BAB 7 ALASAN MEMBURU RENTE “Mengapa bapak tidak mengurus KTP dan SIM sendiri?”, tanya saya. “Saya tidak enak kepada bos pak, ngurus KTP & SIM saja harus bolos kerja”, jawab salah seorang narasumber. “Tapi bukankah dengan mengurus sendiri biayanya menjadi lebih murah? Tanya saya selanjutnya. “Kan hanya sekali dalam lima tahun pak”, jawab mereka dengan ringan. “Sekarang begini pak. Kalau untuk mendapatkan KTP maupun SIM, masyarakat harus mengurus sendiri, dan untuk SIM harus mengikuti ujian, teori maupun praktik, dengan sungguh-sungguh bagaimana?” tanya saya. “Kalau memang harus, ya bagaimana lagi. Tetapi untuk ujian SIM sungguhan, saya mungkin tidak akan pernah lulus pak”, jawab beberapa narasumber dengan pesimis. “Rasanya tidak mungkin pak. Kan banyak polisi dan keluarganya yang menjadi calo SIM”, jawab seorang warga yang lain. (Petikan dari obrolan penulis dengan banyak warga di Warung Hijau, Maret – Mei 2012)
Demikianlah
jawaban dari beberapa narasumber ketika saya mempersoalkan mengapa para warga pemilik KTP maupun SIM itu tidak mau mengurusnya sendiri, tetapi menyerahkan kepada calo, baik swasta maupun birokrat. Dialog itu sebenarnya mengarahkan kita, secara tidak langsung, tentang adanya berbagai alasan mengapa para warga Kampung Papringan, pada khususnya, dan Kota Adikarta, pada umumnya, menjadi terlibat dengan perilaku memburu rente atau Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam mengurus berbagai dokumen esensial ini. Dalam petikan dialog itu tercermin adanya konsep permisif (permisiveness), yaitu kompromi terhadap kesalahan, konsep ketidakpedulian (ignorance), yaitu abai terhadap dampak negatif yang mungkin timbul, dan konsep ketidakberdayaan
PARASIT PEMBANGUNAN
(disableness), yaitu ketidakmampuan untuk mengimplementasikan hak dan kewajibannya. Pola penyajian dalam bab ini mengikuti bab 6, yaitu membagi uraian ke dalam 3 aras, yaitu mikro, meso dan makro. Bahasan di aras mikro untuk mendiskripsikan alasan perilaku memburu rente pada aras individu, baik dalam rumahtangga maupun antar rumahtangga. Kemudian diskusi di aras meso pada dasarnya untuk menguraikan penjelas dari perilaku memburu rente yang merugikan komunitas atau kampung. Sedangkan analisis di aras makro untuk menggambarkan latar belakang perilaku memburu rente yang merugikan masyarakat luas atau kepentingan yang lebih luas atau besar. Seperti bab-bab sebelumnya, bab 7 ini akhirnya ditutup dengan rangkuman.
ALASAN MEMBURU RENTE DI ARAS MIKRO Dalam bab 6, khususnya seksi pertama digambarkan 2 ilustrasi perilaku memburu rente di aras mikro, yaitu pelepas-liaran unggas piaraan, terutama ayam, dan pengelolaan sampah rumahtangga, baik pembuangan dan pembakaran. Sehubungan dengan pelepasliaran unggas piaraan, berikut adalah contoh dialog antara saya dengan seorang warga: “Mengapa ayamnya tidak dikandang saja pak?” tanya saya. “Kalau dikandang kan harus memberi makan pak”, jawab si peternak ayam. “Benar juga”, pikir saya. Kalau dilepas, ayam-ayam itu akan mencari makanan sendiri. “Tetapi kalau ayamnya ada yang hilang bagaimana?” tanya saya lebih lanjut. “Kalau ada yang hilang ya sial pak namanya”, jawabnya ringan. “Kalau terjangkit penyakit flu burung seperi diberitakan tv itu bagaimana?” tanya saya lagi. “Kalau begitu ya sudah nasib namanya pak”, jawabnya. “Kalau dilepas kan kotorannya di mana-mana pak?”, tanya saya lagi. “Semua sudah biasa kok pak dengan kotoran ayam. Toh para tetangga juga melepas ayamnya”. 202
Alasan Memburu Rente
Dialog dengan salah seorang pemilik unggas yang dilepasliarkaan itu menggambarkan pandangan atau pendapat dan sikap para pemilik unggas terhadap berbagai pandangan negatif atas perilaku itu. Salah satu intinya adalah selama tindakan itu sudah dilakukan lama, bertahun-tahun, dan pemilik ternak lain juga melakukan hal yang sama, maka mereka merasa bahwa yang dilakukan itu tidak ada yang salah. Kalau pun dianggap salah, asalkan tidak sendirian, mereka tidak merasa terlalu salah. Ini adalah contoh lain dari ‘salah kaprah’. Apalagi dari sudut pandang ekonomi, rumahtangga yang melepasliarkan ternak ayam dan angsa, meskipun jumlahnya hanya beberapa, memandang, dan bisa menikmati, berbagai keuntungan berikut. Telornya bisa dijual untuk tambahan penghasilan keluarga, atau kalau dikonsumsi sendiri, menjadi sumber protein yang baik bagi status gizi anggota rumahtangga. Ayamnya juga demikian, bisa dijual untuk menambah pendapatan rumahtangga, atau kalau dipotong sendiri bisa menjadi lauk-pauk yang bagus sekali bagi kesehatan keluarga. Kedua manfaat itu juga berlaku untuk angsa dan yang terakhir ini malahan dianggap memiliki manfaat ketiga, yaitu membantu manjaga keamanan, yang tidak hanya menguntungkan pemilik, tetapi juga komunitas. Angsa selalu ribut ketika bertemu dengan seseorang, dan lebih ribut lagi ketika bertemu dengan orang baru atau asing di lingkungan sekitar. Keributan angsa itu menjadi penanda, tidak hanya bagi pemiliknya, tetapi juga bagi warga sekitar bahwa ada orang di luar atau bahkan ada orang baru yang perlu diwaspadai. Kotoran unggas-unggas ini sebenarnya juga bisa digunakan untuk pupuk sebagai manfaat lain, apabila dikumpulkan. Tetapi kebanyakan keluarga yang memiliki ayam dan itik ini, membuang kotorannya ke pelimbahan atau parit atau dibiarkan sampai hilang sendiri, karena terinjak orang atau kendaraan bermotor, tersiram air hujan, atau kering lalu mengelupas dan pergi terbawa angin. Di sini ada unsur ketidakpedulian atau meremehkan dampak negatif yang timbul dari perbuatannya. Penjelasan ini, apabila diletakkan ke dalam neraca untung rugi pelaku, maka unsur-unsur yang menguntungkan jauh lebih banyak 203
PARASIT PEMBANGUNAN
daripada biayanya. Biaya yang harus ditanggung pemilik seharusnya ada 2 jenis yaitu finansial dan risiko kehilangan dan kematian. Biaya finansial seharusnya ada 2 macam, yaitu biaya pembuatan kandang dan pakan. Tetapi, karena dilepasliarkan, maka dari sudut pandangnya, biaya pakan sama dengan tidak ada, meskipun ketika memakan daun pisang muda di kebun tetangga, orang lain yang harus menanggungnya. Sedangkan biaya pembuatan kandang hanya dikeluarkan sekali selama beberapa tahun. Apabila kandangnya terbuat dari bambu dan bambunya tidak perlu membeli, maka biaya ini praktis sangat minimal. Biaya kedua adalah risiko kehilangan atau kematian seperti disampaikan dalam dialog. Mereka semua siap menanggung risiko kehilangan, yang sebenarnya jarang terjadi, dan risiko kematian, yang justru lebih sering terjadi. Kasus yang lain berhubungan dengan pengelolaan sampah juga sudah dipaparkan dalam bab sebelumnya. Di dalam bab 6 contoh kasus yang saya angkat sebagai ilustrasi adalah bagaimana seorang anak sekolah dengan disponsori oleh ibundanya sedang membakar sampah. Dalam bab ini saya menyajikan kutipan dialog saya dengan seorang ibu lain yang sedang menyapu halaman rumahnya lalu membuang sampahnya ke selokan. “Kok sampahnya dibuang ke selokan bu?” tanya saya. “Ya pak. Kalau hujan biar terbawa air ke sungai, kalau tidak ya nanti dibakar sesudah kering”, jawabnya.
