PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANGGOTA POLRI TERHADAP PENGGUNAAN SENJATA API TANPA PROSEDUR (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai)
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH: MEI RINI NIM: 030200064 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANGGOTA POLRI TERHADAP PENGGUNAAN SENJATA API TANPA PROSEDUR (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: MEI RINI NIM : 030200064
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui oleh: Ketua Departemen
Abul Khair SH.M.Hum
Pembimbing I
Pembimbing II
Madiasa Ablisar,SH.M.Hum
M.Eka Putra,SH. M.Hum
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat kasih dan karunia-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “ Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur ( Studi Kasus terhadap Putusan PN BINJAI No. 23/Pid.B/2007/PN-Binjai).” Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam pembuatan skripsi ini penulis tidak sendirian, ada banyak pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada: 1. Bapak Prof. Runtung, S.H.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof.Suhaidi, S.H.M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin, S.H.M.Hum, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Muhammad Husni, S.H.M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara beserta seluruh dosen pengajar dan staf pegawai, yang mendukung penulis dalam perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Abul Khair, S.H.M.Hum selaku ketua Departemen Hukum Pidana, dan Ibu Nurmalawaty, S.H.M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum
i
3. Pidana, yang mendukung penulis dalam pemilahan judul dan penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. 4. Bapak Madiasa Ablisar, S.H.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang membimbing dan mendukung penulis dalam masa penulisan sampai penyelesaian skripsi ini. 5. Bapak M. Eka Putra, S.H.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang juga telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan skripsi ini hingga selesai. 6. Bapak Makdin Amrin Munthe, S.H.MH, selaku dosen wali penulis yang telah membimbing penulis selama menjalankan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 7. Kedua orang tua ku, J. Marpaung dan Mama R. Siahaan, untuk semua dukungannya baik moril dan materil dan untuk semua nasehat serta semangatnya, makasih ma, pak aku mengasihi kalian. Juga untuk adikadik ku: Ganda ( Jacky), Sanny, Donna dan si bungsu kami Novita. Aku mengasihi kalian semua, semangat ya belajarnya. 8. Semua teman-teman kuliah dan teman pelayanan yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Demikian skripsi ini penulis selesaikan, semoga bermanfaat. Sekian dan terima kasih. Medan, Desember 2007
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................
i
DAFTAR ISI .......................................................................................... ..
iii
ABSTRAKSI .......................................................................................... ..
vi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... ..
1
A. Latar Belakang ............................................................................. .
1
B. Perumusan Masalah .......................................................................
10
C. Tujuan Penulisan ....................................................................... .....
11
D. Manfaat Penulisan ...........................................................................
11
E. Keaslian Penulisan ....................................................................…..
12
F. Tinjauan Kepustakaan ..............................................................…..
12
1. Pengertian Dan Unsur-unsur Tindak Pidana.........................
12
2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana .........................…..
27
3. Pengertian Dan Jenis-jenis Senjata Api Yang Digunakan Oleh Aparat Kepolisian ...............................…..
34
4. Pengertian Anggota Polisi Negara Republik Indonesia... …..
35
G. Metode Penelitian ..................................................................... …..
36
H. Sistematika Penulisan ................................................................ …..
38
BAB II PENGATURAN KEPEMILIKAN SENJATA API BAGI ANGGOTA POLRI .................................................... …..
41
A. Anggota Polri Yang Berhak Memiliki Senjata Api Menurut Peraturan Yang Berlaku Dan Prosedur Kepemilikan Senjata Api Bagi Anggota Polri ............................................................. …..
iii
41
B. Prosedur Penggunaan Senjata Api Bagi Anggota Polri ............ …..
44
C. Tujuan Pengaturan Penggunaan Senjata Api Bagi Anggota Polri …
60
BAB III PENGGUNAAN SENJATA API YANG TIDAK SESUAI DENGAN PROSEDUR SEBAGAI SUATU TINDAK PIDANA ................................................. …..
65
A. Penggunaan Senjata Api Yang Tidak Sesuai Dengan Prosedur Sebagai Suatu Tindak Pidana ...................................... …..
65
B. Tindak Pidana Yang Ditimbulkan Oleh Penggunaan Senjata Api Yang Tidak Sesuai Dengan Prosedur ........................................ …..
72
C. Unsur Melawan Hukum Dari Penggunaan Senjata Api Yang Tidak Sesuai Dengan Prosedur ........................................…..
82
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGGUNAAN SENJATA API YANG TIDAK SESUAI DENGAN PROSEDUR ........................................................ …..
86
A. Pihak Yang Berwenang Melakukan Penyidikan Terhadap Penggunaan Senjata Api Yang Tidak Sesuai Dengan Prosedur ..…..
86
B. Pertanggungjawaban Pidana Dan Sanksi Pidana Penggunaan Senjata Api Yang Tidak Sesuai Dengan Prosedur ......................…..
94
C. Kasus Dan Tanggapan Kasus ....................................................…..
99
BAB V PENUTUP ..............................................................................…..
109
A. Kesimpulan ..............................................................................…..
109
B. Saran ........................................................................................…..
110
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
iv
ABSTRAKSI
Pengadaan kepolisian Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Akan tetapi dalam melaksanakan tugasnya tersebut, aparat kepolisian sering melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh aparat kepolisian ketika melaksanakan tugasnya adalah penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur. Salah satu dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian adalah memudarnya wibawa polisi yang mengarah kepada suatu instabilitas keamanan yang akan mendorong terjadinya tindakan anarkis dari masyarakat. Kasus penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur banyak terjadi di Sumatera Utara, salah satunya yang terjadi di daerah Binjai yang dilakukan oleh aparat kepolisian Binjai ketika sedang melaksanakan tugas menggerebek kawanan perampok. Akibat peristiwa ini seorang masyarakat sipil menjadi korban. Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan khususnya perundangundangan dan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan kepolisian. Sedangkan penelitian lapangan yaitu penelitian yang dilakukan dengan mendatangi objek penelitian untuk mengadakan wawancara. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa dokumen-dokumenresmi, buku-buku karya ilmiah pendapat sarjana, artikel-artikel dari majalah atau Koran dan data-data lainnya yang diperoleh melalui situs internet, kemudian data-data tersebut diolah secara kualitatif. Untuk menanggulangi terjadinya penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur, Dewan Umum PBB telah menetapkan suatu Resolusi tentang penggunaan kekerasan dan senjata api yaitu Resolusi 34/168 Dewan Umum PBB tentang Prinsip-prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api, dan sebagai salah satu negara anggota PBB, sebagaimana negara-negara anggota lainnya, Indonesia khususnya Polri mempunyai kewajiban untuk mengadopsi saran-saran PBB mengenai pelaksanaan tugas-tugas kepolisian di dunia khususnya yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar Hak Asasi Manusia bagi penegak hukum. Selain itu pemerintah juga telah membentuk suatu undangundang tentang kepolisian yang mengatur tentang pelaksanaan tugas kepolisian yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002. Untuk mengurangi dan mencegah terjadinya penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur, pemerintah dan lembaga kepolisian Republik Indonesia harus menindak dengan tegas setiap aparat yang menggunakan senjata api tidak sesuai dengan prosedur, bukan justru melindungi aparat tersebut dengan dalih dalam rangka melaksanakan tugas.
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pengadaan kepolisian oleh pemerintah Hindia Belanda di Indonesia menurut Ali Subur
dkk,
sebenarnya
lebih
didasari adanya kepentingan untuk
mengamankan tanah jajahan yang semakin meluas, dimana aparat kepolisian bertugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum untuk mengamankan kerja-kerja pemerintah kolonial. 1 Tidak ada keterangan yang cukup jelas mengenai kinerja kepolisian kolonial di Indonesia, terutama berkaitan dengan kerja-kerja polisionilnya. Di bawah kekuasaan gubernur jenderal, kepolisian kolonial barangkali dapat dianggap “sudah bekerja” secara profesional dimana mereka difungsikan untuk menumpas kerusuhan, kriminalitas, dan ancaman dalam negeri dengan perintah dan otoritas penuh gubernur jenderal. 2 Dalam administrasi pemerintah Kolonial, kepolisian ditempatkan di bawah Departemen Pemerintah Dalam Negeri (Departement van Binnenlandsch Bestuur) sebagai Dinas Kepolisian Umum (Dienst der Algemene Politie). Pada masa penjajahan Jepang, kepolisian dimasukkan dalam salah satu Departemen yang dipimpin oleh seorang Direktur Jepang, setelah sebelumnya terjadi penangkapan besar-besaran terhadap kepolisian berkebangsaan Belanda.
1
Ali Subur dkk, Pergulatan Profesionalisme Dan Watak Pretorian (Catatan Kontras Terhadap Kepolisian), Kontras, 2007, Hal.4 2 Ibid
1
Sistem kepolisian yang berlaku sepenuhnya merupakan sistem pemerintahan Militer Jepang. Beberapa waktu setelah Proklamasi kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan memutuskan untuk menempatkan kepolisian sebagai bagian dari Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, sebagaimana kepolisian berada di dalam Departemen Dalam Negeri Pemerintah Hindia Belanda sebelum pemerintah Jepang berkuasa. Pembentukan lembaga kepolisian dua hari setelah proklamasi kemerdekaan ini tampaknya berangkat dari kesadaran para pendiri negara akan pentingnya lembaga kepolisian dalam suatu negara yang mengemban tugas untuk menjaga ketertiban masyarakat, mengayomi masyarakat dan menegakkan hukum dalam suatu negara yang merdeka dan berdaulat.3 Pada tanggal 1 Juli 1946 Jawatan Kepolisian Negara berdiri sendiri dan langsung bertanggung jawab kepada kepala Pemerintahan yaitu Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Perubahan ini didasari semakin meluasnya tuntutan peran dan tugas Kepolisian Negara, terutama dalam rangka penggalangan kekuatan menghadapi agresi militer Belanda sehingga tidak mungkin untuk tetap dipertahankan berada di bawah Departemen Dalam Negeri. 4 Sejak saat itu tanggal 1 Juli diperingati sebagai Hari Bhayangkara,
dengan
mengambil
momentum penempatan
Kepolisian berada di bawah Pemerintahan Sipil Perdana Menteri sebagai hari bersejarahnya. Awal tahun 1960, MPRS menetapkan Kepolisian Negara diintegrasikan ke dalam wadah Angkatan Bersenjata, bersama-sama dengan TNI AD, TNI AL dan 3 4
Ibid, Hal.6 Ibid, Hal.7
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
TNI AU. Keputusan ini kemudian dipertegas dengan keluarnya Undang undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 13 tahun 1961.Dengan demikian, upaya untuk menciptakan Kepolisian yang berwatak militeristik sebenarnya telah terjadi sejak masa awal kemerdekaan, meskipun dengan alasan darurat perang kemerdekaan menghadapi agresi militer Belanda, sebab ternyata setelah masa darurat berakhir, keberadaan kepolisian sebagai bagian dari kekuatan militer justru semakin dikukuhkan. Pemerintahan Orde Baru di bawah jenderal Soeharto sampai dengan tumbangnya tidak melakukan perubahan yang signifikan di tubuh Polri baik pada tingkat struktural maupun instrumental. Keppres No.52 tahun 1969 tentang perubahan lembaga kepolisian justru tetap membiarkan atau mengukuhkan kedudukan kepolisian sebagai komponen dari Angkatan Bersenjata. Konsekuensi kedudukan Polri sebagai salah satu komponen ABRI adalah sistem-sistem yang berlaku di Polri merupakan sub sistem dari sistem yang berlaku di ABRI, meliputi sistem pembinaan personil, sistem pendidikan, sistem anggaran, sistem operasional dan sistem-sistem lainnya. Lebih jauh lagi, panglima ABRI memiliki kewenangan untuk mengendalikan langsung Polri di bawah payung ABRI. Secara esensial fungsi Kepolisian adalah sebagai aparat penegak hukum, yang termasuk di dalamnya adalah aspek perlindungan HAM. Sementara sebagaimana kita ketahui, banyak tindakan operasional ABRI yang jelas-jelas melanggar HAM yang juga melibatkan Polri. Tindakan Polri yang melanggar HAM tersebut akan menjadi sah dengan alasan menjalankan tugas (sebagai bagian dari ABRI) sehingga menjadi mustahil untuk menuntut aparat kepolisian terlibat
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
melakukan penyidikan pelanggaran hukum tersebut. Tindak kekerasan yang dilakukan ABRI sejak awal Orde Baru dengan berpegang pada doktrin Dwifungsi menunjukan bahwa ABRI telah berpolitik dengan menggunakan “tekanan” senjata. Ketika keahlian militer adalah menggunakan senjata, maka keahlian itulah yang akan digunakan saat militer berpolitik. Militer tidak membutuhkan dukungan rakyat melalui politik, tetapi senjata. Di sinilah pelanggaran HAM dan “tekanan” senjata dianggap sebagai sebuah kewajaran. Akibat ketidakmandirian secara kelembagaan, aparat kepolisian menjadi kehilangan profesionalisme dimana tugas-tugas penegakan hukum menjadi bias kepentingan melindungi “institusi payungnya” dalam banyak kasus pada masa Orde Baru 5. Dalam kasus yang melibatkan institusi kepolisian secara langsung sebagai pelaku, apakah mungkin jika kepolisian untuk dibebani tanggung jawab penyidikan terhadap diri mereka sendiri, sementara secara institusional kepolisian seringkali berkelit dengan menyatakan bahwa tindakan mereka sudah sesuai dengan prosedur. Padahal, masyarakat tengah membutuhkan kehadiran sosok polisi yang baik, profesional dan mandiri dengan kemandirian personil, doktrin, dan sistem operasional, tanpa tekanan pihak manapun. Secara resmi, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mulai 1 Januari 2001 tidak lagi di bawah Departemen Pertahanan, tetapi langsung berada di bawah Presiden. Perubahan struktur organisasi Kepolisian yang tidak lagi di bawan organisasi militer ini, diakui atau tidak diakui, adalah merupakan hasil dari perubahan politik yang didorong oleh elemen-elemen civil society. Kedudukan Kapolri menjadi setingkat menteri negara seperti halnya Jaksa 5
Ibid, Hal. 9
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Agung. Perubahan ini juga disertai dengan perubahan struktur kepangkatan Polri, yang tidak lagi menggunakan sistem kepangkatan militer tapi sistem kepolisian yang berlaku umum di dunia, dimana hal ini melahirkan harapan bahwa Polri dalam menjalankan tugasnya tidak lagi berwatak militeristik. Namun, sampai saat ini hal tersebut belum dapat dilaksanakan dan dipenuhi oleh kepolisian Republik Indonesia. Dimana dalam menjalankan tugas dan fungsinya aparat kepolisian masih memakai sistem militerisme. Hal ini dapat lihat dari beberapa peristiwa yang terjadi, aparat lebih sering melakukan penembakan ketika berhadapan dengan masyarakat sipil dan dalam setiap peristiwa, masyarakat sipil selalu menjadi korban. Meski demikian, polisi berkeras menyatakan bahwa mereka telah menerapkan standar prosedur penggunaan senjata api sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Juru bicara Mabes Polri, Sisno Adiwinoto berdalih, kasus-kasus penyalahgunaan senjata api yang dilakukan oleh anggotanya adalah murni masalah pribadi 6. Menurut pengamat polisi, Rudi Satria kasus penembakan yang dilakukan oleh polisi terjadi akibat longgarnya pengawasan senjata api di kalangan kepolisian. Hal ini juga dapat terjadi karena tidak tegasnya prosedur kepemilikan senjata api bagi aparat kepolisian atau bahkan tidak dipenuhinya prosedur kepemilikan senjata api yang berlaku dikalangan kepolisian. Kinerja Polisi Republik Indonesia (Polri) sebagai instansi negara belum berubah, sepanjang tahun 2006 Kontras mencatat 92 kasus yang melibatkan Polri,
6
http://www.indo media.com/Menatap Sosok Polri Sipil, dikunjungi tanggal 25 Agustus 2007. Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
keterlibatannya mulai dari pelaku tunggal hingga berkelompok. 7 Kasus yang paling menonjol adalah penganiayaan sebanyak 36 kasus dan kasus penembakan menempati posisi kedua yaitu sebanyak 18 kasus, dari hal ini dapat dilihat bahwa kultur militerisme belum hilang dari tubuh Polisi Republik Indonesia. Keadaan ini mencerminkan bahwa Polri belum membangun jati dirinya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, bahkan masyarakat dihantui oleh tindak militerisme dari aparat kepolisian. Fakta historis yang mengarah pada perumusan jati diri yang militeristik tidak secara serta merta mampu direduksi oleh Polri dengan keluarnya Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang pemisahan POLRI dan TNI serta TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang peran TNI dan POLRI, yang kemudian dikuatkan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Kenyataannya perubahan yang ada belum memenuhi harapan, sampai akhir 2005, Polri masih menggunakan watak, ideologi, dan sikap yang militeristik dalam menjalankan tugasnya. Dalam operasional banyak tindakan polisi yang secara kasat mata melanggar HAM. Memang tidak dapat disangkal bahwa dunia polisi penuh dengan kekerasan. Seperti dikatakan oleh Sutherland, seorang kriminolog Amerika Serikat, bahwa polisi dalam pekerjaan sehari-harinya sering bergaul dengan dunia kekerasan. 8 Dalam bertugas memelihara Kamtibmas, polisi selalu bergulat dengan sosok perilaku manusia yang namanya kekerasan dan kejahatan. Di tengah maraknya aksi kejahatan sekarang ini tugas polisi tidaklah ringan. Setelah dipisah dari TNI, maka tanggung jawab Kamtibmas dalam negeri 7
www.Kontras.org/ Polisi dan Senjata Api, dikunjungi tanggal 06 Juni
2007 8
M.Khoidin Sadjijono, Mengenal Figur Polisi Kita, Yogyakarta, Laksbang Pressindo, 2007, Hal.97 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
sepenuhnya berada di pundak Polri. Munculnya deviasi akibat beratnya tugas yang diemban polisi adalah hal wajar. Namun institusi Polri tetap tidak boleh membiarkan penyimpangan yang dilakukan oleh anggotanya, karena dapat melukai hati rakyat. Seperti yang diketahui, akhir-akhir ini aparat seringkali melakukan penembakan di dalam menjalankan tugasnya, padahal di dalam menggunakan senjata api, terdapat aturan-aturan tertentu yang harus dipenuhi oleh
aparat,
dimana senjata api hanya boleh digunakan dalam keadaan yang sangat ekstrim 9. Apabila masih dapat dilakukan cara-cara yang lebih manusiawi, aparat kepolisian tidak dibenarkan menggunakan kekerasan dan senjata api. David L. Carter mengungkapkan bahwa penyimpangan polisi, dengan menyalahgunakan wewenang dan kepercayaan yang diberikan kepadanya, akan mendorong terjadinya pemudaran wibawa polisi. 10 Memudarnya wibawa polisi akan mengarah kepada suatu instabilitas keamanan, akan mendorong tindakan anarkis dari masyarakat. Memudarnya wibawa polisi ini sama artinya menyeret Polri kembali ke dalam situasi tidak menguntungkan. Dalam konteks kekinian memudarnya pencitraan dan wibawa polisi salah satunya disebabkan oleh prilaku militeristk dalam menjalankan tugasnya. Hal ini terkait dengan masih bercokolnya budaya militeristik dalam rahim pendidikan Polri. Penyimpangan prilaku anggota Polri bukan saja disebabkan karena keterbatasan materi dan kurangnya kesejahteraan anggota, melainkan lebih dari itu, penanaman watak dan budaya militeristik pada pendidikan dasar menjadi satu 9
Sem Karoba, Standar HAM Internasional Untuk Penegak Hukum, Yogyakarta, Galangpress, 2007, Hal. 30 10 hhtp:// www.Indo Media.Com/Upaya Mereduksi Budaya Militerisme Dalam Pendidikan Polri, dikunjungi tanggal 6 Maret 2007 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
sumber dari prilaku menyimpang anggota Polri, khususnya pada tindakan kekerasan yang melawan prinsip dasar demokrasi dan HAM. Internalisasi demokrasi dan HAM dalam pendidikan Polri mengacu pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya pada pasal 4 yang menyebutkan diantaranya bahwa dalam melaksanakan tugas, Polri harus menjunjung tinggi HAM, serta esensi dari nilai dan prinsip demokrasi. Hal yang melatarbelakangi penulis mengangkat skripsi yang berjudul Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur adalah: 1. Dewasa ini banyak terjadi kasus penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan yang menjadi korban, sebagian besar adalah dari pihak masyarakat sipil. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Kontras, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang Hak Asasi Manusia, dimana di Provinsi Sumatera Utara ditemukan sebanyak 11 (sebelas) kasus penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian. 2. Dari 11 (sebelas) kasus penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh aparat kepolisian di Sumatera Utara hanya 1 (satu) kasus yang sudah diproses di pengadilan, hal ini menunjukkan sulitnya untuk melakukan proses hukum terhadap aparat kepolisian yang melakukan tindakan sewenang-wenang dalam menggunakan senjata api. Sebagaimana dikemukakan oleh M.Khoidin Sadjijono, yang menyatakan bahwa segala penyimpangan dan perbuatan nista yang dilakukan oleh segelintir oknum kepolisian terjadi akibat ketidak tegasan dari pimpinan Polri, yang senantiasa
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
berusaha menutupi dan berkelit dengan mencari berbagai alasan atas tindakan bawahannya yang tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. 11 Apabila hal ini tidak segera diatasi oleh pemerintah dan oleh lembaga kepolisian khususnya, maka aparat kepolisian akan semakin sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya khususnya dalam menggunakan senjata api. 3. Dari penelitian yang penulis lakukan, penulis dapat menyimpulkan bahwa terjadinya penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian disebabkan oleh tidak adanya peraturan nasional kita yang mengatur secara khusus dan tegas tentang prosedur penggunaan senjata api bagi aparat kepolisian. Seharusnya pemerintah meratifikasi Resolusi 34/168 Dewan umum PBB ke dalam perundang-undangan nasional. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bahaya dari penggunaan senjata api tanpa prosedur adalah: a. Penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur merupakan masalah yang kompleks karena selain bertentangan dengan peraturan yang berlaku dalam penggunaan senjata api, penggunaan senjata api tanpa prosedur juga melanggar Hak Asasi Manusia, yaitu hak hidup seseorang sekalipun orang tersebut merupakan seorang pelaku kejahatan atau tersangka. b. Seperti yang diketahui dan patut direnungkan oleh aparat bahwa mereka memiliki fungsi sebagai pelindung masyarakat. Jadi apabila penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur ini tidak segera dibenahi oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia maka rakyat tidak akan pernah mempercayai kinerja aparat. Dimana tindakan aparat yang overacting terhadap 11
M.Khoidin Sadjijono, Mengenal FigurPolisi kita, Yogyakarta, LaksBang Pressindo, 2007, Hal.6 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
kekuasaan yang dimiliki akan membekas dihati masyarakat sehingga menimbulkan sikap apriori dan penilaian sama rata bahwa semua polisi berperilaku jelek, masyarakat menutup mata bahwa masih banyak polisi yang berprilaku baik. 12 Kasus penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian banyak terjadi di Sumatera Utara, salah satunya adalah kasus penembakan yang terjadi di Binjai. 13 Dimana, aparat kepolisian Binjai yang tengah melaksanakan tugas menangkap beberapa orang yang dicurigai/diduga sebagai pelaku perampokan, melakukan penembakan. Akibat peristiwa tersebut seorang masyarakat sipil menjadi korban karena terkena tembakan dari aparat kepolisian. Berdasarkan hal ini maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang berkaitan dengan penggunaan senjata api tanpa prosedur.
