POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK)
INDUSTRI JAMU TRADISIONAL (Pola Pembiayaan Konvensional)
BANK INDONESIA Direktorat Kredit, BPR dan UMKM Telepon : (021) 3818043 Fax: (021) 3518951, Email :
[email protected]
DAFTAR ISI 1. Pendahuluan ................................ ................................ ............... 2 2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan................................ ............... 4
a. Profil Usaha ........................................................................ 4 b. Pola Pembiayaan ................................................................. 6 3. Aspek Pemasaran................................ ................................ ........ 8
a. Permintaan & Penawaran ...................................................... 8 b. Persaingan & Peluang........................................................... 9 c. Harga ................................................................................10 d. Jalur Pemasaran ................................................................. 11 e. Kendala Pemasaran ............................................................12 4. Aspek Produksi ................................ ................................ .......... 13
a. Lokasi Usaha...................................................................... 13 b. Fasilitas Produksi dan Peralatan ...........................................13 c. Bahan Baku ....................................................................... 14 d. Tenaga Kerja ..................................................................... 17 e. Teknologi .......................................................................... 17 f. Proses Produksi................................................................... 17 g. Jumlah, Jenis dan Mutu Produksi .......................................... 25 h. Produksi Optimum ..............................................................25 i. Kendala Produksi ................................................................. 26 5. Aspek Keuangan ................................ ................................ ........ 27
a. Pola Usaha......................................................................... 27 b. Asumsi ..............................................................................27 c. Biaya Investasi dan Operasional ...........................................28 d. Kebutuhan Investasi dan Modal Kerja ................................... 30 e. Produksi & Pendapatan........................................................31 f. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point ...............................32 g. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek ...............................33 h. Analisis Sensitivitas ............................................................33 6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan .......................... 37
a. Aspek Sosial Ekonomi .........................................................37 b. Dampak Lingkungan ...........................................................38 7. Penutup ................................ ................................ ..................... 40
a. Kesimpulan ........................................................................ 40 b. Saran ................................................................................41 LAMPIRAN ................................ ................................ ..................... 42
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
1
1. Pendahuluan Obat bahan alam merupakan obat yang menggunakan bahan baku berasal dari alam (tumbuhan dan hewan). Obat bahan alam dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Jamu (Empirical based herbal medicine) adalah obat bahan alam yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut dan digunakan secara tradisional. Bentuk jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris saja. Obat herbal terstandar (Scientific based herbal medicine) yaitu obat bahan alam yang disajikan dari ekstrak atau penyaringan bahan alam yang dapat berupa tanaman obat, binatang, maupun mineral. Proses ini membutuhkan peralatan yang lebih kompleks dan mahal, serta ditunjang dengan pembuktian ilmiah berupa penelitian-penelitian pre-klinik. Fitofarmaka (Clinical based herbal medicine) merupakan bentuk obat bahan alam dari bahan alam yang dapat disejajarkan dengan obat modern karena proses pembuatannya telah terstandar serta ditunjang oleh bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia (Maheshwari, 2002). Namun ketiga jenis obat bahan alam tersebut sering disebut juga sebagai jamu. Keberadaan jamu tradisional sudah tidak aneh bagi masyarakat Indonesia. Sejak jaman dahulu, nenek moyang kita sudah banyak mengkonsumsi jamu tradisional untuk menjaga kesehatan ataupun mengobati penyakit. Dewasa ini, dengan kesadaran back to nature atau kembali ke alam, nampaknya penggunaan jamu tradisional yang berbahan baku alam perlu dipertimbangkan dibandingkan dengan obat modern yang berbahan baku kimia. Ketersediaan bahan baku untuk pembuatan jamu tradisional di Indonesia cukup melimpah. Hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 30.000 spesies tanaman obat dari total 40.000 spesies yang ada di di seluruh dunia. Walaupun Indonesia baru memanfaatkan sekitar 180 spesies sebagai bahan baku obat bahan alam dari sekitar 950 spesies yang berkhasiat sebagai obat. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa dari segi ketersediaan bahan baku, industri jamu tradisional tidak memiliki ketergantungan impor. Selain untuk konsumsi nasional, jamu tradisional juga berpotensi untuk di ekspor. Negara tujuan ekspor, menurut data Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat bahan alam Indonesia (GP Jamu), yaitu Malaysia, Korea Selatan, Filipina, Vietnam, Hongkong, Taiwan, Afrika Selatan, Nigeria, Arab Saudi, Timur Tengah, Rusia dan Cile. Ekspor jamu tradisional tersebut sebagian besar masih dilakukan oleh industri jamu yang cukup besar. Di Indonesia, industri jamu memiliki asosiasi yang diakui pemerintah sebagai asosiasi bagi pengusaha jamu dan obat bahan alam di Indonesia yaitu Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat bahan alam Indonesia (GP Jamu).
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
2
Anggota GP Jamu terdiri dari produsen, penyalur dan pengecer. Hingga saat ini GP Jamu menghimpun 908 anggota, yang terdiri dari 75 unit industri besar (Industri Obat bahan alam/IOT) dan 833 industri kecil (Industri Kecil Obat bahan alam/IKOT). Sekitar tahun 1900-an, pabrik-pabrik jamu besar mulai berdiri di Indonesia seperti Jamu Jago, Mustika Ratu, Nyonya Meneer, Leo, Sido Muncul, Jamu Simona, Jamu Borobudur, Jamu Dami, Jamu Air Mancur, Jamu Pusaka Ambon, Jamu Bukit Mentjos, dan tenaga Tani Farma (Aceh). Sedangkan di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah, industri kecil jamu tradisional mulai berdiri sejak tahun 1970-an dan terus berkembang di tahun 1980-an. Sehingga saat ini Kabupaten Sukoharjo terkenal sebagai salah satu sentra jamu tradisional di Indonesia. Dalam menjalankan usahanya, industri jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo menggunakan modal sendiri dan modal perbankan. Di Kabupaten Sukoharjo juga berdiri Koperasi Jamu Indonesia (KOJAI) pada tahun 1995, yang merupakan wadah bagi pengusaha jamu di Kabupaten Sukoharjo dan sekitarnya. KOJAI juga memberikan pembinaan-pembinaan kepada pengusaha jamu dalam bentuk pengadaan seminar, pelatihan, konsultasi, dan sebagainya. Kabupaten Sukoharjo khususnya Kecamatan Nguter dipilih menjadi daerah survey karena daerah ini merupakan sentra penjualan jamu tradisional yang cukup dikenal di Indonesia. Diharapkan hasil survey ini dapat menjadi acuan bagi investor, perbankan, departemen teknis, dan pengusaha dalam pengembangan industri jamu tradisional sehingga usaha ini dapat lebih berkembang dan berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan dan perekonomian daerah maupun nasional.
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
3
2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan a. Profil Usaha Kabupaten Sukoharjo khususnya Kecamatan Nguter merupakan sentra penjualan jamu tradisional yang cukup dikenal di Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya pedagang kios jamu tradisional yang terletak di Pasar Nguter Sukoharjo. Dari 250 pedagang yang ada, 33 diantaranya khusus berjualan jamu tradisional (Solopos, 2005). Pembelinya tidak hanya datang dari Sukoharjo dan sekitarnya, tetapi banyak juga yang berasal dari luar Jawa. Pelanggan cukup memesan melalui surat atau telepon, kemudian barang pesanan segera dikirim melalui pos atau perusahaan ekspedisi. Sebagian pedagang jamu tradisional yang ada di Pasar Nguter ada yang memproduksi jamu sendiri dan sebagian lainnya hanya menjual jamu saja tanpa memproduksinya. Belum ada data secara pasti dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag) Sukoharjo maupun Badan Pusat Statistik (BPS) Sukoharjo mengenai jumlah pengusaha jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo. Data dari KOJAI menyebutkan bahwa anggotanya berjumlah 60 orang yang terdiri dari pengusaha jamu dan penjual jamu. Di pihak lain, ada juga beberapa pengusaha atau penjual jamu yang belum menjadi anggota KOJAI. Tabel 2.1. memperlihatkan banyaknya pekerja menurut jenis sektor dan jenis kelamin di Kabupaten Sukoharjo. Hasil wawancara dengan pengusaha jamu di Kecamatan Nguter menunjukkan bahwa terdapat 8 pengusaha jamu di Kecamatan Nguter yang melakukan proses penggilingan. Untuk Kecamatan Sukoharjo, sebanyak 7 pengusaha melakukan proses penggilingan jamu. Sedangkan pengusaha yang lain tidak melakukan proses penggilingan melainkan hanya memasukan serbuk saja ke dalam kemasan dan mengemasnya, ataupun hanya menjual saja (pedagang). Pada umumnya, skala usaha yang dilakukan pengusaha jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo masih kecil, hanya satu – dua pengusaha saja yang melakukan proses produksi jamu dengan skala besar. Teknologi yang digunakan pun masih relatif sederhana/tradisional, yaitu hanya menggunakan mesin penggiling dan mesin penyaring. Jenis serbuk jamu yang dihasilkan hampir sama antara satu pengusaha dengan pengusaha lainnya. Yang membedakan adalah komposisi, variasi, dan mereknya. Rata-rata seorang pengusaha menjual 10 – 30 jenis jamu, walaupun ada juga yang menjual 75 jenis jamu. Pengusaha jamu tersebut tidak menanam tanaman bahan jamu sendiri, tetapi mendapatkannya dari pemasok bahan baku dalam bentuk kering (Dapat dilihat lebih jelas pada sub bab 4.3.) Tenaga kerja yang dipekerjakan pada usaha ini berkisar antara 7 – 30 orang, tergantung dari besarnya usaha yang dilakukan.