Saya ingat terhadap perilaku yang sama dari penjual Warung Hijau. Sampah-sampah dari warung awalnya dimasukkan ke tempat sampah, tetapi setelah penuh ternyata hanya dibuang ke selokan di sebelah warung itu. “Kalau sungainya terlalu banyak sampah kan bisa menyebabkan pendangkalan bu. Lalu, kalau hujan menjadi mudah penuh dan banjir”, sambung saya. “Kalau banjirnya di sana-sana ya biar ta pak. Yang penting kan tidak di sini”, katanya. “Apa tidak merasa bersalah bu kalau hanya karena kita membuang sampah ke sungai, membuat orang lain celaka karena kebanjiran?” selidik saya. 204
Alasan Memburu Rente
Pertanyaan saya itu tampaknya membuat ibu itu merasa kurang enak atau barangkali berfikir, karena dia menjadi terdiam beberapa saat seperti sedang merenung, meskipun akhirnya menjawab: “Kan yang membuang sampah ke selokan tidak hanya saya pak”, jawabnya mulai membela diri. “Justru itu bu. Kalau banyak orang membuang sampah ke selokan, selokan dan sungai akhirnya penuh dengan sampah. Bencana banjir pun menanti di musim hujan”, lanjut saya.
Pengamatan saya selama penelitian menunjukkan bahwa ketika seseorang mendapat pertanyaan yang secara tidak langsung menyalahkan perilakunya, akan bereaksi dalam tiga alternatif berikut, marah seperti kasus yang dipaparkan dalam bab 6, merenung seperti yang dilakukan oleh ibu dalam dialog di atas, atau yang paling banyak, cuek bebek, berperilaku seperti biasanya. Saya mencermati bahwa perilaku pengelolaan sampah warga Kampung Kahyangan ini bisa dikelompokkan menjadi tiga. Kelompok yang paling kecil adalah membuang sampahnya ke Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) di pinggir sungai dekat RT 01. Kelompok menengah adalah membuang sampahnya ke selokan dan atau sungai bagi rumahtangga yang letaknya berdekatan dengan dua obyek itu dikombinasikan dengan membakar. Apabila musim penghujan sampah dibuang ke selokan dan akhirnya ke sungai, sebaliknya kalau musim kemarau sampahnya tetap dibuang ke selokan atau pinggir sungai untuk dibakar sesudah kering. Kelompok terbesar adalah membakar sampahnya secara langsung di dekat rumah mereka, baik di pekarangan sendiri bagi yang memilikinya atau pun di pekarangan kosong di dekat tempat tinggal mereka. Alasan warga Kampung Papringan membuang sampah ke selokan atau sungai atau pun dibakar, secara umum ada dua. Secara implisit, tidak dikatakan secara terbuka, tetapi bisa diinterpretasikan dari perilaku mereka, yaitu cepat, enak dan mudah. Sampah disapu langsung ke selokan atau disapu menjadi satu untuk langsung dibakar itu lebih mudah, cepat dan enak, daripada dimasukkan ke suatu wadah 205
PARASIT PEMBANGUNAN
dan kemudian dibuang ke TPS yang relatif lebih jauh. Hal ini sama dengan yang dilakukan oleh pemilik Warung Hijau. Sampah dimasukkan ke tempat sampah lalu dibuang ke selokan sebelahnya. Di lain pihak, dikatakan secara eksplisit seperti dialog di depan, yaitu para tetangganya melakukan hal yang sama, sebagai pembelaan bahwa kalaupun dianggap salah, ia tidak sendirian. Jadi, pengelolaan sampah yang banyak dilakukan oleh warga dalam bentuk dibakar memang menghasilkan biaya sosial, tetapi biaya sosial itu dianggap telah dikompensasi oleh cara pengelolaan sampah yang sama oleh para tetangga, yaitu sama-sama dibakar. Kalau setiap orang melakukan hal yang sama, hal itu dianggap tidak ada masalah. Tentang biaya sosial dalam bentuk banjir dan pencemaran udara ke atmosfir, karena bersifat tidak langsung dan abstrak, maka hal itu tidak menjadi pertimbangan utama masyarakat. Bahkan tidak sedikit orang yang menganggap hal itu sebagai mengada-ada atau berlebihan.