B. Perumusan Masalah Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi yang berjudul Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaturan kepemilikan dan penggunaan senjata api bagi anggota Polisi Republik Indonesia? 2. Mengapa penggunaan senjata api tanpa prosedur termasuk kepada suatu tindak pidana dan tindak pidana apa saja yang dapat ditimbulkan oleh 12
Bibit Samad Rianto, Pemikiran Menuju Polri Yang Profesional, Mandiri, Berwibawa Dan Dicintai Rakyat, Jakarta, Restu Agung, 2006, Hal. 7 13 www.Kontras-Su@ telkom.net/Polisi dan Senjata Api, dikunjungi tanggal 25 Agustus 2007 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
penggunaan senjata api tanpa prosedur? 3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap aparat kepolisian Republik Indonesia yang menggunakan senjata api tanpa prosedur?
C. Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan kepemilikan dan penggunaan senjata api bagi anggota Polisi Republik Indonesia? 2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tindak pidana penggunaan senjata api tanpa prosedur dan tindak pidana apa saja yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan senjata api tanpa prosedur oleh aparat kepolisian? 3. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap aparat kepolisian Republik Indonesia yang menggunakan senjata api tanpa prosedur?
D. Manfaat Penulisan 1. Adapun manfaat teoritis dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1.1 Dapat memberikan informasi, baik kepada kalangan akademis maupun untuk kalangan masyarakat tentang pentingnya untuk mengetahui pada saat kapan aparat boleh mempergunakan senjata api sehingga masyarakat dapat menuntut apabila terjadi penggunaan senjata api oleh aparat tanpa prosedur. 1.2 Dapat memberikan informasi kepada kita semua, bahwa tindakan penggunaan senjata api tanpa prosedur oleh aparat merupakan suatu tindak pidana dan merupakan pelanggaran HAM berat yang harus ditindak dengan keras agar
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
aparat jera. 2. Adapun manfaat praktis dari penulisan skripsi ini adalah: 2.1
Untuk dapat mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana penggunaan senjata api tanpa prosedur oleh aparat kepolisian, agar pihak Polisi Republik Indonesia (Polri) melalui Polisi Daerah (Polda) masingmasing lebih peka terhadap situasi dan perkembangan yang terjadi.
2.2
Agar Polisi Republik Indonesia melaksanakan peraturan yang berlaku dalam prosedur kepemilikan dan penggunaan senjata api oleh anggotanya.
2.3
Agar Polisi Republik Indonesia mengawasi anggotanya dalam menggunakan senjata api, menindak dengan tegas anggota Polisi Republik Indonesia yang menggunakan senjata api tidak sesuai dengan prosedur.
E. Keaslian Penulisan Skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur” sepengetahuan penulis belum ada penulis lain yang mengemukakannya, dan penulis telah mengkonfirmasikannya kepada Sekretariat Departemen Pidana.
F. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Dan Unsur-unsur Tindak Pidana A. Pengertian tindak pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “Strafbaar Feit”. Strafbaar Feit terdiri dari 3 (tiga) kata yakni Straf, Baar dan Feit. Straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum, perkataan baar
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
diterjemahkan sebagai dapat dan boleh sedangkan kata feit diterjemahkan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Istilah tindak pidana telah lazim digunakan dan merupakan istilah resmi dalam perundang-undangan. 14 Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, walaupun masih diperdebatkan ketepatannya. Tindak menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif (handelen). Padahal pengertian yang sebenarnaya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif. 15 Perbuatan aktif maksudnya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan atau disyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil sebagimana diatur dalam pasal 362 KUHP atau merusak yang diatur dalam pasal 406 KUHP. Sedangkan perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun, dimana seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misal perbuatan tidak menolong sebagaimana diatur dalam pasal 531 KUHP atau perbuatan membiarkan yang diatur dalam pasal 304 KUHP. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak ditemukan definisi tindak pidana. Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk mengenai pertanggungjawaban. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya melakukan suau perbuatan, yang kemudian apakah orang yang telah melakukan
14
Drs. Adami Chazawi, S.H, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2002, Hal. 67 15 Ibid, Hal. 70 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
perbuatan tersebut dapat dipidana atau tidak. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum. Simon mengatakan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. 16 Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. 17 Menurut ahli hukum pidana Indonesia, Komariah E.Saprdjaja bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu. 18 Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana. Dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana. Seperti
sebelumnya
telah
disinggung
dalam
pembahasan
tentang
pertanggungjawaban pidana, terdapat pemisahan antara pertanggungjawaban pidana dan tindak pidana, yang dikenal dengan paham dualisme yang memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana. Para ahli hukum umumnya mengidentifikasi adanya tiga persoalan mendasar
16
Chairul Huda, op.cit, Hal. 25 Ibid 18 Ibid, Hal. 26 17
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
dalam hukum
pidana. Saner, berpendapat bahwa hal itu berkaitan dengan,
onrecht, schuld, dan strafe. Sementara itu, Packer menyebut ketiga masalah tersebut berkenaan dengan crime, responsibility, dan punishment. Menurut Soedarto, persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu, dan pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu. Dengan kata lain, masalah mendasar dalam hukum pidana berhubungan dengan persoalan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Pembedaan ini, menimbulkan konsepsi yang bukan hanya perlu memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, tetapi lebih jauh memisahkan pertanggungjawaban pidana dengan pengenaan pidana. Berdasarkan hal ini pengkajian juga diarahkan untuk
mendalami
bagaimana
pertanggungjawaban
pidana
teori
pemisahan
seharusnya
tindak
pidana
diterapkan
dan dalam
mempertanggungjawabkan dan mengenakan pidana terhadap pembuat tindak pidana. Dengan kata lain, perlu pengkajian untuk menemukan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana. Teori yang memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana bertitik tolak dari pandangan bahwa, unsur tindak pidana hanyalah perbuatan, dengan demikian aturan mengenai tindak pidana mestinya sebatas menentukan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan. Aturan hukum mengenai tindak pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang dalam hukum pidana dan perbuatan-perbuatan lain diluar kategori tersebut. Dengan adanya aturan mengenai tindak pidana dapat dikenali perbuatanperbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain,
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
the rules which tell all of us what we can and cannot do. Aturan tersebut menentukan perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu, ditinjau dari tujuan-tujuan prevensi, aturan hukum yang memuat rumusan tindak pidana juga berfungsi sebagai peringatan bagi masyarakat untuk sejauh mungkin menghindar dari melakukan perbuatan tersebut, mengingat ancaman pidana yang dilekatkan padanya. Aturan tersebut berisi pedoman bertingkah laku bagi masyarakat, sehingga dilihat dari segi represif tekanannya lebih banyak pada fungsi perlindungan individu dari kesewenang-wenengan penguasa. Sedangkan aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorang sehingga sah jika dijatuhi pidana. Tekanannya justru pada fungsi melegitimasi tindakan penegak hukum untuk menimpakan nestapa pada pembuat tindak pidana. Dengan keharusan untuk tetap menjaga keseimbangan antara tingkat ketercelaan seseorang karena melakukan tindak pidana dan penentuan berat ringannya nestapa yang menjadi konsekuensinya. Aturan
mengenai
pertanggungjawaban
pidana
merupakan
saringan
pengenaan pidana, yaitu hanya dapat diterapkan terhadap mereka yang memiliki kesalahan dan pidana yang dikenakan sebatas kesalahannya tersebut. Tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, apabila dilihat dari konsep sistem hukum sebagaimana dikemukakan Hart, juga menyebabkan kedua hal tersebut berada pada struktur aturan yang terpisah. Dikatakannya “primary laws setting standards for behavior and secondary laws specifying what officials must or may do when they are broken. 19
19
Ibid, hal. 28
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Suatu tindak pidana adalah suatu perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hokum yang berlaku. Dalam definisi-definisi tersebut, unsur kesalahan telah dikeluarkan, sehingga tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan saja. Perbuatan disini berisi kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau kelakuan dan akibatnya. Kelakuan juga terdiri dari melakukan sesuatu (komisi) dan tidak melakukan sesuatu (omisi). Dengan demikian, tindak pidana merupakan perbuatan melakukan sesuatu, perbuatan tidak melakukan sesuatu, dan menimbulkan akibat, yang dilarang oleh undang-undang. Pengertian tersebut di atas, dalam pasal 11 Rancangan KUHP dirumuskan dengan “tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. 20 Dapat ditegaskan, sepanjang berkenaan dengan perumusan definisi tindak pidana, pikiran-pikiran untuk memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana telah menjadi bagian pembaruan hukum pidana Indonesia, dengan diadopsi dalam Rancangan KUHP. Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana di negara-negara civil law lainnya, tindak pidana umumnya dirumuskan dalam kodifikasi. Namun demikian, sejauh ini tidak terdapat ketentuan dalam KUHP maupun peraturan perundangundangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara bagaimana merumuskan suatu tindak pidana. Tidak mengherankan apabila terdapat berbagai rumusan tindak pidana yang memuat hal-hal diluar karakteristik perbuatan dan sanksi atas perbuatan tersebut. Dalam hal ini, berbagai tindak pidana terutama
20
Ibid
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
yang terdapat dalam KUHP, perumusannya tidak sejalan dengan teori pemisahan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana pertama-tama berisi larangan terhadap perbuatan. Dengan demikian, pertama-tama suatu tindak pidana berisi larangan terhadap kelakuankelakuan tertentu. Dengan delik-delik omisi, larangan ditujukan kepada tidak diturutinya perintah. Dengan demikian, norma hukum pidana berisi rumusan tentang suruhan untuk melakukan sesuatu. Dalam hal tindak pidana materil, larangan ditujukan kepada penimbulan akibat. Tindak pidana berisi rumusan tentang akibat-akibat yang terlarang untuk diwujudkan. Ketika tindak pidana berisi rumusan tentang dilarangnya suatu omisi, maka pada hakikatnya undang-undang jusrtu memerintahkan setiap orang melakukan sesuatu, apabila mendapati keadaan-keadaan yang juga ditentukan dalam undangundang tersebut. Dengan demikian, rumusan tentang tindak pidana berisi tentang kewajiban, yang apabila tidak dilaksanakan pembuatnya diancam dengan pidana. Kewajiban disini, menurut Wilson bukan hanya bersumber dari ketentuan undangundang, dapat kewajiban tersebut timbul dari suatu perjanjian ataupun kewajiban yang timbul di luar perjanjian, atau kewajiban yang timbul dari hubunganhubungan yang khusus, atau kewajiban untuk mencegah keadaan bahaya akibat perbuatannya, bahkan kewajiban-kewajiban lain yang timbul dalam hubungan sosial. 21 B. Unsur-unsur tindak pidana Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan dari dua sudut pandang yaitu: a. Unsur tindak pidana dari sudut teoritis
21
Ibid hal. 30
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah 22 1. Perbuatan 2.Yang dilarang (oleh aturan hukum) 3. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan) Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan hukum. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataan benar-benar dipidana. Pengertian diancam adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Tresna menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah: 23 1. Perbuatan atau rangkaian perbuatan 2. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan 3. Diadakan tindakan penghukuman Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan dengan demikian dijatuhi pidana. Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat (subyektif) yang melekat pada orangnya untuk dijatuhkannya pidana. Sedangkan menurut Vos unsur-unsur tindak pidana adalah: 24 1. Kelakuan manusia
22
Adami Chazawi, Op.cit, Hal. 79 Ibid 24 Ibid, Hal. 80 23
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
2. Diancam dengan pidana 3. Dalam peraturan perundang-undangan b. Unsur-unsur tindak pidana dalam undang-undang Dari rumusan-rumusan tindak pidana dalam KUHP itu, maka dapat diketahui adanya 8 (delapan) unsur tindak pidana, yaitu: 1. Unsur tingkah laku Tindak pidana adalah mengenai larangan berbuat, oleh karena itu perbuatan atau tingkah laku harus disebutkan dalam rumusan. Tingkah laku unsur mutlak tindak pidana. Jika ada rumusan tindak pidana tanpa mencantumkan unsur tingkah laku, misalnya pasal 351 KUHP tentang penganiayaan adalah suatu pengecualian dengan alasan tertentu dan tidak berarti tindak pidana itu tidak terdapat unsur perbuatan, unsur itu telah ada dengan sendirinya didalamnya, dan wujudnya tetap harus dibuktikan di sidang pengadilan untuk menetapkan telah terjadinya penganiayaan. 2. Unsur sifat melawan hukum Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada Undang-undang (melawan hukum formil) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan hukum materil). Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan bertentangan dengan asas-asas hukum masyarakat, maka sifat tercela tersebut tidak tertulis. Seringkali sifat tercela dari suatu perbuatan itu terletak pada keduaduanya, seperti perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) pada pembunuhan, adalah dilarang baik dalam undang-undang maupun menurut masyarakat. Dari sudut undang-undang, suatu perbuatan tidaklah mempunyai sifat
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang (wederrechtelijk) dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundang-undangan. Berpegang pada pendirian ini, maka setiap perbuatan yang ditetapkan sebagai dilarang dengan mencantumkannya dalam peraturan perundang-undangan (menjadi tindak pidana), tanpa melihat apakah unsur melawan hukum itu dicantumkan ataukah tidak dalam rumusan maka dengan demikian tindak pidana itu sudah mempunyai sifat melawan hukum, artinya melawan hukum adalah unsur mutlak dari tindak pidana. Mencantumkan secara tegas unsur sifat melawan hukum dalam suatu rumusan tindak pidana didasarkan pada suatu alasan tertentu, sebagaimana tercermin dalam keterangan risalah penjelasan Wvs Belanda, ialah adanya kekhawatiran bagi pembentuk Undang-undang, jika tidak dimuatnya unsur melawan hukum, akan dapat dipidananya pula perbuatan lain yang sama namun tidak bersifat melawan hukum. Adalah wajar dan dapat dimengerti pendirian pembentuk Undang-undang ini, mengingat hukum pidana menganut sifat melawan hukum formil dalam hal pemidanaan (dalam arti positif) sebagaimana termuat secara tegas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. Sifat terlarang yang bagaimana yang harus dibuktikan tidak sama bagi setiap tindak pidana, dan bergantung pada redaksi rumusan dan paham yang dianut, contohnya sifat terlarang dalam perbuatan mengambil pada pencurian, bagi paham sifat melawan hukum obyektif adalah terletak pada tidak ada izin dari sipemilik benda, dan inilah yang harus dibuktikan. Tetapi bagi paham melawan hukum subyektif, melihat dari rumusan (maksud untuk memiliki dengan melawan
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
hukum), yang harus dibuktikan ialah keadaan batin ketika sebelum berbuat, ialah berupa kesadaran bahwa mengambil barang milik orang lain itu adalah terlarang atau tercela. Unsur batinlah yang menyebabkan perbuatan mengambil tersebut menjadi bersifat melawan hukum, karena selain tercela menurut masyarakat juga tercela menurut undang-undang. 3. Unsur kesalahan Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat subyektif. Dalam hal ini berbeda dengan unsur melawan hukum yang dapat bersifat obyektif dan dapat bersifat subyektif, bergantung pada redaksi rumusan dan sudut pandang terhadap rumusan tindak pidana tersebut. Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah berupa unsur yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan hukum perbuatan dengan si pelaku. Hanya dengan adanya hubungan antara ketiga unsur tadi dengan keadaan batin pembuatnya inilah, pertanggungjawaban dapat dibebankan pada pelaku. Dengan demikian maka terhadap pelaku tadi dijatuhi pidana. Adapun yang termasuk kesalahan dalam arti luas adalah: a. Kesengajaan Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai kesengajaan. Didalam Memori van Toelichting (MvT) WvS Belanda ada sedikit keterangan mengenai kesengajaan, yang menurut Moeljatno menyatakan “Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui” 25. Kesengajaan ada 3 (tiga) bentuk, yaitu 26:
Kesengajaan sebagai maksud, Sama artinya dengan menghendaki untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukm (tindak pidana pasif), dan juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materil).
Kesengajaan sebagai kepastian, Adalah berupa kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu perbuatan tertentu.
