Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan (Studi Putusan Pidana No.42/PID. B/2012/PN-YK) By: Rahmat Hidayat** Abstract Yogyakarta has customs and culture are still adhered to by the people. Besides being a cultural city, the area is also famous as a city of education. Encompass Hundreds or even Thousands of students and student, allowing the occurrence of crime, especially rape. But with the positive law is expected to provide a sense of security to everyone. Often Rape Victims are in the spotlight if the crime of rape Occurs. This study uses literature (library research) is to find the data is in the form of books, documents, Articles, and other materials Relating to the legal protection of Victims of crime of rape as well as laws Relating to Victims more par- ticularly Decision 42 / Pid .B / 2012 / PN-YK crime Victims of rape. And it is possible to use a field study (field research) to Work Directly in collecting the data Reviews such as interviews to Determine the exact legal protection given to Victims of crime of rape, especially in the city of Yogyakarta. The results of the study reveal that the decision 42 / Pid.B / 2012 / PN-YK that Witness Protection Act 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims do not have a significant impact on crime Victims of rape. With the conviction of perpetrators, actually Also one of protection for Victims. However, the victim should receive protection as rehabilitation, Restitution, Compensation, and protection of reproductive rights of Victims. But in fact, the victim does not get the protection. There are some things that hinder the victim does not get legal protection, Among others: the victim was satisfied with only the conviction of the perpetrator, the victim did not ask for compensation or Restitution, family customary actors have to pay fines to the families of the victims, and the absence of trauma received by the victim in terms of both physical and psychological that Victims do not require rehabilitation and It is also justified by the victim. This can be seen from the autopsy report that the presence of a long tear in the genital area Victims WHO concluded that the victim had previously marital relationship and it is justified by the Offender in his testimony.
**Alumni
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Email.
[email protected].
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
160
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
Abstrak Yogyakarta memiliki adat dan budaya yang masih dipegang teguh oleh masyarakatnya. Di samping sebagai kota budaya, daerah ini juga terkenal sebagai kota pendidikan. Menjaring ratusan bahkan ribuan mahasiswa dan mahasiswi, sehingga memungkinkan terjadinya kejahatan terutama perkosaan. Namun dengan adanya hukum positif diharapkan mampu memberikan rasa aman kepada setiap orang. Korban perkosaan sering menjadi sorotan jika kejahatan perkosaan terjadi. Penelitian ini menggunakan studi pustaka (library reseach) yang dielaborasi dengan studi lapangan (field reseach). Hasil penelitian mengungkap bahwa dalam putusan No.42/PID.B/2012/ PN-YK bahwa Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban belum memberikan dampak yang nyata kepada korban tindak pidana perkosaan. Dengan dihukumnya pelaku, sebenarnya juga menjadi salah satu perlindungan bagi korban. Namun, korban seharusnya mendapatkan Perlindungan seperti rehabilitasi, restitusi, kompensasi, dan perlindungan atas hak-hak reproduksi korban. Tapi faktanya, korban tidak mendapatkan perlindungan tersebut. Ada beberapa hal yang menghambat korban tidak mendapatkan perlindungan hukum, di antaranya: korban telah merasa puas dengan hanya dihukumnya pelaku, korban tidak meminta kompensasi maupun restitusi, keluarga pelaku secara adat telah membayar denda kepada keluarga korban, dan tidak adanya rasa trauma yang diterima oleh korban baik dari segi pisik maupun psikis sehingga korban tidak memerlukan rehabilitasi dan hal tersebut juga dibenarkan oleh korban. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil visum bahwa dengan adanya robekan lama pada daerah kelamin korban yang menyimpulkan bahwa korban sebelumnya sudah pernah melakukan hubungan suami istri dan hal tersebut dibenarkan oleh pelaku dalam kesaksiannya. Kata Kunci: Perlindungan Hukum dan Pemerkosaan. A. Pendahuluan Perkembangan zaman merupakan sebuah hegemoni yang memiliki daya tarik tersendiri dalam setiap eksistensinya di mana dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan maupun teknologi di dunia ini dan khususnya di Indonesia sendiri membuat SDM (Sumber Daya Manusia) di setiap bidang kewalahan untuk mengimbangi pesatnya kemajuan tersebut. Di satu sisi masyarakat dapat merasakan dampak positif dari perkembangan tersebut namun di sisi lain juga ada dampak negatif yang timbul seperti, banyak terjadi tindakan kriminal, dan penyimpanganpenyimpangan seiring berjalannya waktu. Salah satunya ialah kasus PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
161
pemerkosaan yang dalam grafiknya semakin hari semakin meningkat. Bila ditinjau dari sejarahnya kasus pemerkosaan ini termasuk salah satu kasus yang klasik di mana akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri dan bahkan tindak pidana perkosaan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar melainkan juga di daerah pedesaan yang relatif masih sangat memegang teguh nilai-nilai tradisi dan adat istiadat. Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa tindak pidana perkosaaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar1. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan menimbulkan korban. Sebagai negara hukum, Indonesia dengan tegas telah memberikan hukuman yang maksimal terhadap pelaku perkosaan, hal tersebut dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Pasal 281 s/d 296), khususnya yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan (Pasal 285 dan 289). Pasal 285 yang menyatakan: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Pasal 289 KUHP “Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.” Korban tindak pidana merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu peristiwa pidana. Begitu juga dengan korban pemerkosaan yang menderita akibat tindak pidana yang dialaminya. Oleh sebab itu perlu kiranya diketahui sejauh mana korban telah memperoleh perlindungan hukum sebagaimana yang diharapkan. Korban adalah mereka yang menderita secara jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakan dari pihak lain, yang ingin mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau pihak lain yang bertentangan dengan hak asasi yang dirugikan.2 Korban dapat berupa perorangan maupun kelompok, korban dapat juga berupa suatu badan hukum. 1Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan terhadap Kekerasan Seksual, (Bandung: Refika Aditama, 2001), hlm. 40. 2Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Prassindo, 1993), hlm. 63.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
162
