ANALISIS JURIDIS PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 2239 K/PID.SUS/2012) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dalam Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: YUDHISTIRA FRANDANA NIM: 090200427 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014
ANALISIS JURIDIS PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 2239 K/PID.SUS/2012) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dalam Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: YUDHISTIRA FRANDANA NIM: 090200427
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh: Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. M. Hamdan, SH. MH NIP. 195703261986011001 Editor
Nurmalawaty, SH., M. Hum NIP. 19620907719881112001
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan yang tiada henti–hentinya akan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayahnya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan jurnal ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan ijazah Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam tak lupa penulis panjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan jalan dan menuntun jalan dari yang gelap hingga menuju jalan yang terang yang disinari oleh iman dan islam. Adapun jurnal ini berjudul “Analisis Juridis Penerapan Pidana Bersyarat Dalam Tindak Pidana Perpajakan (Studi Putusan Mahkamah Agung No: 2239 K/Pid.Sus/2012).” Penulis menyadari adanya keterbatasan dalam pengerjaan jurnal ini. Selama penyusunan jurnal ini, Penulis mendapatkan banyak dukungan, semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nurmalawaty, SH. M.Hum yang telah membimbing saya dalam penulisan jurnal ini. Demikianlah yang penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar–besarnya.Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih. Medan, 10 September 2014
YudhistiraFrandana 090200427
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................
i
DAFTAR ISI ...............................................................................................
ii
ABSTRAKSI ............................................................................................... A.
PENDAHULUAN .....................................................................
1
B.
PERMASALAHAN ..................................................................
3
C.
METODE PENELITIAN .........................................................
3
D.
HASIL PENELITIAN ..............................................................
4
E.
PENUTUP E.1 KESIMPULAN...................................................................
15
E.2 SARAN ...............................................................................
17
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK Yudhistira Frandana Nurmalawaty Mahmud Mulyadi Tindak pidana perpajakan dewasa ini lagi semarak dikalangan pemerintahan maupun perusahaan baik dalam skala lingkup yang kecil maupun yang besar, dikarenakan lemahnya pengawasan dibidang perpajakan sehingga sering kali terjadi kecurangan-kecurangan dibidang perpajakan. Saat ini pemerintah sangat ekstra menjaga dan mengawasi dibidang perpajakan, dimana dampak tindak pidana perpajakan sangat dirasakan selain dapat menggangu pemasukan uang ke kas negara yang sangat diperlukan untuk pembiayaan pembangunan dan juga menghambat kesejahteraan masyarakat. Permasalahan yang dirumuskan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah pengaturan hukum pidana dalam tindak pidana perpajakan di Indonesia dan bagaimana penerapan pidana bersyarat dalam tindak pidana perpajakan pada Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012. Penelitian dalam penulisan skripsi ini diarahkan kepada penelitian hukum normatif dengan pendekatan studi kasus. Kasus yang diteliti berkaitan dengan penerapan pidana pidana bersyarat dalam tindak pidana perpajakan dengan menelaah Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012 atas nama terpidana Suwir Laut alias Liu Che Sui alias Atak sebagai Tax Manager Asian Agri Group dan terdaftar sebagai pegawai di PT. Inti Indosawit Subur. Adapun Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah Yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji/menganalisis norma hukum berupa bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier agar dapat menjawab setiap permasalahan. Undang-undang perpajakan membagi tindak pidana yang dilakukan oleh wajib pajak dalam 2 (dua) jenis yaitu pidana pelanggaran, dan pidana kejahatan. Pelanggaran dalam ajaran hukum pidana sering dipadankan dengan kejahatan yang ringan, dalam hal ini terlihat ada kesamaan dengan pelanggaran dibidang perpajakan. Ancaman pidana yang dikenakan yakni, pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebesar 2 (dua) kali pajak terhutang, bahkan dapat juga dikenakan sanksi administrasi saja apabila pelanggaran yang dilakukan hanya menyangkut tindakan administrasi saja. Penerapan pidana bersyarat dalam amar putusan kasus tindak pidana perpajakan ini hakim lebih menitikberatkan pada alasan dimana dalam hal menyangkut denda, maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh terdakwa.
