PESANTREN DAN PERDAMAIAN; (Studi Model Mediasi Konflik Pesantren Al Muayyad Windan Surakarta) Anas Aijudin1
Abstract: Surakarta , Central Java , is one of the cities in Indonesia, which has a
fairly high level of conflict , whether the conflict caused by political factors , economic , cultural or religious . One of the institutions that are active in conflict menageman program is a boarding school in Surakarta Al Mauyyad Windan . In general, the program aims to enable people to manage their problems on their own , one of which is through the mediation of conflict . Model mediation conducted by this institute is the transformative model of mediation, a mediation model with emphasis on strengthening the process of conflict management . In mediation the boarding school Al Muayyad Windan , people in conflict is the subject or the main actors in mediation , it is based on the belief that the people themselves are more aware of the potential and wisdom of their environment, while the mediator from outside the community is just as fasililator of the mediation process. The result is the establishment of an independent community and is able to manage its own problems of conflict , irrespective of parties outside the community.
Key Words: Boarding, Mediation and Community Empowerment Pendahuluan Surakarta yang lebih sering disebut kota Solo merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang memiliki catatan konflik keagamaan cukup signifikan. Hal ini bisa dilihat selama lima tahun terakhir (2007-20012) setidaknya telah terjadi 32 kali konflik sosial keagamaan di kota ini. Konflik yang terjadi pada umumnya berkaitan dengan; pertama, persoalan ideologi, seperti penolakan paham lembaga yang mengusung paham komunisme, penolakan terhadap paham pluralisme, sekulerisme dan liberalisme. Kedua, konflik yang berkaitan dengan perbedaan agama dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat Solo seperti; terjadinya konflik muslim dan Kristen berkaitan dengan persoalan Ijin mendirikan bangunan rumah ibadah (IMB). Ketiga, konflik atas perbedaan ekspresi budaya seperti konflik antara masyarakat abangan dengan Islam fundamentalis. Keempat, konflik yang berkaitan dengan isu moralitas seperti; pornografi
1
Dosen
IAIN
[email protected]
Surakarta
dan
Kandidat
Doktor
Islamic
Studies.
E-mail:
dan porno aksi. 2 Selanjutnya, munculnya berbagai konflik yang seringkali berujung kekerasan ini secara umum menunjukan adanya kekeringan spiritual, adanya segregasi sosial berdasarkan etnis, adanya perebutan wilayah ekonomi dan terkikisnya nilai budaya Jawa.3 Berbagai konflik tersebut juga menunjukan bahwa masyarakat Surakarta pada dasarnya menyimpan potensi konflik yang besar dalam kehidupan sosial keberagamaannya, namun konflik tersebut masih di bawah permukaan. Salah satu elemen masyarakat Surakarta yang aktif mendorong adanya pengelolaan konflik di Surakarta adalah Pondok Pesantren Al Muayyad Windan, Sukoharjo Surakarta.4 Pondok pesantren ini sejak tahun 1999 aktif mengadakan berbagai program sekitar isu resolusi konflik, rekonsiliasi, perdamaian, dialog antar agama, mediasi konflik, negosiasi dan pendidikan perdamaian yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pluralisme dan multikulturalisme. 5 Program yang dijalankan oleh lembaga ini secara umum bermuara pada upaya pemampuan masyarakat untuk mengelola persoalannya sendiri. Oleh sebab itu berbagai program yang dilakukan oleh Pesantren Al Muayyad Windan diupayakan memperbaiki tata kuasa, tata kelola dan tata guna sumber daya yang dimiliki masyarakat Surakarta.
2 SPEK-HAM, FKPI, LSM COMMITMENT, Draf Naskah Akademik Mekanisme Penanganan Kekerasan Berbasis Agama di Kota Surakarta, Agustus 2010, hlm. 13-17; juga lihat dalam www.mediakeberagamaan.com, di akses tanggal 3 Maret 2011 3 Dian Nafi, Kerentanan Konflik di Soloraya (Makalah dipresentasikan di FPLAG Surakarta, 20 Desember 2010) 4Pesantren merupakan bagian dari struktur pendidikan Islam di Indonesia yang diselenggarakan secara tradisional dan telah menjadikan Islam sebagai cara hidupnya. Mastuhu mengatakan bahwa Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku keseharian. Menurut Mukti Ali beberapa pola umum yang menjadi ciri khas Pesantren adalah; independent, kepemimpinan tunggal, kebersamaan dalam hidup yang mencerminkan kerukunan, kegotong-royongan dan motivasi yang terarah pada peningkatan kehidupan keagamaan. Lihat Amin Haedari, Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global (Jakarta: IRD Press, 2006) hlm.14; Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren; Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai System Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994) hlm. 55; Jamal Ma’mur Asmani, Dialektika Pesantren Dengan Tuntutan Zaman dalam Menggagas Pesantren Masa Depan; Geliat Suara Santri Untuk Indonesia Baru (Yogjakarta: Qirtas, 2003) hlm. 25, juga KH. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial (Yogjakarta; LKIS, 1994) hlm 28; juga lihat Amin Haedari, Masa Depan Pesantren ... hlm. 29-35 5 Pondok Pesantren Al Muayyad Windan Sokoharjo Surakarta Jawa tengah berdiri pada hari Ahad, 7 Jumadil Akhir 1417 H/20 Oktober 1996 Lokasi Pondok Pesantren ini di dukuh Windan RT02/RW08 No.12 Desa Makamhaji Kecamatan Kartosura Kabupaten Sukoharjo 57161. Lembaga ini dipimpin oleh KH. Muhammad Dian Nafi, seorang ulama yang dikenal alim dan memiliki keahlian dalam bidang resolusi konflik dan pembangunan perdamaian. Latar belakang didirikannya Pesantren Mahasiswa Al Muayyad Windan sebagai respon terhadap kebutuhan penyediaan tenaga ahili dalambidang pengembangan masyarakat. Wawancara dengan Muhammad Ishom tanggal 10 Mei 2011
Berangkat dari hal tersebut makalah ini akan membahas model mediasi konflik yang dilakukan oleh pondok pesantren Al Muayyad Windan Surakarta Jawa Tengah. Model Mediasi Konflik Pesantren Al Muayyad Windan 1. Pengertian Mediasi Konflik Konflik merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan masyarakat, sebab konflik selalu berkaitan dengan orang memperjuangkan kepentingannya. Dean G. Pruit mengatakan bahwa konflik merupakan persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest). 6 Dari pendapat tersebut terlihat bahwa konflik selalu terjadi ketika perbedaan kepentingan tersebut terlihat tidak adanya alternatif yang dapat memuaskan aspirasi kedua belah pihak. 7 Albert Fiadjoe berpandangan bahwa jika dikelola dengan baik, maka konflik bisa menjadi sarana perubahan masyarakat yang sangat konstruktif. 8 Sementara itu Ralf Dahrendorf mengatakan bahwa dalam setiap komunitas masyarakat memiliki potensi konflik yang bisa menjadi media perubahan dalam masyarakat.
9
Pendapat di atas
Dean G. Pruit, Teori Konflik Sosial, Helly P. Soetjipto (terj.), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 21; Lihat Anthony Giddens, Contemporary Critique of Historical Materialism, (London: Mc Millan, 1981), hlm. 321. Senada dengan pendapat tersebut, Simon Fisher yang mengatakan bahwa konflik merupakan hubungan antar dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau mereka yang dianggap memiliki tujuan yang bertentangan. Muhsin Jamil (ed.), Mengelola Konflik Membangun Damai, Ibid.,hlm. 6; juga lihat Simon Fisher, (dkk.), Mengelola Konflik, Ibid.,hlm. 4 7 Chlmarles L. Tylor and Michlmael C. HLMudson, Word Hand Book of Political and Social Indicators, (New Haven And London: Yale University Press, 1972), hlm. 66. Juga lihat dalam Nurhadiantomo, Hukum Reintegrasi Sosial Konflik-Konflik Sosial Pri-Nonpri dan Hukum Keadilan Sosial, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004), hlm. 29; Penjelasan yang serupa juga dalam Dean G. Pruit, Teori Konflik, Ibid., hlm. 26-27. 8 Albert Fiadjoe, Alternative Dispute Resolution: Developing Word Perspective, (London: Covendish Publishing Limited, 2004), hlm. 9. 9 Empat tesis Dahrendorf berkaitan dengan konflik adalah, pertama, setiap masyarakat senantiasa dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir. Dengan kata lain perubahan sosial merupakan gejala yang melekat dalam setiap masyarakat. Kedua, setiap masyarakat dalam dirinya terkandung konflik-konflik atau dengan kata lain konflik merupakan gejala yang melekat dalam diri masyarakat. Ketiga, setiap unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan perubahan sosial. Keempat, setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atas dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang yang lain. Ralf Dahrendorf, Case and Class Conflict in Industrial Society, (Stanford: Calif Stanford University Press, 1959), hlm. 162. Sejalan dengan Dahrendarf, Pierre L. Van den Berghe mengatakan bahwa: pertama, setiap struktur sosial di dalamnya sendiri mengandung konflik konflik dan kontradiksi yang bersifat internal, pada gilirannya justru menjadi sumber bagi terjadinya perubahan sosial. Kedua, reaksi suatu sistem sosial terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar tidak selalu bersifat adjustif. Ketiga, Suatu sistem sosial di dalam waktu yang panjang dapat juga mengalami konflik sosial yang bersifat vicious circle. Keempat, Perubahan perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melalui penyesuaian-penyesuaian yang lama, tetapi dapat juga secara 6
menunjukan bahwa konflik juga bersifat fungsional, yaitu sebagai media untuk melakukan perubahan di masyarakat. Lebih jauh lagi konflik juga bisa menjadi media bagi masyarakat untuk berintegrasi, melampaui sekat etnisitas, agama, kedaerahan maupun kebahasaan. Salah satu model pengelolaan konflik adalah melalui mediasi konflik.