Kesengajaan sebagai kemungkinan Ialah kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk melakukan perbuatan itu.
b.Kelalaian Undang-undang juga tidak memberikan definisi apakah kelalaian itu. Hanya dalam Memori Penjelasan (MvT) menyatakan, bahwa kelalaian terletak antara sengaja dan kebetulan 27. Meskipun demikian, kelalaian itu dipandang lebih ringan dibandingkan dengan sengaja. Kelalaian ini merupakan unsur batin, bisa 25
Adil Matogu, Kajian Hukum Lingkungan Terhadap Perusakan Hutan di Kawasan Hutan Lindung Tormatutung Kisaran Sumatera Utara (Skripsi), 2007 26 Ibid 27 Ibid, Hal.55 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
berupa kehendak, pengetahuan, perasaan dan lain sebagainya yang dapat menggambarkan perihal keadaan batin manusia. Apabila kemampuan berpikir, berperasaan itu tidak digunakan sebagaimana mestinya maka disebut sebagai kelalaian. 28 4.Unsur akibat konstitutif Unsur akibat konstitutif terdapat pada: a. Tindak pidana materil atau tindak pidana dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana. Dalam tindak pidana materil, timbulnya akibat itu bukan untuk memberatkan pertanggungjawaban pidana, dalam arti berupa alasan pemberat pidana, tetapi menjadi syarat selesainya tindak pidana. Perbedaan lain, ialah unsur akibat konstitutif pada tindak pidana materil adalah berupa unsur pokok tindak pidana, artinya jika unsur ini tidak timbul, maka tindak pidananya tidak terjadi hanyalah percobaan. b.Tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana Unsur akibat sebagai syarat memperberat pidana bukan merupakan unsur pokok tindak pidana, artinya jika syarat ini tidak timbul, tidak terjadi percobaan, melainkan terjadinya tindak pidana selesai. c. Tindak pidana dimana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat Tanpa timbulnya akibat dari perbuatan yang dirumuskan dalam undangundang tidak pidana, baru dapat dipidana apabila akibat terlarang itu telah timbul.
28
Ibid
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Tindak pidana materil dimana unsur akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana, berbeda dengan tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai pemberat pidana atau tindak pidana yang dikualifiser oleh akibatnya. Perbedaan itu adalah dalam tindak pidana materil, jika akibat itu tidak timbul, maka tindak pidana itu tersebut tidak terjadi, yang terjadi adalah percobaan. Tetapi jika akibat tidak timbul pada tindak pidana dimana akibat sebagai syarat pemberat pidana, maka tidak terjadi percobaan, tetapi yang terjadi adalah tindak pidana selesai yang lain. 5. Unsur keadaan yang menyertai Unsur keadaan yang menyertai, adalah unsur tindak pidana yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan. Unsur keadaan yang menyertai ini dalam kenyataan rumusan tindak pidana dapat berupa: 29 a. Mengenai cara melakukan perbuatan b. Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan c. Mengenai obyek tindak pidana d. Mengenai subyek tindak pidana e. Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana f. Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana 6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan dari yang berhak mengadu. Pengaduan substansinya adalah sama dengan laporan,
29
Ibid, Hal. 106
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
ialah berupa keterangan atau informasi mengenai telah terjadinya tindak pidana yang disampaikan kepada pejabat penyelidik atau penyidik yakni kepolisian, atau dalam hal tindak pidana khusus ke kantor kejaksaan negeri. 7. Syarat tambahan untuk memperberat pidana Mengenai syarat ini telah disinggung pada saat membicarakan unsur akibat konstitutif. Unsur adalah berupa alasan untuk diperberatnya pidana, dan bukan unsur syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak pidana sebagaimana pada tindak pidana materil. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana bukan merupakan unsur pokok tindak pidana yang bersangkutan, artinya tindak pidana tersebut dapat terjadi tanpa adanya unsur ini. 8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah berupa unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan, yang menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan. Artinya bila setelah perbuatan dilakukan keadaan ini tidak timbul, maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum dan karenanya si pembuat tidak dapat dipidana. Sifat melawan hukumnya dan patutnya dipidana perbuatan itu sepenuhnya digantungkan pada timbulnya unsur ini. Nilai bahayanya bagi kepentingan hukum dari perbuatan itu adalah terletak pada timbulnya unsur syarat tambahan, bukan semata-mata pada perbuatan.
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana. 30 Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakan dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan “ merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat 31.
Jadi
perbuatan
yang
tercela
oleh
masyarakat
itu
dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya, artinya celaan yang ojektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada siterdakwa. Nyatalah bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena telah melakukan tindak pidana 32. Oleh karena itu dikatakan bahwa dasar daripada adanya tindak pidana adalah asas legaliteit, yaitu
30
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana , Jakarta, Rineka Cipta, 1993,
Hal.155 31
Prof. Mr. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta, Aksara Baru, 1983, Hal.75 32 Ibid hal. 76 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidananya sipembuat adalah asas “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dapat dikatakan orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana, apabila dia mempunyai kesalahan. Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat (liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana. 33 Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common law sistem. Sejak abad kedua belas, dalam hukum pidana negara-negara common law sistem, berlaku maksim latin yaitu actus non est reus, nisi mens sit rea. 34 Suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa kehendak jahat, pada satu sisi doktrin ini menyebabkan adanya mens rea merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana. Pada sisi, lain hal ini menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang tersebut. Dengan demikian, mens rea yang dalam hal ini disinonimkan dengan quilty of mind atau vicious will, merupakan hal yang menentukan pertanggungjawaban 33
Dr. Chairul Huda, S.H, M.H., Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta, Prenada Media, 2006, Hal.4 34 Ibid hal 5 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
pembuat pidana. Dilihat dari sisi ini, penggunaan doktrin mens rea dalam common law system, pada hakikatnya sejalan dengan penerapan asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam civil law system. Berpangkal tolak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno mengemukakan suatu pandangan yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan ajaran dualistis 35, pada pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menyangkut persoalan “perbuatan” sedangkan masalah apakan orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan, adalah persoalan lain. Dalam banyak kejadian, tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari batin terdakwa sama sekali tidak patut dicelakan terhadapnya. Dengan kata lain, walaupun telah melakukan tindak pidana, tetapi pembuatnya tidak diliputi kesalahan dan karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu. Untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan syaratsyarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntut ketika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan. Dipisahkannya tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari unsur tindak pidana dan ditempatkan sebagai faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana. Namun demikian, bagaimana konsepsi ini diterapkan dalam praktik hukum perlu pengkajian lebih
35
Ibid hal. 6
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
lanjut. Pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Oleh karena itu, pengkajian mengenai teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban
pidana,
pertama-tama dilakukan
dengan
menelusuri
penerapan dan perkembangannya dalam putusan pengadilan. Dengan kata lain, konkretisasi sesungguhnya dari penerapan dari teori tersebut terdapat dalam putusan pengadilan. Seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain jika memang tidak ingin berbuat demikian. Dilihat dari segi masyarakat, ini menunjukan pandangan yang normatif mengenai kesalahan. Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang berpandangan psychologisch. Tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin daripada terdakwa, tetapi bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum mengenai keadaan batinnya itu, apakah dinilai ada atau tidak ada kesalahan. Pompe menyingkat kesalahan ini dengan dapat dicela (verwijtbaarheid) dan dapat
dihindari
(vermijdbaarheid)
perbuatan
yang
dilakukan. 36
Pompe
mengatakan, menurut akibatnya, hal ini adalah dapat dicela, menurut hakikatnya dia adalah dapat dihindarinya kelakuan yang melawan hukum itu. Karena kehendak si pembuat itu terlihat pada kelakuan yang bersifat melawan hukum, maka ini dapat dicelakan padanya. Sampai sekian jauh, maka kesalahan
36
Prof. Mr. Roeslan Saleh, op.cit, Hal.77
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
menyebabkan atau mempunyai akibat dapat dicela. Celaan ini dimungkinkan karena si pembuat itu bisa berusaha, agar dia tidak berbuat berlawanan dengan hukum oleh karena dia juga dapat berbuat sesuai dengan hukum. Pelanggaran atas norma itu bergantung pada kehendaknya, itu dapat dihindari. Berarti kesalahan pada hakikatnya dapat dihindari. Menurut Pompe, kelakuan adalah suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang yang nampak keluar dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi obyek hukum. Simons mengatakan bahwa kesalahan adalah keadaan psychis orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi. 37 Jadi yang harus diperhatikan adalah: a. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu b.Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan. Dua hal inilah yang harus diperhatikan, dimana diantara keduanya terjalin erat satu dengan yang lainnya, yang kemudian dinamakan kesalahan. Hal yang merupakan kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Mengenai keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana merupakan persoalan yang lazim disebut dengan kemampuan bertanggung jawab. Sedangkan mengenai hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang dilakukan, merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alas an pemaaf, sehingga mampu bertanggung jawab, mempunyai kesengajaan atau kelapaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan. Tiga unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Yang satu
37
Ibid, hal. 78
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
bergantung pada yang lain, dalam arti demikianlah urut-urutannya dan yang disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan terlebih dahulu. Konkritnya tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan atau kealpaan, apabila orang itu tidak mampu bertanggung jawab. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu bertanggung jawab dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan. Selanjutnya, tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah: a. Melakukan perbuatan pidana b.Mampu bertanggung jawab c. Dengan kesengajaan atau kealpaan d.Tidak adanya alasan pemaaf Telah dikatakan diatas bahwa mengenai keadaan batin dari si terdakwa dalam ilmu hukum pidana merupakan masalah kemampuan bertanggung jawab, apakah yang menyebabkan maka hal ini merupakan suatu masalah? Dalam hukum positif kita, yaitu dalam pasal 44 KUHP dinyatan bahwa: “Apabila
yang
melakukan
perbuatan
pidana
itu
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan disebabkan karena pertumbuhan yang cacat atau adanya gangguan karena penyakit daripada jiwanya maka orang itu tidak dipidana.”
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Jadi seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana, tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena hal-hal yang disebutkan dalam pasal 44 KUHP, maka tidak dapat dipidana. Ketentuan dalam hukum positif ini sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam teori, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak diinginkan. Demikian yang disebut mengenai orang yang mampu bertanggung jawab. Orang yang tidak mampu bertanggung jawab tentu saja tidak sepantasnya dianggap dapat berbuat seperti yang diharapkan oleh hukum ataupun pikiran yang sehat. Prof. Mr. Roeslan Saleh mengatakan bahwa orang yang mampu bertanggung jawab itu harus memenuhi tiga syarat, yaitu 38: a. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya b.Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, ada dua faktor yang harus dipenuhi yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum. Kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas
38
Ibid, hal. 80
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
mana diperbolehkan dan mana yang tidak.
3. Pengertian Dan Jenis-jenis Senjata Api Yang Digunakan Oleh Aparat Kepolisian A. Pengertian senjata api Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1976, senjata api adalah salah satu alat untuk melaksanakan tugas pokok angkatan bersenjata di bidang pertahanan dan keamanan, sedangkan bagi instansi pemerintah di luar angkatan bersenjata , senjata api merupakan alat khusus yang penggunaannya diatur melalui ketentuan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1976, yang menginstruksikan agar para menteri (pimpinan lembaga pemerintah dan non pemerintah) membantu pertahanan dan keamanan agar dapat mencapai sasaran tugasnya. Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 pasal I ayat (2) memberikan pengertian senjata api dan amunisi yaitu termasuk juga segala barang sebagaimana diterangkan dalam pasal I ayat (1) dari peraturan senjata api 1936 (Stb 1937 Nomor 170), yang telah diubah dengan ordonantie tanggal 30 Mei 1939 (Stb Nomor 278), tetapi tidak termasuk dalam pengertian itu senjata “yang nyata” mempunyai tujuan sebagai barang kuno atau barang yang ajaib dan bukan pula sesuatu senjata yang tetap tidak dapat terpakai atau dibikin sedemikian rupa sehingga tidak dapat digunakan. B. Jenis-jenis senjata api yang digunakan oleh aparat kepolisian Berdasarkan hasil wawancara penulis di Polda Sumut dengan salah seorang anggota kepolisian, Briptu. M. Jasri, yang bertugas di bagian Denma (Denta
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Semen Markas) yang memiliki peranan sebagai pemberi izin dan pengawas pemakaian senjata api oleh aparat kepolisian, maka jenis-jenis senjata api yang digunakan oleh aparat kepolisian Indonesia adalah: A. Senjata Genggam 1. S & W (Smith Wilson) kaliber volt 38 2. Detektif 3. Komando 4. C O P 5. Cobra 6. Taurus 7. Pindat 8. N S I B. Senjata Bahu 1. P.2 2. Rogermini 3. S K S 4. Mauser 5. L E 6. Medsen 7. S S I, dipakai oleh TNI dan Brimob untuk perang.
4. Pengertian Anggota Polisi Negara Republik Indonesia Pengertian Anggota Polisi Negara Republik Indonesia diatur dalam Bab I ketentuan umum pasal 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, yaitu Anggota
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Polisi Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indoinesia. Pasal 20 ayat (I) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa pegawai negeri sipil pada kepolisian Negara Republik Indonesia terdiri atas: a. Anggota Kepolisian republik Indonesia b. Pegawai negeri sipil Terhadap pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (I) huruf b, berlaku ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang kepegawaian. Akan tetapi yang menjadi subjek pada penulisan skripsi ini adalah anggota kepolisian republik indonesia yang bertugas sebagai aparat penegak hukum dan diberi wewenang untuk menggunakan senjata api dalam menjalankan tugasnya.
G. Metode Penelitian Sudah merupakan ketentuan dalam hal penyusunan serta penulisan karya ilmiah atau skripsi diperlukan metode penelitian dalam pengerjaannya. Metode penelitian sebagai suatu hal yang mempunyai cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan dan untuk menghasilkan karya tulis ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, maka harus didukung dengan fakta-fakta/dalil-dalil yang akurat yang diperoleh dari penelitian. Sehubungan dengan itu, untuk memperoleh data dalam penulisan skripsi ini, maka penulis menggunakan metode: 1. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Penelitian kepustakaan atau penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan berdasarkan bahan-bahan bacaan, dengan cara membaca buku-buku,
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
literature-literatur serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan materi yang akan dibahas dalam skripsi ini. Data yang diperoleh dari bahan pustaka ini dinamakan dengan data sekunder. 39 Data sekunder ini mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah pendapat sarjana, hasil penelitian yang berwujud laporan majalah, artikel dan juga berita dari internet yang bertujuan untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori atau asas atau doktri yang berkenaan dengan kepolisian dan pertanggungjawaban pidana. Yang kesemuanya ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang sifatnya teoritis yang digunakan sebagai pedoman dalam penelitian dan menganalisa permasalahan yang dihadapi. 2. penelitian Lapangan (Field Research) Selain penelitian kepustakaan, penulis juga mengadakan penelitian secara langsung ke lapangan yaitu dengan mendatangi objek penelitian untuk mengadakan wawancara terhadap beberapa aparat kepolisian di lingkungan Polda Sumut, untuk mendapatkan data-data, informasi dan keteranganketerangan yang diperlukan dalam penulisan skripsi. Wawancara (interview) adalah situasi peran antar pribadi bertatap muda (face to face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seseorang responden. Penelitian lapangan dalam penulisan skripsi ini bersifat melengkapi data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Terhadap data yang diperoleh, akan dianalisa secara kualitatif. Menurut Bogan dan Biklena analisa data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan 39
Soerjono Soekanto, Jakarta Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,1986,
Hal.12 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. 40
H. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa tahapan yang disebut dengan bab, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Secara sistematis, menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam 5 (lima) bab yang diperinci sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN Pada bab ini menggambarkan hal-hal yang bersifat umum Sebagai langkah awal dalam penulisan skripsi ini. Pada bab ini penulis menguraikan alas an yang menjadi latar belakang. Kemudian agar tulisan ini tidak lari dari tujuannya dalam memahami tulisan ini, maka penulis menetapkan apa saja yang menjadi permasalahan dan apa saja tujuan dan manfaat dari tulisan ini. Dalam bab ini, penulis juga menerangkan tentang keaslian penulisan, dimana tulisan ini ditulis dan dibuat sendiri oleh penulis. Akhirnya bab ini ditutup dengan sistematika penulisan yang menerangkan bagianbagian dari keseluruhan bab secara ringkas atau sepintas. BAB
II:
PENGATURAN
KEPEMILIKAN
SENJATA
API
BAGI
40
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualilatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2007, Hal.248 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
ANGGOTA POLRI Pada bagian ini, penulis akan menguraikan gambaran tentang pengaturan kepemilikan senjata api bagi anggota Polisi Republik Indonesia, yang mengulas tentang anggota Polri yang berhak memiliki senjata api menurut peraturan yang berlaku, prosedur kepemilikan senjata api bagi anggota Polri, dan prosedur penggunaan senjata api bagi anggota Polri. BAB III: PENGGUNAAN SENJATA API YANG TIDAK SESUAI DENGAN PROSEDUR SEBAGAI SUATU TINDAK PIDANA Pada bagian ini, penulis akan membahas tentang penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur sebagai suatu tindak pidana dan tindak pidana yang ditimbulkan oleh penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur. BAB
IV:
PERTANGGUNGJAWABAN SENJATA
API
YANG
PIDANA
TIDAK
PENGGUNAAN
SESUAI
DENGAN
PROSEDUR Pada bab ini penulis membahas mengenai pertanggungjawaban pidana penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian yang meliputi pihak yang berwenang melakukan penyidikan terhadap penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur. Selanjutnya menguraikan tentang kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan penyidikan, sanksi pidana bagi pelaku penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur serta tanggapan terhadap kasus penggunaan senjata api yang tidak sesuai
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
dengan prosedur. BAB V: PENUTUP Bab ini merupakan inti dari permasalahan yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. Inti pembahasan ini dikemukakan dan dirumuskan ke dalam bentuk kesimpulan. Dengan membaca kesimpulan ini, penulis berharap para pembaca sudah dapat menangkap dan memahami isi yang terkandung di dalam skripsi ini. Sebagai penutup, bab ini diakhiri dengan beberapa saran yang diajukan dalam rangka meningkatkan kesadaran anggota kepolisian Republik Indonesia agar dalam melaksanakan tugasnya terkhusus dalam penggunaan senjata api, harus berdasarkan prosedur yang berlaku dan harus tetap menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
BAB II PENGATURAN KEPEMILIKAN SENJATA API BAGI ANGGOTA POLRI
A. Anggota Polri Yang Berhak Memiliki Senjata Api Menurut Peraturan Yang Berlaku Dan Prosedur Kepemilikan Senjata Api Bagi Anggota Polri 1. Anggota Polri Yang Berhak memiliki Senjata Api Menurut Peraturan Yang Berlaku Melayani dan melindungi merupakan tugas pokok polisi diseluruh dunia. Dalam memberikan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat, anggota polisi harus bersikap profesional. Profesionalisme anggota polisi dapat dilihat dari hasil kerja dan perilaku petugas tersebut dalam melayani masyarakat. Dalam setiap upaya untuk memperkokoh hubungan antara warga negara dan anggota polisi, etika pribadi dan sikap anggota polisi merupakan hal yang sangat penting. Di Indonesia, setiap anggota Polri harus memahami bahwa dasar pelayanan polisi adalah semangat dan kemauan untuk melayani warga negara Indonesia guna mendapatkan rasa hormat dan kepercayaan dari masyarakat. 41 Profesionalisme merupakan kemahiran dan kemampuan tinggi yang didukung oleh pengetahuan, sikap, keterampilan dan kematangan emosional dalam melaksanakan tugas di bidang masing-masing selaras dengan ketentuan hukum yang berlaku sehingga memberikan hasil kerja maksimal sesuai dengan standar internasional pekerjaannya. Profesional berarti melakukan suatu keahlian sebagai pekerjaan pokok. Sekalipun demikian profesional lebih dari sekedar ahli. 41
Buku Panduan Tentang Hak Asasi Manusia Untuk Anggota Polri, 2006,
Hal.27 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Seseorang dapat dikatakan profesional bila ia dapat memadukan antara ketajaman intelektual (Intelligence quation), ketajaman emosional (Emotional quation) dan ketajaman spiritual (Spiritual quation). Terdapat pula empat indikator yang dapat dilihat dalam diri seorang profesional yaitu: a. Kompeten (competen) adalah memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap emosional yang matang. b. Keterkaitan (connection) adalah keterkaitan antara pengetahuan, sikap dan keterampilan dengan pekerjaan yang dilakukan. c. Konsisten (consistence) adalah satunya kata dengan perbuatan secara berkesinambungan. d. Komitmen (commitment) adalah mencintai bidang tugas yang dilakukan. Profesionalisme, tingkah laku etis dan pemeliharaan tata cara menghadapi masyarakat oleh petugas penegak hukum harus sesuai dengan prinsip-prinsip berikut: 1. menghormati dan mentaati hukum 2. menghormati martabat setiap manusia 3. menghormati dan melindungi Hak Asasi Manusia Profesionalisme polisi menyangkut pengertian profesi polisi, polisi yang profesional dan institusi kepolisian yang profesional, selain itu pengertian profesional menyangkut suatu abstraksi ideal yang menyangkut keberadaan tertentu dimana dalam menjalankan tugas dan wewenangnya akan memberikan yang terbaik dengan pedoman standar minimal yang akan diberikan kepada kepentingan umum masyarakat. Demikian juga dalam kepemilikan senjata api, diperlukan anggota Polri
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
yang professional karena kepemilikan senjata api memiliki tanggung jawab yang besar, sebab tujuan dari kepemilikan senjata api bagi anggota polri adalah untuk mendukung tugas mereka, sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Profesionalisme sangat diperlukan oleh seorang anggota Polri yang akan memiliki dan menggunakan senjata api, karena profesionalisme erat kaitannya dengan kinerja anggota Polri dalam menggunakan senjata api yang dipercayakan kepada mereka. Untuk menilai apakah seorang anggota kepolisian sudah memiliki profesionalisme sehingga layak untuk memperoleh izin kepemilikan senjata api, dapat dilihat dari test yang wajib diadakan bagi setiap anggota Polri yang akan memiliki dan menggunakan senjata api. Peraturan yang mengatur kepemilikan senjata api baik bagi anggota polisi Republik Indonesia maupun bagi masyarakat sipil adalah Undang-undang Nomor. 12/Drt/1951 tentang senjata. Dalam pasal I ayat (1) disebutkan, barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggitingginya 20 tahun. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal I ayat (I) Undang-undang Nomor 12/Drt/1951, anggota Polri yang berhak memiliki senjata api adalah anggota Polri yang telah memperoleh hak untuk memiliki senjata api atau anggota
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Polri yang telah mempunyai/memperoleh izin kepemilikan senjata api. Disamping peraturan tersebut diatas, terdapat beberapa peraturan lain dalam bidang senjata api yang mengatur kepemilikan senjata api, antara lain yaitu: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1996 tentang Senjata Api Dinas Direktorat Jendral Bea dan Cukai. 2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1960 tentang Kewenangan Perizinan yang Diberikan Menurut Undang-undang Senjata Api. 3. Ordonantie Senjata Api 1937 (Stb Tahun 1937 Nomor 170) sebagaimana telah diubah dengan Ordonantie Tanggal 30 Mei 1939 (Stb Tahun 1939 Nomor 278). 4. Resolusi 34/168 Dewan Umum PBB tentang Prinsip-prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api Bagi Petugas Penegak Hukum.
