TINJAUAN HUKUM RATIO DECIDENDI DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN ( Studi Putusan Nomor 142/Pid.B/2013/PN. Unh)
SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
OLEH
Syawal H1A1 12 366
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2016
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, Taufik dan Karunia-Nya kepada penulis sehingga skripsi yang berjudul ” Tinjauan Hukum Ratio Decidendi Dalam Tindak Pidana Pencurian ( Studi Putusan Nomor 142/Pid.B/2013/PN. Unh)”.”, dapat disusun walaupun dalam bentuk yang sederhana. Ucapan terima kasih teristimewa kepada kedua orang tua penulis ayahanda Esi M dan ibunda Surni, yang telah melahirkan dan membesarkan penulis dengan penuh rasa kasih sayang serta do’a harapannya selama ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Haluoleo Kendari. Demikian pula penulis ucapkan terima kasih kepada saudara-saudara penulis Ermida dan Ebit yang telah memberikan motivasi dan dukungan baik moril maupun materil dalam penyelesaian studi penulis. Ucapan terima kasih juga penulis khususkan kepada kedua pembimbing penulis yakni Bapak Dr. Oheo Kaimudin Haris, S.H.,L.LM.,M.Sc., sebagai Pembimbing I dan Bapak Iksan, S.H.,M.H., sebagai Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dalam penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih yang sama, penulis haturkan kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S selaku Rektor Universitas Haluoleo;
2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Jufri SH.,MS selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Haluoleo; 3. Bapak Rizal Muchtasar SH.,L.LM, Bapak Herman, S.H.,L.LM, dan Bapak Jabalnur, SH.,MH., selaku unsur Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Haluoleo; 4. Ibu Heryanti, S.H., M.H selaku Ketua bagian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Haluoleo; 5. Bapak Haris Yusuf, SH.,MH selaku coordinator Program Studi Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo; 6. Bapak Lade Sirjon, SH.,L.LM selaku ketua Konsentrasi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo 7. Seluruh Dosen dan Staf Pegawai Fakultas Hukum Universitas Haluoleo yang telah banyak memberikan motivasi dalam studi penulis; Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, maka penulis mengharapan kepada para pembaca untuk memberikan kritikan beserta saran yang sifatnya membangun dan memperbaiki demi kesempurnaan skripsi ini semoga skripsi ini menjadi bahan bacaan yang bermanfaat bagi semua pihak. Amin. Kendari, Januari 2017
Penulis.
ABSTRAK SYAWAL (H1A1 12 366) “Tinjauan Hukum Ratio Decidendi Dalam Tindak Pidana Pencurian (Studi Putusan Nomor 142/Pid.B/2013/PN.Unh)”. di bawah bimbingan Bapak Dr. Oheo Kaimudin Haris, SH,L.LM.,M.Sc., sebagai Pembimbing I dan Bapak Iksan, SH.,MH. sebagai Pembimbing II. Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui Ratio Decindendi Putusan Pengadilan Nomor 142/Pid.B/2013/PN.Unh bertentangan dengan asas Nebis In Idem. Tipe penelitian ini adalah normatif yakni untuk melakukan pengkajian terhadap landasan hukum, doktrin hukum dan yurisprudensi. Analisis yang digunakan adalah analisis preskriptif yakni gambaran penganalisaan terhadap penerapan hukum terkait dengan permasalahan yang dikaji. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa terhadap Putusan Pengadilan Nomor 142/Pid.B/2013/PN. Unh tentang pencurian yang menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Igo Sasmianto merupakan keputusan hakim yang tidak tepat karena telah bertentang dengan Asas Nebis In Idem sebagaimana yang telah di rumuskan didalam pasal 76 ayat (2) KUHP, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1664 K/PID/1988 tanggal 15 Mei 1991, Ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 (LN. 1951-9) tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara peradilan sipil, sebab tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh terdakwa Igo Sasmianto telah diajatuhkan pidana`oleh hukum adat tolaki berupa ganti kerugian sebesar Rp.6.000.000 (Enam Juta Rupiah) kepada korban, sehingga terkesan putusan pengadilan mengabaikan putusan hukum adat tolaki serta tidak memberikan keadilan bagi pelaku dan akibat putusan tersebut melahirkan permasalahan baru bagi pihakpihak yang telah menyelesaikan perkara tersebut.
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………….. . iii KATA PENGANTAR.......................................................................................... . iv ABSTRAK………………………………………………………………………. v DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................ 5 C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ....................................... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Hukum Pidana ............................................................... 7 B. Tugas dan Fungsi Polri Sebagai Penyidik .................................. 10 C. Pengertian Penyidik dan Penyidikan ........................................ 12 D. Tindak Pidana .................................................................................. 21 E. Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana ................................... 25 F. Alternatif Dispute Resolution (alternatif penyelesaian sengketa) .. 26 G. Konsep Hukum Adat……………………………………………… 33 BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ................................................................................. 41
B. Pendekatan dalam Penelitian ........................................................... 41 C. Jenis Dan Sumber Bahan Hukum .................................................... 41 D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................................... 42 E. Teknik Analisis Bahan-bahan Hukum ............................................. 42 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Ratio Decidendi Putusan Nomor 142/Pid.B/2013/PN.Unh Tentang Pencurian Bertentangan Dengan Asas Nebis In Idem………….……… 44 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………. 55 B. Saran……………………………………………………………… 56 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN.
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perangkat norma atau kaidah timbul dari apa yang dianggap baik atau buruk yang lazimnya disebut nilai dan kadangkala norma timbul dari pola perilaku manusia sebagai suatu abstrak dari perilaku berulang-ulang yang nyata. Norma atau kaidah hukum bertujuan agar tercapai kedamaian di dalam kehidupan bersama dimana kedamaian merupakan suatu keserasian antara ketertiban dan ketentraman. Negara Republik Indonesia adalah suatu negara hukum, bukan negara kekuasaan. Ini berarti bahwa di Negara Republik Indonesia berlaku peraturanperaturan hukum dalam pergaulan hidup dan kehidupan di masyarakat. Oleh karena
itu
tindakan-tindakan
yang bersifat
menghakimi
sendiri
tidak
diperkenankan atau dilarang. Hal ini memang penting, sebab membiarkan perbuatan menghakimi sendiri, dapat berakibat kekacauan dalam masyarakat dan atau menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bernegara terhadap penghormatan atas aparat penegak hukum. Pelaksanaan hukum dalam kehidupan masyarakat sehari-hari mempunyai arti yang sangat penting karena apa yang menjadi tujuan hukum justru terletak pada pelaksanaan hukum itu. Ketertiban dan ketentraman hanya dapat diwujudkan dalam kenyataan kalau hukum dilaksanakan. Hukum dibuat untuk
2
dilaksanakan, kalau tidak peraturan hukum itu hanya merupakan susunan katakata yang tidak mempunyai makna dalam kehidupan masyarakat. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung dalam masyarakat secara normal, karena tiap-tiap individu menaati dengan kesadaran, bahwa apa yang ditentukan hukum tersebut sebagai suatu keharusan atau sebagai sesuatu yang memang sebaiknya. Pelaksanaan hukum juga dapat terjadi karena pelanggaran hukum, yaitu dengan menengakkan hukum melalui alat-alat perlengkapan negara. Konsekuensi dari larangan tersebut, maka dalam negara telah ditentukan alat-alat negara yaitu Polisi, Jaksa dan Hakim yang mempunyai tugas khusus menjaga tegaknya hukum dan keadilan. Aparat penegak hukum ini di dalam bertindak berdasarkan hukum sesuai dengan kewenangannya masing-masing yang telah ditentukan secara tegas dalam undang-undang. Untuk mewujudkan pelaksanaan aturan hukum dalam hal ini Undangundang maka bagi mereka yang merasa dirugikan dapat menuntut haknya melalui lembaga penegak hukum. Apalagi masalahnya menyangkut bidang hukum pidana, maka tersedia aparat Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan untuk menyelesaikannya dan apabila masalahnya mengenai bidang hukum perdata, maka juga tersedia Pengadilan sebagai lembaga yang dapat memutuskannya sekiranya upaya perdamaian yang dilakukan oleh para pihak tidak berhasil. Pendekatan hukum merupakan pilihan terakhir dari semua permasalahan tersebut. Tugas inilah yang diemban oleh polisi. Untuk menangani permasalahan tersebut polisi harus mengetahui benar bidang-bidang yang berkaitan masalah
3
hukum. Tugas polisi menjaga atau mengawasi keamanan dan ketertiban masyarakat. Hal tersebut bukanlah suatu hal yang mudah bagi polisi dalam menjalankan tugasnya. Meningkatnya kasus kriminal didalam masyarakat selain disebabkan karena meningkatnya angka kriminalitas, juga disebabkan karena keaktifan masyarakat dalam melaporkan setiap kejadian kriminal kepada pihak Kepolisian Polresta Kendari. Langkah tersebut cukup baik, namun di sisi lain aspek kemanusiaan kadang terabaikan. Hal ini dibuktikan masih terdapatnya kasus kriminal khususnya penganiyayaan ringan yang diselesaikan melalui jalur hukum sampai pada tingkat pengadilan, sedangkan perbuatannya tidaklah menimbulkan dampak yang terlalu besar kepada masyarakat. Pada dasarnya adanya ketergantungan yang tinggi terhadap institusi Kepolisian karena dianggap sebagai instrumen penegak hukum dan keharusan bagi kepolisian untuk melayani masyarakat dari perbuatan tindak pidana Akibat pandangan masyarakat yang kurang tepat tersebut menyebabkan institusi kepolisian dianggap sebagai institusi yang kaku yang hanya bisa melakukan tindakan-tindakan yang bersifat refresif dan pencitraan itu tidak lahir dari institusi kepolisian itu sendiri, melainkan karena ketergantungan masyarakat terhadap institusi ini sehingga tindak pidana apapun dianggap wajib diselesaikan melalui jalur hukum.
