Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 BAB I PENDAHULUAN Pengantar 1. Upaya penegakan HAM di Indonesia mengalami perkembangan signifikan pasca Reformasi 1998. Arus perubahan yang merupakan nadi gerakan Reformasi memberikan ruang bagi seluruh sektor dalam penyelenggaran Negara untuk ‘berbenah’ agar menjadi lebih demokratis, aspiratif dan sesuai dengan prinsip-prinsip HAM. Sesuai dengan ide besar ini, sejak beberapa tahun yang lalu telah digagas Reformasi Sektor Pertahanan dan Keamanan (RSPK) yang dimulai dengan pemisahan TNI dengan Polri. Selanjutnya gagasan RSPK terus bergulir hingga pada Prolegnas Periode 2009-2014 DPR memasukan paket RUU terkait dengan RSPK yang berjumlah lebih dari 20 RUU. 2. Salah satu RUU dalam paket RSPK yang ada dalam Prolegnas 2009-2014 adalah RUU Kemanan Nasional atau lebih dikenal dengan RUU KAMNAS. Draft pertama RUU KAMNAS dibuat oleh Kementrian Pertahanan dan telah mengalami beberapa kali revisi.. Meskipun berbagai pihak menyatakan bahwa pengaturan mengenai Keamanan Nasional perlu dirumuskan, akan tetapi RUU KAMNAS tetap ditanggapi secara beragam oleh masyarakat sipil, karena dianggap banyak bersinggungan dengan HAM. 3. Menyikapi hal tersebut, Komnas HAM memandang penting untuk mencermati proses pembahasan dan muatan RUU KAMNAS agar sesuai dengan amanat reformasi, prinsip demokrasi, supremasi dan perlindungan HAM. Hal ini sesuai dengan wewenang dan mandat Komnas HAM untuk melakukan kajian sebagaimana diamanatkan Pasal 89 ayat 1 butir b UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pengkajian dan penelitian, sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 UU, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan “pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia” 4. Pokok-pokok pikiran ini merupakan cerminan sikap Komnas HAM terhadap draft RUU KAMNAS tanggal 16 Oktober 2012.
Paradigma Keamanan Nasional 5. Dalam berbagai literature studi keamanan, masalah pendefinisian konsep “keamanan” menjadi salah satu topic perdebatan yang hangat, setidaknya sampai berakhirnya perang dingin. Terkait hal ini, perdebatan akademik mengenai konsep “keamanan” berkisar pada dua aliran besar, yakni antara definisi strategis (strategis definistion) dan definisi nonstrategis ekonomi (economic non-strategis definition). Definisi pertama umumnya menempatkan “keamanan” sebagai nilai abstrak, terfokus pada upaya mempertahankan idependensi dan keadulatan Negara, dan umumnya berdimensi militer. Sementara,
1
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 definisi kedua terfokus pada penjagaan terhadap sumber-sumber ekonomi dan aspek nonmiliter dari fungsi Negara.1 6. Dalam konsep tradisional, keamanan—yang secara sederhana dapat dimengerti sebagai suasana bebas dari segala bentuk ancaman bahaya, kecemasan, dan ketakutan— ditafsirkan sebagai kondisi tidak adanya ancaman militer yang berasal dari luar. Water Lippman berpendapat bahwa suatu bangsa dikatakan aman selama bangsa itu tidak dapat dipaksa untuk mengorbankan nilai-nilai yang dianggapnya penting. 2 Sedangkan Frederidck Hartman melihat keamanan sebagai “the sum total of the vital national interest of the state,” maka “kepentingan nasional itu pun didefinisikan sebagai sesuatu yang membuat Negara bersedia dan siap untuk berperang”.3 Tiga ciri penting dari pengeritan tradisional ini adalah: pertama, identifikasi “nasional” sebagai “negara”; kedua, ancaman diasumsikan berasal dari luar wilayah Negara; dan, ketiga, penggunaan kekuatan militer untuk mengahdapi ancaman-ancaman dihadapi setiap Negara adalah membangun kekuatan untuk menangkal (to deter) atau mengalahkan (to defeat) suatu serangan.4 7. Keamanan nasional (national security) merupakan masalah yang sangat kompleks. Istilah “national”, sebagai suatu obyek tidak mudah disepakati sebagai suatu entitas, sebab dalam kehidupan bernegara obyeknya adalah warga Negara. Keamanan (security) sebagai suatu atribut, jauh lebih sulit lagi; sebagian diantaranya karena penilaian tentang keamanan tidak dapat terlepas dari subyektifitas persepsi, dan persepsi itu akan menentukan prioritas tentang apa yang dianggapnya sebagai keamanan.5 8. Oleh karenanya tidak mudah mengidentifikasi landasan dari keamanan nasional. Barry Buzan mencoba menawarkan tiga landasan keamanan nasional: landasan ideasional, landasan institusional, dan lasndasan fisik. Apa yang oleh Buzan dianggap sebagai landasan fisik meliputi penduduk dan wilayah serta segenap sumber daya yang terletak di dalam lingkup otoritas teritorialnya; landasan institusional meliputi semua mekanisme kenegaraan, termasuk lembaga legistatif dan eksekutif maupun ketentuan hukum, prosedur dan norma-norma kenegaraan; landasan ideasional dapat mencakup berbagai hal termasuk gagasan tentang “wawasan kebangsaan”.6 Buzan juga melihat keamanan nasional dari tiga perpektif: sistem internasional, Negara dan individu. Namun demikian, Buzan menyimpulkan bahwa, yang paling penting dan efektif adalah mempertahankan kedaulatan Negara.7
1
Rizal Sukma, “Konsep Keamanan Nasional”, disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) ProPatria di jakarta pada tanggal 28 November 2002. 2 Dr. Kusnanto Anggoro, “Keamanan Nasional, Pertahanan Negara, dan Ketertiban Umum”, disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI di Denpasar pada tanggal 14 Juli 2003, hal. 2 3 Sukma, loc. cit. 4 Anggoro, loc. cit. 5 Working Group ProPatria, “Monograph No-2: Keamanan Nasional” <….> 6 Anggoro, loc. cit., hal. 3. 7 Mr. Sagaren Naidoo, “A Theoretical Conceptualization of Human Security”, <….>, hal. 2
2
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 9. Diskursus kontemporer yang memberikan definisi keamanan nasional secara fleksibel dan longgar dengan memasukan unsur dan perpekstif yang tidak terdapat dalam diskursus tradisional. Caroline Thomas dan Jessica Mathews meyakini keamanan bukan hanya berkaitan dengan nexus military-external tetapi juga menyangkut dimensi-dimensi lain. Kemanan, bukan hanya terbatas pada dimensi militer, tetapi juga merujuk pada seluruh dimensi yang menentukan esksitensi Negara. Thomas dan Mathews mungkin mulai mengakui keberadaan ancaman non militer, namun mereka berdua tidak sepenuhnya meninggalkan tradisi yang mengganggap Negara sebagai entitas yang paling penting.8 10. Dalam konteks Indonesia, pemahaman bangsa Indonesia atas konsep “keamanan” sebenarnya telah sejak awal mengenali adanya keterkaitan antar aspek kehidupan, yang tidak hanya didominasi aspek militer. Namun pasca pemisahan TNI dan Polri, istilah “keamanan” menjadi kabur. Dari sudut Reformasi Sektor Keamanan (Security Sector Reform)9 pemahaman rancu demikian menimbulkan sejumlah persoalan. Pertama, kekaburan pengertian konsep “keamanan” menyulitkan proses penataan fungsi dan efektifitas TNI dan Polri. Kedua, kekaburan itu juga menimbulkan kesulitan dalam merumuskan tata hubungan kerja diantara keduanya. Ketiga, kerancuan konsep tidak mendorong lahirnya kesadaran akan arti penting perumusan suatu kebijakan keamanan nasional yang seharusnya menjadi rujukan bagi bangsa Indonesia dalam membangun Republik ini dari keterpurukan. Keempat, dalam konteks pertahanan Negara, ketiadaan kebijakan keamanan nasional mempersulit proses perumusan kebijakan pertahanan Negara yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan bangsa.10 11. Istilah yang dulu akrab digunakan di Indonesia adalah HANKAMNEG (Pertahanan dan Keamanan Negara). “Kemanan” dalam istilah ini adalah keamanan dalam negeri, karenanya tidak dapat disamakan dengan konsep keamanan nasional. Sedangkan konsep keamanan nasional yang dirancang bersumber dari Pembukaan UUD 1945. Terkait dengan hal ini, ancaman dari luar negeri masuk dalam ruang lingkup pertahanan dan menjadi wilayah TNI. Sedangkan ancaman dari dalam negeri menjadi ruang lingkup dari kemanan dalam negeri dan menjadi wilayah kerja Polri. Hal ini dikarenakan ancaman dalam negeri merupakan perbuatan melawan hukum Negara yang harus ditanggulangi dengan law enforcement untuk menghukum pelaku sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Namun jika eskalasi ancaman meningkat dan tidak lagi dapat dihadapi dengan law enforcement oleh Polri, penguasa otoritas sipil dapat menggunakan 8
Anggoro, loc. cit., hal. 4 Reformasi Sektor Keamanan merupakan sautu konsep yang berkaitan dengan upaya untuk mereformasi atau membangun kembali sektor keamanan di suatu Negara dari level kebijakan berupa undang-undang hingga ke level taktik dan operasional sehingga sesuai dnegan prinsip demokrasi, profesionalisme, dan penegakan HAM. Di dalam suatu Negara demokrasi, RSK bertujuan untuk mengubah atau mereformasi angkatan bersenjata, kepolisian dan intelejen agar dapat berada di bawah kontrol sipil, mendukung pemerintahan sipil, dan menghormati hak-hak warga Negara sebagaimana yang telah ditetapkan dalam undang-undang (lihat Komnas HAM, Pengkajian Rancangan dan Peraturan Perundang-undangan Mengenai Reformasi Sektor Pertahanan dan Keamanan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Komnas HAM, 2010)). 10 Sukma, loc. cit. 9
3
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 kekuatan TNI melalui Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Dalam Negara demokrasi, kewenangan untuk menggunakan kekuatan militer harus berada di tangan otoritas sipil untuk mengawasi dan mencegah terjadinya pelanggaran HAM.11 12. Dengan demikian untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis, perumusan keamanan nasional harus memperhatikan supremasi sipil serta prinsip-prinsip penghormatan dan perlindungan HAM. Selain itu, perumusan keamanan nasional juga selayaknya dapat dibedakan secara tegas dengan keamanan dalam negeri, keamanan luar negeri ataupun keselamatan dan ketertiban umum. sehingga definisi keamanan nasional tidak menjadi bias dan multitafsir. Perluasan Keamanan Nasional: Kemanan Insani (Human Security) 13. Pasca perang dingin, terjadi pergeseran dalam memahami konsep keamanan nasional. Keamanan bukan saja merupakan ancaman militer, tetapi juga non militer. Konsep keamanan insani merupakan bagian dari pemikiran yang menyeluruh dalam konsep “Pemberdayaan Manusia” UNDP oleh Mahbub ul Hag dengan didukung oleh Amartya Sen. Tahun 1994 untuk pertama kalinya, UNDP melansir konsep “keamanan insani” dalam Human Development Report (HDR).12 Pada tahun yang sama, UNDP mendefinisikan keamanan insani sebagai “aman dari ancaman kronik seperti kelaparan, wabah penyakit dan tindakan represif”.13 Setelah tahun 1994, beberapa Negara mulai mengadopsi konsep keamanan insani ke dalam peraturan dan kebijakan Negara mereka. Dalam kebijakan di Kanada, keamanan insani diartikan sebagai “rasa aman orang-orang baik dari ancaman kekerasan maupun non-kekerasan”. Di Jepang, Menteri Luar Negeri Jepang menyatakan bahwa seluruh komponen berusaha untuk mengeliminasi ancaman bagi setiap orang.14 14. Definisi mengenai keamanan insani yang lebih komprehensif dilansir oleh Commision on Human Security pada tahun 2003, yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan keamanan insani adalah15: “untuk melindungi kebutuhan primer kehidupan manusia yang dapat mendorong kebebasan manusia dan pemenuhan kebutuhan manusia. Keamanan insane berarti perlindungan kebebasan fundamental. Ini berarti melindungi manusia dari ancaman dan situasi yang kritis. Ini berarti proses membangun kekuatan manusia dan aspirasi. Ini 11
Ign Soeprapto-Widyaiswara, “Melakukan Reformasi Sektor Keamanan Harus Dibarengi Dengan Menghapus Paradigma Hankamneg”. 12 Richard Jolly and Deepayan Basu Ray, The Human Security Framework and National Human Development Reports: A Review of Expreiences and Currrent Debates, (UNDP, 2006), hal. 4 13 Rhoda E. Howard-Hassamann, “Working paper no.63 Human Security: Undermining Human Rights?”