10
Cristhoper Moore mengatakan bahwa mediasi merupakan pertemuan pihak-pihak yang berselisih untuk membicarakan isu yang dipersengkatakan. Dalam jangka panjang mediasi berupaya membangun relasi yang harmoni dari masing-masing partisan.11 Dengan demikian mediasi konflik merupakan upaya untuk memberikan pemahaman tentang sebab dan kondisi sosial yang mendorong ekspresi terjadinya konflik, untuk mempromosikan mekanisme yang mengurangi interaksi dan meminimalkan permusuhan yang berkekerasan. Dengan perubahan cara pandang terhadap konflik ini diharapkan mampu mendorong terbangunnya struktur yang bisa memenuhi kebutuhan dasar masyarakat mengenai rasa keadilan dan memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. 12 Untuk membangun struktur sosial yang adil, dalam mediasi konflik peranan partisan dalam proses pengambilan keputusan sangat besar.13 Artinya dalam proses mediasi, persoalan yang ada dinegosiasikan secara terbuka dan egaliter. 14 Sedangkan revolusioner. Lihat Pierre Van Den Berghe” Dialectic And Fungcionalist “ Toward A Syntesis” dalam NJ. Demaraeth III at al. ed, System, Chlmange and Conflict (New York; The Free Press, 1967) hlm. 297 10 Secara etimologi (bahasa), mediasi berasal dari bahasa Latin mediare yang berarti berada di tengah. Hal ini karena seorang yang melakukan mediasi (mediator) harus berada di tengah orang yang bertikai. Mediasi merupakan suatu proses pihak-pihak yang bertikai, dengan bantuan dari seorang praktisi resolusi pertikaian (mediator) mengidentifikasi isu-isu yang dipersengketakan, mengembangkan opsi-opsi, mempertimbangkan alternatif-alternatif dan upaya untuk mencapai sebuah kesepakatan. Dalam persoalan ini terlihat prasyarat bahwa mediator tidak memiliki peran menentukan dalam kaitannya dengan materi persengketaan atau hasil dari resolusi persengketaan tersebut tetapi mediator dapat memberi saran atau menentukan sebuah proses mediasi untuk mengupayakan sebuah penyelesaian. Muhsin Jamil, (ed.), Mengelola Konflik, Ibid.,hlm. 106. 11 Cristopher Moore, The Mediation Process; Practical Strategies for Resolving Conflict. 2nd edition, (San Francisco: Jossey-Bass, 1996), hlm 45. 12 William L. Ury, Jeane M. Brett, Stepent B. Golberg, menggambarkan besarnya partisipasi ini dengan piramida, di mana pendekatan yang mengedepankan interest (kebutuhan) diletakan paling bawah yang memiliki area partisipasi paling luas. Dibagian tengah diletakan pendekatan yang lebih menekankan pada formalitas hukum benar dan salah (right). Sedangkan dipuncak piramida ditempati pendekatan kekuatan (power) yang memiliki area partisaipasi paling kecil. Lihat William L. Ury, Jeane M. Brett, Stepent B. Golberg, Getting Disputes Resolved (San Fransisco: Jossy-Bass, 1998), hlm. 18-19. 13 Albert Fiadjoe, Alternative Dispute Resolution, Ibid.,hlm. 22. 14 Dalam melakukan mediasi ada beberapa persoalan yang harus diperhatikan yaitu: pertama, setuju untuk menengahi (agree to mediate). Di sini peran mediator adalah menemukan kesadaran diri
keberhasilan mediasi sangat tergantung pada; (1) kualitas mediator; (2) usaha-usaha yang dilakukan oleh kedua pihak yang sedang bertikai; (3) adanya kepercayaan dari kedua pihak terhadap proses mediasi, kepercayaan terhadap mediator, dan kepercayaan terhadap masing-masing pihak yang saling terlibat konflik. 15 Dalam praktek keseharian model mediasi tidaklah bersifat tunggal, akan tetapi sangat beragam. Beberapa model mediasi yang ada antara lain: setlement mediation, facilitative mediation, transformative mediation, dan evaluative mediation.16 melalui pikiran, perasaan, dan harapan dari pihak-pihak yang bertikai. Kedua, menghimpun sudut pandang (gather points of view) melalui penuturan cerita (story-telling) dari partisan konflik. Ketiga, memusatkan perhatian pada kebutuhan (interest) partisan. Keempat, menciptakan pilihan terbaik (create winwin options). Pada tahap ini mediator membantu pihak-pihak yang bertikai untuk mencarikan solusi bagi permasalahan mereka dengan cara memberikan beberapa ide atau gagasan (brainstorm solutions). Kelima, mengevaluasi pilihan (evaluate options). Jika opsi telah ditemukan, maka mediator harus memeriksa kembali opsi tersebut untuk memastikan bahwa konflik tersebut benar-benar telah diselesaikan atau ditemukan penyelesaiannya. Keenam, menciptakan kesepakatan (create an agreement). Pada tahap ini mediator harus mampu merumuskan solusi atau resolusi dari suatu konflik dalam rumusan yang jelas. Untuk mencapai hal tersebut mediator harus: (1). Sebisa mungkin mendapatkan ide-ide untuk solusi sama-sama menang. (2). Bersikap kreatif dan jangan menyalahkan ide-ide yang disampaikan oleh masingmasing pihak yang bertikai selama proses penyampaian ide. (3). Melakukan evaluasi terhadap solusi yang ditawarkan oleh masing-masing pihak yang bertikai untuk dipelajari lebih lanjut sehingga akan ditemukan solusi yang paling tepat untuk penyelesaian suatu konflik. Jika tidak ada solusi yang didapat maka mediator harus mengulangi lagi proses penyelesaian konflik dan mempelajari kembali langkah-langkah dari awal. (4). Memilih solusi yang disetujui oleh para pihak yang sedang berkonflik. Jika tidak ada solusi yang disepakati maka mediator harus meneruskan brainstorming, atau mengulangi langkah-langkah penyelesaian dari awal. Lihat Muhsin Jamil, (ed.), Mengelola Konflik Membangun Damai; Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik (Semarang: WMC IAIN Walisongo SMG, 2007). 