Plan de Vida - sebuah inisiatif masyarakat adat untuk kelestarian budaya (cultural survival) Ditulis oleh: HermissionBastian CSQ Issue: 23.4 (Winter 1999) Visions of the Future: The Prospect for Reconciliation Diterjemahkan oleh: Abidah Billah Setyowati
Modernitas, Etnisitas dan Pembangunan dari “Luar” Masyarakat adat sudah terus-menerus menjadi objek bagi politik pembangunan. Berbagai kebijakan pembangunan yang ditujukan untuk masyarakat adat sering menekankan bahwa untuk mencapai „kemajuan‟, masyarakat adat perlu mengubah budaya mereka dan tidak menjadi penghambat bagi usaha-usaha modernisasi nasional. Ide pembangunan tersebut secara tidak langsung menempatkan bahwa etnisitas dan modernitas tidak bisa dikaitkan. Namun demikian, saat ini sudah banyak yang membuktikan bahwa modernitas dan etnisitas saling berkaitan. Bahkan lembaga seperti Bank Dunia sudah memiliki rencana pembangunan untuk masyarakat adat yang tidak hanya mengakui hak-hak masyarakat adat atas budaya mereka sendiri, tetapi juga menekankan pentingnya partisipasi mereka dalam usaha-usaha pembangunan. Etnisitas tidak lagi dianggap sebagai penghambat. Namun, asumsinya tetap sama bahwa pembangunan berasal dari „luar‟. Masyarakat adat mungkin dilibatkan dalam konsultasi untuk menginformasikan tujuan proyek tertentu. Mereka bahkan mungkin dilibatkan dalam perencanaan, namun inisiatif kegiatan tetap berada di tangan pihak luar. Undang-Undang Dasar 1991 dan Plan de Vida Istilah pembangunan saat ini ditanggapi dengan serius oleh sebuah inisiatif baru yang digawangi beberapa kelompok masyarakat adat di Kolombia, yang disebut Plan de Vida (Rencana Kehidupan). Dukungan keuangan dan kerangka kelembagaan dari Plan de Vida dicantumkan dalam Undang Undang Dasar Politik yang baru di Kolombia pada tahun 1991, yang kemudian menetapkan beberapa peraturan yang mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat, serta memberi masyarakat adat otonomi tertentu. Terkait dengan pembangunan, UndangUndang 60 sebagai penjabaran dari Undang Undang Dasar tersebut dirancang untuk memberikan dukungan keuangan lebih besar bagi masyarakat adat di tingkat lokal. Undang Undang Nomor 152, yang mengatur terlembaganya perencanaan pembangunan nasional, menyatakan bahwa cabildos, struktur pemerintahan masyarakat adat, dapat secara bebas merencanakan pembangunan sesuai dengan prioritas yang mereka tentukan sendiri. Cabildos dapat melaksanakan perencanaan pembangunan dengan cara-cara yang „sesuai dengan sistem budaya dan sosial mereka‟ (IACHR 1999:287). Dengan bantuan pendanaan yang diterima setiap tahun dari pemerintah nasional untuk cabildos, masyarakat adat di sana dapat membuat rancangan pembangunan jangka panjang yang kompleks - Planes de Vida. Undang Undang Dasar yang baru mengakomodasi beberapa prinsip, seperti: - Hak untuk memiliki identitas sebagai masyarakat adat, yang mencakup hak untuk menjadi berbeda dan bebas dari diskriminasi Negara dan masyarakat secara luas.