Kata Kunci: Pidana Bersyarat, Tindak Pidana Perpajakan
Mahasiswa Fakultas Hukum USU Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
A. PENDAHULUAN Tindak pidana perpajakan dewasa ini lagi semarak dikalangan pemerintahan maupun perusahaan baik dalam skala lingkup yang kecil maupun yang besar, dikarenakan lemahnya pengawasan dibidang perpajakan sehingga sering kali terjadi kecurangan-kecurangan dibidang perpajakan. Saat ini
pemerintah sangat ekstra
menjaga dan mengawasi dibidang perpajakan, dimana dampak tindak pidana perpajakan sangat dirasakan selain dapat menggangu pemasukan uang ke Kas Negara yang sangat diperlukan untuk pembiayaan pembangunan dan juga menghambat kesejahteraan masyarakat. Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.1 Pajak dalam prakteknya sering kali dinilai sebagai peluang untuk memperkaya diri sendiri atau oranglain dengan cara memanipulasi hasil penghitungan pajak terutang yang harus dibayarkan kepada Negara. Tindak pidana perpajakan tidak hanya berdampak buruk terhadap pendapatan Negara tetapi juga berdampak buruk kepada kemakmuran masyarakat. Menurut Konsep KUHP Baru disebutkan, bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional2 dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain, bersama-sama. Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi atau pengurusnya. Pidana bersyarat bukanlah merupakan pidana pokok sebagaimana pidana pokok yang lain, melainkan merupakan cara penerapaan pidana, sebagaimana pidana yang
1
Pasal 1 Undang-undang Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan 2 Dalam Penjelasan Pasal 48 Konsep KUHP Baru dijelaskan, bahwa kedudukan fungsional diartikan bahwa orang tersebut mempunyai kewenangan mewakili, kewenangan mengambil putusan, dan kewenangan untuk menerapkan pengawasan terhadap korporasi tersebut. Termasuk disini orang-orang tersebut berkedudukan sebagai orang yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan, penganjuran, atau pembantuan tindak pidana tersebut.
tidak bersyarat. Pasal 14a KUHP menyatakan bahwa pidana bersyarat dapat dijatuhkan bilamana memenuhi syarat-syarat berikut : 1. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari satu tahun, pidana bersyarat dapat dijatuhkan dalam hubungan dengan pidana penjara, dengan syarat hakim tidak ingin menjatuhkan pidana lebih dari satu tahun. Yang menentukan bukanlah pidana yang dilakukan, tetapi pidana yang akan dijatuhkan. 2. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubungan dengan pidana kurungan, dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda. Mengenai pidana kurungan ini idak diadakan pembatasan, sebab maksimum dari pidana kurungan adalah satu tahun. 3. Dalam hal menyangkut denda, maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh terdakwa. Selanjutnya dalam pasal 14b KUHP ditentukan masa percobaan selama tiga tahun bagi kejahatan dan bagi pelanggaran lainnya dua tahun. Dalam pasal 14c KUHP ditentukan bahwa disamping syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan atas perbuatan pidananya. Disamping itu dapat pula ditetapkan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan. Syarat-syarat diatas tersebut tidak boleh mengurangi kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik bagi terpidana. Bilamana syarat umum atau khusus tersebut tidak dipenuhi, maka berdasar pasal 14f ayat (1) hakim atas usul pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan putusan dapat memerintahkan supaya pidananya dijalankan atau memerintahkan supaya atas namanya diberikan peringatan pada terpidana.3 Sehubungan dengan asas-asas penerapan pidana bersyarat, tercakup satu hal yang sangat penting yakni manfaat yang diharapkan dari sanksi pidana bersyarat. Pidana bersyarat diharapkan dapat menjadi suatu kemungkinan pilihan yang sangat berguna dalam rangka rehabilitasi, khususnya bagi pelaku-pelaku tindak pidana pemula. Kontak-kontak yang teratur terhadap 3
Ibid, hal. 64
masyarakat akan sangat bermanfaat dan menghindarkan pelaku tindak pidana dari proses prisonisasi yang sangat berbahaya bagi kepribadian seseorang. Manfaat ini tidak hanya akan dirasakan baik oleh penguasa maupun masyarakat. Manfaat lain yang dapat disebut adalah dari segi ekonomi, yakni sepanjang menyangkut pembiayaan, maka pembiayaan bagi pelaksanaan pidana bersyarat akan jauh lebih murah dibandingkan dengan sanksi pidana perampasan kemerdekaan, sekalipun misalnya saja sanksi pidana bersyarat tersebut akan dijalankan secara efektif. Manfaat selanjutnya adalah, bahwa pidana bersyarat akan mengurangi penderitaan anggota-anggota keluarga lain yang hidupnya tergantung kepada pelaku tindak pidana, sebab dengan pidana perampasan kemerdekaan jelas akan meniadakan sumber utama kehidupan suatu keluarga.4 Pidana bersyarat sebagai salah satu pidana alternatif daripada pidana perampasan
