaan, yang bertugas untuk melakukan pembangunan, pemeliharaan, pengembangan dan pendayagunaan sarana dan prasarana, pelayanan jasa, fasilitasi usaha dan wisata bahari, pemberdayaan masyarakat perikanan, koordinasi peningkatan produksi hasil perikanan, pengendalian lingkungan, koordinasi urusan keamanan dan ketertiban serta pelaksanaan kebersihan kawasan pelabuhan perikanan. 4) Seksi Tata Pelayanan, yang bertugas melakukan pelayanan teknis kapal perikanan dan kesyahbandaran perikanan, memfasilitasi pemasaran dan distribusi hasil perikanan, pengumpulan, pengolahan dan penyajian data dan statistik perikanan serta pengembangan dan pengelolaan sistem informasi perikanan. 5) Kelompok jabatan fungsional, yang terdiri dari jabatan fungsional pengawas penangkapan yang mempunyai tugas melakukan kegiatan pengawasan
107
penangkapan ikan serta jabatan fungsional kehumasan yang mempunyai tugas untuk
menyampaikan
informasi
berkaitan
dengan
fungsi-fungsi
kepelabuhanan. Struktur organisasi PPN Palabuhanratu dapat dilihat pada Lampiran 4. (3) Tata hubungan kerja Di wilayah PPN Palabuhanratu terdapat beberapa lembaga yang terkait dengan pengelolaan wilayah pelabuhan yang masing-masing mempunyai kewenangan yang berbeda. PPN Palabuhanratu berkewajiban mengkoordinasikan segenap kegiatan yang dilakukan oleh instansi terkait agar lebih bersinergi untuk mencapai tujuan. Instansi tersebut antara lain adalah : 1) UPT Pelabuhan Perikanan UPT pelabuhan perikanan mempunyai wewenang (a) Menyelenggarakan pembangunan, pengembangan, pemeliharaan dan pengelolaan sarana pokok dan penunjang yang menjadi aset pemerintah. (b) Menyelenggarakan pelayanan teknis terhadap kapal perikanan. (c) Menyelenggarakan keamanan, ketertiban dan kebersihan di pelabuhan perikanan. (d) Menyelenggarakan fungsi kesyahbandaran. (e) Mengkoordinasikan kegiatan instansi terkait di pelabuhan. 2) Dinas Perikanan Dinas perikanan mempunyai wewenang dan tanggung jawab melaksanakan pembinaan teknis perikanan sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah dibidang perikanan 3) Kesehatan Pelabuhan Kesehatan pelabuhan mempunyai wewenang dan tanggung jawab melakukan penanganan dan pengawasan kesehatan di pelabuhan. 4) POLISI AIR Polisi air mempunyai wewenang dan tanggung jawab melaksanakan penangkapan, penyidikan dan penanggulangan kasus-kasus kejahatan umum/kriminal.
108
5) TNI Angkatan Laut TNI AL mempunyai wewenang menjaga pertahanan dan keamanan laut termasuk melakukan upaya hukum terhadap pelanggaran perikanan di laut. (4) Sumberdaya manusia Jumlah pegawai PPN Palabuhanratu saat ini sebanyak 69 orang yang terdiri dari 57 orang PNS dan 12 orang pegawai honorer. Secara terperinci komposisi pegawai PPN Palabuhanratu disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Komposisi pegawai PPN Palabuhanratu berdasarkan pendidikan Satuan : orang Unit kerja Kepala pelabuhan Subbag. Tata Usaha Seksi Tata Pelayanan Seksi Tata Pengusahaan Honorer Jumlah
PENDIDIKAN S2
S1
D4
D3
SLTA
SLTP
SD
1 1 1 3
1 4 1 6
1 2 1 4
2 2
7 12 19 2 40
1 1 2
1 3 1 5
TSD
Jumlah
7 7
1 11 19 26 12 69
Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2005 Keterangan : TSD = Tidak Tamat SD
(5) Standard operational procedure (SOP) Beberapa SOP yang telah dipersiapkan oleh PPN Palabuhanratu antara lain adalah: operasional pelelangan ikan, operasional bengkel, operasional alat berat, operasional tambat labuh, operasional K3 (kebersihan, keindahan dan ketertiban), operasional sewa tanah, gedung bangunan, operasional instalasi air bersih, instalasi BBM, aliran dari barang (flow of goods), aliran orang (flow of person) dan tata tertib lainnya seperti keluar masuk kapal.
5.3 Arah Pengembangan PPN Palabuhanratu 5.3.1 Potensi sumberdaya ikan dan daerah penangkapan kapal-kapal dari Palabuhanratu (1) Sumberdaya ikan Menurut Pusat Riset Perikanan Tangkap dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi (2005), bahwa kelompok ikan pelagis besar di perairan Samudera Hindia (WPP 9) masih besar peluang untuk dimanfaatkan,
109
karena baru dimanfaatkan sebesar 188.280 ton atau 51,41% dari potensi sebesar 366.260 ton/tahun. Begitu juga untuk kelompok ikan pelagis kecil baru dimanfaatkan sebesar 264.560 ton atau 50,44% dari potensi sebesar 526.570 ton/tahun. Jenis-jenis ikan pelagis besar yang dominan didaratkan di PPN Palabuhanratu adalah tuna, cakalang, tenggiri, layaran, tongkol, jangilus, namun jenis ikan yang merupakan komoditas ekspor adalah ikan tuna dan cakalang, serta ikan layur yaitu jenis ikan demersal. Dalam kaitan pengembangan PPN Palabuhanratu, maka pemanfaatan sumberdaya ikan diarahkan untuk memanfaatkan kelompok SDI pelagis besar, pelagis kecil dan demersal. Pendaratan ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2005 tercatat sebanyak 67% terdiri dari jenis ikan pelagis besar, 8% jenis ikan pelagis kecil, 21% jenis ikan demersal dan 4% jenis ikan lainnya dari produksi sebesar 6.601 ton. Sehingga arah ke depan dalam pemanfaatan SDI untuk jenis-jenis ikan,
sama dengan
kondisi saat ini, yakni lebih mengutamakan untuk memanfaatkan jenis ikan pelagis besar. Jenis-jenis ikan utama yang akan dimanfaatkan adalah tuna albacora, tuna big eye, tuna yellowfin, cakalang, tongkol, layur. Unit penangkapan ikan yang prospek untuk dikembangkan adalah unit penangkapan ikan
tuna longline, hal ini sesuai dengan hasil kajian PPN
Palabuhanratu (2006) bahwa longline adalah unit alat penangkapan ikan yang paling produktif. Unit penangkapan ikan tuna longline sejak tahun 2003 telah dimulai penggunaannya di PPN Palabuhanratu bersamaan dengan adanya kolam II yang dapat mengakomodir kapal-kapal tuna longline berukuran 30-150 GT. Adapun produksi ikan tuna hasil tangkapan longline dan frekuensi kapal tuna longline yang mendaratkan ikan tuna periode tahun 2003 – 2006 seperti Tabel 24. Berdasarkan Tabel 24, bahwa dalam kurun waktu tahun 2003-2005, jumlah produksi tuna tertinggi terjadi pada tahun 2005 sebesar 1.472.457 kg dan produksi terendah terjadi pada tahun 2003 yang disebabkan oleh pertama kalinya kapal tuna longline mendarat di PPN Palabuhanratu. Ikan tuna yang paling banyak didaratkan di PPN Palabuhanratu berdasarkan jenis pada tahun 2006 adalah tuna yellow fin. Menurut Fuji Kizae (1960) yang diacu oleh Nurani et al. (2007) bahwa
110
fishing ground tuna untuk bigeye, yellowfin, albacore, swordfish, dan sedikit jenis sailfish dan southern bluefin berada di Samudera Hindia. Tabel 24 Produksi, frekuensi kapal dan CPUE unit penangkapan tuna longline di PPN Palabuhanratu periode tahun 2003-2006 Tahun 2003 2004 2005 2006 Rata-rata
Frekuensi kapal tuna longline yang mendaratkan ikan (kali) 164 281 579 223 311.75
Produksi (kg) 449.378 710.131 1.472.457 1.244.068 969.008,5
CPUE 2.740,11 2.527,16 2.543,10 5.578,78 3.347,29
Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
Adapun perkembangan upaya penangkapan (CPUE) tuna longliner seperti pada Gambar 12. Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa sejak tahun 2003 sampai dengan 2006, secara umum grafik CPUE menunjukkan kenaikan, walaupun pada tahun 2004 terjadi penurunan yang disebabkan oleh berkurangnya musim ikan tuna di Samudera Hindia. Kenaikan CPUE terbesar terjadi pada tahun 2006 disebabkan oleh musim ikan tuna di Samudera Hindia.
6000 5578.78
Nilai CPUE
5000 4000 3000
2740.11 2543.10
2527.16
2000 1000 0 2003
2004
2005
2006
Tahun
Gambar 12 CPUE unit tuna longline di PPN Palabuhanratu periode tahun 2003-2006.
111
Adanya kenaikan nilai CPUE untuk unit tuna longline mengindikasikan bahwa unit alat tangkap tuna longline masih berpeluang untuk dikembangkan guna mendukung arah pengembangan PPN Palabuhanratu. (2) Daerah penangkapan ikan nelayan Palabuhanratu Kapal-kapal nelayan dari Palabuhanratu menangkap ikan di WPP 9 (Samudera Hindia), namun demikian tidak semua WPP 9 dijadikan daerah penangkapan ikan karena perairan WPP 9 sangat luas yang membentang dari perairan laut di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) sampai ke perairan laut Nusa Tenggara Timur. Jauhnya daerah penangkapan ikan yang ditempuh tergantung antara lain pada ukuran kapal dan kapasitas mesin kapal yang dimiliki nelayan (Tabel 25). Daerah penangkapan ikan untuk kapal perahu motor tempel (< 5 GT) yang menggunakan jenis alat tangkap payang, pancing ulur, rampus, jaring klitik dan trammel net, berada di Teluk Palabuhanratu (jalur penangkapan ikan I sepanjang 0-3 mil laut) yang jarak operasinya sekitar 2 jam. Kapal-kapal ini dalam operasi umumnya tidak membawa es karena lamanya operasi penangkapan hanya satu hari (one day fishing). Hasil tangkapan ikan ditempatkan di dalam box styrofoam. Jenis-jenis ikan yang tertangkap khususnya oleh kapal yang menggunakan alat tangkap payang adalah ikan cakalang, pepetek dan ikan pelagis kecil lainnya. Pancing ulur biasanya bergabung dengan alat tangkap jaring. Jenis ikan yang tertangkap lebih dominan adalah ikan layur. Kapal dengan alat tangkap trammel net memiliki daerah penangkapan di muara sungai untuk menangkap udang. Daerah penangkapan ikan untuk kapal motor <10 GT yang menggunakan jaring purse seine, bagan, gillnet, pancing ulur dan rawai memiliki daerah penangkapan di Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng, Cidaun dan Ujung Kulon yang berjarak sekitar 2-4 jam (jalur penangkapan ikan I sepanjang 3-6 mil laut dan jalur penangkapan ikan II, sepanjang >6 mil laut). Jenis-jenis ikan yang tertangkap, khusus untuk purse seine adalah ikan cakalang dan ikan pelagis kecil lainnya. Bagan apung tersebar di dalam teluk, jenis ikan yang tertangkap oleh bagan adalah jenis ikan-ikan pelagis kecil. Bagan saat ini menjadi alat yang sangat tidak ramah lingkungan karena menggunakan jaring dengan mata jaring
112
yang sangat kecil (< 2 inci) yang mengakibatkan tertangkapnya semua ukuran ikan. Tabel 25 Daerah penangkapan ikan dari kapal yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Palabuhanratu tahun 2004
No
Jenis/ukuran kapal
1
Perahu Motor Tempel ( PMT)
2
Kapal Motor (KM) < 10 GT
3 4 5
Kapal Motor (KM) 11 - 20 GT Kapal Motor (KM) 21 - 30 GT Kapal Motor (KM) > 30 GT
Jenis alat tangkap Payang Pancing ulur Rampus Jaring klitik Trammel net Purse seine Bagan Gillnet
Daerah penangkapan ikan
Pancing ulur Rawai Gillnet Rawai
Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng Teluk Palabuhanratu Ujung Genteng, Cidaun, Ujung Kulon (Perairan Selatan Jawa) Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng Sumatera, Jawa Tengah Sumatera
Gillnet Rawai
Sumatera, Jawa Tengah Sumatera
Gillnet Rawai Tuna long line
Sumatera, Jawa Tengah Sumatera, Jawa Tengah Samudra Hindia
Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
Kapal motor yang berukuran 11 - >30 GT (jalur penangkapan ikan II sepanjang >6-12 mil laut dan jalur penangkapan ikan III sepanjang >12-200 mil laut) dengan alat tangkap gillnet dan rawai memiliki daerah penangkapan sampai ke daerah Sumatera, Samudera Hindia dan Jawa Tengah, bahkan kadang-kadang menangkap ikan sampai ke perairan Pulau Christmas (Australia). Jarak tempuh ke daerah penangkapan sekitar 2-4 hari perjalanan. Jenis-jenis ikan yang tertangkap di daerah tersebut adalah ikan cakalang, tuna, marlin, pari, cucut dan layaran. Kapal motor berukuran 11- >30 GT umumnya telah memiliki dokumen kapal yang cukup lengkap, namun banyak kapal-kapal ini tidak memiliki kompas dan
113
peta laut sehingga seringkali menangkap ikan pada wilayah negara lain seperti Australia. Permasalahan yang muncul didalam memanfaatkan sumberdaya ikan adalah tidak ditaatinya ketentuan jalur penangkapan ikan menurut SK Menteri Pertanian No.392/kpts/IK.120/4/99 sehingga menyebabkan terjadinya konflik antara nelayan gillnet, payang dengan nelayan longline. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan diperoleh informasi bahwa pada tahun 2006 terjadi konflik antara nelayan gillnet dengan nelayan yang memanfaatkan rumpon, namun telah dapat diredam konflik tersebut dengan cara mengajak semua nelayan untuk memanfaatkan rumpon berdasarkan tata tertib yang disepakati. Permasalahan lain adalah belum tertibnya kapal-kapal dari luar Palabuhanratu mengurus surat ijin andon kapal dari Dinas Perikanan setempat sehingga hal ini akan berpotensi menimbulkan konflik. 5.3.2 Faktor-faktor pendukung pengembangan PPN Palabuhanratu Terdapat beberapa indikasi bahwa PPN Palabuhanratu perlu untuk dikembangkan yakni berdasarkan lokasi sektor basis (LQ) yang memiliki komoditas untuk dapat diekspor seperti ikan tuna, indeks relatif nilai produksi (I), kepadatan kolam pelabuhan. Kemudian perlu ditentukan solusi permasalahan pengembangan PPN Palabuhanratu dan jenis-jenis fasilitas yang diperlukan, kekuatan persaingan PPN Palabuhanratu dibandingkan dengan pelabuhan perikanan lain di WPP 9 Samudera Hindia. (1) Kapal perikanan di WPP 9 Samudera Hindia Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2003), bahwa terdapat 13 propinsi yang menghadap WPP 9 Samudera Hindia, yakni: Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT. Selanjutnya didalam 13 provinsi tersebut ada sebanyak 65 kabupaten, dan 216 pelabuhan perikanan
yang mempunyai kontribusi dalam memanfaatkan
sumberdaya ikan di perairan WPP 9 termasuk kapal-kapal dari DKI Jakarta, disamping itu juga menurut informasi beberapa nelayan yang diperoleh dari
114
wawancara menyatakan bahwa terdapat kapal-kapal nelayan negara asing yang ikut memanfaatkan secara ilegal penangkapan ikan. Jumlah kapal dari 13 provinsi yang memanfaatkan sumberdaya ikan di WPP 9 Samudera Hindia seperti Tabel 26. Tabel 26 Jumlah perahu/kapal perikanan laut menurut daerah perairan pantai dan provinsi di WPP 9 Samudera Hindia, 2004 Satuan: unit No
1
2
3
4
Perairan Pantai
Kapal ukuran 30-100 GT
Kapal ukuran 100->1000 GT
Jumlah kapal provinsi semua ukuran
Barat Sumatera NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Bengkulu Lampung Selatan Jawa Banten Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali-Nusatenggara Bali Nusa Teng.Barat Nusa Teng.Timur
93 83 10 59 6 48 2 3 169
9 9 29 5 24 107
28.925 9.216 9.122 6.897 2.924 766 19.143 1.586 3.475 3.211 527 10.344 63.779
157 9
107 -
13.363 19.916
DKI Jakarta
3 919
1.166
30.500 6.614
1.240
1.311
118.461
Jumlah Sumber: Ditjen. Perikanan Tangkap, 2006.
Jumlah kapal yang memanfaatkan SDI di WPP 9 tahun 2004 sebanyak 118.461 unit, yakni tersebar di Pantai Barat Sumatera sebanyak 28.925 unit dan 93 unit diantaranya berukuran 30 – 100 GT dan 9 unit berukuran 100-1000 GT, di Selatan Jawa sebanyak 19.143 unit diantaranya berukuran 30–100 GT sebanyak 59 unit dan berukuran 100-1000 GT sebanyak 29 unit, di perairan Bali-Nusa Tenggara sebanyak 63.779 unit, diantaranya berukuran 30–100 GT sebanyak 169
115
unit dan berukuran 100-1000 GT sebanyak 107 unit, dan dari DKI Jakarta sebanyak 6.614 unit diantaranya berukuran 30 – 100 GT sebanyak 919 unit dan kapal ukuran 100->1000 GT 1.166 unit. Jumlah kapal berukuran 30 – 100 GT dari WPP 9 tersebut yang berpeluang mendarat di PPN Palabuhanratu yang akan dikembangkan tersebut sebanyak 1.240 unit (Gambar 13). Menurut Triatmojo (1996) menyebutkan bahwa kapal sebagai sarana pelayaran mempunyai peran sangat penting didalam sistem angkutan laut. (2) Pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Kep.11/ Men/ 2004 tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal Perikanan, menetapkan lokasi pelabuhan pangkalan bagi kapal yang daerah penangkapannya di WPP 9 Samudera Hindia, adalah: Pelabuhan Perikanan Sabang-NAD, PPN Sibolga-Sumatera Utara, PPP Pulau Tello-Sumatera Utara, PPS Bungus-Sumatera Barat, PPI Pulai BaaiBengkulu, PPS Nizam Zachman Jakarta, PPN Palabuhanratu-Jawa Barat, PPS Cilacap-Jawa Tengah, PPI Sadeng-Yogyakarta, PPI Muncar-Jawa Timur, PPN Prigi-Jawa Timur, PPI Pengambengan-Bali dan Pelabuhan Umum di Benoa-Bali. Pelabuhan-pelabuhan tersebut menjadi pesaing bagi PPN Palabuhanratu yang dikembangkan. Namun dari 12 pelabuhan perikanan tersebut yang dapat didarati oleh kapal >30 GT dan merupakan pesaing bagi PPN Palabuhanratu adalah PP Sabang, PPS Bungus, PPP Pulau Tello, PPS Nizam Zachman Jakarta, PPS Cilacap, dan Pelabuhan Umum Benoa, atau dua diantaranya berada di Selatan Jawa yaitu PPN Palabuhanratu dan PPS Cilacap. Jumlah PP/PPI yang merupakan basis kapal-kapal penangkapan ikan terdapat 216 unit (Gambar 14) yang menghadap Samudera Hindia, maka Jawa Timur memiliki jumlah PPI/PP yang paling banyak, yakni 24 PPI/PP (11,11%), Jawa Barat 23 PPI/PP (10,65%), Jawa Tengah memiliki 22 PPI/PP (10,18%), dan NTB memiliki 21 PPI/PP (9,7%). Menurut Pane et al. (2005), bahwa aktivitas perikanan tangkap pulau Jawa terkonsenterasi di wilayah Pantai Utara Jawa dan selebihnya di Pantai Selatan Jawa, sehingga perlu ada upaya untuk menyeimbangkan aktivitas perikanan antara lain dengan mengembangkan perikanan dan pelabuhan perikanan di Selatan Jawa.
116
95 °
10 0 °
10 5 °
11 0 °
11 5 °
12 0 °
12 5 °
13 0 °
13 5 °
14 0 °
U
Jml
U
Jml
U
Jml
U
Jml
U
Jml
A
0
A
83
A
0
A
10
A
0
B
0
B
9
B
0
B
0
B
0
N W
15°
15°
20°
20°
90 °
E
5°
Sabang Sibolga
Bungus
0°
0°
P.Tello
5°
Keterangan : U : Ukuran kapal A : 30 – 100 GT : 1.240 UNIT B : > 100 GT : 1.311 UNIT TOTAL : 2.551 UNIT
10°
10°
S
P.Baai
P. RatuCilacap Prigi Benoa
10° 15° 20°
U
Jml
U
Jml
U
Jml
U
Jml
U
Jml
U
Jml
U
Jml
A
0
A
919
A
6
A
48
A
2
A
3
A
157
A
9
B
0
B
1.166
B
5
B
24
B
0
B
0
B
107
B
0
95 °
10 0 °
10 5 °
11 0 °
11 5 °
12 0 °
12 5 °
13 0 °
13 5 °
3
B
0
20°
Jml
A
15°
90 °
U
Jml
10°
Kupang
U
5°
5°
Jakarta
14 0 °
117
Gambar 13 Jumlah perahu/kapal perikanan laut menurut daerah perairan pantai dan provinsi di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2004 (Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2006). 117
15°
10 0 °
10 5 °
11 0 °
11 5 °
12 0 °
Jml
P
Jml
P
Jml
P
Jml
P
Jml
A
0
A
0
A
1
A
0
A
0
B
0
B
1
B
0
B
0
B
0
C
1
C
1
0
C
0
C
0
D
24
D
2
12
D
10
C D
19
D
13 0 °
14 0 °
N W
E S
Sibolga P.Tello
0°
0°
Bungus
5°
Keterangan : P : Jenis Pelabuhan A : PPS : 3 B : PPN : 3 C : PPP : 3 D : PPI : 207 TOTAL : 216 PP PP DIDARATI KAPAL >30 GT : 11 PP
Sabang
5°
13 5 °
10°
P
12 5 °
15°
10°
95 °
20°
20°
90 °
P.Baai Jakarta
5°
5°
15°
Kupang
P
Jml
P
Jml
P
Jml
P
Jml
P
Jml
P
Jml
P
Jml
P
Jml
P
Jml
A
0
A
1
A
0
A
1
A
0
A
0
A
0
A
0
A
0
B
0
B
0
B
1
B
0
B
0
1
B
0
B
0
B
0
C
0
0
C
0
0
C
0
C
0
C
1
22
D
21
11
D
21
D
10
D
C
13
95 °
D
0 0
10 0 °
C D
10 5 °
11 0 °
C D
11 5 °
0 19
B C D
12 0 °
23
D
12 5 °
13 0 °
13 5 °
20°
20°
Benoa
15°
90 °
Prigi
10°
10°
P. Ratu Cilacap
14 0 °
118
Gambar 14 Jumlah pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan yang berada di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2004 (Sumber : Ditjen. Perikanan Tangkap, 2006). 118
(3) Pergerakan kapal dari PPN Palabuhanratu Adapun hubungan PPN Palabuhanratu dengan fishing ground dijelaskan sebagai berikut (Gambar 15):
Cilacap, Jakarta, Binuangeun, P.Baai, Ujung Genteng, Lempasing
PPN Palabuhanratu
4 5 1
2
Fishing ground di WPP 9 Samudera Hindia
3
Gambar 15 Pergerakan kapal perikanan dari PPN Palabuhanratu dan fishing ground. Keterangan gambar: Kapal menuju fishing ground Kapal menjual ikan 1 2 3 4 5
= Kapal berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground (WPP 9 ), mendaratkan ikan di PPN Palabuhanratu. = Kapal berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, mendaratkan ikan di tempat lain. = Kapal berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, menjual ikan di tengah laut mendarat di PPN Palabuhanratu. = Kapal berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, mendaratkan atau menjual ikan di pelabuhan perikanan atau PPI asal kapal atau pelabuhan perikanan lainnya atau di tengah laut. = Kapal berasal dari tempat lain ke fishing ground, mendaratkan atau menjual ikan di PPN Palabuhanratu.
119
1) Kapal berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, kemudian mendaratkan ikan di PPN Palabuhanratu. Kapal-kapal jenis motor tempel berukuran <5 GT dengan alat tangkap bagan, payang, pancing ulur, jaring rampus, jaring klitik, dan jaring dogol yang berjumlah 266 unit (tahun 2004) melakukan operasi penangkapan ikan harian (one day fishing) hanya di sekitar perairan pantai Sukabumi/Teluk Palabuhanratu dengan lama tempuh dari PPN Palabuhanratu ke daerah penangkapan ikan antara 1 – 2 jam. Musim penangkapan ikan untuk alat-alat tersebut tergantung kepada banyaknya keberadaan ikan di laut, dan kondisi gelombang, ombak dan angin. Walaupun musim barat, ternyata kapal-kapal ukuran kecil ini banyak juga melakukan operasi penangkapan ikan, mungkin mereka sudah terbiasa dengan kondisi musim barat. Jumlah nelayan per unit penangkapan ikan antara 1–3 orang. Mereka melaut membawa es setengah balok yang dimasukkan ke dalam box styrofoam. BBM yang digunakan adalah bensin dan minyak tanah yang mudah diperoleh di pelabuhan. Jenis ikan yang didaratkan berupa ikan layur, kakap merah, kerapu, baronang, kuwe, udang, lobster, cumi-cumi, teri, selayang dan kembung. Karena operasi penangkapannya one day fishing, maka ikan yang didaratkan masih segar dan disukai oleh sea food restaurant. Produksi ikan yang didaratkan oleh perahu motor tempel ini pada tahun 2004 sebanyak 1.377.854 kg atau 40,92% dari jumlah produksinya sebesar 3.367.517 kg, Pasarnya cukup bagus dan banyak penampungnya di PPN Palabuhanratu, maka mereka tidak pernah menjual hasil tangkapannya ke tempat pendaratan ikan lain atau menjualnya di tengah laut. Selain alasan itu, umumnya nelayan kecil ini sudah terikat kepada pemodal/tengkulak/rentenir dalam menjual hasil tangkapan ikannya. Dengan terikatnya nelayan kepada tengkulak, maka sistem pelelangan ikan tidak berfungsi sehingga gedung pelelangan ikan tidak berfungsi optimal. Akibat keterikatan nelayan kepada tengkulak, maka nelayan tidak memperoleh harga jual ikan yang normal. Sampai saat ini belum ada satu lembaga atau aturan pun yang dapat membantu melepaskan keterikatan nelayan terhadap tengkulak, walaupun sudah ada
120
upaya pemerintah memberikan jaminan kredit kepada nelayan melalui perbankan. 2) Kapal-kapal yang berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, kemudian mendaratkan ikan di pelabuhan perikanan lain Kapal motor berukuran 5-10 GT dengan alat tangkap purse seine, gill net dan rawai melakukan operasi penangkapan ikan dengan lama operasi sekitar seminggu di Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng, Cidaun, dan Ujung Kulon. Waktu tempuh ke daerah penangkapan ikan sekitar 3–5 jam. Jumlah ABK sebanyak 4–10 orang. Sewaktu ke laut mereka mengisi BBM solar sekitar 600 liter, air bersih sebanyak 100 liter, dan es sebanyak 20 balok. Semua kebutuhan melaut mereka peroleh di pelabuhan. Frekuensi keluar kapal motor berukuran 5-10 GT pada tahun 2004 tercatat untuk unit penangkapan purse seine sebanyak 1119 kali atau rata-rata sebulan sebanyak 93 kali, unit alat tangkap gillnet sebanyak 483 kali atau rata-rata sebulan sebanyak 40 kali dan unit alat tangkap pancing/rawai sebanyak 1017 setahun atau rata-rata sebulan sebanyak 85 kali. Frekuensi kapal masuk untuk kapal ukuran 5-10 GT pada tahun 2004 sebanyak 187 kali untuk jenis unit alat tangkap purse seine atau rata-rata 16 kali sebulan, sedikitnya unit alat tangkap purse seine masuk kembali ke Palabuhanratu disebabkan antara lain banyaknya kapal purse seine mendarat di tempat lain misalnya di Sibolga karena kapal purse seine melakukan penangkapan ikan pada fishing ground yang dekat dengan Sibolga. Unit alat tangkap gillnet sebanyak 1603 kali atau 134 kali sebulan dan unit alat tangkap pancing/rawai sebanyak 355 kali setahun atau atau rata-rata 30 kali sebulan. Setelah mereka memperoleh hasil tangkapan berupa ikan tuna, cakalang, tongkol, layur dan jenis ikan pelagis lainnya, maka sebagian didaratkan di PPN Palabuhanratu dan ada sebagian menjual/mendaratkan hasil tangkapan ikan ke tempat pendaratan lain seperti di daerah Binuangeun atau ke Ujung Genteng. Umumnya kapal dari Palabuhanratu yang mendaratkan hasil tangkapan ke daerah lain dengan alasan harga dan layanan di TPI di luar Palabuhanratu lebih baik.
121
Kapal motor ukuran 10-30 GT dengan alat tangkap gillnet, rawai dan purse seine mengisi perbekalan melaut berupa solar, es, air bersih dan makanan di PPN Palabuhanratu. Setelah melakukan operasi penangkapan ikan selama 7–14 hari, hasil tangkapannya didaratkan di PPI Binuangeun (Banten) atau PPI Pulau Baai (Bengkulu) atau PPI Lempasing (Lampung). Jumlah kapal ukuran 10–30 GT yang melakukan kegiatan seperti ini berjumlah 5 unit kapal. Kegiatannya tidak berlangsung lama, hanya sewaktu-waktu saja tergantung pada harga ikan. Apabila harga ikan lebih baik di luar PPN Palabuhanratu, maka kapal-kapal tersebut akan mendaratkan hasil tangkapannya ke pelabuhan di luar PPN Palabuhanratu. 3) Kapal-kapal yang berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, kemudian mendaratkan/menjual ikan di tengah laut. Menurut informasi dari beberapa orang nelayan bahwa kapal-kapal ukuran 10-30 GT dijalankan oleh ABK yang ditunjuk oleh pemilik kapal (juragan), dari PPN Palabuhanratu kapal tersebut berangkat ke fishing ground, hasil tangkapannya dijual kepada kapal-kapal lain di tengah laut tanpa sepengetahuan pemilik kapal. Jumlah kapal seperti ini sedikit sekali (5 unit kapal). Kegiatan ini terjadi karena ABK yang menjalankan kapal tersebut ingin mendapatkan penghasilan lebih, akibatnya pemilik kapal sangat dirugikan. Kapal motor berukuran 10-30 GT dengan alat tangkap gillnet dan rawai dengan lama operasi sampai 3 minggu mempunyai daerah pangkapan ikan di perairan Lampung, Bengkulu, Jawa Barat Bagian Selatan dan Jawa Tengah bagian Selatan. Waktu tempuh ke daerah penangkapan ikan antara 2-4 hari. Jumlah ABK sebanyak 5-6 orang. Semua kebutuhan BBM, air bersih dan es diperoleh di PPN Palabuhanratu. Sebagian kapal jenis ini setelah melakukan operasi penangkapan akan mendaratkan hasil tangkapannya berupa ikan tuna, cakalang, tongkol, tenggiri, layur, cucut dan jenis ikan pelagis lainnya di PPI lain seperti di Lampung dan Bengkulu, atau ke Binuangeun. Sebagian lagi mendaratkan hasil tangkapan ikannya ke PPN Palabuhanratu. Mutu ikan yang didaratkan umumnya sudah menurun, dikarenakan tidak sempurnanya
palkah
kapal
dan
buruknya
penanganan
ikan
pasca
122
penangkapan. Frekuensi kapal keluar pada tahun 2004 untuk ukuran kapal 1030 GT dengan alat tangkap gillnet sebanyak 147 kali dan rawai sebanyak 9 kali. Frekuensi kapal masuk pada tahun 2004 untuk ukuran 10-30 GT sebanyak 200 kali, rawai sebanyak 54 kali. 4) Kapal-kapal yang berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, kemudian mendaratkan/menjual ikan di PPN Palabuhanratu atau pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan lainnya atau di tengah laut. Kapal berukuran 30-150 GT dengan alat tangkap gillnet, rawai dan long line dengan lama operasi 2 sampai 3 bulan melakukan penangkapan ikan ke Perairan Pantai Selatan Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Bengkulu, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Waktu tempuh ke daerah penangkapan ikan selama 4-5 hari. Frekuensi kapal masuk selama tahun 2004 rata-rata 27 kali per bulan (Lampiran 5) dan keluar sebanyak 24 kali per bulan (Lampiran 6). Semua kapal jenis ini sudah memiliki kelompok tangkapan, yakni mereka sudah memiliki kapal khusus untuk mengumpulkan hasil tangkapan ikan. Kapal-kapal tangkapan akan berkomunikasi melalui radio SSB dengan kapal pengumpul setelah hasil tangkapannya diperoleh, kemudian kapal pengumpul membawanya ke PPN Palabuhanratu. Semua hasil tangkapan yang dikumpulkan tersebut sudah didata oleh kapal pengumpul untuk disampaikan kepada petugas produksi/statistik di PPN Palabuhanratu terutama dalam pengisian log book. Terdapat juga sebagian kecil atau sekitar 10% kapal jenis ini setelah menangkap ikan, hasil tangkapannya dibawa ke pelabuhan lain seperti ke PPS Nizam Zachman atau ke PPS Cilacap. 5) Kapal berasal dari tempat lain ke fishing ground mendaratkan atau menjual ikan ke PPN Palabuhanratu Selama ini banyak kapal andon dari luar Palabuhanratu setelah melakukan penangkapan ikan di tengah laut kemudian kapal tersebut mendaratkan atau menjual ikan ke PPN Palabuhanratu. Ukuran kapal yang melakukan operasi penangkapan ikan di tengah laut adalah >10 GT. Akhirakhir ini banyak sekali kapal-kapal melakukan kerja sama dalam satu kelompok untuk meningkatkan pendapatan kelompok usaha penangkapan
123
tersebut, sebagai contoh setiap 10 kapal longline yang sedang melakukan operasi penangkapan di tengah laut, hasilnya langsung dikumpulkan dalam satu kapal angkut untuk didaratkan atau dijual di PPN Palabuhanratu. Dari uraian di atas, maka sistem pendaratan ikan dari kapal-kapal yang berasal dari PPN Palabuhanratu beragam, tidak semua data hasil tangkapan kapalkapal PPN Palabuhanratu tercatat, hal ini berkaitan dengan semakin luasnya wilayah foreland dan kapal-kapal dari PPN Palabuhanratu memiliki daerah penangkapan yang semakin jauh ke laut bebas. Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Lubis (2002), yang menyatakan bahwa hubungan pelabuhan perikanan dengan foreland ditandai dengan aktivitas kapal yang melalukan operasi penangkapan di daerah fishing ground kemudian setelah memperoleh hasil maka kapal-kapal tersebut bisa saja kembali ke pangkalan atau mendarat ke tempat pendaratan lainnya. Dari kelima pergerakan kapal perikanan dari PPN Palabuhanratu ke fishing ground, maka yang paling banyak terjadi saat ini adalah bentuk pergerakan kapal pertama, yakni kapal dari PPN Palabuhanratu ke fishing ground kemudian mendaratkan hasilnya di PPN Palabuhanratu yang diperkirakan pada tahun 2005 sebanyak 608 unit kapal atau 90%, sisanya sebanyak 10% atau 68 unit kapal bergerak dari PPN Palabuhanratu ke fishing ground kemudian mendaratkan ikan di tempat lain atau menjualkan ikan atau transhipment di tengah laut. Selanjutnya dari pergerakan kapal tersebut diatas, ada beberapa hal yang kemungkinan dapat menimbulkan masalah yakni : 1) Apabila kapal berasal dari PPN Palabuhanratu, berangkat ke fishing ground mendaratkan ikan di tempat lain menyebabkan terganggunya operasional pelabuhan, karena produksinya tidak tercatat di Palabuhanratu dan mengurangi pendapatan pelabuhan dan pendapatan masyarakat pemasar ikan. Kondisi tersebut terjadi karena adanya selisih harga antara PPN Palabuhanratu yang lebih rendah dibandingkan dengan harga ikan di tempat lain, atau kondisi keamanan, ketertiban di tempat lain jauh lebih kondusif dibandingkan dengan di PPN Palabuhanratu. Untuk mencegah hal tersebut
124
tidak terjadi, maka PPN Palabuhanratu selain mempersiapkan fasilitas juga melakukan pelayanan prima terhadap aktivitas-aktivitas perikanan. 2) Apabila kapal berasal dari PPN Palabuhanratu, berangkat ke fishing ground, menjual ikan di tengah laut, kemudian mendaratkan kapalnya di PPN Palabuhanratu, juga akan mempengaruhi operasional pelabuhan.
