PENGARUH TINGKAT PEMBERIAN TEPUNG AMPAS TEH (Camellia sinensis) TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING (KcBK) DAN KECERNAAN BAHAN ORGANIK (KcBO) RANSUM SAPI POTONG (IN VITRO) Nova Dwi Kartika, U. Hidayat Tanuwiria, Rahmat Hidayat Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran ABSTRAK Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran pada bulan Mei – Juli 2012. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung ampas teh terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum dan mengetahui kadar optimal pemberian ampas teh dalam ransum sapi potong. Penelitian dilakukan secara eksperimen menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan ransum sebagai berikut: R 0 = ransum mengandung 0% Tepung Ampas Teh (TAT); R1 = ransum mengandung 15% TAT; R2 = ransum mengandung 30% TAT; dan R3 = ransum mengandung 45%TAT. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak lima kali. Ampas teh yang digunakan berasal dari PT. Sosro. Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam dan diuji lanjut dengan menggunakan Uji Dunnet. Peubah yang diukur adalah kecernaan bahan kering dan bahan organic ransum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tepung ampas teh dalam ransum sapi potong berpengaruh nyata terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik (p<0,05). Pemberian TAT sampai 45% menghasilkan kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik yang paling tinggi. Kata Kunci: Tepung ampas teh, sapi potong, kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik. PENDAHULUAN Pakan yang berkualitas harganya relatif mahal dan ketersediaannya terbatas. Bahan pakan berbasis limbah limbah pengolahan hasil pertanian dan perkebunan dapat menjadi alternatif bagi peternak untuk menyiasati keterbatasan tersebut. Ampas teh merupakan limbah yang dihasilkan dari perusahaan pembuat minuman teh instan. Terdapat beberapa pabrik minuman teh seperti, PT. Sosro yang dapat menghasilkan ampas teh segar sebanyak 470 ton/tahun. Kandungan nutrien ampas teh terdiri atas 27,42% protein, 20,94% serat kasar, 2,01% lemak, 0,2% kalsium, 0,7% phospor, 7,83% abu, 6,07% lignin (Hasil analisis Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak, Universitas Padjadjaran, 2008). Walaupun demikian, ampas teh mengandung senyawa alkaloid yang dalam jumlah banyak dapat menghambat sistem pencernaan. Senyawa yang terkandung dalam ampas teh antara lain saponin, teofilin, teobromin, kafein, dan tanin. Tanin yang terkandung dalam ampas teh berpotensi mengurangi kecernaan bahan pakan. Kandungan tanin ampas teh mencapai 1,35% (Istirahayu,1993). Kadar tanin masih dapat di
toleransi karena batas tanin terkondensasi dalam ransum adalah 2-4% dari bahan kering (Barry, 1985 dalam Preston dan Leng, 1987). Penggunaan ampas teh sampai taraf 30% dalam ransum kelinci menghasilkan performans yang baik (Khotijah dkk., 2004). Ampas teh dapat digunakan baik sebagai pakan dasar pengganti rumput (20%) maupun sebagai suplemen, terutama sebagai sumber protein pada ternak kambing (Kondo dkk., 2004). Penggunaan ampas teh sampai taraf 45% masih menghasilkan performan yang cukup baik pada domba (Sutardjo, 1996). Pakan sumber protein tergolong lebih mahal dibanding pakan sumber serat atau energi. Penggunaan limbah ampas teh sebagai bahan pakan diharapkan dapat menekan biaya produksi disamping dapat meningkatkan produktifitas karena kadar proteinnya cukup tinggi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung ampas teh dalam ransum terhadap Kecernaan Bahan Kering (KcBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KcBO) ransum sapi potong dan mengetahui kadar maksimum pemberian tepung ampas teh yang menghasilkan KcBK dan KcBO yang paling tinggi. BAHAN DAN METODE Bahan-bahan yang digunakan adalah tepung ampas teh, bungkil kedelai, tepung jagung, singkong, dedak kasar, jerami padi. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 macam perlakuan ransum, setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Untuk menguji pengaruh perlakuan digunakan analisis ragam (Uji F) dilanjutkan dengan uji Dunnet. Ransum perlakuan disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1. Komposisi Ransum dan Kandungan Zat Makanan Perlakuan Kandungan (%) R0 Komposisi Bahan Pakan Tepung Jagung 3,48 Singkong 31,52 Dedak Kasar 22,75 Bungkil Kedelai 22,25 Ampas Teh 0,00 Jerami Padi 20,00 Jumlah 100,00 Zat Makanan Protein Kasar 14,50 Serat Kasar 12,98 TDN 67,09 Calsium 0,23 Phospor 0,28 Keterangan: Berdasarkan 100% bahan kering