ALASAN MEMBURU RENTE DI ARAS MESO Telah disampaikan oleh salah seorang ketua RT bahwa dia mengelompokkan rumahtangga yang ada dalam sub-komunitasnya (RT) menjadi Menengah Atas, Menengah, Miskin dan Miskin Sekali. Sehubungan dengan bantuan pemerintah dalam bentuk Beras Murah untuk rumahtangga miskin atau lebih dikenal dengan Raskin, menurut skenario pemerintah “hanya diberikan kepada rumahtangga miskin sekali”. Tetapi praktiknya di masyarakat bisa sangat bervariasi, meskipun garis besarnya sama. Di Kampung Papringan ini prinsip pembagiannya adalah sama, yaitu dibagikan kepada semua rumahtangga yang dianggap (dan merasa) miskin. Salah seorang narasumber menceriterakan begini: “Di RT ini saya menggolongkan 42 rumahtangga ke dalam empat kelompok – Menengah Atas, Menengah Bawah, Miskin dan Miskin Sekali. Yang masuk ke dalam kelompok Miskin Sekali ada 10 dan yang Miskin ada 9. Ketika daftar ini diserahkan ke Kelurahan untuk diproses, ternyata hanya kelompok Miskin Sekali yang disetujui. Lalu, supaya 9 206
Alasan Memburu Rente
rumahtangga kelompok Miskin tidak cemburu atau iri hati, maka jatah beras yang seharusnya untuk 10 rumahtangga itu kami bagi menjadi 19. Hal yang sama kami lakukan untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) di tahun 2005. Setiap kali bantuan itu turun, uangnya kami bagi menjadi 19. Oleh karena itu, di RT ini tidak ada masalah dengan Raskin dan BLT”.
Pembagian Raskin dan BLT yang transparan itu sayangnya tidak dilakukan di semua RT. Hanya satu RT yang berembug untuk menentukan Daftar Rumahtangga Miskin dan setelah selesai diumumkan di dalam rapat bahwa mereka yang masuk ke dalam kategori Miskin dan Miskin Sekali yang diajukan ke Kelurahan untuk diverifikasi adalah 19 orang Kepala Keluarga (KK) itu. Karena dirundingkan bersama dan hasilnya diumumkan, maka para warga RT itu tidak ada yang merasa diperlakukan tidak adil. Lain halnya yang terjadi di beberapa RT lainnya, seperti yang diceriterakan oleh salah seorang narasumber berikut ini: “Di RT ini status sosial ekonomi rumahtangga hampir sama. Oleh karena itu Bantuan Raskin kami bagikan secara bergiliran, sehingga setiap rumahtangga menerimanya setiap 4 bulan sekali. Untuk BLT hanya diberikan kepada rumahtangga yang disetujui oleh pemerintah”.
Ketika ditanyakan tentang siapa yang berinisiatif untuk membagikan Raskin menurut skenario di masing-masing RT, maka jawabannya bisa diringkas menjadi satu, yaitu kesepakatan warga dengan alasan yang sama, yaitu: “Supaya tidak ada kecemburuan sosial”.
Testimoni narasumber pertama lebih sesuai dengan hasil pengamatan saya. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa bentuk rumah tinggal mereka di RT 07 memang menggambarkan adanya strata sosial ekonomi seperti yang diceritakan itu. Sedangkan kesaksian narasumber kedua berbeda dengan pengamatan saya. RT ini menyepakati bahwa Raskin dibagi secara bergiliran karena status sosial ekonomi warga dianggap sama, meskipun kenyataannya tetap 207
PARASIT PEMBANGUNAN
membentuk strata. Apalagi, di kampung, termasuk Kampung Papringan, yang disebut sebagai kesepakatan sebenarnya hanya pendapat yang didukung oleh orang-orang yang berani bicara, seperti disampaikan seorang narasumber berikut. “Kalau rapat, disuruh usul orang kampung itu tidak mau atau tidak berani omong. Maka saya sering meminta kepada mereka yang tidak bisa atau tidak berani omong itu untuk duduk dekat dengan mereka yang bisa dan berani ngomong. Sampaikan ke orang itu persoalan atau uneg-unegnya apa, nanti sama yang berani omong akan disampaikan di dalam rapat. Kalau tidak begitu, mereka selalu diam saja selama rapat. Tetapi, setelah selesai biasanya mereka baru berkasak-kusuk di luar. Jadi kalau ingin tahu pendapat warga terhadap sesuatu, sebaiknya digunakan pendekatan campuran antara menanyai secara pribadi orang-orang yang tidak berani bicara dalam rapat dan atau dengan membicarakannya di dalam rapat”.
Pemimpin lokal yang berhasil biasanya memerhatikan betul cara berfikir dan berperilaku warganya. Kalau kecemburuan sosial itu memang menonjol di tengah kampung, maka untuk menjaga soliditas sosial, program-program pemerintah yang bersifat selektif seperti Raskin dan BLT, perlu dimodifikasi sedemikian rupa supaya sesuai dengan pertimbangan dan kondisi lokal. Meskipun demikian, modifikasi cara pembagian Raskin dan BLT juga bisa menjadi modus bagi para pemimpin lokal untuk menyamarkan penyelewengan yang mereka lakukan, terutama ketika para penerima Bantuan Sosial itu tidak diumumkan nama-namanya di depan warga. Catatan khusus juga perlu diberikan terhadap proses penentuan penerima BLT. Dalam menentukan daftar calon penerima, hampir selalu ada unsur ancaman terhadap pegawai BPS yang sedang memverifikasi para calon penerima. Kecuali itu, sering ada titipan dari Partai Politik untuk memasukkan nama-nama tertentu ke dalam daftar penerima. Kemudian, ada ketua RT yang karena tidak pernah mengadakan rapat, menentukan sendiri daftar calon penerima BLT, yang tidak jarang memasukkan sanak saudara dan atau anggota kelompoknya sendiri. 208
Alasan Memburu Rente
Kasus berikutnya yang telah diuraikan dalam bab 6 adalah Bantuan Sosial dan Ekonomi dalam bentuk Bantuan Sapi dan Modal. Seperti Raskin dan BLT, program ini bersifat selektif berdasarkan syarat-syarat tertentu. Dalam hal Bantuan Modal, program yang berbentuk uang dan alat-alat produksi ini merupakan Pinjaman Bergulir, khususnya bagi para pengrajin sangkar burung. Untuk Bantuan Modal (uang) bersifat individual, tetapi untuk Bantuan Alat Produksi bersifat kelompok, meskipun keduanya dikelola oleh kelompok masing-masing dalam bentuk koperasi. Dalam prosesnya, pemberi bantuan sebenarnya mengharapkan kelompok-kelompok pengrajin itu berproduksi di satu tempat khusus semacam bengkel kerja. Hal ini tidak saja memudahkan para pihak untuk berkunjung, tetapi juga menjadi potensi komunitas sebagai obyek pariwisata. Tetapi harapan ini tidak bisa menjadi kenyataan. Para pengrajin telah biasa melakukan aktivitasnya di rumah masingmasing dan enggan untuk mengubah kebiasaan itu. Bagi para pengusaha sangkar, mereka bisa menyediakan tempat yang cukup luas untuk menampung beberapa pengrajin di rumahnya, tetapi para pengrajin itu sebenarnya orang upahan dari pengusaha yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam hal bantuan alat produksi, setiap kelompok memutuskan untuk meminjamkan alat produksi itu kepada mereka yang belum atau tidak mempunyai alat kerja. Tetapi, seperti dituturkan oleh salah seorang ketua kelompok pengrajin, di akhir periode program alat-alat itu ternyata sudah tidak jelas keberadaannya. “Ketika seorang pengrajin pertama yang mendapatkan pinjaman ditanya “di mana alat-alat itu?” Jawabnya adalah “dipinjam si A”. Kemudian ketika si A ditanya “di mana alat-alat itu?” Jawabnya adalah “dipinjam si B”. Demikian seterusnya akhirnya alat-alat itu tidak jelas keberadaannya atau lebih tepatnya “tidak ada yang bisa mempertanggungjawabkannya”.