, diunduh pada tanggal 20 Mei 2013 14 Jolly and Ray, Ibid. 15 Human Security Unit United Nations, “Human Security in Theory and Practice: Application of the Human Security Concept and the United Nations Trust Fund for Human Security” <……>
4
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 berarti menciptakan kondisi politik, sosial, lingkungan, ekonomi, mileter dan sistem budaya bersama yang mampu memberikan manusia kekuatan untuk bertahan, hidup dan sejahtera.” 15. Keamanan insani merepresentasikan usaha untuk kembali mengkonseptulisasi keamanan dalam bentuk yang fundamental. Analisis mendasar, dalam hal ini, difokuskan pada keamanan untuk individu bukan Negara.16 Keamanan insani bertujuan untuk “menekan negara” untuk memperhatikan kebutuhan warganegaranya. Dengan kata lain, keamanan warganegara adalah kemanan Negara. Jika warganegara merasa tidak aman, maka Negara juga tidak aman. 17 16. Hal ini dikarenakan karakteristik dari keamanan insani adalah18: • Berpusat pada manusia/orang: keamanan insani meletakkan manusia sebagai pusat analisis. • Multisektoral: Keamanan insane mencakup beberapa sektor, diantaranya, ekonomi, ketahanan pangan, kesehatan, lingkungan, personal, komunitas dan keamanan politik. • Komprehensif: keamanan insane mendorong penangangan yang komprhensif dalam untuk menjaga keamanan, pembangunan dan penegakan HAM. • Kontekstual: keamanan insane memiliki banyak dimensi, dimana setiap dimensi membutuhkan solusi yang berbeda. • Beroirentasi pada upaya pencegahan: Keamanan insani mendorong proses proteksi dan pemberdayaan 17. Keamanan insani melengkapi keamanan Negara, menguatkan pembangunan manusia, dan mendorong penegakan HAM. Tingginya kekerasan dan pelanggaran HAM sering terjadi akibat konflik dalam skala besar. Terkait dengan hal ini, keamanan insani menjadikan nilai-nilai universal, hak-hak dasar dan kebebasan sebagai fondasi kehidupan manusia. Keamanan insani juga membuat tidak adanya jurang perbedaan antara hak sipil politik (sipol) dan hak ekonomi sosial dan budaya (ekosob), dalam menghadapi ancaman, dengan cara yang komprehensif dan multidimensional.19
Pembatasan HAM dalam Keadaan Darurat 18. Definisi mengenai keadaan darurat memang tidak digunakan dalam konstitusi Indonesia. Istilah serupa yang digunakan oleh UUD 1945 dapat ditemukan dalam Pasal 12, dimana dikenal istilah ‘keadaan bahaya’.20 Dalam konsolidasi naskah UUD 1945 setelah perubahan keempat, Jimly Asshiddiqie menafsirkan bahwa ‘keadaan bahaya’ yang dimaksud dalam UUD 1945 biasa disebut juga dengan keadaan darurat atau ‘state of emergency’, yang mencakup: (i) keadaan darurat perang baik karena agresi dari luar ataupun karena gerakan pemberontakan bersensejata dari dalam (state of war or state of defence), (ii) keadaan darurat karena ketegangan yang timbul dalam masyarakat yang 16
Jolly and Ray, op. cit., hal. 5 Hassaman, loc. cit. 18 Ibid. 19 United Nation, op. cit. 20 Pasal 12 UUD 1945 berbunyi: “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.” 17
5
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 membutuhkan peran aparatur militer (state of tension or spannungswall), dan (iii) keadaan darurat sipil akibat bencana alam ataupun keadaan darurat lainnya yang menimbulkan kegentingan internal dalam pemerintahan. Muatan Pasal 12 UUD 1945 ini tidak mengalami perubahan sedikit pun dari naskah aslinya. 19. Pada dasarnya pengaturan mengenai keadaan bahaya pertama kali diberlakukan di Indonesia oleh Pemerintah Belanda. Embrio dari peraturan ini muncul sebagai sebuah langkah pencegahan atas perlawanan yang timbul dari rakyat Indonesia terhadap penjajah Belanda. Tidaklah mengherankan jika di Indonesia keadaan bahaya lebih dikenal dengan istilah SOB yang merupakan singkatan dari Staat van oorlog en staat van beleg. Staat van oorlog diterjemahkan menjadi ‘negara dalam keadaan perang’, sedangkan staat van beleg diterjemahkan sebagai ‘negara dalam keadaan darurat’. Peraturan ini kemudian diadopsi ke dalam UU 6/1946 dan berganti lagi menjadi UU 74/1957. Terakhir keadaan bahaya diatur dalam Peraturan Pengganti Undang Undang tentang Pencabutan UU No. 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya. Undang-undang ini membagi keadaan darurat menjadi: (1) darurat sipil, (2) darurat militer, dan (3) darurat perang. 20. Berdasarkan Perpu ini, ada tiga kriteria untuk menentukan tingkatan keadaan darurat, yaitu: 1. Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau sebagian wilayah Negara Republik Indoensia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa. 2. Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun 3. Hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara. 21. Mengacu pada Pasal 12 UUD 1945, bahwa keadaan bahaya/darurat mestilah dinyatakan terlebih dahulu. Pernyataan keadaan bahaya/darurat ini menimbulkan akibat hukum berupa pengurangan dan pembatasan hak-hak masyarakat. Hal ini sesuai dengan doktrin hukum yang diterima banyak Negara di dunia, bahwa keadaan darurat—di beberapa Negara di dunia digunakan istilah emergency law—membuat Negara boleh melakukan penyimpangan dari kaidah hukum normal yang biasa berlaku. Negara diperbolehkan untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk mempertahankan kedaulatannya. Dalam hal ini berlaku kaidah ‘abnormale recht voor abnormal tijd’. 22. Meski demikian, tindakan yang diambil dalam keadaan darurat harus berdasarkan prinsip necessity (kebutuhan). Prinsip kebutuhan untuk menyelamatkan Negara dari ancaman bahaya mengandung nilai dan kewajiban yang lebih tinggi. Akan tetapi, asumsi yang ada di balik logika prinsip kebutuhan atau necessity ini adalah paradigma hukum alam tentang hak Negara dalam melindungi dirinya sendiri untuk kepentingan seluruh warganya. Negara dengan sendirinya memiliki kekuasaan ‘reserve’ atau cadangan yang sewaktu-waktu dibutuhkan dapat digunakan demi kepentingan umum seluruh rakyatnya sendiri. Doktrin yang demikian itulah yang dalam hukum internasional disebut sebagai doktrin ‘self-preservation’ yang mendapat banyak sekali kritik dari para ahli hukum internasional kontemporer. Dalam perspektif self-preservation tersebut, apabila suatu Negara menghadapi ancaman yang membahayakan eksistensi atau kedaulatan nya sebagai Negara merdeka atau membahayakan keselamatan warga negaranya, Negara 6
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 yang bersangkutan dianggap dapat bertindak apa saja dan dengan cara apa saja terlepas dari pesoalan legalitas cara-cara yang ditempuh menurut ukuran hukum internasional. Untuk mengatasi hal ini, para ahli mengembangkan perspektif self-defence yang dimaksudkan untuk melindungi HAM yang esensial dari ancaman bahaya yang tidak dapat diperbaiki apabila timbul keadaan di mana tidak terdapat alternative cara lain untuk melindungi (Ashiddiqie, 2007). Prinsip self-defence mengeluarkan doktrin necessity dari kungkungan pemikiran konvensional, sehingga dalam menentukan keadaan darurat haruslah ditetapkan kriteria kebutuhan minimal dan batasan-batasan dari tindakan yang dapat diambil untuk mempertahankan eksistensi Negara. 23. Peluang Negara untuk menyimpang dari kaidah hukum pada keadaan darurat tentu dikhawatirkan berpotensi melanggar hak-hak masyarakat. Oleh karenanya Pasal 4 ICCPR—yang telah diratifikasi melalui UU 12/2005—memberi batasan mengenai apa saja yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh sebuah Negara dalam keadaan darurat. 24. Pasal 4 ICCPR menyatakan: 1. Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, Negara-negara Pihak Kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi2 kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan Kovenan ini, sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkah-langkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi sematamata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial. 2. Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16 dan 18 sama sekali tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini. 3. Setiap Negara Pihak Kovenan ini yang menggunakan hak untuk melakukan pengurangan tersebut harus segera memberitahukannya kepada Negara-negara Pihak lainnya melalui perantaraan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengenai ketentuan- ketentuan yang dikuranginya, dan mengenai alasan-alasan pemberlakuannya. Pemberitahuan lebih lanjut, harus dilakukan melalui perantara yang sama pada saat berakhirnya pengurangan tersebut. 25. Sekurang-kurangnya ada enam syarat yang harus dipenuhi Negara peserta untuk mengurangi kewajiban mereka berdasarkan ICCPR dalam mengambil langkah yang diperlukan pada saat Negara dalam keadaan darurat: 1. Keadaan darurat harus diumumkan terlebih dahulu 2. Langkah yang diambil memang sangat diperlukan 3. Langkah yang diambil tidak bertentangan dengan kewajiban lain berdasarkan hukum internasional 4. Langkah yang diambil tidak menyebabkan terjadinya diskriminasi 5. Hak asasi manusia yang termasuk dalam non derogbles rights tidak boleh dikurangi meski dalam keadaan darurat 6. Negara harus melaporkan langkah yang diambil dan alasannya kepada Sekjen PBB. 26. Lebih lanjut mengenai Pasal 4 ICCPR, Komentar Umum 5, Komentar Internasional Hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa atas dasar keadaan darurat, Negara diperbolehkan untuk mengurangi sejumlah hak sampai pada tingkatan yang diijinkan dalam situasi tersebut. Namun Negara tidak boleh melakukan pengurangan beberapa hak khusus dan 7
