BAB II KAJIAN TEORI 2.1
Hakikat Peranan Guru
2.1.1 Pengertian Peranan Guru Peranan berasal dari kata peran, berarti sesuatu yang menjadi bagian atau memegang pimpinan yang terutama.Peranan menurut Levinson (dalam Soekamto, 1999:22) sebagai berikut: Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat, peranan meliputi norma-norma yang dikembangkan dengan posisi atau
tempat seseorang
dalam
masyarakat. Peran
adalah
serangkaian
rumusan
membatasi perilaku-perilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu.
yang
Misalnya
dalam keluarga, perilaku ibu dalam keluarga diharapkan bisa memberi anjuran, memberi penilaian, memberi sangsi dan lain-lain. Efektivitas dan efisiensi belajar dan pembelajaran anak di sekolah sangat bergantung kepada peran guru. Dalam hal ini, terdapat sejumlah peran yang diemban guru. Abin Syamsuddin (dalam Yusriana, 2012:17) mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai: 1) Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan; 2) Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan; 3) Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik; 4) Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik; 5) Organisator
(penyelenggara)
terciptanya
proses
edukatif
yang
dapat
dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan
menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya). Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin
(dalam
Yusriana, 2012:17), mengemukakan bahwa peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup : 1. Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems); 2. Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems). 3. Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya. Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Surya (2004:45), menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching). Di lain pihak, Surya (2004:45), mengemukakan tentang peranan guru di sekolah, keluarga dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola
pembelajaran, penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta didik. Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam keluarga (family educator). Sementara itu di masyarakat, guru berperan sebagai pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social inovator), dan agen masyarakat (social agent). Lebih jauh, dikemukakan pula tentang peranan guru yang berhubungan dengan aktivitas pengajaran dan administrasi pendidikan, diri pribadi (self oriented), dan dari sudut pandang psikologis. Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru berperan sebagai : 1) Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan; 2) Wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam pendidikan; 3) Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang harus diajarkannya; 4) Penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para peserta didik melaksanakan disiplin; 5) Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat berlangsung dengan baik; 6) Pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan peserta didik sebagai generasi muda yang akan menjadi pewaris masa depan; dan 7) Penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat. Dipandang dari segi diri pribadinya (self oriented), seorang guru berperan sebagai : (1) Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat; (2) Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara terus
menerus untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya; (3) Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah; (4) model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh mpara peserta didik; dan (5) Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan gurunya. Secara psikologis, Yusriana (2012:20) guru berperan sebagai : 1. Pakar psikologi pendidikan, artinya guru merupakan seorang yang memahami psikologi pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik; 2. seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations), artinya guru adalah orang yang memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia, khususnya dengan para peserta didik sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan; 3. Pembentuk kelompok (group builder), yaitu mampu mambentuk menciptakan kelompok dan aktivitasnya sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan; 4. Catalyc agent atau inovator, yaitu guru merupakan orang yang yang mampu menciptakan suatu pembaharuan bagi membuat suatu hal yang baik; dan 5. Petugas kesehatan mental (mental hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan mental para peserta didik. Sementara itu, Doyle (dalam Danim, 2002:67) mengemukan dua peran utama guru dalam pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitating learning). Keteraturan di sini mencakup hal-hal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran, seperti : tata letak tempat duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik dengan guru, jam masuk dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar, pengelolaan
bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain. Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang, berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitiaan guru tidak terjebak pada praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, bahwa guru bermakna sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal. Sejalan dengan itu, guru memiliki peran yang bersifat multi fungsi, lebih dari sekedar yang tertuang pada produk hukum tentang guru, seperti UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan PP No. 74 tentang Guru. Mujtahid (2010: 77), mengemukakan bahwa guru berperan sebagai perancang, penggerak, evaluator, dan motivator dideskripsikan seperti berikut ini : 1. Guru sebagai Perancang Guru sebagai perangcang yaitu menyusun kegiatan akademik atau kurikulum dan pembelajaran, menyusun kegiatan kesiswaan, menyusun kebutuhan sarana prasarana dan mengestimasi sumber-sumber pembiayaan operasional sekolah, serta menjalin hubungan dengan orangtua, masyarakat, pemangku kepentingan dan instansi terkait. 2. Guru sebagai Pendidik Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa dan disiplin. Berkenaan dengan wibawa; guru harus memiliki kelebihan dalam merealisasikan nilai spiritual, emosional, moral, sosial, intelektual dalam pribadinya, serta memiliki kelebihan dan pemahaman ilmu pengetahuan, teknologi dan seni sesuai dengan bidang yang dikembangkan. Sedangkan disiplin dimaksudkan bahwa guru harus mematuhi berbagai peraturan dan tata tertib secara konsisten, atas kesadaran profesional karena mereka bertugas untuk mendisiplinkan peserta didik didalam sekolah, terutama dalam pembelajaran. Oleh karena itu menanamkan disiplin guru harus memulai dari dirinya sendiri, dalam berbagai tindakan dan perilakunya.