Dalam UU No.13 Tahun 20063 (Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban) sendiri terkait dengan perlindungan yang diberikan kepada seorang korban sebagai orang yang paling dirugikan dalam hal ini terutama dalam kasus perkosaan bahwa seorang korban berhak atas: 1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan; 2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; 3. Memberikan keterangan tanpa tekanan; 4. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; 5. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; 6. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; 7. Mendapatkan identitas baru; 8. Mendapatkan kediaman baru; 9. Dll Di dalam butiran yang terdapat dalam pasal di atas mengenai hakhak apa saja yang akan diberikan oleh negara terhadap para korban itu menunjukkan bahwa tingkat keamanan terhadap korban, perlindungan atas dilanggarnya hak-hak seseorang, serta atas dasar kesetaraan di mata hukum (equality before the law), sehingga memaksa negara untuk menjadikan posisi korban pada tempat yang sangat sakral, di samping itu keberadaan korban sendiri juga menjadi tokoh kunci dalam memperlancar persidangan. Bukan hanya berhenti di situ saja, bahkan mata duniapun dipaksa untuk terbuka guna lebih memperhatikan akan nasib yang menimpa korban. Hal itu dapat dilihat dari Deklarasi HAM sedunia yang dikeluarkan oleh PBB pada 10 Desember 1984 merupakan suatu respon terhadap kebutuhan manusia yang menginginkan hak-haknya dilindungi dan dijauhkan dari perbuatan yang melecehkan, merugikan, dan merendahkan harkat kemanusiaan.4 Dalam menjamin terlindunginya hak-hak asasi tersebut, pada tahun 1984 PBB mengeluarkan sebuah dokumen penting yang disebut Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (The Universal Declaration Of Human Right). Dan deklarasi ini pada prinsipnya diterima oleh seluruh anggota PBB.5 Namun dalam KUHP maupun KUHAP sendiri hanya 3
Pasal 5
4Abdul
Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan terhadap Kekerasan Seksual, (Bandung: Refika Aditama, 2001), hlm. 33. 5Ibid.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
163
mengatur sebagian kecil dari pelindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan di mana dalam ketentuan Pasal 14c ayat 1 KUHP telah memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan yaitu:6 “Pada perintah yang tersebut dalam pasal 14a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan tindak pidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.” Sementara dalam KUHAP Bab III Tentang Penggabungan Perkara Ganti Kerugian, Pasal 98 s/d 101, di mana korban dapat mengajukan gugatan mengenai kejahatan yang telah dialaminya sekaligus kerugian yang dideritanya. Dalam hal ini dapat dilihat dengan jelas bahwa perlindungan yang diberikan secara khusus terhadap korban tindak pidana perkosaan belum ada yang jelas dan dikhususkan terhadap korban. Akan tetapi menurut ketentuan hukum pidana di luar KUHP dan KUHAP perlindungan korban kejahatan dapat dilihat pula pada Undang-Undang di luar KUHP dan KUHAP. Hanya, orientasi perlindungan tersebut juga bersifat implisit dan abstrak. Tegasnya, perlindungan itu bukan imperatif, nyata, dan langsung seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Bahkan bila hanya terkait dengan ganti rugi sendiri baik dari hukum tertulis seperti hukum perdata maupun tidak tertulis seperti hukum adat menyatakan bahwa hal tersebut merupakan hal yang wajar apabila seseorang yang melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain karena kesalahannya tersebut, diwajibkan untuk mengganti kerugian. Seperti yang diatur dalam Pasal 1365 BW dan seterusnya.7 Pembentukan hukum nasional berarti menentukan perbuatan apa yang dilarang dan diancam dengan pidana serta menentukan pidana apa yang diancamkan, maka harus dipahami bahwa semua itu dilakukan dalam upaya mencapai tujuan yang lebih besar yaitu mencapai keadilan, kenyamanan, maupun kesejahteraan masyarakat
6 7
Pasal 14 c ayat 1. Pasal 1365 KUHPerdata.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
164
yang dalam hal ini dengan sarana hukum pidana yaitu dengan mencegah atau menanggulangi terjadinya kejahatan. Di saat suatu peristiwa pidana terjadi, aturan hukum lebih memfokuskan diri untuk menghukum pelaku kejahatan sehingga seringkali korban dari kejahatan tersebut terabaikan. Padahal korban juga patut untuk diperhatikan karena pada dasarnya korban merupakan pihak yang paling dirugikan dalam suatu tindak pidana. Seringkali pada saat pelaku kejahatan dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban terbengkalai seperti tidak dipedulikan. Padahal hal seperti ini bisa mencoreng nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam suatu hukum, sehingga untuk mengatasi hal ini diperlukan pengaturan tentang penanganan terhadap korban suatu tindak pidana. Dampak kejahatan menimbulkan korban dan kerugian. Kerugian yang timbul itu bisa diderita oleh korban sendiri, maupun oleh pihak lain secara tidak langsung. Yang terakhir ini bisa tergantung pada sanak saudara ataupun orang-orang lain yang menggantungkan hidupnya langsung. Tidak terkecuali dengan kejahatan pemerkosaan yang dinilai dapat merendahkan derajat kaum wanita serta merusak harkat dan martabatnya. Padahal wanita adalah ibu dari umat manusia, karena dari rahim seorang wanitalah anak manusia dilahirkan. Perlindungan korban tindak pidana dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan hukum atas penderitaan atau kerugian pihak yang telah menjadi korban tindak pidana.8 Segala sesuatu yang dapat meringankan penderitaan yang dialami seseorang akibat menjadi korban itulah yang dimaksud dengan perlindungan korban. Upaya untuk meringankan penderitaan tersebut dapat dilakukan dengan cara mengurangi baik penderitaan fisik maupun psikis atau penderitaan mental korban. Dalam hal ini penyusun akan menjadikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai salah satu landasan yang dijadikan sebagai rujukan dalam mencari solusi atas perlindungan yang diberikan terhadap korban tindak pidana perkosaan, serta peranan LPSK sendiri dalam menyikapi seorang korban tindak pidana perkosaan. Oleh sebab itu dengan adanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), diharapkan mampu dalam memberikan upaya yang 8Barda
Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 56.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
165
