PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN PROVINSI LAMPUNG
AZELIYAN DWI PUMINDA
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perubahan Tutupan Lahan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2015
Azeliyan Dwi Puminda NIM E34100130
ABSTRAK AZELIYAN DWI PUMINDA. Perubahan Tutupan Lahan Di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Provinsi Lampung. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan RINEKSO SOEKMADI. Taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang dikelola dengan sistem zonasi, yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai keperluan (Undang-undang No. 5 Tahun 1990). Namun sejauh ini masih sering muncul permasalahan yang terjadi hampir disetiap taman nasional, seperti perburuan satwa liar, illegal loging, perambahan, pencurian kayu/tumbuhan langka dan tata batas kawasan. Salah satu taman nasional yang ada di Indonesia yang tidak luput dari permasalahan adalah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan tutupan lahan yang terjadi di TNBBS serta penyebabnya. Setelah dilakukan penelitian dengan menggunakan GIS dan wawancara kepada beberapa pihak, diketahui bahwa dalam kurun tahun 1991 sampai 2013 terjadi penurunan luasan hutan. Penurunan tersebut dikarenakan adanya kegiatan perambahan, yang mayoritas bentuk dari perambahan adalah konversi lahan hutan menjadi perkebunan kopi yang dilakukan oleh masyarakat. Selain itu perambahan yang terjadi di TNBBS sebenarnya sudah terjadi sebelum ditetapkannya kawasan menjadi taman nasional. Kata kunci: taman nasional Bukit Barisan Selatan, perambahan, perubahan tutupan lahan. ABSTRACT AZELIYAN DWI PUMINDA. Landcover Change In Bukit Barisan Selatan National Park Lampung Province, Supervised by LILIK BUDI PRASETYO and RINEKSO SOEKMADI National Park is a conservation nature area which has function to protect life support system, maintain flora fauna and its ecosystem, which is managed by zonation system. The zonation can be divided into core zone, utilization zone and other based on the necessity. However, National Park is still facing problem such as illegal poaching, illegal logging, forest encroachment, and agrarian conflict to national park border. One of national park which has such kind of problem is Bukit Barisan Selatan National Park. The research is aimed at investigation of land use/land cover and its causes. After conducted the research by using GIS and interviewed some participants, the result showed that forest cover is decreased during period of 1991 to 2013. This decrease is due to forest encroachment, in which forest was converted into coffee plantation. In fact, it was happened before the National Park establishment. Keyword: Bukit Barisan Selatan national park, forest encroachment, land cover change.
PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN PROVINSI LAMPUNG
AZELIYAN DWI PUMINDA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Judul Skripsi: Perubahan Tutupan Lahan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Provinsi Lampung Nama
: Azeliyan Dwi Puminda
NIM
: E34100130
Disetujui oleh
�� Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc
Dr Ir Rinekso Soekmadi, MScFTrop
Pembimbing I
Pembimbing II
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala anugerah dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret 2014 ini adalah lingkungan, dengan judul Perubahan Tutupan Lahan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc dan Dr Ir Rinekso Soekmadi, MScFTrop selaku pembimbing. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Tri dan Pak Muniful Hamid yang telah memberikan tempat tinggal selama di Lampung, Bang Ferry dan teman-teman di WCS-IP atas kebaikan dan perhatiannya. Terima kasih juga disampaikan kepada Pak Heri DP, Pak Herry Fakhrizal, Pak Sadatin, dan Keluarga besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan atas bantuannya selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua H. Jonzul Anmar, S.MB dan Hj. Alis Latifah. Kemudian kepada kedua kakak saya Anjeliya Eka Puminda S.Hut, M.Si, Dhany Saptaji Pamungkas S.Hut, dan adik saya Alyajen Tri Puminda. Serta kepada Nourma Maulida S.Pd atas doa, motivasi dan semangat. Ucapan terima kasih kepada keluarga besar asrama putra C4 47, Fahutan 47, KSHE Nepenthes rafflesiana 47, Keluarga Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial, Keluarga besar HIMAKOVA, Keluarga besar Kelompok Pemerhati Gua “HIRA” khususnya G-XVII (Adam Bacem, Galang Keong, Aan Asbak, Dani Coli, Lala Kumeul, Aldi Brew, Yoga Letoy) atas motivasi, bantuan, dukungan dan kebersamaan kita selama ini, serta seluruh staf pengajar, tata usaha, laboran, mamang bibi, juga keluarga besar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata dan Fakultas Kehutanan IPB yang telah membantu, memberikan dukungan, serta memberikan ilmu pengetahuan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Maret 2015 Azeliyan Dwi Puminda
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Tempat
2
Alat
3
Bahan
3
Teknik Pengambilan Jenis Data
3
Pengolahan Dan Analisis Data
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
10
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
10
Penutupan Lahan di SPTN III Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
12
Kondisi Sosekbud di TNBBS SPTN III
27
Sejarah Terjadinya Perambahan di TNBBS
32
Faktor Penyebab Perubahan Penutupan Lahan
35
Bentuk Permasalahan di TNBBS Penyebab Perubahan Tutupan Lahan
39
SIMPULAN DAN SARAN
47
Simpulan
47
Saran
47
DAFTAR PUSTAKA
47
DAFTAR TABEL 1 Jenis data dan teknik yang digunakan dalam pengambilan data 3 2 Parameter/variabel dalam pengumpulan data berdasarkan aktor 5 3 Penetapan kawasan TNBBS 11 4 Penampakan citra dengan jenis tutupan lahan di TNBBS 13 5 Penutupan lahan SPTN III TNBBS tahun 1991 15 6 Penutupan lahan SPTN III TNBBS tahun 2000 16 7 Penutupan lahan SPTN III TNBBS tahun 2013 17 8 Perubahan luasan jenis tutupan lahan di SPTN III kurun waktu 91-00 19 9 Perubahan tutupan lahan pada tiap tipe tutupan lahan kurun waktu 91-00 21 10 Perubahan luasan jenis tutupan lahan di SPTN III kurun waktu 00-13 22 11 Perubahan tutupan lahan pada tiap tipe tutupan lahan kurun waktu 00-13 24 12 Luasan masing-masing subkelompok kurun waktu 1991-2000 26 13 Luasan masing-masing subkelompok kurun waktu 2000-2013 26 14 Jalan tembus kawasan TNBBS yang legal 44 15 Jalan tembus kawasan TNBBS ilegal 44 DAFTAR GAMBAR 1 Lokasi penelitian 2 Tahapan pengolahan citra 3 Tahapan pengolahan data atribut 4 Tahapan analisis perubahan tutupan lahan 5 Tahapan pengolahan data spasial dengan data atribut 6 Peta tutupan lahan SPTN III tahun 1991 7 Peta tutupan lahan SPTN III tahun 2000 8 Peta tutupan lahan SPTN III tahun 2013 9 Peta perubahan tutupan lahan di SPTN III kurun waktu 1991-2000 10 Peta perubahan tutupan lahan di SPTN III kurun waktu 2000-2013 11 Peta perubahan tutupan lahan hutan di tahun 1991-2000 12 Peta perubahan tutupan lahan hutan di tahun 2000-2013 13 Grafik Perubahan tutupan lahan hutan 14 Peta batas kawasan SPTN III dengan 2 kabupaten 15 Luasan lahan pertanian berdasarkan jenis tanaman di Lambar 16 Jumlah produksi pertanian berdasarkan jenis tanaman di Lambar 17 Jumlah pekerja dilihat dari bidang pekerjaan di Lampung Barat 18 Luasan lahan pertanian berdasarkan jenis tanaman di Pesisir Barat 19 Jumlah produksi pertanian berdasarkan jenis tanaman di Pesisir Barat 20 Alur sejarah perambahan di TNBBS 21 Analisis faktor perubahan menurut waktu & event 22 Analisis faktor perubahan berdasarkan waktu & poulse 23 Bentuk perambahan di SPTN III TNBBS (R. Sekincau) 24 Bentuk illegal logging di SPTN III TNBBS 25 Foto semak belukar pada lokasi hutan bekas terbakar (R. Sekincau) 26 Peta jalan tembus di kawasan TNBBS 27 Foto jalan yang menembus kedalam kawasan TNBBS
2 7 8 9 10 15 16 17 20 23 25 26 27 28 29 29 30 31 31 34 36 38 40 42 43 45 45
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang dikelola dengan sistem zonasi, yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai keperluan (Undang-undang No. 5 Tahun 1990). Pembentukan sebuah taman nasional di Indonesia dilatarbelakangi oleh beberapa alasan, diantaranya untuk penyelamatan sebuah kawasan yang didalamnya terdapat flora dan fauna endemik/langka, menyelamatkan budaya dan tentu saja untuk menyelamatkan kawasan hutan tropis yang masih tersisa. Namun sejauh ini taman nasional di Indonesia dapat dikatakan belum mencapai tujuan utama dari pembentukan taman nasional tersebut. Masih sering munculnya permasalahan yang hampir merata disetiap taman nasional seperti perburuan satwa liar, illegal logging, perambahan, pencurian kayu/tumbuhan langka dan tata batas kawasan. Dari puluhan taman nasional yang berada di Indonesia, yang menjadi salah satu sorotan adalah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Taman Nasional Bukit Barisan Selatan merupakan salah satu dari tiga taman nasional di Sumatera yang mewakili prioritas tertinggi bagi unit konservasi harimau, dan taman nasional yang memiliki ekosistem hutan dataran rendah terbesar pada hutan hujan tropis di Asia Tenggara (Forindo 2013). Taman Nasional Bukit Barisan Selatan juga tidak luput dari permasalahan seperti perburuan satwa liar, illegal logging, perambahan, pencurian kayu/tumbuhan langka, konflik manusia-satwa, dan tata batas kawasan. Namun yang menjadi sorotan adalah perambahan lahan baik berupa bukaan lahan atau konversi lahan pertanian. Pada tahun 2007, WWF meluncurkan laporan studi berjudul Gone in an Instant yang memperkirakan bahwa 28% (89 224 hektar) dari luas tutupan hutan taman nasional tersebut telah hancur akibat pembukaan lahan, terlebih untuk perkebunan kopi. Sebesar 60% dari wilayah yang dibuka atau 55 042 hektar sekarang adalah lahan pertanian aktif, sementara 33 822 hektar lainnya adalah padang rumput, semak belukar atau hutan sekunder. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa sekitar 20 000 ton dari 285 000 ton total produksi kopi di Lampung berasal dari lahan ilegal di dalam taman nasional. Berhubungan dengan permasalahan tersebut, maka perlu adanya penelitian mengenai perubahan penutupan lahan di kawasan TNBBS.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan tutupan lahan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan pada tahun 1991, 2000 dan tahun 2013 dan faktor penyebabnya.
2
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi, rujukan atau pertimbangan oleh pihak taman nasional dalam kegiatan pengelolaan kawasan dan pengambilan kebijakan.
METODE Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dan pengambilan data dilakukan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Provinsi Lampung, wilayah SPTN III. Observasi lapangan dilakukan pada 2 resort yaitu di R. Sekincau yang memiliki kasus perambahan yang sangat mengkhawatirkan dan R.Balik Bukit yang wilayahnya paling sedikit mengalami kasus perambahan, serta desa-desa terdekat dengan resort tersebut. Lokasi penelitian terdapat pada Gambar 1.
Gambar 1 Lokasi penelitian Kegiatan pengambilan data di lapang dilakukan pada bulan Maret 2014, sedangkan pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan April sampai Oktober 2014.
3
Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Global Positioning System (GPS), kamera digital, alat tulis, panduan wawancara, tally sheet dan laptop yang dilengkapi dengan beberapa software, yaitu: ArcGIS 9.3, ERDAS Imagine 9.1, Google Earth, Mapsource dan MS. Office 2013. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu citra satelit landsat yang mencakup wilayah penelitian dengan path/row 124/63 dan 124/64. Seperti citra landsat 4 pada tahun 1991 (akuisisi 30 Oktober 1991 dan 30 Oktober 1991) , citra landsat 7 tahun 2000 (akuisisi 5 April 2000 dan 5 April 2000) dan citra satelit landsat 8 tahun 2013 (akuisisi 3 Mei 2013 dan 4 Juni 2013) dan peta rupa bumi Indonesia.
