PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TERSANGKA SEBAGAI KORBAN TINDAKAN UPAYA PAKSA PENANGKAPAN (TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN NOMOR 290/PID.B/2011/PN.SBG ATAS NAMA TERDAKWA KASMIN NADEAK) Fitri Handayanti Lubis Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
ABSTRAK Skripsi ini membahas dua permasalahan. Pertama, mengenai prosedur penggunaan senjata api oleh Penyidik Polisi ketika melakukan upaya paksa penangkapan terhadap tersangka berdasarkan Perkapolri 1/2009 dan Perkapolri 8/2009. Kedua, mengenai perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada tersangka yang menjadi korban (tersangka) penggunaan senjata api oleh penyidik Polisi saat penangkapan. Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang dipadu dengan wawancara narasumber, penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui keadaan mendesak mana yang memperbolehkan penggunaan senjata api, baik secara situasional lapangan dan berdasarkan peraturan perundangundangan. Permasalahan untuk menjustifikasi penggunaan senjata api ialah pengadilan dan institusi Polisi harus mempertimbangkan asas nesesitas, asas proporsionlatias dan alasan yang masuk akal terhadap penyidik yang menggunakan senjata api, sehingga diketahui bagaimana petugas memahami penggunaan senjata api ketika menangkap tersangka dan bagaimana petugas menentukan apakah ada ancaman dan bagaimana petugas menilai bahwa ancaman tersebut membahayakan jiwanya atau orang lain terkait dengan keseriusan ancaman. Terdapat 3 (tiga) keadaan yang membolehkan penyidik untuk menembak tersangka yakni ketika untuk melindungi dirinya, untuk melindungi orang lain dari bahaya dan menghindari tersangka melarikan diri, namun ketiganya tersebut merupakan upaya terakhir. Kata kunci: Hukum acara pidana, upaya paksa, penangkapan tersangka, senjata api. ABSTRACT This thesis addresses two issues. First of all, regarding the use of firearms procedures by police investigators when conducting forcible arrest toward suspect in accordance with Head of State Police Decree Number 1 of 2009 and Head of State Police Decree Number 8 of 2009. Secondly, regarding the suspect’s legal protection as victims of the use of firearms by police investigators during an arrest. By using the method of literature research combined with sources Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
interviews, this thesis aims to determine the urgency which allow the use of firearms, both situational and field based legislation. To determine whether the use of firearms is considered legal or illegal. The courts and police department must analyze its necessity, proportionality and reasonableness. In summary, the following two concerns must be addressed “how the officer determines using firearms when arresting suspects and how the officer determines if a threat exists and the seriousness of the threat.” There are three instances in which a police officer may fire his revolver at suspect before arresting. They are to protect his own life, when it is in imminent danger, to protect the life of another and as an effort to prevent the commission of certain violent felonies or to prevent the escape of a violent felon, but only after all other means have been exhausted. Keywords: Criminal Law Procedures, Coercive Measure of Arrest, Arresting Suspect, Firearms. Pendahuluan Kekuatan untuk mengambil nyawa orang lain, tidak hanya terjadi pada tahap akhir dari suatu proses peradilan pidana yaitu ketika negara mengeksekusi tahanan yang dijatuhi hukuman mati, tetapi juga terjadi pada tahap awal dimana kekuatan mematikan dapat digunakan oleh polisi dalam penangkapan tersangka.1 Berdasarkan laporan dari Amnesty International2 terdapat data penembakan yang dilakukan oleh Polisi saat penangkapan yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tahun jumlah korban April 2008 47 (empat puluh tujuh) s.d. 2009 tersangka meninggal, dan lebih dari 60 (enam puluh) tersangka terluka Januari 2009 Ade susilo April 2009 Tahun 2011
Keterangan 76 (tujuh puluh enam) insiden senjata api yang melibatkan polisi dan tersangka-tersangka kriminal
Meninggal saat ditangkap dengan dugaan pencurian. 9 (sembilan) orang 1 (satu) orang diantaranya tersangka meninggal, sisanya luka-luka. 85 (delapan puluh lima) sebanyak 16 (enam belas) orang tewas dan 69 (enam puluh sembilan) lainnya terluka
1
John S. Goldkamp, Minorities As Victims Of Police Shootings: Interpretation Of Racial Disproportionality And Police Use Deadly Force, The justice System Journal, Vol. 2, No. 2 (1976), pp. 169-183, National Center For State Courts, hlm. 169. 2
Amnesty International Publications, “Urusan Yang Belum Selesai: Akuntabilitas Polisi di Indonesia”, United Kingdom, London:Amnesty International, June 2009, hlm. 22-23.
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
Tahun 2012
49 (empat sembilan) orang
puluh terdiri atas 17 (tujuh belas) orang tewas dan 32 (tiga puluh dua) lainnya luka-luka telah menjadi korban sikap mudah menembak (trigger happy)
Media masa mempublikasi bahwa seorang petugas polisi yang menembak mati Ade Susilo, 25 (dua puluh lima) tahun, pada saat penangkapan di Cilincing, Jakarta Utara, ia dicurigai melakukan pencurian mobil pada bulan Januari 2009. Menurut laporan berita, peluru menembus dari punggung sampai ke dadanya.3 Laporan-laporan ini mengindikasikan bahwa dalam banyak kasus para pelaku pidana ditembak selama penangkapan setelah polisi melancarkan tembakan peringatan namun pelaku tetap mencoba melarikan diri. Peristiwa-peristiwa penembakan di atas yang mewarnai upaya paksa penangkapan oleh polisi tidak sejalan lagi dengan amanat Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP). Dimana keberadaan perlindungan hak-hak asasi manusia4 yang menjiwai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) telah mendapat tempat dalam bab-bab KUHAP sehingga hal ini harus mendapat perhatian dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum. KUHAP merupakan kumpulan dari aturan-aturan yang bertujuan untuk menyelenggarakan dan mempertahankan keberadaan hukum pidana materiil. Berangkat dari hukum pidana materiil tersebut KUHAP menggariskan aturan-aturan yang melekatkan harkat tersangka/terdakwa dengan memberikan perisai hak-hak yang sah padanya. Pengakuan hukum yang tegas akan hak asas yang melekat pada diri tersangka/terdakwa merupakan jaminan untuk menghindari keberadaannya dari tindakan sewenang-wenang. Namun hal tersebut tidak berarti mengenyampingkan asas/prinsip yang menjadi landasan KUHAP yaitu asas keseimbangan yang mana menyatakan bahwa penegakan hukum harus serasi antara perlindungan harkat dan martabat manusia 3