2. Prosedur Kepemilikan Senjata Api Bagi Anggota Polri Berdasarkan hasil interview/wawancara penulis dengan Kasat I Bagian Pidum Polda Sumut, Kumbul KS. Sik, bahwa untuk memperoleh izin kepemilikan senjata api, terdapat prosedur atau syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh anggota polisi yaitu: a. Harus melalui izin Kasatker (Kepala Satuan Kerja) tempat personil bertugas. Dimana pimpinan tempat anggota kepolisian bertugas memberikan penilaian yang baik terhadap kinerja anggota tersebut atau keterangan bekerja baik. b. Anggot a kepolisian tersebut minimal berpangkat Bripda, c. Mengikuti test psikologi. Test psikologi disini adalah test psikologi pada umunya.
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Menurut Dr. Marwan,SH.MH, pengamat hukum dan kepolisian, setiap anggota kepolisian yang akan mendapatkan senjata api perlu mengikuti test psikologi. 42 Namun menurutnya test psikologi bukanlah jaminan bagi seorang aparat kepolisian untuk layak memiliki ataupun menggunakan senjata api, bisa saja dalam proses psikotest dia dikatakan layak menggunakan namun kondisi dapat berubah saat di lapangan, jadi yang harus diperhatikan adalah jangan mudah memberikan senjata api kepada anggota yang baru lulus atau belum terlatih, karena menurutnya yang sering melakukan insiden penembakan yang tidak sesuai dengan prosedur adalah oknum polisi yang berpangkat Bintara. d. Lulus ujian tembak Menurut Dr. Marwan, SH.MH, setiap anggota kepolisian yang akan memegang atau memiliki senjata api harus dibekali dengan kemampuan menembak. Kemampuan menembak harus dipelajari saat berada dalam pendidikan, setelah pendidikan dasar polisi kembali dibekali dengan pendidikan kejuruan. Dari pendidikan itulah perlu diseleksi dengan baik, anggota mana yang perlu memiliki senjata api dan mana yang tidak yang layak untuk memiliki senjata api. e. Test kesehatan Test kesehatan ini sangat penting dilaksanakan dalam test kepemilikan senjata api bagi anggota Polri, karena melalui test ini dapat diketahui bagaimana sebenarnya kondisi kesehatan dari anggota kepolisian yang akan memiliki senjata api, baik test kesehatan fisik maupun test psikis. Karena kondisi kesehatan dari aparat sangat mempengaruhi nantinya dalam penggunaan
42
http://www.Pajar.Co.id/news.Php, dikunjungi tanggal 25 Oktober 2007
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
senjata api yang dipercayakan kepada mereka. f. Anggota Polri tersebut bertugas di lapangan (penyidik lapangan), staf tidak layak diberikan izin kepemilikan senjata api, karena tujuan diberikannya senjata api kepada anggota kepolisian adalah untuk mendukung tugas mereka di lapangan sebagai pemelihara dan penjaga keamanan di tengah-tengan masyarakat. g. Izin rekomendasi dari Propam (Profesi dan Pengamanan) Izin rekomendasi ini berupa pernyataan bahwa anggota polisi tersebut berhak memiliki senjata api karena tidak pernah melakukan tindak pidana dan kesalahan lainnya dan hal ini berlaku surut. Propam merupakan penyaring terakhir dalam izin kepemilikan senjata api ini. h. Izin dari Denma (Denta Semen Markas), dimana Kadenma akan menandatangi kartu izin kepemilikan senjata api ini. Setiap 1 (satu) tahun sekali izin harus diurus kembali dan anggota polisi tersebut kembali harus mengikuti test.
B. Prosedur Penggunaan Senjata Api Bagi Anggota Polri Dalam menjalankan setiap tugas ada etika yang harus dijaga dan dijunjung oleh anggota kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Ketika aparat kepolisian mendapat gaji, tunjangan dan fasilitas dari negara, tentunya itu semua didapatkan karena mereka memiliki tugas menjaga keamanan negara. Tempaan fisik dan pendidikan militer termasuk amanat memegang senjata dimaksudkan untuk mendukung tugas mulia yang mereka emban. Prinsip-prinsip penggunaan kekerasan dan senjata api oleh polisi pada dasarnya termasuk dalam prinsip-prinsip dasar PBB tentang penggunaan
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
kekerasan dan senjata api oleh petugas penegak hukum yang diadopsi dari kongres PBB ke-8 tentang Perlindungan Kejahatan dan Perlakuan terhadap pelanggar hukum di Havana Kuba, dari tanggal 27 Agustus sampai 7 September 1990. 43 Tata tertib bagi Petugas Penegak Hukum PBB (diadopsi oleh Resolusi Dewan Umum 34/168, tanggal 17 Desember 1979) juga menekankan prinsipprinsip ini. Dan sebagai salah satu negara anggota PBB, Indonesia khususnya Polri mempunyai kewajiban untuk mengadopsi saran-saran PBB ini. Prinsipprinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekerasan Dan Senjata Api oleh Penegak Hukum adalah: 44 1.Cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu. 2.Kekerasan hanya dipakai bila sangat perlu. 3.Kekerasan dipakai hanya untuk tujuan penegakan hukum yang sah. 4.Tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum. 5.Penggunaan kekerasan harus selalu proporsional dengan tujuannya (yang sesuai dengan hukum). 6.Harus ada pembatasan dalam penggunaan kekerasan. 7.Kerusakan dan luka-luka harus dikurangi 8.Harus tersedia berbagai jenis alat yang dipakai dalam penggunaan kekerasan yang beragam. 9.Semua petugas harus dilatih dalam menggunakan berbagai peralatan yang dipakai dalam berbagai penggunaan kekerasan yang beragam. 10. Semua petugas harus dilatih tentang menggunakan cara-cara tanpa kekerasan. 43 44
Buku Panduan Hak Asasi Manusia Untuk Anggota Polri, op.cit, Hal.89 Ibid, Hal.92
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Prinsip-prinsip dasar PBB tentang penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh petugas penegak hukum ini, walaupun bukan merupakan sebuah perjanjian internsional, tetapi merupakan sebuah perangkat yang bertujuan memberikan panduan bagi negara-negara anggota dalam pelaksanaan tugas mereka untuk menjamin dan memajukan peran petugas penegak hukum secara benar. Dengan demikian, ada pemahaman mendasar bahwa prinsip-prinsip ini harus diperhatikan dan dihormati oleh pemerintah dalam kerangka perundang-undangan dan praktek nasional, dan harus menjadi perhatian petugas penegak hukum dan orang lain, seperti hakim, jaksa, pengacara, orang-orang yang duduk dalam pemerintahan dan legislatif serta masyarakat umum. Pembukaan undang-undang ini menekankan pentingnya bagi pemerintahan nasional untuk memperhatikan prinsip-prinsip yang termuat di dalam perangkat tersebut, dengan cara menyesuaikan dengan perundang-undangan dan praktek nasional. Untuk memperoleh informasi tentang penggunaan dan penerapan peraturan ini, negara-negara anggota menyediakan informasi tentang uji dan pelatihan khusus bagi petugas penegak hukum sebelum mereka diizinkan untuk menggunakan kekerasan atau senjata api, selain informasi tentang peraturanperaturan secara rinci mengenai penggunaan kekerasan dan senjata api oleh petugas penegak hukum secara umum terhadap orang yang sedang ditahan atau pada saat melakukan tugas kepolisian terhadap kegiatan berkumpul secara melanggar hukum. Ketentuan tentang pelatihan dan ujian khusus penggunaan kekerasan dan senjata api dalam prinsip-prinsip dasar penggunaan kekerasan dan senjata api menyatakan bahwa pemerintah dan pihak yang berwenang harus memastikan dan
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
menjamin bahwa polisi harus dilengkapi dengan keahlian dan kemampuan yang memadai tentang penggunaan kekerasan dan senjata api. Selain harus memperhatikan dan mematuhi prinsip-prinsip dasar tentang penggunaan kekerasan dan senjata api, aparat penegak hukum juga harus memperhatikan dan mematuhi prinsip-prinsip dasar dalam penegakan hukum, yaitu: 45 a. Legalitas Prinsip ini berarti bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh anggota polisi, harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Prinsip legalitas dalam Hak Asasi Manusia tidak hanya diatur dalam perundang-undangan nasional, tetapi juga secara internasional. Oleh karena itu, semua anggota polisi, baik polisi pria maupun polisi wanita, harus mengetahui perundang-undangan nasional dan internasional yang terkait dengan tugas penegakan hukum. Misalnya, dalam hal penahanan seorang tersangka, anggota polisi yang menangkap harus memiliki mandat menurut hukum untuk membatasi kebebasan tersangka. Dalam berbagai keadaan, anggota polisi tidak dapat bertindak di luar hukum yang sah (tidak bertindak sewenangwenang). b. Nesesitas Nesesitas berarti sebuah keadaan yang mengharuskan anggota polisi untuk melakukan suatu tindakan, atau menghadapi kejadian yang tidak dapat dihindarkan atau dielakkan sehingga terpaksa melakukan tindakan yang membatasi kebebasan seseorang.
45
Ibid, Hal.87
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Pada penggunaan kekerasan dan senjata api, prinsip ini diterapkan pada saat keadaan tidak dapat dihindarkan atau tidak dapat dielakkan, sehingga penggunaan kekerasan dan senjata api merupakan satu-satunya tindakan yang harus dilakukan. Artinya bahwa tidak ada cara lain untuk memecahkan masalah tersebut dalam mencapai sasaran yang diharapkan. Dalam semua keadaan, penggunaan senjata api yang mematikan hanya dapat digunakan secara tegas guna melindungi kehidupan (prinsip-prinsip dasar penggunaan kekerasan dan senjata api, prinsip Nomor 9). Maksud kehidupan disini adalah nyawa warga masyarakat yang tidak bersalah, anggota polisi dan tersangka. c. Proporsionalitas Prinsip proporsionalitas dalam penegakan hukum, tidak bisa disamakan dengan arti kata yang sama dalam tindakan anggota Angkatan Bersenjata (armed forces), dalam perpolisian, prinsip proporsionalitas tidak berarti menggunakan alat/peralatan yang sama dengan yang digunakan oleh tersangka, misalnya dalam keadaan tersangka menggunakan senjata api, tidak secara langsung polisi juga menggunakan senjata api. Selain itu, apabila tujuan penggunaan kekerasan dan senjata api sudah terpenuhi, maka penggunaan kekerasan harus dihentikan. Proporsionalitas adalah penggunaan kekerasan dan senjata api yang sesuai, berdasarkan tujuan yang dicapai dan tidak melebihi batas. Anggota polisi harus menerapkan prinsip proporsionalitas dalam setiap tindakan, terutama pada saat penggunaan kekerasan dan senjata api (hanya pada saat sangat dibutuhkan). Prinsip proporsionalitas dalam penggunaan kekerasan dan senjata api harus diterapkan pada saat berhadapan dengan keadaan sebagai berikut:
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
a.
Tindakan tersangka dan penggunaan sarana/peralatan (senjata api, pisau dan lain-lain).
b. Keadaan yang mendadak menimbulkan risiko kematian (warga masyarakat, petugas kepolisian dan tersangka). c. Kondisi atau keadaan yang penuh bahaya, ancaman terhadap jiwa, keadaan ketika bahaya atau ancaman sudah sangat dekat untuk terlaksana. d. Risiko dengan kemungkinan penggunaan senjata api dan kekerasan akan terjadi, petugas harus mampu menentukan tingkatan penggunaan kekerasan yang akan digunakan. Tata tertib bagi Petugas Penegak Hukum pasal 3 menjelaskan bahwa petugas penegak hukum hanya boleh menggunakan kekerasan bila sangat diperlukan dan hanya sebatas yang dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaan mereka. 46 Anggota polisi tidak boleh menggunakan senjata api untuk melawan orang yang dihadapi, kecuali dalam rangka membela diri atau membela orang lain ketika menghadapi ancaman nyawa atau luka yang parah, dan untuk mencegah kejahatan lain yang mengancam nyawa. Yang termasuk kasus-kasus pengecualian adalah penahanan seseorang yang membahayakan, yang melakukan perlawanan atau berkemungkinan melarikan diri dari anggota polisi, juga baik tindakantindakan yang lebih lunak tidak efektif lagi. Dalam situasi apapun penggunaan kekerasan dan senjata api secara sengaja dan mematikan hanya diizinkan jika sangat diperlukan untuk melindungi nyawa
46
Ibid, Hal.89
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
manusia. Keadaan-keadaan yang diizinkan untuk menggunakan senjata api adalah sebagai berikut: 47 1. Senjata api hanya boleh dipakai dalam keadaan-keadaan luar biasa. 2. Senjata api hanya boleh dipakai untuk membela diri atau membela orang lain terhadap ancaman kematian atau luka-luka. 3. Untuk mencegah terjadinya kejahatan berat yang melibatkan ancaman terhadap nyawa. 4. Untuk menahan atau mencegah larinya seseorang yang membawa, mengancam dan yang sedang berupaya melawan usaha untuk menghentikan ancaman tersebut. 5. Dalam setiap kasus, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup. 6. Penggunaan kekerasan dan senjata api dengan sengaja, hanya dibolehkan bila benar-benar untuk melindungi nyawa manusia. Secara rinci prosedur penggunaan senjata api bagi aparat kepolisian adalah sebagai berikut: 48 a. Petugas harus menyebutkan dirinya sebagai anggota polisi. b. Petugas harus memberi peringatan secara jelas. c. Petugas harus memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi. d. Hal ini tidak perlu dilakukan bila pengunduran waktu akan mengakibatkan. kematian atau luka berat terhadap petugas tersebut atau orang lain atau, e. Bila jelas-jelas tidak dapat ditunda dalam situasi tersebut. f. Tindakan polisi setelah menggunakan senjata api, yaitu:
47 48
Ibid, Hal.90 Ibid, Hal. 91
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
1. memberi bantuan medis bagi setiap orang yang terluka (korban dan penyerang yang memerlukan perawatan medis). 2. memberitahukan kepada keluarga atau kerabat korban akibat penggunaan senjata api. 3. penyidikan harus diijinkan bila diminta atau diperlukan. 4. menjaga tempat kejadian perkara untuk penyelidikan lebih lanjut. 5.
membuat laporan terinci dan lengkap tentang penggunaan senjata api Hal-hal yang sangat relevan dengan prinsip-prinsip dasar penggunaan
kekerasan dan senjata api adalah pemerintah dan lembaga penegak hukum harus mengadopsi dan menerapkan peraturan dan perundang-undangan tentang penggunaan kekerasan dan senjata api terhadap orang lain melalui petugas penegak hukum. Dalam mengembangkan aturan dan peraturan tersebut, pemerintah dan lembaga penegak hukum harus senantiasa meninjau kembali persoalan-persoalan etika yang berkaitan dengan penggunaan kekerasan dan senjata api. Badan pemerintah dan lembaga penegak hukum harus menetapkan prosedur pelaporan dan peninjauan yang efektif tentang semua kejadian dan harus melengkapi anggota polisi dengan berbagai jenis senjata api dan amunisi yang memungkinkan penggunaan kekerasan dan senjata api yang beragam, termasuk senjata yang tidak mematikan dan peralatan bela diri lainnya. Sejauh mungkin petugas penegak hukum harus menggunakan tindakan tanpa kekerasan sebelum memutuskan untuk menggunakan kekerasaan atau senjata api. Dalam penggunaan kekerasan dan senjata api, petugas penegak hukum harus
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
mempertimbangkan bahwa tindakannya yang tidak memadai dapat menyebabkan kematian. Ada saatnya peningkatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia sukar dilakukan, misalnya pada saat terjadi kerusuhan massal atau pada saat aparat kepolisian sedang berhadapan dengan seorang penjahat. Pada saat-saat yang demikian itulah biasanya negara melakukan pengurangan kewajibannya terhadap konvensi yang disepakati. 49 Akan tetapi ketika hal ini terjadi, petugas penegak hukum tetap mempunyai tanggung jawab yang sepenuhnya harus dilaksanakan, yaitu: 1. Menghargai dan melindungi hak-hak yang tidak dapat dikurangi pada setiap saat dan dalam keadaan apapun. 2. mematuhi tindakan-tindakan tersebut, dengan tetap melindungi hak-hak asasi lainnya, menyusul dilakukannya tindakan pengurangan oleh pemerintah. Anggota polisi mempunyai posisi yang sah secara hukum untuk membatasi hakhak seseorang dalam masyarakat, terutama mereka yang dicurigai melakukan kejahatan. Kendati demikian, ada faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam hal pembatasan hak-hak seseorang. Untuk itu, penting bagi anggota polisi untuk memahami peran mereka sebagai pelindung dan penegak Hak Asasi Manusia setiap orang dalam masyarakat. Apabila hal ini tidak diperhatikan oleh pihak kepolisian, maka tindakannya tersebut akan sangat membahayakan citra institusi kepolisian. Pihak kepolisian
49
Ibid, Hal.43
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
harus memperhatikan tiga tingkat prioritas keamanan sebelum menggunakan kekerasan dan senjata api yaitu: 50 a. Keamanan masyarakat atau pihak ketiga (setiap warga Negara) b. Keamanan polisi c. Keamanan pelanggar hukum Selain itu, semua petugas penegak hukum harus dilatih dalam menggunakan berbagai peralatan yang dipakai dalam berbagai penggunaan kekerasan yang beragam dan petugas penegak hukum harus dilatih tentang menggunakan caracara tanpa kekerasan. Dan harus ada pembatasan dalam penggunaan kekerasan , kerusakan dan luka-luka harus dikurangi serta harus tersedia berbagai jenis alat yang dipakai dalam penggunaan kekerasan yang beragam. Selain itu dalam memilih kekerasan yang akan digunakan, polisi harus memperhatikan tingkat kerjasama si tersangka dalam situasi tertentu serta mempertimbangkan rangkaian logis dan hukum sebab akibat. Dalam situasi tersebut polisi harus memutuskan cara apa yang akan ditempuh, teknik spesifik dan tingkat kekerasan yang akan digunakan berdasarkan keadaan. Penggunaan kekerasan secara progresif/tingkat kekerasan menyiratkan penilaian terhadap tiga situasi yaitu: 51 a. Adanya atau tidak adanya kerjasama dari tersangka (kepatuhan terhadap perintah polisi): 1. Bekerjasama: tersangka mematuhi perintah polisi 2. Perlawanan pasif: tersangka menolak perintah polisi tetapi pada tingkat verbal
50 51
Ibid, Hal.92 Ibid, Hal. 93
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
3. Perlawanan aktif: tersangka menunjukkan sikap yang berlawanan ketika dia ditangkap, tidak mematuhi polisi bahkan sebaliknya memelototi polisi 4. Agresif tingkat I, tidak mau mematuhi: tersangka secara fisik menolak ketika ditangkap, mengancam polisi dengan menggunakan kekuatan fisik. 5.
