POLA KONSUMSI BERAS RUMAH TANGGA BERDASARKAN GOLONGAN PENDAPATAN DI KOTA BOGOR DAN FAKTORFAKTOR YANG MEMENGARUHINYA
NOVIZARIANI DEWI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pola Konsumsi Beras Rumah Tangga Berdasarkan Golongan Pendapatan di Kota Bogor dan Faktor – Faktor yang Memengaruhi” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Novizariani Dewi NIM H14120049
ABSTRAK NOVIZARIANI DEWI. Pola Konsumsi Beras Rumah Tangga Berdasarkan Golongan Pendapatan dan Faktor-Faktor yang Memengaruhinya. Dibimbing oleh SAHARA. Beras merupakan pangan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Konsumsi beras paling besar berasal dari konsumsi rumah tangga. Setiap rumah tangga akan berbeda status sosial ekonomi yang dilihat berdasarkan tingkat pendapatan. Pengeluaran konsumsi rumah tangga salah satunya konsumsi beras dapat menjadi indikator untuk melihat gambaran keadaan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran pola konsumsi beras rumah tangga di Kota Bogor dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi beras rumah tangga di Kota Bogor. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Metode Analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS) dengan model regresi linier berganda dan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi pola konsumsi beras rumah tangga pendapatan tinggi adalah pendapatan rumah tangga. Faktor yang memengaruhi pola konsumsi beras rumah tangga pendapatan menengah adalah harga beras dan umur kepala rumah tangga. Sementara itu, faktor yang memengaruhi pola konsumsi beras rumah tangga pendapatan rendah adalah harga beras, umur kepala rumah tangga, dan status perkawinan kepala rumah tangga. Kata kunci
: Beras, Pendapatan, Pola Konsumsi, Rumah Tangga ABSTRACT
NOVIZARIANI DEWI. Rice Consumption Pattern of Households Based on The Income in Bogor City and Factors Influencing. Supervised by SAHARA Rice is the staple food for majority of Indonesian peopl. Rice consumption is largely derived from household consumption. Each household has different socio economic status, which is depend on their income. Household consumption expenditure as rice consumption can be an indicator to see condition of public welfare. The aims of this research were to describe the pattern of rice consumption of households in Bogor City and analyze factors influencing the pattern of rice consumption of households. The data used in this study is primary data and secondary data. This research uses Ordinary Least Square (OLS) as the method with a multiple linear regression model and uses descriptive analysis. The results shows that the factors which affect the pattern of rice consumption high income households are households income. The affecting factor the pattern of rice consumption middle income households are rice price, and age of household head. While, the affecting factor the pattern of rice consumption low income households are rice price, age of household head, and marital status of household head. Keywords: Consumption, Household, Income, Rice.
POLA KONSUMSI BERAS RUMAH TANGGA BERDASARKAN GOLONGAN PENDAPATAN DI KOTA BOGOR DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA
NOVIZARIANI DEWI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2015 ini adalah Pola Konsumsi Beras Rumah Tangga di Kota Bogor dan Faktor-faktor yang Memengaruhinya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, antara lain kepada: 1. Dr Sahara, SP, MSi selaku dosen pembimbing yang telah sabar membimbing, memberikan arahan, masukan, dan motivasi selama proses penyusunan skripsi ini. 2. Dr Alla Asmara, SPt, MSi selaku dosen penguji utama yang telah memberi kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. 3. Khalifah Muhammad Ali, MSi selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberi kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. 4. Seluruh anggota keluarga, khususnya orang tua tercinta (Untung Suharto dan Diah Hariani) serta Adik-adikku (Ismah Sanjani, Triani Khairunnisa, dan Nurcahya Priantoro) atas doa, motivasi, dan dukungan moril maupun materil kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Sahabat tercinta Humairoh Hanif yang telah memberikan semangat, bantuan, dan motivasi selama menjalankan studi hingga terselesaikannya skripsi ini. 6. Teman-teman dekat penulis Ans Shinta P, Aminatus Sofiah, Reni Armaidah, Veni Lutfiani Zulia, Mabruroh, Dwi Rani W, Shelvy Yulinda, serta Vivi Syafriani atas kebersamaan, semangat, bantuan, dan motivasi selama menjalankan studi 7. Teman-teman satu bimbingan Aminatus Sofiah, Selly Yanty Nansyah, Teguh Aditya atas kerjasama, dukungan, dan motivasi selama proses penyusunan skripsi. 8. Ka Sendy, Ka Bintan, Ka Devi, Ibu Nuning yang telah memberikan pengalaman dan bantuan selama pengumpulan data. 9. Keluarga besar Ekonomi Studi Pembangunan angkatan 49, teman-teman yang bersedia berbagi suka dan duka dalam penyusunan skripsi. Penulis menyadari dalam proses penyusunan skripsi ini terdapat banyak kekurangan mengingat keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis. Namun pada akhirnya penelitian ini dapat diselesaikan dengan bimbingan, doa, dan dukungan berbagai pihak. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan balasan dengan kebaikan-kebaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Agustus 2016
Novizariani Dewi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
5
Ruang Lingkup Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
5
Konsumsi Rumah Tangga
5
Pola Konsumsi Rumah Tangga
6
Teori Perilaku Konsumen
8
Hukum Engel
10
Penelitian Terdahulu
11
Kerangka Pemikiran
14
Hipotesis Penelitian
15
METODE PENELITIAN
15
Tempat dan Waktu Penelitian
15
Jenis dan Sumber Data
15
Penentuan Jumlah Sampel
15
Metode Analisis Data
16
Defini Variabel Operasional
21
GAMBARAN UMUM
22
Lokasi Geografis Kota Bogor
22
Luas Wilayah dan Kependudukan Kota Bogor
22
HASIL DAN PEMBAHASAN
24
Karakteristik Responden
24
Pola Konsumsi Rumah Tangga di Kota Bogor
30
Hasil Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Pola Konsumsi Beras Rumah Tangga di Kota Bogor
37
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pola Konsumsi Beras Rumah Tangga di Kota Bogor SIMPULAN DAN SARAN
40 42
Simpulan
42
Saran
42
DAFTAR PUSTAKA
43
LAMPIRAN
45
RIWAYAT HIDUP
62
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Persentase pengeluaran rata-rata per kapita sebulan menurut Kelompok Barang di Indonesia tahun 2010 – 2014 Jumlah penduduk dan luas wilayah pada masing-masing kecamatan di Kota Bogor tahun 2014 Sebaran jenis kelamin responden di Kota Bogor Sebaran umur responden di Kota Bogor Sebaran lama pendidikan formal responden di Kota Bogor Sebaran jumlah anggota keluarga responden di Kota Bogor Sebaran jenis pekerjaan responden di Kota Bogor Sebaran status perkawinan responden di Kota Bogor Sebaran total pendapatan rumah tangga responden di Kota Bogor Rata-rata total pendapatan rumah tangga di Kota Bogor Pengeluaran rata-rata rumah tangga per bulan menurut tingkat pendapatan di Kota Bogor tahun 2015 Konsumsi beras rumah tangga di Kota Bogor Rata-rata konsumsi beras perkapita rumah tangga di Kota Bogor Pengeluaran konsumsi beras rumah tangga di Kota Bogor Konsumsi beras raskin pada rumah tangga golongan pendapatan rendah Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi beras rumah tangga di Kota Bogor tahun 2015
2 23 24 24 25 26 27 28 29 29 30 31 33 35 36 37
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5.
Persentase Pengeluaran Menurut Kelompok Barang di Provinsi Jawa Barat tahun 2007-2015 (%) Efek Substitusi dan Pendapatan saat penurunan harga suatu barang Kurva Engel pada Barang Normal Barang normal, ketika pendapatan > 20 jadi barang inferior Kerangka Pemikiran Operasional
3 9 10 10 14
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Peta Wilayah Administratif Kota Bogor Hasil estimasi Ordinary Least Square pada model golongan pendapatan tinggi Uji normalitas pada model golongan pendapatan tinggi Uji multikolinieritas pada model golongan pendapatan tinggi Uji heteroskedastisitas pada model golongan pendapatan tinggi Uji autokorelasi pada model golongan pendapatan tinggi Hasil estimasi Ordinary Least Square pada model golongan pendapatan menengah Uji normalitas pada model golongan pendapatan menengah Uji multikolinieritas pada model golongan pendapatan menengah
45 45 46 46 47 48 49 49 50
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Uji heteroskedastisitas pada model golongan pendapatan menengah Uji autokorelasi pada model golongan pendapatan menengah Hasil estimasi Ordinary Least Square pada model golongan pendapatan rendah Uji normalitas pada model golongan pendapatan rendah Uji multikolinieritas pada model golongan pendapatan rendah Uji heteroskedastisitas pada model golongan pendapatan rendah Uji autokorelasi pada model golongan pendapatan rendah Kuesioner penelitian
50 51 52 52 53 53 54 55
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sebagaimana dinyatakan dalam UU No.18 tahun 2012 tentang Pangan. Oleh karena itu peranan pangan dapat dianggap sebagai kebutuhan dan modal dasar pembangunan serta dijadikan indikator atas keberhasilan pembangunan. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Pangsa pengeluaran rumah tangga untuk pangan relatif besar, tetapi pada tahun 2014 pengeluaran untuk pangan hanya sebesar 46.45 persen dari total pengeluaran rumah tangga (BPS 2016). Pada kelompok pengeluaran pangan, beras menduduki posisi penting sebagai makanan utama penduduk dan menjadi sumber kalori atau energi. Kondisi pola pangan masyarakat sumber karbohidrat utama didominasi oleh beras karena terdapat 95 persen rakyat Indonesia yang masih tergantung pada beras. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, konsumsi beras penduduk Indonesia tahun 2014 cukup tinggi di dunia dengan tingkat konsumsi 90.93 Kg/kapita/tahun. Dibandingkan dengan Negara Asia lainnya, masyarakat Korea hanya mengkonsumsi 40 Kg/kapita/tahun, Jepang 50 Kg/kapita/tahun, Malaysia 80 Kg/kapita/tahun, dan Thailand sebanyak 70 Kg/kapita/tahun. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO) standar konsumsi beras masyarakat adalah sekitar 60 – 65 Kg/kapita/tahun. Berdasarkan Tabel 1, konsumsi pangan pokok rumah tangga pada tahun 2014 masih didominasi oleh beras (6.83 persen) dan beberapa tahun terakhir kebutuhan kalori yang berasal dari kelompok padi-padian khususnya beras yang dikonsumsi di dalam rumah menunjukkan adanya tren yang menurun. Konsumsi masyarakat Indonesia terhadap kelompok makanan pada padi-padian termasuk beras mengalami penurunan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 sebesar 2.06 persen. Meskipun mengalami penurunan, beras masih menjadi komoditi pangan yang proporsinya cukup besar dalam konsumsi pangan rumah tangga. Di sisi lain penurunan konsumsi beras di dalam rumah tangga juga disebabkan meningkatnya konsumsi pangan selain beras sebagai pengganti karbohidrat atau sumber kalori. Hal itu tercermin pada hukum Bennet yang menyebutkan bahwa apabila terjadi peningkatan pendapatan maka proporsi pengeluaran untuk pangan pokok seperti beras akan menurun seiring beralihnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi pangan yang harganya lebih tinggi seperti daging dan ikan. Semakin berkurangnya konsumsi makanan pokok yang berasal dari padi-padian, dapat diindikasikan bahwa telah terjadi perubahan pola konsumsi di masyarakat.
2
Tabel 1 Persentase pengeluaran rata-rata per kapita sebulan menurut kelompok barang di Indonesia tahun 2010-2014 (persen) Kelompok Barang Makanan Padi-padian Umbi-umbian Ikan Daging Telur dan susu Sayur-sayuran Kacang-kacangan Buah-buahan Minyak dan lemak Bahan minuman Bumbu-bumbuan Konsumsi lainnya Makanan jadi Tembakau dan sirih Jumlah makanan Jumlah bukan Makanan
2010
2011
2012
2013
2014
8.89 0.49 4.34 2.1 3.2 3.84 1.49 2.49 1.92 2.26 1.09 1.29 12.79*) 5.25 51.43 48.57
8.37 0.48 4.12 2.19 2.86 3.72 1.31 2.06 1.79 1.93 1.02 1.07 11.83*) 5.73 48.46 51.54
7.9 0.42 4.08 2.26 2.74 3.62 1.32 2.28 1.79 1.68 0.96 1.01 11.65*) 6.00 47.71 52.29
7.46 0.47 3.98 1.8 2.85 3.91 1.24 1.84 1.56 1.74 0.94 0.94 12.46*) 6.01 47.19 52.81
6.83 0.46 3.94 1.93 2.95 3.45 1.22 2.12 1.5 1.62 0.92 0.93 12.56*) 6.03 46.45 53.55
*) Termasuk minuman beralkohol Sumber : BPS 2016 Membaiknya perekonomian Indonesia, makin membaik pula tingkat daya beli dan konsumsi masyarakat Indonesia, dan hal ini juga akan mengubah gaya hidup masyarakat. Perubahan gaya hidup akibat adanya globalisasi mendorong perubahan pola konsumsi yang terjadi di masyarakat. Saat ini pendapatan masyarakat indonesia mengalami peningkatan. Pada tahun 2010, PDB rill per kapita per tahun masyarakat Indonesia sebesar 23.77 juta. Pada tahun 2011 sebesar 30.11 juta dan tahun 2012 sebesar Rp. 31.48 juta. Jumlah ini terus meningkat menjadi 32.78 juta pada tahun 2013 dan meningkat kembali menjadi 33.98 juta pada tahun 2014. Angka PDB rill tersebut mengalami peningkatan secara berturut-turut dari tahun 2010 sampai dengan 2014 (BPS 2016). PDB rill per kapita dapat dijadikan indikator untuk menggambarkan terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa kemakmuran masyarakat semakin tinggi. Tingkat pendapatan akan memengaruhi daya beli masyarakat dan menentukan apa saja yang dapat dikonsumsi oleh rumah tangga. Perilaku konsumsi rumah tangga secara mikro dipengaruhi oleh perilaku individu dalam mengambil keputusan dalam konsumsi. Perkembangan masyarakat akan memengaruhi perubahan perilaku konsumsi sehingga analisis tentang pola konsumsi akan tetap relevan mengikuti perkembangan jaman. Dengan mengetahui pola konsumsi rumah tangga serta faktor-faktor yang memengaruhi pola konsumsi beras rumah tangga, maka pemerintah diharapkan mampu merumuskan kebijakan yang sesuai dengan kondisi perekonomian saat ini sehingga pembangunan perekonomian terus mengalami peningkatan. Demikian juga dengan faktor-faktor yang memengaruhi pola konsumsi beras masyarakat, informasi ini akan memberikan gambaran tentang variabel apa saja yang akan
3
berpengaruh terhadap pola konsumsi beras rumah tangga yang juga penting sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan oleh pemerintah.
Perumusan Masalah Beras merupakan pangan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Kebutuhan pangan pokok seperti beras akan selalu meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Peningkatan permintaan pangan juga didorong oleh peningkatan pendapatan masyarakat dan pergeseran pola makan karena pengaruh globalisasi.
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, 2015 (diolah) Gambar 1 Persentase pengeluaran menurut kelompok barang di Provinsi Jawa Barat tahun 2007-2014 (%) Gambar 1 menunjukkan bahwa pada tahun 2007 pengeluaran masyarakat cenderung untuk kebutuhan makanan, sedangkan pada tahun 2014 konsumsi rumah tangga terhadap kebutuhan makanan menunjukkan persentase yang sangat kecil dibandingkan tahun - tahun sebelumnya yaitu hanya sebesar 48.11 persen. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pergeseran pengeluaran konsumsi makanan menjadi konsumsi non makanan. Terjadinya penurunan pengeluaran pangan di Indonesia juga memengaruhi pengeluaran pangan di Provinsi Jawa Barat termasuk pengeluaran konsumsi beras karena proporsi beras cukup besar dalam konsumsi pangan rumah tangga. Sebagian besar kalori dan protein yang dikonsumsi berasal dari padi-padian terutama beras, yaitu mencapai 50 - 60 persen untuk energi dan 40 – 50 persen untuk protein (Ariani 2004). Rumah tangga pendapatan rendah, kebutuhan kalori dan protein relatif dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok. Hal ini disebabkan kandungan protein dan kalori yang terdapat pada beras lebih besar dibandingkan dengan bahan pangan lainnya. Konsumsi beras paling besar berasal dari konsumsi rumah tangga. Di Indonesia jumlah rumah tangga terbesar berada di Provinsi Jawa Barat yaitu sebanyak 12.24 juta. Akses rumah tangga terhadap pangan dipengaruhi oleh daya belinya. Kemampuan daya beli Kota Bogor pada tahun 2015 menempati posisi kedua tertinggi di Provinsi Jawa Barat yaitu sebesar 657.97 ribu setelah Kota
4
Depok yang memiliki kemampuan daya beli sebesar 658.25 ribu. Kemampuan daya beli yang tinggi mengindikasikan bahwa tingkat pendapatan masyarakat Kota Bogor yang semakin besar. Pendapatan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi seseorang atau rumah tangga dalam melakukan konsumsi. Indikator pendapatan dapat mencerminkan kesejahteraan suatu rumah tangga. Setiap rumah tangga akan memiliki pendapatan yang berbeda-beda. Pendapatan yang tinggi diperkirakan rumah tangga tersebut sejahtera sehingga lebih mengutamakan mengkonsumsi pangan yang mengandung banyak protein dan mengurangi konsumsi karbohidrat seperti beras. Namun, pada rumah tangga golongan pendapatan rendah, konsumsi lebih diutamakan pada pangan pokok yang mengandung karbohidrat yaitu beras (Sari 2007). Pola konsumsi pangan masyarakat di Kota Bogor masih berada dibawah kriteria pangan yang harus dikonsumsi. Hal ini akan membuat kandungan gizi makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan gizi yang dianjurkan oleh pemerintah. Penurunan kalori dan protein yang terjadi akan dapat mempengaruhi tingkat kesehatan dan kecerdasan serta produktifivitas rumah tangga. Indikator kualitas konsumsi pangan ditunjukkan oleh skor PPH (Pola Pangan Harapan) yang dipengaruhi oleh keragaman dan keseimbangan konsumsi antar kelompok pangan (Purwaningsih 2008). Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan Kota Bogor, pola pangan harapan di Kota Bogor mengalami peningkatan. Skor PPH konsumsi penduduk Kota Bogor tahun 2013 sebesar 81.8 persen, mengalami peningkatan pada tahun 2014 menjadi 82.5 persen, dan pada tahun 2015 hanya sebesar 82 persen. Skor PPH Kota Bogor belum mencapai skor ideal sebesar 100 persen. Bahkan belum mencapai target SPM sebesar 90 persen. Rendahnya skor PPH ini terkait dengan ketidakseimbangan pola konsumsi pangan. Hal ini menandakan bahwa pola konsumsi pangan penduduk Kota Bogor masih belum beragam. Selain itu terdapat gap pada penelitian sebelumnya bahwa diduga konsumsi beras pada semua tingkat pendapatan sama. Pada kenyataannya rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang berbeda akan memiliki pola konsumsi beras yang berbeda pula dan tentunya akan memiliki tingkat preferensi yang berbeda, begitu juga dengan tingkat pendidikan anggota rumah tangga yang berbeda akan memengaruhi gaya hidup dalam suatu rumah tangga sehingga perubahan pendapatan dan harga akan direspon dengan cara yang berbeda oleh masing-masing rumah tangga sesuai dengan karakteristik rumah tangga tersebut. Oleh karena itu penting untuk mengetahui bagaimana pola konsumsi beras pada rumah tangga golongan pendapatan yang berbeda di Kota Bogor. Kondisi pola konsumsi beras dapat bergeser dengan cukup dinamis yang dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain harga, pendapatan, dan karakteristik sosial demografi. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana gambaran pola konsumsi beras rumah tangga berdasarkan golongan pendapatan di Kota Bogor? 2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi pola konsumsi beras rumah tangga berdasarkan golongan pendapatan di Kota Bogor?