Media Indonesia, “Polisi Tembak Mati Dua Tersangka Curanmor”, http://www.yiela.com/view/372937/polisi-tembak-mati-dua-tersangka-curanmor, diunduh 13 Februari 2012. 4
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
dan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat.5 Keberlakuan KUHAP sebagai hukum acara pidana formil di Indonesia merupakan hasil perubahan pemikiran dan cara pandang baru dimana telah menintikberatkan perlindungan mendiskriminasi
hukum
atas
bentuk
kepentingan
perlindungan
Tersangka/Terdakwa,
terhadap
korban
sebagai
tanpa bentuk
perlindungan hak-hak asasi manusia.6 Merujuk kepada urgensi perlindungan terhadap tersangka yang belakangan ini menjadi korban tindakan polisi dalam menggunakan senjata api, perlu diadakan pembahasan mengenai prosedur penggunaan senjata api oleh penyidik dalam melakukan upaya paksa penangkapan terhadap tersangka, berdasarkan prinsip-prinsip yang dianut dalam KUHAP serta Perkapolri 1/2009 dan Perkapolri 8/2009 yang meregulasi bagaimana seharusnya polisi dalam mengambil tindakan untuk melepaskan tembakan kepada tersangka ketika melakukan tugas penangkapan tersebut. Dengan demikian, hal tersebut perlu dikaji lebih mendalam, hak-hak tersangka seperti apa saja yang diatur dalam KUHAP dan bagaimana pelaksanaannya dalam sistem peradilan pidana serta dalam keadaankeadaan bagaimana penyidik dapat menggunakan kewenangannya dalam menggunakan senjata api saat melakukan upaya paksa penangkapan. Adanya
perubahan
cara
pandang
baru
terhadap
KUHAP
yang
mengorientasikan tujuan pada kembalinya tersangka/terdakwa kepada masyarakat serta dengan berdasarkan hukum acara pidana tersebut dikeluarkan Perkapolri 1/2009 dan Perkapolri 8/2009, serta peraturan-peraturan terkait penggunaan senjata api oleh penyidik POLRI, seyogyanya diikuti oleh perubahan sikap dan pandangan aparat penegak hukum dalam implementasi perlindungan hukum terhadap pelanggaran hak-hak tersangka selama proses berperkara berlangsung yang diakomodasi olehnya sebagai pelaksanaan perwujudan sistem peradilan pidana. Hal-hal yang telah diuraikan tadi menjadi minat yang kuat untuk mengkaji lebih mendalam peran dan fungsi hukum acara pidana terhadap perlindungan hak 5
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, ed.2, cet.11, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), hlm. 38. 6
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Jakarta: Binacipta, 1996), hlm. 45.
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
hak tersangka dalam hal penggunaan senjata api oleh penyidik pada rangkaian upaya paksa penangkapan, sehingga dirasa perlu untuk mengangkat judul “Perlindungan Hukum Terhadap Tersangka Sebagai Korban Tindakan Upaya
Paksa
Penangkapan
(Tinjauan
Yuridis
Putusan
Nomor
290/PID.B/2011/PN.Sbg Atas Nama Terdakwa Kasmin Nadeak) .” Pembahasan Pertama
akan
dijabarkan
terlebih
dahulu
prosedur
penangkapan
berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012
Tentang
Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (Perkapolri
14/1012) dan Perkapolri Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri 12/2009) menjelaskan secara terperinci prosedur penangkapan selain dari yang telah dijabarkan di dalam Pasal 16 s.d. 19 KUHAP yaitu sebagai berikut: 1.
Dasar dilakukannya penangkapan (Pasal 36 Perkapolri 12/2012 jo. Pasal 70 Perkapolri 12/2009) a. adanya bukti permulaan yang cukup dan tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar; b. dilengkapi Surat Perintah Tugas dan Surat Perintah Penangkapan yang sah dan dikeluarkan oleh atasan penyidik yang berwenang.
2.
Kewajiban penyidik dalam melaksanakan tindakan penangkapan berdasarkan Pasal 75 Perkapolri 12/2009 sebagai berikut: a. memahami
peraturan
perundang-undangan,
terutama
mengenai
kewenangan dan tata cara untuk melakukan penangkapan serta batasanbatasan kewenangan tersebut; b. memiliki kemampuan teknis penangkapan yang sesuai hukum; c. menerapkan prosedur-prosedur yang harus dipatuhi untuk tindakan persiapan, pelaksanaan dan tindakan sesudah penangkapan; dan d. bersikap profesional dalam menerapkan taktis penangkapan, sehingga bertindak manusiawi, menyangkut waktu yang tepat dalam melakukan penangkapan, cara-cara penangkapan terkait dengan kategori-kategori
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
yang ditangkap seperti anak-anak, orang dewasa dan orang tua atau golongan laki-laki dan perempuan serta kaum rentan. 3.
Pada saat dimulainya penangkapan penyidik diwajibkan untuk (Pasal 37 Perkapolri 12/2012 jo. Pasal 77 Perkapolri 12/2009): a. memberitahu/menunjukkan tanda identitasnya sebagai petugas Polri; b. menunjukkan surat perintah penangkapan kecuali dalam keadaan tertangkap tangan; c. memberitahukan alasan penangkapan; d. menjelaskan tindak pidana yang dipersangkakan termasuk ancaman hukuman kepada tersangka pada saat penangkapan; e. menghormati status hukum anak yang melakukan tindak pidana dan memberitahu orang tua atau wali anak yang ditangkap segera setelah penangkapan; f. senantiasa melindungi hak privasi tersangka yang ditangkap; dan g. memberitahu hak-hak tersangka dan cara menggunakan hak-hak tersebut, berupa hak untuk diam, mendapatkan bantuan hukum dan/atau didampingi oleh penasihat hukum, serta hak-hak lainnya sesuai KUHAP.
4.
