Ruang Untuk Masyarakat Lokal Tradisional ( Masyarakat Adat ) yang Semakin Terpinggirkan Oleh : H. Maman Djumantri Tulisan ini merupakan kelanjutan dari “Indigenous Environmental Knowlwdge for Use of and Managing Natural Resources: A Case Study on Baduy, Aru, and Balinese’s Subak Tribe Communities”, (BUTARU edisi Januari-Febuari 2011). Kedua tulisan tersebut menunjukkan terbentuknya sebuah pengetahuan setempat (indigenous environmental knowledge) dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem serta kaitannya dengan sustainable exploitation of tropical natural resources (khususnya sumberdaya alam yang terbaharukan) yang dilakukan oleh beberapa masyarakat lokal/tradsional/masyarakat- adat (tribe communities) di Indonesia dengan mengambil contoh pada Baduy Tribe (Banten), Aruese Tribe (Maluku Tenggara), dan Balinese’s Subak Tribe (Bali). Pengetahuan aslilokal ini merupakan bagian dari upaya untuk melestarikan dan mengelola sumberdaya alam, sehingga dengan instrument tersebut masyarakat yang bersangkutan dapat bertahan hidup di kawasan tersebut. PERGESERAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN Secara generic dapat dikatakan bahwa “pembangunan adalah proses pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia agar hidup sejahtera lahir dan batin”. Terlepas dari bagaimana proses dan cara melaksanakannya, tujuan akhir pembangunan adalah kesejahteraan sosial (lahir maupun batin) bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika pembangunan ditujukan untuk seluruh rakyat (bangsa) Indonesia, seyogyanya menyertakan juga lapisan masyarakat tradisional atau masyarakat adat yang tersebar, terpencil dan marjinal. Pembangunan nasional dilaksanakan secara menyeluruh wilayah” yakni suatu pendekatan yang tidak sektoral, tidak melalui beberapa bidang yang pada tataran implementasinya partial, yang bersifat integrated and comprehensive/holistic; negara mendelegasikan kewenangan dan tanggung-jawab dan (ii) pendekatan pembangunan berkelanjutan yang pengelolaannya kepada kementrian/badan sebagai unsur bermakna pembangunan untuk memenuhi kebutuhan Pemerintahan. Dalam perjalanan kehidupan bernegara masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan terjadi penyelewengan tafsir dari “hak menguasai negara” generasi di masa mendatang. Kedua pendekatan ini yang berpengaruh pada munculnya egoisme sektoral. di Indonesia diakomodasikan di dalam kaidah-kaidah Pembangunan berjalan sendiri-
sendiri, tidak terjadi penataan ruang dan lingkungan. keterpaduan perencanaan, sinkronisasi program, dan koordinasi pelaksanaan pembangunan; terjadi overlapping kegiatan dan duplikasi pendanaan pembangunan. Ujung - ujungnya terjadi konflik kepentingan sektoral dalam pengelolaan (khususnya pemanfaatan) sumberdaya alam. Kini tinggal masyarakat yang menderita. Selanjutnya masing- masing sektor menyusun kebijakan sekoral hanya untuk kepentingan sektornya sendiri. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi bila semua pihak memahami dan menyadari arti “kebijakan” itu sendiri yakni seperangkat ketetapan yang disepakati bersama untuk (dalam) mengatur suatu urusan atau persoalan demi terwujudnya tujuan pembangunan (William Dun, 2003; Riant Nugroho D, 2007). Dengan berkembangnya paradigma baru pembangunan, Nampaknya perlu direnungkan dan ditinjau kembali mulai disadari bahwa pembangunan yang terlalu sektoral dan mengenai kebijakan pembangunan dan pendekatannya, sentralistis pada akhirnya akan merugikan pembangunan dengan mengakomodasikan paradigma baru tersebut. itu sendiri. Untuk menyempurnakan pendekatan sektoral, Perlukah dilakukan redefinisi pembangunan dan kini diterima dua pendekatan kesisteman: (i) “pendekatan kebijakannya. Perlu direnungkan dan ditinjau kembali mengenai kebijakan pembangunan dan pendekatannya, dengan mengakomodasikan paradigma baru. INDIGENOUS (ENVIRONMENTAL) KNOWLEDGE DARI MASYARAKAT TRADISIONAL MASYARAKAT ADAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM Dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam tropika dan kelestarian alam/lingkungan, masyarakat adat/ tradisional ini dengan pengetahuan lokalnya (indigenus knowledge), dengan kekuatan memegang hukum adatnya, kemampuan spiritualnya, dan religi yang dianutnya, ternyata lebih arif dibandingkan masyarakat lainnya. Namun, bagaimana nasibnya dengan adanya kekuatan-kekuatan/faktor penekan yang mempengaruhinya untuk mengubah cara hidup dan pengetahuan lokalnya? Mari kita simak masyarakat-masyarakat adat/ tradisional: Baduy, Banten (BUTARU 1st edisi Jan-Feb 2011, p. 28-30), Aru (Maluku Tenggara), dan Subak (Bali). Masyarakat adat dengan pengetahuan lokalnya, ternyata lebih arif dibandingkan masyarakat lainnya.