Teknik Pengambilan Jenis Data Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan data-data seperti tercantum pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis data dan teknik yang digunakan dalam pengambilan data No
1
2 3
4
Jenis data Citra landsat 4 TM tahun 1991 Citra landsat 7 TM tahun 2000 Citra landsat 8 OLI tahun 2013 Groundcheck point
5
Wawancara
6
Studi literatur
Sumber
Metode
Teknik pengumpulan data
Earthexplorer.usgs.gov
-
Mengunduh
Earthexplorer.usgs.gov
-
Mengunduh
Forest Watch Indonesia
-
Copy data
Random Sampling
Marking dengan GPS
Observasi lapang
Observasi lapang
FGD
-
Wawancara langsung dengan panduan wawancara Mencari literatur terkait penelitian
4
Observasi lapang Observasi lapang dilakukan secara langsung untuk mendapatkan data-data dalam penentuan tutupan lahan. Dalam hal tersebut yang dilakukan adalah pengambilan data titik GPS yang dilakukan pada masing-masing tipe tutupan lahan, yaitu tipe tutupan lahan hutan, tipe tutupan lahan semak belukar, tipe tutupan lahan pertanian lahan kering, tipe tutupan lahan kebun campuran, tipe tutupan lahan lahan terbuka, tipe tutupan lahan pemukiman dan tipe tutupan lahan badan air. Selain data titik GPS, juga diambil data mengenai foto pada tiap-tiap tipe tutupan lahan tersebut, selain itu juga diambil data mengenai deskripsi tutupan lahan tersebut. Pada saat mengambil data titik GPS, untuk desa yang dekat dengan lokasi penelitian dilakukan kegiatan wawancara kepada masingmasing desa tersebut. Data citra Data Citra yang digunakan adalah citra landsat 4 tahun 1991 dengan tanggal akuisisi 30 Oktober 1991 dan 30 Oktober 1991, tahun 2000 dengan tanggal akuisisi 12 September 2000 dan 5 April 2000 dan tahun 2013 dengan tanggal akuisisi 4 Juni 2013 dan 4 Juni 2013. Untuk path/row yang digunakan adalah 124/63 dan 124/64. Citra landsat 1990 dan 2000 didapat dengan mengunduh langsung dari situs glovis.usgs.gov. Sedangkan pada citra landsat tahun 2013 didapat dari Lembaga Swadaya Masyarakat Forest Watch Indonesia (FWI). Data atribut Data atribut diperoleh dari wawancara yang dilakukan kepada responden yakni masyarakat desa sekitar SPTN III melalui wawancara dengan teknik forum grup discussion dan pencarian informasi kepada informan yang dalam hal ini adalah pihak TNBBS dan pemerintah daerah. Penentuan besarnya sampel tidak ditentukan dari karakteristik satu populasi atau menarik generalisasi kesimpulan bagi satu populasi, melainkan lebih terfokus pada representasi terhadap fenomena sosial yang akan diteliti. Dengan demikian dalam penelitian kualitatif tidak dipersoalkan jumlah sampel, tergantung dari tepat tidaknya pemilihan sampel, kompleksitas dan keragaman sosial yang diteliti (Bunin 2003 di dalam Rudianto 2009). Kemudian hasil dari kuesioner tersebut dicatat seperti apa adanya dan diolah dengan melakukan analisis, baru selanjutnya dilakukan pembuatan kesimpulan tentang hasil kuesioner. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus yaitu pendekatan yang menguraikan dan menjelaskan secara komprehensif mengenai berbagai aspek baik itu individu, kelompok, program atau suatu situasi sosial, dimana penelitian ini diupayakan untuk menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek yang diteliti, serta menggunakan berbagai instrumen sebagai alat pengumpulan data pokok (Mulyana 2006 di dalam Rudianto 2009) Selanjutnya diidentifikasi parameter dan variabel yang relevan untuk dikumpulkan dan dianalisis menurut aktor yang relevan, ditunjukkan pada Tabel 2.
5
Tabel 2 Parameter/variabel dalam pengumpulan data berdasarkan aktor Aktor Balai Taman Nasional
Parameter/variabel Permasalahan di TNBBS
Sejarah perambahan di TNBBS
Upaya mengatasi masalah perambahan
Pemerintah Daerah
Pandangan pemerintah daerah (kabupaten/kecamatan/desa) setempat mengenai perambahan di dalam kawasan taman nasional yang dilakukan oleh masyarakat Kebijakan dan program pemerintah daerah dalam menanggapi permasalahan perambahan di TNBBS Data demografi desa sekitar SPTN III
Masyarakat
Pandangan masyarakat terhadap kawasan TN dan perambahan di dalamnya
Sejarah kedatangan masyarakat di TNBBS SPTN III
Karakteristik masyarakat di dalam dan sekitar kawasan taman nasional
Proses kepemilikan lahan yang berada di dalam kawasan TN
Metode pengumpulan data Wawancara mendalam dan pengumpulan data sekunder Wawancara mendalam dan pengumpulan data sekunder Wawancara mendalam dan pengumpulan data sekunder Wawancara mendalam dan pengumpulan data sekunder Wawancara mendalam dan pengumpulan data sekunder Wawancara dan pengumpulan data sekunder Wawancara mendalam, observasi lapang dan pengumpulan data sekunder Wawancara mendalam, observasi dan pengumpulan data sekunder Wawancara, observasi lapang dan pengumpulan data sekunder Observasi dan pengumpulan data sekunder
6
Pengolahan Dan Analisis Data Pengolahan citra Data Citra landsat diolah dengan menggunakan software ArcGIS 9.3 dan ERDAS Imagine versi 9.1. Langkah pertama yang dilakukan untuk menganalisis citra landsat adalah dengan melakukan koreksi geometrik dan radiometrik terhadap ketiga citra tersebut, yakni citra landsat tahun 1991, 2000 dan 2013. Penentuan lokasi penelitian dilakukan pada areal yang diduga terjadi perubahan penutupan lahan di dalam kawasan TNBBS, dan peneliti mengambil lokasi pada SPTN III TNBBS. Lokasi tersebut dibutuhkan 2 scene yakni path/row 124/63 dan 124/64. Kemudian 2 scene tersebut di-mosaic untuk menggabungkan 2 scene lalu di subset agar lebih mempermudah dan memfokuskan citra pada lokasi penelitian. Dalam klasifikasi penutupan lahan, dikenal dengan dua metode interpretasi citra yaitu metode visual-manual dan metode digital (komputer)-otomatis. Penafsiran/interpretasi secara manual-visual, sebagaimana arti katanya, merupakan metode interpretasi yang didasarkan pada hasil penyimpulan visual terhadap ciri-ciri spesifik obyek pada citra yang dikenali dari bentuk, ukuran, pola, bayangan, tekstur, dan lokasi obyek. Metode ini disebut sebagai metode manual karena penafsirannya dilakukan oleh manusia sebagai interpreter. Proses interpretasi dapat saja menggunakan bantuan komputer untuk digitasi on screen, namun justifikasinya tetap dilakukan secara manual. Out put metode ini berupa data vektor (Sugiarto 2013). Metode yang digunakan pada penelitian ini, peneliti memilih metode manual-visual. Hal tersebut dikarenakan beberapa pertimbangan, Sugiarto (2013) mengatakan untuk metode digital-otomatis biasanya digunakan untuk menafsirkan areal yang luas (seluruh wilayah pulau Jawa atau Indonesia), sedangkan penelitian ini hanya dilakukan pada 1 SPTN saja. Selain itu metode digital-otomatis juga memiliki kelemahan-kelemahan yang cukup besar dibandingkan dengan metode manual-visual. Metode digital-otomatis seringkali bermasalah terkait isu ketelitian hasil interpretasi. Perlu kehati-hatian ketika memilih metode ini. Nilai akurasi hasil klasifikasi perlu diuji untuk mengetahui tingkat ketepatan hasil klasifikasi dibandingkan kondisi sebenarnya di lapangan. Kelemahan yang lain bersumber dari keterbatasan kemampuan komputer untuk membaca kunci-kunci interpretasi obyek. Perkembangan teknologi komputer untuk penafsiran citra saat ini umumnya baru sampai pada tahap pemanfaatan rona (brightness) sebagai penciri obyek. Dibandingkan dengan metode visual yang menggunakan kunci-kunci interpretasi yang saling mendukung dan melengkapi meliputi: bentuk, ukuran, pola, rona, bayangan, tekstur, dan lokasi. (Sugiarto 2013). Tahapan penelitian selanjutnya adalah dengan digitasi citra tahun 2013 pada lokasi penelitian, yakni SPTN III dengan menggunakan ArcGIS 9.3. Pengklasifikasian tutupan lahan dilakukan dengan acuan kunci interpretasi yang digunakan peta tutupan lahan kawasan lain. Setelah diklasifikasikan maka didapat hasil citra yang telah terklasifikasi, seperti hutan, pemukiman, lahan pertanian, kebun campuran, badan air, semak belukar, dan lahan terbuka. Pada tahap selanjutnya dilakukan validasi dengan melakukan cek lapangan pada tiap-tiap tutupan lahan yang terdapat pada kawasan. Setelah data groundcheck diperoleh,
7
selanjutnya dilakukan perbaikan klasifikasi berupa perbaikan digitasi dan penafsiran tutupan lahan pada citra tahun 2013 dengan menggunakan acuan data groundcheck point yang telah diambil selama dilapangan dan dengan melihat langsung tutupan lahan pada Google Earth, terutama untuk lokasi yang tidak disurvey namun masuk kedalam lokasi penelitian. Kemudian dengan menggunakan acuan data groundcheck point tersebut, dilakukan digitasi untuk klasifikasi tutupan lahan citra tahun 1991 dan 2000. Setelah proses tersebut, maka akan menghasilkan peta tutupan lahan pada tahun 1991, 2000, dan 2013. Tahapan pengolahan citra ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2 Tahapan pengolahan citra
8
Pengolahan Data Atribut Data primer yang diperoleh melalui wawancara yang dilakukan kepada ketiga aktor utama dalam penelitian ini yakni pihak taman nasional, pemerintah daerah dan masyarakat yang berada di sekitar kawasan SPTN III serta data sekunder yang diperoleh dari studi literatur seperti dokumen Pemda dan makalah ilmiah. Kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk teks naratif, tabel atau grafik untuk melihat keterkaitan dari aspek-aspek utama yang menjadi dampak terhadap sosial ekonomi, sosial politik dan sosial ekologi berdasarkan kejadian konversi lahan yang terjadi di dalam kawasan SPTN III. Kemudian setelah itu, hasil akhirnya ditarik dengan suatu kesimpulan dari semua data yang telah diolah. Tahapan pengolahan data atribut ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3 Tahapan pengolahan data atribut
Analisis Data Spasial Dari citra yang telah diolah akan menghasilkan tampilan areal perubahan penutupan lahan kawasan TNBBS tahun 1991 sampai 2013. Analisis perubahan penutupan lahan dikhususkan pada kawasan yang masih memiliki tutupan lahan dengan tipe hutan. Proses analisis dilakukan dengan membandingkan peta penutupan lahan tahun 1991 ke 2000 dan 2000 ke 2013 dengan cara meng-overlay peta tersebut. Dari proses overlay tersebut akan nampak penutupan lahan hutan yang mengalami perubahan selama kurun waktu tahun 1991 sampai dengan tahun 2000 dan juga pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2013. Perubahan-perubahan yang terjadi selama kurun waktu tersebut selanjutnya dibuat ke dalam bentuk peta serta tabel untuk memudahkan dalam melihat perubahan penutupan lahan yang terjadi pada kawasan TNBBS, selain itu juga untuk diketahui masing-masing luasan tipe tutupan lahan yang dianalisis tersebut. Tahapan analisis perubahan tutupan lahan ditunjukkan pada Gambar 4.
9
Gambar 4 Tahapan analisis perubahan tutupan lahan Analisis Data Spasial dengan Data Atribut Setelah dilakukannya pengolahan kepada dua data utama yakni data atribut yang berupa data primer, diperoleh melalui wawancara yang dilakukan kepada ketiga aktor utama dalam penelitian ini yakni pihak taman nasional, pemerintah daerah dan masyarakat yang berada disekitar kawasan taman nasional SPTN III serta data sekunder yang diperoleh dari studi literatur berupa dokumen pemda dan makalah ilmiah serta pengolahan data spasial yang berasal dari digitasi citra dengan path/row 123/63 dan 123/64 tahun 2013, 2000 dan 1991. Ketiga citra yang digunakan tersebut merupakan citra pada lokasi penelitian, yakni SPTN III. Kemudian setelah itu dilakukan pengolahan selanjutnya berupa penggabungan analisis dari data spasial dengan data atribut yang dilakukan untuk memudahkan dalam menganalisis faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab perubahan penutupan lahan serta dampak apa saja yang terjadi dari faktor-faktor penyebab tersebut terhadap keberadaan tutupan lahan. Data spasial pada tahun 1991, 2000 dan 2013 yang telah diolah dan diklasifikasi sesuai dengan tipe tutupan lahannya kemudian dianalisis dengan data atribut yang telah dikumpulkan dan dianalisis untuk mengetahui faktor-faktor dan hubungan antara data spasial dengan data atribut penyebab perubahan tutupan lahan yang terjadi selama kurun waktu tersebut. Kemudian hasil dari analisis data spasial dengan data atribut disajikan dalam bentuk fish bone diagram dan dihubungkan antara perubahan tutupan lahan dengan suatu kejadian/momen yang terjadi berdasarkan waktu kejadian. Metode ini dikenal dengan nama content analysis. Untuk content analysis dilakukan terhadap data spasial dengan data sejarah/kejadian pada selang tahun tersebut serta data spasial dengan poulse yang dikeluarkan pada selang tahun tersebut. Tahapan pengolahan data spasial dengan data atribut ditunjukkan pada Gambar 5.
10
Gambar 5 Tahapan pengolahan data spasial dengan data atribut
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Keadaaan umum kawasan TNBBS dalam sejarahnya, pada tahun 1935 ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa melalui Besluit Van der Gouverneur General van Nederlandsch Indie No. 48 Stbl. 1935 seluas 356 800 Ha. Selanjutnya setelah kemerdekaan pengelolaan kawasan ini ditetapkan menjadi Kawasan Suaka Alam oleh Indonesia pada tanggal 1 April 1974. TNBBS ditetapkan tanggal 14 Oktober 1982 melalui Surat Pernyataan Menteri Pertanian Nomor 736/MENTAN/X/1982 seluas 356 800 Ha. Kawasan Cagar Alam Laut (CAL – BBS) seluas 21 600 Ha yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 71/Kpts-II/1990 tanggal 15 Pebruari 1990. Pada bulan Juli 2004, TNBBS ditetapkan sebagai Tapak Warisan Dunia bersama dengan TN Gunung Leuser dan TN Kerinci Seblat dengan nama The Tropical Rainforest Heritage of Sumatera (TRHS) oleh UNESCO (WWF Indonesia 2013). Selain itu juga menjadi taman nasional dengan ekosistem hutan dataran rendah terbesar pada hutan tropis di Asia Tenggara. Secara geografis TNBBS terletak pada 103º 23′ – 104º 43′ bujur timur dan 04º 33′ – 05º 57′ lintang selatan. Kawasan ini sedikitnya memiliki 23 sungai besar dan ratusan anak-anak sungai yang mengaliri air ke daerah-daerah hilir di sepanjang pesisir Kabupaten Tanggamus, Pesisir Barat, Lampung Barat dan Bengkulu Selatan. Sejarah dalam penetapan kawasan TNBBS ditunjukkan pada Tabel 3.