Tindakan setelah penangkapan penyidik wajib membuat berita acara penangkapan yang berisi Pasal 40 Perkapolri 12/2012 jo. Pasal 81 Perkapolri 12/2009): a. nama dan identitas petugas yang melakukan penangkapan; b. nama identitas yang ditangkap; c. tempat, tanggal dan waktu penangkapan; d. alasan penangkapan dan/atau Pasal yang dipersangkakan; e. tempat penahanan sementara selama dalam masa penangkapan; dan f. keadaan kesehatan orang yang ditangkap. Setelah itu penyidik wajib menyerahkan selembar surat perintah
penangkapan
kepada
tersangka
dan
mengirimkan
tembusannya
kepada
keluarganya, wajib memeriksa kesehatan tersangka dan apabila dalam keadaan keadaan luka parah, penyidik wajib memberi pertolongan kesehatan dan membuat berita acara tentang keadaan tersangka. Adapun prosedur penggunaan senjata api di atur dalam Perkapolri 8/2009, dimana Tindakan penangkapan pada Pasal 16
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
ayat (1) haruslah mempertimbangkan keseimbangan antara tindakan yang dilakukan dengan bobot ancaman7, penghargaan terhadap hak-hak tersangka, dan tindakan penangkapan bukanlah merupakan penghukuman bagi tersangka. Kesimbangan tindakan dan ancaman merupakan bentuk implementasi asas proporsionalitas bagi penyidik dalam memutuskan suatu tindakan dalam upaya paksa penangkapan terhadap tersangka. Sedangkan yang kedua, adanya kewajiban bagi penyidik untuk menghargai dan
menghormati hak-hak tersangka
sebagaimana telah diamanatkan dalam Bab VI KUHAP. Terakhir penyidik wajib memperhatikan asas praduga tak bersalah, sehingga harus memperlakukan tersangka sebagai orang yang belum tentu bersalah sampai terbukti bersalah oleh pengadilan.8 Berdasarkan Pasal 21 Perkapolri 8/2009, dalam hal melaksanakan penangkapan setiap anggota polri berkewajiban memahami peraturan perundangundangan terutama mengenai kewenangan dan tata cara untuk melakukan penangkapan serta batasan-batasan kewenangannya, dibekali kemampuan teknis penangkapan yang sesuai dengan hukum, mampu menerapkan prosedur yang harus dipatuhi dalam menyelenggarakan tindakan persiapan, pelaksanaan dan tindakan setelah penangkapan, serta mampu bersikap profesional dalam menerapkan
taktis
penangkapan,
sehingga
dapat
bertindak
manusiawi,
menyangkut waktu yang tepat dalam melakukan penangkapan, cara-cara penangkapan terkait dengan kategori-kategori yang ditangkap seperti anak-anak, orang dewasa dan orang tua atau golongan laki-laki dan perempuan serta kaum rentan. Secara prosedural penangkapan yang dapat menggunakan senjata api dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Memberitahukan/menunjukkan tanda identitasnya sebagai pertugas Polri; 2. Menunjukkan surat perintah penangkapan kecuali dalam keadaan tertangkap tangan; 3. Memberitahukan alasan penangkapan; 7
Hal mengenai keseimbangan antara tindakan yang dilakukan dengan bobot ancaman diatur pula oleh pasal 76 huruf a Perkapolri Nomor 12 Tahun 2009 Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian. 8 Sebagaimana dikutip pada pasal 4 ICCPR sebagai “right to be presumed innocent until proved guilty according to law” dan juga telah diakomodir pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yakni pada Pasal 8 ayat (1).
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
4. Menjelaskan tindak pidana yang dipersangkakan termasuk ancaman hukuman kepada tersangka pada saat penangkapan; 5. Menghormati status hukum anak yang melakukan tindak pidana dan memberitahu orang tua atau wali anak yang ditangkap segera setelah penangkapan; 6. Senantiasa melindungi hak privasi tersangka yang ditangkap; 7. Memberitahu hak-hak tersangka dan cara menggunakan hak-hak tersebut, berupa hak untuk diam, mendapatkan bantuan hukum dan/atau didampingi oleh penasehat hukum, serta hak-hak lainnya sesuai KUHAP; 8.
Setelah dilakukannya penangkapan, penyidik wajib membuat berita acara penangkapan yang memuat nama dan identitas penyidik yang melakukan penangkapan, nama identitas tersangka yang ditangkap, tempat, tanggal dan waktu penangkapan, alasan dilakukannya penangkapan dan Pasal yang dipersangkakan padanya, tempat penahanan sementara selama dalam masa penangkapan serta keadaan kesehatan orang yang ditangkap. Dalam rangkaian penangkapan tersebut penyidik dapat menggunakan
kekuatan/tindakan
keras
berupa
penggunaan
senjata
api
dengan
mempertimbangkan aturan dalam Pasal 45 Perkapolri 8/2009 yang diantaranya sebagai berikut: 1. Tindakan dan cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu; 2. Tindakan keras hanya diterapkan bila sangat diperlukan; 3. Tindakan keras hanya diterapkan untuk tujuan penegakan hukum yang sah; 4. Tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum; 5. Penggunaan kekuatan dan penerapan tindakan keras harus dilaksanakan secara proporsional dengan tujuannya dan sesuai dengan hukum; 6. Penggunaan kekuatan, senjata atau alat dalam penerapan tindakan keras harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi; 7. Harus ada pembatasan dalam penggunaan senjata/alat atau dalam penerapan tindakan keras; dan 8. Kerusakan dan luka-luka akibat penggunaan kekuatan/tindakan keras harus seminimal mungkin.
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
Prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian haruslah memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut9: a. legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan hukum yang berlaku; b. nesesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi; c. proporsionalitas,
yang
berarti
bahwa
penggunaan
kekuatan
harus
dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan; d. kewajiban umum, yang berarti bahwa anggota Polri diberi kewenangan untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaian sendiri, untuk menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keselamatan umum; e. preventif,
yang
berarti
bahwa
tindakan
kepolisian
mengutamakan
pencegahan; f. masuk akal (reasonable), yang berarti bahwa tindakan kepolisian diambil dengan mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahayanya terhadap masyarakat. Adapun penggunaan kekuatan bagi polisi dalam memutuskan penggunaan kekuatan dengan yang menggunakan senjata api haruslah berdasarkan tahapan berdasarkan Pasal 5 ayat (1), dimana tahapan tersebut adalah sebagai berikut: a. tahap 1 : kekuatan yang memiliki dampak deterrent/pencegahan; b. tahap 2 : perintah lisan; c. tahap 3 : kendali tangan kosong lunak; d. tahap 4 : kendali tangan kosong keras; e. tahap 5 : kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri; f. tahap 6 : kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang 9
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (b), Op.Cit., Ps. 3.
