Petitie Kecil Buat Alumnus IPDN Makassar Oleh. Dr. Muhadam Labolo Entah darimana saya mesti memulai titipan pesan dan kesan buat segenap alumnus pertama Angkatan 19 IPDN Regional Makassar dalam buku kenangan ini. Saya bukan tak ingat dengan seluruh rangkaian peristiwa saat berjumpa dengan mereka, tapi saya kebingungan bagaimana membagi ingatan yang terkesan padat rasa, sesak makna, penuh kenangan, serta tak mudah dilupakan pada sehelai sambutan pendek yang dibatasi oleh Rahmat Maidiyanto, koordinator penyusunan buku kenangan angkatan 19 IPDN Regional Makassar. Saya yakin, awal persentuhan saya dengan Praja Angkatan 19 Regional Makassar pada tahun 2010 bukan sekedar de jure sebagai Asisten Direktur Bidang Kemahasiswaan. Lebih dari itu saya merasa seperti dikirim Tuhan untuk menyelesaikan sedikit tantangan yang dihadapi oleh 198 Praja dalam keragamanan etnik, agama dan karakter. Berbekal sedikit pengalaman sebagai birokrat plus alumni pendidikan tinggi kepamongprajaan yang pernah menikmati situasi ‘horor’ dimasa lalu, saya tak begitu kuatir berhadapan dengan kondisi miris saat itu. Saya katakan demikian, sebab ketika tiba di kampus eks APDN Makassar, kondisinya tak lebih dari sebuah museum tua yang membutuhkan perawatan extra hati-hati. Saya dan Praja ibarat pengunjung kesekian, suka atau tidak mesti menapaki setiap sudut ruangan, berbicara dengan dinding-dinding yang menjadi saksi ketika menempa sejumlah kader pemerintahan dimasa lampau, atau berbicara langsung dengan beberapa pegawai lokal hasil naturalisasi yang begitu confidance sekalipun minim pengalaman mendidik kader pemerintahan. Kesan singkat ini kiranya menjadi semacam petitie kecil (sejarah kecil) selaku visitor di kampus IPDN Makassar dan bukan sebagai pejabat yang diutus untuk melaksanakan tupoksi institusi. Kenangan pertama saya adalah menemukan gejala meluasnya kegalauan praja terhadap kondisi kampus yang menyesakkan dada. Saya tiba-tiba saja disodorkan blanko kosong dengan sedikit tekanan agar mengembalikan posisi mereka ketempat dimana mereka berasal, Jatinangor, hidup atau mati. Saya merasa seperti dipaksa menandatangani surat perintah sebelas maret dengan isi yang berbeda, yaitu memindahkan mereka selekas-lekasnya dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bagi saya ini ujian pertama sekaligus dilema, mengiyakan sama dengan menyusun insubordinasi di awal penugasan, membiarkan artinya setuju dengan penderitaan mereka dari kekeringan air di pagi dan petang hari, kepanasan di siang dan malam hari, kegerahan belajar, atau kenyerian perut mereka dari asupan gizi rendah. Pada tingkat psikologis berujung hilangnya motivasi belajar sebagai tujuan pokok, serta meningkatnya ketegangan kreatif terhadap satu-dua pengasuh, pelatih, pengajar dan bahkan pegawai struktural yang dinilai feodalistik, elitis, egois, dan apatis. Di tengah akumulasi masalah itu, saya mencoba mengulur waktu agar berkesempatan mempelajari masalah dari struktur hingga kultur praja yang berubah total seperti api dalam sekam. Akhirnya, disela kelelahan siang dan malam mengidentifikasi masalah, saya
menyimpulkan satu sumber pokok, yaitu raibnya kepedulian pada praja sebagai objek sekaligus subjek dalam lembaga pendidikan kedinasan semacam itu. Menurut saya jawabannya sederhana, beri perhatian, bangun motivasi dan lakukan sesuatu walau sekecil apapun lewat sumber daya yang tersedia. Sebagian masalah saya catat dalam diary dan ingatan sehari-hari, lalu saya urutkan satu persatu untuk diselesaikan dalam berbagai kesempatan. Saya gunakan prinsip Jansen (2010) yang selama ini saya praktekkan sungguhsungguh yaitu, hearing ability, writting ability, reading ability serta speaking ability. Bertumpu pada kemampuan seadanya, sebagian sumber daya saya bagikan untuk menjawab masalah dari yang simpel sampai yang paling complicated. Saya berusaha mendengar apapun keluh-kesah mereka sekalipun kadangkala tak masuk di akal. Saya menyempatkan