Masyarakat Lokal Tradisional/Masyarakat Adat Aru (Maluku Tenggara) untuk mengisi toko-toko obat dan restoran-restoran internasional di Singapura, Masyarakat lokal tradisional (masyarakat adat) di Kepulauan Aru (Maluku Tenggara) berperadaban ecocentrism, tercermin dalam eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut sebagai mata-pencaharian utamanya dengan memanfaatkan pengetahuan dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem pesisir dan kepulauan. Pada Musim Timur (Mei-Oktober) mereka bekerja di kebun membuat kanji dari sagu, berburu rusa dan babi hutan di savanna atau di hutan, dan mengumpulkan beberapa jenis moluska, kepiting dan Sea-cucumber (Tripang). Pada Musim Barat (November- April) lebih terfokus pada sumberdaya laut seperti mengumpulkan Tripang di pantai berpasir yang sedang pasang, kadang memancing Hiu. Tripang sejenis binatang laut yang lezat, kaya protein dan kalori, jelly-nya dapat menjadi kosmetik, obat penyakit dalam, supplemen drink, sehingga banyak saudagar/pedagang dari dalam dan luar negeri yang datang berkulak Tripang untuk mengisi toko-toko obat dan restoran-restoran internasional di Singapura, Malaysia, Taiwan, Cina, Jepang, dan Korea. Melalui para pedagang/saudagar inilah diintroduksikan unsur- unsur budaya modern materialistis kepada masyarakat lokal Aru sehingga budaya mereka bergeser ke luxury goods consumptive.. Akan terjadi degradasi mutu lingkungan akibat penggunaan teknologi dari pihak-pihak yang mau mencari keuntungan terhadap komunitas lokal Aru. Tripang Kepulauan Aru, Sulawesi Tenggara Dalam kegiatan mengumpulkan Tripang mereka tidak meng-gunakan alat apapun tetapi memanfaatkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) mengenai kehidupan Tripang seperti habitat yang disukainya, bulan apa bereproduksi, pada cuaca bagaimana menampakkan diri dan sebagainya. Melalui pengetahuan lokal inilah komunitas lokal Aru mengorganisasikan kekuatannya mengelola sumberdaya alam yang satu ini secara lestari. Sebagai contoh: Di Musim Barat saat pasang naik merupakan saat yang tepat untuk “memanen”Tripang; tetapi dibatasi dari November sampai Maret saja karena Tripang (khususnya Tripang Putih dan Tripang Matahui) berproduksi pada bulan April. Apabila suhu perairan menurun dan permukaan air terang Tripang menampakkan diri sehingga para pemungut Tripang lebih suka menyelam di malam hari apalagi saat bulan purnama; memang Tripang ini binatang yang romantic. omunitas lokal Aru sangat kuat memegang kepercayaan yang dianutnya yang berhubungan erat dengan mitologi. Hal ini menjadi instrument tangguh dalam menjaga kelestarian alam dan keberlanjutan. Berikut ilustrasinya: -
Alam dan seisinya merupakan milik leluhurnya (ancestors), yang senantiasa memantau agar penggunaan sumberdaya alam sehemat mungkin, sekedar untuk hidup (self-sufficient), dan memikirkan mereka yg akan hidup. Hal
