Penerbit:
Yayasan HAK Jl. Gov. Serpa Rosa T-091, Farol, Dili Tel. + 670 390 313323 Fax. + 670 390 313324 e-mail:
[email protected] Dengan dukungan:
No.25/Tahun I/Minggu III/Juni 2002
http://www.yayasanhak.minihub.org
SETELAH TACI TOLU MAU KE MANA?
HARGA: USD 0.75
P
esta perayaan “Hari Kemerdekaan” telah berlalu. Terang kembang api yang menggemparkan sebagian be sar masyarakat Timor Lo- r o s a e yang menghadiri upacara pengalihan kekuasaan dari UNTAET ke Pemerintah República Democrática de Timor-Leste (RDTL) kini tinggal cerita. Luapan kegembiraan dan aliran air mata di Taci Tolu telah berhenti menjadi berita. Yang tersisa kini adalah sebuah realita bahwa Timor Lorosae telah mengukuhkan diri sebagai sebuah negara yang merdeka. Yang tertinggal pada perayaan tengah malam 20 Mei 2002 tersebut bukan lagi terang kembang api yang hanya menerangi pelataran Taci Tolu, tetapi suatu garis pemisah abadi bagi seluruh rakyat Parade pasukan ex-FALINITL, 20 Mei 2002.
Independensia Seolaholah? (BACA HAL. 2)
Jacinto Alves
(BACA HAL. 5)
Globalisasi Melanggar Hak Asasi (BACA HAL. 7)
Foto: Rogério Soares/Cidadaun
negeri ini. Garis pemisah antara masa dan masa depan seperti yang diungkapkan oleh Yayasan HAK dalam pernyataannya menyambut “Hari Kemerdekaan” tersebut. Masa lalu yang penuh tragedi dan masa depan yang masih diselimuti oleh misteri. Sama seperti tragedi masa lalu, yang setiap orang Timor Lorosae punya kisah yang berbeda, demikian pula masa depan, setiap insan punya harapannya sendiri. Meskipun harapan kolektif semua orang Timor Lorosae tanggal 20 Mei 2002 adalah akhir dari tragedi penindasan kolonial, namun bukan merupakan stasi terakhir dari via sacra yang harus ditempuh bangsa Timor Lorosae. Benar bahwa militer Indonesia telah pergi dari Timor Lorosae dengan kekalahan yang memalukan. Benar pula bahwa UNTAET telah pergi dengan segala “kesuksesannya” – yang kita iringi dengan tepuk-tangan meriah. Namun, setelah sebulan perayaan, lambat-laun kita menyadari, atau barangkali sudah ada yang menyadari sebelumnya, bahwa TNI yang gagal maupun UNTAET yang sukses tidak membawa pulang masalahmasalah tanpa solusi dalam bagasi mereka. Dalam pidato pertamanya setelah 20 Mei, Presiden RDTL Xanana Gusmão menggugah kesadaran semua orang bahwa “kendaraan” kemerdekaan masih mandeg. “Kareta ukun rasik aan sei paradu hela,” demikian Xanana Gusmão dalam pidato yang disiarkan TVTL, 13 Juni 2002. Setumpuk atau segudang bukan istilah yang tepat untuk mengukur permasalahan yang ditinggalkan untuk kita, baik oleh militer Indonesia maupun oleh UNTAET dengan program Timorisasinya yang gagal. Belum lagi persoalan yang diwariskan oleh 450 tahun kolonialisme Portugis. Terutama terbatasnya kesempatan belajar bagi rakyat Timor Lorosae. Penjajahan Portugis dan pendudukan Indonesia merupakan masa yang
sulit. Atau dalam kata-kata Pamela Sexton dari Lao Hamutuk, “... kedua masa itu merupakan masa yang gelap bagi Timor Lorosae untuk mengembangkan dirinya.” Di masa pemerintahan UNTAET, menurut Sexton, kita sering mendengar slogan-slogan seperti good governance, transparency, dan demokrasi. Tetapi, banyak yang menyimpang dari slogan-slogan itu. “Demokrasi UNTAET, di sini semua kekuasaan hanya dimiliki oleh satu orang,” ungkap Pamela Sexton. Sementara itu, banyak staf lokal mengeluh karena UNTAET membawa pergi semua peralatan, mulai peralatan kantor sampai jaringan komunikasi. Menghitung semua persoalan hanya memboroskan waktu, karena begitu banyak. Namun, jika kita masih berpendapat masih butuh waktu untuk mempersiapkan diri, maka kita tidak akan pernah punya waktu untuk berpikir. Apalagi untuk berbuat. l Virgílio da Silva Guterres
MUSIK PROGRESIF KARYA ANAKNEGERI
TIMORLORO SA E CD USD 5
MENAMPILKAN: KASET USD 3 Titi Ribeiro Apay Gill Alexandre Engelbert Nino Pereira Dapatkan segera kaset/CD-nya di toko-toko kaset terkemuka.
TRIPOD
Penanggung Jawab: José Luís de Oliveira Redaksi: Rui Viana, F.X. Sumaryono, Jaime Soares, Nug Katjasungkana, Nuno Hanjan, Rogério Soares, Titi Irawati, Virgilio da Silva Guterres Distribusi: Roberto da Silva & Martinho Viana Alamat: Yayasan HAK Jl. Gov. Serpa Rosa T-091, Farol, Dili. Tel. + 670 390 313323, Fax. + 670 390 313324, e-mail:
[email protected], http://www.yayasanhak.minihub.org
Kemerdekaan untuk Kemajuan Rakyat
P
engakuan internasional atas kemerdekaan negara kita akhirnya kita dapatkan. Pengakuan ini bukanlah hadiah dari pihak luar manapun. Pengakuan ini adalah hasil perjuangan panjang bangsa kita yang penuh dengan kesulitan menghadapi penguasa pendudukan yang sangat brutal dalam mempertahankan kekuasaan pendudukannya dan menghadapi kemunafikan dunia internasional yang tidak melakukan tindakan yang memadai untuk menegakkan hak rakyat Timor Lorosae atas penentuan nasib sendiri yang dijamin oleh hukum internasional. Kemerdekaan negara Timor Lorosae yang diproklamasikan pada 28 November 1975 sebagai suatu pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri telah dilanggar oleh invasi ilegal militer Indonesia, yang didukung negara-negara besar karena kepentingan ekonomi dan strategi militer mereka. Perjuangan panjang kita telah membuahkan pengakuan internasional atas kemerdekaan negara kita. Setelah upacara megah pada 20 Mei 2002 di Tacitolu, Dili, dengan dihadiri oleh delegasi-delegasi dari banyak negara, kemerdekaan negara kita resmi diakui oleh dunia internasional. Bangsa kita memiliki negara merdeka, yang kedaulatannya diakui oleh dunia internasional dan dilindungi hukum internasional. Kita patut bergembira dan berpesta-pora atas tercapainya salah satu tujuan perjuangan ini. Namun kita harus ingat bahwa dengan memiliki negara merdeka tidak dengan sendirinya kita akan mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran. Negara merdeka adalah salah satu tujuan perjuangan, tetapi negara merdeka bukanlah tujuan akhir. Karena negara hanyalah alat untuk mencapai tujuan yang lebih mendasar dari perjuangan kemerdekaan. Bangsa kita memperjuangkan kemerdekaan karena berdasarkan pengalamannya menyadari bahwa kolonialisme tidak akan membawa kemakmuran, tetapi justru mendatangkan eksploitasi, penghisapan, penindasan, kebodohan, dan segalam bentuk kehidupan yang tidak manusiawi lainnya. Kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan yang dialami rakyat Timor Lorosae bukanlah keadaan alamiah asli, tetapi disebabkan oleh penindasan dan penghisapan yang dilakukan penguasa kolonial. Oleh karena itu kemiskinan dan keterbelakangan itu tidak akan bisa dihapuskan dengan menggantungkan pada pihak luar, baik itu Portugal, Australia, Indonesia, maupun negara-negara lainnya. Kemajuan rakyat hanya dapat diperoleh jika rakyat bergerak untuk melawan penindasan, penghisapan, kebodohan, dan penyakit yang dialaminya. Hanya dengan menyadari kekuatan sendiri dan bergerak berdasarkan kekuatan sendiri menghapuskan sumber-sumber penyebab kemiskinan, kebodohan, dan penyakitlah kemajuan dan kesejahteraan rakyat bisa dicapai. Kesadaran ini diwujudkan dalam berbagai bentuk program yang dijalankan oleh gerakan
pembebasan nasional. Koperasikoperasi pertanian digiatkan untuk meningkatkan penghasilan rakyat yang mayoritas petani. Kebudayaan rakyat – yang dianggap tidak beradab – digali dan dikembangkan untuk membangun identitas bangsa. Program-program kesehatan dilancarkan dengan memadukan pengetahuan kesehatan modern dengan praktek pengobatan tradisional rakyat. Alfabetização, dengan metode pendidikan pembebasan Freire, dijalankan bagi para ferik dan katuas di desa-desa. Dalam perspektif pembebasan nasional kita, negara dipandang sebagai alat yang akan melancarkan rakyat
menjalankan pembebasan. Negara adalah alat untuk mencapai kemajuan rakyat. Itulah sebabnya dalam pasal 2 Konstitusi RDTL 1975 dinyatakan bahwa tujuan pembentukan negara adalah untuk mendirikan strukturstruktur yang membuat rakyat bebas dari segala bentuk penindasan, penghisapan, kebodohan, dan penyakit. Kemerdekaan negara kita telah mendapatkan pengakuan internasional. Tidak ada negara di dunia ini bisa begitu saja menginvasi negara kita, meskipun kita tidak memiliki kekuatan militer yang besar seperti negara adikuasa. Karena kita dilindungi hukum internasional. Sekarang saatnya kita meneruskan program-program pembebasan rakyat yang dulu telah dimulai secara susah-payah oleh para martir pembebasan kita. • Cidadaun
Julino Ximenes
Opini
Independensia Seolah-olah?