mencatat setiap masalah yang hampir tak ada habisnya mengalir laksana air di pancuran belakang mess tempat saya transit. Saya juga membagi bacaan pada satu-dua praja yang gemar membaca tapi tak pelit mengembalikan. Tiga praja saya libatkan dalam percobaan penelitian kualitatif sekaligus belajar menutup kekurangan voucher masing-masing. Saya menyempatkan hadir setiap apel malam untuk mengingatkan kembali darimana, dimana dan mau kemana setelah semua pengorbanan di lembaga seperti ini kita lalui bersama. Saya hanya kuatir jika mereka salah alamat seperti lirik lagu Ayu Ting-Ting. Pendek kata, saya berusaha menempatkan diri sebagai bagian dari mereka, sehingga dapat merasakan masalah yang sama, mulai dari kekeringan air hingga ketidakpastian terhadap masa depan mereka yang seringkali membayangi aktivitas praja sehari-hari. Kurang dari sebulan sejak peristiwa sebelas maret itu, segenap sumber daya yang saya sharing ternyata tak sia-sia. Praja cukup responsif dan cooperatif karena merasa air relatif mengalir dan tertampung dalam gentong apa adanya di tiap kamar mandi, Bohlam ciptaan Thomas Alfa Edison lima watt menyala dibeberapa sudut ruangan serta kegelisahan duduk di kelas berubah menjadi kenyamanan di ruang ber-AC. Sepanjang hari-hari yang melelahkan itu saya mencoba melelang banyak diskresi agar pikiran dan perasaan mereka lebih renggang berinteraksi dengan lingkungan. Sekali-kali saya memotret kegalauan mereka di barak sekaligus berbincang, makan bersama sambil menikmati instrument Saxophone Kenny G, menonton piala dunia lewat layar lebar dan kuliah dibawah pohon beringin yang sejuk. Setelah memperbaiki sejumlah fasilitas tidur yang anjlok karena tak kuat menampung beban akibat kelebihan lemak pada beberapa praja, saya melempar bola ketengah lapangan futsal, tenis meja dan volly. Tak lupa pesiar terpimpin di sejumlah lokasi apa adanya di Negeri Anging Mamiri. Saya jujur mengungkapkan bahwa selama bertugas disana rasanya tidur saya tak pernah sempurna, seringkali dibangunkan jaga malam untuk mengusir mahluk halus yang suka mengidap di tubuh beberapa praja putri. Sepertinya saya dipandang memiliki kekuatan supra-natural melampaui sosok Mbah Marijan. Padahal logika saya mengatakan bahwa depresi selama ini telah menyempurnakan kelemahan sebagian praja putri sehingga kehilangan keseimbangan yang berakibat fatal dalam bentuk kesurupan hingga tak sadarkan diri. Saya sewaktu-waktu melepas kegelisahan, kelucuan dan kelelahan itu bersama-sama di bilik rumah sakit tempat praja menginap beberapa saat. Hampir setahun bertugas disana, saya merasakan banyak kenangan yang mengendap hingga membentuk butiran ‘kangen’ pada alumnus angkatan 19 Regional Makassar, termasuk
civitas yang telah mendukung kerja akademik dan moral di kampus itu. Saya tentu saja tak bisa melupakan kebersamaan saudara Andi Gusti, Syahrul dan Noeraini sebagai alumni sekaligus pengasuh yang mendukung tugas 24 jam disana. Khusus Syahrul saya berharap ia dapat mengatasi masalahnya di kemudian hari yang hampir menyandera saya di depan sejumlah praja ketika melepas dengan tetesan air mata. Sebenarnya dia alumni yang baik, namun kurang mendapat perhatian. Saya juga merasa di dukung sepenuhnya oleh duo Sudirman dan Rappe. Sudirman pertama sabar menata perpustakaan, sedangkan Sudirman kedua sama sabar dan jujur dalam menjalankan fungsi bendahara. Semestinya keduanya bernama Sabaruddin, bukan Sudirman. Duo Rappe sebagai pengasuh memiliki kekhasan dan saling melengkapi dalam melayani apel pagi, siang dan malam. Bersama Bintara Djufri mereka tegas sekaligus menyenangkan jika di ajak berkoordinasi. Selain itu, saya merasa Pak Wira dan Ibu Yunita walau bukan alumni cepat akrab dengan praja, mungkin mereka getol mendengar rintihan praja di malam hari. Dalam kamar beralas kasur tanpa penyangga, saya tak mungkin melupakan Pak Nawawi yang rela berdiskusi sekaligus curhat dari sebutir kacang hingga lalu lintas gosip yang