15 Cristopher Moore, The Mediation Proces: Practical Strategies for Resolving Conflict. 2nd edition (San Francisco; Jossey-Bass, 1996) hlm. 46-50 16 Setlement mediation atau mediasi kompromi merupakan mediasi yang tujuan utamanya adalah untuk mendorong terwujudnya kompromi dari tuntutan kedua belah pihak yang sedang bertikai. Dalam mediasi model ini tipe mediator yang dikehendaki adalah yang berstatus tinggi sekalipun tidak terlalu ahli di dalam proses dan teknik-teknik mediasi. Adapun peran yang bisa dijalankan oleh mediator adalah menentukan "bottom lines" dari pihak yang berselisih dan secara persuasif mendorongnya untuk samasama menurunkan posisi mereka ke titik kompromi. Facilitative mediation yang juga disebut sebagai mediasi yang berbasis kepentingan (interest-based) dan problem solving merupakan mediasi yang bertujuan untuk menghindarkan partisan dari posisi mereka dan menegosiasikan kebutuhan dan kepentingan para partisan dari pada hak-hak legal mereka. Dalam model ini sang mediator harus ahli dalam proses dan harus menguasi teknik-teknik mediasi, meskipun penguasaan terhadap materi tentang hal-hal yang dipersengketakan tidak terlalu penting. Dalam hal ini sang mediator harus dapat memimpin proses mediasi dan mengupayakan dialog yang konstruktif di antara disputant, serta meningkatkan upaya-upaya negosiasi dan mengupayakan kesepakatan. Adapun transformative mediation atau mediasi terapi dan rekonsiliasi merupakan mediasi yang menekankan untuk mencari penyebab yang mendasari munculnva permasalahan di antara disputant, dengan pertimbangan untuk meningkatkan hubungan di antara mereka melalui pengakuan dan pemberdayaan sebagai dasar dari resolusi (jalan keluar) dari pertikaian yang ada. Dalam model ini sang mediator harus dapat menggunakan terapi dan teknik professional sebelum dan selama proses mediasi, serta mengangkat isu relasi melalui pemberdayaan dan pengakuan. Sedangkan evaluative mediation atau mediasi normatif merupakan model mediasi yang bertujuan untuk mencari kesepakatan berdasarkan pada hak-hak legal dari para disputan dalam wilayah yang diantisipasi oleh pengadilan. Dalam hal ini sang mediator haruslah seorang yang ahli dan menguasai bidang-bidang yang dipersengketakan meskipun tidak ahli mediasi. Dalam hal ini mediator haruslah seorang yang ahli dalam
2. Studi Kasus Mediasi Konflik di Joyosuran Surakarta Mediasi konflik yang dilakukan oleh Pesantren Al Muayyad Windan Surakarta salah satunya di kelurahan Joyosuran Surakarta. Joyosuran merupakan sebuah daerah yang setrategis di kota Surakarta. Daerah ini dekat dengan pusat ekonomi seperti: Pasar Klewer, Pasar Besi, Pasar Gedhe dan sentra perdagangan di Surakarta. Selain itu Joyosuran juga dekat dengan pusat pemerintahan kota, seperti Balai Kota Surakarta, dan Keraton Kasunanan Surakarta, maka wajar kalau banyak pemodal yang menginginkan menguasai daerah ini untuk dijadikan pusat-pusat bisnis mereka. Pada tahun 2007 sampai dengan 2008 di daerah ini terjadi konflik berkepanjangan antara warga Joyosuran dengan laskar umat Islam Surakarta. Konflik ini berawal dari kegiatan sweeping yang dilakukan oleh Laskar Umat Islam terhadap masyarakat atau preman di daerah Joyosuran. Modusnya adalah laskar ini men-sweeping warga yang sedang duduk duduk dipinggir jalan atau pso penjagaan, karena mereka dicurigai sedang pesta minum-minuman keras. Kegiatan sweeping yang dilakukan oleh laskar-laskar ini sering kali mendapatkan perlawanan dari masyarakat, karena masyarakat merasa resah. Puncaknya adalah terjadinya konflik berkekerasan antara laskar dan masyarakat di Joyosuran pada pertengahan Juli 2008. Sekitar 1000 laskar umat Islam dengan menggunakan senjata tajam, balok kayu dan senjata lainnya terlibat bentrokan dengan masyarakat Joyosuran. Dari kejadian tersebut seorang meninggal, puluhan lainnya luka-luka dan banyak terjadi kerusakan perumahan, pertokoan dan sarana publik. Berangkat dari kondisi masyarakat yang sedemikian cheos inilah tim mediator dari Pesantren Al Muayyad Windan masuk pada masyarakat Joyosuran. Hal ini berawal dari masyarakat yang sudah merasa jenuh dengan konflik yang berkepenjangan, kemudian mereka memutuskan meminta pihak pesantren Al Muayyad menjadi mediator bagi perdamaian mereka. Berangkat dari permintaan tersebut secara perlahan skema perdamaian dibicarakan secara terbuka, bersama pihak-pihak yang berkonflik. Meskipun tidak mudah, namun secara perlahan masyarakat terus bidang yang dipersengktana. Peran yang bisa dijalankan oleh mediator dalam hal ini ialah memberikan informasi dan saran secara persuasif kepada para partisan, dan memberikan prediksi tentang hasil-hasil yang akan didapatkan. Lihat Muslih MZ, “Pengantar Mediasi. Teori dan Praktik” dalam Muksin Jamil, (ed.), Mengelola Konflik Membangun Damai, Ibid., hlm. 107-109.