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat. Pertimbangan akan keputusan untuk menggunakan kekuatan di atas berlaku secara hierarkhi, dimana penggunaan kekuatan pada tahap-tahap di atas disesuaikan dengan tingkatan bahaya ancaman
dari pelaku kejahatan atau
tersangka. Sehubungan dengan penggunaan kekuatan di atas, untuk dapat diidentifikasi oleh tersangka bahwa kekuatan tersebut dilakukan oleh polisi, Pasal 6 mengatur bahwa polisi harus menggunakan seragam atau rompi atau jaket bertuliskan POLISI atau kendaraan dengan tanda Polri, atau lencana kewenangan polisi atau pemberitahuan lisan dengan meneriakkan kata “polisi”. Pengambilan keputusan untuk menggunakan kekuatan senjata harus diikuti dengan komunikasi lisan/ucapan dengan cara membujuk, memperingatkan dan memerintahkan untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka sebagaimana diatur Pasal 7. Sehingga, tindakan kepolisian haruslah seimbang dengan ancaman terhadapnya, sehingga tingkatan bahaya ancaman terhadap anggota Polri atau masyarakat dihadapi dengan tahapan penggunaan kekuatan sebagai berikut: 1. tindakan pasif dihadapi dengan kendali tangan kosong lunak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c; 2. tindakan aktif dihadapi dengan kendali tangan kosong keras sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d; 3. tindakan agresif dihadapi dengan kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata atau semprotan cabe, atau alat lain sesuai standar Polri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e; 4. tindakan agresif yang bersifat segera yang dilakukan oleh pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian atau membahayakan kehormatan kesusilaan anggota Polri atau masyarakat atau menimbulkan bahaya terhadap keselamatan umum, dapat dihadapi dengan kendali senjata api atau alat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf f. Penggunaan kekuatan senjata api yang demikian ini lebih lanjut oleh Pasal 8 dijabarkan dalam keadaan-keadaan yang membolehkan penggunaan kekuatan senjata api yakni sebagai berikut:
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
a. tindakan
pelaku
kejahatan
atau
tersangka
dapat
secara
segera
menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat; b. anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut; c. anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat. Ketiga keadaan di atas dilakukan sebagai upaya terakhir dalam rangka tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, yang dalam praktiknya dapat di awali atau tanpa di awali dengan perintah lisan (paasl 8 ayat(3)). 5. Tindakan pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menimbulkan bahaya ancaman luka parah atau kematian terhadap anggota Polri atau masyarakat atau dapat membahayakan keselamatan umum dan tidak bersifat segera, oleh polisi dapat dilakukan tembakan peringatan sebagaimana diterangkan pada Pasal 15. Dimana dilakukan dengan pertimbangan yang aman, beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, serta tidak menimbulkan ancaman atau bahaya bagi orang-orang di sekitarnya. Oleh karena itu, tembakan peringatan sendiri hanya dilepaskan ke udara atau ke tanah dengan kehati-hatian yang tinggi apabila alternatif lain sudah dilakukan tidak berhasil dengan tujuan sebagai berikut: a. untuk menurunkan moril pelaku kejahatan atau tersangka yang akan menyerang anggota Polri atau masyarakat; b. untuk memberikan peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada pelaku kejahatan atau tersangka. Namun dalam keadaan yang membahayakan akibat adanya ancaman yang dapat menimbulkan luka parah atau kematian bersifat segera, tindakan peringatan tidak diperlukan. Alternatif penggunaan kekuatan yang dapat dilakukan oleh seorang polisi yang menghadapi ancaman kekerasan harus dilakukan berdasarkan analisis risiko sehingga dapat diketahui tingkat kekerasan yang dapat dilakukan, kemudian kehadiran aparat polisi baik dalam kuantitas dan kualitas dimana dapat
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
memberikan bantuan teknis maupun taktis agar dapat dicegah dilakukannya tingkat kekerasan senjata api, setelah itu negoisasi yakni mengkomunikasikan secara efektif dan sadar kepada tersangka, baru kemudian jika komunikasi tidak berhasil, dapat dilakukan tindakan melumpuhkan yang proporsional dengan ancaman serangannya, berupa melumpuhkan dengan tongkat atau benda yang sifat dan risikonya seimbang dengan alat yang digunakan oleh tersangka. Adapun mengenai prosedur penggunaannya kembali kepada standar operasional prosedur penangkapan dan standar penggunaan kekuatan penggunaan senjata api seperti yang termaktub di dalam Pasal-Pasal pada Perkapolri 1/2009. Penggunaan kekuatan senjata api, dapat digunakan sebagai bentuk perlawanan seimbang. Misalnya, penangkapan preman yang menggunakan senjata api, apabila terjadi serangan maka dapat digunakan tindakan pembelaan diri. Pembelaan diri tersebut haruslah berdasarkan penilaian sendiri disini merupakan pertimbangan yang masuk akal apakah wajar dan seimbang untuk melakukan penangkapan yang menggunakan senjata api. Sedangkan tahapan-tahapan penggunaan senjata api secara singkat adalah sebagai berikut:10 1. Dalam hal mempertahankan diri Tembakan peringatan 3 kali, apabila tetap melawan dapat dilakukan tindakan perlawanan yang seimbang. a. meneriakkan atas nama undang-undang atau meneriakkan “Berhenti saya POLISI, jangan bergerak”; b. “demi undang-undang saudara sudah dikepung, diperintahkan untuk menyerahkan diri”; c. bila peringatan tersebut tidak diindahkan dan keadaannya sangat tidak membahayakan petugas Polri/masyarakat maka dilakukan penembakan yang diarahkan pada bagian anggota badan yang tidak mematikan (untuk melumpuhkan serangan lawan). Dalam hal menghadapi penyerangan yang aktif dan sifatnya membahayakan petugas Polri atau masyarakat. Adapun penggunaan senjata api sama dengan aturan pertahanan diri, namun tidak diikuti oleh tembakan peringatan sebanyak 3 10
Ibid.