kemerdekaan
yang
mempunyai
keunggulan-keunggulan
tersendiri
dibanding pidana perampasan kemerdekaan lainnya, karena dalam hal ini pembinaan pelaku tindak pidana dilakukan di dalam masyarakat, sehingga kerugian-kerugian yang mungkin terjadi akibat penerapan pidana perampasan kemerdekaan dapat dihindari.5 B. PERMASALAHAN Setelah mengetahui latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan, yaitu: 1. Bagaimanakah pengaturan hukum pidana dalam tindak pidana perpajakan di Indonesia? 2. Bagaimanakah penerapan pidana bersyarat dalam tindak pidana perpajakan pada Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012? C. METODE PENELITIAN Penelitian dalam penulisan jurnal ini diarahkan kepada penelitian hukum normatif dengan pendekatan studi kasus. Kasus yang diteliti berkaitan dengan penerapan pidana pidana bersyarat dalam tindak pidana perpajakan dengan menelaah Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012 atas nama terpidana Suwir Laut 4 5
Ibid, hal. 193 Ibid, hal. 219
alias Liu Che Sui sebagai Tax Manager Asian Agri Group dan terdaftar sebagai pegawai di PT. Inti Indosawit Subur. Metode penelitian hukum normatif yaitu dengan pengumpulan data secara studi pustaka (library research).Sumber data yang dipergunakan adalah sumber data sekunder, dan sumber data tersier atau sumber data pendukung. Sumber data sekunder yang akan digunakan sebagai olahan data ada menggunakan beberapa bahan yang meliputi: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan utama yang akan digunakan dalam penulisan yang merupakan norma atau kaedah dasar seperti KUHP, KUHAP dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah di ubah dengan Perubahan Kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000, dan telah di ubah dan menjadi Perubahan Terakhir Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan erat dengan bahan hukum primer dan dapat digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang ada. Semua dokumen yang dapat menjadi sumber informasi mengenai acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas, seperti hasil seminar atau makalah dari pakar hukum, koran, majalah, dan juga sumber-sumber lain yakni internet yang memiliki kaitan erat dengan permasalahan yang dibahas c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan jurnal ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel–artikel yang berkaitan dengan objek peneliitian, dokumendokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan. Data yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukun yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.
D. HASIL PENELITIAN 1. Pengaturan Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana Perpajakan Di Indonesia Undang-undang perpajakan membagi tindak pidana yang dilakukan oleh wajib pajak dalam 2 (dua) jenis yaitu pidana pelanggaran, dan pidana kejahatan. Pelanggaran dalam ajaran hukum pidana sering dipadankan dengan kejahatan yang ringan, dalam hal ini terlihat ada kesamaan dengan pelanggaran dibidang perpajakan. Ancaman pidana yang dikenakan yakni, pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebesar 2 (dua) kali pajak terhutang, bahkan dapat juga dikenakan sanksi administrasi saja apabila pelanggaran yang dilakukan hanya menyangkut tindakan administrasi saja (penjelasaan Pasal 38 Undang-undang Nomor 6 tahun 1983). Penjelasan Pasal 38 Undang-undang Perpajakan menyebutkan kualifikasi daripada kealpaan itu sendiri adalah tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, dan tidak memperdulikan kewajibannya sehingga perbuatannya mengakibatkan kerugian bagi Negara. Perihal tindak pidana pelangaran tersebut yang dimaksudkan dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Ketentuan Tata Cara Umum Perpajakan Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah atas perubahan ketiga menjadi Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 yakni; Barang siapa karena kealpaannya : a.
tidak menyampaikan surat pemberitahuan; atau
b.
menyampaikan surat pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali pajak terhutang.6 Jika pelanggaran merupakan kejahatan yang ringan maka kejahatan dapat
dipadankan sebagai pelanggaran yang berat dikarenakan ancaman pidananya jauh lebih berat dbandingkan dengan ancaman pelanggaran, yakni penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun dan denda setinggi-tingginya 4 (empat) kali dari jumlah pajak terhutang. Dan bagi pelaku pengulangan kejahatan (residive) ancaman pidana dilipatkan dua, dengan ketentuan belum lewat setahun.