didorong untuk belajar tentang konflik mereka sendiri, sehingga mampu mengindentifikasi ancaman-ancaman yang ada, termasuk kekuatan untuk membangun perdamaian dilingkungan mereka.17 Pada akhirnya masyarakat mampu membangun forum komunikasi antar umat beragama di bawah naungan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) setempat. Tahab berikutnya masyarakat Joyosuran berhasil membentuk FKWJ (Forum Komunikasi Warga Joyosuran), pada puncaknya masyarakat melahirkan Piagam Joyosuran Surakarta. Piagam tersebut dihasilkan dari pergulatan panjang masyarakat Joyosuran dalam upaya menyelesaikan konflik mereka. Piagam itu berisi: (1) Warga Joyosuran adalah warga Negara RI yang mencintai kebenaran, keadilan dan kedamaian. (2) Warga Joyosuran menyaksikan bahwa tindak kekerasan yang terjadi berakibat pada melamahnya kerukunan, munculnya kebiasaan jalan pintas dalam membenahi masyarakat, siklus dendam dan berkurangnya rasa aman dalam masyarakat. (3) Warga Joyosuran menyadari bahwa kekuatan masyarakat perlu ditingkatkan untuk dapat mengelola konflik secara manusiawi sehingga tidak berkembang menjadi kekerasan. (4) Dalam mengelola konflik secara manusiawi itu warga mengenal langkah-langkah terhormat seperti perundingan, perukunan, mediasi, dan langkahlangkah berdasarkan hukum, misalnya arbiterasi dan litigasi. (5) Untuk itu penting dilakukan langkah langkah terencana dan seksama yang melibatkan peran aktif warga masyarakat, generasi muda, kalangan perempuan, para pemuka agama, tokoh masyarakat, pengurus RT/RW dan pemerintah kota Surakarta dan kepolisian. 18 Meskipun terkesan sangat sederhana, namun piagam tersebut sangat besar maknanya bagi masyarakat Joyosuran, sebab piagam tersebut menunjukan kesadaran masyarakat akan persoalan konfliktual mereka. Secara umum piagam tersebut merupakan pengakuan akan kesadaran diri masyarakat, pembacaan masyarakat akan konflik yang ada, kesadaran akan harapan dimasa datang berdasar kekuatan dalam diri sendiri, pemahaman akan langkah langkah penyelesaian masalah
17 18
Wawancara dengan Ade Irman Susanto, 1 Mei 2011 Piagam Joyosuran, Dokumentasi Pesantren Al Muayyad Windan tahun 2009
secara beradab dan upaya pelibatan semua komponen masyarakat dalam perbaikan kepentingan, relasi, nilai, sumberdaya sosial, dan struktur masyarakat. 19 Kasus di Joyosuran tersebut merupakan salah satu contoh mediasi yang dilakukan oleh Pesantren Al Muayyad Windan dalam mengelola persoalan konfliktualnya. Dari kasus di atas terlihat karakter mediasi yang dilakukan Pesantren Al Muayyad Windan antara lain: (1) memberikan partisipasi yang besar pada partisan, komitmen tinggi dari partisan pada perdamaian. (2) Keputusan dibuat oleh para pihak yang berkonflik, sehingga dinamika penyelesaian persoalan terfokus pada partisan. (3) Partisan dianggap lebih tahu sedangkan mediator hanya fasilitator proses dialog, dengan demikian kesepakatan diharapkan bisa berumur panjang, bersifat integratif, prosesnya informal dan lebih jauh lagi diharapkan bisa memenuhi rasa keadilan dari partisan konflik. Dalam pelaksanaan mediasi yang dilakukan oleh tim mediator dari Pesantren Al Muayyad Windan ini bertumpu pada kekuatan proses yang berlangsung selama terjadinya mediasi.20 Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa proses yang baik, terbuka, memenuhi rasa keadilan dan partisipatif diyakini akan lebih memberikan hasil yang bisa dirasakan dan diterima oleh partian konflik daripada, pembangunan perdamaian yang sifatnya top down.21 Berdasarkan pengalaman yang dijalani oleh KH Dian Nafi, beberapa prinsip dari proses yang baik adalah: pertama, proses yang baik hendaknya diawali manganalisa pihak yang harus dilibatkan, bukan apa yang harus dilakukan. Kedua, proses yang baik terlaksana atas bantuan dukungan yang diterima oleh semua pihak. Ketiga, proses yang baik melibatkan pihak-pihak utama atau wakilnya, tidak hanya dalam hal negosiasi atau pembuatan keputusannya sendiri,
