Pokok-pokok Pikiran
RUU Kebudayaan, Negara dan Rakyat1 [sebuah catatan awam]2 Oleh Dadang Juliantara Kalau (R)UU Kebudayaan adalah jawaban, apakah pertanyaannya? I.
Tentang Situasi dan Kemendesakkan. Kita berpandangan, bahwa suatu kebijakan (dalam hal UU), hendaklah memiliki dasar pembenar yang jelas, agar dimengerti dengan mudah mengapa harus hadir, atau bahkan mengapa hendak dipaksakan harus hadir. Masalah-masalah mendasar apa yang hendak dijawabnya? Jika benar adanya, siapa yang paling berkepentingan dengan masalah-masalah mendasar tersebut? Apakah persoalan tersebut benar-benar harus dijawab pada waktu sekarang ini, ataukah kita masih dapat menyediakan waktu, agar cukup kesempatan membahasnya – tentu dengan suatu maksud, agar dalam membahas soal-soal kebudayaan, masyarakat luas [mereka yang akan terkena dampak dari kebijakan] dapat ambil bagian [dalam berbagai bentuknya].
II.
Ingatan Dekat Kita: Pilpres 2014 – Pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (PIlpres) yang berlangsung pada 09 Juli lalu, memberikan beberapa pesan, yang dapat kita tempatkan sebagai pesan kebudayaan3, yakni: Selama ini, siaran resmi (dengan seluruh saluran yang ada), menyatakan dengan jelas bahwa suatu Pilpres adalah peristiwa politik, yang menyangkut dan atau akan berdampak pada kehidupan masyarakat yang luas, oleh karena akan membentuk sebuah pemerintahan baru, yang akan memimpin pergerakan kekuasaan negara. Namun, sejak jaman Orde Baru, kita semua mengerti (sebagian dari kita mengalami), bahwa dalam proses Pilpres, rakyat hanya menjadi penonton, dan pada masa reformasi, keterlibatan rakyat hanya sebatas kepada pilihan politiknya di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
1
2
3
Disampaikan Seminar Nasional “Tata Kelola Kebudayaan sebagai Bentuk Strategi Kebudayaan?”, yang diselenggarakan oleh Program Studi Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (KBM SPs. UGM) bekerjasama dengan Yayasan Umar Kayam (YUK) (Yogyakarta), Yayasan Biennale Jogja, dan Koalisi Seni (Jakarta), pada 09 Oktober 2014, di Gedung Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta. Catatan ini berposisi, bukan sebagai ulasan yang didasarkan pada kefasihan di dalam soal-soal kebudayaan (dan seluruh kompleksitasnya), sebaliknya karena berposisi sebagai awam, yang berharap dapat ikut ambil bagian: bukan sekedar untuk menyorongkan jawaban-jawaban, sebaliknya pertanyaanpertanyaan awam. Pun dimintakan maaf, lantaran ulasan tidak datang dalam bentuk utuh, melainkan hanya berupa pokok-pokok pikiran. Dalam naskah usulan Rancangan Kebudayaan disebutkan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan, perilaku, dan hasil karya manusia dan/atau kelompok manusia yang dikembangkan melalui proses belajar dan adaptasi terhadap lingkungannya yang berfungsi sebagai pedoman untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
1
Secara nyata, rakyat tidak menjadi subyek dari peristiwa politik yang sangat penting dan menentukan hidup rakyat – setidaknya dalam kurun lima tahun. Beberapa titik yang dapat ditunjuk: a) Rakyat tidak ikut menentukan siapa calon presiden/wakil presiden yang hendak dipilihnya, oleh sebab, penentuan menjadi hak eksklusif dari partai politik (suatu ruang tertutup, dan ruang terbatas – yang tidak dapat diakses publik). Pun rakyat tidak ikut menentukan criteria yang tepat, yang sesuai dengan semangat jaman; b) Rakyat tidak ambil bagian dalam proses pergerakan pemenangan: jika rakyat benar-benar memiliki kandidat yang benar-benar didukungnya, maka dengan sendirinya, rakyat akan bergerak secara spontan (berpartisipasi penuh), untuk memenangkan kandidatnya. Apa yang sebelum ini