Kondisi
tersebut dapat dicegah dengan meningkatkan pengawasan oleh aparat pengawas. Kondisi yang diharapkan adalah kapal-kapal yang berasal dari PPN Palabuhanratu, berangkat ke fishing ground mendaratkan ikan di PPN Palabuhanratu atau kapal-kapal yang berasal dari tempat lain ke fishing ground, mendaratkan atau menjual ikannya di PPN Palabuhanratu. (4) Lokasi PPN Palabuhanratu sebagai sektor basis Berdasarkan data PDRB sub sektor perikanan Kabupaten Sukabumi atas dasar harga berlaku rata-rata setiap tahun selama tahun 2000-2004 adalah sebesar Rp 136.699,94 juta (Lampiran 7), PDRB seluruh sektor dalam Kabupaten Sukabumi atas dasar harga berlaku rata-rata setiap tahun selama tahun 2000–2004 sebesar Rp 7.366.411,51 juta (Lampiran 8), PDRB sub sektor perikanan Provinsi Jawa Barat atas dasar harga berlaku rata-rata selama tahun 2000-2004 sebesar Rp 2.540.043,03 juta (Lampiran 9) dan PDRB seluruh sektor Provinsi Jawa Barat atas dasar harga berlaku rata-rata setiap tahun selama tahun 2000-2004 sebesar Rp 231.985.884,60 juta (Lampiran 10), maka diperoleh nilai LQ sebagai berikut :
136.699,44 7.366.411,51 LQ = =1,69 2.540.043,03 231.985.884,60 LQ = 1,69 LQ>1, artinya bahwa sub sektor perikanan di Kabupaten Sukabumi adalah sektor basis. Sukabumi sebagai sektor basis akan menghasilkan produk yang dapat di ekspor berupa ikan. Sektor basis ini apabila berkembang akan mempengaruhi sektor non basis seperti kegiatan pelayanan jasa tenaga kerja dan sebagainya. Sehingga arah pengembangan PPN Palabuhanratu dalam kaitannya
125
sebagai lokasi sektor basis adalah bahwa PPN Palabuhanratu sebagai sentra produksi ikan terutama ikan komoditas untuk ekspor seperti tuna. (5) Indeks relatif nilai produksi (I)
Kualitas pemasaran ikan dari ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 ditentukan dengan menggunakan Indeks Relatif Nilai Produksi (I). Berdasarkan produksi ikan dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2000 sebesar 3.515.151 kg dan Rp 3.857.799.500 (Lampiran 11) dan produksi ikan dan nilai produksi ikan laut di Kabupaten Sukabumi periode tahun 2000 sebesar 4.353.000 kg dan Rp 21.791.572.500 (Lampiran 12), maka diperoleh nilai indeks relatif nilai produksi (I) sebagai berikut: 3.857.799.500 I = 21.791.572.500 = 0,22 3.515.000 4.353.000 Berdasarkan produksi ikan dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2001 sebesar 3.504.450 kg dan Rp 4.793.207.839 (Lampiran 11) dan produksi ikan dan nilai produksi ikan laut di Kabupaten Sukabumi periode tahun 2001 sebesar 4.825.000 kg dan Rp 23.951.778.000 (Lampiran 12), maka diperoleh nilai indeks relatif nilai produksi (I) sebagai berikut: 4.793.207.839 I = 23.951.778.000 = 0,28 3.504.450 4.825.000 Berdasarkan produksi ikan dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2002 sebesar 3.875.468 kg dan Rp 15.335.105.315 (Lampiran 11) dan produksi ikan dan nilai produksi ikan laut di Kabupaten Sukabumi periode tahun 2002 sebesar 6.286.270 kg dan Rp 31.902.950.000 (Lampiran 12), maka diperoleh nilai indeks relatif nilai produksi (I) sebagai berikut: 15.335.105.315 I = 31.902.950.000 = 0,78 3.875.468 6.286.270
126
Berdasarkan produksi ikan dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2003 sebesar 4.625.763 kg dan Rp 18.154.560.568 (Lampiran 11) dan produksi ikan dan nilai produksi ikan laut di Kabupaten Sukabumi periode tahun 2003 sebesar 7.069.860 kg dan Rp 35.643.248.000 (Lampiran 12), maka diperoleh nilai indeks relatif nilai produksi (I) sebagai berikut: 18.154.560.568 I = 35.643.248.000 = 0,78 4.625.763 7.069.860 Berdasarkan produksi ikan dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2004 sebesar 6.404.179 kg dan Rp 31.566.769.254 (Lampiran 11) dan produksi ikan dan nilai produksi ikan laut di Kabupaten Sukabumi periode tahun 2004 sebesar 9.120.320 ton dan Rp 45.601.600.000 (Lampiran 12), maka diperoleh nilai indeks relatif nilai produksi (I) sebagai berikut: 31.566.769.254 I = 45.601.600.000 = 0,99 6.404.179 9.120.320 Berdasarkan produksi ikan dan nilai rata-rata produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun 2000–2004 sebesar 4.385 ton dan Rp 14.741.488.500 (Lampiran 11) dan produksi ikan dan nilai produksi ikan laut rata-rata di Kabupaten Sukabumi periode tahun 2000 – 2004 sebesar 6.330,89 ton (Lampiran 12) dan produksi (I) rata-rata sebagai berikut:
14.741.488.500 I = 31.778.229.700 = 0,67 4.385,00 6.330,89 Jika dilihat indeks relatif nilai produksi (I) PPN Palabuhanratu (I) selama periode tahun 2000-2004, maka diperoleh perkembangan indeks relatif nilai produksinya seperti pada Tabel 27.
127
Tabel 27 Nilai indeks relatif nilai produksi (I) PPN Palabuhanratu periode tahun 2000-2004 Tahun
Indeks relatif nilai produksi (I)
2000
0,22
2001
0,28
2002
0,78
2003
0,78
2004
0,99
Rata-rata
0,67
Keterangan
Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi
Berdasarkan Tabel 27, terlihat bahwa indeks relatif nilai produksi dari tahun ke tahun terjadi peningkatan bahkan pada tahun 2004 nilainya hampir mendekati angka 1, artinya bahwa kualitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu selalu mengalami perbaikan kualitas setiap tahun. Sehingga berdasarkan indeks relatif nilai produksi tersebut, maka arah pengembangan PPN Palabuhanratu adalah melakukan upaya agar mutu produk ikan dapat dipertahankan mulai dari penangkapan ikan di laut, penanganan ikan di atas kapal sampai ke pelabuhan dan persiapan distribusinya. Kemudian mekanisme pemasaran ikan melalui mekanime pelelangan ikan agar dibenahi terutama tentang manajemen pengelolaan pelelangan ikan dan bakul. Dengan cara mempertahankan mutu dan pelaksanaan penjualan ikan melalui mekanisme pelelangan ikan maka harga atau nilai ikan akan semakin besar dan pada akhirnya akan menaikkan pendapatan nelayan. (6) Kapasitas kolam pelabuhan
PPN Palabuhanratu saat ini memiliki 2 kolam. Fungsi kolam PPN Palabuhanratu saat ini selain untuk tempat berlabuh, juga sebagai tempat istirahat dan seringkali juga untuk tempat perbaikan ringan kapal. Kondisi kolam sangat tenang karena kolam terlindung oleh dermaga dan breakwater. Tinggi maksimum gelombang di kolam sekitar 50 cm terjadi pada saat musim barat. Kolam juga
128
relatif aman terhadap pengaruh sedimentasi karena kuantitas sedimen yang masuk ke kolam relatif sedikit. Tabel 28 Kondisi kolam PPN Palabuhanratu tahun 2007 Kolam
Luas (ha)
I
3
1,2, dan 3
II
2
4
Keterangan
125
Jlh kapal (unit) di kolam bln Maret 2007 334
40
24
Lebih dari setengah kolam digunakan
Kedalaman Kapasitas (m) (unit)
Penuh
Sumber: Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
Kolam I memiliki luas 3 ha dengan kedalaman 1,5 m, 2 m dan 3 m. Kolam I dipenuhi oleh kapal-kapal berukuran <30 GT. Pada saat musim barat yang terjadi pada bulan Maret 2007, di kolam I terdapat 334 unit kapal (terdiri dari 215 unit kapal ukuran <5 GT dan 119 unit kapal ukuran 5-30 GT) dan di kolam II sebanyak 24 unit kapal (ukuran kapal 30-150 GT). Kondisi kolam II cukup tenang dengan luas kolam 2 ha dan kedalaman kolam 4 m, berkapasitas 40 kapal yang berukuran 30 – 150 GT. Penuhnya kolam disebabkan oleh banyaknya kapal yang tidak melaut akibat biaya operasional semakin tinggi dan kurang lamanya musim ikan atau kondisi kapal sedang docking atau rusak atau sedang diservis atau sedang musim barat. Sehingga arah pengembangan kolam sebaiknya diperluas Tabel 29 Kondisi jumlah kapal di kolam tahun 2005 Jenis kapal
Rata-rata keluar (kali)/hari
Rata-rata masuk (kali)/hari
Perahu motor tempel KM 10-20 GT KM 20-30 GT KM 30-150 GT Jumlah
60,1
60,3
Jumlah kapal di kolam yang sedang docking/ rusak/ servis(unit) tahun 2005 368
19,7 1,1 0,3 81,2
19,8 1,1 0,3 81,5
132 27 67 594
Sumber: Diolah dari data statistik PPN Palabuhanratu tahun 2005.
129
(7) Persaingan PPN Palabuhanratu dibandingkan dengan 6 unit pelabuhan perikanan yang ada di WPP 9 Samudera Hindia
Berdasarkan metode skalogram, maka diperoleh nilai indeks hierarki (Ii) berdasarkan fasilitas, pendidikan sumberdaya manusia, jenis ikan, jenis alat tangkap dan jenis kapal dari 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia seperti pada Tabel 30, 31, 32, 33 dan 34. Tabel 30 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan fasilitas tahun 2005. Pelabuhan Perikanan (PP) PPS Jakarta PPN Palabuhanratu - Jabar PPS Bungus- Sumbar PPS Cilacap - Jateng PPN Prigi - Jatim PPN Sibolga - Sumut
Jumlah Jenis Fasilitas 58 54 47 47 39 32
Index A 93,1 88,9 77,1 63,3 53,9 43,7
Index B 12,723 11,897 10,376 10,100 8,472 6,890
Keterangan : Index A = bobot kelangkaan. Index B = bobot fasilitas.
Berdasarkan Tabel 30 bahwa nilai indeks hierarki untuk persaingan pelabuhan berdasarkan fasilitas ternyata PPS Jakarta lebih unggul dibandingkan pelabuhan perikanan lainnya baik dari segi jumlah jenis fasilitas dengan nilai 58 maupun dari segi kelangkaan dengan nilai 93,1 dan dari segi bobot fasilitas dengan nilai 12,7. Hasil perhitungan persaingan pelabuhan berdasarkan fasilitas seperti pada Lampiran 16. Hasil persaingan pendidikan sumberdaya manusia berdasarkan strata pelabuhan seperti pada Tabel 31. Berdasarkan sumberdaya manusia pengelola pelabuhan bahwa PPN Palabuhanratu lebih unggul dibandingkan dengan 5 unit pelabuhan perikanan lainnya baik dari segi jumlah jenis pendidikan SDM pengelola pelabuhan dengan nilai 7, bobot kelangkaan dengan nilai 10,2 dan bobot SDM pengelola pelabuhan dengan nilai 2,4. Hasil perhitungan persaingan pelabuhan berdasarkan jumlah jenis pendidikan SDM pengelola pelabuhan seperti pada Lampiran 17.
130
Tabel 31 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan pendidikan (starata) sumberdaya pengelola pelabuhan tahun 2005 Pelabuhan Perikanan PPN Palabuhanratu - Jabar PPS Jakarta PPS Cilacap - Jateng PPS Bungus- Sumbar PPN Prigi - Jatim PPN Sibolga - Sumut
Jumlah Jenis Pendidikan SDM 7 6 6 5 5 4
Index A 10,4 7,4 7,4 5,9 5,9 6,2
Index B 2,4 2,1 2,1 1,8 1,6 1,4
Keterangan : Index A = bobot kelangkaan. Index B = bobot jenis pendidikan SDM.
Berdasarkan jenis ikan ekonomis penting yang didaratkan di pelabuhan (Tabel 32), bahwa PPN Palabuhanratu lebih unggul dibandingkan dengan 5 unit pelabuhan perikanan lainnya baik dari segi jumlah jenis ikan yang didaratkan dengan nilai 34, bobot kelangkaan dengan nilai 94,4 dan bobot jenis ikan dengan nilai 7,3. Hasil perhitungan persaingan pelabuhan berdasarkan jenis ikan ekonomis penting seperti pada Lampiran 18. Tabel 32 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis ikan ekonomis penting tahun 2005 Pelabuhan Perikanan (PP) PPN Palabuhanratu - Jabar PPS Cilacap – Jateng PPN Prigi – Jatim PPS Jakarta PPN Sibolga – Sumut PPS Bungus- Sumbar
Jumlah Jenis ikan 34 28 18 15 9 6
Index A 94,4 73,4 33,9 22,9 13,4 14
Index B 7,3 6,1 3,9 3,3 2,0 1,3
Keterangan : Index A = bobot kelangkaan. Index B = bobot jenis ikan.
131
Tabel 33 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis alat penangkapan ikan tahun 2005 Pelabuhan Perikanan (PP) PPN Palabuhanratu - Jabar PPS Jakarta PPN Prigi - Jatim PPN Sibolga - Sumut PPS Bungus- Sumbar PPS Cilacap - Jateng
Jumlah jenis alat penangkapan ikan 11 7 7 5 3 3
Index A 32,6 24,6 19,4 10,4 3,6 5,4
Index B 2,760 1,943 1,864 1,226 0,706 0,723
Keterangan : Index A = bobot kelangkaan Index B = bobot jenis alat penangkapan ikan
Berdasarkan jenis alat penangkapan ikan di pelabuhan (Tabel 33), bahwa PPN Palabuhanratu lebih unggul dibandingkan dengan 5 unit pelabuhan perikanan lainnya baik dari segi jumlah jenis alat tangkap dengan nilai 11, bobot kelangkaan dengan nilai 32,6 dan bobot jenis alat tangkap dengan nilai 2,76. Hasil perhitungan persaingan pelabuhan berdasarkan jenis alat penangkapan ikan seperti pada Lampiran 19. Tabel 34 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis kapal (GT) tahun 2005 Pelabuhan Perikanan (PP) PPS Jakarta PPN Palabuhanratu - Jabar PPS Cilacap - Jateng PPS Bungus- Sumbar PPN Sibolga - Sumut PPN Prigi - Jatim
Jumlah jenis ukuran kapal 7 7 6 5 5 4
Index A 13,4 10,4 7,4 5,4 5,4 6
Index B 2,107 2,057 1,707 1,387 1,387 1,152
Keterangan : Index A = bobot kelangkaan. Index B = bobot jenis kapal.
Berdasarkan ukuran kapal di pelabuhan (Tabel 34), bahwa PPS Jakarta dan PPN Palabuhanratu lebih unggul dibandingkan dengan 4 unit pelabuhan perikanan lainnya baik dari segi jumlah jenis alat tangkap dengan nilai 7, PPS Jakarta
132
dengan bobot kelangkaan sebesar 13,4 dan bobot ukuran kapal dengan nilai 2,107. Hasil perhitungan persaingan pelabuhan berdasarkan ukuran kapal seperti pada Lampiran 20. Berdasarkan perhitungan di atas, maka secara keseluruhan hasil perhitungan persaingan seperti Tabel 35. Tabel 35 Hasil perhitungan persaingan 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2005 Pelabuhan Perikanan
Fasilitas
PPN Palabuhanratu PPS Jakarta PPS Cilacap PPN Prigi PPS Bungus PPN Sibolga Keterangan :
Jenis persaingan Ikan
SDM
A
B
C
A
54 58 47 39 47 32
89 93 63 54 77 44
12 13 10 9 10 7
7 6 6 5 5 4
B C
10 7 7 6 6 6
2 2 2 2 2 1
A
B
C
34 15 28 18 6 9
94 23 73 34 14 13
7 3 6 4 1 2
Alat tangkap A B C
11 7 3 7 3 5
33 25 5 19 4 10
3 2 1 2 1 1
Kapal A
B
C
7 7 6 4 5 5
10 13 7 6 5 5
2 2 2 1 1 1
A = jenis. B = bobot kelangkaan. C = bobot jenis.
Persaingan 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia diperoleh hasil bahwa PPN Palabuhanratu unggul dari segi jenis pendidikan SDM pengelola pelabuhan, jenis ikan ekonomis penting yang didaratkan dan jenis alat penangkapan ikan. PPS Jakarta unggul dari segi jenis fasilitas dan jenis kapal.
5.3.3 Daerah distribusi hasil tangkapan PPN Palabuhanratu
Luasnya daerah distribusi sangat tergantung kepada teknik pengolahan, pengaturan sarana transportasi, konsentrasi konsumen dan kebiasaan makan konsumen (Lubis, 2002). (1) Daerah distribusi berdasarkan pada teknik pengolahan
Di PPN Palabuhanratu dan daerah sekitarnya, teknik pengolahan ikan masih didominasi oleh teknik pengolahan tradisional seperti pindang, pengasinan, terasi, kerupuk kulit ikan. Terdapat pula produk olahan lain seperti bakso ikan, fish nugget dan abon ikan. Ikan-ikan segar yang dikumpulkan oleh pengusaha cold storage selanjutnya dilakukan processing-nya kemudian diekspor ke negara lain
133
melalui Jakarta. Akibat dari kondisi teknik pengolahan masih didominasi oleh teknik pengolahan tradisional, maka luas hinterland terbatas hanya di dalam negeri, dengan daerah pendistribusian ke Jakarta, Bandung, Cianjur, Sukabumi. Ikan-ikan segar seperti tuna dan layur diekspor ke Jepang dan Korea. Arah tehnik pengolahan ikan lebih mengutamakan mutu sehingga program cold chain system harus dijalankan terutama untuk ikan-ikan segar yang akan diekspor ataupun untuk konsumsi lokal. Menurut Hanafiah (1983) bahwa cold chain system mencakup penggunaan metode-metode icing, chiling dan freezing pada hasil perikanan selama proses-proses pengangkutan, penyimpanan dan penjualan sehingga kesegaran dari hasil perikanan tersebut dapat dipertahankan. Peranan pelabuhan didalam penyiapan cold chain system adalah melengkapi kapasitas pabrik es, menyiapkan atau memfasilitasi adanya cool room dan mobil truck freezer.
Daerah distribusi ikan mencapai negara Jepang atau Korea bahkan
sampai ke pasar Uni Eropa atau Amerika untuk produk ikan segar terutama ikan tuna.
Diupayakan pula peningkatan teknik pengolahan tradisional dan
diversifikasi hasil olahan terutama dalam menjaga hygienitas produk. Diharapkan dalam jangka pendek daerah distribusi ikan dari Palabuhanratu tidak akan mengalami perubahan karena melemahnya kondisi perekonomian dalam negeri termasuk sektor perikanan tangkap. (2) Sarana transportasi
Sarana transportasi berkaitan dengan masalah pengangkutan. Menurut Hanafiah (1983), bahwa pengangkutan berarti bergeraknya atau pemindahan barang-barang dari tempat produksi dan / atau tempat penjualan ke tempat-tempat dimana barang-barang tersebut akan dipakai. Pengangkutan dengan bantuan komunikasi akan memperluas daerah pasar dari barang. Pengangkutan hasil-hasil perikanan yang sifatnya cepat dan mudah rusak itu memerlukan kecepatan dan perawatan serta handling tambahan selama di perjalanan. Perkembangan teknologi dibidang pengangkutan darat, laut dan udara telah memberikan sumbangan sangat berarti bagi distribusi hasil perikanan. Pengangkutan tersebut dapat dilaksanakan dengan cepat dan volume lebih besar. Perkembangan refrigerated transportation telah memungkinkan pengangkutan jarak jauh untuk hasil perikanan. Kondisi sarana transportasi hasil perikanan dari PPN Palabuhanratu ke luar dengan
134
menggunakan sarana transportasi darat berupa kendaraan roda empat (mobil pick up), truk cool room, truk freezer dan angkutan kendaraan roda dua untuk jarak yang lebih dekat. Arah pengembangan sarana transportasi adalah menyiapkan sarana transportasi darat yang memenuhi syarat untuk mengangkut hasil perikanan yakni dalam bentuk kendaraan roda empat yang memiliki cool room dan freezer sehingga jangkauan pengangkutan produk semakin luas dan jauh. Selama ini pengangkutan produk melalui udara diangkut dari Palabuhanratu ke pabrik pengepakan ikan di Jakarta kemudian diangkut keluar negeri dengan pesawat udara. Adanya rencana pemerintah provinsi untuk menyiapkan lapangan udara di Palabuhanratu sangat mendukung arah pengembangan transportasi pengangkutan ikan yang lebih cepat dengan volume yang lebih besar dan menerapkan prinsipprinsip cold chain system. Angkutan melalui laut tetap menggunakan pelabuhan umum di Jakarta untuk keperluan ekspor. (3) Konsentrasi dan kebiasaan makan konsumen
Semua kegiatan distribusi ditujukan untuk menyediakan kepada konsumen berupa ikan pada waktu, tempat dan dalam waktu yang diinginkan. Menurut Hanafial (1983) bahwa distribusi ikan dilakukan produsen, wholesaler ataupun retailer harus dimulai dengan menganalisa konsumen antara lain berapa jumlah konsumen, tempat tinggal mereka, berapa pendapatan mereka, serta bagaimana penggunaannya, apa kesukaannya bagaimana susunan kebutuhan mereka dan sebagainya. Tingkat konsumsi ikan rata-rata penduduk Indonesia tahun 2005 masih rendah yakni sebesar 22,76 kg/kapita/tahum (Barani, 2006), belum sesuai dengan standar FAO sebesar 30 kg/kapita/tahun dan jika dibandingkan dengan negara Jepang yang tingkat konsumsi ikan penduduknya mencapai 150 kg/kapita/tahun, Malaysia 48 kg/kapita/tahun dan Thailand 32,4 kg/kapita/tahun (Ditjen. Perikanan Tangkap, 2006). Masih rendahnya tingkat konsumsi ikan masyarakat di Indonesia disebabkan antara lain adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk mau memilih ikan sebagai pilihan menu utamanya dan tingkat pendapatan yang belum mampu untuk membeli ikan. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, tingkat pendapatan dan kesadaran pentingnya ikan sebagai sumber protein yang rendah kolesterol maka kebutuhan ikan akan semakin meningkat. Dalam hal ini
135
diperlukan peranan pelabuhan untuk mendistribusikan ikan bermutu ke daerah konsumen dalam jumlah yang cukup. Distribusi produk perikanan dari Palabuhanratu selama ini terkonsentrasi pada konsumen di daerah Jakarta dan Jawa Barat yang jumlah penduduknya menurut hasil sensus penduduk dari Biro Pusat Statistik tahun 2000 sekitar 44 juta. Jumlah konsumen akan bertambah banyak akibat dari peningkatan jumlah produksi. Permintaan akan produk perikanan akan bertambah dan semakin berkualitas akibat dari semakin berubahnya selera konsumen akibat bertambahnya pendapatan dan semakin banyaknya tempat-tempat penjualan ikan baik dipasar tradisional maupun di supermarket serta akibat pengaruh melemahnya permintaan akan produk protein dari daging sapi, ayam karena adanya wabah flu burung dan penyakit sapi gila (Direktorat Standardisasi dan Akreditasi, 2005). Tuntutan makanan yang bergizi dan rendah kolesterol banyak terdapat pada produk perikanan sehingga jumlah permintaan ikan akan meningkat. Peranan pelabuhan perikanan terhadap konsentrasi konsumen adalah mempersiapkan produk ikan yang didaratkan dan ikan yang didistribusikan dalam keadaan bermutu baik sehingga pelabuhan perikanan harus mempersiapkan hygienitas penanganan ikan di pelabuhan perikanan. PPN Palabuhanratu telah mempersiapkan laboratorium bina mutu guna dipakai sebagai sarana pemeriksaan kualitas ikan sebelum keluar dari PPN Palabuhanratu. (4) Pemasaran ikan di hinterland
Pemasaran
ikan
di
hinterland
akan
dijelaskan
mulai
dari
PPN
Palabuhanratu, hinterland primer, hinterland sekunder dan hinterland perpaduan. 1) Pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu
Terdapat dua bentuk kegiatan pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu yakni yang mengikuti
pelelangan ikan di tempat pelelangan ikan (TPI) dan tidak
melalui TPI (Gambar 16). Ikan-ikan yang tidak dilelang ada yang berasal dari pendaratan langsung dan ada dari ikan-ikan yang berasal dari luar pelabuhan masuk melalui jalan darat seperti ikan-ikan dari Jakarta, Cianjur, Binuangeun, Ujung Genteng, Ciwaru, Cisolok, Cibangban, Loji. Kondisi ini dikarenakan ikanikan dari daerah tersebut yang masuk ke PPN Palabuhanratu telah
136
memperlihatkan surat keterangan asal ikan dan telah membayar retribusi di tempat asal ikan tersebut sehingga di PPN Palabuhanratu tidak membayar retribusi lagi. Ikan-ikan dari luar Palabuhanratu melalui darat terjadi pada saat di Palabuhanratu tidak musim ikan guna memenuhi bahan baku untuk unit pengolahan pindang.
Produksi ikan PPN Palabuhanratu Ikan dari luar PPNP lewat jalan darat
Ikan didaratkan langsung di dermaga PPNP
Non TPI
Pengecer
Pengolah
Konsumen lokal
Pengecer
Non TPI
TPI
Agen longline
Agen layur
Cold storage di Jakarta
Cold storage P.Ratu
Agen Ikan segar untuk konsumsi lokal
Ekspor melalui Jakarta Ke Jepang
Bakul
Pengecer
Ekspor melalui Jakarta
Pengolah
Konsumen lokal
Ke Korea
Konsumen luar Palabuhanratu : Jakarta, Bandung, Sukabumi, Cianjur, Bogor
Gambar 16 Pola pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2004. Penjualan ikan melalui pelelangan ikan di TPI harus mengikuti aturan sebagaimana yang diatur oleh Perda Provinsi No 8 dan 9 tahun 2000, antara lain bahwa semua ikan yang didaratkan diharuskan untuk dilelang di TPI, dikecualikan untuk ikan-ikan sebagai lauk-pauk, hasil tangkapan yang diperoleh dari penangkapan yang bertujuan olah raga dan hasil penangkapan untuk kepentingan
137
penelitian. Ikan-ikan yang dilelang adalah ikan dengan kategori baik secara organoleptik. Sampai bulan Oktober dalam tahun 2005 tercatat jumlah ikan yang dilelang sebesar 1.469.763 kg dengan nilai Rp 4.541.600.000,00 (Lampiran 13). Jika dibandingkan dengan produksi ikan PPN Palabuhanratu (Lampiran 14), maka jumlah ikan yang dilelang dalam kurun waktu yang sama hanya 22,76% dari total produksi pelabuhan sebesar 6.099.116 kg. Rendahnya produksi ikan yang dilelang penyebab utamanya adalah lemahnya manajemen KUD sebagai pengelola TPI. Jumlah ikan yang masuk melalui darat sampai bulan Nopember dalam tahun 2005 tercatat sebesar 4.560.244 kg atau 75,77% dari produksi ikan yang didaratkan langsung atau 43,11% dari jumlah produksi seluruh pelabuhan sebesar 10.578.535 kg. Tata cara pelaksanaan pelelangan ikan di TPI Palabuhanratu adalah sebagai berikut: 1) Setelah kapal melaporkan kedatangannya ke petugas pelabuhan, maka kapal akan mendapatkan nomor urut pendaratan di dermaga. 2) Setelah ikan didaratkan di dermaga di depan TPI, pemilik harus melapor kepada petugas TPI. 3) Ikan dicuci dengan air laut, kemudian dipisahkan menurut jenis dan ukuran untuk menentukan harga, dimasukkan kedalam keranjang yang disediakan oleh pengelola TPI. 4) Ikan ditimbang oleh petugas TPI, kemudian ikan yang sudah ditimbang mendapat label/karcis yang berisikan nama pemilik dan nomor urut lelang. 5) Para bakul/pembeli diijinkan untuk melihat ikan-ikan yang akan dilelang. 6) Lelang dilaksanakan secara terbuka dan bebas. Penawaran dimulai dengan harga terendah. Penawaran tertinggi dinyatakan sebagai pemenang dan berhak menjadi pembeli ikan yang dilelang. Pemenang lelang dicatat dalam karcis lelang. 7) Bakul sebagai pembeli membayar tunai hasil pembeliannya kepada petugas TPI ditambah biaya retribusi lelang 3%. Apabila pembayaran tidak tunai, maka harus ada persetujuan dari manajer TPI. 8) Pihak TPI membayarkan hasil pelelangan kepada nelayan setelah dipotong retribusi sebesar 2%.
138
9) Kemudian ikan masuk ke ruang pengepakan untuk selanjutnya didistribusikan ke luar TPI. Berbagai pihak yang terlibat dalam pelelangan ikan adalah nelayan sebagai penjual, bakul sebagai pembeli dan KUD Mina Sinar Laut sebagai penyelenggara lelang. Permasalahan dalam pelelangan ikan adalah belum tertibnya pelaksanaan pelelangan ikan, seperti para bakul tidak menitip uang jaminan lelang karena bakul-bakul kurang memiliki modal, dengan kata lain setelah pelelangan dilaksanakan nelayan peserta lelang tidak memperoleh uang tunai dari bakul sebagai pembeli. Bakul sudah dapat membayar uang lelang kepada nelayan tersebut setelah beberapa hari kemudian (5 hari). Kondisi ini terjadi karena bakul menunggu uang hasil pembelian ikan dari pihak konsumen (pengolah dan pengusaha cold storage). Apabila bakul tidak dapat membayar hasil lelang maka seharusnya pihak KUD Mina sebagai penyelenggara lelang harus bertanggung jawab terhadap kasus tersebut. Jumlah bakul/pembeli besar di TPI sebanyak 144 orang dan pengecer ikan segar 51 orang. Selain itu ada sebanyak 32 orang tenaga kerja bongkar muat ikan yang terlibat di TPI. Pengurus kapal/penjual
ada
sebanyak 171 orang. Berdasarkan wawancara dengan nelayan dan pengusaha perikanan bahwa solusi terhadap permasalahan pelelangan ikan antara lain dapat ditempuh melalui : 1) Menghadirkan investor lain selain bakul untuk membeli hasil pelelangan ikan. Diharapkan pemerintah daerah dapat mengundang pengusaha untuk membantu pembelian ikan di pelelangan. Ajakan tersebut dapat melalui promosi atau temu mitra usaha. Alternatif lain, para bakul diberikan kredit murah sebagau jaminan untuk mengikuti pelelangan ikan. 2) Manajemen KUD sebagai pelaksanan lelang harus dilakukan perombakan, terutama untuk memasukan tenaga yang berpendidikan dan berpengalaman dalam bidang perkoperasian Peranan pelabuhan perikanan dalam mengembangkan sistem pelelangan ikan adalah untuk menciptakan sistem pelelangan sesuai dengan aturan dan mencari pembeli potensial sebanyak mungkin untuk menjual ikan hasil tangkapan nelayan pada tingkat harga yang menguntungkan nelayan tanpa merugikan pedagang pengumpul.
139
Ikan yang didaratkan langsung dijual melalui non TPI: 1) Ikan-ikan tuna segar yang didaratkan oleh kapal longline selama bulan Januari sampai dengan bulan September 2005 sebanyak 1.170.538 kg atau rata-rata sebulan sebanyak 4,58 ton per hari. Ikan-ikan tersebut selanjutnya diurus oleh agen untuk segera diangkut menggunakan mobil cool box ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta diproses untuk tujuan ekspor. 2) Semua ikan hasil pancingan dalam bentuk segar ditampung oleh agen penjualan/ lapak yang merangkap tengkulak, kemudian dijual ke bakul/ pengecer dan konsumen lokal, atau ke restoran-restoran. Ikan layur segar dijual oleh agen penjual ke perusahaan cold storage yang ada di Palabuhanratu. Ikan-ikan layur tersebut diproses pengepakannya dan dimasukkan kedalam cold storage, kemudian diekspor. Kegiatan pemasaran ikan di luar sistem pelelangan ikan diarahkan kepada tuntutan pasar secara bebas dan peranan pelabuhan perikanan mempersiapkan atau memfasilitasi adanya fasilitas untuk menampung produk perikanan baik dalam bentuk lahan maupun gudanggudang untuk industri perikanan menciptakan iklim yang kondusif dilingkungan pelabuhan perikanan sehingga pengusaha dapat berusaha tanpa gangguan. 2) Hinterland primer
Hinterland primer adalah daerah distribusi untuk ikan-ikan segar. Pada tahun 1993, tercatat ikan segar yang didistribusikan sebesar 93.240 kg dan naik menjadi 3.397.443 kg pada tahun 2005, atau rata-rata kenaikan sebesar 30,77%. Jumlah ikan yang didistribusikan tertinggi adalah sebanyak 3.397.443 kg pada tahun 2005 dan terendah sebanyak 52.192 kg pada tahun 1995. Gambar 17 menunjukkan perkembangan distribusi ikan segar dari PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005. Tujuan distribusi terbanyak adalah ke Jakarta pada tahun 2004 yaitu sebesar 1.312.381 kg (81,74%), sebagian besar untuk tujuan ekspor ke Cina, Jepang dan Korea yang diangkut dengan pesawat terbang melalui bandara Soekarno Hatta. Selebihnya didistribusikan ke Palabuhanratu, Sukabumi, Bandung, Bogor, Cikotok, Cianjur dan Cirebon. Wilayah distribusi tersebut menurut Lubis (2002) termasuk dalam hinterland primer. Wilayah hinterland primer dalam negeri
140
tersebut terfokus kepada produk ikan yang bukan komoditas ekspor untuk memenuhi pasaran dalam negeri seperti supermarket, restoran dan pasar retail yang menyiapkan fasilitas untuk penjualan ikan segar.
4000 3398
3500 Jumlah (Ton)
3000 2500
1986
2000 1187
1000 500
1605
1385
1500 93
104 53
102
1995
1996
192
634
1997
1998
1100 580
0 1993
1994
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 17 Distribusi ikan segar dari PPN Palabuhanratu periode tahun 19932005. Arah pengembangan hinterland primer lebih diutamakan untuk memasarkan produk ikan segar ke luar negeri karena lokasi PPN Palabuhanratu termasuk lokasi sektor basis yang mana produk unggulannya berupa ikan tuna dan ikan layur yang merupakan komoditas ekspor, sehingga ikan segar lebih dominan untuk diekspor ke negara Jepang, Amerika, Korea, Taiwan bahkan sampai ke negara Uni Eropa. 3) Hinterland sekunder
Hinterland sekunder atau tidak langsung adalah hinterland yang merupakan daerah distribusi ikan hasil pengolahan dan hasil pembekuan (Lubis, 2002). Jenisjenis ikan olahan di PPN Palabuhanratu yang didistribusikan adalah pindang, ikan asin dan abon. Volume distribusi ikan pindang mengalami perkembangan, yakni dari 60 ton pada tahun 1993, naik menjadi 1.747 ton pada tahun 2005 atau ratarata kenaikan sebesar 89,51%. Kenaikan tersebut disebabkan oleh tersedianya bahan baku yang cukup berupa ikan cakalang untuk dijadikan pindang. Adanya kenaikan permintaan pindang oleh daerah konsumen di Sukabumi, Cibadak, Bogor, Jakarta dan Cianjur (Gambar 18).
141
Ikan pindang ini didistribusikan ke Palabuhanratu, Sukabumi, Bogor, Cianjur, dan Bandung dengan jumlah distribusi terbanyak ke Bogor dan Bandung. Jumlah unit pengolahan/rumah tangga perikanan adalah pemindangan 27 RTP dan 108 rumah tangga buruh perikanan (RTBP), pengeringan 30 RTP dan 90 RTBP, pendinginan/segar 20 RTP dan 91 RTBP, pembekuan 1 RTP dan 15 RTBP, terasi 6 RTP dan 22 RTBP, bakso ikan 5 RTP dan 10 RTBP, abon ikan 2 RTP dan 50 RTBP dan kerupuk ikan 2 RTP dan 11 RTBP.