Wawancara dengan Kyai Dian Nafi tanggal 15 Mei 2011 Menurut KH Dian Nafi’ beberapa prinsip proses yang baik adalah; pertama, proses yang baik hendaknya diawali manganilisa pihak yang harus dilibatkan, bukan apa yang harus dilakukan. Kedua, proses yang baik terlaksana atas bantuan dukungan yang diterima oleh semua pihak. Ketiga, proses yang baik melibatkan pihak-pihak utama atau wakilnya, tidak hanya dalam hal negosiasi atau pembuatan keputusannya sendiri, melainkan juga sejak dalam merancang prosesnya. Keempat, proses yang baik memiliki tujuan dan harapan-harapan yang jelas untuk setiap langkahnya serta menyediakan informasi yang memandai tentang proses tersebut. Kelima, proses yang baik menyediakan lebih dari satu forum untuk mempertimbangkan aneka opsi dan mengungkapkan berbagai pendapat. Wawancara dengan Kyai Dian Nafi tanggal 15 Mei 2011 21 Wawancara dengan Kyai Dian Nafi’ tanggal 5 Juli 2011. 19 20
melainkan juga sejak dalam merancang prosesnya. 22 Keempat, proses yang baik memiliki tujuan dan harapan-harapan yang jelas untuk setiap langkahnya serta menyediakan informasi yang memandai tentang proses tersebut. Kelima, proses yang baik menyediakan lebih dari satu forum untuk mempertimbangkan aneka opsi dan mengungkapkan berbagai pendapat.23 Dalam praktiknya, di samping tindakan mediatif, mediator dari Pesantren Al Muayyad Windan juga menjalankan prinsip-prisip dasar mediasi yang mencakup: pertama, membangun rasa saling percaya antar pihak-pihak yang berselisih, sebab saling terpercayaan yang ada dalam derajat tertentu memungkinkan untuk membangun
kerjasama.
Kedua,
menciptakan
kejernihan
informasi
yang
memungkinkan pihak yang terlibat perundingan saling terbuka. Ketiga, menciptakan saling pengertian dalam arti mampu membedakan antara isu dan persepsi, mengenali kebutuhan dan kepentingan dari semua pihak, meminta nasihat ahli sebab informasi dari luar bisa menjadikan proses negosiasi dinamis. Keempat, melakukan tindakan mediatif yaitu ketika semua informasi telah terkumpul dan rasa saling percaya telah terbangun serta posisi masing-masing telah jelas maka fase penyelesaian masalah bisa dimulai. Dari pelaksanaan mediasi yang dilakukan mediator dari Pesantren Al Muayyad Windan terlihat adanya model mediasi transformatif, yaitu sebuah model yang lebih menekankan pada upaya membangun kesadaran masyarakat untuk bisa mengenali kebutuhan mereka sendiri, kemudian mencari alternatif penyelesaian persoalan yang mereka hadapi. Pola mediasi ini berpusat pada prakarsa pemampuan lembagalembaga di masyarakat, didorong menjadi wadah untuk sosialisasi, membangun silodaritas bersama dan menjadi wadah penyadaran bersama. Mediasi berbasis fungsi ini terlhat lebih menekankan bagaimana dengan komunitas yang ada mampu terbangun kesadarannya bahwa keamanan dan perdamaian adalah kebutuhan merek sendiria. Model mediasi ini juga mendorong berbagai elemen masyarakat untuk
22 Gilliver, PH, Disputes and Negotiation, (Toronto: Academic Press, 1979), hlm. 191: lihat juga David A. Lax and James K. Sebenius, The Maneger as Negotiation, (New York: Free Press, 1986), hlm. 108. 23 Wawancara dengan Kyai Dian Nafi’ tanggal 5 Juli 2011.