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 tidak boleh melakukan langkah-langkah diskriminatif. Komite memandang bahwa langkah yang diambil berdasarkan Pasal 4 ICCPR harus bersifat khusus dan sementara dan hanya boleh dilakukan ketika kehidupan bangsa yang bersangkutan terancam dan bahwa, dalam hal darurat, perlindungan hak asasi manusia menjadi yang paling penting, khususnya hak-hak yang tidak boleh dikurangi. 27. Prinsip Siracusa juga menyatakan bahwa penilaian pada perlunya pembatasan harus dibuat berdasar pertimbangan-pertimbangan obyektif. Secara tegas hal itu juga dinyatakan oleh Komentar Umum Kovenan Hak Sipol yang menyatakan bahwa: Negara-negara pihak harus menahan diri dari melakukan pelanggaran terhadap hak-hak yang diakui dalam Kovenan, dan pembatasan apa pun terhadap salah satu atau lebih dari hak-hak tersebut harus memiliki alasan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Kovenan. Ketika pembatasan semacam itu dibuat, maka Negara-negara harus menunjukkan kebutuhan mereka dan hanya mengambil langkah-langkah yang proporsional guna mencapai tujuan-tujuan yang sesuai dengan hukum untuk menjamin perlindungan yang berkelanjutan dan efektif terhadap hak-hak yang diakui dalam Kovenan. Pembatasan-pembatasan tidak boleh diterapkan atau dilakukan dalam cara yang dapat melemahkan inti suatu hak yang diakui oleh Kovenan.21
28. Selain diatur dengan rigid dalam Pasal 4 ICCPR, pembatasan dan/atau pengurangan hak juga ditegaskan dalam Siracusa Principles yang mengatur pengurangan hak asasi manusia dalam keadaan darurat. Secara umum prinsip-prinsip Siracusa menegaskan bahwa pembatasan dapat dilakukan dengan catatatan: • Diatur berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the law). Tidak ada pembatasan yg bisa diberlakukan kecuali didasarkan oleh hukum nasional. Namun hukum yang membatasi hak tersebut tidak boleh sewenang-wenang dan tanpa alasan. Aturan hukum yang membatasi pelaksanaan HAM harus jelas dan bisa diakses siapa pun. Selain itu negara harus menyediakan upaya perlindungan dan pemulihan yang memadai terhadap penetapan atau pun penerapan pembatasan yang bersifat sewenang-wenang terhadap hak-hak tersebut.22 Hukum tersebut harus dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individual untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak.23 • Diperlukan dalam masyarakat yang demokratis (in a democratic society). Beban untuk menetapkan persyaratan pembatasan ini ada pada negara yang menetapkan aturan pembatasan dengan menunjukkan bahwa pembatasan tersebut tidak mengganggu berfungsinya demokrasi di dalam masyarakat. Adapun model 21
CCPR/C/21/Rev.1/Add.13, General Comment No. 31 [80] Nature of the General Legal Obligation Imposed on States Parties to the Covenant, op.cit (catatan kaki 12), paragraf 6. 22 Ibid, paragraf 15—18. 23 The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to Information, Freedom of Expression and Access to Information, E/CN.4/1996/39 (1996). Johannesburg Principles adalah prinsip-prinsip yang diadopsi pada 1 Oktober 1995 oleh sekelompok ahli hukum internasional, keamanan nasional, dan hak asasi manusia yang berkumpul bersama berdasarkan PASAL 19, International Centre Against Censorship, bekerja sama dengan Centre for Applied Legal Studies Universitas Witwatersrand, di Johannesburg, Principle 1.1.
8
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013
•
•
•
•
•
•
masyarakat yang demokratis dapat mengacu pada masyarakat yang mengakui dan menghormati hak asasi manusia yang tercantum dalam Piagam PBB dan DUHAM.24 Untuk melindungi ketertiban umum (public order/ordre public). Frasa “ketertiban umum” di sini diterjemahkan sebagai sejumlah aturan yang menjamin berfungsinya masyarakat atau seperangkat prinsip mendasar yang hidup di masyarakat. Ketertiban umum juga melingkupi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Selain itu, ketertiban umum di sini harus dilihat dalam konteks hak yang dibatasinya. Negara atau badan negara yang bertanggungjawab untuk menjaga ketertiban umum harus dapat dikontrol dalam pengggunaan kekuasaan mereka melalui parlemen, pengadilan atau badan mandiri lain yang kompeten.25 Untuk melindungi kesehatan publik (public health). Klausul ini digunakan untuk mengambil langkah-langkah penanganan atas sebuah ancaman yang bersifat serius terhadap kesehatan masyarakat atau pun anggota masyarakat. Namun langkah pembatasan ini harus diletakkan dalam konteks pencegahan penyakit atau kecelakaan atau dalam rangka menyediakan layanan kesehatan bagi yang terluka atau sakit. Dalam hal ini negara harus mengacu pada aturan kesehatan internasional dari WHO.26 Untuk melindungi moral publik (public moral). Negara harus menunjukkan bahwa pembatasan itu memang sangat penting bagi terpeliharanya nilai-nilai mendasar komunitas. Dalam hal ini negara memiliki diskresi untuk menggunakan alasan moral masyarakat. Namun klausul ini tidak boleh menyimpang dari maksud dan tujuan Kovenan Hak Sipol.. Untuk melindungi keamanan nasional (national security). Klausul ini digunakan hanya untuk melindungi eksistensi bangsa, integritas wilayah atau kemerdekaan politik terhadap adanya kekerasan atau ancaman kekerasan. Negara tidak boleh menggunakan klausul ini sebagai dalih untuk melakukan pembatasan yang sewenangwenang dan tidak jelas.27 Pembatasan dengan klausul ini juga tidak sah, jika tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkannya adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak berhubungan dengan keamanan nasional. Termasuk misalnya untuk melindungi suatu pemerintahan dari rasa malu akibat kesalahan yang dilakukan atau pengungkapan kesalahan yang dilakukan, atau untuk menutup-nutupi informasi tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi publiknya, atau untuk menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan kerusuhan industrial.28 Untuk melindungi keselamatan publik (public safety). Klausul ini digunakan untuk melindungi orang dari bahaya dan melindungi kehidupan mereka, integritas fisik atau kerusakan serius atas milik mereka. Klausul ini tidak bisa digunakan untuk pembatasan yang sewenang-wenang dan hanya bisa diterapkan jika ada perlindungan yang cukup dan pemulihan yg efektif terhadap penyalahgunaan pembatasan.29 Untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain (rights and freedom of others). Ketika terjadi konflik antar-hak, maka harus diutamakan hak dan kebebasan yang
24
Siracusa Principles, op.cit. (catatan kaki 20), paragraf 20—21. Ibid, paragraf 22—24. 26 Ibid, paragraf 25—26. 27 Ibid, paragraf 29—31. 28 Johanesburg Principles, op cit. (cat 22). 29 Siracusa Principle, op cit. (cat. 20), paragraf 33—34. 25
9
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 paling mendasar. Klausul ini tidak bisa digunakan untuk melindungi negara dan aparatnya dari kritik dan opini publik. 29. Selain itu Prinsip Siracusa juga kembali menekankan mengenai non-derogable rights, yaitu sejumlah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun, termasuk dalam keadaan darurat: “No state party shall, even in time of emergency threatening the life of the nation, derogate from the Covenant’s guarantees of the right to life; freedom from torture, cruel, inhuman or degrading treatment or punishment, and from medical or scientific experimentation without free consent; freedom from slavery or involuntary servitude; the right not to be imprisoned for contractual debt; the right not to be convicted or sentenced to a heavier penalty by virtue of retroactive criminal legislation; the right to recognition as a person before the law; and freedom of thought, conscience and religion. These rights are not derogable under any conditions even for the asserted purpose of preserving the life of the nation”