3. Guru sebagai Penggerak Guru dikatakan sebagai penggerak, yaitu mobilisator yang mendorong dan menggerakkan system organisasi sekolah. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, seorang guru harus memiliiki kemampuan intelektual, misalnya mempunyai jiwa visioner, creator, peneliti, jiwa rasional, dan jiwa untuk maju. Kepribadian seperti luwes, wibawa, adil dan bijaksana juga jujur. Untuk mendorong dan menggerakkan system sekolah yang maju memang membutuhkan kemampuan brilian tersebut guna mengefektifkan kinerja sumber daya manusia secara maksimal dan berkelanjutan. Sebab itu pola ini dapat terbangun secara kolektif dan dilaksanakan dengan sungguh oleh guru, maka akan muncul perubahan besar dalam sistem manajemen sekolah yang efektif. Melalui cita-cita dan visi benar inilah guru sebagai agen penggerak diharapkan mempunyai rasa tanggungjawab, rasa memiliki, serta rasa ingin memajukan lembaga sekolahnya sebagai tenda besar mendedikasikan hidup mereka. 4. Guru sebagai Evaluator Guru menjalankan fungsi sebagai evaluator, yaitu melakukan evaluasi/penilaian terhadap aktivitas yang telah dikerjakan dalam system sekolah. Peran ini penting, karena guru sebagai pelaku utama dalam menentukan pilihan serta kebijakan yang relevan demi kebaikan system yang ada di sekolah, baik menyangkut kurikulum, pengajaran, sarana-prasarana, sasaran dan tujuan. Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena melibatkan banyak latar belakang dan hubungan, serta variabel yang mempunyai arti apabila berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat dipisahkan dengan setiap segi penilaian. Sebagai suatu proses, penilaian dilaksanakan dengan prinsip-prinsip dan dengan teknik yang sesuai, mungkin tes ataupun non tes. Teknik apapun yang dipilih, penilaian harus dilakukan dengan prosedur yang jelas, yang meliputi 3 tahap yaitu persiapan, pelaksanaan dan
tindak lanjut. Selain menilai peserta didik, guru harus pula menilai dirinya sendiri baik sebagai perencana maupun penilai program pembelajaran. Oleh karena itu ia harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang penilaian program sebagai mana memahami penilaian hasil belajar. 5. Guru sebagai Motivator Dalam proses pembelajaran, motivasi merupakan penentu keberhasilan. Seorang guru memerankan diri sebagai motivator murid-muridnya. Guru sebagai motivator artinya guru sebagai pendorong anak dalam rangka meningkatkan kegairahan dan pengembangan kegiatan belajar anak. Sering terjadi anak yang kurang berprestasi, hal ini bukan disebabkan karena memiliki kemampuan yang rendah, akan tetapi disebabkan tidak adanya motivasi belajar dari anak sehingga ia tidak berusaha untuk mengerahkan segala kemampuannya.
Dari penjelasan tentang beberapa peran guru, maka dapat disimpulkan bahwa tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional. keberhasilan seorang anak sangat besar peran dari seorang guru begitu pun dengan kemajuan sekolah baik itu mengenai pembelajaran, sarana dan prasarana dan lain sebagainya. 2.1.2 Perluasan Peran Guru dalam sekolah
Menurut Trainer (2012 : 97), bahwa di masa depan, peran guru akan menjadi makin sangat strategis, meski tidak selalu dapat ditafsirkan paling dominan dalam kerangka pembelajaran. Guru tidak lagi hanya sebatas bisa bekerja secara manual, melainkan sudah harus makin akrab dengan instrumen teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini berimplikasi pada perubahan sikap dan perilaku mereka dalam melaksanakan tugasnya. Karenanya guru masa depan harus mampu memainkan peran seperti berikut : 1. Guru sebagai Penasehat Guru adalah seorang penasehat bagi peserta didik, bahkan bagi orang tua meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk menasehati orang. Agar dapat menyadari perannya sebagai orang kepercayaan dan penasehat secara lebih mendalam, ia harus memahami psikologi kepribadian dan ilmu kesehatan mental. 2. Guru sebagai Pembaharu (innovator) Guru menerjemahkan pengalaman yang telah lalu ke dalam kehidupan yang bermakna bagi peserta didik. Dalam hal ini terdapat jurang yang dalam dan luas antara generasi yang satu dengan yang lain, demikian halnya pengalaman orang tua yang lebih banyak daripada nenek kita. Tugas guru disini adalah memahami bagaimana keadaan jurang pemisah ini, dan bagaimana menjembataninya secara efektif. Jadi yang menjadi dasar adalah pikiran-pikrian tersebut dan cara yang digunakan untuk mengekspresikan dibentuk oleh corak waktu yang dipergunakan. 3. Guru sebagai Pribadi Sebagai individu yang berkecimpung dalam pendidikan, guru harus memiliki keperibadian yang mencerminkan seorang pendidik. Tuntutan akan kepribadian sebagai pendidik kadang-
kadang dirasakan lebih berat dibandingkan profesi lainnya. Ujian terberat bagi guru dalam hal kepribadian adalah rangsangan yang memancing emosinya. Kestabilan emosi amat diperlukan, namun tidak semua orang mampu menahan emosi terhadap rangsangan perasaan, dan memang diakui bahwa tiap orang mempunyai tempramen yang berbeda. Kemarahan guru terungkap dalam kata-kata yang dikeluarkan, dalam raut muka, dan mungkin dengan gerakangerakan tertentu, bahkan yang yang dilahirkan dalam bentuk hukuman fisik.
4. Guru sebagai Model dan Teladan Guru merupakan model atau teladan bagi para peserta didik dan semua orang yang mengganggap dia sebagai guru. Terdapat kecenderungan yang besar untuk menganggap bahwa peran ini tidak mudah untuk ditentang, apalagi ditolak. Menjadi teladan merupakan sifat dasar kegiatan pembelajaran, dan ketika seorang guru tidak mau menerima ataupun menggunakannya secara konstruktif maka telah mengurangi keefektifan pembelajaran. Peran dan fungsi ini patut dipahami dan tidak perlu menjadi beban yang memberatkan sehingga dengan keterampilan dan kerendahan hati akan memperkaya arti pembelajaran. 2.1.3 Pengertian Karakater Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia. (Rukiyanto, 2009:44). Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Dekdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun
berkarakter, adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, dan berwatak. Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menempati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner,
bersahaja,
bersemangat,
dinamis,
hemat/efisien,
menghargai
waktu,
pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetiso, sportif, tabah, terbuka, tertib). Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertidak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakter adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku) Rukiyanto (2009:44). Karakter disiplin yang ada pada penelitian ini difokuskan pada karakter disiplin dalam hal kehadiran anak didik, karena masih ada beberapa orang guru yang dengan begitu saja membiarkan anak didiknya datang terlambat kesekolah begitu pula dengan orang tua mereka banyak yang belum paham bahwa kehadiran anak disekolah sangat perlu, karena sejak awal anak harus ditanamkan karakter disiplin diantaranya disiplin kehadiran untuk datang ke sekolah dan lain sebagainya. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan halhal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
2.1.4 Nilai-Nilai Karakter Menurut Suparno (2004:66), bahwa berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan/hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip hak asasi manusia, telah teridentifikasi butir-butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima nilai utama, yaitu nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungan serta kebangsaan. Berikut adalah daftar nilai-nilai utama yang dimaksud dan deskripsi ringkasnya (Rukiyanto, 2009:44) : 1. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan yaitu religius; pikiran, perkataan dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan dan/atau ajaran agamanya. 2. Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri (personal) antara lain; (1) Jujur, (2) Bertanggung jawab, (3) Bergaya hidup sehat, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Percaya diri, (7) Berjiwa wirausaha, (8) Berpikir logis, kritis, dan inovatif, (9) Mandiri, (10) Ingin tahu, (11) Cinta ilmu 3. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama 4. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan 2.2 Pentingnya Pendidikan Karakter Pada Anak Usia Dini Menurut Rukiyanto (2009:46), bahwa pendidikan karakter pada anak usia dini di nilai sangat penting karena anak-anak adalah generasi yang akan menentukan nasib bangsa di kemudian hari. Karakter anak-anak yang terbentuk sejak sekarang akan sangat menentukan karakter bangsa di kemudian hari. Pada usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli
psikologi sebagai usia emas (golden age) terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50 persen variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia empat tahun. Peningkatan 30 persen berikutnya terjadi pada usia delapan tahun, dan 20 persen sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Pada usia inilah proses pendidikan karakter di mulai proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku yang memancarkan akhlak mulia atau budi pekerti luhur (Rukiyanto, 2009:46). Nilai-nilai positif dan yang seharusnya dimiliki seseorang menurut ajaran budi pekerti yang luhur adalah amal saleh, amanah, antisipatif, baik sangka, bekerja keras, beradab, berani berbuat benar, berani memikul resiko, berdisiplin, berhati lapang, berhati lembut, beriman dan bertaqwa, berinisiatif, berkemauan keras, berkepribadian, berpikiran jauh ke depan, bersahaja, bersemangat, bersifat konstruktif, bersyukur, bertanggung jawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdas, cermat, demokratis, dinamis, efisien, empati, gigih, hemat, ikhlas, jujur, kesatria, komitmen, kooperatif, kosmopolitan (mendunia), kreatif, kukuh hati, lugas, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan, menghargai pendapat
orang
lain,
menghargai
waktu,
patriotik,
pemaaf,
pemurah,
pengabdian,
berpengendalian diri, produktif, rajin, ramah, rasa indah, rasa kasih sayang,rasa keterikatan, rasa malu, rasa memiliki, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat kebersamaan, setia, siap mental, sikap adil, sikap hormat, sikap nalar, sikap tertib, sopan santun, sportif, susila, taat asas, takut bersalah, tangguh, tawakal, tegar, tegas, tekun, tepat janji, terbuka, ulet, dan sejenisnya (Rukiyanto, 2009:46). 2.2.1 Peran Guru dalam Membentuk Karakter Anak
Menurut Isjoni (2006:32), bahwa pendidik itu bisa guru, orang tua atau siapa saja, yang penting ia memiliki kepentingan untuk membentuk pribadi peserta didik atau anak, Peran guru pada intinya adalah sebagai masyarakat yang belajar dan bermoral. Peran guru dalam pendidikan karakter untuk peserta didik di sekolah ialah , guru memiliki posisi yang strategis sebagai pelaku utama. Guru merupakan sosok yang bisa ditiru atau menjadi idola bagi peserta didik. Guru bisa menjadi sumber inpirasi dan motivasi peserta didiknya. Sikap dan perilaku seorang guru sangat membekas dalam diri siswa, sehingga ucapan, karakter dan kepribadian guru menjadi cermin siswa. Dengan demikian guru memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Tugas-tugas manusiawi itu merupakan transpormasi, identifikasi, dan pengertian tentang diri sendiri, yang harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan yang organis, harmonis, dan dinamis. Beberapa pemikiran tentang peran pendidik atau guru, di antaranya: 1) Pendidik perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan karakter, 2) Pendidik atau guru bertanggungjawab untuk menjadi model yang memiliki nilai- nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi anak-anaknya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut, 3) Pendidik perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi dalam mengambil keputusan 4) Pendidik perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa anak didiknya mengalami perkembangan karakter, 5) Pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.
Peran guru dalam membentuk karakter anak menurut Isjoni (2006:32), yakni suatu sikap yang merupakan kecenderungan perasaan terhadap suatu objek yang dimiliki seseorang terhadap suatu pekerjaan yang bisa dipakai sebagai alat untuk memprediksi perilaku orang tersebut dalam bekerja. Peran guru dalam menjalankan profesinya disebut profesionalisme dan tentunya sangat beragam. Sikap professional guru memiliki komponen kognisi, afeksi, dan konasi. Kognitif yang berkenaan dengan keyakinan, ide, konsep. Afeksi berkenaan dengan perasaan/ emosional. Konasi berkenaan dengan tingkah laku atau perbuatan guru. Ada empat sikap guru dalam pembelajaran yaitu: sikap otoriter, sikap permissive, dan sikap riil. Bila guru mengajarkan suatu mata pelajaran, ia tidak hanya mengutamakan mata pelajaran akan tetapi harus juga memperhatikan anak itu sendiri sebagai manusia yang harus dikembangkan pribadinya.
