PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG
I GDE DARMAPUTRA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pewilayahan Agroklimat Tanaman Nilam (Pogostemon spp.) Berbasis Curah Hujan di Provinsi Lampung adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mapun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2006
I Gde Darmaputra NRP G251040021
ABSTRAK I GDE DARMAPUTRA. Pewilayahan Agroklimat Tanaman Nilam (Pogostemon spp.) Berbasis Curah Hujan di Provinsi Lampung. Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO dan IMAM SANTOSA. Pengembangan berbagai jenis komoditas yang memiliki keunggulan komparatif merupakan salah satu upaya dalam memperbaiki dan mempertahankan pendapatan petani. Tanaman nilam merupakan salah satu tanaman alternatif pilihan untuk tujuan tersebut. Pewilayahan komoditas diperlukan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan teknologi, modal dan sumberdaya lahan. Tahap awalnya adalah pewilayahan agroklimat tanaman. Tujuan penelitian ini adalah penentuan tingkat kesesuaian agroklimat tanaman nilam di Provinsi Lampung, dan penentuan peluang kejadian hujan bulanan yang tidak mencukupi kebutuhan tanaman nilam. Tahapan penelitian meliputi: penentuan distribusi temporal curah hujan dengan Principle Component Analysis, pewilayahan curah hujan musiman dengan Cluster Analysis, pewilayahan agroklimat tanaman nilam dengan superimpossed peta curah hujan tahunan wilayah, peta jumlah bulan basah wilayah, dan peta topografi berdasarkan persyaratan agroklimat nilam, dan penentuan peluang hujan bulanan yang tidak mencukupi kebutuhan tanaman nilam. Analisis kesesuaian agroklimat menunjukkan: di Provinsi Lampung terdapat lahan yang sangat sesuai dan sesuai untuk pengembangan tanaman nilam seluas 2 069 005 ha, yang tersebar 15.7% di Kabupaten Lampung Barat, 15.5% di Kabupaten Lampung Tengah, 14.3% di Kabupaten Way Kanan, 14% di Kabupaten Tanggamus, 12.5% di Kabupaten Lampung Utara, 10.8% di Kabupaten Lampung Timur, 8.5% di Kabupaten Tulang Bawang, 8.2% di Kabupaten Lampung Selatan, 0.4% di Kota Bandar Lampung dan 0.1% di Kota Metro. Curah hujan musiman di Provinsi Lampung dapat dikelompokkan menjadi tujuh tipe curah hujan wilayah (I-VII). Pada daerah pengembagan yang sangat sesuai terdapat curah hujan wilayah tipe I-IV, dan pada daerah pengembangan yang sesuai terdapat curah hujan wilayah tipe I-VI. Kejadian hujan bulanan ≤ 200 mm dengan peluang ≥ 60%, tidak terjadi pada tipe I, sedangkan pada tipe II terjadi selama 5 bulan, pada tipe III dan tipe IV terjadi selama 4 bulan, pada tipe V dan tipe VI terjadi selama 7 bulan.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
ii
PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG
I GDE DARMAPUTRA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
iii
LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis
: Pewilayahan Agroklimat Tanaman Nilam (Pogostemon spp.) Berbasis Curah Hujan di Provinsi Lampung
Nama
: I Gde Darmaputra
NRP
: G251040021
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S. Ketua
Dr. Ir. Imam Santosa, M.S. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Agroklimatologi
Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc. Tanggal Ujian : 29 November 2006
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Lulus :
iv
Dipersembahkan untuk istri dan anak-anak tercinta: Ketut Dani, IGP Oka Widyartha Putra, dan NSM Dewi Nityastithi Putri.
v
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih atas segala rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2006 ini ialah pewilayahan agroklimat, dengan judul Pewilayahan Agroklimat Tanaman Nilam (Pogostemon spp.) Berbasis Curah Hujan di Provinsi Lampung. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S. dan Bapak Dr. Ir. Imam Santosa, M.S. selaku pembimbing, serta Bapak Ir. Impron, M.Agr.Sc yang telah banyak memberi saran. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Rosihan Rosman, M.S. APU. staf peneliti Balittro Bogor, Bapak Ir. Suprapto, MP. staf pengajar Politeknik Negeri Lampung dan Sdr. Ir. Elza Surmaini, M.Si. staf peneliti Balitklimat Bogor, atas literatur dan informasinya.
Terima kasih juga penulis sampaikan ke Badan
Meteorologi dan Geofisika serta Departemen Kimpraswil (Pekerjaan Umum) atas penyediaan datanya. Kepada Sdr. Rozi Cahyadi, S.Si. dan Sdr. Uus Saeful terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan ke istri dan anak-anak tercinta, serta seluruh keluarga atas dorongan, doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Desember 2006
I Gde Darmaputra
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tabanan pada tanggal 28 Februari 1965 dari ayah I Gde Bagiada dan ibu Ni Ketut Wilis. Penulis merupakan putra kedua dari dua bersaudara. Tahun 1990 penulis lulus dari Program Studi Agrometeorologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada Program Studi Agroklimatologi Sekolah Pascasarjana IPB, diperoleh pada tahun 2004. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Sejak tahun 1994 penulis bekerja sebagai Dosen di Politeknik Negeri Lampung Jurusan Teknologi Pertanian. Pada tahun 2000 – 2004 penulis dipercaya sebagai Kepala UPT Pemeliharaan Fasilitas dan Pelayanan Praktek Politeknik Negeri Lampung. Penulis tercatat sebagai anggota PERHIMPI Cabang Lampung. Selama mengikuti program S2, penulis menjadi anggota Wacana AGK IPB.
vii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………....….………........……………………
ix
DAFTAR GAMBAR ……...………....….………........……………………
x
DAFTAR LAMPIRAN …...………....….………........……………………
xi
PENDAHULUAN Latar Belakang ……………………..………………………………. Tujuan Penelitian .…………………………………………………..
1 2
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Nilam …………………………...…..…………………… Agroklimat Tanaman Nilam …………..…………………………… Hujan Daerah Tropis ........................................................................ Karakteristik Hujan Tropis .……........................……….………… Analisis Komponen Utama ................................................................ Analisis Gerombol ........................................................................... Analisis Peluang ...............................................................................
3 3 5 6 9 11 12
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat ................……………………...……………….. Bahan dan Alat ………………………….....………………………. Metode Penelitian ………………………..………………………....
14 14 14
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Wilayah Penelitian .................................................. Curah Hujan Musiman .....................……………...……………….. Curah Hujan Wilayah ………………………….......………………. Pewilayahan Agroklimat Pengembangan Tanaman Nilam ………. Analisis Peluang Hujan pada Daerah Pengembangan Nilam ...........
21 22 25 34 37
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .....……………....................................……………….. Saran ………………………….................................……………….
41 41
DAFTAR PUSTAKA …………………………..………………………….
42
LAMPIRAN ……………………………………..........……………………
47
viii
DAFTAR TABEL Halaman 1 Kriteria kesesuaian iklim tanaman nilam …....…................………........………
5
2 Korelasi (r) antar curah hujan bulanan ………………….…….......………..… 23 3 Akar ciri (characteristic root) dan ragam komponen utama .…...…..............…
23
4 Korelasi (factor loading) antara peubah asal dan komponen utama …..........…. 24 5 Koefisien pembobot (characteristic vector) peubah asal terhadap komponen utama pertama (Z1) dan komponen utama kedua (Z2) ...................... 25 6 Skor komponen utama pertama (Z1) dan komponen utama kedua (Z2) stasiun hujan di Lampung .................. ....................…........................….......…. 26 7 Karakter curah hujan musiman, curah hujan tahunan, bulan basah dan bulan kering menurut Oldeman (bulan) stasiun hujan wilayah ...................................... 27 8 Curah hujan bulanan dan tahunan wilayah (mm) .................................................. 29 9 Sebaran spasial kesesuaian agroklimat wilayah pengembangan nilam di Provinsi Lampung ............................................................................................... 35 10 Hasil pengujian sebaran data dengan metode chi-square goodness of fit test (N: sebaran normal, G: sebaran gamma, C: sebaran campuran) ........ ................ 38 11 Peluang curah hujan wilayah bulanan ≤ 200 mm ................................................. 39
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Tiga jenis tanaman nilam …..................................................…..…….......……… 4 2 Skema Tahapan Penelitian …................................................….........…………… 19 3 Proses penentuan peluang hujan ........................................…..…........………… 20 4 Loading plot peubah asal terhadap komponen utama pertama (Z1) dan kedua (Z2) ............................................................................................................ 24 5 Dendrogram pengelompokan stasiun hujan ......................................................... 26 6 Penentuan jumlah kelompok optimum berdasarkan perubahan gradien garis yang mendadak ............................................................................................ 27 7 Pola curah hujan wilayah bulanan ........................................................................ 30 8 Pola curah hujan wilayah musiman ..................................................................... 31 9 Wilayah curah hujan musiman ............................................................................ 32 10 Kesesuaian agroklimat tanaman nilam di Provinsi Lampung ............................ 34 11 Persentase luas daerah kesesuaianagroklimat tanaman nilam di Provinsi Lampung .................................................................................................. ......... 35 12 Sebaran lahan yang sangat sesuai (a) dan sesuai (b) untuk pengembangan tanaman nilam di Provinsi Lampung .................................................................. 36 13 Tipe curah hujan wilayah pada daerah kesesuaian pengembangan tanaman nilam di Provinsi Lampung ................................................................... 37 14 Pola peluang curah hujan wilayah bulanan ....................................................... 40
x
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Prosedur analisis komponen utama ............................................…..…………… 48 2 Prosedur analisis peluang .............................................................…..…………… 53 3 Curah hujan rata-rata di Provinsi Lampung ...............................…..…………… 57 4 Peta posisi stasiun hujan di Provinsi Lampung ............................…..…………… 59 5 Peta wilayah curah hujan tahunan Provinsi Lampung ...............................…..….. 60 6 Peta wilayah bulan basah Provinsi Lampung ...................................................... 61 7 Peta kelas ketinggian Provinsi Lampung .............................................................. 62 8 Contoh uji homogenitas data hujan ....................................................................... 63 9 Contoh uji sebaran hujan wilayah ......................................................................... 66
xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pengembangan berbagai jenis komoditas merupakan salah satu upaya dalam memperbaiki pendapatan dan kesejahteraan petani.
Jenis komoditas yang
dikembangkan adalah komoditas yang kompetitif terhadap pasar baik di masa sekarang maupun di masa datang. Untuk tujuan tersebut, beberapa wilayah di Lampung telah memilih tanaman nilam sebagai tanaman alternatif (Yufdy 1995). Tanaman nilam merupakan tanaman penghasil minyak atsiri, yang merupakan komoditas ekspor Indonesia. Sumbangan minyak nilam terhadap ekspor minyak atsiri Indonesia lebih dari 50%, dan hingga saat ini 90% kebutuhan minyak nilam dunia dipasok Indonesia (Indrawanto dan Mauludi 2004). Selain merupakan komoditas penghasil devisa bagi negara, budidaya tanaman nilam juga mampu meningkatkan pendapatan petani (Kemala 1998). Agar tercapai tingkat efisiensi yang tinggi terhadap pemanfaatan teknologi, modal dan sumberdaya lahan, maka dalam pengembangan suatu komoditas perlu dilakukan pewilayahan sesuai dengan potensi lahan (Wahid et al. 1993). Keberhasilan pengembangan suatu komoditas di suatu wilayah, menurut Bey et al. (1995) ditentukan oleh tiga aspek yaitu: 1) kondisi dan keragaman biofisik lingkungan (iklim dan tanah) yang berkaitan dengan kesesuaian agroekologi tanaman, 2) kondisi dan keragaman sosial ekonomi (sumberdaya manusia dan budaya) yang erat kaitannya dengan keunggulan komparatif tanaman dan 3) efisiensi pengembangan sistem usaha tani yang meliputi penyediaan sarana produksi, penanganan panen dan pasca panen, serta pemasarannya. Tahap awal pewilayahan komoditas adalah pewilayahan agroekologi tanaman yaitu pewilayahan jenis tanaman menurut kesesuaian agroklimat dan jenis tanahnya (Las 1992). Pengembangan komoditas pada daerah yang tidak sesuai secara agroekologinya dapat berakibat tingkat kematian tanaman tinggi, produktivitas rendah, input produksi tinggi, dan mutu hasil rendah. Kesesuaian agroklimat mencakup kesesuaian tanaman terhadap unsur-unsur iklim seperti radiasi surya, suhu udara, curah hujan, kelembaban udara, penguapan dan angin.
Untuk daerah tropis, curah hujan merupakan unsur iklim yang
2 keragamannya paling tinggi secara ruang dan waktu, serta pengaruhnya sangat dominan dalam keberhasilan pertanian, terutama untuk pertanian lahan kering. Tanaman nilam dibudidayakan di lahan kering.
Pada lahan kering (tidak
beririgasi) curah hujan merupakan satu-satunya sumber air untuk memenuhi kebutuhan tanaman.
Selain jumlahnya yang harus memadai, distribusi menurut
waktu (temporal) dan tempat (spasial) juga sangat menentukan dalam pewilayahan pengembangannya. Dengan alasan tersebut di atas maka penelitian mengenai karakteristik curah hujan suatu wilayah untuk pengembangan tanaman nilam masih diperlukan. Pada penelitian ini dilakukan analisis data curah hujan untuk pewilayahan tanaman nilam di Provinsi Lampung.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1) Penentuan tingkat kesesuaian agroklimat pengembangan tanaman nilam di Provinsi Lampung berdasarkan analisis curah hujan wilayah. 2) Penentuan peluang hujan bulanan yang tidak mencukupi kebutuhan tanaman nilam pada daerah pengembangan sangat sesuai dan sesuai.
3
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Nilam Secara taksonomi tanaman nilam (Pogostemon spp.) termasuk famili Labiateae, ordo Lamiales, klas Angiospermae dan divisi Spermatophyta (Nuryani 1998). Secara morfologi tanaman nilam (Pogostemon spp.) mempunyai ciri-ciri: berakar serabut, bentuk daun bulat sampai lonjong, berambut di permukaan bagian bawah, batang berkayu dengan diameter 10 sampai 20 mm. Sistem percabangan bertingkat, 3 - 5 cabang per tingkat. Tinggi tanaman yang berumur enam bulan dapat mencapai satu meter dengan radius cabang 60 cm (Sudaryani dan Sugiharti 2005). Menurut Guenther (1952), diacu dalam Syukur dan Nuryani (1998) di Indonesia dikenal tiga jenis tanaman nilam yaitu Pogostemon cablin Benth, Pogostemon hortensis Backer, dan Pogostemon heyneanus Benth (Gambar 1). Agroklimat Tanaman Nilam Tanaman nilam dapat tumbuh dan berproduksi pada dataran rendah dan dataran tinggi. Di Filipina nilam tumbuh secara liar pada ketinggian 1000 sampai 2000 m dari permukaan laut (dpl), di Aceh dan Sumatra Utara dapat tumbuh pada ketinggian 1500 m dpl (Soepadyo dan Tan 1978 diacu dalam Rosman et al. 1998). Tanaman nilam membutuhkan suhu udara harian yang berkisar 24-28 °C (Mansur dan Tasma 1987), kelembaban relatif harian dengan kisaran 60-90% (Rosman et al. 1998). Tanaman nilam membutuhkan intensitas cahaya yang cukup. Menurut Mansur dan Tasma (1987) tanaman yang diberi naungan tumbuh lebih subur dengan daun lebih hijau, lebar dan tipis, tetapi kadar minyaknya rendah. Sebaliknya tanaman tanpa naungan pertumbuhannya kurang rimbun, daun kecil dan tebal, berwarna kuning kemerahan namun kadar minyak lebih tinggi. Produksi terna dan minyak tertinggi diperoleh pada intensitas cahaya 75% sampai 100% (Emmyzar 1998, diacu dalam Rosman et al. 1998). Soepadyo dan Tan (1978), diacu dalam Rosman et al. (1998) mendapatkan kandungan minyak di pertanaman yang terbuka 5.1%, sedangkan yang ditanam sebagai tanaman sela di antara pohon karet dan kelapa sawit hanya 4.6%.
4
(a) Pogostemon cablin Benth Pogostemon cablin Benth dikenal dengan nama nilam Aceh. Bentuk daunnya agak membulat seperti jantung dan berambut di permukaan bagian bawah, tidak berbunga. Kadar minyak berkisar 2.5% sampai 5.0% dengan mutu bagus.
(b) Pogostemon heyneanus Benth Pogostemon heyneanus Benth dikenal dengan nama nilam Jawa atau nilam hutan. Jenis ini berasal dari India yang banyak tumbuh liar di hutan pulau Jawa. Bentuk daunnya tipis dengan ujung meruncing dan berbunga. Kandungan minyaknya berkisar 0.5% sampai 1.5% dengan mutu rendah.
(c) Pogostemon hortensis Backer Pogostemon hortensis Backer, sering disebut nilam sabun, bentuknya mirip dengan nilam Jawa, ujung daun meruncing dan lebih tipis, tetapi tidak berbunga. Kandungan minyaknya berkisar 0.5% sampai 1.5% dengan mutu rendah. Gambar 1 Tiga jenis tanaman nilam (Sudaryani dan Sugiharti 2005).
5 Curah hujan yang diperlukan berkisar 2300 mm sampai 3000 mm per tahun dengan penyebaran yang merata sepanjang tahun (Rosman et al. 1998). Tanaman dapat diusahakan pada daerah bercurah hujan rendah (1750 - 2500 mm tahun-1) dengan pemberian naungan dan mulsa (Werkhoven 1968, diacu dalam Rosman et al. 1998). Rosman et al. (1998) telah menyusun suatu kriteria kesesuaian iklim tanaman nilam seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Kriteria kesesuaian iklim tanaman nilam Parameter Ketinggian tempat (m dpl)
Sangat sesuai 100-400
Iklim 1. Curah hujan tahunan (mm)
2300-3000
2.
Hari hujan tahunan (hari)
120-180
3. 4.
Bulan basah** / tahun (bulan) Kelembaban nisbi udara (%)
11-12* 70-80
5.
Suhu udara harian (°C)
25-26
Tingkat Kesesuaian Sesuai Kurang sesuai >700 0-100. 400-700 1750-2300, 3000-3500 100-120, 180-210 8-10* 60-70 80-90 24-25 26-28
>3500 1200-1750 210-230, 85-100 5-7* 50-60 >90 23-24
Tidak Sesuai >700 >5000 <1200 >230, <85 0-4* <50 <23
Sumber: Rosman R, Emmyzar, P Wahid (1998). * Rosman R 2006 (komunikasi pribadi) ** Bulan dengan curah hujan > 200 mm.
Hujan Daerah Tropis Iklim tropis sangat dipengaruhi oleh tingkah laku hujannya.
Hujan
merupakan salah satu bentuk pengembalian air hasil penguapan di atmosfer menuju permukaan bumi. Berdasarkan mekanisme pengangkatan massa uap air, hujan dapat digolongkan menjadi hujan konvektif, hujan orografik, hujan frontal dan hujan siklonik (Barry dan Chorley 1976; Murdiyarso 1980: Hidayati 1993). Hujan di daerah tropis termasuk tipe hujan konvektif dan hujan orografik. Menurut Hidayati (1993) hujan konvektif merupakan tipe hujan yang dihasilkan oleh naiknya udara hangat dan lembab akibat pemanasan permukaan, yang mengalami proses penurunan suhu secara adiabatik. Tipe hujan konvektif menurut Hidayati (1993) mempunyai cakupan wilayah yang terbatas (20-50 km2), yang berasal dari awan tipe comulus atau comulonimbus hasil pengangkatan
6 sel-sel arus udara lokal. Setengah dari total curah hujan jatuh pada awal 10% durasi hujan.
Hujan konvektif mempunyai siklus musiman dan harian yang
berhubungan dengan pemanasan radiasi surya. Hujan orografik merupakan tipe hujan yang dihasilkan oleh naiknya udara lembab secara paksa oleh dataran tinggi atau pegunungan. Menurut Hidayati (1993) pada hujan orografik, daerah dataran tinggi, terutama sisi hadap angin, mengalami curah hujan tahunan yang lebih tinggi daripada dataran rendah sekitarnya. Lebih lanjut dinyatakan, pengaruh dataran tinggi pada hujan tidak semata-mata tergantung ketinggiannya, tetapi juga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara yang naik serta arah dan kecepatan angin. Jika udara yang dipaksa naik menghasilkan awan tipe stratus, maka hujannya bersifat hujan ringan dengan waktu hujan lama, tetapi jika terbentuk awan comulus maka menghasilkan hujan deras. Hujan orografik mempunyai siklus musiman dan harian yang tidak nyata dibandingkan dengan hujan konvektif.