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
4
Tabel 2.1. Banyaknya Pekerja Menurut Jenis Sektor dan Jenis Kelamin di Kabupaten Sukoharjo Akhir Tahun 2003 Pekerja LakiPekerja Jenis Sektor Jumlah laki Perempuan Industri Kecil 397 156 553 Bengkel 275 74 349 Pertokoan 277 418 695 Percetakan 678 327 1.005 Logam 22 22 Makanan 672 1.762 2.434 Pompa Bensin 177 2 179 Bioskop 13 5 18 Meubel 3.418 1.592 5.010 Apotek 22 34 56 Perkayuan 364 38 402 Bahan Bangunan 164 18 182 Batik 173 118 291 Rokok 118 749 867 Karoseri 38 7 45 Jasa-jasa 2.564 2.452 5.016 Produksi Obat 1.140 947 2.087 Tekstil 7.645 18.399 26.044 Jumlah 18.157 27.098 45.255 Selain menjual jamu hasil produksi sendiri, beberapa pengusaha jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo menjual jamu yang bukan hasil produksinya, melainkan dari produsen jamu besar seperti Jamu Jago dan Air Mancur. Jamu-jamu tersebut didapat dari tenaga penjual (sales) yang secara rutin memasok jamu tersebut, hal ini dapat menambah variasi jamu yang dijual oleh pengusaha jamu di Kabupaten Sukoharjo. Jamu tradisional merupakan jenis produk yang memerlukan izin khusus yang dikeluarkan oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) yang berupa izin edar (POM-TR). Izin ini dikeluarkan untuk menjamin jamu tersebut aman dikonsumsi dan bebas dari kadar air yang berlebih, kandungan lempeng logam, kuman ataupun mikroba lainnya. Prosesnya adalah berupa pengujian laboratorium terhadap bahan baku simplisia dan produk serbuk jamu. Bila hasilnya sudah sesuai dengan standar kesehatan menurut BBPOM, maka izin edar akan dikeluarkan. Izin tersebut juga sebaiknya selalu diperpanjang setiap 3 bulan sekali. Tetapi proses pengujian laboratorium ini belum banyak dilakukan oleh pengusaha jamu di Kabupaten Sukoharjo karena mahalnya biaya yang harus dikeluarkan, yaitu sekitar Rp 2.250.000 per item produk.
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
5
Pengusaha jamu di Kabupaten Sukoharjo sudah melakukan pencatatan pembukuan sederhana seperti buku keluar masuk barang, buku omzet dan buku penggajian karyawan. Pada umumnya pengusaha jamu tradisional melakukan usaha ini karena melanjutkan usaha keluarga, pertimbangan harga jualnya yang cukup baik, dan prospek usaha yang cukup menjanjikan. Sebagian besar pengusaha jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo merupakan anggota Koperasi Jamu Indonesia (KOJAI). Manfaat yang didapat dengan menjadi anggota KOJAI adalah mendapatkan bimbingan mengenai industri jamu tradisional, mendapatkan solusi bila ada permasalahan, dapat mengikuti seminar lokal maupun nasional, dan dapat mengikuti pameranpameran. Pada umumnya para pengusaha yang menjadi anggota KOJAI sudah pernah mendapatkan pelatihan atau seminar mengenai teknologi produksi/pengolahan jamu dan teknik pemasaran/penjualan yang diberikan oleh produsen jamu besar. b. Pola Pembiayaan Dalam melakukan usahanya, pengusaha jamu tradisional di Sukoharjo mendapatkan bantuan permodalan dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Tengah, disamping menggunakan modal sendiri. Ada beberapa skim kredit yang ditawarkan pihak bank yaitu Kredit Pengusaha Kecil Mikro (KPKM), Kredit Pusaka Mandiri dari Yayasan Dana Mandiri BKKBN (Pundi), dan Kredit Usaha Kecil (KUK). Plafon kredit untuk skim KPKM adalah Rp 30.000.000 - Rp 50.000.000,-, untuk skim Pundi yaitu Rp 40.000.000,- dan untuk skim KUK plafon kreditnya yaitu Rp 500.000.000,-. Bentuk kredit tersebut dapat berupa kredit investasi maupun kredit modal kerja dengan suku bunga antara 13% - 19% per tahun. Tetapi pada umumnya pengusaha hanya mengajukan kredit untuk modal kerja saja karena plafon yang disetujui oleh pihak bank pada umumnya tidak lebih dari Rp 100.000.000,-. Padahal untuk kebutuhan investasi diperlukan dana sekitar Rp 400.000.000,. Dengan demikian, pengusaha lebih banyak menggunakan modal sendiri dalam menjalankan usahanya, akibatnya investasi harus dilakukan secara bertahap. Mengenai persyaratan keikutsertaan dana sendiri dalam pengajuan kredit, pihak bank tidak menyebutkan secara pasti persentasenya, karena dapat bervariasi untuk setiap pengajuan kredit. Tetapi pada umumnya adalah sebesar 30 % dari dana total harus merupakan dana sendiri. Selain itu, jaminan tambahan yang dipersyaratkan adalah sertifikat tanah/bangunan tempat usaha, tabungan/deposito calon debitur ataupun kombinasi antara tabungan dan cash collateral. Pada awal pengajuan kredit, nasabah pada umumnya harus menanggung biaya administrasi yang berupa biaya notaris, biaya provisi, dan biaya administrasi/biaya survey. Besarnya biaya notaris tidak dapat dipastikan, tergantung dari jaminan yang diajukan. Biasanya semakin tinggi nilai jaminan maka biaya notaris akan semakin besar. Biaya provisi ditetapkan sebesar 1% dari nilai kredit yang disetujui. Sedangkan besarnya biaya
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
6
administrasi/biaya survey bervariasi tergantung pada besarnya plafon kredit yang diberikan, yaitu berkisar antara Rp 25.000 - Rp 150.000. Menurut informasi dari pihak bank dan juga dari pengusaha, prosedur memperoleh kredit untuk usaha jamu tradisional adalah sebagai berikut : Calon debitur mengajukan kredit dengan mengisi blanko pengajuan kredit dengan melengkapi syarat-syarat administrasi. Persyaratan administrasinya yaitu fotocopy KTP (suami dan istri), fotocopy kartu keluarga, fotocopy izin usaha (Surat Izin Usaha Perdagangan/SIUP, Tanda Daftar Perusahaan/TDP, Tanda Daftar Industri/TDI, Izin Gangguan/HO, dan Nomor Pokok wajib Pajak/NPWP), pasfoto ukuran 4 x 6 (suami dan istri). Jika persyaratan administrasi sudah lengkap, kemudian dilakukan pembahasan dengan analis kredit, dilakukan survey lapang, dilakukan penelitian mengenai surat jaminan yang diajukan, dan ditentukan kelayakan pembiayaan usahanya. Jika persyaratan administrasi sudah lengkap dan pengajuan kredit disetujui, proses pencairan kredit dapat dilakukan dalam waktu 1 - 2 minggu. Tetapi jika persyaratan administrasi tidak lengkap, maka kredit baru dapat dicairkan sekitar 1 bulan kemudian. Proses pencairan biasanya dilakukan secara sekaligus. Tetapi untuk kredit dengan nilai lebih dari Rp 50.000.000,- dapat dilakukan secara bertahap (2 kali pencairan). Kriteria yang menjadi pertimbangan pihak bank dalam melakukan analisis kredit adalah karakter calon debitur (character), ketersediaan modal (capital), jaminan (collateral), prospek usaha, sensitivitas resiko, jumlah kredit yang diajukan, ketersediaan pasar, kegiatan operasional yang dilakukan, transaksi harian tabungan/giro calon debitur, dan sejarah pemberian kredit dari bank lain. Karakter calon debitur menjadi perhatian khusus dari pihak bank, karena jika karakternya baik, pada umumnya tidak ada masalah yang akan timbul kemudian. Motivasi pihak bank dalam membiayai usaha jamu tradisional adalah karena usaha ini layak dibiayai dan menguntungkan. Selain itu juga karena Kabupaten Sukoharjo merupakan sentra usaha jamu tradisional sehingga bila berkembang dengan baik berpotensi sebagai sumber pendapatan asli bagi daerah, memperluas kesempatan kerja, dan mengembangkan potensi daerah. Dari awal pengajuan kredit sampai pelaksanaan usaha, pihak bank juga sering memberikan konsultasi manajemen kepada pengusaha, sehingga usaha jamu tradisional yang dilakukan dapat berjalan lancar dan lebih berkembang.
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
7
3. Aspek Pemasaran a. Permintaan & Penawaran Kecenderungan masyarakat Indonesia maupun mancanegara saat ini dalam mengkonsumsi sesuatu adalah kembali ke alam (back to nature). Kondisi tersebut merupakan suatu peluang yang cukup besar dalam hal obat bahan alam untuk menggantikan obat modern/obat kimia walaupun belum dapat menggantikannya secara penuh. Sampai saat ini belum ada data pasti baik dari Deperindag maupun BPS mengenai jumlah permintaan jamu secara nasional maupun ekspor, Industri jamu nasional membukukan omzet penjualan sekitar Rp 3.200.000.000.000,- hingga Rp 3.500.000.000.000 pada tahun 2004 atau naik sekitar 15% - 20% dibandingkan dengan tahun 2003 (www.bexi.co.id). Data lain menyebutkan bahwa walaupun market share atau pangsa pasar obat alami belum sebesar obat modern/obat kimia, tetapi potensi peningkatannya cukup pesat. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1. berikut ini. Tabel 3.1. Perbandingan Permintaan Antara Obat Modern dan Obat Alami Obat Modern
Obat Alami
Permintaan Tahun 2003
Rp 17.000.000.000.000
Rp 2.000.000.000.000
Market share Tahun 2003
89,5%
10,5%
Rp 37.000.000.000.000
Rp 7.200.000.000.000
84%
16%
Perkiraan Tahun 2010 Market share Tahun 2010
Sumber: LIPI dalam www.bexi.co.id, 2005 Selain permintaan untuk pasar domestik, permintaan dari pasar mancanegara untuk produk jamu juga sudah mulai bermunculan. Walaupun permintaan ekspor ini baru dapat dipenuhi oleh pengusaha jamu yang cukup besar. Data pasti mengenai keseluruhan permintaan dari mancanegara juga belum ada, yang ada hanya data mengenai peningkatan ekspor salah satu produsen jamu yang mencapai 80% - 100% selama tiga tahun terakhir (www.bexi.co.id). Dari pengusaha jamu tradisional di Kecamatan Nguter, dapat diketahui bahwa jenis konsumen atau kelompok pembelinya adalah konsumen langsung (rumah tangga), pedagang pengumpul, dan pengecer. Jumlah persentase terhadap omzet untuk setiap jenis konsumen adalah 20% untuk konsumen langsung, 40% untuk pedagang pengumpul, dan 40% untuk Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
8
pengecer. Sedangkan jumlah persentase antara pelanggan tetap dan tidak tetap adalah masing-masing 80% dan 20%. Dengan demikian, permintaan dari pelanggan jamu dapat dikatakan sudah rutin berjalan. Pembagian daerah penjualan jamu tradisional produksi Kecamatan Nguter dapat dilihat pada Tabel 3.2. Tabel 3.2. Pembagian Daerah Penjualan Jamu Tradisional Nguter Daerah Penjualan Nama Daerah Dalam Kecamatan Nguter Dalam Kabupaten Sukoharjo Dalam Propinsi Wonogiri, Karanganyar, Sragen Bogor, Cirebon, Banjarmasin, Balikpapan, Antar Propinsi Palu, Gorontalo, Aceh, Sintang, Medan, Kupang, Ternate Ekspor Malaysia, Filipina Sumber : Data Primer, 2005 2. Penawaran BPS dan Deperindag belum dapat menyajikan data mengenai total penawaran dan perkembangan produksi jamu tradisional. Menurut pengusaha jamu tradisional Nguter, hampir semua produk jamu yang dihasilkan habis terserap oleh pasar. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah penawaran hampir sama dengan jumlah permintaan atau setidaknya belum ada kelebihan pasokan. Apabila jumlah permintaan meningkat, pengusaha masih dapat meningkatkan kapasitas produksinya. Untuk saat ini, kapasitas produksi pengusaha jamu tradisional di Kecamatan Nguter adalah sekitar 12 ton bahan baku yang menghasilkan 9,6 ton atau 9.600 kg serbuk jamu per bulan, dengan potensi peningkatan produksi dari tahun ke tahun dapat mencapai 25%. Potensi peningkatan ini didukung pula oleh ketersediaan pasokan bahan baku yang memadai. b. Persaingan & Peluang Menurut data, pada tahun 2003 industri jamu nasional diperkirakan memiliki omzet senilai Rp 2.500.000.000.000,-. Omzet sebesar itu diperebutkan oleh tidak kurang dari 650 perusahaan jamu besar dan kecil. Sangat jauh dibandingkan industri farmasi yang hanya memiliki 250 pemain tetapi dengan omzet Rp 16.000.000.000.000,- sampai Rp 18.000.000.000.000,-. Dengan demikian, persaingan yang terjadi untuk jamu nasional cukup ketat (www.Sinar harapan.co.id). Untuk pasar ekspor, pesaing terberat untuk produk jamu adalah Cina dan Malaysia. Karena Cina adalah produsen jamu tertua di dunia dan harga produk jamunya jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga jamu dari Indonesia.