Demikian juga bantuan sapi. Jenis bantuan ini barangkali berhasil di sekitar Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA), karena sebagian dari sampah di TPA itu bisa dinikmati oleh sapi-sapi di situ. 209
PARASIT PEMBANGUNAN
Tetapi, kita bisa membayangkan bagaimana akhir cerita dari suatu Program Bantuan Sapi yang diberikan kepada warga di suatu kampung yang kesulitan untuk menyediakan pakan ternak, seperti Kampung Papringan ini. Salah seorang ketua RT menuturkan begini: “Karena ada tawaran Program Bantuan Ternak (sapi atau ayam), warga RT ini lalu berembug dan akhirnya memutuskan, berdasarkan banyak pertimbangan, ‘tidak mengajukan permohonan bantuan sapi’. Tetapi semua RT lain di kampung ini mengajukannya dan akhirnya mendapat bantuan sebanyak 22 ekor, yang direalisasikan 2 tahap. Namun, setelah 1 tahun berjalan, ternyata sapi-sapi itu sudah menghilang. Masih ada 1 atau 2 yang tersisa dan sedang bunting, dan ada beberapa ekor yang dikembalikan ke Program lewat koordinator, tetapi sebagian besar sudah dijual. Petugas dari Dinas Peternakan selalu mendatangi saya, karena saya hampir selalu ada di rumah, untuk mengecek perkembangan program itu. Karena tidak mau repot dan sebenarnya juga tidak tahu, saya hanya mengatakan ke petugas itu bahwa ‘orang-orang yang menerima bantuan sapi itu sudah tidak ada’, begitu”.
Lalu, apakah alasannya orang-orang melakukan itu? Jawaban atas pertanyaan ini bisa dimulai dari pertanyaan ‘siapa sajakah yang terlibat dalam program itu’. Uraian di atas mengindikasikan adanya 2 pihak yang terlibat, yaitu pihak penerima program dan pihak penyalur atau pemberi program. Penerima program terdiri dari berbagai karakter orang. Ada yang sungguh-sungguh ingin memperbaiki tingkat kehidupannya lewat ternak sapi, meskipun gagal. Ada juga orang-orang yang sejak awal hanya ingin mencari kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari setiap program yang ditawarkan pemerintah. Yang terakhir ini sayangnya berjumlah lebih banyak daripada yang pertama. Sedangkan penyalur atau pemberi program adalah para pegawai Dinas Peternakan yang terlibat, baik secara aktif maupun pasif, dalam eksekusi program itu. Kemudian tentang alasan terjadinya penyelewengan Program Bantuan, tentu saja perlu dilihat dari dua pihak juga. Pihak pertama, kelompok penerima program, adalah warga yang masuk dalam kategori menengah ke bawah. Karena perikehidupannya rentan, maka berbagai 210
Alasan Memburu Rente
bantuan, seperti sapi itu bisa dipakai sebagai asuransi, yang akhirnya dijual untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup mereka. Jadi, sejak awal mereka sesungguhnya sudah tahu kalau tidak mungkin mampu menjadi peternak sapi. Oleh karena itu RT yang bijaksana memutuskan untuk tidak mengajukan diri, seperti kesaksian salah seorang ketua RT dalam alinea sebelumnya. Mereka tidak memiliki sumberdaya untuk bisa menyediakan pakan yang cukup bagi hewan bantuan itu. Pihak kedua, penyalur atau pemberi bantuan, adalah petugas dari Dinas Peternakan Kota Adikarta, yang dianggap berhasil menyalurkan program berdasarkan target kuantitasnya tercapai. Jadi, alasan bagi mereka untuk menyalurkan program bantuan sapi itu sebenarnya hanya untuk mengejar target proyek dalam periode waktu yang ditentukan, bukan mempertimbangkan tingkat keberhasilan dan keberlanjutannya. Setelah visitasi dan eksaminasi, mereka (para birokrat yang umumnya berpendidikan tinggi) seharusnya sudah bisa memperkirakan kalau program bantuan itu tidak akan berjalan seperti diharapkan. Kasus ketiga yang telah dibahas dalam bab 6 tentang proses memburu rente adalah masalah Hidran Umum yang terletak di sebelah Barat Laut Kampung Papringan. Semua pengguna air tentu saja memperoleh manfaat dari fasilitas itu. Tetapi, ada orang yang memperoleh manfaat berlebih, yaitu para pengurusnya, dalam dua bentuk, yaitu bebas dari membayar rekening air, dan bisa menggunakan air di luar kebutuhan dasar rumahtangga seperti mandi, cuci dan masak, tanpa membayar. Berikut adalah penuturan salah seorang ketua RT: “Pengurus maunya tidak membayar atau kalau membayar hanya separuh. Pada hal yang menjadi pengurus dari suatu rumahtangga kan ya hanya 1 orang, lha kok seluruh anggota rumahtangga minta dibebaskan. Itu tidak adil namanya. Sekarang rekeningnya ditentukan 12.500 rupiah per orang per bulan. Kalau anggota rumahtangga seorang pengurus ada 10, maka dia seharusnya membayar 125 ribu rupiah. Kalau menuntut bebas ya mestinya hanya 1 orang sehingga dipotong 12.500 rupiah, jadi tetap membayar 112.500 rupiah. Sementara itu ada sebuah rumahtangga yang beranggotakan 10 orang, maka 211
PARASIT PEMBANGUNAN
ia diwajibkan membayar rekening 125 ribu rupiah. Keluarga besar seperti rumahtangga ini jelas sangat diuntungkan kalau salah seorang anggotanya menjadi pengurus. Tetapi kenyataannya tidak. Sudah pekerjaannya serabutan sehingga untuk makan pun susah payah, mereka masih dibebani rekening air sebanyak itu. Ya berat dan akhirnya macet. Karena hal-hal beginilah, maka banyak warga yang akhirnya tidak mampu untuk membayar rekening air”.