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
(tiga) kali. Hal ini hanya dapat dilakukan jika terdapat serangan aktif dari tersangka dalam melakukan penyerangan terhadap petugas atau orang lain yang dapat
membahayakan
keselamatan
jiwa/badan
baik
dengan
melakukan
perlawanan secara fisik atau menyerang guna memudahkan usaha melarikan diri. Oleh karena itu, untuk membela diri dapat dilakukan penembakan mengarahkan pada bagian anggota badan yang tidak mematikan (untuk melumpuhkan serangan lawan). Adanya fenomena penembakan tersangka saat dilakukannya penangkapan yang kian merebak ditengarai oleh beberapa faktor. Pertama, kurangnya pelatihan dan taktik polisi dalam menanggulangi situasi yang berpotensi kekerasan dan kedua regulasi yang tidak melarang secara jelas dan tegas dalam hal penggunaan kekuatan mematikan dalam situasi yang membayakan atau ancaman yang serius. Adapun wewenang menggunakan kekuatan dalam 2 (dua) keadaan yakni sebagai berikut:11 1. Aturan pertahanan hidup Ditemukan di dalam KUHP sebagai bentuk perlindungan diri dari ancaman maupun serangan yang tidak terhindarkan atau berbahaya bagi hidup dan keselamatan diri (Pasal 49 KUHP). 2. Aturan penjahat yang melarikan diri Hal keadaan untuk menghentikan tersangka yang melarikan diri ketika tidak ada cara lain untuk menahannya, sehingga penyidik dapat menggunakan kekuatan mematikan tersebut. 2 (dua) keadaan di atas merupakan salah satu alat untuk mengurangi serta mencegah hilangnya nyawa sehubungan dengan tugas polisi untuk menjaga ketertiban hukum dan keamanan masyarakat yang secara khusus melindungi nyawa orang lain. Juga kedua hal tersebut dapat menjadi batasan bagi keleluasaan polisi dalam menggunakan kekuatan mematikan atau kesempatan untuk bertindak sewenang-wenang dan diskriminatif.12 Alasan penghapus pidana merupakan salah satu lembaga dalam hukum pidana, dimana dimungkinkannya bagi seseorang 11
Ensiklopedi kepolisian, Op. Cit., hlm. 230
12
Ibid., hlm. 232
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
yang telah memenuhi unsur-unsur dalam suatu delik, namun dapat tidak dipidana. Terkait dengan terminologi tersebut Utrecht menggunakan “alasan-alasan yang mengecualikan dijatuhkannya hukuman”.13 Hal ini berarti alasan penghapus pidana diputuskan oleh hakim dengan menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan hapus atau kesalahan pelaku pidana menjadi hapus, karena adanya ketentuan undang-undang dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang memaafkan pembuat, sehingga hak untuk melakukan penuntutan oleh Jaksa tetap ada, namun hakim akan memutuskan mengenai apakah akan dinyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Sehubungan dengan alasan penghapus pidana terdapat alasan pembenar dan alasan pemaaf, dimana alasan pembenar merupakan alasan dimana tidak dapat dipidananya suatu tindakan, sedangkan alasan pemaaf merupakan alasan tidak dapat dipidananya pelaku.14 Hal mengenai alasan pembenar dan alasan pemaaf. Adapun dasar-dasar penghapus pidana tersebut sebagai berikut:15 1. Bela Paksa (Noodweer) Bela paksa dikenal sebagai alsan pembenar, dimana dibenarkannya tindakan pelaku mengingat pelanggaran yang mendahului tindak tersebut. Secara sederhana bela paksa adalah upaya membela hak, yakni hak untuk membela diri terhadap ketidakadilan. Oleh karena itu, pelaku harus memiliki kehendak untuk membela diri. Adapun kepentingan-kepentingan yang layak untuk dibela yaitu mempertahankan nyawa sendiri, kehormatan atau kebedaan. Van Bemmelen berpendapat bahwa bela paksa merupakan eigenrichting (tindakan main hakim sendiri) yang disahkan oleh undang-udang, dimana eigenrichting dapat dilakukan sepanjang diatur di dalam Pasal 49 ayat (1) 13
Utrecht, Hukum Pidana I, (Bandung: Penerbit Universitas, 1960), hlm. 344.
14
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 205. 15
Disampaikan oleh Dr. Eva Achjani Zulfa S.H., M.H. dalam mata kuliah ajar gugurnya hak menuntut pada bulan oktober 2011, adapun bahan yang disampaikan merupakan intisari beberapa buku hukum pidana mengenai dasar penghapus pidana serta buku beliau sendiri berjudul Gugurnya hak menuntut dasar penghapus, peringan, dan pemberat pidana, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010).
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
KUHP. Oleh karena itu, sahnya pembelaan hanya dapat dipastikan dengan syarat : a. Pembelaan itu merupakan suatu keharusan (terpaksa memang harus dilakukan); b. Pembelaan itu dilakukan terhadap serangan yang bersifat melawan hukum; Serangan seketika yang melawan hukum terbagi atas 3 (tiga) unsur yakni serangan, seketika dan melawan hukum. Pertama mengenai serangan dimengerti sebagai serangan nyata yang berlanjut terhadap badan, martabat atau kebendaan, termasuk didalamnya perbuatan yang menimbulkan ancaman seketika/langsung terhadap badan, martabat atau kebendaan. Kedua mengenai seketika/sertamerta meliputi serangan yang sedang berjalan maupun masih dalam bentuk ancaman. Keadaan seketika tidak dapat dipisahkan dengan serangan atau ancaman serangan yang terjadi, dimana keadaan seketika tersebut ialah sesaat setelah serangan atau ancaman serangan itu terjadi. Terakhir melawan hukum merupakan serangan atau pelanggaran terhadap hak kebendaan, yang sifatnya tidak menyenangkan dan tidak diperkenankan oleh undang-undang.16 Adapun bela paksa hanya akan diterima jika hubungan antara kepentingan yang dilanggar oleh serangan dan cara pembelaan diri adalah hubungan yang setara atau seimbang, sehingga dalam melakukan bela paksa, pelaku harus mampu menilai dan memperhatikan objek yang dipertahankan dan alternatif yang tersedia untuk mempertahankan objek atau kepentingan;17 c. Pembelaan itu dilakukan atas serangan yang mendadak dan seketika; d. Serangan yang terjadi itu adalah atas tubuh, kehormatan atau, terhadap harta benda sendiri maupun orang lain. Berdasarkan Pompe kepentingan untuk melindungi tubuh mencakup hal yang menyangkut hidup, utuhnya badan serta kebebasan bergerak bagi 16
Ibid., hlm. 240-244.
17
Ibid., hlm. 245.
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
badan. Sedangkan kehormatan sama seperti apa yang dimaksud dalam Pasal 281 KUHP sebagai “susila” yakni hal badaniah yang seharusnya dihormati oleh semua orang. Selanjutnya tentang benda meliputi bendabenda berwujud yang dimaksud dalam Pasal 362 KUHP.18 Skripsi ini menggunakan putusan Putusan Nomor 290/PID.B/2011/PN.Sbg Atas Nama Terdakwa Kasmin Nadeak, dimana dapat dilihat bahwa terdakwa (Kasmin Nadeak) merupakan seorang penyidik Polisi yang melakukan tugas penangkapan
dengan
Surat
Perintah
Tugas
No.
Pol.
:
Sprint.Gas/18/VIII/2007/Reskrim tanggal 29 Agusutus 2007 bersama dengan petugas lainnya yakni Aiptu B. Silalahi, Briptu Tulis Ginting, Bripda K. Saragih dan Surat Perintah Penangkapan No. Pol. : Sp.Kap/27/VII/2007/Reskrim tanggal 29 Agustus 2007 dengan tugas untuk melakukan penangkapan terhadap Mael Siringo-ringo (Ismail Siringo-ringo) yang telah menguraikan dengan singkat dugaan tindak pidana yang dilakukan olehnya yakni penganiayaan ringan terhadap Marince Br. Manalu. Oleh karena itu, penangkapan yang dilakukan oleh Kasmin Nadeak merupakan penangkapan dengan surat perintah yang dilakukan dengan adanya bukti permulaan yang cukup yakni Laporan Polisi No. Pol. : LP/18/VIII/2007/TPG. Sorkam tanggal 26 Agustus 2007 serta adanya keterangan saksi Marince Br. Manalu. Sebelum menjawab pertanyaan apakah penyidik telah menggunakan senjata api saat penangkapan tersangka sesuai dengan peraturan yang berlaku, harus dianalisis terlebih dahulu mengenai tindakan penyidik yang harus memenuhi prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang meliputi prinsip legalitas, nesesitas, proporsionalitas, kewajiban umum, preventif dan masuk akal.
