POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK)
INDUSTRI KERAJINAN MEBEL BAMBU (Pola Pembiayaan Konvensional)
BANK INDONESIA Direktorat Kredit, BPR dan UMKM Telepon : (021) 3818043 Fax: (021) 3518951, Email :
[email protected]
DAFTAR ISI 1. Pendahuluan ................................ ................................ ............... 2 2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan................................ ............... 4 a. Profil Usaha ................................ ................................ ............... 4 b. Pola Pembiayaan ................................ ................................ ........ 4 3. Aspek Pemasaran................................ ................................ ........ 7 a. Permintaan ................................ ................................ ................ 7 b. Penawaran................................ ................................ ................. 8 c. Analisis Persaingan dan Peluang Harga ................................ ........... 9 d. Harga ................................ ................................ ..................... 10 e. Jalur Pemasaran ................................ ................................ ....... 11 f. Kendala Pemasaran ................................ ................................ ... 18 4. Aspek Produksi ................................ ................................ .......... 19 a. Lokasi Usaha ................................ ................................ ............ 19 b. Fasilitas Produksi dan Peralatan ................................ .................. 19 c. Bahan Baku ................................ ................................ ............. 20 d. Tenaga Kerja ................................ ................................ ........... 21 e. Teknologi................................ ................................ ................. 22 f. Proses Produksi ................................ ................................ ......... 23 g. Jumlah, Jenis dan Mutu Produksi ................................ ................. 32 h. Produksi Optimum ................................ ................................ .... 33 i. Kendala Produksi ................................ ................................ ....... 34 5. Aspek Keuangan ................................ ................................ ........ 35 a. Pemilihan Pola Usaha................................ ................................ . 35 b. Asumsi ................................ ................................ .................... 35 c. Biaya Investasi dan Biaya Operasional ................................ .......... 36 d. Kebutuhan Investasi dan Modal Kerja................................ ........... 38 e. Produksi dan Pendapatan ................................ ........................... 40 f. Proyeksi Rugi Laba dan Break Even Point ................................ ...... 41 g. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek ................................ ...... 42 h. Analisis Sensitivitas ................................ ................................ ... 43 6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan .......................... 47 a. Aspek Sosial Ekonomi ................................ ................................ 47 b. Dampak Lingkungan ................................ ................................ .. 47 7. Penutup ................................ ................................ ..................... 49 a. Kesimpulan ................................ ................................ .............. 49 b. Saran ................................ ................................ ..................... 50 LAMPIRAN ................................ ................................ ..................... 51
1
1. Pendahuluan Bambu merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui serta memiliki keunggulan dari segi sosial, ekonomi dan budaya, diantaranya cepat tumbuh hingga menjadi sumber penghasilan masyarakat perdesaan, dapat mengurangi polusi udara, air serta mengendalikan adanya erosi dan tanah longsor, sehingga tanaman bambu sangat tepat digunakan untuk rehabilitasi lahan kritis, konservasi tanah miring dan rawan longsor serta dapat dipakai untuk memperbaiki estetika lingkungan diperkotaan. Tanaman bambu yang banyak terdapat di wilayah Indonesia bukanlah sekedar tanaman, apabila mampu dibudidayakan dan diberdayakan dapat dihasilkan batang bambu dengan kualitas yang baik sehingga mampu memberikan nilai tambah yang besar karena bambu dapat dijadikan bahan bangunan maupun kerajinan tangan. Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa bambu mampu memberikan nilai tambah yang lebih besar apabila digarap secara maksimal. Pemahaman seperti itu untuk mengubah persepsi masyarakat dari pemanfaatan bambu secara tradisional menjadi suatu komoditi yang lebih berdaya guna dengan menerapkan teknologi dan sentuhan seni, sehingga bambu dapt menjadi komoditi yang mampu mendatangkan keuntungan bagi pengrajin. Bagi Daerah Kabupaten Purworejo, industri kerajinan bambu seakan-akan telah menjadi kebanggaan dan menjadi salah satu ikon dagang bagi wilayah kabupaten ini. Pada tahun 2003, volume ekspor kursi rotan, bambu dan sejenisnya (Other seats cane, osier, bamboos – HS. 9401.50.9000) mencapai 2.162.430 kg dengan nilai US$ 5.846.916 di 60 negara, dengan negara tujuan ekspor utama adalah Amerika Serikat (US$ 602.324), Italia (US$ 327.565), Spanyol (US$ 312.806), Jerman (US$ 266.752) dan Ingrris (US$ 215.587). Kondisi ini memperlihatkan masih adanya peluang pasar bagi usaha kerajinan mebel bambu. Sementara pasar nasional/domestik masih terpusat pada beberapa daerah, seperti Bali dan Jepara. Sebagai salah satu sentra kerajinan bambu, Kabupaten Purworejo memiliki 2 kecamatan dengan kerajinan bambu sebagai produk unggulan, yaitu Kecamatan Bener dan Bayan. Dari kedua kecamatan tersebut pada tahun 2004 tercatat volume produksi sebanyak 7.500 unit dengan nilai Rp 1.267.500.000. Nilai ini cukup signifikan jika dibandingkan dengan nilai ekspor Indonesia untuk komoditi tersebut. Dalam rangka menunjang pengembangan usaha kerajinan bambu perlu dilakukan studi kelayakan usaha yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bank dalam membiayai pengembangan usaha kerajinan bambu. Hasil penelitian yang disusun dalam bentuk pola pembiayaan ini
2
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan informasi bagi pengembangan usaha. Kegiatan studi pola pembiayaan usaha kerajinan bambu dilakukan dengan Metode Survey, untuk menghimpun data dan informasi (Primer dan Sekunder) dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Responden terdiri dari (1) Pengrajin bambu di Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo Propinsi Jawa Tengah, (2) Pimpinan Dinas Perindustrian, Perdagangan, Pertambangan dan Penanaman Modal Kabupaten Purworejo, dan (3) Bank Pemberi Kredit. Data sekunder diperoleh dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, Pertambangan dan Penanaman Modal Kabupaten Purworejo dan BPS Kabupaten Purworejo. Analisis data dilakukan untuk mendapatkan informasi kelayakan usaha dan kelayakan keuangan dari usaha kerajinan mebel bambu, meliputi : 1. Analisis data dilakukan dengan metode tabulasi dan perhitunganperhitungan sesuai dengan formulasi yang ditentukan; 2. Analisis usaha dilakukan untuk mengetahui prospek dan kendala serta permasalahan yang berkenaan dengan aspek pemasaran, produksi, sosial ekonomi dan dampak lingkungan; 3. Analisis pembiayaan dilakukan untuk mengetahui bagaimana pembiayaan proyek dan kelayakan usaha dilihat dari aspek keuangan.
3
2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan a. Profil Usaha Usaha kerajinan bambu di Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo dijalankan dalam dalam skala industri kecil atau industri rumah tangga dan telah berkembang cukup lama. Kegiatan usaha kerajinan bambu ini mulai dirintis tahun 1980an yang berawal dari ketertarikan beberapa perintis usaha ini pada kerajinan bambu yang banyak dijual di Bandung, sementara Bandung bukan merupakan daerah potensi untuk tanaman bambu. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut beberapa perintis kerajinan bambu di kecamatan ini melakukan pengamatan lebih dalam lagi di Bali dan berbekal informasi melimpahnya bahan baku di wilayah ini maka mulailah kegiatan usaha kerajinan ini dijalankan. Tabel 2.1. Potensi Sentra Industri Kecil Kursi Bambu di Kabupaten Purworejo Tahun 2004 Desa Sambeng Kalijambe Ketosari Jumlah Kecamatan Bayan Bener Bener Jumlah Unit Usaha 15 11 9 35 Jumlah Tenaga Kerja 30 44 36 110 Nilai Inves (000) 10.500 27.500 22.500 60.500 Satuan buah unit unit Volume 2.700 2.640 2.160 Produksi Nilai (000) 67.500 660.000 540.000 1.267.500 Jenis bambu bambu bambu bambu Satuan batang batang batang batang Bahan Penolong Volume 8.100 24.400 21.600 54.100 Nilai 24.300 79.200 64.800 168.300 Sumber : Dinas Perindustrian Perdagangan Pertambangan dan Penanaman Modal, Kabupaten Purworejo, Tahun 2004
Sistem penjualan kerajinan bambu (mebel bambu) sepenuhnya dilakukan oleh masing-masing pengrajin yang umumnya menyatakan memiliki pasar/konsumen sendiri-sendiri. Potensi pemasaran mebel bambu belum tersentuh oleh dinas/instansi terkait sehingga tidak diperoleh data pemasaran untuk wilayah Kabupaten Purworejo. b. Pola Pembiayaan Penyaluran kredit oleh pihak perbakan (BRI Unit Bener) di Kabupaten Purworejo untuk usaha kerajinan bambu dilakukan kepada usaha yang telah berjalan dan atau perluasan usaha. Jenis kredit yang disalurkan umumnya
4
merupakan Kredit Modal Kerja (KMK) melalui Skim KUPEDES dengan plafond kredit yang tersalurkan adalah Rp 10.000.000 hingga Rp 15.000.000 per debitur dengan bunga pinjaman sebesar 2% perbulan dan jangka waktu pinjaman 2 tahun tanpa masa grace period. Kebijakan penyaluran kredit investasi belum pernah terealisasi untuk usaha kerajinan bambu di Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo, namun penyaluran kredit ini tetap dimungkinkan dengan jangka waktu 3 tahun dan bunga 2% perbulan. Khusus untuk kebutuhan investasi usaha kerajinan bambu, proporsi kredit investasi terhadap modal sendiri adalah 65% dari total investasi. Keikutsertaan perbankan dalam upaya pengembangan kerajinan bambu didasarkan atas beberapa alasan, yaitu : 1. Potensi sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM) yang besar bagi kelangsungan kegiatan usaha kerajinan bambu, terutama dari kenyataan bahwa kerajinan bambu sudah menjadi bagian utama dari wilayah ini; 2. Harga bambu yang relatif stabil sehingga peluang keuntungan yang diperoleh semakin terbuka; 3. Pemasaran mebel bambu pada umumnya dapat dilakukan ke luar daerah (Jepara dan Bali) serta ke beberapa negara, sehingga membuka peluang bagi perbankan untuk semakin ikut berperan dalam dukungan modal usaha; 4. Upaya meningkatkan lapangan kerja yang diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat dan pengembangan potensi ekonomi daerah. Berdasarkan hasil wawancara dengan pejabat Bank, pengrajin bambu (debitur) memiliki kesadaran yang tinggi untuk mengembalikan kredit tepat waktu, seperti tercermin dari realisasi kredit sebesar Rp 61.500.000 untuk 12 pengusaha dan tidak tercatat adanya pengusaha yang menunggak. Pihak bank sendiri memberikan imbalan kepada debitur berupa Insentif Pembayaran Tepat Waktu (IPTW) yang diperhitungkan setiap 6 bulan sekali, dimana selama kurun waktu 6 bulan bagi debitur yang melakukan pembayaran angsuran pokok dan angsuran bunga tepat waktu maka akan memperoleh insentif sebesar 0,5% dari bunga, sehingga manakala pengrajin dapat mengembalikan kredit beserta bunga sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan (2 tahun) maka secara keseluruhan debitur hanya dikenakan bunga sebesar 1,5% perbulan atau 18% pertahun. Prosedur untuk memperoleh kredit dinilai cukup mudah karena hanya dibutuhkan sertifikat tanah/bangunan tempat usaha atau girik serta keharusan untuk menjadi nasabah dengan membuka tabungan pada bank tersebut. Keharusan menjadi nasabah ini dimaksudkan untuk mengantisipasi
5
apabila debitur dapat membayar angsuran tepat waktui sehingga IPTW yang diperoleh akan langsung ditransfer ke rekening debitur. Untuk menjamin keamanan kredit disamping mendasarkan kepada uji kelayakan keuangan usaha yang dilakukan oleh pejabat bank, pihak bank juga mewajibkan debitur untuk menyediakan jaminan kredit. Pada umumnya, jaminan kredit dapat berupa sertifikat tanah/bangunan tempat berusaha dan atau berupa barang yang relatif mudah untuk dijual dan jaminan lain yang dianggap aman bagi bank bilamana terjadi kredit macet, serta dilengkapi Proses penyaluran kredit sejak permohonan hingga pencairan kredit tergolong cepat. Apabila persyaratan teknis bank telah dilengkapi maka bank akan segera menindak lanjuti melalui tahapan peninjauan lapangan, penyusunan appraisal kredit, analisis kredit dan dilanjutkan dengan pembahasan oleh pihak bank. Apabila disetujui dan plafond kredit masih dibawah wewenang kantor bank tersebut (hingga Rp 10.000.000), maka kredit akan segera dicairkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pejabat bank, apabila seluruh persyaratan dapat terpenuhi dengan baik, maka debitur akan mendapatkan pencairan kredit dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak pendaftaran permohonan kredit atau maksimal 5 (lima) hari kerja apabila harus diputus melalui kantor cabang (plafond kredit diatas Rp 10.000.000 hingga Rp 50.000.000).