4
Untuk itu sebaiknya institusi Kepolisian dapat diberikan kewenangan untuk mengambil inisiatif mendamaikan dan/atau menyelesaikan setiap kasus tindak pidana yang bersifat kurang memiliki akibat hukum dan sosial yang berat untuk diselesaikan melalui mekanisme kekeluargaan, sebab langkah ini cukup efektif
jika
masyarakat
membiasakan
untuk
menyelesaikan
segala
permasalahannya melalui jalur kekeluargaan tersebut, sehingga institusi kepolisian
tidak
disibukkan
terhadap
kasus-kasus
yang
ringan
yang
penyelesaiannya memakan waktu yang cukup lama sedangkan akibat tindak pidana yang ditimbulkan tidak cukup besar, meskipun hal tersebut merupakan delik biasa. Selain itu, kebijakan hukum pidana pada masa akan datang perlu mengkualifikasi atau memberikan ruang norma dalam penggolongan kualifikasi taindak pidana yang dapat diselesaikan melalui jalur non litigasi. Hal ini dimaksudkan agar berbagai tindakan pilihan hukum penyelesaian tindak pidana memiliki legalitas yang kuat sehingga tidak menimbulkan polemik hukum seperti saat ini. Berdasarkan hasil pra penelitian yang dilakukan pada Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sulawesi Tenggara khususnya di kabupaten konawe menunjukkan data bahwa sejak tahun 2012 – 2015 terdapat sedikitnya kurang lebih 350 kasus yang diselesaikan melalui jalur penyelesaian di luar pengadilan. Seperti kasus-kasus kecelakaan lalu lintas, pencurian ringan, kesusilaan, KDRT, dll.
5
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka penulis termotivasi untuk melakukan studi dengan judul ”Tinjauan Hukum Ratio Decidendi Dalam Tindak Pidana Pencurian ( Studi Putusan Nomor 142/Pid.B/2013/PN. Unh)”. B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi Permasalahan dalam penelitian ini yang akan dikaji penulis adalah Apakah Ratio Decidendi Putusan Nomor 142/Pid.B/2013/PN. Unh bertentangan dengan Asas Nebis In Idem. C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui Ratio Decidendi Putusan Nomor 142/Pid.B/2013/PN. Unh bertentangan dengan Asas Nebis In Idem. 2. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis: a. Kegunaan Teoritis Memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka mengembangkan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya mengenai Ratio Decidendi Putusan Nomor 142/Pid.B/2013/PN. Unh bertentangan dengan Asas Nebis In Idem.
6
b. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum mengenai Ratio Decidendi Putusan Nomor 142/Pid.B/2013/PN. Unh bertentangan dengan Asas Nebis In Idem.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Tentang Kebijakan Hukum Pidana Salah
satu
cara
menanggulangi
tindak
pidana
adalah
dengan
menggunakan hukum pidana (Penal Policy). Menurut Marc Ancel, Penal Policy didefinisikan sebagai ”suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik” yang dimaksud dengan peraturan hukum positif adalah peraturan perundang-undangan pidana. Dengan demikian istilah ”penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah kebijakan atau politik hukum pidana. Menurut Barda Nawawi Arief, (2002:2) kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan (politik kriminal) pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfere). Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa tujuan akhir dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief (Barda Nawawi Arief, dan Muladi, 1992 : 158-159) kebijakan penanggulangan kejahatan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan secara garis besar meliputi : a. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan.
8
b. Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan terlarang itu (baik berupa pidana atau tindakan) dan sistem penerapan c. Perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana. Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan rangkaian proses yang terdiri dari 3 (tiga) tahap kebijakan, yaitu tahap kebijakan legislatif, tahap kebijakan yudikatif dengan aplikatif dan tahap kebijakan eksekutif dengan administratif. Dari ketiga tahap kebijakan tersebut menurut Nawawi Arief, tahap kebijakan legislatif merupakan tahap awal yang paling strategis bagi upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Tahap ini merupakan tahap formulasi yang menjadi dasar, landasan dan pedoman bagi tahap-tahap fungsionalisasi berikutnya yaitu aplikasi dan eksekusi (Barda Nawawi Arief, dan Muladi, 1992 : 158). Menurut Sudarto, (1981:64)kebijakan hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau merumuskan suatu peraturan perundangundangan yang baik yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan Datang. Sedangkan menurut A. Mulder (Barda Nawawi Arief, 2002:23) yang namanya ”straf rechtpolitiek” merupakan garis kebijakan untuk menentukan : 1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah dan diperbaharui. 2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
9
3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. Apa yang didefinisikan A. Mulder tersebut bertitik tolak dari pengertian ”sistim hukum pidana” yang dikemukan Marc Ancel, bahwa setiap masyarakat yang teroganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari : 1. Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya. 2. Suatu prosedur hukum pidana. 3. Suatu mekanisme pelaksanaan ( pidana ) Didalam kebijakan kriminal yang menggunakan sarana penal perlu diperhatikan 2 (dua) masalah sentral, yang menurut Barda Nawawi Arief (2002:30) adalah: 1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana. 2. Sanksi apa sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelanggar. Kebijakan hukum pidana, memasuki kebijakan dan mengenai dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi
pada
kebijakan
(policy
oriented
approach)
seperti
yang
dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief (2002:30) : ”diantara ketiga tahap fungsionalisasi hukum pidana yakni tahap formulasi (kebijakan legislatif) tahap aplikasi (kebijakan yudikatif atau yudicial) dan tahap eksekusi (kebijakan eksekutif atau administratif) merupakan tahap yang paling strategis dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui hukum pidana (penal policy). Oleh karena itu, kesalahan atau kelemahan kebijakan legislatif merupakan
10
kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya penegakan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi (Barda Nawawi Arief, 2002:75). B. Tugas dan Fungsi Polri Sebagai Penyidik Kata polisi berasal dari bahasa Yunani kuno “politea” yang berarti pemerintahan suatu polis atau kota. Berhubung pada waktu itu yang menjadi tempat kediaman manusia hanyalah kota-kota yang dikelilingi tembok-tembok besar, maka kota-kota ini juga merupakan negara kecil, sehingga politea diartikan sebagai pemerintahan negara. (Djokosoetono, 2006:612) Pengertian kepolisian, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 adalah Institusi Negara yang diberikan tugas, fungsi dan kewenangan tertentu, untuk menjaga keamanan, ketertiban, dan mengayomi masyarakat. Menurut Rahman Rahim (2000:16) menyatakan bahwa tugas yang diemban oleh institusi kepolisian sangat berat, sehingga sangat diperlukan aparatur
yang
handal,
agar
semua
tugas-tugas
dimaksud
dapat
dilaksanakandengan baik dan efektif. Tugas kepolisian sekarang pada umumnya secara singkat dirumuskan sebagai “memelihara dan ketertiban umum”. Di negara-negara Anglo Saxon tugas ini dirumuskan sebagai “memelihara hukum dan ketertiban” (law and order). (Mochtar Kusumatmadja, 1972:121) Polri adalah suatu dasar atau pangkal tolak yang dapat meliputi semua aspek dan kepribadian atau jiwa kepolisian itu, adalah tidak lain daripada tugas
11
polisi itu sendiri, oleh karena tugas polisi menyangkut seluruh aspek kehidupan pribadi pejabat polisi dalam melakukan tugasnya sehari-hari. Tugas pokok Kepolisian Republik Indonesia mempunyai tugas pokok yang meliputi bidang-bidang: 1. Menjaga ketertiban dan menjamin keamanan umum, 2. Mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit-penyakit masyarakat, 3. Memelihara keselamatan orang, benda dan masyarakat termasuk memberi perlindungan dan pertolongan, 4. Memelihara keselamatan negara terhadap gangguan dari dalam, 5. Mengusahakan ketaatan warga negara dan masyarakat terhadap peraturanperaturan negara, 6. Dalam bidang peradilan mengadakan penyidikan atas kejahatan dan pelanggaran menurut peraturan perundang-undangan. 7. Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, 8. Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan negara. (Mochtar Kusumatmadja, 1972:132) Menurut Djokosoetono (2006:654) tugas polisi mempunyai tiga aspek, yaitu sebagai berikut: 1. Tugas yuridis sebagai penegak hukum 2. Tugas bestuurlijk dalam rangka pelaksanaan undang-undang yang penting seperti undang-undang lalu lintas jalan, yang diserahkan kepada polisi, oleh karena masalah lalu lintas di jalanan menyangkut pula berbagai kejahatan yang mempergunakan kendaraan sebagai alat,
12
ataupun yang dilakukan dengan mempergunakan jalanan sebagai tempat kejahatan. 3. tugas sosial dalam upaya preventif untuk mencegah dan menjauhkan penduduk terutama kaum muda dari kejahatan termasuk yang berkaitan dengan peredaran dan penggunaan narkotika.