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
9
Di wilayah Kecamatan Nguter, persaingan yang terjadi cukup ketat karena jumlah pengusaha jamu semakin banyak. Saat ini terdapat 15 sampai 20 pengusaha di Kecamatan Nguter dan Sukoharjo, ditambah dengan agen penjualan dan pedagang jamu yang jumlahnya dapat mencapai 60 orang. Kondisi tersebut ditambah lagi dengan mulai adanya kios-kios jamu di luar daerah. Walaupun demikian, persaingan usaha yang terjadi masih dapat dikatakan sehat. Untuk dapat memenangkan persaingan, setiap pengusaha harus cukup kreatif dan mempunyai strategi dalam meningkatkan kualitas produk dan meningkatkan penjualan. Karena walaupun persaingan yang terjadi cukup ketat dibandingkan sebelumnya, tetapi permintaan pasar masih tetap ada dan cenderung meningkat. Sehingga usaha jamu tradisional ini masih dapat dikatakan memiliki prospek yang cukup baik. Strategi usaha yang dapat dilakukan adalah senantiasa melakukan peningkatan kualitas/mutu jamu, peningkatan kualitas kemasan, dan mencari bahan baku yang murah dan berkualitas baik. Selain itu, dapat juga dilakukan pendekatan atau lobi-lobi untuk perluasan pasar, melakukan promosi yang gencar seperti pengadaan bonus, potongan harga, kemudahan pembayaran, dan yang paling penting adalah membangun loyalitas dan komitmen pada konsumen. Selain promosi yang telah disebutkan di atas, promosi juga dapat dilakukan dengan cara beriklan di media lokal seperti di radio ataupun koran lokal. Hal ini perlu dilakukan mengingat persaingan yang cukup ketat dan semakin banyaknya pesaing tidak langsung seperti produsen suplemen herbal dan lain-lain. Pada perhitungan keuangan, biaya promosi tersebut diasumsikan sebesar Rp 1.000.000,- - Rp 2.000.000,- per tahun (Lampiran 9 - 16). c. Harga Harga jual untuk produk jamu tradisional yang diproduksi pengusaha di Kecamatan Nguter pada umumnya tidak terlalu mahal, yaitu berkisar antara Rp 850 sampai dengan Rp 5.000 per pak. Satu pak umumnya terdiri dari 10 sachet yang berisi serbuk jamu. Tetapi ada juga serbuk jamu yang tidak dijual per pak atau per sachet melainkan dijual per kg. Harganya adalah berkisar antara Rp 4.000 sampai dengan Rp 40.000 per kg. Penentuan harga jamu sangat ditentukan terutama oleh harga bahan baku dan harga kemasan (kertas dan plastik). Walaupun bahan baku relatif mudah didapat dari dalam negeri, tetapi kemasan yang digunakan ada yang berasal dari luar negeri. Sehingga untuk ke depannya perlu dicari jenis kemasan yang merupakan produksi dalam negeri. Harga jual produk jamu dari tahun ke tahun mengalami peningkatan sekitar 10 sampai dengan 25% disesuaikan dengan peningkatan biaya produksi. Perubahan harga dari waktu ke waktu untuk beberapa jenis produk dapat dilihat pada Lampiran 7. Volume penjualan produk jamu tradisional per bulannya cenderung berfluktuasi. Biasanya saat Lebaran dan hari-hari besar atau hari libur
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
10
cenderung mengalami peningkatan dibandingkan hari-hari lainnya. Secara keseluruhan volume penjualan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan sekitar 25%. Sistem pembayaran yang diterapkan untuk proses penjualan jamu berbedabeda tergantung siapa pembelinya, lokasi pembeli, jumlah produk yang dibeli dan tingkat kepercayaan pengusaha kepada pembeli tersebut. Pada umumnya sistem pembayarannya adalah kontan terutama untuk konsumen langsung. Tetapi pembayaran juga dapat dilakukan setelah pengiriman barang, setelah barang laku terjual ataupun pada pengiriman berikutnya, bahkan setelah 1 bulan pengiriman baru dibayar. Oleh karena itu ada biaya pemasaran/distribusi yang dikeluarkan yang diperlukan untuk mengirim barang ke lokasi konsumen. Pada perhitungan keuangan, biaya pemasaran/distribusi tersebut diasumsikan sebesar Rp 2.000.000,- per tahun (Lampiran 9 - 16). d. Jalur Pemasaran Penjualan produk pengusaha jamu tradisional di Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo saat ini dilakukan oleh pengusaha sendiri ataupun melalui agen penjualan. Jalur pemasaran produk jamu tradisional dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3.1. Jalur Pemasaran Produk Jamu Pengusaha jamu mendapatkan bahan baku yang biasa disebut simplisia dari pemasok yaitu para pengepul/pengumpul. Sedangkan hasil produksi yaitu produk jamu dapat dijual melalui agen penjualan, melalui pedagang pengumpul, ataupun langsung dijual ke konsumen rumah tangga/ konsumen langsung. Pengusaha jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo melakukan kemitraan dengan pengepul dan agen penjualan walaupun tidak diikat dalam suatu perjanjian tertulis. Jenis kemitraan ini berbentuk dagang umum. Manfaat yang didapat dari adanya kemitraan ini adalah adanya kemudahan proses penjualan karena sudah rutin dilaksanakan, peningkatan omzet/volume produksi, pengembangan usaha, serta publikasi yang jelas dan menambah pelanggan.
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
11
e. Kendala Pemasaran Pengusaha tidak mengalami kendala yang berarti dalam menjual jamu tradisional karena pelanggannya sudah pasti dan cenderung rutin. Tetapi jika persaingan sudah semakin ketat, perlu dilakukan diversifikasi produk dan modifikasi kemasan agar dapat menarik pelanggan. Tantangan lain yang dirasakan adalah sikap dari dunia medis yang belum sepenuhnya menerima jamu dan obat bahan alam sebagai alternatif pengobatan. Selain itu juga masih banyaknya produk jamu hasil produksi pengusaha di Kecamatan Nguter yang belum mendapatkan izin edar dari Balai Besar Pengobatan Obat dan Makanan (POM-TR) yang artinya adalah belum teruji lulus standar kesehatan yang ditetapkan, sehingga peluang untuk ekspor masih sangat kecil
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
12
4. Aspek Produksi a. Lokasi Usaha Lokasi usaha jamu tradisional yang disurvey terletak di Desa Nguter Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo. Kabupaten Sukoharjo khususnya Kecamatan Nguter merupakan sentra usaha dan penjualan jamu tradisional yang cukup terkenal di Indonesia. Lahan yang dijadikan usaha merupakan sebagian dari rumah pengusaha, sehingga pemilihan lokasi usaha lebih disebabkan karena memang sudah memiliki lahan di tempat tersebut. Untuk dapat menghasilkan jamu tradisional yang berkualitas baik dan aman untuk dikonsumsi, pemilihan lokasi usaha menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Menurut Badan POM (2002), ketentuan-ketentuannya adalah sebagai berikut : a. Lokasi pabrik/industri Lokasi bebas dari pencemaran dan tidak mencemari lingkungan. b. Bangunan pabrik
Mempunyai konstruksi yang baik dan mudahdibersihkan. Ruangan sesuai dengan urutan prosespembuatan sertamempunyai penerangan dan ventilasi yang cukup. Peralatan sesuai kebutuhan dan menjaminkeamanan, mutu dan keseragaman bobot.
c. Fasilitas untuk pengendalian kebersihan
Harus mempunyai sarana penyediaan airbersih. Harus mempunyai sarana pembuangan airselokan dankotoran. Harus mempunyai sarana toilet dan saranacucitangan bagi karyawan.
d. Menjaga kebersihandan kesehatan terhadapkaryawan, lingkungan, dan kebersihan peralatan proses produksi. b. Fasilitas Produksi dan Peralatan Untuk memproduksi jamu tradisional dengan kapasitas sekitar 9.600 kg serbuk jamu per bulan dibutuhkan fasilitas dan peralatan produksi sebagaiberikut yang disajikan pada Tabel 4.1. Setiap fasilitas dan peralatan produksi yang digunakan harus selalu berada di tempatnya masing-masing. Peralatan produksi tersebut juga harus digunakan dalam keadaan bersihdan higienis.