Agresi tingkat II, tersangka menunjukkan ancaman fisik dan kematian bagi polisi dengan menggunakan senjata api atau cara-cara ekstrim lainnya.
b. Persepsi atas risiko yang timbul dari penerapan kekerasan Dalam situasi kritis ketika secara umum nyawanya terancam, polisi harus mengevaluasi situasi tersebut dalam waktu secepat mungkin dengan menilai hal-hal di bawah ini: 1. Tindakan tersangka 2. Kondisi risiko (bagi warga, polisi dan tersangka) dan 3. Risiko yang muncul, agar dapat memutuskan tingkat kekerasan yang akan digunakan. Dengan demikian, penting bagi petugas penegak hukum untuk mendapatkan pelatihan yang cukup, dilengkapi dengan pengetahuan tentang teknik penggunaan kekerasan, cara-cara yang sesuai untuk berbagai situasi serta keahlian yang benar yang akan memberikan rasa percaya diri ketika memilih tingkat kekerasan yang sesuai. c. Tingkat kekerasan Langkah-langkah
polisi
dalam
berbagai
tingkatan
kekerasan/tahap
penggunaan kekerasan dan senjata api: 52
52
Ibid, Hal. 94
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
a. Kehadiran polisi Kehadiran polisi yang berseragam dianggap sebagai tindakan pencegahan kejahatan. Polisi tidak harus berbadan besar, yang dulu merupakan suatu keharusan di banyak negara. Polisi yang dilatih dengan baik, yamg memiliki pengetahuan teknis dan taktis, pengetahuan lengkap tentang tugas kepolisian, dan memiliki etika, adalah sifat-sifat utama yang dapat menjadi penangkal yang efektif terhadap terjadinya kejahatan. b. Negosiasi Seorang polisi harus mampu mengkomunikasikan maksudnya secara efektif dan sadar akan pentingnya kemampuan untuk mendengarkan apa yang dikatakan orang yang dilayani. Komunikasi dapat menjadi tingkat kekerasan yang efektif, sehingga bahasa dan nada yang dipakai menjadi penting karena keseriusan campur tangan dan tingkat pendidikan anggota polisi tersebut. Bila polisi menggunakan bahasa yang biasanya dipakai oleh para penjahat, dia akan dianggap negatif oleh masyarakat dan tidak mendapatkan rasa hormat yang seharusnya diberikan kepada petugas penegak hukum. Penggunaan cara non kekerasan meliputi negosiasi, mediasi dan penyelesaian konflik. Semua anggota polisi harus mampu menjadi negosiator. Pengalaman telah membuktikan bahwa penggunaan cara-cara seperti ini lebih efektif dari penggunaan kekerasan. Melakukan kontak visual atau pengendalian kontak dengan tersangka, sadar atas apa yang mereka lakukan serta mengantisipasi apa yang akan mereka lakukan, adalah hal-hal yang sangat penting untuk menghindari risiko yang tidak perlu.
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
c. Penggunaan tangan kosong Mengharuskan anggota polisi berada dalam kondisi fisik yang bugar sehingga mampu menghentikan tersangka atau melakukan intervensi dalam situasi yang beresiko. Anggota polisi yang tidak bugar akan mengalami kesulitan menangkap dan menahan tersangka terutam ketika tersangka melawan. Karena itu, sangat penting bagi polisi untuk senantiasa berlatih secara fisik, yang memungkinkannya berada dalam kondisi fisik yang prima, yang membuatnya mampu menggunakan metode atau teknik bela diri bila diperlukan. d. Penggunaan teknik melumpuhkan Mencakup penggunaan tongkat yang biasa dipakai polisi atau cara-cara lain (tongkat, tameng dan lain-lain) yang paling sesuai dengan keadaan. Alat-alat tersebut hanya boleh dipakai ketika teknik-teknik tanpa kekerasan
terbukti
mempertimbngkan
tidak
efektif
prinsip-prinsip
dalam
situasi
legalitas,
tersebut nesesitas,
dengan dan
proporsionalitas. e. Penggunaan zat kimia Zat kimia (gas air mata, bom asap pemedih, dan sejenisnya) dapat digunakan jika situasi (massa) bertindak anarkis/brutal dan tidak terkendali dengan tetap mempertimbangkan Prinsip-prinsip Dasar Penegakan Hukum. f. Penggunaan tindakan yang mematikan Senjata api atau peralatan yang lain dapat digunakan hanya untuk melindungi nyawa manusia. Hal ini meliputi nyawa korban, nyawa warga,
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
atau penonton, polisi serta pelanggar hukum atau penjahat itu sendiri. Ketika menggunakan senjata api polisi harus: 1. menyatakan identitas dirinya 2.menyatakan maksudnya dengan jelas bila berkaitan dengan penggunaan senjata api. 3.memberi cukup waktu sehingga peringatan diperhatikan kecuali jika jelas sekali bahwa kondisinya memaksanya untuk melakukan tindakan lain. Dalam rangkaian tugasnya (pelindung dan pelayan) polisi memang diberikan kewenangan untuk menggunakan senjata dan kekerasan, aparat kepolisian diberikan kewenangan untuk menggunakan kekuatan guna memaksa seseorang atau kelompok agar mematuhi aturan sebagi inti dari demokrasi (Law enforcement in democratic society). Kewenangan ini telah dimuat dengan tegas dalam Resolusi 34/169 majelis umum PBB, yang tertuang dalam code of conduct for law enforcement dengan prinsip dasar mengizinkan aparat penegak hukum menggunakan kekerasan dalam menjalankan tugasnya. Namun harus diingat bahwa resolusi ini juga memuat tiga asas esensial seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu asas legalitas (legality), kepentingan (necessity) dan proporsional (proportionality), artinya sekalipun aparat kepolisian diberikan kewenangan untuk menggunakan senjata dan kekerasan, namun mereka memiliki kewajiban untuk mengendalikan sekaligus mencegah dengan bertindak secara proporsional berdasarkan situasi dan kondisi lapangan sebab jika tidak, tindakan tersebut akan dianggap penggunaan kekerasan
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
berlebihan (excessive use of force) dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) sekaligus pelanggaran harkat dan martabat manusia.
C. Tujuan Pengaturan Penggunaan Senjata Api Bagi Anggota Polri Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa polisi di dalam melaksanakan tugasnya harus tetap menjunjung tinggi HAM. Begitu juga yang ditentukan dalam pasal 2 Ketentuan Berprilaku bagi Petugas Penengak Hukum, bahwa dalam menjalankan tugasnya, petugas penegak hukum harus menghormati dan melindungi martabat manusia dan mempertahankan serta menjunjung tinggi HAM semua orang. Demikian juga dalam menggunakan senjata api, yang merupakan amanat dari rakyat, aparat kepolisian harus memahami dan mematuhi prosedur yang berlaku dalam menggunakan senjata api. Tujuan dari prosedur/peraturan standar penggunaan kekerasan dan senjata api adalah untuk menjamin adanya perlindungan bagi hak-hak masyarakat agar tidak disalahgunakan oleh para pejabat penegak hukum dan sekaligus memahami adanya bahaya yang dihadapi para penegak hukum dalam menjalankan tugas mereka. 53 Dalam praktek tidak jarang timbul kesulitan, dalam menyatukan persepsi antara tugas sebagai penegak hukum dan sebagai penjaga ketertiban, sehingga tindakan polisi dinilai terlalu keras, seringkali ada oknum kepolisian yang ringan tembak bahkan tidak jarang tembakannya menewaskan warga sipil, sekalipun hal ini dilakukan dalam masa tugas tidak berarti polisi boleh seenaknya menembakan pelurunya, karena ada aturan main atau prosedur yang harus di perhatikan dan 53
hhtp://www.minihub.org/siarlist/Polisi dan Senjata Api, dikunjungi tanggal 18 November 2007 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
dipenuhi oleh aparat kepolisian dalam menggunakan senjata api. 54 Polisi memang memiliki diskresi dalam menjalankan tugasnya, tetapi harus tetap didasarkan pada hukum yang berlaku, secara struktural pada kepolisian melekat dua kekuasaan yaitu: 55 1. kekuasaan di bidang hukum 2. kekuasaan di bidang pemerintahan, kekuasaan ini melahirkan tiga fungsi utama yaitu: a. penegak hukum b. pelayanan masyarakat termasuk penegakan ketertiban umum c. pengayom keamanan Kekuasaan polisi ini diwujudkan dalam bentuk kekuatan paksa fisik yang terorganisir untuk mengontrol prilaku masyarakat dalam mencapai moral kolektif yang menjadi tanggung jawab bersama. Masalahnya muncul pada saat polisi dituntut menjadi wasit yang adil dalam berhadapan dengan nafsu kekuasaan, dimana polisi harus memiliki kemampuan yang memadai agar tidak mengabaikan tujuan moral kolektif. Setiap aparat kepolisian yang telah memperoleh izin untuk memiliki dan menggunakan senjata api dalam menjalankan tugasnya, harus memenuhi prosedur yang berlaku dalam menggunakan senjata api. Aparat tidak boleh main tembak saja sekalipun aparat sedang dalam tugas. Aparat harus tetap memegang prinsip bahwa mereka memiliki fungsi sebagai pengayom dan pelindung masyarakat serta harus tetap menjunjung tinggi HAM sekalipun mereka sedang berhadapan dengan
54
Sem Karoba, Standar HAM InternasionalUntuk Penegak Hukum, GalangPress, 2007, Hal.30 55 Bibit Samad Rianto, Op.cit, Hal.8 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
seorang penjahat. Akan tetapi hal ini bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan, seringkali dalam menjalankan tugasnya, terkhusus dalam menggunakan senjata api, polisi melakukan kesalahan yang fatal bahkan sampai menjatuhkan korban di pihak sipil. Hal ini bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, bahwa senjata api digunakan hanya dalam keadaan yang sangat ekstrim. 56 Polisi sebagai petugas penegak hukum, selain harus terlatih menggunakan senjata api dan memiliki kepiawaian dalam mencegah dan memberantas kejahatan, tetapi juga harus menghormati hak-hak asasi manusia. Karena sebagai polisi,
mereka
bukan
berhadapan
manusia/masyarakat yang wajib dilindungi.
dengan
benda
mati,
melainkan
57
Penggunaan senjata api oleh polisi yang sebenarnya legal itu jika tidak didasarkan pada rambu-rambu hukum dan hak asasi manusia maka akan mengimbas pada terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Akibatnya akan muncul korban luka atau meninggal dari aksi penggunaan senjata yang tidak sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh polisi. Penyimpangan yang menimbulkan korban merupakan suatu pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia.
58
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal I butir I Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa: “ Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,
56
Sem Karoba, Op.cit Ibid 58 M. Khoidin Sadjijono, op.cit, Hal.103 57
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Berdasarkan ketentuan ini, kepolisian sebagai bagian dari pemerintahan wajib menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia di dalam pelaksanaan tugasnya. Dan hal ini juga telah diatur dengan tegas dalam pasal 19 ayat (1) Undang-undang kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 yaitu: “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Sedangkan pelanggaran Hak Asasi Manusia menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 pasal I butir 6 adalah: “setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yng berlaku”. Berdasarkan bunyi pasal ini, maka tindakan aparat kepolisian yang menggunakan senajata api tidak sesuai dengan prosedur baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja atau kelalaian secara melawan hukum merupakan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia karena aparat kepolisian tidak menghormati hak hidup seseorang.
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Polisi selalu menjadi sorotan masyarakat, sebab polisi merupakan aparat penegak hukum yang langsung berhadapan dengan masyarakat. 59 Sepak terjang polisi akan langsung dilihat masyarakat. Pada kontak langung dengan masyarakat inilah citra polisi akan sangat ditentukan. Dengan adanya pengaturan penggunaan senjata api bagi aparat kepolisian, maka penggunaan senjata api yang tidak pada tempatnya dapat dihindari sehinggan keselamatan orang lain, baik itu seorang yang diduga sebagai pelaku kejahatan dan masyarakat sipil dapat terjamin. Dan dengan diaturnya penggunaan senjata api bagi aparat kepolisian, maka tindakan aparat kepolisian dapat dibatasi sehingga mereka tidak sewenang-wenang dalam melaksanakan kekuasaannya dan hal ini dapat mengurangi tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh petugas penegak hukum.
59
Bibit Samad Rianto, Op.cit, Hal.3
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
BAB III PENGGUNAAN SENJATA API YANG TIDAK SESUAI DENGAN PROSEDUR SEBAGAI SUATU TINDAK PIDANA
A. Penggunaan Senjata Api Yang Tidak Sesuai Dengan Prosedur Sebagai Suatu Tindak Pidana Asas hukum pidana Indonesia mengatur sebuah ketentuan yang mengatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dihukum selama perbuatan itu belum diatur dalam suatu perundang-undangan atau hukum tertulis. Asas ini dapat dijumpai pada pasal I ayat (1) KUHP yang disebut dengan asas legalitas yaitu asas mengenai berlakunya hukum. Untuk itu dalam menjatuhkan atau menerapkan suatu pemidanaan terhadap seorang pelaku kejahatan harus memperhatikan hukum yang berlaku. Dalam ketentuan pasal I ayat (I) KUHP, asas legalitas mengandung 3 (tiga) pengertian, yaitu: 60 1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. 2. Untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh digunakan analogi 3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. Dari pengertian point I menyebutkan harus ada aturan undang-undang. Dengan demikian harus ada aturan hukum yang tertulis terlebih dahulu terhadap suatu perbuatan sehingga dapat dijatuhi pidana terhadap pelaku yang melakukan perbuatan pidana. Dengan demikian berdasarkan peraturan yang tertulis akan
60
Adil Matogu, Op.cit, Hal.30
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
ditentukan perbuatan apa saja yang dilarang untuk dilakukan yang jika dilanggar menimbulkan konsekuensi hukum yaitu menghukum pelaku. Dalam KUHP tidak ada diatur mengenai tindak pidana penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur, akan tetapi dalam KUHP telah diatur dengan tegas batasan-batasan bagi seseorang untuk melakukan suatu perbuatan berupa tindakan kekerasan yaitu dalam pasal 49 ayat (1) yang menyatakan dengan tegas bahwa: “barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, daripada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”. Berdasarkan peraturan ini, maka suatu perbuatan berupa tindakan kekerasan yang dilakukan karena keadaan terpaksa tidak dikenai hukuman akan tetapi tindakan kekerasan yang dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa, sebagimana diatur dalam pasal 49 ayat (I) dapat dijatuhi hukuman. Disamping pada pasal 49 ayat (I) diatas, batasan untuk melakukan suatu perbuatan berupa tindakan kekerasan juga diatur dalam pasal 50 KUHP, yang dengan tegas menyatakan bahwa: “barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang, tidak boleh dihukum”. Hal ini berarti bahwa setiap orang yang melakukan suatu perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang tidak boleh dihukm akan tetapi apabila perbuatan tersebut dilakukan bukan untuk menjalankan peraturan undang-undang, pelakunya dapat dikenai hukuman.