5
Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian sesuai dengan latar belakang dan permasalahan, secara spesifik tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Mendeskripsikan gambaran pola konsumsi beras rumah tangga berdasarkan golongan pendapatan di Kota Bogor. 2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pola konsumsi beras rumah tangga berdasarkan golongan pendapatan di Kota Bogor.
Manfaat Penelitian Adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran dalam membuat karya tulis dan meningkatkan pengetahuan mengenai faktorfaktor apa saja yang memengaruhi pola konsumsi beras rumah tangga berdasarkan golongan pendapatan di Kota Bogor. 2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan atau pertimbangan khususnya kepada pemerintah Kota Bogor dalam perumusan pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan pola konsumsi beras rumah tangga. 3. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk penelitian selanjutnya dan juga untuk menambah informasi tentang pola konsumsi beras rumah tangga berdasarkan golongan pendapatan serta apa saja faktor-faktor yang memengaruhi pola konsumsi beras rumah tangga berdasarkan golongan pendapatan di Kota Bogor.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan data primer. Cakupan wilayah yang dipilih pada penelitian ini adalah Kota Bogor dengan sampel rumah tangga sebanyak 120 rumah tangga. Responden pada penelitian ini yaitu rumah tangga berpendapatan rendah, menengah, dan tinggi yang tinggal di Kota Bogor. Pada penelitian ini, analisis yang dilakukan untuk mengetahui pola konsumsi beras rumah tangga di Kota Bogor yaitu menggunakan analisis deskriptif dan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi pola konsumsi beras rumah tangga yaitu menggunakan analisis regresi berganda OLS (Ordinary Least Square). Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan yaitu: cakupan komoditi beras dalam penelitian adalah tidak spesifik terhadap jenis komoditi beras atau merek beras tertentu yang ada di pasar. Penelitian ini hanya memperhitungkan jumlah konsumsi beras di dalam rumah saja, sedangkan untuk konsumsi beras di luar rumah tidak diperhitungkan. Konsumsi tersebut berupa konsumsi yang berasal dari pembelian, produk sendiri, maupun pemberian. Selain itu data konsumsi beras rumah tangga hanya dalam kurun waktu sebulan terakhir.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Konsumsi Rumah Tangga BPS mendefinisikan rumah tangga sebagai seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau bangunan sensus, dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Rumah tangga yang umumnya terdiri dari ibu, bapak, dan anak disebut sebagai rumah tangga biasa. Kepala rumah tangga adalah seseorang dari sekelompok anggota rumah tangga yang bertanggung jawab atas kebutuhan sehari-hari rumah tangga, atau orang yang dianggap atau ditunjuk sebagai kepala rumah tangga. Anggota rumah tangga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumah tangga (kepala rumah tangga, suami/istri, anak, menantu, cucu, orang tua/mertua, famili lain, pembantu rumah tangga atau anggota rumah tangga lainnya) (BPS 2016). Dalam memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga, kepala rumah tangga bersama anggota rumah tangga melakukan kegiatan ekonomi yang diistilahkan sebagai melakukan transaksi ekonomi. Konsumsi adalah semua penggunaan barang dan jasa yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setiap rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari perilaku konsumsi. Tanpa mengkonsumsi suatu jenis barang atau jasa mustahil kehidupan berjalan dengan baik. Tindakan konsumsi dilakukan setiap hari oleh siapapun, tujuannya adalah untuk memperoleh kepuasan setinggi-tingginya dan mencapai tingkat kemakmuran dalam arti terpenuhi berbagai macam kebutuhan, baik kebutuhan pokok maupun sekunder, barang mewah maupun kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Pengeluaran konsumsi rumah tangga merupakan indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran untuk makanan atau pangan bergeser ke pengeluaran bukan makanan atau non pangan. Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 1976 melalui Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) telah menyusun komposisi kebutuhan dasar pangan dan non pangan. Komoditi tersebut dijadikan indikator untuk mengukur pengeluaran perkapita di daerah kota dan desa. Pengeluaran tersebut dapat dicirikan sebagai berikut : 1. Konsumsi pangan, terdiri dari kelompok padi-padian dan hasil-hasilnya, umbi-umbian dan hasil-hasilnya, ikan dan hasil-hasilnya, daging, telur, susu dan hasil-hasil dari susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buahbuahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbu, tembakau dan sirih. 2. Konsumsi untuk barang bukan pangan, terdiri dari perumahan dan fasilitas rumah-tangga, aneka barang dan jasa, biaya pendidikan, biaya kesehatan, barang tahan lama, keperluan pesta dan upacara. Pengeluaran konsumsi dilakukan untuk mempertahankan taraf hidup. Pada tingkat pendapatan yang rendah, pengeluaran konsumsi umumnya dibelanjakan untuk kebutuhan-kebutuhan pokok guna memenuhi kebutuhan jasmani. Konsumsi makanan merupakan faktor terpenting karena makanan merupakan jenis barang utama untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Akan tetapi terdapat berbagai macam barang konsumsi (termasuk sandang, perumahan, bahan bakar, dan
7
sebagainya) yang dapat dianggap sebagai kebutuhan untuk menyelenggarakan rumah tangga. Keanekaragamannya tergantung pada tingkat pendapatan rumah tangga. Tingkat pendapatan yang berbeda-beda mengakibatkan perbedaan taraf konsumsi. (BPS 2016).
Pola Konsumsi Rumah Tangga Pola konsumsi adalah alokasi pendapatan yang dikeluarkan untuk pembelian bahan pokok dan untuk pembelian bahan sekunder. Dengan mempelajari pola konsumsi dapat dinilai sampai seberapa jauh perkembangan kesejahteraan masyarakat pada saat ini (Hermanto 1985). Permintaan konsumsi pada dasarnya dibatasi oleh kemampuan untuk mengkonsumsi barang atau jasa tersebut. Kemampuan tersebut ditentukan terutama oleh pendapatan dari rumah tangga dan harga barang yang dikehendaki. Apabila jumlah pendapatan yang dapat dibelanjakan berubah maka jumlah barang yang diminta juga akan berubah. Demikian pula halnya bila harga barang yang dikehendaki berubah. Hal ini menjadi kendala bagi rumah tangga dalam mengkonsumsi suatu barang. Keterbatasan pendapatan yang dimiliki antar rumah tangga membuat tingkat konsumsi akan suatu barang berbeda pula, sehingga membentuk pola konsumsi yang berbeda antar rumah tangga (Widianis 2014). Satu cara untuk mengkaji pola konsumsi rumah tangga adalah dengan menganalisis tingkat pengeluaran konsumsi rumah tangga tersebut. Pengetahuan mengenai jenis-jenis barang yang dikonsumsi masyarakat dapat dijadikan dasar bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan pangan, terutama terkait ketersediaan yang cukup dan pemenuhan gizi yang optimal (Widianis 2014). Setiap anggota rumah tangga membutuhkan berbagai komoditas baik makanan maupun non makanan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan kata lain, setiap anggota rumah tangga akan mengkonsumsi berbagai komoditas makanan maupun non makanan setiap hari. Hal ini mendorong terjadinya aktivitas ekonomi berupa permintaan dan penawaran suatu barang atau jasa. Pola konsumsi pangan sangat ditentukan oleh faktor sosial ekonomi rumah tangga seperti tingkat pendapatan, harga pangan non pangan, selera, dan kebiasaan makan. Analisis pola konsumsi dapat pula dilihat melalui beberapa pendekatan diantaranya dengan menggunakan pendekatan faktor sosial budaya yaitu dengan menganalisa data golongan pendapatan rumah tangga. Kemudian dapat dilakukan pula pendekatan letak geografis yaitu dengan membedakan lokasi menjadi desa dan kota dan pendekatan rumah tangga yaitu dengan mengidentifikasi jumlah anggota rumah tangga, struktur umur, jenis kelamin, pendidikan dan lapangan pekerjaan (Kementerian Pertanian 2013). Keragaman konsumsi pangan di tingkat rumah tangga erat hubungannya dengan ciri-ciri demografis, aspek sosial, ekonomi, serta potensi sumberdaya alam setempat. Akibat perbedaan tersebut ditambah dengan kendala dalam distribusi pangan antardaerah menyebabkan pola konsumsi pangan antar daerah akan bervariasi dari suatu daerah ke daerah lain. Seperti diketahui, Indonesia terbagi kedalam wilayah-wilayah yang secara historis mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, dan wilayah lain yang mengkonsumsi biji-bijian lain atau umbiumbian sebagai makanan pokok. Dalam hal ini, selain faktor-faktor yang telah
8
disebutkan, maka faktor kebiasaan (habit) yang berkaitan dengan unsur sosial budaya, lingkungan ekonomi, dan kebutuhan biologis yang mempengaruhi seseorang melakukan pemilihan jenis makanan yang mereka konsumsi (Sayekti 2008). Kahar (2010) menyimpulkan adanya perbedaan pola konsumsi antara rumah tangga yang tinggal di pedesaan dengan rumah tangga yang tinggal di perkotaan. Penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa semakin besar jumlah anggota rumah tangga dan semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga, maka jumlah permintaan terhadap komoditas pangan seperti ikan/daging/telur/susu di daerah perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan di pedesaan. Menurut Dumairy (1999), pola konsumsi dikenal berdasarkan alokasi penggunaanya. Secara garis besar, untuk keperluan analisis alokasi pengeluaran konsumsi digolongkan dalam dua kelompok penggunaan yaitu pengeluaran untuk makanan dan pengeluaran bukan makanan. Perbandingan besar pengeluaran perkapita penduduk perkotaan terhadap penduduk pedesaan cenderung konstan setiap tahun. Pengeluaran rata-rata penduduk kota selalu dua kali lebih besar dari pengeluaran penduduk desa. Alokasi pengeluaran untuk makanan di kalangan penduduk desa lebih besar dibandingkan dengan penduduk kota.
Teori Perilaku Konsumen Teori permintaan individu umumnya diturunkan dari teori perilaku konsumen, oleh karena itu pembahasan mengenai teori perilaku konsumen ini menjadi penting. Perilaku konsumen umumnya diterangkan dengan pendekatan fungsi kepuasan (utility function). Jika rumah tangga tersebut dihadapkan dengan pilihan antara dua kelompok alternatif konsumsi, maka asumsinya rumah tangga tersebut akan memilih kelompok yang disenanginya, atau dengan kata lain rumah tangga tersebut menentukan pilihannya (preferensinya) dalam rangka memaksimumkan kepuasannya (utilitasnya). Menurut Nicholson (2002), utilitas/kepuasan didefinisikan sebagai kepuasan yang diterima seseorang akibat aktivitas ekonomi yang dilakukan. Konsep utilitas ini sendiri sebenarnya memiliki makna yang luas karena tingkat kepuasan seseorang merupakan suatu hal yang bersifat subjektif dan nilainya tidak dapat diukur secara pasti. Namun terdapat beberapa sifat mendasar mengenai preferensi individu ini, yaitu: 1. Complete Preferences (Preferensi yang lengkap). Menyatakan asumsi bahwa para individu mampu menyatakan sesuatu yang diinginkan dari dua pilihan. Jika terdapat dua kelompok konsumsi A dan B, maka diharapkan bahwa individu tersebut dapat secara tegas menyatakan kelompok satu akan lebih baik dari kelompok lainnya. 2. Transitivity of Preferences (Preferensi bersifat transitif). Menyatakan asumsi bahwa jika A lebih diinginkan dari B, dan B lebih diinginkan dari C, maka A harus lebih diinginkan dari C. Jadi dalam hal ini diasumsikan bahwa individu akan bersikap konsisten dalam menentukan pilihannya. 3. ‘More is better than less’.
9
Menyatakan asumsi bahwa individu akan lebih menyukai banyak barang daripada sedikit barang. Hubungan permintaan suatu jenis barang dengan adanya perubahan harga akan menimbulkan dua efek, yaitu efek substitusi dan efek pendapatan. Maksimisasi utilitas dengan asumsi barang normal adalah turunnya harga barang akan meningkatkan jumlah barang yang dibeli. Hal ini dikarenakan efek substitusi menyebabkan jumlah barang yang dibeli akan lebih banyak sehingga utilitas konsumen bergerak sepanjang kurva indiferen dan efek pendapatan menyebabkan jumlah barang yang dibeli lebih banyak karena harga menurun sehingga meningkatkan daya beli. Sehingga utilitas konsumen bergerak ke kurva indiferen yang lebih tinggi (Nicholson 2005). Komoditi Y
E2
Y2 Y1 D
E1
U2
f U1
X1 Efek Substitusi
C
X2 Efek Pendapatan
GA
Komoditi X Keterangan : U = Kurva Indiferen GA = Garis Anggaran
Sumber: Nicholson (2005) Gambar 2 Efek Substitusi dan Pendapatan saat penurunan harga suatu barang Gambar 2 memperlihatkan bahwa awalnya konsumen memperoleh utilitas maksimum dengan mengkonsumsi komoditas X sebanyak X1 dan komoditas Y sebanyak Y1. Saat terjadi penurunan harga komoditas X sementara harga komoditas Y tetap, maka terjadi pergeseran utilitas (E1→F) dimana konsumen akan mengkonsumsi lebih banyak komoditas X yaitu di titik C dan mengurangi konsumsi komoditas Y (Y1→D). Efek ini disebut efek substitusi di mana terjadi penggantian/substitusi antara komoditas X dan komoditas Y. Penurunan harga komoditas X akan menyebabkan seolah-olah pendapatan konsumen meningkat, sehingga konsumen mampu membeli lebih banyak komoditas dan mencapai tingkat utilitas yang lebih tinggi. Konsumsi komoditas X dan komoditas Y masing-masing meningkat menjadi X2 dan Y2. Efek inilah yang disebut dengan efek pendapatan. Penjumlahan dari kedua efek ini disebut efek total permintaan suatu komoditas karena terjadi perubahan harga. Efek substitusi dan efek pendapatan dapat digunakan untuk menentukan tipe/jenis barang. Efek pendapatan mampu menjelaskan apakah suatu barang merupakan barang normal, inferior, atau giffen. Barang normal mempunyai efek pendapatan positif dan barang inferior memiliki efek pendapatan negatif. Apabila efek pendapatan negatif dan lebih besar daripada nilai absolut, maka menimbulkan efek substitusi yang negatif
10
pula sehingga barang ini disebut barang giffen. Dua barang dikatakan bersubstitusi jika kedua barang tersebut dapat memenuhi kebutuhan yang sama, dengan kata lain sifat dua barang yang jika harga salah satunya meningkat, kuantitas barang lainnya yang diminta akan meningkat. Dua barang dikatakan komplemen jika kedua barang bersama-sama dikonsumsi untuk memenuhi satu kebutuhan atau dengan kata lain sifat dua barang yang jika harga salah satu barang meningkat, permintaan barang lain akan menurun (asumsi ceteris paribus). Hukum Engel Terkait hubungan antara pendapatan dan konsumsi rumah tangga telah dipelajari oleh salah satu pakar ekonomi Prusia, Jerman Ernest Engel (1821-1896). Ernest Engel mengemukakan bahwa pendapatan dari rumah tangga yang digunakan untuk belanja makanan cenderung menurun jika pendapatannya meningkat, yang berarti makin rendah penghasilan seseorang maka makin besar proporsi pengeluaran yang dikeluarkan untuk konsumsi pengeluaran makanan atau pangan, pernyataan ini dikenal dengan Hukum Engel (Nicholson, 2002). Kurva Engel
Pendapatan (I) 30 20 10
4
8 (a)
12 Kuantitas Pangan (Q)
Sumber : Pyndyck, 2007 Gambar 3 Kurva Engel pada Barang Normal Pendapatan (I) 30 Inferior 20 Normal 10
Kuantitas Hamburger (Q) 4 6 8 (b) Sumber : Pyndyck, 2007 Gambar 4 Humburger barang normal, ketika pendapatan > 20 jadi barang Inferior
11
Menurut Pyndyck dan Rubinfeld (2007) hubungan pendapatan dan jumlah barang yang konsumsi dapat digambarkan dengan kurva Engel. Pada barang normal kemiringan kurva Engel naik. Pada gambar (a), makanan adalah barang normal dan kurva Engel menunjukkan pola naik. Pada gambar (b), hamburger adalah barang normal untuk pendapatan yang kurang dari $20/bln dan menjadi barang inferior ketika pendapatan lebih besar dari $20/bln. Kurva Engel adalah kurva yang menunjukkan hubungan antara pendapatan dan kuantitas yang diminta. Pada barang normal, kurva Engel berlereng menanjak karena kenaikan pendapatan akan menambah kemampuan konsumen untuk membeli dan mengkonsumsi lebih banyak barang dan jasa.
