1
PERWUJUDAN SARANA UPACARA ETNIS CINA DI KLENTENG TAY KAK SIE SEMARANG Oleh: Damayanti * Abstrak Berkesenian bagi etnis Cina merupakan instrumen bagi kehidupan rohani, sebagaimana terlihat pada bentuk klenteng beserta peralatan dan perlengkapan upacaranya. Penelitian ini bertujuan : Pertama, mendeskripsikan perwujudan sarana upacara yang terdapat pada klenteng Tay Kak Sie. Kedua, mendeskripsikan jenis upacara dan sarananya yang digunakan di klenteng Tay Kak Sie. Hasil penelitian ini diharapkan bermafaat untuk mengisi atau memperkaya kelangkaan literatur tentang kebudayaan etnis Cina di Indonesia. Metode dalam penelitian ini adalah kualitatif. Sasaran penelitian adalah klenteng Tay Kak Sie di Semarang. Data dikumpulkan dengan studi kepustakaan, observasi, dan dokumen. Kesahihan data diperoleh dengan cara melakukan triangulasi dan crosscheck terhadap data yang diperoleh. Data dianalisis melalui tahapan (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) verifikasi dan pengambilan simpulan. Hasil analisis menunjukkan fakta-fakta sebagai berikut: Pertama, perwujudan sarana upacara di klenteng Tay Kak Sie berbentuk sesaji, peralatan dan patung dewa-dewi. Sesaji berupa pisang emas, kue ku, tumpeng wajik, kue moho, aneka buah-buahan, biskuit, permen dan teh. Peralatan yang digunakan ialah hio, lilin, lampu minyak, uang emas dan perak dari kertas, bun pwee, ciam, cihm tong dan bokor pedupaan. Sedangkan yang lain berupa patung dewa-dewi dan lukisan. Kedua, orang Cina memiliki keyakinan kuat terhadap agama yang berasal dari leluhurnya, meskipun sebagian besar dari mereka telah memeluk agama Budha, Tao, Kon Fu Sian, Kristen, Katolik, dan Islam. Apapun agama yang dianut, mereka tetap melakukan ibadah di klenteng. Dalam sistem upacara masyarakat Tionghoa, di samping menyembah para dewa juga menyembah atau menghormati para leluhur lewat penghormatan terhadap abu yang mereka simpan di masing-masing rumah keluarga. Kata kunci : perwujudan sarana, upacara, etnis Cina, klenteng Tay Kak Sie
PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Sistem nilai bagi etnis Cina sangat erat dengan perilaku penghormatan terhadap bendabenda yang dianggap suci, seperti bentuk bangunan, perlengkapan upacara, dan jenis hiasan yang memiliki nilai spiritual. Benda-benda suci tersebut tentu tidak terlepas dari elemen estetis dan makna simbolis sebagai refleksi nilai-nilai yang dianggap bermakna dan penting. Pada konteks inilah kesenian sebagai hasil kebudayaan mewujud dalam bentuk-bentuk simbolik dari sebuah ide, bentuk dan gaya religius dapat bernilai moral spiritual. Bangunan peribadatan klenteng maupun benda-benda hiasan peribadatan memiliki makna simbolis keagamaan bagi etnis Cina. Dengan kata lain bahwa kesenian menjadi instrumen bagi kehidupan rohani,
*
Penulis adalah seorang Magister Pendidikan Seni, mengajar di SMK Grafika Semarang
2
sebagaimana tampak pada bentuk klenteng beserta peralatan dan sarana perlengkapan upacaranya. Dalam sejarah kebudayaan Indonesia, unsur-unsur kebudayaan Cina mempunyai peranan dan pengaruh yang sangat besar. Fenomena akulturasi terutama terjadi pada nilai-nilai budaya Jawa dan Islam. Banyak pengaruh budaya Cina di Jawa, yang dimulai sejak misi muhibah Cheng Ho pada tahun 1405 atau masa pemerintahan Cheng Tzu atau Yung Lo sebagai kaisar ketiga dinansti Ming. Dalam hubungan ini Al Qurtuby dalam Suara Merdeka (15 Juni 2005) menyebutnya sebagai Sino-Javanese Muslim Cultures (perpaduan Tionghoa, Jawa, Islam) yang membentang dari Banten sampai Surabaya. Bentuk Sino-Javanese Muslim Cultures tidak hanya terlihat pada bentuk bangunan masjid, tetapi juga pada berbagai seni sastra, batik, ukir, dan unsur kebudayaan lainnya. Misalnya ukiran padas di masjid Mantingan Jepara, menara masjid Banten, konstruksi bangunan (saka tatal) masjid Demak, bahkan ada beberapa klenteng yang diduga bekas masjid seperti klenteng