11
Kawasan Hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
Konservasi Laut
Tabel 3 Penetapan kawasan TNBBS Tanggal Status Luas Surat (Ha) Keputusan Menteri TN 356.800 Surat 14/10/82 Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982
CALBBS
21.600
Jumlah
378.400
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 71/KPTSII/1990
15/02/90
Lokasi
Prov. Lampung (Kab. Tanggamus , Kab. Pesisir Barat dan Kab. Lampung Barat) dan Prov. Bengkulu (Kab. Kaur) Prov. Lampung
Sumber: Balai Besar TNBBS 2008
Letak dan pembagian wilayah Secara geografis kawasan TNBBS berada pada 103º24’ - 104º43’ BT dan 04º31’ - 05º 57’ LS. Panjang batas kawasan TNBBS 953 902 km terdiri dari 127 622 km berupa batas alam dan sisanya sepanjang 826 281 km berupa batas buatan. Berdasarkan SK Dirjen PHKA No. 57/Kpts/DJ-VI/1990 tanggal 31 Mei 1990, kawasan TNBBS dibagi dalam zona yang terdiri dari zona inti seluas ± 191 125 Ha, zona rimba seluas ± 160 012.5 Ha, zona pemanfaatan seluas ± 850 Ha, dan zona penyangga seluas ± 4 812.5 Ha. Geologi dan tanah Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan menurut Peta Geologi Sumatera yang dibuat oleh Lembaga Penelitian Tanah (1965), terdiri dari Batuan Endapan (Miosin Bawah, Neogen, Paleosik Tua, Aluvium), Batuan Vulkanik (Recent, Kuatener Tua, Andesit Tua, Basa Intermediet) dan Batuan Plutonik (Batuan Asam). Batuan yang tersebar paling luas adalah Batuan Vulkanik yang berada di bagian tengah dan utara taman nasional. Berdasarkan peta tanah yang dibuat oleh Lembaga Penelitian Tanah Bogor (1976), tanah di kawasan TN Bukit Barisan Selatan terdiri dari 6 jenis tanah yaitu Aluvial, Rensina, Latosol, Podsolik Merah Kuning dan 2 jenis Andosol. Tanah yang paling luas tersebar adalah jenis Podsolik Merah Kuning yang mempunyai sifat fisik labil dan rawan erosi.
12
Topografi Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan terletak di ujung Selatan dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan, sehingga memiliki topografi yang cukup bervariasi yaitu mulai datar, landai, bergelombang, berbukit-bukit curam dan bergunung-gunung dengan ketinggian berkisar antara 0 -1964 m dpl. Lereng timurnya cukup curam sedangkan lereng barat ke arah Samudera Hindia agak landai. Berdasarkan peta lereng dan kemampuan tanah Provinsi Lampung, kawasan taman nasional ini merupakan daerah yang labil karena Terletak pada zona sesar utama Sumatera (Zona Sesar Semangka) daerah berdataran rendah (0600 m dpl) dan berbukit (600 - 1.000 m dpl) terletak di bagian selatan taman nasional sementara daerah pegunungan (1.000 - 2.000 m dpl) terletak di bagian tengah dan utara taman nasional. Iklim Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan merupakan kawasan yang dapat menghasilkan keseimbangan iklim. Pengaruh rantai pegunungan Bukit Barisan Selatan mengakibatkan kawasan ini memiliki dua tipe iklim (tipe iklim A di sisi Barat taman nasional dan tipe iklim B yang lebih kering di sisi timur taman nasional). Di bagian barat taman nasional curah hujannya cukup tinggi, yaitu berkisar antara 3 000–3 500 mm per tahun dan bagian timur taman nasional berkisar antara 2 500 –3 000 mm per tahun. Musim hujan berlangsung dari bulan November sampai Mei. Musim kemarau dari bulan Juni sampai Agustus. Bulan agak kering adalah September sampai Oktober. Jumlah hari hujan di musim penghujan rata-rata tiap bulannya 10–16 hari dan dimusim kemarau 4 – 8 hari. Keadaan angin musim hujan lebih besar dari musim kemarau dan taman nasional mempunyai kelembaban udara antara 80-90% dan temperature berkisar antara 20ºC–28ºC. Penutupan Lahan di SPTN III Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Penutupan lahan merupakan jenis kenampakan yang ada di atas permukaan bumi (Lillesand dan Kiefer 1990). Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, terutama di Seksi Pengelolaan Taman Nasional III Krui dengan total luasan 120 920.63 ha diklasifikasikan ke dalam 8 tipe penutupan lahan, yaitu tipe tutupan lahan hutan, lahan terbuka, pemukiman, lahan pertanian kering, kebun campuran, badan air, semak belukar, dan sawah. Klasifikasi ini disesuaikan dengan kondisi sebenarnya di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan secara umum ketika dilakukan groundcheck, dan untuk kawasan SPTN III yang tidak dilakukan groundcheck dikarenakan beberapa hal diklasifikasi dengan mengacu pada citra milik Google Earth yang memiliki resolusi lebih besar sehingga mudah untuk dianalisis. Untuk tipe tutupan lahan hutan merupakan tipe penutupan lahan yang didominasi oleh berbagai jenis tumbuhan hutan yang alami seperti jenis-jenis pohon medang (Dehaasia sp.), pasang (Quercus sondaicus), surian (Toona ciliate), kayu kelat (Syzygium sp.), kemuning (Murraya paniculata), dan pohon hutan lainnya. Serta memiliki strata tajuk yang relatif rapat. Penutupan lahan berupa hutan secara keseluruhan seharusnya mendominasi di dalam kawasan. Namun karena
13
aktifitas manusia yang berada disekitar kawasan menjadikan penutupan lahan hutan pada masa sekarang ini mengalami perubahan. Lahan terbuka adalah jenis lahan yang tidak bervegetasi atau lahan yang belum dimanfaatkan masyarakat sebagai lahan pertanian atau lahan lainnya. Lahan ini biasanya terjadi akibat adanya perambahan dan penebangan liar di dalam kawasan. Lahan pemukiman merupakan daerah yang dibuat di dalam kawasan untuk menunjang aktivitas manusia. Lahan pemukiman yang terdapat dalam kawasan TNBBS yaitu kantor resort, bumi perkemahan, jalan raya, serta shelter ilegal yang dibuat oleh masyarakat di dalam maupun di sekitar kawasan sebagai tempat istirahat dan menaruh hasil pertanian/perburuan mereka. Pertanian lahan kering adalah lahan yang digunakan untuk menghasilkan tanaman pangan yang dalam kasus ini, tanaman kopi sangat mendominasi lahan pertanian kering di TNBBS. Tipe penutupan lahan kebun campuran adalah bentuk pertanian yang dalam penanamannya tanaman pangan bercampur dengan tanaman hutan. Hal ini terjadi karena pernah dilakukan beberapa program rehabilitasi lahan di kawasan pertanian di dalam TNBBS dengan menanam tanaman hutan. Untuk tipe penutupan lahan badan air berupa danau atau sungai. Tipe sawah adalah lahan basah yang digunakan untuk menanam tanaman padi. Tipe semak belukar adalah lahan yang ditumbuhi dan dipenuhi oleh semak belukar, biasanya terbentuk karena suatu lahan pertanian yang sudah tidak digunakan dan diolah kembali, kemudian dibiarkan oleh pengolahnya, maka akan muncul semak belukar yang mengisi lahan kosong tersebut secara alami atau muncul dari bekas lahan hutan yang terbakar, yang kemudian dari lahan tersebut akan terjadi proses suksesi dan selanjutnya ditumbuhi oleh semak belukar. Penampakan citra masing-masing tipe, dan gambar yang diambil dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Penampakan citra dengan jenis tutupan lahan di TNBBS No Tipe Penampakan Foto Penutupan Citra Lahan 1 Hutan
2 Pertanian Lahan Kering
14
Tabel 4 Penampakan citra dengan jenis tutupan lahan di TNBBS (lanjutan) No
Tipe Penutupan Lahan
Penampakan Citra
Foto
3 Kebun Campuran
4 Lahan Terbuka 5 Pemukiman 6 Semak Belukar
7 Sawah
8 Badan Air
Penutupan lahan SPTN III TNBBS tahun 1991 Hasil dari pengolahan citra pada tahun 1991 didapat data berupa klasifikasi mengenai tipe tutupan lahan yang terdapat di SPTN III TNBBS serta luasan masing-masing jenis tutupan lahan tersebut. Data mengenai luas wilayah berbagai tipe penutupan lahan di Taman Nasional yang ditunjukkan pada Tabel 5.
15
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Tabel 5 Penutupan lahan SPTN III TNBBS tahun 1991 Tahun 1991 Penutupan Lahan Luas (Ha) Presentase (%) Hutan 84 302.12 69.72 Kebun Campuran 5 649.38 4.67 Pertanian Lahan Kering 25 677.33 21.23 Lahan Terbuka 4 515.43 3.73 Semak Belukar 199.43 0.16 Pemukiman 215.45 0.18 Sawah 14.17 0.01 Badan Air 347.32 0.29 Total 120 920.63 100.00
Tipe penutupan lahan yang paling luas pada tahun 1991 adalah penutupan lahan hutan dengan luasan total 84302.12 ha atau 69.72% dari seluruh kawasan, sedangkan penutupan lahan yang paling sedikit adalah sawah seluas 14.17 ha atau 0.01% dari seluruh kawasan. Pada tahun 1991 luas kebun campuran seluas 5649.38 ha atau 4.67% dari luas seluruh kawasan. Luas pemukiman yaitu sebesar 215.45 ha atau 0.18% dari luas seluruh kawasan, luas lahan terbuka sebesar 4515.43 ha atau 3.73% dan pertanian lahan kering 25677.33 ha atau 21.23%. Peta tutupan lahan SPTN III tahun 1991 dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Peta tutupan lahan SPTN III tahun 1991
16
Penutupan lahan SPTN III TNBBS tahun 2000 Hasil dari pengolahan citra pada tahun 2000 didapat data berupa klasifikasi tipe tutupan lahan yang ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6 Penutupan lahan SPTN III TNBBS tahun 2000 Tahun 2000 No Penutupan Lahan Luas (Ha) Presentase (%) 1 Hutan 80 143.11 66.28 2 Kebun Campuran 1 616.60 1.34 3 Pertanian Lahan Kering 36 576.98 30.25 4 Lahan Terbuka 2 174.26 1.80 5 Semak Belukar 64.18 0.05 6 Pemukiman 42.49 0.04 7 Sawah 10.39 0.01 8 Badan Air 292.62 0.24 Berdasarkan data penutupan lahan tersebut tipe penutupan lahan yang paling luas adalah penutupan lahan berjenis hutan dengan luas 80 143.11, sedangkan penutupan lahan yang paling sedikit adalah sawah seluas 10.39 ha. Pada tahun 2000 luas pertanian lahan kering mencapai 36 576.98 ha. Luas lahan terbuka sebesar 2 174.26 ha, luas kebun campuran sebesar 1 616.60 ha, luas pemukiman seluas 42.49 ha dan semak belukar sebesar 64.18 ha. Peta tutupan lahan SPTN III tahun 2000 dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Peta tutupan lahan SPTN III tahun 2000
17
Penutupan lahan SPTN III TNBBS tahun 2013 Hasil dari pengolahan citra pada tahun 2013, dihasilkan data mengenai klasifikasi tutupan lahan yang ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 Penutupan lahan SPTN III TNBBS tahun 2013 Tahun 2013 No Penutupan Lahan Luas (Ha) Presentase (%) 1 Hutan 78 224.98 64.69 2 Kebun Campuran 6 642.90 5.49 3 Pertanian Lahan Kering 35 390.77 29.27 4 Lahan Terbuka 162.57 0.13 5 Semak Belukar 107.92 0.09 6 Pemukiman 82.18 0.07 7 Sawah 27.54 0.02 8 Badan Air 281.78 0.23 Total 120 920.63 100.00 Berdasarkan data penutupan lahan tersebut tipe penutupan lahan yang paling luas adalah penutupan lahan hutan dengan luas 78 224.98 ha sedangkan penutupan lahan yang paling sedikit adalah sawah seluas 27.54 ha. Pada tahun 2013 luas pertanian lahan kering mencapai 35 390.77 ha, luas kebun campuran yaitu sebesar 6 642.90 ha, luas lahan terbuka sebesar 162,57 ha dan semak belukar sebesar 82.18 ha. Peta tutupan lahan SPTN III tahun 2013 dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Peta tutupan lahan SPTN III Tahun 2013
18
Perubahan penutupan lahan kurun waktu 1991-2000 Berdasarkan hasil klasifikasi citra satelit landsat pada tahun 1991 dan pada tahun 2000 yang masing-masing citra pada tahun tersebut telah diolah dan dianalisis, kemudian hasilnya di-overlay antara peta tahun 1991 dengan peta tahun 2000 untuk dianalisis kembali. Setelah dilakukannya overlay maka didapat data mengenai wilayah SPTN III TNBBS mana saja yang mengalami perubahan penutupan lahan. Dalam kurun waktu tahun 1991 sampai tahun 2000 telah terjadi peningkatan dan penurunan luas wilayah penutupan lahan yang terdapat dalam kawasan SPTN III. Untuk penutupan lahan tipe hutan dalam kurun waktu tahun 1991 sampai tahun 2000 mengalami penurunan sebesar 4 159.01 ha. Sehingga luasan hutan yang pada tahun 1991 mencapai 84 302.12 ha menjadi 80 143.11 ha. Penurunan kawasan berhutan tersebut diduga terjadi karena adanya konversi lahan yang dilakukan oleh masyarakat pada selang tahun tersebut, sehingga berdampak pada peningkatan luasan tipe penutupan lahan lainnya, yang pada hal ini terdapat pada tipe tutupan lahan pertanian lahan kering. Pertanian lahan kering adalah tipe tutupan lahan yang memiliki kenaikan luasan yang paling signifikan diantara tipe tutupan lahan lainnya yakni seluas 10 899.65 ha atau mengalami kenaikan sebesar 9.01% dari luasan tutupan lahan pertanian lahan kering pada tahun 1991. Pada selang waktu tahun 1991 sampai tahun 2000 tipe penutupan lahan lainnya yang mengalami penurunan luas diantaranya adalah lahan terbuka. Penurunan luas lahan terbuka dari luasan sebesar 4 515.43 ha menjadi 2 174.26 ha atau berkurang seluas 2 341.17 ha. Hal tersebut terjadi diduga karena kondisi lahan pertanian dalam kawasan yang semakin bertambah luasannya sehingga banyak lokasilokasi yang pada awalnya berupa lahan terbuka yang menjadi tipe tutupan lahan pertanian lahan kering. Tipe penutupan lahan yang mengalami penurunan luasan lainnya yaitu semak belukar, badan air dan pemukiman. Tipe tutupan badan air mengalami penurunan luasan sebesar 54.70 ha atau sebesar 0.05 % dari tahun 1991. Hal ini disebabkan beberapa lokasi yang diklasifikasikan sebagai badan air tertutup oleh tajuk hutan pada citra yang ditampilkan. Hal tersebut juga terjadi pada pemukiman, yang mengalami penurunan luasan sebesar 172.96 ha. Penurunan tipe tutupan lahan pemukiman terjadi di jalan tembus pada Resort Pugung Tampak yang pada tahun 2000 jalan tembus tersebut tertutup oleh tajuk hutan, sehingga tidak dapat diklasifikasikan kembali sebagai tipe tutupan lahan pemukiman. Tipe penutupan lahan semak belukar mengalami penurunan luas sebesar 135.25 ha atau sebesar 0.11%. Penurunan tipe tutupan lahan tersebut terjadi karena diduga beberapa lokasi ada yang sudah menjadi tipe tutupan lahan hutan atau menjadi tipe tutupan lahan lahan terbuka yang dilakukan oleh masyarakat sekitar untuk kemudian dijadikan sebagai lahan pertanian ilegal milik mereka. Untuk beberapa lokasi semak belukar pun ada yang langsung menjadi lahan pertanian. Perubahan penutupan lahan yang bertipe sawah mengalami penurunan dari luasan 14.17 ha menjadi 10.39 ha, hal tersebut diduga karena adanya tindakan atau usaha yang telah dilakukan oleh BTNBBS untuk penurunan perambahan di dalam kawasan. Perubahan tersebut dapat dilihat dalam Tabel 8 untuk perbandingan pada selang tahun 1991 sampai 2000 dan untuk tampilan perubahan tutupan lahan dalam bentuk peta dapat dilihat pada Gambar 9.