berlangsung adalah keadaan dimana rakyat hanya menjadi penonton, menjadi obyek kampanye, dan kemudian memberikan suara di TPS. c) Rakyat “tidak ikut dalam menghitung” suara yang masuk, atau dapat dikatakan bahwa rakyat tidak memiliki akses dan atau dimudahkan didalam akses untuk ikut mengontrol, bagaimana suatu penghitungan suara dilakukan, sedemikian sehingga segala jenis kecurangan dapat dihindari. Kendati pemilu sudah berlangsung demikian banyak, namun kemampuan rakyat mengontrol tidak kunjung meningkat, sebaliknya, dari waktu ke waktu, yang nampak dihadapan public, justru suatu perkembangan teknologi manipulasi suara. Apa yang berlangsung pada Pilpres yang lalu, memperlihatkan suatu proses, yang dalam batas tertentu, dapat dikatakan berkebalikan dengan situasi tersebut – suatu keadaan dimana rakyat, nampak ingin mengubah posisi: dari sekedar obyek, menjadi subyek dari proses Pilpres. Beberapa titik dapat ditunjukkan: a) Munculnya dukungan rakyat kepada salah satu kandidat, yang secara dialektik, diperbesar melalui media massa (dan berbagai saluran lainnya), yang sekaligus berdampak sebagai suatu bentuk tekanan politik (rakyat) dan memasuki ruang-ruang pengambilan keputusan dalam partai politik, sehingga calon rakyat tersebut dapat muncul sebagai calon resmi yang berhak ikut dalam proses Pilpres. Hal ini kontras dengan calon-calon lainnya, yang ditetapkan tidak melalui suatu dinamika “yang melibatkan” (baca: mendengar suara rakyat), sebab semua calon yang ada adalah Ketua Umum Partai (atau kerabatnya, dan bahkan ada pula yang dengan sadar terencana mendirikan partai untuk mencapai maksud tersebut. b) Dukungan rakyat tersebut, tidak berhenti didalam proses penentuan calon, melainkan juga dalam proses pemenangan. Kita dapat menyaksikan suatu episiode penting, dimana rakyat berada di garis depan, muncul dengan berbagai inovasi dan kreatifitas, sehingga atribut kampanye, yang semula menjadi bagian dari wujud kerja dari
2
politik uang, telah menjadi sarana yang dapat melipat-gandakan kekuatan, dan membuka ruang kesempatan yang lebih besar kepada semua lapisan masyarakat untuk ambil bagian dalam proses politik tersebut. c) Tidak berhenti dalam suatu bentuk keterlibatan dalam penghimpunan suara, namun juga hadirnya rakyat dalam pengawalan suara, yang demikian fenomenal, yang berakibatnya makin sempitnya ruang bagi kecurangan, atau segala jenis manipulasi. Kita dapat mengatakan bahwa public berusaha dengan segala cara untuk hadir, kendati ruang legal formal tidak tersedia. Keterlibatan (partisipasi) rakyat dalam proses pilpres ini, tentu saja bukan hasil dari suatu “undangan formal” dari (kekuasaan) negara, sebaliknya adalah suatu bentuk desakan, inovasi dan kreatifitas, berikut milintansi, yang memungkinkan terbukanya ruang politik, dan karenanya rakyat dapat hadir, dalam bentuknya yang khas. Sebaliknya, kekuatan yang sejak lama tidak menghendaki kehadiran rakyat, terus berusaha menyingkirkan, dan membuat rakyat tidak dapat hadir, pada khususnya melalui arena-arena formal, di dalam ruang terbatas, yang untuk hadir didalamnya dibutuhkan sejumlah atribut dan syarat-syarat. Beberapa kejadian dekat, seperti pembentukan UU MD3, UU Pilkada, dan lain-lain, menunjukan dengan sangat jelas, suatu proses yang didalamnya memuat semangat tidak menghadirkan partisipasi rakyat. Adu “strategi” sedang berlangsung dengan sengit. III. Apa yang hendak kita tunjukan sebagai keterlibatan rakyat, bukanlah satu jenis kelengkapan biasa dari proses demokrasi. Lebih dari sekedar bekerjanya metode didalam proses politik demokrasi, kita hendak menunjuk adanya suatu “potensi keIndonesiaan” di dalam pergerakan