Ancol di Jakarta, klenteng Talang di Cirebon, dan klenteng Mbah Ratu di Surabaya. Contoh lain adalah kata ‘nyonya’ yang lekat dalam masyarakat Indonesia pada awalnya berasal dari kata Hokian nio atau niowa berarti perempuan lokal yang dinikahi pria Tionghoa. Oleh karena itu, tak pelak jika banyak sejarahwan berpendapat bahwa orang Tionghoa berperan dalam penyebaran Islam di Jawa. Muljana (2005) mensinyalir dengan mengisahkan bahwa sekurang-kurangnya ada enam wali dari kelompok Walisanga merupakan keturunan Cina. Sunan Ampel atau Raden Rahmad disinyalir sebagai pendatang dari Yunan yang bernama asli Bong Swi Hoo, Sunan Kalijaga atau Raden Said adalah seorang kapten Tionghoa bernama Gang Si Cang, Sunan Kudus atau Jafar Sidiq disinyalir keturunan Cina bernama Ja Tik Su, Sunan Gunungjati atau Syarif Hidayatullah bernama Toh A Bo yang juga anak Sultan Trenggana alias Tung Kang Lo, bahkan Raden Patah sebagai Sultan Demak pertama adalah keturunan Cina dari hasil perkawinan raja Majapahit Brawijaya V dengan puteri Campa. Pada kehidupan sehari-hari etnis Cina sangat kental dengan kebudayaan Jawa, Pada era reformasi terutama masa pemerintahan Gus Dur telah terjadi kegairahan beribadatan dan pengekspresian kebudayaan khas Cina. Klenteng-klenteng kembali dibuka, perayaan beribadatan rutin seperti Jit Cap Go (tanggal 1 dan 15 setiap bulan pada kalender Imlek) berlangsung lagi, bahkan perayaan sebuah klenteng (she jit) bisa berlangsung sangat meriah. Perayaan itu tak hanya berlangsung di altar-altar leluhur (kong po) tetapi juga di lingkungan masyarakat sekitar klenteng. Kegairahan itu tentu tidak terlepas dari upaya Gus Dur yang
3
mencabut Inpres No. 14/1967 di masa rezim Orde Baru tentang pelarangan segala bentuk kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Sebagai dampaknya adalah banyak hari-hari keagamaan etnis Cina yang diizinkan untuk dirayakan, seperti Sin Chia atau tahun baru Imlek, Tiong Ciu atau perayaan bulan delapan, dan Teng Ce atau perayaan bulan sebelas tahun Imlek. Hal ini merupakan sebuah bentuk pengakuan pemerintah atas kemerdekaan etnis Cina dalam menjalankan ritual keagamaannya. Di Semarang terdapat salah satu bangunan klenteng yang menggabungkan ketiga sistem religi Budha, Tao dan Konfusius, yakni klenteng Tay Kak Sie, yang berarti “Kuil Kesadaran Agung”. Klenteng ini terletak di kampung Cina, tepatnya di Gang Lombok yang dibangun pada tahun 1772 oleh saudagar Tionghoa bernama Kho Ping (Gan Kok Hwie, 1986). Klenteng Tay Kak Sie pada awalnya digunakan untuk peribadatan bagi “Yang Mulia Dewi Welas Asih atau Koan Sie Im Po Sat” dari religi Budha. Dalam perkembangannya klenteng Tay Kak Sie menjadi klenteng besar, bukan hanya untuk memuja Budha melainkan juga berbagai dewa-dewi dari aliran Tao dan Konfusius. Sehubungan dengan perkembangan fungsi inilah berdampak pula terhadap sarana upacara maupun benda-benda hias lainnya. Kenyataan ini menarik dan memotivasi peneliti untuk memahami lebih jauh tentang klenteng Tay Kak Sie. Adapun pertimbangan memilih klenteng Tay Kak Sie sebagai objek penelitian karena klenteng ini merupakan klenteng besar yang banyak memiliki sarana serta benda hias dekoratif yang spesifik dan unik jika dibandingkan dengan klenteng lain yang ada di Semarang. Klenteng Tay Kak Sie merupakan bentuk bangunan kuna khas kebudayaan Tionghoa yang berfungsi integratif, yaitu sebagai tempat ibadah Budha, Tao dan Konfusius. Selain itu, dengan latar belakang budaya dan agama peneliti yang berbeda dengan objek penelitian memungkinkan pengkajian lebih netral. Dengan berlandaskan pada uraian latar belakang dan pertimbangan-pertimbangan yang telah dipaparkan, penelitian ini akan lebih memfokuskan pada perwujudan sarana upacara dan jenis upacara yang terdapat pada klenteng Tay Kak Sie. Masalah Penelitian Dari fenomena di atas, maka ada beberapa masalah yang diangkat dalam penelitian in, yakni: 1.