19
Tabel 8 Perubahan luasan jenis tutupan lahan di SPTN III kurun waktu 1991-2000 No
Penutupan Lahan
Tahun 1991 Luas (Ha)
Tahun 2000
80 143.11
Presentase (%) 66.28
4.67
1 616.60
25 677.33
21.23
4 515.43
Semak Belukar
6
Pemukiman
7
Sawah
8
Badan Air
1
Hutan
2
4
Kebun Campuran Pertanian Lahan Kering Lahan Terbuka
5
3
Total
84 302.12
Presentase (%) 69.72
5 649.38
-4 159.01
Presentase (%) -3.44
1.34
-4 032.78
-3.34
36 576.98
30.25
10 899.65
9.01
3.73
2 174.26
1.80
-2.341.17
-1.94
199.43
0.16
64.18
0.05
-135.25
-0.11
215.45
0.18
42.49
0.04
-172.96
-0.14
14.17
0.01
10.39
0.01
-3.78
-0.00
347.32
0.29
292.62
0.24
-54.70
-0.05
120 920.63
100.00
Luas (Ha)
Perubahan 1991-2000
120 920.63
Luas (Ha)
100.00
19
20
20
Gambar 9 Peta perubahan tutupan lahan di SPTN III kurun waktu 1991-2000
21
Perubahan penutupan lahan berdasarkan jenis tutupan lahan pada tahun 1991-2000 Data pada Tabel 8 dijelaskan mengenai terjadinya penurunan luasan hutan, selain itu juga dijelaskan mengenai terjadinya kenaikan luasan pertanian lahan kering yang sangat signifikan. Untuk mengetahui perubahan-perubahan apa saja yang terjadi pada masing-masing tipe tutupan lahan, dan apa saja yang menjadi tipe tutupan lahan pertanian lahan kering dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Perubahan tutupan lahan pada tiap tipe tutupan lahan tahun 1991-2000 1 2
1 74 822.55 1 065.18
2 7 325.40 24 271.34
3 410.80 134.76
4 1 692.30 191.94
5 0.00 2.06
6 0.00 5.05
7 0.00 1.51
8 8.21 5.47
3
3 657.37
1 121.04
715.11
124.33
20.30
33.90
1.46
4
321.80
3 817.36
182.66
164.62
11.99
16.93
0.03
13.48 0.00
5
36.67
8.17
167.81
0.00
29.82
0.00
0.00
0.00
6
234.42
21.33
5.47
0.75
0.00
236.75
0.00
0.00
7 8
0.00 5.12
6.47 5.88
0.00 0.00
0.33 0.00
0.00 0.00
0.00 0.00
7.38 0.00
0.00 15.33
Keterangan: 1=hutan, 2=pertanian lahan kering, 3=kebun campuran, 4=lahan terbuka, 5=semak belukar, 6=badan air, 7=sawah, 8=pemukiman
Pada Tabel 9 ditunjukkan bahwa terjadi perubahan tutupan lahan hutan menjadi pertanian lahan kering dengan luasan lahan yang mencapai 7 325.40 ha. Hal tersebut sangat tidak sebanding dengan perubahan tutupan lahan kering yang menjadi hutan dengan luasannya yang hanya mencapai 1 065.18 ha. Kemudian luasan tutupan lahan pertanian lahan kering yang tetap menjadi tutupan lahan pertanian lahan kering seluas 24 271.34 ha. Untuk luasan lahan terbuka yang menjadi pertanian lahan kering seluas 321.80 ha yang semakin menambah bobot luasan dari tutupan lahan pertanian lahan kering tersebut, ditambah lagi dengan adanya perubahan tutupan lahan lahan terbuka menjadi tipe tutupan lahan pertanian lahan kering dengan luasan yang mencapai 3 817.36 ha. Sementara untuk tutupan lahan hutan sendiri ada yang menjadi tipe tutupan lahan lahan terbuka yang mencapai luasan 1 692.30 ha yang akan semakin menambah bobot dari penurunan luasan hutan tersebut. Perubahan penutupan lahan kurun waktu 2000-2013 Berdasarkan hasil klasifikasi citra satelit landsat tahun 2000 dan 2013 yang masing-masing citra pada tahun tersebut telah diolah dan dianalisis, kemudian hasilnya di-overlay antara peta tahun 2000 dengan peta tahun 2013 untuk dianalisis kembali. Setelah dilakukannya overlay maka didapat data mengenai wilayah SPTN III TNBBS yang mengalami perubahan penutupan lahan. Dalam kurun waktu tahun 2000 sampai tahun 2013 telah terjadi peningkatan dan penurunan luas wilayah penutupan lahan yang terdapat dalam kawasan SPTN III. Perubahan tersebut dapat dilihat dalam Tabel 10 untuk perbandingan pada selang tahun 1991 sampai 2000 dan untuk tampilan perubahan tutupan lahan dalam bentuk peta dapat dilihat pada Gambar 11.
22
22
Tabel 10 Perubahan luasan berbagai jenis tutupan lahan di SPTN III kurun waktu 2000-2013 Tahun 2000 No
Penutupan Lahan
Tahun 2013
80 143.11
Presentase (%) 66.28
2 Kebun Campuran
1 616.60
3 Pertanian Lahan Kering
2000-2013
78 224.98
Presentase (%) 64.69
1.34
6 642.90
5.49
5 026.30
4.16
36 576.98
30.25
35 390.77
29.27
-1 186.21
-0.98
4 Lahan Terbuka
2 174.26
1.80
162.57
0.13
-2 011.69
-1.66
5 Semak Belukar
64.18
0.05
82.18
0.07
18.00
0.01
6 Pemukiman
42.49
0.04
107.92
0.09
65.43
0.05
7 Sawah
10.39
0.01
27.54
0.02
17.15
0.01
292.62
0.24
281.78
0.23
-10.84
-0.01
120 920.63
100.00
120 920.63
100.00
Luas (Ha)
1 Hutan
8 Badan Air Total
Luas (Ha)
Presentase (%) -1 918.13 1.59
Luas (Ha)
23
Gambar 10 Peta perubahan tutupan lahan di SPTN III kurun waktu 2000-2013
23
24
Penutupan lahan hutan dalam kurun waktu 2000-2013 mengalami penurunan sebesar 1 918.13 ha. Sehingga luasan hutan yang pada tahun 2000 mencapai 80 143.11 ha menjadi 78 224.98 ha. Penurunan kawasan berhutan tersebut terjadi karena adanya peningkatan luas tipe penutupan lahan lainnya. Pada tutupan lahan kebun campuran terjadi kenaikan luasan sebesar 5 026.30 ha dari 1 616.60 ha menjadi 6 642.90 ha. Hal tersebut diduga karena adanya rehabilitasi hutan yang dilakukan oleh BTNBBS terutama di lahan-lahan pertanian. Hal tersebut yang juga menyebabkan penurunan luas kawasan pertanian lahan kering dari luasan yang mencapai 36 576.98 ha menjadi 35 390.77 ha atau penurunan seluas 1 186.21 ha. Pada selang waktu tahun 2000 sampai 2013 tipe penutupan lahan lainnya yang mengalami kenaikan luas diantaranya adalah semak belukar, pemukiman dan sawah. Kenaikan semak belukar diduga karena adanya penurunan lahan terbuka yang pada awalnya seluas 2 174.26 ha menjadi 162.57 ha, sehingga terjadi suksesi pada lahan tersebut dan menjadikan semak belukar mengalai kenaikan luasan sebesar 18.00 ha. Untuk pemukiman mengalami kenaikan seluas 65.43 ha dikarenakan beberapa kawasan jalan yang pada tahun 2000 tertutup oleh tajuk hutan, mulai terbuka, sehingga dapat diklasifikasikan menjadi pemukiman. Untuk tutupan lahan jenis sawah mengalami kenaikan sebesar 17.15 ha, dikarenakan adanya penurunan dari tutupan lahan berjenis badan air seluas 10.84 ha dan diduga menjadi sawah, walaupun tidak semuanya dikarenakan tertutup tajuk hutan. Perubahan penutupan lahan berdasarkan jenis tutupan lahan pada tahun 2000-2013 Pada Tabel 11 ditunjukkan bahwa perubahan luasan hutan yang masih terjadi penurunan. Namun untuk kebun campuran sendiri mengalami kenaikan yang cukup signifikan, sementara pertanian lahan kering terjadi penurunan. Untuk masing-masing perubahan pada tiap tutupan lahan dan luasannya terdapat pada Tabel 11. Tabel 11 Perubahan tutupan lahan pada tiap tipe tutupan lahan tahun 2000-2013 3
4
5
6
7
8
1
72 205.86
1
5 891.17
2
1 837.60
110.51
23.40
30.04
0.23
44.31
2
4 372.74
27 846.66
4 221.82
6.04
80.22
29.17
16.76
3.54
3
1 186.15
0.19
430.26
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
4
374.89
1 1614.65
133.57
44.56
4.29
0.35
1.94
0.02
5
19.47
8.64
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
6
42.22
23.47
3.33
0.80
0.80
221.82
0.98
0.00
7 0.00 2.36 0.00 0.00 0.00 0.00 8.02 0.00 8 23.66 3.65 16.33 0.66 0.66 0.00 0.00 34.31 Keterangan: 1=hutan, 2=pertanian lahan kering, 3=kebun campuran, 4=lahan terbuka, 5=semak belukar, 6=badan air, 7=sawah, 8=pemukiman
Tabel 11 menunjukkan bahwa luasan pertanian lahan kering menjadi kebun campuran degan luasan yang mencapai 4.221,82 ha. Pada tutupan hutan juga ada yang menjadi tutupan lahan kebun campuran dengan luasan 1.837,60 ha. Untuk tutupan lahan hutan yang menjadi pertanian lahan kering mencapai angka
25
5891.17 ha, namun untuk pertanian lahan kering yang menjadi hutan mencapai 4372.74 ha yang membuat perubahan hutan tidak terlalu signifikan, selain itu ada tutupan lahan kebun campuran dengan luasan 1 186.15 ha yang menjadi hutan. Analisis perubahan tutupan lahan hutan Untuk memudahkan dalam melakukan analisis, masing-masing perubahan tutupan lahan dikelompokan menjadi 4 kelompok, yakni hutan-hutan, hutan-non hutan, non hutan-hutan dan non analisis. Untuk hutan-hutan adalah tutupan lahan yang awalnya tegakan hutan dan pada selang tahun berikutnya masih tetap tegakan hutan. Untuk hutan-non hutan adalah tutupan lahan yang awalnya merupakan tegakan hutan namun terjadi perubahan menjadi non tegakan hutan seperti lahan terbuka, pertanian lahan kering, kebun campuran dll. Untuk tutupan lahan non hutan-hutan adalah tutupan lahan yang awalnya berupa non tegakan hutan kemudian selang tahun berikutnya menjadi tutupan lahan berupa tegakan hutan. Sedangkan pada tutupan lahan non analisis adalah tutupan lahan yang tidak memiliki tegakan hutan seperti pemukiman, semak belukar, sawah dan selang tahun berikutnya masih tetap berupa non hutan. Pada perubahan tutupan lahan hutan dari tahun 1991 sampai tahun 2000 dan ditampilkan dalam bentuk peta pada Gambar 11 dan masing-masing luasannya pada tabel 12.