Karakteristik Hujan Tropis Karakteristik hujan adalah hal-hal yang menyangkut jumlah (jeluk) curah hujan, intensitas, frekuensi, lama hujan (jujuh) dan penyebarannya menurut dimensi ruang dan waktu (Murdiyarso 1980). Bruce dan Clark (1977), diacu dalam Cholil (1993) menyatakan keragaman curah hujan menurut skala ruang dipengaruhi oleh kandungan uap air di atmosfer, letak geografi, topografi dan ketinggian tempat.
Deretan
pegunungan sangat besar pengaruhnya terhadap curah hujan yang diterima. Pada daerah dataran tinggi curah hujan biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan dataran rendah. Sedangkan variasi skala waktu dipengaruhi oleh arah angin. Riehl (1979), diacu dalam Cholil (1993) membagi variasi curah hujan berdasarkan skala waktu dalam tiga tipe yaitu harian, musiman dan tahunan. Variasi curah hujan harian dipengaruhi oleh faktor lokal, seperti topografi, tipe vegetasi, keadaan drainase, kelembaban dan warna tanah, albedo, bentuk permukaan dan adanya sumber air (sungai, rawa, danau dan laut).
Variasi
musiman dipengaruhi oleh angin darat dan angin laut, aktivitas konveksi, aliran udara di atas permukaan bumi, variasi sebaran daratan dan lautan. Sedangkan
7 variasi curah hujan tahunan ditentukan oleh prilaku sirkulasi atmosfer global, kejadian badai dan adanya siklus bintik matahari (sun spot). Hidayati (1993) menyatakan curah hujan tertinggi tahunan terjadi di sekitar equator pada daerah ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone). Daerah tersebut merupakan daerah konvergensi tropis pertemuan angin yang bergerak dari zone tekanan tinggi sub tropis yang merupakan bagian dari sirkulasi Hadley. Pada daerah ini terjadi pengangkatan secara aktif massa udara yang hangat, lembab dan tidak stabil, sehingga menghasilkan hujan yang tinggi. Sistem ITCZ ini bersama-sama sistem monsun mempunyai peranan penting dalam penyebaran curah hujan di daerah tropis, termasuk Indonesia (Suharsono 1993). ITCZ selalu bergerak ke utara dan selatan mengikuti pergeseran surya. Pada bulan Juli, ITCZ berada terjauh di belahan bumi di utara dan bulan Januari berada terjauh di belahan bumi selatan.
Daerah yang dilalui ITCZ akan
mempunyai curah hujan yang tinggi (Suharsono 1993). Hal ini menyebabkan di daerah katulistiwa terjadi pola curah hujan yang memiliki dua nilai curah hujan maksimum (bimodal) dalam setahun (Prawirowardoyo 1996; Winarso dan McBride 2002; Suharsono 2005). Menurut Hidayati (1993); Suharsono (1993; 2005); Prawirowardoyo (1996); Winarso dan McBride (2002); Amien et al. (2005) keragaman curah hujan di Indonesia terutama dipengaruhi oleh monsun.
Angin monsun yang
berkembang di wilayah Indonesia, yaitu monsun barat dan monsun timur, yang dipicu oleh sistem tekanan tinggi dan tekanan rendah di atas benua Asia dan Australia. Pada waktu monsun barat, daerah Indonesia bagian timur dipengaruhi angin passat timur laut yang kaya uap air, yang datang dari samudra Pasifik. Sedangkan Indonesia bagian barat dipengaruhi massa udara yang berasal dari benua Asia yang melewati samudra Indonesia yang kaya dengan uap air. Pada periode ini (Desember-Maret) sebagian besar wilayah Indonesia mengalami musim hujan (Prawirowardoyo 1996; Suharsono 2005). Monsun timur terjadi pada bulan Juni-September, pada periode ini bertiup angin tenggara yang berasal dari antisiklon di Australia (Prawirowardoyo 1996; Suharsono 2005). Lebih lanjut dinyatakan, pada saat ini di Australia terjadi
8 tekanan udara maksimum dan di daratan Asia terjadi tekanan udara minimum, sehingga terjadi angin dingin melewati Indonesia. Karena melewati laut yang tidak luas maka, angin ini sedikit membawa uap air, sehingga daerah yang dilewatinya umumnya memiliki curah hujan rendah, dan sebagian besar wilayah Indonesia mengalami musim kemarau. Prawirowardoyo (1996) menyatakan peralihan antara musim hujan dan musim kemarau dikenal dengan musim pancaroba, yaitu perubahan arah angin dengan pola yang tidak jelas, terjadi pada periode Maret-Mei dan SeptemberNovember. Umumnya perubahan ini disertai dengan kecepatan angin yang agak kencang. Selain keragaman antar musim, curah hujan di daerah tropis juga beragam di dalam musim, yang diakibatkan oleh fenomena MJO (Madden-Julian Oscillation) (Winarso dan McBride 2002; Amien et al. 2005).
MJO sering
disebut sebagai gelombang 30-60 hari, yang dicirikan oleh peningkatan hujan pada musim kemarau atau penurunan curah hujan pada musim hujan, untuk wilayah yang luas yang bergeser ke arah timur dari Samudra Hindia sampai Samudra Pasifik pada lintang 10 ˚LS – 10 ˚LU.
MJO hanya terjadi pada kondisi
El Niňo dan La Niňa yang lemah atau netral, tidak terjadi pada kondisi El Niňo dan La Niňa yang kuat. Selain keragaman antar musim dan dalam musim, pola dan jumlah hujan juga beragam antar tahun yang dipengaruhi oleh fenomena El Niňo, La Niňa dan IODM (Indian Ocean Dipole Mode) (Amien et al. 2005). Fenomena El Niňo dan La Niňa berhubungan dengan sirkulasi Walker di Samudra Pasifik. Sirkulasi Walker adalah sirkulasi massa udara timur-barat di wilayah ekuatorial Pasifik yang disebabkan oleh gradien suhu permukaan laut (Prabowo dan Nicholls 2002; Amien et al. 2005). Dijelaskan lebih lanjut, di Samudra Pasifik terdapat massa air laut yang suhunya selalu di atas 27 ˚C (warm pool) yang selalu bergerak ke arah barat dan timur. Pada keadaan normal, warm pool bergerak mengikuti musim, yaitu bulan Desember-Februari berada lebih ke barat yang membuat sirkulasi Walker menjadi lebih panjang sampai jauh ke Indonesia dengan membawa uap air yang menghasilkan hujan. Pada bulan MaretMei, warm pool bergeser sedikit ke timur sehingga sirkulasi Walker menjadi
9 lebih pendek dan tidak memasok uap air untuk Indonesia. Pada saat terjadi El Niňo, warm pool bergerak jauh ke timur hingga ke pantai Pasifik di Peru dan Equador, yang berimplikasi kekeringan di Indonesia terutama pada daerah yang bertipe hujan musiman. Sebaliknya, jika warm pool bergerak jauh ke barat maka terjadi La Niňa, yang mengakibatkan terjadi hujan yang berlebihan di Indonesia. IODM adalah fenomena suhu muka laut di Samudra Hindia yang rendah di bagian timur dan tinggi di bagian barat (Amien et al. 2005). Rendahnya suhu muka laut di bagian timur Samudra Hindia, disebut dipole positif, menyebabkan berkurangnya uap air di Indonesia bagian barat, sehingga hujan orografis sangat berkurang. Sebaliknya, jika suhu muka laut di bagian timur Samudra Hindia lebih tinggi, disebut dipole negatif, menyebabkan meningkatnya curah hujan di Indonesia. Analisis Komponen Utama Adanya variasi curah hujan bulanan, musiman dan tahunan harus dipertimbangkan dalam perencanaan dan pengelolaan tanaman pada suatu wilayah. Salah satu prosedur yang dapat digunakan untuk mempelajari variasi curah hujan, baik dalam skala ruang dan waktu adalah analisis komponen utama (principal component analysis) (Haan 1979). Penggunaan analisis ini dalam bidang klimatologi telah dilakukan oleh beberapa peneliti.
Paterson et al.
(1978), diacu dalam Cholil (1993)
menggunakannya untuk klasifikasi iklim di Australia Barat; Gray (1981), diacu dalam Cholil (1993) menggunakannya untuk pengujian stabilitas suhu tahunan di Eropa; Wigley et al. (1984), diacu dalam Cholil (1993) menggunakannya untuk menentukan variabilitas curah hujan menurut ruang dan waktu, dan penggolongan daerah-daerah yang memiliki curah hujan yang homogen di England dan Wales. Hal yang sama dilakukan oleh Akuba (1988) dalam pengelompokan wilayahwilayah yang memiliki kisaran curah hujan sama di Kalimantan Timur dan Cholil (1993) mengelompokkan curah hujan wilayah di Sumatra Selatan. Menurut Siswadi dan Suharjo (1998), analisis komponen utama biasanya digunakan untuk: 1) mengidentifikasi peubah baru yang mendasari data peubah ganda, 2) mengurangi banyaknya dimensi himpunan peubah asal yang biasanya
10 banyak dan saling berkorelasi menjadi peubah-peubah baru yang tidak berkorelasi, dengan mempertahankan sebanyak mungkin keragaman data asal, 3) menghilangkan peubah-peubah asal yang mempunyai sumbangan informasi relatif kecil. Lebih lanjut dijelaskan, peubah baru tersebut disebut komponen utama yang mempunyai ciri-ciri : 1) merupakan kombinasi linear terbobot dari peubahpeubah asal, 2) jumlah kuadrat koefisien dalam kombinasi linear tersebut bernilai satu, 3) tidak berkorelasi (orthogonal), dan 4) mempunyai ragam berurut dari yang terbesar ke yang terkecil. Dipertegas oleh Supranto (2004) bahwa tujuan utama analisis komponen utama adalah menjelaskan sebanyak mungkin (≥ 80%) jumlah ragam data asal dengan sesedikit mungkin komponen utama. Jika tidak ada korelasi antar peubah asal maka analisis komponen utama tidak bermanfaat untuk mereduksi banyaknya peubah asal menjadi beberapa peubah baru yang dapat menjelaskan dengan baik keragaman peubah asal. Semakin tinggi keeratan hubungan antar peubah asal maka semakin baik hasil yang diperoleh dari analisis ini (Siswadi dan Suharjo 1998). Menurut Haan (1979); Siswadi dan Suharjo (1998); Johnson dan Wichern (2002) jika peubah asal X yang berukuran p ditransformasi menjadi peubah Z yang berukuran j, yang disebut komponen utama, dalam bentuk notasi matriks dituliskan sebagai berikut: Z = AX , dengan A adalah matriks yang melakukan transformasi peubah asal X, maka vektor komponen utama Z dapat ditentukan. Secara umum komponen utama ke-j dapat ditulis sebagai berikut:
z j = a j1 x1 + a j 2 x 2 + ... + a jp x p , atau : z j = a 'j x . Koefisien pembobot a 'j adalah vektor normal yang dipilih sehingga keragaman komponen utama ke-j ' maksimum, serta ortogonal terhadap kefisien pembobot ai dari komponen utama
ke-i.
' Koefisien pembobot a j yang merupakan koefisien pembobot peubah-
peubah asal bagi komponen utama ke-j yang diperoleh dari matriks peragam S atau matriks korelasi R. terdapat pada Lampiran 1.
Prosedur analisis komponen utama selengkapnya
11 Analisis Gerombol Analisis gerombol (Cluster Analysis) telah banyak digunakan peneliti untuk pewilayahan iklim di berbagai negara, yaitu di India (Gadgil dan Joshi 1976), Australia dan Afrika Selatan (Russel dan Moore 1976), Afrika Barat (Anyadike 1987), Amerika Serikat dan Kanada (DeGaetano dan Schulman 1990), dan Negara Bagian Queensland Australia (Puvaneswaran 1990).
Di Indonesia,
analisis ini digunakan untuk pewilayahan komoditas perkebunan di Irian Jaya (Palililingan 1993),
pewilayahan alpukat di Sumatra Barat (Leni 1995),
pewilayahan periodisitas hujan di DI Yogyakarta (Popi et al. 1995), pewilayahan komoditas kapas di Indonesia (Pujiwati 1998), pewilayahan tingkat kerawanan terhadap kekeringan dan banjir di Merauke Papua (Rouw 2004), dan pewilayahan hujan di Indramayu dan Cirebon (Sumarno et al. 2005). Analisis gerombol digunakan untuk mengelompokkan obyek-obyek menjadi beberapa gerombol, berdasarkan pengukuran peubah-peubah yang diamati, sehingga diperoleh kemiripan obyek dalam gerombol yang sama dibandingkan antar obyek dari gerombol yang berbeda. Manfaat penggerombolan antara lain untuk eksplorasi, reduksi dan stratifikasi data. Eksplorasi bertujuan untuk memperoleh informasi tentang himpunan data tersebut, reduksi bertujuan untuk mewakili himpunan data, dan stratifikasi bertujuan untuk penarikan contoh atau penggolongan tipe obyek (Siswadi dan Suharjo 1998). Teknik yang dapat digunakan untuk melakukan pengelompokan dapat dikatagorikan menjadi: teknik berhirarki, yang dipilah menjadi teknik penggabungan (agglomerative) dan pembagian (divisive), teknik tak berhirarki seperti teknik penyekatan (partitioning) dan penggunaan grafik (Siswadi dan Suharjo 1998; Supranto 2004). Dalam teknik berhirarki penggabungan (hierarchical agglomerative), setiap obyek awalnya terpisah, lalu dua obyek yang terdekat bergabung, langkah berikutnya obyek ketiga bergabung dengan dua obyek yang pertama, atau dua obyek lain bergabung membentuk kelompok yang berbeda. Proses ini berlanjut sampai semua kelompok bergabung ke dalam kelompok tunggal (Siswadi dan Suharjo 1998).
12 Tahapan penggabungan dengan menggunakan metode hirarki dapat disajikan dalam bentuk dendrogram (diagram pohon), yang memungkinkan penelusuran pengelompokan obyek-obyek amatan dengan lebih mudah dan informatif (Siswadi dan Suharjo 1998; Supranto 2004). Kemiripan obyek paling umum ditunjukkan oleh nilai jarak euclidean. Semakin besar jarak euclidean maka semakin kecil kemiripan dua obyek tersebut. Jarak euclidian dirumuskan sebagai berikut (Johnson dan Wichern ⎛ 2 ⎞ d ik = ⎜⎜ ∑ (z ij − z kj ) ⎟⎟ ⎝ j ⎠
1
2
2002):
dengan dik jarak antara obyek ke-i dan ke-k, xij sifat ke-j
pengamatan ke-i, xkj sifat ke-j pengamatan ke-k. Metode penggabungan berhirarki yang umum digunakan adalah single linkage (nearest nieghbor), complete linkage (farthest nieghbor) dan average linkage (Johnson dan Wichern
2002: Supranto 2004).
Masing masing
persamaannya adalah: single linkage: d ( ik ) l = min {d il , d kl }, complete linkage:
d(ik )l = max{dil , dkl } , average linkage:
d ( ik ) l = mean {d il , d kl } dengan d(ik)l
jarak antara kelompok ke-ik dan pengamatan ke-l, dil jarak antara pengamatan ke-i dan ke-l, dkl jarak antara pengamatan ke-k dan ke-l. Penentuan jumlah kelompok yang optimal dilakukan dengan membuat kurva hubungan jarak atau tingkat kesamaan (similarity) pada sumbu absis dan jumlah kelompok pada sumbu ordinat. Jumlah kelompok optimum ditentukan pada saat gradien kurva berubah mendadak (Supranto 2004). Analisis Peluang
Kejadian hujan sulit ditentukan kapan terjadi, dimana dan berapa besarnya. Kesulitan dalam memperkirakan saat mulai dan berakhirnya musim hujan sering menimbulkan masalah dalam perencanaan masa tanam terutama daerah non irigasi.
Untuk menjawab pertanyaan, kapan saat mulai tanam dengan resiko
kegagalan yang paling kecil atau berapa besar tingkat kegagalan, seandainya hujan yang diharapkan tidak terpenuhi, maka perlu dilakukan analisis peluang. Harapan untuk memperoleh curah hujan yang melampaui nilai tertentu bagi suatu wilayah, dinyatakan sebagai peluang hujan wilayah tersebut (Boer et al. 1990).
13 Analisis peluang hujan telah digunakan untuk memperkirakan keadaan kering mingguan di Jawa Tengah (Hudoyo 1981), penentuan awal musim hujan di Serang Jawa Barat (Sugio 1987), dan pewilayahan curah hujan bulanan peluang 75% di Kabupaten Indramayu dan Cirebon (Sumarno et al. 2005). Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam analisis peluang adalah menentukan pola sebaran peluang. Pola sebaran peluang hujan memperlihatkan gambaran penyebaran nilai-nilai peluang hujan di suatu wilayah. Menurut Boer et al. (1990) sebaran Gamma, yang mempunyai batas bawah nol, baik untuk mendekati parameter-parameter iklim yang mempunyai nilai terkecil nol seperti curah hujan.
Apabila data tidak mempunyai sifat sebaran Gamma, maka perlu
diuji dengan sebaran Normal. Fungsi peluang kumulatif menurut sebaran Gamma dinyatakan dengan x
persamaan: Px ( X ) = ∫ λη xη −1e − x / Γ(η )dx , dengan Px(X) sebaran peluang kumulatif, 0
λ parameter skala, η parameter bentuk dan Г(η) fungsi Gamma (Haan 1979). Fungsi peluang Normal baku kumulatif dinyatakan dengan persamaan: z
Pz ( z ) =
⎛ ∫− ∞⎜⎝
1 2Π
e
− 12 z 2
⎞ ⎟dz dengan Pz(z) sebaran peluang normal baku kumulatif, ⎠
z peubah acak normal baku transformasi dari peubah acak x dengan fungsi: z = (x – µ)σ-1, µ rata-rata peubah x, dan σ simpangan baku peubah x. Dalam penentuan peluang kejadian hujan yang datanya menyebar normal, digunakan bantuan tabel peluang Normal baku (Haan 1979). Untuk menguji kesesuaian sebaran data dapat digunakan analisis chi-square goodness of fit test (Boer et al. 1990). Rumus umum dari chi – square (χ2hitung) k
(Oi − Ei )2
i =1
Ei
adalah: χ = ∑ 2
, dengan Oi frekuensi kejadian hujan yang berada pada
kelas hujan ke-i, Ei frekuensi kejadian hujan harapan kelas hujan ke-i, yang dihitung dengan cara mengalikan peluang suatu kelas dengan jumlah pengamatannya, dan k adalah banyaknya kelas. Prosedur selengkapnya terdapat pada Lampiran 2.
14
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari - Juli 2006 di Laboratorium Agroklimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB.
Lokasi yang
diambil untuk penelitian adalah Provinsi Lampung. Bahan dan Alat
Pada penelitian ini digunakan data curah hujan bulanan 71 penakar hujan di Lampung, periode 10 sampai 30 tahun yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika dan Departemen Pekerjaan Umum, data penunjang seperti data kesesuaian agroekologi tanaman nilam dan peta topografi. Alat yang digunakan adalah seperangkat komputer, kalkulator dan alat tulis menulis. Metode Penelitian
Beberapa tahapan penelitian adalah: (1) Penentuan distribusi temporal curah hujan dan suhu udara bulanan semua stasiun, menggunakan prosedur Analisis Komponen Utama dengan bantuan software Minitab 14. Tahapan analisisnya yaitu: a) Penghitungan matriks korelasi R dari peubah asal x (curah hujan bulanan) dengan persamaan: R = ( x' x ) / (n − 1)
b) Penghitungan akar ciri λ, dengan persamaan:
R − λjI = 0 c) Penentuan komponen utama penting, yaitu bila nilai akar ciri lebih besar dari satu atau bila keragamannya sudah menerangkan 70-80% keragaman data. d) Penghitungan koefisien korelasi (factor loading), dengan persamaan: Lij = A λ0j,5
e) Rotasi koefisien korelasi berdasarkan hubungan: L* = LT
15 f) Interpretasi koefisien korelasi antara peubah asal dan komponen utama. '
g) Penghitungan koefisien pembobot (characteristic vector) a j , dengan persamaan:
(R − λ I )a j
j
=0
h) Penentuan skor komponen utama Z, dengan persamaan: Z = AX
(2) Pewilayahan stasiun berdasarkan curah hujan musiman dengan analisis gerombol. Tahapan analisis adalah: a) Penentuan matriks jarak euclidean komponen utama curah hujan bulanan antar stasiun, dengan persamaan:
⎡ 2⎤ dik = ⎢∑(zij − zkj ) ⎥ ⎦ ⎣ j
1
2
b) Penggabungan stasiun secara hirarki (hierarchical agglomerative), berdasarkan jarak euclidean terjauh (farthest nieghbor) dengan persamaan:
d ( ik ) l = max {d il , d kl } c) Penyusunan kembali matriks jarak setelah penggabungan. Berdasarkan matriks baru, dilakukan kembali langkah (b) dan (c) hingga semua stasiun bergabung menjadi satu kelompok. Proses penggabungan ditunjukkan dengan dendogram. d) Penentuan jumlah kelompok yang optimal dilakukan dengan membuat kurva hubungan tingkat kesamaan (similarity) sebagai absis dengan jumlah kelompok sebagai ordinat.