Penelitian Terdahulu Yunita dan Riswani (2013) dalam jurnal penelitian yang berjudul Behaviour of Household Rice Consumption in Different Income Level menganalisis perilaku konsumsi beras rumah tangga di daerah desa dan kota. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi beras rumah tangga di pedesaan lebih besar dibandingkan rata-rata konsumsi beras rumah tangga di perkotaan. Rumah tangga pedesaan lebih banyak mendapatkan beras dari hasil produksi, sedangkan rumah tangga perkotaan membeli beras di pasar dan supermarket. Kemudian pada tingkat pendapatan rumah tangga yang baik di pedesaan maupun perkotaan, kualitas beras yang dikonsumsi juga semakin baik. Pada rumah tangga pedesaan terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi pendapatan, pengeluaran konsumsi berasnya lebih besar dan semakin tinggi pendapatan pada rumah tangga perkotaan, konsumsi berasnya semakin sedikit. Hakim et al. (2012) menganalisis Konsumsi Pangan Pokok Beras pada Golongan Pendapatan yang Berbeda di Kabupaten Oku Timur, Provinsi Sumatera Selatan dengan menggunakan jumlah sampel rumah tangga sebanyak 90 rumah tangga yang tersebar di tiga kategori daerah. Penelitian tersebut bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi beras pada golongan pendapatan berbeda di Kabupaten Oku Timur Provinsi Sumatera Selatan dan menganalisis konsumsi beras rumah tangga di Kabupaten Oku Timur, Provinsi Sumatera Selatan. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian tersebut yaitu analisis kuantitatif dengan menggunakan regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anggota rumah tangga, komposisi umur, komposisi jenis kelamin berpengaruh positif dan signifikan terhadap konsumsi beras rumah tangga. Sementara itu pendapatan, harga beras, dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap konsumsi beras rumah tangga. Faktor yang tidak berpengaruh terhadap konsumsi beras rumah tangga adalah harga bahan pangan substitusi berupa mie. Konsumsi beras rumah tangga Kabupaten Oki Timur tertinggi adalah pada rumah tangga dengan tingkat pendapatan rendah, sedangkan konsumsi beras terendah adalah rumah tangga dengan tingkat pendapatan tinggi. Bamidele et al. (2010) pada jurnal penelitian yang berjudul Economic Analysis of Rice Consumption Patterns in Nigeria menggunakan data primer dengan jumlah sampel rumah tangga sebanyak 110. Penelitian tersebut betujuan
12
untuk menganalisis pola konsumsi beras di Nigeria. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dengan menggunakan logistic regression. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan kepala rumah tangga dan status pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh positif dan signifikan terhadap konsumsi beras. Variabel jumlah anggota rumah tangga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap konsumsi beras sedangkan variabel harga beras per kilogram tidak berpengaruh signifikan terhadap konsumsi beras rumah tangga di Nigeria. Okeke et al. (2015) dalam jurnal penelitian yang berjudul Determinants of Local Rice Consumption among Households in Nigeria mengidentifikasi faktor yang memengaruhi konsumsi beras lokal. Metode analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif dengan regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anggota rumah tangga, status perkawinan, dan kualitas beras lokal berpengaruh positif dan signifikan terhadap konsumsi beras. Lama pendidikan formal serta jenis kelamin berpengaruh negatif dan signifikan terhadap konsumsi beras. Pusposari (2012) menganalisis Pola Konsumsi Pangan Masyarakat di Provinsi Maluku. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi permintaan pangan sumber karbohidrat di Provinsi Maluku dan mengetahui perubahan pola permintaan khususnya pangan sumber karbohidrat bila terjadi perubahan harga dan pendapatan. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian tersebut yaitu dengan model Almost Ideal Demand System (AIDS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga beras, variabel lama sekolah kepala rumah tangga, lokasi rumah tangga dan status miskin berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengeluaran konsumsi beras sedangkan jumlah anggota rumah tangga dan pekerjaan kepala rumah tangga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pengeluaran konsumsi beras. Abdulsalam dan Oyinbo (2013) menganalisis Permintaan Konsumsi Beras di Kaduna State, Nigeria. Salah satu tujuan penelitian tersebut yaitu untuk mengetahui faktor yang memengaruhi konsumsi beras. Penelitian tersebut menggunakan sampel 350 rumah tangga. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian tersebut yaitu dengan model Almost Ideal Demand System (AIDS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang memengaruhi konsumsi beras yaitu harga beras, harga jagung, harga kacang, umur kepala rumah tangga, pendapatan rumah tangga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pengeluaran konsumsi beras sedangkan variabel jumlah anggota rumah tangga, harga ubi, berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengeluaran konsumsi beras. Terdapat variabel yang tidak signifikan terhadap pengeluaran konsumsi beras yaitu variabel pendidikan. Farah A et al. (2011) menganalisis pengaruh faktor sosial demografis terhadap pembelian beras untuk konsumsi di Malaysia. Penelitian tersebut menggunakan data primer. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian tersebut yaitu analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dengan logistic regression model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran rumah tangga, jumlah anak, jenis kelamin, dan pendapatan rumah tangga berpengaruh positif dan signifikan terhadap pembelian konsumsi beras basmati. Sedangkan variabel status perkawinan, jenis pekerjaan, umur dan pendidikan tidak berpengaruh signifikan. Segmentasi pasar untuk konsumsi beras basmati fokus pada rumah tangga pendapatan menengah.
13
Ishibashi K et al. (2004) pada penelitian yang berjudul Konsumsi Beras Rumah Tangga di Jepang menganalisis jumlah dan harga beras yang dibayarkan berdasarkan tipe rumah tangga dengan mencoba memperkirakan faktor usia dan pendapatan dari permintaan beras. Penelitian tersebut menggunakan data panel sekitar 96 000 rumah tangga dari tahun 1987 –2001. Data tersebut berasal dari Biro Pemerintah Statistik Jepang (JBC). Metode analisis yang digunakan adalah data panel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah beras rumah tangga yang dibeli dan harga yang dibayarkan berbeda berdasarkan jenis rumah tangga. Kemudian rumah tangga dengan pendapatan besar akan membeli beras dengan jumlah yang sedikit dan membayar dengan harga yang tinggi. Umur kepala rumah tangga dan pendapatan rumah tangga berpengaruh signifikan terhadap konsumsi beras dan harga yang dibayarkan. Kenyataan bahwa orang tua di Jepang (tua pada umur dan generasi yang sehat) mengkonsumsi lebih banyak beras daripada rata-rata yang lebih muda, dan bahwa anak-anak yang lebih tua biasanya makan lebih banyak beras daripada yang lebih kecil sehingga penting memasukkan faktor umur dalam analisis untuk lebih memahami konsumsi beras di Jepang termasuk untuk proyeksi masa depan.
Kerangka Pemikiran Pada kelompok pengeluaran pangan, beras menduduki posisi penting sebagai makanan utama penduduk dan menjadi sumber kalori/energi utama. Kondisi pola pangan masyarakat sumber karbohidrat utama didominasi oleh beras karena terdapat 95 persen rakyat Indonesia yang masih tergantung pada beras. Konsumsi masyarakat Indonesia terhadap kelompok makanan pada padi-padian termasuk beras mengalami penurunan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 sebesar 2,06 persen. Semakin berkurangnya konsumsi makanan pokok yang berasal dari padi-padian yaitu beras, dapat diindikasikan bahwa telah terjadi perubahan pola konsumsi di masyarakat. Pola konsumsi merupakan salah satu indikator sosial ekonomi yang dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan setempat. Perilaku konsumsi rumah tangga sangat berkaitan pula dengan faktor sosial ekonomi demografi, termasuk perilaku konsumsi rumah tangga di Kota Bogor. Rumah tangga akan menghadapi batasan pada kemampuan daya beli sesuai dengan tingkat pendapatannya karena rumah tangga akan mengeluarkan sebagian pendapatannya juga untuk kebutuhan lainnya, selain kebutuhan pokok. Kemampuan daya beli di Kota Bogor tertinggi kedua di Provinsi Jawa Barat mengindikasikan bahwa tingkat pendapatan masyarakat Kota Bogor yang semakin besar. Pendapatan yang tinggi diperkirakan rumah tangga tersebut sejahtera sehingga lebih mengutamakan mengkonsumsi pangan yang mengandung banyak protein dan mengurangi konsumsi karbohidrat seperti beras. Namun, pada rumah tangga golongan pendapatan rendah, konsumsi lebih diutamakan pada pangan pokok yang mengandung karbohidrat yaitu beras Penduduk yang memiliki tingkat pendapatan berbeda akan memiliki pola konsumsi beras yang berbeda pula dan tentunya akan memiliki tingkat preferensi rumah tangga yang berbeda. Preferensi rumah tangga dalam hal pangan dipengaruhi oleh karakteristik rumah tangga itu sendiri. Perkembangan yang terjadi
14
di masyarakat juga akan memengaruhi perubahan perilaku konsumsi sehingga analisis tentang pola konsumsi akan tetap relevan mengikuti perkembangan jaman. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pola konsumsi beras di Kota Bogor berdasarkan golongan pendapatan dengan menggunakan analisis deskriptif dan kuantitatif. Pada analisis deskriptif bertujuan untuk melihat pola konsumsi beras rumah tangga berdasarkan golongan pendapatan di Kota Bogor. Kemudian untuk analisis kuantitatif yang bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi beras rumah tangga menggunakan metode model Analisis Regresi Berganda dengan OLS (Ordinary Least Square). Output dari analisis ini diharapkan dapat menjadi solusi berupa implikasi kebijakan bagi pemerintah yang mendukung perbaikan pola konsumsi beras masyarakat dan pemerataan kebutuhan beras rumah tangga di kota Bogor. Gambar lengkap mengenai kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 4. Perkembangan Konsumsi Pangan di Indonesia Pola Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat Didominasi oleh Beras Konsumsi Beras Mengalami Penurunan
Perbedaan Daya Beli Rumah Tangga
Pola Konsumsi Beras Rumah Tangga Berdasarkan Golongan Pendapatan di Kota Bogor
Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsumsi Beras Rumah Tangga di Kota Bogor
Analisis Deskriptif
Analisis Regresi Berganda dengan OLS (Ordinary Least Square)
Rekomendasi Kebijakan Gambar 4 Kerangka Pemikiran Operasional Hipotesis Penelitian
15
Hipotesis Penelitian Hipotesis yang dikembangkan untuk menduga jawaban dari berbagai permasalahan yang telah diuraikan diantaranya adalah: 1. Harga beras diduga dapat berpengaruh negatif terhadap konsumsi beras rumah tangga. 2. Pendapatan rumah tangga diduga dapat berpengaruh negatif terhadap konsumsi beras rumah tangga. 3. Tingkat pendidikan kepala keluarga diduga dapat berpengaruh negatif terhadap konsumsi beras rumah tangga. 4. Status perkawinan kepala rumah tangga diduga berpengaruh positif terhadap konsumsi beras rumah tangga. 5. Umur kepala rumah tangga diduga berpengaruh positif terhadap konsumsi beras rumah tangga.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Waktu penelitian dimulai pada September 2015 dan dilanjutkan kembali pada bulan Maret 2016 sampai Agustus 2016. Adapun pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling (sengaja) dengan pertimbangan rumah tangga pendapatan tinggi dan menengah yang bertempat tinggal di daerah Bogor Barat yaitu di komplek perumahan mewah Taman Yasmin, sedangkan pada Kecamatan Bogor Timur di perumahan sekitar Baranangsiang. Pada Kecamatan Bogor Utara di perumahan sekitar Tegal Gundil dan Tanah Baru. Pada Kecamatan Bogor Tengah di perumahan sekitar Tegal Lega. Rumah tangga pendapatan rendah lebih banyak bertempat tinggal di daerah Menteng dan Cikarawang.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik) pusat dan daerah serta data-data penunjang yang relevan dengan penelitian seperti laporan hasil penelitian terkait, jurnal, buletin, internet, dan sumber-sumber lainnya. Data primer didapatkan melalui wawancara langsung dan kuesioner yang diberikan kepada rumah tangga di wilayah Kota Bogor. Total responden dalam penelitian berjumlah 150 responden kemudian setelah data dianalisis, terdapat data yang harus dihilangkan sehingga pada penelitian ini data yang digunakan menjadi 120 responden.
16
Penentuan Jumlah Sampel Metode pengambilan contoh dilakukan dengan teknik purposive sampling. Pada metode ini, pemilihan responden dilakukan secara sengaja. Jumlah responden yang dilibatkan dalam penelitian sebanyak 120 responden, terdiri dari kelompok rumah tangga pendapatan rendah sebanyak 45 rumah tangga, responden pada kelompok rumah tangga pendapatan menengah sebanyak 45 rumah tangga, dan responden yang berada pada kelompok rumah tangga pendapatan tinggi sebanyak 30 rumah tangga. Pemilihan responden dikelompokkan berdasarkan kepemilikan rumah yang dilihat dari luas rumah dan lokasi rumah. Rumah tangga dengan pendapatan tinggi akan memiliki rumah dengan luas > 70 m2, rumah tangga dengan pendapatan menengah akan memiliki rumah dengan luas 45 - 70 m2, sedangkan rumah tangga dengan pendapatan rendah akan memiliki rumah dengan luas < 45m2.
Metode Analisis Data Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis deskriptif dan metode kuantitatif. Pengolahan kuantitatif menggunakan analisis regresi linier berganda dengan Ordianary Least Square (OLS). Data tersebut diolah menggunakan program aplikasi Eviews 6.0 dan Microsoft Excell 2007.
Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan analisis statistik yang menggambarkan atau mendeskripsikan data menjadi informasi yang lebih jelas dan mudah dipahami, dengan bantuan tabel dan grafik yang berhubungan dengan penelitian. Analisis deskriptif yang disajikan dalam penelitian ini merupakan gambaran umum pola pengeluaran konsumsi beras di Kota Bogor. Data yang digunakan untuk analisis deskriptif dikumpulkan dari hasil wawancara, pengamatan, dan telaah pustaka dianalisis secara deskriptif. Data tersebut diinterpretasikan untuk dapat menjawab beberapa tujuan penelitian. Untuk membantu analisis deskriptif ini digunakan tabulasi sederhana dan persentase, dengan bantuan program komputer Microsoft Excel.
Metode Regresi Linier Berganda Pada model regresi perlu dilakukan penafsiran fungsi regresi populasi atas dasar fungsi regresi sampel seakurat mungkin. Salah satu metode penyusunan fungsi regresi sampel adalah dengan metode kuadrat terkecil biasa (Method of Ordinary Least Squares, OLS). Dengan asumsi-asumsi tertentu, metode OLS mempunyai beberapa sifat statistik yang menarik dan membuat OLS menjadi metode analisis yang paling kuat, mudah digunakan, dan popular. Terdapat
17
beberapa asumsi yang harus dipenuhi dalam model regresi berganda diantaranya adalah : 1. Semua penaksir tak bias linier atau penaksir OLS mempunyai varians minimum. 2. Varians tiap unsur disturbance ei tergantung (conditional) pada nilai yang dipilih dari variabel yang menjelaskan adalah suatu angka konstan yang sama dengan σ2 yang merupakan asumsi homoskedastisitas yaitu varians yang sama. 3. Tidak ada autokorelasi artinya tidak ada korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti dalam data deret waktu) atau seperti dalam data cross sectional. 4. Variabel yang menjelaskan adalah non stokastik yaitu terdiri dari angkaangka yang tetap (fixed) dan ei didistribusikan secara normal. 5. Tidak ada multikolinearitas antara variabel yang menjelaskan X. Jika asumsi ini terpenuhi maka penaksiran OLS koefisien regresi menjadi BLUE (Best Linier Unbiassed Estimator). Salah satu regresi dalam OLS adalah regresi berganda. Analisis regresi linier berganda menunjukkan hubungan sebab akibat antara variabel X (dependent variable) yang merupakan penyebab dari variabel Y (independent variable) yang merupakan akibat. Regresi linier berganda tidak hanya melihat keterkaitan antar variabel-variabel namun juga mengukur besarnya hubungan kausalitasnya.
Model Analisis Penelitian Model yang akan digunakan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian Hakim et al. (2012) dengan melakukan beberapa modifikasi. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pengeluaran pangan beras dan variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu harga beras, pendapatan rumah tangga, lama pendidikan kepala rumah tangga, umur kepala rumah tangga, dan status perkawinan kepala rumah tangga. Model analisis yang digunakan dalam penelitian untuk menguji permasalahan terkait faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi beras rumah tangga yaitu dengan model double log untuk model persamaan regresi linier berganda. Model double log merupakan model dimana variabel dependen (Y) dalam bentuk logaritma dan variabel independen (X) berbentuk logaritma. C1i = β0 + β1 LNHARGA + β2 LNPNDPTNi + β4 LNPDKKRTi + β5 LNUMURi +εt..............................................................................................................(1) C2i = β0 + β1 LNHARGA + β2 LNPNDPTNi + β4 LNPDKKRTi + β5LNUMURi + β6 DSKWNi + εt ....................................................................................(2) C3i = β0 + β1 LNHARGA + β2 LNPNDPTNi + β4LN PDKKRTi + β5LNUMURi + β6 DSKWNi + εt ....................................................................................(3) Keterangan : C1i
= Konsumsi beras rumah tangga golongan pendapatan
18
tinggi (kg/kapita/bulan) = Konsumsi beras rumah tangga golongan pendapatan menengah (kg/kapita/bulan) C3i = Konsumsi beras rumah tangga golongan pendapatan rendah (kg/bulan) β0 = intersep LNHARGAi = Harga beras (rupiah/kg) LNPNDPTNi = Pendapatan perkapita rumah tangga (rupiah) LNPDKKRTi = Lama pendidikan kepala rumah tangga (tahun) LNUMURi = Umur kepala rumah tangga (tahun) DSKWNi = Dummy status perkawinan (nilai”1” jika Menikah, nilai “0” jika Tidak Menikah) β1, β2, β3, β4, β5, β6, β7 = Koefisien regresi masing-masing variabel Ln = logaritma natural εt = Error term C2i
Suatu model dikatakan baik apabila memenuhi asumsi klasik atau terhindar dari masalah-masalah heteroskedastisitas, multikolinearitas dan autokolerasi. Dikatakan baik pula apabila suatu penaksir berbentuk linear, tak bias, dan mempunyai varians terendah dalam kelompok penaksir tak bias linear dari sebuah parameter (Gujarati 2007).
Pengujian Kriteria Ekonomi dan Statistik Pengujian dapat dilakukan dengan kriteria ekonomi dan statistik. Pengujian kriteria ekonomi dilakukan untuk melihat besaran dan tanda parameter yang akan diestimasi, apakah sesuai dengan teori atau tidak. Pada pengujian statistik dimaksudkan untuk mengetahui apakah model yang digunakan merupakan model yang tepat untuk menggambarkan hubungan antar variabel. Selain itu untuk mengetahui apakah ada hubungan yang signifikan diantara variabel-variabel dependen dengan variabel independen. Uji F (Uji Keseluruhan) Uji F-statistik digunakan untuk mengukur goodness of fit dari persamaan regresi atau untuk mengetahui apakah semua variabel independen yang terdapat dalam persamaan secara bersama-sama memengaruhi variabel dependen (Gujarati 2003).
F R2 n k
= Signifikansi hubungan kedua variabel = Koefisien determinasi = Banyaknya pengamatan = Jumlah variabel yang diamati Pengujian ini dilakukan dengan cara membandingkan F-statistik dengan Ftabel dengan tingkat signifikansi tertentu. Uji F-Statistik ini merupakan uji signifikansi satu arah.