Pada hakikatnya, manusia memiliki kemampuan untuk meningkatkan kehidupannya, baik untuk
meningkatkan
pengetahuan,
maupun
untuk
mengembangkan
kepribadian
dan
keterampilannya. Untuk meningkatkan kehidupannya itu, manusia akan selalu berusaha mendapatkan pengalaman-pengalaman baru. Usaha itu disebut dengan pendidikan. Dalam GBHN 1973, dikemukakan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha yang disadari untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia yang dilaksanakan di dalam maupun diluar sekolah. Pendidikan lebih idealnya didapatkan dalam keluarga, karena lingkungan pertama yang didapati oleh anak setelah lahir adalah lingkungan keluarga. Dalam masa tumbuh kembang anak, peran keluarga sangat menentukan keberhasilan anak dalam meningkatkan kemampuan yang ada pada dirinya, baik kemampuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan maupun kemampuan untuk mengembangkan kepribadian. Namun, pendidikan keluarga saja tidak cukup
untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan luar keluarga juga dibutuhkan dalam meningkatkan kemampuan tersebut, salah satunya adalah pendidikan sekolah. Pendidikan sekolah merupakan salah satu sarana untuk membantu keluarga dalam meningkatkan kemampuan yang ada pada anak. Salah satu unsur terpenting dari pendidikan di sekolah adalah adanya pendidik atau guru (Nasution, 2008:5). Menurut Isjoni (2006:37), pendidik atau guru adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peran guru dari segi ilmu adalah memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik. Dengan adanya peran tersebut, guru harus memiliki wawasan kependidikan yang luas dan menguasai berbagai strategi belajar mengajar sehingga pengetahuan dan keterampilan tersebut dengan mudah diberikan kepada peserta didik. Peran ini baru dilihat dari segi ilmu yang diberikan kepada peserta didik, bagaimana dilihat dari segi prilaku dan kepribadian peserta didik. Guru belum bisa dikatakan sukses mendidik, jika peserta didik hanya memiliki kecerdasan intelektual saja. Guru dikatakan sukses, jika peserta didiknya memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Oleh sebab itu, pendidikan sekolah juga diharapkan memiliki program yang bisa dijadikan sebagai sarana pembentukan karakter peserta didik. Menurut Nasution (2008:6), pembentukan karakter anak memang semestinya dilakukan oleh orang tua. Namun, ketika anak berada di sekolah, maka yang menjadi orang tua anak adalah guru. Sehubungan dengan perannya sebagai pembentuk karakter anak di sekolah, maka guru dituntut untuk sungguh-sungguh menjalankan peran tersebut, karena salah membentuk karakter anak akan berakibat fatal bagi kehidupan anak. Dari pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa guru adalah orang tua kedua dari peserta didik, sehingga ketika peserta didik jauh dari orang
tuanya, peserta didik masih mendapat bimbingan dari guru seperti halnya mereka dapatkan dari orang tua. Pendidikan pancasila dapat dijadikan sebagai sarana dalam pembentukan karakter peserta didik, karena pancasila mengandung nilai-nilai kehidupan yang bisa dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Peserta didik yang pada hakikatnya adalah warga negara Indonesia. Dengan demikian, peserta didik diharapkan memiliki kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai pancasila sehingga terciptalah generasi bangsa yang cerdas dan bermoral. Ada beberapa hal yang harus diupayakan oleh guru dalam pembentukan karakter peserta didik sesuai dengan nilai-nilai pancasila, antara lain sebagai berikut: (1) Memperkuat dasar keimanan dan ketakwaan peserta didik. (2) Membiasakan peserta didik untuk berprilaku baik. (3) Menanamkan nilai persatuan kepada peserta didik. (4) Menanamkan sikap toleransi dan tenggang rasa. (5) Membiasakan untuk bermusyawarah dalam menyelasaikan masalah. (6) Menumbuhkan sikap jujur, adil, dan bertanggung jawab kepada peserta didik. Sebenarnya, upaya pembentukan karakter anak merupakan hal yang tidak mudah dijalankan oleh seorang guru. Guru akan kesulitan dalam membentuk karakter anak, jika tidak ada dukungan dari keluarga dan masyarakat yang ada di lingkungan peserta didik. Pembentukan karakter merupakan tanggung jawab bersama antara guru, keluarga dan masyarakat. Guru harus memikul tanggung jawab besar dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan menciptakan generasi penerus yang dapat memajukan kehidupan bangsa.Tanggung jawab yang besar dari seorang guru hendaklah dibalas dengan penghargaan yang besar pula karena memikul tanggung jawab dan amanah yang besar merupakan suatu hal yang sulit dijalani. Penghargaan besar hendaklah diberikan kepada para guru yang berjuang untuk kesejahteraan negeri.
Penghargaan terhadap guru merupakan wujud dari penghargaan terhadap negeri karena jasa guru dapat menciptakan generasi bangsa yang cerdas dan berkarakter (Nasution, 2008:8). 2.2.2 Keteladanan Guru dalam Pembentukan Karakter Anak. Menurut Sinamo (2010:8), guru sebagai teladan dalam pembentukan karakter memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) Guru harus mengetahui karaketr apa saja yang harus dimiliki oleh setiap peserta didik, 2) Guru harus meneladani teladan seluruh alam yaitu Allah sang pencipta. Ketika guru mengikut teladan Kristus maka guru tersebut akan mampu menjadi teladan yang baik bagi anak didiknya, 3) Guru harus benar-benar mengetahui prinsip-prinsip keteladanan. Bahwa keteladanan dimulai dari diri sendiri, 4) Guru harus mengetahui tahapan perkembangan siswa sehingga mampu memilih metode pembelajaran yang tepat untuk mendidik karakter anak didiknya. Pembentukan karakter anak juga dipengaruhi kesadaran guru tentang visi, profesinya sebagai guru. Jika seseorang mendengar panggilan jiwanya dan mengetahui visinya sebagai seorang pendidik, ia akan bekerja dengan sukacita menjalankan profesinya, mengusahakan segala yang terbaik yang dapat dilakukannya supaya tercipta generasi yang tidak hanya cerdas tetapi juga berkarakter. Seseorang itu akan bekerja secara ikhlas tanpa mengharapkan imbalan, karena baginya kekayaan sebenarnya adalah murid-muridnya. Ketika murid-muridnya berhasil maka terbalaslah jerih payahnya selama mengajar. Menurut Zuriah ( 2007: 7), pepatah yang mengatakan “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” memang benar adanya untuk menunjukkan besarnya pengaruh seorang guru untuk menjadi teladan di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Apa yang dilakukan oleh guru akan ditiru oleh anak. Keselarasan antara kata-kata dan tindakan dari guru akan sangat berarti dalam pembentukan karakter anak.