30. Selain dalam Prinsip Siracusa, pembatasan HAM juga diatur dalam Prinsip Johannesburg mengenai keamanan nasional, kebebasan berekspresi dan mendapatkan informasi. Dalam Prinsip 2 dinyatakan bahwa pembatasan hanya dapat dilakukan dengan alasan keamanan nasional untuk melindungi eksistensi Negara atau integritas wilayah atau menghadapi ancaman milter. Sedangkan Prinsip 3 menyatakan pada saat Negara dalam keadaan darurat yang dapat mengancam kehidupan dan eksistensi Negara, maka pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan mendapatkan informasi dapat dibatasi, tetapi hanya pada situasi tertentu, dan selama tidak bertentangan dengan kewajiban negara berdasarkan hukum internasional. 31. Tidak hanya Prinsip Siracusa dan Johannesburgh, ILO (International labour Organization) juga menopang prinsip-prinsip lain yang diberlakukan untuk keadaan darurat. ILO menentukan bahwa sehubungan dengan penghormatan atas kebebasan sipil yang sangat penting untuk efektifnya pelaksanaan hak-hak serikat pekerja (trade union rights), pemberlakuan keadaan darurat untuk membenarkan pembatasan yang diperlukan, hanya dapat dilakukan dalam hal-hal yang sangat ekstrim menyebabkan keadaan force majeure.30 32. Perihal hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun juga telah diadopsi dalam Pasal 28I UUD 1945. Beberapa hak tersebut antara lain: 1. Hak untuk hidup; 2. Hak untuk tidak disiksa; 3. Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani; 4. Hak beragama; 5. Hak untuk tidak diperbudak; 6. Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; dan 7. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku. 33. Sedangkan menurut Jimly Ashiddiqie, bahwa pendapat yang menyatakan dengan adanya Pasal 28J Ayat (2), sifat kemutlakan ketujuh jenis hak yang diatur dalam Pasal 28I Ayat (1) menjadi relative dan dapat dibatasi adalah suatu penafsiran yang terlalu dipaksakan. Hal ini dikarenakan secara sistematis karakteristik ketentuan yang dirumuskan dalam 30
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S. H., Hukum Tata Negara Darurat (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007), hal. 163
10
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 Pasal 28J memang berbeda dengan Pasal 28I. Pasal 28A sampai Pasal 28I merupakan rumusan tentang HAM, sedangkan Pasal 28J memuat mengenai kewajiban asasi manusia, bukan lagi berbicara tentang HAM. Pasal 28J UUD 1945 berisi dua ayat, yang pertama mengatur tentang kewajiban asasi setiap orang untuk menghormati hak asasi manusia orang lain, dan yang kedua mengenai pelaksanaan dan perwujudan hak dan kebebasan asasi manusia. Ketentuan mengenai mekanisme pelaksanaan perlindungan, penegakan dan penghormatan serta pemajuan dituangkan dalam bentuk perundang-undangan lainnya guna menjamin, mengatur atau bahkan membatasi dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi kewajiban masyarakat demokratis. Akan tetapi pembatasan tersebut tentunya tidak mengurangi ketujuh jenis HAM yang ditentukan oleh Pasal 28I Ayat (1) sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Sehingga meskipun terdapat keadaan perang ataupun keadaan lainnya, ketujuh hak tersebut dipandang sebagai sesuatu yang mutlak (Ashiddiqie, 2007). 34. Hingga saat ini, peraturan mengenai keadaan darurat yang masih digunakan adalah UU No. 23 Prp Tahun 1959 tentang Pencabutan UU No. 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya. Dimana undang-udang tersebut dibuat pada tahun tahun 1957 ketika Indonesia mengalami masa-masa genting. Hawa reformasi yang membawa perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia rupanya belum menyentuh aspek Negara dalam keadaan darurat. Sehingga peraturan perundangan yang memuat mengenai keadaan darurat masih menggunakan peraturan lama yang belum mengadopsi prinsip-prinsip dalam konvenan internasional seperti yang terdapat dalam ICCPR, Prinsip Siracusa, Prinsip Johannesburgh dan prinsip-prinsip dalam ILO.
Pelibatan Masyarakat Sipil dan Mobilisasi 35. Keadaan darurat, selain memperbolehkan adanya pembatasan HAM—kecuali untuk nonderegable rights—juga seringkali dijadikan alasan untuk melibatkan masyarakat dalam menghadapi ancaman yang menganggu eksistensi Negara. Beberapa Negara memprediksi memiliki ancaman langsung dari Negara tetangga (misalnya Korea Utara dan Selatan) melakukan wajib militer untuk warganegaranya dalam upaya pembelaan Negara. Selain Korea, Singapura yang merupakan Negara kecil dan berada di posisi yang sangat strategis juga melakukan wajib militer. Beberapa Negara di dunia telah menyiapkan cadangan Negara dalam berbagai sistem dan bentuk untuk menghadapi ancaman yang datang dari luar. 36. Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008 juga menyatakan bahwa fungsi pertahanan Indonesia diselenggarakan dengan sistem pertahanan semesta. Pertahanan Negara pada hakikatnya merupakan segala pertahanan bersifat semesta, yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran akan hak dan kewajiban seluruh warga Negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri untuk mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Kesemestaan mengandung makna pelibatan seluruh rakyat dan segenap sumber daya nasional, sarana dan prasarana nasional, serta seluruh wilayah Negara sebagai satu kesatuan pertahanan yang utuh dan menyeluruh. Sistem pertahanan Negara yang bersifat semesta bercirikan kerakyatan, kesemestaan dan kewilayahan. Ciri kerakyatan mengandung makna bahwa orientasi 11
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 pertahanan diabdikan oleh dan untuk kepentingan seluruh rakyat. Ciri kesemestaan mengandung makna bahwa seluruh sumber daya nasional didayagunakan bagi upaya pertahanan. Ciri kewilayahan merupakan gelar kekuatan pertahanan yang tersebar di seluruh wilayah NKRI, sesuai dengan kondisi geografi sebagai satu kesatuan pertahanan. 37. Doktrin Sistem pertahanan semesta ini mendapat legalisasi31 dari konstitusi Indonesia. Dalam perubahan kedua, Pasal 30 UUD 1945 tidak hanya menegaskan doktrin pertahanan semesta, tetapi juga menyatakan bahwa TNI dan POLRI sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. Pada ayat (5) Pasal 30 UUD 1945 dinyatakan bahwa syarat-syarat keikutsertaan warga Negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara diatur dalam undang-undang.32 Sebelumnya pasal 30 hanya berisi dua ayat. Ayat pertama mengatur mengenai hak dan kewajiban bela Negara, sedangkan ayat kedua memberi wewenang atribusi kepada peraturan lain di bawah UUD 1945 untuk mengatur implementasi dari bela Negara. 33 38. Pengalaman perang dan operasi militer Indonesia yang lebih banyak mengandalkan matra darat dengan konsep man power, membuat TNI menilai bahwa doktrin pertahanan rakyat semesta yang merupakan total defence masih relevan untuk diterapkan. Di lain pihak, keberadaan doktrin sistem pertahanan semesta dalam Undang-undang Dasar 1945 dianggap sebagian pihak mengancam posisi masyarakat sipil. Konsep partisipasi rakyat dalam sistem pertahanan semesta dikhawatirkan membuat hilangnya pembedaan antara warga sipil dan kombatan. Hal ini dianggap berakibat kepada tidak adanya perlindungan terhadap warga sipil dalam kondisi perang (Siahaan, 2004). Keberadaan doktrin ini dinilai berbenturan dengan Konvensi Geneva 1949 yang sudah diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang No 59 tahun 1958 (Vanya, 2010). 39. Penafsiran terhadap Sishanta sendiri memang masih menjadi perdebatan. Beberapa pendapat menyatakan ada kerancuan berpikir dalam memahami Sishanta yang seharusnya dimaknai sebagai total defence bukan total people defence (people war). Apabila istilah manunggal dengan rakyat juga diartikan bahwa rakyat dan tentara bisa perang bersama, hal ini berarti mengaburkan status kombatan dan nonkombatan. Antara 31
Pasal 4 ayat (1) UU 20/1982 menyatakan: “Hakekat pertahanan keamanan Negara adalah perlawanan rakyat semesta, yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran akan tanggung jawab tentang hak dankewajiban warga Negara serta berdasarkan keyakinan akan keuaktan sendiri, keyakinan akan kemenangan dan tidak megenal menyerah baik penyerahan diri maupun penyerahan wilayah.” 32 Pasal 30 UUD 1945 (hasil perubahan kedua) berbunyi: (1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. (2) Untuk pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. (3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. (4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. (5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang. 33 Pasal 30 UUD 1945 (naskah asli): (1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara. (2) Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan Undang-undang.
