KEANEKARAGAMAN AMFIBI (ORDO ANURA) DI TIPE HABITAT BERBEDA RESORT BALIK BUKIT TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN
(Skripsi)
Oleh
ROLY MARDINATA
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017
Roly Mardinata
ABSTRAK
KEANEKARAGAMAN AMFIBI (ORDO ANURA) DI TIPE HABITAT BERBEDA RESORT BALIK BUKIT TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN
Oleh ROLY MARDINATA
Resort Balik Bukit merupakan kawasan konservasi yang berada di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Sebagai bagian dari kelengkapan dan keanekaragaman di suatu ekosistem, keberadaan amfibi sangat penting mengingat jenis ini juga merupkan bio indikator kesehatan lingkungan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan menganalisis keanekaragaman jenis amfibi (ordoanura), membandingkan keanekaragaman jenis amfibi (ordoanura) berdasarkan tipe habitat yang berbeda serta mengidentifikasi kondisi habitat amfibi (ordoanura) di Resort Balik Bukit Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Penelitian ini menggunakan 3 kali ulangan pada masing-masing tipe habitat (hutan primer, semak dan areal bekas olahan warga / kolam) dan menggunakan metode Visual Encounter Survey dalam pengambilan data keanekaragaman amfibi. Data yang telah diperoleh dianalisis dengan menggunakan Indeks Shannon Wiener, indeks kesamaan komunitas dan dengan menghitung kemerataan jenis. Hasil penelitian
Roly Mardinata menunjukkan bahwa nilai keanekaragaman masih tergolong sedang pada ketiga tipe habitat dengan keanekaragaman tertinggi dijumpai pada habitat hutan primer sehingga kondisi habitat di Resort Balik Bukit saat ini masih menjamin pertumbuhan dan perkembangbiakan amfibi ordoanura.
Kata kunci: Anura, amfibi, indikator lingkungan, Resort Balik Bukit TNBBS
Roly Mardinata
ABSTRACT
THE DIVERSITY OF AMPHIBIAN (ORDER ANURA) ON DEFFERENT HABITAT TYPES IN BALIK BUKIT RESORT BUKIT BARISAN SELATAN NATIONAL PARK
By ROLY MARDINATA
Resort Balik Bukit is a conservation area which located in Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP). As the ecosystem units, the existence of amphibians are significantly required to indicate the diversity and completeness of the ecosystem, its uses as a bio indicator make it even more significant. Therefore, the study undergo with the aims to analyze the diversity of species, then compare the diversity of amphibians (order Anura) based on different types of habitat and identify its habitat conditions (order Anura) in Resort Balik Bukit of Bukit Barisan Selatan National Park. This study undergone with three replications in each habitat type (primary forest, bush and pond trace) and used Visual Encounter Surveys in collecting amphibian diversity data. The data have been analyzed using the Shannon Wiener index and community similarity index by calculating the evenness. The study shows that the value of diversity was classified as medium on the three types of habitat with the highest diversity number found in primary forest habitat.
Roly Mardinata Therefore, habitat conditions in Balik Bukit Resort still have its capacity to ensure the growth and proliferation of amphibians particularly orders Anura.
Keywords: Anura, amphibians, environmental indicators, Resort Balik Bukit TNBBS
KEANEKARAGAMAN AMFIBI (ORDO ANURA) DI TIPE HABITAT BERBEDA RESORT BALIK BUKIT TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN
Oleh ROLY MARDINATA
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEHUTANAN Pada Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Roly Mardinata dilahirkan di Gedongtataan, pada tanggal 10 maret 1993 sebagai anak kedua dari empat bersaudara pasangan Bapak Muchtadin dan Ibu Hasnah,S.Pd. Pendidikan yang ditempuh penulis yaitu pada tahun 1999 lulus dari Taman Kanak-kanak (TK) Petiwi Gedongtataan, kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Sukaraja Selesai pada tahun 2005, tahun 2008 penulis lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Gedongtataan, dan melanjutkan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Gadingrejo yang diselesaikan pada tahun 2011. Penulis tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian, Universitas Lampung pada tahun 2012 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Unila.
Selama menjadi mahasiswa penulis mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa Kehutanan (HIMASYLVA), dan tergabung ke dalam pengurus pada periode 2013-2014 dan juga periode 2014-2015 dalam bidang 3 yakni Penelitian dan Pengembangan Organisasi di Himasylva, juga pernah menjadi Ketua Pelaksana Kegiatan Peringatan Hari Bumi pada tahun 2015 serta menjadi Stering Comite pada Peringatan Hari Bumi 2016, pernah menjadi asisten dosen mata kuliah
Manajemen Hutan Manggrove serta Geografi Informastion System (GIS) pada tahun 2015.
Pada Januari 2015 Penulis Melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik di Desa Pekondoh, Kecamatan Cukuh Balak, Kabupaten Tanggamus, dan melaksanakan Praktik Umum (PU) Kehutanan pada Juli 2015 di Perum Perhutani Devisi Regional Jawa Tengah, dan telah menyelesaikan laporan dengan Judul “Sistem Pengamanan Hutan Jati (Tectona Grandis) di KPH Kedu Selatan BKPH Gombong Selatan Devisi Regional Jawa Tengah”. Pada tahun 2016 penulis melakukan penelitian dengan judul “Keanekaragaman Amfibi (Ordo Anura) di beberapa tipe Habitat Resort Kubu Perahu Taman Nasional Bukit Barisan Selatan”.
Karya ini kupersembahkan untuk orang-orang tersayang yang berharga dalam hidupku (papa, mama serta kakak adikku) yang selalu mendoakanku dan memberikan segala bentuk dukungan. Partner terbaikku serta Evesyl tercinta yang telah memberikan banyak cerita
ii
SANWACANA
Assalamualaikum Wr. Wb. Alhamdulillahirobbil’ alamin sembah sujud dan syukur kepada Allah SWT berkat rahmat dan karunia serta kemudahan yang Engkau berikan akhirnya skripsi sederhana dengan judul “Analisis Keanekaragaman Amfibi (ordo anura) di Tipe Habitat Berbeda di Resort Balik Bukit Taman Nasional Bukit Barisan Selatan” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Universitas Lampung ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, para keluarga, para sahabat, para handai taulan yang kita nantikan syafaatnya kelak. Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan ataupun penyusunan skripsi ini. Penulis pun menyadari terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih payah sendiri akan tetapi berkat bimbingan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak baik moril maupun materil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Bapak Dr. Ir. Gunardi D Winarno., M. Si., selaku Pembimbing I yang telah memberikan waktu, saran, dan semangat kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
iii
2.
Ibu Dra. Nuning Nurcahyani, M. Sc., Selaku Pembimbing II yang telah menjadi ibu, selalu memberikan motivasi, semangat, masukan, dan nasihat.
3.
Bapak Dr. Arief Darmawan, S. Hut., M. Si., Selaku Pembahas yang telah memberikan masukan, saran, dan kritikan yang sangat membangun dalam penulisan skripsi ini menjadi lebih baik.
4.
Bapak Dr. Ir. Gunardi D Winarno, M. Si., selaku Pembimbing Akademik Saya di Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
5.
Ibu Dr. Melya Riniarti, S.P., M.Si., Selaku Ketua Jurusan Kehutanan.
6.
Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banua, M. Si., Selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bapak/Ibu WD I, WD II, WD III serta seluruh Staf pegawai Fakultas Pertanian Universitas Lampung yang telah membantu penulis.
7.
Bapak Dr. Timbul Batubara, M.Si., Selaku Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Bapak Awang selaku Kepala Bidang, Bapak Jhonfa, Ibu Tri, dan Ibu Susan selaku Staf BBTNBBS yang telah membantu penulis selama penyusunan SIMAKSI
8.
Keluarga besar di Resort Balik Bukit atas bantuannya selama pengumpulan data di lokasi penelitian.
9.
Kedua Orang Tua tercinta (Muchtadin dan Hasnah), kakak saya Dina, dan adik saya Roby dan Revaldi yang telah memberikan dukungan baik materil maupu moril kepada penulis, Serta Enda Susianti yang telah menjadi penyemangat penulis dan penyelesaian Skripsi ini.
10. Kepada teman-teman angkatan 2012, khususnya Apri Hidayat, Delima Nur Ramadhani, Jumayanti Boru Hombing, Kristian Gomos Banjarnahor, Nano
iv
Suryono, Rita Gusmalinda yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data. 11. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT mencatat, dan menggantikan semuanya sebagai amal sholeh. Semoga Penelitian dapat berjalan lancar dan dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bandar Lampung, Penulis
Roly Mardinata
Februari 2017
v
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ....................................................................................
Halaman vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
ix
I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................... B. Rumusan Masalah .......................................................................... C. Tujuan Penelitian ............................................................................ D. Manfaat Penelitian ......................................................................... E. Kerangka Pemikiran .......................................................................
1 2 3 3 4
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi ...................................................................................... B. Penyebaran dan Keanekaragaman Amfibi Sumatera ...................... C. Morfologi Tubuh Amfibi ............................................................... D. Habitat ............................................................................................ E. Perilaku Sosial ................................................................................ F. Perilaku Seksual............................................................................... 1. Perilaku Percumbuan .................................................................. 2. Perilaku Kawin ........................................................................... 3. Perilaku Bersarang ..................................................................... G. Perilaku Makan .............................................................................. H. Amfibi Sebagai Bio-Indikator ........................................................ I. Manfaat dan Peranan ...................................................................... J. Konservasi Amfibi dan Kondisi Saat Ini ........................................
7 11 12 15 19 20 22 23 25 25 27 28 29
III. METODE PENELITIAN A. Lokasi & Waktu Penelitian .......................................................... B. Alat dan Bahan ............................................................................. C. Batasan Penelitian ........................................................................ D. Jenis Data ..................................................................................... 1. Data Primer .............................................................................. 2. Data Sekunder .......................................................................... 3. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... C. Analisis Data ................................................................................ 1. Keanekaragaman Amfibi ......................................................... 2. Kemerataan Jenis Amfibi ......................................................... 3. Indeks Kesamaan Tipe Habitat ................................................
31 32 32 33 33 34 34 36 36 36 37
vi Halaman IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ............................. B. Keadaan Fisik Kawasan Kubu Perahu ........................................... 1. Letak dan Luas ........................................................................... 2. Topografi .................................................................................... 3. Hidrologi .................................................................................... C. Keadaan Biotik Zona Intensif Kubu Perahu ................................... 1. Ekosistem ................................................................................... 2. Flora ........................................................................................... 3. Fauna ........................................................................................... D. Potensi Wisata di Resort Balik Bukit Pekon Kubu Perahu Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ....................................... E. Kegiatan Wisata Alam .................................................................... 1. Pemandangan Alam .................................................................... 2. Berkemah ................................................................................... F. Keadaan Hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ................ G. Kondisi Setiap Tipe Habitat yang Diteliti ....................................... 1. Hutan Primer . ............................................................................. 2. Semak ......................................................................................... 3. Rawa ...........................................................................................
39 40 40 40 40 41 41 41 41 42 42 42 43 43 44 44 45 46
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kekayaan Jenis ............................................................................... B. Keragaman Jenis & Kemerataan Jenis ........................................... C. Kesamaan Komunitas ..................................................................... D. Perjumpaan Jenis Berdasarkan Waktu Perjumpaan ....................... E. Faktor Fisik ..................................................................................... F. Sebaran Ekologis ............................................................................ G. Kisaran Ukuran Tubuh ................................................................... H. Aktifitas Perjumpaan ...................................................................... I. Gangguan Terhadap Habitat ........................................................... J. Bio-Indikator Amfibi .....................................................................
47 50 53 54 55 58 60 61 63 64
VI. SIMPULAN A. Simpulan ........................................................................................ B. Saran ...............................................................................................
66 67
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
68
LAMPIRAN............................................................................................... Tabel 10-21 .................................................................................................
73 73-84
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman 1. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian analisis keanekaragaman amfibi (ordo anura) di tipe habitat berbeda di resort balik bukit Taman Nasional Bukit Barisan Selatan............................................................. 6 2. Bentuk Kaki Depan Katak Pohon Hijau ...............................................