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
13
Tabel 4.1. Fasilitas Produksi dan Peralatan No Jenis Peralatan 1 Timbangan duduk 2 Timbangan kecil 3 Mesin penggerak 4 Mesin penggiling 5 Mesin penyaring 6 Alat pengepres 7 Alat pengukur kadar air 8 Alas sortir/terpal 9 Alat sortir/tampah 10 Rak besar 11 Tong 12 Ember besar/wadah 13 Tampah penyimpanan Sumber : Data Primer, 2005
Satuan Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah M2 Buah Buah Buah Buah Buah
Jumlah 2 2 2 4 2 7 1 100 6 7 10 10 30
c. Bahan Baku
Bahan baku pembuatan jamu tradisional disebut sebagai simplisia. Simplisia yang digunakan adalah dalam bentuk kering sehingga tidak diperlukan proses pencucian dan pengeringan lagi. Dengan demikian, tidak diperlukan bak penampungan air. Proses pengeringan pun dilakukan oleh pemasok bahan baku. Simplisia yang dapat digunakan sebagai bahan pembuat jamu tradisional sangat banyak dan beragam. Komposisinya sangat ditentukan oleh jenis jamu tradisional yang akan dihasilkan. Dari pengusaha jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo, dapat dilihat jenis bahan baku yang digunakan serta manfaat dari setiap jenis, yang disajikan pada Tabel 4.2. berikut ini. Bahan baku tersebut diperoleh dari pemasok luar (pengumpul) dalam bentuk kering yang berasal dari Wonogiri, Purwokerto, Purworejo, Ambarawa, dan Jawa Timur. Bentuk bahan baku tersebut dapat berupa daun maupun rimpang. Proses pembelian dapat dilakukan setiap panen raya, yaitu sekitar bulan Juli - Agustus setiap tahun. Tetapi pembelian dapat juga dilakukan setiap bulan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi segala resiko yang mungkin terjadi apabila stok bahan baku disimpan dalam jumlah besar untuk kebutuhan produksi satu tahun. Resiko yang mungkin terjadi adalah resiko kehilangan, resiko kerusakan ataupun resiko peningkatan kadar air. Pada umumnya pasokan bahan baku tersebut lancar sehingga tidak mengganggu proses produksi.
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
14
Tabel 4.2. Jenis Bahan Baku yang Digunakan No Asumsi 1 Kapulogo
Satuan Karminatif, batuk, encok, kolik, demam Karminatif, stimulan, diaforetika, tumor kulit 2 Jahe dan leukimia 3 Kencur Batuk, roboran, sakit perut 4 Kunit Kholagogum, diare, karminatif, skabisid 5 Laos Karminatif, antifungi, sakit perut, malaria Menambah pengeluaran empedu, kolagog, 6 Temulawak sembelit, ambeien, diare Kanker payudara, prostat, usus besar, diabet, 7 Sambiloto hepato, darah tinggi Karminatif, stomakik, disentri, mencret, kepala 8 Puyang pusing 9 Kedawung Karminatif, diare Batuk, bisul, bau badan, gusi berdarah, sakit 10 Daun sirih gigi, mengurangi produksi susu - Daun : astringen, disentri, laktagoga, demam, batuk, malaria 11 Tapal liman - Akar : Malaria, kurang darah, batuk, mencret, sariawan 12 Kayu manis Karminatif, pewangi 13 Kayu pule Demam, tonikum, kembung Karminatif, mulas, corigen saporis, batuk, 14 Adas sariawan 15 Kayu secan Diare, pembersih darah, sipilis 16 Pulosari Demam, sariawan, disentri, karminatif, spasmo 17 Ginseng Obat kuat - Buah : Obat cacing, disentri, astringen 18 Delima - Bunga : Radang selaput lendir gusi Menghilangkan lendir, keputihan dan 19 Kayu rapat merapatkan 20 Jati Belanda Astringen, pelangsing, diare, batuk 21 Lada hitam Karminatif, antiseptik, stimulan 22 Cabe Jawa Stimulan, diaforetik, karminatif, obat gosok 23 Pinang Obat cacing, keputihan, anti jamur Antipiretik, sakit perut, sakit kulit, tonikum, 24 Brotowali sakit kuning, pegal-pegal Sumber : Data Primer, 2005 Kualitas bahan baku/simplisia akan sangat menentukan kualitas jamu yang dihasilkan. Oleh karena itu, pemilihan bahan baku yang berkualitas baik
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
15
sangat penting untuk diperhatikan, dan tidak hanya semata didasarkan atas harga yang murah. Secara umum, kualitas simplisia yang baik dapat dilihat dari parameter/kriteria sebagai berikut : tingkat kebersihan, tingkat kekeringan, warna, tingkat ketebalan, dan keseragaman ukurannya. Menurut Badan POM (2002), cara pengelolaan simplisia yang baik adalah sebagai berikut : Tabel 4.3 Bagan Alir Cara Pengelolaan Simplisia yang Baik Sarana Prasarana Pendukung yang Perlu Diperhatikan
Alir Proses
Bahan baku simplisia
-
Sanitasi/higiene Timbangan Wadah Dokumentasi-penerimaan barang
Sortasi Basah
-
Sanitasi/higiene Contoh simplisia/pembanding Wadah/keranjang/kantong Dokumentasi
Pencucian
-
Sanitasi/higiene Air pencuci Bak/bak pencuci/alat pencuci Alat penirisan/keranjang Dokumentasi
Perajangan
-
Sanitasi/higiene Alat/mesin Ukuran Dokumentasi
Pengeringan
-
Sanitasi/higiene Cara alamiah/buatan Tempat/tampah/bedeng bambu/ plastik Dokumentasi
Sortasi kering
-
Sanitasi/higiene Ruang tertutup Wadah hasil sortasi Wadah kotoran Dokumentasi
Penyimpanan
- Sanitasi/higiene - Pengepakan - Alat/wadah - Ruang tertutup, ventilasi cukup, sirkulasi udara cukup - Kelembaban dijaga
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
16
Pemeriksaan mutu
-
Dokumentasi
-
Sanitasi/higiene Timbangan, mikroskop Organoleptik, makroskopik Kadar air Cemaran mikroba Cemaran jamur Cemaran pestisida Dokumentasi
Sumber : Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan, 2002 d. Tenaga Kerja Tenaga kerja yang digunakan pada industri jamu tradisional tidak memerlukan keahlian khusus karena teknologi yang digunakan masih sederhana. Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan tergantung pada kapasitas produksi yang digunakan. Dari informasi pengusaha jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo, untuk kapasitas 9.600 kg serbuk jamu per bulan dibutuhkan tenaga kerja sebanyak 20 orang. Tugas/tanggung jawab yang dilakukan adalah menyortir, meramu dan menggiling, mengayak/menyaring, mengisi jamu ke dalam kemasan, mengepres, dan menerima barang. Selain karyawan yang melakukan tugas-tugas tersebut, tenaga kerja juga meliputi manajer/pemilik usaha yang bertanggung jawab terhadap jalannya usaha jamu tradisional secara keseluruhan. e. Teknologi Teknologi yang digunakan dalam proses produksi jamu secara umum dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu tradisional dan modern. Pada teknologi yang tradisional, poses produksi yang dilakukan hanya sedikit menggunakan mesin, prosesnya relatif sederhana, dan produk yang dihasilkan dapat berupa serbuk atau cairan. Mesin yang dapat digunakan pada teknologi ini adalah mesin giling dan mesin penyaringan. Pada teknologi yang lebih modern, proses produksi dilakukan dengan menggunakan peralatan/mesin yang lebih banyak, prosesnya lebih kompleks, dan produk yang dihasilkannya dapat berupa ekstrak jamu dan berbentuk pil atau kaplet. Mesin yang dapat digunakan pada teknologi yang lebih modern ini adalah ekstraktor, evaporator, aroma recovery, dan retrifikasi (pemurnian). f. Proses Produksi Proses produksi yang dilakukan pada industri jamu tradisional di KabupatenSukoharjo masih menggunakan teknologi yang relatifsederhana/tradisional karena produk jamu yang dihasilkan adalah
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
17
berupaserbuk jamu. Secara umum meliputitahapan sebagai berikut :
proses
produksi
yang
dilakukan
a. Bahan baku datangdari pemasok dalam bentuk kering
Foto 4.1.Bahan Baku Jamu b. Pengambilan sampel bahan baku, jika kualitasnya cocok maka dibeli c. Sortasi bahan baku Sortasibahan baku dilakukan untuk memisahkan bahan baku yang baik dengan yangtidak baik yang terlihat secara fisik, misalnya daun yang sudahlayu. Sortasi juga dilakukan untuk memisahkan benda asing yang mungkinterdapat dalam bahan baku tersebut, misalnya kotoran atau tanah. d. Pengukuran kadar air Menurutaturan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan, setiap industri jamuharus memiliki alat laboratorium, minimal alat untuk mengukur kadar airbahan baku jamu. Sebaiknya simplisia kering yang akan digunakan untukpembuatan jamu memiliki kadar air maksimal 11 %. Jika ternyata kadarair simplisia tersebut di atas 11 % maka dilakukan prosespengeringan/penjemuran. Tetapi proses pengukuran kadar air ini belumdilakukan oleh pengusaha jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo. e. Penimbangan bahan baku sesuai kebutuhanmenggunakan timbangan duduk
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
18
Foto 4.2. Timbangan Duduk f. Penggilingan simplisia menjadi serbuk Simplisia yang telah ditimbang digiling dengan menggunakan mesin penggiling yang digerakkan oleh mesin penggerak. Sebaiknya jenis atau ukuran pisau pada mesin penggiling yang digunakan untuk menggiling daun dan rimpang berbeda. Pisau pada mesin penggiling harus selalu diganti setiap 3 bulan untuk menjamin hasil gilingan selalu dalam ukuran yang seharusnya. Pada perhitungan keuangan, diasumsikan dalam setiap bulan ada pisau yang diganti untuk mesin penggiling yang berbeda, karena jumlah mesin penggiling yang digunakan lebih dari satu (pisau tidak diganti pada saat yang bersamaan untuk semua mesin penggiling). Harga pisau untuk menggiling daun dan rimpang diasumsikan sama (Lampiran 4).
Foto 4.3. Proses Penggilingan
g. Penyaringan/pengayakan dengan saringan 120 mesh.
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
19
Proses penyaringan dilakukan untuk menghasilkan serbuk dengan ukuran yang halus dan seragam. Dari proses penyaringan ini, pada umumnya serbuk yang tidak lolos adalah sekitar 15 - 20 %.