6
3. Aspek Pemasaran a. Permintaan Kabupaten Purworejo, khususnya Kecamatan Bener, seakan-akan tidak bisa terpisahkan dari kerajinan mebel bambu, seperti terlihat dari cukup banyaknya pengrajin mebel bambu di sepanjang jalan Magelang-Purworejo yang melewati kecamatan ini dengan memajang mebel bambu yang memiliki nilai seni cukup tinggi di teras rumah yang juga dijadikan sebagai ruang pamer (showroom).
Photo 3.1. Lokasi Usaha Kerajinan Mebel Bambu dan Showroom Mebel Bambu
Metode pemasaran produk kerajinan mebel bambu masih bersifat sederhana dan konvensional yaitu dengan cara menunggu calon pembeli untuk datang ke sanggar atau lokasi usaha serta menyaksikan produk mebel bambu yang diletakkan di ruang pamer (showroom) dan berharap terjadi proses jual beli mebel bambu. Oleh karena produk yang dihasilkan berdasarkan kontinuitas usaha, maka produk yang dihasilkan cenderung sama tanpa inovasi yang baru. Pengrajin mebel bambu di wilayah ini memiliki kemampuan untuk membuat kerajinan bambu dengan model dan inovasi baru, tetapi hal itu lebih didasarkan kepada keinginan calon pembeli. Permintaan melalui
7
pemesanan mebel bambu dari wilayah ini umumnya berasal dari Jepara, Bali, Jambi dan Pekanbaru. Untuk pasar ekspor sebagian besar produk mebel bambu dikirimkan ke Swiss dan Hongkong serta beberapa negara di Eropa. Semakin banyaknya negara pengekspor produk bambu menyebabkan persaingan pasar semakin terbuka dan hal ini tercermin dari menurunnya grafik perdagangan ekspor Indonesia untuk komoditi ini. Pada tahun 2003 ekspor untuk komoditi kursi rotan, bambu dan sejenisnya (Other seats cane, osier, bamboos – HS. 9401.50.9000) menunjukkan grafik penurunan dibandingkan kondisi tahun 2000, dimana volume ekspor turun dari 2.790.068 kg menjadi 2.162.430 kg (turun rata-rata 9,67% pertahun) dan nilai ekspor mengalami penurunan dari US$ 7.245.941 menjadi US$ 5.846.916 (turun rata-rata 7,98% pertahun) (BPS, 2000-2003). Dilihat dari potensi pemasaran produk mebel bambu, produk dari wilayah ini masih mengandalkan ketertarikan masyarakat khususnya para pelintas jalan. Berdasarkan hasil wawancara dengan para pengrajin diperoleh informasi bahwa 50% produk yang terjual masih dipasarkan sendiri melalui ruang pamer yang berada di sanggar atau lokasi usaha, dan menjadi sarana utama pengrajin untuk memasarkan produknya secara langsung sehingga seluruh pengusaha memiliki tempat usaha dan ruang pamer produk di pinggir jalan utama jalur Magelang-Purworejo. b. Penawaran Sebagai salah satu usaha yang berbasis kepada kerajinan tangan (handicraft) maka produk kerajinan mebel bambu memerlukan keterampilan tangan dan keuletan, sehingga produk yang dihasilkan memiliki seni dan bernilai jual tinggi. Keterampilan dan keuletan pengrajin mebel bambu di Kecamatan Bener diperlihatkan dengan kemampuan mereka untuk memenuhi pemesanan dengan model baru, sepanjang model tersebut berasal dari pemesan yang bersangkutan. Jenis produk yang dihasilkan secara kontinue adalah mebel bambu (kursi dan meja), sementara beberapa jenis kerajinan yang diproduksi sesuai pesanan adalah pintu, lemari, eternit/plafon dan gazebo (saung). Khusus untuk kerajinan besek, sebagian besar produk dihasilkan oleh ibu-ibu rumah tangga sebagai kegiatan untuk mengisi waktu luang dengan harga untuk satu set (2 buah) bervariasi dari Rp 150 hingga Rp 300. Untuk memudahkan pemasaran besek, beberapa pengrajin mebel bambu bertindak sebagai pedagang perantara. Kelemahan para pengrajin bambu adalah kurangnya inovasi baru dalam model kerajinan bambu yang diproduksi, karena pengrajin akan membuat model baru sepanjang ada pesanan dari calon pembeli. Ada 3 jenis bambu yang ditawarkan oleh para pengrajin bambu di wilayah ini, yaitu bambu wulung/hitam (Gigantochloa verticillata), bambu tutul (Bambusa maculata) dan bambu petung (Dendrocalamus asper). Ketiga bambu tersebut memiliki ukuran dan kualitas yang berbeda, sehingga
8
penggunaan dalam kerajinan bambu juga disesuaikan dengan ukuran bambu tersebut. Bambu petung dengan diameter 12-18 centimeter hanya cocok apabila digunakan untuk gazebo (saung) atau mebel bambu dengan model sofa, sementara bambu tutul (diameter 8 – 10 centimeter) dan bambu wulung/hitam (diameter < 8 centimeter) cocok untuk dibuat mebel dengan model sofa maupun sudut. Bambu wulung menjadi pilihan utama karena persentase produk yang dihasilkan maupun dipasarkan paling tinggi, sedangkan mebel dengan bambu petung dan bambu tutul kurang diminati karena harganya relatif lebih mahal. Dalam hal pemasaran produk, pengrajin tidak melakukan penawaran model (promosi produk) maupun potongan harga (discount). Sepanjang tidak ada keinginan dari konsumen untuk model tertentu, maka pengrajin di wilayah ini hanya membuat mebel bambu dengan model Sofa atau Sudut dari bambu wulung/hitam. Oleh karena setiap pengrajin di Kabupaten Purworejo memiliki hubungan tersendiri dengan calon pembeli yang berperan sebagai pedagang perantara/agen, maka secara sepintas tidak terlihat adanya persaingan usaha dalam pemasaran produk mebel bambu. c. Analisis Persaingan dan Peluang Harga Selama kurun waktu 2 tahun terakhir, pemasaran produk mebel bambu ternyata masih jauh dari harapan para pengrajin. Semakin banyaknya pemasok kerajinan bambu menjadikan persaingan harga di basis perdagangan mebel bambu (Jakarta, Jepara dan Bali) menjadi terbuka yang berdampak kepada penurunan peluang pasar bagi produk bambu dari wilayah ini. Kemampuan para pengrajin untuk menciptakan model dan inovasi baru dalam pembuatan mebel bambu menjadi mutlak diperlukan, karena model yang masih konvensional menjadi kurang mendapat minat dari masyarakat. Kondisi seperti ini menjadi titik lemah pengrajin yang selalu menghasilkan produk konvensional dengan motif mebel yang ada selama ini. Berdasarkan penelitian dan pengamatan, terdapat beberapa model kerajinan yang dihasilkan dari setiap ruas bambu yang tidak terpakai dalam proses produksi mebel bambu, yaitu kerajinan asbak dan vas bunga. Kerajinan ini mengambil bahan baku berupa ruas dan batang bambu bagian bawah yang memiliki jarak ruas pendek (< 20 cm) dan cenderung tidak lurus/bengkok. Asbak dan vas bunga yang diproduksi (pada salah satu pengrajin bambu) hanya untuk memenuhi pesanan dari Hongkong pada tahun 2004 dengan nilai penjualan mencapai Rp 16 juta pertahun, namun produk ini tidak dihasilkan secara kontinue baik untuk kebutuhan lokal maupun domestik/nasional.
9
Kegiatan promosi dalam rangka pemasaran produk pernah dilakukan melalui beberapa pameran, seperti di PRPP Jawa Tengah di Semarang antara tahun 1994-1996, namun kegiatan tersebut tidak lagi dijalankan saat ini bahkan keterlibatan dinas/instansi terkait dalam pembinaan maupun sebagai pendamping dalam pemasaran semakin jauh dari harapan pengrajin. Seperti disampaikan oleh salah seorang perintis usaha ini yang dimuat dalam Harian “Suara Merdeka” tanggal 22 Maret 2005 menyebutkan bahwa mebel bambu sebagai “Anak Tiri di Daerah Sendiri”. Menurut pengrajin tersebut, keterlibatan dinas terkait dalam kegiatan usaha kerajinan mebel bambu mulai terlihat mengempis pada era otonomi daerah, bahkan nyaris tak tersentuh. Bantuan pemerintah mutlak masih diperlukan, khususnya pada empat jenis bantuan, yaitu bantuan dan pembinaan pola pembibitan tanaman bambu untuk kelangsungan ketersediaan bahan baku, bimbingan produksi dan permodalan serta bantuan pemasaran. d. Harga Mebel bambu merupakan suatu produk hasil kerajinan tangan yang dihasilkan dari bahan baku sederhana dan murah namun memiliki nilai seni. Cukup banyak model yang mampu dihasilkan oleh para pengrajin bambu, akan tetapi dalam penyusunan pola pembiayaan usaha ini akan dilakukan terhadap 2 model mebel bambu, yaitu mebel bambu model “Sofa” dan mebel bambu model “Sudut” dan dari jenis bambu wulung. Pertimbangan pemilihan jenis produksi tersebut karena kedua model mebel dengan jenis bambu wulung telah memiliki pasar dan dihasilkan oleh semua pengrajin mebel bambu di wilayah ini, sementara dengan proses pengeringan dan pengawetan yang benar bambu wulung memiliki ketahanan hingga lebih dari 10 tahun. Secara rata-rata, untuk kerajinan mebel bambu wulung dengan model Sofa (Photo 3.2) dijual dengan harga Rp 800.000 per set dan model Sudut (Photo 3.3) dijual Rp 300.000 per set. Perbedaan harga jual yang cukup tinggi bukan hanya disebabkan oleh jumlah pemakaian bambu (12 batang untuk Sofa berbanding 6 batang untuk Sudut), namun lebih karena model Sofa memiliki tingkat kesulitan dalam proses pembuatannya serta memiliki seni yang lebih tinggi. Harga yang ditetapkan untuk setiap produk yang dihasilkan adalah harga di lokasi usaha (ditempat), sehingga biaya transportasi menjadi beban pembeli/pemesan. Nilai jual kedua model semakin besar manakala mebel tersebut dipasarkan keluar daerah, sebagai misal pemasaran ke Pekanbaru/Jambi dengan biaya yang dikenakan untuk satu truk berisi 24 set model Sudut sebesar Rp 4.000.000, maka harga pasaran di Pekanbaru/Jambi berkisar antara Rp 700.000 hingga Rp 800.000. Sedangkan model Sofa dengan daya angkut sebanyak 16 set dijual dengan harga sekitar Rp 1.250.000.
10
Photo 3.2. Mebel Bambu Model Sofa (satu set terdiri dari kursi dengan sandaran 3, 2, 1 dan meja)
Photo 3.3. Mebel Bambu Model Sudut (satu set terdiri dari kursi dengan sandaran 2, 2, 1, meja sudut dan meja) e. Jalur Pemasaran Pemasaran produk kerajinan mebel bambu dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu penjualan secara langsung dan penjualan melalui pemesanan. Penjualan secara langsung dilakukan pengrajin dari sanggar/lokasi usaha yang umumnya terletak di pinggir jalan, dimana pada setiap tempat usaha selalu tersedia sebuah ruangan yang berfungsi sebagai ruang pamer (showroom) dengan sistem penjualan dilakukan adalah pembayaran kontan. Untuk pembelian melalui pemesanan, pengrajin mengharuskan kepada calon pembeli/pemesan untuk memberikan uang muka antara 30% - 35% dari total nilai penjualan, dan sisanya harus dibayar lunas pada saat barang akan diangkut ke daerah calon pembeli. Adapun jalur produksi dan pemasaran mebel bambu seperti terlihat pada Gambar 3.1.