- Hak atas wilayah yang kondusif untuk mereproduksi budaya mereka. - Hak untuk secara otonom mengatur berbagai aspek kehidupan mereka sendiri, seperti pemerintahan, keadilan, pendidikan, kesehatan, reproduksi sosial dan ekonomi, dan lain sebagainya guna mengatur perubahan budaya dan reproduksi etnis.1. - Hak untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dalam berbagai aspek kehidupan nasional serta hak untuk mendapatkan hak Free, Prior and Informed Consent atau persetujuan bebas tanpa paksaan yang didahului dengan informasi yang lengkap dilaksanakan untuk berbagai tindakan, rencana, program dan proyek yang dapat berdampak pada jati diri etnis dan wilayah mereka serta sumber daya alam yang terkandung didalamnya. - Hak atas pembangunan, dalam arti pembangunan di masa depan yang berguna bagi kelompok sosial dan budaya mereka serta untuk meningkatkan kualitas hidup mereka yang sesuai dengan budaya, sistem sosial dan perencanaan kehidupan mereka sendiri. Mereka juga berhak atas pembangunan mereka sendiri terkait hubungan kebudayaan mereka dengan pembangunan nasional (IACHR 1999:287) Rencana Kehidupan Guambiano Konsep `rencana kehidupan' pertama kali diusulkan oleh Guambiano, kelompok masyarakat adat yang tinggal di wilayah Cauca, Kolombia. Mereka sudah mulai membuat perencanaan jangka panjang sejak tahun 1987, empat tahun sebelum UUD yang baru berlaku. Hal ini disebabkan oleh kekecewaan mereka terhadap kinerja lembaga cabildos mereka. Mereka menyelesaikan Plan de Vida pada tahun 1994. Bagi orang Guambiano, istilah Plan de Vida, tidak hanya merefleksikan sebuah rencana pembangunan ekonomi dan sosial semata. Motif utama pembuatannya tidak menyesuaikan gaya hidup Barat, tetapi melestarikan dan memperbaiki kehidupan Guambiano. Oleh karena itu, sebagian besar isi perencanaan tersebut didedikasikan untuk sejarah dan budaya Guambiano. Dengan menggunakan analisa sejarah, para pembuat rencana tersebut memaparkan penyebab persoalan masa kini masyarakat Guambiano. Dengan metode tersebut, mereka mengurai kembali proses „pembangunan‟ beberapa dekade terakhir yang menyebabkan meningkatnya jurang antara orang kaya dan miskin, perpecahan dalam masyarakat, serta matinya struktur sosial. Persoalan-persoalan sosial tersebut dianggap sebagai dampak negatif dari dunia luar. Tidak heran apabila rencana tersebut sangat anti modernisasi (Gow 1997:253-257). Namun, para pemimpin Guambiano sadar bahwa mereka hidup di dunia yang penuh tantangan dimana segalanya serba terkait, dan mereka tidak bisa berubah kembali ke gaya hidup seperti para leluhur mereka. Orang Guambiano, seperti halnya kelompok masyarakat adat lainnya, telah menegosiasikan perubahan radikal dalam waktu yang singkat. Mereka sadar dengan pentingnya menyesuaikan diri dengan perubahan situasi tersebut – namun harus dengan cara mereka sendiri. Oleh karena itu, rencana mereka mencakup aspek-aspek umum dari rencana pembangunan standar, seperti kesehatan, pendidikan, dll – meskipun aspek kebudayaan lebih mendominasi. Orang Guambiano sadar akan pentingnya menyesuaikan gaya hidup mereka dalam situasi 1
Reproduksi etnis dalam hal ini diartikan kebebasan kelompok etnis tertentu untuk mengembangkan budaya mereka serte menghasilkan keturunan dari suku mereka
kekinian agar bisa bertahan di dunia modern. Namun, penyesuaian diri tersebut merupakan perangkat untuk bertahan dan memelihara kesatuan budaya mereka. Melalui Plan de Vida, mereka ingin mempertahankan budaya mereka, dan bahkan menghidupkan kembali apa yang sudah hilang di masa lalu. Seperti yang diungkapkan oleh perwakilan masyarakat Guambiano, Alvaro Morales, "Masa depan berada di belakang kita." Rencana tersebut dirancang untuk memenuhi kebutuhan masa depan masyarakat adat dengan mempersiapkan langkah-langkah ke depan, namun indikator kesuksesan proyek ini diukur dengan nilai-nilai yang dipegang oleh para leluhur Guambiano. Masa depan yang mereka rancang berdasarkan pengetahuan para leluhur mereka di masa lalu. Hal ini akan menghidupkan kembali masa lalu. Dalam