6
Bambang Waluyo, Tindak Pidana Perpajakan (Jakarta, Pradnya Paramita, 1994), hal. 96
Pengenaan sanksi perpajakan kepada wajib pajak seperti yang diatur dalam Pasal 38 dan 39 Undang-undang KUP Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah atas perubahan ketiga menjadi Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007, ternyata mempunyai jangkauan disamping untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (residive) dibidang perpajakan, juga merupakan upaya pencegahan (preventy) bagi wajib pajak untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang tersebut, demi menumbuhkan rasa disiplin dan kesadaran hukum untuk melaksanakan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban Negara.7 Menurut penjelasan Undang-undang Perpajakan juga dimuat ketentuan pidana yang mengatur bahwa setiap pelaku atau pejabat yang tidak menyampaikan SPT yang isinya tidak benar diancam pidana dengan ketentuan berdasarkan kesalahannya. Adapun jenis dari kesalahan yang diperbuat yakni : a. Kesalahan berdasarkan kealpaan dalam ketentuan Pasal 38 Undang-undang perpajakan: 1) tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau 2) menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,sehingga dapat menimbulkan kerugian Negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terhutang.8 Pengertian kealpaan dalam ketentuan Undang-undang ini, adalah perbuatan yang tidak sengaaja, lalai, tidak hati-hati dan tidak memperdulikan kewajibannya, atau kurang memperhatikan keadaan atas perbuatannya mengakibatkan kerugian bagi Negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa setiap orang atau pejabat wajib pajak yang melakukan perbuatan atas kealpaannya dapat diancam pidana dengan hukuman pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda yang dibebankan paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak. b. Kesalahan berdasarkan kesengajaan dalam ketentuan Pasal 39 Undang-undang Perpajakan : 1) setiap orang yang dengan sengaja; 7 8
Ibid, hal. 99-100 Pasal 38 Undang-undang Perpajakan, Opcit, hal. 52
a) tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2; atau b) tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau c) menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau d) menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29; atau e) memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau f) tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan , tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau g) tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terhutang.9 Pengertian kesengajaan dalam ketentuan Undang-undang ini, adalah suatu perbuatan yang dengan sengaja dan dilakukan oleh seseorang atau wajib pajak dengan kesadarannya dan dengan maksud tertentu untuk menguntungkan diri sendiri atau oranglain yang merugikan oranglain atau masyarakat maupun Negara. Hal ini jelas bahwa setiap orang atau wajib pajak atas perbuataanya dengan sengaja atau dengan sadar perbuatan yang dilakukannya bertujuan untuk maksud tertentu dengan menguntungkan diri sendiri atau oranglain yang mengakibatkan kerugian bagi oranglain atau masyarakat, maupun Negara diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali dari jumlah pajak terhutang. Bahwa dapat disimpulkan setiap orang atau pejabat atas perbuatannya melakukan pelanggaran maupun kejahatan dalam perpajakan di Indonesia dapat dikenakan sanksi pidana, bukan hanya karena perbuatan kealpaannya saja melainkan juga karena kesalahannya. Dari unsur-unsur tersebut dapat juga dikatakan bahwa tindak pidana dibidang perpajakan dapat dikategorikan sebagai suatu kejahatan dalam bidang adminsitrasi yang 9
Ibid, hal. 53
mana tidak hanya merugikan bagi oranglain atau masyarakat luas melainkan juga Negara dikarenakan merugikan pendapatan kas Negara yang mana pajak merupakan sumber pendapatan bagi Negara yang bertujuan untuk pembiayaan pembangunan serta kesejahteraan bagi masyarakat luas. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan, pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan subjek atau pelaku tindak pidana. Adapun 3 kategori pertanggungjawaban pidana tersebut yakni: 1.
