DRAF Pokok-Pokok Pikiran tentang
RUU KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (RUU KUHPidana ) DALAM PERSPEKTIF HAM
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (KOMNAS HAM) Jakarta, 28 April 2013 1
Bab 1 Pendahuluan
1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencermati kerja Dewan Perwakilan Ralyat RI (DPR RI) dalam pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHPidana). Sehubungan dengan itu, Komnas HAM memandang perlu untuk melakukan kajian guna mencermati RUU KUHP secara menyeluruh. Komnas HAM selanjutnya memandang penting untuk membuat posisi atas RUU KUHP. Hal ini sesuai dengan wewenang dan mandat Komnas HAM untuk melakukan kajian sebagaimana diamanatkan Pasal 89 ayat 1 butir b UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pengkajian dan penelitian, sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 UU, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan “pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia” 2. Pokok-pokok pikiran ini merupakan cerminan posisi Komnas HAM atas RUU KUHPidana yaitu terhadap draf RUU KUHPidana tanggal 6 Januari 2012. Pokok-pokok pikiran ini juga merupakan pembaruan dari kajian yang dilaksanakan oleh Komnas HAM pada 2006 yaitu “Kajian Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam RUU KUHPidana. Kajian ini melihat sejauh mana RKUHPidana menjadi instrumen perlindungan hak asasi manusia. Dengan demikian, pokok pikiran ini tetap mengkaji perlindungan hak asasi manusia dalam RUU KUHPidana. 3. Kajian ini dilatarbelakangi oleh keinginan memberikan kontribusi dari perspektif hak asasi manusia terhadap Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat RUU KUHPidana). Seperti diketahui pembaruan Kitab UndangUndang Hukum Pidana telah rampung dikerjakan, dan tertuang dalam RUU KUHPidana. Disiapkan oleh sebuah Tim Penyusun yang anggotanya terdiri dari pakar-pakar hukum pidana terbaik negeri ini, dan diketuai oleh Prof. Muladi S.H. Saat ini RUU tersebut sudah diajukan kepada Presiden oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk diajukan pembahasannya ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meskipun hingga akhir 2005 ini belum diajukan pemerintah ke DPR, tetapi sebetulnya telah ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR, bahwa RUU ini dijadwalkan sebagai prioritas yang akan dibahas dalam masa persidangan tahun 2005. 4. Kontribusi yang ingin diketengahkan kajian ini terhadap pembaruan hukum pidana itu adalah, dengan mengkaji apakah tindak pidana yang dirumuskan dalam RUU tersebut memperkuat perlindungan hak asasi manusia atau sebaliknya. Karena itu yang menjadi agenda studi ini adalah mengkaji masalah ini: Apakah kebijakan kriminalisasi atau dekriminalisasi yang dipilih dilandasi dengan tujuan menguatkan perlindungan terhadap hak asasi manusia atau yang lebih dikedepankan adalah perlindungan terhadap kepentingan politik negara (State’s policy)? 5. Kajian ini dengan demikian terkait pembahasan terhadap arah politik hukum pidana (criminal law politics) yang terkandung dalam RUU KUHPidana. Mengapa isu ini menjadi penting untuk diketengahkan, karena rentannya politik hukum pidana tersebut dimanipulasi untuk kepentingan melindungi kepentingan-kepentingan elite yang menguasai negara. Akibatnya hukum pidana berubah menjadi alat represi,1 bukan untuk kepentingan menjaga 1
Lihat Alan Norrie, “Criminal Law”, dalam Hanbook on Critical Legal Studies, 2001.
2
ketertiban. Makanya masalah kriminalisasi ini menjadi salah satu isu sentral dalam hukum pidana. “Its central question is justifying the use of the state’s coercive power against free and autonomous persons”,2 kata Prof. George Fletcher. 6. Dengan memilih pendekatan kajian ini dari perspektif hak asasi manusia, di sisi lain kajian ini merupakan pelaksanaan dari salah satu kewenangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia --sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 39/1999, khususnya Pasal 89 ayat (1). Melalui studi ini Komnas HAM ingin memastikan perlindungan hak asasi manusia dalam RUU KUHPidana – sebagai pelaksanaan tanggungjawab negara (state obligation), yang tidak bisa dielakkan. Dengan mengetengahkan isu ini, kajian ini sekaligus ingin melihat relevansi RUU KUHPidana tersebut dengan konteks dan tantangan yang kini dihadapi oleh masyarakat Indonesia pasca Orde Baru yang ingin menuju kepada sistem politik yang demokratis. 7. Mengikuti sistematika penyajian dalam kajian ini --sehingga dapat mengelaborasi panjanglebar hasil yang ditemukan, kajian ini akan memulai pembahasannya dari konteks politik yang berubah, politik hukum pidana (criminal law politic) atau kerangka konseptual yang mendasarinya, perbuatan-perbuatan yang dilarang (criminal act), hingga pada penutup dan rekomendasi.
2
Lihat George P. Fletcher, Rethinking Criminal Law, (New York: Oxford Univ. Press, 2000). Hal xix.
3
Bab2 Konteks yang Berubah
8. RUU KUHPidana telah disiapkan dalam waktu yang sangat lama. Lebih dari 10 tahun lamanya. Langkah penyusunan konsepnya dimulai pertamakali pada tahun 1977 oleh Tim Basaroedin.3 Konsep yang dihasilkan oleh Tim ini –yang dikenal dengan “konsep BAS”, dilanjutkan oleh Tim Prof. Oemar Senoadji (periode 1979/80-1981/82). Kemudian dilanjutkan lagi berturut-turut oleh Tim yang diketuai Prof. Sudarto (periode 1982-1986); Prof. Mr. Roeslan Saleh (periode 1986-1987); dan, Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H. (sejak tahun 1987-1993). Tim ini berhasil menyusunnya, dan telah menyerahkan konsep hasil susunan mereka pada 13 Maret 1993 kepada Menteri Kehakiman yang pada waktu itu dijabat oleh Ismail Saleh, S.H. Tetapi Menteri Kehakiman membentuk lagi Tim yang mengkaji dan menyempurnakan draf hasil kajian Tim yang terakhir itu (yang diketuai oleh Prof. Loebby Loekman). Sampai akhirnya disempurnakan lagi oleh Tim yang sekarang dipimpin oleh Prof. Muladi. 9. Masing-masing Tim yang pernah terbentuk itu jelas dipengaruhi oleh situasi jaman atau konteks pada masanya. Sebab setiap jaman melahirkan tantangannya sendiri. Konteks jaman ketika Prof. Sudarto menjadi arsitek RUU KUHPidana jelas berbeda dengan konteks jaman ketika Prof. Mardjono Reksodiputro mulai merancang kembali RUU tersebut. Ketika Prof. Sudarto mulai menggarap RUU ini, hak asasi manusia dan kebebasan dasar belum menjadi isu sentral dalam pergaulan internasional. Tapi saat Prof. Mardjono melanjutkan apa yang sudah dirintis oleh tim sebelumnya itu, ia sudah mulai berhadapan dengan isu perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Karena itu konsep atau draft yang dihasilkan kedua tim ini menjadi berbeda. Apalagi sekarang, ketika Prof. Muladi menyempurnakan kembali draft rancangan KUHPidana itu, situasi dan konteksnya sudah jauh berubah dengan masa ketika Prof. Sudarto mulai merancang pekerjaan raksasa itu. 10. Sekarang isu hak asasi manusia dan kebebasan dasar telah menjadi bagian yang penting dalam proses ‘reformasi’ saat ini. Inilah konteks dan tantangan yang harus dijawab oleh Tim Rancangan RUU KUHPidana dibawah pimpinan Prof. Muladi sekarang. Sejak bergulirnya reformasi, tatanan hukum ketatanegaraan telah mengalami perubahan yang fundamental. Salah satunya adalah masuknya perlindungan hak asasi manusia ke dalam UUD (konstitusi) melalui proses amandemen, selain melahirkan pula undang-undang organiknya, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Perubahan lain juga terlihat dari tingkat ratifikasi terhadap instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia yang semakin tinggi di masa reformasi.4 Yang terakhir 3
Tim ini berhasil menyusun konsep Buku II (tentang “Kejahatan”) dan buku III (tentang “Pelanggaran”), mengacu kepada sistematika KUHP (WvS) yang berlaku dengan penyesuaian dan penambahan beberapa delik baru. Oleh Tim selanjutnya konsep ini disempurnakan dengan menggabungkan “Kejahatan” dan “Pelanggaran” ke dalam satu Buku, yang dimasukkan dalam Buku II. Uraian mengenai “sejarah” penyusunan RUU KUHP ini, secara ringkas, dapat dibaca dalam tulisan-tulisan Prof. Barda Nawawi. Salah satunya, “Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam Konsep KUHP Baru”, dalam Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996). Hal 267-289. 4 Instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional yang telah kita ratifikasi sejak reformasi, antara lain, adalah: (i) Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan; dan (ii) Konvensi Internasional Menentang Diskriminasi Etnis dan Rasial.