11
Gambar 3.1. Diagram Alir Jalur Pemasaran Produk Mebel Bambu
Selama ini produk mebel/furniture bambu dari Indonesia sudah dipasarkan ke berbagai negara. Berdasarkan laporan dari beberapa Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) diperoleh informasi mengenai kegiatan import produk rotan dan bambu, yaitu: (A) Uni Eropa “Industrial & Commercial Attaché - Indonesian Mission to the EU - Brussels, Belgium” Disampaikan oleh Sondang Anggraini, pada Forum Ekspor 2002 di Jakarta (Diambil dari http://www.dprin.go.id/IND/Bisnis/Atase/MarketBrief/mebel_Belgi.pdf ) Kursi rotan, bambu dan bahan-bahan sejenis (Seat of cane, osier, bamboo or similar materials) memperlihatkan peningkatan rata-rata 6,61% pertahun dan menjadikan Indonesia sebagai pemasok utama ke pasar Uni Eropa (UE) untuk kursi rotan, bambu atau bahan sejenisnya. Selama periode 19962002, pangsa produk Indonesia tersebut berkisar antara 57 - 61% (Data NAFED, 2004). Mengingat rotan dan bambu hanya diketemukan di negara-negara tropis di Asia, maka barang jadi kursi rotan dan bambu kebanyakan berasal dari daerah tersebut. Disamping Cina, peranan negara-negara ASEAN sangat dominan, yakni Indonesia 59,77%, Philipina 7,10%, Vietnam 6,06% dan Malaysia 3,16%, sedangkan China 3,90%. Peraturan mengenai mebel pada umumnya banyak dikaitkan dengan masalah ketahanan barang-barang tersebut terhadap api. Peraturan tersebut tidak hanya mengikat mebelnya, melainkan juga barang-barang yang melengkapi mebel tersebut, misalnya upholstery dan furnishing serta bantal-bantal yang terkadang diletakkan di atas kursi.
12
a. Bea Masuk (MFN Tariff) Bea masuk MFN yang dibebankan oleh Uni Eropa terhadap furniture kayu adalah 0% atau bebas, sedangkan untuk kursi rotan dan bambu serta bahan yang sejenis adalah 5,6%. Uni Eropa memberikan pembebasan tarif bea masuk untuk produk furniture yang berasal dari negara-negara berkembang dalam rangka GSP. Dalam skema GSP 2002-2004, produk ini diklasifikasikan sebagai produk non-sensitif. Oleh sebab itu tarif yang dikenakan adalah 0% (nol persen). b. Sistem distribusi dan praktek bisnis Pasar Uni Eropa merupakan pasar tunggal sehingga pada saat barang dagangan yang berasal dari negara ketiga sudah dapat masuk melalui salah satu negara UE. Barang tersebut selanjutnya dapat dengan bebas beredar di wilayah UE lainnya tanpa melalui prosedur pabean lagi. Tidak jarang impor dilakukan sendiri oleh toko-toko tersebut, baik yang besar maupun menengah/kecil. Sebagai produk, mebel tidak cocok untuk dipasarkan secara berantai, biasanya disalurkan langsung dari pabrikan ke importir atau ke gudang pedagang eceran atau toko-toko (lihat Gambar 3.2). Hanya sedikit pabrikan yang memiliki jaringan pemasaran sendiri atau menjual secara langsung ke konsumen. Hampir semua pasar UE mengoperasikan penjualannya melalui importir dan atau agen pembelian.
13
Gambar 3.2. Struktur Distribusi Pemasaran Produk Kerajinan Distribusi produk furniture di Uni Eropa yang paling mudah dan aman adalah dengan memiliki warehouse di salah satu negara UE, namun demikian ada beberapa saluran yang cukup aman untuk melakukan transaksi ekspor, melalui : (1). Importir Dengan membeli produk menggunakan dana sendiri, importir memberikan nama atas produk yang diimpor dan bertanggung jawab untuk penjualan di negaranya dan atau di pasar UE lainnya. Importer ini biasanya telah mengenal pasarnya dengan baik dan dapat memberikan informasi yang diperlukan serta memberi petunjuk bagi pengrajin/pengekspor sebagai tambahan dari usahanya untuk membeli dan menjual, seperti administrasi impor, prosedur ekspor dan penyimpanan stok (2). Agen Pembelian Merupakan perusahaan independen yang melakukan negosiasi dan mendirikan usaha atas perintah dari kantor pusatnya dan bertindak sebagai perantara antara buyer dan seller.
14
(3). Agen Penjualan Agen Penjualan merupakan perusahaan independen pula, tetapi mereka bekerja atas dasar kontrak untuk satu atau lebih perusahaan. Mereka kadang-kadang menjual dari stok permintaan untuk memenuhi permintaan jangka pendek dan mereka bekerja atas dasar komisi. (4). Buying group / Co-operative Pembelian secara kelompok atau koperasi bertujuan untuk meminimalkan biaya perantara melalui pembelian secara langsung dari pemasok jika dimungkinkan. Saluran biasanya digunakan untuk permintaan dalam skala besar, dimana transaksi langsung dengan pemasok yang sudah dikenal merupakan aktifitas yang sangat penting (B) Arab Saudi (diambil dari Laporan Atase Perindustrian dan Perdagangan–KBRI Riyadh, 30 Januari 2002) Furniture merupakan komoditi ekspor Indonesia yang sangat potensial untuk pasar Arab Saudi yang nilai ekspornya dapat ditingkatkan lagi dengan cepat. Furniture merupakan komoditi ekspor potensial ke Arab Saudi. Sejak tahun 1999 ekspor furniture Indonesia ke Arab Saudi selalu berada pada posisi 10 (sepuluh) besar dengan nilai ekspor pada tahun 1999 sebesar US$ 8.587.000 dengan volume 11.807 ton dan pada tahun 2000 meningkat menjadi US$ 10.521.300 dengan volume 14.588 ton atau meningkat 22,52%. Furniture yang diperdagangkan di Arab Saudi meliputi lebih dari 50 Jenis (50 nomor HS) mulai dari HS. 9401.10.00 sampai dengan HS 9404.90.90 (Kerajinan Bambu termasuk dalam No. HS 9401.50.00). Indonesia sampai saat ini memasok sekitar 14 jenis furniture, ini berarti masih banyak peluang pasar furniture di Arab Saudi yang belum dimanfaatkan oleh pengusaha/pengrajin di Indonesia secara optimal.
Gambar 3.3. Skema Alur Distribusi Pemasaran Furniture di Arab Saudi
15
Importir (Wholesaler/distributor, toko retail, perorangan) juga berperan melakukan re-ekspor untuk melayani buyer luar negeri utamanya dari negara-negara Afrika, Timur Tengah dan anggota GCC (Gulf Cooperation Countries). Peranan commission agent adalah sangat penting, sehingga perusahaan seperti ini tumbuh subur di Arab Saudi. Peranan commission agent umumnya adalah bekerja mewakili atau atas nama importir (wholesaler/distributor) Arab Saudi dalam bertransaksi dengan eksportir Indonesia serta mengadakan penelitian tentang bonafiditas eksportir, mutu produk dan desain. Dalam bekerjanya, Importir memesan furniture melalui perusahaan commission agent. Perusahaan commission agent tersebut mengidentifikasi perusahaan furniture/eksportir furniture di Indonesia dengan melakukan penelitian mengenai mutu furniture, harga, kondisi perusahaan dan unit produksi, kemampuan delivery, dsbnya. Apabila harga dan kondisi perusahaan Indonesia memuaskan, commission agent akan melakukan :
Proses transaksi langsung antara eksportir Indonesia dengan Importir Arab Saudi, atau Transaksi pembelian furniture kepada eksportir Indonesia mewakili Importir Arab Saudi.
Importir Arab Saudi akan membayar langsung kepada Eksportir Indonesia, sedangkan commission agent bertanggung jawab kepada Importir dalam hal mutu, delivery dan bila ada komplain. Perusahaan commision agent tidak mendapat fee dari importir Arab Saudi yang di wakilinya. Fee untuk commission agent dibebankan kepada eksportir Indonesia yang besarnya berkisar 2,5% sampai 5% dari besarnya transaksi ekspor. Daftar importir potensial di Arab Saudi ditampilkan pada Lampiran 1. (C) Argentina (diambil dari www.kbri-buenosaires.org.ar/ekonomi/ekonomi.htm) Impor Argentina untuk produk kursi dari rotan, bambu dan material sejenisnya pada tahun 2001 senilai US$ 545.218 dengan volume 21.927 m³ atau harga rata-rata per meter³ US$ 24,87. Pada tahun 2002 impornya menurun hanya mencapai US$ 45.504 dengan volume 1.599 m³ atau dengan harga rata-rata per meter³ US$ 28,46. Turunnya impor pada tahun 2002 karena pemerintah Argentina memberlakukan kebijakan kontrol devisa dengan pelarangan transfer uang ke luar negeri. Kebijakan tersebut telah dicabut pada Januari 2003.
16
Tabel 3.1. Impor Argentina Untuk Produk Kursi Rotan, Bambu dan Material Sejenisnya (No. HS. 9401.50.00) Tahun 2001 2002
Nilai (US$) 545.218 45.504
Volume m³ 21.927 1.599
Harga RataRata (US$) 24,87 28,46
Pasar Argentina untuk perabot produk kursi dari rotan, bambu dan material sejenisnya pada tahun 2001 didominasi oleh produk dari Indonesia dengan pangsa pasar mencapai 53%, diikuti oleh RRC 25,2% dan Thailand 8,5%. Pada tahun 2002 pangsa pasar Indonesia meningkat menjadi 54% yang diikuti Thailand 20,5%, RRC 13,9% dan Philipina 9,2% (Tabel 3.2 dan 3.3). Tabel 3.2. Negara Pemasok Kursi Dari Rotan, Bambu dan Material Sejenisnya Tahun 2001 (No. HS. 9401.50.00) Negara Asal Indonesia RRC Thailand Pilipina Brasil Vietnam Malaysia Spanyol AS India
FOB US$ 289.190 137.707 46.783 27.878 19.201 10.704 6.434 2.668 2.599 1.200
Pangsa Pasar 53,0% 25,2% 8,5% 5,1% 3,5% 1,9% 1,1% 0,4% 0,4% 0,2%
Tabel 3.2. Negara Pemasok Kursi Dari Rotan, Bambu dan Material Sejenisnya Tahun 2002 (No. HS. 9401.50.00) Negara Asal Indonesia Thailand RRC Philipina AS
FOB US$ 24.575 9.361 6.359 4.226 883
Pangsa Pasar 54,0% 20,5% 13,9% 9,2% 1,9%
17
Pajak yang dikenakan untuk produk ini di Argentina adalah : 1. 2. 3. 4.
Extra zone import duties (non-mercosur) (19,50%) Common External Tariff (19,50%) Statistic rate (7%) Value added Tax (21%)
f. Kendala Pemasaran Kendala pemasaran yang dihadapi pengrajin mebel bambu ini adalah kepastian pasar, karena selama ini pemasaran melalui showroom masih menjadi andalan, meskipun pada beberapa pengrajin pemasaran melalui showroom menjadi pilihan kedua karena sebagian besar produknya dapat dipasarkan keluar daerah. Meskipun kerajinan mebel bambu menjadi primadona dan salah satu ikon produk usaha di Kabupaten Purworejo, namun ikon tersebut ternyata tidak berjalan seiringan dengan produk itu sendiri karena tidak ada sistem pelabelan sehingga produk yang dipasarkan tidak memiliki label. Pelabelan akan dipasang oleh pedagang perantara/ pemesan, umumnya di Jepara dan Bali, dengan nama dan daerah lokasi asal pedagang perantara/pemesan, sehingga pada saat mebel bambu dipasarkan ke konsumen maka label yang terpasang adalah nama/usaha dari pedagang perantara/pemesan dan bukannya nama sanggar bambu/pengrajin bambu.