-
-
-
-
-
-
-
ini dapat dipahami bahwa dengan kebijakan demikian maka tidak akan terjadi over exploitation. Di kalangan masyarakat Aru terdapat “Kepala Adat” sebagai mediator dalam melakukan dialog antara Sang Leluhur dengan anak-cucunya. Karena itu setiap akan melakukan kegiatan, didahului dengan upacara dialog. Hasil dialog berupa kesepakatan-kesepakatan yang harus ditaati; misalnya untuk jenis (species) tertentu hanya boleh diambil pada saat-saat tertentu, hanya boleh mengambil Tripang yang berukuran besar saja; dan ada masa larangan (restriction) untuk mengambil Tripang (dikenal dengan Sasi Tripang), selama ± 3 (tiga) tahun, dan sebagainya. Hal ini mengandung pengertian untuk memberi kesempatan alam melakukan regenerasi. Sang Leluhur akan murka bila kesepakatan dilanggar, yang dimanifestasikan dalam bentuk bencana alam. Mengandung makna bahwa apabila alam terganggu keseimbangannya, maka alam akan mencari titik keseimbangan baru. Dalam hubungnnya dengan menjaga keharmonisan antara warga masyarakat dengan lingkugan hidup, dijumpai adanya sistem pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional. Dapat dilihat antara lain: Ada pembagian tugas di antara warga, misalnya: laki - laki dewasa melakukan kegiatan hunting, menyelam, dan berkebun; wanita dewasa melakukan kegiatan rumah- tangga, membuat kanji dari sagu, memungut Tripang di pantai berpasir, dan pengolahan Tripang pasca panen; anak perempuan membantu kegiatan ibunya sebagai proses belajar; anak laki-laki mengamati kegiatan ayahnya sebagai proses belajar. Transfer of knowledge dilakukan secara learning by doing. Dahulu kala ada tradisi yang unik yang berkaitan dengan penyatuan dengan alam, misalnya: (i) Bayi laki-laki yang baru dilahirlkan dilempar ke dalam laut, setelah beberapa menit sang ayah terjun, menyelam mencari anaknya dan dibawanya pulang; (ii) Anak laki-laki yang memasuki usia akil-balig dibuang ke dalam hutan tanpa diberi bekal, apabila ia dapat pulang dengan selamat maka ia disambut dan diakui sebagai laki-laki dewasa. Apabila hasil perolehan Tripang melebihi kebutuhan untuk dikonsumsi sekeluarga, maka kelebihannya diawetkan dengan teknologi ramah lingkungan (tanpa zat pengawet). Tripang hasil pengawetan dapat ditukar (barter) dengan kebutuhan rumah tangga yang lain. Ada upaya untuk membudidayakan Tripang dengan cara membangun tambaktambak. Sayang sekali, peradaban ecocentrism ini telah bergeser dengan masuknya faktor2 exogenous. Terutama sekali dibawa oleh saudagar2/pedagang2 dari Taiwan, Cina, Korea, Jepang, Malaysia, dan Singapura yang prosesnya sudah berjalan ratusan tahun. Masyarakat tradisional Aru diimimg- imingi produk-produk teknologi yang harus “dibayar” dengan Tripang.