4
diratifikasi adalah dua instrumen utama hak asasi manusia internasional, yakni (i) Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik5; dan (ii) Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.6 Dengan demikian seluruh perangkat hukum hak asasi manusia ini harus diakomodasi dan dipertimbangkan oleh Tim RUU KUHPidana ini. 11. Tanpa mempertimbangkan konteks yang sangat penting tersebut, maka penyusunan RUU KUHPidana akan menjadi kehilangan relevansinya dengan semangat jamannya. Bahkan dapat dikatakan penyusunan RUU KUHPidana tersebut tidak memberi konstribusi apapun dalam mencapai proyek besar bernama ‘reformasi’ yang kini sedang bergulir itu. Kajian ini ingin menunjukkan pentingnya penyusunan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang baru (menggantikan Wetboek van Strafrecht) --yang rancangannya kini sudah tersusun dalam RUU KUHPidana itu, mengakomodasi perkembangan yang telah dicapai dalam instrumentasi perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar.7 Itu artinya adalah, penyusunan RUU KUHPidana haruslah secara sadar diletakkan dalam konteks proyek besar yang bernama ‘reformasi’ tersebut.
5
Diratifikasi melalui UU No. 11/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Diratifikasi melalui UU No.12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya . 7 Lihat juga tulisan Abdul Hakim G. Nusantara, Mengkritisi RUU KUHPidana dalam Perspektif HAM, makalah seminar “Pembaruan KUHP: Melindungi Hak Asasi Manusia, Kepentingan Umum dan Kebijakan Negara”, yang diselenggarakan oleh Komnas HAM, Jakarta 24 November 2005. 6
5
Bab 3 Formulasi Politik Hukum Pidana dalam RUU KUHP
3.1.
Perbuatan yang Seharusnya Dipidana
12. Pembahasan mengenai konteks perubahan politik yang diketengahkan di atas, membawa kita kepada pembahasan mengenai politik hukum pidana (criminal law politics) yang mendasari penyusunan RUU KUHPidana. Terlebih dahulu kita perlu memperjelas apa yang dimaksud dengan istilah politik hukum pidana. 8 Yang dimaksud dengan istilah ini adalah, kebijakan dalam membuat pilihan-pilihan terhadap suatu perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana (delik) atau bukan. 9 Paling tidak terdapat tiga paradigma dalam hukum pidana yang seringkali dijadikan acuan ahli hukum pidana ketika merumuskan kebijakan kriminalisasi atau dekriminalisasi tersebut. Ketiga paradigma itu adalah, pertama paradigma utilitarianisme (utilitarianism) --yang biasanya diasosiasikan dengan Bentham; kedua, paradigma liberalisme (atau lebih dikenal dengan ‘the harm theory’) --yang biasa dikaitkan dengan tokohnya John Stuart Mill dan Joel Feinberg; dan ketiga, paradigma moralisme hukum (legal moralism) --yang tokohnya antara lain Michael Moore.10 Ketiga paradigma ini memiliki pengaruh dan pendukungnya masing-masing dalam literatur hukum pidana. 13. Memang diperlukan perjelasan yang memadai untuk memahami ketiga paradigma itu. Tetapi untuk kepentingan studi ini cukuplah kiranya dipaparkan garis-garis besarnya saja. Marilah kita mulai dari paradigma utilitarianisme. Perbuatan apa yang seharus dikriminalisasi, jawabannya dari sudut pandang paradigma ini adalah: “all conduct that tends to lower overall utility”.11 Jadi fokusnya adalah pada kemanfaatan. Sedangkan dalam paradigma liberal (the harm theory), perbuatan yang harus dikriminalisasi adalah perbuatan yang secara nyata merugikan orang lain. Atau dalam rumusan Mill yang terkenal, “the only purpose for which (State) power can rightfully be exercised over any member of a civilized community, against his will, is to preven harm to others”.12 Pandangan ini berbeda lagi dengan paradigma 8 Istilah “criminal law politics” itu digunakan berbeda-beda di kalangan ahli hukum pidana. Ada yang menggunakan istilah “criminal policy”, atau juga ada yang menggunakan “penal policy”. Untuk pembahasan soal ini lihat Barda Nawawi, “Kebijakan Hukum Pidana”, dalam Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996). Hal 23-45. 9 Prof. Muladi memberikan garis-garis besar pedoman dalam merumuskan kebijakan kriminalisasi dan dekriminalisasi sebagai berikut: (i) kriminalisasi tidak boleh berkesan menimbulkan “overcriminalization” yang masuk kategori “the misuse of criminal sanction”; (ii) kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc; (iii) kriminalisasi harus mengandung unsur korban baik secara aktual maupun potensial; (iv) kriminalisasi harus mempertimbangkan analisa biaya dan hasil (cost benefit principle); (v) kriminalisasi harus memperoleh dukungan publik (public support); (vi) kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang “enforceable”; (vii) kriminalisasi harus mengandung unsur subsosialitiet (mengakibatkan bahaya bagi masyarakat meskipun kecil sekali; (viii) kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu. Lihat Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie Centre, 2002.
10
Uraian ringkas atas ketiga paradigma tersebut dan problematiknya dapat dilihat pada Leo Kutz, “Villainy and Felony: A Problem Concerning Criminalization,” BuffaloCriminal Law Review, Vol 6, Number 1, 2000. 11 Leo Kutz, ibid. 12 Lihat Jhon S. Mill, On Liberty (New York: The Bobbs-Merrill Company, 1956). Posisi pandangan liberal ini telah dikembangkan lebih lanjut oleh Joel Feinberg, dengan menyatakan: “It is always a good reason in support of penal legislation that it would probably be effective in preventing … harm to persons other than the actors”.