Keuntungan kedua yang diperoleh seorang pengurus yang menggunakan air di luar kebutuhan rumahtangga memang disebutkan oleh banyak narasumber. Tetapi tidak satu pun dari mereka yang menyebutkan nama orang (orang) itu sampai suatu ketika seorang bapak yang biasa main catur di Warung Hijau mengatakan kalau Pak Slamet, yang biasa main catur juga, adalah mantan pengurus hidran. Oleh karena itu suatu ketika saya mengunjungi keluarga itu dan beginilah hasil pengamatan itu. “Saya tertarik dengan rumah jamur yang dia kelola, maka suatu ketika saya bersama isteri ke rumah yang bersangkutan untuk membeli jamur kering, sekaligus melihat pertanian jamurnya. Dari situlah kemudian kami mendapati bahwa sebagai mantan pengurus hidran ia ternyata memiliki bisnis rumahtangga yang lumayan, yaitu membuat berbagai kue yang dijual ke pasar atau memenuhi permintaan dan bertani jamur. Semua jenis usahanya itu, apalagi pertanian jamurnya, membutuhkan air melebihi kebutuhan rumahtangga biasa. Oleh karena itu, keluarga ini sangat diuntungkan dengan penetapan iuran air berdasarkan jumlah orang, bukan karena keluarga ini hanya terdiri dari 4 orang, tetapi juga bebas dari membayar rekening air sebagai akibat dari kedudukannya sebagai pengurus hidran. Setelah mundur sebagai pengurus, keluarga ini tidak menggunakan air dari hidran lagi dan ternyata tidak bertani jamur lagi”.
Oleh karena itu bisa dipahami kalau beberapa narasumber mengatakan kepada saya bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama hidran umum itu tampaknya mau ditutup oleh PDAM, karena: “Pertama dan utama kurang lancarnya pembayaran rekening sebagai konsekuensi dari pengelolaan yang tidak baik. Kedua, diduga ada laporan atau tepatnya permintaan dari warga, 212
Alasan Memburu Rente
khususnya yang merasa keberatan dengan rekening yang harus ditanggung rumahtangganya.1 Ketiga, pengurus hidran tidak bisa mengelola secara adil sehingga menimbulkan pembangkangan dari warga pengguna air dan berakibat cekcok mulut setiap kali pengelola hidran menagih warga untuk membayar rekening”.
Ketidakberesan lain bisa juga diungkap sehubungan dengan pembangunan Gedung Serba Guna (GSG) yang dikelola oleh eks RT 02, yang meliputi RT 02, RT 05, RT 06 dan RT 07 dan Perbaikan Jalan yang dibiayai dari PNPM Mandiri. Sama seperti kasus lain yang sudah disampaikan, khususnya yang terjadi di aras meso, setiap ada proyek (bantuan) hampir selalu diikuti oleh orang-orang yang mau mengambil keuntungan, yang secara lokal disebut bancakan2. Proyek-proyek seperti itu tampaknya menggiurkan seperti daging segar di mata serigala, yang siap direbut untuk memperoleh bagiannya dan apabila memungkinkan menguasai seluruhnya. Contoh-contoh yang dipaparkan dalam bab 6 menunjukkan perilaku orang-orang yang demikian. Begitu turun dana yang lumayan besar, orang-orang yang berkepentingan seperti beradu cepat untuk segera mengerjakannya, atau tepatnya menghabiskannya. Untuk perbaikan jalan juga setali tiga uang, meskipun modusnya berbeda. Telah diuraikan dalam bab 6 bahwa dana PNPM Mandiri untuk perbaikan jalan di kampung ini adalah 15 juta rupiah. Tanpa dirapatkan dengan semua ketua RT, ternyata proyek perbaikan jalan itu sudah diserahkan dan dikerjakan oleh seorang pemborong (yang adalah warga kampung ini juga) yang dibantu oleh sanak saudaranya. Sebelum pekerjaan selesai, diberitakan oleh Ketua RW bahwa pemborongnya kehabisan dana dan oleh karena itu, meminta Tahun 2010 ketika Survei Rumahtangga dilaksanakan, narasumber dengan 10 anggota keluarga ini sudah mengeluhkan hal itu kepada saya, bahkan minta bantuan untuk mengatasinya. Tetapi karena peran sebagai peneliti, saya tidak bisa (dan tidak boleh) campur tangan untuk menangani masalah itu. Bagaimanapun, informasi itu telah menjadi masukan bagi saya untuk mengangkatnya sebagai kasus yang diamati. 1
Bancakan artinya makan gratis ramai-ramai. Hal ini biasanya dilakukan oleh keluarga Jawa yang menyiapkan makanan dengan alas daun pisang atau kertas yang dibagikan kepada anak-anak se lingkungan sekitar untuk memperingati hari istemewa seorang anak, seperti ulang tahun. 2
213
PARASIT PEMBANGUNAN
kepada masing-masing RT untuk berkontribusi sebesar 900 ribu rupiah untuk menyelesaikan proyek perbaikan jalan itu. Sikap para ketua RT dan warga di kampung itu sudah bisa diduga, yaitu “mereka mengabaikannya”. Dalam kasus ini ada kesaksian dari salah seorang ketua RT: “Seandainya ada koordinasi antara semua pengurus RT dan RW di kampung ini sebelum pekerjaan dimulai, pasti tidak terjadi kekurangan dana. Bagaimana tidak kurang, kalau proyek itu dilaksanakan sendiri oleh pemborong yang dibantu oleh saudara-saudaranya yang dibayar sebagai orang upahan? Pada hal proyek kampung seperti itu kan biasa dikerjakan secara gotong royong, sehingga tenagkerjanya yang merupakan warga kampung ini, tidak perlu dibayar. Kalau dilaksanakan secara gotong royong seperti itu, saya yakin dananya tidak akan kurang”.