Dalam rangka pembinaan dan Pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. C. Pengertian Penyidik dan Penyidikan 1. Pengertian Penyidik
Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat (8) menyebutkan pengertian penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, kemudian pada ayat (9) menyatakan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang dapat disingkat PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan undangundang ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
13
Namun perlu dibedakan antara penyidik dan penyelidik di dalam Pasal 1 ayat (4) KUHAP menyebutkan bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyidikan. Jadi perbedaannya yaitu penyidik itu terdiri dari polisi negara dan Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, sedangkan penyelidik itu hanya terdiri dari polisi negara (POLRI). Berkaitan dengan kewajiban POLRI tersebut di atas, maka KUHAP atau Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 memberikan banyak sekali kewenangan-kewenangan bagi POLRI. Kewenangan-kewenangan tersebut antara lain tampak pada pasal-pasal sebagai berikut (Susilo, 1988 : 13-18) : Bab IV, Bagian Kesatu, Pasal 4 : Penyelidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Pasal 6 (1) : Penyidik adalah : a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia b. Pejabat Pegawai Negeri Republik Indonesia Pasal 8 (1) : Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana di maksud dalam pasal 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam undangundang ini. Adapun mengenai penyelidik menurut ketentuan Pasal 1 ayat (5) KUHAP adalah orang yang melakukan penyelidikan yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
14
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. (Lilik Mulyadi, 2002 : 20). Titik taut antara penyidik dan penyelidikan menurut Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri dari fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang
berupa
penangkapan,
penahanan,
penggeledahan,
penyitaan,
pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum. Akan tetapi walaupun titik taut tersebut begitu erat, hal itu bukan berarti antara penyidik dan penyelidik tidak mempunyai perbedaan. Perbedaan tersebut tampak dalam hal personalia, yaitu kalau penyidik itu terdiri dari Polisi Negara Republik Indonesia dan Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, sedangkan penyelidik hanya terdiri dari Polisi Negara saja, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 KUHAP. Fungsi penyidik tidak disebutkan atau dinyatakan secara jelas dan tegas dalam KUHAP, karena penyidik secara garis besar terdiri dari dua badan. Yang pertama yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia dan yang kedua yaitu penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), namun apabila dilihat dari sudut pandang penegakan hukum maka penyidik memiliki fungsi antara lain :
15
1) Menjalankan fungsi pemerintah dibidang hukum 2) Menjamin tertib dan tegaknya hukum 3) Mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat 4) Berfungsi sebagai pihak/aparat pertama yang menangani kasuskasus hukum pidana yang terjadi dalam masyarakat. 2. Pengertian Penyidikan
Selain pengertian pemeriksaan perkara pidana di atas menurut Bambang Poernomo (1984 : 33-34) pemeriksaan di bagi dalam dua tingkat yaitu : a. Tingkat pemeriksaan awal, adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menyiapkan hasil pemeriksaan secara tertulis dari tersangka atau terdakwa dan pengumpulan bahan-bahan yang menjadi barang bukti atau alat bukti dalam suatu rangkaian berkas perkara serta kelengkapan perkara lainnya sebagai syarat untuk menyerahkan perkara ke pengadilan. b. Tingkat pemeriksaan akhir, adalah pemeriksaan yang terjadi di muka sidang pengadilan, yang dimaksudkan untuk menguji hasil pemeriksaan awal agar didapat suatu bahan yang final melalui pencocokan hal-hal yang dituduhkan dengan bahan hukum yang terungkap di muka sidang pengadilan. Pemeriksaan pendahuluan merupakan tahap pertama dari seluruh tahapan pemeriksaan perkara pidana sebagaimana telah ditentukan oleh hukum acara pidana. Menurut Soedjono Dirjosiworo (1982:12) bahwa pemeriksaan yang dilakukan apabila ada persangkaan, baik tertangkap tangan atau tidak, yang dilakukan sebelum pemeriksaan dimuka persidangan pengadilan.
16
Jika memperhatikan Pasal 4 KUHAP yang berwenang melakukan fungsi penyelidikan adalah “setiap pejabat Polisi Negara” Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 KUHAP tersebut maka tidak ada instansi atau pejabat lain yang dapat melakukan penyelidikan kecuali oleh instansi atau pejabat Polri. Adapun kewenangan penyelidik adalah meliputi ketentuan yang diperinci pada Pasal 5 KUHAP, yang dapat dibagi dalam dua bagian (Rusli Muhammad, 2000 : 24-26) : a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang : 1) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana. 2) Mencari keterangan dan barang bukti. 3) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. 4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab b. Atas perintah penyidik dapat dilakukan tindakan berupa : 1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan 2) Pemeriksaan dan penyitaan surat 3) Mengambil sidik jari dan memotret seorang 4) Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik
Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Pasal 3 menyatakan bahwa: “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintah negara di bidang penegakan hukum perlindungan dan pelayanan masyarakat, serta pembimbing masyarakat dalam rangka terjaminnya tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat guna terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat.
17
Upaya untuk mencegah atau meminimalkan terjadinya kegagalan dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan seyogyanya sejak awal telah memahami dan mendalami segala sesuatu yang berkaitan dengan pengertian dan fungsi dari setiap sarana pembuktian KUHAP dengan tegas membedakan istilah penyidik dan penyelidik. Di dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan yang dimaksud dengan penyidikan(Soesilo, 1988 : 3) adalah : Serangkaian tindakan penyidik/penyidik pembantu dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menentukan tersangka.
KUHAP mengatur tindakan pengusutuan (opsporing) menjadi 2 (dua) tahap yaitu tahap penyelidikan dan tahap penyidikan dengan maksud untuk mencegah terjadinya upaya penegakan hukum secara tergesa-gesa dan kurang berhati-hati atau kurang cermat yang sering kali menyebabkan petugas penegak hukum tergelincir dalam tindakan yang kurang menghargai martabat manusia seperti pada masa-masa lalu, dengan adanya tahap tindakan penyelidikan sebelum dilakukan penyidikan sebagaimana diatur dalam KUHAP yang berlaku sekarang bertujuan agar aparat penyidik dalam menggunakan kewenangan upaya paksa lebih berhati-hati dan menghindarkan diri dari cara-cara yang menjurus kepada tindakan pemerasan pengakuan tersangka daripada penggunaan kewenangan alat-alat bukti yang sah.
18
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 KUHAP tersebut maka tidak ada instansi atau pejabat lain yang dapat melakukan penyelidikan kecuali oleh instansi atau pejabat Polri. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa semua anggota Polri dari pangkat Bharada sampai dengan yang berpangkat Jenderal Polisi, diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan, Penyelidikan adalah Serangkaian tindakan atau penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang. (Soesilo, 1988 : 3) Selanjutnya, atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa (Rusli Muhammad, 2000 : 27-28) : 1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat penggeledahan dan penyitaan 2) Pemeriksaan dan penyitaan surat; 3) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; 4) Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik Pelaksanaan tugas penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik. Sehubungan dengan ini, maka terhadap setiap tindakan penyelidikan atau penangkapan tersangka tertangkap tangan penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik. Sedangkan Lilik Muyadi (2002:19–20) menyatakan bahwa beberapa bagian Hukum Acara Pidana yang menyangkut penyidikan adalah : 1) 2) 3) 4) 5)
Ketentuan tentang alat-alat penyidikan Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik Pemeriksaan di tempat kejadian Pemanggilan tersangka atau terdakwa Penahanan sementara
19
6) Penggeledahan 7) Pemeriksaan atau interogasi 8) Berita acara (penggeledahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat) 9) Penyitaan 10) Penyampingan perkara 11) Pelimpahan perkara kepada Penuntut Umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan. Di dalam melaksanakan tugasnya Polisi sebagai penyidik dibantu oleh penyidik pembantu, di dalam KUHAP disebutkan bahwa penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
berdasarkan
syarat
kepangkatan dalam ayat (3) Pasal 1 KUHAP. Istilah penyelidikan dan penyidikan dipisahkan oleh KUHAP, walaupun menurut bahasa Indonesia kedua kata itu berasal dari kata dasar “sidik” yang artinya memeriksa, meneliti. Demikianlah sehingga di Malaysia istilah menyelidik dipakai sebagai padanan istilah Inggris Research yang di Indonesia dipakai istilah meneliti (penelitian). Kata sidik diberi sisipan “el” menjadi selidik yang artinya banyak menyidik. Jadi, menyelidik dan menyidik sama artinya, sisipan el hanya memperkeras (banyak) menyidik. Penyelidikan suatu sitilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian Opsporing (Bahasa Belanda) dan investigation (Bahasa Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Bahasa Malaysia). KUHAP memberi definisi penyidikan sebagai berikut :
20
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. (Kafandi, 1982 : 3)
Di dalam Bahasa Belanda ini sama dengan opsporing., menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum (Kamus Besar Bahasa Indonesia,2005 : 13) Secara konkret dapat dikatakan bahwa penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang (Ansorie Sabuan, 1990 : 77) : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Tindak apa yang telah dilakukannya Kapan tindak pidana itu dilakukan Dimana tindak pidana itu dilakukan Dengan apa tindak pidana itu dilakukan Bagaimana tindak pidana itu dilakukan Mengapa tindak pidana itu dilakukan, dan Siapa pembuatnya
Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah ( Soesilo, 1988: 19) 1) Pemeriksaan tersangka, 2) Penangkapan, 3) Penahanan,
21
4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11)
Penggeledahan, Pemasukan rumah, Penyitaan benda, Pemeriksaan surat, Pemeriksaan saksi, Pemeriksaan di tempat kejadian Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan, Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undangundang, diwajibkan membuat berita acara dan menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Penyerahan berkas perkara ini dilakukan dalam dua tahap yaitu : a) pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara; b) apabila penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Jadi dapat dikatakan secara tegas bahwasanya fungsi dan ruang lingkup
“penyidik”
adalah
untuk
melakukan
penyidikan.
Menyidik
(opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum. (Lilik Mulyadi, 2002 : 19) D. Tindak Pidana 1.
Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana dalam bahasa Belanda dipakai dua istilah, yakni kadang-kadang dipakai istilah strafbaar feit, kadang-kadang juga dipakai istilah delict. Dalam bahasa Indonesia ada beberapa terjemahan strafbaar feit, di samping terjemahan seperti peristiwa pidana, ada juga terjemahanterjemahan lain seperti: perbuatan yang dapat dihukum (Pasal 3 Lembaran
22
Negara 1951 Nomor 78): tindak pidana terjemahan yang dipakai dalam Engelbrecht, perbuatan yang boleh dihukum (Karni), pelanggaran pidana (Tirtaamidjaya), dan perbuatan pidana (Moeljatno). Menurut Utrecht istilah yang digunakan adalah peristiwa pidana karena istilah peristiwa pidana meliputi suatu perbuatan atau melalaikan dan akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan itu). Disamping itu peristiwa pidana adalah suatu peristiwa hukum (recht feit), yakni suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum” Utrecht (Kanter dan Sianturi, 1982:250). Moeljatno (Andi Hamzah, 1994 : 86) lebih memilih istilah perbuatan pidana karena perbuatan itu adalah pengertian yang konkret yang hanya menunjuk pada suatu kejadian yang tertentu saja. Menurut Simons (Zainal Abidin, 1995:224) menyatakan bahwa tindak pidana adalah suatu pebuatan melanggar hukum yang berkaitan dengan kesalahan seseorang yang mampu bertanggung jawab. Menurut Zamhari Abidin (1986 : 21) beliau mengemukakan bahwa yang paling tepat adalah : Istilah peristiwa pidana, sebagai terjemahan dari strafbaar feit I delict, oleh karena itu yang diancam dengan pidana itu bukanlah semata-mata berbuat atau bertindak, tetapi meliputi juga tidak berbuat, tidak bertindak atau pun lalai terhadap memenuhi suruhan (gebod). Rumusan delik merupakan satu kesatuan yang bulat seperti Simons, yang merumuskan bahwa Straafbar feit ialah kelakuan yang diancam dengan
23
pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Rumusan Simons merupakan rumusan yang lengkap yang meliputi : a. Diancam dengan pidana oleh hukum, b. Bertentangan dengan hukum, c. Dilakukan oleh orang yang bersalah, d. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya. (Andi Hamzah, 2004 :88). 2. Unsur-unsur Tindak Pidana Unsur-unsur tindak pidana dapat dilihat dan dua sudut pandang yaitu : a.
Pandangan Monisme (Klasik) Pandangan monisme yaitu pandangan yang tidak memisahkan antara unsur-unsur perbuatan dan akibatnya disatu pihak dan unsur pertanggung jawabannya dilain pihak. Menurut Jonkers merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut: 1) Perbuatan (yang) 2) Melawan hukum (yang berhubungan dengan) 3) Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat) 4) Dipertanggung jawabkan (Adami Chazawi, 2002 : 80). Sedangkan menurut Schravendijk, merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:
24
1) Kelakukan (orang yang) 2) Bertentangan dengan keinsyafan hukum 3) Diancam dengan hukuman 4) Dilakukan oleh yang (yang dapat) 5) Dipersalahkan/kesalahan (Adami Chazawi, 2002 : 81). Penganut aliran monisme ini tidak secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dipidanannya pelaku, semua unsur tindak pidana merupakan syarat bagi pemberian pidana. b.
Pandangan Dualisme (Modern) Pandangan dualisme yaitu pandangan yang memisahkan antara unsur-unsur perbuatan dan akibatnya disatu pihak dan unsur pertanggungjawaban dilain pihak. Para ahli hukum yang berpandangan menurut pandangan dualisme dianut oleh Moeljatno, Vos. Tresna, Roeslan Saleh, Andi Zainal Abidin Farid. (Adami Chazawi, 2002 : 77). Menurut Moeljatno, (Adami Chazawi, 2002 : 79) unsur tindak pidana meliputi : 1) Perbuatan 2) Yang dilarang (oleh aturan hukum) 3) Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan) Tresna, (Adami Chazawi, 2002 : 79) merumuskan unsur tindak pidana terdiri dari : 1) Perbuatan / rangkaian perbuatan (manusia)
25
2) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan 3) Diadakan tindakan penghukuman. E. Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana Kanter dan Sianturi (2002:249) menyatakan bahwa seseorang mampu bertanggungjawab, bilamana pada umumnya: 1. Keadaan jiwanya a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara, b. Tidak cacat dalam pertumbuhan, dan c. Tidak terganggu karena terkejut, hynotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar, melindur, mengigau karena demam dan lain sebagainya. Dalam perkataan lain dia dalam keadaan sadar. 2. Kemampuan jiwanya a. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya b. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak dan, c. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Menurut Andi Hamzah (2005:137) bahwa: Dalam pengertian hukum pidana dapat disebut ciri atau unsur kesalahan dalam arti luas, yaitu: a. Dapat dipertanggungjawabkan pembuat, b. Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya sengaja atau kesalahan dalam arti sempit. c. Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapuskan dapatnya dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.
Kesalahan merupakan masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang melakukan kesalahan, jika pada waktu melakukan delik, dilihat dari segi masyarakat patut dapat dicela. Dengan demikian seseorang mendapat pidana, tergantung pada dua hal:
26
a. Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain harus ada unsur melawan hukum (unsur obyektif). b. Terhadap pelakunya ada unsur kesengajaan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya (unsur subyektif). Roeslan Saleh (1982:82) menyatakan bahwa “dilihat dari masyarakat” menunjukkan pandangan normatif mengenai kesalahan, dulu orang berpandangan psikologis mengenai kesalahan seperti juga pembentuk Wetbook van Strafrecht (WvS) Belanda, sekarang pandangan normatif. Suatu peristiwa pidana itu tidak hanya berwujud sebagai suatu perbuatan saja, melainkan dapat juga berwujud sebagai suatu kejadian (peristiwa) yang dapat menimbulkan hukuman (pidana). Jadi seseorang itu dapat saja dituntut untuk bertanggung jawab atas suatu kejadian itu bukanlah akibat dari perbuatannya dan terjadinya pun sama sekali di luar kehendaknya bila (Kanter dan Sianturi, 2002:60): 1. Kejadian tersebut menimbulkan korban atau kerugian bagi pihak lain, 2. Benda atau sesuatu yang menjadi sumber kejadian tersebut berada di bawah kekuasaan/tanggungjawab orang yang bersangkutan. 3. Penyebab kejadian atau peristiwa tersebut bukanlah hal yang luar biasa misalnya gempa bumi, bencana alam dan sebab-sebab lainnya yang tidak dapat diatasi oleh manusia. F. Alternatif Dispute Resulotion (alternatif penyelesaian sengketa) Menurut rumusan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak sengketa atau beda
27
pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Undang-undang tidak memberikan rumusan defenisi atau pengertian yang jelas dari mediasi maupun mediator. Pengertian tentang mediasi mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Mediasi
adalah
sebuah
proses
penyelesaian
sengketa
berdasarkan
perundingan. 2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan. 3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian. 4. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan berlangsung. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa. Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna in menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak; "berada di tengah" juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama.menumbuhkan kepercayaan (trust) dari pihak yang bersangkutan.
28
Meski banyak yang memperdebatkan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan mediasi, namun setidaknya ada beberapa batasan atau definisi yang bisa dijadikan acuan. Salah satu diantaranya adalah definisi yang diberikan oleh the National Alternative Dispute Resolution Advisory Council yang mendefinisikan mediasi sebagai berikut: Mediation is a process in which the parties to a dispute, with the assistance of a dispute resolution practitioner (the mediator), identify the disputed issues, develop options, consider alternatives and endeavour to reach an agreement. The mediator has no advisory or determinative role in regard to the content of the dispute or the outcome of its resolution, but may advise on or determine the process of mediation whereby resolution is attempted. (Mediasi merupakan sebuah proses dimana pihak-pihak yang bertikai, dengan bantuan dari seorang praktisi resolusi pertikaian (mediator) mengidentifikasi isu-isu yang dipersengketakan, mengembangkan opsi-opsi, mempertimbangkan alternatif-alternatif dan upaya untuk mencapai sebuah kesepakatan. Dalam hal ini sang mediator tidak memiliki peran menentukan dalam kaitannya dengan isi/materi persengketaan atau hasil dari resolusi persengketaan tersebut, tetapi ia (mediator) dapat memberi saran atau menentukan sebuah proses mediasi untuk mengupayakan sebuah resolusi/penyelesaian), jadi secara singkat bisa digambarkan bahwa mediasi merupakan suatu proses penyelesaian pihak-pihak yang bertikai untuk mencapai penyelesaian yang memuaskan melalui pihak ketiga yang netral (mediator).