14
3. Katak Pohon hijau ................................................................................
14
4. Perbedaan warna dan corak kulit katak pohon dewasa dan muda .......
15
5. Peta Lokasi Penelitian Analisis Keanekaragaman Amfibi (ordo anura) di Tipe habitat berbeda Resort Balik bukit Taman Nasional Bukit Barisan Selatan .....................................................................................
32
6. Ukuran SVL (Snout Vent Length) Pada Katak ....................................
34
7. Plot contoh aquatik ...............................................................................
35
8. Kondisi jalur pengamatan di tipe habitat hutan primer.........................
45
9. Kondisi jalur pengamatan di tipe habitat semak ..................................
46
10. Kondisi jalur pengamatan di tipe habitat rawa .....................................
47
11. Persentase frekuensi amfibi di Resort Balik Bukit ...............................
51
12. Grafik keanekaragaman dan kemerataan amfibi di Resort Balik bukit
52
13. Grafik perbandingan curah hujan tahun 2014 dan 2015 .......................
56
14. Grafik perbandingan jumlah hari hujan tahun 2014 dan 2015 .............
57
15. Sebaran Spasial Vertikal ......................................................................
60
16. Sebaran Spasial Horizontal ..................................................................
60
17. Kaoula baleata yang ditemukan dalam posisi amplexus .....................
64
vii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman 1. Rencana Pengambilan Data .................................................................... 39 2. Flora di zona pemanfaatan intensif Resort Balik Bukit ..........................
42
3. Fauna di zona pemanfaatan intensif Resort Balik Bukit.........................
42
4. Daftar Jenis Amfibi yang ditemukan berdasarkan habitat .....................
48
5. Nilai indeks kesamaan spesies antar tipe habitat di Resort Balik Balik Bukit TNBBS .........................................................................................
55
6. Perjumpaan jenis katak berdasarkan waktu perjumpaan dan tipe habitat
55
7. Kondisi fisik di setiap tipe habitat ..........................................................
58
8. Kisaran posisi masing-masing jenis saat perjumpaan ............................
59
9. Perbandingan kisran ukuran tubuh (SVL) beberapa jenis di Resort Balik Bukit Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ..............................
62
10. Deskripsi jenis amfibi yang ditemukan di beberapa tipe habitat Resort Balik Bukit Taman Nasional Bukit Barisan Selatan .............................
75
11. Data curah hujan Stasiun R.278 Ngambur Pesisir Barat tahun 2014....
82
12. Data Iklim (Suhu Air, Suhu Udara, Kelembabandan Cuaca) di Lokasi Penelitian .................................................................................
83
13. Indeks nilai penting (INP) vegetasi tingkat semai di hutan primer.......
84
14. Indeks nilai penting (INP) vegetasi tingkat pancang di hutan primer...
84
15. Indeks nilai penting (INP) vegetasi tingkat pohon di hutan primer ......
84
16. Indeks nilai penting (INP) vegetasi tingkat semai di vegetasi semak ...
85
17. Indeks nilai penting (INP) vegetasi tingkat semai di rawa ...................
85
viii Tabel Halaman 18. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kemerataan (E) Jenis Hutan Primer.................................................................................................... 86 19. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kemerataan (E) Jenis semak ..........
86
20. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kemerataan (E) Jenis rawa ............
86
21. Jenis-jenis katak dibeberapa tipe habitat...............................................
87
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia memiliki dua dari tiga ordo amfibi yang ada di dunia, yaitu Gymnphina dan Anura. Ordo Gymnophiona dianggap langka dan sulit diketahui keberadaannya, sedangkan ordo Anura merupakan yang paling mudah ditemukan di Indonesia, yakni mencapai sekitar 450 jenis atau 11% dari seluruh jenis Anura di dunia. Ordo Caudata merupakan satu-satunya ordo yang tidak terdapat di Indonesia (Iskandar, 1998).
Amfibi merupaka satwa yang menyukai dan tinggal di daerah berhutan yang lembab dan bahkan beberapa spesies seluruh hidupnya tidak bisa lepas dari air (Mistar, 2003, Iskandar, 1998). Amfibi sendiri merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki peranan sangat penting bagi kelangsungan proses-proses ekologi. Secara ekologis, amfibi berperan sebagai pemangsa konsumen primer seperti serangga atau hewan invertebrate lainnya (Iskandar, 1998) serta dapat digunakan sebagai bioindikator kondisi lingkungan (Stebbins dan Cohen, 1997).
Pulau Sumatera sendiri, khususnya Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) sebagai suatu daerah konservasi dengan beragam ekosistem dari pantai sampai pegunungan, merupakan kawasan hutan yang memiliki karaktersistik yang
2 cocok bagi habitat satwa amfibi, namun belum banyak dilakukan penelitian mengenai amfibi disana. Beberapa spesies baru bahkan masih mungkin untuk ditemukan seperti Philautus sp. dan Leptobrachium sp. di TNBBS (Ul-Hasanah, 2006)
Resort Balik Bukit (TNBBS) yang secara geografis terletak pada 5˚04’00” 5˚05’06” LS dan 104˚02’37” - 104˚04’00” BT memiliki topografi yang bergelombang dan berbukit-bukit yang banyak dilalui oleh sungai dan anak-anak sungai dengan ketinggian antara 550 – 900 mdpl. Kondisi ini menyebabkan Resort ini memiliki beberapa tipe habitat yang berbeda. Perbedaan karasteristik dari suatu habitat diduga dapat menjadi salah satu faktor dari keanekaragaman amfibi yang ada. Sehingga perlu dilakukan kajian terhadap keanekaragaman amfibi (ordo anura) serta kondisi habitatnya di Resort Balik Bukit TNBBS. Kajian ini perlu dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman jenis amfibi (ordo anura) dan perbandingannya jenis berdasarkan tipe habitat serta kondisi habitat amfibi (ordo anura) di Resort Balik Bukit TNBBS.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian amfibi (ordo anura) di Resort Balik Bukit Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. 1. Bagaimana keanekaragaman jenis amfibi (ordo anura) di Resort Balik Bukit Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ? 2. Bagaimana perbandingan keanekaragaman jenis amfibi (ordo anura) berdasarkan tipe habitat yang berbeda ?
3 3. Bagaimana kondisi habitat amfibi (ordo anura) di Resort Balik Bukit Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian tentang keanekaragaman amfibi di berbagai tipe habitat ini dilakukan dengan tujuan untuk: 1. Menganalisis keanekaragaman jenis amfibi (ordo anura) di Resort Balik Bukit Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. 2. Membandingkan keanekaragaman jenis amfibi (ordo anura) berdasarkan tipe habitat yang berbeda. 3. Mengidentifikasi kondisi habitat amfibi (ordo anura) di Resort Balik Bukit Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian tentang keanekaragaman amfibi diberbagai tipe habitat ini adalah sebagai berikut: 1. Melengkapi data dan informasi mengenai jenis-jenis amfibi serta karakteristik habitatnya. 2. Memberikan masukan bagi pengelola lahan, terutama dalam pengambilan keputusan tentang pengelolaansatwa liar pada daerah ekowisata.
4 E. Kerangka Pemikiran
Resort Balik Bukit TNBBS memiliki topografi yang bergelombang dan berbukitbukit yang banyak dilalui oleh sungai dan anak-anak sungai dengan ketinggian antara 550 – 900 mdpl. Keadaan ini menciptakan beragam tipe habitat yang berbeda yang mampu menjadi habitat bagi satwa amfibi. Keberadaan amfibi kurang di perhatikan oleh manusia, hal ini dapat dilihat dari sedikitnya informasi mengenai satwa ini serta kondisi lingkungan dan habitatnya. Meskipun amfibi (ordo anura) merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki peranan sangat penting bagi kelangsungan proses-proses ekologi.
Amfibi merupakan satwa yang sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Hampir seluruh siklus hidup amfibi ordo Anura (kodok dan katak) bergantung pada konsistensi keragaman habitat mikro, seperti serasah daun untuk meloloskan diri dari pemangsa, bersarang, dan berlindung dari kekeringan (Vitt & Caldwell, 1994 dalam Meijard, et al., 2006). Selama perkembangan dan metamorfosisnya larva anura sangat peka terhadap perubahan kimia air dan karasteristik fisik habitat akuatik. Pembukaan tajuk secara drastis mempengaruhi lingkungan dasar hutan (seperti suhu, cahaya, kelembaban, dan akumulasi serasah). Hilangnya serasah atau perubahan serasah daun berpengaruh terhadap anura secara langsung maupun tidak langsung (Zou et al , 1995).
Penelitian ini dilakukan guna mengetahui keanekaragaman amfibi ordo anura pada kondisi habitat tempat tinggalnya. Habitat yang diteliti dibatasi hanya pada tiga habitat yang berada pada Resort Balik Bukit yakni pada habitat kolam, semak, dan hutan primer. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan
5 metode Visual Encounter Survey (VES), di mana pengamatan dilakukan dengan mengamati secara teliti keberadaan amfibi mengikuti daerah aliran sungai.
Data yang diambil di lapangan meliputi jenis amfibi, panjang tubuh amfibi, dan perilaku pada saat ditemukan. Adapun data komponen habitat yang diamati meliputi kondisi cuaca, suhu udara, kelembaban udara, suhu air, pH air, rata-rata lebar badan air, rata-rata kedalaman badan air, jenis dan komposisi vegetasi, kerapatan vegetasi,
Pendugaan keanekaragaman jenis amfibi dilakukan dengan menggunakan Indeks Shannon Wiener, kemerataan jenis (Evenness) dihitung untuk mengetahui derajat kemerataan jenis pada lokasi penelitian (Bower dan Zar, 1977), indeks similaritas dan frekuensi jenis dengan menghitung jenis yang paling dominan.
6
TNBBS Resort Balik Bukit
Keanekaragaman Amfibi Ordo Anura
Peka terhadap perubahan lingkungan. Seluruh siklus hidup amfibi ordo anura bergantung pada konsistensi keragaman habitat mikro
Habitat
Kolam
Semak
Hutan Primer
VES (Visual Encounter Survey)
Mengikuti Aliran Sungai/Kolam
1. 2. 3.
1. 2. 3.
Identifikasi Jenis Panjang Tubuh Perilaku saat ditemukan
Analisis Data Keanekaragaman (Indeks Shannon Wiener) Kemerataan Jenis Amfibi Indeks kesamaan komunitas (Indeks of Similarity)
4. Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian analisis keanekaragaman amfibi (ordo anura) di tipe habitat berbeda di resort Balik Bukit Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Amfibi berasal dari kata amphi yang berarti ganda dan bio yang berarti hidup. Secara harfiah amfibi diartikan sebagai hewan yang hidup di dua alam, yakni dunia darat dan air. Amfibi dikenal sebagai hewan bertulang belakang yang suhu tubuhnya tergantung pada lingkungan, mempunyai kulit licin dan berkelenjar serta tidak bersisik. Sebagian besar mempunyai anggota gerak dengan jari (Liswanto, 1998). Amfibi dikenal sebagai hewan bertulang belakang yang suhu tubuhnya tergantung pada lingkungan, mempunyai kulit licin dan berkelenjar serta tidak bersisik. Sebagian besar mempunyai anggota gerak dengan jari (Liswanto, 1998).
A. Klasifikasi
Menurut Goin dan Goin (1971), klasifikasi dan sistematika amfibi adalah sebagai berikut: Kingdom Animalia, Filum Chordata, Sub-filum Vertebrata, Kelas Amphibia, serta Ordo Gymnophiona, Caudata dan Anura. Amfibi adalah satwa bertulang belakang yang memiliki jumlah jenis terkecil, yaitu sekitar 4.000 jenis. Walaupun sedikit, amfibi merupakan satwa bertulang belakang yang pertama berevolusi untuk kehidupan di darat dan merupakan nenek moyang reptil (Halliday dan Adler, 2000). Indonesia memiliki 10 famili dari Ordo Anura yang ada di dunia. Famili-famili tersebut adalah Bombinatoridae (Discoglossidae), Megophrydae (Pelobatidae), Bufonidae, Lymnodynastidae, Myobatrachidae, Mi-
8 crohylidae, Pelodryadidae, Ranidae, Rhacophoridae dan Pipidae (Iskandar, 1998). Ordo Gymnophiona atau yang lebih dikenal dengan sebutan sesilia merupakan satwa yang dianggap langka dan sulit diketahui keberadaannya di alam. Jumlah jenis dari Ordo ini adalah sebanyak 170 jenis dari seluruh jenis amfibi. Ichthyophiidae merupakan salah satu famili yang terdapat di Asia Tenggara. Tidak semua ordo dalam kelas amfibi terdapat di Indonesia. Caudata merupakan satusatunya ordo dari Amfibi yang tidak terdapat di Indonesia. Ordo Anura terdiri dari katak dan kodok. Saat ini terdapat lebih dari 4.100 jenis Anura di dunia dan di Indonesia memiliki sekitar 450 jenis atau 11% dari seluruh anura di dunia (Iskandar, 1998).