P l José Luís de Oliveira
Pejabat sementara Direktur Yayasan HAK (Hukum, Hak Asasi, dan Keadilan), Dili
Menunggu pembeli di Dili. /Foto: Rogério Soares
2
enyerahan kedulatan dari UNTA ET ke Pemerintahan Timor Loro sae 20 Mei 2002 telah dilakukan dengan pesta meriah. ada yang menganggap hari itu hari kemerdekaan, ada juga yang menganggap pengakuan internasional untuk kemerdekaan yang sudah diproklamasikan tahun 1975. Terlepas dari polemik itu, pada acara itu bendera Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) dinaikkan lagi secara resmi dengan diringi lagu kebangsaan Patria, Patria setelah 26 tahun dilarang oleh pendudukan penguasa asing. Pada kesempatan itu, walaupun sempat terjadi sabotase dengan menghilangnya teks halaman pertama deklarasinya, Presiden Majelis Konstituante Lu Olo tetap menyampaikan deklarasinya yang berisi restorasi (pemulihan) kemerdekaan Timor Lorosae. Pernyataan itu sempat mengejutkan sebagian besar tamu asing. Karena apa yang dibayangkan para tamu bahwa Lu Olo akan menyatakan Proklamasi Kemerdekaan, ternyata Restorasi Kemerdekaan. Isi deklarasi itu jelas merupakan pembalikan terhadap opini yang telah dibangun selama masa UNTAET bahwa seolah-olah kemerdekaan Timor Lorosae adalah hadiah PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa/UN). Kepala UNTAET, Sergio de Mello dalam wawancara televisi BBC (Inggris) pada hari pemilu 30 Agustus 2001 dengan arogan mengatakan bahwa negara Timor Lorosae adalah anak bayi dari PBB.
CIDADAUN No.25/Tahun I/Minggu III/Juni 2002
Opini bahwa kemerdekaan adalah hadiah PBB begitu dahsyat hingga membuat banyak orang Timor Lorosae percaya seolah-olah PBB adalah dewa penyelamat dan pahlawan bangsa Timor Lorosae, dan melupakan seluruh proses perjuangan selama 24 tahun. Dan menganggap penderitaan selama 24 tahun adalah kesalahan orang Timor Lorosae semata-mata. Ini bisa dilihat, hingga sekarang belum ada kejelasan politik dari negara (dalam hal ini pemerintah) untuk mengakui jasa-jasa para martir yang gugur, atau orang-orang yang hilang hingga sekarang tak jelas rimbanya karena perjuangan kemerdekaan. Pimpinan negara kita lebih sibuk mengurus Taman Makam Pahlawan Seroja (tempat dikuburkannya anggota TNI yang mati dalam perang di negeri kita), ketimbang nasib para pejuang Maubere yang hilang setelah ditangkap oleh militer Indonesia. Suatu sikap yang sangat tidak berperikemanusiaan. Orang yang seharusnya bertanggungjawab atas penderitaan rakyat Timor Lorosae diperlakukan sebagai pahlawan, sementara orang yang berkorban untuk negara ini jasanya dilupakan. PBB seharusnya merasa berdosa karena selama 24 tahun tidak mengambil tindakan efektif untuk mencegah pembantaian sekitar 200.000 jiwa rakyat Timor Lorosae yang berjuang untuk hak menentukan nasib sendiri. Begitu juga, kejahatan kemanusiaan
yang terjadi pada tahun 1999 seharusnya bisa dicegah PBB. Namun Timor Lorosae dibiarkan dihancurkan, setelah itu baru didatangkan pasukan internasional Interfet. Padahal jauh sebelumnya, PBB tahu bahwa polisi Indonesia tidak mampu menjaga keamanan dan TNI justru terlibat melatih dan mempersenjatai milisi-milisi anti-kemerdekaan. Beberapa negara besar seperti Australia dan Amerika Serikat bahkan tahu betul bahwa militer Indonesia berencana untuk melakukan penghancuran. Jadi, pernyataan Sergio de Mello ini adalah sikap pengingkaran terhadap dosa PBB. Seharusnya disadari bahwa apa yang dilakukan PBB atau “bantuan” yang diberikan negara-negara lain selama masa transisi ini merupakan wujud dari tanggungjawab atau kewajiban yang harus mereka penuhi untuk menebus kesalahan mereka. Bukannya jasa ini sebagai upaya untuk mendapatkan konsesi untuk kepentingan negara-negara besar atau pribadi birokrat UNTAET. Tumbuh suburnya opini suprioritas lembaga PBB dan/atau negara-negara besar, juga disebabkan oleh melunturnya mental ukun rasik an dari sebagian besar pemimpin Timor Lorosae. Sebagian besar dari kaum terpelajar kita sudah tidak percaya lagi dengan kekuatan rakyat dan lebih suka menyerahkan segala urusan kehidupan berbangsa dan bernegara ini kepada orang asing. Bila mentalitasnya demikian, tidak heran kalau sekarang dan di masa mendatang sejarah Timor Lorosae dibuat untuk memuliakan kepentingan pihak lain, untuk “membeli” semua bantuan yang diberikan oleh negaranegara lain. Kalau seperti itu, lalu di manakah cita-cita perjuangan pembebasan nasional patria e povo? l
tatoli
Rakyat Butuh Pekerjaan Rakyat berharap pemerintah mengatasi masalah sehari-hari mereka. Mampukah kabinet pertama Timor Lorosae setelah pengakuan kemerdekaan ini memenuhinya?