18
4. Aspek Produksi a. Lokasi Usaha Lokasi usaha kerajinan bambu sangat dipengaruhi oleh lokasi keberadaan bahan baku utama (bambu) dan tenaga pengrajin, hal ini akan berpengaruh terhadap kelangsungan proses produksi dan penekanan biaya penyediaan bahan baku. Wilayah kabupaten Purworejo memiliki potensi bambu wulung yang cukup besar, sehingga selama ini kebutuhan bahan baku masih dapat diperoleh dari sekitar lokasi usaha. Keberadaan lokasi usaha di pinggir jalan memberikan nilai lebih bagi pengrajin, khususnya dalam pemasaran produk, sehingga memudahkan dalam proses pengangkutan produk ke pembeli/ konsumen. Penataan ruang dalam kegiatan usaha tidak diatur secara detail, namun tetap dilakukan pemisahan pada beberapa kegiatan proses produksi seperti areal penjemuran, bangunan penyimpanan bahan baku, ruang proses produksi, ruang penyimpanan produk dan ruang pamer. Banyak diantara pengrajin yang hanya menempatkan seluruh kegiatan proses produksi dalam bangunan semi permanen yang terhindar dari sinar matahari secara langsung dan terhindar dari hujan. Berdasarkan hasil pengamatan, secara rata-rata kegiatan usaha kerajinan mebel bambu memerlukan areal seluas 138 m2, tidak termasuk areal/tanah untuk pengeringan bambu. b. Fasilitas Produksi dan Peralatan Seperti halnya proses produksi untuk usaha kerajinan pada umumnya, maka proses kegiatan kerajinan mebel bambu dilakukan secara alami dan manual dengan mengandalkan kondisi alam dan kemampuan/keterampilan tangan pengrajin. Kondisi alam dibutuhkan dalam proses pengeringan dan pengawetan bahan baku (bambu basah) hingga siap untuk dilakukan pembuatan mebel bambu, sedangkan keterampilan pengrajin mutlak diperlukan karena seluruh proses produksi dilakukan secara manual (handicraft). Peralatan yang digunakan oleh para pengrajin mebel bambu tergolong sangat sederhana dan dapat diperoleh dari daerah sekitar. Peralatan tersebut antara lain : 1. Gergaji kayu, digunakan untuk memotong bambu menjadi potonganpotongan sesuai ukuran yang dikehendaki, 2. Parang, digunakan untuk memotong bambu dan membersihkan cabang di setiap ruas bambu, 3. Palu/pukul besi, digunakan untuk memasang paku pada saat pengikatan menggunakan rotan tali, 4. Tang, digunakan pada saat pengikatan rangka bambu dengan rotan tali,
19
5. Tatah, digunakan untuk merapikan batang bagian dalam setelah dilakukan pemotongan dan membuat lobang untuk pembuatan engsel dan pasak, 6. Bor kayu, digunakan untuk membuat lobang. Penggunaan bor ini (satu-satunya mesin yang ada) agar bambu tidak mudah patah/retak pada saat membuat lobang, 7. Meteran panjang, digunakan untuk membuat ukuran-ukuran sebelum batang bambu dipotong, 8. Tatah ukir, digunakan untuk membuat ornamen ukiran pada sandaran kursi dengan motif binatang, pemandangan atau bunga, 9. Pisau raut, digunakan untuk membersihkan kulit batang bambu yang telah dibuat ornamen ukir sehingga motif ornamen atau ukiran akan terlihat lebih nyata, 10.Kuas, digunakan pada saat finshing mebel bambu untuk memberikan lapiran vernis atau melamin pada setiap permukaan mebel.
a. Tatah Ukir b. Pisau Raut Photo 4.1. Peralatan Khusus Dalam Proses Produksi Mebel Bambu c. Bahan Baku (1). Bahan Baku Utama Bahan baku utama dalam kerajinan mebel bambu, dan digunakan dalam model pola pembiayaan ini adalah bambu wulung/hitam (Gigantochloa verticillata), yang memiliki rata-rata ketinggian hingga 15 meter dengan panjang ruas 40-50 cm dan diameter +8 cm serta ketebalan batang +8 mm. Dengan penanganan yang baik selama proses pengeringan dan pengawetan maka bambu wulung dapat bertahan lebih dari 10 tahun. Kedekatan usaha kerajinan mebel bambu dengan wilayah potensi bahan baku bambu menempatkan pengrajin mebel bambu pada posisi yang diuntungkan. Dengan relatif mudahnya pengrajin untuk memperoleh bahan baku dari lokasi sekitar menyebabkan biaya pengadaan bahan baku menjadi lebih ringan.
20
Bahan baku bambu wulung diperoleh dari petani bambu dalam bentuk batang yang telah dipotong sesuai dengan kebutuhan, yaitu sepanjang 6,25 m dengan harga pada tingkat petani sebesar Rp 3.500 dan biaya pengangkutan Rp 500 per batang. Oleh karena pengrajin memperoleh bahan baku sesuai ukuran kebutuhan kerajinan mebel bambu, maka tidak terdapat limbah bambu dalam proses persiapan bahan baku. Adapun batang bambu yang tidak terpakai dalam proses produksi mebel bambu adalah: 1. sepanjang 1 meter dari pangkal bambu karena relatif bengkok dengan ruas pendek. Bagian ini kadang dibeli oleh pengrajin apabila memperoleh pesanan untuk kerajinan asbak dan vas bunga. Apabila bagian ini tidak terjual maka oleh petani bambu hanya dijual untuk bahan bakar, 2. batang bambu diatas 7,25 m dari pangkal bambu karena memiliki diameter batang yang kecil dan cenderung melengkung. Batang bambu ini dijual oleh petani bambu sebagai bahan baku anyaman besek. (2). Bahan Pembantu Tali Rotan merupakan bahan pembantu utama dalam pembuatan mebel bambu yang difungsikan sebagai pengikat sendi-sendi maupun pengikat iratan tempat duduk, sandaran kursi dan alas meja. Pemilihan rotan sebagai bahan pengikat dengan pertimbangan bahwa rotan memiliki struktur bahan yang liat dan kuat, memiliki ketahanan yang lama serta memiliki nilai seni tersendiri. Dalam pembuatan mebel bambu, terdapat 3 (tiga) jenis rotan yang digunakan, yaitu : 1. Rotan Tali, digunakan untuk mengikat setiap sendi/siku dalam mebel bambu; 2. Rotan Gelondong, digunakan untuk mengikat dan mempercantik pelupuh/papan bambu pada sandaran kursi; 3. Rotan Antik, digunakan untuk mengikat iratan yang telah disusun menjadi pelupuh pada alas kursi dan alas meja. Bahan-bahan penolong lain yang banyak digunakan adalah ampelas, paku, kuas, vernis, melamin/impra dan tinner super. d. Tenaga Kerja Sistem ketenaga-kerjaan pada usaha kerajinan mebel bambu diilaksanakan berdasarkan sistem borongan, dimana setiap tenaga kerja mempunyai kewajiban tertentu untuk mengerjakan bagian-bagian dalam proses produksi. Paling tidak terdapat dua sistem upah borongan, yaitu :
21
(1) Borongan Produksi Tenaga kerja memiliki kewajiban/tugas untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan mulai persiapan bahan baku hingga mebel bambu siap untuk dijual (seluruh proses produksi). Untuk pekerjaan ini tenaga kerja akan mendapatkan upah antara Rp 100.000 - Rp 120.000 untuk model Sudut dan antara Rp 270.000 - Rp 290.000 untuk model Sofa. (2) Borongan Kerja Tenaga kerja dipisahkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu bagian rangka mebel dan bagian finishing, sedangkan proses pengeringan dan pengawetan bambu dikerjakan secara bersama-sama. Untuk sistem upah borongan ini tenaga kerja bagian rangka maupun finishing akan mendapat upah yang sama, yaitu rata-rata Rp 45.000 untuk model Sudut dan Rp 125.000 untuk model Sofa. Untuk mendukung kegiatan usaha, khususnya dalam hal administrasi pembukuan setiap sanggar kerajinan bambu memiliki satu orang tenaga. Tenaga administrasi ini umumnya berasal dari dalam keluarga sendiri, atau bahkan pengrajin menempatkan diri pada posisi ini. Dalam setiap sanggar bambu terdapat satu orang tenaga terampil yang memiliki keahlian khusus untuk mengukir batang bambu yang akan dipotong menjadi iratan-iratan dan disusun seperti papan mambu atau pelupuh pada sandaran kursi maupun alas meja sehingga akan terlihat sebagai sebuah motif ukiran. Jumlah batang bambu yang diukir oleh tenaga terampil pengukir adalah 7 batang untuk model Sudut dengan imbalan Rp 15.000 dan 8 batang bambu dengan imbalan Rp 20.000 untuk model Sofa. e. Teknologi Teknologi proses dalam usaha kerajinan mebel bambu sangatlah sederhana karena hanya mengandalkan keterampilan tangan pengrajin dengan bahan baku yang sederhana dan mudah didapatkan. Namun dalam kesederhanaan teknologi produksi tersebut diperlukan ketelitian dan ketekunan dalam mengerjakan mebel bambu agar memiliki nilai seni dan nilai jual yang tinggi. Untuk masa mendatang kebutuhan akan inovasi dan kreativitas desain produk yang dinamis mutlak diperlukan sesuai dengan perkembangan zaman yang seringkali mengutamakan aspek seni dan artistik produk. Sebagai bentuk usaha kerajinan tangan (handicraft), usaha ini tidak memerlukan teknologi mekanik maupun mesin. Satu-satunya peralatan mekanik yang diperlukan adalah mesin bor untuk membuat lubang pada batang bambu namun penggunaannya tidak mutlak karena masih dapat digantikan dengan bor manual. Tidak ada teknologi yang dapat diterapkan pada usaha kerajinan ini agar produksinya dapat ditingkatkan, hanya dengan penambahan tenaga terampil
22
sebagai tenaga kerja borongan yang menjadi pilihan untuk menambah kapasitas usaha dam kapasitas produksi kerajinan mebel bambu. f. Proses Produksi Proses produksi pada dasarnya merupakan suatu bentuk kegiatan untuk mengolah satuan bahan baku (input produksi) menjadi produk (output produksi). Untuk melaksanakan proses atau kegiatan tersebut diperlukan satu rangkaian proses pengerjaan yang bertahap. Perancangan proses produksi dalam hal ini akan tergantung pada karakteristik produk yang dihasilkan dan pola kebutuhan yang harus dipenuhi dalam proyek pembuatan produk. Proses produksi yang dilakukan dalam kegiatan usaha kerajinan mebel bambu hanya memerlukan peralatan yang sederhana karena lebih banyak memanfaatkan keahlian/ keterampilan tangan manusia untuk menghasilkan produk kerajinan ini. Tahapan yang dilalui dalam proses produksi mebel bambu terlihat pada Gambar 4.1.
23
Gambar 4.1. Diagram Alir Proses Produksi Kerajinan Mebel Bambu
A. Persiapan Bahan Baku dan Bahan Pembantu Bahan baku dalam kegiatan usaha ini adalah bambu wulung hitam (Gigantochloa verticillata) yang masih dapat diperoleh dengan mudah di dalam wilayah Kabupaten Purworejo. Pihak pengrajin dimudahkan dalam penyediaan bahan baku tersebut, karena petani bambu telah menyiapkan kebutuhan batang bambu hingga pengangkutan ke sanggar bambu. Kebutuhan bahan pembantu berupa rotan tali, rotan gelondong dan rotan antik umumnya diperoleh dari Jepara dan Cirebon melalui pedagang langsung. Ada beberapa pengrajin yang bertindak sebagai pedagang juga, sehingga pada saat pengangkutan produk mebel ke Jepara atau Cirebon, maka pada saat kembali selalu mendapatkan titipan dari sesama pengrajin untuk berupa tali rotan tersebut.
24
A.1. Pengeringan Bambu yang digunakan untuk pembuatan mebel umumnya dipotong setelah berumur 13 bulan dengan pertimbangan bahwa bambu tersebut telah memiliki umur dan ketebalan batang yang cukup untuk diolah menjadi produk kerajinan. Pada daerah tropis, tanaman bambu biasanya kurang tahan lama karena mengandung kanji yang disukai oleh rayap dan menjadi tempat tumbuh yang baik bagi cendawan akibat suhu dan kelembaban tinggi sehingga diperlukan proses pengeringan dan pengawetan bambu agar menjadi lebih keras dan mampu bertahan hingga lebih dari 10 tahun. Bambu yang telah dipotong cukup disandarkan dalam keadaan berdiri agak tegak (kemiringan 75 derajat) ditempat yang cukup teduh dan dibiarkan sampai kadar airnya berkurang. Posisi bambu pada saat proses pengeringan diupayakan jangan sampai terkena sinar matahari langsung secara terus menerus karena batang bambu bisa melengkung dan membentuk warna yang tidak dikehendaki, sesekali perlu dilakukan penyusunan ulang dengan membalikkan posisi sandar sehingga bambu dapat kering secara merata. Untuk menghindari kelembaban tanah yang naik ke batang, sebaiknya batang bambu dilindungi dengan menggunakan batu pada bagian bawah batang yang telah dipotong. Proses pengeringan ini memakan waktu 4-7 hari, apabila hari sering turun hujan makan proses pengeringan akan berjalan lebih lama.