19
Hipotesis dari uji ini adalah : H0 : β1 = β2 = β3 = β4 = β5 = β6 = β7 = 0 Semua variabel bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap variabel bebasnya. H1 : Minimal ada satu βi ≠ 0 atau setidaknya ada satu variabel bebas yang memengaruhi variabel tidak bebas. Kriteria Pengujian : H0 tidak ditolak karena F-stat < F tabel H0 ditolak jika F-stat > F Dengan demikian hasil uji F yang signifikan akan menunjukan bahwa minimal satu dari variabel bebas memiliki pengaruh terhadap variabel bebasnya. Uji t (Uji Parsial) Pengujian individu dilakukan untuk menguji nilai koefisien regresi apakah memiliki pengaruh yang signifikan atau tidak antara variabel-variabel bebas terhadap variabel terikatnya. Hipotesis dirumuskan sebagai berikut : Kriteria pengambilan keputusan : H0 : β = 0 H0 diterima (thitung < ttabel) artinya variabel independen secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. Ha : β ≠ 0 Ha diterima (thitung > ttabel) artinya variabel independen secara parsial berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. Statistik uji yang dilakukan dalam uji t adalah sebagai berikut :
Hasil t-hitung dibandingkan dengan t-table = ta/2(n-k) Dimana : b : Koefisien regresi parsial sampel B : Koefisien regresi parsial populasi Sb : Simpangan baku koefisien dugaan Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi (R2) merupakan angka yang memberikan persentase variasi total dalam variabel tak bebas (Y) yang dijelaskan oleh variabel bebas (X). Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui seberapa besar variabel independen dapat menerangkan variabel dependen, Nilai R2 berkisar antara 0 hingga 1. Nilai R2 mendekati 0 berarti kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variabel tak bebas sangat terbatas, sedangkan nilai R2 mendekati 1 berarti kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variabel tak bebas tidak terbatas dan model tersebut dikatakan semakin baik. Koefisien determinasi menggambarkan bagian dari variasi total yang diterangkan oleh model. Nilai R2 antara nol dan satu : 0 ≤ R2 ≤ 1. Semakin besar
20
nilai R2 (mendekati 1), maka ketepatannya dikatakan semakin baik. Sifat yang dimiliki oleh koefisien determinasi adalah: 1. Nilai R2 selalu positif karena merupakan nisbah dari jumlah kuadrat. 2. Nilai 0 ≤ R2 ≤ 1 R2 = 0, berarti tidak ada hubungan antara variabel bebas X dengan variabel terikat Y, atau model regresi yang terbentuk tidak tepat untuk meramalkan Y. R2 = 1, model atau garis regresi yang terbentuk dapat meramalkan variabel terikat Y secara sempurna.
Uji Asumsi Klasik
Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah dalam model regresi variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Dalam uji t dan F diasumsikan bahwa residual mengikuti distribusi normal. Uji normalitas dapat dilakukan dengan uji histogram, uji normal P Plot, uji Chi Square, Skewness dan Kurtosis atau uji Kolmogorov Smirnov. Tidak ada metode yang paling baik atau paling tepat. Uji normalitas disebut sebagai Jarque-Bera Test dimana pengujiannya dilakukan pada error term yang harus terdistribusi secara normal. Kriteria dari uji normalitas adalah: 1. Nilai Jarque-Bera > taraf nyata (α) 5 persen artinya kenormalan data telah terpenuhi. 2. Nilai Jarque-Bera < taraf nyata (α) 5 persen artinya kenormalan data belum terpenuhi Uji Multikolinearitas Multikolinearitas adalah adanya hubungan linear yang sempurna atau pasti di antara beberapa atau semua variabel penjelas (bebas) dari model regresi ganda. Masalah multikolinearitas ini sering muncul dan terjadi pada model ekonometrika disebabkan karena pada dasarnya variabel-variabel ekonomi saling terkait satu sama lain. Uji multikolinearitas dapat dilihat dengan melihat koefisien korelasi antarvariabel independen. Nilai koefisien korelasi yang lebih besar dari 0,8 mengindikasikan adanya gejala multikolinearitas. Selanjutnya dilakukan uji clean, gejala multikolinearitas dapat diabaikan jika nilai korelasi antarvariabel independen masih lebih kecil dari nilai R2 pada model. Multikolinieritas dapat diatasi dengan pemberian pembobotan (cross section weight) atau GLS, sehingga parameter dugaan pada taraf uji tertentu (t-statistik maupun F-hitung) menjadi signifikan. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas merupakan penyimpangan terhadap faktor pengganggu yaitu kondisi variansi error-nya tidak konstan (tetap). Heteroskedastisitas dapat dikatakan juga bahwa apabila variasi dari faktor pengganggu tidak selalu sama atau tidak konstan pada data pengamatan yang satu ke data pengamatan yang lain. Salah satu cara untuk mendeteksi adanya gejala heteroskedastisitas adalah dengan uji White. Syarat atau kriteria yang digunakan dalam uji White adalah:
21
1. Nilai probabilitas Obs*Square > taraf nyata (α) 5 persen maka model terbebas dari gejala heteroskedastisitas. 2. Nilai probabilitas Obs*Square < taraf nyata (α) 5 persen maka model mengandung gejala heteroskedastisitas. Uji Autokorelasi Jika sebuah model terdapat penyimpangan asumsi berupa autokorelasi maka pada fungsi regresi tersebut terdapat gangguan yang berupa korelasi diantara faktor gangguan. Autokorelasi pada konsep regresi linear berarti komponen error berkorelasi berdasarkan urutan waktu (pada data berkala) atau urutan ruang (data tampang lintang), atau korelasi pada dirinya sendiri. Jika dalam model regresi tidak terjadi autokorelasi maka kovarian antara εi dengan εj sama dengan nol, dan secara matematis ditulis dengan persamaan berikut:
Dengan asumsi bahwa E ( εi ) = E ( εj ) = 0 Pada penelitian ini, pengujian menggunakan uji Durbin-Watson Statistic (DW). Uji DW hanya berhasil baik jika autokorelasinya berbentuk autokorelasi order pertama, artinya faktor pengganggu et berpengaruh kepada faktor pengganggu et-1. Pengujian menggunakan uji DW ini memiliki kelemahan penguraian adanya autokorelasi hanya pada lag-1 tidak melihat (menguji) autokorelasi pada lag-2, lag3, dan seterusnya.
Definisi Variabel Operasional Definisi operasional variabel-variabel yang digunakan dalam model sebagai berikut: a. Rumah tangga adalah seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau bangunan sensus dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Makan dari satu dapur mempunyai makna bahwa mereka mengurus kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu. b. Anggota Rumah Tangga adalah semua orang yang tercakup dalam suatu rumah tangga. Orang yang telah tinggal dalam rumah tangga selama 6 bulan atau lebih, atau yang telah tinggal kurang dari 6 bulan tetapi berniat menetap/berencana tinggal selama 6 bulan atau lebih dianggap sebagai anggota rumah tangga. Sebaliknya anggota rumah tangga yang telah bepergian 6 bulan atau lebih, dan anggota rumah tangga yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi dengan tujuan pindah/akan meninggalkan rumah 6 bulan atau lebih, tidak dianggap sebagai anggota rumah tangga. c. Kepala Rumah Tangga adalah seorang dari sekelompok anggota rumah tangga yang bertanggung jawab atas kebutuhan sehari-hari rumah tangga, atau orang yang dianggap/ditunjuk sebagai kepala rumah tangga. d. Tingkat Pendidikan adalah kategori jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh seseorang. Penggolongan tingkat pendidikan berdasarkan
22
e.
f. g.
h.
lama pendidikan formal yang ditempuh seseorang dalam tahun. Pendidikan 1 – 6 tahun termasuk kategori pendidikan SD, pendidikan 7 – 9 tahun termasuk kategori pendidikan SMP, pendidikan 10 – 12 tahun termasuk kategori pendidikan SMA, dan pendidikan > 12 tahun termasuk kategori pendidikan tinggi. Pendapatan Rumah Tangga adalah penggolongan tingkat pendapatan rumah tangga yang dihitung berdasarkan seluruh pendapatan yang diterima baik sektor formal maupun non formal yang terhitung dalam jangka waktu tertentu, dan digolongkan dengan memakai kriteria kepemilikan rumah yang dilihat dari luas rumah dan lokasi rumah. Pendapatan rumah tangga dinyatakan dalam rupiah. Konsumi Beras adalah Jumlah kebutuhan beras rumah tangga yang dihitung dengan satuan kg per kapita dalam satu bulan. Harga Beras adalah harga tertinggi setiap kilogram yang dibayar ibu rumah tangga atau kepala rumah tangga pada pembelian rata-rata dan dinyatakan dalam rupiah. Umur Kepala Rumah Tangga adalah jumlah umur yang dimiliki kepala rumah tangga dan dinyatakan dalam tahun.
GAMBARAN UMUM
Lokasi Geografis Kota Bogor Kota Bogor merupakan salah satu kota yang terletak di Provinsi Jawa Barat yang memiliki luas wilayah sekitar 11 850 hektar. Secara administratif Kota Bogor melingkupi enam wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor selatan, Kecamatan Bogor Timur, Kecamatan Bogor Tengah, Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Tanah Sarael, dan Kecamatan Bogor Utara. Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 106’ 48’ BT dan 6’ 26’ LS. Kedudukan geografis Kota Bogor di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya sangat dekat dengan Ibukota Negara, merupakan potensi strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi. Kota Bogor mempunyai luas wilayah yang secara administratif terdiri dari 6 wilayah kecamatan, 31 kelurahan dan 37 desa (lima diantaranya termasuk desa tertinggal yaitu desa Pamoyanan, Genteng, Balungbangjaya, Mekarwangi dan Sindangrasa), 210 dusun, 623 RW, 2 712 RT dan dikelilingi oleh Wilayah Kabupaten Bogor dengan batas wilayah seperti sebelah selatan berbatasan dengan Kec. Cijeruk dan Kec. Caringin Kabupaten Bogor. Sebelah Timur Berbatasan dengan Kec. Sukaraja dan Kec. Ciawi Kabupaten Bogor. Sebelah Utara berbatasan dengan Kec. Sukaraja, Kec. Bojong Gede, dan Kec. Kemang Kabupaten Bogor. Sebelah Barat berbatasan dengan Kec. Kemang dan Kec. Dramaga Kabupaten Bogor.
23
Luas Wilayah dan Kependudukan Kota Bogor Berdasarkan Tabel 2, dengan luas wilayah 30.81 Km2 dan kepadatan 6 184 Km Kecamatan Bogor Selatan memiliki jumlah penduduk sebanyak 194 179 jiwa. Kecamatan Bogor Timur dengan luas wilayah 10.15 Km2 memiliki jumlah penduduk sebanyak 101 984 jiwa dan total kepadatan sebesar 10 048. Kecamatan Bogor Utara dengan luas wilayah 17.72 Km2 memiliki jumlah penduduk sebanyak 186 098 jiwa dan total kepadatan sebesar 10 502. Selanjutnya Kecamatan Bogor Tengah memiliki luas wilayah 8.13 Km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 104 120 jiwa dan memiliki kepadatan 12 807 Km2. Pada Kecamatan Bogor Barat memiliki luas wilayah 32.85 Km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 228 860 jiwa dan kepadatan 6 967 Km2. Terakhir yaitu Kecamatan Tanah Sareal memiliki luas wilayah 18.84 Km2 dengan jumlah penduduk 215 479 jiwa dan kepadatan 11 437 Km2. Jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2014 mencapai 1 030 720 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 523 479 jiwa dan perempuan 507 241 jiwa. Jumlah rumah tangga yang ada di Kota Bogor mencapai 252 967 pada tahun 2014. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor pada tahun 2014 adalah 5.97 persen, sedikit lebih lambat dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 yang mencapai 5.99 persen (BPS Kota Bogor 2015). 2
Tabel 2 Jumlah penduduk dan luas wilayah pada masing-masing kecamatan di Kota Bogor tahun 2014 Nama Kecamatan Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sereal Jumlah
Jumlah Penduduk (Jiwa) 194 179 101 984 186 098 104 120 228 860 215 479 1 030 720
Luas Wilayah/Area (jiwa/km2) 30.81 10.15 17.72 8.13 32.85 18.84 118.50
Kepadatan (Km2) 6 302 10 048 10 502 12 807 6 967 11 437 8 698
Sumber : BPS Kota Bogor, 2015 Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa luas wilayah/area terbesar dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu terdapat pada Kecamatan Bogor Barat, tetapi pada kepadatan tertinggi terdapat pada Kecamatan Bogor Tengah. Pada Tabel 2 jumlah penduduk di Kecamatan Bogor Barat lebih banyak dibandingkan dengan kecamatan lainnya yaitu 228 860 jiwa dengan luas wilayahnya 32.85 km2, sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil ada di Kecamatan Bogor Timur dengan jumlah penduduk sebesar 101 984 jiwa dengan luas wilayah 10.15 km2.
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden Karakteristik responden merupakan sifat atau ciri konsumen yang sudah diberikan pertanyaan melalui kuesioner yang disajikan dari hasil wawancara. Karakteristik responden dibagi menjadi tiga kelompok rumah tangga berdasarkan tingkat pendapatannya, yaitu pendapatan tinggi, menengah, dan rendah. Pada penelitian ini yang mayoritas menjadi responden adalah ibu rumah tangga. Tabel 3 Sebaran jenis kelamin responden di Kota Bogor Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Pendapatan Tinggi (n=30) Jumlah (orang) 0 30 30
Persentase (%) 0 100.00 100.00
Pendapatan Menengah (n=45) Jumlah Persentase (orang) (%) 0 0 45 100.00 45 100.00
Pendapatan Rendah (n=45) Jumlah (orang) 0 45 45
Persentase (%) 0 100.00 100.00
Sumber : Data Primer, 2015 (diolah) Pada Tabel 3, mayoritas responden adalah perempuan yang pada umumnya adalah ibu rumah tangga, baik yang memiliki pekerjaan maupun tidak memiliki pekerjaan. Hal ini diperoleh karena biasanya ibu rumah tangga sebagai pengambil keputusan dalam rumah tangga untuk hal yang berkaitan dengan konsumsi pangan khususnya konsumsi beras. Tabel 4 Sebaran umur responden di Kota Bogor Umur (Tahun)
Pendapatan Tinggi (n=30) Jumlah Persentase (orang) (%)
20 – 29
0
0
30 – 39
7
23.33
40 – 49
14
50 – 59
Pendapatan Menengah (n=45) Jumlah Persentase (orang) (%)
Pendapatan Rendah (n=45) Jumlah Persentase (orang) (%)
0
7
15.55
11
24.45
7
15.55
46.67
19
42.22
16
35.55
7
23.33
10
6
13.33
≥ 60
2
6.67
5
22.22 11.11
9
20.00
Total
30
100
45
100
45
100
Sumber : Data Primer, 2015 (diolah) Pada Tabel 4, sebaran umur responden dikelompokkan dalam empat kategori. Kategori pertama, responden yang memiliki umur 20 – 29 tahun pada golongan pendapatan tinggi dan menengah tidak ada dan pada golongan pendapatan rendah sebanyak 7 orang (15.55 persen). Kategori kedua, responden yang memiliki umur 30 – 39 tahun golongan pendapatan tinggi sebanyak 7 orang (23.33 persen), pada golongan pendapatan
25
menengah sebanyak 11 orang (24.45 persen), dan pada golongan pendapatan rendah sebanyak 7 orang (15.55 persen). Selanjutnya kategori ketiga responden yang memiliki umur 40 – 49 tahun pada golongan pendapatan tinggi sebanyak 14 orang (46.67 persen), pada golongan pendapatan menengah sebanyak 19 orang (42.22 persen), dan pada golongan pendapatan rendah sebanyak 16 orang (35.55). Kategori keempat responden yang memiliki umur 50 – 59 tahun pada golongan pendapatan tinggi sebanyak 7 orang (23.33 persen), pada golongan pendapatan menengah sebanyak 10 orang (22.22 persen), dan pada golongan pendapatan rendah sebanyak 6 orang (13.33 persen). Kategori kelima responden yang memiliki umur ≥ 60 pada golongan pendapatan tinggi sebanyak 2 orang (6.67 persen), pada golongan pendapatan menengah sebanyak 5 orang (11.11 persen), dan pada golongan pendapatan rendah sebanyak 9 orang (20.00 persen). Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa responden yang memiliki umur 40 – 49 tahun pada golongan pendapatan tinggi, menengah, dan rendah menunjukkan jumlah responden yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pada kategori umur lainnya. Kondisi tersebut menandakan bahwa responden berusia 40 – 49 tahun adalah ibu rumah tangga produktif yang tinggal di rumah baik memiliki status bekerja atau tidak bekerja dan memiliki tugas untuk mengurus keperluan pangan rumah tangga. Tabel 5 Sebaran lama pendidikan formal responden di Kota Bogor Kategori Lama Pendidikan Formal (Tahun)
Pendapatan Menengah (n=45)
Pendapatan Tinggi (n=30)
Pendapatan Rendah (n=45)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
0 (Tidak Sekolah)
0
0
0
0
3
6.67
1 - 6 (SD)
0
0
0
0
28
62.22
7 - 9 (SMP)
0
0
1
2.22
9
20.00
10 - 12 (SMA)
6
20.00
18
40.00
5
11.11
> 12 (PT)
24
80.00
26
57.77
0
0
Total
30
100
45
100
45
100
Sumber : Data Primer, 2015 (diolah) Pada Tabel 5 sebaran lama pendidikan formal responden dikelompokkan dalam lima kategori berdasarkan tingkat pendidikannya yaitu nol tahun (tidak sekolah), 1 – 6 tahun (SD), 7 – 9 tahun (SMP), 10 – 12 tahun (SMA), dan lebih lama dari 12 tahun (PT). Kategori pertama responden yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal (0 tahun) paling banyak jumlahnya yaitu pada golongan pendapatan rendah sebanyak 3 responden (6.67 persen), sedangkan untuk golongan pendapatan tinggi dan menengah tidak ada. Kategori kedua responden
26
yang menempuh pendidikan formal selama 1 – 6 tahun (SD) paling banyak jumlahnya yaitu pada golongan pendapatan rendah sebanyak 28 responden (62.22 persen), sedangkan untuk golongan pendapatan tinggi dan menengah tidak ada. Kategori ketiga responden yang menempuh pendidikan formal selama 7 – 9 tahun (SMP) pada golongan pendapatan menengah sebanyak 1 responden (2.22 persen), pada golongan pendapatan rendah sebanyak 9 responden (20.00 persen), dan pada golongan pendapatan tinggi tidak ada. Kategori keempat responden yang menempuh pendidikan formal selama 10 – 12 tahun (SMA) pada golongan pendapatan tinggi sebanyak 6 responden (20.00 persen), pada golongan pendapatan menengah sebanyak 18 responden (40.00 persen), dan pada golongan pendapatan rendah sebanyak 5 responden (11.11 persen). Kategori kelima responden yang menempuh pendidikan formal selama lebih dari 12 tahun (PT) pada golongan pendapatan tinggi sebanyak 24 responden (80.00 persen), pada golongan pendapatan menengah sebanyak 26 responden (57.78 persen), dan pada golongan pendapatan rendah tidak ada. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan formal responden di Kota Bogor pada golongan pendapatan tinggi didominasi responden dengan lama pendidikan lebih dari 12 tahun atau setara dengan perguruan tinggi. Begitu juga pada golongan pendapatan menengah yang didominasi responden dengan lama pendidikan lebih dari 12 tahun (PT) sebanyak 26 responden (57.78 persen). Sedangkan pada golongan pendapatan rendah didominasi responden dengan lama pendidikan pada 1 – 6 tahun atau setara dengan SD sebanyak 28 orang (62.22 persen). Tingkat pendidikan responden rumah tangga berbeda antara yang satu dengan lainnya dari tingkat sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Pendidikan dan pekerjaan merupakan dua hal yang saling berkaitan, dimana pendidikan akan mampu menentukan jenis pekerjaan responden dan akan berimplikasi pada pendapatan yang akan diterimanya. Jika kepala rumah tangga memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi, kepala rumah tangga tersebut memperoleh pekerjaan yang layak cukup baik. Hal ini akan berdampak pada perolehan pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Tabel 6 Sebaran jumlah anggota rumah tangga responden di Kota Bogor Jumlah Anggota Rumah Tangga ≤2 3–4 5–6 7–8 Total
Pendapatan Tinggi (n=30) Jumlah Persentase (orang) (%) 1 3.34 16 53.33 13 43.33 0 0 30 100
Pendapatan Menengah (n=45) Jumlah Persentase (orang) (%) 2 4.44 30 66.67 10 22.22 3 6.67 45 100
Pendapatan Rendah (n=45) Jumlah Persentase (orang) (%) 1 2.22 26 57.78 14 31.11 4 8.89 45 100
Sumber : Data Primer, 2015 (diolah) Pada Tabel 6, sebaran jumlah anggota keluarga responden dikelompokkan dalam empat kategori yaitu kurang dari sama dengan dua orang, 3 – 4 orang, 5 – 6 orang, dan 7 – 8 orang. Kategori pertama responden yang memiliki jumlah anggota keluarga kurang dari sama dengan 2 orang pada golongan pendapatan tinggi
27
sebanyak 1 responden (3.34 persen), pada golongan pendapatan menengah sebanyak 2 responden (4.44 persen), dan pada golongan pendapatan rendah sebanyak 1 responden (2.22 persen). Kategori kedua responden yang memiliki jumlah anggota keluarga 3 – 4 orang pada golongan pendapatan tinggi sebanyak 16 responden (53.33 persen), pada golongan pendapatan menengah sebanyak 30 responden (66.67 persen), dan pada golongan pendapatan rendah sebanyak 26 responden (57.78 persen). Kategori ketiga responden yang memiliki jumlah anggota keluarga 5 – 6 orang pada golongan pendapatan tinggi sebanyak 13 responden (43.33 persen), pada golongan pendapatan menengah sebanyak 10 responden (22.22 persen), dan pada golongan pendapatan rendah sebanyak 14 responden (31.11 persen). Kemudian kategori keempat responden yang memiliki jumlah anggota keluarga 7 – 8 orang pada golongan pendapatan tinggi tidak ada, pada golongan pendapatan menengah sebanyak 3 responden (6.67 persen), dan pada golongan pendapatan rendah sebanyak 4 responden (8.89 persen). Secara keseluruhan jumlah anggota keluarga pada rumah tangga golongan pendapatan tinggi, menengah, dan rendah memiliki persentase yang cukup besar yaitu rumah tangga yang memiliki jumlah anggota keluarga sebanyak 3 – 4 orang. Kondisi jumlah anggota keluarga mengindikasikan jumlah jiwa yang melakukan konsumsi terhadap pangan dan jumlah jiwa yang harus ditanggung atas hasil kerja kepala rumah tangga. Tabel 7 Sebaran jenis pekerjaan responden di Kota Bogor
Pekerjaan
Pendapatan Tinggi (n=30)
Pendapatan Menengah (n=45) Jumlah Persentase (orang) (%)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
PNS Pegawai Swasta Wiraswasta
6 2 1
20.00 6.67 3.33
5 5 2
Petani/peternak Buruh lainnya Ibu rumah tangga
0 0 20
0 0 66.67
Pensiunan
0
Lainnya Total
Pendapatan Rendah (n=45) Jumlah (orang)
Persentase (%)
11.11 11.11 4.44
0 1 0
0 2.22 0
0 0 32
0 0 71.11
1 10 33
2.22 22.22 73.34
0
0
0
0
0
1
3.33
1
2.22
0
0
30
100
45
100
45
100
Sumber : Data Primer, 2015 (diolah) Pada Tabel 7, sebaran jenis pekerjaan responden dikelompokkan dalam sepuluh kategori yaitu PNS, pegawai swasta, wiraswasta, petani/peternak, buruh lainnya, ibu rumah tangga, pensiunan, lainnya. Kategori pertama responden yang memiliki pekerjaan sebagai PNS pada golongan pendapatan tinggi sebanyak 6 responden (20.00 persen), pada golongan pendapatan menengah sebanyak 5 responden (11.11 persen), dan pada golongan pendapatan rendah tidak ada.
