DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN TERDAKWA SEBAGAI JUSTICE COLLABORATOR (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 485 K/Pid.Sus/2013)
Dwi Adi Utomo, Iwan, Rizal Habi Nugroho
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui mengenai kedudukan justice collaborator dalam peraturan hukum di Indonesia dan pertimbangan hakim dalam menetapkan seorang terdakwa sebagai justice collaborator. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif bersifat preskriptif dan terapan. Jenis data meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan sumber hukumnya dilakukan dengan studi kepustakaan/ studi dokumen pada buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen dan cyber media. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan penulis adalah deduksi silogisme. Penelitian ini fokus pada kasus korupsi yang dilakukan oleh Drs. Yan Lamba yang berkedudukan sebagai Sekertaris Daerah kota. Tomohon dituduh telah menyalahi kewenangan dengan melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama Walikota Tomohon yaitu Jefferson Soleiman Montesqiu Rumajar, S.E.. Hasil penelitian menunjukkan pertimbangan hakim dalam menetapkan seorang terdakwa sebagai justice collaborator mengacu pada SEMA RI Nomor : 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator. Pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 485 K/Pid.Sus/2013 menyatakan bahwa putusan Pengadilan Tinggi Manado telah tepat dalam pertimbangan dan putusannya, yang menyatakan terdakwa Drs. Yan Lamba tidak dapat dikategorikan sebagai whistle blower atau justice collaborator sebagaimana dimaksud SEMA No. 4 Tahun 2011. Terdakwa tidak dapat dikategorikan sebagai justice collaborator karena merupakan pelaku utama. Kasasi Penasihat Hukum terdakwa ditolak karena karena pada inti memori kasasinya adalah meminta penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan dan terkait berat ringannya hukuman bagi terdakwa, hal-hal tersebut tidak dibenarkan undang-undang untuk dijadikan alasan kasasi karena itu merupakan wewenang judex factie. Kata Kunci : Pertimbangan , Hakim, Terdakwa, Justice Collaborator Abstract This study aimed to find out the position of justice collaborator in Indonesian legislation and the judge’s rationale in assigning a defendant to be justice collaborator. This study was a normative law research that was prescriptive and applied in nature. The type of dataincluded primary and secondary law materials. Technique of collecting legal sources used was library study/document study on 1
literature, legislation, document, and cyber media. Technique of analyzing law material used by the writer was syllogism deduction. The result of research showed that the judge’s rationale in assigning a defendant to be justice collaborator referred to SEMA RI Number: 04 of 2011 about the Treatment to Whistleblower and Justice Collaborator. Consideration of judges in Supreme Court of Replublic of Indonesia Number : 485 K / Pid.Sus / 2013 stated that High Court in Manado was right in case of its consideration and decision, stating the defendant Drs. Yan Lamba can not be categorized as a whistle-blower or justice collaborator referred SEMA Number : 4 of 2011. Drs. Yan Lamba where he serves as the Regional Secretary Tomohon accused of having violated the authority to engage in corrupt activities together Tomohon mayor is Jefferson Soleiman Montesqiu Rumajar, SE. The defendant could not be categorized into justice collaborator because the essence of his appeal memory was to ask for an assessment on the authentication result rewarding a reality and related to the severity of punishment for the defendant, all of which were not justified by the law to be the reason of appeal to the Supreme Court because it was a judex factie authority. Keywords: Rationale, Judge, Defendant, Justice Collaborator A. Pendahuluan Negara Indonesia adalah Negara Hukum, sebagaimana telah tercantum dalam Pasal 1 ayat 3 UUD RI 1945. Dalam mewujudkan negara hukum tersebut tentunya perlu adanya suatu penegakan hukum yang bagus. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum. Keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiranpikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturanperaturan hukum itu, kemudian dari peraturan hukum itu akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan (Satjipto Rahardjo, 1993 : 116). Penegakan hukum yang berkualitas tentunya diperlukan pula para aparat penegak hukum yang berkualitas. Aparat penegak hukum tersebut antara lain polisi, jaksa, dan hakim, demi tegaknya hukum tersebut dalam prakteknya seringkali ditemukan suatu terobosan hukum atau strategi yang digunakan dalam penegakan hukum. Terobosan hukum tersebut, seperti pemberian status justice collaborator (Saksi Pelaku yang Bekerjasama) kepada salah satu terdakwa dalam tindak pidana tertentu yang bersifat serius seperti tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan
2
orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir. Sebenarnya istilah justice collaborator (Saksi Pelaku yang Bekerjasama) dalam praktek hukum acara pidana bukan hal yang asing lagi, karena istilah justice collaborator (Saksi Pelaku yang Bekerjasama) mirip dengan istilah “saksi mahkota yang juga merupakan seorang terdakwa (biasanya paling ringan kesalahannya) dijadikan (dilantik) menjadi saksi Seperti diberi mahkota, yang tidak akan dijadikan terdakwa lagi” (Andi Hamzah, 2005 : 162). Penulisan hukum ini mengkaji putusan dengan terdakwa yang bernama Drs. Yan Lamba sebagai Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Tomohon dan sebagai Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Tomohon, dalam kasus tindak pidana korupsi yang telah membatu aparat penyidik untuk dalam mengungkap kasus korupsi yang dilakukannya bersama-sama dengan Jefferson Soleiman Montesqieu Rumajar, S.E. selaku Walikota Tomohon, Frans A. Sambow selaku Bendahara Umum Kota Tomohon dan Eduard F. Paat selaku Bendahara Sekretariat Daerah Kota Tomohon (masing-masing perkaranya disidangkan secara terpisah dalam berkas perkara sendiri). Namun baik dalam proses persidangan pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Manado sampai tingkat banding di Pengadilan Tinggi Manado tidak ada putusan hakim yang menyinggung terkait masalah justice collaborator atau setidak-tidaknya upaya pemberian reward berupa keringanan hukuman kepada terdakwa atas upaya kerja sama dari terdakwa tersebut, dan baru disinggung pada tingkat kasasi dimana ada salah satu memori kasasi penasihat hukum dari Terdakwa yang menyinggung masalah tidak diperhatikannya SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 04 Tahun 2011 tanggal 10 Agustus 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana tertentu.
3
Berdasarkan kasus tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penulisan hukum
dengan
judul
DASAR
PERTIMBANGAN
HAKIM
DALAM
MENETAPKAN TERDAKWA SEBAGAI JUSTICE COLLABORATOR (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 485 K/Pid.Sus/2013).
B. Rumusan Masalah Untuk dapat memperjelas tentang permasalahan yang ada agar pembahasannya lebih terarah dan sesuai dengan tujuan serta sasaran yang diharapkan, maka penting sekali adanya perumusan masalah yang akan dibahas. Perumusan masalah juga akan memudahkan penulis dalam pengumpulan bahan hukum, menyusun bahan hukum dan menganalisisnya, sehingga penelitian dapat dilakukan secara mendalam dan sesuai dengan sasaran yang telah ditentukan. Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah dasar pertimbangan Hakim dalam menetapkan seorang Terdakwa sebagai Justice Collaborator berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI nomor: 485 K/Pid.Sus/2013 ?
C. Analisis 1. Kasus Posisi Dalam tahun 2006 serta tahun 2007 dan tahun 2008 terdakwa Drs. Yan Lamba selaku Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah dan selaku Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Tomohon dan saksi Frans A. Sambow selaku Kuasa Bendahara Umum Daerah (BUD), saksi Eduard F. Paat selaku Bendahara Pengeluaran Sekretaris Daerah Kota Tomohon, serta staf pelaksana lainnya atas permintaan saksi Jefferson Soleiman Montesqiu Rumajar, S.E. selaku Walikota Tomohon periode 2005-2010, dengan sengaja berulang kali mencairkan Kas Daerah Pemerintah Kota Tomohon dan menggunkan Anggaran Belanja Bantuan Sosial yang disimpan pada Bank Sulawesi Utara (Sulut) cabang Tomohon,
4
yaitu keuangan daerah yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) dengan rekening nomor 009.01.12.000002-1, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan nomor rekening 009.01.14.040001-5, maupun Dana Bagi Hasil dengan nomor rekening 009.01.12.000004-4, untuk tujuan-tujuan lain dari yang ditetapkan dalam APBD Pemerintah Kota Tomohon yaitu untuk kepentingan pribadi saksi Jefferson Soleiman Montesqiu Rumajar, S.E. Drs. Yan Lamba mencairkan uang dari Kas Daerah tanpa Surat Permintaan Membayar (SPM), Surat Permintaan Pembayaran (SPP) dan Surat Permintaan Pencairan Dana (SP2D). Terdakwa mengambil uang Kas Daerah Tomohon dengan tanpa menggunakan prosedur yang diatur dalam UndangUndang serta memperkaya diri sendiri atau orang lain yaitu Jefferson S.M. Rumajar, S.E. telah mengakibatkan kerugian keuangan Negara sebasar Rp 31.617.55o.600,00 sesuai laporan hasil perhitungan dari BPK No. 23/HP/XIX/12/2010 tanggal 03 Desember 2010. Uang tersebut diberikan kepada Jefferson S.M. Rumajar, S.E. selaku Walikota Tomohon dan uang tersebut oleh Jefferson S.M. Rumajar, S.E. dipergunakan untuk membeli mobil mewah dan apartemen serta untuk membeli valuta asing.