Ordo Caecilia ( Gymnophiona), Ordo ini mempunyai anggota yang ciri umumnya adalah tidak mempunyai kaki sehingga disebut Apoda. Tubuh menyerupai cacing (gilig), bersegmen, tidak bertungkai, dan ekor mereduksi. Hewan ini mempunyai kulit yang kompak, mata tereduksi, tertutup oleh kulit atau tulang, retina pada beberapa spesies berfungsi sebagai fotoreseptor. Anterior terdapat tentakel yang fungsinya sebagai organ sensor. Kelompok ini menunjukkan 2 bentuk dalam daur hidupnya. Pada fase larva hidup dalam air dan bernafas dengan insang. Pada fase dewasa insang mengalami reduksi, dan biasanya ditemukan di dalam tanah atau di lingkungan akuatik. Fertilisasi pada Caecilia terjadi secara internal. (Webb et.al, 1981) Ordo Caecilia mempunyai 5 famili yaitu Rhinatrematidae, Ichtyopiidae, Uraeotyphilidae, Scolecomorphiidae, dan Caecilidae. Famili Caecilidae mempunyai 3 subfamili yaitu Dermophinae, Caecilinae dan Typhlonectinae
9 Famili yang ada di Indonesia adalah Ichtyopiidae. Anggota famili ini mempunyai ciri-ciri tubuh yang bersisik, ekornya pendek, mata relatif berkembang. Reproduksi dengan oviparous. Larva berenang bebas di air dengan tiga pasang insang yang bercabang yang segera hilang walaupun membutuhkan waktu yang lama di air sebelum metamorphosis. Anggota famili ini yang ditemukan di Indonesia adalah Ichtyophis sp., yaitu di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ordo Urodela disebut juga caudata. Ordo ini mempunyai ciri bentuk tubuh memanjang, mempunyai anggota gerak dan ekor serta tidak memiliki tympanum. Tubuh dapat dibedakan antara kepala, leher dan badan. Beberapa spesies mempunyai insang dan yang lainnya bernafas dengan paru-paru. Pada bagian kepala terdapat mata yang kecil dan pada beberapa jenis, mata mengalami reduksi. Fase larva hampir mirip dengan fase dewasa. Anggota ordo Urodela hidup di darat akan tetapi tidak dapat lepas dari air. Pola persebarannya meliputi wilayah Amerika Utara, Asia Tengah, Jepang dan Eropa (Pough et. al, 1998).
Urodella mempunyai 3 sub ordo yaitu Sirenidea, Cryptobranchoidea dan Salamandroidea. Sub ordo Sirenidae hanya memiliki 1 famili yaitu Sirenidae, sedangkan sub ordo Cryptobranchoidea memiliki 2 famili yaitu Cryptobranchidae dan Hynobiidae. Sub ordo Salamandroidea memiliki 7 famili yaitu Amphiumidae, Plethodontidae, Rhyacotritoniade, Proteidae, Ambystomatidae, Dicamptodontidae dan Salamandri-dae ( Pough et. al., 1998).
Ordo Proanura, Anggota-anggota ordo ini tidak dapat diketemukan atau dapat dikatakan telah punah. Anggota-anggota ordo ini hidupnya di habitat akuatik sebagai larva dan hanya sedikit saja yang menunjukkan perkembangan ke arah de-
10 wasa. Ciri-ciri umumnya adalah mata kecil, tungkai depan kecil, tanpa tungkai belakang, kedua rahang dilapisi bahan tanduk, mempunyai 3 pasang insang luar dan paru-paru mengalami sedikit perkembangan. Amphibi ini tidak menunjukkan adanya dua bentuk dalam daur hidupnya (Duellman dan Trueb, 1986).
Ordo Anura, Nama anura mempunyai arti tidak memiliki ekor. Seperti namanya, anggota ordo ini mempunyai ciri umum tidak mempunyai ekor, kepala bersatu dengan badan, tidak mempunyai leher dan tungkai berkembang baik. Tungkai belakang lebih besar daripada tungkai depan. Hal ini mendukung pergerakannya yaitu dengan melompat. Pada beberapa famili terdapat selaput di antara jarijarinya. Membrana tympanum terletak di permukaan kulit dengan ukuran yang cukup besar dan terletak di belakang mata. Kelopak mata dapat digerakkan. Mata berukuran besar dan berkembang dengan baik. Fertilisasi secara eksternal dan prosesnya dilakukan di perairan yang tenang dan dangkal (Duellman dan Trueb, 1986).
Ordo Anura dibagi menjadi 27 famili, yaitu: Ascaphidae, Leiopelmatidae, Bombinatoridae Discoglossidae, Pipidae, Rhinophrynidae,Megophryidae, Pelodytidae, Pelobatidae,Allophrynidae, Bufonidae, Branchycephalidae, Centrolenidae, Heleophrynidae, Hylidae,Leptodactylidae, Myobatrachidae, Pseudidae, Rhinodermatidae, Sooglossidae, Arthroleptidae, Dendrobatidae, Hemisotidae, Hyperoliidae,Microhylidae, Ranidae, Rachoporidae,(Pough et. al., 1998)
Morfologi katak berbeda tergantung pada habitatnya. Katak pohon seperti famili Rhacophoridae memiliki piringan (discs) pada ujung jarinya untuk membantu dalam memanjat. Katak akuatik atau semiakuatik seperti famili Ranidae memiliki
11 selaput di antara jari-jarinya untuk membantu dalam berenang. Katak terestrial tidak memiliki selaput ataupun piringan, tetapi cenderung memiliiki warna yang menyerupai serasah atau lingkungan sekelilingnya, seperti pada genus Bufonidae dan genus Megophrys (Kusrini et al. 2008).
B. Penyebaran dan Keanekaragaman Amfibi di Sumatera
Amfibi dapat hidup di berbagai tipe habitat mulai dari hutan pantai, hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan yang ektrim, kecuali daerah kutub dan gurun (Mistar, 2003). Ordo Gymnophiona terdapat di wilayah tropis dan subtropis (Nussbaum 1998). Indonesia memiliki Ordo Gymnophiona dapat ditemukan di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Ordo Caudata tidak ditemukan di Indonesia, tetapi daerah terdekat yang dapat ditemukan ordo ini adalah Vietnam Utara dan Thailand Utara (Iskandar 1998). Ordo Anura terdapat di seluruh Indonesia dari Sumatera sampai Papua (Iskandar 1998). Amfibi yang ditemukan di Sumatera terdiri atas Ichtyophidae, Bufonidae, Megophryidae, Microhylidae, Ranidae, Rhacophoridae (Iskandar dan Colijn 2000). Katak di Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan dan Jawa berasal dari wilayah gugusan Sunda Besar. Katak yang terdapat di Semenanjung Malaysia memiliki kesamaan jenis yang tinggi dengan katak yang terdapat di Sumatera. Tingkat kesamaan jenis katak di Jawa dengan Sumatera lebih tinggi dibandingkan dengan kesamaan jenis katak di Jawa dengan Kalimantan (Inger dan Voris 2001).
Di Pulau Nias, Kepulauan Batu (P. Pini dan P. Tanah Masa) dan Kepulauan Mentawai (P. Siberut dan P. Sipora) terdapat 23 jenis katak. Berdasarkan kekayaan jenisnya maka jumlah jenis katak yang dapat ditemukan di Pulau Sibe-
12 rut sebanyak 17 jenis, Kepulauan Batu 10 jenis dan Pulau Nias 9 jenis (Inger dan Voris 2001). Di Pulau Siberut terdapat jenis katak endemik, yakni Rana Siberu. Ul-Hasanah (2006) menemukan 44 jenis amfibi dari Ordo Anura yang termasuk dalam 5 famili, yakni: Bufonidae, Megophryidae, Microhylidae, Ranidae dan Rhacophoridae. Sudrajat (2001) menemukan 25 jenis amfibi dari Ordo Anura di Musi Banyuasin, Lahat dan Musi Rawas Sumatera Selatan.
C. Morfologi Tubuh Katak
Amfibi secara fisik mengembangkan dua pasang tungkai sebagai alat gerak, memiliki kulit dengan permukaan lembab, dari yang licin sampai yang kasar dan bergranula. Ciri khas klas ini adalah tidak adanya kuku dan sisik (Morris, 1957). Seluruh ordo Anura kehilangan ekornya pada masa dewasa, kepalanya langsung bersambung dengan tubuhnya tanpa butuh leher yang bisa mengerut seperti penyu dan tungkainya suda cukup berkembang dengan kaki belakang lebih panjang. Menurut Iskandar (1998), katak mudah dikenali dengan tubuhnya yang tampak seperti berjongkok dengan empat kaki, dengan kaki belakang untuk melompat berukuran lebih panjang dari pada kaki depan, leher tidak jelas dan tidak berekor. Matanya berukuran besar dengan pupil mata horizontal dan vertikal, ada pula yang berbentuk berlian atau segitiga yang khas untuk jenis-jenis tertentu. Ujung-ujung jari anura tidak berbentuk, hanay silindris atau berbentuk piringan yang pipih, kadang-kadang juga mempunyai kulit lateral lebar, dan ada juga kelompok dengan ujung jari berbentuk ganda. Kaki depannya memiliki empat jari, sedangkan kakinya belakang lima jari. Selaput kulit tumbuh di antara jari-jari dan keberadaannya bervariasi pada tiap jenis.
13
Kulit tubuh anura bervariasi dari yang halus pada beberapa jenis katak, sampai kasar dan tertutup oleh tonjolan-tonjolan pada jenis kodok. Pada beberapa jenis, ukuran katak terdapat lipatan dorsolateral, lipatan supratimpanik yang berawal dari belakang mata yang memanjang di atas pangkal paha, serta lipatan supratimpanik yang berawal dari belakang mata yang memanjang di atas gendang telinga dan berakhir didekat pangkal lengan.
Integumen atau biasa disebut sebagai kulit merupakan suatu organ yang melapisi permukaan tubuh dan berfungsi untuk melindungi lapisan di bawahnya dari pengaruh luar misalnya dari pathogen. Pada umumnya amfibi memiliki kulit yang tipis, banyak pembuluh darah dan selalu basah. Kondisi kulit tersebut pada amfibi berperan sebagai alat respirasi. Bahkan beberapa jenis amfibi paru-parunya mereduksi sehingga sistem respirasi hanya menggunakan kulit saja atau disebut repirasi cutaneous (Hutchin et.al, 2003; Iskandar, 1978; Cox, 1967 ). Selain itu di dalam kulit juga terdapat reseptor yang dapat mengenali perubahan lingkungan (Junqueira, 1998; Pough etal., 1998).
Menurut Iskandar (1998), katak pohon hijau berukuran kecil sampai sedang, dengan ukuran kepala yang besar. Punggung berwarna hijau pada bagian samping, tangan dan kaki berwarna kuning atau oranye. Pada spesimen awetan dalam alkohol akan berubah warna menjadi ungu. Jari tangan dan jari kaki berselaput sepenuhnya sampai kepinggiran kecuali pada jari tangan yang pertama. Selaput berwarna hitam dengan garis-garis berwarna kuning dan biru (Liem, 1971). Sebuah lipatan halus terdapat di atas tumit dan anus serta lipatan kulit yang melebar di sepanjang lengan (Iskandar, 1998; Inger dan Stuebing, 1997).