Bagaimanakah wujud visual sarana upacara yang terdapat pada klenteng Tay Kak Sie?
2.
Jenis upacara apa saja yang menggunakan sarana yang terdapat pada klenteng Tay Kak Sie?
4
Tujuan Penelitian Bertolak dari masalah penelitian di atas, penelitian ini bertujuan: Pertama mendeskripsikan tentang perwujudan sarana upacara yang terdapat pada klenteng Tay Kak Sie. Kedua, mendeskripsikan jenis upacara dan sarana yang digunakan pada upacara di klenteng Tay Kak Sie. Secara khusus penelitian ini bertujuan ingin mendeskripsikan, menginterpretasikan, dan memberi penjelasan terhadap permasalahan yang diajukan. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mengisi atau memperkaya kelangkaan literatur tentang seni tradisional masyarakat Cina di Indonesia.
Tinjauan Pustaka Agama sebagai Unsur Kebudayaan Agama mengacu pada kepercayaan, perbuatan dan perasaan manusia dalam keyakinan bahwa nilai-nilai mereka berakar dalam suatu realitas ilahi (ke-Tuhan-an). Agama merupakan unsur kebudayaan yang memuat suatu tatanan umum berupa kewajiban yang harus dilakukan pemeluknya. Kewajiban itu mendorong munculnya motivasi-motivasi untuk melakukan yang terbaik bagi sesama dan seluruh alam ciptaan-Nya. Sistem religi oleh Koentjaraningrat (2000:204) disebutkan mempunyai wujudnya sebagai sistem keyakinan dan gagasan-gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa, roh-roh halus, neraka, sorga dan sebagainya, tetapi mempunyai juga wujudnya yang berupa upacara-upacara, baik yang bersifat musiman maupun yang kadangkala. Kecuali itu, setiap sistem religi juga mempunyai wujud sebagai benda-benda suci dan benda-benda religius. Klenteng beserta seluruh sarana dan peralatannya merupakan salah satu wujud kebudayaan fisik, yaitu berupa benda hasil karya manusia (artefak) untuk memenuhi sistem religi masyarakat tertentu. Keberadaan Klenteng beserta sarana dan peralatannya terutama untuk memenuhi aspek ‘tempat’ dan ‘alat-alat upacara’ dalam suatu sistem upacara keagamaan. Upacara dalam Agama Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, pengertian upacara adalah rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama. Karya Geertz (dalam Suparlan 1982:60) mengenai agama, kebudayaan, dan upacara, memperlihatkan suatu perspektif tersendiri berkenaan dengan pengkajian antropologi mengenai sistem-sistem kognitif dan simbolik. Bagi Geertz, agama merupakan bagian dari suatu sistem kebudayaan yang lebih meresap dan menyebar luas, dan bersamaan dengan itu kedudukannya berada dalam suatu
5
hubungan dengan dan untuk menciptakan serta mengembangkan keteraturan tersebut. Seperti dikatakannya bahwa agama adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara memformulasikan konsepsi – konsepsi mengenai hukum/keteraturan (order), dan menyelimuti konsepsi-konsepsi tersebut dengan suatu aura tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut tampaknya secara tersendiri (unik) adalah nyata ada. Demikian secara umum agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan mausia dengan Tuhannya, mengatur manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Aturan-aturan tersebut penuh dengan muatan sistem-sistem nilai, karena pada dasarnya aturan-aturan tersebut bersumber pada pandangan hidup. Karena itu pula aturan-aturan dan peraturan-peraturan yang ada dalam agama lebih menekankan pada halhal uang normatif atau yang seharusnya sebaiknya dilakukan; dan bukannya berisi petunjukpetunjuk yang bersifat praktis dan teknis dalam hal manusia menghadapi lingkungannya dan sesamanya. Rumah Ibadah Rumah ibadah merupakan tempat yang disucikan, berfungsi