Pendapat lama banyak pihak, juga para pendidik masih berpendapat bahwa kekerasan masih diperlukan untuk membentuk disiplin sebagai salah satu karakter yang diharapkan melekat dalam diri siswa, ataupun semacam rasa patuh kepada guru oleh anak. Kekerasan dianggap sebagai hukuman seperti memarahi, mengumpat, bentuk perlakuan kasar secara fisik, dan melarang anak masuk ruangan selama pelajaran tertentu berlangsung. Mereka beranggapan bahwa kekerasan dapat digunakan untuk membentuk karakter anak. Jika seorang guru hendak membentuk karakter peserta didik yang berbudi luhur, tentunya sang guru pun harus berkarakter. Modal dasar bagi penyelenggaraan pendidikan karakter meliputi profesionalisme pendidik yang berkarakter. Semua penjelasan di atas dimaksudkan untuk memperjelas kedudukan guru dan bagaimana peranannya dalam membentuk karakter anak. Guru yang professional pasti mengetahui batasan hak dan kewajibannya. Guru tersebut akan melakukan yang terbaik agar siswanya memperoleh ilmu, dan guru tersebut akan menanamkan nilai-nilai karakter dalam pembelajarannya. Pembentukan karakter pada dasarnya sangat dekat kepada setiap mata pelajaran. Karena pada dasarnya setiap mata pelajaran memiliki nilai-nilai karakter yang harus dilalui dan dicapai anak. Hanya saja, sebagian besar guru tidak menyadari bahwa ada nilai-nilai yang dapat membentuk karakter siswa karena guru hanya melihat sisi kognitif dari mata pelajaran tertentu tanpa memperhatikan sisi afektifnya. 2.2.3 Pembentukan Karakter Bagi Anak Usia Dini Menurut Megawangi (2007:49) bahwa membentuk karakter anak tidak bisa dilakukan dalam sekejap dengan memberikan nasihat, perintah, atau instruksi, namun lebih dari hal tersebut. Pembentukan karakter memerlukan teladan/role model, kesabaran, pembiasaan, dan pengulangan. Dengan demikian, proses pendidikan karakter merupakan proses pendidikan yang
dialami oleh anak sebagai bentuk pengalaman pembentukan kepribadian melalui mengalami sendiri nilai-nilai kehidupan, agama, dan moral. Proses pembentukan karakter akan menjadi lebih mengena dan anak akan berbuat baik karena dorongan internal dari dalam dirinya sendiri. Megawangi mengungkapkan ada Sembilan nilai pilar karakter yang harus ditumbuhkan dalam diri anak yakni: 1) Cinta pada Allah SWT, dengan segenap ciptaan-Nya, 2) Kemandirian dan tanggung jawab, 3) Kejujuran, bijaksana, 4) Hormat, santun, 5) Dermawan, suka menolong, gotong royong, 6) Percaya diri, kreatif, bekerja keras, 7) keadilan, 8) Baik hati, rendah hati, 9) Toleransi, Kedamaian, kesatuan. Pengertian Nilai-nilai karakter menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, Dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional
dalam Pedoman Pendidikan
Karakter pada Pendidikan Anak Usia Dini (dalam Isjoni 2006:36), nilai-nilai karakter adalah sikap dan perilaku yang didasarkan pada norma dan nilai yang berlaku di masyarakat, yang mencakup aspek spiritual, aspek personal/kepribadian, aspek sosial, dan aspek lingkungan.
Karakter adalah tabiat atau kebiasaan untuk melakukan hal yang baik. Pendidikan karakter adalah
upaya
penanaman
nilai-nilai
karakter
kepada
anak
didik
yang
meliputi
pengetahuan,kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai kebaikan dan
kebajikan, kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesame, lingkungan maupun
kebangsaan agar menjadi manusia yang berakhlak. Nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat ditanamkan pada anak usia dini (0-6 tahun), mencakup empat aspek, yaitu: (1) Aspek Spiritual, (2) Aspek Personal/kepribadian, (3) Aspek Sosial, dan (4) Aspek lingkungan (Isjoni, 2006:39). Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang melibatkan penanaman pengetahuan, kecintaan dan penanaman perilaku kebaikan yang menjadi sebuah pola/kebiasaan. Pendidikan
karakter tidak lepas dari nilai-nilai dasar yang dipandang baik. Pada pendidikan anak usia dini nilai-nilai yang dipandang sangat penting dikenalkan dan diinternalisasikan ke dalam perilaku mereka dalam. Mengembangkan Pembentukan karakter menurut Isjoni (2006:39), adalah Membangun karakter ibarat mengukir. Sifat ukiran adalah melekat kuat di atas benda yang diukir, tidak mudah usang terelakan waktu atau aus karena gesekan. Menghilangkan ukiran sama saja dengan menghilangkan benda yang diukir itu, karena ukiran melekat dan menyatu dengan bendanya. Demikian juga dengan karakter yang merupakan sebuah pola, baik itu pikiran, perasaan, sikap, maupun tindakan, yang melekat pada diri seseorang dengan sangat kuat dan sulit dihilangkan. Proses membangun karakter pada anak juga ibarat mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga berbentuk unik, menarik, dan berbeda antara satu dengan yang lain. Setiap orang memiliki karakter berbeda-beda. Ada orang yang berperilaku sesuai dengan nilainilai, ada juga yang berperilaku negatif atau tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam budaya setempat (tidak/belum berkarakter atau berkarakter tercela) Prasetyo (2011:7-8). Menurut Singh dan Agwan ( 2000:175 ) pengertian karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu. Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut dengan kebiasaan.