Akhirnya Tripang menjadi sebuah komoditas ekonomi. Harga dipermainkan terus, namun transaksi berjalan terus, dan Tripang dikuras terus. Kapan stopnya? Apakah harus menunggu sampai masyarakat tradisional Aru jatuh miskin dan terjadi degradasi mutu lingkungan akibat penggunaan teknologi dari pihak-pihak yang mau mencari keuntungan (misalnya pencurian sumberdaya laut dengan kapal selam asing). Kalau sudah sampai situasi-kondisi seperti ini, seyogyanya segera ada campur tangan (intervensi) Pemerintah,
misalnya ditetapkan Kepulauan Aru sebagai cagar alam, cagar budaya, kawasan perlindungan, kawasan konservasi, menetapkan Tripang sebagai binatang yang dilindungi, dan sebagainya. Yang terjadi sekarang malah Pemerintah menetapkan Kepulauan Aru sebagai kawasan cadangan (?) Ini berarti kebijakan keberpihakan Pemerintah kepada kapitalis. Masyarakat Lokal Tradisional/Masyarakat Adat Subak-Bali (Pulau Bali) Sawah Terasering dengan sistem Subak Masyarakat tradisional Bali sangat mempercayai adanya kekuatan magis dan kekuatan spiritual yang dijadikan basis pada religinya. Alam telah memanjakan Bali dengan kondisi idealnya untuk pengembangan pertanian. Gunung berapi yang masih sering aktif menjadikan tanah berkesuburan tinggi. Curahan air hujan dan sejumlah mata air dari pegunungan menyuplai air ke beberapa kawasan pertanian di Pulau Bali. Dan sepanjang musim kemarau, disebabkan oleh angin musim tenggara, matahari menyinari dalam beberapa bulan dalam setahun. Di pulau ini kawasan produktif pertanian tradisional cukup tersebar dan luas. Penanaman padi sawah merupakan kunci dari kegiatan pertanian di Bali dengan konsentrasi sawah beririgasi dijumpai di bagian selatan Bali. Pada daerah yang terairi dengan baik penanaman padi dirotasikan dengan tanaman palawija penghasil uang (cash crop) seperti kacang tanah, kedelai, bawang, cabe, dan sayuran; di daerah kering ditanami jagung, ketela, dan ubi. Masyarakat tradisional (masyarakat adat) Bali mempunyai suatu sistem indigenious irigasi yang dikendalikan oleh suatu organisasi dari kelompok masyarakat perdesaan yang disebut Subak yang mempertahankan agar padi tetap terairi dengan baik dan kaya akan nutrisi dari abu vulkanik yang juga dapat meningkatkan kesuburan. Siap Upacara Ritual di Pura Subak Religi, Kepercayaan, Norma, dan Budaya Masyarakat tradisional/adat Bali menyembah Dewa Brahmana (pencipta), Wisnu (pemelihara), dan Shiwa (perusak, penghancur), sebagai manifestasi dari sifat Tuhan yang maha kuasa (Sanghyang Widhi Wasa). Konsep tiga aspek ini dikenal dengan Trimurti. Dimungkinkan juga menyembah Dewa-Dewa lainnya seperti Ganeça, Saraswati, Bhatari Sri, dan umumnya terlihat satu tempat ibadah digunakan untuk pemujaan kepada banyak dewa dan kekuatan spiritual, itulah uniknya masyarakat ini. Pada dasarnya aktivitas manusia dapat dikelompokkan ke dalam tiga interaksi yakni antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhannya. Hal ini diartikulasikan dalam pengaturan pola pemanfaatan ruang (space-used, zoning?) yang dikenal dengan konsep Tri Hita