12
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 rakyat dan tentara regulernya sama saja, dua-duanya menjadi sah untuk menjadi sasaran tembak oleh musuh. Seharusnya di masa perang, rakyat mesti dilindungi. Sishanta dalam konteks ini seharusnya diterjemahkan bagaimana cara negeri kita menghadapi ancaman khususnya dari luar, dengan mensyaratkan integrasi antar komponen utama dan cadangan dan komponen bangsa lainnya. Berkembangnya bentuk ancaman di era globalisasi membuat sistem pertahanan Indonesia semestinya diperkuat dengan lebih memperhatikan perbaikan alutsista TNI dan perlindungan batas wilayah kelautan Indonesia (Putranto, 2009). 40. Meski pelibatan rakyat dalam upaya bela Negara masih menjadi perdebatan, namun UU 3/2002 kembali mengadopsi pelibatan rakyat melalui suatu mekanisme cadangan pertahanan Negara yang dibagi menjadi komponen cadangan dan komponen pendukung. Konsep komponen cadangan yang dijabarkan dalam Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008 banyak mengadopsi muatan UU 56/1999 tentang Rakyat Terlatih. Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008 kembali menegaskan keberadaan komponen cadangan dan komponen pendukung sebagai bagian dari penguatan postur pertahanan Indonesia. Kekuatan pertahanan Indonesia yang memadukan pertahanan militer dan nirmiliter, memasukan komponen cadangan dan pendukung ke dalam pertahanan nirmiliter. Dalam menghadapi ancaman nirmiliter, pengorganisasian pertahanan nirmiliter disusun ke dalam pertahanan sipil untuk mencegah ancaman yang berdimensi ideology, politik, ekonomi, sosial budaya, dan teknologi. Sedangkan dalam menghadapi ancaman militer, pertahanan nirmiliter diorganisasikan ke dalam komponen cadangan dan komponen pendukung yang dipersiapkan untuk menjadi pengganda komponen utama. 41. Meskipun komponen cadangan dibantah sebagai wajib militer namun nuansa ‘daya paksa’ yang ada dalam rumusannya, pada akhirnya tidak mampu melepaskan konsep komponen cadangan dari ketentuan yang ada dalam Pasal 8 ICCPR yang mengatur mengenai larangan kerja paksa. Meskipun melarang perbudakan dan kerja paksa, Pasal 8 ICCPR masih memberikan toleransi terhadap kerja paksa atau kerja wajib (termasuk di dalamnya wajib militer) yang ditujukan untuk kepentingan Negara sesuai dengan peraturan perundang-undanga yang berlaku di Negara tersebut. Akan tetapi toleransi yang diberikan dalam Pasal 8 ICCPR dirasakan banyak pihak dapat mengancam hak mereka untuk memilih berdasarkan pikiran, keyakinan dan agamanya. 42. Oleh karena itu, dalam Komentar Umum No. 22 Komentar Umum ICCPR, komite mengatakan bahwa banyak individu yang menyatakan adanya hak untuk menolak melakukan wajib militer dengan alasan bahwa hak tersebu berasal dari kebebasan mereka berdasarkan Pasal 18. Berkaitan dengan hal tersebut, semakin banyak Negara telah menetapkan dalam hukum mereka tentang pengecualian dalam wajib militer bagi warga Negara yang benar-benar menganut agama atau kepercayaan lain yang melarang keterlibatan dalam wajib militer dan mengganti hal tersebut dengan bentuk kewajiban nasional alternative. 43. Menanggapi hal ini, Komisi Tinggi HAM PBB mengeluarkan Resolusi 1998/77 yang memuat mekanisme penolakan warga Negara atas wajib militer yang dikenal dengan conscientious Objection. Dalam Resolusi 1998/77 Komisi HAM PBB menekankan agar negara harus mengambil setiap tindakan yang perlu untuk menahan diri (to refrain) dari pengecaman dan mekanisme penghukuman terhadap para Conscientious Objector karena pengabaian melakukan wajib militer (failure to perform military service). Sedangkan bagi negara-negara yang belum mengatur perihal conscientious objection namun 13
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 memiliki peraturan perundang-undangan mengenai sistem wajib militer (system of compulsory military service, Resolusi 1998/77 Komisi HAM PBB merekomendasikan untuk memberikan dinas pengganti (alternative service) wajib militer yang sesuai bagi pengguna conscientious objection, non-kombatan atau penduduk sipil dalam kepentingan publik (public interest) dan bukan sebagai dasar penghukuman (Vanya, 2010). Dalam memberlakukan wajib militer negara harus memberikan kesempatan bagi warga negara yang memiliki keyakinan yang tidak sesuai dengan wajib militer untuk menjalankan dinas sipil alternative dengan memenuhi hal-hal sebagai berikut : 1. Informasi mengenai status dari conscientious objection serta cara-cara untuk memperoleh status tersebut haruslah dapat tersedia kepada semua orang yang dikenakan wajib militer dalam angkatan bersenjata. 2. Individu diijinkan untuk mendaftarkan dirinya sebagai conscientious objection setiap waktu baik sebelum, selama atau sesudah mereka melaksanakan wajib militer atau pelaksanaan dinas militer. 3. Dinas alternatif secara jelas merupakan dinas sipil dan jangka waktu dinas tidak dipertimbangkan sebagai penghukuman (punitive). 44. Persoalan lain terkait dengan pelibatan masyarakat sipil adalah adanya kemungkinan masyarakat sipil yang telah dilatih untuk dimobilisasi dalam keadaan darurat. Mobilisasi masyarakat sipil dikhawatirkan dapat melanggar hak-hak masyarakat, selain juga dapat bertentangan dengan beberapa prinsip-prinsip internasional, terutama prinsip jenewa yang memuat mengenai ‘prinsip pembeda’ pada saat keadaan perang. 45. Prinsip pembedaan (distinction principle) merupakan suatu prinsip yang membedakan atau membagi kategori penduduk dari suatu negara yang sedang berperang, atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata dalam dua golongan, yakni kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan. Dalam pelaksanaannya, prinsip pembedaan dijabarkan lebih jauh ke dalam sejumlah asas pelaksanaan (principles of application), yakni: a. Pihak-pihak yang bersengketa, setiap saat, harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan objek-objek sipil. b.Penduduk sipil, demikian pula orang sipil secara perorangan, tidak boleh dijadikan objek serangan, walaupun dalam hal pembalasan (reprisals). c. Tindakan maupun ancaman kekerasan yang tujuan utamanya untuk menyebarkan teror terhadap penduduk sipil adalah dilarang. d.Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau, setidaktidaknya, untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tak disengaja menjadi sekecil mungkin. e. Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh (Hamid, 2005 melalui Vanya, 2010). 46. Langkah lebih maju ditempuh dengan lahirnya Konvensi jenewa 1949. Meskipun tidak secara terang-terangan menggunakan istilah kombatan dan non kombatan, tetapi dalam Pasal 13 Konvensi Jenewa 1949 telah dikenal adanya pembedaan antara beberapa golongan yang berhak mendapat pertolongan pada masa perang. Beberapa golongan tersebut diantaranya:
14
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 1. Anggota-anggota angkatan perang dari suatu Pihak dalam sengketa, begitu pula anggota-anggota milisi atau barisan sukarela,yang merupakan bagian dari angkatan perang itu; 2. Anggota-anggota milisi serta anggota-anggota dari barisan sukarela lainnya termasuk gerakan perlawanan yang diorganisir, yang tergolong pada suatu Pihak dalam sengketa dan beroperasi didalam atau diluar wilayah mereka, sekalipun wilayah itu diduduki, asal saja milisi atau barisan sukarela tersebut, termasuk gerakan perlawanan yang diorganisir, memenuhi syarat-syarat berikut : a dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya; b mempunyai tanda pengenal khusus yang tetap yang dapat dikenal dari jauh; c membawa senjata terng-terangan; d melakukan operasi-operasi mereka sesuai dengan hukum-hukum dan kebiasaankebiasaan perang.; 3. Anggota-anggota angkatan perang reguler tunduk pada suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui Negara Penahan; 4. Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya menjadi anggota dari angkatan perang itu,seperti anggota sipil awak pesawat terbang militer, wartawan perang, pemasok perbekalan, anggota-anggota kesatuan kerja atau dinasdinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, asal saja mereka telah mendapat pengesahan dari angkatan perang yang mereka sertai; 5. Anggota awak kapal pelayaran niaga termasuk nahkoda,pemandu laut,taruna,dan awak pesawat terbang sipil dari Pihak-pihak dalam sengketa, yang tidak mendapat perlakuan yang lebih menguntungkan menurut ketentuan-ketentuan lain apapun dalam hukum internasinal. 6. Penduduk wilayah yang belum diduduki yang tatkala musuh mendekat, atas kemauan sendiri dan dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan pasukan-pasukan yang menyerebu, tanpa mempunyai waktu untuk membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata antara mereka yang teratur,asal saja mereka membawa senjata secara terang-terangan dan menghormati hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang. 47. Konvensi Jenewa 1949 memang tidak serta merta menyebut kombatan, tetapi rumusan yang ada dalam Pasal 13 menyiratkan bahwa orang-orang non militer tetapi berada di bawah tanggung jawab angkatan perang tersebut, maka dipersamakan dengan angkatan perang. Lebih lanjut mengenai prinsip pembedaan yang ada dalam Konvensi Jenewa 1949, Protokol - I yang merupakan Protokol Tambahan pada Konvensi-Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, dan yang Berhubungan dengan Korban-Korban Sengketa-Sengketa Bersenjata Internasional, telah menggunakan istilah kombatan. 48. Secara khusus, dalam Bagian II Protokol – I diatur mengenai kombatan dan tawanan perang. Pasal 43 Protokol – I menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kombatan adalah angkatan perang Pihak yang bersengketa dan kelompok-kelompok yang berada di bawah komnado penanggungjawab angkatan perang. Tidak termasuk dalam kombatan mereka yang berada dalam tanggung jawab komandan angkatan perang tetapi bertugas sebagai rohaniawan dan petugas kesehatan. 49. Pasal 44 Protokol -1 ini selanjutnya menambahkan bahwa apabila mereka yang berstatus kombatan jatuh ke wilayah musuh, maka mereka akan menjadi tawanan perang dan harus diperlakukan sesuai dengan prinsip-prinsip tawanan perang. Pasal 44 juga dengan tegas
15
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 meminta kepada para kombatan untuk membedakan diri dari masyarakat sipil, baik berupa seragam, ataupun lambang. 50. Perlindungan terhadap masyarakat sipil dalam konflik militer juga terdapat dalam Resolusi 1674/2006 yang dikeluarkan oleh Security Council United Nations. Selain kembali menyerukan perdamaian dan mengingatkan bahwa perdamaian dan keamanan, pembangungan dan hak asasi manusia adalah fondasi untuk keamanan kolektif—Resolusi ini juga mengingatkan perlindungan terhadap masyarakat sipil, termasuk pengungsi, khususnya anak-anak dan perempuan. Resolusi ini memberikan penghormatan yang mendalam terhadap hak-hak masyarakat sipil dalam konflik militer. Resolusi 1674/2006 juga meminta komitmen Negara untuk bertanggung jawab, menghormati dan melindungi masyarakat sipil dalam konflik militer dari penyiksaan, diskriminasi jender dan kekerasan seksual, kekerasan terhadap anak-anak, perekrutan dan penggunaan tentara anak-anak, dan perdagangan manusia.