Jumlah kelompok optimum
ditentukan pada saat kurva mengalami perubahan gradien yang mendadak. e) Pemetaan curah hujan bulanan wilayah dilakukan dengan program Arc View 3.3. (3) Pewilayahan agroklimat tanaman nilam dilakukan dengan superimpossed peta curah hujan tahunan wilayah, peta jumlah bulan basah wilayah, dan peta
16 topografi berdasarkan persyaratan agroklimat tanaman nilam dengan program Arc View 3.3. (4) Perhitungan luas tiap wilayah kesesuaian agroklimat pengembangan nilam dilakukan dengan program Arc View 3.3. (5) Pada daerah yang sangat sesuai dan sesuai, ditentukan peluang hujan bulanan yang tidak mencukupi kebutuhan tanaman nilam (CH ≤ 200 mm). Penentuan peluang dilakukan dengan memilih satu sebaran yang sesuai, secara berurut mulai sebaran Gamma, sebaran Campuran dan sebaran Normal. Tahapan analisis dengan sebaran Gamma yaitu: a)
Penentuan parameter skala λ dan parameter bentuk η fungsi peluang kumulatif sebaran Gamma dengan metode Greenwood dan Durand dengan persamaan:
ηˆ =
(0.5000876 + 0.1648825 y − 0.0544276 y ) 2
y
untuk 0 ≤ y ≤ 0.5772
(8.898919 + 9.05995 y − 0.9775373 y ) ηˆ = y (17.79728 + 11.968477 y + y ) 2
2
untuk 0.5772
ηˆ =
1 y
untuk y >17 1 n y = ln x − ∑ ln xi , xi nilai jeluk hujan bulanan ( xi i>0), n i =1
dengan
x rata-rata jeluk hujan bulanan ( x > 0), n banyak tahun dengan jeluk hujan bulanan lebih besar dari nol. Untuk menghilangkan bias ( ηˆ * parameter bentuk tak bias) digunakan persamaan :
ηˆ * =
(n − 3 )ηˆ n
Parameter skala λ diduga dengan persamaan:
λˆ =
ηˆ * x
17 dengan λˆ penduga tak bias dari parameter skala. b)
Penentuan peluang kejadian hujan. Untuk data yang tidak mengandung nilai nol, peluang kejadian hujan ditentukan dengan cara berikut: p( X > x) = 1 − p( X ≤ x) = 1 − Px ( X ) dengan Px ( X ) dihitung dengan sebaran Gamma kumulatif. Besarnya nilai 1 − Px ( X ) disajikan dalam Tabel Sebaran Gamma Kumulatif sesuai dengan besarnya nilai Khi-kuadrat (χ2) dengan derajat bebas (ν). Nilai baku χ2 dan ν dihitung dengan persamaan χ 2 = 2λˆxb dan
ν = 2ηˆ ′′ , dengan xb jeluk hujan seperti yang dibutuhkan nilam (200 mm). Jika data hujan bulanan terdapat nilai nol, maka peluang dihitung dengan Sebaran Campuran, yaitu: H ( x) = q + pPx ( X ) dengan H(x) peluang sebaran campuran bagi suatu nilai jeluk hujan yang melampaui x untuk x ≥ 0, q peluang kejadian hujan bernilai nol, p peluang kejadian hujan yang lebih besar dari nol, p = 1 – q, dan Px(X) peluang kejadian hujan menurut sebaran peluang Gamma kumulatif (x > 0). c) Pengujian kesesuaian sebaran data curah hujan bulanan terhadap sebaran Gamma atau sebaran Campuran, dilakukan dengan uji statistik chi-square goodness of fit test.
Data dikelompokkan dan frekuensi
dalam tiap kelompok dibandingkan dengan nilai harapan masingmasing kelompok berdasar sebaran Gamma. Rumus umum dari chi – square (χ2hitung) adalah:
k
(Oi − Ei )2
i =1
Ei
χ2 = ∑
dengan Oi frekuensi
kejadian hujan yang berada pada kelas hujan ke-i, Ei frekuensi kejadian hujan harapan kelas hujan ke-i, yang dihitung dengan cara mengalikan peluang suatu kelas dengan jumlah pengamatannya, dan k adalah banyaknya kelas.
Selanjutnya χ2hitung dibandingkan dengan χ2 yang
diperoleh dari Tabel chi-square pada tingkat taraf nyata 5% dengan derajat bebas k-r-1, r adalah jumlah parameter yang diduga. Bila χ2tabel lebih besar dari χ2hitung maka data menyebar menurut sebaran Gamma.
18 Untuk memperoleh banyaknya kelas dan selang kelas digunakan persamaan: k = 1+ 3.3 log n dan I = R / k dengan R adalah selisih hujan tertinggi dan hujan terendah, I selang kelas, n banyak tahun pengamatan dan k banyak kelas. d) Jika data tidak memiliki sifat sebaran Gamma atau sebaran Campuran, penentuan peluang dilakukan
dengan sebaran Normal. Selanjutnya
dilakukan pengujian seperti di atas (langkah 5c).
Jika data belum
menyebar normal, maka dilakukan transformasi terhadap curah hujan bulanan dengan pemangkatan bilangan 0.1, 0.2, ..., 0.9 yang dilacak secara berurutan.
Pada setiap pemangkatan,
χ2 dihitung dan
dibandingkan dengan χ2tabel. Pada saat χ2hitung < χ2tabel, pelacakan dihentikan dan peluang dihitung dengan sebaran Normal. Secara skematik tahapan penelitian selengkapnya terlihat seperti Gambar 2, dan tahapan penentuan peluang selengkapnya terlihat seperti Gambar 3.
19 Data hujan bulanan IDENTIFIKASI WILAYAH Penentuan distribusi temporal CH
ANALISIS KOMPONEN UTAMA
Pewilayahan CH
ANALISIS GEROMBOL
Peta CH tahunan wilayah
Peta topografi
Peta BB wilayah
Pewilayahan agroklimat pengembangan nilam
Agroklimat nilam
Peta kesesuaian agroklimat pengembangan nilam (sangat sesuai, sesuai, kurang sesuai, tidak sesuai)
Perhitungan luas tiap wilayah kesesuaian agroklimat pengembangan nilam Luas dan distribusi spasial wilayah kesesuaian agroklimat pengembangan nilam
Tidak
Apakah lahan sangat sesuai dan sesuai ?
Ya
KARAKTERISASI DAERAH PENGEMBANGAN
Penentuan peluang kejadian hujan bulanan yang tidak mencukupi kebutuhan nilam
Pola peluang hujan bulanan yang tidak mencukupi kebutuhan nilam
Selesai
Gambar 2 Skema tahapan penelitian
ANALISIS PELUANG HUJAN
20
Ch Bln
Uji Homogenitas (Run test) Tidak Koreksi (Kurva massa ganda)
Homogen ? Ya Tidak Ada nilai nol ?
Uji Sebaran Gamma
Ya Uji sebaran Campuran
Tidak
Sesuai ?
Uji sebaran Normal
Ya Ya Hitung peluang
Sesuai ?
Tidak
Transformasi pangkat (0.1, 0.2, 0.3, …, 0.9)
Selesai
Gambar 3 Proses penentuan peluang hujan
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Wilayah Penelitian Topografi dan Iklim Secara geografis Provinsi Lampung terletak pada 3°45' – 5°45' LS dan 103°40' – 106°05' BT. Provinsi Lampung berbatasan di sebelah utara dengan Provinsi Sumatra Selatan, sebelah selatan dengan Selat Sunda, sebelah timur dengan Laut Jawa dan sebelah barat dengan Samudra Indonesia. Topografi
wilayahnya,
sebagian
merupakan
daerah
berbukit
dan
pegunungan yaitu Bukit Barisan, membelah wilayah bagian barat dan bagian timur. Bagian barat adalah daerah berbukit dan bagian timur daerah dataran rendah. Gunung dengan ketinggian lebih dari 2000 m adalah Gunung Pesagi dan Gunung Tanggamus. Terdapat 18 gunung dengan ketinggian 1000 – 2000 m, dan dua gunung berapi (Gunung Rajabasa dan Gunung Krakatau). Wilayah bagian timur merupakan dataran rendah, merupakan daerah pertanian dan rawa. Dengan kondisi topografi tersebut, serta berhadapan dengan lautan di sisi timur dan barat, memberikan keragaman tipe iklim (Sandy 1987). Secara umum, Lampung beriklim humid tropis yang dipengaruhi oleh sistem monsun dengan kisaran curah hujan tahunan 1500 - 3800 mm. Jumlah bulan kering berkisar 0 – 7 bulan, dan jumlah bulan basah berkisar 3 – 12 bulan. Pawitan (1990) mendapatkan intensitas radiasi matahari berkisar 15.4 – 18.8 MJm-2hari-1 dengan rata rata harian 17.5 MJm-2hari-1. Lama penyinaran berkisar 3.8 – 5.9 jam dengan rata-rata 5 jam. Suhu maksimum harian berkisar 29.2 – 31.9 ˚C, dengan rata-ratanya 30.8 ˚C.
Suhu minimum harian berkisar 19.3 - 21.8 ˚C,
dengan rata-rata 20.7 ˚C. Sedangkan rata-rata suhu harian berkisar 25.1 – 26.7 ˚C. Rata-rata suhu harian adalah 25.9 ˚C. Kisaran kelembaban relatif (RH) harian berkisar 79 - 83% dengan rata-rata harian sebesar 81%. Kecepatan angin berkisar 0.47 – 0.88 mdet-1, dengan rata-rata harian sebesar 0.65 mdet-1. Curah hujan bulanan berkisar 102 – 385 mm (p≥50%) dan 57 - 269 mm (p≥80%). Rata-rata curah hujan bulanan adalah 217 mm (p≥50%) dan 135 mm (p≥80%). Rata-rata hari hujan bulanan berkisar 6 – 16 hari dengan rata-rata 10 hari. Evapotranspirasi bulanan berkisar 88 - 127 mm, sedangkan rata-ratanya 110 mm.
Dengan kisaran rata-rata suhu harian 25.1 – 26.7 ˚C dan kisaran RH harian 79 - 83%, maka daerah Lampung merupakan daerah yang sangat sesuai dan sesuai untuk pengembangan tanaman nilam. Sedangkan berdasarkan rata-rata hari hujan bulanan yang berkisar 6 – 16 hari (72 – 192 hari/tahun) maka di daerah ini terdapat lahan yang sangat sesuai, sesuai dan kurang sesuai untuk tanaman nilam. Peristiwa El Nino mempengaruhi siklus monsun di Indonesia yang mengakibatkan tidak normalnya curah hujan di Indonesia termasuk Lampung. Salah satu indikator anomali iklim adalah suhu permukaan laut Nino-3,4. Hasil analisis korelasi antara anomali SST (Sea Surface Temperature) Nino-3,4 dengan curah hujan Lampung untuk analisis secara musiman maupun bulanan menunjukkan bahwa umumnya musim kemarau berkorelasi negatif dengan selang waktu 0 bulan. Sementara pada musim hujan anomali SST Nino-3,4 umumnya tidak berkorelasi dengan anomali curah hujan (Widianingsih, 2002). Wilayah Administratif Secara administratif Provinsi Lampung dibagi dalam sepuluh wilayah kabupaten dan kota yaitu Kota Bandar Lampung, Kota Madya Metro, Kabupaten Lampung Tengah,
Kabupaten Lampung Utara, Kabupaten Lampung Timur,
Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Tulang Bawang, Kabupaten Way Kanan dan Kabupaten Tanggamus.
Distribusi Curah Hujan Musiman Keeratan hubungan antar curah hujan bulanan dinyatakan dengan nilai korelasi yang tinggi (r ≥ 0.60), seperti disajikan pada Tabel 2. Terdapat beberapa pola hubungan antar bulan yaitu korelasi tinggi terjadi pada: semua dua bulan berurutan; tiga bulan berurutan pada periode Januari – Maret, Maret – Mei, Mei – Juli, Agustus – Oktober; enam bulan berurutan pada periode Juni – November; dua bulan yang tidak berurutan antara Maret dan Desember; tiga bulan yang tidak berurutan antara Mei dan Oktober, November, serta antara April dan November, Desember.
Dengan adanya kolinearitas antar curah hujan bulanan seperti
tersebut, maka dilakukan analisis komponen utama untuk mendapatkan pola hubungan yang lebih sederhana.
Tabel 2 Korelasi (r) antar curah hujan bulanan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Jan 1.00 0.83 0.71 0.53 0.45 0.37 0.25 0.04 -0.08 -0.01 0.19 0.49
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
Nov
Des
1.00 0.72 0.56 0.43 0.36 0.23 0.01 -0.07 -0.06 0.23 0.46
1.00 0.85 0.69 0.49 0.37 0.12 0.16 0.29 0.59 0.71
1.00 0.85 0.68 0.63 0.35 0.46 0.55 0.73 0.72
1.00 0.79 0.67 0.55 0.54 0.62 0.71 0.57
1.00 0.73 0.68 0.61 0.70 0.71 0.54
1.00 0.73 0.71 0.70 0.62 0.43
1.00 0.78 0.75 0.54 0.22
1.00 0.89 0.64 0.30
1.00 0.82 0.48
1.00 0.75
1.00
Analisis komponen utama curah hujan bulanan mendapatkan duabelas komponen utama (Z), seperti disajikan pada Tabel 3. Dari duabelas komponen utama tersebut, dua yang mempunyai akar ciri (characteristic root) lebih besar dari satu yaitu komponen utama pertama (Z1) dengan akar ciri 6.8 dan komponen utama kedua (Z2) dengan akar ciri 2.7. Komponen utama pertama dan kedua menerangkan masing-masing 56.7% dan 22.5% dari keragaman curah hujan bulanan.
Komponen utama pertama dan kedua secara bersama dapat
menerangkan keragaman data sebesar 79.2%. Dengan alasan tersebut di atas maka kedua komponen utama tersebut dipilih sebagai komponen penting dalam penciri keragaman curah hujan bulanan. Tabel 3 Akar ciri (characteristic root) dan ragam komponen utama Komponen utama Z1 Z2 Z3 Z4 Z5 Z6 Z7 Z8 Z9 Z10 Z11 Z12
Akar Ciri 6.8009 2.6988 0.8389 0.3938 0.3091 0.2643 0.1837 0.1766 0.1269 0.1056 0.0593 0.0422
Ragam (%) 56.70 22.50 7.00 3.30 2.60 2.20 1.50 1.50 1.10 0.90 0.50 0.40
Ragam Kumulatif (%) 56.70 79.20 86.20 89.40 92.00 94.20 95.70 97.20 98.30 99.20 99.60 100.00
Hubungan antara peubah asal dan komponen utama (factor loading) terlihat pada Gambar 4 dan Tabel 4. Dari Gambar 4 dan Tabel 4 terlihat Z1 berkorelasi tinggi dengan curah hujan periode Mei-November, sedangkan Z2 berkorelasi tinggi dengan curah hujan periode Desember-April. Hal ini menunjukkan curah
hujan periode Mei-November mempunyai keragaman yang lebih besar daripada curah hujan periode Desember-April.
Korelasi peubah asal dengan kedua
komponen utama tersebut juga menggambarkan pola sebaran hujan musiman di Provinsi Lampung. Secara umum, musim kemarau ditunjukkan oleh curah hujan periode Mei-November dengan rata-rata curah hujan bulanan 168 mm, dan puncak musim kemarau terjadi bulan Agustus dengan curah hujan 92 mm. Sedangkan musim hujan terjadi pada periode Desember-April dengan rata-rata curah hujan bulanan 268 mm, dan puncak musim hujan terjadi pada bulan Januari dengan curah hujan 317 mm. 0.5
JanFeb
0.4
Mar
Komponen kedua (Z2)
0.3 0.2 0.1 0.0 -0.1
Dec
A pr
Mei Jun Nov Jul
-0.2 -0.3
Oct
A ug Sep
-0.4 -0.35
-0.30
-0.25
-0.20 -0.15 -0.10 Komponen pertama (Z1)
-0.05
0.00
Gambar 4 Loading plot peubah asal terhadap komponen utama pertama (Z1) dan kedua (Z2). Tabel 4 Korelasi (factor loading) antara peubah asal dan komponen utama Peubah asal
Komponen Z1
Komponen Z2
Desember
-0.49
0.62
Januari
-0.09
0.89
Februari
-0.05
0.89
Maret
-0.30
0.88
April
-0.63
0.68
Mei
-0.76
0.48
Juni
-0.80
0.36
Juli
-0.85
0.17
Agustus
-0.86
-0.16
September
-0.91
-0.20
Oktober
-0.95
-0.09
November
-0.83
0.30
Hasil tersebut di atas menegaskan bahwa daerah Provinsi Lampung secara umum mempunyai pola hujan musiman (monsun). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Hidayati (1993); Suharsono (1993; 2005); Prawirowardoyo (1996); Winarso dan McBride (2002); Amien et al. (2005), bahwa variasi curah hujan di Indonesia secara kuat dipengaruhi oleh angin monsun. Monsun timur terjadi pada bulan Juni-September, pada periode ini bertiup angin tenggara yang berasal dari antisiklon di Australia (Prawirowardoyo 1996; Suharsono
2005).
Karena
melewati laut yang tidak luas maka, angin ini sedikit membawa uap air, sehingga daerah yang dilewatinya umumnya memiliki curah hujan rendah, dan sebagian besar wilayah Indonesia mengalami musim kemarau. Sebaliknya, pada periode Desember-Maret, angin monsun yang berkembang di wilayah Indonesia bagian barat adalah monsun barat yang berasal dari benua Asia dan melewati samudra Indonesia sehingga kaya uap air. Pada periode ini
sebagian besar wilayah
Indonesia mengalami musim hujan. Curah Hujan Wilayah Pewilayahan hujan didasarkan atas sifat hujan musiman hasil analisis komponen utama. Semakin tinggi tingkat kesamaan sifat hujan musiman antar stasiun hujan, maka
semakin cepat stasiun itu dikelompokkan. Sifat hujan
musiman ditunjukkan oleh nilai skor komponen utama. Skor komponen pertama (Z1) dan ke dua (Z2) masing-masing stasiun (Tabel 6) dihitung berdasarkan koefisien pembobot (characteristic vector) peubah asal terhadap komponen utama (Tabel 5). Tabel 5 Koefisien pembobot (characteristic vector) peubah asal terhadap komponen utama pertama (Z1) dan komponen utama kedua (Z2) Peubah asal Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Komponen Z1 -0.185 -0.182 -0.279 -0.340 -0.341 -0.332 -0.309 -0.253 -0.266 -0.302 -0.332 -0.285
Komponen Z2 0.450 0.462 0.355 0.165 0.040 -0.073 -0.168 -0.334 -0.371 -0.325 -0.090 0.182
Tabel 6 Skor komponen utama pertama (Z1) dan komponen utama kedua (Z2) stasiun hujan di Lampung No Stas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Stasiun Air Hitam Air Naningan Argoguruh Astraksetra Banyuwangi Baradatu Bekri Belalau Blamb. Umpu Bukit Kemuning Bungin Dadirejo Dam Raman Dayamurni Gayatri Gedong Raja Gedung Meneng Gedung Ratu Gisting Gisting Atas Gunung Batu Jabung Kenali Kertasari Ketapang Komering Putih Kotabumi Krui Kubu Perahu Kunyir Labuan Batin Liwa Margojadi Menggala Menggala C Metro
Skor komponen utama Z1 Z2 -1.7048 -0.8667 -1.2787 1.5733 2.0920 0.2744 0.5361 0.5978 1.8129 -0.5074 0.5444 0.3058 1.1767 0.9042 -3.2996 -3.5172 -2.6380 -0.6466 -0.9149 1.2547 -2.1484 -0.7932 1.3689 -5.9735 2.1705 0.8426 1.4758 0.6239 1.4604 0.7259 -1.3213 0.6463 -0.9280 -0.5807 0.4520 1.0201 -0.5985 -0.9811 -2.5412 -0.2288 2.3536 0.6441 1.9388 0.2851 -1.5612 -1.6333 0.8442 1.0999 -6.0735 1.2113 2.5269 0.8889 -0.3338 0.6101 -6.4498 -3.3688 -8.2701 -3.1122 1.3869 -0.0719 -5.7394 0.6011 0.3975 -2.8573 0.8562 1.2045 0.5104 0.4051 0.2415 -0.9685 4.8131 -0.1891
No Stas. 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71
Stasiun Negara Batin Neg.Kepayungan Padang Cermin Pajaresuk Panji Rejo Pasuruan Pekurun Podorejo Pringsewu Purwajaya Rantau Jangkung Rantau Tamiang Rawa Bebek Rejosari Rumbia Sidoharjo Sidomulyo Sidomulyo Sindang Asri Siring Betik Sri Kuncoro Sukadana Sukajaya Sukaraja Tiga Sumberrejo Tahmi Lumut Taman Bogo Tanjung Agung Tatakarya Tegineneng Totomargo Way Harong Way Kekah Wayberulu Wonokriyo
Skor komponen utama Z1 Z2 0.9783 0.5877 1.5788 0.2868 1.4417 -0.5459 3.0246 0.2114 3.5854 0.2945 3.1213 -1.6557 -4.5507 4.0642 2.8457 0.0580 2.5879 0.0426 1.2539 0.4093 -0.5585 -0.1704 -3.9320 1.9268 -2.2037 0.1210 1.7400 0.8108 1.3165 0.5156 1.2221 -1.5499 -4.6627 1.4432 1.3736 0.2215 -0.6770 1.0276 2.1127 -4.7681 -1.0224 -4.2100 -0.8660 2.1478 4.9973 -1.4756 1.2234 0.7951 1.1749 0.5334 -2.3584 0.4986 0.1824 1.9801 -3.1543 1.2215 -1.2033 1.5769 2.6043 0.8479 -0.8770 1.2282 -0.9759 1.1821 1.3066 1.3521 2.2673 0.2619 1.9456 -0.6939
3 3 .3 3
6 6 .6 7
1 0 0 .0 0
1 11 23 17 19 47 9 20 49 62 2 65 58 63 10 67 68 55 16 27 25 31 48 53 64 43 8 28 29 3 22 70 13 21 26 66 40 44 45 41 4 6 34 7 60 37 46 51 61 18 24 33 14 15 50 69 5 71 39 30 38 54 35 52 36 59 42 12 56 32 57
Tingkat Kesamaan (%)
0 .0 0
No mo r S t a s iun
Gambar 5 Dendrogram pengelompokan stasiun hujan.