Adapun mengenai prinsip legalitas artinya penyidik dalam
menangkap telah memenuhi syarat formil penangkapan yang dalam hal ini Surat Perintah Tugas No. Pol. : Sprint.Gas/18/VIII/2007/Reskrim tanggal 29 Agusutus 2007 dan Surat Perintah Penangkapan No. Pol. : Sp.Kap/27/VII/2007/Reskrim tanggal 29 Agustus 2007. Sedangkan prinsip legalitas dalam menggunakan senjata api saat penangkapan penyidik haruslah telah mendapatkan surat izin menggunakan senjata api, dimana tidak hanya ia dapat dinyatakan dapat 18
P. A. F. Lamintang, Hukum Pidana Indonesia,Cet. Ketiga, (Bandung: Sinar Baru, 1990), hlm. 42.
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
menggunakan senjata api namun juga kewenangan menggunakan senjata api dalam melakukan penangkapan berdasarkan aturan hukum telah memenuhi persyaratan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Selain itu, tindakan penyidik tepat apabila penggunaan senjata api telah hal memenuhi 2 (dua) keadaan yang membolehkan penggunakan senjata api terkait dengan terpenuhinya prinsip-prinsip nesesitas, proporsionalitas, kewajiban umum, preventif dan masuk akal, sehingga sesuai atau tidaknya penggunaan senjata api saat penangkapan tersangka dengan SOP akan dijawab setelah menganalisis 2 (dua) materi sebagai berikut : a.
Penggunaan senjata api digunakan sesuai dengan keadaan yang membolehkan penggunaan senjata api saat penangkapan tersangka yakni saat tersangka melarikan diri dengan telah digunakan alternatif tindakan sebelumnya dan keadaan bela paksa untuk melindungi nyawa diri sendiri maupun orang lain. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya mengenai keadaan yang membolehkan penggunaan senjata api, yang berkaitan dengan dasar pembenar dan dasar pemaaf. Terhadap 2 (dua) keadaan tersebut, yakni dengan kontruksi sebagai berikut: Pertama, jika keadaan saat ia melarikan diri sehingga tepat tindakan Kasmin Nadeak jika dengan pertimbangan akan adanya kerugian yang akan ditimbulkan berupa pelaku akan melarikan diri sehingga tidak tertangkap, dan dengan alasan sebagai perintah undangundang, Kasmin Nadeak yang telah melempar tembakan peringatan sebanyak 3 (tiga) kali, namun tetap tidak diindahkan oleh Tersangka, dan tetap melarikan diri adalah telah sesuai dengan keadaan yang membolehkan pertama tadi yakni untuk mencegah tersangka melarikan diri. Namun dikarenakan
tembakan
yang
tidak
tepat
sasaran
yakni
seharusnya
ditembakkan ke arah kaki tersangka yang tujuannya untuk melumpuhkan tersangka, Kasmin Nadeak telah melakukan kelalaian karena telah menembak tersangka tidak pada bagian yang melumpuhkan dimana hal tersebut tidak sesuai prosedur penggunaan senjata api. Kedua, jika dilakukan sebagai bentuk pertahanan diri yakni sebagai dasar pemaaf atas bela paksa (noodweer) dan perlawanan untuk melindungi nyawa dan tubuh bagi diri Kasmin Nadeak maupun petugas (saksi) harus
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
dilakukan secara proporsional. Sepanjang dapat dibuktikan bahwa tindakan yang dilakukan telah proporsional dan memang dapat dipandang sebagai tindakan terakhir yang dapat dilakukan, perbuatan Kasmin Nadeak dapat dimasukkan ke dalam bela paksa. Namun, jika perlawanan pada akhirnya melebihi daripada pembelaan yang seharusnya dilakukan, dapatlah dipandang sebagai bela paksa lampau batas (noodweer exess). Oleh karena itu, aturan penjahat yang melarikan diri, dimana Kasmin Nadeak dapat melakukan kekuatan senjata api untuk melumpuhkan tersangka, sehubungan dengan tugas dan kewajiban polisi dalam mencegah dan/atau menghentikan tersangka yang melarikan diri. Kedaan melarikan diri menuntut kecakapan dan keterampilan yang tinggi bagi polisi dalam menggunakan senjata api. Jika Kasmin Nadeak mendalilkan penggunaan senjata api untuk menghentikan tersangka yang melarikan diri adalah tidak masuk akal (reasonableness), kecuali Kasmin Nadeak dapat membuktikan dengan alasan kuat untuk percaya bahwa individu ini berbahaya baik polisi maupun masyarakat.19 Hal ini sebagaimaa diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c Perkapolri 1/2009 dimana keadaan ketika tersangka melarikan diri tidak cukup menjadi alasan untuk dapat digunakan senjata api, kecuali hal melarikan diri tersebut disertai dengan ancaman segera terhadap petugas atau masyarakat. Oleh karena itu, apabila melihat pada kasus tersebut, tidak tepat jika penggunaan senjata api dilakukan untuk mencegah tersangka melarikan diri sepanjang masih dapat dilakukan alternatif lainnya yang menuntut keahlian dan keterampilan taktik seorang penyidik Polri dalam melakukan penangkapan.20 b.
Penggunaan senjata api oleh penyidik harus memenuhi asas proporsional dan subsidaritas. Di dalam putusan tersebut dapat dilihat bahwa penyidik harus dilihat dasar legalitasnya dimulai dari izin penggunaan senjata apinya, dan setiap tindakan yang diambil harus berdasarkan peraturan perundang-undangan
19
Ensiklopedi Ilmu Kepolisian, Op.Cit., hlm. 234.
20
Kepala Kepolisian Republik Indonesia (e), Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Pengawasan Penangkapan, Perkapolri No. 12 Tahun 2009, Ps. 75.
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
yang berlaku yakni dalam hal ini UU No. 2/2002, Perkapolri No. 1/2009 dan Perkapolri
No.
8/2009.