Keberhasilan mediasi bisa dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti kualitas mediator (training dan profesionalitas), usaha-usaha yang dilakukan oleh kedua pihak yang sedang bertikai, serta kepercayaan dari kedua pihak terhadap proses mediasi, kepercayaan terhadap mediator, kepercayaan terhadap masing-masing pihak. Seorang mediator yang baik dalam melakukan tugasnya akan merasa sangat senang untuk membantu orang lain mengatasi masalah mereka sendiri, ia akan berindak netral seperti seorang ayah yang penuh kasih, meningkatkan
29
kualitas pengambilan keputusan, mempunyai metode yang harmonis, mempunyai kemampuan dan sikap, memiliki integritas dalam menjalankan proses mediasi serta dapat dipercaya dan berorientasi pada pelayanan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai prows pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Pengertian mediasi yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung tiga unsur penting. Pertama mediasi merupakan prom penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antar dua pihak atau lebih. Kedua pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa. Ketiga, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan. Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) menekankan pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk menyelesaikan perselisihannya. Penjelasan ini amat penting guna membedakan dengan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya seperti arbitrase, negosiasi, asjudikasi dan lain-lain. Mediator berada pada posisi di "tengah dan netral' antara parapihak yang bersengketa, dan mengupayakan menemukan sejumlah kesepakatan sehingga mencapai hasil yang memuaskan pare pihak yang bersengketa. Dalam mediasi, penyelesaian perselisihan atau sengketa lebih banyak muncul dan keinginan dan insiatif para pihak, sehingga mediator berperan
30
membantu mereka mencapai kesepakatan-kesepakatan. Dalam membantu pihak yang bersengketa, mediator bersifat imparsial atau tidak memihak- Kedudukan mediator seperti amat penting, karena akan menumbuhkan kepercayaan yang mennudahkan mediator melakukan kegiatan mediasi. Kedudukan mediator yang tidak netral, tidak hanya menyulitkan kegiatan mediasi tetapi dapat membawa kegagalan. Dalam mediasi, seorang mediator berperan membantu para pihak yang bersengketa dengan melakukan identifikasi persoalan yang dipersengketakan mengembangkan pilihan, dan mempertimbangkan alternatif yang dapat ditawarkan kepada para pihak untuk mencapai kesepakatan Mediator dalam menjalankan perannya memiliki kewenangan untuk memberikan saran atau menentukan proses mediasi dalam mengupayakan penyelesaian sengketa, mediator tidak memiliki kewenangan dan pecan menentukan dalam kaitannya dengan isi persengketaan, is hanya menjaga bagaimana prom mediasi dapat berjalan, sehingga menghasilkan kesepakatan (agreement) dari para pihak Agreement dapat dicapai dan mediator mampu menjalankan mediasi diantara para pihak yang bersengketa. Ada beberapa model mediasi yang perlu diperhatikan oleh pelajar dan praktisi mediasi. Lawrence Boulle, professor of law dan associate director of the Dispute Resolution Center, Bond University mengemukakan bahwa modelmodel ini didasarkan pada model klasik tetapi berbeda dalam hal tujuan yang hendak dicapai dan cara sang mediator melihat posisi dan peran mereka. Boulle
31
menyebutkan ada empat model mediasi, yaitu: settlement mediation, facilitative mediation, transformative mediation, dan evaluative mediation. Settlement mediation yang juga dikenal sebagai mediasi kompromi merupakan mediasi yang tujuan utamanya adalah untuk mendorong terwujudnya kompromi dari tuntutan kedua belah pihak yang sedang bertikai. Dalam mediasi model ini tipe mediator yang dikehendaki adalah yang berstatus tinggi sekalipun tidak terlalu ahli di dalam proses dan teknik-teknik mediasi. Adapun peran yang bisa dimainkan oleh mediator adalah menentukan bottom lines dari disputants dan secara persuasif mendorong disputants untuk sama-sama menurunkan posisi mereka ke titik kompromi. Facilitative mediation yang juga disebut sebagai mediasi yang berbasis kepentingan (interest-based) dan problem solving merupakan mediasi yang bertujuan
untuk
menghindarkan
disputants
dari
posisi
mereka
dan
menegosasikan kebutuhan dan kepentingan para disputants dari pada hak-hak legal mereka secara kaku. Dalam model ini sang mediator harus ahli dalam proses dan harus menguasi teknik-teknik mediasi, meskipun penguasaan terhadap materi tentang hal-hal yang dipersengketakan tidak terlalu penting. Dalam hal ini sang mediator harus dapat memimpin proses mediasi dan mengupayakan dialog yang konstruktif di antara disputants, serta meningkatkan upaya-upaya negosiasi dan mengupayakan kesepakatan. Transformative mediation yang juga dikenal sebagai mediasi terapi dan rekonsiliasi, merupakan mediasi yang menekankan untuk mencari penyebab yang
32
mendasari munculnya permasalahan di antara disputants, dengan pertimbagan untuk meningkatkan hubungan di antara mereka melalui pengakuan dan pemberdayaan sebagai dasar dari resolusi (jalan keluar) dari pertikaian yang ada. Dalam model ini sang mediator harus dapat menggunakan terapi dan teknik professional sebelum dan selama proses mediasi serta mengangkat isu relasi/hubungan melalui pemberdayaan dan pengakuan. Sedangkan evaluative mediation yang juga dikenal sebagai mediasi normative merupakan model mediasi yang bertujuan untuk mencari kesepakatan berdasarkan pada hak-hak legal dari para disputans dalam wilayah yang diantisipasi oleh pengadilan. Dalam hal ini sang mediator haruslah seorang yang ahli dan menguasai bidang-bidang yang dipersengketakan meskipun tidak ahli dalam teknik-teknik mediasi. Peran yang bisa dijalankan oleh mediator dalam hal ini ialah memberikan informasi dan saran serta persuasi kepada para disputans, dan memberikan prediksi tentang hasil-hasil yang akan didapatkan. Prinsipnya inisiatif pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi tunduk pada kesepakatan para pihak. Dengan demikian tidak ada paksaan bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan cara mediasi. Menurut hukum di Indonesia, praktek mediasi pada umumnya juga didasarkan pada pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Dalam konteks sengketa konsumen penggunaan mediasi bersifat sukarela sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 yang berbunyi: "Penyelesaian
33
sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa". G. Konsep Hukum Adat. Istilah hukum adat adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda adatrecht. Snouck Hurgronje adalah orang pertama yang memakai istilah adatrecht. Istilah adatrecht kemudian dikutip dan dipakai selanjutnya oleh Van Vollenhoven sebagai istilah teknis juridis (van Vollenhoven, Ontdekking van Het Adatrecht, Brill, Leiden, 1928:5) Menurut Soepomo (1970: 47) menuliskan bahwa: Dalam tata hukum baru Indonesia, baik untuk menghindarkan kebingungan pengertian, istilah “hukum adat” ini dipakai sebagai sinonim dari hukum yang tidak tertulis dari peraturan legislatif, hukum hidup sebagai konvensi di badan-badan negara, hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim, hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang di pertahankan dalam pergaulan hidup baik di kota-kota maupun di desa-desa semua inilah merupakan adat atau hukum yang tidak tertulis sebagaimana disebut oleh Pasal 32 Undang-undang Dasar Sementara.
Pengaturan tata tertib masyarakat oleh hukum adat mengindikasikan adanya sanksi yang dikenakan jika aturan tersebut dilanggar. Hukum adatpun dibentuk dan diliputi oleh nilai-nilai sakral dalam pembentukannya diliputi oleh nilai-nilai agama serta merupakan hukum yang tidak tertulis dan dipertahankan fungsionaris hukum. Hukum adat sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law) dikonsepsikan sebagai suatu sistem hukum yang berbentuk dan berasal dari pengalaman empiris masyarakat pada masa lalu, yang dianggap adil atau patut
34
dan telah mendapatkan legitimasi dari penguasa adat sehingga mengikat atau wajib dipatuhi (bersifat normatif). Proses kepatuhan terhadap hukum adat, mulamula muncul karena adanya asumsi bahwa setiap manusia sejak lahir telah diliputi oleh norma-norma yang mengatur tingkah laku personal untuk setiap perbuatan hukum dan hubungan-hubungan hukum yang dilakukannya dalam suatu interaksi harmonis. Hazairin (Bushar Muhammad, 2006:19) menuliskan bahwa “Bagi rakyat biasa “hukum adat” adalah hukum baik dalam arti adat sopan santun maupun dalam arti hukum. dengan sekaligus runtuhlah tembok pemisah antara hukum (yang tertulis) dan kesusilaan (adat, kelaziman, dan kebiasaan), yang biasanya dibuat oleh pengarangpengarang hukum barat, terutama mereka yang ada di kontinen Eropa Barat”.
Hukuman atas pelanggaran bukan hanya berupa keputusan penguasa adat atau hakim. Hukuman dapat juga berupa celaan, tidak diajak bicara, tidak diberi tempat dalam upacara desa, diusir atau dikeluarkan dari lingkungan masyarakat hukum dan dalain sebagainya. Semua sikap masyarakat terhadap sikap yang bersangkutan itu adalah merupakan suatu bentuk hukuman sosial atas perbuatan anti sosial menurut ukuran adat atau hukum. 1. Teori Receptio In Complexu Menurut Tolib Setiady (2009 : 30) menuliskan bahwa: “Istilah-istilah yang dipergunakan terhadap Hukum Adat pada akhir Abad ke XIX (sebelum dikenalnya istilah ADATRECHT) di mana sangat terkenal sekali “Gods Dientigen wetten” (yang diartikan dan yang diterjemahkan sebagai Hukum Adat), hal ini disebabkan sebagai akibat pengaruh dari MR. LWC. VAN DEN BERG dan Mr.
35
SALOMON KEYZER (Guru Besar pada KONINKLIJKE ACADEMIC di DELFT pada tahun 1850-1868) (yang belum atau tidak menemukan Hukum Adat sepenuhnya) sehingga mengakibatkan timbulnya kekeliruan di dalam pengertian. Teorinya dikenal sebagai teori Receptio In Complexu yang menegaskan “adat istiadat dan hukum adat sesuatu golongan masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu (bahwa hukum adat suatu golongan masyarakat, adalah hasil penerimaan secara bulat-bulat hukum agama yang dianut oleh golongan masyarakat tersebut)”.