Karana. Masyarakat tradisional/adat Bali sangat mempercayai adanya kekuatan magis dan kekuatan spiritual dan hal-hal tersebut banyak dijadikan basis pada religinya. Mereka percaya bahwa kekuatan spiritual kebaikan bersemayam di pegunungan, sedangkan lautan merupakan habitat dedemit, roh-jahat, dsb. Hampir di semua desa sedikitnya mempunyai tiga pura: (i) Pura Puseh (temple of origin) yang menghadap ke pegunungan, dan didedikasikan bagi para pendiri desa; (ii) Pura Desa, normalnya terletak di tengah-tengah permukiman, dan didedikasikan bagi kesejahteraan di dalam desanya; (iii) Pura Dalem, searah dengan laut, dan didedikasikan bagi the spirits of the dead. Dalam kehidupannya masyarakat tradisional/ adat Bali banyak melakukan upacara ritual keagamaan yang secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam lima jenis upacara (panca yadnya): (i) manusa yadnya (upacaraupacara yang berkaitan dengan siklus hidup manusia dari kelahiran hingga kematian); (ii) putra yadnya (upacara2 yang berkaitan dengan upaya menjaga hubungan anata para leluhur dengan yang masih hidup); (iii) dewa yadnya (upacara penyembahan kepada para dewa yang menjaga/melindungi dunia); (iv) resi yadnya (upacara-upacara yang berkaitan dengan priest ordination); dan (v) buta yadnya (upacara untuk melindungi diri dari nafsu buruk atau nafsu jahat). Meskipun berasal dari India, agama masyarakat tradisional/ adat Bali ini sangat unik, merupakan blending dari Hindu, Buddha, dan kepercayaankepercayaan indigenous Jawa- kuno, dengan adat-istiadat yang sangat berbeda dari bentuk- bentuk tradisional Hinduism yang dipraktekan di India saat ini. Dalam menjalankan norma dan etika kehidupannya masyarakat Hindu Bali mengenal sistem strata yang dikenal dengan “kasta” (Brahmana, Ksatriya, Weisya, dan Sudra); namun yang kita lihat sekarang sistem itu semakin longgar dan tidak tertutup hubungan satu sama lain, dan pekerjaan atau jabatan tidak diatur oleh sistem kasta. Dalam kenyataannya, hanya sesuatu yang merefleksikan sistem kasta, yakni bahasa yang mempunyai tiga tingkatan: (i) bahasa halus (kromo-inggil), bahasa sedang (moderat), dan (iii) bahasa pasaran (bahasa gaul). 95% masyarakat Bali menganut Hindu Darma dan setiap hari berbicara lemah-lembut satu sama lain. Masyarakat kelas menengah berbicara tegas, lugas, terkadang kasar; kadang kepada yang lebih tinggi kelasnyapun demikian. Bahasa kasta Ksatriya digunakan ketika berbicara dengan kelas yang lebih tinggi seperti brahmana atau pendeta/pemuka agama; tetapi hampir semua kata-kata yang digunakan oleh kelas bawah dan menengah adalah sama, sedangkan kelas atas menggunakan bahasa campuran antara bahasa kelas menengah, bahasa JawaKuno, dan bahasa Kawi (berasal dari bahasa Sansekerta). Kelompok Masyarakat Tradisional / Masyarakat Adat di Pulau Bali Dalam komunitas masyarakat Bali banyak terbentuk organisasi atau kelompokkelompok masyarakat pada berbagai aspek seperti perdesaan, pertanian, kesenian, dsb. Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam pelayanan fasilitas seperti sekolah, klinik, rumah sakit, jalan, dan sebagainya; sedangkan aspek-asepek lainnya dalam kehidupan berada di tangan 2 (dua) traditional committee yang berkiprah mengembalikannya ke akar budaya masyarakat Bali. Organisasi kelompok masyarakat jenis pertama adalah Banjar yang menata selururuh aktivitas desa termasuk upacara perkawinan, dan upacara kematian (ngaben), sesuai dengan sifat-sifat yang dikenal dengan istilah gotong-royong.