Pasar Comoro, Dili. Foto: Rogério Soares/Cidadaun
S
etelah menerima kedaulatan dari UNTAET, rakyat Timor Lorosae harus berjuang terus untuk membangun bangsa dan negaranya sendiri. Perjuangan ini tidak seperti dulu dalam masa perlawanan terhadap penguasa pendudukan, tetapi memajukan rakyat yang rata-rata hidup sangat sederhana. “Saat ini banyak orang yang jadi pengangguran,” kata Veliz de Carvalho do Carmo Lemos. “Bagi mereka yang mempunyai sawah, masih mendingan karena bisa bekerja di sawah. Walaupun saat ini pemasaran hasil pertanian tidak baik. Tetapi mereka yang tidak punya sawah saat ini hanya menganggur,” kata pemuda berusia 25 tahun yang saat ini bekerja sebagai petugas keamanan kantor Distrik Manatuto itu. “Pemerintah harus membuka lapangan kerja untuk mengatasinya, kalau tidak mengatasinya akan timbul kekacauan. Setelah UNTAET pergi, pengangguran meningkat, mereka
yang dulu bekerja sebagai staf lokal UNTAET sekarang tidak ada tempat kerja setelah UNTAET pergi,” tuturnya. Ia berharap pemerintah Timor Lorosae secepatnya mengambil langkah mengatasinya. Sementara Manuel Pinto (89 tahun), yang ditemui Rogério Soares di Pasar Manatuto mengeluhkan kesulitan hidup sehari-hari. “Kehidupan kami rakyat kecil sangat susah. Kami sangat sulit mendapatkan uang untuk membeli keperluan hidup keluarga kami dan membayar sekolah anak-anak kami,” katanya. “Sebagai petani, hasil pertanian dan ternak peliharaan kami saat ini tidak laku dijual. Apalagi ongkos transpor saat ini sangat tinggi. Sulit bagi kami untuk membawa hasil kami untuk dijual di kota,” paparnya. Keluhan yang sama diutarakan oleh Sakadura Soares (63 tahun). Lelaki dari Laclo, Manatuto yang sehari-harinya bekerja menggarap tanah itu adalah korban kekerasan 1999. Tangan kirinya patah akibat
Suara Pembaca Sebaiknya ada rubrik perempuan Cidadaun tidak terbit dua bulan terakhir ini. Menurut saya media ini sangat penting dan waktu Cidadaun masih terbit saya selalu mengikutinya. Cidadaun tidak hanya sebagai media informasi tetapi juga media pendidikan. Ada halaman tertentu yang menulis tentang perempuan. Ini sesuai dengan tujuan yang saya perjuangkan selama ini. Saya kira lebih baik ada halaman yang khusus tentang perempuan. Saat ini kita juga sangat membutuhkan uang untuk keperluan kita. Jadi sekarang juga saatnya Cidadaun dijual agar bisa terbit terus. Akan tetapi harganya harus sesuai dengan kondisi karena kebanyakan orang tidak bisa membeli. Maria Domingas Fernandes Penasehat Urusan Promosi Kesetaraan pada Kabinet Republik Demokratik TImor Leste
Harganya Harus Murah Cidadaun yang selama ini dibagi gratis kepada kami, sangat baik isinya. Terutama mengenai perkembangan politik Timor Lorosaea mulai pemilu untuk Majelis Konstituante sampai sidang-sidang Majelis Konstituante. Tetapi pada dua bulan terakhir ini kami tidak dapat lagi tabloid itu. Saya harap Cidadaun tetap terbit untuk membantu masyarakat dengan memberikan informasi. Kalau bisa rubriknya ditambah dengan mengulas semua kehidupan masyarakat dalam negara baru ini. Kalau Cidadaun dijual, kami memakluminya karena media memang membutuhkan biaya yang besar. Tetapi harus memperhatikan ekonomi rakyat kecil. Harganya harus murah, yang penting biaya operasinya bisa terpenuhi, untuk memberikan informasi kepada masyarakat sesuai dengan misinya. Manuel do Rosario Caicoli, Rumbia, Dili
Supaya memberi informasi lengkap Cidadaun sudah baik, terutama isi beritanya. Tetapi lebih baik lagi kalau
ditembak oleh anggota tentara Indonesia dan terpaksa diamputasi. Ia mengeluh bukan karena tanah pertaniannya tidak menghasilkan. “Hasil pertanian dan ternak peliharaan kami saat ini tidak laku dijual. Akibatnya kami kesulitan untuk mendapatkan uang yang diperlukan untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga kami,” katanya. “Kepada para pemimpin bangsa saya mengingatkan bahwa ada rakyat, baru ada pemimpin, dan juga ada rakyat, baru membangun pemerintah. Oleh karena itu pemerintah harus memperhatikan rakyat,” katanya. Menurutnya, untuk membangun suatu pemerintahan yang baik, pemerintah harus memperhatikan kehidupan rakyat. “Kehidupan rakyat sudah baik akan membangun pemerintahan yang baik juga di negara Timor Lorosae ini,” katanya menegaskan. “Pemerintah harus membantu rakyat. Pemerintah harus melihat kondisi kehidupan rakyat, apakah hidup rakyat sejahterah atau tidak
dengan nada tanya. Tambahnya, pemerintah dibangun dari masyarakat, juga sebagai orang tua dari rakyat harus memperhatikan kehidupan rakyat,” kata Gaspar Pinto. Menurutnya, kalau rakyat sudah hidup sejahtera, maka negara inipun akan kuat. Lain lagi pendapat Francisco Martins dari Distrik Aileu. Kepada Jaime Soares dari Cidadaun ia mengungkapkan di rumahnya, “Pemerintah Timor Lorosae selama masa transisi dan setelah penyerahan kedaulatan 20 Mei masih belum ada perubahan.” Ia mengharapkan pemerintah Timor Lorosae merdeka secepatnya melaksanakan pembangunan bangsa dan rakyat. “supaya pembangunan negara baru ini berjalan baik maka demokrasi harus ditegakkan di negara ini. Kalau tidak pembangunan tidak akan bisa berjalan. Tidak boleh pemerintah baru ini dikuasai oleh satu kelompok orang saja,” katanya dengan tegas. l Rogério Soares
Dari Redaksi menambah rubrik mengenai berita ekonomi, sosial, budaya, berita daerah, berita nasional, internasional, dan lainlain. Supaya bisa memberikan informasi yang lengkap kepada para pembaca. Kalau Cidadaun mau dijual, harganya harus memperhatikan keadaan ekonomi rakyat kecil. Kalau tidak, mereka yang punya uang saja yang bisa membelinya. Padahal rakyat kecil juga sangat membutuhkan informasi, tetapi karena tidak punya uang mereka tidak bisa mendapatkan informasi. João Silverio Claudio Mahasiswa Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian, UNATIL
Memberikan kontribusi yang baik Saya senang kalau Cidadaun terbit kembali. Karena selama ini memberikan informasi yang baik. Sejak masa kampanye dan masa penyusunan Konstitusi, Cidadaun memberikan kontribusi yang baik. Saya lebih mengikutinya saat penyusunan Konstitusi kita. Partisipasi Cidadaun sangat baik, dan betul-betul menunjukkan kredibilitasnya. Saya harap Cidadaun bisa terbit kembali untuk bisa memperbaiki dan juga bisa memberikan pelajaran bagi media cetak yang lain untuk bisa mengikuti Cidadaun. Karena Cidadaun selama ini, pandangannya proporsional dan pemberitaannya sesuai realitas. Mengenai Cidadaun mau dijadikan media komersial, itu sangat baik agar bisa menjangkau seluruh masyarakat. Bagi saya, daripada mengeluarkan uang untuk membeli sesuatu yang tidak produktif, lebih baik membeli Cidadaun untuk menambah pengetahuan. Karena berita yang dimuatnya bukan berita murahan, tetapi memberikan informasi kepada semua tingkatan masyarakat. Jadi lebih baik dijual, agar semua golongan masyarakat bisa membelinya. Terakhir saya ucapkan selamat datang kepada Cidadaun edisi barunya. Jacob Fernandes Anggota Parlemen Nasional Fraksi FRETILIN
C
idadaun kembali hadir di hada pan Anda. Penampilannya berubah, suatu perubahan yang tujuannya tak lain agar para pembaca lebih bisa menikmatinya. Perubahan lain, tabloid mingguan ini sekarang “memasuki pasar” media umum. Atau dengan bahasa sehari-hari, Cidadaun dijual untuk umum, tidak lagi dibagikan secara gratis. Perubahan ini dilakukan untuk membuat media Anda ini bisa hidup berkelanjutan. Biaya penerbitan ini tidak kecil. Pencetakannya, karena alasan teknis, masih dilakukan di Jakarta. Lay-out tabloid ini kami kirim ke percetakan dengan e-mail memanfaatkan internet, yang untungnya ada di sini. Selesai dicetak dikirimkan ke Dili, melalui Denpasar, menggunakan jasa cargo udara. Ini dilakukan agar Cidadaun bisa secepat mungkin berada di tanah air. Tentu saja biaya pengirimanya tidak kecil. Dengan cara ini barang dari Jakarta bisa sampai di Dili dalam waktu dua hari. Tetapi kadang-kadang ada juga gangguan. Kalau barang yang diangkut pesawat Merpati melebihi batas, kadang-kadang Cidadaun ditinggalkan di Denpasar untuk diangkut pesawat berikutnya. Kalau dibagikan cuma-cuma terus, kami yang mengelolanya akan kewalahan untuk mencari dana yang jumlahnya tidak sedikit. Perlu pembaca ketahui, kami tidak terbit selama beberapa bulan ini antara lain karena kesibukan kami untuk mencari dana yang diperlukan. Penjualan kami harapkan bisa membantu membuat media ini menjadi mandiri. Upaya untuk mandiri juga dilakukan dengan menerima iklan. Dalam hal ini kami berusaha selektif, agar media ini tidak melenceng dari misi awalnya, yaitu sebagai sarana pendidikan dalam rangka membangun warganegara (cidadaun) yang bertanggungjawab. Bertanggungjawab atas kemakmuran dan kedamaian
negerinya, bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Walaupun harus dijual, kami tetap menjadikan Cidadaun sebagai sarana komunikasi, bukan sarana bisnis yang tujuan utamanya mencari untung. Kami sadar bahwa masih banyak warganegara yang tidak punya cukup uang, terutama mereka yang tinggal di pelosok-pelosok foho. Tetapi, sebagai manusia yang beradab mereka juga memerlukan informasi. Kami akan tetap membagikan Cidadaun secara cuma-cuma di desa-desa. Untuk itu kami mencari rekan kerjasama yang bersedia menyediakan papan agar tabloid ini bisa ditempel dan dibaca secara teratur di pelosok-pelosok desa. Kami menanti kerjasama Anda. l
Pffuiiii! Menurut Program Pembangunan PBB (UNDP), Timor Lorosae negara termiskin di Asia. Kok perusahaan-perusahaan raksasa dari negaranegara kaya-raya merampok sumber minyaknya di Laut Timor. Uskup Belo menentang pemberian amnesti kepada pelaku kejahatan berat. Betul Amo Belo, amnesti hanya melestarikan ketidakadilan dan membahayakan stabilitas nasional.