Inti dari Teori Receptio In Complexu menurut Soebekti Poeponoto (1980:29) menuliskan bahwa: “Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan menurut ajaran ini, hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti hukum-hukum agama itu dengan setia” (Bahwa kalau dalam suatu masyarakat memeluk agama tertentu, maka hukum adat masyarakat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu). Sanggahan terhadap teori Receptio In Complexu yaitu Christian Snouk Hurgronje (Tolib Setiady 2009 : 30) menuliskan bahwa: “tidak semua bagian dari hukum agama diterima, diresepsi dalam hukum adat. Hanyalah beberapa tertentu saja dari hukum adat dipengaruhi hukum agama (Islam), yaitu terutama bagian-bagian hidup manusia yang sifatnya mesra yang berhubungan erat dengan kepercayaan dan hidup batin.
2. Pengertian Delik Adat Gambaran yang lebih utuh tentang perbuatan tindak pidana, berikut ini dikemukakan batasan/pengertian tindak pidana menurut hukum adat. Sajian dalam konteks ini dipandang sangat penting, lebih-lebih apabila disadari, bahwa gagasan atau ide tentang living law mulai mengedepan seiring dengan adanya upaya pembaharuan hukum pidana nasional yang ingin menempatkan
36
hukum adat sebagai sumber hukum pidana nasional. Bertolak dari pemikiran seperti ini, pemahaaman terhadap batasan/pengertian tindak pidana menurut hukum adat menjadi sebuah keharusan (Sudikno Mertokusuma, 1990:110). Menurut hukum adat, tindak pidana atau delik adat adalah setiap gangguan segi satu terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu pada barang-barang kehidupan materiil dan imateriil orang-orang, atau dari pada orang-orang banyak yang merupakan satu kesatuan (segerombolan) tindakan sedemikian itu menimbulkan suatu reaksi yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat-ialah reaksi adat-karena reaksi mana ada keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali. (Soebekti Poeponoto, 1980:255). Delik adat adalah suatu perbuatan sepihak dari seseorang atau kumpulan perseorangan mengancam atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan dan kehidupan persekutuan bersifat material atau immaterial terhadap orang seorang atau terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupa
kesatuan.
Tindakan
atau
perbuatan
yang
demikian
akan
mengakibatkan suatu reaksi adat. (Bushar Muhammad, 1995:18). Delik adat adalah setiap perbuatan sepihak dari sepihak atau kumpulan perorangan, mengancam atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan dalam kehidupan persekutuan, bersifat materril atau immateriil, terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan, tindakan atau perbuatan yang demikian mengakibatkan suatu reaksi adat yang dipercayainya
37
dapat memulihkan keseimbangan yang telah terganggu, antara lain dengan berbagai jalan dan cara, dengan pembayaran adat berupa barang, uang, mengadakan selamatan, memotong hewan besar/kecil dan lain-lain (Satjipto Raharjo, 1992:78). Berdasarkan batasan-batasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa delik adat memuat unsur-unsur sebagai berikut: a. Perbuatan sepihak dari seorang atau kumpulan perorangan. b. Perbuatan tersebut mengganggu keseimbangan persekutuan/ masyarakat. c. Perbuatan tersebut bersifat materiil dan immateriil. d. Perbuatan tersebut ditujukan terhadap orang seorang atau masyarakat. e. Mengakibatkan reaksi adat. Dengan unsur-unsur seperti tersebut di atas terlihat, bahwa delik adat merupakan setiap perbuatan dari seseorang atau kumpulan orang (badan hukum) baik bersifat materiil atau immateriil yang ditujukan terhadap orang atau perkumpulan orang yang menimbulkan gangguan keseimbangan masyarakat dan menimbulkan reaksi adat. Dalam konteks hukum adat tindak pidana (delik adat) tidak saja meliputi setiap perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan individual tetapi juga setiap perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan sosial (Tongat, 2008:98). 3. Dasar Perundang-Undangan Berlakunya Hukum Adat. Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945, yang diberlakukan kembali menurut Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959) tiada
38
satu pasalpun yang memuat dasar (perundang-undangan) berlakunya hukum adat itu. Menurut Pasal 11 Aturan Peralihan UUD maka “segala badan negara dan peraturan yang ada langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Sebelum berlakunya kembali UUD ini, maka berlaku Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 (UUDS 1950). Dalam Undang-Undang Dasar Sementara itu Pasal 104 ayat 1 mengatakan bahwa “segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu.Tetapi ketentuan ini, yang jikalau kita mengartikan “hukum adat” itu seluas-luasnya – memuat suatu grandwettelijke grondslag (dasar konstitusional) berlakunya hukum adat, sampai sekarang belum diberikan dasar hukum penyelenggaraannya (undang-undang organik). (Pembacaan terpenting: Prof. Dr. R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia (sebelum Perang Dunia II), 1945). Ketentuan sampai sekarang, baik menurut UUD 1945 maupun menurut UUDS 1950, masih belum dibuat suatu peraturan perundang-undangan yang memuat dasar berlakunya hukum adat, maka masih tetap berlaku peraturan yang dibuat zaman kolonial oleh pemerintah Belanda. Dasar perundangundangan berlakunya hukum adat, yang berasal dari zaman kolonial dan yang pada zaman sekarang masih tetap berlaku, adalah Pasal 131 ayat 2 sub b IS (Bushar Muhammad, 1995:135).
39
Menurut ketentuan tersebut, maka bagi golongan hukumIndonesia asli dan golongan hukum timur asing berlaku hukum adat mereka. Tetapi bilamana keperluan sosial mereka memerlukannya, maka pembuat ordonansi dapat menentukan bagi mereka: a. Hukum Eropa b. Hukum Eropa yang telah diubah (gewijzigd Europees recht) c. Hukum bagi beberapa golongan bersama–sama (gemeenschappelijk recht), dan apabila kepentingan umum memerlukannya. d. Hukum baru (niew recht), yaitu hukum yang merupakan “syntese” antara hukum adat dan hukum Eropa (“fantasierecht” -- van Vollen hoven -- “ambtenarenrecht” – van Idsinga).
Mengenai Pasal 131 ayat 2 sub IS ini, harus dikemukakan dua hal, Pertama, ketentuan tersebut adalah suatu pasal kodifikasi, yaitu ketentuan tersebut memuat suatu tugas kepada pembuat undang-undang -- menurut IS: pembuat ordonansi–untuk mengadakan suatu kodifikasi hukum privat bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan hukum timur asing. Hukum bagi kedua golongan hukum tersebut yang hendak dikodifikasi, adalah hukum adat mereka, dengan diberi perubahan bilamana perlu. Tetapi -- hal kedua --, selama redaksi Pasal 131 ayat 2 sub b IS ini berlaku -- redaksi berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920 (antara tanggal 1 Januari 1920 dan tanggal 1 Januari 1926 redaksi Pasal 131 IS berlaku sebagai redaksi yang baru dari Pasal 75 RR 1854) -, maka kodifikasi yang diperintahkan kepada pembuat ordonansi itu belum terjadi.
40
Peradilan adat dalam Ind. Stbl. 1932 nr 80 tersebut di atas adalah peradilan adat yang ada di daerah-daerah luar Jawa dan Madura. Untuk hakim adat di Jawa dan Madura, yang diberi nama dorpsrechter (hakim desa, peradilan desa), dibuat Pasal 3 a Rechtterlijk Organisatie (RO), Ind. Stbl. 1847 nmr 23 jo 1848 nmr 47 (Pasal 3a) dimasukkan ke dalam RO berdasarkan Ind.Stbl. 1935 nmr 102.
41
BAB III METODE PENELITIAN A.
Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mempelajari bahan hukum yang terdapat dalam buku dan literatur tulisan-tulisan ilmiah. dokumen-dokumen, dan peraturan perundang-undangan.
B.
Metode Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach), yaitu dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. 2. Pendekatan Konseptual (conseptual Approach). adalah pendekatan yang dilakukan dengan membangun suatu konsep yang berasal dari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. 3. Pendekatan Kasus ( Case Approach). adalah suatu pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah kasus-kasus yang terjadi di masyarakat yang berkaitan dengan judul penelitian yang akan dikaji oleh peneliti.
C.
Jenis dan Sumber Bahan Hukum Sumber-sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber-sumber bahan hukum yang berupa:
42
1.
Bahan hukum Primer, yang merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri atas perundang-undangan, yang antara lain :
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 2.
Bahan hukum Sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.
D.
Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan-bahan hukum dilakukan dengan cara studi kepustakan, yaitu penulis memilih sejumlah buku yang menyangkut masalah yang penulis hadapi. Studi kepustakaan ialah suatu metode yang berupa pengumpulan bahan-bahan hukum, yang diperoleh dari buku pustaka yang memiliki hubungan dengan pokok permasalahan, kerangka dan ruang lingkup permasalahan.
E.
Analisis Bahan Hukum Berdasarkan keseluruhan bahan-bahan hukum yang ada, maka kegiatan terakhir yang dilakukan adalah menganalisa bahan-bahan hukum
43
secara perspiktif yaitu menguraikan bahan-bahan hukum kedalam bentuk kalimat secara sistematis berdasarkan kenyataan yang diperoleh dari penelitian, sehingga
memudahkan
untuk
permasalahan dalam penulisan ini.
menarik
kesimpulan
dalam
menjawab
44
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Ratio Decidendi Putusan Nomor 142/Pid.B/2013/PN. Unh tentang Pencurian. 1.