untuk melakukan kontak spiritual atau menyembah Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta. Dlam satu sistem kepercayaan, orang membayangkan wujud dari dunia yang baik, termasuk wujud dari dewa-dewa, makluk halus, kekuatan sakti, keadaan ruh-ruh manusia, maupun wujud dari bumi dan alam semesta (kosmologi). Para dewa adalah makluk yang oleh manusia dibayangkan mempunyai nama, bentuk, ciri-ciri, sifat-sifat dan kepribadian yang tegas. Gambaran ini terpatri dalam pikiran manusia berkata adanya dongeng-dongeng dan kesusastraaan suci (mitologi) baik yang lisan maupun yang tertulis. Dalam mitologi diceritakan segala macam perilaku dan sifat dari setiap tokoh dewa, mulai dari kepahlawanannya, jasa-jasanya, wataknya, perasaannya, dan sebagainya, yang mirip dengan perilaku serta sifat manuasia, namun dengan kemampuan yang lebih unggul. Dalam menghormati dan memuja para penghuni dunia gaib ini maka oleh para pemujanya dibuatlah sebuah kuil sebagai tempat yang dimaknai suci untuk melakukan kegiatan upacara dalam upaya mengadakan hubungan kepada para penghuni alam gaib. Terkait dengan rumah
6
tempat ibadah ini masing-masing agama mempunyai nama sendiri-sendiri seperti : gereja, masjid, pura, vihara dan klenteng. Klenteng dalam hal ini dapat diartikan sebagai sebuah bangunan suci yang digunakan untuk melakukan kegiatan berbagai upacara bagi etnis Cina khususnya bagi mereka yang menganut agama Tri Dharma yaitu Budha, Tao, dan Kong Fu-ste. Kesenian Masyarakat Cina di Indonesia: Bentuk Estetis dan Simbol Kedatangan etnis Cina di Indonesia berarti juga masuknya kebudayaan (termasuk di dalamnya kepercayaan dan kesenian) Cina di Indonesia. Dalam hal kepercayaan, orang Cina membawa Budhisme dan Taoisme. Sementara dalam bidang kesenian, pengaruh kesenian Cina pun sangat kuat, meskipun bukan lagi merupakan kesenian Cina asli. Namun, paling tidak, hasil seni Cina tampak mewarnai lingkungan tertentu di mana terdapat komunitas Cina di Indonesia ini. Beberapa hasil seni Cina yang tampak menyatu dengan budaya setempat, menurut Lan (1961: 241 – 250) antara lain: (1) seni bangunan; (2) seni pahat; (3) seni keramik; (4) seni lukis; (5) seni menyulam; (6) seni musik; (7) seni suara; (8) wayang. Dalam estetika seni Cina terdapat enam prinsip dasar seperti yang dikemukakan oleh Hsieh Ho (dalam Sachari 1989). Pertama, kemanunggalan spirit alam semesta dengan diri seniman sehingga keindahan dapat dirasakan dan ditransformasikan ke dalam bentuk karya seni; kedua, seniman dapat merasakan dan menangkap ruh Chi atau ruh kehidupan dengan cara mengabaikan bentuk dan warna yang semarak sehingga makna spiritual tampak pada bentukbentuk karya seni; ketiga, seniman konsekuen terhadap objek yang dibuat; keempat, seniman mampu memanfaatkan warna dengan selaras; kelima, seniman membuat perencanaan sebelum berkarya; keenam, seniman membuat reproduksi karya agar tetap terjaga kelestariannya. Dengan pemahaman konsep estetis tersebut, maka untuk menemukan nilai estetis seseorang perlu memiliki kemampuan untuk menafsirkan atau menginterpretasikan karya seni agar bisa menemukan dan menelaah secara teknis penataan maupun pemanfaatan bahan yang digunakan dalam berkarya. Kata simbol berasal dari bahasa Yunani symbolon, artinya tanda pengenal, lencana, semboyan. Pada Ensiklopedia Indonesia, kata simbol berarti tanda atau lambang. Tanda menyatakan suatu hal kepada orang lain yang melihat atau mendengarnya. Namun ada pendapat yang membedakan antara tanda dan simbol. Jika tanda terlihat oleh seseorang maka
7