a. Identitas Terdakwa Nama lengkap
: Drs. Yan Lamba
Tempat lahir
: Toraja
Umur/ Tanggal lahir
: 50 tahun/ 14 Januari 1961
Jenis kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat tinggal
: Kelurahan Matani II Lingkungan VII, Tomohon Tengah, Kota Tomohon Sulawesi Utara
Agama
: Kristen Prostetan
Pekerjaan
: Pegawai Negeri Sipil
5
2. Amar Putusan a. Amar
Putusan
Pengadilan
Negeri
Manado
No.
15/Pid.Sus/2012/PN.Mdo tanggal 07 November 2012 1) Menyatakan terdakwa Drs. Yan Lamba tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primair. 2) Membebaskan terdakwa Drs. Yan Lamba oleh karena itu dari dakwaan primair tersebut. 3) Menyatakan terdakwa Drs. Yan Lamba telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan beberapa tindak pidana korupsi sejenis dan berdiri sendiri-sendiri secara bersama-sama sebagaimana dakwaan subsidair. 4) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Drs. Yan Lamba tersebut dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan 4 (empat) bulan dan denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. 5) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. 6) Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan. 7) Menetapkan agar barang bukti dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dipergunakan perkala lain. 8) Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam perkara ini sebesar Rp5.000,00 (lima ribu rupiah).
b. Amar Putusan Pengadilan Negeri Manado No. 30/Pid.Sus/2012/PT. Mdo tanggal 10 Januari 2013 a) Menyatakan terdakwa Drs. Yan Lamba telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi Secara Bersama-sama”.
6
b) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat)
tahun
dan
6
(enam)
bulan
dan
denda
sebesar
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan. c) Menetapkan
masa
penahanan
yang
telah
dijalani
terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. d) Memerintahkan agar terdakwa tetap berada di dalam tahanan. e) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. f) Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam perkara ini sebesar Rp5.000,00 (lima ribu rupiah). c. Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No. 485 K/Pid.Sus/2013 tanggal 14 Mei 2013 a) Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa : Drs. Yan Lamba b) Membebankan Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
3. Pembahasan Pengertian Justice Collaborator secara yuridis dapat ditemukan pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator. Justice Collaborator adalah seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan. Konsep dasar Justice Collaborator adalah upaya bersama untuk mencari kebenaran dalam rangka mengungkap keadilan yang hendak disampaikan kepada masyarakat. Untuk menjadi seorang Justice Collaborator mempunyai syarat antara lain pelaku bukan pelaku utama, keterangan yang
7
diberikan haruslah jelas dan memiliki korelasi yang dinilai layak untuk ditindaklanjuti.
Dalam
Surat
Keputusan
Bersama
antara
Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia dan Mahkamah Agung, Justice Collaborator adalah seorang saksi yang juga merupakan pelaku, namun mau bekerjasama dengan penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) No. 4 Tahun 2011, memberikan
pedoman
untuk
menentukan
seseorang
sebagai
justice
collaborator, yaitu : a. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. b. Jaksa penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan asetaset/hasil suatu tindak pidana. c. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerjasama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut : 1) Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau 2) Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara dimaksud. Peran seorang justice collaborator mensyaratkan suatu kerja sama dengan aparat penegak hukum dalam konteks sebagai pintu pembuka bagi
8
terungkapnya semua pelaku kejahatan dalam kasus yang sama. Karena itu, peran justice collaborator seringkali sangat strategis, terutama dalam mengungkap kejahatan-kejahatan terorganisir (organized crimes) seperti korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang serta tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisasi dan biasanya dilakukan pelaku berdasi atau dikenal sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime) (Maharani Siti Shopia, 2013: 23). Bentuk penanganan secara khusus terhadap justice collaborator diberikan dalam bentuk : pemisahan tempat penahanan dari tersangka kejahatan lain yang diungkap justice collaborator, pemberkasan perkara yang sedapat mungkin dilakukan secara terpisah dengan tersangka dan/atau terdakwa lain dalam perkara pidana yang dilaporkan/ diungkap, penundaan penuntutan, penundaan proses hukum, hingga memberikan kesaksian didepan persidangan tanpa menunjukkan wajah atau identitasnya. Adapun bentuk penghargaan yang dapat diberikan kepada justice collaborator berupa : keringanan tuntutan hukuman, pemberian remisi tambahan dan hak-hak narapidana lain yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti pembebasan bersyarat, dan dijatuhkan hukuman pidana percobaan atau dijatuhkan pidana berupa pidana penjara yang lebih ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud (Maharani Siti Shopia, 2013 : 23). Dalam penulisan hukum ini penulis menganalisis mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan seorang terdakwa sebagai justice collaborator (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 485 K/Pid.Sus/2013). Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor : 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator. Justice Collaborator dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan.