CIDADAUN No.25/Tahun I/Minggu III/Juni 2002
3
nasional
Bekas Gerilyawan
Jadi Ancaman Keamanan? Situasi bisa berubah. Tapi masa lalu tidak mungkin dilupakan. Dan bila tidak diselesaikan, hanya menimbulkan kerugian bagi negara. Inilah yang sedang terjadi dengan situasi keamanan di wilayah timur. enduduk Baucau resah. Pada malam hari suasana kota itu P mencekam. Orang-orang berpa-
kaian militer, kebanyakan bekas pakaian TNI, berkeliaran. Ada yang membawa granat tangan, senapan rakitan, ada pula yang membawa senjata tajam. “Keadaan sekarang seperti tahun 1999, ketika milisi menguasai kota,” kata seorang penduduk Dili yang baru pulang dari Viqueque yang tidak bersedia disebutkan namanya. “Orang-orang berpakaian militer berdiri di jalan raya, menghalangi kendaraan yang lewat. Mereka membawa senjata rakitan,” katanya kepada Cidadaun. Wajar jika muncul keresahan. Awal bulan ini di Desa Wailili, subdistrik Baucau Kota, terjadi insiden penembakan. Seorang bekas pemegang caixa dalam Frente Clandestina, ditembak oleh orang tak dikenal. Tembakan tidak mengenainya, tetapi kena rumahnya. Menurut informasi, sebelumnya ia diancam oleh orang yang diketa-
Parade anggota FDTL dalam rangkaian acara penyerahan kedaulatan. Foto: Rogério Soares/Cidadaun
hui sebagai anggota CPD RDTL. Akibatnya tidak lama kemudian CPD-RDTL diserang oleh kelompok pemuda lain. Kejadian yang sepertinya berlatar belakang politik tersebut bukan yang pertama kali terjadi di wilayah distrik Baucau. Sejak tahun 2000 terjadi beberapa kali bentrokan antar kelompok di desa Gariwai. Insiden yang lain bahkan sempat melibatkan CIVPOL. Pasukan polisi gerak cepat asal Jordania diserang oleh sekelompok orang Timor Lorosae. Para penyerang bahkan sempat membakar musholla, tempat beribadah kum Muslim, semacam kapela. Untungnya kejadian ini tidak membuat tegang hubungan antar umat beragama di negeri ini. “Sepertinya kejadian-kejadian tersebut pelakunya dari kelompok yang sama,” kata seorang sumber yang meminta namanya tidak disebutkan. “Di masa transisi pihak yang berwenang tidak pernah melakukan tindakan yang
tegas sesuai hukum. Mereka sepertinya enggan bertindak karena mengetahui bahwa kejadiankejadian kriminal tersebut bermotif politik,” lanjut sumber ini. Ia memberi contoh, ketika masa kampanye pemilu Majelis Konstituante 2001 pernah terjadi pemukulan dan pelemparan pada suatu acara pendidikan kewarganegaraan. Pelakunya kemudian ditangkap penduduk dan diserahkan kepada CIVPOL. Karena kemudian ternyata pelaku tersebut anggota kelompok politik tertentu yang berhubungan dengan seorang bekas komandan FALINTIL, CIVPOL tidak melanjutkan penanganannya. Administrator Distrik Baucau Marito Reis, pernah menjadi korban salah satu insiden. Mobilnya dibakar, ia selamat karena berhasil melarikan diri. Sampai sekarang pelaku belum ditangkap, padahal polisi ada di tempat kejadian. “Sumber masalahnya adalah persoalan antar pemimpin perjuangan di hutan,” tutur seorang bekas
aktivis klandestin. “Ada masalahmasalah antar pemimpin yang belum diselesaikan sampai sekarang,” katanya. Rogério Lobato, salah seorang tokoh yang dikenal dekat dengan bekas gerilyawan, kepada Cidadaun mengatakan, “Ada ketidakpuasan, karena banyak orang yang tidak terlibat perjuangan bersenjata maupun klandestina, sekarang menjadi anggota FDTL.” Menurutnya ini karena proses pembentukan angkatan bersenjata di masa transisi tidak berada di tangan pemimpin politik dan militer Timor, tetapi di tangan orang asing. “Ini masalah yang sensitif, karena mereka adalah orang-orang yang bisa berperang, tahu menggunakan senjata, dan bisa bergerilya. Kita harus melihat masalah dengan sebaik-baiknya untuk mengatasinya supaya negara ini bisa tenang,” kata Menteri Pertahanan ketika RDTL diproklamasikan (1975) yang sekarang menjadi Menteri Dalam Negeri ini. l
Misi UNTAET Gagal [FOTO/Ilustrasi.]
S
iang hari setelah penyerahan kedaulatan dari UNTAET ke pada Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), organisasi Timor Lorosae dan aktivis solidaritas internasional melaksanakan sebuah aksi damai menuju kuburan umum Santa Cruz untuk mengenang pengorbanan rakyat demi pembebasan nasional Timor Lorosae. Dalam perjalanan ke Santa Cruz juga bergabung sejumlah anggota keluarga korban kekejaman tentara pendudukan Indonesia. Kegiatan tersebut penting di sela-sela gegap-gempita pestapora yang oleh para peserta acara dianggap justru melupakan tujuan dasar pembebasan nasional. “Timor Lorosae menghadapi musuh baru yang jauh lebih sulit dihadapi. Bank Dunia dan IMF yang di mana-mana menimbulkan
4
penderitaan kaum miskin sekarang hadir di tengah-tengah kita,” kata Charles Scheiner dari East Timor Action Network (Amerika Serikat). Hal senada juga disampaikan oleh Cahyo Nugroho, seorang aktivis dari Indonesia. Sementara itu pada hari yang sama, Yayasan HAK, sebuah organisasi non-pemerintah untuk hak asasi manusia dan keadilan, mengeluarkan pernyataan yang menilai UNTAET gagal menjalankan misinya. Secara khusus pernyataan yang ditandatangani oleh Direktur Sementara Yayasan HAK Jose Luis de Oliveira itu menyebutkan administrasi peradilan sebagai kegagalan terbesar UNTAET. Unit Kejahatan Berat UNTAET sangat tidak efektif melaksanakan tugasnya. “Selama dua setengah tahun, Unit Kejahatan Berat tidak menunjukan kemajuan
CIDADAUN No.25/Tahun I/Minggu III/Juni 2002
Janda korban menanti keadilan, Sergio de Mello pamit pergi. Foto: A.Neves & R.Soares/Cidadaun
yang berarti dalam tugasnya menyelidiki kejahatan yang terjadi dan memprosesnya ke pengadilan,” kata pernyataan tersebut. Namun, menurut Yayasan HAK, sebabnya di luar kekuasaan UNTAET, karena keengganan dunia internasional, dalam hal ini negara-negara besar, untuk membentuk pengadilan internasional bagi kejahatan 1999. Sebaliknya, mereka malah memberikan kepercayaan kepada Indonesia untuk mengadili para pelaku kejahatan tersebut. Sikap tersebut sejalan dengan kemunafikan dunia internasional yang telah berlangsung sejak invasi 1975. “Sejak 1975, suara rakyat Timor Lorosae diabaikan. Keinginan kami tidak didengarkan. Kami tidak meminta diinvasi oleh Indonesia dan kami tidak
memilih untuk menjadi provinsi Indonesia. Tetapi negara-negara kuat dalam komunitas internasional diam-diam menerima pengingkaran hak kami atas penentuan nasib sendiri.” Pengabaian suara rakyat juga dilakukan oleh UNTAET. “Setelah tentara Indonesia menarik diri, suara kami lagi-lagi diabaikan oleh UNTAET yang begitu sering mengambil keputusan penting sendiri,” lanjut pernyataan Yayasan HAK. Yayasan HAK menegaskan bahwa tidak ada cara lain untuk mendapatkan keadilan untuk kejahatan 1999, dan kejahatan-kejahatan berat lain yang terjadi sejak invasi 1975, selain pengadilan internasional. Inilah yang harus menjadi salah satu prioritas tertinggi pemerintah.l Nuno Hanjan
wawancara
pelajar yang memperjuangkan perbaikan pendidikan. Saat itu konflik mulai timbul antara FRETILIN dan UDT. Ketika tanah air diinvasi oleh militer Indonesia, Jacinto bergabung dengan Falintil. Di hutan, ia bahkan menjadi Colaborador pada Estado Maior das Falintil dan sekretaris pribadi Presiden RDTL Nicolau Lobato. Di hutan pula ia menikah dengan Maria Domingas Fernandes, seorang aktivis OPMT. Suami-istri ini ditangkap tentara Indonesia di Ilimano, 27 Juli 1978. Setelah ditahan tiga bulan, ia dibebaskan dengan dikenai wajib lapor hingga tahun 1984. Pada 1981 ia diterima bekerja pada Kantor Perindustrian. Tetapi ia terus berjuang sampai akhirnya tertangkap karena keterlibatannya dalam “Peristiwa Santa Cruz” 1991. Ia bersama rekan-rekannya di Comite Executivo Conselho Nacional da Resistência Maubere (CE CNRM) Frente Clandestina menjadi penanggungjawab demonstrasi yang dihentikan oleh pembantaian tentara Indonesia itu. Bersama tiga rekannya, ia mendekam di penjara Semarang selama tujuh tahun dan baru bebas menjelang Referendum 1999. Tantangan apa yang akan kita hadapi di masa datang? Konflik panjang yang kita lewati telah menimbulkan persoalan. Banyak orang hidup sengsara karena menjadi korban tindakan kekeras-