2.000 1.747
1.800
Produksi (Ton)
1.600 1.400
1.222
1.200
1.053
930
1.000
845
870
777
772
1999
2000
2001
2002
800 600 400 200
60
271
206
47 26
0 1993
1994
1995
1996
1997
1998
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 18 Distribusi ikan pindang dari PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005. Unit pengolahan atau rumah tangga perikanan (RTP) tersebut berada di dalam pelabuhan seperti 2 unit cold storage dan lainnya berada tersebar di Palabuhanratu. Saat ini terdapat tiga unit perusahaan cold storage milik Korea di Palabuhanratu, terutama menampung ikan layur untuk diekspor ke Korea. Ikan-ikan asin dibuat oleh pengolah ikan asin yang berada di sepanjang pantai Sukabumi. Bahan-bahan ikan asin umumnya berasal dari PPN Palabuhanratu yang merupakan hasil tangkapan bagan dan sebagian kecil dari ikan-ikan hasil tangkapan pancingan. Tahun 2004, jumlah ikan asin dari Palabuhanratu yang didistribusikan ke kota Palabuhanratu, Sukabumi, Bogor, Cianjur dan Bandung sebesar 707.385 kg atau pendistribusian terbanyak adalah ke Sukabumi dan Bogor. Menurut Mahyuddin et al. (2005), Saat ini telah berkembang luas pemakaian formalin terhadap produk ikan di kalangan pedagang ikan di PPN
142
Palabuhanratu. Kondisi ini selain mengakibatkan rusaknya kesehatan masyarakat yang memakan produk perikanan berformalin tersebut, juga membuat lemahnya kualitas pemasaran di PPN Palabuhanratu. Pihak pelabuhan sejak tahun 2005 telah memiliki laboratorium sendiri dalam memeriksa kandungan formalin pada ikan. Berdasarkan hasil pengujian formalin yang telah dilaksanakan terhadap beberapa jenis ikan segar dan ikan olahan yang dijual di pasar ikan PPN Palabuhanratu, serta produk ikan olahan dari pengolah Palabuhanratu, diperoleh bahwa beberapa ikan segar seperti ikan marlin, ikan layur, cumi-cumi, kembung dan peperek mengandung formalin. Jenis olahan ikan asin seperti cumi asin, pari asin, jambal roti asin positif mangandung formalin. Pemakaian formalin secara bebas terjadi karena ada dorongan dari pedagang pengecer untuk mempertahan mutu ikan dengan harga yang murah sehingga kualitas ikan dan harganya dapat dipertahankan tanpa memperhatikan bahayanya terhadap kesehatan manusia. Selain itu lemahnya pengawasan terhadap penjualan formalin dan pemakaian formalin pada produk perikanan serta belum adanya bahan pengganti formalin sebagai bahan pengawet ikan Saat ini pihak manajemen pelabuhan telah memasang spanduk tentang bahaya penggunaan formalin sebagai bahan pengawet ikan. Pihak PPN Palabuhanratu telah melakukan kerja sama dengan pihak POLRI guna mencegah penggunaan formalin. Pihak POLRI telah menggunakan laboratorium milik PPN Palabuhanratu untuk melakukan pengujian formalin. Secara keseluruhan mekanisme pendistribusian ikan yang didaratkan di PPN
Palabuhanratu dan dari luar PPN Palabuhanratu pada tahun 2005 terlihat
pada Gambar 19. Arah pengembangan hinterland sekunder adalah untuk mendistribusikan ikan-ikan olahan dalam bentuk ikan beku, ikan pindang, ikan asin dan produk ikan olahan lainnya untuk tujuan ekspor ataupun dipasarkan di dalam negeri. Ikan beku yang di produksi oleh perusahaan cold storage bertujuan untuk melakukan ekspor ikan beku ke luar negeri seperti ikan layur beku dipasarkan ke Korea, ikan tuna beku dipasarkan ke Jepang dan sebagiannya lagi untuk keperluan pembuatan ikan kaleng dan pindang. Ikan pindang, ikan asin dan produk ikan olahan lainnya adalah komoditas untuk pasaran dalam negeri.
143
Produksi ikan PPN Palabuhanratu 12.173.099 kg
Ikan didaratkan langsung di dermaga PPNP 6.600.530 kg
Ikan dari luar PPNP lewat jalan darat 5.872.569 kg
Ikan segar 3.397.443 kg
Ikan pindang bahan baku dari PPNP 1.747. 187 kg Ikan pindang bahan baku dari luar 5.872.569 kg
Pal.ratu (9%) Sukabumi (1%) Bandung (2%) Bogor (0%) Jakarta (82%) Ekspor (6%)
Pal.ratu (5%) Sukabumi (34%) Bogor (31%) Cianjur (24%) Bandung (6%)
Ikan asin 1.452.585 kg
Proses lainnya 3.315 kg
Pal.ratu (12%) Sukabumi (13%) Bogor (23%) Cianjur (25%) Bandung (21%) Garut (6%)
Pal.ratu (100%)
Gambar 19 Distribusi ikan dari PPN Palabuhanratu tahun 2005.
4) Hinterland perpaduan
Hinterland perpaduan atau overlapping hinterland adalah suatu hinterland yang merupakan wilayah pendistribusian ikan dari beberapa pelabuhan perikanan yaitu dari pelabuhan perikanan besar dan kecil atau dari beberapa pelabuhan perikanan yang sama besar atau sama kecil (Lubis, 2002). Hinterland perpaduan dari PPN Palabuhanratu adalah kota-kota Jakarta, Bandung, Sukabumi, Bogor, Cianjur dan Cirebon serta ekspor ke luar negeri (ke Jepang dan Korea). Pada daerah-daerah tersebut dipasok juga ikan-ikan dari pelabuhan perikanan lain seperti dari Pekalongan, Pati, Tegal, Batang, Indramayu, Lampung dan daerah lain di luar Jawa.
Hal ini dikarenakan kebutuhan ikan untuk daerah-daerah
tersebut cukup besar walaupun tingkat rata-rata konsumsi ikan penduduknya di
144
bawah rata-rata konsumsi ikan nasional pada tahun 2005 yakni sebesar 22,76 kg/kapita/tahun (Barani, 2006). Tingkat konsumsi ikan daerah Sukabumi 16,82 kg/kapita/tahun. Umumnya ikan-ikan dari Pantai Utara Jawa adalah ikan untuk konsumsi lokal, sedangkan ikan-ikan dari kawasan Timur Indonesia yang mendarat di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Muara Baru Jakarta adalah ikan-ikan untuk diekspor. Hinterland
perpaduan
Jakarta
selain
hasil
tangkapan
dari
PPN
Palabuhanratu juga dari tempat-tempat pendaratan ikan di sepanjang Pantai Sukabumi yaitu PPI Cisolok sebesar 244 ton, PPI Ujung Genteng sebesar 459 ton, tempat pendaratan ikan Cibitung sebesar 77 ton, tempat pendaratan ikan Tegal Buled sebesar 85 ton, PPI Mina Jaya sebesar 420 ton, PPI Ciwaru sebesar 1.331 ton, PPI Loji sebesar 480 ton, tempat pendaratan ikan Cipatuguran sebesar 407 ton dan PPI Cibanban sebesar 452 ton pada tahun 2005. Adapun jenis-jenis ikan yang dikirim ke daerah hinterland perpaduan di Jakarta adalah ikan cakalang, layur, tongkol dan tuna serta ikan demersal seperti ikan kuwe, udang lobster. Selain dari PPI di sepanjang pantai Sukabumi, Jakarta juga mendapat pasokan ikan dari wilayah lain baik dari Pulau Jawa maupun dari luar Pulau Jawa seperti Sumatera. Dengan adanya hinterland perpaduan ini, maka PPN Palabuhanratu harus mempersiapkan diri untuk bersaing terutama kesiapan fasilitas dan pelayanan serta penyediaan ikan yang berkualitas baik. (5) Prasarana perhubungan
Prasarana perhubungan selain jalan, laut juga ada prasarana udara sangat penting untuk menghubungkan pelabuhan dengan daerah konsumen. Dari Palabuhanratu ke daerah lain atau menuju Jakarta, Bandung, Sukabumi dan Cianjur, Bogor dapat ditempuh melalui jenis prasarana: 1) Melalui Cikidang, dengan jarak tempuh sampai ke Cibadak sekitar 40 km atau dapat ditempuh sekitar 1 jam dengan kondisi jalan lebar 6 m beraspal cukup baik untuk dilalui jenis kendaraan roda empat kecil seperti sedan, minibus. Truk atau kontainer mengalami kesulitan melewati jalan ini karena berlikuliku dan menempuh medan yang cukup berat, sehingga kurang baik dilalui oleh mobil truk atau mobil kontainer. Jalan ini sering digunakan untuk mobil
145
touring sejenis mobil pick up mitsubithsi diesel atau truk ukuran kecil. Jalan melalui Cikidang ini telah ditetapkan sebagai jalan provinsi sehingga ada kewajiban
pemerintah
provinsi
untuk
mengembangkan
jalan
ini.
Direncanakan jalan ini untuk diperlebar dari lebar 6 meter menjadi lebih lebar lagi (sekitar 10 meter), kemudian mengurangi tanjakan-tanjakan dan belokanbelokan jalan yang cukup berbahaya. Dengan adanya rencana pengembangan jalan melalui Cikidang ini, maka diharapkan mobil kontainer dan truk ukuran besar dapat melaluinya dengan mudah, sehingga memperlancar arus distribusi ikan dan waktu tempuh lebih cepat dari Palabuhanratu ke Jakarta atau Bandung melalui Cikidang. 2) Melalui Cikembang, dengan waktu tempuh sampai ke Cibadak 1,5 jam atau jaraknya sekitar 55 km. Kondisi jalan ini relatif baik, beraspal dengan lebar jalan 8 m. Mobil kontainer ukuran sedang sering menggunakan jalan ini untuk mengangkut ikan tujuan Jakarta. Permasalah jalan melalui Cikembang adalah kondisi jalan yang berliku-liku, relatif sempit dan banyak tanjakan. Jalan melalui Cikembang ini telah ditetapkan sebagai jalan negara, sehingga pemerintah pusat, pemerintah provinsi berkewajiban untuk mengembangkan jalan ini. Direncanakan jalan ini akan diperlebar sampai dengan 10 m dan mengurangi tanjakan dan belokan sehingga dapat mengurangi waktu tempuh dan dapat memperlancar arus distribusi ikan dari Palabuhanratu ke Cibadak melalui Cikidang. 3) Melalui Cikembar, dengan jarak tempuh sampai ke Sukabumi sekitar 2 jam dengan jarak sekitar 70 km. Jalan ini telah ditetapkan juga sebagai jalan negara sehingga perbaikan jalan juga menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kondisi jalan beraspal dengan lebar 8 meter. Jalan ini sering digunakan mobil kontainer ukuran sedang untuk mengangkut ikan tujuan Sukabumi atau Cianjur dan Bandung. Jenis angkutan untuk mengangkut ikan dari pelabuhan adalah mobil pick up touring, truk, truk box serta truk thermoking ber-freezer. Diharapkan jalan ini dapat diperlebar menjadi 10 meter. 4) Jalan lainnya adalah Palabuhanratu – Cisolok – Bayah – Pandeglang - Jakarta. Kondisi jalan ini belum sempurna, sehingga praktis belum digunakan untuk
146
jalan mengangkut ikan. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten akan merehab dan memperlebar jalan yang keluar dari Palabuhanratu. Diharapkan adanya perbaikan dan pelebaran jalan ke Pandeglang ini dapat memperlancar arus distribusi ikan ke daerah lain. 5) Saat ini Pemerintah Provinsi telah membuat jalan lingkar luar trans selatan Jabar yang menghubungkan Bandung – Pangandaran - Ciamis, Garut – Tasikmalaya – Cianjur - Palabuhanratu sejauh 367 km. Dengan adanya jalan lingkar luar trans Selatan Jabar, maka diharapkan hubungan dan distribusi ikan dari Palabuhanratu atau dari daerah sekitarnya ke Palabuhanratu dapat berjalan lancar dengan daerah pemasaran yang luas, selain itu juga akan menambah kuantitas mobil yang melewatinya. 6) Direncanakan juga membuat lapangan terbang berlokasi di Palabuhanratu guna mengakomodasi perkembangan perikanan dan pariwisata. Rencana ini sudah sesuai dengan kebutuhan distribusi ikan yang memerlukan sarana yang lebih cepat sehingga ikan dari Palabuhanratu akan cepat sampai ke konsumen. Daerah-derah konsumen yang akan dituju adalah Jepang, Korea, Amerika, China. Pasar dalam negeri adalah Jakarta, Sukabumi, Cianjur, Bogor, Bandung, Depok, Tangerang, Bekasi dan Serang.
Keuntungan lain dari
adanya sarana pesawat terbang ini adalah akan mempercepat pembangunan daerah sekitarnya karena akan mendukung wilayah Kabupaten Sukabumi sebagai lokasi sektor basis. 7) Pemerintah Pusat telah merencanakan membangun jalan tol dari Ciawi ke Sukabumi-Cianjur-Bandung. Dengan adanya rencana ini, maka Palabuhanratu akan berkembang pesat dan akan berpengaruh kepada operasional dan pengembangan PPN Palabuhanratu. 5.4 Pola Pengembangan PPN Palabuhanratu
Dalam penelitian ini, pola pengembangan pelabuhan ditentukan dengan mengoptimalkan fungsi pelabuhan dengan berbagai permasalahan yang ada melalui analisis kebutuhan terhadap produksi, kapal dan fasilitas.
147
5.4.1 Target jumlah produksi PPN Palabuhanratu
(1) Jumlah MSY WPP 9 Samudera Hindia sebesar 1.056.890 ton, sehingga jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) 80% sebesar 845.510 ton. (2) Kapasitas minimum untuk PPS diperoleh dari kapasitas minimum standar untuk PPS sebesar 60 ton/hari atau 21.900 ton/tahun dikalikan dengan jumlah PPS di WPP 9 sebanyak 3 unit sehingga menjadi 65.700 ton/tahun. Kapasitas minimum untuk PPN diperoleh dari kapasitas minimum standar untuk PPN sebesar 30 ton/hari atau 10.950 ton/tahun dikalikan dengan jumlah PPN di WPP 9 sebanyak 3 unit sehingga menjadi 32.850 ton/tahun. Kapasitas minimum untuk PPP diperoleh dari kapasitas minimum standar untuk PPP sebesar 10 ton/hari atau 3.650 ton/tahun dikalikan dengan jumlah PPP di WPP 9 sebanyak 3 unit sehingga menjadi 10.950 ton/tahun. Kapasitas minimum untuk PPI diperoleh dari kapasitas minimum standar untuk PPI sebesar 5 ton/hari atau 1.825 ton/tahun dikalikan dengan jumlah PPI di WPP 9 sebanyak 207 unit sehingga menjadi 377.775 ton/tahun. Jumlah seluruh kapasitas minimum untuk pelabuhan perikanan adalah sebesar 487.275 ton/tahun. (3) Kapasitas minimum PPN diperoleh dari jumlah kapasitas minimum untuk PPN sebesar 32.850 ton/tahun dibagi dengan jumlah semua kapasitas minimum pelabuhan perikanan
sebesar 487.275 ton/tahun dikalikan
dengan JTB WPP 9 Samudera Hindia sebesar 845.512 ton/tahun diperoleh 57.001 ton/tahun. Alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN Palabuhanratu diperoleh dari kapasitas minimum PPN sebesar 57.001 ton/tahun dibagi dengan jumlah PPN di WPP 9 sebanyak 3 unit, diperoleh hasil sebesar 19.000 ton/tahun. Perhitungan target alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN Palabuhanratu seperti pada Tabel 36.
148
Tabel 36 Perhitungan target alokasi pemanfaatan SDI di WPP 9 untuk PPN Palabuhanratu Tipe pelabuhan Kapasitas minimum (ton)/hari Jumlah PP/PPI (unit)
PPS
PPN
PPP
PPI
60 3
30 3
10 3
5 207 Kapasitas minimum masing-masing tipe pelabuhan perikanan berdasarkan kelompok SDI (ton/tahun)
Sumberdaya Ikan Pelagis besar Pelagis kecil Demersal Ikan karang Udang paneid Lobster Cumi-cumi Jumlah
Potensi lestari (ton) 366.260 526.570 135.130 12.880 10.700 1.600 3.750 1.056.890
Estimasi JTB (80% potensi) (ton) 293.008 421.256 108.104 10.304 8.560 1.280 3.000 845.512
PPS
PPN
PPP
PPI
Jumlah
180 x 365 = 65.700
90 x 365 = 32.850
30 x 365 =10.950
1035 x 365 = 377.775
487.275
6.584 9.466 2.429 232 192 29 67 19.000
227.164 326.592 83.811 7.988 6.636 992 2.326 655.509
39.507 56.799 14.576 1.389 1.154 173 404 114.002
19.753 28.399 7.288 695 577 86 202 57.001
293.008 421.256 108.104 10.304 8.560 1.280 3.000 845.512
Alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN Palabuhanratu (Ton) 6.584 9.466 2.429 232 192 29 67 19.000
Produksi ikan yang didaratkan di dermaga PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005 (ton) = 43.969 ton Rata-rata/tahun = 3.382 ton Peluang pengembangan penangkapan PPN Palabuhanratu (ton) = 19.000 - 3.382 = 15.618 ton
149
149
5.4.2 Target jumlah kapal yang akan diakomodir oleh PPN Palabuhanratu
(1) Berdasarkan jenis unit penangkapan yang lebih prospek ke depan, menurut hasil kajian pemantauan dan evaluasi CPUE PPN Palabuhanratu tahun 2005 diperoleh hasil bahwa untuk unit penangkapan longline berukuran 30 GT memiliki nilai produktivitas paling tinggi yakni 1 ton/GT per tahun. Kemudian diikuti dengan unit penangkapan ikan longline berukuran 50 GT dengan nilai 0,4 ton/GT per tahun, longline 100 GT dengan nilai 0,24 ton/GT per tahun, longline 150 GT dengan nilai 0,2 ton/GT per tahun, payang dengan nilai 0.09 ton/GT per tahun, bagan dengan nilai 0,02 ton/GT per tahun, purse seine dengan nilai 0,06 ton/GT per tahun. Dengan demikian dalam perhitungan target kapal untuk PPN Palabuhanratu digunakan produktivitas 1 ton/GT per tahun. (2) Persentase jumlah masing-masing tipe kapal diperoleh dari jumlah GT untuk masing-masing tipe kapal dibagi dengan jumlah semua tipe kapal sehingga diperoleh persentase awal sebesar 17% untuk kapal <5 GT, 29% untuk kapal 5-30 GT dan 54% untuk kapal 30-150 GT. Persentase pengembangan kapal diperoleh 15% (lebih kecil dari persentase awal) yakni adanya pengurangan 2% dari kondisi semula karena beberapa kapal ukuran kecil (<5 GT) tidak semua diakomodir di PPN Palabuhanratu. Persentase pengembangan untuk kapal 5-30 GT dikurangi menjadi 25% dari kondisi semula 29% karena jumlah kapal-kapal ukuran tersebut saat ini sudah cukup memadai sehingga penambahan jumlahnya diharapkan tidak terlalu besar. Persentase pengembangan kapal 30-150 GT mengalami kenaikan dari 54% menjadi 60% disebabkan oleh adanya rencana penambahan kolam baru. (3) Persentase GT masing-masing ukuran kapal yang akan dikembangkan (15%, 25% dan 60%) dikalikan dengan target jumlah produksi maksimum PPN Palabuhanratu perhitungan target jumlah produksi (19.000 ton/tahun) diperoleh produksi maksimum tipe kapal <5 GT sebesar 2.850 ton, kapal 5-30 GT sebesar 4.750 ton dan kapal 30-150 sebesar 11.400 ton. (4) GT kapal yang diperlukan untuk pengembangan diperoleh dari produksi maksimum masing-masing tipe kapal dibagi 1 ton/GT (target produktivitas)
150
sehingga diperoleh untuk kapal <5 GT sebesar 2850 GT, kapal 5-30 GT sebesar 4750 GT dan kapal 30-150 GT sebesar 11400 GT. (5) Target jumlah kapal untuk masing-masing tipe ukuran kapal diperoleh dari GT kapal untuk pengembangan dibagi dengan rata-rata GT masing-masing tipe kapal (<5 GT = 5 GT, 5-30 GT = 20 GT dan 30-150 GT = 100 GT). Untuk kapal <5 GT diperoleh hasil sebanyak 570 unit dari semula 428 unit, untuk kapal 5-30 GT sebanyak 238 unit dari semula 180 unit dan untuk kapal 30150 GT sebanyak 114 unit dari semula 68 unit. Dari hasil penjumlahan jumlah kapal masing-masing ukuran diperoleh target jumlah seluruh kapal yang akan dikembangkan untuk pola ini sebesar 922 unit. Hasil perhitungan target jumlah kapal dengan target produksi ikan sebesar 19.000 ton/tahun seperti pada Tabel 37. Tabel 37 Hasil perhitungan target jumlah kapal untuk pengembangan PPN Palabuhanratu dengan target produksi ikan 19.000 ton/tahun Target produksi maksimum PPNP (ton) Target produktivitas unit penangkapan (ton/GT) Ukuran kapal (GT) Jumlah kapal tahun 2005 (unit) Rata-rata GT Jumlah GT kapal tahun 2005 Persentase awal (%) Persentase pengembangan (%) Produksi (ton) GT kapal yg diperlukan Target jml kapal pengembangan (unit)
19.000 1 <5 428 5 2140 17 15 2.850 2850 570
5-30 180 20 3600 29 25 4.750 4750 238
30-150 Jumlah 68 676 100 125 6800 12540 54 100 60 100 11.400 19.000 11400 19000 114 922
5.4.3 Target kapasitas fasilitas (1) Perhitungan luas kolam (m2)
L = Lt + 3 [(n x l x b)] Lt = π r 2 Radius putar (r), D = 2r = 3 x panjang kapal terbesar 2r = 3 x 30 meter , r = 45 meter. Lt = 3,14 x 45 x 45 = 6.359 m2
151
3 [(n x l x b)] = 79.590 Luas kolam = 6.359 + 79.590 = 85.949 m2. Hasil perhitungan luas kolam selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 38. (2) Perhitungan kebutuhan panjang dermaga (m)
D = Jumlah frekuensi kapal maksimum x l x ( jarak aman antar kapal = 0,1) x l Hasil perhitungan seperti Tabel 39 , yakni panjang dermaga = 1.452 m. (3) Kedalaman kolam (m)
Kedalaman kolam untuk kapal <5 GT – 30 GT sama dengan kedalaman kolam pola lama yakni sampai dengan 3,5 meter dan kedalaman kolam untuk kapal 30-150 GT sedalam 4 m. Tabel 38 Hasil perhitungan luas kolam PPN Palabuhanratu Variabel Jumlah kapal maksimum berlabuh pada peak season (n) (unit) < 5 GT 5-30 GT 30-150 GT Jumlah Jumlah frekuensi kapal pada peak season (unit / hari) < 5 GT 5-30 GT 30-150 GT Jumlah Panjang kapal (l) (m) < 5 GT 5-30 GT 30-150 GT Jumlah Lebar kapal (b) (m) < 5 GT 5-30 GT 30-150 GT Jumlah Luas putaran (π r 2) (m2) ( n x (l x b)) < 5 GT 5-30 GT 30-150 GT Jumlah 3 ( n x (l x b)) Luas kolam (m2)
Volume
286 157 40 483 69 17 2 88 10 18,5 30 58,5 2 4,5 6,45 12,95 6.359 5.720 13.070 7.740 26.530 79.590 85.949
152
(4) Luas Gedung TPI
Untuk menampung produksi 19.000 ton/tahun atau 52 ton per hari maka dibutuhkan bangunan TPI seluas : (52/18) x 900 = 2.600 m2. (5) Kapasitas pabrik es (ton/tahun)
K = 2 x 19.000 ton = 38.000 ton/tahun. (6) Kebutuhan solar (kl/tahun)
S = 0,2 liter per DK per jam (Ditjen Perikanan dan PT. Perentjana Djaja, 1999). Ukuran kapal < 5 GT = mesin 15 DK , ukuran kapal 5-30 GT = mesin 60 DK, ukuran kapal 30 – 100 GT = mesin 180 DK, ukuran kapal 100-150 GT = mesin 225 DK. 1)
Kebutuhan solar untuk kapal ukuran <5 GT adalah jumlah kapal x (0,2) x (jumlah trip per tahun) x (24 jam) x (jumlah hari operasi per trip) x (15 DK) = 570 x 0,2 x 120 x 24 x 1 x 15 = 4.924.800 liter = 4.925 kl/tahun.
2)
Kebutuhan solar untuk kapal ukuran 5-30 GT adalah jumlah kapal x (0,2) x (jumlah trip per tahun) x (24 jam) x (jumlah hari operasi per trip) x (60 DK) = 238 x 0,2 x 12 x 24 x 14 x 60 = 11.515.392 liter = 11.515 kl/tahun.
3)
Kebutuhan solar untuk kapal ukuran 30-100 GT adalah jumlah kapal x (0,2) x (jumlah trip per tahun) x (24 jam) x (jumlah hari operasi per trip) x (180 DK) = 80 x 0,2 x 6 x 24 x 30 x 180 = 12.441.600 liter = 12.442 kl/tahun.
4)
Kebutuhan solar untuk kapal ukuran 100-150 GT adalah jumlah kapal x (0,2) x (jumlah trip per tahun) x (24 jam) x (jumlah hari operasi per trip) x (225 DK) =34 x 0,2 x 4 x 24 x 60 x 225 = 8.812.800 liter = 8.813 kl/tahun.
5)
Jumlah solar yang dibutuhkan adalah : 37.695 kl/tahun.
(7) Kebutuhan air bersih (kl/tahun)
1) Menurut Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999) standar kebutuhan air bersih untuk ABK sebesar 20 liter/orang/hari sehingga : - Untuk kapal <5 GT ada sebanyak 570 x (5 ABK) x (20 liter) x (120 trip) x (1hari) = 6.840 kl/tahun.
153
- Untuk kapal 5-30 GT ada sebanyak 238 x (8 ABK) x (20 liter) x (12 trip) x (14 hari) = 6.397 kl/tahun. - Untuk kapal 30-100 GT ada sebanyak 80 x (15 ABK) x (20 liter) x (6 trip) x (30 hari) = 4.320 kl/tahun. - Untuk kapal 100-150 GT ada sebanyak 34 x (15 ABK) x (20 liter) x (4 trip) x (60 hari) = 2.448 kl/tahun.
Tabel 39 Hasil perhitungan panjang dermaga PPN Palabuhanratu No
Variabel
1
Jumlah frekuensi kapal pada peak season / hari (unit) < 5 GT 5-30 GT 30-150 GT Jumlah Panjang kapal (l) (m) < 5 GT 5-30 GT 30-150 GT Jumlah Panjang dermaga (D) (m) < 5 GT 5-30 GT 30-150 GT Jumlah
2
3
Volume
69 17 2 88 10 18,5 30 58,5 690 582 180 1.452
2) Kebutuhan baku es (ton/tahun) Menurut Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999) kebutuhan air untuk TPI adalah 1 kl air untuk 1 ton es = 38.000 kl. 3) Kebutuhan ikan (kl/tahun) Menurut Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999) kebutuhan air untuk TPI adalah 1 liter per kg ikan = 19.000 kl/tahun. 4) Kebutuhan TPI Menurut Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999) kebutuhan air untuk TPI adalah 1,5 liter / m2 . TPI yang ada saat ini seluas 900 m2 dengan
154
produksi 18 ton/ hari. Untuk menampung produksi 19.000 ton/tahun atau 52 ton per hari maka dibutuhkan bangunan TPI seluas : (52/18) x 900 = 2.600 m2. Jadi kebutuhan air untuk TPI yang akan dikembangkan adalah : 1,5 x 2.600 m2 = 3.900 liter/m2 per hari, atau 1.424 kl/m2 per tahun. 5) Kebutuhan penghuni Menurut Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999), kebutuhan air untuk penghuni adalah 10% dari kebutuhan total = 7.843 kl/tahun. Tabel 40 Hasil perhitungan kebutuhan air bersih No 1
2 3 4 5
Variabel Kebutuhan ABK < 5 GT 5-30 GT 30-100 GT 100-150 GT Kebutuhan baku es Kebutuhan ikan Kebutuhan TPI Kebutuhan penghuni Jumlah
Satuan : kl/tahun Volume 6.840 6.397 4.320 2.448 38.000 19.000 1.424 7.843 86.272
(8) Luas lahan (ha)
Luas lahan yang diperlukan menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.10/Men/2004 tanggal 24 Februari 2004 tentang pelabuhan perikanan diperlukan seluas minimal 15 ha belum termasuk kolam pelabuhan. Sehingga paling tidak maksimum luas lahan yang diperlukan untuk PPN Palabuhanratu adalah 30 ha (sesuai dengan batas minimum lahan PPS).
5.4.4 Pengembangan wilayah distribusi (hinterland)
Pengembangan wilayah distribusi berkaitan dengan daerah konsumen atau hilir dari pelabuhan perikanan yakni sampai sejauh mana konsumen menyerap ikan yang didaratkan di pelabuhan perikanan sehingga perlu suatu pola pengembangan mengenai jumlah dan daerah konsumen. Jumlah penduduk disuatu tempat atau negeri merupakan konsumen potensial. Berdasarkan jumlah produksi ikan yang ada saat ini dan target produksi
155
serta rata-rata tingkat konsumsi penduduk, maka akan diperoleh jumlah konsumen untuk produksi ikan PPN Palabuhanratu. Menurut Barani (2006), bahwa tingkat konsumsi/kapita penduduk secara nasional pada tahun 2005 sebesar 22,76 kg/ kapita /tahun (angka perkiraan). Apabila dari target jumlah produksi PPN Palabuhanratu sebesar 19.000.000 kg/tahun untuk dipasarkan didalam negeri sebanyak 65% atau 12.350.000 kg dan sisanya 35% atau 6.650.000 kg untuk diekspor, maka diperkirakan jumlah konsumen dalam negeri yang akan mengkonsumsi ikan dari PPN Palabuhanratu sebanyak 12.350.000 kg dibagi 22,76 kg menjadi 542.619 orang. Dari produksi ikan yang akan dikonsumsi oleh penduduk dalam negeri sebesar 12.350.000 kg, maka didistribusikan untuk hinterland primer dalam negeri sebesar 32% atau sebesar 6.162.650 kg dan untuk hinterland sekunder dalam negeri sebesar 33% atau sebesar 6.187.350 kg. Rincian jumlah konsumen seperti pada Tabel 41. Daerah konsumen untuk ikan yang berasal dari Palabuhanratu apabila diasumsikan sama dengan kondisi tahun 2005, maka dari produksi ikan 19.000.000 kg diperoleh penyebaran untuk distribusi hinterland primer dalam negeri sebesar 6.162.650 kg dan hinterland primer untuk ekspor sebesar 6.650.000 kg, hinterland sekunder sebesar 6.187.350 kg. Adapun pengembangan penyebaran produksi untuk hinterland primer sebesar 12.812.650 kg yakni daerah Sukabumi sebesar 653.241 kg, Bandung sebesar 129.416 kg, Jakarta sebesar 5.379.993 kg dan untuk ekspor sebesar 6.650.000 kg. Hinterland sekunder untuk ikan pindang sebesar 3.403.043 kg tersebar ke Sukabumi sebesar 1.327.387 kg, Bogor sebesar 1.054.943 kg, Cianjur sebesar 816.730 kg, Bandung sebesar 204.183 kg. Hinterland sekunder untuk ikan asin sebesar 2.784.307 kg tersebar ke Sukabumi sebesar 696.077 kg, Bogor sebesar 640.391 kg, Cianjur sebesar 696.077 kg, Bandung sebesar 584.704 kg dan Garut sebesar 167.058 kg. Berdasarkan kondisi tersebut terlihat bahwa untuk hinterland primer penyebaran yang dominan adalah Jakarta (42%) dan untuk ikan ekspor (35%), sedangkan pada hinterland sekunder penyebarannya merata.
156
Tabel 41 Pola hinterland hubungannya dengan PPN Palabuhanratu posisi tahun 2005 dan pengembangan PPN Palabuhanratu Variabel Jumlah produksi (kg)
Posisi tahun 2005
Pengembangan PPN
6.601.000
19.000.000
3.193.596(48%)
6.162.650(32%)
203.847 (3%)
6.650.000(35%)
3.203.087(49%)
6.187.350(33%)
Distribusi di hinterland primer dalam negeri (kg) Distribusi di hinterland primer luar negeri/ekspor (kg) Distribusi di hinterland sekunder (kg) Jumlah konsumen dalam negeri (orang) Daerah sebaran produksi a. Hinterland primer (kg) -Sukabumi (10%) (kg) -Bandung (2%)(kg) -Jakarta (82%) -Ekspor (6%)(kg)
281.049
542.619
3.397.443 (51%) 339.744 (10%) 67.949 (2%) 2.785.903 (82%) 203.847 (6%)
12.812.650 (77%) 653.241(5%) 129.416(1%) 5.379.993(42%) 6.650.000 (52%)
b.Hinterland sekunder (kg) Ikan pindang (55%) (kg) - Sukabumi (39%)(kg) - Bogor (31%) (kg) - Cianjur (24%) (kg) - Bandung (6%) (kg) Ikan asin (45%) (kg) - Sukabumi (25%) (kg) - Bogor (23%) (kg) - Cianjur (25%) (kg) - Bandung (21%) (kg) - Garut (6%) (kg)
3.203.557(49%) 1.747.187 681.403 541.628 419.325 104.831 1.459.685 364.921 335.728 364.921 306.534 87.581
6.187.350 (33%) 3.403.043 1.327.187 1.054.943 816.730 204.183 2.784.307 696.077 640.391 696.077 584.704 167.058
5.5 Prioritas Pengembangan PPN Palabuhanratu
Prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu yang akan ditentukan, diperlukan agar pola pengembangan yang telah disusun tersebut dapat dijalankan lebih terarah. Dalam penentuan prioritas pengembangan ini ditentukan alternatif prioritas pengembangan, kemudian dari alternatif prioritas pengembangan tersebut, maka ditentukan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu.
157
5.5.1 Penentuan alternatif prioritas pengembangan dan solusinya
Jenis alternatif prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu berturut-turut adalah: Peningkatan jumlah kapal, peningkatan jumlah ikan, peningkatan jumlah tenaga kerja, peningkatan pendapatan pelabuhan, peningkatan PAD. Prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu diperoleh setelah penetapan alternatif prioritas pengembangan melalui analisis PHA. Didalam analisis PHA akan terjadi interaksi antar berbagai komponen pada jenis solusi pengembangan, jenis
alternatif
prioritas
pengembangan
dan
keterkaitan
pelaku
guna
mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu. Komponen pelaku/lembaga yang dianggap berperan untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu adalah : Ditjen. Perikanan Tangkap, PPN Palabuhanratu, Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi (Dinas Perikanan), KUD Mina Sinar Laut, nelayan. Selanjutnya solusi pengembangan, pelaku/lembaga dan alternatif prioritas pengembangan berdasarkan interaksi keterkaitannya dalam bentuk struktur hirarki PHA seperti Gambar 20. Pada Gambar 20 terlihat bahwa, dalam penentuan prioritas pengembangan pelabuhan perikanan dilakukan terhadap lima alternatif solusi pengembangan dan lima alternatif pelaku/lembaga, setiap alternatif prioritas pengembangan dipertimbangkan untuk setiap solusi pengembangan yang akan dijalankan dan pelaku/lembaga yang berperan dalam pengembangan PPN Palabuhanratu. Agar semua kepentingan dapat diakomodasikan maka setiap bentuk
solusi
pengembangan,
pelaku/lembaga
dan
alternatif
prioritas
pengembangan diminta pertimbangannya kepada stakeholder melalui kuesioner. Berdasarkan lima alternatif prioritas pengembangan yaitu: (1) Peningkatan pendapatan pelabuhan, (2) Peningkatan jumlah kapal, (3) Peningkatan produksi ikan, (4) Peningkatan PAD dan (5) Peningkatan lapangan kerja maka urutan prioritas pengembangan yang dianggap paling sesuai untuk pengembangan PPN Palabuhanratu adalah: (1) Peningkatan jumlah kapal yang mendarat di PPN Palabuhanratu, dengan nilai prioritas paling tinggi sebesar 0,244 pada inconsistency 0,01. Batas inconsistency yang diperbolehkan secara statistik adalah maksimum 0,1 (Gambar 20). Masih sedikitnya kapal berukuran >30 – 150 GT mendarat di kolam pelabuhan. Pada tahun 2002 terdapat kapal >5 GT yang mendarat
158
sebanyak 145 buah kapal atau 31% dari jumlah kapal sebanyak 462 unit (Tabel 14). Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan kolam I untuk menampung kapal-kapal >30 GT karena dengan luas kolam 3 ha dominan diisi oleh kapal-kapal ukuran <10 GT (95%). Kapal-kapal ukuran <10 GT hanya melakukan penangkapan ikan di sepanjang perairan pantai sampai dengan 12 mil sehingga produksi ikan yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan sekelas PPN Palabuhanratu. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi (2001), bahwa potensi ikan-ikan pelagis besar seperti tuna dan cakalang sudah sangat jauh dari perairan pantai. Sebagai akibatnya, maka kapal-kapal penangkap ikan harus diperbesar ukurannya menjadi >10 GT, khususnya kapal berukuran >30 GT sehingga dapat menjangkau daerah penangkapan ikan pada jalur >12 mil dari pantai atau menarik kapal-kapal dari luar masuk ke Palabuhanratu.