Photo 4.2. Proses Pengeringan Bambu Secara Alami
A.2. Pengawetan/Penyimpanan Ada beberapa metode pengawetan yang diterapkan pada batang bambu, yang disesuaikan dengan peruntukan bambu tersebut. Bambu untuk
25
keperluan bahan kerajinan anyaman akan mengalami proses pengawetan yang cukup lama, yaitu sekitar 3-6 bulan dengan cara direndam ke dalam kolam yang menggenang atau mengalir pelan. Sementara bambu untuk bahan baku pembuatan mebel bambu setelah dikeringkan melalui proses penyandaran cukup ditiriskan/diletakkan dengan posisi tidur pada satu bangunan yang terlindung dari panas dan hujan namun masih dapat terkena angin secara langsung (di angin-anginkan). Proses ini memakan waktu antara 15-20 hari hingga bambu siap untuk diolah menjadi mebel bambu.
Photo 4.3. Proses Pengawetan / Penyimpanan Bambu B. Proses Produksi Dalam menjalankan proses produksi, para pengrajin mebel bambu di Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo memiliki teknik yang sama, yaitu pembuatan rangka mebel, pengikatan dengan rotan tali, penyusunan iratan pada alas kursi dan meja serta iratan pada sandaran kursi yang sudah diukir. Pada tahapan akhir dilakukan proses finishing dengan cara mengampelas, memberi vernis atau melamin serta proses pengeringan. Tahapan-tahapan tersebut akan dibahas berikut ini. 1). Pembuatan bagian-bagian mebel Dari keseluruhan proses produksi pembuatan kerajinan mebel bambu, tahapan pembuatan rangka merupakan tahapan paling kritis dalam usaha ini, karena perlu perhitungan yang tepat dalam ukuran maupun pembuatan lubang untuk sendi/siku. Beberapa pengrajin memiliki tenaga kerja terampil khusus untuk pembuatan rangka ini sehingga tingkat kerusakan/kegagalan dapat ditekan. Untuk membuat satu set kursi model Sudut diperlukan sekitar 6 batang bambu dan 12 batang untuk model Sofa. Batang bambu yang telah diukur untuk masing-masing bagian dalam rangka mebel akan dipotong dengan
26
menggunakan gergaji kayu. Batang bambu dengan diameter terbesar (bagian bawah bambu) difungsikan sebagai kaki-kaki kursi (posisi vertikal) karena bagian ini memiliki ketebalan batang paling besar sehingga memiliki kekuatan yang paling besar pula. Sementara untuk batang bambu yang lebih kecil akan digunakan untuk palang bilah dengan posisi horizontal.
Photo 4.4. Proses Persiapan dan Pembuatan Bagian Mebel Bambu (A) Bambu siap untuk proses produksi, (B) Pembuatan Lobang Siku, (C) Lobang Siku 2). Perakitan Proses perakitan mebel kayu dimulai dengan pekerjaan memasukkan bambu kedalam bagian kaki kursi yang telah dilubangi (Photo 4.). Ukuran lobang harus disesuaikan dengan ukuran batang bambu yang akan dimasukkan agar rangka kursi tidak bergoyang, dan proses ini harus dilakukan dengan hatihati agar bambu tidak retak dan rangka mebel dapat berdiri dengan kokoh. Hingga tahapan ini setiap rangka akan diperiksa secara teliti oleh pengrajin karena hasil ini akan sangat mempengaruhi kualitas akhir. Untuk memperkuat posisi sudut dari rangka, maka dilakukan pengikatan dengan menggunakan rotan tali, seperti terlihat pada Photo 4.6. Pengikatan
27
ini selain agar posisi sambungan sudut lebih kuat juga memberikan sentuhan seni yang dapat meningkatkan nilai jual produk ini. Ikatan dengan tali rotan akan dilakukan pada bagian rangka yang dinilai cukup banyak dipandang mata sehingga menambah daya tarik mebel tersebut.
Photo 4.5. Proses Perakitan Mebel Bambu
28
Photo 4.6. Proses Pengikatan Sudut Kursi dengan Rotan Tali Untuk model Sudut, jumlah bagian mebel yang diikat dengan rotan berjumlah 42 buah, dengan rincian 2 buah kursi dengan 2 sandaran masingmasing 9 ikatan, kursi 1 sandaran terdapat 8 ikatan, meja sudut 12 ikatan dan meja tengah 4 ikatan. Berat rotan tali yang dibutuhkan untuk satu set mebel kayu model Sudut sekitar 85 gram, sedangkan untuk model Sofa dibutuhkan sekitar 100 gram rotan tali. Sedangkan untuk model Sofa dibutuhkan 32 ikatan dengan rincian kursi dengan sandaran 3, 2, 1 dan meja masing-masing memiliki jumlah ikatan 8 buah. 3). Pelupuh Pelupuh atau papan bambu adalah susunan dari batangan bambu yang dibelah dengan menggunakan parang pada satu sisi dari atas ke bawah dan berbentuk iratan/belahan batang dengan ukuran lebar sekitar 2 cm. Iratan
29
tersebut kemudian disusun hingga berbentuk seperti papan atau dinding. Bentuk ini juga memberikan nilai seni tersendiri dan memudahkan sirkulasi udara khususnya untuk bagian bawah kursi maupun meja. Pada kerajinan mebel bambu ini pelupuh terdiri dari 2 macam, yaitu pelupuh polos dan pelupuh ukir. Tidak ada perlakukan khusus untuk pelupuh polos karena batang bambu hanya dipotong sesuai ukuran yang diperlukan. Untuk pelupuh pada alas duduk ditata sejajar dan diikat rotan antik dengan cara membentuk huruf "X" dan diikatkan ke batang bambu yang dipasang dibawah susunan iratan tersebut sehingga masing-masing iratan dapat terikat dengan erat (Photo 4.7).
Photo 4.7.Penyusunan Pelupuh Alas Kursi dan Bentuk Pengikatan dengan Rotan Cantik Sementara itu proses penyusunan pelupuh ukir diberlakukan beberapa tahapan (Photo 4.8), yaitu:
Batang bambu yang akan dijadikan pelupuh ukir harus dipilih dari bagian batang yang baik; Batang bambu diukir oleh tenaga terampil yang memang memiliki keterampilan khusus untuk melakukan ukiran pada batang bambu. Batang bambu yang telah diukir akan diserut/seset menggunakan pisau raut untuk menghilangkan kulit bambu yang berwarna hitam pada bagian-bagian yang telah ditentukan, sehingga motif ukiran akan terlihat dengan jelas. Proses selanjutnya adalah pemotongan batang bambu tersebut menjadi iratan-iratan dan disusun menjadi pelupuh.
30
Photo 4.8. Proses Pengukiran Bambu Seperti terlihat pada Photo 4.9, bilah bambu yang telah diukir dan diseset/serut kulit bagian luar dengan menggunakan pisau raut selanjutnya dipotong-potong menjadi iratan-iratan dan disusun hingga berbentuk pelupuh/papan bambu. Pemotongan bambu ukir tersebut harus dilakukan dengan hati-hati agar bentuk potongan lurus sehingga mudah untuk disusun pada sandaran kursi atau alas meja. Apabila pelupuh sudah tersusun rapi dilakukan pengikatan dengan rotan gelondong pada bagian pinggir pelupuh yang mengitari sandaran kursi.
31
Photo 4.9. Proses Pemasangan Pelupuh Ukir 4) Finishing Proses finishing dilakukan apabila seluruh proses perakitan sudah selesai dilaksanakan dan telah mendapat pengecekan dari pengrajin. Proses finishing yang dilakukan meliputi kegiatan :
mengampelas seluruh ruas bambu agar halus. Cara mengampelas tidak boleh terlalu keras karena bisa merusah warna bambu yang sudah alami; memberi vernis atau melamin pada seluruh lapisan bambu menggunakan kuas, dengan maksud untuk mempercantik mebel serta memberikan lapisan kepada kulit bambu agar kuat dan tahan lama/awet.
Setelah proses finishing dilakukan, mebel bambu tidak boleh terkena sinar matahari secara langsung karena akan memudahkan terjadinya pecah-pecah pada lapisan yang telah divernis/melamin, mebel cukup ditata di tempat penyimpanan atau di ruang pamer sehingga dapat terkena hembusan angin secara langsung. Vernis/melamin tersebut akan kering dalam waktu 2-3 jam dan mebel siap untuk dijual g. Jumlah, Jenis dan Mutu Produksi Jenis kerajinan yang diusahakan oleh industri kerajinan bambu di Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo sangat beragam. Pada intinya bentuk umum kerajinan yang diusahakan meliputi mebel/furniture (produk utama), gazebo (saung) dan eternit kulit bambu serta usaha kerajinan rumahtangga berupa besek. Mebel dan besek merupakan produk yang dihasilkan secara rutin
32
dengan skala usaha yang berbeda karena produk besek hanya diproduksi dalam rangka mengisi waktu luang, sementara gazebo dan eternit hanya diproduksi apabila pengrajin mendapatkan pesanan. Skala usaha yang dianalisis dalam pola pembiayaan ini adalah kerajinan mebel bambu dengan siklus bahan baku sebanyak 2 kali dalam sebulan dengan jumlah per siklus sebanyak 200 batang bambu wulung. Dari bahan baku sebanyak itu dalam satu siklus usaha akan dihasilkan produksi secara rata-rata 5 mebel model Sofa dan 23 mebel model Sudut. Meskipun perbedaan jumlah batang bambu yang dibutuhkan tidak terlalu banyak, namun model Sofa memiliki tingkat kesulitan dan kedalaman seni lebih tinggi dan ukuran yang lebih besar, sehingga mebel bambu dengan model Sofa dijual dengan harga lebih mahal dibandingkan model Sudut. Pengendalian mutu dan produk yang akan dihasilkan dilakukan oleh pengrajin sejak penyiapan bahan baku hingga pengiriman barang (pesanan) namun tidak dilakukan pengujian kualitas atau mutu secara khusus. Bagianbagian yang mendapat pengawasan maupun pengujian adalah konstruksi rangka (kokoh / tidak goyang), penyusunan dan pengikatan pelupuh (polos dan ukir) dan hasil pelapisan dengan vernis/melamin. h. Produksi Optimum Kapasitas produksi sangat tergantung pada kemampuan serta kemauan/ kesanggupan setiap pengrajinnya. Dengan tenaga kerja borongan yang ada untuk mengerjakan mebel secara rutin maka produksinya relatif terbatas pada siklus usaha yang dijalankan saat ini. Selama ini pengrajin bambu tidak merasa kesulitan dalam menjalankan proses produksi mebel bambu, sehingga pada saat terdapat pesanan mebel bambu dalam jumlah yang banyak masih dimungkinkan untuk menambah tenaga terampil yang banyak terdapat di wilayah ini. Pengrajin bambu secara rata-rata menerapkan 7-8 jam kerja per hari untuk menghasilkan produk mebel yang akan selesai dalam waktu 4-5 hari untuk model Sudut dan 8-9 hari untuk model Sofa. Produksi optimum yang dapat dihasilkan pengrajin dengan tenaga kerja yang ada (5 orang) selama satu bulan adalah 10 set mebel model Sofa dan 46 set mebel model Sudut. Namun demikian jumlah produksi dapat didasarkan atas jumlah pemesanan maupun perkiraan potensi pasar, sehingga pengrajin bambu dapat meningkatkan jumlah produksi mebel bambu dengan menambah jumlah jam kerja maupun jumlah hari kerja untuk dijadikan sebagai patokan dalam menghitung jumlah tenaga kerja terampil yang dibutuhkan guna menyelesaikan seluruh mebel yang akan diproduksi. Tingginya permintaan produk yang pernah diterima oleh salah seorang pengrajin adalah penjualan mebel bambu pada saat menjelang lebaran dengan jumlah penjualan mencapai 100 unit dalam waktu satu bulan. Untuk
33
memenuhi kebutuhan ini pengusaha kerajinan mempekerjakan tenaga terampil hingga 17 orang, namun produksi ini akan menurun drastis pada bulan-bulan setelah lebaran sehingga berpengaruh pula terhadap jumlah tenaga kerja yang dilibatkan. Namun demikian kondisi tersebut sudah diantisipasi oleh pengrajin karena akan terjadi setiap tahun. i. Kendala Produksi Kemampuan yang dimiliki pengusaha kerajinan mebel bambu yang didukung pula keterampilan tenaga kerja menjadikan kegiatan proses produksi usaha kerajinan mebel bambu dapat berjalan dengan baik tanpa ada hambatan yang berarti. Satu-satunya situasi dan kondisi yang dapat menjadi kendala dalam proses produksi adalah cuaca. Pada saat musim penghujan (antara September hingga Pebruari) dimana curah hujan cukup tinggi menyebabkan proses pengeringan bambu bertambah lama. Semakin lama bambu tersebut kering maka proses produksi selanjutnya akan mengalami penundaan yang berakibat pula pada turunnya volume mebel yang dihasilkan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pengusaha kerajinan akan memperbanyak stok bambu yang sudah dikeringkan pada bulan-bulan sebelum musim hujan. Belum adanya Standar Nasional Indonesia mengenai produk dari kerajinan mebel bambu membuat jenis dan mutu mebel yang dihasilkan menjadi sangat beragam dan berakibat kepada sulitnya menstandarisasi produk ini sesuai dengan standar internasional.