16
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 BAB II PANDANGAN TENTAN RUU KEAMANAN NASIONAL Tentang Konsep Keamanan Nasional 51. Definisi Keamanan Nasional dalam Pasal 1 angka 1 adalah: “Keamanan Nasional merupakan kondisi dinamis bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjamin keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan warga negara, masyarakat, dan bangsa, terlindunginya kedaulatan dan keutuhan wilayah negara, serta keberlangsungan pembangunan nasional dari segala Ancaman.”
Penggunaan “kondisi dinamis” dalam definisi Keamanan Nasional ini rancu dan tidak jelas sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan multitafsir. Kerancuan istilah “kondisi dinamis” juga dikhawatirkan dapat disalahgunakan. Dengan demikian, perlu dijabarkan lebih lanjut mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan ‘kondisi dinamis’. Penggunaan istilah “kondisi dinamis” juga ditemukan dalam beberapa definisi lainnya, antara lain Pasal 1 angka 4, 5, 6 dan 7. 52. Pasal 1 angka 6 menyatakan: “Keamanan ke Dalam adalah kondisi dinamis yang menjamin tetap tegaknya kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dan penegakan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Ancaman dalam negeri dalam rangka terciptanya Keamanan Nasional.”
Jika yang dimaksud dengan “Keamanan ke Dalam” adalah “Keamanan dalam Negeri”, sebaiknya langsung saja digunakan istilah “Keamanan dalam Negeri” agar menjadi jelas bahwa “Keamanan dalam Negeri” adalah tanggung jawab Polri, dimana setiap ancaman yang datang harus dihadapi dengan menggunakan penegakan hukum. 53. Pasal 1 angka 7: “Keamanan ke Luar adalah kondisi dinamis yang menjamin tetap tegaknya kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Ancaman luar negeri dalam rangka terciptanya Keamanan Nasional”
Jika yang dimaksud “Keamanan ke Luar” adalah “Pertahanan”, sebaiknya langsung saja digunakan istilah “Pertahanan” untuk membedakan dengan “Keamanan dalam Negeri” dan “Keamanan Nasional”. Hal ini dikarenakan jika nantinya disahkan RUU Keamanan Nasional akan mengikat seluruh warganegara Indonesia. Oleh karenanya penting digunakan istilah-istilah yang mudah dipahami masyarakat dan dilakukan harmonisasi sejumlah istilah dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada (misalnya UU 3/2002 tentang Pertahanan). 54. Selain menggunakan istilah “Keamanan ke Dalam” dan “Keamanan ke Luar”, digunakan juga istilah “Keamanan Publik” pada Pasal 1 angka 5 yang memuat mengenai keamanan dan ketertiban masyarakat (hampir mirip dengan “Ketertiban Umum”). Namun dalam Pasal 28 dan 29 digunakan juga istilah “Keamanan Umum” dan “Ketertiban Umum” 17
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 dalam status hukum tertib sipil dan keadaan darurat sipil. Namun RUU tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “Keamanan Umum” dan “Ketertiban Umum” pada saat tertib sipil dan darurat sipil. RUU ini menggunakan terlalu banyak istilah mengenai “Kemanan” yang rancu dan dapat menimbulkan penafsiran yang luas. Dimana setiap penafsiran sangat mungkin menimbulkan konsekuensi, dampak dan tindakan yang berbeda. 55. Sedangkan terkait dengan “Keamanan Insani” didefinisikan sebagai: “Keamanan Insani adalah kondisi dinamis yang menjamin terpenuhinya hak-hak dasar setiap individu warga negara untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai Ancaman dalam rangka terciptanya Keamanan Nasional” Diadopsinya konsep “Keamanan Insani” dalam RUU Keamanan Nasional sebenarnya merupakan satu langkah maju, dimana terjadi pergeseran paradigma dalam memahami “Keamanan” yang semula hanya terbatas pada “Kemanan” tradisional. Namun “kondisi dinamis” yang dimaksud dalam rumusan ini perlu diperjelas, agar tidak rancu. Namun sebagaiman definisi “Keamanan Insani” dalam perkembangan Internasional, maka baik kiranya jika ditambahkan bahwa “Keamanan Insani” juga menjamin kemampuan seseorang untuk mendapatkan perlindungan bukan hanya dalam rangka terciptanya “Keamanan Nasional” tetapi juga dalam upaya bertahan hidup dan mendapatkan kesejahteraan. Hal ini dirasa perlu untuk menegaskan kembali bahwa “Keamanan Insani” berpusat pada manusia dan segala upaya untuk menjamin keselamatannya. 56. Sedangkan dalam Pasal 6 dinyatakan: “Keamanan Insani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a diwujudkan melalui berbagai upaya terpadu dengan melibatkan masyarakat dalam meningkatkan kesadaran hukum warga negara, dan penegakan hukum untuk melindungi dan menghormati hak-hak dasar kehidupan manusia serta pemenuhan kebutuhan insani demi terpeliharanya keselamatan segenap bangsa” Penjelasan Pasal 6 menyatakan: “Yang dimaksud dengan “substansi dasar kehidupan manusia” yaitu perlindungan untuk hidup, untuk tidak di siksa, untuk mendapatkan kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, untuk beragama, untuk tidak diperbudak, untuk diakui sebagai pribadi, dan persamaan di hadapan hukum. Termasuk perlindungan dari bencana alam, bencana kelaparan, kemiskinan, kejahatan, dari tekanan fisik maupun moril yang luar biasa”
Rumusan mengenai “Keamanan Insani” menunjukan bahwa pembuat undang-undang masih memahami “Kemanan Insani” tidak lebih penting daripada eksistensi bangsa dan Negara. Konsep Keamanan Insani yang berpusat pada “manusia” belum menjadi bagian penting dalam RUU Keamanan Nasional ini. Dalam berbagai kajian internasional “Keamanan Insani” meliputi pula Kemanan dalam hal pangan, ekonomi, personal, komunitas, lingkungan, kesehatan dan budaya. Dimana hal tersebut menyiratkan bahwa “Keamanan Insani” menyangkut terpenuhi hak sipil politik (sipol) dan hak ekonomi sosial budaya (ekosob), tidak hanya terbatas pada hak dasar sebagaimana yang ada dalam penjelasan Pasal 6. 57. Begitu juga pada Pasal 16 yang berbicara mengenai spectrum ancaman:
18
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 (1) Spektrum Ancaman dimulai dari Ancaman paling lunak sampai dengan Ancaman paling keras yang bersifat lokal, nasional, dan internasional dengan berbagai jenis dan bentuknya. (2) Sasaran Ancaman terdiri atas: a. bangsa dan negara; b. keberlangsungan pembangunan nasional; c. masyarakat; dan d. insani. Rumusan ini memperlihatkan bahwa ancaman terhadap manusia, bahkan tidak lebih mendesak jika dibandingkan dengan keberlangsungan pembangunan nasional. Dengan rumusan seperti ini jika kemudian perwujudan “Keamanan Insani” dapat mengancama bangsa dan Negara serta keberlangsungan pembangunan nasional, maka “Keamanan Insani” dapat diabaikan. 58. Begitu juga dengan Pasal 2 yang memuat mengenai Hakikat, Pasal 3 mengenai Tujuan dan Pasal 4 mengenai Fungsi Keamanan Nasional masih sangat berorientasi pada keamanan wilayah dan eksistensi Negara. Artinya, meskipun konsep “Keamanan Insani” telah diadopsi, namun belum ingin dijalankan sepenuh hati. Keamanan dan keselamatan manusia sebagai entitas terpenting dalam suatu Negara belum dilihat penting dan mendesak. Dengan kondisi demikian, sangat mungkin untuk tidak memprioritaskan keamanan dan keselamatan manusia atas nama “Keamanan Nasional” ataupun “Kepentingan Nasional”34. Jika memang demikian, maka dapat dikatakan bahwa pardigma “Keamanan Nasional” yang ada sekarang belum banyak mengalami perubahan dan belum sesuai dengan nilai-nilai HAM. 59. Paradigma Keamanan yang berpusat pada Keamanan wilayah ini juga terlihat ketika mendefinisikan ancaman. Dalam Pasal 1 angka 2: “Ancaman adalah setiap upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang dinilai dan/atau dibuktikan dapat membahayakan keselamatan bangsa, keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kepentingan nasional di berbagai aspek, baik ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan dan keamanan” Keamanan dan keutuhan wilayah NKRI tetap dinilai yang paling penting, bahkan dalam definisi “Ancaman” tidak ada satu pun klausul yang mengacu pada ancaman terhadap individu/insani. Terutama jika menilik bahwa definsi ancaman begitu luas termasuk juga ideologi. Rumusan seperti ini juga berpotensi mengancam “Kemanana Insani” terutama yang terkait dengan kebebasan berfikir dan menyatakan pendapat. Warganegara justru bisa terancam oleh Negara.
Tentang Pembatasan HAM dalam Keadaan Darurat 60. Dalam RUU Keamanan Nasional tidak ditemukan definisi mengenai Keadaan Darurat. Namun dalam Pasal 10 ditemukan beberapa istilah yang berhubungan dengan Keadaan Darurat: Status keadaan Keamanan Nasional berkaitan dengan status hukum tata laksana pemerintahan yang berlaku meliputi: 34
Dalam penjelasan Pasal 3: “Yang dimaksud dengan “kepentingan nasional” yaitu tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta terjaminnya kelancaran dan keamanan pembangunan nasional yang berkelanjutan guna mewujudkan tujuan pembangunan dan tujuan nasional
19
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 a. tertib sipil; b. darurat sipil; c. darurat militer; dan d. perang.