Jumlah Kelompok
75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Tingkat Kesam aan (%)
Gambar 6 Penentuan jumlah kelompok optimum berdasarkan perubahan gradien garis yang mendadak. Pengelompokan hujan wilayah dilakukan dengan analisis gerombol. Pengelompokan didasarkan atas algoritma jarak terjauh (farthest nieghbor /complete linkage) yang prosesnya terlihat pada dendrogram Gambar 5. Penentuan jumlah kelompok didasarkan atas kurva hubungan tingkat kesamaan dengan jumlah kelompok seperti ditunjukkan pada Gambar 6. Jumlah kelompok optimum terjadi pada saat kurva mengalami perubahan gradien yang mendadak, yaitu pada tingkat kesamaan 70.03% dengan jumlah kelompok tujuh. Dengan
demikian jumlah kelompok optimum pola curah hujan bulanan di
Lampung adalah tujuh tipe. Tujuh tipe curah hujan wilayah hasil analisis gerombol ditunjukkan pada Tabel 7- 8, dan Gambar 7-9. Tabel 7 Karakter curah hujan musiman, curah hujan tahunan, bulan basah dan bulan kering menurut Oldeman (bulan) stasiun hujan wilayah Ch. Mei-November
Ch. Desember-April
Ch. Thn
Tipe I
x(mm) 275.6
s(mm) 82.5
cv(%) 29.9
x(mm) 316.4
s(mm) 53.8
cv(%) 17.0
(mm) 3511
II
185.6
57.7
31.1
391.3
46.4
11.9
III
209.3
45.8
21.9
257.1
34.6
13.5
Oldeman BB 11
BK 0
No 1 2
Stasiun Krui Kubu Perahu
3256
8
0
1 2 3 4 5 6
Ketapang Labuan Batin Pekurun Rantau Tamiang Sidomulyo Tanjung Agung
2751
8
0
1
Belalau
Tabel 7 Lanjutan Ch. Mei-November
Ch. Desember-April
Ch. Thn
Tipe IV
x(mm) 149.8
s(mm) 47.9
cv(%) 32.0
x(mm) 304.1
s(mm) 40.4
cv(%) 13.3
(mm) 2569
V
167.5
58.1
34.7
174.6
14.9
8.5
VI
108.9
37.1
34.1
255.1
44.8
VII
82.0
21.0
25.6
175.2
40.3
Oldeman BB 6
BK 1
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 1 2 3 4
Stasiun Air Hitam Air Naningan Blamb. Umpu Bukit Kemuning Bungin Gedong Raja Gedung Meneng Gisting Gisting Atas Kenali Kotabumi Rantau Jangkung Rawa Bebek Sindang Asri Sukadana Tahmi Lumut Taman Bogo Tatakarya Totomargo Way Harong Dadirejo Liwa Siring Betik Sri Kuncoro
2046
3
1
17.5
2038
4
4
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Argoguruh Astraksetra Banyuwangi Baradatu Bekri Dam Raman Dayamurni Gayatri Gedung Ratu Gunung Batu Jabung Kertasari Komering Putih Kunyir Margojadi Menggala Menggala C Negara Batin Neg. Kepayungan Padang Cermin Pajaresuk Panji Rejo Podorejo Pringsewu Purwajaya Rejosari Rumbia Sidoharjo Sidomulyo Sukaraja Tiga Sumberrejo Tegineneng Way Kekah Wayberulu Wonokriyo
23.0
1450
2
5
1 2 3
Metro Pasuruan Sukajaya
Tabel 8 Curah hujan bulanan dan tahunan wilayah (mm) No
Tipe
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Tahunan
1
I
301
282
293
294
296
223
199
207
244
334
426
412
3511
2
II
447
383
415
322
224
160
150
123
154
196
293
390
3256
3
III
253
201
274
266
172
164
209
158
236
259
267
292
2751
4
IV
350
296
310
241
184
119
121
96
128
165
235
322
2569
5
V
188
162
166
163
138
88
116
155
217
240
218
193
2046
6
VI
301
271
255
181
135
90
91
72
89
105
180
267
2038
7
VII
222
177
160
116
104
69
81
63
64
75
118
200
1450
Dari Tabel 7-8 dan Gambar 7-9 terlihat pada curah hujan wilayah tipe I terdapat dua stasiun hujan dengan rata-rata curah hujan tahunan 3511 mm dan jumlah bulan basah berturut-turut 11 bulan serta tidak ada bulan kering. Berdasarkan klasifikasi Oldeman wilayah ini termasuk tipe A1.
Menurut
klasifikasi Oldeman, bulan basah adalah bulan dengan curah hujan lebih besar dari 200 mm, sedangkan bulan kering adalah bulan dengan curah hujan kurang dari 100 mm. Rata-rata curah hujan bulanan pada musim kemarau adalah 276 mm, dan pada musim hujan adalah 316 mm. Hanya bulan Juli curah hujan bernilai di bawah 200 mm, sedangkan bulan lainnya di atas 200 mm. Puncak hujan terjadi dua kali setahun yaitu pada bulan Mei (periode musim kemarau) dan bulan November (periode musim hujan). Tipe I ini hanya terdapat di Kabupaten Lampung Barat. Pada wilayah curah hujan tipe II terdapat enam stasiun hujan, dengan ratarata curah hujan tahunan 3256 mm dan jumlah bulan basah berturut-turut delapan bulan serta tidak ada bulan kering. wilayah ini termasuk tipe B1.
Menurut klasifikasi Oldeman
Rata-rata curah hujan bulanan pada musim
kemarau adalah 186 mm, dan pada musim hujan adalah 391 mm. Terdapat lima bulan curah hujan bernilai di bawah 200 mm, dan tujuh bulan lainnya di atas 200 mm. Puncak hujan terjadi dua kali setahun yaitu pada bulan Januari dan bulan Maret yang keduanya dalam periode musim hujan. Tipe II ini terdapat di Kabupaten Lampung Barat, Lampung Tengah, Way Kanan, Lampung Utara, Tulang Bawang dan Lampung Selatan. Pada curah hujan wilayah tipe III terdapat satu stasiun hujan, dengan curah hujan tahunan 2751 mm dan jumlah bulan basah berturut-turut delapan bulan serta tidak ada bulan kering. Menurut klasifikasi Oldeman wilayah ini termasuk tipe B1.
TIPE II
TIPE I
CH 600 550
600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
mm
mm
CH
500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Jan
Feb
Apr
Mar
Mei
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Jan
Dec
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
CH
CH 600 550
600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
500 450 400
mm
mm
Dec
TIPE IV
TIPE III
350 300 250 200 150 100 50 0
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Jan
Nov Dec
Feb Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Aug Sep
Oct Nov Dec
TIPE VI
TIPE V CH 600
600
550 500
550
450 400
450
350
350
CH
500
mm
400
300 250
300 250
200 150
200
100 50
100
150 50
0
0 J an
Feb
Mar
Apr
Mei
J un
J ul
Aug
Sep
Oc t
Nov
Dec
J an
Feb
Mar Apr
Mei
Jun
TIPE VII CH
600 550 500 450 400
mm
mm
Nov
350 300 250 200 150 100 50 0 J an
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Aug
Sep
Oc t
Nov
Dec
Gambar 7 Pola curah hujan wilayah bulanan.
J ul
Aug
Sep Oc t Nov Dec
Rata-rata curah hujan bulanan pada musim kemarau adalah 209 mm, dan pada musim hujan adalah 257 mm. Terdapat tiga bulan, yaitu Mei, Juni dan Agustus, curah hujan bernilai di bawah 200 mm, sedangkan bulan lainnya di atas 200 mm. Puncak hujan terjadi dua kali setahun yaitu pada bulan Maret dan Desember yang termasuk dalam periode musim hujan. Tipe III ini hanya terdapat
mm
di Kabupaten Lampung Barat.
450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Musim kemarau Musim hujan
I
II
III
IV
V
VI
VII
TIPE
Gambar 8 Pola curah hujan wilayah musiman. Pada wilayah curah hujan tipe IV terdapat duapuluh stasiun hujan, dengan rata-rata curah hujan tahunan 2569 mm dan jumlah bulan basah berturut-turut enam bulan serta satu bulan kering. Menurut klasifikasi Oldeman wilayah ini termasuk tipe C1. Rata-rata curah hujan bulanan pada musim kemarau adalah 150 mm, dan pada musim hujan adalah 304 mm. Terdapat enam bulan curah hujan bernilai di bawah 200 mm, dan enam bulan lainnya di atas 200 mm. Puncak hujan terjadi satu kali setahun yaitu pada bulan Januari yang termasuk dalam periode musim hujan.
Tipe IV ini terdapat di Kabupaten Lampung Barat,
Lampung Tengah, Way Kanan, Tanggamus, Lampung Utara, Lampung Timur, dan Tulang Bawang. Pada wilayah curah hujan tipe V terdapat empat stasiun hujan, dengan ratarata curah hujan tahunan 2046 mm dan jumlah bulan basah berturut-turut tiga bulan serta bulan kering satu bulan. Menurut klasifikasi Oldeman wilayah ini termasuk tipe D1. Rata-rata curah hujan bulanan pada musim kemarau adalah 168 mm, dan pada musim hujan adalah 175 mm. Terdapat sembilan bulan curah hujan bernilai di bawah 200 mm, dan tiga bulan lainnya di atas 200 mm. Puncak
hujan terjadi satu kali setahun yaitu pada bulan Oktober yang termasuk dalam periode musim kemarau. Tipe V ini terdapat di Kabupaten Lampung Barat dan Tanggamus.
Gambar 9 Wilayah curah hujan musiman. Pada wilayah curah hujan tipe VI terdapat 35 stasiun hujan, dengan rata-rata curah hujan tahunan 2038 mm dan jumlah bulan basah berturut-turut empat bulan serta bulan kering berturut-turut empat bulan. Menurut klasifikasi Oldeman wilayah ini termasuk tipe D3. Rata-rata curah hujan bulanan pada musim kemarau adalah 109 mm, dan pada musim hujan adalah 255 mm. Terdapat delapan bulan curah hujan bernilai di bawah 200 mm, dan empat bulan lainnya di atas 200 mm. Puncak hujan terjadi satu kali setahun yaitu pada bulan Januari yang termasuk dalam periode musim hujan. Tipe VI ini terdapat di Kabupaten Lampung Tengah, Way Kanan, Lampung Selatan, Lampung Utara, Tulang Bawang, Bandar Lampung dan Metro. Pada wilayah curah hujan tipe VII terdapat tiga stasiun hujan, dengan ratarata curah hujan tahunan 1450 mm dan jumlah bulan basah berturut-turut dua bulan serta bulan kering berturut-turut lima bulan. Menurut klasifikasi Oldeman
wilayah ini termasuk tipe E3. Rata-rata curah hujan bulanan pada musim kemarau adalah 82 mm, dan pada musim hujan adalah 175 mm. Terdapat sebelas bulan dengan curah hujan di bawah atau sama dengan 200 mm, dan satu bulan lainnya di atas 200 mm. Puncak hujan terjadi satu kali setahun yaitu pada bulan Januari yang termasuk dalam periode musim hujan. Tipe VII ini terdapat di Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Timur, Lampung Selatan, Bandar Lampung dan Metro. Berdasarkan Gambar 8 terlihat pola perbedaan curah hujan rata-rata bulanan musim hujan dam musim kemarau antar tipe berbeda. Pada tipe I, III, dan V, perbedaan tersebut tidak kontras, tetapi pada tipe II, IV, VI dan VII perbedaan tersebut kontras. Hasil tersebut di atas menunjukkan terjadi keragaman pola curah hujan, baik musiman maupun bulanan antar daerah. Terdapat pola hujan equatorial dan pola hujan musiman. Keragaman tersebut dipengaruhi oleh pergerakan ITCZ, pola angin musiman, dan faktor lokal. Faktor lokal meliputi ketinggian tempat, posisi daerah sisi gunung terhadap arah datang angin atau membelakangi arah angin, posisi terhadap laut atau tubuh air lainnya (rawa). Jika pengaruh pergerakan ITCZ lebih kuat dari pengaruh angin musiman, atau sebaliknya, atau pengaruh lokal lebih kuat dari yang lain, maka akan memberikan ciri tipe hujan daerah setempat. Provinsi Lampung terletak pada daerah ITCZ yaitu daerah tropis pertemuan angin yang bergerak dari zone tekanan tinggi sub tropis, yang selalu bergerak ke utara dan selatan mengikuti pergeseran surya. Hal ini menyebabkan di daerah ini terjadi pola curah hujan yang memiliki dua nilai curah hujan maksimum (bimodal) dalam setahun. Secara jelas terlihat, pola tersebut terjadi pada hujan wilayah tipe I, II, III, dan IV. Pada tipe V juga terdapat pola bimodal, namun kurang jelas, sebaliknya terdapat pola lokal yang cukup jelas. Pola lokal dicirikan oleh puncak hujan terjadi pada bulan Oktober, sementara daerah lainnya mengalami kemarau. Pola hujan musiman terlihat pada curah hujan wilayah tipe VI dan VII. Menurut luasan cakupannya, Provinsi Lampung didominasi oleh hujan tipe VI, yang diikuti oleh tipe IV (Gambar 9).
Pewilayahan Agroklimat Pengembangan Tanaman Nilam Kesesuaian iklim untuk tanaman nilam di Provinsi Lampung. Pengembangan pusat produksi suatu tanaman termasuk nilam, memerlukan kondisi iklim yang dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan sehingga menjamin kuantitas dan kualitas produksi yang tinggi secara berkelanjutan. Kondisi iklim suatu tempat dikatakan sesuai untuk suatu tanaman apabila telah terbukti memungkinkan tanaman tersebut tumbuh, dan atau berkembang secara baik, serta menghasilkan panen yang tinggi secara kuantitas dan kualitas dalam kurun waktu panjang dan secara ekonomi menguntungkan (Nasir 2004). Penentuan kesesuaian iklim untuk tanaman nilam di Lampung berdasarkan kriteria ketinggian tempat dari permukaan laut, curah hujan tahunan, dan jumlah bulan basah pertahun seperti yang tercantum pada Tabel 1 mendapatkan hasil seperti Gambar 10.
Gambar 10 Kesesuaian agroklimat tanaman nilam di Provinsi Lampung.
Distribusi spasial dan luas wilayah pengembangan nilam Perbandingan luas wilayah pengembangan yang sangat sesuai, sesuai, kurang sesuai dan tidak sesuai ditunjukkan Gambar 11.
1%
20%
38%
Sangat sesuai Sesuai Kurang sesuai Tidak sesuai
41%
Gambar 11 Persentase luas daerah kesesuaian agroklimat tanaman nilam di Provinsi Lampung. Dari Gambar 10 dan Gambar 11 dapat dilihat perbandingan luas lahan berdasarkan tingkat kesesuaian agroklimat tanaman nilam di Provinsi Lampung adalah: 20% sangat sesuai, 41% sesuai, 38% kurang sesuai dan 1% tidak sesuai. Sebaran kesesuaian agroklimat berdasarkan wilayah administrasi terlihat pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran spasial kesesuaian agroklimat wilayah pengembangan nilam di Provinsi Lampung Luas wilayah (ha) No
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kab. Lampung Barat Kab. Lampung Tengah Kab. Way Kanan Kab. Tanggamus Kab. Lampung Utara Kab. Lampung Timur Kab. Tulang Bawang Kab. Lampung Selatan Kota Bandar Lampung Kota Metro Total
Sangat sesuai
Sesuai
Kurang sesuai
Tidak sesuai
61 341 70 565 169 754 94 949 214 741 54 052 362 14 267 0 0 680 033
263 137 249 298 126 776 195 106 43 455 168 593 176 065 154 652 9 077 2 805 1 388 970
178 193 140 420 76 711 72 358 1 310 180 341 486 987 144 910 7 257 4 091 1 292 582
13 792 0 0 427 0 35 0 22 547 1 825 0 38 627
Pemilihan lahan untuk pengembangan tanaman nilam haruslah diarahkan pada lahan yang sangat sesuai dan sesuai, agar pengusahaan tanaman dapat menguntungkan. Luas lahan yang dapat dimanfaatkan adalah 2 069 005 ha. Dari luasan tersebut, tersebar masing-masing 15.7% di Kabupaten Lampung Barat, 15.5% di Kabupaten Lampung Tengah, 14.3% di Kabupaten Way Kanan, 14% di Kabupaten Tanggamus, 12.5% di Kabupaten Lampung Utara, 10.8% di Kabupaten Lampung Timur, 8.5% di Kabupaten Tulang Bawang, 8.2% di Kabupaten Lampung Selatan, 0.4% di Kota Bandar Lampung dan 0.1% di Kota Metro. Gambar 12 menunjukkan sebaran lahan yang sangat sesuai dan sesuai untuk pengembangan tanaman nilam di Provinsi Lampung. Sangat sesuai 680 033 ha
2%
0% 0%
0%
9%
8%
10%
25%
32%
Kab. Lampung Barat Kab. Lampung Tengah Kab. Way Kanan Kab. Tanggamus Kab. Lampung Utara Kab. Lampung Timur Kab. Tulang Bawang Kab. Lampung Selatan Kota Bandar Lampung Kota Metro
14%
Sesuai 1 388 970 ha
0% 1% 11%
19%
13%
18%
12% 3%
14%
9%
Kab. Lampung Barat Kab. Lampung Tengah Kab. Way Kanan Kab. Tanggamus Kab. Lampung Utara Kab. Lampung Timur Kab. Tulang Bawang Kab. Lampung Selatan Kota Bandar Lampung Kota Metro
Gambar 12 Sebaran lahan yang sangat sesuai (a) dan sesuai (b) berdasarkan analisis agroklimat untuk pengembangan tanaman nilam di Provinsi Lampung.
Luas lahan yang sangat sesuai adalah 680 033 ha, yang menyebar di Kabupaten Lampung Utara (32%), Kabupaten Way Kanan (25%), Kabupaten Tanggamus (14%), Kabupaten Lampung Tengah (10%), Kabupaten Lampung Barat (9%),
Kabupaten Lampung Timur (8%), Kabupaten Lampung Selatan
(2%), dan Kabupaten Tulang Bawang (0.05%).
Sedangkan, luas lahan yang
sesuai adalah 1 388 970 ha, yang menyebar di Kabupaten Lampung Barat (19%), Kabupaten Lampung Tengah (18%), Kabupaten Tanggamus (14%), Kabupaten Tulang Bawang (13%), Kabupaten Lampung Timur (12%), Kabupaten Lampung Selatan (11%), Kabupaten Way Kanan (9%), Kabupaten Lampung Utara (3%), dan dan Bandar Lampung (1%). Analisis Peluang Hujan pada Daerah Pengembangan Nilam Berdasarkan superimposed peta kesesuaian agroklimat tanaman nilam dan peta curah hujan wilayah terlihat bahwa lahan yang sangat sesuai mempunyai hujan wilayah tipe I sampai IV, sedangkan lahan yang sesuai mempunyai hujan wilayah tipe I sampai VI (Gambar 13) .