Unsur terpenting dalam pembentukan karakter menurut Byrne (2007:17) adalah pikiran karena pikiran, yang di dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya. Jika program yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka perilakunya berjalan selaras dengan hukum alam. Hasilnya, perilaku tersebut membawa ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika program tersebut tidak sesuai dengan prinsipprinsip hukum universal, maka perilakunya membawa kerusakan dan menghasilkan penderitaan. Oleh karena itu, pikiran harus mendapatkan perhatian serius. Tentang pikiran menurut Murphy (2002:6) mengatakan bahwa di dalam diri manusia terdapat satu pikiran yang memiliki ciri yang berbeda. Untuk membedakan ciri tersebut, maka istilahnya dinamakan dengan pikiran sadar (conscious mind) atau pikiran objektif dan pikiran bawah sadar (subconscious mind) atau pikiran subjektif. Menurut Penjelasan Gunawan (2005:27-30) mengenai fungsi dari pikiran sadar dan bawah sadar menarik untuk dikutip. Pikiran sadar yang secara fisik terletak di bagian korteks otak bersifat logis dan analisis dengan memiliki pengaruh sebesar 12 % dari kemampuan otak. Sedangkan pikiran bawah sadar secara fisik terletak di medulla oblongata yang sudah terbentuk ketika masih di dalam kandungan. Karena itu, ketika bayi yang dilahirkan menangis, bayi tersebut akan tenang di dekapan ibunya karena dia sudah merasa tidak asing lagi dengan detak jantung ibunya. Pikiran bawah sadar bersifat netral dan sugestif. Untuk memahami cara kerja pikiran, kita perlu tahu bahwa pikiran sadar (conscious) adalah pikiran objektif yang berhubungan dengan objek luar dengan menggunakan panca indra sebagai media dan sifat pikiran sadar ini adalah menalar. Sedangkan pikiran bawah sadar (subsconscious) adalah pikiran
subjektif yang berisi emosi serta memori, bersifat irasional, tidak menalar, dan tidak dapat membantah. Kerja pikiran bawah sadar menjadi sangat optimal ketika kerja pikiran sadar semakin minimal. Menurut Gunawan (2006:38) bahwa Pikiran sadar dan bawah sadar terus berinteraksi. Pikiran bawah sadar akan menjalankan apa yang telah dikesankan kepadanya melalui sistem kepercayaan yang lahir dari hasil kesimpulan nalar dari pikiran sadar terhadap objek luar yang diamatinya. Karena, pikiran bawah sadar akan terus mengikuti kesan dari pikiran sadar, maka pikiran sadar diibaratkan seperti nahkoda sedangkan pikiran bawah sadar diibaratkan seperti awak kapal yang siap menjalankan perintah, terlepas perintah itu benar atau salah. Di sini, pikiran sadar bisa berperan sebagai penjaga untuk melindungi pikiran bawah sadar dari pengaruh objek luar. Dengan memahami cara kerja pikiran tersebut, kita memahami bahwa pengendalian pikiran menjadi sangat penting. Dengan kemampuan kita dalam mengendalikan pikiran ke arah kebaikan, kita akan mudah mendapatkan apa yang kita inginkan, yaitu kebahagiaan. Sebaliknya, jika pikiran kita lepas kendali sehingga terfokus kepada keburukan dan kejahatan, maka kita akan terus mendapatkan penderitaan-penderitaan, disadari maupun tidak. Menurut Setyono (2006:50), secara alami, sejak lahir sampai berusia tiga tahun, atau mungkin hingga sekitar lima tahun, kemampuan menalar seorang anak belum tumbuh sehingga pikiran bawah sadar (subconscious mind) masih terbuka dan menerima apa saja informasi dan stimulus yang dimasukkan ke dalamnya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orang tua dan lingkungan keluarga. Dari mereka itulah, pondasi awal terbentuknya karakter sudah terbangun.
Pondasi tersebut adalah kepercayaan tertentu dan konsep diri. Jika sejak kecil kedua orang tua selalu bertengkar lalu bercerai, maka seorang anak bisa mengambil kesimpulan sendiri bahwa perkawinan itu penderitaan. Tetapi, jika kedua orang tua selalu menunjukkan rasa saling menghormati dengan bentuk komunikasi yang akrab maka anak akan menyimpulkan ternyata pernikahan itu indah. Semua ini akan berdampak ketika sudah tumbuh dewasa. Membangun karakter menurut Arikunto (2004:1) berarti mendidik. Untuk berpikir tentang pendidikan dapat kita mudahkan dengan membuat analogi sebagaimana seorang petani yang hendak bertanam di ladang. Anak yang akan dididik dapat diibaratkan sebagai tanah, isi pendidiklah sebagai bibit atau benih yang hendak ditaburkan, sedangkan pendidik diibaratkan sebagai petani. Untuk mendapatkan tanaman yang bagus, seorang petani harus jeli menentukan jenis dan kondisi lahan, kemudian menentukan jenis bibit yang tepat, serta cara yang tepat, setelah mempertimbangkan saat yang tepat pula untuk menaburkan bibit. Setelah selesai menabur, petani tidak boleh diam, tetapi harus memelihara, dan merawatnya jangan sampai kena hama pengganggu. 2.3
Pengertian Disiplin Disiplin berasal dari kata yang sama dengan “disciple”, yakni seorang yang belajar dari
atau secara suka rela mengikuti seorang pemimpin. Orang tua dan guru merupakan pemimpin dan anak merupakan murid yang belajar dari mereka cara hidup yang menuju ke hidup yang berguna dan bahagia. Jadi disiplin merupakan cara masyarakat mengajar anak perilaku moral yang disetujui kelompok. Tujuan seluruh disiplin ialah membentuk perilaku sedemikian rupa hingga ia akan sesuai dengan peran-peran yang ditetapkan kelompok budaya, tempat individu itu diidentifikasikan. Karena tidak ada pola budaya tunggal, tidak ada pula satu falsafah pendidikan anak yang menyeluruh untuk mempengaruhi cara menanamkan disiplin. Jadi metode spesifik
yang digunakan di dalam kelompok budaya sangat beragam, walaupun semuanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengajar anak bagaimana berperilaku dengan cara yang sesuai dengan standar kelompok sosial, tempat mereka diidentifikasikan (Hurlock,
1999: 82).
Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 28) mengartikan kata disiplin adalah latihan batin dan watak dengan maksud supaya segala perhatian anak selalu mentaati tata tertib di sekolah. Sedangkan menurut Hurlock (1999: 82) dalam bukunya Perkembangan Anak mengartikan disiplin yakni perilaku seseorang yang belajar dari atau secara sukarela mengikuti seorang pemimipin. Dalam hal ini anak merupakan murid yang belajar dari orang dewasa tentang hidup menuju kearah kehidupan yang berguna dan bahagia dimasa mendatang. Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa disiplin adalah tata tertib atau peraturan yang harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari untuk melatih watak anggota yang ada dalam lembaga kependidikan. Pokok utama dari disiplin adalah peraturan. 2.3.1 Pentingnya Menerapkan Disiplin pada Anak Prasekolah Keyakinan bahwa anak-anak memerlukan disiplin dari dahulu sudah ada, tetapi terdapat perubahan dalam sikap mengenai mengapa mereka memerlukannya. Pada masa lampau, dianggap bahwa disiplin diperlukan untuk menjamin bahwa anak akan menganut standar yang telah ditetapkan dan harus dipatuhi agar anak tidak ditolak oleh masyarakat. Sekarang telah diterima bahwa anak membutuhkan disiplin bila mereka ingin bahagia dan menjadi orang yang baik penyesuaiannya (Hurlock, 1999: 82). Melalui disiplinlah mereka belajar berperilaku dengan cara yang diterima masyarakat dan sebagai hasilnya mereka diterima oleh anggota kelompok sosial mereka. Disiplin diperlukan untuk perkembangan anak karena ia memenuhi beberapa kebutuhan tertentu. Dengan demikian, disiplin memperbesar kebahagiaan dan penyesuaian pribadi dan sosial anak. Beberapa kebutuhan
masa kanak-kanak yang dapat diisi oleh disiplin antara lain; (1) Disiplin memberikan rasa aman dengan memberitahukan apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, (2) Disiplin membantu anak menghindari perasaan bersalah dan rasa malu akibat perilaku yang salah. Perasaan yang pasti mengakibatkan rasa tidak bahagia dan penyesuaian yang buruk. Disiplin memungkinkan anak hidup menurut standar yang disetujui kelompok sosial dan dengan demikian memperoleh persetujuan social, (3) Dengan disiplin, anak belajar bersikap menurut cara yang akan mendatangkan pujian, yang akan ditafsirkan anak sebagai tanda kasih sayang dan penerimaan. Hal ini esensial bagi penyesuaian yang berhasil dan kebahagiaan, (4) Disiplin yang sesuai dengan perkembangan berfungsi sebagai motivasi bagi anak untuk mencapai apa yang diharapkan darinya, (5) Disiplin membantu anak mengembangkan hati nurani yang merupakan pembimbing dalam pengambilan keputusan dan pengendalian perilaku (Hurlock, 1999: 82). Menurut Isjoni (2006:40), secara psikososial, setiap anak memiliki kebutuhan dasar yang dapat dilayani melalui disiplin. Bahkan dapat dikatakan bahwa disiplin sesungguhnya adalah kebutuhan intrinsik dan kebutuhan ekstrinsik bagi perkembangan anak. Kebutuhan intrinsik artinya melalui disiplin anak dapat berpikir, menata dan menentukan sendiri tingkah laku sosialnya sesuai dengan tata tertib dan kaedah-kaedah tingkah laku dalam masyarakat. Sedangkan kebutuhan ekstrinsik artinya dalam kehidupannya, anak akan bertanya dan meminta petunjuk tentang arah tingkah lakunya. Disinilah disiplin berfungsi memberi penerangan agar tingkah laku anak tidak tersesat dan menimbulkan suasana hidup yang tidak menyenangkan bagi anak. Dengan adanya disiplin, anak akan memperoleh penyesuaian pribadi, sosial dan institusional yang lebih baik. Penyesuaian pribadi artinya anak dapat mengembangkan kemampuan pribadinya secara optimal
dan mewujudkan kemampuan itu sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat (Isjoni, 2006:40). Menurut Suparno (2004:77-79), bahwa pentingnya disiplin ini sebanding dengan dampak disiplin yang cukup nyata. Adapun pengaruh disiplin ini pada anak meliputi beberapa aspek, misalnya: 1. Pengaruh pada perilaku Anak yang mengalami disiplin yang keras, otoriter, biasanya akan sangat patuh bila dihadapan orang-orang dewasa, namun sangat agresif terhadap teman sebayanya. Sedangkan anak yang orang tuanya lemah akan cenderung mementingkan diri sendiri, tidak menghiraukan hak orang lain, agresif dan tidak sosial. Anak yang dibesarkan dengan disiplin yang demokratis akan lebih mampu belajar mengendalikan perilaku yang salah dan mempertimbangkan hak-hak orang lain. 2. Pengaruh pada sikap Baik anak yang dibesarkan dengan cara disiplin otoriter maupun dengan cara yang lemah, memiliki kecenderungan untuk membenci orang yang berkuasa. Anak yang diperlakukan dengan cara otoriter merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Sedangkan anak yang orang tuanya lemah merasa bahwa orang tua seharusnya memberitahu bahwa tidak semua orang dewasa mau menerima perilakunya. Disiplin yang demokratis akan menyebabkan kemarahan sementara, tetapi kemarahan ini bukanlah kebencian. Sikap-sikap yang terbentuk sebagai akibat dari metode pendidikan anak yang cenderung menetap dan bersifat umum, tertuju kepada semua orang yang berkuasa. 3. Pengaruh pada kepribadian
Semakin banyak anak diberi hukuman fisik, semakin anak menjadi keras kepala dan negativistik. Ini memberi dampak penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk, yang juga memberi ciri khas dari anak yang dibesarkan dengan disiplin yang lemah. Bila anak dibesarkan dengan disiplin yang demokratis, ia akan mampu memiliki penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial yang terbaik. 2.3.2 Langkah - Langkah Menerapkan Disiplin pada Anak Prasekolah Orang tua dan guru selalu memikirkan cara yang tepat untuk menerapkan disiplin bagi anak sejak mereka balita hingga masa kanak-kanak dan sampai usia remaja. Tujuan disiplin adalah mengarahkan anak agar mereka belajar mengenai hal-hal baik yang merupakan persiapan bagi masa dewasa, saat mereka sangat bergantung kepada disiplin diri. Diharapkan, kelak disiplin diri akan membuat hidup mereka bahagia, berhasil dan penuh kasih sayang. Rasa senang melihat keberhasilan anak dan kekecewaan melihat sikap buruk anak merupakan alat paling efektif dalam menerapkan disiplin pada anak. Orang tua yang realistis menyadari, ada kalanya mereka perlu meninggikan nada suara serta bersikap tegas dalam memberikan batasan kepada anak agar rasa percaya diri bisa tumbuh dalam diri anak. Dalam teknik disiplin yang orang tua terapkan, harus selalu ada penekanan positif (Isjoni, 2006:44). Menurut Isjoni (2006:46), bahwa berikut ada berbagai macam bentuk umum mendisiplinkan anak-anak dan remaja, antara lain : 1. Disiplin Otoriter Adalah bentuk disiplin yang tradisional yang berdasar pada ungkapan kuno “menghemat cambukan berarti memanjakan anak”. Pada model disiplin ini, orang tua atau pengasuh memberikan anak peraturan-peraturan dan anak harus mematuhinya. Tidak ada penjelasan pada anak mengapa ia harus mematuhi dan anak tidak diberi kesempatan untuk
mengemukakan pendapatnya tentang aturan itu. Anak harus mentaati peraturan itu, jika tidak mau dihukum. Biasanya hukuman yang diberikan pun agak kejam dan keras karena dianggap merupakan cara terbaik agar anak tidak melakukan pelanggaran lagi di kemudian hari.