keterlibatan tersebut. Mengapa kita menyebutnya sebagai potensi? Oleh sebab, semangat dimaksud berada dalam gumpalan kerumitan proses politik praktis: Pilpres. Adapun semangat keIndonesiaan yang dimaksudkan di sini, adalah (dalam batas tertentu)4 kesadaran bahwa tanpa keterlibatan langsung dari rakyat, maka keadaan bangsa dan negara tidak akan kunjung membaik. Ada harapan-harapan yang terhimpun, dan kemudian diwujudkan di dalam langkah politik bersama: perjuangan pemenangan. Dengan sejumlah penyederhanaan, dan sedikit lompatan berpikir, kita dapat mengatakan bahwa ada endapan kesadaran (yang berasal dari pengalaman-pengalaman) tentang persoalanpersoalan mendasar masyarakat dan tentang posisi sebagai warga negara yang mempunyai hak-hak politik yang sama (dengan jaminan hukum terhadap segala tindakan realisasi hak-hak tersebut), ada proses pembentukan tujuan bersama (setidak-tidaknya tujuan dekat), dan ada kesepahaman bersama di dalam wujud
4
Oleh sebab tidak ada dasar riset untuk rumusan ini.
3
tindakan bersama mencapai apa yang hendak dicapai secara bersama. Pada satu sisi terdapat semangat persatuan, dan di sisi yang lain terdapat semangat pembaruan 5. IV. Pertanyaan mendasar kita adalah sampai dimana pencapaian dari segala usaha panjang membangun persatuan bangsa? Kita ketahui, bahwa konsepsi kebudayaan Indonesia, akan bergantung kepada rumusan kita mengenai masyarakat Indonesia. Apakah rumusan kita mengenai masyarakat Indonesia, masih menggunakan cara berpikir lama, sementara jaman secara nyata telah berubah. Bagaimana cara manusia Indonesia masa kini mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia? Apakah kita membutuhkan suatu alas baru? Apakah untuk membangun persatuan, dalam kerangka keIndonesia, kita masih harus menggunakan metode lama, yakni suatu teknik dengan memunculkan ancaman, atau sesuatu yang dipersepsikan sebagai suatu ancaman. Tidak mungkinkan persatuan dibangun atas dasar keinginan untuk mencapai sesuatu, dan bukan atas dasar ingin lari dari sesuatu. Atau kita perlu mengembangkan strategi yang menggabungkan dua metode tersebut? Bagi kita, usaha kita menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan jawaban-jawaban yang berhasil diperoleh, akan sangat menentukan rumusan kita mengenai manusia dan masyarakat Indonesia. V.
Apa yang menarik dari kehadiran RUU Kebudayaan? Bahwa (disadari atau tidak), cara kita memberikan respon bersifat generic. Oleh karena masa lalu, akibat dari kinerja kekuasaan otoriter (bahkan totaliter – dimana negara masuk ke dalam ruangruang yang sangat personal, dan bahkan pikiran dapat menjadi alat bukti di meja hijau), kesadaran yang berkembang, adalah suatu jenis kesadaran unik, yakni sikap untuk selalu “curiga” (kritis?), terhadap segala sesuatu yang berasal dari negara. Bersikap kritis terhadap kekuasaan negara tentu perlu, bahkan suatu jenis keharusan, jika kita ingin demokrasi membawa makna. Namun, sikap menolak yang bersifat reflex, tentu saja merupakan soal, oleh karena daya kritis yang sesungguhnya, sangat mungkin belum bekerja secara optimal. Akibat dari model respon yang demikian ini, masyarakat tentu akan mudah kehilangan kesempatan untuk bersikap aktif. Melawan dengan cara menghindar atau membiarkan, barangkali adalah masa lalu, di depan telah menunggu cara-cara baru, dengan mentalitas baru, yang lebih aktif, inovatif-kreatif dan digerakkan oleh militansi dengan kualitas baru. Pengalaman Pilpres 2014, sebetulnya telah memberikan pelajaran dan pesan penting, bahwa suatu jenis partisipasi baru harus ditumbuhkan, sedemikian sehingga rakyat menjadi subyek, dan penentu di dalam tata kelola kehidupan bersama.