suh. Sekarang kita sudah bebas, maka trampolin ini tidak diperlukan lagi dan digeser ke trotoar. Orang lain yang masuk ke tengah jalan. Para pemuda clandestina dulu dikejar-kejar TNI dan tidak punya kesempatan sekolah. Akibatnya, sekarang mereka tidak bisa bekerja. Sementara orang yang dulu “baikbaik” bisa bersekolah tinggi, sekarang duduk di instansi pemerintah. Ini membuat sebagian orang sakit hati. Pemerintah seharusnya menciptakan kondisi agar orang-orang clandestina bisa menikmati kemerdekaan. Bukannya mendatangkan pengusaha kacang goreng dari luar untuk merebut lapangan kerja di sini. Dulu aktivis clandestina ini berkorban, sekarang mereka dikorbankan lagi. Ini tidak adil. Sebagai seorang pejuang bagaimana Anda melihat persoalan pembentukan bangsa? Kita harus sadar bahwa sulit sekali untuk memiliki suatu pandangan yang sama mengenai sejarah masa lalu. Karena masa lalu diwarnai dengan konflik. Setelah melalui proses panjang, sekarang kita telah mempunyai visi yang sama yaitu sebagai satu bangsa. Dan sekarang kita sedang menumbuhkan semangat persatuan nasional. Tetapi persatuan jangan sampai dijadikan dogma, lalu dimanfaatkan oleh or-
Kedewasaan Politik Jacinto das Neves Raimundo Alves J
acinto das Neves Raimundo Alves atau lebih dikenal dengan Jacinto Alves telah melewati pahit getirnya perjuangan. Pria kelahiran Manututo 45 tahun yang lalu ini memasuki perjuangan pembebasan nasional ketika masih remaja. Invasi tentara Indonesia membuat aktivis pelajar ini lari ke hutan dan menggabungkan diri dengan perjuangan bersenjata. Setelah ditangkap tentara pendudukan dan terpaksa hidup di kota, ia meneruskan perjuangan dalam frente clandestina. Di masa transisi, ia aktif dalam pembentukan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi dan sekarang menjasi salah satu komisarisnya. Untuk mengetahui pendapatnya tentang makna kemerdekaan bagi bangsa Timor Lorosae, José Luís de Oliveira dan Nug Katjasungkana dari Cidadaun mewawancarainya. Berikut ini petikannya. 20 Mei 2002 Timor Lorosae resmi diakui dunia internasional sebagai negara merdeka, bagaimana pendapat anda? Kita telah melewati dua kali proklamasi kemerdekaan. Proklamasi pertama adalah 28 November 1975. Saat itu semangat kemerdekaan begitu besar di kalangan rakyat. Kita merasakan bahwa rakyat benar-benar bersemangat untuk bebas dari kolonialisme. Namun sayang, situasi pada waktu itu tidak aman. Setelah proklamasi itu berlangsung perjuangan panjang untuk mempertahankan kemerdekaan. Banyak orang menderita. Sekarang kita mendapatkan lagi kemerdekaan yang diproklamasikan saat itu. Ada sedikit kegembiraan sekarang ini bila melihat bendera kita dikibarkan lagi dan negara kita bebas dari pendudukan negara lain. Tetapi pada sisi lain, saat ini banyak masalah yang diwarisi dari masa pendudukan Indonesia. Salah satunya adalah gaya hidup konsumtif. Ini bisa mengganggu pembangunan ekonomi masyarakat untuk menuju ukun rasik aan.
orang-orang yang mempunyai semangat perjuangan pembebasan yang tinggi. Semangat ini adalah nasionalisme. Nasionalisme itu sendiri muncul pada saat proklamasi 28 November 1975. Memang 28 November tidak berdiri sendiri. Tetapi peristiwa itu yang menumbuhkan rasa percaya diri pada rakyat bahwa mereka bisa berdiri sendiri sebagai negara. Kita tidak bisa mengatakan 28 November sebagai suatu “proklamasi sepihak.” Kalau kita melihat kembali sejarah, konflik muncul karena kolonialis ingin terus menguasai rakyat. Mereka mempengaruhi kita bahwa kita tidak bisa hidup sendiri tanpa mereka. Pada saat ada kesempatan untuk merdeka, muncul keraguan dari sebagian rakyat, dan terjadilah konflik. Konflik itu disebabkan negara asing yang menjalankan politik memecah-belah (divide et impera) rakyat. Akibatnya ada rakyat yang mau integrasi ke Australia, Portugal atau Indonesia. Mengapa? Karena tidak percaya bahwa Timor Lorosae bisa merdeka. Sikap mental seperti ini harus dihilangkan.
Bagaimana dengan adanya pendapat yang berbeda mengenai tanggal kemerdekaan, 28 November dan 20 Mei? Kemerdekaan yang kita raih bukan pemberian, tetapi hasil perjuangan
Pada 1974, setelah di Portugal meletus Revolusi Bunga Anyelir, di Dili bersama sejumlah temannya, Jacinto Alves mendirikan LESVALT (Liga dos Estudantes para a Valorização do Ensino em Timor Leste), organisasi
ang oportunis untuk menuntut jabatan di pemerintahan. Sebelum pemilu Majelis Konstituante ada desas-desus bahwa akan ada perang saudara lagi. Saya tidak percaya. Rakyat sudah cukup pengalaman dan merasakan pahitnya perang, sehingga tidak menghendaki perang lagi. Sewaktu pesta 20 Mei, ada defile pasukan FDTL dan ex-Falintil. FDTL tampil dengan gaya, ex-Falintil tampil sederhana dan dalam jumlah yang banyak. Bila Falintil mau melakukan sesuatu, itu sangat mudah. Tetapi mereka tidak melakukannya. Ini menunjukkan kedewasaan politik. Be-
an. Mereka berkorban untuk kemerdekaan kita. Kita harus memulihkan kehidupan mereka. Ini adalah masalah keadilan. Keadilan harus dijalankan dulu supaya bisa memperbaiki hubungan sosial. Sampai sekarang para pemimpin politik kita belum ada kejelasan mengenai persoalan keadilan. Saya pernah mempertanyakan kepada komunitas internasional, mengapa hakim untuk kejahatan berat 1999 hanya dua orang. Jawaban mereka, karena para Dijenguk keluarga, penjara Semarang (1998). Foto: dokumentasi Jacinto Alves pemimpin politik kita tidak punya kebijakan yang gitu juga aktivis clandestina. Dalam jelas tentang masalah ini. Referendum 30 Agustus, mayoritas Hal lain adalah bagaimana kita rakyat memilih merdeka, padahal menghargai jasa mereka yang dalam tekanan teror TNI dan milisi. berjuang, khususnya para janda Kemenangan ini adalah keberhasil dan anak yatim-piatu, yang hidup aktivis clandestina. Mereka yang di sangat susah. Jika kita biarkan, bisa luar negeri ( diaspora ) hanya 10 timbul konflik baru di tengah ma- persen yang ikut Referendum, pasyarakat. Kita harus lihat juga nasib dahal tanpa ancaman apapun. Ini ex-Falintil. Kehidupan mereka sa- sangat ironis. Tetapi sekarang siangat buruk, banyak yang kena TBC pa yang bicara tentang hal ini? Tikarena kurang gizi. Ada komentar dak ada! Para aktivis clandestina bahwa orang-orang yang aktif da- juga tidak menuntut banyak. Di sini lam perjuangan itu seperti trampo- saya melihat kedewasaan politik lin (matras). Dulu mereka berada di pada ex-Frente Clandestina maupun tengah jalan untuk melawan mu- ex-Frente Armada. l
CIDADAUN No.25/Tahun I/Minggu III/Juni 2002
5
daerah Kekurangan Peralatan Setelah transisi selesai, kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik tidak bisa berjalan lancar karena kurangnya peralatan. Ternyata UNTAET membawa pergi hampir semua peralatan yang diperlukan.
K
Kantor Distrik Manatuto: kekurangan peralatan. Foto: Rogério Soares/Cidadaun
Amankan Perbatasan dan Latih FDTL Meskipun masa transisi telah berakhir bersamaan dengan diserahkannya kedaulatan dari UNTAET kepada Pemerintah RDTL, tetapi keberadaan PKF di Timor Lorosae tetap dipertahankan. Apa misinya setelah transisi?