maksimal dalam memberikan perlindungan saksi maupun korban khususnya korban tindak pidana perkosaan yang telah mengalami banyak kerugian baik dari segi pisik maupun psikis. Perhatian dan perlindungan terhadap kepentingan korban tindak pidana perkosaan baik melalui proses peradilan pidana maupun melalui sarana kepedulian sosial tertentu merupakan bagian mutlak yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan hukum pidana dan kebijakan-kebijakan sosial, baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun oleh lembaga-lembaga sosial yang ada. Berdasarkan tujuan untuk mewujudkan pemerataan keadilan dan kesejahteraan umum, maka hak korban tindak pidana perkosaan untuk dilindungi serta dipenuhi pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak asasi di bidang jaminan sosial. Bila melihat di setiap kantor kepolisian di semua kota yang ada daerah-daerah di Indonesia pasti terdapat aduan tentang kasus perkosaan, hal tersebut membuktikan bahwa perkosaan ini merupakan kejahatan yang serius yang harus ditindak lebih lanjut oleh negara ini, dalam hal ini penyusun menjadikan kota Yogyakarta sebagai daerah yang akan ditinjau dalam penanganan kasus perkosaan karena, kota Yogyakarta merupakan kota pelajar dan juga kota budaya yang notabenenya menarik ratusan bahkan ribuan mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai daerah di Indonesia sehingga dengan dibanjirinya kota Yogyakarta oleh orang-orang baik kalangan laki-laki maupun wanita dapat memicu terjadinya kejahatan yang sedemikian rupa yang dapat mengancam ketenangan dan keharmonisan dalam relasi atas sesama seperti halnya kejahatan pemerkosaan yang makin merajalela, dan kejahatan lainnya. Jika dilihat dari grafiknya mengenai masalah perkosaan itu sendiri dari tahun 2011 ke tahun 2012 grafik menunjukkan peningkatan walaupun tidak terlalu signifikan di mana di tahun 2011 kasus perkosaan di PN Yogyakarta mencapai 4 kasus di mana keseluruhan dari korban merupakan anak di bawah umur di antaranya: Putusan No.101/PID.B/2011/PN-YK, tentang pencabulan, No.102/PID.B/2011/PN-YK, tentang pencabulan, No.363/PID.B/2011/PN-YK, tentang pencabulan, No.438/PID.B/2011/PN-YK, tentang pencabulan, sementara di tahun berikutnya, jumlahnya bertambah menjadi 5 kasus di mana 4 kasus pencabulan dan sisanya kasus pemerkosaan. Di antaranya: Putusan No. 43/PID.B/2012/PN-YK, kasus pencabulan, No. 3/PID.B/2012/PNYK, kasus pencabulan No. 52/PID-SUS/2012/PN-YK, kasus pencabulan, No.66/PID-SUS/2012/PN-YK, kasus pencabulan, dan No. 42/PID.B/2012/PN-YK, kasus pemerkosaan, dari data di atas dapat PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
166
disimpulkan bahwa kasus pemerkosaan maupun pencabulan di Yogyakarta meningkat, sangat miris sekali di mana kejahatan seperti pemerkosaan maupun pencabulan seharusnya tidak terjadi di kota Yogyakarta namun justru sebaliknya. Sehingga menjadikan kota Yogyakarta sebagai objek kajian adalah hal yang sangat menarik. Dengan putusan yang akan dijadikan sebagai suatu kajian oleh penyusun tentang bagaimana perlindungan yang diberikan kepada korban selaku korban tindak pidana perkosaan terkait dengan Putusan Nomor: 42/Pid.B/2012/PN.YK di mana seorang mahasiswa di kampus Respati melakukan perkosaan dengan kekerasan terhadap seorang mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta di Yogyakarta, terkait dengan bagaimana perlindungan yang telah diberikan terhadap korban perkosaan. B. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan 1. Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan adalah tempat berlindung, hal (perbuatan dan sebagainya) memperlindungi.9 Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.10 Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.11 Perlindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya.12 Sedangkan perlindungan yang tertuang dalam PP No.2 Tahun 2002 adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, Kamus Besar Bahasa Indonesia,www.artikata.com. diakses pada tanggal 15 November. 10 Pasal 1 angka 4UU 23 Tahun 2004Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 11 Pasal 1 Angka 6 UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 12 Pasal 1 Angka 23 UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. 9
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
167
dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.13 Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum, agar masingmasing subjek hukum dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan medapatkan haknya secara wajar, hukum juga berpungsi sebagai instrumen perlindungan bagi subjek hukum, jika dikaitkan dengan keberadaan suatu negara, hukum dapat difungsikan sebagai pelindung warga negara dari tindakan pemerintah yang tiran dan absolut.14 Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol, hukum adalah aspek terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan, hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarakat berhak mendapatkan pembelaan di depan hukum sehingga dapat diartikan bahwa hukum adalah peraturan atau ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakan dan menyediakan sangsi bagi yang melanggarnya. Menurut Plato dilukiskan dalam bukunya Republik. Hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.15 Sedangkan Aristoteles menyatakan bahwa hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.16 Sedangkan menurut Immanuel Kant hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum tentang Kemerdekaan.17 Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelangggaran Hak Azasi Manusia Yang Berat. 14 Johan Nasution Badher, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju, Agustus 2011), hlm. 258. 15 http://hukum-on.blogspot.com. Diakses pada tanggal 24 Desember. 16Ibid 17Ibid 13
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
168
lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.18 Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukun dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep di mana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.19 Menurut Philipus M. Hadjon20 perlindungan hukum bagi rakyat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: perlindungan hukum preventif, dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif yaitu rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang defentif, artinya perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasaarkan pada diskresi. Menurut Barda Nawawi arif21 terkait perlindungan hukum terhadap korban dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Hukum pidana positif saat ini lebih menekankan kepada perlindungan korban secara “ in abstracto” dan secara tidak langsung. 2. Perlindungan korban secara langsung masih terbatas dalam bentuk pemberian ganti rugi oleh si pelaku tindak pidana kepada korban. Belum ada ketentuan ganti rugi yang diberikan oleh negara kepada korban tindak pidana, ganti rugi terhadap negara
Putra, 2009, Definisi Hukum Menurut Para Ahli, www. putracenter.net. Diakses pada 20 November. 19 Rahayu, 2009, Pengangkutan Orang, etd.eprints.ums.ac.id. Diakses pada tanggal 27 Desember. 20 Johan Nasution Badher, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju, Agustus 2011), hlm. 258. 21 Adhi Wibowo, Perlindungan Hukum Korban Amuk Massa, (sebuah tinjauan viktimologi), (Yogyakarta: Thafa Media, februari 2013), hlm. 43. 18
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
169