Foto 4.4. Proses penyaringan
Foto 4.5. Serbuk Jamu Hasil Penyaringan
h. Peramuan/pencampuran sesuai kombinasi yang diinginkan Serbuk jamu yang telah disaring kemudian diramu dengan jumlah dan komposisi yang disesuaikan dengan jenis jamu yang akan dihasilkan. Proses peramuan/ pencampuran ini dilakukan secara manual. i. Pengukuran kadar air serbuk jamu
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
20
Sebelum dikemas, sebaiknya dilakukan pengukuran kadar air serbuk jamu untuk menjamin tingkat kekeringan serbuk tersebut. Kualitas serbuk yang baik adalah yang memiliki kadar air tidak lebih dari 5 %. Tetapi proses pengukuran kadar air ini juga belum dilakukan oleh pengusaha jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo. j. Pengemasan dalam bentuk sachet dan pak Serbuk jamu dimasukkan dengan ukuran rata-rata 7 - 8 gram ke dalam kemasan sachet kemudian dipres dengan alat pengepres dan dilakukan secara manual. Setiap 10 sachet dipak dalam kemasan plastik. Beberapa pak jamu dikemas lagi dalam plastik bening dengan ukuran besar. Beberapa jenis serbuk jamu tidak dikemas dalam bentuk sachet, tetapi dikemas secara kiloan dengan kemasan plastik yang lebih besar.
Foto 4.6. Proses Pengemasan
Foto 4.7. Alat Pengepres
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
21
Foto 4.8. Jamu Ukuran Sachet
Foto 4.9. Jamu yang Telah Dikemas
k. Penyimpanan produk jadi sebelum dijual Jamu yang siap dijual disimpan terlebih dahulu dalam rak-rak besar secara teratur. Gudang penyimpanan jamu harus kering dan tidak lembab sehingga tidak menurunkan kualitas jamu yang telah dihasilkan. Rak-rak penyimpanan tidak boleh menempel pada dinding, tetapi harus ada sedikit jarak sehingga jamu tersebut tidak menjadi lembab.
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
22
Foto 4.10. Rak Penyimpanan Jamu
l. Distribusi produk jadi pada konsumen Merupakan proses penyampaian jamu tradisional dari produsen ke konsumen. Pada tahap ini pun harus diperhatikan aspek higienis dan pengaturan peletakannya, baik pada saat pengangkutan maupun penyimpanan di kios/toko. Sebagai perbandingan dengan proses produksi yang dilakukan pengusaha jamu tradisional di Sukoharjo, cara memproduksi serbuk yang baik menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan adalah sebagai berikut (Tabel 4.4.). Tabel 4.4. Bagan Alir Cara Produksi Serbuk yang Baik
Aliran Proses
Sarana dan Prasarana Pendukung yang Perlu Diperhatikan
Penyiapan bahan Lihat : Cara pengelolaan bahan baku/simplisia yang baku baik
Penimbangan
Penggilingan
Pengayakan
Alat ditera secara berkala Sanitasi/higiene perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi Kebenaran hasil penimbangan Dokumentasi penimbangan Sanitasi/higiene perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi Lama penggilingan Sanitasi/higiene perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
23
Pencampuran
Teknik pengayakan yang tepat
Sanitasi/higiene perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi Lama pencampuran sampai homogen
Pengeringan
Pengemasan
Karantina
Penyimpanan
Distribusi
Sanitasi/higiene perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi Lama pengeringan Pengawasan mutu (kadar air, Kromatografi Lapis Tipis) Sanitasi/higiene perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi Alat pengemas Bahan pengemas Mutu hasil pengemasan/uji kemasan Sanitasi/higiene perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi Pengujian mutu (organoleptik, kadar air, keseragaman bobot, mikroba, pertumbuhan jamur) Sanitasi/higiene perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi Uji keawetan Obat siap untuk dipasarkan Sanitasi/higiene perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi Uji keawetan dan dimonitor
Sumber : Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan, 2002 Obat bahan alam termasuk jamu yang diproduksi oleh industri obat bahan alam (IOT) maupun industri kecil obat bahan alam (IKOT) mempunyai persyaratan yang sama yaitu aman untuk digunakan, berkhasiat/bermanfaat dan bermutu baik. Oleh karena itu semua usaha di bidang industri obat bahan alam harus dapat menerapkan Cara Pembuatan Obat bahan alam yang Baik (CPOTB) agar dapat menghasilkan obat bahan alam yang memenuhi syarat. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam menerapkan CPOTB adalah : 1.
Personalia
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
24
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Bangunan Peralatan Sanitasi dan higiene Penyiapan bahan baku Pengolahan dan pengemasan Pengawasan mutu Inspeksi diri Dokumentasi Penanganan terhadap hasil pemantauan produk di peredaran
g. Jumlah, Jenis dan Mutu Produksi Produk jamu tradisional yang dihasilkan oleh pengusaha di Kabupaten Sukoharjo bermacam-macam jenisnya. Secara umum jenis jamu tersebut adalah jamu untuk kecantikan, perawatan tubuh, kesehatan dan pengobatan. Jamu tersebut berbentuk serbuk yang dikemas dalam kemasan sachet dengan ukuran rata-rata 7 - 8 gram per sachet dan dikemas dalam bentuk pak sehingga 1 pak terdiri dari 10 sachet. Tetapi ada juga serbuk yang dijual secara kiloan, tidak dalam bentuk sachet. Penentuan jumlah dan jenis jamu yang diproduksi adalah berdasarkan permintaan dan pengalaman dari penjualan sebelumnya. Jamu yang bermutu baik adalah jamu yang telah mendapatkan izin edar (POM-TR) dari Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) untuk setiap item produknya, sehingga ada jaminan keamanan dalam mengkonsumsi jamu tersebut. Setiap jenis bahan baku dan produk jadi diperiksa di laboratorium BBPOM. Tetapi bukan berarti jamu tradisional yang belum ada izin edarnya bermutu rendah. Jamu tersebut juga dapat berkualitas baik asalkan memperhatikan sanitasi dan higienis dalam setiap proses produksinya yaitu dari mulai penanganan bahan baku sampai distribusi produk jadi. Selain itu faktor kritis lain dalam menghasilkan jamu berkualitas baik adalah pemilihan bahan baku. Bahan baku yang digunakan haruslah bahan baku yang berkualitas baik sehingga akan menghasilkan jamu bermutu baik. h. Produksi Optimum Berdasarkan hasil survey pengusaha jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo, kapasitas usaha produksi optimum yang dapat dicapai adalah dengan mengolah bahan baku sekitar 12 ton per bulan atau setara dengan jumlah produk sebesar 9,6 ton (9.600 kg). Dengan demikian, rendemen produksi adalah sebesar 80 %. Apabila terjadi peningkatan jumlah permintaan, maka dapat dilakukan lembur untuk menambah jam kerja. Dari 9.600 kg serbuk jamu yang dihasilkan, sebanyak 8.755 kg dikemas dalam bentuk sachet, sementara sisanya yaitu 845 kg dijual dalam bentuk kiloan. Pengisian serbuk ke dalam sachet diasumsikan 8,5 gram walaupun isi kemasan sachet adalah 7 - 8 gram. Hal ini disebabkan ada serbuk yang
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
25
tercecer sebanyak kurang lebih 0,5 gram. Dengan demikian, dari 8.755 kg atau 8.755.000 gram dihasilkan 1.030.000 sachet jamu atau 103.000 pak jamu (Lampiran 8). i. Kendala Produksi Kendala produksi yang dihadapi oleh pengusaha jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo adalah keterbatasan peralatan yang dimiliki. Contohnya adalah alat pengepres/pengemas yang digunakan masih bersifat manual sehingga agak menghambat proses produksi. Kendala lain adalah sulitnya untuk mendapatkan izin edar dari BBPOM karena mahalnya biaya yang harus dikeluarkan yaitu untuk biaya pengujian serbuk jamu di laboratorium. Sebagai gambaran, biaya yang dikeluarkan untuk tes laboratorium untuk satu jenis produk adalah sekitar Rp 2.250.000 dan itu pun belum tentu lolos uji kesehatan. Hambatan lain untuk mendapatkan izin edar adalah kurang tersedianya apoteker untuk setiap pengusaha jamu. Idealnya satu apoteker bertanggung jawab untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap 5 pengusaha jamu. Menurut ketua KOJAI, di Kabupaten Sukoharjo hanya terdapat 3 apoteker sehingga perannya kurang optimal. Sebagai contoh, dari sekitar 75 jenis jamu yang diproduksi oleh pengusaha jamu tradisional, baru 9 jenis jamu yang sudah mendapatkan izin edar. Menurut data KOJAI, dari sekitar 60 anggota, yang sudah memiliki izin edar baru sekitar 15 pengusaha. Untuk kepentingan perhitungan keuangan, diasumsikan jenis item produk jamu yang diuji di laboratorium adalah 10 item produk per tahun. Sehingga biaya pengujian laboratorium selama satu tahun adalah sebesar Rp 22.500.000 per tahun (Lampiran 9 - 16). Sedangkan untuk biaya apoteker, karena satu apoteker bertanggung jawab untuk 5 pengusaha jamu, maka biaya satu apoteker ditanggung oleh 5 pengusaha. Diasumsikan biaya satu apoteker adalah Rp 3.000.000 per bulan, maka satu pengusaha mengeluarkan dana Rp 600.000 untuk biaya apoteker (Lampiran 4).