14
Gambar 2. Bentuk kaki depan Katak pohon hijau. (a) Lipatan kulit yang melebar pada lengan tangan; (b) Jari tangan yang berselaput penuh kecuali pada jari pertama. (Sumber: Berry, 1975) Amfibi pada umumnya memiliki perbedaan bentuk morfologi dan corak warna yang berbeda pada saat muda dan sudah dewasa, katak pohon hijau dewasa memiliki perbedaan warna dengan katak pohon hijau setengah dewasa. Warna hijau sangat dominan pada katak pohon hijau dewasa sedangkan abu-abu dengan bintikbintik hitam di sekujur punggung sangat dominan pada katak yang masih setengah dewasa (baru menyelesaikan tahapan larva/berudu).
Gambar 3. Katak pohon hijau (a) Katak pohon hijau (dewasa); (b) Katak pohon hijau (setengah dewasa). (Sumber: Yazid, 2006) P. leucomystax dewasa dideskripsikan sebagai katak dengan ukuran sedang, tubuh yang ramping dan panjang. Sisi mulut meruncing dan berkulit halus, kecuali pada garis yang membengkok di luar tympanum. Kaki ramping dengan jari tangan dan kaki melebar dan bagian ujung rata. Jari tangan setengahnya berselaput dan jari kaki hampir sepenuhnya berselaput (Gambar 2). Kulit kepala menyatu dengan
15 tengkorak. Terkstur kulit sepenuhnya halus tanpa indikasi adanya bintil-bintil atau lipatan. Bagian bawah berbintil granular yang jelas (Iskandar, 1998; Inger dan Stuebing, 1997).
Sama seperti katak pohon hijau, Polypedates leucomystax dewasa memiliki perberdaan warna tubuh dengan individu muda. Individu dewasa umumnya berwarna coklat kekuningan, dengan satu warna atau bintik hitam. Katak dewasa memiliki enam atau empat garis longitudinal yang jelas memanjang dari kepala sampai ujung tubuh (Iskandar, 1998; Berry, 1975) sedangkan individu muda memiliki warna tubuh yang pudar. Perbedaan tampilan warna tubuh katak pohon bergaris berumur dewasa dengan muda seperti disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Perbedaan warna dan corak kulit pada katak pohon dewasa dengan muda; (a) individu dewasa dan (b) individu muda (Sumber: Muhammad Yazid, 2006). D. Habitat
Amfibi dikenal sebagai makhluk dua alam. Amfibi tersebar di semua benua kecuali benua Antartika, umumnya dijumpai pada malam hari atau pada musim penghujan seperti di kolam, aliran sungai, pohon-pohon maupun di gua (Simon dan Schuster’s, 1989). Iskandar (1998) menyatakan bahwa amfibi selalu hidup
16 berasosiasi dengan air sesuai namanya yaitu hidup pada dua alam (di air dan di darat).
Menurut Alikodra (2002), habitat satwaliar yaitu suatu kesatuan dari faktor fisik maupun biotik yang digunakan untuk untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Odum (1971) mengartikan habitat suatu individu sebagai tempat dimana individu tersebut hidup. Definisi lain dinyatakan oleh Goin dan Goin (1971) bahwa habitat tidak hanya menyediakan kebutuhan hidup suatu organisme melainkan tentang dimana dan bagaimana satwa tersebut dapat hidup. Berdasarkan habitatnya, katak hidup pada daerah pemukiman manusia, pepohonan, habitat yang terganggu, daerah sepanjang aliran sungai atau air yang mengalir, serta pada hutan primer dan sekunder (Iskandar, 1998). Habitat utama amfibi adalah hutan primer, hutan rawa, sungai besar, sungai sedang, anak sungai, kolam dan danau (Mistar, 2003).
Mistar (2003) menjelaskan bahwa habitat yang paling disukai oleh amfibi adalah daerah berhutan karena membutuhkan kelembaban yang stabil, dan ada juga yang tidak pernah meninggalkan perairan sama sekali. Berdasarkan kebiasaan hidupnya amfibi dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok, yakni : a. Teresterial, spesies-spesies yang sepanjang hidupnya berada di lantai hutan, jarang sekali berada pada tepian sungai, memanfaatkan genangan air atau di kolam di lantai hutan serta di antara serasah daun yang tidak berair tetapi mempunyai kelembaban tinggi dan stabil untuk meletakkan telur. Contohnya Megophrys aceras, M. nasuta dan Leptobracium sp.
17 b. Arboreal, spesies-spesies amfibi yang hidup di pohon dan berkembang biak di genangan air pada lubang-lubang pohon di cekungan lubang pohon, kolam, danau, sungai yang sering dikunjungi pada saat berbiak. Beberapa spesies arboreal mengembangkan telur dengan membungkusnya dengan busa untuk menjaga kelembaban, menempel pada daun atau ranting yang di bawahnya terdapat air. Contohnya seperti Rhacophorus sp, Philautus sp dan Pedostibes hosii. c. Aquatik, spesies-spesies yang sepanjang hidupnya selalu berada pada badan air, sejak telur sampai dewasa, seluruh hidupnya berada pada perairan mulai dari makan sampai berbiak. Contohnya antara lain Occidozyga sumatrana dan Rana siberut. d. Fossorial, spesies yang hidup pada lubang-lubang tanah, spesies ini jarang dijumpai. Amfibi yang termasuk dalam kelompok ini adalah suku Microhylidae yaitu Kaloula sp dan semua jenis sesilia (Mistar, 2003).
Kebanyakan dari amfibi hanya bisa hidup di air tawar, namun jenis seperti Fejervarya cancrivora diketahui mampu hidup di air payau (Iskandar, 1998). Sebagian katak beradaptasi agar dapat hidup di pohon. Walaupun sangat tergantung pada air, katak pohon seringkali tidak turun ke air untuk bertelur. Katak pohon melakukan kawin dan menyimpan telurnya di vegetasi/pohon di atas air. Saat menetas berudu katak akan jatuh ke dalam air (Duellman dan Heatwole, 1998).
Selain itu, juga terdapat katak yang menyimpan telurnya di lubang berair pada kayu dan tanah, di punggung betina atau membawa ke daerah dekat air (Duellman dan Trueb, 1994). Sudrajat (2001) membagi amfibi menurut perilaku dan habitatnya menjadi tiga grup besar yaitu:
18 a. Jenis yang terbuka pada asosiasi dengan manusia dan tergantung pada manusia, b. Jenis yang dapat berasosiai dengan manusia tapi tidak tergantung pada manusia, c. Jenis yang tidak berasosiai dengan manusia. Habitat herpetofauna di Sumatera Selatan dibagi berdasarkan ada dan tidaknya modifikasi lingkungan yang disebabkan oleh manusia maupun yang terjadi secara alami, diantaranya: hutan primer, hutan bekas tebangan, camp/bekas camp, jalan sarad, bekas kebun, kebun karet, sawah dan pemukiman. Salah satu penyebab penurunan jenis amfibi di dunia adalah kerusakan habitat hutan dan fragmentasi.
Hutan yang mengalami sedikit gangguan atau hutan dengan tingkat perubahan sedang memiliki jumlah jenis yang lebih kaya daripada kawasan yang sudah terganggu seperti hutan sekunder, kebun dan pemukiman penduduk (Gillespie et al. 2005). Hal yang sama juga terlihat dari penelitian Ul-Hasanah (2006). Katak yang terdapat di habitat yang tidak terganggu memiliki jumlah jenis yang lebih banyak. Ul-Hasanah (2006) menemukan 37 jenis katak di habitat yang tidak terganggu dan 31 jenis katak di habitat yang terganggu. Dari penelitiannya terlihat bahwa habitat sungai tidak terganggu didominasi oleh Leptophryne borbonica, Rana chalconota dan Limnonectes blythii. Habitat darat tidak terganggu didominasi oleh Bufo asper, Limnonectes blythii, Rana chalconota, Leptobrachium hasseltii, Megophrys nasuta, Leptophryne borbonica dan Limnonectes microdiscus. Habitat sungai terganggu didominasi oleh Rana chalconota, Bufo asper dan Rana hosii, sedangkan habitat darat terganggu didominasi oleh Rana chalconota, Rana hosii, Fejervarya spp, Bufo biporcatus dan Bufo melanostictus.
19 E. Perilaku Sosial
Pada umumnya amfibi tinggal di daerah berhutan yang lembab dan beberapa spesies seluruh hidupnya tidak bisa lepas dari air (Mistar 2003, Iskandar, 1998). Sekitar 70 sampai 80% dari berat tubuhya adalah air (Kminiak, 2000). Amfibi membutuhkan kelembaban yang cukup untuk melindungi diri dari kekeringan pada kulitnya (Iskandar, 1998). Hal ini karena kulit pada amfibi digunakan untuk pernapasan selain paru-paru (Lametschwandtner dan Tiedemann, 2000). Fertilisasi pada amfibi terjadi secara internal maupun eksternal. Sesilia adalah ordo yang melakukan fertilisasi internal. Namun, tidak ada yang tahu bagaimana sesilia melakukan kawin. Caudata juga melakukan fertilisasi internal dan Anura melakukan fertilisasi eksternal (Goin dan Goin, 1971).
Duellman dan Trueb (1986) menyatakan bahwa amfibi terestrial umumnya nokturnal, dengan mempertahankan temperatur harian yang tinggi dan kelembaban yang rendah. Pada siang hari biasanya amfibi mempunyai kandungan kelembaban yang lebih tinggi dari pada lingkungan sekitarnya yang terbuka dari sinar matahari dan udara yang hangat. Tempat berlindung pada siang hari yaitu dibawah batu, batang pohon, daun jerami, celah-celah yang terlindung dan daun-daun.
Ordo Gymnophiona merupakan satwa yang hidup dalam tanah. Mereka menggunakan kepalanya untuk menggali dalam tanah untuk makan. Sesilia menyukai habitat tanah yang gembur dan lapisan serasah hutan tropis, seringkali dekat dengan aliran air. Salah satu famili dari sesilia bahkan hidup di dasar sungai (Halliday dan Adler 2000). Amfibi tidak memiliki alat fisik untuk mempertahankan diri. Sebagian besar Anura melompat untuk melarikan diri dari predator.
20 Jenis-jenis yang memiliki kaki yang relatif pendek memiliki strategi dengan cara menyamarkan warnanya menyerupai lingkungannya untuk bersembunyi dari predator. Beberapa jenis Anura memiliki kelenjar racun pada kulitnya, seperti pada famili Bufonidae (Iskandar, 1998).
F. Perilaku Sexual
Kodok dan katak mengawali hidupnya sebagai telur yang diletakkan induknya di air, sarang busa, atau tempat-tempat basah lainnya. Beberapa jenis kodok pegunungan menyimpan telurnya di antara lumut-lumut yang basah di pepohonan. Sementara jenis kodok hutan yang lain menitipkan telurnya di punggung kodok jantan yang lembab, yang akan selalu menjaga dan membawanya hingga menetas bahkan hingga menjadi kodok kecil. Katak mampu menghasilkan 5000-20000 telur, tergantung dari kualitas induk dan berlangsung sebanyak tiga kali dalam setahun. Telur-telur kodok dan katak menetas menjadi berudu atau kecebong yang bertubuh mirip ikan gendut, bernafas dengan insang dan selama beberapa lama hidup di air. Perlahan-lahan akan tumbuh kaki belakang, yang kemudian diikuti dengan tumbuhnya kaki depan, menghilangnya ekor dan bergantinya insang dengan paru-paru.
Kodok dan katak kawin pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada saat bulan mati atau pada ketika menjelang hujan. Pada saat itu kodok-kodok jantan akan berbunyi-bunyi untuk memanggil betinanya, dari tepian atau tengah perairan. Beberapa jenisnya, seperti kodok tegalan (Fejervarya limnocharis) dan kintel lekat alias belentuk (Kaloula baleata), kerap membentuk ‘grup nyanyi’, dimana beberapa hewan jantan berkumpul berdekatan dan berbunyi bersahut-sahutan. Suara
21 keras kodok dihasilkan oleh kantung suara yang terletak disekitar lehernya, yang akan menggembung besar manakala digunakan (Manurung, 1995).