orang tersebut segera terbayang tentang sesuatu hal tertentu dalam kesadarannya. Hal ini berarti tanda pada hakekatnya merangsang subjek untuk bertindak. Langer (dalam Sudiardja 1983) berpendapat bahwa tanda menyatakan sesuatu hal, suatu peristiwa, suatu keadaan. Tanda dan objek terjalin hubungan yang sederhana, artinya satu tanda untuk satu hal. Berbeda dengan simbol yang tidak selalu merangsang subjek karena simbol hanya menunjuk pada konsep. Simbol adalah wahana bagi konsepsi tentang objek. Sistem Nilai bagi Etnis Cina Sistem ini adalah konsep-konsep tentang apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat 1980). Sistem nilai warga etnis Cina terkait dengan sistem religi, lembaga pendidikan, sikap dan perilaku bijaksana. Sistem nilai dalam kepercayaan Tao sebagai cara untuk menuju perbuatan budi yang baik atau sesuai jalan Tuhan, ada lima nilai, yakni bersikap dan berkelakuan ramah, santun, cerdas, jujur, dan adil. Selain itu, orang harus dapat memelihara hubungan baik dengan segala sesuatu yang berada di dunia, seperti hubungan baik dengan orang lain, bumi, langit, dan semua makhluk lainnya. Hubungan tersebut harus bersifat ‘Li’, yakni bersifat jujur, berkelakuan baik kepada siapapun seperti keluarga, tetangga, dan Tuhan (Thein). Sistem nilai menurut ajaran Khong Hu Chu atau Kung Fu Tze (kepercayaan Konfusius) ada lima kebajikan yang disebut ‘Ngo Siang’, yaitu: cinta kasih (jien), adil dan bijaksana (gie), susila dan sopan santun (lee), cerdas dan waspada (tie), serta jujur dan ikhlas (sien). Sistem nilai menurut para penganut aliran kepercayaan Budhisme Cina mendasarkan kepada ajaran dewa Kwan Yiu sebagai dewa mengajarkan pengampun yang penuh belas kasihan (Hidajat 1993). Sistem nilai dari ketiga aliran kepercayaan tersebut telah menjadi pedoman bagi warga Tionghoa dalam bersikap dan berperilaku dalam kehidupan. Dengan demikian dapat diduga bahwa peralatan dan sarana upacara maupun benda-benda hias lain yang dalam klenteng besar kemungkinan dipengaruhi oleh sistem nilai tertentu dalam kepercayaan mereka.
8
Model Kerangka Teori
Kebudayaan Cina Indonesia
Kebutuhan Berinteraksi Orang Cina
Eksistensi Seni Cina
Faktor Lingkungan
Upacara Ibadah di Klenteng Tay Kak Sie
Gambar 1. Kerangka Teori (Diadaptasi dari Model Kesenian dan Estetika, Iswidayati 2002)
Metode Penelitian Pendekatan Penelitian Agar mendapatkan simpulan yang komprehensif, maka penelitian ini menggunakan metode kualitaf, dengan pendekatan antropologi budaya. Metode
kualitatif dipilih karena
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati dan pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara holistik (utuh). Pendekatan antropologi digunakan dalam kajian data, dan budaya yang bersifat holistik. Pendekatan ini digunakan untuk mengungkap sejarah budaya masyarakat Tionghoa dan
9
Klenteng Tay kak Sie sebagai fenomena dalam khasanah seni rupa tradisional Cina, untuk memahami seluk beluk, latar belakang dan sosial budaya yang membentuknya.
Sasaran dan Latar Penelitian Latar penelitian ini adalah klenteng Tay Kak Sie Semarang. Latar penelitian ini dipilih dengan pertimbangan bahwa keberadaan klenteng Tay Kak Sie merupakan bentuk bangunan kuna khas kebudayaan Tionghoa yang berfungsi integratif yaitu sebagai tempat ibadah Budha, Tao, dan Konfusius. Selain sebagai tempat ibadah, klenteng Tay Kak Sie memiliki keanekaragaman benda-benda berupa bentuk bangunan, sarana upacara, benda hias, dan dekorasi ruang yang unik. Sasaran penelitian adalah perwujudan sarana upacara etnis Cina di klenteng Tay Kak Sie dan jenis upacara yang menggunakan sarana upacara yang terdapat pada klenteng Tay Kak Sie.