berdaya, tanpa harus secara formal mengatakan bahwa pemberdayaan ini dalam rangka meminimalisir konflik.24 3. Mediasi Sebagai Sarana Pemberdayaan Masyarakat Model mediasi yang dilakukan oleh Pesantren Al Muayyad Windan surakarta di atas adalah mediasi transformatif, yang lebih menekankan upaya untuk mencari penyebab yang mendasari munculnya permasalahan di antara disputant. 25 Tujuan mediasi ini adalah upaya meningkatkan hubungan di antara mereka melalui pengakuan dan pemberdayaan sebagai dasar mediasi yang ada. 26 Model ini ini memiliki beberapa urgensi; pertama, mediasi akan mampu memperkuat kesiapan sosial masyarakat bagi kebijakan publik yang memajukan perlindungan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pemberdayaan dalam konteks ini tidaklah mengalihkan tanggungjawab perlindungan hak kebebasan dan berkeyakinan, kerukunan antar agama dari pemerintah pada masyarakat, akan tetapi lebih pada upaya menciptakan kesiapan masyarakat mengelola persoalan perbedaan diantara mereka. Kedua, dengan mediasi ini akan memperkuat kemampuan masyarakat untuk mengelola konflik secara adil, sehingga dapat mencegah terjadinya kekerasan. Ketiga, mengarus utamakan kearifan lokal masyarakat, berkaitan dengan pendewasaan kebhinekaan dalam sitasi sosial politik ekonomi dan budaya yang terus bergerak secara dinamis. Keempat, memampukan masyarakat untuk menggalang sinergi antar kekuatan masyarakat dengan peran lembaga lembaga sosial bentukan masyarakat dan
institusi-institusi pemerintah yang mendapatkan mandat memajukan
perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Proses mediasi itu berkaitan dengan proses mengubah warga masyarakat dari posisi sebagai obyek mejadi subyek, adanya penguatan potensi warga masyarakat sendiri baik berupa pranata maupun tokoh, adanya partisipasi masyarakat semenjak perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, refleksi dan evalusai serta adanya
Wawancara dengan Ade Irman Susanto 19 Juni 2011. Albert Fiadjoe, Alternative Dispute Resolution: A Developing Word Perspective (London: Cavndish Publishing Limited, 2004) hlm. 22-23. 26 Albert Fiadjoe, Alternative Dispute.. hlm. 22-23. 24 25
kesinambungan atas perencanaan perdamaian dari konflik yang mereka sepakati. 27 Di samping itu, partisipasi aktif warga masyarakat dalam pemberdayaan untuk mediasi konflik ini terlihat pula dalam pelibatan warga semenjak proses mediasi dimulai. Semaksimal mungkin warga dimudahkan untuk berperan semenjak perencanaan, pengorganisiran, pelaksanaan, pemantauan, pengendalian sampai dengan proses evaluasi. Masyarakat harus disertakan semanjak menentukan tujuan, menyusun cara mencapai tujuan, menetapkan tahapan yang harus dijalankan dan siapa yang bertugas menjalankan, mendaftar sisi-sisi yang penting selama proses berlangsung untuk memperoleh bahan yang bisa memperkaya pengetahuan warga dan perbaikan program, pengendalian program sehingga sumberdaya bisa dioptimalkan sampai masyarakat bisa mengambil pelajaran dari semua sisi kegiatan yang telah dilakukan oleh masyarakat sendiri. Pada proses tersebut terlihat yang dikuatkan adalah potensi setempat baik itu keunikan lokal, pranata, tokoh dan jaringan. Keunikan yang ada pada suatu masyarakat atau komunitas merupakan aset yang penting sebagai identitas mereka, sehingga bisa menjadi keunggulan komparatif yang dimiliki warga masyarakat. Keunikan sejauh mungkin harus didukung oleh pranata yang telah dijalani warga semenjak lama, melalui proses yang sangat panjang. Pranata ini tidak hanya berkaitan dengan proses produksi barang dan jasa saja akan terapi juga berkaitan dengan cara masyarakat mengelola nilai-nilai, relasi, sumber daya dan kewenangan tradisional. Sisi penting lainnya adalah penguatan tokoh-tokoh lokal. Penguatan ini berangkat dari pemahaman bahwa masyarakat lokal lebih memahami kehidupan mereka dari pada tokoh yang datang dari luar. Peran tokoh ini akan sangat terlihat dalam peta jaringan yang mereka miliki. Disinilah pemprakarsa pemberdayaan yang cermat akan memanfaatkan peta jaringan dengan peran-peran yang ada di dalamnya, sehingga satiap anggota masyarakat bisa mengambil peran sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki. 28 Dengan peran serta yang maksimal tersebut dihapakan pemberdayaan melalui mediasi konflik ini tidak sekedar peningkatan pengetahuan saja, dari yang tidak tahu menjadi tahu, melainkan juga pembangunan proses
27 28
Jean Poitras and Pierre Renould, Mediation and Reconciliation, Ibid., hlm. 31-33. Wawancara dengan Kyai Dian Nafi’ tanggal 10 Juni 2011.