Reproduksi pada amphibi ada dua macam yaitu secara eksternal pada anura pada umumnya dan internal pada Ordo Apoda. Proses perkawinan secara eksternal dilakukan di dalam perairan yang tenang dan dangkal. Musim kawin, pada anura ditemukan fenomena unik yang disebut dengan amplexus, yaitu katak jantan yang berukuran lebih kecil menempel di punggung betina dan mendekap erat tubuh betina yang lebih besar. Perilaku tersebut bermaksud untuk menekan tubuh betina agar mengeluarkan sel telurnya sehingga bisa dibuahi jantannya. Amplexus bisa terjadi antara satu betina dengan 2 sampai 4 pejantan di bagian dorsalnya dan sering terjadi persaingan antar pejantan pada musim kawin. Siapa yang paling lama bertahan dengan amplexusnya, dia yang mendapatkan betinanya. Amphibi berkembang biak secara ovipar, yaitu dengan bertelur, namun ada juga beberapa famili amphibi yang vivipar, yaitu beberapa anggota ordo apoda. (Duellman dan Trueb, 1986).
Mistar (2003) menjelaskan bahwa sewaktu bereproduksi amfibi membutuhkan air atau tempat untuk meletakkan telur hingga terbentuknya larva dan juvenil. Amfibi memiliki perilaku yang unik dan beranekaragam dalam hal perkembangbiakan. Menurut Goin et al.,(1978), waktu perkembangbiakan amfibi sangat dipengaruhi oleh musim hujan dan suhu udara. Katak jantan akan memanggil dengan mengeluarkan suaranya setelah hujan ketiga atau keempat pada awal musim hujan (Kadadevaru dan Kanamadi, 2000).
22 1.
Perilaku Percumbuan
Perilaku percumbuan yang paling utama dari ordo Anura adalah mencari perhatian betina dengan menggunakan panggilan suara (Morrison et al., 2001; Duellman dan Trueb, 1994). Perilaku percumbuan menjadi suatu hal yang penting dalam perkembangbiakan karena percumbuan dapat menstimulasi individu lain untuk melakukan aktivitas seksual (Goin et al., 1978). Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku percumbuan adalah kesesuaian ukuran tubuh (Morrison et al., 2001) atau struktur waktu seksual dan ukuran yang tidak tepat maka aktivitas seksual tidak akan terjadi (Goin et al., 1978). Menurut Duelman dan Treub (1994), suara yang dikeluarkan oleh Anura terbagi atas: a.
Advertisement call: umumnya diketahui sebagai panggilan untuk kawin. Dikeluarkan oleh individu jantan yang memiliki dua fungsi yaitu (1) untuk menarik perhatian betina; (2) untuk menyatakan keberadaannya terhadap individu jantan lain baik yang sejenis ataupun berbeda jenis. Ada tiga macam tipe advertisement call yaitu: 1) Courtship call: dihasilkan oleh jantan untuk menarik perhatian betina. 2) Teritorial call: dihasilkan oleh jantan penetap sebagai suatu respon terhadap advertisement call jantan lainnya pada intensitas yang diambang batas. 3) Encounter call: suara yang ditimbulkan akibat interaksi yang dekat antar individu jantan untuk menarik perhatian betina.
b.
Reciprocation call: dihasilkan oleh betina sebagai tanggapan terhadap suara (advertisement call) yang dikeluarkan oleh jantan.
23 c.
Release call: suara yang merupakan sinyal untuk melakukan atau menolak amplexus yang dikeluarkan oleh individu jantan atau betina.
d.
Distress call: suara yang sangat pelan yang dikeluarkan oleh individu jantan dan betina sebagai respon terhadap gangguan.
Frekuensi suara umumnya bergantung pada dari ukuran tubuh katak namun dapat juga berbeda bergantung dari jenis katak tersebut (Cogger dan Zwiefel, 1998).
2.
Perilaku Kawin
Pada umumnya katak melakukan perkawinan eksternal dimana fertilisasi berlangsung secara eksternal (Duellman dan Trueb, 1994). Perkawinan pada katak disebut sebagai amplexus dimana katak jantan berada di atas tubuh katak betina (Duellman dan Treub, 1994; Goin et al., 1978).
Beberapa tipe-tipe amplexus yang umum terjadi pada anura adalah: a. Inguinal: kaki depan katak jantan memeluk bagian pinggang dari katak betina. Pada posisi ini kloaka dari pasangan tidak berdekatan (Stubbins dan Cohen, 1995; Duellman dan Trueb, 1994; Goin et al., 1978). b. Axillary: kaki depan katak jantan memeluk bagian samping kaki depan katak betina. Posisi kloaka pasangan berdekatan (Stubbins dan Cohen, 1995; Duellman dan Trueb, 1994; Goin et al., 1978). c. Cephalic: kaki depan jantan memeluk bagian kerongkongan katak betina (Stubbins dan Cohen, 1995; Duellman dan Trueb, 1994). d. Straddle: katak jantan menunggangi katak betina tanpa memeluk katak betina (Duellman dan Trueb, 1994).
24 e. Glued: katak jantan berdiri belakang katak betina dan mendekatkan kedua kloaka masing-masing (Duellman dan Trueb, 1994). f. Independent: terjadi pada beberapa jenis Dendrobatidae dimana kedua katak saling membelakangi dan menempelkan kloaka secara bersamaan (Duellman dan Trueb, 1994).
Duellman dan Trueb (1994), mengatakan ada empat hal yang dapat menjelaskan pola-pola dari perilaku kawin katak: a. Kompetisi antar jantan: jantan berkompetisi dalam mendapatkan perhatian betina, dan umumnya jantan yang besar ukurannya adalah jantan yang memiliki kesempatan lebih baik daripada jantan berukuran kecil. b. Pilihan betina: betina umumnya memilih jantan yang berukuran besar atau lebih baik fisiologisnya. c. Ukuran yang cocok untuk kawin: betina lebih memilih ukuran jantan yang proporsional dengan tubuhnya. d. Pilihan jantan: betina yang berukuran besar lebih disukai oleh jantan.
Beberapa penelitian juga menjelaskan bahwa tidak selamanya katak betina memilih ukuran jantan yang paling besar, beberapa jenis katak pohon seperti Litoria chloris dan Litoria xanthomera lebih menyukai jantan yang berukuran kecil (Morrison et al., 2001). Selain itu vokalisasi suara yang ditampilkan oleh jantan adalah salah satu variabel yang juga sangat menentukan pilihan betina terhadap jantan dalam proses perkawinan (Schiesari et al., 2003). Begitu juga dengan umur dan kondisi fisik katak jantan (Eggert dan Guyetant, 2003).
25 3.
Perilaku Bersarang
Menurut Goin et al., (1978) penggunaan tempat untuk bertelur bagi amfibi sangat beragam. Telur dapat diletakkan ditempat terbuka, berada di atas air (permanen atau temporal), di air yang mengalir, di bawah batu atau kayu lapuk, di lubang atau di daun yang di bawahnya terdapat air menggenang. Katak pohon akan turun dari tajuk pohon untuk berbiak pada kolam dan genangan air semi permanen pada lantai hutan (Inger dan Stuebing, 1997). Telur umumnya diletakkan pada dedaunan pohon tepat di atas genangan air (Kadadevaru dan Kanamadi, 2000; Iskandar, 1998; Inger dan Stuebing, 1997). Telur dalam busa kemudian ditutup dengan daun. Pada kondisi yang tidak memungkinkan, dapat terjadi perubahan perilaku dalam meletakkan telur. Hal ini terjadi pada jenis Rhacophorus malabaricus dengan meletakkan telur pada tanah (terrestrial) yang jika hujan akan penuh dengan air, kemudian menutupinya dengan serasah daun hingga tertutup rapi (Kadadevaru dan Kanamadi, 2000).
G. Perilaku makan
Sebagian besar katak adalah satwa oportunistik dan pada umumnya sebagian besar katak dewasa merupakan karnivora dan cenderung memakan mangsa yang lebih besar (Hofrichter, 1999). Kebanyakan katak memangsa serangga dan larva serangga, cacing, laba-laba, siput, dan hama. Sebagian besar katak hanya memakan jenis serangga yang bergerak dan beberapa katak memangsa jenis serangga yang pergera-kannya lambat (Duelman dan Truebs 1994; Stebbins dan Cohen, 1997). Setiap jenis katak memiliki cara yang berbeda dalam berburu mangsa tergantung dengan jenisnya. Katak dengan perawakan gemuk dan bermulut lebar
26 biasanya mencari mangsa dengan hanya diam dan menunggu mangsa dan biasanya memanfaatkan jenis pakan yang berukuran besar dan dalam jumlah sedikit (Duelman dan Truebs 1994; Stebbins dan Cohen, 1997). Katak-katak yang berperawakan ramping dan bermulut meruncing, biasanya aktif dalam berburu mangsa dan memanfaatkan mangsa dalam jumlah banyak dengan ukuran mangsa kecil (Duelman dan Truebs 1994; Stebbins dan Cohen, 1997).
Selain itu juga terdapat jenis-jenis tertentu yang bersifat karnivora dan tidak memerlukan makan sama sekali. Kebutuhan makanan sudah tercukupi dari kuning telurmya (Iskandar 1998). Besarnya jumlah pakan yang dikonsumsi katak beragam sesuai dengan ukuran tubuh katak itu sendiri. Perbedaan jenis kelamin juga berpengaruh terhadap besarnya jumlah pakan yang dimanfaatkan. Pada katak jenis Limnonectes blythi, individu jantan lebih banyak memanfaatkan jenis pakan daripada betina. Hal tersebut disebabkan karena pada individu jantan lebih aktif dan lebih gesit dalam mencari mangsa dibandingkan dengan individu betina (Sugiri, 1979).
Penelitian mengenai perilaku pakan beberapa jenis katak di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Berdasarkan hasil penelitian Mumpuni et al. (1990), diketahui bahwa pakan utama yang dikonsumsi oleh Rana chalconota dan Mycrohylla achatina di Kebun Raya Cibodas, Jawa Barat adalah insekta dan arthropoda. Penelitian pakan pada Rana erythraea, Fejervarya limnocharis, Rana chalconota dan Occidozyga lima dilakukan oleh Atmowidjojo dan Boeadi (1998) di daerah persawahan di Bogor. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa pakan utama Rana erythraea adalah insekta, pakan utama Fejervaria limnocharis
27 adalah rayap, pakan Rana chalconota didominasi oleh cacing, sedangkan Occidozyga lima lebih menyukai semut sebagai pakan utamanya (Atmowidjojo dan Boeadi 1998). Sasikirono (2007) melakukan analisis lambung untuk mengetahui jenis pakan pada Leptobrachium hasselti. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa Leptobrachium hasselti paling banyak memanfaatkan serangga ordo Araneae sebagai pakan utamanya (Sasikirono 2007).
H. Amfibi Sebagai Bio-Indikator
Amfibi dapat berfungsi sebagai bio-indikator bagi kondisi lingkungan karena amfibi memiliki respon terhadap perubahan lingkungan (Stebbins dan Cohen, 1997). Kodok/Katak merupakan amfibi dari ordo anura. Amfibi merupakan anggota dari herpetofauna. Menurut Fitri (2002), herpetofauna sangat menyukai tempat-tempat yang kondisi kelembabannya relatif tinggi dan dekat dengan badan air. Menurut Mistar (2008), amfibi dan reptil hidup di air dan darat, namun demikian kita harus memilih tempat-tempat yang diduga sebagai habitatnya. Sungai-sungai besar maupun kecil, kolam-kolam kecil, kubangan hewan, kayu lapuk, dan akar banir yang terakumulasi dengan serasah daun.
Namun lain halnya dengan spesies Bufo melanostictus, kodok jenis ini merupakan spesies yang paling tahan dengan kondisi habitat yang terganggu, spesies ini dapat digambarkan sebagai "generalis habitat". Sehingga tidak bisa digolongkan kedalam Bio-Indikator. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Maskey et al., (2002) dan Kentwood, (2007) bahwa B. melanostictus sering terjadi kepadatannya lebih tinggi di habitat terganggu sekitar pemukiman manusia daripada di hutan yang tidak terganggu. Iskandar (1998) juga mengatakan bahwa habitat jenis ini
28 selalu berada di dekat hunian manusia atau wilayah yang terganggu. Jenis ini tidak pernah terdapat di hutan hujan tropis.