Putusan Kasus Nomor 142/Pid.B/2013/PN. Unh tentang Pencurian a. Kasus Posisi Terdakwa I IGO SASWIANTO alias IGO bersama-sama dengan terdakwa II DIKI ADRIAN alias DIAN, EDO, IHWAN alias ANDO (DPO) pada hari Minggu tanggal 07 Juli 2013 sekitar pukul 01.00 wita atau setidaktidaknya pada waktu lain dalam bulan Juli tahun 2013 bertempat di Ruko milik saksi H. Andi Nur Kel. Lembo Kec. Lembo Kab. Konawe Utara atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Unaaha, dengan sengaja mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, yang dilakukan pada waktu malam, oleh dua orang atau lebih, yang dilakukan oleh para terdakwa dengan cara-cara sebagai berikut. Terdakwa 1 IGO SASWIANTO Als IGO bersama-sama dengan terdakwa II DIKI ADRIAN Als DIAN, EDO, IHWAN Als ANDO (DPO) berjalan bersama menuju ruko milik H. ANDI NUR dengan tujuan akan mengintip HERI dan FEBI yang sedang melakukan pencurian di dalam Ruko milik H. ANDI NUR, ketika Terdakwa I IGO SASWIANTO Als IGO
45
bersama-sama dengan Terdakwa II DIKI ADRIAN Als DIAN, EDO (DPO) serta IHWAN Als ANDO (DPO) berada dibelakang rumah milik H. ANDI NUR dan bertemu dengan HERI FEBI yang lebih dahulu melakukan pencurian di Ruko milik H. ANDI NUR kemudian HERI dan FEBI pergi dengan membawa hasil curian mereka sehingga terdakwa I IGO SASWIANTO Als IGO bersama-sama dengan terdakwa II DIKI ADRIAN Als DIAN, EDO, IHWAN Als ANDO (DPO) kemudian berniat melakukan pencurian di Ruko milik H. ANDI NUR dengan cara terdakwa II bersama dengan EDO mendekati Ruko milik H. ANDI NUR kemudian terdakwa II memanjat dinding tembok , setelah berhasil memanjat dinding tembok dan telah berada di dalam Ruko terdakwa II kemudian mengambil barang dari dalam ruko berupa rokok, minuman dan makanan ringan kemudian terdakwa II keluarkan melalui lubang yang ada dibawah pintu belakang ruko dimana dibelakang ruko EDO telah menunggu terdakwa II untuk mengambil barang yang dikeluarkan oleh terdakwa II dari dalam ruko, sedangkan terdakwa I dan IHWAN als ANDO menunggu dibelakang ruko melihat situasi sekitar dan berjaga-jaga bila ada orang yang datang. Setelah Terdakwa I IGO SASWIANTO Als IGO bersama-sama dengan terdakwa II DIKI ADRIAN Als DIAN , EDO, IHWAN Als ANDO (DPO) berhasil melakukan pencurian tersebut kemudian Terdakwa I IGO bersama-sama dengan Terdakwa II DIKI ADRIAN Als DIAN, EDO, IHWAN Als ANDO (DPO) membawa hasil curian mereka berupa 24 (dua puluh
46
empat) slop rokok merk Sampoerna, Class mild, Uno mild, 4 (empat) kaleng sprite dan satu pak kue beng-beng di rumah milik IHWAN Als ANDO (DPO) untuk dibagi rata, dimana hasil curian tersebut oleh masing-masing terdakwa akan dijual kembali untuk kebutuhan uang jajan mereka terdakwa. Akibat dari pencurian yang dilakukan oleh terdakwa I IGO SASWIANTO Als bersama-sama dengan terdakwa II DIKI ADRIAN Als DIAN, EDO, IHWAN als ANDO (DPO) mengakibatkan H. ANDI NUR mengalami kerugian sekitar Rp. 4.000.000,-(empat juta rupiah). Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 363 ayat 1 ke3, ke-4 dan ke-5 KUHPidana. b. Analisis Penulis. Berdasarkan Undang-Undang Darurat Tahun 1951 Nomor 1 (LN. 1951-9) tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara peradilan sipil, terdapat beberapa ketentuan mengenai hukum adat pidana yang dirumuskan sebagai hukum yang hidup dan dapat diterapkan oleh pengadilan-pengadilan sipil yang nantinya dapat dikasasikan kepada Mahkamah Agung. Diadakannya suatu pemilihan antara dua jenis hukum adat pidana ialah hukum adat yang mempunyai ekuivalensi mempunyai bandingannya dengan Pasal 5 ayat (3) sub b (LN. 1951-9) apabila terdapat ekuivalen dengan KUHP, maka hukum adat tidak digunakan dan terhadapnya ada suatu ancaman pidana yang sama dengan hukum bandingannya yang paling mirip dengan hukum adat tersebut.
47
Salah satu perkara pidana yang melahirkan kontroversi bagi penulis adalah putusan Pengadilan Negeri Nomor 142/Pid.B/2013/PN. Unh tentang tindak pidana pencurian, putusan tersebut menyisakan problematika hukum yang perlu dianalisis secara yuridis, utuh dan konferhensif guna memperoleh sebuah kebenaran realis atas perkara tersebut. Sehingga pencerminan keadilan dapat dicapai dan hak-hak dari pihak-pihak yang dirugikan dapat terlindungi oleh hukum. Terkait Putusan Pengadilan Negeri Nomor 142/Pid.B/2013/PN. Unh tentang tindak pidana pencurian yang telah menjatuhkan pidana dua kali terhadap terdakwa dengan mengabaikan putusan hukum adat tolaki merupakan keputusan yang kurang tepat meskipun perbuatan terdakwa telah diatur didalam pasal 363 KUHP, akan tetapi kedua belah pihak telah sepakat dan tidak berkeberatan mana kala diselesaikan melalui hukum adat. Menurut penulis
tidak
tepat/cermatnya
Putusan
Pengadilan
Negeri
Nomor
142/Pid.B/2013/PN. Unh tentang tindak pidana pencurian disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: 1. Putusan Pengadilan Negeri Nomor 142/Pid.B/2013/PN. Unh tentang tindak pidana pencurian yang menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Igo sasmianto alias Igo dengan pidana penjara 4 (empat) bulan dan 15 (lima belas) hari, tuntutan jaksa 6 (enam) bulan merupakan putusan yang bertentangan ketentuan Pasal 76 KUHP yang bunyinya:
48
(1) Kecuali dalam hal putusan hakim masih boleh diubah lagi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam pengertian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilanpengadilan tersebut. (2) Bila putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka tidak boleh diadakan penuntutan terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, dalam hal: a) Putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau pelepasan dari tuntutan hukum; b) Putusan berupa pemidanaan dan pidananya itu telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun dan kewenangan utnuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa. Dalam pasal ini diletakkan suatu dasar hukum yang lazim disebut dengan asas nebis in idem yang artinya seseorang tidak boleh dituntut dan dijatuhkan pidana dua kali terhadap perkara yang sama. Jika merujuk ketentuan di dalam Pasal 76 KUHP ini membuktikan bahwa Putusan Pengadilan Negeri Nomor 142/Pid.B/2013/PN. Unh tentang tindak pidana pencurian telah bertentangan dengan asas nebis in idem karena terdakwa telah dijatuhkan pidana adat tolaki oleh adat dan diajatuhakan lagi sanksi pidana oleh Pengadilan Negeri Kendari.
49
2. Hakim
Dalam
142/Pid.B/2013/PN. mengabaikan
amar Unh
beberapa
Putusan tentang putusan
Pengadilan tindak
Negeri
pidana
Yurisprudensi
pencurian
Mahkamah
Nomor telah Agung
Republik Indonesia Nomor 1664 K/PID/1988 tanggal 15 Mei 1991 yang isi menguatkan putusan hukum adat dalam perkara pidana dan praktek penguatan
hukum adat tersebut
telah dipraktekkan dalam putusan
pengadilan negeri di berbagai wilayah Indonesia seperti putusan hukum adat di bali dan aceh. Dengan ditaatinya hukum adat tersebut seharusnya majelis hakim pada Pengadilan Negeri Kendari dapat menjatuhkan putusan terhadap terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum sebab Nebis In Idem sebagaimana telah diatur dalam Pasal 76 KUHP dan diuraikan penulis di atas dengan adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1664 K/PID/1988 tanggal 15 Mei 1991 maka hakim Pengadilan Negeri Kendari seyogyanya wajib menghormati putusan hukum adat dalam hal ini hakim dapat menguatkan putusan hukum adat dengan alasan bahwa hukum pidana adat tersebut telah sepadan dengan kesalahan terdakwa bagus sakti kurniawan karenanya terdakwa tidak dipidana lagi secara ganda dengan pasal 363 KUHP ini telah sesuai dengan Pasal 5 ayat (3) sub b Undangundang Darurat Nomor 1Tahun 1951 dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung 1991.