GOAL
LEMBAGA/ PELAKU
SOLUSI PENGEMBANGAN
OPTIMALISASI FUNGSI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU
Ditjen Perikanan Tangkap (0.244)
Perluasan kolam dan dermaga
PPN Palabuhanratu (0.308)
Perluasan lahan (0.253)
Peningkatan penda patan pelabuhan (0.221)
Operas ional pelelangan ikan (0.086)
(0.290)
ALTERNATIF PRIORITAS PENGEMBANGAN
Pemda/ Dinas (0.112)
Peningkatan Jlh kapal (0.244)
Peningkatan produksi ikan (0.232)
KUD (0.122)
Pengadaan BBM (0.272)
Peningkatan PAD (0.143)
Nelayan (0.214)
Pelayanan prima (0.099)
Peningkatan lapangan kerja (0.160)
Gambar 20 Hasil proses hirarki analitik untuk alternatif prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu.
159
Peningkatan jumlah kapal yang mendarat adalah merupakan alternatif prioritas pengembangan yang pertama untuk dilaksanakan terutama untuk kapal-kapal yang berukuran >30 GT, karena saat ini struktur armada di PPN Palabuhanratu komposisinya >95% terdiri dari kapal-kapal ukuran kecil (<10 GT). Tercatat pada tahun 2002 jumlah kapal 30-150 GT mendarat di PPN Palabuhanratu sebanyak rata-rata 16 unit kapal dalam satu bulan atau rata-rata 4 buah kapal dalam seminggu. Kapal ukuran kecil <10 GT sangat mendominasi dengan jumlah 423 unit atau 93,58% dari jumlah kapal yang ada pada tahun 2002 sebanyak 452 unit kapal, daerah operasi penangkapan kapalkapal tersebut masih berada di sepanjang pantai Kabupaten Sukabumi. Akibatnya produksi ikan yang didaratkan juga rendah yakni sebesar 2.890.118 kg atau 240.843 kg/bulannya. Banyaknya kapal-kapal ukuran kecil, akan menimbulkan permasalahan operasional pelabuhan terutama kesulitan dalam pengaturan kapal di kolam yang berdampak terhadap frekuensi kapal yang akan melakukan pendaratan di PPN Palabuhanratu. Menurut Rogge et al. (1987) bahwa untuk mewujudkan PPN Palabuhanratu, maka kapal-kapal yang berukuran <5 GT berbasis di PPI Cisolok (berjarak 11 km dari Palabuhanratu) sehingga kapal-kapal berukuran kecil akan berkurang di PPN Palabuhanratu dan memberi peluang kapal-kapal berukuran >5 GT berbasis lebih banyak di PPN Palabuhanratu. Prioritas pengembangan peningkatan jumlah kapal berukuran besar akan mempengaruhi produksi ikan yang didaratkan dan peningkatan aktivitas di pelabuhan sehingga fungsi pelabuhan akan lebih dioptimalkan. Apabila prioritas pengembangan ini dilaksanakan maka terhadap solusi pengembangan perlu diupayakan untuk direalisasikan terutama keputusan untuk memperluas kolam dan dermaga, perluasan lahan, operasional pelelangan ikan, penyediaan BBM serta pelayanan prima oleh pelabuhan (Gambar 20). (2) Alternatif kedua adalah peningkatan jumlah produksi ikan yang didaratkan dengan nilai rasio kepentingan 0, 232 pada inconsistency 0,01. Pelaksanaan alternatif ini sejalan dengan pelaksanaan alternatif peningkatan jumlah kapal berukuran 30 GT – 150 GT mendarat di PPN Palabuhanratu.
160
Jumlah ikan yang didaratkan belum sesuai dengan jumlah ikan yang seharusnya mendarat di PPN Palabuhanratu. Kondisi ini disebabkan oleh sedikitnya kapal-kapal ukuran >10 GT mendarat di PPN Palabuhanratu. Pada tahun 2002 tercatat jumlah kapal yang berukuran >30 GT mendarat di PPN Palabuhanratu hanya 13 unit dan yang berukuran >10 GT sebanyak 29 unit (PPN Palabuhanratu, 2003). Produksi ikan yang didaratkan mengalami peningkatan yang berfluktuatif sejak tahun 2001 – 2005. Rata-rata ikan yang didaratkan setiap tahun sejak tahun 2001 sampai dengan 2005 yakni 3.746 ton. Produksi ikan yang didaratkan tertinggi pada tahun 2005 sebesar 6.601 ton dan produksi terendah pada tahun 2001 sebesar 1.766 ton (Lampiran 15). Penurunan produksi tersebut antara lain disebabkan oleh kondisi cuaca terutama gelombang di laut cukup besar yang terjadi berbulan-bulan sehingga mengurangi jumlah kapal yang melaut. Disamping karena faktor alam, hal tersebut disebabkan juga oleh musim ikan sangat berkurang dan potensi perikanan di fishing ground-nya sudah menurun. Menurut Lubis (2002), bahwa produksi perikanan yang didaratkan menurun disuatu pelabuhan disebabkan antara lain: 1) Harga ikan di pelabuhan perikanan tidak layak. Pada tahun 2001 kondisi pemasaran ikan melalui aktivitas pelelangan tidak berjalan sempurna akibat lemahnya manajemen KUD Mina sebagai pengelola pelelangan ikan sehingga harga ikan tidak sesuai dengan harga pasar. Rata-rata harga ikan cakalang di pasaran sebesar Rp 5.000/kg, namun karena tidak ada proses lelang maka harga ikan turun menjadi sekitar Rp 3.000/kg. Akibatnya banyak kapal-kapal dari luar Palabuhanratu seperti dari Cilacap sedikit (2 buah kapal setiap bulan) mendarat di PPN Palabuhanratu. 2) Lokasi pelabuhan perikanan berjauhan dengan lokasi perumahan nelayan. Kondisi ini tidak berlaku untuk PPN Palabuhanratu karena perumahan nelayan relatif dekat dengan lokasi pelabuhan perikanan. 3) Daerah
pemasarannya
jauh
atau
terdapat
permasalahan
dalam
pendistribusian ikan. Kondisi di PPN Palabuhanratu memang jarak antara pelabuhan perikanan dengan daerah pemasaran relatif jauh yakni di Jakarta
161
dan Bandung dengan kondisi jalan yang sempit dan berliku-liku sehingga mempersulit pendistribusian ikan ke daerah konsumen. 4) Potensi perikanan di daerah penangkapan ikan sudah menurun. Hal ini disebabkan banyaknya alat tangkap bagan yang berada di Teluk Palabuhanratu yang menyebabkan ikan-ikan pelagis besar jumlahnya sedikit memasuki teluk. 5) Tidak terdapatnya fasilitas yang diperlukan dan atau beberapa fasilitas yang ada sudah rusak.
Kondisi ini memang sesuai dengan PPN
Palabuhanratu, dimana kondisi fasilitasnya tidak dapat mengakomodir kapal-kapal berukuran >30 GT. Akibatnya banyak kapal-kapal dari luar tidak masuk ke PPN Palabuhanratu. 6) Tidak terdapatnya pengorganisasian aktivitas yang baik di pelabuhan perikanan.
Hal ini tidak berlaku bagi PPN Palabuhanratu karena
aktivitasnya terorganisir dengan baik, walaupun beberapa SOP yang ada belum dijalankan oleh petugas secara optimal. Menurut statistik PPN Palabuhanratu 2005, bahwa jenis-jenis ikan yang banyak didaratkan adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) 917.429 kg dengan nilai Rp 4.270.593.510,-, ikan tongkol lisong ( Auxis thazard) 230.787 kg dengan nilai produksi Rp 1.074.328.700,-, tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) 86.447 kg dengan nilai produksi Rp 385.583.100,-, tongkol banyar 18.993 kg dengan nilai produksi Rp 89.249.400,-, ikan eteman/koyo (Menemaculata sp) 153.897 kg dengan nilai produksi Rp 198.610.750,-, ikan layur (Trichiurus sp) 145.537 kg dengan nilai produksi Rp 730.159.250,-, ikan tuna albakora (Thunnus alalunga) 51.311 kg dengan nilai produksi Rp 378.615.176,-, tuna yellow fin (Thunnus albacares) 641.702 kg dan nilai produksi Rp 4.961.427.350,,ikan tembang (Sardinella fimbriata) 109.270 kg dengan nilai produksi Rp 132.242.400,- dan ikan layang (Decapterus ruselli) 186.791 kg dengan nilai produksi Rp 310.533.550,-.
162
14000 12000 10000 Jumlah (Ton)
8000 6000 4000 2000 0 1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun Produksi Ikan Didaratkan
Produksi Ikan Masuk Pelabuhan
Jumlah Produksi Pelabuhan
Gambar 21 Produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005.
Selain ikan yang didaratkan oleh kapal penangkap, banyak juga ikan yang masuk melalui darat ke pelabuhan yakni dari Jakarta, Cianjur, Binuangeun, Ujung Genteng, Ciwaru, Cisolok, Cibangban, Loji dan dari Lampung. Jenis ikan yang masuk lewat darat ke pelabuhan antara lain cakalang, layaran, layur, peperek, tembang, tuna dan tongkol. Pada tahun 2004 tercatat sebanyak 3.036.662 kg ikan masuk ke pelabuhan melalui darat.
6000 4961
5000
4271
4000 Nilai
3000 2000 1074
917
1000
730
386 231
86
19 89
154 199
Tongkol banyar
Eteman
145
379 51
642 109 132
187 310
0 Cakalang Tongkol lisong
Tongkol abu-abu
Layur
Tuna Tuna Tembang albakora yellow fin
Layang
Jenis ikan Produksi (ton)
Nilai (Rp. jutaan)
Gambar 22 Produksi dan nilai produksi ikan-ikan ekonomis penting di PPN Palabuhanratu tahun 2004 (Sumber : PPN Palabuhanratu, 2005).
163
Sebagian ikan yang ada di PPN Palabuhanratu didistribusikan untuk keperluan bahan baku pengolahan ikan seperti pindang yang berlokasi di Palabuhanratu, ikan asin, abon ikan yang berlokasi di Cisolok, dan untuk ikan-ikan jenis tertentu seperti layur diekspor ke Korea. Selain itu ikanikan olahan juga dijual ke Jakarta, Bandung, Sukabumi, Cianjur, Bogor dan Cirebon. Lokasi tersebut menurut Lubis (2002) termasuk hinterland sekunder yaitu daerah distribusi dari ikan-ikan olahan. (3) Alternatif ketiga adalah peningkatan pendapatan pelabuhan dengan nilai rasio kepentingan 0,221 pada inconsistency 0,01. Pendapatan pelabuhan akan meningkat apabila terjadi peningkatan perluasan kolam dan dermaga, perluasan lahan, peningkatan operasional pelelangan ikan, penyediaan BBM dan pelayanan prima oleh pelabuhan. Pendapatan pelabuhan sangat kecil. Sebagai akibat jumlah produksi ikan yang belum sesuai dengan harapan sekelas PPN Palabuhanratu, maka pendapatan PPN Palabuhanratu juga relatif kecil, disamping itu PPN Palabuhanratu belum memiliki areal khusus untuk industri perikanan. Pada tahun 2005 tercatat pendapatan pelabuhan sebesar Rp 166.766.050 yang diperoleh dari sewa tanah dan bangunan, sewa peralatan, sewa gedung, pas pintu masuk (uang peron), retribusi dari pedagang, sewa listrik dan usaha air bersih.
Jumlah
pendapatan pelabuhan rata-rata per tahun sejak periode tahun 2001-2006 adalah sebesar Rp 103.056.097 (Tabel 42). Relatif kecilnya pendapatan pelabuhan disebabkan oleh kecilnya tarif yang diatur oleh PP 62 tahun 2000, seperti sewa lahan Rp.1.000 / m2 per tahun. Banyak pendapatan lain yang dihasilkan oleh pelabuhan misalnya retribusi lelang tidak masuk menjadi pendapatan pelabuhan melainkan menjadi PAD. Menurut PKSPL-IPB dan Ditjen. Perikanan (2000) bahwa pungutan perikanan termasuk pendapatan pelabuhan merupakan pungutan non pajak.
Hasil pungutan tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan
kinerja pengelolaan pelabuhan perikanan sehingga layanan terhadap aktivitas perikanan dapat dijalankan dengan lebih efisien dan efektif.
164
Tabel 42 Pendapatan PPN Palabuhanratu berdasarkan PP 62 tahun 2000 tentang PNBP periode tahun 2001-2006 Tahun
Jumlah (Rp)
2001
29.706.444
2002
74.507.270
2003
92.763.415
2004
153.984.400
2005
166.766.050
2006
100.609.000
Jumlah
618.336.579
Rata-rata
103.056.097
(4) Alternatif keempat adalah peningkatan lapangan kerja dengan nilai rasio kepentingan sebesar 0,160 pada inconsistency 0,01. Peningkatan lapangan kerja bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat nelayan yakni dengan adanya pelaksanaan alternatif prioritas pengembangan pertama dan kedua, yang berdampak terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja. Apabila alternatif prioritas pengembangan ini dijalankan memerlukan peningkatan perluasan kolam dan dermaga, perluasan lahan, peningkatan operasional pelelangan ikan, penyediaan BBM dan pelayanan prima oleh pelabuhan. Jumlah tenaga kerja yang terserap relatif kecil disebabkan belum berkembangnya kapal-kapal berukuran besar (>30 GT) yang mendarat di PPN Palabuhanratu, belum banyaknya industri perikanan yang tumbuh di PPN Palabuhanratu. Pada tahun 2005 jumlah tenaga kerja sebanyak 4.301 orang terdiri dari nelayan yang langsung terlibat dalam produksi sebanyak 3.498 orang, nelayan yang tidak langsung terlibat dalam produksi sebanyak 803 orang (Tabel 43). Dengan adanya pengembangan PPN Palabuhanratu, maka diperkirakan jumlah tenaga kerja akan semakin meningkat.
165
Tabel 43 Jumlah tenaga kerja di PPN Palabuhanratu tahun 2005 Jenis-jenis tenaga kerja Nelayan
Jumlah (orang) 3.498
Bakul
150
Pedagang ikan segar
60
Pedagang ikan asin
15
Pemindang
8
Penyedia es
10
Penyedia garam
5
Penyedia BBM
11
Penyedia alat tangkap
5
Tenaga kerja bongkar muat
40
Pengurus dan penjual kapal
175
Tukang roda
50
Docking
67
Juru batu
70
Pengrajin alat tangkap
14
Motoris
24 Jumlah
4.301
(5) Alternatif kelima adalah peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dengan nilai rasio kepentingan sebesar 0,143 pada inconsistency 0,01. PAD sangat kecil, disebabkan oleh terbatasnya tanah areal industri yang ada di dalam pelabuhan, sehingga PAD daerah Kabupaten Sukabumi dari pelabuhan sangat sedikit. Sumber PAD terbanyak berasal dari retribusi lelang, namun banyak sekali sumber-sumber pendapatan daerah tidak langsung, sebagai contoh tumbuhnya usaha-usaha pendukung aktivitas perikanan seperti perhotelan, toko-toko yang menjual kebutuhan masyarakat nelayan, perbankan dan industri-industri perikanan lainnya seperti cold storage dan pabrik es yang menghasilkan PAD dari pajak.
166
Berdasarkan Gambar 23 bahwa untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu maka prioritas solusi pengembangan yang perlu dijalankan adalah: (1) Pembangunan kolam dan dermaga dengan nilai rasio kepentingan paling penting dibandingkan dengan bentuk solusi permasalahan lainnya yaitu 0,290 pada inconsistency 0,01. Batas inconsistency yang diperbolehkan secara statistik adalah maksimum 0,1. Keputusan ini dianggap tepat karena selama ini masalah yang dihadapi adalah terbatasnya kapasitas kolam dan dermaga. (2) Penambahan kapasitas penyediaan BBM dengan nilai 0,272 adalah merupakan bentuk
solusi
pengembangan
kedua
yang
perlu
dijalankan
untuk
mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu. Hal ini beralasan karena semakin banyak dan semakin besar ukuran kapal yang mendarat maka memerlukan BBM yang banyak pula.
Gambar 23 Posisi masing-masing bentuk solusi pengembangan pada aplikasi program PHA.
167
(3) Perluasan lahan dengan nilai 0,253 adalah solusi pengembangan yang sangat mendesak untuk dilakukan dan merupakan satu paket dengan pembangunan kolam dan dermaga. Lahan yang berada di sebelah selatan pelabuhan sekarang adalah merupakan lahan yang cocok untuk membangun kolam dan dermaga. Lahan tersebut akan dibebaskan oleh pemerintah daerah. (4) Pelayanan prima dengan nilai adalah syarat mutlak yang diperlukan agar aktivitas pelabuhan berjalan efisien dan efektif sehingga dengan nilai 0,099 maka pelayanan prima adalah salah satu solusi pengembangan yang sangat diperlukan untuk meningkatkan fungsi PPN Palabuhanratu. (5) Penyelenggaraan lelang dengan nilai 0,086 adalah solusi pengembangan untuk menggerakkan
aktivitas
pemasaran
ikan
di
PPN
Palabuhanratu.
Penyelenggaraan lelang yang baik akan meningkatkan harga jual ikan yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan nelayan.
Gambar 24 Perbandingan peningkatan jumlah kapal dengan peningkatan produksi untuk semua solusi pengembangan.
168
Sebagai perbandingan menyeluruh antara prioritas pengembangan yang terpilih terhadap semua alternatif prioritas pengembangan maka ditunjukkan dua perbandingan yaitu pertama peningkatan jumlah kapal dan peningkatan jumlah produksi, kedua peningkatan jumlah kapal dan peningkatan jumlah pendapatan pelabuhan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 24. Pada Gambar 24 terlihat bahwa solusi pengembangan perluasan lahan dan penyediaan BBM diakomodir pada peningkatan jumlah kapal masing-masing lebih tinggi dari peningkatan produksi. Solusi pengembangan penyediaan BBM diakomodir pada prioritas pengembangan peningkatan jumlah kapal dengan nilai lebih tinggi dari penyediaan lahan (Gambar 25). Penyediaan BBM selama ini mengalami kendala karena pasokan sangat kurang dan harganya relatif mahal yakni lebih besar dari harga solar bersubsidi sebesar Rp 4.800 (beda harga Rp 500), sehingga mengganggu operasional kapal melaut dan berdampak pada operasional PPN Palabuhanratu.
Gambar 25 Perbandingan peningkatan jumlah kapal dan peningkatan pendapatan untuk semua solusi pengembangan.
169
Dari aspek kelembagaan untuk merealisasikan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu, maka berdasarkan olahan PHA diperoleh bahwa, lembaga yang berperan dalam pembangunan PPN Palabuhanratu adalah Ditjen.Perikanan Tangkap, PPN Palabuhanratu, Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi, KUD Mina Sinar Laut dan nelayan. Gambar 26 memperlihatkan posisi masing-masing lembaga untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu.
Gambar 26 Posisi lembaga yang berperan dalam pengembangan PPN Palabuhanratu berdasarkan olahan PHA. Posisi pertama adalah PPN Palabuhanratu yang merupakan instansi pusat yang ada di daerah dan merupakan UPT Departemen Kelautan dan Perikanan sehingga sangat berkepentingan untuk mengembangkan PPN Palabuhanratu dan sebagai pelaksana program. Posisi ketiga adalah Ditjen. Perikanan Tangkap yang merupakan instansi pemerintah pusat yang akan mengeluarkan kebijakan dapat tidaknya
PPN
Palabuhanratu
dikembangkan
karena
segala
kebijakan
pengembangan PPN Palabuhanratu termasuk aspek pendanaannya dikeluarkan
170
oleh Dirjen. Perikanan Tangkap. Posisi ketiga adalah nelayan yang berpengaruh terhadap pengembangan PPN Palabuhanratu dari aspek pengguna, karena semakin berkembang PPN Palabuhanratu, maka diharapkan aktivitas perikanan yang melibatkan nelayan akan semakin bekembang. Posisi keempat adalah KUD Mina sebagai lembaga usaha nelayan sangat berperan didalam mengembangkan PPN Palabuhanratu guna mengoptimalkan fungsinya sehingga berkembangnya PPN Palabuhanratu akan menjadikan secara otomatis usaha KUD akan berkembang. Posisi kelima adalah Pemerintah daerah yang sangat diharapkan dukungannya dalam meyiapkan lahan guna pembangunan fasilitas dan lahan industri yang akan dikelola oleh pemerintah daerah. Selain itu pemerintah daerah berkewajiban untuk mempersiapkan prasarana untuk kelancaran aksesibilitas dari Palabuhanratu ke luar Palabuhanratu. Pemerintah Kabupaten Sukabumi dan Pemerintah Jawa Barat sangat berkepentingan untuk mengembangkan PPN Palabuhanratu karena akan berdampak terhadap pembangunan ekonomi daerah. Pemerintah daerah diharapkan membantu penyediaan lahan, jalan dan pelabuhan udara untuk kepentingan
PPN
Palabuhanratu
mengembangkan
dan
mengoptimalkan
fungsinya. KUD dan nelayan berperan dalam hal penggunaan PPN Palabuhanratu sebagai basis usaha. Pada Gambar 26 terlihat bahwa PPN Palabuhanratu mempunyai rasio kepentingan paling tinggi (pertama), yaitu 0,308 pada inconsistency 0,02. Hal ini cukup beralasan karena PPN Palabuhanratu adalah pelaksana sehingga mempunyai komitmen besar untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu. Kebijakan pembangunan PPN Palabuhanratu dihasilkan Ditjen. Perikanan Tangkap dengan nilai rasio kepentingan kedua sebesar 0,244 dan inconsistency 0,02. Pelaku yang berperan dalam pengembangan PPN Palabuhanratu : nelayan, KUD dan PEMDA masing – masing memiliki nilai rasio kepentingan ketiga, keempat dan kelima sebesar 0,112, 0,122, dan 0,214. 5.5.2
Sensitivitas prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu
Berdasarkan prioritas pengembangan yang telah ditentukan di atas, maka perlu ditentukan seberapa besar persentase perubahan yang terjadi pada strategi prioritas yang telah ditetapkan, yakni dengan melakukan perubahan terhadap
171
parameter-parameter
yang
mempengaruhinya
seperti
strategi,
solusi
pengembangan dan stakeholder-nya. Kestabilan prioritas pengembangan pelabuhan perikanan yang telah dipilih perlu dilakukan uji sensitivitas terhadap strategi terpilih tersebut. Untuk melihat sensitifnya perubahan strategi maka berdasarkan simulasi terhadap grafik sensitivitas (Gambar 27) diperoleh hasil seperti pada Tabel 44 : Tabel 44 Hasil uji sensitivitas terhadap prioritas pengembangan pelabuhan perikanan terpilih No
Aspek/kriteria
Rasio kepentingan (RK )awal
Hasil uji sensitivitas terhadap peningkatan jumlah kapal sebagai prioritas pertama Range RK stabil Range RK sensitif
1
Ditjen. PT
0,244
0–1
Tidak ada
2
PPNP
0,308
0–1
Tidak ada
3
PEMDA
0,112
0 – 0,987
Tidak ada
4
KUD
0,122
0 – 0,995
Tidak ada
5
Nelayan
0,214
0 – 0,992
Tidak ada
Hasil uji sensitivitas terhadap prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu terpilih (peningkatan jumlah kapal sebagai prioritas pertama) terlihat pada Tabel 44. Berdasarkan Tabel 44, RK Ditjen Perikanan Tangkap masih di range RK stabil,
artinya
bahwa
Ditjen
Perikanan
Tangkap
sangat
mendukung
pengembangan PPN Palabuhanratu dengan prioritas pengembangan peningkatan jumlah kapal. Begitu juga untuk pelaku yang lain seperti PPN Palabuhanratu, , Pemda, KUD dan nelayan tidak mengganggu kestabilan alternatif prioritas pengembangan. Hal tersebut dimungkinkan karena keempat pelaku/lembaga tersebut lebih besar dukungannya terhadap pengembangan PPN Palabuhanratu. Pemerintah daerah akan membantu terhadap proses pembebasan lahan dalam rangka pengembangan PPN Palabuhanratu (Gambar 27). Pemerintah daerah juga berkewajiban untuk mempersiapkan aksesibilitas prasarana perhubungan. Selanjutnya untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investor, maka pemerintah harus memberikan insentif keringanan pajak kepada pengusaha, menghindari adanya pajak yang berlebihan akibat adanya otonomi
172
daerah serta memberikan kemudahan didalam proses perijinan dan menciptakan kondisi keamanan yang kondusif dalam berusaha.
Gambar 27
Hasil uji sensitivitas peningkatan jumlah kapal sebagai prioritas pertama prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu.
Pengembangan PPN Palabuhanratu dengan prioritas pengembangan peningkatan jumlah kapal yang mendarat menghendaki untuk segera dilengkapi fasilitas terutama perluasan kolam pelabuhan dan penambahan kapasitas dermaga, kapasitas BBM, dan perluasan lahan. Kendala yang mungkin akan timbul dalam melaksanakan prioritas pengembangan ini adalah tidak tersedianya dana untuk pengembangan PPN Palabuhanratu, sehingga pembangunan fasilitas belum dapat dilakukan atau terkendala karena adanya kebijakan pemerintah, misalnya tentang kenaikan BBM sehingga menyebabkan menurunnya aktivitas perikanan. Kondisi
173
tersebut menyebabkan jumlah kapal yang melakukan operasi penangkapan relatif sedikit atau ada pengaruh global tentang embargo ekspor ikan sehingga menyebabkan unit penangkapan mengurangi aktivitasnya. Dengan kemungkinan adanya kejadian tersebut diatas, maka perlu dilakukan beberapa
skenario
terhadap
pelaksanaan
prioritas
pengembangan
PPN
Palabuhanratu. Ada beberapa skenario pengembangan PPN Palabuhanratu yakni: (1) Akibat terbatasnya dana pembangunan, maka dilakukan skala prioritas tentang pentahapan pembangunan fisik, misalnya membangun kolam dan dermaga terlebih dahulu, kemudian apabila dana sudah tersedia lagi, maka dilakukan pembangunan fisik lainnya. (2) Akibat adanya kebijakan pemerintah tentang kenaikan BBM, maka pembangunan fasilitas fisik pelabuhan tetap dilakukan. (3) Membangun semua fasilitas fisik yang ditentukan sehingga semua kendalakendala yang ada dapat diatasi.
174
6 PEMBAHASAN
6.1 Antisipasi Pengembangan PPN Palabuhanratu PPN Palabuhanratu yang akan dikembangkan berdasarkan konsep triptyque portuaire perlu diantisipasi agar berfungsi optimal terutama setelah tercapainya kapasitas pelabuhan untuk type B (nusantara) dan selanjutnya berkembang kearah type A (samudera). Pengembangan PPN Palabuhanratu ke arah type A ini telah diwacanakan dalam beberapa pertemuan antara Dirjen Perikanan Tangkap dengan Gubernur Jawa Barat pada bulan Oktober tahun 2005. Wacana-wacana tersebut telah didukung oleh pemerintah daerah untuk membangun airport di Palabuhanratu
guna
memperlancar
distribusi
produk
perikanan,
akan
memperlebar jalan dari Palabuhanratu ke Cibadak sehingga mobil-mobil yang berkapasitas besar seperti mobil truk berkontainer dapat dengan mudah melalui jalan tersebut untuk mendistribusikan produk perikanan, selain itu sedang dilakukan penyelesaian jalan lingkar pantai selatan yang menghubungkan Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Ciamis. Pemerintah pusat akan mengusahakan dana pembangunan fisiknya. Dalam hal ini penulis mencoba menguraikan berbagai antisipasi yang dilakukan apabila hal tersebut benar-benar akan dilaksanakan adanya kemungkinan status PPN Palabuhanratu menjadi PPS Palabuhanratu sehingga aspek-aspek operasional, penyediaan fasilitas, manajemen, pembinaan mutu, pemasaran dan distribusi ikan serta industri perikanan maupun peranan pemerintah dalam mendukung pengembangan PPN Palabuhanratu serta perlunya keterkaitan antara pengaturan internasional yang berkaitan dengan pelabuhan perikanan. Adapun pola kegiatan operasional PPS Palabuhanratu, baik untuk kegiatan operasional di laut, maupun kegiatan operasional di pelabuhan perikanan dan distribusi ikan (Gambar 28) adalah sebagai berikut: 6.1.1 Pemanfaatan sumberdaya ikan dan fishing ground (foreland) Berdasarkan potensi MSY di WPP 9 Samudera Hindia, maka hasil perhitungan target produksi ikan untuk pengembangan PPN Palabuhanratu adalah 19.000 ton/tahun atau 52 ton/hari, sehingga masih dibawah target minimum kelas
PPS yaitu sebesar 60 ton/hari. Target produksi ikan sebesar 52 ton/hari tersebut apabila diasumsikan bahwa pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan yang ada di WPP 9 Samudera Hindia semuanya berfungsi. Menurut Lubis (2002), bahwa 40% PPI tidak berfungsi, maka apabila hal tersebut diberlakukan, target produksi ikan adalah sebesar 35.476 ton/tahun atau 97 ton/hari yang melebihi target minimum produksi ikan PPS (Tabel 45). Fishing ground dari kapal-kapal yang berukuran >30 GT – 150 GT akan mencapai perairan Samudera Hindia baik yang ada di Perairan Sebelah Barat Sumatera, Perairan Selatan Jawa, Perairan Selatan Bali dan Nusa Tenggara yang jaraknya lebih besar dari 12 mil atau mencapai ZEEI. Kegiatan penangkapan ikan di laut yang dilakukan oleh kapal-kapal ukuran <10 GT adalah untuk daerah penangkapan ikan di sepanjang pantai sampai dengan jarak 3 mil dari pantai. Alat tangkap yang digunakan adalah jaring payang, pancing ulur, gillnet, jaring dogol, bagan apung. Jenis-jenis ikan yang tertangkap kebanyakan ikan-ikan dasar seperti udang, tongkol kuwe, lobster, bambangan, kakap hitam. Jenis-jenis ikan pelagis yang tertangkap seperti cakalang, pepetek, teri. Kelompok kedua adalah kegiatan kapal-kapal ukuran 10–30 GT yang melakukan penangkapan ikan di wilayah 3 mil sampai 12 mil dari pantai. Alat tangkap yang digunakan umumnya adalah gillnet dan pancing ulur. Pada wilayah ini sudah terpasang beberapa buah rumpon. Rumpon laut dalam ini sangat menguntungkan karena cepat
mendatangkan gerombolan ikan sehingga
mempermudah nelayan menangkapnya. Jenis-jenis ikan yang tertangkap adalah tuna, cakalang, layur, layaran, cucut, pari dan ikan pelagis besar lainnya. Kelompok
ketiga
adalah
kapal-kapal
berukuran
30–150
GT.
Dengan
bertambahnya kapal berukuran besar, maka kapal-kapal tersebut yang akan beroperasi melakukan penangkapan ikan sampai ke laut lepas internasional di Samudera Hindia (WPP 9). Jenis-jenis ikan utama yang menjadi tujuan penangkapan adalah jenis tuna. Dalam kegiatan penangkapan ikan ini mencakup pula kegiatan penanganan ikan di atas kapal berupa pembersihan (cleaning), pengawetan dengan pendinginan /pembekuan menggunakan es (icing/freezing) atau penggaraman (salting) dan penyimpanan dalam fish hold (storage). Semua
176
kebutuhan kapal untuk melakukan operasi penangkapan ikan tersebut akan dapat difasilitasi oleh PPS Palabuhanratu. Penanganan ikan yang baik adalah dengan menjaga agar ikan tetap segar setelah ditangkap. Ikan-ikan hasil tangkapan tersebut dibersihkan dari kotoran isi perut dan insangnya. Ikan-ikan tersebut disimpan dalam palkah (fish hold) dan diawetkan dengan es. Sebagian kapal yang memiliki mesin pendingin/pembeku akan menyimpan dalam ruangan pendingin. Dengan demikian ikan-ikan tersebut tetap dingin dan segar selama perjalanan di laut. Sehubungan dengan hal itu, maka kapal-kapal penangkapan ikan yang berlayar harus dibekali dengan es yang cukup untuk menjaga mutu ikan selama operasi penangkapan. Semua es yang diperlukan agar difasilitasi oleh pelabuhan untuk memperolehnya. Berdasarkan pengkajian status pemanfaatan sumberdaya ikan di WPP 9 Samudera Hindia, ternyata bahwa sumberdaya jenis ikan pelagis besar masih besar potensi untuk dimanfaatkan terutama untuk ikan tuna. Jenis ikan tuna yang bersifat high migration
melintasi antar perairan negara saat ini telah diatur
pemanfaatannya oleh organisasi internasional seperti Indian Ocean Tuna Comission (IOTC), Convention for the Conservation of South Bluefin Tuna (CCSBT) dan WCPFC (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003). Saat ini Indonesia belum menjadi anggota organisasi internasional yang mengatur tuna tersebut
sehingga
Indonesia
tidak
diperhitungkan
didalam
pengaturan
pemanfaatan tuna yang menyebabkan kepentingan Indonesia untuk memanfaatkan tuna terbatas bahkan akan ada embargo terhadap ekspor tuna ke luar negeri. Kondisi ini akan berdampak kepada pemanfaatan tuna oleh nelayan Palabuhanratu sehingga pemerintah diharapkan berperan dalam organisasi perikanan regional dan peningkatan intensitas loby perdagangan internasional. Pelaksanaan monitoring terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan oleh PPN Palabuhanratu selama ini telah dilakukan dengan baik dalam arti bahwa kegiatan pengumpulan data dilakukan oleh petugas yang terlatih dan diatur pelaksanaannya selama 24 jam. Hasil pelaksanaan pendataan statistik perikanan dilaporkan kepada Direktorat Sumberdaya Hayati Ditjen. Perikanan Tangkap di Jakarta.
177
Tabel 45 Perhitungan target alokasi pemanfaatan SDI PPS Palabuhanratu Tipe pelabuhan Kapasitas minimum (ton)/hari Jumlah PP/PPI (unit)
PPS
PPN
PPP
PPI
60 3
30 3
10 3
5 83 Kapasitas minimum masing-masing tipe pelabuhan perikanan berdasarkan kelompok SDI (ton/tahun)
Sumberdaya Ikan Pelagis besar Pelagis kecil Demersal Ikan karang Udang paneid Lobster Cumi-cumi Jumlah
Potensi lestari (ton) 366.260 526.570 135.130 12.880 10.700 1.600 3.750 1.056.890
Estimasi JTB (80% potensi) ( ton) 293.008 421.256 108.104 10.304 8.560 1.280 3.000 845.512
PPS
PPN
PPP
PPI
Jumlah
180 x 365 = 65.700
90 x 365 = 32.850
30 x 365 =10.950
1035 x 365 = 151.475
260.975
12.294 17.675 4.536 432 359 54 126 35.476
170.068 244.505 62.746 5.981 4.968 743 1.741 490.752
73.764 106.050 27.215 2.594 2.155 322 755 212.856
38.882 53.025 13.607 1.297 1.077 161 378 106.428
293.008 421.256 108.104 10.304 8.560 1.280 3.000 845.512
Alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN Palabuhanratu (Ton) 12.294 17.675 4.536 432 359 54 126 35.476
Produksi ikan yang didaratkan di dermaga PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005 (ton) = 43.969 ton Rata-rata/tahun = 3.382 ton Peluang pengembangan penangkapan PPN Palabuhanratu (ton) = 35.476 - 3.382 = 32.094 ton
178 178
Aktivitas di laut
Aktivitas di darat
Penangkapan Di Laut Pembersihan Pendinginan Penyimpanan Pelayanan Suplai Air Suplai BBM Suplai Makanan
Pendaratan
Pelelangan
Cold Storage
Bongkar Angkut Sortir
Angkut
Pembersihan
Lelang
Sortir
Pembersihan
Packing
Penyortiran Pengepakan Angkut Pember sihan
Perbaikan Kapal Mesin Alat
Packing Tabur Es
Freezer Pember sihan Packing
Pengolahan Pengeringan Penggara man Pengalengan Filleting Tepung Ikan Krupuk Ikan Minyak dll
Pemasaran Antar Pulau
Tabur Es
Pemasaran Lokal Transportasi Darat Tabur Es
Tambat / Istirahat Pembersihan Istirahat Gambar 28 Rencana kegiatan operasional di darat dan di laut PPS Palabuhanratu. 179 179
Dalam hal pengawasan, telah dibentuk satuan pengawas perikanan yang sehari-harinya bertugas sebagai pengawas dan mengeluarkan surat laik operasional (SLO) untuk setiap kapal yang melakukan operasi penangkapan ikan. Selain itu pula dibentuk penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) PPN Palabuhanratu yang juga sekaligus sebagai satuan pengawas perikanan untuk melakukan tindakan hukum terhadap pelanggaran perikanan yang dilakukan oleh masyarakat perikanan. Dengan adanya pengawas perikanan ini maka pemanfaatan sumberdaya akan lebih terkendali. PPN Palabuhanratu berada di WPP 9 Samudera Hindia, sehingga dalam operasionalnya harus menghadapi persaingan dengan pelabuhan-pelabuhan perikanan yang ada di WPP 9 Samudera Hindia.