Didalam
putusan
tersebut
hakim
tidak
mempertimbangkan perbuatan yang dilakukan oleh penyidik berdasarkan Perkapolri tersebut, sehingga dalam analisis ini akan dikaitkan setiap tindakannya dengan peraturan-peraturan tersebut. Pertama mengenai asas proporsional, terlebih dahulu harus diketahui bahwa senjata api merupakan alat kekuatan yang mematikan yang berbeda halnya dengan pisau panjang, belati, dan pipa timbal. Bukan hanya secara secara fungsional berbeda, namun senjata api hanya dapat digunakan oleh seorang ahli, melalui pelatihan dan berdasarkan izin penggunaan senjata api. Karena karakter yang berbeda itulah, penggunaan senjata api bukan merupakan bentuk perlawanan yang seimbang jika digunakan untuk melawan penggunaan senjata tajam. Oleh karena itu, jika alat yang digunakan oleh korban itu kayu yang ujungnya diruncingkan seperti yang diutarakan dalam surat dakwaan atau parang seperti yang disampaikan oleh salah satu penyidik (saksi) tidaklah dapat dikatakan proporsional jika dilawan dengan menggunakan senjata api. Hal ini lah yang dikatakan oleh HazewinkelSuringa bahwa Apabila pembelaan itu tidak pantas atau dengan meggunakan alat yang tidak proporsional, maka hal itu tidak dapat dijadikan sebagai alasan penghapus pidana. Selain mengenai alat yang digunakan, aspek dari asas proporsional adalah kapan tindakan tersangka dalam memberikan ancaman serangan atau serangan kepada petugas atau masyarakat dapat dikatakan proporsional dengan serangan yang diberikan oleh petugas dalam rangka melakukan pembelaan diri. Yakni dapat dilihat dari apa yang disampaikan sebelumnya oleh Kombes Moh. Hendra bahwa ancaman ketika melihat tersangka membawa senjata tajam bukan merupakan ancaman serangan yang sifatnya segera dan membahayakan jiwa atau tubuh petugas atau masyarakat, jika tersangka belum mengeluarkan dan mengarahkan senjata tajam tersebut ke arah petugas atau masyarakat.21
21
Kombespol. Moh. Hendra, Op.Cit.
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
Kedua mengenai asas nesesitas dapat dilihat berdasarkan keterangan saksi-saksi yang juga merupakan penyidik yang ditugaskan menangkap tersangka (putusan korban), masih dapat dilakukan alternatif lainnya dimana peristiwa yang terjadi berdasarkan keterangan para saksi dalam tahap pembuktian dapat digambarkan sebagai berikut: Kedua, asas nesesitas atau dikenal sebagai asas subsidaritas dalam peristilahan hukum pidana, sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 5 Perkapolri 1/2009, Kasmin Nadeak harus menggunakan alternatif dalam penggunaan kekuatan kepolisian sebelum menggunakan kendali menggunakan senjata api. Kecuali, apabila Kasmin Nadeak menggunakan senjata api untuk menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat sebagaimana Pasal 8 Perkapolri 1/2009. Situasi pada skema di atas menunjukkan adanya alternatif yang dapat dilakukan oleh Kasmin Nadeak bahwa terdapat 4 (empat) orang penyidik yang ditugaskan untuk menangkap korban dan korban sudah dalam keadaan terkepung, sehingga risiko bagi tersangka untuk melarikan diri dapat dihindari. Jika berdasarkan tindakan yang berdasarkan prinsip masuk akal (reasonableness), yang mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahayanya bagi masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Perkapolri 1/2009, Kasmin Nadeak seyogyanya tidak menembak tersangka dengan alasan mencegah tersangka untuk melarikan diri. Selain jumlah petugas, Kasmin Nadeak seharusnya menggunakan alternatif penggunaan kekuatan tersebut sesuai tingkatan bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau tersangka dengan memperhatikan prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, seperti perintah lisan berupa teriakan “Berhenti saya POLISI, jangan bergerak” dan meneriakkan “demi undang-undang saudara sudah dikepung, diperintahkan untuk menyerahkan diri” kemudian apabila tidak dihiraukan dapat dilakukan kendali tangan kosong lunak, kendali tangan kosong yang bersifat keras berupa kendali senjata tumpul. Tindakan-tindakan alternatif tersebut yang harus dilakukan terlebih dahulu, dan berdasarkan keterangan-keterangan para saksi yang juga petugas yang bersama-sama menangkap tersangka bersama dengan Kasmin
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
Nadeak tidak melakukan upaya alternatif tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 Perkapolri 8/2009. Kasmin Nadeak dalam menghadapi ancaman kekerasan harus melakukan analisis risiko sehingga dapat diketahui tingkat kekerasan yang dapat dilakukan terhadap ancaman serangan yang dilakukan tersangka, kemudian kehadiran aparat polisi baik dalam kuantitas dan kualitas dimana dapat memberikan bantuan teknis maupun taktis agar dapat dicegah dilakukannya tingkat kekerasan senjata api, setelah itu negoisasi yakni mengkomunikasikan secara efektif dan sadar kepada tersangka, baru kemudian jika komunikasi tidak berhasil, dapat dilakukan tindakan melumpuhkan yang proporsional dengan ancaman serangannya, berupa melumpuhkan dengan tongkat atau benda yang sifat dan risikonya seimbang dengan alat yang digunakan oleh tersangka. Hal tersebut berbeda apabila terjadi perlawanan yang signifikan berbahaya terhadap nyawa atau tubuh Kasmin Nadeak atau petugas lainnya atau masyarakat sekitar dengan mempertimbangkan indikator tertentu pula. Dimana, berdasarkan keterangan para saksi yang ada di dalam putusan tidak menunjukkan adanya tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat dan masih terdapat alternatif
lain
yang
beralasan
dan
masuk
akal
untuk
menghentikan
tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut. Kemudian hal alternatif tindakan tadi memberikan opsi bahwa menggunakan senjata api bukanlah satu-satunya cara bagi Kasmin Nadeak untuk menghindari dari bahaya yang mengancam. Dimana masih ada tindak atau cara lain selain menggunakan kekuatan senjata api dalam menghindarkan diri dari ancaman bahaya yang akan terjadi baik terhadap Kasmin Nadeak maupun petugas lainnya. Putusan Kasmin Nadeak merupakan salah satu contoh perlindungan hukum pidana terhadap korban yang mengalami penembakan saat penangkapan oleh Penyidik Polri. Pada prinsipnya perlindungan hukum merupakan salah satu hal yang ingin dicapai dalam suatu proses peradilan pidana, dimana paradigma yang berkembang sekarang adalah orientasi peradilan pidana tidak lagi bertumpu pada penghukuman terdakwa semata. Putusan peradilan pidana harus memuat
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
pertimbangan-pertimbangan hukum yang lengkap22 berdasarkan ketentuan pidana yang berlaku. Hal inilah yang mengharuskan hakim sebagai pelaksana badan peradilan untuk menggali hukum dalam mempertimbangkan dan memutus pelanggaran pidana yang dilakukan oleh oknum polisi. Putusan pidana yang diambil merupakan salah satu contoh pelanggaran pidana yang dilakukan oleh seorang anggota Polri, namun dalam pertimbangan hukumnya hakim tidak mempertimbangkan kedudukannya sebagai seorang penyidik, sehingga pengaturan mengenai penggunaan kekuatan senjata api oleh anggota Polri tidak dipertimbangkan dalam putusan. Padahal Perkapolri 1/2009 dan Perkapolri 8/2009 telah ada sejak tahun 2009, dan perkara yang ditangani oleh Putusan Kasmin Nadeak adalah tahun 2010. Hakim seyogyanya mempertimbangkan peraturan tersebut seperti di dalam putusan Pengadilan Negeri Marabahan Nomor : 93/Pid.B/2012/PN.Mrb atas nama Terdakwa Rivani Bin Dupiani. Hal ini sesuai dengan latar belakang lahirnya KUHAP dimana penegak hukum selayaknya melaksanakan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, dan pelaksanaan kepastian dan keadilan dalam hukum. Oleh karena itu, pertimbangan hakim dalam memutus anggota Polri yang melakukan pelanggaran haruslah mempertimbangkan kedudukan, fungsi dan wewenangnya sebagai seorang polisi, agar dapat memenuhi asas kepastian hukum juga memberikan pengetahuan hukum bagi korban, terlebih lagi keadilan bagi keduanya. Penutup 5.1. Simpulan a. Prosedur penggunaan senjata api oleh penyidik saat melakukan upaya paksa penangkapan terhadap tersangka berdasarkan Peraturan Kepolisian NRI Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia terdiri atas penggunaan kekuatan senjata api dalam tindakan kepolisian menurut 22
Yahya Harahap, Op.Cit., hlm.361.