berkembangbiak dilingkungan kampus. Dia semacam Paper Less Office manual dilingkungan kampus. Di bagian pengajaran saya merasa dilayani dengan baik oleh sejumlah staf seperti Ibu Ros, Ibu Tuti dan Ibu Dina. Saya perlu berterima kasih pula kepada Daeng Kulle sekeluarga yang tekun melayani kebutuhan Praja siang dan malam, demikian pula penjahit baju yang turut merasakan suka-duka praja. Saya baru sadar bahwa Daeng Kulle adalah gelar untuk Peter G. Spillet, seorang sejarawan Australia generasi ketiga dari Useng Daeng Rangka, keturunan Bugis-Makassar-Aborigin, sebagaimana ditulis Nasaruddin Koro dalam buku Makassar Terkenang Masa Lalu (2009:8). Secara pribadi saya juga mengucapkan terima kasih kepada Pak Sidarto dan Sajekti, selaku mantan direktur IPDN Makassar yang bersahaja menyelesaikan tugas dalam rentang waktu singkat. Sekalipun demikian, saya kira banyak yang telah mereka kontribusikan diluar kelebihan dan kelemahannya sebagai manusia biasa. Di gerbang pintu masuk saya merasa senang karena selalu diladeni ramah oleh penjual eceran sebelum masuk kampus sambil mampir membelikan sebungkus sigaret kretek buat serdadu Amiruddin dan kawan-kawan yang rajin men-skorsing praja akibat tindakan indisipliner. Di akhir tugas, saya bersyukur bisa menghafal 90 persen nama angkatan 19 regional IPDN Makassar, sekalipun terkadang lupa jika tak sempat disapa duluan. Kalau hari ini saya ditanya bagaimanakah pendapat saya tentang praja IPDN Angkatan 19 IPDN Regional Makassar? Saya kira mereka memiliki ketahanan mental yang luar biasa, mungkin terbiasa dengan kondisi kampus yang penuh tantangan. Tantangan terberat disana yang perlu direformasi menurut saya bukan pada kultur praja, namun kultur birokrasinya. Disitulah pangkal masalahnya, yaitu bagaimana menghilangkan karakter feodalisme dan egoisme sempit pada bagian struktural sehingga fungsi-fungsi akademik dapat berjalan normal. Tanpa keberanian dan political will untuk merombak total sumber daya aparatur disana, maka siapapun yang akan bertugas hanya akan kembali dengan raport merah, kalau tidak konflik. Yang mengherankan, semua perilaku dan kabar tak sedap selama ini dibiarkan berlangsung bahkan terkesan dirawat entah untuk kepentingan siapa. Kalau untuk mengganti direktur saja bisa dilakukan dalam tempo sesingkat-singkatnya, mengapa untuk mengganti satu dua pejabat struktural saja seperti berhadapan dengan bentangan tembok.
Dari sisi akademik saya pikir melampaui spekulasi banyak kawan yang apriori dengan Praja IPDN Makassar, buktinya mereka dominan migrasi ke Cilandak mengikuti program khusus sarjana dibanding regional lain. Di Jakarta, beberapa diantaranya kembali berjumpa dan sempat reuni di Mall Pejaten Village mengenang segenap keseriusan, kerisauan, kebersamaan, kecemasan, kegembiraan, kegelisahan, kealpaan, kegelian dan kelucuan yang sulit terkubur di pemakaman Kalibata sekalipun. Sebagai yang pernah merasakan pendidikan semacam itu, saya paham betul apa yang kini dirasakan, yaitu kerinduan mendalam pada ingatan kita hingga realitas hari ini yang tentu jauh berbeda (from memorie to the reality). Segala hal dimasa lalu seringkali kita benci, namun suatu ketika ia berubah menjadi sebuah kecintaan, seperti permen dan obat yang jamak kita telan sewaktu-waktu. Sejarah memang merupakan masa lalu, tetapi ia menjadi petunjuk bagi masa depan kita. Saya suka mengutip tulisan pendek Gunnar Myrdal dalam ejaan Belanda, De geschiedenis kan geschapen worden, Het is niet nodig haar als een zuiver lostbestemming te aanvaarde, sejarah dapat diciptakan, namun ia tak perlu diterima secara murni sebagai suatu penentuan nasib. Dibalik semua itu, saya selalu berdoa dan berharap agar masa depan semua praja jauh lebih menjanjikan dibanding apa yang kita rasakan hari ini, sekaligus membalas pengorbanan sebagian diantara kita yang mampu survive di tiga lokasi selama empat tahun, Jatinangor, Makassar dan Jakarta. (Htl Rama, Palu, 13 Juni 2012).