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara mendalam, dan dokumen. Observasi menurut Bogdan (dalam Moleong 1997:117) adalah pengamatan peneliti yang bercirikan interaksi sosial yang memakan waktu cukup lama antara peneliti dengan subjek dalam lingkungan objek, dan selama itu data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis dan berlaku tanpa gangguan. Teknik observasi dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap objek penelitian, bentuk bangunan klenteng, peralatan upacara, ragam hias dekoratif, dan benda-benda lain pendukung klenteng. Dalam proses observasi dibantu dengan alat rekaman kamera. Melalui wawancara diharapkan diperoleh informasi tentang kesejarahan, bangunan klenteng, perwujudan sarana upacara dan jenis upacara yang terdapat pada klenteng Tay Kak Sie. Di samping menggunakan pengamatan dan wawancara mendalam, digunakan pula teknik dokumen seperti; otobiografi, berita koran, artikel majalah, internet dan sebagainya. Teknik dokumentasi dilakukan untuk memperoleh data yang lebih primer, terutama berfungsi untuk menguatkan data hasil observasi maupun wawancara. Teknik Analisis Data Data yang berhasil dikumpulkan, dianalisis dengan menggunakan pendekatan analisis interaktif yang mefokuskan perhatian secara kritis terhadap kajian bentuk, struktur, dan fungsi
10
dari sebuah gejala berdasarkan fakta empiris dan kerangka teoretis, yang digunakan untuk menelaah secara mendalam dan menjelaskan dari gejala tersebut. Sesuai dengan yang dikemukakan Miles dan Huberman (1992:16-20), langkah analisis data tersebut ditempuh melalui proses reduksi data, sajian data, dan verifikasi data. Reduksi data dimaksudkan sebagai langkah atau proses mengurangi atau membuang data yang tidak diperlukan, menyederhanakan, memfokuskan, memilah-milah dan menajamkan data yang diperoleh. Penyajian data yang dimaksudkan adalah proses analisis untuk menyusun temuan data dalam bentuk paparan-paparan deskriptif dalam satuan bahasan kategori yang bersifat umum menuju yang khusus sesuai dengan permasalahan penelitian dengan gambar hasil rekaman visual sebagai bukti pendukung sajian tersebut. Verifikasi data dilakukan untuk menarik simpulan sajian data setelah peneliti melihat hubungan data yang satu dengan yang lainnya, kemudian dilakukan interpretasi untuk menentukan pola atau tema serta menunjukkan makna yang terdapat di dalamnya.
Hasil dan Pembahasan Keberadaan klenteng Tay Kak Sie oleh masyarakat etnis Cina di kota Semarang menjadi tempat peribadatan penting karena di dalam klenteng tersebut mewadahi tiga aliran keagamaan Cina yaitu Buddhisme, Konfiusanisme, dan Taoisme yang secara integrative disembah dan dipuja, maka dari itu di dalam ruang-ruang terdapat elemen estetis yang terdiri sarana pemujaan dan patung-patung yang menjadi media pemujaan. Demikian halnya elemen estetis yang terdiri dari peralatan dan sarana patung-patung itu terdapat hiasan-hiasan serta atribut dengan bermacam-macam warnanya yang mendukung fungsi tiap-tiap peraltan dan sarana maupun patung. Selain itu bangunan klenteng Tay Kak Sie sebagai salah satu fenomena budaya Cina corak peninggalan budaya leluhurnya. Bangunan klenteng Tay Kak Sie bercorak bangunan tradisional Cina yang didominasi oleh warna merah dan menerapkan banyak ragam hias yang bermotif manusia, flora, fauna, kosmos dengan bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi. Mengingat bangunan klenteng Tay Kak Sie merupakan tampat peribadatan maka di dalamnya terdapat peralatan dan sarana serta perlengkapan sebagai alat peribadatan. Prakasa mendirikan klenteng dimulai tahun 1771. Pada waktu itu di kalangan masyarakat Tionghoa bagian atas di Semarang, ada pikiran bahwa klenteng Kwan Im (Kwan Im Ting yang