kesadaran. Dengan kesadaran inilah mediasi sangat erat kaitannya dengan pemberdayaan masing-masing partisan untuk bisa saling mengakui.29 Penutup Pesantren sebagai bagian dari masyarakat memiliki mandat social yang besar untuk turut serta memajukan kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya adalah upaya mendorong terbangunnya kehidupan yang demokratis dan berkeadilan. Pesantren Al Muayyad Windan semenjak awal keberadaannya berupaya menjadi mitra masyarakat membangun kualitas hidupnya, dengan jalan mendorong masyarakat agar mampu mengelola persoalan konfliktualnya. Melalui mediasi konflik pesantren Al Muayyad Windan berupaya melakukan pemberdayaan masyarakat menuju masyarakat Surakarta yang multikulturalis. Model mediasi konflik yang dilakukan oleh pesantren ini adalah model mediasi transformative, dimana masyarakat yang berkonflik di dorong kesadarannya untuk bisa mengenali, memetakan persoalan konfliktualnya sendiri. Masyarakat yang berkonflik didorong sejauh mungkin memiliki kesadaran bahwa yang bisa menyelesaiakan persoalan konfliktual mereka adalah masyarakat sediri, bukan orang atau mediator dari luar. Dengan demikian harapannya perdamaian yang terbangun akan lebih langgeng dan menjawab rasa keadilan masyarakat itu sendiri. Model mediasi transformative ini berpusat pada kekuatan proses, artinya proses yang baik, jujur dan terbuka dirasa akan memberikan keputusan yang lebih adail dan bijaksana. Disamping itu model mediasi ini oleh pesantren Al Muayyad Windan dijadikan sebagai sarana pemberdayaan masyarakat yang melibatkan seluru elemen social maupun budaya masyarakat baik itu tokoh, nilai, pranata dan berbagai kekuatas social di masyarakat. Hasilnya adalah masyarakat mengetahui persoalan konfliktua mereka dan mampu mencari jalan keluar dari persoalan tersebut. Masyarakat yang Kualitas kesadaran pemahaman seseorang menentukan caranya mengada sebagai manusia. Cara mengada tersebut dikategorikan menjadi tiga yaitu; magis, naif dan kritis. Jika seseorang menimpakan persoalannya pada nasib maka ia berada pada kesadaran magis, jika ia mempersoalkan manusia maka ia berkesadaran naif. Sedangkan jika ia mempersoalkan pranata ia berkesadaran kritis. Pada pemberdayaan ini masyarakat tidak diadili tetapi diajak menggali pemahaman atas pengalaman yang mereka miliki untuk dianalis bersama. Contoh yang positif dapat memberi manfaat peningkatan kesadaran diri menuju kesadaran kritis. Robert A. Baruch Bush and Joseph P. Folger, The Promise of Mediation. Transformative Approach to Conflict, (San Fransisco: Jossay Bass, 2005), hlm. 66.; Mansour Faqih, Pendidikan Popular. Panduan Pendidikan Metode Kritis, (Yogyakarta: INSIST Press, 2004), hlm. 28-30. 29
mampu mandiri dalam mengelola persoalan konfliktualnya inilah yang menjadi tujuan model mediasi konflik pesantren Al Muayyad Windan Surakarta Jawa Tengah.
DAFTAR PUSTAKA Alamsyah, Andi Rahman (ed), Pesantren Pendidikan Kewargaan dan Demokrasi (Jakarta: Puslitbang Penda-Labsosio UI, 2009) Asmani, Jamal Ma’mur, Dialektika Pesantren Dengan Tuntutan Zaman dalam Menggagas Pesantren Masa Depan; Geliat Suara Santri Untuk Indonesia Baru (Yogjakarta: Qirtas, 2003. Budiyono, Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beriman (Yogjakarta: Kanisisus, 1983) Connolly, Peter, Approaches to The Study of Religion. dalam (terj) Aneka Pendekatan Studi Agama. (Yogyakarta: LKiS. 2002) Fiadjoe, Albert, Alternative Dispute Resolution: Developing Word Perspective (London: Covendish Publishing Limited, 2004 Haedari, Amin, Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global (Jakarta: IRD Press, 2006) Kateregegga, Badru D. dan David W. Shenk, a Muslim And Chrisian Dialogue (terj) Dialog Islam dan Kristen (Semarang: Pustaka Muria, 2007) Lederach, John Paul, Conflict Transformation (Intercourse: Good Books, 2003) Liliweri, Alo, Prasangka dan Konflki: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur (Yogjakarta: LKIS, 2005) Markwood, Mistisisme Islam Jawa; Kesalehan Normatif versus Kesalehan Kebathinan (Yogyakarta: LKIS, 1999) Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren; Suatu Kajian Tentang Unsur Dan Nilai System Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994) MT.Arifin dkk, Kapok Jadi Non Pribumi; Warga Tionghoa Mencari Keadilan (Bandung: Zaman, 1998). Nafi, Dian, (dkk), Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogjakarta: Forum Pesantren dan Institute For Taining and Development (ITD), 2007) ______, Kerentanan Konflik di Soloraya (Makalah dipresentasikan di FPLAG Surakarta, 20 Desember 2010) ______, Menimba Kearifan Masyarakat (Jogjakarta: Amwin Institute-Pustaka Pesantren, 2004) Pirre, Andrew J., Alternative Dispute Resolution; Skil, Science And Law (CanadianToronto: Oantario, 2000) Poitras, Jean and Pierre Renould, Mediation and Reconciliation Of Interest in Public Disputes (Toronto: Carswell Thomson Professional Publishing, 1997) Rahman, Budhi Munawar, “Pluralism dan Dialog antar Agama; Paradigma Teologi Eksklusif, Inklusif dan Pluralis” Abdul Hakim dan Yudi Latif (Peny), BayangBayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholis Madjid (Jakarta: Paramadina, 2007). Schirch, Lisa, Strategis Peace Building (Goodbook: Intercourse PA. 17534) Sekilas Kurikulum Pondok Pesantren Al Muayyad Windan, ditetapkan 23 Agustus 2007 M/10 Sya’ban 1428 H di Windan, Makamhaji Kartasura, Sukoharjo SPEK-HAM, FKPI, LSM COMMITMENT, Draf Naskah Akademik Mekanisme Penanganan Kekerasan Berbasis Agama di Kota Surakarta, Agustus 2010. Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1986) Swider, Leonard And Paul Mojzas, “From The Age Monologue To The Age Of Global Dialogue” dalam The Study Of Religion In An Age Of Global Dialogue (Philadelphia: Temple University Press, 2000)
______, Trialogue Jews, Cristians And Muslim In Dialogue (New London,: Twenty Third Publication, 2000).