34
5. Aspek Keuangan a. Pemilihan Pola Usaha Analisis keuangan ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada pengrajin maupun pemerhati usaha kerajinan mebel bambu terhadap nilai tambah yang dihasilkan dalam kegiatan usaha ini. Pengrajin dipacu untuk mampu mengembalikan kredit yang diberikan oleh bank dalam jangka waktu yang wajar (2 - 3 tahun). Perhitungan analisis kelayakan ini didasarkan pada kelayakan usaha kerajinan mebel bambu. Model kelayakan usaha ini merupakan pengembangan usaha kerajinan bambu yang telah berjalan dan untuk menumbuhkan kemandirian usaha serta upaya repliaksi usaha di wilayah lain. Skim kredit yang digunakan dalam analisis keuangan ini adalah skim Kredit Usaha Kecil (KUK) dengan tingkat suku bunga 14% pertahun tanpa menerapkan masa tenggang (grace period). Pembayaran angsuran kredit pokok untuk proyek ini mulai dilakukan pada bulan pertama setelah kredit dicairkan. Parameter teknis dan keuangan untuk perhitungan analisis keuangan dapat dilihat pada Tabel 5.1. Selanjutnya dengan mempertimbangkan kemungkinan penurunan harga jual, kenaikan biaya produksi maupun penurunan volume produksi akan dilakukan analisis sensitivitas. b. Asumsi Untuk mengetahui kelayakan usaha kerajinan mebel bambu, maka dilakukan analisis kelayakan usaha dengan mendasarkan diri kepada beberapa asumsi yang akan dijadikan dasar perhitungan dalam penyusunan kelayakan usaha. Hasil analisis diharapkan dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang bermaksud memulai usaha baru atau pihak yang ingin memberikan pembinaan dan bantuan permodalan. Dalam membuat perhitungan kelayakan usaha ini, digunakan asumsi-asumsi yang disusun berdasarkan hasil pengamatan di lokasi usaha seperti dapat dilihat pada Tabel 5.1. Selengkapnya ditampilkan pada Lampiran 2. Proses produksi kerajinan mebel bambu dilaksanakan sepanjang tahun atau selama 12 bulan dengan siklus kebutuhan bahan baku bambu wulung sebanyak 2 kali dalam sebulan, masing-masing sebanyak 400 batang bambu untuk asumsi produksi dan penjualan optimum (100%). Dalam perhitungan kelayakan finansial, usaha kerajinan mebel bambu dilaksanakan dalam waktu 5 tahun proyek.
35
Tabel 5.1. Asumsi-Asumsi Dalam Penyusunan Kelayakan Kerajinan Mebel Bambu No Perincian Jumlah Bahan baku bambu wulung per 200 batang 1 siklus 2 Siklus bahan baku per bulan 2 kali 3 Produksi optimum per siklus : - Model Sofa (set) 5 set - Model Sudut (set) 23 set 4 Umur proyek 5 tahun 5 Kredit investasi a. Bunga kredit 14% b. Jangka waktu kredit 3 tahun 6 Proporsi kredit 65% c. Biaya Investasi dan Biaya Operasional Komponen biaya dalam analisis kelayakan usaha kerajinan mebel bambu dibedakan menjadi dua yaitu biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi adalah komponen biaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dana awal pendirian usaha yang meliputi lahan/areal usaha, peralatan dan sarana pengangkutan. Biaya operasional adalah seluruh biaya yang harus dikeluarkan dalam proses produksi. (1). Biaya Investasi Biaya investasi diperlukan untuk memulai kegiatan usaha kerajinan mebel bambu. Komponen terbesar dari biaya investasi usaha kerajinan ini adalah penyediaan lahan/areal untuk keseluruhan proses produksi serta sarana transportasi produk (Tabel 5.2). Oleh karena sifatnya kerajinan tangan, maka usaha ini tidak memerlukan peralatan mekanik. Satu-satunya peralatan mekanik yang digunakan adalah bor kayu, namun peralatan ini sebenarnya masih dapat digantikan dengan bor manual. Komponen biaya investasi dan peralatan kerajinan mebel bambu selengkapnya ditampilkan pda Lampiran 3. Tabel 5.2. Komposisi Biaya Investasi No Uraian 1 2 3 4
Perijinan Tanah dan Bangunan Alat transportasi Peralatan Jumlah Biaya Investasi
Total Biaya (Rp) 2.500.000 2 138 m 68.600.000 Truk engkel 35.000.000 627.500 106.727.500
36
Tanah dan bangunan yang diperlukan dengan luasan yang diasumsikan (didasarkan atas hasil survey) terdiri dari areal pengeringan/penjemuran (356 m2), bangunan penyimpanan bahan baku (14 m2), bangunan proses produksi (42 m2), bangunan penyimpanan produk (68 m 2), bangunan ruang pamer/showroom (14 m2) dan kolam perendaman (6 m2). Selain tanah dan bangunan, biaya perijinan pendirian usaha juga dimasukkan ke dalam komponen biaya investasi. Meskipun perijinan sangat diperlukan untuk bisa mengoperasikan usaha, namun sebagian besar pengrajin tidak memiliki perijinan yang lengkap. Dokumen perijinan yang biasanya diperlukan adalah izin industri, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan surat izin bebas gangguan (HO). Dari Tabel 5.2 terlihat bahwa kebutuhan dana investasi tertinggi untuk tanah dan bangunan usaha (64,28%) dan alat transportasi (truk) sebesar 32,79%. Biaya peralatan kerajinan mebel bambu relatif kecil, yaitu 0,59% dari keseluruhan biaya investasi. Beberapa kemudahan yang diberikan oleh pihak perbankan kepada pengusaha calon penerima kredit menjadi salah satu alasan bagi pengusaha untuk tidak melakukan pengurusan ijin usaha secara lengkap. Selama ini dengan hanya berbekal surat keterangan lokasi usaha dari desa setempat dapat digunakan sebagai jaminan kredit. Namun demikian, dengan jumlah kredit seperti yang diasumsikan pihak bank sudah pasti akan mempertimbangkannya secara rinci dengan jaminan yang lebih besar dibandingkan plafond kredit yang sudah disalurkan saat ini. (2). Biaya Operasional Biaya operasional usaha kerajinan mebel bambu terdiri dari biaya bahan baku, tenaga kerja dan biaya tetap (overhead), dimana kebutuhan biaya operasional perbulan mencapai Rp 14.683.000 atau Rp 177.446.000 per tahun. Persentase terbesar dalam biaya operasional pertahun adalah biaya tenaga kerja yang mencapai Rp 105.000.000 (59,17%) dan bahan baku sebesar Rp 48.096.000 (27,1%) untuk 2 kali siklus bahan baku per bulan (total 400 batang bambu). Tingginya biaya tenaga kerja karena karakteristik kerajinan mebel bambu yang sepenuhnya bertumpu kepada kemampuan para pengrajinnya dalam seluruh proses produksi yang masih dikerjakan dengan tangan (handicraft). Komposisi biaya operasional perbulan dan pertahun ditampilkan pada Tabel 5.3 dan selengkapnya pada Lampiran 4 dan Lampiran 6.
37
Tabel 5.3. Komposisi Biaya Operasional (Rp) No 1 2 3
Jenis Biaya Bahan Baku Tenaga Kerja Biaya Overhead Jumlah
Per Bulan 4.008.000 8.750.000 1.925.000 14.683.000
Per Tahun 48.096.000 105.000.000 24.350.000 177.446.000
d. Kebutuhan Investasi dan Modal Kerja Kebutuhan investasi dalam usaha kerajinan mebel bambu lebih banyak diperlukan pada kebutuhan tanah dan bangunan, sementara untuk investasi peralatan relatif kecil. Peralatan yang cukup besar adalah alat transportasi produk meskipun secara realitas di lokasi survey tidak mutlak diperlukan karena dalam pemenuhan bahan baku umumnya pihak pengrajin menerima bambu di lokasi usaha dengan menambah biaya angkut Rp 500 per batang. Pengangkutan produk ke pembeli atau pemesan yang umumnya berada di luar kabupaten atau luar propinsi seluruh biaya dibebankan kepada pembeli/pemesan tersebut. Selain pemasaran melalui showroom, maka persentase pemasaran produk di wilayah kabupaten sendiri relatif kecil. Plafond kredit yang telah disalurkan untuk usaha kerajinan mebel bambu berkisar antara Rp 10.000.000 hingga Rp 15.000.000, dan seluruhnya merupakan Kredit Modal Kerja dengan bunga 2% per bulan (24% per tahun), sedangkan kebutuhan dana investasi seluruhnya dibebankan kepada dana sendiri atau keluarga. Namun demikian dalam analisis pola pembiayaan yang disusun untuk pendirian usaha baru atau investasi baru, maka pengrajin mebel bambu diasumsikan memperoleh pinjaman kredit investasi dan atau modal kerja dengan proporsi kredit terhadap modal sendiri sebesar 65% atau sesuai dengan persyaratan dari pihak perbankan dan kondisi proses produksi yang ada, dengan suku bunga 14% pertahun. Dengan mendasarkan kepada asumsi-asumsi tersebut, maka kebutuhan dana pinjaman untuk modal investasi usaha kerajinan mebel bambu sebesar Rp 69.372.875 dengan masa pengembalian 3 tahun dan bunga 14% pertahun, sedangkan pemenuhan melalui modal sendiri/modal keluarga sebesar Rp 37.354.625. Perhitungan kebutuhan modal kerja dilakukan melalui asumsi:
Proses pembangunan infrastruktur usaha memerlukan waktu selama 1-2 bulan. Kegiatan ini sekaligus melakukan pengeringan dan
38
pengawetan bambu agar siap untuk diproses yang memerlukan waktu 19-25 hari. Proses produksi baru dapat berjalan efektif pada bulan ketiga dengan produk yang diharapkan dapat terjual pada bulan tersebut.
Berdasarkan kedua asumsi tersebut, kebutuhan modal kerja selama proses pembangunan sarana produksi (masa konstruksi) sebesar Rp 9.490.000. Modal kerja tersebut diperuntukan bagi pembelian bahan baku bambu wulung selama 2 bulan masa konstruksi (4 siklus), biaya tenaga kerja untuk proses pengeringan dan pengawetan bambu (4 siklus) dan biaya tetap (overhead) selama 2 bulan. Sedangkan kebutuhan modal kerja pada bulan pertama masa produksi sebesar Rp 14.683.000. Dalam analisis pola pembiayaan ini, seluruh kebutuhan modal kerja selama 2 bulan masa konstruksi dan satu bulan masa produksi dibebankan kepada modal sendiri (Tabel 5.4). Rincian kebutuhan dana untuk investasi dan modal kerja selengkapnya ditampilkan pada Lampiran 3 dan Lampiran 6. Tabel 5.4. Kebutuhan Dana untuk Investasi dan Modal Kerja No Rincian Biaya Proyek I
Persentase Total Biaya (Rp) 106.727.500 65% 69.372.875 35% 37.354.625
Kebutuhan Modal Investasi a. Kredit b. Dana sendiri Kebutuhan Modal Kerja (3 II bulan) Total dana proyek yang III bersumber dari a. Kredit 53% b. Dana sendiri 47% Jumlah Dana Proyek
24.173.000
69.372.875 61.527.625 130.900.500
Seperti terlihat pada Tabel 5.4, kredit bank hanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan modal investasi. Kredit investasi tersebut akan dikembalikan selama jangka waktu 3 tahun dengan suku bunga 14% pertahun. Angsuran pokok dan bunga dibayarkan setiap bulan. Jumlah angsuran pokok dan bunga yang harus dibayarkan pertahun ditampilkan pada Tabel 5.5, sedangkan perhitungan angsuran kredit perbulan dapat dilihat dalam Lampiran 8.