beberapa hal, Plan de Vida digunakan untuk mencapai kebangkitan budaya, sebagai contoh, dengan melaksanakan program pendidikan - mengajarkan pengetahuan leluhur mereka serta memfokuskan pada warisan budaya Guambiano. Namun, Plan de Vida mencakup lebih dari itu. Sebab, Plan de Vida juga menyarankan penyelesaian-penyelesaian terhadap berbagai persoalan penting seperti dampak dari bercocok tanam tumbuhan terlarang, khususnya opium, yang dilakukan oleh beberapa petani karena sempitnya lahan garapan mereka. Hal ini telah menyebabkan berbagai persoalan pada masyarakat. Persoalan yang paling serius adalah menjadi korban kekerasan berbagai kelompok yang terlibat dalam perang narkoba, seperti kartel-kartel narkoba yang saling berkompetisi, gerombolan gerilya, dan pasukan pemerintah. Plan de Vida menyelesaikan hal tersebut dengan mempromosikan moda produksi alternatif. Sebagai contoh, Orang Guambiano telah memulai kerjasama dengan PBB untuk mengkomersialisasi penjualan ikan forel, dan saat ini mereka memproduksi 4-5 ton ikan forel per bulan. Aspek lainnya adalah program sosialisasi yang dirancang untuk mengkonsolidasikan hubungan mereka dengan berbagai kelompok masyarakat adat yang tinggal berdekatan, karena “kami berbagi lingkungan yang sama" (ibid.). Pada November 1999, para perwakilan masyarakat adat di kabupaten tersebut bertemu untuk mendiskusikan dan mencari solusi dari berbagai persoalan yang mereka hadapi. Bagan di bawah menggambarkan berbagai aspek dari Plan de Vida del Pueblo Guambiano, yang dibagi dalam tiga bagian: ekonomi, sosial/budaya dan jejaring. Namun demikian, orang Guambiano khawatir beberapa pihak luar masih tidak menghormati Plan de Vida. Mereka tidak sadar bahwa konsep yang luar biasa ini mencoba mewujudkan kondisi tradisional yang ideal, dan pada saat yang sama konsep tersebut juga pragmatis dan praktis. Plan de Vida memang masih tergantung pada pendanaan dari pemerintah. Tapi, untuk pertama kalinya, masyarakat adat memiliki otonomi cukup besar terkait dengan keputusan pengalokasian dana tersebut. Di masa lalu, pihak luarlah yang biasanya memiliki kontrol terhadap pengalokasian dana. Dengan begitu, mereka bisa mengatur aspek mana dari budaya setempat yang harus dilindungi, dan mana yang tidak. Sebagai contoh, di Australia, karya seni suku Aborijin dilindungi dan dipromosikan oleh pemerintah, namun suku Aborijin tidak diberi wilayah di mana mereka bisa memberikan makna budaya yang kontekstual dari karya seni mereka tersebut. Di Kolombia, untuk pertama kalinya, masyarakat adat mendapat kerangka hukum yang jelas untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Kasus Embera Sejak UUD baru ditetapkan, banyak masyarakat adat di Kolombia, khususnya di wilayah Cauca, seperti suku Embera, Paez, Yanacon dan yang lainnya, telah mengikuti jejak langkah orang Guambiano dengan membuat Rencana Kehidupan (Planes de Vida). Dalam wawancara dengan Paulo Valencia, seorang perwakilan dari Embera, dia menyatakan bahwa meskipun rencana tersebut merefleksikan kebutuhan khusus kelompoknya, namun ada beberapa tema dalam rencana tersebut yang mirip dengan Rencana Orang Guambiano. Sebagai contoh, meski memfokuskan pada pemulihan kebudayaan, rencana tersebut juga mencakup aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. "Bagian dari rencana ini adalah menghidupkan kembali tradisi nenek moyang kami, karena Rencana Kehidupan tidak hanya merupakan proposal untuk pembangunan, tetapi rencana kehidupan Orang Embera.” Bapak Valencia menyatakan bahwa "Kami tidak hanya ingin mengubah dunia. Dengan menyusun Plan de Vida, kami ingin mengubah masyarakat Embera. Tujuan rencana ini tidak hanya meningkatkan relasi kelompok mereka dengan arena global, tetapi juga meningkatkan taraf hidup individual terkait dengan kelompok mereka." Meski setiap masyarakat memutuskan prioritas yang berbeda-beda, terkait etnisitas atau modernitas, tergantung situasi yang mereka hadapi, ide besar dari Plan de Vida masih sama, yaitu sebagai alat untuk menghidupkan kembali budaya