9
Pasal 253 KUHAP menyebutkan bahwa pada dasarnya pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248, guna menentukan : a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; c. Apakah benar pengadilan telah melampui batas wewenangnya. Terkait kasasi yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa menurut pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung RI tidak dapat dibenarkan. Pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 485 K/Pid.Sus/2013 menyatakan bahwa putusan Pengadilan Tinggi Manado telah tepat dalam pertimbangan dan putusannya, yang menyatakan terdakwa Drs. Yan Lamba tidak dapat dikategorikan sebagai whistle blower atau justice collaborator sebagaimana dimaksud SEMA No. 4 Tahun 2011. Terdakwa adalah pelaku utama yang mencairkan Kas Daerah Pemerintah Kota Tomohon dan menggunkan Anggaran Belanja Bantuan Sosial untuk tujuan-tujuan lain dari yang ditetapkan dalam APBD Pemerintah Kota Tomohon. Perbuatan terdakwa merupakan perbuatan melawan hukum karena mengambil uang Kas Daerah Tomohon dengan tanpa menggunakan prosedur yang diatur dalam Undang-Undang serta memperkaya diri sendiri atau orang lain yaitu Jefferson S.M. Rumajar, S.E. telah mengakibatkan kerugian keuangan Negara sebasar Rp 31.617.55o.600,00 sesuai laporan hasil perhitungan dari BPK No. 23/HP/XIX/12/2010 tanggal 03 Desember 2010. Memori kasasi Penasihat Hukum Terdakwa pada dasarnya adalah meminta penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, penasihat hukum terdakwa berpendapat bahwa terdakwa layak dikategorikan sebagai justice collaborator dan berhak mendapatkan keringanan hukuman atas kerjasama terdakwa dengan petugas kepolisian guna
10
menangkap terdakwa lain yaitu Jefferson Soleiman Montesqiu Rumajar. Namun keberatan atas penilaian pembuktian pada dasarnya termasuk diluar alasan kasasi yang dibenarkan Pasal 253 ayat (1), oleh karena itu Mahkamah Agung tidak berhak menilainya dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Lagi pula judex factie atau pengadilan juga tidak salah menerapkan hukum, alasan keberatan kasasi semacam itu hanya dapat dibenarkan oleh Mahkamah Agung hanya bila atas alasan judex factie telah melanggar sistem dan batas minimal pembuktian, karena pengadilan telah menjatuhkan pemidanaan tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup, padahal Pasal 294 HIR telah menentukaan sistem dan batas minimum pembuktian. Pasal tersebut menegaskan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa kecuali jika kesalahannya dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Pasal 300 HIR juga menjelaskan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Ketentuan-ketentuan inilah yang dilanggar hakim, tapi dalam kasus tersebut putusan judex factie sudah telah memenuhi ketentuan sistem dan minimal pembuktian (M. Yahya Harahap, 2012 : 568569). Hakim berpendapat bahwa keberatan mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang–undang, dan pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (Undang–Undang No.8 Tahun 1981). Dalam kasus tersebut putusan judex factie masih sama tidak ada pengurangan hukuman yang drastis ketika diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Manado dan masih dalam batas ancaman hukuman minimum atau maksimum sebagaimana tercantum dalam
11
Pasal 3 jo Pasal 18 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga dengan pertimbangan tersebut wajar bila Mahkamah Agung menolak kasasi dari penasihat hukum terdakwa. Terkait berat ringannya hukuman bagi terdakwa itu juga tidak dibenarkan undang-undang untuk dijadikan alasan kasasi karena itu juga merupakan wewenang judex factie, sepanjang hukuman itu masih dalam batas ancaman hukuman minimum atau maksimum. Akan tetapi kalau terjadi pengurangan hukuman sedemikian rupa secara drastis tanpa disertai dasar alasan pertimbangan ditinjau dari segi kejahatan yang dilakukan terdakwa, terhadap pengurangan hukuman yang seperti itu dapat dibenarkan sebagai alasan kasasi (M. Yahya Harahap, 2012 : 572). Pada dasarnya terkait dengan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan, Pasal 197 angka (1) huruf (f) Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana menegaskan bahwa surat putusan pemidanaan memuat pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, “disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa. Beberapa hal yang dapat meringankan terdakwa antara lain: tidak berbelit-belit, kooperatif, belum pernah dihukum, berusia masih muda, berkelakuan baik atau sopan selama persidangan di pengadilan, atau memiliki tanggungan