Republik Indonesia Nomor 1664 K/PID/1988 tanggal 15 Mei
50
3. Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor 142/Pid.B/2013/PN. Unh tentang tindak pidana pencurian tidak memeprtimbangkan pula ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang bunyinya bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup didalam masyarakat”. Selaras dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, penulis mengutip pendapat seorang tokoh terkemukan dari mazhab sejarah hukum dan kebudayaan Friedrich Karl Von Savigny menulis bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat (volksgeist) yang berarti semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan, dan bukan berasal dari pembentuk Undang-undang. Jika hakim mampu secara cermat memahami Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dengan memperkuat alasannya dengan memasukkan doktrin sejarah hukum Friedrich Karl Von Savigny kiranya dapat menjadi dasar argumentasi hukum hakim untuk memperkuat putusan hukum adat terhadap terdakwa Igo Sasmianto sehingga putusannya tidak menimbulkan konsekuensi negatif oleh pihak-hak yang berperkara. 4. Hakim tidak mempertimbangkan
keberlakuan Pasal 5 ayat (3) sub b
Undang-Undang Darurat Nomor 1Tahun 1951 (LN. 1951-9) tentang
51
tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara peradilan sipil, didalam amar putusannya, hal ini terbukti dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor 142/Pid.B/2013/PN. Unh tentang tindak pidana pencurian tidak memasukan ketentuan undang-undangan tersebut untuk memperkuat analisisnya agar tedakwa dinyatakan bebas, namun hal tersebut tidak dilakukan. Mengutip pendapat Oemar Seno Adji (2001:11) menyatakan bahwa memang benar yang dikatakan dalam KUHAP ,bahwa HIR dihubungkan dengan Undang-Undang Darurat Tahun 1951 Nomor 1 (LN. 1951-9) tentang Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara peradilan sipil beserta semua aturan pelaksanaanya dicabut, Walaupun dikatakan bahwa pencabutan aturan tersebut dibatasi sepanjang mengenai hukum acara pidanya. namun hal demikian tidak meliputi Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 yang menyangkut soal pidana adat material, olehnya itu dapat dikatakan bahwa pasal ini masih tetap dapat dilaksanakan. Selain itu, untuk memperkuat argumentasi penulis dalam skripsi ini berikut ini akan menyajikan beberapa kasus tindak pidana di Indonesia yang menguatkan putusan hukum adat. Beberapa putusan pengadilan yang menguatkan putusan hukum adat yang memberi konstribusi bagi pembentukan hukum adalah sebagai berikut:
52
1. Putusan
Pengadilan
Negeri
Gianyar
tertanggal
12-4-1976
No.
23/Pid/Sum/1976 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tertanggal 26-81977/Pid. Jo. Putusan M.A. tertanggal 8-10-1979 No. 195K/Kr/1978. 2. Putusan Pengadilan Negeri Klungkung tertanggal 31 Oktober 1983 Nomor 33/PN.KLK/Pid/SUMIR/1983 jo. Putusan MA tertanggal 30 Oktober 1984 Nomor 854 K Pid/1983. 3. Putusan Pengadilan Negeri Denpasar tertanggal 3 Februari 1984 Nomor 79/TOL.PID/1983/Denpasar. 4. Putusan Pengadilan Negeri Klungkung tertanggal 27 Januari 1986 Nomor 1/Pid/S/1988/PN.KLK. jo. Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tertanggal 21 April 1988 Nomor 22/Pid/S/1988/PT. Denpasar. 5. Putusan Pengadilan Negeri Sengkang tertanggal 20 April 1985 Nomor 87/Pid/B/1985/PN.Sengkang. jo. Putusan Pengadilan TInggi Ujung Pandang tertanggal 5 Agustus 1985 Nomor 187/Pid/1985/PT. Ujung Pandang jo. Putusan MA tertanggal 26 Mei 1988 Nomor 1370 K/Pid/1986. 6. Putusan Pengadilan Negeri Kendari tertanggal 15 Juni 1987 Nomor 17/Pid/B/1987/PN. Kendari jo. Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara tertanggal 11 November 1987 Nomor 32/Pid/B/1987/PT. SULTRA jo. Putusan MA tertanggal 15 Mei 1991 Nomor 1664 K/Pid/1988. 7. Pengadilan
Negeri
Poso
tertanggal
28
Februari
1995
Nomor
85/Pid.B/1995/PN. Poso jo. Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah di Palu tertanggal 30 Januari 1996 Nomor 23/Pid.B/1995/PT. PALU jo. Putusan
53
MA tertanggal 15 November 1996 Nomor 984 K/Pid/1996 (Pontang Moerad :208-209). Beberapa putusan pengadilan yang telah diuraikan di atas merupakan gambaran terhadap pengakuan atas putusan hukum adat, di mana hakim dalam putusannya dari perspektif hukum telah melakukan tindakan berupa memberikan konstribusi bagi proses pembentukan hukum sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut Bambang Poernomo (2005:23) menulis bahwa pembentukan hukum terjadi karena: 1. Undang-undang ada, tetapi sudah ketinggalan dan sudah tidak sesuai dengan keadaan ketika peristiwa itu terjadi sehingga hakim kemudian membentuk hukum. 2. Undang-undangnya tidak ada sehingga hakim mencari norma non hukum sekurang-kurangnya non undang-undang. Lanjut Bambang Poernomo(2005:36), Untuk dapat melakukan pembentukan hukum, maka hakim dapat melakukan perbuatan sebagai berikut: 1. Mengambil yurisprudensi yang antara lain dari hukum tidak tertulis dalam hal ini hukum adat. 2. Adopsi hukum asing/internasional. 3. Doktrin/pendapat para ahli.
54
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hakim dan badan-badan peradilan mempunyai peran penting dalam pembentukan hukum dan pengembangan hukum. Untuk itu hakim tidak lagi sebagai corong Undangundang tetapi pembentuk hukum melalui proses penafsiran yang dapat digunakan baginya sebagai salah satu fungsi yang melekat kepadanya. Selain itu, sesuai dengan asas konstitusional yang dianut pada Pasal 5 jo. Pasal 20 Amandemen Pertama dan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 pada dasarnya Indonesia menganut statute law system (wettenrecht) dan secara berbarengan system hukum menganut common law system karena hukum tidak tertulis (hukum adat) juga diakui dalam tata hukum.
55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian isu hukum dalam pembahasan di atas, maka kesimpulan yang dapat diperoleh penulis dari analisis tersebut adalah terhadap Putusan Pengadilan Nomor 142/Pid.B/2013/PN. Unh tentang pencurian yang menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Igo sasmianto merupakan keputusan hakim yang tidak tepat karena telah bertentang dengan Asas Nebis In Idem sebagaimana yang telah di rumuskan didalam pasal 76 ayat (2) KUHP, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1664 K/PID/1988 tanggal 15 Mei 1991, Ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 (LN. 1951-9) tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara peradilan sipil, sebab tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh terdakwa Igo Sasmianto telah diajatuhkan pidana`oleh hukum adat tolaki berupa ganti kerugian sebesar Rp.6.000.000 (Enam Juta Rupiah) kepada korban, sehingga terkesan putusan pengadilan mengabaikan putusan hukum adat tolaki serta tidak memberikan keadilan bagi pelaku dan akibat putusan tersebut melahirkan permasalahan baru bagi pihak-pihak yang telah menyelesaikan perkara tersebut.
56
B. Saran Untuk melengkapi analisis ini berikut akan di uraikan saran yang berisi tentang solusi dari isu hukum yang telah diteliti adalah sebagai berikut: 1. Perlu adanya rumusan hukum yang kuat mengenai pengakuan Putusan hukum adat di dalam Undang-undang dan tidak hanya sebatas pada Yurisprudensi Mahkama Agung Republik Indonesia Nomor 1664 K/PID/1988 tanggal 15 Mei 1991 sebab sifat dari yurisprudensi tidaklah mengikat bagi hakim karena hakim Indonesia tidak menganut system presedent yang terikat dengan keputusan hakim terdahulu seperti pada hakim-hakim yang menganut sistem Anglo Saxon. 2. Perlunya penguatan dibidang struktural, substansi dan kultural oleh para penegak hukum dalam mengakui keberlakuan hukum adat di Indonesia karena implikasi positifnya adalah mempermudah kinerja para penegak hukum dalam menyelesaikan perkara pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Buku : Adami Chazawi, 2002. Pelajaran Hukum Pidana Buku Ke-2. Rhineka Cipta, Jakarta. Ansorie Sabuan, 1990. Hukum Acara Pidana. Bandung : Angkasa Bambang Poernomo, 1992. Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia, Jakarta. Djokosoetono. 2006, Guru Pinandita. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Hamzah, Andi, 1994. Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktek.Rineka Cipta,Jakarta. __________, 2005. Asas-asas Hukum Pidana.Rineka Cipta, Jakarta. Howard Raiffa, The Art & Science of Negotiation, American Management Association, Amacom, 1982. Kanter dan Sianturi, 1982. Hukum Pidana Materil. Gresco, Bandung. _______________, 2002. Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya di Indonesia. Storia Grafika, Jakarta. Lilik Mulyadi, 2002, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Pengadilan. Bandung : Citra Aditya Bakti. Margono Suyud, 2004, Alternative Dispute Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Mochtar Kusumatmadja, 1972. Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional. Binacipta, Jakarta. Rahman Rahim, 2000. Tugas dan Kewenangan Kepolisian dalam Penegakan Hukum. Pradnya Paramita, Jakarta. Roeslan Saleh.1982. Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana. Aksara Baru, Jakarta.
Rusli Muhammad, 2000, Beberapa Hal Tentang Hukum Acara Pidana. Alumni, Bandung. Susanti Adi Nugroho, 2009, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Edisi Pertama, Cetakan ke-1, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta. Tongat, 2009. Dasar-Dasar Hukum Pidana Pembaharuan, UMMPress, Malang.
Indonesia
Dalam
Perspektif
Zainal Abidin, Andi, 1995. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama. Alumni, Bandung. Zamhari Abidin, H. 1986. Pengertian Dasar dan Azas Hukum Pidana Dalam Skema (Bagan) Dan Sinopsis (Catatan Singkat). Djambatan, Jakarta. Zein Umar Purba, M, 2007, Mediasi Dalam Sengketa Perbankan : Perbandingan Dengan Bidang Pasar Modal” dalam Mediasi Perbankan, diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Keputusan Kepala Polisi Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Penyelesaian Tindak Pidana Melalui Alternatif Dispute Resolution