61. Definisi mengenai Keadaan Darurat perlu diperjelas terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan, status Keadaan Darurat menimbulkan beberapa konsekuensi dan legalisasi tindakantindakan yang diperlukan untuk menanggulangi Keadaan Darurat. Perumusan mengenai Keadaan Darurat harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 4 ICCPR, seperti: 1) Keadaan Darurat harus diumumkan terlebih dahulu, 2) Langkah yang diambil memang sangat diperlukan, 3) Langkah yang diambil tidak bertentangan dengan kewajiban lain berdasarkan hukum internasional, 4) Langkah yang diambil tidak menyebabkan terjadinya diskriminasi, 5) Hak asasi manusia yang termasuk dalam non derogbles rights tidak boleh dikurangi meski dalam keadaan darurat, 6) Negara harus melaporkan langkah yang diambil dan alasannya kepada Sekjen PBB. 62. Selain itu pembatasan HAM yang dilakukan dalam setiap tingkatan status Keadaan Darurat disesuaikan dengan Prinsip Siracusa yang mengatur mengenai pembatasan HAM dalam Keadaan Darurat, Prinsip Johannesburg yang memuat tentang Keamanan Nasional, kebebasan ekspresi dan mendapatkan informasi dan prinsip di dalam ILO yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak pekerja dalam Keadaan Darurat. Sedangkan untuk hak-hak yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights) harus disebutkan secara khusus, sesuai dengan Pasal 28I UUD 1945. 63. Terkait dengan status Darurat Militer, Pasal 14: (1) Status hukum keadaan darurat militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c diberlakukan apabila terjadi kerusuhan sosial yang disertai tindakan anarkistis masif atau pemberontakan dan/atau separatis bersenjata, yang mengakibatkan Pemerintah sipil tidak berfungsi dan membahayakan kedaulatan negara, disintegrasi bangsa dan keselamatan bangsa di sebagian wilayah atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) Pemberlakuan status hukum darurat militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila keadaan tidak dapat ditanggulangi dengan cara yang dilaksanakan pada keadaan darurat sipil.
Rumusan Pasal 14 mengenai kerusauhan yang disertai tindakan anarkistis massif terlalu luas. Tentu menjadi pertanyaan, ukuran apa yang digunakan untuk menyatakan suatu tindakan sebagai tindakan anarkistis massif? Dalam hukum Internasional dikenal adanya istilah non-international armed conflict, yang melibatkan milter dalam penanggulangan ancaman dalam negeri. Namun, non-international armed conflict harus dibedakan dengan gangguan kekerasan berdarah yang bersifat internal (internal disturbances) dalam suatu Negara yang mungkin saja menggunakan senjata tertentu. Untuk dikategorikan sebagai a non international armed conflict, pertempuran atau konflik bersenjata harus mencapai level of intensity tertentu dan melampui jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, gerakan perlawanan internal yang menyebabkan timbulnya korban, tidak dapat dianggap sebagai suatu konflik bersenjata dalam pengertian yuridis menurut hukum internasional. Misalnya, kerusuhan, unjuk rasa, gerakan perjuangan atau perlawanan terhadap penguasa
20
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 yang zhalim dan sebagainya tidak dapat dikategorikan sebagai konflik bersenjata atau ‘armed conflict’.35 64. Masih terkait dengan Pasal 14, harus dijelaskan mengenai kedudukan masyarakat sipil yang berada dalam wilayah darurat militer namun tidak memiliki keterkaitan dengan para kelompok bersenjata. Masyarakat sipil juga harus dibebaskan jika memilih keluar dari wilayah darurat militer dan mengungsi ke tempat lain. Penguasa Militer tidak dapat menahan seseorang dalam suatu wilayah yang dapat membahayakan keselamatan jiwanya.36 Perlindungan masyarakat sipil menjadi sangat penting mengingat dalam Pasal 44 ayat (4) RUU Kemanan Nasional ini dinyatakan: “Dalam penyelenggaraan darurat militer seluruh elemen masyarakat harus mendukung sesuai kompetensinya” . Dalam hal ini perlindungan terhadap masyarakat sipil yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan kerusuhan sosial ataupun gerakan perlawanan menjadi tidak jelas. Jika demikian, maka hal ini justru bertentangan dengan konsep “Keamanan Insani” yang menekankan pada kebebasan dan keamanan individu.
65. Selain itu perlu juga diperjelas mengenai hukum yang berlaku. Apakah pada saat darurat militer diberlakukan, maka berlaku pula hukum militer? Bagaimana dengan kedudukan pengadilan? Apakah yang berfungsi pada saat darurat militer adalah pengadilan militer? Ataukah pengadilan sipil dan pengadilan militer berjalan secara pararel sebagaimana kondisi normal? Kedudukan hukum dan lembaga peradilan dalam Keadaan Darurat sangat berkaitan dengan HAM, khususnya hak untuk memperoleh keadilan dan mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum. 66. Terkait dengan darurat perang, Pasal 15: (1) Status hukum keadaan perang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d merupakan kedaruratan yang diberlakukan secara nasional, apabila negara terancam menghadapi kemungkinan perang dengan negara asing. (2) Status hukum keadaan perang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan di sebagian atau seluruh wilayah nasional.
Dalam Keadaan Darurat Perang perlu dipertegas kembali mengenai hak-hak yang tidak boleh dikurangi dalam situasi apapun. Penting juga ditegaskan kembali mengenai prinsip pembeda antara sipil dan militer. Sehingga hak-hak masyarakat sipil dapat dilindungi.
Tentang Pelibatan Masyarakat Sipil dan Mobilisasi 67. Pelibatan masyarakat sipil dalam RUU Keamanan Nasional diatur dalam Pasal 31 dan 32: Pasal 31 (1) Pelibatan unsur Keamanan Nasional dalam Sistem Keamanan Nasional meliputi unsur utama dan unsur pendukung.
35
Asshiddiqie, op. cit., 195 Dalam Pasal 29 Perpu 23/1959 dinyatakan bahwa Penguasa Darurat Militer dapat menahan seseorang untuk tidak meninggalkan wilayah darurat militer jika keberadaannya memang diperlukan. 36
21
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 (2) Unsur utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unsur Keamanan Nasional yang terkait dan bertanggung jawab langsung di dalam menanggulangi jenis dan bentuk Ancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2). (3) Unsur pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemberi bantuan guna mendukung kebutuhan unsur utama di dalam menanggulangi jenis dan bentuk Ancaman yang sedang dihadapi. (4) Setiap Kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian memberikan bantuan sesuai fungsinya kepada unsur utama dalam penyelenggaraan Keamanan Nasional. (5) Penentuan unsur utama dan unsur pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan spektrum, jenis, dan bentuk Ancaman. (6) Penentuan unsur utama dan unsur pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Presiden. Pasal 32 (1) Masyarakat dapat dilibatkan dalam penyelenggaraan Keamanan Nasional. (2) Pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menghadapi Ancaman Militer diselenggarakan melalui komponen cadangan dan komponen pendukung. (3) Pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menghadapi Ancaman bersenjata membantu unsur utama dalam memberikan informasi yang dibutuhkan. (4) Pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menghadapi Ancaman Tidak Bersenjata membantu unsur utama sesuai kebutuhan dan kemampuan.
68. Dalam Pasal 31 dikenal adanya istilah unsur pendukung selain unsur utama (TNI). Unsur pendukung merupakan pintu masuk konsep komponen cadangan dan komponen pendukung yang dimuat dalam Pasal 32. Dalam penjelasan Pasal 32 ayat (2) dijelaskan: Yang dimaksud dengan “Komponen Cadangan”, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama. Yang dimaksud dengan “Komponen Pendukung”, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.