Pertanggungjawaban pidana bagi wajib pajak yang melakukan tindak pidana perpajakan Wajib
Pajak
yang
karena
kealpaannya
tidak
menyampaikan
Surat
Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 dijelaskan juga bahwa setiap orang yang dengan sengaja:11 a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap 10 11
Pasal 13A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007
e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Ketentuan pertanggungjawaban pidana juga dikenakan bagi setiap orang yang dengan sengaja:12 a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak. 2.
Pertanggungjawaban pidana bagi pegawai pajak yang melakukan tindak pidana perpajakan Dalam ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007,
pertanggungjwaban kedua dibebankan kepada pegawai pajak yang dalam melaksanakan tugasnya melakukan:13 12
Pasal 39A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007
a. Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar kewenangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang berwenang melakukan pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti melakukannya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. c. Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. d. Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya. e. Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 3.
Pertanggungjawaban pidana bagi pejabat pajak yang melakukan tindak pidana perpajakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 juga membebankan
pertanggungjwaban pidana kepada pejabat pajak yang dalam melaksanakan tugasnya melakukan:14 a. Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling
13 14
Pasal 36A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 41Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007,
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). b. Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). c. Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar. Pertanggungjawaban pidana juga dapat dikenakan bagi setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).15 Selain itu pertangggungjawaban pidana yang terdapat dalam undang-undang perpajakan ini dibebankan bagi: 16 a. Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satumiliar rupiah). b. Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). c. Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). 15 16
Pasal 41A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007, Pasal 41C Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007,
d. Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Sanksi pidana untuk tindak pidana dibidang perpajakan dalam Undang-undang Perpajakan tidak ada yang berupa hukuman mati atau hukuman seumur hidup, tetapi hanya hukuman penjara yang tidak lebih dari 6 (enam) tahun dan hukuman tambahan juga dapat dijatuhkan oleh hakim berupa pencabutan hak.17 Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggaran dan kejahatan dalam tindak pidana berupa yakni : a.
Hukuman kurungan
b.
Hukuman penjara
c.
Hukuman denda, dan disamping itu dapat dijatuhkan
d.
Hukuman tambahan (Pasal 40b, Pasal 35 KUHP.18
2.
PENERAPAN
PIDANA
BERSYARAT
DALAM
TINDAK
PIDANA
PERPAJAKAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 2239 K/PID.SUS/2012 Suatu hal yang menarik dalam proses berjalannya kasus ini adalah antara Jaksa Penuntut Umum, dan Majelis Hakim yang mana di persidangan masing-masing menggunakan pendekatan yang berbeda satu sama lain dan menyertakan berbagai peraturan yang dianggap berhubungan dengan kasus ini. Peraturan tersebut meliputi Pasal 38 huruf b, Pasal 39 ayat (1) jo. Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2000, sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, Undang-undang No. 8 Tahun 1981, Undangundang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undangundang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2009. Sasaran utama peraturan yang sangat berhubungan erat dengan kasus ini adalah 17 18
T.N. Syamsah, Opcit, hal. 29 Ibid, hal. 28
UU Perpajakan dan Keuangan Negara. Kemudian akan di telaah diantara peraturan tersebut mana yang paling tepat untuk menjerat perbuatan para terdakwa dalam kasus ini. Kasus ini muncul karena adanya penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dan Pajak Penghitungan Hasil Wajib Pajak terhadap 14 perusahaan yang tergabung dalam Asian Agri Group yang isinya tidak benar atau tidak sesuai dengan hasil jumlah penghitungan pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Kecurangan dalam penghitungan jumlah pajak tersebut dilakukan dengan mengecilkan pembayaran pajak, melakukan rekayasa-rekayasa harga pasar, memperkecil penghasilan perusahaan dan pembayaran SPT badan dan penghasilan sehingga menimbulkan kerugian negara sebesar Rp. 1.259.977.695.752,- (satu trilyun dua ratus lima puluh sembilan milyar sembilan ratus tujuh puluh tujuh juta senam ratus Sembilan puluh lima ribu tujuh ratus lima puluh dua rupiah). Majelis hakim yang menyidangkan perkara ini Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam Amar Putusannya No. 234/Pid.B/2011/PN.JKT.PST. Tanggal 