6
moralisme hukum (legal moralism). Dalam pandangan paradigma ini, perbuatan yang harus dikriminalisasi adalah: “all immoral conduct should be criminalize, generally in proportion to the degree of immorality”.13 Bertolak dari penjelasan-penjelasan teoritik ketiga paradigma inilah biasanya para ahli hukum pidana merumuskan politik hukum pidana (criminal law politics) pada suatu negara, yang berbeda satu negara dengan negara lainnya. 14. Perumusan politik hukum pidana di dalam RUU KUHPidana tampaknya juga dipengaruhi oleh ketiga paradigma tersebut. Kalau kita membaca penjelasan Prof. Muladi, yang menjadi Ketua Tim RUU KUHP, maka kelihatannya perumusan politik hukum pidana RUU KUHPidana lebih cenderung pada sintesa antara paradigma utilitarianism, paradigma liberalisme (the harm theory), dan paradigma legal moralism. Ketiga paradigma itu diramu untuk dicari sintesisnya. Marilah kita ikuti sejenak penjelasan Muladi dengan agak lengkap, dalam kutipan di bawah ini: “Hukum pidana harus bisa menjaga keselarasan antara kepentingan Negara, kepentingan umum dan kepentingan induvidu; Dengan kata lain pertimbangan kriminalisasi tidak hanya berorientasi pada prinsip liberalisme berupa “merugikan orang lain”, tetapi juga harus tercela bagi “majority of society”. Dalam hal ini konsep “victimless crimes” harus dikaji secara hati-hati; ingatlah istilah “subsosialiteit” dari Prof. Vrij (1947) sebagai syarat ketiga untuk menentukan layak atau tidaknya pertanggungjawaban pidana disamping unsur melawan hukum dan kesalahan, yaitu “resiko bahaya yang dimunculkan oleh pelanggaran hukum terhadap kehidupan masyarakat”.14 15. Tampak dengan gamblang dari kutipan di atas, bahwa perancang RUU KUHPidana berusaha meramu ketiga paradigma tersebut, dan mendapatkan sintesisnya, yakni garis kebijakan kriminalisasi atau dekriminalisasi yang dituangkan dalam RUU KUHPidana. “Sintesis” ketiga paradigama tersebut diterjemahkan Prof. Muladi ke dalam apa yang disebutnya sebagai ide “keseimbangan”. Apa yang dimaksud dengan ide “keseimbangan” itu, lebih lanjut diuraikan Muladi sebagai “keseimbangan antara moralitas institusional; moralitas sosial dan moralitas induvidu; keseimbangan antara “individual rights” dan “collective rights”; keseimbangan antara aspek obyektif (perbuatan) dengan aspek subyektif (sikap batin) dan seterusnya.15 Boleh dikatakan kebijakan kriminalisasi yang berbasis pada pendekatan “sintesis” itu melanjutkan apa yang telah dirintis Pro. Mardjono Reksodiputro,16 yang juga mengembangkan pendekatan tersebut. Pendekatan feinberg ini dikenal dengan “Liberty-Limiting Principle”. Lihat Joel Feinberg, The Moral Limits of the Criminal Law: Harm to Others, Vol 1, 1984. 13
Untuk memahami lebih lanjut posisi paradigma ini, lihat Michael Moore, Placing Blame: A General Theory of the Criminal Law, 1997. 14 Lihat Prof. Muladi, Beberapa Catatan terhadap Buku II RUU KUHP, makalah disampaikan pada “Sosialisasi RUU KUHP” diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 23-24 Maret 2005. 15 Gagasan “keseimbangan” ini juga dikembangkan dalam berbagai tulisan Prof. Barda Nawawi. Lihat antara lain, “Masalah Pidana Mati dalam Perspektif Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia”, dalam Barda Nawawi, Pembaruan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005). Hal 287295. 16 Lihat Mardjono Reksodiputro, Meninjau RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam Konteks Perlindungan HAM, makalah yang disampaikan pada Diskusi Panel Ahli “Meninjau RUU KUHP dalam Konteks Perlindungan HAM, diselenggarakan oleh ELSAM, November 2001.
7
3.2.
Perlindungan Hak Asasi Manusia
16. Dalam konteks kebijakan kriminalisasi dan dekriminalisasi (criminal law politics) yang terdapat dalam RUU KUHPidana tersebut, studi ini ingin melihat bagaimana perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar ditempatkan di dalamnya. Hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang dimaksud disini adalah, hak-hak asasi dan kebebasan dasar yang telah dijamin dalam konstitusi (UUD 1945), UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-undang yang meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia, seperti Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan lainnya.17 17. Dari seluruh indeks hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang dijamin di dalam konstitusi dan peraturan perundangan lainnya itu, maka beberapa hak-hak sipil (civil liberties) dan hakhak politik (political rights) yang mendasar dapat dijadikan standar minimal yang harus dilindungi dalam hukum pidana (atau RUU KUHPidana). Sebagai bentuk dari tanggung jawab negara (state obligation) –dalam arti ‘obligation to protect’, negara harus memastikan perundangan-undangannya tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Hak-hak yang dapat dijadikan standard minimal itu, lebih lanjut dipaparkan dalam tabel di bawah ini: Tabel 1: Daftar hak-hak yang minimal harus dilindungi Hak-hak Sipil
Hak-hak Politik
- Hak atas hidup dan keamanan
- Menyatakan pikiran dan ekspresi
- Hak atas privasi, kehormatan
- Memiliki keyakinan politik
- Kebebasan beragama/keyakinanan
- Berorganisasi dan berkumpul
- Hak bebas dari penyiksaan
- Partisipasi dalam pemerintahan
- Perlindungan atas harta-benda
- Mendapatkan pelayanan publik
18. Bagaimana menempatkan perlindungan hak-hak tersebut dalam RUU KUHPidana. Jelas sangat tidak mudah merumuskan kebijakan kriminalisasi berbasis pada gagasan “keseimbangan” tersebut. Menentukan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang (criminal act), yang tidak hanya berorientasi pada prinsip liberalisme berupa “merugikan orang lain (harm theory)”, tetapi juga harus tercela bagi “majority of society” (legal moralism), dan sekaligus menimbang “resiko bahaya yang dimunculkan oleh pelanggaran hukum terhadap kehidupan masyarakat (utilitarianism)”, jelas sekali tidak mudah menentukannya.
17
Lihat Abdul Hakim G. Nusantara, catatan kaki no. 5
8
Bab 4 Perbuatan-perbuatan yang Dikriminalisasikan dalam RUU KUHP 19. “The question of what conduct we should criminalize has a long pedigree” tulis Prof. Kutz.18 Sekarang kita masuk kepada pembahasan mengenai perbuatan-perbuatan apa saja yang dirumuskan di dalam Buku II RUU KUHPidana itu sebagai ‘tindak pidana’ (criminal act). Apakah perumusannya sungguh-sungguh memang bertolak dari ide “keseimbangan” tersebut, sebab apabila sintesa ketiga kepentingan itu (induvidu, masyarakat dan negara) tidak berhasil dirumuskan dengan “seimbang”, maka akan sangat besar kemungkinan terjadi “overcriminalization” kepada salah satu dari ketiga domain tersebut. Masalah inilah yang ingin dielaborasi lebih jauh dalam studi ini, dengan memberi atensi pada perumusan perbuatan yang dilarang (criminal act) dalam ranah induvidu, masyarakat, dan negara. 4.1.
Perlindungan terhadap Hak-hak Individu
4.1.1. Kriminalisasi serangan terhadap Kehormatan (Crime Against Honour) 20. Perlindungan terhadap hak-hak individu ini sangat esensial dalam hukum pidana, seperti dikatakan oleh Dan-Cohen, “main goal of the criminal law is to defend the unique moral worth of every human being”.19 Dalam konteks memberi perlindungan terhadap integritas seseorang itu, hukum pidana melakukan kriminalisasi terhadap serangan atau perbuatan yang merampas integritas setiap orang (crimes against the integrity of person). Mulai dari pembunuhan, penganiayaan, penghilangan paksa, dan sebagainya. Salah satu kejahatan yang termasuk dalam kelompok ini adalah perbuatan yang menyerang kehormatan seseorang (crime against honour and reputation), yang diwujudkan dalam bentuk: pencemaran nama baik (defamation), penghinaan (insult), dan fitnah (slander, libel). Perbuatan-perbuatan ini jelas menyerang kehormatan atau harga diri seseorang. RUU KUHPidana juga melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan tersebut. 21. RUU KUHPidana boleh dikatakan sangat protektif terhadap hak-hak induvidual tersebut. Masalahnya adalah proteksi yang tidak diiringi dengan rumusan yang jelas (clearly) akan berimplikasi pada hambatan terhadap hak yang lain. Dalam kaitannya dengan kriminaliasasi terhadap serangan atas martabat orang ini adalah, harus pula dilihat relasinya dengan kebebasan berbicara (free speech) dan kekebasan pers (freedom of the press). Kalau tuduhan yang dibuat seseorang benar dan diperlukan untuk kepentingan umum (required in the public interest), dan disiarkan oleh pers, maka perbuatan tersebut tidak dapat dimasukkan sebagai “hate crime”. Karena itu rumusan kejahatan (delik) terhadap crime against honour ini haruslah diperjelas. Rumusan yang ada dalam RUU KUHPidana sekarang telah menimbulkan ketakutan di kalangan wartawan, karena begitu banyak “hate crime” dirumuskan didalamnya, yang terlalu luas dan elastis.