anak
dan
istri
(www.komisihukum.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id= 151:esensi-justice-collaborators&catid=163&Itemid=619). Posisi
sebagai
justice
collaborator
tidak
dapat
serta-merta
dihubungkan dengan upaya untuk memperoleh keringanan hukuman. Sekiranya hakim memberikan keringanan hukuman, itu adalah berdasarkan hal-hal tersebut di atas, bukan karena setelah menerima tawaran untuk menjadi justice collaborator. Sikap kooperatif seorang terdakwa sudah cukup
12
menjadi dasar bagi hakim untuk memberikan keringanan hukuman. Jadi spirit penerapan justice collaborator diletakkan dalam konteks untuk membongkar kejahatan yang lebih besar, bukan sebagai alat negoisasi pihak-pihak yang berkepentingan.
D. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan seorang terdakwa sebagai justice collaborator mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor : 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator. Terdakwa tidak dapat dikategorikan sebagai justice collaborator karena merupakan pelaku utama dalam mencairkan Kas Daerah Pemerintah Kota Tomohon dan menggunkan Anggaran Belanja Bantuan Sosial untuk tujuan-tujuan lain dari yang ditetapkan dalam APBD Pemerintah Kota Tomoho sehingga tidak berhak mendapatkan keringanan hukuman. Memori kasasi Penasihat Hukum Terdakwa pada dasarnya adalah meminta penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan dan terkait berat ringannya hukuman bagi terdakwa, hal-hal tersebut tidak dibenarkan undang-undang untuk dijadikan alasan kasasi karena itu merupakan wewenang judex factie. Putusan judex factie dalam perkara ini juga tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut ditolak oleh Majelis Hakim Agung.
2. Saran a. Terkait dengan hal di atas, mendesak untuk segera disusun peraturan khusus
mengenai
justice
collaborator
sehingga
tidak
hanya
berlandaskan pada tafsiran SEMA No. 4 Tahun 2011; b. Supaya dalam pemeriksaan judex factie majelis hakim lebih menghargai sikap kooperatif terdakwa, yang telah bekerjasama dengan
13
penyidik guna menangkap terdakwa lainnya. Walaupun terdakwa bukan merupakan justice collaborator; c. agar penerapan justice collaborator diletakkan dalam konteks untuk membongkar kejahatan yang lebih besar, bukan sebagai alat negosiasi pihak-pihak yang berkepentingan.
E. Persantunan Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: Ibu Zakki Adliyati, S.H.,L.LM selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam membuat penulisan hukum.
Daftar Pustaka Buku Hamzah, Andi. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Harahap, M. Yahya. 2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemerikasaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Rahardjo, Satjipto. 1993. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman.
Buletin : Shopia, Maharani Siti. 2013. “Tahun Kinclong Justice Collaborator ”. Buletin KESAKSIAN.
Edisi Bulan Agustus 2013. Jakarta : LPSK (Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban).
Peraturan Perundangan-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
14
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. SEMA No.4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator).
Internet DR Franz H. Winarta, Komisi Hukum Nasional. Esensi Justice Collaborators. www.komisihukum.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id= 151:esensi-justice-collaborators&catid=163&Itemid=619
diakses
pada
tanggal 26 Juli 2014 pukul 22.00 WIB.
Alamat Korespondensi Dwi Adi Utomo (NIM.E0010122), Babadan RT 04/01, Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar. HP.085293588072. Email:
[email protected]
Iwan
(NIM.E0010195),
Tugu
Sari
RT
01/07,
Kamal,
Bulu,
Sukoharjo.
HP.085725233535. Email:
[email protected]
Rizal Habi Nugroho (NIM.E0010312), Ketekan, Temuwangi, Pedan, Klaten. HP.085726445556. Email:
[email protected]
15