Dari 216 unit pelabuhan
perikanan yang ada di WPP 9 hanya ada 11 unit pelabuhan perikanan yang dapat mengakomodasi kapal-kapal perikanan berukuran >30 GT.
Berdasarkan data
yang tersedia dari 6 unit pelabuhan perikanan yang terdapat di WPP 9 yakni PPS Jakarta, PPN Palabuhanratu, PPS Bungus, PPS Cilacap, PPN Prigi dan PPN Sibolga, maka bentuk persaingan yang dibandingkan adalah fasilitas pelabuhan, jenis pendisikan SDM, jenis ikan, jenis alat penangkapan ikan dan jenis kapal pelabuhan perikanan. Dari hasil perhitungan menurut metode skalogram terhadap persaingan 6 unit pelabuhan perikanan, ternyata bahwa: (a) Dari segi jumlah jenis fasilitas, kelangkaan fasilitas dan bobot fasilitas, maka PPS Jakarta memiliki nilai indeks hierarki pelabuhan perikanan (Ii) lebih besar dibandingkan dengan 5 unit pelabuhan perikanan lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh besarnya peranan PPS Jakarta dalam menjalankan fungsinya sehingga memiliki fasilitas yang relatif lengkap. Menurut Rustiadi et al. (2005) bahwa semakin besar nilai indeks hierarki maka semakin besar pula peranannya sebagai pusat pengembangan wilayah dalam hal ini berkaitan dengan pengembangan ekonomi perikanan.
Sehingga PPS Jakarta dapat
dikatakan sebagai inti dalam wilayah nodal yang diasumsikan sebagai pusat kegiatan industri perikanan, pusat pasar serta pusat inovasi yang berkaitan dengan aktivitas perikanan. Sedangkan 5 unit pelabuhan perikanan lainnya dapat sebagai plasma atau hinterland yang memasok bahan mentah ke PPS
180
Jakarta. Kondisi ini tergambar bahwa PPN Palabuhanratu pada tahun 2005 memasok ikan segar ke PPS Jakarta sebanyak 2.780.734 kg berupa ikan tuna. Berkaitan dengan pengembangan PPN Palabuhanratu, maka pengembangan fasilitas fisik diarahkan untuk meningkatkan kapasitas fasilitas terutama perluasan kolam, perluasan dermaga dan perluasan areal. (b) Dari
segi
sumberdaya
manusia
pengelola
pelabuhan
bahwa
PPN
Palabuhanratu memiliki keunggulan baik dari jumlah jenis pendidikan SDM, bobot kelangkaan SDM, dan bobot SDM. Keunggulan PPN Palabuhanratu ini disebabkan oleh semakin membaiknya pembinaan yang dilakukan oleh manajemen pelabuhan terutama adanya kemudahan yang diberikan dalam mengembangkan kualitas pendidikan sehingga saat ini sudah tersedia 3 orang berpendidikan S2, 8 orang berpendidikan S1, 4 orang berpendidikan DIV, 2 orang berpendidikan D3, dan sisannya SLTA, SLTP dan SD. Kemudian saat ini sedang diberi kesempatan sebanyak 11 orang berpendidikan SLTA mengikuti jenjang S1. Dengan demikian dilihat dari segi SDM, maka PPN Palabuhanratu sudah menyiapkan diri untuk menjadi PPS Palabuhanratu. Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (1998) bahwa semua pegawai harus bersifat proaktif meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melaksanakan pembangunan. Hal ini berarti pelayanan yang diberikan oleh pegawai harus memberikan nilai tambah berupa pemberdayaan masyarakat, mengayomi masyarakat dan meningkatkan produktivitas masyarakat. (c) Dari segi jenis ikan yang didaratkan ternyata bahwa PPS Cilacap memiliki jumlah jenis ikan, bobot kelangkaan jenis ikan dan bobot jenis ikan lebih besar dibandingkan dengan 5 pelabuhan perikanan lainnya karena PPS Cilacap terletak dekat dengan daerah penangkapan ikan di perairan Segara Anakan, Teluk Pangandaran dan Samudera Hindia yang merupakan tempat berbagai jenis ikan. Selain itu PPS Cilacap terletak diantara beberapa tempat pendaratan seperti PPI Pangandaran, PPI Sadeng dan merupakan tempat pendaratan alternatif untuk kapal-kapal yang melakukan operasi penangkapan di Laut Jawa Bagian Selatan. Pengembangan PPN Palabuhanratu diarahkan untuk memperbanyak jumlah jenis ikan yang didaratkan yang berasal dari kapal-kapal yang melakukan operasi penangkapan di Samudera Hindia.
181
Selain itu diupayakan untuk bekerjasama dengan Balai Besar Penangkapan Ikan Semarang dan perguruan tinggi untuk mengintrodusir jenis alat penangkapan ikan yang baru seperti alat penangkapan untuk ikan laut dalam dan penggunaan alat bantu penangkapan ikan yakni rumpon. (d) Jenis alat penangkapan ikan yang paling banyak terdapat di PPN Palabuhanratu sebanyak 11 jenis, kemudian bobot kelangkaannya paling besar, dan bobot jenis alat tangkap memiliki nilai paling besar. Hal tersebut terkait dengan pelayanan yang diberikan oleh PPN Palabuhanratu terhadap semua jenis tipe kapal sehingga hasil tangkapan yang didaratkan bervariasi. Arah pengembangan PPN Palabuhanratu untuk jenis alat penangkapan ikan terutama pengembangan alat bantu penangkapan ikan berupa rumpon, pemanfaatan purse seine dan pengenalan alat penangkapan ikan yang lebih modern. (e) Berdasarkan jenis kapal ikan ternyata bahwa PPS Jakarta dan PPN Palabuhanratu memiliki nilai yang paling besar, namun dari segi indeks bobot kelangkaan, maka PPS Jakarta lebih unggul dibandingkan dengan PPN Palabuhanratu. Berdasarkan bobot jenis kapal ternyata bahwa PPS Jakarta dan PPN Palabuhanratu memiliki angka yang sama untuk jumlah jenis kapal. Perbedaannya adalah bahwa PPN Palabuhanratu banyak melayani kapalkapal ukuran kecil. Berdasarkan data teknis dan operasional untuk masing-masing pelabuhan, maka PPS Bungus memiliki kedalaman kolam pelabuhan sampai dengan 8 m sehingga dapat didarati oleh kapal >30 GT. Pada tahun 2005 menurut Ditjen Perikanan Tangkap (2005) tercatat kapal ukuran >30 GT jumlahnya sekitar 10-15 unit kapal yang mendarat di pelabuhan ini. Prospek pemanfaatan PPS Bungus cukup bagus mengingat Bandara Internasional Minangkabau sudah dapat berfungsi untuk melayani kargo ikan, namun tetap saja ikan ekspor tersebut diangkut ke Jakarta. PPS Cilacap hanya memiliki kedalaman kolam 3 m, sehingga kapal-kapal berukuran >30 GT sulit masuk ke kolam, dan aksesibilitas dari PPS Cilacap ke Jakarta cukup jauh dibandingkan dengan posisi PPN Palabuhanratu.
Selanjutnya untuk PPS
182
Jakarta memiliki tempat yang strategis karena berada di ibu kota negara, kondisi kolamnya cukup dalam sampai dengan 6 m sehingga dapat menampung kapal ukuran >30 GT, industri perikanan sudah tumbuh, saat ini menjadi pusat pertumbuhan perikanan di DKI Jakarta karena PPS Jakarta menampung sebagian produksi ikan yang datang dari berbagai daerah di Pulau Jawa termasuk dari Palabuhanratu dan dekat dengan Bandara Internasional Sukarno-Hatta. Pelabuhan umum Benoa memiliki keunggulan dekat dengan Bandara Internasional Ngurah Rai Bali sehingga kegiatan ekspor ikan segar cukup mudah. PPN Sibolga kondisi teknis kolam dan dermaga hanya dapat menampung kapal <30 GT, selain itu banyak kapal melakukan pendaratan di masing-masing Tangkahan sehingga PPN Sibolga kurang berfungsi. Kemudian aksesibilitas dari PPN Sibolga ke kota Medan relatif jauh berjarak 384 km dengan kondisi jalan yang berliku-liku dan sempit. Pelabuhan Perikanan Sabang adalah basis bagi kapal-kapal yang melakukan operasi penangkapan di Perairan Aceh dan Samudera Hindia. Kondisi teknis kolam dan dermaga dapat menampung kapal berukuran >30 GT. Aksesibilitas menuju Banda Aceh harus ditempuh melalui jalan laut. Adanya persaingan pelabuhan, mendorong PPN Palabuhanratu untuk memberikan hal-hal yang menarik bagi kapal-kapal untuk datang ke PPN Palabuhanratu mulai dari penyediaan fasilitas vital seperti kondisi dermaga dan kolam yang memenuhi syarat sehingga kapal-kapal cukup terlindung, hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ayodhyoa (1975), bahwa pelabuhan perikanan adalah suatu tempat di wilayah perairan yang terlindung bagi kapal-kapal untuk melakukan bongkar muat maupun berlabuh. Selanjutnya PPN Palabuhanratu telah memfasilitasi perusahaan untuk menyiapkan BBM, air bersih dan es yang merupakan keperluan pokok kapal-kapal, sehingga dengan penyediaan fasilitas tersebut menyebabkan kapal-kapal dari luar akan tertarik untuk mendarat di PPN Palabuhanratu. Saat ini terlihat bahwa banyak kapal-kapal dari Cilacap, Benoa dan Jakarta mendarat di PPN Palabuhanratu. Sejak tahun 2002 sampai tahun 2005 ada sebanyak 139 unit kapal berukuran 30–150 GT mendarat di PPN Palabuhanratu atau 11,2% dari total kapal ukuran 30-100 GT sebanyak 1.240 unit yang memanfaatkan WPP 9 Samudera Hindia.
183
6.1.2 Fasilitas dan operasional PPS Palabuhanratu Direncanakan ada pengembangan kolam III dengan kedalaman 6 m, sehingga dapat mengakomodir kapal sampai ukuran 1000 GT.
Kegiatan
pendaratan kapal penangkap ikan di dermaga mencakup bongkar ikan (unloading), pengangkutan ikan ke cold storage, ke tempat pengalengan ikan atau pengolahan ikan lainnya atau pengangkutan ke TPI dan pembersihan (sortir/cleansing). Dalam rangka pembangunan PPS Palabuhanratu, maka direncanakan ada 3 kolam yang berfungsi untuk tempat labuh kapal sekaligus tempat membongkar ikan di dermaga bongkar. Hasil tangkapan ikan kapal-kapal kecil (<30 GT) di dermaga I setelah dibongkar di dermaga bongkar, kemudian diangkut ke areal TPI untuk dilakukan pelelangan. Setelah dilelang, maka sebagian ikan dijual dalam bentuk segar guna keperluan konsumsi masyarakat lokal atau restoran. Sebagiannya lagi dibawa ke tempat pengolahan ikan untuk diolah menjadi ikan pindang atau sebagian dibawa ke Jakarta untuk bahan baku industri pengolahan ikan. Kapal-kapal berukuran 30–100 GT yang mendarat dan membongkar hasil tangkapannya di dermaga II hampir semuanya jenis-jenis ikan untuk ekspor seperti ikan tuna. Kapal-kapal yang telah selesai melakukan pembongkaran ikan hasil tangkapannya, akan menuju ke dermaga pelayanan (service berth) untuk memuat perbekalan melaut berupa bahan bakar minyak, air bersih, es, bahan makanan dan keperluan lainnya. Dalam perencanaannya, dermaga pelayanan akan dipisahkan dengan dermaga bongkar, sehingga kegiatan-kegiatan pembongkaran ikan memiliki dermaga khusus untuk mempercepat pembongkaran ke TPI atau mobil angkutan. Kapal-kapal yang telah beroperasi memerlukan pemeliharaan dan perbaikan. Biasanya setiap 6 bulan kapal akan naik dock. Kegiatan ini mencakup perbaikan bagi kapal-kapal yang rusak berat/rusak ringan, penggantian suku cadang, maupun perawatan rutin sebelum melaut. Pihak pelabuhan harus menyiapkan tempat perbaikan kapal berupa slipway, bengkel, dan toko tempat pembelian spare part kapal maupun mesin dan alat tangkap untuk melaksanakan kegiatan ini
184
Kapal-kapal yang telah selesai membongkar hasil tangkapannya maupun yang belum selesai membongkar hasil tangkapannya dan kapal yang telah selesai diperbaiki, akan tambat dan istirahat sambil menunggu operasi penangkapan ikan berikutnya. Selama menunggu masa tambat/istirahat, maka ABK akan beristirahat di darat. Banyak hotel-hotel dan penginapan murah yang tersedia di Palabuhanratu. Sebagian hotel tersebut juga menyediakan berbagai hiburan. Di pelabuhan juga tersedia mushola, masjid, puskesmas nelayan, wartel, bank, pegadaian yang dapat digunakan oleh ABK. Lokasi ini berdampingan dengan pasar yang menyediakan keperluan untuk nelayan. Hasil tangkapan ikan dari kapal-kapal ukuran <30 GT umumnya dilakukan pelelangan terlebih dahulu, karena umumnya jenis-jenis ikan yang didaratkan mutunya sudah menurun sehingga produknya dijual untuk konsumsi masyarakat lokal atau sebagai bahan baku pindang. Kegiatan pelelangan ikan hasil tangkapan ini merupakan kegiatan utama dan dilakukan di tempat pelelangan ikan (TPI). Didalam kegiatan pelelangan ikan ini mencakup kegiatan administrasi (pencatatan, penarikan retribusi, dan lain-lain) yang dilakukan oleh petugas TPI, kegiatan jual beli yang melibatkan pemilik ikan/penjual dan pedagang/pembeli. Pelabuhan perikanan akan membangun gedung baru pelelangan, untuk mengantisipasi produksi hasil tangkapan yang lebih banyak. Direncanakan gedung pelelangan yang lama akan dijadikan areal untuk pemasaran ikan segar. Bagi ikan-ikan hasil tangkapan yang telah dilelang selanjutnya disortir dan dipak untuk kemudian dipasarkan atau diolah lebih lanjut. Kegiatan ini dilakukan pada satu ruangan di dalam TPI. Apabila terjadi produksi yang melimpah, maka penyortiran dilakukan di atas meja sortir yang dirancang khusus, kemudian menambah tenaga kerja untuk penyortiran ikan. Dalam proses pembongkaran ikan dari laut ke dermaga dan pengangkutan ikan ke TPI atau ke cold storage atau ke tempat pengolahan ikan lainnya, diperlukan penanganan ikan yang lebih baik agar mutu tetap terjaga. Pada saat kapal merapat di dermaga, ikan-ikan yang dibongkar dari palkah, dibersihkan dari kotoran dan es dengan menggunakan air bersih bukan dengan air dari kolam pelabuhan, kemudian disortir dan disusun dalam keranjang dengan ditaburi es. Selanjutnya keranjang-keranjang yang berisi ikan tersebut diangkut ke tempat
185
penyimpanan atau tempat pengolahan atau langsung dipasarkan. Pelabuhan juga akan menyediakan ruangan khusus untuk penanganan jenis ikan tuna yang diproses dalam bentuk segar atau tuna loin. Kegiatan pengolahan meliputi kegiatan pengalengan ikan (canning), pendinginan/pembekuan di dalam cold storage atau freezer, pengawetan dengan pengeringan (drying), pembuatan abon ikan, baso ikan, kerupuk ikan, kerupuk kulit ikan, terasi, pemindangan dan sebagainya. Kegiatan industri pengolahan ikan akan ditempatkan dalam satu kawasan berikat industri perikanan yang dikelola Pemerintah Daerah. Kegiatan pengolahan ini akan banyak melibatkan para pengolah tradisional, maupun para pengolah modern yang mengolah ikan untuk kepentingan pemasaran antar pulau maupun ekspor. Kegiatan ini akan banyak menyerap tenaga kerja lokal sehingga masyarakat pencari kerja tidak perlu ke luar daerah mencari kerja dan kegiatan ini akan mengurangi jumlah pengangguran. Jaringan drainase, untuk setiap gedung harus ada dengan kedalaman dan lebar yang cukup serta mempunyai pengaturan kemiringan ke arah outlet. Kemudian di sisi jalan komplek harus terdapat drainase. Agar air laut tetap bersih, maka outlet air kotor akan diarahkan ke jaringan IPAL. PPS Palabuhanratu dapat berperan sebagai pusat pembinaan penanganan ikan hasil tangkapan mulai dari pembinaan penanganan ikan di atas kapal hingga didaratkan di pelabuhan (TPI). Tujuan pembinaan penanganan ikan ini adalah untuk menghasilkan produk yang memenuhi standar mutu dan memperoleh jaminan keamanan pangan untuk memperluas pasar dan untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri. Strategi yang dijalankan untuk mencapai tujuan tersebut adalah : (a) Mempersiapkan fasilitas pelabuhan perikanan sesuai dengan standar pembangunan pelabuhan perikanan sehingga aktivitas perikanan yang dilayani berjalan seefisien mungkin, misalnya fasilitas instalasi penyediaan air, instalasi BBM, crane untuk bongkar muat harus selalu ada ditepi dermaga. (b) Membangun sistem rantai dingin (cold chain system). Pengembangan cold chain system di Pelabuhan Perikanan, meliputi:
186
a) Penyediaan pabrik es oleh pihak swasta dalam kuantitas dan kualitas es yang terjamin mutunya dengan harga yang terjangkau. b) Mempersiapkan alat penghancur es (ice crusher) dalam jumlah yang cukup. c) Mempersiapkan kapal yang memenuhi syarat untuk penanganan ikan dengan konstruksi palkah yang memenuhi kriteria penanganan mutu, dan melengkapi freezer pada kapal-kapal yang berukuran besar (>30 GT). d) Mempersiapkan awak kapal yang terlatih untuk menangani ikan di atas kapal. e) Penanganan ikan sampai di TPI, mulai dari persiapan pemindahan ikan dari palkah atau freezer, pengangkutan ikan ke TPI atau truk berefrigerasi. TPI harus dirancang agar tercipta kondisi kegiatan pelelangan ikan yang dapat mempertahan mutu ikan. Sebaiknya TPI selalu dijaga kondisi kebersihan, ketertiban dan keamanannya. Di sekeliling TPI atau di luar pintu masuk TPI harus terdapat tempat penampung air bersih agar peserta lelang dapat membersihkan kakinya sebelum masuk ke TPI. Penerangan di dalam TPI agar disesuaikan dengan kebutuhan sehingga setiap tempat di dalam TPI memperoleh cahaya penerangan yang cukup. Perlu pula dipersiapkan lampu serangga di dalam ruang TPI. Di ruang peragaan ikan yang hendak dilelang perlu dilengkapi dengan kran air bersih. Lantai TPI harus memiliki kemiringan sekitar 5% sehingga mencegah adanya genangan air. Lantai TPI dibuat licin guna mencegah kerusakan tubuh ikan pada saat dilelang. Sistem drainase gedung TPI agar dirancang sehingga mengalir ke tempat instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Pintu masuk ke dalam TPI perlu dilengkapi dengan sistem entry yakni setiap orang dapat masuk apabila menggunakan kartu masuk sehingga pintu dapat terbuka. Begitu juga orang yang akan keluar, perlu ada bukti karcis masuk, agar kegiatan nelayan berjalan efisiensi dan produktif, sehingga aktivitas mereka dapat dipantau dan dikendalikan.
187
Refrigrated Container
Di atas Kapal
TPI/PPI/ Pelabuha
Truk berefrigerasi
UPI
Cold Storage Pesawat
Pasar Dalam Negeri
Truk berefrigerasi Super Market
Motor berinsulasi Pasar Tradisional
Pabrik es
Es crusher
Sepeda berinsulasi Perkantoran
Domain Perikanan Tangkap Gerobak Dorong Perumahan
Gambar 29 Cold chain system di PPS Palabuhanratu.
f) Disediakan pula tempat parkir yang luas untuk truk-truk berefrigerasi. Motor berinsulasi, sepeda berinsulasi dan gerobak dorong perlu pula dipersiapkan, kendaraan-kendaraan tersebutlah yang mengantarkan ikan-ikan ke cold storage, refrigerated container, atau ke pesawat terbang, ke pasar dalam negeri, super market, pasar tradisional, perkantoran atau ke perumahan. Gambar 29 menunjukkan pola cold chain system usaha perikanan.
188
Umumnya bila kita berkunjung ke pelabuhan perikanan, hal pertama yang kita rasakan adalah bau, kotor, penuh sampah, saluran drainase mampat, genangan air kotor, terkesan buruk sanitasinya dan tidak hygienis. Kondisi tersebut pada umumnya disebabkan oleh: (1) Kepadatan kegiatan di pelabuhan perikanan yang tinggi. (2) Kurang atau tidak berfungsinya sarana dan prasarana air bersih, drainase, air limbah, pengelolaan sampah. (3) Kurangnya kesadaran masyarakat pengguna pelabuhan akan kebersihan. Sebuah pelabuhan memerlukan pemeliharaan secara periodik untuk menjaga fungsi/perannya sebagai pusat kegiatan pendaratan hasil perikanan, tempat pemasaran hasil laut, tempat penyimpanan, suplai kebutuhan bahan bakar dan air besih kapal, tempat pemeliharaan dan perbaikan kapal. Seluruh kegiatan tersebut akan menghasilkan pencemar (polutant) baik limbah padat maupun cair. Jika sarana dan prasarana tidak mencukupi, maka lingkungan pelabuhan akan menjadi buruk, kualitas air dan tingkat kebersihan rendah. Sumber pencemaran di Pelabuhan perikanan dapat dikategorikan sebagai berikut: (a) Limbah buangan padat (sampah organik, sampah non organanik dan sampah beracun). Penanganan produk sampah tersebut dilakukan dengan: - Menyiapkan pewadahan sampah. Sebaiknya disediakan tempat sampah yang sudah dipisahkan. Setiap kapal diminta untuk menyediakan tempat sampah di kapalnya. - Pengumpulan sampah secara periodik. - Pengangkutan sampah ke TPS dan TPA. - Pihak pelabuhan harus menyewa/memiliki alat crane yang lebih besar kapasitasnya atau back hoe guna menghancurkan bangkai kapal di kolam pelabuhan. (b) Limbah buangan cair (ceceran bahan bakar, oli, minyak, air limbah dari toilet, air bekas pencucian ikan, air limbah industri). Cara penanganannya sesuai dengan karekteristik limbah tersebut, namun yang lebih penting adalah adanya kesadaran pemakai pelabuhan terhadap pentingnya kebersihan pelabuhan.
189
Peningkatan kebersihan lingkungan pelabuhan yang meliputi lingkungan darat dan lingkungan air. Penyediaan alat-alat kebersihan seperti truk sampah, truck crane, forklift, tungku pembakaran (insimirator), dan peralatan kebersihan lainnya seperti keranjang, cangkul dan tempat-tempat sampah perlu segera disiapkan guna menjaga kebersihan lingkungan darat dan lingkungan air (kolam). Selain itu sistem drainase pelabuhan perlu ditata ulang dan direhabilitasi sesuai dengan hasil studi amdal. Didalam kawasan pelabuhan agar diberi petunjukpetunjuk tentang peringatan kepada pengguna pelabuhan agar selalu menjaga kebersihan, keindahan dan ketertiban.
6.1.3 Potensi pengembangan wilayah distribusi (hinterland) Kegiatan pemasaran meliputi pemasaran lokal, antar pulau, dan ekspor. Pemasaran lokal meliputi kota-kota yang ada di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Pemasaran ke luar negeri meliputi negara Jepang, Taiwan, Korea, dan Uni Eropa. Pengembangan fasilitas pemasaran dilakukan dengan penyedian informasi harga melalui PIPP yang telah on line dengan semua pelabuhan perikanan melalui jaringan internet, media elektronik dan media cetak, penyelenggaraan pelelangan sesuai dengan ketentuan aturan, menghadirkan banyak pembeli ke PPN Palabuhanratu dengan cara promosi, temu mitra dengan pihak investor perikanan, perbankan dan investor-investor yang terkait dengan usaha pemasaran. Pengembangan sarana transportasi distribusi ikan berupa penyediaan mobil-mobil berpendingin sehingga wilayah distribusi ikan semakin jauh, mendorong pemerintah daerah membangun lapangan terbang yang saat ini sedang dilakukan studi sehingga berpeluang besar untuk menjangkau distribusi ikan keluar negeri, selain itu mendorong pemerintah daerah memperlebar jalan antara PelabuhanratuCibadak, Pelabuhanratu-Cikidang dan Pelabuhanratu–Bayah Pandeglang sehingga mobil-mobil ukuran besar seperti kontainer dapat lebih leluasa mengangkut ikan dalam jumlah besar dari Pelabuhanratu. Mendukung upaya pemerintah provinsi untuk menyelesaikan jalan trans Jabar mulai dari Bandung, Cianjur, Palabuhanratu sehingga akan mendorong PPN Palabuhanratu sebagai pusat pertumbuhan (growth center).
190
Pengangkutan hasil produksi merupakan penghubung mata rantai kegiatan perikanan yang sangat penting. Pengangkutan hasil produksi perikanan (ikan segar maupun olahan) dari pelabuhan ke kota-kota tujuan pemasaran dalam negeri, maupun ke negara-negara tujuan ekspor, merupakan komponen penting yang mempengaruhi harga penjualan. Kegiatan pengangkutan ini melibatkan sarana dan prasarana transportasi darat (jalan, jembatan, truk, trailer, peti kemas), laut (pelabuhan umum, kapal carrier) dan udara (pelabuhan udara, pesawat terbang). Pemerintah Daerah akan memperlebar jalan akses masuk ke Palabuhanratu, yakni jalan Palabuhanratu – Cikidang - Cibadak, jalan Palabuhanratu – Cikembang - Cibadak, jalan Palabuhanratu - jalan pelabuhan IISukabumi, jalan tembus ke daerah Pandeglang, jalan lingkar Selatan Jawa Barat. Menurut Gubernur Provinsi Jawa Barat pada saat kunjungan kerja Dirjen Perikanan Tangkap bulan Oktober tahun 2005, pemerintah provinsi sedang merencanakan pembuatan landasan pesawat terbang di Palabuhanratu untuk mendukung pariwisata dan perikanan tuna ekspor di Palabuhanratu. Jalan TOL dari Ciawi akan disambung sampai ke Sukabumi-Bandung. Semua sarana dan prasarana transportasi akan mempercepat kemajuan pembangunan di Selatan Jawa Barat khususnya Palabuhanratu sebagai pusat kota perikanan dan kelautan. Jaringan jalan dari Palabuhanratu ke Cibadak diperlebar, adanya rencana pembangunan jalan TOL dari Ciawi ke Sukabumi dan Cianjur akan mempercepat distribusi ikan ke daerah konsumen. Jalan tembus lingkar Selatan Jawa Barat mulai dari Palabuhanratu sampai Pangandaran sudah hampir selesai dibangun oleh pemerintah Propinsi Jawa Barat.
Fasilitas bandara sedang dilakukan studi
pembangunannya oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Hasil perikanan yang didaratkan di dermaga I, dermaga II dan dermaga III, setelah dilelang, maka dijual dalam bentuk segar untuk konsumsi lokal, atau dijual ke pedagang pengolah (ikan asin, ikan pindang, ikan asap maupun hasil fermentasi) untuk selanjutnya hasil olahan dijual ke kota-kota terdekat dari Palabuhanratu, yakni Jakarta, Bandung, Sukabumi, Bogor dan Cianjur. Ikan yang akan dijual dalam keadaan segar, memerlukan penanganan yang baik selama pengangkutan agar tetap terjaga mutunya. Apabila jarak pengangkutan cukup jauh, maka ikan-ikan tersebut harus diangkut dalam keadaan tetap dingin dengan
191
cara disimpan dalam peti berinsulasi dan ditaburi es. Sementara untuk jarak yang relatif dekat, diangkut bersama-sama dengan keranjangnya dan ditaburi es curai. Ikan beku diekspor dengan kapal carrier, disimpan dalam keadaan beku di dalam palkah kapal carrier yang biasanya sudah dilengkapi dengan pendingin, atau dengan container yang memakai sistem pendingin. Sistem pendingin ikan dengan rantai dingin (cold chain system) merupakan alternatif terbaik dalam mempertahankan dan peningkatan mutu serta pengembangan ekspor hasil-hasil perikanan. Dengan meningkatnya jumlah produksi ikan, maka perlu diantisipasi perluasan pasar baik lokal, regional, nasional, maupun ekspor. Mengingat Palabuhanratu adalah lokasi sektor basis, maka sebagian produksinya seperti ikan tuna segar, ikan layur beku dan produk olahan seperti cumi-cumi olahan, abon ikan dan ikan kaleng akan diekspor ke pasar Korea, Jepang dan Cina bahkan sampai ke Amerika Serikat. Menurut Soepanto (2003), ikan tuna di Indonesia dipasarkan dalam bentuk ikan segar, ikan beku dan ikan kaleng. Selanjutnya dikatakan bahwa tuna segar bukan hanya untuk konsumsi domestik tetapi untuk pasar luar negeri yang menuntut kesegaran tinggi dengan target pasarnya adalah Jepang, Amerika Serikat dan Eropa. Sebagian produk lainnya seperti ikan pelagis besar (tongkol, cakalang, cucut dll) akan dijual ke pasar lokal baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk beku sebagai bahan produk ikan olahan seperti ikan pindang. Begitu juga untuk ikan-ikan demersal seperti ikan kakap, lobster, kuwe, sebelah dan ikan dasar lainnya merupakan pangsa pasar lokal baik untuk restoran maupun untuk rumah tangga dan pasar regional seperti Jakarta dan Bandung. Antisipasi ini dimaksudkan untuk penyerapan produksi hasil tangkapan, sehingga harga ikan yang maksimal dapat tercapai. Seperti yang telah dikatakan oleh Mappangara (2005), bahwa pelabuhan sebagai pintu strategis memegang peranan vital terhadap kelangsungan interaksi, barter produksi dan jasa. Pelabuhan sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi serta sebagai pintu gerbang perekonomian yang sangat tergantung dari pengaruh eksternal baik yang bersifat internasional maupun nasional.
192
PPS Palabuhanratu dalam operasionalnya sangat tergantung kepada kondisi kapal-kapal ikan yang berukuran 30-150 GT yang melakukan penangkapan ikan di fishing ground WPP 9 Samudera Hindia dan permintaan ikan dari daerah hinterland pelabuhan. Semakin baik pelayanan yang diberikan oleh PPS Palabuhanratu terhadap aktivitas perikanan maka semakin banyak permintaan ikan oleh konsumen, serta semakin jauh ikan didistribusikan ke daerah lain bahkan sampai diekspor, sehingga semakin maju pula operasional pelabuhan perikanan. Adapun gambaran rencana distribusi ikan dari PPS Palabuhanratu seperti pada Gambar 30. Semua ikan yang didaratkan melalui PPS Palabuhanratu, baik yang berasal dari laut maupun dari darat akan dipasarkan sebagian besar untuk pasaran ekspor dan sebagian kecil untuk pemasaran dalam negeri. Kebutuhan ikan untuk ekspor akan semakin meningkat dengan adanya perluasan pasar misalnya ke pasar Uni Eropa untuk komoditi ekspor tuna. Pemasaran ekspor dari PPN Palabuhanratu ditujukan untuk ikan-ikan jenis tuna segar, tuna beku dan ikan beku lainnya serta ikan segar atau untuk keperluan hotel. Sebelum ikan-ikan tersebut diekspor, khusus untuk tuna segar, dilakukan intial proses yakni ikan tuna mengalami pembersihan kemudian dilakukan pengepakan dan langsung dibawa ke bandara untuk tujuan ekspor. Ikan tuna beku, layur beku dilakukan ekspor melalui kapal cargo yang telah ada di PPS Palabuhanratu. Begitu juga untuk jenis crustacea seperti udang, lobster, kepiting, rajungan, cumi-cumi, ubur-ubur, kerang-kerangan dilakukan proses pembersihan sebelum dibekukan di cold storage dengan suhu -30oC, kemudian produk tersebut diangkut ke kapal untuk diekspor. Khusus untuk jenis ikan olahan seperti pindang, ikan asin, abon, kerupuk, terasi langsung dijual di pasar dalam negeri. Di wilayah PPN Palabuhanratu dan daerah sekitarnya, teknik pengolahan ikan masih didominasi oleh teknik pengolahan tradisional seperti pemindangan, pengasinan, pembuatan terasi, pembuatan kerupuk kulit ikan. Ada pula pengolah yang membuat bakso ikan, kaki naga (fish nugget) dan abon ikan. Ikan-ikan segar yang dikumpulkan oleh pengusaha cold storage dilakukan processing-nya kemudian diekspor ke negara lain. Akibat dari kondisi teknik pengolahan masih didominasi oleh teknik pengolahan tradisional, maka luas hinterland terbatas di
193
dalam negeri, dalam hal ini didistribusikan ke Jakarta, Bandung, Cianjur, Sukabumi. Hinterland ikan segar seperti tuna dan layur dapat lebih jauh karena diekspor ke Jepang dan Korea dengan menggunakan pesawat terbang.
Ikan segar yang didaratkan dari kapal
Wholesale market
Retail
Ikan segar budidaya
Crustacea : (udang. Lobster, kepiting, rajungan) Moluska (Cumi2, ubur2, kekerangan)
Ikan beku
Proses
Pembekuan
Transhipment
Pabrik pembekuan dan cold storage
Proses penbekuan
Proses
d a l a m n e g e r i
Cold storage (- 50 C )
Cold storage (- 300 C )
Proses
Tuna beku
Ikan segar untuk eksport / hotel
Bandara
Intial process
Tuna segar
P a s a r
Pelabuhan laut E k s p o r
Pengemasan
Gambar 30 Diagram alir rencana distribusi ikan dan hasil tangkapan lainnya di PPS Palabuhanratu.
Sarana transportasi untuk distribusi ikan dari PPN Palabuhanratu, terbatas pada kendaraan jenis pick up (Mitsubishi L 300) khususnya untuk pengangkutan
194
ikan cakalang atau tuna kualitas sedang yang dijual ke Jakarta. Pengangkutan ikan cakalang dan tuna kualitas sedang ke Jakarta, dilakukan dengan menambahkan es curah. Lama perjalanan adalah sekitar 4-5 jam. Kendaraan pick up sewaan banyak tersedia di depan PPN Palabuhanratu. Ikan segar tuna untuk ekspor setelah diturunkan dari kapal-kapal longline, kemudian diangkut ke Jakarta menggunakan truk berpendingin. Jenis kendaraan ini cukup tersedia di Palabuhanratu, biasanya kendaraan ini disewa oleh pemilik kapal longline. Permasalahan yang dihadapi oleh sarana transportasi semacam ini adalah kondisi jalan yang sempit dan berliku-liku serta naik turun melintasi pegunungan. Ikan-ikan pindang diangkut ke Sukabumi, Bandung, Bogor, Cianjur dan Jakarta dengan menggunakan kendaraan pick up. Jarak tempuh ke daerah konsumen sekitar 2-4 jam. Ikan segar ekspor seperti tuna diangkut ke Jakarta menggunakan kendaraan mobil box yang memiliki cool room. Mobil angkutan ini memilih berangkat ke Jakarta pada malam hari untuk menghindari macet. Selanjutnya ikan tuna segar langsung di pack dan diekspor ke Jepang via pesawat terbang. Khusus layur yang telah terkumpul di cold storage dan telah di pack, dikirim ke Jakarta kemudian diekspor ke negara Korea melalui kapal laut. Konsentrasi konsumen berada di Jakarta, Bandung, Sukabumi dan Cianjur. Jumlah penduduk yang memanfaatkan ikan kiriman dari Palabuhanratu cukup banyak dan selalu meningkat, sebagai contoh bahwa ikan segar pada tahun 2005 tercatat sebesar 3.397.443 kg atau 52% dari total produksi (Tabel 16). Kualitas ikan yang diinginkan oleh masyarakat konsumen semakin meningkat sehingga pihak PPN Palabuhanratu telah mempersiapkan laboratorium bina mutu yang digunakan sebagai sarana pemeriksaan kualitas ikan sebelum keluar dari PPN Palabuhanratu. Selanjutnya Monintja (2002), menjelaskan bahwa pengembangan perikanan tangkap berbudaya industri dengan penerapan sistem akuabisnis dapat meningkatkan kinerja perikanan tangkap yang ada dan pendapatan yang kompetitif. Sistem akuabisnis terdiri dari beberapa subsistem yakni sarana produksi, usaha penangkapan (proses produksi), prasarana (pelabuhan), unit pengolahan, unit pemasaran dan unit pembinaan masyarakat.