B
ersamaan dengan berakhirnya transisi dan peralihan UNTAET ke UNMISET, keberadaan pasukan perdamaian Perserikatan BangsaBangsa di Timor Lorosae (Peace Keeping Force--PKF) tetap dipertahankan untuk menjamin keamanan di negeri ini. Selain mengamankan wilayah perbatasan Timor Lorosae dengan Timor Barat (Indonesia), tugas dan tanggungjawab utama lainnya ialah melatih Forcas Defesa de Timor Leste (FDTL, Angkatan Pertahanan Timor Lorosae), agar setelah berakhirnya misi mereka, FDTL dapat melaksanakan sendiri pengamanan di wilayah perbatasan. Saat ini jumlah personil PKF yang melaksanakan tugasnya di Timor Lorosae diperkirakan tidak lebih dari 5000 orang, yang berasal dari Australia, Selandia Baru, Fiji, Brazil dan Korea Selatan. Tugas untuk mengamankan wilayah perbatasan Maliana dan Suai dengan Atambua (Timor Barat) sepenuhnya berada di bawah tanggungjawab PKF Australia, Selandia Baru, Fiji, dan Brasil. Sementara untuk wilayah kantong OeCusse di bawah tanggungjawab penuh PKF Korea Selatan. Mayor Paul Pricket, Komandan Batalyon Australia di perbatasan, dalam briefing persnya di Mota Ain (12/06), mengatakan bahwa keberadaan pasukannya di Timor Lorosae merupakan bagian dari misi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pemerintah Australia menurutnya memiliki komitmen untuk tetap membantu rakyat Timor Lorosae membangun negerinya. Karena itu, keberadaan PKF Australia tetap dipertahankan untuk menjamin keamanan bagi penduduk sipil Timor Lorosae di wilayah perbatasan dan mencegah infiltrasi orang asing melalui perbatasan, yang dapat mengancam keamanan nasional dan keutuhan wilayah Timor Lorosae. Menurutnya, setelah selesainya transisi, belum ada gangguan keamanan di perbatasan. “Sejauh ini belum ada gangguan. Kami melakukan patroli secara rutin di sepanjang perbatasan untuk memastikan bahwa keamanan tetap terkendali,” ujar Pricket. Menyinggung masalah penyelundupan dan perdagangan lintas batas yang ilegal, ia me-
6
ngatakan bahwa itu merupakan tugas Border Control dan polisi sipil (CivPol dan Dinas Kepolisian Timor Lorosae). “Kami tak akan mencampuri tugas Border Control dan polisi sipil,” katanya. Saat ini Australia masih memiliki sekitar delapan pos penjagaan di perbatasan, antara lain di Aidaba Leten, Batugade, Mota Ain, Balibo, Maliana Kota, Memo, Bobonaro, dan Suai. Setiap pos penjagaan yang ditempatkan dekat tapal batas hanya terdiri dari 1 peleton pasukan. Meskipun jumlahnya sedikit, tetapi kemampuan mereka untuk mengamankan wilayah perbatasan tidak bisa diragukan lagi. Sebab, umumnya mereka adalah bekas pasukan Interfet yang pertama kali didaratkan di Timor Lorosae pada 20 September 1999, sehingga cukup menguasai medan dan situasi di negeri ini. Seluruh pos penjagaan pasukan Australia yang ditempatkan di perbatasan bertanggung jawab penuh kepada Markas Besar PKF di Dili. Letnan Mark Reuben, Komandan Peleton Tim Alfa Australia, dalam penjelasannya kepada wartawan di Mota Ain (12/06), mengatakan bahwa selain bertugas mengamankan perbatasan, pasukannya juga membantu UNHCR dan IOM dalam repatriasi pengungsi. “Tugas kami sebatas memastikan bahwa proses repatriasi pengungsi dari Timor Barat berlangsung dengan aman,” ujar Reuben. Menurut Reuben tugas lain yang dilaksanakan pasukannya ialah membantu reintegrasi pengungsi dengan masyarakat lokal. Untuk mewujudkan itu, menurut Reuben, pihaknya selalu berkordinasi dengan para pemimpin lokal, seperti kordinator distrik dan subdistrik, chefe de suco, serta keluarga para pengungsi. Kordinasi seperti itu, katanya, penting dilakukan untuk memastikan agar para pengungsi bisa kembali menyatu dengan keluarga maupun lingkungan masyarakatnya dengan aman. Misi PKF di Timor Lorosae rencananya akan berakhir pada Juni 2004. Sesudah itu tanggungjawab keamanan perbatasan sepenuhnya diserahkan kepada FDTL dan polisi sipil Timor Lorosae. l
CIDADAUN No.25/Tahun I/Minggu III/Juni 2002
Nuno Hanjan
epergian UNTAET meninggalkan banyak persoalan bagi pemerintah Timor Lorosae, baik di bidang pelayanan publik maupun administrasi pemerintahan. Seluruh aset yang dibeli dengan uang atas nama rakyat Timor Lorosae juga dibawa pergi UNTAET. Akibatnya pemerintah Timor Lorosae yang menerima mandat dari UNTAET hingga kini belum bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Salah satu sektor publik yang juga tak ketinggalan mengalami krisis adalah pelayanan kesehatan. Sejak awal Mei 2002, UNTAET telah menarik asetasetnya dari Kantor Kesehatan dan Rumah Sakit Umum Pusat Dili yang mengakibatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat semakin langka. Juju Campos, seorang mantri senior yang bekerja di Bagian Administrasi RSUP Bidau, kepada Jose Luis dari Cidadaun mengatakan bahwa pelayanan kepada masyarakat semakin berat setelah UNTAET menarik satu dari dua mesin fotocopy rumah sakit itu. Mesin tersebut dulunya digunakan untuk memperbanyak formulir pelayanan pasien. Apalagi mesin fotocopy yang ditinggalkan saat ini tidak bisa dioperasikan. Menurut Campos, masalah lain yang dihadapi adalah kurangnya obatobatan, peralatan dan tenaga medis. Hingga kini RSUP Dili belum memiliki laboratorium, padahal sangat diperlukan untuk memeriksa penyakit-penyakit tertentu. “Bayangkan saja, rumah sakit utama di negara ini kondisinya
Situasi ini tak hanya terjadi di Dili, tetapi juga di daerah-daerah lain. Setelah perginya UNTAET, Pemerintah Timor Lorosae di distrik-distrik menghadapi banyak masalah. Kordinator Sub-Distrik Manatuto, Clara de Carvalho, ketika ditemui Rogerio Soares dari Cidadaun di kediamannya, mengatakan bahwa mereka mengalami kekurangan peralatan. Alat-alat yang ada di masa UNTAET, seperti komputer, telepon, dan kendaraan telah dibawa pergi pada saat penyerahan kedaulatan. Akibatnya, pekerjaan di kantornya sampai saat ini tidak bisa berjalan dengan baik. Kesulitan lain yang dihadapi adalah belum adanya pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat. Seluruh keputusan masih berada di pemerintah pusat, sehingga kegiatan apapun yang akan dilakukan harus melalui konsultasi dengan mereka. Ia juga mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada struktrur pemerintahan yang jelas sampai di tingkat suco dan aldeia. Karena itu ia berharap pemerintah pusat secepatnya menjabarkan struktur itu agar pelaksanaan pemerintahan di tingkat bawah segera berjalan. Adanya masalah seperti itu juga diakui oleh Kepala Kantor Pembangunan Distrik Manatuto, Gaspar Henrique da Silva. Ketika diwawancarai Rogerio Soares dari Cidadaun di kediamannya, ia mengatakan bahwa UNTAET dan staf internasional yang pernah bertugas di Distrik Manatuto tidak transparan. UNTAET mengatakan telah menyerah-
[FOTO/Ilustrasi.]
Ruang pasien Rumah Sakit Umum Pusat, Dili Foto:Rogério Soares/Cidadaun
seperti itu, apalagi kondisi pelayanan di daerah,” ujar Campos. Terbatasnya fasilitas pelayanan bukan semata-mata akibat penarikan aset oleh UNTAET, tetapi juga karena faktor anggaran. Salah seorang tenaga medis internasional yang tidak bersedia menyebutkan namanya, kepada Cidadaun mengatakan bahwa para pemimpin Timor Lorosae tidak memiliki kepekaan mengenai krisis yang terjadi. Para pemimpin Timor Lorosae, menurutnya, tidak merasakan persoalan dan kebutuhan mendasar rakyat, sehingga kebijakan mereka belum banyak menyentuh kebutuhan dasar rakyat. “Sulit dimengerti, mengapa pemerintah Timor Lorosae memboroskan anggaran untuk membeli kendaraan yang harganya USD 50 ribu daripada yang murah sekitar USD 20 ribu. Padahal kalau dihemat, sisa uangnya dapat digunakan untuk membeli kebutuhan yang lain,” ujar orang bule itu dengan nada kesal.
kan seluruh asetnya kepada pemerintah distrik, tetapi nyatanya tidak demikian. “Kami tidak tahu kepada siapa aset itu diserahkan,” ujar Gaspar. Walau kekurangan peralatan, menurut Gaspar, para staf tetap bekerja. Selain kekurangan peralatan, instansi yang dipimpin Gaspar da Silva juga kekurangan staf sehingga semua pekerjaan terlambat dilaksanakan. “Kami menginginkan penambahan staf, tetapi itu sangat tergantung pada kebijakan pemerintah pusat dan anggaran yang tersedia,” kata Gaspar dengan nada berharap. Meskipun demikian, ada juga hal yang baik. Sebab menurut Gaspar, mekanisme pertanggungjawaban di masa sekarang jauh lebih baik. Di masa transisi, pertanggungjawaban tidak jelas akibat adanya dualisme pemerintahan. Masalah-masalah tersebut memperlihatkan bahwa UNTAET ternyata tidak mempersiapkan pemerintahan sendiri Timor Lorosae.l Nuno Hanjan
INTERNASIONAL
Globalisasi yang oleh pihak tertentu dipropagandakan sebagai jalan kemajuan ternyata malah mengakibatkan penghancuran kebudayaan dan sumber makanan komunitas-komunitas pribumi.