Perlakuan R1
R2
R3
3,48 31,52 15,15 14,84 15,00 20,00 100,00
3,48 31,52 7,58 7,42 30,00 20,00 100,00
3,48 31,52 0,00 0,00 45,00 20,00 100,00
14,51 14,08 67,13 0,23 0,31
14,52 15,17 67,17 0,23 0,33
14,53 16,27 67,21 0,23 0,35
Tabung fermentor diisi dengan sampel sebanyak 1 gram, kemudian ditambahkan campuran 40 ml larutan saliva buatan dan 10 ml cairan rumen lalu dilakukan flushing dengan gas CO2 agar dicapai kondisi anaerob. Tabung fermentor kemudian dimasukkan ke waterbath dengan suhu 39400C dan diinkubasi selama 48 jam. Selama inkubasi dilakukan pengocokan tabung setiap 3 jam sekali. Setelah inkubasi pertama, tabung dibuka dan ditambahkan 2 tetes larutan HgCl 2 untuk mematikan mikroba. Larutan pepsin-HCl ditambahkan sebanyak 50 ml, kemudian inkubasi kembali selama 48 jam dan diaduk setiap 6 jam sekali. Parameter yang diamati adalah kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik ransum. Residu yang dihasilkan setelah proses fermentasi dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 1050C selama 24 jam kemudian ditimbang untuk mengetahui bahan keringnya. Kecernaan bahan kering dihitung dengan menggunakan rumus: KcBK(%)=
BK Awal - BK Residu-BK Blanko X 100% BK Awal
Residu yang sudah dikeringkan dengan oven dibakar dengan menggunakan tanur listrik pada suhu 6000C hingga menjadi abu. Kecernaan bahan organik dihitung dengan menggunakan rumus: KcBO(%)=
BO Awal- BO Residu-BO Blanko X 100% BO Awal
HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik ransum disajikan pada Tabel 2 sebagai berikut: Tabel 2. Rataan Kecernaan Bahan Kering Ransum (Persen) Parameter KcBK KcBO
R0 69,03±0,79 63,19±0,34
Perlakuan R1 56,96±0,92 53,52±0,33
R2 60,18±0,80 55,28±0,17
R3 67,42±1,66 59,7±0,65
Kecernaan Bahan Kering Ransum Berdasarkan Tabel 2, penggunaan tepung ampas teh dalam ransum berpengaruh (P<0,05) terhadap Kecernaan Bahan Kering (KcBK) ransum. Hasil Uji Dunnet menunjukkan hasil KcBK ransum R1 dan R2 lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan R 0. Sedangkan KcBK R3 tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan R0. Terjadinya penurunan KcBK ransum pada R1 dan R2 diduga karena adanya pengaruh tannin tepung ampas teh yang berikatan dengan protein dari bahan pakan sumber protein, seperti bungkil kedelai, sehingga protein bungkil kedelai tidak dapat tercerna dengan baik.
Tannin tepung ampas teh menyebar larut dalam cairan rumen dan berikatan dengan protein bahan pakan. Pembentukan tannin-protein melalui kondensasi, tidak dapat dihidrolisa atau tidak terhidrolisa di dalam rumen. Hal itu sejalan dengan pendapat Min dkk., (2000), yang menyatakan bahwa kehadiran tanin dalam rumen berpengaruh negatif terhadap kecernaan dengan menurunkan kemampuan degradasi mikroba rumen dan pelarutan protein. Penambahan jumlah tepung ampas teh dalam ransum memberikan sumbangan kadar tanin yang semakin tinggi dalam ransum. Namun demikian pada kenyataannya kecernaan ransum semakin meningkat. Kejadian tersebut diduga karena semakin berkurangnya bahan sumber protein dalam ransum (bungkil kedelai) sehingga pengikatan protein oleh tanin dengan bahan sumber protein dalam ransum berkurang. Disisi lain, dengan semakin tingginya tepung ampas teh dalam ransum, maka sumbangan protein yang berasal dari tepung ampas teh semakin tinggi. Hal ini memperlihatkan bahwa protein ransum yang berasal dari tepung ampas teh dapat didegradasi dengan baik oleh mikroba. Perlakuan R3 jika dibandingkan dengan R0 tidak berbeda nyata. Hal ini diduga karena tidak adanya bungkil kedelai sebagai sumber protein dalam ransum, sehingga tanin tidak berpengaruh negatif terhadap kecernaan bahan kering sumber protein. Terdapat