Gambar 11 Perubahan tutupan lahan hutan tahun 1991-2000
26
Tabel 12 Luasan masing-masing subkelompok kurun waktu 1991-2000 Kelompok Tuplah Luas (Ha) Hutan-Hutan 74 822.55 Hutan-Non Hutan 9 479.57 Non Hutan-Hutan 5 320 57 Non Analisis 31 297.95 Sedangkan pada perubahan tutupan lahan hutan dari tahun 2000 sampai tahun 2013, ditampilkan dalam bentuk peta pada Gambar 12 dan masing-masing luasannya pada Tabel 13
Gambar 12 Perubahan Tutupan Lahan Hutan Tahun 2000-2013 Tabel 13 Luasan masing-masing subkelompok kurun waktu 2000-2013 Kelompok Tuplah Hutan-Hutan Hutan-Non Hutan Non Hutan-Hutan Non Analisis
Luas (Ha) 72 205.86 7 937.25 6 019.12 34 758.39
Pada Tabel 13 terlihat dimana selang tahun 1991-2000 luasan untuk tutupan lahan hutan-hutan seluas 74 822.55 ha namun pada selang tahun 2000-2013 terjadi penurunan menjadi 72 205.86 ha. Hal tersebut dikarenakan adanya perubahan lahan hutan yang diduga menjadi penutupan lahan lainnya dan masuk pada subkelompok non analisis yang mencapai angka 34 758.39 ha, padahal pada
27
selang waktu 1991-2000 hanya mencapai angka 31 297.95 ha. Untuk hutan-non hutan terjadi penurunan dimana pada selang tahun 1991-2000 mencapai 9 479.57 ha namun pada selang tahun 2000-2013 terjadi penurunan menjadi 7 937.25 ha. Hal tersebut berbanding lurung dengan sub kelompok non hutan-hutan dimana terjadi peningkatan luasan tutupan lahan non hutan menjadi hutan. Pada selang tahun 1991-2000 luasan tutupan non hutan-hutan mencapai 5 320.57 ha, kemudian pada selang tahun 2000-2013 mencapai 6 019.12 ha yang diduga atas usaha TN dalam merehabilitasi lahan hutan. 91-00
00-13
80000.00
70000.00
Luas (Ha)
60000.00 50000.00 40000.00 30000.00 20000.00 10000.00 0.00 Hutan-Hutan 91-00 00-13
74822.55 72205.86
Hutan-Non Hutan 9479.57 7937.25
Non HutanHutan 5320.57 6019.12
Non Analisis 31297.95 34758.39
Gambar 13 Grafik perubahan tutupan lahan hutan Kondisi Sosekbud di TNBBS SPTN III Masyarakat yang berada di sekitar kawasan TNBBS baik di SPTN III maupun di kawasan secara keseluruhan, mayoritas bukan masyarakat asli dari Provinsi Lampung, akan tetapi masyarakat yang terdiri dari sekumpulan sukusuku seperti suku Sunda, Bali, Jawa dan Semendo (Sumatera Selatan). Pada umumnya suku Sunda, Bali dan Jawa merupakan masyarakat transmigran yang menetap di Lampung, kemudian karena keterbatasan lahan garapan dan kesempatan berusaha yang sedikit sehingga sebagian besar masyarakatnya membuka lahan di dalam kawasan yang masih berbentuk hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Lokasi penelitian ini masuk kedalam SPTN III Krui. Terdiri dari 6 resort, yakni Balik Bukit, Balai Kencana, Sekincau, Lombok, Pugung Tampak dan Suoh yang awalnya berasal dari SPTN II kemudian masuk kedalam SPTN III karena lokasinya yang berada di Kabupaten Lampung Barat dan berdekatan dengan resort lainnya di SPTN III. Awalnya SPTN III hanya berbatasan dengan Kabupaten Lampung Barat, namun pada tahun 2012 terjadi pemekaran oleh Pesisir Krui dan sekitarnya untuk menjadi Kabupaten Pesisir Barat. Sehingga sekarang, SPTN III berbatasan dengan dua Kabupaten, yakni Kabupaten
28
Lampung Barat dan Kabupaten Pesisir Barat. Peta lokasi TNBBS dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Peta batas kawasan SPTN III dengan 2 kabupaten Kabupaten Lampung Barat Kabupaten Lampung Barat dengan pusat pemerintahannya yang terletak di Liwa dibentuk berdasarkan undang-undang No. 6 tahun 1991. Kecamatan di Kab Lampung Barat berjumlah 15 kecamatan yang terdiri dari Air Hitam, Balik Bukit, Bandar Negeri Suoh, Batu Brak, Batu Ketulis, Belalau, Gedung Surian, Kebun Tebu, Lumbok Seminung, Pagar Dewa, Sekincau, Sukau, Sumber Jaya, Suoh dan Way Tenong. Wilayah Lampung Barat memiliki batas wilayah : Utara : Kab. Way Kanan, Kab. Lampung Utara dan Prov. Sumsel Timur : Kab. Tanggamus (Lampung) Selatan : Samudera Hindia Barat : Prov. Bengkulu Taman Nasional Bukit Barisan Selatan adalah kawasan yang mendominasi bersama dengan hutan lindung, HPT dan cagar alam. Jika dihitung persentasenya memenuhi sampai 76% luas keseluruhan wilayah Lampung Barat. Pada tanggal 28 April 2006 berdasarkan SK Bupati No. B/87/KPTS/III.01/2006, Kabupaten Lampung Barat mendeklarasikan disi sebagai Kabupaten Konservasi. Komoditi dari Kabupaten ini berupa hasil pertanian seperti kelapa sawit, kopi, kakao, kelapa, lada, dll. Untuk tanaman kopi sendiri merupakan komoditi unggulan dari Lampung Barat, yang dimana beberapa kopi-kopi tersebut berasal dari dalam
29
kawasan TNBBS. Seperti pada resort Sekincau, Suoh dan Pugung Tampak dimana pada resort-resort tersebut hampir sebagian besar kawasannya menjadi lahan perkebunan kopi. Dari penjabaran tersebut secara ekonomi dapat dikatakan bahwa TNBBS merupakan salah satu kontributor ekonomi Lampung Barat. Selain itu, penduduk Lampung Barat sendiri mayoritasnya memang menggantungkan hidup di kawasan TNBBS. Sekitar 12 292 KK masyarakat berada di daerah penyangga TNBBS (Forindo, 2013). Struktur perekonomian kabupaten Lampung Barat didominasi oleh sektor pertanian. Secara lebih spesifik, dominasi sektor pertanian ini disumbang oleh sub sektor perkebunan. Dimana dominasi perkebunan ini terlihat jelas baik dari segi luas lahan, produksi, maupun jumlah masyarakat yang bekerja pada bidang pertanian. Untuk luasan lahan dan jumlah produksi pertanian berdasarkan jenis tanaman di Lampung Barat dapat dilihat pada Gambar 15 dan Gambar 16.
524
934.8 1117
7918.8
449.5
53409.5
Kopi Robusta
Cengkeh
Kakao
Kayu Manis
Kelapa
Lada
Sumber : BPS Lampung Barat (2013)
Gambar 15 Luasan lahan pertanian berdasarkan jenis tanaman di Lambar
3660.3
Jenis Tanaman
Lada
604.1
Kelapa
1029.7
Kayu Manis
269.1
Kakao
54.2
Cengkeh
57336.7
Kopi Robusta 0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
Produksi (Ton) Sumber : BPS Lampung Barat (2013)
Gambar 16 Jumlah Produksi Pertanian Berdasarkan Jenis Tanaman di Lambar
30
Data pada gambar pie chart menunjukkan bahwa komoditas perkebunan paling banyak diusahakan dilihat dari luasan lahan pertanian adalah tanaman kopi (Coffee robusta), kemudian disusul oleh lada, coklat, kayu manis, dan cengkeh. Komoditas kopi robusta menjadi komoditas unggulan dengan luas lahan dibudidayakan mencapai 53 409.5 ha dan produksi bisa mencapai 57 336.7 ton pertahun. Jauh meninggalkan produksi jenis tanaman lain. Pulau Sumatera memang terkenal sebagai penghasil kopi yang baik, dan untuk kopi berjenis robusta yang berasal dari Lampung dan biasa dikirim ke berbagai daerah di Indonesia, hampir secara keseluruhan berasal dari Kabupaten Lampung Barat. Untuk jumlah pekerja berdasarkan bidang pekerjaan di Lampung Barat dapat dilihat di Gambar 17.
Jumlah Pekerja (Jiwa)
250 200 201.883 150 100 50 36.075
7.926
Jasa Bidang Pekerjaan
Industri
0 Pertanian
Sumber : BPS Lampung Barat (2013)
Gambar 17 Jumlah pekerja dilihat dari bidang pekerjaan di Lampung Barat Grafik mengenai jumlah pekerja dari berbagai bidang pekerjaan, pada bidang pertanian menyumbangkan jumlah pekerja terbesar, yakni sebanyak 201 883 jiwa, kemudian disusul oleh pekerja dibidang jasa sebanyak 36 075 jiwa dan terakhir dibidang industri sebanyak 7 926 jiwa. Kabupater Pesisir Barat Kabupaten Pesisir Barat merupakan sebuah kabupaten termuda di Provinsi Lampung. Pesisir Barat merupakan hasil pemekaran Kabupaten Lampung Barat, yang disahkan pada tanggal 25 Oktober 2012 melalui UU No. 22 tahun 2012.Batas wilayah Pesisir Barat yaitu: Utara : Provinsi Bengkulu Selatan : Kabupaten Tanggamus Barat : Samudera Hindia Timur : Kabupaten Lampung Barat Keinginan masyarakat Krui dan sekitarnya untuk membentuk kabupaten sendiri dikarenakan secara geografis dan kultural daerah ini memang terpisah dari kabupaten induknya, yaitu Kabupaten Lampung Barat karena terdapat kawasan TNBBS yang melintang dan memisahkan wilayah tersebut, sehingga dirasa sulit dalam berkoordinasi dengan pemerintahan pusat di Liwa.
31
Kabupaten Pesisir Barat terdiri dari 11 kecamatan, yang meliputi Bengkunat Belimbing, Bengkunat, Ngambur, Pesisir Selatan, Krui Selatan, Pesisir Tengah, Way Krui, Karya Penggawa, Pesisir Utara, Lemong, dan Pulau Pisang. Sektor perkebunan juga menjadi salah satu komoditi Kabupaten Pesisir Barat. Seperti pada Gambar 18 dan Gambar 19 mengenai luasan lahan pertanian dan jumlah produksi berdasarkan jenis tanaman.
3760 6973.3
7014.3
2265.8
1330.3
6443.5
Kopi Robusta
Cengkeh
Kakao
Kelapa Sawit
Kelapa
Lada
Sumber : BPS Lampung Barat
Gambar 18 Luasan lahan pertanian berdasarkan jenis tanaman di Pesisir Barat
1873.6
Lada
58680.5
Jenis Tanaman
Kelapa Sawit 7100.3
Kelapa
1002
Kakao
252
Cengkeh
4470.2
Kopi Robusta 0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
Produksi (Ton) Sumber : BPS Lampung Barat
Gambar 19 Jumlah produksi Pertanian Berdasarkan Jenis Tanaman di Pesisir Barat Untuk luas lahan yang terpakai sebagai lahan pertanian, lahan terluas dimiliki oleh perkebunan kelapa, yaitu seluas 7 014,3 ha, namun produksinya yang mencapai 7 100,3 ton, masih kalah jauh bila dibandingkan dengan produksi
32
kelapa sawit yang mencapai 58 680,5 ton walaupun luas lahannya seluas 6 443,5 ha yang berbeda tipis dengan lahan kopi selisih 6 973,3 ha. Sejarah Terjadinya Perambahan di TNBBS Menurut sejarahnya, Suku Semendo yang merupakan suku asli dari Sumatera Selatan yang memiliki pola pertanian ladang berpindah, membuka lahan dan pemukiman disekitaran Gunung Sekincau pada tahun 1940-an. Lahan pertama yang mereka buka ditanami dengan padi, yang diselingi dengan tanaman kopi. Kondisi kawasan Sekincau saat itu masih berupa hutan belantara, namun sudah ada jalan setapak menuju Suoh karena pada tahun tersebut sudah mulai dibukanya kawasan untuk dijadikan jalan tembus. Kemudian pada tahun 1960-an terjadi perluasan pembukaan lahan kawasan yang dilakukan oleh peladang lama dan juga peladang baru yang dimana saat itu transmigran sudah mulai berdatangan dan membuka kawasan hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Lahan pertanian yang sebelumnya ditanami padi berangsur-angsur diganti dengan tanaman kopi. Selanjutnya pada tahun 1968 terjadi kebakaran hutan yang mengakibatkan kerusakan areal perkebunan kopi dan hutan sekitarnya di Sekincau. Api tersebut ternyata berasal dari kayu-kayu kering hasil tebangan masyarakat yang tidak terpakai saat sedang musim kemarau. Pasca kebakaran hutan, banyak lahan pertanian mereka yang rusak, maka sebagian petani membuka lagi kawasan hutan yang masih utuh sedangkan sisanya pulang ke kampung asal. Areal bekas kebakaran ditinggalkan oleh peladang dan berubah menjadi padang ilalang dan semak belukar. Transmigran yang terus berdatangan ke Sekincau, otomatis membutuhkan lahan untuk diolah menjadi lahan pertanian demi menyambung hidup dengan keluarganya. Masyarakat yang sudah lama menempati kawasan pada saat itu memberikan hak kepada transmigran/pendatang yang baru datang untuk membuka belukar dan ilalang hasil dari terbakarnya ladang masyarakat untuk dijadikan ladang pertanian mereka, sehingga semakin meluasnya lahan pertanian di Sekincau. Provinsi Lampung merupakan daerah penerima transmigrasi pertama di Indonesia yang telah dimulai sejak tahun 1905, karena pada saat itu Lampung masih berupa hutan belantara yang luas dan tidak berpenghuni. Pada jaman penjajahan Belanda dikenal dengan program kolonisasi. Kemudian Provinsi Lampung terus-menerus menjadi daerah penerima transmigran dengan program transmigrasi badan rekonstruksi nasional (BRN) yang dilaksanakan pada era Presiden Soekarno. Program tersebut dibagi kedalam beberapa periode, antara lain periode pra-Pelita (1950-1969), Pelita I dan Pelita II (1969-1974). Hingga pada tahun 1977, Provinsi Lampung terakhir menerima program transmigran (Rudianto, 2009). Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang kita kenal sekarang pada awalnya oleh pemerintah Indonesia ditetapkan sebagai suaka alam meneruskan status suaka alam oleh pemerintahan Belanda. Ditetapkannya oleh pemerintah Indonesia pada tanggal 1 april 1974. Pada masa itu masyarakat disekitar kawasan suaka alam sudah berisikan transmigran asal pulau Jawa yang datang melalui program tranmsigrasi badan rekonstruksi nasional (BRN). Pihak pengelola suaka
33
alam pada saat itu masih membiarkan masyarakat sekitar untuk memanfaatkan lahan kawasan dengan kegiatan berkebun dan bercocok tanam karena pada saat itu peraturan mengenai kawasan konservasi belumlah selengkap sekarang. Masyarakat saat itu sudah mulai membuka lahan untuk ditanami tanaman cengkeh sebagai komoditas utama, kemudian diikuti tanaman kopi, lada, kayu manis, nila dan padi. Kemudian pada tahun 1982 ketika TNBBS ditetapkan sebagai taman nasional, beberapa pemukiman dan pertanian masyarakat sekitar kawasan taman nasional apabila dilihat berdasarkan tata batas kawasan, ternyata masuk didalam taman nasional. Saat itu balai sudah menyebarkan informasi mengenai tata batas kawasan kepada masyarakat, terutama yang memiliki pemukiman dan lahan yang berada didalam kawasan untuk segera meninggalkan lahan mereka, namun saat itu masyarakat tidak mengindahkan pemberitahuan balai taman nasional dan tetap tinggal di dalam kawasan. Sementara itu, masyarakat pendatang khususnya yang berasal dari Pulau Jawa terus berdatangan ke Lampung untuk tinggal dan mengolah lahan pertanian bersama penduduk yang sudah lama tinggal didalam kawasan tersebut. Masyarakat yang berada di dalam kawasan terus diupayakan oleh balai taman nasional untuk segera meninggalkan tempat tinggal mereka. Pada pertengahan tahun 1997, untuk kedua kalinya terjadi kebakaran hutan di TNBBS pada resort Sekincau dan beberapa resort lainnya diluar SPTN III, dan diperkirakan kerusakan hutan yang diakibatkan oleh kebakaran hutan tersebut mencapai >100 ha. Karena kerusakan hutan tersebut, oleh masyarakat banyak dimanfaatkan untuk membuka lahan dan dijadikan lahan pertanian mereka yang baru atau sekedar memperluas ladang pertanian mereka. Hal tersebut kembali lagi menjadi pemicu semakin meluasnya perkebunan kopi dan bukaan lahan di dalam kawasan. Disamping para perambah lama yang sudah merambah sebelum penetapan kawasan, juga terdapat perambah baru yang datang setelah penetapan kawasan taman nasional, turut serta membuka lahan untuk dijadikan perkebunan kopi. Puncaknya pada tahun 1998, 1999 dan 2000 dimana saat itu terjadi reformasi yang menyebabkan krisis moneter dan inflasi. Banyak masyarakat yang melakukan illegal logging besar-besaran. Kemudian lahan yang kosong akibat illegal logging dijadikan ladang pertanian kopi oleh mereka. Hal ini karena melonjaknya harga panen kopi yang mencapai 400% dibanding harga normal sekitar Rp.5000,00/kg (Rudianto, 2009). Kondisi yang semakin memprihatinkan mendapat respon dari Balai TNBBS. Setelah proses negosiasi yang memakan cukup waktu, pada tahun 2002, masyarakat yang bermukim dikawasan dapat dikeluarkan dari dalam TNBBS, namun untuk perkebunan kopi yang telah mereka ciptakan dibiarkan di dalam kawasan taman nasional, karena sangat sulit untuk membersihkan/membabat semua tanaman kopi jika dilihat dari sumberdaya manusia, alat dan luasnya perkebunan kopi, terutama di Sekincau dan Suoh. Selain itu juga secara diamdiam perambah masih terus memperluas areal kebun mereka dengan membuka lahan hutan yang baru untuk kembali ditanami kopi. Jika dilihat dalam bentuk skema, maka sejarah perambahan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di SPTN III digambarkan seperti pada Gambar 20.