II IV II
VI
VI
IV
II
II V
II
IV IV III I
VI V
IV
VII VI IV
VII II VII
Gambar 13 Tipe curah hujan wilayah pada daerah kesesuaian pengembangan tanaman nilam di Provinsi Lampung.
Homogenitas Hujan Langkah awal dalam analisis peluang hujan adalah pemeriksaan kehomogenan data. Pemeriksaan kehomogenan data dilakukan dengan uji runtun (run test). Pemeriksaan dilakukan terhadap rata-rata dua stasiun pada masingmasing tipe hujan yang mempunyai periode pengamatan yang sama, kecuali untuk tipe III pemeriksaan dilakukan terhadap satu stasiun karena hanya terdapat satu stasiun yang termasuk tipe tersebut. Hasil pengujian kehomogenan data pada tipe I, II, III, IV, V dan VI mendapatkan data menyebar homogen. Selanjutnya dilakukan pengujian sebaran data hujan bulanan. Uji sebaran hujan Pengujian sebaran data curah hujan wilayah tipe I - VI dilakukan dengan metode chi-square goodness of fit test pada taraf nyata (α) 5% dengan mengasumsikan data menyebar menurut sebaran Gamma, sebaran Campuran atau sebaran Normal. Pengujian mendapatkan hasil seperti pada Tabel 10. Tabel 10 Hasil pengujian sebaran data dengan metode chi-square goodness of fit test (N: sebaran normal, G: sebaran gamma, C: sebaran campuran) Tipe
Jan
Feb
I
N
G
II
N
N
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
C
N
G
C
C
N
N
N
N
C
Agu
Sep
Okt
Nov
Des
C
C
G
N
N
N
C
N
N
N
III
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
IV
N
N
N
N
G
N
N
N
G
N
N
N
V
N
N
N
G
N
N
N
N
N
N
N
N
VI
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
Dari Tabel 10 terlihat bahwa untuk curah hujan wilayah tipe I, sebaran normal dapat digunakan untuk mendekati sebaran data hujan bulan Januari, April, November dan Desember; sebaran gamma dapat digunakan untuk mendekati sebaran data hujan bulan Februari, Mei dan Oktober;
sedangkan sebaran
campuran dapat digunakan untuk mendekati sebaran data hujan bulan Maret, Juni, Juli, Agustus dan September. Pada curah hujan wilayah tipe II sebaran normal dapat digunakan untuk mendekati sebaran hujan selain bulan Juli dan September; sedangkan untuk bulan Juli dan September dapat didekati dengan sebaran campuran. Untuk curah hujan wilayah tipe III, sebaran gamma dapat digunakan
untuk mendekati sebaran hujan bulan Mei dan September;
sedangkan untuk
bulan-bulan lainnya dapat didekati dengan sebaran normal.
Untuk tipe IV,
sebaran campuran dapat digunakan untuk mendekati sebaran hujan bulan Agustus; sedangkan untuk bulan-bulan lainnya dapat didekati dengan sebaran normal. Curah hujan wilayah tipe V, sebaran normal dapat digunakan untuk mendekati sebaran hujan dari bulan Januari sampai Desember.
Curah hujan
wilayah tipe VI, sebaran gamma dapat digunakan untuk mendekati sebaran hujan bulan April; sedangkan untuk bulan-bulan lainnya dapat didekati dengan sebaran normal. Peluang hujan bulanan Berdasarkan kriteria Tabel 1, curah hujan minimal yang dibutuhkan tanaman nilam adalah 200 mm per bulan. Jika hujan bulanan kurang dari 200 mm maka tanaman nilam akan terancam tidak tercukupi kebutuhan airnya. Peluang curah hujan wilayah bulanan ≤ 200 mm terlihat pada Tabel 11, dan secara grafis terlihat pada Gambar 14. Tabel 11 Tipe
Jan
Peluang curah hujan wilayah bulanan ≤ 200 mm
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
Nov
Des
I
0.21
0.39
0.51
0.40
0.50
0.39
0.40
0.38
0.51
0.48
0.14
0.22
II
0.05
0.14
0.01
0.20
0.21
0.69
0.76
0.74
0.72
0.63
0.29
0.14
III
0.29
0.56
0.31
0.27
0.67
0.74
0.93
0.67
0.40
0.31
0.20
0.20
IV
0.17
0.34
0.27
0.33
0.55
0.66
0.83
0.89
0.70
0.50
0.30
0.16
V
0.47
0.68
0.73
0.68
0.85
0.98
0.92
0.71
0.43
0.36
0.39
0.55
VI
0.17
0.14
0.15
0.66
0.80
0.98
0.99
0.99
0.96
0.88
0.54
0.20
Penentuan besar nilai peluang hujan yang mampu memberi keyakinan bahwa kejadian hujan tersebut akan mengancam tanaman nilam, didasarkan atas keberanian mengambil resiko dari keputusan tersebut.
Jika diasumsikan
keyakinan tersebut muncul pada peluang ≥ 60%, maka pada tipe I tidak terdapat bulan dengan curah hujan ≤ 200 mm. Dengan demikian tidak ada ancaman terhadap tercukupinya curah hujan bagi tanaman nilam di wilayah ini. Pada tipe II, terdapat lima bulan curah hujan ≤ 200 mm, yaitu bulan Juni sampai Oktober. Pada tipe III, terdapat empat bulan curah hujan ≤ 200 mm, yaitu bulan Mei sampai Agustus. Pada tipe IV, terdapat empat bulan dengan curah hujan ≤ 200 mm, yaitu bulan
Juni sampai September. Pada tipe V, terdapat tujuh bulan
dengan curah hujan ≤ 200 mm, yaitu bulan Februari sampai Agustus. Pada tipe VI, terdapat tujuh bulan dengan curah hujan ≤ 200 mm, yaitu bulan April sampai Oktober.
D es .
Ok t.
N op .
S ep .
J uli
A gs .
M ei
A p r.
M a r.
J un i
Nop.
Des.
Nop.
Des.
Okt.
Sep.
J uli
Ags.
J uni
Mei
Apr.
Mar.
Feb.
P(Ch<200 mm)
Ok t.
S ep.
J uli
A gs.
J uni
M ei
A pr.
M ar.
Feb.
1.00 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 J an.
Des .
P(x)
TIPE VI
Nop.
Ok t.
S ep.
A gs .
J uli
J uni
M ei
A p r.
M a r.
Fe b .
J an.
1.00 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00
P(CH<200 mm)
J an.
P(x)
P(CH<200 mm)
1.00 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00
Feb .
J an .
TIPE IV
Des.
Nop.
Okt.
Sep.
Juli
TIPE V
Ags.
Juni
Mei
Apr.
Mar.
Jan.
1.00 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00
1.00 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00
D es .
O k t.
N op.
P(x)
P(Ch<200 mm)
P(Ch<200 mm)
Feb.
P(x)
Se p .
J u li
Ag s .
Me i
Juni
Ap r .
Ma r .
Fe b .
1.00 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00
TIPE III
P (x )
TIPE II
P(CH<200 mm)
Jan.
P(x)
TIPE I
Gambar 14 Pola peluang curah hujan wilayah bulanan pada daerah yang sesuai dan sangat sesuai untuk nilam Pada bulan – bulan yang mempunyai curah hujan ≤ 200 mm tersebut, tanaman nilam mempunyai peluang ≥ 60% mengalami cekaman air, yang menyebabkan terganggunya pertumbuhan sehingga menurunkan produksi, bahkan bisa menyebabkan kematian.
Pemberian mulsa merupakan salah cara untuk
menekan kehilangan air dari tanah.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1) Berdasarkan analisis agroklimat, di Provinsi Lampung dijumpai lahan yang sangat sesuai (680 033 ha), sesuai (1 388 970 ha), kurang sesuai (1 292 582 ha) dan tidak sesuai (38 627 ha). 2) Luas lahan yang sangat sesuai (680 033 ha) tersebar di Kabupaten Lampung Utara (32%), Kabupaten Way Kanan (25%), Kabupaten Tanggamus (14%), Kabupaten Lampung Tengah (10%), Kabupaten Lampung Barat (9%), Kabupaten Lampung Timur (8%) dan Kabupaten Lampung Selatan (2%). 3) Luas lahan yang sesuai (1 388 970 ha) tersebar di Kabupaten Lampung Barat (19%), Kabupaten Lampung Tengah (18%), Kabupaten Tanggamus (14%), Kabupaten Tulang Bawang (13%), Kabupaten Lampung Timur (12%), Kabupaten Lampung Selatan (11%), Kabupaten Way Kanan (9%), Kabupaten Lampung Utara (3%), dan Bandar Lampung (1%). 4) Berdasarkan sifat curah hujan musiman, hujan di Provinsi Lampung dikelompokkan menjadi tujuh tipe curah hujan wilayah (I-VII). Pada daerah yang sangat sesuai untuk pengembangan nilam terdapat curah hujan tipe I-IV, dan pada daerah yang sesuai terdapat curah hujan tipe I-VI. 5) Pada tipe I tidak terjadi curah hujan bulanan ≤ 200 mm dengan peluang ≥ 60%, sedangkan pada tipe II terjadi selama 5 bulan, pada tipe III dan IV terjadi selama 4 bulan, dan pada tipe V dan VI terjadi selama 7 bulan.
Saran Pengembangan nilam pada lahan yang sangat sesuai dan sesuai secara agroklimat, tetap harus mempertimbangkan peluang gagalnya. Untuk penetapan wilayah pengembangan tanaman nilam secara riil di Provinsi Lampung, perlu dilakukan analisis lanjutan yang menyertakan kesesuaian tanah dan tata guna lahan.
PUSTAKA Akuba RH. 1988. Penerapan analisis komponen utama untuk pewilayahan curah hujan di Kalimantan. Meningkatkan Prakiraan dan Pemanfaatan Iklim untuk Mendukung Pengembangan Pertanian Tahun 2000. Prosiding Simposium II PERHIMPI. 27-28 Juli 1988. hlm 316-323. Akuba RH. 1988. Simulasi Hujan Bulanan dengan Model Markov untuk Kebutuhan Tanaman Kelapa di Kalimantan Timur. [Tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Amien I, E Susanti, E Surmaini. 2005. Keragaman dan dinamika iklim Indonesia. Di dalam: Amien I, H Pawitan, E Pasandaran, editor. Sistem Informasi Sumberdaya Iklim dan Air. Bogor: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. hlm 7-25. Anyadike RNC. 1987. A multivariate classification an regionalization of West African Climates. Journal of Climatology. 7: hlm 157-164. Barry RG, RJ Chorley. 1976. Atmosphere, Weather and Climate. Third Edition. London: Methuen and Co. Ltd. Bey A dan RH Akuba. 1988. Pewilayahan untuk pengembangan tanaman tebu berdasarkan curah hujan di Sumatra Selatan dan Lampung. Meningkatkan Prakiraan dan Pemanfaatan Iklim untuk Mendukung Pengembangan Pertanian Tahun 2000. Prosiding Simposium II PERHIMPI. 27-28 Juli 1988. hlm 291-298. Bey A, I Amien, R Boer, Handoko, I Las, H Pawitan. 1995. Pengembangan metode analisis data iklim dan pewilayahan agroklimat dalam menunjang usahatani yang prospektif. Prosiding Simposium IV PERHIMPI; Yogyakarta, 26-28 Januari 1995. hlm 59-69. Boer R, I Las dan A Bey. 1990. Metode Klimatologi. Bogor: Jurusan Geofisika dan Meteorologi. FMIPA Institut Pertanian Bogor. Bruce JP, RH Clark. Pergamon Press.
1977.
Introduction to Hydrometeorologi.
Oxford:
Cholil. 1993. Analisis Curah Hujan Bulanan dengan Model Markov untuk Pengembangan Budidaya Tebu di Sumatra Selatan. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Cholil, A Bey, H Pawitan dan LI Amien. 1995. Penggunaan analisis komponen utama dan model Markov berdasarkan curah hujan bulanan untuk pengembangan budidaya tebu di Sumatra Selatan. Prosiding Simposium IV PERHIMPI; Yogyakarta, 26-28 Januari 1995. hlm 203-209.
DeGaetano AT, MD Schulman. 1990. A climatic classification of plant hardiness in The United States and Canada. J. Agric. Forest Meteorol. 3: hlm 47-63. Emmyzar. 1998. Laporan Teknis Penelitian Studi Aspek Teknologi untuk Menunjang Budidaya Nilam Secara Menetap. Bogor: Balittro. Gadgil S, NV Joshi. 1976. Climate clusters of Indian Region. Journal of Climatology. 3: hlm 47-63. Gray BM. 1981. On the stability of temperature eigenfactor. Climatology. 1(3): hlm 273-281.
Journal of
Guenther E. 1952. The Essential Oils. Ed ke-2. Vol. III. New York: D. Van Norstrad Co. Inc. Haan CT. 1979. Statistical Methods in Hydrology. University Press.
Iowa: The Iowa State
Hidayati R. 1993. Pembentukan awan dan hujan. Di dalam: Handoko, editor. Klimatologi Dasar Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsur-unsur Iklim. Bogor: Jurusan Geofisika dan Meteorologi. FMIPA IPB. hlm 97122. Hudoyo SA. 1981. Perkiraan Keadaan Kering Mingguan di Beberapa Tempat di Jawa Tengah Berdasarkan Data Hujan [Tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Indrawanto C, L Mauludi. 2004. Strategi pengembangan industri nilam Indonesia. Teknologi Pengembangan Minyak Nilam Aceh. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat. Vol. XVI No. 2.2004. hlm 62-71. Johnson RA, DW Wichern. 2002. Applied Multivariate Statistical Analysis. Ed ke-5. New Jersey: Pearson Education International. Prentice-Hall Inc. Kemala S. 1998. Analisis finansial usahatani. Monograf Nilam. Monograf No.5. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. hlm 130-136. Las I. 1992. Pewilayahan Komoditi Pertanian Berdasarkan Model Iklim Kabupaten Sikka dan Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur [Disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Leni. 1995. Pewilayahan Komoditas Alpukat (Parsea americana Mill.) di Kabupaten Agam Sumatra Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor. Mansur M dan IM Tasma. 1987. Plasma Nutfah Tanaman Nilam. Edisi Khusus Littro III(1) Balittro: 59-63.
Murdiyarso DM. 1980. Pengantar Hidrometeorologi. Bogor: Jurusan Geofisika dan Meteorologi. FMIPA IPB. Nasir AA. 2004. Hubungan iklim dan tanaman. Bahan Pelatihan Dosen Perguruan Tinggi se-Indonesia Timur dalam Bidang Pemodelan dan Simulasi Pertanian. Bogor: Kerjasama BPPK Sumber Daya Manusia Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Geomet FMIPA IPB. Nuryani Y. 1998. Karakterisasi. Monograf Nilam. Monograf No.5. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. hlm 17-23. Palilingan RN. 1993. Karakteristik Wilayah Curah Hujan Bulanan di Irian Jaya Bagian Selatan untuk Pewilayahan Lima Komoditas Perkebunan [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Paterson JG, NA Goodchild, WJR Boyd. 1978. Classifying environments for sampling porposes using a principal component analysis of climate data. Agric. Meteor. 19:349-362. Pawitan H. 1990. Climate Data Compilation for Sumatra. Technical Report No. 23. Bogor: Center for Soil and Agroclimate Research. Popi RE, H Pawitan, L Hakim S. 1995. Pewilayahan dan periodisitas curah hujan di DI Yogyakarta dengan analisis Klustering dan Fourier. Prosiding Simposium PERHIMPI IV, Yogyakarta 26-28 Januari 1995. Prabowo M, N Nicholls. 2002. Osilasi Selatan. Di dalam: Partridge I, M Ma’shun, editor. Kapan Hujan Turun ? Dampak Osilasi Selatan dan El Niňo di Indonesia. Brisbane: Publishing Services Department of Primary Industries. hlm 12-17. Prawirowardoyo S. 1996. Meteorologi. Bandung: Penerbit ITB. Pujiwati D. 1998. Analisis Karakteristik Agroklimat Daerah Pusat Produksi Kapas di Indonesia [Skripsi]. Bogor: Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor. Puvaneswaran M. 1990. Climatic classification for Queensland using multivariate statistical techniques. Journal of Climatology. 10: hlm 591-608. Rouw A. 2004. Tingkat Kerawanan Zone Agroekologi Tanaman Pangan Terhadap Kekeringan dan Banjir: Studi Kasus Kabupaten Merauke, Papua [Tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rosman R, Emmyzar, P Wahid. 1998. Karakteristik lahan dan iklim untuk pewilayahan pengembangan. Monograf Nilam. Monograf No.5. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. hlm 47-53. Russel JS, Moore AW. 1976. Classification of climate by pattern analysis with Australian and South African data as an example. J. Agric. Meteorol. 16: hlm 45-50. Sandy IM. 1987. Iklim Regional Indonesia. Jakarta: Jurusan Geografi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. Siswadi, B Suharjo. 1998. Analisis Eksplorasi Data Peubah Ganda. Bogor: Jurusan Matematika. FMIPA IPB. Soepadyo, Tan HT. 1978. Patchouly a profitable cath crop. World Crops 20(1): hlm 48-64. Suharsono H. 1993. Iklim tropika. Di dalam: Handoko, editor. Klimatologi Dasar Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsur-unsur Iklim. Bogor: Jurusan Geofisika dan Meteorologi. FMIPA IPB. hlm 161-177. Suharsono H. 2005. Iklim Indonesia. Bahan Kuliah Klimatologi Tropika. Bogor: Departemen Geofisika dan Meteorologi. FMIPA IPB (tidak dipublikasikan). Supranto J. 2004. Analisis Multivariat Arti dan Interpretasi. Jakarta: Rineka Cipta. Syukur C, Y Nuryani. 1998. Plasma nutfah. Monograf Nilam. Monograf No.5. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. hlm 25-32. Sudaryani T, E Sugiharti. 2005. Budidaya dan Penyulingan Nilam. Jakarta: Penebar Swadaya. Sugio. 1987. Analisis Peluang Awal Musim Hujan dalam Menentukan Musim Tanam di Kabupaten Serang Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor. Sumarno, Sudarmo, A Hamdani, E Runtunuwu. 2005. Pewilayahan curah hujan berdasarkan analisis peluang hujan bulanan Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Vol. 2 No.1. hlm 71-81. Yufdy MP. 1995. Kondisi agroklimat daerah Abung Barat dan Abung Timur untuk pengembangan nilam. Prosiding Simposium PERHIMPI IV; Yogyakarta, 26-28 Januari 1995. hlm 281-286.
Wahid P, R Rosman, JS Baharsjah. 1993. Pewilayahan pembangunan pertanian Kalimantan Barat. Bulletin Meteorologi Pertanian Indonesia. Vol. I No. 2 PERHIMPI. Werkhoven J. 1968. Patchouly an interesting essential oil crops. Tropical Abstract 23 (10): 609-612. Widianingsih SA. 2002. Analisis Korelasi Anomali Suhu Permukaan Laut Nino3,4 dengan Curah Hujan Daerah Lampung [Skripsi]. Bogor: Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor. Wigley TML, JM Lough, PD Jones. 1984. Spatial patterns of precipitation in England and Wales and a revised homogeneous England and Wales precipitation series. Journal of Climatology. 4(1): hlm 1-25. Winarso PA, J McBride. 2002. Iklim. Di dalam: Partridge I, M Ma’shun, editor. Kapan Hujan Turun ? Dampak Osilasi Selatan dan El Niňo di Indonesia. Brisbane: Publishing Services Department of Primary Industries. hlm 1-11.