11
terletak di gang belakang dekat “Balai Kambang” dipandang kurang bagus. Setelah melalui beberapa perundingan dari beberapa tokoh dan pemuka-pemuka warga Tionghoa, akhirnya mereka sepakat untuk memutuskan memindahkannya ke Kang-kie atau pinggir kali yang kemudian terkenal dengan nama Gang Lombok. Selanjutnya disepakati untuk menggerakkan semua organisasi kemasyarakatan Cina Jawa untuk dapat mengumpulkan dana. Dalam proses pembangunan klenteng tersebut para ahli bangunannya khusus didatangkan dari negeri Cina, seperti; para arsitektur dan beberapa orang ahli tukang batu, tukang ukir dan tukang ahli bangunan klenteng serta ahli tentang dekorasi dan ornamen. Berhubung keadaan kurang baik di lingkungan klenteng kemudian Kho Ping mempertimbangkan bahwa tempat peribadatan Kwan Im Ting di Balai kambang sudah tidak dapat dipertahankan lagi sebagai tempat pemujaan sehingga perlu dipindahkan. Kho Ping dengan dibantu oleh Liem Yon Kong, Tan Kong Hui, Tan Ceng, Tau Toat Gwan, serta dukungan dana dari para dermawan menetapkan pembangunan tempat peribadatan di tanah lapang yang luas di pinggir sungai Semarang sebelah utara kebun Lombok. Berkat kerja keras panitia dan peran aktif masyarakat Cina di Semarang, terkumpulah dana yang cukup besar sehingga pada tahun 1772 dapat dibangun sebuah tempat peribadatan yang diberi nama Tay Kak Sie yang berarti “Kuil Kesadaran”. Masyarakat etnis Cina di Semarang mempunyai komunitas yang terkenal dengan sebutan daerah Pecinan, dalam kehidupan sehari-hari diwarnai dengan budaya bernafaskan Cina. Dalam komunitas etnis Cina, kepercayaan mereka adalah menganut beberapa agama seperti; Budha, Kong Fut-Ste, Kristen, Katolik, dan Islam. Namun demikian mereka sangat taat dan terikat dengan budaya tanah leluhur, sehingga kepercayaan apapun yang dianut mereka akan berbondong-bondong datang ke klenteng untuk melakukan peribadatan yaitu melakukan ritual sembahyang atau mengirim doa kepada para Dewa maupun kepada para leluhur yang mereka amat sucikan. Kegiatan masyarakat etnis Cina sehariannya adalah pelaku ekonomi. Orang Cina terkenal ulet, rajin, dan pantang menyerah dalam bisnisnya. Dalam
berkesenian
mereka nampaknya sudah berbaur dengan budaya lokal, seperti pementasan wayang kulit semalam suntuk pada sat ada perayaan hari raya besar menyambut tahun baru Imlek atau sincia di klenteng. Mereka juga memiliki kesenian wayang yang terkenal dengan nama wayang potayhi, kesenian sam say atau liong, dan barong say. Kekerabatan masyarakat etnis Cina menganut patrilineal, yaitu warisan dan penentu dalam rumah tangga adalah anak laki-laki. Konsep kosmologi Cina, fungsi dari alam semesta mencapai kesempurnaan ketika setelah
12
munculnya Tai-Chi yang merupakan perpaduan unsur yin dan yang. Perpaduan yin dan yang inilah yang membuat alam semesta berjalan seimbang. Hiasan pada klenteng umumnya terdapat pada bubungan, gording kerangka konstruksi bagian dalam klenteng, juga di beberapa dinding. Hiasan pada bubungan berupa dua ekor naga (liong) berhadapan seolah sedang berebut bola merah. Naga merupakan simbol dari Kaisar dan bola melambangkan simbol matahari yang artinya sumber penghidupan. Bagi masyarakat Cina naga diyakini sebagai wujud binatang mistik dengan sifat-sifat baiknya dapat melindungi manusia dari segala bencana. Selain hiasan naga yang sedang merebutkan bola mustika, terdapat pula yang tidak kalah penting adalah sembilan patung dewa-dewa yang masing-masing mengendarai seekor binatang yang aneh bentuknya. Patung dewa-dewa ini bagi masyarakat Cina diyakini memiliki