hanya terbatas pada korban sebagai tersangaka, terdakwa dipenjara. 3. Ada lima kemungkinan pemberian ganti kerugian kepada korban dalam perkara pidana, yaitu: a. Pemberian ganti kerugian sebagai “syarat khusus” dalam aturan pidana bersyarat (Pasal 14c ayat(1) KUHP). b. Memperbaiki akibat-akibat dalam tindak pidana ekonomi, sebagai “tindakan tata tertib” (Pasal 8 d Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pengadilan Tindak Pidana Ekonomi); c. Pembayaran uang pengganti dalam perkara korupsi, sebagai pidana tambahan (Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi); d. Penggantian biaya yang telah dikeluarkan, dalam proses penggabungan perkara gugatan ganti rugi (perdata) dalam perkara pidana (Pasal 98-101 KUHAP); e. Ganti kerugian dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 147 huruf c, d dan e). Terkait dengan fakta mengenai posisi atau kedudukan saksi yang seringkali terancam dan rawan, maka berdasarkan pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban memberikan jaminan perlindungan atas hak-hak saksi dan korban yang harus dilindungi dan ditegakkan, yaitu: 22 1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan; 2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; 3. Memberikan keterangan tanpa tekanan; 4. Bebas dari tekanan menjerat; 5. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; 6. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; 7. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; 8. Mendapatkan penerjemah; 9. Mendapatkan identita baru; Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 22
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
170
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
10. Mendapatkan kediaman baru; 11. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; 12. Mendapat nasehat hukum; 13. Memperoleh biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir; 14. Dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung dipengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa jika merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim; 15. Dapat memberikan kesaksian secara tertulis yang disampaikan dihadapan pejabat yang berwewenang dan membubuhkan tanda tandannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut; 16. Dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwewenang; 17. Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut scara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberiknnya (perlindungan hukum); 18. Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat di bebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksianya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Khusus bagi saksi yang berkedudukan sebagai saksi, perlu diberikan beberapa hak khsus antara lain: 1. Hak untuk didengar pendapatnya dalam setiap trahapan pemeriksaan 2. Hak atas restitusi dari pelaku kejahatan 3. Hak untuk tidak didekati pelaku atau kelompoknya dalam radius tertentu, dalam tindak pidana tertentu (injunction order) 4. Khusus untuk korban tindak pidana kekerasan yang menimbulkan penderitaan fisik dan atau psikologi yang berat, dimungkinkan untuk mendapatkan hak-hak: a. Bantuan medis b. Bantuan konsultasi psikologi c. Hak atas kompensasi dari negara PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
171
Bedasarkan pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban tersebut di atas, bahwasanya pengaturan terhadap perlindungan saksi dan korban pada hakikatnya untuk menjadikan saksi maupun korban berada dalam posisi yang senyaman mungkin agar dalam proses peradilan tugas para penegak hukum dapat dipermudah dengan adanya bukti-bukti dari para saksi maupun korban atau mempermudah penegak hukum dalam melakukan pembuktian dan sekaligus membuktikan bahwa terdakwa bersalah. 2. Pengertian Korban 1) Korban Indonesia menyimpan banyak sekali rahasia dibalik suatu hal yang ada maupun tiada dalam proses menjadi. Terbayangkan difikiran seorang yang dilanda ribuan derai air mata yang mengalir, melihat di dalam sebuah dentum keretakan dinamika sosial yang berbentuk kerusuhan merupakan hasil tersendiri dalam perubahan sosial di masyarakat. Kerusuhan dan kekacauan biasanya akan meninggalkan dampak-dampak yang signifikan seperti penjarahan, kriminal, dan korban. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa tidak ada pelaku tanpa adanya korban, dan tidak ada korban tanpa adanya pelaku hubungan antara pelaku dan korban merupakan hubungan yang dwitunggal.23 Namun demikian, untuk perbuatan pelanggaran hukum tertentu mungkin terjadi apa yang sering dikenal dengan kepustakaan kriminologi sebagai “victimless crime” dan “crime without victim” (kejahatan tanpa korban), bahkan korban dan pelakunya adalah tunggal dalam pengertian bahwa pelaku adalah korban dan korban adalah pelaku24. Selama beberapa abad, pengertian korban menjadi berubah dan memiliki makna yang lebih luas. Ketika viktimologi pertama kali ditemukan yaitu pada tahun 1940-an, para ahli viktimologi seperti Mendelshon, Von Hentig dan Wolfgang cenderung mengartikan korban berdasarkan text book dan kamus yaitu ”orang lemah yang membuat dirinya sendiri menjadi korban”. Pemahaman seperti itu ditentang habishabisan oleh kaum feminist sekitar tahun 1980-an, dan kemudian mengubah pengertian korban yaitu “setiap orang yang terperangkap dalam suatu hubungan atau situasi yang asimetris. Asimetris di sini yaitu segala sesuatu yang tidak imbang, bersifat ekploitasi, parasitis (mencari 23Arif
Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Prassindo 1983, hlm.
75. 24Adhi
Wibowo, Perlindungan Hukum Korban Amuk Massa, (sebuah tinjauan viktimologi), (Yogyakarta:Thafa Media, februari 2013), hlm. 24.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
172
keuntungan untuk pihak tertentu), merusak, membuat orang menjadi terasing, dan menimbulkan penderitaan yang panjang”. Istilah korban pada saat itu merujuk pada pengertian “setiap orang, kelompok, atau apapun yang mengalami luka-luka, kerugian, atau penderitaan akibat tindakan yang bertentangan dengan hukum. Penderitaan tersebut bisa berbentuk fisik, psikologi maupun ekonomi”. Kamus umum bahasa Indonesia menyebutkan kata korban mempunyai pengertian:”korban adalah orang yang menderita kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu dan sebagainya) sendiri atau orang lain”. Korban adalah mereka yang menderita jasmani dan rohani sebagai akibat tindakan orang lain yang mencuri pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Menurut kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang ahli bahwa korban adalah “orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”.25 Di sini jelas yang dimaksud “orang yang mendapat penderitaan fisik dan seterusnya” itu adalah korban dari pelanggaran atau tindak pidana. Di dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dikatakan bahwa, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia melihat sendiri, dan atau ia alami sendiri. Selanjutnya di dalam pasal 1 angka 2 UU PSK (Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban) dikatakan, korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.26 Dengan demikian apabila dicermati bahwa UU PSK pada dasarnya menganut pengertian korban dalam arti luas, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan, tidak hanya secara fisik atau mental atau ekonomi saja, tetapi bisa juga kombinasi di antara ketiganya. Hal senada juga dikatakan oleh Arief Gosita bahwa korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau
http://yuyantilalata.blogspot.com diakses pada 13 Juni 2013. 1 angka 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 25
26Pasal
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
173
orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.27 Dalam hal ini korban tindak pidana perkosaan pada umumnya adalah wanita baik yang masih belia sampai yang telah ujur, di satu sisi dikarenakan wanita merupakan makhuk yang memiliki fisik yang lemah dan di sisi lain disebabkan faktor-faktor yang lain seperti latar belakang ekonomi, latar belakang pendidikan dll. Bila suatu tindak pidana perkosaan terjadi, terkadang wanita sebagai viktim atau korban biasanya cenderung lebih tertutup atau tidak mau memberikan informasi kepada pihak yang berwajib dengan berbagai alasan yang mendasari hal tersebut. Hal umum yang biasa didengar sebagai alasannya ialah karena takut akan ancaman yang diberikan oleh pelaku terhaadap korban pemerkosa yaitu seperti ancaman akan dibunuh bila korban melaporkannya, namun ada juga sebagian yang memiliki alasan lain seperti merasa malu. Sehingga seringkali dalam kasus pemerkosaan ini banyak terjadi kendala yang dapat merugikan pihak korban. Menurut Muladi yang dimaksud dengan korban adalah seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan dan atau yang rasa keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target atau sasaran kejahatan.28 Dalam kaitannya dengan peranan dengan tindak pidana, korban dapat dibedakan menjadi: 1. Unrelated victim 2. Provocative victim 3. Precititative victim 4. Biologically weak victim 5. Socially victim 6. Self victimizing victim 7. Politically victim 8. Participating victim 2) Macam-macam korban kejahatan Telah disampaikan sebelumnya bahwa pengertian korban telah meluas sehingga tidak dapat mencakup korban dari kejahatan konvensional, tetapi juga korban kejahatan non konvensional dan penyalahgunaan kekuasaan. Pada kongres PBB kelima tentang pencegahan 27Arif
Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Prassindo, 1993),
hlm. 40. 28Suryono
Ekatama, et.al, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan, (UAJ: Yogyakarta, 2000), hlm. 176.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
174
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
kejahatan dan pembinaan pelanggaran hukum (Jenewa, September 1957) telah dijadikan salah satu topik pembicaraan mengenai New forms and dimension of crime yang meliputi antara lain crime as business dan economic and social consequences of crime; new challenge for research and planning. Dalam kongres tersebut telah dibicarakan masalah cost of crime yang dikatakan hit most severely the weaker members of society, permitting the powerful to commit crime with impunity.29 Dalam konggres PBB ketujuh telah mengelompokkan macammacam korban sebagai berikut: a. Korban kejahatan konvensional adalah korban yang diakibatkan oleh tindak pidana biasa atau kejahatan biasa misalnya, pembunuhan, perkosaan, penganiayaan dan lain-lain; b. Korban non-konvensional adalah korban kejahatan yang diakibatkan oleh tindak pidana berat seperti terorisme, pembajakan, perdagangan narkotika secara tidak sah, kejahatan terorganisir dan kejahatan computer; c. Korban kejahatan akibat penyalahgunaan kekuasaan (Ilegal abuses of power) terhadap hak asasi manusia alat penguasa termasuk penangkapan serta penahanan yang melanggar hukum dan lain sebagainya. 3. Pengertian Pemerkosaan 1) Pengertian Pemerkosaan Pemerkosaan merupakan suatu Tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP adalah: “Barangsiapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, karena perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya dua belas tahun”.30 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkosaan berasal dari kata “perkosa” yang berarti paksa, gagah, kuat, perkasa. Memperkosa berarti menundukkan dengan kekerasan, menggagahi, melanggar (menyerang, dsb) dengan kekerasan. Sedangkan pemerkosaan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan memperkosa; melanggar dengan kekerasan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia itu menunjukkan bahwa unsur utama yang melekat pada tindakan perkosaan adalah adanya prilaku kekerasan yang terkait dengan hubungan seksual, yang dilakukan dengan jalan melanggar hukum. Artinya tidak selalu kekerasan yang terkait dengan hubungan seksual dapat dikategorikan 29Dikdik M arief Mansur, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, (Antara Norma dan Realita), (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hlm. 23. 30 Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
175
sebagai perkosaan.31 Berdasarkan uraian tersebut, maka pengertian perkosaan adalah: a. Suatu hubungan kelamin yang dilarang dengan seseorang wanita tanpa persetujuannya. b. Persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kemauan atau kehendak wanita yang bersangkutan. c. Perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan seorang pria terhadap seorang wanita yang bukan istrinya atau tanpa persetujuannya, dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau di bawah kondisi ancaman lainnya. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, “perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar. dalam pengertian seperti ini, apa yang disebut sebagai pemerkosaan, di satu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan (ialah perbuatan seseorang yang secara paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya), dan dipihak lain dapatlah dilihat pula sebagai suatu peristiwa (ialah pelanggaran norma-norma dan dengan demikian juga tertib sosial).”32 Sedangkan menurut R. Sugandhi, yang dimaksud dengan perkosaan adalah “seorang pria yang memaksa seorang wanita bukan istrinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk kedalam lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani.”33 Adapun unsurunsur selengkapnya tentang perkosaan menurut Sugandhi adalah: a. Pemaksaan bersetubuh oleh seorang laki-laki kepada wanita yang bukan menjadi istrinya. b. Pemaksaan bersetubuh itu diikuti dengan tindak atau ancaman kekerasan. c. Kemaluan pria harus masuk pada lubang kemaluan wanita. d. Mengeluarkan air mani. Pendapat itu menunjukkan pada suatu perkosaan yang terjadi secara tuntas, artinya pihak pelaku (laki-laki pemerkosa) telah menyelesaikan 31 Mohammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, (bima Aksara, Jakarta, 1987), hlm. 307. 32 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan terhadap Kekerasan Seksual, (Malang: Refika Aditama, 2001), hlm. 40. 33 Ibid, hlm. 41.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
176