Dalam 2 kasus terakhir ini beberapa kejanggalan memang tampak mencolok. Pertama, tidak ada rapat koordinasi yang melibatkan orang-orang yang berkepentingan, dalam hal itu adalah para pengurus RT. Kedua, menyerahkan pembangunan kepada pemborong tanpa persetujuan para pihak yang berkepentingan, pada hal pekerjaan itu bisa dikerjabaktikan seperti kebiasaan kampung. Ketiga, dengan mudahnya penanggungjawab proyek mengatakan “pemborongnya lari”, untuk kasus pembangunan gedung, atau “uangnya kurang”, untuk kasus perbaikan jalan. Pada hal kedua proyek tersebut bisa dilakukan dengan kerja bakti seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang kampung. Ilustrasi ini menjadi cermin betapa sulitnya orang-orang penting di kampung ini untuk mengendalikan diri sendiri dari nafsu untuk memperoleh keuntungan sendiri dengan merugikan orang lain atau mengorbankan kepentingan yang lebih besar. Masalah terakhir yang menjadi persoalan kampung adalah persoalan tanah. Seperti diuraikan dalam bab 6 masalah sengketa tanah di kampung ini selalu mengancam kerukunan warga, baik hal itu karena pergeseran batas atau perbedaan luas tanah yang dikatakan oleh penjual dengan kenyataannya sebagai akibat dari tidak adanya 214
Alasan Memburu Rente
dokumen resmi dan tanda batas fisiknya3. Persoalan seperti itu masih diperburuk oleh beberapa orang yang memang sangat menonjol kemauannya untuk memperoleh untung dan enaknya sendiri, seperti diceriterakan oleh salah seorang narasumber tentang perilaku Pak Pokil, berikut ini: “Si Pokil itu memang suka mencari untungnya sendiri. Maka dia mendapat nama panggilan yang sangat terkenal dan pas dengannya, yaitu si Pokil Blantik (calo). Ketika mau menyertifikatkan tanah yang dibelinya, eh...ternyata, dia memasukkan jalan di samping pekarangannya menjadi satu. Ya didemo warga. Tidak hanya itu, mentang-mentang mempunyai uang, dia membeli tanah yang belum bersertifikat dengan murah, kemudian dijual secara resmi sehingga harga jualnya berkali lipat. Salah satu pekarangan yang dikuasai adalah tanah yang sekarang menjadi Pos Ronda dan Gudang Penyimpanan Inventaris RT. Semula diminta tidak boleh, tetapi karena tanah itu masih berstatus ‘tanah negara’, dan kami menekan terus, ya akhirnya terpaksa diberikan”.
Contoh persoalan tanah yang lain sudah diceritakan dalam bab 6, seperti sengketa jual-beli antara kakak beradik dan sengketa penggelapan tanah milik sang kakak oleh si adik. Kerugian seseorang akibat perilaku orang lain dalam kasus tanah seperti ini langsung dirasakan oleh orang yang terlibat. Oleh karena itu, masalah tanah ini tidak hanya sensitif di daerah penelitian ini, tetapi juga di semua kawasan, seperti sudah diamati dan ditulis oleh Elizabeth Fuller Collins (2008) dalam buku berjudul “Indonesia Dikhianati”, juga di negaranegara lain ketika pemerintahnya tidak berpihak kepada masyarakat serta hukum adatnya. Masyarakat adat yang tidak jarang dianggap Kasus jual-beli tanah secara di bawah tangan tampaknya menjadi akar persoalannya. Karena jual-beli dilakukan dengan ‘tahu sama tahu’ antara orang-orang yang sudah saling mengenal, maka ketika penjual mengatakan luas tanah dimaksud adalah 100 meter persegi, misalnya, pembeli hanya memercayainya sebagai benar tanpa mengukur. Kelak ketika tanah itu dijual lagi dia juga mengatakan kepada calon pembeli kalau luas tanahnya adalah 100 meter persegi. Pada waktu disertifikatkan, yang dalam prosesnya perlu pengukuran, baru diketahui kalau luas tanah tersebut kurang dari yang dikatakan. Maka yang kemudian disalahkan adalah tetangganya yang dianggap telah menggeser batas tanah. Tentu saja ada beberapa orang yang memang sengaja menggeser batas pekarangannya. 3
215
PARASIT PEMBANGUNAN
sebagai terbelakang justru sering dikorbankan atas nama pembangunan demi pertumbuhan ekonomi yang manfaatnya seringkali hanya dinikmati oleh sedikit orang, yaitu para pemilik modal dan aparat negara.
ALASAN MEMBURU RENTE DI ARAS MAKRO KTP dan KK adalah dua dokumen kependudukan dasar yang sangat penting bagi setiap rumahtangga dan para anggotanya yang sudah berumur 17 tahun. Dengan bukti KTP dan atau KK bersama persyaratan lainnya, dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kendaraan bermotor seperti SIM, BPKB & STNK, bisa diperoleh. Dokumen yang berhubungan dengan tempat tinggal seperti Sertifikat Hak Milik, Surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Ijin Mendirikan Usaha, dokumen perjalanan seperti Paspor, bisa didapat. Karena pentingnya dua dokumen dasar itu, maka semua lembaga yang terlibat (RT & RW, Kelurahan/Desa, Kecamatan dan atau Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) perlu diberdayakan secara optimal supaya bekerja secara taat asas menurut aturan main yang dibuat untuk itu. Hal itu mutlak diperlukan karena fakta yang ditemukan dalam studi ini dan didukung oleh berbagai kasus penyelewengan yang diberitakan di media cetak maupun elektronik menunjukkan bahwa ketiga lembaga itu sangat rentan terhadap suap. Meskipun tidak langsung berhubungan dengan suap-menyuap, studi ini menunjukkan bahwa sekitar 30 persen dari penduduk dewasa yang sudah memiliki KTP dan SIM dari 267 rumahtangga yang disurvei, meminta orang lain untuk menguruskan kedua dokumen itu. Indikasi lain yang menunjukkan betapa ketiga lembaga ini rentan terhadap suap adalah KTP ganda, pada era sebelum e-KTP. Meskipun studi ini tidak menanyakan berapa orang yang memiliki KTP ganda, hampir selalu ditemukan adanya orang-orang yang memiliki KTP ganda itu, terutama di antara orang-orang yang mobilitasnya tinggi, yaitu sering berpindah tempat tinggal karena mengontrak, pindah kerja atau memiliki beberapa rumah atau properti di beberapa tempat. Jadi dua karakteristik ini (sering berpindah dan 216
Alasan Memburu Rente
memiliki beberapa rumah atau properti di wilayah administrasi yang berbeda) sering berhubungan dengan kepemilikan KTP ganda4. Dengan KTP bagi orang yang sudah berumur 17 tahun dan Surat Keterangan dari RT/RW dan atau Surat Keterangan dari Kelurahan/Kecamatan bagi orang yang berumur 16 tahun5, menurut Undang Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya bisa mendapatkan SIM. Prosedur diterbitkannya suatu SIM bagi seseorang sebenarnya sudah sangat jelas diatur dalam Undang Undang dan Peraturan Pemerintah bagi pelaksanaannya. Tetapi prosedur itu tampaknya hanya bagus di peraturan perundangan itu, sedangkan praktiknya masih jauh dari sempurna, kalau tidak boleh dikatakan sebagai semrawut, seperti yang diuraikan dalam bab 6. Kelemahan utama dari proses penerbitan SIM itu adalah keterlibatan para calo, yang terdiri dari orang luar (swasta) dan orang dalam (polisi)6. Meskipun sistem dan alat telah dibarui menjadi sangat modern (komputerisasi), tetapi ketika para calo masih menjadi raja, maka siapa pun masih bisa memperoleh SIM tanpa harus tahu bagaimana berlalulintas yang baik dan benar. Pemohon SIM tentu saja merasa diuntungkan dengan perilaku memburu rente para aparat penerbit SIM dalam proses pengurusannya, seperti disampaikan oleh seorang guru PNS yang bertutur tentang anaknya yang masih sekolah di SMP berikut ini:
Seorang pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DKC) Kota Adikarta pernah menceriterakan kepada saya bahwa ada beberapa pejabat publik yang baru pindah ke Kota itu meminta kepada DKC untuk dibuatkan KTP, apa pun alasannya. 4
Ketegasan syarat umur minimal untuk mendapatkan SIM C – Sepeda Motor ini disamarkan menjadi “Surat Keterangan Kependudukan dari Lurah/Camat dan Kartu Keluarga bagi yang berusia di bawah 17 tahun (www.infolantas_com/mekanisme_sim.php). Rumusan ini tampaknya menjadi salah satu pintu masuk bagi para pemburu rente untuk menerbitkan SIM C bagi anak-anak SMP di seluruh Indonesia. 5
Semua lembaga yang berurusan dengan lalu lintas sangat marak dengan calo, seperti lembaga pembuat SIM, lembaga penerbit BPKB & STNK, lembaga penerbit Ijin Trayek, dan sebagainya. Salah satu yang paling buruk adalah ‘pemeliharaan’ mobil berpelat hitam berjumlah puluhan untuk angkutan umum berpenumpang jurusan Kota Adikarta dan beberapa Kecamatan lain Kabupaten Adilaga. 6
217
PARASIT PEMBANGUNAN
“Kami bersyukur tidak harus antar jemput anak terkecil kami ke sekolah, karena ia sudah bisa naik motor sendiri”, katanya di suatu kesempatan. “Apa bapak merasa dia sudah berhak untuk naik sepeda motor ke mana-mana? tanya saya. “Semua temannya juga sudah naik sepeda motor kok pak”, katanya tanpa menjawab pertanyaan saya.