kekuatan untuk menjaga klenteng dari gangguan yang bersifat jahat. Pada gording dan kuda-kuda terdapat hiasan burung hong yang dikombinasikan dengan ornamen tumbuh-tumbuhan yang menjalar, sehingga mengesankan nilai seni yang amat tinggi dan agung. Burung hong diyakini sebagai simbol kebajikan, yaitu ketulusan hati, keadilan, kejujuran, kesetiaan, dan kemanusiaan. Menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa, burung hong hanya muncul bila keadaan negara diperintah oleh raja atau kaisar yang bijaksana dalam keadaan makmur dan sejahtera. Patung utama yang dipuja dalam klenteng Tay Kak Sie adalah patung Dewi Kwam Im Po Sat yang disebut pula dengan nama Dewi Welas Asih. Patung ini dipuja sebagai Budhisatwa Amitaba (manusia Budha). Upacara bisa dilakukan secara kelompok besar ataupun secara pribadi. Upacara yang bersifat pribadi atau perorangan dilakukan tanpa pemimpin agama atau biksu. Waktu persembahyangan perorangan umumnya dilakukan setiap sore hari dengan membawa persembahan buah-buahan maupun aneka macam kue-kue dan dupa sebagai pengantar doa. Sementara upacara yang bersifat massal atau besar selalu dipimpin oleh para biksu, misalnya dalam upacara tahun baru Imlek, menyambut kedatangan Cheng Toa Pek Kong naik, upacara pengantar roh naik (Sang Sin), upacara Toa Pek turun (menyambut kembali roh), upacara Cap Go Me (setiap tanggal 15 bulan Imlek), dan upacara Poo Seng Tay Tee, serta upacara lainnya. Sarana upacara yang digunakan dalam persembahyangan adalah berupa patung dewa, serta peralatan lain di antaranya lilin besar dan kecil, lampu minyak kelapa, bun pwee, ciam, vas atau jambangan besar berisi pasir halus untuk menancapkan dupa atau hio dan sebagainya. Sesaji yang dipersembahkan adalah beraneka buah-buahan (apel, mangga, anggur, pisang emas, pir), kue ku, kue moho, dan tumpeng wajik. Dari apa yang telah dikemukakan di atas dapat
13
diambil kesimpulan bahwa di dalam berbagai jenis upacara yang dilaksanakan pada klenteng Tay Kak Sie, menggunakan sarana upacara yang sama.
Daftar Pustaka
Gan Kok Hwie, dkk. 1986. Peringatan 240 tahun Klenteng Tay Kak Sie. Semarang: [t.p.]. Gan Kok Hwie, dkk. 2005. 600 Tahun Pelayaran Muhibah Zheng He (262 th Tay kak Sie). Semarang Geertz, C. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius Hidajat, Z.M. 1993. Masyarakat dan Kebudayaan Tionghoa Indonesia. Bandung: Tarsito. Koentjaraningrat, 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Koentjaraningrat,1998. Pengantar Antropologi II. Jakarta : Diterbitkan Pt. Rineka Cipta. Lan, N. 1961. Peradaban Tionghoa. Jakarta: Keng Po. Miles dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan T. Rohendi Rohidi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-PRESS) Moleong, L.J. 1997. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Muljana, S. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Indonesia. Yogyakarta: LKIS. Murtiyoso, O. 1999. “Kajian Bentuk, Fungsi dan Simbol Elemen Estetis Klenteng Tay Kak Sie Semarang”. Tesis Pascasarjana ITB Bandung Pramudjo, S. I. I. 2002. “Seni Lukis Kontemporer Jepang periode ‘ 80-an – ’90-an: Kajian Estetik Tradisional Wabi-Sabi Jepang”. Ringkasan Disertasi Doktor Bidang Ilmu Humaniora Program Studi Kajian Wilayah Jepang Universitas Indonesia Jakarta. Sachari, A. 1989. Estetika Terapan: Spirit-spirit yang Menikam Desain. Bandung: Nova. Sastrapratedja, M. (ed). 1983. Manusia Multi Dimensional. Jakarta: PT. Gramedia. Sudiardja, A. “Susanne K. Langer: Pendekatan Baru dalam Estetika”, dalam Sastrapratedja, M. (ed). 1983. Suparlan, P. 1982. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. Jakarta : PT. Rajawali.