perbuatannya hingga selesai (mengeluarkan air mani). Jika hal ini tidak sampai terjadi, maka secara eksplisit, apa yang dilakukan laki-laki itu belum patut dikategorikan sebagai perkosaan.34 Namun, pendapat seperti ini belum tentu sama dan disepakati oleh ahli-ahli lainnya. Ada ahli yang berpendapat, bahwa perkosaan tidak selalu harus merupakan deskripsi suatu persetubuhan yang dilakukan paksa sampai mengeluarkan air mani (sperma). Cukup dengan pemaksaan bersetubuh (sampai alat kelamin lakilaki masuk kedalam alat kelamin perempuan), maka hal itu sudah disebut perkosaan. Dan masih banyak pengertian perkosaan lagi menurut para ahli yang lain dan memang seharusnya seperti itu, bahwa dalam penyikapi tindak perkosaan bukan dipandang dari satu aspek saja seperti pada masalah bentuk pemaksaan hubungan seksualnya, namun harus pula dipandang dari aspek lain yang terkait dengan kerugian yang diderita korban. Kerugian ini sebagai cermin terampasnya hak-hak asasi perempuan akibat prilaku tidak bermoral dan tidak manusiawinya pelaku. Menurut Arief Gosita,35 perkosaan itu dirumuskan melalui beberapa bentuk perilaku berikut: a. Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur (objek). Sedangkan ada juga seorang laki-laki yang diperkosa oleh seorang wanita. b. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku. c. Persetubuhan di luar ikatan perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu. Dalam kenyataan ada pula persetubuhan dalam perkawinan yang dipaksakan dengan kekerasan, yang menimbulkan penderitaan mental dan pisik. Walaupun tindakan ini menimbulkan pendritaan korban, tindakan ini tidak dapat digolongkan sebagai suatu kejahatan oleh karena tidak dirumuskan terlebih dahulu oleh pembuat undang-undang sebagai suatu kejahatan. Ketiga unsur yang dikemukan oleh Arief Gosita itu pun menunjukkan bahwa posisi perempuan di tempatkan sebagai objek dari suatu kekerasan seksual (perkosaan). Kejahatan kekerasan seksual disebut Ibid, hlm. 41. Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan terhadap Kekerasan Seksual, (Malang: Refika Aditama, 2001), hlm. 45. 34
35Abdul
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
177
sebagai perkosaan karena adanya persetubuhan yang dipaksakan, yang dilakukan oleh seorang lelaki kepada wanita yang bukan istrinya. 2) Macam–macam pemerkosaan Menurut seorang kriminolog yaitu Mulyana W. Kusuma menyebutkan macam-macam perkosaan sebagai berikut:36 a. Sadistic Rape Perkosaan Sadista artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban. b. Angea Rape Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Di sini tubuh korban seakan-akan merupakan obyek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas prustasi-prustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya. c. Dononation Rape Yakni suatu perkosaaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah menaklukkan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual. d. Seduktive Rape Yakni suatu perkosaaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenggemaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena itu tak mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks. e. Victim precipitatied Rape Yakni perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya. f. Exploitation Rape Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan terhadap Korban kekerasan seksual, (Bandung: Refika Aditama,2001), hlm.46. 36
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
178
mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu yang diperkosa oleh majikannya sedang pembantunya tidak mempersoalkan (mengadukan) kasusnya ini kepada pihak yang berwajib. Dalam hal ini ada juga yang mengenal tentang “Marital Rape” yang artinya perkosaan terhadap istri sendiri. Dengan kata lain suami yang memaksa istri untuk melakukan hubungan intim atau bersetubuh. Namun banyak dikalangan ahli tidak mengkategorikan hal tersebut ke dalam pembagian perkosaan (Rape). C. Analisis Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan di Pn Yogyakarta (Putusan Pidana No 42/PID B/2012/PN-YK) 1. Analisis Terhadap Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Hakim ialah orang yang dianggap mengerti hukum dan juga memiliki wewenang yang sangat luas, terutama dalam hal memutuskan perkara dalam suatu persidangan. Secara normatif menurut Pasal 1 ayat (5) UU Komisi Yudisial No. 22 Tahun 2004 yang dimaksud dengan hakim adalah hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi sebagimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan secara etimologi atau secara umum, Bambang Waluyo, S.H. menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah organ pengadilan yang dianggap memahami hukum, yang dipundaknya telah diletakkan kewajiban dan tanggung jawab agar hukum dan keadilan itu ditegakkan, baik yang berdasarkan kepada tertulis atau tidak tertulis (mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas), dan tidak boleh ada satupun yang bertentangan dengan asas dan sendi peradilan berdasar Tuhan37, tentunya juga dengan tidak mengabaikan bukti-bukti, atau fakta-fakta persidangan yang ada guna memperkuat putusan seorang hakim dalam persidangan. Demi mendukung kelancaran tugas-tugas yang amat mulia yang dilakukan oleh hakim, maka diperlukan adanya suatu kemandirian bagi hakim. Sebagai penegak hukum dan 37
http://www.sarjanaku.com. diakses tanggal 9/10/2012
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
179
keadilan hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat38. Di samping itu pertimbangan hakin sendiri juga meruakan sebuah syarat yang kuat di dalam persidangan dalam memutuskan sebuah putusan. 1) Kronologi Perkara Tindak pidana perkosaan dalam putusan NO 42/PID B/2012/PN.YK ini terjadi berawal pada hari minggu jam 19.00 WIB tanggal 20 november 2011 di mana terdakwa Maksimum Doni Sesa datang kekost mantan pacarnya atau korban yang tidak lain adalah Irmayani A.R Tokan di Gang Jetayu GK.I/222 Gondokusuman Yogyakarta. Dan sesampainya terdakwa di tempat kejadian perkara, terdakwa langsung masuk ke kamar korban. Saat itu korban lagi berada di dalam kamar, karena terdakwa kehujanan dan celana pendeknya basah korban meminjami pelaku celana pendek warna biru. Dan setelah itu korban pergi keluar untuk makan bersama kakaknya Nur dan terdakwa disuruh oleh korban ke ATM untuk mengambil uang. Sepulang dari ATM terdakwa kembali ke kos korban namun di dalam kost tersebut tidak ada siap-siapa, baru setelah pukul 21.00 WIB korban kembali kekosnya. Kemudian terdakwa dan korban mengobrol di kasur sambil rebahan dan terdakwa mengajak korban untuk kembali menjadi pacarnya namun korban menolak. Kemudian terdakwa mengajak lagi untuk balikan atau menjadi pacar terdakwa namun kembali ditolak oleh korban. Awalnya terdakwa masih bisa tenang namun setelah dirayu berulangkali dan korban tetap menolak maka terdakwapun emosi namun pada akhirnya korbanpun mau untuk kembali menjadi pacar terdakwa dan setelah itu terdakwa merayu korban untuk melakukan hubungan suami istri namun korban menolak kemudian terdakwa membuka pakaiannya dan membuka dengan paksa pakaian korban sampai robek dan terdakwa mengikat tangan korban dengan singlet dan kabel listrik yang ada stop kontaknya dan menyetubuhi korban. Saat korban berontak terdakwa menampar korban dan kemudian menutupi muka korban dengan sarung akan tetapi korban semakin berontak dan terdakwa langsung menonjok mulut korban dan korban kembali berontak namun terdakwa 38
UU Kekuasaan Kehakiman No. 35 th 1999 Pasal 27 ayat 1
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
180
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