Beberapa pelanggaran bisa diidentifikasi ketika anak-anak SMP, yang tentu saja berumur di bawah 16 tahun sudah memiliki SIM C. Pertama, anak, orangtuanya dan ketua RT (apabila prosedur pengurusannya dimulai dari RT) sudah berkolusi untuk memalsukan umur si anak dan dituangkan dalam Surat Keterangan RT. Di situ sudah terjadi dua jenis pelanggaran hukum, yaitu Pemalsuan Umur dan penerbitan Surat Keterangan palsu. Kedua, pegawai Kelurahan seharusnya meneliti kesesuaian Surat Pengantar RT itu dengan KK yang dilampirkan (apabila melalui kelurahan). Apabila benar, aparat baru membuatkan Surat Keterangan, dan sebaliknya apabila salah, proses harus dihentikan. Poin kedua ini sayangnya sangat jarang dilakukan, karena orang-orang yang belum berhak biasanya memberi uang pelicin untuk memuluskan proses. Ketiga, apabila lolos dari Kantor Kelurahan, polisi bisa meneliti untuk memutuskan apakah proses pengurusan SIM bisa dilanjutkan. Poin ketiga ini juga hampir mustahil dilakukan. Kalau pun dilakukan oleh petugas yang memeriksa, itu pun hanya dalam rangka untuk meminta uang lebih banyak untuk mengompensasi kekurangan atau kesalahan yang mungkin terjadi. Jadi, titik kritis pertama dan utama dalam kasus ini adalah Ketua RT, karena setelah Surat Aspal itu lolos dari titik pertama, ia hampir pasti lolos pada titik kedua maupun titik ketiga. Meskipun demikian, dalam hal penerbitan SIM ini dalam praktiknya masyarakat bisa langsung menggunakan jasa calo, baik swasta maupun polisi, untuk memrosesnya dengan mengabaikan atau meniadakan Surat Keterangan RT/RW dan Kelurahan, seperti testimoni narasumber yang telah disampaikan dalam bab 6.
218
Alasan Memburu Rente
Apabila kedua kasus, penerbitan KTP dan SIM, yang sudah dibahas itu prosedurnya dimulai dari masyarakat, kasus ketiga ini, yaitu lelang, prosesnya berasal dari atas, yaitu lembaga penyelenggara lelang. Pertama, lembaga lelang mengumumkan ke masyarakat melalui media cetak atau pun media elektronik yang sudah ditentukan tentang jadwal lelang, daftar properti atau proyek yang mau dilelang, beserta syaratsyarat bagi masyarakat untuk mengikuti lelang, khususnya besaran deposit untuk setiap properti yang akan diikuti. Kedua, setiap orang yang ingin terlibat dengan lelang harus membayar deposit untuk setiap item yang akan diikuti ke rekening lembaga penyelenggara lelang. Ketiga, hadir di tempat dan waktu yang telah ditentukan untuk pelaksanaan lelang. Keempat, mengikuti proses lelang yang diakhiri dengan pengumuman tentang orang-orang atau pihak-pihak yang dinyatakan menang, dan terakhir kelima, pemberesan administrasi dan keuangan. Dalam hal lelang ini saya memiliki pengalaman sendiri dan sudah dipaparkan dalam bab 6. Dalam setiap lelang, seperti kasus yang pernah saya ceriterakan, peran dari orang-orang yang berkolusi atau bersekongkol atau bisa disebut juga sebagai mafia lelang, itu ternyata sangat sentral dan vital. Mereka bisa bermanufer sedemikian rupa untuk menentukan siapa yang akan ‘dimenangkan’ dan sampai berapa besar ‘margin’ keuntungan yang bisa dibagi untuk para anggota mafia. Proses lelang di dalam ruang lelang lebih sering tidaklah orisinil, karena hal itu telah dilakukan di ruang tunggu atau di tempat lain. Seperti telah saya ceritakan dalam bab 6, para anggota mafia lelang tampaknya selalu bersikap ramah terhadap siapa pun yang akan mengikuti lelang, tidak peduli apakah orang itu baru pertama kali seperti saya pada Desember 1999 itu, atau sudah biasa mengikuti lelang. Mereka mengajak berdialog seolah-olah hal itu hanya merupakan obrolan yang tidak penting sambil menunggu waktu dibukanya proses lelang. Kasus lelang yang saya ikuti melibatkan para anggota mafia lelang (baik swasta maupun negeri) sebagai pemburu rente. Aktor yang terlibat tentu saja bisa digolongkan ke dalam empat kelompok, yaitu peserta lelang sesungguhnya seperti saya atau siapa pun, calo lelang swasta, dan pelaksana lelang. Para pihak yang masuk ke dalam kategori 219
PARASIT PEMBANGUNAN
pemburu rente adalah semua yang terlibat, yaitu pemenang yang memperoleh properti dengan harga jauh lebih murah daripada harga pasar, dan para anggota mafia lelang, baik swasta maupun negeri, yaitu penyelenggara lelang. Dalam kasus lelang lain, misalnya lelang pengadaan barang dan jasa dari suatu lembaga, setiap partisipan bisa masuk ke dalam kategori pemburu rente, kalau setiap patisipan bekerjasama dan menyetujui skenario yang ditawarkan oleh seorang inisiator, seperti satu kalimat yang disampaikan oleh salah seorang anggota mafia lelang kepada saya berikut ini: “Begini pak. Biar properti ini untuk saudara perempuan saya ini saja, nanti bapak mendapat bagian meskipun tidak banyak”. 7