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
26
5. Aspek Keuangan a. Pola Usaha Pola usaha yang dipilih adalah usaha jamu tradisional yang hanya menggunakan mesin penggiling dan alat pengayak/penyaring dalam proses produksinya, yang menghasilkan produk jamu berbentuk serbuk atau bubuk. Usaha jamu tradisional ini masih memiliki prospek yang baik karena Indonesia sangat kaya akan bahan baku jamu/simplisia sehingga tidak memiliki ketergantungan impor. Selain itu, proses dan teknologinya relatif sederhana sehingga tidak memerlukan tenaga kerja yang memiliki keterampilan/keahlian khusus. Kecenderungan masyarakat domestik dan mancanegara untuk mengkonsumsi sesuatu yang alami semakin menguatkan potensi usaha jamu tradisional ini. b. Asumsi Analisis keuangan industri jamu tradisional perlu dilakukan untuk mengetahui gambaran umum mengenai pendapatan dan pengeluaran/biaya, kemampuan melunasi kredit, serta kelayakan usaha ditinjau dari beberapa kriteria kelayakan finansial seperti Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Pay Back Period (PBP), dan Net Benefit/Cost Ratio (Net B/C). Untuk melakukan analisis keuangan tersebut menggunakan beberapa asumsi dan parameter keuangan yang didasarkan pada hasil pengamatan di lapangan, masukan dari instansi terkait dan pustaka yang mendukung sehingga akan diperoleh gambaran secara utuh tentang aspek keungan industri jamu tradisional. Asumsi dan parameter yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 5.1. Pemilihan periode proyek 5 tahun disebabkan oleh umur ekonomis beberapa mesin yang digunakan dalam proses produksi rata-rata mencapai 5 tahun. Selain itu juga karena jangka waktu kredit investasi adalah 5 tahun sehingga pada akhir tahun ke-5 kredit sudah terlunasi. Rata-rata bahan baku simplisia yang digunakan untuk proses produksi adalah 12.000 kg per bulan. Pada umumnya selama proses produksi, rendemen yang terjadi adalah 80%, sehingga produk jamu yang dihasilkan per bulan diasumsikan 9.600 kg serbuk jamu. Dari produk jamu yang dihasilkan tersebut, diasumsikan seluruhnya terjual karena pasarnya sudah jelas. Proses produksi industri jamu tradisional diasumsikan berjalan sepanjang tahun atau selama 12 bulan, hal ini dapat dijelaskan mengingat uasaha industri jamu tidak dipengaruhi oleh musim dan kebutuhan bahan jamu dapat dipenuhi sepanjang tahun. Sementara untuk hari produksi dalam 1 bulan diasumsikan selama 25 hari kerja. Asumsi dan parameter keuangan secara lebih detil tedapat pada Lampiran 1.
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
27
Tabel 5.1. Asumsi dan Parameter untuk Analisis Keuangan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Asumsi
Periode proyek Bulan kerja per tahun Hari kerja per bulan Produksi jamu per bulan Volume penjualan jamu per bulan Rendemen produksi Tenaga kerja tetap Discount rate/Suku bunga Proporsi dana Kredit Modal Sendiri 10 Jangka waktu kredit investasi 11 Jangka waktu kredir modal kerja Sumber: Lampiran 1
Satuan Tahun Bulan Hari Kg Kg Persen Orang Persen
Jumlah 5 12 25 9.600 9.600 80 20 19
Persen Persen Tahun Tahun
70 30 5 2
c. Biaya Investasi dan Operasional Struktur biaya yang diperlukan untuk usaha jamu tradisional terdiri dari biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi adalah biaya awal yang diperlukan sebelum kegiatan operasional dilakukan. Sedangkan biaya operasional diperlukan pada saat proses produksi mulai dilakukan. Biaya Investasi Biaya investasi diperlukan untuk memulai usaha jamu tradisional yang meliputi biaya tanah, bangunan, mesin dan peralatan serta perizinan yang diperlukan. Biaya investasi ini bersifat tetap (fixed) dan harus dikeluarkan di tahun ke-0 sebelum melakukan usaha. Jumlah biaya investasi yang diperlukan pada tahun ke-0 adalah sebesar Rp 417.581.000. Secara lebih rinci jenis investasi dan kebutuhan biaya masing-masing investasi dapat dilihat pada Tabel 5.2. berikut. Tabel 5.2. Kebutuhan Biaya Investasi No Uraian 1 Perizinan 2 Tanah/Lahan 3 Bangunan 4 Mobil 5 Mesin dan Peralatan
Jumlah Biaya (Rp) 1.175.000 52.000.000 70.000.000 178.000.000 110.406.000
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
28
6 Rol Film Jumlah
6.000.000 417.581.000
Komponen biaya investasi yang paling besar digunakan untuk mesin dan peralatan serta kendaran yang besarnya mencapai 69,07% dari seluruh kebutuhan biaya investasi usaha jamu tradisional. Kebutuhan biaya investasi usaha jamu tradisional secara rinci terdapat pada Lampiran 2. Selama periode proyek (5 tahun) terdapat beberapa komponen peralatan yang harus dilakukan reinvestasi pada tahun-tahun berikutnya karena umur ekonomisnya lebih pendek dari pada umur proyek, yaitu terpal, tampah sortir, tong, ember/wadah besar, tampah penyimpanan, dan rol film. Biaya operasional merupakan biaya yang diperlukan dalam memproduksi jamu tradisional. Besarnya biaya operasional ini tergantung pada jumlah yang akan diproduksi. Semakin banyak jumlah bahan baku yang diproduksi maka biaya operasional akan semakin tinggi. Oleh karena itu, biaya operasional umumnya merupakan biaya tidak tetap (variable cost) yang terdiri dari biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung. Tetapi selain biaya tidak tetap, biaya operasional juga meliputi biaya overhead yang merupakan biaya tetap yang harus dikeluarkan setiap bulannya dan sifatnya tidak langsung. Biaya variabel diproyeksikan dengan asumsi bahwa pada tahun pertama usaha beroperasi pada kapasitas 80%, pada tahun kedua beroperasi pada kapasitas 90%. Baru pada tahun ketiga dan seterusnya usaha jamu tradisional beroperasi pada kapasitas penuh (100%). Kebutuhan biaya operasional untuk industri jamu tradisional pada kapasitas 100% besarnya mencapai Rp. 146.200.000,-. Besarnya biaya operasional untuk masingmasing komponen sebagaimana tergambar pada Tabel 5.3 berikut. Tabel 5.3. Kebutuhan Biaya Operasional Per Bulan No 1 2 3 4
Uraian Biaya bahan baku Biaya bahan pembantu Biaya bahan pengemas Biaya overhead Jumlah
Jumlah Biaya (Rp) 91.035.000 130.000 37.450.000 17.585.000 146.200.000
Dari tabel tersebut tersebut terlihat bahwa komponen biaya paling besar adalah bahan baku yang besarnya mencapai 62,26% dari seluruh biaya operasional. Biaya overhead termasuk didalamnya biaya untuk tenaga kerja
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
29
karena tenaga kerja yang ada merupakan tenaga kerja tetap. Kebutuhan biaya operasional secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 3. d. Kebutuhan Investasi dan Modal Kerja Kebutuhan dana untuk industri jamu tradisional ini terdiri dari modal investasi dan modal kerja yang diperoleh dari kredit perbankan dan dana sendiri. Secara keseluruhan besarnya dana untuk investasi dan modal kerja usaha jamu tradisional mencapai Rp 563.781.000,-. Dana yang diperoleh dari perbankan besarnya mencapai Rp 394.646.700,- atau 70% dari total dana yang dibutuhkan. Kebutuhan dana untuk investasi dan modal kerja dapat dilihat pada Tabel 5.4. Dari Tabel 5.4 dapat diketahui bahwa untuk kebutuhan investasi dibutuhkan dana sebesar Rp 417.581.000,- yang terdiri dari kredit perbankan yaitu Rp 292.306.700,- atau 70% dan dari dana sendiri sebesar Rp 125.274.300,atau 30%. Sedangkan untuk kebutuhan modal kerja dibutuhkan dana sebesar Rp 146.200.000,- yang terdiri dari kredit perbankan yaitu Rp 102.340.000,- atau 70% dan dari dana sendiri sebesar Rp 43.860.000,- atau 30%, yang diperlukan pada tahun ke-1. Modal kerja tersebut adalah modal kerja yang diperlukan selama satu bulan produksi. Hal ini disebabkan karena segera setelah proses produksi dilakukan, jamu tersebut dapat langsung dijual. Dengan demikian pada bulan kedua, usaha ini dapat berjalan tanpa bantuan modal kerja karena sudah ada dana dari hasil penjualan pada bulan pertama. Tabel 5.4. Rincian Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja No Rincian Biaya Proyek 1 Dna Investasi a. Kredit b. Dana Sendiri Jumlah Dana Investasi 2 Dana Modal Kerja a. Kredit b. Dana Sendiri Jumlah Dana Modal Kerja 3 Total Biaya Proyek a. Kredit b. Dana Sendiri Jumlah Biaya Proyek
Persentase
Total Biaya
70% 30%
292.306.700 125.274.300 417.581.000
70% 30%
102.340.000 43.860.000 146.200.000
70% 30%
394.646.700 169.134.300 563.781.000
Dana yang berasal dari bank dikembalikan atau diangsur selama jangka waktu 5 tahun untuk kredit investasi dan selama 2 tahun untuk kredit modal
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
30
kerja. Sementara bunga kredit yang berlaku untuk investasi maupun modal kerja diasumsikan sebesar 19% efektif per tahun. Angsuran pokok dan bunga dibayarkan setiap bulan. Secara keseluruhan jumlah pengembalian pinjaman dari bank berupa angsuran pokok dan bunga sebagaimana Tabel 5.5. Tabel 5.5. Perhitungan Angsuran Kredit Tahun 1 2 3 4 5
Angsuran Angsuran Total Saldo Awal Saldo Akhir Pokok Bunga Angsuran 109.631.340 394.646.700 394.646.700 109.631.340 65.435.810 175.067.150 394.646.700 285.015.360 109.631.340 44.605.856 154.237.196 285.015.360 175.384.020 58.461.340 28.231.955 86.693.295 175.384.020 116.922.680 58.461.340 17.124.301 75.585.641 116.922.680 58.461.340 58.461.340 6.016.646 64.477.986 58.461.340 0
Angsuran pokok pada tahun 1 dan 2 yang besarnya mencapai Rp. 109.631.340 berasal dari angsuran kredit investasi sebesar Rp. 58.461.340,dan kredit modal kerja sebesar Rp. 51.170.000,- sementara untuk tahun 3, 4 dan 5 angsuran hanya berasal dari kredit investasi. Secara lebih rinci pengembalian dana investasi dapat dilihat pada Lampiran 5, sedangkan pengembalian dana modal kerja disajikan pada Lampiran 6. e. Produksi & Pendapatan Produksi jamu yang dihasilkan berupa beragam jenis jamu yang dijual dalam bentuk sudah dikemas ataupun berupa bubuk bahan jamu. Harga jual untuk jamu dalam bentuk kemasan berkisar antara Rp. 850,- sampai dengan Rp. 5000,- tergantung jenis jamu yang diproduksi. Sementara bubuk jamu dijual seharga Rp. 4000,- sampai Rp 40.000,- per kilogram tergantung jenis bubuk jamu yang dijual. Jenis produk yang dihasilkan secara rinci diuraikan pada Lampiran 8. Secara keseluruhan pendapatan yang diperoleh dari usaha industri jamu tradisional pada tahun pertama besarnya mencapai Rp. 1.611.168.000,untuk kapasitas produksi 80%; tahun ke dua sebesar Rp 1.812.564.000,untuk kapasitas produksi 90% dan pada tahun ke tiga, keempat dan kelima pendapatan mencapai Rp 2.013.960.000,- dengan kapasitas produksi 100%. Proyeksi pendapatan selama 5 tahun sebagaimana terlihat pada Tabel 5.6.