Pengembangan
industri perikanan sangat tergantung kepada hubungan yang baik antar sub sistem
195
didalam sistem akuabisnis termasuk peranan pelabuhan perikanan sebagai prasarana penunjang untuk kegiatan proses produksi unit pengolahan, unit pemasaran dan pembinaan masyarakat perikanan. Kondisi di PPN Palabuhanratu menunjukkan bahwa sistem akuabisnis telah terjadi hubungan antar subsistem. Namun tingkat hubungannya belum optimal, sebagai contoh bahwa PPN Palabuhanratu telah berfungsi untuk menunjang aktivitas perikanan baik untuk mengakomodir kebutuhan kapal untuk beroperasi di laut, penanganan mutu hasil perikanan maupun proses pemasaran ke daerah hinterland.
Permasalahan yang muncul adalah masih sedikitnya investasi di
bidang industri perikanan yang disebabkan oleh terbatasnya produksi ikan yang didaratkan sebagai bahan baku dan tidak tersedianya areal industri perikanan di PPN Palabuhanratu, sehingga kedepan perlu pengembangan PPN Palabuhanratu ke arah PPS Palabuhanratu dengan penyediaan areal industri yang cukup. Bidang investasi yang dapat dilakukan pada PPS Palabuhanratu sebagai akibat penyedian kawasan industri yang diperkirakan seluas 500 ha adalah pabrik bahan jaring, pabrik alat tangkap, galangan kapal, program latihan, pabrik instrumen perikanan, kapal perikanan, tenaga kerja, alat bantu penangkapan, fish carrier, pabrik es, cold storage, canning factory, fish meal plan, fish oil factory, aktivitas pengolahan (pemindangan, pengasapan, pengasinan), pemasaran, transportasi, perhotelan dan wisata bahari. Bidang investasi tersebut akan ada di PPS Palabuhanratu apabila rencana PPS Palabuhanratu terlaksana sesuai dengan master plan nya (pola pengembangannya) dengan memperhatikan pro-business environment. Menurut Monintja (2002), bahwa pro-business environment terdiri dari adanya konsistensi atau kepastian hukum bisnis, jaminan keamanan, tersedianya infrastruktur, tersedianya sumberdaya manusia dan adanya perpajakan atau retribusi yang cukup rasional. Adanya kepastian hukum dimaksudkan untuk menjamin terselenggaranya bisnis yang tertib, aman dan berkelanjutan, sehingga diharapkan pemerintah untuk menciptakan hukum yang berpihak kepada pengusaha dan masyarakat. Begitu pula untuk jaminan keamanan sangat perlu tercipta guna menjaga proses industri dalam menjalankan misinya sehingga memperoleh keuntungan usaha. Perpajakan atau retribusi yang dibebankan kepada pengusaha harus cukup rasional dan dihindari biaya ekonomi tinggi, sebagai
196
contoh saat ini terjadi pungutan ganda untuk hasil perikanan mulai dari pengurusan surat ijin usaha perikanan, surat ijin penangkapan ikan, retribusi lelang dan retribusi angkutan jalan untuk setiap kabupaten yang dilintasi selama pendistribusian hasil tangkapan. 6.2 Hubungan Alternatif Prioritas Terhadap Fungsi Pelabuhan dan Solusinya Pola pengembangan pelabuhan adalah suatu contoh, pedoman atau penetapan ukuran-ukuran dalam mengembangkan suatu pelabuhan perikanan. Penyusunan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dibatasi pada penyediaan pola pengembangan target produksi, target kapal dan fasilitas pelabuhan perikanan terutama fasilitas pokok dikaitkan dengan upaya mengoptimalkan beberapa fungsi pelabuhan perikanan serta pola distribusi di hinterland. Pengembangan merupakan suatu usaha ke arah perubahan dari kondisi yang dinilai kurang kepada suatu kondisi baik atau suatu proses untuk mencapai kemajuan. Adapun hubungan antara alternatif prioritas, fungsi dan solusi permasalahan dalam pola pengembangan PPN Palabuhanratu adalah seperti Gambar 31.
Fungsi PPN Palabuhanratu Alternatif prioritas 1. Jumlah kapal 2. Produksi ikan 3. Tenaga kerja 4. Pendapatan pelabuhan 5. PAD
1. Tambat labuh 2. Pendaratan ikan 3. Keperluan kapal 4. Pemasaran & distribusi 5. Pembinaan mutu 6. Penyuluhan & Pengumpulan data 7. Pengawasan SDI
Solusi pengembangan 1. Kolam 2. Dermaga 3. Lahan 4. BBM 5. Pelelangan ikan 6. Pelayanan
Gambar 31 Hubungan alternatif prioritas, fungsi dan solusi pengembangan dalam pola pengembangan PPN Palabuhanratu.
197
Berdasarkan Gambar 31, bahwa jumlah kapal adalah merupakan gambaran seberapa jauh PPN Palabuhanratu dapat difungsikan sebagai tempat tambat labuh kapal, tempat pendaratan ikan, tempat memperlancar kegiatan kapal perikanan, tempat penyuluhan dan pengumpulan data, tempat pembinaan mutu hasil perikanan, tempat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data serta tempat pelaksanaan pengawasan sumberdaya ikan sehingga diperlukan pengembangan kolam, dermaga, lahan, BBM, pelelangan ikan dan pelayanan pelabuhan perikanan. Ilustrasinya adalah bahwa berdasarkan perhitungan JTB untuk PPN Palabuhanratu diperoleh sebesar 19.000 ton/tahun yakni terdiri dari pelagis besar sebanyak 6.584 ton/tahun, pelagis kecil 9.466 ton/tahun dan demersal sebesar 2.429 ton/tahun serta kelompok sumberdaya ikan lainnya sebesar 521 ton/tahun. Dari JTB 19.000 ton/tahun tersebut telah dimanfaatkan rata-rata per tahun selama periode 1993-2005 sebesar 3.382 ton/tahun sehingga peluang pengembangan penangkapan ikan untuk PPN Palabuhanratu sebesar 15.618 ton/tahun. Kemudian berdasarkan
perhitungan
target
jumlah
kapal
untuk
diakomodir
oleh
pengembangan PPN Palabuhanratu sebanyak 922 unit yakni terdiri dari 676 unit yang ada pada tahun 2005 ditambah dengan target jumlah kapal tambahan sebanyak 246 unit yang terdiri dari 142 unit kapal berukuran <5 GT, 58 unit kapal berukuran 5-30 GT dan 46 unit kapal berukuran 30-150 GT. Tambahan 246 unit kapal sebagian berasal dari kapal andon dan sebagian kecil dari hasil pembangunan kapal baru di PPN Palabuhanratu. Kondisi kolam I dan kolam II pemanfaatannya sudah melebihi kapasitasnya yang disebabkan oleh banyaknya kapal-kapal yang tidak melakukan operasional karena besarnya biaya operasional melaut terutama naiknya harga BBM. Sehingga dalam operasionalnya untuk menampung kapal dan produksi ikan diperlukan penambahan kolam dan dermaga, BBM, air, dan es. Hasil perhitungan kebutuhan kolam untuk pengembangan pelabuhan seluas 8,6 ha yakni terdiri dari luas kolam I sebesar 2 ha, luas kolam II sebesar 3 ha dan luas kolam III sebesar 3,6 ha. Hasil perhitungan kolam III seluas 3,6 ha memiliki daya tampung sebanyak 46 unit kapal berukuran 30-150 GT. Tambahan kapal untuk pengembangan PPN Palabuhanratu yang berukuran 5-30 GT sebanyak 58
198
unit diakomodir oleh kolam II dan kapal berukuran <5 GT sebanyak 142 unit diakomodir oleh kolam I. Secara keseluruhan, kebutuhan tambahan panjang dermaga 1.452 meter untuk melayani frekuensi kapal sebanyak 88 kali sehari. Agar kebutuhan es terhadap ikan adalah 2 : 1, maka kapasitas pabrik es yang diperlukan sebesar sebesar 38.000 ton/tahun atau 104 ton/hari. Kondisi pabrik es yang ada sekarang berkapasitas 50 ton/hari sehingga untuk mencapai kapasitas 104 ton diperlukan tambahan kapasitas pabrik es sebesar 54 ton/hari. Kebutuhan solar sebanyak 37.695 kl/tahun, kondisi saat ini sebanyak 10.381 kl/bulan, sehingga perlu ada penambahan solar sebanyak 27.314 kl/tahun sehingga diperlukan penambahan SPDN. Kebutuhan air bersih untuk operasional pelabuhan perikanan sebanyak 86.272 kl/tahun yang antara lain untuk kebutuhan ABK sebesar 20.005 kl/tahun, kebutuhan baku es sebesar 38.000 ton/tahun, kebutuhan ikan sebesar 19.000 ton/tahun, kebutuhan TPI sebesar 1.424 ton/tahun, kebutuhan penghuni sebesar 7.843 kl/tahun dan untuk kebutuhan pendingin mesin-mesin sebesar 7.843 kl/tahun. Lahan darat menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.10/Men/2004 tanggal 24 Februari 2004 tentang pelabuhan perikanan diperlukan seluas minimal 15 ha belum termasuk kolam pelabuhan. Sehingga paling tidak luas lahan yang diperlukan untuk PPN Palabuhanratu adalah 30 ha. Menurut hasil pertemuan Bupati Kabupaten Sukabumi dengan Pemda Provinsi Jawa Barat dan Ditjen. Perikanan Tangkap pada tanggal 25 Agustus 2006 dinyatakan bahwa ketersediaan lahan yang ada seluas 500 ha dan untuk memperkuat jaminan ketersediaan lahan, maka lahan seluas 500 ha ini akan dimasukan dalam RUTR tentang peruntukannya bagi pengembangan industri perikanan. Khusus lahan industri akan dikelola oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat dan Kabupaten Sukabumi. Dari perhitungan pengembangan daerah hinterland primer dalam negeri sebanyak 32% dari target produksi 19.000 ton didistribusikan untuk ikan segar kebutuhan konsumen dalam negeri. Sebesar 35% atau 6.650 ton didistribusikan
199
di hinterland primer luar negeri, sebesar 6.187 ton didistribusikan di hinterland sekunder dan jumlah konsumen dalam negeri sebanyak 542.619 orang. Adapun hasil studi kelayakan yang merupakan pola pengembangan awal, pola saat ini dan pola pengembangan PPN Palabuhanratu seperti pada Tabel 46. Tabel 46 Hasil studi kelayakan, kondisi tahun 2005 dan pola pengembangan PPN Palabuhanratu Variabel (1) Jumlah kapal (unit) Produksi ikan (ton) Luas kolam (ha) Kedalaman kolam (m) Lahan (ha) Dermaga (m) Solar (kl/thn) Pabrik es (ton/thn) Gedung TPI (m2) Air bersih (kl/thn) Distribusi di hinterland primer dalam negeri (ton) Distribusi di hinterland primer luar negeri (ton) Distribusi di hinterland sekunder (ton) Jumlah konsumen dalam negeri (orang)
Hasil studi kelayakan tahun 1987 (2)
Kondisi tahun 2005
Pola pengembangan
Perbedaan
(3)
(4)
(4) – (3)
125
676
922
246
16.000
6.601
19.000
12.399
3
5
8,6
3,6
1, 2 dan 3
3,5 dan 4
3,5 dan 4
-
7,2 500 10.423
7,2 910 10.381
30 1.452 37.695
22,8 542 27.314
32.000
18.250
38.000
19.750
900
900
1.424
524
54.385
38.370
86.272
47.902
-
3.194
6.163
2.969
-
204
6.650
6.446
-
3.203
6.187
2.984
-
281.049
542.619
261.570
200
Dari aspek operasional, maka pola pengembangan PPN Palabuhanratu akan disesuaikan terlebih dahulu dengan kondisi pengembangan fisik yang diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu yang ada saat ini sehingga terdapat perubahan kapasitas layanan yang berkaitan dengan penyiapan standard operational procedure. Adapun perubahan-perubahan dari aspek operasional terhadap pola pengembangan PPN Palabuhanratu seperti pada Tabel 47. Berdasarkan Tabel 47 maka banyak perubahan-perubahan yang akan terjadi apabila pola pengembangan PPN Palabuhanratu yang baru dilaksanakan terutama untuk optimalisasi fungsi PPN Palabuhanratu mulai dari kegiatan tambat labuh, pendaratan ikan, pemasaran dan distribusi ikan, pembinaan mutu, penyuluhan dan pengumpulan data serta pengawasan SDI dan adanya perubahan struktur organisasi serta syahbandar perikanan. Tabel 47 Perubahan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dari aspek operasional Variabel
Kondisi tahun 2005
Pola pengembangan
Tambat labuh
Pengaturan zonasi kapal, dermaga I untuk kapal <30GT, dermaga II untuk kapal 30150 GT Pendaratan ikan sebesar 6.601 ton Ekspor sebesar 3%, pemasaran dalam negeri 97% Belum ada Uji formalin setiap bulan dan belum ada laboratorium Dilakukan oleh petugas PPNP berstatus bukan penyuluh
Tambahan dermaga III , kapal 30150 GT
Pendaratan ikan Pemasaran dan distribusi Pembinaan mutu Penyuluhan dan statistik Pengawasan SDI SDM
Masih dibawah pembinaan PPN Palabuhanratu Dominan sarjana perikanan dan SLTA umum
Struktur organisasi
Sederhana dan belum kaya fungsional
Syahbandar
Dilaksanakan oleh syahbandar umum
Pendaratan ikan sebesar 19.000 ton/tahun Ekspor sebesar 35%, pemasaran dalam negeri 65% Uji formalin, organoleptik, histamin, mikrobiologi, logam berat di laboratorium Dilakukan oleh petugas PPNP melakukan penyuluhan dan pengumpulan data Langsung dilakukan oleh Satker dari P2SDKP. Disesuaikan dengan kebutuhan pengembangan dengan menambah sarjana teknik,hukum, komputer, lingkungan, statistik. Disesuaikan dengan kebutuhan dengan menambah kesyahbandaran dan memperkaya jabatan fungsional Dilaksanakan oleh syahbandar perikanan
201
6.3 Dukungan Kelembagaan Terhadap Pengembangan PPN Palabuhanratu Dukungan pemerintah sangat diharapkan dalam upaya pengembangan PPN Palabuhanratu menjadi PPS Palabuhanratu. Dirjen Perikanan Tangkap dan Gubernur Jawa Barat telah sepakat untuk membangun PPS Palabuhanratu secara bersama.
Telah disepakati bahwa pemerintah daerah menyiapkan lahan dan
infrastruktur sedangkan pemerintah pusat menyiapkan dana untuk pembangunan fisik. Sebagai dukungannya, seperti yang telah dilaporkan oleh Gubernur Jawa Barat (2005), bahwa saat ini sudah terbangun jalan tembus trans Jabar Selatan yang menghubungkan Palabuhanratu, Cianjur, Pangandaran, Bandung sejauh 367 km. Pada tahun 2005 Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah merencanakan pembangunan lapangan terbang di Palabuhanratu guna menunjang aktivitas pariwisata dan perikanan yang ditandai dengan telah dimulainya pelaksanaan studi pembangunannya di lapangan. Selanjutnya Pemerintah Pusat telah merencanakan pembangunan jalan tol yang menghubungkan Ciawi, Sukabumi, Cianjur, Bandung. Dengan adanya sarana jalan dan lapangan terbang tersebut, maka ikan-ikan yang didaratkan di PPS Palabuhanratu akan terdistribusi secara luas dan jauh. Sebagai akibat kemudahan distribusi ikan ke hinterland, maka aktivitas perikanan di Palabuhanratu akan semakin meningkat sehingga PPS Palabuhanratu yang dibangun akan berfungsi optimal. Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada tahun 2006 telah menetapkan Selatan Jawa Barat merupakan daerah yang akan diprioritaskan untuk pengembangan sektor perikanan laut yang berpusat di Palabuhanratu guna mendukung pemanfaatan potensi sumberdaya ikan yang berlimpah di pantai Selatan Jawa Barat, sehingga perlu adanya peningkatan status PPN Palabuhanratu menjadi PPS Palabuhanratu. Sejalan dengan program pengembangan pelabuhan perikanan lingkar luar wilayah Indonesia (outer ring fishing port) dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap yang bertujuan untuk mempersiapkan pelabuhan perikanan yang berada di lingkar luar wilayah perairan Indonesia guna mengamankan potensi perikanan, maka Palabuhanratu telah ditetapkan sebagai salah satu pelabuhan dari 25 buah
202
pelabuhan perikanan yang akan diprioritaskan untuk dikembangkan menjadi PPS Palabuhanratu (Gambar 32). Pada bulan Oktober tahun 2005, Gubernur Jawa Barat dan Dirjen Perikanan Tangkap pada saat pertemuan di Bandung telah sepakat bahwa PPS Palabuhanratu akan diprioritaskan pembangunannya melalui program outering fishing port. Hasil analisis pola pengembangan PPN Palabuhanratu yang direncanakan ini telah sejalan dengan rencana pemerintah daerah, namun perbedaannya adalah bahwa pemerintah menginginkan langsung dibangun fasilitas dengan kapasitas PPS alasan mereka bahwa untuk fasilitas laut sebaiknya dibangun sekaligus. Hasil penelitian ini merencanakan pengembangan dilakukan secara bertahap yakni pertama membangun fasilitas untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu, kemudian apabila sudah optimal fungsi yang dijalankan, maka perlu pengembangan kolam III untuk
meningkatkan statusnya menjadi PPS
Palabuhanratu. Seperti telah dijelaskan pada halaman 16, sesuai dengan RUTR, pemerintah daerah telah menyediakan areal industri perikanan seluas 100 ha sampai 500 ha guna mendukung pembangunan PPS Palabuhanratu disertai dengan kemudahan-kemudahan investasi akan menjadi daya tarik bagi investor untuk berusaha di PPS Palabuhanratu dan akan berdampak positif terhadap perekonomian daerah, penyerapan tenaga kerja, pendapatan pelabuhan, PAD dan kesejahteraan nelayan. Berdasarkan hasil uji sensitivitas terhadap alternatif prioritas pengembangan terpilih yakni prioritas pertama untuk peningkatan jumlah kapal, maka diperoleh kesimpulan bahwa alternatif prioritas pengembangan apabila diterapkan sangat stabil karena semua lembaga yang terkait terhadap pengembangan PPN Palabuhanratu yakni, Ditjen. Perikanan Tangkap, PPN Palabuhanratu, pemerintah daerah, KUD Mina dan nelayan sangat mendukung alternatif prioritas ini. Bentuk dukungan yang mungkin diberikan oleh Ditjen. Perikanan Tangkap adalah dalam hal antara lain peraturan yang berkaitan dengan pelabuhan perikanan, penyediaan dana fisik maupun operasional dan SDM pengelola pelabuhan. Pemerintah daerah dapat memberikan dukungan dalam hal penyediaan areal untuk pengembangan, penyiapan aksesibilitas jalan, peraturan daerah yang mendukung investasi perikanan. KUD Mina dan nelayan mempersiapkan
203
anggotanya untuk memanfaatkan PPN Palabuhanratu yang sudah dikembangkan baik persiapan kemampuan teknis dan manajemen untuk menjalankan usaha dan membina anggotanya untuk patuh terhadap aturan yang ada. 950
1000
1050
1100
1150
1200
1250
1300
1350
1400
100
100
50
50
00
00
50
50
100
100
Pelabuhan perikanan 150
150 950
1000
1050
1100
1150
1200
1250
1300
1350
1400
Gambar 32 Lokasi (25 buah) pelabuhan perikanan yang akan dikembangkan dalam outering fishing port program (Ditjen. Perikanan Tangkap, 2005). Pembiayaan untuk merealisasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dapat berasal dari pemerintah (pusat dan daerah), swasta atau berasal dari negara lain. Peran swasta perlu ditingkatkan lagi terutama untuk menginvestasikan usaha di Palabuhanratu baik dalam usaha penangkapan ikan, pengolahan maupun distribusi ikan. Guna merangsang masuknya investasi ke Palabuhanratu, maka perlu adanya kelembagaan kredit maritim yang memudahkan pengusaha perikanan untuk mengakses modal dalam mengembangkan usahanya. Kemudian menghapus semua bentuk pungutan atau retribusi ganda yang memberatkan pengusaha perikanan dan memberikan insentif berupa keringanan pajak untuk usaha-usaha perikanan yang produktif seperti usaha penangkapan ikan, pengolahan dan distribusi ikan. Pemerintah daerah secara proaktif menciptakan
204
kondisi keamanan, ketertiban dan keindahan di daerah perusahaan perikanan sehingga perusahaan perikanan dapat berjalan sempurna. 6.4 Peluang Penerapan Peraturan Internasional PPN Palabuhanratu sebagai pelabuhan perikanan yang akan ditingkatkan kapasitasnya menjadi PPS Palabuhanratu, akan melayani kapal-kapal perikanan lintas negara, sehingga perlu dipersiapkan PPS Palabuhanratu sesuai dengan aturan internasional.
Menurut Nugroho (2004), bahwa pengaturan/konvensi
internasional yang terkait dengan pelabuhan perikanan dan operasional kapal ikan adalah: 1) Agreement to promote compliance with international conservation and management measures by fishing vessels on the high seas (compliance agreement 1993). 2) Code of conduct for responsible fisheries (CCRF, 1995). 3) The amendments to the convention for the safety at sea (SOLAS 1974) dan ISPS code 2002. 4) The joint ILO/IMO code of practice (COP) on security in ports (2002). Selanjutnya dikatakan bahwa persyaratan yang perlu diperhatikan pada pelabuhan perikanan untuk dukungan ekspor adalah: 1) Aspek teknis, yakni untuk membangun: -Fasilitas pelabuhan dengan memperhatikan bobot kapal yang akan dilayani, panjang dermaga, kedalaman di depan dermaga dan pengaturan zonasi pelabuhan. - Jumlah armada yang akan dilayani. - Volume produksi ikan yang akan ditampung. - Pengaturan dampak erosi dan endapan lumpur. 2) Aspek kelembagaan, yakni - Penyusunan struktur organisasi harus menjangkau semua lini pekerjaan, - Peraturan operasional pelabuhan perikanan, misalnya harus ada standard operational procedure (SOP). - Penegakan hukum. - Penetapan kawasan industri perikanan.
205
- Penetapan kawasan peti kemas. 3) Aspek teknologi, yakni - Mutu produk perikanan harus diperhatikan. - Sistem pembuangan limbah. 4) Aspek anggaran, yakni - Anggaran operasional. - Anggaran pemeliharaan harus cukup. 5) Aspek informasi, yakni - Informasi harga ikan. - Informasi traceability. - Informasi mutu produk. 6) Aspek pengamanan kapal dan fasilitas pelabuhan, menggunakan international ships and port security facility (ISPS). ISPS adalah suatu penerapan sistem kode pengamanan kapal dan fasilitas pelabuhan internasional. Pelabuhan perikanan yang bersifat internasional harus disertifikasi melalui ISPS. Ketentuan ISPS code diterima dan disahkan di forum international maritime organization (IMO) pada tanggal 12 Desember 2002 dan menjadi Bab XI-2 dari konvensi SOLAS 1974 tentang keselamatan jiwa di laut. Aturan baru ini akan diterapkan terhadap kapal-kapal yang melakukan pelayaran internasional. Hal ini penting karena jika kapal dan pelabuhan internasional di Indonesia belum disertifikasi, kapal Indonesia tidak akan diterima atau ditolak di pelabuhan asing. Sementara pelabuhan Indonesia juga tidak akan dapat dikunjungi kapal asing. Persyaratan penetapan ISPS di pelabuhan perikanan adalah: 1) Pengumpulan dan pemeriksaan informasi yang berkaitan dengan ancaman keamanan dan pertukaran informasi tersebut antar negara. 2) Mewajibkan pemeliharaan protokol komunikasi untuk kapal dan fasilitas pelabuhan. 3) Pencegahan akses yang tidak berkepentingan ke kapal, fasilitas pelabuhan dan area terlarang untuk umum. 4) Mencegah membawa senjata api yang tidak memiliki ijin, alat pembakar atau bahan peledak ke kapal atau fasilitas pelabuhan.
206
5) Menyediakan peralatan untuk membunyikan alarm sebagai reaksi terhadap ancaman/insiden keamanan. 6) Mewajibkan rancangan keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan berdasarkan pada hasil penilaian keamanan. 7) Mewajibkan pelatihan gladi dan latihan untuk memastikan agar terbiasa dengan rancangan dan prosedur pengamanan. Ketentuan Uni Eropa tentang penerapan standarisasi mutu di pelabuhan perikanan (Direktur Standardisasi dan Akreditasi DKP, 2005) adalah: 1) Peralatan yang digunakan selama pembongkaran dan pendaratan
harus
dikonstruksi dengan bahan yang mudah dibersihkan dan disinfektan serta di tempat yang bersih. 2) Selama pembongkaran dan pendaratan harus dihindarkan produk perikanan tersebut dari kontaminasi dan ditangani secara khusus antara lain: operasi pembongkaran dan pendaratan dilakukan secara cepat; produk perikanan harus ditempatkan tanpa mengalami penundaan dan dilindungi dari lingkungan suhu yang tinggi dan selalu menggunakan es selama transportasi, kemudian disimpan dalam cold storage; tidak diijinkan menggunakan peralatan dan cara penanganan yang dapat menyebabkan rusaknya nilai gizi dari produk-produk perikanan. 3) TPI harus dilengkapi dengan atap dan dindingnya mudah dibersihkan; lantainya harus tahan air dan mudah dibersihkan,
mempunyai fasilitas
drainase dan sistem pembuangan air kotor; peralatan harus dilengkapi dengan fasilitas sanitasi, antara lain untuk pencucian dan kamar mandi/wc terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan; pembersihan harus dilakukan secara teratur baik sebelum maupun sesudah pelelangan, lantai TPI dibersihkan baik bagian luar maupun dalam dengan menggunakan air laut/air minum dan harus dengan disinfektan; tidak diperkenankan merokok, makan dan minum di area penjajaan ikan; mempunyai suplai air bersih; khusus untuk ikan-ikan harus ditempatkan pada alat yang tidak berkarat; produk perikanan setelah pendaratan harus aman, selama transportasi tidak mengalami penundaan; jika produk perikanan tersebut mengalami penundaan pendistribusian, maka harus disimpan diruangan dingin/cool
207
room dalam kondisi yang baik dan pada suhu yang sesuai daripada suhu pelelehan es/mendekati suhu pelelehan es; untuk pedagang besar produkproduk perikanan harus dijajakan pada kondisi yang bersih. 4) Persyaratan pelabuhan perikanan dalam mencapai standar sanitasi dan hygiene: bangunan, fasilitas dan lingkungan harus sesuai dengan persayaratan pelabuhan perikanan yang hygienis dan berstandar sanitasi; sanitation standard operating procedured (SSOP) adalah prosedur pelaksanaan standar sanitasi dan hygiene yang harus dipenuhi oleh pelabuhan untuk mencegah terjadinya kontaminasi terhadap produk yang ditangani; setiap pelabuhan harus memiliki rencana SSOP yang tertulis dan spesifik sesuai dengan lokasi, peralatan dan jenis penanganan serta diterapkan secara konsisten. 5) Penanganan mutu ikan: pengembangan fasilitas penanganan ikan-ikan yang didaratkan di pelabuhan seperti penyediaan laboratorium mutu hasil perikanan, penyediaan air bersih, penyediaan es, garam, kebersihan TPI dan alat angkut ikan, penerangan (instalasi listrik), penyuluhan mengenai penanganan ikan, penyediaan petugas pengolahan ikan, penyediaan data statistik penanganan ikan, keranjang ikan, WC umum, drainase TPI yang baik, pengaturan lalu lintas orang di TPI, penyediaan keamanan, ketertiban dan keindahan pelabuhan serta pengaturan petugas pelayanan penanganan ikan yang dilengkapi dengan standard operational procedure (SOP) yang jelas serta pengawasan pelaksanaannya dilakukan oleh manajemen pelabuhan. Hal itu dilakukan dengan maksud agar semua ikan-ikan yang akan didistribusikan dari PPN Palabuhanratu hingga ke tangan konsumen telah memperoleh jaminan mutu. Peraturan Uni Eropa yang berkaitan dengan penanganan ikan juga telah dikemukakan oleh Le Ry (2005), bahwa sejak 22 Juli 1991 diatur tentang peraturan-peraturan hygienitas untuk nelayan di kapal, kondisi penanganan ikan di kapal, kondisi penanganan pada saat pembongkaran ikan dan kondisi prosessing dan pengepakan ikan.
Selanjutnya pada tanggal 1 Januari 2007 dikeluarkan
peraturan baru tentang Undang-undang pangan yang mengatur tentang
208
traceability, informasi mengenai pelanggan, tanggung jawab dari comercial operator. Begitu pentingnya penanganan ikan di negara-negara Uni Eropa, maka sudah selayaknya perlu diterapkan juga di Indonesia khususnya di pelabuhan perikanan dalam menghadapi era globalisasi untuk perdagangan hasil perikanan tujuan ekspor. Menurut FAO (1995) tentang Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), bahwa persyaratan lokasi pelabuhan perikanan dan kaitannya dengan lokasi PPS Palabuhanratu adalah: 1) Tempat berlindung yang aman bagi kapal penangkap ikan dan disediakan pelayanan yang memadai bagi kapal, pedagang dan pembeli. Kondisi lokasi (site) yang akan dijadikan kolam PPS Palabuhanratu berada pada bagian Selatan Pelabuhan yang ada sekarang. Direncanakan akan dibangun kolam seluas 20 ha dengan kedalaman kolam bervariasi antara -4 m, -6 m dan -8 m. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah penentuan mulut masuk kolam pelabuhan harus tepat pada tempat yang telah diperhitungkan dengan mempertimbangkan kondisi oceanografi nya terutama arus, gelombang, sedimentasi, dan kedalaman perairan. 2) Pasokan air tawar yang memadai dan pengaturan sanitasi harus disediakan. Kondisi pasokan air tawar di Palabuhanratu saat ini berasal dari PDAM dengan kondisi debit air yang kadang-kadang tidak cukup terutama pada saat musim kemarau. Pihak PDAM merencanakan menambah kapasitasnya dengan merehab dan mengembangkan instalasi air tawar. Selain itu air bersih berasal dari sumur air tanah yang dikelola oleh penduduk. Seringkali air tawar dari PDAM tidak mengalir, maka pihak PPN Palabuhanratu dengan menggunakan mobil tanki air melakukan pengangkutan air dari sumber air tanah tersebut, sehingga sampai saat ini tidak ada keluhan dari kapal tentang pasokan air tawar ini. Perusahaan pabrik es memasok air tawar dari Sungai Cimandiri yang berada sekitar 2 km dari PPN Palabuhanratu. Sehingga masalah pasokan air untuk keperluan industri perikanan bisa berasal dari air Sungai Cimandiri yang
harus
diolah
terlebih
dahulu.
Dalam
pembangunannya,
PPS
Palabuhanratu harus membuat fasilitas yang berkaitan dengan sanitasi lingkungan, terutatam sistem drainase dan tempat pembuangan sampah.
209
3) Sistem pembuangan limbah, termasuk pembuangan minyak, air berminyak dan alat penangkapan ikan harus diintroduksikan. Pembangunan IPAL merupakan keharusan dalam membangunan PPS Palabuhanratu, sehingga perlu adanya studi AMDAL. Dari hasil studi AMDAL, tentu harus ada tindak lanjutnya seperti perlunya IPAL. Kebersihan kolam harus dijaga. Hal yang harus dilakukan adalah bagaimana menyadarkan pemakai kolam agar menjaga kebersihan kolam, sehingga perlu adanya sosialisasi terus menerus mengenai cara menjaga kebersihan kolam, termasuk keamanan dan ketertiban memakai kolam. Saat ini sudah ada alat pembersih kolam secara manual dan secara mesin.
Secara
manual,
petugas
cukup
menggunakan
skop
untuk
membersihkan kolam pelabuhan, secara mesin, maka petugas menggunakan kapal yang dilengkapi alat penyedot sampah dan minyak di kolam. 4) Pencemaran
dan
kegiatan
perikanan
dan
sumber
eksternal
harus
diminimumkan. Sehingga dalam hal ini perlu penyadaran pengguna pelabuhan tentang pentingnya menjaga pelabuhan agar tidak tercemar dari bahan yang merugikan aktivitas perikanan. Apalagi akhir-akhir ini banyak pedagang dan nelayan menggunakan formalin untuk mengawetkan ikannya, yang sangat membahayakan kesehatan manusia.
Seperti yang telah dijelaskan pada
halaman 181 bahwa pihak PPN Palabuhanratu telah melakukan kerja sama dengan pihak kepolisian untuk mencegah penggunaan pemakaian formalin dan telah melakukan pengujian formalin pada berbagai produk perikanan di laboratorium milik PPN Palabuhanratu pada ikan segar dan ikan olahan. Ternyata terbukti memang ada masyarakat yang menggunakan formalin. Pihak Kepolisian telah menggunakan bukti uji formalin tersebut untuk menangkap para pelaku yang
berakibat berkurangnya penggunaan formalin oleh
masyarakat. 5) Pengaturan untuk menanggulangi efek erosi dan siltasi harus dibuat. Dalam perencanaan PPS Palabuhanratu harus diperhitungkan dampak atau efek terhadap bangunan yang direncanakan terhadap bangunan lain atau pantai yang ada di sekitarnya.
210
7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan (1) PPN Palabuhanratu sangat perlu dikembangkan guna mengoptimalkan fungsinya.