34 34
Sumber: Wawancara dan Studi Literatur
Gambar 20 Alur Sejarah Perambahan di TNBBS
35
Faktor Penyebab Perubahan Penutupan Lahan Content analysis dari sejarah dan kejadian politik Dilihat dari proses perubahan tutupan lahan itu sendiri berdasarkan sejarah dan kejadian politik yang terjadi pada selang waktu tersebut, rentang waktu dari tahun 1991 sampai 2000 terjadi beberapa kejadian yang diduga memberi efek kepada luasan hutan dan luasan tutupan lahan lainnya. Jika dilihat dari sejarahnya pada tahun 1997 terjadi kebakaran hutan yang mengakibatkan penurunan luas tutupan lahan hutan di TNBBS, selain itu juga masyarakat yang datang dengan status sebagai perambah terus berdatangan dan senantiasa memperluas lahan pertanian mereka yang berada didalam kawasan tanpa mempedulikan batasan kawasan TNBBS, sehingga luasan hutan pada tahun 2000 mencapai 80 143.11 ha. Kemudian pada tahun 1998-2000 yang pada saat itu sedang terjadinya kejadian reformasi di Indonesia, diduga memberi efek kepada luasan tutupan lahan hutan. Pada rentang waktu tersebut harga-harga sembako dan kebutuhan manusia lainnya sedang naik. Bahkan untuk kopi harganya naik sampai 4 kali lipat, selain itu kebutuhan masyarakat akan kayu untuk rekonstruksi dan kebutuhan lainnya semakin tinggi sedangkan penyedia kayu semakin sedikit karena kekurangan sumberdaya kayu tersebut, hal tersebut otomatis akan menaikkan harga kayu dipasaran, sehingga banyak terjadi kegiatan illegal logging yang dilakukan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan kayu. Untuk lahan pertanian kering terjadi kenaikan sampai 36 576.98 ha. Kemudian pada awal tahun 2002, pihak Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan melakukan usaha untuk menurunkan jumlah perambah yang berasal dari dalam kawasan taman nasional, namun usaha tersebut belum merata secara keseluruhan, selain itu lahan perkebunan kopi perambah masih berada di dalam kawasan, sehingga masih ada beberapa perambah yang kembali lagi ke dalam kawasan untuk mengelola perkebunan mereka yang masih berada dalam kawasan. Kemudian pihak taman nasional melakukan usaha penurunan perambah kembali pada tahun 2003-2005 dan berhasil menurunkan ±1 300 kk. Pada tahun 2004 sampai tahun 2007 dilakukan rehabilitasi hutan di lahan pertanian ilegal milik masyarakat yang lokasi lahannya masuk di dalam kawasan, sehingga tampak pada tahun 2013 terjadi kenaikan luasan kebun campuran yang mencapai 6 642.90 ha yang diduga disebabkan karena adanya rehabilitasi lahan hutan yang dilakukan oleh pihak taman nasional, selain itu rentang tahun 20102013 pihak taman nasional dibantu TNI melakukan program GNRHL atau Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan untuk merehabilitasi lahan hutan bekas perambahan. Sehingga untuk luasan pertanian lahan kering sendiri mengalami penurunan menjadi 35 390.77 ha, namun sangat disayangkan untuk praktek kegiatan perambahan masih terjadi didalam kawasan. Pada 6 tahun kebelakang, permasalahan mengenai perambahan masih terjadi pada tiap-tiap tahunnya. Data yang diperoleh dari BTNBBS menyatakan luasan perambahan pada masing-masing tahun selang 2008-2013 adalah 56 834 ha, 58 070 ha, 61 786 ha, 47 608 ha, 36 878 ha, dan pada tahun 2013 seluas 32 233 ha (BBTNBBS 2013). Dari hasil pengolahan citra satelit, untuk luasan hutan sendiri mengalami penurunan menjadi 78 224.98 ha. maka hal tersebut dapat digambarkan melalui Gambar 21.
36
36
Gambar 21 Analisis faktor perubahan menurut waktu dan event
37
Content analysis dari poulse yang dikeluarkan dan kejadian politik Jika dilihat melalui poulse-poulse yang dikeluarkan dan kejadian politik yang terjadi selama kurun waktu tersebut Pada tahun 1990 dikeluarkannya UU No. 5 tahun 1990 dimana pada undang-undang tersebut dibahas mengenai kawasan konservasi, pelarangan mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut dan meniagakan sumberdaya yang berasal dari kawasan konservasi. Sehingga mengenai peraturan kawasan konservasi seperti taman nasional menjadi jelas dikarenakan adanya UU tersebut. Namun sejauh ini poulse yang dikeluarkan belum memberi efek yang signifikan terhadap penanggulangan perusakan hutan, karena luasan hutan terus menurun. Puncaknya adalah saat terjadi peristiwa reformasi pada tahun 1998-2000 yang mengakibatkan luasan hutan menurun sedangkan lahan pertanian dan lahan terbuka semakin meluas. Hal tersebut dikarenakan harga kopi dan kayu pada saat itu sampai naik 4 kali lipat. Kemudian pada tahun 1999 untuk menanggulangi permasalahan mengenai perambahan yang marak terjadi pada saat reformasi. Isi dari UU tersebut adalah mengenai pelarangan dalam menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan konservasi, kemudian pelarangan mengenai perambahan kawasan. Selain itu juga memuat mengenai pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Namun dari peraturan yang dikeluarkan, masih belum memberikan efek bagi pencegahan perusakan kawasan hutan, sehingga pada rentang waktu tersebut luasan lahan hutan terus menurun sampai 80 143.11 ha sedangkan luasan lahan pertanian lahan kering melonjak sampai 36 576.98 ha. Kemudian pada tahun 2001 dikeluarkannya Permenhut No. 32/KptsII/2001 tentang kriteria & standar pengukuhan kawasan hutan, mengenai syaratsyarat yang diperlukan untuk penetapan suatu kawasan hutan. Kemudian pada tahun 2005 dikeluarkannnya INPRES No.4 tahun 2005 mengenai illegal logging, karena maraknya pelanggaran illegal logging dikawasan hutan. Setelah dikeluarkannya poulse untuk mengatasi penebangan liar, untuk merehabilitasi lahan-lahan yang sudah rusak tersebut, maka Presiden mengeluarkan poulse pada tahun 2008, yaitu Perpres No. 89 Tahun 2008 yang berisi tentang gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (GNRHL) yang dimana pada Perpres tersebut dibahas mengenai apa yang dimaksud dengan GNRHL. Pada tahun 2009 dikeluarkannya Permenhut No.50/Menhut-II/2009 yang berisi penegasan status suatu kawasan hutan beserta fungsi-fungsinya. Pada tahun 2010 Menteri kehutanan mengeluarkan poulse yang memberikan dampak signifikan terhadap rehabilitasi lahan hutan. Pada tahun tersebut dikeluarkannya Permenhut No.38/Menhut-V/2010 yang berisi tentang rencana tahunan dalam merehabilitasi hutan dan lahan. Kemudian pada tahun 2012 keluarnya Permenhut No.14/Menhut-II/2012 mengenai pedoman dalam penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan. Dan juga Permenhut No.44/Menhut-II/2012 yang membahas tentang pengukuhan suatu kawasan hutan. Atas Permenhut yang dikeluarkan tersebut, ternyata memberikan efek yang cukup signifikan bagi taman nasional, dimana terjadi penurunan luas lahan pertanian lahan kering yang pada tahun 2013 mencapai luasan 35 390.77 ha dan kenaikan luasan kebun campuran yang merupakan bentuk dari proses rehabilitasi hutan tersebut yang sampai pada luasan 6 642.90 ha. Pada tahun yang sama juga keluar UU No. 22 tahun 2012, yang berisi mengenai pemekaran Kabupaten Pesisir Barat dari Kabupaten Lampung Barat. Dapat dilihat dari Gambar 22 yang telah disajikan sebagai berikut.