Hampir seluruh desa sedikitnya memiliki satu Banjar dan semua laki-laki yang telah menikah diharuskan bergabung. Satu Banjar rata-rata beranggotakan 50–100 keluarga dan setiap Banjar mempunyai Bale-Banjar yakni tempat pertemuan regular. Di tempat inilah kelompok drama dan orchestra gamelan tradisional Bali berlatih. Masyarakat tradisional Subak secara lebih arif mengorganisasikan seluruh kekuatannya dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya pertanian padi sawah. Organisasi kelompok masyarakat jenis kedua adalah Subak, yang memusatkan perhatiannya pada produksi padi sawah dan mengorganisasikan sistem irigasi yang kompleks. Kelompok kerjasama Subak berada di luar lembaga-lembaga formal di desa, di bawah juridiksi kelompok yang lebih besar, lebih dari satu Subak, tergantung dari pola-pola drainase setempat. Tugas-tugas teknik yang lebih penting di bawah penanganan Subak yakni pembangunan dan pemeliharaan kanal, terowongan, saluran air, dam, dan pintu air. Padi merupakan makanan pokok masyarakat Bali yang dipersonifikasikan sebagai Dewi Bhatari Sri. Padi juga merupakan kekuatan sosial utama. Tahaptahap dalam kegiatan pertanian padi sawah menentukan ritme dari pekrjaan musiman sebagaimana ditunjukkan oleh kelompok pekerja antara laki-laki dengan wanita di dalam satu komunitas. Masyarakat tradisional/adat Bali sangat menghargai varietas padi lokal dan tidak menyukai pemupukan secara kimiawi (Urea, NPK, TSP), demikian juga penyemprotan hama-penyakit tanamannya (Endrin, Dieldrin, DDT, Malathion), yang diekspresikan dalam mitologi dan bebagai upacara ritual yang melukiskan siklus hidup Dewi Bhatari Sri – dari mulai menanam benih hingga memanen bulir padi. Maka padi merepresentasikan budaya masyarakat tradisional/adat Bali dalam dual sense yakni budaya dan kultus, lebih khusus lagi, dalam pekerjaan (bertani) dan ibadah. Pengelolaan Sumberdaya Alam Dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam tropika dan kelestarian alam/ lingkungan, masyarakat adat/tradisional Subak ini dengan indigenous environmental knowledge yang dimilikinya secara turun-temurun, dengan kekuatan memegang hukum adatnya, dengan kemampuan cosmological spiritualnya, dengan kuatnya religi yang dianutnya, mereka secara lebih arif mengorganisasikan seluruh kekuatannya itu melakukan pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya pertanian padi sawah. Bukti sejarah mengindikasikan bahwa sejak abad ke-11, semua petani yang lahannya terairi dari saluran irigasi yang sama menjadi satu kelompok kerjasama irigasi atau termasuk di dalam satu Subak. Ini merupakan sebuah lembaga adat (lembaga tradisional) yang mengatur pembangunan dan pemeliharaan bangunan pengairan, dan suplai air irigasi yang didistribusikan secara adil. Peraturan demikian sangat esensial untuk mengefisienkan penanaman padi-sawah di Bali, di mana air mengalir melalui jurang yang sangat dalam dan menyebrangi teras-teras dalam perjalanannya dari gunung ke laut. Setiap orang yang memiliki lahan pertanian padi atau sawah bergabung pada Subak setempat, yang selanjutnya menjamin setiap anggotanya
mendapatkan air irigasi yang didistribusikan secara adil. Secara tradisi kepala Subak memiliki sawah pada bagian yang paling bawah dari bukit/pegunungan, sehingga air harus mengalir melalui sawah-sawah yang lain sebelum mencapai sawah miliknya. Subak bertanggung-jawab terhadap koordinasi kegiatan penanaman benih dan pemindahan bibit untuk mencapai kondisi di mana tanaman tumbuh secara optimal; demikian juga bertanggung jawab dalam upacara persembahan dan perayaan di pura subak. Seluruh anggota diundang untuk Masyarakat tradisional Bali percaya bahwa kelangsungan hidup komunitasnya juga bergantung dari integritas terhadap budayanya. berpartisipasi pada kegiatan2 tersebut khususnya pada upacara persembahan kepada Dewi Bhatari Sri. Pertanian padi sawah dengan sistem Subak disakralkan karena mereka percaya pada eksistensi dewi-padi (Dewi Bhatari Sri; Sanghyang Sri) yang senantiasa memberi kemakmuran selama manusia masih loyal kepadanya. Untuk menjaga hubungan dengannya, setiap tahap kegiatan pertanian, sebelumnya diadakan upacara ritual untuk memohon izin dengan menyampaikan persembahan; karena itu melaksanakan pekerjaan di sawah dipertimbangkan sebagai bagian dari kewajiban masyarakat tradisional/adat Bali dan diwajibkan mengikuti aturan yang telah ditetapkan (hukum adat). Untuk melindungi norma, kepercayaan, dan budayanya dari kekuatan exogenous, beberapa aturan dan larangan pada aspek sosial dan budaya ditekankan dan dilegalkan dalam ketetapan hukum adat. Untuk menegakkan hukum adatnya terdapat mekanisme pengendalian yang disebut “Karma” (consequences). Mereka percaya bahwa ia akan mengalami hal-hal yang buruk apabila melakukan perbuatan buruk, dan sebaliknya. Mekanisme pengendalian lainnya yakni kontrol sosial berupa eksekusi hukuman (punishment) bagi yang melakukan pelanggaran; eksekusi dilakukan oleh Ketua Subak dan/atau Kelian Banjar.