mereka dan pada saat yang sama menyesuaikan diri dengan persoalan yang mereka hadapi saat ini. Gambaran Situasi di Kolombia Masyarakat adat di Kolombia terlibat dalam berbagai macam perjuangan besar. Orang U'wa sudah bertahun tahun berjuang melawan sebuah perusahaan minyak, Occidental, yang barubaru ini berhasil mendapatkan ijin dari Pemerintah Kolombia untuk membuat sumur-sumur minyak percobaan di wilayah adat U‟wa. Orang Embera Katio sedang melawan proyek DAM hidroelektrolik yang cukup masif. Perjuangan mereka ini membuat mereka harus berhadapan dengan gerilyawan, , paramiliter, dan tentara negara yang berusaha memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing. Banyak kelompok lain yang mengalami hal serupa. Meski Pemerintah Kolombia sudah membuat kerangka kerja unik yang membuat masyarakat adat dapat membuat rencana pembangunan mereka sendiri, kita harus ingat bahwa pemerintah, yang sangat tergantung dengan pajak pendapatan dari perusahaan-perusahaan internasional, tidak dapat begitu saja menyetujui gagasan dari kelompok masyarakat adat apabila gagasan tersebut bertentangan dengan kepentingan nasional skala besar dan upayaupaya pembangunan. Jika proyek besar harus terhambat gara-gara inisiatif masyarakat adat, pemerintah akan sangat mungkin memilih untuk menekan lawan-lawannya daripada menyerah untuk kepentingan rakyat. Sampai saat ini, perang sipil masih terjadi di Kolombia dan masyarakat adat seringkali terjebak di tengah peperangan tersebut. Meskipun dalam situasi sulit, Plan de Vida memberi ruang kepada masyarakat adat untuk menuangkan gagasan dan program mereka serta dalam pelaksanaannya.
Kesimpulan Plan de Vida merupakan inisiatif masyarakat adat yang luar biasa. Jarang ditemukan masyarakat adat yang dapat mengaitkan etnisitas dan modernitas sedemikian rupa dan sedikit dari mereka yang mendapatkan jaminan hukum dan finansial untuk menyusun rencana bagus seperti itu. Plan de Vida merupakan konsep pembangunan, tapi tidak dalam perspektif Barat sebab tidak mengadopsi nilai-nilai barat. Ini merupakan rencana pembangunan yang berlandaskan kesadaran masyarakat untuk membuat rencana perubahan jangka panjang agar mampu bertahan di dunia ini. Mereka „membangun‟ ide-ide baru untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi saat ini – yang berbeda dengan pendekatan sebelumnya, dan dalam banyak hal, `jauh lebih radikal' (Paulo Valencia pers com 1999). Rencana pembangunan mereka merupakan sebuah inisiatif untuk bertahan hidup dalam situasi ekonomi global saat ini. Namun, yang mereka cari adalah kelangsungan kehidupan budaya mereka. Langkah-langkah praktis yang mereka ambil, penyesuaian diri yang mereka buat, dirancang dengan harapan untuk menyelamatkan integritas budaya dan memulihkan apa yang telah hilang. Konsep adat independen seperti inilah yang dipromosikan oleh LSM berbasis di Cambridge, Inggris, Cultural Survival: membiarkan masyarakat adat untuk memutuskan masa depan mereka, dan LSM tersebut memutuskan, sebagai pendukung masyarakat adat, untuk mendukung pilihan-pilihan masyarakat adat tersebut. Plan de Vida merupakan metode yang layak ditiru dan didukung. Catatan kaki: 1. UUD juga meratifikasi dan memasukkan Konvensi ILO 169 ke dalam peraturan – peraturan di dalam negeri mereka. Terkait dengan hal ini, penulis mengontak beberapa perusahaan minyak (Occidental, Arco, Chevron, BP-Amoco) yang terlibat dalam proyekproyek di Kolombia dan di bagian lain di Amerika Selatan untuk menanyakan kepada mereka informasi tentang Plan de Vida. Yang menarik, tidak ada satupun dari mereka yang tahu tentang hal tersebut. Hal ini sangat mencengangkan, mengingat besarnya usaha humas perusahaan-perusahaan tersebut untuk menunjukkan betapa besar perhatian mereka terhadap masyarakat setempat dan pemahaman terkini mereka tentang masyarakat adat. 2. Lebih dari 500 tokoh masyarakat adat dibunuh karena alasan politik selama 25 tahun terakhir, sebagian dibunuh oleh tentara keamanan pemerintah dan kelompok-kelompok pemerintah lainnya. (IACHR 1999:292)