28
Kategori kedua responden yang memiliki pekerjaan sebagai pegawai swasta pada golongan pendapatan tinggi sebanyak 2 responden (6.67 persen), pada golongan pendapatan menengah sebanyak 5 responden (11.11), dan pada golongan pendapatan rendah sebanyak 1 responden (2.22 persen). Kategori ketiga responden yang memiliki pekerjaan sebagai wiraswasta pada golongan pendapatan tinggi sebanyak 1 responden (3.33 persen), pada golongan pendapatan menengah sebanyak 2 responden (4.44 persen) dan pada golongan pendapatan rendah tidak ada. Kategori keempat responden yang memiliki pekerjaan sebagai petani/peternak terdapat pada golongan pendapatan rendah sebanyak 1 responden (2.22). Kategori kelima responden yang memiliki pekerjaan sebagai buruh lainnya pada golongan pendapatan tinggi dan menengah adalah tidak ada, sedangkan pada golongan pendapatan rendah sebanyak 10 responden (22.22 persen). Kategori keenam responden yang memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga pada golongan pendapatan tinggi sebanyak 20 responden (66.67 persen), pada golongan pendapatan menengah sebanyak 32 responden (71.88 persen), dan pada golongan pendapatan rendah sebanyak 33 responden (73.34 persen). Kategori ketujuh responden yang pensiunan pada golongan pendapatan tinggi, menengah dan rendah adalah tidak ada. Kemudian kategori kedelapan responden yang memiliki pekerjaan lainnya pada golongan pendapatan tinggi sebanyak 1 responden (3.33 persen), pada golongan pendapatan menengah sebanyak 1 responden (2.22 persen) dan pada golongan pendapatan rendah tidak ada. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa jenis pekerjaan responden yang paling banyak dimiliki yaitu responden yang memiliki jenis pekerjaan ibu rumah tangga pada rumah tangga golongan pendapatan tinggi, golongan pendapatan menengah, maupun golongan pendapatan bawah. Tabel 8 Sebaran status perkawinan responden di Kota Bogor Status Perkawinan
Pendapatan Tinggi (n=30)
Pendapatan Menengah (n=45) Jumlah Persentase (orang) (%)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Menikah
30
100.00
44
Tidak Menikah
0
0
Total
30
100.00
Pendapatan Rendah (n=45) Jumlah (orang)
Persentase (%)
97.78
37
82.22
1
2.22
8
17.78
45
100.00
45
100.00
Sumber : Data Primer, 2015 (diolah) Pada Tabel 8, status perkawinan responden dikelompokkan dalam dua kategori yaitu menikah dan tidak menikah. Kategori pertama responden dengan status perkawinan menikah pada golongan pendapatan tinggi sebanyak 30 responden (100.00 persen), pada golongan pendapatan menengah sebanyak 44 responden (97.78 persen), dan pada golongan pendapatan rendah sebanyak 37 responden (82.22 persen). Kategori kedua responden dengan status perkawinan tidak menikah pada golongan pendapatan tinggi adalah tidak. Pada golongan
29
pendapatan menengah sebanyak 1 responden (2.22 persen) sedangkan pada golongan pendapatan rendah sebanyak 8 responden (17.78 persen). Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa status perkawinan tidak menikah pada golongan pendapatan rendah menunjukkan persentase yang cukup besar diantara golongan pendapatan yang lain yaitu sebanyak 8 responden dengan status perkawinan tidak menikah sedangkan status perkawinan menikah yang menunjukkan persentase yang paling besar yaitu pada golongan pendapatan tinggi. Tabel 9 Sebaran total pendapatan rumah tangga responden di Kota Bogor Total Pendapatan Rumah Tangga (Rp/bulan) 20 000 000 – 150 000 000 5 000 000 -19 900 000 650 000 – 4 900 000 Jumlah
Pendapatan Tinggi (n=30)
Pendapatan Menengah (n=45) Jumlah Persentase (orang) (%)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
30
100
0
0 0 30
0 0 100
45 0 45
Pendapatan Rendah (n=45) Jumlah (orang)
Persentase (%)
0
0
0
100 0 100
0 45 45
0 100 100
Sumber : Data Primer, 2015 (diolah) Pada Tabel 9, sebaran total pendapatan rumah tangga responden dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu Rp650 000 – Rp4 900 000, Rp5 000 000 – Rp19 900 000, dan Rp20 000 000 – Rp150 000 000. Kategori pertama pendapatan rumah tangga sebesar Rp20 000 000 – Rp150 000 000 pada golongan pendapatan tinggi sebanyak 30 responden (100 persen). Kategori kedua pendapatan rumah tangga sebesar Rp5 000 000 – Rp19 900 000 pada golongan pendapatan menengah sebanyak 32 responden (100 persen). Kategori ketiga pendapatan rumah tangga sebesar Rp650 000 – Rp4 900 000 pada golongan pendapatan rendah sebanyak 32 responden (100 persen). Tingkat pendapatan rumah tangga tergantung pada kemampuan anggota keluarga untuk memperoleh kesempatan kerja dan penghasilan yang cukup sesuai dengan kemampuan seseorang. Pendapatan berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas konsumsi pangan. Semakin tinggi tingkat pendapatan, maka akan mempengaruhi individu untuk mengubah pola konsumsi atau meningkatkan konsumsinya. Tabel 10 Rata-rata pendapatan rumah tangga di Kota Bogor Rata-rata Total Pendapatan Rumah Tangga (Rp/bulan)
Pendapatan Tinggi
Pendapatan Menengah
Pendapatan Rendah
42 641 667
10 478 963
2 696 778
Sumber : Data Primer, 2015 (diolah) Rata-rata pendapatan rumah tangga sebagian besar terdiri dari pendapatan kepala rumah tangga dan anggota keluarga yang sudah bekerja. Kepala rumah tangga golongan pendapatan tinggi dan menengah mayoritas memiliki pekerjaan
30
tetap sebagai pegawai negeri sipil (PNS), pegawai swasta, dan wiraswasta sehingga akan memperoleh pendapatan setiap bulannya sesuai dengan upah minimum regional. Pada golongan pendapatan rendah sebagian besar tidak memiliki pekerjaan tetap seperti buruh bangunan dan pedagang asongan. Hal ini menyebabkan rata-rata pendapatan rumah tangga golongan pendapatan rendah hanya sebesar 2 696 778 rupiah setiap bulannya.
Pola Konsumsi Rumah Tangga Kota Bogor Pola konsumsi rumah tangga terhadap suatu komoditi dapat dilihat dari tingkat konsumsi, pengeluaran rumah tangga, dan proporsi dari pengeluaran rumah tangga. Pola konsumsi yang berbeda diantara rumah tangga salah satunya disebabkan oleh tingkat pendapatan masing-masing rumah tangga. Rata-rata pengeluaran konsumsi rumah tangga menurut tingkat pendapatan di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Pengeluaran rumah tangga menurut tingkat pendapatan di Kota Bogor tahun 2015 Kelompok Pengeluaran Tingkat Pendapatan
Rata-rata Total Pendapatan Rumah Tangga (Rp/bulan)
Nilai (Rp)
Persentase (%)
Nilai (Rp)
Persentase (%)
Rata-rata Konsumsi Beras Rumah Tangga Persentase (%)
Makanan
Non-makanan
Rendah
2 696 778
1 040 776.62
53.77
894 807.778
46.23
18.37
Menengah
10 478 963
2 842 487.98
37.55
4 726 733.87
62.45
7.36
Tinggi
42 641 667
5 907 554.37
24.32
18 384 681.8
75.68
4.81
Sumber : Data Primer, 2015 (diolah) Berdasarkan Tabel 11, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan konsumsi rumah tangga antara tingkat pendapatan yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan maka proporsi pengeluaran untuk konsumsi non-makanan semakin tinggi. Rumah tangga dengan tingkat pendapatan tinggi proporsi pengeluaran untuk konsumsi non-makanan menunjukkan proporsi yang paling tinggi yaitu sebesar 75.68 persen. Selain itu proporsi pengeluaran untuk konsumsi non-makanan pada rumah tangga dengan tingkat pendapatan menengah sebesar 62.45 persen sedangkan proporsi pengeluaran untuk konsumsi non makanan pada rumah tangga dengan tingkat pendapatan rendah hanya sebesar 46.23. Pada rumah tangga yang tingkat pendapatannya rendah, pengeluaran untuk konsumsi makanan menunjukkan proporsi yang paling tinggi yaitu sebesar 53.77 persen sedangkan proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan rumah tangga golongan menengah sebesar 37.55 persen berbeda dengan rumah tangga dengan tingkat pendapatan tinggi hanya sebesar 24.32 persen. Rendahnya konsumsi pangan pada kelompok rumah tangga pendapatan tinggi disebabkan karena rumah tangga di daerah perkotaan telah terjadi perubahan gaya
31
hidup. Rumah tangga berusaha untuk memenuhi kebutuhan pangan (kebutuhan dasar). Kemudian setelah pendapatan mengalami peningkatan dan kebutuhan pangan dapat terpenuhi, rumah tangga tersebut akan berusaha memenuhi kebutuhan non makanan seperti pendidikan, kesehatan, pakaian, dan lainnya. Hal ini dimungkinkan karena tingkat kebutuhan terhadap konsumsi makanan dan non makanan tergantung dari karakter sosial masing-masing rumah tangga. Kondisi tersebut sesuai dengan hukum Engel. Menurut hukum Engel, rumah tangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi pangan mengindikasikan rumah tangga tersebut berpendapatan rendah. Semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga, semakin kecil proporsi pengeluaran untuk pangan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga. Di Indonesia pangan pokok rumah tangga yang utama dan dominan adalah beras. Kelompok komoditi beras merupakan sumber karbohidrat utama bagi rumah tangga. Terdapat perbedaan konsumsi beras yang menjadi sumber bahan makanan pokok diantara golongan pendapatan rumah tangga. Berdasarkan Tabel 11, dapat dilihat bahwa persentase pengeluaran konsumsi beras rumah tangga pada pendapatan tinggi paling sedikit jumlahnya dibandingkan dengan persentase pengeluaran konsumsi beras rumah tangga pada pendapatan menengah dan pendapatan rendah. Rata-rata rumah tangga di Kota Bogor pada golongan pendapatan rendah membelanjakan setiap bulannya sekitar 18.37 persen dari total pengeluaran pangan rumah tangga untuk konsumsi beras. Sedangkan pada kelompok pendapatan menengah sebesar 7.36 persen dan pada kelompok pendapatan tinggi hanya sebesar 4.81 persen. Pada kondisi pendapatan yang terbatas, pemenuhan pangan akan menjadi prioritas utama khususnya makanan pokok seperti beras, sehingga pada kelompok pendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pengeluaran konsumsi pangan digunakan untuk membeli makanan pokok. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan beras pada rumah tangga di Kota Bogor dengan pendapatan rendah lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan beras masyarakat dengan pendapatan menengah dan tinggi. Rata-rata pendapatan yang lebih tinggi menyebabkan konsumsi masyarakat perkotaan lebih beraneka ragam, sehingga sebagian konsumsi beras disubstitusi oleh pangan yang lain. Tabel 12 Konsumsi beras rumah tangga di Kota Bogor (%) Konsumsi Beras Rumah Tangga (Kg/RT/bulan) Golongan Pendapatan
Pendapatan Rendah Pendapatan Menengah Pendapatan Tinggi
4 – 24 Kg
25 – 42 Kg
43 – 60 Kg
46.88 75 76.67
43.75 25 23.33
9.37 0 0
Total
100.00 100.00 100.00
Rata-rata konsumsi beras perkapita Kg/kapita/ bulan 5.414 kg 4.563 kg 4.097 kg
Sumber : Data Primer, 2015 (diolah) Berdasarkan Tabel 12, terlihat bahwa rumah tangga pendapatan tinggi yang mengkonsumsi beras sekitar 76.67 persen lebih banyak mengkonsumsi beras 4 – 24 kg per bulan dengan rata-rata konsumsi beras perkapita 4.097 kg/kapita/bulan.
32
Pada rumah tangga pendapatan menengah, konsumsi beras rumah tangga setiap bulannya mencapai 4 – 24 kg per bulan dengan persentase rumah tangga yang mengkonsumsi beras sebesar 75 persen dengan rata-rata konsumsi beras perkapita 4.563 kg/kapita/bulan sedangkan pada rumah tangga pendapatan rendah konsumsi beras sebanyak 4 – 24 kg dikonsumsi oleh rumah tangga sekitar 46.88 persen. Konsumsi beras sebesar 25 – 42 kg per bulan juga banyak dikonsumsi oleh rumah tangga pendapatan rendah dengan persentase rumah tangga yang mengkonsumsi mencapai 43.75 persen. Rata-rata konsumsi beras perkapita pada pendapatan rendah yaitu 5.414 kg/kapita/bulan. Begitu pula konsumsi beras sebesar 43 – 60 kg per bulan juga banyak dikonsumsi oleh rumah tangga pendapatan rendah dengan persentase 9.37 persen, angka ini lebih besar dibandingkan dengan konsumsi beras pada rumah tangga pendapatan menengah dan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan, konsumsi beras akan semakin berkurang. Rumah tangga pendapatan rendah dengan pendapatan yang terbatas akan lebih besar memenuhi kebutuhan pangan pokok seperti beras sehingga persentase beras dengan konsumsi mencapai 25 – 42 kg per bulan dan 43 – 60 kg per bulan pada pendapatan rendah menunjukkan persentase yang paling besar dibandingkan konsumsi beras pada pendapatan menengah dan tinggi. Rumah tangga memiliki kecenderungan bahwa dengan meningkatnya tingkat pendapatan, konsumsi beras semakin kecil. Rendahnya tingkat konsumsi beras di daerah Kota Bogor karena tingkat pendapatan masyarakatnya sudah cukup tinggi dan lebih banyak beraktivitas di luar rumah yang menyebabkan masyarakat Kota Bogor mengarah pada pola konsumsi makanan cepat saji dan makanan olahan seperti mie instant atau roti. Hal ini sesuai dengan teori Engel yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan akan cenderung menurunkan konsumsi makanan dan lebih membelanjakan pangan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Penelitian ini juga sejalan dengan hukum Bennet yang menyebutkan bahwa apabila terjadi peningkatan pendapatan maka proporsi pengeluaran untuk pangan pokok seperti beras akan menurun seiring beralihnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi pangan yang harganya lebih tinggi seperti daging dan ikan. Pada penelitian ini komoditi daging dan ikan dianggap termasuk dalam pangan yang memiliki nilai yang tinggi.