18
Lihat Leo Kutz, “Villainy and Felony: A Problem Concerning Criminalization”, Buffalo Criminal Law Review, Vol 6, No. 1, 2001. 19 Lihat Meir Dan-Cohen, “Defending Dignity”, dalam Dan-Cohen, Harmful Thoughts: Essays on Law, Self, and Morality, 2002.
9
4.1.2. Perlindungan terhadap Hak Mencari dan Meyebarkan Informasi 22. Sejak Amandemen ke-II UUD 1945, diundangkannya UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 11/2005, hak atas kebebasan mencari, menerima, dan menyebarkan informasi atau gagasan telah menjadi bagian dari hukum positif kita. Hak-hak ini sangat esensial dalam sistem demokrasi; ia merupakan oksigennya. Tanpa hak-hak ini sulit membayang demokrasi dapat bekerja. Hak-hak ini merupakan bagian dari hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. 23. Tetapi RUU KUHPidana tampak kurang difasilitasi perlindungan hak-hak induvidual tersebut. Terutama apabila dikaitkan dengan beberapa tindak pidana “baru” yang dirumuskan dalam RUU tersebut, khususnya berkaitan dengan: (i) tindak pidana ideologi; (ii) tindak pidana pertahanan dan rahasia negara; (iii) tindak pidana terhadap presiden dan wakil presiden, negara sahabat, pemerintahan; (iv) tindak pidana ketertiban dan ketentraman umum; (v) tindak pidana terhadap golongan penduduk dan agama; dan (vi) tindak pidana porno-aksi. Tindak-tindak pidana ini memiliki kaitan erat dengan ‘hak mencari, menerima, dan menyampaikan informasi lewat media apapun’, karena melarang perbuatan ‘mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan gagasan’ (yang dilarang oleh ketentuan tersebut). 24. Biasanya aktifitas ‘mencari dan menyampaikan informasi dan gagasan’ itu dilakukan oleh kalangan jurnalis, meskipun tidak terbatas pada mereka. Tetapi yang paling terkena dengan tindak pidana tersebut adalah aktifitas jurnalistik, dan sebagai akibatnya hak untuk mengetahui (right to know) terbatasi dengan ketentuan itu. Rancangan Pasal-pasal ini telah menimbulkan ketakutan di kalangan media massa. Sebab mereka tidak hanya menghadapi tindak pidana kehormatan dan reputasi (defamation, slander, insult, libel), tetapi juga menghadapi tindak pidana kejahatan terhadap negara, pertahanan dan rahasia negara, penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, presiden dan wakil presiden, kelompok agama dan penodaan agama (blasphemy) hingga kepada pornografi dan pornoaksi. 25. Jadi ancaman terhadap kebebasan pers menjadi semakin luas; begitu juga terhadap hak-hak induvidu untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan gagasan --sebagai bagian dari hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dengan demikian, pasal-pasal tersebut harus ditinjau kembali perumusannya, dan bahkan dihapuskan. 4.1.3. Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia 26. Sesuatu yang baru dalam RUU KUHPidana sekarang adalah diaturnya kriminalisasi terhadap pelanggaran hak asasi manusia, yang dikelompokkan ke dalam bab tersendiri. Yang dikriminalisasi disini adalah kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan dalam masa perang, dan kejahatan penyiksaan. Sebagian besar, kejahatan-kejahatan ini merupakan adopsi dari undang-undang yang ada dan konvensi yang telah diratifikasi Indonesia. Sebutlah misalnya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, merupakan adopsi dari UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (yang juga merupakan adopsi dari Statuta Roma). Sementara kejahatan masa perang dan penyiksaan merupakan adopsi dari Konvesi Jenewa dan Konvensi Internasional Menetang Penyiksaan.. 27. Permasalahan paling krusial dari kejahatan yang diatur dalam bab tindak pidana hak asasi manusia adalah mengenai keberadaan kejahatan-kejahatan tersebut dalam RUU KUHPidana. Seperti disebutkan di atas, kejahatan-kejahatan tersebut bukanlah kejahatan biasa melainkan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) sehingga memerlukan perlakuan khusus pula sebagai kejahatan yang luar biasa. Pencantuman kejahatan-kejahatan tersebut dalam RUU 10
KUHPidana akan berakibat pada hilangnya perlakuan khusus yang ada pada jenis kejahatan tersebut. Di antaranya adalah asas-asas khusus yang melekat pada kejahatan-kejahatan tersebut --sebagaimana yang diatur dalam instrumen hukum internasional-- terdegradasi oleh asas-asas umum RUU KUHPidana. Misalnya mengenai kadaluarsa, asas retroaktif, dan tanggung jawab komando, serta element of crimes-nya. Oleh karena itu, semenstinya kejahatan-kejahatan semacam ini lebih baik diatur di luar KUHP dan diatur dalam undangundang tersendiri. 4.1.4. Perdagangan Manusia: Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak 28. Pengaturan mengenai kejahatan perdagangan manusia dalam RUU KUHPidana sebenarnya merupakan adopsi dari Rancangan Undang-undang Anti Perdagangan Orang (RUU TPO). Hampir semua pasal yang mengatur tindak pidana dalam RUU tersebut telah dijadikan sebagai rumusan dalam RUU KUHPidana. Tetapi sayangnya, rumusan dalam RUU KUHPidana ternyata tidak konsisten dengan RUU TPO sehingga beberapa pengertian atau definisi yang justru sangat penting namun tidak dimasukkan, bahkan RUU KUHPidana memberikan pengertian yang terbatas mengenai perdagangan manusia. Selain itu, berdasarkan pembahasan pada Bab III, kelemahan mendasar dari perumusan tindak pidana perdagangan manusia adalah (i) pengertian dan definisi yang lemah; (ii) tidak dimasukkan rumusan kejahatan perdagangan orang yang khusus yang ditujukan untuk anak; (iii) tidak ditegaskannya “by concent” atau “persetujuan korban” sebagai argumentasi yang tidak diterima dalam kejahatan perdagangan manusia; dan (iv) masalah berkaitan dengan sanksi pidana. 29. Di sisi lain, dilihat dari perumusannya RUU KUHPidana juga telah menjadikan Protokol Trafficking sebagai acuan. Namun, RUU KUHPidana tidak mendefinisikan secara lebih detil pengertian-pengertian penting terkait dengan kejahatan perdagangan orang. Kelemahankelemahan yang melekat pada rumusan tersebut telah berpengaruh besar terhadap perumusan pasal secara keseluruhan mengenai perdagangan manusia. Perumusan yang tidak memadai mengakibatkan perlindungan bagi korban perdagangan menjadi tidak maksimal. Padahal, seharusnya tindak pidana perdagangan manusia digunakan sebagai perangkat untuk melindungi perempuan dan anak-anak baik dari eksploitasi seksual maupun perbudaan. Dengan demikian, RUU KUHPidana belum memberikan jaminan yang baik bagi perlindungan perempuan dan anak. 4.2.