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Berdasarkan asas legalitas, telah terbentuk suatu peraturan internasional yang mengatur tentang prosedur penggunaan senjata api bagi setiap Penegak Hukum yang berlaku secara khusus, yaitu Resolusi PBB 34/168 Dewan umum PBB tentang prinsip-prinsip dasar penggunaan kekerasan dan senjata api bagi aparat penegak hukum yang diadopsi dari kongres PBB ke-8 tentang perlindungan kejahatan dan perlakuan terhadap pelanggar hukum di Havana Kuba. Sebagai Negara anggota PBB, Indonesia wajib mematuhi peraturan ini. Dalam prinsip nomor 9 tentang prinsip-prinsip penggunaan kekerasan dan senjata api dinyatakan dengan tegas bahwa: “Anggota polisi tidak boleh menggunakan senjata api untuk melawan orang yang dihadapi, kecuali dalam rangka membela diri atau membela orang lain ketika menghadapi ancaman nyawa atau luka yang parah, dan untuk mencegah kejahatan lain yang mengancam nyawa”. Jadi apabila hal-hal di atas tidak diperhatikan dan dipatuhi oleh aparat kepolisian dalam menggunakan senjata api, maka tindakan aparat tidak sesuai lagi dengan peraturan yang berlaku. Peraturan lain yang berhubungan dengan penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur adalah Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dimana tindakan aparat kepolisian yang menggunakan senjata api tidak sesuai dengan prosedur merupakan tindakan yang sewenangwenang atau penyalahgunaan wewenang, dan hal ini merupakan tindakan pelanggaran HAM. Penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur telah melanggar pasal 4 dan 33 ayat (1) Undang-undang HAM. Pasal 4 menyatakan diantaranya
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa……………………..adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. Berdasarkan ketentuan ini, maka tindakan aparat kepolisian yang sewenangwenang berupa penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur merupakan tindakan yang mengurangi hak hidup seseorang karena penembakan yang mengakibatkan luka atau tewasnya seseorang jelas merupakan perampasan hak hidup dari seseorang. Disamping pasal 4 diatas, juga ditentukan dalam pasal 33 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya”. Berdasarkan peraturan ini, tindakan aparat kepolisian yang menggunakan senjata api tidak sesuai dengan prosedurnya merupakan tindakan penyiksaan dan tidak manusiawi karena aparat kepolisian dalam tindakannya tidak memperhatikan dan menghormati hak hidup seseorang. Dan tindakan aparat kepolisian yang tidak menghormati hak hidup seseorang ini merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum sehingga merupakan tindak pidana. Berdasarkan peraturan-peraturan diatas maka dapat ditentukan unsur-unsur dari tindak pidana penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur. Menurut prinsip Nomor 9 tentang Prinsip-prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api dapat ditentukan unsur-unsur dari penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian, dimana telah dikatakan bahwa anggota polisi dilarang menggunakan senjata api untuk melawan orang yang dihadapi kecuali dalam rangka membela diri atau membela orang lain ketika
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
mengghadapi ancaman nyawa atau luka parah, dan untuk mencegah kejahatan lain yang mengancam nyawa. Maka ditentukan unsur-unsur penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur yaitu: 1. Bahwa telah ada suatu tindakan sewenang-wenang dari aparat kepolisian yaitu penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur pada saat berhadapan dengan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana atau pada saat berhadapan dengan masyarakat sipil ketika. Tindakan tersebut dilakukan dengan menggunakan senjata api yang dimiliki oleh aparat untuk mendukung tugasnya. 2. Bahwa tindakan aparat yang menggunakan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur dilakukan pada saat melaksanakan tugas/pada saat aparat sedang bertugas di lapangan. 3. Bahwa tindakan aparat yang menggunakan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur bertentangan dengan ketentuan internasional yang telah ditetapkan oleh dewan umum PBB. 4. Bahwa perbuatan menggunakan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur merupakan tindakan penggunaan kekerasan yang berlebihan sehingga bertentangan dengan ketentuan mengenai batasan-batasan menggunakan kekerasan dan senjata api bagi aparat ketika bertugas. Berdasarkan unsur-unsur tersebut diatas dapat ditentukan bahwa penggunaan senjata api yang tidak sesuai denga prosedur merupakan tindak pidana karena telah melanggar ketentuan yang terdapat dalam Resolusi 34/168 Dewan umum PBB, dimana unsur-unsur diatas telah terpenuhi untuk dapat dilakukan pemidanaan yaitu pertanggungjawaban pidana terhadap penggunaan senjata yang
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
tidak sesuai dengan prosedur. Berdasarkan ketentuan/peraturan tentang HAM, maka dapat ditentukan unsurunsur dari penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur yang merupakan pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh aparat
pada
saat
melaksanakan tugas, yaitu: 1. Bahwa telah ada suatu tindakan mengurangi hak hidup seseorang sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 Undang-undang HAM. Pengurangan hak hidup seseorang tersebut dilakukan dengan cara memakai kekerasan berupa penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur. 2. Bahwa selain merupakan tindakan pembatasan hak hidup seseorang, penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian juga merupakan tindakan penyiksaan sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat (1) Undang-undang HAM. Dimana aparat kepolisian bertindak diluar batas kemanusiaan ketika sedang melaksanakan tugasnya dan tidak lagi menghormati hak hidup seseorang. 3. Bahwa perbuatan pengurangan hak hidup seseorang dan tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian pada saat melaksanakan tugasnya, khususnya pada saat menggunakan senjata api telah melanggar kewajiban dan tanggung jawab dari kepolisian sebagai bagian dari pemerintah sebagaimana diatur dalam pasal 71 Undang-undang HAM, yang menyebutkan bahwa: “ Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain dan hukm internasional tentang HAM yang diterima oleh Negara Republik Indonesia”.
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Berdasarkan unsur-unsur tersebut diatas maka dapat ditentukan bahwa perbuatan aparat kepolisian yang tidak menghargai hak hidups seseorang serta penyiksaan yang dilakukan pada saat menjalankan tugas merupakan perbuatan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang telah diatur secara tegas dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, dimana unsur-unsur diatas telah dipenuhi untuk dapat dilakukan pemidanaan yaitu pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Menurut Diah Susilowati, Koordinator Kontras, sebuah Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang HAM, terdapat 2 (dua) jenis penyalahgunaan senjata api, yaitu apabila penyalahgunaan senjata api dilakukan dalam tugas atau penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur maka tindakan tersebut merupakan pelanggaran HAM, dimana aparat kepolisian tersebut telah melakukan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan penggunaan kekerasan yang berlebihan (excessive use of force), karena menurutnya dalam menggunakan senjata api harus sesuai dengan prinsip fungsional, proporsional dan professional sebagaimana diatur dalam Resolusi PBB Nomor 34/169, dan jika hal ini tidak dilaksanakan maka akan sangat rentan dengan pelanggaran HAM sedangkan apabila penyalahgunaan senjata api dilakukan diluar tugas maka tindakan tersebut merupakan tindakan kriminal dan menurutnya kedua jenis penyalahgunaan senjata api ini dapat dikenakan sanksi pidana.
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
B. Tindak Pidana Yang Ditimbulkan Oleh Penggunaan Senjata Api Yang Tidak Sesuai Dengan Prosedur Berbicara mengenai tindak pidana yang ditimbulkan oleh penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur, maka yang akan dibahas adalah tindak pidana yang terjadi akibat penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur. Selain penggunaan kekerasan yang berlebihan dan pelanggaran HAM, terdapat beberapa tindak pidana lainnya yang ditimbulkan oleh pengunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur yaitu: 61 1. Penganiayaan Undang-undang tidak memberikan ketentuan mengenai apakah yang dimaksud dengan penganiayaan. Menurut yurisprudensi yang dimaksud dengan pengniayaan adalah sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn), atau luka. Di dalam KUHP, penganiayaan diatur dalam pasal 351, 352, 353, 354 dan 353. Akan tetapi penganiayaan yang sering dilakukan oleh aparat kepolisian pada saat melaksanakan tugasnya adalah penganiayaan biasa sebagaimana diatur dalam pasal 351 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3). Berdasarkan pasal 351 terdapat 3 (tiga) jenis penganiayaan yaitu: a. Penganiayaan yang tidak mengakibatkan luka berat atau matinya orang. b. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat. c. Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang. 2. Pemerasan 61
www.Kontras-Su@ telkom.net/ polisi dan senjata api, dikunjungi tanggal 25 Agustus 2007 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Diatur dalam pasal 368 ayat (1) KUHP, yang dinamakan dengan pemerasan dengan kekerasan. Pasal 368 ayat (1) menyatakan diantaranya bahwa: “Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, supaya orang itu memberikan barang, yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang itu sendiri, kepunyaan orang lain……”. 3. Pencurian Diatur dalam pasal 362 KUHP yang menyatakan diantaranya bahwa: “Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian…………”. 4. Pembunuhan Diatur dalam pasal 338 KUHP yang bunyinya sebagai berikut: “Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”. Berdasarkan bunyi pasal 338 KUHP, maka unsur-unsur pembunuhan adalah: 62 a. Barangsiapa Hal ini berarti ada orang tertentu yang melakukannya. b.Dengan sengaja Dalam ilmu hukum pidana, dikenal 3 (tiga) jenis bentuk sengaja (dolus) yakni: 62
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantasan dan Prevensinya), Jakarta, Sinar Grafika, 2002, Hal.22 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
1. Sengaja sebagai maksud 2. Sengaja dengan keinsyafan pasti 3. Sengaja dengan keinsyafan kemungkinan/dolus eventualis c.Menghilangkan nyawa orang lain 5. Kelalaian yang menyebabkan kematian Diatur dalam pasal 359 KUHP, yang menyatakan bahwa: “Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun”. Rumusan karena salahnya adalah unsur kelalaian atau culpa yang menurut ilmu hukum pidana terdiri dari: 63 a. Culpa dengan kesadaran. b. Culpa tanpa kesadaran. Berikut beberapa kasus penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian Sumatera Utara:64
63
Ibid, Hal 65 www.Kontras-Su@ telkom.net/polisi dan senjata api, dikunjungi tanggal 25 Agustus 2007 64
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Waktu
06
April
2005
Tempat
Kronologis kejadian
Dusun Balai
Sekelompok
Desa, Desa
bersenjata
Durian Simbeling.Deli Serdang.
api
Keterangan
pria Tidak
ada
yang tindak
lanjut
mengaku dari Polda-Su dari
kasus
menggerebek dua rumah ini/tidak di
Durian proses
desa
mengambil hukumnya
Simbeling, harta
ada
dan
membawa
secara paksa empat orang warga. 07
April Tidak disebutkan
2005
Seorang
polisi
dipengaruhi keras
yang Tidak
ada
minuman proses
hukum
menodongkan terhadap
senjata dan melakukan peristiwa ini. penganiayaan
terhadap
Hermin. 08 April
Desa Tundukan
2005
Raga, Kecamatan
dan
Sinemba Tanjung
Tundukan
Muda Hilir, Deli
menentang
Serdang.
Bentrokan antara Brimob Tidak warga
Desa proses
Raga,
ada hukum
yang terhadap
penguasaan peristiwa ini
lahan oleh PTP II, satu warga tertembak.
12
Kotarih. Serdang
September
Bedagai
2005
Dua oknum polisi yang Tidak diperbantukan keamanan
menjaga proses
PTPN
ada hukum
III terhadap
terlibat bentrok dengan peristiwa ini. warga
dan
melakukan
penembakan
terhadap
tiga orang warga.
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
08
Jl. Tritura. Medan
Oktober
Seorang Bripda berinisial Tidak SS
2005
yang
berpakaian proses
preman
ada hukum
mencoba terhadap kasus
menghentikan
sepeda ini.
motor yang dikendarai korban. tahu
Karena
tidak
bahwa
yang
mencoba menghentikannya adalah seorang polisi dan takut perampok, maka korban mengabaikan
halangan
polisi tersebut, merasa diabaikan melepaskan
Bripda
SS
tembakan
yang mengenai korban. 18
Jl. Rela, tembung. Ranto Nainggolan mati Tidak
november
Medan.
2005
ditembak peluru panas proses
ada hukum
Bripka DS (Intel Poltabes terhadap kasus Medan), belum diketahui ini. motif pembunuhan
18 2006
Juli
Jl. Timah Gg.
Sekitar 30 personil aparat Kasus
Perak III, Kota
bersenjata
Bangun, Medan
seseorang yang bernama ditangani
oleh
Deli.
Jhonny disekitar lokasi Propam
dan
pengumpulan oli kotor. belum
ada
Ketika pencarian
ini
mencari tengah
mengadakan keputusan. aparat
melakukan penganiayaan Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
terhadap beberapa warga dengan
menodongkan
senjata api dan sebagian warga
lainnya
diperintahkan
untuk
tiarap. Akibat peristiwa ini terdapat 1 (satu orang) korban
luka
akibat
pemukulan
dengan
menggunakan
gagang
pistol.
seorang
Salah
korban bernama Andreas telah melaporkan kasus ini
ke
kantor
PROPAM
BID
POLDA
SUMUT. 31 2006
Juli
Percut Sei Tuan, Deli Serdang. medan
Kejadian
ini
dimulai Tidak
ada
ketika aparat kepolisian proses
hukum
menangani
unjuk
rasa terhadap
oleh ratusan buruh PT. petugas
yang
Cipta Meubelindo Lestari melakukan di percut Sei Tuan. Pasca penembakan unjuk rasa yang berakhir tersebut bahkan dengan pembubaran oleh korban sempat Brimob seorang
Polda-Su, ditahan buruh
bernama
di
yang Polda-Sumut Syamsir
Hasibuan yang tidak ikut dalam dijemput
aksi
tersebut
paksa
dari
rumahnya, kemudian di depan rumahnya tersebut, Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
anggota
FSBSI
1992
tersebut ditembak tempel dibagian
kakinya oleh
petugas. Selain itu surat penangkapan
yang
seharusnya ditandatangani Syamsir,
oleh
tidak
diberi
kewenangan
untuk
ditandatangani. 25 Januari
Arena Pemeran
Dua
pasangan Tidak
ada
2007
Syariah Fair di
suami-istri ditembak oleh proses
hukum
Komp.IAIN, Jl.Sutomo.Medan
orang,
seorang
anggota terhadap
kepolisian yang sedang peristiwa ini. bertugas
di
arena
pameran Syariah Fair, Iptu.
Oloan
hutasoit.
Setelah
menembak
pasangan
suami-istri
tersebut,
Iptu.
Hutasoit
Oloan
menembak
kepalanya
sendiri
dan
tewas ditempat. 21 Maret
Jl. Sudirman.
Terjadi
baku
2007
Binjai
antara
polisi
sekelompok
tembak Diproses di PN dengan Binjai. orang
berkendaraan roda empat yang
diduga
sebagai
kawanan perampok di Jl. Sudirman, Binjai. Dalam penggerebekan seorang
ini,
pengendara
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
sepeda
motor
tewas
akibat peluru nyasar dari pihak kepolisian. Kasus dengan
tersangka
Brigadir Dicky Sahroni Lubis ini sudah diproses di pengadilan binjai dan telah diputus. 11 April
Rabu 11 April 2007, Tidak
ada
2007
sekitar pukul 04.00 wib proses
hukum
sebanyak
30
orang terhadap aparat
berpakaian
polisi
dan yang melakukan
preman penembakan ini
berpakaian
lengkap dengan senjata mendatangi
rumah
Suherman (korban) yang masih
diduga
pelaku
sebagi sejumlah
perampokan
di
medan.
kota Tanpa
menunjukkan perintah
surat
penangkapan,
surat penggeledahan dan penyitaan, langsung
polisi membawa
Suherman dengan tangan diborgol
dan
kaki
dirantai.
Lalu
polisi
lainnya mengobrak-abrik kamar mencari
korban barang
untuk bukti.
Dalam penggeledahan di Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
kamar
korban,
polisi
mengambil uang Rp 125 juta dari brankas, 4 juta dari dompet Suherman dan 25 juta uang belanja dari dompet istri korban bahkan 2 celengan yang berisi
5
juta
serta
perhiasan emas senilai 500
gr
ikut
diambil
polisi. Selain itu 4 unit sepeda motor, 1 unit Toyota Avanza, 3 lembar sertifikat tanah dan 1 lembar BPKP, ATM dan paspor
ikut
Setelah
dibawa. petugas
menggeledah
dan
menyita harta benda dari rumahnya, Juliana istri korban
bersama pihak
keluarga Poltabes
mendatangi MS
sekitar
pukul 06.00 wib dan langsung pemeriksaan.,
menjalani tidak
berapa lama kemudian ia mendapat kabar bahwa suaminya
telah
meninggal dunia dengan luka tembak di bagian dada, bagian pusar dan Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
bagian
pangkal
paha.
Sekitar
pukul
18.00
setelah
menjalani
pemeriksaa,
Juliana
bersama
keluarga
mendatangi RS.Bhayangkara Medan dan
melihat
jenazah
suaminya dengan kondisi 5 (lima) luka tembakan di tubuh.
Mengetahui
kedatangan mereka, salah seorang kepolisian
petugas memberikan
amplop berisi uang Rp 500 ribu kepadanya dan mengatakan
uang
itu
sebagai
uang
belasungkawa
pihak
kepolisian karena pihak kepolisian menghabisi
telah nyawa
suaminya.
C. Unsur Melawan Hukum Dari Penggunaan Senjata Api Yang Tidak Sesuai Dengan Prosedur Suatu perbuatan sudah dapat dihukum, apabila sudah terlebih dahulu diatur dan sesuai menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau perbuatan tersebut telah bertentangan dengan hukum yang tertulis atau tidak tertulis.
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
.
Penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur dikategorikan
sebagai perbuatan yang memenuhi unsur melawan hukum karena perbuatan tersebut memenuhi unsur sifat tercela atau terlarang dari suatu perbuatan, dimana sifat tercela dari penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur bersumber dari peraturan tertulis yaitu Resolusi PBB Nomor 34/168 Tahun 1979, khususnya melanggar prinsip Nomor 9 (sembilan) yang mengatur dengan tegas kapan seorang anggota polisi boleh menggunakan kekerasan dan senjata api, yang wajib diadopsi oleh negara kita sebagai anggota PBB, khususnya oleh aparat kepolisian kita. Menurut putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 yang dikenal dengan Arrest 1919, suatu perbuatan merupakan perbuatan melawan hukum apabila: 65 a. Melanggar hak orang lain Yang dimaksud melanggar hak orang lain ialah melanggar hak subyekif orang lain. Sulit untuk merumuskan pengertian tersebut , akan tetapi dapat dinyatakan sebagai suatu wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang. Menurut Meiyers, hak subjektif menunjuk kepada seseorang secara khusus untuk melindungi kepentingannya. Hak-hak subyektif yang penting berkenaan dengan perbuatan melawan hukum yang diakui oleh yurisprudensi ialah hak-hak pribadi seperti hak atas kebebasan, nama baik dan kehormatan. Adakalanya pelanggaran hak subyektif selain terjadi karena perbuatan melawan hukum, dapat juga disebabkan oleh peristiwa-peristiwa lainnya, misalnya karena perbuatan pihak ketiga. Dalam hal ini adalah tidak tepat untuk menerapkan ukuran dari sifat melawan hukum 65
Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Bandung, Alumni, 1982, Hal.17 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
pelanggaran hak subyektif. Pelanggaran tersebut dimasukkan sebagai kriteria perbuatan melawan hukum, karena pelanggaran tersebut pada umumnya sudah dengan sendirinya merupakan perbuatan melawan hukum. Suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif merupakan perbuatan melawan hukum, apabila perbuatan tersebut secara langsung merupakan pelanggaran terhadap hak subyektif. b. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat Kewajiban hukum diartikan sebagai kewajiban menurut hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Tetapi dalam putusannya Hooge Raad menafsirkan kewajiban hukum sebagai kewajiban menuru Undang-undang. Jadi perbuatan melawan hukm diartikan antara lain, berbuat atau tidak berbuat yang melanggar suatu kewajiban yang telah diatur oleh Undang-undang. Melanggar kewajiban menurut Undang-undang tidak hanya Undang-undang dalam arti formal, akan tetapi juga peraturan-peraturan hukm yang dikeluarkan oleh pemerintah. Termasuk dalam kategori perbuatan yang melanggar kewajiban menurut hukum (Undang-undang) adalah perbuatan pidana. c. Bertentangan dengan kesusilaan yang baik Tentang kesusilaan yang baik tidak dapat diberikan rumusan yang tepat. Dapat dinyatakan sebagai norma-norma moral yang dalam pergaulan masyarakat telah diterima sebagai norma-norma hukum. Hingga sekarang belum ada yang dapat secara tepat mengemukakan apa yang dimaksudkan dengan kesusilaan yang baik. Umum mengakui dan menerima pengertian dan asas tentang kesusilaan baik tersebut. Akan tetapi selalu mengalami kesulitan apabila harus menentukan lebih lanjut tentang pengertiannya.
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Perlu diperhatikan, bahwa pendapat tentang apa yang termasuk ke dalam kesusilaan yang baik selalu berubah menurut waktu dan tempat. Apa yang dulu dianggap tidak susila, mungkin sekarang dianggap susila. Untuk mengatasi kesulitan tersebut pada akhirnya hakimlah yang memutuskan menurut pendapat dan nalurinya. d. Bertentangan dengan kepatutan Setiap manusia harus menyadari bahwa ia adalah bagian dari anggota masyarakat dan karenanya dalam perbuatan dan tingakah lakunya harus memperhatikan kepentingan-kepentingan sesamanya, demikian juga halnya bagi seorang aparat kepolisian, dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya harus tetap memperhatikan dan menghormati kepentingan dari masyarakat yang dilayaninya. Pada garis besarnya dapat dinyatakan, bahwa suatu perbuatan adalah bertentangan dengan kepatutan, jika: a. Perbuatan tersebut sangat merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak. b. Perbuatan yang tidak berfaedah yang menimbulkan bahaya terhadap orang lain, yang menurut manusia yang normal hal tersebut harus diperhatikan.