LAMPIRAN
48
Lampiran 1 Prosedur Analisis Komponen Utama Menurut Haan (1979) jika peubah asal X yang berukuran p ditransformasi menjadi peubah Z yang berukuran j, yang disebut komponen utama, dalam bentuk notasi matriks dituliskan sebagai berikut: Z = AX ………………………………………………………...………… (1.1) dengan A adalah matriks yang melakukan transformasi peubah asal X, maka vektor komponen utama Z dapat ditentukan. Komponen utama pertama adalah kombinasi linier terbobot peubah asal yang menunjukkan keragaman data terbesar. Komponen utama pertama dapat ditulis sebagai berikut:
z1 = a11 x1 + a12 x2 + ... + a1 p x p ………...……………….......…………. (1.2) atau :
z1 = a1' x ' dengan a1 adalah koefisien pembobot (characteristic vector), yaitu vektor normal
yang dipilih sehingga keragaman komponen utama pertama maksimum. Keragaman komponen utama pertama adalah: p
p
s z21 = ∑∑ ai1a j1sij ……………………..………….....…..………..…….. (1.3) i =1 j =1
atau :
s Z2i = a1' Sa1 …………………………..............……........……………… (1.4) dengan S adalah matriks kovarians. Komponen utama kedua merupakan kombinasi linier terbobot peubah asal yang tidak berkorelasi dengan komponen utama pertama. Komponen utama kedua memaksimumkan sisa keragaman data setelah komponen utama pertama. Komponen utama kedua dapat dituliskan:
z 2 = a 21 x1 + a 22 x2 + ... + a 2 p x p ………..…...…………….......………. (1.5) atau :
49
z 2 = a 2' x ' dengan a 2 adalah koefisien pembobot, yang dipilih sedemikian rupa sehingga
keragaman komponen utama kedua maksimum dan bebas terhadap koefisien '
pembobot a1 , dan keragaman komponen kedua adalah: p
p
s = ∑∑ ai 2 a j 2 sij …………………………...………….....…….…….. (1.6) 2 z2
i =1 j =1
atau :
s Z22 = a 2 S a 2 '
Agar ragam komponen kedua maksimum dan ortogonal terhadap koefisien pembobot
a1' haruslah dipilih dengan kendala – kendala: a 2' a 2 = 1 a1' a 2 = 0
……………………………………...………......…...…………. (1.7)
sehingga z1 dan z2 tidak berkorelasi. Secara umum komponen utama ke-j dapat ditulis sebagai berikut:
z j = a j1 x1 + a j 2 x2 + ... + a jp x p …………….………….........………... (1.8) atau :
z j = a 'j x ' Koefisien pembobot a j adalah vektor normal yang dipilih sehingga keragaman
komponen utama ke-j maksimum, serta ortogonal terhadap kefisien pembobot ai
'
dari komponen utama ke-i. Ragam komponen utama ke-j adalah:
s Z2 j = a 'j Sa j ………………………………….………….......……..…… (1.9) dengan kendala – kendala:
a 'j a j = 1 ai' a j = 0 untuk i = j dan i,j = 1, 2, 3, 4,…, p.
50
' Koefisien pembobot a j yang merupakan koefisien pembobot peubah-peubah
asal bagi komponen utama ke-j diperoleh matriks peragam S. Penggunaan matrik peragam S berlaku jika peubah – peubah yang diamati bebas satuan atau memiliki satuan yang sama. Jika tidak memiliki satuan yang sama maka digunakan matriks korelasi R.
Jika digunakan matriks korelasi maka nilai-nilai peubah asal
ditransformasi menjadi nilai-nilai baku, yaitu:
X ij = (xij − x j )/ s x j ……………………….……………......…..…….. (1.10)
Koefisien pembobot a j dapat diperoleh dengan menyelesaikan persamaan ciri:
(S − λ I )a j
j
= 0 …………………………………………......…...……… (1.11)
dengan λj adalah akar ciri (characteristic root) ke-j.
Persamaan (11) akan
menghasilkan vektor a j yang tidak sama dengan nol jika dipenuhi syarat:
S − λjI = 0. ' Jika persamaan (11) digandakan dengan vektor a j akan menghasilkan:
a 'j Sa j = a 'j λ j Ia j a 'j Sa j = λ j s Z2 j = λ j ………………………………...………………....…..…..……. (1.12) Dengan demikian ragam komponen utama ke-j adalah akar ciri ke-j matriks peragam S. Jumlah akar ciri dari penyelesaian persamaan (11) adalah sebanyak p (untuk i = 1,
2, 3, ... , p peubah) dengan sifat λ1 > λ2 > λ3 > … > λp. Teras matrik S adalah sama dengan penjumlahan dari akar ciri: p
trS = ∑ λ j ................................................................................................ (1.13) j =1
Jika digunakan matriks korelasi R, maka persamaan ciri untuk mencari koefisien pembobot
a j menjadi:
(R − λ I )a j
j
= 0 ......................................................................................... (1.14)
51
Persamaan ini akan menghasilkan
aj
yang tidak sama dengan nol jika
R − λ j I = 0 . Jumlah akar ciri yang diperoleh sebanyak p buah dengan sifat λ1 > λ2 > λ3 > … > λp. Teras matrik korelasi R merupakan penjumlahan dari akar cirinya. Besarnya persamaan komponen utama ke-j diukur dengan besarnya keragaman total yang dapat diterangkan oleh komponen utama ke-j, yaitu sebesar:
λj trS
× 100% ................................................................................................. (1.15)
' Jika vektor a j dihitung dari matriks korelasi R maka bagian keragaman total yang
mampu diterangkan oleh komponen utama ke-j adalah sebesar:
λj trR
× 100% atau
λj p
× 100% .................................................................... (1.16)
Keragaman peubah asal yang diterangkan oleh masing-masing komponen utama adalah:
s X2 i Z j = aij2 λ j …………………..……………………………......…….... (1.17) Jika akar ciri yang diperoleh dari matriks korelasi R maka persentase keragaman peubah ke-i yang diterangkan oleh komponen utama ke-j adalah:
s X2 i Z j = ( aij2 λ j ) × 100 % ……....……………………………………......... (1.18) Nilai tersebut dapat memperlihatkan pengelompokan peubah asal, jika semakin besar nilai yang didapat maka semakin dekat hubungan antara peubah asal dengan komponen utama bersangkutan. Ukuran yang sering digunakan untuk menilai keeratan hubungan antara peubah asal dengan komponen utama adalah koefisien korelasi, yang disebut factor loading: Lij = Aλ0j,5 ............................................................................................... (1.19)
Jika persamaan yang digunakan adalah matriks peragam S, maka factor loading dapat ditentukan dengan:
Lij =
Aλ0j,5 S Xi
................................................................................................ (1.20)
52
Untuk menginterpretasikan factor loading seringkali sulit tanpa melakukan rotasi terlebih dahulu.
Masalah ini timbul jika terdapat nilai-nilai intermediet
sehingga sulit menentukan apakah peubah tertentu berkorelasi dengan suatu komponen utama. Metode rotasi yang umum digunakan adalah rotasi varimax yang ditemukan oleh Kaiser (1958) dalam Haan (1979). Tujuan rotasi varimax adalah untuk mencapai struktur sederhana (simple structure) yang dilakukan dengan memutar faktor sehingga diharapkan semua peubah akan mempunyai korelasi mendekati satu dengan sebuah faktor, dan mendekati nol pada faktor lain. Haan (1979) mengemukakan bahwa factor loading yang telah dirotasi diperoleh dari hubungan:
L* = LT .................................................................................................... (1.21) untuk L* adalah factor loading yang telah dirotasi, L factor loading yang belum dirotasi dan T matriks orthogonal yang memiliki sifat T’T = I dengan I matriks identitas. Keeratan hubungan antara masing-masing peubah dengan komponen utama dapat diinterpretasi dari nilai factor loading (Haan 1979). Setiap komponen ada kemungkinan akan berkorelasi tinggi dengan beberapa peubah.
Selanjutnya
berdasarkan pengelompokan peubah yang berkorelasi tinggi dengan suatu komponen, dapat dilakukan interpretasi terhadap komponen.
Interpretasi terhadap suatu
komponen bersifat kualitatif karena tergantung pada sifat peubah yang berkorelasi tinggi dengan komponen tersebut. Seringkali komponen tidak dapat diinterpretasi karena peubah-peubah yang berkorelasi tinggi dengan komponen tersebut tidak memiliki ciri khas tertentu. Hal ini merupakan salah satu masalah dalam analisis komponen utama. Untuk menentukan jumlah komponen biasanya digunakan persentase keragaman kumulatif atau akar ciri. Persentase keragaman kumulatif 70-80% atau komponen utama yang mempunyai akar ciri lebih besar dari satu dianggap sebagai komponen penting (Siswadi dan Suharjo 1998; Supranto 2004).
53
Lampiran 2 Prosedur Analisis Peluang
Sebaran Gamma dengan Dua Parameter. Menurut Haan (1979) dan Boer et al. (1990) fungsi peluang kumulatif menurut sebaran Gamma dinyatakan dengan persamaan: x
Px ( X ) =
∫λ
η
xη −1e − x
0
dx ............................................................................... (2.1)
Γ(η )
dengan Px(X) sebaran peluang kumulatif, λ parameter skala, η parameter bentuk dan Г(η) fungsi Gamma. Pendugaan parameter sebaran. Pendugaan ke dua parameter tersebut dapat dilakukan dengan metode moment dan kemungkinan maksimum sebagai berikut (Haan 1979): Pendugaan moment:
λˆ = x / s 2 ................................................................................................. (2.2)
ηˆ = x 2 / s 2 ............................................................................................... (2.3) Pendugaan kemungkinan maksimum:
λˆ = ηˆ / x .................................................................................................... (2.4) dengan x rata-rata tinggi hujan dalam satu periode dan s simpangan baku. Selanjutnya untuk menduga nilai η dapat dilakukan dengan cara berikut: Cara Thom yaitu:
ηˆ =
(1 +
)
1+ 4y / 3 − Δηˆ ........................................................................... (2.5) 4y
dengan ηˆ penduga dari parameter bentuk, Δηˆ faktor koreksi bagi parameter bentuk (Tabel 2.1), dan:
1 n y = ln x − ∑ ln xi .................................................................................. (2.6) n i =1
54
dengan xi nilai jeluk hujan bulanan pada setiap tahun pengamatan ( xi i > 0), x ratarata jeluk hujan bulanan selama kurun waktu pengamatan ( x > 0), n banyak tahun selama kurun waktu pengamatan dengan jeluk hujan bulanan lebih besar dari nol. Cara Greenwood dan Durand yaitu:
ηˆ =
(0.5000876 + 0.1648825 y − 0.0544276 y ) .......................................... (2.7) 2
y
untuk 0 ≤ y ≤ 0.5772
ηˆ =
(8.898919 + 9.05995 y − 0.9775373 y ) ................................................ (2.8) y (17.79728 + 11.968477 y + y ) 2
2
untuk 0.5772
ηˆ =
1 ........................................................................................................... (2.9) y
untuk y >17 Tabel 2.1 Faktor koreksi untuk menduga parameter bentuk sebaran Gamma (metode Thom). Jika ηˆ 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9
maka Δηˆ 0.034 0.029 0.025 0.021 0.017 0.014 0.012 0.011
Jika ηˆ 1.0 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7
Maka Δηˆ 0.009 0.008 0.007 0.006 0.006 0.005 0.005 0.004
Jika ηˆ 1.8 1.9 2.2 2.3 3.1 3.2 5.5 5.6
maka Δηˆ 0.004 0.003 0.003 0.002 0.002 0.001 0.001 0.000
Sumber: Haan (1979). Meskipun faktor koreksi sudah digunakan untuk menduga parameter bentuk, namun hasilnya masih mengandung bias. Untuk menghilangkan bias (ηˆ * parameter bentuk tak bias) digunakan persamaan berikut:
ηˆ * =
(n − 3 )ηˆ n
………………...…............……....………...…....……… (2.10)
Parameter skala λ diduga dengan persamaan berikut:
λˆ =
ηˆ * x
...................................................................................................... (2.11)
55
dengan λˆ penduga tak bias dari parameter skala. Penentuan peluang kejadian hujan. Penentuan peluang kejadian hujan yang
datanya tidak mengandung nilai nol dengan cara berikut:
p ( X > x) = 1 − p ( X ≤ x) = 1 − Px ( X ) ……………………….…………........………… (2.12) dengan Px ( X ) seperti persamaan (1).
Besarnya nilai 1 − Px ( X ) disajikan dalam
Tabel Sebaran Gamma Kumulatif sesuai dengan besarnya nilai Khi-kuadrat (χ2) dan derajat bebas (ν). Nilai baku χ2 dan ν dihitung dengan cara berikut:
χ 2 = 2λˆxb .................................................................................................. (2.13) ν = 2ηˆ ′′ ...................................................................................................... (2.14) dengan xb jeluk hujan yang peluangnya.akan ditentukan. Jika data hujan bulanan yang digunakan memiliki nilai nol, maka peluang hujan dihitung dengan Sebaran Campuran, yang dinyatakan sebagai berikut: H ( x) = q + pPx ( X ) ……………………………….……..................….. (2.15) dengan H(x) peluang sebaran campuran bagi suatu nilai jeluk hujan yang melampaui x untuk x ≥ 0, q peluang kejadian hujan bernilai nol, p peluang kejadian hujan yang lebih besar dari nol, p = 1 – q, dan Px(X) peluang kejadian hujan menurut sebaran peluang Gamma Kumulatif (x > 0). Sebaran Normal.
Fungsi peluang Normal Baku Kumulatif (Haan 1979) dinyatakan dengan persamaan: z
⎛ 1 − 1 z2 ⎞ Pz ( z ) = ∫ ⎜ e 2 ⎟dz ........................................................................... (2.16) 2Π ⎠ − ∞⎝ dengan Pz(z) sebaran peluang normal baku kumulatif, z peubah acak normal baku transformasi dari peubah acak x dengan fungsi: z = (x – µ)σ-1, µ rata-rata peubah x, dan σ simpangan baku peubah x. Dalam penentuan peluang kejadian hujan yang datanya menyebar normal, digunakan bantuan Tabel Peluang Normal Baku.
56
Pengujian Kesesuaian Sebaran.
Untuk menguji apakah sebaran yang diasumsikan (sebaran Gamma, sebaran Campuran, sebaran Normal) cukup baik untuk menjelaskan populasi data curah hujan bulanan daerah studi, diperlukan
teknik pengujian yang obyektif.
Pengujian
dilakukan dengan memperhatikan data amatan dan peluang dari statistik yang telah ditetapkan, dengan asumsi bahwa sebaran tersebut dapat menjelaskan penyebaran populasi data hujan bulanan (Boer et al. 1990). Salah satu uji statistik yang dapat dipakai untuk maksud tersebut adalah chisquare goodness of fit test (Boer et al. 1990). Dalam metode ini, data dikelompokkan dan frekuensi dalam tiap kelompok dibandingkan dengan nilai harapan dari masingmasing kelompok berdasar sebaran yang dipilih. Rumus umum dari chi – square (χ2hitung) adalah (Boer et al. 1990): k
(Oi − Ei )2
i =1
Ei
χ2 = ∑
............................................................................... (2.17)
dengan Oi frekuensi kejadian hujan yang berada pada kelas hujan ke-i, Ei frekuensi kejadian hujan harapan kelas hujan ke-i, yang dihitung dengan cara mengalikan peluang suatu kelas dengan jumlah pengamatannya, dan k adalah banyaknya kelas. Selanjutnya χ2hitung dibandingkan dengan χ2 yang diperoleh dari Tabel ChiSquare pada taraf nyata tertentu dengan derajat bebas k-r-1, r adalah jumlah parameter yang diduga. Bila χ2tabel lebih besar dari χ2
hitung
maka data menyebar
menurut sebaran yang dipilih.. Untuk memperoleh banyaknya kelas dan selang kelas dengan persamaan (Boer
et al. 1990):
k = 1+ 3.3 log n ...................................................................................... (2.18) I = R k-1
............................................................................................... (2.19)
dengan R adalah selisih hujan tertinggi dan hujan terendah, I selang kelas, n banyak tahun pengamatan dan k banyak kelas.