Perlindungan terhadap Kepentingan Masyarakat (Umum)
4.2.1. Kriminalisasi terhadap penghinaan terhadap golongan penduduk 30. RUU KUHPidana masih mempertahankan ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP, yang dikenal dengan ”haatzaai artikelen”, yakni tentang kriminalisasi terhadap penghinaan terhadap pemerintah yang sah (pasal 284) dan penghinaan yang ditujukan kepada golongan pendudud (pasal 286). Yang akan dibahas disini hanya pada yang terakhir, yakni ”penghinaan yang ditujukan kepada golongan penduduk”. Kata ”menyatakan rasa permusuhan, kebencian” sudah dihilangkan dalam RUU, dan mempersyaratkan ”terjadinya keonaran di dalam masyarakat” untuk adanya delik ini. Kalau KUHP yang berlaku deliknya dirumuskan secara formil, maka dalam RUU ini rumusannya diubah menjadi delik materiil. Rumusan ini, menurut perancangnya, merupakan usaha mendemokratisasi ”haatzaai artikelen” tersebut. 11
31. Perlu dipahami memang tujuan dari dikriminalisasinya perbuatan tersebut adalah melindungi masyarakat dari penghasutan, sehingga dapat menggangu keharmonisan dalam masyarakat (social harmony) --sebagaimana yang tampak dengan gamblang pada kasus Ambon-Maluku dan Poso, atau kasus serangan terhadap kelompok Ahmadiyah. Menurut Mardjono Reksodiputro perbuatan ini bisa dikatakan sebagai ”crimes against society in general”, karena tujuan pelakunya ”to promote feelings of ill will and hostility between different groups in the community”.20 Terutama yang diancam disini ”penghinaan” yang menimbulkan keonaran dan kerusuhan dalam masyarakat. 32. Tujuan penyusun RUU mengkreasi ”demokratisasi” terhadap pasal-pasal ”inciting hate” KUHP, menunjukkan keinginan untuk melindungi keharmonisan di dalam masyarakat. Di sisi lain menunjukkan keinginan untuk melindungi kebebasan berekspresi. Tetapi tetap saja memformulasikan dari delik formil ke delik materiil dalam konteks kejahatan penghinaan terhadap golongan-golongan penduduk ini menyisakan persoalan bagi terancamnya kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi --terutama terhadap wartawan, karena ”keonaran” dewasa ini begitu mudah direkayasa terjadi oleh mereka yang memiliki power. 4.2.2. Perlindungan terhadap Kehidupan Beragama 33. Pengaturan mengenai kejahatan terhadap penodaan agama dan kehidupan beragama diatur dalam Pasal 341 hingga Pasal 348. Namun, dalam rumusan pasal-pasal tersebut masih banyak terdapat peristilahan yang bersifat ambigu, misalnya: istilah penghinaan terhadap agama; menghina keagungan Tuhan; mengejek, menodai, atau merendahkan agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan; menghasut; dan mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah. Ketiadaan pengertian yang jelas menjadikan rumusan-rumusan delik itu sebagai ancaman pula bagi hak atas kebebasan berpikir dan berekspresi sebagaimana telah diatur dalam konstitusi dan UU Hak Asasi Manusia. Sehingga, dengan pengaturan yang demikian itu mengakibatkan orang akan dapat dengan mudah diseret ke pengadilan. 34. Walaupun pada dasarnya rumusan-rumusan dalam RUU KUHPidana diperuntukkan untuk melindungi hak seseorang atas keyakinan beragama dan menjalankan ibadahnya, tetapi di sisi yang lain, perlindungan tersebut hanya diberikan kepada agama-agama yang mendapat pengakuan selama ini saja. Sementara itu, untuk aliran-aliran lain yang dianggap menyimpang -- seperti Ahmadiyah atau para pengikut Kerajaan Eden pimpinan Lia Aminudin – tidak mendapatkan perlindungan yang layak. Bahkan, karena tidak ada batasan mengenai istilah-istilah tersebut di atas, penyebar dan pengikut aliran ini dapat dikenai tindak pidana. Padahal, baik dalam UUD 1945 maupun UU HAM telah diakui bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya (lihat Pasal 28E UUD 1945). Hak beragama ini, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun juga.
20
Lihat Mardjono Reksodiputro, Arah Hukum Pidana dalam Konsep RUU KUHPidana, makalah seminar “Pembaruan KUHP: Melindungi Hak Asasi Manusia, Kepentingan Umum dan Kebijakan Negara, diselenggarakan oleh Komnas, Jakarta, 24 November 2005.
12
4.2.3. Kriminalisasi terhadap Pornografi dan Pornoaksi 35. Pengaturan mengenai kejahatan pornografi dan pornoaksi dalam RUU KUHPidana (pasal 469-479) adalah bertujuan untuk melindungi kepentingan (moral) masyarakat (crimes against public morals). RUU KUHPidana memperluas delik kesusilaan (Misdrijven tegen de zeden dalam KUHP) –yang semula berkaitan dengan “kehidupan seksual”, kepada semua aktifitas yang dapat menimbulkan rangsangan seksual atau birahi. Karena itu aktifitas menari dan bergoyang, berpakaian yang terbuka, yang dapat merangsang birahi dikategorikan sebagai kejahatan pornoaksi. Begitu juga dengan aktifitas menulis puisi, novel, memahat patung, dan melukis yang menggambarkan hubungan badan atau alat kelamin dapat dipidana berdasarkan ketentuan pornoaksi dan pornografi ini. Inti dari perbuatan yang dilarang bukan lagi terfokus pada “kehidupan seksual” (sebagaimana dalam KUHP), tetapi sudah tidak terfokus lagi pada “bodily and psychological integrity”. 36. Yang dimaksud dengan melindungi “bodily and psycolagical integrity” (integritas badan dan jiwa) dalam konteks kejahatan kesusilaan adalah menjaga dari serangan “kekerasan” terhadap badan. Unsur “harm to other” disini sangat jelas! Makanya yang diatur disini terbatas pada larangan terhadap perkosaan, pengguguran kandungan, perbuatan cabul, pelacuran, dan perzinahan. Dalam pengertian ini, kejahatan pornografi dapat dimasukkan (tulisan, gambar atau benda, serta mengucapkan pidato yang melanggar kesusilaan). Tetapi mengenai pornoaksi jelas berada di luar konsep ini, karena tidak “kekerasan” disini, selain itu tidak ada korbannya. Pornoaksi merupakan “crime without victim”, karena itu tidak punya dasar untuk dipidana. Alih-alih menjaga moralitas publik, kriminalisasi pornoaksi akan membawa implikasi terhadap kreatifitas publik dalam mencipta (karena itu berimplikasi pada pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi). 37. Dalam konteks tindak pidana kesusilaan tersebut, RUU KUHPidana juga melakukan kriminalisasi terhadap permukahan (overspel) dan terhadap “kumpul kebo” (pasal 486). Masalah ini memang di “wilayah abu-abu” dari konsep “crimes against public morality”. Bagi mereka yang mengikuti paradigma legal moralism, kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut justified. Tetapi bagi mereka yang mengikuti harm theory, kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut jelas tidak diperlukan. Karena tidak ada “kekerasan” terhadap badan dan jiwa disitu atau tidak ada “intentional harm-causing” atau “risking to others”. Kriminalisasi terhadap perbuatan ini dengan demikian merupakan kriminalisasi “victimless crime”. Masalah ini sebetulnya berada dalam wilayah “private” atau “civil “liberties” yang seharusnya dilindungi oleh negara baik dari “intervensi” masyarakat maupun orang lain.
4.3. Perlindungan terhadap Keamanan Negara 38. Dalam KUHP yang berlaku, kejahatan terhadap negara (crimes against state) dirumuskan dalam bentuk: mengganggu keamanan negara, penghinaan terhadap martabat presiden dan wakil presiden, kepala negara sahabat dan terhadap dewan perwakilan rakyat. Pada dasarnya kepentingan yang ingin dilindungi memang adalah ”kepentingan negara”, yaitu berfungsinya organisasi negara. Dalam RUU KUHPidana, kejahatan terhadap keamana negara diperluas hingga mencakup pada kejahatan terhadap ideologi negara dan kejahatan terorisme. Delik terhadap keamanan negara ini sangat berkaitan dengan hak-hak politik (political rights) dan hak-hak sipil (civil liberties), karena itu akan dibahas panjang-lebar satu persatu di bawah ini.