38 38
Gambar 22 Analisis faktor berdasarkan waktu dan poulse
39
Bentuk Permasalahan di TNBBS Penyebab Perubahan Tutupan Lahan Perubahan tutupan lahan di TNBBS secara umum disebabkan oleh kegiatan yang dilakukan manusia. Untuk kawasan SPTN III sendiri, perubahan tutupan lahan disebabkan oleh banyak hal, diantaranya karena penggarapan lahan hutan menjadi kawasan pertanian, penebangan liar/illegal logging dan pemukiman. Selain itu permasalahan pemantapan kawasan seperti tata batas, jalan tembus serta klaim masyarakat terhadap kawasan turut merubah tutupan lahan di TNBBS. Perambahan hutan (Forest encroachment) Perubahan penutupan lahan hutan menjadi pertanian lahan kering sudah terjadi semenjak tahun 1952, bahkan sebelum ditetapkannya kawasan TNBBS menjadi taman nasional. Hasil dari wawancara dengan masyarakat dikatakan bahwa pertanian lahan kering milik mereka sudah digarap semenjak tahun 6070an sementara penetapan kawasan sebagai taman nasional terjadi pada tahun 1982 (Forindo 2013). Untuk saat ini, perubahan penutupan lahan dari hutan menjadi pertanian lahan kering diakibatkan karena adanya bukaan lahan terus menerus oleh masyarakat. Kemudian lahan tersebut dipergunakan sebagai lahan pertanian mereka. Umunya masyarakat menanam tanaman kopi, terutama pada tahun 1998 dimana ketika itu sedang terjadi peristiwa reformasi dimana harga kopi melambung tinggi, sehingga banyak masyarakat yang membuka lahan kawasan untuk dijadikan lahan perkebunan kopi atau mengganti sawah mereka dengan menanam kopi. Menurut David Gaveu (2009), devaluasi menyebabkan harga kopi menjulang tinggi di tahun 1998, sementara harga kopi di pasar dunia tetap lemah. Kenaikan yang tiba-tiba ini menarik transmigran ke wilayah ini, sementara banyak pekerja non-tani lainnya yang mengambil sambilan menjadi petani kopi untuk mendapatkan uang cepat dari harga kopi yang melonjak ini. Secara keseluruhan, kondisi tersebut mengindikasikan bahwa harga komoditi yang tinggi dilevel petani menyebabkan meningkatnya deforestasi, karena petani akan mengejar keuntungan dengan memperluas perkebunannya dalam menaikkan keuntungan. Sehingga dapat dikatakan kenaikan harga komoditi pertanian akan membawa dampak negatif pada hutan tropis. Diantara 6 resort, 3 diantaranya berhasil mengikis perambahan dari wilayah mereka seperti pada Resort Balik Bukit dan Balai Kencana, sementara 4 resort lagi masih mengalami perambahan yang cukup luas seperti pada Resort Sekincau (Register 46 B), Suoh, Pugung Tampak dan Lombok. Hasil dari wawancara dengan masyarakat, secara umum ada 3 proses kepemilikan lahan, yaitu memperoleh lahan garapan dengan cara membuka sendiri, kemudian ada yang mendapatkan lahan dengan membayar ganti rugi kepada pemilik sebelumnya dan yang terakhir dengan mendapatkan warisan lahan dari pemilik sebelumnya. Proses pembukaan lahan hutan untuk dijadikan kebun diawali dengan pembukaan kawasan hutan sebagai pemukiman. Hanya saja ketika awal mereka bermukim, seorang perambah tidak selalu langsung membuka lahan kembali untuk menggarap lahan pertanian. Hal ini disebabkan karena modal dan tenaga yang tersedia masih terbatas. Sehingga biasanya pada awal-awal kedatangan, mereka bekerja sebagai buruh tani pada perambah-perambah yang sudah ada
40
sebelumnya. Setelah modal yang terkumpul dirasa cukup, maka perambah tersebut akan berusaha untuk memiliki lahan garapan sendiri baik dengan membuka lahan atau dengan membayar ganti rugi. Namun apabila pada wilayah tersebut mereka memiliki kerabat/saudara maka kemungkinan lahan yang didapat melalui proses warisan. Kebanyakan petani-petani yang membuka lahannya sendiri dengan metode slash and burn. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara mendalam dengan pihak TN, secara umum terdapat 3 pola akses pengelolaan lahan yang dilakukan oleh perambah, 3 pola tersebut adalah perambah musiman, perambah tepi dan pemukim tetap. Kelompok perambah musiman merupakan perambah yang hanya datang pada saat musim panen kopi saja. Pola akses ini terjadi di resort Pugung Tampak, dimulai pada tahun 2000, dimana perambah yang mengolah lahan disana mayoritas bukan berasal dari Lampung atau sekitarnya melainkan datang dari Jawa Barat dan Jawa Tengah. Perambah datang untuk mengolah pertanian mereka pada waktu-waktu tertentu saja, biasanya ketika musim panen. Truk yang mengantarkan perambah akan menurunkan perambah-perambah tersebut di titiktitik tertentu, kemudian setelah pekerjaan mereka selesai, perambah tersebut akan dijemput kembali dengan truk yang pertama mengantar mereka. Untuk kelompok perambah tepi merupakan petani yang bertempat tinggal didekat kawasan dan memiliki lahan perkebunan didalam kawasan. Biasanya perambah ini merupakan kelompok perambah yang “datang pagi pulang sore”. Mayoritas terdapat di Sekincau dan Suoh. Ketika wawancara, masyarakat pun ada yang mengakui bahwa mereka masih mengolah kebun kopi yang berada didalam. Untuk kelompok terakhir yakni Kelompok pemukiman tetap adalah kelompok masyarakat yang memiliki kebun sekaligus pemukiman didalam kawasan. Baik berupa pemukiman yang ditinggali bersama keluarga atau bersama perambah lainnya. Umumnya terjadi di Sekincau dimana ketika observasi, peneliti menemukan pondok-pondok didalam kawasan. Foto bentuk perambahan nampak pada Gambar 23.
Gambar 23 Bentuk perambahan yang terjadi di SPTN III TNBBS (R. Sekincau)
41
Jika ditelisik dari sejarahnya dimana perambahan terjadi di TNBBS, tidaklah serta merta dapat langsung dikatakan sebagai bentuk suatu perambahan. Hal ini karena masyarakat sebenarnya secara turun temurun telah berada di areal tersebut, jauh sebelum kawasan ditetapkan sebagai taman nasional. Kemudian terjadinya perubahan rezim status kawasan dan tata batas kawasan yang belum pasti dan masih berubah-ubah turut menghindarkan mereka dari pelanggaran. Namun memang tidak dapat dipungkiri, perubahan tutupan lahan dari kawasan berhutan menjadi ladang pertanian untuk sekarang ini tidak lepas dari dorongan kebutuhan masyarakat akan lahan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Untuk perambahan yang saat ini masih terus berjalan jika dilihat dari akar permasalahan, disebabkan oleh banyak hal, yaitu karena lemahnya penegakan hukum, terbatasnya lahan pertanian untuk masyarakat, rendahnya pemahaman masyarakat terhadap status dan fungsi TNBBS, Masyarakat sekitaran TNBBS yang tidak tergolong ke dalam kelompok masyarakat adat yang memiliki kearifan tradisional dalam berinteraksi dengan hutan. Selain itu karena faktor ekonomi dimana masyarakat tidak mampu untuk membeli lahan baru, ditambah lagi karena keterbatasan lahan pertanian disekitar mereka. Serta kecilnya kesempatan kerja pada sektor lain, sehingga memaksa mereka untuk kembali meneruskan menggarap lahan pertanian didalam kawasan. Perambahan hutan menyebabkan deforestasi dan kerusakan habitat sehingga habitat satwa liar terutama mamalia besar (Harimau, Badak dan Gajah) menjadi semakin sempit. Selain itu ketersediaan pakan satwa juga semakin berkurang. Hal itu menjadi salah satu penyebab timbulnya gangguan satwa liar atau konflik satwa liar dengan penduduk sekitar kawasan. Dari tahun 2003 hingga Juli 2006 tercatat telah terjadi 24 kali kejadian gangguan satwa liar terutama gajah, beruang madu dan harimau. Ketika sedang dilakukan penelitian pun kantor Resort Sekincau sering didatangi oleh warga sekitar karena ternaknya dimakan oleh beruang madu. Gangguan satwa liar telah mengakibatkan kerusakan terhadap lahan pertanian, kebun, sawah, rumah-rumah penduduk bahkan nyawa manusia. Upaya yang telah dilakukan pengelola dalam mengatasi perambahan hutan adalah berupa penyuluhan-penyuluhan, peringatan-peringatan dan penegakan hukum. Dari tahun 2003-2005 melalui operasi penurunan perambah, telah menurunkan sedikitnya 1 300 KK. Untuk perambah yang turun secara sukarela, pengelola tidak memberi tindakan hukum, bahkan diberikan kegiatan pengembangan masyarakat. Apalagi untuk sekarang ini masyarakat jauh lebih mengerti dan paham mengenai keberadaan dari taman nasional, mereka pun memiliki keinginan untuk bisa keluar dari dalam kawasan. Namun kembali lagi dari kemampuan perambah itu sendiri yang mayoritas merupakan orang tidak mampu, mereka bingung mau bekerja dimana apabila mereka keluar dari dalam kawasan, keahlian yang lain pun mereka tidak ada, mau membeli lahan untuk digarap sendiri pun sulit baik dari biaya maupun keberadaan tanah itu sendiri. Penanganan perambah sangatlah kompleks, memerlukan upaya terpadu dan berkesinambungan dengan instansi terkait misalnya pemda terutama masalah relokasi dan mata pencaharian alternatif. Jadi upaya efektif yang dilakukan saat ini adalah menghentikan perambahan baru, sedangkan untuk perambahan lama secara terus-menerus dikikis untuk mengurangi masalah deforestasi.
42
Sejauh ini untuk menanggulangi hal tersebut pihak Taman Nasional telah merubah zonasi dari lahan TN yang mengalami perambahan dengan menjadikannya sebagai zona rehabilitasi. Dengan status zona rehabilitasi ini, pihak TN dapat lebih fokus dalam memperbaiki dan menanggulangi lahan tersebut. Sejalan dengan hal tersebut, guna merehabilitasi hutan kritis, TN dengan dibantu oleh stakeholders pada tahun 2004-2007 melakukan rehabilitasi hutan seluas 500 Ha melalui program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan & Lahan atau disingkat GNRHL dan akan dilanjutkan upaya rehabilitasi pada tahun-tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 2010-2013. Kegiatan ini mengikutsertakan TNI, pihak taman nasional dan masyarakat sekitar/perambah. Pada luas wilayah sekitar 200 ha diisi oleh 2 TNI dalam membantu penanaman, kemudian TNI meminta masyarakat untuk merawat tanaman tersebut dengan diperbolehkannya masyarakat dalam memanen hasil perkebunan mereka yang berada di dalam TN. Sebenarnya ini adalah cara halus dalam menuruni produksi kopi dikawasan. Tanaman kopi sendiri adalah tanaman yang tidak dapat hidup apabila ada naungan diatasnya, dan harus terpapar sinar matahari. Dengan penanaman tersebut diharapkannya pohon-pohon hutan tersebut akan menjadi naungan alami bagi kopi-kopi sehingga akan menurunkan produksi kopi dan memaksa petani untuk segera meninggalkan kawasan. Apabila tanaman rehabilitasi tersebut mati, maka masyarakat diwajibkan untuk menyulamnya kembali. Dengan begitu perambahan dapat dikurangi tanpa adanya gesekan antara masyarakat dan taman nasional. Penebangan liar (Illegal logging) Aktivitas illegal logging terutama jenis-jenis pohon yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti jenis-jenis Meranti (Shorea sp.), Keruing (Dipterocarpus sp.), Cempaka (Michelia campaka), Medang (Dehaasia sp), Tenam (Shorea sp.) telah mengakibatkan keterbukaannya lahan sehingga memberikan jalan kepada masyarakat untuk membuat lahan pertanian. Terutama pada tahhun 1998, 1999 dan 2000 dimana sedang terjadi reformasi dan harga kayu menjadi sangat tinggi, menarik masyarakat untuk mengambil kayu-kayu hutan tersebut. Selain itu juga aktivitas illegal logging mengakibatkan rusaknya habitat satwa liar yang menyebabkan hilangnya tempat tinggal dan sumber makanan, dan otomatis akan memberikan dampak punahnya satwa tersebut karena kurang ketersediaan makanan. Foto bentuk illegal logging nampak pada Gambar 23.
Gambar 24 Bentuk illegal logging di SPTN III TNBBS (R. Sekincau & R. Pugung Tampak)
43
Aktivitas pencurian hasil hutan non kayu seperti kulit kayu medang, getah damar mata kucing (Shorea javanica), damar batu (Shorea ovalis), kayu gubal dari gaharu (Aquilaria malaccensis) serta 2 jenis rotan yakni rotan manau dan rotan sesah juga berdampak signifikan terhadap keseimbangan ekosistem dan kapasitas daya dukung kawasan. Rawannya illegal loging di TNBBS diakui karena satu-satunya kawasan hutan yang masih memiliki potensi kayu hanyalah kawasan ini. Selain karena faktor internal berupa keterbatasan POLHUT, sarana dan prasarana, pendanaan, juga diperparah oleh faktor ekstenal berupa penerbitan Izin Pemanfataan Kayu Tanah Milik (IPKTM) yang tidak selektif (potensi kayu nihil tetapi izin banyak diterbitkan). Penerbitan SKSHH/DHH yang tidak tertib dan banyaknya sawmill baik legal maupun ilegal yang beroperasi disekitar TNBBS (Forindo, 2013). Serta hasil dari sistem otonomi daerah, semakin memperparah penebangan liar dan peredaran hasil hutan.Selain itu, adanya indikasi kuat keterlibatan oknum-oknum dalam praktik illegal loging juga mempersulit upaya pemberantasan illegal loging. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas penebangan liar mulai dari patroli rutin, operasi fungsional, operasi gabungan, operasi khusus dan operasi pemulihan. Tindakan tegas dan berkesinambungan yang dilakukan pihak Balai TNBBS selama 3 tahun terakhir membawa dampak yang cukup signifikan. Tingkat penebangan liar menurun, sawmil-sawmil banyak yang tidak beroperasi, penerbitan IPKTM, SKSHH/DHH diperketat serta adanya political will dari pemerintah provinsi dan pemerintah daerah untuk memberantas illegal logging. Inpres No. 4 Tahun 2005 mendorong terbentuknya Tim Pemberantasan illegal logging di tingkat kabupaten dan provinsi. Selain itu, moratorium Pembalakan Hutan Alam di Provinsi Lampung yang telah diberlakukan sebelumnya merupakan babak baru dalam proses percepatan pemberantasan illegal logging di TNBBS. Kebakaran hutan (Forest fire) Kerusakan kawasan TNBBS akibat kebakaran hutan tidak terlalu berdampak signifikan, dimana kebakaran hutan di TNBBS hanya terjadi pada tahun 1997 di wilayah Way Canguk, Ngambur, dan Sekincau dengan luas areal terbakar ± 1.645,25 ha dan kini sudah menjadi semak belukar. Bentuk perubahan tutupan lahan hasil dari kebakaran hutan nampak pada Gambar 25.