Lampiran 3 Curah hujan rata-rata di Provinsi Lampung
No Stas. Kode Stas 1 R 248 2 R 067 3 R 106 4 222 5 R 018 6 R 247 7 227 A 8 218 D 9 R 277 10 R 235 11 R 275 12 229 A 13 R 107 / 228 B 14 R 283 15 225 F 16 R 281 17 220 A 18 R 224 19 R 017 20 231 A 21 R 039 22 R 127 23 R 202 24 245 B 25 R 220 26 R 141 27 R 205 28 218 F 29 R 218 30 R 015 31 R 258 32 PKL 05 33 A 058 34 R 206 35 R 256 36 R103 37 250 E 38 R 143 39 233 C 40 230 E 41 230 D 42 R 021 43 R 237 44 230 B
Stasiun Air Hitam Air Naningan Argoguruh Astraksetra Banyuwangi Baradatu Bekri Belalau Blambangan Umpu Bukit Kemuning Bungin Dadirejo Dam Raman Dayamurni Gayatri Gedong Raja Gedung Meneng Gedung Ratu Gisting Gisting Atas Gunung Batu Jabung Kenali Kertasari Ketapang Komering Putih Kotabumi Krui Kubu Perahu Kunyir Labuan Batin Liwa Margojadi Menggala Menggala C Metro Negara Batin Negeri Kepayungan Padang Cermin Pajaresuk Panji Rejo Pasuruan Pekurun Podorejo
Kecamatan Sumber Jaya Pulau Panggung Tegineneng Menggala Pagelaran Baradatu Gunung Sugih Belalau Blambangan Umpu Bukit Kemuning Sumber Jaya Wonosobo Pekalongan Tumi Jajar Rumbia Sungkai Selatan Gedung Meneng Tulang Bawang Tengah Talang Padang Talang Padang Talang Padang Jabung Belalau Tanjung Bintang Sungkai Selatan Gunung Sugih Kotabumi Pesisir Tengah Balik Bukit Pagelaran Pewakilan Way Serdang Balik Bukit Mesuji
5 5 5 4 5 4 5 5 4 4 5 5 5 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5 5 4 5 4 5 5
Padang Cermin Pringsewu
5 4 5 4 4 4 5 5 5 5 5
Pringsewu Penengahan Abung Barat Pringsewu
5 5 4 5
Menggala Pewakilan Way Serdang Metro Pusat Jabung Padang Ratu
Koordinat geografis Lintang Selatan Bujur Timur o 5 ' 0 " 104 o 25 ' 0 o 14 ' 30 " 104 o 43 ' 35 o 12 ' 0 " 105 o 12 ' 0 o 27 ' 0 " 105 o 15 ' 0 o 17 ' 34 " 104 o 53 ' 43 o 43 ' 0 " 104 o 33 ' 0 o 5 ' 0 " 105 o 8 ' 0 o 2 ' 46 " 104 o 12 ' 0 o 36 ' 0 " 104 o 30 ' 0 o 52 ' 0 " 104 o 35 ' 0 o 8 ' 0 " 104 o 29 ' 0 o 30 ' 0 " 104 o 33 ' 30 o 2 ' 30 " 105 o 19 ' 0 o 38 ' 0 " 105 o 5 ' 0 o 43 ' 0 " 105 o 34 ' 0 o 41 ' 0 " 104 o 46 ' 0 o 22 ' 0 " 105 o 47 ' 0 o 30 ' 0 " 105 o 3 ' 30 o 25 ' 57 " 104 o 42 ' 0 o 27 ' 0 " 104 o 44 ' 1 o 24 ' 30 " 104 o 42 ' 58 o 28 ' 31 " 105 o 40 ' 0 o 2 ' 46 " 104 o 11 ' 0 o 25 ' 0 " 105 o 26 ' 0 o 41 ' 0 " 104 o 49 ' 0 o 1 ' 45 " 105 o 10 ' 16 o 50 ' 0 " 104 o 53 ' 0 o 10 ' 48 " 103 o 56 ' 16 o 5 ' 59 " 104 o 1 ' 15 o 18 ' 35 " 104 o 51 ' 21 o 7 ' 0 " 105 o 5 ' 0 o 2 ' 0 " 104 o 5 ' 0 o 0 ' 0 " 105 o 32 ' 0 o 28 ' 0 " 105 o 14 ' 0 o 12 ' 0 " 105 o 5 ' 0 o 7 ' 0 " 105 o 18 ' 0 o 27 ' 0 " 104 o 52 ' 0 o 4 ' 32 " 104 o 52 ' 42 o 37 ' 0 " 105 o 8 ' 0 o 21 ' 53 " 104 o 56 ' 1 o 22 ' 26 " 104 o 56 ' 13 o 46 ' 25 " 105 o 41 ' 9 o 56 ' 0 " 104 o 48 ' 0 o 20 ' 30 " 104 o 58 ' 0
" " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " "
Elevasi (m dpl) 806 500 45 30 250 120 30 858 110 310 810 38 52 30 10 46 55 40 600 633 540 26 858 76 50 35 40 10 700 253 25 1000 8 15 24 58 20
Tahun observasi 1974-2002 1975-1996 1971-1992 1980-2001 1977-2000 1974-2003 1971-2004 1985-2004 1972-2001 1974-2001 1977-2001 1974-1995 1977-2000 1986-2001 1985-2004 1986-2001 1971-2004 1972-2001 1972-2000 1980-2002 1977-2000 1977-2004 1980-2000 1974-2004 1974-2001 1977-2000 1970-2001 1985-1996 1989-2002 1973-1997 1983-2001 1974-1995 1989-2001 1972-2001 1984-2000 1977-2000 1985-2005 1977-2000
130 160 100
1980-2002 1980-2005
103 300 70 113
1980-2005 1972-2001 1973-2001 1980-2005
Lama (Thn) 29 22 22 22 24 29 34 12 30 28 23 22 24 16 20 15 15 29 24 22 24 28 19 30 28 24 28 10 14 25 19 22 13 30 16 24 20 24 12 26 26 30 29 26
Jan 315.5 379.7 270.6 275.1 228.2 328.1 335.0 252.8 318.8 364.0 292.8 137.4 319.3 287.0 301.6 353.9 291.3 318.9 345.0 418.1 326.7 312.5 345.2 339.8 416.7 252.4 299.8 282.9 318.4 292.4 413.1 212.6 272.3 278.6 286.1 252.3 371.3 273.4 300.4 287.2 292.0 207.4 562.3 285.1
Feb 233.2 372.5 306.6 314.3 243.5 260.6 299.7 200.6 265.0 314.9 279.1 123.7 283.9 255.0 288.4 258.4 275.7 269.7 268.4 338.0 266.0 300.2 214.7 345.2 425.6 248.2 306.9 215.9 349.0 252.0 341.4 193.7 273.8 293.3 234.1 198.0 320.7 255.9 289.0 233.5 245.7 183.4 449.5 260.7
Mar 292.3 325.3 252.6 312.3 265.1 271.0 284.0 274.3 278.9 334.5 298.5 146.4 255.8 276.3 247.6 366.7 250.8 331.6 261.2 274.8 230.2 202.4 260.6 277.9 417.9 281.6 324.6 313.6 273.0 253.3 442.1 205.0 272.5 287.8 220.2 166.0 220.2 259.4 231.6 256.1 206.4 173.1 444.9 201.2
Apr 246.6 256.9 161.7 221.9 190.3 216.0 166.6 265.7 278.9 245.3 269.3 122.8 162.4 212.1 192.8 233.3 248.7 222.1 188.0 212.7 169.3 160.8 218.5 181.0 308.7 212.0 237.8 250.5 337.3 179.3 363.7 207.2 245.0 200.8 168.6 106.5 170.0 200.4 140.9 163.0 150.2 141.8 329.2 178.3
Mei 217.8 173.2 128.2 148.3 140.3 139.3 151.4 172.4 215.1 194.6 189.1 118.7 120.6 134.9 139.2 145.0 166.7 165.0 164.3 184.3 132.7 130.7 192.8 135.2 223.5 152.6 173.5 267.0 325.9 139.6 227.0 153.4 176.4 116.6 92.4 97.9 136.3 131.3 172.4 117.1 119.5 114.5 211.8 121.6
Curah hujan (mm) Jun Jul Aug 139.2 122.9 103.6 114.2 108.8 90.9 68.2 82.1 74.9 95.0 99.5 72.3 80.1 106.2 70.0 85.9 108.8 63.9 90.8 77.3 80.8 164.3 208.9 157.7 162.2 127.6 109.5 121.8 105.8 98.4 120.4 125.8 101.5 90.4 122.2 208.9 77.3 81.8 76.2 77.6 94.5 78.5 99.2 84.1 59.7 98.7 128.4 104.0 108.9 146.6 90.5 79.4 82.5 68.0 118.1 130.6 152.5 134.8 157.5 145.7 89.8 74.1 63.1 113.4 110.5 82.9 164.7 124.0 102.3 102.4 93.2 82.6 216.1 157.6 164.0 68.6 63.3 42.1 110.5 91.2 110.8 231.8 138.8 194.5 213.6 259.4 218.7 105.6 105.5 79.7 153.6 177.9 98.6 73.9 108.3 131.7 106.8 71.4 47.0 102.9 93.8 68.8 112.1 117.0 96.1 57.1 49.6 39.5 138.8 127.8 105.3 108.9 90.1 59.3 93.0 97.0 106.6 60.5 77.3 63.8 67.8 66.4 58.2 87.4 129.1 87.9 161.8 120.5 89.4 63.0 79.6 79.2
Sep 138.3 125.6 100.2 104.5 109.2 114.8 87.6 235.9 171.2 95.2 184.8 232.0 68.8 55.3 71.5 117.3 120.5 106.1 147.0 159.1 84.4 74.2 176.2 87.7 155.5 65.7 109.7 211.0 277.5 114.9 222.7 177.3 52.4 113.6 123.8 59.8 72.3 75.1 112.5 82.5 64.7 74.4 153.1 84.0
Oct 201.0 123.8 101.9 122.4 111.8 147.6 103.8 259.5 202.5 122.4 216.8 234.1 73.4 93.9 101.8 149.8 198.5 125.6 152.6 197.2 78.7 79.1 226.2 120.2 202.4 67.6 131.2 376.4 291.6 87.0 280.9 206.4 91.4 139.3 171.8 55.9 92.7 113.1 128.5 86.2 72.2 91.8 143.3 78.1
Nov 272.4 242.9 177.7 221.3 165.5 203.5 201.0 266.6 234.9 216.2 267.8 178.8 179.6 208.9 213.8 268.4 229.9 195.4 192.4 253.4 144.3 133.6 260.7 180.3 379.2 168.0 187.8 450.6 401.1 157.1 315.7 239.6 237.6 223.9 253.2 118.8 117.7 186.5 157.3 133.5 121.2 120.4 241.8 133.7
Dec 279.5 316.7 240.1 248.7 225.9 312.9 277.7 292.0 386.3 297.6 355.6 138.3 263.6 282.5 269.4 398.9 329.4 328.9 273.5 333.1 246.5 234.7 236.7 281.3 406.6 230.2 311.5 451.1 372.8 268.6 385.9 250.7 315.6 354.5 417.9 225.2 246.1 257.8 193.1 211.5 196.1 201.9 452.1 231.2
Thn 2562.4 2630.5 1965.0 2235.6 1936.0 2252.4 2155.6 2750.6 2750.9 2510.7 2701.4 1853.6 1962.7 2056.7 2068.9 2622.9 2457.4 2293.2 2393.5 2808.8 1905.8 1934.9 2522.4 2226.8 3473.7 1852.4 2395.4 3384.1 3638.3 2035.0 3422.7 2159.8 2162.2 2273.9 2293.4 1426.8 2119.1 2011.2 2022.3 1772.0 1660.5 1613.0 3359.8 1795.7
Lampiran 3 Lanjutan No Stas. Kode Stas 45 230 C 46 R 260 47 R 254 48 R 236 49 R 249 50 242 B 51 KL 06 52 A 059 53 250 54 R 019 55 R 137 56 R 037, R 009 57 R 042 58 A 23/227 I 59 R 057 60 PH 142 61 PH 005, 246 A 62 R 243 63 228 F 64 R 246 65 225 I 66 227 E 67 R 072 68 PH 011 69 R 104 70 235 B 71 R 002
Stasiun Pringsewu Purwajaya Rantau Jangkung Rantau Tamiang Rawa Bebek Rejosari Rumbia Sidoharjo Sidomulyo Sidomulyo Sindang Asri Siring Betik Sri Kuncoro Sukadana Sukajaya Sukaraja Tiga Sumberrejo Tahmi Lumut Taman Bogo Tanjung Agung Tatakarya Tegineneng Totomargo Way Harong Way Kekah Wayberulu Wonokriyo
Kecamatan Pringsewu Mesuji Blambangan Umpu Banjit Sumber Jaya Natar Rumbia Mesuji Sidomulyo Katibung Padang Ratu Wonosobo Semaka Sukadana Kedondong Way Jepara Tanjungkarang Barat Kasui Purbolinggo Blambangan Umpu Abung Timur Tegineneng Pulau Panggung Pardasuka Terbanggi Besar Gedong Tataan Sumberejo
Sumber: BMG dan Dep. Pekerjaan Umum (diolah)
5 4 4 4 5 5 4 4 5 5 5 5 5 5 5 5 5 4 5 4 4 5 5 5 4 5 5
Koordinat geografis Lintang Selatan Bujur Timur o 21 ' 26 " 104 o 57 ' 1 o 22 ' 0 " 105 o 22 ' 0 o 25 ' 0 " 104 o 26 ' 0 o 49 ' 0 " 104 o 29 ' 0 o 7 ' 0 " 104 o 29 ' 0 o 16 ' 0 " 105 o 11 ' 0 o 47 ' 0 " 105 o 32 ' 0 o 12 ' 0 " 105 o 34 ' 0 o 39 ' 0 " 105 o 29 ' 0 o 33 ' 0 " 105 o 27 ' 0 o 10 ' 0 " 104 o 52 ' 17 o 27 ' 53 " 104 o 31 ' 9 o 27 ' 0 " 104 o 27 ' 0 o 4 ' 0 " 105 o 33 ' 13 o 28 ' 0 " 105 o 0 ' 50 o 10 ' 0 " 105 o 26 ' 27 o 25 ' 24 " 105 o 14 ' 35 o 41 ' 0 " 104 o 23 ' 0 o 1 ' 0 " 105 o 31 ' 0 o 28 ' 0 " 104 o 27 ' 0 o 43 ' 0 " 105 o 2 ' 0 o 11 ' 0 " 105 o 11 ' 0 o 16 ' 37 " 104 o 44 ' 35 o 30 ' 0 " 104 o 53 ' 31 o 52 ' 9 " 105 o 11 ' 4 o 23 ' 0 " 105 o 7 ' 0 o 23 ' 0 " 104 o 41 ' 0
Elevasi (m dpl) " 100 " 30 " 80 " 270 " 812 " 83 " 20 " 9 " 20 " 150 " 570 " 160 " 290 " 28 " 225 " 15 " 266 " 275 " 25 " 109 " 20 " 45 " 200 " 240 " 35 " 112 " 565
Tahun observasi 1980-2005 1984-2001 1974-2001 1973-2000 1974-2001 1976-2004 1977-2000 1989-2001 1980-2000 1977-2000 1977-2001 1980-2001 1980-2003 1977-2000 1977-2001 1977-2000 1986-2002 1974-2001 1981-2004 1974-2003 1985-2004 1977-2004 1976-2001 1977-2000 1977-2000 1978-1992 1977-2000 Rata-rata Sd Dev KK (%)
Lama (Thn) 26 17 27 28 28 29 24 13 21 24 24 22 24 24 24 24 17 28 24 30 18 28 26 24 24 15 24
Jan 301.4 265.9 287.5 425.3 341.0 322.3 275.5 207.4 497.8 337.1 335.8 161.2 242.4 432.5 206.0 340.1 383.7 320.2 418.0 367.8 420.0 308.2 374.2 356.7 378.0 328.9 263.6 317.1 71.7 22.6
Feb 253.2 286.5 230.7 367.6 294.2 304.1 299.1 149.5 398.4 274.2 301.4 143.7 189.0 368.6 149.6 305.5 229.9 265.4 341.2 316.9 307.4 300.4 347.5 343.1 269.5 246.1 231.1 277.5 62.8 22.6
Mar 222.8 281.8 311.6 419.8 335.9 272.7 280.2 205.8 371.4 236.9 334.3 128.2 185.8 335.3 141.4 257.4 256.4 346.6 325.3 394.7 355.9 254.0 294.8 296.2 283.6 230.1 235.2 276.1 66.7 24.2
Apr 163.2 211.1 240.0 310.3 256.0 166.9 161.5 146.1 289.2 184.9 226.5 125.9 194.4 226.3 100.9 197.5 187.4 308.2 206.4 328.2 244.3 144.6 229.7 252.3 191.3 163.3 155.1 210.0 57.0 27.1
Mei 128.8 121.0 193.5 235.9 181.5 122.4 139.3 111.3 231.5 134.5 215.8 118.2 161.4 162.0 100.1 150.3 156.8 230.8 144.9 214.8 166.2 125.6 183.8 187.4 138.6 125.2 144.7 159.7 42.9 26.9
Curah hujan (mm) Jun Jul Aug 68.9 83.1 79.8 75.0 87.3 67.2 116.1 102.7 85.3 138.6 130.7 125.0 133.9 114.4 78.9 81.6 79.0 62.4 106.8 94.0 67.4 59.7 100.0 54.3 156.4 196.4 161.5 118.4 91.8 82.5 115.5 110.2 75.4 78.2 112.6 115.3 110.9 121.3 163.8 107.2 123.2 65.7 63.9 64.7 60.7 82.0 109.4 74.1 109.1 110.1 97.9 102.2 130.8 83.1 85.8 100.8 75.9 131.4 113.9 98.4 88.1 139.5 81.9 64.1 81.5 53.2 121.1 112.2 85.6 122.3 107.6 86.1 83.5 71.7 62.0 94.0 87.9 64.4 111.9 97.5 85.8 107.4 109.7 92.4 36.4 34.5 37.6 33.9 31.4 40.6
Sep 90.2 85.2 111.1 146.4 148.5 98.7 74.8 112.8 110.9 91.1 103.4 223.0 237.6 102.3 58.5 98.6 67.0 123.8 90.6 134.0 96.2 88.2 119.5 123.3 80.6 90.3 108.4 117.8 49.8 42.3
Oct 85.6 131.4 171.3 144.1 242.3 105.8 113.9 175.5 201.7 118.0 125.0 230.1 289.3 136.0 77.6 87.5 87.7 187.8 108.9 206.3 143.8 75.2 136.6 130.9 106.1 97.4 97.4 143.8 64.6 44.9
Nov 141.9 236.6 226.1 284.9 286.4 192.4 207.1 314.9 265.5 161.2 216.7 192.6 261.0 215.2 113.4 169.5 142.3 277.5 207.7 268.4 255.6 164.5 192.2 195.9 191.8 137.3 139.7 212.0 66.0 31.1
Dec 226.3 276.7 312.1 384.0 349.8 253.5 266.0 465.9 334.2 229.8 283.3 143.9 239.5 315.1 174.3 243.4 256.4 373.3 296.5 375.1 325.8 230.3 332.3 334.1 306.8 241.7 220.9 290.6 71.4 24.6
Thn 1845.3 2125.6 2388.0 3112.6 2762.7 2061.8 2085.4 2103.1 3214.9 2060.3 2443.3 1772.7 2396.4 2589.3 1311.1 2115.4 2084.6 2749.8 2401.9 2949.8 2624.8 1889.8 2529.5 2536.1 2163.7 1906.7 1891.3 2314.1 489.4 21.1
Lampiran 4 Posisi Stasiun Hujan
Lampiran 5 Peta wilayah curah hujan tahunan Provinsi Lampung 104°10'
PETA WILAYAH CURAH HUJAN PROVINSI LAMPUNG
105°20'
PROV. SUMATERA SELATAN
Kab. Tulang Bawang
Skala 1:1.500.000 20
0
20
40 Km
Kab. Way Kanan
Kab. Lampung Utara
4°40'
4°40'
Keterangan:
Kab. Lampung Tengah
Batas Kabupaten Wilayah Curah Hujan: Wilayah I Wilayah II
M SA
Kab. Lampung Barat
Kota Metro
ER UD A
Kab. Tanggamus
Wilayah III
Kab. Lampung Timur
Wilayah IV Wilayah V
DO IN
Kota Bandar Lampung
Wilayah VI Wilayah VII
A SI NE
Kab. Lampung Selatan
5°50'
5°50'
PETA LOKASI
104°10'
105°20'
Lokasi Penelitian
Lampiran 6 Peta wilayah bulan basah Provinsi Lampung
Lampiran 7 Peta kelas ketinggian Provinsi Lampung
63
Lampiran 8 Contoh uji homogenitas data hujan Uji runtun (run test) digunakan untuk memeriksa kehomogenan sebaran data. Sebaran data dinyatakan homogen (acak) jika nilai P-value > α (= 0.05). Hasil pengujian kehomogenan data sebagai berikut: Curah hujan wilayah tipe I Runs test for Jan. Runs above and below K = 318.5 The observed number of runs = 6 The expected number of runs = 8 7 observations above K; 7 below P-value = 0.266 Runs test for Feb. Runs above and below K = 349.071 The observed number of runs = 5 The expected number of runs = 7.85714 6 observations above K; 8 below P-value = 0.104 Runs test for Mar. Runs above and below K = 273.071 The observed number of runs = 8 The expected number of runs = 7.85714 6 observations above K; 8 below P-value = 0.935 Runs test for Apr. Runs above and below K = 337.357 The observed number of runs = 6 The expected number of runs = 8 7 observations above K; 7 below P-value = 0.266 Runs test for Mei Runs above and below K = 326 The observed number of runs = 7 The expected number of runs = 7.85714 8 observations above K; 6 below P-value = 0.626 Runs test for Juni Runs above and below K = 213.714 The observed number of runs = 6 The expected number of runs = 7.85714 6 observations above K; 8 below P-value = 0.291 Runs test for Juli Runs above and below K = 259.429 The observed number of runs = 6 The expected number of runs = 7.85714 8 observations above K; 6 below P-value = 0.291
Runs test for Ags. Runs above and below K = 218.714 The observed number of runs = 7 The expected number of runs = 6.71429 4 observations above K; 10 below P-value = 0.843
64
Runs test for Sep. Runs above and below K = 277.5 The observed number of runs = 7 The expected number of runs = 7.42857 5 observations above K; 9 below P-value = 0.794 Runs test for Okt. Runs above and below K = 291.643 The observed number of runs = 7 The expected number of runs = 6.71429 4 observations above K; 10 below P-value = 0.843 Runs test for Nop. Runs above and below K = 401.143 The observed number of runs = 6 The expected number of runs = 8 7 observations above K; 7 below P-value = 0.266 Runs test for Des. Runs above and below K = 372.929 The observed number of runs = 5 The expected number of runs = 7.42857 5 observations above K; 9 below P-value = 0.138
Curah hujan wilayah tipe II Runs test for JAN Runs above and below K = 431.893 The observed number of runs = 14 The expected number of runs = 14.9286 13 observations above K; 15 below P-value = 0.719 Runs test for FEB Runs above and below K = 393.286 The observed number of runs = 13 The expected number of runs = 14.3571 11 observations above K; 17 below P-value = 0.583 Runs test for MAR Runs above and below K = 413.143 The observed number of runs = 11 The expected number of runs = 14.9286 13 observations above K; 15 below P-value = 0.128 Runs test for APR Runs above and below K = 314.107 The observed number of runs = 12 The expected number of runs = 15 14 observations above K; 14 below P-value = 0.248 Runs test for MEI Runs above and below K = 227.214 The observed number of runs = 11 The expected number of runs = 14.9286 15 observations above K; 13 below P-value = 0.128 Runs test for JUN Runs above and below K = 171.793 The observed number of runs = 11 The expected number of runs = 15.0690 12 observations above K; 17 below P-value = 0.112 Runs test for JUL Runs above and below K = 138.241
65
The observed number of runs = 15 The expected number of runs = 15.0690 12 observations above K; 17 below P-value = 0.979 Runs test for AGUST Runs above and below K = 142.828 The observed number of runs = 15 The expected number of runs = 15.4828 14 observations above K; 15 below P-value = 0.855 Runs test for SEP Runs above and below K = 152.759 The observed number of runs = 12 The expected number of runs = 15.3448 13 observations above K; 16 below P-value = 0.201 Runs test for OKT Runs above and below K = 175.241 The observed number of runs = 15 The expected number of runs = 15.4828 14 observations above K; 15 below P-value = 0.855 Runs test for NOP Runs above and below K = 330.207 The observed number of runs = 15 The expected number of runs = 15.3448 13 observations above K; 16 below P-value = 0.895 Runs test for DES Runs above and below K = 398.483 The observed number of runs = 12 The expected number of runs = 14.6552 11 observations above K; 18 below P-value = 0.285
66
Lampiran 9 Contoh uji sebaran hujan wilayah tipe I dengan metode chi-square goodness of fit test Curah Hujan Wilayah Tipe I JANUARI (sebaran normal) =
318.44
z =
-0.8221
sdev =
144
p =
0.206
no
selang kelas
n
n =
14
P(ai-1≤x≤ai)
Oi
2
Ei
z
(Oi-Ei) /Ei
p
1
54
-
157
1
0.077
1.078
0.0056
-1.83
0.034
2
157
-
259
5
0.234
3.276
0.9073
-1.12
0.111
3
260
-
363
1
0.281
3.934
2.1882
-0.40
0.345
4
364
-
467
4
0.222
3.108
0.2560
0.32
0.626
5
467
-
545
3
0.152
2.128
0.3573
1.03
0.848
2
14
X hitung
3.7144
X2 tabel (α=5%, n=2) = 5.99. Karena X2 hitung < X2 tabel maka data menyebar menurut sebaran Normal FEBRUARI (sebaran Gamma) P2 =
0.9913
λ* =
0.0025
v=
1.6241
n=
14
no 1
2
P2
v
p
<
209
3
0.3935
5.5086
1.1424
1.0382
1.6241
0.6065
selang kelas
Oi
P(ai-1≤x≤ai)
(Oi-Ei) /Ei
Ei
2
209
-
307
4
0.1342
1.8782
2.3969
1.5238
1.6241
0.4724
3
308
-
406
2
0.1045
1.4629
0.1972
2.0143
1.6241
0.3679
4
407
-
505
1
0.0810
1.1343
0.0159
2.5048
1.6241
0.2869
5
505
<
0.2869
4.0160
4 14
0.0001
X2 hitung
3.7524
X2 tabel (α=5%, n=2) = 5.99. Karena X2 hitung < X2 tabel maka data menyebar menurut sebaran Gamma MARET (sebaran Campuran) P2 = V
= no
1.21
λ*
=
0.0030
2
N
=
14 P$2
P=
0.9286
q=
0.0714 Hx
Oi
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
(Oi-Ei) /Ei
v
P
<
147
6
0.4079
5.7108
0.0146
0.9
1.7
0.6376
0.5921
2
147
-
294
2
0.2146
3.0038
0.3354
1.8
1.7
0.4066
0.3775
3
295
-
441
4
0.1584
2.2181
1.4316
2.7
1.7
0.2360
0.2191
4
442
-
589
3.6
1.7
0.1663
0.1544
5
589
<
0
0.0647
0.9054
0.9054
2
0.1544
2.1619
0.0121
2
14 2
2
13
selang kelas 1
X
n tdk nol =
tabel
(α=5%, n=2) = 5.99.