13
4.3.1. Kejahatan terhadap Ideologi 39. RUU KUHPidana melakukan kriminalisasi terhadap ideologi. Yang dilarang hanyalah terhadap ideologi Komunisme/Marxisme-Leninisme. Tidak terhadap ideologi lainnya seperti Liberalisme atau Fasisme. Selain itu perbuatan yang ingin menggantikan Pancasila juga dilarang dalam konteks kejahatan ideologi ini. Dikriminalisasinya ideologi (Komunisme) dan mengganti Pancasila, menurut perancang UU, berkaitan dengan konsekuensi dari dipertahankannya TAP MPR XXV/V/1966 dan TAP MPR No. XVIII/1978 (Penetapan Pancasila sebagai Dasar Negara). Selain merupakan konsekuensi dari diundangkannya UU No. 26/1999 tentang Pencabutan UU No. 11/PNPS/1963 dan UU No. 27/1999 tentang Perubahan KUHP yang Berkaitan Dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara. Inilah yang mendasari dibuat kriminalisasi terhadap ideologi. 40. Tindak pidana ideologi itu, yang diatur mulai dari pasal 209-212, telah dirumuskan dengan ”cermat” sehingga dapat mencegah penafsiran yang berlebihan atau penyalahgunaan yang dapat melanggar hak asasi manusia. Karena untuk dapat dipidana dengan tuduhan penyebaran ideologi Komunisme atau mengganti Pancasila, dua syarat harus dipenuhi: (i) melawan hukum; dan (ii) maksud untuk mengubah atau mengganti Pencasila sebagai ideologi negara (sebagai dolus specialis). Berarti menyebarluaskan Komunisme itu melalui media apapun boleh, asal tidak secara melawan hukum dan tidak dengan sengaja (dolus specialis) mengubah Pancasila sebagai ideologi negara. Tetapi bila dilihat dari perlindungan hak asasi manusia, ketentuan ini tetap menyisakan persoalan. 41. Kata ”melawan hukum” yang dimaksud sebagai pencegah penafsiran sewenang-wenang, ternyata juga tidak jelas. Sebab ini terkait dengan ajaran melawan hukum yang juga bervariasi. Begitu juga dengan kata ”mengganti” atau ”mengubah” juga bermakna lebih dari satu. Selain itu masalah ideologi ini adalah masalah yang berada dalam pemikiran, yang penilaian atasnya pun subyektif. Apalagi dikaitkan dengan Pasal 28 E (2), Pasal 28 F dan Pasal 28 I UUD 1945, Pasal 4 dan Pasal 14 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (yang telah kita ratifikasi), kriminalisasi ideologi ini jelas bertentangan dengannya. Delik ideologi ini telah melarang orang menpunyai keyakinan politik, yang justru dihormati dan dilindungi oleh hukum hak asasi manusia Indonesia (UUD 1945, UU No. 39/1999, dan UU Ratifikasi Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik). 42. Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Ketika rumusannya melarang seseorang untuk mempelajari dan menyebarluaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme maka RUU KUHPidana telah bertentangan pula dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Padahal, memperoleh informasi termasuk sebagai hak pribadi, akibatnya rumusan RUU KUHPidana bertentangan pula dengan Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa ”...hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani ...adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.
14
4.3.2. Penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden 43. Tindak pidana mengenai penghinaan terhadap presiden dan wakilnya masih tetap dipertahankan oleh RUU KUHPidana. Pasal 262 RUU merumuskan: ”setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV”. Yang dimaksud dengan menghina adalah perbuatan apapun yang menyerang nama baik atau martabat Presiden atau Wakil Presiden di muka umum. Termasuk penghinaan adalah menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah. Pasal ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda dengan yang dianut Presiden atau Wakil Presiden. 44. Seorang Presiden dan Wakil Presiden adalah pemimpin pemerintahan, yang berarti merupakan public figure yang mengembang tugas melayani kepentingan umum. Untuk itulah pimpinan pemerintahan diberikan sejumlah hak dan kewenangan. Penggunaan hak dan kewenangan sebagai penguasa itulah yang dalam demokrasi akan selalu memperoleh sorotan dari masyarakat sebagai wujud dari public control terhadap pemerintah. Kontrol yang dilakukan oleh masyarakat terhadap Presiden atau Wakil Presiden selaku pimpinan pemerintahan mempunyai dinamikanya sendiri, sehingga bisa saja menggunakan kata atau kalimat-kalimat yang keras, tajam atau bahkan bombastis. Ini sesuatu yang lumrah dalam demokrasi. Tetapi bisa saja kata atau kalimat yang keras atau tajam itu dipersepsi sebagai penghinaan oleh yang bersangkutan. Bila pimpinan pemerintah merasa dihina atau difitnah itu adalah reaksi subyektifnya. Hukum dimanapun memberi hak kepadanya untuk menuntut pihak yang didakwa melakukan penghinaan atau fitnah. 45. Ketentuan ini jelas membawa implikasi terhadap hak-hak politik warga negara, yang termanifestasi dalam bentuk kritik, kontrol dan unjukrasa. Karena itu seharusnya delik ini dirumuskan sebagai delik aduan, bukan delik biasa dimana polisi bisa segera menangkap yang bersangkutan (warga negara yang dianggap melakukan penghinaan). 4.3.3. Kriminalisasi Penghinaan terhadap Pemerintah 46. Di dalam rancangan KUHPidana tindak pidana ini sebetulnya dikelompokkan ke dalam bab ’tindak pidana terhadap ketertiban umum’. Tindak pidana ini berasal dari KUHP, yang diatur dalam pasal-pasal yang dikenal sebagai ”haatzaai artikelen”, yakni tentang kriminalisasi terhadap penghinaan terhadap pemerintah yang sah (pasal 284) dan penghinaan yang ditujukan kepada golongan penduduk (pasal 286). RUU KUHPidana masih mempertahankan delik tersebut, tetapi dengan merubah formulasi deliknya menjadi delik materiil. Kata ”menyatakan rasa permusuhan, kebencian” sudah dihilangkan dalam RUU, dan tinggal kata ”penghinaan” saja. Sebagai delik materiil, maka syarat ”terjadinya keonaran di dalam masyarakat” menjadi unsur penting untuk menentukan terjadinya delik tersebut. Rumusan ini merupakan upaya ”demokratisasi” pasal-pasal ”haatzaai artikelen” menurut para perancangnya.21 21
Sebetulnya apa yang dirumuskan oleh perancang RUU ini hanyalah “mengembalikan” rumusan awal dari pasal 154 dan 155 KUHP (yang memang dirumuskan secara materiil), sebelum dirubah pada tahun 1918 menjadi delik formil, karena kesulitan dalam praktek penggunaannya ketika itu. Lihat pembahasan Ramelan SH, “Pembahasan atas RUU KUHPidana, Khususnya Buku II”, makalah disampaikan pada Sosialisasi RUU KUHPidana, yang diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta, Maret 2005.
15
47. Yang dibahas disini tertuju pada tindak pidana ”penghinaan yang ditujukan kepada pemerintah yang sah”, yang dirumuskan dalam pasal 284 dan 285. Kriminalisasi terhadap penghinaan kepada pemerintah yang sah ini, meskipun sudah dirubah perumusannya menjadi delik materiil, tetap saja menyisakan masalah berkaitan dengan perlindungan terhadap kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi. Pemerintah sebagai badan publik yang bertugas melayani kepentingan umum tentu tidak dapat lepas dari pengawasan dan kritik dari masyarakatnya. Dalam konteks pengawasan atau kontrol terhadap jalannya pemerintah inilah sering digunakan kata-kata yang tajam atau sinis, yang dapat saja dipersepsikan oleh pemerintah sebagai ”penghinaan” terhadapnya. Apalagi kata ”penghinaan” dalam RUU ini diartikan sebagai ”menyerang kehormatan dan nama baik”. Dengan rumusan ini, maka sangat kuat tendensi untuk menggunakan subyektifitas kekuasaan yang ada ditangan pemerintah. Makanya di beberapa negara demokratis, tindak pidana ini telah mengalami dekriminalisasi. 4.3.4. Kriminalisasi terhadap Terorisme 48. Dalam RUU KUHPidana telah dirumuskan pasal-pasal yang berkaitan dengan kejahatan terorisme. Sebagian besar perumusan tersebut diambil dari UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Terorisme. Sehingga kelemahan yang melekat pada undang-undang terorisme bertransformasi pula pada rumusan di RUU KUHPidana. Beberapa kelemahan tersebut umumnya berkenaan dengan cara bekerja perangkat hukum dalam menjalankan “operasi” menumpas “teroris” yang berpotensi menyerang hak-hak sipil warga. Akibatnya, pengaturan tindak pidana terorisme dalam RUU KUHPidana menjadi ancaman bagi hak-hak pribadi, misalnya: penangkapan sewenang-wenang, penahanan yang lama, dan tindakan lainnya yang bertentangan dengan Konvensi Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi Indonesia.