VI. Dimana posisi RUU Kebudayaan, dan semua prakarsa berkait dengan soal kebudayaan? Kita berpandangan bahwa setiap strategi, harus mencerminkan: (a) pengetahuan yang menyeluruh atas masalah-masalah yang dihadapi, dan oleh sebab 5
Keinginan bersama untuk melakukan perbaikan-perbaikan, dan bahkan mengganti yang tidak dapat diperbaiki, dengan sesuatu yang baru.
4
itu suatu usaha dengan strategi tertentu dirumuskan dan dijalankan; (b) kejelasan tujuan dan nilai-nilai yang menjadi dasar pembenar pencapaian tujuan tersebut. Tidak bisa kita hindari bahwa setiap pilihan sudut pandang, akan membawa pengaruh kepada hasil penglihatan kita atas suatu keadaan. Oleh sebab itulah, kita membutuhkan cara berpikir bersama, cara berpikir di dalam alam pikiran Indonesia (apakah dimungkinkan?), yang membuat kita lebih mungkin memahami secara utuh masalah-masalah yang menjadi problem kebudayaan masa kini, dan dari sana dapat kita rumuskan suatu strategi kebudayaan, yang dapat menjadi bagian dari jawaban atas masalah-masalah dimaksud. Sebagai bangsa secara nyata kita masih berhadapan dengan masalah kemiskinan yang meluas, kerusakan lingkungan yang makin mengancam kelangsungan hidup, kekerasan dalam bentuknya yang paling berani, konflik antar warga dengan berbagai bentuknya, korupsi yang merusak tata hidup bersama, dan berbagai soal lain. Kesemuanya tentu adalah masalah-masalah kebudayaan. VII. Apa yang kita rasakan menonjol dari konsepsi yang diajukan adalah: (a) menjadikan pemerintah sebagai actor utama, atau subyek, dalam pergerakan kebudayaan; dan (b) suatu ide tentang pengendalian, yang kita bersama telah mengetahui bahwa suatu otoritas pengendalian yang tidak disertai dengan kejelasan mekanisme formal (legal) yang memungkinkan control dari public, maka potensi untuk disalahgunakan sangat besar, dan bukan tidak mungkin kebudayaan hanya akan menjadi alat dari kekuasaan politik, untuk menundukkan semua potensi kritis dengan cara yang lunak. Pengalaman terdekat, yakni keputusan tentang Pilkada (UU Pilkada), telah menunjukan dengan jelas, bahwa konsep mandat yang diberikan kepada wakil rakyat, bukan diartikan bahwa segala perilaku dan keputusan politik yang diambil wakil rakyat harus mencerminkan (sama dan sebangun) apa yang diinginkan rakyat, malah sebaliknya – keputusan yang diambil nyata-nyata melawan kehendak public. Tentu pertanyaan kita lebih jauh adalah apakah dimungkinkan suatu respon kemasyarakatan terhadap RUU Kebudayaan, atau respon yang melibatkan masyarakat luas. Mengapa? Oleh sebab hanya dengan keterlibatan rakyat yang luas dan kreatif, maka yang akan terjadi bukan saja pembatasan gerak intervensi kekuasaan negara, melainkan juga suatu jenis tata kelola baru, dimana kekuasaan negara dijalankan persis sebagaimana maksud diadakannya. Hal ini berarti bahwa keterlibatan rakyat tidak sekedar keterlibatan pasif, melainkan aktif mendorong suatu bentuk tata kelola kebudayaan yang berakar dalam alam pikiran Indonesia, yang sedemikian rupa sehingga menjadi pergerakan bangsa yang meninggikan kualitas kehidupan bangsa, sebagaimana yang menjadi cita-cita proklamasi kemerdekaan. Jogjakarta, 09 Oktober 2014. Dadang Juliantara.
5