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGGUNAAN SENJATA API YANG TIDAK SESUAI DENGAN PROSEDUR
A. Pihak Yang Berwenang Melakukan Penyidikan Terhadap Penggunaan Senjata Api Yang Tidak Sesuai Dengan Prosedur Sebelum suatu penyidikan dimulai dengan konsekuensi penggunaan upaya paksa, terlebih dahulu perlu ditentukan secara cermat berdasarkan segala data dan fakta yang diperoleh dari hasil penyelidikan bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai suatu tindak pidana adalah merupakan suatu tindak pidana. Terhadap tindak pidana yang telah terjadi itu dapat dilakukan penyidikan. Dengan demikian penyidikan merupakan tindak lanjut dari suatu penyelidikan. Menurut pasal I angka 2 KUHAP, penyidikan adalah: “Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Berbicara mengenai penyidikan, tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pejabat yang berwenang melakukan penyidikan atau yang disebut dengan penyidik. Menurut pasal I angka I KUHAP, penyidik adalah: “Pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”. Dalam pasal 6 KUHAP telah ditetapkan bahwa penyidik adalah:
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. c. Pelaksanaan tugas-tugas penyidikan ditangani oleh pejabat penyidik atau penyidik
pembantu,
sesuai
dengan
kewenangannya
masing-masing
sebagaimana diatur dalam pasal 7 dan pasal 11 KUHAP. Dalam pelaksanaannya lebih lanjut, pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 menetapkan syarat kepangkatan dan pengangkatan penyidikan sebagai berikut: 66 a. Polisi negara Republik Indonesia yang berpangkat sekurang-kurangnya Pembantu Letnan Dua Polisi b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dengan pangkat sekurang-kurangnya Pengatur Muda Tingkat I (golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu c. Apabila di suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat Bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya adalah penyidik d. Penyidik Polisi negara ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, wewenang penunjukkan tersebut dapat dilimpahkan kepada pejabat kepolisian lain e. Penyidik Pegawai Negeri Sipil ditunjuk oleh Menteri Kehakiman dengan pertimbangan dari Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Disamping pejabat penyidik sebagaimana dimaksud pasal 6 KUHAP, dalam pasal 10 KUHAP ditentukan pula tentang pejabat penyidik pembantu. Sesuai 66
Harun M. Husein, Penyidikan Dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 1991, Hal.88 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
dengan ketentuan pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 ditentukan bahwa penyidik pembantu adalah: a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat sersan dua polisi b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Kepolisian Negara Republik yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a) c. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat 1 huruf a dan b diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas usul Komandan atau Pimpinan kesatuan masing-masing. Kewenangan Pejabat penyidik ditetapkan dalam pasal 7 KUHAP, kewenangan tersebut terdiri atas: a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian c. Menyuruh berhenti seoranga tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara i.
Mengadakan penghentian penyidikan
j.
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Kewenangan penyidik pembantu adalah sama dengan kewenangan penyidik sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat 1 KUHAP, dengan pembatasan atau pengecualian mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi manusia, sekalipun penyidikan tersebut dilakukan terhadap seorang pelaku kejahatan yang sangat berbahaya, dan hal ini juga berlaku terhadap seorang anggota kepolisian republik indonesia yang menjadi pelaku tindak pidana. Dalam pelaksanaan penyidikan dikalangan kepolisian dilakukan oleh polisi sendiri yang dilaksanakan oleh Provoost yang dikhawatirkan memiliki hambatan kultur dan struktur sehingga kasusnya tidak dapat diungkapkan secara optimal. 67 Pada lingkungan Polri selain Provoost terdapat lembaga lain yang menangani kasus pelanggaran anggota polisi yaitu Internal Security (Pengamanan ke dalam yang dulunya menjadi tugas intelijen Polri, yang sekarang dikenal dengan istilah pengamanan internal disingkat Paminal) dan lembaga Inspektorat Jendral, sekarang dikenal dengan istilah Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum). 68 Prinsip nomor 22 tentang Prinsip-prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata api menyatakan bahwa: “Tindakan yang dilakukan oleh Pejabat Penegak Hukum harus terbuka bagi pemeriksaan yang benar-benar dilakukan oleh pihak umum”. Kegiatan penyidikan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh anggota 67 68
Bibit Samad Rianto, Op.cit, Hal.81 Ibid
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
kepolisian atau yang dikenal dengan istilah investigasi adalah langkah awal yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana, karena penyidikan/investigasi merupakan prasyarat penting untuk menentukan apakah ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam kasus yang sedang ditangani sebelum dibawa ke pengadilan. 69 Investigasi kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh Penegak Hukum adalah suatu tindakan atau kegiatan untuk mencari kebenaran, informasi atau pengetahuan tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Penegak Hukum. Prinsip-prinsip pokok yang harus dilaksanakan dalam investigasi pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah: 70 a. Prinsip akuntabilitas Tanggung jawab petugas penegak hukum terhadap masyarakat melalui proses politik yang demokratis, sekaligus juga tanggung jawab individu petugas penegak hukum menurut hukum. b.Investigasi harus lengkap dan tuntas, tepat/cepat dan netral. Investigasi pelanggaran Hak Asasi Manusia perlu mempertimbangkan secara spesifik keluhan, tinjauan ulang dan investigasi. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang pelaksanaan teknis institusional peradilan umum bagi anggota kepolisian negara Republik Indonesia, pada pasal 4 menyebutkan penyidikan terhadap anggota kepolisian Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana dilakukan oleh penyidik sebagaimana diatur menurut hukum acara pidana yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Dan pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa penyidikan terhadap anggota kepolisian negara Republik Indonesia yang melakukan tindak 69 70
Op cit. hal.59 Ibid, Hal. 164
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
pidana tertentu dilakukan oleh penyidik kepolisian negara Republik Indonesia, kecuali dalam hal: a. Penyidik kepolisian negara Republik Indonesia menganggap perlu untuk melimpahkan kepada penyidik tindak pidana tertentu. b. Ditentukan secara khusus dalam peraturan perundang-undangan Ayat 2 menyebutkan, dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam ayat (I) huruf a, penyidikan dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil. Berdasarkan pasal 5 peraturan pemerintah ini, pemeriksaan terhadap anggota Kepolisian negara Republik Indonesia dalam
rangka penyidikan dilakukan
dengan memperhatikan kepangkatan sebagai berikut: a. Tamtama diperiksa oleh anggota kepolisian negara Republik Indonesia berpangkat serendah-rendahnya Bintara. b. Bintara diperiksa oleh anggota kepolisan negara Republik Indonesia berpangkat serendah-rendahnya Bintara. c. Perwira Pertama diperiksa oleh anggota kepolisan negara Republik Indonesia berpangkat serendah-rendahnya Bintara. d. Perwira Menengah diperiksa oleh anggota kepolisian Negara Republik Indonesia berpangkat serendah-rendahnya Perwira Pertama. e. Perwira Tinggi diperiksa oleh anggota kepolisian negara Republik Indonesia berpangkat serendah-rendahnya Perwira Menengah. Dalam melakukan penyidikan terhadap anggota kepolisian Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana, terdapat beberapa kendala, yaitu: a. Penyidikan terhadap aparat kepolisian yang bersalah masih dilakukan oleh
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
pihak kepolisian sendiri, walaupun sudah tunduk kepada hukum sipil. 71 Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa polisi akan bertindak sewenangwenang dalam melakukan penyidikan, tidak berdasarkan hukum yang berlaku, dimana lembaga kepolisian berusaha melindungi anggotanya sehingga di dalam melakukan penyidikan tidak lagi sesuai dengan prosedur yang berlaku. Sehingga anggota kepolisian yang telah terbukti melakukan tindak pidana, dapat bebas begitu saja karena tidak ditindak sebagaimana mestinya. b. Dikalangan polisi masih ada keengganan menyidik sesamanya, dan hal ini tidak menutup kemungkinan akan terjadi praktik kolusi di tengah proses penyidikan kasus yang menyebabkan penyidikan berakhir dengan kesimpulan bahwa aparat atau anggota kepolisian tersebut tidak terbukti salah. 72 c. Menghadapi kendala struktural, dimana aparat kepolisian yang bertugas melakukan penyidikan berhadapan dengan aparat kepolisian yang lebih tinggi pangkatnya, sehingga kasusnya tidak dapat diungkapkan secara optimal. d. Pimpinan Polri tidak tegas menindak segelintir oknum polisi yang melakukan penyimpangan dan perbuatan nista lainnya dan terkesan menutupi serta berkelit dengan mencari berbagai alasan pembenar terhadap penyimpangan yang dilakukan dengan dalih melaksanakan tugas. Untuk kendala ini, ada dua solusi yang dapat dilakukan oleh pihak kepolisian republik indonesia, yaitu: a. Adanya pejabat
Kapolri yang berkarakter kuat dan bertekad serius
memberantas segala bentuk penyalahgunaan wewenang yang terdapat ditubuh Polri, tidak berusaha melindungi anggotanya yang bersalah dari tindakan 71 72
Bibit Samad Rianto, Op.cit, Hal. 22 Ibid, Hal.57
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
hukum. b.Adanya lembaga independen yang berwenang kuat, yang diberi hak oleh pemerintah untuk mengawasi kinerja kepolisian republik indonesia. Polisi harus dikontrol atau diawasi, karena polisi merupakan manusia biasa yang bisa melakukan
kesalahan.
Pengawasan
ini
bertujuan
untuk
mewujudkan
akuntabilitas publik bagi polisi. Pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh Badan pengawasan Internal Polri, Badan pengawasan pemeritah dan masyarakat yang secara perorangan atau tergabung dalam LSM-LSM baik di dalam maupun luar negeri. Langkah pelaksanaan pengawasan dilakukan dengan pemantauan keluhan/laporan masyarakat baik secara langsung (public complain) maupun secara tersembunyi, kemudian dianalisis, selanjutnya diambil langkah-langkah penanganannya secara transparan. Informasi yang masuk dijadikan bahan penilaian yang dimasukkan dalam kerangka SWOT analisis dalam menilai suatu Satuan Kerja. c. Menindak dengan tegas anggota kepolisian yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan, akan tetapi melakukan tindakan kolusi ditengah penyidikan kasus, yang membuat penyidikan berakhir dengan kesimpulan bahwa anggota polisi tersebut tidak terbukti melakukan tindak pidana. Lebih baik mengorbankan beberapa polisi nakal guna mempertahankan citra institusu polisi daripada melindungi mereka tetapi harus dibayar mahal dengan rusaknya citra institusi Polri di mata masyarakat. d.Seharusnya penyidikan terhadap aparat kepolisian yang bersalah tidak lagi dilakukan oleh pihak kepolisian sendiri, agar pelaksanaan penyidikan dapat berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku dan mencegah terjadinya
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
penyimpangan dalam proses penyidikan.
B. Pertanggungjawaban Pidana Dan Sanksi Pidana Penggunaan Senjata Api Yang Tidak Sesuai Dengan Prosedur
1. Pertanggungjawaban Pidana Penggunaan Senjata Api Yang Tidak Sesuai Dengan Prosedur Kepastian hukum (Surety) akan menjadi barometer tegaknya hukum pada suatu negara, yang terdiri dari 2 (dua)hal yaitu kepastian di dalam hukum (satu aturan untuk satu perbuatan) dan kepastian karena hukum (terhindarnya masyarakat dari kesewang-wenangan pihak lain). 73 Kepastian hukum akan tercapai
apabila
hukum
ditegakkan
dengan
adil,
tanpa
memandang
jabatan/kedudukan seseorang. Demikian juga terhadap aparat kepolisian yang telah terbukti melakukan tindak pidana, harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Terhadap aparat kepolisian yang melakukan tindak pidana tidak lagi diberlakukan hukum militer, tetapi hukum sipil dan diadili di pengadilan sipil. Tindakan aparat kepolisian yang menggunakan senjata api tidak sesuai dengan prosedur harus dilihat apakah tindakannya tersebut atas perintah atasan atau atas inisiatif aparat polisi sendiri. Akan tetapi walaupun tindakan tersebut atas inisiatif anggota polisi sendiri, atasan tetap dimintai pertanggungjawabannya. Prinsip Nomor 7 tentang penggunaan kekerasan dan senjata api menyatakan bahwa penyalahgunaan atau penggunaan kekerasan dan senjata api sewenang-
73
Ibid, Hal.112
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
wenang oleh petugas penegak hukum harus dihukum sebagai pelanggaran pidana. Dalam penggunaan senjata api terdapat berbagai tingkatan tanggung jawab, tergantung pada orang-orang yang menggunakannya, tujuan yang hendak dicapai, tempat kejadian dan tingkat tanggung jawab yang mereka miliki terhadap warga/pihak-pihak yang tidak terlibat. Laporan dan tinjauan atasan harus dilakukan setelah terjadinya penggunaan kekerasan dan senjata api. Atasan harus bertanggung jawab atas semua tindakan anggota polisi yang berada di bawah kepemimpinannya, jika atasan tersebut mengetahui atau seharusnya mengetahui terjadinya penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur tetapi tidak mengambil tindakan yang tegas dan jelas. 74 Prinsip Nomor 6 menyatakan diantaranya bahwa “…………………..jika terdapat kasus kematian atau luka-luka yang disebabkan oleh penggunaan kekerasan dan senjata api oleh para penegak hukum, maka hal ini harus segera dilaporkan kepada atasan mereka”. Berdasarkan prinsip ini jelaslah bahwa setiap penggunaan kekerasan dan senjata api oleh aparat kepolisian merupakan tanggung jawab dari atasannya, oleh karena itu atasan harus mengetahui segala tindakan yang dilakukan bawahannya ketika bertugas. Dan aparat kepolisian tidak boleh bertindak diluar dari apa yang diperintahkan atasannya. Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa tindakan aparat kepolisian yang menggunakan kekerasan dan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur merupakan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pelanggaran Hak Asasi 74
Buku Panduan tentang Hak Asasi Manusia untuk Anggota Polri, Op.cit,
Hal.92 Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Manusia yang dilakukan oleh petugas penegak hukum berupa penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur, merusak integritas keseluruhan organisasi penegak hukum. Pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan penegak hukum tetap dipantau oleh badan PBB dan dilaporkan secara berkala. Di Indonesia pelanggaran Hak Asasi Manusia diproses sesuai dengan KUHP, 75 apabila penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia tidak memuaskan berbagai pihak, maka pelanggaran Hak Asasi Manusia dapat disidangkan di Mahkamah Internasional. Mekanisme pertanggungjawaban tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh polisi adalah: 76 a. Ada dua kriteria polisi melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yaitu pelanggaran Hak Asasi Manusia tersebut dilakukan atas tindakan anggota polisi sendiri/bukan atas perintas atasan akan tetapi atasan dapat ikut bertanggung jawab apabila cukup bukti dan pelanggaran Hak Asasi Manusia dilakukan atas perintah atasan. b.Apabila pelanggaran Hak Asasi Manusia tersebut merupakan tindakan atas keputusan pribadi anggota, maka yang bertanggungjawab adalah anggota tersebut secara individu, dan harus diketahui legalitas, nesesitas dan proporsionalitasnya. Kecuali bila ditemukan bukti bahwa atasan mengetahui tindakan tersebut tetapi tidak mengambil tindakan pencegahan, maka atasan juga ikut bertanggungjawab. c. Jika tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia dilakukan atas perintah atasan, maka yang bertanggungjawab adalah atasan tersebut. Anggota yang melakukan pelanggaran juga ikut bertanggungjawab setelah diuji apakah tindakannya sesuai dengan prinsip legalitas, nesesitas dan proporsionalitas dengan perbuatan petugas 75 76
Ibid, Hal. 180 Ibid, Hal.165
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
yang melanggar Hak Asasi Manusia.
2. Sanksi Pidana Terhadap Penggunaan Senjata Api Yang Tidak Sesuai Dengan Prosedur Didalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tidak ada diatur tentang ketentuan/sanksi pidana terhadap tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Begitu juga Resolusi 34/168 tentang Prinsip-prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api tidak ada diatur tentang ketentuan/sanksi pidana dari penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur. Didalam Resolusi ini hanya diatur bahwa penggunan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur merupakan pelanggaran pidana dan harus diproses di peradilan umum. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa di indonesia penggunaan senjata yang tidak sesuai dengan prosedur yang merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia diproses sesuai dengan KUHP. Oleh karena itu, sebelum sanksi pidana ditentukan/dijatuhkan, harus dilihat terlebih dahulu, apakah tindak pidana yang ditimbulkan oleh penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur sehingga dapat diketahui sanksi pidananya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa tindak pidana yang ditimbulkan oleh penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur antara lain adalah: 1. Penganiayaan Ancaman pidananya adalah pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan dan pidana denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500 (empat ribu lima ratus rupiah), sebagaimana diatur dalam pasal 351 ayat (1) KUHP. Akan tetapi apabila penganiayaan tersebut menjadikan/menyebabkan luka berat maka
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
ancaman pidananya adalah pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun, sebagaimana diatur dalam pasal 351 ayat (2) KUHP. Dan apabila penganiayaan tersebut mengakibatkan matinya orang, ancaman pidananya adalah pidana penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun, sebagaimana diatur dalam pasal 351 ayat (3) KUHP. 2. Pemerasan Ancaman pidananya adalah pidana penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun, sebagaimana diatur dalam pasal 368 ayat (1) KUHP. 3. Pencurian Ancaman pidananya adalah pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan pidana denda sebanyak-banyaknya Rp. 900 (sembilan ratus rupiah), sebagaimana diatur dalam pasal 362 KUHP. 4. Pembunuhan Ancaman pidananya adalah pidana penjara selama-lamanya 15 (lima belas) tahun, sebagaimana diatur dalam pasal 338 KUHP. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 52 KUHP, bagi seorang pegawai negeri yang melanggar kewajibannya dalam jabatannya karena melakukan perbuatan yang boleh dihukum, maka hukumannya ditambah sepertiga dari hukuman pokok. Dan ketentuan ini juga berlaku bagi seorang anggota kepolisian Indonesia karena polisi merupakan bagian dari pegawai negeri sebagaimana diatur dalam pasal 92 KUHP. C. Kasus Dan Tanggapan Kasus 1. Kasus Posisi Putusan yang akan dianalisa dalam pembahasan ini adalah Putusan
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Pengadilan Negeri Binjai Nomor.239/Pid.B/2007/PN-BJ tentang tindak pidana karena kealpaannya mengakibatkan orang lain mati, dengan terdakwa Dicky S Lubis. Yang mana dalam hal ini Dicky S Lubis dikenai dakwaan oleh Penuntut Umum Pasal 359 KUHP yaitu karena kelalaiannya mengakibatkan orang lain mati. Pelaku didakwa karena diduga telah melakukan penembakan pada saat melakukan tugas, di tempat keramaian, tanpa memperhitungkan dampak/resiko yang akan timbul di daerah/kawasan Binjai. Didalam melakukan perbuatannya tersebut, terdapat beberapa barang bukti: a. 1 (satu) pucuk senjata api genggam jenis S$W No.9024 b. 5 (lima) butir selongsong peluru c. 1 (satu) lembar kartu izin pemegang senjata api atas nama Dicky S Lubis. Berdasarkan dakwaannya dan bukti-bukti dalam persidangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Binjai, maka tuntutan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: 1. Menyatakan Terdakwa Dicky S Lubis telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana: “KARENA KELALAIANNYA
MENGAKIBATKAN
ORANG
LAIN
MATI”
sebagaimana diuraikan dalam dakwaan. 2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Dicky S Lubis dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan 3. Menetapkan barang bukti berupa: 1. 1 (satu) pucuk senjata api genggam jenis S$W No.9024 2. 5 (lima) butir selongsong peluru
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
3. 1 (satu) lembar kartu izin pemegang senjata api atas nama Dicky S Lubis 4. Menetapkan supaya Terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp.5000 (lima ribu rupiah) Adapun yang menjadi pertimbangan hukum dalam kasus ini adalah: 1. Keterangan Terdakwa, yang pada pokoknya; a. Menimbang, bahwa dipersidangan Terdakwa menerangkan yang pada pokoknya sebagai berikut;
Bahwa benar pada hari Rabu tanggal 21 Maret 2007 sekitar pukul 12:10 wib di jalan Sudirman Binjai tepatnya di depan Bank Mandiri seorang pengendara sepeda motor terkena peluru nyasar dari polisi yang mengakibatkan pengendara motor tersebut meninggal dunia.