Melanostictus adalah salah satu jenis amfibi yang lebih menyukai habitat terbuka dan sering terjadi kepadatannya lebih tinggi di habitat terganggu sekitar pemukiman manusia daripada di hutan yang tidak terganggu, jenis ini sering ditemukan di kolam dan peternakan (Maskey et al., 2002 dan Kentwood, 2007). Kusrini dan Remetwa (2007), menambahkan bahwa kodok jenis ini memiliki asosisasi yang kuat dengan tipe habitat yang terganggu. Bahkan Iskandar (1998) sendiri mengatakan bahwa habitat jenis ini selalu berada di dekat hunian manusia atau wilayah yang terganggu. Jenis ini tidak pernah terdapat di hutan hujan tropis.
I.
Manfaat dan Peranan
Amfibi memiliki berbagai peranan penting bagi kehidupan manusia, yakni peranan ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, amfibi memiliki peranan penting dalam rantai makanan sebagai konsumen sekunder. Iskandar (1998), menjelaskan bahwa amfibi telah banyak dimakan khususnya di restoran-restoran Cina. Dua spesies yang paling sering dikonsumsi adalah Fejervarya cancrivora dan Limnonectes macrodon yakni spesies yang cukup bertubuh besar yang sering dijadikan sumber protein tinggi. Selain untuk tujuan konsumsi, amfibi memiliki kegunaan yang lain yaitu sebagai binatang peliharaan, binatang percobaan dan bahan obat-obatan (Stebbins dan Cohen, 1997). Selanjutnya Mistar (2003), menjelaskan bahwa amfibi mempunyai potensi yang besar untuk menanggulangi hama serangga (sibernetik) karena pakan utama am-
29 fibi adalah serangga dan larvanya. Amfibi memakan serangga sehingga dapat membantu keseimbangan ekosistem terutama dalam pengendalian populasi serangga.
Selain manfaat sebagai ekonomi dan juga ekologi ternyata amfibi me-miliki manfaat dibidang pengobatan. Kulit amfibi dapat selalu basah karena didalamnya terdapat banyak kelenjar-kelenjar sekresi. Sekresi dari kelenjar kulit amfibi mengandung berbagai senyawa yang kaya akan protein, peptida steroid, alkaloid, amina biogenik dan lipid. Sehingga senyawa sekresi kulit amfibi dapat berpotensi dijadikan se-bagai bahan obat antibiotik dan antimikrobia di masa mendatang (Maciel et al., 2003; Felsemburgh et al., 2007).
J.
Konservasi Amfibi dan Kondisi Saat ini
Penyelamatan amfibi tidak terlepaskan dari kerusakan habitat maupun pemanasan global. Suhu atmosfer bumi saat ini telah meningkat 0,5ºC dibanding suhu pada zaman praindustri (Murdiyarso, 2003). Terutama karena amfibi merupakan satwa yang membutuhkan kondisi lingkungan yang stabil. Secara umum diketahui amfibi memiliki persebaran yang luas namun perlindungan mikrohabitatnya mutlak dilakukan karena amfibi diketahui berendemisitas yang tinggi (Mistar, 2003). Sesuai dengan penjelasan Iskandar (1998) bahwa ordo Anura (katak dan kodok) di Sumatera didapatkan 89 jenis di mana sekitar 21 jenis di antaranya adalah endemik. Iskandar (1998) menjelaskan bahwa beberapa jenis hampir dikhawatirkan akan habis karena manusia banyak memperjualbelikan dan juga mengkonsumsinya terutama jenis Limnonectes macrodon.
30 Salah satu kendala yang menghambat upaya konservasi amfibi adalah minimnya data tentang status populasi dan penyebaran distribusinya sehingga belum satu pun jenis amfibi di Sumatera yang masuk dalam daftar satwa terancam punah dalam Internatonal Union for Conservation of Nature (IUCN) (Liswanto, 1998). Dalam Peraturan Pemerintah No. 7 (1999) juga belum terdaftar satu jenis amfibi pada lampiran jenis-jenis satwa yang dilindungi. Dengan tidak diketahuinya status populasi dan distribusi spesies-spesies amfibi maka hilangnya satu spesies maupun laju penyusutan populasi menjadi sulit dipantau sedangkan laju kerusakan dan alih fungsi hutan sangat cepat (Rahayuningsih et al, 2004).
Selain itu Indonesia sendiri adalah negara pengekspor terbesar paha katak beku didunia. Setiap tahun rata-rata sekitar 4 juta kg paha katak beku diekspor ke berbagai negara terutama negara-negara di Eropa dimana sekitar 80% merupakan hasil penangkapan dari alam (Kusrini dan Alford, 2006). Sebelum Indonesia, India dan Bangladesh adalah negara pengekspor katak beku terbesar. Populasi katak konsumsi di negara tersebut berkurang, katak-katak tersebut kemudian statusnya menjadi dilindungi dan dimasukkan dalam Appendix II CITES. Barulah Indonesia mengambil alih posisi sebagai pengeskpor katak beku terbesar didunia.
Selain disebabkan penangkapan yang berlebih, kondisi lahan basah yang semakin sedikit karena digunakan untuk kepentingan lain umumnya untuk pembangunan. Hilangnya lahan basah sama dengan hilangnya amfibi. Selain hilangnya lahan basah perubahan kualitas lahan basah melalui eutrifikasi, pencemaran, pemasukan ikan, hilangnya hutan dan padang disekitarnya juga dapat menghilangkan populasi amfibi.
31
III. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Resort Balik Bukit Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung pada 15 Juli 2016. Pengambilan data dilakukan pada tiga lokasi di tipe habitat yang berbeda yang ditunjukkan pada Gambar 5 (hutan primer, semak dan, areal bekas olahan warga (rawa).
Gambar 5. Peta lokasi penelitian analisis keanekaragaman amfibi (ordo anura) di tipe habitat berbeda di resort Balik Bukit Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
32 B. Alat dan Objek Penelitian
Objek yang diamati dalam penelitian ini adalah keanekaragaman amfibi di tipe habitat yang berbeda. Alat yang digunakan dalam penelitian ini :
Pengumpulan Spesimen: headlamp dan baterai (alat penerang survey malam), kantong spesimen (tempat pengumpulan spesimen sementara), spidol permanen (penulisan label), jam tangan (pengukur waktu), alat tulis (pencatatan data lapangan), buku panduan identifikasi jenis amfibi (identifikasi jenis amfibi), kaliper (pengukuran panjang tubuh amfibi Snout Vent Length (SVL)), timbangan/neraca pegas {(5, 10, 100, 250 gr) (pengukur berat tubuh)},
Pengukuran faktor lingkungan: termometer (pengukuran suhu udara dan air), higrometer (pengukuran kelembaban udara),
Alat Dokumentasi: kamera (Pengambilan foto jenis amfibi, tipe vegetasi, dan pengambilan data di lapangan).
C. Batasan Penelitian
Batasan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Penelitian dilakukan pada 3 tipe habitat yang ada di Resort Balik Bukit TNBBS.
2.
Penelitian dilakukan pada pagi dan malam hari pada pukul 04.00-08.00 sedangkan pengamatan malam hari dilakukan pada pukul 19.00-23.00.
3.
Penelitian ini dilakukan pada 3 kali ulangan pada masing-masing lokasi.
33 D. Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. 1.
Data Primer
Data Primer diperoleh dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan meliputi: a. Data satwa amfibi Data terkait jenis amfibi ini meliputi : jenis, jumlah individu tiap jenis, ukuran Snout Vent Length (SVL) yaitu panjang tubuh dari moncong hingga kloaka (Gambar 6) tiap jenis, jenis kelamin, waktu saat ditemukan, perilaku dan posisi satwa di lingkungan habitatnya.
Gambar 6. Ukuran SVL pada katak (garis hijau : a - b) (Sholihat, 2007).
b. Data habitat Data terkait habitat yang diambil berdasarkan checklist Heyeret al. (1994), meliputi: tanggal dan waktu pengambilan data, nama lokasi, substrat/lingkungan tempat ditemukan, tipe vegetasi dan ketinggian, suhu udara, suhu air, kelembaban udara, pH air, lebar badan air, kedalaman badan air dan gangguan pada lokasi.
34 2.
Data Sekunder
Data sekunder meliputi Peta Resort Balik Bukit Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, letak geografis lokasi penelitian, tipe iklim, data potensi kawasan, data curah hujan dan data kunjungan wisatawan pada 5 tahun terakhir,
3.
Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pengambilan data keanekaragaman amfibi yaitu Visual Encounter Survey (VES) (Heyer et al. 1994). Metode ini dipakai untuk menentukan kekayaan jenis suatu daerah, untuk menyusun suatu daftar jenis, serta untuk memperhatikan kelimpahan relatif jenis-jenis yang ditemukan. Visual Encounter Survey berbeda dengan Sampling Transek. Cara ini biasa dilakukan sepanjang suatu jalur, didalam suatu plot, sepanjang sisi sungai, sekitar tepi kolam, dan seterusnya selama seluruh sampel amfibi bisa terlihat. Teknik pelaksanaan metode di lapangan yaitu : 1.
Orientasi lapangan dan penjelajahan sebagai langkah awal
2.
Pembuatan jalur pengamatan pada masing-masing lokasi yaitu 500 m untuk habitat akuatik (lebung) seperti pada Gambar 7 atau dengan cara mengelilingi danau tersebut.
Gambar 7. Plot contoh aquatik
35 4.
Penangkapan dan pengumpulan sampel dilakukan dengan mendatangi jalur pengamatan pada pagi dan malam hari selama 3 kali ulangan untuk setiap jalur. Pengamatan pagi hari dilakukan pada pukul 04.00-08.00 sedangkan pengamatan malam hari dilakukan pada pu-kul 19.00-23.00. Pengumpulan sampel dilakukan dengan menggunakan senter dan jaring penangkap. Pengamatan dimulai saat di titik nol pada jalur. Setiap individu amfibi yang tertangkap dimasukkan ke dalam kantong plastik yang kemudian dicatat waktu ditemukan, aktivitas /perilaku, posisi horizontal dan vertikal, tipe subtrat dan informasi lain (Heyer et al. 1994).
5.
Kegiatan identifikasi dilakukan dengan menggunakan buku Amfibi Jawa Bali Iskandar (1998) dan hasil skripsi Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe Habitat Studi Kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi Darmawan (2008).
Adapun data komponen habitat yang yang diamati meliputi kondisi cuaca, suhu udara, kelembaban udara, suhu air, pH air, rata-rata lebar badan air, rata-rata kedalaman badan air, jenis dan komposisi vegetasi, kerapatan vegetasi. Data kondisi habitat yang diambil berupa data suhu dan kelembaban hanya diambil di satu titik lokasi karena posisi lokasi yang dekat sehingga diasumsikan bahwa mempunyai nilai suhu dan kelembaban yang sama, hal ini dinyatakan oleh Handoko (1995) bahwa suhu di permukaan bumi akan berubah dan makin rendah dengan bertambahnya lintang. Suhu, kelembaban dan cuaca diambil setiap kali kegiatan pengamatan dilakukan.
36 E. Analisis Data
1.
Keanekaragaman jenis amfibi
Perhitungan keanekaragaman jenis amfibi dilakukan menggunakan Indeks Shannon Wiener (Brower dan Zar, 1997). Nilai ini kemudian akan digunakan untuk membandingkan keanekaragaman amfibi berdasarkan habitatnya.
Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Weiner ni
= Jumlah individu jenis ke-i
N
= Jumlah individu seluruh jenis
2.
Kemerataan jenis amfibi
Kemerataan jenis (Evenness) dihitung untuk mengetahui derajat kemerataan jenis pada lokasi penelitian (Bower dan Zar, 1977).
Keterangan: E
= Indeks kemerataan jenis
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener S
= Jumlah jenis yang ditemukan
37 3.