15 Maret 2012 antara lain hanya menyatakan mengabulkan eksepsi prematur dari penasehat hukum terdakwa tidak terdapat yang menyatakan bahwa terdakwa bebas atau menjatuhkan hukuman kepada terdakwa yang selanjutnya putusan ini dikuatkan dengan Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat, dan sampai ke upaya hukum kasasi oleh Mahkamah Agung sehingga kasus ini menarik untuk ditelaah. Putusan Pengadilan Tinggi diatas memperkuat daripada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurut penulis hal yang terdapat dalam amar putusan diatas adalah bukan merupakan putusan bebas dikarenakan dalam amar putusan tersebut tidak ada menyebutkan membebaskan terdakwa dan putusan tersebut belum sama sekali menyentuh materi dari perkara dan telah salah dalam menerapkan hukum atau menerapkan peraturan yang tidak sebagai mestinya sehingga tidak ada kepastian hukum yang mengikat dan dianggap tidak memiliki kekuatan hukum dalam putusan banding yang mana menguatkan putusan pada tingkat I. Perlu disampaikan bahwa putusan incracht dalam kasus ini adalah putusan pada tingkat kasasi sebagai upaya hukum atas putusan sebelumnya, yaitu Putusan Mahkamah
Agung RI No. 2239 K/PID.SUS/2012. Majelis Hakim pada tingkat kasasi ini dalam putusannya mengadili para terdakwa sebagai berikut : 1. Mengabulkan permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum pada Pengadilan Negeri JakartaPusat. 2. Membatalkan
putusan
Pengadilan
Tinggi
Jakarta
Pusat
No.
241/PID/2012/PT.DKI tanggal 23 Juli 2012 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 234/PID.B/2011/N.JKT.PST tanggal 15 Maret 2012. 3. Menyatakan Suwir Laut alias Atak telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Menyampaikan Surat Pemberitahuan atau Keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap secara berlanjut”. 4. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun; 5. Menetapkan bahwa pidana tersebut tidak akan dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim karena terdakwa dipersalahkan melakukan sesuatu kejahatan atau tidak mencukupi suatu syarat yang ditentukan sebelumnya berakhirnya masa percobaan selama 3 (tiga) tahun, dengan syarat khusus dalam waktu 1 (satu) tahun, 14 (empat belas) perusahaan yang tergabung dalam Asian Agri Group yang pengisian SPT tahunan yang diwakili oleh terdakwa untuk membayar denda 2 (dua) kali pajak terhutang yang kurang dibayar masing-masing berjumlah 2 x Rp. 1.259.977.695.652,- = Rp. 2.519.955.391.304 (dua trilyun lima ratus sembilan belas milyar sembilan ratus lima puluh lima juta tiga ratus sembilan puluh satu ribu tiga ratus empat rupiah secara tunai). 6. Menetapkan barang bukti berupa terlampir19 7. Membebankan tersebut untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2.500- (dua ribu lima ratus rupiah). Menurut hasil daripada analisa bahwa penjatuhan pidana dalam perkara ini majelis hakim dalam amar putusannya menjatuhkan pidana bersyarat, yang mana 19
Terlampir Dalam Putusan No. 2239 K/PID.SUS/2012, hlm 476-678
penulis berpendapat walaupun penjatuhan pidana bersyarat dalam kasus ini kurang tepat tetapi lebih memberatkan kepada rasa keadilan khususnya pada 14 (empat belas) perusahaan yang terkait dalam kasus ini untuk pembayaran pajak penghasilan yang mana telah menimbulkan kerugian pada keuangan Negara yang cukup besar dan menurut penulis ini merupakan suatu penemuan hukum yang dilakukan oleh majelis hakim dikarenakan hakim menjatuhkan pidana bersyarat dimana ini merupakan terobosan baru, dan baru ada dalam kasus tindak pidana perpajakan dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda tersebut betul-betul akan dirasakan berat oleh terdakwa. Amar putusan ini disisi lain tidak lengkap, karena mengenai penyusunan sebuah putusan yang baik dan benar tentunya harus ada sinkronisasi (kesepadanan) antara dakwaan dengan amar putusan. Namun dalam putusan ini hakim tidak menyepadankan antara dakwaan dan amar putusan, dimana khususnya pada amar putusan mengenai pemberian pidana bersyarat selama 1 (satu) tahun untuk melunasi pajak terhutang tidak termuat dalam pertimbangan hakim, seharusnya hakim memuat pertimbangan mengenai pidana bersyarat yang diberikan tersebut, agar tercipta kesepadanan antara dakwaan dan amar putusan. Selain itu pada point keempat mengenai alat bukti, tidak juga dijelaskan kemana alat-alat bukti tersebut akan dikemanakan, tidak ada satu hal pun yang menjelaskan keberadaan alat bukti tersebut dipergunakan untuk apa. Hal ini tentunya akan menimbulkan kebingungan, baik bagi terdakwa ataupun bagi Jaksa Penuntut Umum. Seharusnya alat-alat bukti tersebut dijelaskan mengenai statusnya baik dalam dakwaan maupun amar putusan. Selanjutnya amar putusan ini juga tidak dimuat mengenai langkah selanjutnya apabila terdakwa tidak melunasi pajak terhutang dalam jangka waktu satu tahun. Tentu disini akan menimbulkan ruang bagi terdakwa untuk kembali tidak melunasi pajak terhutang dari tahun 2002 sampai 2005. Seharusnya tetap dimuat mengenai ketentuan eksekusi apabila amar putusan khususnya point ketiga dalam amar putusan ini. E. PENUTUP 1.