Pergeseran budaya tradisional/adat dari ecocentrism ke anthropocentrism Beraneka ragam budaya asing yang anthropocentrism telah hidup berdampingan bersama budaya tradisional /adat Bali at least sejak 100 tahun yang silam. Hal ini dapat mengancam tererosinya nilai-nilai luhur budaya tradisional (adat) Bali. Secara kasat mata (tangible) semua pihak mengetahui bahwa cara hidup masyarakat tradisional/adat Bali telah bergeser sebagai dampak dari penggunaan produk- produk budaya materialistist anthropocentrism. Berdasarkan alasan tersebut dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa budaya masyarakat tradisional/ adat Bali sedang mengalami pergeseran dari budaya ecocentrism ke budaya anthropocentrism. PEMBAHASAN Success story tentang pengelolaan sumberdaya air dengan sistem Subak sudah tidak diragukan lagi sehingga Pemerintah pernah mengangkatnya menjadi sebuah model yang diaplikasikan ke seluruh wilayah Indonesia. Namun ternyata tidak berhasil. Hal ini dapat dimengerti bila diingat bahwa terbentuknya sebuah pengetahuan setempat (indigenous knowledge) dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem (sumberdaya alam) merupakan hasil penggabungan dan akumulasi dari: transfer of knowledge yang turuntemurun, pengalaman empiris, pengenalan dan pemahaman ekosistem setempat, kemampuan cosmological spiritual, kekuatan religious, kemampuan menginterpretasikan mitologi yang dipercayainya, kemampuan mengimplementasikan falsafah hidupnya, sensitifitas bahasa alam/lingkungan, penghargaan pada etika lingkungan, kepatuhan memegang hukum adat, dan integritas budaya tradisional setempat, dan faktorfaktor indigenous lainnya yang prosesnya berjalan sangat lama. Di samping pengetahuan lokal (indigenenous knowledge), faktor lain yang menyebabkan keberhasilan sistem Subak ini adalah karena kebijakan Pemerintah Daerah pada bidang administrasi publik. Pemda berhasil mengintegrasikan sistem pemerintahan tradisional (non-formal) ke dalam sistem pemerintahan fomal. Adanya pengakuan Pemda terhadap eksistensi non-formal leader sangat penting di dalam sistem kemasyarakatan tradsional (masyarakat adat). Kepatuhan kepada non-formal leader lebih bersifat kepatuhan yang tulus (genuine compliance) yang dibangun atas kesadaran, sedangkan kepada pemimpin formal biasanya hanya kepatuhan formal, atau kepatuhan dengan enggan (grudding compliance), tidak mematuhi, atau mungkin apatis. (apathy). Salah satu akibat langsung dari adanya dualisme antara budaya ecocentrism dengan budaya anthro-pocentrism adalah yang menyangkut aspek pemanfaatan ruang dan pengelolaan sumberdaya alam di mana terjadi pula sifat dualistik dalam kebijakan pembangunan di mana terjadi ulur- tarik antara pemanfaatan kawasan budidaya dan sumberdaya alam untuk kesejahteraan sosial ekonomi versus perlindungan kawasan dan lingkungan (sumberdaya alam) untuk ekologi (kelestarian lingkungan). Sejalan dengan konsep/ pendekatan pembangunan berkelanjutan (economically viable, socially acceptable, dan environmentally sound), hendaknya Pemerintah berhati-hati dalam merumuskan kebijakan pembangunan agar dualisme antara budaya anthropocentrisme dengan budaya ecocentrism tidak bersifat kontroversial dan antagonistist, melainkan bersifat simbiosis, complementary, dan interdependency.