Globalisasi Meningkatkan Pelanggaran Hak Asasi
G
ekonomi
lobalisasi perusahaan-perusa haan raksasa semakin mendapatkan tantangan besar. Bulan yang lalu di kota Seattle, Amerika Serikat, yang dikenal seluruh dunia karena terjadinya protes besar-besaran menentang globalisasi kapitalis pada 1999, berkumpul hampir 900 orang dari segala penjuru dunia untuk membahas dampak globalisasi pada hak asasi manusia dan kebudayaan penduduk asli di seluruh dunia. “Globalisasi sama sekali bukan hal baru,” kata Oronto Douglas, direktur Environmental Rights Action, organisasi lingkungan di Nigeria. “Dari Afrika Timur sampai benua Amerika, konsep dan dampaknya terhadap komunitas pribumi sudah berlangsung selama 500 tahun. Baik berupa perdagangan budak, tambang atau pun minyak, komunitas asli telah
dihancurkan oleh industri,” paparnya. Menurutnya, globalisasi yang dipimpin perusahaan raksasa telah melahirkan kemajuan dan hak istimewa bagi sejumlah kecil orang, dan kemarahan, kemiskinan, dan bahkan kelaparan bagi komunitaskomunitas pribumi. “Itulah sebabnya kita harus membentuk aliansi internasional untuk melindungi komunitas kita,” katanya. Dalam pertemuan ini, Amnesty International Amerika Serikat menyoroti kasus-kasus pemenjaraan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap para aktivis pembela hak asasi dan lingkungan. “Globalisasi perusahaan semakin menyebabkan peningkatan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Folabi Olagbaju, direktur Program Hak Asasi Manusia dan Lingkungan Amnesty International. Para wakil masyarakat pribumi
Indian Maya di Mexico menghadapi dua kekuatan globalisasi. Foto: Scott Sady/Chiapas Website
dari AS, Mexico, Amerika Tengah dan Selatan serta negara-negara lain mengisahkan perjuangan mereka melindungi tanah dan penduduk dari penjarahan oleh perusahaan-perusahaan raksasa. Di Nigeria, ratusan orang dibunuh oleh para penjaga keamanan perusahaan-perusahaan minyak AS yang menebangi hutan dan meracuni sungai-sungai dalam proses pengeboran minyak. “Perusahaan-perusahaan raksasa merampas sumberdaya penduduk pribumi dan menimbulkan ketidakadilan ekonomi, sosial, dan budaya,” kata Oronto Douglas. Di Afrika selama beberapa dasawarsa ini terjadi perjuangan yang sama dengan perjuangan suku-suku In-
dian di AS mempertahankan tempat-tempat suci, hutan, dan sungai dari jarahan perusahaan raksasa. “Globalisasi ekonomi tidak menguntungkan kita, hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar,” kata Anuradha Mittal, direktur lembaga penelitian pangan Food First. Buktinya, setelah berlakunya perjanjian perdagangan bebas Amerika Utara, satu juta pekerjaan sektor industri hilang. “Perusahaan-perusahaan besar membujuk penduduk asli untuk menyerahkan tanah dan kemudian mengatakan bahwa mereka akan hidup sejahtera kalau bekerja di pabrik-pabrik yang upahnya rendah,” katanya. l Nug Katjasungkana (sumber: foodfirst)
Setelah Merdeka, Perekonomian Tidak Menentu? Pada masa transisi, terjadi pemulihan ekonomi Timor Lorosae. Bagaimana setelah pengakuan kemerdekaan dan terjadi pengurangan besar-besaran kehadiran internasional?
emerdekaan negara Timor Lorosae tidak dengan senK dirinya membawa kepastian
perkembangan ekonomi. Selama transisi, penggerak utama perekonomian Timor Lorosae adalah dana yang dibawa masuk dalam jumlah cukup besar oleh negara-negara donor. Tetapi dana besar tersebut dibawa keluar kembali karena dibelanjakan di luar negeri untuk keperluan transisi, seperti untuk membeli mobil, komputer, membayar kontraktor gedunggedung serta jalan-jalan raya, dan sebagainya. “Untuk kebutuhan sehari-hari orang-orang asing berbelanja di supermarket milik orang Singapura atau Australia. Meskipun wortel dari Maubisse tidak kalah dari wortel impor, mereka tidak beli karena tidak ada di supermarket, adanya di Mercado Comoro atau Taibessi. Mereka juga tidak makan di warung milik orang Timor Lorosae, tetapi di restoran milik orang asing,” kata Abel dos Santos, seorang aktivis NGO lokal yang aktif dalam pemberdayaan petani. Namun, menurut Dana Moneter Internasional (IMF), keadaan ekonomi Timor Lorosae mengalami perbaikan pada beberapa bulan menjelang penyerahan kedaulatan. Ini, demikian pernyataan IMF pada Perte-
muan Donor tentang Timor Lorosae, di Dili pertengahan Mei lalu, karena produksi pertanian, yang menyumbangkan seperempat dari output total perekonomian Timor Lorosae dan menyerap tiga perempat tenaga kerja, telah banyak pulih. Gejala pemulihan ekonomi, demikian laporan yang disampaikan oleh Stephen Schartz, Deputi Kepala Divisi Departemen Asia Pasifik IMF, juga diperlihatkan oleh indikatorindikator lain. Pendaftaran perusahaan, yang mengindikasikan tingkat investasi, terus bertambah dari bulan ke bulan. Jika pada Desember 2000 perusahaan yang terdaftar berjumlah 4300, pada Maret 2002 menjadi 5500. Tingkat inflasi yang sangat tinggi pada 1999 mengalami penurunan, sehingga pada akhir 2001 menjadi negatif, yaitu -2. Cadangan uang di bank meningkat, dari sekitar USD 20 juta pada Desember 2000 menjadi hampir USD 55 juta pada Maret 2002. Sedang pendapatan dari pajak, umumnya mencapai target yang ditetapkan, terutama pajak langsung (penghasilan). Tetapi pajak tidak langsung (bea impor dan pajak jasa) sedikit menurun. Meskipun demikian, ada halhal lain yang kurang begitu menggembirakan. Berkurang-
[FOTO/Ilustrasi. 12,64 x 6,645 cm]
Supermarket milik asing di Dili: tutup setelah mengeruk keuntungan. Foto: Rogério Soares/Cidadaun
nya dalam jumlah besar staf internasional bisa dipastikan akan berdampak besar berupa berkurangnya kegiatan ekonomi. Sementara masih harus diragukan apakah banyaknya perusahaan yang beroperasi di sini akan berdampak baik dalam jangka panjang. Sebagian besar perusahaan tersebut bergerak di sektor jasa, perdagangan, dan konstruksi, yang juga akan mengalami penciutan dengan kepergian UNTAET. Selain itu, laporan IMF sendiri menyebutkan, “Karena pertumbuhan sektor swasta terhalang oleh iklim investasi yang masih belum mendukung, output keseluruhan akan menurun pada tahun ini sebesar ½ persen pada akhir tahun ini dan menurun lagi 2¼ persen pada 2003.” Indikator-indikator yang disampaikan IMF tersebut lebih mudah kita mengerti kalau kita sandingkan dengan laporan Program Pembangunan PBB (UNDP) tentang kemiskinan. Setelah meneliti 1800 rumahtangga dari 300 aldeia dan 100 suco, UNDP mendapatkan bah-
wa satu dari lima penduduk (artinya 20 persen) hidup dengan pengeluaran di bawah USD 1 per hari. Ini termasuk yang terendah di Asia. Indikator lain juga memperlihatkan kemiskinan penduduk. Tingkat harapan hidup hanya 57 tahun. Empat dari sepuluh penduduk (artinya 40 persen) tidak bisa mendapatkan air bersih. Enam dari sepuluh penduduk hidup tanpa fasilitas sanitasi, sedang tiga dari empat penduduk hidup tanpa fasilitas listrik. Sedang indikator pendidikan menunjukkan bahwa satu dari empat anak usia sekolah yang bersekolah dan hanya satu dari empat remaja berusia 15-24 tahun yang bisa membaca/menulis. Melihat kedaaan tersebut, benar sikap yang dinyatakan oleh Uskup Dili Mgr. Belo ketika pada konferensi pers menjelang hari penyerahan kedaulatan ditanya wartawan bagaimana perasaannya: “Saya senang. Tetapi setelah itu kita semua harus kerja keras. Kerja agar kita bisa hidup sejahtera!” l Nug Katjasungkana
CIDADAUN No.25/Tahun I/Minggu III/Juni 2002
7
Barlaque, Riwayatmu Sekarang ... Barlaque adalah tradisi dalam pernikahan masyarakat Timor Lorosae. Walaupun ada perbedaan dalam prakteknya, secara substansi barlaque di seluruh wilayah dilandasi nilai yang sama, yaitu nilai kekerabatan dan penghormatan pada kaum perempuan. Namun sekarang apakah kenyataannya masih demikian?