4.4. Perlindungan Terhadap Perilaku Korporasi 49. Kemajuan yang cukup berarti dalam draft RUU KUHPidana adalah dijadikannya korporasi sebagai subyek hukum pidana. Permasalahan pokok dalam pengaturan tentang korporasi adalah siapa yang dimaksud dengan korporasi, kapan ia bertanggung jawab, dan bagaimana ia bertanggung jawab terhadap kejahatan yang dilakukannya, serta kejahatan apa saja yang subyek pelakunya korporasi. Dalam RUU KUHPidana hanya ditemukan dua jenis tindak pidana yang pelakunya adalah korporasi, yaitu: seperti yang diatur dalam Pasal 644 dan Pasal 737. Meskipun dalam beberapa pasal disebutkan bahwa berbagai kejahatan dapat juga pelakunya sebagai korporasi, tetapi tidak disebutkannya secara tegas jenis-jenis kejahatan yang merupakan kejahatan korporasi dapat mengakibatkan penerapan tanggung jawab korporasi menjadi tidak mudah bahkan cenderung sangat terbatas. 50. Akibatnya, perlindungan terhadap perilaku korporasi tidak mendapat jaminan yang begitu baik. Bahkan, dari segi sanksi yang ditimpakan kepada korporasi berupa denda saja. Hal ini tentu saja menimbulkan berpengaruh pada suatu keraguan akan deterent effect. Dan bisa jadi tidak seimbang antara sumber daya dan dana yang dihabiskan untuk menangani kejahatan yang dilakukan oleh korporasi (white collar crime) yang canggih, menggunakan teknologi tinggi, sulit dideteksi dengan sanksi yang dijatuhkan.22 22
Lihat: Bab III
16
Bab 5 Sanksi Pidana 51. Penjatuhan pidana senantiasa berkaitan dengan menghilangkan atau membatasi kemerdekaan seseorang. Meskipun tindak pembatasan atau perampasan kemerdekaan itu absah (legal), tetapi selalu dipertanyakan dasar moral dan legitimasi politiknya: apakah tindakan memaksa semacam itu sudah (yang dilakukan oleh negara) didasarkan pada alasan pembenar yang kuat, antara lain sudahkah ia ditempatkan dalam koridor hak asasi manusia?; atau apa yang mendasari falsafah pemidanaannya? 52. Isu yang dikemukakan di tas telah menjadi wacana menarik sejak Cessare Baeccaria menulis On Crime and Punishment --yang telah menjadi klasik itu, yang sudah memunculkan beragam paradigma dalam memandang pemidanaan. Menyingkat semua paradigma yang ada itu, Antony Duff dan David Garland23 mengelompokkannya ke dalam dua golongan besar, yakni konsekuensialis dan non-konsekuensialis. Bagi aliran konsekuensialis, tujuan pemidanaan sangat ditentukan pada konsekuensinya: bermanfaat atau tidak!24 Sedangkan bagi aliran non-konsekuensialis, penjatuhan pidana merupakan penderitaan yang harus diberikan kepada pelaku kejahatan. Penjatuhan pidana dilihat sebagai respon yang pantas (appropriete response) terhadap kejahatan.25 53. Pertanyaannya kemudian adalah, desain pemidanaan dalam RUU KUHPidana didasarkan pada falsafah yang mana? Dalam pengamatan Prof. Harkristuti Harkrisnowo, 26 desain pemidanaan dalam RUU KUHPidana lebih cenderung ke pandangan kaum konsekuensialis, falsafah utilitarian memang sangat menonjol. Hal ini terlihat dari tujuan pemidanaan yang dirumuskan dalam RUU tersebut, yang merumuskan pemidanaan sebagai: a). Pencegahan; b) pemasyarakatan terpidana; c) penyelesaian konflik dan pemulihan keseimbangan; d) pembebasan rasa bersalah terpidana; serta e) memaafkan terpidana. Selain itu, ditambahkan pula (tujuannya): “tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia”.27 54. Berangkat dari tujuan pemidanaan demikian, kita melihat terdapat “kemajuan” dalam pengaturan sanksi pidana atau jenis pidana dalam RUU KUHPidana. Antara lain diterapkannya pidana pengawasan dan denda kerja-sosial (order in community services) – yang tampak berorientasi ke depan (forward-looking). Selain itu juga diperkenalkan “pedoman penerapan pidana dengan perumusan tunggal dan perumusan alternatif”, sehingga dapat mencegah terjadinya disparitas dalam penjatuhan pidana. Kita kutip salah satu ketentuannya, yang menyatakan: “Jika suatu tindak pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif, maka penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan ...”.28
23
Lihat Antony Duff dan David Garland (1995), A Reader on Punishment, Oxford: Oxford University Press. Aliran ini kelihatan mengedepankan pandangan paradigma utilitarian yang dipelopori oleh Jeremy Bentham. 25 Aliran ini didasarkan pada pandangan yang sering dikemukakan oleh para penganut paradigma retributivist. 26 Lihat Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 8 Maret 2003. 27 Lihat Pasal 54 (1) dan (2), Bab III, RUU KUHPidana. 28 Lihat Pasal 60 (1) RUU KUHPidana. 24
17
55. Tetapi tetap masih ada ketentuan yang “kontroversial”. Salah satunya adalah mengenai masih dipertahankannya ‘hukuman mati’. Pandangan retributif tampak masih menguasai pemikiran para perancang RUU, atau belum sepenuhnya ditinggalkan begitu saja. Hal ini tampak pada sanggahan Prof. Muladi berikut: “... perlu dipikirkan kembali memasukkan tujuan pemidanaan yang bersifat ‘pembalasan modern’... guna memenuhi tuntutan pembalasan dalam masyarakat terhadap tindak-tindak pidana yang berat”.29 Dengan dipertahankannya hukum mati sebagai pidana pokok, menunjukkan dengan gamblang kita masih berpegang pada lex talionis atau dikenal dengan adagium “an eye for an eye, a tooth for a tooth” --yang lebih berorietansi pada ke belakang (backward-looking). Jadi perumus RUU ini tampak masih ambigu dalam memastikan falsafah dan tujuan pemidanaan yang harus diambilnya. 56. Apalagi pencantuman pidana mati tersebut bertentangan dengan UUD 1945 Amandemen Kedua, yang menegaskan tentang jaminan konstitusional terhadap hak atas hidup (right to life). UUD dengan tegas menyatakan, bahwa hak atas hidup merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun dan dengan alasan apa pun (non derogable rights). Pencantuman hukuman mati dalam RUU ini dengan demikian akan menimbulkan problem konstitusional. Selain itu, dapat pula dikatakan, melemahkan semangat tujuan pemidanaan yang dianut oleh RUU ini sendiri.
29
Lihat Muladi, “Jenis-jenis Pidana Pokok dalam KUHP Baru”, makalah pada Lokakarya Bab-bab Kodifikasi Hukum Pidana tentang Sanksi Pidana, Jakarta: BPHN, Februari 1986.
18
Bab 6 Penutup
6.1.
Kesimpulan
57. Hasil kajian ini, yang dipaparkan bagian-bagian di muka, menunjukkan bahwa RUU KUHPidana belum memberikan jaminan yang sepenuhnya terhadap perlindungan hak asasi manusia, khususnya terhadap beberapa hak dalam kategori hak-hak sipik dan politik. Hakhak itu antara lain, hak atas atas privacy, kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi, kebebasan mempunyai keyakinan politik, kebebasan berpartisipasi dalam pemerintahan, kebebasan mencari dan menyebarkan ide, informasi atau pengetahuan, dan sebagainya. 58. Terlihat di sini para perancang RUU tidak sepenuhnya mengikuti prinsip-prinsip pembatasan dalam kriminalisasi, yang salah satu di antaranya adalah, “kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu”. Prinsip kriminalisasi ini tidak sungguh-sungguh dihayati, para perancang malah membuka penyalahgunaan hukum pidana oleh kekuasaan yang memerintah. 59. Makanya tidak mengherankan banyak kritik terhadap RUU KUHPidana. Di antaranya datang dari kalangan wartawan, yang melihat RUU ini banyak membatasi aktifitas jurnalistik. Selain itu, juga datang dari kalangan pembela hak asasi manusia yang dengan keras menyatakan RUU ini mengancaman kebebasan dasar dan hak asasi manusia.