33
Tabel 13 Rata-rata konsumsi beras perkapita (kg/bulan)
Karakteristik Rumah Tangga
Umur Kepala Rumah Tangga
Jumlah Anggota Rumah Tangga
Lama Pendidikan Kepala Rumah Tangga
20 - 29 30 - 39 40 - 49 50 – 59 > 60
Rata-rata konsumsi beras perkapita (kg/kapita/bulan) Golongan Golongan Golongan Pendapatan Pendapatan Pendapatan Tinggi Menengah Rendah 0 0 4.604 (17.78) 3.533 (10.00) 3.880 (15.55) 4.516 (11.11) 4.212 (30.00) 4.340 (35.55) 5.675 (20.00) 3.894 (50.00) 4.705 (35.56) 5.62 (20.00) 5.333 (10.00) 5.575 (13.34) 5.898 (31.11)
≤ 4 orang 5 - 6 orang ≥ 7 orang
3.921 (56.67) 4.328 (43.30) 0
4.615 (71.11) 4.050 (22.22) 5.714 (6.67)
5.483 (62.22) 5.141 (28.89) 5.312 (8.9)
tidak sekolah 1 - 6 (SD) 7 - 9 (SMP) 10 - 12 (SMA) > 12 (PT)
0 0 0 2.833 (6.67) 4.188 (93.33)
0 0 0 4.964 (33.33) 4.362 (66.67)
5.440 (6.67) 5.984 (46.67) 5.625 (22.22) 4.341 (22.22) 2 (2.22)
Sumber : Data Primer, 2015 (diolah) Berdasarkan Tabel 13, terlihat bahwa terdapat perbedaan rata-rata konsumsi beras perkapita berdasarkan tingkat pendapatan. Semakin tinggi pendapatan anggota rumah tangga, konsumsi beras perkapita mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat jumlah konsumsi beras perkapita pada rumah tangga golongan pendapatan tinggi menunjukkan jumlah konsumsi yang lebih sedikit dibandingkan dengan rumah tangga pendapatan menengah dan rendah. Salah satu karakteristik rumah tangga yaitu umur kepala rumah tangga menunjukkan bahwa semakin besar umur kepala rumah tangga, jumlah konsumsi beras perkapita mengalami kenaikan. Hal ini terjadi pada semua golongan pendapatan. Jumlah rata-rata konsumsi beras perkapita terbesar yaitu pada rumah tangga golongan pendapatan rendah dengan umur kepala rumah tangga >60 sebesar 5.898 kg/kapita/bulan. Besarnya rata-rata konsumsi pada golongan pendapatan rendah karena sebagian besar anggota rumah tangga dan kepala rumah tangga memiliki pekerjaan yang cukup menguras tenaga seperti menjadi buruh bangunan, buruh cuci, dan lain lain sehingga konsumsi beras pada golongan pendapatan rendah menunjukkan jumlah yang cukup besar. Selain itu, jumlah anggota rumah tangga juga berpengaruh terhadap jumlah beras yang dikonsumsi pada rumah tangga golongan pendapatan tinggi dan menengah. Hal ini dapat dilihat bahwa semakin besar jumlah anggota rumah tangga, konsumsi beras perkapita mengalami kenaikan. Jumlah anggota rumah tangga merupakan salah satu karakteristik sosial demografi yang memengaruhi pola konsumsi rumah tangga. Secara umum, besar kecilnya jumlah anggota rumah tangga akan memengaruhi jumlah pengeluaran konsumsi rumah tangga. Dapat dilihat pada Tabel 13 bahwa sebagian besar rumah tangga pendapatan tinggi sebanyak 56.67 persen memiliki jumlah anggota rumah tangga ≤ 4 orang lebih banyak mengkonsumsi beras 3.921 kg/kapita/bulan dan
34
sebanyak 43.30 persen yang memiliki jumlah anggota rumah tangga 5 – 6 orang mengkonsumsi beras sebanyak 4.328 kg/kapita/bulan. Mayoritas semua rumah tangga pada golongan pendapatan yang berbeda memiliki jumlah anggota rumah tangga ≤ 4 orang dengan konsumsi beras pada golongan pendapatan tinggi sebanyak 3.921 kg/kapita/bulan sedangkan pada golongan pendapatan menengah sebanyak 4.615 kg/kapita/bulan dan pada golongan pendapatan rendah sebanyak 5.483 kg/kapita/bulan , tetapi masih terdapat rumah tangga yang memiliki jumlah anggota rumah tangga ≥ 7 , khususnya pada rumah tangga pendapatan menengah dan rendah. Rumah tangga tersebut mengkonsumsi beras sebanyak 5.714 kg/kapita/bulan pada golongan pendapatan menengah dan konsumsi beras pada golongan pendapatan rendah sebanyak 5.312 kg/kapita/bulan. Semakin banyak jumlah anggota rumah tangga, konsumsi berasnya semakin besar dan biasanya pemenuhan kebutuhan beras pada golongan pendapatan rendah cukup besar dibandingkan dengan rumah tangga golongan pendapatan menengah dan tinggi. Menurut Okeke et al (2015), terdapat hubungan positif yang berpengaruh antara jumlah anggota rumah tangga dengan konsumsi beras rumah tangga. Indikator pendidikan kepala rumah tangga pada penelitian ini ditunjukkan dengan lama sekolah yang ditempuh. Konsumsi beras perkapita sebanyak 4.188 kg/kapita/bulan lebih banyak dikonsumsi oleh rumah tangga dengan lama pendidikan kepala rumah tangga > 12 tahun atau setara dengan tingkat perguruan tinggi yaitu 93.33 persen pada rumah tangga pendapatan tinggi. Jumlah konsumsi beras yang paling besar yaitu sebanyak 5.984 kg/kapita/bulan yang banyak dikonsumsi oleh rumah tangga dengan lama pendidikan kepala rumah tangga 1 – 6 tahun (SD) yaitu 46.67 persen pada rumah tangga pendapatan rendah. Tingkat pendidikan kepala rumah tangga menentukan dalam mengambil keputusan mengenai komoditas yang akan dikonsumsi rumah tangga. Pendidikan kepala rumah tangga yang tinggi lebih memahami kebutuhan gizi anggota rumah tangganya. Tabel 13 memperlihatkan bahwa konsumsi beras perkapita yang paling sedikit jumlahnya lebih banyak dikonsumsi oleh rumah tangga dengan kepala rumah tangga berpendidikan SMA keatas hingga perguruan tinggi sedangkan rumah tangga dengan kepala rumah tangga pendidikan SD ke bawah jumlah konsumsi beras perkapitanya lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga pendidikan SMA ke atas dapat dilihat pada jumlah konsumsi beras rumah tangga dengan kepala rumah tangga berpendidikan SD ke bawah lebih banyak mengkonsumsi beras. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga, konsumsi rumah tangga terhadap beras akan berkurang karena kebutuhan gizi tidak semua terdapat pada komoditas beras, tetapi lebih banyak terdapat pada komoditas pangan lainnya seperti ikan, buah-buahan, dan lain lain.
35
Tabel 14 Pengeluaran konsumsi beras rumah tangga di Kota Bogor (%) Pengeluaran Konsumsi Beras (Rp) 75 000 - 99 999 100 000 - 164 999 165 000 - 229 999 230 000 - 294 999 > 294 999 Total
Pendapatan Rendah 0 37.50 50.00 3.12 9.38 100.00
Pendapatan Menengah % 0 6.25 46.87 31.25 15.63 100.00
Pendapatan Tinggi 6.67 13.33 30.00 6.67 43.33 100.00
Sumber : Data Primer, 2015 (diolah) Tabel 14 menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi beras rumah tangga di Kota Bogor menunjukkan jumlah pengeluaran konsumsi beras rumah tangga ratarata pada pendapatan rendah berkisar antara 100 000 rupiah – 229 999 rupiah sedangkan pada pendapatan menengah sebagian besar rumah tangga pengeluaran untuk konsumsi beras berkisar antara 165 000 rupiah – 294 999 rupiah. Rata-rata rumah tangga pendapatan tinggi mengkonsumsi beras lebih dari 294 999 rupiah. Konsumen di wilayah perkotaan dan kelompok pendapatan menengah ke atas bersedia membayar lebih mahal pada beras berkualitas tinggi (Adnyana et al, 2004). Pengeluaran konsumsi beras merupakan hasil kali dari harga beras dan jumlah beras yang dikonsumsi dalam kg. Pada golongan pendapatan tinggi menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi beras cukup besar, tetapi jumlah beras yang dikonsumsi lebih sedikit dibandingkan golongan pendapatan lain. Hal ini menunjukkan bahwa golongan pendapatan tinggi lebih banyak membeli beras dengan harga yang cukup mahal karena beras yang dikonsumsi berkualitas tinggi. Selain itu terdapat beberapa rumah tangga golongan pendapatan tinggi yang mengkonsumsi beras impor dengan harga lebih mahal dan memiliki kualitas lebih baik. Sama halnya dengan rumah tangga golongan pendapatan menengah, pengeluaran konsumsi berasnya lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga golongan pendapatan rendah. Pengeluaran konsumsi beras yang lebih besar menunjukkan bahwa harga beras yang dibeli lebih mahal karena memiliki kualitas beras yang cukup baik meskipun jumlah konsumsi berasnya lebih sedikit dari konsumsi beras rumah tangga golongan pendapatan rendah. Pada rumah tangga golongan pendapatan rendah, pengeluaran konsumsi beras menunjukkan jumlah pengeluaran konsumsi beras yang lebih sedikit dibandingkan pengeluaran konsumsi beras rumah tangga golongan pendapatan menengah ke atas, tetapi pada golongan pendapatan rendah jumlah beras yang dikonsumsi lebih banyak sehingga pada golongan pendapatan ini, harga beras yang dibeli cukup murah dan beras yang dikonsumsi berkualitas rendah.
36
Tabel 15 Konsumsi beras raskin rumah tangga golongan pendapatan rendah Beras Raskin (kg) 1 - 5 kg 6 - 10 kg 11 - 12 kg Total
Rumah tangga Pendapatan Rendah Jumlah Persentase (n) (%) 22 68.75 9 28.13 1 32
Rata-rata konsumsi beras raskin (kg/RT/bulan)
Rata-rata harga beras raskin (Rp/kg)
5.53
2500/kg
3.12 100.00
Sumber : Data Primer, 2015 (diolah) Program subsidi beras bagi masyarakat berpendapatan rendah (Program Raskin) adalah Program Nasional untuk membantu mencukupi kebutuhan pangan beras masyarakat yang berpendapatan rendah. Rumah tangga yang berhak menerima beras Raskin disebut Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTSPM). Maksud dari masyarakat berpendapatan rendah adalah rumah tangga yang terdaftar sebagai penerima manfaat Raskin. Rumah tangga pendapatan rendah mendapatkan subsidi beras raskin dengan harga yang terjangkau untuk rumah tangga miskin. Pada tahun 2012 dan 2013, Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTS-PM) Raskin berhak untuk menebus beras Raskin sebanyak 15 kg per RTS-PM per bulan. Pada rumah tangga golongan pendapatan rendah di Kota Bogor sebagian besar membeli beras dibawah 15 kg/RT/bulan yaitu sekitar 1 - 5 kg sebanyak 68.75 persen. Rata-rata konsumsi beras raskin yang dibeli rumah tangga pendapatan rendah yaitu 5.53 kg/RT/bulan dengan harga berkisar Rp2 500/kg. Berdasarkan Tabel 15, terdapat rumah tangga pendapatan rendah yang mengkonsumsi beras raskin 1 – 5 kg yaitu sebanyak 22 rumah tangga (68.75 persen) dan terdapat rumah tangga yang mengkonsumsi beras 6 – 10 kg sebanyak 9 rumah tangga (28.13 persen). Selain mengkonsumsi beras biasa yang dibeli di pasar, rumah tangga pendapatan rendah mendapatkan subsidi beras raskin sehingga kebutuhan beras untuk konsumsi rumah tangga golongan pendapatan rendah semakin bertambah dan tercukupi. Menurut Siregar (2014), rakyat miskin karena kemiskinannya sehingga gizi yang diperoleh tidak bagus seperti kekurangan zat besi, yodium, vitamin A. Oleh sebab itu kualitas beras raskin perlu ditingkatkan misalnya dengan melakukan fortifikasi untuk mengatasi zat-zat gizi yang kurang.
37
Hasil Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Pola Konsumsi Beras Rumah Tangga di Kota Bogor Tabel 16 menunjukkan hasil estimasi model faktor-faktor yang memengaruhi pola konsumsi beras rumah tangga di Kota Bogor. Hasil pengolahan data yang dilakukan dengan menggunakan program komputer Eviews 6, ditampilkan sebagai berikut : Tabel 16 Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi beras rumah tangga berdasarkan golongan pendapatan di Kota Bogor Golongan Pendapatan
Tinggi
R2 = 0.2898
Menengah
R2 = 0.3440
Rendah
R2 = 0.2758
Variabel Konstanta LNHARGA LNPNDPTN LNPDKKRT LNUMUR F-statistik = 2.55 Konstanta LNHARGA LNPNDPTN LNPDKKRT LNUMUR DSKWN F-statistik = 4.090 Konstanta LNHARGA LNPNDPTN LNPDKKRT LNUMUR DSKWN F-statistik = 2.971
Koefisien 8.010 -0.578 -0.226 0.230 0.471 6.342 -0.578 -0.076 -0.360 0.66 0.05 16.621 -1.868 -0.055 0.080 0.521 0.376
Std. Error
t-statistik
3.272 2.448 0.348 -1.657 0.130 -1.739 0.440 0.522 0.488 0.964 Prob (F-Stat) = 0.064 2.992 2.119 0.261 -2.212 0.112 -0.674 0.346 -1.040 0.283 2.360 0.288 0.177 Prob (F-Stat) =0.004 7.339 2.264 0.830 -2.248 0.090 -0.608 0.141 0.568 0.212 2.447 0.172 2.182 Prob (F-Stat) = 0.022
Probabilitas 0.021** 0.1098 0.0942* 0.606 0.344 DW=2.45 0.040*** 0.032** 0.503 0.304 0.023** 0.864 DW=1.44 0.029** 0.030*** 0.546 0.572 0.019** 0.035** DW=1.87
Keterangan: ***signifikan pada taraf nyata 1%; **signifikan pada taraf nyata 5%; *signifikan pada taraf nyata 10% Hasil analisis menunjukkan pada model konsumsi beras pada golongan pendapatan tinggi nilai R-squared atau koefisien determinasi (Goodness of Fit) sebesar 0.2898 yang menunjukkan bahwa 28.98 persen model tersebut dapat dijelaskan oleh variabel pendapatan perkapita rumah tangga sedangkan sisanya dapat dijelaskan oleh variabel-variabel lainnya sebesar 71.02 di luar model. Pada golongan pendapatan menengah memiliki koefisien determinasi (R2) atau R-square bernilai 0.3440. Hasil tersebut menunjukkan bahwa proporsi keragaman pengeluaran konsumsi beras perkapita dapat dijelaskan oleh variabelvariabel bebas yaitu harga beras dan umur kepala rumah tangga sebesar 34.40 persen. Sisanya dapat dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar model sebesar 65.60 persen. Sementara itu, pada model konsumsi beras pada golongan pendapatan rendah nilai R-squared atau koefisien determinasi (Goodness of Fit) sebesar 0.2758 yang menunjukkan bahwa 27.58 persen model tersebut dapat dijelaskan oleh variabel
38
harga beras, umur kepala rumah tangga, dan status perkawinan sedangkan sisanya dapat dijelaskan oleh variabel-variabel lainnya sebesar 72.42 persen di luar model. Rendahnya koefisien determinasi ini disebabkan karena data yang digunakan adalah data cross section dengan keberagamannya yang sangat tinggi (Gujarati 2013). Guna mengetahui apakah estimasi model tersebut merupakan model yang terbaik dan layak untuk digunakan maka perlu dilakukan serangkaian tes atau pengujian. Estimator dalam model dikatakan terbaik jika memiliki sifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator) yakni linier, tidak bias dan memiliki varian minimum. Pengujian dilakukan dengan metode uji statistik untuk melihat tingkat kesesuaian model, uji ekonometrika terhadap semua asumsi yang digunakan serta uji ekonomi terhadap arah hubungan dari semua variabel.