69. Pada dasarnya pemberlakuan ‘cadangan pertahanan’ Negara memang dianut oleh beberapa Negara di dunia. Meskipun komponen cadangan dibantah sebagai wajib militer namun aspek ‘wajib’ yang menjadi ketentuan dari komponen cadangan menyebabkan banyak kalangan yang menyamakan komponen cadangan dengan wajib militer. Terkait dengan hal ini terdapat beberapa kecenderungan utama mengapa negara-negara itu masih melibatkan masyarakatnya sebagai kekuatan cadangan baik itu yang bersifat wajib (wamil) maupun sukarela yakni pertama kekuatan cadangan biasanya ada di negaranegara adidaya ataupun negara-negara besar yang ingin memiliki pengaruh kuat secara politik maupun ekonomi ditingkatan global. Kedua, pelibatan masyarakat sebagai cadangan biasanya diterapkan di negara-negara yang secara geopolitik dan geostrategis 22
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 mereka merasa terancam secara nyata atas kondisi kawasan yang ada, seperti Israel, Korea Selatan ataupun Singapura. Ketiga, pelibatan kekuatan cadangan yang bersifat wajib (wamil) maupun sukarela kecenderungannya digunakan di negara-negara yang struktur geografinya adalah negara daratan bukan kepulauan (maritim). Keempat, pelibatan masyarakat sebagai kekuatan cadangan baik itu yang bersifat wajib maupun sukarela biasanya diterapkan di negara-negara yang perekonomiannya relative maju, mengingat penerapan wamil tentunya membutuhkan dukungan anggaran. Kelima, ada juga yang beranggapan bahwa wamil biasanya diterapkan dinegara-negara antidemokrasi yakni negara komunis, fasis maupun negara semi-demokrasi, semisal Korea Utara, Jerman masa Hitler dan Malaysia (Al Araf, 2009). 70. Istilah cadangan pertahanan sendiri sangat beragam. Amerika dan Inggris menggunakan istilah reserve yang kemudian dibedakan menjadi: (1) regular forces dan (2) reserve forces. Sedangkan Canada menggunakan istilah militia. India dan Filiphina memilih istilah paramilitia untuk menyebut cadangan pertahanan mereka. Perbedaan istilah ini bukan tanpa tujuan. Istilah militia atau paramilitia digunakan karena ketiga negara tersebut menggunakan komponen cadangan nasional mereka untuk mengatasi counterinsurgency. Dari segi tugas dan fungsinya, mayoritas negara di dunia membagi fungsi komponen cadangan menjadi dua: (1) fungsi mobilisasi, dan (2) fungsi non mobilisasi. Sedangkan dalam RUU Keamanan Nasional, nuansa mobilisasi komponen cadangan sangat kentara. (Pro Patria, 2003) 71. Perbandingan lain yang menjadi sangat mencolok antara penerapan komponen cadangan di beberapa negara di dunia dengan RUU Keamanan Nasional adalah mengenai subjek komponen cadangan. Sebagian besar negara di dunia hanya berpusat pada human resource, sedangkan rumusan komponen cadangan yang ada dalam UU 3/2002 dan RUU Keamanan Nasional adalah juga menyangkut benda (sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana). Hal ini memicu ketakutakan publik, dikarenakan Indonesia memiliki sejarah pengambilalihan hak milik masyarakat untuk alasan kepentingan militer yang hingga saat ini masih banyak kasus yang belum terselesaikan. Dimasukannya benda-benda yang dibutuhkan militer ke dalam komponen cadangan tentu sulit untuk diawasi, sehingga rentan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat khususnya yang menyangkut hak milik. 72. Selain itu, RUU Keamanan Nasional juga belum memuat ketentuan Resolusi 77/1998 Komisi HAM PBB mengenai conscientious objection, dimana warganegara berhak untuk menolak menjadi Komponen Cadangan apabila bertentangan dengan keyakinan, kebebasan berfikir dan hati nuraninya. Lebih jauh RUU Keamanan Nasional ini juga semestinya mencantumkan dengan jelas status Komponen Cadangan yang telah dimobilisasi, apakah berstatus sebagai kombatan ataukah non-kombatan? Hal ini sesuai dengan Protokol II Konvensi Jenewa. 73. Dalam Pasal 47 ayat (5) dinyatakan: “Seluruh kekuatan Tentara Nasional Indonesia dan kekuatan nasional lainnya digunakan untuk perang melalui mobilisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Ketentuan mengenai mobilisasi ini harus dijelaskan dengan baik agar tidak bertentangan dengan prinsip pembeda yang ada dalam Konvensi jenewa dan perlidungan masyarakat sipil dalam konflik militer yang dimuat dalam Resolusi 1674/2006. Mobilisasi yang dilakukan selayaknya tetap menempatkan masyarakat sipil sebagai pihak yang turut serta dalam konflik militer dan harus mendapatkan perlindungan, khususnya untuk perempuan dan anak-anak. Sedangkan RUU Keamanan Nasional ini sendiri tidak memberikan definisi yang jelas mengenai mobilisasi dan siapa saja akan dimobilisasi. 23
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 Tentang Dewan Keamanan Nasional 74. Dewan Keamanan Nasional diatur dalam Pasal 24: Dewan Keamanan Nasional mempunyai tugas: a. merumuskan ketetapan kebijakan dan strategi Keamanan Nasional; b. menilai perkembangan kondisi Ancaman yang bersifat potensial dan aktual serta kondisi Keamanan Nasional sesuai dengan eskalasi Ancaman; c. menetapkan unsur utama dan unsur pendukung penyelenggaran Keamanan Nasional sesuai dengan eskalasi Ancaman; d. mengendalikan penyelenggaraan Keamanan Nasional; e. menelaah dan menilai risiko dari kebijakan dan strategi yang ditetapkan; dan f. menelaah dan menilai kemampuan dukungan sumber daya bagi penyelenggaraan Keamanan Nasional.
Fungsi Dewan Keamanan Nasional harus diperjelas agar kewenangannya tidak terlalu besar. Sebagai perbandingan, Dewan Keamanan Nasional di Amerika Serikat bertindak sebagai penasihat Presiden terkait dengan Keamanan Nasional. Dewan Keamanan Nasional AS hanya memiliki kewenangan untuk menganalisis ancaman dan memberi masukan kepada Presiden. Sedangkan seluruh kebijakan terkait dengan Keamanan Nasional berada di tangan Presiden. 75. Sementara Dewan Keamanan Nasional Turki (NSC) bertugas menyampaikan pandangan atau saran keputusan kepada Kabinet, tentang isu-isu yang berkaitan dengan pembentukan, formulasi dan pelaksanaan kebijakan keamanan nasional dan memastikan koordinasi yang diperlukan. Sesuai dengan perubahan paradigma keamanan nasional, keberadaan NSC yang semula lebih “militeristik” saat ini sudah jauh berbeda dan lebih “civilian”. Hal ini tercermin dari jabatan Sesjen NSC untuk keempat kalinya diduduki oleh pejabat sipil dan prosentasi personel militer dalam struktur organisasi Setjen NSC yang relatif kecil (tinggal 10%). Kementrian Dalam Negeri Turki merupakan bagian yang dominan dalam keanggotaan tetap NSC. Hal ini dikarenakan lembaga-lembaga yang memiliki tugas dan kewenangan terkait penanganan masalah keamanan nasional yaitu Turkish National Police, Gandarmeri, Coast Guard secara organisatoris berada di bawah Kemendagri.37 76. Dengan demikian, jikapun memang dirasa perlu untuk dibentuk, maka sebaiknya kewenangan Dewan Keamanan Nasional hanya sebatas merumuskan dan memberi masukan kepada Presiden. Kewenangan Dewan Keamanan Nasional untuk menetapkan unsur utama dan unsur pendukung serta mengendalikan penyelenggaraan Keamanan Nasional sebaiknya dihapus.
37
Brigjen TNI Toto Siswanto,S.IP,MM dan Laksma TNI Ir. A Djamaludin, “Sekilas Mengenal Dewan Keamanan Nasional Republik Turki” , diunduh pada tanggal 27 Mei 2013.
24
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 BAB III PENUTUP
Kesimpulan 77. Komnas HAM memahami kehadiran peraturan perundang-undangan mengenai Keamanan Nasional. Namun, beberapa definisi yang dirumuskan dalam RUU Keamanan Nasional yang saat ini dibahas di DPR masih menimbulkan sejumlah problematika, karena terlalu luas dan multitafsir. Hal ini terutama pada definisi mengenai Keamanan Nasional, Keamanan Insani, Keamanan Publik, Keamanan ke Dalam, Keamanan ke Luar dan Ancaman. 78. Komnas HAM mengapresiasi telah diadopsinya konsep Keamanan Insani (human security) di dalam RUU Keamanan Nasional. Akan tetapi, konsep Keamanan Insani tidak dipahami dan diterapkan secara menyeluruh. RUU Keamanan Nasional masih berorientasi state-center bukan people-center sebagaimana konsep Keamanan Insani yang berkembang di dunia Internasional. Dengan demikian, meskipun meninggalkan paradigma tradisional, namun pola pandang Keamanan yang lebih bersifat mempertahankan wilayah tetap dilanggengkan. Sehingga masih banyak ditemukan ketentuan yang memuat upaya menjaga Keamanan Negara dengan mengabaikan Keamanan Insani. 79. RUU Keamanan Nasional belum mengatur dengan cermat mengenai Keadaan Darurat. Terutama yang berkaitan dengan pembatasan HAM dalam Keadaan Darurat. RUU Keamanan Nasional belum memuat mengenai hak-hak yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. RUU ini juga belum mengadopsi prinsip-prinsip yang dimuat dalam Pasal 4 ICCPR, Prinsip Siracusa, Prinsip Johannesburgh dan prinsip-prinsip dalam ILO. 80. Terkait dengan pelibatan, perlindungan dan mobilisasi masyarakat sipil. RUU Keamanan Nasional mengenal konsep Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung sebagai Cadangan Pertahanan Negara (Reserve Defence). Namun RUU ini belum mengadopsi ketentuan Resolusi 77/1998 Komisi HAM PBB mengenai conscientious objection. RUU ini juga belum mengadopsi prinsip pembeda dalam konflik bersenjata yang diatur dalam Konvensi jenewa. Selain itu nilai-nilai dalam Resolusi 1674/2006 tentang perlindungan masyarakat sipil dalam konflik bersenjata yang dikeluarkan oleh Security Council juga belum dimuat dalam RUU ini. 81. Kewenangan DKN terlalu besar karena memiliki kewenangan untuk ikut mengendalikan pelaksanaan Keamanan Nasional.
Rekomendasi 82. Komnas HAM merekomendasikan agar dilakukan revisi beberapa rumusan definisi yang digunakan dalam RUU Keamanan Nasional agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Pengunaan istilah dan rumusan di dalam RUU Keamanan Nasional ini sebaiknya diharmonisasi dengan peraturan perundang-undangan di sektor pertahanan dan keamanan yang telah ada sebelumnya. 83. Komnas meminta agar konsep Keamanan Insani agar dipahami dan diadopsi sesuai dengan konsep Keamanan Insani yang berkembang di dunia internasional terutama 25
Pokok-Pokok Pikiran KOMNAS HAM tentang RUU Keamanan Nasional 2013 disesuaikan dengan prinsip-prinsip yang telah dimuat oleh UNDP dan Comission on Human Security (CHS). Hal ini untuk mencegah diabaikannya Keamanan Insani atas nama Kemanan Nasional atau Kemanan Negara atau Kepentingan Nasional. 84. Komnas HAM menyarankan agar RUU Keamanan Nasional disesuaikan dengan perlindungan HAM yang diatur dalam UUD 1945 dan UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Komnas HAM juga meminta agar RUU Keamanan Nasional mengadopsi prinsip-prinsip yang telah dimuat dalam perjanjian internasional seperti ICCPR, Prinsip Siracusa, Prinsip Johannesburgh, Prinsip-prisip ILO, Resolusi Komisi HAM PBB 77/1998 tentang conscientious objection, Konvensi Jenewa dan Resolusi 1674/2006 tentang Perlidungan Masyarakat Sipil dalam Konflik Bersenjata. 85. Komnas HAM menyarankan agar pembentukan dan kewenangan Dewan Keamanan Nasional (DKN) dikaji ulang. Dimana kewenangan DKN sebaiknya hanya sebatas memberi masukan kepada Presiden.
26