Barlaque menghargai perempuan? Foto: Nug Katjasungkana/Cidadaun
S
kebenaran &rekonsiliasi
ebut saja Maria, dalam suatu pertemuan di Dili beberapa waktu lalu, dengan kesal mem protes barlaque sebagai biang penyebab kekerasan terhadap perempuan. “Masa kami perempuan dianggap sebagai barang. Bila suami saya pukul saya, dia anggap sedang memukul kerbaunya yang diberikan kepada keluarga saya. Memangnya saya ini kerbau! Di mana harga diri saya sebagai manusia?” ujarnya dengan nada tinggi. Ekspresi Maria adalah kenyataan yang banyak dijumpai di masyarakat. Namun kerap kali ditutup-tutupi dengan berbagai alasan budaya dan agama. “Ini adalah urusan rumahtangga. Dan tidak sesuai budaya orang Timor bila masalah bikan-kanuru (rumah tangga) dibicarakan di luar rumah, ”demikian seorang pemuda menanggapi ekspresi Maria. Terlepas dari pro-kontra penafsiran budaya terhadap kekerasan rumahtangga, kenyataan menunjukan bahwa selama tahun 2001, Fokupers, organisasi pembela korban perempuan, mencatat 50 kasus kekerasan dalam rumahtangga. Umumnya yang menja-
tidak ada barlaque-nya atau palingpaling hanya sebuah kitab suci, daripada kawin dengan perempuan di kampung saya yang barlaque-nya bisa kerbau satu kandang,” ujar seorang pemuda Lospalos yang tinggal di Dili. Barlaque mulai menjadi masalah seiring dengan dikenalnya uang sebagai alat pembayaran yang sah di masyarakat kita. Uang menyebabkan krisis nilai dalam tradisi barlaque. Nilai kekerabatan dan penghormatan pada perempuan dinilai dengan besarnya uang atau barang yang harus diberikan pihak fetosan kepada pihak umane. Jasa membesarkan anak perempuan yang seharusnya menjadi tanggungjawab keluarga telah menjadi motivasi untuk mendapatkan pamrih. “Para orang tua menganggap punya anak perempuan itu rejeki. Kalau anak perempuan sudah besar dan kawin, maka setiap kali ada acara adat, menantunya diwajibkan menanggung acara adat,” demikian Julio Fernandes, seorang pemuda asal Iliomar, Lospalos. Krisis ekonomi yang sedang melanda Timor Lorosae, semakin membuat krisis nilai pada tradisi barlaque. Remaja perempuan di kampung cen-
derung dipaksa oleh orang tua mereka untuk cepat menikah. Dengan menikahkan anak perempuan, orang tua berharap bisa mendapatkan rejeki atau nasibnya bisa berubah menjadi baik. “Untuk apa kamu sekolah tinggi-tinggi, pasti kamu akan kembali ke dapur. Lebih baik kawin saja agar suamimu bisa membantu ekonomi keluarga kita,” kata seorang remaja putri asal Ermera mengutip pernyataan orang tuanya. Krisis nilai tersebut juga merupakan krisis identitas bangsa. Sebagai kebudayaan, barlaque seharusnya bermanfaat bagi perkembangan bangsa. Kolonialisme telah mematikan kearifan budaya Timor Lorosae karena tidak memberikan kesempatan pengembangan budaya. Semua kebiasaan yang dimiliki rakyat dicap primitif, dan diganti dengan kebudayaan Barat. Akibatnya, barlaque yang diwarisikan hanya ritus dan seremoni, sedangkan nilainya tidak diwariskan ke generasi berikutnya. Ini seperti badan tanpa roh. Sekarang kesempatan mengisi kembali roh budaya Timor Lorosae dengan nilai-nilai yang lebih beradab, agar warisan budaya kita lebih beradab dan manusiawi. l Jose Luis de Oliveira
Komisi Penerimaan, Kebenaran & Rekonsiliasi Di Timor Lorosae telah terbentuk Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi yang bertugas mengungkapkan kebenaran tentang pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sejak 1974.
K
omisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (KPKR) adalah mekanisme nasional untuk membantu proses rekonsiliasi antar masyarakat Timor Lorosae dan mencari kebenaran tentang pelanggaran hak asasi manusia di Timor Lorosae antara 1974-1999. Usulan pembentukan Komisi ini dimulai dari CNRT dan dikembangkan lebih lanjut oleh sebuah panitia persiapan yang melibatkan CNRT, enam LSM nasional, UNHCR dan Unit HAM UNTAET. Panitia telah melakukan konsultasi di semua distrik untuk mendengar pandangan publik. Dewan Nasional (National Council) menyetujui regulasi pembentukan Komisi ini. Peraturan tersebut telah menjadi hukum di Timor Lorosae. Komisi ini adalah sebuah badan independen yang dipimpin oleh tujuh orang anggota yang disebut
8
di korban adalah perempuan atau istri. Dari berbagai diskusi terungkap bahwa selain patriaki, tradisi barlaque adalah penyumbang suburnya kekerasan terhadap perempuan. Semula tradisi barlaque, menurut para tetua adat bertujuan baik bagi masyarakat, namun sekarang malah menjadi masalah. “Dulu kita tidak begitu banyak mendengar masalah. Barlaque bisa mengembangkan persaudaraan dalam masyarakat kita. Namun sekarang, saya dengar setiap kali perundingan tentang barlaque, selalu ada pertengkaran. Baik di antara keluarga fetosan maupun antara keluarga fetosan dengan umane. Sehingga kekerabatan dua keluarga yang dipersatukan oleh sebuah perkawinan terasa hambar. Nilai kekerabatan atau persaudaraan terasa kurang begitu kuat,” demikian Tio Manloe, seorang tokoh adat dari Ho’hulo, Aileu. Barlaque tidak saja menimbulkan masalah bagi perempuan, tetapi juga bagi laki-laki. Harga barlaque yang tinggi, telah menjadi sebab bagi sebagian laki-laki untuk kawin dengan perempuan dari luar Timor Lorosae. “Lebih baik saya kawin dengan orang Jawa yang
komisaris nasional. Semua komisaris nasional adalah orang Timor Lorosae. Mereka dipilih oleh Panel Seleksi, setelah dilakukannya proses nominasi publik. Komisi ini juga mendirikan maksimal enam kantor daerah. Tiap kantor daerah dipimpin oleh Anggota Komisi Regional yang dinominasi melalui proses yang sama. Fungsi utama Komisi adalah: 1. Mencari kebenaran Komisi akan mencari kebenaran tentang pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Timor Lorosae antara 25 April 1974-25 Oktober 1999, dengan melakukan penyelidikan khusus, penelitian sejarah, sekaligus proses pengambilan kesaksian secara nasional. 2. Rekonsiliasi Masyarakat Komisi berwenang menyelenggarakan rekonsiliasi masyarakat untuk kejahatan ringan, tetapi kejahatan berat harus tetap diadili.
CIDADAUN No.25/Tahun I/Minggu III/Juni 2002
Para komisaris nasional Komisi Penerimaan, Kebenaran & Rekonsiliasi . Foto: KPKR
Sebuah panel yang terdiri dari tokoh masyarakat, dipimpin oleh seorang Anggota Komisi Regional, akan memfasilitasi sebuah pertemuan antara pelaku, korban dan anggota masyarakat. Mereka akan mendiskusikan kejahatan yang telah diakui pelaku dan mengusulkan sebuah kesepakatan dimana pelaku setuju untuk melakukan kerja bakti, membayar denda, meminta maaf secara publik, atau mengambil langkah rekonsiliasi lainnya. 3. Laporan dan Rekomendasi Setelah tugasnya selesai, Komisi akan membuat laporan yang akan menjadi catatan sejarah, mengenai luasnya, sebab-sebab dan catatan pelanggaran HAM yang
terjadi 1974 – 1999. Komisi akan membuat rekomendasi kepada pemerintah tentang pembaharuan hukum dan institusionil untuk melindungi HAM di masa mendatang dan mempromosikan rekonsiliasi. Ruang lingkup kerja Komisi menangani kejahatankejahatan ringan dalam konteks konflik politik di Timor Lorosae. Sedang kejahatan berat tetap akan ditangani pengadilan. Wewenangnya terbatas pada wilayah negara Timor Lorosae, tetapi Komisi dapat mengadakan sidang di luar Timor Lorosae. l Rubrik ini dikelola oleh Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (KPKR) Timor Lorosae.