Indeks kesamaan komunitas (Indeks of Similarity)
Indeks kesamaan komunitas diperlakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan komposisi jenis amfibi berdasarkan tiga tipe habitat. Indeks kesamaan komunitas dihitung dengan menggunakan rumus Odum (1993)
IS= 2C/(A+B) Keterangan : C= Jumlah spesies yang sama dan terdapat pada kedua tipe habitat A= Jumlah spesies yang dijumpai pada plot 1 B= Jumlah spesies yang dijumpai pada plot 2
Kriteria nilai indeks kesamaan komunitas (Odum, 1971; Prita, Riniartih dan Ario, 2014). 1% - 30%
= kategori rendah
31% - 60%
= kategori sedang
61% - 90%
= kategori tinggi
91% - 100%
= kategori sangat tinggi
Penelitian mengenai keanekaragaman amfibi ordo anura pada resort Balik Bukit dapat digolongkan ke dalam dua tipe data, yaitu data primer, merupakan data yang diperoleh dengan pengambilan langsung di lapangan dan data sekunder yang diperoleh dari pihak ke dua. Data-data yang akan diambil pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1
38 Tabel 1. Pengambilan data No Data Penelitian 1. Data keanekaragaman jenis
2. 3. 4.
Data Ukuran SVL (Snout Vent Length) Jumlah individu tiap jenis
5.
Substrat/lingkungan tempat ditemukan Ketinggian
6
Suhu udara dan air
7.
Gangguan terhadap lokasi
8.
Kelembaban udara
9.
pH air
10
Tipe Vegetasi
11
Lebar badan air
12
Kedalaman badan
13. Curah hujan
Metode Dilakukan dengan menggunakan metode VES pada tiga habitat di Resort Balik Bukit dengan panduan buku amfibi jawa bali oleh Djoko T Iskandar Pengukuran pada lapangan Perhitungan di lapangan tiap perjumpaan dengan objek Dilihat pada saat di lapangan saat perjumpaan dengan objek Dilakukan dengan mengukur pada lapangan dengan menggunakan GPS Garmin 78s Perhitungan di lapangan dengan menggunakan Termometer Dengan melihat kondisi di lapangan dan wawancar kepada pengelola Balik Bukit Pengukuran di udara dengan menggunakan Higrometer Pengukuran di lapangan dengan menggunakan kertas lakmus Observasi di lapangan dengan menggunakan metode analisis vegetasi dengan membuat plot sampling pada tiap tipe habitat Pengukuran di lapangan dengan menggunakan roll meter Pengukuran di lapangan dengan menggunakan roll meter Data sekunder milik Dinas Pengairan dan Pemukiman Prov. Lampug
39
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)
Kawasan lindung Bukit Barisan Selatan ditetapkan pada tahun 1935 sebagai Suaka Marga Satwa melalui Besluit Van Degouvernoor–General Van Nederlandsch Indie Nomor 48 Stbl 1935 dengan nama Sumatera Selatan I (SM SS I). Pada tanggal 1 April 1979 statusnya berubah menjadi Kawasan Pelestarian Alam yang kemudian ditetapkan sebagai Taman Nasional melalui Surat Pernyataan Menteri pertanian Nomor 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982.
Kawasan TNBBS melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 6186/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional dikelola oleh Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang merupakan Unit Pelaksanan Teknis di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan.
Daerah Kubu Perahu merupakan bagian kawasan hutan Register 47 B TNBBS yang mengacu pada SK Direktur Jenderal PHPA Nomor 57/Kpts/Dj-VI/1990 tanggal 31 Mei 1990 termasuk dalam Mintakat (Zona) Pemanfaatan untuk kepentingan rekreasi dan wisata alam.
40 B. Keadaan Fisik Kawasan Kubu Perahu
1.
Letak dan Luas
Zona Pemanfaatan Intensif Resort Balik Bukit berada dibagian tengah sebelah timur Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, yang secara geografis terletak pada 5˚04’00” - 5˚05’06” LS dan 104˚02’37” - 104˚04’00” BT. Menurut administrasi pemerintahan, Zona Pemanfaatan Intensif Kubu Perahu berbatasan langsung dengan enclave Kubu Perahu (100 ha) yang merupakan bagian wilayah Pekon Kubu Perahu, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung. Sementara menurut Balai TNBBS, pengelolaan Zona Pemanfaatan Intensif Kubu Perahu termasuk dalam wilayah Seksi Konservasi Wilayah I Liwa.
2.
Topografi
Keadaan topografi Zona Pemanfaatan Intensif Kubu Perahu umumnya bergelombang dan berbukit-bukit yang banyak dilalui oleh sungai dan anak-anak sungai dengan ketinggian antara 550 – 900 mdpl.
3.
Hidrologi
Zona Pemanfaatan Intensif Kubu Perahu, mengalir 1 (satu) buah sungai utama yaitu Way Sindalapai dengan ratusan anak-anak sungai diantaranya Way Sepapa Kanan, Way Sepapa Kiri, Way Menterang dan Way Mengengung. Menurut BPS Kabupaten Lampung Barat (2001), sungai-sungai yang mengalir kesebelah barat masih stabil karena didukung oleh banyaknya flora penutup tanah dan belum terganggunya air tanah dangkal sebagai sumber mata air.
41 C. Keadaan Biotik Zona Pemanfaatan Intensif Kubu Perahu
1.
Ekosistem
Zona Pemanfaatan Intensif Kubu Perahu (800 – 900 mdpl) disusun oleh tipe ekosistem hutan hujan pegunungan .
2.
Flora
Jenis vegetasi yang dominan dan umum dijumpai di Zona Pemanfaatan Intensif Kubu Perahu adalah jenis-jenis pengisi hutan hujan pegunungan bawah dari famili Dipterocarpaceae, Myrtaceae dan Fagaceae dengan jenis yang umum dijumpai. Flora di zona pemanfaatan intensif Resort Balik Bukit dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Flora di zona pemanfataan intensif Resort Balik Bukit No Nama Lokal 1. Pasang 2. Manggis-manggisan 3. Meranti 4. Anggrek hitam 5 Anggrek bulan Sumber: TNBBS, 2013.
3.
Nama Ilmiah Quercus sp Garcinia sp Shorea sp Gramatophlum sp Phalaenopsis sumatranus
Fauna
Zona Pemanfaatan Intensif Kubu Perahu dihuni oleh beberapa jenis fauna. Jenis fauna Resort Balik Bukit dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Fauna di zona pemanfataan intensif Resort Balik Bukit No 1 2 3 4 5 6
Nama lokal Rangkong Kuau Siamang Owa Simpai Beruang madu
Nama ilmiah Buceros sp Argusianus argus Hylobates syndactyllus Hylobates agilis Presbytis melalophos Helarctos malayanus
42 Tabel 3. Lanjutan No Nama Ilmiah 7 Gajah sumatera 8 Kambing hutan Sumber: TNBBS, 2013.
Nama Lokal Elephas maximus sumatranus Capricornis sumatrensis
D. Potensi Wisata di Resort Balik Bukit Pekon Kubu Perahu Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
TNBBS merupakan suatu kawasan yang memiliki fungsi penting dalam perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang dikelola dengan sistem zonasi. Taman nasional dapat juga dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Balik Bukit Merupakan salah satu Resort di TNBBS yang memiliki banyak potensi wisata yang menarik dan dapat dikembangkan. Potensi wisata alam yang terdapat di Resort Balik Bukit TNBBS yang dapat dikembangan, seperti air tejun, sungai way sepapa, ekosistem hutan hujan pegunungan, demplot, satwa liar, pemandangan alam, dan batu balok.
E. Kegiatan Wisata Alam
1.
Pemandangan Alam (Keindahan Alam)
Resort Balik Bukit memiliki obyek wisata pemandangan alam yang indah yang dapat dinikmati oleh para pengunjung berupa hamparan strata tajuk yang hijau dan suasana sejuk, dari hasil kuesioner dan wawancara dengan responden maka dapat diketahui bahwa sebagian pengunjung datang untuk menikmati pemandangan alam. Para pengunjung memilih datang ke obyek wisata ini karena
43 pengunjung merasa lokasi obyek wisata ini memiliki pemandangan alam yang indah, alami dan masih terjaga sehingga pengunjung untuk menikmati suasana alam lebih memilih berwisata ketempat ini selain itu tempatnya yang mudah dijangkau.
2.
Berkemah
Dari hasil kuesioner dan wawancara yang diperoleh dari pengunjung Resort Balik Bukit memiliki obyek wisata alam yang indah juga dapat dimanfaatkan oleh pengunjung untuk berkemah. Lokasi ini menjadi pilihan pengunjung jika ingin mengadakan perkemahan, karena lokasinya yang nyaman dan tempatnya strategis dengan didukung aksesnya yang tidak sulit dijangkau.
F. Keadaan Hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
Ketersediaan lahan garapan yang terbatas di Pekon Kubu Perahu serta tekanan krisis ekonomi dan moneter sejak dimulainya reformasi tahun 1998 telah mendorong munculnya aktivitas pembukaan lahan untuk perkebunan di kawasan hutan Taman Nasional di sekitar Enclave Kubu Perahu dan sekitar pusat desa (daerah Way Badas) seluas puluhan hektar, pada tahun 2003 aktivitas ilegal tersebut telah dapat dihentikan kecenderungan perluasannya dan sebagian besar telah ditinggalkan oleh pelaku perambahan hingga saat ini. Secara umum Hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di zona pemanfaatan intensif Kubu Perahu masih merupakan hutan alam primer yang relatif aman dari berbagai gangguan seperti perambahan hutan, pencurian hasil hutan dan perburuan liar.
44 G. Kondisi Setiap Tipe Habitat yang Diteliti Deskripsi mengenai kondisi habitat diperoleh dari pengamatan langsung selama survey berlangsung seperti yang tercantum dalam bab 3 metodologi dan awancara dengan petugas.
1.
Hutan Primer
Lokasi penelitian pertama merupakan salah satu vegetasi yang berada dekat lokasi bumi perkemahan Kubu Perahu Resort Balik Bukit. Terletak pada ketinggian 581 mdpl pada koordinat 5° 04’ 21, 63” S dan 104° 02’ 54, 70” E dengan topografi berbukit-bukit. Jalur sungai memiliki substrat yang didominasi oleh bebatuan. Arus dari sungai relatif sedang dan memiliki air yang jernih dengan kedalaman rata-rata sebesar 8, 03 cm.
Jenis vegatasi pada habitat hutan primer ini sangat beragam dan memiliki penutupan tajuk cukup rapat, seperti terlihat pada Gambar 8. Hasil dari analisi vegetasi pada tepian aliran sungai didapati 17 spesies tumbuhan yakni medang merah, angingu, p3 (jenis yang belum teridentifikasi oleh peneliti) dengan besar INP secara berurutan 115, 2%; 93, 9%; 90, 8%. .
Gambar 8. Kondisi jalur pengamatan di tipe habitat hutan primer.
45 2.
Vegetasi Semak
Lokasi penelitian kedua merupakan tipe habitat yang didominasi oleh tumbuhan dengan stratum D yang didominasi oleh tanaman Pakis resam. Dahulu areal pada tipe habitat ini merupakan salah satu areal bekas olahan warga pekon kubu perahu yang dijadikan sebagai sawah. Kemudian diadakan pengecekan kembali dan masih masuk kedalam areal taman nasional, sehingga pengolahan terhadap lahan tidak dilakukan kembali.
Lokasi penelitian ini berada pada ketiggian 585 mdpl pada koordinat 5° 04’ 22, 02” S dan 104° 02’ 58, 24” E dengan topografi relatife datar. Sebanyak 4 spesies tumbuhan bawah ditemukan dan jenis yang paling mendominasi yaitu pakis resam. Habitat ini memiliki penutupan tajuk yang rendah, seperti pada Gambar 9. Tipe Habitat ini memiliki bentuk cekung seperti kolam sehingga akan terisi air pada musim hujan dan kering pada musim kemarau tiba dengan ketinggian air rata-rata 4, 25 cm. Kubangan yang terbentuk ketika hujan ini yang dijadikan lokasi berkembang biak katak.
Gambar 9. Kondisi jalur pengamatan di tipe habitat semak.
46 3.