X hitung 2
Karena X
hitung
<X
2
2.6992 tabel
maka data menyebar menurut sebaran Campuran
APRIL (sebaran normal transformasi pangkat 0.2) n
=
3.0
no
sdev =
0.6
N=
selang kelas
X
2
ntengah
Oi
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
(Oi-Ei) /Ei
z
p
1
1.508
-
2.023
1.765
1
0.033
0.462
0.6265
-2.69
0.004
2
2.023
-
2.537
2.280
1
0.152
2.128
0.5979
-1.79
0.037
3
2.537
-
3.051
2.794
4
0.323
4.522
0.0603
-0.88
0.189
4
3.051
-
3.566
3.309
6
0.312
4.368
0.6098
0.03
0.512
5
3.566
-
4.080
3.823
2
0.176
2.464
0.0874
0.93
0.824
14 2
14
tabel
(a=5%, n=2) = 5.99. Karena X
2
hitung
<X
2
tabel
2
X hitung
1.9818
maka data menyebar menurut sebaran Normal
67
MEI (sebaran Gamma) 2
P$ = V
1.23
λ*
=
0.003064
2
N
=
14
=
no
Oi
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
(Oi-Ei) /Ei
1
X
P$2
v
p
<
153
4
0.36237
5.07318
0.227020392
0.9
1.8
0.63763
2
153
-
304
2
0.2512
3.51624
0.653818777
1.9
1.8
0.3865
3
305
-
455
4
0.1399
1.95818
2.129032526
2.8
1.8
0.2466
4
456
-
606
2
0.089165
1.24831
0.452642257
3.7
1.8
0.15744
5
606
<
2
0.157435
2.20409
0.018897925
2
14 2
2
selang kelas
tabel
X hitung
(a=5%, n=2) = 5.99. Karena X
2
<X
hitung
2
tabel
3.481411878
maka data menyebar menurut sebaran Gamma
JUNI (sebaran Campuran) 2
P$ =
1.38
λ* =
0.00345
V =
2
N =
14
no
2
p=
0.7857
q=
0.2142
P
Hx
Oi
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
(Oi-Ei) /Ei
P$2
v
<
96
4
0.446315
6.24841
0.80906143
0.7
1.6
0.70469
0.5536
2
96.4
-
193
2
0.14350286
2.00904
4.06769E-05
1.3
1.6
0.52205
0.4101
3
194
-
290
3
0.12113357
1.69587
1.002880561
2.0
1.6
0.36788
0.2890
4
291
-
388
2.7
1.6
0.259565
0.2039
5
388
<
2
0.08510464
1.19146
0.5486765
3
0.20394393
2.85521
0.007341898
2
14 X
11
selang kelas 1
2
n tdk nol =
tabel
X hitung
(a=5%, n=2) = 5.99. Karena X
2
hitung
<X
2
2.368001065
tabel
maka data menyebar menurut sebaran Campuran
JULI (Sebaran campuran) 2
P$ =
1.62
λ* =
0.004062
V =
2
N =
14
no
selang kelas
Oi
1
X
13
2
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
(Oi-Ei) /Ei
P$2
v
p=
0.9285
q=
0.0714
P
Hx
<
113
6
0.407915
5.71081
0.014644307
0.9
1.9
0.63763
0.5920
2
113
-
226
0
0.21455571
3.00378
3.00378
1.8
1.9
0.40657
0.3775
3
227
-
340
2
0.14854357
2.07961
0.003047568
2.8
1.9
0.2466
0.2289
4
341
-
454
2
0.08279607
1.159145
0.609964354
3.7
1.9
0.157435
0.1461
5
454
<
4
0.14618964
2.046655
1.86428914
2
14 2
n tdk nol
tabel
X hitung
(a=5%, n=2) = 5.99. Karena X
2
hitung
<X
2
5.495725368 tabel
maka data menyebar menurut sebaran Campuran
AGUSTUS (Sebaran Campuran) 2
P$ =
1.81
λ* =
0.00452
V =
2
N=
14
no
P$2
p=
0.9286
q=
0.0714
P
Hx
Oi
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
(Oi-Ei) /Ei
<
131
7
0.49039
6.86547
0.002636
1.2
1.8
0.5488
0.5096
v
2
131
-
261
3
0.22993
3.21906
0.014907
2.4
1.8
0.3012
0.2797
3
262
-
393
0
0.11811
1.65360
1.653600
3.5
1.8
0.1740
0.1616
4
394
-
525
2
0.07289
1.02050
0.940147
4.7
1.8
0.0955
0.0887
5
525
<
2
0.08867
1.24137
0.463616
14 2
2
13
selang kelas 1
X
n tdk nol =
tabel
(a=5%, n=2)
2
X hitung
= 5.99. Karena X
2
hitung
<X
3.074907 2
tabel
maka data menyebar menurut sebaran Campuran
68
SEPTEMBER (Sebaran Campuran) 2
P$ = V
1.21
λ* =
0.0030
2
N =
14
=
no
P$2
p =
0.9286
q=
0.0714
P
Hx
Oi
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
(Oi-Ei) /Ei
<
163
7
0.4368
6.1151
0.1280
1.0
1.7
0.60653
0.5632
v
2
163
-
327
2
0.2216
3.1025
0.3918
2.0
1.7
0.36788
0.3416
3
328
-
491
2
0.1344
1.8818
0.0074
3.0
1.7
0.22313
0.2072
4
492
-
655
1
0.0815
1.1413
0.0175
4.0
1.7
0.13534
0.1257
5
655
<
2
0.1257
1.7594
0.0329
2
14 X
2
13
selang kelas 1
2
n tdk nol =
tabel
X hitung
(a=5%, n=2) = 5.99. Karena X
2
<X
hitung
2
0.5776 tabel
maka data menyebar menurut sebaran Campuran
OKTOBERI (sebaran Gamma) 2
P$ = V
1.2637
λ*
=
0.0032
2
N
=
14
=
no
selang kelas 1
Oi
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
X
P$2
v
p
<
191
6
0.45119
6.31666
0.015874458
1.2
1.8
0.63763
2
191
-
368
4
0.2318
3.24492
0.175704118
2.3
1.8
0.3865
3
369
-
546
2
0.1430
2.00256
3.27261E-06
3.5
1.8
0.2466
4
547
-
724
0
0.07373
1.03222
1.03222
4.6
1.8
0.15744
5
724
<
2
0.10026
1.40364
0.25337355
2
14 2
2
(Oi-Ei) /Ei
tabel
X hitung
(a=5%, n=2) = 5.99. Karena X
2
hitung
<X
2
tabel
1.477175399
maka data menyebar menurut sebaran Gamma
NOVEMBER (sebaran normal) =
401.11
z =
-1.0990
sdev =
183
p =
0.136
n
no
selang kelas
n =
Oi
X
tabel
2
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
(Oi-Ei) /Ei
z
P
1
44
-
206
2
0.119
1.666
0.066960384
-1.95
0.026
2
206
-
410
5
0.375
5.25
0.011904762
-1.06
0.145
3
410
-
615
5
0.359
5.026
0.000134501
0.05
0.52
4
615
-
819
1
0.11
1.54
0.189350649
1.17
0.879
5
819
-
1023
1
0.011
0.154
4.647506494
2.28
0.989
2
14 2
14
(a=5%, n=2) = 5.99. Karena X
2
hitung
<X
X hitung 2
tabel
4.91585679
maka data menyebar menurut sebaran Normal
DESEMBER (sebaran normal, transformasi pangkat 0.2) =
3.2
sdev =
0.4
n
no
n =
selang kelas
X
tabel
2
Oi
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
(Oi-Ei) /Ei
z
P
1
2.393
-
2.705
2.549
2
0.086
1.204
0.5263
-2.06
2
2.705
-
3.016
2.860
3
0.228
3.192
0.0115
-1.25
3
3.016
-
3.327
3.172
5
0.314
4.396
0.0830
-0.43
4
3.327
-
3.639
3.483
2
0.235
3.29
0.5058
0.38
5
3.639
-
3.950
3.794
2
0.117
1.638
0.0800
1.19
2
1.2066
14 2
14
(a=5%, n=2) = 5.99. Karena X
2
hitung
<X
2
tabel
X hitung
maka data menyebar menurut sebaran Normal
69
Hujan Wilayah Tipe II JANUARI (sebaran normal transformasi pangkat 0.1) =
1.822
z =
-1.6964
sdev =
0.073
p =
0.046
n
no
selang kelas
n =
28
2
Oi
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
(Oi-Ei) /Ei
z
p
1
1.692
-
1.742
3
0.101
2.828
0.0105
-1.79
0.037
2
1.742
-
1.793
8
0.207
5.796
0.8381
-1.09
0.138
3
1.793
-
1.843
4
0.269
7.532
1.6563
-0.40
0.345
4
1.843
-
1.893
9
0.225
6.3
1.1571
0.29
0.614
5
1.893
-
1.944
2
0.115
3.22
0.4622
0.99
0.839
6
1.944
-
1.994
2
0.046
1.288
0.3936
1.68
0.954
2
X hitung
28
4.1242
X2 tabel (α=5%, n=3) = 7.81. Karena X2 hitung < X2 tabel maka data menyebar menurut sebaran Normal
FEBRUARI (sebaran normal transformasi pangkat 0.2) =
3.239
z =
-1.0856
sdev =
0.325
p =
0.1400
n
no
selang kelas
n =
28
2
Oi
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
(Oi-Ei) /Ei
z
p
1
2.689
-
2.931
6
0.125
3.5
1.7857
-1.69
0.046
2
2.931
-
3.173
6
0.25
7
0.1429
-0.95
0.171
3
3.173
-
3.416
7
0.284
7.952
0.1140
-0.20
0.421
4
3.416
-
3.658
7
0.196
5.488
0.4166
0.54
0.705
5
3.658
-
3.900
1
0.078
2.184
0.6419
1.29
0.901
6
3.900
-
4.143
1
0.021
0.588
0.2887
2.03
0.979
2
X hitung
28
3.3897
X2 tabel (α=5%, n=3) = 7.81. Karena X2 hitung < X2 tabel maka data menyebar menurut sebaran Normal
MARET (sebaran normal transformasi pangkat 0.4) =
10.771
z =
-1.0469
sdev =
2.335
p =
0.149
n
no
selang kelas
n =
28
2
Oi
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
(Oi-Ei) /Ei
z
p
1
4.413
-
6.694
1
0.037
1.036
0.0013
-2.72
0.003
2
6.694
-
8.975
4
0.181
5.068
0.2251
-1.75
0.04
3
8.975
-
11.256
10
0.362
10.136
0.0018
-0.77
0.221
4
11.256
-
13.537
11
0.298
8.344
0.8454
0.21
0.583
5
13.537
-
15.819
1
0.104
2.912
1.2554
1.18
0.881
6
15.819
-
18.100
1
0.015
0.42
0.8010
2.16
0.985
28
2
X hitung
3.1299
X2 tabel (α=5%, n=3) = 7.81. Karena X2 hitung < X2 tabel maka data menyebar menurut sebaran Normal
70
APRIL (sebaran normal transformasi pangkat 0.1) =
1.763
z =
-0.8167
sdev =
0.078
p =
0.209
n
no
selang kelas
n =
28
2
Oi
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
(Oi-Ei) /Ei
z
p
1
1.616
-
1.665
3
0.068
1.904
0.6309
-1.87
0.038
2
1.665
-
1.714
4
0.158
4.424
0.0406
-1.25
0.106
3
1.714
-
1.762
6
0.236
6.608
0.0559
-0.63
0.264
4
1.762
-
1.811
10
0.232
6.496
1.8901
0.00
0.5
5
1.811
-
1.860
1
0.161
4.508
2.7298
0.62
0.732
6
1.860
-
1.908
4
0.107
2.996
0.3365
1.24
0.893
28
2
X hitung
5.6838
X2 tabel (α=5%, n=3) = 7.81. Karena X2 hitung < X2 tabel maka data menyebar menurut sebaran Normal
MEI (sebaran normal transformasi pangkat 0.1) =
1.698
z =
0.0065
sdev =
0.097
p =
0.5
n
no
selang kelas
n =
28
2
Oi
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
(Oi-Ei) /Ei
z
p
1
1.496
-
1.565
3
0.066
1.848
0.7181
-2.08
0.019
2
1.565
-
1.634
4
0.17
4.76
0.1213
-1.37
0.085
3
1.634
-
1.704
6
0.269
7.532
0.3116
-0.66
0.255
4
1.704
-
1.773
9
0.255
7.14
0.4845
0.06
0.524
5
1.773
-
1.842
5
0.153
4.284
0.1197
0.77
0.779
6
1.842
-
1.912
1
0.068
1.904
0.4292
1.49
0.932
28
2
X hitung
2.1845
X2 tabel (α=5%, n=3) = 7.81. Karena X2 hitung < X2 tabel maka data menyebar menurut sebaran Normal
JUNI (sebaran normal transformasi pangkat 0.1) =
1.642
z =
0.4906
sdev =
0.116
p =
0.688
n
no
selang kelas
n =
29
2
Oi
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
(Oi-Ei) /Ei
z
p
1
1.302
-
1.396
1
0.015
0.435
0.7339
-2.93
0.002
2
1.396
-
1.491
1
0.08
2.32
0.7510
-2.12
0.017
3
1.491
-
1.585
7
0.215
6.235
0.0939
-1.30
0.097
4
1.585
-
1.680
9
0.317
9.193
0.0041
-0.49
0.312
5
1.680
-
1.774
8
0.244
7.076
0.1207
0.33
0.629
6
1.774
-
1.868
3
0.127
3.683
0.1267
1.14
0.873
29
2
X hitung
1.8301
X2 tabel (α=5%, n=3) = 7.81. Karena X2 hitung < X2 tabel maka data menyebar menurut sebaran Normal
71
JULI (Sebaran Campuran) P2 = V
2.721
λ*
=
0.0068
2
N
=
29
= no
selang kelas 1
n tdk nol =
2
Oi
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
(Oi-Ei) /Ei
27
P$2
p=
0.9310
q=
0.0690
v
p
Hx
<
150
18
0.6575
19.0672
0.0597
2.0
1.9
0.3679
0.3425
2
150
-
245
7
0.1635
4.7409
1.0765
3.3
1.9
0.1923
0.1790
3
245
-
339
3
0.0857
2.4848
0.1068
4.6
1.9
0.1003
0.0933
4
339
-
433
1
0.0446
1.2921
0.0660
5.9
1.9
0.0524
0.0488
5
433
-
528
0
0.0267
0.7742
0.7742
7.2
1.9
0.0237
0.0221
6
528
<
0
0.0221
0.6408
0.6408
29
X hitung
2
2.7240
X2 tabel (α=5%, n=3) = 7.81. Karena X2 hitung < X2 tabel maka data menyebar menurut sebaran Campuran
AGUSTUS (sebaran normal transformasi pangkat 0.4) =
18.0173
z =
0.6414
sdev =
9.363
p =
0.739
n
no
selang kelas
n =
29
2
Oi
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
(Oi-Ei) /Ei
z
p
1
0.000
-
6.111
4
0.075
2.175
1.5313
-1.92
0.027
2
6.111
-
12.222
4
0.166
4.814
0.1376
-1.27
0.102
3
12.222
-
18.333
5
0.244
7.076
0.6091
-0.62
0.268
4
18.333
-
24.444
9
0.243
7.047
0.5413
0.03
0.512
5
24.444
-
30.555
4
0.155
4.495
0.0545
0.69
0.755
6
30.555
-
36.666
3
0.09
2.61
0.0583
1.34
0.91
2
X hitung
29
2.9321
X2 tabel (α=5%, n=3) = 7.81. Karena X2 hitung < X2 tabel maka data menyebar menurut sebaran Normal
SEPTEMBER (Sebaran Campuran) P2 =
2.44
λ*
=
0.0061
V =
2
N
=
29
no
n tdk nol =
2
29
p=
0.9310
q=
0.0690
p
Hx
selang kelas
Oi
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
(Oi-Ei) /Ei
P$2
<
83
11
0.4353
12.6237
0.2088
1.0
1.9
0.6065
0.5647
1
v
2
83
-
167
5
0.2222
6.4436
0.3234
2.0
1.9
0.3679
0.3425
3
167
-
250
8
0.1447
4.1949
3.4516
3.1
1.9
0.2125
0.1979
4
250
-
334
3
0.0778
2.2576
0.2441
4.1
1.9
0.1289
0.1200
5
334
-
417
1
0.0472
1.3694
0.0997
5.1
1.9
0.0782
0.0728
6
417
<
1
0.0728
2.1109
0.5846
29
2
X hitung
4.9123
X2 tabel (α=5%, n=3) = 7.81. Karena X2 hitung < X2 tabel maka data menyebar menurut sebaran campuran
72
OKTOBER (sebaran normal transformasi pangkat 0.6) n
=
sdev = no 1 2 3 4 5 6
z =
20.513
p =
10.278
selang kelas
n =
0.3414
29
0.633 2
Oi
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
(Oi-Ei) /Ei
z
p
0.000
-
7.695
4
0.083
2.407
1.0543
-2.00
0.023
7.695
-
15.391
4
0.203
5.887
0.6049
-1.25
0.106
15.391
-
23.086
9
0.29
8.41
0.0414
-0.50
0.309
23.086
-
30.782
9
0.242
7.018
0.5597
0.25
0.599
30.782
-
38.477
2
0.119
3.451
0.6101
1.00
0.841
38.477
-
46.173
1
0.04
1.16
0.0221
1.75
0.96
29
X hitung
2
2.8924
X2 tabel (α=5%, n=3) = 7.81. Karena X2 hitung < X2 tabel maka data menyebar menurut sebaran Normal
NOVEMBER (sebaran normal transformasi pangkat 0.6) n
=
sdev = no 1 2 3 4 5 6
z =
30.8532
p =
12.364
selang kelas
n =
-0.5525
29
0.291 2
Oi
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
(Oi-Ei) /Ei
z
p
3.909
-
13.586
3
0.06
1.74
0.9124
-2.18
0.015
13.586
-
23.264
5
0.196
5.684
0.0823
-1.40
0.075
23.264
-
32.941
8
0.296
8.584
0.0397
-0.61
0.271
32.941
-
42.618
10
0.262
7.598
0.7594
0.17
0.567
42.618
-
52.296
2
0.129
3.741
0.8102
0.95
0.829
52.296
-
61.973
1
0.042
1.218
0.0390
1.73
0.958
29
2
X hitung
2.6431
X2 tabel (α=5%, n=3) = 7.81. Karena X2 hitung < X2 tabel maka data menyebar menurut sebaran Normal
DESEMBER (sebaran normal transformasi pangkat 0.6) n
=
sdev = no 1 2 3 4 5 6
z =
35.3598
p =
10.379
selang kelas
n =
-1.0924
29
0.138 2
Oi
P(ai-1≤x≤ai)
Ei
(Oi-Ei) /Ei
z
p
13.654
-
21.864
1
0.074
2.146
0.6120
-2.09
0.018
21.864
-
30.074
7
0.213
6.177
0.1097
-1.30
0.092
30.074
-
38.284
12
0.305
8.845
1.1254
-0.51
0.305
38.284
-
46.494
4
0.248
7.192
1.4167
0.28
0.61
46.494
-
54.704
4
0.111
3.219
0.1895
1.07
0.858
54.704
-
62.914
1
0.031
0.899
0.0113
1.86
0.969
29
X hitung
2
3.4645
X2 tabel (α=5%, n=3) = 7.81. Karena X2 hitung < X2 tabel maka data menyebar menurut sebaran Normal
73
xii