Bahwa setelah adanya uji Balistik Labfor terdakwa baru mengetahui kalau peluru yang ada di kepala korban berasal dari tembakan senjata api milik terdakwa.
Bahwa benar sebelumnya terdakwa ada menembakkan senjata api yang dipegangnya ke udara sebanyak 3 (tiga) kali untuk memberi peringatan kepada pengemudi sebuah mobil Avanza yang dicurigai/diduga akan melakukan perampokan namun tidak dihiraukan oleh pengemudi mobil Avanza sehingga Terdakwa kemudian menembak kearah mobil Avanza dengan jarak 10 meter.
Bahwa benar pada saat Terdakwa melakukan penembakan kearah mobil
Avanza, jarak Terdakwa dengan mobil tersebut sekitar 15 meter dan Terdakwa dalam posisi berdiri dan sementara mobil melaju dengan kencang, dimana keadaan lalu lintas pada jalur mobil Avanza tidak terlalu padat,
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
demikian juga pada jalan jalur masuk kota/arah berlawanan. b. Menimbang, bahwa dipersidangan telah diajukan barang bukti berupa:
1 (satu) pucuk senjata api genggam jenis S$W Nomor.9024
5 (lima) butir selongsong peluru
1 (satu) lembar kartu izin pemegang senjata api atas nama Dicky S Lubis.
c. Menimbang, bahwa barang bukti tersebut dibenarkan oleh Terdakwa. 2. Keterangan Saksi; a. Menimbang, bahwa dari keterangan saksi Kosim, Kasat Reskrim Binjai bahwa sebelum peristiwa penembakan itu terjadi Terdakwa mendapat perintah lisan darinya untuk menggerebek kawanan perampok. b. Menimbang, bahwa menurut keterangan saksi Taing Saragih, anggota kepolisian di Resor Binjai bahwa sebelum peristiwa penembakan itu terjadi mereka mendapat perintah lisan dari Kasat Reskrim Binjai untuk menggerebek kawanan perampok c. Menimbang, bahwa dari keterangan saksi Mariati, istri korban bahwa korban meninggal dunia akibat terkena tembakan peluru dengan kondisi luka pada pelipis bagian kanannya. d. Menimbang, bahwa dari keterangan ahli Labfor bahwa barang bukti senjata api dalam keadaan baik dan selonsong peluru serta proyektil peluru/anak peluru telah ditembakkan dengan menggunakan senjata api tersebut. e. Menimbang, bahwa setelah adanya uji Labfor, dapat diketahui bahwa peluru yang ada di kepala korban berasal dari tembakan senjata api milik Terdakwa. f. Menimbang, bahwa menurut saksi George Als Ajau dan Siswansyah bahwa Terdakwa datang bersama Taing Saragih dengan berboncengan sepeda motor,
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
berusaha menyetop mobil Avanza yang dicurigai/diduga dikendarai oleh kawanan perampok, namun pengendara mobil tersebut tidak menghentikan mobilnya. Dan pada saat itulah kedua saksi mendengarkan suara tembakan beberapa kali. 3. Keterangan Surat; a. Menimbang, bahwa berdasarkan Visum Et Repertum (VER) Nomor: 69/III/KK/VER/2007 tanggal 22 Maret 2007 yang dibuat dan ditandatangani oleh Prof. Dokter. H. Amar Singh, Spf (K) DFM dokter pada rumah sakit umum Pirngadi Medan bahwa korban meninggal dunia akibat tembakan peluru di bagian pelipis kanan. b. Berita acara hasil uji balistik Labfor Polri cabang Medan Nomor: 1433/BSF/III/2007 bahwa benar senjata api dan selonsong peluru tersebut milik Terdakwa. 4. Petunjuk, yang pada pokoknya; a. Menimbang, bahwa anggota Polisi hanya boleh menggunakan senjata api dalam keadaan seabagai berikut:
Dalam keadaan-keadaan yang luar biasa;
Untuk membela diri/orang lain terhadap ancaman kematian/luka-luka berat;
Untuk mencegah terjadinya kejahatan berat yang melibatkan ancaman terhadap nyawa;
Untuk menahan/mencegah larinya seseorang yang membantu, mengancam dan yang sedang berupaya melawan usaha untuk menghentikan ancaman tersebut.
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
b. Menimbang, bahwa sebelum menggunakan kekerasan/senjata api aparat kepolisian harus memperhatikan dan melindungi keselamatan orang lain. c. Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan pasal 359 KUHP, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1. Unsur barang siapa 2. Karena salahnya 3. Menyebabkan matinya orang Ad.1. Unsur barang siapa Keterangan yang diberikan oleh Hakim mengenai unsur barang siapa ini antara lain: Ad.1.1 Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan setiap orang disini adalah setiap pendukunga hak dan kewajiban yang kepadanya dapat dikenai pertanggungjawaban atas setiap perbuatannya, dalam perkara ini Terdakwa Dicky S Lubis telah didakwa melanggar Pasal 359 KUHP. Ad.1.2
Menimbang, bahwa Terdakwa dalam melaksanakan tugasnya untuk menggerebek kawanan perampok di kawasan/daerah kota Binjai adalah atas perintah lisan dari atasannya.
Ad.1.3 Menimbang, bahwa dipersidangan Terdakwa membenarkan telah melakukan penembakan kepada sekelompok orang yang mengendarai mobil Avanza, yang dicurigai/diduga sebagai kawanan perampok dan salah satunya tembakannya telah mengenai korgan. Ad.1.4
Menimbang, bahwa setelah ditanyai oleh Majelis Hakim Terdakwa membenarkan bernama Dicky S Lubis, dengan demikian unsur ini telah terbukti.
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Ad.2. Unsur karena salahnya Keterangan yang diberikan oleh Hakim mengenai unsur karena salahnya antara lain: Ad.2.1 Menimbang, bahwa meninggalnya korban akibat kesalahan atau kelalaian dari Terdakwa yang tidak mempertimbangkan lokasi yang ramai dilalui/tidak memperhatikan keselamatan orang lain. Ad.2.2 Menimbang, bahwa pada saat mengejar pelaku kejahatan Terdakwa selaku polisi telah melakukan tembakan terarah padahal lokasi tersebut adalah lokasi yang cukup ramai dilalui oleh masyarakat.
Ad.3. Unsur menyebabkan matinya orang Keterangan Hakim mengenai unsur karena salahnya menyebabkan matinya orang adalah: Ad.3.1 Menimbang, bahwa berdasarkan hasil Visum Et Repertum dan uji Labfor, korban meninggal dunia akibat selongsong peluru yang mengenai pelipis kanannya dan selongsong peluru tersebut terbukti milik dari Terdakwa. Ad.3.2 Menimbang bahwa dari keterangan Terdakwa dan saksi-saksi yang telah diajukan oleh Penuntut Umum, telah diadakan perdamaian antara keluarga korban dengan terdakwa. Ad.3.3 Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan Putusan perlu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan pada pokoknya sebagai berikut: Hal-hal yang memberatkan:
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Bahwa Terdakwa adalah seorang polisi yang memiliki fungsi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, seharusnya lebih menyadari dampak dari melepaskan tembakan di tempat keramaian.
Hal-hal yang meringankan:
Terdakwa belum pernah dihukum
Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya sehingga mempermudah jalannya persidangan
Antara Terdakwa dengan keluarga korban telah melakukan perdamaian dan menyadari bahwa kejadian tersebut adalah musibah yang tidak dikehendaki oleh para pihak.
Maka Majelis Hakim menetapkan Putusan sebagai berikut: 1. Menyatakan Terdakwa Dicky S Lubis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana karena kealpaannya mengakibatkan orang lain mati; 2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan; 3. Menetapkan bahwa lamanya Terdakwa ditahan sebelum Putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4. Memerintahkan supaya barang tanda bukti dalam perkara ini: a. 1 (satu) pucuk senjata api genggam S$W Nomor.9024 b. 5 (lima) butir selonsong peluru c. 1 (satu) lembar kartu izin pemegang senjata api atas nama Dicky s Lubis Dikembalikan kepada Polresta Binjai melalui Kasat Reskrim Polresta Binjai.
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
5. Membebankan pula kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 5000 (lima ribu rupiah).
2. Analisa Kasus Penegakan hukum merupakan usaha untuk penegakan norma-norma hukum dan sekaligus nilai-nilai yang ada dibelakang norma tersebut. Para penegak hukum harus memahami benar-benar spirit hukum yang mendasari peraturan hukum harus ditegakkan. 77 Berdasarkan Putusan Majelis Hakim diatas, maka dapat dibuat analisa penerapan hukum pidana terhadap perbuatan karena kelalaiannya mengakibatkan orang lain mati. Penerapan Hukum Pidana Menurut Pasal 359 KUHPidana, yang berbunyi: “Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun”. Berdasarkan pasal 359 KUHP ini, maka yang menjadi unsur-unsur dari tindak pidana ini adalah : 1. Barangsiapa Adalah setiap orang baik orang pribadi maupun suatu badan hukum yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Apabila dalam suatu kasus pelakunya adalah orang pribadi, maka orang tersebut adalah orang yang cakap bertindak dalam hukum dan peraturan yang berlaku. Tapi apabila pelakunya adalah suatu badan hukum, seperti instansi kepolisian, maka tuntutan dan
77
Adil Matogu, Op.cit, Hal.72
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pimpinan kepolisian/pimpinan satuan kerja dari bawahan yang melakukan tindak pidana. Dilihat dalam kasus ini yang
melakukan tindak pidana karena kelalaiannya mengakibatkan orang
mati adalah orang pribadi yaitu Dicky S Lubis. 2. Karena salahnya Karena salahnya disini maksudnya adalah kurang hati-hati, lalai, lupa atau amat kurang perhatian. Bahwa pada saat mengejar pelaku
kejahatan
Terdakwa selaku polisi telah melakukan tembakan terarah padahal lokasi tersebut adalah lokasi yang cukup ramai dilalui oleh masyarakat dan tembakannya tersebut ternyata mengenai salah seorang yang kebetulan lewat di jalan tersebut. 3. Menyebabkan matinya orang Tindakan yang kurang hati-hati, lalai, lupa atau amat kurang perhatian telah menyebabkan matinya orang. Peristiwa penembakan yang terjadi dan menyebabkan jatuhnya korban terjadi akibat aparat kepolisian kurang memahami ataupun tidak mematuhi aturan/prosedur yang berlaku dalam menggunakan
senjata
api.
Seharusnya
aparat
memperhatikan/mempertimbangkan kondisi disekitarnya/kondisi keamanan dan keselamatan masyarakat sebelum melakukan penembakan/menggunakan senjata api. Oleh karena itu Pasal 359 KUHP ini dapat didakwakan kepada Terdakwa karena akibat kelalaiannya pada saat menjalankan tugas telah mengakibatkan matinya orang, dan unsur-unsur dari tindak pidana ini telah terpenuhi. Akan tetapi menurut penulis, pasal yang didakwakan kepada Terdakwa seharusnya
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
tidak hanya pasal 359 KUHP, melainkan juga pasal 33 ayat (2) Undangundang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa. Berdasarkan perbuatan yang dilakukannya, aparat kepolisian telah melakukan tindakan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, dimana seharusnya perbuatan tersebut dapat dihindari apabila Terdakwa mempertimbangkan akibat dari perbuatannya. Jadi tindakan aparat kepolisian yang menggunakan senjata api tanpa prosedur ini, seharusnya dikenai dakwaan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: - Kesatu: Pasal 33 ayat (2) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. - Kedua: Pasal 359 KUHP Selain itu Terdakwa seharusnya dituntut dengan hukuman yang lebih berat/hukuman penjara yang lebih tinggi, bukan hanya 3 (tiga) bulan hukuman penjara, karena akibat perbuatannya telah menyebabkan matinya orang dan sebagaimana diatur dalam pasal 52 KUHP, yang menyatakan bahwa: “Jikalau seorang pegawai negeri melanggar kewajibannya yang istemewa dalam jabatannya karena melakukan perbuatan yang boleh dihukum, atau pada waktu melakukan perbuatan yang boleh dihukum memakai kekuasaan, kesempatan atau daya upaya yang diperoleh dari jabatannya, maka hukumannya boleh ditambah dengan sepertiganya”.
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
BAB V PENUTUP
Berdasarkan
uraian dan pembahasan
pada bab-bab sebelumnya, maka
dapat ditentukan yang menjadi kesimpulan dan saran sebagai penutup dari tulisan ini adalah: A. Kesimpulan 1. Pengaturan tentang kepemilikan senjata api, baik untuk masyarakat sipil maupun kepolisian diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 12/Drt/1951 tantang Senjata Api yang menyebutkan diantaranya bahwa barang siapa yang tanpa hak mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya akan dikenai sanksi sedangkan peraturan yang mengatur penggunaan senjata api adalah Resolusi 34/168 Dewan UmuM PBB yang mengatur bahwa penggunaan senjata api hanya dibenarkan pada saat yang luar biasa. Tujuan dari pengaturan penggunaan senjata api adalah untuk menjamin adanya perlindungan bagi hak-hak masyarakat agar tidak disalahgunakan oleh para pejabat penegak hukum dan memahami adanya bahaya yang dihadapi para penegak hukum dalam menjalankan tugas mereka. 2. Didalam Resolusi 34/168 Dewan Umum PBB, sebagaimana ditentukan dalam Prinsip Nomor 9 bahwa anggota polisi tidak boleh menggunakan senjata api untuk melawan orang yang dihadapi, kecuali dalam rangka membela diri atau membela orang lain ketika menghadapi ancaman nyawa atau luka yang parah,
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
dan untuk mencegah kejahatan lain yang mengancam nyawa. Oleh sebab itu, aparat kepolisian yang menggunakan senjata tidak dalam rangka menghadapi situasi tersebut di atas, merupkan tindak pidana dan tindakan aparat ini juga dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Tindak pidana yang ditimbulkan oleh penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur antara lain adalah Penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP, Pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP, Pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP dan Pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP. Sifat melawan hukum dari penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur adalah memenuhi unsur sifat tercela atau terlarang dari suatu perbuatan, dimana sifat tercela tersebut bersumber dari peraturan tertulis yaitu Resolusi 34/168 Dewan Umum PBB. 3. Bila terjadi kasus penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian, maka pihak yang berwenang melakukan penyidikan terhadap aparat kepolisian yang melakukan perbuatan tersebut adalah aparat kepolisian sendiri yang dilakukan oleh Provoost dengan memperhatikan kepangkatan. Sanksi pidana bagi pelaku penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur, memperhatikan tindak pidana yang dilakukan dengan menggunakan senjata api.
B. Saran Penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur merupakan
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
masalah yang kompleks, karena selain bertentangan dengan peraturan yang berlaku dalam pengunaan senjata api, juga merupakan perbuatan yang melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh aparat kepolisian, sulit untuk diungkapkan dan diproses karena lembaga kepolisian senantiasa melindungi aparatnya yang telah melakukan pelanggaran tersebut. Oleh karena itu, dalam tulisan ini dapat diberikan beberapa saran: 1. Indonesia merupakan negara hukum, salah satu ciri dari negara hukum adalah ditaati dan dilaksanakannya peraturan perundang-undangan, baik oleh masyarakat sipil maupun oleh pejabat publik, diantaranya adalah kepolisian. Oleh karena itu aparat kepolisian harus mentaati setiap peraturan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, tidak boleh melanggar hak orang lain, salah satunya adalah peraturan tentang penggunaan senjata api yang masih berbentuk Resolusi Internasional. 2. Dibentuknya suatu perundang-undangan nasional yang mengatur tentang prosedur penggunaan kekerasan dan senjata api oleh aparat kepolisian, yang bertujuan agar
aparat
kepolisian tidak sewenang-wenang di dalam
menggunakan wewenang yang diberikan kepadanya sehingga Hak Asasi Manusia dapat ditegakkan dan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara aparat kepolisian dengan masyarakat sipil. 3. Sebaiknya yang melakukan penyidikan terhadap aparat kepolisian yang melakukan tindak pidana bukan lagi pihak kepolisian sendiri. Hal ini bertujuan agar proses penyidikan dapat berjalan sesuai dengan prosedur dan agar tidak terjadi penyimpangan dalam proses penyidikan, sehingga dapat
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
ditemukan kebenaran dari peristiwa pidana tersebut dan hukumpun dapat ditegakkan. 4. Pimpinan kepolisian harus menindak
tegas setiap anggotanya yang
melakukan penyimpangan dalam melaksanakan tugasnya, salah satunya adalah tindakan penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur, bukan melindungi mereka dengan dalih melaksanakan tugas, karena dalam melaksanakan tugas ada aturan-aturan yang harus mereka perhatikan dan taati dan selain itu mereka juga harus menghormati hak hidup orang lain sekalipun sedang melaksanakan tugas. 5. Berdasarkan tujuan dari pemidanaan, yaitu agar pelaku tidak kembali melakukan perbuatan yang sama dan agar aparat kepolisian yang lain tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut, maka dalam hal ini seorang hakim harus dengan tegas memberikan hukuman yang maksimal terhadap pelaku, yang dalam hal ini adalah aparat penegak hukum yang menggunakan senjata api tidak sesuai dengan prosedur, karena dengan hukuman yang ringan belum tentu membuat si pelaku menjadi jera dan tidak memiliki keinginan untuk mengulangi perbuatannya lagi. Dan hal ini juga dapat mengakibatkan pandangan yang negatif dari masyarakat, bahwa aparat penegak hukum dalam hal ini hakim kurang serius dalam menangani penyelesaian masalah penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian.
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA
Ali Subur Dkk (2001), Pergulatan Profesionalisme dan Watak Pretorian (Catatan Kontras terhadap Kepolisian), Kontras Buku Panduan tentang Hak Asasi Manusia untuk Anggota Polri (2006) Chazawi, Adami (2002), Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta, RajaGrafindo Persada Huda, Chairul (2006), Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta, Prenada Media Matogu, Adil (2007), Kajian Hukum Lingkungan Terhadap Perusakan Hutan di Kawasan Hutan Lindung Tormatutung Kisaran Sumatera Utara (Skripsi) Husein, M Harun. (1991), Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Jakarta, Rineka Cipta Karoba, Sem (2007), Standar Hak Asasi Manusia untuk Penegak Hukum, Yogyakarta, GalangPress Moleong, Lexy J. (2007), Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya Marpaung, Leden (2002), Tindak Pidana terhadap Nyawa dan Tubuh, Jakarta, Sinar Grafika Rianto, Samad Bibit (2006), Pemikiran Menuju Polri yang Profesional, Mandiri, Berwibawa dan Dicintai Rakyat, Jakarta, Restu Agung
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009
Saleh, Roeslan (1983), Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta, Aksara Baru Sadjijono, Khoidin M. (2007), Mengenal Figur Polisi Kita, Yogyakarta, Laksbang Pressindo Setiawan, Rachmat (1982), Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Bandung, Alumni Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum bagi Anggota Kepolisian Republik Indonesia Resolusi 34/168 Dewan Umum PBB tentang Prinsip-prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api http://www.indo Media.com/Upaya Mereduksi Budaya Militerisme dalam Pendidikan Polri
[email protected]/Polisi dan Senjata Api www.kontras.org/Menatap Sosok Polri Sipil Wawancara di Kepolisian Daerah Sumatera Utara Wawancara dengan Koordinator Kontras (sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang Hak Asasi Manusia.
Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai), 2007. USU Repository © 2009