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
31
Tabel 5.6. Proyeksi Pendapatan Industri Jamu Tradisional No
Uraian
1
2
Tahun 3
4
5
Kapasitas 80% 90% 100% 100% 100% Produksi Penerimaan B Penjualan 1.611.168 1.812.564 2.013.960 2.013.960 2.013.960 (Ribuan Rp) A
f. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point Proyeksi rugi laba merupakan suatu gambaran potensi keuntungan atau kerugian yang akan diperoleh dari suatu usaha atau proyek. Dari perhitungan proyeksi rugi laba dapat diketahui bahwa usaha jamu tradisional sudah dapat memperoleh keuntungan pada tahun pertama yaitu sebesar Rp 29.525.478,- dengan Profit on sales rata-rata adalah 1,83% dan Break Even Point (BEP) dalam rupiah rata-rata adalah Rp 1.349.094.463,-. Potensi keuntungan tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun hingga tahun ke 5 memperoleh keuntungan bersih mencapai Rp 160.880.367 dan profit on sales mencapai 7,99%. Sementara BEP untuk tahun ke 5 besarnya mencapai Rp 1.094.795.896. Rata-rata keuntungan bersih selama 5 tahun mencapai Rp 114.214.460,- per tahun sedangkan Profit on sales rata-rata mencapai 5,84% per tahun. Sementara Rata-rata BEP mencapai rata-rata Rp 1.207.208.689 per tahun. Secara lebih rinci proyeksi rugi laba dan BEP terdapat pada Tabel 5.7.
Uraian
Tabel 5.7. Proyeksi Laba Rugi dan BEP Usaha Per Tahun Tahun 1 2 3 4
Total 1.611.168,0 1.812.564,0 2.013.960,0 Penerimaan Total 1.576.432,1 1.709.940,2 1.846.904,3 Pengeluaran R/L Sebelum 34.735,8 102.623,8 167.055,7 Pajak Pajak (15%) 5.210,4 15.393,6 25.058,4 Laba Setelah 29.525,5 87.230,2 141.997,4 Pajak Profit on 1,83% 4,81% 7,05% Sales BEP : Rupiah 1.349.094,5 1.259.947,7 1.189.871,6
5
2.013.960,0 2.013.960,0 1.835.796,6 1.824.688,9 178.163,4
189.271,0
26.724,5
28.390,6
151.438,9
160.880,4
7,52%
7,99%
1.145.333,8 1.094.795,9
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
32
g. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek Proyeksi arus kas dilakukan untuk mengetahui kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya ke pihak lain dan tetap mendapatkan keuntungan (proyeksi arus kas masuk dan kas keluar). Dalam analisis arus kas juga dilakukan perhitungan kelayakan usaha yaitu Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Pay Back Period (PBP), dan Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C). Proyeksi arus kas secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 10. Pada proyeksi arus kas dihitung beberapa pos biaya yang merupakan arus kas keluar yaitu biaya pemasaran/distribusi, biaya promosi, dan biaya uji laboratorium untuk mendapatkan izin edar. Biaya promosi/distribusi dan promosi merupakan biaya yang terkait dengan pemasaran produk. Sedangkan uji laboratorium diasumsikan dilakukan untuk 10 jenis produk setiap tahun dengan biaya per jenis produk adalah Rp 2.250.000,-. Sementara untuk arus kas masuk merupakan nilai hasil penjualan selama satu tahun. Dari hasil perhitungan dapat diketahui bahwa industri jamu tradisional merupakan usaha yang menguntungkan secara finansial karena pada tingkat suku bunga 19% per tahun memiliki nilai NPV yang poistif yaitu sebesar Rp 199.514.851,-, IRR yang lebih tinggi dari suku bunga bank yaitu sebesar 35,64%, dan Net B/C Ratio lebih besar dari 1 yaitu 1,48. Sementara PBP adalah 3,6 tahun yang menunjukkan investasi usaha Industri Jamu Tradisional yang besarnya mencapai Rp. 563.781.000,- dapat tertutup kembali selama 3 tahun 7 bulan usaha berjalan. Dengan demikian usaha jamu tradisional ini layak dilaksanakan sampai tingkat bunga 36%. Secara ringkas, kriteria kelayakan dan nilainya dapat dilihat pada Tabel 5.8. Tabel 5.8. Kelayakan Usaha Industri Jamu Tradisional No 1 2 3 4
Kriteria Kelayakan NPV (Rp) IRR (%) Net B/C Ratio PBP (Tahun)
Nilai 199.514.851 35,64 1,48 3,6
Justifikasi Kelayakan >0 > 19 >1 <5
h. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas kelayakan usaha perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh proyek yang dilakukan sensitif terhadap perubahan harga, baik biaya produksi maupun harga jual produk. Hal ini disebabkan karena proyeksi penjualan dan pengeluaran didasarkan pada asumsi yang memiliki
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
33
ketidakpastian. Analisis sensitivitas dilakukan pada 3 kondisi atau skenario perubahan yaitu 1) Penurunan penerimaan penjualan;2) Kenaikan biaya operasional dan 3) Penurunan penerimaan dan kenaikan biaya operasional. Hasil analisis sensitifitas masing-masing kondisi / skenario dapat dijelaskan sebagai berikut : Kondisi I
:
Penurunan Penerimaan Penjualan
Pada kondisi ini terjadi penurunan penjualan sementara biaya investasi dan biaya produksi tetap. Penurunan penjualan dapat terjadi jika harga jual jamu mengalami penurunan ataupun penurunan volume penjualan. Pada saat terjadi penurunan penjualan usaha industri jamu tradisional menjadi sensitif terhadap penurunan penjualan pada kisaran 3 - 4%. Hasil analisis sensitifitas akibat penurunan penjualan dapat dilihat pada Tabel 5.9 berikut ini. Tabel 5.9. Hasil Analisis Sensitivitas Akibat Perubahan Penjualan No 1 2 3 4
Asumsi NPV (Rp) IRR (%) Net B/C Ratio PBP (Tahun)
Penjualan Turun 3% 4% 29.167.203 (27.575.346) 21,51 16,60 1,07 0,93 4,8 5,2
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa jika penjualan turun sampai 3% maka proyek tersebut masih layak untuk dilaksanakan karena nilai NPV masih positif, IRR lebih besar dari suku bunga yang berlaku yaitu 21,51%, dan Net B/C sedikit di atas 1, dengan jangka waktu pengembalian investasi (PBP) 4,8 tahun. Tetapi jika penjualan turun sampai 4%, proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan karena nilai NPV negatif, IRR berada di bawah suku bunga yang berlaku yaitu 16,60%, Net B/C berada di bawah 1, dan jangka waktu pengembalian investasi (PBP) melebihi waktu umur proyek. Kondisi II
: Kenaikan Biaya Produks
Pada kondisi ini terjadi peningkatan biaya produksi (biaya variabel), sedangkan biaya investasi dan penjualan dianggap tetap. Kenaikan biaya produksi dapat terjadi jika harga bahan baku, bahan pembantu atau bahan kemasan meningkat, atau kebutuhan bahan untuk proses produksi yang mengalami peningkatan jumlah. Pada saat terjadi peningkatan biaya produksi usaha industri jamu tradisional menjadi senstif terhadap peningkatan biaya produksi pada kisaran 4 - 5%. Hasil analisis sensitifitas
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
34
akibat peningkatan biaya produksi dapat dilihat pada Tabel 5.10 berikut ini. Tabel 5.10. Hasil Analisis Sensitivitas Akibat Perubahan Biaya Produksi No 1 2 3 4
Asumsi NPV (Rp) IRR (%) Net B/C Ratio PBP (Tahun)
Satuan Jumlah 4% 5% 25.486.336 (18.2020.793) 21,20 17,43 1,06 0,96 4,8 5,1
Kenaikan biaya produksi variabel sampai 4% mengindikasikan proyek tersebut masih layak untuk dilaksanakan karena nilai NPV masih positif, IRR lebih besar dari suku bunga yang berlaku, Net B/C berada di atas 1, dengan jangka waktu pengembalian investasi (PBP) 4,8 tahun. Tetapi jika biaya produksi variabel naik sampai 5%, proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan karena nilai NPV negatif, IRR berada di bawah suku bunga yang berlaku, Net B/C berada di bawah 1, dan jangka waktu pengembalian investasi (PBP) jauh melebihi waktu umur proyek. Kondisi III : Penurunan Penjualan dan Kenaikan Biaya Produksi. Pada kondisi ini terjadi penurunan penjualan sekaligus terjadi peningkatan biaya produksi pada saat yang bersamaan dengan persentase yang sama. Pada saat terjadi penurunan penjualan dan peningkatan biaya produksi usaha industri jamu tradisional menjadi senstif pada kisaran 1 - 2%. Hasil analisis sensitifitas akibat peningkatan biaya produksi dapat dilihat pada Tabel 5.11 berikut ini Tabel 5.11 Hasil Analisis Sensitivitas Akibat Perubahan Penjualan dan Biaya Produksi Variabel
No 1 2 3 4
Asumsi NPV (Rp) IRR (%) Net B/C Ratio PBP (Tahun)
Satuan Jumlah 1% 2% 99.235.173 (1.044.505) 27,42 18,91 1,24 1,00 4,3 5,0
Jika penjualan turun dan biaya produksi variabel naik masing-masing 1% maka proyek tersebut masih layak untuk dilaksanakan karena nilai NPV masih positif, IRR lebih besar dari suku bunga yang berlaku, Net B/C di atas 1, dan jangka waktu pengembalian investasi (PBP) 4,3 tahun. Tetapi jika
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
35
penurunan penjualan dan kenaikan biaya produksi variabel adalah 2%, proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan karena nilai NPV negatif, IRR berada di bawah suku bunga yang berlaku, Net B/C sama dengan 1, dan jangka waktu pengembalian investasi (PBP) melebihi waktu umur proyek. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa penurunan penjualan sedikit lebih sensitif dibandingkan dengan kenaikan biaya produksi variabel. Hal ini terbukti dengan penurunan penjualan sebesar 4% proyek sudah tidak layak, sedangkan pada kenaikan biaya produksi variabel sebesar 4% proyek masih tetap layak untuk dilaksanakan. Namun demikian, dari hasil analisis keuangan secara keseluruhan dapat diketahui bahwa industri jamu tradisional merupakan usaha yang cukup menguntungkan dan layak untuk dilaksanakan.