kembali menonjok mulut dan pipi korban setelah kurang lebih setengah jam terdakwa berhenti menyetubuhi korban dan membuka ikatan tangan korban namun terdakwa tidak sampai mengeluarkan sperma. Saat itu korban menangis dan kemudian terdakwa merayu korban lagi apakah korban masih mau menjadi pacar terdakwa, namu korban menolak dan terdakwapun langsung emosi dan menampar pipi korban, memukul mulut dan paha kiri korban sehingga korban bersedia menjadi pacar terdawa lagi. Dan malam itu terdakwa tidur di dalam kamar korban. Keesokan harinya terdakwa mengajak korban untuk bersetubuh lagi, karena takut korban hanya diam saja dan terdakwa menyetubuhi korban sampai terdakwa mengeluarkan sperma. 2) Dasar Hukum Hakim Dalam hal untuk menjatuhkan sanksi terhadap tersangka seorang hakim setidaknya harus memiliki bukti yang cukup kuat di dalam persidangan, serta menggali dan menetapkannya berdasarkan hati nurani yang tulus dan tanpa terkontaminasi oleh bujukan, rayuan maupun iming-iming dari pihak luar sehingga dapat merubah hasil dari putusan seorang hakim. Dalam hal ini hakim sendiri menjadikan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) pasal 285 yaitu: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakuka perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Sebagai dasar guna menjerat pelaku atas tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku kepada korban di mana, dengan menjatuhkan hukuman penjara kepada terdakwa. Dalam kasus tindak pidana perkosaan putusan No.42/PID.B/2012/PN-YK di mana, hakim menjatuhkan pidana kurungan atau penjara kepada terdakwa selama 3 tahun 6 bulan dipotong masa tahanan. Terkait dengan pokok-pokok dalam dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum di antaranya: 1. Menyatakan terdakwa Maksimum Doni Sesa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perkosaan, sebagaimana diatur dalam pasal 285 KUHP dalam dakwaan Primair; PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
181
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Maksimum Doni Sesa dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan; 3. Menyatakan barang bukti berupa dikembalikan kepada pemiliknya yaitu saksi Irmayani A.R Tokan a. Sepasang sepatu kulit warna hitam b. Sepotong kaos warna putih bertulisan Brazil c. Sepotong celana dalam pria warna hitam merah merk Crocodile d. Sepotong celana pendek jeans warna abu-abu e. Sepotong kaos warna hitam polos bergambar barong bali Dirampas untuk dimusnahkan f. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp.2.000,- (dua ribu rupiah); 3) Pertimbangan Hakim Dalam menjatuhkan pidana kepada setiap pelaku tindak pidana khususnya tindak pidana perkosaan hakim diharapkan lebih jeli dalam menyikapi sebuah perkara. Di mana dalam hal tersebut ada hal-hal yang menjadi dasar seorang hakim dalam memutuskan perkara pidana. Apakah hukuman pidana yang diterima oleh korban dilandaskan pada hal apa saja yang memberatkan hukuman atau justru lebih meringankan hukuman yang nantinya meringankan terdakwa. Sebelum menjatuhkan pidana kepada terdakwa, hakim mempertimbangkan hal-hal apa saja yang dapat memberatkan atau meringankan hukuman yang akan terdakwa terima. Hal-hal yang memberatkan: 1. Perbuatan terdakwa telah menyakiti fisik dan psikis saksi Irma A.R Tokan; 2. Perbuatan terdakwa telah menyebabkan kerugian terhadap saksi Irma A.R Tokan; 3. Perbuatan terdakwa telah menimbulkan keresahan bagi masyarakat; Hal-hal yang meringankan: 1. Terdakwa belum pernah dijatuhi pidana; 2. Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya; 3. Terdakwa masih muda dan masih memiliki masa depan; PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
182
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
Beberapa hal tersebut di atas yang menjadi alasan yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara pidana perkosaan ini di mana dengan memberikan keringanan hukuman kepada korban dengan masa kurungan 3 tahun 6 bulan dipotong selama masa tahanan. Beberapa hal dari alasan meringankan korban seperti terdakwa belum pernah dipidana, pengakuan korban atas tindak pidana yang ia telah perbuat, dan melihat bahwa korban masih memiliki masa depan yang sangat cerah sehingga hakim memberikan keringanan atau meringankan hukuman kepada terdakwa. 2. Analisis Terhadap Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban terhadap Koban Tindak Pidana Perkosaan Hadirnya Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban sebenarnya diharapkan menjadi titik terang dan mampu memperjuangkan kebebasan para korban khususnya korban tindak pidana perkosaan dalam hal ini korban perkosaan sebenarnya merupakan pihak yang paling menderita di dalam kasus pemerkosaan. Banyak hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan perlindungan terhadap korban sehingga nantinya mampu membentuk sifat maupun karakter korban ke arah yang positif. Karena banyak dari pihak korban dalam tindak pidana perkosaan yang merasa dirinya sudah hampa dan tidak berguna lagi bila telah menjadi korban perkosaan. Sehingga dengan perlindungan yang akan diberikan kepada korban nantinya mampu menjadikan sikap dan mental korban kembali seperti sedia kala. Sebagaimana dalam putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor. 42/Pid.B/2012/PN.YK tentang kasus pemerkosaan di mana dengan dihukumnya pelaku pemerkosaan selama 3 tahun 6 bulan dipotong masa penangkapan dan penahanan itu merupakan salah satu dari perlindungan yang didapatkan oleh korban tindak pidana perkosaan. dari hasil wawancara penyusun dengan salah satu hakim di Pengadilan Negeri Yogyakarta bahwa terkait dengan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban sendiri sudah sangat bagus bila ditinjau dari sisi viktimologi atau sisi korban di mana di sana tercantum bahwa pihak korban mendapatkan perlakuan khusus seperti yang tertera dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban pasal 5. Sepanjang perlindungan tersebut memang perlu diberikan kepada korban maka hakim maupun aparat yang lain juga akan memberikan perlindungan yang sesuai dengan UndangUndang. Korban merupakan saksi kunci, korban merupakan aktor utama, PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
183
korban merupakan tokoh sentral dalam mengungkap sebuah kasus khususnya dalam kasus pemerkosaan sehingga menjamin perlindungan terhadap korban menjadi dasar yang sangat sakral dalam dalam memperlancar persidangan. oleh karena itu dengan adanya UndangUndang Perlindungan Saksi dan Korban sedikit banyaknya bisa membantu dalam menangan pihak korban. Dalam kajian viktimologi sendiri sudah banyak mempelajari tentang keterkaitan korban dalam terjadinya sebuah perkara pidana baik dari sisi relasi antara korban dengan pelaku, keikutsertaan korban dalam terjadinya tindak pidana, maupun korban yang murni sebagai korban. Sehingga dengan munculnya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban sedikit memberikan jaminan terhadap korban di saat korban masih tersudut oleh kasus yang ia hadapi di satu sisi bila memang korban terbukti memiliki andil yang lebih besar dalam terjadinya tindak pidana perkosaan maka mungkin itu bisa menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut, walaupun di dalam undang-undang sendiri pihak pelaku tetap saja disoroti sebagai tersangka utama dalam terjadinya pemerkosaan, namun dengan demikian hal tersebut bisa saja menjadi sebuah keuntungan terhadap pelaku, di sisi lain bila korban memang benar-benar murni sebagai korban dalam tindak pidana perkosaan itu menjadi sebuah keuntungan terhadap korban