39
Tabel 5.5. Perhitungan Angsuran Kredit Tahun 1 2 3
Angsuran Angsuran Total Saldo Pokok Bunga Angsuran Awal 69.372.875 23.124.292 8.228.394 31.352.685 69.372.875 23.124.292 4.990.993 28.115.285 46.248.583 23.124.292 1.753.592 24.877.884 23.124.292
Saldo Akhir 69.372.875 46.248.583 23.124.292 0
e. Produksi dan Pendapatan Usaha kerajinan bambu di wilayah Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo mampu memproduksi bermacam-macam kerajinan dari bambu, seperti mebel, pintu, eternit, gazebo hingga besek, namun komoditi utama pengrajin bambu adalah kerajinan mebel bambu karena jenis ini diusahakan oleh hampir semua industri kerajinan bambu. Volume Produksi dan penjualan optimum per bulan berdasarkan asumsi yang digunakan adalah 10 set model Sofa dan 46 set model Sudut. Namun demikian dalam proses produksi selama 5 tahun usia proyek diasumsikan produksi dan penjualan mebel berjumlah 75% pada tahun ke-1, 80% pada tahun ke-2 dan 90% pada tahun ke-3 hingga ke-5, Perincian volume produksi dan nilai penjualan optimum kedua model tersebut ditampilkan dalam Tabel 5.6 dibawah ini. Tabel 5.6. Volume Produksi dan Nilai Penjualan Mebel Bambu (Persentase produksi dan penjualan = 100%) Harga Siklus Model Volume Jual per usaha Mebel Produksi unit per Bambu (Rp) bulan Sofa 5 unit 800.000 2 Sudut 23 unit 300.000 2 TOTAL 28 unit
Total Total Penjualan Penjualan per Bulan per Tahun (Rp) (Rp) 8.000.000 96.000.000 13.800.000 165.600.000 21.800.000 261.600.000
Seperti terlihat pada Tabel 5.6, harga jual mebel ditetapkan berdasarkan kisaran yang ada pada beberapa pengrajin bambu, yaitu Rp 800.000 per set untuk model Sofa dengan kisaran harga pada pengrajin Rp 750.000 - Rp 825.000. Sedangkan harga model adalah Rp 300.000 per set dengan harga pada tingkat pengrajin berkisar antara Rp 250.000 - Rp 350.000. Melalui asumsi yang dibangun dalam pola pembiayaan ini, maka total penjualan optimum perbulan adalah Rp 21.800.000 atau Rp 261.600.000 pertahun. Pendapatan usaha diproyeksikan dengan asumsi bahwa kapasitas produksi dan penjualan pada tahun ke-1 adalah 75% dari produksi optimum, meningkat menjadi 80% pada pada tahun ke-2 dan 90% pada tahun ke-3
40
hingga tahun ke-5. Seperti terlihat pada Tabel 5.7 (Lampiran 7), selama 5 tahun proyek maka total pendapatan usaha adalah Rp 163.500.000 pada tahun pertama hingga Rp 235.440.000 pada tahun ke 5. Tabel 5.7. Produksi dan Penjualan Mebel Bambu
Uraian
Satuan
Produksi Mebel 1. Model Sofa unit 2. Model unit Sudut Harga Jual 1. Model Sofa Rp 2. Model Rp Sudut Total Penjualan 1. Model Sofa Rp 2. Model Rp Sudut Jumlah
Tahun Proyek dan Volume Produksi/Penjualan Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 (75%) (80%) (90%) (90%) (90%)
75
96
108
108
108
345
442
497
497
497
800.000
800.000
800.000
800.000
800.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
60.000.000
76.800.000
86.400.000
86.400.000
86.400.000
103.500.000 132.480.000 149.040.000 149.040.000 149.040.000 163.500.000 209.280.000 235.440.000 235.440.000 235.440.000
f. Proyeksi Rugi Laba dan Break Even Point Hasil proyeksi laba–rugi usaha selama 5 tahun proyek menunjukkan bahwa usaha ini sudah memberikan keuntungan pada tahun pertama sebesar Rp 22.154.207, tahun ke-2 sebesar Rp 41.045.968, tahun ke-3 Rp 53.020.598 serta tahun ke-4 dan tahun ke-5 sebesar Rp 54.511.152 (Tabel 5.8). Data perhitungan laba rugi usaha kerajinan mebel bambu selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9.
41
Tabel 5.8. Proyeksi Laba Rugi Usaha Kerajinan Mebel Bambu (Rp) Komponen Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Analisis Total 163.500.000 209.280.000 235.440.000 235.440.000 235.440.000 Penerimaan Total Pengeluaran 137.436.227 160.990.626 173.062.825 171.309.233 171.309.233 Laba Sebelum Pajak 26.063.773 48.289.374 62.377.175 64.130.767 64.130.767 Pajak (15%) 3.909.566 7.243.406 9.356.576 9.619.615 9.619.615 Laba Bersih 22.154.207 41.045.968 53.020.598 54.511.152 54.511.152 Profit on 13,55% 19,61% 22,52% 23,15% 23,15% Sales Selama kurun waktu 5 tahun proyek, usaha kerajinan mebel bambu secara rata-rata akan menghasilkan keuntungan pertahun sebesar Rp 45.048.615 dan profit margin rata-rata 20,4%. Dengan memperbandingkan pengeluaran untuk biaya tetap terhadap biaya variabel dan total penerimaan, maka BEP usaha ini terjadi pada penjualan senilai Rp 87.971.414 pada tahun ke-1 hingga Rp 81.899.757 pada tahun ke-5 (Lampiran 9), dengan rata-rata BEP penjualan sebesar Rp. 85.093.659 dan BEP unit rata-rata adalah 39 unit untuk model Sofa dan 180 unit untuk model Sudut (Tabel 5.9). Tabel.5.9. Rata-rata Laba-Rugi dan BEP Usaha Uraian Nilai Laba per tahun Rp 45.048.615 Profit Margin 20,4% BEP Penjualan Rp 85.093.659 BEP Produksi Model Sofa 39 unit BEP Produksi Model 180 unit Sudut
g. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek Untuk aliran kas (cash flow) dalam perhitungan ini dibagi dalam dua aliran, yaitu arus masuk (cash inflow) dan arus keluar (cash outflow). Arus masuk diperoleh dari penjualan produk mebel selama satu tahun, dimana asumsi kapasitas usaha berpengaruh pada besarnya volume produksi yang akan menentukan nilai total penjualan, sehingga arus masuk menjadi optimal.
42
Untuk arus keluar meliputi biaya investasi, biaya variabel, biaya tetap, termasuk angsuran pokok, angsuran bunga.dan pajak penghasilan. Untuk penghitungan kelayakan rencana investasi digunakan metode penilaian NPV, IRR, Net B/C Ratio dan Pay Back Period (PBP). Seperti ditunjukkan pada Tabel 5.10, dengan suku bunga sebesar 14% pertahun maka usaha kerajinan mebel bambu mampu memberikan keuntungan bagi pengrajin selama 5 tahun proyek dengan menghasilkan Net Present Value (NPV) sebesar Rp 118.072.409 dengan Net B/C Ratio 2,02 (lebih besar dari 1). Nilai IRR dalam perhitungan ini mencapai 45,89% dengan PBP mencapai 31,3 bulan. Dari hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa usaha kerajinan mebel bambu ini Layak dan Menguntungkan, selengkapnya ditampilkan pada Lampiran 10. Tabel 5.10. Kelayakan Usaha Kerajinan Mebel Bambu No
Kriteria
Nilai
1. 2. 3.
NPV (Rp) IRR (%) Net B/C Ratio Pay Back (Bulan)
118.072.409 45,89 2,02
Justifikasi Kelayakan >0 > 14% >1,00
31,3
< 60 bulan
4.
Period
h. Analisis Sensitivitas Dalam suatu analisis kelayakan suatu proyek, biaya produksi dan pendapatan biasanya akan dijadikan patokan dalam mengukur kelayakan usaha karena kedua hal tersebut merupakan komponen inti dalam suatu kegiatan usaha, terlebih lagi bahwa komponen biaya produksi dan pendapatan juga didasarkan pada asumsi dan proyeksi sehingga memiliki tingkat ketidakpastian yang cukup tinggi. Untuk mengurangi resiko ini maka diperlukan analisis sensitivitas yang digunakan untuk menguji tingkat sensitivitas proyek terhadap perubahan harga input maupun output. Dalam pola pembiayaan ini digunakan tiga skenario sensitivitas, yaitu: (1) Skenario 1 Dengan perkembangan ekonomi saat ini dan kenaikan harga BBM yang semakin menekan masyarakat memunculkan asumsi peningkatan biaya operasional, sedangkan pendapatan dianggap konstan. Kenaikan biaya operasional dimungkinkan terjadi karena harga alat-alat produksi seperti bahan baku dan bahan pembantu, tenaga kerja, dan atau biaya overhead mengalami kenaikan. Hasil analisis sensitivitas kenaikan biaya operasional
43
ditampilkan pada Tabel 5.11. Perhitungan arus kas untuk sensitivitas kenaikan biaya operasional ditampilkan pada Lampiran 11 dan Lampiran 12.
Tabel 5.11. Analisis Sensitivitas Biaya Operasional Naik No Kriteria Naik 23% Naik 24% 1. NPV (Rp) 1.251.706 - 3.827.455 2. IRR (%) 14,37 12,88 3. Net B/C Ratio 1,01 0,97 Pay Back Period 4. 59,7 61,1 (Bulan)
Dalam Skenario 1, biaya operasional dinilai bukan merupakan komponen yang sensitif terhadap kelayakan usaha ini karena dengan kenaikan biaya operasional hingga 23% usaha kerajinan mebel bambu masih dinilai layak untuk dijalankan sepanjang volume produksi dan penjualan serta harga jual masih sesuai dengan asumsi (konstan), dengan NPV positif (Rp 1.251.706) namun Net B/C Ratio dan PBP pada batas kelayakan. Sedangkan kenaikan biaya operasional sebesar 24% menyebab usaha menjadi tidak layak karena menghasilkan NPV negatif, IRR dibawah suku bunga dan Net B/C ratio dibawah 1. (2) Skenario 2 Pendapatan mengalami penurunan sedangkan biaya operasional maupun jumlah produk terjual tetap/konstan. Dalam skenario ini penurunan pendapatan disebabkan oleh penurunan total pendapatan dari hasil penjualan mebel bambu, yang dimungkinkan karena adanya penawaran harga dari pemesan/konsumen atau volume produk yang terjual mengalami penurunan. Hasil analisis sensitivitas penurunan pendapatan ditampilkan pada Tabel 5.12. Perhitungan arus kas untuk sensitivitas penurunan harga jual ditampilkan pada Lampiran 13 dan Lampiran 14.
Tabel 5.12. Analisis Sensitivitas Harga Jual Turun No Kriteria Turun 16% Turun 17% 1. NPV (Rp) 2.064.401 - 5.186.100 2. IRR (%) 14,61 12,46 3. Net B/C Ratio 1,02 0,96 Pay Back Period 4. 59,4 61,5 (Bulan)
44
Dengan penurunan pendapatan hingga 17% (Skenario 2) membuat usaha ini menjadi tidak layak untuk jangka waktu proyek selama 5 tahun karena menghasilkan NPV negatif, IRR dibawah suku bunga bank serta Net B/C Ratio dibawah 1. Penurunan pendapatan hingga 16% masih dimungkinkan namun termasuk kategori riskan karena semua kriteria mendekati batas tidak layak. (3) Skenario 3 Penurunan jumlah produksi terjadi manakala kondisi pasar dan permintaan produk menurun. Dampak yang terjadi adalah penurunan total penerimaan, namun berbeda dengan Skenario 2, maka dalam skenario ini seluruh komponen biaya operasional akan berubah sesuai penurunan volume produksi mebel sedangkan harga jual mebel tetap. Hasil analisis sensitivitas penurunan produksi dan penjualan ditampilkan pada Tabel 5.13. Perhitungan arus kas untuk sensitivitas penurunan volume produksi ditampilkan pada Lampiran 15 dan Lampiran 16.
No 1. 2. 3. 4.