Pengembangan
PPN
Palabuhanratu
diarahkan
untuk
mengembangkan fasilitas dan operasionalnya guna menunjang aktivitas perikanan yang memanfaatkan potensi SDI di WPP 9 Samudera Hindia. Alokasi pemanfaatan SDI di WPP 9 untuk PPN Palabuhanratu sebesar 19.000 ton/tahun, yang terdiri dari potensi kelompok SDI pelagis besar sebesar 6.584 ton/tahun, kelompok SDI pelagis kecil sebesar 9.466 ton/tahun, kelompok SDI demersal sebesar 2.429 ton/tahun dan kelompok SDI lainnya sebesar 521 ton/tahun. Target jumlah kapal yang akan memanfaatkan SDI tersebut untuk PPN Palabuhanratu sebanyak 922 unit yang terdiri dari kapal ukuran <5 GT sebanyak 530 unit, kapal ukuran 5-30 GT sebanyak 238 unit dan kapal ukuran 30-150 GT sebanyak 114 unit. Pemanfaatan kolam pelabuhan sudah melebihi kapasitasnya, yakni kapasitas kolam I sebanyak 125 unit kapal berukuran 5-30 GT dimuati oleh kapal sebanyak 527 unit kapal yang sedang ada di kolam atau melakukan docking atau mengalami kerusakan, kolam II berkapasitas 40 unit kapal berukuran 30-150 GT dimuati oleh 67 unit kapal yang ada di kolam atau melakukan docking atau mengalami kerusakan, sehingga memerlukan perluasan kolam. Sesuai dengan analisis location quoatient (LQ) Kabupaten Sukabumi, sektor perikanan adalah sektor basis yang berpotensi mengembangkan sektor non basis dan perekonomian kawasan. Indeks relatif nilai produksi (I) sebesar 0.6 menunjukkan bahwa pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu perlu dikembangkan. Hasil skalogram menunjukkan bahwa terjadi persaingan antar 6 unit pelabuhan perikanan (PPS Jakarta, PPS Bungus, PPS Cilacap, PPN Sibolga, PPN Palabuhanratu dan PPN Prigi) yang menunjukkan bahwa dari segi fasilitas PPS Jakarta lebih unggul, dari segi SDM PPN Palabuhanratu lebih unggul, dari segi jenis ikan yang didaratkan PPS Cilacap lebih unggul, dari
segi alat penangkapan ikan PPN Palabuhanratu lebih unggul dan dari segi jenis kapal PPS Jakarta lebih unggul. Pengembangan fasilitas dan operasional PPN Palabuhanratu terlebih dahulu adalah mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu yang selanjutnya akan diarahkan untuk meningkatkan kelasnya menjadi pelabuhan perikanan samudera berdasarkan indikasi foreland dan hinterland nya . (2) Pola pengembangan PPN Palabuhanratu untuk mengoptimalkan fungsinya, telah diformulasikan sebagai berikut : diperlukan perluasan kapasitas kolam dari 5 ha menjadi 8,6 ha dengan kedalaman 4 m, panjang dermaga dari 910 meter menjadi 1.452 meter, penambahan luas gedung TPI dari 900 m2 menjadi 1.424 m2, kebutuhan solar dari 10.381 kl/tahun menjadi 37.695 kl/tahun, kebutuhan es dari 18.250 ton/tahun menjadi 38.000 ton/tahun, kebutuhan air bersih dari 38.370 kl/tahun menjadi 86.272 kl/tahun dan penambahan luas areal dari 7,2 ha menjadi 30 ha. Dengan pengembangan fasilitas tersebut, maka diharapkan tercapai target jumlah kapal yang mendarat sebesar 922 unit/tahun, target jumlah produksi ikan sebesar 19.000 ton/tahun yang berasal dari WPP 9 Samudera Hindia. Distribusi ikan di hinterland primer dalam negeri dari ikan segar PPN Pabuhanratu akan meningkat dari 3.194 ton tahun 2005 menjadi 6.163 ton setelah PPN Palabuhanratu dikembangkan, distribusi ikan di hinterland primer luar negeri (ekspor) dari ikan segar PPN Palabuhanratu meningkat dari 204 ton tahun 2005 menjadi 6.650 ton pada saat pengembangan PPN Palabuhanratu. Distribusi ikan di hinterland sekunder dari jenis ikan olahan dari PPN Palabuhanratu sebesar 3.203 ton tahun 2005 menjadi 6.187 ton pada
saat
pengembangan
PPN
Palabuhanratu.
Daerah
distribusi
pengembangan hinterland relatif tetap yakni Jawa Barat dan DKI Jakarta serta negara tujuan ekspor diperkirakan semakin luas sampai ke Uni Eropa. Jumlah konsumen dalam negeri terhadap ikan dari PPN Palabuhanratu sebanyak 281.049 orang tahun 2005 meningkat menjadi 542.619 orang. Halhal tersebut akan berdampak terhadap perubahan pola operasional pelabuhan pada kegiatan tambat labuh, pendaratan ikan, penanganan ikan, pemasaran
212
dan distribusi ikan, penyuluhan dan pengumpulan data statistik, manajemen pelabuhan serta kegiatan pengawasan sumberdaya perikanan. (3) Urutan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu adalah: peningkatan jumlah kapal, peningkatan jumlah ikan, peningkatan pendapatan pelabuhan perikanan, peningkatan jumlah tenaga kerja dan peningkatan PAD. 7.2 Saran (1) Pola pengembangan PPN Palabuhanratu dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk merevisi pola pengembangan PPN Palabuhanratu yang ada. (2) Pola pengembangan pelabuhan perikanan ini dapat dijadikan acuan dalam menyusun
pola
pengembangan
pelabuhan
perikanan,
namun
perlu
memperhatikan kondisi masing-masing komponen triptyque portuaire.
213
DAFTAR PUSTAKA Adi I.S. 1995. Fungsi Tempat Pelelangan Ikan dalam Tata Niaga Ikan di Daerah Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi (tesis). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 145 hlm. Al Barry M.D. 1994. Kamus Moderen Bahasa Indonesia. Yogyakarta: PT. Arkola. hlm 519. Alkadri R. 1997. Analisis Hasil Tangkapan Cakalang (Katsuwonus pelamis,Linn) di Perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat (skripsi). Bogor: Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 46 hlm. Ayodhyoa. 1975. Lokasi dan Fasilitas Pelabuhan Perikanan. Bahan untuk kursus Administrasi Pelabuhan Angkatan ke-2, Direktorat Jenderal Perikanan. Bagian Penangkapan Ikan Fakultas Perikanan. Bogor. Institut Pertanian Bogor : hlm 1. Barani H.M. 2006. Pelaksanaan dan Evaluasi Kebijaksanaan Teknologi Penangkapan Ikan yang Bertanggung Jawab di Indonesia. Di dalam: Prosiding Seminar Perikanan Tangkap ”Menuju Paradigma Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggung Jawab dalam Mendukung Revitalisasi Perikanan. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. hlm 14. Baskoro M.S, Ronny I Wahyu, Arif Effendy. 2004. Migrasi dan Distribusi Ikan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (skripsi). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 154 hlm. [BPS-BAPPEDA] Badan Pusat Statistik-Badan Penelitian dan Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Sukabumi. 2000. Kabupaten Sukabumi dalam Angka. Sukabumi: BPS Kabupaten Sukabumi. 261 hlm. Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Jakarta: Pradnya Paramita. 159 hlm. Charlier J. 1983. Ports et régions Françaises: une Analyse Macro-Géographique. 177 hlm. Chaussade. 1986. La Baie de Bourgneuf: les formes socio-spatiales de la pêche. Di dalam Cahier Nantais No.27: ATP-CNRS. Socio economic du littorale ” Baie de Bourgneuf ”. Institut de Geographic et d’Amenagement Regional. Univ. Nantes. France. 15 hlm.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No.46/MEN/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan. Jakarta: DKP. 10 hlm. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Kebijakan dan Program Pembangunan Kelautan dan Perikanan tahun 2004. Jakarta: DKP. 25 hlm. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.10/MEN/2004 tanggal 24 Februari 2004 tentang Pelabuhan Perikanan. Jakarta: DKP. 10 hlm. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal Perikanan. Jakarta: DKP. 6 hlm. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan. Jakarta: DKP. 15 hlm. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.17/MEN/2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Jakarta: DKP. 30 hlm. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.01/MEN/2007 tanggal 5 Januari 2007 tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi. Jakarta: DKP. 10 hlm. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi. 2001. Laporan Akhir Survey dan Pendataan Potensi Perikanan dan Kelautan Sukabumi. Sukabumi: Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi. 74 hlm. Ditjen Perikanan dan PT. Inconeb. 1981. Standar Rencana Induk dan Pokokpokok Desain Untuk Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan. 168 hlm. Direktorat Jenderal Perikanan. 1994. Petunjuk Teknis Pengelolaan Pelabuhan Perikanan. Jakarta: Departemen Pertanian. hlm 10. Ditjen Perikanan dan PT. Perentjana Djaja. 1999. Perencanaan dan Perancangan Detail Desain Pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu dan Review Master Plan. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan. 157 hlm. Direktorat Jenderal Perikanan. 2000. Rencana Induk Pengelolaan dan Pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 43 hlm.
215
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2002. Pedoman Pengelolaan Pelabuhan Perikanan. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan dan Japan Internatinal Cooperation Agency (JICA).hlm 35. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2003. Profil Pelabuhan Perikanan di Indonesia. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 146 hlm. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2003. Revitalisasi Pelabuhan Perikanan Menunjang Pengembangan Perikanan Nasional. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan.. 76 hlm. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2005. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia tahun 2003. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 104 hlm. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2006. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia tahun 2004. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 130 hlm. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2006. Program Pengembangan Pelabuhan Perikanan tahun 2006. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 20 hlm. Direktorat Prasarana Perikanan Tangkap. 2004. Rencana Pengembangan Prasarana Perikanan Tangkap tahun 2005. Didalam; Rapat Kerja Teknis Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap tahun 2004. Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. hlm 15. (Tidak dipublikasikan) Direktorat Pemasaran Dalam Negeri Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. 2007. Warta Pasar Ikan No. 42 Edisi Februari 2007. hlm 11. Direktorat Standardisasi dan Akreditasi. 2005. Penerapan Standardisasi Mutu di Pelabuhan Perikanan. Di dalam: Temu Koordinasi Pelabuhan Perikanan sebagai Pusat Pengembangan Unit Bisnis Perikanan Terpadu. Batam, 5-8 Desember 2005. Departemen Kelautan dan Perikanan. hlm 20. (Tidak dipublikasikan). Food and Agriculture Organization of The United Nations. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). hlm 15. Fuzi Kizae. 1960. Catalogue. Japan : Fuzi Kizae Co.,Ltd. Hagget P, AD Cliff, A Frey. 1977. Locational Analysis in Human Geography. John Willey and Sons. 605 hlm.
216
Hanafiah A.M. 1983. Tata Niaga Hasil Perikanan. Jakarta: Universitas Indonesia Press. 208 hlm. Herwening E. 2003. Modernisasi Perikanan dan Potensi Konflik (Studi kasus di Kelurahan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi) (tesis). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 158 hlm. Haluan J, Tri Wiji Nurani, Sugeng Hari Wisudo, Eko Sri Wiyono, Mustaruddin. 2004. Manajemen Operasi: Teori dan Praktek pada Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. hal 47-80. Ibrahim RHS. 2001. Strategi Peningkatan Kinerja Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, Sukabumi Jawa Barat (tesis). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 190 hlm. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. 1998. Program Model Pelayanan. Jakarta: Menko Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara. hlm 6. Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.995/kpts/ik.210/9/99 tentang Potensi Sumberdaya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) di Wilayah Perikanan Republik Indonesia). 15 hlm. Keputusan Menteri Pertanian No.392/kpts/IK.120/4/99 tentang Jalur Penangkapan Ikan. 10 hlm. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. KEP.26.I/MEN/2001 tanggal 1 Mei 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan. 20 hlm. Kramadibrata S. 1985. Perencanaan Pelabuhan. Bandung: PT Ganeca Exact. 479 hlm. Le Ry J M. 2005. Cornouaille Fishing Harbours. Di dalam: Sosialisasi Buku Atlas Perikanan Tangkap dan pelabuhan Perikanan di Pulau Jawa tahun 2005. Bogor, 7 Juni 2005. 6 hlm. (Tidak dipublikasikan). Lubis E. 1989. L’ Organisation et L’ amenagement des ports de peche Indonesiens. Comparaison avie l’organisation et l’amenagement des port Francais et Europeens. Disertasi S3. Univ. Nantes. France. 366 hlm. Lubis E. 1998. Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan di Wilayah Perairan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang Efisien dan Efektif. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing V Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 1997/1998. Bogor: Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat Dikti Departemen Pendidikan Kebudayaan dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 107 hlm.
217
Lubis E. 2002. Pengantar Pelabuhan Perikanan. Buku I Bahan Kuliah Program Pascasarjana m.a Pelabuhan Perikanan. Bogor : Laboratorium Pelabuhan Perikanan Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 73 hlm. Lubis E. 2002. Analisis Sistem Pelabuhan Perikanan. Buku I Bahan Kuliah Program Pascasarjana m.a Pelabuhan Perikanan. Bogor: Laboratorium Pelabuhan Perikanan Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 10 hlm. Lubis E. 2003. Analisis Produksi Hasil Tangkapan di Pelabuhan. Bahan Kuliah Pascasarjana m.a Pelabuhan Perikanan. Bogor: Laboratorium Pelabuhan Perikanan Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 10 hlm. Lubis E, Anwar Bey Pane, Yeyen Kurniawan, Jean Chausade, Christine Lamberts, Patrick Pottier. 2005. Atlas Perikanan Tangkap dan Pelabuhan Perikanan di Pulau Jawa, Suatu Pendekatan Geografi Perikanan Tangkap Indonesia.Atlas Bogor: PK2PTM LP-IPB. 120 hlm. Mahyuddin B. 2004. Overseas Training on Community Based Fisheries Resources Management in Philipines. General Santos, 5-8 December 2004. Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 10 hlm. (Tidak dipublikasikan) Mahyuddin B, Lukman Nur Hakim, Passion C.Z, Agus Nugraha A. 2005. Laporan Pengujian Formalin Pada Ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 30 hlm. Mappangara A C. 2005. Penentuan Hierarki Pelabuhan sebagai Konsep Pengembangan Pelabuhan Kawasan Timur Indonesia. Neptunus vol 12 no.1: 11-18. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: Grasindo. 197 hlm. Monintja D.R. 2002. Pengembangan Industri Perikanan Tangkap Provinsi Jawa Barat. Disampaikan dalam Makalah Rapat Kerja Teknis Perikanan Provinsi Jawa Barat tahun 2002. hlm 2. (Tidak dipublikasikan) Muthukude P, James L Novak, Curtis Jolly. 1991. A goal Programming evaluation of fisheries development plans for Sri Lanka’s coastal fishing fleet, 1988-1991. Fisheries Research vol 12: 325-339.
218
Murdiyanto B. 2004. Pelabuhan Perikanan: Fungsi, Fasilitas, Panduan Operasional, Antrian Kapal. Bogor: Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan. Institut Pertanian Bogor. 143 hlm. Murdiyanto B. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Jakarta: Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. 200 hlm. National Fishing Port Association. 1995. Fishing Port of Japan. National Fishing Port Association. hlm 11. Nugroho A. 2004. International Ships and Port Security Facility Sebagai Salah Satu Persyaratan Pelabuhan Perikanan Ekspor. Makalah. Di dalam: Rapat koordinas Evaluasi Pembangunan Pelabuhan Perikanan/PPI; Bogor, 18 Desember 2004. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. 15 hlm. (tidak dipublikasikan). Nurani Tri W, Anita. 2004. Penerapan Manajemen Kualitas pada Proses Produksi Ikan Layur untuk Tujuan Ekspor. Bul PSP Vol.14 No.2: 1-15. Nurani Tri W, Sugeng Hari Husodo. 2007. Bisnis Perikanan Tuna Longline. Institut Pertanian Bogor. 58 hlm. Pane A.B, B. Ibrahim, Dinarwan, E. Lubis, D. Rochnadi, Diniah, I. Mukhsin, S. Amanah. 2005. Tinjauan dan Kajian Perikanan Tangkap di Pulau Jawa: Peran Strategis dan Prospeknya Kedepan dalam Pembangunan Perikanan Indonesia dan Menghadapi Tantangan Nasional dan Global. Di dalam: Makalah Semiloka Internasional ”Revitalisasi Dinamis Peran Pelabuhan Perikanan dan Perikanan Tangkap di Pulau Jawa dalam Pembangunan Perikanan Indonesia; Bogor, 6-7 Juni 2005. hlm 1. (Tidak dipublikasikan) Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 1998. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 1993-1997. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 205 hlm. Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 1999. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 1998. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 116 hlm. Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2000. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 1999. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 118 hlm. Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2001. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2000. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 79 hlm. Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2002. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2001. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 69 hlm.
219
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2003. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2002. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 97 hlm. Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2004. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2003. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 77 hlm Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu.2005. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2004. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 78 hlm. Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu.2006. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2005. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 78 hlm. Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu.2005. Laporan Pemantauan dan Evaluasi CPUE Unit Penangkapan Ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2005. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 41 hlm. (Tidak dipublikasikan). Pemerintah Daerah Tk.II Kabupaten Sukabumi. 1994. Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK) Kawasan Perencanaan Palabuhanratu 1994-2004. Sukabumi: PEMDA Kabupaten Sukabumi. 57 hlm. Pemerintah Daerah Tk. II Kabupaten Sukabumi. 1999. Rencana Detail Tata Ruang Kota Palabuhanratu. Sukabumi: PEMDA Kabupaten Sukabumi. 53 hlm. Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2004. Prioritas Pembangunan Perikanan dan Kelautan tahun 2005 di Provinsi Jawa Barat. Sukabumi: PEMDA Kabupaten Sukabumi. hlm 15. [PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. 2000. Studi Pengembangan Pelabuhan Perikanan di Pantura Jawa Serta Sistem Data dan Informasi. Bogor: PKSPL-IPB. 201 hlm. [PRTK BRKP – LIPI] Pusat Riset Perikanan Tangkap BRKP-DKP - Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. 2005. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia. Jakarta: Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. 66 hlm. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 8 tahun 2000 tentang Pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan. 8 hlm. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 9 tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan. 15 hlm. Peraturan Pemerintah No.62 tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). 25 hlm. Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah no.62 tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). 30 hlm.
220
PT. Tripatra Enginering. 1989. Perencanaan Detail Desain Pembangunan Pelabuhan Perikanan Palabuhanratu. Jakarta: PT. Tripatra Enginering. Hlm 15-50. Rogge, Marine and PT.Inconeb. 1987. Feasibility Study Province West Java, Sub Project: Pelabuhanratu. Jakarta: Directorate General of Fisheries. hlm 6070. Rustiadi E., Sunsun Saefulhakim dan Dyah R.Panuju. 2005. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Diktat Edisi Januari 2006. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. 333 hlm. Rustiadi E., Sunsun Saefulhakim dan Dyah R.Panuju. 2005. Penuntun Praktikum Perencanaan Pengembangan Wilayah. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. hlm 20-50. Rustiadi E. 2001. Pengembangan Wilayah Pesisir Sebagai Kawasan Strategis Pembangunan Daerah. Di dalam: Pelatihan Pengelolaan dan Perencanaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. hlm 1-10. Saaty T.L. 1988. Multicriteria Decision Making The Analytic Hierarchy Process. Planning, Priority Setting, Resource Allocation. USA: University of Pittsburgh. 153 hlm. Subandi W. 2000. Jenis-jenis Ikan Laut Ekonomis Penting di Indonesia. BPPL Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. hlm 1. Soepanto. 2003. Analisis Perilaku Pemasaran Tuna Segar Indonesia di Pasar Dunia Menggunakan Metode Ekonometrika. Buletin PSP vol 12 no.1: hlm 34-59. Sultan M. 2004. Pengembangan Perikanan Tangkap di Kawasan Taman Nasional Laut Taka Bonerate (disertasi). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 174 hlm. Triatmodjo B. 1996. Pelabuhan. Yogyakarta: Beta Offset. hlm 1-41. Undang-undang No.9 tahun 1985 tentang Perikanan. hlm 10. Undang-undang No.31 tahun 2004 tentang Perikanan. hlm 44-46. Vigarie A. 1979. Port de Commerce et Vie Littorale. Hachette. Paris. 392 hlm. Wojowasito S. 1972. Kamus Bahasa Indonesia. Bandung: Shinta Dharma. hlm 150.
221
Lampiran 1 Daftar nama responden Nama responden
Jabatan
Imas Masriah, S.Pi Abdulrahman Ekaputra,SE Tatang Suherman, A.Pi Drs. Eno Sandy Prayitno,MM Edi Ruhendi, SE Hendi Supriyadi, S.Pi M.Trimurti , A.Md Badri Suhendri H. Unang Marzuki Daud Asep Lukman Ujang SB Nasir Ujang Suprihatin Maman Suparman Ceceng Sofyan Suhendar Murtado Sudiarto Ujang Mitra Ir. Hanura Rawida Suhebot
Petugas statistik PPNP Petugas laporan tahunan PPNP Kepala seksi pelayanan teknis PPNP Ka.Sub Bag TU PPNP Petugas Pusat Informasi PPNP Pegawai Bank Danamon PPNP Pegawai PT.AGB Pengurus longline Pengusaha cold storage Pengusaha docking Manajer TPI Nelayan gillnet Pengurus longline Ketua KUD Tokoh nelayan Juragan Pengusaha pindang Bakul Pemilik kapal KUB Tokoh nelayan Petugas statistik Dinas Kelautan Sukabumi Nelayan gillnet Petugas perijinan Dinas Kelautan Kabupaten Sukabumi Petugas Dinas Perikanan Kab. Sukabumi Petugas Dinas Perikanan Kab. Sukabumi Ka. Sub Dit PPI DKP Kepala PPN Tanjung Pandan / mantan staf PPN Palabuhanratu Ka.Sie Monev Pelabuhan DKP Petugas Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan DKP
Ir. Dedah Iwan Priyatna Ir. Nina Nirmala Ir. Arif R. Lamatta Ir. S. Komariah Hendrawan, S.Pi
223
Lampiran 2
Hasil penilaian 29 responden terhadap prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu Kendala
Peningkatan jumlah kapal Peningkatan produksi ikan Perluasan kolam Peningkatan pelelangan ikan Peningkatan pendapatan pelabuhan Peningkatan lapangan kerja Peningkatan PAD Peningkatan investasi Penyempurnaan docking Peningkatan SDM Aksesibilitas Perluasan lahan Peningkatan kapasitas pabrik es Pengadaan SPBB kapal >30 GT Peningkatan industri pengolahan Aplikasi SOP Operasional syahbandar perikanan
Penilaian responden Tinggi Sedang Kurang 28 1 0 27 2 0 18 11 0 22 7 0
Nilai
Rangking
285 280 235 255
1 2 11 7
26
3
0
275
3
25 24 23 16 15 14 19 21 20 13 10
4 5 6 11 10 9 10 8 9 12 15
0 0 0 2 4 6 0 0 0 4 4
270 265 260 221 212 203 240 250 245 202 187
4 5 6 12 13 14 10 8 9 15 16
9
11
9
172
17
Catatan: Tinggi =10, sedang = 5, kurang = 3
224
Lampiran 3 Hasil penilaian 29 responden terhadap solusi pengembangan PPN Palabuhanratu Jenis fasilitas Kolam dan dermaga Perluasan lahan Operasional TPI Pabrik es Pengadaan SPBB Pelayanan prima Alur pelayaran Lampu navigasi Pasar ikan Balai pertemuan nelayan Instalasi air Bak sampah Jalan kompleks pelabuhan
Dikembangkan Tinggi Sedang Kurang 28 1 0 27 2 0 26 3 0 17 10 2 25 4 0 24 4 1 20 8 1 18 9 2 15 14 0 13 12 4 11 15 3 10 15 4 3 21 5
Nilai 285 280 275 226 270 263 243 231 220 202 197 187 150
Ranking 1 2 3 8 4 5 6 7 9 10 11 12 13
Keterangan: Tinggi=10, Sedang=5, Kurang=3
225
Lampiran 4
Bagan struktur organisasi PPN Palabuhanratu ( SK Menteri Kelautan dan Perikanan No : KEP.26.I/ MEN/ 2001 )
KEPALA PELABUHAN Ir. Bustami Mahyuddin, MM
SUB BAG TATA USAHA Drs. Eno Sandy Prayitno, MM
SEKSI TATA PENGUSAHAAN Tatang Suherman, A.Pi
SEKSI TATA PELAYANAN Maulana Raphita, A.Pi
KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL
226
Lampiran 5 Frekuensi masuk kapal/perahu perikanan di PPN Palabuhanratu periode tahun 2004 Per jenis kapal/perahu perikanan per alat tangkap (kali) KM 11 - 20 GT No
KM > 30 GT
Bulan Gill Net
1 Januari 2 Februari 3 Maret 4 April 5 Mei 6 Juni 7 Juli 8 Agustus 9 September 10 Oktober 11 November 12 Desember Jumlah Rata-rata perbln Rata-rata perhari Kondisi Maksimum
Rawai
Gill Net
Rawai
Gill Net
Rawai
Tuna longline
35 13 7 1 14 5 10 5 1 5 2 3 101 8
10 35 45 4
8 5 11 8 3 7 15 14 10 9 4 5 99 8
1 1 3 2 2 9 1
2 7 5 1 2 6 9 3 9 26 10 10 90 8
4 5 3 9 3 4 4 3 2 3 5 45 4
25 26 27 38 25 36 25 23 39 15 14 30 323 27
35
35
15
3
26
9
39
Sumber : PPN Palabuhanratu, 2005.
227 250
KM 21 - 30 GT
Jumlah (kali) 74 56 64 92 45 57 63 49 65 59 33 55 712 59 2 92
Lampiran 6 Frekuensi keluar kapal/perahu perikanan di PPN Palabuhanratu tahun 2004 Jenis alat tangkap KM 11 - 20 GT KM 21 - 30 GT
KM < 10 GT No
Bulan
1 Januari 2 Februari 3 Maret 4 April 5 Mei 6 Juni 7 Juli 8 Agustus 9 September 10 Oktober 11 November 12 Desember Jumlah Rata-rata Kondisi Maksimum Rata-rata per hari
Purse seinne 103 125 161 258 257 96 13 68 38 1.119 93 258
Sumber : PPN Palabuhanratu 2005
228 251
Gill net 13 14 13 16 24 11 239 53 58 17 13 12 483 40 239
Pancing ulur/rawai 78 90 177 169 20 20 24 119 160 90 20 50 1.017 85 177
Gill net 4 3 4 4 14 3 3 4 4 5 3 3 54 5 14
Rawai 2 2 2 3 9 1 3
Gill net 6 6 6 11 2 7 7 24 7 8 4 5 93 8 24
KM > 30 GT
Rawai -
Gill net 5 5 5 5 24 14 30 15 13 22 12 9 159 13 30
Rawai -
Tuna longline 20 24 27 6 12 41 26 42 44 8 16 19 285 24 44 9
Lampiran 7
PDRB sub sektor perikanan atas dasar harga yang berlaku Kabupaten Sukabumi tahun 2000-2004
Tahun
Satuan: dalam juta rupiah PDRB
2000
109.131,36
2001
125.334,53
2002
136.498,00
2003
149.246,91
2004
163.288,89
Rata-rata
136.699,94
Sumber: BPS Kabupaten Sukabumi, 2005.
229
Lampiran 8 PDRB Kabupaten Sukabumi atas dasar harga berlaku menurut sektor periode tahun 2000 – 2004
Sektor Pertanian
2000
2001
2002
2.146.545,50 2.505.020,57 2.834.225,89
Pertambangan & Penggalian
302.355,65
364.876,90
395.700,08
Industri pengolahan
906.851,09 1.093.753,10 1.207.572,03
2003*
Satuan: juta rupiah 2004**
3.140.787,79 3.342.354,25 420.114,59
483.460,47
1.394.413,96 1.505.879,22
Listrik,gas & air minum
48.201,55
62.057,62
70.023,64
101.108,22
130.620,10
Bangunan & Konstruksi
82.265,00
9.501,01
111.766,42
190.162,47
295.613,84
Perdagangan,Hotel&Restoran
586.200,65 1.196.968,35 1.206.409,37
Angkutan & Komunikasi
310.364,94
375.695,31
422.941,85
468.725,80
625.969,01
Keuangan,Persewaan & jasa perusahaan
199.422,37
241.451,01
267.595,37
292.315,26
332.428,98
Jasa-jasa
659.575,15
815.571,79
915.041,07
974.517,57 1.038.911,67
PDRB Rata-rata PDRB = 7.366.411,51 Sumber: BPS Kabupaten Sukabumi, 2005. Keterangan: *) angka diperbaiki **) angka sementara
230 240
1.283.952,45 1.472.768,61
5.241.781,90 6.664.895,66 7.431.275,72 8.266.098,11
9.228.006,15
Lampiran 9
PDRB sub sektor perikanan atas dasar harga yang berlaku Provinsi Jawa - Barat tahun 2000 – 2004 Tahun 2000 2001 2002 2003* 2004** Rata-rata
PDRB 1.744.492,72 2.268.421,02 2.732.966,42 2.718.168,52 3.236.166,49 2.540.043,03
Sumber: Jawa Barat dalam angka, 2005. Keterangan: *) angka diperbaki **) angka sementara
231
Lampiran 10 PDRB Provinsi Jawa Barat atas dasar harga berlaku menurut sektor periode tahun 2000 - 2004 Sektor Pertanian,peternakan,kehutanan dan perikanan Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas dan air Bangunan Perdagangan,hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan,persewaan dan jasa perusahaan Jasa-jasa PDRB Rata-rata PDRB = 231.985.884,60 Sumber: Jawa Barat Dalam Angka, 2005. Keterangan: *) angka diperbaiki **) angka sementara
232 242
2000* 2001* 2002* 2003* 29.135.323,89 30.987.527,27 33.465.518,60 36.358.471,17 18.597.723,64 20.784.668,70 22.170.507,05 16.006.590,04 67.750.802,37 73.633.845,15 79.911.695,26 115.267.941,97 3.700.173,11 4.852.728,33 5.702.977,49 6.273.427,06 5.254.511,71 5.540.795,54 6.389.815,32 7.133.557,43 25.309.138,21 26.925.720,54 30.883.177,81 46.894.010,52 7.089.545,26 8.094.492,51 9.934.813,36 13.453.428,44 5.062.255,96 5.910.959,16 7.077.409,26 8.064.022,99 14.750.974,96 16.395.327,41 18.826.332,77 21.253.558,86 176.650.449,11 193.126.064,61 214.362.246,92 270.705.008,48
2004** 40.162.265,47 20.543.169,26 123.471.213,49 7.948.353,59 8.479.964,12 53.857.801,61 16.125.218,22 8.718.983,06 25.778.685,30 305.085.654,12
Lampiran 11
Produksi dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun 2000 - 2004 Tahun
Produksi (kg)
Nilai Produksi (Rp)
2000
3.515.151,00
3.857.799.500,00
2001
3.504.450,00
4.793.207.839,00
2002
3.875.468,00
15.335.105.315,00
2003
4.625.763,00
18.154.560.568,00
2004
6.404.179,00
31.566.769.254,00
Rata-rata
4.385.002,20
14.741.488.495,20
Sumber: PPN Palabuhanratu, 2005.
Lampiran 12
Produksi perikanan laut Kabupaten Sukabumi periode tahun 20002004 Tahun
Produksi (ton)
Nilai (x Rp.1000)
2000
4.353,00
21.791.572,50
2001
4.825,00
23.951.778,00
2002
6.286,27
31.902.950,00
2003
7.069,86
35.643.248,00
2004
9.120,32
45.601.600,00
Rata-rata
6.330,89
31.778.229,70
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Sukabumi, 2005
233
Lampiran 13 Produksi dan nilai ikan yang dilelang di PPN Palabuhanratu bulan Januari-Oktober tahun 2005
Bulan
Produksi (kg)
Nilai (Rp)
Januari
201.160
663.873.450
Februari
185.173
623.408.510
Maret
188.694
611.318.040
April
177.816
402.000.000
Mei
191.213
546.000.000
Juni
183.519
565.000.000
Juli
112.813
417.000.000
Agustus
170.000
440.000.000
September
58.522
170.000.000
853
103.000.000
Oktober
Sumber : PPN Palabuhanratu, 2005.
234
Lampiran 14 Produksi ikan bulan Januari-Oktober tahun 2005 di PPN Palabuhanratu Yang didaratkan di pelabuhan Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah Rata-rata perbln
Produksi (kg) 251.835 433.331 528.960 866.482 1.359.537 757.949 425.963 623.020 472.700 379.339 119.175 582.239 6.800.530 550.044
Sumber : PPN Palabuhanratu, 2005.
235 238
Nilai (Rp) 1.610.690.627 2.468.397.950 2.841.230.794 3.045.571.683 5.616.690.434 3.410.348.426 2.023.290.828 2.862.882.458 1.895.590.122 1.675.397.899 789.395.477 3.914.448.126 32.153.934.824 2.679.494.569
Dari luar pelabuhan Produksi (kg) 581.710 578.235 552.125 635.232 169.270 294.172 373.030 224.200 354.680 399.060 398.530 409.415 4.969.659 414.138
Nilai (Rp) 3.222.730.000 3.105.958.400 3.138.490.000 3.735.496.000 754.280.000 1.489.830.000 1.821.000.000 1.063.350.000 2.322.560.000 2.490.370.000 2.055.660.000 2.958.392.500 28.158.116.900 2.346.509.742
Jumlah Produksi (kg) 833.545 1.011.566 1.081.085 1.501.714 1.528.807 1.052.121 798.993 847.220 827.380 778.399 517.705 991.654 11.770.189 964.182
Nilai (Rp) 4.833.420.627 5.574.356.350 5.979.720.794 6.781.067.683 6.370.970.434 4.900.178.426 3.844.290.828 3.926.232.458 4.218.150.122 4.165.767.899 2.845.055.477 6.872.840.626 60.312.051.724 5.026.004.310
Lampiran 15 Jumlah ikan yang didaratkan di dermaga PPN Palabuhanratu periode tahun 2001-2005
Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 Jumlah Rata-rata
Satuan: ton Jumlah 1.767 2.890 4.105 3.368 6.601 18.731 3.746
Sumber : Statistik PPN Palabuhanratu 2006.