Kesimpulan
a. Suatu hal yang menarik dalam proses berjalannya kasus ini adalah antara Jaksa Penuntut Umum, dan Majelis Hakim yang mana di persidangan masing-masing menggunakan pendekatan yang berbeda satu sama lain dan menyertakan berbagai peraturan yang dianggap berhubungan dengan kasus ini. Peraturan tersebut meliputi Pasal 38 huruf b, Pasal 39 ayat (1) jo. Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2000, sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, Undang-undang No. 8 Tahun 1981, Undang-undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2009. Sasaran utama peraturan yang sangat berhubungan erat dengan kasus ini adalah UU Perpajakan dan Keuangan Negara. Kemudian akan di telaah diantara peraturan tersebut mana yang paling tepat untuk menjerat perbuatan para terdakwa dalam kasus ini. Kasus ini muncul karena adanya penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dan Pajak Penghitungan Hasil Wajib Pajak terhadap 14 perusahaan yang tergabung dalam Asian Agri Group yang isinya tidak benar atau tidak sesuai dengan hasil jumlah penghitungan pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Kecurangan dalam penghitungan jumlah pajak tersebut dilakukan dengan mengecilkan pembayaran pajak, melakukan rekayasarekayasa harga pasar, memperkecil penghasilan perusahaan dan pembayaran SPT badan dan penghasilan sehingga menimbulkan kerugian negara sebesar Rp. 1.259.977.695.752,- (satu trilyun dua ratus lima puluh sembilan milyar sembilan ratus tujuh puluh tujuh juta senam ratus Sembilan puluh lima ribu tujuh ratus lima puluh dua rupiah). Majelis hakim yang menyidangkan perkara ini Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
dalam
Amar
Putusannya
No.
234/Pid.B/2011/PN.JKT.PST. Tanggal 15 Maret 2012 antara lain hanya menyatakan mengabulkan eksepsi prematur dari penasehat hukum terdakwa tidak terdapat yang menyatakan bahwa terdakwa bebas atau menjatuhkan hukuman kepada terdakwa yang selanjutnya putusan ini dikuatkan dengan
Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat, dan sampai ke upaya hukum kasasi oleh Mahkamah Agung sehingga kasus ini menarik untuk ditelaah. b. Penerapan pidana bersyarat dalam amar putusan kasus tindak pidana perpajakan ini hakim lebih menitikberatkan pada alasan point 3 dimana dalam hal menyangkut denda, maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh terdakwa. Hal ini diambil pertimbangan oleh hakim karena hakim pada amar putusannya menetapkan bahwa pidana tersebut tidak akan dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim karena terdakwa dipersalahkan melakukan sesuatu kejahatan atau tidak mencukupi suatu syarat yang ditentukan sebelum berakhirnya masa percobaan selama 3 (tiga) tahun, dengan syarat khusus dalam waktu 1 (satu) tahun, 14 (empat belas) perusahaan yang tergabung dalam AAG/Asian Agri Group yang pengisian SPT tahunan diwakili oleh Terdakwa untuk membayar denda 2 (dua) kali pajak terutang yang kurang dibayar masing-masing yang keseluruhannya berjumlah 2 x Rp. 1.259.977.695.652,- = Rp. 2.519.955.391.304,- (dua trilyun lima ratus sembilan belas milyar Sembilan ratus lima puluh lima juta tiga ratus sembilan puluh satu ribu tiga ratus empat rupiah) secara tunai. Hakim memberikan syarat jangka waktu satu tahun untuk melunasi semua pajak terhutang atas 14 (empat belas) perusahaan yang ada dalam naungan PT. AAG, jangka waktu ini diberikan agar semua perusahaan yang mempunyai pajak terutang kepada Negara, mampu untuk menyicil pajak terutang mulai dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2005 sebanyak 2 kali lipat dari total pajak terutang. Dengan demikian penjatuhan pidana bersyarat dalam tindak pidana perpajakan adalah kurang tepat mengingat penjatuhan mengenai pidana bersyarat tersebut tidak terdapat dalam Undang-undang perpajakan yang mana dikhawatirkan dalam penerapannya justru akan menimbulkan kepastian hukum yang samar dan kabur (obscuur libel). 2.