2. Disiplin yang lemah Disiplin model ini biasanya timbul dan berkembang sebagai kelanjutan dari disiplin otoriter yang dialami orang dewasa saat ia anak-anak. Akibat dahulu ia tidak suka diperlakukan dengan model disiplin yang otoriter, maka ketika ia memiliki anak, dididiknya dengan cara yang sangat berlawanan. Menurut teknik disiplin ini, anak akan belajar bagaimana berperilaku dari setiap akibat perbuatannya itu sendiri. Dengan demikian anak tidak perlu diajarkan aturan-aturan, ia tidak perlu dihukum bila salah, namun juga tidak diberi hadiah bila berperilaku sosial yang baik. Saat ini bentuk disiplin ini mulai ditinggalkan karena tidak mengandung 3 unsur penting disiplin. 3. Disiplin Demokratis Disiplin jenis ini, menekankan hak anak untuk mengetahui mengapa aturan-aturan dibuat dan memperoleh kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak adil. Walaupun anak masih sangat muda, tetapi daripadanya tidak diharapkan kepatuhan yang buta. Diupayakan agar anak memang mengerti alasan adanya aturan-aturan itu dan mengapa ia diharapkan mematuhinya. Hukuman atas pelanggaran yang dilakukan, disesuaikan dengan tingkat kesalahan dan tidak lagi dengan cara hukuman fisik. Sedangkan perilaku sosial yang baik dan sesuai dengan harapan, dihargai terutama dengan pemberian pengakuan sosial dan pujian.
2.4 Kajian Yang Relevan Mardiya, tahun penelitian 2009, Peranan Orang Tua dalam Pembentukan Karakter dan Tumbuh Kembang Anak, hasil penelitiannya menguraikan bahwa Tahun-tahun pertama kehidupan manusia merupakan periode yang sangat penting dan kritis. Keberhasilan tumbuh kembang anak di tahun-tahun pertama akan sangat menentukan hari depan anak. Kelainan atau penyimpangan apapun kalau tidak diintervensi secara dini dengan baik pada saatnya, apalagi yang tidak terdeteksi akan mengurangi kualitas sumber daya manusia kelak di kemudian hari. Untuk mencapai tumbuh kembang yang optimal tergantung pada potensi biologiknya. Tingkat trcapainya berbagai faktor yang saling berkaitan, yaitu faktor genetik, lingkungan bio-psikisosial dan perilaku. Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi bawaan, sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya. Proses yang unik dengan hasil akhir yang berbeda-eda memberikan ciri tersendiri pada setiap anak.. Untuk itu orang tua mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembentukan karakter dan tumbuh kembang anak secara optimal. Nirmala Dwiputri, tahun penelitian 2012, Penanaman Karakter dan Nilai-nilai Karakter pada Anak Usia Dini, hasil penelitiannya menerangkan bahwa Penanaman karakter sejak usia dini
penting
dalam
membentuk
karakter
anak
dengan
memanfaatkan
masa
emas
pertumbuhannya. Lima tahun pertama pertumbuhan anak atau yang sering dikenal dengan the golden age merupakan masa yang baik untuk mengarahkan dan mengembangkan potensi yang
dimilikinya. Pada masa ini anak dapat menyerap informasi hampir 80% yang terjadi di sekitarnya, sehingga sangat baik memanfaatkan perkembangan tersebut dengan menanamkan nilai-nilai karakter yang positif berupa pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai spiritual yang mengarahkan seseorang untuk mengerti tentang hubungan dirinya dengan Sang pencipta. Penelitian ini dilakukan di lembaga PAUD Yayasan TAAT Qurrota A’yun yang merupakan yayasan yang memberikan layanan pendidikan untuk anak usia dini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendidikan karakter pada anak usia dini dilembaga tersebut. Penelitian ini diklasifikasikan dalam penelitian deskriptif melalui analisis kuantitatif. Penelitian ini bersifat penelitian populasi. Populasi dari penelitian ini yaitu kepala sekolah dan pendidik dilembaga PAUD Yayasan TAAT Qurrota A’yun Malang. Jumlah populasi keseluruhan yaitu 36 responden. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data berupa angket dan wawancara, dan teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis persentase. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa (1) Tujuan dari pendidikan karakter dilembaga PAUD Yayasan TAAT Qurrota A’yun yaitu menanamkan nilai religious sejak dini sebagai fondasi terbentuknya nilai-nilai karakter yang lain. Menggali bakat dan minat peserta didik, menumbuhkan wawasan yang luas melalui eksplorasi ilmu pengetahuan dan teknologi, namun tetap dibarengi dengan IMTAQ. (2) Metode yang digunakan cukup beragam namun yang paling dominan yaitu metode keteladanan, mendongeng, bernyanyi, bermain dan metode demonstrasi. (3) Media yang digunakan telah memenuhi kriteria media pembelajaran untuk anak usia dini. (4) Materi pendidikan karakter mengandung nilai-nilai karakter yang menjadi prioritas utama dalam pengembangan nilai karakter terhadap anak. (5) Peran pendidik telah sesuai dengan kriteia pendidikan anak usia dini dan tergolong sangat baik. (6) Lingkungan belajar yang menjadi
perhatian bukan hanya lingkungan yang bersifat fisik namun lingkungan belajar yang bersifat non fisik. (7) Evaluasi pendidikan karakter meliputi, indikator karakter yang dikembangkan dan tingkat efektivitas proses pembelajaran yang dialami oleh anak. (8) Hambatan yang dialami oleh lembaga PAUD Yayasan TAAT Qurrota A’yun yaitu masalah sarana dan prasarana serta kualitas sumber daya manusia, sehingga diperlukan solusi yang tepat dan efektif untuk mengatasi hambatan tersebut. Pelaksanaan pendidikan karakter memerlukan kerjasama antara pendidik dan orangtua. Metode yang digunakan lebih variatif dengan menciptakan metode pendidikan karakter yang lebih efektif dan efisien, sehingga nilai-nilai karakter dapat tertransformasikan dengan baik. Peran pendidik sangat diperlukan dalam pendidikan karakter Oleh karena itu pendidik diharapkan mempunyai kemampuan dalam menanamkan nilai-nilai karakter terhadap anak usia dini. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya, mengenai kajian dengan tema yang serumpun dengan mengkaji hasil penelitian ini lebih lanjut. Dari hasil penelitian yang relevan jika dikaitkan dengan penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam pembentukan karakter pada anak maka peranan orang tua dan peranan guru sangat penting agar anak memiliki karakter yang baik jika dewasa nanti.