perbedaan sifat protein yang berasal dari tepung ampas teh dan bungkil kedelai. Tidak adanya bungkil kedelai sebagai sumber protein yang mudah larut, menyebabkan tidak adanya pengikatan protein oleh tanin. Hal itu sejalan dengan pendapat Wina dan Abdurohman (2005), yang menyatakan bahwa penurunan kecernaan bahan kering berbeda tingkatnya pada sumber protein yang berbeda. Tanin bebas akan lebih cepat bereaksi dengan protein yang mudah larut (soluble protein). Kecernaan Bahan Organik Ransum Berdasarkan Tabel 2, penggunaan tepung ampas teh dalam ransum berpengaruh (P<0,05) terhadap kecernaan bahan organik (KcBO) ransum. Hasil uji Dunnet menunjukkan bahwa KcBO ransum R1, R2, dan R 3 mempunyai nilai lebih rendah daripada R0. Perbandingan antar nilai tengah masing-masing perlakuan R1, R2 dan R3 dengan nilai tengah ransum kontrol (R0) adalah berbeda nyata (P<0,05). Terjadinya penurunan KcBO ransum yang ditambahkan tepung ampas teh disebabkan adanya pengaruh tanin tepung ampas teh yang berikatan dengan protein dari bahan pakan sumber protein, seperti bungkil kedelai, sehingga protein bungkil kedelai tidak dapat tercerna dengan baik. Hal itu sejalan dengan pendapat Frutos dkk., (2000), yang menyatakan bahwa pengaruh negatif tanin terhadap kecernaan bahan organik pakan lebih signifikan terhadap komponen protein dibandingkan dengan komponen-komponen lainnya.
Berkurangnya jumlah bungkil kedelai dalam ransum menyebabkan penurunan pengikatan protein mudah larut oleh tanin. Disisi lain, terjadi penambahan sumber protein pakan yang berasal dari tepung ampas teh. Pada KcBK, ransum R3 tidak berbeda nyata dengan R0. Hal ini diduga disebabkan karena tanin tidak mempunyai pengaruhterhadap kecernaan mineral (abu). Sementara itu, komponen bahan kering meliputi abu (mineral), jadi secara proporsional bahan relatif masih dapat dicerna. Pada KcBO, R3 lebih rendah dibandingkan R0. Hal itu diduga karena pada bahan organik tidak ada lagi komponen abu (mineral). Sementara itu tanin sangat berpengaruh terhadap KcBO terutama protein, dengan demikian KcBO lebih kecil karena adanya tanin tersebut. KESIMPULAN Penggunaan tepung ampas teh dalam ransum sapi potong berpengaruh nyata terhadap KcBK dan KcBO ransum. Diantara perlakuan yang menggunakan tepung ampas teh, penggunaan tepung ampas teh dalam ransum sapi potong pada tingkat 45% menghasilkan KcBK dan KcBO yang paling tinggi. DAFTAR PUSTAKA Frutos, P., G. Hervas, F.J. Giraldez, M. Fernandez and A.R. Mantecon. 2000. Digestive utilization of quebracho-treated soyabean meals in sheep. J. Agric. Sci. 134: 101-108. Istirahayu, D. N. 1993. Pengaruh Penggunaan Ampas Teh dalam Ransum terhadap Persentase Karkas, Giblet, Limpa dan Ternak Abdominal Broiler. Tesis. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kondo, M., K. Kita and H. Yokota. 2004. Feeding value to goats of whole-crop oat ensiled with green tea waste. Animal Feed Science and Technoogy,113: 1 – 4. Kotijah, L., R. G. Pratas, dan E. Fiberty. 2004. Penampilan Kelinci Persilangan Lepas Sapih yang Mendapat Ransum dengan Beberapa Tingkat Penggunaan Ampas Teh. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. IPB. Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak. 2008. Analisis Proksimat Ampas Teh. Fakultas Peternakan. Universitas Padjadjaran. Sumedang. Min, B.R., W.C. Mcnabb, T.N. Barry and J.S. Peters. 2000. Solubilization and degradation of ribulose-1,5- bisphosphate carboxylase/oxygenase (EC 4.1.1.39; Rubisco) protein from white clover (Trifolium repens) and Lotus corniculatus by rumen microorganisms and the effect of condensed tannins on these processes. J. Agric. Sci. (Camb.) 134: 305–317. Preston, T.R. dan R.A. Leng. 1987. Matching Ruminants Production System With Available Resources In The Tropic. Penambul Books. Armidale. Sutardjo. 1996. Studi Penggunaan Ampas Teh Sebagai Pakan Domba. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wina, E. dan D. Abdurohman. 2005. Pembentukan protein ‘lolos cerna rumen’ (in vitro) dengan penambahan isolat tanin dari daun kaliandra atau formaldehida. JITV 10(4): 274-280.