di mana semua hal yang menyangkut atau terkait dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban bisa ia terima namun bukan berarti perlindungan tersebut pasti ia terima dalam arti bahwa para aparat dalam memilah-milih terlebih dahulu apakah pihak korban memang benar-benar membutuhkan perlindungan tersebut, penyusun ambil contoh: dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban di Pasal 5 bahwa perlindungan dan hak seorang korban yang harus didapat oleh korban dalam pasal tersebut baik dari butir A sampai M belum tentu sepenuhnya diterima oleh korban, di sinilah pihak aparat memiliki andil besar dalam menentukan perlindungan yang sesuai dan sepatutnya diberikan kepada korban terutama korban tindak pidana perkosaan. Dari hasil wawancara penyusun dengan salah satu hakim di Pengadilan Negeri Yogyakarta terkait dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban sendiri menjadi kunci bagi seorang hakim di mana dengan hal tersebut dapat menjadikan hal tersebut sebagai dasar dalam memberikan perlindungan yang lebih kepada para korban terutama korban dalam tindak pidana perkosaan dan terlebih hakim tersebut juga menjelaskan bahwa perlindungan yang didapat oleh korban tindak pidana PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
184
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
perkosaan di Pengadilan Negeri Yogya juga didasari oleh hal tersebut sehingga menjadi sebuah keuntungan terhadap hakim dalam memberikan perlindungan kepada korban khususnya korban tindak pidana perkosaan. Menurut analisis saya terkait dengan undang-undang perlindungan saksi dan korban terhadap korban tindak pidana khususnya korban perkosaan di mana memang undang-undang perlindungan saksi dan korban no 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini bersifat umum di mana di dalamnya mengatur tentang perlindungan yang harus diberikan terhadap korban namun bila melihat undang-undang ini lagi masyarakat dapat menyimpulkan bahwa perlindungan yang diberikan terhadap korban dalam undang-undang ini tidak lebih dari tindak pidana yang bersifat khusus di antaranya seperti terorisme, pencucian uang, dan tindak pidana khusus lainnya. Memang undang-undang ini sebenarnya lex generalis atau bersifat umum sehingga bisa dijadikan sebagai pacuan atau pegangan oleh pihak korban. Namun bila menilik kembali terkait isi dalam undang-undang tersebut bahwa korban yang mendapatkan perhatian khusus di sini tidak mencakup semua korban terutama korban dalam tindak pidana perkosaan melainkan hanya diberikan terhadap korbankorban tindak pidana yang khusus atau dalam lingkup tertentu saja sesuai dengan putusan LPSK misalnya seperti kasus korupsi, pencucian uang, HAM, terorisme, dan tindak pidana khusus lainnya. Yang berarti bahwa Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban belum sesuai untuk diterapkan atau diberikan kepada pihak korban Sehingga mungkin diperlukan tinjauan ulang terhadap undang-undang ini oleh pihak yang berwenang untuk lebih jeli dalam melihat korban. Kalau perlu membuat undang-undang yang memang lebih khusus dalam menangani kasus korban perkosaan dalam memberikan perlindungan, karena melihat dampak besar yang diderita oleh korban natinya. D. Penutup Berdasarkan uraian di atas penyusun menyimpulkan beberapa hal terkait perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan. 1. Bahwasanya dalam putusan Nomor.42/PID.B/2012/PN.YK di mana hakim telah menjatuhkan hukuman penjara kepada pelaku korban perkosaan ini dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dikurangi dengan masa penangkapan dan penahanan terdakwa selama menjalani proses peradilan, dan ini
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
185
juga termasuk dalam salah satu perlindungan yang diberikan kepada korban tindak pidana perkosaan. 2. Dalam hal ini korban dalam kasus perkosaan putusan Nomor. 42/PID/B/PN.YK tidak mendapatkan perlindungan hukum baik seperti kompensasi, restitusi, ataupun perlindungan yang tertera dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun dalam perkara ini korban tidak mendapatkan perlindungan hukum dikarenakan ia tidak mengajukan surat agar mendapatkan perlindungan (hasil dari wawancara dengan hakim). 3. Beberapa hal yang menjadi dasar pihak pengadilan tidak memberikan perlindungan kepada korban tindak pidana perkosaan khususnya dalm putusan No.42/PID.B/2012/PN-YK bahwa korban telah merasa puas dengan hanya dihukumnya pelaku dan korban tidak meminta kompensasi maupun restitusi, keluarga pelaku secara adat telah membayar denda kepada keluarga korban, dan tidak adanya rasa trauma yang diterima oleh korban, hal tersebut dapat dilihat dari hasil visum bahwa dengan adanya robekan lama pada daerah kelamin korban yang menyimpulkan bahwa korban sebelumnya sudah pernah melakukan hubungan suami istri dengan pelaku dan hal tersebut dibenarkan oleh pelaku dalam kesaksiannya.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan terhadap Kekerasan Seksual, Malang: Refika Aditama, 2001. Adhi Wibowo , Perlindungan Hukum Korban Amuk Massa, (sebuah tinjauan viktimologi), Yogyakarta: Thafa Media, februari 2013. Andi Hamzah, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, Bandung: Binacipta, 1986. Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Prassindo, 1993. Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001. Johan Nasution Badher, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung: Mandar Maju, Agustus, 2011. PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
186
Rahmat Hidayat: Perlindungan Hukum...
Dikdik M arief Mansur, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, (Antara Norma dan Realita), Jakarta: Raja Grafindo Persada. IOM Indonesia, Combatting Human Trafficking Through Law Enforcement, Jakarta: November, 2006. Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana, 2007. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, Jakarta: UI Press, 1986. Stephen Schafer, The Victim and Criminal, New York: Random House, 1968. Suryono Ekatama, et.al, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan, (Yogyakarta: UAJ, 2000). Yulia Rena, Viktimologi Perlindungan hukum terhadap Korban Perkosaan, Bandung: Graha Ilmu, 2010. KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) pasal 285 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) pasal 289 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) Pasal 1365. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 40/34 Tahun 1985 angka 1. Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 36 ayat 3. Undang-undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Pasal 1 Angka 23. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 1 Angka 6. Undang-Undang 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pasal 1 angka 4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pasal 1 angka 1 dan 2. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 35 th 1999 Pasal 27 ayat http://hukum-on.blogspot.com diakses pada 25 September 2013. http://yuyantilalata.blogspot.com diakses pada 13 Juni 2013. http://www.sarjanaku.com. diakses pada 9 Oktober 2012 .
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015