236
237 252
Lampiran 16 Hasil perhitungan indeks fasilitas 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia
No
1 2 3 4 5 6
No
1 2 3 4 5 6
Nama Pelabuhan Perikanan (PP)
PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi Jumlah Jumlah PP yang terisi Jumlah PP Bobot Kelangkaan Bobot Fasilitas
Nama Pelabuhan Perikanan (PP)
PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi Bobot Fasilitas
No Index B PP Samudera Jakarta 1 2 PP Samudera Bungus 3 PP Samudera Cilacap 4 PP Nusantara Sibolga 5 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 6 PP Nusantara Pelabuhan Prigi
No 1 2 3 4 5 6
Index A PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi
Areal Pelabuhan (Ha)
Kolam Pelabuhan (Ha)
Dermaga (m)
Jalan Komplek (m)
Revetment (m)
Trotoar (m)
Tangki BBM Listrik dan Kantor Areal Parkir dan Instalasi Instalasi Administrasi (m2) (m3) (KVA) (m2)
TPI (m2)
Pompa Air/ Hydrant Drainase (m) (unit)
Pos Satpam/ SSB (unit) Jaga (m2)
Pagar (m)
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0.2083
0.2085
0.2086
0.2087
0.2088
0.2090
0.2091
0.2092
0.2094
0.2095
0.2097
0.2098
0.2100
0.2102
0.2103
0.2105
6
Areal Pelabuhan (Ha)
Kolam Pelabuhan (Ha)
Dermaga (m)
Jalan Komplek (m)
Revetment (m)
Trotoar (m)
Tangki BBM Listrik dan Kantor Areal Parkir dan Instalasi Instalasi Administrasi (m2) (m3) (KVA) (m2)
TPI (m2)
Pos Satpam/ SSB (unit) Jaga (m2)
Pagar (m)
Pompa Air/ Hydrant Drainase (m) (unit)
75
74
73
72
71
70
69
68
67
66
65
64
63
62
61
60
74
73
72
71
70
69
68
67
66
65
64
63
62
61
60
59
73
72
71
70
69
68
67
66
65
64
63
62
61
60
59
58
72
71
70
69
68
67
66
65
64
63
62
61
60
59
58
57
71
70
69
68
67
66
65
64
63
62
61
60
59
58
57
56
70
69
68
67
66
65
64
63
62
61
60
59
58
57
56
55
435
429
423
417
411
405
399
393
387
381
375
369
363
357
351
345
0.2083
0.2085
0.2086
0.2087
0.2088
0.2090
0.2091
0.2092
0.2094
0.2095
0.2097
0.2098
0.2100
0.2102
0.2103
0.2105
0.2083
0.2085
0.2086
0.2087
0.2088
0.2090
0.2091
0.2092
0.2094
0.2095
0.2097
0.2098
0.2100
0.2102
0.2103
0.2105
0.2083
0.2085
0.2086
0.2087
0.2088
0.2090
0.2091
0.2092
0.2094
0.2095
0.2097
0.2098
0.2100
0.2102
0.2103
0.2105
0.2083
0.2085
0.2086
0.2087
0.2088
0.2090
0.2091
0.2092
0.2094
0.2095
0.2097
0.2098
0.2100
0.2102
0.2103
0.2105
0.2083
0.2085
0.2086
0.2087
0.2088
0.2090
0.2091
0.2092
0.2094
0.2095
0.2097
0.2098
0.2100
0.2102
0.2103
0.2105
0.2083
0.2085
0.2086
0.2087
0.2088
0.2090
0.2091
0.2092
0.2094
0.2095
0.2097
0.2098
0.2100
0.2102
0.2103
0.2105
0.2083
0.2085
0.2086
0.2087
0.2088
0.2090
0.2091
0.2092
0.2094
0.2095
0.2097
0.2098
0.2100
0.2102
0.2103
0.2105
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Rumah Jaga (m2)
1 1 1 1 1 1 6 6 1 0.2107
Rumah Jaga (m2)
59 58 57 56 55 54 339 0.2107
0.2107 0.2107 0.2107 0.2107 0.2107 0.2107
1 1 1 1 1 1
Lanjutan lampiran 16
No
1 2 3 4 5 6
No
1 2 3 4 5 6
Nama Pelabuhan Perikanan (PP)
PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi Jumlah Jumlah PP yang terisi Jumlah PP Bobot Kelangkaan Bobot Fasilitas
Nama Pelabuhan Perikanan (PP)
PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi Bobot Fasilitas
No Index B PP Samudera Jakarta 1 2 PP Samudera Bungus 3 PP Samudera Cilacap 4 PP Nusantara Sibolga 5 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 6 PP Nusantara Pelabuhan Prigi
No 1 2 3 4 5 6
Index A PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi
Garasi (m2)
Rambu Navigasi (unit)
Tangki Air Genset dan dan Instalasi Instalasi (m3) (KVA)
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
6
6
6
6
1 0.2109
Garasi (m2)
Gedung Pertemuan Nelayan (m2)
Gedung Pengepakan (m2)
MCK (m2)
Mess Operator (unit)
Breakwater (m)
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
5
5
5
5
5
5
1
1.2
1.2
0.2111
0.2113
0.2115
Rambu Navigasi (unit)
Tangki Air Genset dan dan Instalasi Instalasi (m3) (KVA)
1
Gudang Tempat Penyimpana Pengolahan n Keranjang Ikan (m2) (m2)
Gapura (unit)
1
1
Rumah Genset (m2)
Slipway (GT/unit)
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1 4
1 1
1
1
1
1
1
1
1
1
5
5
5
5
5
5
4
4
4
4
5
5
5
5
5
5
4
4
4
4
4
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
0.2118
0.2120
0.2122
0.2125
0.2128
0.2130
0.2133
0.2136
0.2140
0.2143
0.2146
0.2150
Gedung Pengepakan (m2)
MCK (m2)
1
Bengkel (m2)
1
Gedung Pertemuan Nelayan (m2)
1
Pabrik Es (ton/hari)
Gudang Tempat Penyimpana Pengolahan n Keranjang Ikan (m2) (m2)
Gapura (unit)
Mess Operator (unit)
Breakwater (m)
Pabrik Es (ton/hari)
Bengkel (m2)
Rumah Genset (m2)
Slipway (GT/unit)
58
57
56
55
54
53
52
51
50
49
48
47
46
45
44
43
57
56
55
54
53
52
51
50
49
48
47
46
45
44
43
42
56
55
54
53
52
51
50
49
48
47
46
45
44
43
42
41
55
54
53
52
51
50
49
48
47
46
45
44
43
42
41
40
54
53
52
51
50
49
48
47
46
45
44
43
42
41
40
39
53
52
51
50
49
48
47
46
45
44
43
42
41
40
39
38
333
327
321
315
309
303
297
291
285
279
273
267
261
255
249
243
0.2109
0.2111
0.2113
0.2115
0.2118
0.2120
0.2122
0.2125
0.2128
0.2130
0.2133
0.2136
0.2140
0.2143
0.2146
0.2150
0.2109
0.2111
0.2113
0.2115
0.2118
0.2120
0.2122
0.2125
0.2128
0.2130
0.0000
0.2136
0.2140
0.2143
0.2146
0.2150
0.2109
0.2111
0.2113
0.2115
0.0000
0.2120
0.2122
0.2125
0.2128
0.2130
0.2133
0.0000
0.2140
0.2143
0.2146
0.2150
0.2109
0.2111
0.2113
0.2115
0.2118
0.2120
0.2122
0.2125
0.2128
0.2130
0.2133
0.2136
0.0000
0.2143
0.2146
0.2150
0.2109
0.2111
0.2113
0.0000
0.2118
0.2120
0.0000
0.2125
0.0000
0.2130
0.2133
0.0000
0.2140
0.0000
0.0000
0.0000
0.2109
0.2111
0.2113
0.2115
0.2118
0.2120
0.2122
0.0000
0.2128
0.0000
0.2133
0.2136
0.0000
0.2143
0.2146
0.2150
0.2109
0.2111
0.0000
0.2115
0.2118
0.0000
0.2122
0.2125
0.2128
0.2130
0.2133
0.2136
0.2140
0.0000
0.0000
0.0000
1
1
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
0
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1
1
1.2
1.2
0
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
0
1.5
1.5
1.5
1.5
1
1
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.5
0
1.5
1.5
1.5
1
1
1.2
0
1.2
1.2
0
1.2
0
1.2
1.2
0
1.5
0
0
0
1
1
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
0
1.2
0
1.2
1.5
0
1.5
1.5
1.5
1
1
0
1.2
1.2
0
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.5
1.5
0
0
0
Rumah Pompa Air/ Hydrant (m2) 1 1 1 1 4 4 1.5 0.2154
Rumah Pompa Air/ Hydrant (m2) 42 41 40 39 38 37 237 0.2154
0.2154 0.2154 0.2154 0.0000 0.2154 0.0000
1.5 1.5 1.5 0 1.5 0
Lanjutan lampiran 16
No
1 2 3 4 5 6
No
1 2 3 4 5 6
Nama Pelabuhan Perikanan (PP)
PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi Jumlah Jumlah PP yang terisi Jumlah PP Bobot Kelangkaan Bobot Fasilitas
Nama Pelabuhan Perikanan (PP)
PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi Bobot Fasilitas
No Index B PP Samudera Jakarta 1 2 PP Samudera Bungus 3 PP Samudera Cilacap 4 PP Nusantara Sibolga 5 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 6 PP Nusantara Pelabuhan Prigi
No 1 2 3 4 5 6
Index A PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi
Tower (unit)
1
Area Dock (m2)
Docking (unit)
Dump Truck (unit)
1
1
1
1
1
1
1 1
Lahan Fish Room Kawasan (ton/hari) Industri (Ha) 1
1
1
1
1
1
1
1
1 1
Rumah Kepala Pelabuhan (m2)
Masjid/ Musholla (m2)
Kantor Syahbandar (m2)
Groin (m)
Cold Storage (unit)
Fork Lift (unit)
1 1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Ruang Generator (m2)
1
Rumah Kantor Pompa BBM Samsat (m2) (m2) 1
1
1
1 1
1
1 1
1
1
1
1
4
4
4
4
4
4
4
4
3
3
3
4
4
4
4
4
4
4
4
3
3
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
2
0.2158
0.2162
0.2167
0.2171
0.2176
0.2182
0.2188
0.2194
0.2200
1
Area Dock (m2)
Docking (unit)
Dump Truck (unit)
Lahan Fish Room Kawasan (ton/hari) Industri (Ha)
Rumah Kepala Pelabuhan (m2)
Masjid/ Musholla (m2)
1
1
1 1
Tower (unit)
Winch House (m2)
1
1
1
1
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
2
2
2
0.2207
0.2214
0.2222
0.2231
0.2240
0.2250
0.2261
1
Kantor Syahbandar (m2)
Groin (m)
Cold Storage (unit)
Fork Lift (unit)
Winch House (m2)
Ruang Generator (m2)
Rumah Kantor Pompa BBM Samsat (m2) (m2)
41
40
39
38
37
36
35
34
33
32
31
30
29
28
27
26
40
39
38
37
36
35
34
33
32
31
30
29
28
27
26
25
39
38
37
36
35
34
33
32
31
30
29
28
27
26
25
24
38
37
36
35
34
33
32
31
30
29
28
27
26
25
24
23
37
36
35
34
33
32
31
30
29
28
27
26
25
24
23
22
36
35
34
33
32
31
30
29
28
27
26
25
24
23
22
21
231
225
219
213
207
201
195
189
183
177
171
165
159
153
147
141
0.2158
0.2162
0.2167
0.2171
0.2176
0.2182
0.2188
0.2194
0.2200
0.2207
0.2214
0.2222
0.2231
0.2240
0.2250
0.2261
0.2158
0.2162
0.2167
0.2171
0.2176
0.2182
0.2188
0.0000
0.0000
0.2207
0.2214
0.2222
0.2231
0.2240
0.2250
0.2261
0.0000
0.2162
0.2167
0.0000
0.2176
0.2182
0.2188
0.2194
0.0000
0.0000
0.2214
0.2222
0.0000
0.2240
0.0000
0.0000
0.0000
0.2162
0.2167
0.2171
0.2176
0.2182
0.0000
0.2194
0.2200
0.2207
0.0000
0.0000
0.2231
0.0000
0.2250
0.0000
0.2158
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2188
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2261
0.2158
0.2162
0.2167
0.2171
0.0000
0.0000
0.2188
0.2194
0.2200
0.2207
0.2214
0.0000
0.2231
0.2240
0.2250
0.2261
0.2158
0.0000
0.0000
0.2171
0.2176
0.2182
0.0000
0.2194
0.2200
0.0000
0.0000
0.2222
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
0
0
2
2
2
2
2
2
2
0
1.5
1.5
0
1.5
1.5
1.5
1.5
0
0
2
2
0
2
0
0
0
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
0
1.5
2
2
0
0
2
0
2
0
1.5
0
0
0
0
0
1.5
0
0
0
0
0
0
0
0
2
1.5
1.5
1.5
1.5
0
0
1.5
1.5
2
2
2
0
2
2
2
2
1.5
0
0
1.5
1.5
1.5
0
1.5
2
0
0
2
0
0
0
0
Gedung Penyaluran BBM (m2) 1
1 1 3 3 2 0.2273
Gedung Penyaluran BBM (m2) 25 24 23 22 21 20 135 0.2273
0.2273 0.0000 0.0000 0.2273 0.2273 0.0000
2 0 0 2 2 0
Lanjutan lampiran 16
No
1 2 3 4 5 6
No
1 2 3 4 5 6
Nama Pelabuhan Perikanan (PP)
PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi Jumlah Jumlah PP yang terisi Jumlah PP Bobot Kelangkaan Bobot Fasilitas
Nama Pelabuhan Perikanan (PP)
PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi Bobot Fasilitas
No Index B PP Samudera Jakarta 1 2 PP Samudera Bungus 3 PP Samudera Cilacap 4 PP Nusantara Sibolga 5 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 6 PP Nusantara Pelabuhan Prigi
No 1 2 3 4 5 6
Index A PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi
Truck Folder Guest House Toko BAP (m2) (m2) Crane (unit)
1
1
Zona Pengemban gan (Ha)
1
Lampu Tanda Pelabuhan (unit)
1
1 1
1
1
Pasar Ikan (m2)
Jetty (m2)
Shelter Nelayan (m2)
1
Gedung Peralatan (m2) 1
Fasilitas Olah Raga (unit)
Reservoir (m3)
1
Vessel Lift House (m2)
Laboratoriu m BMHP (m2)
1
1
1
1
1 1
1
1
3
3
3
3
3
2
2
2
3
3
3
3
3
2
2
2
2
2
2
2
2
3
3
0.2286
0.2300
0.2316
0.2333
0.2353
0.2375
0.2400
Truck Folder Guest House Toko BAP Crane (unit) (m2) (m2)
1
Zona Pengemban gan (Ha)
Lampu Tanda Pelabuhan (unit)
IPAL (unit)
1 1
1 1
Gedung Utility (m2)
1
1 1
Vessel Lift (GT)
1
1
Pasar Ikan (m2)
Jetty (m2)
1
1
2
2
2
1
1
1
1
1
2
2
2
1
1
1
1
1
3
3
3
3
6
6
6
6
6
0.2429
0.2462
0.2500
0.2545
0.2600
0.2667
0.2750
0.2857
0.3000
Vessel Lift House (m2)
Laboratoriu m BMHP (m2)
Shelter Nelayan (m2)
Gedung Peralatan (m2)
Fasilitas Olah Raga (unit)
Reservoir (m3)
1
Vessel Lift (GT)
Gedung Utility (m2)
IPAL (unit)
24
23
22
21
20
19
18
17
16
15
14
13
12
11
10
9
23
22
21
20
19
18
17
16
15
14
13
12
11
10
9
8
22
21
20
19
18
17
16
15
14
13
12
11
10
9
8
7
21
20
19
18
17
16
15
14
13
12
11
10
9
8
7
6
20
19
18
17
16
15
14
13
12
11
10
9
8
7
6
5
19
18
17
16
15
14
13
12
11
10
9
8
7
6
5
4
129
123
117
111
105
99
93
87
81
75
69
63
57
51
45
39
0.2286
0.2300
0.2316
0.2333
0.2353
0.2375
0.2400
0.2429
0.2462
0.2500
0.2545
0.2600
0.2667
0.2750
0.2857
0.3000
0.2286
0.2300
0.2316
0.0000
0.2353
0.2375
0.2400
0.2429
0.2462
0.0000
0.2545
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.3000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2333
0.0000
0.2375
0.0000
0.0000
0.0000
0.2500
0.0000
0.2600
0.2667
0.0000
0.0000
0.0000
0.2286
0.0000
0.0000
0.2333
0.2353
0.0000
0.0000
0.2429
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2462
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2857
0.0000
0.2286
0.2300
0.2316
0.0000
0.2353
0.0000
0.2400
0.0000
0.0000
0.2500
0.2545
0.0000
0.0000
0.2750
0.0000
0.0000
0.0000
0.2300
0.2316
0.2333
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
2
2
2
0
2
3
3
3
3
0
3
0
0
0
0
6
0
0
0
2
0
3
0
0
0
3
0
6
6
0
0
0
2
0
0
2
2
0
0
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
6
0
2
2
2
0
2
0
3
0
0
3
3
0
0
6
0
0
0
2
2
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Tempat Penjemuran Jaring (m2)
1 1 1 6 0.3200
Tempat Penjemuran Jaring (m2) 8 7 6 5 4 3 33 0.3200
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.3200 0.0000
0 0 0 0 6 0
Lanjutan lampiran 16
No
1 2 3 4 5 6
No
1 2 3 4 5 6
Nama Pelabuhan Perikanan (PP)
PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi Jumlah Jumlah PP yang terisi Jumlah PP Bobot Kelangkaan Bobot Fasilitas
Nama Pelabuhan Perikanan (PP)
PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi Bobot Fasilitas
No Index B PP Samudera Jakarta 1 2 PP Samudera Bungus 3 PP Samudera Cilacap 4 PP Nusantara Sibolga 5 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 6 PP Nusantara Pelabuhan Prigi
No 1 2 3 4 5 6
Index A PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi
Sumur Artesis (buah)
Mess Nelayan (unit)
1
1 1
1
1
1
6
6
0.3500
0.4000
Sumur Artesis (buah)
Mess Nelayan (unit)
7
6
6
5
5
4
4
3
3
2
2
1
27
21
0.3500
0.4000
0.0000
0.0000
0.0000
0.4000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.3500
0.0000
0
0
0
6
0
0
0
0
0
0
6
0
Lanjutan lampiran 16 Hasil perhitungan nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan fasilitas. Pelabuhan Perikanan (PP) PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Palabuhanratu PP Nusantara Prigi
Jumlah jenis fasilitas 58 47 47 32 54 39
Index A 93.1 77.1 63.3 43.7 88.9 53.9
Index B 12.723 10.376 10.100 6.890 11.897 8.472
Keterangan : Index A = bobot kelangkaan Index B = bobot fasilitas
242
Lampiran 17 Perhitungan persaingan jenis pendidikan SDM berdasarkan strata pada 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia Pendidikan No
1 2 3 4 5 6
Nama Pelabuhan Perikanan (PP)
S2
PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi
S1
D4
D3
SLTA
SLTP
SD
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1 1
1
1
1
1
1
1
1
1
1 = ada 0 = tdk ada Pendidikan No
1 2 3 4 5 6
Nama Pelabuhan Perikanan (PP) PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi Jumlah Jumlah PP yang terisi Jumlah PP Bobot Kelangkaan Bobot Pendidikan
SD
SLTP 1 1
SLTA
D3
D4
S1
S2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1 1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
4 4 6 1.5 0.275
5 5
6 6
6 5
2 2
6 6
4 4
1.2 0.2857
1 0.3
1.2 0.32
3 0.35
1 0.4
1.5 0.5
1
Pendidikan No
1 2 3 4 5 6
Nama Pelabuhan Perikanan (PP) PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi
SD
SLTP
SLTA
D3
D4
S1
S2
11
10
9
8
7
6
5
10
9
8
7
6
5
4
9
8
7
6
5
4
3
8
7
6
5
4
3
2
7
6
5
4
3
2
1
6
5
4
3
2
1
0
51 0.2750
45 0.2857
39 0.3000
33 0.3200
27 0.3500
21 0.4000
15 0.5000
PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi
0.275 0 0.275 0 0.275 0.275
0.2857 0.2857 0.2857 0 0.2857 0.2857
0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3
0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32
0 0 0 0.35 0.35 0
0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4
0.5 0.5 0.5 0 0.5 0
Index A PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi
1.5 0 1.5 0 1.5 1.5
1.2 1.2 1.2 0 1.2 1.2
1 1 1 1 1 1
1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2
0 0 0 3 3 0
1 1 1 1 1 1
1.5 1.5 1.5 0 1.5 0
Bobot Pendidikan
Index B
Lanjutan lampiran 17 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan pendidikan sumberdaya manusia pengelola pelabuhan Pelabuhan Perikanan PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Palabuhanratu PP Nusantara Prigi
Jumlah jenis pendidikan SDM 6 5 6 4 7 5
Index A
Index B
7,4 5,9 7,4 6,2 10,4 5,9
2,1 1,8 2,1 1,4 2,4 1,6
Keterangan : Index A = bobot kelangkaan Index B = bobot SDM
244
Lampiran 18 Perhitungan indeks jenis ikan ekonomis penting di 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9
No
1 2 3 4 5 6
No
1 2 3 4 5 6
Nama Pelabuhan Perikanan PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi Jumlah Jumlah PP yang terisi Jumlah PP Bobot Kelangkaan Bobot jenis ikan
Nama Pelabuhan Perikanan PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi Bobot jenis ikan
No 1 2 3 4 5 6
No 1 2 3 4 5 6
Teri
Remang
Cendro
Deles
Julung-julung
Sunglir
Eteman/koyo
Talangtalang
Tembang
Tetengkek
Swangi
Pedangpedang
Selar
1 1
1
1
1
1 1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
3
2
2
2
2
2
2
2
1
1
1
1
1
3
2
2
2
2
2
2
2
6 6
6
6
6
6
2
3
3
3
3
3
3
3
0.2100
0.2102
0.2103
0.2105
0.2107
0.2109
0.2111
0.2113
0.2115
0.2118
0.2120
0.2122
0.2125
Teri
Remang
Cendro
Deles
Julung-julung
Sunglir
Eteman/koyo
Tetengkek
Talangtalang
Tembang
Swangi
Pedangpedang
Selar
63
62
61
60
59
58
57
56
55
54
53
52
51
62
61
60
59
58
57
56
55
54
53
52
51
50
61
60
59
58
57
56
55
54
53
52
51
50
49
60
59
58
57
56
55
54
53
52
51
50
49
48
59
58
57
56
55
54
53
52
51
50
49
48
47
58
57
56
55
54
53
52
51
50
49
48
47
46
363
357
351
345
339
333
327
321
315
309
303
297
291
0.2100
0.2102
0.2103
0.2105
0.2107
0.2109
0.2111
0.2113
0.2115
0.2118
0.2120
0.2122
0.2125
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2118
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2102
0.0000
0.0000
0.0000
0.2109
0.2111
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2125
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2109
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2100
0.0000
0.2103
0.2105
0.2107
0.2109
0.2111
0.2113
0.2115
0.2118
0.2120
0.2122
0.2125
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2113
0.2115
0.0000
0.2120
0.2122
0.0000
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6
0
0
0
2
3
0
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
6
0
6
6
6
2
3
3
3
3
3
3
3
0
0
0
0
0
0
0
3
3
0
3
3
0
Index B PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi
Index A PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi
Lanjutan lampiran 18
Layang
Sardin
Bawal
Alu-alu 1
Manyung 1
1
Cucut 1
1
Kembung 1
1
1
1
1
2
2
2
2
1
Tongkol
1
1
1
1 1
Pisangpisang
Layur
Sebelah
Cakalang
Beronang
Jangilus
1
1
1
1
1 1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Kerapu
1
1
1
1
Kuwe
Kakap
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
3
4
5
4
4
4
1
6
2
6
1
2
3
4
5
4
4
4
1
6
2
6
1
2
1
1
1
1
3
5
4
3
5
4
3
3
2
1.5
1.2
1.5
1.5
1.5
6
1
3
1
6
3
2
1.2
1.5
0.2128
0.2130
0.2133
0.2136
0.2140
0.2143
0.2146
0.2150
0.2154
0.2158
0.2162
0.2167
0.2171
0.2176
0.2182
0.2188
0.2194
Layang
Sardin
Bawal
Alu-alu
Manyung
Cucut
Kembung
Pisangpisang
Layur
Tongkol
Sebelah
Cakalang
Beronang
Kerapu
Jangilus
Kuwe
Kakap
50
49
48
47
46
45
44
43
42
41
40
39
38
37
36
35
34
49
48
47
46
45
44
43
42
41
40
39
38
37
36
35
34
33
48
47
46
45
44
43
42
41
40
39
38
37
36
35
34
33
32
47
46
45
44
43
42
41
40
39
38
37
36
35
34
33
32
31
46
45
44
43
42
41
40
39
38
37
36
35
34
33
32
31
30
45
44
43
42
41
40
39
38
37
36
35
34
33
32
31
30
29
285
279
273
267
261
255
249
243
237
231
225
219
213
207
201
195
189
0.2128
0.2130
0.2133
0.2136
0.2140
0.2143
0.2146
0.2150
0.2154
0.2158
0.2162
0.2167
0.2171
0.2176
0.2182
0.2188
0.2194
0.0000
0.0000
0.2133
0.2136
0.2140
0.2143
0.2146
0.0000
0.0000
0.2158
0.0000
0.2167
0.0000
0.0000
0.2182
0.2188
0.2194
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2158
0.0000
0.2167
0.0000
0.2176
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2133
0.2136
0.2140
0.2143
0.2146
0.2150
0.0000
0.2158
0.2162
0.2167
0.0000
0.2176
0.2182
0.2188
0.2194
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2140
0.0000
0.0000
0.2150
0.0000
0.2158
0.2162
0.2167
0.0000
0.0000
0.0000
0.2188
0.0000
0.2128
0.2130
0.2133
0.2136
0.2140
0.2143
0.2146
0.2150
0.2154
0.2158
0.0000
0.2167
0.2171
0.0000
0.2182
0.2188
0.2194
0.2128
0.2130
0.0000
0.2136
0.2140
0.2143
0.2146
0.2150
0.0000
0.2158
0.0000
0.2167
0.0000
0.0000
0.0000
0.2188
0.2194
0
0
2
1.5
1.2
1.5
1.5
0
0
1
0
1
0
0
2
1.2
1.5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
3
0
0
0
0
0
2
1.5
1.2
1.5
1.5
1.5
0
1
3
1
0
3
2
1.2
1.5
0
0
0
0
1.2
0
0
1.5
0
1
3
1
0
0
0
1.2
0
3
3
2
1.5
1.2
1.5
1.5
1.5
6
1
0
1
6
0
2
1.2
1.5
3
3
0
1.5
1.2
1.5
1.5
1.5
0
1
0
1
0
0
0
1.2
1.5
Lanjutan lampiran 18
Cumi-cumi
Layaran
Tenggiri 1
1
Udang jerbung
Teripang
Udang dogol
Udang kerosok
Udang barat
Udang tiger
Setuhuk
Tuna
1
1
Jumlah Jenis ikan
1 1
1
Lobster
1
1
1
1
1
1
1
1 1
1
1
1
28
73.4
6.1
9
13.4
2.0
34
94.4
7.3
18
33.9
3.9
1 1
4
4
4
1
2
1
1
1
1
2
6
3
4
4
4
1
2
1
1
1
1
2
6
3
1
1
1
1.5
1.5
1.5
6
3
6
6
6
6
3
1
2
0.2200
0.2207
0.2214
0.2222
0.2231
0.2240
0.2250
0.2261
0.2273
0.2286
0.2300
0.2316
Tenggiri
Udang jerbung
Teripang
Udang dogol
Udang kerosok
Udang barat
Udang tiger
Tuna
Setuhuk
1.3
6
1
Layaran
3.3
14.0
1
1
Cumi-cumi
Index B
22.9
1 1
1
Index A
15
Lobster
33
32
31
30
29
28
27
26
25
24
23
22
32
31
30
29
28
27
26
25
24
23
22
21
31
30
29
28
27
26
25
24
23
22
21
20
30
29
28
27
26
25
24
23
22
21
20
19
29
28
27
26
25
24
23
22
21
20
19
18
28
27
26
25
24
23
22
21
20
19
18
17
183
177
171
165
159
153
147
141
135
129
123
117
0.2200
0.2207
0.2214
0.2222
0.2231
0.2240
0.2250
0.2261
0.2273
0.2286
0.2300
0.2316
0.2200
0.2207
0.2214
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2300
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2222
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2300
0.2316
0.2200
0.2207
0.2214
0.0000
0.2231
0.2240
0.2250
0.2261
0.2273
0.2286
0.2300
0.2316
0.2200
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2300
0.0000
0.2200
0.2207
0.2214
0.0000
0.2231
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2286
0.2300
0.2316
0.0000
0.2207
0.2214
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2300
0.0000
1.5
1.5
1.5
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
6
0
0
0
0
0
0
1
2
1.5
1.5
1.5
0
3
6
6
6
6
3
1
2
1.5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1.5
1.5
1.5
0
3
0
0
0
0
3
1
2
0
1.5
1.5
0
0
0
0
0
0
0
1
0
Lanjutan lampiran 18 Perhitungan indeks jenis ikan ekonomis penting 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9
Pelabuhan Perikanan (PP) PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi
Jumlah jenis ikan 15 6 28 9 34 18
Index A 22,9 14 73,4 13,4 94,4 33,9
Index B 3,3 1,3 6,1 2,0 7,3 3,9
248
Nama Pelabuhan Perikanan (PP)
Jumlah Jenis Alat tangkap
PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi
Index A
Index B
7
24.6
1.943
3
3.6
0.706
3
5.4
0.723
5
10.4
1.226
11
32.6
2.760
7
19.4
1.864
Index A (bobot kelangkaan) Index B(bobot fasilitas)
Keterangan:
1 = Ada Fasilitas 0 = Tidak Ada Fasilitas
Lanjutan lampiran 19 Perhitungan indeks jenis alat tangkap 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia
Pelabuhan Perikanan (PP) PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi
Jumlah jenis alat tangkap 7 3 3 5 11 7
Index A 24,6 3,6 5,4 10,4 32,6 19,4
Index B 1,943 0,706 0,723 1,226 2,760 1,864
251
Lampiran 20 Perhitungan indeks jenis kapal 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9
No
1 2 3 4 5 6
No
1 2 3 4 5 6
Nama Pelabuhan Perikanan (PP) PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi Jumlah Jumlah PP yang terisi Jumlah PP Bobot Kelangkaan Bobot Fasilitas
Nama Pelabuhan Perikanan (PP) PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi Bobot Fasilitas
No Index B PP Samudera Jakarta 1 2 PP Samudera Bungus 3 PP Samudera Cilacap 4 PP Nusantara Sibolga 5 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 6 PP Nusantara Pelabuhan Prigi
No 1 2 3 4 5 6
Index A PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi
5-10 GT
10-20 GT
20-30 GT
30-50 GT
50-100 GT
100-200 GT
<5 GT
200-300 GT
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
6
6
6
5
5
3
2
1
1
6
6
6
5
5
3
2
1
6 1
1
1
1.2
1.2
2
3
6
0.2600
0.2667
0.2750
0.2857
0.3000
0.3200
0.3500
0.4000
5-10 GT
10-20 GT
20-30 GT
30-50 GT
50-100 GT
100-200 GT
<5 GT
200-300 GT
13
12
11
10
9
8
7
6
12
11
10
9
8
7
6
5
11
10
9
8
7
6
5
4
10
9
8
7
6
5
4
3
9
8
7
6
5
4
3
2
8
7
6
5
4
3
2
1
63
57
51
45
39
33
27
21
0.2600
0.2667
0.2750
0.2857
0.3000
0.3200
0.3500
0.4000
0.2600
0.2667
0.2750
0.2857
0.3000
0.3200
0.0000
0.4000
0.2600
0.2667
0.2750
0.2857
0.3000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2600
0.2667
0.2750
0.2857
0.3000
0.3200
0.0000
0.0000
0.2600
0.2667
0.2750
0.2857
0.3000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2600
0.2667
0.2750
0.2857
0.3000
0.3200
0.3500
0.0000
0.2600
0.2667
0.2750
0.0000
0.0000
0.0000
0.3500
0.0000
1
1
1
1.2
1.2
2
0
6
1
1
1
1.2
1.2
0
0
0
1
1
1
1.2
1.2
2
0
0
1
1
1
1.2
1.2
0
0
0
1
1
1
1.2
1.2
2
3
0
1
1
1
0
0
0
3
0
Jumlah Jenis ukuran kapal
Index A
Index B
7
13.4000
2.1074
5
5.4000
1.3874
6
7.4000
1.7074
5
5.4000
1.3874
7
10.4000
2.0574
4
6.0000
1.1517
Lanjutan lampiran 20 Perhitungan indeks jenis kapal 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia
Pelabuhan Perikanan (PP) PP Samudera Jakarta PP Samudera Bungus PP Samudera Cilacap PP Nusantara Sibolga PP Nusantara Pelabuhan Ratu PP Nusantara Pelabuhan Prigi
Jumlah jenis ukuran kapal 7 5 6 5 7 4
Index A 13,4 5,4 7,4 5,4 10,4 6
Index B 2,107 1,387 1,707 1,387 2,057 1,152
253
Lampiran 21 Glosari 1. AMDAL : Hasil studi mengenai dampak penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. 2. Break water : salah satu fasilitas pelabuhan perikanan yang berfungsi untuk menahan gelombang. 3. Bobot kelangkaan : Suatu ukuran keunggulan pelabuhan perikanan yang tidak dimiliki oleh pelabuhan lain sehingga memiliki nilai bobot yang tinggi. 4. Bobot jenis : Suatu ukuran keunggulan pelabuhan perikanan yang memiliki secara lengkap jenis (fasilitas, SDM, ikan, alat penangkapan ikan dan kapal perikanan). Semakin banyak jenis yang dimiliki oleh suatu pelabuhan maka semakin tinggi nilai bobotnya. 5. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) : Tata laksana yang memuat asas dan standar internasional mengenai sikap atau perilaku dalam praktek yang bertanggung jawab di perairan nasional, Zona Ekonomi Eksklusif maupun pengelolaan perikanan di Laut Lepas. 6. Chlorofil : zat hijau yang terdapat pada tumbuhan. 7. Cold chain system : suatu system rantai dingin yang berfungsi untuk mempertahankan mutu ikan. 8. Cold storage : suatu fasilitas pelabuhan perikanan yang berfungsi untuk mempertahankan mutu dengan proses pendinginan. 9. Crane : fasilitas pelabuhan perikanan yang berfungsi untuk alat bongkar muat dan pemindahan ikan. 10. Daerah lingkungan kepentingan pelabuhan (DLKP) : batas areal yang dimiliki oleh pelabuhan. 11. Daerah lingkungan kerja pelabuhan (DLKR) : batas areal sejauh pengaruh operasional pelabuhan. 12. Dock : fasilitas pelabuhan yang berfungsi sebagai tempat pembangunan atau perbaikan kapal. 13. Fasilitas fungsional : fasilitas yang berfungsi untuk meninggikan nilai guna dari fasilitas pokok sehingga dapat menunjang aktifitas di pelabuhan. 14. Fasilitas pelengkap : jenis fasilitas yang diperlukan agar pelabuhan perikanan dapat berfungsi dengan baik, tetapi pengadaannya baru pada tahap pengembangan pelabuhan. 15. Fasilitas penting : fasilitas yang jelas diperlukan agar pelabuhan perikanan dapat berfungsi dengan baik, namun realisasinya dapat ditunda. 16. Fasilitas penunjang : fasilitas yang secara tidak langsung meningkatkan peranan pelabuhan.
254
Lanjutan lampiran 21 17. Fasilitas pokok : fasilitas dasar yang diperlukan dalam kegiatan di suatu pelabuhan. 18. Fasilitas vital : fasilitas yang mutlak diperlukan di pelabuhan perikanan. 19. Fish bone analysis : suatu metode analisis dengan menggunakan kerangka tulang ikan, guna menentukan masalah pokok. 20. Fish processing : suatu kegiatan yang ditujukan untuk penanganan ikan dengan berbagai metode guna mempertahankan mutu ikan ataupun menghasilkan produk baru. 21. Fishing ground : daerah penangkapan ikan yang menjadi tujuan kegiatan penangkapan. 22. Foreland pelabuhan perikanan : wilayah produksi atau daerah penangkapan ikan yang merupakan salah satu sub sistem dalam tryptique portuaire untuk pelabuhan perikanan. 23. Groin : jenis bangunan untuk mempertahankan tanah agar tidak berubah strukturnya. 24. Growth center : pusat pertumbuhan suatu wilayah. 25. Hand liner : salah satu alat penangkap ikan yang menggunakan pancing dan dalam operasionalnya menggunakan tangan. 26. Highly Perishable : suatu sifat produk perikanan yang sangat cepat membusuk sehingga memerlukan penanganan khusus. 27. Hinterland pelabuhan perikanan : wilayah distribusi ikan yang merupakan salah satu sub sistem tryptique portuaire untuk pelabuhan perikanan. 28. Hinterland perpaduan atau overlapping hinterland : hinterland yang merupakan wilayah pendistribusian dari beberapa pelabuhan perikanan. 29. Hinterland primer : daerah konsumen untuk ikan segar. 30. Hinterland sekunder : daerah konsumen untuk ikan olahan. 31. Ikan demersal : jenis ikan yang hidup di dasar perairan. 32. Ikan pelagis : jenis ikan yang hidup diatas dasar perairan dan permukaan perairan. 33. Indeks relatif nilai produksi (I) : suatu metode untuk mengukur seberapa jauh kualitas pemasaran ikan disuatu daerah. 34. Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) : suatu system yang digunakan untuk menangani limbah. 35. Jetty : suatu fasilitas pelabuhan yang berfungsi untuk pendaratan ikan. 36. Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) : suatu kelompok masyarakat yang bertugas untuk mengawasi aktivitas perikanan.
255
Lanjutan lampiran 21 37. Kelompok usaha bersama (KUB) : organisasi usaha masyarakat perikanan yang dibentuk secara berkelompok. 38. Labuh : Apabila kapal telah membongkar hasil tangkapannya, kemudian bersandar atau mengikat tali ditempat tertentu yang bukan tempat bongkar, untuk beristirahat dan menunggu keberangkatan ke laut atau menunggu naik dok, maka kapal tersebut dikatakan berlabuh. 39. Lautan lepas : bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia dan perairan pedalaman Indonesia. 40. Laut territorial : jalur laut selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. 41. Liniear, Interactive, Descret, Optimizer (LINDO) : suatu program komputer yang dapat mengoptimalkan fungsi tujuan dengan kendala-kendala yang ada. 42. Linear goal programming : Adalah suatu model matematika yang dapat mengoptimalkan fungsi tujuan dengan kendala-kendala yang ada. 43. Location quotient (LQ) : model matematika yang dapat menentukan sektor basis. 44. Log Book : suatu informasi mengenai aktivitas kapal perikanan di laut. 45. Longshore sediment : pergerakan sediment disepanjang pantai. 46. Nelayan skala kecil : orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.. 47. Outering Fishing Port Program : suatu program untuk membangun pelabuhan-pelabuhan perikanan yang berada di wilayah terluar Indonesia. 48. Over fishing : suatu kondisi tangkap lebih disuatu perairan. 49. Proses Hierarki Analisis (PHA) : suatu metode yang dapat dipergunakan untuk membantu proses pengambilan keputusan pada masalah-masalah yang kompleks dan tidak terstruktur. 50. Pelabuhan Perikanan : tempat yang terdiri atas daratan dan perairan disekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh dan/ atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan. 51. Perikanan : semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya, mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. 52. Purposive : suatu metode yang disengaja dalam pemilihan responden yang dianggap dapat mewakili tujuan penelitian.
256
Lanjutan lampiran 21 53. Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan (PIPP) : suatu lembaga di dalam pelabuhan perikanan yang berfungsi untuk menyusun, menginformasikan segenap aktivitas pelabuhan perikanan. 54. Standard Operational Procedure (SOP) : standar prosedur yang ditetapkan oleh pelabuhan untuk pedoman pelaksana. 55. Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) : Izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan. 56. Tambat : Kapal dikatakan bertambat apabila kapal bersandar atau mengikat tali ditempat tertentu untuk melakukan kegiatan membongkar hasil tangkapan. 57. Triptyque portuaire : suatu sistem kepelabuhanan yang terdiri dari tiga komponen yang saling terkait, yakni foreland, fishing port dan hinterland. 58. Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) : jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undangundang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya dan air diatasnya dengan batas terluar 200 mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia.
257