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
Pasal 2 ayat (2) Perkapolri 1/2009 hanya ditujukan untuk mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka yang sedang berupaya atau sedang melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum; mencegah pelaku kejahatan atau tersangka melarikan diri atau melakukan tindakan yang membahayakan anggota Polri atau masyarakat; melindungi diri atau masyarakat dari ancaman perbuatan atau perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menimbulkan luka parah atau mematikan; atau melindungi kehormatan kesusilaan atau harta benda diri sendiri atau masyarakat dari serangan yang
membahayakan.
Berdasarkan Pasal
47
Perkapolri
8/2009 disebutkan bahwa penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia baik itu petugas maupun orang lain, dimana hal-hal keadaannya terdiri atas keadaan membela diri (noodweer) dan keadaan yang diperintahkan oleh undang-undang, yang mana penggunaan senjata api tersebut harus dilakukan dengan memenuhi asas proporsionalitas dan asas subsidaritas. Adapun keadaan dapat digunakan senjata api harus terlebih dahulu didahului oleh tindakan alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut sebelum menembakkan tembakan peringatan sebanyak 3 (tiga) kali ke udara. b. Upaya perlindungan hukum yang dapat dilakukan oleh korban akibat tindakan pelaku studi kasus putusan Nomor 290/PID.B/2011/PN.Sbg atas nama Terdakwa Kasmin Nadeak adalah menyelesaikan perkara melalui lembaga peradilan pidana. Dimana dalam penangkapan yang dilakukan oleh Kasmin Nadeak Perlindungan hukum yang diberikan melalui proses peradilan pidana, tidak hanya secara filosofis memenuhi kepastian hukum namun juga di dalam putusan peradilan pidana memberikan alasan-alasan hukum dalam putusan pengadilan yang nantinya akan memuaskan pihak korban (juga keluarga) dan pihak terdakwa. Selain daripada itu, putusan peradilan pidana menjadi dasar bagi perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada korban berupa dijatuhkannya sanksi
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
administratif pada tersangka yang telah terbukti melakukan suatu tindak pidana. 5.2. Saran a. Hakim harus menggali hukum dan mengetahui hukum yang berlaku bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran hukum pidana dalam menggunakan
senjata
api
saat
penangkapan
tersangka,
dimana
pengaturan mengenai senjata api telah diatur di dalam Perkapolri 1/2009 dan Perkapolri 8/2009, sehingga hakim dapat mempertimbangkan dengan sah tidaknya penembakan yang dilakukan oleh anggota Polri tersebut, dimana untuk dapat memutuskan tindakan penyidik dalam menggunakan senjata api, pengadilan harus mempertimbangkan asas legalitas, asas nesesitas, asas proporsionalitas, dan alasan yang masuk akal sebagai dasar bagi pelaku dalam menggunakan kekuatan senjata api. b. Dikarenakan alat kekuatan senjata api merupakan alat yang diperlukan penggunaannya bagi penyidik ketika menangkap tersangka, penggunaan senjata api harus digunakan seminimal mungkin hanya untuk keadaankeadaan tertentu sebagaimana dimaksudkan oleh peraturan yang berlaku, dan pelanggaran terhadap hal tersebut ketika menjatuhkan korban harus mendapat perlindungan hukum pidana, dan jika terbukti nantinya institusi Kepolisian yang berwenang hendaknya menjalankan sanksi yang tegas berupa sanksi administratif terhadap anggota Polri. c. Pengawasan internal Polri perlu dilakukan oleh Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum), Profesi dan Pengamanan (Propam) dan Inspektur Pengawasan Daerah (Irwasda) dan pengawasan eksternal khususnya dari Kompolnas,
Dewan
Perwakilan
Rakyat
(DPR),
lembaga
swadaya
masyarakat (LSM), pers dan kekuatan sipil lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Buku Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme. Jakarta: Binacipta, 1996.
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, ed.2, cet.11. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Jurnal Goldkamp, John S. “Minorities As Victims Of Police Shootings: Interpretation Of Racial Disproportionality And Police Use Deadly Force”, The justice System Journal, Vol. 2, No. 2 (1976), National Center For State Courts: 169-183. Publications, Amnesty International. Urusan Yang Belum Selesai: Akuntabilitas Polisi di Indonesia, United Kingdom, London:Amnesty International, June 2009: 1-91. Undang-Undang Indonesia, Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia. UU No. 2 Tahun 2002. LN No. 02 Tahun 2002. TLN. No. 4168. Indonesia, Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1982. LN No. 76 Tahun 1981. Indonesia, Undang-Undang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). UU No. 12 Tahun 2005. LN No. 119 Tahun 2005. TLN. No. Kepolisian Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perkapolri No. 8 Tahun 2009. BN No. 150. Tahun 2009. Kepolisian Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Perkapolri No. 1 Tahun 2009. BN No. 6. Tahun 2009. Internet Indonesia, Media. “Polisi Tembak Mati Dua Tersangka Curanmor”, http://www.yiela.com/view/372937/polisi-tembak-mati-dua-tersangkacuranmor. Diunduh 13 Februari 2012.
Perlindungan hukum..., Lubis, Fitri Handayanti, FH UI, 2013