Rawa
Tipe Habitat Rawa terletak pada koordinat 5° 04’ 25,22” S dan 104° 02’ 52,50” E dengan ketinggian 582 mdpl. Secara umum untuk topografi pada tipe habitat ini adalah datar. Lokasi ini juga dahulu merupakan areal bekas olahan masyarakat pekon kubu perahu yang telah dihentikan pengelolaannya saat ini. Berbeda dengan lokasi pada tipe vegetasi semak lokasi ini cenderung digenangi oleh air sehigga susbstrat lokasi ini menjadi berlumpur seperti terlihat pada Gambar 10. Hal ini menjadikan tanaman yang di temukan pada tipe habitat ini tidak ditemukan pada tipe habitat lain.
Sebanyak 7 spesies tumbuhan ditemukan pada areal ini. Penutupan tajuk pada habitat ini digolongkan terbuka karena hanya ditemukan spesies yang tergolong strata D. Dengan kedalaman air rata-rata sebesar 11, 5 cm
Gambar 10. Kondisi jalur pengamatan di tipe habitat semak.
66
VI. SIMPULAN DAN SARAN
A.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut; 1.
Nilai keanekaragaman di Resort Balik Bukit tergolong sedang, dengan besaran nilai rata-rata H’= 1,16 pada ketiga tipe habitat. Spesies amfibi yang ditemukan meliputi Rana erythraea, Bufo parvus, Fejervarya limnocharis, Huia sumatrana, Kaloula baleata, Leptobrachium sp, Leptobrachium hasseltii, Megophrys nasuta, Rana chalconota, Rana erythraea dan Rana hosii
2.
Keanekaragaman amfibi tertinggi dijumpai pada habitat hutan primer dengan nilai H’= 1,5; habitat rawa dengan H’= 1,1; kemudian dan nilai keragaman terendah terdapat pada habitat habitat semak H’= 0,9.
3.
Kondisi Habitat di Resort Balik bukit saat ini masih menjamin pertumbuhan dan perkembangbiakan amfibi ordo anura. Keadaan ini didukung dengan suhu udara rata-rata sebesar 210C - 240C; suhu air sebesar 21,50C - 25,60C; kelembaban 90%; pH= 5,4 - 6,29 dan ketinggian tipe habitat pada ketinggian 581 - 585 mdpl dengan gangguan terhadap kondisi habitat yang masih rendah karena sedikitnya perubahan kondisi habitat akibat pengalihan fungsi lahan.
67 B. Saran
Perlu dilakukannya penelitian lanjutan keanekaragaman amfibi ordo Anura pada tipe habitat yang sama di Resort lain pada Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, agar dapat membandingkan keanekaragaman yang berkaitan dengan kondisi spesifik tiap habitat.
68
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H. S. 2002. Pengelolaan Satwa Liar. Buku. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. Bogor. 125p. Aji, A dan Hariyatmo. 2013. Keanekaragaman Amfibi Ordo Anura di Taman Hutan Raya K.G.P.A.A. Mangkunagoro I Ngargoyoso Karanganyar. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jawa Tengah. 75p. Atmowidjojo, A. H dan Boeadi . 1998. Food prey in stomach contents of frogs. Jurnal Biotrop Spec. 32(1) : 77 – 80. Berry, P. Y. 1975. The Amphibians Fauna of Peninsular Malaysia. Buku. Tropical Press. Kuala Lumpur. 127p. Brower, J. E dan Zar, J. H. 1977. Field and Laboratory Methods for General Ecoogy. Buku. Brown Co Publisher. Iowa. 254p. Cogger, H. G dan Zwiefel, R. G. 1998. Encylopedia of Reptiles and Amphibians: a Comprehensive Illustrated Guide by International Expert. Buku. Fog City Press. San Francisco. 240p. Coggr, H. G dan Zweife, R. G .1998. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. Second Edition. Buku. Fog City Press. San Fransisco. 243p. Darmawan, B. 2008. Keanekaragaman amfibi di berbagai tipe habitat: study kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabuaten Bungo, Provinsi Jambi. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 78p. Djuanda, T. 1982. Pengantar Anatomi Perbandingan Vertebrata I. Buku. Amico. Bandung. 136p. Duellman, W. E dan Trueb, L. 1986. Biology of Amphibians. Buku. McGraw-Hill. New York. 670p. Duellman, W. E dan Trueb, L. 1994. Biology of Amphibians. Buku. Johns Hopkins Univ Press. London. 549p. Eggert, C dan Guyetant, R. 2003. Perproductive behavior of spadefoot toads
69 (Pelobates fuscus): daily sex ratios and males tactics, ages and physical condition. Canadian Journal of Zoology. 81: 46 – 51. Felsemburgh, F. A., Carvalho-e-Silva, S. P dan de Brito-Gitirana, L. 2007. Morphological characterization of the anura integument of the Proceratophrysand Odotophrynus genera (Amphibia, Anura, Leptodactylidae). Micron38. (5): 439 – 445. Fitria, A. 2001. Keanekaragaman Jenis Amphibi (Ordo Anura) di Kebun Raya Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 63p. Gillespie, G., Howard, S., Lockie, D., Scroggie, M dan Boedi. 2005. Herpetofaunal richness and community structure of offshore island of Sulawesi, Indonesia. Jurnal Biotropica. 37(2): 279 – 290. Goin, C. J., Goin, O. B dan Zug. G. R. 1978. Introduction to Herpetology. Buku. W. H Freeman and Company. San Fransisco. 378p. Goin, C. J dan Goin, O. B. 1962. Introduction to Herpetology. Buku. Second Editions. W. H Freeman and Company. San Fransisco. 341p. Handoko. 1995. Klimatologi Dasar : Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsur-unsur iklim. Buku. Pustaka Jaya. Jakarta. 79p. Halliday, T dan Adler, K. 2000. The Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. Buku. Oxford University Press. New York 240p. Heyer, W. R., Donnelly, M. A., Diarmid, M. C., Haek, L. C dan Foster, M. S. 1994. Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standard Methods for Amfibians. Buku. Smithsonia Institution Press. Washington. 152p. Hofrichter, R. 2000. The Encyclopedia of Amphibians. Buku. Weltbild Verlag GmbH. Augsburg. 143p. Hutchins, M., Duellman , W. E dan Schlager, N. 2003. Grizimek’s Animals Life Encyclopedia Second Edition Volume 6 Amphibians. Buku. Gale Group. Farmington Hill. 288p. Inger, R. F dan Iskadar, D. T. 2005. A collection of amphibians from West Sumatra, with description of new spesies of Megophrys (Amphibia: Anura). The Raffles Bulletin of Zoology. 53(1) : 133 – 142. Inger, R. F dan Stuebing, R. B. 1997. A Field Guide to the Frogs of Borneo. Buku. Natural History Publicatios. Sabah. 250p. Iskandar, D. T. 1978. A new Species of Barbourula: First Record of A Discoglossid from Borneo. Copeia. 564 - 566p.
70 Iskandar, D. T. 1998. Amfibi Jawa Bali – Seri Panduan Lapang. Buku. Puslitbang Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia. Bogor. 109p. Iskandar, D. T dan Cilijn, E. 2000. Premanilinary checklist of Southeast Asian and New Guinean Herpetofauna. Treubia: A Journal on Zoology of the IndoAustralian Archipelago. 31(3) : 1 – 133. Izza, Q dan Kuniawan, N. 2014. Eksplorasi jenis-jenis amfibi di kawasan Owa cagar dan air Terjun Watu Ondo Gunung Walirang, TAHURA R. Soerjo. Journal Biotropika. 2(2) : 103 – 108. Junqueira, L. C. 1998. Histolgi Dasar (Basic Histology), Edisi Kedelapan. Buku. Kedokteran EGC. Jakarta. 378p. Kadadevaru, G. G dan Kanamadi, R. D. 2000. Courtship and nesting behavior of the malabar gliding frog, Rhacophorus malabaricus (Jerdon). Journal Current Science. 79(3): 377-380. Kentwood, D. W. 2007. The Ecology dan Behavior of Amphibians. Buku. The University of Chicago Press. Chicago and London. 149p. Kusrini, M. D. 2003. Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia. Skripsi. Intitut Pertanian Bogor. Bogor. 79p. Lametschwandtner, A. and Tiedemann, F. 2000. Biology and Physiology. In: R Hofrichter 2000. The Encyclopedia of Amphibians. Buku. Weltbild Verlag GmbH. Augsburg. 444p. Liem, D. S. S. 1971. The frogs and toads of Tjibodas Nasional Park, mt. Gede, Java, Indonesia. Phillippine Journal of Science. 100 (4) : 131—160. Liswanto, D. 1998. Survei Monitoring Herpetofauna. Buku. Yayasan Titian. Jakarta. 174p. Maciel, N.M., Schwatz, C.A., Ju´nior, O.R.P., Sebben, A., Castro, M.S., Sousa,M.V., Fontes, W dan Schwartz, E.N. F. 2003. Composition of indolealkylaminesof Buforubescens cutaneous secretions compared to six other Brazilian bufonidswith phylogenetic implications. Journal Comp. Biochem. Phys. 134:641–649. Maskey, T., Schleich, H. H. dan Kästle, W. 2002. Amphibians and Reptiles of Nepal: Biology, Systematics, Field Guide. Buku. Ruggell. Gantner Verlag. 90p. Mistar. 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Buku. The Gibbon Foundation dan PILI-NGO Movement. Bogor. 90p.
71 Morrison, C., Hero, J. M dan Smith, W. P. 2001. Mate selection in Litoria chloris and Litoria xanthomera: females prefer smaller males. Journal Austral Ecology. 26: 223-232. Mumpuni, M. I dan Boeadi. 1990. Studi pakan katak Mycrohylla achatina Tschudi dan Hylarana chalconota Schlegel di Kebun Raya Cibodas, Jawa Barat. Prosiding. Prosiding Seminar Nasional Biologi Dasar I: Peranan Biologi Dasar dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi. Biol. Das I: 108 – 112. Nasir, M. D., Priyono, A dan Kusrini, M. D. Keanekaragaman amfibi (Ordo Anura) di Sungai Ciapus Leutik, Bogor, Jawa Barat. Prosiding. Prosiding seminar hasil Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 12 Februari. 89-104. Odum, E. P. 1971. Fundamentals of Ecology. Buku. Saunders. Philadelphia. 349p. Pough, F. H. 1998. Herpetology. Buku. Prentice Hall, Inc. New Jersey. 134p. Pough, F.H., Heiser, J.B., dan McFarland, W. N. 1996. Vertebrate life (4thed). Jurnal Prentice-Hall, Inc. 215 : 271 – 275. Qurniawan, T dan Trijok. 2013. Species comppotion of amphibian in gunungkelir stream, Jati Mulyo village, Kulon Progo. Jurnal Teknosais. 2(1) : 1-70 Schiesari, L. M. G., dan Hoedl, W. 2003. Treeholes as calling, breeding, and developmental sites for the amazonian canopy frog, Phrynohyas resinifictrix (Hylidae). Jurnal Copeia. 2: 263-272. Simon and Schuster’s. 1989. Guide to Reptiles and Amphibians of the World. Buku. Published by Simon dan Schuster, Inc. New York. 124p. Stebbins, R.C dan Cohen, N. W. 1995. A Natural History of Amphibians. Buku. Princeton University Press. New Jersey. 316p. Stebbins, R. C dan Cohen, N. W. 1997. A Natural History of Amphibians. Buku. Princeton Univ. New Jersey. 231p. Sudrajat. 2001. Keanekaragaman dan Ekologi Herpetofauna (Reptil dan Amfibi) di Sumatera Selatan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 247p. Sugiri, N. 1979. Beberapa Aspek Biologi Kodok Batu (Rana blythi, Boulnger, Ranidae, Anura, Amfibi) di Beberapa Wilayah Indonesia dan Kedudukan Taksanya. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 89p.
72 Ul-Hasanah, A.U. 2006. Keanekaragaman Amfibi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung Barat-Bengkulu. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 85p. Vitt, L. J dan Caldwell. J. P. 1994. Resource utilization and guild structure of small vertebrates in the Amazon forest leaf litter. Journal of Zoology. 234:463-476. Zou, X., C. P. Zucca., Waide R. B dan McDowell W. H. 1995. Long-term influence of deforestation on tree species composition and litter dynamics of a tropical rain forest in Puerto Rico. Journal Forest Ecology and Management. 78:147-157.