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
36
6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan a. Aspek Sosial Ekonomi Kabupaten Sukoharjo khususnya Kecamatan Nguter merupakan sentra penjualan jamu tradisional dan sudah mempunyai pelanggan sampai ke luar Jawa. Usaha ini merupakan salah satu komoditi unggulan daerah ini dan cukup memberikan kontribusi positif bagi pengembangan daerah. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang mempunyai pekerjaan pada industri ini, apakah sebagai pengusaha pengolahan jamu ataupun sebagai penjual saja. Jadi dampak langsungnya adalah terciptanya lapangan kerja dan mengurangi pengangguran karena pada industri jamu tradisional ini tidak diperlukan keahlian khusus, walaupun bagi pemilik usaha, pengetahuan mengenai manajemen usaha dan proses produksi tetap diperlukan. Jika seorang pengusaha jamu memiliki 20 orang tenaga kerja, dan diasumsikan di Kabupaten Sukoharjo terdapat 60 pengusaha (termasuk pengecer), maka tenaga kerja yang terserap dapat mencapai 1.200 orang. Jumlah tersebut belum termasuk tenaga kerja yang menjadi pemasok bahan baku jamu/simplisia. Pengusaha jamu tradisional menyebutkan bahwa sekitar 30% dari masyarakat Nguter bekerja pada komoditi jamu tradisional. Usaha jamu tradisional juga memberikan pendapatan bagi petani atau pemasok tanaman bahan jamu. Jika bahan baku yang digunakan rata-rata adalah 12.000 kg per bulan yang setara dengan Rp 90.000.000,- (Lampiran 3), dan diasumsikan ada 20 pengusaha jamu yang melakukan proses penggilingan bahan jamu, maka nilai penjualan bahan baku jamu adalah Rp 1.800.000.000,- per bulan atau Rp 21.600.000.000,- per tahun. Jumlah tersebut merupakan jumlah yang relatif besar sebagai omzet penjualan bagi petani atau pemasok tanaman bahan jamu. Bagi pengusaha jamu, usaha ini cukup dapat menghidupi keluarga, terbukti dengan semakin banyaknya pengusaha yang bermunculan sejak awal pendiriannya sekitar 20 tahun yang lalu. Pengusaha pun mengaku dapat menyisihkan pendapatannya untuk ditabung walaupun jumlahnya mengalami fluktuasi tergantung kondisi pasar. Beberapa pengusaha pernah mendapatkan pembinaan dari berbagai pihak seperti BBPOM, KOJAI, Deperindag, dan produsen jamu besar dalam bentuk konsultasi dan seminar sehingga usaha jamu ini dapat mengalami peningkatan dalam hal kualitas jamu maupun penjualan. Dengan adanya pembinaan-pembinaan tersebut, kualitas sumberdaya manusia di daerah ini dapat meningkat dengan bertambahnya pengetahuan dari seminar dan pelatihan maupun dari pengalaman bekerja di industri jamu tradisional. Usaha jamu tradisional ini pun memberikan kontribusi pendapatan bagi daerah yaitu dari sektor pajak. Jika seorang pengusaha jamu membayar pajak Rp 25.000.000,- setiap tahun, dan diasumsikan ada 20 pengusaha jamu yang melakukan proses penggilingan bahan jamu, maka setiap tahun
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
37
pajak yang dibayarkan pada pemerintah daerah adalah sebesar Rp 500.000.000. Nilai tersebut cukup besar untuk digunakan dalam pembangunan daerah setempat. Tetapi ada beberapa keluhan dari pengusaha maupun tokoh masyarakat mengenai belum adanya kebijakan atau pembinaan dari pemerintah daerah ataupun instansi terkait yang secara nyata mendukung usaha ini. Misalnya mengenai kemudahan permodalan, kemudahan perizinan khususnya izin edar, pembinaan dalam penanaman bahan baku sendiri, serta kebijakan mengenai sanitasi dan higiene tempat umum (gudang, pasar, dan lain-lain). Sebagai contoh, pasar yang menjual jamu dan pasar yang menjual ternak masih disatukan. Hal ini secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap kualitas jamu yang dijual. Secara umum untuk aspek ekonomi dan sosial, usaha jamu tradisional mempunyai peran yang cukup strategis dalam menopang perekonomian nasional pada umumnya dan masyarakat setempat pada khususnya. Untuk masa yang akan datang diharapkan Desa Nguter dapat menjadi aset wisata andalan di Sukoharjo sebagai pusat penjualan jamu tradisional. b. Dampak Lingkungan Proses pengolahan jamu tradisional dalam bentuk serbukmenghasilkan limbah berupa limbah padat dan gas. Limbah padat adalahampas jamu yang dihasilkan dari proses penggilingan simplisia maupunpenyaringan serbuk jamu. Sedangkan limbah berupa gas adalah asap yangdikeluarkan dari mesin penggerak pada saat proses penggilingandilakukan. Dari proses pengolahan jamu ini tidak dihasilkan limbah cairkarena bahan baku simplisia sudah diterima dalam bentuk kering sehinggatidak perlu dicuci lagi. Dampak lingkungan lain yang terjadi adalahsuara bising (polusi suara) yang diakibatkan oleh mesin penggerak yangsedang dijalankan. Ampas jamu yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan sekitarkarena dimasukkan ke dalam karung. Ampas ini dapat dijual kembali(untuk pakan ternak atau pemanfaatan lain). Limbah asap dan suarabising yang dihasilkan oleh mesin penggerak dapat dikurangi denganmembuat pipa cerobong yang tinggi sekitar 5 meter sehingga tidakmengganggu masyarakat sekitar. Kenyataannya asap yang dihasilkan tidakpekat dan suara yang ditimbulkan pun tidak terlalu bising. Pada lokasiusaha tercium aroma jamu dari proses penggilingan dan ceceran serbukjamu yang senantiasa dibersihkan secara berkala. Secara umum, industri ini tidak memberikandampak lingkungan yang mengganggu ataupun berbahaya bagi masyarakatsekitar lokasi usaha. Sebelum pendirian usaha ini pun pengusaha harusmendapatkan izin HO yang dikeluarkan oleh Pemda setempat yaitu izingangguan yang mendapatkan persetujuan dari tetangga kanan, kiri, depandan belakang. Dengan demikian
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
38
usaha jamu tradisional masih baik untukdilakukan ditinjau dari aspek lingkungan karena tidak ada dampaklingkungan yang berarti.
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
39
7. Penutup a. Kesimpulan 1. Industri jamu tradisional mempunyai peranan yang cukup penting bagi perekonomian daerah Sukoharjo maupun nasional karena potensi penjualan dan peluang pasar yang cukup baik di dalam negeri maupun ekspor. Hal tersebut ditunjang oleh ketersediaan bahan baku yang melimpah dan kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi sesuatu yang berasal dari alam. 2. Kendala yang dihadapi oleh pengusaha jamu saat ini adalah belum ada kebijakan atau pembinaan dari pemerintah daerah ataupun instansi terkait yang secara nyata mendukung usaha ini. Diantaranya yaitu kemudahan permodalan, kemudahan perizinan khususnya izin edar, pembinaan dalam penanaman bahan baku sendiri, serta kebijakan mengenai sanitasi dan higiene tempat umum yang terkait dengan usaha jamu. 3. Total biaya investasi yang dibutuhkan untuk usaha jamu tradisional dengan kapasitas 9,6 ton produk adalah Rp 417.581.000 yang terdiri dari kredit bank sebesar 70% yaitu Rp 292.306.700 dan dana sendiri sebesar 30% yaitu Rp 125.274.300. Biaya modal kerja yang dibutuhkan adalah Rp 146.200.000 yang terdiri dari kredit bank sebesar 70% yaitu Rp 102.340.000 dan dana sendiri sebesar 30% yaitu Rp 43.860.000. 4. Analisis keuangan menunjukkan bahwa usaha ini layak untuk dilaksanakan ditinjau dari kriteria kelayakan usaha. Pada tingkat suku bunga 19% per tahun, nilai NPV sebesar Rp 199.514.851, IRR sebesar 35,64%, Net B/C yaitu 1,48 serta jangka waktu pengembalian modal adalah 3,6 tahun. Usaha ini juga mempunyai kemampuan untuk melunasi kewajiban pinjaman bank karena selama umur proyek tidak mengalami defisit aliran kas. 5. Hasil analisis sensitivitas terhadap penurunan penjualan adalah proyek masih layak untuk dilaksanakan sampai batas penurunan penjualan 4%. Hasil analisis sensitivitas terhadap kenaikan biaya produksi menunjukkan bahwa proyek masih layak dilaksanakan sampai batas kenaikan 5%. Sedangkan hasil analisis sensitivitas terhadap penurunan penjualan dan kenaikan biaya produksi, proyek masih layak dilakukan pada batas kenaikan biaya produksi dan penurunan penjualan 2 %. Proyek lebih sensitif terhadap penurunan penjualan daripada kenaikan biaya produksi. 6. Usaha jamu tradisional mempunyai manfaat dan kontribusi yang cukup baik ditinjau dari aspek sosial ekonomi dan tidak memberikan dampak lingkungan yang membahayakan. Dengan demikian usaha ini dapat dikatakan layak untuk mendapatkan pembiayaan dari perbankan maupun pihak lainnya.
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
40
b. Saran 1. Usaha jamu tradisional perlu mendapatkan pembinaan dan dukungan dalam hal permodalan, teknis produksi, pemasaran dan manajemen usaha secara umum, baik dalam bentuk kebijakan maupun pembinaan lain yang lebih bersifat teknis, dari pihak perbankan, pemerintah daerah, departemen terkait, maupun tokoh masyarakat. 2. Prosedur pengujian laboratorium untuk mendapatkan izin edar agar dipermudah, baik dari segi proses maupun biayanya. 3. Budidaya tanaman bahan jamu sebaiknya dicoba untuk diupayakan di daerah Nguter sehingga dapat mendukung usaha pengolahan jamu tradisional. Dengan demikian diharapkan biaya bahan baku menjadi lebih murah. Oleh karena itu perlu ada pembinaan dari instansi atau departemen terkait dan kajian lebih lanjut.
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
41
LAMPIRAN
Bank Indonesia – Industri Jamu Tradisional (Konvensional)
42