RANGKUMAN Melalui pemaparan beberapa contoh transaksi memburu rente, yang sayangnya harus terjadi berbagai pengulangan, bab 7 ini kiranya bisa merangkum tentang berbagai alasan terjadinya transaksi perilaku memburu rente. Bagi para pencari dokumen, seperti KTP dan SIM, Paspor, memilih cara memburu rente melalui calo adalah ‘jaminan’. Di tangan calo semua urusan menjadi cepat, mudah dan enak, dan oleh karena itu orang tergoda untuk menggunakan cara ini. Orang-orang yang seharusnya menjadi panutan, digugu lan ditiru, seperti para guru dan pemuka agama pun, ternyata belum tentu memiliki idealisme tentang ketaatan hukum dan keadilan sosial. Cara ‘cepat, mudah dan enak’ yang dilakukan oleh banyak orang selalu menggoda setiap orang untuk menggunakan cara yang sama, meskipun hal itu bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Di sini kita menemukan adanya konsep permisif, yaitu sikap yang cenderung kompromistis terhadap sesuatu yang salah. Pada hal perilaku yang salah pun kalau dilakukan terus menerus akan dianggap tidak salah lagi. Oleh karena itu terjadilah apa yang disebut sebagai salah kaprah. Meskipun saya tidak setuju dengan permintaan anggota mafia lelang untuk mengalah demi imbalan pembagian uang margin, saya tetap menjadi salah satu pelaku pemburu rente, karena hanya membayar 13 juta rupiah untuk suatu properti yang bernilai 25 juta rupiah di pasar pada waktu itu. 7
220
Alasan Memburu Rente
Bagi para pemburu rente swasta aktif (calo swasta), alasan terhadap perilakunya lebih jelas dan bisa dimengerti, yaitu menjadi sumber penghasilan alias pekerjaan dan pekerjaannya itu relatif mudah. Kemudian ada kesempatan bagi mereka untuk melakukan percaloan itu, baik dari segi permintaan maupun dari segi penawaran. Dari segi permintaan bisa dilihat dari banyaknya orang yang membutuhkan SIM (atau dokumen lain) dengan cara mudah dan cepat. Sedangkan dari segi penawaran, ada keengganan dari polisi (penyedia barang dan jasa) untuk menyelenggarakan proses (penyediaan barang dan jasa) secara sungguh-sungguh, jujur dan adil. Bagi para pemburu rente negeri aktif (calo birokrat), alasan untuk berperilaku memburu rente melaui rileksasi proses penerbitan dokumen bagi mereka yang membayar mereka klaim sebagai mempermudah konsumen, untuk mempercepat pelayanan. Tetapi, tampaknya yang paling penting, meskipun tidak diucapkan, adalah untuk meningkatkan kesejahteraan diri, pada khususnya dan pegawai pada umumnya. Kecuali itu, lingkungan kerja juga mendukung. Perlakuan terhadap masyarakat dalam penerbitan dokumen seperti ini dianggap sebagai transaksi yang saling menguntungkan, baik bagi masyarakat maupun para pegawai di lembaga itu. Di sini kita juga menemukan adanya konsep ketidakpedulian (ignorance), terutama dari pihak penyedia barang dan jasa terhadap akibat yang muncul dari ketidak taatasasan mereka terhadap proses yang baik dan benar. Bagi para pemburu rente negeri pasif (staf dari calo birokrat atau rekanan), alasannya adalah ‘mereka hanya melaksanakan pekerjaan’, meskipun setiap pegawai lembaga itu bisa bertindak sebagai pemburu rente negeri aktif juga, yaitu dengan menerima order di luar maupun di dalam jam kantor. Kecuali itu, mereka juga mendapat bagian dari setiap transaksi yang mereka kerjakan, baik secara langsung berupa x rupiah per dokumen dan atau secara tidak langsung dalam bentuk tunjangan-tunjangan, seperti tunjangan hari raya, insentif akhir tahun, dan sebagainya. Para pemburu rente pasif (baik swasta maupun aparat) ini tampaknya cenderung tidak berdaya terhadap tekanan yang datang dari para pemburu rente aktif. Jadi di sini ada konsep ketidakberdayaan (powerlessness) dari sebagian aparat penyedia barang 221
PARASIT PEMBANGUNAN
dan jasa untuk menegakkan aturan main yang harus dipegang bagi proses penyediaan barang dan jasa itu. Akhirnya, apa pun yang dikatakan oleh para pihak yang terlibat dalam transaksi memburu rente, hal itu bermuara pada alasan pragmatis, dan tampaknya alasan ini lebih dominan, kalau tidak boleh disebut satu-satunya. Alasan pragmatis itu bisa diwakili oleh tiga kata yang sudah disampaikan sebelumnya, yaitu ‘mudah, cepat dan enak’. Dari sudut permintaan, pencari dokumen mendapatkan kemudahan untuk memperoleh dokumen itu dan dalam hidup sehari-hari, dokumen itu telah memudahkan mereka untuk melakukan aktivitas masing-masing. Dari sudut penawaran, penerbit dokumen mendapatkan kemudahan dalam meningkatkan taraf hidupnya sendiri, keluarga inti dan keluarga besarnya. Kemudahan (permisiveness) itu tampaknya telah menjadi ‘mantra sakti’ bagi para pemburu rente. Oleh karena itu, mereka tidak tertarik atau lebih tepatnya tidak peduli (ignorance) untuk sekedar memikirkan, apalagi menomorsatukan, dampak dari perilaku mereka bagi individu, rumahtangga, komunitas, masyarakat, bangsa dan negara. Sesungguhnya tidak hanya para pemburu rente yang mendambakan hidup sejahtera lahir dan batin, siapa pun warga komunitas (masyarakat dan bangsa) juga mengharapkan untuk hidup dengan sehat, pintar dan berkecukupan seperti yang dituturkan oleh Mahbub Ulhaq ketika ia memperkenalkan Indeks Pembangunan Manusia pada tahun 1990 (UNDP, 1990). Untuk mencapai tujuan itu, kita, tentu saja, selalu menghadapi dilema, yaitu menghalalkan segala cara seperti dalam perilaku memburu rente ini atau melalui cara yang dituntut oleh peraturan perundangan yang berlaku.
*
222