6.2.
Rekomendasi
60. Bertitik-tolak pada temuan-temuan yang dipaparkan dalam studi ini, di bawah ini diketengahkan beberapa rekomendasi sebagai masukan terhadap RUU KUHPidana. Rekomendasi-rekomendasi itu adalah: a) Berkaitan dengan pentingnya perlindungan hak asasi manusia di dalam hukum pidana, maka sistematika Buku II (yang berisi tentang tindak pidana) seharusnya dirubah dari sistematik yang lama (KUHP yang kini berlaku) ke sistematik dimulai dengan: (i) perlindungan terhadap hak-hak induvidu (crimes against the integrity of person); (ii) perlindungan terhadap hak-hak kebendaan (crimes against property); (iii) (perlindungan terhadap ancaman atas masyarakat atau umum (crime against society /or public morality); (iv) perlindungan terhadap keamanan negara (crime against state security); dan (v) tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat negara. b) Berkaitan dengan perlindungan terhadap kehormatan dan reputasi (protection of reputation and honour), dan di sisi lain perlindungan terhadap kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech and opinion), direkomendasikan: (i) Delik dirumuskan secara materiil, sehingga kalau tuduhan yang dibuat seseorang benar (in good faith) dan diperlukan untuk kepentingan umum (required in the public interest), dan disiarkan oleh pers, maka perbuatan tersebut tidak dapat dimasukkan sebagai “hate crime” (apakah defamation, insult, slander, liber maupun false news);
19
c)
d)
e)
f)
g)
(ii) Atau tindak pidana terhadap kehormatan dan reputasi itu (defamation, slander, liber, dan false news) ini dihapuskan saja (di-dekriminalisasi-kan), dan sebagai gantinya dijadikan sebagai “civil defamation”, yakni gugatan perdata, seperti dilakukan di Ghana, Srilangka, Uganda, dan sebagainya. Berkaitan dengan perlindungan terhadap hak atas kebebasan mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan gagasan (freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds) --khusunya berkaitan dengan kebebasan pers (freedom of the press), maka tindak pidana ini: (i) tindak pidana ideologi; (ii) tindak pidana pertahanan dan rahasia negara; (iii) tindak pidana terhadap presiden dan wakil presiden, negara sahabat, pemerintahan; (iv) tindak pidana ketertiban dan ketentraman umum; (v) tindak pidana terhadap golongan penduduk dan agama; dan (vi) tindak pidana porno-aksi, direkomendasikan agar perumusan deliknya agar lebih jelas (clearly), sehingga tidak dapat dimaknai secara subyektif. Kalau tidak, pers bukan hanya menghadapi ancaman tindak pidana kehormatan dan reputasi (defamation, slander, insult, libel), tetapi juga menghadapi ancaman tindak pidana kejahatan terhadap negara, pertahanan dan rahasia negara, penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, presiden dan wakil presiden, kelompok agama dan penodaan agama (blasphemy) hingga kepada pornografi dan pornoaksi. Jelas ini akan berdampak pada pembatasan kebebasan pers. Berkaitan dengan tindak pidana hak asasi manusia (genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan di masa perang) --karena kejahatan ini memiliki dimensi dan sifat yang berbeda dengan tindak pidana biasa (genaral crimes), direkomendasikaTindak pidana ini tidak perlu dimasukkan ke dalam RUU KUHPidana, tetapi tetap diatur oleh UU tersendiri (seperti sekarang ini diatur dalam UU No. 26/2000); Berkaitan dengan kriminalisasi terhadap penghinaan terhadap golongan penduduk, yang rumusan deliknya diubah menjadi delik materiil, direkomendasikan agar perlu dibuat penjelasan yang memadai terhadap unsur “terjadinya keonaran di dalam masyarakat”, sebab sekarang “keonaran” itu dengan mudah dapat diciptakan atau direkayasa oleh pihak yang berkepentingan. Kalau tidak, akan berbahaya bagi hak atas kebebasan berbicara atau ekspresi. Berkaitan dengan perlindungan terhadap agama dengan mengkriminalisasi perbuatanperbuatan yang “menghina keagungan Tuhan, mengejek, menodai atau merendahkan agama, rasul, nabi, kitab suci” dan seterusnya, studi ini merekomendasikan: (i) Untuk menghilangkan tendensi subyektifitas dalam menafsirkan kata-kata yang digunakan dalam delik ini, maka diperlukan perumusan yang jelas dengan memberi arti yang memadai sehingga dapat dimengerti dan diperkirakan (predictable); (ii) Delik ini seharusnya dirumuskan dengan mensyaratkan adanya mens rea (elemen mental), yakni intention (dengan sengaja) menghina atau menodai agama, rasul, dan seterusnya. Kalau tidak delik ini bisa disalahgunakan, sehingga berdampak pada terganggunya kebebasan berpendapat dan berekspresi. Berkaitan dengan kriminalisasi terhadap pornografi dan pornoaksi –sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan (moral) masyarakat (public morals), yang diperluas dalam rancangan ini, studi ini merekomendasikan: (i) Dalam kaitan dengan pornografi, perbuatan yang dikriminalisasi seharusnya ditujukan pada pendistribusian gambar, cetakan, dan sebagainya yang bermuatan pornografi.;
20
(ii) Kriminalisasi terhadap pornoaksi tidak diperlukan masuk ke dalam RUU, sebab tidak memenuhi syarat-syarat krimininalisasi. Salah satunya adalah syarat, “kriminalisasi harus mengandung unsur korban secara aktual (harm to others)”. h) Berkaitan dengan kriminalisasi terhadap kejahatan negara, khususnya terhadap ideologi, studi ini merekomendasikan agar delik ideologi ini dihapuskan, karena bertentangan dengan rezim hukum hak asasi manusia di Indonesia (mulai dari UUD Amandemen ke-II, UU No. 39/1999, dan UU No. 11/2004). UU No. 39/1999 dengan tegas menyatakan: “hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani adalah hak-hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapa pun”. Selain itu, menurut hukum pidana, “punishes only acts, not thoughts, and only acts involving intentional harm-causing or risking to others”. i) Berkaitan dengan kriminalisi terhadap presiden dan wakil presiden, dan kriminalisasi terhadap pemerintahan yang sah, studi ini merekomendasikan: (i) Rumusan delik penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dirubah menjadi delik aduan. Sebab kalau dipertahankan rumusan yang sekarang, maka dampaknya akan mematikan kritik dan kontrol dari masyarakat --yang justru sangat diperlukan dalam sistem demokrasi; (ii) Sedangkan dalam kaitannya dengan delik penghinaan terhadap pemerintah yang sah, delik ini seharusnya dihapuskan saja. Sebab delik ini sekedar mempertahankan “pasalpasal hatzaai artikelen” (dengan merubah rumusan deliknya menjadi materiil), yang sebetulnya sudah tidak kontekstual lagi dalam penataan kembali kehidupan bernegara yang demokratis. j) Berkaitan dengan sanksi pidana, RUU ini masih mempertahankan hukuman mati sebagai salah satu sanksi pidana. Studi ini merekomendasikan, bahwa seharusnya RUU KUHPidana --yang akan berlaku di masa depan, sudah tidak lagi mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu jenis hukuman. Sudah seharusnya legislasi penghukuman disesuaikan dengan UUD 1945 Amandemen ke-II, yang menegaskan “hak atas hidup” sebagai non-derogable rights. 61. Mempertimbangkan bahwa RUU ini memiliki beberapa kelemahan mendasar yaitu belum menjamin sepenuhnya terhadap perlindungan hak asasi manusia serta mempertimbangkan beratnya pembahasan RUU ini maka terkait dnegan metode yang akan digunakan dalam menyusun perubahan KUHPidana, Komnas HAM memandang sebaiknya menggunakan metode perubahan undang-undang secara parsial (pada tindak pidana tertentu yang dirasa perlu untuk diubah) atau perubahan yang sifatnya adendum, daripada melakukan perubahan dengan metode re-kodifikasi yang akan menyusun ulang semua susunan tindak pidana yang ada pada KUHPidana. ***
21