Tabel 5.13. Analisis Sensitivitas Volume Produksi per Bulan Turun 6 set Sofa dan 4 set Sofa dan Kriteria 26 set Sudut 34 set Sudut NPV (Rp) 3.734.198 4.249.871 IRR (%) 15,09 15,24 Net B/C Ratio 1,03 1,04 Pay Back Period 59,0 58,9 (Bulan)
Analisis sensitivitas usaha menurut Skenario 3, dimana jumlah produksi lebih kecil dari asumsi yang ada membuat kelayakan usaha menjadi sangat bervariasi dengan asumsi bahwa persentase penjualan mebel adalah 100% dari seluruh volume produksi. Tidak diperoleh secara pasti berapa volume produksi yang tepat untuk menilai sensitivitas usaha dari skenario ini, namun demikian dengan asumsi volume produksi mebel perbulan 6 set model Sofa dan 26 set model Sudut, maka hasil perhitungan kelayakan usaha menunjukkan kondisi mendekati tidak layak karena NPV menjadi Rp 3.734.198 dengan IRR 15,09% dan Net B/C Ratio 1,03. Sedangkan asumsi penurunan jumlah produksi dan penjualan mebel per bulan menjadi 4 set model Sofa dan 34 set model Sudut menghasilkan NPV Rp 4.249.871 dengan IRR 15,24% dan Net B/C Ratio 1,04. Penurunan volume ini menjadi maksimal karena untuk penurunan volume produksi lagi akan menjadikan usaha ini tidak layak. Hasil analisis sensitivitas seperti ditampilkan dalam Tabel 5.11, 5.12 dan 5.13 memperlihatkan bahwa usaha kerajinan mebel bambu lebih sensitif terhadap penurunan harga jual mebel dibandingkan kenaikan biaya
45
operasional. Antisipasi keadaan menjadi salah satu keharusan bagi pengrajin mebel bambu, yaitu dengan memperhitungkan beberapa pertimbangan yang dapat mempengaruhi kelayakan usaha ini. Berdasarkan ketiga skenario yang dibuat tersebut maka antisipasi keadaan untuk masing-masing skenario adalah : 1. Peningkatan biaya operasional harus diantisipasi dengan kenaikan harga jual mebel, dengan asumsi terjadi kenaikan biaya produksi sebesar 23% (Skenario 1) maka untuk mendekati pada posisi semula (asumsi) harga jual mebel harus dinaikkan hingga 16%, yaitu Rp 928.000 per set untuk model Sofa dan Rp 348.000 per set untuk model Sudut. 2. Pada Skenario 2 dimana harga jual mebel mengalami penurunan hingga 16%, maka antisipasi untuk mengembalikan kepada kelayakan usaha berdasarkan asumsi yang ada adalah dengan menekan biaya operasional hingga 23%. Kondisi ini menjadikan skenario yang paling sulit untuk dilaksanakan karena akan berdampak kepada penurunan upah tenaga kerja. 3. Keadaan dimana permintaan pasar turun menyebabkan pengrajin akan menurunkan volume produksinya. Dalam sensitivitas berdasarkan Skenario 3, dengan penurunan volume produksi (Sofa dan Sudut) akan berdampak kepada menurunnya skala kelayakan usaha dan penurunan laba usaha. Untuk mengantisipasi hal tersebut dan mengembalikan ke kondisi asumsi, maka pengrajin perlu menaikkan harga jual hingga 30% atau melakukan kombinasi dengan menaikkan harga jual sebesar 22% dengan menekan biaya operasional hingga 10%. Namun demikian skenario ini juga sulit untuk dilaksanakan karena penurunan permintaan pasar seringkali disebabkan oleh tingkat harga yang dinilai terlalu tinggi, sehingga dengan menaikkan harga jual menyebabkan peluang pemasaran produk akan semakin berkurang.
46
6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan a. Aspek Sosial Ekonomi Kegiatan usaha kerajinanmebel bambu yang sudah dilaksanakan di wilayah survey selama kurunwaktu 20 tahun telah memberikan dampak positif bagi perkembanganekonomi dan sosial secara nyata, baik bagi pengrajin maupun masyarakatsekitar. Kemampuan masyarakat sekitar untuk belajar hinggamenjadi terampil dalam proses produksi mebel bambu telah menempatkanmasyarakat pada kondisi taraf hidup yang lebih baik. Bagipengrajin sendiri, dengan semakin banyaknya tenaga terampil yang adamemberikan kemudahan dalam kegiatan proses produksi apalagi sistemketenaga-kerjaan dilakukan dalam sistem borongan. Peningkatan skala ekonomi masyarakat berdampak nyata pula kepada tingkat sosial masyarakat, dengan semakin mudahnya sarana transportasi dan komunikasi menyebabkan interaksi sesama masyarakat semakin mudah dan memberikan ikatan sosial yang baik mengingat usaha kerajinan bambu sudah menjadi ciri khas masyarakat di Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo. Dan dengan semakin terbukanya akses informasi dan komunikasi maka diharapkan perkembangan usaha kerajinan mebel bambu semakin meningkat, baik dari sisi pemasaran/penjualan produk maupun inovasi baru dalam model kursi bambu serta produk kerajinan ikutan yang dihasilkan dari bahan baku yang tidak terpakai untuk mebel bambu, seperti asbak dan vas bunga. b. Dampak Lingkungan Kerajinan mebel bambu yang diproduksi oleh pengrajin bambu tidak menghasilkan limbah yang dapat mengganggu masyakarat maupun lingkungan sekitar, karena tidak dilakukan proses kimiawi dalam keseluruhan proses produksi. Hampir seluruh batang bambu dapat dimanfaatkan untuk kerajinan. Bagian batang bambu yang tidak terpakai dalam pembuatan mebel bambu akan dijual oleh petani bambu sebagai bahan pembuatan asbak dan vas bunga (dari ruas batang bagian bawah) serta anyaman besek (batang bagian atas). Proses pengawetan bahan baku pada mebel bambu relatif berbeda dengan proses kegiatan kerajinan bambu dalam bentuk anyaman karena dalam kerajinan anyaman bambu diperlukan beberapa proses persiapan dan pengawetan bahan baku beberapa model harus menggunakan proses kimiawi, seperti perebusan dengan Soda Abu (Natrium bisulfit) untuk menghasilkan warna putih, pengawetan dengan Soda Api (soda kaustik) untuk menghasilkan warna kecoklat-coklatan, ataupun pengawetan dengan prusi untuk menghasilkan potongan bambu dengan warna biru. Sementara untuk anyaman besek yang ada di wilayah ini bahan baku yang dibutuhkan masih diproses secara alami, yaitu dengan penjemuran dan pengeringan melalui cara diangin-anginkan.
47
Namun demikian perkembangan kegiatan usaha kerajinan mebel berdampak secara langsung kepada pemenuhan kebutuhan bahan baku bambu wulung. Dengan kapasitas (sesuai asumsi) sebanyak 400 batang bambu per bulan untuk satu usaha kerajinan maka jumlah kebutuhan bambu akan berlipat sesuai banyaknya usaha kerajinan yang ada. Dampak yang akan ditimbulkan apabila pola tanam bambu tidak diperhatikan adalah semakin menipisnya ketersediaan/potensi tanaman bambu akan berpotensi terhadap kerusakan lingkungan berupa bahaya erosi. Bambu selama ini dinilai mampu merehabilitasi lahan kritis, konservasi tanah miring serta mengendalikan erosi dan tanah rawan longsor.
48
7. Penutup a. Kesimpulan 1. Hasil kajian memperlihatkan bahwa potensi pasar untuk produk kerajinan mebel bambu masih relatif terbuka. Pengembangan inovasi baru dalam produk yang dihasilkan menjadi pilihan utama bagi pengrajin agar mebel bambu yang dihasilkan mampu menembus pasar termasuk pasar ekspor. 2. Kajian terhadap aspek teknologi dan produksinya menunjukkan bahwa secara teknis bahan baku dan bahan-bahan pembantu cukup tersedia di wilayah sendiri, sementara teknis/proses produksi bukan merupakan hambatan kegiatan usaha. Tersedianya sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi memudahkan pengrajin dalam memasarkan produk mebel bambu. 3. Analisis aspek keuangan memperlihatkan bahwa dengan asumsi pendirian usaha baru maka diperlukan modal usaha sebesar Rp 130.900.500, yang terdiri dari modal investasi sebesar Rp 106.727.500 dan modal kerja sebesar Rp 24.173.000. Kredit bank diperuntukkan bagi kebutuhan modal investasi dengan proporsi kredit sebesar 65% atau senilai Rp 69.372.875. 4. Kebutuhan modal kerja melalui pinjaman kredit dilakukan melalui asumsi, bahwa pembangunan fisik dilaksanakan selama 1-2 bulan, produksi dilaksanakan sepenuhnya pada ketiga sehingga diperlukan modal kerja untuk jangka waktu 2 bulan sebesar Rp 9.490.000. Sedangkan kebutuhan modal kerja pada bulan ketiga atau awal tahun pertama produksi sebesar Rp 14.683.000. 5. Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha kerajinan mebel bambu, dengan kemampuan mendatangkan hasil penjualan yang tinggi para pengrajin mampu mengembalikan modal dalam waktu 31,3 bulan, maka usaha kerajinan mebel bambu dinilai LAYAK untuk dijalankan. Hal ini tercermin pula dari nilai IRR yang mencapai 45,89% dengan NPV Rp 118.072.409 dan Net B/C Ratio 2,02. 6. Hasil analisis sensitivitas usaha kerajinan mebel bambu memperlihatkan bahwa usaha ini lebih sensitif oleh harga jual dibandingkan biaya operasional. Untuk mengembalikan kepada kondisi seperti yang diasumsikan, maka antisipasi yang harus dilakukan apabila terjadi kenaikan biaya operasional adalah dengan menaikkan harga jual mebel hingga lebih dari separoh persentase kenaikan biaya operasional. Demikian pula bila harga jual turun maka biaya operasional harus ditekan hingga 1,5 kali lipat persentase penurunan harga jual tersebut. Kedua skenario ini menjadi kurang realistis bila dikaitkan dengan komponen-komponen yang terkena pengaruhnya. 7. Tinjauan dari aspek ekonomi dan sosial memperlihatkan bahwa usaha kerajinan mebel bambu memberikan kontribusi positif bagi kondisi ekonomi maupun sosial masyarakat sekitar dan wilayah setempat
49
termasuk bagi kemungkinan peningkatan Pendapatan Asli Daerah melalui penciptaan sumber – sumber retribusi dari berbagai usaha yang terkait. Sedangkan tinjauan dari aspek dampak lingkungan lebih disebabkan pada kebutuhan bambu oleh para pengrajin yang dapat mempengaruhi kondisi alam dan lingkungan (erosi) apabila pola tanam dan peremajaan tanaman bambu tidak dilakukan dengan baik. b. Saran 1. Untuk lebih memperkuat sektor usaha kerajinan mebel bambu hendaknya pengrajin dapat mengoptimalkan koperasi pengrajin mebel bambu, selama ini cikal bakal berdirinya koperasi telah dibuat oleh para pengrajin sejak awal 2004 namun sampai saat ini belum diresmikan oleh Dinas Koperasi dan UKM. Upaya pendirian koperasi ini dikaitkan dengan pandangan terhadap perlu terpeliharanya potensi bahan baku yang dikelola secara bersama-sama dan potensi pemasaran, baik dalam pemasaran langsung maupun proses produksi dengan sistem pesanan. 2. Produk mebel bambu Indonesia saat ini masih dapat bersaing dengan produk-produk sejenis dari China dan Thailand, namun melihat grafik ekspor Indonesia cenderung mengalami penurunan, maka perlunya pembinaan dinas terkait maupun pemerhati kerajinan bambu untuk ikut serta dalam pengembangan motif dan inovasi baru agar dapat lebih diterima pasar internasional. 3. Kegiatan promosi yang diikuti pengrajin mebel bambu melalui Pemerintah Daerah Kabupaten Purworejo pada Pekan Raya Promosi dan Pariwisata (PRPP) yang dilaksanakan setiap tahun oleh Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah terjadi hanya sampai tahun 1996. Keikutsertaan pengrajin mebel bambu diperlukan karena akan memberikan nilai tambah bagi daerah maupun kegiatan usaha itu sendiri. 4. Petani bambu dan dinas terkait perlu memperhatikan kondisi lahan hutan bambu yang ada agar potensi bambu dapat terjaga, yang berdampak kepada ketersediaan pasokan bahan baku bagi pengrajin bambu serta mampu menjaga kelestarian lingkungan. 5. Secara finansial proyek ini layak untuk dibiayai, namun bank tetap perlu melakukan analisis kredit yang lebih komprehensif berdasarkan prinsip kehati-hatian, khususnya dalam penyaluran kredit investasi untuk usaha baru maupun perluasan usaha.
50
LAMPIRAN
51