Saran a. Sebaiknya dalam undang-undang perpajakan ini harus lebih jelas dan detail diatur mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan maksud
untuk menguntungkan korporasi itu sendiri. Hal tersebut harus diatur lebih detail agar kejadian serupa tidak terulang dilain waktu. b. Sebaiknya hakim dalam memberikan putusan bersyarat harus disertai dengan alasan mengapa pidana tersebut diberikan kepada terdakwa, dan juga harus disertai dengan perintah eksekusi apabila terdakwa tidak melakukan amar putusan pidana bersyarat ini. Hal ini dimaksudkan agar tidak timbul kerancuan bagi aparat penegak hukum untuk melakukan langkah selanjutnya setelah putusan MA ini inkraht.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku Amiruddin, dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004. Andi. Matalatta, “santunan bagi korban”dalam J.E. sahetapy (ed.)…Victimilogy sebuah Bunga rampai 9 Jakarta: Pustaka sinar Harapan, 19870. Bambang, Waluyo, Tindak Pidana Perpajakan, Jakarta: Pradnya Paramita, 1994. C.S.T. Kansil, Engelien, R. Palandeng, dan Altje, Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam Undang-undang Nasional, Jakarta: Jala Permata Aksara. 2009. Djoko Prakoso .Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia . Edisi Pertama. Yogyakarta : Liberty Yogyakarta , 1987. H.M.A. Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, UMM Press, Malang, 2008.
Johnny, Ibrahim, Teori dan metodelogi penelitian hukum normative, Malang: Bayumedia Publishing, 2006. Lexy J. Moeloeng, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999. Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi. Jakarta: PT. Softmedia, 2010. Marlina, Hukum Penitensir, Bandung: PT. Reflika Aditama. 2011. Maria Panda Indrati Soeprapti, Ilmu Perundang-undangan I, Bandung. 2007 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002. Mohammad, Eka Putra. & Abul Khair, Percobaan dan Penyertaan, Medan:, USU press, 2009. Mohammad, Eka Putra, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Medan, USU Press. 2010. Muhammad, Djafar Saidi, Kejahatan dibidang perpajakan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada 2012. Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Penerbit Alumni. 1985. Penjelasan Buku Kesatu angka 4 Konsep KUHP Baru. Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami dasar-dasar hukum Pidana Indoesia Jakarta
PT. Pradnya Paramita, 1997. Roscoe Pound. “ introduction to the phlisophy of law” dalam Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana.Cet.II, Bandung:Mandar Maju, 2000. Sajipto, Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. Soerjono, Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2009. S.R Sianturi .Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya,Cet IV, Jakarta :Alumni Ahaem-Peteheam, 1996. Sutrisna, I Gusti Bagus, “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana ( Tijauan terhadap pasal 44 KUHP),” dalam Andi Hamzah (ed.), Bunga Rampai HUkum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta :Ghalia Indonesia ,1986 T.N. Syamsah, Tindak Pidana Perpajakan. Bandung: P.T. Alumni, 2011. B. Undang-undang Undang-undang Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan Undang-undang No. 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan Putusan Mahkamah Agung Atas Perkara Pidana Nomor 2239 K/Pid.Sus/2012 C. INTERNET http://www.mahkamah agung.go.id. diakses pada hari senin, tanggal 29 April 2013 pukul 12.30 http://www.ombar.net/2009/10/pertanggungjawaban-terhadap-pelaku.html. diakses pada tanggal 24 April 2014.