KESIMPULAN Salah satu kelebihan dari masyarakat lokal/tradisional/ adat yaitu mempunyai pengetahuan lokal atau indigenous (environmental) knowledge: suatu pengetahuan bagaimana melestarikan alam/lingkungan dan mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan berdasarkan: pengenalan, pemamahan, dan transfer pengetahuan ekologi setempat secara turun-temurun; kemampuan cosmological spiritual; kekuatan religious; kemampuan menginterpretasikan mitologi yang dipercayainya; kemampuan mengimplementasikan falsafah hidup; sensitifitas bahasa alam; penghargaan pada etika lingkungan; kepatuhan memegang hukum adat; integritas budaya tradisional setempat; dan faktor2 indigenous lainnya; yang proses internalisasinya berjalan sangat lama. Indigenous environmental knowledge mempunyai karakteristik dan ciri-ciri sebagai berikut: - Terbentuk, tumbuh, dan berkembang pada ekosistem setempat, dan pada masyarakat tradisional/adat dengan budaya ecocentrism, dan adat-istiadat setempat. - Tidak dapat diterapkan pada ekosistem lain dan tidak dapat diterapakan secara umum (general), hanya berlaku spesifik pada masyarakat dan ekosistem yang bersangkutan. - Sebagai instrument/tools yang ampuh dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian alam/lingukngan. - Memanfaatkan sifat-sifat alam (hukum alam), tidak memerlukan peralatan yang canggih. - Sulit dibuktikan atau dijabarkan dengan metoda ilmiah. Masyarakat lokal/tradisional/adat menghadapi ancaman dari“kekuatan-kekuatan/faktorfaktor penekan” yang berpola- pikir (cara pandang) anthropocentrism yang berupaya terus mempengaruhi mereka untuk mengubah cara hidup dan pengetahuan lokalnya (indigenous knowledge-nya). Nilai2 luhur budaya masyarakat lokal/tradisional/adat yang ecocentrism semakin terdesak, bergeser ke arah budaya hedonis materialistis yang anthopocentrism. Proses ini dimungkinkan terjadi melalui introduksi pengetahuan dan teknologi penciptaan luxury good consumption sebagai salah satu unsur budaya matrialist hedonist anthropocentrism. Salah satu akibat langsung dari adanya dualisme antara faham ecocentrism dengan faham anthropocentrism adalah yang menyangkut aspek pemanfaatan ruang dan pengelolaan sumberdaya alam di mana terjadi pula sifat dualistik dalam kebijakan pembangunan sehingga terjadi ulur-tarik antara pemanfaatan kawasan budidaya dan sumberdaya alam untuk kesejahteraan sosial ekonomi versus perlindungan kawasan dan lingkungan (sumberdaya alam) untuk ekologi (kelestarian lingkungan). Lebih jauh, agar dualisme antara anthropocentrisme dengan ecocentrism tidak bersifat kontroversial dan antagonistist, melainkan bersifat simbiosis, complementary, dan interdependency, maka Pemerintah hendaknya lebih berpihak kepada masyarakat serta berhati-hati dalam merumuskan kebijakan pembangunan agar tidak terjadi malpolicy. Apabila Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah akan memanfaatkan
indigenous environmental knowledge sebagai instrument/tools dalam pelestarian alam/lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan maka disarankan untuk: (i) Mengidentifikasi masyarakat lokal/tradisional/adat serta mendeliniasi ekosistem sebagai kawasan strategis dari sudut kepentingan lingkungan/ ekologi; (ii) Memberikan ruang gerak dan kesempatan untuk mengorganisasikan kemampuannya dalam pelestarian alam/lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan; (iii) Mengintegrasikan pemerintahan non-formal ke dalam pemerintahan formal; (iv) Tidak mengintervensi tetapi memfasilitasi; (v) Menjamin tidak ada “kekuatan-kekuatan/faktor-penekan” yang berpola-pikir anthropocentrism yang berupaya terus mempengaruhi mereka untuk mengubah cara hidup dan indigenous knowledge-nya; dan (vi) Menjamin tidak terkontaminasinya budaya adat/tradisional ecocentrism dari unsur-unsur budaya anthropocentrism.