Uji Pelanggaran Asumsi Uji pelanggaran asumsi dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan pelanggaran asumsi yang terdapat pada model yang diestimasi. Uji yang dilakukan adalah uji normalitas, heteroskedastisitas, autokorelasi, dan multikolinearitas. Hasil estimasi dari model tidak terdapat pelanggaran asumsi berupa heteroskedastisitas, autokorelasi, maupun multikolinearitas, sehingga model tersebut layak untuk diproses lebih lanjut. Lebih jelasnya akan dijelaskan seperti berikut. Uji Normalitas Uji normalitas atau uji Jarque-Bera pada model dilakukan untuk mengetahui apakah error term pada model regresi menyebar normal atau tidak. Pada penelitian ini, hasil estimasi model regresi pada model golongan pendapatan tinggi, menengah, dan rendah menunjukkan bahwa nilai probabilitas Jarque-Bera lebih besar dibandingkan taraf nyata 5 persen masing-masing dengan nilai 0.349, 3.802, dan 4.000 artinya bahwa kenormalan data telah terpenuhi. Error term pada model terbukti terdistribusi normal. Uji Heteroskedastisitas Uji pelanggaran asumsi berupa heteroskedastisitas dilakukan untuk mengetahui apakah pada model yang diestimasi terdapat penyimpangan terhadap faktor pengganggu yaitu dimana kondisi variansi error-nya (atau Y) tidak konstan (tetap). Pada penelitian ini digunakan salah satu cara untuk mendeteksi adanya gejala heteroskedastisitas yaitu dengan uji White. Uji White untuk mendeteksi adanya pelanggaran asumsi heteroskedastisitas dengan melihat nilai dari probabilitas Obs*Square. Jika nilai probabilitas Obs*Square lebih besar dari taraf nyata 5 persen maka model terbebas dari gejala heteroskedastisitas. Sebaliknya jika nilai probabilitas Obs*Square lebih kecil dari taraf nyata 5 persen maka model mengandung gejala heteroskedastisitas. Hasil uji White pada model konsumsi beras rumah tangga golongan pendapatan tinggi menunjukkan nilai probabilitas Obs*Square sebesar 0.096 lebih besar dari taraf nyata 5 persen, artinya bahwa model yang diestimasi terbebas dari gejala heteroskedastisitas sedangkan pada golongan pendapatan menengah, hasil uji White pada model menunjukkan nilai probabilitas Obs*Square sebesar 0.085 lebih besar dari taraf
39
nyata 5 persen, artinya bahwa model yang diestimasi terbebas dari gejala heteroskedastisitas. Pada hasil uji White pada model konsumsi beras rumah tangga golongan pendapatan rendah menunjukkan nilai probabilitas Obs*Square sebesar 0.058 lebih besar dari taraf nyata 5 persen, artinya bahwa model yang diestimasi terbebas dari gejala heteroskedastisitas. Uji Autokorelasi Uji pelanggaran asumsi autokorelasi dilakukan untuk mengetahui apakah model sudah terbebas dari pelanggaran asumsi autokorelasi dimana pelanggaran asumsi autokorelasi adalah jika pada fungsi regresi tersebut terdapat gangguan yang berupa korelasi di antara faktor gangguan. Autokorelasi pada konsep regresi linear berarti komponen error berkorelasi berdasarkan urutan waktu (pada data berkala) atau urutan ruang (data tampang lintang), atau korelasi pada dirinya sendiri. Pada penelitian ini, pengujian yang dilakukan pada kasus autokorelasi dengan menggunakan Eviews 6 adalah uji Durbin-Watson Statistic (DW) dan uji Lagrange Multiplier (LM test). Hasil dari Uji DW pada model regresi golongan pendapatan tinggi, menengah, dan rendah yaitu masing - masing nilai DW sebesar 2.45, 1.44, dan 1.87. Nilai tersebut mendekati 2 artinya bahwa model terbebas dari gejala autokorelasi. Untuk lebih meyakinkan dilakukan uji Breush-Godfrey atau LM test. Uji Breusch-Godfrey ini disebut juga sebagai Lagrange Multiplier Test (LM). Hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai probabilitas Obs*Square-nya pada model golongan pendapatan tinggi sebesar 0.358 sedangkan pada model pendapatan menengah sebesar 0.138 dan pada model pendapatan rendah sebesar 0.956. Nilai tersebut lebih besar dari pada taraf nyata alpha 5 persen, artinya bahwa model regresi yang digunakan tidak mengandung autokorelasi. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas pada penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui ada atau tidak adanya hubungan linear yang sempurna atau pasti di antara beberapa atau semua variabel penjelas (bebas) dari model regresi berganda. Multikolinearitas merupakan salah satu jenis pelanggaran asumsi. Pada model ekonometrika, hampir seluruh variabel-variabel ekonomi memiliki hubungan atau korelasi satu sama lain. Namun, tingginya korelasi yang terjadi antarvariabel akan menyebabkan kesalahan dalam mengestimasi model regresi sehingga nilai koefisien korelasi yang lebih besar dari 0.8 akan mengindikasikan adanya gejala multikolinearitas. Hasil estimasi model regresi pada golongan pendapatan tinggi, menengah, dan rendah menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi antarvariabel bebas (independen) bernilai di bawah 0.8, artinya bahwa model terbebas dari gejala multikolinearitas. Selanjutnya dilakukan uji clean untuk memastikan bahwa model regresi yang diestimasi terbebas dari gejala multikolinearitas. Uji clean dilakukan dengan melihat korelasi antarvariabel bebas (independen). Gejala multikolinearitas dapat diabaikan jika nilai korelasi antar variabel independen masih lebih kecil dari nilai R2 pada model.
40
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pola Konsumsi Beras Berdasarkan Golongan Pendapatan di Kota Bogor Harga Beras Berdasarkan hasil estimasi yang terdapat pada Tabel 16, terlihat bahwa harga beras memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap konsumsi beras rumah tangga golongan pendapatan menengah dan rendah di Kota Bogor. Hal ini dilihat dari nilai probabilitasnya. Pada golongan pendapatan menengah, probabilitas harga beras yaitu sebesar 0.032 yang lebih kecil dari taraf nyata 5 persen. Nilai koefisien harga beras sebesar 0.578 artinya jika harga beras mengalami kenaikan sebesar 1 persen maka konsumsi beras rumah tangga akan mengalami penurunan sebesar 0.578 persen. Pada rumah tangga golongan pendapatan rendah, nilai koefisien harga beras sebesar 1.868 artinya jika harga beras naik sebesar 1 persen maka konsumsi beras akan menurun sebesar 1.868 persen dengan asumsi peubah lainnya tetap (cateris paribus). Pengaruh harga beras pada golongan pendapatan rendah yang signifikan ditunjukkan dari nilai probabilitas variabel tersebut yaitu sebesar 0.030 yang kurang dari taraf nyata 1 persen. Hasil estimasi ini sesuai dengan penelitian Hakim et al. (2012) yaitu harga beras berhubungan negatif dan signifikan terhadap konsumsi beras. Selain itu, hal ini sesuai dengan teori permintaan bahwa semakin tinggi harga suatu barang maka permintaan untuk konsumsi beras akan semakin menurun. Pendapatan Rumah Tangga Pada rumah tangga golongan pendapatan tinggi nilai koefisien pendapatan rumah tangga sebesar 0.578 artinya jika pendapatan rumah tangga naik sebesar 1 persen maka konsumsi beras akan menurun sebesar 0.578 persen dengan asumsi peubah lainnya tetap (cateris paribus). Hubungan negatif dari pendapatan rumah tangga dengan konsumsi beras rumah tangga diperoleh dari tanda pada koefisien variabel tersebut. Pengaruh pendapatan rumah tangga golongan pendapatan tinggi yang signifikan ditunjukkan dari nilai probabilitas variabel tersebut yaitu sebesar 0.094 yang kurang dari taraf nyata 10 persen. Variabel pendapatan rumah tangga yang memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap konsumsi beras, mengartikan bahwa kenaikan pendapatan rumah tangga akan menurunkan konsumsi beras. Semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga atau status ekonomi, maka konsumsi beras akan semakin berkurang. Rumah tangga yang mempunyai pendapatan lebih tinggi akan mengkonsumsi kelompok makanan dengan kualitas lebih tinggi daripada rumah tangga pendapatan rendah. Hal ini terjadi pada konsumsi beras, dimana pada pendapatan rumah tangga golongan tinggi dan menengah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap konsumsi beras. Hasil estimasi ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdulsalam dan Oyinbo (2013) yaitu pendapatan rumah tangga per bulan memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan beras di Kaduna State, Nigeria.
41
Umur Kepala Rumah Tangga Berdasarkan hasil estimasi dapat ditunjukkan bahwa umur kepala rumah tangga memengaruhi konsumsi beras secara nyata dan signifikan. Hal ini dapat dilihat dari probabilitas pada golongan pendapatan menengah yaitu sebesar 0.023 yang lebih kecil dari taraf nyata 5 persen dan pada golongan pendapatan rendah yaitu sebesar 0.019 yang lebih kecil dari taraf nyata 5 persen. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara umur kepala rumah tangga dengan konsumsi beras pada golongan pendapatan menengah dan rendah. Hasil estimasi ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ishibashi et al. (2004) bahwa umur kepala rumah tangga berpengaruh signifikan terhadap konsumsi beras rumah tangga. Semakin tua umur kepala rumah tangga (generasi yang sehat), konsumsi berasnya lebih banyak daripada umur yang lebih muda. Lama Pendidikan Kepala Rumah Tangga Berdasarkan hasil estimasi dapat ditunjukkan bahwa lama pendidikan kepala rumah tangga pada golongan pendapatan tinggi tidak memengaruhi konsumsi beras secara nyata dan tidak signifikan. Hal ini dapat dilihat dari probabilitas yaitu sebesar 0.606 yang lebih besar dari taraf nyata 10 persen. Pada golongan pendapatan menengah, lama pendidikan kepala rumah tangga tidak memengaruhi konsumsi beras secara nyata dan tidak signifikan. Hal ini dapat dilihat dari probabilitas yaitu sebesar 0.304 yang lebih besar dari taraf nyata 10 persen. Kemudian lama pendidikan kepala rumah tangga pada golongan pendapatan rendah juga tidak berpengaruh signifikan terhadap konsumsi beras yang dilihat dari probabilitas yaitu sebesar 0.572 yang lebih besar dari taraf nyata 10 persen. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapatnya hubungan yang signifikan antara lama pendidikan kepala rumah tangga dengan konsumsi beras rumah tangga. Hasil penelitian ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdulsalam dan Oyinbo (2013) bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lama pendidikan kepala rumah tangga dengan konsumsi beras rumah tangga. Status perkawinan kepala rumah tangga Dummy status perkawinan kepala rumah tangga pada rumah tangga pendapatan rendah memengaruhi pengeluaran konsumsi beras secara signifikan. Hal ini dapat dilihat dari probabilitas pada golongan pendapatan rendah yaitu sebesar 0.035 yang lebih kecil dari taraf nyata 5 persen. Nilai koefisien status perkawinan pada rumah tangga golongan pendapatan rendah sebesar 0.376 yang berarti bahwa perbedaan status perkawinan kepala rumah tangga yang menikah memiliki konsumsi beras lebih besar daripada rumah tangga dengan status perkawinan tidak menikah dengan rata-rata perbedaan sebesar 0.376 persen. Hasil penelitian ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Okeke et al. (2015) bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara status perkawinan dengan pengeluaran konsumsi beras lokal setiap bulan. Pada golongan pendapatan tinggi dan menengah status perkawinan tidak berpengaruh signifikan terhadap konsumsi beras. Hal ini juga didukung penelitian yang dilakukan oleh Farah et al. (2011) bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status perkawinan dengan perilaku pembelian beras untuk konsumsi beras rumah tangga.
42
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1.
2.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : Terdapat perbedaan konsumsi rumah tangga antara tingkat pendapatan yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan maka proporsi pengeluaran untuk konsumsi non makanan semakin tinggi dan konsumsi makanan semakin rendah khususnya konsumsi beras. Rumah tangga pendapatan rendah dengan pendapatan yang terbatas akan lebih besar memenuhi kebutuhan pangan pokok seperti beras. Mayoritas rumah tangga pendapatan tinggi akan mengkonsumsi beras dalam jumlah yang sedikit, tetapi beras yang dibeli memiliki kualitas yang lebih baik sehingga harga beras cukup tinggi dan pengeluaran konsumsi untuk beras menunjukkan angka yang besar dibandingkan dengan rumah tangga pendapatan menengah dan rumah tangga pendapatan rendah. Faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi beras rumah tangga golongan pendapatan tinggi yaitu pendapatan rumah tangga. Pada rumah tangga golongan pendapatan menengah, faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap konsumsi beras rumah tangga yaitu harga beras dan umur kepala rumah tangga sedangkan pada rumah tangga golongan pendapatan rendah yang memiliki pengaruh signifikan pada konsumsi beras yaitu harga beras, umur kepala rumah tangga, dan status perkawinan kepala rumah tangga. Harga beras dan pendapatan rumah tangga memiliki hubungan negatif dan signifikan terhadap konsumsi beras rumah tangga. Umur kepala rumah tangga memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap konsumsi beras rumah tangga di Kota Bogor.
Saran
1.
2.
Atas kesimpulan yang didapatkan, maka saran yang dapat diberikan adalah Pemerintah sebaiknya memfokuskan perhatian pada kebijakan harga beras terutama untuk golongan pendapatan menengah ke bawah karena semakin tinggi pendapatan semakin tidak terasa dampak terhadap perubahan harga beras yang mengalami kenaikan. Adanya dampak dari kenaikan harga beras terlihat pada golongan menengah ke bawah karena proporsi konsumsi berasnya cukup besar. Sementara konsumsi beras rumah tangga golongan pendapatan tinggi menunjukkan proporsi yang kecil. Saran untuk penelitian lanjutan yaitu bisa melakukan penelitian dengan menambah variabel harga bahan pangan lainnya. Selain itu juga penelitian dapat dilakukan dengan membedakan tempat tinggal rumah tangga yang berada di daerah perkotaan dan pedesaan.
43
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsalam dan Oyinbo. 2013. Analysis of the Demand for Rice in Kaduna State, Nigeria [Jurnal]. Ageconsearch. 5(3). Adnyana M, Munarso J, Damardjati D. 2004. Ekonomi Kualitas Beras dan Selera Konsumen. [Internet]. [diunduh pada Juli 2016]. Tersedia pada: http:/ www.litbang.pertanian.go.id/ Ariani. 2004. Dinamika Konsumsi Beras Rumah Tangga dan Kaitannya dengan Diversifikasi Konsumsi Pangan. [Internet]. [diunduh pada Juli 2016]. Tersedia pada: http://www.litbang.pertanian.go.id/ [BPS] Badan Pusat Statistik 2016. Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Menurut Kelompok Barang di Indonesia Tahun 2010-2014. [internet]. [diunduh pada Maret 2016]. Tersedia pada: http:/bps.go.id [BPS] Badan Pusat Statistik 2016. Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan untuk Makanan menurut Tipe Daerah di Indonesia Tahun 2010-2014. [internet]. [diunduh pada Maret 2016]. Tersedia pada: http:/bps.go.id [BPS] Badan Pusat Statistik 2016. Persentase Pengeluaran Menurut Kelompok Barang di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007-2015. [internet]. [diunduh pada Maret 2016]. Tersedia pada: http:/bps.go.id [BPS] Badan Pusat Statistik 2016. Konsumsi Beras Tahun 2014. [internet]. [diunduh pada Juli 2016]. Tersedia pada: http:/bps.go.id [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Bogor 2015. Jumlah penduduk dan luas wilayah pada masing-masing kecamatan di Kota Bogor tahun 2014. [internet]. [diunduh pada April 2016]. Tersedia pada: http:/bogorkota.bps.go.id Bamidele F, Abayomi O, Esther A. 2010. Economic Analysis of Rice Consumption Pattern in Nigeria. [Jurnal]. Journal of Agricultural Science and Technology. Vol 12.1-11. Dini A. 2012. Pengaruh Kelompok Acuan Terhadap Kesadaran dan Konsumsi Beras Merah [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Dumairy. 1999. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga. Djauhari. 2012. Analisis Struktur Pengeluaran Rumah Tangga Mendukung Diversifikasi Konsumsi Pangan. Kementerian Pertanian. Jakarta. Farah A, Zainalabidin M, Ismail A. 2011. The Influence of Socio Demographic Factors and Product Attributes on Attitudes Toward Purchasing Special Rice among Malaysian Consumers [Jurnal]. International Food research Journal. 18(3):1135-1142. Gujarati D. 2007. Dasar-Dasar Ekonometrika. Jilid 2. Jakarta (ID) : Salemba Empat. Hakim M, Mulyana A, Marwa T. 2012. Analisis Konsumsi Pangan Pokok Beras pada Golongan Pendapatan yang Berbeda di Kabupaten Oku Timur Provinsi Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Dies Natalis XIII Magister Manajemen Agribisnis Universitas Gadjah Mada. Hermanto. 1985. Pola Konsumsi di Daerah Pedesaan Jawa timur. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.
44
Ishibashi K, Kono Y, Ooura Y. 2004. Household rice consumption in Japan: Quantity Income while Controlling for Household Types. Proceedings of the World Rice Research Conference, Tsukuba Japan. 505-507. Kahar M. 2010. Analisis Pola Konsumsi Daerah Perkotaan dan Perdesaan serta Keterkaitannya dengan Karakteristik Sosial Ekonomi di Propinsi Banten [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2013. Pedoman Analisis Konsumsi Pangan Mandiri di Wilayah P2KP. [diunduh Maret 2016]. Tersedia pada: http://pusat-pkkp.bkp.pertanian.go.id/ Nicholson W. 2002. Mikroekonomi Intermediet dan Aplikasinya. Erlangga : Jakarta. Nicholson W. 2005. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya Edisi Delapan. Erlangga. Jakarta Okeke, Michael A, Chikaodi A, Chinwendu C. 2015. Determinants of Local Rice Consumption among Households in Nigeria [Jurnal].International Journal of Food Science and Technology (IJFST). 5(1):1-10. Pindyck R, Rubinfeld D. 2007. Mikroekonomi, Edisi Keenam. Jakarta (ID). PT Indeks. Purwaningsih. 2016. Pergeseran Pola Makan Ganggu Keamanan Pangan. [Internet]. [diunduh 2016 April]. Tersedia pada: http://rri.co.id/ Pusposari. 2012.Analisis Pola Konsumsi Pangan Masyarakat di Provinsi Maluku [Tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Sari N. 2007. Analisis Dampak Kenaikan Harga Beras Terhadap Pola Konsumsi Beras Rumah Tangga di Cipinang, Jakarta Timur [Skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor Sayekti. 2008. Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga di Wilayah Hostoris Pangan Beras dan Non Beras di Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. Siregar H. 2014. Pakar Minta Pemerintah Tingkatkan Nilai Gizi Raskin. [Internet]. [diunduh Juni 2016]. Tersedia pada: http://www.antaranews.com/berita/436832/Pakar-Minta-Pemerintah Tingkatkan-Nilai-Gizi-Raskin. UU No.18 tahun 2012 Tentang Pangan Widianis. 2014. Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yunita, Riswani. 2013. Behaviour of Household Rice Consumption in Different Income Level [Jurnal]. International Journal of Humanities and Management Sciences. 1(3):2320-4036.