Gambar 25
Foto Semak Belukar pada lokasi hutan bekas terbakar (R. Sekincau)
44
Saat ini dengan kesiapan personil melalui SATGAS Kebakaran Hutan, POSKODALKARHUT, deteksi dini dengan patroli dan penyuluhan telah dapat mengendalikan kebakaran hutan di TNBBS. Namun demikian, ancaman akan kebakaran hutan tetap harus diwaspadai terutama pada musim kemarau atau aktifitas manusia didalam kawasan. Jalan tembus Dalam kaitannya dengan keberadaan TNBBS, Pemekaran wilayah yang dilakukan antara Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pesisir Barat sebagai tuntutan dari aspirasi masyarakat dan juga konsekuensi dari semakin bertambahnya jumlah penduduk menjadi prioritas pemerintahan untuk tetap idealis pada rencana awal. Tercatat pada saat ini Kabupaten Lampung Barat memiliki 17 kecamatan. Pemekaran wilayah yang terjadi pun akhirnya berdampak semakin meningkatnya kebutuhan akan sumber daya lahan budidaya, pemukiman serta infrasturktur, yang sebelumnya ketika masih bersatu dengan Kabupaten Pesisir Barat, sumber penghasilan kabupaten masih merata diberbagai sektor. Hal ini menjadi masalah baru bagi Kabupaten Lampung Barat dimana dirinya sudah menyatakan sebagai kabupaten konservasi yang berarti harus tetap idealis, peduli dan melestarikan keberadaan hutan TNBBS sebagai world heritage site, namun disisi lain, mereka harus tetap menggerakkan roda perekonomian di Kabupaten Lampung Barat yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian dibidang pertanian. Dengan adanya pemekaran dan keharusan bagi pemerintah daerah untuk terus menggerakan roda perekonomian dengan tidak bergantung kepada kawasan, maka munculah tuntutan atas pembangunan infrastruktur jalan tembus yang memotong kawasan. Terdapat 7 jalan yang melintasi kawasan TNBBS saat ini dimana tiga diantaranya telah memiliki ijin, yang keterangannya ditunjukkan pada Tabel 14. Tabel 14 Jalan tembus kawasan TNBBS yang legal No Rute Jarak (km) 1 Sanggi – Bengkunat ± 12 2 Liwa – Krui ± 15 3 Pugung Tampak – Menula ± 14 Sedangkan 4 jalan lainnya yang belum memiliki ijin terdapat pada resortresort yang berada di SPTN III. Jalan-jalan tersebut biasanya digunakan oleh masyarakat dalam mobilisasi antar satu daerah ke daerah lainnya. Keterangan jalan tembus yang illegal dapat dilihat pada Tabel 15. No 1 2 3 4
Tabel 15 Jalan tembus kawasan TNBBS yang ilegal Rute Jarak (km) Suoh - Sukabumi ±8 Tigajaya – Suoh ± 10 Lombok - Melosom ±9 Air Dingin - Semong ±2
Untuk peta lokasi jalan tembus dan gambar dari jalan tembus terdapat pada Gambar 26 dan Gambar 27
45
Gambar 26 Peta jalan tembus di kawasan TNBBS
Gambar 27 Foto jalan yang menembus kedalam kawasan TNBBS (R. Balik Bukit) Sebenarnya, pada tahun 1940-an sudah mulai dilakukannya bukaan jalan oleh masyarakat. Saat ini keberadaan jalan tersebut bagi masyarakat sekitar kawasan sangat lah bermanfaat dalam menembus isolasi kegiatan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan penduduk, namun disisi lain akan menimbulkan fragmentasi habitat dan memperbesar ancaman terhadap kawasan, dimana keanekaragaman hayati setiap fragmen kawasan akan menjadi lebih rendah. Hal ini menimbulkan perdebatan diantara pemda dan Balai TNBBS. Bagi pemda pembangunan jalan berarti pembukaan aksesibilitas dan hal demikian berpeluang terhadap peningkatan kesempatan penduduk dalam meningkatkan kesejahteraan tanpa perlu merenggut keberadaan taman nasional, sementara pandangan Balai TNBBS pembukaan jalan berarti akan menciptakan fragmentasi wilayah taman nasonal dan memperbesar ancaman terhadap kawasan konservasi. Selain itu juga
46
dapat mempermudah akses kepada masyarakat untuk masuk kedalam kawasan secara bebas. Karena selama pengamatan dilapang, beberapa kali Polhut menemukan masyarakat yang akan mengambil sumberdaya hutan baik berupa tumbuhan atau satwa. Sama seperti informasi yang didapat hasil dari wawancara dengan pihak TN, khususnya bagian Resort Pugung Tampak, perambahan terjadi karena diawali adanya jalan yang memotong kawasan TN, sehingga mempermudah akses bagi perambah untuk masuk kawasan. Hal tersebut otomatis akan menambah pekerjaan bagi balai tnbbs untuk mengatasinya. Dalam mengatasi permasalahan jalan tembus, upaya yang dilakukan adalah pemasangan papan-papan peringatan, lebih mengoptimalkan pos-pos jaga yang ada dan melakukan monitoring terhadap penggunaan ruas jalan yang telah diberi izin serta menghentikan kegiatan pembangunan/pemeliharaan jalan yang tidak mendapatkan izin. Upaya penegakan hukum juga telah dilakukan terhadap kontraktor pembangunan jalan Sekincau - Suoh. Batas-batas kawasan Ketidak jelasan tata batas mengakibatkan timbulnya berbagai masalah seperti perambahan, claim masyarakat, konflik satwa liar, dll. Perubahan tata batas TNBBS telah menyebabkan berubahnya status wilayah pemukiman dan lahan pertanian penduduk. Kemudian ketidaksinkronan penetapan batas kawasan menimbulkan perbedaaan persepsi batas kawasan antara pihak TNBBS dan masyarakat. Hal ini dirasakan banyak oleh masyarakat desa enclave Kubu Perahu yang berada di Resort Balik Bukit. Hasil wawancara dengan masyarakat Kubu Perahu bahwa sebenarnya mereka sudah sadar akan aturan TN. Oleh karena itu, mereka sudah tidak pernah membuka kawasan hutan lagi dan hanya menggunakan lahan yang tersedia dan berada diluar pal batas TN. Namun ada permasalahan terutama mengenai ketidak jelasan penetapan pal batas itu sendiri. Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) yang menentukan pal batas enclave Kubu Perahu setiap tahun pengukurannya selalu terjadi perubahan dalam penetapan posisi enclave. Kasus yang terjadi, apabila pada pengukuran pertama lahan warga tepat di dalam enclave atau berada diluar pal batas, namun pada pengukuran kedua lahan tersebut menjadi masuk ke dalam kawasan. Sehingga apabila terdapat lahan masyarakat yang berupa lahan pertanian, masyarakat tidak dapat mengambil hasil pertanian mereka karena otomatis akan dibabat habis oleh pihak TN. Namun perubahan tata letak tidaklah merubah luasan enclave itu sendiri, sehingga pada bagian lain kawasan, yang pada pengukuran pertama masuk kedalam pal batas TN, pada pengukaran kedua menjadi lahan enclave, dan biasanya masyarakat yang merasa dirugikan karena lahan yang mereka urus tidak bisa diambil ketika panen akan menebang pohon-pohon kawasan tersebut untuk dijual sebagai pengganti kerugian. Selain masalah mengenai tata letak enclave kubu perahu, ketidak jelasan tata batas juga terjadi di desa yang berada pada wilayah sekitaran gunung Sekincau, dimana sejak dahulu sudah ada bukaan kawasan hutan oleh masyarakat peserta program transmigrasi BRN, jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional. Pada umumnya desa-desa yang ada terbentuk karena adanya program transmigrasi yang difasilitasi oleh BRN sebelum penetapan kawasan, kemudian desa-desa tersebut tumbuh dan berkembang membentuk beberapa dusun/perkampungan yang letaknya pada saat sekarang berada disekitar
47
kawasan TNBBS. Atas dasar itu lah banyak perkebunan kopi yang masuk ke dalam kawasan TNBBS. Hingga saat ini belum ada aturan antara masyarakat dengan pengelola TNBBS perihal pengolahan kebun kopi milik masyarakat yang berada dalam kawasan. Karena sampai saat ini perkebunan kopi tersebut masih dioleh oleh masyarakat. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, ditambah banyak terjadi migrasi lokal di Lampung Barat, kebutuhan akan lahan semakin meningkat. Hal ini terlihat dengan adanya areal perkebunan kopi yang baru atau bukaan lahan baru yang nantinya akan ditanami tanaman kopi atau tanaman lainnya. Dalam mengatasi permasalahan ini pihak Pengelola telah mengkoordinasikan dengan pihak BAPLAN, UPTD IPH dan Panitia Tata Batas Kabupaten untuk penataan batas. Upaya yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan tersebut, pihak TN telah melakukan upaya antara lain sosialisasi tata batas, penyuluhan dan pemeliharaan jalur/pal batas serta rekontruksi batas.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penyebab terjadinya perubahan tutupan lahan, terutama tutupan lahan dengan tipe hutan dikarenakan adanya kegiatan manusia (konversi lahan). Bentuk perubahan tutupan lahan yang terbesar adalah konversi hutan menjadi pertanian lahan kering (perkebunan kopi). Antara tahun 91-00 seluas 7.325,40 ha dan untuk tahun 00-13 seluas 5.891,17 ha. Saran Sosialisasi terhadap masyarakat dilakukan secara rutin dan menyeluruh, agar pemerataan informasi kepada masyarakat dapat terlaksana sehingga dapat meminimalisir gesekan antara masyarakat dengan pihak TN. Perlu adanya program-program yang disusun bersama antara stakeholder-stakeholder yang terkait (BTNBBS, Pemda Lampung Barat, Pemda Pesisir Barat, LSM) mengenai penurunan perambah yang berada di dalam kawasan. Program-program yang dilakukan dalam bentuk upaya penghentian perambahan seperti GNRHL agar senantiasa dipantau, diperiksa dan dievaluasi, agar tujuan dari program tersebut dapat tercapai dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA [WWF] World Wildlife Fund. 2007. Gone In An Instant. http://www.wwf.or.jp/activities/lib/pdf_forest/deforestation/CoffeeReport_ final.pdf. Diakses tanggal 7 Januari 2014. [WWF Indonesia] World Wildlife Fund Indonesia. Tentang Bukit Barisan Selatan. http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/forest_spesies/wherewew ork/bbs/tentang_bbs/. Diakses tanggal 10 Desember 2013.
48
Badan Pusat Statistik Lampung Barat. 2013.Lampung Barat Dalam Angka 2013. Lampung Barat: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lampung Barat. Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. 2013. Buku Statistik TNBBS 2013. Tanggamus. BTNBBS. Gaveau DLA, Kshatriya M, Sheil D, Sloan S, Molidena E. 2009.Three decades of deforestation in southwest Sumatra: Effects of coffee prices, law enforcement and rural poverty, BIOLOGICAL CONSERVATION (2009), doi:10.1016/j.biocon.2008.11..024. Instruksi Presiden. 2005. INPRES No. 4 Tahun 2005 Tentang Illegal Logging Lillesand TM, Kiefer RW. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.Dulbahri, Suharsono P, Hartono, Suharyadi, penerjemah; Sutanto, editor. Yogyakarta: 47 Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Remote Sensing and Image Interpretation. Levang P, Soaduon S, David G, Terry S. 2012.Landless Farmers, Sly Opportunists, and Manipulated Voters: The Squatters of the Bukit Barisan Selatan National Park (Indonesia). Conservation and Society 10(3): 24355, 2012. Pemerintah Republik Indonesia. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Pemerintah Republik Indonesia. 1997. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pemerintah Republik Indonesia. 2012. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Kabupaten Pesisir Barat Pemerintah Republik Indonesia. 2013. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Peraturan Menteri Kehutanan. 1990. Permenhut No: 364/Kpts-II/1990 Tentang Ketentuan Pelepasan Hutan & Pemberian Hak Guna Usaha Untuk Pengembangan Pertanian Peraturan Menteri Kehutanan. 1995. Permenhut No: 292/Kpts-II/1995 Tentang Tukar-Menukar Kawasan Hutan Peraturan Menteri Kehutanan. 2001. Permenhut No: 32/Kpts-II/2001 Tentang Kriteria & Standar Pengukuhan Kawasan Hutan Peraturan Menteri Kehutanan. 2009. Permenhut No: 38/Menhut-II/2009 Tentang Status dan Fungsi Kawasan Hutan Peraturan Menteri Kehutanan. 2010. Permenhut No: 38/Menhut-V/2010 Tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Tahunan Rehabilitasi Hutan/Lahan Peraturan Menteri Kehutanan. 2012. Permenhut No: 14/Menhut-II/2012 Tentang Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2012 Peraturan Menteri Kehutanan. 2012. Permenhut No: 44/Menhut-II/2012 Tentang Pengukuhan Hutan
PT.
Forindo Bangunkonsultan. Perambahan TNBBS. Jambi
2013.
Masterplan
Penanganan
Rudianto AW. 2009. Analisis Perkembangan Permukiman dan Kebun Kopi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Studi Kasus di Dusun Sidomakmur,
49
Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat). [Thesis]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Sugiarto DP. 2013. Perbandingan Penafsiran Citra Visual dan Digital Untuk Analisis Penutupan Lahan di Kawasan Hutan. http://tnrawku.wordpress.com/2013/07/17/perbandingan-penafsiran-citravisual-dan-digital-untuk-analisis-penutupan-lahan-di-kawasan-hutan/. Diakses tanggal 26 April 2014.
50
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 7 September 1992. Penulis merupakan putra kedua dari 3 bersaudara pasangan Bapak H Jonzul Anmar, S. MB dan Ibu Hj Alis Latifah. Pendidikan formal ditempuh penulis dimulai di TK Bhayangkari Bagan Siapiapi, Riau lulus tahun 1998, SD Negeri Gadog 1, Bogor lulus tahun 2004, SMP Negeri 1 Ciawi, Bogor lulus tahun 2007, SMA Negeri 1 Ciawi, Bogor lulus tahun 2010 dan pada tahun 2010 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Kemudian pada tahun 2011 tercatat sebagai mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan, Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA). Penulis pernah aktif sebagai pengurus Biro Sosial & Lingkungan dan pengurus Kelompok Pemerhati Gua periode 2012-2013. Praktek lapang profesi yang telah dilakukan penulis diantaranya Group Project di Kampus IPB Dramaga mengenai Herpetofauna, Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di CA Sukawayana,Tangkuban Perahu dan situs gua di Jampang Tengah pada tahun 2012, Studi Konservasi lingkungan (SURILI) di Taman Nasional Bukit Tiga puluh tahun 2012 dan di Taman Nasional Manusela tahun 2013, ekspedisi potensi wisata di Gua Cigugula, Surade tahun 2013, Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Taman Nasional Gunung Ciremai dan KPH Indramayu tahun 2012, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan KPH Cianjur tahun 2013, dan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Provinsi Lampung tahun 2014. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Perubahan Tutupan Lahan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Provinsi Lampung” dibawah bimbingan Bapak Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc dan Bapak Dr Ir Rinekso Soekmadi, MScFTrop.