45
LAMPIRAN
Lampiran 1 peta wilayah administratif Kota Bogor
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Bogor, 2016 Lampiran 2 hasil estimasi Ordinary Least Square pada model golongan pendapatan tinggi Dependent Variable: LNKG_KONSUMSIPERKAPITA Method: Least Squares Date: 09/04/16 Time: 22:12 Sample: 1 30 Included observations: 30 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNPRICE LNINCOME_PERKAPITA LNEDU LNAGE C
-0.578254 -0.226635 0.230078 0.471644 8.010708
0.348797 0.130255 0.440518 0.488983 3.272335
-1.657853 -1.739933 0.522289 0.964540 2.448010
0.1098 0.0942 0.6061 0.3440 0.0217
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.289832 0.176205 0.378053 3.573111 -10.65174 2.550736 0.064110
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
1.336326 0.416528 1.043450 1.276982 1.118159 2.456323
46
Lampiran 3 uji normalitas pada model golongan pendapatan tinggi 8
Series: Residuals Sample 1 30 Observations 30
7 6 5 4 3 2 1
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-2.06e-15 -0.046422 0.683850 -0.841215 0.351014 -0.228615 3.264990
Jarque-Bera Probability
0.349098 0.839836
0 -0.8
-0.6
-0.4
-0.2
-0.0
0.2
0.4
0.6
Lampiran 4 uji multikolinieritas pada model golongan pendapatan tinggi
LNKG_KONSU MSIPERKAPIT A LNPRICE LNINCOME_P ERKAPITA LNEDU LNAGE
LNKG_KONSUMSI PERKAPITA
LNPRICE
LNINCOME_ PERKAPITA
LNEDU
LNAGE
1.000000 -0.416800
-0.416800 1.000000
-0.418104 0.430891
0.082337 0.164877
0.051324 0.159274
-0.418104 0.082337 0.051324
0.430891 0.164877 0.159274
1.000000 0.028921 0.304539
0.028921 1.000000 0.284131
0.304539 0.284131 1.000000
47
Lampiran 5 Uji heteroskedastisitas pada model golongan pendapatan tinggi Heteroskedasticity Test: White F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
2.588343 21.21725 16.68641
Prob. F(14,15) Prob. Chi-Square(14) Prob. Chi-Square(14)
0.0390 0.0962 0.2733
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 09/05/16 Time: 10:53 Sample: 1 30 Included observations: 30 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNPRICE LNPRICE^2 LNPRICE*LNINCOME_PERKAPITA LNPRICE*LNEDU LNPRICE*LNAGE LNINCOME_PERKAPITA LNINCOME_PERKAPITA^2 LNINCOME_PERKAPITA*LNEDU LNINCOME_PERKAPITA*LNAGE LNEDU LNEDU^2 LNEDU*LNAGE LNAGE LNAGE^2
-235.3646 25.38492 0.353668 -0.396583 -1.344447 -5.538755 -3.186368 0.171868 0.368144 0.150807 17.54149 -0.561664 -1.903302 58.01732 -0.360114
85.14967 11.77068 0.566918 0.509615 1.625449 1.981987 3.650680 0.089107 0.503304 0.615233 17.64938 0.829141 2.893567 17.16356 1.767804
-2.764128 2.156623 0.623843 -0.778202 -0.827124 -2.794547 -0.872815 1.928776 0.731456 0.245121 0.993887 -0.677405 -0.657770 3.380262 -0.203707
0.0145 0.0477 0.5421 0.4486 0.4211 0.0136 0.3965 0.0729 0.4758 0.8097 0.3360 0.5085 0.5207 0.0041 0.8413
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.707242 0.434001 0.137160 0.282194 27.42723 2.588343 0.038990
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.119104 0.182314 -0.828482 -0.127883 -0.604354 2.284935
48
Lampiran 6 uji autokorelasi pada model golongan pendapatan tinggi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.844774 2.052952
Prob. F(2,23) Prob. Chi-Square(2)
0.4426 0.3583
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 09/05/16 Time: 10:52 Sample: 1 30 Included observations: 30 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNPRICE LNINCOME_PERKAPITA LNEDU LNAGE C RESID(-1) RESID(-2)
-0.202218 0.029772 0.216639 -0.083791 1.168907 -0.259902 0.096932
0.385000 0.133286 0.535887 0.502017 3.424024 0.219874 0.246159
-0.525242 0.223370 0.404262 -0.166908 0.341384 -1.182047 0.393777
0.6044 0.8252 0.6898 0.8689 0.7359 0.2493 0.6974
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.068432 -0.174586 0.380423 3.328596 -9.588456 0.281591 0.939791
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-2.06E-15 0.351014 1.105897 1.432843 1.210490 1.973498
49
Lampiran 7 Hasil estimasi Ordinary Least Square pada model golongan pendapatan menengah Dependent Variable: RICECONSUMPTION_KG Method: Least Squares Date: 08/05/16 Time: 23:11 Sample: 1 32 Included observations: 32 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNHARGA LNPNDPTN LNART LNPDKKRT LNUMUR DSKWN C
-7.172538 -6.363497 4.473257 4.104697 7.003194 2.041742 142.5361
2.623186 1.868722 2.207753 3.793343 3.326186 2.132763 35.32227
-2.734285 -3.405267 2.026158 1.082079 2.105473 0.957322 4.035305
0.0113 0.0022 0.0535 0.2895 0.0455 0.3476 0.0005
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.621256 0.530357 3.301106 272.4324 -79.67251 6.834603 0.000222
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
19.82813 4.816988 5.417032 5.737662 5.523312 1.767156
Lampiran 8 uji normalitas 7
Series: Residuals Sample 1 45 Observations 45
6 5 4 3 2 1 0 -1.0
-0.5
-0.0
0.5
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
5.16e-16 0.006605 0.888587 -1.137562 0.357530 -0.390356 4.190924
Jarque-Bera Probability
3.802144 0.149408
50
Lampiran 9 uji multikolinieritas pada model golongan pendapatan menengah
LNKONSUM SIPERKAPIT A_KG LNPRICE LNINCOME LNEDU LNAGE DUMMYMS
LNKONSUMSI PERKAPITA_KG
LNPRICE
LNINCOME
LNEDU
LNAGE
DUMMYMS
1.000000 -0.451369 -0.332787 -0.247863 0.382029 0.155821
-0.451369 1.000000 0.336923 0.295933 -0.159698 -0.142220
-0.332787 0.336923 1.000000 0.353649 -0.209534 -0.085151
-0.247863 0.295933 0.353649 1.000000 0.134769 -0.256216
0.382029 -0.159698 -0.209534 0.134769 1.000000 0.115527
0.155821 -0.142220 -0.085151 -0.256216 0.115527 1.000000
Lampiran 10 uji heteroskedastisitas pada model golongan pendapatan menengah Heteroskedasticity Test: White F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
2.030527 24.16957 28.96407
Prob. F(16,28) Prob. Chi-Square(16) Prob. Chi-Square(16)
0.0489 0.0859 0.0242
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 09/06/16 Time: 02:26 Sample: 1 45 Included observations: 45 Collinear test regressors dropped from specification Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNPRICE LNPRICE^2 LNPRICE*LNINCOME LNPRICE*LNEDU LNPRICE*LNAGE LNPRICE*DUMMYMS LNINCOME LNINCOME^2 LNINCOME*LNEDU LNINCOME*LNAGE LNINCOME*DUMMYMS LNEDU LNEDU^2 LNEDU*LNAGE LNAGE LNAGE^2
-4.426531 8.207697 -0.557905 0.334254 -1.640109 0.367788 -0.059032 -3.946426 -0.030016 0.051356 0.390329 0.035828 29.42620 -1.232755 -2.047680 -21.13940 2.125871
61.02064 10.75902 0.594355 0.448150 1.113730 1.007742 0.677116 4.216432 0.103332 0.709141 0.417681 0.394843 14.65632 1.007958 1.239026 12.78116 0.687373
-0.072542 0.762867 -0.938672 0.745853 -1.472627 0.364963 -0.087181 -0.935963 -0.290478 0.072420 0.934515 0.090739 2.007747 -1.223022 -1.652652 -1.653950 3.092747
0.9427 0.4519 0.3559 0.4620 0.1520 0.7179 0.9311 0.3573 0.7736 0.9428 0.3580 0.9283 0.0544 0.2315 0.1096 0.1093 0.0045
0.537102 0.272588 0.192572 1.038354 20.95085 2.030527 0.048894
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.124987 0.225789 -0.175593 0.506923 0.078842 1.703558
51
Lampiran 11 uji autokorelasi pada model golongan pendapatan menengah Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
1.784075 3.957951
Prob. F(2,37) Prob. Chi-Square(2)
0.1821 0.1382
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 09/06/16 Time: 02:26 Sample: 1 45 Included observations: 45 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNPRICE LNINCOME LNEDU LNAGE DUMMYMS C RESID(-1) RESID(-2)
-0.079059 -0.012093 0.119106 -0.034314 -0.024923 0.796880 0.306614 -0.146537
0.266715 0.111332 0.347703 0.278975 0.295632 3.010739 0.170225 0.171248
-0.296416 -0.108623 0.342550 -0.122999 -0.084305 0.264679 1.801226 -0.855697
0.7686 0.9141 0.7339 0.9028 0.9333 0.7927 0.0798 0.3977
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.087954 -0.084595 0.372346 5.129728 -14.99101 0.509736 0.821222
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
5.16E-16 0.357530 1.021823 1.343007 1.141557 1.951583
52
Lampiran 12 hasil estimasi Ordinary Least Square pada model golongan pendapatan rendah Dependent Variable: LNKONSUMSIPERKAPITA_KG Method: Least Squares Date: 09/05/16 Time: 15:56 Sample: 1 45 Included observations: 45 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNPRICE LNINCOME LNEDU LNAGE DUMMYMS C
-1.868055 -0.055383 0.080258 0.521265 0.376695 16.62166
0.830781 0.090986 0.141158 0.212991 0.172562 7.339949
-2.248552 -0.608701 0.568568 2.447361 2.182959 2.264547
0.0303 0.5463 0.5729 0.0190 0.0351 0.0292
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.275850 0.183010 0.358837 5.021804 -14.51259 2.971244 0.022899
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
1.619056 0.396999 0.911671 1.152559 1.001471 1.875709
Lampiran 13 uji normalitas pada model golongan pendapatan rendah 9
Series: Residuals Sample 1 45 Observations 45
8 7 6 5 4 3
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-2.08e-15 0.010611 0.661211 -0.993324 0.337834 -0.598310 3.837823
Jarque-Bera Probability
4.000964 0.135270
2 1 0 -1.0
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
-0.0
0.2
0.4
0.6
53
Lampiran 14 uji multikolinieritas pada model golongan pendapatan rendah LNKONSUMSIP ERKAPITA_KG LNPRICE
LNINCOME
LNEDU
LNKONSUMSI PERKAPITA_K G
1.000000
-0.343882
0.002154
-0.118225
LNPRICE LNINCOME
-0.343882 0.002154
1.000000 0.000958
0.000958 1.000000
0.448549 -0.050636
LNEDU LNAGE
-0.118225 0.212335
0.448549 -0.131644
-0.050636 0.229958
1.000000 -0.624708
DUMMYMS
0.174925
0.057077
-0.035431
0.549447
LNAGE DUMMYMS
0.212335 0.131644 0.229958 0.624708 1.000000 0.548109
0.174925 0.057077 -0.035431 0.549447 -0.548109 1.000000
Lampiran 15 uji heteroskedastisitas pada model golongan pendapatan rendah Heteroskedasticity Test: White F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
2.498631 29.47719 31.41561
Prob. F(19,25) Prob. Chi-Square(19) Prob. Chi-Square(19)
0.0166 0.0588 0.0363
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 09/05/16 Time: 15:57 Sample: 1 45 Included observations: 45 Collinear test regressors dropped from specification Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNPRICE LNPRICE^2 LNPRICE*LNINCOME LNPRICE*LNEDU LNPRICE*LNAGE LNPRICE*DUMMYMS LNINCOME LNINCOME^2 LNINCOME*LNEDU LNINCOME*LNAGE LNINCOME*DUMMYMS LNEDU LNEDU^2 LNEDU*LNAGE LNEDU*DUMMYMS LNAGE LNAGE^2 LNAGE*DUMMYMS DUMMYMS
-365.8308 82.37169 -4.779964 0.488365 1.044558 -1.381457 -0.758169 -3.710250 0.047349 -0.629047 -0.235225 0.099366 -2.437084 -0.047986 0.568243 0.522833 13.33810 0.123396 0.383707 2.700493
561.6610 122.3221 6.944021 1.084148 2.457985 2.231647 2.847458 10.12188 0.081383 0.286094 0.245539 0.329690 20.26831 0.439986 0.589350 1.017118 18.48732 0.461509 0.808509 25.57080
-0.651337 0.673400 -0.688357 0.450459 0.424965 -0.619030 -0.266262 -0.366557 0.581800 -2.198741 -0.957998 0.301392 -0.120241 -0.109063 0.964187 0.514033 0.721473 0.267376 0.474586 0.105608
0.5208 0.5069 0.4976 0.6563 0.6745 0.5415 0.7922 0.7170 0.5659 0.0374 0.3472 0.7656 0.9053 0.9140 0.3442 0.6117 0.4773 0.7914 0.6392 0.9167
R-squared
0.655049
Mean dependent var
0.111596
54
Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.392886 0.148134 0.548593 35.30664 2.498631 0.016558
S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.190117 -0.680295 0.122666 -0.380959 2.246024
Lampiran 16 uji autokorelasi pada model golongan pendapatan rendah Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.036702 0.089099
Prob. F(2,37) Prob. Chi-Square(2)
0.9640 0.9564
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 09/05/16 Time: 15:57 Sample: 1 45 Included observations: 45 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNPRICE LNINCOME LNEDU LNAGE DUMMYMS C RESID(-1) RESID(-2)
0.052164 -0.008378 -0.006173 0.013195 0.002514 -0.383406 0.050360 -0.002981
0.886143 0.099743 0.155165 0.225734 0.179540 7.776021 0.186285 0.189249
0.058866 -0.083997 -0.039783 0.058455 0.014002 -0.049306 0.270339 -0.015750
0.9534 0.9335 0.9685 0.9537 0.9889 0.9609 0.7884 0.9875
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.001980 -0.186835 0.368043 5.011861 -14.46799 0.010486 0.999999
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-2.08E-15 0.337834 0.998577 1.319762 1.118312 1.947088
55
Lampiran 17 Kuesioner Penelitian KUESIONER PENELITIAN POLA KONSUMSI BERAS RUMAH TANGGA BERDASARKAN GOLONGAN PENDAPATAN DI KOTA BOGOR DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA
NOVIZARIANI DEWI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
KUESIONER PENELITIAN POLA KONSUMSI BERAS RUMAH TANGGA BERDASARKAN GOLONGAN PENDAPATAN DI KOTA BOGOR DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA
Nomor Responden
:
Nama Kepala Rumah Tangga : Alamat
:
Telepon
:
Desa
:
Tanggal Wawancara
:
Pewawancara
:
Jam
:
Petunjuk Pengisian 1. Pengisian kuesioner dilakukan secara tertulis dengan menjawab semua pertanyaan , baik dengan kalimat ataupun isi kotak sesuai dengan kode yang ada dalam tabel. 2. Jawaban saudara/i merupakan jawaban sesuai dengan data/kondisi yang sebenarnya.
A.
Karakteristik Rumah Tangga Jika A6 ≥ 15 Tahun Pekerjaan
Hubungan [Nama] dengan Kepala Rumah Tangga
No.
Nama
[A1]
1 = Kepala Rumah Tangga 2 = Istri 3 = Anak 4 = Menantu 5 = Cucu 6 = Mertua/Orang Tua 7 = Saudara 8 = Lainnya (........)
[A2]
Jenis Kelamin 1 = Pria 2 = Wanita
[A3]
1 2 3 4 5
Definisi Rumah Tangga : Mereka yang tinggal dalam satu atap
Umur
(Tahun)
[A4]
Lama Pendidikan (Tahun)
[A5]
Status Perkawinan 1 = Belum Menikah 2 = Menikah 3 = Janda/Duda
[A6]
1 = PNS 2 = Pegawai Swasta 3 = Wiraswasta 4 = TNI/Polri 5 = Petani/Peternak 6 = Buruh Tani 7 = Buruh lainnya 8 = Ibu Rumah Tangga 9 = Pelajar 10 = Menganggur 11 = Pensiunan 12 = Lainnya (..........)
Utama [A7]
Sampingan [A8]
B.
No.
Pendapatan Rumah Tangga
Kegiatan
Dalam satu tahun terkhir, Apakah terdapat anggota Rumah Tangga yang memiliki pendapatan dari : 1 = Ya 2 = Tidak [B1]
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
13 14 15
[------------------------Jika B1 = Ya--------------------------] Berapa jumlah pendapatan bersih Berapa Bulan dalam satu tahun yang diperoleh pada setiap bulan terakhir anggota Rumah Tangga tersebut ? memperoleh pendapatan ? Bulan [B2]
PNS Pegawai Swasta Wiraswasta TNI/Polri Buruh Tani Buruh lainnya Penjualan produk pertanian Penjualan produk peternakan Penjualan produk perikanan Pendapatan dari warung/kios/kelontong Pendapatan dari bisnis lainnya Bantuan pemerintah 1........................ 2........................ 3........................ Pensiun Kiriman dari anggota rumah tangga Lainnya
Keterangan : Jika terdapat lebih dari satu anggota RT yang memiliki pekerjaan yang sama, maka pendapatan dijumlahkan
Rp/Bulan [B3]
C. Pengeluaran Rumah Tangga C1. Beras
Konsumsi Beras
Berapakah jumlah beras yang dikonsumsi oleh rumah tangga per bulan Kg/liter (isikan salah satu) [1]
Konsumsi beras biasa
Konsumsi beras raskin
Berapakah harga beras per kilogram yang dikonsumsi (Rupiah) [2]
Berapa kali pembelian beras dalam satu bulan (kali) [3]
Berapa kali frekuensi konsumsi beras per hari (kali) [4]
C2. Bahan makanan lainnya
Dalam 12 bulan terakhir, apakah rumah tangga anda mengonsumsi [...] ? No.
Bahan Makanan Lainnya
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Mie Instant Jagung dan produk turunannya Roti dan produk olahan terigu Umbi-umbian Kacang-kacangan Tahu/tempe Susu Produk olahan susu lain Telur Daging Sapi Daging Unggas Ikan dan hasil laut Minyak goreng Gula Sayur mayur Buah-buahan Makanan jadi yang dibeli diluar (Misal, Restaurant)
17
C2. Pengeluaran Non Pangan
1 = Ya 2 = Tidak [1]
Selama 1 bulan terakhir, berapa kali anda membeli [...] ?
Berapa nilai [...] yang dibeli untuk konsumsi rumah tangga anda ?
Kali
Total Nilai (Rp)
[2]
[3]
Rata-rata total pembelian Rp/bulan [4]
Berapa besar pengeluaran terhadap unit kebutuhan tersebut (Rp) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Pengeluaran rumah tangga non pangan Pendidikan Transportasi Bahan Bakar Listrik Air Komunikasi/pulsa/telepon Sewa rumah Perbaikan rumah Pajak rumah Pajak kendaraan bermotor Kesehatan Perawatan Kecantikan Pakaian Lainnya
Bulan [1]
Tahun [2]
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Depok pada tanggal 28 November 1994 dari ayah Untung Suharto dan Ibu Diah Hariani. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara. Penulis mendapatkan pendidikan dasar formal di SD Negeri Beji 1 Depok kemudian melanjutkan pendidikan sekolah menengah pertama di SMP Negeri 1 Depok. Tahun 2012 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Depok dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN undangan dan diterima di Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif bergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (BEM FEM IPB) periode 2013 - 2014 sebagai bendahara Departemen Kesejahteraan Sosial. Selain itu penulis bergabung dalam Lembaga Dakwah Fakultas Ekonomi Manajemen periode 2014 – 2015 sebagai bendahara Divisi Keputrian dan menjadi pengurus Rohis kelas Departemen Ilmu Ekonomi angkatan 49. Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan setingkat Departemen, Fakultas, dan IPB.